Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 9

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


"Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!" Hay Hay memuji, sekedar untuk mengisi kekosongan.
Akan tetapi Pek Eng mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Pohon bunga itu merupakan satu di antara pohon kesayangannya dan pada waktu itu sudah dekat masanya pohon itu berbunga. Kini dibabat oleh pedang Bu Hok. Alangkah lancangnya orang ini, pikirnya. Kenapa menggunakan pohon itu sebagai sasaran tanpa lebih dulu minta perkenan pemiliknya" Maka, mendengar pujian yang keluar dari mulut Hay Hay, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya terhadap Bu Hok yang merusak pohonnya, ia pun berkata ditujukan kepada Hay Hay.
"Ah, tidak perlu pura-pura memuji!" Kemudian dia menoleh kepada Bu Hok, "Song-toako, dia memuji dengan mulutnya akan tetapi hatinya tentu mengejek karena aku tahu benar bahwa betapa pun indah dan kuatnya ilmu pedangmu, kalau dipakai melawan dia, tidak ada artiya sama sekali!"
"Nona Pek Eng "!" Hay Hay berseru kaget.
Wajah Song Bu Hok berubah merah saking marahnya dan dengan langkah lebar dia menghampiri Hay Hay. "Kalau begitu, Saudara Tang, mari beri aku sedikit pelajaran dan hadapilah ilmu pedangku yang jelek!"
"Tidak, Song-kongcu, aku ".."
"Apakah harus kukatakan bahwa engkau adalah seorang pengecut yang tidak berani terang-terangan menyatakan dengan mulut, melainkan melontarkan celaan dalam hati saja" Benarkah engkau seorang pengecut?"
"Song Bu Hok ".!" Hay Hay menjadi marah. "Engkau tidak layak memaki aku sebagai pengecut!"
"Kalau bukan pengecut, hayo hadapi pedangku!" teriak Song Bu Hok marah sekali mendengar betapa tadi Pek Eng memuji-muji Hay Hay dan mencelanya.
"Aku tidak ingin berkelahi, sungguhpun aku tidak takut menghadapi pedangmu sama sekali!" kata Hay Hay.
Ucapan ini merupakan minyak yang menambah berkobarnya api dalam dada Bu Hok. Ucapan bahwa Hay Hay tidak takut menghadapi ilmu pedangnya dianggap sebagai tantangan.
"Kalau begitu, sambutlah pedangku!" Song Bu Hok berteriak dan teriakan ini diikuti serangannya. Dengan pedangnya dia menusuk ke arah dada, tusukannya cepat dan kuat.
Hay Hay mengelak dengan mudah.
"Song-toako, aku berani bertaruh bahwa sampai seratus jurus sekalipun engkau takkan mungkin dapat mengenai tubuhnya dengan pedangmu!" Ucapan Pek Eng ini bukan sekedar memanaskan hati, melainkan karena ia sudah melihat tadi betapa dengan langkah-langkah ajaib, pemuda itu mampu mengelak dari semua serangan pendeta-pendeta Lama yang jauh lebih lihai daripada Bu Hok! Akan tetapi, teriakan ini membuat hati Bu Hok menjadi semakin panas dan penasaran.
"Hendak kulihat sampai di mana hebatnya pengecut ini!" bentaknya marah dan dia memperhebat serangannya. Tadinya Hay Hay ingin meloncat keluar dan tidak melayani putera Ketua Kang-jiu-pang itu, akan tetapi mendengar betapa dia dimaki pengecut lagi, hatinya menjadi panas juga. Pemuda ini terlalu tinggi hati dan perlu diberi pelajaran, pikirnya, maka dia pun lalu menggerakkan kedua kakinya, menggunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari serangkaian serangan yang bertubi-tubl itu. Dengan mudah saja dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, menggeser kaki ke kanan kiri, depan dan belakang, akan tetapi senjata pedang di tangan Bu Hok sama sekali tak pernah dapat menyentuh tubuhnya! Ketika Bu Hok menyerang dengan cepat sehingga pedangnya nampak berubah menjadi gulungan sinar, tubuh Hay Hay juga menyelinap di antara gulungan sinar itu dan selalu saja serangan Bu Hok mengenai angin kosong!
Bu Hok yang berwatak keras dan angkuh itu tidak menyadari kebenaran kata-kata Pek Eng tadi tentang kelihaian Hay Hay. Dia tidak sadar bahwa ilmu kepandaian lawan itu jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia merasa penasaran sekali. Diperhebat serangannya sampai akhirnya dia terengah-engah dan tubuhnya basah oleh keringat, sedangkan Hay Hay masih enak-enak saja melangkah dan menggeser kaki ke sana-sini.
"Bu Hok, apa yang kaulakukan itu" Hentikan!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Song Un Tek. Kiranya Song Un Tek dan adiknya, Song Un Sui, bersama pihak tuan rumah, telah keluar dari rumah memasuki taman dan melihat betapa puteranya menyerang Hay Hay kalang kabut dengan pedangnya, Ketua Kang-jiu-pang itu terkejut dan cepat membentak menyuruh puteranya menghentikan serangan. Namun Bu Hok yang sudah mabok karena penasaran dan marah, masih mengirim beberapa tusukan dan sabetan pedang. Hay Hay menggunakan jari tangannya menyentil ke arah pedang di dekat gagang. Terdengar suara nyaring dan Bu Hok merasa betapa tangan kanan yang memegang pedang seperti lumpuh. Hampir saja dia melepaskan pedangnya yang tergetar hebat. Dia tidak melihat apa yang terjadi, tidak tahu bahwa pedangnya telah disentil jari tangan lawan. Akan tetapi Hay Hay melompat keluar petak rumput, menjura ke arah Song Bu Hok dan meraba baju di bagian dadanya yang tetobek, agaknya terkena ujung pedang. Akan tetapi hanya robek saja dan kulitnya tidak terluka.
"Kian-hoatmu hebat, Song-kongcu, aku mengaku kalah."
Kalau tadinya dia terkejut dan heran, kini Song Bu Hok membusungkan dadanya. Bagaimanapun juga, pedangnya mampu merobek baju di bagian dada lawan, bahkan Tang Hay mengakui keunggulannya! Dia menoleh kepada Pek Eng dan berkata. "Eng-moi, biarpun dia boleh juga, akan tetapi tidak dapat menghindarkan kehebatan pedangku." Berkata demikian, dia hendak menyarungkan pedangnya kembali, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdetak dan pedangnya patah dekat gagangnya, dan jatuh keluar dari sarung.
"Eehhhhh ?"!!" Song Bu Hok memandang gagang pedang yang masih dipegangnya dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu memandang kepada pedang yang sudah buntung dan kini menggeletak di dekat kakinya. "Pedang... pusakaku ?"
Melihat betapa pedang pusaka itu patah, sekali loncat Song Un Sui yang berperut gendut itu telah berada di dekat keponakannya. Mengagumkan sekali gerakan Si Gendut ini karena melihat perutnya yang gendut dan tubuhnya yang gemuk bulat, agaknya tak mungkin dia dapat bergerak seringan dan secepat itu. Dia sudah membungkuk dan mengambil pedang yang buntung, lalu memeriksa bagian dekat gagang yang patah. Nampak jelas betapa pedang itu memang patah, agaknya terpukul benda yang amat kuat, lebih kuat daripada pedang itu sendiri. Padahal dia tahu benar bahwa pedang itu bukan pedang murahan, melainkan sebuah pedang pusaka terbuat dari baja pilihan. Dia tadi juga melihat keponakannya menyerang pemuda sederhana yang bertangan kosong itu, bagaimana kini tahu-tahu pedang itu dapat menjadi patah" Tadi ketika bercakap-cakap bersama kakaknya dan pihak tuan rumah di sebelah dalam, selain pembicaraan mengenai kematangan ikatan jodoh antara Song Bu Hok dan Pek Eng, juga pihak tuan rumah menceritakan tentang kedatangan tiga orang pendeta Lama yang mengungkit kembali persoalan Sin-tong, juga menceritakan bahwa pemuda bernama Tang Hay itu muncul membantu keluarga Pek dan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, Song Un Sui ini memiliki watak yang tinggi hati dan mengagulkan kepandaian sendiri, watak yang di tiru oleh keponakannya. Biarpun kini dia melihat bahwa pedang keponakannya patah dan menduga bahwa tentu pemuda she Tang itu yang mematahkan, dia menjadi marah. Dia tidak mau melihat kenyataan bahwa patahnya pedang itu membuktikan kebenaran cerita keluarga Pek bahwa pemuda she Tang itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Bocah she Tang, berani engkau mematahkan pedang pusaka keponakanku?" bentaknya dan sikapnya ini terdorong pula oleh pengetahuan bahwa pemuda itu bukan keluarga dari Pek-sim-pang, bukan murid dan bukan keluarga, hanya tamu, maka dia pun berani menentangnya.
"Aku hanya membela diri "." Hay Hay menjawab.
"Bocah sombong, engkau hendak memamerkan kepandaian dengan menghina kami" sambutlah seranganku!" Si Gendut itu kini sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan terbuka ke arah dada Hay Hay. Melihat serangan yang hebat, dengan tenaga yang lebih kuat daripada tenaga Bu Hok tadi, Hay Hay cepat mengelak. Lawannya mendesaknya dengan serangan bertubi-tubi, namun Hay Hay segera mainkan langkah-langkah ajaib dan dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangan. Melihat pamannya sudah maju menyerang, tanpa berkata apa-apa lagi Bu Hok yang merasa penasaran juga meloncat dan membantu pamannya menyerang Hay Hay. Namun, Hay Hay masih terus mengelak, dengan Jiauw-pouw-poan-soan dan serangan kedua orang itu selalu mengenai tempat kosong. Secara aneh tubuhnya selalu dapat menghindar, dan nampaknya dia hanya bergerak dengan tenang dan lembat saja!
Keluarga Pek merasa bingung sekali melihat perkelahian ini, Mereka menjadi serba salah. Mau melerai, Pek Kong khawatir kalau dia disangka memihak Hay Hay, tidak dilerai, dia khawatir sekali karena dia maklum bahwa tiga orang Kang-jiu-pang ini pun tidak akan menang melawan Hay Hay yang bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, akan tetapi juga pandai ilmu sihir. Para murid Pek-sim-pang yang tertarik oleh keributan itu dan sudah berkumpul nonton di situ, diam-diam berpihak kepada Hay Hay yang mereka kagumi, pemuda yang tadi sudah mengusir musuh-musuh mereka, yaitu para pendeta Lama. Apalagi para murid muda dari Pek-sim-pang. Mereka mendengar bahwa kunjungan keluarga Song itu untuk meminang Pek Eng, maka timbullah rasa iri hati, apalagi melihat sikap Song Bu Hok yang tinggi hati, mereka merasa tidak senang. Kini mereka nonton perkelahian dan mengharap, agar Hay Hay mau menghajar keluarga Song itu!
Akan tetapi Hay Hay juga merasa serba salah. Dia tidak mau membikin malu keluarga Song yang menjadi tamu terhormat dan sahabat baik keluarga Pek. Kalau tadi dia sengaja mematahkan pedang dengan sentilan jarinya adalah karena dia mendongkol melihat sikap sombong Bu Hok dan ingin memberi pelajaran kepadanya. Tak disangkanya bahwa perbuatannya itu menimbulkan kemarahan laki-laki perut gendut yang menjadi paman Bu Hok. Kini dia memainkan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan diri dari serangan dua orang lawannya. Melihat tingkat kepandaian dua orang penyerangnya ini, dia merasa yakin bahwa biarpun dia menghadapi mereka tanpa membalas, mereka tidak akan mampu memukulnya. Maka dia pun hanya mengelak ke sana-sini dengan gerakan lincah dan indah, tidak seperti ketika dia menghadapi para pendeta Lama di mana dia membuat gerakan kaku dan lucu untuk mempermainkan mereka. Diam-dlam kini dla merasa menyesal mengapa tadi dia menuruti emosi hatinya dan mematahkan pedang Bu Hok.
Sementara itu, Ketua Pek-sim-pang, yaitu Pek Kong dan Pek Ki Bu kini dapat mengikuti dengan baik gerakan Hay Hay yang tidak dibuat-buat dan diam-diam mereka terkejut sekali ketika mengenal bahwa langkah-langkah ajaib yang dimainkan Hay Hay itu mirip dengan langkah-langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan yang pernah mereka lihat, ilmu kesaktian yang dimiliki oleh seorang tokoh besar di Tibet!
