Pencarian

Pedang Naga Kemala 2

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling. Phek Kiat
bukanlah seorang lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya
ke dalam tenggorokannya itu bukan jarum sembarangan, melainkan jarum
yang mengandung racun amat keras, sehingga begitu tempat yang lemah itu
tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar amat
cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya
pening berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan.
Sin-touw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha... baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw, ha-ha-ha!"
Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti
munculnya Phek Kiat di bawah jembatan. Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah
seorang penjahat yang amat licin dan keji, dan mulailah dia merasa menyesal
mengapa dia memilih Phek Kiat sebagai orang yang akan menyimpan Giokliong-kiam. Bagaimana kalau kelak dia ditipunya" Bagaimana kalau Phek Kiat
di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi, beberapa
kali lipat dari sekedar tigapuluh kati candu" Dan hal ini amat boleh jadi
mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah. Lebih baik
mencari orang lain yang lebih dapat dipercaya, demikian timbul pikirannya dan
diapun mencari akal untuk membatalkan jual beli itu dengan membunuh Phek
Kiat. Dan candu tigapuluh kati itu akan menjadi miliknya, dengan gratis karena
pusaka Giok-liong-kiam masih akan tetap berada padanya.
"Ha-ha-ha-ha!" Si Maling Sakti tertawa lagi, lalu merenggut buntalan dari pundak tubuh
Phek Kiat yang sudah kaku tak bergerak lagi. Dibukanya buntalan itu dan ketika
dia melihat candu sebanyak itu, kembali dia tertawa girang.
"Aku harus memberi selamat kepada diri sendiri dengan mengisap
sepuasnya!" Dia lalu menyeret tubuh tubuh Phek Kiat yang sudah tidak bernyawa itu ke
bawah jembatan. Kemudian diapun mengikat dua bungkusan itu menjadi satu
dan menggendongnya di punggung. Setelah duduk di dekat mayat Phek Kiat,
dia lalu menyalakan tembakau di mulut pipa cangklongnya dan mulailah dia
mengisap tembakau madat. Wajahnya berseri gembira dan matanya terpejam
ketika dia menyedot asap candu itu sampai memenuhi paru-parunya. Terasa
nikmat sekali dan dia menghisap terus-menerus dan sambungmenyambung.
Akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget, pipa cangklong itu dibuangnya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dan diapun meloncat bangun, menekan dadanya. Akan tetapi, dia terguling
roboh dan muntah-muntah, kedua tangannya mencengkeram ke arah dadanya
dan ditarik-tariknya bajunya sehingga robek-robek. Mukanya kini berobah
kehitaman, tidak lagi berseri-seri melainkan penuh ketakutan dan kemarahan.
"Celaka...! Jahanam keparat...!"
Dia memaki dan dengan marah, dia menendang mayat Phek Kiat. Akan
tetapi baru dua kali dia menendang, tubuhnya terguling dan berkelojotan, dan
tak lama kemudian nyawanya menyusul Phek Kiat. Kiranya tembakau madat
yang oleh Phek Kiat dimasukkan ke dalam pipa cangklong itu bukanlah
tembakau biasa, melainkan tembakau madat yang sudah dicampuri racun yang
jahat sekali. Baru menyedot satu kali saja, sudah cukup untuk membunuh
orang, apalagi Sin-touw yang menghisapnya berkali-kali sampai paru-parunya
penuh! Setelah tubuh Sin-touw tidak bergerak lagi, mencullah sesosok bayangan
hitam yang gerakkannya gesit. Dia meloncat turun ke bawah jembatan, sejenak
berdiri memandang dua mayat itu dan dia tertawa terkekeh. Suara ketawanya
aneh menyeramkan, seperti ringkik kuda dan perutnya yang gendut
bergoyang-goyang. "Manusia-manusia hina, kalian memang tidak pantas untuk hidup lebih
lama lagi di dunia ini. Orang-orang macam kalian mana pantas menjamah Giolliong-kiam?"
Dia lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu buntalan kain hitam
persegi panjang itu sudah direngutnya dari punggung mayat Sin-touw.
Dibukanya buntalan itu dan ketika dia membuka tutup peti, matanya bersinarsinar melihat pedang kemala yang berkilauan kehijauan itu. Ditutupnya
kembali peti itu dan tiba-tiba dia memandang ke kanan kiri seperti orang
khawatir. Hati siapakah yang tidak merasa gelisah setelah berhasil memperoleh Giokliong-kiam" Benda pusaka ini diinginkan oleh semua orang di dunia persilatan,
baik dari golongan sesat maupun para pendekar. Bahkan orang-orang dari
istana juga menginginkannya. Belum lagi diingat orang-orang dari Thian-te-pai
yang ingin merampas kembali benda pusaka perkumpulan mereka.
Para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan
pendekar, ingin menguasai Giok-liong-kiam karena benda pusaka ini menjadi
lambang dari keunggulan seseorang, menjadi bukti ketinggian tingkat
kepandaiannya dan bahkan sebelum benda itu terjatuh ke tangan Thian-te-pay,
pernah Giok-liong-kiam dianjurkan oleh para datuk persilatan untuk menjadi
tanda kuasa seseorang Bu-Lim Beng-cu (Ketua Dunia Persilatan) yang diakui
oleh semua orang di dunia kang-ouw! Ada pula golongan sesat yang
menginginkan benda itu bukan karena kekeramatannya, melainkan karena
harganya. Benda itu amat berharga, karena selain batu kemala hijau kemerahan
itu merupakan kemala pilihan yang sukar didapatkan di dunia ini, juga ukirukiran berbentuk pedang naga itu amat halus dan indahnya, kabarnya
dilakukan oleh seorang ahli ukir di jaman Tang, ahli ukir dari istana yang
kenamaan, seribu tahun yang lalu. Sukar dinilai berapa harganya benda itu dan
agaknya orang-orang yang kaya raya akan berlumba membelinya dengan
harga yang paling tinggi sekalipun!
Tidaklah mengherankan kalau terjadi pembunuhan-pembunuhan keji
semenjak orang tahu bahwa A Ceng atau Phek Kiat sedang melakukan urusan
yang ada kaitannya dengan Giok-liong-kiam. Mula-mula dengan matinya Si
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kaki Besi dan tiga orang kawannya yang hendak merampas tiga puluh kati
madat dari tangan Phek Kiat, kemudian kematian Phek Kiat dan Sin-touw yang
saling membunuh untuk memperebutkan Giok-liong-kiam dan madat yang
banyak itu. Dan kini, si Gendut berpakaian serba hitam itu dengan jantung berdebar
penuh ketegangan menggendong Giok-liong-kiam baik-baik dan merasa
cemas. Akan tetapi diapun lalu mengambil buntalan madat, karena madat
sebanyak tigapuluh kati itu merupakan harta yang amat banyak pula. Sambil
menyeringai puas dan girang, si gendut berpakaian hitam itu melompat ke luar
dari bawah jembatan, setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi dan tidak
ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian antara Phek Kiat dan
Sin-touw yang mengakibatkan keduanya tewas itu.
Setelah kedua kakinya dengan ringan sekali hinggap di atas jembatan, dia
celingukan lagi dan makin legalah hatinya ketika melihat kesunyian sekeliling
jembatan itu. Malam itu juga dia harus dapat keluar dari kota Kanton, pikirnya.
Dia tidak akan merasa aman sebelum meninggalkan Kanton.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, si gendut baju hitam itu dapat lolos
dari kota dengan jalan melompati pagar tembok kota di bagian yang sunyi tidak
terjaga. Setelah meloncat ke luar dari tembok, dia lalu mempercepat gerakan
kakinya, berlari seperti terbang menuju ke utara. Tujuannya adalah ke kota Saukoan, dimana dia mempunyai seorang sahabat yang dapat dimintai tolong agar
membantunya menyembunyikan diri untuk sementara.
Menjelang pagi, selagi dia menuruni sebuah bukit kecil, tiba-tiba dia
mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia terkejut sekali. Akan tetapi
setelah dia mendengarkan dengan teliti dan ternyata yang datang dari
belakang itu hanya seekor kuda saja, hatinya menjadi tenang. Kalau hanya
menghadapi seorang lawan saja, dia tidak takut. Apalagi yang datang dari
belakang itu belum tentu seorang musuh, mungkin sekali hanya orang yang
kebetulan lewat saja. Karena itu, setelah mempererat gendongannya, dia
melanjutkan perjalanan dengan jalan seenaknya agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Tak lama kemudian, setelah derap kaki kuda itu semakin keras suaranya,
muncullah seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya
mendahului si baju hitam. Si gendut baju hitam ini melirik dan dia melihat
seorang laki-laki tinggi besar menunggang kuda yang besar pula. Seorang lakilaki biasa saja yang pandai menunggang kuda dan agaknya tergesa-gesa. Akan
tetapi ketika si gendut itu melihat baju orang itu, jantungnya berdebar tegang,
Baju Kulit Harimau! Teringatlah dia akan nama Lam-hai Ngo-houw (Lima Harimau Laut Selatan)
yang terkenal di Kanton, lima orang kakak beradik yang ditakuti, karena mereka
adalah orang-orang kuat yang kadang-kadang mengandalkan kekuatan dan
kepandaian silat mereka untuk memaksakan kehendak mereka kepada orangorang atau golongan yang lebih lemah. Ciri khas mereka adalah baju harimau
mereka. Biar dalam musim panas sekalipun, mereka tak pernah menanggalkan
baju harimau mereka. Akan tetapi, penunggang kuda ini hanya seorang saja, pikir si gendut baju
hitam. Dan khabarnya, Lam-hai Ngo-Houw selalu maju berlima. Mungkin bukan
mereka, dan andaikata benar orang ini seorang di antara Lima Harimau itu,
takut apa" Orang itu tentu tidak tahu apa isi dua buntalan di punggungnya.
Juga dia tidak pernah berkenalan dengan Lam-hai Ngo-houw dan tidak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mempunyai urusan apapun juga. Tanpa sebab, tidak mungkin Lam-hai Ngohouw mau mengganggu dirinya. Hatinya lebih tenang melihat betapa
penunggang kuda itu membalap terus dan agaknya sama sekali tidak
memperhatikan dirinya. Karena hatinya lega, si gendut itu lalu beristirahat di dalam sebuah hutan
dan pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir kegelapan
malam, diapun melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Dia tahu bahwa
setelah dia keluar dari dalam hutan ini, kota Sau-koan tinggal belasan li saja
lagi jauhnya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba
dia mendengar suara auman harimau dari depan! Seekor harimau! Dia merasa
heran sekali karena dia bukan seorang asing di daerah ini dan dia tahu betul
bahwa di hutan ini tidak pernah orang bertemu harimau. Akan tetapi auman
itu jelas merupakan auman harimau. Tiba-tiba dia terlonjak kaget ketika
terdengar auman harimau lain lagi, kini datang dari arah belakangnya! Ketika
terdengar lagi suara auman dari kanan kiri, keheranannya berobah menjadi
kegelisahan dan mukanya berobah agak pucat. Tidak mungkin ada harimau
demikian banyaknya tersesat di dalam hutan ini! Harimau! Lima ekor
banyaknya! Tiba-tiba wajah si gendut menjadi semakin pucat dan dia siap
siaga menghadapi segala kemungkinan karena dia teringat akan penunggang
kuda berjubah harimau semalam.
Tahulah dia sekarang bahwa penunggang kuda semalam itu hanya ingin
memperoleh keyakinan bahwa dia memang memasuki hutan ini. Diam-diam dia
merasa menyesal sekali atas kelengahannya sendiri. Kalau dia berhati-hati dan
sudah menduga lebih dulu akan berurusan dengan Lam-hai Ngo-houw, tentu
malam tadi diam-diam dia melarikan diri. Banyak terdapat kesempatan baginya
untuk diam-diam merobah tujuan perjalanan semalam. Akan tetapi kini sudah
terlanjur dan pula, andaikata dia merobah tujuan dan melarikan diri, siapa tahu
lima orang jahanam ini sudah selalu mengintai dan membayanginya. Dia
menabahkan hatinya dan berhenti melangkah, memandang kepada laki-laki
tinggi besar berkumis tebal, yang agaknya menjadi pemimpin dari lima orang
berjubah harimau itu. "Maafkan saya?" katanya dengan sikap merendah.
"Saya adalah seorang perantau yang tidak mempunyai apa-apa dan tidak
pernah mengganggu orang. Ada keperluan apakah ngo-wi menghadang
perjalanan saya?" Si kumis tebal menyeringai dan memandang tajam, bukan ke arah wajah si
gendut, melainkan ke arah punggungnya. Hal ini saja membuat si gendut
menjadi semakin gelisah dan dia sudah dapat menduga bahwa lima orang ini
agaknya tahu akan isi kedua bungkusannya.
"Hemm, bukankah engkau yang berjuluk Tai-lek Hek-wan (Lutung Hitam
Tenaga Besar) dari Nan-leng?"
Si gendut yang dijuluki Lutung Hitam itu terkejut. Kiranya lima orang ini
sudah mengenalnya! Maka diapun tidak mau berpura-pura lagi dan cepat
menjura. "Saya seorang perantau dari Nan-leng merasa gembira sekali dapat
bertemu dengan Lam-hai Ngo-houw yang terkenal gagah perkasa!"
"Hemm, mengapa bergembira?" tanya si kumis tebal dengan suara
bernada ejekan. "Bertemu dengan orang-orang segolongan, berarti bertemu dengan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan saudara sendiri. Persatuan antara kita akan menciptakan kekuatan untuk
menghadapi lawan kita bersama. Sebaliknya perpecahan di antara kita hanya
akan mendatangkan kelemahan dan menguntungkan pihak lawan."
Lima orang itu saling pandang.
"Siapakah lawan yang kau maksudkan, Hek-wan?" tanyasi kumis tebal.
Tai-lek Hek-wan menarik napas panjang.
"Banyak sekali ! Terutama sekali orang-orang yang berhati sombong selalu
mengejarku dan kalau aku tidak bertemu dengan kalian berlima, tentu aku akan
celaka. Aku minta bantuan kalian agar kita dapat bekerja sama, dan segala
keuntungan yang kudapatkan, tidak akan kumakan sendiri. Buktinya, inilah
kuberikan untuk kalian ! Dia lalu menurunkan buntalan madat dan
melemparkannya kepada si kumis tebal. Orang tinggi besar ini menerima
buntalan itu dan membukanya, diikuti oleh empat orang adiknya. Ketika
mereka melihat isi buntalan yang ternyata adalah madat murni yang demikian
banyaknya, mereka terbelalak.
Si gendut tertawa, merasa menang dan berhasil mengambil hati mereka
sebagai kawan. Untuk sementara ini dia harus mempergunakan akal
menambah teman, bukan menambah musuh. Dia tidak takut menghadapi lima
orang ini, akan tetapi selama Giok-liong-kiam belum dia simpan dan
sembunyikan dengan baik, berbahayalah menentang mereka ini sambil
membawa benda pusaka itu.
