Pencarian

Pedang Naga Kemala 12

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


"Kalau tidak mau mengalah, lalu kau mau apa?"
"Mau apa?" Tee-tok melompat berdiri dan sikapnya menantang sekali.
"Hayo majulah, kaukira aku takut padamu?"
"Cacing pita! Akupun tidak takut!" San-tok juga melompat berdiri.
"Omitohud, kalian ini benar-benar seperti anak kecil."
Siauw-bin-hud tahu-tahu sudah berdiri di antara mereka.
"Harta karun belum ditemukan, perjuangan belum dilakukan, dan kalian
sudang ingin saling genjot dan saling bunuh sendiri" Pejuang-pejuang macam
apa kalian ini" Celaka, kalau semua pejuang seperti kalian, belum apa-apa kita
sudah kehabisan tenaga."
Dua orang kakek yang sudah saling melotot itu sadar dan keduanya duduk
kembali dengan muka merah.
"Wah, aku memang pelupa dan pemarah. Dia itu yang membikin darah
naik!" kata San-tok.
"Maaf, Siauw-bin-hud. Menghadapi orang macam dia itu memang bisa
bikin orang lupa daratan!"
Watak dan sikap dua orang datuk sesat ini memang menggelikan, seperti
anak-anak saja mereka itu. Akan tetapi, bukankah kita semua ini hanyalah
anak-anak yang besar tubuhnya saja" Apa bedanya kita dengan anak-anak"
Masih selalu memperebutkan sesuatu, masih cengeng, masih suka berkelahi,
mesih mengejar-ngejar kesenangan! Kalau orang yang susah menjadi kakek
berhadapan dengan anak cucunya, mungkin dia bersikap seperti seorang
kakek. Akan tetapi sikap ini sesungguhnya dipaksakan berhubung keadaan,
karena malu dan merasa tua. Akan tetapi, kumpulkanlah kakek-kakek itu
dengan teman-teman sebayanya, maka akan kembali menjadi anak-anak nakal!
Hal ini tentu dirasakan oleh kita semua yang mau melihat diri sendiri dan tidak
berpura-pura! Kita ini hanya anak-anak besar tubuhnya. Tubuh kita memang
tumbuh menjadi besar, akan tetapi batin kita kadang-kadang bahkan semakin
kecil, sarat dengan segala macam kepalsuan dan pamrih-pamrih tersembunyi,
sedangkan anak-anak belum mengenal kepalsuan dan pamrih-pamrihnya tidak
tersembunyi. Karena merasa bersalah, Tee-tok lalu memperlihatkan sikap berbaik
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kembali dengan San-tok. Memang para datuk sesat itu aneh wataknya. Mudah
tersinggung dan mudah marah sampai tega membunuh kawan, akan tetapi
juga tidak mendendam dan mudah melupakan perselisihan antara mereka.
"Hei, San-tok. Engkau sudah mempunyai seorang murid perempuan yang
baik, kenapa engkau mengambil murid perempuan bule itu" Untuk apa punya
murid seperti itu?" "Aih, kau tidak tahu! Siapa sudi mempunyai murid seperti itu" Akan tetapi
ini semua gara-gara ulah muridku Hong-Hong. Ialah yang memaksaku
menerima Diana sebagai murid, dan aku diakali olehnya, kalah janji. Kalau aku
tidak mau menjadi guru Diana, berarti aku menjilat ludah sendiri. Sialan!"
Mereka lalu bercakap-cakap dengan Siauw-bin-hud, membicarakan
keadaan tanah air dan berita-berita yang mereka dengar tentang gerakan para
pejuang, tentang kedudukan Koan Jit yang kuat dan tentang cita-cita mereka
untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu dan menghalau kekuasaan
asing kulit putih. Sementara itu, Diana, Ci Kong dan Kui Eng berjalan-jalan di kebun yang
luas itu. Mereka lalu duduk di ujung kebun, jauh dari kuil, di bawah pohon yang
rindang dimana terdapat bangku-bangku bersih yang seolah-olah tersenyum
mempersilahkan mereka duduk. Tempat itu memang nyaman sekali. Terdapat
rumpun bambu yang gemersik tertiup angin, setiap ujung daun bergerak
sendiri-sendiri seperti memiliki kehidupan pribadi, padahal merupakan
serumpun, dan semua garis, semua lengkung, semua warna, antara cahaya dan
bayangan, membentuk pandangan yang mengandung kesenian bernilai tinggi.
Mereka tadi sudah berkenalan sambil berjalan-jalan, dan hati Diana girang
sekali telah sempat berkenalan dengan penolongnya dan memperoleh sahabat
baru yang demikian cantik manis dan gagah perkasa. Diam-diam ia
membandingkan Kui Eng dengan Lian Hong, dan biarpun hatinya lebih
condong kepada sahabat lamanya itu, namun harus diakuinya bahwa teman
barunya inipun amat menarik dan mengagumkan.
"Ci Kong, sungguh aku minta maaf kepadamu atas peristiwa tadi. Aku tidak
berniat buruk sama sekali dan aku lupa diri."
Kui Eng tersenyum lebar melihat wajah pemuda itu menjadi merah sekali.
"Tentu saja engkau tidak berniat buruk dan perbuatanmu itupun tidak
buruk, bahkan manis sekali, Diana! Engkau tidak perlu minta maaf karena Ci
Kong tentu senang juga dengan perbuatanmu tadi."
Tentu saja Kui Eng berkata demikian untuk menggoda sehingga wajah
pemuda itu menjadi semakin merah.
"Sudahlah, Diana," Ci Kong berkata dengan halus, dan diapun merasa
dekat dengan gadis bule ini, karena selain pandai sekali berbahasa daerah,
juga gadis ini amat akrab, menyebut namanya dan nama Kui Eng begitu saja
sehingga mereka segera menjadi akrab dan dapat bercakap-cakap tanpa
sungkan-sungkan lagi. "Segala yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan untuk mengganggu
orang lain adalah tidak salah. Perbuatanmu itu kaulakukan karena kebiasaan
cara hidup di negeri dan bangsamu. Akan tetapi di sini, perbuatan itu bisa
dianggap tidak sopan, dan amat mengejutkan orang yang melihatnya."
"Aku tahu, tapi ketika aku melihatmu di sana, sungguh aku menjadi lupa
diri dan hanya menurutkan kegembiraan hati saja. Salahmu sih, dahulu itu
kenapa engkau pergi begitu saja tanpa pamit" Coba kaubayangkan, Kui Eng,
dia baru saja menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut, akan tetapi dia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan terus pergi tanpa pamit. Hati siapa takkan merasa menyesal" Maka begitu
bertemu, aku begitu gembira sampai lupa diri."
"Tentu saja, Diana," kata Kui Eng.
"Engkau tahu siapa Tan Ci Kong" Biarpun namanya saja cucu murid
locianpwe Siauw-bin-hud, akan tetapi dia adalah muridnya, murid tunggal
yang memiliki kepandaian tinggi. Dia seorang pendekar Siauw-lim-pai, dan
seorang pendekar besar memang selalu bertindak tanpa pamrih. Satu-satunya
yang mendorong perbuatannya hanyalah menentang kejahatan, melindungi
yang lemah, dan membela kebenaran dan keadilan. Setelah menyelamatkanmu, berarti tugasnya selesai, dan perlu apa dia menanti
balasan atau ucapan terima kasih?"
"Begitukah...?"
Diana memandang kepada Ci Kong dan matanya yang biru lebar itu
terbelalak penuh kagum. Mula-mula Ci Kong balas memandang, akan tetapi
melihat betapa mata biru amat indah dan lebar bening itu menatapnya seperti
itu, dia tidak berani lama-lama memandang. Sekarang dia mulai merasakan
keindahan dan kecantikan wajah gadis bule ini!
"Wah, kalau begitu para pendekar di sini lebih hebat dari pada para ksatria
dalam dongeng rakyat di negeriku!"
"Bagaimana dengan pahlawan-pahlawan dan ksatria-ksatria di
negerimu?" "Mereka juga pembela kebenaran dan keadilan, akan tetapi mereka masih
ingin memperoleh pahala, terutama sekali memperoleh hadiah gelar dan
puteri." Ia kembali memandang wajah pemuda itu.
"Jadi para pendekar di sini yang selalu siap menyumbangkan tenaga
dengan taruhan nyawa untuk membela kebenaran dan keadilan, selalu tidak
pernah menerima balas jasa apapun?"
Kui Eng menggeleng kepala.
"Kalau menerima balas jasa itu namanya bukan pendekar, Diana. Seperti Ci
Kong ini, bukan hanya tak pernah menerima balas jasa, bahkan sering
menerima air tuba sebagai balas air susu yang diberikan."
"Maksudmu?" "Dia menolong, akan tetapi yang ditolongnya membalasnya dengan
kejahatan." "Ah, mana mungkin?"
"Mungkin saja! Pernah dia menyelamatkan seorang gadis yang terancam
bahaya maut, akan tetapi gadis yang diselamatkan nyawanya itu, tidak
berterima kasih malah menyerangnya dan hampir membunuhnya..."
"Kui Eng...!" Ci Kong mencoba untuk mencegah gadis itu melanjutkan. Akan tetapi Kui
Eng tersenyum, dan berkata.
"Menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, tidak ada salahnya."
"Ah, aku tidak percaya. Mana ada orang yang begitu jahat, diselamatkan
nyawanya malah menyerang dan hampir membunuh penolongnya dan tidak
berterima kasih" Tidak mungkin, mana ada orang seperti itu?"
"Inilah orangnya!" kata Kui Eng sambil menunjuk dada sendiri.
"Ci Kong ini pernah menolongku ketika aku dikepung pasukan pemerintah.
Aku sudah terluka dan kehabisan tenaga dan jatuh pingsan ketika Ci Kong
menolongku, membawa aku keluar dari kepungan dan menyelamatkan aku dari
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ancaman maut. Kalau tidak ada dia yang turun tangan, tentu aku sudah mati.
Akan tetapi begitu siuman dari pingsan, aku lalu menyerangnya mati-matian!"
"Ihhh...!" Diana berseru kaget dan mengerutkan alisnya.
"Jangan mudah dibohongi, Diana," kata Ci Kong sambil tertawa.
"Kui Eng melakukan serangan itu tanpa disadarinya. Ia mengira bahwa
saya seorang musuh, maka ia menyerang mati-matian. Setelah ia tahu bahwa
saya bukan musuh, kami lalu menjadi sahabat baik."
"Ah, kalau begitu aku mengerti. Aku tidak percaya orang seperti kau ini
demikian jahatnya, membalas kebaikan dengan kejahatan, Kui Eng."
Ia lalu memandang kepada Ci Kong dan sebuah pikiran membuat wajah
gadis bule ini berseri dan seperti biasa, ia langsung saja mengatakan apa yang
dipikirkannya itu. "Ah, kalian ini sungguh merupakan sepasang pendekar yang amat cocok!
Ci Kong seorang pemuda tampan dan gagah perkasa berwatak halus dan
budiman, sedangkan Kui Eng adalah seorang gadis yang cantik manis dan lihai
pula." Mendengar ucapan yang sama sekali tak pernah mereka sangka
dilontarkan begitu saja dari mulut Diana, Ci Kong dan Kui Eng saling pandang
dan muka mereka mendadak menjadi kemerahan.
"Aih, kau ini ada-ada saja, Diana! Mana mungkin aku disamakan dengan
pendekar ini" Dia adalah murid dari locianpwe Siauw-bin-hud, dia seorang
pendekar muda yang perkasa dari Siauw-lim-pai, sedangkan aku" Aku
keturunan jahat, dan aku murid seorang datuk sesat yang biasa berkecimpung
dalam dunia kejahatan. Diana, kau seperti membandingkan aku sebagai seekor
burung gagak dan dia sebagai seekor burung Hong."
"Nona... Kui Eng, jangan engkau berkata demikian."
Ci Kong cepat membantah. "Baik buruknya seseorang nampak dalam sepak terjang kehidupannya,
bukan dari keturunan atau perguruannya."
"Cocok!" Diana berkata sambil tertawa.
"Aku sudah mendengar banyak dari suci Lian Hong tentang Empat Racun
Dunia. Dan akupun sekarang menjadi murid seorang di antara mereka. Akan
tetapi, yang kupelajari adalah ilmu silatnya, bukan perbuatan jahat."
Tidak lama kemudian, muncul tiga orang kakek itu, mengajak murid-murid
mereka melanjutkan perjalanan. Tiga orang kakek itu sudah bersepakat. Santok hendak melanjutkan usahanya mencari harta karun. Tee-tok ingin
menyampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan agar menghentikan usaha
mereka merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit yang ternyata hanya
merupakan benda palsu. Sedangkan Siauw-bin-hud akan mengabarkan kepada
para tokoh besar di dunia para pendekar agar segala permusuhan pribadi
antara kaum persilatan dihentikan dulu sehingga seluruh kekuatan dapat
dipersatukan untuk perjuangan. Mereka berjanji akan saling bertemu kembali
kalau San-tok sudah berhasil menemukan harta karun.
Hati Ci Kong merasa berat harus berpisah dari Diana dan Kui Eng, dua
orang gadis yang amat menyenangkan hatinya itu. Di dalam perjalanannya
mengikuti Siauw-bin-hud kembali ke pusat Siauw-lim-si, Ci Kong
membayangkan wajah gadis-gadis yang pernah dijumpainya dan
membanding-bandingkan mereka. Dan harus diakuinya bahwa mereka semua
itu, Siauw Lian Hong, Ciu Kui Eng, Tang Ki, bahkan juga Diana, merupakan
gadis-gadis pilihan yang selain memiliki kecantikan-kecantikan khas, juga
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mempunyai watak-watak yang aneh dan menarik. Dia sendiri tidak tahu
apakah dia jatuh cinta kepada seorang di antara mereka. Dia tidak tahu
bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu! Akan tetapi harus diakuinya bahwa dia
merasa suka, kagum dan senang bergaul dengan mereka semua, dan kalau dia
disuruh memilih siapa di antara mereka semua yang paling hebat, sukarlah
agaknya bagi dia untuk menentukan.
Siauw Lian Hong seorang gadis yang cantik dengan sepasang matanya
yang lebar dan bersinar-sinar bening dan tajam, dengan wajahnya yang bulat,
pendiam, sederhana dan nampak cerdik dan gagah sekali. Ciu Kui Eng seorang
gadis yang manis sekali, matanya tajam, mukanya lonjong dengan mulut yang
manis sekali, galak, manja akan tetapi juga memiliki sikap dan wajah gagah
perkasa. Sukar dikatakan siapa di antara keduanya itu, Lian Hong dan Kui Eng,
memiliki bentuk tubuh yang lebih elok. Keduanya bertubuh padat, penuh,
langsing dan berkulit mulus. Tang Ki atau Kiki, jelita dan galak lucu, nakal
manja, ditambah manis dengan tahi lalat di pipinya, biarpun nampak galak dan
nakal, namun hatinya lembut sekali juga gagah perkasa dan pinggangnya
ramping bukan main, agaknya dapat dilingkari dengan jari-jari tangannya. Dan
Diana" Wah, gadis ini memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Matanya biru
laut, rambutnya yang seperti benang emas, kulitnya yang putih kemerahan
dengan bulu-bulu halus sekali, tubuhnya yang tinggi ramping, sikapnya yang
terbuka, pendeknya, ada daya tarik yang amat kuat keluar dari diri gadis bule
itu. Akan tetapi, lamunannya itu dibuyarkan oleh suara gurunya atau juga
kakek gurunya yang berkata dengan nada suara lembut.
