Pencarian

Pedang Naga Kemala 14

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


adalah Lee Song Kim, murid tersayang dan Hai-tok!
Seperti diketahui, pemuda yang murtad terhadap gurunya sendiri itu, kini
telah menjadi seorang petugas pemerintah Ceng, memiliki kedudukan yang
lumayan sebagai seorang opsir. Baru-baru ini, dialah yang mengkhianati
gurunya sendiri, memberi tahu kepada komandannya akan adanya rapat gelap
para tokoh kang-ouw yang anti pemerintah Ceng, dan untuk laporan ini, diapun
memperoleh kenaikan pangkat. Kini, dia ditugaskan melakukan penyelidikan
siapa adanya bajak laut yang baru-baru ini membajak perahu besar yang
bertugas mengambil kitab-kitab di kuil Mukden.
Tentu saja, Lee Song Kim sudah dapat menduga siapa pembajaknya. Siapa
lagi bajak yang menggunakan perahu Naga Laut kalau bukan anak buah
gurunya" Dan siapa lagi gadis cantik yang memimpin pembajakan itu kalau
bukan sumoinya, Tang Ki" Setelah Pulau Layar dibakar, bukan tidak mungkin
kalau gurunya itu melakukan pekerjaan lamanya, yaitu membajak. Dia dapat
menduga dengan tepat dan bahkan yakin, akan tetapi tentu saja dia tidak
berterus terang kepada komandannya, karena kalau ketahuan bahwa dia murid
kepala bajak itu sendiri, dia tentu akan dicurigai.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dua orang lainnya juga opsir-opsir rendahan yang menjadi pembantu Song
Kim. Mereka berpakaian seperti orang biasa, bukan seperti perajurit atau opsir,
jadi bukan pula seperti nelayan yang pakaiannya kotor, melainkan sebagai tiga
orang pelancong yang sedang bersenang-senang naik perahu layar. Dua orang
pembantu Song Kim itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan merupakan
dua orang opsir yang pandai ilmu silat dan juga sudah banyak mengenal
daerah itu. "Di utara sana itu, yang nampak kecil hitam dari sini, adalah Pulau Layar,"
kata seorang di antara dua opsir itu kepada Song Kim.
"Di sana yang menjadi majikan adalah seorang kaya raya she Tang, yang
kabarnya dulupun pernah menjadi bajak laut, dan dia terkenal pula dengan
julukan Hai-tok." "Apa" Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia?" tanya Song Kim
pura-pura. "Benar, Lee-ciangkun. Akan tetapi sudah bertahun-tahun dia tidak lagi
melakukan pekerjaan membajak karena sudah kaya raya. Dan kabarnya pulau
yang sudah dibakar oleh pasukan kita itu, kini ditinggalkan dan mereka lari
entah kemana, sejak terjadi penyerbuan ketika Hai-tok mengadakan pesta
ulang tahun itu." Song Kim mengangguk-angguk. Tentu saja dia tahu semua itu. Akan tetapi
dia sendiripun tidak tahu ke pulau mana gurunya itu pindah. Terlalu banyak
pulau kosong di tengah lautan sana, pulau-pulau kosong yang amat berbahaya.
Tiba-tiba terdengar suara rumah keong besar ditiup, suaranya dari jauh
terdengar seperti suara seekor lembu menguak. Song Kim dan dua orang
temannya menengok dan Song Kim berkata.
"Menjemukan benar tingkah mereka itu."
Mereka melihat betapa beberapa orang dan perahu bermeriam itu memberi
tanda agar mereka datang mendekat.
"Lee-ciangkun, melihat dan pakaiannya, mereka itu tentulah orang-orang
dari pasukan Harimau Terbang. Lihat itu benderanya."
"Hemm, kaumaksudkan Pasukan Harimau Terbang yang menjadi anjinganjing peliharaan orang kulit, putih?"
"Benar, Lee-ciangkun. Kabarnya terjadi bentrokan hebat antara para anjing
penjilat orang kulit putih yang menyebabkan banyak anggauta Harimau
Terbang tewas, bahkan pemimpinnya yang bernama Koan Jit kini juga telah
melarikan din. Mungkin mereka itu hanya sisa-sisanya saja yang masih
dipergunakan oleh pasukan Inggeris."
Kini perahu Harimau Terbang itu mendekat, dan seorang di antara mereka
yang berkumis dan berwajah bengis membentak.
"Heii... apakah kalian tuli atau buta" Dipanggil tidak mau mendekat" Hayo
kalian dayung ke sini, kami harus memeriksa apa isi perahu kalian!"
Song Kim merasa mendongkol sekali.
"Kami hanya pelancong-pelancong yang tidak membawa apa-apa. Dan
situpun nampak bahwa perahu kami ini kosong. Mau diperiksa apanya?"
Mendengar jawaban yang berani dan tidak halus itu, pimpinan Harimau
Terbang menjadi semakin marah. Matanya melotot. Belum pernah ada orang di
sepanjang pantai ini berani bersikap kasar kepadanya.
"Apakah kau gila" Kau tahu dengan siapa kalian berhadapan" Hayo ke sini
kalau kalian tidak ingin kupenggal kepala kalian dan kuberikan kepada ikan
hiu!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Song Kim tak dapat menahan lagi kesabarannya.
"Aku tahu berhadapan dengan Pasukan Harimau Terbang, anjing-anjing
kelaparan yang menjilat-jilat sepatu orang-orang bule, bukan?"
"Keparat! Mereka itu pemberontak-pemberontak! Kejar!" Teriak si muka
bengis itu, dan kini perahu Harimau Terbang mengejar perahu layar kecil itu.
Akan tetapi, Song Kim dan dua orang kawannya sengaja mempermainkan
mereka. Mereka bertiga itu memiliki perahu yang lincah dan lebih dar itu, Lee
Song Kim adalah murid Hai-tok dan kepandaiannya di atas maupun di dalam
air luar biasa, maka dia dapat melarikan perahunya ke kanan kiri melepaskan
diri dan pengejaran lawan, bahkan mempermainkannya dengan mengelilingi
perahu yang jauh lebih besar itu.
Setelah berkejaran sampai setengah jam lebih tanpa hasil, akhirnya
komandan perahu Harimau Terbang menjadi marah.
"Siapkan meniam Tembak mereka!"
Lee Song Kim sama sekali tidak mengira bahwa perahu Harimau Terbang
itu akan melepaskan tembakan meriam terhadap perahu yang sama sekali
tidak bersalah. Maka ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras dan perahunya
kena hantaman peluru sehingga dia sendiri terlempar jauh ke laut, dia terkejut
bukan main. Cepat dia mencari kedua kawannya di antara perahunya yang
terbakar. Namun dia hanya menemukan dua kawan itu sudah mengambang
menjadi mayat di antara kepingan-kepingan kayu dan perahunya yang terbakar
dan hancur. "Keparat busuk!"
Song Kim memaki marah sekali dan tubuhnya segera lenyap ketika dia
menyelam. Tak lama kemudian dia sudah berada di dekat perahu lawan,
muncul di bawah perahu tanpa terlihat oleh seorangpun. Dia mendengar
betapa sepuluh orang di atas perahu itu tertawa bergelak-gelak,
mentertawakan perahunya yang terbakar dan hancur, dan tentu juga
mentertawakan kematian dua orang kawannya dan dia sendiri yang oleh
mereka tentu dianggap sudah mati. Kemarahan membuat wajah pemuda ini
menjadi beringas sekali. "Jahanam busuk!" kembali dia membentak, dan tiba-tiba tubuhnya
meloncat ke atas, ke perahu pasukan Harimau Terbang itu.
Tentu saja semua orang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba melihat
seorang pemuda tampan berada di perahu mereka. Si muka bengis, pemimpin
mereka, yang sudah memegang sebatang golok, tahu bahwa yang muncul ini
tentu pihak musuh, maka dia pun cepat membacokkan goloknya yang amat
tajam itu ke arah Song Kim. Pemuda ini tidak mengelak, melainkan cepat
menotok siku kanan pemegang golok, dan tiba-tiba saja tangan kanan itu
menjadi lumpuh. Sebelum si muka bengis itu tahu apa yang terjadi, nampak
sinar goloknya yang sudah pindah tangan itu berkelebat dan tersemburlah
darah muncrat-muncrat dari leher yang sudah buntung itu!
Song Kim menyambar kepala yang mencelat itu, menjambak pada
rambutnya. Muka yang sudah tidak berbadan agi itu masih nampak bengis,
matanya melotot, alis berkerut dan mulutnya membentuk kebengisan setengah
terbuka, amat mengerikan!
Melihat betapa kepala pasukan itu tewas dengan leher putus dan kini
kepalanya dijambak tangan kiri pemuda itu, para anak buahnya terkejut, ngeri
akan tetapi juga marah. Mereka lalu mencabut golok masing-masing dan maju
mengeroyok. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Terjadilah perkelahian di atas perahu itu. Akan tetapi mana mungkin
perajurit-perajurit Harimau Terbang itu mampu melawan Lee Song Kim" Sekali
saja golok itu berkelebat, seorang perajurit robek perutnya dan yang kedua
hampir putus lehernya, sedangkan yang ketiga menjerit karena melihat betapa
muka pemimpinnya itu tiba-tiba mencium mukanya dengan keras! Sempat dia
menjerit ngeri, akan tetapi dadanya segera ditembus golok di tangan Song Kim!
Kini pemuda itu mengamuk dan tak seorangpun di antara sepuluh orang itu
yang sempat melarikan diri, semua habis dibabat golok rampasannya dan
tubuh mereka kini malang melintang di atas dek perahu, yang sudah kebanjiran
darah. Bau amis amat memuakkan. Song Kim lalu membuang golok
rampasannya dan meloncat ke air, menyelam dan lenyap dan situ.
Biarpun Song Kim telah berhasil membunuh sepuluh orang anggauta
Harimau Terbang itu, namun dia kehilangan dua orang pembantunya, dan hal
ini membuat hatinya menjadi marah sekali. Dia cepat pulang ke kota raja,
membuat laporan kepada komandannya bahwa sebelum dia sempat
menemukan tempat persembunyian Bajak Naga Laut, dia bentrok dengan
orang-orang Harimau Terbang yang mengakibatkan dua orang kawannya
tewas. Komandannya juga penasaran dan marah, maka Lee Song Kim lalu diutus
mengepalai sebuah perahu besar dengan anak buah sebanyak seratus orang
tentara pilihan, bukan hanya untuk mencari dan menumpas bajak laut, akan
tetapi juga untuk menumpas pasukan Harimau Terbang kalau berani
mengganggu perahu pemerintih Ceng.
Perahu besar itu memang nampaknya saja mempunyai anggauta seratus
orang pasukan, akan tetapi Song Kim tidak sebodoh itu, membiarkan
perahunya hanya dijaga seratus orang. Bukankah perahu Pangeran Ceng Tiu
Ong juga dikawal seratus orang perajurit dan apa jadinya" Sebagian besar
perajurit itu tewas dan perahunya dibakar! Dan diapun tidak mungkin hanya
mengandalkan kepandaiannya sendiri, karena selain pihak bajak itu banyak,
juga dipimpin oleh orang pandal pula. Kalau benar sumoinya, Kiki, yang
memimpin bajak itu, tentu dia sendiri sudah akan repot menandingi sumoinya
dan tidak akan dapat melindungi anak buahnya dengan baik dari serbuan para
bajak. Apalagi kalau yang memimpin bajak itu Hai-tok, bekas gurunya sendiri.
Akan tetapi diapun tidak takut terhadap Hai-tok. Semua ilmu silat dan kakek
itu sudah dikuasainya, dan kakek yang kaya raya itu mana akan mampu
menandingi kekuatannya yang masih muda"
Karena cerdiknya, opsir muda ini lalu menyembunyikan seratus orang lagi
pasukan di bagian bawah perahunya. Jadi, kekuatannya hanya nampaknya
saja seratus orang, padahal sebenarnya duaratus orang. Dan perahunya juga
bukan perahu biasa, melainkan perahu besar yang sudah diperlengkapi dengan
meriam! Benderanya besar, bendera tanda milik pemetintah Ceng-tiauw, dapat
nampak dari jauh. Dan pasukannya juga dipilih pasukan yang jagoan dan yang
sudah berpengalaman bertempur di atas perahu.
Pendeknya, Lee Song Kim sudah membuat persiapan yang cermat untuk
menghadapi segala kemungkinan, baik melawan pasukan Harimau Terbang
maupun pasukan Bajak Naga Laut.
Sementara itu, peristiwa yang terjadi atas diri sepuluh orang anggauta
Harimau Terbang yang dibantai oleh Song Kim itu, segera diketahui oleh
Kapten Elliot. Bukan main marahnya kapten ini. Dia segera memanggil Peter
Dull, letnan yang gagah perkasa, bekas sahabat baik Koan Jit itu.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Setelah Koan Jit melarikan diri tanpa pamit setelah markasnya diserang
oleh Ong Siu Coan dan anak buahnya dibantu Thian-tok, lalu sisa pasukan
Harimau Terbang diserahkan kepada Letnan Peter Dull. Jumlahnya masih ada
kurang lebih tujuhpuluh orang bersama dengan para mata-matanya sendiri.
Mendengar betapa anak buahnya dibantai orang, marahlah Peter Dull. Karena
tidak terdapat saksi hidup, dia tidak tahu siapa orangnya yang telah
membunuh sepuluh orang anak buah nya itu secara demikian kejamnya.
"Damn!" kutuknya penuh kegeraman.
"Mereka bukan manusia, melainkan iblis-iblis jahat, membunuh orang
seperti itu!" Letnan ini yang menyaksikan sendiri mayat-mayat bergelimpangan di atas
perahu itu dengan leher putus, atau hampir putus, dengan dada berlubang
tembus, dengan perut pecah sehingga ususnya berceceran, dek perahu yang
banjir darah, bau amis, membuat dia muak dan menganggap pihak musuh
membunuhi sepuluh orang anak buahnya itu itu seperti iblis.
Demikianlah kita pada umumnya. Mudah saja kita menudingkan telunjuk
kepada orang lain dengan tuduhan kejam, curang, jahat dan sebagainya. Peter
Dull marah marah dan menganggap perbuatan orang yang membunuh sepuluh
orang anak buahnya itu kejam seperti iblis. Dia sama sekali tidak ingat kalau
dia dan orangnya, entah sudah membunuh beratus atau berapa ribu orang! Dan
dia mengangap bahwa membunuh dengan pistol atau bedil atau meriam itu
tidaklah sekejam membunuh dengan senjata tajam. Dia sama sekali tidak dapat
membayangkan bahwa menyebarkan candu kepada rakyat yang jutaan
banyaknya itu merupakan pembunuhan yang lebih kejam lagi, membunuh
sedikit demi sedikit dengan penyiksaan lahir batin yang luar biasa kejamnya!
