Pencarian

Pedang Naga Kemala 5

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


lama makin cepat. "Dukkk...!" Keduanya terkejut karena begitu dua lengan bertemu, tubuh mereka
tergetar dan tiba-tiba tangan kiri Siu Coan pada detik berikutnya sudah
menyambar dengan dorongan ke arah ulu hati lawan. Serangan susulan yang
amat berbahaya! Akan tetapi Ci Kong juga memapakinya dengan tangan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kirinya. Dua telapak tangan kiri itu saling dorong dan bertemu di udara.
"Plakk!!" Keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah dan sama-sama
memandang dengan sinar mata kagum, karena dari pertemuan telapak tangan
itu saja, mereka dapat mengetahui betapa kuatnya tenaga dari lawan masingmasing.
"Heh-heh, Ci Kong, apa gunanya bersitegang dan berkelahi seperti anak
kecil" Mundurlah!"
Tiba-tiba terdengar suara halus Siauw-bin-hud dan mendengar suara
susiok-couwnya ini, Ci Kong mundur walaupun pada saat itu, Siu Coan sudah
menyerangnya lagi! Kombinasi pukulan tiga kali berturut-turut secara cepat lagi dilancarkan
oleh Siu Coan ke arah tubuh gendut itu. Pertama ke arah leher, kedua ke arah
lambung, dan ketiga kalinya ke arah dada. Cepat sekali dan mengandung
tenaga sepenuhnya. Demikian cepatnya tiga pukulan berantai itu sehingga
jatuhnya hampir berbareng, sekali dengan tangan kiri dan dua kali dengan
tangan kanan. "Buk! Buk! Buk!"
Tiga kali pukulan itu mengenai sasaran dengan tepatnya, akan tetapi
akibatnya sungguh aneh. Ong Siu Coan terkulai dan tentu sudah roboh kalau
lengannya tidak cepat disambar oleh sutenya, Gan Seng Bu. Ketika tiga kali
pukulan tadi mengenai leher, lambung dan dada kakek gendut itu, Siauw-binhud sama sekali tidak mengelak, dan Siu Coan merasa betapa pukulanpukulannya seperti mengenai benda yang amat lunak, dingin dan yang
mengandung daya serap, menyedot semua tenaga singkang yang terkandung
dalam semua pukulannya. Dan seketika kaki tangannya terasa lemas dan
lumpuh sehingga dia hampir terguling roboh kalau tidak disambar oleh
sutenya. Dia cepat melangkah mundur dan memandang kepada kakek pendeta
Siauw-lim-pai itu dengan mata terbelalak.
"Ha-ha-ha, Thian-tok, engkau mempunyai murid-murid yang amat lihai."
Siauw-bin-hud berkata, ucapannya itu sama sekali bukan merupakan
ejekan, karena kakek ini tahu benar betapa lihainya pemuda tinggi besar yang
menyerangnya tadi. Dia bisa menderita malu kalau menghadapi pemuda itu
dengan kekerasan pula, dan diapun tahu bahwa biarpun cucu muridnya
mungkin tidak kalah, akan tetapi untuk dapat memenangkan pemuda murid
Thian-tok itupun bukan merupakan hal yang mudah. Yang paling
mengagumkan hatinya adalah sinar mata Siu Coan, begitu mengandung
kecerdikan dan keanehan, sehingga pemuda itu memang patut menjadi murid
seorang sakti aneh seperti seorang di antara Empat Racun Dunia itu.
"Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud, tak perlu kau mengejek. Tentu saja muridmuridku masih belum cukup matang untuk melawan tua bangka bangkotan
seperti engkau, akan tetapi mari kita yang tua sama tua mencoba kepandaian
masing-masing. Kalau engkau tidak mampu menang dariku, bukan saja engkau
tidak akan mendengar dariku tentang pusaka Giok-liong-kiam, bahkan aku
akan membunuhmu dan membunuh muridmu ini! Akan tetapi kalau aku kalah,
aku mau bicara tentang Giok-liong-kiam!"
Tentu saja Ci Kong semakin marah mendengar ucapan dan melihat sikap
Thian-tok. Dimana ada orang menggunakan aturan yang demikian boceng-li,
mau menang sendiri dan mau enaknya sendiri saja"
Terhadap orang macam ini, yang lebih mendekati gila dari pada sekedar
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan jahat, perlu dipergunakan kekerasan untuk menghajarnya. Akan tetapi,
pemuda itu tentu saja tidak berani berbuat atau berkata dengan lancang tanpa
ijin dari susiok-couwnya yang kini hanya tersenyum lebar saja menghadapi
tantangan Thian-tok. "Omitohud... Thian-tok, sejak puluhan tahun engkau selalu haus
kemenangan, haus darah. Apakah sampai mati engkau akan selalu kehausan
seperti ini" Sungguh kasihan sekali!"
Ucapan ini oleh Thian-tok yang selalu berprasangka buruk itu dianggap
sebagai penghinaan dan memandang rendah. Mukanya menjadi merah
walaupun senyumnya masih lebar, senyum menyeringai dan tiba-tiba dia
mengeluarkan mangkok dan guci araknya. Dituangkannya arak ke dalam
mangkok sampai penuh, lalu diminumnya dengan sepasang matanya masih
terus menatap wajah Siauw-bin-hud.
Dua orang muridnya yang sudah mengenal kakek ini diam-diam menjadi
tegang. Kalau gurunya sudah bersikap seperti itu, minum arak seperti itu, maka
hanya ada dua hal terjadi dalam batin gurunya. Terlalu gembira atau terlalu
marah, dan agaknya kini gurunya itu telah marah sekali.
Setelah menghabiskan tiga mangkok arak, Thian-tok menggantungkan
kembali mangkok dan ciu-ouw di pinggangnya, lalu terkekeh. Suara ketawanya
tadinya terdengar ketawa biasa saja, akan tetapi makin lama suara itu makin
meninggi sampai seperti ringkik kuda, dan makin tinggi lagi melengkinglengking.
Tentu saja Ci Kong menjadi terkejut bukan main, apalagi ketika suara itu
jelas mengandung tenaga khikang kuat yang menyerang dia dan susiokcouwnya. Dia melihat betapa Siauw-bin-hud masih tersenyum saja. Akan tetapi
dia sendiri cepat-cepat mengerahkan singkang untuk menjaga diri, karena dia
tahu bahwa kalau dia tidak membela diri, mungkin dia akan terkena serangan
melalui suara itu dan terluka. Suara itu adalah ilmu Sin-houw Ho-kang yang
amat berbahaya. Diciptakan oleh Thian-tok meniru suara harimau. Seekor
binatang harimau yang menjadi raja hutan, menundukkan lawan atau
korbannya cukup dengan suaranya saja.
Harimau yang mengeluarkan suara gerengan itu mengandung tenaga yang
menggetarkan jantung, dapat membuat lawannya lumpuh dan ketakutan
sehingga tanpa dikejar sekalipun sudah akan roboh di depan kakinya. Suara
inilah, dengan kekuatan getarannya, yang ditiru oleh Thian-tok, disesuaikan
dengan suara yang dapat keluar dari perutnya melalui tenggorokannya, dan
dibandingkan dengan suara harimau aseli, maka Sin-houw Ho-kang ini jauh
lebih hebat dan lebih berbahaya lagi.
Hanya dengan pengerahan sinkangnya, Ci Kong dapat menghadapi
serangan suara itu sambil berdiri tegak dan mengatur pernapasan. Akan tetapi,
Siauw-bin-hud masih tersenyum enak-enak saja, seolah-olah suara itu tidak
mempengaruhinya sama sekali. Hanya kedua matanya saja yang bersinar
lembut itu menentang pandang mata Thian-tok yang melotot.
Melihat sikap Siauw-binhud yang seolah-olah sama sekali tidak
terpengaruh oleh serangannya, tentu saja Thian-tok menjadi penasaran. Di
antara Empat Racun Dunia, dia terkenal sekali dengan Sin-houw Ho-kangnya,
bahkan datuk iblis yang lain tidak berani memandang rendah. Pemuda Siauwlim-pai itupun sudah harus mengerahkan sinkang untuk melawan suaranya.
Akan tetapi kenapa Siauw-bin-hud enak-enak saja" Sikap enak-enakan itu
merupakan tanparan baginya, seolah-olah menunjukkan bahwa Sin-houw Hodikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kang yang dipergunakannya untuk menyerang itu bagi Siauw-bin-hud hanya
nyanyian yang merdu saja. Dia lalu mengerahkan tenaga khikang lebih kuat
lagi sehingga suaranya itu kini melengking semakin tinggi sampai seperti
suara nyamuk-nyamuk berterbangan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu,
daya serangan menjadi semakin kuat sehingga Ci Kong yang lihai itupun
terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan bahkan memejamkan mata
untuk memusatkan tenaga. Akan tetapi, Siauw-bin-hud tetap saja tersenyum lebar, bahkan kadangkadang terkekeh lirih. Justeru dalam suara kekehnya inilah terletak kekuatan
yang dapat menolak serangan suara Sin-houw Ho-kang itu! Agaknya bukan
hanya Thian-tok yang menjadi penasaran, juga Siu Coan mengerutkan alisnya.
Dia biasanya amat menyombongkan Ilmu Sin-houw Ho-kang ini dan sekarang
suhunya sudah mengerahkan tenaga sekuatnya, belum juga mampu
mengalahkan atau setidaknya membuat Siauw-bin-hud kerepotan. Maka tibatiba diapun mengeluarkan suara melengking yang disusul pula oleh Seng Bu
dalam usaha dua orang murid itu untuk membantuguru mereka! Kini ada tiga
suara yang mengandung Sin-houw Ho-kang yang menyerang ke arah Siauwbin-hud dan Ci Kong!
Ci Kong merasa terkejut bukan main. Serangan tambahan dari dua orang
pemuda itu sungguh tidak boleh dibuat main-main. Kekuatan yang terkandung
dalam lengkingan suara mereka itu tidak selisih banyak dengan kekuatan suara
Thian-tok, dan karena dua orang pemuda itu menggabungkan suara mereka,
maka kekuatan suara gabungan itu bahkan lebih kuat lagi daripada suara
Thiantok. Ci Kong merasa betapa tubuhnya menggigil dan cepat dia lalu duduk
bersila dan mengerahkan semua tenaganya. Baru setelah dia duduk bersila dan
mengerahkan tenaga dalamnya, dia mampu menahan serangan getaran tiga
suara yang bergabung itu.
Dan kini, senyum Siauw-bin-hud makin melebar dan mulai terdengar suara
terkekeh-kekeh dari mulutnya. Suara ini demikian kuatnya sehingga tiga orang
penyerang itu merasa betapa suara mereka terpukul membalik, membuat
mereka terkejut sekali. Akan tetapi Thian-tok masih berkeras mengerahkan
tenaganya. "Thian-tok, engkau sedang menderita luka, apakah engkau mau bunuh
diri?" tiba-tiba terdengar Siauw-bin-hud berkata, suaranya lembut, akan tetapi
aneh karena dalam kelembutan itu terkandung kekuatan dahsyat sekali yang
serentak membuyarkan kekuatan Sin-houw Ho-kang dari tiga orang penyerang
itu! Thian-tok menghentikan serangan suaranya dan mukanya menjadi agak
pucat. Dua orang muridnya terpaksa menghentikan pula suara mereka, dan di
dahi dan leher mereka nampak butiran-butiran keringat yang besar-besar dan
dingin. Kalau dilanjutkan melawan suara kakek Siauw-lim-pai itu, yang
membuat suara mereka sendiri membalik, mereka akan dapat menderita luka
parah sekali oleh tenaga khikang mereka sendiri yang memukul balik!
"Hemm, aku masih belum kalah, Siauw-bin-hud. Coba kausambut
seranganku dan kaukalahkan aku kalau bisa!"
Berkata demikian, kakek gendut itu kini sudah menerjang ke depan,
menyerang Siauw-bin-hud kalang kabut. Angin pukulan dahsyat menyambarnyambar dengan hebatnya dan Siauw-bin-hud mengeluh.
"Omitohud, engkau menderita masih nekat, Thian-tok?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Siauw-bin-hud juga menggerakkan tubuhnya, mengelak sambil mengebutngebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis. Kakek ini tidak pernah
membalas, akan tetapi semua serangan Thian-tok yang amat hebat itu
dielakkannya saja sambil kadang-kadang ditangkis dengan ujung lengan baju.
Thian-tok adalah seorang tokoh besar, seorang datuk iblis yang sudah
mematangkan ilmunya selama puluhan tahun ini, semenjak kalah oleh Siauwbin-hud, maka ilmu kepandaiannya meningkat banyak sekali.
Siauw-bin-hud maklum akan hal ini, akan tetapi kakek yang batinnya penuh
dengan welasasih ini, selain tidak suka memukul orang, juga merasa amat
kasihan kepada Thian-tok yang dia tahu sedang menderita luka cukup parah di
sebelah dalam tubuhnya. Dan memang benarlah. Pertemuannya dengan bekas
muridnya yang murtad, yaitu Koan Jit, yang memukulnya dengan tiba-tiba
sehingga kakek itu terluka, membuat tenaganya banyak berkurang, bahkan
kalau dia terlalu mengerahkan tenaga dalam, amat membahayakan diri sendiri.
Karena merasa kasihan inilah, maka Siauw-bin-hud hanya mengelak dan
menangkis saja atas semua desakan Thian-tok yang mempergunakan Ilmu Silat
Ngo-heng Lian-hong Kun-hoat yang amat diandalkannya itu. Selama puluhan
tahun dia menyempurnakan ilmu ini dan selama ini belum pernah menemui
tandingan. Ci Kong memandang penuh kekhawatiran, karena pemuda inipun dapat
melihat betapa hebatnya serangan-serangan Thian-tok dan betapa susiok
couwnya hanya mengelak dan menangkis saja dengan sikap amat mengalah.
Kakek gurunya itu sudah amat tua, dan betapapun sakti dan tinggi ilmunya,
usia tua membuat tubuh itu tentu saja ringkih. Mana mungkin kakek itu dapat
bertahan terus menghadapi serangan dengan ilmu sedahsyat itu kalau hanya
mengelak dan menangkis saja tanpa membalas sama sekali.
Sementara itu, Thian-tok merasa makin penasaran. Siauw-bin-hud
sekarang, tidak seperti empatpuluh tahun yang lalu, menghadapinya tanpa
membalas dan sudah lewat limapuluh jurus, belum juga dia mampu menyentuh
tubuh kakek itu, apalagi merobohkan! Padahal, Siauw-bin-hud sama sekali
tidak pernah membalasnya. Empatpuluh tahun yang lalu, setelah melalui
perkelahian mati-matian selama belasan jam, baru Siauw-bin-hud mampu
mengalahkannya, akan tetapi Siauw-bin-hud ketika itu balas menyerang, tidak
seperti sekarang ini, sama sekali tidak membalas dan hanya mengelak dan
menangkis saja. Sungguh tak mungkin dia dapat menerimanya, bahkan sukar
mempercayanya. Maka, tanpa memperdulikan luka yang dideritanya akibat pukulan bekas
muridnya, kakek gendut ini menyerang terus mati-matian. Dia tahu bahwa
dengan lukanya, dia sama sekali tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan
tenaga. Hal ini akan membuat luka pukulan beracun bekas muridnya itu
menjadi semakin parah. Akan tetapi, Thian-tok memiliki watak yang angkuh
dan kepala batu, maka dia tidak memperdulikan diri sendiri dan terus
menyerang dengan maksud mengalahkan, kalau mungkin membunuh.
