Pencarian

Pedang Naga Kemala 19

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


dengan sebutan Cap-sha Toa-to (Tiga belas Golok Besar).
Karena tempat itu sempit dan para pengeroyok amat banyak, setelah
merobohkan beberapa orang perajurit pengawal, lima orang muda itu terpaksa
mundur terus dan tiba di mulut terowongan yang menembus ke tempat
penjara. Mereka tahu bahwa sekali mereka masuk ke dalam lerowongan yang
agaknya sempit itu, akan sukarlah bagi mereka untuk meloloskan diri.
Terowongan itu lebarnya hanya satu meter lebih, dan tingginya dua meter
dan agaknya agak gelap. Menurut penyelidikan yang mereka peroleh,
terowongan itu menuju ruangan-ruangan tahanan yang berada di bawah bukit,
di belakang rumah penjara besar di luar. Akan tetapi mereka tak berdaya.
Nekat menerobos kepungan, berarti mereka akan menghadapi bahaya barisan
golok dan pasukan yang besar jumlahnya, dan andaikata mereka mampu
membobol barisan ini, mereka masih akan melewati ruangan dimana terdapat
pasukan senapan yang menodong dari kanan kin!
Bahkan kinipun, di samping desakan Tigabelas Golok Besar, juga terdapat
beberapa orang perajurit dan perwira kulit putih yang siap dengan pistol
mereka, untuk berjaga-jaga kalau kalau lima orang yang terdesak itu dapat
membobol kepungan. Sukarlah bagi mereka untuk meloloskan diri, dan
agaknya satu-satunya jalan hanya mundur sampai akhirnya mereka tertawan
dan menjadi satu dengan para pimpinan pejuang yang sudah menjadi
tawanan. "Biar aku mengadu nyawa dengan keparat itu!"
Kiki hendak menerjang ke depan, akan tetapi Siu Coan menyambar lengan
gadis itu. "Apa kau sudah gila" Tidak perlu membunuh diri dan mati konyol selagi
masih ada jalan untuk hidup!" kata Siu Coan.
Sejenak mereka saling pandang, dan ada sinar mata aneh di dalam mata
pandang Siu Coan yang membuat Kiki menundukkan muka dengan jantung
berdebar. "Mari kita mundur," kata Ci Kong yang melihat kebenaran pencegahan Siu
Coan. Dalam keadaan seperti itu, maju berarti mati konyol dan mundur palingpaling tertawan. Tertawan belum berarti mati, dan dalam keadaan tertawan,
masih ada harapan untuk dapat meloloskan diri.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras berturut-turut tiga kali yang
datangnya dari belakang mereka. Lantai terowongan itu sampai tergetar dan
bukan hanya lima orang muda itu yang merasa terkejut, bahkan Lee Song Kim
dan teman-temannya, juga para perajurit, terkejut bukan main.
"Apa yang terjadi di sana?" teriak Song Kim dengan bingung.
"Di sebelah dalam itu adalah ruangan penjara, bagaimana di sini bisa
terdengar ledakan dahsyat tiga kali itu" Apa artinya ini?"
Pada saat itu, dari dalam terowongan berkelebat bayangan putih yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ternyata bukan lain adalah Koan Jit! Melihat orang ini muncul dari dalam
terowongan di belakang mereka, lima orang muda ini terkejut dan terheranheran. Koan Jit muncul dengan pakaian robek dan di tangannya terdapat dua
buah alat peledak bersumbu yang belum dinyalakan sumbunya. Sejenak Koan
Jit memandangi mereka, terutama kepada sutenya.
"Ah... sudah kukatakan, aku yang akan membebaskan mereka dan kalian
tidak percaya kepadaku, sekarang aku harus membebaskan kalian. Larilah, aku
akan menahan mereka," katanya, dan diapun melangkah maju ke depan mulut
terowongan. Empat orang dan tiga belas Golok Besar menyambutnya, akan tetapi
dengan gerakan aneh, Koan Jit menghadapi empat batang golok itu, dan tibatiba saja kedua kakinya bergerak, dan empat orang itu roboh tak mampu
berkutik lagi karena ujung kaki Koan Jit telah menendang bagian tubuh yang
lemah. Seorang opsir yang berada di dekat mulut terowongan menusukkan
pedangnya, akan tetapi Koan Jit menendang dan sungguh hebat gerakan ini,
karena pedang itu tiba-tiba terlepas dari pegangan opsir itu dan menusuk dada
si opsir kuiit putih yang terbelalak karena lebih merasa terkejut dan terheran
dari pada rasa sakit. Dia terhuyung dan bersandar pada dinding, tangan kanan
mendekap dada yang tertusuk pedangnya sendiri sampai hampir tembus.
"Siapkan regu tembaaak!" Song Kim berteriak.
Ketika melihat munculnya orang ini, Song Kim merasa terkejut bukan main.
Dia tahu akan kehebatan ilmu kepandaian Koan Jit, maka diapun tidak mau
mengambil resiko, apalagi melihat betapa empat orang di antara Tiga Belas
Golok Besar telah roboh dan opsir kulit putih itupun terluka parah.
Seregu perajurit campuran sudah siap dengan senapan mereka, moncong
senapan ditodongkan ke arah Koan Jit. Akan tetapi, Koan Jit berdiri tegak, lalu
dengan tenang menyulut sumbu dua buah bom peledak itu. Dia menoleh lagi
kepada lima orang muda yang masih berdiri bengong dan berdesakan di
belakangnya. "Kalian masih belum pergi" Larilah ke dalam dan bantu mereka
membebaskan diri?" Lima orang itu menjadi bengong dan ragu-ragu. Mereka adalah pendekar
pendekar perkasa, pejuang-pejuang yang gigih dan pantang mundur. Kini,
melihat Koan Jit berdiri seorang diri menghadapi lawan, bagaimana mungkin
mereka dapat pergi meninggalkan Koan Jit menentang musuh dan menantang
maut seorang diri begitu saja" Betapa pengecut sikap mereka kalau mereka
membiarkan Koan Jit mati sedangkan mereka melarikan diri!
Karena bimbang, lima orang muda itu memandang dengan mata terbelalak.
Koan Jit berdiri tegak, dengan sikap tenang dan gagah, tangan kanan
memegang sebuah peluru atau bom bersumbu, diangkat ke atas dan
ditempelkan pada langit-langit terowongan, sedangkan tangan kirinya
memegang sebuah peluru lain yang sumbunya juga sudah bernyala.
"Tembaakkk!" Perintah Song Kim sambil mundur-mundur panik melihat peluru-peluru
bersumbu itu, juga para perajurit menjadi panik dan ketakutan. Terdengarlah
ledakan-ledakan ketika senapan-senapan itu memuntahkan peluru-pelurunya.
Jelas nampak beberapa peluru itu menyengat tubuh Koan Jit yang tidak
mampu mengelak lagi di tempat sempit itu, dan agaknya memang dia tidak
mau mengelak lagi. Nampak bajunya penuh tanda lubang ketika peluru-peluru
itu menem bus kulit tubuhnya.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kalian cepat lariiii...."
Tiba-tiba Koan Jit berseru, suaranya parau, dan pada saat itu dia
melontarkan peluru bersumbu yang berada di tangan kirinya.
"Awaaassss!!" Siu Coan tiba-tiba menubruk empat orang temannya dan menyeret mereka
untuk lari ke dalam terowongan lalu menjatuhkan diri bertiarap agak jauh dari
mulut terowongan. Baru saja tubuh mereka menyentuh lantai, terdengar suara
ledakan keras sekali beruntun dua kali, bergemuruh suaranya memekakkan
telinga sampai agak lama, sehingga mereka berlima itu tidak berani
mengangkat muka. Kemudian sunyi! Tidak terdengar apa-apa lagi, kecuali rontoknya batu-batu
kecil dan tanah di sekeliling mereka. Tidak ada suara manusia, tidak ada suara
berisik. Lima orang itu bangun dan merangkak, terbatuk-batuk karena tempat itu
penuh dengan asap dan debu, kemudian mereka bangkit dan setengah
merangkul menghampiri mulut terowongan. Tidak ada mulut terowongan lagi,
karena kini terowongan itu tertutup sama sekali. Kiranya terowongan itu, di
bagian depan, telah runtuh sama sekali, menutupi mulut terowongan.
"Suheng..." terdengar Siu Coan memanggil, sambil meraba-raba di antara
tumpukan tanah dan batu. Tentu saja tidak terdengar jawaban dan empat orang temannya kini juga
mendekatinya. Mereka meraba-raba di tempat yang menjadi remang-remang
gelap itu, dan akhirnya Siu Coan terdengar mengeluh.
"Suheng, ahhhh... Suheng!"
Siu Coan terdengar menangis! Ci Kong dan tiga orang gadis itu menjadi
terkejut dan heran, mereka mendekati, dan ketika mereka melihat pemuda
gagah itu menangis sambil memegangi sebuah sepatu, mengertilah mereka.
Kiranya yang tertinggal dari Koan Jit hanyalah sebuah sepatu! Agaknya
tubuhnya hancur lebur oleh ledakan tadi atau tertimbun.
Terdengar Kiki juga menangis perlahan. Gadis ini hanya nampak di luarnya
saja galak dan keras, namun sebenarnya hatinya lembut sekali sehingga ia
merasa amat terharu melihat Sia Coan menangisi sebuah sepatu.
Kematian Koan Jit memang amat mengesankan hati lima orang gagah itu.
Kematian seorang patriot, seorang gagah perkasa yang rela mengurbankan
nyawa demi menyelamatkan orang-orang lain. Biarpun Koan Jit pernah menjadi
seorang tokoh sesat yang luar blasa kejamnya dan jahatnya, namun pada saat
akhir-akhir hidupnya, dia adalah seorang gagah perkasa yang patut dikagumi.
"Cepat, mari kita membantu para tawanan," kata Ci Kong yang teringat
akan hal yang lebih penting.
Mengingat akan ini, Siu Coan menyimpan sebelah sepatu itu di dalam saku
bajunya dan merekapun melanjutkan perjalanan, setengah meraba-raba di
dalam terowongan itu, terus menuju ke belakang. Tak lama kemudian, mereka
melihat cahaya menerangi terowongan itu dari belakang, dan mereka
mendengar pula suara orang. Ketika mereka tiba di bagian belakang, ternyata
penjara. Mengertilah mereka bahwa tadi Koan Jit datang dari tempat itu,
membongkar penjara bawah tanah dengan menggunakan bahan peledak yang
amat kuat sehingga tempat itu terbongkar dan berlubang. Sungguh perbuatan
yang amat berani dan cerdik! Ketika Empat Racun Dunia melihat murid-murid
mereka, tentu saja mereka terheran-heran dan juga girang.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kiki, bagaimana kalian dapat muncul dari dalam sana" Tadi kami
mendengar ledakan-ledakan yang keras!" kata Hai-tok kepada puterinya.
"Hai-tok, bicara bisa dilakukan nanti. Mari cepat keluar dan pergi, apa kau
ingin tertawan kembali?"
San-tok mencela rekannya dan mereka semuapun cepat-cepat melarikan
diri dari tempat itu melalui lubang besar yang menembus lereng bukit. Ucapan
San-tok ini memang benar. Tak lama kemudian, tempat itu telah didatangi
ratusan orang perajurit, akan tetapi ketika mereka memasuki lubang besar
memeriksa ruangan penjara bawah tahanan, semua tahanan telah lenyap.
Sekali ini Lee Song Kim merasa kecewa dan marah bukan main. Akan tetapi
diapun harus mengakui kegagalannya, padahal semua telah diaturnya
sedemikian rapinya bersama Peter Dull yang kini naik pangkat menjadi Kapten.
Segala jerih payahnya yang berpura-pura membantu para pejuang, ternyata
mengalami kegagalan setelah keberhasilan total berada di ambang pintu.
Kalau saja dia berhasil menawan lima orang muda itu, maka berarti bahwa
semua tenaga pimpinan para pemberontak yang paling tangguh telah berhasil
ditawan, dan tentu pemberontakan-pemberontakan itu akan lebih mudah
untuk dihancurkan. Akan tetapi kini kenyataannya malah sebaliknya. Semua tawanan telah
berhasil meloloskan diri dan semua ini akibat campur tangan Koan Jit, orang
yang tadinya pernah menjadi orang kepercayaan pasukan kulit putih.
Kegagalan ini menimbulkan salah paham, saling mencurigai bahkan
percekcokan antara Lee Song Kim dan Kapten Peter Dull.
"Lihat apa yang terjadi!"
Lee Song Kim antara lain berkata marah kepada sekutunya itu.
"Semua gagal karena ulah si jahanam Koan Jit, orang yang pernah menjadi
kepercayaanmu, kapten! Kalau dia tidak pernah menjadi kaki tanganmu, tentu
dia tidak akan pandai bermain-main dengan alat peledak dan tidak dapat
mengetahui rahasia lorong dalam tanah penjara Hang-couw!"
Peter Dull memandang marah kepada panglima pasukan Ceng itu.
"Lee-ciangkun, harap kau tahan sedikit kata-katamu! Memang benar Koan
Jit pernah menjadi pembantuku. Akan tetapi ketika itu, diapun sudah banyak
jasanya dalam menghadapi para pemberontak. Dan kalau diingat,
bagaimanapun juga dia adalah bangsamu! Pengkhianat itu adalah bangsamu,
jadi tanggung jawabmu lebih besar dari pada tanggung jawabku!"
Percekcokan itu mengakibatkan kerenggangan hubungan dan kerja sama
antara pasukan pemerintah Ceng dan pasukan orang kulit putih. Hal ini
menguntungkan para pejuang, karena kalau dua kekuatan itu bersatu, memang
berbahaya bagi para pejuang. Dan semenjak para pimpinan pejuang bebas dan
penjara itu, kini mereka menjadi semakin bersemangat dan pemberontakan
terjadi dimana-mana, memusingkan pemerintah penjajah Mancu, bahkan juga
memusingkan orang-orang kulit putih yang selalu merasa terancam.
Semenjak peristiwa kerja sama membebaskan para tawanan itu, Siu Coan
seringkali menghubungi Kiki dan ayahnya, sehingga di antara mereka terdapat
hubungan yang akrab. Sering kali seorang diri, Siu Coan mengarungi lautan dan
pergi mengunjungi Pulau Naga, tempat tinggal baru dari Hai-tok. Karena
pemuda itu pandai membawa diri, dan royal sekali dengan hadiah-hadiah,
maka dia dikenal baik oleh para bajak laut anak buah Hai-tok.
Semenjak kerja sama di antara lima orang muda perkasa itu, Siu Coan sudah
merasa amat tertarik kepada Kiki. Gadis itu lincah jenaka, nakal manja, akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tetapi memiliki watak lembut sehingga ketika Siu Coan menangisi kematian
suhengnya, gadis itupun ikut pula menangis. Biarpun Kiki sejak kecil hidup
sebagai puteri Hai-tok yang kaya raya, namun ia selalu berpakaian ringkas
sederhana, dan tidak jahat seperti Hai-tok walaupun kadang-kadang ia dapat
bersikap keras hati. Akan tetapi bentuk tubuhnya padat menggiurkan dan
wajahnya amat manis, terutama sekali tahi lalat di pipinya menjadi penambah
kemanisan wajahnya. Siu Coan segera mengerti bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ini,
benar-benar jatuh cinta, bukan sekedar tertarik oleh kecantikan seorang gadis.
