Pencarian

Pedang Naga Kemala 3

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


jumpa dengan ciangkun, sama tidak pernahnya pinceng mendengar apalagi
melihat pusaka yang bernama Giok-liong-kiam.".
"Aku belum gila untuk menuduh locianpwe yang bukan-bukan. Akan tetapi
dia itu dahulupun pernah menjadi saksi!"
Tang Kui menunjuk ke arah Lui Siok Ek dan kini semua mata memandang
ke arah tokoh Thian-te-pai itu. Lui Siok Ek sedang berdiri bingung. Memang dia
melihat perbedaan, dan juga suara ketawa kakek gendut ini sama sekali tidak
mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantung seperti kakek enam
tahun yang lalu, walaupun dalam suara kakek ini terasa pula adanya tenaga
yang amat kuat. Kini, dituding secara tiba-tiba oleh Tang Kui, dia menjadi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan gugup dan melihat betapa semua orang memandang kepadanya, diapun
mengangguk. "Memang benar, locianpwe Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai yang telah
mengambil Giok-liong-kiam ketika terjadi perebutan di antara kami."
"Aha, sudah dua orang yang menjadi saksi mata! Wah, ini berat jadinya
untukku!" kata kakek gendut.
"Kalau saja pinceng tidak yakin benar bahwa pinceng selama duapuluh
tahun bertapa dalam ruangan, tentu pinceng mulai tidak yakin kepada diri
sendiri! Akan tetapi, pinceng sudah menyelidiki diri sendiri dan tidak pernah
pinceng meninggalkan ruangan, jadi" tidak mungkin mengambil pusaka. Eh,
apakah jiwi-sicu melihat sendiri pinceng mengambil pedang itu?"
Lui Siok Ek mengerutkan alisnya. Seperti juga Tang Kui, ketika enam tahun
yang lalu dia berhadapan dengan Siauw-bin-hud, kakek ini sudah
mengenalnya, akan tetapi kini agaknya tidak mengenalnya.
"Kami tidak melihat sendiri. Kami berlima sedang memperebutkan pusaka
itu. Giok-liong-kiam terlempar ke udara dan meleset ke arah dimana kami
menemukan locianpwe duduk bersamadhi. Siapa lagi kalau bukan locianpwe
yang mengambilnya?" "Duk-duk-duk"!!"
Semua orang terkejut ketika kakek tinggi besar muka merah menotoknotokkan tongkanya ke tanah. Dari ketukan tongkat ini saja sudah dapat
dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang tersembunyi di dalam lengan tangan
yang besar itu. Dan memang nama Hai-tok (racun lautan) Tang Kok Bu sudah
terkenal di seluruh dunia persilatan, maka semua orang memandang
kepadanya dengan agak gentar.
"Aku tahu bahwa Siauw-bin-hud bukanlah seorang pengecut, melainkan
seorang datuk persilatan yang besar namanya. Tidak perlu banyak cakap lagi
tentang urusan tetek bengek. Yang jelas, Siauw-bin-hud telah memiliki Giokliong-kiam melalui ilmu kepandaiannya yang hebat sehingga dia mampu
mengambil pusaka itu tanpa diketahui orang lain. Dalam dunia persilatan
memang ada peraturan bahwa siapa menang, dia berhak meraih pahalanya.
Enam tahun yang lalu dia menang, dan kini setelah dia keluar, aku orang she
Tang mohon diberi kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang telah
menguasai Giok-liong-kiam. Kalau aku kalah, sudahlah, aku tidak akan banyak
ribut lagi tentang pusaka itu."
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud berkata lirih akan tetapi masih tersenyum lebar dan sabar.
"Hai-tok makin tua semakin keras saja. Apakah orang seperti engkau ini
tidak mau menerima penjelasan orang seperti aku, bahwa pinceng sungguh
tidak pernah melihat Giok-liong-kiam, apalagi memilikinya?"
"Aku tidak pernah menuduh, hanya mendengarkan berita di luaran dan kini
ada dua orang saksi mata. Mungkin mereka benar, mungkin pula engkau yang
benar, siapa tahu akan kebenaran yang sesungguhnya" Yang penting, mari kita
menguji kepandaian. Kalau aku kalah, sudahlah" aku akan minta maaf dan
akan pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus
menyerahkan Giok-liong-kiam kepadaku."
"Wah, wah, wah" tulang-tulangku sudah tua ini bernasib sial hendak
menerima gebukan orang. Hai-tok, bagaimana kalau aku kalah akan tetapi aku
tidak memiliki pusaka itu untuk dapat diserahkan kepadamu?"
Dunia kang-ouw mempunyai bukti-bukti bahwa engkau yang merampas
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pedang itu, maka engkau harus dapat pula membuktikan bahwa bukan engkau
perampasnya!" "Ha-ha-ha" dengan lain kata, engkau menghendaki aku mencari
perampasnya yang agaknya mempergunakan namaku?"
"Begitulah" dan bersiaplah, Siauw-bin-hud!"
"Nanti dulu. Tamuku bukan hanya engkau seorang, melainkan masih ada
beberapa orang lagi. Kautunda dulu niatmu, Hai-tok" aku ingin bertanya
kepada yang lain-lain."
Lalu kakek gendut itu dengan sikap tenang, sabar dan peramah
memalingkan mukanya kepada rombongan perwira istana yang dipimpin oleh
Pouw Gun atau Pouw Ciang-kun itu.
"Cu-wi sekalian ini apa juga datang ke Siauw-lim untuk urusan pusaka
yang hilang itu?" Pouw Gun menjura dengan sikap tegas dan hormat. Sebagai seorang
perwira tinggi, sikapnya tegas dan berwibawa, akan tetapi sebagai seorang
ahli silat tinggi diapun menghormati angkatan yang lebih tua seperti Siauwbin-hud.
"Locianpwe, saya Pouw Gun bersama beberapa orang teman datang
sebagai utusan sri baginda kaisar. Karena seorang di antara saudara muda
kami, yaitu Tang Kui, pernah mendapatkan Giok-liong-kiam yang kemudian
dirampas oleh locianpwe, maka kami atas nama sri baginda kaisar mohon
dengan hormat agar locianpwe menyerahkannya kepada kami."
"Heh-heh, semua orang minta pusaka itu dariku. Aneh! Ciangkun, kalau cuwi menjunjung perintah sri baginda kaisar, tentu membawa surat perintah."
Wajah panglima yang bertubuh kecil itu menjadi merah.
"Maaf, locianpwe" selama enamtahun ini, Siauw-lim-pai tidak mengakui
tentang Giok-liong-kiam, oleh karena itu, urusan ini menjadi urusan pribadi.
Kami ditugaskan untuk mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana.
Andaikata kami harus berurusan dengan Siauw-lim-si, tentu kami akan
membawa surat perintah. Akan tetapi karena Siauw-lim-si tidak mengakui, dan
karena ada saudara kami yang melihat sendiri bahwa pusaka itu... oleh
locianpwe... " "Ha-ha-ha, Pouw-ciangkun" jelaskan saja apa yang hendak kaulakukan
sekarang," kakek gendut itu memotong dengan suara kasihan melihat
kegugupan perwira itu. "Seperti saya katakan tadi, kami mohon dengan hormat agar locianpwe
suka menyerahkan pusaka itu kepada kami, demi nama sri baginda kaisar."
"Kalau pinceng tidak bisa memberikannya, bagaimana ciangkun?"
"Terpaksa saya melupakan kebodohan sendiri mohon petunjuk dari
locianpwe." "Aha! Menantang lagi! Kiranya engkau tidak sendirian dalam hal berkeras
kepala untuk memukuli badanku yang sudah tua, Hai-tok. Baiklah, kautunggu
dulu, ciangkun" aku akan bertanya kepada rombongan lain."
Kakek itu tanpa menanti jawaban lalu menghadapi rombongan Thian-te-pai
yang berdiri berbaris dengan sikap gagah.
"Cu-wi tentu utusan perkumpulan Thian- te-pai," katanya ramah sambil
memandang ke arah dada orang-orang itu.
"Lalu apa kehendak cu-wi datang mencari aku orang tua?"
Coa Bhok yang gagah dan angkuh melangkah maju menghadapi Siauw-binhud.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Saya Coa Bhok sebagai wakil ketua Thian-te-pai, mewakili perkumpulan
kami untuk memohon kebijaksanaan locianpwe Siauw-bin-hud. Pusaka Giokliong-kiam sejak dahulu menjadi pusaka perkumpulan kami, bahkan menjadi
lambang kebesaran perkumpulan Thian-te-pai kami. Enam tahun lebih yang
lalu, pusaka kami itu lenyap dicuri orang, dan setelah itu timbullah perebutan
diantara orang-orang kang-ouw untuk mencari dan merampasnya. Sute kami
Lui Siok Ek ini pada enam tahun yang lalu hampir berhasil merebut kembali
pusaka kami itu, akan tetapi menurut keterangannya tadi, pusaka itu oleh
locianpwe dirampas. Karena selama enam tahun ini locianpwe berada dalam
pertapaan, kami segan untuk berurusan dengan Siauw-lim-si, dan mendengar
locianpwe telah keluar, kami memberanikan diri untuk datang menghadap dan
minta kembali pusaka yang disimpankan oleh locianpwe itu."
"Aha, dengan arti lain, cu-wi hendak memaksaku untuk mendapatkan
pusaka itu dan mengembalikan kepada Thia-te-pai?"
"Begitulah!" "Wah-wah-wah, runyam sekali ini!"
Siauw-bin-hud mengelus kepala Ci Kong yang masih berdiri di dekatnya.
Dia heran melihat anak itu mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar
marah. "Eh, kau kenapa, anak baik?"
"Susiok-couw, orang-orang ini sungguh tidak memiliki rasa keadilan sama
sekali, mau menangnya sendiri saja, dan mendesak susiok-couw secara
sewenang-wenang!" Ci Kong berseru dengan suara nyaring. Kakek gendut itu tertawa bergelak
dan mengelus kepala Ci Kong dengan halus.
"Wah-wah, kalau engkau begini keras, lalu apa bedanya dengan mereka
yang keras juga" Tenanglah, anak baik dan kita lihat saja perkembangannya."
"Heh-heh-heh-heh" banyak lalat dan hawanya panas, sungguh tidak
nyaman..." tiba-tiba terdengar suara orang mengomel.
Semua orang menoleh dan ternyata yang mengomel itu adalah Bu-beng
San-kai yang duduk agak jauh dari orang-orang lain, duduk sembarangan saja
di atas rumput sambil mengipasi tubuhnya seolah-olah dia benar-benar merasa
gerah, padahal hawa di puncak bukit itu tentu saja sejuk! Seorang anak
perempuan berusia sebelas tahun yang cantik mungil, bermata lebar dan
bersikap pendiam duduk di belakangnya, hanya sepasang matanya yang lebar
itu saja bergerak memandangi semua orang akan tetapi mulutnya yang kecil
merah itu tak pernah dibukanya.
"Jembel badut!" tiba-tiba Hai-tok Tang Kok Bu mengejek.
"Agaknya yang kaumaki lalat itu termasuk dirimu sendiri, kalau tidak
demikian, mau apa engkau muncul di sini!"
Siauw-bin-hud memandang kakek kurus yang bajunya tambal-tambalan itu
dan diapun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya ada pula Bu-beng San-kai di sini! Wah-wah, Sankai,
apakah benar dugaan Hai-tok bahwa engkaupun datang ke sini untuk
memperebutkan Giok-liong-kiam?"
Semua orang, kecuali Hai-tok, terkejut bukan main dan kini mereka
memandang ke arah pengemis tua itu dengan mata terbelalak. Bu-beng Sankai" Sebuah nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan, dan tak
seorangpun di antara mereka, kecuali Hai-tok dan Siauw-bin-hud, menyangka
bahwa kakek jembel yang nampaknya tidak ada apa-apanya itu ternyata
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan adalah Bu-beng San-kai! Kalau disebut San-tok (Racun Gunung), tentu semua
orang akan lebih kaget lagi tadi. Akan tetapi nama Bubeng San-kai (Pengemis
Berkipas Tak Bernama) atau San-tok (Racun Gunung) juga sama saja.
Di dunia persilatan, pernah muncul empat orang tokoh yang amat hebat,
yang dinamakan Racun-racun Dunia. Mereka adalah San-tok (Racun Gunung)
yaitu yang berjuluk pula Bu-beng San-kai, lalu Hai-tok (Racun Lautan) yang kini
menjadi orang kaya di Pulau Layar. Masih ada dua orang lagi, yaitu Thian-tok
(Racun Langit) dan Tee-tok (Racun Bumi) yang tidak pernah didengar orang
pula, entah berada dimana. Kalau orang-orang seperti Hai-tok dan San-tok kini
muncul, dapat dibayangkan betapa penting dan berharganya Giok-liong-kiam!
Kalau Tang Kok Bu, seperti julukannya, Hai-tok, dahulunya adalah datuk
para bajak laut, sebaliknya San-tok adalah datuk para perampok di
pegunungan dan hutan-hutan. Akan tetapi, berbeda dengan Hai-tok yang kini
nampaknya menjadi orang kaya raya, San-tok masih kelihatan miskin, bahkan
pakaiannya seperti seorang pengemis.
Bu-beng San-kai atau San-tok terkekeh mendengar ucapan Hai-tok dan
Siauw-bin-hud, dan diapun menjawab.
"Siauw-bin-hud, engkau tahu bahwa aku bukan seorang yang mata duitan
atau haus akan harta. Aku datang hanya untuk menonton keramaian, dan apa
salahnya setelah sama tuanya, kita saling membuktikan siapa yang menjadi
loyo lebih dahulu di antara kita semua tuabangka-tuabangka ini" Ha-ha-ha!"
Dan diapun mengebutkan kipasnya semakin cepat. Kipas itu butut saja,
akan tetapi begitu dikebut dengan cepat, semua orang yang berada di situ
hampir menggigil karena hawa menjadi semakin dingin seperti ada angin besar
yang lewat! Siauw-bin-hud mengenal empat racun dunia sejak masih muda, bahkan
mereka itu boleh dibilang merupakan saingan-sainganya dalam dunia
persilatan. Sejak dahulu, ilmu kepandaian antara para Racun Dunia itu
sebanding, dan masing-masing di antara mereka juga hampir dapat
menandingi tingkat kepandaian Siauw-bin-hud sendiri yang ketika itu masih
menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang disegani. Hanya selisih sedikit saja
kepandaian tokoh Siauw-lim ini dengan kepandaian para Racun Dunia itu. Kini,
melihat munculnya dua orang ini, diam-diam Siauw-bin-hud maklum bahwa
mereka berdua itu bukan semata-mata mencari pedang pusaka karena haus
akan harta, melainkan dalam usia tua itu agaknya hendak melanjutkan
persaingan waktu dahulu untuk menjadi orang nomor satu. Atau mungkin juga
mereka itu masih memiliki keinginan untuk menjadi Bu-lim Beng-cu (Pemimpin
Rimba Persilatan) yang disegani dan dihormati seluruh dunia persilatan!