Sepasang matanya sudah merah, mulutnya masih tersenyum, menyeringai
menyeramkan karena dalam senyum ini terbayang nafsu membunuh! Dia tidak
perduli bahwa lawannya tidak pernah membalas, dan hal ini malah dianggap
amat menguntungkan, memberi kesempatan sebanyaknya kepadanya untuk
menang. Sikap Siauw-bin-hud yang mengalah itu dianggap suatu kebodohan,
ketololan lawan yang menguntungkan dirinya!
"Aagghhhh...!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tiba-tiba dia mengeluarkan suara gerangan rendah yang menggetarkan
tanah sekitar tempat itu, seperti seekor raja hutan menggereng dengan
dahsyatnya dan sambil mengeluarkan suara gerengan itu, Thian-tok menubruk
ke depan, kedua tangannya mendorong ke arah dada Siauw-bin-hud sambil
mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya. Agaknya Thian-tok sekali
ini mengeluarkan segalanya untuk merobohkan lawan.
"Omitohud... kau menyiksa dirimu sendiri"
Siauw-bin-hud berseru dan hwesio gendut ini tidak sempat mengelak lagi,
terpaksa mengulur kedua tangannya menyambut. Siauw-bin-hud yang berhati
penuh welas asih itu tidak mengerahkan tenaga keras, melainkan
menggunakan kelembutan menerima serangan dahsyat dari lawan.
"Plakkk...!" Tubuh Siauw-bin-hud terlempar ke belakang dan diterima oleh Ci Kong
dengan lembut. Tubuh Thian-tok tetap berdiri tegak, dengan kedua kaki
terpentang lebar, dan dia tertawa bergelak, akan tetapi tiba-tiba suara
ketawanya berganti suara muntah-muntah, dan dari mulutnya tersembur
keluar darah segar, lalu diapun terjungkal! Dua orang muridnya cepat
melompat dan membantunya bangkit duduk, kemudian Thian-tok cepat bersila
dan mengatur pernapasannya yang memburu. Dia terluka semakin hebat oleh
tenaganya sendiri yang membalik.
Sementara itu, Siauw-bin-hud ternyata tidak apa-apa, hanya mukanya saja
berobah agak pucat dan nampak kakek ini lelah sekali. Seperti juga Thian-tok,
dia duduk bersila memejamkan mata dan pernapasannya berjalan dengan
lembut dan panjang. Ong Siu Coan merasa penasaran dan tersinggung sekali karena gurunya
jelas mengalami kerugian atau kekalahan dari kakek Siauw-lim-pai. Dia
memang licik. Melihat betapa kakek yang sakti dari Siauw-lim-pai itu agaknya
juga terluka atau setidaknya kehabisan tenaga, diapun meloncat ke depan
menantang. "Orang-orang Siauw-lim-pai yang sombong! Kalian datang untuk
mengganggu kami, majulah dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"
Mendengar tantangan murid Thian-tok ini, Ci Kong bangkit berdiri dari
samping suhunya. Ingin dia menyambut tantangan itu, dan biarpun dia tahu
bahwa kaum sesat tidak segan untuk berbuat curang dan mengeroyok, namun
pemuda perkasa ini tidak merasa gentar. Yang membuat dia tidak enak adalah
susiok-couwnya. Tanpa ijin kakek itu, tentu saja dia tidak berani sembarangan
turun tangan. Maka, biarpun dia sudah berdiri menghadapi Siu Coan, dia
menoleh kepada kakek gurunya yang masih duduk bersila sambil memejamkan
matanya. Agaknya, tanpa membuka matanya, Siauw-bin-hud maklum akan keraguan
cucu murid itu. Diapun menggerakkan bibirnya dan biarpun tidak ada suara
keluar dari mulutnya, namun Ci Kong mendengar bisikan di dekat telinganya.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ingat, kita datang bukan untuk mencari permusuhan. Serahkan saja
kepada pinceng dan jangan ikut mencampuri urusan ini."
Mendengar bisikan ini, Ci Kong menarik napas panjang untuk mencairkan
kebekuan di dalam batinnya karena penasaran tadi, dan diapun duduk kembali
bersila di belakang susiok-couwnya. Melihat ini, Siu Coan tertawa bergelak
dengan sikap menghina. "Ha-ha-ha" setelah tua bangka itu luka dan lelah, engkau kehilangan
nyali!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Itulah penghinaan yang hebat bagi seorang gagah. Setiap orang pendekar
pantang untuk merasa takut, dan makian bahwa dia kehilangan nyali
merupakan penghinaan yang sukar dapat ditahan. Dan ini merupakan ujian
berat bagi Ci Kong. Pemuda ini hanya menundukkan mukanya yang sebentar
merah dan sebentar pucat menahan kemarahan yang berkobar di dalam dada.
"Hemm, kalau kalian diam saja, biarlah aku yang turun tangan,
menyelesaikan pekerjaan suhu yang kepalang tanggung tadi. Aku akan bunuh
kalian!" Su Coan berkata lagi dan Seng Bu hanya memandang bingung. Di dalam
hatinya dia tidak setuju dengan sikap suhengnya itu. Akan tetapi dia juga
merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap membela musuh! Maka,
pemuda ini hanya diam saja dan memandang dengan mata terbelalak penuh
ketegangan. Ong Siu Coan sudah melangkah maju, siap untuk menyerang kakek gendut
itu. Diapun dapat menduga bahwa kakek itu sakti sekali, biarpun nampak lelah
akan tetapi harus dihadapi dengan amat hati-hati.
"Siu Coan, mundurlah!"
Tiba-tiba terdengar suara Thian-tok. Siu Coan terkejut sekali dan diapun
mundur lagi, tidak berani menentang perintah gurunya. Lalu terdengar Thiantok tertawa.
"Heh-heh-heh, anak bodoh. Aku sendiri saja tidak mampu menandinginya,
apa engkau kepingin mampus, berani mencoba untuk menyerangnya?"
"Suhu, untuk membela suhu, aku berani menghadapi kematian!" kata Siu
Coan dengan sikap gagah. Kembali Thian-tok tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, gagah-gagahan apa untungnya" Mundur dan jangan
mencampuri urusanku dengan Siauw-bin-hud. Eh, Siauw-bin-hud, aku tidak
perlu malu mengatakan bahwa sekali inipun aku belum mampu menandingimu.
Nah, aku memenuhi janjiku tadi. Mari kita bicara tentang Giok-liong-kiam. Apa
kehendakmu mengenai pusaka itu?"
"Ha-ha, engkau bersikap baik sekali, Thian-tok. Pinceng tidak tamak dan
tidak butuh pusaka. Akan tetapi karena engkau merampas pusaka itu
mempergunakan nama pinceng, atau setidaknya semua orang menyangka
pinceng yang merampasnya, maka pinceng ingin membersihkan suasana.
Serahkan pusaka itu kepada pinceng agar dapat pinceng kembalikan kepada
yang berhak." "Siapa yang berhak?"
"Karena pusaka itu dicuri orang dari pusat Thian-te-pai, maka tentu saja
akan pinceng kembalikan kepada mereka."
"Uhh, tolol kalau kaukembalikan kepada mereka! Yang berhak memiliki
pusaka itu adalah orang yang paling sakti di dunia ini. Siapa yang mampu
memilikinya, dialah yang berhak menjadi pemiliknya."
"Ha-ha-ha" tidak ada gunanya berdebat tentang pendapat, Thian-tok.
Serahkan pusaka itu dan pinceng akan akan pergi."
"Heh-heh, tak kusangka engkau sebodoh ini, Siauw-bin-hud. Ketika engkau
baru datang tadi, sudah kukatakan bahwa kedatanganmu terlambat. Baru pagi
tadi pusaka itu hilang dari tanganku."
"Omitohud...! Hilang lagi?"
"Bekas muridku yang amat pandai, mungkin lebih pandai dari pada aku
sendiri, bernama Koan Jit, tadi datang dan mengambil pusaka itu. Kalau saja
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dia tidak lebih dulu datang dan melukai aku dengan pukulannya yang beracun,
belum tentu sekarang aku sudah menyerah kalah padamu!"
"Omitohud! Muridmu sendiri yang merampasnya dan memukulmu" Hemm,
dia bernama Koan Jit" Dimanakah tempat tinggalnya?"
"Ha-ha-ha-ha, Siauw-bin-hud. Engkau seperti nenek-nenek bawel saja
dalam bertanya. Dimana dia" Mana aku tahu" Cari saja sendiri, nama Hek-engmo tidak sukar untuk dikenal."
Siauw-bin-hud mengangguk-angguk.
"Hek-eng-mo! Hemmm, terima kasih, Thian-tok, selamat tinggal."
Kakek gendut itu sambil tersenyum lalu menjura ke arah kakek gendut
lainnya yang masih duduk bersila, kemudian memberi isyarat kepada Ci Kong
untuk pergi meninggalkan tempat itu. Dua orang murid Thian-tok tidak berani
mengganggu dan hanya mengikuti gerakan dua orang itu dengan pandang
mata sampai mereka lenyap di sebuah tikungan.
Setelah dua orang itu pergi, Thian-tok memandang kepada dua orang
muridnya. Mulutnya masih menyeringai, akan tetapi sekarang nampak bahwa
kakek ini menderita kesakitan yang ditahan-tahan sejak tadi.
"Siu Coan dan Seng Bu, mulai hari ini kalian boleh turun gunung dan
berpencar. Kalian kuberi tugas untuk mewakili aku, mencari Koan Jit dan
berusaha merampas kembali Giok-liong-kiam sebelum keduluan orang lain.
Hati-hati, setelah kini Siauw-bin-hud tahu, tentu tugas kalian akan menjadi
semakin berat karena akan terdapat banyak saingan. Siapa di antara kalian
yang berhasil membawa Giok-liong-kiam kepadaku, akan kuwarisi ilmu
pedang yang cocok untuk dimainkan dengan Giok-liong-kiam, dan dia yang
akan menjadi pemilik Giok-liong-kiam. Nah, pergilah kalian, aku harus mengaso
dan bertapa lagi untuk mengobati lukaku."
"Tapi, suhu. Kemanakah aku harus mencari suheng Koan Jit itu?" Siu Coan
bertanya. "Ha-ha, kalau engkau pintar, tidak akan sukar mencari murid murtad itu.
Julukannya Hek-eng-mo, dia haus akan kedudukan, ingin menjadi jago nomor
satu di dunia, dan aku sendiri tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Akan
tetapi ada dua hal yang patut kauingat dan selidiki. Dia sahabat baik pai-cu
(ketua) dari perkumpulan wanita Ang-hong-pai, dan dia musuh besar
perkumpulan Thian-te-pai. Agaknya karena permusuhannya itulah yang
membuat dia ingin memiliki Giok-liong-kiam yang pernah menjadi pusaka
Thian-te-pai. Sudahlah, aku tidak tahu apa-apa lagi. Kalian pergi dan selidiki
sendiri." Mereka menuruni puncak bersama. Seng Bu menggendong sebuah
buntalan pakaian yang kecil, hanya terisi beberapa potong pakaiannya.
Sebaliknya, Siu Coan membawa bungkusan yang agak besar karena selain
pakaiannya, juga diam-diam pemuda ini mengambil beberapa barang berharga
dari dalam guha untuk bekal. Pemuda yang cerdik ini tahu bahwa perjalanan
jauh membutuhkan banyak biaya, maka diam-diam dia mengambil beberapa
puluh tail emas dari simpanan gurunya. Hal ini tanpa setahu gurunya. Karena
andaikata Thian-tok tahu sekalipun, dia tidak akan marah, bahkan merasa
bangga kalau muridnya itu pandai mencuri, satu di antara ciri kejahatan orang
sesat. Setelah tiba di jalan simpangan, Siu Coan berkata.
"Sute, kita berpisah, karena kalau berpisah akan lebih mudah bagi kita
untuk mencari jejak suheng Koan Jit. Apakah engkau telah membawa bekal,
sute?" tanya Siu Coan sambil memandang buntalan di punggung sutenya,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan buntalan yang kecil itu. Seng Bu mengangguk. "Semua pakaianku sudah kubawa, suheng."
"Bukan itu maksudku. Apa kaukira pakaian saja sudah cukup" Engkau
butuh makan, dan mungkin butuh perahu atau kuda, semua itu membutuhkan
uang. Apa engkau sudah membawa uang?"
"Uang.....?" Seng Bu bertanya dengan muka bodoh. Maklumlah, sejak kecil Seng Bu
menjadi yatim piatu dan gelandangan sampai bertemu dengan Thian-tok dan
diambil murid dan sampai sudah dewasa itu, dia tidak pernah mempergunakan
uang, tidak pernah membeli apa-apa dan juga tidak memperhatikan soal harta
benda, berbeda dengan Siu Coan yang banyak bertanya dan banyak melihat.
Bahkan dalam hal ilmu baca tulis, Seng Bu kalah jauh dibandingkan dengan Siu
Coan. Siu Coan tertawa melihat kebodohan sutenya.
"Aih, sute. Tentu saja uang, atau barang berharga yang dapat dipakai
untuk membeli kebutuhan dalam perjalananmu. Nih, aku sudah menduga
bahwa engkau tentu tidak membawa bekal, terimalah ini untuk bekal."
Seng Bu menerima belasan tail emas dari suhengnya dengan perasaan
berterima kasih. Baru dia teringat bahwa kehidupan di tempat ramai
membutuhkan uang dan diapun teringat akan keadaannya di waktu dahulu,
sampai seringkali kelaparan karena tidak mempunyai uang untuk membeli
makanan. "Terima kasih, suheng. Engkau baik sekali."
Kembali Siu Coan tersenyum.
"Sute, setelah kita berpisah di sini, kemanakah engkau akan pergi dan apa
tujuanmu" Kemana engkau hendak mencari Koan Jit?"
Seng Bu menggeleng kepala.
"Entahlah, suheng. Terus terang saja, aku tidak tertarik untuk mencarinya
dan merampas pedang pusaka itu. Aku akan merantau dan mungkin mencari
pekerjaan, dan tentu saja aku akan mencoba melanjutkan pekerjaan orang tua
dahulu, yaitu berburu."
Siu Coan tertawa bergelak. Setelah kini bebas bersama sutenya, watak
guru mereka yang suka tertawa agaknya menurun kepadanya.
"Aihh, sute. Berburu binatang" Lalu apa artinya sampai bertahun-tahun
dengan susah payah engkau mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari Suhu?"
"Tentu saja kalau ada orang jahat menindas yang lemah, aku akan bangkit
melindungi dan membela yang lemah, menentang si jahat yang sewenangwenang! Bagaimana dengan engkau, suheng?"
Kembali Siu Coan tertawa geli.
"Aihh, engkau dengan cita-citamu yang muluk. Ingin menjadi pendekar,
ya" Pendekar murid Thian-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia yang
justeru menjadi datuk-datuk kaum sesat. Alangkah lucunya dan siapa mau
percaya padamu, Sute?"
