Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 11

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan kebelakang. "Eh, ah, maaf, Nona " aku ". aku tidak bermaksud buruk "." Katanya dengan muka pucat. Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, ia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti menyerang seorang musuh yang harus ia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya. Sebetulnya, Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong tadinya. Bahkan ia harus mengakui bahwa ia tertarik dan kagum kepada susioknya yang masih muda, tampan gagah dan memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukan merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali. Pertama, Ki Liong baru saja hari itu diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Ke tiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang, dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali dan menimbulkan rasa malu.
Memang harus di akui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum berpengalam sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu. Kini, nafsunya bergolak dan pertahanannya bobol begitu dia bertemu dengan Kui Hong, maka dia pun bertindak tanpa pikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar betapa gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang akan merugikan dirinya sendiri saja.
"Maaf, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku "." Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis. Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan.
"Plakk!" Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, disitu hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran. Akan tetapi Ki Liong yang melihat hadirnya suhu dan subonya, menjadi gelisah bukan main dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.
"Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati seklaipun dari Suhu dan Subo!"
Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu. tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga berlari keluar menuju taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya, cepat menangkis.
Kui Hong, apalagi yang terjadi" Apakah kalian berlatih silat lagi?" tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu keterlaluan terhadap susiok yang sepatutnya dihormati.
"Ibu, dia itu ". kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!" bentak Kui Hong marah.
Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi kaget bukan main. Terutama sekali Ceng Thian Sin dn Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam setelah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya"
Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tidak pernah berbohong dan kalau puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi ia pun meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sutenya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.
"Apa yang telah terjadi" Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?"
Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan ia pun baru menyadari betapa memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu ia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa ia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.
"Ibu, dia itu " dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani merayuku!"
Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh. "Ki Liong, apakah yang telah kaulakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?" tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali.
"Suhu dan Subo, teecu telah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Teecu sungguh tidak tahu diri karena tadi teecu telah mengaku cinta kepadanya sehingga ia menjadi marah dan menyerang teecu."
Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu kalau melihat betapa cantik manisnya cucunya itu" Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bukanlah perbuatan aneh, apalagi bagi Ki Liong yang belum berpengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi. Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah.
"Hemmm, bagaimana engkau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri" Sungguh perbuatan itu lancang sekali, Ki Liong. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?"
"Ampun, Suhu. Teecu ". teecu ". jatuh hati begitu melihat Nona Hong "., dan teecu berterus terang kepadanya ". kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar, membuat teecu lupa diri " dan " dan ". teecu mengaku salah dan siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo."
"Kui Hong," kini nenek itu berkata kepada cucunya. "Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?"
Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadii bingung. Apalagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya" Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.
"Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu mmebuat aku merasa malu dan marah, merasa terhina maka aku menyerangnya!" katanya nekat.
Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian" Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja, atau meninggalkan pergi. "Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Kalau engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya."
Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini, Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya dan dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh. "Ki Liong, perbuatanmu tadi lancang dan mnyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau dapat melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tidak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?"
Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya! "Teecu sudah merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman atas kelancangan dan kebodohan teecu."
Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi kenapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata" "Sudahlah, penyesalan tak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu."
Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subonya, bahkan setelah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata, "Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda itu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya
"Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu," kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya. Baru saja ia pulang ke bersama puterinya, membawa berita yang amat buruk tentang hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing, dan sekarang, baru setengah malam berada disitu, puterinya sudah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tidak enak. Sungguh ia merasa sebagai beban saja kepada dua orang tuanya yang tentu sebelum ia datang hidup di dalam keadaan aman tenteram dan kini menjadi kacau begitu ia pulang!
"Ah, Kui Hong menjadi seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja ia marah-marah dan turun tangan. Sungguh tidak baik sekali," katanya sambil menarik napas duka. Kalau saja disitu ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat.
Toan Kim Hong merangkul puterinya. "Tidak mengapa, tak perlu khawatir. Ia memang agak keras hati dan gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta, dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Akan tetapi, Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuatnya merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya karena ia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aih, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka."
"Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong," kata Ceng Thian Sin. "Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?"
"Seperti kukatakan tadi, orang muda dengan cinta mereka memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidaklah terlalu besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa tak berampun" Kalau terlalu ditekan, dia akan menjadi rendah dan pemalu."
Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan. "Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasihati Kui Hong agar ia melupakan urusan itu."
Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, memang sebetulnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali kalau keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin.
Mereka semua kembali ke kamar masing-masing dan karena urusan yang timbul tadi memang tdiak berapa peting, mereka pun dapat tidur nyenak. Dapat dibayangkan kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya, mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit! Pemuda itu pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong" Tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang dapat memasuki gudang pusaka itu!"Ah, apa artinya ini" Apakah dalam waktu semalam saja telah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong" Apakah setan telah memasuki batinnya sehingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?" kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. "Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!"
"Sabarlah," kata Toan Kim Hong. "Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam telah membuat dia merasa malu sehingga dia tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Adapun benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal dan kembali. Dan andaikata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal."
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dan menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya kepada muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. dan walaupun murid itu telah meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar.
"Aahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia berbakat baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan."
Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya. "Benarkah dia demikian hebat, Ayah" Ketika tadi melawan Kui Hong ".."
"Ah, engkau tidak tahu, Sui Cin!" kata Toan Kim Hong. "Anak itu, seperti dikatakan Ayahmu tadi, memiliki bakat yang amat besar, bahkan lebih besar daripada bakat yang ada padamu! Apalagi Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin."
Sui Cin terkejut bukan main. Ia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka ia pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa ia kalah oleh sutenya yang masih muda itu.
"Ah, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat," katanya lirih.
"Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Biarlah selama berada disini kami berdua akan menggemblengnya dan mengajarkan kunci-kunci pemunah ilmu-ilmu berbahaya yang dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak ia akan mampu menandinginya."
Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat. Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu Bu-bed Hud-couw, yaitu Hok-liang Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu mendekati tanah, dan juga cara bersamadhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan samadhi secara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya.
Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walaupun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun ia gemas kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apaagi mendengar bata[a pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka kakek dan neneknya, diam-diam ia semakin merasa gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak ia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga akan menghajar murid murtad itu! selain pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Ia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya cita-cita ini, Kui Hong belajar semakin giat dan rajin sekali, hampir tidak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya.
** Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan, dengan muka yang berbentuk bulat dan berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan nampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Sepasang matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan amat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam. Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini tiba diluar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan
Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara Delapan Dewa. Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai. Setelah meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup walaupun sudah tua renta. Kakek ini, ketika melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, segera mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam guha untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat.
Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin dan setelah dia dinyatakan berhasil oleh gurunya yang baru yang menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah, Han Siong meninggalkan tempat itu setelah berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu.
"Di mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?" Han Siong bertanya.
Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak. "Hoa-ha-ha-ha! Kenapa mesti rindu, Han Siong" Kalau engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlalu tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Masing-masing harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukannya peran yang penting melainkan pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, melainkan bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, pergilah, muridku."
Han Siong meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan guha setelah memberi penghormatan terakhir dan setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya pada senja hari itu tibalah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya! Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya" Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa lagi. Kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali ketika menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun. Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka. Ayah dan ibu kandung. Namun betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan. Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio Ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Sungguh terlalu para pendeta Lama itu pikirnya. Akan tetapi, menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkannya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar. Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita karena mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu.
Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, kedua mata Han Siong menjadi basah dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu. Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadi menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya telah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta. Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si, pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet! Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu. Mereka itu rata-rata berusia enam puluh tahun, tiga orang di antaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, melainkan juga dapat dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh.
