Pencarian

Pedang Naga Kemala 4

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


kuelakkan dan tembakan ketiga sebelum meletus, pistol itu sudah akan pindah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ke tanganku!" Semua orang terbelalak dan menganggap kakek itu benar-benar sudah gila,
atau memang orangnya sombong setengah mati. Mana ada orang mampu
menangkis peluru" Mengelakkan mungkin bisa walaupun hal ini amat sukar
dan berbahaya. Dan merampas peluru sebelum ditembakkan juga rasanya
tidak mungkin. Akan tetapi Ciu Wan-gwe mempunyai penilaian tinggi
terhadap kakek kecil pendek ini, dan diapun mengajak kakek itu untuk pergi ke
ruangan belakang. "Kami mempunyai ruangan yang khusus untuk ujian itu, agar peluru tidak
sampai nyasar membahayakan orang lain."
Sambil tersenyum-senyum, kakek itu lalu mengikuti Ciu Wan-gwe dan para
pengawal yang semua segera tertarik untuk menyaksikan kelihaian kakek ini.
Kui Eng sendiri sejak tadi sudah merasa kagum kepada kakek yang mampu
mengalahkan tiga orang gurunya hanya dalam dua gebrakan saja, maka iapun
tidak mau ketinggalan dan ikut ke ruangan itu dengan wajah berseri dan
pandang mata bersinar-sinar.
Suasana amat menegangkan ketika kakek itu dengan kedua tangan masih
memegang tongkat dan tasbeh, berdiri dengan sikap amat tenangnya di depan
Ciu Wan-gwe, hanya dalam jarak tiga tombak saja, kurang lebih lima meter!
"Sebelum aku menembakkan pistolku, aku ingin mengetahui siapakah
sebetulnya locianpwe ini, datang dari mana dan mengapa tiba-tiba saja
mengunjungi kami?" Ciu Wan-gwe bertanya sambil menimang-nimang pistolnya yang sudah
diisi enam peluru baru. Karena dia sendiri tidak pandai ilmu silat dan untuk
mempelajarinya memakan waktu lama dan dia tidak tekun, maka dia
mempelajari ilmu menembakkan pistol itu, dan dalam hal ini Ciu Wan-gwe
dapat dibilang mahir juga. Tidak enak rasanya menembak orang yang belum
diketahuinya siapa karena mungkin saja kakek ini akan tewas oleh peluru
pistolnya. "Ciu Wan-gwe, begitu memasuki Tung-kang, aku sudah mendengar bahwa
engkau mencari seorang pengawal keluarga dengan ujian pistol. Kau ingin
mengetahui namaku" Heh-heh, aku tidak punya nama, akan tetapi aku pernah
dikenal orang dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), heh-heh! Dan tempat
tinggalku adalah di dunia ini, dimana saja aku berada di situlah tempat
tinggalku. Nah, aku sudah siap, Ciu Wan-gwe."
Nama ini sama sekali tidak dikenal oleh Ciu Wan-gwe maupun para
pengawalnya yang saling pandang. Akan tetapi sikap kakek itu sungguh
mengesankan hati semua orang dan kini timbul kepercayaan di hati hartawan
itu bahwa kakek inilah yang kiranya akan mampu lulus ujian pistolnya.
"Baik, locianpwe, aku akan menghitung sampai tiga baru akan
kutembakkan peluru pertama yang disusul peluru kedua dan ketiga tanpa
hitungan lagi. Awas, tembakanku cepat dan tepat, locianpwe."
"Ha-ha-ha, aku sudah siap sejak tadi, mulailah!"
"Satu... dua... tiga... Dorrr...! Tringgg...!"
Ketika Ciu Wan-gwe tadi menghitung sampai tiga, kakek itu tiba-tiba
memutar tongkatnya dan nampaklah gulungan sinar hitam lebar menutupi
tubuhnya di bagian depan seperti sebuah perisai lebar, sehingga ketika
tembakan pertama dilakukan, peluru itu tertangkis perisai istimewa itu dan
pelurunya terpental entah kemana.
Ciu Wan-gwe terkejut dan sudah siap menembakkan peluru kedua. Pada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan jaman itu, pistol yang dipergunakan besar dan berat, memiliki daya tendang
yang kuat sehingga untuk menembakkannya, orang harus mengerahkan
tenaga dan membanting ke depan. Hal ini tentu saja memperlambat gerakan
menembak dan begitu pistol itu meledak dan asap mengepul sebagai
tembakan kedua, tubuh kakek kecil pendek itu sudah lenyap karena dia sudah
melempar tubuh ke atas tanah, beberapa detik saja dari lewatnya peluru yang
mengenai dinding tebal di belakangnya! Ternyata kakek itu mampu
menghindarkan diri dari peluru kedua dengan cara mengelak seperti yang
dijanjikannya tadi. Ciu Wan-gwe melihat tubuh kecil itu bergulingan. Dia teringat bahwa
kakek tadi berjanji akan merampas pistol sebelum tembakan ketiga kalinya
dilakukan. Biarpun dia kagum terhadap kakek yang mampu menghindarkan diri
dari dua kali tembakan, namun rasa harga dirinya dan kebanggaannya
tersinggung kalau dia dikalahkan, maka dia sengaja memegang pistolnya eraterat dan cepat-cepat hendak menembakkan peluru ketiga ke arah tubuh yang
bergulingan sebelum pistolnya terampas, sehingga andaikata dia luput
menembak juga, tetap saja pistol itu berada di tangannya dan tidak terampas.
Dengan demikian, walaupun si kakek lulus, akan tetapi tidak mampu
merampas pistolnya! Akan tetapi tubuh itu bergulingan dengan amat cepatnya
sehingga sukarlah dia menentukan bidikannya. Sasaran yang bergerak
demikian cepatnya memang sukar ditembak.
Tiba-tiba nampak sinar hitam kecil berkelebat, disusul teriakan Ciu Wangwe dan pistol itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya yang mendadak
menjadi lumpuh karena pergelangan tadi disambar sebutir biji tasbeh yang
tepat mengenai jalan darahnya! Sebelum dia mampu berbuat sesuatu, tiba-tiba
saja tubuh yang bergulingan itu berkelebat dan pistol yang jatuh ke atas tanah
itu telah disambar oleh tangan si kakek kecil yang sudah berdiri lagi sambil
memegang pistol yang masih mengepulkan asap itu, menimangnya dengan
alis mata berkerut dan hidung diangkat mencemoohkan!
"Bagus... bagus...!"
Kui Eng bersorak dan bertepuk tangan, dan perbuatan ini segera diturut
oleh para pengawal yang merasa kagum bukan main. Kalau tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, tentu mereka tidak akan percaya bahwa ada orang
bukan hanya berhasil menghadapi serangan tiga kali tembakan dari jarak
dekat, bahkan sebelumnya telah menentukan cara penghindaran diri dengan
menangkis, mengelak lalu merampas pistol! Setelah kehilangan rasa kagetnya,
Ciu Wan-gwe yang ternyata tidak mengalami cedera, hanya kaget karena
tangannya tiba-tiba lumpuh, kini ikut pula bertepuk tangan memuji. Dia
tersenyum girang ketika kakek itu tanpa berkata-kata mengembalikan
pistolnya yang cepat disimpannya.
Sebagai orang yang pandai mengambil hati pembantu yang berguna, Ciu
Wangwe lalu menjura ke arah Tee-tok dan berkata.
"Ah, sungguh Thian telah mengirimkan seorang sahabat dan seorang
pandai yang sakti kepada keluarga kami. Locianpwe, mulai hari ini, locianpwe
adalah penyelamat keluarga kami dan murid anak tunggal kami. Kui Eng, cepat
beri hormat kepada suhumu!"
Kui Eng adalah seorang anak perempuan yang cerdik sekali. Biarpun ia
pernah dilatih oleh para pengawal ayahnya, akan tetapi ia tidak pernah
menganggap mereka itu guru-gurunya, apalagi karena merupakan nona
majikan mereka. Kini, berhadapan dengan seorang kakek yang begitu sakti,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tanpa ragu-ragu lagi iapun menjatuhkan diri berlutut memberi hormat delapan
kali kepadanya. "Ha-ha-ha, namamu Ciu Kui Eng" Bagus, mulai sekarang engkau menjadi
muridku. Kui Eng, engkau tidak tahu bahwa mulai detik ini, engkau telah
mengangkat dirimu sendiri menjadi calon wanita paling lihai di dunia ini!"
Semua orang yang mendengar ucapan ini menganggap bahwa kakek itu
memang sombong sekali. Akan tetapi Kui Eng tidak berpendapat demikian. Ia
percaya penuh akan ucapan suhunya, dan ia menganggap bahwa suhunya
adalah orang yang paling pandai di dunia persilatan. Dugaannya memang tidak
meleset jauh karena pada jaman itu, orang yang dapat manandingi Tee-tok
memang hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja.
Mulai hari itu, Tee-tok tinggal bersama keluarga hartawan Ciu Lok Tai.
Biarpun dianggap pengawal pribadi keluarga Ciu, namun dia tidak pernah
bekerja sebagai pengawal, dan semenjak dia berada di situ, tidak pernah ada
orang seperti mendiang Tan Siucai yang berani mati, apalagi sekarang setelah
tersiar berita bahwa pengawal keluarga itu adalah seorang yang demikian
saktinya sehingga mampu melawan musuh yang mempergunakan senjata api!
Dan biasanya, berita itu selalu dibesar-besarkan, semut menjadi gajah,
sehingga nama Tee-tok menjadi semakin terkenal dan ditakuti orang.
-------Sang Waktu melesat dengan kecepatan kilat, dan hal ini terbukti apabila
kita mengenang kembali masa lampau. Demikian cepatnya sang waktu
berkelebat sehingga tahun-tahun beterbangan seperti detik-detik saja.
Seorang kakek-kakek akan teringat masa kanak-kanaknya seperti baru kemarin
saja, dan agaknya sukar untuk percaya bahwa waktu kanak-kanak itu telah
ditinggalkannya selama puluhan tahun lamanya! Sebaliknya, kalau kita
mengamati dan memperhatikan, waktu merayap seperti siput, perlahan-lahan
dan seperti tidak pernah maju.
Sang Waktu nampak diam namun bergerak, dan memiliki kekuasaan yang
tak terbatas, seperti juga tanah. Waktu menelan dan melahap semuanya, apa
saja yang nampak, apa saja yang hidup. Bahkan segala macam perasaanpun
ditelannya habis-habis. Kesenangan, kedukaan, apa saja akan lenyap ditelan
waktu, seperti juga tanah yang akhirnya menelan segala sesuatu di dalam
perutnya. Waktu melesat dengan cepat, dan hampir enam tahun lewat semenjak
Siauw-bin-hud berjanji kepada para tokoh yang memperebutkan pedang
pusaka Giok-liong-kiam, untuk mencari pusaka itu. Selama waktu itu, Siauwbin-hud mengajak Ci Kong merantau sambil melakukan penyelidikan. Anak itu
sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu melakukan penyelidikan, akan
tetapi sering kali di waktu malam, kakek itu lenyap.
Pada suatu pagi, nampak seorang kakek gendut berjalan memasuki kota
Nan-ping di Propinsi Hok-kian, ditemani seorang pemuda yang berpakaian
sederhana, bertubuh tegap dan nampaknya seperti seorang pemuda petani
biasa. Wajah pemuda ini tanpan dan sikapnya gagah walaupun dari gerakgeriknya terbayang kesederhanaan dan kerendahan hati. Usianya kurang lebih
sembilan belas tahun. Kakek gendut itu kepalanya gundul bulat seperti juga
perutnya. Wajahnya periang, matanya berseri lembut dan mulutnya tersenyumsenyum, usianya sukar ditaksir karena wajahnya yang berseri itu masih
nampak segar. Dia bisa saja berusia delapanpuluh tahun, akan tetapi mungkin
juga kurang dari enampuluh tahun. Jubahnya dan kepalanya gundul
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menandakan bahwa kakek itu seorang hwesio. Jubahnya berwarna kuning
longgar. Kakek itu bukan lain adalah Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang
hampir enam tahun yang lalu keluar dari ruangan pertapaannya, hanya untuk
dihadapkan sebuah tugas yang amat sulit, yaitu mencari sebuah pusaka yang
dirampas oleh seorang yang agaknya menyamar sebagai dirinya. Tanpa
mengetahui siapa orang itu, dimana tempat tinggalnya, bahkan selamanya
belum pernah dia melihat Giok-liong-kiam, tentu saja mencari perampas itu
tidaklah mudah. Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat selama
hampir enam tahun, dan barulah dia menduga-duga siapa adanya orang yang
telah memalsukan dirinya itu. Namun, dia masih belum yakin benar dan karena
itu, pada pagi hari ini dia bersama cucu muridnya, Tan Ci Kong, berada di kota
Nan-ping. Selama itu, sambil merantau melakukan penyelidikan mencari jejak
perampas Giok-liong-kiam, kakek ini setiap hari melakukan penggemblengan
atas diri cucu muridnya. Tan Ci Kong adalah seorang pemuda yang berbakat
baik sekali dan berkemauan keras. Kini, menerima gemblengan seorang sakti
seperti Siauw-bin-hud, tentu saja dia memperoleh kemajuan yang hebat! Kakek
itu hanya menurunkan ilmu-ilmu yang amat tinggi dan lewat hampir enam
tahun itu, kini Ci Kong telah menjadi seorang pemuda berusia sembilanbelas
tahun yang sakti! Kalau melihat orangnya, begitu pendiam dan sederhana,
seperti seorang pemuda tani saja, takkan ada orang dapat menyangka bahwa
di dalam tubuh pemuda ini tersembunyi ilmu kepandaian dan tenaga yang
sukar ditandingi. Setelah memasuki kota Nan-ping, Siauw-bin-hud mengajak cucu muridnya
terus keluar lagi dari kota itu melaui pintu gerbang utara, kemudian berjalan
mendaki sebuah bukit yang nampak hitam kehijauan. Dari bawah, nampak
tembok bangunan di puncak bukit, samar-samar nampak di antara pohonpohon di hutan puncak.
Ci Kong yang selalu mengikuti paman kakek gurunya itu, diam-diam
merasa prihatin karena walaupun kakek itu tidak pernah mengeluh, dia tahu
betapa kakeknya belum juga berhasil menemukan perampas Giok-liong-kiam
yang dicarinya selama ini. Kini, melihat bahwa kakek itu jelas menuju ke
puncak bukit, hatinya yang merasa kasihan kepada kakek yang telah menjadi
gurunya itu dan dia tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya.
"Susiok-couw, tempat apakah yang akan kita kunjungi di puncak bukit itu?"
Seperti biasa kalau bicara, Siauw-bin-hud mendahuluinya dengan senyum
cerah, lalu dia berkata. "Yang di puncak bukit itu adalah pusat dari perkumpulan Ang-hong-pai."
Biarpun dia sendiri tidak pernah dimintai bantuan atau disuruh melakukan
sesuatu oleh kakek itu dalam urusan mencari jejak pembawa Giok- liong-kiam,
akan tetapi Ci Kong sudah mendengar akan semua hal mengenai Giok-liongkiam, semenjak dicuri orang dari Thian-te-pai sampai menjadi perebutan dan
akhirnya terampas oleh orang yang memalsukan nama Siauw-bin-hud. Oleh
karena itu, diapun sudah mendengar akan nama Ang-hong-pai, bahkan ketika
terjadi keributan di depan kuil Siauw- lim-si, diapun melihat sendiri sepak
terjang orang-orang yang hendak memperebutkan Giok-liong-kiam.
