Pencarian

Pedang Naga Kemala 21

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


kalau hari sudah terang kembali?"
Teriakannya percuma saja, karena dua orang kakek itu dengan keras kepala
dan keras hati masih saling gebuk walaupun gebukan mereka kini sudah
hampir tak mengandung tenaga lagi, seperti saling tepuk saja.
"Locianpwe Thian-tok dan ayah. Kalau kalian mau berhenti malam ini, aku
akan memasakkan daging kijang yang enak untuk kalian, dan memasakkan air
teh yang hangat dan harum."
Ucapan ini menolong. Tiba-tiba saja dua orang kakek itu mendengar betapa
perut mereka berkeruyuk. Leher mereka kering haus, dan mendengar
penawaran Kiki itu, mulut mereka menjadi basah oleh air liur mereka. Entah
siapa yang Iebih dulu memulai, tiba-tiba saja tubuh mereka merenggang dan
saling menjauhi, dan keduanya menghadapi Kiki.
"Heh...heh... aku mendengar masakan daging kijang tadi" Mana?" kata
Thian-tok. "Teh hangat" Aih, aku haus sekali Kiki!" kata Hai-tok.
Kiki memandang kepada dua orang kakek itu bergantian.
"Kalau kalian mau berjanji malam ini tidak akan berkelahi, aku tentu akan
menyediakan makanan dan minuman seperti yang kukatakan tadi, bahkan
lebih banyak lagi." Dua orang kakek itu saling pandang dan agaknya mereka bimbang. Mau
mengalah, merasa malu, diteruskan, sudah terlalu lelah.
"Bagaimana Thian-tok?" tanya Hai-tok.
Thian-tok mengangguk cepat.
"Memang tidak enak bertanding dalam gelap. Besok bisa kita lanjutkan."
"Nah, sekarang kalian beristirahatlah, aku akan mempersiapkan makanan
dan minuman," kata Kiki dengan girang.
Karena tidak berani bermain curang, tiga orang muda itu lalu diam-diam
turun tangan dan bekerja. Tanpa diperintah, bukan untuk bermuka-muk,a
melainkan karena melihat keperluannya, Song Kim lalu mengumpulkan kayu
kering untuk membuat api unggun, sedangkan Siu Coan pergi untuk mencari
kijang atau kelenci. Kiki sendiri sibuk mengumpulkan alat-alat dan bumbu
masak. Thian-tok mengeluarkan guci araknya dan menuangkan arak ke dalam
mangkuk. Melihat itu, Hai-tok menelan ludah. Agaknya Thian-tok tahu akan hal
ini, maka diapun setelah minum arak dari mangkuk, melemparkan gucinya
kepada Hai-tok. "Nah, kau minumlah dulu dari guciku, Hai-tok, sebelum anakmu selesai
membuat air teh!" Hai-tok menerima guci itu dan tanpa malu-malu lagi membuka tutupnya
dan minum arak beberapa teguk, lalu melemparkan kembali guci itu, kepada
pemiliknya. Kini dua orang kakek itu, di bawah penerangan sinar api unggun
yang kemerahan, mulai memeriksa tubuh masing-masing. Ada perasaan
memar pada beberapa bagian tubuh yang terkena pukulan, dan mereka kini
memeriksa kedua lengan mereka yang bengkak-bengkak dan matang biru.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Masing-masing mengeluarkan obat dan menggosok kedua lengan dan kaki
dengan obat gosok. Memang aneh sekali watak dua orang kakek yang menjadi datuk sesat di
antara Empat Racun Dunia ini. Tidak ada kejahatan yang pentang mereka
lakukan, namun karena kedudukan mereka yang tinggi, mereka itu merupakan
orang-orang yang tidak mau melakukan hal-hal yang akan merendahkan nama
mereka. Seperti keadaan mereka sekarang itu. Kini Thian-tok hanya tinggal
sendirian saja. Muridnya Siu Coan, pergi berburu binatang. Dalam keadaan
kehabisan tenaga seperti itu, kalau Hai-tok mau berlaku curang, tentu mudah
baginya menyuruh Song Kim turun tangan membunuh kakek itu. Akan tetapi
tidak, Hai-tok sama sekali tidak sudi melakukan kecurangan ini, bahkan andai
kata muridnya itu berani berbuat curang, tentu dia sendiri yang akan
menentangnya. Padahal tadi, dalam perkelahian, mereka itu dengan sungguhsungguh berusaha mencari kemenangan dan berusaha saling merobohkan atau
bahkan saling membunuh! Padahal, kalau tidak menghadapi sesama datuk
sesat, andaikata menghadapi lawan dari lain golongan, dua orang datuk ini
tidak segan-segan untuk melakukan segala macam tipu muslihat dan
kecurangan! Kiranya di antara mereka terdapat semacam kode etik atau persetujuan
tanpa kata yang dipegang teguh di antara golongan mereka sendiri! Tentu saja
ini hanya dilakukan oleh mereka yang sudah menjadi datuk atau yang
kedudukannya sudah tinggi, sehingga mereka perlu menjaga nama dan
kehormatan mereka sebagai datuk. Tak seorangpun akan percaya kalau
diberitahu bahwa di antara dua orang kakek itu terjadi perkelahian mati-matian
kalau dia melihat betapa malam itu mereka berdua duduk bersama
menghadapi api unggun sambil menikmati hidangan masakan yang dibuat
oleh Kiki! Kijang muda gemuk yang didapatkan Siu Coan, akhirnya habis semua
dagingnya oleh mereka berlima! Setelah makan minum dengan kenyang, dua
orang kakek itu menguap dan nampak betapa mereka mengantuk sekali,
hampir tidak lagi dapat membuka kedua mata.
"Heh-heh-heh, enak sekali masakan anakmu, Hai-tok! Heh-heh-heh!" kata
Thian-tok sambil mengelus-elus perutnya yang gendut.
Hai-tok tersenyum. "Dan senang sekali dapat berlatih silat denganmu. Aihh, sudah puluhan
tahun aku tidak dapat berlatih seenak tadi. Engkau ini tua-tua masih hebat, aku
kagum sekali. Akan tetapi tunggu saja sampai besok. Besok aku akan memaksa
engkau bertekuk lutut di depan kakiku!"
"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa.
"Engkaulah yang tua-tua keladi, makin lama makin menjadi. Akan tetapi
besok engkau tentu akan roboh dan tak dapat bangkit kembali!"
Keduanya masih ingin saling mengejek, akan tetapi karena kantuk yang
hampir tak tertahankan, keduanya menguap berkali-kali dan merebahkan diri
dekat api unggun yang hangat.
"Kalian tak boleh menyerang siapapun, tak boleh berkelahi. Urusan ini
harus kami berdua yang menyelesaikan melalui perkelahian terakhir besok!"
kata Hai-tok kepada murid dan puterinya.
"Siu Coan, jangan kaucampuri urusanku ini. Tunggu sampai besok dan
jangan kau melayani siapapun. Tahu?" Thian-tok juga memesan muridnya.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tiga orang muda itu hanya saling pandang. Kehebatan perkelahian antara
guru-guru mereka itu membuat urusan di antara mereka, pertentangan di
antara mereka nampak kecil tak berarti.
Sebelum tiga orang muda itu menjawab, dua orang kakek luar biasa itu
sudah mendengkur dengan keras. Bahkan dalam dengkur itu, mereka seperti
berlumba untuk saling mengalahkan. Demikian keras dengkur mereka
sehingga banyak binatang hutan yang tidak berani mendekati tempat itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, begitu matahari menyinarkan
cahayanya di permukaan bumi, dua orang kakek itu sudah terbangun, mengulet
dan tiba-tiba saja mereka teringat akan urusan mereka dan keduanya meloncat
berdiri. Mereka kembali mengulet dan merasa segar setelah malam tadi makan
dan tidur sampai kenyang. Akan tetapi harus mereka akui bahwa kedua lengan
mereka masih terasa nyeri-nyeri dan seluruh tubuh mereka terasa linu dan
pegal, tulang-tulang mereka seolah-olah tidak benar letaknya!
Melihat betapa dua orang kakek itu nampaknya sudah siap lagi, Kiki yang
tetap merasa khawatir itu berkata.
"Ayah, apakah kalian tidak mau sarapan dulu?"
"Ha-ha-ha, Hai-tok sungguh dimanja anaknya. Anak baik, kalau ayahmu
terlalu kenyang makan, tentu belum seratus jurus dia sudah roboh di depan
kakiku, terlalu banyak makan, ha-ha-ha?"
"Tidak perlu sarapan, Kiki. Hei, Thian-tok, lihat di angkasa sudah ada
tanda-tanda bahwa hari ini adalah hari kematian Thian-tok. Kematian sudahberada di depan mata dan engkau masih banyak berlagak?"
"Engkaulah yang akan mampus, ha-ha-ha. Mari kita Ianjutkan perkelahian
kemarin, Setan Lautan Pemakan Ikan."
"Iblis gendut, nanti kutendang pecah perutmu!"
Hai-tok juga memaki dan keduanya segera menghampiri lapangan rumput
dimana kemarin mereka berkelahi. Dan di lain saat, sudah terdengar suara bakbik-buk ketika mereka sudah saling hantam dan saling tendang dengan penuh
semangat. Tenaga mereka masih utuh sekarang, walaupun badan masih terasa
Ielah. Semalam mereka sudah mengatur siasat mencari akal bagaimana harus
mengalahkan lawan, maka sekarang mereka mengerahkan tenaga dan
menggunakan segala macam akal untuk mencapai kemenangan.
Seperti juga kemarin, Hai-tok memainkan ilmu Thai-lek Kim-kong-jiu. Ketika
Thian-tok yang juga sudah mengatur akal semalam untuk mencari jalan untuk
mengalahkan lawan menyerangnya dengan kedua tangan dibentuk seperti
cakar-cakar naga, tiba-tiba Hai-tok menangkis dan tubuhnya terpelanting, lalu
rebah miring. Tentu saja Thian-tok merasa girang, sekali dan secepat kilat dia
membungkuk untuk mengirim serangan selanjutnya kepada lawan yang sudah
roboh. Akan tetapi tiba-tiba tubuh yang miring itu berserak seperti seekor ikan
di dalam air, lalu membalik dan kakinya menendang ke arah lutut dan pusar
Thian-tok! Kiranya Hai-tok ladi hanya pura-pura saja jatuh, lalu menggunakan
gerakan yang diambil dari gerakan ilmu di dalam air yang dikuiasainya
"berenang" dan melakukan tendangan tiba-tiba amat kuat. Thian-tok hanya
mampu menyelamatkan Iututnya, akan tetapi tendangan kedua yang
mengarah ke pusarnya itu terpaksa diterimanya sambil mengerahkan sinkang.
"Desss"!" Thian-tok tidak terluka karena terlindungi hawa singkang, namun saking
kerasnya tendangan, tubuhnya yang gendut itu terpental dan terbanting ke
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan atas tanah dalam keadaan duduk.
"Ngeeek!" Karena terbanting pantatnya, kakek itu merasa nyeri juga dan menyeringai
lebar untuk menutupi rasa nyerinya. Dia sudah bangkit lagi ketika Hai-tok
datang melakukan serangan dengan tubuh agak membungkuk seperti seekor
kerbau menanduk, akan tetapi yang menjadi tanduknya adalah dua buah
tangannya. Melihat serangan yang aneh ini, Thian-tok tertawa akan tetapi juga
siap dengan siasat yang diaturnya semalam. Dia membiarkan lawan
menyerang sampai dekat, dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke depan.
Dan genggaman tangan kirinya keluarlah tanah dan debu yang tadi
dicengkeramnya dengan diam-diam ketika dia terjatuh. Kini tanah berdebu
yang dilempar dengan tenaga besar itu menyambar ke arah muka dan leher
Hai-tok. Tentu saja Hai-tok terkejut bukan main. Terpaksa memejamkan mata untuk
melindungi mata kemasukan dengan kedua tangannya cepat menubruk
dengan cengkeraman ke depan. Namun dia menubruk tempat kosong, dan
sadar bahwa lawan menggunakan siasat, dia cepat membaik dan mengayun
kedua tangan melindungi tubuh. Akan tetapi kurang cepat. Thian-tok tadi
setelah menyambitkan debu, sudah meloncat dan dan atas dia menghantam ke
arah tengkuk lawan. "PIakkk!" Pukulan itu tertangkis, akan tetapi karena agak terlambat, pukulan itu
masih menyeleweng dan mengenai pundak kiri Hai-tok.
"Desss!" Hai-tok sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan, akan tetapi
kerasnya pukulan membuat dia terpelanting roboh! Kakek itu memang lihai
sekali, begitu roboh, kedua kakinya melakukan tendangan-tendangan berantai
ke atas dan dengan kedua tangan menekan tanah sehingga Thian-tok tidak
berani mendekat, dan Hai-tok mampu bangkit kembali dengan loncatan.
Mereka kini berdiri saling berhadapan lagi, dengan napas agak terengah
dan kedua mata melotot. Karena masing-masing sudah merasakan hantaman
lawan, mereka mulai marah dan muka mereka menjadi kemerahan, sepasang
mata mereka memancarkan sinar beringas! Dua orang kakek tua renta itu sudah
saling berhadapan bagaikan dua ekor singa yang siap untuk saling terkam!
Tiga orang muda itu menonton seperti kemarin serasa tegang, karena
mereka dapat menduga bahwa hari ini, tentu dua orang kakek itu sudah
mengambil keputusan untuk menang. Perkelahian hari ini tentu mati-matian
dan menentukan, apalagi karena tenaga mereka tentu tidak akan sekuat
kemarin lagi. Mungkin belum sampai siang, seorang di antara mereka akan
roboh dan bisa juga tewas. Hal ini membuat mereka merasa serba salah.
Membantu, berarti mereka melanggar larangan suhu mereka. Tidak membantu,
hati merasa tidak tega melihat betapa suhu masing-masing sudah nampak loyo
dan repot. Memang, kedua orang kakek yang usianya sudah amat tinggi itu telah
memeras tenaga di luar batas kemampuan tubuh mereka yang tua, sehingga
kini mereka sudah mulai nampak kehabisan tenaga dan napas walaupun
mereka baru berkelahi tiga empat jam dan matahari belum naik terlalu tinggi.
Kini, dua orang kakek itu tidak dapat mengerahkan sinkang, tidak mampu
bergerak cepat. Gerakan mereka lambat sekali, namun setiap gerakan masih
mengandung sinkang yang kuat. Pukulan-pukulan dilakukan lambat, namun
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan penuh tenaga, demikian pula tangkisan. Setiap pertemuan kedua lengan, baru
nampak betapa hebatnya mereka mempergunakan tenaga sinkang. Sekitar
mereka seolah-olah ikut tergetar apabila lengan mereka saling bertemu.
Selagi tiga orang muda itu kebingungan, tidak tahu apa yang harus mereka
takukan, tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring.
"Omitohud, kalian seperti anak-anak nakal saja! Harap hentikan
pertandingan itu, pinceng mau bicara!"
Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang bertubuh gendut
seperti tubuh Thian-tok, dan tiga orang muda itu tentu saja mengenal kakek ini
yang bukan lain adalah Siauw-biu-hud!
Akan tetapi, dua orang kakek yang sedang berkelahi itu tidak
menghentikan perkelahian mereka. Bukan mereka tidak mau mendengarkan
dan menuruti permintaan Siauw-bin-hud, melainkan mereka tidak mungkin lagi
dapat menghentikan perkelahian itu. Gerakan-gerakan mereka yang lambat itu
susul-menyusul. dan apabila seorang di antara mereka mendahului lawan
menghentikan serangan, besar bahayanya dia akan terkena pukulan yang akan
mendatangkan akibat yang parah.
