Pencarian

Pedang Naga Kemala 15

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


"Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus Bintang)" Apakah itu?"
Ceng Hiang bertanya, mulai tertarik karena dari ilmu-ilmu yang didapatnya
sebagai warisan dari nenek moyangnya, yaitu Puteri Nirahai, ia mempelajari
juga semacam ilmu langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari seranganserangan musuh dengan elakan-elakan berdasarkan lika-liku langkah kaki.
Akan tetapi selamanya ia belum pernah mendengar akan nama llmu Langkah
Pek-seng Sin-pouw maka ia merasa tertarik sekali, apa lagi penciptanya adalah
Tat Mo Couwsu yang juga disebut datuknya semua kaum persilatan.
"Wah, mana aku tahu" Nanti akan kuterjemahkan untukmu agar dapat kau
baca dan pelajari sendiri. Ada lukisan garis-garis lurus dan lengkung yang aku
tidak tahu artinya sebelum diterjemahkan. Dan kesinikan kitabmu itu, Kiki."
Dengan jantung berdebar, Kiki menyerahkan kitabnya. Ia sendiripun tidak
tahu apa yang dimaksudkan dengan llmu Langkah Ajaib Seratus Bintang yang
jatuh kepada enci angkathya, akan tetapi, karena kitab-kitab itu ciptaan Tat Mo
Couwsu yang sudah didengar namanya, hatinya menjadi tegang penuh harapharap cemas.
Setelah mempelajari sebentar, pangeran itu lalu membaca judul kitab yang
menjadi hak milik Kiki. "Kitab Hui-thian Yan-cu, ciptaan Tat Mo Couwsu untuk dilatih murid-murid
yang penuh belas kasih hatinya."
"'Hui-thian Yan-cu (Walet Terbang ke Langit)" Wah, ilmu apa lagi ini?" Kiki
bertanya, dan encinya segera merangkulnya.
"Kionghi (selamat), adikku. Aku berani bertaruh bahwa kalau sudah
diterjemahkan, ilmu itu tentu semacam ilmu ginkang yang akan membuat
engkau mampu terbang ke langit seperti burung walet!"
Kiki tertawa. "Dan ilmumu itu akan membuat engkau dapat melindungi diri dengan
langkah ajaib yang ruwetnya sama dengan seratus bintang. Wah, dengan
langkah ajaibmu yang sudah ada saja, aku dibikin setengah mati untuk dapat
menyerangmu, apalagi dengan Pek-seng Sin-pouw, tentu engkau takkan dapat
ditangkap oleh seratus orang yang mengepungmu. Selamat, enci!"
Keduanya gembira sekali, dan sang pangeran juga ikut bergembira.
"Aku sudah menduga bahwa kitab-kitab ini tentu berguna sekali bagimu,
Ceng Hiang, tak kusangka kini malah berguna pula bagi Kiki. Dengan demikian,
sedikit banyak aku sudah dapat membalas budi anakku Kiki."
"Gi-hu (ayah angkat), harap jangan sebut-sebut lagi tentang budi.
Bagaimanapun, aku pernah membunuhi anak buah pengawal ayah, dan
membakar perahu..." Suaranya mengandung penyesalan besar. Pangeran itu menggoyanggoyang tangannya.
"Jangan disebut-sebut lagi urusan itu, kalau terdengar orang lain tidak
baik. Engkau melakukannya karena perjuangan, watakmu bukan karena
memang suka membunuh atau merampok."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan PEDANG NAGA KEMALA ( GIOK LIONG KIAM ) Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
"Wah-wah, ayah dan siauw-moi mulai berbantah-bantah lagi, saling
salahkan diri dan Saling puji. Sudahlah, mulai sekarang keduanya sudah
berjanji tidak akan menyebut-nyebut lagi urusan itu dan akulah saksi
hidupnya!" Mereka bertiga tertawa, dan mulai hari itu, pangeran Ceng Tiu Ong
menterjemahkan kedua kitab itu dengan seksama. Dia tidak akan memberikan
kitab yang sudah selesai diterjemahkan, akan diberikan berbareng kepada dua
orang anaknya dalam waktu yang sama. Jarang ada seorang ayah, atau orang
tua seperti Pangeran Ceng Tiu Ong ini. Biarpun yang seorang anak kandung,
yang kedua anak angkat, namun cinta kasihnya kepada mereka sama, tidak
berat sebelah. Orang tua yang bijaksana tidak akan memilih-milih anak mereka, siapa
yang harus dicinta dan siapa yang kurang dicinta, bahkan siapa yang harus
dibenci! Namanya bukan cinta kasih, melainkan cinta diri sendiri. Anak yang
menyenangkan diri dicinta, yang tidak menyenangkan dibenci. Berarti cinta
model sui-poa (alat hitung), model mesin hitung, cinta model dagang dengan
dasar untung rugi. Orang tua yang membeda-bedakan anaknya sebetulnya hanya mencinta
diri sendiri, mencari kesenangan diri pribadi melalui anak-anaknya. Cinta
kepada anaknya sama saja dengan cintanya kepada anjing peliharaannya,
kalau anjing itu mengenal budi, kalau anjing itu tahu membalas budi dan
menyenangkan, maka tetap dicinta. Kalau tidak, anjing itu akan dipukul atau
bahkan diusir! Sama saja dengan mencinta barang-barang mati, yang baik dan
berharga, dicinta" yang buruk dan tidak berharga, dibuang! Apakah yang
begini cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya" Mudah-mudahan tidak,
dan kalau toh ada yang demikian, mudah-mudahan dapat menyadarinya dan
segera mengubahnya. Pergaulan antara Kiki dan Ceng Hiang semakin akrab saja. Pada suatu
malam, sebelum tidur, karena Ceng Hiang memaksa agar adiknya itu tidur
sekamar dengannya. Kiki mulai bertanya tentang suhengnya yang bernama
Lee Song Kim. "Enci Hiang, sebetulnya ketika aku meninggalku Pulau Naga yang kini
menjadi tempat tinggal keluarga ayahku, selain hendak mengirimkan peti kitab
seperti yang dipesan ayah, aku masih mempunyai sebuah urusan lagi yang
belum sempat kubicarakan denganmu. Ada sebuah perintah ayah, bukan gi-hu
(ayah angkat) yang kumaksudkan, yang belum kulaksanakan dengan berhasil."
"Aihh, kenapa tidak kaukatakan dari kemarin dulu, adikku tayang" Tugas
dari seorang yang berbakti kepada orang tuanya harus dipenuhi dengan baik,
dan kalau aku dapat, tentu aku akan membantumu sampai berhasil."
"Terima kasih, enci Hiang, engkau baik sekali dan memang aku ingin minta
tolong kepadamu, yaitu mungkin engkau dapat memberi keterangan tentang
orang yang sedang kucari. Aku diperintah oleh ayah untuk mencari tahu
dimana adanya seorang suhengku."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kiranya ayahmu mempunyai banyak murid-murid selain engkau" Wah,
tentu suhengmu itu pandai sekali, baru Sumoinya saja seperti engkau, apalagi
suhengnya." "Murid ayah hanyalah aku dan suhengku itu, enci, sudah lama dia pergi,
dan aku ingin tahu dimana alamatnya karena yang kami ketahui hanya bahwa
Suheng itu kini telah menjadi seorang perwira kerajaan dan tinggal di kota
raja." "Begitukah" Dan siapa namanya?"
"Namanya Lee Song Kim..."
Tiba-tiba Ceng Hiang yang tadinya sudah merebahkan diri dan mereka
bercakap-cakap sambil tiduran, meloncat bangkit dan duduk, matanya
terbelalak memandang wajah Kiki dan sampai beberapa detik lamanya tidak
menjawab. Kiki terkejut sekali. "Eh, ada apakah,enci Hiang?"
"Lee Song Kim?" Kaumaksudkan perwira baru itu, yang selalu membawa
pedang dan sepasang pisau belati di pinggangnya" Usianya sebaya dengan
kita, lebih tua satu dua tahun mungkin, sikapnya halus dan wajahnya tampan.
Ilmu silatnya lihai?"
"Benar dia! Enci, engkau kenal dia" Tahukah kau dimana suhengku itu
sekarang berada?" "Tahu" Tentu saja aku tahu, lebih dari itu malah! Tapi, benarkah Lee Song
Kim itu suhengmu" Murid dari ayahmu, murid dari Hai - tok Tang Kok Bu?"
"Heii, apakah engkau tidak percaya kepadaku, enci Hiang" Itulah
suhengku!" "Maksudku, apakah dia mempunyai guru lain dan hanya kebetulan saja
menjadi murid ayahmu dan hanya untuk beberapa bulan atau tahun saja?"
"Tidak, dia menjadi murid ayah sejak dia masih kecil. Ayahkulah yang
menggemblengnya sejak dia masih kecil sekali sampai dewasa. Bahkan hampir
semua ilmu ayahku telah dia kuasai, dia murid yang amat disayang oleh
ayahku." "Di antara banyak murid-murid ayahmu?"
"Tidak. Yang benar-benar menjadi murid ayah hanyalah Lee Song Kim itu
dan aku sendiri. Yang lainnya itu bukan murid benar-benar, hanya anak buah
yang dilatih satu dua jurus ilmu saja. Tapi, kenapa kautanyakan itu semua,
enci?" "Karena, adik Kiki, dia itu tidak pernah mengaku sebagai murid Hai-tok. Dia
mengaku bahwa ilmu silatnya adalah ilmu silat keluarga dari nenek
moyangnya." "Wah, kalau begitu" hanya ada dua kemungkinan! Pertama, dia itu bukan
suhengku, hanya orang yang sama namanya saja, dan kedua, dia itu
pembohong besar, mungkin karena dia merasa malu mengaku menjadi murid
Hai-tok ayahku!" "Dan menurut dugaanmu, di antara dua kemungkinan itu, yang manakah
dia?" "Yang kedua! Aku yakin bahwa dia itulah Lee Song Kim suhengku..."
"Ssttt, nanti dulu, adikku, jangan kau memburuk-burukkan dia karena
masih ada hal lain lagi mengenai dirinya yang lebih gawat sekali bagiku. Dia
adalah laki-laki yang dengan perantaraan komandannya, seorang panglima
sahabat baik ayahku, yang telah... mengajukan pinangan atas diriku karena dia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mengaku telah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatangkara tak
bersanak keluarga lagi."
"Ehh... Ohhh... kalau begitu... ahhh?"
Kiki terbelalak dan ternganga, bengong tak dapat berkata apa-apa lagi.
Sungguh perkaranya kini menjadi berbalik dan berubah sama sekail! Kenyataan
yang mengejutkan bahwa suhengnya itu menjadi kenalan baik, bahkan
melamar Ceng Hiang, Sungguh membuat kedudukan suhengnya itu lain sama
sekali dan mana dia berani menjelek-jelekkan suhengnya di depan enci angkat
ini" Tapi... suhengnya itu seorang pengkhianat, seorang yang murtad dan
jahat. Ia mengerutkan alisnya.
Pantaskah orang seperti Lee Song Kim menjadi suami seorang gadis seperti
Ceng Hiang ini" Dan iapun menimbang-nimbang. Sebetulnya, apakah
kesalahan Lee Song Kim" Tentang dia meninggalkan gurunya, hal itu memang
atas perintah Hai-tok untuk mencari jejak Koan Jit. Kemudian Song Kim menjadi
perwira kerajaan. Walaupun hal itu sama sekali tidak cocok bahkan
bertentangan dengan politik perjuangan melawan penjajah, akan tetapi secara
pribadi, apakah hal itu boleh dipersalahkan"
Dan kalau Song Kim lalu mengkhianati gurunya dan melaporkan pertemuan
dalam pesta ulang tahun, bukankah kewajibannya sebagai seorang opsir dan
petugas Kerajaan Ceng, dan dia hanya bertindak demi kepentingan pemerintah
yang diabdinya" Juga ketika dia menyerang perahu Bajak Naga Lautan,
bukankah itu juga merupakan tugasnya sebagai opsir Kerajaan Ceng"
Berpikir demikian, Kiki menjadi bimbang dan alisnya terus berkerut,
mukanya sebentar merah sebentar pucat, dan ia seperti melamun, lupa bahwa
sejak tadi ia dipandang oleh kakak perempuan angkatnya itu.
Ceng Hiang sejak tadi yang memperhatikan keadaan Kiki, memandang
penuh selidik, juga terheran-heran, lalu memegang kedua pundak adiknya itu
dan dipaksanya adiknya bertemu pandang. Sinar matanya yang bening tajam
itu memandang penuh selidik.
"Haii" bangunlah, Kiki. Apakah engkau mimpi" Kenapa setelah
mendengar tentang Lee Song Kim, engkau hanya ber-ah-eh-oh seperti orang
yang tiba-tiba menjadi gagu?"
Tiba-tiba Ceng Hiang teringat sesuatu dan senyumnyapun menghilang,
terganti kekhawatiran pada wajahnya.
"Adikku yang baik. Kita bukan orang lain. Aku encimu dan engkau adikku.
Kita harus jujur. Apakah" apakah" engkau mencinta suhengmu yang
bernama Lee Song Kim itu?"
Kini Kiki yang terkejut ditanya begitu.
"Mencinta suheng" Wah, tidak Sama sekali tidak ! Memang dulu pernah
ayahku condong untuk menjodohkan kami, akan tetapi aku tidak mau dan
sekarang ayah sama sekali tidak menghendakinya lagi."
"Dan dia... apakah dia cinta padamu?"
"Wah, mana aku tahu, enci" Kami kakak beradik seperguruan. Hubungan
kami seperti kakak dan adik saja. Hal itupun aku tidak tahu. Aku tadi terkejut
karena sama sekali tidak mengira bahwa suheng mengajukan pinangan dan
akan menjadi calon suamimu."
"Hushh, jangan sembrono. Aku belum menerimanya! Kukatakan tadi
bahwa dia dengan perantaraan komandannya, meminang aku, dan agaknya
ayahku suka kepadanya. Akan tetapi ayah amat cinta kepadaku dan ayah tidak
hendak memaksa. Dia menanti jawabanku sendiri dan karena aku masih
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bimbang, aku belum beri jawaban. Tapi, kenapa ayahmu yang dulu ingin
menjodohkan kalian kini merubah pikirannya?"
Kiki bukan seorang gadis yahg bodoh. Ia cerdik sekali, dan kini tahulah ia
bahwa encinya ini hendak menguras keterangan dari dirinya untuk mengenal
siapa sebenarnya pemuda bernama Lee Song Kim yang meminangnya itu. Ia
harus berhati-hati, karena tidak tahu sampai dimana hubungan antara
suhengnya dan encinya ini, dan apakah encinya ini mencita Song Kim. Ia tahu
bahwa Song Kim tampan gagah, dan juga pandai merayu, kelihatannya seorang
pendekar sasterawan yang budiman.
"Tentu enci tahu betapa perasaan ayahku mendengar bahwa dia telah
menjadi seorang perwira dari pemerintah Ceng-tiauw, bukan" Nah, sejak dia
menjadi perwira itu, tentu saja pendirian ayah berubah. Akan tetapi seperti
kukatakan tadi, tidak ada perasaan apa-apa dalam hatiku terhadap suheng,
maka akupun tidak perduli lagi."
"Tapi, kenapa sekarang engkau disuruh ayahmu untuk mencari tempat
tinggalnya?" kembali Ceng Hiang mengejar dan pandang matanya semakin
tajam menyelidik. "Terus terang saja, kalau jumpa, aku diminta oleh ayah untuk membujuk
agar dia mau kembali kepada kami, mau meninggalkan kedudukannya yang
sekarang." Ceng Hiang nampak lega dan percaya, terbukti dari helaan napasnya yang
panjang. "Ah,-begitukah" Akan tetapi kurasa dia tidak akan mau kembali.