Melihat betapa lima orang pendeta itu memenuhi jalan di depannya, seperti orang menghadang, dia lalu memberi hormat dan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.
"Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan agar saya dapat lewat," katanya penuh hormat.
Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil daripada yang sebelah kanan dan biji-biji tasbeh di tangannya itu lebih besar daripada orang ke dua yang memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.
"Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya parau dan datar.
"Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-slm-pang."
"Hemm, ada keperluan apakah?"
Biarpun wajahnya tetap senyum dan hormat, namun di dalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang seolah-olah hendak mencampuri urusan orang lain, seolah-olah mereka itu berkuua di situ dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang" Namun dengan sikap tenang dia menjawab.
"Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu."
"Hemm, siapakah namamu, orang muda?"
Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya.
"Nama saya Pek Han Siong, Losuhu."
Benar saja dugaannya, lima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan girang sekali. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, menggelinding ke belakangnya.
"Perlihatkan punggungmu!" bentak pendeta gendut itu dan Han Siong merasa betapa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu sedetik itu dia pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun tidak mengelak, hanya diam-diam mengerahkan tenaga melindungi tubuh belakang agar tidak terkena pukulan gelap.
"Brettt "..!" Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!
"Omltohud ?"! Benar dia... Sin-tong...!" Teriak Si Gendut yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong. Empat orang pendeta yang lain, dengan gerakan yang cepat dan ringan, telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, mereka pun seperti Si Gendut tadi, menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.
"Ampunkan saya ?". yang telah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong ?"!" kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung.
Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi juga geli rasa hatinya melihat betapa lima orang pendeta yang usianya enam puluh tahun kini berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya.
"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas, karena aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua." katanya.
Pendeta yang tinggi kurus dan matanya sipit sebelah itu, yang agaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan kedua tangan menyembah di depan dada.
"Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menanti kedatangan Anda."
Han Siong pura-pura tidak mengerti. "Menanti kedatanganku" Untuk apakah" Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."
"Aih, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini."
"Hemm, aku tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."
"Sin-tong, pimpinan kami sudah menanti-nanti kedatangan Anda. Marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberitahukan selanjutnya kepada Anda apa yang harus dilakukan."
"Apa" Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"
"Benar Sin-tong."
"Tldak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap Ayah dan Ibu kandungku."
"Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda, hanya kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama dan seluruh umat di dunia. Marilah, Sin-tong."
"Tidakt aku harus bertemu dengan orang tuaku."
"Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet."
"Harus" Kalian memaksaku?"
"Ah, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Akan tetapi, kami telah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Bagaimanapun juga, kami harus pulang membawa Sln-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."
"Kalau aku tidak mau?"
"Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar melainkan kami harus mentaati perintah pimpinan kami." kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik dan terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati kami!"
Pek Han Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu memiliki ilmu sihir untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya, dia sudah bersiap siaga sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya, dia tersenyum saja. Baik, pikirnya, kalau kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh Ban Hok Lojin.
"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku berada di tempat sendiri, tidak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat hendak memaksa seseorang" Bukankah itu merupakan dosa besar" Aku tidak mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan."
Lima orang pendeta itu saling pandang dengan heran. Pimpinan mereka tadi sudah mengerahkan tenaga menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tidak merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu! Akan tetapi keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini memiliki kelebihan daripada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang mereka hadapi bukan hanya Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa, yaitu Ban Hok Lo-jin!
Tiba-tiba pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang lebih nyaring melengking dan bergelombang kuat. "Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!"
Han Siong merasa betapa dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar!
"Engkau harus ikut!" Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah sambil membentak keras.
"Engkau harus taat!"
"Harus ikut!" "Harus taat!" Bergantian lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Han Siong. Akan tetap pemuda itu berdiri biasa saja, mulutnya tersenyum dan sikapnya masih hormat, sedikit pun tidak bergoyang, sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang pendeta Lama itu. Kembali para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang di lakukan susul-menyusul sampai tenaga mereka bergabung, sedikit pun tidak berbekas!
"Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Segala sesuatu di dunia ini kalau dipaksakan, akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."
"Baik, pinceng pergi.... " kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.
"Kami pergi ....."
"Kami pergi ....."
Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah, mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kemauan dan tanpa mereka kehendak mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kini mereka hendak membawa mereka pergi.
"Omitahud .....!" Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh, kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!
"Pek Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biarpun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar kepadamu, akan tetapi saat ini engkau adalah searang yang di haruskan oleh pimpinan kami untuk ikut ke Tibet. Oleh karena itu, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawa mu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siang dari belakang.
Han Siong tidak mengelak dan dua buah lengan yang besar dan panjang telah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tldak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu melangkgh maju dan sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi. Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tidak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir saja agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat!
"Bagus, mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu. Si Raksasa lalu memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau sampai diketahui orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan.
Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran. "Eh, mana Lung Ti Lama?" mendengar ini teman-temannya berhenti dan menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang diantara mereka, tidak nampak dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka,. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan itu memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.
"Celaka, yang kaupanggul itu adalah Lung Ti Lama!" teriaknya. Si Tinggi Besar terkejut dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, kiranya yang ditawan dan ditotok tadi adalah seorang teman mereka sendiri, pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu terkejut bukan main dan pimpinan Lama segera membebaskan totokan dari tubuh Si Pendek
Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek.
"Bagaimana engkau yang menjadi tawanan" Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!" tegur pendeta tinggi itu.
"Sin-tong apa?" Si Pendek mengomel. "Kalian malah mengeroyok aku dan menangkap aku."
Semua pendeta maklum bahwa kembali Sin-tong menggunakan sihir yang amat kuat sehingga mereka berlima dipermainkan. Ketika mereka menengok, mereka melihat pemuda itu sudah melangkah lagi hendak melanjutlan perjalanan memasuki perkampungan.
"Tangkap dia!" bentak pimpinan Pendeta Lama dan mereka pun berloncatan dan mengepung Han Siong yang masih bersikap tenang.
"Kalian adalah pendeta-pendeta yang tidak tahu diri." Han Siong menegur. "Mengganggu orang yang tidak bersalah sama sekali."
Akan tetapi, lima orang pendeta itu tidak memberi kesempatan lagi kepada Han Siong untuk banyak cakap dan mereka pun sudah menerjang dan menyerang. Tiga orang mempergunakan tongkat hitam dan dua orang lagi menggunakan tasbeh yang menyambar dengan dahsyat. Melihat permainan senjata mereka yang demikian kuat, maklumlah Han Siong bahwa dalam hal ilmu silat, lima oang pendeta Tibet itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini dengan loncatan-loncatan pendek dan kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kerasnya dibandingkan tongkat lawan.
Han Siong tidak ingin melukai lima orang pendeta itu karena dia tidak bermusuhan dengan mereka. Dia tahu pula bahwa mereka itu hanyalah petugas-petugas yang melaksanakan tugas dan tidak berani melanggar perintah atasan. Dan ia pun tidak ingin memperlihatkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu dan subonya, maka dalam menghadapi pengeroyokan itu, dia hanya memainkan ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang dipelajari di kuil Siauw-lim-si. Biarpun demikian, karena dia telah memiliki sinkang yang kuat dan ginkang yang membuat gerakannya ringan dan cepat, maka dia selalu dapat menghindarkan diri dari hujan senjata itu.