Setiap gerak-gerik gadis itu menyentuh perasaannya, membuat dia merasa
terharu dan juga sayang. Di lain pihak, Kiki yang pernah merasa tertarik dan kagum kepada Ci Kong,
kinipun mulai tertarik karena perhatian Siu Coan yang berlebihan terhadap
dirinya. Setiap kali datang, Siu Coan tentu membawa oleh-oleh yang anehaneh. Buah-buahan segar dan selaian, makanan aneh-aneh dari orang kulit
putih, juga alat-alat kecantikan dan perhiasan yang serba mahal dan langka. Ia
tahu akan kegagahan Siu Coan dan biarpun Siu Coan, seperti juga ia yang
menjadi puteri seorang di antara Empat Racun Dunia, adalah murid Thian-tok
yang terkenal paling jahat di antara Empat Racun Dunia, namun dia mengenal
Siu Coan sebagai seorang pemuda gagah perkasa, seorang pejuang yang
berani dan juga bukan seorang penjahat. Tubuh Siu Coan yang tinggi besar,
dengan bentuk muka yang jantan dan gagah, kecerdikan dan kelihaiannya,
cukup untuk menarik hati Kiki yang pada waktu itu masih bebas.
Hai-tok Tang Kok Bu tentu saja dapat menduga akan isi hati Siu Coan, akan
tetapi diapun rupa-rupanya tidak menaruh keberatan akan hubungan puterinya
dan Siu Coan. Hai-tok tadinya mengidamkan agar puterinya menjadi isteri Lee
Song Kim, akan tetapi kemudian ternyata bahwa muridnya itu adalah seorang
pengkhianat besar yang amat dibencinya. Sebaliknya, Siu Coan adalah murid
Thian-tok yang telah membuktikan kegagahan dan juga jiwa patriotnya, dan di
samping itu, Siu Coan pandai membawa diri, seringkali membawa oleh-oleh
arak yang langka, makanan-makanan yang aneh-aneh sehingga hati orang tua
inipun merasa tertarik dan suka.
Kini bukan merupakan hal aneh lagi kalau Siu Coan datang berkunjung dan
bersama Kiki dia berjalan-jalan di sepanjang pantai yang sunyi dan indah
penuh dengan pasir putih di Pulau Naga. Semua anak buah Hai-tok tahu belaka
bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang pandai dan gagah perkasa,
menjadi sahabat baik nona mereka.
Pada suatu senja yang amat indah, Kiki dan Siu Coan duduk berdua saja di
tepi pantai sebelah barat. Tempat itu sunyi dan senja itu seperti senja-senja
biasanya di tempat itu, amatlah indahnya. Matahari tenggelam di barat,
meninggalkan kebakaran di langit. Sukar melukiskan keindahan matahari
tenggelam di senja hari. Sinar kemerahan yang amat indah membakar langit,
dan awan-awan nampak seperti mahluk-mahiuk ajaib yang hidup dengan
bentuk yang menakjubkan dengan warna yang luar biasa pula. Puncak awanawan itu seperti diselaput perak dan latar belakang biru keunguan di antara
lautan merah. Bentuk-bentuk awan itu seperti mahluk-mahluk yang memenuhi
semua khayal, seperti binatang purba, atau seperti raksasa dan iblis yang
menyeramkan namun mempesona. Ada pula sekelompok awan putih yang
kalau dipandang dengan mata khayal menggambarkan keadaan sebuah
kerajaan khayal, dengan bangunan-bangunan yang ajaib, keadaan sebuah


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan alam lain. Dan kesemuanya itu demikian diam, demikian hening, penuh damai,
tenteram dan dalam pada itu, demikian yang lebih hebat lagi, keadaan senja
yang indah itu, tidak pernah sama setiap harinya. Tetap indah, tetap
mempesona, dan tidak membosankan karena tidak pernah sama, tidak ada
pengulangan. Berbahagialah orang yang dapat menikmati keindahan alam dimana saja,
kapan saja, dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal ini mungkin dirasakan
setiap manusia yang pikirannya tidak dibebani oleh segala macam keinginan
sehingga ketika mata terbuka dan memandang dengan waspada, semua
gambaran diterima dengan batin yang bersih dan kosong. Batin yang selalu
sibuk dan kacau oleh segala macam keinginan si aku, tak mungkin dapat
menikmati apa yang ada. Dan menikmati apa yang ada ini merupakan kesenian
hidup yang paling berharga.
Pada waktu itu, Siu Coan mulai mempropagandakan agama barunya.
Agama Kristen yang dipeluknya dan diterimanya itu hanya dipelajarinya
setengah matang, bahkan dengan penafsiran-penafsiran yang sembarangan,
bercampur aduk dengan tradisi dan ketahayulan lama. Siu Coan hanya
mengambil bagian-bagian yang mengenakkan hatinya saja dalam Agama
Kristen. Dia hanya mempropagandakan janji-janji muluk dan pahala-pahala
yang ditawarkan, seperti pengampunan dosa dan sorga bagi mereka yang
percaya. Karena inilah, banyak pula orang yang tertarik dan mulai menjadi
pengikutnya. Kita selalu condong untuk mencari enak saja, dalam segala perkara, dalam
segala macam persoalan, bahkan di dalam keagamaan sekalipun! Pikiran kita
sudah terbiasa sejak kecil, oleh pendidikan, oleh lingkungan, oleh masyarakat
dan cara hidup masyarakat kita, untuk selalu mempergunakan perhitungan
untung-rugi dalam segala macam hal. Dalam hubungan antara manusia, dalam
agama sekalipun, bahkan dalam hubungan antara negara dan bangsa, kita
selalu mendasarinya dengan perhitungan untung-rugi yang menguntungkan
adalah sahabat kita, yang merugikan adalah musuh kita. Karena kebiasaan
menghadapi segala sesuatu dengan untung-rugi inilah maka di dalam agama
sekalipun, kita memasukinya dengan perhitungan. Diampuni dosanya dan
kelak mendapatkan sorga merupakan janji muluk yang diberikan oleh hampir
semua agama, dan hal ni memang amat menarik hati orang.
Siapakah yang tidak ingin diampuni dosanya, bebas dari siksa kelak dan
memperoleh sarga yang digambarkan sebagai keadaan, yang amat enak"
Apalagi kalau syarat memperolehnya hanyalah kepercayaan. Alangkah
mudahnya. Hanya percaya, habis perkara, dan pahala-pahala itupun datanglah!
Benarkah semudah itu untuk percaya"
Kita tidak menyadari rupanya bahwa "percaya di mulut" jauh sekali bedanya
dengan "percaya di hati". Dan kebanyakan dari kita condong untuk percaya di
mulut saja. Setiap orang mengatakan bahwa dia pencaya kepada Tuhan!
Benarkah itu" Benarkah kita percaya kepada Tuhan dari lubuk hati kita,
ataukah pengakuan itu hanya sebatas bibir dan lidah saja"
Karena, kalau orang percaya kepada Tuhan, setiap saat dia akan merasa
adanya Tuhan, dan karena itu, diapun tidak akan pernah menyeleweng
semenitpun. Akan tetapi biasanya, kita hanya ingat dan percaya kepada Tuhan
kalau kita membutuhkan pengampunan-Nya, membutuhkan pertolongan-Nya,
dan kita sama sekali melupakannya kalau kita tidak membutuhkan itu. Karena
itu, kata "percaya" tidaklah semudah yang kita kira.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Siu Coan membawa pula propaganda agamanya ke Pulau Naga. Demikian
pandai dia bicara, sehingga orang seperti Hai-tok sendiripun mulai
terpengaruh dan tertarik! Juga Kiki merasa tertarik sekali kalau Siu Coan bicara
tentang agamanya. Akan tetapi pada senja hari yang indah itu, Siu Coan bicara
tentang hal lain. Dia bicara tentang cita-citanya, juga tentang rencananya
kepada Kiki! "Percayalah, Kiki, akan tiba saatnya aku berhasil memenuhi cita-cita yang
telah ku pupuk sejak dahulu, yaitu memiliki sebuah pasukan yang amat kuat,
untuk menjadi bala tentara yang akan menyerbu dan menghancurkan kerajaan
penjajah. Untuk itu, segala kemampuanku telah ku kerahkan, dan kini aku
diam-diam telah menghimpun banyak sekali orang yang suatu saat akan
dengan suka rela masuk menjadi anggauta. Akulah orangnya yang kelak akan
mampu meruntuhkan kekuasaan penjajah, Kiki" dan untuk tugas yang amat
besar ini, aku membutuhkan dorongan dan bantuan batin yang amat
kubutuhkan, yaitu dirimu."
Kiki tersenyum dan memandang dengan mata terbelalak, ia merasa heran
sekali mendengar kalimat terakhir itu. Ketika ia tersenyum, wajahnya nampak
amat manis oleh Siu Coan. Memang Kiki amat manis, apalagi tahi lalat kecil di
pipinya itu membuat wajahnya selalu nampak manis dalam keadaan apapun.
"Ong-toako, apakah maksudmu dengan diriku?"
"Untuk mencapai cita-cita besar itu, aku hanya didampingi seorang yang
merupakan dorongan batin yang amat kuat bagiku, yaitu sorang wanita yang
ku cinta dan ku harapkan untuk mendampingiku selamanya. Dan wanita itu
adalah engkau, Ki-moi. Engkaulah gadis yang ku cinta, dan aku tahu bahwa
engkaulah jodohku, engkaulah yang patut menjadi calon isteriku. Tentu saja
kalau engkau bersedia menerima uluran tanganku."
Wajah yang manis itu seketika menjadi merah sekali. Kiki bukan seorang
gadis pemalu dan sejak kecil ia biasa hidup bebas dan tanpa terikat oleh
banyak peraturan dan pantangan. Namun, sebagai seorang gadis, naluri
wanitanya tentu saja bekerja seketika pada pria yang menyatakan cinta secara
langsung begitu, dan iapun merasa salah tingkah dan canggung karena malu.
Sejenak ia hanya menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, mulutnya
setengah tersenyum dan pikirannya masih melayang jauh.
Pernah ia tertarik kepada Ci Kong, pemuda yang amat dikaguminya. Akan
mudah baginya untuk jatuh cinta kepada Ci Kong. Namun ia mengerti bahwa
pemuda yang menjadi murid Siauw-bin-hud itu agaknya takkan mau
merendahkan diri untuk berpacaran dengannya, puteri Hai-tok, seorang di
antara Empat Racun Dunia! Dan iapun dapan menduga bahwa ada apa-apa
antara Ci Kong dan Lian Hong, melihat betapa erat dan akrabnya hubungan
antara pemuda dan gadis itu. Dan kini, tahu-tahu Siu Coan menyatakan
cintanya, dan hal ini membuatnya tertegun dan termangu walaupun ia tidak
merasa heran atau kaget karena sudah lama ia dapat menduga bahwa pemuda
jangkung ini tentu "ada hati" kepadanya, melihat dari sikapnya selama ini.
"Bagaimana, Ki-moi" adakah harapan bagiku" Dapatkah engkau
menerima cintaku, dan maukah engkau menyambut uluran tanganku untuk
bersamaku mencapai dan menikmati cita-citaku?"
Suara Siu Coan yang mendesaknya ini mengejutkan Kiki yang sedang
melamun dan menariknya kembali ke dunia nyata. Ia menoleh dan menatap
wajah pemuda itu penuh perhatian, seolah hendak menjenguk isi hati Siu Coan.
Seorang pemuda yang cukup baik, pikirnya, bahkan amat baik dan jarang ada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pria seperti Siu Coan. Wajahnya cukup ganteng, tubuhnya tinggi tegap dan
ilmu silatnya juga memiliki tingkat yang tinggi. Selain lihai ilmu silatnya, juga
ia tahu bahwa pemuda ini berjiwa pahlawan yang gagah perkasa, pula amat
cerdiknya, dan melihat betapa Siu Cuan dapat berlaku amat royal, agaknya
pemuda ini memiliki banyak simpanan harta. Akan tetapi ia masih merasa raguragu. Bagaimana kalau kemudian cinta pemuda ini palsu" Ia menghendaki
seorang pria yang mencintanya selama hidupnya, dan bagaimana ia dapat
yakin akan cinta Siu Coan" Kemudian ia berkata dengan suara lirih namun
tegas. "Ong-toako, terima kasih atas kejujuranmu, dan aku merasa girang dan
bangga bahwa aku menjadi gadis pilihanmu. Akan tetapi, dalam urusan
perjodohan, aku ingin kepastian bahwa kita memang saling berjodoh dan untuk
itu membutuhkan waktu bagi kita berdua untuk menyelidiki. Selain itu masih
ada satu hal yang amat mengganggu hatiku sebelum masalah ini dapat
kubereskan, aku tidak akan bicara tentang cinta dan jodoh, toako."
Biarpun gadis itu belum menerima dengan sepenuhnya, namun jelas
bahwa Kiki tidak menolak. Hal ini saja sudah menggirangkan hati Siu Coan.
"Ki-moi, apakah masalah itu" Katakan dan aku tentu akan membantumu
mengatasinya." Gadis itu menarik nafas panjang.
"Bukan lain adalah si jahanam Lee Song Kim itu."
"Suhengmu itu?"
"Dulu suhengku, akan tetapi sekarang musuh besarku, musuh besar kita
semua! Sselama hidupku, baru satu kali aku dihina laki-laki, dan orang itu
adalah Lee Song Kim! Kalau tidak ada Tan Ci Kong yang menolongku, entah
apa yang terjadi ketika aku sudah tidak berdaya dalam tangan jahanam itu!"
Kiki lalu menceritakan dengan singkat pengalamannya ketika ia tertawan
oleh Lee Song Kim dan nyaris diperkosa di pantai, akan tetapi terbebas dari
bencana itu oleh pertolongan Ci Kong.
"Hemm, jahanam itu memang jahat sekali?" kata Siu Coan setelah
mendengar cerita Kiki. "Bukan itu saja, dia bahkan hampir mencelakakan ayahku dan gurumu, dan
para pimpinan pejuang. Karena itu di dalam hatiku, aku sudah bersumpah
bahwa aku harus membunuhnya. Sebelum jahanam itu tebunuh olehku, aku
tidak akan berpikir tentang perjodohan!"
"Jangan khawatir, Ki-moi. Aku yang akan membantumu sampai jahanam
itu mampus di tangan kita!" kata Siu Coan penuh semangat.
"KaIau begitu, mari kita berangkat sekarang juga untuk mencarinya!" kata
Kiki dengan suara gembira dan penuh semangat.
"Kita minta perkenan dan ayah dulu."
Tanpa menanti jawaban pemuda itu, Kiki bangkit dan melangkah pergi ke
arah rumah keluarganya di tengah pulau. Siu Coan mengikutinya, dan tak lama
kemudian mereka berduapun sudah menghadap Hai-tok.
"Ayah, sekarang juga aku mau meninggalkan pulau, ke kota raja mencari
dan membunuh jahanam Lee Song Kim dan Ong-toako ini hendak membantuku
sampai usahaku ini berhasil."