Inilah yang menjadi kesalahan kita semua. Kita terlalu memperhatikan
orang-orang lain, terlalu menilai perbuatan perbuatan orang lain. Pikiran kita
setiap detik sibuk untuk menilai perbuatan orang lain, untuk membela diri,
membenarkan diri, mencari segala alasan untuk membenarkan diri sendiri,
mencari segala daya upaya untuk menguntungkan diri lahir batin, sehingga
kita lupa akan suatu yang teramat penting dalam kehidupan kita, yaitu :
MENGAMATI DIRI SENDIRI Kalau saja kita selalu sadar, selalu waspada untuk mengadakan
pengamatan terhadap diri sendiri, BUKAN AKU mengamati AKU, melainkan
ada kewaspadaan, ada kesadaran dan pengamatan yang selalu melakukan
pengamatan lahir batin dan diri kita detik demi detik. Waspada kalau kita
sedang melamun, kalau sedang bicara, kalau sedang bekerja, mencurahkan
segala tenaga dan perhatian terhadap diri sendiri, apa yang kita lakukan baik
yang terjadi di dalam maupun di luar diri. Kalau sudah begitu, kita tentu tidak
akan lagi menilai orang lain. Juga tidak lagi menilai diri sendiri, karena
segalanya akan sudah nampak dan dimengerti benar!
Hanya pengamatan ini sajalah yang akan mampu mengubah batin kita
secara menyeluruh dan secara seketika. Perubahan lahir tidak banyak artinya.
Perubahan batiniah yang penting bagi hidup, karena apa yang suka dinamakan
kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan lahir. Urusan badan adalah
kesenangan, dan dimana ada kesenangan tentu ada kesusahan. Badan bisa
merasakan enak dan tidak enak, panas atau dingin, senang atau susah. Akan
tetapi, pengamatan akan membebaskan batin dan semua pengalaman badan,
sehingga batin akan tetap bebas, tidak bersandar, tidak bergantung, tidak
susah atau senang, tak pernah mengeluh dan tak pernah bersorak-sorai.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Hanya batin yang seperti inilah yang benar-benar dapat merasakan dan
mengerti apa yang sesungguhnya dinamakan bahagia itu. Hanya yang
beginilah yang mengerti apa yang dinamakan cinca kasih itu.
Kebahagiaan adalah urusan batin, bukan urusan badan. Cinta kasih adalah
urusan batin bukan urusan badan. Kesenangan dan nafsu berahi, itulah urusan
badan, tetapi kesenangan bisa berubah menjadi kesusahan dan cinta berahi
bisa berubah menjadi kebencian!
Letnan Peter Dull, perwira berusia tigapuluh lima tahun yang ganteng itu,
dengan marah lalu mempersiapkan kapal yang lengkap dengan meriammeriam besar dan membawa serdadu sejumlah tidak kurang dari duaratus
orang, semua bersenjata lengkap, lalu menjelajahi lautan timur untuk mencari
bajak laut. Dia mendengar tentang bajak laut yang tersohor dengan nama Bajak
Naga Laut, dan dia merasa yakin bahwa tentu bajak laut itulah yang
membunuh orang-orangnya. Dia bersumpah untuk membasmi Bajak Naga Laut
itu. Peter Dull amat membenci para pejuang yang dinamakannya pemberontak,
bukan hanya karena mereka banyak mengganggu bangsa kulit putih, akan
tetapi terutama sekali karena dia kehilangan Diana yang dicintanya.
Beberapa hari lamanya kapalnya mencari-cari diantara pulau-pulau kosong,


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan tetapi belum juga berhasil menemukan pulau yang menjadi sarang Bajak
Naga Laut. Dia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, sebuah perahu lain yang
ukurannya lebih kecil dari kapalnya, juga berputar-putar mencari sarang bajak
laut, dan perahu itu bukan lain perahu Kerajaan Ceng yang dipimpin oleh Lee
Song Kim. Sebetulnya, kapal yang dipimpin oleh Peter Dull itu sudah melalui sebuah
pulau bukit karang dimana terdapat kapal Naga Laut, akan tetapi pemimpin
kapal itu, Kiki, amatlah cerdiknya. Ia melihat kapal asing itu dan maklum bahwa
untuk melawan kapal itu, amatlah berbahaya. Moncong-moncong meriam yang
begitu besar dan banyak jumlahnya, serdadu-serdadu yang semua
menyandang bedil di pundak dalam jumlah yang amat banyak, merupakan
lawan yang terlampau berat bagi seratus orang anak buahnya. Sebelum mereka
sempat menyerbu, tentu perahu naga itu akan ditenggelamkan oleh pelurupeluru meriam. Oleh karena itulah, biarpun anak buahnya menganjurkan, ia
memerintahkan agar perahunya memutar haluan dan bersembunyi di balik
bukit karang itu. Setelah kapal asing itu lewat dan tidak nampak agi, barulah Kiki
memerintahkan orang-orangnya untuk mengembangkan layar dan melakukan
pengejaran ke arah utara, arah yang berlawanan dengan kapal asing yang tadi
menuju ke selatan, karena tadipun ia melihat dengan teropongnya dari jauh
bahwa ada sebuah perahu berbendera Ceng yang menuju ke utara. Perahu
pemerintah Ceng itulah yang akan dibajak, bukan kapal orang kulit putih yang
terlalu kuat itu. Pula, ia tidak melihat harapan untuk memperoleh banyak hasil
bajakan dan kapal asing itu.
Melihat betapa kapal itu dipersenjatai dengan kuat dan berhilir mudik, ia
dapat menduga bahwa kapal itu tidak memuat dagangan-dagangan yang
berharga melainkan sedang melakukan patroli. Dan menyerang kapal patroli,
andaikata menang juga, apa hasilnya"
Yang dikejarnya itu adalah perahu yang dipimpin oleh Lee Song Kim. Tentu
saja Kiki tidak pernah menduga bahwa bekas suhengnya yang berada di
perahu itu. Dan karena Song Kim melayarkan perahunya perlahan-lahan sambil
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mencari-cari, sedangkan perahu naga itu berlayar kencang melakukan
pengejaran, tak lama kemudian perahu pemerintah Ceng itupun tersusul.
Dengan teropongnya, Kiki mempelajari keadaan perahu musuh dan hatinya
merasa girang. Jumlah pasukan Ceng yang berada di atas perahu itu hanya
kurang lebih setatus orang, dan jumlah itu sama sekali tidak ada artinya bagi
anak buahnya yang juga berjumlah seratus orang. Makanan empuk! Dan
perahu Ceng itu hanya memiliki meriam di kanan kiri perahu, dua buah saja.
Maka cepat ia lalu memerintahkan menurunkan dua buah sampan kecil yang
dimuat masing-masing sepuluh orang dan memberi perintah kepada mereka
untuk lebih dulu melakukan penyerangan untuk mengacaukan pihak lawan dan
membungkam kedua buah meriam itu. Duapuluh orang ini memiliki kepandaian
yang tinggi dalam hal ilmu di dalam air dan merekapun dengan cepatnya
mendahului perahu Ceng. Kiki sendirii, yang menganggap ringan pihak lawan, ikut di dalam sebuah
di antara perahu-perahu itu dan hanya menyelinapkan sebatang tongkat
pendek seperti pedang yang terbuat dan pada tulang ikan yang amat kuat.
Sementara itu, Song Kim juga sudah melihat datangnya perahu naga dari
jauh. Jantungnya berdebar tegang. Itulah perahu Bajak Naga Laut. Dia tidak
akan keliru lagi dan tentu orang-orang itu adalah anak buah bekas gurunya.
Hanya teropongnya tidak melihat adanya Kiki yang sudah ikut dengan sebuah
di antara sampan-sampan itu. Akan kuhajar kalian, pikir Song Kim dengan
penuh geram. Walaupun mereka itu adalah bekas teman-temannya, anak
buahnya, akan tetapi kini mereka dianggap musuh yang harus dibasmi karena
mereka mulai berani menyerang perahu-perahu pemerintah, bahkan belum
lama ini membakar perahu yang ditumpangi oleh Pangeran Ceng Tiu Ong yang
mengambil kitab-kitab kuno dari Mukden. Dia tidak dapat menduga siapa yang
memimpin bajak itu, akan tetapi dia tidak takut. Biar bekas gurunya sendiri
sekalipun, akan dapat berbuat apa terhadap dua meriamnya dan juga duaratus
orangnya, termasuk seratus yang disembunyikan di bawah" Biarkan bajakbajak itu memandang rendah pasukannya dan mengira hanya seratus orang,
padahal ada dua ratus orang, dua kali lipat jumlah anak buah perahu Bajak
Naga Laut itu sendiri. Makin dekatlah perahu bajak itu yang nampak menyeramkan, seperti
seekor naga laut berenang karena kepala perahu berbentuk naga itu memang
amat indah buatannya sehingga nampak dan jauh seperti seekor naga aseli.
Song Kim tidak memerintahkan menembak perahu musuh itu. Dia tidak
ingin kalau perahu itu kemudian ketakutan dan melarikan diri. Biarkan mereka
dekat sekali dan baru diserbu, karena dia ingin membasmi habis semua anak
buah bajak laut itu. Dia sendiri sudah menghunus sebatang golok. Biarpun dia
biasanya suka memakal pedang, akan tetapi sejak menjadi perwira dan
menerima sebuah golok yang bagus dari atasannya sebagai tanda pangkat, dia
merubah senjatanya dari pedang menjadi golok, dan dia memang ahli dalam
permainan pedang atau golok.
Dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar, Song Kim menanti
datangnya perahu bajak itu dan sudah terdengar suara tanduk ditiup dan
sorak-sorai kaum bajak yang kasar itu. Pasukannya yang seratus orang masih
tetap bersembunyi di bawah, tidak diperbolehkan keluar sebelum terjadi
pertempuran. Dua buah sampan itu dengan kecepatan luar biasa meluncur mendekati
perahu Ceng, dan perahu naga itupun semakin mendekat. Dan kedua pihak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sudah terdengar sorakan-sorakan dan makian-makian saling menantang.
Tiba-tiba saja, sebelum Song Kim memerintahkan meriam yang
menghadapi perahu lawan itu ditembakkan, nampak sesosok bayangan hijau
meloncat dari bawah, dan tahu-tahu dia sudah berhadapan dengan seorang
gadis cantik yang bukan lain adalah Kiki!
"Wah, kau sendiri, sumoi?" teriak Song Kim girang bukan main melihat
betapa yang memimpin pembajakan itu adalah sumoinya yang pernah
membuatnya tergila-gila. Kesempatan baik untuk menangkap sumoinya yang sejak dulu sudah
dirindukannya itu. Dan dia yakin benar bahwa sumoinya masih belum tahu
akan perbuatannya di malam badai itu dimana hampir saja dia berhasil
memperkosa sumoinya di atas perahu, kalau tidak keburu datang badal hebat
melanda perahu mereka, bahkan kemudian diapun sudah hampir memperkosa
sumoinya di daratan di pantai itu kalau saja tidak muncul seorang pemuda
perkasa yang telah menyerang dan menghalangi perbuatannya. Kalau teringat
akan semua itu, kini begitu melihat sumoinya, nafsu berahinya timbul kembali
dan ingin sekali dia dapat menangkap dan mendekap sumoinya yang cantik
jelita ini. Akan tetapi Kiki tidak segembira dia bertemu dengan suhengnya di situ. Ia
malah nampak marah sekali, mukanya menjadi merah dan sinar matanya
berapi-api. "Engkau pengkhianat besar! Dulu engkaulah yang melaporkan kepada
pemerintah! Engkau penjadi anjing Mancu!"
"Eh, sumoi" kenapa menjadi pemberontak" Lebih baik kita mengabdi
kepada pemerintah yang syah dan mencari pahala."
"Jahanam!" Bentak Kiki, dan gadis ini sudah menyerang dengan senjatanya yang
istimewa, menusukkannya ke arah dada Song Kim dengan amat cepatnya.
"Tranggg!" Golok di tangan Song Kim menangkis. Akan tetapi Kiki yang menyerang
dengan marah itu sudah menggerakkan lagi senjatanya dan menyerang
bertubi-tubi dengan amat ganasnya. Mula-mula Song Kim hanya menangkis
saja, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia terus mengalah, dia bisa terancam
maut di ujung senjata aneh yang ternyata berat dan kuat sekali itu. Maka
diapun mulai membalas dengan serangan goloknya, dan berkelahilah dua
orang kakak beradik seperguruan itu dengan serunya.
Tingkat kepandalan mereka memang berimbang dan keduanya amat mahir,
sama-sama memiliki ginkang yang luar biasa sehingga tubuh mereka
berkelebatan mengaburkan pandang mata para anak buah tentara Ceng,
sehingga merekapun tidak berani mendekat. Membantu komandan mereka
berbahaya, salah-salah bisa mengenai tubuh komandan itu sendiri, karena
gerakan kedua orang itu sukar diikuti pandang mata. Juga sinar senjata mereka
mencuat kemana-mana, dan amatlah berbahaya. Terkena sambaran angin
senjata atau terkena sinar senjata itu saja sudah akan dapat mencelakai
mereka. Sementara itu, orang-orang dari kedua sampan sudah berloncatan naik dan
menyerang para penjaga meriam sehingga meriam itu tidak sempat
ditembakkan dan terjadilah perkelahian di atas dek. Kini perahu naga sudah
dekat dan seperti blasa, mereka melemparkan kaitan bertali sehingga kedua
perahu itu bergandengan. Dan mereka semua sambil bersorak-sorak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berlompatan menyerang perahu Ceng.
Akan tetapi, sekali ini para bajak itu kecelik. Terdengar tembakantembakan senapan dan beberapa orang bajak terjungkal. Dan ketika mereka
semua sudah menyerang ke atas perahu Ceng, bermunculanlah perajurit yang
tadinya bersembunyi di bawah sehingga jumlah mereka dua kali lebih banyak
dari pada jumlah para penyerbu.
Melihat banyaknya perajurit pemerintah, Kiki terkejut bukan main.
Diserangnya bekas suhengnya itu mati-matian dan ketika suhengnya itu
mundur, iapun dengan cekatan seperti seekor burung walet, tubuhnya
mencelat ke atas tiang layar. Maksudnya hendak cepat kembali ke perahunya
untuk memperingatkan anak buahnya agar cepat mundur, karena pihak lawan
terlampau kuat. Akan tetapi, Song Kim tidak ingin melihat sumoinya lari. Diapun berseru
nyaring dan tubuhnya melayang pula ke atas, mengejar sumoinya. Kiki
menyambut dengan serangan, dan kini kedua orang yang amat cekatan itu
berkelahi di atas tiang layar. Karena tempat itu hanya kecil dan berdiri saja
sukar, maka dapat dibayangkan hebatnya perkelahian itu. Mereka
bergantungan pada tali-temali layar, menginjak bambu melincang dan seperti
sepasang akrobat sedang beraksi di sirkus, keduanya berlompatan,
berjungkir balik dan saling serang di tempat yang tinggi itu. Bukan hanya dari
senjata lawan datangnya bahaya, akan tetapi sekali kaki tergelincir dan tubuh
jatuh ke bawah, bisa celaka!
"Ha-ha-ha, sumoi, lebih baik engkau menyerah saja dan aku akan
mengampuni semua anak buahmu. Kau tahu, aku menyembunyikan seratus
orang perajurit, dan kini seratus orangmu itu melawan duaratus orang
perajuritku. Dan kau sendiri, mana bisa menangkan aku" Lebih baik kau
menyerah dan ikut bersamaku ke kota raja mencari kemuliaan. Marilah, sumoi
yang manis!" "Tidak sudi!" bentak Kiki.
Akan tetapi pada saat itu, Song Kim sudah mendesaknya dan ketika ia
mundur mundur, Kiki terjebak. Ia mundur sampai hampir ke ujung bambu yang
makin mengecil dan kalau ia mundur terus, akhirnya tentu akan tergelincir dan
ujung bambu. Sedangkan Song Kim masih berdiri di atas bambu yang besar,
bahkan di belakangnya ada tihang layar besar yang akan dapat dipakai
berpegang kalau dia tergelincir.