"Ha-ha, itu baru sebagian, Lam-hai Ngo-houw. Kalau kalian mau bersekutu
dengan aku, masih banyak lagi kelak bagian kalian. Bagaimana" Ataukah
kalian mau nekat menggangguku, belum tentu kalian menang dan kalian akan
menghadapi semua pendekar yang melakukan pengejaran kepadaku?"
Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang sudah biasa
menerima pembayaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan
kekerasan. Kini ada orang yang memberi hadiah madat demikian banyaknya,
tentu saja hati mereka senang sekali. Mereka bukan pemadatan, akan tetapi
mereka yang menjadi penduduk Kanton tentu saja tahu betapa mahalnya
benda itu. "Dan... Giok-liong-kiam...?"
Akhirnya si kumis tebal bertanya sambil memandang ke arah buntalan
yang kedua dan yang berada di punggung Tai-lek Hekwan.
"Itulah yang menggelisahkan hatiku, kawan," katanya dengan sikap
sebagai seorang atasan terhadap para pembantunya.
"Dengan kelihaianku, aku berhasil mendapatkannya. Akan tetapi betapa
banyaknya orang yang hendak memperebutkannya, dan bukan hanya orangorang biasa. Karena itu, kita harus bersatu menghadapi mereka. Dan kelak,
kalau aku berhasil menjualnya dengan harga tinggi, kita bagi bersama."
Kembali lima orang itu saling pandang dan akhirnya si kumis tebal
mengangguk-angguk. "Baiklah, melihat pemberianmu ini kepada kami, kami menilai bahwa
engkau seorang kawan baik. Akan tetapi kelak jangan lupakan kami kalau
benda itu sudah menjadi uang."
Sebelum Hek-wan menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lirih
namun jelas sekali seolah-olah suara itu berada di dekat telinga mereka
berenam. Suara ketawa wanita yang tidak nampak orangnya, merdu dan juga
halus menusuk anak telinga, seperti suara ketawa kuntilanak dalam dongeng.
Tentu saja enam orang kasar itu, apalagi setelah kini mereka bersatu, tidak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi menghadapi
mahluk yang tidak nampak, hanya terdengar suara ketawanya saja yang
demikian merdu, mereka terbelalak dan memandang ke kanan kiri tanpa hasil
karena tidak nampak seorang wanita di sekeliling tempat itu.
"Hik-hik, tikus-tikus kecil mana ada harga untuk bicara tentang Giok-liongkiam?"
Tiba-tiba suara ketawa itu disusul kata-kata mengejek dan kini suara itu
datangnya dari atas. Enam orang itu memandang ke atas dan tiba-tiba dari atas
melayang turun bayangan merah yang menyambar ke arah Hek-wan. Tentu
saja si Lutung Hitam terkejut sekali, maklum bahwa orang ini menyeranganya


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk merampas buntalan Giok-liong-kiam. Dia cepat mengelak dengan
meloncat ke kiri sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah tubuh yang
menyambar dari atas bagaikan seekor burung walet cepatnya itu.
"Plakkk...!" Kaki Hek-wan yang menendang bertemu dengan tangan yang dimiringkan
dan akibatnya, tubuh Hek-wan terjengkang dan bergulingan. Dia merasa ada
angin menyambar ketika dia bergulingan dan cepat dia menggerakkan tangan
untuk menangkis atau mencengkeram. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa
buntalan di punggungnya terlepas dan ketika dia meloncat berdiri, buntalan
persegi panjang itu telah berada di tangan seorang wanita cantik berpakaian
merah! Tentu saja si gendut ini menjadi terkejut dan marah sekali. Giok-liong-kiam
telah dirampas orang sedemikian mudahnya. Dan kini wanita berpakaian serba
merah itu, yang usianya sekitar tiga puluhan tahun, dengan amat tenang
berdiri mengamat-amati peti hitam panjang, lalu membuka tutupnya dan
melihat isinya yang membuat matanya terbelalak lebar dan wajahnya berseri,
mulutnya tersenyum kagum dan wanita itu mengguman lirih.
"Giok-liong-kiam... indah sekali..."
"Kembalikan barangku!"
Hek-wan membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan
cepatnya. Gerakan Tai-lek Hek-wan ini selain cepat juga amat kuat karena dia
terkenal sekali memiliki tenaga yang besar. Dan kecepatan gerakannya inipun
sesuai dengan julukannya Lutung Hitam, karena memang dia dapat bergerak
cepat dan lincah seperti seekor monyet atau lutung.
"Wuuuttt!" Tubrukan Hek-wan untuk merampas pedang kemala dengan tangan kiri
dan menyerang dengan tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala
wanita itu, hanya mengenai tempat kosong saja, karena wanita itu tahu-tahu
sudah menyingkir dengan gerak langkah kaki ringan dan aneh, tanpa
menghentikan pekerjaannya mengagumi pedang itu! Kembali Hek-wan
menubruk, akan tetapi sekali lagi serangannya dielakkan dengan amat
mudahnya. Tahulah Tai-lek Hekwan bahwa dia berhadapan dengan seorang
wanita yang amat pandai, maka untuk ketiga kalinya dia menyerang,
sepenuhnya menyerang, bukan seperti tadi perhatiannya dipecah untuk
merampas Giok-liong-kiam. Dan serangan seorang bertenaga besar seperti Tailek Hek-wan amatlah berbahaya dan agaknya hal inipun diketahui oleh wanita
itu yang sudah mengalungkan bungkusan itu di lehernya. Wanita itu bukan
hanya mengelak sekarang, melainkan menangkis dari samping.
"Heiiittt...!" Dan tangkisan tangan yang kecil lunak itu membuat Hek-wan terpelanting
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kehilangan keseimbangan badannya! Terkejutlah Hek-wan. Dia berhasil
melompat bangun. "Ngo-houw, bantulah!" teriaknya tanpa malu-malu lagi karena kini dia
hampir yakin bahwa dia berhadapan dengan lawan yang lebih tinggi tingkat
ilmu silatnya. Lam-hai Ngo-houwyang dipimpin oleh si kumis tebal itupun cepat bergerak
mengurung. Mereka melihat betapa Giok-liong-kiam sudah berpindah tangan,
maka mereka harus turun tangan membantu Hek-wan untuk merampas benda
berharga itu kembali dari tangan wanita berpakaian merah.
Orang ketiga dari Lam-hai Ngo-houw yang berusia tiga puluh lima tahun
adalah seorang laki-laki yang mata keranjang. Melihat kecantikan wanita
berpakaian merah itu, sejak tadi dia sudah melongo penuh kagum. Kini, sambil
mengepung bersama teman-temannya, diapun membujuk,.
"Manis" mengapa seorang cantik seperti engkau membahayakan diri
memperebutkan sebuah pedang kemala" Ikutlah aku, dan aku akan
membelikan tusuk konde kemala dan barang-barang indah lain, juga engkau
akan terlindung dan aman...!"
Sungguh merupakan rayuan yang menggelikan karena pada saat itu, si
wanita sedang dikepung dan diancam oleh enam orang laki-laki yang kuatkuat. Wanita itu agaknya tidak marah mendengar rayuan itu. Melihat betapa
lima orang Lam-hai Ngo-houw memasang kuda-kuda dengan kedua tangan
membentuk cakar harimau, sedangkan Tai-lek Hek-wan juga memasang kudakuda seperti ilmu Silat Monyet, iapun terkekeh dengan suara yang agak genit.
"Hi-hi-hik, seekor lutung dan lima ekor harimau! Tapi kalian bisa berbuat
apa terhadap seekor burung bangau yang dapat terbang?"
Tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat tinggi ke atas dan mulailah ia
melancarkan serangan-serangan dari atas dengan kecepatan yang
mengejutkan. Sebelum enam orang itu tahu apa yang terjadi, mereka melihat
warna merah menyambar-nyambar dari atas dengan totokan-totokan jari
tangan yang cepat sekali. Mereka berusaha menangkis dan mengelak, akan
tetapi dua di antara Lam-hai Ngo-houw yang kurang cepat mengelak, terkena
totokan pada ubun-ubun kepala mereka. Ubun-ubun kepala itu pecah
berlubang dan merekapun roboh berkelojotan dan tewas seketika.
Tentu saja tiga orang Lam-hai Ngo-houw terkejut setengah mati melihat
robohnya dua orang adik mereka dalam segebrakan saja itu. Mereka berlima
merupakan jagoan-jagoan di Kanton yang sudah terkenal dan ditakuti karena
ilmu silat mereka yang tinggi. Tentu saja merekapun tahu bahwa banyak orang
pandai di dunia ini dan mereka tidak berani mengaku yang paling pandai, akan
tetapi dalam segebrakan saja harus kehilangan dua orang saudara yang roboh
tewas, hal ini sungguh sukar untuk dapat mereka terima. Apalagi kalau diingat
bahwa mereka berlima, bahkan berenam dengan Tai-lek Hek-wan yang mereka
tahu juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Biarpun mereka dapat
menduga bahwa lawan yang satu ini memang lihai bukan main, namun
kemarahan dan sakit hati membuat mereka kehilangan rasa gentar, dan
merekapun mengeluarkan suara gerengan-gerengan seperti harimau marah.
Gerakan mereka kini semakin ganas dan kedua tangan mereka membentuk
cakar harimau dengan kuat sehingga tangan dan jari-jarinya itu seperti telah
menjadi kaku dan keras. Si kumis tebal lebih hebat lagi. Ketika melihat Hek-wan menyerang ganas
kepada wanita itu, dibantu oleh dua orang adiknya yang juga telah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang, dia mempergunakan
kesempatan itu untuk meloncat ke atas dan menerkam punggung wanita itu,
kedua tangannya yang membentuk cakar harimau itu mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala. Wanita itu terkejut bukan main. Ia sedang menghadapi
terjangan Hek-wan dan dua orang Ngo-Houw yang lain, dan tiba-tiba ada angin
keras sekali menyambar dari belakang atas!
"Heiiiittt!" Ia membentak dan mengelak. Tubrukan itu luput akan tetapi terdengar
bunyi kain robek dan ternyata buntalan Giok-liong-kiam itu robek dan peti
panjang itu terlepas dan jatuh dari pinggang si wanita. Dan sebelum wanita itu
dapat mengambilnya kembali, tiga orang Ngo-houw sudah menerjangnya lagi,
dan melihat kesempatan ini, Hek-wan yang cerdik sudah bergulingan ke arah
Giok-liong-kiam dan sudah berhasil menyambar peti itu! Cepat dia
membungkusnya lagi dan menggantungkan di lehernya!
Melihat ini, wanita baju merah itu tentu saja marah bukan main, akan tetapi
dalam kemarahannya, ia malah tersenyum-senyum, agaknya sama sekali tidak
khawatir akan kehilangan pusaka itu karena ia yakin akan mampu
mengalahkan empat orang ini.
"Hemm" kalian masih belum mau menyerah!" bantak wanita baju merah
itu sambil tersenyum mengejek.
Akan tetapi karena serangan tiga orang itu benar-benar amat berbahaya,
wanita itupun kembali berloncatan ke atas dengan amat lincahnya. Melihat ini,
diam-diam Tailek Hek-wan terkejut dan khawatir sekali. Dia adalah seorang
yang amat cerdik dan melihat tewasnya dua orang di antara Lam-hai Ngohouw, diapun maklum bahwa wanita ini benar-benar seorang lawan yang amat
tangguh dan amat berbahayalah kalau sampai dia melanjutkan perlawanan.
Yang penting adalah menyelamatkan Giok-liong-kiam, pikirnya. Maka, begitu
melihat tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah menyerang lagi dan sekali ini
serangan mereka penuh dengan rasa dendam sehingga amat hebat, diapun
mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri !
Melihat ini, wanita itu berteriak.
"Eh, pengecut, hendak lari kemana engkau?"
Tubuhnya bergerak hendak mengejar, akan tetapi karena tiga orang
harimau itu menyerangnya dengan amat ganas, iapun tidak mudah
melepaskan diri begitu saja.
"Tikus-tikus tolol, kau mau ditipu lutung itu yang melarikan pusaka,
sedangkan kalian dijadikan korban?"
Wanita itu membentak. Bentakan ini agaknya menyadarkan tiga orang
Lam-hai Ngo-houw itu. Biarpun mereka mendendam kepada wanita ini untuk
kematian dua orang saudara mereka, namun pada hakekatnya mereka adalah
orang-orang yang berwatak jahat dan amat senang akan harta, maka
merekapun seperti disadarkan akan kelicikan Tai-lek Hekwan dan mereka
mengendurkan kurungan mereka.
Kesempatan ini dipergunakan oleh si wanita baju merah untuk meloncat,
lolos dari kepungan dan mengejar Lutung Hitam. Tiga orang Lam-hai Ngohouw itupun cepat melakukan pengejaran, mengejar Hek-wan akan tetapi juga
mengejar wanita itu. Tai-lek Hek-wan sudah mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi
betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu ada bayangan merah berkelebat dan
wanita itu sudah menghadang di depannya dengan senyum mengejek.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Marahlah Lutung Hitam ini, marah dan juga putus asa, maka dengan nekat
diapun menubruk ke depan menyerang wanita yang menghadangnya.
Seperti juga tadi, kecepatan gerakan Lutung Hitam itu tidak ada artinya
bagi si wanita baju merah yang ternyata memiliki gerakan lebih cepat lagi.
Wanita itu sudah mengelak ke kiri dan tiba-tiba kakinya mencuat dalam sebuah
tendangan mengarah perut Hek-wan. Lutung Hitam itu terkejut dan hanya
dengan bergulingan menjatuhkan dirinya, dia dapat menyelamatkan perutnya
dari ciuman sepatu yang akan membahayakan keselamatannya itu. Akan tetapi
pada saat itu, tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah tiba pula di situ, dan dengan
marah si kumis tebal menubruk ke arah tubuh Hek-wan yang bergulingan
untuk merampas buntalan di punggungnya.
"Dukk!!" Hek-wan menangkis dan keduanya terpental.
"Sobat, kenapa berbalik menyerangku " Mari kita keroyok wanita iblis itu.
"Pengecut, tak perlu merayu!" bentak si kumis tebal yang terus saja
menyerang lagi dengan marahnya.
Sementara itu, dua orang adiknya sudah mengeroyok si baju merah yang
melayani mereka sambil tersenyum simpul karena girang hati wanita itu sudah
berhasil membakar hati si kumis tebal. Baginya sesungguhnya sama saja.
Andaikata dikeroyok sekalipun, ia yakin akan dapat merobohkan mereka
semua. Apalagi sekarang si kumis tebal yang marah dan merupakan orang
pertama paling lihai dari Lam-hai Ngo-houw telah menumpahkan
kemarahannya kepada Tai-lek Hek-wan, sehingga ia hanya menghadapi dua
orang lawan, tentu dianggapnya amat ringan.