Sebelum Siauw-bin-hud menjawab, tiba-tiba saja Ci Kong sudah melompat
ke depan dan dengan membusungkan dada dia menghadapi para tamu itu,
memandang kepada mereka dengan sinar mata mencorong.
"Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tamu-tamu tak diundang datang
mengganggu Susiok-couw, seorang tua yang tidak berdosa. Apakah kalian
tidak malu" Kalau memang kalian berhati kejam, biarlah aku yang maju
mewakili susiok-couw, kalian boleh bunuh atau siksa aku untuk memuaskan
hati kalian yang kotor dan jahat!"
Tentu saja sikap dan ucapan Ci Kong itu sama sekali tidak terduga-duga
dan semua orang menjadi tertegun. Bahkan Nam Sam Losu sendiri terkejut,
tidak mengira bahwa muridnya akan seberani dan selancang itu. Mukanya
sudah menjadi pucat karena marah dan malu. Dia sebagai gurunya harus
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bertanggung jawab atas kelancangan muridnya itu, apalagi mengingat nama
Siauw-lim-pai yang dapat tercemar karena sikap anak itu. Juga para tamu
menjadi kaget dan heran, apalagi mendengar bahwa anak itu menyebut susiokcouw (paman kakek guru) kepada Siauw-bin-hud! Seorang anak kecil, duabelas
tahun, dengan tingkat yang serendah itu dari Siau-lim-pai, berani menantang
mereka yang terdiri dari orang-orang berkedudukan tinggi di dunia persilatan,
bahkan dua di antara mereka adalah San-tok dan Hai-tok.
"Huh!" Hai-tok mendengus.
"Dibandingkan anakku yang di rumah, dia itu bukan apa-apa, Siauw-binhud!"
"Heh-heh, benarkah dia begitu hebat, Siauw-bin-hud" Aku tidak percaya!"
berkata demikian, San-tok atau Bu-beng San-kai lalu menggerakkan kakinya
dan dalam keadaan duduk, tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan dan dia
sudah berdiri di depan Ci Kong sambil tersenyum-senyum. Ci Kong sama sekali
tidak menjadi gentar dan memandang kakek berpakaian jembel itu dengan
sepasang mata mencorong. "Bocah bernyali besar, kalau engkau tidak membolehkan aku mengganggu
susiok-couwmu, lalu kau mau apa" Apa kau berani melawan aku?"
Sikap dan ucapan ini membuat Ci Kong marah bukan main.
"Apalagi engkau, biar raja iblis sekalipun akan kulawan kalau dia jahat dan
hendak mengganggu kami!" bentaknya.
"Wah-wah, agaknya engkau memang memiliki ilmu yang lihai maka kecilkecil berani menantang aku. Nah, coba kulihat, apakah engkau berani memukul
perutku ini?" Kakek itu mencoba untuk membusungkan perutnya yang kempis. Hanya
tantangan itu saja yang memaksanya untuk memukul.
"Baik, aku akan memukulmu seperti yang kau tantang itu. Bersiaplah!"
katanya sambil memasang kuda-kuda.
"Ha-ha, kauwakili susiok-couwmu memukulku, dan kerahkan semua
tenagamu!" Kakek kurus itu menantang.
Ci Kong tidak tahu betapa Nam San Losu, gurunya, sudah bergerak hendak
mencegahnya, akan tetapi tiba-tiba gurunya terkejut karena tubuhnya seperti
disedot angin dari belakang yang membuatnya tidak mampu bergerak. Ketika
suhunya menengok, ternyata Siauw-bin-hud sudah mengulurkan tangannya


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kini kakek itu tersenyum lebar dan memberi isyarat agar dia tidak
melakukan sesuatu terhadap anak itu.
Legalah hati Nam San Losu karena dia maklum bahwa susioknya itu tentu
tidak akan membiarkan muridnya celaka, hanya dia merasa heran mengapa
susioknya itu seperti mendukung sikap dan perbuatan Ci Kong yang
dianggapnya kurang ajar terhadap tingkatan yang tua. Ngeri dia
membayangkan apa akan menjadi akibatnya kalau muridnya itu memukul
tubuh San-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia itu! Dia sudah mendengar
nama ini dan agaknya tingkat kepandaian susioknya, Siauw-bin-hud sajalah
yang dapat mengimbangi kepandaian Empat Racun Dunia. Bahkan para
suhengnya sendiri yang kini menjadi para pemimpin Siauw-lim-pai, juga tidak
akan mampu menandingi San-tok!
"Hyaaaattt"!!"
Ci Kong yang sudah melihat kakek itu bersiap diri, lalu menerjang ke depan,
tangan kanannya dikepal dan memukul ke arah perut. Menurut apa yang sudah
dipelajarinya, memukul bagian lunak dari tubuh lawan sebaiknya memutar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kepalan tangan karena hasilnya akan lebih baik, sehingga tangan membuat
gerakan seolah-olah membor perut lawan. Akan tetapi karena dia tidak berniat
mencelakai lawan, hanya sekedar "menghajar" saja untuk memperlihatkan
bahwa dia benar-benar berani menentang siapa saja yang hendak
mengganggu susiok-couwnya, dia memukul biasa saja ke arah perut kecil itu.
"Bukkk...!" Pukulan itu tepat mengenai perut bawah kakek kurus itu, akan tetapi
sedikitpun kakek itu tidak menangkis atau mengelak, juga tidak bergoyang
sedikitpun oleh pukulan si anak kecil. Ci Kong yang merasa betapa kepalan
tangannya memasuki daging lunak sekali, menjadi terkejut dan cepat menarik
kembali tangannya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kepalan tangannya
memasuki perut itu tidak dapat ditarik kembali, bahkan kepalannya tidak dapat
dibuka! Dia mengangkat muka memandang, dan melihat betapa wajah San-tok
masih menyeringai biasa, dan sepasang mata kakek itu memancarkan sinar
aneh. Kembali dia berusaha membetot tangannya, namun tiba-tiba tubuhnya
malah terasa lemas kehilangan semua tenaga dan kepalan tangannya terasa
hangat, lalu semakin lama menjadi semakin panas!
"Heh-heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau benar. Anak ini jauh lebih baik dari
pada aku atau Hai-tok, dan aku kagum sekali!"
Melihat keadaan muridnya yang nampak lemas dan tidak mampu menarik
kembali tangannya dari perut San-tok, tentu saja Nam San Losu menjadi
terkejut sekali. Dia maklum bahwa nyawa muridnya terancam maut, maka
dengan nekat diapun bangkit dan melangkah maju untuk menolongnya. Akan
tetapi kembali tubuhnya tersedot ke belakang dan Siauw-bin-hud memberi
isyarat dengan pandang matanya agar dia tidak sembarangan bergerak. Nam
San Losu mentaatinya karena kakek inipun maklum bahwa keadaan muridnya
itu seperti telah ditolong. Sedikit saja dia bergerak dengan mudah San-tok akan
dapat membunuh anak itu. "Ha-ha-ha, San-tok. Jelas dia jauh lebih baik, tidak seperti engkau yang
tanpa malu-malu memperdayakan seorang anak kecil. Apa kehendakmu?"
Siauw-bin-hud berkata, dengan sikap masih tenang. Diapun maklum
betapa licik dan jahatnya Empat Racun Dunia, akan tetapi dia menghadapi
kelicikan San-tok yang kini mengancam nyawa cucu muridnya itu dengan
tenang dan sikap yang masih ramah tanpa dibuat-buat. Bagi seorang yang
tingkat kebatinannya seperti Siauw-bin-hud, sudah tidak mengenal lagi rasa
dendam atau khawatir, juga tidak dipengaruhi lagi oleh emosi. Dan kewajaran
ini seperti kembali kepada sifat kanak-kanak yang bersih dan polos, namun
matang dan tidak menjadi permainan emosi sehingga tenang dan jernih
bagaikan air telaga dalam yang tenang.
"Ha-ha, apalagi, Siauw-bin-hud, kalau bukan Giok-liong-kiam yang ingin
kulihat"Aku ingin sekali melihat macamnya benda yang diperebutkan itu."
"Dan untuk itu kau akan membebaskan anak itu?"
"Tentu dia kubebaskan."
"Ha-ha-ha, Racun Gunung, kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk tetap
menyangka bahwa aku menyembunyikan pusaka itu, bukan" Pusaka itu tidak
ada padaku." "Aku percaya padamu dan kiranya ada orang lain yang mempergunakan
namamu untuk merampas pusaka itu. Akan tetapi, seperti dikatakan orang
Thian-te-pai itu, penggunaan namamu oleh orang lain itu adalah urusanmu.
Aku minta agar engkau mencari pemalsu itu, merampas kembali Giok-liongdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kiam, kemudian memberikan kepadaku!"
"San-tok!" tiba-tiba Hai-tok membentak marah.
"Enak saja engkau memaki orang lain tadi, kini engkau sendiri hendak
memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan pusaka kepadamu! Tak tahu malu!"
"Heh-heh, siapa tak tahu malu?" kata kakek kurus.
"Aku hanya ingin melihat, kemudian akan kuputuskan siapa yang berhak
menyimpan pusaka itu kelak. Nah, Siauw-bin-hud, bagaimana?"
Siauw-bin-hud tersenyum lebar.
"Heh-heh, tanpa kauminta sekalipun, aku merasa sudah menjadi
kewajibanku untuk mencari pusaka itu. Pusaka itu sudah lenyap selama enam
tahun dan kalian tidak mampu mendapatkannya kembali. Karena itu, sudah
adillah kiranya kalau kalian memberi waktu enam tahun juga kepada pinceng
untuk mencarinya. Enam tahun lagi, pada hari dan bulan yang sama, pinceng
harap cu-wi suka datang kesini dan kita lihat saja, apakah pinceng berhasil
mendapatkannya kembali."
"Setuju...!" San-tok atau Bu-beng San-kai berseru, mendahului orang lain yang masih
ragu-ragu dan memandang dengan alis berkerut.
"Nah, terimalah kembali cucu muridmu, Siauw-bin-hud!"
Semua orang memandang ke arah Ci Kong yang masih bergantung pada
perut kakek itu dengan tangan kanannya menancap di perut itu sampai di
pergelangan tangan. Anak itu sudah lemas dan kini kulit muka dan tangannya
nampak kehijauan! Begitu kakek kurus itu menggerakkan perutnya, anak yang
sudah pingsan itu terlempar ke belakang, ke arah Siauw-bin-hud yang cepat
menangkapnya lalu merebahkan anak itu di atas tanah.
Melihat betapa kulit muridnya menjadi kehijauan dan anak itu pingsan,
Nam San Losu menjadi terkejut dan gelisah sekali. Akan tetapi diapun seorang
kakek yang berpengetahuan luas. Dan dia tidak berani sembarangan bergerak,
menyerahkan segalanya kepada susioknya. Sungguh heran dia melihat betapa
susioknya setelah meletakkan telapak tangannya ke dada Ci Kong, lalu tertawa
girang, dan memandang ke arah San-tok lalu berkata.
"Ha-ha-ha, San-tok" agaknya selama ini engkau telah memperoleh banyak
kemajuan lahir batin. Terima kasih!"
Tiba-tiba, terdengar bentakan halus.
"Kakek berwatak keji!"
Dan tahu-tahu, anak perempuan yang sejak tadi berada di belakang Bubeng San-kai atau Santok dan hanya menjadi penonton saja seperti yang lain,
tiba-tiba meloncat ke depan dan sudah menghadap Siauw-bin-hud sambil
mengeluarkan suara celaan setengah memaki itu.
Siauw-bin-hud mengangkat muka memandang. Dia masih bersila ketika
memeriksa tubuh Ci Kong, dan melihat anak perempuan yang berdiri di
depannya, dia tersenyum ramah lalu menoleh ke arah San-tok yang hanya
memandang sambil tersenyum-senyum.
"Nona kecil, mengapa engkau datang-datang memaki aku?" tanya Siauwbin-hud.
Anak perempuan itu adalah Lian Hong. Sejak tadi anak ini mengikuti
jalannya peristiwa dan melihat betapa anak laki-laki yang pemberani itu
menjadi korban karena membela kakek gendut, hatinya merasa penasaran
sekali. Apalagi melihat sikap kakek gendut yang menerima cucu muridnya
yang pingsan itu sambil tertawa-tawa, bahkan mengucapkan terima kasih
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kepada gurunya, hatinya memberontak. Ia mengenal gurunya sebagai seorang
kakek yang wataknya aneh luar biasa, maka iapun tidak dapat mengerti apa
arti perbuatan gurunya itu. Karena itu, melihat betapa gurunya tadi menerima
pukulan anak laki-laki dan membuat anak laki-laki pingsan dengan kulit
kehijauan, ia tahu bahwa anak itu keracunan akan tetapi ia tidak berani
menegur gurunya yang juga menjadi kakeknya itu. Kemarahannya karena
merasa kasihan dan penasaran melihat anak laki-laki itu menjadi korban, kini
ditimpakan kepada Siauw-bin-hud yang dianggapnya menjadi gara-gara.
"Engkau ini orang tua yang keji dan tak tahu diri! Semua urusan pusaka ini
adalah gara-garamu, akan tetapi engkau tidak mau maju sendiri, malah
membiarkan seorang anak kecil maju mewakilimu sehingga terluka. Patutkah
itu?" "Hemmm" anak perempuan licik!" tiba-tiba Hai-tok mengejek.
"Gurumu yang mencelakai anak itu, engkau malah memaki Siauw-binhud!"
Hati kakek yang menjadi Racun Lautan ini sudah mendongkol sekali
melihat permainan antara Siauw-bin-hud dan San-tok, sehingga dia sendiri
terdesak. Dua orang itu sudah membuat janji-janji dan menganggap orangorang lain yang hadir di situ seolah-olah tidak ada dan tidak memiliki hak suara
untuk menentukan tentang urusan Giok-liong-kiam.
Lian Hong menoleh ke arah kakek pesolek itu.
"Kakekku dipukul dan hanya membela diri!" teriaknya membela kakeknya.
"Ha-ha-ha, San-tok, cucumu ini hebat sekali, sama hebatnya dengan cucu
muridku. Nah, baiklah, kau pukullah aku, nona cilik!"
"Bersiaplah kau, kakek tua!"
Lian Hong memasang kuda-kuda dan kini iapun menerjang ke depan,
mengirim tanparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam ke arah
kepala kakek yang masih duduk bersila itu. Tanparannya ini hebat sekali,
karena biarpun ia baru berusia sebelas tahun, selama enam tahun ini Lian Hong
menerima gemblengan yang keras dari kakeknya atau gurunya.
"Wah, bagus...!"
Siauw-bin-hud memuji dan sama sekali tidak mengelak.