Dari gurunya, Nam Sam Losu, Ci Kong mendengar banyak tentang Anghong-pai sebagai satu di antara pihak yang ingin memiliki pusaka yang
diperebutkan itu. Dia teringat akan cerita bahwa dalam perebutan pertama,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan muncul seorang tokoh Ang-hong-pai yang tidak berhasil pula merampas
pusaka itu. Sejak itu, tidak terdengar lagi tentang orang-orang Ang-hong-pai,
juga mereka tidak datang mengganggu Siauw-lim-si.
"Tentu susiok-couw hendak mencari tokoh Ang-hong-pai yang pernah
bertemu dengan perampas Giok-liong-kiam itu, bukan?" tanyanya hati-hati.
Kakek itu tersenyum dan mengangguk.
"Sudah banyak keterangan kuperoleh, akan tetapi hatiku masih belum puas
dan belum yakin benar. Keterangan terakhir yang akan meyakinkan hatiku
kuharapkan dapat diberikan oleh tokoh Ang-hong-pai itu."
"Akan tetapi, mereka itu tidak pernah muncul kembali."
"Itulah yang menarik," kata Siauw-bin-hud.
"Ketika terjadi perampasan pusaka itu oleh orang yang memalsukan diriku,
terdapat lima orang tokoh kang-ouw, yaitu Tang Kui si perwira istana, Lui Siok
Ek tokoh Thian-te-pai, Kam Hong Tek seorang pendekar selatan, Pek-bin Tiatciang seorang tokoh sesat, dan Theng Ci tokoh Ang-hong-pai. Dari kelima orang
itu, yang muncul pada enam tahun yang lalu hanya Tang Kui dan Lui Siok Ek.
Pendekar Kam Hong Tek tidak muncul, hal ini tidaklah mengherankan, karena
bagaimanapun juga, dia pernah menjadi murid Siauw-lim-pai sehingga tentu
tidak berani mengganggu Siauw-lim-si. Tinggal dua orang lagi, yaitu Theng Ci
dan Pek-bin Tiat-ciang, keduanya adalah golongan sesat. Mengapa mereka
tidak muncul di Siauw-lim-si" Kiranya dari kedua orang inilah dapat diharapkan
keterangan-keterangan yang menarik dan pinceng sengaja mendatangi Anghong-pai karena lebih mudah dikunjungi dari pada mencari Pek-bin Tiat-ciang
yang tidak keruan tempat tinggalnya itu. Pula, biasanya kaum wanita lebih
tajam pandangannya dan lebih kuat ingatannya mengenal seseorang."
"Teecu harap mudah-mudahan susiok-couw berhasil."
Kakek itu tertawa, menghentikan langkahnya dan menatap wajah pemuda
itu penuh perhatian. "Mengapa, Ci Kong" Mengapa engkau mengharapkan aku berhasil?"
Kini pemuda itu yang balas memandang dengan heran.
"Bukankah" bukankah susiok-ciow mengharapkan berhasil dalam
penyelidikan enam tahun ini?"
"Pinceng" Ha-ha-ha, pinceng tidak mengharapkan apa-apa, Ci Kong!"
Pemuda itu semakin heran. Kakek ini memang seringkali bicara yang anehaneh dan tidak sama bahkan kadang-kadang bertentangan dengan pendapat
umum. Dan kalau sudah demikian, dia akan mendengarkan banyak kenyataankenyataan hidup yang tadinya belum pernah didengarnya dan banyak sudah
ucapan kakek ini yang membuka batinnya dan membuat dia dapat memandang
dengan waspada dan bijaksana. Akan tetapi sekali ini dia merasa heran sekali.
"Maaf, susiok-couw, akan tetapi bukankah dalam setiap pekerjaan, setiap
perbuatan terkandung harapan untuk berhasil?"
Kembali kakek itu tertawa dan aneh sekali, begitu timbul kegembiraannya
untuk bicara, dia lalu duduk di tepi jalan, bersila di atas rumput-rumput hijau.
Ci Kong yang tahu akan kesukaan gurunya, yaitu bicara dengan santai dan
seenaknya, lalu duduk pula di depan gurunya. Jalan liar ke puncak bukit itu
memang sunyi sekali, tidak nampak orang lain kecuali mereka dan hawa udara


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat sejuk, sinar matahari pagi amat cerah.
"Ci Kong, karena adanya harapan untuk mencapai hasil inilah, maka timbul
segala macam konflik di dalam batin. Adanya harapan untuk mencapai hasil ini
membuat gerak perbuatan itu sendiri menjadi palsu, setengah-setengah, tidak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sepenuhnya dan membuat perbuatan kehilangan gairahnya, kehilangan mutu
dan nikmatnya. Sebaliknya, kalau setiap perbuatan itu hidup, barulah kita
dapat menikmati setiap perbuatan kita, barulah perbuatan itu benar dan
bersih." Ci Kong mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang cerdik, diapun
maklum apa yang dimaksudkan oleh kakek itu. Memang, pengejaran akan hasil
baik, dan biasanya hasil baik ini berlandaskan kepentingan dan kesenangan
diri pribadi, membuat apa yang dilakukan itu seringkali menjadi berobah
sifatnya, dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dan kejahatan
dalam pelaksanaannya. Perbuatan yang ditunggangi pamrih mencapai sesuatu
selalu condong untuk menyeleweng, terdorong oleh keinginan mencapai hasil
yang menyenangkan diri sendiri itu, kalau perlu boleh saja menyusahkan orang
lain. Akan tetapi Ci Kong masih merasa penasaran.
"Maaf, susiok-couw. Kalau dalam setiap perbuatan tidak membutuhkan
harapan akan hasil yang menjadi pendorong perbuatan itu, lalu apakah yang
mendorong susiok-couw bersusah payah selama enam tahun menyelidiki dan
mencari pusaka yang hilang itu?"
"Pinceng melihat bahwa perampasan mempergunakan nama pinceng itu
harus dibikin terang, karena kalau tidak, hal itu akan menimbulkan banyak
sekali kekacauan, bahkan mungkin permusuhan. Karena melihat pentingnya
pencarian itu, maka pincengpun keluar dan mengerjakannya. Dalam minat
karena melihat kepentingannya inilah timbul gairah dan pinceng sepenuhnya
dapat menikmati pekerjaan ini karena tidak dirongrong oleh keinginan
mencapai hasil." "Kalau begitu, apakah artinya hasil bagi susiok-couw" Apakah artinya bagi
susiok-couw berhasil atau tidaknya usaha susiok-couw mencari pusaka itu?"
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala perlahan.
"Jelas tidak ada bedanya bagiku pribadi, Ci Kong. Bagi orang yang tidak
menyembunyikan pamrih dalam setiap perbuatannya, maka hasil hanya
merupakan suatu akibat saja dari pada suatu pekerjaan yang dilakukan.
Berhasil ataukah tidak, sama saja dan tentu kita bertindak selanjutnya sesuai
dengan akibat itu yang berupa berhasil ataukah gagal. Maksud pinceng, kata
gagal itu hanyalah kata yang dipakai oleh umum untuk menyatakan
kekecewaannya bahwa harapannya tidak terpenuhi. Akan tetapi bagi pinceng
sendiri, tidak ada kata gagal itu. Yang ada hanyalah akibat dari suatu
perbuatan, dan akibat ini berkaitan dengan perbuatannya, dan tidak mungkin
dapat dirobah lagi kalau sudah tiba, seperti buah tidak terpisah dari keadaan
pohonnya, dan keadaan buah itu tidak dapat dirobah kalau sudah terjadi.
Hanya dengan merobah perbuatan saja, yang bersumber dari batin sendiri,
maka buah itupun akan berubah. Mengertikah engkau, Ci Kong?"
Pemuda itu mengangguk. Banyak yang harus direnungkan dari hasil
percakapan singkat itu. "Nah, marilah kita lanjutkan pendakian kita. Lihat, kedatangan kita sudah
diketahui orang," kata kakek itu sambil bangkit berdri.
Ci Kong juga bangkit dan melihat ke arah puncak. Dan dia tertegun penuh
kagum. Dari atas puncak nampak pasukan berpakaian merah dan belasan
orang yang berbaris rapi itu berlari-larian turun dengan ringan dan cepat sekali,
juga selalu berbareng dan amat indah dilihat dari bawah. Karena kakek itu
melanjutkan langkahnya, kini dengan cepat mendaki ke atas, diapun mengikuti
dari belakang, diam-diam jantungnya berdebar tegang karena dia sudah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mendengar bahwa Ang-hong-pai adalah sebuah perkumpulan yang para
anggautanya terdiri dari wanita-wanita yang lihai, dan perkumpulan itu
termasuk perkumpulan kaum sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Kakek itu berhenti menanti dengan sikap tenang dan wajah berseri,
didampingi Ci Kong yang juga berdiri dengan sikap tenang namun penuh
kewaspadaan. Selama ini, dia sudah mengikuti kakek itu mengunjungi Thiante-pai, bahkan menemui perwira Tang Kui di kota raja. Dan selama ini, belum
pernah kakek itu bentrok atau terlibat dalam sebuah perkelahian. Jangan
memancing perkelahian, demikian antara lain kakek itu memberi nasihat
kepadanya, dan bersikaplah sabar dan mengalah. Ilmu silat hanya untuk
berjaga diri, bukan untuk mencelakai orang. Akan tetapi karena kini
menghadapi perkumpulan kaum sesat yang kabarnya amat lihai dan jahat,
agaknya kakek itupun bersikap hati-hati.
Tak lama kemudian, muncullah dua belas orang wanita berpakaian serba
merah, kemunculan merekapun rapi, dengan teratur mereka berloncatan dan
tahu-tahu mereka telah membuat gerakan melingkar di depan kakek dan
pemuda itu. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, dan
rata-rata berwajah manis, dengan wajah terpelihara dan pakaian rapi bersih
seperti serombongan penari karena pakaian itu seragam. Seorang di antara
mereka, seorang wanita cantik yang mempunyai tahi lalat di dahi, tepat di
tengah-tengah, berkata dengan suara lantang.
"Pai-cu kami mengutus kami untuk menyambut locianpwe Siauw-bin-hud!"
"Omitohud...! Terima kasih, nona. Pai-cu kalian sungguh baik sekali," kata
Siauw-bin-hud dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Pai-cu menghaturkan hormat, kemudian paicu mengutus kami agar minta
kepada locianpwe, berdua dengan enghiong ini, untuk segera turun bukit
kembali meninggalkan wilayah kami."
Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar.
"Pinceng datang bukan untuk mengunjungi Ang-hong-pai atau berurusan
dengan pai-cu kalian, melainkan ingin bertemu sebentar dengan seorang
anggauta atau murid Ang-hong-pai yang bernama Theng Ci."
"Tidak bisa?" kata wanita itu.
"Toa-suci sedang berlatih dengan ketua kami dan mereka tidak mau
diganggu. Harap ji-wi segera pergi saja."
Ci Kong merasa penasaran dan diapun cepat berkata.
"Susiok-couw hanya ingin bicara sebentar dengan orang yang bernama
Theng Ci. Setelah bicara, kami akan segera pergi tidak akan mengganggu Anghong-pai. Kami datang bukan dengan niat jahat, mengapa Ang-hong-pai
menyambut tidak semestinya dan dengan sikap bermusuh?"
Wanita itu melirik kepada Ci Kong, akan tetapi lalu menghadapi Siauw-binhud lagi ketika bicara, seolah-olah merasa tidak ada gunanya bicara dengan
pemuda itu. "Selama ini, Ang-hong-pai tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai,
bahkan ketika banyak orang ramai-ramai mendatangi Siauw-lim-pai enam
tahun yang lalu, Ang-hong-pai juga tidak ikut-ikut. Oleh karena itu, tidak ada
urusan apa-apa lagi antara kedua perkumpulan, maka pai-cu kini tidak
bermaksud menerima kunjungan locianpwe untuk mengadakan urusan
apapun." "Pai-cu kalian sungguh tidak adil!" Ci Kong berkata.
"Kunjungan orang-orang ke Siauw-lim-pai mempunyai pamrih buruk,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sedangkan sebaliknya, susiok-couw mengunjungi Ang-hong-pai dengan hati
bersih dan penuh persahabatan. Mengapa pai-cu kalian menolak" Kalau begitu,
harap saudari Theng-Ci yang datang ke sini menemui kami agar susiok-couw
bisa bicara dengannya!"
Kini wanita itu menghadapi Ci Kong dengan alis berkerut.
"Pai-cu kami berpesan bahwa siapa saja yang hendak naik ke puncak,
harus dapat melalui Cap-ji-kiam (Duabelas Pedang)!"
"Sing-sing-sing...!"
Nampak sinar berkilauan susul menyusul, dan ketika Ci Kong memandang,
ternyata duabelas orang wanita berpakaian merah itu telah mencabut keluar
sebatang pedang dan berdiri dengan berbaris rapi! Mengertilah dia bahwa
yang dimaksud adalah barisan terdiri dari duabelas orang berpedang! Dia
menoleh kepada susiok-couwnya. Kakek ini mengangguk sambil tersenyum
dan berkata lirih. "Hati-hatilah terhadap racun mereka, Ci Kong!"
Ucapan ini merupakan isyarat bagi Ci Kong bahwa susiok-couwnya
memperbolehkan dia menghadapi duabelas orang wanita itu. Akan tetapi dia
merasa heran mengapa kakek itu memperingatkan dia agar berhati-hati
terhadap racun mereka. Apakah pedang mereka itu mengandung racun"
Mungkin saja. Dan pandang matanya yang tajam akhirnya dapat menangkap
kantong-kantong kecil yang tergantung di pinggang dua belas orang wanita
itu. Mengertilah dia. Agaknya para anggauta Ang-hong-pai ini memang ahli
mempergunakan racun-racun, dan tentu mereka biasa mempergunakan senjata
gelap beracun. Diapun mengangguk kepada susiok-couwnya yang sudah
mundur dan duduk bersila di atas rumput, lalu dia melangkah maju
menghampiri duabelas orang wanita itu.
"Cici yang gagah tak usah khawatir. Kalau sampai aku mati di dalam
pertandingan ini, biarlah aku sendiri yang tanggung, tidak ada sangkutpautnya dengan Siauw-lim-pai atau susiok-couw," kata Ci Kong dengan sikap
tenang. Sementara itu, duabelas orang wanita itu sudah bergerak mengepungnya.
Mereka melangkah mengitari pemuda itu, dengan pedang di depan dada dan
tangan kanan diangkat ke atas kepala. Melihat langkah-langkah mereka yang
teratur rapi itu, mengertilah Ci Kong bahwa dia berhadapan dengan semacam
kiam-tin (barisan pedang) yang tidak boleh dipandang ringan, karena berbeda
dengan pengeroyokan yang liar dan kacau, barisan merupakan gerakan teratur
dari banyak orang, sehingga kini dia seperti juga menghadapi seorang lawan
dengan satu pikiran akan tetapi dengan duabelas badan!
"Si-cu, ingat, engkau yang menentang, bukan kami. Silahkan!" terdengar
wanita yang memimpin barisan pedang itu memperingatkan dari belakangnya.