"Menyerahlah, atau kau ingin mati?" bentak Song Kim sambil tetap
menodongkan goloknya dengan sikap mengancam.
"Tidak sudi" lebih baik mati!" bentak Kiki, akan tetapi ini bukan bentakan
putus asa karena sepasang matanya yang indah itu mengukur jarak dan
melihat keadaan bambu yang diinjaknya.
"Kalau begitu mampuslah!"
Song Kim menjadi marah dan menyerang. Akan tetapi tiba-tiba, dengan
menggeluarkan pekik yang melengking, tubuh Kiki yang mundur-mundur itu
terpeleset dan tubuhnya mencelat! Ternyata dara perkasa ini membuat poksai
(jungkir balik) ke belakang, tangan kirinya menangkap ujung bambu, tangan
kanan yang memegang senjata itu menyerang ke arah kaki lawan, sedangkan
kaki kanannya dengan gerakan yang amat cepat telah menendang ke arah dada
Song Kim! Gerakan ini sungguh sama sekali tidak tersangka oleh Song Kim
sehingga dadanya kena ditendang.
"Bukkk!!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Untung di belakangnya ada tambang dimana tangan kanannya cepat
menyambar tambang, sedangkan tangan kiri yang memegang golok itu diayun
ke bawah menangkis senjata Kiki. Gadis itu maklum bahwa ia berada dalam
bahaya, maka sambil kembali mengeluarkan suara melengking nyaring,
tubuhnya melayang ke bawah sambil membuat gerakan salto sampai lima kali.
"Byurrrr!" Tubuhnya jatuh ke air di luar perahu musuh. Ia cepat menyembul kembali
dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Semua bajak
cepat kembali ke perahu mereka dan melarikan diri setelah meninggalkan
korban hampir setengah jumlah mereka. Mereka mengalami kekalahan besar
dan masih untung bahwa pemimpin mereka tidak tewas dan perahu naga
itupun tidak mengalami kerusakan.
Song Kim marah sekali. Mencoba untuk menyerang kapal yang melarikan
diri itu dengan tem bakan meriam, akan tetapi tanpa hasil karena meriamnya
tadi sudah dirusak oleh para bajak. Setelah diperbaiki dan dapat dipergunakan,
perahu bajak itu telah pergi terlalu jauh di luar jangkauan peluru meriam.
Memang dia memperoleh kemenangan dan telah menghajar para bajak. Akan
tetapi yang membuat dia penasaran sekali adalah karena dia tidak berhasil
menangkap Kiki. Dengan uring-uringan, terpaksa Song Kim memerintahkan orang-orangnya
untuk kembali saja ke daratan.
-------Seorang gadis yang manis menunggang kuda memasuki pintu gerbang
kota raja. Wajahnya cerah dan sinar matanya jenaka, walaupun ada bayangan
bahwa gadis ini keras hati dan galak. Yang membuat ia nampak manis sekali
adalah setitik tahi lalat di pipi kirinya. Caranya menunggang kuda membuat
banyak pria yang memandang dengan hati tertarik menjadi mundur teratur
untuk berani menggoda. Penunggang kuda seperti itu yang demikian sigap dan
duduknya tegak, dengan keseimbangan yang begitu sempurna, bukanlah
seorang gadis yang boleh diganggu begitu saja!
Memang tidak keliru dugaan orang. Gadis itu bukan lain adalah Kiki! Dia
memenuhi perintah ayahnya agar segera melaksanakan keputusan mereka
untuk mengembalikan atau mengirimkan kitab-kitab dalam peti hitam kepada
puteri Pangeran Cen Tiu Ong di kota raja, dan selain itu, juga menyelidiki
keadaan Lee Song Kim. Semenjak mendengar tentang perbuatan Song Kim
terhadap perahu naga mereka dan membunuh banyak anak buah bajak,
kebencian Hai-tok terhadap bekas muridnya itu semakin menghebat, dan dia
ingin cepat-cepat tahu dimana dia menemukan bekas murid itu untuk
dihukumnya. Kiki seorang gadis yang cerdik sekali. Ia menduga bahwa kalau seorang
pangeran dalam keadaan terancam maut masih teringat kepada sepeti kitabkitab kuno, hal itu hanya berarti bahwa kitab-kitab itu amatlah berharga,
setidaknya bagi sang pangeran atau puterinya. Karena itu, setelah tiba di kota
raja di luar tembok kota raja, ia sengaja menyembunyikan peti itu di rumah
seorang petani sederhana yang sudah diberinya uang, dititipkannya peti berisi
kitab-kitab yang bagi si petani tentu tidak berarti.
"Lebih baik kuselidiki dulu malam nanti," pikir Kiki.
Ia ingin sekali mengenal lebih dahulu keadaan keluarga itu sebelum
menghubunginya. Dengan mudah ia mendapatkan sebuah kamar di sebuah
hotel yang sedang saja, dan sambil memberi sekedar uang, ia menyuruh
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan seorang pelayan hotel untuk mengurus kudanya.
Setelah malam tiba, Kiki mengenakan pakaian yang ringkas, dengan rompi
berkembang. Tentu saja rompi kulit buaya itu tak pernah dipakainya di tempat
seperti ini. Setangkai bunga dan emas permata tak lupa menghias rambutnya,
dan itulah satu-satunya hiasan yang menempel di tubuhnya. Setelah keluar dan
hotel, ia langsung menuju ke jalan besar dimana berdiri gedung keluarga
Pangeran Ceng Tiu Ong dengan megah, kuno, dan sunyinya. Tembok yang
mengelilingi rumah itu mengingatkan Kiki pada sebuah benteng. Betapa
tebalnya tembok itu dan juga lebih tinggi dari pada tumah-rumah lain di


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitarnya yang dibangun belakangan.
Menjelang tengah malam, keadaan di jalan raya depan rumah itu sudah
sepi sekali, tak nampak seorangpun manusia lewat di situ. Setelah meneliti ke
kanan kiri dan yakin bahwa tidak ada orang yang melihatnya, Kiki lalu
menggunakan ginkangnya, dengan tubuh yang ringan sekali ia meloncat ke
atas tembok yang melingkari gedung itu. Ia berdiri di atas tembok itu dan
kembali celingukan memandang ke kanan kiri, depan dan belakang. Kini
nampak olehnya sebuah kebun yang terawat indah, dan bangunan itu
walaupun nampak dan luar amat kuno, ternyata di sebelah dalamnya juga
terawat bersih. "Hauuuunggg!" Tiba-tiba terdengar auman harimau! Bukan main kagetnya hati Kiki sampai
hampir saja ia terguling jatuh dan atas tembok itu. Ia tentu saja tidak takut
berhadapan dengan harimau, akan tetapi di tempat seperti itu mendengar
auman harimau, sungguh mengejutkan bukan main, karena tidak tersangka
sama sekali. Andaikata ia mendengar auman itu di tengah hutan, tentu
sedikitpun ia tidak akan merasa kaget. Ia memandang ke dalam, mencari-cari
dengan pandang matanya, akan tetapi tidak melihat seekorpun harimau,
ekornyapun tidak. Dan kini tidak terdengar suara apa-apa lagi. Tentu di gedung itu dipelihara
seekor harimau, pikir Kiki, harimau dalam kerangkeng. Dan agaknya semua
penghuninya sudah tidur, buktinya, auman harimau itupun tidak menimbulkan
keributan dan agaknya para penghuni rumah itu tidak ada yang perduli dan
tidur saja terus. Dengan amat hati-hati, Kiki mengerahkan seluruh ilmu Ginkangnya
sehingga tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering saja, ia
masuk ke dalam kebun. Sejenak ia berindap-indap seperti maling. Biarpun ia
puteri tunggal Hai-tok, biarpun ia pemimpin perahu Bajak Naga Laut, namun
selama hidupnya belum pernah Kiki melakukan pencurian. Kini memasuki
rumah orang tanpa diketahui pemiliknya, mendatangkari rasa berdebar-debar
di jantungnya sehingga degup jantungnya sampai terdengar di dalam
telinganya sendiri. Ia seorang yang keras hati dan memiliki ketabahan luar
biasa, akan tetapi memasuki rumah orang seperti maling sungguh merupakan
suatu pengalaman baru yang mendebarkan.
Dengan mudahnya, Kiki memasuki pekarangan terus ke belakang dan
sebuah pintu kecil yang nembus ruangan belakang dapat dibukanya dengan
mudah pula. Tanpa mengeluarkan terlalu banyak tenaga, ia dapat mematahkan
kunci daun pintu itu, membuka daun pintunya perlahan-lahan.
"Geriiiittt!" Kikia tersentak kaget, lalu tersenyum seorang diri. Gobloknya, pikirnya,
masih derit pintu saja membuat ia kaget setengah mati seperti mendengar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan suara setan. Dengan hati-hati, ia memasuki ruangan belakang itu dan ternyata
ruangan itu menyerupai sebuah gudang. Tidak ada seorangpun manusia di
situ, dan gudang itu penuh dengan bahan makanan. Gandum, dendeng,
bumbu-bumbu. Baunya menyentuh hidung. Bau yang bercampur aduk, jadi
tidak enak. Ia sempat terheran, mengapa kalau semua bahan ini sudah
dimasak, bau dan rasanya menjadi nikmat.
Pintu yang terdapat di gudang ini tanpa daun, dan ketika ia memasukinya,
ternyata di sebelah itupun terdapat sebuah gudang kecil lainnya berisi senjatasenjata seperti pedang, tombak, golok, anak panah, ruyung, toya dan
pendeknya, ada delapanbelas macam senjata pokok terkumpul di situ. Ia
merasa heran. Tempat seperti ini hanya patut dimiliki orang yang suka berlatih
ilmu silat. Senjata-senjata itu bukan barang pusaka, hanya senjata-senjata
biasa, dan melihat betapa gagang-gagang senjata itu licin dan kehitaman, ia
mengerti bahwa senjata-senjata itu seringkali dipergunakan orang, mungkin
untuk berlatih. Dan memang benar, di luar gudang senjata ini terdapat ruangan
luas yang jelas adalah sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), dan di
dindingnya banyak digantungi tulisan-tulisan yang gagah, pendirian-pendirian
para pendekar seperti "Membela kebenaran dan keadilan di atas segala", "Lebih
baik mati seperti seekor harimau dari pada hidup seperti seekor babi", dan lainlain lagi.
Akan tetapi, tiba-tiba mata Kiki yang sudah agak biasa dengan cuaca
remang-remang di tempat itu karena hanya diterangi sebuah lampu tempel
kecil di sudut, melihat sebatang pedang bersarung yang indah sekali di dinding
yang tidak ada tulisannya. Agaknya pedang itu merupakan pedang pusaka
atau pedang keramat, karena di depan dinding itu terhampar sehelai
permadani merah. Kiki tertarik sekali dan cepat dihampirinya dinding itu. Akan tetapi ketika
kedua kakinya sudah menginjak permadani, tiba-tiba saja lantai yang
diinjaknya terjeblos ke bawah dan tubuhnya ikut terbawa jatuh ke bawah,
jelaslah bahwa jebakan ini digerakkan orang. Ia sudah berhati-hati dan tadi
menginjak dulu dengan satu kaki dan tidak terjadi apa-apa. Baru setelah ia
berdiri dengan kedua kaki, tempat itu tiba-tiba terjeblos dan tentu saja ja tidak
mampu menghindarkan diri ikut jatuh ke bawah!
Akan tetapi Kiki memang seorang gadis yang hebat! Biarpun sudah
terjeblos jatuh, ia masih mampu berjungkir balik dan meluncur ke bawah
dengan kedua kaki lebih dulu, kemudian hinggap di atas tanah dengan ringan.
Kiranya lantai di atas tadi tidak ikut terjeblos melainkan permadaninya. Sebuah
alat jebakan yang amat cerdik dan berbahaya. Dan dara itu kini telah berada
dalam sebuah kerangkeng yang lebarnya hanya dua meter persegi dan
mempunyai sebuah daun pintu besi! Dan ruangan bawah tanah ini luas juga,
nampak dari kerangkengnya betapa ruangan itu berdinding tebal. Sebuah obor
besar menyala tak jauh dan tempat dimana ia tertahan dan suasana di situ
sunyi sekali. Kesunyian inilah yang membuat la merasa agak takut. Dan tiba-tiba
kembali terdengar auman harimau seperti tadi! Ia terlonjak kaget dan melihat
sekitarnya. Tidak ada harimau dalam kerangkeng itu dan hatinya lega.
"Hei, pengecut besar! Kalau memang kau gagah, keluarlah dan jangan
hanya bersembunyi, mengandalkan segala jebakan curang dan harimau
ompong yang hanya pandal mengaum!" teriaknya marah, sengaja
menggunakan kata-kata yang menusuk untuk membikin marah orang yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menjebaknya agar mau keluar.
Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga di depan. Mula-mula yang
nampak hanya sepasang kakinya yang bersepatu mengkilap hitam, lalu
pakaiannya yang ternyata adalah pakaian seorang panglima perang dan
pedang yang tergantung di pinggang itu adalah pedang yang tadi tergantung
di dinding dan yang menjadi umpan jebakan. Kemudian nampaklah wajah dan
kepala yang bertopi itu, dan Kiki menjadi bengong. Terpesona ia memandang
wajah itu. Wajah seorang panglima muda yang demikian tampan dan halus.
Seumur hidupnya, belum pernah ia melihat seorang pemuda yang demikian
tampannya! Matanya begitu redup, dengan bulu mata panjang melengkung,
hidung kecil mancung dan mulut yang seolah-olah dibuat hanya untuk
mencium dengan mesra! Begitu tampan! Dalam mimpipun, belum pernah Kiki
melihat seorang pria yang demikian gantengnya! Ganteng dan lemah lembut.
Baru langkahnya saja demikian gagah, satu-satu seperti langkah harimau.
Harimau! Memang benar ada harimau di belakangnya, dan kini Kiki
terbelalak, bukan karena kagum akan ketampanan pria seperti tadi, melainkan
karena ngeri. Ia bukan seorang penakut, dan kalau menghadapi harimau saja,
agaknya ia tidak akan lari dan ia sanggup melawan seekor harimau dengan
tangan kosong kalau perlu. Tapi bukan harimau seperti yang muncul, di
belakang pemuda tampan itu. Harimau ini luar biasa besarnya dan selain
nampak galak dan buas, juga ukurannya besar dan nampaknya kokoh kuat
bukan main! Seekor harimau loreng yang sudah dewasa dan sedang kuatkuatnya, jantan dan nampak galak. Sepasang matanya saja sudah cukup
membuat hati merasa tergetar dan aumannya tadi dapat melumpuhkan orang
karena ketakutan. Apa lagi ketika harimau yang berada di belakang pemuda
tampan itu melihat seorang asing di dalam kerangkeng, dia memperlihatkan
taringnya yang mengerikan saking besar dan runcingnya, juga keempat
kakinya mempunyai kuku yang melengkung kuat dan runcing. Ngeri
membayangkan tubuh dicakar kaki itu, apalagi sampai dirobek-robek oleh
taring-taring itu. Mendengar ejekan Kiki, opsir muda tampan itu tersenyum mengejek dan
kem bali Kiki terpesona. Setelah tersenyum, pemuda itu menjadi lebih ganteng
lagi! Lalu terdengar suaranya, suara yang halus dan terdengar sopan, tanda
bahwa pemuda itu adalah seorang terpelajar.