Kedudukannya sudah semakin baik, dan karena ilmu kepandaiannya tinggi,
baginya terbuka kesempatan untuk mencapai kedudukan tinggi, mungkin
bahkan sebagai panglima muda di istana."
"Tapi, bagaimana dengan engkau sendiri, enci Hiang" Apakah... ada
kecondongan hatimu untuk menerimanya?"
"Apakah engkau cinta padanya?"
Kini Kiki yang menatap dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kembali
Ceng Hiang menarik napas panjang dan nampak ragu ragu.
"Entahlah, adikku. Entahlah. Aku memang kagum kepadanya, akan tetapi
Cinta" Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana sih cinta itu. Engkau yang
hidup sebagai seorang gadis kang-ouw dan sudah luas sekali pengalamanmu,
coba katakan, adikku,bagaimana sih rasanya kalau orang jatuh cinta" Aku tidak
yakin apakah aku cinta atau tidak padanya, walaupun aku kagum dan suka
kepada suhengmu karena dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bertampang
ganteng dan bersikap sopan dan lembut. Bagaimana sih cinta itu?"
Di dalam hatinya, Kiki menaruh rasa khawatir. Memang suhengnya itu
perayu benar dan pandai bersandiwara, sikapnya selalu baik dan memang
tampan. Akan tetapi ditanya tentang cinta, dara inipun menjadi bingung
sendiri. Apa sih cinta itu" Ia lalu mengingat-ingat, membayangkan tampang
laki-laki yang pernah dikenalnya dan dikaguminya. Banyak pendekar muda
yang gagah perkasa dan ganteng, terutama sekali Tan Ci Kong itu! Ia sendiri
bertanya-tanya, apakah ia mencinta Ci Kong, akan tetapi ia sendiri tidak
mampu menjawab. Dan kini enci angkatnya bertanya tentang cinta kepadanya!
"Cinta" Wah, aku lebih muda darimu, end! Biarpun aku sudah banyak
menjelajah dan banyak mengenal orang, akan tetapi dalam urusan cinta
mencinta, pengetahuanku juga nol besar! Aku tak dapat menjawab. Akan
tetapi, bukankah kalau benar-benar engkau mencinta seorang pemuda, ada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

infotik.net Tidak Diperjualbelikan terasa di dalam hatimu" Bagaimana perasaanmu terhadap suhengku itu"
Apakah ada rindu" Apakah ada keinginan untuk berdekatan terus" Apakah ada
perasaan mesra dan" ah, bagaimana lagi ya" Aku tidak tahu!"
Dan keduanya lalu tertawa. Ceng Hiang merangkulnya dan mencium
pipinya. Kata-kata dan sikap adik angkatnya itu benar-benar lucu baginya, dan
ia memperhatikan wajah Kiki.
"Kalau saja aku ini seorang laki-laki, atau engkau seorang laki-laki, agaknya
aku bisa jatuh cinta padamu, Kiki. Tapi kita sama-sama perempuan, sehingga
di antara kita tentu lain-lain rasanya di hati. Aku tidak tahu dan aku ragu-ragu.
Tapi, coba ceritakan lebih banyak tentang suhengmu itu. Orang tuanya
dimana" Dari mana dia berasal" Dan pekerjaan hebat apa saja yang pernah
dilakukannya" Dan bagaimana dalam pergaulannya denganmu" Apakah dia
jujur" Apakah dia dapat dipercaya" Apakah dia penyabar ataukah pemarah"
Engkau sebagai sumoinya yang hidup sejak kecil dengan dia tentu
mengenalnya dengan baik."
Kiki menjadi semakin bingung.
"Wah, wah" pertanyaanmu ini sungguh berat bagiku untuk menjawabnya,
enci. Bagaimana aku dapat menilai orang yang pernah menjadi suhengku akan
tetapi juga pernah menjadi musuhku. Ketahuilah, belum lama ini belum ada dua
bulan ini, telah terjadi perang antara perahu bajak yang kupimpin dan perahu
kerajaan yang dipimpinnya. Terpaksa kami, suheng dan sumoi, bertanding di
perahu secara mati-matian. Karena pelengkapannya lebih baik dan orangorangnya lebih banyak, terpaksa aku melarikan diri bersama anak buahku.
Ketahuilah, kami telah bertanding mati-matian dan nyaris seorang di antara
kita tewas. Nah, bagaimana sekarang aku harus menilainya" memang
perkelahian dan permusuhan yang terjadi antara kami berdua bukan persoalan
pribadi, melainkan disebabkan karena dia meninggalkan kelompok kami dan
menjadi perwira pemerintah. Tentu saja bagi kami, dia itu kami anggap
seorang pengkhianat. Maafkan aku, enci..."
Ceng Hiang mengangguk-angguk.
"Tidak apa adikku, aku mengerti benar dan dapat merasakan apa yang
kauceritakan semua itu."
"Kau tidak marah kepadaku?"
"Kenapa marah?"
"Orang yang... kaucinta, kumaki pengkhianat dan kau tidak marah?"
"Hushh, lancang kau!"
Kini Ceng Hiang mencubit pipi Kiki.
"Siapabilang aku cinta padanya?"
"Jadi benar-benar kau tidak sakit hati mendengar dia dimaki
pengkhianat?" Ceng Hiang menggeleng kepala. Kiki lalu merangkulnya.
"Horee! Kalau begitu" berarti engkau tidak cinta padanya, enci Hiang!
Jelaslah! Kalau kau cinta seseorang, dan orang itu dimaki pengkhianat, sudah
pasti engkau akan marah. Dan sekarang kau tidak marah, itu berarti kau tidak
cinta pada bekas suhengku itu."
"Akupun tidak tahu dan mungkin aku tidak cinta padanya, akan tetapi ayah
kelihatan begitu yakin akan kebaikannya, dan agaknya ayah mengharapkan
aku menerimanya. Dan aku" kau tahu, ayah hanya mempunyai anak aku
seorang, aku tidak tega mengecewakan hatinya."
"Wah-wah, kau lupa padaku, enci" Ingat, aku pun anaknya!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ceng Hiang menciumnya. "Maaf, tapi kan lain, adikku?"
"Jadi, kalau begitu" biarpun kau tidak cinta, engkau akan menerima saja
pinangan itu dengan mata dipejamkan" Begitu?"
Ceng Hiang mengangguk. "Mungkin saja, kalau hal itu membahagiakan hati ayah."
"Tidak betul itu! Aku akan menentangnya!"
Tiba-tiba Kiki berseru dengan nada suara marah, dan berdiri turun dari
tempat tidur dan bertolak pinggang.
"Eh, eh, apa-apaan kau ini" Apa kesurupan setan" tiba-tiba marah-marah
seperti itu!" Ceng Hiang mengomel.
"Aku akan menentang karena tidak adil. Kita ini bukan ayam atau kambing
atau babi yang boleh begitu saja dituntun ke pejagalan disembelih, hanya
untuk untuk menyenangkan manusia. Kita ini berhak memilih, enciku yang
baik. Manusia yang berhak menikmati hidup ini! Kalau memang engkau tidak
cinta pada Lee Song Kim dan gi-hu hendak memaksamu menerima menjadi
calon isterinya, wah, aku akan memberontak! Aku akan menghadap gi-hu dan
aku akan membelamu. Pendeknya, aku tidak rela melihat enciku yang
tersayang dijadikan ayam betina untuk disembelih dan disuguhkan orangorang hanya untuk membikin senang hati orang lain. Tidak! Kecuali kalau
engkau cinta padanya, nah, baru itu benar namanya. Kalau engkau mencinta
seorang dan orang itupun cinta padamu, barulah boleh diadakan pernikahan.
Dan kalau ada yang menentang, aku pula yang akan membelamu mati-matian!"
Kini kedua mata Ceng Hiang yang menjadi basah. Ia menarik tangan Kiki
dan merangkul adiknya itu sambil menangis perlahan saking girang dan
terharu hatinya. Selama hidupnya, Ceng Hiang belum pernah merasakan kasih
sayang seorang saudara perempuan, apalagi karena ia masih kecil ketika
ibunya meninggal dunia. Kiki juga menangis dan kedua orang wanita yang
sama-sama gagah perkasa itu, kini benar-benar menjadi wanita-wanita sejati
yang mudah dikuasai perasannya dan suka meluapkan perasaan itu lewat air
mata dari dua pasang mata yang indah itu.
Dari Ceng Hiang, Kiki mendapat keterangan bahwa Song Kim naik pangkat
setelah terjadi penyerbuan di tempat ulang tahun Hai-tok, dan kini tinggal di
dalam sebuah gedung yang cukup mewah, dijaga oleh serdadu-serdadu
pengawal. "Engkau jangan mengunjunginya, karena bisa terjadi salah paham setelah
kalian pernah berkelahi. Juga aku ingin sekali melihat sikapnya kalau bertemu
denganmu. Karena itu, Kiki" aku akan menggunakan akal agar dia datang ke
sini dan..." Ceng Hiang lalu membisikkan kata-kata di dekat telinga Kiki, dan dua orang
gadis itu tertawa cekikikan seperti dua orang anak kecil yang merencanakan
sesuatu yang nakal. Memang, di dalam hati masing-masing tumbuh
kegembiraan yang selama ini belum pernah mereka rasakan, setelah mereka
merasa saling memiliki sebagai saudara.
Memang cinta asmara merupakan suatu hal yang amat rumit. Tiada
habisnya cerita di dunia ini dikisahkan oleh para Sasterawan dan pengarang
tentang cinta asmara, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya dan hal-hal yang
terjadi sehubungan dengan perasaan yang selalu menyerang hati manusia itu,
tak perduli dia berbangsa apa, pria atau wanita, tua ataupun muda.
Bagi sebagian besar pria, kalau dia jatuh cinta kepada seorang wanita,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan persoalannya lebih mudah dan sederhana lagi, dan dia sendiripun lebih mudah
untuk memahami keadaan dirinya. Dia tentu selalu rindu kepada wanita yang
dicintanya itu, merasa suka dan selalu merasa kasihan, ingin selalu berdekatan,
ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu bermesraan dan segala
sesuatu pada diri wanita itu nampak olehnya sebagai yang paling indah, paling
baik dan paling benar. Sebaliknya, pada diri wanita, cinta asmara ini lebih lembut sifatnya, namun
kadang-kadang menyerang lebih mendalam lagi walaupun wanita biasanya
pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Seorang wanita dapat mencinta
secara mati-matian, akan tetapi dapat pula mengubah cinta itu menjadi
kebencian yang berlebihan. Hal inipun tidak aneh karena sebagian besar batin
wanita dipenuhi oleh emosi, dan wanita lebih menurutkan bisikan atau
dorongan emosi perasaan hati dari pada nasihat pikiran jernih.
Ceng Hiang adalah seorang gadis yang luar biasa. Bukan saja ia telah
mewarisi beberapa macam ilmu silat pilihan dari keturunan keluarga para
pendekat Pulau Es, akan tetapi ayahnya juga mendidiknya dalam hal
kesusasteraan. Ia bukan hanya pandai silat, akan tetapi juga pandai membaca
menulis, pandai membuat sajak-sajak indah dan menikmati keindahan sajaksajak, pandai menyulam, bahkan pandai pula bernyanyi dan memainkan yangkim (semacam kecapi) dan suling. Karena ia terpelajar, maka ia mempelajari
pula sopan santun dan tata susila, cerdik bukan main.
Akan tetapi, menghadapi kata yang disebut "cinta", iapun bingung! Karena
itu, bukan membohong ketika ia mengatakan kepada Kiki bahwa ia tidak tahu
apakah ia mencinta Lee Song Kim atau tidak.
-------Song Kim memang cerdik. Ketika dia meninggalkan Pulau Layar, dengan
sembunyi-sembunyi dia telah mengikuti perahu Kiki, bahkan membonceng di
bawah perahu, dan ketika malam tiba, dia membikin Kiki tidak berdaya dan
hampir saja dia berhasil memperkosa Kiki di tengah lautan yang gelap gulita
itu. Agaknya kekuasaan alam tidak menghendaki perbuatan jahat itu terjadi,
maka tiba-tiba datang badai yang mengguncang perahu, bahkan membuat
perahu itu pecah dan terbalik. Ketika dia berhasil menarik Kiki yang masih
terbelenggu pada tiang ke pantai dan hendak melanjutkan perbuatan bejatnya
untuk memperkosa, tiba-tiba saja muncul Ci Kong yang menghalanginya dan
karena takut kalau dikenal Kiki, terpaksa dia melarikan diri.
Song Kim lalu melakukan penyelidikan seorang diri dan mendengar bahwa
Koan Jit berada di kota Kanton. Diapun cepat menyusul ke kota itu. Akan tetapi,
di Kanton dia mendengar bahwa Koan Jit telah menjadi seorang komandan
pasukan Harimau Terbang yang menjadi pasukan kepercayaan orang kulit
putih! Kedudukan Koan Jit demikian hebatnya sehingga dia sendiri merasa
jerih untuk melakukan penyelidikan nekat ke markas Harimau Terbang.
Song Kim lalu mencari akal dan akhirnya mengambil keputusan bahwa
kalau dia bekerja seorang diri berusaha merampas Giok- liong-kiam dari tangan
Koan jit, tak mungkin dia akan berhasil, bahkan mungkin membahayakan
keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dia mencari akal yang amat
bagus. Dia lalu pergi ke kota raja!
Seperti biasa di kota-kota besar, tentu di situ terdapat banyak pencolengpencoleng, pencuri- pencuri dan pencopet- pencopet. Song Kim lalu
memperlihatkan ilmu kepandaiannya. Dia melakukan keliling kota setiap hari,
mengunjungi pasar-pasar dan setiap kali melihat ada pencopet, pencoleng
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan yang merampas benda lain orang, dia segera turun tangan menangkapnya dan
menyeret penjahat itu kepada petugas keamanan. Bukan itu saja, bahkan di
waktu malam, dia berkeliling kota melalui genteng-genteng orang dan hampir
setiap malam dia menangkapi maling-maling, bahkan pernah dalam satu
malam dia menangkap tujuh orang maling di tujuh tempat. Maling-maling
inipun diseretnya kepada petugas keamanan.
Tentu saja nama Lee Song Kim dalam waktu singkat menjulang tinggi di
kalangan para petugas keamanan dan segera terdengar oleh komandannya.
Dia dipanggil dan ditawari pekerjaan. Itulah yang dinanti-nanti oleh Song Kim,
dan karena memang ilmu silatnya tinggi dan dia sengaja hendak mencari
kedudukan, setiap kali dia keluar tentu menangkap penjahat-penjahat dan
mata-mata pemberontak. Bahkan pernah dia sendiri membasmi gerombolan
pemberontak, yaitu pejuang-pejuang yang mengadakan rapat gelap di luar
kota, dan dia telah menangkap lebih dari duapuluh orang yang semua
diseretnya ke pengadilan.
