Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 25

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 25


Sementara itu, belasan orang anggauta regu yang dikepalai Min-san Mo-ko, tentu saja bukan lawan Ciang Su Kiat dan sebentar saja, pendekar lengan buntung ini dengan mudah merobohkan mereka semua, menendangi mereka sehingga tubuh mereka terlempar ke bawah tebing. Setelah membasmi belasan orang itu, Su Kiat menoleh ke arah isterinya dan dia tidak merasa khawatir karena isterinya kelihatan mendesak Min-san Mo-ko. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, muncul seorang laki-laki berusia empat puluh lebih bertubuh sedang dengan wajah anggun berwibawa, mengenakan jubah seperti pendeta, dengan rambut riap-riapan dan sebatang pedang di tangan, telah berdiri dekat sumbu yang tadi dijaga oleh Min-san Mo-ko dan anak buahnya. Ciang Su Kiat memandang kaget, dan lebih kaget lagi ketika melihat laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda dari saku jubahnya dan tiba-tiba benda itu bernyala dan dia membuat gerakan untuk membakar sumbu bahan peledak itu!
"Tahan".!" Su Kiat membentak dan tubuhnya ringan sekali, bagaikan seekor burung rajawali terbang menyambar, tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu dan.lengan kanannya yang utuh sudah menusuk dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Serangannya ini cepat bukan main, juga mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara mencicit, sehingga laki-laki itu terkejut sekali. Cepat dia menyimpan kembali alat pembakar yang sudah padam lagi itu, dan sambil meloncat ke samping untuk mengelak, pedangnya menyambar untuk membacok leher lawan yang menyerangnya sambil meluncur seperti terbang.
"Wuuuuuttt?" takkk"..!" Kulana, laki-laki itu, terkejut bukan main karena lawannya yang hanya berlengan sebelah itu telah mampu menangkis pedangnya dengan ujung baju lengan kiri yang buntung. Ujung lengan baju itu begitu bertemu pedang, menjadi keras bagaikan tongkat baja! Hal ini menunjukkan bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat hebat! Sungguh seorang lawan yang tangguh, pikirnya, apalagi ketika tadi dia melihat betapa Min-san Mo-ko juga terdesak hebat oleh seorang wanita cantik. Akan tetapi, Kulana yang naik ke situ untuk meledakkan tebing tanpa mempedulikan bahwa pasukan pemberontak masih berada di atas jalan terusan dan akan menjadi korban pula kalau tebing runtuh, kini tidak merasa gentar dan masih mengandalkan ilmu hitamnya.
Ciang Su Kiat yang maklum betapa berbahayanya kalau sampai sumbu itu dinyalakan, sudah cepat meloncat ke dekat sumbu dan melindunginya, gepasang matanya dengan tajam menatap ke arah laki-laki berambut riap-riapan yang berpakaian jubah pendeta itu, menduga-duga siapa adanya orang aneh itu. Dia sama sekali tidak menduga bahwa orang ini adalah Kulana, pemimpin yang sesungguhnya dari pemberontakan
Kulana yang maklum bahwa Si Lengan Buntung itu lihai sekali, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya dan berkemak-kemik membaca matram lalu berkata dengan suara lantang dan dengan logat suara asing. "Hemm, orang berlengan satu, betapa pun lihainya engkau, mana mungkin dapat melawan aku" Lihat, engkau hanya seorang diri, sedangkan aku berlima!"
Su Kiat membelalakkan matanya ketika melihat bahwa orang itu benar-benar kini telah berubah menjadi lima orang! Lima orang kembar yang menyeringai dan memandang kepadanya dengan mata mencorong beringas. Dia menganggap hal ini mustahil dan tahu bahwa ini tentulah permainan sihir, maka dia pun mengerahkan sin-kangnya dan membentak nyaring untuk membuyarkan kekuatan sihir lawan.
Namun, kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana jauh berbeda dibandingkan dengan ilmu sihir yang dikuasai Min-san Mo-ko. Dengan pengerahan tenaga batin, kekuatan sihir Min-san Mo-ko dapat dibuyarkan oleh Hui Lian, akan tetapi sihir dari Kulana adalah ilmu hitam yang jahat mengandung kekuatan roh jahat atau setan yang menyeramkan. Sedangkan Ciang Su Kiat, betapa pun lihai ilmu silatnya, tidak pernah mempelajari ilmu sihir, maka pengerahan tenaga sin-kangnya tidak mampu membuyarkan ilmu sihir Kulana dan matanya masih tetap melihat betapa lima orang lawan yang kembar itu kini mulai mengepungnya!
"Iblis busuk, biar engkau menjadi seratus, aku tidak akan gentar menghadapimu!" Su Kiat membentak dan laki-laki tinggi besar ini berdiri dengan gagahnya di atas tempat di mana terdapat sumbu yang dijaganya itu. Bagaimanapun juga, dia akan melindungi sumbu itu agar jangan sampai dibakar musuh. Ketika melihat lima orang kembar itu mulai menggerakkan pedang menyerangnya dengan kepungan, dia pun memutar lengan kirinya yang buntung dan ujung lengan baju itu membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya! Tangan kanannya juga melakukan tamparan dan pukulan ke kanan kiri, dibantu oleh kedua kakinya.
Bagaimanapun juga, tentu saja dia menjadi repot dikeroyok lima orang kembar itu, yang kesemuanya amat lihai. Setelah mempertahankan diri selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ujung lengan baju kirinya itu terbabat pedang sehingga putus! Hal ini terjadi karena pada detik itu, untuk menghimpun hawa segar, dia melepaskan pengerahan sin-kangnya. Sedetik dua detik saja, namun cukup bagi Kulana yang pandai untuk mempergunakan kesempatan itu membabat putus ujung lengan baju yang ampuh itu. Setelah ujung lengan baju yang dipergunakan sebagai senjata dan perisai itu putus, tentu saja Su Kiat menjadi semakin repot. Lawannya amat lihai, dengan ilmu pedang aneh, dengan tenaga sakti yang amat kuat, ditambah lawannya berubah menjadi lima orang. Tentu saja Su Kiat terdesak dan dengan mati-matian dia bertahan untuk menjaga agar sumbu itu tidak sampai dinyalakan lawan.
Pada saat itu, nampak sebatang pedang yang merah karena berlepotan darah, meluncur dan menangkis pedang di tangan Kulana.
"Tringgg".!!" Bunga api berpijar dan kini Su Kiat terbelalak. Yang muncul adalah orang yang serupa benar dengan penyerangnya, dan anehnya, lawan yang tadinya berubah menjadi lima orang itu kini telah menjadi seorang saja lagi. Dan kini, dua orang yang serupa benar wajah dan bentuk badannya, hanya yang berbeda warna jubah mereka. Orang pertama berjubah putih dan orang ke dua berjubah kuning. Orang pertama memegang pedang putih dan orang ke dua memegang pedang yang berlepotan darah merah! Orang ke dua itu bukan lain adalah Mulana! Karena pedangnya berlepotan darah anjing, ditambah lagi dengan ilmunya memunahkan sihir, maka kekuatan sihir Kulana tadi buyar dan dia pun nampak hanya satu orang saja, bukan lima seperti tadi. Dan marahlah Kulana ketika dia melihat saudara kembarnya.
"Ah, bangsat keparat! Kiranya engkau Mulana" Engkau berani mengkhianati saudara sendiri dan membantu musuh?"
"Kulana, engkaulah yang menyeleweng! Engkau menganggap aku musuh, dan engkau hendak menimbulkan pemberontakan, bahkan kini hendak meledakkan tebing, tidak peduli siapa yang berada di bawah sana. Engkau jahat, Kulana, aihhh, engkau jahat dan terpaksa aku harus menantangmu!"
"Huh, pantas! Pantas saja tadi semua ilmuku buyar, dan di kedua puncak tebing ini datang musuh menyerang. Tentu karena ulahmu, Mulana!"
."Memang benar, Kulana. Sekarang, lebih baik engkau mengakhiri petualanganmu yang jahat ini dan marilah kita berdua pergi, kembali ke selatan. Marilah, Kulana, aku saudara kembarmu, aku mengingatkanmu, sebelum terlambat?"
"Engkaulah yang terlambat, Mulana, karena sekarang aku sudah pasti akan membunuhmu dengan pedangku ini!" setelah berkata demikian, Kulana menerjang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat yang amat kuat dan cepat. Mulana melompat ke samping sambil menangkis dengan pedangnya yang berlepotan darah anjing.