Han Siong melihat banyak orang berlarian keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Apalagi ketika dia mendengar suara orang laki-laki, cukup keras sehingga terdengar olehnya. "Benarkah dia itu" Tidak kelirukah ini" Pek Han Siong telah kembali "..?" Dia tidak tahu siapa yang bicara itu, akan tetapi dia tahu bahwa tentu keluarga Pek telah berada di situ dan nonton perkelahian. Tiba-tiba dia merobah gerakannya dan dia memainkan tiga belas jurus pilihan dari Pek-sim-kun seperti yang dilatihnya dari kitab peninggalan kakek buyutnya. Kakek buyutnya itu, Pek Khun, telah menyaring ilmu silat Pek-sim-kun menjadi tiga belas jurus saja yang ampuh, yang mencakup bagian-bagian paling lihai dari ilmu silat itu, kemudian menuliskannya menjadi sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang cukup sukar. Setelah dia digembleng oleh suhu dan subonya, barulah Pek Han Siong memperoleh dasar yang cukup kuat untuk mempelajari tiga belas jurus Pek-sim-kun ini sampai mahir benar. Kini melihat keluarga Pek keluar dan menonton, dia pun mulai memainkan ilmu silat itu menghadapi lima orang pengeroyoknya.
Terdengar seruan-seruan heran, kaget dan kagum dari rombongan yang keluar dari perkampungan itu.
"Mirip Pek-sim-kun!"
"Dasar gerakan kakinya sama!"
"Tapi demikian aneh dan cepat!"
Bermacam-macam komentar para penonton dan dengan hati bangga Han Siong lalu mempercepat dan memperkuat gerakannya. Terdengar bunyi tongkat patah dan disusul teriakan kaget lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya. Tiga batang tongkat yang amat kuat itu telah patah dan dua untai tasbeh juga putus talinya! Lima orang pendeta itu maklum bahwa mereka sama sekali bukan lawan pemuda yang amat lihai ilmu sihir dan ilmu silatnya itu, dan mereka pun maklum bahwa Sin-tong sejak tadi mengalah dan tidak ingin melukai mereka. Sebagai orang-orang pandai, tentu saja mereka tahu bahwa kalau dikehendakinya, sejak tadi mereka berlima sudah roboh mungkin tewas di tangan pmuda tangguh itu.
"Mari kita pergi!" kata pendeta tinggi kurus dan dia pun meloncat pergi diikuti empat orang kawannya.
Yang keluar dari dalam pintu gerbang perkampungan itu memang keluarga Pek bersama murid-murid mereka. Mereka itu sudah tahu bahwa telah berbulan lamanya, bahkan mungkin sejak kemunculan Hay Hay yang menimbulkan keributan dengan para pendeta Lama, diluar perkampungan mereka selalu terdapat pendeta-pendeta Lama berkeliaran. Mereka dapat menduga pula bahwa tentu para pendeta itu menanti munculnya Pek Han Siong untuk mereka tangkap. Karena mereka itu berada di luar dusun dan tidak pernah mengganggu perkampungan Pek-sim-pang, maka orang-orang Pek-sim-pang tidak dapat melarang mereka. Maka, ketika mendengar bahwa ada seorang pemuda berkelahi melawan lima orang pendeta Lama, mereka pun berbondong keluar dan mereka masih sempat menyaksikan betapa pemuda gagah itu dengan ilmu mirip Pek-sim-kun, telah mengusir lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya tadi.
Pek Kong dan Souw Bwee, isterinya, melangkah maju mendekati Han Siong. Sepasang suami isteri ini mengamati wajah Han Siong akan tetapi tentu saja mereka berdua ragu-ragu. Sejak bayi mereka berpisah dari anak mereka, maka kini tentu saja mereka tidak mengenal pemuda yang berdiri dengan tegap, gagah dan tampan di depan mereka. Mereka takut kalau-kalau mereka kecelik lagi, seperti ketika di situ muncul Hay Hay yang mereka sangka anak mereka.
"Apakah engkau Pek Han Siong?" tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan dan harapan.
Han Siong memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia kurang lebih empat puluh satu tahun, dan seorang wanita yang usianya beberapa tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin. Ketika ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat menduga bahwa kedua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, maka dengan suara lembut dan hormat dia pun bertanya.
"Bolehkah saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?"
Dengan suara gemetar Pek Kong berkata, "Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku ....."
"Ayah! Ibu ...!" Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya, "saya adalah Pek Han Siong...."
"Han Siong ....!" Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan di dalam rangkulan puteranya!
Dengan sikap tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong memondong tubuh ibunya dan berkata kepada ayahnya, "Ayah, marilah kita masuk ke dalam karena Ibu perlu dirawat. Ia telah menderita guncangan batin."
Pek Kong memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya demikian tenang, juga tadi dia telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya sehingga demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan,dia bersikap dewasa dan tenang sekali.
"Baik," katanya dan mereka semua memasuki perkampungan. Setelah merebahkan Ibunya di atas pembaringan, kemudian mengurut beberapa jalan darah sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan.
"Ibu, tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu."
"Han Siong ".. ah, Han Siong "..!" Wanita itu menangis. "Engkau telah datang, Anakku... eh, mana Eng-ji" Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji! Pulanglah, .Nak ".."
Melihat ibunya berduka, Han Siong mengelus dahi Ibunya sambil mengerahkan tenaga batinnya dan tak lama kemudlan ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit dan menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat kesemuanya itu dengan hati terharu.
"Ayah, siapakah Eng-ji yang disebut-sebut Ibu tadi?"
"Mari kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggauta keluarga kita." kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam di mana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang.
"Anakku, ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu." kata Pek Kong memperkenalkan.
"Ah, Kong-kong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kong-kong, juga Ayah." Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri.
"Aku merasa berbahagia sekali melihat engkau pulang sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang."
Han Siong lalu dlperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan.
"Eng-ji adalah adik kandungmu. Han Siong," Ayahnya menerangkan. "Engkau mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas tahun."
"Ah! Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Di manakah Adikku itu, Ayah?"
Wajah ketua Pek-sim-pang itu menjadi agak muram. "Itulah yang menyebabkan Ibumu menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya ia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini," katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja, minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apa yang menjadi adiknya itu, pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata saja.
"Ayah dan Ibu tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku
mau pergi mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu."
"Ditlnggalkannya surat itu di atas meja dalam kamarnya." kata Pek Kong. Kini, rasa kecewa yang tadi menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan agaknya keras hati bukan main.
"Maaf, Ayah. Apakah ia dipaksa untuk kawin?" dia bertanya, menatap wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu.
Ayahnya menarik napas panjang. "Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, dan ketika kami memberitahukan kepada Eng-ji, ia menangis. Dan pada keesokan harinya, ia telah pergi meninggalkan surat ini."
Han Siong mengangguk -angguk, "Hemm, alangkah keras hatinya. Biarlah aku akan mencarinya, Ayah. Setelah lbu sehat kembali, aku akan pergi mencari Adik Eng."
"Kami merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergiannya justru ketika Hay Hay tiba di sini," kata Pek Ki Bu dan Pek Kong menganggu-angguk. Memang dia dan isterinya pun merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang pemuda mata keranjang yang pandai silat dan sihir, dan bukankah terdapat hubungan intim antara Pek Eng dan Hay Hay"
"Siapakah Hay Hay itu, Ayah?"
"Dia adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu," kata ayahnya. Han Siong mengerutkan alisnya dan memandang heran.
"Apa maksud Ayah?"
"Aih, engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong."
Pek Kong dan Pek Ki Bu lalu menceritakan segala riwayat Han Siong semenjak dia dalam kandungan sudah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han Siong sendiri hanya tahu dari kakek buyutnya dan dari Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para pendeta Lama dan diperebutkan pula oleh para datuk sesat. Baru sekarang dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya. Betapa sejak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya, betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula oleh bayi yang telah mati! Betapa kemudian, bayi yang pernah menggantikannya itu, yang kini telah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek, bernama Hay Hay dan amat lihai pula, muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin gempar. Hay Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek.