Kehebatan sepak terjang Song Kim ini terdengar oleh Pouw-ciangkun,
komandan pasukan keamanan, dan diapun dinaikkan pangkatnya. Dalam
waktu sebentar saja, akhirnya dia sendiri diangkat menjadi seorang opsir yang
dapat diandalkan! Dan nama baiknya sebagai seorang opsir yang giat
melakukan pembersihan terhadap para penjahat, menimbulkan banyak rasa
suka, baik di kalangan pejabat-pejabat kota raja, rakyat jelata yang merasa
maupun dilindungi. Nama Lee Song Kim menjadi buah bibir orang, seorang opsir muda yang
berwatak pendekar, suka menolong, bersikap halus lembut dan ramah, pandai
merayu, apalagi memang tampan. Dan pemuda ini juga pandai membawa diri.
Walaupun pada hakekatnya dia lain nampak watak aselinya, yaitu mata
keranjang dan cabul, akan tetapi dia dapat menahan nafsunya dan hanya
melakukan pengumbaran nafsanya jauh dari kota raja dan menyamar sebagai
seorang pemuda biasa sehingga nama tetap harum.
Dalam keadaan demikianlah, opsir Lee Song Kim pernah berjumpa dengan
Ceng Hiang dan dia seketika dia tergila-gila. Bukan hanya tergila-gila oleh
kecantik jelitaan gadis itu, akan tetapi juga karena setelah dia mengikuti
komandannya berkunjung ke rumah gadis itu, dia mendengar bahwa gadis itu
adalah seorang pewaris ilmu- ilmu para pendekar pulau Es! Gadisnya begitu
cantik jelita, terkenal pandai ilmu silat, dan puteri tunggal seorang pangeran
lagi! Hati pemuda mana yang takkan tertarik"
Terlalu banyak hal-hal yang menguntungkan pada diri Ceng Hiang untuk
membuat hati Soug Kim tergila-gila. Komandannya, seorang panglima, yaitu
Pouw-ciangkun, sahabat baik dari Pangeran Ceng Tiu Ong, maklum akan isi
hati pembantunya yang disayangnya, maka setelah berunding, komandan yang
baik hati ini lalu melamarkan Ceng Hiang untuk dijodohkan dengan Lee Song
Kim, mengingat bahwa Ceng Hiang berusia dewasa dan belum terikat
perjodohan dengan orang lain.
Komandan Pouw maklum akan watak Pangeran Ceng Tiu Ong yang tidak
gila pangkat dan gila hormat. Maka dia berani mengajukan Lee Song Kim,
bukan bangsawan, untuk menjadi calon suami Ceng Hiang. Dan memang
benarlah, pangeran itu sama sekali tidak marah, bahkan dia kelihatan setuju
sekali! "Sudah sejak beberapa tahun aku ingin mempunyai mantu. Akan tetapi
engkau tahu sendiri watak anak sekarang, Pouw-ciangkun. Anakku Hiang itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan masih belum juga mau menikah, dengan alasan bahwa karena ibunya tidak
ada, ia tidak ingin meninggalkan aku, karena kalau sudah menikah, dia tentu
akan dibawa pergi suaminya. Dan pula, demikian menurut katanya, ia hanya
mau menikah dengan pemuda yang benar-benar cocok di hatinya. Sudah
banyak pemuda di kota raja ini, baik putera bangsawan maupun hartawan,
bahkan ada keponakan kaisar sendiri, yang kuperkenalkan kepadanya. Akan
tetapi mereka semua itu ditampiknya begitu saja! Ada yang kurang tampan,
kalau sudah ada yang tampan katanya kurang pandai, atau lemah tidak pandai
ilmu silat seperti dirinya sendiri. Wah, kalau sampai sekali ini ia mau menjadi
jodoh Lee Song Kim, perwira muda itu, hatiku akan girang sekali. Kebetulan
malah kalau Lee Song Kim itu bukan bangsawan dan sudah tidak mempunyai
ayah ibu, dia malah bisa tinggal di sini bersama Hiang, dan menemani aku.
Aha, betapa nikmatnya hidup begitu, apalagi kalau dapat menimang cucuku!"
Akan tetapi, kembali pangeran tua itu kecewa. Ketika dia mengemukakan
pendapatnya tentang pinangan yang dilakukan Pouw-ciangkun untuk Song
Kim sebagai calon suaminya, gadis itu mengerutkan alisnya.
"Ayah, aku belum mengenal betul orang dan belum tahu apakah sifatsifatnya akan mencocoki hatiku."
"Tapi dia jelas tampan dan gagah, anakku. Namanya sudah dikenal di
seluruh kota raja, baik oleh para bangsawan, pejabat maupun rakyat. Sudah
puluhan kali dia menangkapi orang jahat. Dia seorang opsir muda berjiwa
pendekar." "Bagaimanapun juga, aku harus mengenal wataknya dulu, ayah."
"Jadi engkau tidak keberatan kalau untuk kuperkenalkan?"
"Tentu saja tidak. Kalau berkenalan saja, dengan siapapun aku tidak
keberatan." Demikianlah, opsir Lee Song Kim diundang dan diperkenalkan, dan
menurut penglihatan Ceng Hiang, memang Song Kim seorang pemuda yang
baik sekali, sikapnya sopan, peramah, wajahnya tampan, pengetahuannya
luas. Hanya Satu hal yang belum diketahuinya benar, yajtu tentang ilmu
silatnya walaupun dalam percakapan, pemuda itu juga luas pengetahuannya
dalam hal ilmu silat. Setelah mendengar dari Kiki bahwa pemuda itu adalah suheng dari Kiki
yang ia tahu amat lihai, rasa sukanya makin besar.
Hati Song Kim berdebar penuh kegembiraan ketika sore hari itu dia
menerima undangan dari Ceng Hiang! Bukan dari ayah gadis itu seperti biasa,
melainkan dari gadis itu sendiri secara langsung, dengan mengirim utusan!
Wah, agaknya besar harapannya kini, pikirnya gembira. Dia lalu berdandan
sebaik mungkin, menyisir dan meminyaki rambutnya sampai mengkilap,
memakai pakaian terindah dan memakai pula minyak wangi. Dengan
dandanan yang tentu akan menjatuhkan hati setiap orang wanita, dia
tersenyum-senyum dan pergi berkuda menuju ke gedung tua tempat tinggal
Ceng Hiang!

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika yang menyambut
kedatangannya adalah Ceng Hiang sendiri. Gadis itupun nampak amat
manisnya, apalagi dengan pakaian yang ketat dan ringkas, nampak betapa
bentuk tubuhnya amat indah.
"Maaf, Lee-ciangkun, ayah tidak dapat keluar menemuimu karena dia
sedang sibuk dengan kitab-kitab kuno yang baru didapatnya dan dibawanya
dari utara," kata Ceng Hiang.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Song Kim menjura dengan sopan.
"Ayahmu adalah seorang sasterawan terbesar untuk jaman ini, nona, maka
saya tidak merasa heran kalau di antara kitab-kitabnya, dia merasa seperti
berada di sorga." Seperti kalau aku berada di dekatmu, demikian bisik hatinya sambil
menatap wajah yang amat cantik itu penuh kagum.
"Pula, yang mempunyai kepentingan denganmu memang aku, ciangkun.
Aku mempunyai sedikit urusan denganmu."
"Katakanlah, nona. Apa yang dapat kulakukan untukmu" Biar harus
menerjang lautan api atau menyelam ke dasar samudera, biar harus
mengorbankan nyawa, akan saya lakukan untuk membantumu, nona."
Ceng Hiang tersenyum. Laki-laki ini memang hebat, pandai sekali bermanis
muka dan merayu, dan betapa mudahnya menjatuhkan hati kepada seorang
pemuda seperti ini, pikirnya. Akan tetapi ia melihat semua ketampanan dan
baik itu sebagai suatu keadaan lahiriah belaka, seperti pakaian atau kedok. Ia
belum dapat melihat apa yang berada di balik kedok itu. Sudah berkali-kali,
semenjak pinangan itu, dengan kata-kata halus atau senyum dan isyarat
melalui pandang mata, pemuda ini menjelaskan cinta kasihnya yang besar dan
meluap-luap terhadap dirinya. Sekarangpun, kalau tidak mencinta, mana ada
orang mau bersikap mengorbankan nyawa untuk dirinya"
"Tidak sehebat itu permintaanku, ciangkun. Aku hanya minta untuk dapat
menguji kepandaian silatmu."
Song Kim pura-pura terkejut, walaupun sebenarnya hatinya girang bukan
main. Dia dapat menduga bahwa permintaan menguji kepandaian ini agaknya
merupakan ujian terakhir untuk melihat sampai dimana tingkat kepandaiannya
agar gadis ini tidak ragu-ragu menerimanya sebagai suami. Dan dia merasa
yakin akan dapat mengalahkan gadis ini dalam ilmu silat.
"Bagaimana nona mengajukan permintaan seperti itu" Lebih baik aku
disuruh bertanding melawan harimaumu itu, atau dengan puluhan orang yang
mengeroyokku. Bagaimana kalau aku sampai kesalahan tangan dan
melukaimu" Luka sedikit saja akan membuat aku selama hidupku menyesal
setengah mati." Lagi-lagi kata rayuan maut, pikir Ceng Hiang sambil tersenyum.
"Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri. Dan pula, bukankah kita hanya
menguji kepandaian saja, bukannya berkelahi untuk saling membunuh?"
Song Kim memperlihatkan wajah seperti orang terpaksa.
"Baiklah, nona, kalau begitu. Akan tetapi aku sudah mendengar akan
kehebatan ilmu silat nona yang menjadi pewaris dari ilmu silat keluarga Pulau
Es, mungkin baru beberapa jurus saja aku sudah akan kalah."
Tentu saja batinnya Song Kim tidak berkata demikian. Dia tahu bahwa
kalau dia sampai kalah, makin tipis harapannya untuk diterima menjadi calon
suami. Dia harus menang, menang mutlak akan tetapi jangan sampai melukai
nona manis ini. "Mari, kuantar nona ke lian-bu-thia."
"Jangan di ruangan berlatih silat, Ciangkun," kata Ceng Hiang cepat.
"Ayahku akan marah kalau mengetahui bahwa aku mengajakmu
bertanding ilmu silat."
"Tidak di lian-bu-thia, lalu di mana, nona" Di kebun?"
"Juga tidak. Akan ketahuan para pelayan dan akhirnya ayah akan tahu
juga. Kita harus keluar dari rumahku, bahkan dari kota raja. Kita bertanding di
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tempat yang sunyi di luar kota raja."
Wah, jantung Lee Song Kim berdebar saking girangnya. Berduaan saja
dengan gadis ini di luar kota raja, di tempat sunyi! Kesempatan yang amat baik
untuk mendapatkannya, secara balus maupun kasar. Akan tetapi pikiran itu
segera diusirnya cepat-cepat. Tolol kau, makinya. Gadis ini akan diambil
sebagai calon isteri. Gadis ini adalah puteri pangeran, tak boleh disamakan
dengan gadis-gadis dusun atau kota yang pernah diculik dan diperkosanya
atau dijatuhkan dengan rayuannya, lalu ditinggalkan begitu saja setelah dia
merengguk kepuasan. "Baiklah, nona. Aku hanya mentaati semua perintahmu."
Ceng Hiang yang memang sudah mempersiapkan segalanya sebelum
pemuda itu datang, lalu mengajaknya ke samping gedung dimana sudah
ditambatkan dua ekor kuda. Ia lalu mengajak Song Kim menunggang kuda dan
tak lama kemudian, merekapun melarikan kuda keluar dari kota raja, menuju ke
sebuah hutan kecil yang sunyi.
"Di hutan itu biasa aku berburu kelinci. Tempatnya sunyi dan aman kalau
untuk mengadakan pibu (adu kepandaian)."
Setelah tiba di dalam hutan, di lapangan rumput yang cukup luas, mereka
turun dari kuda dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon.
Kemudian, Ceng Hiang lalu berjalan menuju ke tengah lapangan rumput, diikuti
oleh Song Kim. Bukan main, pikirnya. Pinggul itu!
Setelah tiba di tengah lapangan rumput, Song Kim hampir saja tidak kuat
untuk tidak merangkul dan merebahkan gadis itu di situ dan dipaksanya
bermain cinta. Akan tetapi ambisinya untuk mendapatkan kedudukan tinggi
agar dia mempunyai cukup kekuasaan untuk kelak menyaingi Koan Jit dan
merampas Giok-liong-kiam, lebih besar dari pada nafsunya.
Ceng Hiang membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu.
"Nah, Lee-ciangkun, sebelum kita mulai mengadu kepandaian, sekali lagi
aku ingin mendengar, sebenarnya engkau ini murid siapakah?"
Song Kim mengerutkan alisnya. Pertanyaan seperti itu tak suka dia
mendengarnya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengaku bahwa dia
adalah murid dari Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang bahkan
kini oleh pemerintah Ceng sudah dinyatakan sebagai pemberontak.
"Kalau aku tidak salah ingat, pernah saya bercerita di depan pangeran dan
nona bahwa saya belajar ilmu silat dari orang tua saya sendiri yang kini telah
tiada. Ilmu silat kami adalah ilmu silat keluarga."
Dia memandang tajam lalu melanjutkan.
"Mengapa nona menanyakan lagi hal itu" Pentingkah bagimu dari
perguruan mana aku datang, nona?"
"Ah, tidak mengandung maksud apa-apa. Hanya banyak aku mendengar
tentang jagoan-jagoan di dunia persilatan, maka aku ingin tahu apakah engkau
bukan murid dari seorang di antara tokoh-tokoh yang pernah kudengar
namanya." "Nona tidak pernah atau jarang sekali merantau di dunia kang-ouw,
bagaimana bisa mengenal nama tokoh-tokoh persilatan" Siapa saja di
antaranya yang pernah nona dengar?"
"Banyak sekali! Terutama tokoh-tokoh yang kini mengadakan
pemberontakan-pemberontakan, banyak aku mendengar namanya. Bukankah
atas jasamu pula, banyak tokoh kang-ouw yang sedang mengadakan rapat di
hari ulang tahun Hai-tok telah disergap pasukan pemerintah" Jasamu itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sungguh besar sekali Lee-Ciangkun."
Wajah Song Kim agak berubah. Tak senang dia diingatkan akan hal itu.
Memang dia sudah mengkhianati dan melaporkan gurunya sendiri, bukan
sekali-kali karena dia membenci gurunya, melainkan karena dengan laporan
itu, dia memperoleh dua keuntungan. Pertama, dia berjasa pada pemerintah
dan semakin dipercaya. Kedua, makin banyak tokoh kang-ouw yang tewas,
makin berkuranglah saingannya untuk memperebutkan Giok-liong-kiam.
"Hal itu sudah menjadi tugas kewajibanku, nona."
"Baiklah, mari kita mulai. Bersiaplah kau menerima seranganku, ciangkun!"
Berkata demikian, Ceng Hiang lalu memasang kuda-kuda dengan berdiri
tegak lurus, kaki kanan diangkat dan ditekuk, ujung kaki kanan menyentuh
lutut kiri, tangan kiri dilingkarkan di depan dada dan tangan kanan menunjuk
ke atas dengan jari-jari terbuka. Jurus ini nampak gagah sekali dan kembali
Song Kim terpesona. Betapa cantik dan gagahnya gadis, ini pikirnya.