"Plakkk!" Telapak tangan itu tepat mengenai kepala yang gundul dan hal ini tentu
saja dianggap amat kurang ajar oleh para hwesio Siauw-lim-pai yang
memandang dengan mata mendelik. Ingin mereka memukul anak perempuan
yang berani menampar kepala susiok mereka itu. Akan tetapi, Siauw-bin-hud
hanya tersenyum lebar dan kini terulanglah peristiwa seperti yang terjadi pada
diri Ci Kong tadi. Lian Hong merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan
batok kepala yang amat lunak dan dingin seperti es! Ketika ia hendak menarik
kembali tangannya, ternyata telapak tangan itu melekat pada batok kepala
yang halus itu. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya
kembali, akan tetapi makin dibetot makin melekat dan semakin dingin
sehingga ia menggigil dan kehabisan tenaga untuk meronta. Dan sebentar saja,
iapun pingsan dengan tangan masih menempel pada kepala kakek itu!
Terdengar Hai-tok terkekeh.
"Ha-ha-ha" ternyata Siauw-bin-hud setelah bertapa duapuluh tahun, tidak
berobah menjadi dewa. Sama saja dengan San-tok!"
Mendengar ejekan ini, Siauw- bin-hud tertawa lalu dia menggerakkan
kepalanya sambil berkata.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "San- tok, kauterimalah cucumu yang baik ini!"
Dan tubuh anak perempuan yang pingsan itupun terlempar ke arah Bubeng San-kai yang cepat menyambutnya. Ternyata Lian Hong pingsan dengan
muka kebiruan seperti orang yang menderita kedinginan hebat! San-tok
meletakkan telapak tangannya ke punggung cucunya, lalu tertawa girang.
"Ha-ha-ha" agaknya engkau bukan orang yang suka berhutang, Siauwbin-hud. Terima kasih!"
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran. Jelas bahwa San-tok tadi
melukai Ci Kong, akan tetapi Siauw-bin-hud malah berterima kasih, dan
sekarang Siauw-bin-hud melukai Lian Hong akan tetapi San-tok juga berterima
kasih! Hanya Hai-tok yang ilmunya paling tinggi di antara mereka yang lain,
diam-diam merasa mendongkol sekali. Dia dapat menduga bahwa dua orang
kakek itu bukan melukai untuk mencelakakan, melainkan masing-masing telah
menyalurkan tenaga ke dalam tubuh dua orang anak itu sehingga dua orang
anak itu bukannya dirugikan, malah menerima tenaga yang hebat. Dua orang
kakek itu telah saling menukar kebaikan!
"Cukuplah semua permainan sandiwara dan badut ini!"
Hai-tok berkata dan diapun melangkah maju menghadapi Siauw-bin-hud.
"Siauw-bin-hud, mari kita main-main sebentar saja untuk menentukan
siapa yang berhak menjadi pemilik Giok-liong-kiam, baik sekarang maupun
kelak." Kakek ini sudah mengangkat tongkatnya ke atas. Tongkat itu panjangnya
lima kaki, berlapis emas dan terhias batu permata sehingga nampak indah dan
berkilauan ketika diangkatnya di depan dada.
"Wah-wah, Racun Lautan ini hendak menjual lagak di sini" Kita sama-sama
menjadi tamu di Siauw-lim-si, sungguh tidak enak kalau aku membiarkan saja
engkau mengacau. Pergilah dan jangan membikin malu aku sebagai samasama tamu Siauw-lim-si!"
Tiba-tiba Bu-beng San-kai atau San-tok sudah melompat ke depan,
menghadapi Hai-tok dengan kipas bututnya di tangan.
Dua orang kakek itu, dua di antara Empat Racun Dunia, kini saling
berhadapan dengan mata melotot seperti dua ekor ayam jago berlagak dan
hendak saling bertempur mati-matian. Entah sudah berapa puluh kali dua
orang ini dahulu saling mengukur kepandaian, dan belum pernah di antara
mereka ada yang menang atau kalah. Di antara empat orang Racun Dunia,
memang tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah. Mereka masing-masing
memiliki keistimewaan sendiri, dan karena maklum bahwa tidak seorangpun
di antara mereka yang dapat menjagoi, maka merekapun dapat bekerja sama
kalau menghadapi lawan. Tentu saja untuk membela kepentingan sendiri, para
tokoh sesat ini seringkali saling gempur sendiri.
Dan sekarangpun, setelah belasan tahun tidak saling jumpa dan
berhubungan, kini sekali bertemu mereka sudah siap untuk saling gebuk lagi!
Tentu saja semua orang memandang dengan hati tegang sekali. Sudah belasan
tahun mereka mendengar nama besar Empat Racun Dunia, dan baru sekarang
berkesempatan melihat orangnya, dua diantara mereka, bahkan kini dua orang
itu siap untuk saling serang. Tentu saja mereka merasa tegang dan juga
gembira karena berkesempatan menyaksikan kehebatan dua orang yang
dianggap sakti dan jahat seperti iblis itu.
"Bagus!" Hai-tok Tang Kok Bu membentak marah.
"Biarkan kita membuat perhitungan di sini dan lihat, siapa yang lebih
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pantas menjadi pemilik Giok-liong-kiam!"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Pouw Gun atau Pauw-ciangkun, perwira tinggi dari istana itu
melangkah maju. "Ji-wi locianpwe tidak berhak menentukan sebagai calon pemilik Giokliong-kiam. Hendaknya jiwi ketahui bahwa sri baginda kaisar telah mengutus
kami untuk mencari dan membawa pusaka itu ke istana!"
"Tidak! Kamilah yang paling berhak karena pusaka itu adalah pusaka
perkumpulan kami yang hilang dicuri orang!" kata Coa Bhok, wakil ketua Thiante-pai yang merasa penasaran melihat orang-orang membicarakan Giok-liongkiam tanpa memperdulikan mereka yang merasa paling berhak atas pusaka itu.
Dua orang kakek yang tadi sudah saling berhadapan untuk berkelahi itu,
kini tiba-tiba saling pandang dan tersenyum. Dari pandang mata yang saling
tatap itu, keduanya mengalami kegembiraan seperti di jaman dahulu dan
seolah-olah pandang mata mereka menjadi isyarat bagi mereka untuk bersatu,
walaupun hanya untuk sementara, guna menghadapi lawan yang datang dari
luar menentang mereka! Secara otomatis, keduanya lalu membalikkan tubuh,
membagi tugas! Karena dia seorang yang hidup sebagai seorang hartawan
kaya raya, agaknya Hai-tok masih merasa sungkan untuk berurusan dengan
orang pemerintah, maka dia memilih berhadapan dengan orang-orang Thiante-pai! Sambil tersenyum mengejek dan melintangkan tongkat emasnya di
depan dada, dia menghadapi Coa Bhok wakil ketua Thian-te-pai dan empat
orang adik seperguruannya.
"Hemm" kalian ini anak-anak kecil, sudah tidak becus menjaga Giok-liongkiam, juga tidak becus menemukannya kembali selama enam tahun ini,
sekarang hendak berlagak mencampuri urusan dan perjanjian orang-orang tua"
Pergilah dan jangan kalian mengganggu kami!"
Karena Hai-tok sudah memilih lawan, terpaksa San-tok menghadapi Pouw
Gun dan dua orang temannya. Tentu saja kakek yang hidup sebagai seorang
perantau miskin dan jembel ini tidak takut berurusan dengan para pengawal
istana. "Heh-heh-heh, biasanya utusan lebih sombong dari pada yang


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengutusnya. Kalian hanya utusan, kalau tidak berhasil menemukan Giokliong-kiam, laporkan saja ke atasan bahwa kalian tidak berhasil. Kenapa
hendak mencampuri urusan kami orang-orang tua?"
Tentu saja orang-orang dari dua rombongan itu menjadi marah mendengar
ucapan dua orang kakek yang memandang rendah itu. Terutama sekali Pouwciangkun dan dua orang temannya. Mereka adalah perwira-perwira pengawal
dari istana, dan di istana dikenal sebagai jagoan, terutama sekali Pouw Gun,
dan sekarang mereka sama sekali tidak dipandang mata oleh seorang kakek
jembel. Biarpun Pouw Gun pernah mendengar akan nama Bu-beng Sankai,
akan tetapi dia tidak takut, didukung oleh kedudukannya dan oleh dua orang
temannya yang sudah siap untuk membantunya.
"Bagus, kau orang-orang tua hendak memberontak terhadap petugas
istana?" Bentaknya dan dia sudah mengeluarkan pedangnya, diikuti pula oleh si
raksasa Tang Kui dan seorang temannya lagi yang kedudukannya lebih tinggi
dari pada Tang Kui dan memiliki ilmu silat lebih tinggi pula. Sebagai
perwiraperwira istana, tentu saja mereka tidak dilarang membawa senjata dan
masing-masing kini sudah mencabut golok mereka, berdiri di kanan kiri Pouw
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Gun yang memegang pedang. Melihat ini, Santok terkekeh.
"Majulah, majulah... heh-heh, sudah lama kipasku tidak menepuk lalat lalat
hijau!" Jelas bahwa ucapannya ini merupakan ejekan, mengejek para perajurit
Mancu yang oleh sebagian orang patriot diejek sebagai lalat-lalat hijau. Pouw
Gun dan dua orang temannya sudah membuat gerakan mengurung dan
membentuk barisan segi tiga, seorang di belakang, dan dua orang di depan
kanan kiri. Yang di belakang adalah Pouw Gun sedangkan dua orang temannya
yang bergolok siap di depan kakek kurus yang memegang kipas dan nampak
enak-enakan mengipasi tubuhnya yang kurus.
Sementara itu, Coa Bhok dan empat orang saudaranya juga sudah
mengepung kakek tinggi besar bermuka merah itu. Coa Bhok maklum akan
kelihaian Hai-tok, maka diapun tidak malu-malu untuk maju bersama empat
orang sutenya. Mengapa mesti malu" Urusan ini adalah urusan perkumpulan,
untuk merebut kembali pusaka perkumpulan, bukan urusan pribadi sehingga
boleh saja mereka maju bersama. Apalagi mereka menghadapi seorang di
antara Empat Racun Dunia sehingga pengeroyokan mereka tidak akan
ditertawakan orang kang-ouw.
Karena pada zaman itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan keras
bagi siapa saja untuk membawa senjata tajam, apalagi akhir-akhir ini setelah
timbul banyak pemberontakan kecil dimana-mana, maka Thian-te pai juga
melarang murid-muridnya membawa senjata. Bahkan perkumpulan itu kini
lebih mengutamakan ilmu silat tangan kosong dan semua murid memperdalam
ilmu silat tangan kosong mereka. Mereka bahkan menciptakan ilmu silat khas
mereka yang diberi nama Thian-te-kun, yang sesungguhnya hanya merupakan
ilmu silat tangan kosong yang diperbarui dan dikembangkan dari Im-yang-kun,
namun dimasuki gerakan-gerakan dan langkah-langkah khas dari ilmu silat
Thian-te-pai. Kini, dalam menghadapi Hai-tok, mereka berlima yang
mengepung ini juga tidak memegang senjata tajam.
Melihat ini, Hai-tok lalu sengaja menyelipkan tongkat emasnya, senjatanya
yang paling ampuh, di pinggangnya dan berdiri tegak dengan kedua tangan
bertolak pinggang, sama sekali tidak mengacuhkan pengepungan lima orang
itu, sikapnya sama benar dengan sikap San-tok!
Seperti dikomando saja, tiga orang perwira tinggi yang mengeroyok Santok dan lima orang Thian-te-pai yang mengeroyok Hai-tok itu bergerak dan
melakukan penyerangan. Tiga orang perwira tinggi yang dipimpin oleh Pouw
Gun itu melakukan penyerangan dengan teratur sekali. Tang Kui dan temannya
yang memegang golok menyerang dari kanan kiri, menggunakan golok mereka,
yang seorang membacok kepala dan yang kedua membabat pinggang.
Serangan ini disusul dengan selisih beberapa detik saja oleh Pouw Gun yang
menusukkan pedangnya ke punggung kakek kurus itu dan kemudian pedang
itu dikelebatkan untuk mencegat semua jalan keluar! Sungguh merupakan
serangan gabungan yang susul-menyusul, bahkan saling bersambungan dan
berbahaya sekali. Akan tetapi, apa yang terjadi"
Kakek kurus yang memegang kipas itu, yang berdiri seenaknya dengan
kipas dikebut-kebutkan mengipasi tubuhnya, sama sekali tidak menggeser
kakinya, sama sekali tidak mengelak, hanya kebutan kipasnya yang tadi
mengebuti tubuhnya saja yang berobah gerakannya. Kipas itu berkelebatan ke
kanan kiri lalu ke belakang, dan terdengar suara nyaring tiga kali yang
akibatnya membuat tiga orang perwira tinggi itu berloncatan ke belakang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dengan muka pucat. Juga Pouw Gun meloncat ke belakang dan menatap pedangnya sendiri
dengan muka pucat, karena tadi, tangkisan kipas butut itu membuat lengannya
tergetar hebat, bahkan hampir lumpuh! Kiranya, gagang kipas yang hanya
terbuat dari bambu itu, ketika menangkis tiga buah senjata itu, menimbulkan
suara nyaring seolah-olah senjata mereka bertemu dengan baja. Dan yang luar
biasa sekali, setiap kali terbentur senjata tajam, gagang kipas itu langsung
melesat dan ujung gagang itu menotok pergelangan tangan. Begitu tepat
totokannya sehingga lengan itu seketika menjadi hampir lumpuh!
Sementara itu, Hai-tok juga sudah menghadapi pengeroyokan lima orang
tokoh Thian-te-pai. Karena ilmu silat Thian-te-kun yang mereka pergunakan itu
merupakan penggabungan tenaga lemas dan kasar, lima orang itu menyerang
dengan berselang-seling, ada yang melakukan pemukulan dengan amat kuat,
ada pula yang menampar dengan lembut namun mengandung tenaga
singkang yang berbahaya. Serangan mereka juga bertubi dan saling susul,
karena mereka itu memasang bentuk barisan Ngo-heng-tin dan mengepung
darilima jurusan. Akan tetapi, sikap kakek tinggi besar berpakaian mewah ini tidak kalah
anehnya dari sikap San-tok. Dia membuat gerakan seperti menari, kedua
lengannya bergerak ke kanan kiri muka belakang, dan dari kedua ujung lengan
bajunya menyambar angin yang amat kuat dan... empat orang sute dari Coa
Bhok terpental, sedangkan Coa Bhok sendiri terhuyung ke belakang! Padahal
wakil ketua Thiantepai ini memiliki tenaga singkang yang cukup kuat!
Sukar untuk dapat dipercaya betapa hanya dengan angin pukulan saja, Haitok membuat lima orang lawan yang tangguh itu terpelanting. Tentu saja
wajah Coa Bhok berubah merah sekali. Sebagai wakil ketua Thian-te-pai, tentu
saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi, akan tetapi kenapa menghadapi
kakek ini, padahal dibantu empat orang sutenya, mereka berlima dibuat tidak
berdaya seperti lima orang anak kecil saja! Dia menjadi penasaran dan bersama
empat orang sutenya mengepung lagi, seperti juga tiga orang perwira tinggi
sekarang sudah mengepung tubuh San-tok yang masih berdiri tegak.