"Tringgg ". trang-cringgg".!" Kembali nampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata dan kedua orang ini sudah saling terjang dengan hebatnya. Melihat ini, Ciang Su Kiat tertegun. Munculnya Mulana tadi membuat dia bingung. Dia tidak mengenal kedua orang itu, akan tetapi dari percakapan mereka, walaupun dilakukan dalam bahasa Birma yang hanya dimengerti sedikit, dia dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar yang kini saling bermusuhan. Dan melihat betapa orang pertama yang kini diketahuinya bernama Kulana membantu pemberontak, tentulah orang kedua yang bernama Mulana itu membantu pasukan pemerintah. Akan tetapi, dia masih merasa ragu untuk turun tangan membantu. Apalagi melihat betapa mereka adalah dua orang saudara kembar yang demikian mirip, sukar membedakan antara mereka kecuali warna jubah mereka, Su Kiat merasa tidak enak dan tidak tega untuk. mencampuri urusan mereka. Maka, dia pun hanya mendekati sumbu dan menjaga agar benda itu tidak diganggu orang.
Sementara itu perkelahian antaraHui Lian dan Min-san Mo-ko kini mendekati akhirnya. Min-san Mo-ko mempertahankan diri mati-matian, namun makin lama dia semakin terdesak oleh wanita sakti itu sehingga dia hanya mampu menangkis dan mengelak saja, tanpa mampu membalas serangan Hui Lian yang semakin mendesak keras.
"Haiiii! Rebah kamuuu"..!!" Tiba-tiba Min-san Mo-ko berteriak lantang dan mengisi suara itu dengan seluruh kekuatan sihirnya. Hal ini merupakan serangan yang mendadak bagi Hui Lian. Ia terkejut dan tergetar, kedua kakinya lemas dan hampir ia terpelanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Min-san Mo-ko untuk menerjang dengan pedangnya. Dalam keadaan terhuyung itu, Hui Lian menangkis, akan tetapi hal ini membuat ia bahkan terguling jatuh. Dengan girang Min-san Mo-ko menubruk, akan tetapi pada saat itu, sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dan mengenai hidungnya.
"Dukkk! Aduuhhhh".!" Min-san Mo-ko memegangi hidungnya dengan tangan kiri dan tangan itu berlepotan darah. Hidungnya pecah dan darah bercucuran deras. Saat itu, Hui Lian yang tadinya terjatuh, sudah meloncat dengan meminjam tanah sebagai penahan loncatan kaki dan sebelum Min-san Mo-ko sempat mengelak atau menangkis karena dia sibuk memeriksa hidungnya, pedang Kiok-hwa-kiam telah menghilang ke dalam dadanya dari bawah, menembus jantung! Dia terbelalak heran, seolah tidak percaya bahwa dia akan menjadi korban penusukan itu. Hui Lian menarik kembali pedangnya sambil menendang agar tidak sampai terkena percikan darah. Tubuh Min-san Mo-ko yang sudah tidak berdaya itu terlempar dan kebetulan jatuh menggelinding bagian yang menurun sehingga tubuh i tu terus menggelinding turun dan terjatuh dari tepi tebing yang curam!
Hui Lian segera melompat ke dekat suaminya, menyentuh lengan suaminya, "Terima kasih"." bisiknya. Ia tahu bahwa tadi, dalam keadaan terdesak karena lawan menggunakan sihir, walaupun belum tentu ia akan celaka, suaminya telah membantunya dengan lontaran batu yang membikin remuk hidung Min-san Mo-ko.
"Sshhh".." Su Kiat berbisik dan menunjuk ke depan. Hui Lian memandang dan ia pun terheran-heran melihat kedua orang kembar itu saling serang dengan hebatnya. Ia segera tahu bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu memiliki ilmu pedang aneh dan kepandaian yang tinggi.
"Siapa" siapa mereka".?" Bisiknya sambil memegang tangan suaminya.
"Saudara kembar, yang jubah putih membantu pemberontak, yang jubah kuning membantu pemerintah." kata Su Kiat.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan benturan pedang yang hebat sekali, membuat Kulana dan Mulana masing-masing terdorong mundur. Kulana mengangkat pedangnya, berkemak-kemik dan kembali memekik. Nampak asap hitam bergulung-gulung di atas tebing itu. Segera segala sesuatu menjadi gelap. Suami isteri pendekar itu terkejut sekali. Mereka mengerahkan sin-kang, namun tetap saja tempat itu menjadi gelap.
"Kita jaga sumbu ini, kau di kanan aku di kiri"." bisik Su Kiat. "Siapkan pedangmu dan setiap kali mendengar gerakan mendekatimu, serang!" Suami isteri itu lalu berdiri dengan sikap waspada di kanan kiri sumbu yang harus mereka jaga.
"Heii, kedua orang gagah di sana...!" tiba-tiba terdengar suara Mulana dari asap hitam, "Hati-hati berjaga di situ, jangan perkenankan iblis itu mendekati sumbu itu. Aku... aku... tak berdaya, darah di pedangku telah bersih...."
Ternyata dalam perkelahian tadi, berkali-kali pedang di tangan Mulana beradu dengan pedang Kulana sehingga darah anjing yang berlepotan di situ memercik lepas dan kini pedang itu telah bersih. Tanpa adanya darah anjing, kini Mulana tidak berdaya untuk menolak dan membuyarkan pengaruh ilmu hitam yang dipergunakan Kulana. Menyusul suara Mulana ini, terdengar suara ketawa yang menyeramkan, suara ketawa Kulana dan suara itu menunjukkan bahwa orangnya yang tertawa mempunyai gejala kelainan jiwa alias gila!
Tiba-tiba terdengar gerakan pedang dan Hui Lian cepat menangkis dengan pedangnya ke arah suara itu.
"Cringgg".!!" Bunga api berpijar ketika pedangnya berhasil menangkis pedang yang tadi dipergunakan Kulana untuk menyerangnya di dalam kegelapan yang tidak wajar itu. Beberapa kali Kulana mencoba untuk menyerang lagi, namun selalu dapat ditangkis oleh Hui Lian, bahkan ada sambaran tangan yang amat ampuh dari Su Kiat menyerangnya. Biarpun suami isteri itu tidak dapat melihat lawan dalam kegelapan itu, namun pendengaran mereka amat peka sehingga suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya itu seolah-olah dapat melihatnya. Menghadapi suami isteri yang kini bergabung menjaga sumbu itu, Kulana menjadi sibuk dan tidak berdaya. Dia tahu bahwa biarpun dalam kegelapan, sukar untuk menghalau suami isteri itu meninggalkan sumbu bahan peledak, apalagi mengalahkan mereka! Dia menjadi marah dan penasaran sekali.
"Jahanam Mulana, pengkhianat saudara sendiri! Engkaulah biang keladinya sehingga usahaku gagal!" bentaknya dan disambut oleh Mulana dengan suara ketawa cerah.
"Ha-ha-ha, Kulana! Ingatlah bahwa semua usaha jahat selalu akan menimpa diri sendiri, seperti mengalirnya air ke tempat rendah."
"Jahanam, mampuslah kau lebih dulu sebelum aku meledakkan tebing ini!" Kulana sudah menyerang dengan gemas sekali.
"Trang-trang-trang".!" Tiga kali Mulana berhasil menangkis serangan pedang saudara kembarnya yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Mulana juga memiliki ilmu kepandaian tinggi maka seperti kedua orang suami isteri itu, maka dia pun memiliki panca indera yang amat peka. Biarpun dia tidak dapat melihat dengan jelas gerakan Kulana yang bersembunyi di dalam kegelapan asap hitam, namun Mulana dapat menangkis serangan bertubi yang dilancarkan saudara kandungnya. Betapapun juga, karena kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana semakin kuat, bukan hanya menimbulkan kegelapan akan tetapi juga mendatangkan perasaan ngeri dan seram, apalagi ketika terdengar suara aneh-aneh, bukan suara manusia melainkan suara yang lebih mirip suara setan dan iblis dari neraka. Mulana mulai menjadi sibuk dan kacau permainan pedangnya yang dipergunakan melindungi tubuhnya. Dia terdesak hebat dan di antara suara ketawa yang menyeramkan dari mulut Kulana, Mulana kini terhimpit dan hanya dapat menangkis dan mengelak dengan susah payah.
"Desss...!" Sebuah tendangan yang mengikuti bacokan pedang mengenai lutut Mulana, membuat dia terpelanting.
"Ha-ha-ha, Mulana, bersiaplah untuk mampus".!" Kulana tertawa bergelak dan siap untuk menubruk saudara kembarnya yang sudah jatuh terlentang dan takkan mampu menyelamatkan diri lagi itu. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti karena mendadak saja semua asap hitam lenyap dan cuaca menjadi terang lagi, cuaca dari matahari pagi yang mulai muncul di ufuk timur. Kulana marah dan mengira bahwa Mulana yang telah memunahkan kekuatan sihirnya, maka dia menubruk ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah dada Mulana yang masih rebah terlentang.