Melihat ini, Siauw-bin-hud diam-diam terkejut. Tak disangkanya bahwa
dua orang kakek sesat ini berkelahi benar-benar, bahkan sudah berada di
ambang maut karena keduanya sudah berada dalam keadaan mengadu nyawa.
Cepat dia mengeluarkan seruan halus.
"Omitohud!" Dan tubuhnya menerjang ke depan di tengah-tengah antara kedua orang
kakek itu. Siauw-bin-hud mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri,
yang kanan menolak tangan Thian-tok, yang kiri menolak tangan Hai-tok.
"Desss...!" Hebat bukan main pertemuan tenaga antara dua orang kakek yang sedang
berkelahi itu dengan tenaga Siauwbin-hud yang menahan mereka. Dua orang
kakek itu merasa betapa tenaga serangan mereka amblas ke dalam kelunakan
yang membuat mereka merasa seperti terjatuh dan tempat tinggi sekali.
Mereka melawan karena terkejut, akan tetapi perlawanan mereka itu
mengakibatkan mereka terlempar ke belakang sampai dua meter, sedangkan
Siauw-bin-hud berdiri dengan tubuh agak bergoyang-goyang dan mukanya
agak pucat. Kakek Siauw-Iin-pai ini baru saja terhimpit antara dua tenaga raksasa! Dari
sini saja dapat diketahui betapa hebatnya kepandaian Siauw-bin-hud, dan dua
orang kakek itupun harus mengakuinya. Mereka bangkit berdiri dengan agak
susah. Thian-tok dibantu oleh Siu Coan dan Hai-tok dibantu oleh Song Kim yang
cepat-cepat menghampini gurunya.
"Siauw-bin-hud, kenapa engkau mencampuri urusan kami" Aku sudah
hampir dapat membunuhi Setan Gendut itu tadi!" kata Hai-tok setelah dia
dapat mengatur pernapasannya dan dia nampak penasaran.
"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, Setan Lautan itulah yang tadi sudah hampir
mampus. Eh, hwesio yang jahil, apakah engkau hendak pamer kepandaian
maka engkau berani melerai kami?"
"Omitohud, sungguh heran sekali, malah kalian yang menegur pinceng!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw-bin-hud tertawa. "Apakah itu tidak terbalik namanya" Sepatutnya, pinceng yang harus
menegur kalian! Sepatutnya kalian, seperti pinceng, berprihatin melihat
keadaan negara kita. Lihat, perjuangan rakyat menurun semangatnya,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemerintah penjajah Mancu menjadi semakin Iemah tak tahu malu, menjuali
bagian-bagian tanah kepada orang kulit putih, dan lihat" orang orang asing
kulit putih itu kini menjadi semakin kuat, merajalela dan kekuasaan mereka
semakin meluas. Dalam keadaan seperti ini, kalian bukannya bersatu untuk
menyusun kekuatan menentang dan membela tanah air dan bangsa, malah
kalian seperti anak-anak kecil saja yang memperebutkan kembang gula, saling
pukul sampai loyo! Apakah kalian tidak malu" Omitohud, kalau kalian orangorang tua tidak memberi contoh yang baik, apalagi yang dapat diharapkan dari
yang muda-muda?" "Ah, engkau tidak tahu apa yang tenjadi di antara kami!" Hai-tok
membentak, masih penasaran.
"Murid Thian-tok memukuli muridku, siapa yang tidak akan marah?"
"Maaf, locianpwe?" kata Siu Coan membela diri.
"Saya telah mendapat ijin locianpwe Tang-Kok-Bu untuk membantu
puterinya, Ki-moi, mencari dan membunuh pengkhianat Lee Song Kim. Bahkan
saya sudah diterima untuk menjadi calon suami Ki-moi. Akan tetapi ketika kami
menghajar Lee Song Kim, muncul Tang-locianpwe menyerang saya."
"Nah, nah" apa itu tidak gila namanya" Melihat Siu Coan diserang oleh tua
bangka ini, aku merasa ditantang!" Thian-tok menyambung.
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud tertawa lebar.
"Heh-heh-heh, kiranya hanya urusan jodoh. Hai-tok, bagaimana
pendapatmu tentang jodoh puterimu?"
"Aku belum pernah meresmikan perjodohan antara anakku dan Ong Siu
Coan. Akan tetapi sekarang aku ingin menjodohkan anakku dengan Lee Song
Kim!" kata Hai-tok. "Ayah! Aku tidak sudi!!"
Kiki berteriak memandang ayahnya dengan mata terbelalak penuh
penasaran dan kemarahan. "Engkau harus mau!" kata ayahnya.
"Tidak, lebih baik aku mati saja dari pada menikah dengan dia!"
"Hemm, hendak membantah dan melawan orang tua" Kalau begitu
matilah!" Hai-tok menjadi marah dan mengambil tongkatnya, akan tetapi Siauw-binhud sudah di depannya sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, urusan perjodohan adalah urusan yang menggembirakan,
kenapa harus mengakibatkan seorang ayah hendak membunuh puterinya" Haitok, sebenarnya yang ingin menikah itu engkau ataukah puterimu" Yang
hendak memilih suami itu engkau ataukah puterimu?"
Mendengar pertanyaan ini, Thian-tok tertawa bergelak, dan muka Hai-tok
berubah merah sekali. Dia tahu bahwa pendeta tua itu tidak ingin
mengejeknya, namun pertanyaan itu merupakan tikaman bagi hatinya karena
dia memang seorang yang suka sekali kepada pemuda-pemuda tampan!
"Gila! Tentu saja anakku!" bentaknya ketus.
"Nah, kalau anakmu yang mau berjodoh, kenapa tidak membiarkan ia
memilihnya sendiri" ia yang akan menikah, ia pula yang berhak menentukan
calon suaminya, bukan?"
Siauw-bin-hud berkata ramah dan sambil tersenyum. Hai-tok menggeleng
kepala dan mengerutkan alisnya.
"Tidak, tidak akan baik jadinya kalau anak memilih sendiri. Harus orang tua
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan yang memilihkan. Pandangan anak masih sempit dan hijau, hanya melihat
ketampanan wajah seorang pemuda saja. Sebaliknya, pandangan orang tua
Iebih luas dan jauh jangkauannya, memperhitungkan masa depan anaknya.
Tidak, Siau-bin-hud, sekali ini engkau keliru. Pemilihan jodoh seorang anak
perempuan harus di tentukan oleh orang tuanya."
"Heh-heh-heh, ini pandanganmu sebagai orang tua, bukan" Tentu saja
begitu! Orang tua memilihkan calon jodoh anak perempuannya sesuai dengan
pandangannya, sesuai dengan pandangannya terhadap calon mantu itu. Dan
pinceng percaya bahwa orang tua yang memilihkan jodoh anaknya akan
memperhitungkannya masak-masak untuk masa depan anaknya. Akan tetapi
benarkah demikian" Bukankah si orang tua hanya memperhitungkan masa
depan dirinya sendiri" Si orang tua hanya mencari kesenangan hatinya sendiri
tanpa memperhitungkan perasaan anaknya" Dia boleh senang kepada calon
mantu yang dipilihnya, akan tetapi bagaimana dengan anaknya" Orang tua
menganggap bahwa apa yang disukai tentu akan disukai pula oleh anaknya,
benarkah pendapat ini" Ingat, Hai-tok, alam pikiran orang tua dan anaknya
belum tentu sama, selera di antara mereka mungkin sekali berbeda."
Sejenak Hai-tok termenung, lalu membantah.
"Akan tetapi Siauw-bin-hud, pandangan seorang gadis muda masih terlatu
dangkal dan hijau untuk dapat melakukan pemilihan yang tepat. Ia akan mudah
terpikat dan terbujuk omongan manis, sikap yang manis, dan wajah yang
gagah tampan. Apakah orang tuanya tidak akan ikut menyesal kelak kalau
sampai ternyata kemudian pilihannya itu keliru?"
"Mungkin saja bisa keliru. Akan tetapi kekeliruan karena pilihan sendiri
menjadi tanggung jawabnya sendiri, dan si anak yang akan mengalami segala
akibatnya, bukan" Orang tua hanya menonton saja. Kalau seorang anak keliru
memilih, kelak ia akan menyesali nasib dan diri sendiri yang salah pilih, tidak
menyalahkan orang tua. Sebaliknya, kalau orang tua yang salah pilih, dia akan
menjadi bulan-bulan penyesalan anaknya!"
Hai-tok mengerutkan alisnya dan memandangi kepada hwesio tua itu.
"Siauw-bin-hud". engkau memang pandai bicara. Habis, apa yang harus
dilakukan orang tua" Menurut saja kepada kehendak anak perempuannya,
walaupun dia tahu bahwa pilihan anaknya itu keliru?"
"Ho-ho-ho, jangan menjebak omongan, Hai-tok. Apa yang harus dilakukan
orang tua" Bukan orang yang baik namanya kalau membiarkan saja, acuh saja
akan segala tindakan anak-anaknya. Orang tua harus memberi kebebasan
kepada anaknya, akan tetapi bukan berarti laIu acuh dan tidak perduli. Orang
tua mengamati saja dari belakang, dan kalau melihat kenyataan bahwa
tindakan anaknya keliru, orang tua berkewajiban untuk mengingatkannya,
menasihatinya. Akan tetapi bukan berarti lalu orang tua memaksa anaknya
untuk mentaati segala kehendaknya, menerima segala pilihan yang dilakukan
orang tua untuk anaknya. Apalagi dalam hal memilih jodoh."
"Mungkin ada benarnya ucapanmu itu, Siauw-bin-hud. Akan tetapi
kenyataannya, kuanggap Lee Song Kim ini seorang murid dan calon mantu
yang baik sekali." "Ha-ha-ha-ha!" Thiairtok tertawa berlagak.
"Baik apanya" Karena ulahnya, kita berdua hampir mati konyol, Hai-tok!
Dan para pimpinan pejuang hampir mati konyol semua! Dan kau masih
memujinya sebagai murid dan calon mantu yang baik" Heh-heh-heh!"
"Thian-tok, engkaulah yang mendurhakai golongan kita! Coba ingat baikdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan baik, apa jadinya dengan murid-muridmu sendiri" Apa jadinya dengan murid
Tee-tok dan San-tok" Huh, mereka semua menjadi orang-orang yang
meninggalkan golongan kita, condong untuk menjadi pendekar dan menentang
golongan kita! Huh, lupakah engkau siapa dirimu, siapa kita, siapa Empat
Racun Dunia yang namanya pernah menggemparkan jagad" Hanya muridku
seorang inilah yang masih aseli! Dia melakukan apa saja yang hebat, yang tidak
kalah oleh tindakan kita! Segala kecurangan dan tipu muslihat itu menunjukkan
bahwa dia cerdik dan patut menjadi murid Hai-tok! Dia melakukan semua itu
karena ada tujuan yang besar, bukan sekedar main gagah-gagahan! Aku suka
padanya dan dia patut menjadi muridku, bahkan patut menjadi mantuku atau
puteraku sekalipun I"
Dibantah seperti itu, Thian-tok tak mampu bantah lagi. Memang, tadinya
diapun merasa bangga akan tinglah laku Koan-Jit, muridnya yang pertama,
yang dalam hal kejahatan tidak kalah oleh Empat Racun Dunia sendiri! Akan
tetapi muridnya itu akhirnya tewas sebagai seorang pendekar! Dan Siu Coan
inipun tidak begitu menonjol dalam hal kejahatan seperti suhengnya. Apalagi
Gan Seng Bu yang mati muda karena tergila-gila kepada seorang wanita kulit
putih! "Ha-ha-ha, sesukamulah Hai-tok, itu urusan pribadimu, aku tidak mau turut
campur. Asal engkau tidak mengganggu muridku, akupun tidak perduli,"
akhirnya Thian-tok berkata dengan sikap acuh.
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud juga tertawa kini.
"Bukankah amat mudahnya melenyapkan permusuhan dan lebih enak
hidup damai antara manusia! Hai-tok, urusan jodoh adalah urusan anak, hal itu
sudah kau akui kebenarannya. Nah, urusan perjodohan anakmu juga serahkan
saja kepadanya sendiri. Biarkan ia yang memilih calon suaminya."
"Aku memilih Ong Siu Coan!"
Tiba-tiba Kiki berseru. Sebetulnya, hati Kiki hanya satu kali saja pernah
tertarik kepada pria, yaitu kepada Tan Ci Kong. Akan tetapi karena dara inipun
tahu bahwa Ci Kong dicinta banyak gadis lain, dan melihat betapa Siu Coan
yang mendekatinya, iapun menentukan pilihannya kepada Siu Coan, seorang
pemuda yang dianggapnya memiliki cita-cita besar sekali.
Hai-tok cemberut. Untuk menentang anaknya, dia merasa malu kepada
Thian-tok dan Siauw-bin-hud. Maka sambil bersungut-sungut dia menyumpah.
"Anak tolol! Kalau engkau tidak mau berjodoh dengan Song Kim pilihanku,
biarlah engkau tak usah kembali ke Pulau Naga dan jangan anggap aku sebagai
ayahmu lagi!" Kiki adalah seorang anak yang sejak kecil dimanja dan memang wataknya
keras dan bandel sekali. Mendengar ucapan ayahnya itu, ia memandang
ayahnya dan berkata. "Kata ayah sendiri bahwa anak harus mentaati perintah orang tua. Nah,
sekarangpun aku akan mentaati perintah ayah, aku tidak akan pulang ke Pulau
Naga." "Ha-ha-ha!" Thian-tok tertawa bergelak sampai perutnya yang gendut itu bergoyanggoyang.
"Bagus, bagus! Ini namanya Hai-tok rugi kehilangan anak perempuan, akan
tetapi aku untung mendapatkan seorang mantu perempuan, ha-ha-ha!"
Siauw-bin-hud melihat betapa sepasang mata Hai-tok mencorong marah,
maka diapun cepat berkata sambil tertawa.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Siapa bilang Hai-tok rugi" Dia boleh jadi kehilangan anak perempuan,
akan tetapi dia mendapatkan seorang anak Iaki-Iaki sebagai penggantinya."
Mendengar ini, wajah Hai-tok berseri dan diapun tertawa.
"Ha-ha-ha... orang bilang bahwa anak perempuan itu hanya mendatangkan
kesialan belaka, sebaliknya anak laki-laki mendatangkan bahagia. Thian-tok
memperoleh seorang anak perempuan, dan aku mendapatkan seorang anak
laki-laki, biarlah semua kesialan akan menimpa Thian-tok dan semua
kebahagiaan menjadi bagianku. Mulai detik ini, Song Kim kuangkat menjadi
pureraku." Song Kim yang amat cerdik itu, begitu mendengar ucapan suhunya seperti
itu, tanpa membuang waktu lagi dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki Hai-tok, memberi hormat dan berkata.
"Ayah....!" Dian Hai-tok menerima penghormatan itu sambil tersenyum girang.
Dengan berkerut, Kiki melangkah maju.
"Song Kim, di antara kita masih ada perhitungan yang belum kita bereskan!
Bangkitlah dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita
menggeletak tak bernyawa tanpa ada campur tangan orang lain! Aku tantang
kau, dan kalau engkau tidak berani menerima tantanganku, berarti engkau
hanya seorang laki-laki pengecut dan hina, rendah dan tak tahu malu!"