"Nona, engkau datang sebagai seorang pencuri, setelah tertangkap engkau
memaki maki. Sungguh sulit mencari orang sekurang ajar engkau ini. Apa sih
yang kauandalkan maka engkau bersikap sesombong ini?"
Lalu dia menyambung. "Melihat betapa engkau terjatuh dan lubang jebakan tanpa luka, mungkin
saja engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian. Kalau memang ada, coba
perlihatkan kepandaianmu sebelum aku mengambil keputusan apa yang harus
kulakukan terhadap seorang pencuri wanita."
Tentu saja Kiki marah bukan main. Beberapa kali ia dim aki pencuri.
"Aku bukan pencuri! Kalau kau tidak menarik kembali omonganmu itu, akan
kurobek mulutmu yang lancang itu."
Opsir muda itu memhelalakkan matanya yang tajam dan jernih, yang
berkilauan tertimpa sinar api obor besar.
"Kau hendak menampar mulutku" Wah,wah, bagaimana caranya?"
"Kaukira aku tidak mampu keluar dan tempat ini!" bentak Kiki, dan gadis
perkasa ini lalu mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan menerjang pintu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan besi dari tempat tahanan itu. Tang Ki adalah puteri tunggal Tang Kok Bu yang
berjuluk Hai-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Ia sudah mewarisi
semua ilmu ayahnya, bahkan Ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu (Tenaga Besar
Bersinar Emas) yang ampuh dan amat sukar itu sudah dipelajarinya dengan
cukup baik. Kini, dengan ilmu itu ia menerjang pintu.
"Brakkkk!" Daun pintu itu jebol engselnya dan terbuka! Akan tetapi Kiki juga telah
menggunakan terlalu banyak tenaga sinkang sehingga mukanya menjadi pucat
dan dadanya terasa agak nyeri dan dia terhuyung keluar. Pada saat itu,
terdengar auman keras dan harimau itupun menerjang ke depan menyerang
Kiki! Karena gadis itu baru saja mengerahkan tenaga sinkang yang amat besar,
maka untuk mengerahkan sinkang lagi, ia tidak berani, terpaksa hanya
melindungi dirinya dan menggunakan kedua tangan mendorong, menyambut
harimau yang menubruknya. Akan tetapi karena tenaganya sudah banyak
berkurang dan harimau itu beratnya ada lima atau enam berat orang dewasa,
Kiki tidak kuat menahan dan iapuri terjengkang.
Harimau itu mengaum dan mencakar. Untung bahwa Kiki menggunakan
sinkangnya sehingga yang terkait robek, hanyalah kedua celana di bagian
pahanya saja sehingga kulit pahanya yang putih itu nampak. Akan tetapi
kulitnya tidak terluka, dan iapun mendapat kenyataan bahwa binatang yang
sudah terpelihara dan terlatih baik itu agaknya memang tidak ingin
membunuhnya, hanya menakut-nakutinya.
Kini binatang itu mengaum dan mukanya dekat sekali dengan muka Kiki
yang sudah jatuh terduduk, sehingga ia dapat mencium bau napas binatang
itu yang memuakkan. Celaka, pikirnya, harimau itu sudah siap mencakar dan
menggigit. Andaikata dengan sinkang ia mampu melindungi tubuhnya,
setidaknya semua pakaiannya akan dicabik-cabik dan mungkin saja ia akan
ditelanjangi oleh harimau ini di depan perwira tampan itu. Pikiran ini membuat
ia nekat, dan ia sudah mengerahkan tenaga, hendak memukul kepala harimau
itu dengan Ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu, walaupun hal itu akan dapat
mendatangkan luka di dalam tubuhnya.
Akan tetapi pada saat itu, opsir tampan bersuit nyaring dan harimau itu
tiba-tiba loncat ke belakang seperti ditarik ekornya saja. Sambil menggerenggereng marah, harimau itupun bersembunyi di belakang si opsir, persis seperti
seekor kucing yang jinak. Opsir itu berdiri sambil bertolak pinggang,
menghadapi Kiki sambil berkata, matanya tetap halus akan tetapi nadanya
mengejek. "Kiranya engkau boleh juga. Kulitmu tidak lecet oleh kuku kucingku. Akan
tetapi kalau hanya dengan kepandaian seperti itu, engkau berani masuk ke sini,
hendak melakukan pencurian, sungguh engkau bodok sekali."
Kiki ingin menjerit dan menangis saking marahnya. Ia meloncat dan
menghadapi opsir ganteng itu matanya melotot lebar.
"Berani engkau mengatakan aku pencuri lagi" Akan kurobek mulutmu itu!"
Dan Kiki pun sudah menyerang kalang kabut dan karena ia dapat menduga
bahwa opsir itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, ia sudah menyerang
dengan ilmu yang paling diandalkan, yaitu Thai-lek Kim-kong-jiu.
"Haiiiittt..." Ia membentak dan tangan kanannya dengan jari terbuka menghantam ke
arah dada opsir itu. Angin pukulan dahsyat menyambar panas ke arah dada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan opsir itu yang diam-diam terkejut sekali, karena baru dia tahu benar bahwa
gadis yang berani memasuki rumahnya ini benar-benar memiliki ilmu silat yang
hebat dan tenaga sinkang yang kuat sekali. Akan tetapi diapun tahu bahwa
tadi, ketika menjebol pintu besi, hal yang amat luar biasa, gadis itu telah
mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga kini, kalau dia menangkis dengan
sinkang, mungkin saja gadis itu akan terluka lebih parah lagi. Karena itu, dia
cepat mengelak dengan amat mudahnya, sambil menggeserkan kakinya secara
aneh dua kali ke kanan dan ke belakang.
Tang Ki, sebagai puteri seorang datuk persilatan yang tinggi ilmunya,
mengenal langkah yang aneh itu, dan tahulah dara ini bahwa iapun
berhadapan dengan lawan yang pandai. Sebelum ia menyerang lagi, opsir
ganteng itu sudah mengeluhkan sebutir pel dan saku bajunya, pel yang
terbungkus kain putih. "Engkau terluka ketika merobohkan pintu tadi. Telanlah dulu pel ini, baru
kita lanjutkan perkelahian, karena kalau engkau roboh karena luka dalam akibat
membongkar pintu tadi, berarti bukan aku yang mengalahkanmu. Pel itu akan
memulihkan keadaanmu dan kau boleh melawanku sekuat tenaga tanpa
bahaya." Dia melemparkan pel itu ke arah Kiki yang menangkapnya dengan tangan
kiri. Ayah Kiki seorang datuk sesat yang tentu saja tidak asing dengan bangsa
racun. Maka melihat pel itu, Kiki lalu menciumnya dan menjilatnya. Tahulah
dara ini bahwa pel itu bukan racun, dan memang berbau obat untuk
menyembuhkan luka dalam atau menjaga agar tidak mudah menderita luka
akibat guncangan tenaga sakti. Ia tidak ragu-ragu lagi, dan karena hatinya
masih marah dituduh pencuri, ia tidak berterima kasih melainkan menelan pel
itu begitu saja. Ada rasa hangat di perutnya dan sebentar kemudian, rasa nyeri
di dada nyapun lenyap sama sekali.
"Nah, mari kita lanjutkan perkelahian kita?" tantangnya, dan iapun sudah
menerjang maju agi. Akan tetapi kembali opsir itu menghindarkan dengan langkah-langkah
ajaibnya, dan berkata sambil melompat ke belakang.
"Nanti dulu, aku malu kalau berkelahi dengan gadis yang celananya robek
dan nampak kulit pahanya. Mungkin kulit pahamu yang mulus itu yang akan
menyelewengkan perhatianku sehingga aku kalah. Akan kucarikan ganti
untukmu!" Dia meloncat ke atas anak tangga dan lari ke atas, diikuti dengan setia oleh
harimaunya. Benar saja, tak lama dia datang lagi dan melemparkan sebuah
celana sutera biru ke arah Kiki. Gadis ini menyambutnya dan kagum. Sebuah
celana wanita yang amat indah. Tidak kalah indahnya dengan celanacelananya di rumah, padahal sebagai anak orang kaya, pakaiannya termasuk
pakaian-pakaian yang indah dan mahal. Kain sutera celana itu halus dan tebal,
sungguh merupakan celana indah yang mahal harganya.
"Pakailah celana itu dulu. Jangan khawatir, aku tidak akan mengintai dan
biar harimau ini jantan, dia sudah biasa tanpa pakaian, jadi kau tak usah malu
kepadanya." Setelah berkata demikian, opsir itu membalikkan tubuhnya membelakangi
Kiki. Hampir saja Kiki tertawa mendengar ucapan yang lucu itu. Tentu saja
harimau selamanya telanjang, dan memang tak perlu malu kalau ia berganti
celana ditonton harimau, walaupun harimau itu jantan dan masih muda juga!
Ia, entah bagaimana, percaya begitu saja bahwa opsir muda yang amat sopan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak Diperjualbelikan halus itu tentu tidak akan membalik sebelum ia selesai, maka iapun lalu
melepaskan celananya sendiri yang tadi cabik-cabik dicakar harimau, dan kini
hanya nampak celana dalamnya yang tipis. Cepat-cepat, sambil matanya tak
pernah meninggalkan punggung pemuda itu, ia mengenakan celana biru itu
dan sungguh amat mengherankan. Celana itu ukurannya pas benar dengan
dirinya, seoah-olah ia berganti celananya sendiri saja!
"Aku sudah selesai!" katanya sambil membuang celananya yang cabikcabik itu ke sudut. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan matanya yang
sudah lebar itu membelalak penuh kagum.
"Waduhh" engkau semakin cantik jelita saja memakai celana biru itu,
nona!" Tiba-tiba muka Kiki berubah merah. Belum pernah ia begini. Biasanya,
setiap pujian dari pria dianggapnya sebagai perbuatan kurang ajar, dan pria
itu bisa dihajarnya, bahkan bisa dibunuhnya. Akan tetapi sekarang, kenapa
hatinya di dalam dada menjadi berdegup, bukan karena marah melainkan
karena girang dan malu"
"Jangan banyak merayu gombal!" bentaknya.
"Mari kita lanjutkan perkelahian tadi!"
Tanpa menanti jawaban, iapun lalu menerjang lagi dan kembali ia mainkan
jurus-jurus dan Thai-lek Kim-kong-jiu yang ampuh. Opsir muda itu agaknya
juga tidak berani sembrono menghadapi gadis yang galak dan lihai ini. Dan
opsir itu memiliki langkah-langkah ajaib yang membuat tubuhnya sukar sekali
diserang. Akan tetapi ketika Kiki menerjang lagi dengan mendorongkan kedua
tangannya ke depan dengan jurus "Dua Tangan Menutup Guha Batu", opsir
muda itupun berdiri tegak, dengan kedua kaki terpentang dan sedikit
membongkok, menekuk lutut dan kedua tangannyapun didorongkan ke depan
menyambut. "Desss...!" Dua pasang tangan saling bertemu dan dua macam tenaga sakti yang
hebat bertumbukan di udara. Opsir itu merasa betapa hawa panas menjalar
melalui telapak tangan lawannya, akan tetapi mampu dihentikannya hanya
sampai siku saja. Sebaliknya, Kiki terkejut setengah mati karena ada hawa
dingin menjalar keluar dan telapak tangan opsir tampan itu, dan hawa dingin
itu terus menjalar ke kedua lengannya sampai ke pundak, membuat la
menggigil! Opsir itu melangkah ke belakang.
"Maafkan, nona. Ternyata engkau hebat sekali."
Kiki masih berdiri, memejamkan kedua mata dan menahan napas,
mengumpulkan hawa murni dan baru setelah lewat dua menit, hawa dingin itu
perlahan-lahan dapat didorongnya keluar dan kedua lengannya. Kalau pada
saat itu lawannya menyerang, ia tentu takkan mampu mempertahankan diri
dan akan mudah dirobohkan. Akan tetapi anehnya, opsir itu tidak menyerang
lagi dan hanya berdiri memandang kagum.
Setelah merasa tubuhnya segar kembali, Kiki siap untuk menyerang agi. Ia
lari ke sudut ruangan itu dan menyambar sebuah toya, karena di ruangan itu
juga terdapat beberapa macam senjata. Begitu memegang toya yang sama
dengan tongkat, Kiki lalu maju menerjang, mainkan tongkatnya dengan limu
Tongkat Kim-kong-pang (Tongkat Sinar Emas)! Tentu saja tongkatnya itu ketika
dimainkan tidak mengeluarkan sinar emas, karena tongkat itu bukan tongkat
yang biasa dipergunakan ayahnya, akan tetapi ilmu tongkat itu hebat bukan
main dan menjadi imbangan dari ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu tadi. Hanya karena
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tongkat lebih panjang dari tangan, maka jangkauannyapun lebih jauh dan
gerakannya lebih cepat. Diserang bertubi-tubi dengan tongkat itu, opsir muda yang tadinya
berloncatan sambil mengeluarkan langkah-langkah ajaibnya mengelak ke
sana-sini, menjadi terdesak juga dan terpaksa dia mencabut pedang di
pinggangnya. Nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang dicabut, dan kini
pedang itu diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang menyambut
gulungan sinar tongkat yang putih. Terjadi serang-menyerang dengan
hebatnya, dan keduanya mendapat kenyataan bahwa memang mereka itu
bertemu dengan tandingan yang sama sekali tak boleh dipandang rendah.
Yang merasa penasaran adalah Kiki. Belum pernah rasanya a bertemu
dengan lawan sehebat ini kepandaiannya, padahal ia tahu benar betapa
pemuda itu telah banyak mengalah dan pedangnya yang hebat itupun lebih
banyak menangkis dari pada membalas serangan, padahal setiap serangan
pedang itu dirasakannya amat berbahaya dan sukar dielakkan, dan setiap kali
toyanya menangkis, ia merasa tangannya tergetar hebat. Padahal, kalau dilihat
kenyataannya bahwa toya itu lebih panjang dan lebih berat, sesungguhnya
harus si pemegang pedang yang dirugikan kalau bertemu senjata mengadu
tenaga. Setelah lewat hampir limapuluh jurus, tiba-tiba saja gerakan pedang itu
berubah dan terdengar suara keras ketika kedua senjata bertemu di udara, dan
toya di tangan Kiki itu patah menjadi dua potong.
Akan tetapi, bukan Kiki kalau mengalah dan mudah tunduk menyerah
begitu saja. Dengan dua potongan tongkat itu, ia masih menyerang dengan
hebat. Akan tetapi lawannya melompat ke belakang dan menyimpan kembali
pedangnya. "Sudahlah, nona. Sudah cukup kita main- main. Sekarang katakanlah
mengapa engkau memasuki rumah kami secara diam-diam seperti orang yang
hendak melakukan pencurian?"
"Aku tidak akan mencuri apa-apa. Tidak sudi aku menjadi pencuri. Lebih
baik mati dan pada menjadi pencuri!" bentak Kiki dengan suara yang hampir
menangis, bukan hanya karena sebal disangka pencuri, akan tetapi terutama
sekali karena ia merasa bahwa ia kalah oleh pemuda itu!
Pemuda itu kembali tersenyum ramah.