"Ci Kong, engkau sudah mendengar sendiri betapa pinceng sudah berjanji
untuk membagi tugas pekerjaan dengan para tokoh Empat Racun Dunia.
Bagian tugas pinceng adalah membujuk para pendekar di seluruh negara untuk
menghentikan permusuhan pribadi dan mau bekerja sama dengan segala
golongan, juga golongan sesat, untuk menyatukan tenaga untuk perjuangan.
Pinceng sudah terlalu tua, Ci Kong, dan selain belum tentu pinceng akan kuat
untuk melaksanakan tugas berat itu, juga pinceng ingin mengaso dan bertapa
lagi. Engkau wakililah pinceng melaksanakan tugas itu, pinceng akan bertapa
di dalam guha maut di bukit belakang kuil yang sudah kauketahui tempatnya.
Setelah melaksanakan tugas itu selama satu tahun, engkau boleh datang
memberi laporan kepada pinceng."
"Baik, su-couw, teecu akan mentaati perintah su-couw," jawab Ci Kong,
dan kakek itu lalu meninggalkan dia untuk kembali ke Siauw-lim-si pusat.
Ci Kong sendiri, lalu berangkat meninggalkan kuil kecil itu untuk
melaksanakan tugasnya yang baginya amat menyenangkan. Dia akan
mengunjungi dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw,
bukankah hal itu amat menggembirakan" Dengan penuh semangat, Ci Kong
lalu berangkat. -------Kita tinggalkan dulu para tokoh yang sedang berusaha untuk memupuk
kekuatan guna perjuangan itu, dan mari kita melihat keadaan Gan Seng Bu dan
para pejuang yang berkumpul dan tinggal di sebuah dusun sebelah barat
Kanton. Mereka itu menyamar sebagai penghuni dusun, bekerja sebagai
petani-petani biasa. Mereka berjuang dengan rahasia, kadang-kadang saja
mereka menyelundup ke kota-kota dan menyerang markas-markas pasukan
pemerintah penjajah. Gan Seng Bu tinggal pula di antara mereka, bersama


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan isterinya, yaitu Sheila. Suami isteri muda ini, walaupun berlainan bangsa,
berbeda kulit, namun ternyata mereka itu saling mencinta dengan murni. Sheila
yang mengagumi suaminya, kini sudah dapat menyelami cara hidup para
pejuang dan dianggapnya bahwa suami dan kawan-kawannya itu adalah
pendekar-pendekar yang gagah perkasa, yang patut dihormati. Ia merasa
kagum dan menghormati perjuangan suaminya dan para pejuang. Makin
nampak olehnya betapa jahatnya politik yang dianut oleh bangsanya sendiri,
yang demi mengeduk keuntungan sebanyaknya, tidak segan-segan untuk
meracuni sebuah bangsa dengan racun madat, bahkan kalau perlu menguasai
dan menjajah negara dan tanah air bangsa lain.
Cinta kasih yang dicurahkan oleh suami isteri ini telah menghasilkan benih
dalam kandungan Sheila. Ia sudah mengandung tiga bulan dan hal ini bukan
hanya menggirangkan suami isteri muda itu, akan tetapi juga mendatangkan
kegembiraan kepada para kawan seperjuangan, karena mereka itu rata-rata
sudah dapat menerima Sheila sebagai seorang kawan, berkat sikap Sheila yang
amat baik dan juga setia kawan. Kebahagiaan hidup sederhana mereka itu
agaknya tidak akan mengalami gangguan. Sama sekali Seng Bu dan isterinya
tidak sadar bahwa ada bayangan malapetaka semakin mendekati mereka!
Bahaya ini datang dari Koan Jit!
Seperti diketahui, Koan Jit merasa marah, kecewa dan penasaran sekali
karena dia gagal menangkap Diana. Apalagi ketika dia mendengar betapa anak
buahnya yang hendak menangkap Sheila telah dihajar babak belur oleh Gan
Seng Bu, hatinya menjadi semakin panas. Dia tahu bahwa dirinya menjadi
incaran para tokoh di seluruh kang-ouw yang ingin merampas Giok-liong-kiam.
Dia sendiri, sekian lamanya memiliki Giok-liong-kiam akan tetapi belum juga
mampu menemukan rahasia pusaka itu, rahasia yang sudah didengarnya
bahwa pusaka itu menyembunyikan rahasia harta karun yang besar. Sudah
dicobanya berbagai macam, namun senjata pusaka itu sama sekali tidak
memperlihatkan tanda-tanda menyimpan rahasia! Dan dia tahu bahwa dirinya
diancam oleh banyak tokoh-tokoh besar yang lihai, yang ingin sekali merampas
pusaka itu. Dan dianggapnya berbahaya sekali baginya, di samping Empat
Racun Dunia, juga dua orang sutenya yang telah menguasai ilmu-ilmu yang
pernah dipelarinya. Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu! Dua orang sute ini
merupakan saingan yang cukup berat dan berbahaya, dan kalau mungkin harus
segera disingkirkan dari muka bumi!
Inilah sebabnya, ketika dia mendengar betapa anak buahnya dihajar oleh
seorang pendekar bernama Gan Seng Bu yang telah menikah dengan seorang
gadis bule, dia menjadi marah akan tetapi juga girang. Dia telah menemukan
dimana sembunyinya sutenya itu. Untuk menyerang ke dusun itu dia tidak
berani. Dia maklum bahwa tentu Gan Seng Bu yang terkenal sebagai seorang
pejuang penentang pemerintah penjajah itu tidak sendirian di dusun itu,
melainkan dengan kawan-kawan seperjuangan. Kalau dia menyerbu, selain
belum tentu akan dapat menang karena dia belum mengetahui kekuatan
musuh, juga tentu Gan Seng Bu akan lebih mudah melarikan diri. Dan dia
memerlukan sutenya itu untuk dibunuhnya, dan diapun merasa iri bahwa
sutenya itu telah dipilih oleh seorang gadis bule yang katanya cantik sekali. Dia
harus membunuh sutenya dan merampas wanita itu! Maka, Koan Jit yang
selain lihai ilmu silatnya, juga benaknya penuh dengan tipu muslihat itu lalu
mengatur siasat. Dusun yang ditinggali para pejuang itu dapat dibilang merupakan dusun
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pejuang. Penduduk dusun yang tadinya bukan pejuang, begitu melihat
keadaan para orang gagah itu, merasa tertarik dan bangkit semangat mereka,
bahkan para mudanya lalu belajar ilmu silat dari para pendekar dan mereka ikut
pula berjaga, bahkan banyak yang sudah ikut aktip kalau kelompok itu
mengadakan serangan dan gangguan pada kesatuan-kesatuan tentara
kerajaan. Mereka bertempur secara gerilya, menyerbu selagi lawan lemah dan
melarikan diri berpencar dan lenyap ke hutan-hutan kalau musuh sudah
mampu mengumpulkan kekuatan yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka.
Bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa-bawa senjata api, yang
dapat mereka rampas dari orang-orang kulit putih atau para perwira kerajaan.
Dan Sheila berjasa dalam urusan senjata api ini. Ia banyak tahu tentang senjata
ini dan ia melatih para pejuang cara mempergunakan senjata api.
Pada suatu hari, para pejuang sedang sibuk menggarap sawah. Kalau tidak
berjuang, mereka itu bukan bermalas-malasan, melainkan bersama para petani
menggarap sawah karena dari situlah mereka memperoleh ransum. Pagi-pagi
itu, terdengar suara derap kaki kuda dan hal ini tidak aneh karena para pejuang
itupun mempunyai banyak kuda dan banyak penunggang kuda keluar masuk
dusun itu. Akan tetapi, ketika para penghuni dusun itu melihat bahwa dua
orang penunggang kuda yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu
merupakan dua orang pria yang tidak mereka kenal, beberapa orang pemuda
segera berlompatan dan sudah menghadang lalu mengurung dua orang
penunggang kuda itu dengan pandang mata penuh curiga.
Melihat diri mereka dikepung, dua orang laki-laki itu kelihatan gentar juga
dan mereka cepat mengangkat tangan dan seorang di antara mereka berkata
dengan suara lantang. "Saudara-saudara, kami datang bukan dengan niat buruk. Kami datang
sebagai utusan dari komandan pasukan Inggeris di Kanton!"
Mendengar ini, sudah tentu banyak mata melotot dan muka merah. Para
patriot itu, walaupun tidak memusuhi orang-orang kulit putih secara langsung,
namun di dalam hati mereka tidak suka kepada orang-orang kulit putih yang
menyebar racun madat, dan yang juga menduduki beberapa kota pelabuhan
setelah perang madat yang berakhir dengan kekalahan pihak pemerintah Ceng
yang lemah itu. "Kalian mata-mata orang bule!"
"Tangkap saja!"
"Bunuh saja!" Dua orang penunggang kuda itu menjadi pucat dan seorang di antara
mereka cepat mengeluarkan sebuah sampul panjang dan berteriak.
"Kami datang diutus untuk menyerahkan surat ini kepada nona Sheila
Hellway...!!" "Di sini tidak ada nona Sheila Hellway, yang ada ialah nyonya Gan Seng
Bu!" "Jangan dengarkan ocehan mereka!"
"Awas, mereka tentu mata-mata yang membawa pasukan di belakang
mereka!" Untung pada saat itu, saat yang gawat bagi dua orang utusan ini, muncul
Sheila yang cepat berseru.
"Kawan-kawan tahan dulu! Coba berikan surat itu kepadaku. Akulah Sheila
Hellway!" Dua orang itu nampak lega dan seorang di antara mereka turun, lalu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menyerahkan surat bersampul panjang itu kepada Sheila. Orang kedua masih
duduk di atas kudanya, agaknya siap untuk segera melarikan diri kalau ada
bahaya mengancam. Para pemuda dusun itu masih mengepung dan semua
mata memandang kepada Sheila. Kalau saja pada saat itu Sheila memberi abaaba untuk menyerang, tentu dua orang utusan itu akan dikeroyok dan dibunuh
di saat itu juga. Sheila tidak mau bertindak sembrono. Dilihatnya dulu sampul itu dengan
teliti dan melihat sampul tercetak dengan alamat Kapten Charles Elliot sebagai
pengirimnya, diam-diam ia merasa terkejut. Namanya, Sheila Hellway, juga
tercetak rapi dan surat itu jelas bukan surat palsu. Dengan hati-hati lalu
dibukanya sampul surat dan sebelum membaca isinya, iapun meneliti cap
kebesaran Kapten Charles Elliot. Kembali aseli, apalagi isi surat dalam bahasa
Inggeris yang rapi itu menghapus semua kecurigaannya. Memang jelaslah
bahwa surat ini datang dari Kapten itu merupakan surat resmi! Dan begitu ia
membaca isinya, wajahnya berseri dan semua pemuda yang sejak tadi
mengamati itu, merasa lega.
"Kawan-kawan, dua orang ini memang utusan dari Kapten Charles Elliot
dan surat ini benar ditujukan kepadaku."
Mendengar ucapan itu, semua orang bubaran, hanya ada beberapa orang
menjaga dari jauh saja dengan sikap melindungi Sheila dan beberapa orang
lagi oleh Sheila dimintai tolong untuk memanggil suaminya yang sedang
bekerja di ladang. Kemudian Sheila mempersilahkan dua orang utusan itu
untuk memasuki rumahnya dan dipersilahkan duduk sambil menanti
datangnya Gan Seng Bu. Mendengar berita bahwa ada dua orang utusan dari komandan pasukan
kulit putih datang mengantarkan surat untuk isterinya, Gan Seng Bu menjadi
khawatir bukan main dan cepat dia berlari pulang tanpa mencuci kaki
tangannya yang masih berlepotan lumpur. Dengan ilmu berlari cepat, dia
langsung saja pulang ke rumahnya dan memandang dengan mata penuh
selidik ketika melihat dua orang laki-laki tinggi tegap sudah duduk di dalam
rumahnya. Melihat kekhawatiran suaminya, Sheila lalu menyongsong dan
menggandeng tangannya, lalu memperlihatkan surat itu.
"Aku menerima surat penting dari Kapten Charles Elliot," katanya dengan
halus dan tersenyum ramah untuk menghilangkan kekhawatiran suaminya.
Melihat sikap isterinya, memang hati Seng Bu menjadi agak lega dan dia
membalas penghormatan dua orang utusan itu dengan dingin saja. Pernah dia
menghajar sekelompok pasukan Harimau Terbang yang menyamar sebagai
orang biasa, dan diapun curiga apakah dua orang ini bukan anggauta pasukan
itu. Dugaannya memang tepat. Dua orang itu memang merupakan dua orang
anggauta pasukan Harimau Terbang golongan atas yang dipercaya oleh Koan
Jit untuk mengantarkan surat dari Kapten Charles Elliot itu dan memang inilah
siasat yang diatur Koan Jit!
Dua orang anggauta Harimau Terbang itu, walaupun belum pernah
merasakan sendiri kelihaian Gan Seng Bu, namun mereka berdua sudah
mendengar dari teman-teman mereka, apalagi mereka mendengar bahwa
orang muda yang tinggi besar dan gagah perkasa ini adalah sute dari pimpinan
mereka, tentu saja mereka merasa jerih bukan main.
"Apa maksudmu dia mengirim surat padamu?" tanya Seng Bu.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan PEDANG NAGA KEMALA ( GIOK LIONG KIAM ) Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Seperti biasa suaranya ramah dan halus kepada isterinya, akan tetapi
alisnya tetap berkerut karena dia merasa tidak enak hatinya. Isterinya
tersenyum, maklum akan kecurigaan suaminya terhadap bangsanya.
"Baik kuterjemahkan untukmu." Ia lalu membaca surat itu, sudah
diterjemahkannya dengan baik sekali.
Ternyata isi surat itu hanya pemberitahuan kepada nona Sheila Hellway
bahwa pemerintah Inggeris menganggap Mr. Hellway dan isterinya yang
gugur dalam keributan perang madat itu sebagai pahlawan-pahlawan, dan kini
pemerintah mengambil keputusan untuk minta pertimbangan Sheila, apakah
kuburan orang tuanya itu akan dipindahkan ke Inggeris, ataukah dimakamkan
kembali secara kehormatan militer. Dan untuk itu, diminta kehadiran Sheila ke
markas pasukan Inggeris di kapal, di pantai Kanton.
Dengan alis berkerut Gan Seng Bu bertanya.
"Isteriku, setelah engkau menerima surat seperti itu, lalu bagaimana
niatmu?" Sheila tersenyum, masih maklum bahwa suaminya tetap saja berkuatir.
"Tentu saja aku harus datang dan menghadiri upacara itu. Aku akan minta
agar makam orang tuaku dikubur di sini saja agar mudah bagiku untuk
sewaktu-waktu berziarah."
"Perlu benarkah engkau menghadiri" Bagaimana kalau engkau membalas
surat saja menyatakan keinginanmu itu?"