Tiga orang perwira tinggi itu sudah menyerang lagi dengan senjata
mereka, kini secara berbareng karena mereka maklum bahwa lawan terlalu
tangguh untuk diserang secara bergantian. Tiga batang senjata tajam itu
menyerang dari tiga jurusan dalam detik yang sama. Akan tetapi, tiba-tiba
mata tiga orang itu menjadi gelap ketika kipas itu mengebut dan berkelebatan
di depan muka mereka. Hawa dingin dari angin kipas membuat mereka tidak
dapat membuka mata, dan tahu-tahu dua orang teman Pouw Gun terpukul
gagang kipas, perlahan saja di pundak mereka namun cukup membuat mereka
terpelanting dengan golok terlepas dari tangan karena tubuh mereka
kehilangan tenaga dan pundak terasa nyeri bukan main.
Adapun Pouw Gun yang lebih lihai dan bertindak hati-hati, dapat mengelak
dari sambaran kipas dan tahu-tahu pedangnya sudah menusuk dari samping
ke arah lambung San-tok. Kakek ini miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak
ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan Pouw Gun yang terpaksa
melepaskan pedangnya karena dia merasa seolah-olah pergelangan tangannya
itu patah-patah. Di lain detik, tengkuknya sudah dicengkeram oleh tangan kiri
San-tok dan tidak mampu berkutik lagi!
Di lain bagian, dengan amat mudahnya Hai-tok juga sudah membuat para
pengeroyoknya kocar kacir. Serangan-serangan lima orang itu yang dilakukan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan lebih cepat dan kuat disambutnya dengan totokan-totokan kedua ujung lengan
bajunya sehingga dalam segebrakan saja, empat orang sute dari Coa Bhok
sudah roboh oleh totokan. Coa Bhok dapat menangkis totokan ujung lengan
baju, akan tetapi pada saat itu, tangan kanan Hai-tok sudah bergerak
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya. Coa bhok terkejut sekali dan
dengan menarik tubuh atasnya ke belakang, cengkeraman itu tidak mengenai
sasaran. Akan tetapi, cengkeraman itu hanya gertak saja, atau berfungsi
sebagai gertakan kalau dielakkan, karena secepat ular mematuk, ujung lengan
baju dari tangan yang mencengkeram itu telah mencuat ke depan dan tahutahu sudah menotok dan mengenai jalan darah di pundak Coa Bhok, seketika
tubuh wakil ketua Thiante-pai ini menjadi lemas dan Hai-tok telah
mencengkeram tengkuknya! "Hai-tok, terimalah ini!" terdengar San-tok berseru sambil melontarkan
tubuh Pouw Gun yang dicengkeramnya tadi.
"Nih, untukmu!" Hai-tok juga berteriak.
Keduanya sama-sama melontarkan tubuh orang yang dicengkeram
tengkuknya, dengan maksud untuk saling menyerang karena setelah kini tidak
ada lagi yang menjadi penghalang, dua orang Racun Dunia ini telah teringat
kembali akan persaingan mereka! Dua batang tubuh yang sudah tidak mampu
bergerak itu melayang ke udara dan saling bertumbukan di udara. Sungguh sial
bagi mereka, tubuh mereka yang melayang itu tepat sekali saling hantam muka
sama muka. "Dukkk...!" Darah muncrat dari hidung dua orang itu yang sama sekali tidak berdaya
untuk mengelakkan tubrukan antar hidung itu, dan tubuh mereka terbanting ke
atas tanah dalam keadaan pingsan!
Dua orang perwira yang maklum bahwa mereka tidak mampu menang
menghadapi San-tok, segera menolong Pouw-Gun, memanggulnya dan
membawanya pergi tanpa pamit. Juga empat orang tokoh Thian-te-pai
menolong wakil ketua mereka dan menggotongnya pergi tanpa pamit.
Terlalu hebat peristiwa yang menimpa dua golongan ini. Pouw Gun adalah
jagoan pengawal istana yang biasanya amat ditakuti, juga Coa Bhok adalah
wakil ketua Thian-tepai yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Akan
tetapi sekali ini, dua orang itu hanya menjadi barang permainan yang sama
sekali tidak berdaya di tangan dua orang Racun Dunia.
Kini dua orang kakek itu sudah saling berhadapan lagi, seperti lupa akan
perkelahian yang baru saja terjadi. Dalam perkelahian tadipun mereka
bersaing, tidak mau kalah dan memang mereka menyelesaikan perkelahian itu
dalam dua gebrakan saja! "San-tok, kalau aku dapat mengantarmu ke alam baka sekarang, matipun
aku akan dapat terpejam!" kata Hai-tok.
"Ha-ha-ha, aku yang akan membuat engkau mampus dengan mata melek,
Racun Lautan!" balas Bu-beng San-kai.
Belum habis ucapan ini, Hai-tok sudah menerjang maju didahului oleh sinar
kuning emas, karena menghadapi lawan berat ini, Si Racun Lautan sudah
mencabut tongkat emasnya dan menyerang dengan dahsyat. Tongkat emas itu
berobah menjadi sinar berkeredepan menyambar bagaikan kilat cepatnya. Si
Racun Gunung tidak mau kalah. Kipas bututnya mengebut dengan tangkisan
yang amat kuat. "Cringgg...!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Bunga api berpijar dan keduanya menarik kembali senjata mereka, lalu
saling serang lagi dengan cepat dan bertenaga kuat. Angin sambaran senjata
mereka bersiutan, kadang-kadang berdesing saking cepat dan kuatnya. Makin
cepat gerakan mereka, makin kabur lagi pandang mata mereka yang nonton
perkelahian itu. Bayangan tubuh mereka segera diselubungi gulungan dua
sinar, putih dan kuning emas.
Para hwesio Siauw-lim-pai memandang dengan sinar mata penuh kagum,
bahkan mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, tak dapat mengikuti
gerakan dua orang tokoh sakti itu dengan jelas. Kini hampir seluruh hwesio
Siauw-lim-pai berada di luar dan sejak tadi nonton peristiwa hebat yang terjadi
di luar pintu gerbang kuil mereka.
Yang dapat mengikuti perkelahian antara dua orang itu dengan jelas
hanyalah Siauw-bin-hud seorang. Kakek ini juga merasa kagum dan maklum
bahwa dua orang itu memang memiliki ilmu silat yang kiranya sukar dicari
bandingannya pada jaman itu. Betapa sukarnya kedua orang itu
mengumpulkan semua ilmu kepandaian itu, betapa lamanya mereka melatih
dan mencari ilmu-ilmu itu. Timbullah rasa sayang dalam hati hwesio gendut
ini. Dua orang itu sudah tua, tidak perlu bertanding untuk saling
membunuhpun akan berapa lama lagi mereka dapat mempertahankan hidup
masing-masing" Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, biarpun
akan makan waktu yang lama, tentu seorang di antara mereka akan tewas, atau
setidaknya keduanya akan menderita luka yang amat parah. Usia mereka sudah
terlalu tua untuk dapat bertahan dalam perkelahian seperti itu. Dia dapat
melihat dengan jelas betapa Hai-tok menang kuat dan tongkatnya itu lihai
bukan main, akan tetapi di lain pihak, San-tok menang cepat dan agaknya
menang daya tahannya, menang kuat napasnya.
"Omitohud, belum cukupkah main-main ini" Ha-ha, kalian seperti dua orang
anak kecil berebut kembang gula saja!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba nampak tubuh yang gendut itu bergerak
maju seperti sebuah bola besar dan tahu-tahu kakek tua renta gendut itu sudah
masuk di antara dua gulungan sinar. Terdengar dua orang Racun Dunia itu
berseru kaget dan dua gulungan sinar itupun lenyap. San-tok dan Hai-tok
masing-masing meloncat ke belakang dan mereka memandang kepada Siauwbin-hud dengan mata terbelalak penuh kagum. Ketika mereka sedang berkelahi
dengan penuh semangat tadi, tentu saja mereka melihat masuknya hwesio tua
ini. Mereka menganggap kebetulan karena mereka memperoleh kesempatan
untuk menguji hwesio ini yang sejak dahulu memang belum pernah dapat
mereka kalahkan. Dengan menambah kecepatan gerakan dan besarnya tenaga,
mereka mengharapkan untuk dapat membuat Siauw-bin-hud tidak mampu
memisahkan mereka, bahkan membahayakan keadaan hwesio tua itu sendiri.
Akan tetapi, begitu tubuh gendut itu masuk dan kedua tangannya mendorong,
ada hawa pukulan yang demikian kuatnya sehingga keduanya tidak sanggup
bertahan lagi, masing-masing terdorong ke belakang dan tentu akan terhuyung
kalau saja mereka tidak cepat melompat ke belakang untuk melenyapkan
tenaga dorong yang amat hebat itu! San-tok lebih dulu dapat menguasai
dirinya. "Ha-ha-ha" memang hanya Siauw-bin-hud yang kiranya mampu
menguasai Giok-liong-kiam pada enam tahun yang lalu, dan Siauw-bin- hud
pula yang kini akan dapat membongkar rahasia ini dan menemukan kembali
Giok-liong-kiam." dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dia lalu melangkah mundur sambil mengipasi tubuhnya yang berkeringat,
dan melawan Hai-tok tadi menyadarkannya bahwa dia sudah tua dan bahwa
Hai-tok merupakan lawan yang masih seperti dulu, tangguh dan sukar
dikalahkan. Diam-diam Hai-tok masih merasa penasaran terhadap San-tok. Akan tetapi,
melihat munculnya Siauw-bin-hud, diapun merasa tidak enak untuk mendesak.
Perbuatan Siauw-bin-hudyang melerai tadi saja sudah membayangkan bahwa
hwesio tua ini merupakan lawan yang lebih berat dibandingkan San-tok,
padahal Racun Gunung itupun masih cukup berat baginya, dan dia tidak terlalu
yakin akan dapat mengalahkan kakek kurus itu. Maka diapun menyimpan
tongkatnya, menarik napas panjang.
"Sudahlah, akupun harus tahu diri. Enam tahun lagi, kalau aku masih hidup,
aku ingin melihat engkau memenuhi janjimu, Siauw-bin-hud. Atau kalau tidak,
tentu ada yang mewakili aku."
Setelah berkata demikian, dia mendengus dan memberi isyarat kepada
tujuh orang pemuda yang mengiringkannya. Tujuh orang pemuda itu adalah
anak buahnya, atau lebih tepat lagi pelayan-pelayan dan juga kekasihkekasihnya, karena kakek majikan Pulau Layar ini memang suka sekali dengan
pemuda-pemuda remaja yang tampan halus. Semenjak istrinya meninggal
dunia, meninggalkan seorang anak perempuan yang kini sudah berusia kurang
lebih sebelas tahun, kakek ini mulai suka dengan pemuda-pemuda tampan.
Kesukaan memelihara pemuda-pemuda tampan sebagai pengganti selir-selir
wanita ini memang banyak dimiliki oleh hartawan-hartawan atau bahkan
pejabat-pejabat tinggi di jaman itu.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah rombongan dari Pulau Layar ini pergi, San-tok lalu berlutut dekat
murid atau cucu angkatnya yang masih pingsan. Kini wajah Lian Hong tidak
begitu kebiruan lagi, mulai putih, dan pernapasannya juga mulai longgar.
Beberapa kali dia mengurut leher dan punggung gadis cilik itu, dan akhirnya
Lian Hong siuman. Ketika kakek ini mengangkat muka, dia melihat betapa
Siauw-bin-hud melakukan hal yang sama terhadap diri Ci Kong, dan pemuda
cilik itu siuman lebih dahulu.
"Ha-ha-ha, anak baik, sungguh engkau menerima keuntungan besar sekali.
Hayo cepat menghaturkan terima kasih kepada Bu-beng San-kai!" kata Siauwbin-hud kepada Ci Kong.
Tentu saja anak ini mengerutkan alisnya dengan penasaran. Jelas bahwa
kakek itu tadi mencelakakannya melalui penyaluran tenaga dalam, bagaimana
sekarang susiok-couwnya bahkan menyuruh dia menghaturkan terima kasih"
"Hong Hong, cepat kauhaturkan terima kasih kepada Siauw-bin-hud yang
telah memberi petunjuk padamu!"
Mendengar ini, Lian Hong cemberut, akan tetapi ia tahu bahwa kakeknya
yang suka senyum-senyum itu berwatak aneh dan tidak mau dibantah, maka
biarpun dengan hati panas, terpaksa iapun melangkah maju dan hampir saja ia
bertabrakan dengan Ci Kong yang juga melangkah maju untuk memenuhi
perintah susiok-couwnya. Lian Hong tidak mau minggir, dan Ci Kong yang
mengalah dan mengelak ke pinggir. Gadis cilik itu agaknya menanti dan
sengaja bersikap lambat. "Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih kepada locianpwe dan
maafkan kelancangan saya tadi."
Ci Kong menambah kalimatnya karena anak yang cerdik ini maklum bahwa
susiok-couwnya tidak mungkin menyuruhnya berterima kasih kalau tidak ada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Karena itulah, di samping
menghaturkan terima kasih, sekalian dia minta maaf mengingat betapa tadi dia
bersikap lancang dan berani memukul perut kakek itu.
Melihat betapa pemuda cilik itu telah memberi hormat sambil berterima
kasih kepad akakek angkatnya, Lian Hong juga memaksa dirinya menjura
kepada Siauw-bin-hud, akan tetapi suaranya masih terdengar ketus ketika
berkata. "Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih."
Hanya dua orang kakek itu yang tahu akan perbuatan masing-masing.
Siauw-bin-hud tadi dengan cepat mengetahui bahwa biarpun kulit tubuh cucu
muridnya kehijauan, namun keracunan itu bukan membahayakan. Sebaliknya
malah, kakek kurus yang dijuluki Racun Gunung itu telah mengoperkan tenaga
singkang yang hebat kepada Ci Kong, melalui tangan pemuda itu yang tadi
menempel di perutnya. Tahulah dia bahwa San-tok juga merasa kagum kepada
Ci Kong dan telah berkenan menghadiahi anak itu. Hal ini saja membuktikan
bahwa San-tok kini telah memiliki kasih sayang di dalam hatinya, dan juga
perbuatan itu menunjukkan iktikad baik terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena
itulah, begitu melihat kesempatan terbuka ketika Lian Hong memukulnya,
diapun membalas dengan mengoperkan tenaga sakti ke dalam tubuh anak
perempuan itu yang dia tahu juga memiliki bakat yang baik sekali.
"Bagus begitu, Hong Hong. Mari kita pergi dari sini. Siauw-bin-hud, enam
tahun lagi aku datang menagih janji!" kata San-tok sambil menggandeng
tangan Lian Hong, dan merekapun pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi.
Sunyi kembali depan kuil itu setelah semua tamu yang aneh itu pergi.
Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, para hwesio lalu kembali melakukan tugas
harian mereka masing-masing, akan tetapi semua peristiwa yang terjadi pagi
tadi sungguh akan melekat di dalam hati mereka dan sampai lama akan
menjadi bahan percakapan mereka di waktu sebelum tidur.