Hai-tok bangkit dan tempat duduknya, tubuhnya yang tinggi besar itu
nampak kokoh kuat dan diapun mengelus jenggotnya. Berkali-kali dia menarik
napas panjang dan menggeleng kepala, lalu terdengar dia berkata seperti
kepada diri seridiri. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Aihhhh, sejak kecil dia ku gembleng, bahkan kemudian ku harapkan agar
dia menjadi suamimu, menjadi mantuku. Siapa kira nasib menghendaki lain,
kini engkau malah hendak pergi mencari dan membunuhnya, dibantu oleh Siu
Coan." "Tapi, ayah, dia menjadi pengkhianat yang mengekor kepada penjajah,
bahkan hampir juga mencelakai para pimpinan pejuang dengan
pengkhianatannya." "Hemm, itulah yang menjengkelkan hatiku. Engkau boleh pergi dan
bunuhlah dia, dan engkau Ong Siu Coan, coba jawab, kenapa engkau hendak
membantu anakku untuk mencari dan membunuh Song Kim?"
Siu Coan adalah seorang yang amat cerdik. Biarpun diserang pertanyaan
tiba-tiba itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan dia dapat berpikir panjang
secara cerdik sekali. "Locianpwe, maafkan saya. Sesungguhnya, tak pernah terlintas dalam
pikiran saya untuk mencampuri urusan antara locianpwe dan murid locianpwe
Lee Song Kim itu. Locianpwe seorang yang berhak menentukan apa yang harus
dilakukan terhadap dirinya. Akan tetapi, mendengar bahwa Ki-moi hendak
pergi mencarinya, saya menawarkan diri untuk membantu, karena saya
khawatir kalau-kalau Ki-moi akan gagal bahkan terancam bahaya. Saya akan
melindungi dan membantunya sampai tugasnya berhasil baik."
"Hemm, mengapa engkau mau membantu dan melindungi Kiki?"
Kembali Siu Coan memperlihatkan ketenangannya.
"Locianpwe, sesungguhnya saya telah jatuh cinta kepada puteri
locianpwe," katanya merendah.
Tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu tertawa bergelak. Senang hatinya
mendengar jawaban Siu Coan tadi. Jawaban pertama tadi berarti bahwa
pemuda ini cukup menghormatinya dan tidak barani memusuhi Song Kim tanpa
seijinnya. Dan jawaban kedua menunjukkan kejujuran yang disukainya.
"Ong Siu Coan, engkau tahu siapa Kiki, engkau tahu pula siapa aku. Ia
adalah anakku yang tunggal. Engkau berani jatuh cinta kepadanya. Apa sih
yang kauandalkan" Apa yang dapat kau persembahkan kepadanya dan
kepadaku?" Siu Coan tahu bahwa kakek ini memiliki banyak harta, maka memamerkan
harta kepadanya tidak akan ada artinya, juga memamerkan kepandaian tidak
ada gunanya karena Hai-tok adalah seorang yang sakti.
"Locianpwe, saya mempunyai cita-cita untuk membentuk perkumpulan
besar yang akan memiliki balatentara yang kuat. Sekarangpun, saya sudah
mulai memupuk perkumpulan Pai Sang Ti-hwe untuk menjadi sebuah
perkumpulan yang amat kuat. Kalau saya sudah berhasil membangun
balatentara yang kuat, saya akan menyerbu dan meruntuhkan kekuasaan
penjajah, dan saya akan menjadi pemimpinnya. Dan itulah yang dapat saya
persembahkan kepada locianpwe dan Ki-moi, tentu saja kalau saya berhasil
berkat bantuan Ki-moi, juga locianpwe."
Kakek itu kembali mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan
kecerdikan yang terkandung dalam jawaban pemuda itu.
"Baiklah, Siu Coan. Engkau bentuklah balatentara besar itu, dan kalau
sudan ada buktinya, engkau boleh menikah dengan Kiki, tentu saja kalau Kiki
mau menerimamu. Bagaimana, Kiki" maukah engkau menerima Siu Coan
sebagai suamimu kalau dia sudah berhasil menghimpun balatentara yang
besar?" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kini Kiki menghadapi ayahnya dengan tabah, tidak malu-malu lagi.
"Kalau kami berhasil membunuh Song Kim, kemudian kalau Ong-toako
sudah berhasil menghimpun balatentara besar seperti yang diceritakannya,
saya akan menerima pinangannya dan menjadi isterinya, ayah."
"Ha-ha" engkau sudah mendengar sendiri, Siu Coan. Nah, kalian
berangkatlah sekarang juga, dan jangan kembali sebelum membawa kabar
bahwa jahanam itu sudah mampus di tangan kalian!"
Bukan main girang rasa hati Siu Coan mendengar kata-kata kakek itu. Kalau
Kiki sudah setuju dan ayahnya sudah menyetujui pula, jelaslah bahwa Kiki akan
menjadi isterinya, hal yang selama ini menjadi buah mimpi dalam tidurnya.
Mereka berdua lalu berangkat berperahu meninggalkan Pulau Naga.
-------Seperti juga para pendekar muda lainnya, Ciu Kui Eng merasa gembira
bukan main karena telah berhasil membebaskan para tawanan, dan ia
sendiripun dapat terbebas dari ancaman bahaya maut di lorong bawah tanah
itu berkat bantuan dan pengorbanan Koan Jit yang amat mengharukan hatinya
itu. Dia juga melarikan diri keluar dari lorong bawah tanah melalui lubang yang
dibuat oleh bahan peledak yang diledakkan oleh Koan Jit, dan karena khawatir
akan pengejaran musuh, iapun seperti yang lain-lain melarikan dengan
terpencar. Setelah keluar dari kota, Kui Eng melakukan perjalanan secepatnya menuju
ke Kanton, dan di kota ini, ia menyelinap ke dalam ruangan rahasia yang
menjadi tempat pertemuan anak buahnya, yaitu para kuli pelabuhan yang
pernah mengangkatnya menjadi pimpinan para kuli yang menjadi pejuangpejuang tanah air.
Peranan yang dipegang oleh para kuli pelabuhan ini penting sekali. Mereka
nampaknya saja bekerja untuk orang-orang kulit putih di pelabuhan,
mengangkuti barang-barang yang naik turun kapat. Akan tetapi, diam-diam
mereka dapat bertugas sebagai mata-mata pejuang, dan di samping ini,
merekapun mempergunakan kesempatan untuk mencuri barang-barang orang
kulit putih, terutama sekali senjata api dan peluru-pelurunya. Bantuan para kuli
ini terhadap peerjuangan amat besar dan diakui oleh para pejuang.
Ketika Kui Eng pergi meninggalkan Kanton, ia menyerahkan pimpinan para
kuli kepada seorang yang belum lama bekerja, namun sudah diakui oleh para
temannya sebagai seorang pemuda yang cerdik dan lihai. Kui Eng mengenal
pemuda ini sebagai seorang di antara anak buahnya, walaupun ia belum
pernah melihat bagaimana lihainya pemuda ini.
Nama pemuda itu adalah Thio Ki, seorang pemuda bertubuh tegap dan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersikap gagah, namun pendiam. Dari sepasang matanya yang amat tajam itu
saja dapat diduga bahwa dia cerdik dan gagah perkasa, juga amat pemberani.
Para kuli tentu saja sudah mendengar akan peristiwa di kota raja, tentang
pengkhianatan murid pejuang yang telah menangkap para pimpinan pejuang,
kemudian betapa para pimpinan pejuang itu dapat dibebaskan oleh para
pendekar muda. Maka, ketika Kui Eng datang, para kuli itu berkumpul dan menyambutnya
dengan penuh kegembiraan. Mereka agaknya sudah mendengar pula, bahwa
Kui Eng adalah seorang di antara para pendekar muda yang telah
membebaskan para tawanan penting itu, maka para kuli menyambut
kedatangan Kui Eng dengan pesta dan juga dengan perasaan bangga.
Ada sesuatu pada diri Thio Ki yang membuat Kui Eng menaruh perhatian
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kepada pemuda itu. Dalam menyambut kedatangannya, Thio Ki
memperlihatkan sikap yang berbeda dengan kawan-kawan lain. Karena ia
duduk semeja dengan Thio Ki dan beberapa orang yang dianggap sebagai
orang-orang yang penting di antara kelompok pejuang yang menyamar sebagai
kuli-kuli pelabuhan ini, Kui Eng melihat betapa Thio Ki memandang kepadanya
dengan sepasang basah air mata! Semua anak buah kelompok itu memang
memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kagum dan juga gembira
dan bangga, akan tetapi tidak ada yang matanya menjadi basah oleh keharuan
seperti yang ia lihat pada diri Thio Ki ini! Karena pemuda itu berusaha keras
untuk menyembunyikan perasaannya dan mengusap air mata dengan
punggung tangannya sebelum air mata itu tumpah keluar, maka tidak ada
orang lain kecuali Kui Eng yang melihat hal ini.
Diam-diam Kui Eng merasa heran sekali, apalagi ketika beberapa kali
bertemu pandang dengan Thio Ki dan melihat pancar sinar mata penuh kasih
sayang ditujukan kepadanya! Diam-diam Kui Eng terkejut. Usianya sudah
sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa bagi seorang wanita untuk dapat
mengenal pria melalui pandang matanya. Ia sudah terbiasa oleh pandang mata
pria yang memancarkan sinar kagum atau suka, dan ia dapat membedakan
antara pandang mata kagum dan tertarik dari pria, dan pandang mata yang
aneh seperti yang ditujukan oleh Thio Ki kepadanya. Belum pernah ada pria
memandang kepadanya seperti itu. Demikian mendalam dan menyentuh
perasaannya, menimbulkan rasa haru.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali para anggauta kelompok kuli itu
sudah pergi bekerja ke pelabuhan. Akan tetapi Thio Ki tidak pergi dan
mengatakan kepada teman-temannya bahwa hari itu dia mangkir karena terasa
badannya kurang sehat. Dengan demikian, yang tinggal di tempat rahasia pertemuan mereka itu
hanya Kui Eng dan Thio Ki berdua. Setelah mereka semua pergi dan
meninggalkan Thio Ki, Kui Eng menghampiri pemuda itu dan bertanya.
"Thio-toako, kenapa engkau tidak pergi bekerja seperti teman-teman yang
lain?" Thio Ki memandang wajah gadis ini sejenak lalu menjawab, suaranya tegas
walaupun lirih. "Ciu-lihiap, aku sengaja tidak pergi bekerja karena ingin bicara berdua saja
denganmu." Sekali ini Kui Eng terkejut. Ia mendengar sendiri tadi ketika pemuda ini
mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia tidak enak badan, akan tetapi
sekarang kepadanya membuat pengakuan yang demikian jujur. Terlalu jujur
sehingga terdengar berani dan lancang sekali. Akan tetapi ia tidak menjadi
marah. Ia menyukai kejujuran, hanya tidak mengerti mengapa pemuda ini tadi
berbohong kepada teman-temannya.
"Thio-toako, ada urusan apakah maka engkau sengaja tidak bekerja,
berbohong kepada ternan-teman, hanya untuk bicara berdua dengan aku" Apa
yang akan kaubicarakan?" tanya Kui Eng sambil duduk di atas sebuah kursi
dan menatap tajam wajah pemuda itu, alisnya berkerut dengan sikap menegur.
Thio Ki berdiri di depan Kui Eng, sikapnya seperti seorang anak kecil yang
dimarahi ibunya. "Maaf, lihiap. Aku berbohong kepada teman-teman karena merasa malu
untuk membuat pengakuan kepada mereka. Aku aku hanya ingin bicara berdua
dengan lihiap, ingin mendengar tentang pengalaman-pengalaman lihiap
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dengan lebih jelas ketika lihiap bersama para pendekar lain membebaskan para
locianpwe yang tertawan."
Kui Eng menahan ketawanya. Pemuda ini sugguh seperti anak kecil saja!
Kiranya dia demikian tertarik dengan cerita tentang pengalamannya yang
semalam ia ceritakan kepada teman-teman secara singkat. Agaknya pemuda
ini ingin mendengar lebih banyak dan lebih jelas lagi.
"Ah, begitukah" Duduklah, toako, dan kita bercakap-cakap," kata Kui Eng.
Dengan wajah lega dan girang, Thio Ki lalu menyeret kursi dan duduk
berhadapan dengan gadis itu. Kui Eng lalu mengulang ceritanya, akan tetapi
sekali ini ia bercerita dengan lebih terperinci. Diceritakannya tentang
pengkhianatan Lee Song Kim, dan tentang kegagahan Koan Jit yang menjadi
penyelamat dari semua tahanan dan pembebas mereka. Diceritakannya pula
jalannya pertempuran dan bahaya besar yang mengancam para pendekar
ketika terjebak, tersudut dan dihujani peluru senapan.
Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar gembira dan tegang, Thio Ki
mendengarkan semua cerita itu, mengagumi kegagahan Koan Jit dan ikut
cemas ketika mendengarkan cerita tentang bahaya maut yang mengancam
para pendekar, terutama diri Kui Eng sendiri.
Setelah Kui Eng selesai bercerita, Thio Ki berulang kali menarik napas
panjang, lalu memandang wajah Kui Eng sambil berkata.
"Sungguh berbahaya sekali apa yang baru saja lihiap alami. Ah" kuharap
saja lain kali, kalau lihiap hendak melakukan pekerjaan yang demikian sulit dan
berbahaya, lihiap suka memberi tahu kepadaku dan aku akan ikut serta, akan
membantu lihiap sekuat tenaga."
Sikap dan ucapan pemuda itu sedemikian seriusnya sehingga Kui Eng yang
tadinya merasa geli itu menahan senyumnya. Pemuda ini bukan kakanakkanakan, melainkan bicara dengan serius, dan teringatlah ia ketika ia datang
kemarin, melihat betapa Thio Ki menahan tangisnya. Tergugah kembali
keinginan tahunya dan sekaranglah saatnya ia dapat bertanya kepada pemuda
ini, selagi mereka berdua saja.
"Thio-toako, kemarin ketika aku pulang dan baru datang, aku melihat
sikapmu seperti orang menangis. Kenapakah?"
Bertanya demikian, Kui Eng menatap tajam wajah pemuda itu penuh
selidik. Mata Kui Eng memang terkenal tajam sehingga ketika ia menatap
dengan penuh perhatian, Thio Ki merasa seolah-olah sinar mata itu menembus
dan menjenguk isi hatinya. Akan tetapi, dia balas memandang dan dengan
suara yang tegas dan jujur diapun menjawab.
"Aku merasa begitu berbahagia melihat lihiap pulang dalam keadaan
selamat. Sungguh aku merasa khawatir sekali akan keselamatanmu, lihiap.
Kalau sampai terjadi sesuatu yang mengakibatkan lihiap cedera berat atau
tewas, ahh" aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dan bagaimana
pula dengan kehidupanku ini. Karena itu, aku minta dengan sangat agar lain
kali lihiap suka mengajakku. Aku akan membantu dan membelamu dengan
taruhan nyawaku, lihiap."
Kini Kui Eng terbelalak memandang pemuda itu, bahkan saking heran dan
kagetnya mendengar ucapan penuh perasaan itu, iapun bangkit berdiri.
"Thio-toako, apa maksudmu" Apa artinya semua pengakuanmu itu"
Kenapa engkau demikian memperhatikan diriku?"
Thio Ki memandang wajah gadis itu tanpa berkedip, dan agaknya memang
dia sudah mengambil keputusan untuk bicara terus terang kepada pendekar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ini tanpa sungkan atau takut lagi, siap menghadapi segala resiko pengakuanya.