Sheila merangkul suaminya, tidak perduli di situ ada dua orang utusan yang
memandang mereka dan mencium lembut pipi suaminya. Seng Bu tidak merasa
canggung karena memang sudah biasa memperoleh perlakuan seperti itu dari
isterinya yang amat bebas memperlihatkan kasih sayangnya.
"Seng Bu, pemindahan kerangka orang tuaku amatlah penting, Bukan" Aku
harus menghadirinya sendiri, kalau tidak aku akan selalu merasa menyesal
kelak. Jangan khawatir, Kapten Charles Elliot tidak akan berani
menggangguku. Aku adalah warga negara Inggeris dan berhak penuh untuk
menentukan kemauanku sendiri. Harap jangan khawatir, tidak ada yang akan
berani mengganggu diriku."
Seng Bu masih mengeritkan alisnya, menoleh kepada dua orang utusan itu
dengan sinar mata mencorong sehingga dua orang itu menundukkan muka
dengan sikap jerih. Mereka merasa gentar melihat sinar mata yang mencorong
dari pendekar itu. "Kapan engkau akan pergi ke Kanton?" akhirnya Seng Bu bertanya, tidak
mempunyai alasan lagi untuk mencegah kepergian isterinya.
"Kurasa sekarang juga, Seng Bu. Hari masih pagi dan aku akan pergi
bersama mereka ini. Engkau tidak keberatan, bukan?"
Seng Bu memandang ragu, kemudian berkata dengan suara penuh
kepastian. "Sheila, aku tidak keberatan karena memang perlu sekali engkau
menghadiri urusan itu, akan tetapi aku akan mengawalmu kesana."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Seng Bu...!" Sheila membelalakkan matanya. Suaminya adalah seorang pejuang dan
tentu saja amat berbahaya bagi Seng Bu untuk muncul di dalam kota Kanton
dimana selain banyak terdapat pasukan kulit putih, juga terdapat pasukan
pemerintah yang tentu akan menangkapnya karena nama Seng Bu sudah
dikenal sebagai pemberontak.
Seng Bu tersenyum dan merangkul isterinya, mencubit dagunya dengan
mesra sambil berkata. "Jangan khawatir. Kalau mereka tidak mengganggumu, tentu mereka tidak
akan menggangguku pula. Selain itu, apakah engkau tidak percaya kepadaku
bahwa aku dapat membela dan melindungi diriku sendiri, termasuk dirimu?"
"Tapi itu berbahaya sekali, Seng Bu!"
"Tidak kalah besarnya dengan bahaya yang mengancammu, Sheila. Kita
pergi berdua atau kita tidak pergi sama sekali."
Sheila mengenal kekerasan hati suaminya. Ia berpikir bahwa di markas
Inggeris, ia akan mampu melindungi suaminya. Tak seorangpun di sana akan
berani mengganggu Seng Bu yang sudah menjadi suaminya, ayah dari calon
anak mereka. Kapten Charles Elliot adalah seorang gentleman tulen, tidak
mungkin mau bertindak curang. Maka iapun mengangguk.
"Baiklah, mari kita pergi bersama."
Mereka lalu berkemas. Kawan-kawan seperjuangan Seng Bu banyak yang
merasa cemas, mengkhawatirkan keselamatan mereka yang akan pergi ke
Kanton. Akan tetapi setelah Sheila mengemukakan pendapatnya, merekapun
merasa lega dan hanya memesan kepada Seng Bu agar berhati-hati.
Suami isteri ini menunggang kuda dan diiringkan oleh dua orang utusan itu,
menuju ke Kanton. Perjalanan itu berlangsung dengan selamat dan menjelang
senja, mereka memasuki Kanton. Benar saja, tidak ada gangguan dan
merekapun langsung menuju ke pantai dimana terdapat beberapa buah kapal
Inggeris yang besar dan diperlengkapi meriam-meriam besar. Banyak nampak
serdadu-serdadu Inggeris di pantai hilir mudik, dan banyak pula mata yang
menatap ke arah Sheila dengan sikap kurang ajar. Akan tetapi hal seperti ini
sudah biasa dihadapi Sheila, maka iapun pura-pura tidak melihat saja dan
bersama suaminya lalu dibawa ke atas sebuah perahu yang membawa mereka
langsung ke sebuah kapal besar yang tidak dapat menepi dan melepas jangkar
agak jauh di tengah lautan.
Kapten Charles Elliot sendiri setelah diberitahu, lalu keluar menyambut
kedatangan Sheila dan Seng Bu. Kapten ini menyambut Sheila dengan wajah
berseri, menjabat tangan Sheila dengan erat dan berkata dengan girang.
"Sungguh bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan sehat dan
selamat, nona Sheila Hellway. Berbulan-bulan lamanya kami dibuat gelisah
oleh berita tentang dirimu. Selamat datang di kapal kami!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sheila menyambut uluran tangan itu dan berkata dengan lembut dan ramah
namun suaranya tegas. "Kapten, saya bukan lagi nona Sheila Hellway, melainkan nyonya Gan Seng
Bu, dan inilah suami saya."
Sheila memperkenalkan suaminya dengan maksud agar kapten itu
menyambut suaminya sebagaimana mestinya. Akan tetapi, kapten itu hanya
menoleh dan memandang kepada Gan Seng Bu sejenak.
Seorang pemuda bertubuh tegap, berpakaian seperti petani sederhana,
masih lebih sederhana dari pada kuli-kuli pelabuhan, bagaimana dia sudi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menyambutnya seperti seorang tamu" Dia diam saja dan kembali memandang
kepada Sheila. "Nona Hellway, mari kita bicara di kantorku. Kita harus merundingkan
urusan pemindahan makam orang tuamu itu dengan para pejabat lain. Mari,
silahkan!" Dan dengan sopan sekali kapten itu memberikan lengannya untuk
digandeng Sheila. Tentu saja Sheila memandang ragu.
"Kapten, saya hanya mau bicara kalau disertai suamiku."
"Ahh, mana mungkin itu, nona" Urusan ini adalah urusan intern, urusan
dalam di antara bangsa kita sendiri dan amat penting. Biarlah dia menanti di
sini dulu, nanti kalau rapat yang kita adakan sudah selesai, engkau boleh
datang kembali menjemputnya di sini. Aku akan merasa canggung, tidak enak
dan akan menjadi buah tertawaan kalau dia diajak memasuki ruangan
perundingan." Sheila masih ragu-ragu, akan tetapi Seng Bu merasa tidak enak sendiri. Dia
dapat mengerti alasan-alasan yang diajukan oleh kapten itu, maka diapun
berkata. "Sheila, pergilah, biar aku menanti di sini."
Terpaksa Sheila menggandeng lengan Kapten Charles Elliot yang
mengajaknya menuju ke ruangan luas di ujung kapal dimana telah menanti
beberapa orang yang pakaiannya gemerlapan, yaitu orang-orang berpangkat
dari pasukan armada Inggeris yang berada di situ. Semua orang bangkit berdiri
dan memberi hormat ketika Sheila masuk, dan wanita ini yang sudah hampir
satu tahun hidup di antara orang-orang dusun sederhana, merasa betapa ganjil
dan anehnya sikap sopan santun dan hormat seperti itu yang kini nampak
seolah-olah merupakan sikap dibuat-buat saja. Mereka lalu mengambil tempat
duduk dan mulailah mereka merundingkan urusan pemakaman kembali
jenazah keluarga Hellway yang diangap gugur sebagai pahlawan!
Setelah mengikuti kepergian isterinya bersama Kapten Charles Elliot
sampai mereka lenyap di dalam ruangan kamar di ujung kapal, barulah Seng
Bu sadar bahwa dia tidak berdiri sendiri saja. Di sekelilingnya telah
berkerumun banyak orang, dan ketika dia menoleh karena ada sesuatu di
belakangnya yang menarik perhatiannya, dia tertegun karena dia telah
berhadapan dengan Koan Jit! Dia masih ingat benar wajah orang ini, orang
tinggi kurus memakai jubah kebesaran berwarna hitam, dengan sepasang
matanya yang seperti mata kucing, dengan wajahnya yang membayangkan
kekejaman dan kelicikan. Hanya kini, orang yang pernah dijumpainya satu kali
ketika orang ini datang di puncak Tai-yun-san dan mencoba kepandaiannya
dan kepandaian Ong Siu Coan, kemudian orang ini mencuri pusaka Giok-liongkiam, telah berubah pakaiannya. Mengenakan jubah seorang pembesar, dan
kepalanya juga memakai kopyah atau topi batok seperti topi yang biasa dipakai
oleh seorang pembesar Mancu, rambutnya dikuncir tebal dan ujungnya diikat
pita kuning, sikapnya congkak sekali. Dan beberapa orang yang berada di
dekatnya adalah beberapa orang opsir dan perajurit bule dan juga beberapa
orang yang mengenakan pakaian pasukan Harimau Terbang! Seng Bu sudah
dikurung! Menghadapi ancaman ini, Seng Bu sudah siap siaga dan melihat pemuda
itu memasang kuda-kuda, Koan Jit menyeringai.
"Huh, bocah sombong, apakah engkau masih ingat padaku?"
Seng Bu marah sekali. "Siapa tidak ingat padamu" Sekali saja melihat seorang murid murtad,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan seorang maling dan seorang pengkhianat yang curang, selamanya aku takkan
lupa!" Tentu saja Koan Jit marah sekali mendengar dirinya dimaki di depan
banyak orang. Dia segera meneriakkan aba-aba kepada para perajurit kulit
putih. "Tangkap orang ini!"
Seng Bu hendak memberontak, akan tetapi beberapa orang perajurit kulit
putih sudah mendorongkan pistol ke dadanya. Seng Bu maklum bahwa kalau
dia melawan dengan nekat, selain dia harus menghadapi Koan Jit yang lihai,
juga harus menghadapi senjata api yang tak boleh dipandang ringan. Apalagi
isterinya masih berada di situ, maka dia tidak melawan. Bahkan dia tidak
melawan ketika seorang serdadu Inggeris yang bertubuh tegap dan berkumis
menelikung kedua lengannya ke belakang dan memasang belenggu. Dia hanya
memandang kepada Koan Jit dengan mata berapi.
"Koan Jit, dengan alasan apa engkau menangkapku" Aku datang
mengantar isteriku yang diundang sebagai tamu oleh Kapten Elliot!"
Koan Jit tertawa menyeringai dan menekan tangan kirinya di atas langkan
besi di tengah kapal itu.
"Heh-heh, tentu saja. Nona Sheila Hellway memang menjadi seorang tamu
terhormat, akan tetapi engkau ini siapa" Engkau seorang pemberontak, engkau
seorang penjahat yang suka memusuhi golongan dan pasukan Inggeris!"
"Bohong! Fitnah! Aku datang mengantar isteriku, Sheila!"
"Engkau memata-matai kapal ini! Hayo jebloskan dia ke dalam kamar
tahananku di bawah!"
Seng Bu maklum akan datangnya bahaya maka diapun cepat
menggerakkan khikangnya dan berteriak.
"Sheilaaaa...!!"
Akan tetapi pada saat itu, Koan Jit sudah menotoknya sehingga pendekar
itu menjadi lemas tak berdaya lagi, tak mampu melawan ketika dia diseret
masuk ke tanpat tahanan di bagian bawah kapal.
Biarpun demikian, teriakan yang mengandung khikang amat kuatnya itu
telah menembus dinding tebal dan terdengar oleh Sheila. Tentu saja wanita ini
terkejut dan bangkit dari kursinya. Tadi ia asyik membicarakan tentang
pemindahan kerangka ayah ibunya, dan ia mengajukan permohonan agar
kerangka itu dikubur di daerah Kanton saja, jangan dibawa pulang ke Inggeris.
Juga Kapten Charles Elliot dan yang lain-lain bangkit berdiri ketika mendengar
pekik yang nyaring memanggil nama Sheila itu. Tentu saja Kapten itu sudah
dapat menduga apa yang terjadi, akan tetapi dia pura-pura berkata kepada
Sheila. "Akan kulihat apa yang terjadi di sana."
"Yang berteriak tadi suamiku!" kata Sheila, juga mengikuti kapten yang
sudah berlari keluar. Kapten Elliot dan Sheila, juga beberapa orang pejabat yang tadi ikut rapat,
mendengar keterangan dari beberapa orang penjaga bahwa teriakan tadi
memang teriakan Gan Seng Bu yang ditangkap dengan tuduhan sebagai
penjahat dan pemberontak.
"Suamiku ditangkap" Kurang ajar! Siapa yang menangkapnya" Kapten, apa
artinya semua ini!" bentak Sheila dengan mata terbelalak lebar dan marah
sekali. Kapten itu memegang lengan wanita itu.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Tenang dan bersabarlah, nona Sheila. Yang menangkap adalah perwira
Koan, kepala dari pasukan Harimau Terbang. Memang dia bertugas menjaga
keamanan dan melakukan pembersihan terhadap penjahat-penjahat dan
pemberontak-pemberontak, dan agaknya dia mengenal suamimu sebagai
seorang di antara pemberontak, maka lalu ditangkapnya."
"Akan tetapi, suamiku hanya melawan pemerintah Mancu! Dia bukan
penjahat, dan harus diingat pula bahwa dia datang untuk mengantar aku. Dia
seorang tamu yang harus dihormati, bukan ditangkap! Kapten, aku protes!
Suamiku harus dibebaskan sekarang juga!"
"Tenanglah, tenanglah. Aku yang menanggung bahwa kalau memang
suamimu tidak bersalah, dia akan segera dibebaskan. Sekarang, biarlah dia
mengalami pemeriksaan dari komandan Koan. Dia tidak akan diapa-apakan,
hanya ditanyai tentang penjahat-penjahat yang sudah banyak membunuh
orang-orang kita, dan yang sudah banyak membajak kapal-kapal kita pula.
Tidak patutkah dia ditanyai kalau memang dia dicurigai?"
"Tapi dia suamiku!"
"Benar, akan tetapi dalam urusan ini tidak dipandang siapa saja, nona
Hellway. Bahkan aku sendiri, kalau mencurigakan, bisa saja ditangkap dan
diinterogasi. Sabarlah dan tinggallah di sini selama satu dua hari sampai
selesai pemeriksaan terhadap Gan Seng Bu."
Karena dibujuk dan tidak berdaya membantah lagi, terpaksa Sheila
bersabar dan menanti, walaupun hatinya tidak karuan rasanya. Tak
seorangpun di antara mereka itu berani mengganggunya atau kurang ajar
kepadanya. Akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran terhadap suaminya. Ia
sama sekali tidak tahu bahwa semua itu adalah hasil siasat yang sudah diatur
sebelumnya oleh Koan Jit.
Koan Jit tidak berani menyerbu ke dusun dimana Seng Bu tinggal karena
maklum betapa kuatnya dusun yang penuh dengan para patriot itu. Dia
menghendaki Seng Bu, sutenya itu yang tahu akan Giok-liong-kiam dan tahu
pula akan pengkhianatannya terhadap Thian-tok, guru mereka. Dia harus
mampu menundukkan Seng Bu, kalau mungkin harus dibujuk atau dipaksa
untuk membantunya agar kedudukannya menjadi semakin kuat. Akan tetapi
kalau tidak mau dan pemuda itu berkeras, dia akan membunuhnya! Dan
ternyata siasatnya itu berjalan sesuai dengan rencananya.