Song Un Tek, Ketua Kang-jiu-pang tidak tinggi hati seperti adiknya dan puteranya. Dia tadi sudah mendengar betapa Hay Hay merupakan seorang tamu terhormat dari keluarga Pek, bahkan pemuda itu telah membantu keluarga Pek mengusir para pendeta Lama yang datang mengacau. Biarpun patahnya pedang puteranya merupakan hal yang memalukan, namun dia harus mendengar dulu perkaranya, apa yang telah terjadi antara dua orang muda itu sebelum turun tangan seperti adiknya. Maka dia pun lalu melangkah maju dan berseru kepada adiknya dan puteranya untuk menghentikan serangan mereka.
"Tidak baik urusan kecil dibikin besar." katanya setelah adiknya dan anaknya mundur mendengar perintah Song Un Tek. "Kalau ada urusan, sebaiknya dibicarakan dengan baik. Bu Hok, apa yang telah terjadi" Kenapa tadi engkau berkelahi dengan Saudara Tang Hay?"
Bu Hok adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan mengagulkan diri sendiri, akan tetapi dia juga seorang pemuda yang gagah dan jujur. Mendengar pertanyaan ayahnya, mukanya berubah merah. Tak perlu dia berbohong, dan di situ terdapat pula Pek Eng yang tadi menjadi saksi.
"Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya, Ayah." katanya.
Song Un Tek mengerutkan alisnya dan menegur adiknya. "Sui-te, engkau mendengar sendiri. Keponakanmu itu mencari gara-gara dengan mencoba kepandaian Saudara Tang, kenapa engkau tanpa penyelidikan lebih dulu sudah lancang turun tangan menyerang orang yang tidak bersalah?"
Song Un Sui menundukkan mukanya, tak disangkanya bahwa keponakannya itu hanya menguji kepandaian saja. "Aku melihat pedang itu patah, maka ".."
"Nah, lain kali harap suka bersabar." tegur kakaknya, kemudian dia memandang lagi kepada puteranya, "Bu Hok, sungguh sikapmu itu memalukan. Engkau menguji kepandaian orang secara persahabat, hal itu biasa saja. Akan tetapi engkau menggunakan pedang, menyerang Saudara Tang yang bertangan kosong. Apakah perbuatan itu patut" Masih untung bagimu bahwa pedangmu yang dipatahkan, bukan kaki, tangan atau lehermu. Hayo kau sadari kesalahanmu dan minta maaf."
Dengan muka merah Bu Hok lalu menghadapi Hay Hay dan menjura. Suaranya terdengar lantang dan jujur ketika dia berkata, "Saudara Tang Hay, harap kau suka memaafkan kebodohanku tadi."
Song Un Sui juga buru-buru berkata, "Dan aku pun minta maaf atas kecerobohanku,
Saudara Tang." "Aku sendiri mintakan maaf atas kelancangan mereka, Saudara Tang yang gagah perkasa," kata Ketua Kang-jiu-pang.
Melihat sikap dan mendengar ucapan tiga orang ini, Hay Hay merasa kagum bukan main dan sekaligus perasaannya terhadap mereka menjadi lain. Dengan cepat dia pun menjura dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Sam-wi tidak berkata demikian! Sayalah yang mohon maaf, dan sikap Sam-wi ini membuktikan bahwa Kang-jiu-pang dipimpin oleh keluarga yang amat gagah perkasa, patut menjadi tauladan orang-orang yang mengaku dirinya gagah! Saya merasa kagum sekali!"
Tentu saja dengan adanya kata-kata ini, lenyap semua sikap bermusuhan tadi, bahkan diam-diam Song Bu Hok kagum sekali kepada Hay Hay. Dia mendekat dan memegang lengan Hay Hay dengan sikap yang bersahabat dan akrab.
"Saudara Tang Hay, sungguh aku kagum bukan main. Ilmu kepandaianmu memang hebat, dan sekarang aku tidak merasa ragu atau heran lagi untuk mempercaya kebenaran keterangan Eng-moi tadi bahwa engkau memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kami."
"Ah, jangan memuji terlalu tinggi, Song-kongcu ".."
"Sudahlah, siapa mau disebut kongcu" Namaku Song Bu Hok, sebut saja namaku, dan aku menyebut namamu. Bukankah kita sudah menjadi sahabat" Malah sahabat akrab, karena sudah saling beradu lengan memuji ilmu. Bagaimana, Hay Hay" Maukah engkau menjadi sahabatku?"
Bukan main girang rasa hati Hay Hay. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tadi kelihatan demikian sombong itu ternyata adalah seorang laki-laki yang jujur dan gagah perkasa, seorang sahabat yang menyenangkan.
"Baiklah, Bu Hok."
Melihat kerukunan itu semua orang menjadi girang dan tiba-tiba Pek Ki Bu berkata kepada Hay Hay, "Tang "taihiap?"
"Ya Tuhan ?" Pek-locianpwe, harap jangan menyebut Tai-hiap (Pendekar Besar) kepada saya! Pek-locianpwe, bukankah saya pernah berada di antara keluarga Pek ketika masih bayi" Apakah Cu-wi (Anda Sekalian) tidak sudi menerima saya sebagai Hay Hay saja, tanpa sebutan sungkan-sungkan seperti itu?"
Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee saling pandang, kemudian Pek Ki Bu tertawa. "Ha-ha-ha, baiklah, Hay Hay. Bagaimanapun juga,engkau sebaya dengan cucuku dan engkau pun pantas menjadi cucuku. Nah, sekarang aku ingin bertanya. Bukankah engkau tadi memainkan ilmu langkah ajaib ketika engkau menghindarkan serangan, dan kalau aku tidak salah ilmu itu adalah ilmu sakti Jiauw-pouw-poan-soan?"
Hay Hay terkejut dan cepat memberi hormat. "Pek-locianpwe sungguh bermata tajam sekali. Memang benar, saya tadi mainkan Jiauw-pouw-poan-soan."
"Kalau begitu, apakah hubunganmu dengan See-thian Lama" Bukankah ilmu itu miliknya?"
"See-thian Lama adalah guru saya."
"Ahhhh ?"!" Seruan ini keluar dari mulut Pek Ki Bu, Pek Kong, dan Souw Bwee. "Ha-ha-ha, pantas saja engkau begini lihai, kiranya murid dari seorang di antara Delapan Dewa itu! Ketahuilah bahwa kami sekeluarga Pek menjunjung tinggi dan menghormat See-thian Lama sebagai seorang suci yang selain sakti, juga bijaksana. Ketika keluarga kami diserbu para pendeta Lama di Tibet, Locianpwe See-thian Lama itulah yang melerai dan melindungi kami, bahkan beliau pula yang menganjurkan kepada kami untuk meninggalkan daerah Tibet dan pindah ke sini. Ah, kiranya engkau muridnya ".."
"Sungguh merupakan kenyataan yang amat menggembirakan. Hay Hay, engkau tidak boleh pergi dulu. Engkau harus tinggal di sini beberapa hari lamanya. Kami ingin mendengar segala ceritamu tentang pengalamanmu dahulu, tentang See-thian Lama dan lain-lain." kata pula Pek Kong sambil memegang pundak Hay Hay. Melihat keramahan semua orang terhadap dirinya, Hay Hay yang baru saja mengalami guncangan batin dan tekanan yang membuatnya menderita duka di dalam hatinya, kini menjadi terharu dan dia hanya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih.
"Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Kalian orang-orang muda juga masuk karena kami hendak membicarakan urusan penting." kata Pek Kong sambil menggandeng tangan Hay Hay.
Setelah mereka duduk menghadapi meja di ruangan besar itu, Pek Kong lalu berkata, "Karena kami sekeluarga menganggap Hay Hay bukan orang luar, maka biarlah dia ikut mendengarkan urusan keluarga yang akan kita bicarakan. Setujukah engkau, Song-pangcu?"
Song Un Tek yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, mengangguk dan tertawa. "Apa yang kita bicarakan bukan suatu rahasia, melainkan berita yang menggembirakan, makin banyak yang ikut mendengarkan, semakin baik."
"Pertama-tama, kutujukan ini kepadamu, Eng-ji. Tahukah engkau betapa usiamu sekarang?"
Ditanya usianya, Pek Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak, akan tetapi mukanya berubah merah. "Apa-apaan sih Ayah ini menanyakan usia didepan orang banyak" Pula, tanpa bertanya pun Ayah dan Ibu tentu tahu berapa usiaku." katanya manja.
Ibunya menolong puterinya yang berada dalam keadaan malu itu. "Usianya sudah hampir tujuh belas tahun, kurang dua bulan lagi."
Aku dan Ibumu sudah sejak dahulu sama-sama setuju dengan keluarga Song untuk menjodohkan engkau dengan Bu Hok, dan hari ini mereka datang untuk meminang secara resmi ?""
"Ayah "..!" Tiba-tiba Pek Eng bangkit berdiri dan lari menuju ke kamarnya.
Ayahnya tertawa dan memandang kepada tiga orang tamunya yang nampak bingung melihat sikap Pek Eng itu.
"Anakku itu memang manja dan pemalu, ia tentu lari ke kamarnya karena malu, akan tetapi aku yakin bahwa ia setuju pula. Bukankah sikapnya selama ini terhadap Bu Hok menunjukkan bahwa ia tidak akan keberatan" Eng-ji pasti setuju, harap Sam-wi tidak merasa ragu dan khawatir."
"Biarlah aku yang akan bicara dengan Eng-ji." kata Souw Bwee yang kemudian meninggalkan ruangan itu menyusul puterinya ke kamar Pek Eng.
"Ha-ha-ha, pinangan itu sudah kami terima, sudah pula kami sampaikan ke pada anak kami. Marilah kita minum arak untuk keselamatan kedua orang anak kita, Song-pangcu!" kata Pek Kong.
Mereka mengangkat cawan dan melihat betapa Hay Hay diam saja, Pek Ki Bu lalu berkata kepadanya. "Hay Hay, engkau pun kami ajak minum arak untuk memberi selamat kepada Bu Hok dan Pek Eng dalam pertunangan mereka hari ini."
Hay Hay mengangkat cawannya dan pada saat itu, Pek Kong bertanya, "Hay Hay, bagaimana pendapatmu dengan pasangan ini, antara Bu Hok dan adikmu Pek Eng?"
Sambil memegang cawan araknya, Hay Hay berkata dengan sejujurnya. "Pasangan yang amat serasi, Bu Hok seorang pemuda yang gagah perkasa sedangkan Adik Eng adalah seorang gadis yang cantik dan lihai pula, Pek-pangcu."
"Hushh, jangan sebut pangcu kepadaku. Engkau seperti keponakanku sendiri, sebut saja Paman padaku."
"Baik, Paman. Nah, selamat untuk sepasang orang muda yang hari ini bertunangan!" katanya sambil meneguk arak dari cawannya, diikuti oleh semua orang.
Malam itu pihak tuan rumah mengadakan pesta. Mereka semua, kecuali Pek Eng, makan minum dengan gembira di satu meja besar. Pek Eng tidak mau keluar walaupun sudah dibujuk ibunya, "Ia tentu malu, maklumlah ia tidak punya saudara yang pernah menikah. Pengalaman dilamar orang tentu amat menegangkan hatinya dan membuatnya merasa canggung dan malu." katanya sebagai permintaan maaf kepada para tamunya. Dua orang pangcu itu makan minum dengan gembira sekali. Betapa mereka tidak akan gembira. Sejak belasan tahun mereka sudah menjadi sahabat baik, keduanya merasa cocok dan sepaham, sepihak pejuang dan pendekar, pihak lain juga pendekar yang terkenal, dan kedua orang anak mereka memang merupakan seorang pemuda dari seorang gadis pilihan. Kalau kini mereka berbesan, tentu saja hati mereka merasa puas sekali.
"Tentang penentuan hari pernikahan, biarlah kelak aku akan memberi kabar kepadamu, Song-pangcu." kata Pek Kong. "Bagaimanapun juga, hati kami tidak akan merasa tenteram dan puas kalau putera kami, Pek Han Siong, belum pulang. Dia harus menyaksikan adiknya menikah dan harus memberi persetujuan bahwa adiknya akan menikah lebih dahulu."