"Trangggg".!!" Pedang itu tertangkis dan Kulana meloncat ke belakang dengan muka berubah pucat karena tangkisan pada pedangnya tadi membuat dia merasa telapak tangannya seperti akan pecah-pecah kulitnya. Panas dan perih sekali! Dia mengangkat muka memandang dan ternyata yang berdiri di depannya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya cerah, matanya mencorong dan pemuda tampan yang berpakaian biru muda dengan garis pinggir kuning ini tersenyum-senyum dengan tenang. Dia tidak mengenal Hay Hay, karena ketika pemuda ini diterima oleh Lam-hai Giam-lo, dia tidak berada di sana dan sebelum Kulana datang ke sarang pemberontak untuk mengatur gerakan pasukan pemberontak, Hay Hay sudah pergi meninggalkan sarang itu karena dia penasaran dituduh menggauli Pek Eng.
Seperti kita ketahui, Hay Hay yang tadinya membayangi Han Lojin yang membuat peta daerah pemberontak. Setelah melihat Han Lojin menghadap Menteri Cang yang memimpin pasukan pemerintah, Hay Hay tidak lagi mencurigai Han Lojin dan dapat menduga bahwa tentu Han Lojin kini menjadi mata-mata pemerintah yang sengaja datang ke sarang pemberontak untuk melakukan penyelidikan. Untuk masuk ke sarang pemberontak mencari Ki Liong, sungguh merupakan perbuatan berbahaya dan nekat. Maka, dia lalu membayangi pasukan pemerintah itu dan hendak membantunya di samping niatnya untuk menemui Ki Liong dan menyelidiki siapa para pengrusak Pek Eng dan Ling Ling itu.
Melihat jalannya pertempuran, Hay Hay tidak merasa khawatir karena yakin bahwa pasukan pemerintah pasti akan menang. Maka, dia lalu membantu sana-sini dan akhirnya dia naik ke tebing karena melihat ada perkelahian di sana. Dia melihat betapa dua orang laki-laki yang berpakaian pendeta saling serang, akan tetapi yang seorang mempergunakan ilmu hitam menciptakan asap hitam bergulung-gulung. Dia melihat pula Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian berdiri dengan tegang saling membelakangi, agaknya juga terpengaruh oleh ilmu hitam itu. Maka, Hay Hay lalu mengerahkan ilmu sihirnya dan dalam sekejap mata saja dia mampu mengusir semua asap hitam dan memunahkan kekuatan sihir Kulana. Ketika dia melihat betapa orang yang melakukan ilmu hitam itu hampir membunuh pendeta lain yang mempunyai wajah dan tubuh yang mirip sekali, Hay Hay cepat meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk menangkis, sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Keparat! Siapa engkau?" Kulana membentak, dan dari sinar mata mencorong pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda inilah kiranya yang tadi telah memunahkan kekuatan sihirnya.
"Namaku Hay Hay, dan engkau ini siapakah" Kenapa main-main dengan sulap dan seperti menghibur anak-anak saja?"
"Jahanam muda! Engkau belum mengenal Kulana, ya" Rasakan sekarang pembalasanku!" .
"Amboi...! Inikah yang bernama Kulana, yang dijagokan oleh Lam-hai Giam-lo" Hemm, ingin aku melihat pembalasan apa yang kaumaksudkan, karena aku tidak berhutang apa pun padamu!" Hay Hay mengejek.
Kulana sudah berkemak-kemik membaca mantram dan pedangnya diacungkan ke atas. Tiba-tiba saja nampak api berkobar keluar dari pedang itu dan kobaran api itu bagaikan hidup saja, melepaskan diri dari ujung pedang dan melayang ke arah Hay Hay, seolah-olah mengancam dan hendak membakar pemuda itu.
"Hay Hay, awas".!" Hui Lian berseru khawatir, bahkan hendak meloncat ke depan, akan tetapi lengannya dipegang suaminya.
"Sssttt, tenanglah, kurasa dia mampu mengatasi ilmu hitam itu!" kata suaminya yang sudah menduga bahwa tentu pemuda aneh itu yang tadi telah membuyarkan ilmu hitam yang mendatangkan asap hitam. Mendengar ucapan suaminya, Hui Lian teringat akan kehebatan Hay Hay, maka ia pun diam saja, apalagi mengingat bahwa ia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan peledak itu mati-matian sehingga ia tidak boleh meninggalkan tempat itu. Dengan jantung berdebar tegang ia memandang ke arah Hay Hay yang menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak. Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini, bersama suami isteri pendekar itu.
Menghadapi serangan api berkobar itu, Hay Hay bersikap tenang. Dia maklum bahwa lawannya lihai sekali, memiliki kekuatan sihir yang tak boleh dipandang ringan, apalagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Namun, dia adalah murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui tandingnya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat. Dari Pek Mau San-jin, dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara penggunaannya, melainkan cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia segera mengacungkan sulingnya.
"Kulana, api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan" Nah, mari kita lihat apimu padam oleh airku!" Dan sungguh luar biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi pipa yang dialiri air. Pancaran air itu jatuh menimpa kobaran api dan terdengar suara "cesssss".." disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air yang memancar keluar dari suling pun terhenti.
Wajah Kulana menjadi merah padam. "Keparat, engkau suka air, ya" Nah, terimalah air ini secukupnya!" Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah!
Hay Hay kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Betapa pun banyaknya, air dapat dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!" Terdengar suara Hay Hay tenang, dan tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah Kulana sendiri!
Terpaksa Kulana menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan itu pun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih, Kegilaan nampak pada wajahnya yang tertarik-tarik aneh itu.
"Hay Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!" Berkata demikian, Kulana melontarkan pedangnya ke atas dan... pedang itu, seperti bernyawa, tiba-tiba meluncur turun ke arah Hay Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan, seolah-olah dibawa oleh tangan iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu.
Hay Hay mengenal ilmu ini, ilmu sihir pula, akan tetapi dia tahu bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seolah-olah Kulana sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Dia pun segera mengerahkan tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas.
"Sulingku akan menyambut pedangmu seperti aku akan menyambut semua ilmumu, Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa. Suling itu meluncur ke atas, lalu membalik, seperti seekor naga memandang ke arah lawan, kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah "perkelahian" yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling. Pedang masih mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi muncratnya bunga api! Tentu saja Hui Lian dan Su Kiat yang menjadi penonton, memandang dengan takjub dan kagum, sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh, baik dalam ilmu silat maupun ilmu sihir.
Hay Hay juga tidak berani main-main. Pemuda ini harus mengaku di dalam hatinya bahwa selama dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Selama ini, baru dua kali dia bertemu tanding yang kiranya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin. Biarpun dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula dengan Han Lojin. Walaupun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat) dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, namun dia tahu bahwa orang tua itu pun merupakan lawan yang tangguh sekali. Kini, dia bertemu Kulana yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu sihirnya.
Pertandingan antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tak tertutup dan rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal, dia berdiri dengan kedua tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya menggigil. Sebaliknya, Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan mulutnya tersenyum, namun sepasang matanya mencorong memandang ke arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata di dalam adu ilmu senjata ini, Hay Hay lebih unggul. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga orang sakti, tiga orang di antara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang telah dimatangkan pula oleh gemblengan Song Lojin.
Kulana yang keras kepala itu merasa penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan, tidak menyadari akan kelemahannya, dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi, kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa pedang makin lemah gerakannya, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling makin nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang mencicit garang tadi kini berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat terpental oleh suling dan pedang itu meluncur turun ke arah Kulana!
"Kulana, awas".!" Mulana memperingatkan dan meloncat ke depan. Namun terlambat. Kulana yang masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu. Betapapun juga, dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun dan tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri! Kulana terkejut, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya, dia mencabut pedang yang menancap lebih setengahnya ke dalam dadanya itu dan dia menunduk, terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada, membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah di bagian dada, kemudian dia pun roboh terjengkang.
"Kulana".!" Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah saudara kembar dan ada hubungan dan ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat kini Kulana terkapar dengan mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka.
"Mulana... kau... kau... biang keladinya".!" Tiba-tiba, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Kulana menusukkan pedangnya itu ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan dia tersenyum, mengangguk-angguk.
"Baiklah, kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana?" Dan dia pun tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul Kulana yang juga menghembuskan napas di saat itu.
Hay Hay berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus keringatnya dan memandang dengan mata sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh" Kalau di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia memilih kejahatan untuk mengisi hidupnya" Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci"
"Hay Hay"..!" Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang pernah hampir menaklukkan hatinya itu telah berdiri di depannya dan memegang kedua pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri dengan muka pucat seperti patung.