Song Kim memang cerdik. Tadi dia sudah melihat gerakan-gerakan Kiki,
dan dia maklum bahwa sumoinya itu telah memperoleh ilmu lain yang
membuat sumoinya dapat bergerak amat cepatnya. Mungkin sekarang dia
tidak akan mampu mengalahkan sumoinya, maka setelah selesai memberi
penghormatan ke ayah angkatnya, diapun bangkit berdiri tanpa menjauhi
ayahnya dan berkata dengan halus.
"Sumoi, apakah sebabnya engkau menantangku" Perhitungan apakah yang
ada di antara kita?"
"Keparat! Engkau masih pura-pura tidak tahu dan berani bertanya lagi"
Lupakah engkau akan apa yang kau lakukan terhadap diriku ketika aku
berangkat meninggalkan Pulau Layar" Engkau menyerangku di dalam perahu
dan dengan curang merobohkan aku. Kemudian engkau" engkau berusaha
untuk memperkosaku!"
Song Kim tertawa, meniru suara ketawa guru atau ayah angkatnya yang
jarang tertawa itu. "Hemm, sumoi". hal itu hanya membuktikan bahwa aku jauh Iebih cerdik
dan pada engkau, sehingga engkau dapat kutundukkan di dalam perahu. Akan
tetapi, tidak ada alasannya sama sekati bagimu untuk membalas dendam
kepadaku, karena bukankah engkau belum ternodai."
"Jahanam! Kalau sudah ternoda, lebih baik aku mati!" teriak Kiki marah.
Hai-tok berkata, nada suaranya tegas kepada Kiki.
"Kiki, kalau engkau sudah ternoda oleh Song Kim, engkau harus menjadi
isterinya. Kalau belum ternoda, sudahlah" tidak ada urusan lagi antara engkau
dan dia." Melihat betapa ayahnya selalu membela Song Kim, Kiki menjadi marah
sekali, akan tetapi ia menghadapi ayahnya, walaupun ia tidak diakui lagi, tetap
saja ia tidak berani melawan ayahnya yang juga menjadi gurunya. Mukanya
menjadi merah dan ia tidak tahu apakah ia harus marah-marah ataukah
menangis. Melihat ini, Siu Coan cepat maju dan berkata dengan suara lantang.
"Sungguh penasaran sekali kalau dosa-dosa yang dilakukan Lee Song Kim
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dibiarkan begitu saja! Semua urusan priibadi boleh kita lupakan. Akan tetapi
kita tidak sepantasnya melupakan bahwa dia telah menjadi pengkhianat dan
telah menangkap para pimpinan pejuang! Dia telah menjadi musuh para
pejuang, maka kita semua akan menjadi pengkhianat pula kalau membiarkan
saja dia berkeliaran!"
"Dia tidak selamanya menjadi pengkhianatl" Hai-tok cepat membela.
"Orang yang cerdik selalu bertindak menurut angin yang menguntungkan.
Sekarang tidak mungkin lagi bagi dia untuk bekerja sama dengan pemerintah
Mancu atau orang kulit putih, berarti dia sekarang menjadi sekutu pejuang."
Siauw-bin-hud tertawa lagi. Dia tidak menghendaki terjadi perpecahan
antara mereka yang diharapkan akan dapat membantu gerakan para pejuang.
"Omitohud" di dunia ini, manakah ada yang baik selamanya" Baik dan
buruk sudah menjadi pakaian manusia, menguasai diri manusia seperti siang
dan malam. Perbuatan-perbuatan yang lalu, yang dianggap jahat dan buruk
penuh dosa, dapat saja ditebus dengan perbuatan baik. Ingatlah kepada Koan
Jit. Kurang bagaimana dia" Akan tetapi pada saat terakhir, dia menjadi seorang
patriot, seorang pahiawan yang dikagumi semua orang. Kalau Lee Song Kim
dapat berbuat seperti Koan Jit, bukankah orang akan melupakan semua
perbuatannya yang lalu dan mengaguminya puIa."
Mendengar ini, Siu Coan tidak dapat membantah lagi. Harus diakui
kebenaran ucapen kakek gundul itu. Suhengnya, Koan Jit, memang merupakan
pengkhianat yang jauh Iebih besar dibandingkan Song Kim, akan tetapi setelah
pada saat kehidupannya yang terakhir, Koan Jit melakukan perbuatan gagah
berani, berkorban nyawa demi perjuangan. Orang mengaguminya dan
melupakan semua dosanya yang lalu.
Thian-tok juga tidak berani membuka mulut, hanya menyeringai saja
karena diapun merasa akan kebenaran omongan Siauw-bin-hud. Dia sebagai
guru Koan Jit, tentu saja tidak dapat mencela Song Kim sebagai seorang
pengkhianat seperti yang dilakukan oleh Siu Coan.
"Ha-ha-ha, memang tua bangka Siauw-bin-hud memiliki pandangan yang
amat luas. Kita semua harus menerima pendapatnya itu, dan sudahlah" aku
tidak mau memperpanjang urusan lagi. Siu Coan dan Kiki, sebaiknya kalian
melanjutkan perjalanan dan buang saja pikiran kalian untuk membunuh Song
Kim! Kini dia telah menjadi putera Hai-tok. Kita menjadi anggauta keluarga
besar pejuang." "Suhu, teecu hendak melanjutkan niat teecu untuk membentuk pasukan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar," kata Siu Coan.
"Dan aku akan membantunya!" kata pula Kiki.
"Ha-ha-ha, berangkatlah, muridku, jangan kecewakan harapan gurumu.
Engkau harus menjadi pejuang nomor satu di dunia ini, ha-ha-ha!" kata Thiantok.
Mereka lalu bubaran. Siu Coan bersama Kiki, Song Kim pergi mengikuti Haitok, dan yang tinggal di situ kini hanyalah Thian-tok dan Siauw-bin-hud. Dua
orang kakek yang sebaya, dengan bentuk tubuh dan muka yang mirip sekali
seperti dua orang kembar namun dalam keadaan yang amat berbeda, karena
yang seorang adalah pendeta Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai seorang
pertapa yang hidup bersih, sebaliknya Thian-tok adalah seorang di antara
Empat Racun Dunia yang paling jahat! Keduanya sama sakti, juga sama-sama
suka tertawa gembira. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang
sambil menyeringai lebar.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau sekali ini engkau tidak muncul, entah akan
bagaimana jadinya dengan Hai-tok dan aku. Mungkin kami berdua sudah
mampus sekarang. Engkau ternyata dapat memperpanjang usiaku entah
beberapa tabun lagi!" kata Thian-tok.
"Bagaimana engkau begini kebetulan dapat muncul di sini?"
Siauw-bin-hud tertawa. "Aha... masih belum tahukah engkau, Thian-tok" Thian sendirilah yang
membawa pinceng sampai di sini dan melerai kalian yang sedang berkelahi."
"Haiii, jangan bohong engkau, hwesio tua! Bagaimana Thian dapat
membawamu ke sini" Apakah engkau digendongnya" Ha-ha-ha!"
Biarpun wajahnya masih penuh senyum berseri, Siauw-bin-hud menjawab.
"Thian-tok, coba rasakan, apakah jantungmu masih berdenyut?"
Thian-tok terkejut, dan sambil mengerutkan alisnya dia memperhatikan.
Dan memang jantungnya masih berdenyut! Untung sekali. Dia tadi sudah
terkejut setengah mati mendengar ucapan Siauw-bin-hud itu.
"Coba kauhentikan sebentar saja. Dapatkah?"
"Ha-ha-ha, apakah engkau telah menjadi gila, Siauw-bin-hud" Bagaimana
mungkin menghentikan denyut jantung" Kalau berhenti berdenyut, berarti aku
sudah mampus!" "Nah, engkau mengakui juga, bukan" Kalau Tuhan menghendaki, sekarang
juga denyut jantung kita terhenti dan kita mati. Namun Tuhan menghendaki
bahwa engkau masih hidup, kita masih hidup. Mengertikah engkau sekarang
bahwa kedatanganku ini juga dikehendaki oleh Tuhan" Segala sesuatu terjadi
karena kehendak Tuhan, karena kita hidup inipun atas kehendak Tuhan."
"Ha-ha-ha, engkau memang pandai membujuk, Siauw-bin-hud. Aku tidak
pernah memikirkan tentang Tuhan, melainkan melihat kenyataan. Engkau
dapat datang ke sini, sebetulnya hendak kemanakah?"
Dia berhenti sebentar dan memandang tajam menghentikan tawanya.
"Bukankah selama ini engkau hanya bertapa saja" Mengapa sekarang
keluyuran sampai di sini. mau apakah engkau?"
"Omitohud..." Siauw-bin-hud menarik napas panjang.
"Kehendak Tuhan pun terjadilah! Pinceng mendengar akan keadaan yang
makin memburuk di negeri kita. Dua kekuasaan besar yaitu pemerintah Mancu
dan orang-orang kulit putih bagaikan dua ekor anjing kelaparan yang hendak
memperebutkan tanah air kita. Tanah air kita mungkin akan tercabik-cabik oleh
dua kekuasaan itu, dan yang menyedihkan, gerakan para pejuang kini menjadi
semakin lemah. Karena itulah pinceng keluar dan ingin menganjurkan para
pejuang untuk bergerak lagi lebih bersemangat. Kalau bukan kita sendiri yang
bergerak, sampai kapankah bangsa dan tanah air kita terbebas dan
cengkeraman penjajah?"
Thian-tok tertawa. "Jangan engkau khawatir, Siauw-bin-hud. Tidak lama lagi akan muncul
sebuah angkatan perang yang amat kuat, dengan balatentara yang besar,
dipimpin oleh seorang gagah yang kelak akan mengusir penjajah dan bangsa
asing Iainnya dari tanah air."
"Omitohud, alangkah baiknya kalau ramalanmu itu benar. Siapakah
orangnya yang akan mampu melakukan itu?"
"Bukan lain adalah muridku tadi" Ong Siu Coan!"
"Omitohud" pinceng melihat dia sebagai seorang muda yang penuh citadikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan cita. Mudah-mudahan harapanmu terkabul, Thian-tok. Nah, sekarang pinceng
hendak melanjutkan perjalanan dan engkaupun usahakanlah agar dapat
menghubungi para patriot di seluruh tanah air untuk membantu perjuangan."
Dua orang kakek ini saling berpisah meninggalkan tempat itu yang kini
berubah sunyi sekali. Sunyi bukan berarti kesepian, melainkan sunyi yang hening. Keheningan
mendatangkan kedamaian. Keheningan menonjolkan kekuasaan alam, dan
kehenigan baru mungkin muncul kalau batin tidak dibebani oleh bermacam
keinginan. Kalau airnya keruh, takkan nampak apa-apa kecuali yang berada di
permukaan saja. Akan tetapi kalau airnya jernih, akan nampaklah segala
rahasia dan keindahan sampai ke dasarnya.
-------Thian-te-pang merupakan sebuah perkumpulan orang gagah yang kini
menjadi semakin besar semenjak mereka ikut terjun dalam perjuangan karena
banyak orang muda perkasa yang tertarik dan masuk menjadi anggauta dan
murid Thian-te-pang. Pusatnya berada di lereng bukit Kijang Putih di Propinsi
Hunan, di sebelah utara kota Kanton.
Seperti kita ketahui, perkumpulan ini pernah dikuasai oleh Ong Siu Coan.
Ketika ketua Thian-te-pang yang bernama Mi Ki Sun melihat betapa kekuasaan
Ong Siu Coan makin besar, dia lalu minta bantuan para tokoh kang-ouw yang
perkasa untuk merebut kembali kedudukannya, dan melihat betapa di situ
hadir banyak tokoh besar di dunia persilatan, dengan cerdik Siu Coan lalu
mengundurkan diri sehingga tidak terjadi bentrok antara dia dan Ma Ki Sun.
Pada hari itu, tempat yang menjadi pusat Thian-te-pang nampak ramai,
penuh dengan para anggauta Thian-te-pang. Ada dua ratus orang Iebih
anggauta Thian-te-pang kini, merupakan orang-orang muda yang rata-rata
gagah perkasa dan bertubuh kuat. Pada pagi hari itu, Ma Ki Sun memang
memanggil seluruh anggauta untuk berkumpul di situ. Di sebuah lapangan
rumput yang amat luas di lereng bukit Kijang Putih, mereka sudah berkumpul.
Di tengah lapangan rumput itu terdapat sebuah tihang bambu yang tinggi dan
di ujungnya berkibar bendera Thian-te-pang yang bergambar tanda Im dan
Yang, yaitu bulatan dimana terdapat bagian yang hitam dan putih saling
melingkar. Ltulah tanda perkumpulan ini, dan tanda inipun terdapat di baju
semua orang anggauta, terlukis di dada baju mereka.
Setelah dua ratus lebih orang itu berkumpul, keadaan menjadi bising
karena mereka semua saling bercakap,seperti dalam pasar saja. Dan memang
mereka membicarakan panggilan berkumpul ini, karena mereka semua tahu
belaka bahwa sang ketua memanggil untuk memecahkan masalah yang timbul
di antara mereka. Ada sebagian yang dengan penuh semangat ingin
melanjutkan perjuangan, akan tetapi sebagian pula yang terbanyak, merasa
malas dan tidak bersemangat tetapi setelah kini perjuangan pada umumnya
mengendur. Banyak sudah korban jatuh di antara para pejuang, namun sampai
sekian lamanya, tetap saja pemerintah Mancu bertahan, bahkan kini orangorang kulit putih makin memperlebar sayap mereka dan bekerja sama dengan
pemerintah. Karena perbedaan paham, tentu saja terjadi pertentangan di antara mereka
sendiri, dan kini Ma Ki Sun, yang menjadi pang-cu (ketua) mereka, memanggil
semua anggauta untuk berkumpul pada pagi hari itu. Baru setelah ketua Thiante-pang muncul, kegaduhan itu berhenti dan suasananya menjadi sunyi karena
semua orang memperhatikan sang ketua yang memasuki lapangan rumput itu.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ma Ki Sun kini sudah berusia enampuluh enam tahun, tubuhnya kini
menjadi agak gemuk, tidak sekurus dahulu. Mata kirinya yang buta membuat
dia kelihatan Iebih berwibawa, dengan pakaiannya yang juga memakai tanda
gambar lambang perkumpulannya. Wajahnya nampak sekali membayangkan
wataknya yang angkuh dan keras, dan memang Ma Ki Sun ini seorang yang
keras hati, dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Bermata Satu).
"Para anggauta dan murid sekalian, dengarkan apa yang akan kukatakan
kepada kalian!" Terdengar suara lantang sang ketua setelah dia meloncat naik ke atas
panggung yang memang dipasang di bawah tihang bendera. Karena dia
berada di atas panggung yang cukup tinggi, semua orang anggauta dapat
melihat ketua mereka dengan jelas.
"Kalian semua tahu sudah?" sambung ketua itu yang dapat dikatakan
bicara di depan para muridnya atau anak bua-nya.
"Perjuangan telah mengendur dan kedudukan kita sebagai pejuang
semakin lama semakin lemah, sehingga kalau kita maju, sama saja dengan
membunuh diri. Perjuangan adalah gerakan rakyat seluruhnya. Kalau yang lain
mengendur dan mundur, tentu saja tidak mungkin bagi kita untuk maju sendiri
dan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Balatentara Ceng terlampau
kuat, apalagi kini mereka diperkuat dengan senjata api, dan mereka bersahabat
dengan orang-orang kulit putih.