Dan diapun tidak mau kalah. Dia memasang aksi dengan kuda-kuda yang
kokoh kuat, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua lutut ditekuk, kedua
tangan mengepal di pinggang. Kuda-kuda ini adalah kuda-kuda biasa yang
kokoh dan dianggap merupakan kuda-kuda paling baik untuk menghadapi
serangan lawan yang tangguh. Diam-diam Ceng Hiang mengenal kuda-kuda
yang kokoh itu, akan tetapi dara ini memang sudah tahu dan mendengar
banyak tentang kelihaian Song Kim, maka iapun tidak mau bersikap sungkan
lagi. "Haiiittt..." Ia berteriak sambil menyerang, menurunkan kaki kanan dan tiba-tiba kaki
kirinya menendang sedemikian cepatnya, menotok ke arah pinggang kanan
lawan, sedangkan tangan kiri yang tadinya diangkat tinggi-tinggi itu meluncur
turun dan menotok ke arah pundak. Istimewa sekali serangan yang merupakan
totokan dalam waktu yang sama dengan ujung sepatu dan ujung tangan itu, di
kedua tempat terpisah namun cukup berbahaya kalau mengenai sasaran dapat
membuat lawan menjadi lumpuh seketika !
Lee Song Kim memang agak memandang rendah gadis ini. Mana mungkin
gadis yang demikian cantiknya, demikian halus dan lembutnya, puteri tunggal
seorang pangeran, dapat memiliki kepandaian silat yang berarti" Andaikata
mewarisi ilmu silat keluarga Pulau Es sekalipun, latihannya tentu kurang
sempurna. Pikiran inilah yang membuat dia tetap tersenyum melihat
datangnya serangan itu, walaupun diakuinya bahwa serangan itu istimewa,
aneh dan cepat. Diapun cepat menggerakkan kedua tangannya, dan dalam gerakan
pertama ini saja sudah membuka rahasia wataknya tanpa disadarinya. Dengan
tangan kanan dia menangkis tendangan kaki gadis itu, dan tangan kiri
menangkis totokan dari atas, akan tetapi bukan hanya menangkis begitu saja,
melainkan menangkis dengan gerakan siap untuk menangkap sepatu lawan
dan lengan lawan! Dia memperhitungkan bahwa tangkisannya itu tentu akan membuat kaki
dan tangan lawan melekat sebentar dan cukuplah baginya untuk memutar
pergelangan tangan, dan baik sepatu maupun lengan lawannya tentu akan
sudah dapat ditangkapnya. Kalau dia mampu merampas sepatu itu dalam satu
jurus, tentu gadis itu akan takluk dan malu, juga tunduk seketika.
"Duk! Plak!" Memang dia berhasil menangkis tendangan dan totokan tangan, akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tetapi akibatnya sungguh di luar dugaannya. Dia tadi hanya mengerahkan
sebagian saja dari tenaga sinkangnya, dengan kerahkan tenaga menyedot dan
menempel karena dia tidak ingin menyakiti, apalagi melukai gadis itu. Akan
tetapi, pertemuan kedua lengannya itu seketika membuat kedua lengannya
menggigil saking dinginnya, seolah-olah kedua lengannya itu dibenamkan ke
dalam air es! Dia sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah menguasai satu di antara
ilmu-ilmu sinkang yang luar biasa dari keluarga Pulau Es, yaitu sinkang atau
tenaga sakti yang disebut Soat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju)! Tenaga
ini selain amat kuat, juga mengandung hawa dingin yang selain dapat
membuat lawan menggigil, kalau ilmu ini sudah dikuasai dengan sempurna,
dapat pula membikin beku darah lawan sehingga terkena pukulan satu kali
saja, lawan akan tewas dengan jantung membeku!
Begitu merasa betapa kedua lengannya menggigil, Song Kim mengeluarkan
seruan kaget, mengerahkan sinkangnya dan cepat meloncat jauh ke belakang
dengan mata terbelalak saking kagetnya.
"Kenapa, ciangkun?" Ceng Hiang bertanya dengan senyum mengejek.
Muka Song Kim berubah merah.
"Ah, sungguh luar biasa sekali. Aku sampai terkejut oleh kekuatan sinkang
nona yang amat hebat!"
"Karena itu jangan memandang rendah orang lain, ciangkun. Nah,
sambutlah serangan-seranganku."
Dan kini gadis itu tiba-tiba saja sudah bergerak, tubuhnya melayang seperti
terbang ke depan, kedua tangannya membuat gerakan dengan jari-jari tangan
seperti menulis corat-coret, membuat huruf-huruf tertentu di udara, akan tetapi
karena Song Kim berada di depannya, maka otomatis corat sana coret sini itu
merupakan serangan-serangan yang amat aneh dan mengandung angin yang
mengeluarkan bunyi bercuitan!
Sang Kim kembali terkejut setengah mati. Ilmu siluman apalagi ini" Tentu
saja dia belum pernah menyaksikan, bahkan mendengarpun belum pernah,
akan ilmu silat yang amat sakti dari keluarga Pulau Es, yaitu yang disebut
Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastera Angin dan Awan). Gerakan ilmu ini seperti
orang menulis huruf-huruf di udara, dan memang sesungguhnya, jurus-jurus
ilmu silat ini merupakan penulisan huruf-huruf tertentu yang tentu saja
mengandung daya serang tertentu pula yang amat aneh!
Repot sekali Song Kim menghadapi serangan-serangan aneh ini, dan dia
harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan mengelak ke
sana-sini, kadang-kadang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Bahkan diapun berusaha untuk balas menyerang, karena dia kini tahu bahwa
kalau dia tidak membalas, kalau hanya mengalah dan mempertahankan diri
saja, jangan-jangan dalam beberapa jurus saja dia akan roboh!
Terjadilah pertandingan yang amat seru. Memang Ceng Hiang hebat bukan
main ilmunya, ilmu aseli dari keluarga Pulau Es, akan tetapi lawannyapun
bukan orang biasa. Lee Song Kim adalah murid tersayang dari Hai-tok, dan
boleh dibilang hampir seluruh ilmu kepandaian datuk itu sudah dikuasainya.
Oleh karena itu, pertandingan itu berlangsung dengan amat serunya, akan
tetapi perlahan-lahan, keaselian ilmu silat Ceng Hiang membuat Song Kim
menjadi semakin kerepotan saja.
Padahal, Ceng Hiang baru mewarisi beberapa macam saja dari ilmu
keluarga pulau Es. Ia menguasai Soat-im Sin-kang, yaitu ilmu menghimpun
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tenaga sakti yang berhawa dingin, kemudian menguasai pula ilmu Silat Hongin Bun-hoat yang berupa penulisan huruf-huruf di udara sambil menyerang, dan
ketiga dikuasainya pula ilmu aneh yang disebut Pat-sian Mo-kun (Ilmu Silat
Delapan Dewa dan Setan)! Ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong
maupun dengan pedang, dan ini adalah merupakan penggabungan dari dua
macam ilmu silat, yaitu Pat-san-kun (Silat Delapan Dewa) dan Pat-mo-kun (Silat
Delapan Setan) yang dahulu telah tergabung menjadi ilmu silat aneh dari
keluarga Pulau Es oleh Pendekar Super Sakti.
Pertandingan itu sudah berlangsung limapuluh jurus, dan tiba-tiba saja
gadis itu mengeluarkan bentakan nyaring, akan tetapi tubuhnya mencelat ke
belakang meninggalkan arena pertandingan. Song Kim berdiri dengan muka
sebentar pucat sebentar merah, karena baju di pundak kirinya telah berlubang!
Kalau saja gadis itu menghendaki, tentu bukan baju itu yang berlubang,
melainkan jalan darah di pundak itu yang tertotok, yang akibatnya dapat
membuat lengannya lumpuh tertotok! Akan tetapi dia memang cerdik.
"Astaga...! Sungguh hebat sekali ilmu kepandaian nona Ceng. Biarpun aku
harus belajar lagi sampai seratus tahun, belum tentu aku mampu menandingi
ilmu silat nona. Dimana di dunia ini ada ilmu silat yang mampu menandingi
ilmu silat keluarga Pulau Es?"
Dengan kata-kata ini, selain memuji lawan agar senang hatiya, juga dia
seperti hendak mengatakan bairpun kalau dia sampai kalah, hal itu adalah
karena nona ini memiliki ilmu silat keturunan keluarga Pulau Es yang tidak ada
bandingannya. Jadi kekalahannya itu lumrah, bukan karena dia kurang lihai!
Ceng Hiang juga membalas penghormatan itu sambil tersenyum.
"Ah, ciangkun pandai merendah dan mengalah saja. Ilmu silat ciangkun
memang hebat, dan terus terang saja, selama ini belum pernah aku berternu
tanding seperti ciangkun, kecuali baru sepekan yang lalu ini aku bertemu
tanding yang ilmu silatnya setingkat dengan tingkat ciangkun."
Mendengar ini, Song Kim terkejut. Celaka, jangan-jangan nona ini


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan seorang pemuda lain yang juga lihai, dan berarti dia mendapatkan
saingan yang cukup berat.
"Wah, aku tidak percaya itu, nona. Selama ini, aku sendiri belum pernah
menemukan tandingan yang seimbang dan baru nona yang benar-benar amat
lihai dan dapat mengatasiku. Kalau benar ada yang lihai seperti nona katakan
tadi, aku berani menghadapinya dan kalau aku kalah olehnya, aku tidak akan
memperlihatkan muka di kota raja lagi."
Ucapan itu adalah ucapan seorang yang menahan malu karena
kekalahannya tadi, juga karena dia khawatir mendapatkan saingan yang lebih
lihai dari dia. Kalau benar demikian, memang dia tidak ada muka untuk berada
di kota raja lagi. Lebih baik langsung saja ke Kanton dan mencari daya upaya
di sana untuk merampas Giok-liong-kiam. Kalau dia dapat mempersunting
Ceng Hiang, bukan saja terlaksana idam-idaman hatinya memperisteri gadis
yang cantik molek ini, akan tetapi juga kedudukannya akan meningkat tinggi
dan sebagai mantu pangeran, tentu dia memiliki kekuasaan yang cukup untuk
dipergunakan ke Kanton menundukkan Koan Jit dan memaksanya
menyerahkan Giok-liong-kiam kepadanya.
Diam-diam Ceng Hiang sudah merasa tidak suka mendengar omongan dan
melihat sikap Song Kim. Kini, setelah mengadu ilmu, baru ia mulai melihat ciriciri pernuda itu yang tadinya agaknya tidak nampak atau disembunyikan.
Pertama, pemuda ini dalam perkelahian tadi memperlihatkan sikap sombong,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memandang rendah kepadanya, dan juga tidak sopan karena ingin merampas
sepatunya, hal yang kurang ajar sekali. Kedua, pemuda ini tidak dapat
mengakui kekalahannya dengan jujur, akan tetapi mempergunakan kecerdikan
untuk memperkecil kekalahannya. Dan ketiga, Song Kim yang baru saja kalah
olehnya itu masih berani menyombongkan diri terhadap lawan-lawannya yang
belum pernah diduganya siapa adanya. Ini sudah dapat membuktikan
kesombongannya, dan baru sekarang Ceng Hiang melihat segi-segi buruk
pemuda itu. Ia merasa beruntung sekali bahwa ia belum pernah menyatakan
keinginannya untuk menyetujui kecondongan hati ayahnya, belum pernah
menerima pinangan pemuda itu.
"Benarkah begitu, Lee-ciangkun" Kau berhati-hatilah, orang yang
kumaksudkan itu, yang memiliki kepandaian silat tinggi, pada saat ini berada
di sini." Bagaimanapun juga, tiga sifat yang tidak disukainya itu belum bisa
membuktikan bahwa pemuda ini jahat. Masih banyak sifat-sifatnya yang baik
yang mengimbangi keburukannya itu. Pemuda ini, demi kepentingannya
sendiri, hanya berarti membohong dan suka memandang rendah orang lain
karena tinggi hati, merasa telah memiliki ilmu silat yang tiada tandingannya.
Maka, ia hendak mempertemukannya dengan Kiki agar ia dapat melihat
bagaimana sesugguhnya watak pemuda ini dan siapa sebenarnya. Kalau hanya
mendengar omongan Kiki saja, hal itupun belum ada buktinya dan siapa tahu
kalau-kalau Kiki merasa sakit hati dan benci kepada suhengnya, tentu saja
semua hal yang dibicarakan tentang suhengnya itu yang buruk-buruk belaka.
Karena itu, ia sudah mengatur siasat dengan Kiki seperti yang dibisikkannya di
dalam kamar tidur mereka beberapa malam yang lalu.
"Benarkah dia berada di sini?"
Tentu saja Lee Song Kim terkejut sekali, akan tetapi dia memang tinggi hati.
Belum pernah dia dikalahkan orang, dan di dunia ini tidak banyak yang
memiliki kepandaian setinggi Ceng Hiang.
"Kalau benar, aku akan menghadapinya sekarang juga!"
"Baiklah, akan kupanggil orangnya ke sini!"
Setelah berkata demikian, Ceng Hiang bertepuk tangan tiga kali dan diamdiam Song Kim terkejut bukan main. Ketika gadis itu bertepuk tangan,
terdengar suara seperti dua buah benda keras bertemu. Ini saja menandakan
bahwa gadis itu benar-benar telah menguasai sinkang yang amat kuat.
Terdengar suitan nyaring sebagai balasan, dan dari balik semak-semak
belukar, meloncatlah seorang wanita. Gerakannya demikian cepat dan tahutahu ia telah berdiri berhadapan dengan Lee Song Kim. Pemuda itu cepat
memandang dan wajahnya seketika menjadi pucat. Kalau pada saat itu dia
melihat yang muncul seorang iblis, belum tentu dia akan sekaget sekarang ini.
"Kau... sumoi..." katanya gagap dan seperti orang linglung, dia menoleh
dan memandang kepada Ceng Hiang, lalu kepada Kiki, berganti-ganti seperti
hendak bertanya, apa artinya semua ini.
"Benar, akan tetapi engkau tidak berhak menyebut sumoi kepadaku lagi.
Lee Song Kim, engkau tentu mengira bahwa aku sudah mati di laut, bukan"
Nah, sekaranglah tiba saatnya kita bertanding, satu lawan satu, tidak seperti
dulu, kau mengandalkan jumlah yang lebih besar!"
Berkata demikian, gadis ini melintangkan sebuah tongkat yang tadi telah
dipersiapkan lebih dulu di depan dadanya, dengan sikap menantang.
Tentu saja Song Kim merasa tidak enak sekali kepada Ceng Hiang. Maka
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan untuk membersihkan muka dan namanya, dia berkata membujuk.
"Sumoi, harap jangan bersikap begitu. Kuakui bahwa memang aku yang
melaporkan rapat para pemberontak ketika suhu mengadakan pesta ulang
tahun, juga aku mengaku bahwa aku membawa pasukan dengan perahu untuk
menyerang perahu Bajak Naga Lautan. Akan tetapi, semua itu adalah tugasku
sebagai seorang perwira, sumoi! Aku harus menentang pemberontakan dan
aku harus pula menentang para pembajak dan para penjahat lainnya. Yang
bersalah adalah suhu dan kau sendiri, kenapa tidak meninggalkan kebiasaan
lama, meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan benar dengan mengabdi
kepada pemerintah dan mengamankan kehidupan rakyat jelata?"
Diam-diam Kiki dan juga Ceng Hiang merasa kagum. Orang ini memang
cerdik bukan main dan pandai sekali bicara. Siapa saja, pihak luar, yang tidak
tahu-menahu urusan dalam di antara mereka, tentu akan setuju sepenuhnya
dan akan membenarkan pemuda itu.
"Lee Song Kim, tidak perlu engkau mengeluarkan kata-kata merayu. Aku
menerima tugas dari ayah untuk mencari tahu di mana tempat tinggalmu, dan
ayah sendiri yang akan datang untuk menghukummu sebagai murid yang
murtad dan pengkhianat besar. Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut
menghadapimu. Tadi kau menantang aku melalui enci Hiang. Nah, aku di sini,
mari kira lanjutkan perkelahian kita dulu itu!"