Song Un Tek dapat mengerti alasan ini dan dia pun tidak merasa keberatan. Mereka makan minum dan mengobrol sampai jauh malam sebelum akhirnya para tamu itu dipersilakan mengaso di dalam kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan. Hay Hay juga dipersilakan masuk ke kamarnya yang berada di ujung belakang, karena kamar-kamar besar di dalam diperuntukkan tamu-tamu agung keluarga Song itu !
** Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan.
Tradisi usarig dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan.
Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melaniutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang.
Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya.
Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia.
Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan.
Di dalam kedudukannya sebagai Ketua Cin-ling-pai, dia dibantu oleh putera tunggalnya yang bernama Cia Hui Song, seorang pendekar yang usianya kurang lebih tiga puluh delapan tahun, lihai karena selain telah mewarisi kepandaian ayah dan mendiang ibunya, juga dia pernah digembleng oleh mendiang Siangkiang Lojin atau San-sian, seorang di antara Delapan Dewa, dan menerima ilmu-ilmu tinggi dalam hal sinkang dan ginkang. Sejak belasan tahun yang lalu, Cia Hui Song ini menikah dengan Ceng Sui Cin, seorang wanita perkasa pula, pendekar wanita gemblengan karena ia adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang tinggal di Pulau Teratai Merah dl lautan selatan. Ibunya juga seorang pendekar yang lihai bukan main, bernama Toan Kim Hong. Ceng Sui Cin selain menerima ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga ia menerima gemblengan dalam hal ginkang oleh Wu-yi Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Ceng Sui Cin, bahkan lebih lihai dari suaminya!
Cia Hui Song dan Ceng SuI Cin mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia lima belas tahun bernama Cia Kui Hong. Kui Hong merupakan seorang anak perempuan yang sehat dan mungil sejak kecilnya, juga memiliki kecerdasan dan bakat yang baik sekali dalam ilmu silat sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, ia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayah dan ibunya. Wataknya juga sama dengan watak Ibu dan ayahnya. Ia manis, galak dan berandalan, akan tetapi jenaka dan lincah, juga berjiwa pendekar yang gagah perkasa.
Melihat keadaan keluarga Cia ini, orang lain tentu membayangkan bahwa mereka merupakan keluarga yang berbahagia. Kedudukan mereka sebagai keluarga pimpinan perkumpulan yang terpandang dan terhormat, juga mereka tidak kekurangan, merupakan keluarga yang sehat dan selalu gembira nampaknya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sejak bertahun-tahun yang lalu, Ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dengan berterang menyatakan harapannya sendiri sudah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat.
Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan bAnyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya, terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak iTu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi.
Hui Song, sekarang di depan isterimu aku minta ketegasan dan keputusanmu. Bagaimana dengan permintaanku agar engkau menikah lagi?"
Mendengar ini Sui Cin terkejut bukan main. Suaminya belum pernah menceritakan tentang keinginan hati ayah mertuanya itu, dan mendengar betapa kini orang tua itu minta kepada suaminya agar menikah lagi, tiba-tiba mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Akan tetapi karena yang ditanya adalah suaminya maka ia pun diam saja, hanya memandang kepada suaminya dengan penuh perhatian.
Hui Song juga terkejut. Ayahnya telah berterus terang di depan isterinya, hal ini merupakan desakan yang terakhir dan amat kuat, yang memaksa dia untuk mengambil keputusan, tidak seperti biasanya yang hanya dia elakkan dan tangguhkan saja. Diam-diam dia merasa kasihan kepada isterinya dan tidak berani menoleh untuk memandang wajahnya. Kalau mengingat isterinya dan cinta kasih di antara mereka, ingin rasanya dia meneriakkan keberatannya, namun untuk menolak dia pun takut kepada ayahnya yang dia tahu menganggap amat penting keturunan laki-laki yang amat diharapkannya itu. Maka dalanm keadaan bingung dia menunduk dan berkata dengan suara lirih.
"Ayah, aku... aku tidak mempunyai pikiran untuk ".."
"Hui Song!" Cia Kong Liang membentak karena sejak tadi amarahnya sudah menyesak di dada dan dia menduga bahwa puteranya tentu menolak sehingga jawaban kalimat yang belum putus itu sudah dianggap sebagai penolakan. "Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hauw (tidak berbakti atau durhaka)" Ingat, sudah lama aku ingin mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukan Ketua Cin-ling-pai kepadamu, akan tetapi selama engkau belum mernpunya seorang anak laki-laki, terpaksa aku tidak beranii mengundurkan diri dan mengoperkan kedudukan pimpinan padamu. Aku hanya ingin engkau mengambil yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam.
Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku olah jantungnya ditusuk-tusuk dan sejak tadi ia sudah menahan kemarahannya yang makin berkobar. Kini, mendengar suaminya melibatkannya, dan melihat betapa ayah mertuanya itu menanggapinya secara acuh saja, ia tidak tahan lagi.
"Ayah, apakah keluarga ini masih menganggap saya sebagai manusia, ataukah sebagai kertas pembungkus saja?"
Cia Kong Liang melebarkan matanya mendengar pertanyaan ini. "Maksudmu?"
"Kalau saya dianggap kertas pembungkus, maka hanya dipergunakan dan dirawat sewaktu diperlukan saja, kalau tidak diperlukan lagi boleh dibuang begitu saja! Akan tetapi kalau diperlakukan sebagai manusia, kenapa saya tidak pernah diajak berunding" Saya adalah isteri Cia Hui Song, saya berhak untuk menentukan tentang dirinya!"
"Tapi... tapi aku yakin bahwa engkau tentu akan menyetujui kalau Hui Song mengambil seorang gadis lain sebagai isteri, untuk menyambung keturunan she Cia "."
"Saya tidak setuju!" teriak Sui Cin, kini tidak lagi bersopan-sopan, melainkan secara spontan mengeluarkan isi hati dan kemarahannya. Mendengar teriakan ini dan melihat sikap anak mantunya, Cia Kong Liang yang juga berhati keras itu seketika bangkit kemarahannya.
"Engkau... tidak berhak untuk menolak atau tidak menyetujui! Engkau hanya seorang isteri, hanya seorang anak mantu, yang harus patuh kepada suaminya, kepada ayah mertuanya!"
"Ayah, kapankah aku tidak pernah patuh?" teriak Sui Cin. "Selama belasan tahun tinggal di sini, bukankah aku selalu patuh" Akan tetapi sekali ini menyangkut hubungan antara suami isteri. Aku tidak pernah bersalah kepada Hui Song, aku menjadi seorang isteri yang dicinta dan mencinta, kenapa tiba-tiba saja Hui Song harus menjadi milik wanita lain" Aku tidak mau membaginya dengan wanita lain! Aku tidak setuju kalau dia mengambil seorang wanita lain sebagai isteri ke dua!"
"Engkau tidak berhak melarang!" teriak Cia Kong Liang pula dengan sama marahnya dan menudingkan telunjuknya kepada muka anak mantu yang biasanya amat disayangnya itu. "Engkau telah tidak mampu melahirkan seorang keturunan laki-laki!"
"Belum tentu kalau aku yang tidak mampu! Siapa tahu Hui Song juga tidak mampu mempunyai turunan laki-laki" Jangan hanya salahkan diriku seorang!" Kedua mata Sui Cin sudah mulai basah dengan air mata, akan tetapi ia tidak menangis dan memandang kepada ayah mertuanya dengan mata terbelalak walaupun sudah basah bahkan air matanya mulai jatuh berderai.
"Kalau dia mengambil gadis lain, tentu dapat mempunyai keturunan laki-laki!"
"Mungkin saja! Kalau aku menikah lagi dengan pria lain juga mungkin saja aku melahirkan anak laki-laki! Akan tetapi, pernikahan antara kami, kalau tidak membuahkan anak laki-laki, itu bukanlah salahku, atau salah Hui Song. Jangan salahkan kepadaku Ayah, pendeknya aku tidak setuju kalau Hui Song menikah lagi!"
Ketua Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Belum pernah dia didebat dan ditentang orang seperti itu, apalagi kini yang menentangnya adalah anak mantunya sendiri. Hal ini merupakan pukulan batin yang hebat, yang membuat dia marah bukan main dan dia sudah bangkit dari kursinya, mengepal tinju dan agaknya sudah siap untuk menyerang Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin juga bangkit berdiri, siap untuk membela diri!
"Sui Cin, jangan ?"!" Hui Song berteriak dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnyat membentur-benturkan dahinya di lantai. "Ayah... Ayah, ampunkanlah isteriku, Ayah. Kalau Ayah hendak menjatuhkan hukuman, hukumlah aku. Ayah, tenanglah dan ampunkan kami."
Melihat ini, Cia Kong Liang sadar kembali. Dia tahu bahwa kalau dia menyerang Sui Cin dan mantunya itu melawan, dia bahkan akan kalah oleh anak mantunya yang lihai itu. Dan kalau sampai terjadi hal demikian, bukankah akan memalukan sekali dan nama besar Cin-ling-pai akan hancur sama sekali. Bayangkan bagaimana akan pendapat orang kalau mendengar bahwa Ketua Cin-ling-pai bentrok dengan mantu perempuannya, bahkan dipukul roboh oleh mantu perempuannya sendiri! Dia menjatuhkan dirinya lagi di atas kursi, napasnya terengah-engah dan mukanya masih merah sekali.
"Sudahlah, sekarang engkau boleh pilih. Engkau menuruti permintaan ayahmu, mengambil seorang gadis lain untuk menyambung keturunan she Cia, atau aku yang akan memungut seorang murid yang baik untuk menjadi putera angkatku, kuberikan she Cia kepadanya, kemudian dia kukawinkan agar dapat menyambung keturunan she Cia, walaupun secara memungut anak. Dan engkau... jangan harap lagi aku mengakuimu sebagai anak."
"Ayah ?"!" Hui Song berteriak dan kini air matanya pun jatuh bertitik. Sui Cin menjadi semakin marah. Dianggapnya bahwa orang tua itu sungguh tidak adil dan keterlaluan. Maka, melihat suaminya menangis, ia pun segera berkata sambil memandang ayah mertuanya dengan pandang mata tajam.
"Ayah, kenapa Ayah begitu mendesak Hui Song" Kenapa tidak Ayah sendiri saja yang menikah lagi dan mempunyai seorang anak keturunan laki-Iaki yang lain?"
Mendengar ini, Hui Song, merasa mempunyai harapan untuk mengatasi persoalan itu. "Itu benar, Ayah ".."
"Diam "..!!" Cia Kong Liang membentak penuh kemarahan. "Ceng Sui Cin, jangan kau mengajukan usul yang gila!" Baru sekarang sejak Sui Cin menjadi mantunya, dia menyebut nama mantunya itu dengan nama shenya, dan Sui Cin merasakan benar sebutan itu. Ia sudah mulai dianggap orang luar oleh ayah mertuanya ini!
"Bukan aku yang mengajukan usul yang gila, Ayah, melainkan Ayah sendiri yang mengajukan permintaan yang bukan-bukan."
"Cukup!" Kembali Ketua Cin-lin-pai itu membentak. "Sekali lagi, Hui Song, kau boleh pilih. Engkau menikah lagi dengan gadis lain untuk memperoleh keturunan she Cia, atau engkau tidak kuanggap sebagai anakku lagi dan boleh pergi dari sini dengan isteri dan anakmu."
Mendengar ini, Sui Cin juga berteriak, "Cia Hui Song, dengarkan kata-kataku. Aku akan pergi bersama Kui Hong kembali ke rumah orang tuaku. Kalau engkau kawin lagi, kita tak perlu berjumpa kembali. Kalau engkau masih memberatkan kami, susullah kami ke Pulau Teratai Merah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Sui Cin sudah lenyap dari ruangan itu, keluar untuk mencari anaknya.
"Sui Cin "..!!" Hui Song berkata dan dia pun terkejut bukan main, bangkit berdiri.
"Hui Song, kalau engkau tinggalkan ruangan ini, jangan harap akan dapat kembali kepadaku!"
Hui Song yang sudah bangkit itu, tersentak dan menoleh kepada ayahnya, kemudian menoleh ke arah pintu, hatinya terobek menjadi dua, tubuhnya menggigil dan tiba-tiba dia pun mengeluh dan terpelanting jatuh pingsan saking hebatnya pukulan batin yang dideritanya.