"Mencuri atau tidak, akan tetapi engkau memasuki rumah orang-tanpa ijin,
dan malam-malam begini masuk ke rumah, tentu saja engkau dituduh mencuri.
Akan tetapi engkau memang belum mengambil apa-apa, maka akupun tidak
akan menuduhmu agi mencuri. Akan tetapi, lalu apakah yang kaucari di sini?"
"Aku aku ingin mencari Pangeran Ceng Tiu Ong."
Pemuda itu nampak terkejut dan mengerutkan alisnya. Engkau mencari
Pangeran Ceng Tiu Ong" Ada keperluan apakah?"
"Keperluan pribadi yang hanya akan kukatakan kepada dia sendiri.
Dimanakah dia" Kalau dia atau puterinya yang bernama Ceng Hiang
menyambut kedatanganku, tentu mereka akan mengerti. Aku tidak mau bicara
dengan orang lain kecuali mereka. Nah, sekarang lebih baik laporkan kepada
Pangeran Ceng Tiu Ong atau nona Ceng Hiang, aku akan menanti di sini.
Ataukah engkau ingin melanjutkan perkelahian" Boleh"!"
Opsir itu kembali tersenyum.
"Wah, engkau galak amat sih! Baiklah, engkau tunggu dulu di sini, akan
tetapi jangan membuat onar, aku akan meninggalkan kucingku di sini untuk
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menjagamu agar engkau tidak melakukan kekacauan macam-macam.
Pangeran Ceng Tiu Ong dan puterinya tentu akan datang ke sini kalau memang
benar mereka itu mengenalmu dan mempunyai urusan denganmu."
Opsir muda itu lalu pergi melalui anak tangga dan mengatakan sesuatu
dalam bahasa aneh kepada harimau itu. Harimau itu, seperti seekor anjing yang
sudah terlatih baik saja layaknya, lalu mendekam di bawah anak tangga dan
matanya terus mengamati ke arah Kiki.
Kiki merasa mendongkol bukan main. Dibalasnya pandang mata harimau
itu dan iapun mencibir. "Kaukira aku takut terhadap seekor kucing macam engkau" Huh, kalau
tidak ingat majikanmu, tentu sudah kupukul pecah kepalamu, tahu?"
Aneh! Harimau itupun seolah-olah mencibir kepadanya dan menggereng
panjang, seperti hendak mengatakan bahwa kalau dia tidak diperintah
majikannya untuk berjaga saja, tentu tubuh gadis itu sudah dicabik-cabiknya
dengan kuku dan diganyang dagingnya dengan taring-taringnya yang tajam
meruncing. Kiki makin mengkal hatinya dan membuang muka. Setelah kesabarannya
menanti hampir habis, tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara dan
terdengar langkah kaki menuruni tangga itu. Tak lama kemudian, muncullah
dua orang, dan orang pertama segera dikenalnya sebagai Pangeran Ceng Tiu
Ong! Dan orang kedua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya, dengan
pakaian yang mewah seperti puteri istana saja. Demikian cantik jelita dan
demikian indah pakaian gadis itu, sehingga sejenak Kiki hanya memandang
dengan bengong. Itukah puteri sang pangeran" Demikian cantiknya, akan
tetapi ia melihat persamaan bentuk wajah puteri itu dengan opsir muda tadi.
Celaka, jangan-jangan opsir tadi putera Pangeran Ceng Tiu Ong atau saudara
dan Ceng Hiang. Iapun bangkit berdiri. Melihat Kiki, Pangeran Ceng Tiu Ong
tersenyum gembira. "Aih, kiranya engkau yang datang, nona!" katanya sambil cepat
menghampiri. Kiki adalah seorang anak datuk sesat memang, namun iapun sudah cukup
mempelajari tata susila dan apalagi ia merasa pernah membuat dosa besar
dengan membajak perahu pangeran ini, walaupun ia juga menyelamatkan
nyawa pangeran ini dan ancaman maut. Maka iapun cepat menjura dan
berkata. "Maafkan kedatangan saya seperti ini, pangeran. Saya datang malammalam seperti ini karena hendak menyelidiki lebih dahulu keadaan pangeran
sebelum saya menyampaikan barang-barang titipan paduka dahulu itu."
"Aih, nona Tang, marilah kita duduk dulu di ruangan tamu. Perkenalkan, ini
anakku, Ceng Hiang."
Gadis yang cantik itu lalu tersenyum dan menghampiri, dan melihat
senyum itu, Kiki tidak ragu-ragu lagi. Gadis ini tentu adik dari opsir tadi!
Senyumnya sama! "Engkau tentu yang bernama Tang Ki, nona yang pernah menyelamatkan
ayahku dari bahaya tenggelam di laut. Aku berterima kasih kepadamu, adik
yang baik," katanya sambil memegang tangan Tang Ki.
Kiki merasa betapa halusnya telapak tangan itu, begitu halus lembut
seperti sutera! "Ah" bukan hanya menolong, akan tetapi juga menncelakakan," jawab
Kiki berani. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Mari, mari kita duduk di ruang tamu. Engkau adalah tamu agung bagi kami
sekeluarga, nona Tang." kata pangeran itu, dan mereka lalu naik anak tangga
itu diikuti oleh harimau yang segera diusir oleh nona Ceng Hiang.
Setelah melalui beberapa lorong, sampailah mereka ke ruangan tamu yang
luas dan amat indahnya lagi amat terang. Mereka duduk menghadapi meja
yang terukir indah, dan segera pelayan-pelayan menyuguhkan air teh dan
makanan kering. "Maafkan, pangeran. Saya tidak akan berlama-lama, karena kedatangan
saya tadi telah menimbulkan keributan. Saya disangka maling dan saya bahkan
telah berkelahi melawan?" ia menoleh kepada Ceng Hiang.
"Opsir muda itu tentu saudaramu, bukan?"
"Aihh dia" Benar, benar" ia saudaraku," kata Ceng Hiang sambil
tersenyum, dan Pangeran Ceng Tiu Ong hanya tertawa saja.
"Karena itu, setelah bertemu dengan jiwi, saya akan menyampaikan
maksud kedatangan saya, yaitu akan mengirimkan titipan pangeran pada saya
dahulu, yaitu sepeti terisi kitab-kitab kuno."
"Bagus! Ahh" adik Tang Kl yang baik, mana kitab-kitab itu?"
Yang meloncat berdiri adalah Ceng Hiang, sedangkan pangeran itu tetap
duduk saja. "Karena saya hendak menyelidiki dulu tempat tinggal pangeran, maka peti
itu saya titipkan pada keluarga petani, di luar tembok kota raja."
"Kalau begitu harus diambil sekarang" Ayah biar aku yang antar adik
Tang Ki mengambilnya, dan kami akan menggunakan kereta saja."
Ayahnya tertawa. "Ha-ha, kalian ini orang-orang muda memang segalanya menghendaki
cepat saja. Baiklah! Pelayan, suruh kusir mempersiapkan kereta sekarang juga
untuk dibawa ke luar kota raja!"
Malam itu juga, kurang lebih tepat tengah malam, Kiki bersama Ceng Hiang
berangkat berdua saja naik kereta. Teman satu-satunya hanyalah seorang kusir
yang berada di depan dan tidak nampak oleh mereka berdua yang duduk di
dalam kereta. Melihat ini, Kiki merasa girang akan tetapi juga heran. Girang
bahwa keluarga pangeran itu sedemikian besar menaruh kepercayaan
kepadanya sehingga ia merasa terhormat sekali, akan tetapi juga heran
mengapa seorang pangeran membiarkan puterinya pergi sendiri begitu saja di
tengah malam tanpa pasukan pengawal, hanya bersama ia yang sebenarnya
masih asing bagi mereka dan hanya seorang kusir saja.
Setelah kereta berjalan cepat meninggalkan gedung itu, Kiki tak dapat
menahan dirinya bertanya.
"Siocia..." "Wah, jangan memanggil nona-nona segala, adik yang baik" aku menjadi
canggung," Ceng Hiang mencela.
Kiki tersenyum. "Habis lalu memanggil apa?"
"Namaku Hiang, she Ceng, cukup kalau kau sebut enci Hiang saja.
Bukankah aku lebih tua darimu?"
"Belum tentu" engkau kelihatan masih begini muda dan cantik jelita."
"Usiaku sudah sembilanbelas tahun."
"Wah" kalau begitu memang kau lebih tua satu tahun, enci Hiang.
Namaku Ki, she Tang, akan tetapi bisa dipanggil Kiki."
"Kalau begitu" akupun akan menyebutmu Ki-moi atau Kiki begitu saja!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kata Ceng Hiang sambil tertawa, dan merekapun saling merasa suka dan
akrab. "Enci Hiang, aku merasa heran sekali. Engkau adalah puteri tunggal
seorang pangeran yang berkedudukan tmggi, kenapa ayahmu membiarkan
engkau pergi sendirian saja di tengah malam seperti ini tanpa ada pasukan
yang mengawalmu?" Ceng Hiang tersenyum manis.
"Bukankah ada engkau yang lebih kuat dari pada puluhan orang
pengawal?" "Tentu aku akan melindungimu dengan taruhan nyawa, akan tetapi
bagaimana ayahmu dapat begitu saja percaya kepadaku?"
"Engkau malah sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian tenggelam
di lautan." "Akan tetapi, akupun bersama anak buahku telah membunuh pasukan
pengawalnya dan membakar perahunya!"
"Ah, sudahlah, Ki-moi. Untuk apa yang sudah lalu diungkit-ungkit kembali"
Ayahku mengerti, bahwa engkau dan kawan-kawanmu bukan sembarangan
bajak, melainkan orang orang yang berjiwa patriot dan yang bercita-cita
menggulingkan pemerintah penjajah, bukankah demikian?"
"Kalau sudah tahu begitu, lebih-lebih lagi?" kata Kiki terkejut dan heran.
Kalau dia tahu bahwa aku berjiwa patriot dan hendak merobohkan
kekuasaan penjajah, mengapa dia membiarkan engkau pergi sendirian dengan
aku" Bukankah kalian adalah keluarga pangeran, keluarga kaisar Mancu"
"Benar, akan tetapi apakah engkau tidak tahu, adikku, bahwa tidak semua
orang keturunan Mancu suka akan penjajahan ini, suka akan kaisarnya yang
lemah" Engkau tentu pernah mendengar tentang mendiang Puteri Nirahai dan
Puteri Milana, dua orang puteri Mancu, akan tetapi berjiwa pendekar dan
gagah perkasa, bahkan diam-diam merekapun menentang kelaliman kaisar dan
para pembesar?" Kiki belum pernah mendengar dan ia menggelengkan kepalanya.
"Siapakah mereka?"
"Mereka adalah puteri-puteri aseli dari Mancu, akan tetapi mereka tidak
mau menjadi puteri, walaupun keduanya pernah menjadi panglima. Tidak mau
tinggal di istana, bahkan Puteri Nirahai menikah dengan Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es?" "Wah, kalau nama itu pernah disebut-sebut oleh ayah sebagai nama
seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng."
"Bukan dongeng, melainkan sungguh-sungguh ada. Dan Puteri Nirahai
yang masih saudara kaisar itu lebih suka tinggal bersama suaminya, Pendekar


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Super Sakti di Pulau Es, dari pada menjadi puteri di istana. Puteri mereka, Puteri
Milana, juga menikah dengan seorang pendekar sakti dan tidak mau menjadi
puteri di istana. Nah, jangan lantas kausamakan saja manusia atau bangsa
dengan sekarung beras."
"Ehhh?" Kiki tidak mengerti.
"Kalau orang membeli beras, mengambil segenggam dan melihat beras itu
jelek, lalu dia tidak jadi beli dan mengatakan bahwa beras sekarung itu jelek.
Tidak demikian dengan bangsa. Bangsa terdiri dari manusia-manusia dan di
antara manusia-manusia, tentu ada yang jelek dan ada yang baik. Ada yang
suka menjajah akan tetapi ada pula yang tidak suka dengan politik penjajahan
itu." dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Jadi kau dan ayahmu..."
"Kami tidak Suka dengan siasat pemerintah menjajah bangsa lain, apalagi
kami tidak suka melihat kelemahan kaisar yang bertekuk lutut kepada orangorang kulit putih. Karena itu, ayah kagum dan percaya kepadamu. Pula, siapa
sih yang akan mengganggu kita?"
Kiki hanya tersenyum, dan pada saat itu, kereta berhenti sebentar karena
dihentikan oleh penjaga pintu gerbang. Terdengar percakapan antara kusir dan
perajurit penjaga yang dengan suara lantang mengatakan bahwa kereta itu
milik Pangeran Ceng Tiu Ong dan bahwa kini dia sedang mengantarkan Ceng
Sioda keluar pintu gerbang untuk utusan pribadi dan kalau terburu, mungkin
malam ini juga kembali ke kota raja lagi.
"Sobat, maafkan kami. Berhubungan perintah atasan untuk melihat siapa
yang keluar masuk kota raja, walaupun tidak diperiksa, hanya diawasi saja,
maka terpaksa kami akan menjenguk ke dalam kereta untuk meneliti kebenaran
keteranganmu ini." "Kalian tidak percaya kepadaku?"
Tukang kusir membentak, lalu suaranya ditujukan ke dalam.
"Ceng Siocia, mereka ini ingin menjenguk dan memeriksa ke dalam kereta!"
Tentu pada waktu itu, pantang bagi para puteri bangsawan untuk dijenguk
begitu saja oleh para perajurit atau laki-laki biasa. Akan tetapi, dengan halus
Ceng Hiang menjawab. "Karena sudah tugas mereka, biarlah, paman. Aku yang akan membuka
sendiri kain penutup pintu kereta."
Berkata demikian, dengan kedua tangannya yang berkulit halus, Ceng
Hiang menguak pintu kain itu ke kanan kiri sehingga ia dan Kiki kelihatan jelas
oleh mereka yang mengepung kereta dari luar.
"Apakah kalian sudah puas sekarang?"
Para perajurit itu terpesona melihat dua orang gadis yang demikian cantik
jelitanya, terutama sekali Ceng Hiang. Dan di antara mereka, agaknya tidak ada
seorangpun yang tidak mengenal Ceng Hiang. Semua berdiri dengan sigap dan
muka mereka bahkan berubah agak ketakutan. Seorang di antara mereka yang
berkumis tebal, dengan suara agak gemetar lalu berkata.
"Mohon maaf... kami" kami tidak tahu bahwa Siocia yang berada di dalam
dan... kami hanya melaksanakan perintah atasan..."
Ceng Hiang tersenyum dan menutup kembali kain gorden sambil berkata
dari dalam. "Demikianlah seharusnya, setiap orang perajurit harus melaksanakan tugas
dengan baik dan membela perintah atasan dengan taruhan nyawa. Paman
kusir, lanjutkan perjalanan!"
"Baik, Siocia?"
Dan keretapun bergerak lagi melalui pintu gerbang, keluar dari pintu
gerbang. Setelah keluar dari pintu gerbang, di sepanjang jalan tidak ada lagi
penerangan. Tadi, biarpun sudah tengah malam, di sepanjang jalan masih ada
lampu-lampu yang menerangi jalan, baik lampu untuk hiasan atau penerangan.
Akan tetapi sekarang, mereka keluar dari kota dan yang menerangi cuaca yang
gelap hanyalah sinar bintang-bintang di langit dan bulan tua yang tinggal
seperempatnya. Akan tetapi, lentera kereta itu sendiri masih cukup terang sehingga sang
kusir dapat melihat jalan di depannya, sejauh sedikitnya limabelas meter.