"Suheng?" kata Seng Bu dengan wajah serius.
"Aku belajar dari suhu Thian-tok adalah untuk belajar ilmu silat, bukan
untuk mempelajari perbuatan jahat. Dan kalau aku dapat melakukan kebaikan
dan kegagahan, sedikitnya nama suhu akan terangkat dan siapa tahu dapat
mencuci dan membersihkan namanya. Hanya itulah yang dapat kulakukan
untuk membalas budi suhu. Dan engkau sendiri, suheng?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Aku tentu saja akan mencari Koan Jit dan merampas pusaka itu. Pula, aku
tetap akan melanjutkan cita-cita para patriot. Aku akan mencari kawan-kawan,
aku akan berjuang menentang pemerintah penjajah asing!"
Dengan sikap gagah dan sungguh-sungguh, Siu Coan berdiri tegak dengan
muka menengadah dan kedua tangan dikepal. Sutenya memandang kagum dan
mengangguk-angguk. "Kelak kalau engkau sudah berjuang dengan pasukanmu, aku akan
membantumu, suheng. Aku juga menghargai perjuangan para patriot
menentang penindasan orang-orang Mancu."
"Baik, sute, dan selamat berpisah. Kita mengambil jalan sendiri-sendiri, dan
mudah-mudahan kita akan dapat berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih
baik, sute." Dua orang pemuda itupun saling pegang pundak, lalu saling memberi
hormat dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
-------Sementara itu, Siauw-bin-hud serta Ci Kong kembali ke Siauw-lim-si karena
waktunya telah tiba bagi para tokoh yang datang enam tahun yang lalu untuk
berkumpul di Siauw-lim-si seperti yang telah dijanjikan oleh kakek gendut itu.
Di sepanjang perjalanan, kakek dan pemuda itu mendengar betapa
pergerakan orang-orang yang menentang pemerintah makin menjadi-jadi,
betapa kekacauan timbul dimana-mana, terutama sekali karena ulah orangorang kulit putih yang menyebarkan candu. Makin terasalah pengaruh racun
madat di antara rakyat, dan walaupun yang terkena sebagian besar adalah
orang-orang hartawan dan bangsawan, namun keguncangan-keguncangan
terjadi karena harta benda penduduk dihisap dan ditukar dengan benda yang
beracun dan amat berbahaya itu. Diam-diam Siauw-bin-hud merasa prihatin
sekali, oleh karena itu setelah tiba di kuil Siauw-lim-si, dia cepat berunding
dengan para pimpinan kuil dan juga dengan Ci Kong.
"Ci Kong, pinceng dan para suhu di sini adalah pendeta-pendeta yang tidak
mungkin dapat mencampuri urusan pemerintah. Akan tetapi engkau bukan
seorang hwesio dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Kini bangsa kita
sedang terancam bahaya besar berupa candu. Karena itu, engkau harus turun
gunung dan membantu setiap gerakan rakyat yang hendak menentang
diperbolehkannya candu meracuni bangsa kita. Dengan adanya engkau yang
mewakili kami, berarti Siauw-lim-pai juga ikut membantu. Kami akan memberi
anjuran yang sama kepada semua murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta."
Demikian antara lain Siauw-bin-hud berkata.
Di sepanjang perjalanan, Ci Kong sudah mendengar banyak sekali tentang
candu dan racunnya yang mengakibatkan lemahnya rakyat dari kakek itu, maka
kini tanpa ragu-ragu lagi diapun menerima perintah itu. Dengan membawa
bekal pakaian dan sedikit perak, pemuda ini meninggalkan Siauw-lim-si.
Karena itu dia tidak tahu betapa beberapa hari kemudian, sesuai dengan janji
Siauw-bin-hud, di kuil itu berdatangan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan,
termasuk Hai-tok dan San-tok yang hendak menagih janji. Yang datang kini
lebih banyak lagi, karena banyak tokoh dunia kang-ouw ingin melihat sendiri
bagaimana caranya Siauw-bin-hud membersihkan nama dan mengembalikan
pusaka Giok-liong-kiam yang menghebohkan itu.
Seperti juga enam tahun yang lalu, sekali ini San-tok atau Bu-beng San-kai
datang bersama murid tunggalnya, yaitu Siauw Lian Hong. Akan tetapi
siapapun akan pangling kalau bertemu dengan murid Racun Gunung itu. Enam
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tahun yang lalu masih seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih
sebelas atau duabelas tahun, dan sekarang ia telah menjadi seorang gadis
yang berusia hampir delapanbelas tahun! Kini ia telah menjadi seorang wanita
yang cantik jelita walaupun pakaiannya sederhana sekali. Walaupun pakaian
itu amat bersih, akan tetapi terbuat dari bahan yang kasar dan murah, dengan
potongan yang ringkas sederhana, akan tetapi yang tidak mampu
menyembunyikan bentuk tubuhnya yang sedang, ramping dan padat, tidak
dapat menyembunyikan kulit putih kuning mulus yang nampak pada leher,
tangan dan lengan sampai di siku. Sepasang matanya masih lebar seperti enam
tahun yang lalu, akan tetapi kalau dulu lebar kekanak-kanakan, kini mata itu
lebar dan tajam, dengan sudut-sudut yang tajam menarik, dengan alis yang
hitam melengkung seperti dilukis, dengan bulu mata yang panjang lentik. Sinar
matanya dapat menyambar secepat pedang, tajam terbuka. Hanya satu sifat
yang masih dimiliki seperti enam tahun yang lalu, yaitu pendiam dan alim.
Sebatang kipas lebar yang kedua gagangnya berujung runcing terselip di
pinggang, karena kipas ini merupakan senjata ampuhnya yang diberikan oleh
suhunya. Hai-tok Tang Kok Bu kini juga sudah nampak tua, akan tetapi pakaiannya
masih jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang hartawan dan berpengaruh,
diikuti oleh pengawal-pengawal muda yang tanpan dan halus, masih
memegang tongkatnya, yaitu Kim-kong-pang!
Di samping dua orang di antara Empat Racun Dunia ini, masih ada pula
beberapa rombongan orang kang-ouw yang ingin mendengar tentang Giokliong-kiam. Ketika Siauw-bin-hud muncul dari dalam kuil, suasana menjadi
kacau, dan orang pertama yang menyambutnya adalah Bu-beng San-kai atau
San-tok. Dengan senyumnya yang khas, sikapnya yang sembarangan dan
tanpa sopan santun lagi, kakek yang usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih itu
berkata. "Heh-heh, engkau masih hidup, Siauw-bin-hud" Bagus sekali, aku sudah
khawatir kalau-kalau engkau mati dalam menunaikan tugas! Dan mana itu
Giok-liong-kiam?" "Ya, dimana Giok-liong-kiam kami, locianpwe?" tanya Coa Bhok.
Wakil ketua Thian-te-pai yang kini kembali datang mewakili


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkumpulannya, dikawani oleh duabelas orang murid. Coa Bhok yang menjadi
wakil ketua Thian-te-pai itupun sudah nampak tua, sudah enampuluh tahun
usianya. Siauw-bin-hud tertawa bergelak, seperti merasa geli. Hal ini membuat Haitok menjadi marah.
"Hati-hati, Siauw-bin-hud! Jangan kau mempermainkan aku yang jauh-jauh
datang menagih janji, atau... tongkatku takkan mengampuni tubuhmu yang
sudah tua renta itu!"
Mendengar ancaman ini, Siauw-bin-hud menjadi semakin geli dan
senyumnya melebar. "Ha-ha-ha, betapa lucunya melihat kalian ini orang-orang tua masih saja
dicengkeram setan tamak sehingga begitu haus memperebutkan sebuah
benda mati. Giok-liong-kiam tidak ada padaku. Pinceng bahkan belum pernah
melihatnya, ha-ha-ha"!"
"Aihh, Siauw-bin-hud, apa kau berani mengatakan bahwa engkau akan
melanggar janji, menjilat ludah sendiri?"
San-tok berkata, kaget karena sukar dia membayangkan kakek gendut
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Siauw-lim-pai ini berani melanggar janji, padahal sejak dahulu Siauw-bin-hud
terkenal sebagai seorang gagah yang memegang teguh janjinya dan dapat
dipercaya sepenuhnya. "Ha-ha-ha, San-tok, makin tua kau makin kurang sabar saja. Baiklah,
dengarkan semua kawan yang sudah melimpahkan kehormatan kepada
pinceng sehingga hari ini berkumpul di sini. Selama enam tahun ini, sama sekali
pinceng tidak pernah melanggar janji. Pinceng menjelajahi hampir seluruh
dunia untuk mencari jejak perampas Giok-liong-kiam yang menyamar sebagai
pinceng. Dan pinceng sudah bertemu dengan orangnya!"
Kakek itu berhenti sebentar, membiarkan semua orang saling pandang dan
keadaan menjadi berisik. "Ha-ha-ha, kalian berdua, Hai-tok dan San-tok, kiranya tidak akan sukar
menduga siapa orangnya. Agaknya kalian hanya pura-pura saja tidak tahu
selama ini, bukan?" Ketika dua orang kakek itu saling pandang dengan mata dilebarkan, Siauwbin-hud menyambung.
"Ya, siapa lagi pelawak yang membuat lelucon yang tidak lucu itu kalau
bukan rekan kalian Thian-tok?"
"Ahhh?" Coa Bhok, wakil ketua Thian-te-pai berseru.
"Apakah buktinya bahwa beliau yang menyamar sebagai locianpwe?"
tanyanya karena menghadapi seorang tokoh yang namanya pernah menjulang
ke langit seperti Thian-tok, bukan hal yang boleh dibuat main-main.
"Ha-ha-ha, memang dia tidak pernah mau mengaku bahwa dia telah
memalsukan nama pinceng. Dan dia benar, si cerdik itu! Dia hanya mencukur
rambut dan menutupi bulu di dadanya dengan jubah kuning, cukuplah.
Memang wajahnya mirip pinceng. Dan dia mengaku bahwa Giok-liong-kiam
berada di tangannya, sampai pada hari dia bertemu dengan pinceng itu..."
"Ha-ha-ha, jadi si Racun Langit itu mengalah dan mengembalikan pusaka
itu kepadamu, Siauw-bin-hud?"
San-tok mentertawakan rekannya yang disangkanya mengalah atau takut
kepada hwesio ini sehingga mengembalikan pusaka Giok-liong-kiam.
Kembali semua orang kecewa melihat Siauw-bin-hud tersenyum lebar
sambil menggeleng kepalanya menjawab pertanyaan San-tok itu.
"Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu telah dirampas orang lain, hanya
beberapa jam sebelum pinceng tiba di sana."
Kembali terdengar suara berisik dari semua orang yang hadir, dan Hai-tok
memukulkan tongkatnya ke atas tanah.
"Kalau bukan Siauw-bin-hud yang bicara, sungguh mati aku tidak akan
dapat percaya begitu saja. Siapakah orang yang dapat merampas pusaka itu
dari tangan Thian-tok?"
"Perampasnya adalah bekas muridnya sendiri yang bernama Hek-eng-mo
Koan Jit. Jangan tanyakan dimana dia tinggal, karena pinceng sendiri juga
tidak tahu. Nah, selesailah urusan Giok-liong-kiam ini yang mengait nama
pinceng. Harap kalian jangan mengganggu pinceng lagi."
Tentu saja semua tokoh itu merasa kecewa mendengar ini. Tak mereka
sangka bahwa pusaka itu telah lenyap lagi begitu mereka ketahui jejaknya. Dan
di antara mereka banyak yang sudah mendengar akan nama Koan Jit yang
berjuluk Hek-eng-mo. Apalagi wakil ketua Thian-te-pai Coa Bhok. Wajahnya
berobah ketika dia mendengar bahwa pusaka perkumpulannya itu telah
terjatuh ke tangan Hek-eng-mo Koan Jit!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Iblis Bayangan Hitam itu bukan orang asing bagi Thian-te-pai, karena
merupakan musuh besar! Akan tetapi, keterangan itu mereka dengar dari
Siauw-bin-hud yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Kakek pendeta
Siauw-lim-pai itu tidak mungkin membohong. Maka merekapun bubaran dan
kini terjadi lagi perlumbaan yang dipersiapkan, yaitu untuk mencari Hek-engmo Koan Jit dan mencoba untuk merampas pusaka Giokliong-kiam dari
tangannya. Akan tetapi, tentu saja hanya tokoh-tokoh besar yang akan berani
melakukan ini, karena semua orang sudah mendengar belaka akan kesaktian
Iblis Bayangan Hitam itu yang namanya tidak kalah menakutkan dibandingkan
Empat Racun Dunia. --------San-tok Bu-beng San-kai mengajak muridnya meninggalkan Siauw-lim-si,
dan di tengah perjalanan, kakek ini tiada hentinya senyum-senyum sendiri.
"Heh-heh, sungguh lucu sekali! Sejak dahulu aku sudah menduga bahwa
tentu Racun Langit itu yang menyamar sebagai Siauw-bin-hud, akan tetapi
karena ragu-ragu yang kukejar-kejar adalah Siauw-bin-hud. Sayang baru
sekarang aku yakin setelah pusaka itu dirampas oleh si maling cilik Hek-engmo."
"Su hu, siapakah Hek-eng-mo itu?" tanya Lian Hong ketika mereka berhenti
di bawah pohon yang rindang di kaki gunung.
Setelah dewasa, Lian Hong tidak lagi menyebut kakek kepada San-tok,
melainkan Suhu, karena ia menganggap sebutan ini lebih patut dan tepat.
Bagaimanapun juga, ia bukan cucu aseli dari kakek itu, dan yang jelas ia
adalah muridnya. Ketika tadi diadakan pertemuan di Siauw-lim-si, gadis inipun
diam-diam amat memperhatikan penuturan kakek gendut Siauw-bin-hud. Ia
merasa kagum dan suka kepada kakek gendut itu, karena bagaimanapun juga,
ia telah menerima warisan tenaga singkang dari kakek itu enam tahun yang
lalu. Gurunya sendiri yang memberi keterangan kepadanya bahwa ia
beruntung telah menerima warisan tenaga sinkang itu dari kakek sakti Siauwbin-hud, bahkan gurunya pernah mengatakan bahwa ia telah menerima
warisan tenaga dari Siauw-bin-hud dan betapa suhunya juga mengoper tenaga
sakti kepada anak laki-laki yang menjadi murid Siauw-lim-pai, maka antara ia
dan pemuda cilik itu terdapat pertalian saudara seperguruan.
"Hek-eng-mo adalah murid Thian-tok. Dia lihai dan cerdik bukan main, amat
mengagumkan betapa dia pernah mencuri harta pusaka gurunya, bahkan kini
merampas Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok. Ha-ha, ingin sekali aku
melihat muka Thian-tok yang dikibuli oleh muridnya sendiri itu!"
"Suhu, aku jadi tertarik sekali mendengar tentang perebutan Giok-liongkiam. Ingin sekali aku mencari Hek-eng-mo itu dan merampas pusaka dari
tangannya." San-tok yang duduk bersila di atas rumput sambil mengipasi badannya
dengan kipas bututnya, menghentikan gerakan tangannya dan menatap wajah
muridnya yang cantik itu. Setelah melatih gadis ini selama duabelas tahun,
San-tok merasa sayang sekali kepada murid ini yang dianggap sebagai satusatunya orang yang dimilikinya di dunia ini, menjadi seperti anaknya atau
cucunya sendiri. Inilah sebabnya maka dia menurunkan seluruh
kepandaiannya kepada Lian-Hong yang memang berbakat baik sekali.