Tiada sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap saat, seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia menjadi gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali menjadi terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja setiap saat terjadi dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput. Orang yang selalu waspada akan memiliki kebijaksanaan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah semestinya terjadi, karena itu tidak akan mengguncangkan batinnya. Bahkan kematian pun yang datang menjemput akan diterima dengan iklas, pasrah dan mulut tersenyum karena maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa, hanya menjadi anak wayang saja yang harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dijalankan oleh Sang Sutradara! Dijadikan pemegang peran apa pun tidak penting, biar dijadikan raja atau pengemis, orang kaya atau orang miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan. Tidak mengeluh kalau memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau memegang peran mulia, karena yang penting adalah menghayati peran itu, memainkan peran yang dipegangnya sebaik mungkin. Memegang peran apa pun juga, baik yang menang atau yang kalah, yang tinggi atau yang rendah, yang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, kesemuanya itu hanya untuk sementara saja dan semua akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau kematian. Karena maklum bahwa segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, tidak abadi, bahwa kehidupan sebagai roda, maka tidak akan mengeluh selagi berada di bawah dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah seorang yang bijaksana.
*** Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Cia Hui Song. Dia mengeluh panjang pendek, sampai tiga hari dia tidak mampu meninggalkan kamarnya, hanya rebah dengan gelisah dan menyesali nasibnya setelah dia mendekati usia empat puluh tahun itu. Hatinya ingin sekali pergi menyusul isteri dan puterinya yang pergi secara mendadak tanpa pamit lagi, hanya membawa buntalan pakaian saja. Dia tahu akan kekerasan hati dan keangkuhan isterinya, tentu isterinya itu mengajak Kui Hong untuk pergi ke Pulau Teratai Merah dan isterinya tidak akan kembali ke Cin-ling-san sebelum dia datang menyusul. Akan tetapi, dia pun mengenal baik kekerasan hati ayahnya. Kalau dia nekat pergi, tentu dia benar-benar tidak akan diakui lagi sebagai anak dan ayahnya tak mungkin mau mengampuninya lagi. Terjadi perang di dalam batinnva dan dia membayangkan betapa ayahnya akan menderita batin yang amat hebat kalau dia memaksa diri meninggalkan ayahnya. Ayahnya hanya mempunyai dia seorang, tidak ada lagi keluarga lain dan hanya kepada ayahnya memandang dan bergantung. Kalau dia pergi, mungkin hal itu akan menghancurkan hati ayahnya dan dia akan mempercepat kematiannya dan dia tentu akan merasa berdosa selama hidupnya kalau sampai terjadi hal seperti itu. Sebaliknya, isteri dan puterinya akan hidup aman dan terjamin kalau berada di Pulau Teratai Merah dan mudah-mudahan saja Sui Cin akan melunak perasaannya kelak. Bagaimanapun juga, sebagai putera tunggal tak mungkin dia meninggalkan ayahnya, tak mungkin menjadi anak durhaka yang dikutuk ayah sendiri. Selain itu, dia pun harus menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai," biarpun dia harus mengorbankan perasaannya yang seperti tertindih selalu dan semangatnya seolah-olah terbang mengikuti isteri d.an puterinya.
Bagaikan seorang yang patah semangat, Cia Hui Song pendekar sakti itu menurut saja ketika ayahnya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterinya, untuk dapat memberi seorang putera penyambung keturunan Cia, keturunan keluarganya. Demi ayahnya, demi keluarga Cia, dia harus mentaati perintah ayahnya walaupun diam-diam hatinya hancur. Dia tidak mungkin dapat mencinta isterinya yang baru, seorang gadis berusia delapan belas tahun dari keluarga Siok, seperti cintanya terhadap Sui Cin. Dia hanya merasa kasihan kepada isteri barunya, Siok Bi Nio, karena seperti sudah lajim pada jaman itu, gadis ini pun menjadi isterinya karena kehendak orang tuanya. Orang tua mana yang tidak akan merasa bangga kalau anak perempuannya menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, walaupun hanya menjadi isteri ke dua" Nama besar Cin-ling-pai akan mengangkat derajat keluarga Siok pula di samping kehidupan makmur yang akan dapat dinikmati oleh gadis she Siok itu.
Demikianlah, Cia Hui Song menikah lagi tanpa dirayakan secara meriah karena sungguhpun dia tidak berani menolak kehendak ayahnya untuk kawin lagi, dia berkeras tidak mau kalau pernikahan itu dirayakan, melainkan terjadi secara sederhana saja dan hanya melakukan upacara sembahyangan sebagaimana mestinya tanpa mengundang banyak tamu.
Hati Kakek Cia Kong Liang puas dan girang sekali karena puteranya mau memenuhi permintaannya. Tanpa ada yang mengetahuinya, dia sendiri merasa amat berduka dengan kepergian Kui Hong tanpa pamit. Dia amat sayang kepada cucunya itu, bahkan ketika Kui Hong masih kecil, dialah yang menimang-nimang anak itu. Akan tetapi, sayang bahwa Kui Hong adalah seorang cucu perempuan dan kakek ini merasa prihatin dan bahkan malu kalau sampai puteranya tidak mempunyai anak laki-laki yang kelak akan menyambung keturunan keluarga Cia. Setelah Kui Hong pergi bersama ibunya tanpa pamit, dia merasa kehilangan dan sering kali, seorang diri dalam kamarnya, kakek ini menutupi mukanya dan menghapus beberapa butir air mata karena duka teringat akan cucu perempuan yang amat disayangnya itu. Dia tidak merasa bersalah dalam urusan itu, merasa bahwa keputusannya itu sudah benar dan tepat, dan mantunyalah yang tidak tahu diri, yang tidak adil, tidak seperti para wanita lainnya yang tentu bahkan akan menganjurkan sang suami untuk mengambil isteri muda agar memperoleh keturunan laki-laki!
Lebih gembira dan puas lagi hati Kakek Cia Kong Liang ketika setahun setelah Hui Song menikah dengan Siok Bi Nio, mantu perempuannya itu melahirkan seorang anak laki-laki. Harapannya dan dambaannya terkabul sudah! Keluarga Cia tidak akan putus, melainkan akan bersambung terus dengan lahirnya Cia Kui Bu, cucunya yang kedua itu. Maka, begitu cucu ini terlahir, Cia Kong Liang lalu mengundurkan diri dan mengangkat Cia Hui Song menjadi Ketua Cin-ling-pai!
Jabatan ini sedikit banyak menghibur hati Hui Song yang selalu teringat kepada Ceng Sui Cin dan Kui Hong. Kesibukan di dalam perkumpulannya menyita banyak waktu dan pemikiran. Dia bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangan dalam perkumpulan Cin-ling-pai, memperketat peraturan dan menambah latihan-latihan untuk menggembleng para anggauta dan murid agar kelak dapat mengangkat tinggi nama besar Cin-ling-pai. Bahkan dia sendiri terjun untuk melatih murid-murid kepala. Sementara itu, Cia Kong Liang memperoleh pekerjaan baru yang mengasyikkan hatinya, dan merupakan hiburan pula padanya karena kini dia dapat mengasuh cucunya sebagai pengganti Kui Hong!
Kita tinggalkan dulu keluarga Cia di Cin-ling-san ini dan mari kita ikuti perjalanan Ceng Sui Cin dan anaknya, Cia Kui Hong. Pada hari itu juga, malam-malam setelah ia ribut mulut dengan ayah mertuanya, Sui Cin memanggil anaknya, dan Kui Hong terkejut sekali melihat ibunya berkemas dan melihat betapa di wajah ibunya ada tanda bahwa ibunya habis menangis.
"Ibu, ada apakah, Ibu?" tanyanya, hatinya tidak enak. Biasanya, ibunya selalu ramah dan suka bergurau, dan ia sendiri pun paling suka bergurau dan memandang dunia ini dengan sepasang mata berkilauan dan wajah berseri dan hati yang lapang dan terang. Akan tetapi, kini ibunya nampak murung dan kusut, maka ia pun tidak berani bergurau seperti biasa dan tidak berani merangkul, hanya menyentuh lengan ibunya sambil mengajukan pertanyaan itu.
Dengan menahan tangisnya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan terhadap anaknya, ia berkata, "Kui Hong, engkau berkemaslah, keluarkan semua pakaianmu yang terbaik, kita pergi sekarang juga ke Pulau Teratai Merah."
Sejenak wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak. "Ke tempat tinggal Kakek dan Nenek di Laut Selatan?"
"Benar, cepatlah berkemas!" kata ibunya singkat.
"Horeee... kita pesiar ke lautan, ke tempat Kakek Ceng!" Gadis itu berteriak dan bersorak seperti anak kecil saking girang hatinya. Baru dua kali ia berkunjung ke tempat yang jauh itu, dan yang terakhir kalinya ketika ia baru berusia sepuluh tahun. Kini ia telah berusia lima belas tahun, dan mengenang tempat yang indah sekali di pulau itu, dikelilingi lautan yang liar dan luas, ia merasa girang bukan main.
Setelah mereka berdua selesai berkemas, Sui Cin yang sudah selesai lebih dahulu, segera menggendong buntalan besar pakaiannya dan menyuruh puterinya melakukan hal yang sama. "Mari kita berangkat!" "
"Eh, apakah Ayah tidak ikut, Ibu?" tiba-tiba gadis remaja itu bertanya.
Ibunya hanya menggeleng kepala tanpa menjawab. Mereka keluar dari dalam kamar dan ibunya mengajak ia langsung keluar.
"Ibu, kita pamit dulu dari Kong-kong (Kakek) dan Ayah "
"Tidak usah, aku sudah pamit tadi. Kita langsung berangkat!" kata ibunya singkat. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh Kui Hong yang amat sayang kepada kakeknya dan ayahnya.
"Tapi, Ibu ?""
"Cukup! Tak perlu banyak cakap lagi, mari kita langsung berangkat, lihat, malam telah semakin gelap!" "Tapi mengapa tergesa-gesa, Ibu" Bukankah berangkat besok pagi-pagi lebih baik dan aku harus pamit".. "
"Diam dan mari kita pergi!" Tiba-tiba Sui Cin membentak dan gadis remaja itu terkejut bukan main melihat ibunya demikian galak, apalagi melihat dua titik air mata meloncat keluar dari mata ibunya. Ia maklum bahwa ibunya sedang marah sekali, maka ia pun tidak berani membantah lagi dan keluarlah ia mengikuti ibunya. Lebih lagi merasa terkejut dan heran melihat betapa ibunya setelah berada di luar rumah, langsung saja mempergunakan ilmu berlari cepat, meluncur di dalam gelap seperti terbang saja. Terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari ibunya dan mereka lalu melakukan perjalanan yang amat cepat menuju ke tenggara. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati Kui Hong melihat ibunya tak pernah mau berhenti berlari sampai akhirnya, beberapa jam kemudian, lewat tengah malam. Kui Hong yang sudah berkeringat dan napasnya memburu, berkata kepada ibunya.
"Ibu, jangan cepat-cepat... ah, aku... aku sudah lelah sekali ".." Dan gadis itu pun mogok lari.
Melihat ini, Sui Cin baru teringat akan keadaan puterinya. Ia pun berhenti berlari dan mengajak puterinya beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia sendiri pun baru sadar bahwa keringat telah membasahi leher dan mukanya, betapa napasnya juga memburu. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di kaki gunung itu, memandang ke atas. Tidak ada bulan di langit, namun langit yang kelam itu penuh dengan bintang yang nampak gemerlapan indah sekali pada latar belakang hitam itu, nampak bagaikan ratna mutu manikam di atas beledu hitam. Kadang-kadang nampak bintang meluncur dengan berekor panjang lalu lenyap ditelan kegelapan. Bintang jatuh" Atau bintang pindah" Kui Hong selalu kagum memandang angkasa penuh bintang, atau angkasa diterangi bulan purnama. Baginya, angkasa penuh dengan rahasia alam yang hebat, sehingga orang-orang pandai seperti ayahnya dan bahkan kakeknya pun tidak mampu memberi penjelasan ketika ia bertanya kepada mereka tentang bulan dan bintang. Ia tahu bahwa ibunya juga suka menikmati kebesaran alam, bahkan ibunya suka berkhayal dan bercerita bahwa karena menurut dongeng, bintang-bintang itu merupakan dunia-dunia, maka tentu di setiap bintang dikuasai oleh seorang dewa. Kalau begitu, alangkah banyaknya dewa-dewa di langit! Tak terhitung banyaknya! Lebih banyak bintang di langit daripada rambut di kepalamu, demikian kata ibunya. Dan mungkin benar, pikir Kui Hong, karena walaupun amat banyak, kalau memang dikehendaki, rambut di kepala masih dapat dihitung manusia. Akan tetapi bintang di langit" Siapa mampu menghitungnya" Makin gelap langit, makin banyaklah bintang yang nampak, sampai berdempetan dan tak mungkin dihitung.