Ci Kong maklum bahwa barisan itu berlaku hati-hati. Bagaimanapun juga,
susiok-couwnya tentu tidak setuju kalau dia sampai melukai seorang di antara
para pengeroyoknya. Tidak ada permusuhan apapun antara mereka, dan
wanita-wanita itupun hanya melaksanakan tugasnya saja mentaati perintah
ketuanya. Maka, dia akan mencoba untuk merampas pedang mereka, satu demi
satu dengan menggunakan penyerangan yang sukar dielakkan lawan.
"Baiklah, lihat serangan!" bentaknya, dan tiba-tiba dia membuat gerakan,
bukan ke depan melainkan ke belakang, ke arah suara wanita bertahi lalat yang
memimpin barisan itu. Akan tetapi, barisan itu masih terus bergerak sehingga kedudukan wanita
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemimpin itu sudah berobah dan dengan demikian, yang diserang oleh Ci Kong
adalah seorang wanita lain. Serangannya cepat dan tangannya sudah hampir
dapat mencengkeram pergelangan tangan wanita yang memegang pedang
dalam usahanya merampas pedang. Akan tetapi terdengar aba-aba pemimpin
itu, dan kini pedang datang bertubi-tubi menyerangnya dari belakang, kanan
dan kiri. Walaupun kalau dilanjutkan dia akan berhasil merampas pedang dari
wanita yang diserangnya, namun sebaliknya dia terancam oleh tusukantusukan dan bacokan-bacokan pedang yang lain!
Terpaksa Ci Kong membatalkan niatnya merampas pedang dan dia segera
mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, barisan
Cap-ji-kiam itu memang hebat sekali. Dengan gerakan susul-menyusul,
serangan itu terus dilakukan tak pernah berhenti, sambung-menyambung
sehingga kemanapun dia mengelak, Ci Kong sudah disambut oleh serangan
pedang berikutnya. Dia meloncat keluar dari kepungan, akan tetapi wanita
bertahi lalat itu terus-menerus mengeluarkan aba-aba dan kembali dia sudah
terkepung. Gerakan merekacepat dan teratur.
Diam-diam Ci Kong mengatur siasat sambil terus mengelak, mengandalkan
gingkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah dipelajarinya secara sempurna
dari susiok-couwnya. Tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar pedang
berkilauan dan betapapun cepatnya para wanita itu menggerakkan pedang,
atau kadang-kadang dengan kebutan telapak tangannya, dia bahkan mampu
menangkis pedang yang tajam itu. Pemuda ini amat berhati-hati karena dia
menduga bahwa tentu pedang-pedang itu beracun. Sekali saja tergores dan
terluka, mungkin dia akan keracunan.
Setelah memutar otaknya, tiba-tiba Ci Kong mendapat gagasan yang baik
sekali. Cap-ji-kiam ini bergerak secara otomatis, teratur seolah-olah duabelas
orang itu merupakan alat-alat yang digerakkan oleh satu pusat. Dan diapun kini
teringat bahwa pusatnya ada pada wanita bertahi lalat di dahinya itu. Pusat
inilah yang harus dilumpuhkannya terlebih dahulu agar kerja sama mereka
menjadi kacau. "Heeeehhhh...!"
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang
dikeluarkan mengandung kekuatan khikang yang menyerang lawan.
Rencananya berhasil karena lengkingan itu mengejutkan para pengepungnya,
membuat mereka selama dua tiga detik tertegun, dan kesempatan ini cukuplah
bagi Ci Kong. Begitu mereka berhenti bergerak, dia dapat mencurahkan
perhatian kepada wanita pemimpin barisan dan tiba-tiba dia menyuruk ke arah
wanita itu, tangan kirinya menotok dan tangan kanannya merampas pedang.
Sebelum wanita itu tahu apa yang terjadi, pedangnya telah terampas! Ia
menjerit dan memperingatkan teman-temannya.
Akan tetapi Ci Kong tidak menghentikan gerakan-gerakannya. Dengan
pedang rampasan di tangan dia mengamuk. Setiap serangan lawan
ditangkisnya dan begitu terkena tangkisannya yang dilakukan dengan
pengerahan tenaga singkang, pedang lawan terlempar dan terlepas dari
pegangan, bahkan ada yang patah! Terdengar suara berdencing dan
berkerontangan, dan dalam waktu beberapa menit saja, akhirnya Ci Kong
meloncat jauh ke belakang dengan dua pedang rampasan di kedua tangan,
sedangkan duabelas orang wanita itu kehilangan semua senjata mereka!
Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa pemuda itu demikian
lihainya, menyerang mereka bertubi-tubi tak pernah berhenti, dan setiap kali
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan beradu pedang, pedang mereka patah atau terlepas karena pemuda itu
mempergunakan tenaga yang luar biasa kuatnya. Yang membuat mereka
kagum dan heran, betapa dalam waktu singkat pemuda itu mampu melucuti
senjata mereka tanpa melukai mereka sedikitpun juga! Bahkan totokan yang
dipergunakan juga hanya membuat lengan kanan lumpuh selama beberapa
detik saja, cukup untuk membuat pedang mereka terlepas, terlempar atau
terampas. Tiba-tiba wanita bertahi lalat itu mengeluarkan aba-aba, suaranya nyaring
melengking dan mereka semua menggerakkan tangan dengan cepat. Bintikbintik merah beterbangan menyambar ke arah Ci Kong! Akan tetapi pemuda ini
memang sudah waspada dan siap siaga. Begitu melihat wanita-wanita itu
menggerakkan tangan, diapun cepat memutar dua batang pedang yang
dirampasnya. Puluhan batang jarum halus berwarna merah yang mengandung
racun itu terpental dan runtuh semua ketika menerjang gulungan sinar yang
dibuat oleh pedang yang diputar cepat.
Kiam-tin atau barisan pedang itu walaupun sudah kehilangan pedang,
agaknya memiliki cadangan, karena kini mereka sudah mencabut sebatang
pisau belati dari pinggang mereka! Dan mereka agaknya hendak nekat
melanjutkan perkelahian. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, terdengar
bentakan halus yang datangnya dari jauh.
"Kalian mundurlah!"
Mendengar bentakan halus yang datang dari jauh ini, duabelas orang
wanita berpakaian merah lalu berloncatan pergi tanpa menghiraukan lagi
pedang mereka yang berserakan di atas tanah.
Ci Kong tersenyum lega dan diapun membuang sepasang pedang
rampasan itu. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bisikan susiokcouwnya.
"Lebah-lebah itu berbahaya sekali, sengatannya beracun mematikan!"
Ci Kong juga mendengar suara berdengung itu, makin lama semakin kuat
dan tak lama kemudian diapun melihat serombongan lebah berwarna
merah yang terbang berkelompok ke arah dia berdiri! Dia merasa heran dan
kagum sekali. Binatang itu warnanya sungguh merah cerah, seperti warna
pakaian para wanita tadi ! Dan kalau saja tidak mendapat peringatan susiok
couwnya, dia tidak akan percaya bahwa binatang kecil mungil yang indah
warnanya itu dapat membunuh manusia dengan sengatannya. Kini lebah-lebah
itu sudah datang dekat dan tiba-tiba, seperti dikomando saja, mereka
menyerbu ke arah Ci Kong !
Pemuda itu melompat jauh menghindarkan diri, akan tetapi betapapun


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepatnya gerakan tubuh pemuda itu, mana mungkin dia dapat mengalahkan
lebah-lebah itu dalam hal kecepatan gerakan" Ci Kong mulai kewalahan,
karena kemanapun dia melompat, lebah-lebah itupun mengejarnya dengan
kecepatan yang mengerikan dan suara mereka berdengung itu, ditambah lagi
dengan pengetahuan bahwa sengatan mereka mematikan, makin membuat
hatinya merasa serem dan ngeri. Dia mengerahkan tenaga pada kedua
tangannya dan mulailah dia mengebut ke sana sini, ke arah lebah-lebah yang
menyerangnya. Memang hebat kebutan kedua tangan Ci Kong. Gerakan tangannya
mengandung tenaga pukulan yang mematikan dan lebah-lebah yang terkena
sambaran angin pukulan telapak tangannya, terlempar atau terbanting dan
tewas seketika. Akan tetapi, lebah-lebah itu terlalu banyak dan menyerangnya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dari atas kepala sampai ke kaki, mana mungkin dia dapat menyambut mereka
semua dengan kedua tangannya. Dia bergidik ketika merasa ada benda
menyentuh leher bagian tengkuk dan cepat tangannya bergerak menangkis.
Lebah yang berhasil menyusup itu tidak keburu menyengatnya, sudah mati
terpukul tangan Ci Kong. Akan tetapi pengalaman ini membuat Ci Kong maklum bahwa hanya
dengan kedua tangannya saja, dia tidak akan mampu menyelamatkan diri.
Maka dia lalu menanggalkan bajunya dan memutar bajunya itu. Lebah-lebah
itu tentu saja terdorong oleh angin yang ditimbulkan oleh pemutaran baju itu
dan mereka menjadi kacau balau. Akan tetapi, hal ini agaknya tidak membuat
mereka menjadi jerih, bahkan mereka menjadi marah, menyerang makin liar.
Begitu hebatnya serangan mereka sampai ada beberapa bagian baju Ci Kong
berlubang ketika mereka terjang!
Ci Kong melihat betapa hanya angin kebutan baju itu yang mampu
mendorong lebah-lebah itu, maka ia menggunakan akal. Dia tidak memukul
dengan bajunya, melainkan memutar bajunya sedemikian rupa sehingga
timbullah angin berputar yang menggulung lebah-lebah itu. Sekali masuk ke
dalam putaran angin yang ditimbulkan oleh putaran baju, lebah-lebah itu tidak
lagi mampu menguasai diri sendiri dan tergulung atau terlibat ke dalam
putaran angin hanya terbang berputaran dengan kacau. Ci Kong bermaksud
menggulung mereka sedemikian rupa, lalu membungkus dengan bajunya.
Usahanya berhasil. Makin cepat dia memutar bajunya, angin putaran itu
semakin kuat dan lebah-lebah itu semakin cepat pula terputar dan akhirnya,
begitu Ci Kong menggerakkan baju menelungkup ke arah kelompok lebah,
binatang-binatang itu kena ditangkapnya di dalam gulungan bajunya!
Beberapa ekor lebah yang luput dan berada di luar gulungan baju, karena tibatiba kehilangan semua kawannya, menjadi bingung dan ketakutan, lalu
terbang pergi. Suara berdengung di dalam gulungan baju itu nyaring sekali, dan Ci Kong
sudah tersenyum. Kini sekali banting saja bajunya ke atas tanah, lebah-lebah
di dalamnya akan mati semua.
"Tahan...! Tiba-tiba terdengar bentakan halus ketika dia sudah mengangkat bajunya
yang berisi lebah-lebah itu ke atas. Ci Kong menahan gerakannya, menoleh dan
melihat seorang wanita yang diikuti oleh duabelas orang wanita Cap-ji-kiam
tadi. "Si-cu, paicu kami minta agar engkau suka mengampuni lebah-lebah itu,"
kata wanita bertahi lalat di dahinya.
"Hemm, bagaimana aku dapat melepaskan lebah-lebah jahat ini" Begitu
dilepas dia akan menyerangku dan mungkin mencelakai orang lain."
"Lepaskan dan aku tanggung mereka tidak akan menyerang siapapun
juga," katanya. Diapun mengeluarkan sebuah bumbung bambu dan
mengangkatnya ke atas. Ci Kong yang mendengar bahwa wanita ini adalah ketua Ang-hong-pai,
mempercaya kata-katanya, dan diapun mengebutkan bajunya. Baju terbuka
dan lebah-lebah merah itupun terpental keluar. Sejenak mereka beterbangan
kacau, lalu berkumpul lagi di udara dan tiba-tiba mereka terbang cepat ke arah
bumbung bambu yang dipegang oleh ketua Ang-hong-pai. Seperti sekelompok
kanak-kanak yang pulang sehabis bermain-main, mereka berebutan memasuki
lubang di bumbung itu. Wanita baju merah itu lalu menutup bumbung dengan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kayu berlubang-lubang kecil dan menyerahkan bumbung itu kepada wanita
bertahi lalat di dahi. Kemudian ia menoleh dan menghadapi Ci Kong sambil
berkata. "Murid Siauw-lim-pai, biarpun masih muda akan tetapi sungguh lihai."
Kemudian ia melangkah ke arah Siauw-bin-hud dan memberi hormat
dengan sikap sopan. Sejak tadi, Siauw-bin-hud hanya menonton saja cucu muridnya berjuang
melawan Cap-ji-kiam, kemudian melawan rombongan lebah merah, sambil
tersenyum girang karena dia melihat kegagahan dan kecerdikan pemuda itu.
Ketika muncul ketua Ang-hong-pai, dia sudah siap untuk menjaga keselamatan
cucu muridnya. Dia sudah mengenal ketua ini, seorang wanita yang amat lihai
dan berbahaya. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak bermaksud buruk. Sambil
tertawa, diapun bangkit berdiri dan membalas penghormatan ketua Ang-hongpai itu.
"Aha, ketua dari Ang-hong-pai sungguh lihai, dapat mengalahkan usia
agaknya! Sudah lewat puluhan tahun masih nampak muda saja," kata Siauwbin-hud.
Memang mengagumkan sekali ketua Ang-hong-pai itu. Usianya kini ada
enampuluhan tahun, akan tetapi masih tetap cantik, ramping dan orang akan
menyangka bahwa usianya paling banyak tigapuluh tahun saja!
Pai-cu itu tersenyum manis.
"Dan Siauw-bin-hud tetap seorang locianpwe yang tidak pernah susah
agaknya. Dibandingkan dengan aku, Siauw-bin-hud jauh lebih muda dan selalu
bergembira lahir batin, sedangkan aku... ah, hanya lahirnya saja nampak muda,
akan tetapi batinnya sudah tua sekali!"
Siauw-bin-hud tertawa dan lebih berhati-hati. Wanita ini, setelah kurang
lebih tigapuluh tahun tidak dijumpainya, ternyata semakin cerdik dan
berbahaya saja. Kata-katanya sudah matang dan siapa yang dapat menduga
isi hati wanita ini"
"Pai-cu, engkaupun maafkanlah cucu muridku yang telah berani
menentang hadangan Cap-ji-kiam dan tawon-tawon merahmu."
"Sudahlah," wanita itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci
Kong. "Orang-orang macam kita yang sudah berkecimpung di dalam dunia
persilatan, kalau tidak bertanding dulu mana dapat saling mengenal" Karena
tadi yang maju pemuda ini, maka murid-muridku dan lebah-lebahku berani
keluar mencoba-coba. Kalau engkau yang keluar, siapa sih yang akan berani
kurang ajar" Sesungguhnya, apakah maksud kedatangan locianpwe ke tempat
kami yang buruk?" "Omitohud... tempat ini indah, semua tempat di seluruh pelosok dunia ini
indah sekali, sayang dibikin buruk oleh perbuatan-perbuatan manusia. Pai-cu,
seperti sudah kami katakan kepada murid-muridmu tadi, pinceng berkunjung
bukan bermaksud buruk, melainkan ingin sekali bertemu dengan muridmu
yang bernama Theng Ci, karena pinceng ingin menanyakan sesuatu darinya."