Mendengar ucapan muridnya, dia benar-benar merasa terkejut dan heran.
Biasanya, muridnya ini pendiam dan tidak banyak kehendak, akan tetapi tibatiba saja muridnya menyatakan hendak ikut memperebutkan Giok-liong-kiam!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Heh-heh, Hong Hong, cucuku juga muridku yang baik, sungguh mati aku
merasa terkejut sekali mendengar ucapanmu tadi. Engkau tiba-tiba saja ingin
memperebutkan Giok-liong-kiam! Apa artinya ini?"
"Selama belasan tahun suhu telah melimpahkan budi kepadaku. Aku ingin
merampas pusaka itu untuk suhu, sekedar pembalas budi. Bukankah suhu
menghendaki pusaka itu sehingga ikut pula datang ke Siauw-lim-si" Selain itu,
untuk apa suhu susah-susah melatih ilmu silat kepadaku kalau tidak
kupergunakan sekarang?"
Belum pernah muridnya ini bicara sebanyak itu, dan San-tok tertawa
gembira. Hatinya merasa gembira dan hangat karena muridnya ini dengan
terus terang menyatakan ingin membalas budi kepadanya. Dia adalah seorang
tua yang cerdik dan banyak pengalaman, maka diapun dapat menjenguk isi
hati muridnya. Muridnya selama duabelas tahun selalu ikut dengannya dan kini
muridnya itu, setelah menguasai ilmu yang tinggi, tentu saja ingin bebas
seperti burung di udara, melakukan segala yang diinginkannya sendiri. Tentu
muridnya akan membalas kematian ayah bundanya pula. Kembali dia
mengipasi badannya. "Engkau benar, Hong Hong. Memang ilmu yang telah banyak kaupelajari
itu perlu dipergunakan dan dimanfaatkan. Akan tetapi ketahuilah, segala
macam ilmu yang kaumiliki itu masih belum mampu melindungi dirimu dan
menjamin keselamatan. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang
lihai sekali. Hanya kalau engkau berhati-hati dan waspada sajalah maka
engkau akan dapat melindungi dirimu sendiri. Apalagi kalau berhadapan
dengan Hek-eng-mo! Berhati-hatilah. Dia itu selain lihai ilmu silatnya, juga
amat licik dan suka main-main dengan racun. Sayang, aku sudah terlalu tua
dan sudah malas untuk pergi merantau. Maka, biarlah aku akan menanti saja
sambil bertapa di puncak yang paling kusenangi."
"Di puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san itu?"
Kakek itu mengangguk. "Aku selalu ingin mengakhiri hidupku di tempat indah itu. Aku akan
menanti kembalimu di sana, Hong Hong."
"Baik, suhu. Berilah waktu dua tahun kepadaku dan berhasil atau tidak
dalam mencari Giok-liong-kiam, aku akan datang mengunjungi suhu di puncak
Naga Putih." Mereka saling berpisah di kaki gunung itu juga. Siauw Lian Hong pergi
meninggalkan suhunya sambil membawa buntalan pakaian dan bekal sedikit
perak pemberian gurunya, juga tidak ketinggalan membawa kipas yang
terselip di pinggangnya. Gadis cantik sederhana ini melangkah dengan tegap dan tanpa ragu-ragu.
Sebaliknya, San-tok yang masih duduk bersila itu mengikuti kepergian
muridnya dengan mata sayu. Senyumnya lenyap dan wajahnya
membayangkan kesedihan. Berulang kali dia menghela napas panjang, merasa
betapa hati dan semangatnya seperti terbang mengikuti gadis itu. Duabelas
tahun dia hidup di samping muridnya dan dia merasa betapa setelah
mempunyai murid itu, perobahan besar terjadi pada batinnya. Hidup seperti
ada artinya dan hatinya tidak keras lagi seperti dahulu. Kini, melihat gadis itu
pergi meninggalkannya, dia merasa kehilangan, kesepian dan berduka sekali,
perasaan yang selamanya belum pernah dialaminya!
Kakek yang pernah menjadi seorang di antara Empat Racun Dunia, yang
pernah menjadi datuk kaum sesat, yang dianggap jahat seperti iblis, yang tidak
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman itu, kini duduk
termenung dan dia tidak merasa bahwa senyum yang biasanya selalu
membayang di mulutnya itu kini sama sekali lenyap, terganti oleh bayangan
duka yang membuat kedua matanya menjadi basah!
Duka adalah iba diri. Merasa iba kepada diri sendiri, merasa kehilangan,
kecewa. Dan semua ini timbul dari aku yang merasa kehilangan, aku yang
merasa kesepian, aku yang merasa menjadi orang paling sengsara di dunia.
Aku adalah suatu gambaran yang dibuat oleh batin tentang diri sendiri,
dibentuk oleh pengalaman-pengalaman masa lampau. Aku penuh dengan
harapan-harapan memperoleh kesenangan seperti yang pernah dialaminya,
atau seperti yang pernah didengarnya, pernah dibacanya dan diketahuinya.
Aku penuh dengan keinginan akan merasakan dan menikmati kembali segala
hal yang menyenangkan, penuh dengan rasa takut kalau-kalau tidak akan
memperoleh lagi semua kesenangan itu, takut kalau-kalau ditinggalkan oleh
hal-hal yang menyenangkan. Aku yang selalu haus akan kesenangan ini
menciptakan ikatan-ikatan, belenggu-belenggu dan rantai-rantai emas yang
dianggapnya membahagiakan, namun yang berakhir dengan kedukaan. Ikatan
dengan orang lain karena orang lain itu menyenangkan aku, ikatan dengan
benda, dengan nama, dengan gagasan-gagasan.
Sekali ikatan ini menguasai aku, maka yang ada hanyalah duka dan
sengsara. Ikatan ini sama dengan candu, sekali terikat sukar untuk dilepaskan,
karena akan menimbulkan perasaan duka dan sengsara.
Semakin besar si aku menonjol, semakin banyak pula ikatan-ikatan
terbentuk, dan semakin banyak pula duka mengelilingi batin. Bebasnya batin
dari ikatan berarti runtuhnya singgasana sang aku, bersamaan dengan
lenyapnya pula duka. Semua ini jelas sekali nampak, akan tetapi betapa
sukarnya terbebas dari pada ikatan! Betapa sukarnya meniadakan gambaran
tentang diri sendiri dalam bentuk aku yang makin hari makin kita bentuk dan
perkuat! -------Kolam air di belakang rumah gedung yang besar megah dan luas itu amat
jernih airnya. Kolam buatan itu tentu amat mahal biaya pembuatannya dan
hanya orang kaya seperti keluarga Ciu di Tungkang sajalah yang mampu
membuatnya. Di sekitar kolam air yang luas itu terdapat taman bunga yang
indah, dan batu-batu alam yang bentuknya aneh dan nyeni terdapat pula di
dekat kolam. Akan tetapi, pada pagi hari yang sunyi itu nampaklah hal-hal yang
amat aneh terjadi di situ. Para pelayan sudah dilarang keras untuk tidak
memasuki taman sehingga apa yang terjadi tidak nampak oleh orang-orang lain
yang tentu akan terheran-heran dan mungkin akan merasa ngeri dan takut.
Seorang kakek yang bertubuh kecil pendek sedang duduk bersila di atas
batu karang di tepi danau buatan, meniup sebuah suling. Kakek ini bukan lain
adalah Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia. Seperti telah kita
ketahui, sejak enam tahun yang lalu, Racun Bumi ini diterima oleh hartawan
Ciu Lok Tai sebagai pengawal keluarga, juga guru Ciu Kui Eng. Tentu saja Teetok merasa senang sekali tinggal di rumah keluarga kaya raya itu. Dia sudah
tua, sudah capai bertualang. Usianya sekarang sudah tujuhpuluh tahun lebih
dan hidup enak-enak di rumah keluarga itu amat menyenangkan hatinya.
Apalagi dia memperoleh murid seperti Kui Eng yang berbakat baik sekali.
Selama enam tahun, Tee-tok mencurahkan seluruh tenaga dan perhatian
untuk memberi pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi kepada muridnya, menurunkan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan semua ilmunya kepada murid tersayang itu. Dan pagi hari ini, muridnya sedang
digembleng dengan latihan yang paling sukar, ilmu silat dengan penggunaan
ginkang yang amat hebat. Latihan ini merupakan ujian terakhir bagi muridnya
itu. Suara suling yang ditiup kakek itu meliuk-liuk aneh, melengking-lengking
dan matanya ditujukan ke tengan danau buatan mengikuti gerak-gerik
muridnya. Dan di tengah danau itu, nampak Ciu Kui Eng sedang bersilat! Di
atas air danau! Dan kedua kakinya yang kecil itu dengan ringannya berloncatan
ke sana-sini, menginjak... ular-ular yang berseliweran di purmukaan air danau.
Ular-ular air itu sengaja dilepas di danau itu dan mereka itu bergerak-gerak,
berenang di permukaan danau seperti dipimpin oleh lengking suling. Ular-ular
air yang besar-besar, dan kini Ciu Kui Eng menggunakan badan ular-ular itu
untuk tempat berpijak ketika ia bersilat dengan gerakan yang luar biasa
lincahnya. Inilah ilmu silat yang paling aneh dan yang amat hebat, yang diajarkan oleh
kakek itu kepada muridnya. Ilmu silat ini diberi nama Cui-beng Coa-kun (Silat
Ular Pengejar Arwah)! Ilmu silat dengan latihan seperti ini membutuhkan
gingkang yang luar biasa, juga membutuhkan pengerahan sinkang, gerakan
yang cepat dan tepat, juga kematangan ilmu silat, karena kesalahan sedikit
saja dapat membuat tubuh Kui Eng tergelincir dan terjatuh ke dalam air dimana
dara ini akan dikeroyok oleh ular-ular itu. Hebatnya, ular-ular yang puluhan
banyaknya itu berenang-renang seperti berbaris saja mengikuti irama suara
suling yang aneh! "Heiiiittt... plakk!"
Kini Kui Eng mulai menyerang. Sambil melompat, kakinya menyambar ke
bawah dan seekor ular mati dengan kepala remuk. Dara itu berloncatan,
mengeluarkan pekik-pekik nyaring dan mulailah ia membantai ular-ular itu,
dengan sambaran kaki dan tangan, seperti ular-ular mematuk. Permukaan
danau itu mulai merah oleh darah ular dan mulai dipenuhi bangkai-bangkai ular


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mengambang. Loncatan terakhir dilakukan dari atas bangkai-bangkai
ular yang mengambang, dan ketika ia berjungkir balik sampai lima kali sebelum
hinggap di atas batu di depan suhunya, puluhan ekor ular itu telah mati semua.
Bau amis memenuhi tempat itu dan Tee-tok menghentikan tiupan sulingnya.
"Suhu, mari kita duduk di sana, di sini bau amis!"
Kui Eng mengernyitkan hidungnya yang kecil sehingga nampak manis dan
lucu. Kui Eng sekarang telah menjadi seorang gadis yang manis sekali, berusia
delapanbelas tahun. Wajahnya manis, terutama sekali sepasang matanya yang
lebar dan memiliki pandang mata yang amat tajam seperti kilat menyambar.
Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya digulung ke atas dan diikat dengan
sutera kuning, karena ia sedang berlatih, maka ia memakai pakaian ringkas dan
rambut yang digelung itu masih panjang sekali sisanya, bergerak-gerak ketika
ia bersilat tadi seperti ekor kuda yang indah. Muka yang putih halus itu kini
kemerahan dan agak basah oleh keringat, berseri-seri di dalam cahaya
matahari pagi yang mememuhi taman.
Tee-tok tersenyum puas. Hebat memang muridnya ini.
"Engkau lulus ujian, Kui Eng, dan mulai sekarang tak perlu aku mengajarmu
lagi. Sudah cukup ilmu kepandaianmu dan agaknya takkan mudah orang lain
mengalahkanmu." Kui Eng menggandeng tangan suhunya dan dengan manja mengajak
gurunya itu duduk di ruangan sebuah pondok merah yang berada di tepi taman.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Semua itu berkat budimu, suhu," katanya dan iapun bertepuk tangan
memanggil pelayan. Tiga orang pelayan wanita datang berlarian dan mereka semua
mengembang-kempiskan cuping hidung ketika mencium bau amis itu.
"Ih, bau apakah ini?"
"Begini amis, aku ingin muntah...!"
Kui Eng tersenyum geli. "Sudah, jangan cerewet. Suruh tukang kebon bersihkan kolam air."
Tiga orang pelayan wanita itu berlarian ke dekat kolam, dan Kui Eng geli
ketika mendengar jeritan-jeritan para wanita itu yang tentu saja menjadi
terkejut, takut dan jijik melihat puluhan ekor bangkai ular mengambang di atas
air kolam. Kui Eng lalu memerintahkan para pelayan wanita mempersiapkan
hidangan makan pagi yang mewah untuk gurunya, dan para pekerja kebun
disuruh membersihkan danau dari bangkai-bangkai ular itu.
Setelah makan pagi yang mewah dan lezat, dilayani oleh muridnya, Tee-tok
lalu minta berjumpa dengan Ciu Lok Tai.
Hartawan Ciu ini sudah berusia enampuluh dua tahun, akan tetapi
pakaiannya masih mewah dan rambutnya tersisir rapi penuh minyak. Jenggot
dan kumisnya juga masih terpelihara dengan baik dan sinar matanya masih
seperti dulu, bahkan mungkin lebih mata keranjang lagi. Semenjak Tee-tok
berada di situ sebagai pengawal keluarganya, apalagi mengingat bahwa puteri
tunggalnya kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat amat
tinggi, yang tidak dapat dilawan oleh semua pengawal dan jagoan di Tungkang maupun Kanton, hartawan ini menjadi semakin angkuh.
Ciu Wan-gwe yang diberitahu puterinya bahwa Tee-tok ingin bertemu
dengannya dan bahwa kakek itu akan pergi karena puterinya sudah tamat
belajar, menjadi kaget dan bergegas datang ke pondokan Tee-tok di dekat
taman di belakang gedung itu.
"Berita apakah yang saya dengar dari Kui Eng ini" Locianpwe hendak pergi
meninggalkan kami" Ah, kenapa begitu?"
Tee-tok tersenyum dan menggoyang tasbeh hitamnya. Kakek pendek kecil
ini memang selalu membawa tasbeh dan tongkatnya, seperti seorang petapa
atau seorang pendeta tosu saja.
"Muridku, puterimu ini sudah tamat belajar, Ciu Wan-gwe, pekerjaanku
sudah selesai, maka aku harus pergi dari sini. Jangan khawatir, semua
kepandaianku telah kuajarkan kepada puterimu, dan dengan adanya puterimu
di sini, tak seorangpun akan berani mengganggu keluargamu, karena
pengganggunya berarti sudah bosan hidup, heh-heh!"
Tee-tok memandang kepada muridnya dengan perasaan bangga.