"Aduh, bukan main indahnya bintangbintang itu, Ibu ?"" Kui Hong yang sejenak lupa akan segala hal itu berkata penuh kagum. Akan tetapi ibunya tidak menjawab dan ia terheran. Biasanya ibunya paling suka memuji keindahan alam. Ia menengok dan di dalam keremangan malam, ia melihat ibunya menyembunyikan muka di balik lengan yang memeluk lutut! Baru ia teringat akan keadaan mereka dan Kui Hong merasa gelisah sekali. Ia bukan anak kecil. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang membuat ibunya berduka seperti itu. Jangan-jangan kakeknya atau neneknya yang di Pulau Teratai Merah meninggal dunia, pikirnya dan ia pun bergidik ngeri. Tak mungkin! Kalau benar terjadi hal demikian, tentu ayahnya pun ikut pergi, bahkan Kakek Cia Kong Liang juga tentu pergi melayat. Tidak, tentu ada peristiwa lain.
"lbu... lbu, engkau kenapakah, Ibu "..?" tanyanya lirih sambil menyentuh tangan ibunya.
Tersentuh senar yang terhalus di dalam hati Sui Cin oleh pertanyaan puterinya ini. Ia terisak dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya. Ia menangis! Ibunya menangis! Kui Hong tersentak kaget. Belum perlnah ia melihat ibunya menangis! Ia selalu menganggap ibunya seorang wanita yang paling hebat, yang gagah perkasa dan pantang menangis. Bahkan ibunya sering memberi nasihat ketika ia masih kecil dan suka menangis, bahwa seorang wanita gagah lebih menghargai air mata daripada darah! Keringat dan darah sekalipun boleh menetes kalau perlu, akan tetapi air mata harus dipantang! Tangis menunjukkan kelemahan dan seorang wanita yang gagah perkasa bukanlaln seorang yang lemah. Demikian kata-kata ibunya yang selalu masih diingatnya, kata-kata yang ikut menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tabah, keras hati, penuh keberanian menghadapi apapun juga tanpa mengeluh. Dan sekarang, ibunya menangis!
"Ibu......!" Kui Hong merangkul ibunya dan memaksa ibunya menurunkan tangan. Dipandanginya wajah ibunya. Memang tidak banyak air mata yang mengalir keluar, akan tetapi tetap saja terbukti bahwa ibunya menangis. "Ibu, engkau menangis" Mungkinkah ini" Ada apakah yang telah terjadi, Ibuku?" Kui Hong bertanya sambil menciumi pipi ibunya yang agak basah oleh air mata.
Dengan sekuat tenaga Sui Cin menekan perasaannya, menghapus air matanya. Anaknya ini bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang gadis menjelang dewasa, tak perlu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, karena tentu Kui Hong kini sudah dapat mengerti.
" Ayahmu... Ayahmu harus menikah lagi." jawabnya dan begitu ia menjawab, ia merasa lancar dan dapat menahan getaran perasaannya. Kini kedukaannya terganti oleh rasa penasaran dan kemarahan.
Mendengar keterangan ini, Kui Hong terkejut sekali, juga heran dan sejenak ia kehilangan akal, hampir tidak dapat mengerti dan tidak dapat menangkap maksud kata-kata ibunya. Ayahnya harus menikah lagi" Keterangan macam apa ini" Akan tetapi, semuda itu, Kui Hong sudah digembleng untuk menguasai hatinya dan sikapnya masih tetap tenang walaupun keterangan ibunya itu membuatnya terkejut dan terheran-heran. Sukar ia dapat percaya bahwa ayahnya akan menikah lagi! Ia mempertimbangkan keterangan ibunya dalam satu kalimat tadi. Ayahnya harus menikah lagi. Harus"
"Ibu, siapa yang mengharuskan Ayah menikah lagi?"
"Kakekmu, siapa lagi?" Suara ibunya mengandung penasaran dan kemarahan sehingga Kui Hong dapat menduga bahwa tentu ibunya sudah ribut dengan kakeknya.
"Menikah dengan siapa?"
"Dengan siapa saja, Ayahmu sendiri pun belum tahu."
"Tapi, kenapa" Kenapa Kong-kong menyuruh dan bahkan mengharuskan Ayah menikah lagi" Bukankah Ayah sudah menikah dengan Ibu?"
"Kong-kongmu ingin mempunyai seorang cucu laki-laki ".."
"Akan tetapi, Kong-kong sudah mempunyai cucu aku!"
"Dia ingin cucu laki-laki untuk menyambung keluarga Cia! Karena aku tidak mempunyai anak laki-laki, maka Ayahmu diharuskan menikah lagi."
"Dan Ayah ".. Ayah mau "..?"
"Ayahmu terpaksa, kalau tidak, dia tidak akan diakui lagi sebagai anak Kong-kongmu, akan diusir!"
"Ahhh ?"!!" Wajah Kui Hong berubah, kini agak pucat karena ia mulai mengerti benar dan tahu bahwa memang telah terjadi urusan yang hebat sekali, bahkan merupakan malapetaka bagi ibu dan ayahnya, yang mengubah kehidupan keluarga mereka semua!
"Jadi karena itulah Ibu pergi" Tapi... tapi kenapa pergi, Ibu" Kenapa kalau Ibu tidak setuju, Ibu tidak melarang saja pada Ayah agar dia tidak usah menikah lagi?"
"Aku sudah menyatakan tidak setuju, bahkan aku sampai cekcok dengan Kong-kongmu, akan tetapi Kong-kongmu memaksa Ayahmu, kalau Ayahmu tidak mau, Ayahmu harus pergi dan tidak diakui sebagai anak lagi."
"Ah, kenapa Ibu tidak bilang begitu selagi kita pergi. Biarlah aku kembali ke sana dan aku tegur Kong-kong dan Ayah!" Kui Hong bangkit berdiri sambil mengepal tinju, akan tetapi melihat itu, Sui Cin merangkul anaknya disuruhnya duduk kembali..
"Tidak ada gunanya, Kui Hong. Engkau tidak tahu betapa keras hati Kong-kongmu dan betapa pentingnya cucu laki-laki baginya, atau bagi laki-laki yang manapun juga di dunia ini agaknya. Sungguh menjemukan! Sudahlah, biarlah kita pergi saja dan kalau memang Ayahmu ingin berbakti kepada Kong-kongmu dan melupakan kita, biarlah kita hidup sendiri, di rumah orang tuaku di Pulau Teratai Merah."
"Tapi, Ibu, kenapa Ibu tidak menentang dengan kekerasan saja?"
"Tidak ada gunanya, juga tidak baik dan memalukan! Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang saja ke Pulau Teratai Merah dan kalau Ayahmu menyusul kita, dan mengurungkan niat Kong-kongmu yang mengharuskan dia menikah lagi, baru aku mau ikut dengannya. Kalau sebaliknya terjadi, dia menikah lagi, biarlah selamanya kita tinggal saja di Pulau Teratai Merah."
Percakapan itu terhenti dan kedua orang wanita itu tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Beberapa kali Cia Kui Hong mengepal tinju, hatinya marah dan panas sekali, melebihi panasnya hati ibunya. Kalau kelak ayahnya benar menikah lagi, ia akan menegur ayahnya itu, dan menegur kakeknya, kalau perlu ia akan membunuh wanita yang menjadi isteri ayahnya, ibu tirinya yang mendatangkan kehancuran dalam kehidupan ibunya. Ibunya kini sampai meninggalkan rumah, kedinginan di kaki gunung ini, di bawah pohon, terlunta-lunta!
** Perjalanan yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah perjalanan yang amat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walaupun mereka mempergunakan ilmu berlari cepat! Tentu saja ibu dan anak ini mengalami banyak kesukaran. Selain lelah dan hati mereka tertekan duka, juga masih banyak gangguan mereka hadapi sebagai dua orang wanita cantik melakukan perjalaran tanpa kawalan. Biarpun usianya sudah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita. Tubuhnya yang ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan sebelum ia mempunyai anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat karena ia masih terus berlatih silat sehingga ia lebih tepat dikatakan bertubuh montok. Wajahnya nampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya sehingga dalam melakukan perjalanan bersama Kui Hong, mereka lebih pantas disebut enci adik, daripada ibu dan anak.
Sampai sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya yang dahulu, yaitu sikapnya bebas dan pakaiannyapun agak nyentrik. Ia lebih mengutamakan enak dipakai daripada indah dipakai. Karena ia melakukan perjalanan yang jauh, ia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang telah mengangkat namanya ketika ia masih gadis, di samping benda itu dapat pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik matahari dan curahan air hujan. Juga puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, pakaian pria yang ketat sehingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu nampak indah menarik seperti buah yang sedang ranum. Berbeda dengan ibunya yang membawa sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung kalau tidak dipergunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa sebatang pedang yang dipasang di atas buntalan di punggung.
Karena gadis ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang banyak menolong mereka, karena kalau ada laki-laki yang tertarik dan berniat kurang ajar, mereka mundur teratur melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli silat) yang tidak boleh sembarang diganggu.
Kurang lebih sebulan kemudian setelah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini memang indah karena letaknya di tepi telaga besar itu yang menampung air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar. Karena hari telah menjelang sore dan tidak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin lalu mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini.
Mereka memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah penginapan yang terletak di tempat indah sekali, di tepi telaga. Setelah mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka yang sedapat mungkin mereka sembunyikan di bawah baju, sedangkan Sui Cin membawa payungnya, mereka lalu menlnggalkan rumah penginapan untuk melihat keindahan telaga itu di mana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang pesiar ke telaga.
"Ibu, kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu menyenangkan sekali!" kata Kui Hong. Sui Cin tersenyum. Setelah melakukan perjalanan dengan puterinya, sedikit demi sedikit Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya dan ia merasa kasihan kepada puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya.
"Baik, Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan untuk mengantar ke perahu yang kita sewa."
Dengan gembira,seperti dua orang ibu dan anak yang sedang pergi pelesir dan samasekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lalu memilih perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu oleh kakek pemilik perahu.
Tak lama kemudian, perahu itu pun didayung perlahan oleh kakek tukang perahu sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja didayung menuju ke barat, menyongsong matahari yang sedang tenggelam. Bukan main indahnya pemandangan itu. Matahari yang condong ke barat itu membakar langit di barat dan bayangannya di air yang tenang dan jernih sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali. Gembira hati ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak pula perahu-perahu pesiar yang hilir mudik di permukaan telaga yang teramat luas. Terdengar pula suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis penyanyi yang bermain yangkim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar. Sui Cin dan Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang di atas perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu, lalu menyuruh tukang perahu untuk mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai. Dari jauh nampak perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu seperti binatang-binatang aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua bua.h perahu yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak tergesa-gesa.
Tiba-tiba terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim (semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja hari itu. Petikan yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seolah-olah memberi penghormatan dan mengiringkan Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan diri di istana barat.
Ibu dan anak itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka. Perahu itu meluncur tenang dan ternyata digerakkan oleh layar kecil yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke mana pun arahnya karena penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu karena dialah yang sedang asyik membunyikan musik itu. Akan tetapi, seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya pula, sungguh sukar untuk dipercaya!
"Dekati perahu itu "." kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena ia tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju. Akan tetapi kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan menggeleng kepala. "Tidak boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)."
"Eh, memangnya kenapa?" tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran.
"Saya adalah tukang perahu yang setiap hari bekerja di sini dan segala peristiwa yang terjadi di telaga ini saya ketahui, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada hari pertama, ada perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan yang-kim itu!"