Siauw-bin-hud lalu mengumpulkan keempat orang pimpinan Siauw-lim-si,
juga Nam San Losu, Nam Thi Hwesio, dan Ci Kong diajak masuk ke dalam
ruangan belakang dimana kakek gendut itu bicara dengan suara sungguhsungguh walaupun sikapnya masih ramah dan senyumnya tak pernah
meninggalkan wajahnya yang bulat.
"Kalian semua tentu tahu bahwa munculnya urusan Giok-liong-kiam ini
mengikatkan pinceng pada sebuah tugas, hal yang sama sekali tak pernah
pinceng duga-duga. Akan tetapi, segala sesuatu memang sudah digariskan
dan kita hanya tinggal melaksanakannya saja. Ada orang mempergunakan
nama pinceng untuk merampas pusaka itu. Jelaslah bahwa maksudnya, selain
mengalihkan perhatian agar dia dapat menyimpan pusaka itu dengan aman,
juga dia meminjam nama Siauw-lim-pai dengan maksud mencari keamanan
dan juga mungkin saja untuk mengadu domba. Nah, tidak ada lain pilihan lagi,
pinceng sendiri harus pergi mencari benda yang menimbulkan keributan itu."
"Maaf, susiok. Apakah tidak lebih baik kalau susiok mengutus murid-murid
saja untuk melakukan penyelidikan, mencari dan merampas kembali pusaka
itu?" Siauw-bin-hud tersenyum, akan tetapi menggelengkan kepalanya.
"Pinceng dapat menduga bahwa orang yang merampas pedang itu tentu
seorang yang Iihai sekali. Buktinya, orang-orang pandai seperti San-tok dan
Hai-tok saja tidak mampu mencarinya dan dapat ditipu sehingga mereka
mencari ke sini. Tidak, harus pinceng sendiri yang mencarinya. Bukankah dia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memakai nama pinceng untuk perbuatannya itu" Pinceng sendiri yang akan
pergi, dan pinceng hanya minta ditemani oleh Ci Kong ini saja."
Nam San Losu terkejut, akan tetapi juga girang. Hal itu berarti bahwa
muridnya itu akan memperoleh kemajuan yang luar biasa. Di bawah bimbingan
susioknya sendiri yang demikian sakti!
"Akan tetapi, dia masih kanak-kanak, apakah tidak hanya akan menjadi
beban dan gangguan bagi susiok?" katanya.
"Justru karena dia masih kanak-kanak, maka akan cocok untuk pergi
menemani pinceng. Ci Kong, maukah engkau menemani pinceng untuk mencari
pusaka yang diperebutkan itu?"
Tentu saja Ci Kong merasa girang bukan main. Dia sudah maklum bahwa
susiok-couwnya ini memiliki kesaktian luar biasa, maka kalau dia boleh
menemani kakek itu berarti dia akan dapat memperoleh banyak petunjuk dalam
ilmu silat tinggi. Dia cepat berlutut di depan kakek itu.
"Teecu akan merasa girang dapat melayani susiok-couw."
"Ha-ha-ha, anak cerdik. Kalau begitu bersiaplah, sekarang juga kita
berangkat." Semua orang terkejut mendengar rencana pemberangkatannya yang tibatiba ini, akan tetapi karena mereka semua sudah tahu akan watak yang luar
biasa anehnya dari Siauw-bin-hud, mereka tidak berani membantah. Dan tak
lama kemudian Siauw-bin-hud nampak berjalan keluar dari kuil Siauw-lim-si,
menggandeng tangan Ci Kong yang menggendong buntalan besar berisi
pakaiannya sendiri dan pakaian hwesio itu, diantar oleh para hwesio sampai di
lereng bukit. -------Kota Kan-cou di Propinsi Kiang-si merupakan kota yang cukup besar dan
ramai, karena kota itu juga menjadi kota pelabuhan perahu-perahu yang
melayari Sungai Kan-kiang. Karena Sungai Kan-kiang itu mengalir ke utara,
maka banyaklah tukang perahu sibuk melayarkan para pedagang yang
mengirim barang-barang ke daerah pedalaman, ke kota-kota besar di bagian
utara. Memang pada waktu itu, sarana pengangkutan barang maupun orang
yang paling cepat, praktis dan murah adalah melalui sungai.
Juga kota Kan-cou menjadi semakin ramai dan penuh manusia karena
kebanjiran pengungsi dari barat ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan
di Hunan, baik pengungsi orang-orang kaya yang menyelamatkan harta benda
mereka, maupun pengungsi-pengungsi miskin yang menyelamatkan nyawa
mereka. Bertambahnya toko-toko yang dibuka oleh para pengungsi kaya, makin
meramaikan kota itu, akan tetapi, bertambah pula pengemis dan gelandangan
yang tidak mempunyai rumah dan tidak mempunyai pekerjaan pula. Orangorang berebutan mencari pekerjaan, dan karena banyaknya pengangguran, tak
dapat dihindarkan lagi banyak pula terjadi kejahatan-kejahatan.
Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti
pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari
keadaan yang dicengkeram kemiskinan. Orang-orang yang sudah tersudut
karena tidak memiliki pekerjaan, atau orang-orang pemalas yang tidak suka
bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-orang yang tidak merasa
puas dengan keadaannya, condong untruk mudah terbujuk dan menjadi
pelaku-pelaku kejahatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak
mau melakukan kejahatan. Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian. Akan
tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan tidak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang dimilikinya,
condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan tetapi
sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan
bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas
dengan bunga tinggi, menindas para petani dan buruh, mempermainkan
perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan korupsi, dan
sebagainya. Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara
persyaratan untuk hidup bahagia, dan mencari uang bahkan merupakan suatu
kaharusan yang mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan
papan yang cukup. Akan tetapi pengejarannya terhadap uang itulah yang amat
berbahaya. Pengejaran yang dilakukan karena kebutuhan masih tidak begitu
berbahaya, akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan, oleh nafsu
ingin meraih keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada
sekarang, amat berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam
perbuatan jahat, merugikan orang lain. Seperti orang yang mengejar-ngejar
sesuatu di depan sana, matanya hanya tertuju kepada yang dikejarnya
sehingga kalau ada orang lain berada di depannya, dianggap penghalang dan
dilompati, bahkan mungkin ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang
dikejarnya. Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang
menimbulkan pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya. Pengejaran
kedudukan menimbulkan jagal-jegalan, perkelahian bahkan perang.
Pengejaran kesenangan sex menimbulkan pelacuran, perjinahan. Kesenangan
apapun juga bentuknya di dunia ini, kalau sudah menguasai kita, dapat saja
menjadi pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan
biasanya, tujuan menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta
akan kesadaran. Kita hidup berhak untuk menikmati kesenangan, akan tetapi
justeru pengejaran akan keadaan yang lebih dari pada sekarang itulah yang
melenyapkan kesenangan yang ada pada saat ini. Mata kita selalu tertuju ke
depan, kepada kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayanganbayangan sehingga kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita.
Pada hari itu sudah ramai di pusat kota Kan-cou. Apalagi di pasar-pasar,
para pedagang sudah memamerkan dagangannya dan para pembelanja sudah
hilir mudik mencari-cari barang-barang yang dibutuhkan. Ramai suara para
pedagang menawarkan dagangannya, memuji barang-barang dagangannya
dan berusaha menarik orang-orang yang berlalu lalang agar berbelanja di
tempatnya. Ada pula pengemis-pengemis tua muda yang berjalan-jalan,
menggunakan segala cara untuk menarik perhatian dan kasihan orang, mintaminta dengan tangan diulurkan, dengan suara yang memelas. Lucunya, ada
pula yang pura-pura timpang, pura-pura buta. Ada pula anak-anak, dari usia
lima tahun sampai yang remaja berusia belasan tahun, berkeliaran, mintaminta atau mencari barang-barang yang dapat dimakan, di tempat-tempat
sampah, kadang-kadang berebutan dengan anjing-anjing yang banyak pula
berkeliaran di situ. Bau sayur busuk, ikan dan tanah lumpur menyesakkan
hidung, akan tetapi agaknya bau campur aduk seperti ini terasa sedap oleh
mereka yang sudah terbiasa.
Seorang anak laki-laki remaja berusia tiga belas tahun dengan baju tambaltambalan, berdiri di depan seorang penjual bakpao. Anak itu bertubuh sedang
dan melihat betapa urat-urat tubuhnya menonjol, dapat diduga bahwa anak ini
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sejak kecil biasa dengan pekerjaan kasar dan keras. Mukanya agak pucat dan
muka itu tampan gagah, juga menunjukkan kekerasan. Sepasang matanya
tajam dan berani, akan tetapi pada saat itu matanya memandang ke arah
tumpukan bakpao mengepul panas dengan gairah besar. Beberapa kali dia
menelan ludah sendiri dan perutnya yang sejak kemarin tidak diisi itu terasa
semakin perih. Sudah sebulan dia terseret arus pengungsi memasuki kota Kancou, dan biarpun setiap hari dia mencari dan melamar pekerjaan, namun tidak
ada yang dapat menerimanya. Pekerjaan terlalu sedikit dan yang
membutuhkan terlalu banyak. Anak seusia dia itu dianggap masih kepalang
tanggung, disebut anak-anak bukan, dewasapun belum.
Anak itu bernama Gan Seng Bu, sejak kecil dia ikut ayah bundanya yang
bekerja sebagai pemburu dan selalu berpindah-pindah. Akan tetapi, ketika
terjadi pemberontakan di barat, ayah bundanya menjadi korban dan tewas di
tangan gerombolan pemberontak. Dia sendiri berhasil melarikan diri dan
demikianlah, dia hidup seorang diri sebagai gelandangan, tak bersanak kadang
tanpa pekerjaan, dan satu-satunya miliknya hanyalah pakaian dan sepatu yang
menempel di tubuhnya, yang kini sudah menjadi penuh tambalan dan butut.
Seng Bu merasa betapa perutnya lapar bukan main. Kalau saja dia bisa
memperoleh bakpao itu, sebuah saja! Akan tetapi dia tidak mempunyai uang
dan tadi dia sudah memberanikan diri minta dari pedagang bakpao. Yang
diterimanya hanya makian sehingga dia terpaksa menjauhkan diri dan
memandang ke arah tumpukan bakpao itu seperti seekor harimau kelaparan
memandang seekor kelinci gemuk yang diintainya. Tidak, dia tidak mau
mencuri, atau melakukan kekerasan mengambil bakpao lalu melarikan diri. Dia
sudah melihat betapa ada pencuri disiksa orang banyak sampai mati, pernah
pula melihat pencuri disiksa oleh petugas keamanan sampai lumpuh kaki
tangannya. Dia tidak akan senekad itu. Pula, sejak kecil dia digembleng oleh
ayahnya yang keras untuk menjadi orang gagah yang pantang mencuri,
demikian satu di antara pelajaran yang diterima dari ayahnya.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan seorang pemuda remaja lain.
Pemuda remaja itu bertubuh jangkung, dan usianya sebaya dengan dia,
mukanya kurus pula akan tetapi matanya jelilatan. Seperti dia pula, pemuda itu
pakaiannya penuh tambalan dan pemuda itu mendekati tempat penjualan
bakpao dari belakang. Pada saat si pedagang bakpao sibuk melayani beberapa
orang pembeli yang merubungnya, tiba-tiba saja pemuda jangkung itu
menyambar dua buah bakpao dari tumpukan di belakang tanpa diketahui oleh
si pedagang atau para pembelinya.
Akan tetapi Seng Bu melihatnya! Engkau harus selalu menentang
kejahatan, demikian pelajaran yang diterima dari ayahnya. Biarpun si
pedagang bakpao tadi menghardiknya, akan tetapi kini bakpaonya dicuri orang
dan dia melihatnya. Dia harus mencegahnya, kalau tidak berarti dia menjadi
pembantu pencuri, demikian pelajaran yang diingatnya. Tanpa ragu lagi
diapun lalu lari mengejar pemuda remaja yang melarikan dua buah bakpao itu.
Setelah tiba di luar pasar, barulah Seng Bu berhasil menyusul pencuri itu
dan dia segera mencengkeram pundak pemuda remaja tinggi kurus itu dari
belakang. "Eh, mau apa kau?" bentak pemuda itu dengan marah sambil membalikkan
tubuhnya menghadapi Seng Bu, matanya yang tajam itu memancarkan
kemarahan. "Kau telah mencuri bakpao!" bentak Seng Bu marah, apalagi melihat bahwa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bakpaoyang sebuah tinggal separo, agaknya telah dimakan oleh pencuri itu
sambil lari tadi. "Apakah engkau pemilik bakpao itu" Jelas bukan, engkau tentu seorang
pemuda gelandangan. Habis kau mau apa?"
"Kembalikan bakpao itu kepada pemiliknya!"
Seng Bu memandang kepada bakpao yang tinggal separuh itu. Nampak
daging di dalamnya dan kembali perutnya merintih. Akan tetapi dia teringat
akan pelajaran ayahnya dan betapa hinanya menerima sogokan seorang
pencuri! "Aku tidak sudi makan barang curian. Hayo kembalikan atau aku akan
menyeretmu ke sana!"
Sepasang mata yang tadi memandang dengan ejekan itu menjadi tajam
karena kemarahan. "Kau mau menyeretku" Setan buruk, kaukira aku takut kepadamu?"
Pemuda jangkung itu menantang sambil mengantongi bakpaonya.
"Kau pencuri yang perlu dihajar!"
Seng Bu berseru dan diapun lalu menyerang dengan pukulan tangannya.
Pemuda remaja jangkung itu menangkis dan balas memukul. Terjadilah
perkelahian dan terdengar suara "bak-bik-buk" ketika keduanya saling pukul.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa keduanya tidak mempergunakan
ilmu silat melainkan berkelahi dengan kasar dan liar. Akan tetapi keduanya
memiliki tenaga besar dan tubuh yang kuat, sehingga beberapa pukulan yang
mereka terima tidak membuat mereka roboh atau mengaku kalah.
Perkelahian ini segera menarik perhatian orang dan mereka dirubung
banyak orang yang menjadi gembira nonton perkelahian yang seru ini. Tak
seorangpun melerai, bahkan ada suara-suara berpihak, memilih jago masingmasing. Perkerlahian antara dua orang remaja yang tidak paham ilmu silat
tentu saja lebih ramai dan menegangkan dari pada perkelahian antara ahli-ahli
silat. Seorang ahli silat pantang terkena pukulan dan memiliki kepandaian
untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dua orang pemuda remaja itu membagibagi pukulan yang diterima oleh badan mereka sehingga nampaknya lebih
ramai. "Ha-ha-ha-ha, kalian dua jagoan kecil. Bukan di sini tempat berkelahi. Mari
ikut aku ketempat yang lebih enak!"
Berkata demikian, kakek itu melangkah maju melerai dan menyentuh
pundak dekat tengkuk kedua orang anak remaja yang sedang berkelahi itu.