Sheila dan Seng Bu datang seperti dua ekor kambing yang dituntun ke
dalam rumah jagal! Tentu saja siasatnya ini tidak diketahui pula oleh Kapten
Charles Elliot. Kapten itu menganggap bahwa usul Koan Jit untuk mengundang
Sheila untuk membicarakan tentang pemakaman kembali keluarga Hellway itu
sebagai hal yang sudah sepatutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa di
balik usul yang kelihatan baik sekali itu, tersembunyi pamrih demi kepentingan
pribadi Koan Jit. Kapten Charles Elliot merasa serba salah setelah mendengar tentang
ditawannya Seng Bu oleh Koan Jit. Dia lalu memanggil Koan Jit dan diajak
bicara empat mata dalam kabinnya. Setelah Koan Jit menghadap, dia segera
bertanya apa sebabnya Koan Jit menangkap Gan Seng Bu.
"Dia itu, bagaimana juga, adalah suami yang syah dari nona Sheila Hellway,
dan dia datang untuk mengantarkan isterinya memenuhi panggilan kami.
Kenapa engkau menangkapnya begitu saja" Kami menjadi merasa sangat tidak
enak terhadap nona Hellway," kata Kapten Charles Elliot.
Koan Jit tersenyum menyeringai. Dia tidak pernah benar-benar menaruh
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan hormat kepada atasan ini, karena di lubuk hatinya, dia tidak suka kepada
orang- orang bule, hanya mempergunakan mereka untuk mencapai cita-citanya
saja. "Kapten, maafkan kalau aku menangkapnya tanpa lebih dulu melaporkan
kepada kapten. Akan tetapi, Gan Seng Bu itu berbahaya bukan main. Dia lihai
dan kalau tidak didahului ditangkap, aku khawatir dia akan menimbulkan
bencana. Bencana besar sekali di sini."
"Bencana apa misalnya...?"
"Apa saja mungkin dia lakukan. Membunuh kapten misalnya, atau
melakukan hal hebat lainnya."
"Kau gila!" Kapten itu berseru marah dan tidak percaya.
"Tidak, kapten. Dia itu lihai bukan main, memiliki ilmu kepandaian silat
yang amat tinggi, dan hanya aku seoranglah yang dapat mengatasinya. Dia
seorang pemberontak besar, dengan kawan-kawannya dia membuat
persekutuan untuk memberontak terhadap pemerintah dan tentu saja kadangkadang juga melakukan gerilya terhadap pasukan-pasukan kita. Beberapa
pekan yang lalu, ketika anak buahku menyerbu ke dusunnya karena salah kira,
mengira isterinya itu nona Diana, anak buahku dihajarnya habis-habisan.
Bukankah berbahaya sekali orang seperti itu" Aku ingin meriksanya dan
melihat sampai dimana keterlibatannya dengan para penjahat yang Susa
mengacau di pelabuhan."
"Tapi... tapi" dia suami nona Sheila Hellway. Mau kauapakan dia" Jangan
kau membunuhnya." "Tidak dan belum lagi, kapten. Aku hendak menguras keterangan dari dia,
dan kalau mungkin, hendak membujuknya agar dia membantu kita. Bukankah
dengan demikian jauh lebih baik, bagi dia dan bagi nona Hellway. Coba kapten
bayangkan. Nona Hellway sebagai isterinya, tinggal di antara pemberontak
dan pembunuh-pembunuh itu. Kalau Gan Seng Bu mau bekerja sama dengan
kita, bukankah tepat sekali."
Kapten Charles Elliot sudah percaya penuh kepada Koan Jit yang lihai dan
cerdik, dan dia memang melihat kebenaran ucapan itu. Dia menganggukangguk.
"Akan tetapi jangan kau berbuat yang bukan-bukan. Jangan
membunuhnya. Kalau nona Hellway marah dan memprotes ke atasan, aku
sendiri bisa celaka."
"Aku tidak sebodoh itu, kapten. Dia akan kuperiksa dan kupaksa memberi
keterangan dimana kita bisa menemukan nona Diana Mitchell."
Kembali kapten itu mengangguk-angguk.
"Hemm" kalau begitu baiklah. Asal engkau tahu batas dan jangan siksa
dia. Dan bagaimana engkau begitu yakin bahwa Gan Seng Bu itu orang yang
memiliki kepandaian hebat sekali" Kulihat dia orang biasa saja."
Koan Jit tersenyum cerdik.
"Akulah orang yang paling tahu, kapten" karena dia itu adalah adik
seperguruanku sendiri."
"Ahhh...!!" Koan Jit tersenyum melihat betapa kapten itu terkejut dan kini kapten itu
tidak membatah lagi. Kalau orang yang ditawan itu adik seperguruan Koan Jit,
tentu lihai bukan main dan kalau begitu, urusan itu lebih bersifat intern
kekeluargaan antara saudara-saudara seperguruan.
"Baiklah, aku memberi waktu sampai besok sore. Harus selesai dan dia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan harus dapat dibebaskan, karena aku sudah berjanji kepada nona Sheila
Hellway." "Baik, kapten."
Koan Jit begitu yakin akan hasil baik siasatnya. Akan tetapi di dunia ini,
harapan lebih banyak menelurkan kekecewaan daripada kepuasan. Dia
menghadapi watak yang keras seperti baja dan semangat yang pantang
mundur dalam diri Gan Seng Bu, sutenya itu. Dia memang belum pernah
berkenalan dengan Seng Bu dan tidak tahu bahwa watak dari murid gurunya
yang satu ini berbeda dengan yang lain. Seng Bu yang baru satu kali
dijumpainya memiliki watak yang sama sekali tidak pantas menjadi murid
seorang datuk sesat seperti Thian-tok!
Seperti lajimnya pada tokoh-tokoh sesat atau semua anggauta golongan
hitam, kehidupan mereka hanya menjadi hamba dari pada nafsu-nafsu mereka.
Hidup mereka hanya untuk bersenang-senang, mengejar kesenangan dan
memenuhi semua keinginan dan kepentingan diri sendiri, tannpa
memperdulikan orang lain, bahkan kalau perlu menghancurkan orang-orang
lain yang dianggap sebagai penghalang dari tujuannya untuk menyenangkan
diri. Karena itulah, mereka itu suka melakukan segala macam pelanggaran,
tanpa memperdulikan kesopanan, kesusilaan, kehormatan, perikemanusiaan
ataupun dalam mengejar segala macam hal yang dikehendakinya. Dan karena
ini, mereka banyak melakukan kejahatan-kejahatan dan disebut golongan
hitam atau kaum sesat. Thian-tok sendiri adalah seorang di antara Empat Racun. Tentu saja dapat
dibayangkan betapa kejam dan jahatnya, betapa besar ambisi hidupnya dan
entah berapa banyak perbuatan keji yang pernah dilakukannya. Tentu saja
murid-muridnya juga demikian, termasuk Koan Jit, yang merasa paling tepat
menjadi murid Si Racun Langit itu. Dan tadinya dia mengira bahwa sebagai
murid Thian-tok, tentu Gan Seng Bu juga sama saja. Tentu mudah diajak
berunding dan bersekutu kalau dipameri kedudukan yang baik dan keuntungan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar bagi dirinya. Akan tetapi, kiranya Koan Jit sama sekali salah terka! Gan Seng Bu begitu
keras dan kuat dalam pendiriannya, membela kebenaran dan keadilan,
menentang penjajahan bukan untuk mencari kedudukan, melainkan bangkit
dari rasa patriotnya. Dan juga tidak sudi bersekutu dengan orang kulit putih
yang dianggap meracuni bangsanya. Bermacam akal dipergunakan Koan Jit
untuk membujuk, namun sia-sia belaka!
"Gan Seng Bu," katanya kehabisan akal.
"Bukankah engkau ini murid suhu Thian-tok" Dengan demikian, bukankah
engkau ini seorang suteku sendiri" Kenapa seorang sute tidak mau menurut
kata-kata seorang toa-suheng?"
Seng Bu yang dibelenggu pada sebuah pilar itu diikat lehernya, tubuhnya,
kaki dan tanggannya, sehingga dia tidak mampu bergerak, mencibirkan
bibirnya. "Koan Jit, engkau sendiri menyerang suhu dengan curang, mencuri Giokliong-kiam dan pernah menyerang aku dan suheng Ong Siu Coan, hampir
membunuh kami. Apa anehnya kalau sekarang aku melawanmu?"
"Goblok! Kalau engkau mau membantuku, engkau akan hidup mulia. Kelak
mungkin aku akan menjadi kaisar, tahukah kau" Dan engkau kelak dapat
menjadi menteri! Giok-liong-kiam berada di tanganku. Kalau kau membantuku
menghadapi mereka yang hendak merampasnya, dan kelak kita memperoleh
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan hasilnya, bukankah kita akan hidup makmur" Kenapa kau begini tolol dan purapura bersikap seperti seorang pendekar sejati" Engkau hanya murid Thian-tok,
seorang di antara Empat Racun Dunia. Jangan Sok aksi dan berlagak menjadi
pendekar!" "Sudahlah, Koan jit. Bebaskan aku, atau kalau memang engkau gagah, mari
kita bertanding secara gagah. Aku tidak takut kepadamu! Jangan kau
menggunakan kedudukanmu di sini menjadi anjing penjilat orang kulit putih,
untuk berbuat curang!"
"Plakkk"!"
Koan Jit menampar muka Seng Bu, akan tetapi yang ditampar sama sekali
tidak berkedip walaupun tamparan itu membuat pipinya menjadi merah.
Pada Saat itu, pintu kamar itu diketuk orang dari luar, Koan Jit menyumpah
dan membuka daun pintu. Kiranya seorang serdadu kulit putih yang muncul.
Dia memberi hormat secara militer kepada Koan Jit dan melaporkan bahwa
nona Sheila Hellway datang hendak bicara dengan dia. Wajah keruh Koan Kit
seketika menjadi berseri.
"Ah, ia datang " Baik, baik, silahkan ia masuk ke sini."
Serdadu itu melirik ke arah Seng Bu yang terbelenggu, lalu memberi hormat
dan membalikkan tubuhnya. Tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkan
Sheila yang wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan
kekhawatiran dan juga kemarahan. Sheila nampak cantik sekali pagi hari itu.
Rambatnya tersisir rapi, mukanya diberi bedak tipis dan kedua matanya seperti
bintang pagi. Gaunnya juga baru dan terbuka di kedua pundaknya,
memperlihatkan lekuk buah dadanya yang menggembung karena ia berada
dalam keadaan mengandung. Cantik dan segar berseri, membuat Koan Jit
diam-diam menelan ludahnya.
"Ah, nona Hellway. Silahkan masuk, silahkan?"
Koan Jit menyambut dengan sikap hormat dan ramah sekali. Akan tetapi
karena memang dia tidak memiliki wajah yang ramah ketika dia tersenyum,
senyum itu nampak dingin dan menyeringai aneh. Akan tetapi Sheila tidak
memperhatikan dan tidak memperdulikan sikap aneh itu, karena matanya
sudah mencari-cari ketika kakinya melangkah masuk. Iapun tidak sadar betapa
daun pintu sudah ditutup kembali oleh Koan Jit tanpa memperdulikan serdadu
bule yang tadi mengantar Sheila. Serdadu itu mengerutkan alisnya dan tetap
berdiri di luar pintu kamar itu.
Begitu memasuki ruangan yang agak luas itu dan melihat suaminya berdiri
dan terbelenggu di pilar, Sheila mengeluarkan jerit tertahan dan cepat ia lari
menghampiri Suaminya, lalu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada
Koan Jit dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
"Kenapa suamiku dibelenggu seperti ini" Hayo lepaskan belenggunya!"
bentaknya marah sekali. Koan Jit memperlebar senyumnya dan dengan sikap kurang ajar sekali dia
mengangkat kaki kanannya di atas kursi, menunjang dagu dan memandang
kepada wanita itu dengan sinar mata cabul.
"Kalau kau dapat, lepaskan sendiri, nona manis."
Baru ucapan itu saja sudah mengandung kekurangajaran, dan hal ini
dirasakan oleh Seng Bu. Pemuda ini dapat membayangkan bagaimana jahatnya
watak seorang seperti Koan Jit, maka diapun membentak.
"Koan Jit! Urusan antara kita jangan kaulibatkan dengan isteriku! Kalau
memang kau jantan, biarpun engkau masih kakak seperguruanku sendiri,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus. Jangan bersikap
curang, menangkap aku dengan bantuan serdadu Inggeris, kemudian hendak
melibatkan isteriku. Sheila, kau keluarlah dan jangan mencampuri urusan ini!"
Seng Bu sengaja bicara panjang lebar untuk memberi tahu isterinya akan
duduknya perkara mengapa dia sampai terbelenggu di tempat itu.
"Tidak!" Sheila berteriak dan marah sekali, maju menghampiri Koan Jit.
"Aku sudah mendengar tentang penjahat yang bernama Koan Jit ini!
Engkau murid durhaka, mengkhianati guru sendiri dan sekarang engkau
dengan curang menangkap adik seperguruanmu sendiri. Hayo bebaskan dia
atau aku akan melaporkan kepada Kapten Elliot!"
"Ha-ha-ha, mau lapor" Laporlah, nona manis, karena diapun sudah tahu
bahwa aku menangkap, suamimu."
"Bohong! Dia tidak akan menangkap suamiku! Koan Jit, hayo cepat
bebaskan dia. Tidak ada alasan bagimu untuk menangkapnya!"
"Tidak ada alasan" Dia pemberontak, dia memimpin kawan-kawannya
untuk menentang dan memusuhi orang kulit putih. Nona Sheila Hellway,
engkau sungguh tidak tahu malu. Engkau telah mengkhianati bangsamu
sendiri dengan menjadi isteri seorang musuh bangsamu. Seharusnya engkau
bersyukur bahwa engkau telah bebas dari orang ini dan berterima kasih
kepadaku!" "Tutup mulutmu yang busuk!"
Sheila membentak, semakin marah mendengar ucapan orang yang semakin
kurang ajar itu. Bagaimana ada seorang bawahan Kapten Elliot berani berkata
itu kepada dirinya. "Lekas bebaskan suamiku. Dia tidak berdosa, dia adalah seorang pendekar
besar, penentang penjajah."
"Heh-heh, murid guru kami Thian-tok, seorang datuk kaum sesat, mana
bisa menjadi pendekar" Dia tawananku, akan kubunuh, kusiksa atau kuapakan
saja adalah hakku. Engkau tidak bisa memaksaku membebaskannya, nona."
Wajah Sheila menjadi semakin pucat. Ia lari menghampiri suaminya dan
berusaha melepaskan belenggu-belenggu itu, akan tetapi mana mungkin
tangannya yang lemah itu dapat melepaskan belenggu yang demikian
kuatnya" Apalagi kedua tangan dan kaki itu dipasangi belenggu besi. Setelah
usahanya sia-sia belaka, Sheila lalu lari menghampiri Koan Jit seperti seekor
Singa betina yang marah karena anaknya diganggu.
"Jahanam! Bebaskan dia! Bebaskan suamiku!"
