Pencarian

Pedang Naga Kemala 20

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


demi keuntungan masa depan dan bangsa mereka yang melakukan
perdagangan di timur laut.
Orang tua Diana juga tidak berkeberatan lagi akan pilihan hati Diana, maka
Johnny pun diterima sebagai tunangan dan calon suami Diana.
-------Kegagalan Lee Song Kim membuat kedudukan pemuda ini mulai goyah.
Biarpun kebebasan para tawanan itu tidak dapat disalahkan kepada Lee Song
Kim, namun para pembesar Mancu mulai merasa curiga terhadap pemuda ini,
dan menyalahkan dia mengapa para tawanan itu tidak cepat dibunuh saja
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sebelum berhasil melarikan diri.
Song Kim tidak dapat banyak membantah, karena untuk dapat menangkap
para pimpinan pemberontak itu sekali lagi merupakan hal yang amat sukar,
bahkan tidak mungkin sama sekali. Siasatnya yang lalu telah berhasil baik,
membuat dia dipercaya oleh kaum pejuang sehingga dia dapat memancing
para pimpinan itu untuk berkumpul lalu dikepung dan ditangkap. Akan tetapi,
siapa kira, setelah mereka itu tertawan, mereka dapat lolos walaupun
penjagaan amat kuatnya! Tak disangkanya bahwa Koan Jit, orang yang pernah
menjadi kaki tangan orang kulit putih itulah yang akhirnya membebaskan para
tawanan dengan mengorbankan dirinya.
Melihat keadaan dirinya yang mulai kehilangan kepercayaan di pihak para
pembesar kota raja, Song Kim mencari akal untuk memulihkan kedudukannya.
Diam-diam dia mulai bersekutu dengan dua orang tokoh penting dan Pek-lianpai dan Pat-kwa-pai! Permainan Song Kim sekali ini amat berbahaya, akan
tetapi dia berhati-hati sekali. Dengan cerdik dia mendekati dua orang tokoh
perkumpulan yang menjadi musuh besar kerajaan, dengan maksud bahwa
kalau sampai kedudukannya tak dapat dipertahankan lagi, dengan mudah dia
mencari pengaruh di kalangan dua perkumpulan besar itu.
Song Kim memang memiliki ambisi besar untuk memperoleh kedudukan
yang tinggi dan kekuasaan yang besar. Dan pada suatu hari, dia mengajukan
pinangan atas diri Ceng-hiang kepada Pangeran Ceng Tiu Ong! Perbuatan
yang teramat berani! Biarpun ia telah menjadi seorang panglima muda, akan
tetapi dia seorang militer biasa saja, tidak berdarah bangsawan, bukan
keturunan Mancu, dan dia berani mengajukan pinangan atas diri puteri
seorang pangeran. Song Kim bukan hanya tergila-gila kepada kecantikan Ceng Hiang, akan
tetapi juga dia melihat keuntungan besar kalau saja dia dapat menjadi suami
puteri tu. Sebagai mantu seorang pangeran, yang juga memiliki kedudukan
tinggi sebagai pengurus perpustakaan istana, tentu saja derajatnya akan naik
dan akan lebih mudah baginya untuk memperoleh kedudukan yang lebih
penting dan tinggi. Akani tetapi mudah saja diduga. Pinangan itu ditolak, bahkan Pangeran
Ceng Tiu Ong yang sudah mendengar akan ulah Lee Song Kim dari puterinya,
menolak dengan keras dan dengan jawaban yang ketus terhadap utusan Song
Kim. Hal ini membuat Song marah dan merasa sakit hati.
Dan pada suatu hari, gegerlah di kalangan pembesar kota raja, karena
Pangeran Ceng Tiu Ong ditangkap oleh pasukan keamanan dengan tuduhan
bersekongkol dengan pemberontak! Tentu saja hal ini terjadi karena ulah Lee
Song Kim yang melaporkan bahwa pangeran itu mempunyai hubungan dengan
Hai-tok, seorang di antara pimpinan para pemberontak, bahkan puteri dan Haitok yang bernama Tang Ki pernah bersembunyi di dalam gedung keluarga
Ceng. Di dalam pemeriksaan, Pangeran Ceng Tiu Ong tidak menyangkal bahwa
dia memang mengenal Kiki puteri Hai-tok, akan tetapi membantah keras
bahwa dia bersekongkol dengan pomberontak.
"Kapal kami dibajak oleh puteri Hai-tok itu, dan saya tentu telah tewas
dilempar ke laut kalau tidak diselamatkan oleh Kiki. Kemudian, gadis itu
mengembalikan kitab-kitab kuno. Apakah saya harus menangkapnya setelah
ia menyelamatkan saya dan mengembalikan kitab-kitab penting" Akan tetapi,
hal itu bukan berarti bahwa saya lalu bersekongkol dengan pemberontak. Itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan adalah fitnah belaka." antara lain dia membantah.
Namun, pengakuannya bahwa dia mengenal baik puteri Hai-tok, bahkan
gadis pemberontak itu pernah menjadi tamunya, tentu saja membuat hakim
menjadi curiga dan menahan pangeran mi didalam penjara.
Tentu Saja Ceng Hiang menjadi khawatir dan berduka sekali. Ia tidak tahu
harus berbuat apa. Memang manjadi kenyataan bahwa keluarganya bersikap
baik terhadap Kiki, dan menjadi kenyataan pula bahwa Kiki adalah seorang
gadis bahkan tokoh pemberontak. Ayahnya memang tidak memusuhi
pemberontak-pemberontak, karena ayahnya, seperti ia sendiri, tahu bahwa
mereka itu sebenarnya adalah pejuang-pejuang, para patriot dan pendekar
yang gagah perkasa. Beberapa hari setelah Pangeran Ceng Tiu Ong ditangkap, pada suatu
malam yang sunyi, Ceng Hiang mendengar gerakan orang di luar kamarnya. Ia
cepat memadamkan lampu dan berkelebat melalui jendela, terus melayang ke
atas genteng rumahnya. Ia melihat dua sosok bayangan orang bergerak cepat.
Ketika dua bayangan orang itu tiba di bawah lampu yang tergantung di sudut,
Ceng Hiang girang sekali.
"Tan-taihiap...!"
Ceng Hiang segera mengenal wajah Ci Kong, dan walaupun ia tidak
mengenal siapa adanya wanita cantik dan gagah yang datang bersama Ci
Kong. Ia percaya bahwa tentu wanita cantik itu sahabat Ci Kong dan
merupakan seorang pendekar pula. Gadis yang datang bersama Ci Kong itu
memang seorang pendekar wanita, karena ia adalah Siauw Lian Hong.
Berita tentang ditangkapnya Pangeran Ceng Tiu Ong tentu saja tersiar luas
dan terdengar pula oleh Ci Kong. Pendekar itu maklum siapa adanya Pangeran
Ceng Tiu Ong, seorang pangeran yang memiliki pendapat yang gagah dan adil,
bahkan puterinya masih murid dari keturunan keluarga Pulau Es, merupakan
ahli waris ilmu keluarga Pulau Es. Hal ini saja sudah menarik hatinya dan
timbul keinginannya untuk menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi. Dia
sudah diperkenalkan oleh Kiki kepada Ceng Hiang, gadis yang pernah
membuatnya termenung dan terkenang selama beberapa hari, karena dia
terpesona oleh kecantikan dan kegagahan gadis bangsawan itu. Dan kini
ayahnya telah ditangkap, kabarnya dituduh bersekongkol dengan para
pejuang. Tentu saja hatinya menjadi tertarik sekali dan timbullah keinginan hatinya
untuk mengunjungi ramah gedung keluarga itu. Kerena dia memandang perlu
kalau membawa teman yang boleh diandalkan, maka setelah menceritakan
Ceng Hiang dan orang tuanya kepada Lian Hong, dia lalu mengajak gadis ini
untuk berkunjung pada malam hari itu.
Lian Hong sendiri sudah tertarik ketika mendengar bahwa puteri Pangeran
Ceng itu adalah murid keluarga Pulau Es yang pernah didengarnya seperti
dalam dongeng itu, dan berita bahwa pangeran itu ditangkap dengan tuduhan
bersekongkol dengan para pejuang juga sudah menimbulkan perasaan suka
setia kawan di dalam hatinya.
Lian Hong memandang kagum ketika melihat bahwa gadis bangsawan
yang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga Pulau Es itu ternyata demikian
lihainya, sehingga sudah mengetahui akan kedatangan mereka, bahkan telah
mengenal Ci Kong dari atas genteng.
"Ceng-siocia (nona Ceng), kami sengaja datang berkunjung padamu," Ci
Kong berkata. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Bayangan langsing di atas genteng itu lalu melayang turun dan untuk ke
dua kalinya Lian Hong memandang kagum, bukan hanya melihat keringanan
tubuh itu, melainkan kini ia dapat melihat wajah yang luar biasa cantiknya.
Kulit muka itu demikian halusnya, putih kemerahan dan lembut seperti wajah
Kwan Im Pouwsat saja, dan gerak-geriknya demikian halus, pandang matanya
demikian jernih dan berwibawa walaupun pada saat itu ada bayangan duka di
matanya yang indah. "Ceng-siocia, kami mendengar?"
"Silahkan masuk, Tan-taihiap" dan kita bicara di dalam," Ceng Hiang
memotong dengan sikap tenang namun suaranya berpengaruh.
Ci Kong mengangguk dan bersama Lian Hong, dia mengikuti gadis
bangsawan itu memasuki ruangan belakang, dan dan situ terus menembus ke
ruangan tengah dimana terdapat sebuah meja dan beberapa kursi
mengelilinginya. Mereka mengambil tempat duduk di ruangan itu.
"Ceng-siocia, perkenalkan, ini adalah nona Siauw Lian Hong, seorang di
antara tokoh muda pejuang. Hong-moi, ini adalah nona Ceng Hiang seperti
yang sudah kuceritakari kepadamu."
Dua orang gadis itu bangkit dan saling memberi hormat. Ceng Hiang
memandang kagum kepada Lian Hong.
"Semuda ini sudah menjadi seorang pendekar dan pejuang yang gagah
perkasa. Sungguh aku merasa iri hati kepadamu, adik Lian Hong. Aku tidak
mungkin dapat sebebas engkau dalam menentukan langkah hidup, terkekang
oleh keadaan." "Engkau terlalu memuji, Ceng-siocia. Sebaliknya, aku sudah mendengar
bahwa engkau adalah seorang gadis bangsawan yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa tingginya."
"Adik lian Hong, harap engkau jangan bersikap sungkan, dan sebut saja
enci kepadaku. Dan engkau juga, Tan-taihiap, jangan menyebut siocia. Sebut
saja adik, bukankah kita ini adalah orang-orang dengan kegemaran yang sama"
Aku akan menyebutmu toako."
"Baiklah, Ceng-moi," kata Ci Kong dengan hati girang bukan main, juga
merasa bangga karena gadis bangsawan tinggi itu mau memandangnya
sebagai orang dengan derajat yang sama.
"Dan harap sekarang suka kau ceritakan tentang peristawa yang menimpa
keluargamu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?"
"Ayah ditangkap karena fitnah orang, dituduh bersekutu dengan Hai-tok
dan puterinya. Seperti engkau tahu, Tan-toako, Kiki pernah menjadi tamuku
dan ia memang sahabat baikku. Akan tetapi hubungan antara ia dan kami sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perjuanan menentang pemerintah.
Tentu saja ayah tidak menyangkal bahwa kami mengenal Kiki, akan tetapi
menolak tuduhan bahwa kami kami bersekongkol untuk memberontak."
"Ketika Kiki datang sebagai tamu keluargamu, apakah ada orang luar yang
mengetahuinya?" Ci Kong bertanya sambil berpikir keras.
"Tidak ada, dan Kiki tidak tinggal lama di sini. Tak seorangpun tahu bahwa
ia adalah puteri Hai-tok yang pernah membajak kapal ayah."
"Ah, tak salah lagi. Tentu ini perbuatan Lee Song Kim!" Ci Kong berseru.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Dialah yang mengetahui akan persahabatanmu
dengan Kiki!" "Lee Song Kim lagi" Jahanam itu sungguh menjemukan!"
Lian Hong juga berseru marah. Ceng Hiang mengangguk.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Dugaanmu memang tepat, toako. Akupun sudah menduga demikian dan
melakukan penyelidikan. Memang benar dialah yang melapor kepada panglima
pasukan keamanan setelah pinangannya terhadap diriku ditolak ayah dengan
keras. Akan tetapi, apa yang harus kulakukan" Dia adalah seorang panglima,
dan ayah sendiri telah mengaku bahwa kami mengenal Kiki walaupun tidak
ada hubungan persekongkolan apa-apa. Hal itu saja cukup untuk
mendatangkan kecurigaan dalam hati panglima itu sehingga ayah ditahan."
"Apakah tidak ada usaha sama sekali darimu untuk menolong ayahmu?"
tanya Lian Hong "Sudah, dan jalan satu-satunya bagiku hanyalah minta bantuan seorang
yang dekat dengan istana, minta pengampunan dari kaisar mengingat akan
jasa-jasa ayahku. Mudah-mudahan saja usahanya itu berhasil, dan kalau kaisar
sendiri yang mengampuni ayah, maka tentu dia akan dibebaskan, karena tidak
ada bukti bahwa ayah berkhianat atau memberontak."
"Apakah berita yang terakhir kita dengar tentang hubungan Song Kim
dengan tosu-tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu tidak ada gunanya untuk
menolong ayah enci Ceng Hiang?" tiba-tiba Lian Hong bertanya.
Ci Kong menepuk meja. "Benar! Cara yang baik sekali untuk mencairkan fitnah adalah
membuktikan bahwa si pelempar fitnah itu sendirilah yang kotor! Song Kim
menuduh Pangeran Ceng bersekongkol dengan pemberontak, kalau kemudian
terbukti oleh yang berwajib bahwa dia sendiri yang bersekongkol dengan
pemberontak, maka dengan sendirinya fitnahnya menjadi lemah. Kita harus
dapat mengatur agar komandan pasukan keamanan sendiri yang melihat bukti
persekongkolannya dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai."
Tentu saja Ceng Hiang menjadi girang.
"Benarkah itu?"
Mereka bertiga lalu mengatur siasat. Ci Kong dan Lian Hong akan
melakukan penyelidikan dan membayangi gerak-gerik Song Kim dan dua orang
tosu dan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Kemudian mereka akan cepat
mengabarkan kepada Ceng Hiang, dan gadis bangsawan inilah yang akan
menyampaikan berita itu kepada panglima pasukan keamanan agar Song Kim
dapat tertangkap basah selagi mengadakan pertemuan dengan para pimpinan
pemberontak yang sejak puluhan tahun menjadi musuh besar pemerintah itu.
Akan tetapi, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai mempunyai pergerakan yang sejalan
dengan perjuangan kita, yaitu menentang pemerintah penjajah," kata Lian
Hong sambil memandang Ci Kong dengan pandang mata tajam.
"Kalau kini kita menentang mereka, bukankah hal itu berarti suatu
pengkhianatan dari kita terhadap rekan-rekan seperjuangan?"
"Aih! Aku tidak ingin kalian menjadi pengkhianat demi menyelamatkan
ayahku!" kata Geng Hiang sambil memandang cemas.
"Jangan khawatir Ceng-moi. Tidak ada pengkhianatan di sin."