"Theng Ci..." Murid kepala di sini?"
Wanita itu mengangguk-angguk.
"Ia sedang berlatih dan mungkin dalam waktu dua atau tiga jam lagi
selesai. Mari, locianpwe, dan engkau orang muda, silahkan naik dan menanti
di tempat kami. Ji-wi (kalian berdua) menjadi tamu-tamu Ang-hong-pai yang
terhormat." dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Omitohud... engkau terlalu baik, pai-cu, kami sama sekali tidak menduga
akan hal ini. Bagaimana kalau kami menanti saja di sini sampai murid kepala
Ang-hong-pai itu selesai latihan dan keluar menemui kami di sini?"
"Aihh, locianpwe" apa akan kata orang di dunia kang-ouw kalau
mendengar bahwa Ang-hong-pai menyambut tokoh besar Siauw-lim-pai di
lapangan rumput saja" Kemana mukaku yang buruk ini akan kusembunyikan"
Marilah, mari, tamu-tamuku yang terhormat, mari ikut dengan kami."
Ci Kong memandang kepada susiok-couwnya yang mengangguk-angguk
sambil tersenyum lebar, akan tetapi Ci Kong melihat betapa sepasang mata
yang lembut dari susiok-couwnya itu tiba-tiba mengeluarkan cahaya aneh.
Diapun dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang menarik, akan tetapi
karena dia melihat kakek itu sudah melangkah mengikuti rombongan orang
Ang-hong-pai, diapun terpaksa mengikuti kakek itu dari belakang.
Ketika memasuki pintu gerbang tembok yang mengelilingi perkampungan
Anghong-pai, kemudian diajak masuk ke dalam ruangan dari bangunan
terbesar, Ci Kong merasa kagum bukan main. Tak disangkanya bahwa di
puncak bukit sunyi itu, terdapat perkampungan yang amat indah, penuh
dengan bangunan-bangunan mungil dan taman-taman bunga yang amat indah
teratur, dan terutama sekali setelah memasuki ruangan gedung tempat tinggal
ketua Ang-hong-pai, dia menjadi bengong karena ruangan itu amat hebat!
Layaknya menjadi ruangan di dalam istana puteri-puteri dalam dongeng saja.
Jelaslah bahwa Ang-hong-pai amat kaya raya. Lantainya licin seperti kaca,
ruangannya terhias perabot yang serba mahal dan indah, sutera-sutera halus
bergantungan, periuk-periuk kuno yang serba aneh dan indah, hiasan-hiasan
batu giok yang mahal, lukisan-lukisan yang pilihan. Akan tetapi dia melihat
betapa susiok-couwnya memasuki ruangan itu seperti memasuki sebuah
ruangan kuil atau sebuah guha belaka, sama sekali tidak nampak heran atau
kagum, masih tetap tersenyum-senyum seperti biasa.
"Silahkan duduk, silahkan...!" kata wanita itu dengan ramah.
"Sambil menanti selesainya Theng Ci, kita ngobrol sambil menikmati
hidangan sekedarnya."
"Omitohud, engkau terlalu sungkan, terlalu menghormat, sehingga kami
merasa tidak enak hati dan mengganggu saja, paicu." Siauw-bin-hud berkata
sambil tersenyum lebar. "Ah, tidak, locianpwe, dan jangan khawatir, aku tahu bahwa locianpwe dan
cucu muridnya ini tentu tidak makan barang berjiwa, juga tidak minum arak.
Kami akan menghidangkan makanan dan minuman yang bersih."
Tanpa menanti jawaban tamu-tamunya, ketua ini lalu menyembunyikan
sebuah genta yang terbuat dari pada emas sehingga terdengar amat
gemercing nyaring. Bukan main, pikir Ci Kong. Genta kecil itu saja sudah
merupakan benda yang luar biasa mahalnya!
Tak lama kemudian, beriringan datanglah lima orang wanita berpakaian
merah yang membawa baki-baki terisi masakan masakan. Bau gurih sedap
memenuhi ruangan itu. Seorang di antara mereka membawa baki terisi guciguci kecil terbuat dari pada batu giok! Mangkok-mangkok besar terisi masakan
sayuran-sayuran yang beraneka warna memenuhi meja di hadapan mereka.
"Lihat, locianpwe, semua masakan sayur-sayuran, daun-daunan, akarakaran dan buah-buahan. Sedikitpun tidak ada barang berjiwa, tidak ada
secuwilpun daging, tidak ada setetespun gajih. Semua bersih dan dimasak oleh
ahli-ahli masak kami yang berpengalaman!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Nyonya rumah itu dengan ramah sekali mempersilahkan dua orang
tamunya makan, dan ia menemani mereka makan. Agaknya ia sengaja
meyakinkan hati dua orang tamunya bahwa masakan-masakan itu tidak
mengandung barang berbahaya, karena semua masakan dicicipinya dengan
sepasang sumpit gadingnya!
Siauw-bin-hud tertawa-tawa dan makan dengan lahapnya, sedikitpun
tidak menaruh curiga. Melihat ini, Ci Kong yang sudah lapar pula perutnya, juga
makan dengan lahap. Memang enak bukan main masakan-masakan itu,
walaupun hanya dari barang-barang tak berjiwa. Ci Kong tidak pantang barang
berjiwa, tidak seperti Siauw-bin-hud, karena dia bukanlah seorang calon
pendeta. Akan tetapi belum pernah dia makan masakan selezat ini.
Ketua Ang-hong-pai membuka tutup guci yang terbuat dari batu giok itu.
"Dan ini bukan minum-minuman keras, melainkan madu! Bukan madu
lebah, melainkan madu bunga, sari bunga yang rasanya manis dan harum.
Jangan khawatir, locianpwe, saya tidak berani menghidangkan makanan atau
minuman yang kotor terhadap seorang suci, seperti locianpwe."
"Ha-ha-ha, kalau orang seperti pinceng ini kau namakan suci, aha, alangkah
mudahnya menjadi orang suci?"
Kata Siauw-bin-hud sambil melihat wanita itu menuangkan madu yang
berwarna kuning kemerahan ke dalam cawannya, cawan Ci Kong dan cawan
wanita itu sendiri. Semua terjadi dengan wajar, dan tidak ada yang
mencurigakan. "Nah, terimalah hormatku, locianpwe, dan engkau juga, orang muda
perkasa!" kata nyonya itu yang membawa cawan ke bibirnya.
Melihat susiok-couwnya juga siap minum madu itu, Ci Kong juga
mengikutinya. Madu itu memang madu manis dan harum, enak sekali. Tiga kali
nyonya itu mengisi cawan, dan tiga kali ia mengajak tamu-tamunya minum,
yang pertama sebagai penghormatan, yang kedua sebagai permintaan maaf
atas penyambutan tadi, dan ketiga sebagai ucapan terima kasih atas
kunjungan Siauw-bin-hud. Ci Kong sudah banyak mendengar, baik dari Nam San Losu maupun para
hwesio lain penghuni kuil di puncak bukit mata air Si-kiang, bahwa di dalam
dunia kang-ouw terdapat banyak kaum sesat yang berwatak curang, tidak
segan-segan mempergunakan siasat yang licik untuk menjatuhkan lawan.
Juga dia sudah mendengar banyak tentang penggunaan racun. Dia sudah tahu
bahwa saat itu dia berada di dalam sarang golongan hitam atau kaum sesat,
dan andaikata dia hanya sendirian saja di situ, tentu dia tidak akan berani
menerima hidangan-hidangan dari seorang seperti ketua Ang-hong-pai. Akan
tetapi dia datang bersama susiok-couwnya dan tentu saja dia percaya penuh
akan kesaktian susiok-couwnya itu, maka melihat betapa kakek itu menerima
hidangan, baik masakan maupun minuman madu, diapun tidak ragu-ragu lagi
untuk menerima hidangan madu sampai tiga cawan.
Setelah kedua orang tamunya minum cawan madu yang ketiga, ketua Anghong-pai itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan sinar
mencorong yang mengejutkan hati Ci Kong. Tiba-tiba ada rasa curiga yang
amat besar menyelinap di dalam hati pemuda itu, dan dia hendak berdiri untuk
memberi peringatan kepada susiok-couwnya, akan tetapi tiba-tiba kepalanya
terasa pening dan matanya menjadi gelap.
"Susiok-couw" celaka"!"
Keluhnya dan dia mencoba untuk menahan napas dan mengerahkan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sinkangnya, akan tetapi ketika dia melihat dengan remang-remang betapa
tubuh kakek itupun menjadi lemas dan kakek itu meletakkan kepala di atas
meja, kekhawatiran membuat peningnya datang kembali dan diapun tidak
mampu mempertahankan lagi. Ci Kong seperti juga Siauw-bin-hud, telah pulas
atau pingsan di atas kursinya, dengan kepala di atas meja!
"Hi-hi-hi-hik"! Orang-orang Siauw-lim-pai"! Kalian manusia-manusia
sombong, sekarang baru tahu kelihaian Ang-hong-pai!"
Ketua Ang-hong-pai bangkit berdiri dan bertepuk tangan tiga kali. Dari
segala penjuru berloncatan wanita-wanita berpakaian merah, dipimpin oleh
Theng Ci, murid kepala yang tadi dikatakan sedang berlatih itu.
"Jebloskan mereka dalam tahanan, belenggu kaki tangan mereka dan
masukkan dalam kamar tahanan yang paling kuat, dan di luar kamar perketat
penjagaan, jangan biarkan mereka lolos. Hati-hati, mereka ini lihai sekali,
terutama kakek ini. Selama tiga jam mereka tidak akan siuman dan sebelum
tiga jam, aku akan memberi mereka pembius lagi," kata ketua itu dengan
senyum mengejek memandang ke arah dua orang tamunya yang masih pulas
di atas meja. "Akan tetapi, subo. Apakah tidak sebaiknya kalau kita bunuh saja mereka
sekarang" Mereka terlalu berbahaya kalau dibiarkan hidup." kata Theng Ci
dengan sinar mata kejam. "Aih, betapa bodohnya engkau! Mereka ini, terutama Siauw-bin-hud,
adalah tokoh penting Siauw-lim-pai dan kalau kita memberi kabar ke Siauwlim-pai bahwa mereka berada ditangan kita minta tukar dengan Giok-liongkiam, bukankah hal itu menguntungkan kita?"
"Akan tetapi, bagaimana kalau kelak mereka datang membuat
perhitungan" Apakah subo merasa mampu menghadapi Siauw-lim-pai?"
"Anak bodoh kau ini," kata si ketua sambil terkekeh.
Karena Theng Ci itu muridnya, maka wanita ini terbiasa menyebutnya anak,
padahal murid kepala itu usianya sudah empat puluh tahun lebih.
"Coba kaupertimbangkan baik-baik. Kalau kita membunuh mereka, apa
untungnya bagi kita" Yang jelas saja, kerugian ada karena siapa tahu Siauwlim-pai akhirnya akan tahu dan kalau mereka memusuhi kita, akan celakalah


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita. Mereka begitu lihai dan mungkin saja mereka dapat mengetahuinya.
Sekarang sebaliknya, kalau kita membiarkan mereka hidup dan minta tukar
nyawa mereka dengan Giok-liong-kiam..."
"Akan tetapi bagaimana kalau kelak mereka membuat perhitungan dan
merampas kembali pusaka?"
"Heh-heh, Theng Ci" apakah engkau tidak tahu siapa Siauw-lim-pai"
Sekali berjanji, orang-orang yang terikat oleh janji itu tidak akan mau
mengganggu kita. Sudahlah, jebloskan mereka dalam tahanan!"
Para murid Ang-hong-pai itu mentaati perintah guru mereka, dan tak lama
kemudian, Siauw-bin-hud dan Ci Kong sudah berada di dalam sebuah kamar
tahanan yang amat kuat, sebuah kamar di bawah tanah yang dindingnya
berlapis baja, pintunya juga dari baja kuat sekali, dengan hanya ada jeruji-jeruji
besi. Tangan kaki mereka terbelenggu rantai baja yang panjang, dan di luar
pintu kamar tahanan itu, duabelas orang Cap-ji-kiam berjaga dengan ketat!
Akan tetapi, baru saja mereka meninggalkan kamar tahanan dan
menutupkan pintunya, kakek itu sudah bergerak dan membuka mata sambil
tersenyum lebar. Bagaikan tukang sulap saja, kakek itu dengan mudah menarik
dan meloloskan kedua tangan kakinya dari belenggu. Kaki tangan itu seperti
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berobah menjadi belut yang amat licin dan tak mungkin dapat ditahan dengan
belenggu-belenggu itu. Kemudian, setelah melihat bahwa tidak ada orang
melihatnya, dia menghampiri Ci Kong yang menggeletak terlentang di atas
lantai. Dia menempelkan telapak tangannya di kepala dan dada pemuda itu,
dan tak lama kemudian pemuda itupun membuka mata dan menggerakkan
bibirnya. Siauw-bin-hud cepat menutup mulut pemuda itu dengan telapak
tangannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar pemuda itu tidak
mengeluarkan suara. Ci Kong segera teringat akan peristiwa tadi dan dia mengangguk, tanda
bahwa dia sudah mengerti. Dengan isyarat, kakek itu minta kepada Ci Kong
agar membebaskan diri dengan ilmu Sia-kut-hoat seperti yang pernah
dipelajarinya. Ci Kong segera mengumpulkan hawa murni, mengerahkan
singkangnya dan dengan perlahan dia menarik lengan tangannya lolos dari
belenggu, seperti yang dilakukan kakek tadi. Ilmu Sia-kut-hoat adalah ilmu
melepaskan tulang melemaskan diri. Dengan ilmu ini tubuh dapat ditekuktekuk dan kaki lengan bisa lemas seperti belut.
"Mari kita duduk bersandar dan biarkan belenggu-belenggu itu menempel
di kaki tangan seolah-olah kita masih terbelenggu. Nanti kalau pintu dibuka,
kita bergerak dan keluar," kakek itu berbisik dengan suara mengandung
khikang sehingga yang terdengar suaranya hanyalah pemuda itu saja, seolaholah dia berbisik di dekat telinga Ci Kong.
"Susiok-couw tadi tidak terpengaruh oleh madu itu?"
Kakek itu tersenyum lebar tanpa suara, lalu menggeleng kepala.
"Pinceng tidak minum madu, bagaimana bisa terpengaruh" Sebagai orang
yang sudah puluhan tahun tidak pernah makan daging, sekali cium saja
pinceng tahu bahwa madu itu bukanlah madu kembang yang murni, melainkan
ada bau amis yang menunjukkan bahwa ada sesuatu pada madu itu. Maka,
pinceng hanya pura-pura minum, lalu membuang madu itu."
"Akan tetapi mengapa susiok-couw membiarkan teecu meminumnya dan
bahkan pura-pura pingsan?"
"Pinceng ingin melihat apa maksud mereka membius kita. Bukankah kita
sedang melakukan penyelidikan" Dalam keadaan pingsan, tentu mereka akan
bicara dengan leluasa."
Diam-diam Ci Kong merasa kagum. Kakek ini cerdik dan juga amat tabah,
berani mengambil resiko terjatuh ke tangan iblis-iblis itu.
"Dan bagaimana hasilnya, susiok couw?"
Kakek itu menggeleng kepala.