Dicobanya untuk memukuli dada dan muka Koan Jit. Akan tetapi laki-laki
ini hanya tersenyum saja, membiarkan dadanya dipukuli. Merasakan
kehangatan dan kelembutan tangan wanita itu, melihat betapa dada yang
nampak menonjol bersar itu naik turun, mencium kehangatan yang harum, tibatiba saja timbul nafsu berahi Koan Jit. Kenapa tidak" Dia benci sekali kepada
Seng Bu. Kalau Seng Bu tidak mau membantunya, dia tentu akan
membunuhmsute itu, dan sebelum dibunuh, apa salahnya kalau disiksa dulu,
disuruh menyaksikan isterinya yang hamil tiga bulan itu dia perkosa di depan,
matanya" Membayangkan kejahatan yang istimewa ini, sepasang mata Koan Jit
bersinar-sinar penuh kegirangan. Akan tetapi, dia masih ingat akan
keuntungan yang lebih besar lagi, maka ditangkapnya kedua tangan wanita itu
dengan tangan kanannya, ditelikungnya ke belakang sambil tersenyum.
"Lepaskan aku! Jahanam busuk, lepaskan aku!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Sheila meronta-ronta, tanpa hasil dalam cengkeraman tangan kanan Koan
Jit yang kuat. "Koan Jit, lepaskan isteriku, jangan ganggu dia! Demi Tuhan, akan kubunuh
kau kalau kau mengganggunya!"
Seng Bu juga berteriak dan meronta-ronta, akan tetapi betapapun lihainya,
dia tidak dapat melepaskan belenggu besi pada pergelangan kedua tangan
yang ditelikung ke belakang dan kedua pergelangan kakinya.
"Sute, sekarang kau pertimbangkan baik-baik. Engkau menerima usulku
agar membantuku, atau aku akan memperkosa isterimu di depan matamu."
Bukan main hebatnya ancaman ini bagi Seng Bu. Isterinya akan diperkosa
di depan matanya! Isterinya yang mengandung tiga bulan!
"Koan Jit" kau keparat jahanam...!!"
Dia terengah-engah memaki dan keringatnya keluar satu-satu, matanya
terbelalak melotot seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat orang yang
dibencinya itu. Sheila sendiri juga kaget setengah mati mendengar ancaman
itu. "Apa... usul bantuan apa itu...?" tanyanya gagap karena panik mendengar
dirinya akan diperkosa. Koan Jit tersenyum dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang cantik
itu. Muak rasanya perut Sheila mencium bau mulut yang busuk dari Koan Jit,
agaknya keluar dari giginya yang rusak.
"Nona, suamimu kuminta untuk membantu pemerintah Ceng dan juga
menentang para pemberontak dan membantu bangsamu, juga
membebaskanmu. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi, dihormati, apalagi
dia sudah menikah denganmu. Bukankah usul itu baik sekali" Bujuklah agar dia
mau, dan aku akan membebaskan suamimu dan membebaskanmu."
Hebat benar penekanan batin dari Koan Jit itu. Agaknya tidak ada pilihan
lain bagi Sheila dan suaminya kecuali menurut. Sheila memandang suaminya,
akan tetapi melihat wajah suaminya yang gagah perkasa dan membayangkan
semangat perjuangan yang meluap-luap, hati Sheila menjadi kuncup dan ia
tidak berani membujuk suaminya untuk menerima usul itu. Ia sendiri tidak
setuju kalau suaminya harus menjadi kaki tangan bangsanya yang jelas-jelas
mempunyai niat kotor terhadap Bangsa Cina itu, akan tetapi melihat betapa
mereka berdua terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, ia diperkosa
di depan suaminya kemudian suaminya disiksa dan dibunuh, rasanya mau ia
berkorban dan menerima usul Koan Jit.
"Koan Jit, manusia berwatak iblis! Kalau memang kau gagah perkasa,
jangan mengganggu wanita. Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai
seorang di antara kita mati tak bernyawa lagi. Dengan begitu barulah engkau
seorang gagah, bukan seorang pengecut hina yang namanya akan dikutuk
selama hidup." Seng Bu kembali memaki dengan marah.
"Benar, kami takkan menyerah. Bunuhlah kami, kami adalah orang-orang
gagah yang tidak takut mati, tidak seperti engkau ini, berjiwa tikus yang
curang!" Sheila juga memaki, terbawa semangatnya oleh sikap suaminya yang
gagah perkasa. Koan Jit bukan orang bodoh. Tadi dia melihat keraguan di wajah Sheila,
tanda bahwa wanita itu sudah mau tunduk dan menurut demi menyelamatkan
nyawa suaminya dan menyelamatkan diri sendiri. Mungkin gertakannya
kurang meyakinkan, pikirnya. Harus mereka ini diberi bukti bahwa
ancamannya bukan main main, dan pula melihat mulut yang bibirnya merah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan basah dan lidahnya yang nampak ketika bicara tadi demikian merah, juga
rongga mulut yang segar dengan gigi yang putih seperti mutiara, sudah timbul
berahinya. "Seng Bu, bagaimana kalau isterimu yang cantik ini kucium" Aku ingin
sekali menciumnya!" Berkata demikian, Koan Jit menundukkan mukanya. Sheila terbelalak dan
berusaha mengelak dengan membuang mukanya ke kanan kiri, akan tetapi
akhirnya mulut Koan Jit dapat menangkap mulutnya dalam sebuah ciuman
yang penuh nafsu berahi. Seng Bu mengerahkan tenaga untuk melepaskan belenggu, sampai
pergelangan tangan dan kakinya berdarah karena kulitnya terluka, namun
hasilnya sia-sia. Sampai lama Koan Jit mencium dan ketika dia melepaskan
ciumannya sambil tersenyum, Sheila terengah-engah dengan muka pucat.
"Bangsat kau, keparat jahanam terkutuk kau...!" ia memaki-maki dan
meronta-ronta. "Bagaimana, Seng Bu, engkau masih tidak mau menyerah dan ingin aku
memperkosanya di depan matamu?" Koan Jit mengancam lagi.
Sebelum Seng Bu sempat menjawab, tiba-tiba pintu depan terbuka dan
serdadu kulit putih yang tadi mengantar Sheila melangkah masuk. Dari luar dia
mendengar suara ribut-ribut dan mendengar pula teriakan Sheila. Ketika dia
masuk dan melihat betapa Sheila ditelikung kedua tangannya ke belakang dan
dipeluk oleh Koan jit, serdadu itu menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa
Koan Jit adalah orang yang sudah dipercaya oleh Kapten Elliot, bahkan
memperoleh pangkat perwira. Akan tetapi melihati seorang wanita kulit putih
dihina oleh Koan Jit, kemarahannya memuncak. Dengan geram, dia melangkah
menghampiri Koan Jit dan membentak.
"Lepaskan nona Hellway!"
Dan diapun menggunakan tangannya untuk menarik lengan Koan Jit yang
merangkul pinggang Sheila. Akan tetapi, sambil terkekeh, Koan Jit
menggerakkan kakinya menendang dan serdadu itupun terpelanting roboh!
Dalam keadaan marah dan penasaran karena Seng Bu belum juga mau tunduk,
Koan Jit menjadi pemarah dan dia tidak perduli lagi bahwa yang
menentangnya itu adalah seorang kulit putih. Serdadu itupun semakin marah
dan diapun meloncat bangun, lalu menerjang dan menerkam Koan Jit.
Koan Jit masih merangkul Sheila sambil mencengkeram kedua pergelangan
tangan wanita itu dengan tangan kanan. Akan tetapi untuk menghadapi
serdadu itu, dia cukup menggunakan tangan kirinya dan kedua kakinya. Kini
tangan kirinya menyambar ke depan ketika serdadu itu menubruk dan sekali
mencengkeram, dia telah merobek baju seragam si serdadu itu.
"Bretttt!" Baju itu robek dari leher sampai ke perut. Serdadu itu masih terus memukul,
akan tetapi kembali dia terpelanting karena tangan Koan Jit sudah
menamparnya. Berkali-kali serdadu yang masih penasaran itu menyerang
dengan nekat, akan tetapi hasilnya hanyalah tubuhnya jatuh bangun dan
pakaiannya robek-robek, babak belur dan benjot-benjol. Ketika dia masih
menyerang lagi, sebuah tendangan membuat dia knocked-out! Dia roboh
pingsan tak mampu bangkit kembali.
Kalau Koan Jit menghendaki, tadipun dengan sekali pukul dia sudah akan
mampu merobohkan serdadu itu untuk tidak dapat bangkit lagi. Akan tetapi
dia tidak bodoh dan tidak mau membunuh seorang serdadu kulit putih, karena
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan hal itu berarti dia mengundang bencana atas dirinya sendiri.
Akan tetapi keributan itu memancing perhatian para serdadu lain dan cepat
Kapten Charles Elliot diberitahu. Kapten itu terkejut dan marah, cepat berlari
memasuki kamar itu dan mencabut pistolnya ketika dia melihat seorang
serdadu kulit putih roboh pingsan dan Koan Jit masih mencengkeram Sheila.
"Koan ciangkun" bebaskan nona Hellway!" Kapten Charles Elliot
membentak dengan marah sambil menodongkan pistolnya ke arah dada Koan
Jit. Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, Koan Jit tidak gentar
menghadapi ancaman pistol itu. Akan tetapi dia tidak bodoh, tidak mau
melawan atasannya. Maka sambil menyeringai dengan senyum mengejek, dia
mendorong tubuh Sheila sehingga wanita itu terhuyung ke belakang. Sheila
lalu berlari menghampiri suaminya dan merangkul suaminya yang masih
dibelenggu sambil menangis.
"Kapten," kata Koan Jit membela diri.
"Kenapa kapten menghalangi aku yang sedang memeriksa tawanan?"
"Perwira Koan! Engkau memeriksa tawanan tentu saja boleh, akan tetapi


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa engkau memukuli seorang perajurit dan engkau menghina nona
Hellway?" bentak komandan itu dengan alis berkerut dan pistolnya masih
berada di tangannya, walaupun kini tidak lagi ditodongkan ke arah Koan Jit.
"Kapten, aku sedang memeriksa Seng Bu ketika nona ini datang, dan aku
sengaja menangkapnya untuk memaksa Seng Bu agar dia suka membantu dan
memperkuat kedudukan kita. Akan tetapi mereka ini malah mengeluarkan katakata menghina. Dan sebelum aku selesai dengan pemeriksaanku, datang pula
prajurit ini yang menyerangku. Terpaksa aku merobohkannya tanpa melukai
berat atau membunuhnya. Harap kapten ketahui bahwa aku melakukan semua
ini demi keuntungan kita.
"Bobong!" Tiba-tiba Sheila menjerit dalam Bahasa lnggeris kepada kapten
itu. "Dia hendak membunuh suamiku dan hendak memperkosa aku!"
Mendengar teriakan Sheila ini, kapten itu terkejut. Kalau begini, urusannya
menjadi repot dan gawat. Koan Jit merupakan tenaga yang amat baik, dan Gan
Seng Bu memang perlu diperiksa. Dia sudah mendengar bahwa suami Sheila
itu adalah seorang pemberontak dan pejuang. Akan tetapi sama sekali dia tidak
suka mendengar bahwa untuk memaksa tawanannya, Koan Jit sampai
mengancam hendak memperkosa Sheila, seorang wanita kulit putih!
Kapten Charles Elliot lalu menghampiri Seng Bu dan bertanya.
"Orang muda, bukankah perwira Koan mengajukan usul yang amat baik
padamu" Engkau membantu kami di sini dan hidup bahagia bersama isterimu
di sini. Kenapa menolak?"
"Maaf, kapten. Aku datang hanya mengantar isteriku saja, dan aku
mempunyai pendirian sendiri tentang perjuangan. Akan tetapi Koan Jit
menangkapku secara curang sekali."
Kapten Elliot lalu teringat akan satu cara untuk menyelesaikan urusan itu.
"Kalau dia tidak menangkap secara curang, akan tetapi kalian bertanding
satu lawan satu, bagaimana?" tanya kapten itu.
"Baik sekali! Aku akan menghadapinya, kapten. Bagi seorang gagah, mati
di dalam suatu perkelahian adalah suatu kehormatan! Aku akan melawannya
dan biarlah antara kami menentukan siapa yang akan mati dan siapa yang akan
hidup." dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Seng Bu!" Sheila merangkul suaminya dan menangis. Wanita ini sudah banyak
mendengar dari suaminya tentang kelihaian Koan Jit dan tentang
kecurangannya, maka tentu saja ia sangat khawatir sekali mendengar bahwa
suaminya akan diadu dengan manusia iblis itu.
"Sheila, jangan khawatir. Engkau tahu bahwa suamimu ini hidup di dekat
bahaya selalu, setiap saat bisa saja tewas dalam pertempuran. Akan tetapi
mati dalam perkelahian bagiku merupakan suatu hal yang menggembirakan.
Biarlah aku akan berusaha membalas penghinaan atas dirimu tadi, isteriku.
Dan andaikata aku kalah dan tewas, engkau sudah tahu apa yang harus
kaulakukan, bukan" Kita sudah seririg bicara tentang kemungkinan itu."
Sheila menahan kesedihan hatinya. Memang, ia tahu hahwa ia telah
menikah dengan seorang pejuang yang setiap saat bisa saja menjadi korban
perjuangan dan gugur. Dan mereka sudah seringkali bicara di waktu tidur
mengenai kemungkinan ini. Kalau suaminya gugur, ia akan merawat
kandungannya sampai terlahir, dan mereka sudah sepakat bahwa anak yang
akan terlahir itu tidak akan dibawa ke inggeris. Bahkan andaikata ia terpaksa
pulang ke inggeris, anak itu akan ditinggalkan di tanah airnya, di negeri Cina
dan akan diserahkan kepada kawan-kawan seperjuangan untuk mengasuhnya.
Suatu keputusan yang amat berat baginya, namun ia sudah berjanji akan
mentaati permintaan suaminya itu.
Sementara itu, Kapten Charles Elliot lalu berpaling kepada Koan Jit.
"Bagaimana, perwira Koan" Maukah engkau bertanding melawan dia" Dari
pada ribut-ribut memperebutkan kebenaran, lebih baik diselesaikan melalui
kepalan, bukan" Kurasa demikian pendirian para orang gagah di sini."
Kapten itu memang sudah mengambil keputusan tetap. Koan Jit
merupakan seorang tenaga yang amat penting. Sebaliknya, Seng Bu, biarpun
seorarig pejuang, adalah suami yang syah dan Sheila Hellway yang bahkan
sudah mengandung. Jadi, seorang di antara mereka harus lenyap kalau
keduanya tidak dapat bekerja sama.
Koan Jit terkekeh dengan nada suara yang merendahkan sekali. Manusia
ini memang amat sombong dan terlalu percaya diri sendiri, apalagi dia memang
memiliki keyakinan bahwa bagaimanapun juga, tingkat ilmu kepandaiannya
masih lebih tinggi dibandingkan Ong Siu Coan atau Gan Seng Bu. Dengan
aksinya, dia lalu memberi hormat secara militer dengan mengangkat tangan
kanannya ke tepi topi batoknya, hal yang tentu saja lucu karena topinya bukan
topi tentara. "Siap, kapten. Dengan segala senang hati, aku akan menghajar tikus ini
sampai mampus!" "Baik, kita adakan pertandingan ini dengan seadil-adilnya dan disaksikan
oleh pasukan. Diadakan di darat. Pengawal, lepaskan belenggu dan tubuh Gan
Seng Bu itu," perintah Kapten Charles Elliot.