Ternyata kekuatan antara si kumis tebal dan Tai- lek Hek-wan seimbang
dan selisihnya hanya sedikit saja. Kalau perkelahian itu dilanjutkan, akhirnya si
kumis tebal tentu akan kalah. Sudah tiga kali dia terkena pukulan dan
tendangan dari Lutung Hitam, akan tetapi ternyata orang pertama dari Lamhai Ngo-houw itu kuat sekali tubuhnya dan belum juga roboh.
Sementara itu, dengan mudahnya wanita baju merah itu telah merobohkan
dua orang pengeroyoknya dengan totokan-totokan yang membuat kedua lawan
itu roboh dengan mata mendelik dan napas putus. Kini wanita baju merah itu
berdiri sambil tersenyum lebar, geli dan juga gembira.
Melihat robohnya dua orang lagi, wajah Tai-lek Hek-wan berobah pucat.
Sambil menangkis sebuah pukulan dari si kumis tebal, dia menghardik.
"Tolol! Dua orang adikmu sudah roboh pula, tinggal kita berdua yang
terancam maut dan engkau masih menyerangku seperti orang gila?"
Si kumis tebal menoleh dan barulah dia terkejut bukan main. Tadi dia
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang Hek-wan sehingga dia
tidak memperhatikan dua orang adiknya, dan kini dia melihat betapa dua orang
adiknya telah menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan wanita baju merah
itu berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek. Dapat dibayangkan betapa
sedih dan marah hatinya. Empat orang adik-adiknya telah tewas semua di
tangan wanita cantik ini.
"Aurrggghhh...!"
Gerengan seperti seekor harimau keluar dari dalam dadanya, dan biarpun
suara harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun sudah terkena pukulan
dan tendangan Hek-wan, si kumis tebal ini mengerahkan seluruh tenaganya,
menubruk ke arah wanita baju merah. Melihat ini, Hek-wan lalu membalikkan
tubuhnya dan... lari tunggang langgang sekuat tenaga!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Hemm"!!" Wanita baju merah itu melompat ke kiri dan tangannya menyambar ke
samping. "Plakk!" Tubuh si kumis tebal terpelanting dan roboh berkelojotan karena pelipisnya
berlubang terkena tusukan dua jari tangan wanita itu. Tanpa menengok lagi
kepada korbannya yang ia yakin tentu akan tewas, wanita itu sudah
berloncatan dengan amat cepatnya mengejar Tai-lek Hek-wan!
Si Lutung Hitam menjadi panik dan wajahnya sudah pucat sekali ketika
untuk kedua kalinya wanita baju merah itu sudah menghadang di depannya
sambil tersenyum manis, senyum yang baginya tidak manis lagi melainkan
menyeramkan! Dia bukan orang nekat seperti Lam-hai-houw. Sebaliknya, si
gendut ini cerdik bukan main. Kecerdikannya sudah nampak ketika dia
membiarkan Sin-touw dan Phek Kiat saling bunuh sehingga dia mampu
memperoleh Giok-liong-kiam dan madat yang amat banyak tanpa
mengeluarkan sedikitpun tenaga. Juga dia sudah mampu menggerakkan hati
Lam-hai Ngohouw sehingga lima orang itu mau bersekutu dengan dia.
Sekarang, melihat betapa Lam-hai Ngo-houw sudah tewas semua, diapun tidak
begitu bodoh untuk menjadi nekat. Betapapun besar harganya Giok-liong-kiam,
tentu saja masih tidak melebihi nyawanya sendiri. Apa artinya Giok-liong-kiam
kalau dia sudah tidak bernyawa seperti kelima orang Lam-hai Ngo-houw itu"
Tanpa malu-malu lagi, Tai-lek Hek-wan lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki wanita baju merah itu, berkali-kali menyentuh tanah dengan
dahinya dan kedua tangannya segera menurunkan buntalan Giok-liong-kiam.
"Ampun... harap lihiap (pendekar wanita) sudi mengampunkan nyawa
saya...... saya mengaku kalah dan dengan rela menyerahkan Giok-liong-kiam
kepada lihiap..." Wanita cantik itu tersenyum mengejek, geli melihat betapa perut yang
gendut itu menghalangi Hek-wan untuk dapat memberi hormat dengan baik.
Perutnya mengganjal ketika orang itu berlutut menyembah-nyembah. Sikap
Tai-lek Hek-wan yang ia tahu selain cukup lihai juga amat cerdik itu, yang kini
menyembah-nyembahnya dengan begitu merendahkan diri, dianggap cukup
berharga untuk menebus nyawa orang itu.
"Hemm" baiklah, monyet. Aku mau mengampuni nyawamu. Coba buka
peti itu dan perlihatkan aku Giok-liong-kiam."
Wanita itu memang cerdik. Tadi ia sudah melihat Giok-liong-kiam dan tidak
meragukan lagi keasliannya. Akan tetapi untuk beberapa saat lamanya pusaka
itu telah dapat dirampas kembali oleh Hek-wan, maka ia tidak ingin tertipu dan
hendak melihat lebih dahulu apakah benar itu barang yang aseli. Ia sudah
cukup mengenal kelicikan orang seperti Tai-lek Hek-wan ini dan bisa saja
penjahat itu memberinya peti yang isinya barang beracun yang akan
menyerangnya kalau dibukanya.
Akan tetapi, Hek-wan tidak sempat melakukan hal itu dan memang bukan
tidak mungkin hal itu dilakukannya, bahkan lebih hebat dari itu kalau saja dia
berkesempatan. Kini tidak ada lain jalan baginya kecuali menyerahkan pusaka
itu sebagai penukar nyawanya. Dibukanya buntalan dan dibukanya peti hitam
itu. Dengan peti terbuka sehingga nampak isinya, dia menyerahkan benda itu
dengan kedua tangannya. Wanita cantik itu menjadi girang, melihat bahwa isi
peti memang Giok-liong-kiam yang tulen. Akan tetapi pada saat ia hendak
menerimanya, tiba-tiba ada angin menyambar dan sinar putih menyambar ke
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan arah peti di tangan Tai-lek Hek-wan. Sinar itu ternyata sebatang tali yang


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar cepat, seperti ular hidup hendak merampas peti, dibarengi bunyi
meledak nyaring. Melihat ini, wanita baju merah itu terkejut dan marah. Tangannya
dikibaskan ke bawah menangkis sambaran tali dan kakinya menendang tubuh
Tai-lek Hek-wan sehingga si gendut ini terguling-guling bersama peti yang
masih dipegangnya. Memang wanita itu ingin menyingkirkan Hek-wan agar
peti itu tidak sampai terampas orang, kemudian ia membalik dan berhadapan
dengan orang yang telah menggunakan tali hendak merampas peti itu.
Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun lebih,
bermuka pucat dan tanpan, pakaiannya pesolek dan dia tersenyum masam
ketika talinya membalik terkena tangkisan si wanita baju merah. Sambil
menggulung talinya, kini dia berdiri saling pandang dengan si wanita baju
merah dan dia tertawa. "Ha-ha-ha" seorang tokoh Ang-hong-pai yang lihai juga!"
Wanita cantik baju merah itu cemberut dan memandang dengan sinar mata
marah. Siapa takkan marah melihat daging sudah di mulut kini terancam lepas"
Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka yang putih itu.
"Hemm, agaknya Pek-bin Tiat-ciang yang muncul. Apakah sekarang
tangan besimu sudah berkarat maka engkau mempergunakan tali untuk
mencoba menjadi pencuri?"
Wanita itu mengejek. Si muka putih itupun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha" siapa yang menjadi pencuri" Monyet gendut inikah, atau
engkau, ataukah aku?"
Tai-lek Hek-wan masih berdiri sambil mendekap buntalan berisi peti
panjang Giok-liong-kiam itu, mukanya pucat dan dia merasa betapa kedua
kakinya menggigil. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dia
berhadapan dengan dua orang yang memiliki nama besar yang amat terkenal
di seluruh Negara. Kiranya wanita itu adalah seorang tokoh perkumpulan Anghong-pai (Perkumpulan Tawon Merah) yang ditakuti dunia kangouw seperti
orang menakuti gerombolan setan.
Sedangkan nama Pek-bin Tiat-ciang (Tangan Besi Bermuka Putih) juga
tidak kalah terkenalnya, sebagai seorang petualang yang ringan tangan dan
mudah saja membunuh orang. Entah sudah berapa banyaknya orang, baik dari
golongan sesat maupun kaum pendekar, yang tewas di tangan jagoan ini.
Kedua orang ini termasuk tokoh-tokoh sesat yang lihai sekali. Matilah aku,
karena dia maklum bahwa kepandaiannya jauh sekali berada di bawah kedua
orang ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdik itu diputar mencari akal.
Bagaimanapun juga, wanita baju merah itu tadi memperlihatkan sikap lunak
dan mau mengampuninya, sedangkan laki-laki muka putih tampan
menyeramkan ini belum tentu mau membiarkan dia hidup.
Sementara itu, wanita tokoh Ang-hong-pai itu sudah menerjang dengan
ganasnya, menggunakan pukulan-pukulan yang dilakukan dengan jari-jari
tangan terbuka, totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang mematikan.
"Heiiittt...!" bentaknya nyaring ketika kedua tangannya menyambar
dengan kecepatan kilat. "Wah, ganas...!"
Laki-laki muka putih itupun menggeser kaki dan menangkis dengan cepat
pula. "Plak! Plakk!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Laki-laki itu terkejut karena biarpun dia sendiri berjuluk Tiat-ciang (Tangan
besi), akan tetapi ketika lengannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia
merasa seolah-olah bertemu dengan daging lunak tak bertulang. Tahulah dia
bahwa wanita lihai itu dalam menghadapi kekerasan tangannya telah
mempergunakan ilmu Bian-kun atau tangan yang berobah menjadi kapas,
mempergunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk melawan yang keras dengan
yang lunak. Menghadapi tangan yang lunak itu, Pek-bin Tiat-ciang merasa seolah-olah
tangannya seperti besi memukul kapas di udara, sama sekali tidak berbekas.
Maka diapun bersilat dengan hati-hati sekali, maklum bahwa wanita itu sama
sekali tidak boleh dipandang ringan. Sambil membentak marah, diapun lalu
mengerahkan tenaga saktinya, tidak lagi berani main-main atau senyumsenyum, melainkan menyerang dengan amat kuat. Angin pukulan bertiup
dahsyat ketika Tiat-ciang melakukan serangannya. Akan tetapi wanita itu
dengan gerakan indah dapat mengelaksambil mengibaskan tangan menangkis
dari samping. "Rasakan kau!" bentak Tiat-ciang sambil mengeraskan tangannya yang
tertangkis, karena sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya yang
membuat tangan itu seolah-olah berobah menjadi baja.
"Dukkk...!" Wanita itu menyeringai menahan jeritnya karena tangannya terasa nyeri
bukan main. Rasa nyeri seperti menusuk jantungnya, seolah-olah tulang-tulang
tangannya menjadi remuk. Karena rasa nyeri ini, tubuhnya agak terhuyung dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Tiat-ciang untuk menubruk dengan kedua
tangan terpentang. Akan tetapi betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dari
samping ada angin pukulan menyambar, dan ternyata Tai-lek Hek-wan yang
menyerangnya! Hek-wan yang cerdik tidak lama mengambil keputusan dan dia
sudah maju membantu tokoh Ang-hong-pai. Dia merasa lebih aman kalau tokoh
wanita itu yang menang, maka diapun membantu ketika melihat wanita itu
terdesak. "Plakkk!" Tangkisan Tiat-ciang membuat tubuh Hek-wan terlempar dan diapun
bergulingan sampai jauh. Baru dia berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh
sesuatu. Kiranya yang menahannya itu adalah mayat si kumis tebal, orang
pertama Lam-hai Ngo-houw dan tanpa disengaja dia melihat buntalan madat.
Teringatlah dia betapa banyaknya madat itu dan betapa benda itu juga
merupakan harta yang amat besar. Mengapa tadi dia lupa sama sekali tentang
buntalan madat ini" Cepat dia mengambil buntalan itu dan mengalungkannya
ke leher. Ketika menengok, dia melihat betapa wanita itu kini mulai mendesak si
muka putih! Dan melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan mati-matian,
timbul pula niatnya yang terdorong ketamakan dan kecerdikan. Diam-diam
diapun melarikan diri, kini membawa dua buntalan itu, buntalan madat dan
buntalan Giok-liong-kiam!
"Keparat, kau hendak lari kemana?"
Tiba-tiba terdengar bentakan suara tokoh Ang-hong-pai itu. Hek-wan
terkejut dan menengok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat
wanita baju merah dan laki-laki muka putih itu telah berloncatan mengejarnya.
Kiranya mereka itu, biarpun sedang berkelahi, tidak pernah melepaskan
perhatian mereka terhadap benda yang diperebutkan, yaitu Giok-liong-kiam!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tadi, ketika Hek-wan membantu tokoh Ang-hong-pai menyerang Pek-bin Tiatciang, Si Tangan Besi itu terpaksa menghentikan serangannya terhadap
lawannya yang tangguh dan menangkis serangan Hek-wan. Akan tetapi pada
saat itu, si wanita yang memiliki gerakan amat cepatnya telah meloncat ke
atas, seperti terbang ia turun menerjang dengan amat hebatnya, tangannya
menyerang dengan totokan-totokan berbahaya. Tentu saja Pek-bin Tiat-ciang
cepat mengelak dan menangkis, akan tetapi sebuah tendangan kaki wanita itu
yang dilakukan dari belakang, seperti seekor tawon menyengat, telah
mengenai pangkal pahanya, membuat Tiat-ciang terhuyung dan selanjutnya
wanita itu menyerangnya dengan bertubi-tubi, membuatnya nampak terdesak.
Pada saat itulah Hek-wan melarikan diri. Dua orang yang sedang berkelahi
itu tentu saja tidak dapat membiarkan hal ini terjadi. Mereka berkelahi justeru
untuk memperebutkan Giok-liong-kiam yang berada di tangan Hek-wan. Kalau
Hekwan berhasil melarikan diri membawa Giok-liong-kiam, perlu apa mereka
saling serang lagi" Demikianlah, bagaikan berlumba, keduanya kini melakukan
pengejaran. Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Hek-wan melihat betapa dua
orang itu kini mengejarnya! Baru melawan seorang di antara mereka saja dia
tidak akan mampu menang, apalagi kini dikejar oleh mereka berdua! Akan
tetapi dia tidak kekurangan akal. Otaknya bekerja dan tahulah dia bahwa satusatunya cara untuk menyelamatkan diri dan menahan pengejaran mereka
adalah memancing mereka dengan Giok-liong-kiam. Maka diapun lalu berseru
keras. "Lihiap, ini Giok-liong-kiam itu, terimalah!"
Dan diapun melemparkan buntalan peti panjang berisi Giok-liong-kiam itu
ke arah dua orang yang mengejar di belakangnya.