"Enci" Enci Hui Lian"." Dia berkata dan cepat melangkah mundur, melepaskan diri dengan lembut dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ.
"Lihat, di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu di sana." kata Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay. Diam-diam Su Kiat merasa kagum sekali kepada Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan memang patut seorang pemuda seperti itu mendapatkan kasih sayang Hui Lian. Seorang pemuda yang tampan, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapnya sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memiliki watak yang agak mata keranjang terhadap wanita.
"Tapi, kita harus menjaga sumbu itu?" kata Hui Lian yang sudah dapat memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap Hay Hay.
"Kita dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana, sehingga tidak akan dapat disulut orang." kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu dan menariknya. Sumbu itu panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sekali tarik sambil mengerahkan tenaga, sumbu itu pun putus di sekitar timbunan bahan peledak.
"Nah, sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman." kata Su Kiat dan dia pun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay. Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggunganjawabnya tentang diri Pek Eng.
Sementara itu, di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan di mana terjadi pula pertempuran, dan kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai. Han Siong dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun, sekali ini, mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena dia tadi telah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Biarpun bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sin-kang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin badai yang kuat.
Keadaan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki, juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian yang telah menerima pedang dari Han Siong. Ketika mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri. Han Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia lalu mengambil pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya kepada Bi Lian sambil berkata. "Sumoi, kaupergunakan pedang ini!"
Bi Lian menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, ia merasa gembira sekali melihat bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang amat indah, ringan dan juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga Bi Lian menghadapi pengeroyokan suami isteri itu. Akan tetapi, gadis ini mengalami suatu keanehan ketika ia mainkan pedang itu. Pedang di tangannya itu merupakan senjata yang baik sekali untuk melindungi diri, bahkan setiap kali dipergunakan untuk mempertahankan diri pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang amat kuat. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu terasa berat dan lamban gerakannya, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai untuk menyerang manusia!
Bi Lian merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja ia digembleng dengan ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Hanya karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka ia tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam.
Ketika melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan tangan kirinya.
"Tranggg...!" Bi Lian mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk dadanya. Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara jeritan halus, dan pedangnya hampir terlepas dari pegangannya, tubuhnya terhuyung. Ketika terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus hitam menyambar ke arah Bi Lian! Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun memang menjadi keistimewaa Tong Ci Ki sehingga wanita ini mendapat julukan Si Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya sudah melayang ke atas dan dengan kemarahan meluap, tangan kirinya menyambar ke arah kepala Tong Ci Ki. Wanita ini terkejut, mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka oleh Tong Ci Ki sehingga ia terkejut dan tanpa dapat dihindarkannya lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai pelipisnya.
"Plakk!" Tubuh Tong Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas dan tewas seketika! Melihat isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi dengan hantaman tangan kirinya. Serangan ini ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibanding pedang di tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan tangan kirinya itu. Namun, sambil membalik, Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking yang mengandung tenaga khi-kang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi. Mendengar pekik yang hebat ini, seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki kanannya seperti kaku tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekik itu, tangan kiri Bi Lian sudah menampar.
"Takkk"!" Jari-jari tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk dan robohlah Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya sudah menyusul nyawa isterinya.
"Sumoi, kenapa engkau tidak mempergunakan pedang itu" Pedang itu kuterima dari Subo"."
Bi Lian membalik menghadapi suhengnya, dan ia melihat bahwa Han Siong telah pula merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak sukar bagi Han Siong untuk merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai pangkal leher kiri, Han Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak mempergunakan pedang untuk merobohkan mereka.
Bi Lian tersenyum, "Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng. Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih." Han Siong menerima kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dan gadis itu.
"Heii, lihat siapa di sana itu".!" Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan. Han Siong menengok dan melihat seorang gadis mengamuk di antara pasukan pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggauta-anggauta pasukan pemberontak. Gadis yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu.
"Siapakah ia?" Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi Lian menunjukkan gadis itu kepadanya.
"Ia gadis yang kaucari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng."
"Ahhh".!" Mendengar ini, Han Siong segera melompat dan dengan tendangan-tendangannya, dia merobohkan beberapa orang anggauta pemberontak yang mengeroyok Pek Eng, diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suhengnya itu.
"Enci Bi Lian".!" Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan ia menoleh kepada Han Siong, mengangguk.
"Terima kasih atas bantuan kalian."
"Eng-moi, tahukah engkau siapa dia ini" Dia adalah Kakakmu yang bernama Pek Han Siong!"
Wajah Pek Eng berubah, matanya terbelalak dan ia memandang kepada Han Siong yang sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan.
" Adik Eng"!"
"Kakak Han Siong..., Kakakku...!" Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang sudah banyak didengarnya akan tetapi yang selamanya belum pernah ditemuinya itu. Bahkan ketika ia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di rumah orang tuanya. Melihat pertemuan yang mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri dan melanjutkan amukannya di antara pasukan pemberontak karena pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya.
Sementara itu, diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini ternyata seorang gadis yang cengeng" Memang pertemuan di antara mereka itu menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di tengah pertempuran dan tadi adiknya ini nampak demikian gagah menghadapi pengeroyokan para pemberontak" Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah bertemu dengan dia" Akan tetapi, dia pun merasa khawatir ketika memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani dan tabah " Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk menghiburnya.
"Tenangkanlah hatimu, Adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih" Bukankah pertemuan antara kita ini amat menggembirakan" Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu sampai beberapa lamanya" Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian. Kenapa engkau seperti orang berduka, Adikku?"
Mendengar kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Ia kini sesenggukan dan Han Siong merasa betapa dadanya basah karena air mata adiknya itu menembus bajunya. Ah, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong khawatir.
"Katakanlah saja kepada Kakakmu ini, Adikku. Apakah yang telah terjadi" Siapakah yang telah membuatmu begini berduka?"
Mendengar pertanyaan itu, Pek Eng mengangkat mukanya memandang kepada wajah kakaknya penuh harap. "Koko, apakah engkau sayang kepadaku" Apakah engkau kasihan kepadaku?"
Hampir saja Han Siong tertawa mendengar ini. Tiba-tiba dia menggerakkan kaki kirinya dan seorang perajurit pemberontak terlempar jauh. Perajurit itu tadi agaknya hendak mempergunakan kesempatan selagi kakak beradik itu lengah untuk menyerang dengan goloknya.
"Tentu saja aku sayang dan kasihan kepadamu, Adikku."
"Dan engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?"
"Tentu, tentu saja"."
"Koko, aku... aku telah dicemarkan orang".."
Han Siong terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya dengan kedua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya, lebih jelas. "Kau... telah diperkosa orang?"
Pek Eng menggeleng kepala. " Aku... aku menyerahkan diri dengan sukarela, Koko, aku... aku terlalu lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi dia... dia... ahhh"." Gadis itu menangis lagi.
"Dia mengapa" Dia siapa" Katakanlah, Adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak enak.
"Dia... dia mengingkarinya, Koko. Dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan dia menyangkal!" Kini Pek Eng tidak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia tetap menyangkal, untuk membunuhya!"
Han Siong mengerutkan alisnya. "Sungguh aku tidak mengerti, Adikku. Bagaimana mungkin dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?"
Dengan singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman yang sunyi, betapa pemuda itu telah menggaulinya, akan tetapi kemudian melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu.
"Siapa dia?" Han Siong bertanya marah.
"Dia Hay-ko?" "Hay".." Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita itu?"
"Benar, Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku."
"Di mana dia?" "Aku tidak tahu, Koko, aku pun sedang mencarinya. Mungkin dia berada pula di dalam medan pertempuran ini."
"Hayo kita cari dia!" kata Han Siong dan mereka pun segera pergi, mencari Hay Hay.
* * * Bi Lian meninggalkan Han Siong, mulai mencari sendiri musuh-musuhnya, yaitu Lam-hai Giam-lo dan Kulana. Dara ini masih merasa sakit hati terhadap kedua orang. itu atas kematian kedua orang gurunya. Dan tak lama kemudian, ia melihat Lam-hai Giam-lo! Kakek ini sedang mengamuk dan di punggungnya terdapat sebuah gendongan kain. Mudah diduga bahwa kakek ini agaknya sudah siap untuk melarikan diri, dan di dalam gendongannya itu terdapat batangan emas yang diterimanya dari Kulana. Para perajurit kerajaan yang melihat kakek ini segera mengepung, namun mereka ini bagaikan sekawanan nyamuk yang menyambar api saja. Lam-hai Giam-lo amat lihai sehingga setiap orang perajurit yang berani mendekat segera roboh oleh tamparan atau tendangannya. Bahkan beberapa orang pendekar anggauta Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai roboh pula menjadi korban kelihaian pemimpin pemberontak itu.