"Ciu Kui Eng lihiap, masih belum dapatkah engkau mengerti bahwa aku
amat mencintaimu" Aku rela berkorban nyawa demi untuk membela dan
melindungimu. Aku cinta padamu, lihiap. Nah, aku sudah membuat
pengakuan. Kalau lihiap merasa tersinggung dan marah, silahkan menjatuhkan
hukuman apapun kepadaku."
Kui Eng memandang bengong, tidak tahu perasaan apa yang mencekam
hatinya di saat itu. Ia sama sekali tidak marah, bahkan ada rasa kagum, ada
rasa gembiia, akan tetapi juga kecewa di dalam hatinya. Kagum melihat
keberanian dan kejujuran pemuda ini menyatakan cintanya kepadanya, kagum
karena Thio Ki hanya seorang kuli pelabuhan! Hanya seorang kuli pelabuhan
dan pejuang biasa saja, bukan pendekar sakti, telah berani mengaku cinta. Hal
ini membutuhkan keberanian besar dan ia menjadi kagum oleh keberanian dan
kejujuran itu. Dan iapan merasa gembira bahwa di dunia ini ada yang
mencintainya sedemikian rupa sehingga siap dan rela berkorban nyawa untuk
membela dan melindunginya. Akan tetapi iapun kecewa mengapa bukan pria
idamannya yang membuat pengakuan cinta itu! Kalau saja yang mengaku cinta
kepadanya itu Ci Kong, bukan Thio Ki, alangkah akan bahagia rasa hatinya.
Sejenak mereka saling pandang, sinar mata Thio Ki mengandung penuh
harapan, sebaliknya sinar mata Kui Eng mengandung penuh penyesalan. Ia
merasa menyesal mengapa ia harus menolak cinta kasih seorang pemuda yang
demikian mencintainya seperti Thio Ki, walaupun pemuda ini hanya seorang
kuli pelabuhan! Kalau saja iapun hanya seorang wanita biasa, kalau saja di sana
tidak ada Ci Kong. Ah, betapa akan bahagia rasa hatinya menerima cinta kasih
seorang pemuda seperti Thio Ki ini.
"Lihiap, aku tidak akan minta maaf, karena aku tidak merasa bersalah
dengan pengakuan cintaku terhadap dirimu. Oleh karena itu, kalau lihiap
merasa tersinggung dan hendak menghukumku, silahkan."
Kui Eng menggeleng kepala.
"Jangan salah sangka, toako. Aku tidak marah dan tidak merasa
tersinggung, bahkan aku merasa berterima kasih sekali. Kita adalah sahabat
dan rekan seperjuangan, maka memang sebaiknya kalau bersikap jujur seperti
yang telah kau perlihatkan. Aku hanya merasa menyesal karena terpaksa aku
tidak dapat menyambut perasaan hatimu yang murni itu, karena aku" aku
telah jatuh cinta kepada seorang pria lain. Nah, baru kepadamulah aku
membuat pengakuan ini, untuk mengimbangi kejujuranmu. Aku" aku telah
jatuh cinta kepada Tan Ci Kong, tidak tahu apakah perasaan hatiku ini
mendapat sambutannya ataukah aku hanya bertepuk sebelah tangan."
Kui Eng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, tidak tega
melihat wajah Thio Ki yang tentu akan menua terpukul sekali mendengar
penolakannya yang terus terang.
Dan memang Thio Ki merasa terpukul, akan tetapi hal ini diterimanya
dengan jantan. Hanya wajahnya saja yang berubah agak pucat dan pandang
matanya agak sayu, karena jawaban itu memang merupakan pukulan batin
yang cukup berat baginya. Namun, bibirnya tersenyum pahit dan diapun
menarik napas panjang sampai tiga kali untuk menenangkan hatinya.
Sampai lama mereka berdiam diri, Thio Ki seperti Orang termenung, Kui
Eng tetap menundukkan mukanya. Akhimya Thio Ki merasa tenang kembali.
"Terima kasih, lihiap. Keterusteranganmu sungguh banyak menolongku.
Aku semakin kagum kepadamu. Engkau adalah seorang wanita yang sukar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dicari keduanya di dunia ini, dan memang pilihan hatimu itu tepat sekali. Aku
sudah mendengar siapa adanya pendekar muda Tan Ci Kong, murid Siauw-limpai yang namanya menggemparkan itu. Dan aku hanya dapat berdoa semoga
lihiap akan dapat hidup bahagia bersamanya. Maafkan segala yang telah
kulakukan dan kuucapkan, dan anggap saja aku tidak pernah mengatakan apaapa, sehingga kita tetap menjadi sahabat dan rekan. Nah, aku mohon pamit,
akan menyusul kawan-kawan bekerja."
Tanpa menanti jawaban, Thio Ki lalu meninggalkan gadis itu. Sepeninggal
pemuda itu, Kui Eng duduk termenung. Hatinya merasa bimbang. Ia sudah
membuat pengakuan kepada orang lain akan cintanya terhadap Ci Kong,
padahal kepada Ci Kong sendiripun ia belum pernah bicara tentang cinta! Dan
iapun tidak tahu apakah Ci Kong akan membalas cintanya ataukah tidak!
Bagaimana kalau Ci Kong tidak mencintanya" Nampaknya Ci Kong demikian
akrab dengan Lian Hong, juga dengan Diana! Dan ia merasa kagum dan
kasihan kepada Thio Ki, yang menerima pukulan batin secara demikian gagah.
Kerelaan dan ketulusan hati pemuda ini sungguh berkesan di dalam
sanubarinya. Sayang bahwa Thio Ki hanya seorang kuli pelabuhan biasa,
seorang pekerja kasar dan pejuang biasa saja!
Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki memasuki ruangan rahasia tempat
para pejuang berkumpul dan berunding itu. Kui Eng mengangkat muka dan
mengerutkan alisnya. Kenapa Thio Ki datang kembali" Sungguh bodoh kalau
pemuda itu datang kembali, hanya akan memperburuk keadaan dan tidak
mengenakkan perasaan saja! Kenapa sikap yang amat bijaksana itu kini
berubah menjadi suatu kecanggungan dan kebodohan"
Timbul kemarahan dalam hati Kui Eng, dan ia sudah siap menegur kalau
pemuda itu muncul di ambang pintu. Akan tetapi, ketika orang yang
langkahnya terdengar tadi muncul di ambang pintu ruangan itu, semua
kemarahan lenyap dari pikiran Kui Eng, terganti oleh rasa kaget dan heran. Ia
sudah meloncat bangkit berdiri dan menatap laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih yang kini berdiri di ambang pintu. Ia mendengar langkah-langkah kaki
lain datang ke tempat itu dan segera ia bersikap waspada.
Wajah laki-laki itu tidak asing baginya. Seorang laki- laki yang tinggi besar
tubuhnya, perutnya gendut, mukanya licin dan sepasang matanya sipit sekali.
Dan kini bermunculan belasan orang di belakang laki-laki itu, dan iapun
terkejut karena belasan orang itu berpakaian seperti perwira-perwira bala
tentara kerajaan! "Hahaha, sudah kukira, tentu di sini tempat rahasia para pemberontak itu.
Dan kiranya pemimpin perempuan yang disohorkan orang itu adalah engkau.
Selamat bertemu kembali, nona Ciu Kui Eng!"
Suara orang inipun amat dikenalnya, akan tetapi tetap saja Kui Eng tidak
dapat mengingat lagi siapa adanya orang ini. Ia memandang dengan alis
berkerut, lalu membentak.
"Siapakah engkau?"
"Ha-ha-ha, sudah lupa kiranya kepada sahabat lama! Agaknya setelah
menjadi pemberontak, engkau hanya mengenal orang-orang jahat dan
pemberontak-pemberontak hina saja, nona. Aku adalah komandan Ma, pernah
menjadi sahabat keluargamu."
Ah kenapa ia sampai lupa" Tentu saja. Ma Cek Lung, komandan pasukan
keamanan kota Kanton! Dan tanpa bertanya, iapun tahu bahwa ia berada dalam
bahaya. Tentu Ma-ciangkun ini datang bersama rekan-rekannya untuk
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan melakukan penyerbuan dan pembersihan terhadap para pejuang. Untung
bahwa semua anak buahnya telah pergi meninggalkan tempat itu, sehingga
tidak ada bukti bahwa para kuli pelabuhan itu adalah pejuang-pejuang. Juga
untung sekali bahwa Thio Ki baru saja pergi dari situ. Ia tidak takut atau
khawatir menghadapi belasan orang perwira itu. Iapun merasa tidak perlu
untuk berbantahan dengan Ma Cek Lung, maka dengan sikap acuh, ia llu
mengambil kursi yang tadi ia duduki, dengan kedua tangan ia mematahmatahkan kursi, mengambil sebatang kakinya yang panjang, lalu dengan
senjata tongkat kaki kursi di tangan, iapun membentak.
"Kalian datang mencari mampus!"
Dan tongkat di tangannya itu sudah menyambar ke depan. Akan tetapi
agaknya Ma Cek Lung sudah mengenal kelihaian orang, setidaknya dia sudah
mendengar bahwa puteri bekas sahabatnya yang kini menjadi pemberontak ini
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Maka dia sudah meloncat ke
belakang, dan belasan orang perwira itu sudah berlompatan masuk ke dalam
ruangan yang luas itu, memegang golok besar dan mengepungnya !
Melihat cara tiga belas orang ini, diam-diam Kui Eng terkejut. Kiranya tiga
belas anak buah Mi Cek Lung ini bukan orang biasa, pikirnya" dan iapun
teringat akan nama Chap-sha toa-to-tin (Barisan Tigabelas Golok Besar) dari
kota raja yang kabarnya amat berbahaya dengan permainan golok besar
mereka! Agaknya Ma Cek Lung, dalam usahanya melakukan pembersihan, kini
dibantu oleh jagoan-jagoan dari kota raja ini.
Dugaannya memang tidak keliru. Tiga belas orang berpakaian perwira
yang mengepungnya itu adalah Chap-sha toa-to-tin yang namanya terkenal
sekali di kota raja. Kini tiga belas orang yang memiliki ilmu golok dari Bu-tongpai itu telah mengepung, dan mereka bergerak mengitari Kui Eng dengan
pasangan kuda-kuda yang berubah.
Kui Eng yang terkepung di tengah-tengah, berdiri tegak dengan potongan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayu di tangan, tubuhnya sama sekali tidak bergerak, kedua matanya saja
melirik ke kanan kiri, kedua telinganya juga dikerahkan untuk mengikuti
gerakan mereka yang berada di belakang tubuhnya yang tak dapat diikuti
gerakannya dengan pandang mata. Ia sedang memperhitungkan bagaimana
untuk meloloskan diri dari kepungan. Nampak jelas bahwa niatnya meloloskan
diri sudah tercium musuh, karena barisan tiga belas orang itu, terutama
memberi tekanan dan kekuatan ke arah pintu.
"Hemm, nona Ciu Kui Eng. Mengingat akan hubungan baik antara orang
tuamu dan aku, mengingat bahwa dahulu aku telah mengenalmu ketika engkau
masih kanak-kanak, kunasihatkan agar engkau menyerah saja. Percuma
engkau Chap-sha toa-to-tin, karena tubuhmu tentu akan tersayat-sayat
menjadi empat belas potong. Sayang sekali kalau begitu, bukan" Engkau masih
muda dan cantik jelita. Menyerahlah" dan kalau engkau berjanji mau
membantu pemerintah dan menunjukkan dimana adanya para pemberontak
lainnya, aku dapat menolongmu agar engkau diampuni."
Kui Eng memandang marah ke arah orang gendut itu. Ingin ia
menggunakan tongkatnya membunuh orang itu, akan tetapi hal itu tidak
mungkin dapat dilakukan karena pengepungan tiga belas orang itu amat ketat.
Golok besar di tangan mereka berkilauan saking tajamnya dan tangan-tangan
yang memegang golok itupun mantap dan kokoh kuat.
"Bawa saja ocehanmu sebagai bekal ke neraka!" bentaknya, dan tiba-tiba
Kui Eng menyerang ke kanan, ke arah pengepung yang berada di sebelah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kanannya. Tongkat pendek itu, bekas kaki kursi, berkelebat menjadi gulungan sinar
yang amat cepat menerjang, dan dengan bertubi-tubi sudah menotok ke arah
jalan darah seorang pengepung, lalu dilanjutkan dengan sambaran ke arah
mata orang lain, dan tusukan ke arah lambung orang ketiga.
Terdengar suara berkerontangan nyaring dan nampak sinar golok
berkelebatan menyilaukan mata ketika banyak golok melakukan penangkisan
secara serentak, sehingga tiga kali serangan bertubi dari Kui Eng itu semua
dapat tertangkis! Kui Eng terkejut, kiranya bukan kosong saja nama besar Chap-sha toa-totin. Setiap kali tongkatnya menyerang, tongkat bertemu dengan sedikitnya
empat batang golok besar, dan tentu saja tenaga empat orang itu cukup untuk
mengimbangi, bahkan menekan tenaganya sendiri!
Tiba-tiba terdengar aba-aba, dan ada angin menyambar-nyambar dari arah
belakangnya. Kui Eng cepat menggerakkan tubuhnya, memutar sambil
menangkis dan aba-aba itupun dikeluarkan terus oleh seorang di antara para
pengepungnya, diikuti oleh tiga belas orang itu yang bergerak secara teratur
sekali, melakukan serangan kepadanya secara bertubi-tubi.
Kui Eng menjadi semakin sibuk dan terpaksa mengerahkan tenaga dan
memainkan Cui-beng Hek-pang, yaitu ilmu Tongkat Hitam Pengejar Nyawa.
Namun, melihat betapa banyaknya orang yang mengeroyok dan
mengepungnya, sekali ini ia tidak mampu memainkan ilmu tongkat di bagian
yang menyerang, melainkan menggunakan tongkatnya sebagai perisai untuk
melindungi seluruh tubuh dari sambaran golok yang tiada hentinya itu. Untung
bahwa ia memiliki ginkang atau ilmu meringankah tubuh yang istimewa.
Kegesitan dan keringanan tubuhnya membantu banyak. Ia dapat berloncatan
ke sana-sini bukan hanya sekedar mengelak, melainkan dengan perubahan
kedudukan itu, ia mampu mengacaukan pengepungan.
Namun, ternyata bahwa Cap-sha Toa-to-tin benar hebat sekali. Mereka
memiliki gerakan yang aneh dan rapi, merupakan benteng yang amat kuat
sehingga sukar sekali dibobol. Biarpun kegesitan tubuh Kui Eng dan kelihaian
permainan tongkat gadis itu membuat mereka sukar sekali untuk dapat
merobohkan Kui Eng, namun agaknya akan amat sukar pula bagi gadis perkasa
itu untuk meloloskan diri.