Akalnya berhasil dengan baik. Melihat benda yang amat diinginkan itu kini
dilemparkan, dua orang itu tentu saja lalu berlumba untuk lebih dahulu
memperolehnya. Benda itu oleh Hek-wan dilemparkan ke arah tokoh Ang-hongpai, maka wanita itulah yang lebih dulu menyambar peti.
"Brakkk...!" Si Tangan Besi menghantamkan tangannya ke arah peti dan peti itupun
pecah, isinya yaitu pedang naga kemala itu terlempar dari dalam peti dan jatuh
ke atas tanah! Keduanya kini berebutan, berlumba untuk menubruk, dan
akibatnya mereka saling bertumbukan. Tentu saja keduanya marah dan tahu
bahwa sebelum merobohkan lawan, tak mungkin mereka bisa mendapatkan
pedang pusaka itu, maka kini mereka membiarkan pedang itu menggeletak di
atas tanah dan keduanya sudah saling terjang lagi dalam perkelahian matimatian yang lebih sengit dari pada tadi.
Dengan hati girang, Tai-lek Hek-wan melanjutkan larinya, membawa
buntalan madat. Lumayan, pikirnya, tidak terlalu mengecewakanlah
memperoleh modal kekayaan berupa tiga puluh kati madat ini walaupun gagal
mendapatkan Giok-liong-kiam, pikirnya, yakin bahwa dua orang itu tentu lebih
mementingkan Giok-liong-kiam yang diperebutkannya dari pada mengejar dia
yang melarikan madat. Dan dugaannya ini memang betul. Dua orang pandai itu
sama sekali tidak memperdulikannya lagi karena kini mereka sudah saling
serang mati-matian untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggeletak
di atas tanah. Ketika dengan hati girang sekali Tai-lek Hek-wan yang melarikan diri itu
hampir tiba di tepi hutan, mendadak ada angin dari kiri yang menerjangnya.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Hek-wan terkejut dan cepat mengelak, namun percuma saja karena tiba-tiba
saja ada tenaga raksasa yang membuatnya terpelanting. Dia berusaha bangkit,
akan tetapi mendadak muncul seorang laki-laki raksasa bermuka hitam yang
tertawa-tawa dan kaki orang tinggi besar ini menyambar, Hek-wan melompat
sambil menangkis dengan lengannya ketika kaki yang besar itu menendang ke
arah tubuhnya. "Ehhh...!" Tai-lek Hek-wan meloncat bangun dan memandang marah ketika dia
melihat betapa buntalan madat itu kini berada di tangan seorang laki-laki
berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu mengenakan
pakaian kasar, sikapnya kasar dan wajahnya yang penuh berewok itu
menakutkan. Matanya lebar dan mulutnya menyeringai girang ketika dia
membuka buntalan dan melihat isi buntalan.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau pemadatan besar! Pantas saja begini lemah,
tertiup angin saja roboh. Itulah kalau terlalu banyak menghisap madat, hua-haha!" Dia tertawa bergelak, perutnya bergoyang-goyang karena ketika tertawa,
dia menengadah dan mengangkat kedua lengannya ke atas.
Tai-lek Hek-wan melihat kesempatan yang amat baik ini dan diapun
meloncat ke depan dan menendang ke arah perut yang bergoyang-goyang itu
sekuat tenaganya. "Klekk...!" Tendangannya tepat mengenai perut, akan tetapi bukan orang itu yang
roboh, bahkan tubuhnya sendiri terjengkang dan dia terbanting untuk ke tiga
kalinya, dan tanpa malu-malu lagi dia mengaduh-aduh sambil memegang kaki
kanannya karena tulang-tulang kakinya itu seperti remuk rasanya. Dia tadi
seperti menendang sebuah gentong besi saja, keras dan amat kuat sehingga
kakinya sendiri yang mengeluarkan bunyi seolah-olah semua tulangnya patah.
Akan tetapi karena marah dan kecewa melihat hasil rampasannya kini di
tangan orang, dia memaksa diri meloncat bangun lagi.
"Kembalikan barangku...!"
Hampir dia menangis ketika mengeluarkan tuntutan ini. Akan tetapi orang
tinggi besar itu masih terus tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau tentu penyelundup candu, engkau meracuni banyak
orang. Orang seperti engkau ini harus dihukum berat, akan tetapi aku tidak
mempunyai banyak waktu untuk mengurusmu. Engkau tidak mengaku dosa
malah hendak minta kembali racun ini" Sungguh tak tahu diri!"
Hek-wan mengerutkan alisnya dan memandang orang itu penuh perhatian.
Orang ini berpakaian kasar, terlalu kasar, maka sepantasnya orang ini
melakukan penyamaran. Sikapnya begitu angkuh dan pandang matanya
berwibawa, pantasnya seorang pembesar militer. Apakah seorang perwira
yang menyamar" Dia mendengar bahwa di antara orang-orang yang sibuk
menyelidiki dan mencari Giok-liong-kiam terdapat pula jagoan-jagoan dari
istana. Apakah orang ini juga seorang di antara mereka" Diam-diam dia
bergidik dan menjadi ragu-ragu.
"Nanti dulu!" Tiba-tiba raksasa itu membentak.
"Aku bilang tidak mempunyai waktu untuk mengurusmu bukan berarti
melepaskanmu begitu saja. Orang macam engkau ini terlalu berbahaya
dibiarkan terlepas begitu saja. Hayo ke sini kau!"
Tai-lek Hek-wan membalik dan menghadapi orang itu dengan sinar mata
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan marah. "Barangku sudah kau rampas, mau apalagi memanggil aku?" katanya
ketus. Raksasa itu menuding ke arah sepatunya yang besar dan kotor.
"Aku sudah melakukan perjalanan jauh dan tidak mengajak para
pengawalku untuk membersihkan sepatuku yang kotor. Hayo kau bersihkan
sepatuku, baru aku akan membiarkanmu pergi."
Wajah Lutung Hitam itu berobah semakin hitam. Dia bukan sembarang
orang dan banyak orang yang takut dan taat kepadanya. Kini orang menghina
sampai di luar batas! "Ha-ha, orang macam engkau ini masih bisa bicara tentang kehormatan
dan penghinaan" Hidupmu sudah di dalam lumpur kehinaan. Aku hanya ingin
menukar nyawamu yang rendah itu dengan pekerjaan membersihkan sepatu
dan kau banyak cakap lagi" Hayo bersihkan sepatuku, atau aku mewakili
pemerintah melaksanakan hukuman mampus kepadamu. Pilih saja!"
Kini yakinlah hati Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang
petugas pemerintah yang menyamar. Dan jelas pula bahwa orang ini memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi dan dia tidak akan mampu mengalahkannya. Di
situ tidak terdapat orang lain, mengapa harus meributkan tentang kehormatan.
"Baiklah...!" Katanya dan diapun berlutut di depan orang itu, menggunakan ujung
lengan bajunya untuk membersihkan kedua sepatu yang penuh debu itu. Kalau
saja ada orang yang melihat peristiwa ini. Betapa akan malunya dan akan
hancur nama besarnya. Dia terkenal sebagai orang yang paling ditakuti di
seluruh daerah Nan-leng, dan kini dia membersihkan sepatu orang, berlutut di
depan orang itu. Kemarahannya tak dapat ditahannya lagi dan otaknya yang
cerdik itu bekerja. Orang yang menghinanya berdiri begitu dekat, tidak ada
yang akan dapat menghalanginya lagi. Diam-diam dia mengerahkan tenaganya
dan tiba-tiba saja dia menghantam ke arah pusar orang itu, dari jarak yang
amat dekat. "Krakk... aughhhh...!"
Tubuh Tai-lek Hek-wan terkulai dan dia roboh tewas dengan belakang
kepala remuk karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, si tinggi besar
itu telah lebih dahulu menghantam tengkuknya! Sekali ini Tai-lek Hek-wan
yang biasanya cerdik itu salah perhitungan. Dia terlalu memandang rendah
lawannya. Padahal begitu dia mengerahkan tenaga, si raksasa itu telah
mengetahuinya sehingga dapat mendahuluinya, menghantam tengkuknya dari
atas, sehingga bukan saja pukulan itu melumpuhkan semua gerakannya, juga
membuat nyawanya melayang!
Dengan sikap jijik, kakek bertubuh raksasa itu lalu menendang mayat Hekwan sampai terlempar jauh, kemudian diapun membuang buntalan madat itu
ke dalam jurang tak jauh dari situ sambil mengomel.
"Candu ini harus dimusnahkan di seluruh dunia, membuat manusia
menjadi boneka, menjadi mayat-mayat hidup, berbahaya sekali..."
Tiba-tiba dia berhenti bergerak dan sejenak diam tak bergerak, samarsamar dia mendengar suara orang berkelahi dan tak lama kemudian, raksasa
ini sudah berlari dengan langkah lebar menuju ke tempat orang yang sedang
berkelahi itu. Raksasa ini memang bukan orang sembarangan, dan seperti


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dugaan Tai-lek Hek-wan, dia adalah seorang jagoan istana!
Kaisar mengirim beberapa orang jagoan untuk melakukan penyelidikan dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kalau mungkin merampas pusaka Giok-liong-kiam yang demikian
menghebohkan dunia persilatan. Bagi kaisar, seluruh pusaka yang terdapat di
negeri itu adalah hak dan milik istana! Karena itu, Giok-liong-kiam yang
diperebutkan itupun adalah hak istana. Dan raksasa ini adalah seorang
diantara para jagoan istana, namanya Tang Kui, dan jabatannya adalah
komandan pasukan pengawal di luar istana. Karena namanya terkenal di
kalangan para pengawal sebagai seorang komandan yang pandai, tegas dan
memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar, maka dia terpilih
sebagai seorang di antara para jagoan yang ditugaskan mencari dan merebut
pusaka Giok-liong-kiam. Sebentar saja Tang Kui telah tiba di tempat dimana tokoh Ang-hong-pai itu
masih berkelahi dengan hebatnya melawan Pekbin Tiat-ciang. Dari jauh saja
Tang Kui yang banyak mempelajari keadaan kang-ouw dan mengenal banyak
tokoh kang-ouw, mengenal siapa mereka yang sedang berkelahi itu. Dia
mengenal Theng Ci, murid kepala Ang-hong-pai yang lihai itu, dan dia
mengenal pula Pek-bin Tiat-ciang, pria pesolek tanpan bermuka putih yang
merupakan tokoh di antara kaum sesat itu. Maka diapun cepat menyelinap di
antara pohon-pohon dan mendekat.
Pada saat itu, perkelahian antara kedua orang ini sudah mencapai
puncaknya. Pek-bin Tiat-ciang sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pecut
panjang yang biasanya menjadi pengikat pinggangnya. Pecut panjang putih
itu kini membentuk lingkaran-lingkaran dan menyerang si wanita cantik dari
pelbagai jurusan. Akan tetapi, Theng Ci adalah murid kepala Ang-hong-pai,
tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan terutama sekali gerakannya
yang amat ringan itu membuat ia selalu dapat berloncatan ke sana-sini
menghindarkan diri dari totokan ujung pecut. Nampaknya pemandangan yang
amat indah dari perkelahian ini. Pecut putih itu menjadi sinar bergulunggulung, dan pakaian Theng Ci yang merah juga membuat gerakannya yang
cepat membentuk bayangan merah. Dari jauh nampak warna merah dan putih
yang berselang-selang amat indahnya.
Jangan dikira bahwa Theng Ci yang bertangan kosong itu terdesak. Sama
sekali tidak, karena wanita cantik ini kadang-kadang membalas serangan
lawannya dengan sambitan jarum-jarum halusnya. Bukan sembarang jarum,
melainkan jarum halus yang mengandung racun! Ang-hong-pai adalah
perkumpulan para wanita yang lihai dan juga suka mempergunakan racunracun binatang yang ampuh, terutama sekali racun-racun lebah, sesuai dengan
nama perkumpulanitu, ialah Ang-hong-pai (Perkumpulan Lebah Merah).
Karena jarum-jarum ini amat berbahaya, maka Pek-bin Tiat-ciang bersikap
waspada dan gerakan pecutnya itu sebagian besar dipergunakan untuk
melindungi tubuhnya dari ancaman jarum halus.
Hanya sebentar saja Tang Kui si komandan yang menyamar itu menonton
perkelahian dan diam-diam dia juga kagum karena maklum bahwa baginya,
dua orang itu masing-masing merupakan seorang lawan yang tangguh. Akan
tetapi pandang matanya segera tertarik oleh mengkilapnya sebuah benda yang
menggeletak tak jauh dari sesosok mayat berkumis lebat. Benda itu adalah
sebatang pedang kecil terbuat dari kayu giok berukirkan naga. Giok-liongkiam!
Hatinya berdebar amat kerasnya karena biarpun selamanya dia belum
pernah melihat sendiri bagaimana macamnya Giok-liong-kiam, namun dia
sudah mendapatkan keterangan jelas mengenai benda pusaka itu sebelum dia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menerima tugas mencarinya. Hampir Tang Kui tak percaya. Giok-liong-kiam
berada di situ pula, dan kini mengertilah dia mengapa dua orang tokoh sesat
itu berkelahi. Tentu mereka berdua itu sedang memperebutkan Giok-liongkiam. Memang sudah beberapa hari lamanya dia menaruh curiga terhadap
Then Ci, wanita tokoh Ang-hong-pai itu. Diam-diam dia membayangi Theng Ci
dari jauh. Tidak disangkanya dia melihat Theng Ci berkelahi dengan Pek-bin
Tiat-ciang dan di situ terdapat Giok-liong-kiam!
Setelah membuat perhitungan dengan pandang matanya, tiba-tiba Tang
Kui meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan diapun lari ke arah
pedang pusaka itu dan disambarnya benda itu. Seketika Theng Ci dan Tiatciang berteriak kaget melihat munculnya orang yang menyambar Giok-liongkiam sehingga mereka berdua secara otomatis menghentikan perkelahian.
Tang Kui sudah meloncat jauh dan melarikan diri. Tentu saja dua orang itu
menjadi marah sekali dan mereka melakukan pengejaran secepatnya. Tang Kui
lari ke selatan, ke bagian hutan yang lebih dalam. Agaknya sukar bagi dua
orang yang sudah kelelahan karena sejak tadi berkelahi itu untuk dapat
menyusul Tang Kui. Dan mereka sudah hampir kehilangan jejak raksasa itu,
ketika tiba-tiba mereka melihat ada seorang yang tinggi kurus tiba-tiba muncul
dan menyerang Tang Kui. Serangan dilakukan secara tiba-tiba, dan biarpun
Tang Kui berhasil menangkis, akan tetapi posisi kakinya membuat dia
terpelanting, dan hal ini saja menunjukkan betapa lihainya penyerang yang
bertubuh jangkung itu. Si jangkung itu menyusulkan tendangan, bukan
menendang bagian tubuh yang berbahaya, melainkan menendang tangan
Tang Kui yang memegang Giok-liong-kiam.