Ci Kong berkata cepat ketika melihat Ceng Hiang berkhawatir, lalu dia
memandang Lian Hong. "Sejak dahulu, tidak ada hubungan antara kita dengan Pek-lian-pai maupun
Pat-kwa-pai. Bahkan kaum pendekar selalu menentang mereka karena mereka
itu mengelabuhi rakyat dan melakukan bermacam kejahatan dengan kedok
agama dan perjuangan. Memang benar mereka itu memusuhi pemerintah, akan
tetapi permusuhan itu timbul bukan karena semangat kepatriotan mereka,
melainkan karena pemerintah memusuhi mereka sebagai akibat dan kejahatandikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kejahatan yang mereka lakukan. Tidak, Hong-moi, kita sama sekali bukanlah
rekan-rekan Pek-lian-pai maupun Pat-kwa-pai! Pula, apa yang akan kita
lakukan sama sekali bukan ditujukan untuk menentang atau merugikan
perkumpulan-perkumpulan itu dalam permusuhan mereka dengan pemerintah,
melainkan untuk menjebak dan menjatuhkan Lee Song Kim! Bukan kita tujukan
untuk memusuhi mereka!"
Lian Hong memandang heran. Ci Kong demikian penuh semangat untuk
menyelamatkan ayah Ceng Hiang, dan tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak enak
di dalam hatinya. Cara Ci Kong membela, cara pemuda itu memandang Ceng
Hiang, sungguh belum pernah ia melihat Ci Kong memandang wajah seorang
gadis seperti itu! "Terserah, aku hanya mengingatkan," katanya sambil menarik napas
panjang dan hatinya merasa semakin tidak enak ketika tiba-tiba Ceng Hiang
merangkulnya. "Adik Lian Hong, maukah engkau membantuku" Lihat, aku sendiri puteri
seorang pangeran, akan tetapi aku tidak pernah memusuhi para pejuang,
bahkan ayahku juga bersimpati kepada mereka. Kini ayahku terkena musibah,
kepada siapa lagi kalau bukan kepada para pendekar seperti kalian aku
memalingkan muka mengharapkan uluran tangan dan bantuan."
Lian Hong memandang wajah yang cantik sekali itu, dan melihat betapa
kedua mata Ceng Hiang membasah. Iapun merasa kasihan dan mengangguk,
sejenak melupakan perasaan tidak enak yang timbul karena cemburu tadi.
Setelah bercakap-cakap mengatur rencana siasat mereka, Lian Hong dan
Ci Kong lalu berpamit. Mereka meninggalkan tempat itu setelah kembali Lian
Hong melihat sinar mata aneh memancar dan kedua mata Ci Kong. Mereka
pergi seperti ketika mereka datang, yaitu dengan diam-diam, melalui jalan
gelap sehingga tidak ada seorangpun melihat kunjungan mereka kecuali Ceng
Hiang. Ketika para pengawal melaporkan akan kedatangan nona Ceng Hiang yang


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminta dengan sangat agar dia suka menerimanya untuk membicarakan
urusan penting, Ciong Goanswe (Jenderal Ciong) yang bernama Ciong Ti itu
mengerutkan alisnya. Dialah panglima pasukan keamanan di kota raja, dan dia
pula yang menangkap Pangeran Ceng Tiu Ong atas laporan Lee Song Kim
bahwa pangeran itu bersekongkol dengan pemberontak.
Ciong Goanswe adalah seorang panglima yang berwatak keras, jujur dan
berdisiplin. Dia mengenal baik Pangeran Ceng, akan tetapi biarpun dia
mengenal pangeran itu sebagal seorang pejabat tinggi yang baik dan jujur,
pula setia, terpaksa dia turun tangan melakukan penangkapan atas pelaporan
Lee Song Kim, karena pada waktu itu, bersekongkol dengan pcmberontak
merupakan dosa terbesar. Dia percaya pula bahwa pangeran itu tidak
bermaksud memberontak dan hanya kebetulan mengenal seorang gadis
pemberontak, akan tetapi hal ini saja cukup untuk memaksa dia melakukan
penahanan, karena kalau tidak, tentu dia akan dituduh menerima sogokan atau
"ada apa-apa". Penangkapan atas diri Pangeran Ceng Tiu Ong ini yang mencuat, banyak
pembesar tinggi yang jujur dan setia merasa tidak senang dan penasaran,
memang merupakan peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi
terpaksa dia menahan pangeran itu demi patuhnya terhadap peraturan dan
hukum. Ciong Ti berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memiliki sepasang mata yang lebar dan tajam, juga berwibawa. Dia mengenal
pula siapa adanya Ceng Hiang, puteri tunggal Pangeran Ceng Tiu Ong. Dia
tahu bahwa gadis itu adalah pewaris ilmu silat keluarga Pulau Es, seorang
gadis yang amat cantik, akan tetapi juga amat lihai ilmu silatnya. Karena itu,
mendengar bahwa pada siang hari itu Ceng Hiang datang dan minta bicara
dengannya, dia mengerutkan alisnya dan merasa tidak tenang. Apakah
maunya gadis ini datang kepadanya" Sudah pasti mengenai penahanan
ayahnya, pikirnya. Apakah hendak mempergunakan kekerasan"
Pikiran inilah yang membuat Ciong Goanswe diam-diam mempersiapkan
pasukan pengawalnya berjaga-jaga di sekeliling ruangan dimana dia akan
menerima puteri Pangeran Ceng. Setelah itu, barulah dia mengutus
pengawalnya untuk menjemput gadis itu yang menanti di ruangan tunggu.
Ceng Hiang bukan seorang gadis bodoh. Biarpun ruang tunggu yang luas
itu nampak sunyi dan di situ hanya duduk Jenderal Ciong seorang diri, ia dapat
menduga bahwa di sekitar tempat itu tentu telah siap siaga puluhan orang
perajurit pengawal pilihan yang akan menyerbu bagaikan sekawanan lebah
atas isyarat sang jenderal.
"Nona Ceng, silahkan duduk!"
Kata Ciong Ti dengan sikap ramah namun tegas. Dia kagum melihat sikap
nona yang amat cantik itu. Sedikitpun tidak nampak berduka atau khawatir,
melainkan melangkah dengan tegap dan dengan sikap tenang.
"Terima kasih, ciangkun (komandan)," jawab Ceng Hiang, dan setelah
memberi hormat, iapun duduk berhadapan dengan jenderal itu, terhalang meja
besar. "Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kunjungan nona ini?"
"Saya datang untuk bicara dengan ciangkun mengenai penangkapan yang
dilakukan kepada ayahku."
Ciong Ti yang sudah menduga akan jawaban ini, menarik napas panjang
dan menggerakkan tangannya.
"Ahh, penangkapan ayahmu adalah urusan negara, bukan urusan
pribadiku, nona. Oleh karena itu, untuk membicarakannya harus di kantor,
bukan disini tempatnya. Pula, yang menangani masalah panangkapan orangorang yang dianggap memberontak adalah kejaksaan, bukan aku."
"Akan tetapi, penangkapan itu dilakukan atas perintahmu, Ciongciangkun. Ada hal-hal penting yang perlu kau ketahui untuk menunjukkan
betapa engkau telah memperoleh sebuah laporan yang sifatnya melempar
fitnah dan..." "Sudah, cukuplah, nona Ceng," kata panglima itu sambil bangkit berdiri.
"Aku tidak mau bicara tentang pekerjaan di sini, harap nona pulang saja
agar jangan sampai orang menyangka yang bukan-bukan."
Akan tetapi Ceng Hiang tidak bangkit berdiri, masih duduk dengan sikap
tenang. Semua ini sudah ia perhitungkan, karena iapun sudah mengenal watak
panglima ini. Ia tersenyum.
"Ciong-ciangkun, aku datang bukan untuk melakukan penyuapan, juga
bukan untuk membujuk maupun mengancam menggunakan kekerasan. Aku
datang untuk bicara, dan bukan hanya demi kepentingan ayahku, melainkan
juga demi kepentingan dan kedudukan ciangkun sendiri."
Panglima itu memandang tajam, sepasang matanya yang lebar itu semakin
melotot dan alisnya berkerut.
"Nona Ceng, apa maksudmiu?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Kalau engkau tidak mau bicara dengan aku, terpaksa aku akan melapor
kepada Sribaginda Kaisar sendiri, dan nanti atau besok tentu ciangkun akan
ditangkap sebagai seorang pengkhianat."
"Ehhh! Apa yang kau katakan ini, nona" Hati-hatilah menjaga ucapanmu!
Engkau melempar fitnah keji dan untuk itu, engkau dapat kusuruh tangkap!"
Perwira itu mengancam marah.
"Engkau harus dapat menjelaskan maksud kata-katamu itu!"
"Tentu saja akan kujelaskan, dan untuk penjelasannya membutuhkan katakata, bukan" Duduklah, ciangkun, dan dengarkan aku bicara. Kalau bicaraku
tidak benar, masih belum terlambat bagi ciangkun untuk mengusirku atau
bahkan menangkapku sekalipun."
Panglima itu berpikir sejenak. Memang tidak ada ruginya miendengarkan,
karena gadis ini tadi sudah berjanji tidak akan menyuap, membujuk atau
mengancam. Dan diapun mulai tertarik dan merasa penasaran sekali
mendengar bahwa dia mungkin dapat ditangkap sebagai seorang
pengkhianat. Gila! "Baiklah, akan tatapi harap bicara yang benar dan jangan melempar
fitnah!" "Aku tidak biasa melempar fitnah, ciangkun, seperti yang dilakukan oleh si
pelapor tentang diri ayah itu. Ayah tidak pernah mengenal Tang Ki. Akulah
yang mengenalnya, dan perkenalan kamipun bukan perkenalan politik. Kami
mengenal Tang Ki hanya karena ia seorang gadis yang pernah menyelamatkan
nyawa ayah dari laut, dan karena Tang Ki mengembalikan kitab-kitab yang
penting. Itu saja! Ciangkun mendengarkan fiitnah yang dilempar oleh Lee Song
Kim, dan sama sekali tidak ada buktinya bahwa keluarga kami bersekutu
dengan pemberontak. Sebaliknya, yang menjadi pemberontak adalah Lee Song
Kim, dan kalau ciangkun mendengarkan semua laporannya yang mengadu
domba, kalau ciangkun membelanya, berarti ciangkun membela pemberontak,
dan tentu ciangkun akan ditangkap sebagai pengkhianat kalau aku melapor
kepada Sribaginda Kaisar."
Panglima itu terkejut sekali, juga penasaran.
"Nona Ceng, nona masih muda, harap jangan bicara sembarangan saja.
Yang kau kemukakan tadi adalah fitnah keji. Apa buktinya bahwa Leeciangkun adalah seorang pemberontak?"
Ceng Hiang tersenyum. "Kalau boleh aku bertanya, apa buktinya pula bahwa ayahku adalah
seorang pemberontak, ciangkun" Aku bukan tukang fitnah, dan aku tentu saja
dapat membuktikan kebenaran omonganku tadi. Ciangkun tahu mengapa Lee
Song Kim melempar fitnah kepada ayahku" Ada dua hal yang mendorongnya
melakukan hal yang curang dan keji itu. Pertama, untuk membalas dendam
karena lamarannya terhadap diriku ditolak ayah, dan kedua, karena dia hendak
mengadu domba antara para pejabat yang jujur dan setia seperti ciangkun dan
ayah." Panglima itu menggerakkan tangan dengan tidak sabar.
"Ceritakan mana buktinya bahwa Lee-ciangkun adalah pemberontak."
"Ciangkun, kalau aku hanya bercerita, itu bukan bukti namanya. Aku akan
mengajak ciangkun menyaksikan sendiri! Malam nanti, kuajak ciangkun untuk
menyaksikan betapa Lee Song Kim mengadakan pertemuan dengan tokohtokoh pemberontak yang akan membuat ciangkun terkejut sekali. Dan kuharap
saja, setelah melihat bahwa pelapor dan pemfitnah ayah adalah seorang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemberontak, ciangkun akan berusaha untuk pembebasan ayah yang tidak
berdosa." Panglima itu mengerutkan alisnya.
"Tapi" tapi...."
"Ciangkun meragukan kejujuranku dan khawatir kalau aku akan
mencelakakan ciangkun" Ingat, ciangkun, ayahku masih berada di dalam
tahanan dan bebas tidaknya ayah tergantung dan perbuatanku. Mana aku
berani mengkhianati ciangkun dan membiarkan ayahku celaka?"
Panglima itu mengangguk-angguk.
"Dan jangan ciangkun membawa pengawal, dan banyaknya orang tentu
akan diketahui oleh Lee Song Kim, dan kalau dia bercuriga, tentu tidak akan
dilangsungkan pertemuan rahasia itu. Akulah yang akan melindungi dan
menjaga keselamatan ciangkun dengan taruhan nyawaku."
Kembali Ciong Goanswe mengangguk-angguk.
"Baiklah, akan tetapi kalau semua keteranganmu ini bohong, keadaan
ayahmu akan menjadi lebih buruk lagi, bahkan engkau sendiri akan kusuruh
tangkap." "Baik, aku bersedia menebus dengan nyawaku kalau aku berbohong,
ciangkun. Sampai malam nanti sekitar jam tujuh, aku akan datang menjemput
ciangkun. Jangan kaget kalau nanti malam aku datang dengan rahasia, tidak
terang-terangan seperti sekarang ini."
Gadis itu lalu meninggalkan gedung tempat tinggal Ciong Goanswe yang
masih duduk termenung setelah gadis itu pergi. Dia tidak dapat dibilang
bersahabat baik dengan Lee Song Kim, bahkan diam-diam ada rasa curiga di
dalam hatinya ketika para tawanan itu, para pimpinan penting dan
pemberontakan, dapat lolos. Tadinya dia sudah mengusulkan agar hasil baik
dan siasat yang dilakukan Lee Song Kim itu dimanfaatkan, yaitu para tawanan
itu dijatuhi hukuman berat atau dihukum mati agar membikin takut para
pemborontak. Akan tetapi Lee Song Kim minta agar pengadilannya
ditangguhkan, karena menurut dia, tawanan itu tentu akan memancing
datangnya para pimpinan lainnya sehingga merupakan perangkap yang amat
baik. Memang benar para pemberontak berdatangan, akan tetapi mereka tidak
datang ditangkap, bahkan mereka membebaskan para tawanan penting itu!
Ketika dia menerima pelaporan dari Lee Song Kim, hatinya sudah dipenuhi
keraguan, namun sebagai komandan pasukan keamanan, dia harus bertindak.
Dan kini muncul puteri pangeran itu yang membawa berita yang sama sekali
tak pernah diduganya! Kunjungan Ceng Hiang siang itu kepada Panglima Ciong Ti merupakan
siasat yang sudah diaturnya bersama Ci Kong dan Lian Hong. Dua orang
pendekar muda ini dengan penuh ketekunan melakukan penyelidikan dan
membayangi Lee Song Kim, sehingga akhirnya mereka mendengar bahwa
malam nanti Song Kim akan mengadakan pertemuan dengan tokoh tokoh Peklian-pai dan Pat-kwa-pai yang juga mereka bayangi dengan teliti. Berkat ilmu
kepandaian mereka yang tinggi, dua orang pendekar muda ini dapat
melakukan penyelidikan tanpa diketahui oleh mereka yang dibayangi.