Tiba-tiba saja keduanya menghentikan perkelahian, memandang kepada kakek
gendut itu dan tanpa bersuara lagi, seperti dua ekor anak kerbau, mereka
mengikuti kakek itu yang meninggalkan tempat itu. Penonton juga bubaran,
melanjutkan pekerjaan masing-masing, dan sebentar saja perkelahian antara
dua orang anak gelandangan itupun dilupakan orang.
Tak seorangpun tahu mengapa dua orang anak yang sedang berkelahi itu
tiba-tiba saja menurut dan taat kepada kakek yang melerai dan mengajak pergi
mereka. Padahal, keduanya belum mengenal siapa kakek itu. Hanya dua orang
anak itu yang tahu. Ketika kakek itu melerai dan menyentuh pundak mereka,
tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan seperti lumpuh! Tentu
saja mereka berdua menjadi kaget bukan main, dan ketika kakek itu mengajak
mereka, keduanya tidak berani membantah. Kedua lengan mereka tidak dapat
mereka gerakkan, tergantung lepas dan lumpuh, hal ini saja sudah membuat
mereka menjadi takut dan khawatir. Hanya kakek itu yang akan dapat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memulihkan kedua lengan mereka, maka merekapun menurut saja ketika diajak
pergi. Seng Bu sendiri dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang sakti.
Biarpun ayahnya tidak pandai silat, hanya memiliki tubuh kekar sebagai
seorang pemburu, namun ayahnya banyak bercerita tentang pendekarpendekar dan orang-orang sakti.
Pemuda jangkung itupun memiliki nasib yang tidak jauh bedanya dengan
Seng Bu. Pemuda itu bernama Ong Siu Coan, berusia tigabelas tahun dan dari
keluarga petani. Ayahnya pernah menjadi seorang petani yang cukup
keadaannya sehingga Ong Siu Coan sempat pula bersekolah. Akan tetapi
ketika terjadi pemberontakan, ayahnya ikut pula memberontak karena ayahnya
membenci pemerintah penjajah Mancu. Pemberontakan itu dapat dipadamkan
dan seluruh keluarga Ong Siu Coan binasa, harta bendanya ludas dirampok
pasukan pemerintah. Untung baginya bahwa dia sendiri masih dapat
menyelamatkan dirinya, dan arus pengungsi membawanya sampai ke kota
Kancou. Ong Siu Coan melakukan perjalanan dari utara sampai berbulan-bulan
sebelum tiba di Kancou. Seperti juga Seng Bu, sukar sekali baginya untuk
mendapatkan pekerjaan. Baginya lebih sukar lagi karena ada sedikit
keangkuhan dalam dirinya, merasa bahwa dia pernah menjadi anak sekolah
sehingga dia enggan bekerja kasar. Akan tetapi, berbeda dengan Seng Bu,
agaknya dia tidak mengharamkan mencuri makanan kalau perutnya sudah
tidak tahan lagi. Betapapun juga, di dalam dadanya bernyala api perjuangan
menentang pemerintah penjajah. Pemuda remaja ini memiliki kegagahan,
patriot, juga cerdik sekali, selain itu juga ada keanehan-keanehan pada
wataknya. Siapakah kakek gendut itu" Orang-orang kang-ouw biasa saja tidak akan
mengenalnya, akan tetapi kaum tua di dunia kang-ouw, tentu akan terkejut
melihat munculnya orang yang sudah belasan tahun lamanya tidak pernah lagi
nampak di dunia ramai itu. Orang ini terkenal sekali puluhan tahun yang lalu
karena dia adalah seorang di antara Empat Racun Dunia! Inilah yang dijuluki
orang Thian-tok (Racun Langit) yang memiliki kesaktian setingkat dengan Santok atau Hai-tok! Seperti juga San-tok, dia selama belasan tahun bertapa di
gunung-gunung dan baru sekarang nampak muncul di dunia ramai, dan dalam
keadaan sederhana, tidak seperti Hai-tok yang menjadi seorang kaya raya.
Ketika kakek ini dalam perantauannya tiba di luar pasar dan melihat dua orang
pemuda remaja saling gebuk dengan ramainya, diam-diam dia memperhatikan
dari jauh. Dan giranglah hatinya. Dia melihat bakat yang amat baik pada diri
dua orang muda itu, maka dia sengaja membawa dua orang muda itu ke tempat
sunyi setelah membuat mereka tidak berdaya dengan semacam ilmu totok jalan
darah yang amat halus. Thian-tok membawa mereka berdua ke sebuah kuil tua yang sudah tidak
dipergunakan lagi, sebuah kuil kosong yang kotor dan rusak. Tempat inilah
yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini, dan dia berjalan
terus memasuki kuil tua sampai tiba di sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
"Ha-ha, nanti dulu!" kata Thian-tok melihat sinar mata mereka.
"Sebelum dimulai, aku ingin mengetahui dulu siapa kalian."
"Namaku Ong Siu Coan," kata pemuda jangkung.
"Namaku Gan Seng Bu," kata pula pemuda tegap.
"Bagus, bagus! Nama-nama yang bagus dan gagah. Nah, Siu Coan dan
Seng Bu, sekarang buka baju kalian. Baju kalian sudah robek-robek dan akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menjadi hancur kalau tidak dibuka. Apalagi kalau kalian tidak mempunyai
pengganti." Baru teringatlah dua orang muda remaja itu akan pakaian mereka dan
masing-masing menunduk dan memandang baju mereka yang robek-robek
dengan muka sedih. Lalu merekapun menanggalkan baju mereka, menaruh di
sudut ruangan itu. Kini mereka hanya memakai celana dan sepatu saja, tanpa
baju. Mengingat akan baju mereka yang robek-robek, kemarahan kembali
memenuhi dada mereka ketika mereka berdiri saling berhadapan.
"Ha-ha-ha, bagus, sekarang kalian mulailah saling hantam. Ingin aku
melihat siapa yang menang," kata kakek itu dambil naik ke atas tembok rendah.
Bersila dan menurunkan tempat arak dari pinggang, juga mengambil
mangkoknya. Tubuh kedua orang pemuda remaja itu memang amat kuat dan keduanya
tahan uji benar-benar. Muka mereka sudah matang biru oleh pukulan, hidung
mereka sudah mengeluarkan darah terkena pukulan, akan tetapi keduanya
tidak mau undur selangkahpun. Melihat ini, kakek itu menjadi semakin girang
dan tertawa-tawa senang. "Bagus! Siu Coan, pukul saja dia! Seng Bu, jangan mau kalah kau!"
Teriaknya berulang-ulang, memberi hati kepada keduanya sehingga dua
orang anak itu menjadi semakin sengit untuk saling mengalahkan.
Akan tetapi agaknya Siu Coan lebih cerdik dari pada Seng Bu, walaupun
dalam hal tenaga dan keuletan mereka seimbang. Karena dia lebih jangkung,
Siu Coan mulai dengan gencar menyerang kepala Seng Bu dari atas. Hal ini
membuat Seng Bu kewalahan, apalagi setiap kali ada pukulan mengenai ubunubun kepalanya, dia merasa pening.
"Ho-ho... Seng Bu, jegal kakinya dan hantam lehernya!"
Tiba-tiba kakek itu memberi nasihat ketika melihat Seng Bu mulai terdesak.
Seng Bu mentaati pesan ini dengan otomatis, kakinya menyapu ke arah kaki Siu
Coan dan tangannya menghantam leher.
"Plak... Dukkk...!"
Tubuh Siu Coan terpelanting karena dia selalu memperhatikan atas dan
ketika kakinya ditendang dan lehernya dihantam, diapun tidak mampu
bertahan dan terguling. Thian-tok yang berwatak aneh itu menjadi semakin gembira. Dia selalu
memberi nasihat kepada yang terdesak sehingga dari keadaan terdesak,
berbalik menjadi menang, akan tetapi hanya sebentar karena si gendut itu
berbalik pula memberi nasihat kepada yang kalah sehingga keadaan kembali
berobah. Sampai hampir dua jam mereka berhantam, bergulat dan akhirnya
keduanya menggeletak kelelahan, terengah-engah hampir putus napasnya dan
tidak mampu melanjutkan, hanya mendeprok di atas lantai dan saling pandang
melalui mata yang bengkak-bengkak membiru!
"Ha-ha-ha, istirahatlah sebentar. Nih, kuberi arak biar segar!"
Kakek itu lalu menyemburkan arak dari mulutnya, dan dua orang pemuda
remaja itupun kehujanan arak yang amat halus dan mereka merasa terkejut
bukan main, karena arak itu seperti ratusan buah jarum yang menusuk-nusuk
kulit mereka! Akan tetapi rasanya memang segar mengenai kulit dan biarpun
begitu terkena arak bekas-bekas pukulan lawan itu terasa perih, akan tetapi
lambat laun rasa linu dan nyeri berkurang banyak.
"Nah, sekarang mulailah lagi, atau seorang di antara kalian harus mengaku
kalah!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tentu saja dua orang remaja ini tidak mau mengaku kalah dan biarpun
semua tulang dalam tubuh terasa patah-patah saking lelahnya, mereka bangkit
berdiri lagi dan mulailah mereka berkelahi lagi. Ong Siu Coan mulai menyerang,
akan tetapi karena dia mempergunakan semua sisa tenaganya dan pukulan itu
luput, tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir jatuh. Akan tetapi Gan Seng
Bu tidak mempergunakan kesempatan ini, hanya berdiri memandang lawannya
yang terhuyung. "Heh-heh, Siu Coan, salahmu sendiri. Bukan begitu caranya menyerang
lawan. Nih, begini, tirulah gerakan ini!"
Kakek gendut itu sudah bangkit berdiri di atas tembokan rendah dan
dengan lambat namun jelas memberi contoh sejurus pukulan kepada Siu Coan.
Pemuda ini cerdik sekali, memperhatikan kedudukan kaki dan gerakan tangan
ketika kakek itu memberi contoh. Setelah merasa paham betul, dia lalu
menghampiri Seng Bu dan segera menyerang dengan gerakan seperti yang
diajarkan oleh kakek gendut. Seng Bu juga melihat gerakan seperti yang
diajarkan oleh kakek itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana cara
menghadapinya, maka dengan ngawur saja diapun mencoba untuk menangkis.
"Dess...!" Akibatnya, tubuhnya tiba-tiba terpelanting dan jatuh terbanting cukup
keras, membuat kepalanya menjadi pening.
"Ha-ha-ha" diserang orang bukan melawannya dengan jatuh bangun dan
membiarkan diri dipukul!" Tiba-tiba kakek itu berseru lagi.
"Seng Bu, beginilah kalau engkau menghadapi serangan Burung Bangau
Menyambar Katak tadi, perhatikan baik-baik."
Kakek itu memberi contoh, kedua tangannya membentuk cakar dan
lengannya bergerak seperti gerakan dua kaki depan harimau, kedua kakinya
membuat kuda-kuda yang kokoh kuat.
Seng Bu mencontohnya dan merasa dapat memahaminya.
"Nah, kalian lanjutkan sekarang!" kata si kakek gendut.
Siu Coan yang merasa bangga dengan jurusnya yang berhasil baik tadi,
menjadi penasaran. Tak mungkin Seng Bu dapat menahan serangannya seperti
tadi, pikirnya. Diapun maju lagi dan menyerang dengan jurus tadi, yang oleh si
kakek gendut dinamakan Burung Bangau Menyambar Katak. Seng Bu
menyambutnya dengan jurus seperti yang diajarkan si kakek, tangan kanannya
berhasil menangkis patukan burung yang dilakukan oleh tangan lawan,
kemudian dengan cepat tangan kirinya yang membentuk cakar itu menyambar
muka lawan. Siu Coan terkejut dan menarik muka ke belakang, akan tetapi
cakaran tangan kanan menyusul dan diapun terjengkang ke belakang dan
terbanting jatuh! "Ha-ha-ha! Itulah jurus Harimau Mencakar Batang Pohon! Engkau harus
berhati-hati, Siu Coan" dan jangan terlalu mengandalkan sebuah seranganmu,
melainkan membagi perhatian untuk berjaga diri."
Dengan gembira sekali kakek itu lalu memberi petunjuk kepada kedua
orang muda remaja itu, mengajarkan jurus baru kepada yang kalah sehingga
yang kalah berbalik menang, dan yang menang itu berbalik kalah. Persis
seperti tadi, akan tetapi kalau tadi dia hanya memberi petunjuk-petunjuk
gerakan tertentu, kini dia memberi petunjuk jurus-jurus silat sehingga dua
orang muda itu berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus ilmu silat.
Dua orang pemuda remaja itupun makin lama makin gembira mempelajari
jurus-jurus itu. Lenyaplah semua permusuhan di antara mereka, dan kini
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mereka menganggap lawan menjadi teman berlatih silat! Akan tetapi tenaga
mereka terbatas dan akhirnya kembali mereka mendeprok di atas lantai.
Mereka saling pandang dan jantung mereka berdebar keras karena dalam sinar
mata mereka ketika saling pandang itu, keduanya merasa seolah-olah mereka
saling memberi isyarat yang mereka mengerti, yaitu bahwa keduanya merasa
girang dapat saling berkenalan, bahwa terdapat kecocokan yang hangat
karena mereka saling serang dan sama-sama berlatih silat tadi, dan bahwa
mereka berdua sama-sama ingin menjadi murid kakek gendut sakti itu! Ong Siu
Coan berkedip memberi isyarat, lalu dia bangkit duduk, berlutut menghadap
kakek gendut. "Kakek yang baik, kami berdua mohon agar dapat menjadi muridmu."
Kakek itu membuka matanya dan sinar mencorong menyambar ke arah Siu
Coan. "Heh-heh-heh!" Dia hanya tertawa.
Akan tetapi Seng Bu juga sudah bangkit duduk, lalu berlutut di samping
kiri Siu Coan sambil berkata.
"Benar, locianpwe, kami berdua mohon dapat menjadi murid locianpwe."
"Ha-ha-ha-ha, bukankah kalian tadi berkelahi dan saling bermusuhan?"
Siu Coan dan Seng Bu menoleh dan saling pandang. Tidak ada sedikitpun
rasa permusuhan dalam hati mereka terhadap satu sama lain, dan keduanya
tersenyum. "Sekarang kami tidak lagi bermusuhan," kata Siu Coan.
"Kami malah merasa cocok dan suka, locianpwe," kata Seng Bu.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu. Ong Siu Coan, coba jawab terus terang, mengapa
engkau ingin menjadi muridku?"
Tanpa ragu-ragu, Siu Coan menjawab lantang.
"Saya ingin dapat menjadi seorang pandai yang dapat berjuang untuk
bangsa, menjadi seorang pahlawan yang mengusir penjajah dari tanah air!"
Sepasang mata kakek gendut itu terbelalak. Memang aneh sekali
mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak jembel yang tadi
mati-matian berkelahi memperebutkan sepotong roti! Dan dia tertawa
bergelak. Agaknya kakek ini memang suka sekali tertawa, suara ketawa yang
bebas dan lepas, akan tetapi nadanya selalu mengejek.