Melihat Lam-hai Giam-lo, Bi Lian yang tadinya sudah khawatir kalau-kalau musuh besarnya ini telah melarikan diri, segera menghampiri dengan cepat dan membentak, "Lam-hai Giam-lo, iblis busuk! Bersiaplah untuk menebus nyawa kedua orang guruku!" Setelah mengeluarkan bentakan ini, Bi Lian sudah menerjang maju dan menyerang dengan ganasnya karena gadis ini maklum akan kelihaian lawan maka begitu menyerangnya, ia sudah mengerahkan tenaga sekuatnya. Lam-hai Giam-lo juga mengenal Bi Lian. Dia maklum bahwa sebagai murid paman gurunya, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tentu gadis itu berbahaya sekali, maka dia pun menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaganya, menangkis dengan tangan kiri ke arah lengan kanan Bi Lian yang mencengkeram ke arah lambungnya, dan tangan kanannya sudah menampar dari atas mengarah ubun-ubun kepala Bi Lian.
"Ciuuuttt"!" Bi Lian sudah melompat ke samping sehingga hantaman maut itu lewat di samping kepalanya. Bi Lian segera membalas dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke arah dada lawan. Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang ringan jari-jari tangan mungil ini karena tangan mungil itu sudah diisi tenaga .sin-kang yang membuat tangan itu dapat tajam seperti golok sehingga kalau mengenai sasaran, dapat menembus kekebalan, merobek kulit daging dan mematahkan tulang.
"Dukkk!" Lam-hai Giam-lo menangkis dari samping dan ketika kedua lengan bertemu, tubuh Bi Lian terdorong mundur sedangkan tubuh Lam-hai Giam-lo hanya tergetar saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sin-kang, pemimpin pemberontak itu masih lebih kuat dibandingkan adik misan seperguruannya. Terjadilah serang-menyerang yang sengit antara kedua orang ini sedangkan para pendekar lain yang merasa tingkat kepandaian mereka masih belum mampu menandingi Lam-hai Glam-lo dan maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya akan mengantar nyawa, segera menonton dari jarak jauh. Perkelahian antara dua orang itu makin lama semakin seru dan akhirnya Bi Lian mulai terdesak juga. Bi
Lian maklum akan ketangguhan lawan, maka ia mulai melirik ke sana-sini menanti kemunculan Pek Han Siong untuk mengharapkan bantuan pemuda itu. Akan tetapi yang muncul bukan Han Siong, melainkan dua orang yang amat ditakuti Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian!
"Lam-hai Giam-lo, bersiaplah untuk mampus!" terdengar Hui Lian membentak nyaring dan begitu ia menyerang, nampak sinar terang menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo.
"Singgg"!" Pedang itu dapat dielakkan oleh Lam-hai Giam-lo yang membuang diri ke belakang.
"Wuuuttt".!" Angin dingin menyambar dari arah lain dan Lam-hai Giam-lo kembali harus melempar diri ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung lengan baju kiri dari Su Kiat yang tidak kalah berbahayanya dibandingkan pedang Kiok-hwa-kiam di tangan isterinya itu.
Ketika Lam-hai Giam-lo mengangkat muka memandang dan mengenal suami isteri yang amat ditakuti itu, wajahnya berubah pucat. Sudah beberapa kali dia harus menyelamatkan diri dari suami lsteri ini, bahkan dia sampai melarikan diri dan menyamar sebagai seorang hwe-sio di kuil Siauw-lim-pai saking takutnya dikejar-kejar suami isteri ini. Tak disangkanya bahwa perbuatan yang iseng dan jahat di waktu yang lalu mengakibatkan munculnya dua orang musuh yang luar biasa tangguhnya ini. Kini, dua orang musuh besar ini muncul kembali sebagai pembantu pasukan pemerintah, pada saat anak buahnya sudah mulai tersudut dan terhimpit.
Dia mulai mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana sudah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian seorang saja, dia masih belum mampu mengalahkannya, apalagi dengan munculnya suami isteri yang ditakutinya itu. Pasukannya menghadapi kehancuran, dan tidak nampak ada pembantu-pembantunya yang unggul, bahkan dia tidak metihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar, Lam-hai Giam-lo menjadi nekat.
"Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang parau seperti ringkik kuda. Tubuhnya lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang diandalkan, yaitu ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu ikut berpusing di sekeliling tubuhnya dan angin menyambar-nyambar di sekitarnya! Hebat sekali ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak anak buah pasukan pemerintah tidak berani mendekat, membiarkan tiga orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu.
Su Kiat dan Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali. Gadis yang cantik jelita itu, yang usianya baru sekitar dua puluh tahun, berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja, tanpa senjata bahkan dapat menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya!
Sementara itu, melihat munculnya seorang laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka berdua itu menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan, Bi Lian juga memperhatikan dengan heran. Akan tetapi, dara ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi ia pun siap bekerja sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata, tiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing itu!
Bi Lian sudah mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkan lewat kedua lengannya dan ia memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat yang aneh gerak-geriknya, kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih, lengannya dapat mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke depan, hendak menembus tubuh yang berpusing itu.
Ciang Su Kiat dengan lengan kiri buntung kini digantikan ujung lengan baju yang dapat dibuat lemmas dan kadang-kadang keras seperti besi memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun yang amat cepat. Ilmu silat tangan kosong Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) ini adalah peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan julukan Delapan Dewa. Dengan ilmu silat ini, tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan bagi pandang mata biasa, saking cepatnya gerakannya, yang nampak hanyalah bayangan saja, dan setiap kali menyerang, baik ujung lengan bajunya yang kiri ataupun tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.
Kok Hui Lian juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai Giam-lo yang lihai. Ia memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang Kiok-hwa-kiam. Gerakannya tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) ciptaan mendiang In Liong Nio-nio, seorang dari Delapan Dewa itu amat gagah gerakannya, seolah-olah seekor naga yang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu panjang dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang dahsyat.
Menghadapi tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan tetapi tiga orang ini memiliki tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu saja dia tidak memperoleh banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam keadaan berpusing itu, dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan itu.
"Sing-singgg".!!" Gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam itu mengeluarkan sinar mencuat dua kali, yang pertama menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah kaki tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu menghindarkan diri dengan elakan-elakan, akan tetapi pada saat itu, tangan Bi Lian yang mulur mencengkeram ke arah lehernya.
"Dukk!" Dia menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walaupun Bi Lian juga terhuyung, dan getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu, ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk sudah melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuh ke belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang. Totokan maut ini nyaris mengenai pinggangnya. Diam-diam Lam-hai Giam-lo cepat membuang dirinya ke samping dan bergulingan.
Sinar pedang menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit itu, Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah dan sekali menggerakkan kedua tangan, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang pengeroyoknya! Hebat memang kakek ini! Namun, yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu. Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pasir dan tanah itu tanpa menghentikan pengejaran mereka terhadap tubuh yang masih bergulingan itu.
"Singgg".!" Sinar pedang Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke arah sinar pedang berkilauan itu.
"Crokk!" Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, namun lengan Lam-hai Giam-lo terbabat buntung sebatas siku. Lam-hai Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walaupun lengan kirinya buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah di pangkal lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah, disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu serangannya bahkan lebih dahsyat daripada tadi. Hui Lian terkejut, mengelebatkan pedangnya, namun pedang itu dapat ditampar dari samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas dan tangan itu seperti cakar setan telah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat, sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke depan dan menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo.
"Plakk!" Tubuh Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagl. Tewaslah Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang memiliki ambisi besar itu. Setelah Lam-hai Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian berpencaran lagi, masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang mulai mendesak pasukan pemberontak yang kehilangan banyak pemimpin itu.
Sementara itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biarpun anak buah Kui-kok-pang berdatangan membantu teman-teman mereka, namun satu demi satu mereka roboh dan tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini.
Kui Hong yang menjaga di atas tebing sebelah kiri bersama belasan anak buahnya, melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan pemerintah, bahkan kini ditinggalkan setelah tadi ia melihat betapa pendekar lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Ia menarik sumbu panjang yang menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak.
"Kalian jaga saja di sini, aku mau turun membantu pertempuran di bawah." pesannya kepada para perajurit, dan ia pun berlari turun dengan cepatnya.