Setelah yakin bahwa malam itu Song Kim akan mengadakan pertemuan di
sebuah kuil Agama To yang hanya dipakai sebagai kedok saja oleh para tosu
Pek-lian-pai, Ci Kong dan Lian Hong cepat memberi kabar kepada Ceng Hiang
yang segera mendatangi Jenderal Ciong Ti.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Malam hari itu, sesosok bayangan yang memakai mantel lebar, jalan
mengendap-endap menuju ke kuil yang berdiri di luar kota raja sebelah utara.
Sukar dikenal mukanya, karena orang itu selalu berjalan di tempat-tempat
gelap dan menutupi mukanya dengan sebuah topi lebar. Yang nampak
hanyalah bahwa dia seorang laki-laki memakai mantel hitam yang lebar. Orang
tidak tahu apakah dia itu tua ataukah masih muda, dan bagaimana macam
mukanya. Dia tidak segera memasuki kuil, melainkan lewat di depan kuil,
kemudian kembali lagi dan lewat lagi. Setelah dia merasa yakin benar bahwa
di sekitar kuil sunyi saja tidak nampak seorangpun, baru dia menengok ke
kanan kiri, lalu menyelinap masuk ke dalam kuil itu dengan amat cepatnya.
Sebelum dia, ada dua orang tosu tua memasuki kuil dan karena sebagai
tosu-tosu merupakan hal yang wajar saja memasuki kuil itu, mereka berdua itu
tidak bersikap sebagai orang yang bermantel hitam.
Namun semua peristiwa ini nampak jelas oleh Ciong Goanswe yang sejak
sore tadi telah bersembunyi di tempat aman, agak jauh dari kuil, bersama Ceng
Hiang yang menjemputnya. Ketika dua orang tosu itu lewat, Ceng Hiang
berbisik. "Kenalkah ciangkun kepada dua orang tosu itu?"
Yang ditanya memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi menggeleng
kepala. "Yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut itu adalah Ban Hwa
Seng-jin, tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal sekali. Sedangkan yang tinggi kurus
berjenggot panjang itu adalah Ciok Im Cu, tokoh Pek-lian-pai. Mereka berdua
itu lahai sekali, dan merupakan dua orang tokoh pemberontak yang mempunyai
banyak anak buah dan amat berpengaruh di dalam dua perkumpulan itu."
"Akan tetapi, kenapa tidak ada gambar Teratai Putih dan Pat-kwa pada
baju mereka." "Tentu mereka bersikap hati-hati dan tidak mau menonjolkan diri. Akan
tetapi, aku berani bertaruh bahwa di balik jubah mereka itu tentu tersembunyi
tanda-tanda kedudukan mereka."
"Akan tetapi, mana Lee-ciangkun" Apakah sudah berada di dalam?"
"Ssttt, nanti dulu, dia tentu akan datang," kata Ceng Hiang sambil
memandang ke kiri. Ceng Hiang melihat betapa daun-daun di sebatang pohon besar di tepi
jalan bergoyang-goyang. Itulah isyarat dari Lian Hong agar jangan
mengeluarkan suara berisik. Adapun Ci Kong, tentu kini sedang membayangi
Lee Song Kim, yang menurut rencana persekutuan itu yang sudah dapat
diketahui Lian Hong dan Ci Kong, tentu malam itu akan datang ke kuil.
Munculnya dua orang tosu tadi saja sudah membuktikan kebenaran hasil
penyelidikan mereka. Kemudian muncullah orang bermantel hitam dan bertopi lebar itu. Kembali
ada tanda dan Lian Hong, dan Ceng Hiang segera berbisik.
"Itulah dia orang yang kau tunggu-tunggu, Ciong-goanswe."
Jenderal Ciong terkejut dan memandang penuh perhatian. Akan tetapi
malam sudah gelap dan orang itu hanya lewat saja di depan kuil. Mula-mula
dia merasa curiga dan tidak percaya karena sukar mengenal Lee Song Kim
dalam pakaian hitam dan topi lebar itu, apalagi bayangan itu tidak memasuki
kuil dan terus saja. Akan tetapi tak lama kemudian, bayangan itu datang
kembali, lewat lagi beberapa kali di depan kuil, kemudian menyelinap masuk.
Jantung jenderal itu berdebar penuh ketegangan.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Mari ikut denganku, ciangkun."
Ceng Hiang mengajak dan menarik tangan jenderal itu untuk bangkit
berdiri. "Akan tetapi, Lee-ciangkun memiliki kepandaian tinggi, dan dua orang
tosu itupun tentu lihai sekali. Bagaimana kalau engkau kalah" Biar aku
memanggil dulu sepuluh orang pengawalku," kata sang jenderal.
Dia sendiri bukan orang lemah, namun dia adalah ahli perang, bukan ahli
silat yang terlalu pandai sehingga kalau dibandingkan dengan Lee Song Kim,
dia tentu kalah jauh. "Jangan khawatir, seperti sudah direncanakan, sepuluh orang pengawal
ciangkun itu tentu akan dibawa oleh sahabatku untuk melakukan
pengepungan. Dan aku sendiri bersama dua orang sahabatku cukup untuk
menghadapi mereka bertiga."
"Tapi, siapakah dua orang sahabatmu itu?"
"Seperti sudah kuberitahukan kepadamu, ciangkun. Mereka adalah
pendekar-pendekar yang tidak mau terlibat dalam urusan ini, melainkan hanya
membantuku menghadapi Lee Song Kim dan dua orang tosu lihai itu. Mereka
tidak ingin dikenal oleh orang lain kecuali aku sendiri. Marilah!"
Dengan berindap-indap, mereka berdua menuju ke kuil. Nampak berkelebat
sesosok bayangan mendahului mereka, dan Ceng Hiang tahu bahwa itu adalah


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lian Hong, sedangkan Ci Kong, sesuai dengan rencana, tentu akan menggiring
sepuluh orang pengawal untuk melakukan pengepungan.
Lian Hong bekerja dengan cepat. Seperti telah diselidikinya, ia tahu bahwa
yang menjadi penghuni kuil itu hanyalah dua orang tosu lemah, maka dengan
cepat tanpa mengeluarkan suara, ia telah berhasil menotok dua orang tosu
yang, berjaga di bagian luar sehingga mereka roboh pingsan tanpa sempat
berteriak lagi. Amanlah kini jalan masuk bagi Ceng Hiang dan Ciong Ti.
Lian Hong menyambut mereka di tempat gelap dan memberi tanda dengan
telunjuk menuding ke arah belakang. Ceng Hiang maklum bahwa pertemuan
antara Lee Song Kim dan dua orang tosu itu diadakan di ruangan belakang,
maka sambil menggandeng tangan Jenderal Ciong, ia mengajak pembesar itu
memasuki ruangan tengah menuju ke belakang.
Dengan hati-hati, Ceng Hiang membawa Jenderal Ciong bersembunyi di
balik jendela dan mengintai ke dalam. Mereka bertiga duduk menghadapi dari
kiri. Di bawah sinar lampu yang terang, Ciong Ti mengenal baik wajah pria
bermantel hitam dan bertopi lebar tadi. Kini topinya telah dibuka dan memang
dialah Lee Song Kim. Dan kini dua orang tosu itupun sudah membuka jubah
mereka, dan nampaklah gambar pat-kwa di dada seorang tosu, sedangkan
gambar teratai putih nampak jelas di dada tosu yang kurus.
"Ji-wi totiang (dua orang pendeta berdua), harap jangan ragu-ragu lagi
terhadap diriku. Tentu ji-wi sudah mendengar betapa para pimpinan pejuang
telah dapat dibebaskan. Aku menjadi panglima hanya untuk mengelabuhi
pemerintah Mancu saja! Akan tetapi sayang, teman-teman seperjuangan yang
liar itu rupanya tidak percaya kepadaku, padahal, jebakan yang kuatur untuk
menangkap para pimpinan itupun hanya siasat untuk mengelabuhi para
pejabat tinggi. Apa sukarnya bagiku untuk membebaskan mereka" Sayang,
para pejuang itu berani namun tolol, maka aku memilih untuk bekerja sama
dengan ji-wi totiang saja, karena aku sudah mendengar akan kehebatan gerak
perjuangan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai."
"Kami tidak ragu-ragu dan bukan tidak percaya kepadamu, Lee-ciangkun.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Akan tetapi apa artinya segala janji dan kepercayaan tanpa adanya bukti-bukti
yang meyakinkan" Apa keuntungan kami kalau kami berhubungan dan bekerja
sama denganmu?" kata Ciok Im Cu, tosu Pek-lian-pai itu dengan sikap tenang.
"Tepat sekali! Di jaman ini memang banyak terjadi kecurangankecurangan, oleh karena itu, kami harus dapat memilih kawan yang tepat.
Tanpa bukti, terus terang saja pinto masih belum percaya benar, ciangkun!"
kata Ban Hwa Seng-jin dengan suaranya yang berat.
"Ha-ha-ha, sikap ji-wi totiang ini sudah kuduga sebelumnya. Nah, lihatlah
ini, ji-wi totiang. Dalam catatan ini sudah tercatat semua rahasia kekuatan
pasukan keamanan yang berjaga di kota raja. Bagian-bagian mana yang kuat,
bagian mana yang lemah, dan tempat-tempat penting. Gudang-gudang senjata
bahkan jadwal penjagaan yang dilakukan setiap siang dan malam hari,
sehingga dengan mudah ji-wi akan dapat menentukan waktu penyerbuan yang
amat tepat." Mendengar ini, Ciong Ti tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia
memukul daun jendela dengan tangan kanannya.
"Brakkkkk....!"
Daun jendela itupun jebol.
"Lee Song Kim pengkhianat hina! Menyerahlah untuk kutangkap!"
Bukan main kagetnya Song Kim mendengar bentakan yang amat
dikenalnya itu. Dia lalu cepat mengantungi lagi buku catatan, kemudian
meloncat ke luar melalui pintu. Juga dua orang tosu itu sudah berloncatan
keluar. Akan tetapi setibanya di luar kamar, mereka melihat bahwa mereka
telah dikepung oleh sepuluh orang perajurit pengawal, sedangkan Ciong
Goanswe berdiri bersama Ceng Hiang yang cantik, akan tetapi yang pada saat
itu memandang seperti seekor harimau betina sedang marah.
Melihat bahwa perbuatannya telah dilihat oleh Ciong Goanswe sendiri,
maklumlah Song Kim bahwa tidak akan ada pengampunan baginya dari pihak
pemerintah, maka diapun membentak keras.
"Mampuslah"!" dan pedangnya yang sudah dilolos itu menusuk ke arah
dada Ciong Ti ketika dia menerjang ke depan.
"Tranggg!!" Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Ceng Hiang menangkis tusukan
itu dan menyelamatkan Ciong Goanswe yang cepat mundur di belakang tubuh
para pengawalnya. "Lee Song Kim manusia hina, engkaulah yang akan mampus kalau tidak
menyerah!" bentak Ceng Hiang sambil melintangkan pedangnya di depan
dada. Lee Song Kim marah bukan main, akan tetapi diam-diam diapun merasa
jerih. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu pedang gadis bangsawan itu. Akan
tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah sepuluh orang perajurit pengawal
yang menemani gadis perkasa itu, dan dia bersama dua orang tosu yang lihai,
hatinya menjadi besar. "Ji-wi totiang, kita harus dapat membunuh mereka semua ini!" bentaknya,
dan diapun memutar pedangnya menyerang Ceng Hiang dengan harapan dua
orang tosu itu akan membantunya untuk bersama-sama membunuh semua
orang ini agar rahasia persekutuannya dengan para tosu pemberontak tidak
sampai bocor. Baik Ciok Im Cu maupun Ban Hwa Seng-jin juga maklum, bahwa kalau
mereka tidak dapat membunuh bersama panglima muda yang berkhianat itu,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan rencana mereka yang amat baik akan gagal sama sekali, maka merekapun
cepat menerjang ke depan untuk membantu Song Kim.
Ciok Im Cu mempergunakan kedua tangannya mencengkeram sambil
mengeluarkan gerengan nyaring dan membentak.
"Nona, berlututlah engkau!"
Ceng Hiang sedang menangkis pedang Song Kim. Ia menggunakan
gerakan memutar sehingga pedang lawan terbawa berputaran dan hampir
terlepas dan tangan Song Kim yang terkejut sekali. Akan tetapi pada saat itu,
serangan Ciok Im Cu datang.
Ceng Hiang terkejut bukan main ketika bentakan tosu itu membuat kedua
kakinya seperti mendadak kehilangan tenaga, lemas dan seperti memaksanya
untuk menjatuhkan diri berlutut! Maklumlah ia bahwa kakek berjenggot
panjang itu mempergunakan ilmu sihir, maka iapun mengerahkan tenaga
batinnya dan sambil mengeluarkan lengking panjang, ia melompat ke
belakang. Selain terhindar dari cengkeraman, ia terhindar pula dari pengaruh
sihir yang dilontarkan oleh Ciok Im Cu dalam bentakannya tadi.
Ban Hwa Seng-jin, tokoh Pat-kwa-pai, telah mengeluarkan dua ekor ular
dari saku bajunya. Dua ekor ular yang kini dipegang di kedua tangannya
dengan ekor membelit pergelangan tangannya itu, adalah dua ekor ular berbisa
yang amat berbahaya. Sekali saja terkena gigitannya, dalam waktu beberapa
detik saja, orang yang digigitnya akan mati kejang. Dan keistimewaan tokoh
Pat-kwa-pai ini, selain ilmu silatnya yang tinggi, adalah juga sebagai pawang
ular. Dengan kedua ular di tangannya, dia menyerang lawan dan kalau
pukulannya luput, patukan ular-ularnya lebih berbahaya lagi dari pada kedua
pukulannya. Kini sambil menggeram, kakek gendut tinggi besar itu menyerang
dengan tubrukan, kedua tangannya menyerang dari atas dan bawah. Tentu
saja dua ekor ulamya juga siap sambil mendesis-desis, mengeluarkan bau amis.
Melihat serangan ular berbisa ini, Ceng Hiang memutar pedangnya dan
sinar pedangnya yang bergulung-gulung itu dengan rapat melindungi seluruh
tubuhnya. Tentu saja Ban Hwa Seng-jin tidak berani mengambil resiko terbabat
lengannya atau ular-ularnya dengan menerjang galungan sinar pedang itu. Dia
lalu menahan serangannya dan mengirim tendangan ke arah kaki Ceng Hiang
tanpa takut terbabat pedang, karena kakek ini memiliki kekebalan luar biasa
pada kakinya. Kalau pedang itu terkena tendangannya, bahkan ada bahayanya
akan terlepas dari pegangan pemiliknya.
Namun, Ceng Hiang juga cerdik dan tahu betapa dahsyatnva tendangan
itu, maka iapun melangkah mundur. Dan iapun kini dikeroyok tiga. Biarpun
Ciong Goanswe menganjurkan sepuluh orang pengawalnya untuk membantu
puteri itu, tetap saja mereka tidak dapat maju karena gerakan empat orang
yang sedang berkelahi itu luar biasa cepatnya, sehingga mereka tidak tahu
bagaimana harus terjun ke dalam arena perkelahian.
Setelah menemukan kitab Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus
Bintang), Ceng Hiang kini walaupun dikeroyok tiga, selalu dapat
menghindarkan diri dari setiap serangan dengan langkah-langkah aneh yang
didapatkan dari kitab peninggalan Tat Mo Couwsu itu. Betapapun juga,
menghadapi pengeroyokan tiga orang yang amat lihai itu, tentu saja ia berada
dalam bahaya dan tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya terus
menghindarkan diri, mengandaikan langkah-langkah dan ilmu pedangnya.