Kalau saja di situ tidak ada Ceng Hiang, tentu Song Kim sudah marah sekali
dan sudah menyerang bekas sumoinya, kalau mungkin menangkapnya hiduphidup untuk dipermainkan dulu sebelum dibunuh, kalau tidak mungkin,
langsung saja membunuhnya karena sumoinya merupakan orang berbahaya
bagi perhubungannya dengan Ceng Hiang.
"Sumoi, kita bersaudara seperguruan. Kalau engkau memang ingin menguji
kepandaian dan hendak menyerangku, silahkan!" katanya dengan sikap gagah
dan memang cerdik, karena seolah-olah Kiki yang memaksanya untuk
bertanding! Akan tetapi Kiki memang sudah tak dapat menahan kernarahannya lagi
ketika bertemu dengan Song Kim, apalagi sejak tadi ia mendengarkan
percakapan antara Song Kim dan Ceng Hiang. Sebagai orang yang mengenal
Song Kim sejak kecil, tentu saja Kiki mengenal segala yang tersembunyi di balik
topeng tampan dan halus itu, dan ia tahu bahwa bekas suhengnya itu berusaha
sekuat tenaga untuk menarik perhatian dan menjatuhkan hati Ceng Hiang. Ia
tidak mau menerima kenyataan itu dan ia tidak akan merasa rela kalau sampai
Ceng Hiang terjatuh ke tangan Song Kim.
"Lee Song Kim, lihat senjataku!" bentaknya, dan iapun sudah menyerang
dengan tongkatnya. Song Kim maklum betapa lihainya kalau sumoinya ini bersenjatakan
tongkat. Memang sebenarnya, keahliannya adalah bermain tongkat. Tongkat
suhunya amat dikenal di dunia persilatan. Tongkat emasnya itulah yang
mengangkat nama suhunya Hai-tok dan Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas)
amat ditakuti lawan, di samping ilmu Silat Thai-lek Kim-kong-jiu. Dia
sendiripun mempelajari kedua ilmu itu, akan tetapi wataknya yang pesolek
membuat dia mengganti tongkat dengan pedang. Rasanya tidak berwibawa
dan tidak gagah baginya kalau dia kemana-mana harus membawa tongkat.
Sebaliknya, kalau membawa pedang tentu nampak gagah. Apalagi setelah dia
menjadi opsir! Karena tahu betapa lihainya Kiki kalau bersenjata tongkat, dia
tidak berani menghadapinya dengan tangan kosong dan diapun mencabut
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pedangnya. "Trangg! Cringgg...!"
Dua kali tongkat bertemu pedang, dan kini keduanya nampak berkelebatan
dengan cepat sekali. Dua gulungan sinar nampak saling belit dan kakak beradik
seperguruan ini sudah saling hantam dengan amat sengitnya.
Ceng Hiang menyaksikan dari samping dan diam-diam merasa kagum.
Memang kedua orang itu hebat sekali dan andaikata ia tidak memiliki ilmu-ilmu
yang dahsyat dari keluarga Pulau Es, ia sendiripun takkan mungkin dapat
mengalahkan mereka ini. Dua orang itu memiliki ilmu silat dari satu sumber dan keduanya memang
berbakat. Akan tetapi sekali ini, Song Kim merasa rugi. Tentu saja permainan
tongkat Kiki lebih hebat dari pada permainan pedangnya yang digerakkan
berdasarkan ilmu Kim-kong-pang pula! Ada beberapa bagian yang membuat
dia kalah praktis, terutama karena dengan tongkat itu, Kiki dapat
mempergunakan kedua ujung tongkat untuk menusuk, menghantam atau
menotok jalan darah. Sebaliknya, dengan pedang, Song Kim hanya mampu menyerang dengan
ujung pedang saja, membacok atau menusuk. Bagian gagangnya sama sekali
tidak dapat dia pergunakan. Apalagi di situ terdapat Ceng Hiang yang
menonton, hal yang membuatnya menjadi gugup dan juga serba salah.
Lalu pikiran yang amat cerdik akan tetapi kejam menyelinap dalam hati
Song Kim. Kenapa dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk membunuh
saja Kiki" Dalam perkelahian adu kepandaian, apalagi kalau tingkat mereka
seimbang, soal terluka atau mati bukanlah hal yang aneh! Mereka sudah
berkelahi tigapuluh jurus lebih dan dari permainan senjata mereka, mulailah
gadis dapat mendesak suhengnya. Walaupun untuk dapat mengalahkan Song
Kim masih amat sukar, namun setidaknya ia sudah memperlihatkan bahwa
pemuda itu tidaklah sehebat seperti bualannya.
Akan tetapi tiba-tiba ada sinar putih berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu
menubruk maju dengan pisau belati menyambar ke arah perut Kiki! Ceng Hiang
sendiri terkejut bukan main. Akan tetapi Kiki dapat meloncat ke belakang dan
gadis ini memang maklum bahwa suhengnya itu pandai memainkan sepasang
pisau belati. Tak disangkanya bahwa kini suhengnya yang sudah memegang
pedang itu tidak malu-malu untuk membantu pedangnya dengau pisau belati
di tangan kiri! Agak terkejut juga Kiki, dan kini ialah yang terdesak ke belakang
karena lawan sudah menyerang bertubi-tubi dengan pedang dan pisaunya!
Dan di pinggang pemuda itu masih ada sebatang pisau belati lagi.
Ceng Hiang merasa serba salah. Untuk membantu, ia segan karena hal itu
berarti suatu perbuatan curang. Untuk mendiamkan saja, ia mulai merasa
khawatir akan keselamatan Kiki. Ia bermaksud untuk melerai saja, akan tetapi
pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki.
"Hemm, memang jahat sekali. Kembali kau ingin menghina wanita!"
Dan muncullah seorang pemuda yang entah dari mana datangnya.
Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga, tahu-tahu dia telah berada
di situ. Seorang pemuda yang usianya tentu baru duapuluh tahun lebih sedikit,
berpakaian sederhana seperti petani, kuncirnya hitam dan tebal melingkar di
leher, wajahnya yang tampan itu amat sederhana, penuh dengan bayangan
kehalusan budi dan kesabaran.
Melihat munculnya pemuda ini, Song Kim terkejut bukan main. Dia
mengenal pemuda yang pernah menggagalkan dia ketika dia hendak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memperkosa Kiki di pantai laut dahulu itu! Dan kini pemuda ini muncul, berarti
pemuda ini akan membuka rahasianya dan celakaiah dia. Maka, melihat betapa
Kiki agaknya juga mengenal pemuda itu dan gadis itu meloncat jauh ke
belakang, dia lalu tiba-tiba saja menubruk ke kanan, ke arah pemuda itu dan
membacokkan pedangnya ke arah leher pemuda itu, sedangkan pisau belatinya
disambitkan ke arah dada!
Pemuda itu bukan lain adalah Tan Ci Kong! Dia tadi melihat perkelahian
antara dua orang itu dan segera mengenal bahwa yang diserang itu adalah
Kiki, dan yang menyerang adalah pemuda yang dulu hampir memperkosa gadis
itu. Tentu saja dia marah dan segera menegur, tidak melihat bahwa tak jauh
dari situ berdiri seorang gadis lain yang sedang nonton perkelahian hebat itu.
Ketika tiba-tiba, tanpa disangkanya, Song Kim menyerangnya, Ci Kong
hanya mundur selangkah. membiarkan pedang menyambar, lalu tiba-tiba dia
menangkis dari samping, sedangkan pisau belati yang meluncur ke arah dada
itu didiamkan saja, akan tetapi dia mengerahkan tenaga sinkang melindungi
dada dan lengan. "Tak! Tak!" Pedang itu terpental, tertangkis oleh lengan, sedangkan pisau belati yang
mengenai dada Ci Kong juga runtuh ke atas tanah! Bukan hanya Song Kim yang
terkejut, melainkan Kiki dan Ceng Hiang juga kagum bukan main. Terutama
sekali Kiki. Dia mengenal pemuda itu " hanya" cucu dari Siauw-bin-hud, jadi
termasuk murid Siauw-lim-pai yang tidak tinggi tingkatnya, akan tetapi
bagaimana dapat memiliki kekebalan yang demikian hebat"
Dara ini pernah mengenalnya, akan tetapi belum pernah menyaksikan
kepandaiannya yang sungguh-sungguh. Padahal ia sendiri tidak akan berani
membiarkan pisau belati itu mengenai dadanya, maklum betapa kuatnya Song
Kim, apalagi menangkis pedangnya. Dan Ceng Hiang hanya bengong, tak
pernah mengira bahwa dalam satu waktu saja, ia akan berkenalan dengan
demikian banyaknya orang-orang muda yang amat lihai.
Akan tetapi, Song Kim bukan hanya terkejut, melainkan jerih sekali. Bukan
jerih melawan pemuda itu. Akan tetapi kalau pemuda itu membuka rahasia,
bukan saja Kiki akan semakin membencinya, gurunya juga akan marah, akan
tetapi terutama sekali Ceng Hiang tentu akan membencinya! Tidak akan ada
harapan lagi untuk naik pangkat, apalagi memperisteri, Ceng Hiang. Dan untuk
melawan" Wah, berat! Baru melawan sumoinya saja, sudah amat sukar dia
memperoleh kemenangan, apalagi di situ ada Ceng Hiang yang jelas lebih lihai
darinya, dan pemuda tani itu juga memiliki kepandaian hebat.
"Ci Kong!" Kiki sudah berteriak girang juga kagum karena tidak menyangka pemuda
Siauw-lim-pai ini demikian tangguhnya.
"Apa maksudmu dia jahat dan menghina wanita?"
"Kiki, kau tidak tahu" Dialah laki-laki dahulu itu yang mengganggumu di
pantai?" Wajah gadis itu berubah pucat sekali, kemudian menjadi merah.
"Apa...?""
Matanya terbelalak dan membalikkan tubuh, siap untuk menyerang bekas
suhengnya, akan tetapi begitu tadi Kiki mengajukan pertanyaan, Song Kim
sudah melarikan diri dengan cepat tanpa pamit lagi, meninggalkan tempat itu.
"Iblis keparat" jahanam"!" Kiki membentak.
"Hendak lari kemana kau?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dan Kiki pun melakukan pengejaran. Tentu saja Ceng Hiang terkejut dan
juga mengejar. Melihat betapa gadis cantik yang baru saja dilihatnya menjadi
penonton itu mampu meloncat dan lari secepat itu, sejenak Ci Kong menjadi
bengong, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Wahh... di dunia begini banyak gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu silat
tinggi! Jangan-jangan pada suatu waktu, dunia ini akan dikuasai oleh wanita."
Dan diapun cepat melakukan pengejaran karena dia khawatir kalau-kalau
Kiki akan terjebak oleh pemuda yang nampaknya tampan dan gagah, akan
tetapi ternyata cerdik, curang dan juga jahat itu.
Dengan ilmunya berlari cepat, Ceng Hiang dapat menyusul Kiki dan ia
berkata. "Adikku, mari kita cari dia di gedungnya."
Baru Kiki teringat. Tadinya ia sudah bingung karena bayangan pemuda
jahat itu tidak nampak lagi. Dan diam-diam Ceng Hiang terheran mengapa
kedua mata adik angkatnya itu basah dan matanya berapi-api, jelas bahwa
adiknya itu marah bukan main. Karena mereka berdua berlari secepatnya,
mereka tidak sempat bercakap-cakap, juga mereka tidak tahu bahwa tidak jauh
di belakang mereka, Ci Kong masih terus lari membayangi mereka, melihat dan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin melindungi dari jauh.
Melihat betapa puteri pangeran itu dan seorang gadis lain, juga seorang
pemuda di belakang mereka, memasuki pintu gerbang sambil berlari cepat,
para penjaga di situ memandang terheran-heran Akan tetapi tidak berniat
bertanya, apalagi menegur. Tidak ada perajurit yang tidak tahu siapa adanya
Ceng Hiang! Mereka tahu betapa lihainya puteri pangeran dan menganggap
bahwa dara itu bersama dua orang kawannya yang juga lihai sekali dan dapat
berlari secepat kijang-kijang muda.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di gedung tempat kediaman opsir Lee Song
Kim, pemuda itu sudah terbang pergi. Para penjaga di situ hanya mengatakan
bahwa majikan mereka baru saja pergi membawa buntalan besar, bahkan
perginya melalui pintu belakang! Kiki hendak melakukan pengejaran, akan
tetapi Ceng Hiang memegang lengan adiknya itu.
"Tak perlu dikejar, sukar sekali mencarinya kalau tidak tahu kemana dia
pergi." Mereka sudah berada di belakang gedung itu dan tidak nampak bayangan
Song Kim. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki di belakang mereka.
"Memang tidak ada gunanya dikejar. Berkejaran di kota tentu bahkan akan
menimbulkan kekacauan. Di tempat ramai ini amat mudah baginya sembunyi."
Ceng Hiang menengok dan melihat pemuda tani yang mengagumkan itu
telah berdiri pula di situ. Dara ini semakin kagum. Pemuda itu tidak nampak
lelah sama sekali, dan ia tadi juga tidak dapat melihat batapa pemuda ini
membayangi mereka. Betapa lihainya pemuda ini.
Mendengar suara Ci Kong, Kiki lalu membalikkan tubuhnya dan kini
nampak ia menangis. Biarpun tidak terisak-isak, akan tetapi kedua matanya
merah dan masih ada air mata mengalir turun.
"Kenapa tidak dari dulu kau beritahu padaku bahwa dia yang melakukan
itu!" bentaknya dengan nada suara marah dan memandang kepada pernuda
itu dengan mata lebar dan mulut cemberut.
Agaknya dalam setiap saat, gadis ini bisa saja mendadak menyerang Ci
Kong sebagai tempat peluapan kemarahannya. Ci Kong mengembangkan
kedua tangannya. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kiki, bagaimana aku dapat memberi tahu kepadamu kalau aku belum
pernah mengenalnya. Tadi ketika aku melihat dia berkelahi denganmu, aku
segera mengenalnya dan aku bahkan mengira kalau dia berkelahi denganmu
karena urusan dahulu itu."
Kiki teringat dan tentu saja dara ini tak dapat marah lagi. Memang,
bagaimana Ci Kong dapat menceritakan siapa orangnya yang hendak
memperkosanya kalau belum mengenal orang itu"
"Adikku, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Lee-ciangkun?" tibatiba Ceng Hiang bertanya karena ia sama sekali tidak mengerti apa yang
dibicarakan kedua orang itu.
"Ciangkun-ciangkun apa! Dia penjahat besar... aihh, malu sekali aku
menjadi bekas sumoinya!"
Gadis ini membanting-banting kaki, dengan kemarahan meluap-luap, ia
membayangkan semua yang terjadi. Terkutuk! Kalau begitu, laki-laki yang
meraba-rabanya, yang menciuminya dan nyaris memperkosanya di perahu
sebelum badai mengamuk itu tentu juga si jahanam itu!
"Dia itu suhengmu?"
Kini Ci Kong yang terheran-heran, sama sekali tidak mengira bahwa pria
yang dahulu hendak memperkosa Kiki itu malahsuhengnya sendiri! Suheng
macam apa begitu" Akan tetapi dia teringat bahwa Kiki dan suhengnya itu
adalah murid-murid Hai-tok, jadi tidaklah aneh kalau suheng itu hendak
memperkosa sumoinya sendiri. Perbuatan jahat apa yang diharamkan oleh
orang-orang dari Empat Racun Dunia"
"Kiki, siapakah saudara ini dan apa artinya percakapan kalian ini?" kembali
Ceng Hiang menuntut karena ia ingin tahu sekali.