Selagi ia berloncatan menuruni tebing itu, ia melihat seorang wanita cantik berpakaian merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum pernah melihat wanita ini, akan tetapi ia pernah mendengar dari Hay Hay tentang datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat orang-orang lihai seperti Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan orang-orang Pek-lian-kauw. Melihat keadaan wanita itu, ia menduga bahwa agaknya itulah wanita yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu. Maka, cepat ia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, ia lalu menudingkan telunjuk kanannya dan membentak.
"Heii! Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?"
Pertanyaan ini dikeluarkan tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut dan marah, tidak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?" Wanita itu memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo roboh dan tewas, Ji Sun Bi merasa kecil hati dan ketakutan. Memang orang seperti ia, juga para datuk sesat, tidak memiliki kesetiaan. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri belaka. Kalau ia seperti yang lain membantu Lam-hai Giam-lo, adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh kemuliaan apabila gerakan itu menang. Kini, melihat betapa gerakan pemberontak itu terancam kehancuran di kandang sendiri sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi segera mengumpulkan barang-barang berharga dan diam-diam ia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan terusan. Ia memilih tebing kiri, tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang mengenalnya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka ia pun menjadi marah apalagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan tanding.
Kui Hong adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tak mengenal takut, bahkan dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan Ji Sun Bi, ia masih dapat tersenyum manis. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya.
"Wah, kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, sebentar lagi engkau harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka ia sengaja memakai julukan Penakluk Iblis!
"Srattt"!" Nampak dua sinar berkelebat ketika Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat ke atas kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan bentakan nyaring. "Bocah lancang, akan kupotong lidahmu!"
Akan tetapi, terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah nampak masing-masing sebatang pedang. Gadis itu telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah. Melihat sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun Bi terkejut sekali. Akan tetapi ia tidak mengenal pedang itu dan masih memandang ringan.
"Keparat, makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi ketika melihat Kui Hong sambil tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Ia membacok dengan pedang kiri sedangkan pedang kanannya meluncur ke arah perut Kui Hong.
"Heiiittt".. ihhh"..!" Kui Hong berseru dan dua batang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam.
"Cringgg". Tranggg".!"
Kini terkejutlah Ji Sun Bi karena ia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, namun ia cukup cerdik dan benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa lawannya, biarpun masih muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat sehingga sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang dengan ganas, mengeluarkan ilmu-ilmunya yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga mencari mangsa. Namun, yang dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apalagi setelah ia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya, Kui Hong memainkan Ilmu Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya. Dari kakek dan neneknya, selain menerima gemblengan dalam ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang diberikan ayah ibunya, juga Kui Hong memperdalam ilmu gin-kangnya sehingga kini ia dapat bergerak amat lincah dan ringannya. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya, membuat Ji Sun Bi semakin kaget dan khawatir.
Tingkat kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi sebelum ia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kini, ia menang jauh, terutama sekali dalam hal sin-kang dan gin-kang. Tenaga saktinya lebih kuat dan ia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan.
"Hyaaaattt".!" Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar sedemikian rupa sehingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher dan dada Kui Hong. Namun gadis itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar, tiba-tiba ia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena ia sedang meloncat ke depan, terpaksa ia menangkis dengan kedua pedangnya.
"Singgg". singgg".!" Tiba-tiba Kui Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu, meluncur ke tempat kosong dan pada saat itu, sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi dari kanan kiri, Ji Sun Bi makin kaget, terpaksa memutar pergelangan tangannya, menggunakan pedang untuk menangkis. Terdengar suara nyaring dua kali dan pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar, sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu meloncat ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau ia melanjutkan perkelahian itu, tentu ia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya yang amat tangguh itu.
"Heii, .iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?" Kui Hong memaki dan mengejar. Karena ia memang memiliki gin-kang yang hebat, sebentar saja ia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah. Ketika melihat bahwa ia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Sedangkan Kui Hong tertawa girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu.
"Heh-heh, Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong mengejek dan dengan gerakan cepat sekali ia mengejar lawan yang sudah ketakutan itu. Ji Sun Bi menoleh melihat Kui Hong mengejarnya, ia maklum bahwa sekali ini ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Ia dalam ketakutannya, lalu menjadi nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah.
"Ehhh".!" Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, menjenguk ke bawah. Ia masih sempat melihat betapa tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lalu menggelinding terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menarik napas panjang dan menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Ia pun tidak dapat mengejar karena menuruni jurang itu tidak mungkin. Maka, Kui Hong lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak.
Sementara itu, Hay Hay sambil merobohkan perajurit pemberontak yang menghadang di jalan, terus mencari Ki Liong. Akhirnya dia melihat pemuda itu di luar jalan terusan, sedang mengamuk dengan hebat. Memang benar apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pusaka Pulau Teratai Merah, pedang yang dicurinya bersama beberapa benda pusaka dari pulau itu menurut cerita Kui Hong. Gerakan pedang pemuda itu demikian matang dan mantap, dan para perajurit kerajaan merasa gentar juga menghadapi pemuda ini setelah ada beberapa orang perwira roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh menggunakan tombak panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera melihatnya.
"Saudara Tang Hay"!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!"
Akan tetapi Hay Hay melangkah maju dan berseru kepada para perajurit. "Harap kalian mundur dan biarkan aku menghadapinya!" Para perajurit mundur dan mengepung tempat itu dari jauh. Kini Hay Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri.
"Sim Ki Liong, apa yang telah kaulakukan terhadap Pek Eng?"Hay Hay bertanya, lirih karena tidak ingin hal itu didengar lain orang, namun dalam pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman dan kemarahan besar. Ki Liong melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran.
"Apa yang telah kulakukan" Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya"."
"Bohong! Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang telah kaulakukan" Jangan menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau aku akan memaksamu!"
"Tang Hay manusia sombong! Aku tidak ada urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak ada waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!"
"Ki Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang ketika melihat Ki Liong hendak pergi meninggalkannya.
Marahlah Ki Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam. Hay Hay juga marah. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong, karena dia ingin mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai Merah ini.
Mulut busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki mendengar dia dimaki sebagai jai-hwa-cat. Akan tetapi pada saat itu, Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya. Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut, dan jurus yang digunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis), pedang itu meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua bagian tubuh depan lawan! Hebat bukan main jurus ini, dan karena dia telah menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu mantap dan juga ganas.
Menghadapi sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia memutar sulingnya sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis dari samping dengan sulingnya.
"Tranggg...!" Suling dan pedang bertemu dan keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing mengakui akan kehebatan tenaga sin-kang lawan. Namun, Ki Liong yang ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini, sudah menerjang lagi ke depan. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyelimuti tubuhnya. Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga, dan angin sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya.
Hay Hay bersikap hati-hati. Maklum akan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung sulingnya. Terjadilah perkelahian yang hebat sekali, yang membuat daun kering dan pasir berhamburan dan debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan berdesing memekakkan telinga dan sambaran angin berputar-putar membuat para penonton, baik dari pihak pasukan pemerintah maupun pemberontak, terpaksa mundur lagi beberapa langkah.
Setelah lewat dua puluh jurus lebih tiba-tiba Hay Hay melakukan serangan dengan sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya sudah siap untuk melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada serangan pertama. Akan tetapi Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam dikelebatkan dari samping menangkis suling, dan sekaligus dia mengerahkan tenaga sin-kang yang mempunyai daya tempel yang kuat. Pemuda ini memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sin-kang yang dapat membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mujijat dan simpanan dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, namun dia telah mempelajari sin-kang yang dilatih dengan jungkir balik, dan dapat mempergunakan tenaga sakti ini untuk mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel. Begitu pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada pedang itu seperti besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu membuat dia agak lambat mempergunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan. Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan membuat dia sendiri terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang lawan. Dan pada saat itu, tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan daya lekat sin-kangnya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan akan menjadi lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis!
Dalam keadaan kritis itu, Hay Hay tidak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sudah dia persiapkan tadi untuk menyerang, akan tetapi dia kedahuluan lawan, maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang di antara Delapan Dewa.
"Plakkk!!" Dua buah tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini, kedua orang muda itu tak dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan kiri saling tempel, sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanyalah mengerahkan sin-kang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan dalam pertandingan ini, keduanya mengerahkan seluruh tenaga karena siapa kalah dalam adu sin-kang ini tentu akan putus nyawanya! Perlahan-lahan, Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja, dan mulailah dia gemetar. Keringat membasahi muka dan lehernya, dan uap putih mengepul dari kepalanya.
"Mati aku sekali ini"." pikir Ki Liong akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus mernpertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, dan tiada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir!