Sementara itu, dari luar kepungan, Ma Cek Lung tertawa-tawa dan tetap
membujuk agar gadis itu menyerah saja. Perwira gendut ini memang
mengharapkan Kui Eng menyerah dan menakluk, karena dia melihat dua
keuntungan baginya kalau gadis itu menyerah. Pertama, gadis itu manis bukan
main dan dapat dia membayangkan betapa akan senangnya kalau gadis itu
mau menjadi kekasihnya sebagai jaminan keselamatannya, dan kedua, dia
akan memperoleh tenaga bantuan yang amat kuat. Kalau gadis itu mau
membantunya, tentu akan mudah baginya mengetahui tempat persembunyian
para pemberontak dan dia akan memperoeh pahala besar kalau berhasil
menangkapi mereka. Akan tetapi tentu saja Kui Eng tidak sudi menyerah. Gadis ini maklum
bahwa ia menghadapi pengeroyokan barisan golok yang amat kuat, namun ia
bertekad untuk melawan sampai akhir! Tongkatnya berkelebatan membentuk
sinar bergulung-gulung, dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar
golok yang datang seperti hujan. Bagaimanapun juga, ia berada di pihak yang
terdesak dan terancam bahaya, tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan balas menyerang. Tiga belas orang bergolok melakukan penyerangan seperti
gelombang dari laut yang datang dan pergi tanpa henti-hentinya.
"Ha-ha-ha, nona Ciu Kui Eng yang manis, lebih baik engkau menyerah
sebelum kuliltmu yang halus itu tersayat golok. Sayang, bukan" Katakanlah
engkau menyerah dan aku akan memberi aba-aba agar pengeroyokmu mundur
dan... ahhh?" Tiba-tiba ada bayangan didahului sinar yang menyilaukan mata, dan tubuh
komandan Ma Cek Lung yang sedang tertawa-tawa dan membujuk Kui Eng
itupun terpelanting dengan mandi darah karena lehernya hampir putus dibabat
sebatang pedang di tangan pria muda yang baru muncul. Pria ini kini terjun ke
dalam ruangan dimana Kui Eng dikepung, dan pedangnya membuat gerakan
amat kuat mengeluarkan suara mengaung dan membentuk sinar bergulunggulung! Karena datangnya penyerang dari luar kepungan, ditujukan kepada
para pengepung, tentu saja kepungan Tiga Belas Golok Besar itu menjadi buyar
dan kacau. Akan tetapi, agaknya barisan ini memang sudah matang dan siap
menghadapi segala macam kemungkinan. Terdengar aba-aba dari pemimpin
mereka, dan tiba-tiba saja barisan itu terbelah menjadi dua bagian, tujuh orang
tetap mengepung dan mengeroyok Kui Eng, sedangkan yang enam mengepung
pria itu. "Aha, kiranya sisa orang-orang Kang-sing-pang yang datang menghantar
nyawanya!" bentak pimpinan barisan itu kepada pendatang baru.
Akan tetapi pria berpedang itu tidak menjawab, melainkan memutar
pedangnya dan segera dia dikeroyok oleh enam orang yang mengepungnya.
Terdengar suara berdenting-denting dan nampak bunga api berpijar ketika
pedangnya berkali-kali bertemu dengan golok para pengeroyoknya.
Nampak oleh Kui Eng betapa para pemegang golok itu terkejut karena golok
mereka terpental bertemu dengan pedang yang mengandung tenaga kuat.
Juga ia melihat betapa gerakan penolongnya itu cepat dan amat kuat, ilmu
pedang yang amat lihai. Semakin kagumlah hatinya, karena orang ini bukan
lain adalah Thio Ki! Kuli pelabuhan itu ternyata kini menjadi seorang ahli
pedang yang hebat, sehingga biarpun dikeroyok oleh enam orang, segera dia
mampu mendesak mereka! Kui Eng merasa terkejut, heran dan juga kagum, dan semua ini menambah
besar semangatnya. Tongkat sederhana di tangannya berkelebatan dan
terdengar teriakan kesakitan ketika ujung tongkatnya itu meremukkan tulang
pundak kiri seorang pengeroyok! Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan
lain dan seorang di antara mereka yang mengeroyok Thio Ki juga terhuyung ke
belakang dengan paha terluka lebar oleh ujang pedang pemuda itu!
Kui Eng menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda ini lihai sekali, dan
agaknya tidak mau kalah olehnya. Maka kegembiraannya bangkit, dan gadis
ini setelah mengerling dan tersenyum ke arah Thio Ki, dan cepat menggerakkan
tongkatnya. Di lain pihak, Thio Ki juga mempercepat gerakan pedangnya, dan
kini keduanya seperti berlomba untuk bersicepat menjatuhkan lawan. Berturutturut Kui Eng melukai dua orang, dan Thio Ki juga merobohkan dua orang.
Melihat kehebatan pemuda yang baru datang ini, yang membuat keadaan
menjadi berbalik dan amat berbahaya bagi mereka. Cap-sha toa-to-tin segera
mengeluarkan seruan keras dan mereka cepat menyambar teman-teman yang
terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu.
Thio Ki hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Kui Eng berseru.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Toako, jangan kejar. Mari kita cepat lari! Mereka tentu akan mendatangkan
pasukan lebih besar."
Pemuda itu sadar dan kagum akan ketenangan Kui Eng yang dalam
keadaan bagaimanapun memperlihatkan kecerdikan seorang pemimpin.
Mereka lalu berloncatan pula meninggalkan tempat itu, dan tak lama kemudian
mereka telah keluar dari kota dan berada di pantai laut yang sunyi. Keduanya
melepas lelah dan duduk di atas pasir yang putih bersih, menghadap ke lautan
yang tenang dan biru. "Thio-toako, engkau sungguh pandai menyembunyikan rahasia dirimu."
Kui Eng berkata sambil memandang wajah pemuda itu yang kini nampak
gagah. Thio Ki mengerutkan alisnya.
"Maaf, lihiap?"
"Sudahlah, jangan membikin aku menjadi malu dengan sebutan lihiap
(pendekar wanita)." "Akan tetapi, engkau memang seorang pendekar wanita..."
"Aihhh, Thio-toako, melihat gerakan pedangmu tadi, aku tidak akan mampu
menandingimu! Kalau engkau menyebut aku lihiap, apakah aku harus
menyebutmu taihiap (pendekar besar)?"
"Lalu, aku harus menyebutmu apa?"
"Sebut saja namaku, dan karena engkau lebih tua, boleh menyebut moimoi."
"Ah, mana aku berani?"
"Kenapa tidak, toako" Aku menyebutmu toako (kakak), apa salahnya
engkau menyebut moi-moi (adik) kepadaku" Jangan engkau berpura-pura lagi.
Engkau bukanlah kuli pelabuhan biasa, bukan pejuang biasa, dan tadi aku
mendengar seorang di antara mereka menyebut nama Kang-sim-pang
(Perkumpulan Hati Baja)."
Thio Ki menarik napas panjang.
"Baiklah, Ciu-moi (adik Ciu) dan terima kasih atas kebaikanmu."
"Siapa yang patut berterima kasih" Engkau telah menolongku, toako,
bahkan mungkin engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku. Akulah yang
sepatutnya berterima kasih kepadamu."
"Sudahlah, Ciu-moi, di antara kita yang menjadi rekan seperjuangan, mana
perlu berterima kasih" Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu."
"Engkau benar, aku kagum sekali kepadamu, toako. Selama ini engkau
mampu menyembunyikan keadaan dirimu yang sebenarnya. Sebetulnya,
siapakah engkau ini, dan apa hubunganmu dengan Kang-sim-pang?"
"Hubunganku dekat sekali dengan Kang-sim-pang, karena mendiang ayah
adalah ketua perkumpulan kami itu."
"Ahhh?" "Engkau sudah tahu akan Kang-sim-pang, Ciu-moi?"
"Tentu saja! Sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang
pemerintah penjajah pula, dan yang dalam beberapa bulan ini diserbu dan
dihancurkan oleh pasukan pemerintah di daerah timur Propinsi Ce-Kiang,
bukan?" "Benar, dan Cap-sha Toa-to-tin itulah di antara mereka yang menyerbu.
Seorang di antara anak buah kami telah dapat terbujuk oleh penjajah dan
mengkhianati kami. Dalam penyerbuan itu, banyak saudara kami tewas
termasuk ayah dan ibu. Aku mampu lolos dan menjadi orang buruan, lalu aku
lari ke sini dan bergabung dalam kelompok kuli pelabuhan."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kui Eng mengangguk-angguk dan memandang kagum.
"Kiranya engkau adalah putera pangcu dari Kang-sim-pang, dan engkau
menyamar sebagai kuli pelabuhan, setiap hari bekerja kasar dan berat di
pelabuhan sampai berbulan-bulan. Sungguh engkau hebat dan tahan uji,
toako." Thio Ki menarik napas panjang.
"Karena engkau yang menjadi pimpinan, maka aku menjadi betah
menyamar sebagai kuli pelabuhan. Ah, sudahlah tidak ada gunanya bicara soal
itu. Sekarang yang penting setelah tempat kita diketahui musuh, sebaiknya aku
cepat memberi kabar kepada kawan-kawan agar jangan sekali-kali datang ke
tempat itu. Kalau sampai diketahui bahwa teman-teman kita yang menjadi kuli
pelabuhan adalah anggauta perjuangan, tentu akan celaka kita semua."
Kui Eng mengangguk, diam-diam merasa semakin menyesal. Karena ia
telah jatuh cinta kepada Ci Kong, ia harus menolak cinta seorang pemuda yang
demikian hebat seperti Thio Ki! Bukan seorang kuli pelabuhan biasa, bukan
seorang pejuang biasa, melainkan seorang pendekar berilmu tinggi, putera
ketua Kang-sim-pang yang terkenal.
Mereka lalu berpisah, dan Kui Eng menyerahkan kepada Thio Ki untuk
mencari tempat pertemuan baru bagi kawan-kawan mereka, bahkan
menyerahkan kepemimpinan sementara kepada Thio Ki, karena ia akan pergi
mencari Ci Kong! Akan tetapi kepada Thio Ki, untuk mencegah agar jangan
sampai pemuda itu tersinggung, ia tidak menyebut-nyebut nama Ci Kong,
melainkan mengatakan bahwa ia ingin mencari gurunya, yaitu Tee-tok.
Berpisahlah kedua orang muda itu, meninggalkan kesan yang mendalam di
hati Kui Eng. -------"Sudah yakin benarkah engkau akan rencanamu ini, Diana" Bagaimana
kalau sampai engkau gagal, dan terancam bahannya maut?" untuk terakhir
kalinya, kakek berpakaian pengemis itu berkata dengan sikap meragu.
Semenjak mereka turun gunung menuju ke Kanton, Bu-beng San-kai atau
San-tok, kakek itu, berkali-kali membujuk Diana agar jangan melanjutkan
niatnya, namun gadis itu tetap nekat.
"Aku sudah yakin benar, suhu." jawab Diana dengan suara tegas, seperti
jawabannya pada setiap bujukan suhunya agar ia tidak melanjutkan
rencananya itu. "Dan andaikan ada bahaya mengancam, aku sekarang sudah dapat
menjaga diri, bukan" Harap suhu tidak khawatir. Aku harus melakukan sesuatu
untuk kawan-kawan tercinta, untuk perjuangan mereka yang mulia, dan untuk
mencegah bangsaku menghalangi perjuangan itu, demi kebaikan bangsaku
sendiri." Mereka kini telah tiba di luar kota Kanton. San-tok berkeras mengantar
muridnya ke Kanton, karena bagaimanapun juga, hatinya tidak tega
membiarkan murid yang dulu dibenci akan tetapi kini amat disayangnya itu
pergi sendirian saja. Sebagai seorang gadis berkulit putih, tentu saja Diana
akan menarik perhatian sepanjang jalan dan akan mengalami banyak sekali
gangguan. Rakyat sudah mulai menaruh perasaan benci terhadap orang kulit putih dan
tentu saja mereka tidak akan mau percaya kalau mendengar bahwa Diana
adalah seorang gadis kulit putih yang berpihak kepada para pejuang. Juga
Diana, dengan kulitnya yang putih, rambutnya yang keemasan dan matanya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan yang biru, tidak mungkin menyamar, walaupun ia berpakaian seperti wanita
biasa. Dan memang di sepanjang perjalanan menuju ke Kanton, disana
menimbulkan banyak keheranan, dan banyak pula gangguan. Namun, dengan
adanya San-tok, tak seorangpun berani mengganggunya sampai akhirnya pada
sore hari itu, mereka tiba di luar tembok kota Kanton.
Kepercayaan Diana kepada dirinya sendiri bukan tanpa alasan. Ia kini
bukanlah Diana yang dulu. Ia bukan saja telah digembleng oleh San-tok dengan
ilmu silat yang praktis, akan tetapi bahkan telah menenima pelajaran dan Haitok dan Tee-tok. Walaupun dari mereka itu hanya memperoleh beberapa jurus,
namun merupakan jurus-jurus pilihan. Diana kini bukanlah gadis yang lemah
lagi. Rencananya timbul ketika ia mendengar tentang permusuhan yang
semakin menjadi antara para pejuang dan pasukan kulit pulih. Hal ini membuat
ia prihatin sekali. Bangsanya datang sebagai pedagang, kenapa harus mencampuri urusan
pribadi negara asing" Apa pula kalau rakyat asing di negeri itu
memperjuangkan kebebasan mereka sendiri. Seharusnya orang kulit putih
menjaga kebaikan hubungannya dengan rakyat, karena akhirnya dengan
rakyatlah mereka akan berdagang. Maka ia lalu kemukakan pendapat dan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencananya kepada San-tok. Tentu saja kakek ini merasa girang, hanya masih
khawatir kalau-kalau murid yang disayangnya itu akan menderita celaka. Dia
sendiri makium bahwa tentu perjuangan akan lebih lancar dan berhasil kalau
tidak ada orang kulit putih yang menjadi penghalang besar.
"Diana, sekali lagi kuperingatkan kepadamu bahwa rencanamu ini amat
berbahaya bagi dirimu sendiri. Kalau engkau gagal, engkau mungkin akan
dianggap pengkhianat oleh bangsamu, ditangkap dan dihukum sebagai
seorang pengkhianat yang rendah. Ah, alangkah sedihnya hatiku kalau begitu,
dan aku tidak akan berdaya untuk dapat menolongmu, munidku."
Diana yang biasanya bersikap lugu dan tidak pernah mempergunakan
peraturan-peraturan terhadap gurunya, sekali ini tiba-tiba menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki gurunya. Hatinya terharu sekali, karena baru sekarang
ia merasa benar bahwa gurunya amat menyayanginya.
"Suhu, aku dapat membela diri, akan tetapi andaikata sampai aku gagal,
dihukum atau dibunuh sekalipun, anggap saja bahwa aku gugur dalam
membela perjuangan suhu dan kawan-kawan. Aku percaya bahwa pamanku
Kapten Charles Elliot akan dapat mempertimbangkan semua pendapatku demi
kebaikan bangsa kami sendiri."
San-tok tersenyum, lalu menggunakan tangan kanannya menyentuh kepala
yang rambutnya seperti benang emas itu.
"Baiklah, muridku. Aku percaya akan kesanggupanmu. Nah, sebelum
gelap, engkau masuklah ke dalam kota. Aku hanya mengharapkan agar engkau
dapat berhasil." Diana bangkit dan sejenak memegang tangan gurunya.
"Suhu, kalau sampai aku gagal, tolong sampaikan ucapan selamat
tinggalku kepada Tan Ci Kong."
Gurunya mengangguk, maklum akan isi hati muridnya.
"Hemm... kau mencinta Ci Kong?"
Soal cinta merupakan hal yang tidak memalukan untuk dibicarakan bagi
Diana. Ia menjawab lirih.