Barulah Kiki teringat akan kehadiran encinya itu, dan cepat ia merangkul
encinya dan kini tak tertahankan lagi ia menangis, menyembunyikan mukanya
di pundak Ceng Hiang yang merangkul dan mengelus rambutnya. Setelah
meredakan tangisnya, tangis karena marah dan penasaran, Kiki lalu berkata.
"Enci, memang buruk sekali nasib adikmu ini?"
"Baik buruknya nasib hanyalah anggapan kita sendiri saja, adikku.
Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya pernah terjadi" Atau kalau engkau
sungkan tidak menceritakan, akupun tidak akan memaksamu," katanya halus
dan lembut. Sejak tadi, Ci Kong tertegun dan terpesona. Dia tidak berani mermandang
langsung, akan tetapi setiap kali melirik kepada gadis yang dipanggil cici oleh
Kiki itu, sinar matanya seolah-olah melekat dan sukar untuk dialihkan ke
tempat lain! Gadis itu begitu cantik jelita, begitu halus dan lembut, dan katakatanya mengandung kebijaksanaan yang demikian mengagumkan.
"Enci, beberapa bulan yang lalu, aku dan suhengku itu oleh ayah diperintah
untuk meninggalkan Pulau Layar untuk mencari Koan Jit, orang yang telah
merampas Giok-Hohg-kiam yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw."
Ceng Hiang mengangguk. "Aku pernah mendengar tentang Giok-liong-kim itu. Bukankah itu pusaka
yang dicuri orang dari Thian-te-pai itu" Kalau tidak salah, pihak istana juga ikut
berlumba untuk memperebutkan."
"Benar. Giok- liong-kiam terampas oleh Koan Jit murid pertama dari Thiantok. Kami, yaitu aku dan bekas suheng itu, berebut siapa yang akan
melaksanakan tugas merampas pusaka itu dari tangan Koan Jit. Dan aku
mendahului Lee Song Kim itu, malam-malam aku meninggalkan pulau dan naik
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan perahu. Akan tetapi, sungguh tak kusangka, di tengah malam tiba-tiba ada
orang menotokku sehingga aku roboh tak berdaya. Karena sama sekali tidak
mengira ada orang dapat naik ke perahuku di tengah lautan, maka aku dapat
dirobohkan. Dan dia... dia" hampir saja dapat memperkosaku. Untung ketika
itu tiba-tiba datang badai mengamuk, dia tidak dapat melaksanakan niatnya
yang terkutuk, dan aku lalu diikatnya di tiang layar perahuku. Akan tetapi badai
sedemikian hebatnya sehingga perahu itu membentur batu karang, pecah dan
tenggelam. Untung aku diikat di tiang layar sehingga aku tidak ikut tenggelam.
Ombak mempermainkan diriku setengah malam, dan menjelang pagi aku
terdampar di pantai."
Ceng Hiang mendengarkan penuturan adik angkatnya dengan jantung
berdebar tegang dan ia memandang adiknya itu dengan sinar mata penuh iba.
"Lalu bagaimana, adikku yang malang?"
"Celakanya, enci. Ketika aku terdampar, jahanam keparat Lee Song Kim
itupun sudah tiba di pantai itu! Dan kembali dia... dia bermaksud untuk
memperkosaku!" "Jahanam busuk!"
Ceng Hiang ikut mendamprat, akan tetapi makiannya itu terdengar barusan
sama sekali berbeda dengan makian Kiki yang kasar penuh hawa amarah dan
kebencian. "Aku terbelenggu di tiang layar dan tidak berdaya, enci. Andaikata hal itu
terlaksana, aku tentu akan bunuh diri. Akan tetapi tiba-tiba saja muncul dia ini
yang menyelamatkan aku. Dia menyerang Song Kim, dan agaknya karena Song
Kim tidak mampu mengalahkannya, dia melarikan diri, si pengecut jahanam!"
"Bukan kalah dariku, Kiki, melainkan sekarang aku dapat menduga, pada
waktu itu matahari sudah hampir keluar dan tentu dia takut kalau-kalau engkau
akan mengenalinya," kata Ci Kong.
"Benar!" Kiki menepuk Paha sendiri.
"Wah, sungguh jahanam itu penuh tipu muslihat! Untung engkau tadi
muncul, Ci Kong, kalau tidak, sampai detik inipun tentu aku tidak pernah
menyangka bahwa dialah jahanam busuk malam itu!"
"Adikku Kiki, kenapa sejak kita bertemu, engkau tidak pernah bercerita
tentang peristiwa itu kepadaku?" tiba-tiba Ceng Hiang bertanya, nada
suaranya penuh teguran. "Ah, aku malu, enci. Biarpun aku belum ternoda, akan tetapi aku malu untuk
menceritakan kepadamu."
"Kiki, aku tidak mengira bahwa engkau mempunyai seorang kakak
perempuan. Nona, terimalah hormatku, tadi aku melihat betapa nona dapat
berlari cepat secara luar biasa sekali, dan aku mengerti bahwa ilmu kepandaian
nona tentu lebih hebat dari pada Kiki atau aku sendiri. Kenapa nona tadi tidak
turun tangan menghajar orang itu?"
Kini Ci Kong yang bertanya kepada Ceng Hiang sambil mengerutkan
alisnya. Gadis ini luar biasa, dan jelas lihai, akan tetapi dia merasa heran
mengapa tadi membiarkan Kiki didesak oleh Song Kim.
Kiki tertawa dan itu tandanya bahwa dara ini sudah melupakan
kemarahannya. Memang, seorang gadis lincah jenaka seperti Kiki, wataknya
mudah berubah seperti angin. Bisa saja sebentar menangis, sebentar tertawa,
mudah marah lalu berbalik ramah.
"Hi-hik, engkau hanya tahu ekorrya tak tahu kepalanya, Ci Kong. Yang
kaukira kakak perempuanku ini memang benar enciku, akan tetapi enci angkat.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ia ini adalah puteri?"
"Hushhh, jangan mengangkatku terlalu tinggi, Kiki?" kata Ceng Hiang dan
tiba-tiba mukanya berubah merah.
"Ci Kong, enci Hiang ini adalah puteri tunggal dari Pangeran Ceng Tiu Ong,
seorang pangeran tua yang arif bijaksana, sasterawan besar, dan mereka, ayah
dan anak itu tidak menyetujui penjajahan dan penindasan. Hebat, bukan" Dan
biarpun ayahnya seorang sasterawan yang hanya pandai membaca menulis,
bahkan ahli sastera kuno, akan tetapi jangan mengira enciku ini yang kelihatan
halus lembut seorang lemah! Wah" kepandaiannya tentang silat... selangit
deh!" "Hushhh?" Kembali Ceng Hiang mencela akan tetapi tidak melanjutkan dan tersenyum
malu. Aneh sekali, baru sekarang gadis ini merasa girang dipuji-puji di depan
orang! "Kau tahu, Ci Kong, dara cantik jelita seperti bidadari di depanmu ini siapa"
Ia adalah pewaris ilmu-ilmu silat dari keturunan keluarga pendekar Pulau Es!"
Tentu saja Ci Kong menjadi kaget bukan main. Cepat dia menjura dan
berkata. "Ah, harap lihiap (pendekar wanita) sudi memaafkan kalau saya bersikap
kurang hormat karena tidak tahu bahwa lihiap adalah murid keluarga Pulau
Es!" Wajah cantik itu menjadi semakin merah, dan Ceng Hiang membalas
penghormatan pemuda itu dengan menjura.
"Ah, taihiap (pendekar besar) bersikap terlalu sungkan dan memuji diriku
terlampau tinggi. Ini semua gara-gara adik Kiki yang nakal ini!"
Kiki tertawa dan bertepuk tangan.
"Hi-hik, yang seorang lihiap, seorang lagi taihiap, sungguh cocok sekali!"
Melihat betapa kedua orang itu menjadi semakin kikuk oleh godaannya,
Kiki berkata. "Kita adalah saudara dan sahabat, merupakan orang-orang sendiri. Kalian
jangan begitu sungkan dengan sebutan yang menyanjung seperti itu. Enci
Hiang, aku begitu bertemu dan berkenalan dengan Ci Kong, kami langsung saja
menyebut nama masing-masing. Dan begitu kita saling jumpa, bukankah di
antara kita juga sudah akrab" Kenapa kalian begini sungkan" Enci Hiang, Tan
Ci Kong ini adalah seorang murid yang lihai sekali dari Siauw-lim-pai."
Ceng Hiang yang merasa semakin malu oleh godaan adiknya, untuk
menutupi rasa kikuknya, lalu berkata.
"Kiranya aku berhadapan dengan seorang pendekar Siauw-lim-pai yang
berilmu tinggi." Ci Kong menarik napas panjang.
"Sudahlah, nona Ceng, adik Kiki memang benar. Di antara kita tidak perlu
sungkan-sungkan dan saling memuji. Yang penting, harap kalian waspada dan
hati-hati sekali terhadap orang yang ternyata adalah suheng sendiri dari Kiki.
Siapakah nama suhengmu itu, Kiki?""
"Tidak sudi aku mempunyai suheng macam dia! Dia sekarang bukan
suhengku lagi, melainkan musuhku. Namanya adalah Lee Song Kim, dan kalau
dapat berjumpa lagi dengannya, aku akan membunuhnya! Aku akan
mencarinya!" Ceng Hiang mengerutkan alisnya dan memegang lengan adiknya.
"Jangan, adikku. Dia memiliki kedudukan yang baik dan kuat, menjadi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan orang kepercayaan panglima kerajaan, bahkan dia sudah diperkenalkan
kepada ayah. Kalau engkau memusuhinya dengan bertarung, kemudian
diketahui bahwa engkau adalah puteri angkat ayah, maka tentu ayah akan
terlibat. Seorang diri saja memusuhi dia yang mempunyai pasukan besar, tak
mungkin engkau akan berhasil."
"Apa yang dikemukakan nona Ceng ini memang tepat dan engkau harus
bertindak dengan hati-hati, jangan sembrono, Kiki," kata pula Ci Kong.
"Kau sudah dicap pemberontak-pemberontak, dan orang itu memiliki
kedudukan di dalam pasukan pemerintah. Tentu engkau akan celaka dan tidak
berhasil kalau berusaha sendiri untuk membasminya. Diperlukan kekuatan
yang besar dan perhitungan yang matang."
Kiki yang mengepal tinju ketika menyatakan hendak mencari dan
membunuh bekas suhengnya itu, menjadi lemas kembali.
"Baiklah, aku akan lapor kepada ayah, karena memang ayah sendiri yang
akan turun tangan menghukum murid murtad itu."
Ci Kong lalu berpamit dari dua orang gadis itu. Ceng Hiang mengajak Kiki
pulang ke gedungnya, dan mulai hari itu, dengan tekun Kiki mempelajari kitab
Hui-thian Yan-cu yang sudah diterjemahkan dengan jelas oleh Pangeran Ceng.
Setelah ia mengerti benar, baru ia membawa kitab itu dan meninggalkan
gedung keluarga Pangeran Ceng, untuk pulang ke Pulau Naga.
Sang pangeran yang merasa suka kepada puteri angkatnya itu, memberi
banyak nasihat agar gadis itu berhati-hati dan jangan menuruti nafsu dan
keberanian saja dalam usaha perjuangan menentang pemerintah lalim dan
pasukan orang kulit putih.
Ceng Hiang yang juga amat mencinta Kiki, merasa kehilangan dan minta
adik angkatnya itu berjanji bahwa Kiki akan segera kembali ke gedung
keluarga Ceng itu. -------"Kau perempuan sialan, membikin orang menjadi malu saja!"
Entah berapa kali sudah kakek itu mengomel panjang pendek kepada gadis
yang berjalan di sampingnya itu. Gadis yang berkulit putih, bermata biru dan
berambut kuning emas itu tidak pernah membantah, hanya berjalan dengan
langkah lebar mengimbangi langkah kakek itu sambil menundukkan mukanya.
Ia adalah Diana, dan kakek yang marah-marah kepadanya itu adalah San-tok.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika diajak berkunjung ke kuil
untuk mengadakan pertemuan dengan Siauw-bin-hud dan Tee-tok, Diana
melihat Ci Kong dan gadis ini yang tidak dapat membendung luapan rasa
girang dan terima kasihnya, telah memperlihatkan rasa girangnya secara
spontan seperti kebiasaan bangsanya, ia merangkul dan mencium Ci Kong di
depan orang banyak. San-tok yang memang tadinya tidak senang kepada gadis
yang dianggapnya selalu merupakan gangguan ini, menjadi semakin marah
dan kini di sepanjang perjalanan dia mengomel terus.
"Engkau telah mencoreng arang di mukaku, di depan banyak orang. Kau
melakukan hal yang tidak sopan dan sekarang masih berani mengikuti aku.
Apakah kau minta aku turun tangan membunuhmu?"
"Aku adalah murid suhu, kalau tidak mengikuti suhu, habis mengikuti
siapa?" Diana akhirnya berkaca sambil memandang wajah kakek itu dengan sinar
matanya yang tajam. Melihat sepasang mata lebar berwarna kebiruan itu
menatapnya tanpa rasa takut sedikitpun juga, San-tok yang biasanya amat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan peramah suka senyum-senyum sendiri itu, kini cemberut dan membuang muka.
"Aku tidak sudi mempunyai murid seperti engkau!"
"Akan tetapi suhu sudah berjanji, dan aku tidak percaya seorang sakti
dengan kedudukan seperti suhu akan mau melanggar janji sendiri."
San-tok merasa kewalahan dan menjadi semakin uring-uringan.
"Janji apa! Huh, kau membikin aku malu. Kau tahu, Ci Kong itu adalah calon
jodoh Lian Hong, dan engkau menciuminya di depan orang banyak! Celaka!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Diana terkejut mendengar ini dan memang wajah kakek itu
dengan sinar mata tidak percaya.
"Ah, suci Lian Hong tidak pernah bicara tentang itu, Suhu. Kurasa tidak ada
pertalian cinta di antara mereka..."
"Persetan dengan cinta! Aku menghendaki muridku itu berjodoh dengan Ci
Kong, dan itu merupakan suatu hal yang tidak boleh dibantah, dan engkau
telah menciumi Ci Kong begitu saja!"
Diana memiliki watak yang keras dan berani. Kalau saja tidak mengingat
bahwa ia sudah menjadi murid kakek ini, tentu semua ucapan dan sikap kakek
itu akan dicela dan dibantahnya. Kini, mendengar akan pendapat kakek itu
yang agaknya hendak memaksa Lian Hong berjodoh dengan Ci Kong, iapun
merasa penasaran. "Suhu, perjodohan tanpa cinta hanya akan mendatangkan sengsara! Dan
tentang perbuatanku mencium Ci Kong itu, hanyalah merupakan luapan
kegembiraan hatiku bertemu dengan orang yang pernah menyelamatkan aku.
Apa sih artihya ciuman tanda terima kasih seperti itu" Kurasa kulit pipinya
tidak lecet dan tidak akan ternoda atau berkurang!"