"Kita lawan mereka!!" tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari para
anggauta yang bersemangat.
Banyak di antara mereka yang telah kehilangan keluarga atau kehilangan
sahabat karib yang gugur dalam peluangan, maka bagi mereka kini Iebih
condong kepada persoalan pribadi yang mendendam dan pada persoalan
perjuangan. "Ya... bunuh semua orang kulit putih!" teriak seseorang yang diikuti oleh
banyak orang yaitu mereka yang merasa dendam kepada orang kulit putih
karena keluarga mereka menjadi korban senjata api pasukan kulit putih.
Keadaan menjadi lebih gaduh dan pada tadi, karena ada pula orang-orang
yang berteriak mendukung sang ketua. Kegaduhan itu tentu akan makin
menjadi dan bukan tidak mungkin mereka akan berkelahi satu sama lain kalau
saja sang ketua tidak cepat mengangkat kedua tangan ke atas sambil
mengerahkan khi-kang dan membentak nyaring.
"Semua diam...! Kuminta semua tenang...!"
Bagaikan dikomando saja, semua orang berdiam diri dan kegaduhan lenyap
seketika, membuat suasana menjadi lengang dan aneh rasanya. Setelah
melihat keadaan menjadi tenang, Ma Ki Sun mengeluarkan suaranya lagi, kini
terdengar ketus dan marah.
"Kalian bersikap seolah-olah segerombolan serigala liar yang tidak ada
pemimpinnya lagi! Lihatlah aku! Bukankah aku ketua kalian, guru kalian"
Akulah yang berhak mengambil keputusan dan
menentukan Iangkah perkumpulan kita. Nah, sekarang dengarkan dan taati saja dan jangan
membuat ribut!" Setelah melihat semua orang tidak ada yang berani mengeluarkan suara,
Ma Ki Sun melanjutkan kata-katanya.
"Seperti kukatakan tadi, para pejuang kini mengendur semangat mereka.
Bukan kita yang mengendur, namun mereka. Dan kita harus bersikap cerdik,
tidak bunuh diri mati konyol! Bukan berarti kita berhenti dan menentang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan perjuangan, melainkan berhenti dulu dan tidak melakukan hal-hal yang akan
mencelakakan diri sendiri. Kita mulai sekarang tidak boleh memusuhi
pemerintah atau orang kulit putih, kita melihat keadaan saja. Kalau kelak
perjuangan menjadi lagi, barulah kita akan bergerak kembali!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring melengking.
"Ma Ki Sun telah menjadi seorang pengecut! Tidak pantas dia menjadi
ketua Thian-te-pang yang gagah perkasa?"
Semua orang terkejut, apalagi setelah melihat berkelebatnya dua bayangan
orang, dan ketika semua orang memandang ke arah melesatnya dua bayangan
itu, tahu-tahu di atas panggung telah berdiri dua orang muda, seorang laki-laki
dan seorang perempuan, berhadapan dengan Ma Kl Sun! Semua orang terkejut,
apalagi ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Ong Siu Coan yang telah
mereka kenal dengan baik! Dan gadis itu amat cantik manis dan gagah sekali
sikapnya. Sebelum Ma Ki Sun yang terkejut bukan main melihat munculnya Ong Siu
Coan itu sempat menegurnya, Siu Coan sudah memandang ke arah bendera
yang berkibar di puncak tihang dan berkata, suaranya tetap nyaring seperti
tadi sehingga terdengar oleh semua anggauta yang berdiri mengurung di
bawah panggung. "Aiihh, sungguh sayang sekali bendera Thian-te-pang yang demikian
agung itu hari ini harus tercemar oleh sikap ketuanya yang pengecut.
Sebaliknya, bendera itu ku selamatkan saja dari tangan seorang pengecut. Kimoi, tolong kau ambikan bendera itu!"
"Baik, toako!" kata Kiki.
Dan gadis itu dengan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah mencelat
ke atas, membuat salto dan setiap kali berjungkir balik, tubuhnya melayang
semakin tinggi, tangannya menyentuh tihang dan membuat salto lagi sampai
akhirnya ia tiba di puncak tihang, tangannya kini meraih gagang bendera dan
sekali cabut, bendera itu telah berada di tangannya. Lalu dengan gerakan
indah, dengan salto liga kali, tubuhnya meluncur turun membawa bendera
yang berkibar, dan dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas papan
panggung pula. Menyaksikan pertunjukan demonstrasi ginkang yang demikian hebatnya,
banyak anggauta Thian-te-pang tak dapat menahan kekaguman mereka dan
mereka bertepuk tangan memuji, bahkan ketua Ma Ki Sun sendiri memandang
bengong. Harus diakuinya bahwa gadis itu memiliki ginkang yang amat luar
biasa, dan belum pernah dia melihat orang mampu melakukan hal seperti itu.
Akan tetapi melihat kemunculan bekas saingannya itu, mendengar kata-kata
Siu Coan, kemudian melihat bendera pusaka perkumpulannya dirampas orang,
tentu saja Ma-pangcu menjadi marah bukan main.
"Ong Siu Coan! Apa maksudmu dengan kedatanganmu kali ini, dan dengan
kata-katamu yang lancang bahkan berani merampas bendera kami. Engkau
sudah menghina Thian-te-pang?"
Siu Coan tertawa, sengaja tertawa keras agar terdengar oleh semua
anggauta. "Ha-ha-ha! Ma Ki Sun! Aku tadi hanya kebetulan saja lewat bersama
tunanganku, dan aku tidak akan mencampuri seandainya tidak mendengar
kata-katamu tadi. Engkau sendiri menyelewengkan para anggauta Thiau-tepang yang gagah perkasa dan patriotik! Engkau hendak menyeret mereka dan
pejuang-pejuang gagah perkasa menjadi pengecut-pengecut dan pengkhianatdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pengkhianat yang hina. Tentu saja aku tidak rela! Kalau engkau tidak lagi
mampu memimpin saudara-saudara yang gagah ini, biarlah aku yang
memimpinnya mulai detik ini!"
"Ong Siu Coan! Engkaulah yang pengkhianat besar! Siapa tidak tahu
bahwa engkau pernah menjadi kaki tangan orang kulit putih?" bentak Ma Ki
Sun, khawatir sekali karena sikap pemuda ini dapat menarik simpati para
muridnya, seperti dahulu.
"Ha-ha-ha" kata-katamu itu menunjukkan bahwa engkau memang tolol!
Pengetahuanmu dangkal sekali dan orang macam engkau ini akan memimpin
Thian-te-pang" Phuhh! Akan dibawa kemana perkumpulan besar ini" Aku
memang menyelundup ke dalam kalangan orang kulit putih, bukan untuk
berkhianat seperti engkau, melainkan untuk mempelajari keadaan mereka!
Nah, buktinya sekarang aku berada di luar dan menentang mereka, bukan?"
"Ong Siu Coan, jangan engkau mencampuri urusan Thian-te-pang. Engkau
bukan orang kami, pergilah sebelum aku menyuruh semua anak buahku untuk
menangkap atau membunuh kalian berdua, dan kembalikan bendera kami!"
Kembali Siu Coan tertawa.
"Ha-ha-ha, apakah engkau tidak melihat bahwa sebagian besar dari para
saudara Thian-te-pang setuju dengan aku dan mereka berpihak kepadaku"
Andaikata ada sebagian yang berjiwa pengecut sepertimu dan memihak
padamu, apa yang akan dapat mereka lakukan" Lihat, tempat ini sudah
terkepung!" Siu Coan mengeluarkan suara melengking dan nampaklah puluhan orang
yang memakai pakaian seragam indah biru putih, dan mereka itu semua
menodongkan anak panah dan gendewa yang sudah dipentang, bahkan di
antara mereka ada pula yang menodongkan senapan atau pistol! Sikap puluhan
orang itu gagah sekali, pakaian mereka yang seragampun indah! Mereka
adalah anak buah Siu Coan yang memang telah dipersiapkan Iebih dahulu.
Tentu saja Ma Ki Sun terkejut sekali, dan para anggauta Thian-te-pang juga


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut dan gentar. "Ha-ha-ha, Ma Ki Sun. Sebelum orang-orang yang berpihak denganmu
bergerak, dada mereka akan ditembusi anak panah atau peluru panas!
Saudara-saudara anggauta Thian-te pang semua yang tercinta. Lihatlah baikbaik... bukankah saudara-saudaramu yang kini menjadi pembantuku memiliki
perlengkapan yang Iebih baik" Kalian akan menjadi seperti mereka kalau mau
memilih aku menjadi ketua!"
"Hidup pendekar Ong Siu Coan!"
"Hidup Ong-pangcu...!"
Teriakan-terakian ini yang menyebut Siu Coan sebagai ketua Ong membuat
Ma Ki Sun marah bukan main.
"Bangsat Ong Siu Coan! Engkau baru bisa menjadi ketua setelah aku roboh
tak bernyawa!" "Ah, begitukah" Kalau begitu, mari kuantar engkau ke neraka!" kata Ong
Siu Coan sambil tersenyum mengejek.
Pada saat itu, nampak seorang laki-laki melompat naik ke atas panggung.
"Suhu, biar teecu yang menghadapi penjahat ini!" bentaknya, dan orang itu
bukan lain adalah Lui Siok Ek, murid kepala Thian-te-pang, murid yang paling
pandai dari Ma Ki Sun. Lui Siok Ek usianya sudah hampir enam puluh tahun, tubuhnya agak
pendek namun matanya mencorong penuh semangat. Siu Coan memandang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan rendah. "Ha-ha, kalian berdua majulah, biar kubereskan sekaligus!"
Akan tetapi, Ma Ki Sun yang biarpun maklum bahwa ilmu silat Siu Coan
amat lihai, tidak mau merendahkan diri.
"Kami bukan golongan pengecut yang suka melakukan pengeroyokan!"
Dia berkata dengan suara lantang agar didengar oleh para muridnya.
"Toako, biar aku yang menghajar tikus ini!" kata Kiki sambil menyerahkan
bendera yang tadi diambilnya dari puncak tihang.
Sambil tertawa, Siu Coan menerima bendera itu, lalu berdiri di pinggir
panggung melihat Kiki yang menghadapi lawannya. Seperti juga suhunya, Lui
Siok Ek sudah mengenal Siu Coan dan sudah tahu akan kelihaian Siu Coan.
Bahkan mendiang Coa Bhok yang lihai, wakil ketua Thian-te-pang, sute dan Ma
Ki Sun, roboh oleh Siu Coan. Akan tetapi Lui Siok Ek yang setia kepada gurunya,
tidak perduli akan bahaya dan dia sudah maju mewakili suhunya. Kini, melihat
bahwa yang menghadapinya bukan Siu Coan, melainkan gadis cantik itu,
hatinya merasa agak lega. Biarpun gadis itu tadi memperlihatkan ilmu ginkang
yang luar biasa, dia tidak merasa gentar seperti kalau harus melawan Siu Coan,
dan dia sudah sudah mencabut pedangnya.
"Singgg...!" Nampak sinar berkilau ketika pedang itu dicabutnya dan diputar-putarnya
di atas kepala membentuk gulungan sinar pedang. Kiki menghadapi Lui Siok
Ek sambil tersenyum mengejek. Ia tidak mengeluarkan pedangnya, melainkan
menghadapi lawan itu dengan tangan kosong, karena begitu melihat gerakan
pedang lawan, walaupun ia tahu bahwa lawannya cukup tangguh, namun ia
merasa kuat untuk menandinginya.
"Majulah!" katanya sambil tersenyum.
"Apa perlunya kau memutar-mutar pedang itu" Di sini tidak ada anak kecil
untuk ditakut-takuti!"
Diejek seperti itu, tentu saja Lui Siok Ek menjadi marah. Dia adalah jagoan
nomor satu di antara semua murid dan anggauta Thian-te-pang, dan kini gadis
yang masih ingusan ini mengatakan bahwa pedangnya hanya pantas untuk
menakut-nakuti anak kecil. Akan tetapi dia adalah seorang gagah, tentu saja
merasa malu kalau harus menyerang seorang gadis muda sekali itu dengan
pedang sedangkan lawannya bertangan kosong.
"Bocah sombong, jangan banyak tingkah. Keluarkan senjatamu dan
tandingi aku!" Kiki memperlebar senyumnya. Tahi lalat di pipinya membuat senyumnya
nampak manis sekali, akan tetapi ucapannya menyengat perasaan lawan.
"Aku tidak biasa mempergunakan senjata terhadap lawan yang tidak
ternama. Majulah dan pergunakan pedangmu, kedua tanganku sudah cukup
untuk menghadapi pisau dapurmu itu."
Muka Lui Siok Ek menjadi semakin merah, matanya melotot. Tidak saja dia
diejek sebagai lawan yang tidak ternama, akan tetapi sekarang pedangnya
malah dikatakan pisau dapur! Padahal, dengan pedangnya ini, entah sudah
berapa puluh lawan roboh olehnya.
"Perempuan lancang mulut! Aku adalah Lui Siok Ek, murid nomor satu di
Thian-te-pang, dan kalau engkau tidak pandai menggunakan senjata, biarlah
kuIawan engkau dengan tangan kosong pula!"
Dia IaIu menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya dan memasang
kuda-kuda dengan sikap gagah di depan Kiki. Mula-mula kedua kakinya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan terpentang Iebar, tangan kiri membentuk cakar ke atas kepala, tangan kanan
ditekuk di depan pusar, kemudian perlahan-Iahan namun dengan sikap tegap
dan dua kakinya membuat gerakan melingkar dan kedua Iengannya juga
membuat silang-silang di depan dada, kemudian kembali kepada posisi
semula, akan tetapi kini lebih dekat di depan Kiki. Gadis ini melihat semua itu
sambil tersenyum geli. "Hanya murid?" Kiki tertawa sambil menutup mulutnya dengan lagak mengejek sekali.
"Sayang, muridku tidak kubawa, kalau ada dia, tentu akan kusuruh dia
melawanmu." "Cerewet! Bersiaplah dan mari kita bertanding, bukan hanya berkicau!"
bentak Lui Siok Ek marah.
"Kaukira sejak tadi aku mengapa" Aku sudah siap sebelum engkau menjual
Iagak. Nah, seranglah!" kata Kiki, akan tetapi tubuhnya tidak membuat gerakan
apa-apa, tidak memasang kuda-kuda seperti umumnya orang hendak berkelahi
atau bersilat. Kiki berdiri begitu saja seenaknya, bahkan tangan kirinya bertolak
pinggang dan sikapnya acuh, seolah-olah ia tidak sedang menghadapi seorang
lawan yang siap menyerangnya, melainkan sedang bercakap-cakap dengan
seorang sahabat yang akrab.
Di antara para anggauta Thian-te-pang yang tentu saja merasa kagum
kepada nona yang cantik manis dan menarik perhatian dengan demonstrasinya
mengambil bendera tadi, diam-diam merasa khawatir sekali. Mereka ini
mengenal Lui Siok Ek, murid kepala yang mewakili ketua Thian-te-pang
mengajarkan ilmu silat kepada mereka, mengenal betapa lihainya orang
pendek itu, dan betapa kadang-kadang kalau marah Lui Siok Ek amat galak dan
dapat bertindak keras dan kejam, mereka tahu bahwa saat itu Lui Siok Ek amat
marah! Dugaan mereka memang benar. Mendengar ejekan dan melihat sikap
yang memandang rendah kepadanya, dia tidak mampu lagi menahan
kesabarannya. "Perempuan sombong, lihat seranganku!"