"Eng sudah tamat belajar. Kami akan menjamin kehidupan locianpwe
selanjutnya di sini, karena kami sudah menganggap locianpwe seperti
keluarga sendiri." "Ha-ha, terima kasih, Wan-gwe. Akan tetapi, seorang perantau seperti aku
ini, mana bisa selama hidupnya tinggal di suatu tempat" Betapapun indahnya
tempatmu ini, betapapun enaknya hidupku di sini, lama-lama aku menjadi
bosan juga. Aku rindu akan keheningan di tempat-tempat sunyi. Kui Eng, kalau
sekali waktu engkau perlu bertemu denganku, engkau tahu kemana harus
mencariku. Nah, selamat tinggal, aku akan pergi sekarang juga."
Ciu Lok Tai terkejut dan berusaha menahan.
"Saya" saya harap, locianpwe tunggu sebentar, akan saya suruh ambilkan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bekal." Akan tetapi kakek itu melangkah terus dan membalikkan tubuh ketika tiba
di pintu, lalu berkata. "Bekal" Maksudmu harta" Heh-heh, menjadi beban saja. Kalau aku butuh
harta, apa sukarnya bagiku" Tinggal ambil saja di sepanjang perjalanan."
Kemudian dengan sekali menggerakkan kakinya, kakek itu berkelebat
lenyap dari pintu taman! Ciu Wan-gwe hendak mengejar, akan tetapi
tangannya dipegang puterinya.
"Ayah, orang luar biasa seperti suhu tidak sama dengan manusia lain. Ayah
tidak perlu sungkan-sungkan terhadap suhu."
Barulah hartawan itu menarik napas panjang.
"Aihh, bertahun-tahun dia berada di sini dan kita merasa aman tenteram.
Kalau dia pergi, tentu saja hal itu membikin hatiku khawatir sekali. Apalagi
sekarang suasana menjadi semakin keruh, banyak terjadi pemberontakan dan
banyak orang jahat membikin kota-kota menjadi tidak aman."
Puterinya tersenyum manis sekali.
"Mengapa ayah khawatir" Tidak percuma selama enam tahun aku menjadi
murid suhu Teetok. Dengan adanya aku di sini, sama saja seperti kalau suhu
berada di sini." Agaknya Kui Eng dapat menduga apa yang diragukan ayahnya. Ia seorang
anak manja yang biasanya haus akan pujian. Apalagi sekarang, setelah ia
merasa bahwa dirinya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka
keraguan ayahnya akan kemampuannya membikin hatinya terasa panas dan
kecewa. "Ayah, sebaiknya ayah mengundang para jagoan di kota ini dan juga dari
Kanton, dengan alasan apapun, dan aku akan memperlihatkan kepada mereka
bahwa tak seorangpun dapat mengganggu kita. Aku akan tantang semua
jagoan yang ada, dan akan kuperlihatkan kepada ayah bahwa tidak ada
seorangpun yang akan mampu mengalahkan aku."
Biarpun di dalam hatinya masih terdapat keraguan, akan tetapi hartawan
Ciu menganggap usul ini amat baik. Bukan saja dia akan dapat membuktikan
sendiri kehebatan puterinya, akan tetapi juga dapat dia memamerkannya
kepada semua kenalannya, dan sekaligus nama puterinya akan terangkat dan
takkan ada yang berani mengganggu keluarganya.
"Baik, akan kuundang mereka dengan dalih merayakan engkau tamat
belajar silat. Akan tetapi yakin benarkah hatimu bahwa engkau akan dapat
mengalahkan jagoan dari Kanton" Jangan main-main, di sana terdapat banyak
orang pandai." Kui Eng tersenyum mengejek.
"Ayah panggil saja yang paling pandai dan ayah lihat saja nanti."
Demikianlah, untuk membuktikan sendiri kepandaian puterinya, beberapa
hari kemudian taman yang luas di belakang gedung Ciu Wan-gwe itu berobah
menjadi tempat pesta. Yang diundangnya adalah para pembesar yang menjadi
kenalannya, juga ahli-ahli silat yang kenamaan di Tung-kang, bahkan dari
Kanton, pula, tidak lupa dia mengundang Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang
jagoan yang pernah membantunya duabelas tahun yang lalu. Kedua orang itu
kini tinggal di Kanton dan bekerja sebagai pengawal-pengawal dalam rumah
seorang pembesar Kanton. Juga hartawan itu mengundang Ma-ciangkun, komandan Ma Cek Lung
yang menjadi perwira pasukan keamanan di Kanton. Masih banyak lagi gurudikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan guru silat dan kepala-kepala pengawal yang terkenal mempunyai kepandaian
tinggi dari Kanton diundangnya. Tidak lupa, untuk mencari muka, Ciu Wangwe juga mengundang Wang Taijin, kepala daerah Kanton, seorang pejabat
baru di Kanton yang dikirim dari kota raja! Kepala daerah baru ini dikenal
sebagai seorang pejabat yang keras, utusan kaisar sendiri, dan kepala daerah
ini kabarnya adalah seorang pejabat yang jujur, tidak sudi menerima sogokan
dan terutama sekali yang menggelisahkan hati banyak hartawan adalah bahwa
Wang Taijin terkenal anti madat!
Juga wakilnya yang terkenal sebagai orang yang mudah didekati oleh para
hartawan, seorang pejabat lama yang bernama Lai Tek atau terkenal dengan
sebutan Lai Taijin, yang bukan hanya sahabat baik Ciu Wan-gwe akan tetapi
juga seorang pecandu madat yang tidak ketulungan lagi, diundang. Pernah Ciu
Wan-gwe dipanggil oleh kepala daerah yang baru itu dan diperingatkan
tentang kegiatannya berdagang candu gelap. Dan Lai Taijin itulah yang
menolongnya, dan melihat muka wakilnya, kepala daerah itu mengampuninya.
Tidak kurang dari limapuluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat
tinggi dan menjadi jagoan-jagoan terkenal di kanton dan sekitarnya, hadir di
dalam taman yang dirias indah itu. Ciu Wan-gwe terkenal sebagai seorang
kaya raya yang royal, maka tentu saja mereka dengan gembira memenuhi
undangan hartawan itu, apalagi karena disebutkan bahwa pesta itu untuk
merayakan puteri hartawan itu yang selesai belajar ilmu silat! Mereka sudah
membayangkan bahwa mereka akan melihat seorang gadis jelita bermain silat,
dan walaupun para jagoan itu memandang rendah, setidaknya mereka akan
melihat seorang gadis cantik menari-nari dengan senjata yang tentu akan
menarik sekali, apalagi kalau hidangannya serba lezat dan mewah!
Semua hartawan dan bangsawan datang bersama pengawal, sedikitnya
dua orang kepala pengawal yang boleh diandalkan. Para pembesar datang
bersama pasukan pengawal, akan tetapi pasukan itu dijamu di tempat lain, dan
yang menemani para pembesar itu hanya kepala pengawal saja. Wan Taijin
tidak ketinggalan dikawal oleh kepala pengawalnya yang gagah perkasa. Juga
Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang bekas kepala pengawal Ciu Wan-gwe, yang
sudah mengenal Kui Eng ketika anak itu masih kecil, datang dalam pakaian
mereka yang mentereng. Kui Eng keluar dalam pakaian serba merah muda, dengan ikat pinggang
berwarna biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat dengan sutera kuning.
Ia nampak manis sekali, sehingga semua mata para tamu yang terdiri dari pria
semua itu seperti hendak melahapnya.
"Kami merayakan tamat belajarnya puteri kami, dan maafkanlah puteri
kami yang hendak memperlihatkan hasil ilmu yang selama ini dipelajarinya.
Karena cuwi yang hadir adalah ahli-ahli silat kenamaan, maka diharap agar
sudi memberi petunjuk kalau permainan puteri kami masih dangkal," kata Ciu
Wan-gwe. Dan ketika Kui Eng naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tepuk
tangan memuji, tentu saja memuji kecantikannya. Akan tetapi, hampir semua
tamu berasal dari Tung-kang, tidak ada yang berani memandang rendah.
Semua orang di Tung-kang sudah tahu bahwa gadis cantik ini adalah murid
seorang kakek sakti yang demikian pandainya sehingga berhasil menghadapi
ujian senjata api dari Ciu Wan-gwe! Biarpun mereka sendiri belum pernah
membuktikan kelihaian Kui Eng, namun mereka dapat menduga bahwa tentu
gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudah banyak para pelayan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dan pengawal keluarga Ciu membocorkan berita bahwa gadis itu benar-benar
lihai sekali, seringkali bersama gurunya yang aneh bermain-main dengan ularular besar dan ular-ular beracun!
Setelah menjura ke empat penjuru dengan sikap gagah dan senyum manis
sekali tak pernah meninggalkan bibirnya, Kui Eng lalu mulai bersilat. Tentu saja
ia tidak mau mempertontonkan jurus-jurus simpanannya, melainkan hanya
bersilat dengan landasan ilmu ginkang yang hebat, sehingga tubuhnya
berkelebatan dengan amat cepatnya di atas papan panggung.
Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara, dan panggung itu sedikitpun
tidak terguncang biarpun ia bermain silat dengan berloncatan cepat. Bagi para
penonton yang belum tinggi ilmu silatnya, mereka akan tersenyum mengejek
karena mengira bahwa gadis itu tidak memiliki tenaga sakti sehingga
gerakannya kosong dan ringan. Sebaliknya, mereka yang lebih ahli, diam-diam
terkejut dan kagum karena mengenal pertunjukan ilmu meringankan tubuh
yang hebat! Setelah Kui Eng menghentikan permainan silatnya, semua orang bertepuk
tangan gemuruh, bahkan ada yang bersuit-suit, yaitu dari para muda yang lebih
mengagumi kecantikan dan keindahan gerak tubuh Kui Eng dari pada ilmu
silatnya sendiri. Kui Eng menjura ke empat penjuru, lalu dengan nyaring ia
berkata, suaranya lantang dan sama sekali tidak canggung atau malu-malu. Ia
memang seorang gadis yang tabah, gagah dan juga galak, kegalakan yang
lebih terdorong oleh kemanjaan dari pada oleh watak yang jahat.
"Cu-wi yang mulia. Ilmu silat hanya nampak indah saja kalau dimainkan
sendirian, akan tetapi tidak ada artinya dan tidak kelihatan kelihaiannya kalau
tidak dimainkan dalam suatu pertandingan antara dua orang. Maka, saya
menantang kepada cu-wi yang memiliki kepandaian untuk mengadakan
pertandingan silat persahabatan, untuk saling berkenalan dan saling memberi
petunjuk dalam ilmu silat. Dengan demikian, barulah yang menonton dapat
menikmatinya. Tidak tahu apakah di antara cu-wi ada yang berani untuk maju
melayani saya barang sepuluh jurus?"
Di dalam ucapan ini terkandung kesombongan dan pandangan rendah
terhadap para tamu, dan hal ini memang disengaja oleh Kui Eng untuk
memanaskan hati mereka agar ada yang berani menyambut tantangannya.
"Oho, biarlah aku yang mencoba kelihaian nona Ciu!" terdengar suara
nyaring dan sesosok tubuh tinggi besar sudah meloncat naik ke atas panggung.
Panggung itu tergetar dan bergoyang-goyang ketika kedua kakinya hinggap di
atas papan panggung. Laki- laki ini berusia tigapuluh tahun lebih, tinggi besar
dengan muka merah, agaknya terlalu banyak minum arak. Akan tetapi semua
orang dari Kanton mengenal siapa dia. Seorang guru silat muda yang memiliki
tenaga gajah! Dan orang yang masih belum berkeluarga ini, ketika melihat Kui
Eng, diam-diam sudah tergila-gila, maka melihat kesempatan untuk
memamerkan ilmunya dan kesempatan bertanding, beradu tangan, berdekatan
dengan nona cantik itu, terus saja dia menyambutnya. Untuk mendatangkan
kesan dan untuk pamer, begitu kedua kakinya menginjak papan panggung,
terus saja guru silat itu bersilat.
Gerakannya mantap dan pukulannya mendatangkan angin, bahkan
panggung itu terus bergoyang-goyang seperti akan ambruk. Memang kelihatan
hebat dan gagah sekali dia, terdengar bunyi otot dan tulang berkerotokan dan
angin menyambar-nyambar kalau dia menendang.
"Nona Ciu, ilmu silatmu sungguh hebat sekali. Tidak tahu apakah ilmu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan silatku tadi cukup baik untuk melayani ilmu silatmu?"
Kui Eng mamandang tajam dan alisnya berkerut ketika ia melihat sinar
mata laki-laki itu mengandung kekurangajaran. Ia balas menjura dan suaranya
lantang terdengar semua orang yang berada di situ.
"Ilmu silatmu menunjukkan tenaga besar, cukup baik untuk manakutnakuti orang, akan tetapi aku sangsi apakah cukup tangguh untuk bertahan
selama lima jurus melawan ilmu silatku!"
Tentu saja semua orang terkejut, bahkan para ahli sekalipun terkejut.
Biarpun guru silat muda itu lebih mengandalkan tenaga besar, namun dia
memiliki ilmu silat yang tidak boleh dibilang lemah. Mana mungkin
mengalahkannya dalam lima jurus saja" Gadis itu terlalu membual atau
memang sombong. Ciu Wangwe sendiri berobah wajahnya, merasa khawatir
karena puterinya bicara terlalu besar. Bagaimana kalau puterinya kalah" Berarti
sekali keluar namanya terbanting keras dan hanya mendatangkan malu dan
menjadi buah tertawaan saja.
Wajah guru silat muda itu menjadi semakin merah, akan tetapi sekali ini
bukan merah karena hawa arak, melainkan karena penasaran dan marah. Gadis
cantik ini ternyata telah membikin malu padanya di depan umum. Tunggu saja,
manis, pikirnya gemas. Dalam pertandingan ini, aku akan membalas padamu,


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup dengan sekali raba dadamu saja sudah dapat membalas. Kemarahan ini
saja sudah menunjukkan bahwa guru silat muda itu kurang luas pandangannya
dan kurang matang ilmunya. Bagi orang yang sudah matang, melihat sikap
gadis itu yang berani memandang rendah saja tentu sudah menjadi waspada,
curiga dan berhati-hati sekali. Sebaliknya, guru silat yang terlalu
membanggakan kepandaian sendiri ini dikuasai emosi dan bernafsu sekali
untuk membalas dendam. "Nona Ciu, benarkah bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dalam
lima jurus" Hati-hati, kaki tangan tidak bermata, aku khawatir kalau-kalau nona
akan terluka kalau kita harus mengadu ilmu silat."
"Kau ini mau adu silat ataukah adu suara" Majulah dan jangan omong saja!"
Kembali ucapan Kui Eng disambut suara ketawa dan tiba-tiba guru silat itu
mengeluarkan suara seperti harimau menggereng dan tubuhnya sudah
menubruk ke depan. Kedua lengannya dipentang lebar, dari kanan kiri
mengurung dan hendak menerkam, seperti seekor biruang besar hendak
menerkam kelenci. Mata para tamu kini memandang penuh perhatian dan
dengan hati tegang, karena mereka maklum bahwa guru silat muda itu
agaknya sudah marah sekali dan menyerang dengan sungguh-sungguh,
walaupun serangannya bukan merupakan tendangan atau pukulan, melainkan
tubrukan untuk menerkam dan memeluk gadis itu!
Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, tahu-tahu tubuh gadis itu
sudah menyelinap ke bawah kiri dan tubrukan itu luput. Guru silat itu tadi
sudah melihat bayangan tubuh itu menyelinap ke kiri, tubrukannya dirobah
menjadi terkaman ke samping dan kini dua lengannya itu menerkam dari atas
dan bawah, kedua kakinya siap menyusulkan tendangan andaikata nona itu
mengelak lagi. Akan tetapi sekali ini Kui Eng tidak mengelak, bahkan
menghadapi serangan itu sambil membalikkan tubuhnya dan dua pasang kaki
tangan itu bergerak cepat, seperti ada empat ekor ular menotok ke depan dan
tiba-tiba saja guru silat muda itu mengeluarkan teriakan aneh dan
tubuhnyapun roboh berlutut di depan Kui Eng!
Tentu saja semua orang menjadi heran dan terkejut sekali. Dalam dua kali
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan serangan saja, guru silat itu telah roboh berlutut dan mereka tidak melihat
bagaimana caranya sampai guru silat itu roboh. Guru silat itu sendiri menjadi
pucat wajahnya. Tadi, ketika dia menerkam, tiba-tiba saja kedua siku dan
lututnya terpukul, dan seketika kedua lengan dan kakinya menjadi lumpuh
sehingga dia tidak mampu berdiri lagi dan terpaksa jatuh berlutut.
Bagaimanapun juga, kini tahulah dia bahwa gadis itu memang sungguh
seorang yang memiliki kesaktian dan sama sekali bukan lawannya.
"Maafkan saya, nona... saya... mengaku kalah...!" katanya lirih dan
ketakutan karena dia belum mampu menggerakkan kaki tangannya.
"Hemm, belajarlah silat dengan baik, bukan memamerkan tenaga gajah,"
kata Kui Eng. Dan seperti orang menyuruh pergi, tangannya bergerak cepat sekali
menyentuh ke pundak, dan ujung sepatunya menyentuh pinggang. Seketika
tubuh yang lumpuh itu dapat bangkit lagi, dan dengan muka yang kini berobah
merah sekali, guru silat itu memberi hormat kepada Kui Eng lalu melompat
turun dan kembali ke tempat duduknya tanpa banyak cakap lagi.
Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan ini, akan tetapi beberapa
orang mengerutkan alisnya. Benarkah guru silat itu kalah sedemikian
mudahnya" Ataukah guru silat itu memang sengaja "dibeli" untuk berperan
sebagai orang yang dikalahkan" Ciu Wangwe adalah seorang yang kaya raya,
mampu membayar apa saja dan guru silat itu merupakan orang baru di Kanton,
siapa tahu dia memang sengaja bermain sandiwara agar dikalahkan dalam dua
gebrakan saja! Akan tetapi, mereka yang memiliki kepandaian lebih tinggi berpendapat
lain. Mereka melihat bahwa selain guru silat itu memang tidak begitu pandai,
ternyata bahwa gadis hartawan ini benar-benar lihai sehingga mereka
memandang kagum, dan ketika Kui Eng mempersilahkan jagoan lain untuk
naik, tidak ada seorangpun berani menyambutnya.
Yang paling gembira adalah Ciu Wan-gwe. Ternyata puterinya mampu
membuktikan omongannya. Guru silat yang hebat tadi dirobohkan hanya dalam
waktu sebentar saja! Makin percayalah dia bahwa kakek sakti itu memang
benar telah mewariskan kepandaiannya kepada Kui Eng.
"Cu-wi yang mulia! Benarkah tidak ada lagi jagoan yang mau memberi
petunjuk kepadaku" Ah, dan aku mendengar bahwa Kanton adalah gudangnya
jago silat yang tinggi ilmunya. Apakah cu-wi ingin mengecewakan hatiku?"
Kui Eng berkata karena memang ia kecewa sekali. Ia ingin memamerkan
kepandaiannya dan juga mendatangkan kesan agar keluarganya ditakuti orang
dan hati ayahnya menjadi tenteram. Kiranya di antara para jagoan itu, yang
maju hanyalah seorang guru silat mentah !
Wang Taijin, kepala daerah Kanton, merasa tersinggung mendengar
ucapan gadis itu. Seorang gadis yang sombong, pikirnya. Memang di sudut
hatinya, Wang Taijin merasa tidak suka kepada hartawan ini, karena dia
mendengar bahwa orang she Ciu ini merupakan pedagang dan penyelundup
candu terbesar di Kanton dan Tung-kang, seorang yang bersekongkol dengan
orang-orang kulit putih. Juga dia mendengar bahwa hartawan ini seolah-olah
sudah menguasai semua pembesar di Kanton dengan suapan-suapannya.
Kalau saja tidak dibujuk oleh Lai Taijin, tentu dia sudah menyuruh orangorangnya menuntut hartawan ini di pengadilan atau setidaknya melakukan
penyitaan atas candu-candu simpanannya.
Kini, melihat sikap anak hartawan Ciu itu, yang seolah-olah menantang dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menghina orang-orang gagah di Kanton, dia mendongkol sekali. Dengan isyarat
tangan dan mata, diapun lalu menyuruh kepala pengawal yang menemaninya
untuk maju dan menandingi gadis yang dianggapnya amat sombong itu.
Kepala pengawal ini adalah pengawal bawaan Wang Taijin dari kota raja,
seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang tubuhnya jangkung, matanya
tajam dan kumis jenggotnya panjang terpelihara rapi. Dalam mengawal Wang
Taijin, dia selalu berpakaian preman. Orangnya pendiam dan sikapnya halus.
Melihat betapa majikannya memberi isyarat agar dia maju, pengawal yang
jangkung ini mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia adalah seorang
kepala pengawal daerah Kanton, seorang yang memiliki kedudukan tinggi dan
kini dia disuruh maju melayani dan melawan seorang gadis yang usianya
belum duapuluh tahun! Memang, diapun tadi melihat bahwa gadis itu bukan orang sembarangan,
akan tetapi maju melawan seorang gadis semuda itu saja sudah menurunkan
martabatnya. Akan tetapi, karena yang memerintah adalah majikannya, tanpa
banyak cakap diapun bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia
sudah melayang naik ke atas panggung. Kedua kakinya tidak mengeluarkan
suara apapun ketika hinggap di atas panggung, berhadapan dengan Kui Eng
dan menjura dengan hormat. Diam-diam Kui Eng terkejut. Ini baru orang
pandai, pikirnya, aku harus berhati-hati menghadapinya.
"Nona Ciu, maafkan kalau saya orang yang tua memenuhi undangan nona
untuk bermain-main sebentar menghibur para tamu dan menggembirakan
suasana. Harap nona suka mengalah kepada saya."
Kui Eng makin berhati-hati. Orang ini pandai merendahkan diri, akan tetapi
sinar matanya begitu tajam. Tentu lawan yang berbahaya, pikirnya.
"Ah, paman terlalu sungkan. Kuharap pamanlah yang suka mengalah
terhadap orang muda yang belum berpengalaman." katanya sambil balas
menjura. "Saya sudah siap, harap nona suka mulai," kata kepala pengawal Wang
Taijin itu. "Paman adalah tamu, silahkan mulai."
Akan tetapi, kepala pengawal itu tentu saja rikuh sekali kalau harus
menyerang lebih dulu. Dia adalah seorang tua yang menang segala-galanya,
mana mungkin harus menyerang dulu" Maka diapun diam saja, hanya berdiri
tegak, sama sekali tidak berlagak dengan kuda-kuda kokoh seperti yang
dilakukan guru silat muda tadi. Melihat orang ragu-ragu, Kui Eng tersenyum
dan ia semakin hati-hati.
"Baiklah kalau begitu, lihat seranganku, paman!"
Kui Eng menyerang dengan biasa saja, dengan pukulan ke arah dada orang.
Melihat cara gadis itu menyerang, si kepala pengawal semakin memandang
rendah. Kiranya gadis itu hanya memiliki kecepatan saja dan tidak memiliki
kepandaian yang berarti, demikian pikirnya. Maka diapun cepat menangkis
dengan mengerahkan sedikit tenaga saja, dengan harapan sedikit tenaga itu
sudah cukup untuk memberi peringatan kepada gadis yang dianggapnya
sombong itu. "Dukk...!" Ketika dua lengan bertemu, kepala pengawal itu terkejut bukan main.
Lengan gadis itu lunak hangat, seperti tidak bertenaga, akan tetapi membuat
lengannya tergetar hebat seperti diguncang! Maka, diapun cepat membalas
dengan serangan kilat ke arah pundak kiri Kui Eng yang ditanparnya, dan sekali
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ini, tanparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang.
Ketika tadi bertemu lengan, Kui Eng tersenyum mengejek. Kiranya hanya
sekian saja tenaga orang jangkung ini, pikirnya. Maka, begitu melihat lawan
menampar pundaknya, suatu serangan yang dilakukan dengan sungkansungkan, dara inipun menangkis dengan mengerahkan sebagian sinkangnya.
Tidak sekuatnya, melainkan sedikit saja, karena iapun tidak ingin mencelakai
orang ini yang bersikap baik, tidak seperti guru silat tadi.
"Paman, siaplah menghadapi seranganku!" teriaknya, dan iapun kini
menyerang dengan sungguh-sungguh, kedua tangannya membentuk kepala
ular yang mematuk-matuk dan gerakannya itu didasari tenaga sinkang yang
amat kuat. Kepala pengawal itu terkejut bukan main. Dia melihat betapa kedua tangan
lawannya seperti berobah menjadi banyak, sukar sekali diikuti dengan
pandang mata. Dia berusaha sekuatnya untuk menangkis dengan kedua
lengannya, akan tetapi gerakan gadis itu terlalu cepat, ilmu silatnya terlalu
aneh. Kui Eng belum mengenal kehebatan ilmunya sendiri karena ia belum
pernah berkelahi dengan orang lain dan ia tadi salah kira, menganggap bahwa
lawannya itu tangguh sekali. Kini, serangkaian serangannya tidak dapat
dihindarkan lagi mengenai sasaran dan pundak kanan lawan itu terkena
patukan tangan kirinya dengan keras sekali.
"Krekkk...!" Kepala pengawal itu mengeluh dan roboh terkulai dalam keadaan pingsan!
Patukan tangan kiri Kui Eng itu bukan saja mematahkan tulang pundaknya,
akan tetapi juga menembus lebih dalam lagi, menggetarkan isi dada dan
membuatnya roboh pingsan! Kui Eng terkejut bukan main.
"Ohh... maaf, paman...!" katanya, akan tetapi dara itu berdiri bingung
karena melihat bahwa lawannya itu telah pingsan.
Tak disangkanya sedemikian mudahnya ia merobohkan lawan yang
disangkanya amat tangguh itu. Memang tangguh lawan itu, akan tetapi ia tidak
dapat membayangkan bahwa kepandaiannya jauh lebih tinggi dan ia jauh lebih
tangguh lagi. Peristiwa ini tentu saja mendatangkan perasaan makin tidak senang di hati
Wang Taijin. Dia tadi menyuruh kepala pengawalnya untuk memberi
pengajaran kepada gadis Ciu yangsombong itu, akan tetapi siapa kira bahwa
dalam beberapa gebrakan saja, jagoannya tidak hanya kalah, bahkan pingsan
dan agaknya menderita luka parah! Dengan alis berkerut, kepala daerah Kanton
ini melihat betapa jagoannya diusung turun dari atas panggung di bawah
tepuk tangan para tamu yang memuji tuan rumah. Kini semua orang
memandang kagum, karena secara berturut-turut, dua orang jagoan telah
dirobohkan dalam waktu cepat sekali oleh gadis cantik itu.
"Aha, benar hebat nona Ciu Kui Eng!" tiba-tiba terdengar suara parau, dan
seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut sudah meloncat naik ke atas
panggung. Melihat laki-laki berusia limapuluh tahun lebih dan berpakaian sebagai
seorang perwira tinggi ini, Kui Eng cepat memberi hormat dengan ramah,
merendah. Tentu saja ia mengenal Ma Cek Lung, komandan pasukan
keamanan di Kanton yang sudah lama menjadi sahabat baik ayahnya, dan yang
dikenalnya sejak ia masih kecil. Memang pada akhir-akhir ini Ma-ciangkun
jarang datang berkunjung ke Tung-kang, akan tetapi hubungan antara perwira
itu dan ayahnya masih tetap baik.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Nona Ciu, akupun ingin main-main sebentar dengan engkau yang amat
lihai!" "Ah, Ma-ciangkun harap engkau jangan main-main. Mana aku berani
melawanmu?" Ma Cek Lung ini memang mempunyai watak mata keranjang. Kecantikan
Kui Eng yang sejak kecil dikenalnya itu telah membuat penyakitnya kumat,
yaitu berlagak setiap kali bertemu wanita cantik. Apalagi sikap Kui Eng yang
seolah-olah merasa sungkan kepadanya, yang dianggapnya sebagai sikap
takut melawannya! Maka diapun tertawa bergelak sambil membusungkan
dadanya dan akibatnya yang busung adalah perutnya. Dia sendiri menganggap
sikapnya gagah, akan tetapi sebenarnya bagi orang lain hanya melihat perwira
itu berkakakan dengan perut besar menonjol ke depan dan terguncangguncang.
"Ha-ha-ha, nona Ciu, ilmu silatmu begitu lihai, jangan merendahkan diri.
Melihat betapa sekarang engkau telah memperoleh kemajuan hebat, aku ingin
sekali mencoba-coba. Mari, jangan bersikap sungkan, bukankah kita hanya
mengadakan permainan bersama seperti latihan saja?"
Dia tertawa-tawa dengan sikap sombong sekali, seolah-olah sia seorang
guru besar yang hendak memberi petunjuk dan latihan kepada seorang murid.
"Baiklah, Ma-ciangkun," kata Kui Eng.
"Ma-ciangkun, harap jangan bersikap keras kepada puteriku!" tiba-tiba
terdengar CiuWan-gwe berteriak kepada perwira yang menjadi sahabat
baiknya itu. Perwira Ma itu menoleh ke arah tuan rumah dan tertawa lebar.
"Heh-heh, jangan khawatir, aku akan bersikap lunak sekali terhadap
puterimu!" Dengan lagak yang gagah, Ma Cek Lung lalu memasang kuda-kuda di
depan gadis itu sambil berkata.
"Nona Ciu, mari kita mulai. Kausambutlah seranganku yang pertama."
Dengan sikap gagah dan pengerahan tenaga yang kuat, Ma Cek Lung
membuka serangannya dengan pukulan tangan kanan ke arah pundak gadis
itu. Memang perwira ini memiliki tenaga besar dan juga ilmu silatnya sudah
termasuk lumayan. Akan tetapi dasar perwira mata keranjang yang sudah
tergila-gila melihat wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan dari
Kui Eng, pukulannya itu berobah menjadi colekan ke arah bawah pundak, jadi
ke arah dada gadis itu! Tentu saja Kui Eng menjadi terkejut bukan main. Tak
disangkanya bahwa perwira itu akan menyerang seperti itu.