Pada saat itu, nampak dua bayangan berkelebat, dan tahu-tahu Ci Kong
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan telah menyerang Ciok Im Cu, sedangkan Lian Hong menyerang Ban Hwa Sengjin. Tadi, dua orang pendekar ini sejenak mengagumi kehebatan langkahlangkah ajaib yang dimainkan Ceng Hiang, kemudian Ci Kong yang khawatir
akan keselamatan gadis bangsawan yang membuatnya tergila-gila itu,
menerjang masuk dan diikuti cepat oleh Lian Hong.
Cjok Im Cu menyambut munculnya Ci Kong dengan pukulan ampuh tangan
kirinya yang terkepal diikuti dorongan tangan kanan yang terbuka dan telapak
tangan kanan itu, mengepul uap, dibarengi bentakan.
"Robohlah, orang muda!"
Namun, Ci Kong adalah gemblengan kakek tua renta Siauw-bin-hud, tentu
saja selain memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat dan tenaga
sinkang yang dahsyat, juga memiliki tenaga batin yang mampu menolak
pengaruh sihir yang dilontarkan Ciok Im Cu tadi. Dia mengerahkan sinkang dan
menyambut serangan kedua tangan lawan itu dengan dorongan yang kokoh
kuat seperti batu karang.
"Desss!" Akibat pertemuan tenaga itu, tubuh Ciok Im Cu terdorong mundur dua
langkah. Tentu saja kakek Pek-lian-pai ini terkejut dan marah sekali. Dia
menggerakkan tangan kiri ke dalam saku jubahnya, dan seuntai tasbeh putih
telah berada di tangan kiri itu. Terdengar suara berkelitikan ketika tasbeh itu
dia gerakkan, suara geseran antara biji-biji tasbeh, akan tetapi dasar seorang
kakek sihir, suara inipun mengandung pengaruh sihir yang ampuh. Suara
berkelitikan itu memasuki telinga lawan dengan suara yang nyaring dan
mendatangkan rasa nyeri, bukan hanya di dalam telinga, bahkan sampai
menembus ke dalam jantung.
Namun, Ci Kong dapat menolaknya dengan kekuatan batinnya sehingga
suara itu tidak mengganggunya. Ketika tasbeh itu berubah menjadi gulungan
sinar putih menyambar ke arah kepalanya, diapun cepat mengelak sambil
melepaskan tendangan dari samping mengarah lambung lawan.
Tosu tinggi kurus itu mampu mengelak, dan ketika tubuhnya ditarik ke
belakang dengan kepala dicondengkan ke depan, tiba-tiba dia menggerakkan
kepalanya dan jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, seperti
ujung kebutan saja menyerang ke arah mata Ci Kong.
Pemuda ini terkejut juga. Tak disangkanya bahwa tosu ini sedemikian
lihainya, bahkan mampu menggunakan jenggot panjang itu sebagai senjata
yang cukup berbahaya. Dia menarik muka ke belakang menghindar dan
merekapun segera terlibat dalam perkelahian yang seru.
Sementara itu, Lian Hong sudah menerjang Ban Hwa Seng-jin dengan
senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kipas yang kedua gagangnya berujung
ranting. Sepasang gagang itu dengan kecepatan kilat menyambar ke arah leher
si tosu gendut yang tadi sedang mengeroyok Ceng Hiang, sehingga Ban Hwa
Seng-jin terkejut bukan main dan cepat dia melangkah mundur untuk
menghindarkan diri. Ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah
seorang gadjs lain yang juga cantik manis, dia cepat mempergunakan tangan
kirinya mencengkeram ke arah dada Lian Hong.
Ular yang melibat pergelangan tangan kirinya juga mengeluarkan suara
mendesis dan menyemburkan uap beracun ke arah gadis itu. Lian Hong tidak
menjadi gugup menghadapi serangan ini, digerakkannya kipasnya, kipas
terbuka dan menyambar ke depan, didahului oleh angin kebutan kipasnya yang
membuat uap yang disemburkan ular itu membalut ke arah muka Ban Hwa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Seng-jin sendiri, dan secepat kilat kipas itu tertutup kembali dan kedua gagang
yang sudah bersatu itu kini menusuk ke arah leher setelah berhasil menghalau
tangan yang hendak mencengkeram tadi dengan totokan.
Kembali Ban Hwa Seng-jin terpaksa harus mengelak karena gerakan kipas
itu sedemikian cepatnya sehingga tidak keburu untuk menghindarkan dengan
tangkisan pula. Dia semakin kaget dan maklum bahwa lawannya ini lihai bukan
main, maka sambil mengeluarkan suara menggereng, diapun mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, dibantu oleh
kedua ekor ularnya, melakukan serangan bertubi-tubi. Namun semua serangan
itu dapat dihindarkan oleh Lian Hong yang juga membalas dengan tidak kalah
dahsyatnya. Dua orang inipun segera terlibat dalam perkelahian yang matimatian.
Sementara itu, melihat munculnya Ci Kong dan Lian Hong, tentu saja Lee
Song Kim terkejut bukan main. Hatinya merasa gentar sekali, karena dia
maklum siapa adanya dua orang pendekar itu yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, tidak kalah olehnya, apalagi Ci Kong. Celaka, pikirnya, dengan
munculnya dua orang pendekar itu, biar dia dibantu oleh dua orang tosu,
akhirnya dia dan teman-temannya akan kalah juga. Dan kalau dia tertangkap
oleh Jenderal Ciong Ti, tentu dia akan dihukum sebagal seorang pengkhianat
dan pemberontak. Maka tanpa banyak membuang waktu lagi, dia lalu meloncat
ke belakang pada saat Ceng Hiang masih belum menyerangnya, karena tadi
gadis ini didesak oleh pengeroyokan tiga orang lawan.
Melihat Song Kim, orang yang menyebabkan ditangkapnya ayahnya itu
meloncat dan lari, Ceng Hiang terkejut.
"Keparat, mau lari kemana kau?" bentaknya.
"Kejar dan tangkap dia!!"
Ciong Goanswe juga berteriak, dan sepuluh orang pengawalnya sudah
berloncatan dan lari mengejar. Mereka inilah yang mengganggu pengejaran
Ceng Hiang. Karena sepuluh orang itu mengejar lebih dahulu, kecepatan Cong
Hiang menjadi terhalang oleh mereka yang mengejar kalang kabut itu, dan
ketika dia akhirnya keluar dan dalam kuil, Song Kim sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Ceng Hiang mencoba untuk mengejar dan mencari-cari, namun tidak
berhasil sehingga gadis ini merasa marah, penasaran dan menyesal sekali. Ia
segera kembali ke dalam kuil, dan ternyata perkelahian telah berhenti. Dua
orang tosu itu telah roboh terluka dan ditangkap.
Ketika mendengar bahwa Song Kim dapat lolos, Jenderal Ciong Ti juga
merasa kecewa dan penasaran, demikian pula Ci Kong dan Lian Hong. Akan
tetapi dengan adanya dua orang tosu itu sebagai saksi akan pengkhianatan
dan pemberontakan Lee Song Kim, Jenderal dong Ti berani mengeluarkan dan
membebaskan Pangeran Cong Tiu Ong, karena memang pelapornya ternyata
malah menjadi pengkhianat dan pelaporan itu hanya berdasarkan dendam dan
usaha mengadu domba. Pangeran Ceng Tiu Ong dibebaskan disertai pernyataan maaf dari Ciong Ti
Goanswe. Lian Hong dan Ci Kong ikut pula menjemput Pangeran Ceng Tiu Ong
yang dibebaskan dari di dalam gedung pangeran itu. Keluarga Ceng
mengadakan perayaan untuk bergembira menyambut pembebasan pangeran
itu. Yang hadir hanya anggauta keluarga, yang ikut bergembira hanya
anggauta keluarga dan para pelayan, akan tetapi dua orang tamu itu, Ci Kong
dan Lian Hong, dianggap sebagai tamu agung bahkan anggauta keluarga
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sendiri, dan mereka berdua ikut pula dalam pesta keluarga ini.
Dalam kesempatan ini, Ceng Hiang menceritakan kepada ayahnya dan
keluarganya tentang jasa dua orang tamu itu yang berhasil membebaskan
ayahnya. "Kalau tidak ada mereka, ayah, sukarlah membebaskan ayah. Mereka ini.
Tan Ci Kong toako, dan adik Siauw Lian Hong, adalah dua orang pendekar
perkasa" Pangeran Ceng Tiu Ong mengangguk-angguk dan mengucapkan terima
kasih kepada dua pendekar muda itu.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah mendengar dari jenderal Ciong ketika dia membebaskan aku,"
katanya. "Memang ada usaha dan Yu Kiang yang menghubungi menteri, dan
menteri sudah mendesak Jenderal Ciong yang masih terhitung saudara misan
Menteri. Akan tetapi, menurut Jenderal Cong, dia tidak atau belum berani
mengambil keputusan untuk membebaskan aku. Baru setelah terbukti akan
pengkhianatan dan pemberontakan Lee Song Kim, jenderal itu berani dan
bertanggung jawab untuk membebaskan aku. Oya, mana Yu Kiang" Kenapa dia
tidak diundang datang?"
Kedua pipi Ceng Hiang agak kemerahan ketika ditanya tentang orang yang
bernama Yu Kiang itu oleh ayahnya.
"Dia berpamit umuk pergi menemui Menteri dan menghaturkan terima
kasihnya, ayah. Beberapa hari lagi temu dia akan datang."
Ci Kong dan Lian Hong tidak mencampuri percakapari mereka. Sebetulnya,
Lian Hong sudah ingin pergi meninggalkan gedung pangeran itu, namun Ci
Kong membujuknya untuk menerima undangan Ceng Hiang, selain untuk
menyambut pulangnya ayahnya dari tahanan, juga untuk tinggal selama
beberapa hari di dalam rumah gedungnya.
"Kalau kalian tidak ingin memenuhi permintaanku kali ini, kapan lagi aku
akan dapat berkumpul" Berjumpapun akan sukar agaknya dengan kalian.
Karena itu, dalam kesempatan ini biarkanlah aku bergaul dengan kalian, untuk
menyatakan rasa syukur dan terima kasih kami."
Demikian antara lain Ceng Hiang membujuk. Biarpun demikian, andaikata
tidak ada Ci Kong yang segera menerima undangan itu, tentu Lian Hong akan
memaksa diri pergi atau paling lama tinggal semalam saja di rumah gedung
yang megah itu. Betapapun juga, Lian Hong tidak merasa menyesal telah
menerima undangan Ceng Hiang, karena ia merasa menjadi tamu terhormat,
tinggal di kamar yang mewah bersama sahabat barunya itu, setiap hari
menikmati hidangan yang serba lezat dan mahal.
Keluarga Ceng, walaupun keluarga bangsawan, ternyata tidak tinggi hati
dan semua ramah kepadanya, terutama sekali Ceng Hiang dan Pangeran Ceng
Tiu Ong. Dan yang lebih dari semua itu, ia tinggal di dalam gedung itu bersama
Ci Kong! Andaikata tidak ada Ci Kong di situ, ia masih sangsi apakah ia akan
betah tinggal lama-lama di tempat yang indah mewah itu.
"Ceng lihiap..."
Ceng Hiang sedang melamun di atas bangku di dalam tamannya itu. Ia
melamun tentang Ci Kong. Semenjak bertemu dengan pemuda itu, apalagi
pertemuan terakhir ini ketika pemuda itu bersama Lian Hong membantunya
dan berhasil membebaskan ayahnya, bayangan pemuda itu selalu
mengganggunya. Pandang mata Ci Kong kepadanya, bicaranya, sikapnya, jelas
sekali membayangkan gairah cinta! Ia tidak salah duga. Ia melihat jelas betapa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ci Kong jatuh cinta padanya. Dan ia sendiri"
Ah, ia tertarik sekali kepada Ci Kong. Gadis mana yang takkan kagum
kepada pemuda itu" Selain memiliki wajah yang tampan, bentuk tubuh yang
gagah, sikap yang ramah dan sopan, juga pemuda itu adalah seorang pendekar
sakti yang rendah hati dan budiman. Seorang pendekar, murid terpandai dari
Siauw-lim-pai yang mengagumkan. Betapa akan mudahnya mengaku cinta
kepada pemuda seperti itu!
Selamanya ia sendiri belum pernah jatuh cinta, akan tetapi sudah banyak
melihat pandang mata laki-laki penuh gairah cinta ditujukan kepadanya.
Namun, baru sekaranglah pandang mata laki-laki seperti itu membuat ia
termenung. Ci Kong cinta padanya, dan ia"
"Ceng lihiap..."
Ceng Hiang sadar dan lamunannya. Tadipun ia sudah mendengar suara itu,
akan tetapi suara itu memasuki lamunannya dan seolah-olah menjadi bagian
dan lamunannya. Kini ia tersadar dan menengok. Dua pasang mata bertemu
pandang. Matahari sudah turun ke barat, namun cahayanya yang redup masih
menerangi taman itu. "Aih, Tan-toako...!" serunya sambil bangkit berdiri, namun jantungnya
berdebar tegang. la sedang melamun tentang pemuda ini, dan tahu-tahu pemuda ini muncul
di dalam taman itu, sandirian saja! Dan pandang matanya itu, begitu penuh
dengan pancaran cinta kasih sehingga diam-diam ia merasa terharu dan
tegang. Namun Ceng Hiang menekan persaannya dan tersenyum ramah.
"Aih, Tan-toako, engkau mengejutkan hatiku saja. Kenapa masih menyebut
lihiap padaku" Bukankah kita ini sudah menjadi sahahat baik, seperti kakak
dengan adik saja" "Maaf, aku merasa janggal kalau harus menyebut adik. Kurasa sepantasnya
aku menyebut lihiap atau siocia. Engkau engkau terlalu tinggi untukku."
"Ah, jangan berkata demikian, toako. Aku tidak merasa lebih tinggi atau
engkau lebih rendah. Bagaimana aku bisa memandang rendah kepadamu,
engkau yang sudah menolong keluarga kami dari malapetaka" Engkau sudah
menyelamatkan kami, mungkin nyawa ayah..."
Dengan suara gemetar Ci Kong berkata.
"Demi engkau, aku rela berkorban nyawa sekalipun."
Sudah lama Ci Kong menanti-nanti kesempatan untuk mengucapkan
kalimat ini. Dan kini kesempatan itu tiba, maka dia mengucapkannya dengan
suara menggetar, dan Ceng Hiang mendengarkan dengan hati terharu. Ia tidak
merasa terkejut maupun heran, karena ia sudah dapat menduga akan isi hati
pemuda ini. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda ini sakarang akan
berterus terang tentang perasaannya.
"Aihh, sudahlah, toako. Aku sudah tahu akan kemuliaan hatimu. Engkau
seorang pendekar budiman yang akan merelakan nyawa demi membela
kebenaran dan keadilan, dan mengulurkan tangan untuk menolong siapa saja.
Nah, sekarang katakan. Hanya kebetulan saja engkau memasuki taman ini
untuk menikmati bunga, ataukah ada keperluan lain dengan aku?"
"Maaf kalau aku mengganggumu. Terus terang saja, aku sudah menunggununggu kesempatan ini, untuk dapat bicara berdua saja denganmu."
Ceng Hiang masih berpura-pura tidak tahu.