"Mereka agaknya tidak tahu dimana adanya pusaka itu, malah menawan
kita untuk memaksa Siauw-lim-pai mencari pusaka itu dan ditukar dengan
nyawa kita." Mereka menghentikan percakapan bisik-bisik yang hanya dapat mereka
dengar sendiri itu ketika terdengar suara orang di luar kamar tahanan mereka.
Suara ketua Ang-hong-pai dan Theng Ci!
"Untuk apa racun itu, subo?" terdengar suara Theng Ci.
Jawaban ketua Ang-hong-pai didahului dengan suara ketawanya yang
halus akan tetapi mengandung kekejaman.
"Hi-hik, pembius di dalam madu itu mana kuat mempengaruhi Siauw-binhud untuk waktu lama" Orang biasa akan terbius selama tiga jam, akan tetapi
aku khawatir kakek gendut itu akan cepat sadar. Maka, aku akan memaksakan
racun ini agar mereka lumpuh selama tiga hari tiga malam. Dengan demikian,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan selain lebih aman, kalian tidak akan diperlukan menjaga terlampau ketat. Buka
pintunya." Nampak kepala dua orang wanita itu di luar jeruji pintu. Mereka menjenguk
ke dalam dan melihat betapa dua orang tawanannya masih pulas atau pingsan.
Kakek itu bersandar dinding seperti tadi, dan Ci Kong menggeletak terlentang.
Pemuda yang cerdik ini cepat sudah merobah kedudukannya. Dia teringat
bahwa ketika pertama kali sadar, dia berada dalam keadaan rebah terlentang,
maka kalau kini dia duduk seperti susiok-couwnya, tentu akan menimbulkan
kecurigaan. Hal yang kecil tapi penting ini agaknya tidak teringat oleh susiokcouwnya tadi!
Daun pintu terbuka dan masuklah ketua Ang-hong-pai yang membawa
sebuah guci kecil, sedangkan Theng Ci mengawal di belakang gurunya sambil
memegang sebatang pedang, agaknya kesaktian kakek itu membuat orangorang Ang-hong-pai ini berhati-hati sekali.
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Wajah ketua Ang-hong-pai seketika menjadi pucat sekali. Baru pertama kali
itulah iblis betina ini mengalami guncangan batin yang hebat, bukan hanya
karena peristiwa ini sama sekali tidak pernah disangkanya, seperti melihat
orang mati hidup kembali secara mendadak, akan tetapi juga suara ketawa
kakek itu membuat tubuhnya menggigil dan guci itupun terlepas dari
tangannya. "Prakkk!!" Guci itu pecah dan tercium bau yang harum-harum amis memuakkan.
Selagi guru dan murid ini terbelalak dengan muka pucat, tubuh Ci Kong melesat
ke daun pintu dan tiba-tiba diapun sudah menutupkan daun pintu itu dan
menguncinya dari dalam! Setelah itu, dia berdiri dengan keadaan siap siaga,
menanti tindakan susiok-couwnya. Tanpa perintah kakek itu, dia tentu saja
tidak berani sembarangan bergerak. Sementara itu, kakek Siauw-bin-hud
sudah bangkit berdiri dan wajahnya tetap cerah dan ramah penuh senyum
lebar. "Pang-cu, engkau sungguh sungkan sekali. Sudah menjamu kami sampai
kekenyangan dan tertidur, kini masih hendak kautambah lagi. Apakah itu"
Madu pelumpuh badan?"
"Siauw-bin-hud...!"
Kini ketua Ang-hong-pai itu nampak bulunya yang aseli dan sikapnya tidak
manis dan menghormat lagi seperti tadi.
"Bagaimana... bagaimana kalian..."
Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking herannya melihat ada
orang mampu sadar dari pengaruh obat biusnya sedemikian cepatnya.
"Iktikad baik, pai-cu, iktikad baik, batin bersih dan hidup bersih. Pinceng
datang dengan maksud baik, hanya ingin menanyakan sesuatu kepada
muridmu Theng Ci, setelah itu kami akan pergi dengan aman..."
Tiba-tiba ketua Ang-hong-pai itu tersenyum.
"Aih, kalau begitu aku telah membuat kesalahan terhadap Siauw-bin-hud,
harap suka memaafkan aku..."
Berkata demikian, wanita ini menjura dengan hormat, akan tetapi tibatiba
saja dari kedua tangannya yang memberi hormat itu menyambar sinar-sinar
merah ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh Siauw-binhud! Penyerangan itu dilakukan dalam jarak yang amat dekat, hanya dua meter
jaraknya, begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga, apalagi jarum-jarum itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan meluncur dengan kecepatan kilat.
Agaknya kakek gendut itu sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk
mengelak atau menangkis, maka tujuh batang jarum merah beracun itu tahutahu sudah menancap, dua di pundak kanan kiri, satu di tenggorokan, satu di
ulu hati, satu di pusar, dan dua lagi di kedua selangkangan! Karena tertutup
pakaian, maka di bagian lain jarum-jarum itu tidak nampak, hanya yang amat
jelas sebatang jarum yang menancap di tenggorokan itu, telah menancap
sampai tinggal seperempatnya saja!
Tentu saja ketua Ang-hong-pai menjadi girang bukan main, kegirangan
yang dinyatakan dengan senyum lebar. Akan tetapi, senyum itu segera
berobah menjadi melongo dan terbelalak, perasaan girang itu berobah menjadi
kekagetan yang membuat wajahnya kembali menjadi pucat sekali. Kakek yang
sudah tertusuk tujuh jarum merah beracun yang amat berbahaya itu, masih
berdiri biasa saja sambil terkekeh gembira, seolah-olah tujuh jarum itu tidak
pernah menyentuhnya! Kemudian dia menarik napas panjang.
"Aihhh, jarum-jarum bernasib malang. Engkau tidak dipergunakan untuk
menjahit sehingga berjasa, sebaliknya malah dipergunakan untuk membunuh
orang. Sialan! Pai-cu, kukembalikan jarum-jarummu. Terimalah!"
Dan tiba-tiba saja, jarum-jarum yang tadinya menancap di tujuh tempat
bagian tubuh depan Siauw-bin-hud, meluncur dengan cepat sekali ke depan.
Ketua Ang-hong-pai itu bukan seorang lemah, akan tetapi karena ia masih
dalam keadaan terpesona dan terkejut, apalagi jarum-jarum itu meluncur
dengan kecepatan dua kali lipat dari pada kecepatan serangannya tadi, tahutahu tujuh batang jarum itu telah menusuk gelung rambut di atas kepalanya! Ia
merasa betapa gelung rambut kepalanya tergetar dan ketika ia meraba,
matanya terbelalak mendapat kenyataan bahwa tujuh batang jarumnya telah
menghias sanggul rambutnya dengan rapi!
Pada saat itu, Theng Ci yang melihat subonya tidak berhasil, menggunakan
pedangnya menyerang Ci Kong. Tusukannya cepat dan kuat sekali ketika dari
samping ia menusuk ke arah lambung pemuda yang sedang nonton gurunya
menghadapi ketua Ang-hong-pai. Akan tetapi, pemuda ini telah memiliki ilmu
kepandaian yang hebat. Dia dapat mendengar suara angin serangan, juga
matanya yang amat tajam dapat menangkap berkelebatnya pedang. Dengan
tenang sekali, dia memutar tubuh sehingga pedang itu meluncur lewat dekat
pinggangnya, hanya dalam jarak beberapa sentimeter saja.
Dan sebelum Theng Ci sempat menarik kembali pedangnya, tiba-tiba saja
jari tangan Ci Kong melayang dan tubuh wanita baju merah itupun terguling
dalam keadaan lumpuh tertotok! Totokan yang amat hebat dari Ci Kong itu
adalah totokan yang diberi nama It-ci-san, totokan sebuah jari telunjuk yang
amat cepat dan tepat. Ketua Ang-hong-pai yang sedang meraba sanggulnya, menoleh ketika
mendengar suara gedebrukan. Ketika ia melihat bahwa murid kepala itu roboh
dan tak dapat berkutik, ia cemberut.
"Bocah tolol, kau mencari penyakit!"
Ia memaki jengkel dan dengan ujung sepatunya ketua Ang-hong-pai ini
menendang ke arah tengkuk muridnya, dan Theng Ci mengeluh lalu dapat
bangun kembali, memungut pedangnya dan mundur, berdiri mepet dinding
dengan muka merah, kadang-kadang melirik ke arah Ci Kong yang masih
berdiri tenang saja. Ketua Ang-hong-pai menghela napas dan nampak uring-uringan, lalu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memandang kepada Siauw-bin-hud. Suaranya tidak lagi manis, bahkan ketus
dan kasar. "Siauw-bin-hud, engkau adalah seorang pendeta yang katanya suci,
mengapa engkau dan cucu muridmu ini datang ke sini untuk menghina orang"
Patutkah perbuatanmu ini?"
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud mengeluh dengan muka masih tertawa cerah.
"Maafkanlah pinceng, seribu kali maaf, pai-cu, kalau engkau merasa
terhina. Akan tetapi sesungguhnya kami datang bukan untuk mengganggu
atau menghina orang, melainkan untuk bertemu dengan muridmu yang
bernama Theng Ci dan untuk menanyakan sesuatu. Hanya itulah, sayang
bahwa kalian membesar-besarkan urusan sehingga berlarut-larut."
Karena terdesak dan merasa tidak akan mampu menandingi kakek ini dan
cucu muridnya yang lihai, ketua itu akhirnya mengalah. Ia sendiri bersama
murid kepala Ang-hong-pai telah terjebak ke dalam ruangan itu sehingga
mengerahkan anak buahnyapun sia-sia belaka, bahkan ia tentu akan menderita
lebih banyak malu lagi. "Ia ini muridku yang bernama Theng Ci."
Mendengar ucapan subonya, Theng Ci melangkah maju menghadapi kakek
gendut itu. "Aku yang bernama Theng Ci, ada keperluan apakah locianpwe dengan
aku?" Siauw-bin-hud dan Ci Kong memandang tajam ke arah wanita yang
mengaku bernama Theng Ci itu. Seorang wanita yang usianya empatpuluhan
tahun, masih nampak cantik akan tetapi matanya membayangkan kekerasan,
pakaiannya ringkas serba merah dan biarpun mukanya terawat baik-baik,
garis-garis duka nampak di ujung mulut dan mata. Seorang wanita yang
banyak menderita dan keras hati.
"Omitohud, kiranya engkau yang bernama Theng Ci" Apakah engkau yang
hadir sebagai wakil Ang-hong-pai ketika terjadi perebutan Giok-liong-kiam di
luar kota Kanton, dan engkau menjadi saksi pula ketika pusaka itu dirampas
oleh orang yang mengaku bernama Siauw-bin-hud dari Siauw-lim-pai?"
Theng Ci mengerutkan alisnya dan membuang mukanya yang menjadi
merah sekali. "Semua orang sudah tahu, kenapa locianpwe bertanya kepadaku?"
"Begini, nona. Yang ingin pinceng tanyakan, apakah engkau yakin benar
bahwa orang itu adalah pinceng sendiri! Ataukah orang lain yang menyamar
sebagai pinceng?" Wanita itu meragu. "Aku... aku tidak tahu!"
"Nona, sebenarnya pinceng sudah memperoleh banyak keterangan akan
tetapi pinceng masih belum yakin benar. Oleh karena itu, pinceng sengaja
mencarimu untuk minta bantuanmu. Engkau seorang wanita, tentu lebih
mudah mengingat keadaan seseorang. Apakah ada sesuatu pada diri orang itu
yang merupakan ciri khasnya?"
Tiba-tiba Theng Ci mengangkat muka memandang wajah Siauw-bin-hud
itu dan sinar kebencian memenuhi matanya.
"Tua bangka tak tahu malu! Masihkah engkau berpura-pura lagi seperti
tidak mengenal aku" Sungguh biadab!"
Ci Kong terkejut bukan main dan marah. Susiok-couwnya adalah seorang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan alim, juga seorang terhormat, kini dimaki dengan kata-kata kotor oleh
perempuan ini. Akan tetapi, kakek itu hanya tersenyum lebar seolah-olah
makian itu hanya lewat saja tanpa meninggalkan bekas kepadanya, lahir
maupun batin. "Aha, sikapmu ini menarik sekali, nona. Tentu ada terjadi sesuatu antara
engkau dan aku, maksudku, orang yang merampas pedang pusaka Giok- liongkiam itu, sehingga engkau kini bersikap begini marah dan penuh kebencian.
Mungkin aku sudah terlalu tua untuk mengingat kembali peristiwa lama.
Karena itu, nona, maukah engkau menceritakan mengapa engkau begini
membenci pinceng " Apakah yang telah terjadi antara kita enam tahun yang
lalu itu?" Dengan muka sebentar pucat sebentar merah, wanita itu melotot ketika
memandang kepada Siauw-bin-hud dan suaranya tegas dan nyaring.
"Masih berpura-pura lagi! Engkau... tua bangka binatang jahat, engkau
telah memperkosaku!"
Jawaban ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah Ci Kong
berobah merah sekali. Gilakah wanita ini" Dan dia memandang kepada wajah
susiok-couwnya dan wajah kakek itu hanya tersenyum lebar, sama sekali tidak
kelihatan kaget walaupun sebenarnya berita inipun tidak kalah hebatnya bagi
kakek itu sendiri. "Ha-ha-ha, alangkah aneh dan lucunya. Pinceng selama duapuluh tahun
tidak pernah meninggalkan ruangan bertapa di Siauw-lim-si, dan tahu-tahu kini
muncul tuduhan-tuduhan aneh, bukan hanya merampas Giok-liong-kiam, akan
tetapi juga memperkosa wanita. Hemm" nona Theng Ci, menurut penuturan
mereka yang ikut memperebutkan pusaka itu, setelah pusaka dirampas orang
yang seperti pinceng, mereka semua, termasuk engkau menuduh bahwa


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinceng... eh, orang itu, melakukan perkosaan?"
"Huh, engkau atau bukan, pokoknya orangnya persis engkau ini, tidak ada
bedanya sedikitpun juga! Aku memang pergi seperti yang lain karena tidak
berani berbuat sesuatu terhadap Siauw-bin-hud, seorang tokoh besar Siauwlim-pai, apalagi karena lenyapnya pusaka itu tidak ada buktinya diambil oleh
Siauw-bin-hud. Akan tetapi ketika aku pergi, malamnya tiba di hutan. Aku
membuat api unggun dan tiba-tiba muncul engkau yang mempergunakan
kepandaian menaklukkan aku, dan" semalam itu engkau mempermainkan
aku, memperkosa" menghina" uhh?"
"Theng Ci, kenapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku?" tibatiba gurunya membentak.
Theng Ci menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menahan
tangisnya. "Subo, maafkan aku. Hal yang begitu menghancurkan hatiku, bagaimana
mungkin aku menceritakan kepada subo atau kepada siapapun juga" Hanya
karena terpaksa dengan munculnya tua bangka ini, terpaksa aku bercerita."
"Omitohud...!" Siauw-bin-hud mengeluh walaupun mukanya masih penuh senyum.