Berkata demikian, Lui Siok Ek menggerakkan tubuhnya, tangan kiri
menyambar dari atas, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala gadis itu
seperti cakar garuda, sedangkan tangan kanannya membarengi serangan
pertama mengirim totokan ke arah lambung Kiki! Serangan itu hebat sekali,
sekaligus kedua tangan menyerang dan keduanya sama bahayanya, dapat
mendatangkan maut. Melihat serangan yang hebat ini, banyak orang merasa ngeri. Namun, Kiki
masih tetap tersenyum dan masih berdiri seenaknya, seolah-olah tidak
mengenal datangnya bahaya maut. Akan tetapi, setelah kedua tangan lawan
tiba dekat, tangan kirinya yang tadi bertolak pinggang, tiba-tiba mencuat ke
atas dan jari tangannya yang kecil mungil menyambut datangnya cengkeraman
itu dengan totokan ke arah pergelangan tangan, sedangkan tangan kanannya
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah meluncur ke depan, kedua jari
telunjuk dan tengah sudah menusuk ke arah mata lawan, sedangkan totokan
tangan lawan dielakkannya dengan menggoyang pinggulnya sehingga
lambung yang ditotok berpindah tempat!
Gerakannya cepat bukan main sehingga Lui Siok Ek mengeluarkan seruan
kaget sekali. Bukan hanya lengan kirinya terancam totokan, akan tetapi juga
sepasang matanya bisa menjadi buta kalau terkena tusukan dua jan tangan itu!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Terpaksa dia lalu menarik kembali tangan kirinya dan melempar tubuh ke
belakang sehingga terhindar dari bahaya, akan tetapi dia harus berjungkir balik
sampai dua kali untuk menghindarkan serangan susulan lawan. Ketika dia
sudah berdiri lagi dalam jarak yang agak jauh, ternyata gadis itu sama sekali
tidak mengejarnya, dan masih berdiri seperti tadi, seenaknya dengan tangan
kiri bertolak pinggang dan mulut tersenyum.
"Heii"! Engkau ini hendak bertanding ataukah mau main sirkus!" Kiki
mengejek. "Baru segebrakan saja sudah mau melarikan diri!"
Lui Siok Ek tidak menjawab, melainkan mengeluarkan suara menggereng
marah dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, langsung mengirim pukulanpukulan keras bertubi-tubi, seolah-olah lupa bahwa yang diserangnya secara
hebat itu hanyalah seorang gadis muda. Akan tetapi Kiki memperlihatkan
kelihaiannya. Ginkangnya sudah menjadi hebat bukan main semenjak ia
mewarisi Ilmu Hui-thian Yan-cu dari kitab peninggalan Tat Mo Couwsu, dan
kini dengan enak saja ia berlompatan ke sana sini, menggeser kaki dan tidak
pernah menangkis, melainkan hanya mengelak namun tidak ada sebuahpun
pukulan yang dapat mengenai sasaran, bahkan menyentuh ujung
pakaiannyapun tidak. Papan panggung itu sampai mengeluarkan bunyi
berkeretakan ketika Lui Siok Ek terus mendesak dengan serangan-serangan
yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Makin lama, semakin
hebat pula serangannya karena ia semakin penasaran melihat betapa semua
serangannya mengenai tempat kosong belaka.
Mereka berputar-putar di panggung itu, Kiki masih tersenyum-senyum
sambil melangkah mundur, meloncat ke samping, kadang-kadang tubuhnya
mencelat ke atas sedemikian cepatnya hingga lawan menjadi bingung, dan
ketika lawan membalikkan tubuh, ternyata ia sudah berada di depannya.
Semua mengikuti pertandingan ini dengan hati tegang dan kagum, kadangkadang ada saja murid Thian-te-pang yang tidak dapat menahan ketawanya
mehhat betapa Lui Siok Ek kebingungan karena kehilangan lawan yang tibatiba saja lenyap dari depannya dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya!
Setelah puas mempermainkan lawan, tiba-tiba terdengar suara gadis itu
membentak nyaring. "Berlututlah kau!"
Semua orang terbelalak karena melihat benar-benar Lui Siok Ek
menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu! Sihirkah ini" Akan tetapi bagi Lui
Siok Ek, sama sekali bukan sihir, karena ujung sepatu Kiki mencium lututnya
dan tentu saja kakinya menjadi lemas seketika dan tertekuk lututnya di depan
gadis itu. Lututnya tidak terluka, hanya lumpuh untuk beberapa detik saja. Hal
ini membuat Siok Ek semakin marah. Dicabutnya pedang dari sarung, dan
tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan serangan maut dengan
pedangnya, kini tidak perduli lagi bahwa gadis itu sama sekali tidak
memegang senjata. Semua menahan napas, ngeri membayangkan betapa tubuh gadis itu akan
koyak-koyak dan darah akan muncrat dari tubuh yang menggairahkan itu. Akan
tetapi, biarpun kini Lui Siok Ek mempergunakan pedang untuk menyerang
bertubi-tubi dengan cepat, ujung pedangnya tak pernah mampu menyentuh
kulit badan Kiki. Gadis ini mampu bergerak Iebih cepat lagi, mengelak ke sanasini bagaikan sehelai bulu yang bergerak menghindar seperti tertiup oleh angin
gerakan pedang, sehingga tubuh itu sudah mengelak sebelum tusukan atau
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bacokan tiba! Dan karena pedang itu gerakannya cepat, sedangkan gerakan
Kiki Iebih cepat lagi, maka tubuh gadis itu lenyap berubah menjadi bayangan
yang berkelebatan di antara gulungan sinar pedang. Sungguh merupakan
pemandangan yang mentakjubkan dan terdengar seruan-seruan kaget dan
kagum. Sekarang Kiki tidak mau membuang waktu dengan main-main lagi. Juga
harus diakuinya bahwa permainan pedang lawan cukup berbahaya, maka
iapun mengeluarkan kepandaiannya. Ketika terdengar ia mengeluarkan
bentakan nyaring, tahu-tahu jari tangannya telah berhasil menotok pundak
kanan lawan. Seketika Iumpuh lengan kanan Siok Ek dan pedang yang
dipegangnya sudah berpindah tangan. Sebelum dia dapat mengelak, kaki Kiki
sudah menendangnya dengan keras.
"Dukkk...!" Tubuh Siok Ek terlempar sampai hampir terpelanting ke bawah panggung.
Dia tidak terluka, dan kemarahan membuat mukanya berubah pucat. Dia telah
dikalahkan oleh seorang gadis muda di depan gurunya dan semua anggauta
Thiari-te-pang. Rasa malu membuat kemarahannya memuncak dan
menggeIapkan pikirannya. Sambil berteriak seperti gila, dia bangkit dan Iari
menerjang Kiki dengan gerakan buas, tidak terkendali kesadarannya lagi,
melainkan penuh dengan dorongan kemarahan yang membuatnya mata gelap.
"Aughhhhhh!" Dia menerjang dan teriakan yang keluar dari mulutnya seperti gerengan
seekor binatang buas. Melihat ini, Kiki meloncat dengan elakan manis.
"Lui Siok Ek, engkau sudah kalah, kenapa nekat?" bentak Kiki.
Kiki sekarang tidak main-main dan suaranya penuh wibawa ketika ia
membentak dari sudut lain panggung itu. Akan tetapi, ketika tubrukannya
luput, Siok Ek menjadi semakin beringas. Teriakan Kiki tidak dijawabnya, dan
ia lari untuk menyerang lagi. Melihat ini, Kiki menggerakkan tangannya dan
pedang rampasannya itu meluncur dengan cepat sekali menyambut tubuh Siok
Ek yang sedang lari menerjang dengan buasnya.
"Capp! Arrgghhhh"!"
Pedang itu menancap dan menembus dari dada ke punggung. Mata Siok Ek
terbelalak dan tubuhnya terhuyung-huyung lalu terjungkal keluar dan
panggung, tewas di bawah panggung. Mayatnya segera dibawa keluar oleh
para anggauta Thian-te-pang.
"Keparat Ong Sui Coan!"
Kini Ma Ki Sun menjadi marah sekali. Marah dan berduka, karena murid
yang paling diandalkan itu tewas. Begitu membentak, dia menyerang Siu Coan,
tangan kiri berusaha merampas bendera, tangan kanan mencengkeram ke arah
leher. Siu Coan cepat mengelak. Berkali-kali dia harus mengelak karena lawannya
menyerang secara bertubi-tubi. Dia lalu meloncat ke dekat Kiki dan
menyerahkan bendera itu kepada gadis yang kini memegang bendera dan
berdiri di sudut. Setelah menyerahkan bendera itu kepada Kiki, Siu Coan
menghadapi Iawannya, dan begitu dia diserang dengan pukulan tangan kanan
ke arah perutnya, dia menangkis dan balas menyerang, dan kini serangmenyerang terjadi dengan amat serunya.
Perkelahian sekali ini berbeda dengan tadi. Tingkat kepandaian Lui Siok
Coan jauh sekali berada di bawah tingkat kepandaian Kiki, sehingga
perkelahian tadi terjadi berat sebelah dan Kiki dapat memperoleh kemenangan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dengan mudah sekali. Akan tetapi, Ma Ki Sun tidak boleh disamakan dengan
murid kepala tadi. Tingkat kepandaiannya Iebih dari dua kali lipat tingkat Siok
Ek. Kakek ini pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan It-gan
Lam-eng. Hampir dua tahun yang lalu, Ma Ki Sun pernah dikalahkan oleh Siu
Coan ketika pemuda ini berhasil membunuh Coa Bhok, wakil ketua Thian-tepang. Dan semenjak kekalahannya itu, Ma Ki Sun menjadi pendiam dan dia
memperdalam ilmu silatnya. Kini, dia telah memperoleh banyak kemajuan, dan
walaupun dia belum dapat mengimbangi kehebatan Siu Coan, setidaknya dia
sudah merupakan lawan yang cukup tangguh bagi pemuda itu.
Tadinya Siu Coan tidak termaksud merampas Thian-te-pang dengan
kekerasan, tidak harus membunuh para pemimpinnya, cukup dengan
menaklukkannya saja. Akan tetapi, diapun tidak menyalahkan Kiki yang telah
membunuh Siok Ek,karena orang itu terlalu mendesak. Sekarang setelah Siok
Ek terbunuh, mau tidak mau dia harus membunuh pula Ma Ki Sun. Hal ini untuk
melenyapkan orang yang menaruh dendam. Dia tahu bahwa Thian-te-pang
yang berkuasa hanyalah dua orang itu, dan kalau mereka terbunuh, tentu yang
lain akan menakluk. Apalagi dia tadi melihat bahwa banyak di antara para
anggauta yang berpihak kepadanya. Maka ketika Ma Ki Sun menyerangnya
dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, diapun menyambut dengan serangan
yang tak kalah Iihainya. Dua orang itu berkelahi dengan sungguh-sungguh, akan tetapi setelah


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lewat Iimapuluh jurus, Ma Ki Sun mulai terdesak hebat oleh Siu Coan.
Bagaimanapun juga, Ma Ki Sun sudah berusia enampuluh tahun Iebih
sedangkan Siu Coan adalah seorang pemuda yang sedang kuat-kuatnya. Ketua
Thian-te-pang itu kalah dalam segala-galanya, kalah lihai ilmu silatnya, kalah
kuat tenaganya dan juga kalah panjang napasnya. Setelah lewat Iimapuluh
jurus, ketua itu terdesak dan hanya mampu menangkis dan mengelak saja.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siu Coan yang terus mendesaknya, dan
pada suatu kesempatan yang baik, Siu Coan berhasil memasukkan tangannya
yang terbuka dan miring menghantam dada lawan.
"Bukkk!" Tubuh itu terjengkang. Ma Ki Sun tewas seketika karena pukulan tangan
yang ampuh tadi telah merusak isi dada termasuk jantungnya. Pukulan itu
menggetarkan isi dada, juga mengandung hawa panas yang sukar ditahan.
Para anggauta yang berpihak kepada Ma Ki Sun kelihatan marah dan
beringas, akan tetapi Siu Coan cepat mengangkat bendera yang diambilnya
dari tangan Kiki tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil berseru keras.
"Semua anggauta Thian-te-pang, pandanglah bendera kita ini!"
Siu Coan mengibar-ngibarkan bendera itu.
"Ma-pangcu telah tewas dalam perkelahian yang adil, dan kini akulah yang
akan memimpin kalian, membawa Thian-te-pang kembali ke jalan gagah
perkasa seperti yang kita semua kehendaki. Aku akan membentuk pasukan
besar dan kalian akan memperoleh kedudukan yang sesuai dengan
kemampuan kalian. Thian-te-pang akan menjadi perkumpulan terbesar dunia,
dan kita akan menumbangkan kekuasaan penjajah dan mengusir orang-orang
kulit putih dari tanah air."
Mereka yang berpihak kepada Siu Coan, bersorak-sorak, sedangkan mereka
yang masih ragu-ragu, saling pandang. Mereka ini maklum bahwa kalau
mereka memberontak, akhirnya mereka semuanya akan terbasmi. Anak buah
Siu Coan telah mengepung mereka dengan anak panah dan senjata api!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Saudara-saudara yang merasa tidak cocok dan tidak mau bekerja sama
dengan kami, tidak dipaksa dan dipersilahkan meninggalkan Thian-te-pang.
Kami tidak akan mengganggu asalkan kalian juga tidak mengganggu Thian-tepang. Akan tetapi ingat, kalian akan ketinggalan kalau tidak mau bekerja sama
dengan kami, karena Thian-te-pang kelak akan menjadi perkumpulan para
pejuang terbesar di tanah air."
Akhirnya, hanya belasan orang saja yang meninggalkan Thian-te-pang, dan
para anggauta yang lain menerima Siu Coan sebagai ketua mereka yang baru!
Dengan cerdiknya, Siu Coan lalu membagi-bagikan harta peninggalan Ma
Ki Sun yang tidak berkeluarga itu kepada para anggauta Thian-te-pang. Dia
sendiri tidak membutuhkan harta yang baginya tidak berapa artinya itu,
dibandingkan dengan harta karun yang diperolehnya di tempat rahasia, harta
karun yang menjadi rahasia Giok-liong-Kiam.
Demikianlah, bersama Kiki yang selalu mendampinginya, Siu Coan mulai
menyusun kekuatan. Banyak perkumpulan yang didatangi dan ditaklukkan,
baik secara halus maupun kasar, untuk bergabung dengannya dan
memperkuat pasukan yang sedang disusunnya. Untuk ini, tentu saja dia
mengeluarkan banyak biaya, akan tetapi hal itu dapat dicukupkan dengan
adanya harta karun Giok-liong-kiam.
-------Kita tinggalkan dulu Ong Siu Coan yang berambisi besar dan kini sedang
memperlebar sayapnya, dan mari kita ikuti perjalanan Lian Hong. Lian Hong
yang patah hati, Lian Hong yang merana karena cintanya gagal!
Kenapa begitu banyak manusia di dunia ini yang merasa patah hati, yang
berduka karena cinta" Mengapa cinta kasih kita ini hanya mendatangkan
kebahagiaan sebentar, lalu berubah menjadi kekecewaan dan kedukaan"
Mengapa" Pertanyaan ini amat penting untuk diselidiki, dan yang dapat
melakukan penyelidikan secara tepat hanyalah mereka yang terlanda derita
patah hati atau karena cinta gagal ini.