Kereta berjalan terus menuju ke sebuah dusun menurut petunjuk Kiki. Ketika
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mereka tiba di dusun itu, waktunya sudah hampir subuh dan dusun itu masih
terbenam dalam mimpi. "Kiki, rasanya tidak enak kalau kita mengagetkan para penghuni dusun ini.
Bagaimana kalau kita menanti saja di luar dusun, dan baru memasuki dusun
kalau mereka sudah bangun dan kita tinggalkan saja kereta di luar dusun agar
tidak mengejutkan orang."
Kiki semakin suka dan kagum kepada gadis yang jelita itu. Memang hebat,
pikirnya. Sudah orangnya bangsawan, puteri pangeran, kaya raya,
berkedudukan tinggi, cantik jelita, namun sama sekali tidak sombong, bahkan
rendah hati dan mengingat nasib lain orang. Mana ada bangsawan bersikap
seperti gadis ini" Bangsawan-bangsawan atau hartawan-hartawan lain biasanya bersikap
congkak dan menganggap orang dusun atau orang miskin, tidak lebih seperti
anjing saja. Ia kagum dan semakin tertarik.
"Baiklah, enci Hiang."
Ia merasa agak malu, karena andaikata ia sendiri yang datang, tentu ia akan
mengetuk begitu saja pintu rumah petani itu, membangunkan pemilik rumah
untuk mengambil benda yang dititipkannya.
Keduanya kini duduk di atas batu di tepi jalan, di luar dusun. Kusir
melepaskan dua ekor kuda besar itu untuk memberi kesempatan mereka
beristirahat dan makan rumput, sedangkan dia sendiri, setelah memperoleh
perkenan nona majikannya, lalu merebahkan diri di bawah pohon, di atas
rumput dan daun kering, dan sebentar saja diapun sudah mengorok saking
lelahnya. Dia lelah dan ngantuk karena bekerja semalam suntuk tidak tidur.
Kusir itu seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, memakai
sebuah topi caping lebar yang menyembunyikan muka dan lehernya dari
sengatan matahari panas karena dia duduk di depan, tak terlindung atap
kereta. Pakaiannya seperti pakaian bangsawan kota raja, serba biru dengan
garis-garis putih di ujung kaki, lengan dan leher. Orangnya tinggi kurus dan
sikapnya juga lemah lembut, agaknya seorang terpelajar pula walaupun
pekerjaannya hanya kusir.
Dua orang gadis itu duduk agak jauh dari kereta, bahkan tidak melihat kusir
yang tidur ngorok itu. Mereka asyik bercakap-cakap.
"Adik Kiki, apakah engkau tidak merasa betapa antara kita yang baru saja
berkenalan, ada kecocokan yang akrab" Aku terus terang saja suka kepadamu,
karena engkau memiliki sifat yang gagah perkasa dan engkau cekatan, lincah
dan jenaka, walaupun agak nakal, akan tetapi hatimu amat lembut dan baik?"
"Idiihh, kiranya enci Hiang ini selain pandai dan cantik jelita, juga ahli
merayu dan memuji orang! Tidak, aku hanya seorang gadis liar, seorang gais
kang-ouw yang bisanya hanya berkelahi saja!"
"Aku tidak percaya! Biarpun dari ayah, aku tahu bahwa engkau adalah
seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, terutama sekali pandai
bermain di air seperti seekor ikan hiu, biarpun engkau membunuh musuhmusuhmu sambil tersenyum manis, namun aku tahu bahwa engkau berjiwa
pendekar dan patriot yang gagah. Ah, betapa senangnya hidup seperti engkau
ini, adikku. Engkau hidup bebas seperti seekor burung terbang di angkasa raya,
dapat melakukan apa saja sekehendak hatimu?"
"Ah, siapabilang" Engkau lebih bebas. Engkau puteri pangeran, engkau
berkuasa dan berharta. Siapa bisa melarangmu" Lihat saja tadi. Andaikata aku
yang berada di kereta sendirian saja, belum tentu aku boleh lewat begitu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mudah, dan tentu mereka akan bersikap kurang ajar kepadaku. Akan tetapi
kepadamu, enci" wahh, mereka seperti melihat malaikat saja, mati kutu dan
ketakutan, dan begitu menghormat."
Ceng Hiang menarik napas panjang.
"Hal itu kuakui. Memang semua pasukan, dari yang pangkatnya paling
kecil sampai yang pangkatnya paling tinggi, menghormati ayahku. Ayahku
hanya seorang pangeran yang tidak menduduki jabatan penting, tidak memiliki
kekuasaan, hanya penjaga perpustakaan dan seorang sasterawan, akan tetapi
dia tidak pernah melakukan pelanggaran, selalu jujur dan setia, tidak mau
berkorupsi dan selalu bertindak tegas menentang kelaliman. ltulah yang
membuat semua orang tunduk dan segan."
"Hebat... dan ketika pertama kali aku bertemu ayahmu, biarpun dia begitu
halus budi dan tubuhnya lemah lembut, namun dia begitu berwibawa,
membuat aku malu. Dan dia memiliki suatu keberanian yang belum tentu
dimiiki oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Sikapnya demikian
mengesankan dan aku segera tunduk. Karena itulah, ketika orangku
mendorongnya ke laut, aku lalu meloncat terjun dan menyelamatkannya, dan
ketika dia berpesan tentang peti terisi kitab-kitab, akupun melaksanakannya
dengan baik. Entah bagaimana, aku merasa harus mentaati orang tua itu."
Ceng Hiang memegang kedua tangan Kiki.
"ltulah" karena engkau pada hakekatnya seorang gadis yang baik budi
dan halus perasaanmu, seperti kukatakan tadi. Dan engkau tentulah murid
seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, adikku."
"Guruku adalah ayah kandungku sendiri."
"Aih, betapa hebatnya. Siapakah nama ayahmu, kalau aku boleh tahu?"
"Bumi dan langit kalau dibandingkan dengan ayahmu, enci Hiang. Ayahku
seorang kasar dan sejak muda berkecimpung dalam dunia kekerasan. Ayahku
bernama Tang Kok Bu, dan dia malah lebih terkenal dengan julukan Hai-tok."
Kalau saja subuh itu tidak begitu remang-remang dan belum terang benar,
tentu Kiki akan melihat keterkejutan menyelimuti wajah Ceng Hiang
mendengar disebutnya julukan Hai-tok ini.
"Hai-tok (Racun Lautan)" Apakah ayahmu itu seorang di antara Empat
Racun Dunia?" Kini Kiki yang terheran dan mengamati wajah cantik jelita itu.
"Enci Hiang, seorang halus seperti engkau ini, yang tentu hanya bergaul
dengan orang baik-baik saja, yang tak pernah mengalami apalagi mengenal
orang-orang kang-ouw, bagaimana bisa tahu tentang Empat Racun Dunia?"
"Ehhh... ahhh..."
Ceng Hiang gugup juga karena pertanyaan Kiki itu benar-benar
membuatnya serba salah untuk menjawab. Melihat ini, Kiki tertawa tanpa
menutupi mulutnya, karena ia adalah seorang gadis yang biasa hidup bebas.
Akan tetapi, tanpa ditutupi mulutnya dengan tanganpun, sama sekali tidak
membuat ia nampak kasar memalukan, bahkan semakin jelas nampak
kemanisannya ketika tertawa.
"Aku mengerti, enci Hiang. Tentu kakakmu yang memberi tahu, bukan"
Kakakmu itu hebat sekali. Ilmu silatnya amat tinggi dan aku sudah ingin sejak
tadi menanyakan, siapakah dia dan dari mana dia memperoleh ilmu silat
sehebat itu. Aku sungguh kagum dan benar-benar terheran-heran. Sungguh
mati, andaikata kami harus berkelahi mati-matian, aku meragukan sekali
apakah aku akan menang melawan kakakmu itu!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kakakku..." Ah, kaumaksudkan koko (kanda)" Jangan heran, memang
sejak kecil dia suka sekali mempelajari ilmu silat. Dan memang dialah yang
bercerita kepadaku tentang Empat Racun Dunia. Lanjutkan dulu cerita tentang
dirimu, nanti aku akan menceritakan tentang dia kalau memang engkau tertarik
kepadanya." Mendengar nada suara gadis itu, wajah Kiki berubah merah dan ia purapura cemberut.
"Ihhh" siapa yang tertarik kepadanya" Aku hanya kagum dan heran, juga
harimau keluargamu itu hebat."
"Teruskan dulu ceritamu, nanti kuceritakan tentang harimau kami. Jadi,
ayahmu yang berjuluk Hai-tok itu merupakan seorang di antara Empat Racun
Dunia?" "Benar sekali, enci. Nah, kau tahu sekarang, aku hanyalah anak seorang
datuk kaum sesat yang menjadi datuknya semua bajak laut maupun bajak
muara dan sungai telaga! Aku lahir dari keluarga jahat dan di dunia kaum
hitam! Mana bisa disamakan dengan engkau, enci Hiang."
Dalam suaranya, Kiki benar-benar menyatakan penyesalan akan keadaan
keluarganya yang terkenal sebagai penjahat.
"Aku pernah mendengar dari kakakku, bahwa baru-baru ini pasukan
pemerintah menyerbu Pulau Layar, bukankah di sana tempat tinggal ayahmu?"
"Bukan hanya menyerbu, akan tetapi membasmi dan membakar pulau
tempat tinggal kami. Hal itu terjadi setelah pasukanmu?"
"Pasukanku" Jangan ngawur, adik Kiki?"
"Ohh, maaf, maksudku" pasukan pemerintah! Pemerintah telah
menyergap pesta ulang tahun yang diadakan ayahku berhubung dengan
usianya yang sudah tujuhpuluh lima tahun."
"Wah, itu sudah keterlaluan namanya! Bagaimana mungkin pesta ulang
tahun, apa lagi yang berpesta itu sudah berusia tujuhpuluh lima tahun, diserbu
oleh pasukan tentara?"
Kiki menghela napas, teringat akan suhengnya dan diam-diam ia merasa
marah bukan main. Satu di antara tugasnya adalah menyelidiki apakah
suhengnya berada di kota raja, dan kalau benar dimana tinggalnya. Mungkin ia
bisa menyelidiki melalui gadis ini atau setidaknya melalui kakak adik ini.
Ayahnya ingin sekali menghukum sendiri murid pengkhianat itu.
"Maaf, adik Kiki. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerbu pesta itu,
mungkin ada apa-apanya di balik pesta itu. Benarkah begitu" Aku sendiri tidak
tahu apa-apa tentang pemberontakan... eh, maksudku, yang kalian sebut
perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah. Kenapa sebuah pesta sampai
diserbu pasukan?" Kiki menghela napas panjang. Menghadapi seorang seperti Ceng Hiang ini,
mana bisa ia membohonginya" Orang ini demikian halus, demikian baik dan
jujur. Ia pun harus membalas kejujuranku.
"Memang ada alasannya! Selain berpesta ulang tahun, ayah juga
mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan untuk diajak
mengadakan rapat rahasia tentang keinginan semua orang untuk
menumbangkan pemerintah penjajah dan mengusir orang-orang kulit putih."
"Ah, jadi begitukah" Kalau begitu... kalau begitu, orang-orang yang tadi
kau katakan sebagai kaum dunia hitam itupun bersatu dengan para pem... eh,
pejuang rakyat?" "Tentu tidak Semua, enci. Hanya mereka yang masih mempunyai sekelumit
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan semangat untuk membela nusa bangsa, membela tanah air. Dan ayahku
termasuk pula orang itu?"
"Dan engkau juga?"
"Enci Hiang, engkau tadi mengatakan sendiri bahwa engkau, biarpun
seorang puteri keturunan Mancu, tidak suka akan penjajahan dan penindasan!"
"Kau benar, kau benar" adikku. Wah, ceritamu menarik sekali. Aku
sungguh tertarik dan senang mendengarnya, juga tegang sampai jantungku
berdebar tidak karuan?"
"Dan sekarang tiba giliranmu untuk bercerita, dan aku akan bertanya.
Kuharap engkau suka berlaku jujur menjawab semua pertanyaanku seperti aku
tadi, enci." "Baiklah, akan kucoba. Nah, tanyalah."
"Tentang ayahmu dan kau sendiri sebagai bangsawan-bangsawan yang
tidak suka akan penjajahan penindasan, tadi sudah kauceritakan. Akan tetapi,
sekarang aku hendak bertanya: Kenapa ayahmu demikian mementingkan
kitab-kitab kuno itu" Ayahku dan aku dengan susah mencoba untuk
membacanya, namun kami berdua tak berhasil. Sungguh kami berdua merasa
buta huruf benar-benar menghadapi huruf-huruf dalam kitab-kitab itu. Apa sih
gunanya kitab-kitab seperti itu, sehingga ayahmu demikian mementingkan dan
dalam keadaan terancam bahaya saja dia amat memperhatikannya dan pesan
kepadaku agar kitab-kitab itu kukirimkan kepadamu kalau sampai dia tewas."
"Aku sendiri tidak akan mampu membacanya, adikku. Kitab-kitab
mengandung huruf-huruf yang amat kuno dan agaknya, di kota raja sekalipun
hanya ada beberapa gelintir manusia saja yang akan mampu membaca dan
menterjemahkannya, termasuk ayahku, karena ayah adalah seorang ahli huruf
kuno, ahli sastera Sansekerta dan India. Adapun isi kitab-kitab kuno, seperti
kau tahu, tentu mengandung pelajaran tentang kebatinan, agama, dan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin juga kepandaian silat."
"llmu silat" Wah, sungguh hebat kalau begitu. Akan tetapi, ayahmu
seorang yang tidak Suka akan kekerasan, tentu tidak akan belajar silat. Dan
engkau... seorang dara cantik jelita dan halus. Biarpun demikian, aku dapat
menduga bahwa ayahmu tentu ingin menterjemahkan kitab ilmu silat itu untuk
diberikan kakakmu! Benar tidak?"
Ceng Hiang tersenyum dan hanya mengangguk saja.
"Ketika aku memasuki rumah keluargamu, aku terjebak ke di dalam
ruangan bawah itu, dan aku berkesempatan untuk bertemu dengan kakakmu
bersama harimaunya. llmu silatnya tinggi sekali. Bagaimana dia begitu lihai
ilmu silatnya, sedangkan ayahmu hanya seorang sasrerawan lemah, dan kau
juga seorang gadis lemah lembut..."
"Ah, dia itu sejak kecil memang suka belajar ilmu silat, adik Kiki" dan tentu
saja dia dapat disebut pandai karena dia mewarisi ilmu silat dari keturunan,
keluarga para pendekar Pulau Es"
"Ahhhl!" Kiki terbelalak kagum.
"Di antara keluarga Kerajaan Ceng, tidak ada seorangpun yang dipercaya
oleh mendiang Puteri Milana kecuali keluarga kami. ltupun dilakukan secara
amat rahasia. Ayahku sendiri yang menerima beberapa buah kitab pelajaran
ilmu silat pulau Es, dan bersumpah bahwa ayah hanya akan menyerahkan
kepada anaknya yang dianggap berbakat dan dipercaya memiliki watak yang
baik. Demikianlah, ayah menerima kitab pelajaran yang amat terperinci, dari
dasar-dasar ilmu silatnya sampai beberapa macam ilmu silat keluarga sakti itu.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kalau saja dapat dipelajari seluruh ilmu dari keluarga para pendekar Pulau Es,
tentu akan lebih hebat lagi."