"Pernah aku mencinta seorang pria bangsaku, suhu, dan semenjak itu,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan semenjak kami dipisahkan, aku tidak pernah mencinta pria lain. Akan tetapi Ci
Kong, ah... aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Aku suka padanya dan
mungkin saja aku jatuh cinta padanya. Tapi dia.... dia adalah satu-satunya pria
yang dicinta oleh Lian Hong! Suhu harus menjodohkan Lian Hong dengan Ci
Kong. Sudahlah, suhu, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala
kebaikan suhu yang telah dilimpahkan kepadaku. Selamat tinggal, suhu."
"Pergilah, muridku," kata San-tok.
Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya, dan dengan langkah lebar menuju ke
pintu gerbang kota Kanton. Sejak masuknya Diana ke dalam pintu gerbang,
banyak menarik perhatian orang. Para penjaga sendiri memandang dengan
mata terbelalak, akan tetapi karena gadis yang mengenakan pakaian petani
dusun itu adalah seorang gadis kulit putih yang berambut kuning emas dan
bermata biru, mereka tidak berani menegur.
Ketika Diana menuju ke gedung tempat tinggal pamannya, setibanya di
sebuah tikungan, tiba-tiba ada yang memanggil namanya dengan teriakan
nyaring, dan iapun cepat menoleh ke kiri.
"Diana! Benar engkaukah ini" Ah, seperti dalam mimpi saja rasanya!"
Diana memandang pria yang berpakaian kapten itu, pria yang gagah dan
tampan sekali, yang amat dikenalnya karena pria itu adalah Peter Dull. Diana
sudah lama sekali tidak pernah bicara dalam bahasanya sendiri, maka biarpun
ia masih dapat mendengar dengan jelas dan mengerti semua kata-kata Peter
Dull, ia sendiri merasa kaku untuk menjawab. Dengan hati-hati dan kaku, iapun
menjawab. "Benar, aku adalah Diana Mitchell. Dan engkau adalah tuan Peter Dull,
bukan?" Peter membelalakkan matanya, mengamati Diana dan kepala sampai ke
kaki, mulutnya mengarahkan senyum karena merasa lucu sekali. Diana dalam
pakaian petani dusun, dengan sepatu kain butut, dan bicaranya itu! Seperti
baru belajar bahasa Inggeris saja! Akhirnya, meledaklah ketawanya.
"Ha-ha-ha, sungguh ajaib! Lucu dan aneh sekali! Satu tahun lebih engkau
menghilang dan kini muncul seperti ini. Lucu! Akan tetapi harus ku akui bahwa
engkau menjadi semakin sehat, cantik dan segar saja, Diana!"
Dengan kaku dan dingin, Diana mengangguk.
"Terima kasih dan selamat tinggal, tuan Peter, aku harus segera menemui
paman Charles Elliot."
"Diana, berhenti dulu!" Peter Dull berseru.
"Pamanmu tidak berada di Kanton lagi. Sudah lama dia pindah tugas ke
Shanghai." Diana menahan langkahnya.
"Apa" Bukankah selama itu dia menjadi kepala perwakilan English East
Indian Company di sini" Mengapa pindah dan sejak kapan?"
Peter tersenyum. "Mari kita bicara di dalam benteng, Diana. Banyak hal penting terjadi yang
perlu kauketahui. Kalau perlu, aku akan mengantarmu ke Shanghai dengan
kapal. Mari, dan jangan sebut aku tuan. Bukankah sejak dulu kita ini
bersahabat" Dan aku kuharap engkau suka memaafkan segala peristiwa yang
lalu, Diana." Diana memandang tajam. Benarkah Peter Duli ini telah berubah, menyesali
perbuatannya yang dahulu" Ia mempunyai urusan penting, tidak seharusnya
melibatkan diri dalam urusan dendam yang hanya akan menjadi penghalang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan rencananya. Ia harus berbaik dengan pamannya dan dengan semua pejabat
pasukan bangsanya. "Baiklah, Peter. Sudah kulupakan semua yang terjadi di masa lalu."
"Bagus! Selamat datang, Diana" dan mari kita masuk ke benteng," kata
Peter mengulurkan tangan yang disambut oleh Diana.
Mereka lalu melangkah menuju ke benteng di dekat pantai. Hari telah gelap
ketika mereka memasuki perbentengan dan lampu-lampu telah dinyalakan.
Para perajurit yang bertugas jaga, terbelalak heran ketika melihat komandan
mereka masuk bersama seorang gadis kulit putih yang pakaiannya aneh. Apa
lagi ketika mereka mengenal bahwa gadis itu adalah Diana Mitchell, gadis
yang sempat menggemparkan seluruh perajurit di Kanton itu dengan
petualangannya. Mata para perajurit memandang terbelalak sampai Peter dan
Diana memasuki ruangan besar di dalam.
"Uiii" akhinya ia jatuh ke tangan Kapten Peter juga, ha-ha!" kata seorang
perajurit tua yang brewok.
Kini para perajurit yang baru, yang belum mengenal Diana, bertanya-tanya
kepada para perajurit tua, dan ramailah keadaan di bagian luar itu karena
mereka yang tahu akan persoalannya lalu bercerita kepada mereka yang tidak
tahu. Seorang sersan muda yang agaknya juga belum mengenal Diana,
bertanya kepada perajurit brewok.
"Siapa sih perempuan itu dan apa maksudmu ia jatuh ke tangan Kapten
Peter." Prajurit brewok tertawa lagi.
"Aha, engkau belum tahu, Sersan. Sejak dulu, Kapten Peter tergila-gila
kepada Diana Mitchell, gadis cantik itu, keponakan Kapten Charles Elliot.
Kabarnya mereka cekcok dan gadis itu melarikan diri. Berbulan-bulan lamanya
Kapten Peter mengerahkan pasukan untuk mencari dan membawanya kembali,
namun tanpa hasil. Ia mulai dilupakan karena sudah menghilang selama satu
tahun lebih, disangka sudah mati. Bahkan gadis itu dikabarkan bersekutu
dengan para pemberontak! Akan tetapi siapa bahwa hari ini sang domba
dengan jinaknya datang kembali sendiri ke kandang, siap untuk diterkam sang
harimau yang sudah lama kelaparan, ha-ha-ha!"
Seraan itu ikut tertawa, demikian pula para perajurit lainnya.
"Aih, ingin sekali aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan dan
apa yang terjadi di dalam."
"Ha-ha, siapa berani melakukan itu" Kalau ketahuan, tentu akan dihukum
cambuk oleh Kapten Peter sampai seluruh kulit di punggung cabik-cabik."
Beberapa lamanya mereka bercakap-cakap dan bergurau tentang
kembalinya Diana, akan tetapi setelah hal itu tidak menarik lagi, keadaan
kembali menjadi sunyi dan yang berada di depan hanyalah mereka yang
bertugas jaga. Sementara itu, dengan sikap gembira dan ramah, Peter mengajak Diana
duduk di ruangan dalam yang luas dan bersih, dan di situ tidak nampak adanya
seorangpun perajurit. "Silahkan duduk, Diana. Biar aku mengambilkan pakaian untukmu. Kau
dapat berganti pakaian di kamar ini."
"Terima kasih, Peter. Tidak usah, aku tidak perlu berganti pakaian.
Pakaianku ini masih bersih."
"Tapi kau, ah" mana engkau pantas memakai pakaian seperti itu" Aku
mempunyai gaun yang masih baru dan...."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Terima kasih, tidak usah repot-repot. Sudah setahun lebih setiap hari aku
memakai pakaian seperti ini dan sudah terbiasa dan enak dipakai. Aku datang
untuk bicara, Peter."
"Okey, sesukamulah. Mau minum apa?"
Dia menuju ke bar dimana tersedia bermacam minuman.
"Jangan minuman keras untukku, cukup air jeruk atau air buah lainnya
kalau ada, atau air teh."
Peter menahan senyumnya. Sungguh berubah sekali gadis ini akan tetapi
harus diakuinya bahwa Diana semakin cantik, semakin matang dan tubuhnya
kini menggairahkan. Dia menuangkan air jeruk ke dalam gelas, dan bir untuk
dirinya sendiri, lalu menghampiri Diana, menyerahkan gelas terisi air jeruk.
Diana menerima dan meminumnya sedikit, lalu meletakkan gelas itu di atas
meja. "Nah, sekarang ceritakanlah tentang pamanku."
"Pamanmu telah dipindahkan ke Shanghai tiga bulan yang lalu. Di sana
direncanakan untuk dibangun benteng yang lebih kuat dan pada di sini, dan
karena hubungan dengan kota raja lebih dekat, maka pamanmu ditugaskan di
sana. Jangan khawatir, besok akan ku atur agar engkau dapat berlayar ke
Shanghai, dan kalau perlu aku sendiri yang akan menemanimu ke sana. Akan
tetapi, selama ini engkau kemana sajakah, Diana" Pamanmu dan seluruh
keluarganya merasa cemas bukan main. Mengapa engkau tidak mau kembali
ke sini dan apa saja yang telah kau alami selama ini?"
Diana merasa tidak puas mendengar berita yang demikian singkat tentang
pamannya, dan iapun diam-diam bersikap waspada dan tidak percaya kepada
Peter Dull ini. Maka, ketika tadi ia menerima segelas air jeruk, minuman itu
hanya dicicipinya sedikit, dan ia yang kini memiliki perasaan yang peka, dapat
merasakan kelainan pada minuman itu. Ia curiga bahwa minuman itu
dicampuri obat, pembius atau obat tidur, maka ia tidak berani minum banyak
sebelum yakin benar bahwa minuman itu bersih. Betapapun juga, ia
merencanakan hubungan baik antara pasukan kulit putih dan para pejuang,
maka ia tidak seharusnya memulai dengan sikap permusuhan dengan Peter
yang merupakan orang penting pula dalam pasukan kulit putih.
"Engkau tahu bahwa aku suka menyelidiki benda-benda kuno dan tradisitradisi yang bersangkutan dengan sejarah. Di dusun-dusun dan gununggunung, aku menemukan banyak hal yang menarik, sehingga aku betah tinggal
di sana." "Hemmm?" Peter Dull tersenyum sinis penuh ejekan.
"Apakah bukan karena engkau tertarik kepada mereka, bersekutu dan
bergaul dengan segala macam bandit, pencuri, perampok, bajak, pembunuh
dan pengacau-pengacau hina itu. Aku banyak mendengar tentang
petualanganmu, Diana."
Kedua telinga Diana menjadi merah, akan tetapi ia menahan kesabarannya.
"Para penyelidikmu bodoh-bodoh dan keliru mengambil kesimpulan, Peter.
Mereka itu, sahabat-sahabatku itu, sama sekali bukan penjahat. Mereka adalah
pendekar-pendekar tulen, satria-satria sejati dan patriot-patriot yang perkasa!
Justeru untuk menjelaskan semua itulah, maka aku pulang, Peter. Dan
engkaupun perlu mendengar agar terbuka matamu dan sadar bahwa selama
ini, sikap yang diambil oleh pasukan kita adalah keliru sama sekali."
Peter Dull memandang dengan alis berkerut sinar mata penuh selidik.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Apa maksudmu?"
"Mereka itu adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah Mancu,
yang berjuang untuk membebaskan tanah air mereka dari cengkeraman
penjajah Mancu. Bangsa kita datang ke negeri ini untuk berdagang, bukan"
Nah, mengapa mencampuri urusan perjuangan, bahkan membantu pemerintah
penjajah dan menentang perjuangan para pendekar yang hendak
membebaskan bangsa dan tanah airnya dari cengkeraman penjajah" Sikap ini
membuat rakyat menjadi benci dan timbul anti kulit putih, dan hal itu kurasa
amat merugikan bangsa kita sendiri."
"Wah-wah, agaknya engkau kini menjadi pembela para pemberontak itu,
Diana!" "Pembela yang benar, Peter. Dan itu adalah tugas setiap orang manusia,
bukan" Aku pulang ini untuk membuka mata kalian. Hentikan permusuhan
terhadap para pejuang, bahkan kalau mungkin, bantulah perjuangan mereka.
Kalau perjuangan mereka berhasil, tentu hubungan perdagangan antara kita
dan rakyat akan menjadi semakin akrab dan menguntungkan."
"Jadi engkau pulang untuk membujuk pamanmu agar bersekongkol
dengan pemberontak dan memusuhi pemerintah yang syah?"
"Engkau memandang persoalannya dari sudut yang lain, demi keuntungan
pemerintah penjajah! Memang pemerintah yang syah, akan tetapi benarkah itu
kalau orang Mancu memegang pemerintahan di negeri ini" Rakyat yang
berjuang untuk membebaskan tanah airnya dari cengkeraman penjajah
bukanlah pemberontak jahat!"
"Ah, sudahlah, Diana. Bukan tugas kita untuk bicara tentang politik, ada
jenderal-jenderal yang pekerjaannya mengurus hal-hal demikian. Mari,
minumlah air jeruk itu, kemudian beristirahatlah. Oya, engkau tentu belum
makan malam, bukan" Biar kusuruh sediakan makan malam untuk kita."
Peter mengalihkan percakapan. Diana merasa penasaran, akan tetapi diamdiam otaknya bekerja. Ia harus yakin benar bagaimana sebenarnya sikap Peter
terhadap dirinya. Ia harus yakin tentang minuman ini, tentang segalanya.
"Oya". kau tadi bilang ada gaun untuk pengganti pakaianku" Coba tolong
ambilkan hendak kulihat, kalau cocok, boleh juga berganti pakaian."
Berkata demikian, Diana mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas itu
di bibirnya. Peter memandang dengan wajah berseri, bangkit berdiri.
"Baik, akan kuambilkan. Nah, begitu sebaiknya sikapmu, Diana. Minumlah,
kalau kurang akan kuambilkan lagi."
Dan diapun melangkah ke arah kamar. Secepat kilat, Diana menuangkan
seluruh isi gelasnya ke dalam pot bunga yang berdiri di sudut. Gerakannya
cepat sekali dan tidak mengeluarkan suara sehingga Peter tidak mendengar
sesuatu. Tak lama kemudian, Peter kembali lagi membawa sebuah gaun
berwarna merah muda, juga sepasang sepatu. Dia memang menyimpan
banyak pakaian wanita untuk persediaan, karena sering dia membawa wanita
cantik ke dalam benteng untuk menghiburnya dan dia suka sekali memberi
hadiah pakaian-pakaian indah kepada wanita yang dibawanya.
Diana memperhatikan Peter dari sudut matanya dan ia melihat betapa
wajah Peter berubah girang ketika pria itu memandang ke arah gelas minuman
yang telah kosong. "Sudah kau minum habis" Ah, engkau tentu haus sekali. Kuambilkan lagi,
ya?" "Tidak usah, Peter, sudah cukup. Enak dan segar sekali air jeruk itu."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Sebentar lagi engkau tentu akan merasa lebih segar!"
"Apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa" nah, inilah gaun itu. Bagus dan tentu cocok sekali wama
merah muda ini untuk kulitmu yang putih mulus itu. Nah, bergantilah di dalam
kamarku itu, Diana."
Diana bangkit berdiri dan tiba-tiba ia terhuyung, tangan kirinya meraba
dahi dan tangan kanannya memegangi ujung meja.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ohhh.... kepalaku pening..." rintihnya.