"Heh-heh!" Ma Cek Lung sudah menyusulkan serangan tangan kirinya yang kembali
melakukan colekan ke arah perut bawah! Ini sudah keterlaluan sekali, dan Kui
Eng menjadi marah bukan main. Jelaslah bahwa perwira yang menjadi sahabat
ayahnya ini hendak kurang ajar, apalagi melihat mulutnya menyeringai genit
lalu terdengar desisnya berbisik, "Kau manis sekali...!" dan susulan tangan
kanannya yang kembali mencolek ke arah dada.
"Keparat!" Kui Eng mendesis di antara giginya, dan dengan cepatnya, tubuhnya
mengelak dan kedua tangannya bergerak cepat seperti dua ekor kepala ular
mematuk. Ma Cek Lung tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja
tubuhnya menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Seperti sebuah arca
batu, perwira Ma itu berdiri dengan tubuh agak merendah, tangan kanan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dengan jari-jari seperti akan mencengkeram dan tangan kiri mencengkeram ke
bawah, yaitu posisinya ketika hendak mencolek bawah perut dan dada tadi!
Melihat betapa perwira tinggi besar itu kini diam seperti arca dalam keadaan
kaku, semua orang terkejut! Para ahli maklum bahwa perwira itu telah menjadi
korban totokan jalan darah yang amat hebat. Dan perwira itu tertotok dalam
waktu baru dua tiga jurus saja! Sungguh sukar dipercaya ini, karena semua
orang tahu bahwa Ma Ciangkun adalah seorang perwira tinggi, kepala pasukan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keamanan Kanton yang tentu saja memiliki ilmu silat tinggi!
Kui Eng juga sadar bahwa ia tadi terlalu menurutkan hati yang marah
karena sikap ceriwis dan kurang ajar dari komandan itu, maka kini melihat
betapa perwira itu kaku oleh totokannya, iapun sadar bahwa tidak baik
membikin malu perwira tinggi yang menjadi sahabat ayahnya ini. Maka iapun
cepat menggerakkan kedua tangannya membebaskan totokan itu.
"Ma-ciangkun, maafkan aku...!" katanya lirih.
Ma Cek Lung dapat bergerak kembali. Mukanya menjadi merah sekali dan
dia menjadi marah bukan main. Dia, kepala pasukan keamanan Kanton, yang
biasanya ditakuti orang, kini dihina oleh seorang gadis muda di depan begitu
banyak orang bahkan di depan para pembesar. Dia memang mata keranjang,
akan tetapi kini dia dikuasai kemarahan yang memuncak sehingga dia lupa
segala. "Singgg...!" Perwira ini sudah mencabut pedangnya dan mengancam dengan
mengamangkan pedangnya di atas kepala.
"Bocah sombong, berani kau menghinaku?"
Dan tanpa banyak cakap lagi, perwira yang marah ini sudah menyerang Kui
Eng dengan pedangnya. Hebat sekali serangan itu dan semua orang terbelalak
karena merasa khawatir dan tegang, sama sekali tidak mengira bahwa pi-bu
persahabatan itu berobah menjadi kemarahan sang perwira yang kini
menggunakan pedang menyerang dengan sungguh-sungguh. Ciu Wan-gwe
sendiri memandang dengan muka pucat, tidak tahu harus berbuat apa
menghadapi peristiwa itu dan tentu saja dia khawatir sekali akan keselamatan
puterinya. Pedang itu menyambar dahsyat ke arah leher Kui Eng. Agaknya, di dalam
kemarahannya karena merasa terhina, Ma-ciangkun hendak memancung leher
Kui Eng! Akan tetapi, pedang itu hanya mengenai angin saja, karena dengan
cepat sekali Kui Eng telah mengelak dengan langkah ke belakang.
"Ciangkun, ingatlah...!"
Kui Eng berkata, kaget dan juga penasaran melihat betapa perwira itu kini
menyerang dengan senjata pedang, dengan sungguh-sungguh lagi, bukan
sekedar pi-bu persahabatan lagi. Akan tetapi, luputnya serangan pertama ini
seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Ma Cek Lung makin
berkobar. Pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika diputarnya dan dia
sudah menyerang kalang kabut. Pedangnya berobah menjadi sinar bergulunggulung dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Kui Eng. Gadis ini terus
mengelak, dengan kecepatan yang luar biasa dan sekali lagi ia mengingatkan
Ma Cek Lung. Dalam keadaan marah seperti itu, tentu saja Ma Cek Lung tidak mau
menghentikan serangannya sebelum berhasil. Pedangnya menyambar semakin
ganas seolah-olah perwira itu menghadapi dan menyerang seorang musuh
besar yang harus dibunuhnya! Menghadapi serangan seperti ini, Kui Eng yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mempunyai watak galak dan keras itu menjadi penasaran dan marah sekali.
"Plak...! Tranggg...!"
Pedang itu terlempar ke atas papan panggung dan tubuh perwira itupun
terpelanting dengan keras. Semua orang ternganga dan terbelalak memandang
ke atas panggung. Sekali ini, tidak ada seorangpun berani bertepuk tangan atas
kemenangan Kui Eng, walaupun mereka terkejut, kaget dan juga kagum bukan
main. Kini tidak ada yang menyangsikan lagi akan kehebatan ilmu kepandaian
Ciu Kui Eng. Ma Cek Lung tidak terluka parah, karena Kui Eng yang masih ingat bahwa
ia berhadapan dengan seorang komandan, hanya menotok pergelangan tangan
yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas, kemudian sebuah
tendangan ke arah lutut kaki membuat perwira itu terpelanting. Akan tetapi
karena pantatnya terbanting keras ke atas papan, rasa nyeri membuat dia
meringis ketika bangkit dan mengambil pedangnya. Dia mengeluarkan suara
makian yang diguman saja, matanya mendelik ke arah Kui Eng. Kemudian dia
bangkit berdiri dan memandang ke arah Ciu Wangwe dengan mata melotot.
"Ciangkun, harap maafkan kelancangan anakku..."
Suaranya penuh permohonan. Akan tetapi Ma Cek Lung hanya mendelik,
kemudian tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan meloncat turun dari atas
panggung, kemudian dengan langkah lebar tanpa pamit dia keluar dari situ
untuk meninggalkan rumah keluarga Ciu dan langsung keluar. Wang-taijin
yang tadi sudah merasa tidak suka karena kepala pengawalnya terluka, apalagi
ketika mendengar bahwa tulang pundak pengawalnya itu patah-patah, melihat
perginya Ma Cek Lung, dia juga bangun berdiri dan pergi dari situ tanpa pamit!
Ciu Wan-gwe cepat menghampiri dan memberi hormat, mencoba untuk
menahan sang pembesar. Akan tetapi Wang-taijin hanya mendengus,
kemudian pergi dan langsung kembali ke Kanton. Para tamu juga merasa tidak
enak, dan seorang demi seorang lalu berpamit meninggalkan tempat itu
walaupun hidangan belum sempat disuguhkan semua. Hanya tinggal Lai-taijin
yang masih berada di situ karena ditahan-tahan oleh Ciu Wan-gwe.
"Harap taijin sudi memaafkan kami dan tolonglah keluarga kami dari
kemarahan Wang-taijin dan Ma-ciangkun. Saya tidak akan melupakan budi
kebaikan taijin." Berkali-kali Ciu Lok Tai memohon kepada wakil kepala daerah Kanton itu
yang mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum, apalagi ketika hartawan
itu menyerahkan sebuah kantong terisi potongan-potongan emas!
"Ah, tak perlu sungkan-sungkan, saudara Ciu," katanya meringis malumalu kucing.
"Akan kuusahakan agar kemarahan mereka mereda. Mereka tadi tentu
hanya dikuasai oleh perasaan marah saja. Jangan khawatir. Biar aku pulang
dulu dan eh... anu... persediaanku tinggal sedikit..."
Ciu Lok Tai tersenyum lega.
"Ah, jangan khawatir, taijin, akan saya kirim besok. Akan saya pilihkan
yang murni dan paling baik."
"Terima kasih, terima kasih..."
Sambil tersenyum ramah, pembesar itu lalu meninggalkan rumah keluarga
Ciu dengan keretanya yang sudah menanti di luar.
Ciu Lok Tai lalu memanggil Gan Ki Bin dan Lok Hun, dua orang tamu bekas
jagoan-jagoannya yang masih berada di situ. Dua orang ini juga merasa
khawatir sekali dan segera mengikuti Ciu Wan-gwe bersama puterinya yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan masuk ke dalam ruangan belakang. Setelah tiba di situ, Ciu Wan-gwe menegur
puterinya. Kui Eng mengerutkan alisnya, tidak senang disalahkan oleh ayahnya.
"Ayah, apakah aku harus membiarkan saja orang menghinaku dan kurang
ajar kepadaku" Jangankan baru para pembesar Kanton, biar dia dari istana
sekalipun, kalau kurang ajar tentu akan kuhajar dia!"
"Ssttt, tahan tuh mulutmu!"
Ayahnya membentak, akan tetapi tidak melayani anaknya yang sudah pergi
meninggalkan ruangan itu dengan marah. Dia tahu akan kekerasan hati
puterinya dan melihat betapa lihainya anak itu sekarang, diapun tidak mau
membikin ribut. Bagaimanapun juga, setelah Tee-tok pergi, dia harus
mengandalkan kepandaian puterinya itu untuk keselamatan dirinya dan
keluarganya. "Harap kalian suka bermalam di sini, dan besok tolong kirimkan candu yang
pilihan kepada Lai-taijin. Hatiku masih tegang dan khawatir, harap kalian
temani aku malam ini."
-------Pada sore hari itu, seorang pemuda memasuki sebuah rumah makan di kota
Tung-kang. Pemuda ini berpakaian sederhana sekali, membawa sebuah
buntalan pakaian, tubuhnya sedang tegap, dadanya bidang dan wajahnya
yang tampan membayangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Pakaiannya
seperti pakaian seorang petani, akan tetapi melihat gerak-geriknya, dia seperti
bukan petani dusun, dan cara dia menerima sambutan pelayan dan duduk di
kursinya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sopan. Pemuda ini
memang bukan orang sembarangan walaupun nampak sederhana sekali,
karena dia adalah Tan Ci Kong!
Baru saja Ci Kong memasuki kota Tung-kang, tempat kelahirannya, dan
begitu memasuki pintu gerbang kota itu, hatinya dicekam rasa haru. Dia
langsung mengunjungi makam ayahnya. Akan tetapi dia tidak menangis ketika
bersembahyang di depan kuburan ayahnya yang sederhana. Juga dia tidak
berjanji apa-apa, karena bimbingan yang bijaksana dari manusia sakti Siauwbin-hud membuat batin Ci Kong bersih dari pada benci dan dendam. Dia tahu
bahwa ayahnya tewas dalam tahanan karena berani menentang pemerintah,
dan dia masih ingat betapa ayahnya disiksa oleh seorang perwira gendut di
rumah hartawan Ciu di kota Tung-kang. Akan tetapi dia tidak menaruh hati
dendam. Berulang kali Siauw-bin-hud memberi wejangan kepadanya,
meyakinkan hatinya bahwa dendam dan benci adalah penyakit yang meracuni
badan dan batin sendiri. Sebagai seorang pendekar, tentu saja dia boleh bertindak memper-gunakan
kepandaiannya untuk menentang yang jahat dan membela yang benar, akan
tetapi semua tindakan itu sama sekali salah kalau dilandasi kebencian dan
dendam. Setelah duduk bersila sampai berjam-jam lamanya di depan kuburan
ayahnya, dan tahu-tahu siang telah berganti senja, diapun meninggalkan
makam itu, dan karena perutnya terasa lapar, dia lalu memasuki sebuah rumah
makan di ujung jalan. Tidak ada seorangpun di kota itu yang mengenalnya. Dia
dahulu baru berusia tujuh tahun ketika pergi meninggalkan kota itu, dan kini
dia telah berusia hampir duapuluh tahun. Tentu saja tidak ada yang tahu
bahwa pemuda sederhana ini adalah putera tunggal Tan Siucai atau Tan Seng
yang namanya dikenal oleh seluruh penduduk Tung-kang, bahkan terkenal pula
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan sampai ke Kan-ton sebagai seorang sasterawan miskin yang gagah berani dan
patriotik. Terutama sekali kaum patriot dan orang-orang gagah, amat
menghormati nama Tan Siucai itu.
Restoran itu tidak begitu ramai. Ketika Ci Kong masuk dan duduk di sudut,
di situ hanya ada empat orang yang sedang makan minum di meja tengah, akan
tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Ciu Wan-gwe mengingatkan dia
akan hartawan yang pernah memukuli ayahnya bersama seorang perwira
gendut, dan nama Ciu Wan-gwe memang dikenal di seluruh penduduk Tungkang, termasuk dia sendiri. Sambil diam-diam makan pesanan nasi dan sayur,
tanpa menoleh, Ci Kong memasang telinga mendengarkan.
"Luar biasa sekali puteri Ciu Wan-gwe itu. Betapa mudahnya ia
mengalahkan pria-pria yang lihai itu!"
"Benar, ia memang cantik jelita, lihai dan kaya raya. Akan tetapi aku berani
tanggung ia tidak akan mudah memperoleh jodohnya."
"Eh, kenapa kau bilang begitu, A-kao?"
"Bayangkan saja. Siapa berani sembarangan melamar anak orang yang
paling kaya di Tung-kang" Pula, kepandaiannya demikian hebat, salah-salah
yang menjadi suaminya bisa dibunuhnya!"
"Lho! Kenapa begitu?"
"Masa kau tidak tahu, A-piu! Ayahnya masih gila perempuan, tentu
memikirkan diri sendiri, mana mau memikirkan jodoh anaknya?"
"Kabarnya banyak korban gadis-gadis dan istri-istri muda di tangan Ciu
Wan-gwe," terdengar suara lirih akan tetapi masih dapat ditangkap oleh
telinga Ci Kong. "Bahkan enci adik Phoa yang menjadi kembang di kampung belakang pasar
itupun kini menjadi miliknya."
"Memang benar, baru beberapa hari yang lalu. Habis, ayahnya menjadi
setan candu sih, maka anak-anaknya ditukar dengan candu."
"Menjijikkan benar! Kaki tangan Ciu Wan-gwe itu selalu mengincar
keluarga yang ada wanita-wanita cantiknya, lalu kepala keluarga dilolohi
candu sampai menjadi ketagihan, dan kalau sudah begitu, anak atau bininya
sendiri akan dijual untuk memperoleh candu."
"Banyak orang bunuh diri setelah dipaksa melayani hartawan itu, yang
oleh suaminya ditukar dengan candu."
"Ssttt, sudahlah. Untuk apa membicarakan hal itu" Kalau terdengar
anaknya, hiiiih, sekali tangan yang kecil mungil itu bergerak, nyawa kita akan
melayang!" Mendengar percakapan ini, timbul kemarahan dalam hati Ci Kong. Kiranya
hartawan Ciu itu masih saja mengedarkan candu yang dulu amat ditentang
ayahnya. Dan di sepanjang perjalanan bersama susiok-couwnya, diapun
mendengar betapa candu makin mencengkeram kehidupan rakyat jelata.
Ayahnya juga tewas akibat menentang candu yang merusak rakyat. Diam-diam
dia mengepal tinju. Aku harus memperingatkan Ciu Wan-gwe itu, pikirnya.