"Tenanglah, nona" dan cobalah nona lihat baik-baik kepadaku. Benarkah
pinceng yang melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap dirimu" Tidak salah
lagikah?" Melalui mata yang basah, Theng Ci memandang wajah kakek itu, lalu sinar
matanya menjelajahi tubuh kakek itu dari kepalanya yang gundul sampai ke
sepatunya yang terbuat dari kain. Dan terbayanglah semua pengalamannya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan yang membuat hatinya sakit. Entah sudah berapa puluh pria yang digaulinya,
yang menjadi kekasihnya. Ia mudah bosan dan tentu saja ia selalu memilih pria
yang ganteng dan tanpan. Dengan pengaruhnya, dengan kepandaiannya
mudah saja baginya untuk memilih pria yang disukainya. Bahkan dengan
kekejamannya, ia seringkali menaklukkan pria dengan paksaan dan ancaman
sehingga pria itu karena takut mati terpaksa memenuhi hasrat dan nafsunya.
Akan tetapi, pengalamannya ketika ia berada di dalam hutan itu sungguh
membuat ia merasa muak, terhina dan sakit hati sekali.
Ketika itu, hatinya sudah dipenuhi kekecewaan mengingat betapa pusaka
Giok-liong-kiam lepas dari tangannya. Padahal, tadinya ia sudah amat
mengharapkan pusaka itu dapat dirampasnya. Pusaka itu sudah berada di
tangannya! Akan tetapi, sungguh tak disangkanya akan muncul demikian
banyaknya orang pandai yang ikut memperebutkan pusaka itu. Apalagi setelah
muncul Siauw-bin-hud, harapannyapun lenyaplah. Ia tahu diri dan seperti yang
lain, tidak berani mengganggu kakek gendut itu, pertama karena iapun sudah
mendengar akan kesaktian kakek ini yang mengatasi kelihaian Empat Racun
Dunia. Kedua, siapa berani sembarangan mengganggu seorang tokoh besar
Siauw-lim-pai" Dan ketiga, tak seorangpun melihat bahwa kakek ini yang
merampas pusaka yang sedang diperebutkan itu.
Karena hatinya kesal, biarpun tubuhnya lelah sekali dan matanya
mengantuk, ia tidak dapat tidur. Padahal, ia telah memilih tempat di bawah
pohon dimana terdapat rumput hijau yang tebal dan ia sudah menghamparkan
tikar di situ. Ia lalu duduk termenung di depan api unggun besar yang mengusir
nyamuk dan hawa dingin. Tiba-tiba terkejutlah ia ketika mendengar suara terkekeh dan tahu-tahu
Siauw-bin-hud telah berdiri di depannya. Kakek gendut itu nampak
menyeramkan sekali berdiri di dekat api unggun itu, dan perutnya yang
tertutup jubah kuning itu bergerak-gerak ketika dia tertawa.
Melihat munculnya kakek itu, timbul harapan di hati Theng Ci. Apa maksud
kedatangannya" Apakah... apakah hendak menyerahkan pusaka itu
kepadanya" Karena itu, Theng Ci lalu bersikap hormat, bangkit dan memberi
hormat kepada kakek gendut itu sambil tersenyum ramah, hal yang jarang
sekali dilakukannya. "Locianpwe, petunjuk apakah yang akan locianpwe berikan kepada saya
maka locianpwe datang menemui saya?" tanyanya dengan suara lembut.
"Ha-ha-ha-ha-ha, nona manis. Coba kauterka keperluan apa yang kubawa
maka aku mencarimu, ha-ha-ha!"
"Bukankah locianpwe hendak menganugerahi saya dengan pusaka Giokliong-kiam itu" Locianpwe, saya merasa berterima kasih sekali dan akan suka
mencium kaki locianpwe kalau saya diberi pusaka itu!" katanya penuh harap.
"Ha-ha-ha, enak saja kau bicara! Pinceng lewat di sini dan kedinginan, lalu
melihatmu. Maka pinceng mengambil keputusan untuk mengajakmu
menemani pinceng untuk mengusir hawa dingin. Aahhhh, ada tikar di sini"
Bagus, enak untuk tidur. Ke sinilah nona..."
Kakek gendut itu lalu merebahkan dirinya begitu saja di atas tikar.
Tubuhnya yang bulat itu menggelinding seperti bola ke atas tikar, terlentang
dan dengan kedua tangan dikembangkan, dia mengapai ke arah Theng Ci!
Tentu saja Theng Ci menjadi marah bukan main. Kakek yang tua bangka
itu, dan tubuhnya yang gendut bulat, perutnya yang begitu besar, mengajak ia
bermain cinta" Tentu saja ia tidak sudi! Banyak pria muda tampan siap
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan melayani dan memuaskannya kalau ia mau.
"Locianpwe, harap jangan main-main!" tegurnya, suaranya mulai ketus.
"Siapa main-main, manis?"
Dan tiba-tiba lengan itu dapat memanjang dan tahu-tahu sudah merangkul
leher Theng Ci. Wanita ini terkejut dan meronta, akan tetapi tiba-tiba
pundaknya ditekan dan iapun terkulai lemas. Selanjutnya... ah, sukar baginya
untuk dapat mengenang peristiwa memalukan itu. Ia diperkosa, dihina,
dipermainkan semalam suntuk oleh kakek gendut itu tanpa mampu menolak
atau meronta sedikitpun. Dan pada keesokan harinya, kakek gendut itu
meninggalkannya sambil tertawa-tawa mengejek!
Dengan sepasang mata yang merah dan basah, Theng Ci kini memandang
kepada Siauw-bin-hud. Memang ada keraguan di dalam hatinya. Memang ia
telah merasa curiga pada malam hari sial itu juga. Mungkinkah Siauw-bin-hud,
yang terkenal sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, sebagai seorang
hwesio Siauw-lim-si yang alim, mau melakukan perbuatan begini biadab" Dan
tingkah laku kakek gendut itu ketika mempermainkannya, lebih pantas
dilakukan oleh seorang manusia liar, manusia hutan atau binatang, sama sekali
tidak nampak lagi bekas-bekas seorang hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal
alim dan sakti. Akan tetapi... bagaimana aku bisa tahu aseli ataukah palsunya"
Wajahnya, tubuhnya, pakaiannya, ketawanya, semua memang serupa...
pikirnya agak bingung. "Nona Theng Ci, ingatlah baik-baik, apakah tidak ada suatu tanda yang
dapat membedakan antara kami" Ingatlah..."
Kembali Ci Kong mengerutkan alisnya dan tentu dia sudah marah dan
menegur wanita tak tahu malu itu kalau saja dia tidak melihat betapa susiokcouwnya dengan sungguh-sungguhlalu membuka jubahnya yang lebar,
bahkan menanggalkan jubah itu, kemudian berdiri dengan tubuh atas
telanjang di depan Theng Ci! Nampaklah perut yang bulat itu, kulitnya yang
kuning halus mulus karena tak pernah terkena sinar matahari, kulit yang halus
seperti kulit anak bayi. Terdengar Theng Ci mengeluarkan seruan kecil, lalu ia mengelilingi tubuh
kakek itu dan memeriksa dengan teliti.
"Ah, bukan kau... bukan kau...! Kulitnya tidak sehalus ini, dan dadanya
berbulu, dan... dan... di lambung kirinya terdapat tanda hitam sebesar telapak
tangan. Bukan kau, locianpwe, orang itu... ah, sudah kuragukan sejak dulu."
Dan Theng Ci menangis sesenggukan, menutupi mukanya.
"Diam kau!!" Ketua Ang-hong-pai membentak muridnya yang segera menghentikan
tangisnya. Lalu ia menghadapi Siauw-bin-hud.
"Apa sudah cukup pertanyaan-pertanyaanmu, Siauw-bin-hud" Kalau
sudah, harap segera meninggalkan tempat ini. Sudah cukup banyak kau
mendatangkan kekacauan di sini."
Siauw-bin-hud diiringkan oleh Ci Kong keluar dari dalam kamar itu, lalu
mereka berdua dengan sikap tenang meninggalkan perkampungan Ang-hongpai tanpa ada seorangpun yang berani coba mengganggu.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di pintu gerbang, ketua Ang-hong-pai yang
mengikuti mereka lalu bertanya.
"Siauw-bin-hud, apakah engkau sudah tahu siapa orang yang memalsu
dirimu itu?" "Ha-ha-ha" mungkin sekali aku tahu, mungkin juga keliru. Selamat tinggal,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pai-cu?" kata kakek itu yang segera melangkah lebar meninggalkan tempat
itu tanpa menoleh lagi, diikuti oleh Ci Kong.
Setelah dua orang tamu yang lihai itu pergi, ketua Ang-hong-pai mengomeli
Theng Ci. "Sialan kau ini! Dengan kebocoran mulutmu, tentu kini dia telah
mengetahui dimana adanya pusaka itu dan akan merampasnya kembali.
Sungguh tolol kau ini. Dulu engkau diam saja tidak menceritakan kepadaku
tentang perampas pusaka yang memperkosamu, dan sekarang engkau malah
bocor mulut sejadi-jadinya!"
"Ah, apakah subo tahu siapa orang itu?"
"Bodoh kau. Kalau dari dulu engkau bercerita, tentu aku dapat menduganya
dan kita dapat lebih dulu berusaha merampasnya. Orang itu siapa lagi kalau
bukan Thian-tok?" "Thian-tok..." Wah, kalau benar dia, siapa akan mampu merampas dari
tangannya?" Setelah kini mendengar bahwa yang menghinanya adalah satu di antara
datuk-datuk iblis itu, makin habislah semangatnya untuk dapat membalas
dendam. Kini ia tidak merasa heran. Kalau orang itu benar Thian-tok, seorang
di antara Empat Racun Dunia, ia masih boleh mengucap syukur karena ia tidak
mati konyol, atau tersiksa lebih hebat lagi dan dapat lolos dari maut
mengerikan dalam waktu semalam saja! Sungguh aneh sekali wanita ini. Begitu
mendengar bahwa pemerkosanya adalah Thian-tok, lenyaplah rasa penasaran
di hatinya, bahkan ada rasa bangga yang luar biasa bahwa ia telah dipilih oleh
Thian-tok, datuk iblis itu!
Patut diketahui bahwa Theng Ci adalah seorang wanita yang tergolong
kaum sesat. Perkumpulan Ang-hong-pai juga perkumpulan sesat. Oleh karena
itu, walaupun Ang-hong-pai tidak dapat dikatakan menjadi anak buah atau
pengikut Empat Racun Dunia, akan tetapi kedudukan Thian-tok yang tinggi
membuat dia dipandang dengan rasa takut, kagum dan hormat oleh para
anggauta kaum sesat, seperti pandangan seorang tahyul terhadap iblis atau
dewa. Maka, mendengar bahwa dirinya dipilih oleh Thian-tok, timbul rasa bangga
dalam hati wanita ini. -------Puncak Tai-yun-san merupakan puncak yang indah dan masih liar karena
jarang dikunjungi manusia. Memang tidak ada gunanya bagi orang biasa,
kecuali hanya untuk melancong, datang ke puncak itu. Selain amat terjal dan
sukar dicapai, penuh dengan hutan liar dimana terdapat banyak binatang buas,
juga hawanya terlalu dingin. Akan tetapi semenjak beberapa tahun ini, di
puncak itu terdapat tiga orang, yaitu Thian-tok, dan dua orang muridnya yang
baru, yaitu Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu. Dua orang muda itu digembleng
dengan sungguh-sungguh oleh Thian-tok, sehingga selama enam tahun
mereka telah menerima ilmu-ilmu kesaktian dari datuk iblis itu.
Kini mereka berdua sudah mengenal benar watak guru mereka yang luar
biasa, aneh, dan kadang-kadang mengerikan. Di dalam perantauannya, Thiantok mengajak dua orang muridnya itu bertualang dan dengan terang-terangan
dia melakukan pencurian, bahkan penculikan dan pemerkosaan terhadap
gadis-gadis cantik. Dua orang muridnya tertegun, cemas dan ngeri, akan tetapi
mereka tidak berani mencampuri. Mereka bergidik melihat betapa guru mereka
itu sambil tertawa bergelak-gelak memperkosa wanita, dan sambil tersenyumdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan senyum membunuh wanita itupada keesokan harinya! Bahkan pernah kakek
gendut itu merobek dada seorang korbannya, mengeluarkan jantung yang
masih berdenyut dan mengganyangnya mentah-mentah. Dua orang pemuda
itu hampir muntah menyaksikan hal ini, akan tetapi guru mereka mengatakan
bahwa jantung yang hidup itu merupakan obat kuat yang tiada taranya!
Kadang-kadang, kalau sedang berdua saja, Seng Bu menyatakan kecewa
dan penyesalannya kepada suhengnya, yaitu Siu Coan, tentang watak gurunya.
Dia mengatakan bahwa kalau melihat watak suhunya, dia ingin minggat saja,
tidak sudi menjadi murid seorang yang demikian jahatnya. Akan tetapi, Siu
Coan membantahnya dan mengingatkan bahwa guru mereka adalah seorang
yang luar biasa saktinya. Mencari di ujung dunia sekalipun belum tentu akan
bisa mendapatkan seorang guru selihai Thian-tok.
"Pula, apa hubungannya semua perbuatannya dengan kita?" demikian Ong
Siu Coan berkata, membujuk sutenya.
"Dia adalah seorang sakti, dan semua orang sakti di dunia ini memang
aneh. Bahkan ada yang mendekati gila. Siapa bisa mengikuti jalan pikirannya"
Mungkin saja ada sebab-sebab rahasia yang mendorong semua perbuatannya
yang kelihatannya jahat dan mengerikan itu."
"Hemm, apa yang mendorong kecuali nafsu buruk?" Seng Bu berkata.
"Memperkosa gadis, lalu membunuh gadis yang tak berdosa itu!
Bayangkan saja! Dia mencuri barang-barang berharga dari dalam gedung
orang. Sungguh aku tidak mengerti, mengapa suhu yang sudah setua itu masih
mau mengganggu wanita, dan untuk apa pula barang-barang berharga itu."
Akan tetapi setelah mereka tiba di dalam guha di puncak Pegunungan Taiyun-san, barulah terjawab pertanyaan kedua dari Seng Bu. Di dalam guha besar
itu terdapat terowongan dan kamar-kamar dalam tanah, dan di dalam sebuah
di antara kamar-kamar itulah disimpannya banyak sekali barang-barang
berharga yang langka! Pusaka-pusaka, emas permata, batu giok dan
bertumpuklah barang-barang itu seperti dalam guha harta karun saja! Dan
kadang-kadang Thian-tok bermain-main di dalam kamar itu seperti anak kecil,
menimang-nimang semua benda-benda itu sambil tertawa-tawa seorang diri!
Kalau Seng Bu merasa tidak cocok dengan watak gurunya dan hanya
memaksa diri bertahan untuk mengganggu ilmu kesaktian dari kakek itu,
sebaliknya diam-diam Ong Siu Coan merasa kagum bukan main terhadap
gurunya! Bahkan ada perasaan puas di lubuk hatinya melihat betapa gurunya
melakukan semua kekejaman yang sadis itu. Hanya anak ini menyadari bahwa
perbuatan-perbuatan itu tidak benar, maka diapun memaksa hatinya sendiri
untuk memerangi perasaan puas itu sehingga di luarnya, dia nampak halus
budi dan pandai menyimpan gejolak hatinya.