"Nah, demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka kami hanya curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja."
Han Siong masih tertegun mendengar cerita tadi. Demikian banyak hal aneh dan mengerikan terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain.
"Ayah, aku akan pergi mencari Adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay Hay itu, walaupun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju akan perjodohan itulah."
Han Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan puterinya. Kalau puteranya pergi, dia tidak merasa khawatir, apa lagi puteranya telah menjadi seorang yang amat lihai. Barpun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, namun bagaimana juga ia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan menghadapi banyak gangguan.
Kepergin Pek Eng sudah kurang lebih lima enam bulan, maka tidaklah mudah bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi secara untung-untungan saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka dia pun menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si. Tentu adiknya pergi ke sana. Diurungkan niatnya mengunjungi kakek buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu telah meninggal dunia karena usia tua.
** Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas itu. Wajahnya yang tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, mulut yang selalu dihiasi senyum, hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan lenggang lepas, dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang tegap dan sedang besarnya itu seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan. Pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna kesukaannya. Dipunggungnya nampak sebuah buntalan pakaian. Sepasang matanya yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di depan matanya, barisan rumput hijau segar yang bergerak-gerak tertiup angin, nampak seperti air berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai. Bukit kecil di depannya nampak demikian tenang, tidak terikat waktu, tenang dan indah hening. Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan terganggu kesibukan maka keindahan pun membuyar lenyap.
Ketika berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika pikirannya tidak diganggu sesuatu, batinnya menjadi hening dan keindahan pun menyentuh seluruh pribadinya. Matahari sudah condong jauh ke barat, sudah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari puncak bukit itu, pasti indah pemandangannya, keindahan matahari terbenam di kaki langit sebelah barat. Ketika dia sudah melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang paling rendah dan hina, bahkan dipandang hina oleh para penjahat lainnya. Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak haram lagi! Biasanya, kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan keheningan pun lenyap. Keindahan pun tidak nampak lagi. Yang ada hanya rasa penasaran, kekecewaan dan kemarahan. Kemarahan datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan akunya, pikiran yang melihat betapa aku nya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka aku pun menjadi marah dan penasaran! Padahal baru saja, sebelum pikiran mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikit pun rasa sesal atau marah mengganggu Hay Hay. Kemarahan tidak muncul dengan sendirinya. Kemarahan hanyalah akibat dari ulah sang pikiran sendiri. Semua ini nampak oleh mereka yang mau mengamati pikiran sendiri, mengamati saja penuh dengan kewaspadaan, dan dari pengamatan ini akan timbul suatu perubahan pada pikiran tu sendiri, seperti ombak samudera yang tadinya membadai menjadi tenang dengan sendirinya. Pengamatan bukan berarti terseret ke dalam arus pikiran, melainkan mengamati tanpa ada yang mengamati. Yang ada hanyalah pengamatan, perhatian, kewaspadaan. Kalau ada yang mengamati berarti sang pikiran itu sendiri yang mengamati, dan hal ini merupakan suatu kesibukan lain dari pikiran saja! Gelombang yang lain lagi, namun masih sama, hasilnya mengeruhkan batin.
Kinl Hay Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua kesibukan pikiran yang tadi pun lenyap. Indah sekali di puncak bukit itu. Ada sebidang padang rumput yang rata, di sana-sini nampak pohon tua yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia, seperti raksasa-raksasa, dan nun di sana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah! Pena siapakah yang mampu melukis keindahan matahari terbenam seperti itu" Pena siapa yang mampu mencatat semua keindahan itu" Dia akan kehabisan warna, ruang dan bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk menceritakannya.
Dengan hati terasa lega, seolah-olah segala beban batin pada saat itu diangkat terlepas dari menindih hatinya, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu. Dia lupa akan diri sendiri, merasa seolah-olah melayang di antara awan nun dibalik warna merah, awan yang menciptakan beribu macam bentuk yang indah-indah, aneh-aneh, malang-melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya, kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis! Lihat rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang kerlng layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikit pun di antara mereka. Bahkan kesemuanya itu pun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan membentuk suatu keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan perbandingan di antara benak Hay Hay, dan agaknya terbawa oleh suasana dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya.
"Matahari timbul di waktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram di kala senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih berganti yang pernah hidup berakhir mati apa artinya duka nestapa kalau memang sudah demikian keadaannya " Selagi hidup kenapa layu dan mati" lebih baik bergembira hari ini!"
Hay Hay tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh sesuatu di saku bajunya.Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas muda dan permata merah. Ang-hong-cu, Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya! Akan tetapi kini Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum. Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, menjadi jembatan bagi dia muncul ke permukaan dunla ini. Boleh jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawa sendiri-sendlri, pikiran sendiri-sendiri. Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh, tidak ada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana! Tidak, dia tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja" Wanita yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi kalau lautan menerima Ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya! Tidak, tak mungkin dia menerima laki-laki yang demiklan kejam terhadap wanita yang menjadi ibunya itu sebagai ayahnya! Masih lebih baik orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li itu, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang bagaimanapun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua terhadap dirinya, daripada jai-hwa-cat she Tang itu. Dan dia pun tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa marga, tanpa she. Biarlah, namanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja dia pun tidak mau menggunakan she Siangkoan.
"Hemmm...., Ang-hong-cu....." bisiknya sambil memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jari tangannya. Matahari makin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tidak kelihatan lagi merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah! Orang yang membunuh dan memperkosa dua orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi diperkosa. Gadis-gadis yang demikian manis, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan gadis-gadis manis itu dan nasib mereka yang tertimpa malapetaka dengan kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu tanpa disadarinya, sambil mempermainkan benda perhiasan itu diantara jari-jari tangannya, dia pun bersajak.
"Gadis yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan bunga sekuntum
indah semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu meninggalkan bunga terkulai layu sunggub keji, sungguh gila "..!"
Hay Hay mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu keluar dari mulutnya seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya.
"Ang-hong-cu memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!" Bentakan itu ditutup dengan datangnya serangan yang hebat sekali. Anginnya menyambar dahsyat ke arah tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tidak kalah hebatnya yang datang dari kanan kiri. Dia telah diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam telah menghampirinya dari arah belakang. Karena angin menerpa dari depan, dan dia sedang melamun dan tenggelam dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada tiga orang datang menghampirinya. Apalagi karena gerakan mereka memang amat ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi.
Ketika merasa betapa ada angin pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin serangan. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut karena pukulan-pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka!
Hay Hay yang merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerangnya itu dan menjadi semakin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apalagi berkenalan dengan tiga orang ini! Mereka bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biarpun cuaca mulai remang-remang, masih dapat dilihat wajah mereka yang membayangkan kemarahan, wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce merah dan melihat sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang gagah, bukan dengan penjahat atau peranpok. Maka diapun mendahului mereka, bersoja dengan kedua tangan di rangkap di depan dada, sikapnya hormat dan bersungguh-sungguh, walaupun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias tersenyum.
"Harap Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum kukenal, maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?"
Tiga orang itu nampak marah dan seorang diantara mereka, yang bermuka penuh brewok yang terelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka Hay Hay, dia pun memaki.
"Jai-hwa-cat laknat! Biarpun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan bumi!"
" Akan tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat ".!"
"Hemm, sudah jahat pengecut pula!" teriak orang ke dua yang tinggi besar dan mukanya kemerahan.