"Dukkk!" Tendangan itu mengenai tepat pergelangan tangan itu karena Tang Kui
sedang terpelanting, dan pedang pusaka itupun terlempar jauh ke kiri!
"Wuuuuttt...!" Tiba-tiba muncul pula seorang laki-laki yang berpakaian serba putih dan
dengan sigapnya laki-laki itu meloncat dan menyambar Giok-liong-kiam
dengan tangan kirinya, lalu berdiri mengamati pusaka itu dengan penuh
kagum. "Hemm, inilah Giok-liong-kiam..." guman laki-laki berpakaian putih.
Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, berusia kurang lebih empat puluh
tahun, pakaiannya sederhana serba putih, dan melihat orang yang telah
merampas Giok-liong-kiam, Tang Kui segera mengenalnya. Orang itu adalah
Kam Hong Tek, seorang pendekar yang namanya terkenal juga di daerah
selatan. "Kembalikan Giok-liong-kiam kami kepadaku!"
Tiba-tiba laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berseru dan dengan beberapa
langkah dia mendekati Kam Hong Tek. Pendekar Kam ini mengangkat muka
memandang. Laki- laki tinggi kurus itu berusia empat puluh tahun lebih, selain
tubuhnya yang tinggi kurus itu merupakan hal yang tidak wajar, juga bajunya
disulam di bagian dada dengan gambar bundar yang menggambarkan ImYang.
Melihat gambar ini, Kam Hong Tek dapat menduga bahwa dia berhadapan
dengan orang Thian-te-pai. Agaknya orang tinggi kurus itupun mengenal Kam
Hong Tek dari pakaiannya dan sikapnya, maka dia menjura dengan hormat.
"Kalau saya tidak salah, saya berhadapan dengan pendekar Kam Hong Tek
dari pegunungan selatan. Benarkah?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Pendekar Kam Hong mengangguk.
"Dan saudara tentulah seorang tokoh Thian-te-pai, bukan?"
"Benar, saya hanya seorang murid saja, menerima perintah ketua kami
untuk mencari pusaka kami yang hilang dicuri orang. Nama saya Lui Siok Ek,
harap saudara sudi memandang nama perkumpulan kami dan suka
mengembalikan pusaka perkumpulan kami."
"Semua pusaka di tanah air ini adalah hak milik Sri Baginda kaisar!"
Tiba-tiba Tang Kui berseru dan dengan langkah lebar dia mendekat pula.
"Aku Tang Kui adalah komandan pasukan pengawal yang bertugas
mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Serahkan itu kepadaku!"
"Kembalikan pusaka itu kepadaku!"
Dan muncullah Theng Ci yang diikuti pula oleh Pek-bin Tiat-ciang. Akan
tetapi dua orang inipun terheran-heran melihat bahwa di situ terdapat tiga
orang, dan pedang pusaka itu tidak lagi dipegang oleh si raksasa, melainkan
oleh seorang berpakaian putih-putih yang mereka kenal sebagai pendekar Kam
Hong Tek yang tidak asing lagi namanya!
Kam Hong Tek tertawa. "Ha-ha-ha, sekarang menjadi ramai! Kulihat nona adalah seorang anggauta
Ang-hong-pai, dan saudara ini tentulah Pek-bin Tiat-ciang yang terkenal. Ada
murid Thian-tepai dan ada pula utusan istana. Kita semua tahu bahwa semua
orang di dunia persilatan memperebutkan Giok-liong-kiam. Akan tetapi,
kitapun tahu akan adanya nasib dan tanpa kusengaja, Giok-liong-kiam
melayang ke arah diriku dan berhasil kutangkap. Bukankah ini namanya nasib
dan memang pusaka ini berjodoh dengan diriku" Harap cu-wi (anda sekalian)
dapat memaklumi hal ini dan tidak menentang nasib!"
"Nasib tahi anjing!" Pek-bin Tiat-ciang membentak marah.
"Pusaka itu adalah milikku. Kembalikan!"
Dan si muka putih ini dengan marah lalu menerjang pendekar Kam Hong
Tek. Melihat serangan yang ganas dan berbahaya itu, Kam Hong Tek cepat
meloncat ke samping dan mengibaskan tangan kanannya menangkis,
sedangkan pusaka itu dipegangnya dengan erat-erat di tangan kiri.
"Dukk...!" Keduanya terdorong mundur dan hal ini saja membuat mereka maklum
bahwa tenaga mereka berimbang. Akan tetapi Lui Siok Ek, murid Thiante-pai
itu, tanpa banyak cakap lagi sudah menerjang pula ke depan dan gerakannya
demikian aneh dan cepat, sehingga tahu-tahu tangan kirinya sudah dapat
menangkap ujung Giok-liong-kiam pada saat Kam Hong Tek miringkan
tubuhnya karena kembali Pek-bin Tiat-ciang menyerangnya.
Kam Hong Tek terkejut dan mencoba untuk menarik pedang batu kemala
itu, namun murid Lui Siok Ek itu mempertahankannya. Terjadilah betotmembetot, tarik-menarik, dan pada saat itu, Theng Ci wanita baju merah itu
mengirim tendangan kilat yang ditujukan ke arah pergelangan tangan Kam
Hong Tek. Pada saat yang sama pula, seperti sudah direncanakan saja, Pek-bin
Tiat-ciang juga mengirim tendangan, ditujukan ke arah pergelangan tangan
murid Thian-te-pai. Dua tendangan kilat itu amat kuat dan berbahaya dan
mereka yang sedang bersitegang memperebutkan pedang pusaka itu maklum
akan hal ini, dan terpaksa mereka lalu melepaskan pegangan dan melontarkan
pedang pusaka itu ke atas, kemudian tangan mereka membalik dan menangkis
tendangan. Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu dilontarkan oleh gabungan dua tenaga,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan terlempar jauh dan tinggi ke udara. Lima orang yang sedang memperebutkan
pedang pusaka itu memandang ke atas dan mereka sudah siap untuk meloncat
dan berlumba memperoleh pusaka itu lebih dahulu, walaupun masing-masing
maklum bahwa empat orang yang lain pasti akan menghalanginya atau akan
merampasnya kembali. Setiap jalur urat syaraf di tubuh lima orang itu sudah menegang dan
masing-masing sudah siap untuk meloncat ke atas ketika benda yang
berkilauan hijau itu melayang turun dari atas. Akan tetapi, ketika benda itu
sudah meluncur turun sampai kira-kira lima tombak dan semua orang sudah
siap meloncat, tiba-tiba saja benda itu menyeleweng ke arah barat dan lenyap
diantara daun-daun pohon, menimbulkan suara berkerosakan ketika benda itu
menerjang daun-daunpohon yang lebat. Tentu saja semua orang menjadi
terkejut dan heran, akan tetapi juga penuh kekhawatiran karena benda itu tibatiba saja lenyap. Seperti dikomando saja, lima orang itu lalu berloncatan dan
lari ke arah pohon besar di sebelah barat itu.
Dan merekapun berdiri tertegun ketika melihat seorang kakek berjubah
pendeta, bertubuh gendut sekali sehingga kelihatannya bulat. Kepalanya yang
nampak kecil karena tubuh yang gendut itu juga bulat, dan kakek itu nampak
lucu karena kepalanya gundul licin tanpa penutup kepala. Dia duduk bersila di
atas batu hitam, sama sekali tidak bergerak, dan kedua matanya terpejam,
kedua tangan dirangkap di depan dada. Jubah kuningnya sudah kumal dan
warnanya hampir keputihan, kedua kakinya yang bersilang itu memakai sepatu
kain yang bawahnya dilapis besi. Sukar menaksir usia kakek ini karena
kepalanya gundul dan mukanya kelimis, bisa saja dia baru limapuluh tahun,
akan tetapi juga mungkin usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih. Alisnya yang
tebal dan masih hitam itu menambah bingung bagi penaksir usianya.
Lima orang itu memandang penuh perhatian, terutama sekali dengan sinar
mata mereka mencari-cari apakah di situ terdapat pedang Giok-liong-kiam.
Akan tetapi, kakek gundul yang gendut itu sedang bersemadhi, hanya
pernapasannya saja yang membuat perut gendutnya bergerak perlahan turun
naik. Jelas bahwa kakek itu tidak memegang Giok-liong-kiam, juga di dekatnya
tidak nampak benda pusaka itu. Lima orang itu celingukan akan tetapi tidak
nampak ada orang lain di sekitar tempat itu, dan pusaka itupun lenyap tanpa
bekas. Siapa lagi kalau bukan kakek ini yang menyebabkan pusaka yang
sedang melayang turun itu tiba-tiba menyeleweng dan lenyap. Bukankah ke
arah sini tadi terbangnya pedang kemala itu"
Lima orang itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup maklum bahwa
orang seperti kakek tua ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan
sangat boleh jadi sekali kakek ini adalah seorang datuk persilatan yang amat
lihai, walaupun tak seorang di antara mereka merasa pernah mengenalnya.
Tidak ada pula ciri-ciri yang mengingatkan mereka akan seorang datuk
persilatan, baik dari para pendekar maupun kaum sesat. Karena itu, mereka
tidak berani sembarangan mengganggu kakek itu.
Akan tetapi, karena mereka ingin sekali memiliki Giok-liong-kiam dan
karena mereka melihat sendiri betapa pedang pusaka itu tadi melayang ke arah
sini, tetap saja terdapat kecurigaan besar dalam hati mereka bahwa tentu
kakek ini yang main-main tadi, mempergunakan semacam ilmu yang amat luar
biasa. Yang membuat mereka ragu-ragu adalah karena mereka tidak melihat
Giok-liong-kiam di situ. Entah kalau disembunyikan di balik jubah kuning yang
longgar itu, demikian mereka menduga-duga, dan lima pasang mata
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menunjukkan pandangannya dengan penuh selidik ke arah jubah kuning yang
menutupi tubuh si kakek gendut.
Lui Siok Ek yang merasa paling berhak atas pusaka itu, pusaka Thian-tepai yang hilang dicuri orang setengah tahun yang lalu, memberanikan hatinya
dan diapun melangkah maju. Akan tetapi begitu dia melangkah maju, empat
orang lainnyapun ikut pula melangkah maju, sejengkalpun tidak membiarkan
tokoh Thian-tepai itu lebih dekat dengan kakek itu dari mereka! Lui Siok Ek
tidak perduli dan diapun menjura dengan sikap hormat kepada kakek gundul
yang masih duduk bersila sambil memejamkan mata itu.
"Harap locianpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan. Saya Lui Siok Ek... "
tiba-tiba saja tokoh Thian-te-pai itu menghentikan kata-katanya karena
mendadak kakek itu membuka kedua matanya dan sepasang mata itu
mengeluarkan cahaya begitu mencorong membuat dia tertegun.
"Ha-ha-ha?" Tiba-tiba hwesio yang gendut itu tertawa bergelak-gelak dan seluruh
tubuhnya berguncang. Suara ketawanya sambung-menyambung, dan semua
orang yang berada di situ terkejut bukan main dan cepat-cepat mereka
mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan diri karena suara ketawa
itu mengandung tenaga khikang yang membuat isi perut mereka terguncang
pula ! Hwesio itu menghentikan suara ketawanya, sejenak memandang kepada
mereka bergantian seolah-olah diapun merasa agak heran melihat betapa lima
orang itu kuat menghadapi suara ketawanya. Lalu dia memandang pula
kepada Lui Siok Ek dan berkata, suaranya parau.
"Engkau tentu seorang murid Thian-te-pai, ada keperluan apakah kalian
mengganggu tidurku."
Lui Siok Ek cepat menjura.
"Harap locianpwe sudi memaafkan saya. Saya kehilangan pusaka
perkumpulan kami yang disebut Giok-liong-kiam, dan tadi pusaka itu melayang
ke arah sini. Kalau locianpwe mengetahui, mohon dapat memberi petunjuk agar
saya dapat membawanya kembali ke perkumpulan kami."
"Ha-ha-ha-ha..."
Kembali kakek gendut itu tertawa, dan sekali ini suara ketawanya lebih
hebat dari pada tadi. Agaknya dia telah menambah khikang dalam suara
ketawanya. Dan lima orang itu merasa betapa kaki mereka gemetar dan isi
perut mereka terguncang hebat ! Mau tidak mau mereka terpaksa segera
menjatuhkan diri bersila dan mengerahkan sinkang untuk melindungi diri
mereka, karena kalau dilanjutkan tanpa pertahanan sinkang, tentu mereka
akan dapat menderita luka dalam oleh serangan suara itu!
Suara ketawa itu susul-menyusul bagaikan gelombang, semakin lama
semakin hebat! Lima orang itu kini memejamkan kedua mata, memusatkan
seluruh kekuatan sinkang mereka untuk menahan gelombang suara yang
seolah-olah menembus telinga mereka dan menusuk-nusuk jantung mereka.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh mereka tergetar hebat dan keringat sebesar kedele mulai membasahi
muka dan leher mereka. Mereka terkejut dan gelisah sekali. Mereka seperti
terperosok ke dalam jurang yang berbahaya. Untuk keluar tidak mungkin
karena sudah terlanjur. Menghentikan sebentar saja pemusatan sinkang
mereka, tentu mereka akan terluka. Melanjutkanpun sampai kapan" Mereka
sudah hampir tidak kuat dan terpaksa mereka menahan napas untuk
membantu kekuatan mereka.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Omitohud...! Manusia saling bermusuhan hanya untuk memperebutkan
benda mati! Mana mungkin kehidupan ini menjadi aman tenteram dan penuh
kedamaian kalau manusia saling hantam hanya untuk memperebutkan benda
mati" Ha-ha-ha?"
Kini lima orang itu sudah siap untuk berjaga diri, akan tetapi suara
ketawanya sekali ini tidak mengandung tenaga khikang yang menyerang.
Akan tetapi, melihat wajah gundul yang tertawa-tawa dan menyeringai lebar
itu, melihat jubah kuning dan kepala gundul yang menunjukkan bahwa kakek
itu seorang hwesio, lima orang itu lalu teringat akan seorang tokoh Siauw-limpai yang namanya amat terkenal akan tetapi menurut kabar tidak pernah keluar
dari dalam kamarnya dimana dia bersamadhi dan bertapa sampai belasan
tahun lamanya! Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itupun hanya dikenal julukannya
saja, yaitu Siauw-bin-hud (Buddha Bermuka Tertawa)!
"Harap locianpwe sudi memaafkan kelancangan saya. Apakah saya yang
bodoh berhadapan dengan locianpwe Siauw-bin-hud?"
Mendengar ini, empat orang lain memandang tajam penuh perhatian, akan
tetapi juga merasa gentar karena mereka semua sudah mendengar bahwa
pertapa yang disebut Siauw-bin-hud adalah seorang locianpwe yang tinggi
ilmu kepandaiannya dan merupakan angkatan tua yang dihormati.
Kam Hong Tek terkejut, akan tetapi kekagetannya disusul oleh rasa kaget
mereka semua ketika kakek itu melanjutkan.