Tentu saja Sui Cin dan Kul Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu. "Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?" tanya Kui Hong, mencoba untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu, akan tetapi karena jarak di antara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca sudah mulai remang-remang, ia tidak mampu melihat jelas. Hanya kelihatan seorang laki-lakl yang bertubuh sedang duduk menunduk di perahu itu, memangku sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Karena dia memegang suling itu dengan tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan tangan kirinya saja, sedangkan tangan kanannya dipergunakan untuk memainkan senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya.
"Saya tidak tabu, Nona. Tak seorangpun tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang perahu tidak berani mendekatinya. Kalau dia tidak diganggu, dia pun tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, bahkan menyenangkan dengan permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?"
"Bagaimana dia menggulingkan perahu besar?" Sui Cin yang tertarik, bertanya.
Kakek itu menggelengkan kepala. "Siapa mengerti, Toanio" Tahu-tahu perahu itu terbalik dan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim. Setelah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu kecilnya meluncur pergi."
"Apa yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan marah?" Sui Cin bertanya lagi, semakin tertarik hatinya.
"Perahu besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air memercik membasahi pakaian dan yang-kimnya, dan para penghuni perahu besar mentertawakannya." jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena tidak mau datang terlalu dekat.
"Sombong benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana sih macam orangnya. Paman tua, dekatkan perahu kita dengan perahunya!" kata Kui Hong yang sudah merasa tertarik dan penasaran sekali.
Sui Cin juga tertarik, karena menduga bahwa orang dapat bermain suling dan yang-kim sekaligus menjadi paduan suara yang amat serasi, dan yang berwatak aneh seperti itu menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu merupakan orang yang luar biasa. Apalagi kalau dipikir bahwa menggulingkan perahu bukan pekerjaan yang mudah.
"Dekatkan perahu kita." katanya pula kepada tukang perahu.
"Tidak, Toanio, Siocia. Saya tidak berani. Bagaimana kalau nanti perahuku digulingkan pula" Celaka, saya akan menderita rugi." Dia lalu memandang kepada mereka. "Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dan berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai tenggelam?"
"Aku akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian." kata Sui Cin sambil tersenyum.
"Saya tidak berani, Toanio."
"Heh, tukang perahu cerewet! Kalau engkau mendekatkan perahumu ke sana, belum tentu dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi kalau engkau tidak mau dan masih banyak cerewet, yang jelas sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!" bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan menolak permintaan mereka.
Mata tukang perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut. Agaknya Kui Hong melihat pula hal ini, maka ia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran perahu yang terbuat dari papan tebal itu.
"Cusss ?".!" Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja.
"Kau ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?" Kui Hong membentak.
Mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat. "Tidak... tidak, Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu "." katanya dengan suara gemetar. Hampir dia tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan halus itu dapat menusuk dan amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja memasuki agar-agar saja! Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih berbahaya daripada ancaman perahu kecil pemain suling itu, dia pun mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya tidak membuat air terpercik terlalu keras dan agar perahunya tidak sampai menubruk perahu kecil di depan itu.
Kini perahu kecil itu tidak meluncur lagl karena rupa-rupanya angin sudah berhenti bertiup dan karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih kadang-kadang menghadap ke kanan, kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk. Akan tetapi orang yang duduk di kepala perahu itu agaknya tidak mempedulikan hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya. Dengan tangan kirinya, menyangga suling dengan ibu jari sedangkan jari-jari yang lain mempermainkan lubang-lubang suling, seorang laki-laki meniup sulingnya itu dengan suara merdu, melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indahnya, dan suara ini diiringi petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya. Biarpun hanya memainkan setiap alat musik dengan satu tangan saja, namun jari-jari tangan itu bermain dengan amat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat merdunya. Orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena mukanya menunduk, apalagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas.
Sui Cin teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang masih dilihatnya belasan tahun yang lalu, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan seorang di antara Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim. Akan tetapi, belasan tahun yang lalu, Shantung Lo-kiam sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan juga belum pernah ia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup suling. Apalagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini. Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini" Tiba-tiba suara suling dan yang-kim terhenti dan laki-laki bercaping itu lalu mengangkat muka, memandang ke angkasa dan dia pun bernyanyi, suaranya cukup merdu dan lantang nyanyiannya kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan oleh sepuluh jari tangannya.
"Minum arak meniup suling memetik yang-kim seorang diri di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas perahuku meluncur dengan bebas melalui jalur yang djciptakan mata-hari jalur emas sang surya di senjahari hidup begini bahagia dan indah perlu apa segala keluh kesah?"
Mendengar nyanyian yang seolah-olah merupakan nasihat dan hiburan bagi hati mereka yang memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang dan Sui Cin memuji, "Bagus sekali sajak itu "..!"
Kui Hong sejak tadi juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, ia dapat melihat wajahnya dan ia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian yang merdu itu, kata-kata nyanyian yahg demikian indahnya. Kui Hong memandang seperti terpesona, setuju atas pujlan ibunya. Memang indah sajak itu, indah pula suaranya.
Laki-laki itu tadinya seolah-olah hanya merasa bahwa dlrinya sendirian di tempat luas itu dan agaknya terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin. Sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandang matanya dan memandang ktpada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali.
"Apakah kau hendak menggulingkan perahu kami" Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau dapat melakukan itu!" tantangnya. Sui Cin terkejutakan tetapi tidak sempat mencegah puterinya yang menantang itu.
Mendengar tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu kini ditujukan kepada tukang perahu seolah-olah orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu menjadi ketakutan dan dia pun menjura di tempatnya.
"Mohon maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan saya ".."
Melihat betapa tukang perahu itu demikian penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol. "Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat, kalau engkau demikian pengecut tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya, maka kita tidak boleh ke sana ke sini sesuka hati?"
Kini sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia berkata. "Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, kenapa engkau begitu ketakutan?" Kemudian dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Sui Cin dan Kui Hong. "Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi ke mana saja dengan perahumu, siapa yang melarang?"
Setelah berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Siapa sudi kau manis-manis?" bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, ia melihat ibunya tersenyum geli.
"Kui Hong, engkau ini kenapakah. Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau marah-marah" Wah, jangan-jangan engkau kemasukan setan penunggu telaga ini!" kelakar ibunya.
"Mata orang itu seperti mata maling, membikin hatiku mendongkol. Ibu!" kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan. Ia telah menantang digulingkan perahunya, kemudian ia marah- arah ketika disebut adik manis. Bagaimanapun juga, harus diakuinya babwa sikap pemuda itu sopan dan manis budi.
"Memang telaga ini dihuni oleh mahluk-mahluk halus yang gawat." tiba-tiba tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu. "Tadinya kami menganggap pemuda peniup suling itu juga mahluk halus. Maka harap Nona tidak main-main di sini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di telaga ini karena gangguan mahluk halus."
Tadinya Kui Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi mendengar kalimat terakhir, kembali ia tertarik.
"Kenapa banyak orang pelancong tewas di telaga ini" Diganggu mahluk halus katamu?" Diam-diam Kui Hong melirik ke kanan kiri. Cuaca sudah menjadi agak gelap dan ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Bagaimanapun juga, Kui Hong hidup di jaman di mana banyak orang masih percaya penuh kepada segala macam tahyul dan dongeng-dongeng tentang setan, iblis dan siluman. Semua itu merupakan hal-hal yang tidak dimengertinya dan menurut dongeng, mahluk halus tidak dapat dilawan dengan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun karena mahluk halus pandai menghilang. Tentu saja ia merasa takut begitu ada orang bercerita tentang mahluk halus, apalagi di telaga seperti itu di mana ia merasa agak lemah dan tidak leluasa seperti kalau ia menginjak tanah keras.
Agaknya tukang perahu nampak senang. Bagaimanapun juga, dia memperlihatkan bukti bahwa dia lebih tahu tentang telaga itu, dan lebih tahu tentang mahluk halus dan melihat gadis ini agaknya takut-takut, dia merasa lebih menang!
"Telaga ini mengandung banyak keanehan, Nona." katanya bercerita. "Biarpun nampaknya tenang, akan tetapi orang bilang bahwa di bagian tertentu, telaga ini demikian dalamnya sehingga tak seorang pun manusia mampu mengukurnya. Kata orang lebih dari seratus tingginya pohon cemara, dan bahkan ada yang bilang bahwa ada bagian di mana terdapat terowongan yang menghubungkan air telaga ini dengan lautan di timur! Dan kadang-kadang, seperti lautan saja, telaga ini akan mengamuk, airnya bergelombang besar dan kalau sudah begitu, banyak perahu tenggelam dan banyak orang binasa. Juga, banyak pula binatang-binatang aneh seperti naga dan laln-lain bermunculan di telaga ini."
"Ihhh ?"!" Kui Hong kembali melirik ke kanan kiri.
"Tidak aneh kalau telaga ini menjadi gawat dan banyak dihuni setan, karena banyak roh penasaran berkeliaran di sini."
"Kenapa begitu?" Kui Hong mendesak, dan diam-diam ia mengisar duduknya mendekati Ibunya.
"Telaga ini selain menjadi tempat hiburan para pelancong, juga terkenal sebagai tempat orang membunuh diri, Nona."
"Bunuh diri" Mengapa ".?"
"Aih, banyak sekali sebabnya, Nona. Patah hati, karena ketakutan, karena malu dan sebagalnya. Sebagian besar wanita yang membunuh diri di sini."
"Maksudku, kenapa di sini?"
"Karena tempat ini amat dalam, sekali terjun, mereka yang tak dapat berenang tentu akan tewas. Dan airnya dingin sekali, juga amat dalam. Orang yang sudah tenggelam, sukar untuk diselamatkan orang lain. Hanya mereka yang pandai renang sajalah yang tidak mati kalau sampai terlempar ke air. Baru kemarin dulu ada sepasang orang muda membunuh diri di sini. Aih, kasihan sekali, masih muda remaja, seusia Nona ".."
Melihat puterinya nampak ketakutan, Sui Ceng cepat berkata. "Sudahlah, jangan bicara tentang hal yang bukan-bukan. Antarkan kami ke tepi, kami hendak mengaso, malam telah mulai tiba."
"Baik, Toanio dan maafkan saya." Tukang perahu itu girang sekali dan cepat mendayung perahunya kembali ke tepi. Senang sekali kalau sudah terbebas dari dua orang wanita yang berani ini, yang tadi membuat dia ketakutan setengah mati karena diharuskan mendekati perahu kecil Si Peniup Suling. Masih heran dia mengapa laki-laki peniup suling itu tidak menggulingkan perahunya tadi, atau tidak membunuh nona yang menantangnya, bahkan bersikap ramah dan sopan. Bahkan Si Peniup Suling itu kelihatan takut. Ya, takut! Aih, jangan-jangan... kakek itu menjadi pucat mukanya sambi1 melirik ke arah Sui Cin dan Kui Hong. Ibu dan anak yang demikian cantik, bahkan yang lebih tua itu tidak patut menjadi ibu, cantik halus akan tetapi berani menantang Si Peniup Suling dan bertanya-tanya kepadanya tentang mahluk halus! Ih! Siapa tahu dua orang wanita ini malah mahluk halus yang sengaja menyamar dan mempermainkan dia.
Setelah tiba di tepi, Sui Cin dan Kui Hong meloncat ke darat, membayar tukang perahu itu dan pergi. Tukang perahu sejenak melongo sambi1 memandang uang yang berada di tangannya, setengah menduga bahwa uang itu tentu akan menjadi batu kerikil atau rumput seperti yang sering dia dengar dongeng orang-orang tentang pembayaran setan yang menyamar sebagai manusia. Dan mulai keesokan harinya, di antara tukang-tukang perahu di situ, tentu akan muncul dongeng baru tentang siluman yang menyamar sebagai dua orang wanita cantik menyewa perahu kakek itu, siluman yang berani menantang Si Tukang Suling yang ditakuti itu!
Ketika Sui Cin dan Kui Hong berjalan menyusuri telaga, tiba-tiba mereka lihat ribut-ribut di tepi sebelah depan, di mana sebuah perahu pelesir yang besar berlabuh. Mereka segera menghampiri tempat itu dan melihat betapa ada enam orang lakl-laki tinggi besar yang berpakaian tukang pukul rebah malang melintang dan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun berpakaian mewah nampak berlutut minta ampun kepada seseorang, dan tak jauh dari situ nampak seorang wanita yang melihat pakalannya tentu seorang gadls penyanyi, menangis.