Sheila lari menghampini kapten itu dan membujuk agar suaminya
dibebaskan saja dan tidak perlu disuruh berkelahi. Akan tetapi kapten itu
menggeleng kepala dan berkata dengan alis berkerut.
"Nona Hellway, engkau tahu sendiri bahwa suamimu dijatuhi tuduhan
yang amat berat. Selain menjadi pemberontak pemerintah, juga dia dan kawankawannya dituduh menentang bangsa kita. Kalau tidak melihat engkau yang
menjadi isterinya, tentu aku tidak perduli lagi dan menyerahkan dia kepada
perwira Koan. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah isterinya, maka
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan aku memberi kesempatan dan kehormatan kepadanya untuk membela diri.
Bukankah lebih baik begitu?"
Dengan air mata berlinang, Sheila berkata, "Suamiku adalah seorang
patriot, mati baginya bukan, apa-apa kalau hal itu terjadi di waktu dia membela
bangsa dan tanah air. Akan tetapi, kalau dia mati... aku" aku?"
Kapten itu dengan simpatik memegang tangan wanita itu.
"Tenanglah. Mati hidup di tangan Tuhan, bukan" Dan kalau memang
suamimu sudah menghendaki demikian, ada pilihan apa lagi?"
Sheila merasa tiada gunanya mohon kepada kapten itu, maka iapun lalu
menghampiri suaminya yang kini sudah dibebaskan dan belenggu. Mereka
saling rangkul dan saling berciuman, seolah-olah hal itu terjadi untuk terakhir
kali dan mereka seperti tidak mau saling melepaskan. Melihat adegan ini, Koan
Jit menjadi ini dan mendongkol.
"Hel, Gan Seng Bu, engkau ini jantan ataukah banci" Mau bertanding
ataukah mau bermain cinta saja" Kalau memang berani, hayo keluar!"
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar, Koan Jit menuruni tangga
kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang membawanya ke daratan.
Mendengar seruan itu, Seng Bu menggandeng tangan isterinya dan juga
menuruni tangga kapal, menuju ke sekoci dimana telah menanti selosin orang
perajurit bule dengan senapan di tangan. Dia dikawal ke daratan, lalu disusul
oleh Kapten Charles Elliot.
Ternyata berita tentang perkelahian itu sudah tersiar sejak tadi. Di daratan
sudah berkumpul para serdadu bule juga para pasukan Harimau Terbang yang
sudah membuat lingkaran luas, dan tempat itu dikepung oleh pasukan yang
juga menjadi penonton. Bahkan kuli-kuli pelabuhan juga berhenti bekerja untuk
menonton perkelahian itu. Di antara mereka ada yaag sudah mengenal Gan
Seng Bu sebagai seorang pejuang yang gagah perkasa, maka mereka
megharapkan agar pendekar ini akan mampu merobohkan Koan Jit yang
mereka benci. "Nona Hellway, apakah tidak lebih baik kalau engkau tinggal saja di kamar
dan tidak menyaksikan pertandingan ini?"
Kapten Charles Elliot yang merasa kasihan kepada wanita itu berkata lirih.
Akan tetapi Sheila mempererat pegangan tangannya pada lengan suaminya.
"Tidak! Kalah atau menang, aku harus menjadi saksi. Aku ingin melihat
suamiku berjuang sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa!" katanya
dengan nada suara bangga.
"Tenangkan hatimu, Sheila" dan ingat semua perjanjian kita," kata Seng
Bu dan diapun mencium bibir isterinya untuk yang terakhir kali.
"Tuhan menyertaimu, suamiku."
Bisik Sheila dengan air mata berlinang. Akan tetapi dengan tabah wanita
ini lalu duduk di atas kursi yang disediakan untuknya, di pinggir dan berusaha
menekan jantungnya yang berdebar karena tegang. Apalagi ia sebagai isteri
orang yang hendak berjuang mati-matian, bahkan di dalam dada semua orang
yang nonton pertandingan itupun diliputi ketegangan. Mereka semua sudah
tahu betapa lihai dan kejamnya Koan Jit, dan tahu bahwa di dalam perkelahian
ini, tentu salah seorang di antara keduanya akan tewas!
Kapten Charles Elliot hendak bertindak adil dalam perkelahian itu, maka
melihat betapa Gan Seng Bu sama sekali tidak bersenjata, sebaliknya tadi Koan
Jit mengenakan pedang pangkatnya di pinggangnya, diapun berkata.
"Komandan Koan, harap tanggalkan pedangmu itu, karena lawanmu juga
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tidak membawa pedang."
Koan Jit tersenyum. "Kapten, aku memakai pedang ini bukan untuk melawannya, melainkan
hanya sebagai tanda pangkat saja. Untuk memukul seekor anjing kecil perlu
apa menggunakan pedang?"
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu pedang
yang tadi bergantung di pinggang, bersama sarungnya telah terlempar ke
udara, berputaran seperti terbang kemudian meluncur ke bawah dan
menancap bersama bersama sarungnya sampai amblas dalam sekali di
pinggiran tempat lingkaran yang menjadi arena perkelahian itu. Melihat
demonstrasi kelihaian yang seperti permainan sulap saja ini, beberapa orang
bertepuk tangan memuji, tentu saja terutama sekali para anggauta Harimau
Terbang yang semua berpihak kepada Koan Jit, komandan mereka.
Koan Jit lalu melangkah maju memasuki lingkaran orang-orang yang duduk
di sekeliling tempat itu, dan kembali munculnya ini disambut tempik sorak oleh
para anggauta Harimau Terbang.
"Semoga damai dan bahagia selalu menyertaimu, isteriku." Bisik Seng Bu.
"Semoga Tuhan melindungimu, suamiku," bisik Sheila ketika Gan Seng Bu
minta diri, dan orang muda inipun lalu memasuki lingkaran.
Ternyata banyak pula yang menyambutnya dengan sorakan. Bukan hanya
dari para kuli pelabuhan yang semua berpihak kepadanya, akan tetapi juga ada
beberapa perajurit bule yang berpihak kepadanya, mungkin karena pendekar
ini adalah suami Sheila, atau mungkin karena mereka memang merasa tidak
suka kepada Koan Jit. Kemunculan Seng Bu sama sekali tidak mengesankan,
seorang pemuda bertubuh tegap yang amat sederhana, seperti seorang petani
saja, berbeda dengan Koan Jit yang berpakaian indah.
Dua orang jagoan itu kini saling berhadapan. Lingkaran itu cukup luas,
garis tengahnya tidak kurang dan limabelas meter, cukup untuk suatu
perkelahian yang bagaimana dasyatpun. Karena maklum bahwa lawannya
adalah seorang ahli silat dan satu sumber, maka diapun tahu bahwa ilmu-ilmu
silat yang dipelajaninya dari Thian-tok, tentu semua dikenal baik oleh Koan Jit,
bahkan mungkin dia masih kalah matang dalam latihan, mengingat bahwa usia
Koan jit dua kali usianya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat andalan yang
dilatihnya dengan baik dan gurunya, yaitu Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat. Ilmu silat yang berdasarkan Ngo-heng (Lima Unsur) ini memang lihai
sekali dan memiliki banyak sekali perubahan-perubahan sesuai dengan
kedudukan lima unsur. Bisa panas dasyat seperti api, bisa juga lunak dan
dalam seperti air, bisa pula keras dan kuat seperti logam, atau bisa lentur
seperti kayu, juga dapat cepat dan halus seperti angin. Karena maklum akan
kelihaian lawan, maka Seng Bu segera memasang kuda-kuda dengan kedua
kaki berdiri tegak, tangan kiri ke atas dan tangan kanan ke kawah, lutut agak
ditekuk. Kuda-kuda ini mengandung dua unsur Angin dan Logam, dapat
bergerak cepat sekali dan juga dapat melancarkan pukulan dahsyat dan
bawah. Tentu saja dalam pemasangan kuda-kuda ini, dia sudah
mengumpulkan tenaga sinkang di seluruh tubuh, terutama di kedua lengannya.
Melihat pemasangan kuda-kuda ini, Koan Jit yang sombong tersenyum
mengejek. Dia dapat menduga bahwa tentu lawannya memainkan ilmu yang
baru dan suhunya yang belum sempat dipelajarinya, akan tetapi karena sejak
kecil dia murid Thian-tok, tentu saja dia mengenal sumbernya yang khas dari
Thian-tok. Dia sendiri, selain ilmu-ilmu dan Thian-tok, juga sudah mempelajari
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan banyak sekali ilmu silat yang aneh-aneh, yang membuatnya menjadi lihai
bukan main, terutama sekali dia amat hebat dalam ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang saja. Maka, diapun ingin
merobohkan lawan mengandalkan ginkangnya.
"Hyaaaattt!" Tiba-tiba Koan Jit mengeluarkan seruan melengking nyaring. Inilah
semacam Sin-houw Ho-kang (Auman Harimau Sakti). Getaran suara ini
membuat banyak orang menjadi pening dan cepat menutupi telinga dengan
tangan. Akan tatapi karena gerengan itu ditujukan kepada Seng Bu, tentu saja
yang paling merasakan daya serangannya adalah orang muda ini. Akan tetapi,
diapun sudah mempelajari Sin-houw Ho-kang ini dari Thian-tok, maka dengan
pengerahan sinkang, dia mampu menahan diri dan menolak getaran yang
mengguncang jantung memekakkan telinga itu.
Tubuh Koan Jit sudah berkelebat lenyap dan tahu-tahu tubuh itu sudah
meloncat tinggi ke atas seperti seekor burung garuda dan menyambar turun
menyerang ke arah Seng Bu dengan kedua tangan membentuk cakar yang
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Seng Bu.
Akan tetapi Seng Bu sudah siap siaga dengan kuda-kudanya tadi. Dengan
gerakan kaki melangkah, ke belakang lalu memutar tubuh, dia mampu
menghindarkan diri dan serangan kilat itu. Selagi tubuh lawan turun ke atas
tanah, dia sudah membalas dengan serangan Hut-ciang-liap-bhok (Tangan Api
Mengejar Kayu). Kedua tangannya itu dengan beruntun menghantam dengan
telapak tangan terbuka, bertubi-tubi, dan kedua telapak tangannya itu keluar
hawa panas yang dahsyat! "Hemmm"!" Koan Jit meloncat ke samping untuk menghindar sambil menangkis dari
samping. Seruannya itu terdengar seperti orang mencemoohkan, akan tetapi
sebenarnya seruan itu adalah seruan kaget. Tak disangkanya ilmu baru dari
sutenya itu sedemikian lihainya.
"Dukk-dukk!" Dua lengan bertemu dua kali dan akibatnya, tubuh Seng Bu terdororig ke
belakang akan tetapi kedudukan kaki Koan Jit juga tergoyah yang membuat
tubuhnya bergoyang-goyang. Hal ini saja menunjukkan bahwa tenaga Seng Bu
hanya kalah sedikit dibandingkan toa-suhengnya itu.
Koan Jit menjadi marah dan dengan seruan-seruan nyaring dia menyerang
terus, menggunakan berbagai ilmu yang tidak dipelajarinya dari Thian-tok agar
membingungkan sutenya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sutenya itu
bukanlah Seng Bu beberapa waktu yang lalu! Selama ini, Seng Bu banyak
bergaul dengan pendekar-pendekar patriot, dan dia saling bertukar pandangan
tentang ilmu silat dengan teman-temannya. Tentu saja hal ini menambah
matang kepandaiannya, dan diapun banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari para
pendekar. Maka, serangan bertubi-tubi dari Koan Jit itu bukan hanya dapat
dielakkan atau ditangkis, bahkan dapat pula dia membalas serangan serangan
itu dengan tak kalah hebatnya.
Perkelahian itu berlangsung sampai limapuluh jurus lebih dan amat
menegangkan, mengaburkan pandang mata mereka yang kurang ahli saking
cepatnya gerakan mereka. Sheila sendiri memandang dengan muka pucat dan
mata hampir tak pernah berkedip walaupun ia juga merasa pening dan kabur
saking cepatnya dua orang itu bergerak. Ia malah tidak dapat lagi membedakan
mana suaminya dan mana lawan, kecuali kalau nampak bayangan hitam yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tentu saja bayangan Koan Jit yang mengenakan jubah hitam. Ia sama sekali
tidak tahu apakah suaminya itu mendesak atau terdesak. Juga orang-orang lain
memandang penuh ketegangan hati dan diam-diam banyak yang merasa
kagum, baik terhadap Koan Jit maupun terhadap Seng Bu.
Yang merasa penasaran adalah Kapten Charles Elliot. Kalau saja orang


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepandai Seng Bu itu, yang agaknya memiliki kepandaian yang seimbang
dengan Koan Jit, dapat pula menjadi pembantunya, tentu kedudukannya akan
lebih kuat lagi. "Haiiiitttt!" Tiba-tiba Seng Bu menyerang dengan amat dahsyatnya, mengeluarkan
jurus yang amat ampuh dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, yaitu jurus Hui-cuipok-cim (Api Air Sambar Logam). Kedua kaki dan tangannya menyambarnyambar dengan amat ganasnya sehingga Koan Jit terkejut bukan main.
Biarpun dia sudah berusaha untuk menghindar dengan jalan mengelak dan
menangkis, tetap saja sebuah tendangan menyerempet pahanya, membuat
tubuhnya terjengkang. Koan Jit menggunakan ginkangnya untuk melempar tubuh ke belakang janpok-sai (jungkir balik) sampai tiga kali, baru dia dapat berdiri tegak, akan tetapi
pahanya terasa nyeri bukan main. Dia menjadi malu, marah dan penasaran.
Mukanya yang hitam itu berubah kebiruan dan matanya yang seperti mata
kucing itu mencorong. "Jahanam busuk" sekarang kubunuh kau!" bentaknya sambil menubruk
ke depan dengan pukulan-pukulan yang amat ampuh, mengerahkan seluruh
tenaga sinkangnya. Seng Bu mengenal pukulan ampuh, maka diapun menggunakan jurus Hongcul-toan-bun (Angin Air Menjaga Pintu), sebuah jurus pertahanan yang amat
ampuh. Dan benar saja, semua serangan itu dapat dielakkan dan ditangkis dari
samping, sehingga kembali serangan lawan gagal.
Koan Jit masih merasa nyeri pada pahanya, maka kembali dia menyerang
dengan kedua kakinya yang mengirim tendangan berantai dan kanan kiri. Seng
Bu maklum bahwa tendangannya tadi berhasil melukai paha kiri lawan, maka
kini melihat betapa lawan dengan nekat menggunakan kedua kaki
menendangnya, juga menggunakan kaki kiri, maka cepat dia menggerakkan
tangan kanan untuk menghantam ke arah paha kiri lawan yang sudah luka itu.
Hampir saja usahanya berhasil, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ledakan
nyaring dan Seng Bu roboh tersungkur!