Hampir saja San-tok tertawa mendengar ini, dan diapun termenung. Dia
teringat bahwa biasanya diapun tidak perduli akan segala hai mengenai tata
susila dan sopan santun. Memang, dicium begitu saja tidak ada artinya, Ci
Kong masih tetap utuh. Kalau dulu hal seperti terjadi, tentu dia malah akan
tertawa geli. Akan tetapi sekarang, kenapa dia meributkan soal sepele" Sejak
dia berhubungan dengan Siauw-bin-hud, sejak dia ingin menjadi orang baik,
ingin menjadi seorang pejuang dan patriot, tiba-tiba saja dia kini meributkan
soal sopan santun sepele! Dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Rasa malu
ini ditutupinya dengan kemarahan besar.
"Sudahlah, jangan cerewet. Kaupergilah, jangan mengikuti aku lagi, atau
kalau engkau nekat, akan kubunuh kau?"
"Kalau suhu hendak membunuh aku yang tanpa dosa, silahkan. Sejak
dulupun, kalau suhu mau membunuhku, aku tidak akan dapat membela diri."
Sepasang mata San-tok mencorong menatap wajah gadis itu, dan melihat
betapa sinar mata yang bening itu penuh keberanian ditujukan kepadanya,
bukan sekedar membual atau menggertak, dia semakin mendongkol. Gadis ini
tidak dapat digertak, pikirnya.
"Tolol! Kalau aku pergi meningalkanmu, apa kau mau menyusulku?"
"Terserah kepada Suhu. Aku akan tetap mengejar. Kalau suhu hendak
melanggar janji, silahkan meninggalkan aku."
San-tok membanting kakinya.
"Sialan! Kenapa hidupku yang tidak berapa lama lagi ini terganggu oleh
kehadiran orangseperti engkau ini Celaka! Nah, kau berjalanlah sendiri, biar
dimakan binatang buas!"
Sekali berkelebat, kakek itu lenyap dari depan Diana. Sejenak gadis ini
menjadi pucat dan bingung. Akan tetapi teringat akan nasihat Lian Hong
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bahwa menghadapi seorang kakek luar biasa seperti guru mereka itu, Diana
harus keras hati dan tahan ujian! Maka, kini iapun memberanikan hatinya dan
melangkah terus menuju ke utara, karena ia sudah tahu bahwa gurunya
bertempat tinggal di puncak Gunung Naga putih, sebuah di antara puncakpuncak Wuyi-san. Kalau perlu, ia akan menyusul suhunya, pergi seorang diri ke
puncak itu, kalau tidak mati dimakan binatang buas di tengah jalan.
San-tok tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi untuk melihat bagaimana
sikap gadis itu setelah ditinggalkan. Akan tetapi dia melibat betapa Diana
dengan sikap penuh keberanian, masih melanjutkan perjalanan menuju utara!
Lambat atau cepat, akhirnya tentu gadis itu akan tiba juga di puncak Naga
Putih menyusulnya! Tentu gadis bule ini sudah tahu akan tempat tinggalnya
dari Lian Hong! Dia lalu mempunyai akal dan sambil menahan ketawa, San-tok
lalu mendahului Diana, lalu bersembunyi ke dalam semak-semak belukar yang
akan dilalui gadis itu. Diana melangkah terus dengan cepat, sambil menggigit bibirnya bertekad
untuk berjalan terus dan baru berhenti kalau kakinya sudah mogok. Ketika ia
tiba di dekat sekelompok semak belukar yang rimbun, tiba-tiba saja terdengar
gerengan keras sekali dan semak-semak itu bergoyang keras! Tentu saja gadis
itu terkejut bukan main, ia menjerit kecil.
Diana berteriak, akan tetapi lalu teringat bahwa San-tok tidak berada di
situ, maka iapun lalu melarikan diri tunggang-langgang. Ia merasa yakin
bahwa ada binatang buas yang amat berbahaya dalam semak-semak itu dan
ia tidak perduli lagi ke arah mana ia lari. Yang penting adalah menyelamatkan
diri sebelum binatang itu keluar.
Setelah gadis itu berlari jauh, San-tok muncul dari dalam semak-semak dan
tertawa bergelak, membayangkan betapa lucunya gadis itu tadi lari terbiritbirit!
"Rasakan kau sekarang!" katanya, dan melihat betapa Diana tadi melarikan
diri ke kiri, berarti ke barat, dia merasa yakin bahwa gadis itu tentu sudah
kehilangan arah dan tak mungkin akan dapat keluar dari hutan lebat itu.
San-tok lalu melanjutkan perjalanan, tidak tergesa-gesa, melainkan
seenaknya karena hatinya merasa senang bahwa dia telah berhasil
mengenyahkan Diana dari sampingnya. Tidak ada lagi yang mengganggu
dalam perjalanannya, dan diapun melanjutkan perjalanan seenaknya saja.
Tiga hari kemudian, karena kemalaman di jalan, terpaksa San-tok
memasuki sebuah rumah kosong yang sudah hampir roboh, yang berdiri di tepi
jalan di luar sebuah dusun. Dia tadi berhasil menangkap seekor kijang dan
mencuri seguci arak. Sambil bersenandung, kakek ini menikmati keadaannya
waktu itu. Dia membuat sebuah api unggun di ruangan belakang rumah rusak
itu, memanggang paha kijang yang sudah diberinya bumbu sehingga
panggang daging itu menyiarkan bau yang amat sedap. San-tok yang sejak
pagi tadi tidak makan apa-apa, mencium bau ini, memandang dengan mata
haus dan air liurnya membasahi mulut.
"Suhu... aku" aku lapar...!"
San-tok meloncat dari tempat dia duduk di atas lantai dan dia menengok.
Matanya terbelalak ketika melihat tubuh Diana terguling roboh dan ternyata
gadis itu telah roboh pingsan, tak jauh dari api unggun! Melihat munculnya
gadis ini, San-tok terkejut bukan main, akan tetapi juga rasa kagum menyelinap
di hatinya yang keras. Gadis bule ini benar-benar luar biasa sekali, pikirnya.
Bukankah tiga hari yang lalu sudah lari tunggang-langgang di dalam hutan itu,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menuju ke barat" Bagaimana mungkin kini dapat menyusulnya di pondok
bobrok itu" Dan diapun kini tertarik oleh kekuatan yang luar biasa itu.
Dihampirinya tubuh Diana dan memeriksa sebentar saja, tahulah dia bahwa
gadis ini roboh pingsan saking lelah dan laparnya! Pakaiannya compangcamping, juga rambutnya awut-awutan.
San-tok menarik napas panjang. Tak dapat dia membohongi atau
menyangkal hatinya sendiri bahwa dia semakin tertarik dan suka kepada gadis
bule yang keras hati ini. Tidak mengecewakan memiliki seorang murid seperti
ini, pikirnya. Dan diapun teringat akan janjinya kepada Lian Hong. Muridnya
yang amat disayangnya itu memesan dengan sungguh-sungguh agar dia tidak
mengganggu Diana, agar dia melindungi gadis bule yang sudah diterimanya
sebagai murid itu. Dia lalu mengambil arak, menuangkan sedikit arak ke dalam
mulut Diana dan gadis itupun siuman sambil terbatuk-batuk.
"Hemm, anak bandel. Kaumakanlah ini, dan minum arak ini!" kata San-tok.
Diana yang memang sudah kelaparan itu, menerima daging panggang dan
makan dengan lahapnya, dan minum arak yang menghangatkan perutnya. Santok sendiri lalu makan daging panggang tanpa banyak cakap. Terjadi perang
di dalam hatinya. Rasa kasihan sudah lama meninggalkan lubuk hati kakek ini.
Hatinya beku dan keras. Terhadap Diana, dia tidak merasa kasihan, hanya
tertarik melihat betapa gadis ini memiliki kemauan yang demikian membaja.
Akan tetapi dia masih belum puas benar. Memiliki murid seorang perempuan
bangsa kulit putih tidak menyenangkan hatinya. Tentu dia akan menjadi bahan
kecaman dan cemooh dunia kang-ouw. Kecuali kalau murid ini memang
istimewa. Dan dia harus menguji lagi Diana.
Dari tempat itu ke puncak Naga Putih tidaklah jauh lagi. Mereka sudah tiba
di kaki pegunungan Wuyi-san. Melalui perjalanan yang susah payah bagi orang
biasa, dalam waktu tiga hari lagi tentu akan sampai ke sana.
"Bagaimana engkau bisa menyusulku ke sini" Apakah engkau mengenal
jalanan?" tanya San-tok setelah gadis itu selesai makan dan kedua pipinya
sudah memerah lagi tertimpa cahaya api unggun.
"Suci Lian Hong pernah menerangkan perjalanan ke Puncak Naga Putih
kepadaku, Suhu." jawab Diana dengan sikap tenang.
"Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu mencapai Puncak Naga
Putih. Nah, aku pergi!"
Berkata demikian, kembali San-tok meloncat dan lenyap dari situ. Diana
terpaksa melewatkan malam di rumah bobrok itu, dan pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali ia sudah pergi meninggalkan tempat itu, tidak perduli
walaupun kedua kakinya masih terasa sakit-sakit dan lelah sekali. Tekadnya
adalah mencapai Puncak Naga Putih atau mati di jalan!
Dengan menggunakan ginkangnya yang luar biasa, jarak yang jauh itu
ditempuh oleh San-tok dalam waktu semalam saja. Pada keesokan harinya, dia
sudah tiba di dalam guhanya di Puncak Naga Putih. Dia sudah melupakan lagi
Diana karena dia masih tidak percaya bahwa gadis itu akan mampu
menyusulnya sampai ke situ.
Akan tetapi, tiga hari kemudian, ketika dia sedang duduk bersila di dalam
guhanya, Diana muncul di depan guha.
"Suhu!" seru gadis itu dengan wajah berseri penuh kebanggaan dan
kegirangan karena akhirnya ia mampu juga mencapai puncak tempat tinggal
suhunya. "Hemm, mau apa engkau menyusulku sampai ke sini?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan San-tok membentak dengan sikap acuh. Sampai waktu itu, Diana sudah
mengenal benar watak kakek yang aneh ini dan hatinya tidak tersinggung oleh
sikap acuh itu. "Suhu tentu belum lupa bahwa aku adalah murid suhu. Aku datang ke sini
menyusul suhu untuk mempelajari ilmu silat sepeti yang sudah suhu janjikan,
dan menanti kembalinya suci Lian Hong."
"Heh, enak saja kau bicara. Kau kira mudah mempelajari ilmu silat dariku"
Engkau takkan kuat menahan, sukar sekali dan kau takkan mampu."
"Suhu, betapapun sukar dan sulitnya, akan kucoba."
"Latihannya berat sekali! Engkau tidak akan kuat!"
"Akan kujalani betapa beratpun."
Diana bertekad. Kalau Lian Hong dulu mampu mempelajari ilmu dari kakek
ini, mengapa ia tidak" Menurut Lian Hong, ia memiliki tubuh yang jauh lebih
kuat dari pada wanita pada umumnya, dan memiliki daya tahan yang lebih
besar. Apa lagi pengalaman-pengalamannya selama ini, bekerja di sawah
ladang, bekerja keras, tentu menambah keuletan dan daya tahan tubuhnya.
"Hemm, kalau begitu terserah. Kalau sampai engkau tidak kuat dan mati,
itu salahmu sendiri. Nah, mulai hari ini, engkau harus setiap hari mengambil air
dari sumber air di bawah puncak, memikul air itu ke puncak, dan juga
mencarikan sayur bahan makanan untuk kita berdua. Kalau sampai engkau lalai
dan kehabisan makanan dan minuman, engkau akan mati kelaparan?"
"Baik, suhu?" kata Diana dengan gembira.
Dan iapun mulai bekerja membanting tulang. Ternyata tidaklah semudah
yang diduganya. Sumber air itu berada jauh di bawah puncak, di lereng yang
terjal. Membawa diri sendiri saja naik turun tempat itu amatlah sukarnya, apa
lagi sambil memikul air! Mula-mula, air sepikul yang dibawanya itu montangmanting ketika dipikul, dan sebagian airnya tumpah sehingga ketika ia tiba di
puncak, ia hanya berhasil membawa air yang bersisa sedikit sekali. Namun,
gadis ini tidak pernah putus asa, dan dengan gigih ia mencoba terus. Juga ia
berbasil mendapatkan sayur-sayuran yang tumbuh jauh dari puncak,
membawanya pulang dan memasak sayuran itu untuk ia dan San-tok.
Setelah bekerja selama hampir satu bulan, Diana sudah mulai dapat
memikul air ke puncak dan sisa air setengah lebih! Ia tidak lagi mengalami
kesukaran dalam mencari bahan makanan maupun air.
Pada suatu sore, setelah bekerja hampir sebulan, Diana terpaksa berada di
dalam guha, karena di luar hujan turun dengan derasnya, disertai kilat
menyambar-nyambar. Ia melihat suhunya duduk bersila dan timbul rasa
penasaran di hati Diana. Selama satu bulan, suhunya mendiamkannya saja,
jangankan diberi pelajaran ilmu silat, diajak bicarapun tidak! Ia merasa
penasaran dan sekaranglah waktuaya untuk menegur dan memprotes,
pikirnya. "Suhu..." tegurnya.
Sampai tiga kali ia memanggil, barulah San-tok membuka matanya dan
memandang dengan alis berkerut.
Semenjak ada Diana, kakek ini jarang tersenyum lagi.
"Ada apa lagi?" bentaknya.
"Suhu, sudah hampir satu bulan aku bekerja di sini, mengerjakan semua
perintah suhu tanpa mengenal lelah. Akan tetapi selama ini, suhu belum
memenuhi kewajiban suhu. Kewajiban sepatutnya dikkukan kedua pihak,
bukan sepihak saja. Aku sudah memenuhi kewajibanku, memenuhi semua
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan perintah suhu, akan tetapi suhu..."
"Aku" Berkewajiban" Eh, Diana, kewajiban apa yang ada padaku!" bentak
kakek itu marah. "Kewajiban memenuhi janji suhu. Bukankah suhu sudah menerimaku
sebagai murid" Mengapa suhu belum juga mengajarkan ilmu silat?"
"Huh, bocah tolol! Apa yang kuajarkan kepadamu selama sebulan ini jauh
lebih bermanfaat bagimu dari pada kalau engkau belajar ilmu pukul tendang
selama tiga bulan! Dan kau masih mengomel bilang aku tidak mengajarkan
apa-apa padamu" Belajar ilmu silat tidaklah semudah yang kauduga. Dan
sekarang aku mau mengajarkan padamu ilmu yang luar biasa. Mari!"
Kakek itu bangkit dan dengan girang. Diana ikut pula bangkit. Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika tiba-tiba gurunya menyambar lengannya dan
menariknya keluar dari dalam guha, menerjang air hujan lebat. Dan lebih kaget
lagi hatinya ketika tiba-tiba gurunya memegang kedua pundaknya dan tahutahu tubuhnya sudah melayang naik ke atas batu karang yang berada di depan
guha. Kakek itu meloncat lalu mendaki batu karang itu sambil membawa tubuh
Diana, seolah-olah batu karang itu datar. Padahal, batu itu meruncing dan
menjulang ke atas! Dan tidak mudah memanjat batu karang karena selain terjal
juga amat licin. Akan tetapi dalam waktu sekejap, tahu-tahu kakek itu telah
tiba di puncak, lalu meletakkan tubuh Diana di atas puncak.
"Nah, engkau bersila di sini dan berlatih samadhi!" katanya lalu diapun
melayang turun kembali jauh di bawah, dan setelah tiba di bawah, kakek itu
memandang ke atas sambil tertawa bergelak.
Kemudian diapun masuk ke dalam guha, membiarkan Diana duduk bersila
di atas puncak batu karang itu sambil berteriak-teriak dan menangis!