Ketika Kui Hong dan Sui Cin memandang, ternyata kongcu berpakaian mewah itu berlutut sambil minta ampun kepada seorang pemuda yang bukan lain adalah tukang suling tadi! Kini sulingnya terselip di pinggang dan tangannya memanggul yang-kim, laki-laki itu berdiri menundukkan muka memandang kepada kongcu yang minta ampun.
"Hemm, minta ampun" Orang macam engkau ini sepatutnya dilempar ke telaga biar dimakan ikan! Menggunakan kedudukan dan harta untuk menghina orang lain saja kerjanya! Boleh, aku beri ampun akan tetapi engkau harus mengganti kerugian kepada nona itu sebanyak seratus tael perak, dan mengantarkan ia kembali ke tempat tinggalnya dan jangan sekali-kali engkau berani mengganggunya. Kalau perintah ini tidak kaulaksanakan, besok aku akan datang mengambil kepalamu!"
"Baik, Tai-hiap (pendekar), baik eng-hiong (orang gagah), baiklah, akan saya penuhi perintah Taihiap ?"" Kongcu itu meratap.
"Laksanakan!" Bentak pemuda itu dan sekali kakinya menendang, tubuh kongcu itu terguling dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap di antara banyak orang yang merubung di situ.
Kongcu itu meratap kesakitan, akan tetapi lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengantar gadis penyanyi yang menangis itu setelah memberinya uang sebanyak seratus tael perak! Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong tertarik sekali. Mereka mendekati seorang kakek yang berada di situ dan bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi.
Kakek itu memandang kepada Sui Cin dan puterinya. "Agaknya Ji-wi bukan orang sini, ya?"
"Benar, Lopek, kami pelancong. Apakah yang terjadi tadi?"
"Mari kita bicara agak jauh di sana." kata kakek itu dan mereka pun berjalan menjauhi tempat itu. Setelah jauh dan kiranya tidak terdengar orang lain, kakek itu bercerita. "Kongcu itu adalah Lui-kongcu, seorang kongcu putera jaksa di kota ini yang mata keranjang dan hampir setiap tiga hari sekali pelesir di sini. Dia tidak dapat membedakan mana perempuan yang mau dibegitukan dan mana tidak, karena terlalu mengandalkan kedudukan dan uangnya. Gadis penyanyi tadi bukan pelacur, akan tetapi dia hendak memaksa gadis itu ikut bersamanya dan melayaninya. Gadis itu tidak mau dan menangis, lalu muncul pemuda peniup suling tadi. Ter jadi perkelahian dan seperti Ji-wi lihat, enam orang tukang pukul kongcu itu dihajar sampai babak belur dan kongcu itu sendiri dipaksa membayar seratus tael perak. Hemm, memang menyenangkan sekali kami kaum kecil ada yang membela."
"Lopek, siapakah sebenarnya pemuda peniup suling itu tadi?" Sui Cin kembali bertanya.
"Jangan tanya padaku. Bagaimana kami bisa tahu" Tempo hari dia muncul dan menggulingkan perahu kongcu hidung belang yang kurang ajar, kini dia muncul begitu saja menolong gadis penyanyi dan menghilang begitu saja. Aku tidak akan merasa heran kalau dia ".." kakek itu tidak melanjutkan, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah telaga dengan pandang mata penuh arti.
"Kaumaksudkan ?". mahluk halus penunggu telaga?" tanya Sui Cin.
"Ssst ....." kakek itu berbisik, "Nyonya sudah tahu, tak perlu dibicarakan lagi.... "
Dan dia pun pergi dengan tergesa-gesa. Hampir Sui Cin tertawa bergelak melihat sikap dan bicaranya, akan tetapi karena Kui Hong kelihatan ketakutan dan gadis itu sudah memandang ke kanan kiri, ia pun diam saja.
"Mari kita kembali ke penginapan." katanya dan Kui Hong hanya mengangguk. Di dalam perjalanan menuju ke penginapan yang berada tak jauh dari telaga, di tepi sebelah sana, Sui Cin berkata, "Takkusangka kiranya pemuda itu adalah seorang pendekar pembela kaum lemah. Sungguh mengagumkan sekali."
"Hemm, belum tentu, Ibu."
"Belum tentu bagaimana?"
"Siapa tahu dia itu... dia itu ...." Kui Hong tidak melanjutkan melainkan menuding ke telaga seperti yang dilakukan oleh kakek yang menceritakan mereka tentang perkelahian tadi sehingga Sui Cin tertawa.
Setelah mereka tiba di dalam kamar penginapan Kui Hong masih nampak takut dan ngeri. "Ibu, katakanlah, sebetulnya setan dan siluman itu ada ataukah tidak?"


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana aku tahu?" jawab ibunya dengan suara wajar, bukan bergurau lagi.
"Kenapa Ibu tidak tahu?"
"Anakku yang baik, kalau Ibu mengatakan tidak tahu, itu berarti Ibu jujur dan tidak mengada-ada. Memang Ibu tidak tahu, karena Ibu sendiri belum pernah bertemu dengan setan, walaupun sejak muda dahulu, Ibu ingin sekali dapat bertemu dengan setan."
"Ihh! Ibu ini aneh-aneh saja! Ingin bertemu dengan setan ?"
"Benar, kalau dapat bertemu kan dapat kita ajak dia bercakap-cakap menceritakan hal-hal yang belum pernah kita ketahui, tentang dunia setan, tentang kehidupannya dan lain-lain. Menarik sekali, bukan" Dan kalau Ibu sudah bercakap-cakap dengan setan sendiri, barulah aku dapat menjawab pertanyaan setan itu ada atau tidak. Selama ini yang kuketahui tentang setan hanyalah melalui dongeng dalam buku atau mendengarkan cerita orang. Dan yang mendongeng kepadaku itu pun tentu mendengar pula dari lain orang, dari mulut ke mulut. Belum tentu di antara seribu orang yang mendongeng tentang setan itu pernah melihat atau bertemu sendiri dengan setan yang sesungguhnya."
"Kalau begitu, apakah ada setan yang palsu" Dan mengapa banyak orang mengatakan mereka pernah melihat setan, bahkan tempat ini angker tempat itu gawat menjadi tempat yang dihuni mahluk halus?"
"Tentu saja, karena yang biasa dilihat orang-orang itu adalah penglihatan khayal sendiri yang timbul dari rasa takut. Orang yang takut tentu akan dapat melihat benda-benda aneh dan menakutkan, yang sesungguhnya hanya benda biasa saja. Sebatang pohon akan nampak seperti setan raksasa di waktu malam bagi orang yang sudah ketakutan akan setan. Kalau batin sudah takut, sudah kacau balau, tentu saja panca indera juga menjadi lemah dan kacau. Setan-setan yang nampak karena khayal inilah yang ku maksudkan bukan mahluk halus yang sesungguhnya, melainkan hanya pantulan dari setan yang sudah digambarkan di dalam benak sendiri. Rasa takut seperti itu adalah suatu kebodohan, bukan" Takut akan sesuatu yang sama sekali tidak kita ketahui! Kenapa mesti takut" Kepercayaan akan setan membuat orang menjadi takut dan tahyul!"
"Tapi, apakah Ibu sendiri tidak percaya akan adanya setan?"
Ceng Sui Cin tersenyum. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak tahu apakah setan itu ada ataukah tidak. Kalau kukatakan ada, buktinya aku belum pernah bertemu dengannya. Kalau kukatakan tidak ada, bagaimana mungkin kalau aku tidak tahu akan keadaannya" Siapa tahu dia ada namun tidak nampak" Jadi, lebih tepat kalau kukatakan tidak tahu saJa."
"Tapi Ibu tidak takut?" .
Ibunya menggeleng kepala. "Tentu saja tidak. Kenapa mesti takut kepada setan yang belum pernah kutemui?"
"Kabarnya, setan itu amat jahat. Bukankah orang-orang jahat dinamakan setan, iblis dan siluman?"
"Yang jahat adalah manusianya, ini jelas. Apakah setan itu jahat atau tidak, aku pun tidak tahu. Mungkin saja orang jahat itu digerakkan setan, akan tetapi yang nampak adalah orang itu sendiri. Orang yang jahat inilah yang harus kita hadapi dengan hati-hati, mereka inilah yang berbahaya, bukan setan-setan yang tidak nampak. Sudahlah, Kui Hong, perlu apa kita bicara tentang setan-setan" Yang lebih menarik bagiku bukan cerita dan dongeng tukang perahu tentang setan, melainkan pemuda itu sendiri. Dia amat menarik hati. Sudah kusangka bahwa dia bukan orang biasa. Kepandaiannya memainkan musik, membuat sajak yang indah, kemudian cerita tentang dia menggulingkan perahu para kongcu kurang ajar. Ternyata memang benar dan kita melihat sendiri betapa dia membela gadis penyanyi itu dari tekanan seorang kongcu hidung belang."
"Sayang dia tidak menanggapi ketika kutantang. Aku ingin mencoba sampai di mana kelihaiannya. " kata Kui Hong penasaran.
"Hushhh, jangan begitu, Kui Hong! Kita harus selalu melihat dan mempertimbangkan baik-baik dengan siapa kita berhadapan. Bukan asal ada orang pandai ilmu silat lalu kita tantang untuk mengadu ilmu! Bukan itu tujuan mempelajari ilmu silat, anakku. Kalau kita berhadapan dengan orang jahat dan kuat yang melakukan penindasan terhadap kaum lemah, boleh kita turun tangan menentangnya seperti yang dilakukan pemuda peniup suling itu. Akan tetapi kalau bertemu dengan seorang pendekar, tidak sepantasnya kalau kita menantangnya. Kecuali tentu saja kalau kita ditantang untuk mengadakan pi-bu (adu silat) yang berdasarkan persahabatan, bukan perkelahian."
"Aku juga tidak memusuhinya, Ibu, setelah tahu bahwa dia seorang pendekar. Hanya ingin menguji sampai di mana kepandaiannya."
Mereka tiba di kamar dan malam itu Kui Hong agak gelisah tak dapat tidur karena pikirannya masih membayangkan setan-setan, juga kadang-kadang nampak wajah pemuda peniup suling itu yang membuatnya penasaran. Tiba-tiba telinganya yang terlatih dan tajam itu mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng, seperti suara seekor kucing yang berjalan dengan lembut. Sebagai seorang ahli silat tinggi, Kui Hong merasa curiga dan ia pun sudah siap siaga, dengan seluruh urat syaraf menegang. Ketika ia melihat bayangan berkelebat di luar jendela kamar yang gelap itu, bulu tengkuknya tiba-tiba meremang karena ia teringat akan setan-setan. Jangan-jangan iblis yang lewat di depan jendela tadi, gerakannya demikian cepat dan bayangan itu pun makin lama semakin membesar! Kalau menghadapi lawan manusia, betapa pun lihainya, Cia Kui Hong takkan mundur setapak pun. Akan tetapi kalau harus melawan siluman, hliihhh, belum apa-apa bulu tengkuknya sudah meremang, tengkuknya terasa dingin dan jantungnya berdebar, tubuhnya agak gemetar! Matanya terbelalak memandang bayangan yang makin membesar di luar jendela. Dari kertas yang menempel jendela, dapat nampak bayangan itu, bayangan seorang lak-laki tentu karena tubuhnya nampak tegap, bukan seperti tubuh wanita walaupun bayangan itu tentu saja tidak nampak jelas.
Karena rasa takut akan bayangan yang disangkanya iblis itu, yang muncul dari dalam pikiran Kui Hong sendiri karena sarat dengan gambaran-gambaran tentang iblis, Kui Hong seketika kehilangan kegagahannya dan ia pun menyentuh kaki ibunya.
"Ibu, Ibu, bangunlah ".." bisiknya.
Sui Cin adalah seorang pendekar wanita. Ketidakwajaran sedikit saja sudah cukup untuk membuatnya tergugah dari tidurnya dan begitu sadar, ia pun sudah bangkit duduk dengan cepat.
"Ada apa?" bisiknya kembali.
"Lihat "..!" Kui Hong menunjuk ke arah jendela.