"Aihhh... kalau begitu, dia keturunan atau murid langsung dari Pulau Es
dan merupakan pewaris terakhir dan tunggal...!" seru Kiki pula dengan penuh
kagum. Ceng Hiang tersenyum manis.
"Belum tentu adikku. Jangan memujinya terlalu tinggi, karena ketahuilah
bahwa keluarga Pulau Es telah menjadi keluarga yang besar dan banyak sekali.
Sekarang, entah siapa saja keturunan mereka, akan tetapi aku yakin tentu
banyak pula. Hanya, karena sejak dahulu keluarga Pulau Es merupakan
pendekar-pendekar sakti yang tidak mau mencampuri urusan pemerintah dan
tidak suka menonjolkan diri, maka mungkin tidak dikenal oleh dunia
persilatan." "Akan tetapi kakakmu itu... wah, dia memang hebat!" kembali Kiki berkata,
dan Ceng Hiang hanya tersenyum saja.
"Siapakah namanya, enci?"
"Namanya" Ah, namanya hampir sama dengan namaku, namanya Siang.
Ceng Siang... tapi sudahlah, jangan bicarakan dia. Dia paling tidak suka
dibicarakan oleh kaum wanita."
"Kenapa begitu?"
"Entah, pokoknya dia tidak suka kepada gadis-gadis."
"Ahhh?" "Kenapa?" "Pantas sikapnya terhadap akupun menghina dan mengejek sekali!"
"Maafkan dia, Ki-moi. Dia menghina dan mengejek bagaimana sih?"
"Berkali-kali dia memaki aku maling dan mengejek kepandaianku yang
katanya masih rendah."
"Wah, dia sombong! Kepandaianmu tentu hebat, adikku" kalau tidak,
mana mungkin mampu memimpin bajak laut yang terkenal" Menurut ayah, kau
lihai bukan main." "Ah, tidak. Bagaimanapun juga, harus kuakui bahwa aku belum tentu
menang melawan kakakmu! Akan tetapi sekali waktu, aku ingin mengajaknya
bertanding untuk menguji kepandaian."
"Nah, sudah siang, dan itu banyak sudah orang yang keluar dari dusun,
tentu hendak bekerja di sawah. Mari kita datang ke petani yang kautitipi peti
itu, adik Kiki." Mereka lalu bangkit dan memasuki dusun setelah Ceng Hiang memesan
kepada kusirnya yang sudah bangun untuk menunggu di situ. Tentu saja
orang-orang dusun memandang dengan bengong, heran dan kagum melihat
masuknya dua orang gadis yang demikian cantik dan mewahnya ke dusun
mereka. Akan tetapi, kakek dan nenek pemilik rumah gubuk yang dititipi peti
oleh Kiki, menyambut Kiki dengan muka cerah.
"Wah, girang sekali hati kami melihat nona datang. Hati kami selalu tidak
enak semenjak nona menitipkan peti itu." kata si kakek.
Kiki mengerutkan alisnya.
"Kenapa, kek?" Ketika menitipkan, Kiki hanya mengatakan bahwa isinya adalah kitab-kitab
kuno yang tidak berharga dan karena keberatan, ia titipkan di situ untuk
dijemput beberapa hari kemudian, dan untuk itu ia memberi upah yang cukup
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan lumayan kepada kakek dan nenek itu.
Setelah celingukan ke sana sini, kakek itu lalu berkata kepada Kiki,
suaranya berbisik. "Beberapa hari yang lalu, di dusun ini muncul tiga orang hwesio yang amat
jahat. Mereka bertanya-tanya tentang peti hitam berisi kitab-kitab. Untung
kami berdua tak pernah bercerita kepada siapa saja, sehingga tidak ada orang
yang tahu bahwa kamilah yang menyimpan benda itu, dan kamipun diam saja,
pura-pura tidak tahu. Dan tiga orang kakek pendeta itu telah menyiksa
beberapa orang laki-laki muda dari dusun ini yang dipaksanya untuk mengaku,
padahal mereka benar-benar tidak tahu."
Tentu saja Kiki merasa terkejut bukan main mendengar ini. Akan tetapi
hatinya juga lega ketika ia melihat bahwa peti hitam itu masih utuh,
disembunyikan di dalam kamar, di bawah tempat tidur reyot milik kakek dan
nenek itu. Iadan Ceng Hiang cepat membuka peti dan melihat bahwa memang
kitab-kitab kuno itu masih lengkap, jumlahnya tidak kurang dari limapuluh jilid,
sebagian besar adalah kitab-kitab agama yang amat kuno dan tulisannya
memakai huruf-huruf yang mereka berdua tak dapat membacanya.
"Sekarang dimana tiga orang hwesio itu, kek?" tanya Kiki, hatinya merasa
tidak enak sekali. Apalagi Ceng Hiang, alisnya berkerut dan ia mendengarkan dengan hati
tegang. "Tidak tahu, nona. Setelah menghajar orang, mereka lalu pergi dengan
ancaman bahwa kalau ada yang menyembunyikan benda itu, kelak kalau
terdapat orangnya akan dibakar hidup-hidup dan dikirimi ke neraka oleh doadoa mereka!"
"lhhh!" seru Kiki.
"Hwesio macam apa sejahat itu!"
"Hati-hati, adik Kiki" aku yakin bahwa mereka itu tentu sengaja datang
untuk merampas kitab-kitab ini."
"Enci Hiang, bagaimana kau bisa tahu?"
"Sudah jelas, mereka mencari benda ini dan menyiksa orang, dan mereka
adalah hwesio-hwesio, sedangkan kitab-kitab ini adalah kitab-kitab tentang
agama yang kuno, yang oleh ayah diambil dari kuil besar kuno di Mukden atas
perintah kaisar sendiri yang ingin menyelamatkan semua kitab kuno agar
dirawat dan disusun oleh ayahku sebagai pengisi perpustakaan istana."
"Ah, kalau begitu, tentu mereka itu pendeta-pendeta yang datang dari
Mukden," kata Kiki. "Belum tentu. Para pendeta di sana tentu tidak berani melakukan hal yang
sifatnya memberontak itu. Mungkin juga teman-teman mereka, atau pendetapendeta pendatang dari lain tempat yang bersekongkol dengan pendetapendeta Mukden."
"Atau mungkin juga orang-orang jahat yang menyamar sebagai pendetapendeta untuk merampas kitab-kitab ini," kata Kiki.
"Rasanya tidak mungkin itu, adikku. Penjahat mana yang akan suka
merampas kitab kuno seperti ini" Kita sendiripun tidak bisa membacanya. Sejak
kecil aku dididik ayah dengan ilmu sastera, akan tetapi kitab-kitab ini aku
hanya bisa membaca beberapa belas hurufnya saja. Untuk apa mereka
bersusah payah merampas kitab-kitab ini" Dijualpun takkan laku."
Dua orang gadis itu menduga-duga, akan tetapi karena jelas bahwa ada
musuh yang berniat buruk merampas peti itu, Kiki lalu cepat memanggul peti
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan itu, di atas pundaknya dan berkata.
"Mari kita, cepat kembali ke kota raja, enci."
Bergegas keduanya lalu keluar dari dusun itu menuju ke tempat dimana
mereka meninggalkan kereta. Agaknya kusir yang tahu akan kewajibannya itu
sudah siap karena dia sudah memasang lagi dua ekor kuda itu di depan kereta
dan sudah duduk di tempatnya, yaitu di bangku depan. Melihat bahwa kereta
sudah siap, Ceng Hiang berkata.
"Mari kita cepat pulang!"
Ceng Hiang bersama Kiki yang membawa peti hitam itu, iapun naik dan
memasuki kereta. Hati mereka lega setelah kereta itu bergerak meninggalkan
tempat itu dengan cepatnya. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika
kereta itu makin lama bergerak semakin cepat sampai membalap seperti
dikejar setan atau sedang berlumba dengan kereta lain. Melihat ini, Ceng
Hiang membentak. "Kusir, kenapa begini cepat" Lambatkan sedikit larinya kuda, apa engkau
ingin celaka di tempat yang jalannya tidak rata ini?"
Sungguh aneh. Kusir tidak menjawab, akan tetapi larinya dua ekor kuda itu
tidak berkurang, bahkan semakin membalap.
Kiki mengerutkan alisnya dan membuka gorden, memandang ke muka.
Kusir itu masih sama seperti kemarin, jangkung dan mengenakan pakaian
serba biru. Akan tetapi ia tidak melihat muka orang itu dan ia menjadi curiga.
"Berhenti! Hayo hentikan kereta ini atau engkau akan kupukul!" bentaknya
kepada kusir itu. Kiki marah, karena kini melihat bahwa kereta itu mengambil jalan yang
salah, bukan menuju ke kota raja, melainkan membelok dan kini berada di luar
sebuah hutan yang sunyi. Kereta itu tiba-tiba berhenti dan ketika Ceng Hiang
dan Kiki membuka gorden jendela dan pintu kereta, mereka melihat bahwa
kereta itu telah dikurung oleh segerombolan orang berkuda yang dikepalai oleh
tiga orang hwesio gendut!
"Enci Hiang, kau di dalam saja bersama peti ini, biar aku yang menghadapi
mereka!" Kata Kiki, sedikitpun tidak merasa gentar, bahkan sepasang matanya
mengeluarkan sinar mencorong dan mukanya merah sekali. Ia nampak semakin
manis dan gagah perkasa, dan ketabahannya memancar di sinar mukanya,
membuat Ceng Hiang merasa kagum bukan main. Kiki lalu melompat ke luar
dan ia menghitung jumlah lawan. Ada tujuh orang. Tiga orang hwesio gendut,
dua orang lagi berpakaian biasa dan kusir itu yang ternyata bukanlah kusir
kereta Ceng Hiang tadi, melainkan seorang lain yang telah mengenakan
pakaian yang sama. Agaknyadiam-diam kusir yang aseli telah disingkirkan dan
tempatnya diganti oleh orang ini.
Tiga orang hwesio dan dua orang kurus itu meloncat turun pula dari atas
kuda masing-masing. Seorang di antara tiga hwesio itu, yang mempunyai tahi
lalat besar di ujung hidungnya sehingga nampak lucu dan buruk, dengan
perutnya yang gendut dan tubuhnya yang agak pendek, melangkah maju
menghadapi Kiki. "Serahkan peti hitam berisi kitab-kitab itu kepada kami, dan kamipun tidak
akan mengganggu dua orang gadis yang lemah."
Kiki tersenyum mengejek. "Engkau ini hwesio dari kuil, ataukah pelawak yang menyamar sebagai
hwesio, ataukah orang-orang jahat tolol, tikus-tikus kecil yang datang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mengantar kematian?"
Hwesio itu melototkan matanya.
"Omitohud! Kiranya perempuan ini seorang kuntilanak yang mencari
penyakit sendiri. Perempuan sombong, ketahuilah bahwa kami adalah orangorang yang berilmu tinggi, yang menginginkan kitab-kitab itu. Jangan berani
menghina kami, dan cepat serahkan peti itu!"
"Dari pada aku yang menyerahkan peti, lebih baik kalian yang
menyerahkan leher kalian untuk kupenggal satu-satu sebagai hukuman atas
kejahatan kalian berani mengganggu aku!"
"Suheng, perlu apa bicara banyak-banyak dengan dia" Anak ini cukup
manis, biar untuk aku saja!" kata seorang di antara dua laki-laki berpakaian
biasa yang bertubuh kurus.
Dan sebelum kata-katanya habis diucapkan, tubuhnya sudah menubruk ke
arah Kiki. Gerakannya cepat dan dari kedua lengannya yang dikembangkan itu
mengeluarkan angin pukulan yang cukup kuat. Akan tetapi Kiki tidak mau
kalah gertak. Ia benci sekali kepada laki-laki yang kurang ajar, dan orang ini
telah mengeluarkan kata-kata yang amat menghinanya. Oleh karena itu,
melihat laki-laki kurus itu menyerangnya dengan tubrukan seperti harimau
hendak menerkam kambing, kemarahannya meluap dan iapun sudah
mengerahkan tenaga sinkang, dan menggunakan jurus dari ilmu Thai-lek Kimkong-jiu yang dahsyat itu. Tangannya menyambar ke depan dan serangkum
tenaga angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambut laki-laki itu.
" Dessss.!!" Tubuh laki-laki itu terdorong ke belakang dan terbanting roboh keras sekali.
Akan tetapi dia tidak tewas, melainkan mengeluarkan darah dari mulutnya,
tanda bahwa dia telah menderita Iuka dalam. Tidak tewasnya orang ini
mengejutkan Kiki, karena ia maklum bahwa lawannya itu sebetulnya cukup
tangguh. Tadi ia dapat merobohkannya dengan mudah hanya karena laki-laki
memandang rendah kepadanya dan menyerangnya dengan kedua lengan
terkembang sehingga dadanya terbuka dan enak dijadikan sasaran
pukulannya. Akan tetapi, yang lebih kaget lagi adalah tiga orang hwesio itu.
"Eh, perempuan muda, siapakah engkau ini!" bentak hwesio gendut
bertahi lalat di ujung hidungnya.
Kiki tidak menyembunyikan siapa dirinya.
"Namaku Tang Ki, dan ayahku adalah Hai-tok!"
Nama ini membuat muka empat orang itu menjadi pucat.
"Hai-tok pemimpin Bajak Naga Laut?"
"Akulah pemimpinnya!" kata pula kiki.
"Celaka, kita terjebak. Larikan kereta!" bentak hwesio gendut itu, dan dia
bersama tiga orang kanannya sudah menggerakkan senjata mengepung dan
mengeroyok Kiki, sedangkan kusir itu sudah mengaburkan lagi kudanya.
"Berhenti kau!"
Kiki membentak dengan khawatir, akan tetapi empat orang yang
menghadangnya itu ternyata amat lihai! Terutama tiga orang hwesio itu yang
mainkan golok amat tangkas dan berbahaya sehingga terpaksa Kiki mengelak
ke sana-sini dan tidak dapat mengejar kereta yang sudah kabur dengan cepat
memasuki hutan. Tentu saja hatinya gelisah bukan main, kegelisahan bukan
khawatir akan kehilangan peti berisi kitab-kitab itu, melainkan
mengkhawatirkan keselamatan Ceng Hiang.
Empat orang lawannya itu ternyata memang lihai. Si laki-laki kurus satu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan lagi bersenjatakan pedang dan kini yang terkena pukulannya juga sudah
mampu bangkit dan biarpun mukanya pucat, dia dapat pula mengeroyok
dengan pedang. Lima orang itu kini sama sekali tidak berani main-main lagi,
bahkan merasa terjebak ketika mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Haitok, bahkan pemimpin dari Bajak Naga Laut yang amat terkenal itu.
Mereka semua mengerahkan tenjata dan tenaga untuk mengeroyok Kiki
yang bertangan kosong! Biarpun demikian, semua serangan mereka tidak ada
yang mampu merobohkan Kiki. Gadis ini mengelak sambil berloncatan seperti
seekor burung saja, bahkan tidak jarang kalau ada golok atau pedang yang tak
dapat dielakkan karena datangnya terlampau cepat, ditangkisnya begitu saja
dengan lengan telanjang sehingga lengan bajunya ada yang robek, akan tetapi
kulit lengan yang putih mulus itu sama sekali tidak terluka oleh bacokan
pedang ataupun golok lawan.