Kenapa cinta harus gagal" Kata "gagal" ini saja sudah menunjukkan
habisnya suatu "keinginan", dan karena keinginan itu tidak tercapai maka
dinamakan gagal. Akan tetapi, haruskah cinta berdampingan dengan suatu
keinginan" Biasanya, kalau orang jatuh cinta, maka dia ingin agar orang yang
dicintanya itu membalas cintanya, kemudian menjadi miliknya! Kalau sudah
begini, tentu saja timbul kemungkinan lain, yaitu kegagalan!
Dan segala macam bentuk pengejaran untuk memenuhi apa yang
diinginkan, selalu membuahkan kebosanan dan kekecewaan kalau gagal.
Siapakah yang memiliki keinginan itu" Aku! Bagaimana terciptanya aku"
Karena kesenangan, pengalaman yang menyenangkan bersarang di dalam
ingatan, akan muncullah keinginan untuk mengulang kesenangan itu kembali.
Aku adalah keinginan untuk senang, aku adalah takut untuk mengalami hal-hal
yang tidak menyenangkan. Aku dan keinginan tidak pernah terpisah, karena
kalau tidak ada keinginan, tidak ada rasa takut, akupun tidak pernah ada.
Kita sendiri yang membuat cinta kasih menjadi sesuatu yang
menyenangkan, menjadi suatu alat untuk menyenangkan diri sendiri. lnilah
sebabnya mengapa banyak terjadi kedukaan dalam cinta. Padahal, cinta yang
mendatangkan duka itu bukan lagi cinta namanya, melainkan kesenangan. Kita
kehilangan sumber kesenangan itu, maka kecewalah kita, dukalah kita.
Kuburan itu sunyi sekali. Malam itu terang bulan. Dunia nampak indah
bukan main bermandikan cahaya bulan purnama. Segala sesuatu nampak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan keemasan dan kehijauan. Tiada awan menghalang bulan. Keindahan yang
penuh rahasia, keindahan yang membuat setiap orang kalau keluar rumah
menjadi termenung. Namun Lian Hong tidak melihat keindahan itu. Ia sedang
tenggelam ke dalam kedukaan, tenggelam ke dalam lautan air mata. Ia sedang
menangis di depan kuburan orang tuanya!
Duka adalah hasil permainan pikiran yang mengingat-ingat hal yang telah
lalu. Seperti rasa takut yang menjadi permainan pikiran mengingat dan
membayangkan hal yang belum datang, duka juga merupakan permainan
pikiran belaka. Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah kembali keadaan yang
lalu, menimbulkan iba diri dan pikiran membayangkan betapa sengsaranya
diri. Pikiran seperti mengubah diri menjadi tangan jari-jari kejam meremas hati,
maka keluarlah tangis dan keluh kesah.
Demikian pula dengan keadaan Lian Hong yang kini berlutut di depan
makam ayah ibunya sambil menangis. Gadis ini sejak kecil digembleng oleh
orang sakti dan memiliki batin yang kuat, gagah dan biasanya pantang untuk
menangis. Biarpun ia seorang wanita, namun berkat gemblengan San-tok yang
sakti dan aneh, ia telah menjadi seorang gadis yang menganggap bahwa
tangis hanya merupakan tanda kelemahan saja. Akan tetapi sekali ini, ia
menangis sesenggukan di depan makam ayahnya. Pikirannya melayang-layang
membayangkan keadaan dirinya yang
penuh sengsara. Sejak kecil
ditinggalkan mati ayah ibunya, dan sekarang ia kehilangan Ci Kong, satusatunya orang di dunia ini yang dicintanya setengah mati! Ci Kong ternyata
mencinta gadis lain! Ia merasa kehilangan, ia merasa kesepian!
Beginilah cinta kita pada umumnya. Aku yang penting, bukan si dia! Aku
kehilangan, aku kesepian, tentu saja aku kecewa, aku berduka. Ini berarti
bahwa aku hanya menyayang diriku sendiri!
Sudah sejak siang tadi Lian Hong merenungi keadaan dirinya di depan
kuburan ayah ibunya, kadang-kadang menangis, kadang-kadang hanya duduk
diam seperti patung. Diraihnya kini buntalannya yang hanya berisi beberapa
potong pakaian, dan ketika dibukanya, nampak sebatang pedang yang amat
indah di dalamnya. Dikeluarkannya pedang itu. Giok-liong-kiam! Pedang Naga
Kemala yang pernah menggegerkan seluruh tokoh persilatan yang hendak
memperebutkannya. Sebuah pedang pusaka yang dijadikan rebutan karena
menyembunyikan pusaka harta karun yang tak terhitung besarnya. Akan tetapi
kini harta karun itu telah lenyap, peti yang ditemukan atas petunjuk yang ada
pada pedang itu telah kosong, isinya telah diambil orang lain. Yang ada tinggal
pedang itu. Ia berhak memiliki pedang pusaka itu.
Dan kini Lian Hong memegang pedang itu dengan kedua tangannya.
Sebatang pedang indah yang sudah seringkali dikaguminya. Ia seringkali kalau
memandangi dan mengagumi pedang itu, membayangkan betapa ia akan
memberikan pedang itu kepada suaminya, kepada Ci Kong kalau sudah
menjadi suaminya! Akan tetapi sekarang harapannya musnah, yang ada
tinggal pedang itu yang berkilauan di depannya, seperti mentertawakannya,
seperti mengejeknya. Tiba-tiba timbul suatu dorongan hasrat gila. Lian Hong memegang gagang
pedang dengan tangan kanannya. Pedang ini terbuat dan batu kemala yang
mahal dan indah, tak pernah dipakai untuk bertanding karena ia khawatir
pedang itu akan rusak. Namun, kalau dipakai membunuh diri tentu bisa!
"Ihhh! Pengecut!"
Lian Hong memaki diri sendiri, dan cepat-cepat ia memasukkan pedang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pusaka itu kembali ke dalam sarung pedang dan memegangi benda itu dengan
kedua tangannya. Bayangan yang sejak tadi mengintainya dari jauh dari balik sebatang pohon
besar itu, tiba-tiba muncul dan terdengar suaranya menegur.
"Hong Hong" apakah engkau sudah menjadi gila?"
Lian Hong terkejut dan cepat mengangkat muka. Dilihatnya seorang kakek
kurus dengan baju tambal-tambalan, matanya sipit tersenyum-senyum lebar
sambil mengipasi tubuhnya dengan sebuah kipas butut, telah berdiri di dekat
makam ayah ibunya. "Suhu!" Lian Hong berseru dan kembali kedukaannya datang menerpanya,
sehingga ia menubruk kaki gurunya sambil menangis lagi.
"Eh, eh" apakah engkau benar sudah gila" Sejak tadi menangis,
termenung, bahkan mau membunuh diri!"
Kakek itu memandang kepada muridnya dengan terheran-heran. Dia
mengenal muridnya sebagai seorang gadis yang keras hati, tabah dan pantang
menangis, dan sekarang apa yang dilihatnya" Seorang gadis yang cengeng dan
lemah sekali! "Suhu" ah, suhu" bunuh saja aku" aku tidak kuat rasanya menanggung
derita batin ini!" Lian Hong menangis sambil merangkul kedua kaki gurunya.
"Bangkitlah, duduklah yang benar!"
Tiba-tiba kakek itu membentak dan diapun duduk di atas rumput di depan
makam, berhadapan dengan muridnya. Sinar bulan purnama menyinari wajah
muridnya yang pucat kehijauan, dan semakin kagetlah hati kakek itu. Akan
tetapi sekali ini dia tidak tersenyum melainkan mengerutkan alis dan
suaranyapun terdengar bengis.
"Apa yang kulihat dan dengar ini" Benarkah engkau ini Lian Hong muridku"
Ataukah hanya seorang gadis lemah yang cengeng" Hong Hong, aku gurumu,
juga pengganti orang tuamu yang sudah di kubur di sini. Kalau ada sesuatu,
rundingkanlah dengan aku, bukan ditangisi seperti perempuan cengeng di
depan kuburan orang tuamu. Apa kaukira orang tuamu yang sudah dikubur ini
akan dapat menolongmu kalau engkau menghadapi kesulitan" Hayo ceritakan,
apa yang membuat engkau menjadi seperti orang gila ini?"
Mendengar suara gurunya, Lian Hong terkejut dan hal ini menolongnya.
Gurunya selalu bicara sambil tertawa dan seperti orang yang tidak pernah
bersikap serius, akan tetapi sekali ini suhunya demikian ketus dan bengis. Hal
ini mengejutkannya dan seperti menyeretnya turun kembali ke dalam dunia
kenyataan, bukan dunia yang penuh bayangan yang membuatnya iba diri dan
berduka tadi. Teringatlah ia betapa ia menangis secara keterlaluan sejak sore
tadi dan iapun melihat kenyataan betapa cengengnya ia, betapa biasanya ia
akan memandang rendah sikap cengeng seperti itu. Iapun sadar dan
mengambil keputusan untuk berterus terang kepada gurunya yang memang
benar menjadi pengganti orang tuanya karena ia tidak mempunyai siapapun
lagi di dunia ini. Maka iapun duduk berhadapan dengan suhunya, menahan
isak terakhir dan menghapus titik air terakhir di sudut matanya dengan lengan
bajunya yang sudah basah.
"Suhu, aku telah jatuh cinta?"
"Ha-ha-ha-ha!" Meledaklah suara ketawa kakek itu. Mendengar suara dan pengakuan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan muridnya, mengertilah San-tok bahwa muridnya sudah sembuh dan hatinya
merasa lega, juga dia merasa geli mendengar pengakuan itu sehingga suara
ketawanya memotong keterangan muridnya.
"Jatuh cinta saja sampai membuat engkau menangis dan berduka.
Bukankah sepatutnya engkau tertawa gembira?"
Lalu dia menambahkan cepat.
"Siapakah pria yang beruntung memperoleh cintamu itu?"
"Dia Tan Ci Kong?"
"Ha-ha-ha!" Kembali meledak suara ketawa kakek itu.
"Cocok, cocok" memang akupun ingin sekali engkau berjodoh dengan
murid Siauw bin-hud itu. Dia memang seorang pemuda yang gagah dan patut
menjadi suamimu. Akan tetapi.... eh, kenapa tadi engkau menangis dan ingin
mati, padahal engkau jatuh cinta kepada Ci Kong?"
"Dia dia mencinta gadis lain, suhu?"
Sedih sekali rasa hati Lian Hong, akan tetapi sekarang ia telah sadar dan
kuat sehingga tidak lagi menangisi walaupun mulutnya cemberut menandakan
kekesalan hatinya. Kali ini San-tok yang meloncat ke atas, berdiri sambil
melototkan matanya yang sipit dan membanting-banting kaki.
"Apa kaubilang" Dia berani menolak cintamu" Keparat!"
"Dia tidak menolak, suhu."
"Lebih gila lagi! Dia cinta padamu, akan tetapi berani mencinta lain
perempuan?" "Tidak, suhu, tidak begitu?"
"Dia mencintamu, bukan?"
"Aku tidak tahu..."
"Ehhh" Engkau cinta padanya, dan engkau belum tahu apakah dia cinta
padamu ataukah tidak" Sungguh aneh dan gila. Coba kuulangi" engkau
mencinta Ci Kong akan tetapi engkau tidak tahu apakah dia cinta padamu atau
tidak, kemudian engkau mengetahui bahwa dia mencinta gadis lain dan hatimu
lalu menjadi sengsara dan engkau menangis di sini. Begitukah?"
Lian Hong menganggukkan kepalanya. Setelah kini gurunya membicarakan
urusan itu dengan suara datar saja tanpa perasaan, nampak olehnya betapa
sikapnya memang mendekati gila. Mengapa urusan begitu saja membuat ia
tadi menangis seperti anak kecil, bahkan ingin membunuh diri"
Tiba-tiba kakek itu berkata dengan suara lantang.
"Kenapa engkau begini bodoh" Pergi dan bunuh perempuan yang
dicintanya itu!" Lian Hong tidak kaget mendengar ini. Ia sendiri pernah mendatangi Ceng
Hiang dan ingin membunuhnya! Memang tidak ada lain jalan, tentu
demikianlah sikap gurunya. Ia menggeleng kepalanya.
"Wanita itu tidak bersalah, suhu" dan iapun belum tentu mencinta Ci
Kong, dan pula, aku tidak sanggup mengalahkannya."
San-tok membelalakkan matanya mendengar bahwa wanita yang dicinta
Ci Kong itu sedemikian lihainya sehingga Lian Hong tidak mampu
mengalahkannya! "Wah, kalau begini katakan dimana ia, aku yang akan membunuhnya!"
Namun Lian Hong menggeleng kepala.
"Tidak guru, aku tidak ingin demikian. Apa artinya membunuhnya kalau Ci
Kong tetap saja tidak cinta padaku?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Apakah Ci Kong sudah pasti tidak cinta padamu?"
"Aku tidak tahu, suhu."
"Engkau tidak pernah bicara tentang cinta dengan dia?"
"Tidak pernah. Tadinya aku menyangka dia cinta padaku, melihat dari
pandang matanya, bicaranya dan sikapnya. Akan tetapi kemudian, aku melihat
sendiri betapa dia jatuh dnta kepada gadis lain."
"Wah, ini seperti main teka-teki saja. Tidak baik membiarkan diri dalam
keraguan. Hayo bangkit berdiri dan ikut aku!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke" kemana, suhu?" tanya Lian Hong tergagap, akan tetapi ia
mengumpulkan pedang dan buntalan pakaiannya.
Lian Hong lalu bangkit berdiri dan tanpa disadarinya, ada isak terlepas dari
dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang membuat dadanya menjadi lega.
Rasanya plong seperti ada ganjalan yang diambil dari dalam dadanya. Diamdiam kakek itu merasa iba kepada muridnya. Wajah yang cantik itu memang
kelihatan agak kurus, mukanya pucat sehingga mata yang biasanya sudah
lebar itu menjadi semakin lebar. Dia tahu bahwa muridnya memang menderita
hebat selama beberapa hari ini, dan kalau tidak cepat ditolong, mungkin saja
akan jatuh sakit. "Kita mencari Siauw-bin-hud dan muridnya!"
"Tapi?" Lian Hong meragu dan terkejut, karena mengira bahwa gurunya akan
membuat gara-gara. Kalau gurunya menyerang Siauw-bin-hud, mana mungkin
gurunya akan menang" Pula, ia merasa malu kalau harus memaksa Ci Kong
menerima dirinya. Tidak, ia tidak akan mengemis cinta!
"Tidak ada tapi! Tidak baik membiarkan diri tenggelam dalam keraguan.
Sebaiknya kalau kita berterus terang saja. Aku akan meminang Ci Kong
untukmu. Tinggal diterima atau tidak, akan tetapi ada ketentuan, tidak seperti
keadaan hatimu sekarang ini, penuh keraguan tidak menentu. Hayo!"
Kakek itu membalikkan tubuh dan melangkah lebar. Lian Hong masih raguragu, akan tetapi kedua kakinya melangkah dan iapun mengikuti gurunya.
Biarlah, pikirnya. Ia akan menurut saja kepada gurunya. Mungkin ini lebih baik
dari pada merana seorang diri. Memang sebaiknya ada ketentuan. Dan
hatinyapun mulai terhibur.
Dengan melakukan perjalanan cepat, San-tok dan Lian Hong tiba di kaki
pegunungan dimana terdapat kuil Siauw-lim-si di puncaknya itu, dan berhenti
mengaso karena telah beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan
yang cukup jauh. Melihat suhunya yang biasanya ramah dan suka tertawa itu, tiba-tiba
kehihatan termenung, Lian Hong menjadi heran.