Seng Bu sendiripun tidak dapat menyelami batin suhengnya yang baginya
dianggap seorang yang cerdik, pandai dan juga tidak pernah melakukan
perbuatan tercela. Sikap suhengnya yang pendiam, serius, dan gagah sekali,
terutama kalau bicara tentang perjuangan menentang penjajah Mancu, benarbenar amat mengagumkan hati Seng Bu. Dia sendiri berwatak jujur, terbuka
dan agak bodoh walaupun dia memiliki jiwa yang gagah perkasa dan berani.
Demikianlah, dalam asuhan orang aneh seperti Thian-tok, dua orang
pemuda remaja itu tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang gagah perkasa.
Dalam usia sembilanbelas tahun, Siu Coan merupakan seorang pemuda
dewasa yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tanpan dan gagah sekali,
sepasang matanya mencorong, kadang-kadang nampak aneh, sikapnya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pendiam dan serius, pandang matanya penuh selidik dan membayangkan
kecerdikan. Gan Seng Bu yang usianya hanya beberapa bulan saja lebih muda dari
suhengnya, bertubuh sedang namun bentuknya kokoh dan kuat sekali, dengan
otot-otot yang menonjol. Wajahnya tidak begitu tampan, akan tetapi wajahnya
jantan dan membayangkan kegagahan. Sinar matanya terbuka dan dari situ
berpancar cahaya mata yang jujur dan terang.
Sudah hampir enam tahun mereka menjadi murid Thian-tok dan boleh
dibilang hampir semua ilmu-ilmu pilihan dari kakek itu telah diajarkan kepada
mereka, terutama sekali ilmu-ilmu andalan Thian-tok. Diantaranya adalah llmu
Sin-houw Ho-kang, yaitu ilmu yang berdasarkan penggunaan tenaga khikang
pada suara sehingga kalau ilmu ini dipergunakan, maka auman yang
dikeluarkan itu demikian hebatnya sehingga mampu merobohkan lawan tanpa
menyentuhnya melainkan menyerang jantung dan isi perut melalui
pendengaran dan getaran suara!
Ada lagi ilmu yang diberi nama Kim-ciong- ko. Dengan mengandalkan ilmu
ini, kalau dikuasai dengan sempurna dan kalau pelakunya sudah memiliki
tenaga singkang yang sempurna, maka tubuh akan menjadi kebal terhadap
senjata tajam dan kedua lengan dapat dipergunakan sebagai senjata, kuat
menahan senjata tajam sekalipun!
Adapun ilmu siat tangan kosong yang diandalkan oleh Thian-tok adalah


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silat yang berdasarkan gerakan Ngo-heng
atau Lima Unsur yang saling berkaitan, saling menolong saling menghidupkan
dan membunuh. Kalau dibuat perbandingan antara Siu Coan dan Seng Bu. Maka Siu Coan
yang cerdik lebih mahir dalam ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekuatan, dia
masih tidak mampu menandingi sutenya yang kokoh kuat seperti pagoda besi
itu. Pagi hari itu, dua orang pemuda yang sudah dewasa ini sedang berlatih
silat di depan guha kecil dimana terdapat sumber mata airnya. Guha kecil ini
letaknya agak jauh dari guha tempat tinggal mereka dan guru mereka, dan
mereka setiap pagi kalau hendak mengambil air, mandi atau bercuci muka,
tentu berlatih silat di depan guha kecil itu. Melihat dua orang pemuda itu
berlatih silat dengan bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang dan
sepatu, amat mengagumkan. Sungguh jauh bedanya dengan perkelahian yang
mereka lakukan pada enam tahun yang lalu di depan Thian-tok ketika kakek ini
mengadu mereka di kuil tua.
Dulu mereka berkelahi secara liar, pukul-memukul, tendang-menendang
dan jambak-menyambak, sehingga hujan pukulan mengenai badan masingmasing dan terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mengenai badan.
Akan tetapi sekarang, tidak terdengar sesuatu dalam gerakan mereka.
Demikian ringannya kaki tangan mereka bergeser, namun sama sekali tidak
mengeluarkan suara. Hanya kalau pukulan mereka meluncur saja terdengar
angin bersiut, dan kadang-kadang terdengar bentakan mereka untuk
menambah daya serang dalam pukulan atau tendangan mereka. Akan tetapi
sekali ini, tidak ada satu kalipun pukulan atau tendangan yang mengenai tubuh
lawan. Betapapun cepat dan kerasnya mereka menyerang, pihak lawan tentu
mampu mengelak atau menangkisnya dengan baik sekali. Mereka sedang
melatih ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, ilmu silat yang
menjadi andalan guru mereka.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Selagi mereka asyik berlatih, tiba-tiba terdengar suara orang mendengus
dan nampaklah bayangan hitam berkelebat dan terasa oleh dua orang muda itu
angin pukulan menyambar dengan dahsyatnya ke arah mereka! Tentu saja
mereka terkejut bukan main, karena mereka tahu bahwa mereka diserang
secara hebat sekali oleh orang yang berilmu tinggi dan yang memiliki tenaga
singkang yang amat kuat. Orang itu bertubuh tinggi kurus bermuka hitam dengan sepasang mata
mencorong kehijauan seperti mata kucing, pakaiannya serba hitam pula dan
dengan dua pukulan yang ganas sekali dia telah menyerang Siu Coan dan Seng
Bu, dengan tamparan ke arah leher Siu Coan dan tonjokan ke arah dada Seng
Bu. "Haiiiittt...!"
Siu Coan berteriak sambil melakukan penangkisan dengan tangan kirinya.
"Heiiiittt...!"
Seng Bu yang kaget itupun cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya
dan menyampok tonjokan itu dengan lengan kanannya.
"Dukk! Dukk!" Dua orang pemuda itu semakin kaget karena ketika lengan mereka yang
menangkis itu terbentur dengan lengan lawan, mereka merasa seolah-olah
menangkis besi panas, dan juga tenaga lengan lawan itu sedemikian kuatnya
sehingga mereka merasa lengan mereka tergetar hebat!
Siu Coan dan Seng Bu kaget bukan main. Lawan mereka itu memiliki
gerakan cepat bukan main. Begitu serangan pertama dapat mereka hindarkan,
serangan-serangan selanjutnya menyusul sedemikian cepatnya sehingga tahutahu mereka telah diserang secara bergantian dan bertubi-tubi sampai tiga
kali! Namun, mereka kini telah menguasai banyak ilmu silat tinggi dan tubuh
mereka sudah mampu bergerak secara otomatis menghadapi ancaman
serangan itu, selain itu mereka yang tahu bahwa penyerang mereka ini amat
lihai, sudah mengerahkan seluruh tenaga singkang mereka sehingga mereka
mampu menangkis dengan baik.
Kembali orang itu mendengus, dan agaknya orang itupun merasa heran
melihat betapa serangannya yang bertubi itu tidak berhasil merobohkan
seorang dari mereka, bahkan kini dua orang pemuda itu mulai membalas. Tibatiba dia mengeluarkan suara mekengking lirih, akan tetapi di dalam suara yang
lirih tinggi itu mengandung tenaga serangan yang amat hebat. Dua orang
pemuda itu terkejut. Mereka mengenal Sin-houw Ho-kang yang sudah
mencapai tingkat tinggi sekali. Cepat mereka melangkah mundur dan
mengerahkan tenaga khikang untuk melawan suara itu dan melindungi diri.
Kembali orang itu kelihatan terkejut dan heran, lalu suara serangannya berhenti
dan sekali berkelebat, orang itu telah lenyap di balik semak-semak tebal.
Siu Coan dan Seng Bu tidak mengejar, hanya saling pandang dengan heran.
"Orang itu sungguh lihai sekali...!" katanya menarik napas panjang.
"Serangannya mendadak dan kalau kita kurang hati-hati, tentu menjadi
korban." Seng Bu menggeleng-geleng kepala, keheranan.
"Mengapa dia menyerang kita membabi-buta tanpa alasan" Siapa dia?"
"Aku dapat menduga siapa dia." Tiba-tiba Siu Coan berkata.
Seng Bu memandang wajah suhengnya denga heran.
"Engkau tahu siapa dia, suheng" Apakah kau sudah mengenalnya?"
Siu Coan menggeleng kepala.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Sute, lupakah engkau akan ucapan suhu ketika dia menerima kita sebagai
murid" Suhu pernah mengatakan secara samar-samar bahwa suhu mempunyai
seorang murid yang sudah tidak diakuinya lagi. Agaknya orang itulah murid
suhu, mengingat bahwa dia mengenal ilmu silat Ngo-heng Lian-hoat kita, juga
ketika dia menyerang kita dengan Sin-houw Ho-kang. Siapa lagi orangnya yang
mampu melakukan dua ilmu itu kalau bukan murid suhu itu?"
Seng Bu mengangguk-angguk.
"Akan tetapi, kalau benar dia, berarti dia itu adalah toa-suheng kita.
Mengapa dia menyerang kita mati-matian seperti itu" Kurang cepat sedikit saja
kita mengelak atau menangkis, tentu seorang di antara kita akan roboh dan
tewas." "Akupun tidak tahu mengapa, sute. Hanya, menurut ucapan suhu dahulu,
tentu dia tidak berhubungan secara baik dengan suhu. Entah mengapa suhu
tidak mengakuinya lagi. Sebaiknya hal ini kita tanyakan kepada suhu."
Dua orang pemuda lalu membersihkan diri di sumber air dan setelah itu
mereka berjalan kembali menuju ke guha besar tempat tinggal mereka. Ketika
mereka mencari guru mereka, akhirnya mereka menemukan guru mereka
duduk bersila di depan kamar harta karun dimana disimpan semua pusaka dan
barang-barang berharga milik guru mereka itu. Akan tetapi, mereka terkejut
bukan main melihat betapa Thian-tok yang duduk bersila itu berwajah pucat
sekali dan jelas kelihatan sedang menghimpun hawa murni dengan tarikantarikan napas panjang. Siu Coan berseru kaget dan heran, diikuti oleh Seng Bu
yang kemudian mereka berlutut di depan kakek itu.
"Suhu" ada apakah?"
Kakek itu membuka kedua matanya dan melihat dua orang muridnya, dia
tersenyum menyeringai, lalu berkata dengan suara yang agak parau.
"Ah, dia datang... mengambil Giok-liong-kiam... dan aku kena ditipunya,
terkena pukulannya, akan tetapi... diapun membawa bekas pukulanku,
mungkin terluka parah pula..."
Siu Coan yang cerdik segera dapat menduga.
"Suhu, apakah suhu maksudkan murid suhu itu yang datang?"
Thian-tok terbelalak. "Kau" kau sudah mengenal Koan Jit?"
Siu Coan menggeleng kepala.
"Tidak, suhu" teecu hanya menduga saja. Tadi ada seorang bertubuh
jangkung, bermuka hitam dan berpakaian serba hitam pula, menyerang teecu
berdua yang sedang berlatih silat di depan guha sumber air. Melihat gerakangerakannya, teecu menduga bahwa tentu dia murid suhu itu. Dan dia lalu
melarikan diri setelah tidak berhasil merobohkan kami."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Benar, dialah Koan Jit, murid durhaka itu. Ah, aku terlalu sayang
kepadanya... dan dia terlalu durhaka..."
"Suhu, apakah yang telah terjadi?"
Seng Bu kini bertanya dengan hati penasaran sekali. Suhunya ini
menyatakan merasa sayang terhadap murid yang bernama Koan Jit itu, akan
tetapi juga mengatakan bahwa murid itu terlalu durhaka.
"Kalian belum tahu... baiklah kuceritakan agar kalian dapat mengenal siapa
dia dan orang macam apa dia itu. Akan tetapi dia memang hebat, dia paling
berbakat, dan dia patut menjadi datuk iblis penggantiku, akan tetapi dia
durhaka kepadaku. Ah" sungguh sayang. Kalau tidak, tanpa dimintapun akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kuberikan Giok-liong-kiam kepadanya?"
Kakek itu lalu bercerita dengan singkat tentang muridnya yang bernama
Koan Jit itu. Orang she Koan bernama Jit itu telah menjadi murid Thian-tok,
murid tunggal semenjak dia masih kecil. Thian-tok amat sayang kepada
muridnya ini, karena bukan saja Koan Jit memiliki bakat yang amat baik
sehingga dapat mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaiannya akan tetapi juga
watak anak itu cocok benar dengan watak Thian-tok. Anak itu kejam, dapat
bersikap jahat dan licik, pendeknya seorang yang patut menjadi calon datuk
iblis yang menjagoi di dunia kaum sesat! Dan di waktu kecilnya Koan Jit
nampak patuh dan setia sekali kepada gurunya sehingga Thian-tok merasa
sayang kepadanya. Thian-tok yang tidak pernah berkeluarga dan tidak
mempunyai keturunan itu, bahkan hanya mempunyai seorang saja murid,
menganggap Koan Jit seperti anak sendiri.
Akan tetapi setelah Koan Jit tamat belajar, limabelas tahun yang lalu, dalam
usia duapuluh lima tahun, watak jahat Koan Jit mencapai puncaknya, bukan
saja dia melakukan segala perbuatan jahat seperti mencuri, merampok,
membunuh, memperkosa dan mengkhianati siapa saja, bahkan dia berkhianat
pula kepada gurunya sendiri! Urusannya hanya menyangkut diri seorang
wanita yang diculik oleh Thian-tok. Kebiasaan Thian-tok, satu di antara
kebiasaan buruknya adalah menculik dan memperkosa wanita mana saja yang
menarik hatinya. Dan setelah diperkosanya, biasanya hanya untuk satu dua
hari saja, lalu wanita itu dibunuhnya.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian, guru ini mendapatkan wanita
pilihannya itu ada dalam pelukan muridnya! Hal ini saja masih belum
menyakitkan hati datuk iblis itu kalau saja si wanita tidak terang-terangan
menyatakan bahwa ia mencinta Koan Jit dan tidak sudi berdekatan dengan
Thian-tok. Marahlah si datuk iblis dan wanita itupun dibunuhnya.
Tak disangkanya sama sekali bahwa Koan Jit mendendam karena peristiwa
ini, dan pada suatu malam, selagi Thian-tok tidur pulas, murid durhaka itu telah
menotoknya, membelenggunya dan menyerahkannya kepada yang berwajib!
Tentu saja alat pemerintah girang melihat penjahat besar itu diserahkan dalam
keadaan terbelenggu, karena kalau tidak, mereka tahu tidak akan mungkin
dapat memegang Thian-tok yang menjadi iblis jahat dan terkenal sekali di
dunia kaum sesat. Setelah siuman dan mendapatkan dirinya dalam tahanan, terbelenggu,
Thian-tok menjadi marah. Dia memberontak, melepaskan diri dan melakukan
penyelidikan. Ketika mendengar bahwa Koan Jit yang menyerahkan dirinya
dalam keadaan pingsan terbelenggu kepada alat negara, dia marah sekali dan
cepat pulang. Setibanya di dalam guha di puncak Tai-yun-san itu, dia
mendapat kenyataan bahwa Koan Jit telah kabur dan membawa banyak
barang-barang berharga yang dikumpulkannya di dalam kamar dalam guha!
Tentu saja Thian-tok marah sekali, bukan karena Koan Jit mencuri barangbarang, melainkan karena murid itu telah mendurhakainya. Dengan kemarahan
meluap-luap, datuk iblis itu lalu mencari muridnya.