Diana merasa takut bukan main. Hujan turun dengan lebatnya. Air hujan
yang menimpa muka dan tubuhnya yang tidak dapat terlindung pakaian yang
koyak-koyak itu, seperti ribuan jarum menusuk-nusuknya. Angin yang bertiup
kencang seolah-olah mendorong-dorongnya agar jatuh dari atas puncak batu
karang. Dan belum lagi kilat yang menyambar-nyambar. Mengerikan!
Diana menjerit-jerit memanggil suhunya dan menangis minta diturunkan.
Ia sendiri tidak mungkin turun dari situ. Jangankan Diana, biar orang yang
pandai ilmu silat sekalipun, takkan mudah turun dari tempat itu. Sekali
terpeleset, tentu akan jatuh dan tubuh akan menimpa batu-batu di bawahnya,
tentu akan remuk! Dapat dibayangkan betapa tersiksanya badan dan batin
Diana. Akan tetapi gadis ini segera melihat kenyataan. Ia sudah ditaruh di situ,
ini merupakan sebuah kenyataan yang sudah yang tak dapat lagi, baik oleh ia
sendiri maupun oleh siapa juga! Ia berada di puncak batu karang yang
menjulang tinggi, di bawah siraman air hujan, tiupan angin keras dan ancaman
kilat yang menyambar-nyambar. Tak dapat diatasi dengan rasa tangis! Juga ia
tidak dapat turun sendiri.
Ratap tangis hanya akan melemahkan batinnya, dan kalau mempengaruhi
tubuhnya, maka ia akan menjadi semakin lemah. Rasa takut hanya datang
karena ia membayangkan hal-hal yang mengerikan, membayangkan disambar
kilat, membayangkan terjatuh ke bawah. Kalau tidak membayangkan hal-hal
itu, tidak ada lagi rasa takut! Dan tersiksa hanya timbul kalau ia melawan dalam
batinnya. Mulailah ia merasa tenang dan ia membetulkan letak duduknya
bersila. Dari Lian Hong ia sudah mempelajari cara duduk yang benar dalam
samadhi. Ia lalu duduk bersila dengan baik, melipat kedua lengan di depan
dada. Pikirannya dibiarkan bebas dan bersatu dengan rasa di tubuhnya, tanpa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

infotik.net Tidak Diperjualbelikan ada tanggapan batin atau pikiran lagi. Dirasakannya dengan penuh perhatian
tiupan angin, jatuhnya air hujan menyiram tubuhnya, didengarkan bunyi kilat
dan guntur. Dan sungguh aneh! Karena pikirannya tidak membayangkan apa-apa lagi,
lenyaplah segala kekhawatiran, hilanglah segala rasa takut! Dan lebih aneh
lagi, air hujan yang tadinya menyiksa di samping keruncingannya, kini terasa
olehnya kesejukan yang luar biasa. Tiupan anginterasa pula kenyamanannya,
dan bunyi kilat menyambar-nyambar itu tidak begitu menakutkan lagi, bahkan
menimbulkan rasa kagumnya karena kebesaran alam nampak jelas di sekitar
dirinya saat itu. Dan iapun mulai mengatur pernapasannya, duduk dengan
diam seolah-olah menjadi bagian dari batu karang itu sendiri, menjadi
puncaknya! San-tok minum arak sambil tertawa-tawa. Rasakan kau sekarang, pikirnya.
Besok pagi ia tentu akan merengek minta diturunkan dan dia akan mengajukan
syarat, mau menurunkan asal gadis itu berjanji akan meninggalkan tempat itu
dan selanjutnya tidak akan mengganggunya lagi! Aha, akhirnya dia yang akan
menang dan gadis yang berhati baja itu tentu dapat ditundukkan!
Karena hatinya merasa puas dan lega, malam itu San-tok tidur dengan amat
nyenyaknya, dan pada keesokan harinya, baru setelah matahari naik tinggi, dia
bangun dari tidurnya. Segera dia teringat kepada Diana. Tentu gadis itu kini
sudah lemas karena ketakutan dan kalau dia keluar, tentu dara itu akan
merengek minta ampun dan minta agar diturunkan dari tempat hukumannya!
"Ha-ha-ha, tikus cilik, pagi ini engkau akan betul- betul minta ampun!"
San-tok tertawa kemudian keluar dari dalam guhanya. Akan tetapi, begitu
dia keluar dari guha dan memandang ke arah batu karang meruncing itu, dia
terbelalak kaget. Dia tidak melihat seorang gadis yang menangis atau lemas
atau atau merengek minta ampun! Sebaliknya, dia melihat Diana duduk bersila
di puncak batu karang itu, dengan tubuh tegak, kedua lengan terlipat di depan
dada, dalam keadaan samadhi yang tenang! Sama sekali tidak nampak takut,
bahkan tubuh itu sedikitpun tidak gemetar, melainkan duduk diam seolah-olah
tubuh itu bukan dari kulit daging lagi, melainkan pahatan batu pualam yang
amat indah dan yang menjadi satu dengan puncak batu karang! Demikian
hebat dan indahnya pemandangan itu, membuat San-tok melongo dan dari
mulutnya terdengar ucapan yang dilontarkan di luar kesadarannya,
"Hebat" indah sekali..."
Seolah-olah bukan Diana yang dilihatnya, melainkan hasil seni pahat yang
amat luar biasa. "Suhu..." Panggilan ini mengejutkan hati San-tok, dan diapun cepat menoleh. Kiranya
Lian Hong datang berlari-lari. Agaknya Lian Hong juga melihat tubuh Diana
yang duduk bersila di atas batu karang itu.
"Suhu, kenapa dan bagaimana Diana bisa duduk bersila di sana?"
Pertanyaan itu mengandung teguran dan kekhawatiran. San-tok tertawa.
Dia seorang yang amat cerdik. Perlakuan yang diberikan kepada Diana itu
untuk memaksa Diana menjadi jera dan tidak mengganggunya lagi. Akan tetapi
sekarang, Lian Hong sudah kembali dan tentu saja dia tidak dapat bertindak
semaunya, ia terlalu sayang sehingga agak takut kepada murid yang
dipeliharanya sejak kecil ini.
"Ha-ha-ha, dara bule itu berbakat sekali! Lihat, baru satu bulan ia sudah
kuberi latihan samadhi di puncak batu karang itu, padahal dahulu, setelah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kepandaianmu cukup tinggi baru engkau berlatih di situ."
"Suhu, berbahaya sekali berlatih di sana. Belum waktunya Diana diberi
latihan seberat itu. Biar kuturunkan Diana!"
Berkata demikian, Lian Hong lalu memanjat batu karang itu dengan
kesigapan seekor monyet. Mendengar suara Lian Hong, Diana membuka
matanya. Begitu membuka mata, ia melihat betapa tingginya tempat ia duduk
dan ia cepat memejamkan kembali kedua matanya. Pikirannya yang kembali
membuat bayangan yang menyeramkan, membuat ia ketakutan lagi. Akan
tetapi Lian Hong sudah tiba di dekatnya.
"Diana, mari kita turun. Nah, kau berpegang kepadaku dan mari kuajari
bagaimana untuk dapat memanjat turun," kata Lian Hong dengan tenang.
Ketenangan dan kesigapan Lian Hong membesarkan hati Diana dan
dengan hati-hati ia lalu merangkak turun sambil berpegang kepada Lian Hong.
Akhirnya mereka tiba juga di bawah dengan selamat, disambut oleh San-tok
yang tertawa-tawa. Begitu tiba di bawah, Diana lalu merangkul Lian Hong dan
terisak! Lian Hong membalas rangkulan gadis bule yang telah menjadi
sumoinya itu. "Eh, Diana" kenapa engkau menangis?" Lian Hong bertanya sambil
melempar pandang mata tajam ke arah gurunya.
"Sumoi... aku... aku girang sekali melihat engkau pulang, Lian Hong suci!
Aku aku rindu sekali padamu..."
"Hong Hong, bagaimana dengan tugasmu?"
Kakek yang merasa lega mendengar ucapan Diana yang sama sekali tidak
menuntutnya itu, kini bertanya kepada Lian Hong.
"Sudah berhasil baik, suhu. Inilah pedang itu."
Lian Hong lalu mengeluarkan sebatang pedang dengan sarungnya yang
sudah tua sekali dari balik jubahnya. San-tok menerimanya dengan girang.
Pedang itu memang serupa benar dengan pedang Giok-liong-kiam yang palsu,
yang mereka ambil dari Koan Jit. Sebuah pedang kecil berukir tubuh naga,
terbuat dari batu kemala yang warnanya hijau kemerahan. Buatannya indah
bukan main, jauh lebih indah dari pada yang palsu, walaupun bentuknya
serupa. "Ha-ha-ha, tak kusangka bahwa benda seperti ini menjadi rebutan orang
sedunia!" Kakek itu lalu membawa pedang Giok-liong-kiam ke dalam guha,
sementara itu Lian Hong mengajak Diana untuk bertukar pakaian.
Berhari-hari lamanya kakek San-tok sembunyi di dalam guhanya untuk
meneliti pedang dan mencari rahasia yang disembunyikan. Lian Hong yang
mendapat kenyataan bahwa memang kini Diana telah memiliki keuletan dan
kekuatan berkat gemblengan yang amat berat selama gadis bule itu berada di
situ, mulai memberi latihan-latihan dasar ilmu silat kepada sumoinya, setelah
memperoleh perkenan dari San-tok.
Tepat sepekan lamanya San-tok dengan tekun melakukan penyelidikan,
dan pada suatu pagi, dengan gembira dia keluar dari guhanya. Lian Hong dan
Diana yang sedang berlatih silat segera menyambutnya dan ikut bergembira
melihat betapa kakek itu nampak girang bukan main.
"Sudah kudapatkan" sudah kutemukan rahasianya!"
Kakek itu bersorak sambil membuka lipatan kertas dengan hati-hati, karena
kertas itu sudah kuning saking tuanya. Dia berhasil menemukan kertas lipatan
itu yang disembunyikan secara cerdik sekali di dalam gagang pedang yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berlubang. Dua orang gadis itu segera mendekat dan ikut melihat apa yang
tertulis di atas kertas berlipat itu.
Ternyata kertas tua itu memuat sebuah gambar pemandangan alam
pegunungan. Coretannya kasar dan tak dapat disebut lukisan yang baik, akan
tetapi di situ terdapat tanda-tanda dan di puncak pegunungan itu terdapat
sebuah kuil. Huruf-huruf kecil yang terdapat di situ hanya menunjukkan ukuran
jarak, tidak disebutkan gunung apa itu dan dimana tempat itu.
"Wah, wah... pembuat peta yang ceroboh sekali," kakek San-tok mengomel,
akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar penuh ketegangan dan
kegembiraan. "Suhu, agaknya kita harus mengenal sendiri pemandangan itu, tentu
demikian maksud si pembuat peta tanpa menyebutkan dimana tempatnya,
yang menujukan peta itu kepada orang-orangnya sendiri yang sudah mengenal
lukisan pegunungan itu," kata Diana yang ikut membantu memikirkan.
"Engkau benar, akan tetapi siapa dapat mengenal pemandangan
pegunungan seperti ini" Di mana-manapun sama saja..."
"Nanti dulu, suhu!" tiba-tiba Lian Hong berkata dan memandang lebih
teliti. "Aku seperti pernah melihat pemandangan seperti ini. Lihat puncak yang
rasanya ujungnya pecah menjadi tiga itu! Dan letak kuil itu" dengan sebatang
pohon yang amat besar dan tua di belakangnya. Bukankah itu kuil Siauw-limsi" Aku masih ingat benar, ketika suhu mengajakku mengunjungi kuil itu dan
bertemu dengan locianpwe Siauw-bin-hud. Ketika kita berhenti di lereng untuk
makan, kuil itu sudah nampak dari sana, dan aku melihat kuil itu penuh
kekaguman karena teringat akan besamya nama Siaw-lim-pai. Persis seperti
dalam lukisan ini, Suhu!"
"Siauw-lim-pai... " Wah, wah... aku tidak ingat lagi. Akan tetapi, siapa tahu
dugaanmu itu benar. Urusan besar ini tak dapat kulakukan sendiri. Biar aku
akan mengajak Tee-tok dan Hai-tok untuk kuajak bersama-sama. Pusaka itu
harus dapat kutemukan?"
Dengan gembira sekali, kakek itu menyerahkan Giok-liong-kiam kepada
Lian Hong. "Aku sengaja menyuruh engkau yang mencari dan mengambil pusaka ini.
Rahasia yang dikandungnya adalah pusaka yang akan kita sumbangkan untuk
perjuangan, akan tetapi pedang ini menjadi hak milikmu. Jagalah baik-baik.
Hari ini juga, aku akan berangkat mencari Tee-tok dan Hai-tok mencari pusaka
itu. Hong Hong, engkau menanti aku di sini sambil melatih Diana. Kalau ia
sudah menjadi muridku, setidaknya ia harus memiliki kekuatan dan
kepandaian, jangan sampai kelak menjadi bahan ejekan orang bahwa ia sudah
pernah berguru kepadaku. Ajarlah ia dengan keras agar ia cepat dapat
menguasai ilmu-ilmu kita, walaupun tidak banyak."
Pada hari juga, San-tok meninggalkan Pegunungan Wuyi-san. Lian Hong
pun semakin giat melatih ilmu silat kepada Diana yang belajar dengan tekun.
Dan memang, sebagai seorang kulit putih, Diana memiliki ketekunan dan
keuletan yang mengagumkan, dan iapun berbakat sekali karena gerakangerakannya tidak kaku. Hal ini mungkin dapat terjadi karena gadis ini telah
menyelami kehidupan para petani di negeri itu. Tata kehidupan yang sudah
diselaminya itu membuat ia tidak merasa asing dengan kebudayaan di situ,
dan pergaulannya dengan para ahli silat membuat ia mampu menerima
pelajaran ilmu silat dengan mudah walaupun untuk dapat mengusainya, ia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan harus berlatih dengan giat dan tekun.
Beberapa hari setelah San-tok pergi, pada suatu pagi selagi kedua orang
gadis itu berlatih silat, tiba-tiba terdengar suara halus.
"Ahai... kiranya Diana kini telah pandai bermain silat!"
Lian Hong cepat menoleh, demikian pula Diana, dan keduanya girang
bukan main ketika mengenal siapa yang berseru itu.
"Kui Eng-ci..." Lian Hong berseru girang.
"Wah, kau membikin aku merasa malu saja, Kui Eng!" Diana juga berseru
girang. Lian Hong sudah mengenal baik gadis murid Tee-tok itu, bahkan ia pernah
menolong Kui Eng ketika gadis itu tertawan oleh Koan Jit. Juga Diana sudah
berkenalan dengan Kui Eng ketika mereka bersama guru mereka berkunjung
ke kuil dimana Siauw-bin-hud mengadakan perundingan dengan guru mereka.
"Enci Eng, angin baik apakah yang meniupmu simpai ke sini?" Lian Hong
bertanya sambil memegang tangan sahabatnya itu.
"Adik Hong, aku diutus oleh suhu untuk menemui suhumu. Dimanakah
locianpwe Bu-beng San-kai?"
Girang hati Lian Hong melihat betapa gadis itu menyebut gurunya Bu-beng
San-kai, bukan San-tok. "Suhu sedang turun gunung untuk mengunjungi gurumu, enci Kui Eng!"
Rahasia Istana Terlarang 13 Rajawali Sakti Dari Langit Selatan Lanjutan Sin Tiauw Hiap Lu Karya Sin Long Kitab Mudjidjad 5
^