"Suhu, ada apakah" Suhu kelihatan seperti orang melamun."
Heran sekali. Kakek itu menarik napas panjang, hal yang jarang sekali dia
lakukan. Alisnya berkerut dan dia menjawab, suaranya berat.
"Aku memang sedang melamun dan hatiku sedih karena aku teringat
kepada Diana yang pernah ikut bersamaku naik ke bukit ini, Hong Hong."
Karena ia sendiri terlalu terbenam ke dalam masalahnya sendiri, baru
sekarang Lian Hong teringat kepada Diana.
"Ah, dimana ia sekarang, suhu" Apakah suhu meninggalkannya seorang
diri saja di puncak Naga Putih?"
Kakek itu menggeleng kepala.
"Tidak, Hong Hong. Diana telah mengajak aku turun gunung, dan gadis itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memang tidak mengecewakan sekali menjadi muridku. Ia telah bertekad untuk
membujuk para pimpinan pasukan orang kulit putih untuk tidak memusuhi para
pejuang!" "Ahhh?" Lian Hong terkejut sekali.
"Dan ia hampir saja menjadi korban dalam usahanya itu. Ia terjebak dan
hampir celaka, tidak berdaya karena ditodong. Untunglah, dalam keadaan
terjepit itu muncul seorang bintang penolong yang tak disangka-sangka."
"Suhu, apakah yang telah terjadi dengan Diana" Dimana ia sekarang?"
Lian Hong bertanya penuh kekhawatiran. San-tok lalu menceritakan
pengalamannya bersama Diana. Betapa dia mengantar Diana sampai ke
Kanton, dan gadis yang gagah perkasa itu berusaha untuk menjelaskan kepada
para pimpinan pasukan kutit putih bahwa para pejuang bukanlah banditbandit seperti yang mereka sangka, melainkan orang-orang gagah yang
memperjuangkan hak mereka membebaskan tanah air dan bangsa dari
cengkeraman penjajah Mancu. Betapa kemudian Diana terjebak oleh seorang
komandan kulit putih dan hampir saja celaka kalau tidak muncul seorang
perajurit yang ternyata adalah kekasih Diana yang pernah berpisah karena
dipisahkan orang tua. Betapa kemudian, kekasih Diana itu menembak mati si
komandan yang kurang ajar, dan betapa dua orang muda itu terancam bahaya
karena telah membunuh komandan.
"Di situ aku lalu turun tangan. Kuakui bahwa akulah pembunuh komandan
itu, dan aku lalu mengamuk dan melarikan diri. Dengan demikian, Diana dan
kekasihnya akan terbebas dari tuduhan membunuh komandan," kata kakek itu,
dan nampaknya puas bahwa dia telah dapat menolong murid yang
disayangnya itu. "Lalu sekarang dimanakah Diana, suhu?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang.
"Kalau aku tidak terlalu sayang padanya, tentu akan kutahan ia agar jangan
meninggalkan negeri ini. Akan tetapi, aku tidak tega. Ia telah bertemu kembali
dengan kekasihnya. Ah, tahukah engkau, Hong Hong, bahwa gadis itupun
pernah jatuh cinta kepada Ci Kong?"
Lian Hong mengangguk. Sudah diduganya akan hal itu dan kenyataan itu
bahkan makin menyedihkan hatinya. Ci Kong terlalu baik sehingga banyak
gadis yang jatuh cinta kepadanya.
"Akan tetapi, dimana ia sekarang?"
"Ia telah pergi jauh sekali ke negeri barat, ke negerinya sendiri. Aku sempat
melihatnya naik ke kapal. Akan tetapi hanya ia saja yang tahu bahwa aku
mengantar kepergiannya. Aku menjadi orang buruan mereka. Ia berangkat
bersama kekasihnya, menempuh hjdup baru, ataukah kembali kepada hidup
lama" Setidaknya, ia ke sana untuk terus berjuang dengan caranya sendiri,
yaitu membujuk pamerintah bangsanya agar lebih menghargai para pejuang."
Dara itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa agak kecewa dan juga
merasa rindu kepada Diana yang disayangnya. Sama sekali tak disangkanya
bahwa Diana telah pergi, dan agaknya tidak ada kemungkinan untuk dapat
bertemu kembali dengan gadis itu!
Mereka langsung menuju ke sebuah guha di belakang kuil Siauw-lim-pai,
sebuah guha besar di puncak bukit itu dimana Siauw-bin-hud biasanya tinggal
atau bertapa. Ketika mereka tiba di sana, San-tok melihat bahwa Siauw-binhud sedang menerima seorang tamu yang bukan lain adalah Tee-tok! Melihat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan munculnya San-tok, Siauw-bin-hud tertawa.
"Heh-heh-heh, sungguh beruntung sekali engkau, San-tok. Pinceng baru
saja kembali kemarin dan sudah harus menerima tamu-tamu agung. Engkau
lebih beruntung dari pada Tee-tok yang harus menanti kembaliku sampai satu
minggu di sini." Kakek itu memandang kepada Lian Hong dan mengangguk-angguk.
"Muridmu itu semakin cantik dan gagah saja, San-tok. Mari, silahkan
duduk." "Ha-ha, engkau melihat muridku semakin cantik dan gagah, Siauw-binhud" Bagus, kalau begitu, engkau tentu setuju kalau aku ingin menjodohkan
muridku dengan muridmu, Tan Ci Kong! Aku datang untuk membicarakan
urusan perjodohan itu denganmu, hwesio tua!"
Tiba-tiba Tee-tok yang sejak tadi diam saja, meloncat berdiri.
"Iblis Gunung tak tahu malu! Selalu engkau menjadi penghalang!
Kedatanganku jauh lebih dulu darimu. Sudah seminggu aku di sini dan baru
saja aku sempat bertemu dengan hwesio tua ini yang sejak kedatangannya
kemarin mengeram saja di kuil. Dan akupun tadi sedang membicarakan urusan
perjodohan antara Ci Kong dengan muridku, Kui-Eng."
San-tok terbelalak, lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sampai lupa aku bahwa ada manusia lain di sini. Tee-tok, apa
salahnya kita berdua sama-sama melamar" Keputusannya tergantung kepada
Siauw-bin-hud, bukan" Kalau dia setuju kepada muridku jodoh muridnya,
engkau mau apa?" "Keparat! Engkau memandang rendah kepadaku ya" Kalau lamaranku
sudah ditolak, baru engkau boleh mengajukan lamaran. Sungguh tak tahu malu,
dan kalau engkau tidak cepat pergi bersama muridmu itu, aku akan terpaksa
menghajarmu!" Tee-tok membentak marah.
Biarpun kakek ini pendek kecil kepalanya botak hampir gundul dan
pakaiannya seperti tosu, akan tetapi dia jauh lebih galak dan pada San-tok. Kini,
kakek yang katai ini kelihatan marah sekali dan membusungkan dada
menantang, kelihatan lucu.
"Heh-heh, engkau hendak menghajarku" Tee-tok, sejak dahulu sampai
kapanpun aku tidak pernah takut kepada setan cilik macam kamu. Majulah!"
Tiba-tiba Siauw-bin-hud sudah bangkit dan berada di antara mereka,
sedangkan Lian Hong hanya diam saja, wajahnya berubah kemerahan. Iapun
sudah menduga bahwa Kui Eng juga jatuh cinta kepada Ci Kong! Begitu
banyaknya gadis yang gagah perkasa dan baik-baik jatuh cinta kepada
pemuda itu, seperti dipakai berebut sehingga ia menjadi bingung sendiri.
Dua orang kakek itu tadinya sudah siap untuk saling gebuk, akan tetapi
ketika melihat Siauw-bin-hud berdiri di antara mereka, keduanya menahan diri.
Siauw-bin-hud terkekeh geli.
"Omitohud"! Empat Racun Dunia agaknya sudah berubah menjadi kanakkanak lagi yang suka berkelahi. Kalau beberapa bulan yang lalu, Thian-tok
berkelahi melawan Hai-tok karena urusan perjodohan murid, kini Tee-tok dan
San-tok agaknya tidak mau kalah, siap untuk saling gebuk karena urusan jodoh
murid masing-masing. Seperti pernah kutanyakan kepada mereka, sekarang
aku juga ingin bertanya kepada kalian berdua, kakek-kakek tua bangka yang
sudah terlalu banyak makan garam dunia. Sebenarnya, yang ingin menentukan
jodoh dan menikah itu, kalian sendiri ataukah murid-murid kalian?"
Dua orang kakek itu melongo dan saling pandang, kemudian Tee-tok
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berkata dengan bersungut-sungut.
"Pertanyaan gila! Tentu saja muridku, masa aku setua ini memikirkan
kawin?" "Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud mengoceh tidak karuan. Tentu saja muridku
yang hendak kulamarkan muridmu. Aku sendiri, untuk apa kawin" Memikirkan
kawin saja, bulu tengkukku sudah meremang semua saking ngeninya, ha-haha!" kata San-tok.
"Omitohud" setidaknya kalian dua orang kakek masih memiliki kejujuran
untuk mengaku. Nah, kalau yang hendak memilih jodoh itu munid kalian.
Kenapa kalian berdua yang ribut-ribut" Biarkan murid-murid kita yang
menentukan pilihan hati masing-masing, dan kita ini orang-orang tua hanya
mendengarkan dan merestui saja. Tidakkah begitu sebaiknya. Kalau Ci Kong
dengan murid San-tok saling mencinta, biarlah mereka berjodoh, sebaliknya
kalau Ci Kong saling mencinta dengan murid Tee-tok, biarlah mereka itu
berjodoh." "Muridku mencinta Ci Kong!" kata San-tok cepat.
"Muridku juga!" kata pula Tee-tok.
Lian Hong mendengarkan sambil menundukkan mukanya, bagaimanapun
juga, hatinya terasa malu mendengar percakapan kakek-kakek itu tentang
perjodohannya. "Kalau begitu, serahkan pemilihannya kepada Ci Kong sendiri! Siapa di
antara kedua nona murid kalian yang dicintanya. Kalau Ci Kong tidak mencinta,
bagaimana mungkin dapat dipaksa untuk menikah" Eh, anak baik. Mengapa
engkau tidak langsung saja bertanya kepada Ci Kong dan mengajaknya
menikah kalau kalian saling mencinta" Jangan suruh kakek-kakek sinting ini
mengurus perjodohanmu, akhirnya bahkan akan membikin kacau saja," kata
Siauw-bin-hud kepada Lian Hong sambil tersenyum.
"Tee-tok dan San-tok, dengarlah. Cinta tak mungkin dapat dipaksakan, dan
menurut pendapat pinceng yang bodoh, perjodohan tak mungkin dapat
dilaksanakan dengan baik kalau kedua pihak yang bersangkutan tidak saling
mencinta. Kalau hanya dari sepihak, berarti yang lain terpaksa dan perjodohan
yang dipaksakan hanya dapat terjadi pada binatang saja, bukan pada
manusia." Dua orang kakek itu saling pandang dan mengangguk-angguk. San-tok lalu
menoleh dan berkata kepada muridnya.
"Hong Hong, omongan hwesio ini ceng-li (masuk di akal), maka sebaiknya
kalau engkau terus terang saja bertanya kepada Ci Kong. Eh, hwesio, dimana
sih adanya muridmu yang diperebutkan para gadis itu?"
"Dia tidak berada di sini, entah dimana. Pinceng baru saja pulang dari
menemui berbagai golongan untuk membujuk agar mereka membangkitkan
kembali semangat mereka untuk berjuang. Dan kebetulan sekali pinceng
bertemu kalian di sini. Pinceng melihat bahwa perjuangan menentang penjajah
ini akan menemui banyak kesulitan, apalagi setelah kini orang-orang kulit putih
makin berpengaruh di daratan. Kalau segenap lapisan masyarakat, seluruh
rakyat dan segala golongan, segala suku, segala agama dapat bersatu padu
menentang penjajah, pinceng kira barulah kemerdekaan tanah air dan bangsa
akan benar-benar terlaksana. Dan sudah menjadi kewajiban kita yang tua-tua
ini untuk membangkitkan gairah dan semangat yang muda-muda untuk
bangkit. Nah, pinceng sudah terlalu banyak bicara, maafkan kalau pinceng
sekarang ingin beristirahat."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Setelah berkata demikian, kakek itu begitu saja membalikkan tubuh dan
memasuki guha untuk duduk bersila dan bersamadhi.
"Bagaimana pendapatmu, Tee-tok?"
San-tok bertanya kepada rekannya. Tee-tok mengangguk-angguk.
"Memang hwesio tua bangka itu benar. Kita terlalu meributkan urusan
pribadi, urusan kanak-kanak. Biarkan saja murid kita mengurus persoalan jodoh
masing-masing tanpa kita mencampurinya. Aku akan memberituhu muridku
sekarang juga." Setelah berkata demikian, Tee-tok lalu meloncat dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu. Hanya Lian Hong dan San-tok saja yang masih
berada di luar guha. "Nah, muridku, engkau sudah melihat dan mendengar sendiri semua
percakapan tadi. Memang sebaiknya kalau engkau mencari Ci Kong dan
membicarakan urusanmu itu secara pribadi dan terus terang."
"Suhu, tadinya akupun tidak ada niat sama sekali untuk datang ke sini,
hanya mengikuti kehendakmu saja," kata Lian Hong, bersungut-sungut.
"Kalau memang Ci Kong tidak cinta kepadaku, akupun tidak sudi untuk
mengemis kepadanya, suhu. Biarlah aku akan merawat kuburan kedua orang
tuaku yang kulihat tidak terpelihara. Setelah selesai merawat kuburan, baru
aku akan bergabung lagi dengan para teman pejuang."
San-tok menarik napas panjang.
"Terserah kepadamu, Hong Hong. Hanya pesanku, jangan tenggelam ke
dalam kedukaan. Aku sudah semakin tua, hatiku akan berduka kalau melihat
engkau sengsara, muridku. Aku akan kembali saja ke puncak Naga Putih dan
menghabiskan sisa usiaku di sana, sambil menanti berita darimu."
"Baik, suhu. Kalau terjadi sesuatu yang penting, tentu aku akan menyusul
suhu ke sana." Guru dan murid inipun saling berpisah. Lian Hong kembali lagi ke dusun
Tung-kang di Kanton, sedangkan San-tok atau Bu Beng San-kai kembali ke
puncak Naga Putih di Pegunungan Wuyi-san.
-------"Tan-toako, maafkanlah aku. Demi kebahagiaan kita masing-masing,
terpaksa aku harus berterus terang, dan kuharap saja keterus teranganku ini
tidak begitu menyakitkan hatimu."
Demikian Ceng Hiang mengeluarkan kata-kata dengan halus, pandang
matanya penuh kegelisahan ketika memandang wajah pemuda itu. Pagi itu ia
menemui Ci Kong dan mengajak pemuda itu bercakap-cakap di dalam taman.
Ci Kong juga menatap wajah yang cantik jelita itu dan alisnya berkerut, akan
tetapi dia tetap saja bersikap tenang.
"Ceng-lihiap, sepagi ini engkau memanggil aku untuk mengajak bercakapcakap dan ucapan pertama darimu adalah minta maaf. Sesungguhnya, apakah
yang hendak kaukatakan" Memang aku lebih menyukai kejujuran dan
keterusterangan dari pada mendendam sesuatu dalam hati. Katakanlah, aku
sudah siap untuk mendengar hal yang betapa burukpun."