"Aih, engkau aneh, Tan-toako. Bicara berdua saja denganku" Wah, ada
rahasia apakah ini" Mari duduk, dan bicaralah."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ceng Hiang sebetulnya merasa tegang hatinya dan kedua kakinya agak
menggigil, maka iapun menjatuhkan diri duduk kembali di atas bangku. Ci
Kong tidak duduk, melainkan berdiri di depannya. Jantung di dalam dada
pemuda ini berdebar keras, wajahnya menjadi agak pucat akan tetapi dia
memaksa diri, mengisi hatinya dengan keberanian yang dianggapnya nekat,
dan diapun berkata, suaranya lirih dan agak gemetar.
"Maaf, Ceng-lihiap" terus terang saja, sejak pertemuan kita yang pertama
kali dahulu itu, lalu disambung pertemuan berikutnya, aku seperti tergila-gila
kepadamu. Wajahmu yang cantik, suaramu, gerak-gerikmu, semua terbayang
di depan mata setiap saat, sukar bagiku untuk melupakannya. Ahh, bisa gila
aku kalau perasaan ini terus kutahan-tahan, karena itu... melihat kesempatan
ini, biarlah aku berterus terang saja. Aku... akucinta padamu, lihiap..."
Suasana menjadi hening sekali setelah Ci Kong berhenti bicara. Pemuda itu
masih berdiri di depan gadis itu, menunduk dan memandang wajah itu dengan
sinar mata penuh harap, namun juga penuh kegelisahan, karena baginya
agaknya tidak mungkin puteri pangeran itu dapat cinta kepada semang miskin
seperti dia. Sementara itu, sejenak Ceng Hiang memandang wajah pemuda itu.
Pernyataan cinta yang terang-terangan itu sebenarnya tidak mengejutkan
hatinya, namun setelah diucapkan oleh Ci Kong, dara ini menjadi lemas dan
bingung juga. Ia lalu menundukkan mukanya, bahkan menutupi muka itu
dengan kedua tangannya untuk menenangkan hatinya. Gerakan ini diterima
salah oleh Ci Kong. "Ceng-lihiap" kalau kata-kataku menyinggungmu, maafkan aku"
memang tidak pantas bagi seorang rendah seperti aku berani menyatakan
cinta kepada seorang siocia sepertimu..."
"Tidak! Jangan kau berkata begitu, toako!"
Ceng Hiang bangkit berdiri dan karena Ci Kong berdiri di depannya, ketika
ia bangkit berdiri, mereka berdiri berdekatan sekali. Sejenak keduanya seperti
terpesona oleh keadaan ini, demikian berdekatan sehingga mereka dapat
mencium bau badan masing-masing.
Seperti didorong oleh sesuatu, Ci Kong mengulur kedua lengannya dan
tahu-tahu Ceng Hiang telah berada di dalam rangkulannya! Akan tetapi hanya
sebentar saja Ceng Hiang membiarkan dirinya hanyut oleh perasaannya,
terbuai oleh alunan perasaan. Ia segera dengan lembut melepaskan rangkulan
Ci Kong dan menjauh sampai tiga langkah, kemudian ia mengangkat muka
memandang wajah pemuda itu.
"Tan-toako, selama ini engkau kuanggap sebagai seorang sahabat yang
teramat baik, dan aku suka kepadamu, kagum kepadamu sebagai seorang
pendekar yang budiman dan berilmu tinggi. Akan tetapi tentang cinta" Ah, aku
tidak tahu, toako. Pernyataanmu begitu tiba-tiba sehingga membingungkan
hati." "Maafkan aku, seperti kukatakan tadi, aku dapat menjadi gila kalau terusmenerus menahan perasaan tanpa kunyatakan. Sekarang hatiku sudah lega,
lihiap. Kalau engkau menerima cintaku dan membalasnya, aku akan menjadi
seorang manusia yang paling berbahagia di dunia ini. Andaikata sebaliknya,
andaikan engkau tidak menerimanya dan tidak ada perasaan cinta kepadaku,
akupun tidak akan sakit hati, tidak akan menyalahkanmu, karena hal itu adalah
wajar saja. Nah, aku mohon diri dan maafkan sebesarnya, lihiap. Aku hanya
akan menanti, menanti keputusanmu seperti ladang yang kekeringan menanti
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan turunnya hujan. Malam ini telah terlaksana apa yang kurasakan selama ini,
hatiku terasa lega, dadaku terasa lapang, aku minta diri untuk berada di luar
gedung semalam ini. Selamat sore, lihiap."
Ci Kong lalu membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari taman itu,
dadanya memang serasa lapang setelah dia menyatakan cintanya, seolah-olah
beban yang terangkat dan dalam dadanya. Dia tidak tahu betapa Ceng Hiang
tetap duduk melamun di dalam tamannya setelanya pergi. Ceng Hiang duduk
seperti tadi sebelum Ci Kong datang, akan tetapi kini wajahnya nampak agak
muram. Terjadi perang di dalam batinnya. Harus diakuinya bahwa tadi hampir
saja ia tenggelam. Ia sudah hanyut dan betapa indahnya menempuh kehidupan
ini selanjutnya berdua dengan seorang pria seperti Ci Kong! Betapa mudahnya
melepaskan segala penghalang dan menjatuhkan diri dalam pelukan Ci Kong,
membiarkan diri dan hati mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sudah hampir dua
tahun ia telah dijodohkan, walaupun belum diterimanya secara resmi, dengan
putera seorang pembesar tinggi, seorang pemuda bangsawan yang
sebenarnya harus diakui cukup baik.
Yu Kiang, demikian nama pria itu, adalah seorang pemuda yang usianya
kurang lebih dua puluh lima tahun. Seorang pemuda yang terpelajar tinggi,
pandai dalam utusan kenegaraan, halus budi pekertinya, berbudi dan adil
seperti ayahnya. Seorang pemuda pilihan. Ia belum pernah menyatakan
persetujuannya, namun iapun belum pernah menolak kehendak ayahnya dalam
pilihan calon mantu bagi ayahnya ini. Dan sikap Yu Kiang amat baik, tak pernah
terlalu mendesak, menanti dengan penuh kesabaran dalam cintanya.
Hubungan Yu Kiang dengan keluarga Ceng amat akrabnya, dan dia sering
kali datang berkunju ng. Namun sikapnya terhadap Ceng Hiang selalu sopan,
seperti seorang sahabat lama yang baik. Dan harus diakuinya bahwa Ceng
Hiang banyak mendapat penambahan pengetahuan dari Yu Kiang. Hanya
dalam hal ilmu silat sajalah Ceng Hang menang, dan pemuda itu yang hanya
menganggap ilmu silat sebagai olah raga belaka. Namun dalam hal lain, dalam
pengetahuan umum, Ceng Hiang boleh menjadi muridnya!
Dan kini muncul Ci Kong. Biarpun ayahnya juga amat kagum kepada Ci
Kong, namun ia merasa yakin bahwa ayahnya pasti takkan setuju kalau ia
memutuskan hubungan dengan Yu Kiang lalu menerima cinta Ci Kong,
menerima pemuda itu untuk menjadi calon suaminya.
Tiba-tiba ia mendengar suara gerakan di belakangnya. Sebagai seorang
ahli silat kelas tinggi, Ceng Hiang dapat melompat ke depan sambil memutar
tubuh untuk melihat siapa yang muncul secara mencurigakan di belakangnya
itu. Dan ternyata yang muncul adalah Lian Hong. Akan tetapi hampir tidak
mengenal lagi gadis itu. Muka gadis itu pucat, rambutnya kusut, bekas-bekas
air mata nampak jelas di kedua pipinya, matanya agak merah dan
membengkak. Dan yang lebih mengejutkan hati Ceng Hiang adalah sebuah kipas yang
berada di tangan gadis itu. Kipas itu bagi wanita lain mungkin merupakan
kipas penghias diri atau pengusir kegerahan, namun bagi Lian Hong
merupakan senjata istimewa dan bukan main ampuhnya. Lian Hong bekas
menangis dan kini memegang senjata menghadapinya!
"Adik Lian Hong"!" tegurnya, masih dicekam kekagetan dan keheranan.
"Dari manakah engkau dan apa yang telah terjadi?"
"Ceng Hiang, buang saja semua sikap manismu itu!"
Tiba-tiba Lian Hong membentak, wajahnya yang nampak pucat, kini
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berikah merah dan ia menggerakkan kipasnya.
"Dan cabut pedangmu itu. Aku tidak biasa menyerang lawan yang tidak
bersiap!" "Lian Hong...! Gilakah engkau....?"
Ceng Hiang kembali menegur, kini alisnya berkerut dan matanya menatap
tajam, khawatir karena jangan-jangan Lian Hong terserang penyakit gila.
"Cukup! Pergunakan pedangmu atau aku akan membunuhmu begini saja!"
Dan kini Lian Hong mengirim serangan dengan kipasnya yang menotok ke
arah pundak Ceng Hiang. Melihat betapa serangan itu bersungguh-sungguh
dan bukan main berbahaya, Ceng Hiang melempar tubuh ke belakang
membuat pok-sai (salto) sampai susun tiga kali dan barulah ia terhindar dari
ancaman maut. Wajahnya menjadi agak pucat karena serangan tadi benarbenar amat berbahaya.
"Lian Hong, sadarlah! Aku Ceng Hiang, encimu, sahabatmu, dan engkau
adalah sahabat baik dan tamu agung kami!"
Ia mengingatkan karena masih menyangka bahwa Lian Hong tiba-tiba
menjadi miring otaknya. "Engkau Ceng Hiang, puteri seorang pangeran yang cantik jelita, akan
tetapi menggunakan kecantikannya untuk memikat laki-laki!"
Tiba-tiba Lian Hong menyerang lagi, kini lebih hebat lagi. Angin bertiup ke
arah muka Ceng Hiang, dan kalau gadis ini berkedip, mungkin saja serangan
susulan akan mencabut nyawanya. Namun Ceng Hiang kini menjadi terkejut
bukan main mendengar ucapan Lian Hong, dan tahulah ia apa yang
menyebabkan Lian Hong menjadi seperti gila ini!
Gadis ini cemburu! Ah, mengapa ia begitu bodoh" Gadis ini mencinta Ci
Kong, dan agaknya tadi melihat dan sudah duga ia mengira bahwa ia
bercintaan dengan Ci Kong, berpacaran di dalam laman itu! Cepat ia meloncat
sambil mencabut pedangnya dan menggunakan pedang menangkis beberapa
kali karena gagang kipas itu menyerang bertubi-tubi.
"Trang-trang-cringgg!"
Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu berulang kali, namun
Ceng Hiang berhasil menghalau semua tusukan yang merupakan serangkaian
serangan itu. "Heiii, nanti dulu, Lian Hong!"
Ceng Hiang berseru, penuh penasaran.
"Engkau salah sangka!"
Akan tetapi, Lian Hong sedang marah sekali. Kemarahan membuat semua
pertimbangan menjadi miring, bahkan berantakan sama sekali.
"Aku melihat dengan mataku sendiri. Tak perlu kau menyangkal. Ataukah,
engkau hanya seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan
perbuatannya?" Lian Hong menyerang lagi dan kembali ia mengerahkan seluruh tenaga dan
mempergunakan jurus yang paling ampuh. Lian Hong adalah murid terkasih
dan Bu-eng San-Kai atau yang berjuluk San-tok yang sakti. Gadis ini telah
menerima ilmu-ilmu yang paling hebat dari San-tok, dan selain ilmu silat kipas
yang amat tangguh, juga ia telah memiliki ginkang luar biasa yang membuat ia
bergerak seperti terbang dan memiliki pula tenaga sinkang yang amat kuat.
Kini dalam keadaan marah dan mata gelap, apalagi ia memegang senjata
utamanya yaitu kipas, tentu saja serangannya berbahaya bukan main.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

infotik.net Tidak Diperjualbelikan PEDANG NAGA KEMALA ( GIOK LIONG KIAM ) Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Ceng Hiang adalah seorang gadis yang berhati lembut. Akan tetapi, iapun
telah terdidik untuk menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa
walaupun keadaan imi hanya menjadi dasar wataknya saja, sedangkan
kehidupannya tetap sebagai seorang puteri bangsawan. Ia amat sayang
kepada Lian Hong dan maklum bahwa gadis ini marah-marah seperti orang gila
karena cemburu. Akan tetapi, mendengar dirinya dianggap seorang pengecut,
mukanya berubah merah. Pantang bagi seorang gagah untuk disangka
pengecut. Melihat keganasan serangan Lian Hong, ia berloncatan mengelak sambil
memainkan Pek-seng Sin-pouw. Dengan langkah langkah ajaibnya ini, ia
menghindarkan diri dan semua serangan, akan tetapi Lian Hong tak boleh
disamakan dengan lawan lain. Gadis ini amat lihai dan cerdik sehingga tak
mungkin bagi Ceng Hiang kalau hanya menghadapi amukan Lian Hong itu
dengan pengelakan melalui langkah-langkah Pek-seng Sin-pouw saja. Ia
terdesak hebat dan beberapa kali nyaris terkena tusukan gagang kipas, maka
terpaksa Ceng Hiang lalu menggunakan pedangnya lagi.
Terdengar bunyi berdesing dan nampak sinar berkilat ketika ia memainkan
pedangnya, akan tetapi begitu menangkis kipas yang menimbulkan suara
berdenting nyaring dan keduanya terdorong mundur oleh kekuatan masingmasing, Ceng Hiang masih membujuk lagi.
"Adik Lian Hong, marilah kita bicarakan masalah ini sebelum senjata kita
mengambil korban di antara kita!"
Akan tetapi Lian Hong sudah terlalu marah.
"Kalau bukan engkau, tentu aku yang menggeletak tak bernyawa malam
ini!" bentaknya, dan iapun menyerang lagi, tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk banyak bicara lagi.
Mereka kini berkelahi dengan seru, walaupun pihak Lian Hong lebih
banyak menyerang, sedangkan Ceng Hiang lebih banyak mengelak dan
menangkis, dan kalau kadang-kadang ia balas menyerang, itu hanya untuk
membendung gelombang serangan yang dilakukan oleh Lian Hong dalam
keadaan marah itu. Suara senjata mereka yang sering saling bertemu itu
mengeluarkan suara nyaring berdentingan.
Cemburu adalah suatu dorongan perasaan yang amat berbahaya, baik bagi
orang lain, terutama sekali bagi diri sendiri. Cemburu menggelapkan pikiran,
melenyapkan kesadaran, menimbulkan dendam, sakit hati dan kebencian.
Cemburu dapat membuat seorang manusia berubah kejam penuh dengan
kebencian. Cinta asmara antara pria dan wanita tak mungkin sepihak, harus datang
dari kedua pihak. Dan kalau orang yang kita cinta itu kemudian menoleh
kepada orang lain, hal itu berani bahwa ia tidak cinta sesungguhnya kepada
kita! Padahal, didalam cinta tercakup kesetiaan, dalam arti kata tidak mau
menyakiti hati orang yang kita cinta, kemesraan, dan selalu ada dorongan
untuk menyenangkan dan membahagiakan hati orang yang kita cinta. Dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kalau sudah terdapat kenyataan bahwa orang yang kita cinta itu menoleh
kepada orang lain, berarti tidak cinta kepada kita, apa gunanya timbul cemburu
yang mendatangkan kebencian"
Kalau kita benar-benar mencinta, kita tidak mengharapkan apa-apa lagi!