Pada saat yang amat berbahaya bag Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping. Dua buah tangan ini mengandung tenaga sin-kang yang kuat pula, dan oleh dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu tenaga dari mereka berdua menyeleweng dan terlepaslah telapak tangan mereka. Hay Hay meloncat ke belakang dan Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas dalam adu tenaga tadi dan kini dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia maupun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang. Akan tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan kini menghadapi Hay Hay yang juga memandang dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh.
"Heii! Mau lari ke mana kau!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di depannya.
"Tahan dulu".!!"
Hay Hay yang tidak ingin melihat Ki Liong melarikan diri, hendak mengejar terus dan karena Han Siong menghadang di jalan. Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya minggir.
"Dukkk!" Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur. Terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah lenyap di antara para perajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia membiarkan Ki Liong pergi dan kini dia menghadapi Han Siong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu apakah orang ini memihak pemberontak ataukah pemerintah.
"Saudara yang gagah, siapakah engkau dan mengapa engkau menghadangku?" tanya Hay Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini memiliki kekuatan tersembunyi yang dahsyat.
"Benarkah engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan sambil memandang tajam.
Hay Hay mengerutkan alisnya dan mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah engkau dan ada urusan apakah"."
Han Siong memotong. "Namaku Pek Han Siong dan"."
"Ah! Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong".!"
"Benar sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan urusan itu. Aku datang untuk minta pertanggunganjawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Apa maksudmu?" Tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda itu menjawab karena pada saat itu dia melihat mynculnya Pek Eng!
"Jangan engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!"
Hay Hay, cepat menggeleng kepala, dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng seolah-olah jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak"! Aku tidak melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!"
Han Siong memandang dengan muka merah. Benar adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut walaupun berilmu tinggi, berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Teringat dia bahwa pemuda ini, menurut keterangan orang tuanya, adalah putera seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan kemarahannya semakin memuncak. Adik kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal, buktinya sudah jelas, adiknya menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh seorang yang tidak berdosa sebagai pelakunya.
"Tang Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak Ayah kandungmu" Kalau, engkau secara pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, terpaksa aku akan menghajarmu!" Wajah Hay Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia telah merenggut kegadisan Pek Eng dan minta dia bertanggung jawab. Akan tetapi karena dia betul-betul merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka dia pun menjadi marah.
"Sampai mati pun aku tidak mungkin dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Terserah apa yang hendak kaulakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya. Jawaban ini bagi Han Siong dianggap ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apalagi membunuhnya. Dia hanya hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apalagi karena menurut pengakuan Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar dan mau menerima Pek Eng sebagai jodohnya. Oleh karena itu, Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, untuk menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka, diam-diam dia lalu mengerahkan kekuatan batinnya dan sekali mencabut pedangnya, nampak sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah muka Hay Hay, lalu terdengar suaranya menggeledek.
"Tang Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, takkan ada artinya melawan aku!" Ketika dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja, semua orang yang mengelilingi tempat itu, menjadi terbelalak dan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang raksasa yang mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya setinggi lututnya saja!
Akan tetapi Hay Hay tetap bersikap tenang walaupun dia juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia mengerahkan kesaktiannya dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton pertandingan itu. "Bagus sekali, Pek Han Siong! Engkau menjadi raksasa, aku pun sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!"
Hay Hay mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan dalam keadaan yang menyeramkan semua orang. Han Siong kini terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa Hay Hay akan sehebat ini kepandaiannya! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, melihat lawan sudah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang. Hay Hay menggerakkan sulingnya menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang hebat dan dahsyat, mengguncangkan tanah di sekelilingnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum. Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong memang merupakan ilmu pedang yang jarang tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan setelah lewat belasan jurus, Han Siong dapat menilai bahwa akan sukarlah baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apalagi setelah keduanya menjadi sebesar raksasa itu. Dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, dapat membahayakan arang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu.
"Tang Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai engkau tidak akan dapat melihatku lagi!"
Kembali "raksasa" Han Siong menggerakkan pedangnya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap, karena dari keadaan tinggi besar seperti raksasa, tiba-tiba saja tubuh itu menyusut menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya, Hay Hay sejenak bingung dan dia pun tahu apa yang telah dilakukan lawannya.
"Pek Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi kecil sebesar kamu!" Dan tubuh Hay Hay kini lenyap dari pandanggan orang-orang yang berada di situ, menjadi kecil seperti Han Siong dan keduanya kini melanjutkan perkelahian dengan suling dan pedang dalam keadaan. Tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum!
Kalau tadi mereka menyaksikan dua orang raksasa yang tingginya empat ukuran manusia biasa berkelahi, mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini mereka melihat dua orang yang amat kecil, hanya sebesar jari tangan mereka, berkelahi. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga lucu bercampur tegang. Han Siong dan Hay Hay kembali saling serang dan biarpun keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, melainkan ingin menaklukkannya. Sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat.
Sebetulhya, kalau dibuat ukuran, Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat daripada Han Siong. Baik dalam ilmu silat, mereka berdua menerima pelajaran dari orang-orang yang menjadi anggauta Delapan Dewa. Akan tetapi Hay Hay menerima gemblengan langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay telah digembleng oleh dua orang, apalagi gemblengan terakhir dari Song Lojin membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul. Akan tetapi karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong, apalagi melukai atau membunuh, maka pertandihgan antara mereka itu menjadi seimbang dan seru bukan main.
Sementara itu, kini pertempuran telah mulai terhenti di sana-sini. Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan belakang. Apalagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai. Orang-orang yang mereka andalkan sudah habis. Lam-hai Giam-lo telah tewas, juga Kulana yang amat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh satu demi satu. Suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Guha Iblls Pantai Selatan tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya. Ji Sun Bi yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam jurang yang curam ketika berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San, tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok dan Ling Ling. Demikian pula Hek-hiat Mo-ko tewas oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan itu, para pendeta Pek-lian-kauw, menjadi korban dalam pertempuran itu. Biarpun di pihak pemerintah, banyak pula pendekar, perwira dan perajurit yang tewas, namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang tidak mampu lagi me1arikan diri, berlutut dan menyerah! Pertempuran berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para perwira untuk datang menonton. Banyak orang menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay maupun Han Siong telah berjasa mengamuk dan membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu urusannya, merasa heran melihat mereka saling gempur sendlri dan tidak ada yang berani melerai. Apalagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan ilmu-ilmu yang aneh.
Para pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu, menjadi penonton. Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok, Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya. Pek Kong yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay Hay, hal yang amat mengherankan hatinya, belum melihat kehadiran Pek Eng di seberang. Pek Kong amat terkejut dan heran melihat perkelahian itu, akan tetapi dia tidak mau lancang melerai dan membiarkan saja, sambil siap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu.
Pertempuran itu memang berjalan dengan seru. Setelah mendapat kenyataan bahwa dengan merobah diri menjadi kecil diturut pula oleh Hay Hay dan dia tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merobah dirinya menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum dan mencakar-cakar. Dan hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya. Kedua binatang itu bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para penonton yang memenuhi tempat itu. Berulang kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi biruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya Han Siong terpaksa mengubah dirinya kembali menjadi normal. Hal ini diikuti oleh Hay Hay dan bertempurlah kembali kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya itu! Suling dan pedang sudah beradu ratusan kali dan memercikkan bara api yang menyilaukan mata.
"Aih, kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan celaka?" bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat.
"Kurasa tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang berlatih saja. Keduanya nampaknya berhati-hati agar jangan sampai mencelakai lawan. Hemm, sungguh membuat hatiku kagum bukan main. Mereka adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan."
Kui Hong yang berdiri seorang diri, menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay, teringatlah dara ini akan pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini, melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam ia merasa khawatir. Ia memang kadang-kadang merasa benci sekali kepada Hay Hay yang dianggapnya telah mempermainkannya, telah menolaknya, menolak cintanya. Akan tetapi, harus diakuinya pula bahwa ia masih mencinta pemuda itu!
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati"!" dan ,nampak Ling Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegah gadis ini.
"Engkau harus mati"..!" Kembali Ling Ling berseru dan menyerang dengan dahsyatnya. Hay Hay merasa betapa perasaan hatinya tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apalagi karena sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong. Karena itu, serangan Ling Ling agak lambat dielakkan dan bahu kirinya tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi bajunya. Pek Han Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay Hay, akan tetapi karena dia sendiri merasa kewalahan menghadapi Hay Hay, kini melihat pemuda lawannya yang amat tangguh itu terluka, dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya.
"Tranggg"!" Kembali Hay Hay menangkis dan melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi pertarungan sengit antara Hay Hay dan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay.
"Ling Ling, jangan"!" Tiba-tiba Kui Hong meloncat ke depan, dan ia memegang lengan kiri Ling Ling, menariknya mundur dari medan pertempuran.