"Srttt... srttt ?"!!" Nampak sinar merah kecil meluncur dari tangan pendekar ini ke arah jendela dan ternyata ia telah menyerang bayangan itu dengan jarum-jarum merahnya yang amat lihai. Jarum- jarum keell Itu meluncur dan menembus kain dan kertas jendela, menyerang langsung bayangan yang berdiri diluar jendela, bayangan yang nampak sebentar besar sebentar kecil.
"Hemm ".!" Terdengar seruan kaget dan bayangan itu pun lenyap! Sekali melompat, Sui Cin telah berada di dekat jendela, membukanya dan meloncat keluar, dikuti oleh Kui Hong. Akan tetapi tidak nampak seorang pun di luar, dan lampu gantung yang berada di ruangan luar kamar itu bergoyang-goyang. Melihat betapa orang yang diserang ibunya itu selain dapat menyelamatkan diri, juga menghilang demlklan cepatnya, kembali Kui Hong bergidik.
"Dia tentu iblis, Ibu ".." katanya dan suaranya gemetar.
Sui Cin mengerutkan alisnya. Percuma kalau mengejar atau mencoba untuk mencari orang tadi karena tentu sudah bersembunyi dan menghilang dan kalau ia mengejar, tentu hanya akan menimbulkan keributan yang tidak menguntungkan saja. Ia lalu mendekati jendela dan meneliti ke bawah. Di bawah sinar lampu gantung, ia melihat jelas bekas sepatu di bawah jendela, menginjak lantai yang berdebu.
"Dia bukan setan, melainkan manusia biasa. Lihat telapak sepatunya di sini." katanya.
Kui Hong juga memeriksa tapak kaki itu. "Aih, betapa bodohku, Ibu. Kalau aku tadi tidak takut setengah mati dan langsung menerjang keluar, mungkin aku dapat menangkapnya. Akan tetapi... hiiih, kenapa bayangannya dapat membesar mengecil seperti itu" Kalau bukan setan ....."
Sui Cin tersenyum. "Permainan sinar lampu, Kui Hong. Masuklah dan kaulihat bayanganku di balik jendela."
Kui Hong melompat masuk kamar, menutupkan daun jendela dan ketika ia melihat, benar saja, bayangan ibunya menjadi kecil, kemudian membesar, persis seperti bayangan orang tadi. Ibunya masuk.
"Mengertikah engkau" Lampu itu tergantung di sana. Kalau orang itu mundur dari jendela mendekati arah lampu, tentu saja bayangannya menjadi besar dan kalau dia menjauhi lampu, tnenghampiri jendela, bayangannya mengecil."
Ingin rasanya Kui Hong menampar kepalanya sendiri. "Betapa tololnya aku, Ibu! Sungguh mati, tadi kusangka dia seorang iblis. Untung aku tidak mengompol saking seram dan takutku!" Gadis itu cekikikan teringat akan ulahnya sendiri.
"Nah, itulah. Jangan mudah membiarkan batin dicengkeram rasa takut! Takut timbul karena keraguan dan ketidakmengertian. Kalau ada sesuatu, selidiki saja dulu agar tidak menimbulkan keraguan dan ketakutan. Rasa takut memang membuat batin menjadi tumpul dan orang dapat melakukan hal yang lucu-lucu, aneh-aneh dan tolol sekali."
"Tapi, siapakah orang itu, Ibu?"
"Aku tidak tahu. Jelas seorang laki-laki, dan tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup baik. Kalau tidak, tentu dia sudah terkena serangan jarum-jarumku tadi. Mungkin seorang pencuri biasa yang memiliki sedikit kepandaian. Serangan jarum itu pun tidak terlalu berbahaya karena sudah menembus kain dan kertas jendela, dan aku pun tidak bermaksud mencelakai orang yang belum diketahui jelas kesalahannya."
"Akan tetapi dia telah mengintai kamar ini!"
"Mungkin, akan tetapi siapa tahu dia kebetulan hanya lewat saja" Sudahlah, sebaiknya mulai sekarang kita berhati-hati dan kau tidurlah."
Malam itu terlewat tanpa suatu gangguan lagi dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, mandi, sarapan pagi lalu berkemas karena mereka hendak melanjutkan perjalanan ke tenggara, menuju ke lautan selatan di mana terdapat Pulau Teratai Merah, tempat tinggal Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu ayah dan ibu Ceng Sui Cin.
Karena puterinya ingin melakukan perjalanan secepatnya, Sui Cin lalu membeli dua ekor kuda di tempat itu dan mereka lalu menunggang kuda mereka membalap menuju ke selatan. Menjelang senja, mereka sudah tiba di luar kota Siang-tan dan di jalan yang sunyi ini, di luar sebuah rawa, tiba-tiba bermunculan belasan orang laki-laki menghadang di tengah jalan dan ada pula yang memasang tali melintang setinggi dada. Melihat ini, terpaksa Sui Cin dan puterinya menahan kendali kuda mereka karena kalau mereka menerjang terus, kuda mereka akan tersangkut tali dan dapat menyebabkan kuda mereka terjungkal.
"Hemm, mau apa kalian menghadang perjalanan kami?" bentak Kui Hong marah dan ia sudah meloncat turun, membiarkan kudanya terlepas dan ia menghampiri mereka yang menghadang di tengah jalan.
Dua orang itu memandang kepada dua orang wanita ini dan mereka pun terbelalak penuh kagum. "Ha-ha, ada dua ekor domba mulus dan gemuk memasuki perangkap. Kawan-kawan, malam ini kita berpesta pora sampai kenyang!" kata seorang di antara mereka.
"Ha-ha-ha, dan mereka membawa dua ekor kuda yang bagus dan mahal."
"Dan lihat pakaian mereka, lihat perhiasan yang berada di leher dan sanggul mereka!"
"Dan dua buntalan besar itu banyak isinya!"
Maklumlah Sui Cin dan Kui Hong bahwa mereka berhadapan dengan perampok! Khawatir kalau-kalau puterinya membunuh orang, Sui Cin juga melompat turun dan berkata. "Kui Hong, kau pegangi kendali dua ekor kuda kita. Biar aku menghadapi mereka, siapa tahu mereka mengerti akan bayangan semalam."
Kui Hong merasa kecewa bahwa ia tidak boleh turun tangan sendiri menghajar perampok itu, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah ibunya. Ia lalu memegangi kendali dua ekor kuda agar tidak melarikan diri sambil melihat betapa dengan sikap tenang ibunya maju menghampiri orang-orang yang kasar itu.
"Heh-heh, yang muda seperti bunga sedang mekar, yang lebih tua seperti buah yang sudah masak. Keduanya cantik menarik, heh-heh!" kata orang tinggi besar muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin perampok. "Kawan-kawan, tangkap mereka jangan sampai terluka, yang muda berikan aku, yang tua biar untuk kalian semua."
Wajah Sui Cin sudah menjadi merah sekali karena marah, akan tetapi, dengan tenang ia maju terus. "Kalian ini orang-orang tak tahu malu, hendak merampok dua orang wanita yang sedang melakukan perjalanan. Apakah seorang di antara kalian semalam melakukan pengintaian di kamar hotel kami?"
Mendengar pertanyaan ini, orang-orang itu saling pandang, lalu Si Tinggi Besar muka hitam tertawa, diikuti pula oleh anak buahnya. "Manis, kalau aku menglntai kamarmu semalam, apa kaukira aku sudah melepaskanmu pula hari ini" Ha-ha-ha!"
"Plakk!" Tamparan tangan Sui Cin itu cepat bukan main, sampai tidak terlihat oleh kepala perampok itu. Demikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kiri itu sudah menampar pipi kanan Si Kepala Rampok yang merasa seperti disambar petir saja.
"Auhhh ".!" Tubuhnya terpelanting dan dia pun roboh, memegangi pipi kanan dengan kedua tangan. Pipi itu telah menjadi biru dan bengkak, mulutnya berdarah karena selain bibir kanannya pecah, juga semua giginya di bagian kanan telah copot! Hebat bukan main tamparan Sui Cin itu yang merasa marah karena ia telah dihina dengan kata-kata yang kotor.
Melihat kepala mereka dipukul roboh, sebelas orang perampok menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing, mengepung Sui Cin dan Kui Hong. Cadis ini berdiri tenang saja, masih memegangi kendali dua ekor kuda yang mulai nampak ketakutan karena sikap belasan orang itu. Si Kepala Perampok sudah bangkit lagi dan setelah kepalanya tidak pening lagi, dia pun mencabut goloknya.
"Bedebah, tangkap mereka! Serahkan perempuan ini kepadaku dulu, akan kuhancurkan ia sampai minta-minta ampun kepadaku."
Akan tetapi, dua belas orang itu bagaikan macan-macan ompong saja bagi Sui Cin. Tentu saja orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga dan kenekatan itu sama sekali bukan merupakan lawan yang tangsuh bagi Sui Cin. Siapa yang berani maju menyerangnya, tentu akan terpelanting terkena tamparan atau tendangan kakinya yang gerakannya amat cepat itu. Namun Sui Cin tidak mau membunuh orang dan tenaga yang dipergunakan dalam pukulan dan tendangan itu terbatas. Juga mereka yang menubruk ke arah Kui Hong kecelik. Dengan kedua kakinya, gadis ini menendang kanan kiri dan mereka yang terkena tendangan tentu roboh tersungkur.
Selagi para perampok itu kacau balau karena pukulan Sui Cin dan tendangan ibu dan anak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hentikan semua itu!"
Para perampok berhenti dan ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda yang datang menuntun seekor kuda putih, tiba-tiba saja mereka semua, dipimpin oleh Si Muka Hitam, menjatuhkan diri dengan muka berubah ketakutan.
"Can Kongcu (Tuan Muda Can), harap ampunkan kami "." kepala perampok itu meratap sambil berkali-kali bersoja (memberi hormat dengan merangkap kedua tangan) kepada pemuda itu.
Sui Cin dan Kui Hong juga memandang dan mereka terkejut ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda peniup suling yang mereka jumpai kemarin di Telaga Tung-ting! Mudah mengenal kembali pemuda ini, karena selain wajahnya yang tampan dan matanya yang mencorong itu mudah diingat, juga suling di ikat pinggangnya dan yang-kim di punggungnya mudah dikenal. Pemuda itu tidak mempedulikan para perampok yang berlutut mohon ampun padanya. Dia menoleh kepada Sui Cin dan Kui Hong dan agaknya baru dia mengenal lagi dua orang wanita ini. Cepat dia melepaskan kendali kuda yang dipegangnya dan menjura dengan sikap hormat kepada ibu dan anak itu.
"Ah, kiranya Ji-wi yang diganggu oieh tikus-tikus kecil ini. Selamat bertemu kembali, Bibi yang terhormat dan Adik yang manis."
Wajah Kui Hong menjadi merah dan ia mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda tampan itu, tidak nampak tanda bahwa pemuda itu main-main atau menggodanya atau berkurang ajar dengan sebutan adik manis tadi, maka ia pun tidak menjadi marah-marah.
"Mereka ini berlutut kepadamu, apakah engkau ini kepala perampoknya?" dara yang lincah dan galak ini mengejek, dan kalau benar dugaannya itu, tentu akan diserangnya pemuda ini, karena kini ia tidak akan dipersalahkan ibunya. Kalau pemuda ini kepala perampok, tentu ia boleh menyerang dan bahkan merobohkannya, walaupun ibunya selalu melarang agar ia jangan membunuh orang.
Mendengar pertanyaan itu, pemuda tadi tersenyum dan diam-diam Sui Cin merasa tertarik sekali. Ketika tersenyum, lenyaplah keangkeran dan wibawa yang ada pada pemuda itu, terganti keramahan dan kebaikan hati yang membayang lewat senyuman itu.
"Nona, mereka ini adalah tikus-tikus busuk yang tidak kukenal, akan tetapi bukan salahku kalau mereka kenal dan takut kepadaku karena memang di daerahku ini aku dikenal sebagai pembasmi tikus -tikus. Nah, karena tikus-tikus ini berkeliaran di daerahku dan telah mengganggu Bibi dan engkau Nona, katakanlah, apa yang harus kulakukan terhadap mereka?"
Kemelut Di Majapahit 10 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Misteri Kapal Layar Pancawarna 9
^