"Suheng, tak perlu banyak cakap kiranya. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu dilayani. Hantam saja!" teriak orang ke tiga yang kurus dan mukanya kuning.
"Sungguh mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!" kata Hay Hay penasaran.
Kembali Si Brewok yang bicara. "Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, tak perlu lagi menyangkal, mari hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai sekali?"
"Sungguh, aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian kira"."
"Hemm, percuma saja engkau menyangkal. Kami telah melihat benda yang berada di tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?"
"Benar, akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian tidak pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu" Usianya" Bentuk wajah dan tubuhnya?"
"Hemm, tak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan, dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang. Engkau pun tampan bertubuh tegap, membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi kalau bukan engkau?"
"Bukan, aku bukan Ang-hong-cu."
Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang di antara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata, "Ketahullah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!"
"Kenapa sih engkau hendak membunuhnya?" tanya Hay Hay dengan sikap tenang, padahal tentu saja ingin dia mendengar tentang orang yang kebetulan menjadi ayah kandungnya itu.
"Dia telah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai sehingga sumoi kami itu membunuh diri di depan Suhu! Jangan pura-pura tidak tahut karena engkaulah orangnya yang melakukan perbuatan keji itu! Engkaulah Ang-hong-cu mengaku saja!"
"Aku bukan Ang-hong-cu bagaimana harus mengaku sebagai dia?"
"Kalau bukan, bagaimana engkau dapat memiliki lambang hiasan tawon merah itu" Darimana kaudapatkan itu" Dan apa hubunganmu dengan Ang-hong-cu?"
Hay Hay tidak dapat menjawab. Tentu saja dla tidak mau menceritakan bahwa dia putera Ang-hong-cu! "Itu... itu urusanku sendiri, tidak perlu kuberitahukan kepada kalian. Yang jelas, aku bukan Ang-hong-cu. Tidak percayakah engkau?"
"Tidak, aku tidak percaya!" Kini yang bermuka kuning dan bertubuh kurus membentak. "Engkau bohong, engkau pengecut! Tadi pun engkau bersajak memuji-muji kecantikan wanita sambil bermain-main dengan tanda tawon merah. Engkau Ang-hong-cu!"
"Apakah engkau juga butuh kepalaku" Nah, ambillah!"
Murid Bu-tong-pai yang tinggi besar itu seperti orang bingung. Dia hanya bengong memandang ke arah kepala pemuda itu yang masih menempel di tubuhnya, lalu menoleh dan memandang ke arah kepala yang tergantung di tangan kiri suhengnya. Dia bergidik, akan tetapi dia lalu mengeluarkan lengking panjang dan dia melompat ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan sekuat tenaga membacok ke arah leher yang disodorkan itu.
"Crattt!" Kembali pedang itu menabas buntung leher Itu dan kepalanya sudah disambar oleh Si Muka Merah. Akan tetapi, biarpun jelas bahwa kepala yang berada di tangan kirinya dengan dijambak rambutnya itu adalah kepala Ang-hong-cu, akan tetapi kini pemuda yang duduk di dekat api unggun itu masih mempunyai kepala yang utuh menempel di lehernya. Bahkan kini pemuda itu menyodorkan lagi kepalanya dan melirik ke arah Si Muka Kuning.
"Engkau juga mau kepalaku" Nah, amblllah agar kalian bertiga dapat pulang membawa masing-masing sebuah kepala!"
Seperti juga kedua orang temannya, Si Muka Kuning itu bengong, dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menoleh ke arah pemuda itu, kemudian memandang kepada dua buah kepala yang dijambak rambutnya oleh dua orang temannya. Dia pun jelas nampak jerih dan ketakutan, bahkan bergidik dan kedua pundaknya menggigil seperti orang kedinginan. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang suhengnya telah memegang sebuah kepala, dia pun mengatupkan giginya, lalu berteriak.
"Biarpun engkau siluman atau ib1is, Ang-hong-cu, aku akan memenggal kepalamu!" Dan dia pun meloncat sambil mengayun pedangnya, mengerahkan tenaganya ketika pedang itu mengeluarkan sinar kilat menyambar ke arah leher itu.
"Crattt?" Untuk ke tiga kalinya, leher itu terbabat dan sebuah kepala disambar tangan kiri Si Muka Kuning. Ketiganya kini memandang dan ternyata pemuda itu masih duduk tenang di dekat api dengan kepala masih utuh. Tiga kali kepalanya dipenggal, dan tiga buah kepala kini berada di tangan kiri tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan mereka berloncatan menjauh. Ketika mereka melihat lebih seksama, ke arah muka dari kepala yang dijambak rambutnya, ketiganya menjerit penuh kengerian karena muka dari kepala yang dipenggal dan berada di tangan mereka itu kini berubah menjadi muka mereka sendiri! Bagaikan memegang ular berbisa mereka cepat melepaskan kepala itu yang terjatuh ke atas tanah dan lenyap begitu saja!
Tiga orang jagoan Bu-tong-pai itu kini terbelalak pucat dan jelas nampak betapa tubuh mereka menggigil, tangan yang memegang pedang juga gemetar. Mereka memandang ke arah pemuda yang masih duduk bersila di dekat api unggun. Biarpun dia takut setengah mati, namun Si Brewok mengumpulkan nyalinya dan berteriak lantang. "Ang-hong-cu, biarpun engkau memiliki ilmu siluman, kami bertekad untuk membasmimu dan kami tidak takut kehilangan nyawa untuk membasmi kejahatan!"
Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan lengking nyaring, Si Brewok sudah berlari menerjang ke arah Hay Hay, diikuti oleh kedua orang sutenya yang juga sudah menjadi nekat. Melihat kenekatan mereka, Hay Hay bangkit menyambar buntalan pakaiannya.
"Sialan, mengganggu orang saja!" katanya dan sekali berkelebat dia pun lenyap dari depan tiga orang itu yangmenjadi bengong terlongong. Mereka tidak tahu harus mengejar kemana. Pula, mereka kini yakin bahwa Ang-hong-cu atau bukan, orang muda itu sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bukan hanya pandai ilmu sihir yang berkali-kali membuat mereka kecelik, akan tetapi juga memiliki ilmu silat tinggi. Buktinya, gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Mereka terpaksa pergi meninggalkan bukit itu dan di sepanjang perjalanan, mereka tak pernah berhenti membicarakan orang muda luar biasa itu dan ada kesangsian di dalan hati mereka apakah benar pemuda itu Ang-hong-cu, karena kalau benar si penjahat cabul, tentu mereka tidak akan dibiarkan hidup. Melihat pembawaan dan sikap pemuda itu, agaknya tidak patut disebut orang jahat, walaupun pemuda itu tampan dan membawa hiasan tawon merah.
Sementara itu, dengan bersungut-sungut dengan hati yang mengkal sekali, Hay Hay terpaksa meninggalkan bukit indah itu dan karena dari tempat tinggi itu dia tidak melihat adanya dusun dekat situ, terpaksa dia memasuki sebuah hutan lebat yang nampak gelap sekali. Lebih baik ditempat tersembunyi itu agar tidak terganggu lagi, pikirnya. Malam ini dia ingin tidur nyenyak. Dia memanjat sebatang pohon besar dan tak lama kemudian Hay Hay telah tidur nyenyak, terjepit diantara tiga cabang pohon yang saling melintang.
** Suara suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju ke timur, kemudian di lain saat menukik turun bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat, bahkan kemudian menyelam dan menjadi satu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk di lain saat muncul kembali berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, kemudian menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi.