"Dan nona tentulah yang bernama Theng Ci murid kepala Ang-hong-pai,
bukan" Dan engkau yang tampan ini siapalagi kalau bukan Pek-bin Tiat-ciang"
Dan engkau yang tinggi besar dan gagah ini, pinceng kira tentu seorang
perwira pengawal istana yang menyamar. Bukankah engkau yang bernama
Tang Kui?" Tentu saja semua orang terkejut. Kakek ini selain memiliki khikang yang
luar biasa kuatnya, ternyata memiliki pula pemandangan yang amat luas,
sehingga begitu berjumpa sudah dapat mengenal mereka semua! Padahal,
kakek ini dikabarkan selalu menyembunyikan diri dalam sebuah ruang
pertapaan di kuil Siauw-lim-si! Apakah kakek ini memiliki kesaktian yang tidak
lumrah manusia" Tang Kui yang menjadi besar hatinya karena kakek itu mengenalnya
sebagai seorang komandan pengawal istana, hendak mempergunakan
kedudukannya dan kewibawaan kaisar untuk mencari keuntungan. Dia
menjura dengan sikap gagah seorang perwira tinggi tulen kepada kakek itu.
"Locianpwe sungguh bijaksana dapat mengenal saya dalam penyamaran.
Saya yakin locianpwe mempunyai kebijaksanaan pula untuk mengingat bahwa
saya adalah seorang utusan sribaginda kaisar untuk mencari dan membawa
pusaka Giok-liong-kiam ke istana."
Kembali kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, Tang-ciangkun. Apa hubungannya tugasmu dengan pinceng
(aku)?" "Maaf, locianpwe. Karena tadi saya melihat Giok-liong-kiam melayang ke
arah tempat ini, saya mohon petunjuk locianpwe, apakah locianpwe tahu
dimana adanya pusaka itu."
"Kalian berlima siap untuk saling bunuh dalam memperebutkan Giok-liongkiam! Kalau pinceng tidak tahu dimana adanya pusaka itu, tentu saja pinceng
tidak dapat memberi tahu kalian. Sebaliknya kalau pinceng tahu dimana,
pinceng juga tidak dapat memberi tahu kalian, karena kalian tentu akan saling
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bunuh. Lebih baik pinceng simpan sendiri saja. Sudahlah, pinceng sedang
beristirahat dan tidak mau diganggu lagi. Kalian harap pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, kakek itu kembali memejamkan kedua matanya
dan merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti tadi, sedikitpun tidak
bergerak lagi! Lima orang itu hampir merasa yakin kini bahwa Giok-liong-kiam tentu
berada di tangan kakek ini, mungkin disembunyikan di balik jubahnya yang
lebar dan longgar. Akan tetapi, mereka tidak berani bertanya lagi, dan pula,
apa yang dapat mereka lakukan terhadap kakek ini" Baru diserang oleh suara
ketawa saja, mereka sudah muntah darah dan sampai sekarangpun dada
mereka masih terasa nyeri. Kalau kini mereka mempergunakan kekerasan
untuk memaksa kakek itu mengaku dan menyerahkan Giok-liong-kiam, sama
saja dengan mati konyol atau bunuh diri.
"Sudahlah!" teriak Tang Kui yang sudah meloncat mundur dan pergi dari
situ. Empat orang tokoh lain juga pergi dan isi hati mereka sama semua.
Bagaimanapun juga, mereka kini tahu dimana adanya Giok-liong-kiam, yaitu di
tangan Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang aneh itu! Dan hal ini saja
sudah dapat menghibur hati mereka karena mereka dapat melaporkan kepada
atasan mereka, atau dapat menyusun kekuatan untuk kelak mencoba
merampas pusaka yang sudah mereka ketahui berada dimana.
-------Akan tetapi, semenjak peristiwa itu terjadi, Giok-liong-kiam dianggap
hilang oleh dunia kang-ouw, walaupun mereka tahu bahwa pedang itu berada
di tangan Siauw-bin-hud dari Siauwlim-pai. Bahkan kaisar sendiri mendapat
nasihat dari para penasihatnya agar tidak mempergunakan kekerasan
terhadap Siauw-lim-si hanya karena urusan pedang yang memang tadinya
bukan pusaka istana. Istana mengutus serombongan pembesar meminta
keterangan kepada Siauw-lim-si tentang pedang Giok- liong-kiam, dan ketua
kuil memberi jawaban dengan pasti bahwa Siauw-lim-pai tidak tahu sama
sekali tentang Giok-liong-kiam, dan bahwa selama puluhan tahun ini, hwesio
tua yang bernama Siauw-bin-hud tidak pernah meninggalkan ruangan dimana
dia mengurung diri dan bertapa!
Tentu saja jawaban ini dianggap sebagai pengingkaran untuk tetap
menguasai pedang pusaka itu, namun kaisar menghabiskan urusan itu sampai
di situ. Negara sudah menghadapi terlalu banyak pemberontakan, dan urusan
menghadapi orang-orang asing berkulit putih juga sudah mendatangkan
banyak kepusingan, maka sungguh amat merugikan kalau pemerintah harus
bersikap kasar dan memancing permusuhan baru dengan pihak Siauw-lim-pai.
Biarpun tidak ada yang berani menuntut kepada Siauw-lim-pai, akan tetapi
dari lima orang itu tersiarlah berita di seluruh dunia kang-ouw bahwa Giokliong-kiam yang diperebutkan itu kini berada di tangan Siauw-bin-hud tokoh
Siauw-limpai. Dan enam tahun lewat tanpa ada suatu peristiwa terjadi sehubungan
dengan pedang pusaka Giok-liong-kiam. Orang di dunia persilatan seolah-olah
sudah melupakan peristiwa perebutan Giok-liong-kiam itu. Dan memang
perebutan pusaka itu hanya terjadi dan timbul setelah tersiar kabar bahwa
pusaka itu dicuri orang dari Thian-te-pai. Ketika pusaka itu masih menjadi
pusaka Thian-te-pai, tidak ada orang atau golongan yang begitu gatal tangan
untuk mencoba merampasnya dari tangan Thian-tepai, sebuah perkumpulan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan yang amat kuat, apalagi karena Thian-te-pai adalah perkumpulan orang-orang
gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, dan karena itu dihormati
oleh semua golongan. Kini, setelah pusaka itu berada di tangan Siauw-lim-pai,
tentu saja orang menjadi semakin segan untuk mencoba merampasnya.
Akan tetapi, secara diam-diam tentu saja banyak orang yang masih
menginginkan pusaka itu, hanya tidak berani menyatakan secara berterang.
Bahkan ada pihak-pihak yang menyusun kekuatan dan bersikap hati-hati, tidak
berani sembarangan turun tangan terhadap perkumpulan seperti Siauw-limpai sebelum merasa yakin akan kekuatan sendiri.
Selama enam tahun itu tidak pernah terjadi sesuatu di Siauw-lim-si, karena
negara berada dalam kekacauan. Pemberontakan-pemberontakan kecil
berkobar dimana-mana, dan makin banyaklah rakyat dikuasai asap madat.
Bahkan madat mulai menyusup ke dalam gedung-gedung para pembesar
sehingga banyaklah pembesar mulai kecanduan. Makin banyak madat
dimasukkan ke Tiongkok, makin banyak pula kekayaan negara dikuras. Yang
puas mengelus perut gendut karena memperoleh untung yang luar biasa
banyaknya adalah orang-orang kulit putih, terutama Bangsa Inggeris, dan juga
orang-orang India yang menyediakan madat itu.
Suatu pagi yang cerah. Kecerahan pagi itu terasa sekali nikmatnya di
sebuah puncak bukit kecil. Cahaya keemasan lembut itu memandikan seluruh
permukaan bukit, rata dan tidak pilih kasih. Cahaya yang indah itu menggugah
bumi dari pada kelelapan malam gelap. Tanah menguap tipis, hangat dan
sedap baunya, menghalau kabut pagi yang agaknya masih bermalasan untuk
meninggalkan bumi yang sedap. Bunga-bunga yang sudah mekar menjadi
berseri, masih basah oleh embun, menerima cahaya matahari dengan penuh
kebahagiaan. Embun yang tadinya dingin menyelimuti kelopak-kelopak bunga,
kini terasa menyegarkan dan indah bergantungan dikelopak daun, berkilauan
dan tersenyum-senyum. Daun-daun juga bangkit menghijau, segar dan
menyambut cahaya matahari pagi sebagai sesuatu yang baru, yang sama
sekali terlepas dan tiada kaitannya dengan malam tadi, dengan siang kemarin.
Rumput-rumput hijau juga berseri-seri, pucuk-pucuk rumput kekuningan
bersemi dan seperti anak-anak yang tiada mengenal susah, bergembira
menyambut dan memasuki hidup. Burung-burung berkicau bersuka ria,
kegembiraan yang spontan dan tidak dibuat-buat, lincah berloncatan dari
dahan ke dahan, saling tegur dengan salam manis kepada teman-temannya,
siap untuk bersama-sama menghadapi hari baru yang cerah.
Sukarlah menggambarkan keindahan pagi. Keindahan yang hanya dapat
dinikmati dengan penghayatan, dengan rasa, bukan untuk digambarkan atau
diceritakan. Keindahan dan kebahagiaan yang dapat dinikmati setiap orang
manusia. Sayang seribu sayang, jarang sekali ada orang dapat lagi menikmati
keindahan yang membahagiakan itu. Pikiran kita terlalu sibuk dengan urusan
lahiriah, mencari uang, menuntut ilmu, sosial, politik, agama, pengejaran
kesenangan, pelarian dari kesusahan dan sebagainya. Cobalah sekali-kali,
makin sering semakin baik, kita melepaskan diri dari semua itu, kita tinggalkan
semua itu agar batin kita kosong sama sekali dari pada segala macam konflik
dan masalah kehidupan, lalu kita masuki pagi yang baru ini, kita biarkan diri
seperti sehelai rumput yang menikmati embun dan cahaya keemasan.
Pagi itu terasa amat sunyi di kuil Siauw-lim-si yang terletak di puncak bukit
kecil itu. Sunyi yang mengamankan hati, sunyi penuh keriangan dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kebahagiaan yang bukan timbul karena senang akan sesuatu. Namun, sejak
matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang mendahuluinya, para hwesio
di kuil itu sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pekerjaan yang
merupakan tugas sehari-hari, pekerjaan yang diulang-ulang sehingga tidak ada
artinya lagi bagi si pekerja. Menyapu pekarangan, memikul air, menyalakan api
di dapur, membersihkan meja sembahyang, ataupun membaca liam-keng atau
doa sambil mengetuk-ngetuk kayu. Semua ini dilakukan seperti otomatis, tanpa
gairah lagi, seperti kalau kita pergi ke kantor, ke sekolah, ke pasar atau sibuk
di dapur. Dan tahu-tahu usia telah menjadi tua oleh pekerjaan yang telah
menjadi gerakan kebiasaan tanpa isi ini.
Sudah menjadi kebiasaan para hwesio untuk bangun pagi-pagi sekali.
Kebiasaan yang amat baik, karena hal ini menyehatkan badan dan pikiran. Kuil
Siauw-lim-pai tidaklah sebesar ratusan tahun yang lalu. Bentrokan-bentrokan
dengan pemerintah, terutama pemerintah Kerajaan Mancu yang berkuasa,
selama ratusan tahun membuat Siauw-lim-pai terpecah belah dan mengalami
kemunduran. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja Siauw-lim-si
merupakan satu di antara kuil-kuil terbesar di seluruh negeri. Dan Siauw-limpai, yaitu perkumpulan yang terdiri dari murid-murid Siauw-lim-si di bidang
ilmu silat, tetap saja merupakan partai persilatan terbesar.
Haruslah diakui bahwa ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat
tertua, bahkan merupakan sumber dari hampir semua ilmu silat yang kemudian
bertumbuhan dan bermunculan di dunia persilatan. Ilmu silat Siauw-lim-pai
adalah ilmu silat murni, yang diciptakan oleh orang-orang suci, oleh para cerdik
pandai yang berbatin bersih. Ilmu silat yang diperkembangkan untuk keuletan
badan, kebesaran jiwa dan ketenangan batin, yang dirangkai dengan ilmu
batin yang tinggi berdasarkan agama. Oleh karena aliran ini masih aseli maka
cara berlatihnya juga amat berat. Bukan seperti ilmu-ilmu silat yang sengaja
dipelajari dengan pamrih untuk berkelahi, mudah dipelajari dan mudah
dipraktekkan untuk perkelahian, namun sama sekali tidak ada manfaatnya
untuk kemajuan batin. Tidak kurang dari limapuluh orang hwesio tinggal di kuil Siauw-lim-si yang
besar dan luas itu. Kuil itu memang amat luas dan merupakan sebuah
perkampungan kecil yang dikelilingi tembok tinggi. Dahulu, pernah di masa
jayanya, kuil ini menampung penghuni sebanyak hampir dua ratus orang.
Yang menjadi ketua bernama Thian He Hwesio, seorang kakek tinggi kurus
yang usianya enampuluh tahun lebih, dibantu oleh beberapa sute (adik
seperguruan) yang bertugas sebagai kepala bagian. Sebagai ketua, Thian He
Hwesio hanya menangani pelajaran agama, mengepalai upacara-upacara
sembahyang dan menentukan peraturan-peraturan serta mengambil
keputusan akan segala masalah yang timbul di antara mereka.
Para sute-sutenya adalah Thian Kong Hwesio yang bertugas sebagai
pelatih ilmu silat kepada para murid, Thian Tek Hwesio bertugas sebagai
kepala rumah tangga, dan Thian Khi Hwesio bertugas mengatur semua urusan
yang berhubungan dengan luar kuil. Mereka semua ini adalah hwesio-hwesio
yang memiliki ilmu silat tinggi dan nama mereka disegani di seluruh dunia
persilatan, bukan hanya karena kepandaian mereka, akan tetapi juga karena
sepak terjang para murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, dan juga karena
para hwesio ini tidak pernah mau mencampuri urusan di luar linkungan mereka
sendiri. Di pagi yang cerah itu, semua hwesio melaksanakan tugas masing-masing
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan seperti biasa. Hanya ada sedikit perobahan terjadi di dalam kuil itu dan setiap
perobahan tentu disambut dengan penuh kegembiraan oleh mereka. Kebiasaan
yang dilakukan setiap hari tanpa ada perobahan menimbulkan jemu. Akan
tetapi sedikit perobahan itu hanya dianggap baru selama dua tiga hari saja,
dan sesudah itupun tenggelam lagi dan hampir terlupa oleh mereka. Perobahan
itu adalah keluarnya seorang kakek hwesio dari dalam ruangan pertapaannya,
dimana dia tinggal selama hampir dua puluh tahun. Hwesio ini adalah seorang
hwesio gendut yang dikenal sebagai Siauw-bin-hud!