Sebutir peluru menembus dadanya! Kiranya, dalam keadaan terdesak tadi,
Koan Jit yang luka karena kurang hati-hati dan tadi memandang rendah lawan,
menggunakan kecurangannya. Diam- diam, di luar tahu Kapten Elliot, dia telah
menyembunyikan sebuah pistol kecil di balik jubahnya, dan ketika dia
mengirim serangan tendangan bertubi-tubi tadi, dia hanya memancing
perhatian Seng Bu saja, dan tiba-tiba dia sudah mencabut pistol dan
menembak dari jarak dekat sekali sehingga Seng Bu yang tidak menyangka
sama sekali itu menjadi korban tembakan dan roboh!
"Seng Bu!!!" Sheila lari menghampiri suaminya. Melihat suaminya terlentang dengan
dada berlumuran darah, ia menubruk sambil menangis, menguncang-guncang
tubuh suaminya sambil memanggil-manggil namanya.
"Seng Bu, ahhh" Seng Bu, suamiku?"
Seng Bu membuka matanya. Dadanya terasa nyeri bukan main, dan tahulah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dia bahwa tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkannya.
"Sheila isteriku!"
Dia berbisik dan mengangkat tangannya yang menggigil, mengusap wajah
istetinya penuh kasih sayang.
"Seng Bu, ahh" jangan mati, Seng Bu. Jangan tinggalkan isterimu?"
Sheila meratap. Seng Bu tersenyum ketika Sheila menciuminya dan tidak
memperdulikan darah yang menempel di bibirnya. Tembakan itu membuat
mulutnya berdarah, dan ketika Sheila menciumnya, darah menodai mulut Sheila
tanpa dirasakan oleh isterinya itu.
"Sheila, tenanglah" beginikah sikap isteri pejuang, isteri pendekar?"
Sheila teringat dan seketika ia menahan tanyanya. Hanya air matanya
bercucuran, akan tetapi ia tidak menangis lagi, tidak mengeluh lagi. Teringat
ia betapa banyak isteri yang ditinggal mati suaminya, dan isteri-isteri itu sama
sekali tidak menangis, menerima nasib itu dengan tabah, bahkan bangga
bahwa suami mereka gugur sebagai patriot sejati.
"Nah, begitu" jangan... jangan antar kematianku dengan air mata, Sheila.
Antarlah dengan senyummu" aku ingin melihat senyummu, ingin membawa
bayangan senyummu ke sana?"
"Seng Bu!" Sheila menubruk dan menciumi untuk menyembunyikan air matanya.
"Sheila, senyumlah" senyumlah?" Bisikan itu makin melemah.
Sheila mengangkat mukanya dan iapun tersenyum. Senyum yang dapat
menghancurkan hati siapa saja yang menyaksikannya. Senyum dengan air
mata bercucuran, akan tetapi ia tersenyum, ia memaksa mulutnya untuk
tersenyum, senyum manis dengan bibir masih ternoda darah.
"Terima kasih" kau manis sekali" titip" titip anak kita?" dan kepala
Seng Bu terkulai di atas pangkuan isterinya.
"Seng Bu"!"
Dan tubuh Sheila juga terguling di atas tubuh suaminya karena ia telah
roboh pingsan! Peristiwa itu menggegerkan dan juga membuat hati Kapten Charles Elliot
menjadi bingung. Dia menegur Koan Jit yang mempergunakan pistolnya, akan
tetapi tidak memarahinya. Bagaimanapun juga, dia girang bahwa Seng Bu
tewas. Pertama, karena memang dia lebih sayang dan percaya kepada Koan
Jit. Kedua, dengan kematian Seng Bu, maka Sheila tentu akan kembali kepada
bangsanya. Akan tetapi ternyata kapten ini kecelik! Sheila memperlihatkan sikap keras.
Kematian suaminya membuat ia semakin tidak suka kepada bangsanya sendiri.
"Aku minta agar jenazah suamiku boleh kubawa ke pedalaman untuk
kumakamkan. Juga makam ayah ibuku akan kumakamkan sendiri. Siapa di
antara saudara di sana itu yang suka membantuku mengangkut jenazah
suamiku?" tanyanya kepada para kuli pelabuhan.
Dan banyak kuli pelabuhan yang suka menbantu. Dan pada hari itu juga,
Sheila meninggalkan Kanton, menunggang kuda membawa jenazah suaminya,
diantar oleh beberapa orang kuli pelabuhan. Tentu saja kedatangannya
disambut dengan bela sungkawa dan duka oleh para kawan seperjuangan.
Jenazah Seng Bu lalu diurus sebaiknya dan dimakamkan dengan penuh
penghormatan sebagai seorang pahlawan.
Sheila lalu mengurus pemindahan makam ayah ibunya, dimakamkan dekat
dengan makam suaminya, iapun hidup di antara pejuang, menanti kelahiran
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bayinya. Hidup ini memang merupakan permainan antara susah dan senang.
Agaknya memang sudah semestinya demikian, ada susah tentu ada senang,
seperti alunan ombak samudera, tidak hanya ke kiri atau ke kanan saja. Ada
siang ada malam, ada terang ada gelap, ada senang ada susah. Tidak ada apaapa lagi yang perlu dihentikan.
Akan tetapi, kalau kita merenungkan, kita yang diberkahi dengan akal budi
ini, yang dapat mengamati semua itu, apakah memang dilahirkan untuk
menjadi permainan antara susah dan senang ini" Apakah kita ini dilahirkan
untuk menderita susah, menikmati senang hanya sedikit saja, banyak
susahnya. kemudian tua, susah lagi karena lemah, dan mati, begitu saja"
Siapa yang mau membuka mata melihat kenyataan hidup, sesungguhnya
tidak ada yang disebut susah atau senang itu, karena susah atau senang itu
hanyalah permainan pikiran kita sendiri belaka. Kalau siang dan malam ada,
terang dan gelap memang ada. Akan tetapi semua itu tidak ada hubungannya
dengan susah atau senang.
Kalau terang tiba, terlalu terang dan terlalu panas, ada akal budi kita yang
mendatangkan kecerdasan, membuat kita berteduh dan akal budi telah bekerja
sedemikan baiknya sehingga kita mampu membuat es, membuat kipas angin
untuk mengatasi panas. Kalau malam tiba, akal budi kita bekerja lagi sehingga
muncullah penerangan listrik dan sebagainya. Kalau dingin tiba, kita
mempergunakan akal budi kita sehingga kini ada heater, ada tungku dan
segala alat pemanas lain seperti pakaian tebal dan sebagainya. Kalau hujan
lebat turun dan banjir terjadi, kembali akal budi kita membentuk kecerdasan,
membuat kita mencari jalan untuk mengatasi semua itu, dan di sini sama sekali
tidak ada senang atau susah!
Jadi apakah senang atau susah sesungguhnya"
Senang itu jelas. Badan kita terasa enak, pikiran dan hati kita terasa lega
dan puas, dan timbullah keinginan untuk mengulangi semua pengalaman enak
ini yang dinamakan kesenangan. Jadi, pikiran atau ingatan yang mencatat dan
menampung pengalaman ini untuk diusahakan pengulangannya. Dan susah itu
apa" Kebalikannya saja. Kalau badan kita terasa tidak enak, kalau perasaan dan
hati kita merasa kecewa, iba diri dan sebagainya.
Jelaslah, senang dan susah itu hanya permainan batin yang selalu ingin
mengulang kesenangan dan menyingkirkan kesusahan, mengejar-ngejar yang
enak dan melarikan diri dan yang tidak enak!
Bagaimana kalau kita menghadapi segala hal yang terjadi itu tanpa
mengikutkan pikiran yang menciptakan si "aku" yang menimbang-nimbang,
menghitung-hitung untung ruginya" Kalau pikiran kita tidak menilai, maka
yang bekerja hanyalah kecerdasan akal budi! Tidak ada lagi keluhan, tidak ada
lagi mabok kesenangan. Dan kesemuanyapun terjadi dengan wajar. Dan hanya
batin yang dapat menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian inilah, yang tidak
lagi sarat oleh beban untung rugi, batin demikian akan dapat mengenal apa
artinya hidup yang sesungguhnya, apa artinya bahagia, apa artinya cinta kasih.
Hanya batin yang tidak dibebani oleh keluhan pikiran yang menilai, yang
mengeluh, maka batin seperti itu yang akan sungguh-sungguh aktif, penuh
perhatian, tidak putus harapan, tidak mencari-cari, tidak mengejar, akan tetapi
tidak mandeg, melainkan hidup sepenuhnya dari detik ke detik, dari saat ke
saat. Awan yang berarak di angkasa itu nampaknya saja mandeg dan mati,
akan tetapi sesungguhnya setiap detik bergerak, berubah, mengikuti keadaan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pada saatnya, tanpa menentang, akan tetapi juga tidak mengekor saja.
-------Berita tentang kematian Gan Seng Bu terdengar luas di dunia kang-ouw.
Juga Ong Siu Coan mendengar tentang kematian sutenya. Dia sendiri tidak
mencinta sutenya itu, maka tentu saja kematian sutenya itu tidak
mendatangkan rasa kesal dalam hatinya, bahkan ada rasa puas karena tadinya
dia mengiri terhadap sutenya yang dapat memperisteri Sheila.
Demikian kejinya kebencian kalau sudah bersemi dalam hati seorang
manusia. Kebencian membuat orang akan merasa senang dan puas kalau
melihat orang yang dibencinya itu celaka! Kebencian ini menghapuskan rasa
perikemanusiaan dan dari hati sanubari manusia. Karena itu, bagi seorang
bijaksana, dibenci oleh seluruh manusia bukanlah menjadi persoalannya, akan
tetapi kalau dia membenci satu orang saja, maka itu merupakan suatu masalah
besar yang harus ditanggulangi dan diatasinya.
Akan tetapi yang membuat hati Ong Siu Coan tidak senang adalah ketika
mendengar bahwa yang membunuh Gan Seng Bu itu adalah Koan jit, toasuhengnya! Inilah yang menyakitkan hati. Dan diapun mendengar pula tentang
Koan Jit yang kini sudah memperoleh kedudukan terhormat di dalam pasukan
marinir Inggeris, bahkan menjadi komandan dari pasukan yang bernama
Harimau Terbang. "Aku tidak boleh kalah oleh Koan Jit," pikirnya.
"Dan aku harus dapat merampas Giok-liong-kiam dari tangannya. Aku
takkan puas sebelum berhasil merampas Giok-liong-kiam itu, dan kalau
mungkin membunuh jahanam itu."
Demikian pikiran Ong Siu Coan. Orang ini memang cerdik sekali. Tidak
hanya mengandalkan kepandaian silat seperti mendiang Gan Seng Bu, dia
memang berani dan gagah, akan tetapi lebih banyak mempergunakan
kecerdikannya, tidak asal berani saja.
Setelah memperhitungkannya dengan cermat, pada suatu hari Ong Siu
Coan berjalan-jalan ke pelabuhan Swa-touw, dimana juga menjadi
persinggahan kapal-kapal perang Bangsa Inggeris. Sudah berhari-hari dia
menyelidiki tempat ini dan melihat betapa Admiral Elliot, orang yang paling
berkuasa di seluruh armada Inggeris, suka datang mendarat dan
memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah benteng di tepi
laut. Agaknya tempat itu akan dijadikan benteng oleh marinir kulit putih. Dan
diapun melihat betapa di waktu mengaso, para perajurit marinir itu suka
berlatih olah raga, ada yang bertinju, ada yang berlatih memainkan bayonet.
Pada siang hari itu, Admiral Elliot sendiri nonton pertandingan adu tinju,
dan adu ketangkasan bayonet yang dalam latihan itu diganti dengan kayu
biasa. Dari jauh, Ong Siu Coan menonton sambil memperhitungkan apa akan
yang dilakukan, hal yang sudah berhari-hari direncanakannya. Ternyata hari
itu, yang terpilih sebagai jagoan, baik jago tinju maupun jagoan
mempergunakan bayonet, ada enam orang perajurit yang tubuhnya tinggi
besar dan atletis. Mereka itu berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh
lima tahun, dan memang mereka ini merupakan jagoan-jagoan dari kesatuan
yang baru saja tiba beberapa pekan lamanya di daerah itu.
"Siapa lagi yang berani maju melawan seorang di antara jagoan ini?" kata
seorang juru bicara. Selama ini, Ong Siu Coan yang cerdik sudah banyak mempelajari Bahasa
Inggeris sehingga dia mengerti apa yang dikatakan itu, bahkan diapun dapat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bicara daam Bahasa Inggeris walaupun tidak begitu fasihnya namun cukup
untuk dapat dipakai modal berkomunikasi.
"Boleh aku maju untuk mencoba-coba?"
Tiba-tiba dia melangkah maju ke dalam arena pertandingan itu dan sengaja
dia muncul berhadapan dengan Admiral Elliot, sehingga tentu saja mudah
nampak oleh pembesar itu. Semua mata menatap ke arahnya, dan sinar mata
admiral itu membayangkan keheranan akan tetapi juga ingin tahu sekali.
Seorang opsir marinir yang melihat bahwa pemuda itu bukan anggauta di situ,
bukan pula pegawai atau kuli pelabuhan, sudah menjadi marah dan dengan
muka merah dia mendekati Siu Coan, langsung saja menjotos dengan kepalan
tangan kanannya ke arah muka pemuda itu sambil membentak.
"Orang gila, pergilah dari sini!"
Sebagai seorang luar Bangsa Cina yang berani memasuki gelanggang itu
untuk menantang dan mengikuti pertandingan, tentu saja dianggap perbuatan
orang yang sudah miring otaknya. Pukulan opsir itu keras bukan main, karena
dia seorang ahli tinju yang cukup jagoan. Akan tetapi, betapapun cepat dan
keras datangnya pukulan itu, bagi Siu Coan tentu saja nampak lamban sekali dan dengan
amat mudah dia mengelak dengan menarik tubuhnya ke belakang dan ke kiri.
Melihat betapa pukulannya dapat dielakkan dengan demikian mudahnya oleh
orang itu, si Opsir menjadi semakin penasaran.
"Eh, kau berani melawan, ya" Nah, makanlah ini!"
Dan kembali dia memukul, sekali ini pukulan swing, yaitu ayunan dari
samping, bukan pukulan straight (langsung) dari depan seperti tadi, dan yang
dituju memang mulut Siu Coan, bukan rahang seperti yang biasa dia lakukan
dalam permainan tinju. Agaknya saking marahnya, opsir itu dengan pukulan
swingnya yang keras ingin membikin rontok semua gigi dalam mulut Sui Coan.
"Wuuuuuttt!" Angin pukulan itu lewat di depan muka Siu Coan yang kembali sudah
berhasil mengelak tanpa menggeser kakinya, hanya dengan ayunan tubuhnya
sampai jauh ke belakang. "Eh, kau benar-benar menantang, ya?"
Opsir itu tentu saja kini menjadi marah bukan main. Dua kali dia
menyerang, menyerang dengan sungguh-sungguh dan orang ini seenaknya
saja mengelak bahkan menangkispun tidak, seolah-olah pukulan-pukulannya
tadi hanya permainan anak-anak belaka. Dan semua ini disaksikan oleh banyak
perajurit, dan ceakanya, disaksikan pula oleh Admiral Elliot. Padahal, di antara
enam jagoan itu, yang kini memilih juara untuk kenaikan pangkat, belum tentu
ada yang akan mampu menandinginya dalam adu tinju. Dengan kemarahan
meluap-luap, dia mendesak, kakinya melangkah ke depan dan dia sudah
mengirim pukulan upper-cut, yaitu pukulan dari bawah mengarah ke dagu
lawan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat lawan pingsan.