Sementara Hay Hay melayang-layang hanyut oleh suara suling itu. dia ikut melayang diantara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi turun sampai ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dengan riak air di antara batu-batuan, ikut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi. Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tuga batang pohon besar. Sinar matahari telah menyusup di antara celah-celah cabang, ranting dan daun pohon, menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai membubung naik dari atas tanag da ndari daun-daun pohon di mana semalam mereka berkumpul. Burung-burung berkicau dan beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seolah-olah semua mahluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Cahaya pagi memang merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang emmbuat semua mahluk mengundurkan diri, dan cahay apgi seolah-oleh menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati untuk semalam.
Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam disekitarnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang di dengarnya tadi, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main. Buntalan yang semalam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, dan dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka.
Kegembiraan di sekelilingnya menular kepada Hay Hay. Dia merasa gembira, hatinya ringan, pikirannya bebas tanpa beban, dan hal ini membuat sekuruh anggauta tubuhnya bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar! Hal ini sudah wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang, dia tidak pernah makan sedikit pun. Kini terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya. Dia harus mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya banyak terdapat kelinci di dalam hutan ini dan daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi perutnya. Daging kelinci dipanggang, di beri garam dan bumb yang terdapat di dalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan main. Mengingat akan ini, perut Hay Hay makin meronta dan menjerit.
Dia memungut dua buah batu sebesar empat jari kaki. Cukup untuk mrnjatuhkan seekor atau dua ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu ditangannya, Hay-Hay lalu mencari kelinci. Tak lama kemudian, dia melihat empat ekor kelinci di balik semak-semak, berkerjaran dan mereka itu nampak bergembira. Agaknya satu keluarga, piker Hay-Hay. Dua ekor yang besar dan dua ekor yang kecil. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya. Maka dia lalu memilih diantara dua ekor besar. Cukup besar dan gemuk, seekor pun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Di pilihnya yang putih bersih bulunya dan di lain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang dengan amat cepatnya ke arah leher kelinci itu.
"Takk" batu itu runtuh di tengah jalan! Hay Hay terbelalak, merasa penasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat ke arah kepala kelinci putih itu. menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya.
"Takk!" kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak. Akan tetapi pandang mata yang tajam dari Hay Hay melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apa itu, akan tetapi dia pun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat menangkap kelinci sebelum empat ekor binatang itu melarikan diri ke dalam semak belukar penuh duri. Maka, dia pun cepat meloncat ke balik semak-semak, bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan di ulur untuk menangkapnya
Wuuutttt "..!" tiba-tiba saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap demikian cepatnya sehingga dia hanya menangkap angin saja! Ketika dia mengangkat muka memandang ke arah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa empat ekor kelinci itu, dengan tubuh gemetar, berada di atas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak nampak karena tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan, mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hdiupnya belum pernah dia melihat seorang kakek seaneh ini. Dua orang gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan bicaranya. Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak lumrah manusia. Kakek ini sukar di taksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali melihat mukanya yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar, tidak normal, bagian belakangnya seperti membengkak dan kepala itu gundul bukan karena dicukur, melainkan botak dan tidak ditumbuhi rambut. Akan tetapi, kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat muka yang sempit itu nampak seperti monyet atau manusia hutan yang liar, lebih mendekati monyet daripada manusia. Tubuhnya nampak kecil pendek, bukan memang karena ukurannya, melainkan karena tubuh itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu kecil bundar seperti mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay merasa silau bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil itu bagaikan dua titik api membara! Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet, mulutnya kecil dan tersenyum mengejek. Yang lebih mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada semacam cawat tergantung di pinggang, terbuat dari kulit pohon. Kakinya telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya tak pernah mengenal peradaban! Akan tetapi ketika Hay Hay mendengar suaranya, ia tertegun! Bukan manusia liar, bukan setengah binatang, melainkan seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci di atas pangkuannya itu!
Hanya sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lalu sibuk mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara dengan kata-kata yang penuh kasih sayang.
"Jangan takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song di sini, tidak ada seorang pun manusia jahat mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana bermain-main. Akan tetapi, hati-hati selalu kalau melihat ada manusia, bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari ular, lebih keji dari iblis. Pergilah, sayang ".!" Kakek itu mengelus punggung empat ekor kelinci dan mendorong mereka masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek.
Melihat sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, Hay Hay merasa tidak enak sekali. Dengan sikap hormat dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura.
"Maafkan aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?"
Kakek itu bangkit dan nampak tubuhnya semakin bongkok, matanya mengeluarkan sinar menyambar ke arah muka Hay Hay, lalu dia menudinkan sebatang telunjuk yang bengkok. "Manusia jahat, masih muda sudah jahat kau, tahunya hanya menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam dan jahat! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tidak mengenal apa ittu peliharaan. Dan awas kau, kalau kauganggu seekor pun binatang terkecil, akan kubunuh kau!"
"Tapi, Kek "."
"Huh, tidak ada tapi! Lihat, pagi begini indah, alam begini elok dan suasana begini suci dan penuh bahagia ".." Tiba-tiba Hay Hay melihat betapa wajah itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah seperti sajak. "Dan engkau manusia jahat datang, tidak mempedulikan semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!"
"Tapi, Kakek yang baik, hatiku tidak penuh kebencian, tidak penuh nafsu membunuh. Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit karena lapar!"
"Gila kau! Masa perut lapar hendak membunuh kelinci?" bentak kakek itu. "Kau lebih jahat daripada segala mahluk. Binatang jauh lebih baik daripada manusia macam kau!"
Hay Hay merasa penasaran sekali. Dia melihat ke atas dan nampak seekor burung sedang makan ulat. "Kakek yang baik, jangan sembarangan memaki orang. Lihat binatang-binatang pun sesama mahluk hidup kalau mereka lapar. Burung itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikur dan cecak. Harimau dan singa makan kijang, kambing dan kelinci!"
"Tentu saja, tolol! Karena memang makanannya! Harimau tidak suka makan rumput, kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya, dia akan mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah rumput, kalau tidak ada rumput dia mampus kelaparan! Akan tetapi engkau, manusia, apa saja yang tidak kamu makan" Kamu makan daging bukan karena lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan harimau!" Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah.
"Kakek yang baik, sekarang ini perutku lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, aku pun tentu akan mati kelaparan."
"Bohong, begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan rumput dapat kaumakan."
Hay Hay tertegun. "Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek" Hanya makan rumput, daun dan buah?"
"Tentu saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang karena mereka itu jauh lebih suci daripada manusia yang berhatu palsu, curang, kejam dan munafik, ha-ha-ha!" Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa. Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi juga agaknya sudah miring otaknya, sudah gila! Suara ketawanya itu tidak wajar dan muka yang dapat berubah-ubah itu, menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak waras.
Agaknya untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lalu mencabut rumput hijau muda dan memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput, kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula.
Melihat ini Hay Hay tersenyum. "Kakek yang bai, apa kaukira karena makan rumput dan daun saja, engkau tidak membunuh" Rumput dan daun itu pun telah kaubunuh ketika engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang kecil yang tidak nampak oleh mata, yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula kaukunyah dan kautelan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang kaumakan bersama rumput dan daun itu!"
Kakek itu memandang dengan sepasang mata mencorong, dan mulutnya yang tadi sedang mengunya daun itu menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak menelan makanan rumput dan daun, agak sukar nampaknya. Setelah semua sayur itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah, "Engkau gila! Sudah, aku tidak sudi bicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah dan membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor binatang, kubunuh kau, manusia jahat!" Sebelum Hay Hay menjawab, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap.