Dan setahun kemudian, d Thian-tok ia dapat menemukan Koan Jit. Mereka
bertanding, akan tetapi betapapun lihainya Koan Jit, menghadapi gurunya dia
kalah matang dan akhirnya dia roboh. Akan tetapi, ketika Thian-tok hendak
membunuhnya, kakek ini tidak tega. Dia terlalu sayang kepada murid yang
sudah dianggap sebagai anaknya sendiri itu. Apalagi ketika Koan Jit berkata
kepadanya bahwa sepatutnya guru itu bangga mempunyai murid yang dapat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan melakukan kejahatan yang lebih besar dari pada kejahatan gurunya!
"Suhu hanya merampok, mencuri, menculik, memperkosa dan membunuh.
Pernahkah suhu mengkhianati guru sendiri" Nah, aku ingin melakukan
kejahatan yang melebihi suhu, dan hal itu sudah kulakukan ketika aku
mengkhianati suhu. Kalau aku tidak cinta kepada suhu, tentu suhu telah
kubunuh, bukan kuserahkan kepada yang berwajib. Aku tahu bahwa suhu
tentu akan mampu melepaskan diri. Kenapa sekarang suhu marah-marah"
Pantasnya memujiku, karena bukankah suhu yang mengajarkan semua itu
kepadaku?" Mendengar ucapan muridnya ini, hati Thian-tok menjadi semakin lemah
dan diapun mengampuni muridnya itu. Akan tetapi hatinya telah menjadi
kecewa dan diapun tidak mau mengakui lagi muridnya, dan mengatakan
bahwa kalau sekali lagi saling jumpa, dia tentu akan membunuh murid durhaka
itu. "Kurang ajar! Aku akan mengejar dan mencarinya, suhu!" Siu Coan
mengepal tinju. "Benar, murid durhaka itu perlu dihajar!" kata pula Seng Bu marah.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.
"Jangan! Aku bahkan diam-diam merasa bangga bahwa dia menguasai
pedang pusaka itu dengan cara yang demikian licik dan berani. Perbuatan itu
patut kalian jadikan contoh. Orang harus licin dan cerdik untuk dapat maju di
dunia ini, ha-ha-ha! Dan Koan Jit benar-benar membuat aku bangga. Pula,
belum tentu kalian dapat menang menghadapinya. Dalam hal ilmu silat,
kiranya kalian tidak perlu kalah, hanya mungkin kalah matang dalam latihan.
Semua ilmuku telah kuberikan kepada kalian. Akan tetapi, dalam hal kelicikan
dan kecurangan, kalian kalah jauh, apalagi Seng Bu. Biarlah, pusaka Giok-liongkiam itu biar berada di tangannya. Tentu saja kelak, kalau kalian sudah merasa
mampu, kalian boleh coba-coba merampas dari tangannya. Ketahuilah, pusaka
Giok-liong-kiam itu menjadi semacam ukuran kelihaian seseorang. Pemiliknya
boleh mengangkat diri menjadi orang terpandai di dunia persilatan!"
"Omitohud... kata-kata yang sungguh tidak baik untuk didengar dan
ditaati?" Suara ini halus seolah-olah di dekat mereka ada orang yang berbisik. Hal ini
amat mengejutkan hati Thian-tok dan dua orang muridnya. Thian-tok segera
maklum bahwa ada orang sakti yang datang, karena orang yang berada di luar
guha dapat mendengarkan kata-katanya tadi dan dapat mengirim suara
melalui ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) sedemikian lihainya,
tentulah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa.
"Awas, di luar ada orang sakti. Mari kita sambut dia!"
Kata Thian-tok yang segera bangkit dan melangkah keluar dengan sikap
tenang dan dengan wajah tersenyum mengejek, karena kakek ini belum pernah
merasa takut menghadapi lawan siapa saja di dunia ini. Dua orang muridnya
mengikuti dari belakang dengan hati tegang dan penuh pertanyaan dan
dugaan. Apakah Koan Jit datang kembali"
Mungkin saja murid pertama suhu mereka itu yang datang, karena memang
orang itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa ada seruan
"omitohud" yang biasa hanya keluar dari mulut para pendeta atau para umat
Buddhis yang beribadat" Agaknya tidak mungkin kalau toa-suheng mereka
yang sudah tidak diakui itu menggunakan seruan seperti itu.
Ketika mereka tiba di luar, Siu Coan dan Seng Bu memandang heran. Di
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan depan guha itu telah berdiri seorang pendeta hwesio yang tubuhnya gendut
bulat, segendut dan sebulat guru mereka. Bahkan ada persamaan atau
kemiripan wajah di antara dua orang kakek itu, mirip sekali bentuk mata,
hidung dan mulut pada muka yang sama-sama bundar itu. Hanya
perbedaannya, kalau kepala Thian-tok botak dan di belakangnya berambut,
kepala hwesio itu gundul plontos tanpa ada sedikitpun rambutnya, dan kalau
baju Thian-tok tidak pernah tertutup sehingga nampak bulu di dadanya,
sebaliknya tubuh hwesio itu tertutup rapat oleh jubah kuning, juga wajah
Thian-tok dihias kumis pendek tebal, sedangkan hwesio itu sedikitpun tidak
memelihara kumis. Sejenak dua orang gendut itu saling pandang dan lucunya, keduanya samasama tersenyum lebar. Hanya terdapat perbedaan dalam senyum itu. Kalau
senyum Thian-tok menyeringai dan membayangkan ejekan dan kesombongan,
senyum hwesio itu halus dan ramah dibayangi ketulusan hati.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha-ha-ha!" Thian-tok akhirnya tertawa bergelak.
"Akhirnya ketemu juga! Akan tetapi kedatanganmu itu terlambat beberapa
jam saja, Siauw-bin-hud!"
Hwesio yang disebut Siauw-bin-hud itu tertawa dan menoleh kepada
pemuda berpakaian pemuda tani sederhana yang wajahnya membayangkan
kesabaran. "Ci Kong, inilah dia yang dujuluki orang Thian-tok, satu diantara empat
orang datuk iblis yang dinamakan Empat Racun Dunia."
Kemudian Siauw-bin-hud menghadapi Thian-tok dengan senyum lebar.
"Heh-heh, Thian-tok, engkau pandai sekali menyembunyikan diri. Setelah
yakin bahwa engkaulah orangnya yang duabelas tahun yang lalu merampas
Giok-liong-kiam dengan mempergunakan nama pinceng, barulah pinceng
memaksa diri mendatangi tempat ini. Thian-tok, mengapa engkau melakukan
perbuatan itu?" "Ha-ha-ha, ketika itu aku hanya menggunduli rambut dan kumisku,
memakai jubah kuning dan merobah sedikit alisku, mencoba-coba merasakan
bagaimana kalau menjadi seorang hwesio. Aku sama sekali tidak pernah
mengaku bahwa aku adalah Siauw-bin-hud. Kalau kemudian orang menyangka
aku Siauw-bin-hud, salah siapakah itu" Ha-ha-ha, dan sudah sepatutnya kalau
engkau menjadi pusing karenanya. Ingatkah engkau pada empatpuluh tahun
yang lalu ketika engkau pernah mengalahkan aku dalam pertandingan selama
hampir satu malam di puncak Thai-san?"
Siauw-bin-hud tersenyum lebar.
"Aihh, perlu apa mengingat-ingat masa lampau waktu kita masih gilagilaan dan dikuasai nafsu untuk menang" Pinceng sekarang sudah tidak lagi
haus kemenangan, Thian-tok. Akan tetapi karena orang menyangka pusaka itu
pinceng rampas, maka pinceng terpaksa datang mengunjungimu dan minta
agar engkau suka mengembalikan kepadaku untuk diserahkan kepada mereka
yang berhak." "Ha-ha, enak saja! Majulah dan kalahkan aku sekali lagi kalau engkau
mampu!" Siauw-bin-hud hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
"Biarlah pinceng mengaku kalah."
"Kalau engkau kalah, berarti aku yang menang, dan jagoan nomor satu
sajalah yang berhak menguasai Giok-liong-kiam. Jadi, akulah yang
menguasainya dan akulah yang patut disebut jagoan nomor satu di dunia, hadikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ha-ha!" "Omitohud! Heh-heh, Thian-tok, bagi pinceng sama sekali tidak
berkeberatan kalau engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia atau di akhirat.
Biar kauborong semua gelar dan julukan itu, ha-ha-ha!"
Sementara itu, Ci Kong yang menyaksikan pertemuan antara kakek gurunya
dan kakek gendut itu, sejak tadi memandang penuh keheranan. Memang mirip
sekali dua orang kakek itu satu sama lain, dengan kebiasaan yang sama pula,
yaitu suka tersenyum lebar dan ketawa-ketawa. Hanya bedanya kalau senyum,
susiok-couwnya itu ramah dan tulus, sebaliknya senyum kakek botak itu
mengandung ejekan dan sinar matanya mengandung kekejaman. Akan tetapi,
diam-diam dia merasa kagum kepada dua orang pemuda yang muncul keluar
bersama Thian-tok itu. Mereka adalah dua orang pemuda yang nampak gagah
dan sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.
"Ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, kalau kau sudah mengaku kalah, pergilah dan
jangan ganggu aku!" Thian-tok berkata dan kini dua orang muridnya yang
merasa heran. Biasanya, tidak mungkin guru mereka itu membiarkan orang yang datang
mengganggu pergi begitu saja dan menghabiskan perkara itu sampai di situ!
Dari sikap ini saja mereka dapat menduga bahwa suhu mereka itu merasa jerih
terhadap hwesio tua ini. Hal itu membuat mereka merasa penasaran sekali.
"Thian-tok, pinceng tidak mau merebut keunggulan jagoan, akan tetapi
pinceng sudah berjanji kepada para orang gagah untuk mencari perampas
Giok-liong-kiam yang menyamar pinceng. Kalau engkau tidak mau
menyerahkan pusaka itu kepada pinceng untuk dikembalikan kepada yang
berhak, marilah kau ikut pinceng ke Siauw-lim-si dan engkau menghadapi
sendiri mereka yang menuntut dikembalikannya pusaka itu."
"Hua-ha-ha, enak saja kau membuang kentut, hwesio busuk!"
Thian-tok tertawa bergelak dan memaki dengan nada mengejek sekali.
"Aku merampas pusaka itu menggunakan kepandaian, dan kau hendak
mengambilnya dariku hanya dengan menggunakan bujukan suara kentut
busuk" Kalau engkau mampu mengalahkan aku, baru aku mau bicara tentang
Giok-liong-kiam, kalau engkau tidak berani melawanku, pergilah dan jangan
perlihatkan lagi kepala gundulmu itu di sini!"
"Ha-ha-ha, Thian-tok, jangan seperti anak kecil yang memperebutkan
mainan. Pinceng hanya ingin meluruskan perkara yang bengkok, bukan untuk
memperebutkan sesuatu denganmu."
Siauw-bin-hud masih tertawa-tawa gembira, agaknya kata-kata yang
menghina dari Thian-tok sama sekali tidak dirasakannya. Ci Kong mengerutkan
alisnya yang tebal. Hatinya sudah terasa panas sekali. Dia seorang pemuda
sederhana yang menerima gemblengan lahir batin dari Siauw-bin-hud selama
enam tahun, juga wataknya bijaksana, sabar dan serius. Akan tetapi,
mendengar betapa susiok-couwnya yang amat dihormatinya itu kini dimakimaki dengan kata-kata kotor oleh seorang datuk sesat, dia merasa penasaran
sekali dan menganggap bahwa sikap susiok-couwnya terlalu lemah. Orang
yang begitu jahat seperti Thian-tok ini tidak perlu dikasih hati, pikirnya, karena
makin lemah sikap kita, tentu akan makin diinjaknya.
"Heh-heh, Siauw-bin-hud, engkau mengaku kalah tanpa bertanding, mana
mungkin itu" Kalau saja engkau mengaku bahwa engkau takut melawan aku,
nah" baru aku mau bicara tanpa bertanding. Gundul busuk, kau berlututlah
dan mengaku takut!" kata Thian-tok sambil menyeringai dengan sikap
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan merendahkan sekali. Anehnya, Siauw-bin-hud hanya tersenyum saja, dengan sinar mata penuh
kesabaran seperti dewasa melihat tingkah seorang anak kecil yang nakal. Akan
tetapi, Ci Kong sudah cepat melangkah maju.
"Susiok-couw, segala sesuatu mempunyai batas. Orang ini terlalu
menghina dan memandang rendah, biarlah saya yang mencoba-coba
menghadapi dan menandingi ilmunya!"
Mendengar Ci Kong menantang gurunya, Ong Siu Coan murid Thian-tok
segera berseru. "Orang sombong, kalau engkau yang maju, tidak perlu suhu
menghadapimu, akupun cukuplah. Sambut seranganku!"
Ong Siu Coan selain cerdik dan berwatak aneh, juga gagah perkasa, dan
melihat gurunya ditantang oleh pemuda yang menjadi cucu keponakan
seperguruan Siauw-bin-hud, dia menjadi marah. Juga dengan cerdik dia
mendahului maju untuk menyenangkan hati gurunya, karena perbuatannya itu
tentu saja merupakan suatu kebaktian dan kesetiaan seorang murid yang baik.
Begitu mengeluarkan tantangan dan celaan terhadap Ci Kong yang
dipandangnya rendah, karena bagaimanapun juga, pemuda itu hanyalah cucu
murid Siauw-binhud, tentu hanya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai
tingkat rendah saja, Siu Coan sudah mengirim serangan dengan dahsyatnya.
Begitu menyerang, dia telah mempergunakan sebuah jurus yang ampuh dari
Ngo-heng Kun-hoat dan tentu saja dia mengerahkan tenaga singkang dalam
serangan itu sehinggapukulan tangan kirinya yang menyambar dari samping
ke arah lambung lawan itu mengeluarkan angin keras.
"Hemmmm...!" Ci Kong mengeluarkan suara menahan kemarahannya melihat betapa
pemuda tinggi besar itu begitu saja menyerang dengan ganas. Sebagai
seorang murid terkasih Siauw-bin-hud yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat
paling tinggi dari Siauw-lim-pai, bahkan mewarisi ilmu-ilmu simpanan rahasia
yang bahkan jarang ada tokoh Siauw-lim-pai menguasainya, Ci Kong dengan
tenang menghadapi Ong Siu Coan.
Ci Kong memiliki ketenangan yang luar biasa. Sekali pandang sekelebatan
saja, diapun sudah tahu bahwa serangan lawannya itu mengandung hawa
maut dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Juga dia tidak dapat diikat
perhatiannya oleh pukulan tangan kiri lawan yang menyambar lambungnya,
maka sambil mengelak, dia tetap waspada. Kewaspadaannya ini ternyata amat
berguna, karena belum juga pukulan tangan kiri Siu Coan itu terelakkan, tangan
kanan Siu Coan sudah menyambar dengan lebih cepat dan lebih ganas dari
pada gerakan tangan kiri, dan yang diserang adalah pelipis kiri Ci Kong.
Kiranya inilah serangan intinya sedangkan sambaran tangan kiri tadi hanyalah
pancingan atau gertakan saja. Memang demikian sifat ilmu silat Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat yang dirangkai oleh Thian-tok. Serangan susul menyusul
dan sambung-menyambung sehingga sukar diketahui lawan mana serangan
pancingan dan mana yang inti, karena kesemuanya nampak berbahaya, makin
Pendekar Pemetik Harpa 29 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Kisah Sepasang Bayangan Dewa 5
^