Pukulan ini datangnya tiba-tiba dan juga cepat bukan main, agaknya akan
sukar untuk dieakkan, kecuali kalau ditangkis.
Akan tetapi, betapapun cepat dan dekatnya serangan itu datang, kembali
Siu Coan berhasil mengelak, sekali ini terpaksa melangkahkan kaki depan ke
belakang dan upper-cut itu hanya melayang lewat di depan hidungnya saja.
Siu Coan terus mundur lagi dua langkah dan berkata, dengan suara satu satu.
"Tuan, dalam peraturan kami para pendekar, mengalah berarti membiarkan
lawan menyerang sampai tiga kali. Tuan sudah memukulku sampai tiga kali,


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan harap berhenti, kalau tidak, terpaksa aku akan membela diri dan akan
membalas serangan yang keempat."
Admiral Elliot yang melihat ini, menjadi tertarik sekali. Sebagai seorang
admiral, pangkat yang amat tinggi karena dialah yang memimpin seluruh
armada yang beroperasi di negeri Cina, tentu saja dia memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi dibandingkan anak buahnya, walaupun terbatas
sebagian besar pada teorinya saja. Dari gerakan-gerakan Sui Coan ketika
mengelak tadi, dia dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata "berisi". Maka
dia merasa tertarik sekali dan ingin menyaksikan apakah benar dalam serangan
keempat, pemuda yang bagi seorang Cina cukup jangkung itu akan mampu
membalas opsirnya, seorang yang dia tahu cukup tangguh. Opsir itu adalah
Sersan Bullbone, seorang yang bertubuh kokoh bagaikan banteng.
Mendengar ucapan Siu Coan itu, sersan tadi malah menjadi semakin
berang. Ucapan itu tidak dianggap sebagai orang yang mengalah, melainkan
sebagai tantangan. "Apa" Engkau mau membalas" Boleh, boleh sekali! Memang dalam
perkelahian, orang boleh saja membalas."
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang petinju yang juga mengutamakan
sportivitas, bahkan dia pikir kalau pemuda itu balas menyerang, dia akan
berhasil mencari lowongan untuk memasukkan serangannya.
Setelah berkata demikian, karena tadi Siu Coan mundur, Sersan Bullbone
lalu mendesak maju tiga langkah dan kini kedua tangannya yang dikepal sudah
melakukan serangan bertubi-tubi, dari kanan kiri, cepat sekali seperti kitiran
angin. Akan tetapi sebagai seorang petinju, sasaran pukulan-pukulannya
hanyalah dari pinggang ke atas, dan hal ini nampak jelas oleh Sui Coan.
Tiba-tiba Siu Coan merendahkan tubuhnya berjongkok, kakinya menyapu
kaki lawannya. Sersan Bullbone terpelanting karena kakinya diserampang oleh
kaki Siu Coan yang terlatih keras seperti batangan besi itu.
"Curang! Curang!"
Terdengar teriakan di sana- sini. Siu Coan tidak mengerti arti kata Bahasa
Inggeris itu dan diapun sudah mundur lagi dan memandang musuhnya yang
kini merangkak bangun. "Itu tidak boleh kaulakukan!" kata Admiral Elliot yang kini merasa tertarik
sekali, mendahului anak buahnya yang agaknya hendak mengeroyok.
Melihat sang admiral sendiri turun tangan mencampuri, semua orang diam
tidak berani bergerak. "Maaf, tuan besar," kata Siu Coan kepada admiral itu.
"Mengapa tidak boleh" Tadi sudah kukatakan bahwa kalau dia menyerang
lagi untuk keempat kalinya, aku terpaksa akan membalas."
"Benar, akan tetapi engkau menyerang bagian kaki. Menurut ilmu tinju
kami, serangan hanya boleh dilakukan dari pinggang ke atas, itupun bagian
depan, tidak boleh bagian belakang, dan harus dilakukan dengan pukulan
tangan, tidak boleh dengan anggauta tubuh yang lain."
Mendengar penjelasan ini, Siu Coan mengangguk mendengar tentang
peraturan tinju di antara orang kulit putih. Bahkan dia pernah menyaksikan
pertandingan tinju seperti itu yang dianggap amat aneh dan lucu. Orang
bertanding dan berkeiahi kenapa mesti pakai aturan dan larangan segala
macam" Bukankah berkelahi itu mencari kemenangan dengan cara apapun
juga" Lihat saja kalau harimau berkelahi, ayam berkelahi, tanpa ada aturanaturan yang mengikat.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dia berpikir sejenak. Memang tidak mudah kalau ilmu silatnya dibatasi
dalam perkelahian seperti itu.
Bayangkan saja. Semua bagian tubuh lain, tendangan kaki yang
mematikan, lutut, siku, bahkan kepala kalau perlu, semua itu untuk
dipergunakan menyerang. Dan lebih lucu lagi, yang diserang hanya pinggang
ke atas, sedangkan bagian-bagian lain yang mematikan tidak boleh disentuh!
Dan tangan harus dikepal pula. Padahal, untuk mencapai bagian-bagian yang
sempit seperti tenggorokan, mata dan untuk menotok jalan darah atau
mematahkan tulang iga, semua itu hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan jari-jari tangan. Kalau jari-jari dikepal, tentu hanya dapat dipakai
untuk menjotos saja. Bahkan pinggiran tangan yang dapat dipakai membabat
seperti golok atau pedang tak dapat dipergunakan lagi.
"Bagaimana" Beranikah engkau melawan aku dengan peraturan tinju
seperti itu?" Kini Sersan Bullbone menantang, akan tetapi sikapnya tidak segalak tadi.
Pertama, karena dia dapat pula menduga bahwa tentu pemuda ini pandai silat
seperti opsir Koan Jit, dan juga di situ disaksikan oleh Admiral Elliot, maka dia
tidak boleh bersikap sewenang-wenang.
Siu Coan tersenyum. "Tuan, sebetulnya tadi saya tertarik menyaksikan pertandingan itu dan
ingin memasuki karena tadi ada tantangan dari enam orang itu. Aku tidak ingin
berkelahi, melainkan bertanding untuk mengadu ilmu bela diri. Akan tetapi
kalau tuan mendesak dan mau coba-coba, boleh saja. Hanya, aku tidak suka
kalau tanganku dibungkus, karena dengan demikian, aku merasa seperti tidak
mempunyai tangan saja."
Semua orang tersenyum mendengar ini dan Sersan Bullbone tertawa.
"Aha, kalau tanganku ini dibiarkan terbuka tanpa dilindungi sarung
tangan, pukulanku bisa mematahkan tulang rahangmu, mungkin kepalamu."
"Bagi kami, kalah atau menang, mati atau hidup merupakan akibat
pertandingan yang tak patut disesalkan lagi."
"Baik, majulah. Akan tetapi ingat, hanya menggunakan kepalan tangan
untuk menghantam dari pingging ke atas, dari depan. Tahu?"
"Baik, aku mengerti," jawab Siu Coan.
Kini keduanya sudah berhadapan dan opsir itu sudah membuat gerakan
mengelilingi Siu Coan dengan lagak seorang petinju jagoan. Tubuhnya agak
membongkok, kedua lengannya dipasang, yang kiri di depan dagu, yang kanan
di dekat rusuk, keduanya dikepal, kedua kakinya membuat gerakan seperti
menari-nari dan dia mengelilingi Siu Coan.
Siu Coan berdiri tanpa bergerak, hanya matanya yang mengikuti gerakgerik lawan. Kalau lawan mengitarinya di belakangnya, dia diam saja.
Bukankah tidak boleh memukul dari belakang, pikirnya. Tiba-tiba dari samping,
opsir itu melancarkan pukulan straight ke arah dagu kanan Siu Coan. Pemuda
tidak mau memperpanjang pertandingan itu, maka begitu pukulan melayang
datang ke arah dagunya, diam-diam dia mengerahkan sinkangnya untuk
melindungi dagu itu. Tepat pada saat pukulan yang keras itu menghantam
dagunya, dia membarengi dengan jotosan lunak saja ke arah pangkal leher
lawan. "Dukkk" desss?"
Akibatnya, tubuh yang kokoh itu terpelanting dan roboh tak mampu
bangkit kembali karena pingsan! Knocked-out dalam satu pukulan saja! Tentu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan saja semua orang terbelalak menyaksikan itu. Mereka tadi melihat dengan jelas
betapa pukulan Sersan Bullbone tepat mengenai dagu Siu Coan, akan tetapi
pemuda itu sama sekali tidak merasakannya, karena dagunya terlindung
tenaga sakti, sedangkan pukulannya yang hanya dilakukan dengan tenaga
terkendali itu cukup membuat sang sersan roboh pingsan!
Sersan itu sendiri kalau tidak keburu pingsan, tentu akan bengong
terlongong. Ketika pukulannya yang keras tadi mengenai dagu lawan, dia
merasa seperti memukul benda lunak, seperti memukul sebuah balon yang
terisi angin saja! Dan pukulan lawan ke arah pangkal lehernya seperti ada
geledek menyambarnya! Terdengar tepuk tangan dan yang bertepuk tangan adalah Admiral Elliot.
Melihat ini, banyak perajurit bertepuk tangan memuji. Dan sang Admiral lalu
menggapaikan tangannya memanggil Sui Coan. Memang ini yang dikehendaki
pemuda itu, maka diapun lalu menghampiri dan berkata halus.
"Harap maafkan, tuan besar. Aku tidak sengaja membikin celaka tuan itu."
Dia menunjuk ke arah tubuh Bullbone yang mulai bergerak dan bangkit
dibantu teman-temannya. Admiral Elliot memandang pemuda yang tinggi itu
dengan sinar mata penuh selidik. Sebagai seorang Admiral, tentu saja Elliot
bukan orang bodoh. Dia sedang menaksir-naksir dan melakukan penyelidikan
dengan pandang matanya terhadap pemuda ini" Musuhkah" Mata-mata
musuhkah" Atau seorang penjahat yang melarikan diri dari pemerintah Ceng,
seperti juga Koan" Ataukah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi
dan hanya ingin bertualang" Ataukah seorang yang haus akan kedudukan dan
kemuliaan seperti Koan Jit"
Dengan bahasa daerah yang dikuasainya dengan baik, Admiral Elliot lalu
tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan kepada Siu Coan.
"Orang muda, sebenarnya apa kehendakmu maka engkau berani datang ke
tempat kami dan memamerkan kepandaianmu?"
Kalau bukan Siu Coan yang ditanya seperti itu, tentu akan menjadi panik
dan gugup. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa daerah yang fasih, hal yang
sama sekali tidak tersangka-sangka, dan pertanyaan itu demikian tepat dan
langsung mengenai sasaran. Karena memang sesungguhnya, dia datang untuk
memamerkan ilmu kepandaiannya! Dia harus berhati-hati terhadap admiral ini,
pikirnya, karena dia tahu bahwa pembesar ini benar-benar seorang yang cerdik
sekali. Dia lalu menjura dengan cara bangsanya, memberi hormat dan berkata.
"Maafkan saya, tuan. Saya sama sekali tidak bermaksud memamerkan
kepandaian, melainkan karena sejak kecil saya memang suka akan olah raga
beladiri. Melihat betapa saudara-saudara yang gagah di sini memperlihatkan
ilmu itu dan mengadu kepandaian, lalu mendengar tantangan tadi, timbul
kegembiraan hati saya untuk mencoba-coba. Hanya bermaksud untuk
bersahabat melalui adu ilmu silat, bukan untuk bermusuhan, tuan. Di kalangan
bangsa kami terdapat peribahasa bahwa tidak akan menjadi sahabat baik
sebelum saling mengadu ilmu masing-masing."
Admiral itu tersenyum. Sebagai seorang pembesar tinggi yang bertugas di
negeri Gina, tentu saja di banyak mempelajari tentang keadaan di negara itu,
tentang para pejuang, para pendekar dan para sasterawannya. Dia dapat
menduga bahwa pemuda ini memang hanya seorang pendekar yang suka akan
petualangan saja, akan tetapi masih "bersih" dari pada pengaruh politik yang
membuat orang menjadi pro sana anti sini.
"Baiklah kalau begitu, apakah engkau yakin dapat mengalahkan seorang di
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan antara enam orang jagoan kami itu?"
Dia menunjuk ke arah enam orang yang masih berkumpul di situ, yang tadi
juga menonton pertandingan antara sersan Bullbone dan Siu Coan. Mereka
merasa jerih juga kalau harus berhadapan dengan pemuda sederhana itu
sendirian saja. "Saya Yakin, tuan."
"Bagaimana kalau kau dikeroyok dua, masih yakinkah akan menang?"
"Kalau tidak dibatasi dengan peraturan tinju, melainkan perkelahian biasa
boleh menggunakan cara bagaimana saja untuk memperoleh kemenangan,
saya yakin akan mampu mengalahkan dua orang di antara mereka," jawab Siu
Coan, bukan dengan nada sombong melainkan dengan sikap sederhana dan
suara meyakinkan, sehingga menyenangkan hati admiral itu. Pemuda ini pasti
memiliki kepandaian hebat, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kelihaian
Koan Jit, maka berani menjawab seperti itu, dan sikapnya juga amat sopan dan
sederhana, sama sekali berbeda dengan sikap Koan Jit yang kelihatan congkak
dan mengandalkan kehebatan dirinya sendiri.
"Hemmm...." Admiral Elliot meraba dagunya yang halus, akan tetapi jenggot yang pagi
tadi dicukur bersih sudah mulai memarut jari-jari tangannya.
"Bagaimana kalau dikeroyok tiga" Beranikah kau?"
Dia memakai pertanyaan dengan kata berani, bukan yakin menang lagi. Dia
ingin menguji ketabahan hati pemuda ini, dan jawaban Sui Coan yang tetap
sederhana itu mengejutkan hatinya.
"Saya berani, tuan."
Admiral itu memandang kepada Siu Coan penuh perhatian. Benarkah anak
ini akan mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan itu" Dia sendiri
dikeroyok dua saja akan berpikir pikir dulu!
"Bagaimana kalau mereka berenam maju semua" Berani jugakah engkau?"
"Saya berani, tuan," jawab Siu Coan tanpa ragu-ragu. Memang dia ingin
memperlihatkan kelihaiannya agar dapat "terpakai", maka diapun tidak raguragu untuk menantang.
"Bagaimana kalau mereka berenam maju semua" Berani jugakah engkau?"
"Saya berani, tuan," jawab Su Coan tanpa ragu-ragu.
Memang dia ingin memperlihatkan kelihaiannya agar dapat "terpakai",
maka diapun tidak ragu-ragu untuk menantang.
"Bagus! Akan kubuktikan omonganmu. Akan tetapi, dalam perkelahian,
kepalan tangan tidak mempunyai mata, kalau sampai engkau kena pukulan
keras dan menderita sakit atau sampai mati sekalipun, jangan kaupersalahkan
aku, karena engkau sendiri yang menerima tantangan untuk dikeroyok enam
orang sekaligus." "Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa dan tidak akan menyesal, tuan."
Kesatria Berandalan 3 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pedang Ular Merah 7
^