"Ha-ha-ha" cita-cita yang terlalu tinggi, lebih tinggi dari pada cita-citaku.
Dan kau, Gan Seng Bu, kenapa engkau ingin menjadi muridku?"
"Saya melihat locianpwe seorang sakti, maka saya ingin menjadi murid
locianpwe agar memiliki kepandaian untuk menolong orang-orang lemah.
Dunia begini kejam dan banyak orang menderita sengsara, saya mau
mempergunakan kepandaian untuk menentang gerombolan yang mengganggu
rakyat!" Tentu saja jawaban Seng Bu ini terdorong oleh pengalaman keluarganya
yang binasa oleh gerombolan pemberontak yang di samping memberontak
terhadap pemerintah, sebagian besar juga melakukan perampokanperampokan dan mengganggu rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa.
"Ha-ha-ha, maksudmu gerombolan pemberontak?"
Seng Bu teringat akan gerombolan yang membasmi keluarganya dan dia
mengangguk. "Wah, kalau begitu" kelak kalian tentu akan bermusuhan lagi. Siu Coan
ingin menjadi pemimpin pemberontak dan engkau akan menjadi penentang
pemberontak. Bagaimana ini?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Locianpwe, saya ingin memberontak terhadap penjajah Mancu, bukan
pengganggu rakyat jelata!"
Siu Coan berkata dengan tegas dan penuh semangat kegagahan.
"Dan saya tidak membela pemerintah, melainkan membela rakyat yang
tertindas!" kata pula Seng Bu.
"Suhu...!" kata Siu Coan dan Seng Bu hampir berbareng, berlutut di depan
kaki kakek gendut itu. Si kakek gendut tertawa bergelak beberapa lamanya, lalu tiba-tiba dia
berhenti ketawa dan bersikap sungguh-sungguh.
"Kalian gigit lengan kiri sendiri sampai keluar darah!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba dia berkata, sekali ini tidak tertawa lagi, bahkan suaranya
terdengar galak. Dua orang anak itu hanya sebentar saja kelihatan kaget, akan
tetapi tanpa menoleh ke sana-sini, Siu Coan lalu membawa lengan kirinya ke
mulut dan menggigit lengan dekat pergelangan sampai kulit terobek dan darah
mengalir keluar. Seng Bu juga melakukan hal yang sama walaupun tidak
secepat Siu Coan. Siu Coan dan Seng Bu merangkak dekat, dan kakek itu lalu menarik lengan
mereka, menekan dan beberapa tetes darah keluar dari luka itu, ditadahnya
dengan mangkok. Setelah menadahi beberapa tetes darah dari kedua orang
pemuda remaja itu di dalam mangkok, dia lalu menuangkan arak ke dalam
mangkok. "Kalian benar-benar ingin menjadi muridku?"
Dua orang anak laki-laki itu mengangguk.
"Kalau begitu" bersumpahlah kepada darahmu sendiri bahwa kalian
berdua sejak sekarang menjadi saudara seperguruan, dan tidak boleh
bermusuhan satu sama lain. Dan kedua, kalian harus mentaati apa saja yang
kuperintahkan tanpa ragu-ragu dan tanpa bertanya-tanya."
"Baik, suhu." Atas petunjuk Thian-tok, kedua orang anak itu lalu berlutut delapan kali
dan mengucapkan sumpah itu, dan atas permintaan Thian-tok menambahkan
bahwa kalau mereka melanggar sumpah, mereka akan mati mandi darah.
Kakek itu lalu minum sedikit arak bercampur darah itu, kemudian minta
kepada Siu Coan dan Seng Bu untuk minum pula, seorang separuh. Dua orang
pemuda remaja itu tanpa ragu-ragu minum arak bercampur darah mereka dan
barulah kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, selama hidupku, baru satu kali aku mempunyai murid, akan
tetapi dia sudah mengecewakan hatiku. Sekarang tiba-tiba aku mendapatkan
dua orang murid yang menyenangkan. Eh, Siu Coan dan Seng Bu, tahukah
kalian siapa yang menjadi guru kalian ini?"
Dua orang anak itu mengangkat muka memandang wajah gurunya dan
baru sekarang mereka teringat bahwa mereka itu sama sekali tidak mengenal
kakek yang telah menjadi guru mereka ini, dan betapa aneh pertemuan antara
mereka dengan guru mereka itu. Mereka menggeleng kepala dan memandang
dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Kakek gendut itu tertawa. Perutnya yang besar itu bergerak-gerak seperti
ada apa-apanya yang hidup di sebelah dalamnya, dan matanya mengeluarkan
sinar mencorong yang membuat kedua orang anak itu merasa serem dan takut.
Ada sesuatu pada diri kakek peramah ini yang amat menyeramkan dan
menakutkan. "Ha-ha-ha, ketahuilah bahwa gurumu ini bukan orang sembarangan,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bahkan pada waktu ini dapat dibilang menduduki tempat nomor satu dan
paling tinggi di dunia persilatan!"
Tentu saja dua orang pemuda remaja itu terkejut dan girang, akan tetapi
juga merasa ragu-ragu. Apakah kakek yang menjadi guru mereka ini tidak
terlalu sombong, pikir mereka.
"Orang menjuluki aku Thian-tok, Racun Langit! Ha-ha-ha, Racun Langit,
seorang diantara empat Racun Dunia, akan tetapi jelas bahwa akulah yang
paling hebat, ha-ha-ha"!"
Dua orang pemuda remaja itu menoleh dan saling pandang. Jangan-jangan
kakek gendut ini telah miring otaknya, pikir mereka. Mereka berdua sama sekali
tidak pernah mendengar julukan dengan segala racun itu.
"Terima kasih, suhu," kata dua orang anak itu, masih agak ragu-ragu
walaupun girang. Demikianlah, mulai hari itu, Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu menjadi muridmurid Thian-tok dan dua orang pemuda remaja ini mengikuti kakek itu
merantau. Makin lama mereka menjadi murid kakek itu, mereka menjadi
semakin kaget, heran dan takut di samping perasaan girang karena kakek itu
memang benar sakti sekali dan mengajarkan ilmu-ilmu yang amat tinggi
kepada mereka. Yang membuat mereka merasa serem adalah setelah makin lama mereka
makin mengenal watak kakek itu. Watak yang aneh, mendekati gila, dan
kadang-kadang dapat bersikap kejam bukan main, membunuh orang sambil
tertawa-tawa saja, tidak pantang pula mencuri dan melakukan perbuatanperbuatan jahat lainnya. Akan tetapi semua perbuatan itu dilakukan sambil
tertawa dan dengan mempergunakan ilmu yang mengagumkan hati dua orang
pemuda remaja itu. Ong Siu Coan yang juga memiliki watak ugal-ugalan dan aneh, di samping
kecerdikan luar biasa, agaknya suka dan cocok sekali dengan watak gurunya
yang aneh itu, bahkan dia dapat ikut tertawa-tawa kalau gurunya menyiksa
atau membunuh orang. Adapun Gan Seng Bu yang melihat semua ini, diamdiam merasa tidak suka. Akan tetapi karena kakek itu sayang kepadanya dan
menurunkan pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, diapun menahan diri dan berlatih
dengan giatnya. Diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan suhengnya, Siu
Coan yang agak lebih tua menjadi suheng dan dia menjadi sute, karena
suhengnya ini kadang-kadang juga aneh seperti orang gila. Banyak tempat
mereka jelajahi dan kadang-kadang kakek itu mengajak mereka "pulang yaitu
ke sebuah guha besar di puncak Tai-yun-san, dimana Thian-tok suka bertapa
dan bersembunyi di dunia ramai. Dan dalam guha besar yang banyak
rahasianya inilah, Thian-tok menyimpan barang-barangnya yang ternyata amat
banyak dan cukup membuat orang menjadi kaya raya, yaitu benda-benda hasil
pengumpulannya ketika dia masih menjadi datuk sesat, dan tumpukan benda
itu masih terus ditambah dari hasil pencuriannya di gedung-gedung besar milik
para hartawan atau bangsawan.
-------- dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan PEDANG NAGA KEMALA ( GIOK LIONG KIAM ) Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Semenjak terjadi peristiwa antara Ciu Lok Tai dengan mendiang guru silat
Siauw Teng yang kemudian disusul pula dengan peristiwa dengan Tan Siucai,
hati hartawan ini merasa tidak enak dan selalu terancam. Dia dapat merasakan
bahwa sesungguhnya banyak terdapat orang-orang seperti mereka itu, dan
bahwa tulisan-tulisan Tan Siucai menghasut orang-orang yang mungkin kini
memandang kepadanya dengan penuh kebencian. Orang-orang yang tidak
setuju adanya candu yang beredar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu,
dia lalu memanggil jagoan-jagoan dari seluruh Kanton untuk menjadi
pengawal-pengawalnya. Akan tetapi dia selalu kurang puas dengan mereka
ini. Dari hubungan dagangnya dengan orang barat, dia berhasil memperoleh
sebuah senjata api yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Bahkan waktu
tidur sekalipun, senjata api itu disimpan di bawah bantalnya.
Saking khawatirnya akan keselamatan diri sendiri dan keluarganya yang
timbul dari perasaan banyak dimusuhi orang, Ciu Wan-gwe atau Ciu Lok Tai
selalu merasa tidak puas dengan jagoan-jagoan yang mengawalnya, dan setiap
ada jagoan baru yang datang untuk bekerja padanya, dia mengujinya dengan
pistolnya! Setiap orang calon harus mampu menghadapi serangan pistolnya
dalam jarak tiga tombak sebanyak tiga kali tembakan! Dan sampai beberapa
tahun lamanya, hasilnya tidak memuaskan. Entah sudah berapa banyaknya
jagoan yang roboh tertembus peluru, ada yang tewas dan banyak yang lukaluka. Tentu saja mereka tidak diterima, hanya diberi uang sekedar biaya
berobat atau mengurus penguburannya saja. Dan makin jarang yang berani
datang melamar pekerjaan kepala pengawal itu.
Terpaksa Ciu Wan-gwe harus mengandalkan keselamatannya pada
pengawalan hampir seratus orang pengawal yang selalu mengepung
gedungnya, hal yang amat tidak enak dirasakannya. Dia menghendaki satu dua
orang saja pengawal yang benar-benar tangguh, yang mampu menghadapi
musuh yang datang menyerang dengan senjata api!
Dan sesungguhnya bukan karena ingin mempunyai pengawal yang
tangguh saja dia mencari orang yang mampu menandingi pistolnya, akan
tetapi selain itu juga, dia ingin mencarikan seorang guru untuk putrinya yang
terkasih. Ciu Wangwe mempunyai banyak istri, akan tetapi hanya dari seorang
selirnya yang paling disayangnya sajalah dia memperoleh keturunan, seorang
anak perempuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dia dan
sekeluarganya amat sayang kepada Ciu Kui Eng, puterinya itu. Puterinya itu
sejak kecil suka sekali dengan ilmu silat dan sejak kecil telah disuruhnya para
pengawal yang memiliki ilmu silat yang lihai untuk memberi gemblengan
kepada puterinya. Namun semua usahanya itu sia-sia. Agaknya tidak ada ahli silat yang
berani lagi mencoba ujian dengan pistol itu. Tentu saja, di dunia persilatan
banyak yang akan mampu menandingi lawan yang berpistol, akan tetapi para
pendekar yang berjiwa patriot mana sudi menghambakan diri kepada seorang
hartawan yang membantu penyebaran racun madat kepada rakyat jelata"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Itulah sebabnya mengapa sampai lewat enam tahun setelah terjadi peristiwa
dengan Tan Siucai, Ciu Wan-gwe belum juga mendapatkan seorang jagoan
yang mampu menandingi pistolnya. Dan selama enam tahun itu, terpaksa pula
Kui Eng hanya belajar ilmu silat dari guru-guru biasa yang menjadi pengawalpengawal ayahnya.
Pada suatu pagi, Kui Eng berlatih ilmu silat di pekarangan depan
gedungnya, dipimpin oleh tiga orang guru silat sekaligus. Guru-guru silat ini
merupakan kepala-kepala pengawal di gedung Ciu Wangwe. Anak ini memang
manja, karena dimanja oleh keluarga orang tuanya. Kalau berlatih kadangkadang ia minta dilakukan di pekarangan depan. Hal ini adalah karena
kemanjaannya, untuk pamer karena kalau ia berlatih di pekarangan itu, orangorang di luar gedung dapat melihatnya melalui pintu besi terbuka. Ia senang
sekali mendengar seruan kagum dari orang-orang yang lewat, dan pandang
mata mereka yang penuh kagum. Ia tidak perduli apakah mereka itu sungguhsungguh mengagumi kelincahannya bersilat, atau kecantikannya, atau juga
hanya sekedar mengeluarkan seruan kagum untuk menyenangkan hatinya
sebagai puteri orang terkaya di Tung-kang! Ia tidak perduli. Pokoknya, ia ingin
dipuji dan disanjung orang.
Memang menyenangkan sekali nonton gadis cilik itu bersilat. Pada waktu
itu, Kui Eng telah berusia dua belas tahun, seorang gadis remaja yang sudah
mulai nampak kecantikannya walaupun masih kekanak-kanakan. Wajahnya
manis sekali, sinar matanya tajam dan pakaiannya indah. Gerakan-gerakannya
juga indah dan manis gemulai, seperti orang menari saja, dan tiga orang guru
silat yang melatihnya memandang sambil kadang-kadang menganggukanggukkan kepala dengan hati bangga. Ketika orang-orang di luar pintu
gerbang berkerumun ikut nonton, hati tiga orang guru silat ini semakin besar.
Kamilah gurunya, demikian hati mereka bersorak.
"Heiiiittt...!!"
Kui Eng mengakhiri gerakan silatnya dengan sebuah pukulan mematikan
kepada lawan yang hanya dibayangkannya saja, kemudian ia berdiri tegak ke
arah pintu gerbang sambil tersenyum manis, menggerakkan kepala untuk
memindahkan kuncir rambutnya yang hitam panjang itu ke belakang.
Terdengarlah tepuk tangan dan sorakan memuji dari luar pintu gerbang, dan
seperti seorang pemain panggung yang menerima pujian para penontonnya,
Kui Eng mengangguk-angguk ke arah mereka sambil memperlebar senyumnya.
Akan tetapi, dari penonton itu muncul seorang kakek yang pakaiannya
jubah pendeta atau tosu. Kakek ini sukar ditaksir usianya, tentu sudah lanjut
sekali usianya. Tubuhnya pendek kecil, kepalanya botak hampir gundul. Alis,
kumis dan jenggotnya panjang dan sudah putih semua. Tangan kirinya
memegang tasbeh hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat
hitam butut. "Heh-heh, nona cilik. Engkau tadi menari ataukah bersilat" Uhhh, bukan
begitulah orang bersilat!"
Wajah gadis cilik yang tadinya berseri-seri itu berubah, sepasang alisnya
yang hitam berkerut dan sepasang matanya yang tajam itu memandang marah.
"Kau" kakek lancang mulut ! Siapakah kau?"