Tentu saja dalam hal ini Kiki juga berhati-hati, tidak berani ia menangkis
setiap bacokan golok atau pedang yang dilakukan dengan sinkang yang terlalu
kuat, karena kekuatan sinkang lawan itu akan dapat menembus pertahanan
kekebalan kulit lengannya. Biarpun demikian, ia mulai terdesak hebat karena
lima orang pengeroyoknya itu lihai dan ia memang tidak diberi kesempatan
untuk mencari senjata. Apalagi hatiny? gelisah bukan main kalau mengingat


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan Ceng Hiang. Gadis yang lemah lembut dan cantik jelita itu dilarikan
di dalam kereta oleh kusir palsu itu yang dalam hal kekejaman dan
kejahatannya tentu tidak kalah oleh rekan-rekannya. Oleh karena itu,
kegelisahan ini menambah kelemahan pertahanannya dan kini Kiki mulai
mundur-mundur dan mencari peluang untuk melarikan diri dan untuk mengejar
kereta itu agar ia dapat melindungi Ceng Hiang.
Akan tetapi, ketika ia memandang ke arah hutan di mana kereta itu tadi
menghilang, ia terbelalak melihat Ceng Hiang berjalan melenggang sambil
memanggul peti hitam terisi kitab-kitab itu, dengan sikap seenaknya saja!
Hampir saja lehernya kena disambar golok hwesio bertahi lalat kalau saja ia
tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, lalu dari bawah ia
meloncat sambil menendang.
"Bukkk!" Tendangannya mengenai sasaran, menghantam perut hwesio gendut itu,
akan tetapi tenaga tendangannya itu membalik! Kiranya hwesio ini
kekuatannya terletak di perut yang gendut itu. Bukan gendut karena terlalu
banyak makan, melainkan gendut karena terlatih dan kini terisi hawa sinkang
yang kuat sehingga ketika ditendang, ia merasa seperti menendang sebuah
balon besar terisi angin yang padat saja! Iapun bergulingan menjauh dan
meloncat berdiri, agak jauh sehingga ia dapat memperoleh kesempatan melihat
ke arah temannya. Dan apa yang dilihatnya"
Ceng Hiang kini sudah menaruh peti hitam itu di atas tanah dan ia sendiri
duduk bersila di atas peti itu, dengan sebatang pedang di tangannya. Dan dua
orang hwesio mengeroyoknya dengan golok, akan tetapi kemanapun golok
menyambar, tanpa menoleh, tanpa merubah bentuk duduknya yang bersila,
Ceng Hiang selalu berhasil menangkis serangan golok lawan. Semua dilakukan
seenaknya seperti seorang anak kecil yang sedang main-main saja!
"Trang-tring-trang-tring..."
Berkali-kali terdengar suara senjata bertemu, dan tiba-tiba seorang hwesio
meloncat ke belakang dengan muka pucat karena ujung goloknya telah
somplak, patah ujungnya ketika ditangkis pedang Ceng Hiang!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Melihat ini, hampir saja Kiki bersorak, akan tetapi juga ingin menampar
mukanya sendiri. Ia teringat pedang itu, dan kini tahulah ia siapa Ceng Hiang.
Ceng Hiang adalah opsir itu! Ia tadi berbohong saja ketika menyebut nama
Ceng Siang! Pantas begitu tampan pemuda itu. Saking girangnya dan melihat
bahwa ia memperoleh kesempatan karena kini lima orang itu berbalik
mengeroyok Ceng Hiang untuk merampas peti, ia cepat lari ke pohon dan
mematahkan sebuah cabang pohon untuk dipakai sebagai senjata tongkat,
senjata yang paling enak dan ampuh baginya. Setelah kini memegang tongkat,
dara inipun lari ke arena perkelahian.
"Enci Hiang, kau nakal! Kiranya engkaulah opsir lihai itu. Mari kita basmi
tikus-tikus ini!" Dan diapun mengamuk dengan tongkatnya. Setelah kini ada Ceng Hiang
yang demikian tenangnya menangkisi semua senjata, Kiki mengamuk dan
tongkatnya menyambar-nyambar, merobohkan seorang hwesio. Melihat
keadaan demikian berbahaya, lima orang itu lalu melarikan diri. Dua orang
terluka oleh tongkat Kiki, seorang lagi terpincang-pincang karena pahanya luka
oleh pedang Ceng Hiang. Kiki hendak mengejar, akan tetapi Ceng Hiang berkata.
"Tak perlu dikejar, Ki-moi. Mari kita cepat pulang!"
Kiki mengikuti Ceng Hiang yang membawa peti itu dan kembali ia tertegun.
Ceng Hiang mempergunakan ilmu berlari cepat yang demikian hebat, mungkin
lebih tinggi tingkatnya dari pada ilmunya sendiri. Tak lama kemudian, mereka
tiba di tengah hutan dan kereta itu berada di situ. Kusir yang tadi sudah
menggeletak tanpa nyawa di bawah kereta.
"Biar kita duduk di bangku kusir sambil bercakap-cakap." kata Ceng Hiang.
"Aku biasa menjadi kusir!"
Sambil tertawa, Kiki meloncat ke bangku kusir bersama Ceng Hiang dan
setelah menyimpan peti di dalam kereta, dan kereta dilarikan, Kiki merangkul
gadis cantik jelita itu. "Enci, kau nakal. Kiranya engkaulah opsir muda itu! Betul tidak" Yang
namanya Ceng Siang itu, juga engkau yang menyamar, bukan?"
"Hi- hik, habis aku tidak tega mengecewakan hatimu, nampaknya engkau
tertarik benar kepada... heh-heh, Ceng Siang kakakku itu."
Kiki mencubit paha Ceng Hiang.
"Tertarik" Hampir aku jatuh cinta setengah mati! Kau nakal dan kejam,
mempermainkan aku, enci. Kiranya engkaulah murid keturunan keluarga Pulau
Es! Aku senang sekali dapat berkenalan denganmu, enci Hiang."
Ceng Hiang balas merangkul dengan lengan kirinya, sedangkan tangan
kanannya menguasai kendali dua ekor kuda yang menarik kereta.
"Akupun suka sekali padamu, Kiki. Sayang aku bukan yang bernama Ceng
Siang. Kalau aku laki-laki, mungkin aku sudah jatuh cinta padamu sejak kita
jumpa dulu." "Enci Hiang, engkau begini cantik jelita, begini halus dan lembut. Kenapa
malam itu engkau memakai pakaian opsir dan menyamar sebagai seorang
pria?" Ceng Hiang menghela napas panjang.
"Kasihan ayahku. Dia demikian ingin mempunyai keturunan laki-laki.
Karena dia tidak punya putera, hanya mempunyai aku seorang anak saja dan
ibu telah meninggal, maka untuk menyenangkan hatinya, aku seringkali
menyamar sebagai pria. Kalau aku memakai pakaian pria, wah, ayahku nampak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan gembira bukan main, dan anehnya, dia sering menyebutku Ceng Siang karena
katanya, kalau aku dulu terlahir laki-laki, tidak diberi nama Ceng Hiang
melainkan Ceng Siang. Heh-heh, ayahku memang lucu dan kasihan sekali."
"Dia seorang pangeran tua yang amat baik hati, enci. Akan tetapi kenapa
engkau memakai pakaian opsir?"
"Hik-hik, itu ada rahasianya. Pakaian opsir itu adalah satu di antara
kumpulan pusaka kuno yang disimpam ayahku. Pakaian itu dahulu, mungkin
seratus tahun lalu, pernah menjadi pakaian panglima Puteri Nirahai, isteri
pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Kebetulan terjatuh ke tangan ayah yang
suka mengumpulkan benda benda kuno dan malam itu, melihat engkau
memasuki rumah seperti seorang pencuri, aku sengaja memakainya dan
membawa harimau peliharaanku untuk menakut-nakutimu. Eh, tidak tahunya
engkau begitu cantik dan gagah perkasa, sehingga harimauku sendiri tidak
mampu apa-apa kepadamu."
"Tidak mampu apa-apa bagaimana" Hampir aku terkencing ketakutan!"
Dua orang gadis itu tertawa-tawa dan mereka nampak akrab bukan main.
Memang mereka merasa saling suka dan lebih lagi ketika Kiki melihat sendiri
betapa lihainya gadis bangsawan ini. Cantik jelita seperti bidadari, nampak
lemah-lembut, peranakan Mancu berdarah keluarga kaisar, akan tetapi
membenci penindasan dan penjajahan, dan yang lebih hebat lagi, memiliki ilmu
kepandaian silat yang lebih tinggi darinya, bahkan menjadi pewaris ilmu
keluarga Pulau Es! Siapa tidak akan kagum"
"Enci Hiang, akupun tidak mempunyai saudara. Anak ayahku hanya aku
seorang, dan bertemu denganmu, aku benar-benar merasa seolah-olah engkau
ini enciku sendiri."
"Dan kau seperti adikku sendiri!"
Keduanya Saling pandang dan entah digerakkan oleh apa, keduanya bicara
berbareng, "Bagaimana kalau kita angkat saudara?"
Karena ucapan dikeluarkan berbareng, keduanya tak perlu menjawab lagi
dan keduanya kembali tertawa-tawa.
"Adikku, bagaimanapun juga, aku harus minta perkenan dulu dari ayahku,
walaupun aku berani tanggung bahwa ayah tentu akan setuju sekali. Semenjak
pulang, dia selalu memuji-mujimu, dan mengatakan betapa sayangnya seorang
pendekar wanita pejuang seperti engkau sampai hidup di tengah-tengah para
bajak laut!" Memang tepat seperti diduga oleh Ceng Hiang. Begitu Ceng Hiang
menyerahkan peti berisi kitab-kitab kuno itu kepada ayahnya dan
menceritakan semua pengalaman mereka, lalu menambahkan bahwa ia ingin
sekali mengangkat saudara dengan Tang Ki, pangeran tua itu tanpa
memandang kepada Kiki dan berkata.
"Mimpi apa aku ini, tahu-tahu peroleh seorang anak perempuan lagi yang
segagah ini tanpa merawat ketika kecil" Mulai Saat ini, engkau adalah adik
Ceng Hiang, Kiki, dan anakku yang ke dua."
Mendengar ini, Kiki merasa terharu sekali dan cepat-cepat ia menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki pangeran itu.
"Terima kasih atas kebaikan budi paduka?"
"Hushhh, aku ayahmu, lupakah kau?" kata pangeran itu dengan suara purapura marah penuh teguran.
"Maaf" ayah?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ceng Hiang bertepuk tangan lalu menghampiri Kiki, mengangkatnya
bangkit dan merangkul lalu mencium kedua pipinya dengan penuh rasa
sayang, Menghadapi kegembiraan yang demikian besarnya dari ayah dan anak
itu, Kiki yang biasanya memiliki ketabahan besar dan yang biasanya pantang
menangis itu, kini terisak-isak dan mendekapkan mukanya di pundak Ceng
Hiang. "Terima kasih... terima kasih, enci Hiang dan... ayah..." katanya megapmegap menahan tangis keharuannya.
"Aku" aku" hanya anak seorang datuk sesat, ah" betapa mungkin dan
kalian berdua... ini. Mimpikah aku, enci" Mimpikah aku..."
Dan Kiki menjambak rambutnya sendiri untuk mendapatkan kenyataan
bahwa ia benar-benar tidak sedang dalam mimpi.
"Tidak mimpi, Kiki. Dan engkau tidak perlu berterima kasih seperti itu.
Pertama, engkau pernah mengembalikan nyawaku yang sudah hampir ditelan
lautan, dan kedua kalinya, engkau mengembalikan peti kitab-kitab ini.
Sungguh, engkau seorang anak yang baik dan mudah-mudahan selanjutnya
akan sebaik Ceng Hiang. Nah, sekarang bantulah aku mengeluarkan dan
membersihkan kitab-kitab ini. Akan kucari mana yang tepat untuk kita."
Dengan gembira sekali, Ceng Hiang dan Kiki lalu mengeluarkan kitab itu
satu demi satu, dibersihkan satu-satu, sedangkan Pangeran Ceng Tiu Ong
mulai memeriksa judul kitab itu satu demi satu. Akhirnya, dia menyisihkan dua
buah kitab kuno yang sudah kuning dan lapuk. Wajahnya berseri. Semua hanya
kitab-kitab agama dan kebatinan, kecuali yang dua ini. Dua!
"Ya Tuhan, terima kasih. Memang engkau sudah berjodoh untuk menjadi
keluarga kami, Kiki. Dulu, ketika memeriksa untuk yang pertama kalinya, aku
teringat bahwa hanya ada sebuah kitab pelajaran silat di sini. Akan tetapi
setelah kini kuteliti kembali, ternyata ada dua buah! Satu untuk Hiang, satu
untuk kau! Bukankah ini sudah jodoh namanya?"
Dua orang gadis itu saling pandang. Mereka sudah memiliki ilmu-ilmu silat
yang tinggi dan untuk waktu itu, jarang ada orang yang mampu menandingi
mereka, apalagi wanita. Dan kini ayah mereka menemukan ilmu silat dalam
kitab kuno. Untuk apa" Mana ada ilmu silat dalam kitab kuno yang usianya
sudah ratusan tahun itu yang akan mampu menandingi ilmu-ilmu mereka" Apa
artinya kitab pelajaran ilmu silat bagi mereka"
"Kitab pelajaran ilmu silat apakah itu, ayah?" tanya Kiki.
"Mungkin hanya untuk ilmu permulaan, ayah," kata Ceng Hiang.
"Jangan tanya aku tentang ilmu silat. Akan tetapi judulnya cukup menarik.
Kalian mau tahu" Ah, nanti dulu. Sebagai ayah, aku harus bertindak adil. Aku
sama sekali tidak mengenal ilmu silat dan tidak tahu mana yang lebih penting
bagi kalian di antara kedua kitab ini. Oleh karena itu, sebelum kubaca judulnya
dan sebelum kuterjemahkan isinya, aku akan memberikan dulu kepada kalian
seorang satu. Nah, yang agak merah tulisannya ini untukmu, Ceng Hiang,
karena engkau suka akan warna merah, bukan" Dan ini, yang agak hijau
tulisannya, untuk Kiki. Mudah-mudahan engkau suka warna hijau, Kiki."
"Luar biasa! Betapa bijaksana ayah kita," kata Kiki sambil tertawa kepada
encinya dan menerima kitab kuno itu.
"Kebetulan warna hijau adalah warna kesukaan saya!"
"Bagus, nah, sekarang akan kubacakan dulu judulnya. Kesinikan kitabmu
itu, Hiang." Ceng Hiang sambil tersenyum menyerahkan kitabnya dan ia merasa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan seolah-olah seperti sedang menarik undian. Apakah undiannya akan berhasil
baik" Jangan-jangan kitabnya hanya berisi ilmu-ilmu belajar pasang kuda-kuda
saja! Akan tetapi dengan alis berkerut tanda bahwa otaknya bekerja ayahnya
sudah mulai membaca dengan suara perlahan-lahan.
"Kitab Pek-seng Sin-pouw, ciptaan Tat Mo Couw-su, untuk dilatih muridmurid yang bersih hatinya."
Memanah Burung Rajawali 29 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Hina Kelana 43
^