Hwesio tua ini adalah paman guru dari Thian He Hwesio dan tiga orang
sutenya yang menjadi pimpinan kuil. Merupakan satu-satunya hwesio yang
masih hidup dari tingkatannya. Menurut perkiraan para ketua itu, tentu usia
susiok (paman guru) mereka itu tidak kurang dari delapan puluh tahun. Dapat
dibayangkan betapa heran rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, seminggu
yang lalu, paman mereka itu tahu-tahu sudah duduk bersila di ruangan
belakang, dan kepada hwesio yang bertugas di situ minta agar disediakan air
hangat untuk mencuci muka dan bubur untuk sarapan pagi. Mereka semua
segera berkumpul dan memberi hormat kepada susiok mereka.
Kemudian Siauw-bin-hud ini memang mengejutkan sekali. Biasanya, para
murid Siauw-lim-pai hanya tahu bahwa di sebuah ruangan tertutup terdapat
seorang hwesio tua yang duduk bertapa. Ruangan ini terkunci dan tak
seorangpun boleh memasukinya, kecuali petugas yang setiap hari
meninggalkan makanan dan air minum ke dalam ruangan itu. Yang kelihatan
hanya punggung kakek itu yang menghadap dinding.
Dan kini, setelah duapuluh tahun bertapa di dalam ruangan itu, Siauw-binhud keluar dari tempat pertapaannya, dan yang amat mengherankan, tubuhnya
masih gendut bulat, padahal makannya hanya sekedarnya saja. Dan
senyumnya yang ramah itu masih tak pernah meninggalkan mukanya yang
bulat. Tentu saja berita aneh ini bocor keluar dinding kuil dari mulut para hwesio
yang sedang bertugas di luar dan bertemu dengan penduduk di luar kuil. Dan
secara luar biasa sekali, berita tentang munculnya Siauw-bin-hud yang sudah
dua puluh tahun bertapa itu dengan amat cepatnya tersiar ke dunia kang-ouw.
Dan pada pagi hari itu, hanya sepekan kemudian, nampak beberapa orang
datang menuju ke kuil Siauw-lim-si, mendaki bukit dari berbagai jurusan.
Seperti sudah dijanjikan lebih dulu saja, pada waktu yang bersamaan, di


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekarangan luar pintu gerbang kuil Siauw-lim-si kini berkumpul beberapa
orang yang terdiri dari beberapa rombongan.
Rombongan pertama adalah Nam San Losu, ketua kuil dekat puncak bukit
mata air Si-kiang atau yang dikenal pula dengan nama Sungai Mutiara. Kakek
tinggi besar muka hitam ini walaupun sudah berusia enampuluh enam tahun,
masih dapat melakukan perjalanan cepat dan dapat mendaki bukit menuju ke
puncak kuil Siauw-lim-si tanpa banyak kesukaran. Dia ditemani oleh seorang
sutenya dan juga oleh seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun. Seorang
anak laki-laki yang berpakaian sederhana seperti anak petani, wajahnya
membayangkan kegagahan dan keberanian, tubuhnya tegap dan sikapnya
gagah. Terutama sekali sepasang mata yang tajam itu, dengan hiasan alis yang
tajam tebal, membuat anak ini walaupun sederhana dan seperti anak petani,
namun nampak bukan anak sembarangan. Anak ini adalah Tan Ci Kong. Seperti
kita ketahui, enam tahun yang lalu, Tan Ci Kong, putera tunggal mendiang Tan
Seng atau Tan Siucai, oleh paman angkatnya, Sie Kian yang tinggal di Nandikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ning, diantar kepada Nam San Losu dan diterima sebagai murid oleh ketua kuil
itu. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Nam San Losu adalah
seorang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi ketua kuil Budha di bukit mata air
Si-kiang itu. Rombongan kedua adalah seorang kakek kurus berbaju tambal-tambalan
seperti seorang pengemis, akan tetapi pakaiannya yang penuh tambalan itu
bersih, juga mukanya yang penuh cambang bauk itu nampak bersih. Dengan
matanya yang sipit dan mulutnya yang selalu senyum-senyum, kakek ini
nampak lucu. Dia ditemani oleh seorang anak perempuan yang berusia sebelas
tahun, seorang anak yang bermata lebar dan tajam penuh keberanian
memandang ke sekelilingnya. Anak perem puan ini adalah Siauw Lian Hong
dan kakek itu bukan lain adalah Bubeng San-kai, kakek yang telah
menolongnya dari kebakaran dan yang kemudian menjadi kakeknya, juga
gurunya, juga satu-satunya orang di dunia yang dekat dengan anak yatim piatu
ini Rombongan ketiga terdiri dari lima orang, dipimpin oleh seorang kakek
berusia enampuluh tahun, yang tinggi kurus dan gagah perkasa akan tetapi
agak angkuh sikapnya, bersama empat orang yang usianya beberapa tahun
lebih muda darinya. Lima orang laki-laki ini semua bersikap gagah dan di dada
mereka nampak lukisan gambar Im-Yang, yaitu bulatan yang terbagi dua
dengan warna hitam dan putih sebagai tanda Im-Yang, dua sifat yang saling
bertentangan, juga saling berkaitan, dua sifat yang menggerakkan,
menciptakan dan mengadakan segala yang ada di dunia ini. Dari pakaiannya
ini mudah diduga siapa mereka, yaitu tokoh-tokoh perkumpulan Thian-te-pai
yang terkenal. Di antara mereka terdapat pula Lui Siok Ek, murid kepala Thiante-pai yang pernah memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam pada enam tahun
yang lalu. Rombongan keempat adalah tiga orang yang berpakaian perwira tinggi, di
antara mereka nampak Tang Kui, raksasa yang pernah menyamar sebagai
petani, dan yang pada enam tahun yang lalu pernah pula memperebutkan
pusaka Giok-liong-kiam. Dua orang yang lain adalah dua perwira yang
kedudukannya lebih tinggi dan ilmu silatnya jauh lebih lihai dari pada Tang
Kui, terutama sekali kakek yang bertubuh kecil pendek itu, yang berjenggot
panjang dan baju seragamnya agak kebesaran dan kedodoran. Kelihatannya
lucu dan tidak ada apa-apanya, akan tetapi dialah Pouw Ciangkun, seorang
komandan pengawal pribadi kaisar yang amat tangguh dan terkenal karena
ilmu kepandaiannya yang tinggi.
Rombongan kelima terdiri dari seorang kakek tinggi besar bermuka merah
yang pakaiannya mewah sekali, bersikap angkuh, yang diikuti oleh tujuh orang
pemuda antara berusia duapuluh sampai duapuluh lima tahun. Tujuh orang
pemuda ini rata-rata bermuka tampan, bahkan pesolek seperti wanita, dengan
pakaian yang indah-indah. Biarpun kakek itu hanya seperti seorang hartawan
besar, akan tetapi rombongan lain yang melihatnya nampak terkejut dan
gelisah. Hal ini tidaklah mengherankan, karena kakek bermuka merah ini
terkenal sekali sebagai seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti orang.
Kakek ini pernah merajalela di dunia persilatan sebagai seorang tokoh sesat
dan akhirnya setelah berhasil menjadi orang yang amat kaya raya, lalu
mengundurkan diri dan kabarnya tinggal di sebuah pulau di Lautan Kuning,
dinamakan Pulau Layar karena bentuknya dari jauh seperti layar sebuah
perahu. Di pulau inilah dia tinggal sebagai seorang raja, bersama para pelayan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dan pembantunya, juga murid-muridnya. Akan tetapi semenjak tinggal di pulau
itu, Tang Kok Bu ini dijuluki orang Hai-tok (Racun Lautan), tidak pernah muncul
di dunia kangouw walaupun kaum sesat masih menganggapnya sebagai
seorang datuk mereka yang ditakuti.
Lima rombongan ini hanya saling pandang dengan heran karena tanpa
berjanji, mereka pada pagi hari itu berkumpul di depan pintu gerbang Siauwlim-si. Biarpun tidak saling bicara, mereka semua diam-diam dapat menduga
bahwa kedatangan mereka itu mengandung maksud yang sama, yaitu tentu
ada hubungannya dengan keluarnya Siauw-bin-hud dari tempat pertapaannya
seperti yang menjadi berita hangat di dunia kang-ouw, dan ada hubungannya
dengan Giok-liong-kiam! Akan tetapi agaknya maksud kedatangan Nam San Losu, sutenya dan
muridnya tidak sama dengan maksud kedatangan rombongan lain. Nam San
Losu bersama sutenya dan Tan CiKong sudah berlutut di depan pintu gerbang
dan kakek itu berseru dengan suara halus namun mengandung tenaga khikang
sehingga menggema ke dalam pintu gerbang.
"Murid Nam San datang berkunjung untuk memberi hormat kepada para
suhu!" Mendengar seruan ini, tak lama kemudian beberapa orang hwesio
membuka pintu gerbang. Tentu saja sebagai ahli-ahli silat pandai, para hwesio
di dalam kuil sudah tahu akan kedatangan banyak orang di depan pintu
gerbang itu. Dua orang hwesio menyambut Nam San Losu dengan sikap
hormat. "Kiranya Nam San suheng dan Nam Thi suheng yang datang berkunjung!"
kata dua orang hwesio tua yang membuka pintu gerbang itu.
"Kami mendengar bahwa susiok Siauw-bin-hud telah keluar dari tempat
pertapaannya, dan kami mohon dapat menghadap beliau," kata pula Nam San
Losu. Mendengar ini, dua orang hwesio penyambut itu lalu
mempersilahkannya masuk. Pada saat itu muncullah seorang hwesio yang
pendek kecil berusia enampuluh lima tahun lebih, dari dalam dan melihat
hwesio yang pendek kecil dan kelihatan lemah ini, Nam San Losu cepat
menjura dengan sikap hormat.
"Thian Tek suheng, terimalah hormat pinceng."
Si pendek kecil itu membalas penghormatan tamu dari selatan itu.
"Ah, kiranya Nam San sute yang datang berkunjung. Silahkan, sute, toa
suheng dan juga susiok berada di ruangan belakang."
Setelah mempersilahkan tamu yang masih keluarga Siauw-lim-si sendiri itu
masuk, Thian Tek Hwesio lalu keluar dan berdiri di ambang pintu gerbang
menghadapi para rombongan lain. Nam San Losu diikuti oleh Nam Thi Hwesio,
juga Ci Kong, lalu masuk ke dalam. Karena itu, hatinya girang sekali ketika
gurunya mengajak dia untuk pergi mengunjungi Siauw-lim-si.
Ketika mereka memasuki kuil, para hwesio di kuil itu yang semua mengenal
Nam San Losu dan Nam Thi Hwesio, menyambut mereka dengan ramah dan
seorang di antara mereka mengantar tiga orang tamu itu ke ruangan belakang
yang lebar. Di dalam ruangan itu telah duduk seorang hwesio yang tua dan gendut
sekali, demikian gendutnya sampai nampak bulat. Jubahnya kuning menutupi
semua tubuh dan sepatunya dari kain, juga sudah agak butut seperti jubahnya.
Yang menarik para hwesio ini adalah wajahnya yang selalu tersenyum itu
sehingga wajah itu nampak demikian ramah dan mencerminkan watak yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan halus dan budiman. Sinar matanya juga lembut dan sinar mata itu begitu penuh
pengertian dan agaknya tidak ada apapun yang akan kakek ini merasa heran.
Sukarlah mengira-ngirakan berapa usia kakek ini, karena walaupun sikapnya
memperlihatkan usia yang sudah amat tua, namun wajahnya yang bulat itu
tidak dihiasi keriput karena gendutnya. Di depan kakek gendut ini duduk
bersila pula tiga orang hwesio, yaitu Thian He Hwesio, Thian Kong Hwesio dan
Thian Khi Hwesio, tiga di antara empat orang pengurus atau ketua Siauw-limsi di waktu itu karena orang ketiga, Thian Tek Hwesio, sedang keluar
menyambut para tamu. Begitu melihat hwesio gendut itu, diam-diam Nam San Losu dan Nam Thi
Hwesio merasa kagum dan terheran-heran. Duapuluh tahun lebih yang lalu,
mereka pernah bertemu dengan paman guru mereka ini. Dan sekarang, setelah
duapuluh tahun lebih lewat, agaknya kakek gendut itu masih sama saja,
sedikitpun tidak nampak perobahan! Setelah tiba di ruangan itu, Nam San Losu
dan Nam Thi Hwesio segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek
gendut, diikuti pula dari belakang oleh Ci Kong.
"Susiok, terimalah hormat dari teecu," kata Nam San Losu dengan sikap
hormat. "Susiok...!" Nam Thi Hwesio juga memberi hormat dengan berlutut. Ci Kong hanya
berlutut saja tanpa mengeluarkan suara, hatinya gentar dan juga kagum.
Hwesio gendut itu menoleh dan senyumnya melebar ketika dia melihat dua
orang hwesio itu. "Aha, bukankah kalian ini Nam San dan Nam Thi" Bagus sekali! Bagaimana
khabarnya di selatan, baik-baik sajakah?"
Dua orang hwesio dari selatan itu menghaturkan terima kasih, kemudian
barulah mereka memberi hormat kepada tiga orang suheng mereka sebagai
tuan rumah. Thian He Hwesio membalas penghormatan itu.
"Sute, jauh-jauh sute datang dari selatan, apakah ada keperluan khusus
untuk dibicarakan?" "Suheng, pertama-tama karena sudah lama kami tidak berkunjung dan
merasa rindu, maka kesempatan ini kami pergunakan untuk berkunjung ke
Siauw-lim-si. Kedua kalinya, karena mendengar berita bahwa susiok telah
keluar dari tempat pertapaan, maka kami ingin sekali menghadap dan mohon
petunjuk. Dan ketiga kalinya, kamipun mendengar berita rebut-ribut tentang
Giok-liong-kiam, maka kami ingin sekali mendengar bagaimana sebenarnya hal
yang telah terjadi karena ini menyangkut nama Siauw-lim-pai."
"Ahhh...!" Thian He Hwesio menarik napas panjang.
"Justeru urusan itulah yang kini sedang kita bicarakan. Sudah selama enam
tahun kami di Siauw-lim-si selalu didatangi orang yang secara halus maupun
kasar menyindirkan bahwa Giok-liong-kiam kita rampas dan kita sembunyikan.
Karena pada waktu itu susiok masih bertapa, kami tidak berani menganggu.
Dan sekarang, menurut susiok, beliau sama sekali tidak tahu akan pedang
Giok-liong-kiam itu. Bukankah ini membuat orang merasa menyesal bukan
main?" "Ha-ha-ha-ha...!"
Kakek gendut itu tertawa bergelak sampai seluruh tubuhnya bergoyanggoyang. Diam-diam Ci Kong mengangkat mukanya memandang dengan heran.