Ling Ling membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa yang menariknya adalah Kui Hong, ia pun menangis. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling.
"Eh, Ling Ling, engkau kenapakah?"" bisiknya, semakin heran melihat keadaan gadis i tu.
"Bibi Kui Hong".!" Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakln sesenggukan. Semenjak malapetaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin yang hebat, dan ia selalu menahan dan menyembunyikannya, tidak mau menceritakan kepada siapapun juga. Kini, bertemu Kui Hong yang masih terhitung bibinya sendiri dan dengan siapa ia sudah menjalin persahabatan yang akrab ketika ia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata, seperti terlepas dari bendungannya.
"Ling Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong.
Setelah mengalirkan banyak air mata, Ling Ling mampu menguasai dirinya dan masih dalam rangkulan Kui Hong, ia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi Hong, dia... dia jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku... dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur dan memperkosaku"."
Saking kagetnya, Kui Hong mendorong tubuh Ling Ling, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Lalu ia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang jeli mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba ia berkata kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!" Dan Kui Hong sudah mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali.
Hay Hay terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau... kau...!" Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan ke samping.
"Engkau manusia busuk dan jahat, harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong. Terpaksa Hay Hay memutar sulingnya untuk me1indungi dirinya karena kini Han Siong yang tadinya bingung dan ragu melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih lihai menyerang Hay Hay, sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya.
Melihat Kui Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan ia pun cepat menyerang. Kini Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama sekali tidak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga, maka dia hanya mencurahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hal ini membuat dia semakin terdesak hebat dan kembali dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong, mengenai paha kanannya sehingga celananya robek berdarah.
"Heiii! Jangan main keroyokan"..!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan, hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang itu, dan ia pun merasa heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula menyerang Hay Hay.
Akan tetapi suaminya memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan cemas.
"Bunuh jai-hwa-cat itu!" terdengar teriakan-teriakan dan tampak Tiong Gi Cinjin, diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju dan mengepung perkelahian, lalu mengeroyok Hay Hay. Tentu saja hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapapun lihainya, yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia menerima tusukan dan bacokan yang biarpun telah dilawan dengan kekebalan, tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan darah.
Sementara itu, pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak telah selesai. Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Sedangkan para pendekar dan perwira, kini sudah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok oleh puluhan orang lihai itu. Untung baginya bahwa kini Han Siong tidak mendesak lagi. Pemuda itu merasa rikuh harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat yang amat jahat.
Selagi Hay Hay terdesak hebat, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian dihentikan!"
Perwira ini memang tugasnya menjadi juru bicara dan sudah biasa mengeluarkan bentakan nyaring. Ketika para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walaupun masih dalam keadaan mengepung Hay Hay, Hay Hay sendiri berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walaupun tidak berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan mukanya dan diam-diam bersukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak, entah sampai kapan dia dapat bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa di bawah senjata para pengeroyoknya.
Setelah memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam terkejut melihat bahwa yang terlibat dalam perkelahian itu adalah pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata.
"Cu-wi Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), setelah kita semua berhasil menumpas pemberontak, mengapa di antara Cu-wi bahkan terjadi perkelahian sendiri" Bukankah kemenangan kita ini sepatutnya mendatangkan kegembiraan dan bukan perkelahian antara teman sendiri" Apakah yang telah terjadi?"
Hay Hay adalah seorang pemuda yang berpemandangan luas dan bijaksana. Otaknya bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Kalau diceritakan sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng, mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa malapetaka itu. Tidak, dia harus mencegah hal itu terjadi, maka mendengar pertanyaan Menteri Cang, sebelum ada orang lain yang mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini mendengar bahwa Hay Hay merupakan seorang di antara para pendekar, yang tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang telah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu.
"Harap Taijin sudi memaafkan kami. Sesungguhnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi. Mereka semua menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba dan terjadilah perkelahian itu."
Lega rasa hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu.
"Bohong, Taljin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat buktinya, dan anak murid kami yang telah menjadi korbannya!" terdengar Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Karena itu, pinto harus membunuhnya!" Kakek ini saking marahnya sudah menggerakkan tongkatnya dan menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat kedua lengannya.
"Dukkk!" Tongkat itu tertangkis dan sekali memutar kedua tangannya, Hay Hay telah berhasil merenggut tongkat itu terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tidak mampu lagi mempertahankan tongkatnya. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan berkata dengan tenang.
"Harap Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang Taijin."
Tosu itu menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena rikuh terhadap Menteri Cang. "Sudahlah." Kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi adalah urusan pribadi, karena itu harus diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang telah berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat ribut di sini, terpaksa kami akan mempergunakan kekuatan kami untuk menangkap Cu-wi dan untuk diajukan di depan pengadilan untuk menemukan siapa yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami."
"Taijin, harap Paduka suka mempertimbangkan dengan adil." kata pula Tiong Gi Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, gadis yang masih muda, telah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu si penjahat cabul jai-hwa-cat yang terkenal di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda itu sedang main-main dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkari pada mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu, bukankah sudah adil dan sepatutnya kalau kami hendak membunuhnya" Bukan sekedar membalas kematian murid kami, juga untuk melenyapkan seorang penjahat besar yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!"
Menteri Cang mengangguk-angguk dan menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang percaya bahwa pemuda gagah ini seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan membunuh wanita dengan kejam.
"Bagaimana pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya.
"Taijin, hamba dengan tegas menyatakan bahwa hamba bukanlah jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Akan tetapi, kalau hanya satu pihak menuduh dan.lain pihak menyangkal, takkan ada habisnya. Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk mengakui kejahatannya itu. Kalau hamba tidak berhasil, boleh saja Bu-tong-pai minta pertanggunganjawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang telah mengganas di dunia kang-ouw sebelum hamba lahir, jadi tidak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu."
"Enak saja berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?"
" Aku tahu siapa dia walaupun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu yang memang sedang kucari." jawab Hay Hay.
"Anghong-cu adalah ayah kandungnya!" Tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru dan semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini. Bahkan Hui Lian menutup mulutnya menahan teriakan kaget, juga Kui Hong dan Ling Ling memandang dengan mata terbelalak. Semua orang memandang kepada Hay Hay.
Hay Hay menjadi pucat seketika ketika dia mengangkat muka memandang kepada Pek Eng sejenak, lalu menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali. Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua orang tahu bahwa dia anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu. Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal itu bukanlah kesalahannya.
Kini dengan perlahan Hay Hay mengangkat mukanya yang sudah normal kembali, bahkan mulutnya tersenyum duka, dan dia memandang orang sekelilingnya, lalu memandang kepada Menteri Cang, dan mengangguk. "Ucapan itu benar. Aku adalah anak seorang wanita yang menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu, harap para Enghiong dan Locianpwe dari Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah Ayah kandungku, dan aku akan mencarinya sampai dapat, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang Ibuku, atau terhadap semua wanita yang pernah menjadi korbannya!"
"Siancai"..!" Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkan kekhilafan kami. Kalau saja sejak dahulu engkau mengatakan hal ini. Ah, kalau begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu"."
"Itulah perhiasan yang ditinggalkan oleh Ibuku kepadaku, sebagai tanda bahwa beliau menjadi korban Si Tawon Merah."
"Sekarang kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang gagah. Bu-tong-pai hanya akan menunggu sampai engkau dapat menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami lakukan tadi."
Menteri Cang tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi. Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh! "Bagus, segala urusan dapat diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang mempunyai urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang kepada Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay.
"Taijin, perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay." kata Han Siong yang mulai merasa sangsi akan keterangan adiknya. Harus diakuinya bahwa Hay Hay merupakan seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biarpun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia seorang pengecut yang jahat, maka dia ingin membicarakan urusan itu dengan Hay Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng.
"Baik sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu. Han Siong lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isarat kepada adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri berhadapan di bawah pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang, akan tetapi tidak dapat terdengar apa yang mereka bicarakan.
"Saudara Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang"."


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah tahu, Saudara Pek Han Siong." Hay Hay memotong. "Adik Eng sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian."
"Apakah engkau akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu itu terhadap Adikku?"
Hay Hay tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa hidupku, sejak lahir sampai sekarang, selalu menjadi korban keadaan. Dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan kemudian mati membunuh diri, kemudian dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa, aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han Siong, bukan aku orangnya yang telah menodai Adik Eng?"
"Hay-ko... begitu kejamkah hatimu, untuk tetap menyangkal" Jangan kira bahwa aku begitu kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggunganjawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar! Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng menangis.
Pusaka Negeri Tayli 3 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Dari Bu Tong 16
^