Hay Hay tertegun. Tak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukan orang sembarangan. Tadi ketika menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian menghindarkan kelinci-dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Siapakah kakek itu pikirnya. Tingkahnya seperti orang yang miring otaknya, seperti orang gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang binatang, hal ini jelas, dan menganggap orang yang makan daging binatang amatlah biadab. Siapakah yang gila, kakek itu ataukah dia" Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil yang tak dapat dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar daun-daun dan sayur-sayuran sehingga makan sayur mentah pun tanpa disengaja membunuh banyak binatang tanpa disengaja! Ah, disinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay. Kakek itu pantang membunuh, walaupun tadi mengancamnya akan membunuh kalau dia berani mengganggu binatang. Kakek itu pantang membunuh, apalagi membunuh untuk makan! Membunuh sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan dagingnya memupuk kekejaman dan memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tiingkah yang aneh dari kakek tadi.
Ah, peduli amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri dan tidak nampak bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa kakek itu tentu telah jauh dari situ. Dia pun mulai lagi mencari binatang buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya. Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan di atas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat adanya seekor ular yang merayap turun dari atas pohon melalui sebatang cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tidak mengeluarkan suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak namun tubuhnya semakin maju dan lidahnya bergerak keluar masuk monconganya dengan amat cepat seperti tusukan pedang di tangan seorang ahli. Ketika Hay Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai ayam hutan. Demikian asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam sehingga ia agaknya lupa akan segala. Biarpun matanya selalu bergerak ke kanan kiri dengan waspada, namun ia tidak melihat benda bergerak yang hidup dan mengancam di atas kepalanya itu. Seekor ular sedang mengintai dan merunduk calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay. Hatinya tertarik sekali dan dia pun tidak berani bergerak, takut kalau akan mengejutkan pemburu di atas pohon dan buruannya yang berada di dekat semak di bawah cabang pohon itu. sebagai seorang ahli silat, perasaannya peka sekali terhadap setiap gerakan dan dia seolah-olah dapat merasakan ketegangan dan kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu mengintai dan mengejar calon korban!
Diam-diam Hay Hay yang mengikuti gerakan ular itu, ikut pula merasakan kegembiraan itu dan dia bahkan membuat ancang-ancang, seolah-olah dia yang hendak menerkam tikus itu. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali. Ketika dia sudah merasakan bahwa saatnya tiba untuk menerkam melihat posisi ular yang sudah tiba di dekat ujung cabang yang mulai melengkung karena bobot ular, binatang itu pun menjatuhkan diri ke bawah! Karena cabang pohon itu kehilangan beban berat, maka melenting ke atas dan daunnya mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada di bawah menjadi ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman bahaya. Akan tetapi, tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu terhenti di udara karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya. Tikus itu meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan menyedihkan. Hay Hay memejamkan mata sejenak sampai suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi, nampak betapa ular itu mulai menelan tubuh tikus yang tak bernyawa lagi itu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu lebih besar daripada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan kelihatan betapa menikmati santapannya!
Hay Hay menarik napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang demikianlah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat. Ular takkan dapat hidup dari makan rumput, daun atau buah. Makananya adalah bangkai binatang lain! Tikus itu pun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi. Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia"
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan bening. Hay Hay segera meloncat ke arah darimana datangnya suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak, lebih lezat dan gurih daripada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan kakek gila itu dan filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting dia lapar dan dia membutuhkan daging rusa yang enak!
Dengan ilmu lari cepat, sebentar saja Hay Hay melihat rusa betina yang mengeluarkan lengking tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak. Di depan, di dekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya. Sejenak mereka berdua itu mendengus-dengus, si jantan hendak mendekati, si betina marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi.
Rusa betina itu agak kurus, maklum karena menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil untuk di makan dagingnya. Hay Hay sudah siap untuk meloncat dan menangkap rusa betina itu. Biarpun rusa itu gesit dan berlari cepat, dia yakin akan mampu menangkapnya. Apalagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu tidak akan mau meninggalkan anaknya, melainkan mengajaknya melarikan diri dan rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya.
Akan tetapi tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular tadi" Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya" Tentu akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui oleh kakek tadi" Berarti dia mencari musuh. Sekaligus dia akan menukar beberapa potong daging rusa yang belum tentu enak melihat rusa itu kurus dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tidak ada bedanya dengan ular tadi, ke dua dia akan selalu teringat sebagai seorang yang kejam yang membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa mati kelaparan, dan ke tiga, mungkin dia akan di benci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi.
Selagi dia hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap sama sekali, terdengar auman nyaring dan suara itu bergema di seluruh hutan, menggetarkan bumi. Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik semak-semak, tak jauh dari tepi rawa di mana induk rusa tadi berada. Anak rusa cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya gemetar, akan tetapi dengan gagah ia melindungi anaknya dan memasang kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi anaknya sampai saat terakhir!
Melihat ini, Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong yang lemah terancam membuat dia melompat bersama dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka menghantam ke arah kepala harimau itu.
"Dukkk!" Pukulan tangan miring itu amat kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau. Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu berkelojotan lalu mati. Dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah kemana, entah muncul darimana pula, ditempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila dan aneh tadi.
Tentu saja Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan kini berdiri memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu. Maka dia pun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.
"Locianpwe (Orang Tua Gagah), harap maafkan. Bukan aku sengaja membunuh dan mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendal membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku lupa diri dan membela mereka."
"Huh! Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan kepada harimau itu! Entah sudah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia mendapatlan calon penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan kelaparan!"
Hay Hay terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis dia memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak mati dengan mulut, hidung dan telinga berdarah, dengan perut yang kempis, tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga.


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Locianpwe. Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu terancam "."
"Perlukah harus membunuh harimau itu" Dengan kepandaianmu, mudah saja kalau engkau mengusir tanpa membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya sebagai ganti daging rusa itu bukan" Kejam, sungguh kejam!"
"Maaf, Locianpwe," kata pula Hay Hay, khawatir kalau-kalau peristiwa itu akan menimbulkan kebencian dalam hati kakek itu terhadap dirinya sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu.
"Huh, kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa kaukira aku akan tinggal diam saja" Engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaian, nah, sekarang aku ingin mencoba sampai dimana kelihaianmu itu. Bersiaplah!" tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi, kakek itu sudah menerjang kalang kabut kepada pemuda itu!
Hay Hay terkejut bukan main. Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti ngawur saja, ada sipat gerakan segala macam binatang terkandung di dalam semua serangannya, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan berbahaya bukan main. Gerakan itu agaknya sepenuhnya berdasarkan naluri dan tidak terkendali oleh pikiran, sepeti yang dilakukan binatang kalau sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang memiliki kekuatan terbatas sesuai dengan sifat dan keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Karena repot kalau harus mengelak terus ke sana-sini dan kemana pun tubuhnya mengelak selalu di bayangi kedua tangan kakek itu yang bergerak otomatis melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya menangkis.
"Dukkk!!" Keduanya terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena dia pun merasa betapa pertemuan tenaga itu membuat isi perutnya terguncang hebat.
"Eh, kau boleh juga!" kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih hebat dari tadi dan lebih aneh karena kini dia menyerang dengan jalan menyeruduk dengan kepala di depan seperti tingkah seekor binatang buas yang bertanduk kalau melakukan penyerangan. Akan tetapi kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak dan membendol besar dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung, maka ketika dia menyeruduk seperti itu, tiada ubahnya seperti seekor kerbau yang menyerang lawan. Akan tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam serangan, kakek ini selain menggunakan kepalanya, juga di bantu oleh kedua tangan yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan tendangan!