Cinta kasih yang murni tidak mendatangkan cemburu, tidak memperbesar si
aku, tidak mengejar kesenangan belaka, tidak ingin memiliki atau dimiliki
dengan arti kata mengikat, tidak ingin mengekang orang yang kita cinta.
Cinta kasih adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan berubah menjadi
kesenangan kalau sudah mengikat. Dan kesenangan ini hanya merupakan
wajah lain saja dari kesusahan. Suka-duka tak terpisahkan.
Lian Hong dimabok cemburu. Tadi, tanpa disengajanya, ia melihat adegan
di dalam taman antara Ceng Hiang dan Ci Kong. Sayang bahwa ia tidak melihat
atau mendengar seluruhnya dari pertemuan antara kedua orang muda itu.
Bahkan ia datang tepat pada saat Ci Kong merangkul Ceng Hiang! Melihat
betapa pemuda yang selama ini dicintanya setengah mati itu kini merangkul
Ceng Hiang, hatinya seperti dibakar rasanya. Hampir ia terhuyung roboh, akan
tetapi dengan air mata bercucuran, Lian Hong menahan perasaannya dan
segera pergi meninggalkan taman itu untuk dapat menangis di tempat sunyi
dan tidak ketahuan oleh orang lain. Di tempat sunyi inilah, sambil menangis,
ia membayangkan kehancuran hidupnya, kemusnahan harapannya, seolaholah ia melihat istana yang dibangunnya di dalam lamunan dan mimpi, dimana
ia hidup berbahagia bersama Ci Kong untuk selamanya, tiba-tiba dihancurkan
dan yang menghancurkan itu adalah Ceng Hiang! Timbul kemarahan dan
kebenciannya terhadap Ceng Hiang, sehingga ia mengambil keputusan untuk
mengadu nyawa saja dengan Ceng Hiang!
Melihat betapa Lian Hong menyerangnya semakin ganas dan nekat seolaholah gadis itu sudah mengambil keputusan untuk membunuh atau dibunuh
dalam perkelahian itu, Ceng Hiang menjadi penasaran juga. Berkali-kali ia
minta kepada Lian Hong untuk bicara, namun gadis itu sama sekali tidak
pernah menghiraukannya! Akhirnya Ceng Hiang kehilangan kesabarannya. Ia
telah sejak tadi mengalah, sudah lebih dan lima puluh jurus Lian Hong
menyerangnya dan ia tidak pernah membalas dengan serangan maut.
"Baiklah!" ia membentak.
"Engkau telah kehilangan kejernihan pikiranmu, Lian Hong! Engkau buta
oleh cemburu dan hendak membunuhku. Aku berhak membela diri karena tidak
bersalah!" Kini Ceng Hiang memutar pedangnya dengan cepat dan mem balas dengan
serangan yang gencar. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung,
seperti seekor naga bermain di angkasa. Lian Hong tidak menjadi gentar dan
iapun mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu-ilmunya.
Terjadilah perkelahian yang lebih hebat lagi antara dua orang gadis
perkasa itu. Kedua orang gadis itu memang memiliki bakat yang seimbang, dan
merekapun menerima gemblengan dalam waktu yang sama lamanya. Hanya
bedanya, kalau Lian Hong menerima pelajaran ilmu-ilmu bela diri dari seorang
datuk sesat, seorang di antara Empat Racun Dunia, sebaliknya Ceng Hiang
mewarisi ilmu-ilmu yang murni dari keluarga Pulau Es.
Bagi orang-orang yang baru setengah matang mempelajari ilmu silat, tentu
saja ilmu silat dari kaum sesat lebih unggul, karena di dalamnya terkandung
gerakan-gerakan keji dan penuh tipu muslihat, pukulan-pukulan yang curang,
bahkan penggunaan alat-alat rahasia atau kadang-kadang alat beracun. Akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tetapi, bagi mereka yang sudah memiliki ilmu silat tinggi dan mendalam seperti
halnya Lian Hong dan Ceng Hiang, akhirnya pemilik ilmu silat yang murnilah
yang unggul. Demikianlah, akhirnya kini Ceng Hiang dapat mendesak Lian Hong dengan
pedangnya. Apalagi semenjak gadis bangsawan ini mewarisi kitab Ilmu Pekseng Sin-pouw dan kumpulan kitab kuno ciptaan Tat Mo Couwsu, kelihaiannya
meningkat, dan setelah mendesak lawan sampai belasan jurus, akhirnya
pedangnya berhasil merobek kipas di tangan Lian Hong menjadi dua dan
sekaligus melukai lengan kiri gadis itu.
Lian Hong mengeluh, kipasnya yang sudah pecah menjadi dua terlepas dan
ia memandang lengannya yang berdarah. Hal ini bukan membuat ia menjadi
jerih, bahkan ia semakin marah.
"Bagus, bunuhlah aku kalau kau mampu!" bentaknya, dan ia sudah siap
untuk menyerang lagi dengan kedua tangan kosong.
Akan tetapi, Ceng Hiang sudah merasa menyesal bukan main karena
melukai lengan Lian Hong. Gadis perkasa itu adalah seorang di antara para
penolongnya, yang telah membantunya membebaskan ayahnya, dan kini ia
malah melukai penolongnya itu. Ia lalu menyimpan pedangnya dan sambil
berdiri lunglai, ia berkata.
"Adik Lian Hong, aku menyesal sekali telah melukaimu. Kalau memang
engkau akan merasa lega jika membunuhku, nah, silahkan. Biarlah aku balas
budimu yang telah menolong ayahku dengan nyawaku. Nah, kau pukullah dan
bunuhlah aku. Aku tidak akan melawan lagi."
Lian Hong yang tadi marah sekali, dan sudah siap untuk menyerang
dengan kedua tangan kosong, seketika memandang lemas. Biarpun sejak kecil
ia berguru kepada seorang datuk sesat, namun ia sama sekali tidak pernah
mewarisi watak jahat gurunya. Sebaliknya, dalam dirinya berkobar api dan
semangat kepahlawanan, dan ia menjadi seorang gadis gagah perkasa yang
menjunjung tinggi kegagahan.
Kini melihat lawannya berdiri lunglai dan tidak mau melawan, dengan
sendirinya iapun menjadi lemas. Mana mungkin ia menyerang dan membunuh
orang yang tidak mau melawannya"
"Kau" kau mempergunakan kecantikan dan kepandaian dan kekayaanmu
untuk memikat hati Ci Kong...!"
Lian Hong berkata, terengah-engah karena perkelahian tadi telah
menguras tenaganya, apalagi kini hatinya penuh ketegangan. Ceng Hiang
mengerutkan alisnya. "Adikku yang baik, engkau boleh jadi melihat pertemuan kami tadi di sini,
akan tetapi engkau salah sangka. Aku tidak memikatnya, aku tidak
merampasnya darimu. Kalau tadi Ci Kong merangkulku, itu hanya karena
dorongan perasaan hatinya. Akan tetapi aku segera melepaskan diri. Salahkah
aku kalau dia jatuh cinta kepadaku, adikku" Akan tetapi, aku tidak
merampasnya." Lian Hong memancianig wajah itu, mukanya berubah pucat.
"Akan tetapi... kau... kau juga mencintanya, bukan?"
Ceng Hiang tersenyum sedih. Ia tahu bahwa kalau ia mengaku cinta, berarti
ia akan menghancurkan hati Liang Hong, dan ia sendiripun belum yakin,
apakah ia mencinta Ci Kong ataukah hanya suka dan kagum saja. Ia lalu
menggeleng kepala dan suaranya mengandung kesungguhan hatinya ketika ia
berkata. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Ci Kong juga menanyakan hal itu, dan jawabanku kepadanya adalah
bahwa aku memang suka dan kagum kepadanya, sebagai seorang sahabat.
Akan tetapi cinta" Ahhh, terlalu pagi untuk bicara tentang cinta. Tidak, adik
Lian Hong, aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya! Aku yakin engkau
cukup gagah dan bijaksana untuk dapat melihat kenyataan dan tidak
sembarangan menyalahkan aku. Bukan salahku kalau ada orang-orang
mencintaku, bukan" Akan tetapi, kalau engkau memang sudah buta oleh
cemburu dan hendak membunuhku, silahkan, aku takkan melawan."
Tiba-tiba Lian Hong menangis dan menubruk Ceng Hiang. Ia telah sadar
kembali dan ia merasa menyesal bukan main. Ia menangis sesenggukan di
pundak Ceng Hiang yang merangkulnya, dan kedua mata gadis bangsawan
inipun menjadi basah oleh air mata keharuan.
"Enci Hiang, maafkan aku" oohhh... maafkan aku. Ah, kenapa tadi engkau
tidak membunuhku saja!"
Lian Hong menangis tersedu-sedu. Baru sekali ini gadis yang keras hati ini
menangis, perasaan hatinya seperti tersayat-sayat.
"Sudahlah, adikku, aku mengerti perasaanmu...! Sungguh heran, kenapa
Tan-toako berani bersikap seperti itu" Benarkah di samping kegagahan dan
segala sifatnya yang amat kukagumi itu, terdapat sitat mata keranjang
sehingga dia setelah menjadi kekasihmu, masih berani mengaku cinta
kepadaku?" "Tidak... tidak" jangan salah sangka, enci. Dia" dia bukan kekasihku"
maksudku, kami belum pernah saling mengaku cinta."
"Ahhh?" Ceng Hiang terbelalak. "Jadi maksudmu... engkau hanya mencintanya secara diam-diam?"
Lian Hong mengangguk. "Dan kalian belum pernah bicara tentang cinta kalian?"
Ceng Hiang bertanya. "Belum pernah, walaupun tadinya aku mengira diapun cinta kepadaku.
Tapi ternyata dia cinta kepadamu, enci. Aku bersalah kepadamu, aku telah
memakimu, menyerangmu kau maafkan aku, enci" semua ini karena aku"
aku menjadi seperti gila karena cintaku kepadanya. Maafkan aku?"
Ceng Hiang menciuim pipi yang basah itu.
"Tidak mengapa, adikku. Mari kubalut dan kuobati lukamu. Akulah yang
minta maaf telah merusak kipasnu dan melukai lenganmu..."
Lian Hong menarik dirinya dan memandang dengan mata merah dan basah.
"Tidak, enci. Semua ini salahku, dan engkau tidak bersalah andai kata
engkau tadi membunuhku. Sekarang selamat tinggal, enci" biarkan aku
sendiri dalam kehampaan hidupku...!"
Lian Hong lalu meloncat dan menghilang ke dalam kegelapan.
"Adik Lian Hong!"
Ceng Hiang memanggil, akan tetapi bayangan gadis itu telah lenyap dan
Ceng Hiang tidak mengejar, tahu bahwa tidak ada artinya mengejar, bahkan ia
hanya akan membuat Lian Hong semakin berduka saja. Ia berdiri bengong
sambil menarik napas berulang-ulang. Tak disangkanya bahwa malam ini akan
terjadi dua hal yang demikian hebat tergores di dalam kalbunya. Ci Kong
menyatakan cintanya, dan Lian Hong hampir gila karena cemburu dan hampir
saja membunuhnya! Ia lalu merenungkan dan menyelidiki hatinya seridiri.
Cintakah ia kepada Ci Kong" Bagaimana dengan Yu Kiang pilihan, ayahnya"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kalau ia memilih Yu Kiang yang tidak dicintanya, walaupun ia suka pula
kepada pemuda bangsawan itu, berarti ia berkorban dan memaksa diri tidak
menerima uluran tangan Ci Kong yang begitu menggairahkan hatinya.
Sebaliknya, kalau ia menerima Ci Kong, berarti ia membuat Lian Hong
patah hati dan merana, juga tentu membuat Yu Kiang berduka, selain itu
membuat ayah dan keluarganya kecewa. Jalan mana akan ditempuhnya" Yang
mana akan dipilihnya"
"Aihhh... aku tidak tahu" aku tidak tahu?" keluhnya, dan iapun
memungut kipas Lian Hong yang telah robek menjadi dua itu, dan perlahanlahan meninggalkan taman dan memasuki kamarnya dengan wajah muram dan
pandang mata sayu. -------Jalan setapak di lereng bukit itu sepi bukan main, akan tetapi lebih sepi
lagi rasanya di dalam hati Lee Song Kim yang sedang berjalan di atasnya.
Wajah pemuda ini pucat, rambutnya yang panjang hitam dan lebat itu nampak
kusut, demikian pula pakaiannya, dan wajah yang biasanya nampak tampan
berseri itu kini muram. Dan matanya yang kemerahan dan pakaian serta
sepatunya yang penuh debu, mudah diduga bahwa dia telah melakukan
perjalanan jauh dan jarang tidur. Dia nampak Ielah, Ielah lahir batin, dan
memang keadaan Song Kim pada saat itu seperti keadaan orang yang putus
asa. Bagaimana dia tidak akan putus asa dan gelisah" Cita-citanya yang
setinggi langit itu kini buyar sama sekali. Dia kehilangan kedudukan,
kehilangan kemuliaan, kehilangan segalanya, setelah dia mengorbankan
golongannya, gurunya pula, setelah dia merendahkan diri bersekongkol
dengan para tosu Pek-Iian-pai dan Pat-kwa-pai, kesemuanya itu gagal sama
sekali, bahkan kini dia menjadi seorang buruan. Diburu oleh pemerintah, juga
diburu dan dimusuhi oleh para pejuang, baik dari golongan pendekar maupun
dan golongan sesat. Dia merasa diasingkan di dunia ini, tidak mempunyai
sahabat, dikelilingi oleh musuh belaka.
Perasaan kesepian ini seringkali melanda batin kita, tak perduli bagaimana
keadaan kita, tak peduli kita berada di tengah banyak orang atau keluarga, tak
perduli kita berada dalam keadaan yang kaya raya atau berkecukupan, maupun
dalam kedudukan tinggi dan kemuliaan. Perasaan sepi menggerogoti batin,
apalagi kalau kita merasa tidak dicinta seorangpun. Perasaan kesepian dan
sendirian inilah yang mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada sesuatu
atau seseorang sebagai sumber-sumber kesenangan. Kita mengikatkan diri
sebagai anggauta suatu kelompok, golongan, persahabatan, atau kita
mengikatkan diri dengan suatu aliran, dengan benda-benda, dengan sumbersumber kesenangan yang lain. Dan kita takut dan merasa ngeri kalau harus
meninggalkan semua itu, karena kita membayangkan betapa hidup ini akan
terasa kosong dan sepi! Ngeri akan perasaan sepi dan bersendirian inilah agaknya yang membuat
orang takut akan kematian. Bukankah kalau sudah mati, kita kehilangan segalagalanya dan berada dalam keadaan kesepian dan menghadapi segala sesuatu
sendirian saja" Karena inilah maka kita berusaha mencari pegangan, mencari
kepercayaan sebagai sesuatu yang akan menemani kita, akan menjadi bekal
dalam menghadapi kematian atau kesepian dan kesendirian itu. Ngeri timbul


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan rasa takut yang selalu menghantui batin kita. Kita haus akan cinta kasih,
haus akan cinta orang lain terhadap kita, perhatian dan keramahan orang-orang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan lain terhadap diri kita, dan hal ini menunjukkan bahwa kita sendiri kering, tidak
memiliki cinta kasih! Orang yang tidak memiliki cinta kasih, bagaikan sebuah cawan yang kering
dan kosong, selalu haus akan isi. Sebaliknya, batin yang penuh dengan cinta
kasih bagaikan cawan yang penuh air, terus diisi oleh air yang mengalir masuk,
sehingga bukan saja air itu dapat membasahi dan memenuhi cawan itu sendiri,
melainkan juga dapat meluap dan membasahi dan mengisi cawan lain. Orang
yang batinnya penuh dengan sinar cinta kasih, tidak mengharapkan cinta kasih
orang lain terhadap dirinya lagi, bagaikan sebuah ruangan tidak lagi
membutuhkan cahaya karena dirinya telah menjadi cahaya yang dapat
menerangi ruangan-ruangan lain.