"Hai, berhati-hatilah... engkau tentu lelah sekali. Nah, beristirahatlah di
dalam kamar, Diana. Mari kupapah engkau?"
Peter lalu menggandeng tangan Diana dan merangkul pundaknya. Karena
rangkulan ini wajar saja, Dianapun tidak menolak dan masih melanjutkan
sandiwaranya, pura-pura pening dan mengantuk, meniru lagak orang yang
mengantuk dan lemas. Sengaja ia bersandar pada pundak Peter, memberatkan
tubuhnya sehingga terasa oleh Peter bahwa ia benar-benar lemas dan
mengantuk. Setelah mereka memasuki kamar, Peter memapahnya ke arah
tempat tidur. "Duduklah, Diana... dan mari kugantikan pakaianmu. Pakaianmu ini kurang
longgar, tidak enak untuk dipakai tidur."
Peter kini setelah melihat Diana duduk di atas pembaringan dengan tubuh
lemas, mulai beraksi. Tangannya dengan penuh gairah hendak membuka
kancing baju Diana. Gadis ini masih berpura-pura tidak sadar, akan tetapi ia
menggunakan tangan menolak tangan Peter yang meraba-raba ke dada dan
hendak membuka kancing bajunya itu.
"Peter, jangan?" katanya dengan suara lemah.
"Ah, jangan malu-malu, Diana. Bukankah engkau sudah biasa melakukan
hal ini dengan anjing-anjing pemberontak itu" Malam ini akupun harus
menikmatimu sebelum besok kau bertemu dengan pamanmu. Marilah!"
"Peter, ahhh" jangan..."
Diana lalu bangkit berdiri, mendorong kedua tangan Peter yang kurang ajar,
dan dengan masih terhuyung menjauh dari pembaringan, matanya yang
mengantuk dicobanya untuk dilebar-lebarkan memandang wajah Peter. Ia
harus yakin bahwa Peter benar-benar menaruhkan obat ke dalam minuman tadi
sebelum ia turun tangan memberi hajaran.
"Hayolah, Diana. Sudah bertahun-tahun aku menaruh berahi padamu, akan
tetapi engkau malah lari kepada anjing-anjing itu. Hayo, mari kita bersenangsenang, karena aku tidak suka kalau harus memaksamu. Mari, sebelum engkau
pulas, karena tidak enak kalau engkau tidur seperti mayat."
Diana sudah hampir yakin mendengar kata-kata itu, akan tetapi ia masih
berpura-pura. "Apa" Tidur seperti mayat?"
Ketika Peter maju untuk menyambar lengannya, ia menangkis dengan
pengerahan tenaga sambil mendorong. Peter tidak menyangka akan gerakan
ini, maka pundaknya terdorong keras dan diapun terhuyung dan menabrak
meja. "Ahh, engkau melawan dengan kekerasan! Percuma, Diana. Sebentar lagi
engkau akan jatuh lemas, dan aku akan mempermainkan engkau seperti juga
engkau mempermainkan hatiku. Engkau akan menjadi milikku semalam ini,
baru hatiku puas!" Diana masih terhuyung. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kau" kau menaruh apa dalam minumanku tadi...?"
"Ha-ha-ha, engkau "rdik juga, ya" Tiga butir pel obat tidur, cukup
membuatmu tidur seperti mayat selama satu malam penuh, ha-ha-ha!"
Peter menubruk dengan penuh nafsu, akan tetapi kini Diana yang sudah
mendapatkan keterangan yang diharapkan, menyambutnya dengan tamparan
keras. "Plakkk!!" Demikian kerasnya tamparan itu sehingga tubuh Peter terpelanting
dibarengi pekiknya kesakitan. Dia jatuh dan bangkit lagi sambil meraba
pipinya yang membengkak, meludahkan darah karena duabuah giginya copot.
"Perempuan keparat! Berani engkau memukulku?"
Saking marahnya, dia lupa bahwa amat aneh bagi seorang wanita yang
sudah dipengaruhi obat tidur dapat menampar sekuat itu. Kini dia menubruk
dengan kedua tangan siap mencabik-cabik pakaian Diana. Akan tetapi, dia
menubruk tempat kosong. "Plakkk"!"
Tamparan yang lebih keras lagi jatuh ke pipinya, kini yang sebelah kiri.
Kembali dia terpelanting roboh dan pipi kirinya membengkak lebih besar dan
lebih menghitam. Kini agaknya Peter baru teringat bahwa tidak mungkin orang
terbius dapat memukul seperti itu. Dia merangkak bangkit dan berdiri
memandang dengan mata terbelalak. Dia melihat Diana berdiri sambil
tersenyum simpul, senyum yang penuh ejekan, sama sekali tidak kelihatan
mengantuk atau lemas lagi. Mengertilah dia bahwa dia yang dipermainkan.
"Kau" kau tidak minum air jeruk itu!" bentaknya.
Diana tertawa dan hidungnya kembang-kempis, karena ia sungguh marah
dan ingin mengejek orang itu.
"Peter, kau kira aku belum mengenal manusia macam apa adanya engkau"
Sejak dulu engkau tidak berubah. Palsu, curang dan pengecut! Aku dapat
menduga akan akal busukmu, dan sekarang aku ingin memberi hajaran keras
kepada binatang bertubuh manusia macam kamu!"
Diana sudah marah sekali sehingga ia tidak perduli akan tugasnya untuk
menjalin hubungan baik antara bangsanya dan kaum pejuang. Ia tidak ingat
lagi akan politik, karena ia menghadapi seorang manusia yang jahat dan patut
dihajar. Mendengar ucapan itu, tentu saja Peter merasa malu dan hal ini
membuat kemarahannya memuncak.
"Bagus! Kiranya kedatanganmu memang sudah kau rencanakan untuk
membikin kacau! Engkau mata-mata pemberontak busuk, pengkhianat
bangsa!" "Tutup mulutmu yang kotor!" Diana membentak marah.
Akan tetapi Peter sudah menerjang ke depan untuk menangkap lengan
gadis itu, karena dia masih belum sadar bahwa Diana kini bukan dara yang
dulu lagi, bukan gadis lemah, maka dia merasa yakin akan dapat menangkap
gadis itu dan membuatnya tidak berdaya. Betapapun juga, dia tentu lebih kuat,
pikirinya. Namun, tangkapan kedua tangannya luput dan ketika dia mendesak
dengan tubrukan seperti seekor beruang menubruk lawan, kembali Diana
dapat mengelak dengan amat mudahnya. Bahkan demikian cepat gerakan
Diana, sehingga tahu-tahu ia sudah berada di samping kiri Peter dan ketika
kakinya menendang, Peter tidak mampu menangkis atau mengelak lagi.
"Bukk!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ujung kaki kiri Diana dengan cepat dan kuatnya mencium lambung Peter.
"Hekkhh!" Peter mengeluh dan meringis, karena perutnya mendadak terasa mulas
sehingga dia melipat tubuhnya, membungkuk ke depan sambil menekan perut
dengan kedua tangan. Diana mengangkat kaki kanannya dan lututnya mengarah dagu lawan yang
menunduk rendah. "Desss!" "Ouhhh...!" Kembali Peter berteriak dan tubuhnya kini terbuka karena kepalanya
seperti dilempar ke atas saking kuatnya hantaman lutut yang mengenai dagu
tadi. Karena tubuhnya hampir terjengkang dan kedua tangannya terangkat,
tubuhnya bagian depan terbuka lebar. Diana kini menggerakkan tangan
kirinya, memukul dengan tangan terkepal ke arah ulu hatinya.
"Dukkk!" "Ukkkhhh?" Dan tubuh Peter terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Belum knocked
out (terpukul pingsan), baru knocked down (terpukul jatuh). Akan tetapi nyeri
pada lambung, dagu dan dadanya membuat dia terengah-engah dengan napas
sesak. Sejenak dia bangkit duduk dan memandang ke arah Diana dengan
kepala nanar, pandang mata berkunang karena dia melibat bintang-bintang
bertaburan dan berjatuhan ke bawah alu menari-nari di depan matanya.
Setelah bintang-bintang itu lenyap, dia memandang wajah Diana dengan
mata terbelalak. Baru sadarlah dia bahwa Diana telah menguasai ilmu silat.
Bangkitlat kemarahannya kembali, marah saking malunya. Dia menggoyanggoyang kepalanya seperti hendak mengusir kepeningan dan bangkit berdiri,
matanya memandang ke kanan dimana terdapat pedangnya yang tergantung
di dinding. "Perempuan setan! Engkau malah belajar silat dari para pemberontak itu,
ya?" Dan Peter pun meloncat, lalu mencabut pedangnya.
Kalau ia menghendaki, Diana dapat saja menghalanginya atau
merobohkannya kembali sebelum dia sempat bangkit berdiri, akan tetapi gadis
itu tidak mau berbuat demikian. Dara perkasa ini tidak takut lawannya
bersenjata pedang, asal jangan mempergunakan pistol. Dan ia tidak melihat
pistol di pinggang Peter. Kalau ia melihatnya tentu suda h dirampasnya senjata
api itu. Tidak nampak pula ada senjata api di kamar itu, maka hatinya pun
tenang karena ia merasa yakin bahwa ia akan dapat menundukkan Peter, tanpa
atau dengan pedang sekalipun.
Dengan pedang di tangan, Peter kini menghampiri Diana, sikapnya bengis
mengancam, di kedua ujung bibirnya masih ada darah dan muka yang biasanya
tampan itu kini nampak buruk penuh kebengisan, menyeringai kejam, di
sepasang matanya terbayang nafsu membunuh!
"Terkutuk! Kubunuh kau"kubunuh kau...!"
Peter mengancam dengan suara terputus-putus karena napasnya terengahengah saking marah dan nyerinya.
"Hemmm". sekarang nampaklah keaslianmu, Peter Dull! Memuakkan
sekali!" Diana mengejek. Memang ia merasa muak. Kalau dibandingkan dengan
sikap para pendekar seperti Ci Kong, sungguh jauh bedanya, seperti naga
dengan cacing. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Mampus kau!" Peter menerjang dengan pedangnya, membacok sekuat tenaga dengan
pedangnya, lupa bahwa yang diserangnya dengan maksud membunuh itu
adalah seorang wanita, keponakan dari Kapten Charles Elliot pula! Akan tetapi,
tanpa banyak kesulitan, Diana mengelak dan pedang itu hanya mengenai angin
belaka. Peter bukan seorang lemah. Dia adalah seorang ahli tinju, juga ahli pedang.
Begitu pedangnya luput dari sasaran, secepat kilat pergelangan tangannya
membuat pedang membalik, kini menusuk ke arah dada. Kalau pedang itu
sampai mengenai sasaran, tentu bagian lunak di antara payudara Diana akan
tertembus dan pedang akan menembus jantung dan paru-paru!
Akan tetapi, kembali dengan gerakan ringan sekali, Diana miringkan
tubuhnya dan tusukan itupun luput. Peter menjadi semakin penasaran dan
pedangnya kini menyambar-nyambar menusuk, membacok, membabat,
menusuk lagi bertubi-tubi. Namun, semua serangannya dapat dielakkan
dengan mudah oleh Diana yang mempergunakan gerak langkah Bintang Sakti
seperti yang dipelajarinya dari San-tok. Karena serangannya selalu gagal, Peter
menjadi semakin berang. "Perempuan iblis... sekali ini mampus kau!" bentaknya, dan pedangnya
menusuk ke arah perut Diana, tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman
ke arah muka gadis itu! Serangan ini hebat sekali, dilakukan dengan tenaga sepenuhnya dan cepat
bukan main. Diana sudah siap menyambut serangan itu. Tubuhnya miring
sehingga pedang menusuk lewat di dekat ambung, tangan kirinya cepat maju
mengetuk siku Peter dan tangan kanannya menangkap pergelangan tangan
yang mencengkeram mukanya sambil mengelak.
"Plakk!" Siku itu tertekuk dan seketika Peter merasa tangan kirinya lumpuh,
pedangnya terlepas. Pada saat itu, Diana melanjutkan tangan kirinya memukul ke arah pundak
Peter dan tangan kanannya yang menangkap pergelangan tangan kiri itu
menarik dengan sentakan kuat.
"Krekk!" Pukulan tangan miring itu berhasil mematahkan tulang pundak Peter, dan
ketika Diana melepaskan tendangan yang mengenai perut Peter yang agak
gendut, tubuh itu terjengkang dan terbanting keras! Diana berdiri saja bertolak
pinggang, memandang sambil tersenyum simpul. Hatinya merasa gembira
sekali, bahwa ia telah dapat memberi hajaran kepada orang yang pernah
menyakiti hatinya ini. Hajaran untuk membalas bagi dirinya sendiri, juga bagi
banyak pejuang yang telah menjadi korban keganasan Peter dan kaki
tangannya. Peter merintih-rintih. Pundak kanannya yang patah tulangnya terasa nyeri
sekali kalau tubuhnya digerakkan. Dia memaksa diri bangkit duduk, dan tangan
kirinya melepaskan kancing bajunya. Diana mengira bahwa Peter melepas
kancing baju agar rasa nyeri di pundaknya berkurang karena bajunya menjadi
longgar. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dengan cepat, tangan kiri Peter
merogoh ke dalam, dan kini keluar sambil mengacungkan sebuah pistol.
Diana hendak meloncat ke depan dan menyerang, akan tetapi dengan
sigapnya, Peter sudah menodongkan moncong pistol itu, lalu perlahan-lahan
bangkit. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Angkat tangan!"
Melihat Diana meragu, Peter membentak lagi.
"Angkat tangan atau... akan kuhancurkan kepalamu dengan peluru
pistolku. Angkat tangan!"
Diana maklum bahwa sekali ini ia tidak berdaya. Kalau ia nekat menyerang,
tentu ia tidak akan mungkin dapat mendahului cepatnya sambaran peluru dari
jarak yang hanya empat meter itu. Ia tidak mau mati konyol, maka iapun
mengangkat kedua tangannya atas sambil tersenyum mengejek.
"Lihat kegagahan tuan Peter Dull, menodong seorang wanita dengan pistol
walaupun dia mampu menggunakan kaki tangannya dan pedangnya."
"Tutup mulutmu" dan jangan kira aku tidak akan berani menembakkan
pistolku ini untuk merobek-tobek tubuhmu!"
"Ingat, tuan. Aku adalah keponakan Kapten Charless Elliot!"
Diana mengejek, sedikitpun tidak nampak gentar.
"Huhh" keponakan yang sudah menyeleweng, sudah berubah menjadi
pengkhianat. Ingat, engkau datang sebagai mata-mata pemberontak! Lihat
saja pakaianmu, kalau kutembak mampus engkau sebagai mata-mata
pemberontak, siapa yang akan meriyalahkan aku!"
"Nah, tuan Peter Dull yang gagah perkasa". kalau begitu, tembaklah aku.
Kau kira aku takut mati?"
Diana menantang, akan tetapi ia tidak berani menyerang, karena ia maklum
bahwa hal itu berarti mati konyol.
"Tidak begitu mudah, Diana. Engkau harus melayaniku, mau atau tidak.
Hayo cepat kaubuka pakaianmu itu. Cepat kataku!"