Kakek itu tertawa begitu polos, tidak dibuat-buat seperti orang yang merasa
geli mendengarkan sesuatu yang lucu. Padahal, dia sendiri tidak melihat atau
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mendengar sesuatu yang lucu menggelikan. Apa sih yang ditertawakan oleh
kakek gendut aneh itu, pikirnya heran. Akan tetapi lima orang hwesio tua yang
berlutut di situ tidak merasa heran dan mereka hanya menanti saja dengan
sabar sampai susiok mereka menghentikan ketawanya.
"Ha-ha-ha" Thian He, apakah sampai sekarang engkau masih juga
berpikiran seperti kanak-kanak" Segala macam urusan yang terjadi di dunia ini,
baik yang menyerempet diri kita maupun yang bukan, adalah peristiwa yang
terjadi, suatu kenyataan yang tak dapat dibantah lagi, dan bagaimanapun juga,
semua itu sumbernya terletak pada diri sendiri. Menyesal atau tidak
menghadapinya, terserah kepada kita. Apakah hanya dengan penyesalan saja
segala urusan dapat diselesaikan" Tidak, sebaliknya malah. Penyesalan
mendatangkan kemarahan dan dendam, dan semua itu malah mengacaukan
urusan karena mengeruhkan batin. Jelaslah bahwa ada orang yang
memalsukan namaku untuk merampas pedang pusaka. Bukankah demikian
persoalannya?" "Benar, susiok. Enam tahun yang lalu, pedang pusaka Giok-liong-kiam yang
tadinya disimpan oleh Thian-te-pai sebagai pedang pusaka, lenyap dicuri
orang. Dunia kang-ouw menjadi gempar dan semua orang merasa berhak untuk
mencari dan memiliki pedang yang sudah terlepas dari tangan Thian-te-pai itu
dan terjadilah perebutan. Kemudian, berita terakhir mengatakan bahwa susiok
yang telah merampas pedang itu. Nah, bukankah hal ini amat membuat hati
penasaran, apalagi kalau susiok sendiri telah mengatakan bahwa susiok sama
sekali tidak tahu tentang pedang itu, apalagi merampasnya" Orang memalsu
nama susiok, mana hal itu dapat dikatakan bersumber pada diri kita sendiri?"
Thian He Hwesio, ketua Siauw-lim-si itu membantah sambil mengerutkan
alisnya, bagaimanapun juga merasa tidak enak dikatakan masih kekanakkanakan oleh susioknya di depan para sutenya.
"Ha-ha-ha, mari kita diam sejenak menjernihkan batin agar kita dapat
menghadapi kenyataan dengan waspada dan tidak dipengaruhi oleh nafsunafsu yang mengeruhkan hati," kata kakek gendut itu yang lalu memejamkan
kedua matanya. Lima orang hwesio itupun lalu bersila dan memejamkan mata, memangku
kedua tangan. Ci Kong yang melihat ini maklum bahwa suhunya dan yang lainlain sedang bersamadhi agar batin menjadi kosong. Dia duduk bersila dan
memandang semua itu dengan heran. Tak lama kemudian, kakek gendut
membuka matanya dan tertawa, membuat yang lain juga membuka mata.
"Kalian renungkan baik-baik. Andaikata di dunia ini tidak ada Siauw-binhud, andaikata Siauw-lim-pai bukan merupakan partai persilatan yang
dianggap kuat, apakah ada orang yang mau jahil memalsu namaku dan Siauwlim-pai" Nah, sumber semua peristiwa ini, didasari keadaanku dan keadaan
Siauw-lim-pai, bukan" Jadi sumbernya berada dalam diri sendiri.
Berbahagialah orang yang sama sekali tidak ada nama dan tidak dikenal,
berbahagialah orang-orang yang berada di tempat paling bawah sehingga
tidak nampak menonjol."
"Omitohud, baru sekarang teecu dapat melihat kebenaran ucapan susiok.
Memang, dengan penyesalan dan kemarahan, kita tidak akan dapat mengatasi
masalah, bahkan mengeruhkan batin. Akan tetapi, maaf, susiok, apakah
dengan berdiam diri saja masalahnya juga dapat teratasi" Semua orang kangouw tentu akan menuduh kita yang menyembunyikan pedang pusaka itu," kata
pula Thian He Hwesio. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Bahkan kini di luar telah datang banyak orang yang menurut dugaan teecu
sudah pasti ada urusannya dengan Giok-liong-kiam," sambung Thian Ki
Hwesio yang lebih mengenal keadaan dunia luar kuil, karena dialah yang
menjadi ketua yang bertugas menghadapi semua urusan di luar kuil.
"Menghadapi urusan dengan nafsu amatlah tidak benar, akan tetapi
menghadapinya dengan acuh juga tidak dapat membereskan urusan. Kita
harus menghadapi segala macam peristiwa dengan waspada dan dengan
kewaspadaan akan timbul kebijaksanaan dalam bertindak. Omitohud..."
Kakek itu kini memandang ke arah Ci Kong dengan sinar mata berseri
penuh kagum. Anak itu sedang memandang kepada Siauw-bin-hud dengan
sinar mata mencorong seperti mata anak harimau, dan ketika kakek itu
menerima pandang matanya, mereka saling tatap sejenak dan terkagumlah
hati kakek itu. "Siapakah anak itu?" tanya Siauw-bin-hud tanpa melepaskan pandang
matanya ke arah Ci Kong. "Maaf, susiok, teecu tadi sampai lupa melaporkan. Anak ini bernama Tan
Ci Kong, dan sejak kurang lebih enam tahun yang lalu menjadi murid teecu. Dia
sudah yatim piatu dan ayahnya seorang siucai yang tewas karena madat..."
"Hemm, demikian hebatkah benda beracun itu kini merajalela?" Kakek
gendut bertanya dan masih terus memandang ke arah Ci Kong.
"Ayahnya bukan seorang pemadatan, susiok. Sebaliknya malah, ayahnya
seorang siucai yang gagah perkasa dan menentang peredaran madat. Dia
menentangnya dengan tulisan-tulisan sehingga menyeretnya ke dalam
kesukaran. Akan tetapi sampai saat terakhir, sebelum tewas dalam tahanan,
Tan siucai masih menyebar tulisan-tulisan yang menentang madat, mengecam
pemerintah dan memperingatkan rakyat akan bahayanya menghisap madat.
Dia tewas dan karena putera tunggalnya ini tidak lagi mempunyai sanak
keluarga, teecu lalu mengambilnya sebagai murid dan berdiam di kuil teecu."
"Hebat... hebat...!"
Kakek gendut itu mengusap perutnya dan memandang dengan kagum.
Entah siapa yang dipujinya, mendiang Tan Siucai ataukah puteranya itu. Akan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi, pandang matanya yang tadinya lembut itu kini mencorong tajam dan
dia menemukan bahan yang amat baik pada diri anak berusia tigabelas tahun
itu. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar kuil dan seorang hwesio
tergesa-gesa masuk ke ruangan itu dan melaporkan bahwa di luar banyak tamu
secara paksa minta bertemu dengan Siauw-bin-hud. Thian Tek Hwesio
berusaha mencegah mereka, akan tetapi mereka menjadi ribut dan hendak
memaksa masuk. "Hemm, sungguh tak tahu diri mereka itu!" kata Thian He Hwesio dan
sekali menggerakkan tubuh, dia sudah berkelebat keluar dari ruangan itu
diikuti pula oleh Thian KongHwesio dan Thian Khi Hwesio.
Siauw-bin-hud agaknya tidak memperdulikan semua itu dan dia
melambaikan tangan kepada Ci Kong yang tidak ikut keluar. Di ruangan itu
hanya tinggal mereka berdua saja. Melihat betapa kakek itu melambaikan
tangan, Ci Kong lalu bangkit dan menghampiri kakek itulalu duduk bersila di
depannya, menatap wajah kakek itu tanpa takut-takut. Siapa akan merasa
takut terhadap seorang kakek gendut yang tersenyum-senyum begitu
ramahnya. Siauw- bin-hud tidak bicara apa-apa, akan tetapi kedua tangannya merabadikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan raba tubuh Ci Kong, dari ujung kepala sampai ke kaki, memijat-mijat dan
menekan-nekan, dan tiada hentinya dia mengeluarkan suara ketawa kecil.
"Aha, sudah kuduga... hmmm, hebat memang?"
Ci Kong tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek itu, akan tetapi dia telah
mempelajari ilmu silat selama enam tahun dan diapun dapat menduga bahwa
rabaan-rabaan itu tentulah merupakan semacam ujian bagi kakek itu untuk
mengetahui kemajuan dalam hal latihan silat.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Thian He Hwesio, ketua Siauw-lim-pai.
Biasanya kakek ini kalau bicara halus biarpun tegas, akan tetapi sekali ini
suaranya keras dan agak kasar tanda bahwa dia sedang dilanda kemarahan.
"Cu-wi (anda sekalian) adalah orang-orang terhormat, mengapa bersikap
begini kerdil" Sudah pinceng katakan bahwa susiok masih perlu beristirahat
dan belum siap menerima kunjungan tamu, mengapa cu-wi memaksa" Sekali
lagi kami tekankan bahwa susiok dan kami semua tidak tahu menahu tentang
Giok-liong-kiam, dan cu-wi harus tahu bahwa Siauw-lim-pai tidak pernah
membohong!" Kini terdengar suara-suara "duk-duk-duk!" seperti ada benda yang amat
berat dipukul-pukul di atas tanah, lalu disambung suara yang mengandung
kekuatan khikang yang hebat.
"Hemm" aku datang untuk bertemu dengan Siauw-bin-hud seorang, dan
tidak ingin berurusan dengan Siauw-lim-pai. Siauw-bin-hud sudah keluar dari
tempat persembunyiannya, apakah dia masih takut bertemu orang?"
Mendengar suara ini, tiba-tiba Siauw-bin-hud yang masih meraba-raba
kepala Ci Kong, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, apakah itu bukan suara Hai-tok yang terdengar begitu keras?"
Suaranya lirih saja, akan tetapi agaknya terdengar dari luar karena suara
di luar tiba-tiba terhenti dan sunyi. Kemudian terdengar kembali suara Hai-tok,
sekali ini suaranya mengandung kehalusan, seperti orang menghormat.
"Siauw-bin-hud, aku orang she Tang memang ingin bertemu denganmu.
Silahkan keluar!" Mendengar ini, kembali Siauw-bin-hud tertawa dan diapun bangkit sambil
menggandeng tangan Ci Kong.
"Mari, anak baik... eh, siapa namamu tadi?"
"Nama saya Tan Ci Kong, susiok-couw !" kata Ci Kong dengan sikap
hormat. Memang selama enam tahun tinggal di kuil bersama Nam San Losu, dia
bukan hanya menerima gem blengan ilmu silat, akan tetapi juga ilmu sastera
sehingga dia mengenal tata susila seperti seorang terpelajar. Kini kakek gendut
dan anak laki-laki itu berjalan keluar.
Empat orang hwesio itu segera minggir memberi jalan ketika mereka
melihat susiok mereka muncul keluar, menuntun Ci Kong. Dan semua mata para
tamu itupun kini ditujukan kepada hwesio gendut itu yang tersenyum-senyum
ramah, menyapu semua tamu dengan pandang matanya. Setelah berhadapan
dengan mereka, hwesio gendut itu tertawa, suara ketawanya lepas dan tidak
terkendali, keluar dari perutnya dan terdengar ramah menyenangkan, seperti
suara ketawa orang yang kegirangan.
"Heh-heh-heh, setelah duapuluh tahun lebih menyendiri, tetap saja tidak
dapat bebas dari urusan dengan orang-orang lain. Ha-ha, jelaslah kini bahwa
tidak mungkin hidup sendirian saja, hidup berarti antar hubungan, baik dengan
manusia lain, dengan mahluk lain, dengan benda maupun pikiran sendiri... tak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan salah... tak salah..."
Dua pasang mata menatap kakek gendut itu penuh perhatian, penuh
selidik. Mereka adalah Tang Kui, perwira istana yang bertubuh tinggi besar itu,
dan Lui Siok Ek, tokoh Thian-tepai. Dua orang inilah yang pada enam tahun
yang lalu pernah ikut memperebutkan Giok-liong-kiam dan melihat dengan
mata kepala sendiri betapa pedang pusaka itu lenyap bersama munculnya
kakek gendut yang bukan lain adalah Siauw-bin-hud. Dan mereka berdua
berani bersumpah bahwa orang yang mereka temui enam tahun yang lalu
adalah kakek gendut yang kini berhadapan dengan mereka walaupun tokoh
Thian-te-pai Lui Siok Ek melihat sesuatu yang diam-diam membuat dia meragu.
Ada perbedaan dalam sinar mata kakek ini dengan sinar mata kakek enam
tahun yang lalu. Dia melihat sinar mata mencorong hebat dari kakek yang
dahulu, sedangkan kakek ini demikian lembut dan penuh pengertian.
Betapapun juga, kecuali sinar mata ini, hampir segalanya kakek ini tiada
bedanya dengan kakek yang muncul dalam perebutan Giok-liong-kiam enam
tahun lalu. Gundulnya, gendut bulatnya, jubah kuning sampai sepatunya, dan
kembali Lui Siok tertegun. Sepatunya memang sama, sepatu kain, akan tetapi
telapak sepatu kakek yang dahulu itu berlapis besi. Ini dia ingat benar,
sedangkan telapak sepatu kakek ini tetap dari kain lunak. Akan tetapi, sinar
mata yang berbeda itu mungkin saja menunjukkan kemajuan batin kakek itu
selama enam tahun ini, dan tentang telapak sepatu, ah, bisa saja kakek itu kini
tidak membubuhkan lapisan besi karena tidak sedang melakukan perjalanan
jauh. Dia bisa keliru akan tetapi tetap saja ada keraguan dalarn hatinya.
Akan tetapi perwira Tang Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu Tang
Kui tidak melihat perbedaan-perbedaan itu, dan begitu melihat Siauw-bin-hud
muncul, langsung saja dia menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek
gundul itu dan berkata dengan suara lantang.
"Dia inilah yang dahulu merampas Giok-liong-kiam!"
Siauw-bin-hud memandang kepada Tang Kui sambil tersenyum. Pandang
matanya sama sekali tidak marah, melainkan penuh kesabaran seperti seorang
kakek yang baik melihat kenakalan cucunya.
"Si-cu (orang gagah), apakah engkau melihat sendiri pinceng merampas
pusaka itu?" tanyanya halus.
Tang kui cemberut dan mukanya menjadi merah karena marah. Dia adalah
seorang yang jujur dan kasar, dan tidak suka berpura-pura.
"Locianpwe adalah seorang pendeta yang dihormati, mengapa masih
berpura-pura seperti anak kecil" Enam tahun yang lalu begitu bertemu,
Locianpwe sudah mengenal aku sebagai Tang Kui, perwira pengawal istana!"
Kakek itu tersenyum lebar, juga matanya lebar.
"Ahhh, betapa anehnya. Bahkan dalam mimpipun pinceng belum pernah
Mencari Bende Mataram 10 Lembah Merpati Karya Chung Sin Alap Alap Laut Kidul 2
^