Hidup harus berani bersendirian, bukan dalam arti kata kesepian dan
merasa ditinggalkan seorang diri, melainkan bersendirian, berdikari, bebas
tidak bersandar atau bergantung kepada gagasan, benda, atau orang lain.
Hanya dalam keadaan bebas tidak terikat inilah, pikiran tidak merajalela,
mengendap dan si-aku pun tidak menonjolkan diri, sehingga kini dapat
waspada setiap saat. Hanya dalan keadaan bebas inilah, cinta kasih dapat
memenuhi relung-relung batin kita dengan sinarnya. Hanya dalam keadaan
bebas dari segala ikatan inilah, Sinar Illahi dapat menyentuh batin kita, dan
kita menjadi waspada akan apa yang dinamakan kekuasaan, kemurahan dan
cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih!
Segala macam perbuatan dalam bentuk apapun merupakan pencerminan
keadaan batin. Kalau batin kita bebas sehingga penuh dengan sinar cinta
kasih, maka perbuatan yang akan diiakukan oleh badan kita, dengan sendirinya
berdasarkan cinta kasih. Batin yang bebas dan penuh cinta kasih tidak
mengenal kebencian, iri hati, dendam, permusuhan, dengki. Si aku yang
menjadi sumber dan segala macam perasaan dan nafsu itu telah tiada.
Lee Song Kim adalah seorang pemuda yang penuh dengan ambisi, penuh
dengan apa yang dinamakan secara halus "cita-cita", yang sesungguhnya
bukan lain dari pada keinginan mendapatkan sesuatu yang dianggap Iebih baik
dari pada apa yang kita miliki sekarang. Dan cita-cita ini mulur terus, tiada
batasnya, membuat kita selalu tidak puas dengan apa yang ada, dan membuat
kita kadang-kadang (seringkali) membuta dalam menggunakan segala cara
untuk mengejarnya. Cita-cita yang tercapai melahirkan cita-cita lain yang Iebih hebat. Cita-cita
yang gagal mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, seperti halnya Lee Song
Kim. Semenjak dia melarikan diri ketika diserbu oleh Jenderal Ciong yang
dibantu oleh pasukan pengawal, Ceng Hiang, Ci Kong dan Lian Hong, dia terus
lari sampai berpekan-pekan lamanya. Jarang dia berhenti, kecuali kalau tidak
kuat lagi karena mengantuk atau lapar. Dia masih merasa untung bahwa dia
mampu meloloskan diri dari kepungan orang-orang yang lihai itu. Dia kini
berada di lereng bukit-bukit yang menjadi anak Pegunungan Tai-hang-san, di
sebelah selatan kota raja.
Hari masih pagi sekali ketika Song Kim berjalan seorang diri di tempat yang
amat sunyi itu. Dia tidak mempunyai tujuan tertentu. Yang penting baginya
sekarang ini adalah menyelamatkan diri dan pengejaran musuh-musuhnya.
Selagi dia berjalan seenaknya keluar dari dalam hutan dimana dia melewatkan
malam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh berkelebatannya bayangan dua orang, dan
ketika dia mengangkat muka, yang muncul di depannya secara tiba-tiba itu
adalah Ong Siu Coan dan Tang Ki atau Kiki. Tentu saja dia terkejut bukan main,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menengok ke kanan kiri. Tidak ada jalan baginya untuk menghindarkan
pertemuan itu. Mereka berdua telah berada di depannya dan andaikata dia
melarikan diri kembali ke dalam hutan, tentu mereka akan melakukan
pengejaran. Mereka berdua itu akan sukar dapat ditinggalkan, karena dia
mengenal kelihaian sumoinya sendiri, juga tahu bahwa pemuda jangkung
murid Thian-tok itupun lihai bukan main. Selain itu, kedua kakinya sudah terlalu
Ielah untuk melarikan diri dari dua orang ini, maka diapun menjadi nekat dan
menghadapi mereka dengan sinar mata tajam dan seluruh tubuhnya siap siaga.
Dalam keadaan tersebut seperti itu,menghadapi dua orang lawan yang
amat lihati, Song Kim masih belum kehilangan kecerdikannya. Dia segera
memasang senyum ramah dan menghadapi kiki dengan wajah cerah dan
ramah. "Aih, kiranya sumoi. Dan manakah, sumoi" dan bagaimana dengan
keadaan suhu" Kuharap beliau berada dalam keadaan baik dan sehat saja."
Kiki dan Siu Coan sampai melongo sejenak melihat sikap dan mendengar
sapa yang ramah itu. Akan tetapi Kiki segera membentak dengan ketus dan
marah. "Lee Song Kim! Tak perlu engkau menanam madu di bibirmu, mencoba
untuk membujuk rayu aku! Engkau tahu bahwa aku mencarimu, dan setelah
kini kita saling bertemu, aku akan membunuhmu! Bersiaplah untuk menebus
dosa-dosamu dan menerima kematian di tanganku!"
Kiki sudah mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di
punggungnya di antara buntalan pakaiannya. Gadis ini biasanya tidak
mempergunakan pedang, karena memang ilmu silatnya sudah mencapai
tingkat tinggi. Akan tetapi, dalam menghadapi bekas suhengnya, ia sudah
mempersiapkan diri dan membawa sebatang pedang yang baik dari kumpulan
senjata pusaka milik ayahnya.
"Aih, sumoi, kenapa engkau bersikap begini" Aku adalah suhengmu,
bukan" Suhengmu satu-satunya! Bukankah kita sudah menjadi saudara
seperguruan dan teman bermain semenjak kita kecil?"
"Cukup! Tutup mulutmu dan cabut pedangmu!"
Kiki membentak, semakin marah karena ia tahu bahwa bekas suhengnya
itu berusaha untuk merayunya. Heran ia, mengapa pemuda bejat itu masih
berani mencoba untuk membujuknya suatu hal yang takkan mungkin berhasil.
"Sumoi, melihat muka suhu, yang seperti telah menjadi Ayahku sendiri,
tidak maukah engkau melupakan segala hal yang telah berlalu" Mungkin aku
pernah melakukan kesalahan-kesalahan, akan tetapi aku akan bertobat, dan
aku mengharapkan maafmu..."
"Lee Song Kim!" kini Ong Siu Coan ikut berkata, suaranya keren.
"Di antara semua dosamu, bagaimana orang dapat mengapuni
pengkhianatanmu terhadap para pimpinan pejuang tempo hari?"
Menghadapi Siu Coan, Song Kim membusungkan dada dan marah.
"Ong Siu Coan! Engkau adalah murid Thian-tok dan aku adalah murid Haitok, sama-sama murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Tidak perlu
engkau bersikap sombong dan mengatakan aku berdosa dan pengkhianat.
Engkau sendiri pernah menjadi pengkhianat, pernah menjadi anjing pasukan
bule! Kalau sumoi tidak mencampuri, aku mau berkelahi melawanmu sampai
seribu jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak mampus untuk
menentukan siapa yang Iebih unggul!"
"Lee Song Kim, jahanam busuk!" Teriak Kiki yang marah mendengar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tantangan Song Kim terhadap Siu Coan.
"Dosa yang pernah kaulakukan terhadap diriku sudah tak dapat diampuni,
akan tetapi dosamu terhadap para pimpinan pejuang Iebih besar lagi. Kami
berdua mewakili para pimpinan pejuang, hari ini datang untuk menghukum
dan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau bersiap sekarang, juga aku akan
membunuhmu, baik engkau melakukan perlawanan maupun tidak. Heiiiittt...I"
Kiki sudah menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada Song
Kim. Cepat sekali serangan itu dan didukung tenaga yang kuat.
"Ehhh!" Song Kim meloncat ke kiri untuk menghindarkan tusukan, akan tetapi Kiki
sudah mendesak lagi dengan bacokan ke arah leher. Kembali Song Kim
mengelak dengan melangkah mundur cepat-cepat, dan terpaksa dia mencabut
pedangnya, karena kembali pedang di tangan bekas sumoinya itu sudah
menyambar lagi. "Trangggg!" Dua batang pedang bertemu dan demikian keras pertemuan itu sehingga
bunga api berpijar, dan keduanya mundur dua Iangkah untuk memeriksa
pedang masing-masing. Kesempatan ini dipergunakan oleh Song Kim untuk
membujuk. "Sumoi, benarkah hatimu demikian tega untuk membunuh aku, suhengmu
sendiri?" "Cerewet!" bentak Kiki yang merasa tidak suka diingatkan bahwa orang ini
adalah bekas suhengnya. Pedangnya menyambar ganas, sehingga terpaksa Song Kim harus
mencurahkan perhatiannya untuk menangkis dan balas menyerang, karena
kalau tidak, tentu keadaannya akan berbahaya sekali. Sikapnya terhadap Kiki
yang ramah itu tetap saja hanya merupakan siasat. Kalau mungkin dia akan
membunuh Kiki agar kemudian dapat menghadapi Siu Coan. Maka, kini diapun
membalas serangan Kiki dengan babatan pedangnya. Mereka terlibat dalam
perkelahian yang seru dan Song Kim terkejut sekali. Biarpun kepandaian dan
tingkat ilmu silat mereka berimbang, namun dalam hal permainan pedang,
Song Kim lebih pandai. Hal ini diketahuinya benar. Akan tetapi sekarang,
melihat betapa sumoinya itu dapat bergerak dengan kecepatan kilat, ketika
pedangnya membabat, tiba-tiba tubuh sumoinya lenyap dan tahu-tahu telah
menyerangnya dari kanan! Hal ini amat mengejutkan hatinya. Belum pernah dia
melihat sumoinya memiliki ginkang sedemikian hebatnya, sehingga seolaholah pandai terbang saja. Namun, dia sengaja memutar pedang dengan cepat
untuk melinduingi tubuhnya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kiki sudah
mendapat kitab ilmu meringankan tubuh Hui-thian Yan-cu (Walet Tebang ke
Langit) ciptaan Tat Mo Cowsu.
Akan tetapi, tiba-tiba Siu Coan sudah terjun lagi ke dalam arena
perkelahian itu, dan biarpun Siu Coan tidak memegang senjata, namun
serangan-serangannya yang menggunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat suggguh amat berbahaya bagi Song Kim! Dikeroyok dua, pemuda ini
menjadi repot bukan main. Baru melawan sumoinya yang kini mendadak
memiliki gerakan yang demikian cepatnya saja dia tadi sudah merasa
kewalahan dan mulai terkejut karena belum tentu dia akan keluar sebagai
pemenang melawan sumoinya. Dan sekarang ditambah lagi dengan majunya
Siu Coan yang tingkat kepandaiannya seimbang dengan dia maupun Kiki.
Tentu saja dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak dan menangkis
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan saja. "Suhu! Suhu Hai-tok Tang Kok Bu!"
Tiba-tiba Song Kim berteriak nyaring.
"Apakah suhu akan membiarkan saja sumoi Tang Ki membunuh suheng
sendiri" Suhu, aku sudah seperti anak suhu sendiri, haruskah aku mati di
tangan adikku sendiri?"
Kiki menjadi marah sekali mendengar ocehan ini.
"Jahanam busuk, keparat hina tak tahu malu!" bentaknya.
"Ayah tidak mempunyai anak macam engkau, dan aku tidak sudi
mempunyai suheng seperti engkau!" Dan iapun mendesak lagi dengan
pedangnya. Melihat pedang itu membacok ke arah kepalanya dari atas dengan
kecepatan kilat dan juga mengandung kekuatan sinkang yang hebat, tidak ada
jalan lain bagi Song Kim yang baru saja mengelak dan sebuah tendangan yang
dilakukan oleh Siu Coan kecuali menangkis dengan pedangnya dari bawah ke
atas. "Tranggg!" Kedua pedang itu bertemu dan melekat. Kiki telah mempergunakan sinkang
untuk menempeI pedang lawan, dan kesempatan ini dipergunakan Siu Coan
untuk menggerakkan tangan mengetuk ke arah siku lengan kanan Song Kim.
"Duk! Ahhhh?" Song Kim terpaksa melepaskan pedangnya. Lengan kanannya seperti
Iumpuh dan dia cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, ujung
kaki Kiki sudah menendang pinggangnya dan diapun terjungkal roboh. Maklum
akan bahaya maut yang mengancam dirinya, Song Kim sudah meloncat lagi dan
mengirim pukulan maut ke arah Siu Coan yang dielakkan oleh pemuda ini. Kiki
yang merasa rendah kalau harus menghadapi lawan yang sudah kehilangan
senjata itu dengan pedangnya, sudah menyimpan pedangnya dan kini
menerjang dengan kedua kaki dan tangannya. Juga Siu Coan menyerangnya
dan terjadilah perkelahian tanpa senjata. Akan tetapi dalam hal ini, Song Kim
semakin terdesak dan dalam waktu beberapa belas jurus saja, tubuhnya sudah
menjadi sasaran pukulan dan tendangan bertubi-tubi dari kedua orang
pengeroyoknya. Dia mencoba untuk melawan, namun karena memang kalah
cepat dan kalah kuat, dia menjadi bula-bulanan pukulan dan tendangan kedua
orang itu, sehingga tubuhnya babak belur dan dari hidung dan mulutnya sudah
keluar darah. Song Kim melawan terus, namun semakin lama tubuhnya menjadi semakin
Iemah dan pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu, tibatiba muncul seorang tinggi besar yang begitu muncul menerjang maju dan
menendang ke arah Siu Coan. Siu Coan terkejut bukan main dan cepat
melompat ke samping untuk menghindar.
"Locianpwe, mengapa Iocianpwe menyerangku" Bukankah locianpwe
sudah memberi ijin kepadaku untuk membantu Ki-moi membunuh pengkhianat
ini?" kata Siu Coan yang terkejut sekali melihat bahwa penyerangnya itu
adalah Hai-tok Tang Kok Bu, ayah Kiki.
"Ayah!" Kiki juga berseru keras.
"Kenapa ayah membela jahanam busuk ini?"
Akan tetapi Hai-tok yang nampak marah itu terus menyerang Siu Coan.
"Bagaimanapun juga, dia ini adalah muridku yang pernah kuanggap
sebagai anak sendiri. Ong Siu Coan, engkau masih orang lain dan engkau
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berani memukulinya, aku harus membalas perlakuan tidak patut itu!"
Tentu saja Siu Coan repot harus mengelak kesana-sini, karena dia tidak
berani menangkis, dan akhirnya sebuah tam paran mengenai pundaknya.
"PIaakkk...! Hebat bukan main tamparan itu, dan kalau saja Siu Coan tidak melindungi
tubuhnya dengan sinkang yang membuat pundaknya kuat dan kebal, tentu
pundak itu akan hancur. Biarpun tidak demikian, tubuhnya terpelanting dan
bergulingan sampai jauh dan dia meloncat bangun dengan kepala pening.
"Ayah, jangan!"