Moncong pistol itu mengancam dan kini Peter Dull sudah berdiri dan
melangkah maju. Diana mengukur jarak. Terlalu berbahaya untuk turun tangan,
pikirnya. Sebaiknya mengacau perhatian Peter, dan mendekatinya sedapat
mungkin. Ia tersenyum mengejek, akan tetapi jari-jari tangannya bergerak ke
arah kancing bajunya, matanya tak pernah berkedip menatap wajah Peter.
Dengan sengaja, Diana melepas kancing bajunya satu-satu dengan
perlahan-lahan, sedikit demi sedikit membiarkan tubuhnya terbuka dan
penutupnya seperti seorang penari telanjang sedang bergaya. Hal ini memang
disengaja dan merupakan siasatnya. Memang ia berhasil, karena sepasang
mata Peter semakin lama semakin melotot dan kemerahan melihat tubuh yang
putih mulus itu sedikit demi sedikit nampak.
Setelah Diana mennanggalkan bajunya sehingga nampak seluruh tubuh
bagian atas, berkali-kali Peter menelan ludah dan dia tidak sadar betapa tadi,
ketika membuka bajunya, sedikit demi sedikit kaki Diana mendekat sehingga
jarak antara mereka tinggal dua meter lagi.
Mulai menggigil tubuh Peter dirangsang gairah berahi. Melihat betapa
Diana menghentikan gerakannya melepaskan pakaian, dengan suara parau
Peter berkata. "Teruskan... teruskan, Diana, tanggalkan semua pakaianmu. Celana itu!"
Napasnya terengah-engah. Diana tersenyum, membayangkan kemenangan
terakhir. Kedua tangannya, dengan jari-jari yang panjang, dengan lembut
menyentuh ikat pinggangnya lalu perlahan-lahan melepaskan ikat pinggang
itu, ikat pinggang yang mengikat celana suteranya, kakinya bergeser sedikit
demi sedikit, dan setelah jarak antara mereka tinggal satu meter lebih, tangan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diana bergerak, ujung ikat pinggang menyambar arah pergelangan tangan
Peter yang memegang pistol.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Prattt!!" Ujung ikat pinggang itu menyengat seperti unjung cambuk baja dan pistol
itu terlepas dari tangan Peter, jatuh ke atas lantai dan disepak oleh kaki Diana
sampai terlempar jauh. "Dessss!" Saking marahnya, Diana menendang dengan pengerahan tenaga, dan
tubuh Peter terlempar menabrak dinding.
"Brukkkk!" Seperti pecah rasa kepala Peter ketika kepalanya tertumbuk pada dinding,
dan dunia seperti dilanda gempa yang hebat. Dia mengerang kesakitan dan
memejamkan matanya. Akan tetapi ketika peningnya hilang dan dia membuka
mata melihat Diana masih berdiri dan mulai mengenakan lagi pakaiannya, tibatiba dia meloncat berdiri, dan ketika tangan kirinya meraih ke balik bajunya,
kembali tangan kirinya telah memegang sebuah pistol kecil!
"Darr...!" Diana terkejut bukan main. Pundaknya terasa panas karena pangkal
lengannya di tembus peluru! Nyeri, pedih dan panas rasanya. Tak disangkanya
bahwa Peter masih memiliki sebuah pistol lain yang kecil akan tetapi cukup
berbahaya. "Perempuan keparat!"
Peter memaki, menggunakan punggung tangan kanannya yang lumpuh
mengusap darah dan mulutnya, matanya liar seperti mata binatang buas.
"Peluru itu hanya peringatan saja. Peluru kedua akan menembus dadamu
atau kepalaanmu. Pekerjaanmu belum selesai. Hayo lepaskan celanamu!"
Peter kini amat marah dan benci kepada Diana, mengambil keputusan
untuk menghina wanita itu sepuas hatinya sebelum membunuhnya. Ya, dia
akan membunuhnya, membalas dendam atas semua luka dan penghinaan yang
dialaminya sekarang. Diana maklum bahwa Peter tidak akan mengampuninya. Ia dapat menduga
bahwa akhirnya Peter akan membunuhnya dengan pistol itu. Ia merasa
menyesal mengapa ia memandang rendah kepada Peter yang ternyata cerdik
bukan main. Kalau ia tahu bahwa Peter masih mempunyai sebuah simpanan
pistol lain, tentu akan dibunuhnya orang itu tadi. Kini, sukarlah mengharapkan
kesempatan untuk dapat merobohkan Peter lagi, karena tentu dia sudah siap
siaga dan waspada. "Manusia hina, jangan mengira bahwa aku akan sudi menuruti
kemauanmu. Kalau engkau hendak membunuhku" bunuh saja. Siapa sudi
membuka pakaian untukmu?"
Dan Diana pun kini bahkan mengenakan kembali bajunya dengan sikap
yang santai dan tenang. Melihat sikap Diana, Peter juga maklum bahwa dia
tidak mungkin memaksa Diana. Tak mungkin memperkosa wanita yang seperti
harimau betina itu, dan tidak ada cara baginya untuk menangkap dan
membelenggunya. Pula, tubuh dan hatinya sudah sakit sekali, melenyapkan
semua nafsu berahinya yang tadi berkobar. Dia lalu mengacungkan pistolnya
membidik ke arah kepala Diana.
"Diana Mitchel! bersiaplah untuk mampus!"
Tangannya yang teguh itu memegang pistol dengan kuat, jari-jarinya
mencengkeram erat dan jari telunjuknya siap menarik pelatuk.
Diana maklum bahwa tidak ada harapan untuk meloloskan diri, maka iapun
berdiri tegak sambil memandang kepada Peter dengan sinar mata tajam
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menusuk, bibirnya masih tersenyum mengejek, siap menghadapi kematian
dengan tabah dan gagah seperti yang ia lihat pada diri semua pendekar yang
dikaguminya. "Darrr!" Tubuh itu melonjak dan terpelanting jatuh, menggelepar sebentar lalu
terdiam. Diana menoleh, dan seperti dalam mimpi melihat munculnya seorang
sersan muda dari ambang pintu, memegang sebuah pistol yang masih
mengepulkan asap. Sejenak mereka berpandangan. Lalu Diana berlari maju
menghampiri sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Johnny" Johnny" kau kaukah ini...?"
"Diana"!" Mereka saling tubruk, saling rangkul, berciuman, dan Diana terisak-isak
menangis. Hampir ia tidak percaya. Baru saja ia lolos dan maut, dan
penolongnya, orang yang mendahului Peter dan menembaknya adalah Johnny,
kekasihnya yang terpaksa ditinggalkannya karena orang tuanya tidak
menyetujui perjodohan antara ia dan pemuda itu.
"Diana, aku masuk tentara untuk menyusulmu dan aku.... tidak tahan
melihat tingkahnya terhadap dirimu... kau pergilah, Diana. Cepat pergilah"
biar aku yang bertanggung jawab atas kematiannya!"
Tanpa melepaskan rangkulannya, Diana berkata diantara isaknya.
"Tidak! Aku tidak ingin melihat engkau berkorban. Engkau tentu akan
dihukum, mungkin selama hidup, mungkin hukuman mati. Tidak, mari kita
pergi berdua." Diana cepat melepaskan rangkulannya dan mengambil pistol yang terlepas
dari tangan Peter yang kini menggeletak tak bernyawa itu.
"Kita bersenjata, mari kita pergi, Johnny..."
"Kau ingin melihat aku mengkhianati bangsa kita sendiri, Diana" Mana
mungkin?" "Tidak" kita lari untuk menyelamatkan diri, bukan untuk berkhianat. Kelak
kuceritakan semua tentang perjalananku, Johnny, dan engkau akan
mengetahui segalanya tentang perjuangan rakyat di sini...."
Akan tetapi Johnny kelihatan masih ragu-ragu dan berat untuk melarikan
diri. Dia tentu akan dituduh pengkhianat dan pemberontak.
"Tenanglah, Diana. Mari kita hadapi semua ini berdua, kita ceritakan apa
yang sebenarnya terjadi, betapa Peter telah menghinamu dan betapa dengan
terpaksa aku harus menembaknya untuk menyelamatkan dirimu yang sudah
berada di ambang maut itu."
"Tapi, kau tentu akan dihukum?"
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat yang turun dan atas atap, dan
di situ berdirilah seorang kakek.
"Suhu"!" Diana berseru kaget dan masih menangis.
"Diana, inikah kekasihmu yang pemah kauceritakan kepadaku itu?"
"Benar, suhu. Dialah Johnny, kekasihku" dan dia pula yang tadi
menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kini kita berada dalam kesukaran, suhu.
Kita tentu akan ditangkap dan dihukum!"
"Diana, siapakah orang tua ini?" tanya Johnny, bingung dan terkejut
melihat betapa ada orang muncul begitu saja, melayang dari atas seperti setan.
Kakek itu sudah tua sekali, tentu lebih dan tujuh puluh tuhun usianya,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bertubuh kurus dan pakaiannya, biarpun bersih, penuh tambalan soperti
pakalan pengemis, memegang sebuah kipas yang digoyang-goyangkan
mengenai tubuhnya sambil tersenyum-senyum.
"Jhonny, kakek ini seorang sakti, guruku yang berjuluk San-tok."
Diana memperkenalkan. "Dengar kalian baik-baik. Akulah yang akan mengakui pembunuhan
terhadap komandan ini, dan kalian pura-pura lari ketakutan dari ruangan ini.
Sudah, Diana" jangan membantah, ini perintahku. Larilah atau aku akan
bersungguh-sungguh menghajar kalian!"
Dengan cepat Diana menterjemahkan kata-kata kakek itu kepada
kekasihnya yang menjadi terheran-heran. Akan tetapi kakek itu kini sudah maju
dan melakukan tendangan dua kali dengan kakinya. Diana dapat mengelak,
tetapi Johnny terkena tendangan dan tubuhnya jatuh terguling-guling! Dia
semakin terkejut, akan tetapi Diana sudah menyambar lengannya dan
ditaniknya pemuda itu untuk melarikan diri.
"Mari kita lari"!" katanya, maklum akan keanehan watak gurunya yang
mungkin akan benar-benar mengamuk dan menghajar mereka berdua.
Mereka berlari keluar dan dalam ruangan itu, hampir bertabrakan dengan
para penjaga yang sudah beriarian datang karena mereka tadi mendengar
tembakan-tembakan. Melihat betapa Sersan Johnny dan Diana bergandengan
tangan dan berlarian seperti orang ketakutan, mereka terheran-heran.
"Apa yang terjadi?" tanya mereka.
"Kapten terbunuh!" kata Johny masih gugup dan bingung karena
perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba dan tak disangka-sangka itu.
Para penjaga terkejut bukan main, dan mereka beriari-larian memasuki
ruangan itu dengan senjata api di tangan. Dan mereka melihat seorang kakek
aneh berdiri di dalam ruangan, memegang pistol dan tiba-tiba kakek itu
menembak ke sana-sini dengan pistol itu. Mereka terkejut dan cepat
berlindung dan siap untuk balas menembak. Akan tetapi, kakek itu menembak
terus membabi buta sampai semua peluru habis dari dalam pistol itu, lalu
terdengar dia tertawa-tawa.
Ketika para penjaga menyerbu ke dalam dengan pistol di tangan, ternyata
ruangan itu sudah sunyi. Peter Dull masih menggeletak tak bernyawa lagi, dan
kakek yang tadi mengamuk dengan pistol itu sudah lenyap tanpa
meninggalkan jejak. Hanya atap dan genteng di atas ruangan itu terbuka lebar,
sehingga semua orang dapat menduga bahwa kakek aneh itu tentu melarikan
diri melalui atap. Tentu saja peristiwa itu menggemparkan. Dan Diana bersama Johnny yang
tentu saja dihujani pertanyaan itu, hanya mengatakan bahwa selagi mereka
bercakap-cakap dengan Peter Dull, tiba-tiba muncul kakek itu yang diserang
oleh Peter dengan pistol. Akan tetapi kakek itu mampu merampas pistol dan
menembak Peter, bahkan mereka berdua tentu akan tewas kalau tidak keburu
melarikan diri. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Diana ketika mendapat
kenyataan bahwa pamannya, Kapten Charles Elliot, masih berada di Kanton,
dan ia hanya dibohongi saja oleh Peter yang memiliki niat buruk terhadap
dininya. Ia lalu pergi menghadap pamannya bersama Jhonny, dan mereka
disambut dengan gembira. Keluarga Elliot tadinya mengira bahwa Diana telah
meninggal dunia, maka kemunculannya tentu saja amat menggirangkan hati
mereka. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Diana menceritakan semua pengalamannya tentang perlakuan Peter yang
tidak patut, dan pengalamannya hidup di antara para pendekar
memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Ia mengulang kembali
pendapatnya seperti yang pernah ia nyatakan kepada Peter tentang kekeliruan
sikap balatentara kulit putih terhadap para pejuang.
"Para pejuang itu adalah pendekar-pendekar gagah perkasa, paman,"
demikian antara lain Diana berkata kepada pamannya.
"Mereka memperjuangkan kemerdekaan dan memusuhi pemerintah
penjajah Bangsa Mancu. Mereka tidak memusuhi kita, hanya tentu saja mereka
menentang cara perdagangan kita yang memasukkan candu sehingga merusak
kesehatan lahir batin rakyat. Kenapa kita harus membantu pemerintah penjajah
sehingga menimbulkan kebencian di hati rakyat terhadap kita" Kalau kita ingin
berdagang sehingga kelak mendatangkan hasil baik, kurasa jalan satu-satunya
adalah bersahabat dengan rakyat, karena aku yakin, pada suatu waktu,
pemerintah penjajah akan terguling."
Kapten Charles elliot mendengarkan semua cerita Diana dengan penuh
kegum. Keponakannya ini seorang gadis kulit putih, dapat hidup sampai
hampir dua tahun di antara para pemberontak itu, tanpa terganggu, sungguh
merupakan peristiwa yang ajaib. Dan dia kagum terhadap keponakannya.
Diapun dapat menerima semua pendapat yang dikemukakan gadis itu.
"Bagaimanapun juga, Diana" urusan politik tidak ditentukan oleh kita.
Tugasku hanya melaksanakan perintah atasan saja, politik dan sikap kita
terhadap negara ini sudah ditentukan oleh pemerintah kita di Inggeris,
setidaknya oleh perwakilan pemerintah kita di India. Bagaimana aku berani
merobah politik itu."
"Akan tetapi, paman memiliki kekuasaan disini, setidaknya paman dapat
menjelaskan akan kekeliruan sikap itu kepada atasan paman."
Kapten tua itu menggeleng kepala.
"Tugas bawahan hanyalah mentaati dan melaksanakan perintah atasan,
bukannya membantah atau memberi saran, Diana. Politik adalah permainan
orang-orang besar, bukan permainan militer seperti aku ini."
Diana merasa penasaran sekali.
"Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang akan membujuk para pembesar
yang berwenang di sana?"
Beberapa hari kemudian, Diana bersama Johnny, setelah mendapat
perkenan dari Kapten Charles Elliot, berangkat menuju ke Inggeris, dan Diana
berjuang untuk sahabat-sahabatnya yang ditinggalkan, demi kepentingan
perjuangan mereka. Bukan tidak ada manfaatnya tindakan Diana ini, karena sedikit banyak
semua pendapatnya mempengaruhi para pejabat yang berwenang, membuat
mereka mengerti akan keadaan para pejuang dan dapat menentukan sikap
Senopati Pamungkas I 22 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pendekar Pemanah Rajawali 28
^