Bukan untuk membalas dendam ayahnya. Sama sekali tidak. Hanya untuk
memperingatkan hartawan itu agar jangan mengedarkan candu di antara
rakyat jelata, dan membuka mata hartawan itu betapa buruk akibatnya bagi
rakyat. Kalau hartawan itu tidak mengindahkan peringatannya, baru dia akan
turun tangan menghajarnya agar jera dan menurut.
Akan tetapi, Ci Kong tidak mau bertindak sembrono. Sebelum
melaksanakan niatnya, malam itu dia melakukan penyelidikan, bertanya-tanya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pada penduduk di perkampungan. Dan apa yang didengarnya dari keterangan
orang-orang kampung bahkan melampaui apa yang didengarnya di restoran
itu. Ciu Wan-gwe memang menjadi semacam raja kecil di Tung-kang,
mengandalkan hartanya, mengandalkan jagoan-jagoan dan tukang pukulnya,
dan mengandalkan pengaruhnya terhadap semua pembesar setempat, bahkan
para pembesar di kanton. Hampir semua penduduk membencinya, tentu saja
kecuali mereka yang memperoleh keuntungan dari hartawan ini.
Dan makin sedih hati Ci Kong mendengar dan melihat kenyataan bahwa
sebagian besar penduduk Tungkang telah tercengkeram candu! Dan tempat
pemadatan tersebar di seluruh kota. Bahkan ketika dia berjalan-jalan, bau
madat terbakar menyambut hidungnya dimana-mana, bau yang memuakkan
sekali. Banyak pula dilihatnya orang-orang yang kurus kering, dengan pandang
mata sayu, dengan senyum aneh di bibir, berjalan seperti mayat hidup tanpa
semangat. Mereka itulah pecandu-pecandu yang sudah berat keadaannya,
karena racun candu sudah memenuhi tubuh sampai ke darahnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Kong sudah keluar dari rumah
penginapan dimana dia bermalam. Buntalan pakaiannya dia tinggalkan di
kamar penginapan itu, dan dia lalu berjalan kaki menuju ke rumah gedung
megah milik Ciu Wan-gwe. Pernah satu kali dia memasuki gedung itu, duabelas
tahun yang lalu, ketika dia mohon ampun untuk ayahnya yang disiksa di situ.
Dia mengepal tinju dan menekan hatinya.
"Tidak, bukan untuk itu aku datang ke sana!" bantahnya sendiri.
Ketika dia tiba di depan pintu gerbang gedung itu, ternyata pintu gerbang
itu telah terbuka. Dengan tabah dia lalu masuk begitu saja karena tidak nampak
ada orang. Dia akan berterus terang minta bertemu dengan Ciu Lok Tai dan
langsung saja memberi peringatan kepada hartawan itu untuk
menyadarkannya. "Heii! Siapa kamu dan mau apa kamu masuk ke sini?"
Tiba-tiba terdengar teguran suara yang bengis. Ci Kong mengangkat muka
dan melihat dua orang laki-laki baru saja keluar dari dalam gedung. Seorang
yang bertubuh tinggi besar, di pinggangnya tergantung sebatang pedang,
sikapnya angkuh dan galak. Orang kedua bertubuh gendut, menyeringai
dengan penuh ejekan, dan di pinggang orang ini tergantung sebatang payung
sehingga nampak lucu sekali.
Mereka ini berusia kurang lebih limapuluh tiga tahun dan melihat pakaian
mereka yang rapi, dengan topi batok hitam, mudah diduga bahwa mereka tentu
orang-orang yang memiliki kedudukan. Yang gendut itu membawa sebuah peti
kecil yang berukir indah, dan yang menegurnya adalah si tinggi besar yang
galak. Ci Kong tidak tahu bahwa dua orang ini adalah jagoan-jagoan yang pernah
bekerja sebagai pengawal-pengawal Ciu Wangwe dan yang kini sudah
menjadi pengawal di kota Kanton. Mereka adalah Gan Ki Bin, yang tinggi besar,
dan Lok Hun, yaitu yang berperut gendut.
Dengan sikap tenang, Ci Kong menjura kepada dua orang itu dan menjawab
dengan suara tenang pula.
"Maaf, karena tidak ada orang, maka saya masuk ke dalam pintu gerbang.
Saya datang untuk bertemu dengan Ciu Lok Tai, harap jiwi suka membantu
saya dan memberi tahu kepada Ciu Wan-gwe."
"Kau datang mau pinjam uang?" tanya Lok Hun yang gendut perutnya.
Tentu saja Ci Kong merasa marah, akan tetapi dia tetap tenang. Sebagai


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan murid Siauw-bin-hud, tidak mudah kemarahan menguasai batin pemuda ini.
Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.
"Kalau tidak mau hutang, apakah mengemis?" kini Gan Ki Bin yang
membentak setelah mengamati pakaian pemuda itu.
"Seorang petani saja mau apa minta bertemu dengan Ciu Wan-gwe, kalau
bukan mau hutang atau mengemis?"
Pertanyaan ini lebih menyakitkan hati lagi, akan tetapi sungguh luar biasa
pemuda itu. Dia tetap tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah. Akan
tetapi, seperti juga tadi, dia menggeleng kepala.
"Bocah dusun! Kalau bukan hutang atau mengemis, habis mau apa orang
macam engkau ini berani pagi-pagi datang mengganggu Ciu Wan-gwe"
Agaknya engkau mempunyai niat busuk. Mau mencuri, ya?"
"Urusan saya tidak ada sankut pautnya dengan ji-wi. Harap tolong
panggilkan Ciu Wan-gwe, biar saya bicara sendiri dengan dia."
"Aku tidak sudi memanggilkan!" bentak Gan Ki Bin.
"Dan aku tidak memperbolehkan kau masuk!" bentak Lok Hun.
Keduanya siap untuk memukul pemuda dusun yang berani mengganggu
sepagi itu. Mereka baru saja keluar dari dalam gedung Ciu Wan-gwe sambil
membawa peti berisi candu murni untuk diserahkan kepada Lai-taijin, wakil
kepala daerah Kanton. Karena pintu gerbang itu terbuka lebar-lebar, maka keributan yang terjadi
itu menarik perhatian orang-orang yang lewat, dan sebentar saja sudah banyak
orang berdiri di luar pintu dan nonton keributan itu. Di antara mereka terdapat
seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seperti seorang
ahli silat. Pemuda ini berusia kurang lebih duapuluh tahun, tubuhnya tinggi
besar, sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan dia tersenyumsenyum melihat keributan yang terjadi di sebelah dalam pintu gerbang itu.
Pemuda itu bukan lain adalah Ong Siu Coan! Seperti kita ketahui, Ong Siu
Coan diijinkan turun gunung oleh Thian-tok dan bersama sutenya, Gan Seng
Bu, dia turun gunung dan melakukan perjalanan berpisah. Dia hendak mencari
Koan Jit, suhengnya yang melarikan Giok-liong-kiam. Akan tetapi di sepanjang
perjalanan, Ong Siu Coan mendengar tentang pemberontakan yang terjadi
dimana-mana. Juga dia banyak mendengar tentang orang-orang kulit putih
yang menyelundupkan candu dan meracuni rakyat dengan benda itu.
Sejak kecil dia terlahir di antara orang-orang yang berjiwa patriot, yang
menentang pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah. Maka, melihat
kelakuan orang-orang kulit putih itu, dia menjadi marah sekali. Apalagi melihat
betapa madat telah mendatangkan kesengsaraan yang amat hebat bagi rakyat
jelata. Dia yang sejak kecil bercita-cita menjadi patriot, merasa tidak senang
dan terutama hal ini ditujukan kepada pemerintah Mancu yang dianggapnya
bersekongkol dengan orang-orang kulit putih untuk meracuni dan merusak
rakyat demi untuk keuntungan mereka sendiri.
Ketika dia tiba di kota Tung-kang, dia melakukan penyelidikan dan
mendengar bahwa Ciu Wan-gwe menjadi orang terpenting dan terkaya, orang
yang menjadi pedagang candu dan suka berhubungan dengan para pejabat
dan orang-orang kulit putih. Dia menjadi tertarik dan ingin menyelidiki.
Kebetulan sekali, pada pagi hari itu, dia melihat ribut-ribut ketika lewat di
depan gedung Ciu Wan-gwe, dan ketika dia menyelinap di antara rombongan
orang yang berkerumun di luar pintu gerbang, dia melihat pula keributan yang
terjadi di antara seorang pemuda gagah dengan dua orang yang agaknya
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan merupakan petugas-petugas keamanan di gedung itu. Maka dengan hati
tertarik sekali, dia mengikuti peristiwa keributan itu, dimana si pemuda gagah
ingin bertemu dengan Ciu Wan-gwe dan disambut dengan ucapan-ucapan
bernada menghina oleh dua orang petugas itu.
Melihat peristiwa itu, segera timbul kecondongan di hati Siu Coan untuk
membantu pemuda gagah itu, akan tetapi dia hanya nonton sambil tersenyum,
karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang nampak tenang dan berani itu
tentu bukan orang sembarangan. Bukan orang sembarangan kalau sudah
berani menentang Ciu Wan-gwe yang amat ditakuti oleh penduduk kota itu.
Maka diapun hanya menyelinap ke depan saja untuk dapat nonton lebih jelas.
Sementara itu, melihat sikap dua orang yang kasar dan menghinanya, Ci
Kong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tetap tenang dan sama sekali
tidak memperlihatkan rasa tidak senangnya.
"Bukankah ji-wi hanya merupakan orang-orangnya Ciu Wan-gwe saja"
Kenapa ji-wi bersikap begini kasar" Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Ciu
Wan-gwe sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan ji-wi. Kalau ji-wi tak mau
memanggilkan juga tidak mengapa, aku bisa masuk dan mencarinya sendiri."
"Apa" Kau berani memaksa masuk?" bentak Gan Ki Bin yang bertubuh
tinggi besar. "Apa kau sudah kepingin mampus?"
"Hayaaaa, bocah petani busuk ini perlu apa dilayani?"
Lok Hun menyeringai. "Pukul saja biar dia tahu rasa. Anjing kalau tidak cepat dipukul tentu akan
menggonggong terus, pukul dia biar dia lari sambil mengempit buntutnya, haha-ha"!"
Gan Ki Bin yang memang wataknya berangasan, mendengar kata-kata
kawannya itu, mengayun tangan kirinya yang besar dan berat, menampar ke
arah muka Ci Kong sambil berkata.
"Pergilah, kau menjemukan kami!"
Tamparan itu kuat sekali dan kalau mengenai pipi orang tentu akan
membuat pipi itu bengkak, bahkan mungkin giginya akan rontok. Memang Gan
Ki Bin ini memiliki tenaga yang besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi
besar, dan karena dia memiliki ilmu silat lumayan, maka gerakannya itu selain
kuat, juga amat cepat. "Wuuuttt...!" Akan tetapi pukulan itu lewat di samping muka Ci Kong, karena pemuda ini
dengan sedikit miringkan kepala saja sudah dapat mengelak. Karena
tanparannya luput, Gan Ki Bin menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa di luar
pintu gerbang banyak orang nonton, dan memang dia dan kawannya sengaja
membiarkan orang-orang itu nonton agar mereka melihat betapa dia dan
kawannya menghajar pemuda lancang ini. Akan tetapi, tamparannya luput dan
hal ini dianggap memalukan dirinya.
"Bocah kampungan, berani engkau melawanku!"
Bentak Gan Ki Bin dengan berang. Demikianlah watak orang yang
mengandalkan kekuasaan untuk menekan yang bawah. Orang dupukul
mengelak dianggap melawan. Maunya sih orang-orang macam Gan Ki Bin dan
Lok Hun ini, kalau memukul orang lain supaya orang itu menerima saja, jangan
sekali-kali mengelak atau membakang!
Karena tanparannya luput, Gan Ki Bin menjadi semakin marah dan kini
tangan kanannya yang dikepal besar dan kuat itu menonjok. Jotosan yang amat
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan keras meluncur ke arah dagu Ci Kong, yang kalau tepat mengenai sasaran
dapat membuat orang seketika roboh pingsan dengan tulang rahang retak atau
patah-patah! "Wuuuttt...!" Untuk kedua kalinya, pukulan itu luput karena dapat dielakkan dengan
amat mudahnya oleh Ci Kong. Hal ini membuat Gan Ki Bin menjadi semakin
marah. "Hemm, engkau manusia yang tidak patut dikasihani lagi!" bentaknya dan
majulah dia dengan berangnya, menghujankan serangan pukulan dan
tendangan. Mengalah ada batasnya, demikian pikiran Ci Kong, dan melihat sebuah
pukulan keras menuju ke arah dadanya, dia menyambutnya dengan sentilan
jari telunjuk. "Tukk...!" Telunjuk itu menyentil ke arah kepalan tangan, dan tiba-tiba orang tinggi
besar itu memekik kesakitan.
"Aduh-duh-duhh...!"
Dengan tangan kirinya, dia memegang dan menggosok-gosok kepalan
tangan kanan yang kena disentil jari telunjuk pemuda itu karena terasa nyeri
bukan main, rasa nyeri yang menjalar melalui lengan itu dan seperti menusuknusuk jantung.
"Aku tidak ingin ribut dengan ji-wi, melainkan hendak bertemu dengan Ciu
Wan-gwe." Ci Kong masih mencoba mengendurkan mereka dengan kata-kata. Akan
tetapi kini Lok Hun yang gendut itupun sudah menjadi marah sekali melihat
betapa kawannya tidak berhasil malah kesakitan, dan melihat betapa wajah
orang-orang yang berada di luar pintu gerbang berseri dan senyum-senyum
bermunculan di antara mereka!
"Anjing ini tidak boleh diberi ampun!"
Bentaknya, dan tangan kanannya sudah melolos senjata payungnya yang
aneh! Juga Gan Ki Bin sudah mencabut pedangnya! Kini dua orang itu
menghadapi Ci Kong dengan senjata di tangan dan sikap mereka mengancam
sekali! Melihat betapa keributan itu kini memuncak dan dua orang yang mereka
kenal amat galak dan kejam itu kini mencabut senjata, semua penonton merasa
khawatir akan keselamatan pemuda itu.
Hanya Siu Coan yang masih nonton sambil tersenyum, karena dia mengenal
orang pandai dan yakin bahwa biarpun bersenjata, dua orang galak itu tidak
akan mampu manandingi pemuda tenang itu. Yang menarik perhatian Siu Coan
adalah peti kecil yang dikempit di tangan kiri si gendut. Dia dapat menduga
bahwa peti kecil itu tentu berisi benda yang amat berharga dan timbul niatnya
untuk memiliki peti kecil itu. Dia mulai sekarang harus mengumpulkan harta
kekayaan karena dia maklum bahwa perjuangan yang dicita-citakannya
melawan penjajah membutuhkan banyak tenaga pasukan, dan untuk itu
diperlukan sekali harta untuk pembiayaannya.
"Hemm, kalian mencari penyakit sendiri," kata Ci Kong.
Kini maklum bahwa sikap lembut dan damai tidak mungkin dapat
mempengaruhi dua orang galak ini. Diapun bersiap untuk menghajar dua orang
ini agar jera, agar lain kali tidak lagi bersikap sewenang-wenang menghina
Jejak Di Balik Kabut 41 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri 19
^