"Toako, mengenai pernyataanmu malam tadi, sudah kupikirkan masakmasak, karena hal itu menyangkut kehidupanku mendatang. Aku meneliti diri
sendiri, dan sekarang dengan hati terurai, aku dapat mengatakan kepadamu
bahwa yang ada dalam hatiku terhadapmu hanyalah rasa suka dan kagum saja,
toako. Aku" maafkan, aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas
cintamu, karena aku telah bertunangan dengan Yu-koko, yaitu orang yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berusaha menolong ayah melalui pembesar di kota raja. Nah, aku sudah
berterus terang" dan sekali lagi maafkan aku, toako."
Gadis itu memandang wajah pemuda itu yang menjadi pucat sehingga ia


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi tidak tega, lalu menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa kata-katanya
walaupun sudah diatur sebaik-baiknya agar terdengar lembut dan tidak
menyinggung, tetap saja mendatangkan kenyerian yang membuat wajah
pemuda itu menjadi pucat seketika.
Keadaan menjadi hening setelah ia mengeluarkan kata-kata itu. Ceng
Hiang tidak berani mengangkat muka memandang, hanya menunggu dan
rasanya lama bukan main ia menanti jawaban Ci Kong yang tak kunjung tiba,
seolah-olah pemuda itu mendadak kehilangan kemampuannya untuk bicara.
Dan memang demikianlah, pernyataan Ceng Hiang yang terus terang itu
merupakan pukulan batin yang cukup hebat bagi Ci Kong, membuatnya
tertegun dan lidahnya seolah-olah menjadi kaku. Dia hanya menatap wajah
yang menunduk itu dengan hati terasa pedih. Akan tetapi, pemuda
gemblengan ini akhirnya dapat menekan perasaannya dan suaranya terdengar
agak menggetar dan lirih dia bertanya.
"Engkau cinta padanya?"
Ceng Hiang terkejut. Pertanyaan tiba-tiba ini tidak diperhitungkannya
sebelumnya dan ia tertegun, tak mampu menjawab. Akan tetapi ia seorang
gadis yang cerdik dan jujur, maka ia dapat mengatasi rasa kagetnya, dan
dengan menentang pandang Ci Kong yang penuh selidik itu ketika ia
menjawab halus. "Aku tidak tahu, toako, akan tetapi sudah pasti aku akan belajar
mencintanya, atau setidaknya aku akan berusaha untuk membahagiakan orang
yang menjadi suamiku kelak. Engkau tahu, aku adalah seorang gadis yang
masih terikat oleh tradisi kebangsawanan. Tak mungkin bagi seorang gadis
dari golonganku untuk menentukan jodohnya sendiri. Ayahku memilihkan
untukku, dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaan, dan aku tidak
kecewa atas pilihan ayah. Yu-koko adalah seorang pemuda bangsawan yang
amat baik. Kurasa tidak akan sukar bagiku untuk mencintanya kelak setelah dia
menjadi suamiku." Ci Kong mengangguk-angguk. Dia tadi menatap wajah gadis itu penuh
selidik dan dia tahu bahwa gadis itu tidak menyembunyikan sesuatu, bicara
dengan sejujurnya. Dia dapat menghargai sikap gadis itu dan membuat dia
menjadi semakin kagum, akan tetapi juga membuat hatinya terasa semakin
pedih. Dia lalu menarik napas panjang.
"Aku mengerti, lihiap. Aku yakin bahwa pilihan orang tuamu tentu tepat
sekali. Seorang bangsawan seperti engkau ini memang sudah sepatutnya kalau
berjodoh dengan seorang pemuda bangsawan yang kaya raya dan
beikedudukan tinggi pula. Sedangkan aku, ah" biarlah aku menyadari
keadaanku sendiri, lihiap. Maafkan atas kelancanganku semalam. Setelah aku
sadar, aku merasa malu karena sungguh-sungguh aku seorang pemuda yang
tidak tahu diri. Nah, aku mohon diri, lihiap. Aku akan pergi sekarang juga."
"Toako! Apakah engkau tidak berpamit kepada ayah dulu?"
Ceng Hiang terkejut melihat pemuda itu akan pergi begitu mendadak, dan
di dalam hatinya timbul perasaan iba yang mendalam.
"Tidak perlu, lihiap. Tolong agar engkau nanti menyampaikan ucapan maaf
dariku, juga terima kasihku kepada beliau. Selamat tinggal!"
"Nanti dulu, toako1"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ci Kong yang sudah bergerak hendak memutar tubuh itu, berhenti dan
membalikkan tubuhnya memandang wajah gadis itu. Dia melihat ada titik air
mata turun dan kedua mata Ceng Hiang, dan hatinya merasa terharu sekali.
Gadis ini amat baik, terlalu baik. Dialah yang sial dan bukan jodoh gadis ini.
"Tan-toako, aku tidak ingin melihat engkau pergi membawa dendam dan
sakit hati kepadaku."
Ci Kong memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Dendam dan sakit hati" Aihhh, mengapa engkau menduga begitu, lihiap"
Tidak, selamanya aku tidak akan mendendam kepadamu. Aku mengerti
keadaanmu, dan cinta seseorang tak mungkin dapat dipaksakan. Sungguh
mati, aku sama sekali tidak menyesal kepadamu, hanya menyesali diri sendiri
yang tak tahu diri?"
"Tan-toako, tunggu dulu, aku mau bicara?"
"Lihiap, ada urusan apalagi yang dapat dibicarakan antara kita?"
Mendengar suara yang mengandung kepahitan itu, Ceng Hiang
menghapus dua titik air matanya, dan berkatalah ia dengan halus, namun
nadanya mengingatkan. "Tan-toako, sesungguhnya, pernyataan cintamu kepadaku itu salah
alamat." Sepasang mata Ci Kong terbelalak dan alisnya berkerut. Apa maksud gadis
ini, pikirnya heran. Benarkah bahwa Ceng Hiang sengaja hendak menghinanya
setelah menolak cintanya" Dia menatap tajam penuh selidik, namun pandang
mata gadis itu sedikitpun tidak nampak bahwa ia melakukan suatu kesalahan
yang disembunyikan. "Ceng-lihiap, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya agak gemetar.
"Maksudku, engkau menyatakan cinta kepada gadis yang keliru.
Semestinya bukan aku yang harus kaunyatakan cinta, akan tetapi kepada
seorang gadis lain yang selalu mengharapkan pernyataan cintamu."
Lega rasa hati Ci Kong. Gadis ini tidak bermaksud mengejek atau
menghinanya, dan timbul heran dan keinginan tahunya.
"Siapakah gadis yang kaumaksudkan?"
Ceng Hiang tersenyum dan ia merasa heran sendiri. Setelah membicarakan
orang lain, setelah ia sendiri tidak tersangkut, ia dapat tersenyum dan timbul
kembali kegembiraannya, maka tahulah ia dengan yakin bahwa ia memang
hanya kagum dan suka kepada pemuda ini, dan tidak jatuh cinta, ia sama sekali
tidak akan merasa cemburu atau iri kalau melihat Ci Kong dapat berjodoh
dengan Lian Hong, bahkan sebaliknya, ia akan merasa gembira sekali.
"Tan-toako, berarkah engkau tidak tahu" Engkau yang begini gagah
perkasa dan bijaksana, benarkah engkau begini bodoh sehingga tidak melihat
adanya seorang gadis yang amat baik, yang sudah bertahun-tahun menantimu
dengan segenap jiwa raganya yang setiap saat mengharapkan pernyataan
cintamu" Tidak dapatkah engkau menduga siapa gadis itu?"
Ci Kong mengelengkan kepalanya, dan diam-diam dia terkejut sekali.
Beberapa buah wajah terbayang di depan matanya. Lian Hong" Kui Eng" Kiki"
Diana" Akan tetapi dia tidak pernah menduga bahwa ada gadis yang jatuh
cinta kepadanya seperti apa yang dikatakan oleh Ceng Hiang.
"Sungguh, aku tidak tahu, lihiap. Siapakah gadis itu?"
"Siapa lagi kalau bukan Siauw Lian Hong?"
Ci Kong membelalakkan kedua matanya menatap wajah gadis itu penuh
selidik, akan tetapi wajah itu menunjukkan bahwa Ceng Hiang bicara
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sebenarnya. Pemuda itu alu mengerutkan alisnya.
"Lihiap, harap jangan main-main. Di antara para gadis yang menjadi
sahabatku, Lian Hong adalah seorang yang paling pendiam dan tidak pernah
bicara tentang perasaannya."
"Justeru karena ia pendiam maka ia menderita hebat, toako. Ia mencintamu
sejak pertama kali bertemu denganmu, dan ia memendam cintanya itu di dalam
hatinya, setiap saat merindukanmu, setiap saat menanti pernyataan cintamu
kepadanya, karena ia merasa yakin bahwa engkau juga mencintanya. Nah,
bukankah pernyataan cintamu yang kaunyatakan kepadaku itu salah alamat"
dan seharusnya engkau menyatakan cintamu kepada Lian Hong?"
Ci Kong termenung dan mengingat-ingat. Harus diakuinya bahwa dia amat
menyayang Lian Hong, bahkan pernah terpikir olehnya apakah dia jatuh cinta
kepada gadis murid San-tok yang gagah perkasa itu. Akan tetapi sikap Lian
Hong yang pendiam, yang agak angkuh malah, membuat dia mundur teratur
dan mengira bahwa gadis itu hanya berteman dengannya, tidak menaruh hati
cinta kepadanva. Lalu dia teringat akan pengalamannya ketika bekerja sama
dengan Lian Hong. Bahkan terbayang olehnya betapa Lian Hong yang
menyamar sebagai pria ketika dia menyamar sebagai pelayan dan mereka
mengawal Kui Eng yang menyamar sebagai seorang gadis hartawan, selalu
menggodanya kalau dia nampak cemburu melihat Kui Eng dirayu oleh Lee Song
Kim "Tapi bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, lihiap" Apakah ia
menceritakan hal itu kepadamu?"
"Lian Hong adalah seorang gadis yang keras hati dan selalu menyimpan
perasaannya, toako. Akan tetapi sangat aneh sekali, ia telah melihat pertemuan
kita kita semalam dan ia telah salah sangka, mengira bahwa kita saling
mencinta dan ia?" "Ia bagaimana, lihiap?"
Ci Kong bertanya dan hatinya penuh ketegangan dan kekhawatiran, juga
kasihan mendengar betapa Lian Hong yang katanya mencintanya mati-matian
itu melihat pertemuannya dengan Ceng Hiang. Melihat perhatian yang makin
meningkat dari Ci Kong terhadap Lian Hong, hati Ceng Hiang menjadi gembira
dan bersemangat. "Ia hampir membunuh diri, toako."
"Ahhh!!" Bukan main kagetnya hati Ci Kong mendengar ini. Dia terbelalak
memandang kepada Ceng Hiang.
"Me" mengapa ia melakukan itu dan" dan kemudian bagaimana, lihiap,
dan dimana ia sekarang?"
"Tan-toako, katakan saja terus terang kepadaku. Bukankah engkau
mencinta adik Lian Hong?"
Berkata demikian, Ceng Hiang menatap tajam pemuda itu, seolah-olah
hendak menjenguk isi hatinya. Ci Kong juga memandang kepadanya, dan
sejenak dua pasang mata bertemu pandang, kemudian Ci Kong menunduk dan
suaranya lirih ketika dia membuat pengakuannya.
"Aku aku tidak yakin benar, lihiap. Aku amat sayang kepadanya, aku suka
dan kagum kepadanya. Aku menganggap ia sebagai seorang sahabat baik,
sebagai seorang teman seperjuangan, bahkan sebagai saudara. Mungkin aku
cinta kepadanya, akan tetapi kami tidak pernah bicara tentang itu, dan aku
semenjak bertemu denganmu, lihiap, aku hanya memperhatikanmu. Ah,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mungkin aku cinta padanya" aku tidak tahu."
"Engkau cinta padanya, toako. Lihat betapa engkau gelisah memikirkan
keadaannya. Engkau cinta padanya seperti juga ia cinta padamu."
"Ceng lihiap, katakanlah, dimana ia sekarang?"
Nona itu menggeleng kepalanya. Ia pergi, hanya pamit kepadaku semalam,
tanpa memberi tahu kemana akan pergi, dengan hati patah dan semangat
hancur, seperti patahnya ini?"
Ceng Hiang mengeluarkan sebuah kipas yang sudah robek menjadi dua
bagian itu dan menyerahkannya kepada Ci Kong. Pemuda itu terkejut dan
merampas kipas itu dari tangan Ceng Hiang, lalu mencengkeram kipas itu,
wajahnya pucat. "Ini senjatanya! Ah, dimana ia, lihiap" Dimana Hong-moi?"
"Ia pergi meninggalkan kipas ini setelah menceritakan semua perasaan
hatinya kepadaku. Pergilah, pergilah sekarang, toako" dan cari Lian Hong.
Kasihan anak baik itu, ia mungkin akan menderita selama hidupnya, dan hanya
engkau seorang yang akan mampu membahagiakan hidupnya."
"Aku akan pergi, aku akan mencarinya. Ah, Lian Hong?" kembali Ci Kong
hendak pergi, akan tetapi ditahannya kakinya dan dia menoleh.
"Katakan, lihiap" apakah sikapmu terhadap diriku ini karena engkau
mendengar bahwa Lian Hong mencintaku" Apakah engkau sengaja mengalah,
tidak menerima cintaku agar aku dapat hidup bersama Lian Hong?"
Ceng Hiang kembali terkejut, tak menyangka akan ditanya seperti itu. Akan
tetapi, pada saat dara ini kebingungan harus menjawab bagaimana, terdengar
suara gaduh dan muncullah Pangeran Ceng Tiu Ong bersama seorang pemuda
yang tampan dan berpakaian indah, bersikap halus dan gagah.
"Hiang-ji, mari ke sini. Tunanganmu telah berhasil membujuk kaisar, bukan
hanya mengampuni aku, bahkan permintaanku untuk mengundurkan diri dari
jabatan ini dikabulkan! Ah, aku akan dapat beristirahat dan hidup tenang di
dusun, dan semua ini berkat bantuan Yu Kiang!"
Pangeran tua itu nampak girang sekali. Munculnya ayahnya dan
tunangannya, melepaskan Ceng Hiang dari keadaan terjepit oleh pertanyaan
Ci Kong tadi, dan iapun sudah tahu akan jawabannya, jawaban tanpa kata.
Iapun memperlihatkan wajah cerah, tersenyum manis dan menghampiri dua
orang itu, langsung mendekati Yu Kiang.
"Benarkah itu, koko" Ah, sungguh engkau baik hati sekali, dan aku
berterima kasih sekali kepadamu, Yu-koko."
Ketika menyebut "Yu-koko", Ceng Hiang sengaja mengeluarkan kata-kata
yang mesra dan suara yang manis, sehingga sekali pandang saja tahulah Ci
Kong bahwa gadis bangsawan itu mencinta tunangannya. Dan ini berarti tidak
mencinta diririya. Tahulah dia bahwa dia telah bersikap tolol. Apa artinya dia
dibandingkan dengan pemuda yang bernama Yu Kiang ini" Seorang pemuda
yang tampan, juga sikapnya halus dan amat gagah, pakaiannya indah,
pembawaannya agung, tentu saja kaya raya. Sedangkan dia" Seorang
perantau, tak berumah tinggal, tidak punya apa-apa, dan orang macam dia
berani menyatakan cinta kepada seorang gadis bangsawan seperti Ceng
Kisah Pedang Bersatu Padu 8 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Senopati Pamungkas I 9
^