Bentaknya sambil membanting kaki kanannya karena jengkel dicela oleh
kakek itu yang dianggapnya sebagai penghinaan dan mengusir semua rasa
bangga dari hatinya. "Heh-heh, kalau engkau haus pujian seperti itu, sampai kapanpun engkau
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tidak akan bisa menguasai ilmu silat yang sesungguhnya, kecuali ilmu taritarian yang nampak indah saja. Lebih baik belajar menari saja, nona."
Melihat munculnya kakek itu yang mencela ilmu silat murid mereka, tentu
saja tiga orang guru silat yang juga menjadi kepala pengawal itu menjadi
marah sekali. Mereka maju menghadapi kakek itu dan memandang dengan
penuh perhatian, ingin tahu siapa gerangan kakek yang lancang dan berani
mencela murid mereka itu. Akan tetapi, mereka merasa belum pernah
mengenal kakek ini, juga tidak pernah mendengar adanya seorang tokoh
persilatan seperti kakek ini. Seorang kakek pendek kecil, ditiup saja rasanya
sudah akan terjungkal! Pada saat itu, terdengar pertanyaan yang nyaring.
"Ada apakah" Kenapa ribut-ribut?"
Melihat munculnya ayahnya dari dalam, Kui Eng yang manis lalu lari dan
merangkul pinggang ayahnya.
"Ayah, kakek itu kurang ajar sekali, berani mencela ilmu silatku,
mengatakan agar aku belajar menari saja karena ilmu silatku seperti orang
menari." Sementara itu, tiga orang guru silat ketika melihat majikan mereka keluar,
menjadi semakin galak, seperti anjing-anjing peliharaan yang mengibaskan
ekor melihat majikannya dan ingin menjilat dan mencari muka.
"Kakek tua bangka tak tahu diri, berani engkau lancang mulut mencela
permainan murid kami?"
Seorang di antara tiga kepala pengawal itu membentak.
"Kalau tidak melihat engkau sudah tua mau mati, tentu aku sudah
menghajarmu!" teriak pula orang kedua.
"Engkau ini kakek busuk yang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat, besar
mulut sekali berani menilai!" bentak orang ketiga.
"Ayah, dia kurang ajar, berani menghinaku," puterinya yang berdiri di
sisinya berkata penasaran.
Ayahnya mengangguk, lalu berkata kepada kakek itu.
"Kakek tua, sungguh kami tidak mengerti mengapa engkau begitu usil
untuk mencela permainan silat anakku. Anakku ini selama bertahun-tahun
dilatih ilmu silat oleh mereka bertiga, bagaimana sekarang engkau berani
mencela permainan anakku" Dengan demikian berarti engkau mencela ilmu
silat mereka bertiga. Apakah menurut pendapatmu, engkau memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka bertiga itu?"
"Taiya (tuan besar), kakek tua bangka ini terlalu menghina kami, bolehkah
kami menghajarnya?" seorang di antara mereka minta perkenan.
Ciu Wan-gwe kembali memandang kakek itu.
"Kakek tua, beranikah engkau melawan tiga orang kepala pengawal kami
ini" Kalau kau tidak berani, cepat berlutut dan minta ampun kepada puteriku,
juga kepada tiga orang kepala pengawalku!"
Tiga orang kepala pengawal yang tadinya marah sekali itu kinipun saling
pandang. Mereka juga menduga bahwa kakek ini tentu orang gila, maka tidak
enaklah hati mereka kalau harus menghajar, apalagi mengeroyok seorang
kakek gila yang sekali dorong saja akan robohdan mungkin tewas. Mereka tidak
mau mencari perkara dan biarlah mereka akan menyeret saja kakek itu dan
melemparnya keluar pintu seperti yang diperintahkan majikan mereka.
"Kakek gila, minggatlah dari sini!"
Teriak mereka, dan tiga orang kuat itu lalu mencengkeram tubuh si kakek.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Seorang memegang lengan kiri, seorang lengan kanan, dan orang ketiga
mencengkeram tengkuk kakek itu. Mereka bermaksud untuk menyeretnya dan
melemparkannya keluar. Akan tetapi kini terjadi keanehan yang membuat semua orang terbelalak.
Tiga orang kepala pengawal itu tentu saja adalah orang-orang yang bertenaga
besar, berusia kurang dari limapuluh tahun dan memiliki ilmu silat yang cukup
lihai. Akan tetapi kini mereka bertiga itu nampak terkejut karena ternyata
mereka tidak kuat dan tidak mampu menarik tubuh si kakek tua! Biarpun
mereka telah mengerahkan tenaga membetot-betot, namun sedikitpun tubuh
kakek itu tidak bergeming! Kakek itu berdiri tegak dan hanya tersenyum
menyeringai, akan tetapi tiga orang kepala pengawal itu seperti tiga ekor
monyet yang berusaha mencabut sebatang pohon yang akarnya
mencengkeram tanah amat kuatnya! Tiga orang itu tentu saja bukan hanya
terkejut dan heran, akan tetapi juga penasaran sekali.
"Uhhh! Hehhh! Uhhh!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka mengerahkan tenaga sekuatnya, tidak percaya bahwa mereka tidak
akan mampu menyeret tubuh tua yang ringkih itu.
"Prooott...!" Tanpa disangka-sangka, dan tidak dapat ditahan-tahan, seorang di antara
tiga kepala pengawal itu yang pagi tadi terlalu banyak makan bubur gandum,
mengeluarkan gas yang memberobot dari belakang. Agaknya pengerahan
tenaga sekuatnya itu membuat bendungan belakangnya jebol.
"Uwahhhh... bau kentut busuk...!"
Kakek itu menutupi hidungnya dengan sikap jijik dan memandang kepada
Ciu Wangwe. "Wan-gwe lihat, betapa sia-sianya memberi makan enak kepada mereka
ini, hanya menjadi kentut busuk saja!"
Terdengar suara ketawa karena mereka yang nonton di luar pintu gerbang
tak dapat menahan rasa geli di dalam hati mereka melihat peristiwa lucu itu.
Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu selain terkejut dan heran, juga marah
dan penasaran sekali. Kini merekapun dapat menduga bahwa kakek ini
seorang pandai, akan tetapi karena kakek itu mereka anggap terlalu menghina
dan juga merendahkan mereka dalam pandangan Ciu Wan-gwe, berarti
membahayakan kedudukan mereka, maka merekapun menjadi nekat.
"Tua bangka, engkau menggunakan ilmu siluman!" teriak mereka dan kini
mereka tidak hanya berusaha menyeret, melainkan menggerakkan tangan
untuk memukul tubuh kakek kecilkurus itu dengan pengerahan tenaga yang
kuat. Tiga buah tangan yang dikepal kuat menghantam ke arah punggung, dada
dan kepala kakek itu yang agaknya sama sekali tidak mau mengelak atau
menangkis. Melihat ini, semua orang merasa khawatir, bahkan Ciu Wan-gwe
sendiri mengerutkan alisnya. Kakek itu tentu akan tewas dan dia tidak suka
melihat tiga orang kepala pengawal itu membunuh orang di rumahnya tanpa
perintah darinya. Terdengar suara "bak-bik-buk" ketika tiga kepalan tangan itu menimpa
sasarannya. Akan tetapi terjadilah keajaiban. Bukan tubuh kecil kurus itu yang
ringsek, melainkan tubuh tiga orang kepala pengawal itulah yang terpental,
terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah!
"Kakek iblis!" Teriak mereka dan kini mereka sudah menyambar golok mereka. Tiga orang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ini adalah kepala pengawal CiuWa-gwe yang berpengaruh di antara para
pejabat daerah, oleh karena itu mereka berani mempergunakan senjata tajam
walaupun ada peraturan resmi dari pemerintah yang melarang orang memiliki
dan membawa senjata tajam. Dengan kemarahan meluap, tiga orang itu sudah
menerjang kakek kecil kurus dan pendek itu tanpa banyak cakap lagi.
Ciu Wan-gwe hendak mencegah, akan tetapi tiba-tiba diapun tertarik
sekali. Siapa tahu kakek pendek kecil ini seorang yang sakti dan dia amat
membutuhkan orang sakti, terutama sekali yang akan mampu menandingi
pistolnya! Dia membutuhkan seorang pengawal sakti, bukan hanya untuk
menjaga keselamatan keluarganya, juga terutama sekali untuk dapat menjadi
guru Kui Eng. Maka, dia membiarkan tiga orang kepala pengawalnya itu untuk
menyerang kakek itu untuk mengujinya.
Semua orang memandang dengan mata terpentang lebar-lebar untuk
mengikuti gerakan mereka yang berkelahi. Tiga orang kepala pengawal itu
menyerang si kakek kecil dari tiga jurusan, dan kakek itu agaknya tidak akan
berpindah dari tempat dia berdiri. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Ketika tiga
orang penyerang itu telah tiba dekat dan golok mereka itu sudah menyambar,
hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari tubuh kakek itu, tiba-tiba mereka
bertiga mengeluarkan teriakan kaget dan tubuh mereka terlempar ke kanan
kiri, padahal kakek itu hanya memutar tasbehnya satu kali saja dan tidak
kelihatan tasbeh itu mengenai tubuh mereka. Sekali ini, tiga orang kakek itu
terbanting keras sekali dan golok mereka terlepas, dan sekali ini tidak mudah
bagi mereka untuk meloncat bangun, melainkan mengaduh-aduh dan mencoba
untuk merangkak bangun. Kini mereka telah sampai di batas yang tidak mungkin untuk mundur lagi.
Mereka jelas telah mendapat malu dari kakek itu, bukan hanya di depan
majikan mereka, bahkan di depan banyak orang yang berkerumun di depan
pintu. Mereka akan menjadi bahan ejekan, nama mereka akan merosot dan
jatuh. Tidak ada lain jalan kecuali nekat mengadu nyawa dengan orang yang
mendatangkan malapetaka bagi mereka itu. Biarpun tubuh mereka terasa
sakit-sakit, dan biarpun mereka kini sudah tahu bahwa kakek itu sungguh
seorang yang amat lihai, mereka yang sudah nekat itu lalu berhasil bangkit
kembali, mengambil golok mereka dan dengan sikap mengancam kini
mengurung kakek itu yang hanya tersenyum menyeringai dengan sikap
mengejek dan memandang rendah.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar bentakan Ciu Wan-gwe kepada tiga orang
kepala pengawalnya. "Mundurlah kalian dan biarkan aku bicara dengan kakek itu."
Mendengar perintah majikan mereka, tiga orang itu menyimpan golok dan
mundur, dengan hati yang agak lega karena mereka kini dapat menghentikan
perkelahian itu bukan karena kalah, melainkan karena dilerai dan dilarang oleh
majikan mereka. Semua orang dapat melihat bahwa walaupun sudah dua kali
roboh, mereka masih belum menyerah dan akan menyerang lagi, berarti mereka
belum kalah! Mereka kini berani mengangkat dada sambil mundur mendekati
nona majikan, juga murid mereka yang kini bersama ayahnya sudah turun dari
atas undak-undakan. "Orang tua yang gagah," kata Ciu Wan-gwe ketika berhadapan dengan
kakek itu. "Sudah lama sekali kami mencari seorang pengawal yang memiliki
kesaktian. Akan tetapi usaha kami itu selalu gagal karena semua pelamar tidak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mampu lulus dalam ujian yang kami adakan. Melihat kehebatanmu yang
mampu melawan tiga orang kepala pengawalku, agaknya engkau memiliki
kepandaian yang tinggi. Maukah engkau menjadi pengawal keluarga kami"
Berapa saja upah yang kauminta, tentu akan kami penuhi!"
Sejenak mata kakek itu memandang Ciu Wan-gwe dengan sinar mata
penuh selidik, kemudian dia tertawa.
"Heh-heh, semua orang di dunia ini gila akan uang, dari kecil sampai tua
dan mati. Akan tetapi apakah artinya uang bagi seorang tua renta macam aku
ini" Tidak, Wan-gwe, aku tidak gila harta. Aku mau tinggal di sini dan menjadi
pengawal keluargamu, bukan untuk uang, melainkan untuk anak itu!"
Kakek kecil pendek itu menudingkan tongkat hitamnya ke arah Kui Eng
yang sejak tadi berdiri nonton dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Heh-heh, kalau bukan karena puterimu itu, perlu apa aku datang ke tempat
ini?" kakek itu balas bertanya.
"Tadi aku telah melihat gerak-geriknya dan aku berpendapat bahwa baru
sekaranglah aku menemukan calon murid yang sudah lama kucari-cari."
Mendengar ini, bukan main girangnya rasa hati Ciu Wan-gwe.
"Kakek yang sakti, tidak mudah menjadi guru puteriku dan pengawal
pribadi keluargaku. Engkau harus melalui sebuah ujian dariku..."
"Heh-heh, kau terlalu mengandalkan dan membanggakan senjata apimu
itu, Wan-gwe. Orang lain boleh jadi takut menghadapinya, akan tetapi aku
tidak!" Ketika dia melihat bahwa banyak orang berkerumun di depan pintu
gerbang, Ciu Wan-gwe lalu menyuruh para pengawal mengusir orang-orang
itu dan menutupkan daun pintu gerbang, kemudian dia mempersilahkan kakek
itu dengan sikap hormat. "Orang tua yang gagah, sebelum kita bicara tentang pengangkatanmu
sebagai pengawal keluarga dan guru puteriku, marilah lebih dahulu buktikan
bahwa engkau mampu menandingi orang yang mempergunakan senjata api.
Bagaimana?" Berkata demikian, hartawan itu lalu mengeluarkan sebuah pistolnya,
senjata yang amat diandalkan, dan yang ditakuti oleh semua orang, termasuk
para pengawalnya. Entah sudah berapa banyak orang berkepandaian tewas
atau luka-luka oleh senjata ini ketika mereka diuji untuk menjadi pengawal
keluarga Ciu. Kakek itu terkekeh. "Heh-heh, boleh saja, boleh sekali. Bagaimana caranya, Wan-gwe?"
"Seperti yang pernah saya lakukan kepada para pelamar pekerjaan
pengawal keluarga kami. Engkau berdiri dalam jarak tiga tombak dan
menghadapi serangan pistolku sebanyak tiga kali. Kalau engkau tidak roboh
oleh tiga kali tembakan, berarti kau lulus. Akan tetapi kalau merasa gentar,
sebaliknya batalkan saja karena sudah banyak orang yang terluka bahkan
tewas oleh peluru-peluru pistol ini."
Berkata demikian, Ciu Wan-gwe mengelus pistolnya yang dipelihara baikbaik sampai mengkilap. Kakek itu terkekeh.
"Heh-heh-heh, jarak tiga tombak cukup dekat bagiku untuk merobohkan
orang yang akan menembakku. Mungkin sebelum menembak dia sudah jatuh
olehku. Akan tetapi kalau engkau hendak mengujiku dengan tiga tembakan,
silahkan, Wan-gwe. Tembakan pertama akan kutangkis. Tembakan kedua akan
Kisah Dewi Kwan Im 1 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 6
^