Kiki berseru keras melihat betapa Siu Coan terpelanting oleh tamparan
ayahnya. "Sumoi, apakah engkau akan menjadi seorang anak durhaka yang hendak
melawan ayahnya sendiri membela orang lain?"
Tiba-tiba Song Kim berseru dan seruannya ini menahan gerakan Kiki yang
menjadi bingung. Dan Hai-tok sudah menerjang lagi ke depan, agaknya hendak
membunuh Siu Coan! Watak dan Empat Racun Dunia memang aneh dan pantas
mereka menjadi datuk-daruk kaum sesat.
Tadinya Hai-tok memang sudah setuju kalau puterinya berjodoh dengan Siu
Coan, dan mengijinkan pemuda itu membantu Kiki mencari dan membunuh
Song Kim. Akan tetapi, setelah dua orang itu pergi, dia membayangkan Song
Kim semenjak masih kecil telah menjadi muridnya, bahkan karena dia tidak
mempunyai anak laki-laki, dia sudah menganggap Song Kim sebagai pengganti
anaknya. Maka, timbul perasaan menyesal dan diapun lalu meninggalkan
pulau untuk membayangi perjalanan Kiki dan Siu Coan. Maka, ketika tadi dia
mendengar teriakan Song Kim yang menyebut-nyebut namanya, tentu saja
hatinya tergerak, dan ketika melihat Song Kim yang disayanginya itu dijadikan
bulan-bulanan pukulan dan tendangan Kiki dan Siu Coan, dia tidak mampu
menahan diri lagi dan keluar membela munidnya itu. Dan kemarahannya dia
tumpahkan kepada Siu Coan yang hendak dibunuhnya! Kini dia menendang
dengan dahsyatnya. Tendangan itu amat kuat, mendatangkan angin keras, dan
biarpun Siu Coan sudah siap siaga, menangkis dengan tangan, tetap saja
tubuhnya terlempar dan terpelanting keras.
"Brukkk...!" Dan baru saja dia meloncat bangun, kakek itu sudah berada di depannya
dan Iengannya yang panjang dan besar itu menyambar dengan pukulan maut
ke arah kepala Siu Coan. Pemuda ini terkejut, akan tetapi sebagai murid
seorang sakti, dia masih berhasil membuang diri ke belakang dan bergulingan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti seekor trenggiling, menjauhi lawan.
Hai-tok mengejar, mencoba untuk menggunakan kakinya menginjak kepala
pemuda yang tadinya ingin diambil mantu itu, dan kalau kepala itu kena injak
sekali saja, tentu akan remuk! Sambil bergulingan, Siu Coan mengelak setiap
kali kaki gajah itu datang menginjak, dan dia sukar memperoleh kesempatan
untuk meloncat bangun. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pada saat kaki kiri Hai-tok
melakukan injakan mautnya, sebuah kaki lain yang juga besar menyambut dari
depan, sehingga dua batang kaki yang kuat itu saling beradu tulang kering.
"Desss...!!" Akibatnya, dua tubuh yang besar itu sama-sama terdorong ke belakang
sampai lima langkah. Tentu saja Siu Coan memperoleh kesempatan untuk
meloncat bangun, dan bukan main girang dan lega hatinya ketika melihat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bahwa yang menolongnya itu adalah gurunya sendiri, Thian-tok.
Sementara itu, dua orang kakek itu kini berdiri saling pandang dengan dua
pasang mata mencorong saling tantang.
"Ho-ho-ho! Hai-tok, sungguh tidak pantas perbuatanmu, menyerang dan
mengancam nyawa muridku, seolah-olah aku sebagai gurunya sudah tidak ada
saja!" kata Thian-tok sambil menyeringai.
"Memang aku hendak membunuh Ong Siu Coan, kau mau apa" Dia sudah
memukuli muridku, maka aku hendak memukulinya sampai mampus!"
"Ha-ha-ha, kenapa Hai-tok menjadi seorang pengecut besar sekarang"
Urusan anak-anak kenapa dicampuri orang tua" Kalau memang engkau
mencari tanding, inilah aku lawanmu, tua sama tua! Siu Coan, minggirlah dan
jangan mencampuri. Biar aku yang akan menghadapi tua bangka ini!" kata
Thian-tok sambil meriyeringai.
Kakek ini semakin gendut saja, jubahnya terbuka sehingga nampak
dadanya yang berbulu sampai ke pusar, perutnya yang gendut dengan pusar
yang menonjol. Tangan kirinya memegang sebuah mangkok butut, tangan
kanannya memegang sebuah ciu-ouw (guci arak) butut pula.
Mendengar tantangan Thian-tok, Hai-tok menjadi marah bukan main. Dia
dan Thian-tok selama ini memang tidak pernah bersahabat. Keduanya adalah
dua orang tokoh di antara Empat Racun Dunia, datuk-datuk kaum sesat yang
tak pernah saling bersahabat. Kalau akhir-akhir ini mereka memiliki hubungan
baik, hanyalah karena keduanya merasa berkewajiban untuk menentang
pemerintah penjajah dan orang-orang asing kulit putih. Kini, begitu ada urusan
mengenai murid masing-masing, tentu saja mereka saling membela murid dan
siap untuk saling gempur.
"Song Kim dan Kiki! Kalian minggir dan jangan mencampuri. Biar kuhajar
tua bangka gendut ini!" bentaknya kepada anak dan muridnya.
Dua orang kakek itu lalu melangkah maju saling menghampiri. Thian-tok
masih memegang guci arak dan mangkoknya, dua alat minum arak akan tetapi
juga dapat menjadi senjatanya yang ampuh. Adapun Hai-tok juga sudah
memegang tongkatnya yang indah, tongkat yang terhias emas permata.
Mereka kini berhenti dan jarak di antara mereka tinggal dua meter lagi. Sejenak
mereka berdiri tegak, saling pandang seperti hendak mengalahkan lawan atau
mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata mereka yang mulai
mencorong, sambil diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sinkang mereka,
menyalurkan tenaga itu ke arah seluruh tubuh, terutama pada kedua tangan
mereka. "Hai-tok, kau majulah kalau tubuhmu sudah gatal-gatal ingin merasakan
hajaranku, ha-ha-ha!" Thian-tok berseru sambil mengamang-amangkan guci
arak dan mangkoknya ke atas kepala.
"Thian-tok iblis tua bangka gendut, aku sudah sejak tadi bersiap. Engkau
yang datang menantangku, majulah untuk menerima gebukan tongkatku!"
tantang Hai-tok. "Heh-heh-heh, engkau mencari penyakit!"
Kata Thian-tok, dan diapun melangkah maju, bergerak aneh dan tiba-tiba
guci arak itu menyambar ke arah pelipis kiri lawan sedangkan mangkok
bututnya bergerak menyambar ke arah pusar. Nampaknya kedua senjata itu
tidak berbahaya, namun Hai-tok yang lebih tahu bahwa biarpun kelihatannya
tidak meyakinkan, namun sepasang senjata itu telah mengangkat nama Thiantok ke puncak ketenarannya. Dia maklum betapa lihainya lawan ini, yang dalam
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan banyak hal memiliki tingkat yang sama dengan dia, maka diapun tidak berani
bersikap sembrono. Kakinya melangkah mundur dan untuk menghindarkan
serangan berganda lawan itu, dia memutar tongkatnya, bukan hanya untuk
melindungi tubuh, melainkan sekaligus untuk balas menyerangI
Akan tetapi, dengan dua buah senjatanya yang istimewa, Thian-tok juga
dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat itu. Serang-menyerang terjadi
dan berkali-kali terdengar suara keras ketika tongkat bertemu dengan guci atau
mangkok. Hai-tok yang maklum akan kelihaian lawan, segera mengeluarkan ilmunya
yang paling diandaikan melalui tongkatnya, yaitu ilmu Tongkat Kim-kong-pang
(Tongkat Sinar Emas). Tongkatnya berputar seperti kitiran bahkan semakin
cepat lagi sehingga tidak nampak bentuknya, yang kelihatan hanyalah sinar
keemasan yang menyilaukan mata saja dibarengi suara mendengungdengung.
Thian-tok juga tidak berani memandang rendah. Dia mengerahkan
tenaganya dan memainkan limu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang
sudah mencapai puncak kesempurnaannya, dan mengimbangi kekuatan lawan
dengan Kim-dong-ko, yaitu ilmu kebal yang mencuat tubuhnya dapat menahan
senjata tajam. Lawannya, Hai-tok, terkenal dengan tenaga saktinya yang
disebut Thai-lek Kim-kong-jiu, yang membuat tangan kakek ini dapat
menghancurkan batu karang, maka Thian-tok selalu melindungi tubuhnya
dengan ilmu kebalnya. Mereka saling serang dan saling desak dengan senjata masing-masing, dan
ratusan kali senjata mereka saling bertemu, menimbulkan suara nyaring dan
bunga api berpijar. Sebeapa kali mereka menarik senjata dan mengamankan
senjata masing-masing, takut kalau-kalau senjata yang disayang itu menjadi
rusak. Akhirnya, setelah mereka bertanding selama ratusan jurus, Thian-tok
melompat ke belakang. "Nanti dulu, Hai-tok!"
"Thian-tok, kau mundur. Apakah mengaku kalah?" tanya Hai-tok sambil
menggunakan lengan baju menghapus keringatnya di leher.
"Ha-ha-ha-ha, belum lecet kulitku, belum retak tulangku, bahkan belum
keluar keringatku, siapa yang kalah! Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak.
Hai-tok mengerutkan alis. Memang benar, lawannya belum berkeringat di
leher dan dahinya. Dia lupa bahwa hal ini adalah karena Iawannya memakai
baju yang terbuka sehingga dada, leher dan perutnya telanjang, dan tentu saja
tidak mudah berkeringat seperti dia yang berbaju rapat dan tebal.
"Hemm, manusia sombong! Kalau tidak kalah, kenapa mundur dan
menghentikan perkelahian?" bentak Hai-tok sambil melintangkan tongkatnya.
"Aku hanya takut kalau-kalau senjata-senjataku ini rusak. Aku hendak
menyimpan senjata-senjataku ini dan menantangmu untuk berkelahi dengan
kedua tangan kosong. Kita dilahirkan hanya dengan kaki tangan, maka marilah
kita Ianjutkan dengan menggunakan kaki tangan saja untuk melihat siapa yang
sesungguhnya Iebih unggul. Atau, engkau takut bertangan kosong dan hendak
menghadapi kedua tanganku dengan tongkat itu" Ha-ha-ha, begitupun aku
berani!" "Huh, gendut sombong jangan berlagak. Siapa takut padamu" Lihat, aku
juga menyimpan tongkatku, dan mari kita bertanding dengan tangan kosong
sampai selaksa jurus!"
Hai-tok menyerahkan tongkatnya kepada Song Kim yang menerimanya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dengan membungkuk hormat. Girang hati pemuda ini karena dia maklum
bahwa dalam hal inipun dia lebih dipercaya oleh gurunya dan pada Kiki,
sehingga tongkat pusaka itu dititipkan kepadanyal Selamatlah dia karena
gurunya tentu akan membelanya mati-matian. Dia tadi sudah memungut
pedangnya dan kini, di samping pedangnya, tongkat pusaka itu berada di
tangannya. Andaikata suhunya sampai kalah, dia dapat mempergunakan
tongkat itu untuk mengamuk, diapun sudah pernah mempelajari Kim-kongpang.
Kini dua orang kakek itu, dengan tangan kosong, sudah saling
menghampiri. Tubuh mereka yang sama besarnya itu, termasuk kelas beras,
bergerak maju perlahan-lahan seperti dua ekor gajah yang hendak berkelahi.
Tiga orang muda yang sejak tadi menjadi penonton, Kiki, Siu Coan, dan Song
Kim, tidak berani bergerak untuk membantu, karena mereka sudah dilarang
untuk mencampuri perkelahian tingkat tinggi itu.
Tentu saja, karena tidak boleh membantu, hati mereka menjadi penuh
dengan ketegangan. Terutama sekali hati Kiki. Gadis ini merasa bingung dan
diam-diam ia marah kepada ayahnya. Ayahnya sudah menyatakan
persetujuannya kepada Siu Coan untuk membantunya membunuh Song Kim.
Bagaimana sekarang ayahnya itu berbalik membela Song Kim" Dan kini muncul
guru Siu Coan yang membela Siu Coan sehingga berkelahi mati-matian dengan
ayahnya. Tentu saja sukar baginya untuk berpihak lagi! Kalau ia berpihak
kepada ayahnya, seperti kecondongan hatinya, berarti ia berpihak kepada Song
Kim! Dan ini tidak boleh terjadi! Sebaliknya kalau ia berpihak kepada Siu Coan,
berarti ia menghadapi ayahnya sendiri sebagai musuh dan inipun tidak boleh
terjadi! Sementara itu, dua orang kakek itu sudah saling serang. Setelah tidak
mempergunakan senjata, perkelahian itu menjadi semakin sengit, semakin
seru dan ramai sekali. Terdengar suara bak-bik-buk ketika dua pasang lengan
itu saling bertemu dan bertumbukan. Dua tenaga sakti saling bertemu dan
getarannya sampai terasa oleh tiga orang muda itu. Namun, kedua orang kakek
itu memang memiliki kekebalan sehingga biarpun kadang-kadang ada pukulan
yang sempat mampir ke tubuh, pukulan itu dapat mereka tahan dan mereka
masih juga bertahan, belum ada yang roboh. Keduanya mengerahkan tenaga
dan juga mengerahkan kecepatan mereka, dan memang kedudukan mereka
seimbang sehingga perkelahian itu berlarut-larut tanpa ada yang mendesak
atau terdesak. Saling gebuk, saling tendang, dan kalau dua tenaga raksasa itu
bertemu dengan dahsyatnya, paling-paling keduanya hanya terdorong
mundur, terhuyung-huyung, kemudian melangkah maju lagi sambil
mendengus-dengus penuh kemarahan dan penasaran.
Bukan main Iamanya perkelahian itu. Setelah matahari condong ke barat,
keduanya mulai kehabisan tenaga. Hampir sehari penuh mereka berkelahi! Dan
mereka adalah kakek-kakek yang usianya tujuh puluh tahun Iebih. Bahkan
Thian-tok sendiri yang bajunya terbuka sekarang mandi keringat, demikian
pula Hai-tok. Keduanya sudah bermandi peluh sendiri, dan dari kepala mereka
keluar uap putih membumbung ke atas, tanda bahwa tubuh mereka panas
sekali. Mereka kini agak terhuyung, kehabisan tenaga dan napas. Dengan
napas mereka semakin berat, sementara pukulan-pukulan mereka semakin
kendur. Bahkan kini mereka tidak berani lagi menendang karena salah-salah
dapat terjengkang sendiri kalau menendang dengan sisa tenaga yang tinggal
sedikit. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kiki merasa kasihan kepada ayahnya. Ia tidak berpihak, akan tetapi tentu
saja sebagai anak, ia khawatir kalau-kalau ayahnya akan roboh bukan karena
kalah, melainkan karena kehabisan tenaga dan napas, walapun keadaan Thiantok tidak jauh bedanya. Ia lalu berkata nyaring.
"Kenapa ji-wi seperti anak-anak kecil saja" Lihat, matahari pun bosan
melihat ji-wi dan bersembunyi. Kenapa tidak berhenti dulu dan dilanjutkan
Misteri Pulau Neraka 1 Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3
^