Hay Hay menjadi sibuk mengalak ke sana-sini, akan tetapi karena serangan kakek itu memang aneh bukan main, sukar di duga kemana perkembangan gerakan serangan itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja Hay Hay terdorong oleh angin pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting! Namun pemuda yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu cepat meloncat lagi begitu tubuhnya menyentuh tanah, dan dia pun muali menjadi marah. Kakek ini, gila ataupun tidak, sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka dia pun mulai membalas! Melihat ini, kakek itu mengelak sambil mengibaskan lengan menangkis dan terkekeh.
"Heh-heh-heh, bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam, jangan kira engkau akan dapat merobohkan aku seperti engkau merobohkan harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!" katanya sambil berdiri tegak. Setegak-tegaknya kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api membara di dalamnya, mulutnya yang tersenyum menyeringai itu malah nampak seperti orang cemberut atau mengejek. Aneh sekali, timbul perasaan iba di dalam Hay Hay melihat kakek ini. Kakek yang tua sekali, tidak seperti manusia lumrah, demikian buruk rupanya seperti monyet saja, terlantar tanpa baju tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega untuk menyerang kakek ini, maka diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini, dan membuat dia tidak marah dan tidak menyerangnya lagi.
"Kakek yang baik, lihat padaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu! Lihatlah, kita adalah sahabat baik, bukan" Aku sahabatmu dan kita tidak seharusnya berkelahi atau bermusuhan!" Di dalam kata-katanya itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat.
Kakek itu nampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah, dan membentak, "Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!"
Hay Hay terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia mengerahkan tenaga batin. Andaikata kakek ini memiliki pertahanan batin yang bagaimana kuat pun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi, kakek itu kelihatan tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya!
"Locianpwe, lihat baik-baik, siapakah aku ini?"
"Engkau seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!"
"Engkau keliru, aku adalah cucumu sendiri!"
"Bohong, aku tidak punya Cucu!"
"Aku adalah puteramu!"
"Omong kosong, aku tidak punya anak!"
Celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja kalau dihadapinya dengan sihir ini, tentu takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Demikian kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem" Dia teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia dan pencinta binatang, maka kini dia menambah kekuatan pada pandang mata dan suaranya, lalu berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir.
"Locianpwe, lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!" Dia teringat betapa kakek itu melindungi kelinci-kelinci dan nampak amat sayang kepada binatang itu.
"Ha-ha-ha, engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis dan mungil" Jangan mengacau!"
"Kakek aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!"
"Ho-ho, tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah perkasa?"
Sialan, pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan sihirnya yang sudah melempem. Tidak ada jalan lain kecuali lari secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus merkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini. Dia memilih yang pertama dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil mengerahkan ilmu sihirnyanya. Dimata orang lain, tentu dia akan lenyap menjadi asap, dan dia pun tidak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila, melainkan cepat mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu berlari cepat untuk meninggalkan tempat itu.
Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh ketekunan disamping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang akan mampu mengejarnya, maka setelah berlari cepat kurang lebih seperempat jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan. Karena sejak tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat, maka ketika melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan teduh, dia pun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan diri.
"Aaaahhhh ?"!!" Dia menarik napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba batu yang diduduki itu bergerak dan terdengar suara dari batu itu, "Hemm, engkau baru datang. Sampai mengantuk aku menunggu kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!"
Hay Hay meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang, ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ! Tengkuknya meremang! Sukar di percaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia begini sakti! Dia mengerti sekarang bahwa dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat, dia kalah jauh. Bukan saja kakek itu telah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabuhi. Ini juga merupakan semacam sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang telah mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu!
"Locianpwe, maafkan aku. Aku tidak ingin berkelahi dengan Locianpwe," katanya merendah sambil menjura.
"Heh-heh, aku tidak peduli engkau ingin atau tidak. akan tetapi engkau telah memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa kepadaku, maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!" Kembali kakek itu menerjang seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan ilmu silat ini maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau menduga gerkan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia merasa penasaran sekali. Betapapun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya.
"Baiklah, kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!" teriaknya dan dia pun segera membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat, kakinya bergerak dengan Jiau-pou-poun-soan, ilmu langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama dan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi, tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua jari, bahkan tiga jari, mengancam jalah darah terpenting dari seluruh tubuh lawan!! Hebat bukan main serangkaian serangannya itu sehingga berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji.
"Wah, hebat kau! Heii, bukankah ini Jiau-poa-poan-soan" Wah, agaknya engkau mewarisi ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya" Ha-ha-ha, keluarkan semua!"
Hay Hay makin heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan tinggi walaupun nampaknya terlantar dan gila, buktinya mengenal ilmu dari suhunya yang kedudukannya sudah tinggi sebagai seorang di antara Delapan Dewa. Setelah lebih dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merobah gerakannya dan kini dia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, ciptaan Ciu-sian Sin-kai yang khusus untuk dirinya. Begitu dia mainkan ilmu silat yang membuat daun-daun pohon disekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin pukulannya, kakek itu kembali berseru kaget berkali-kali sambil terus mengelak dan kadang-kadang menangkis.
"Wah-wah, engkau Si Jembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung, mewarisi pula ilmu dari Si Jembel dari Delapan Dewa itu!" Akan tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay. Diam-diam pemuda ini makin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini hanya tiga kaki panjangnya, dapat dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang. Dengan senjata ini, kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay dengan elakan-elakan dan tangkisan, sambil memuji-muji dan tiba-tiba membentak, "Cukup!" Tiba-tiba tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia terhuyung, akan tetapi tidak sampai jatuh.
"Bagus, engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!" kakek itu memuji dan kini sikapnya tidaklah seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh wibawa. Akan tetapi sikap seperti itu hanya sebentar saja karena begitu Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di depannya, dia sudah tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan tidak normal!
"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, akan tetapi masih mentah! Dan orang mentah seperti engaku berani memamerkan kepandaian di depan Song Lojin (Kakek Song)" Ha-ha-ha!"
Hay Hay mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar akan nama Song Lojin di antara tokoh-tokoh persilatan, bahkan ketiga orang gurunya belum pernah ada yang bercerita tentang seorang tokoh tua bernama Kakek Song. Dia merasa yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka dia pun cepat memberi hormat sambil berlutut dan berkata, "Locianpwe, saya yang bodoh bernama Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia."
"Siapa yang mulia" Ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku karena aku tidak pernah membutuhkannya." Dia terkekeh. "Akan tetapi aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Eh, namamu Hay Hay, siapa shemu?"
"Maaf, Locianpwe, saya membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she."
"Wah-wah .... ha-ha-ha, engkau pun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci. Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kaumiliki?"
Tentu saja Hay Hay nerasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah. "Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan berterima kasih dan selamanya takkan melupakan budi Suhu."
"Wah-wah, aku tidak butuh diingat, tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau harus mentaati semua perintahku. Berani?"
"Teecu berani."
"Selama berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!"
"Teecu selamanya tidak pernah makan bangkai!" kata Hay Hay memprotes.
"Huh, siapa bilang" Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kaumakan itu" Daging binatang yang sudah matu, apakah itu bukan bangkai?"
Hay Hay tertegun dan tidak mau membantah. "Baik, teecu akan mentaati semua perintah itu."
"Latihan-latihannya berat sekali, kalau engkau tidak kuat dapat menjadi gila atau bahkan mati, dan engkau harus mentaati perintahku menjalankan latihan apa saja tanpa membantah. Sekali engkau membangkang, terpaksa aku akan membunuhmu karena engkau akan menjadi mahluk berbahaya. Sanggup?"
Kisah Si Pedang Kilat 13 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Panji Wulung 5
^