Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 1

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 1


Pedang Sakti Tongkat Mustika
(Angin, Hutan, Api, Gunung)
Karya : Herman Pratikto Sumber DJVU : BBSC Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih W ebsite http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Jilid 1 1. Perburuan Suasana alam pada senja hari itu guram lembah.
Hujan rint ik turun semenjak pagi. Angin kencang
melanda bumi, kemudian naik t urun bagaikan gelambang
pasang. Tanah lembab yang tergelar didepan Gunung
Lawu sunyi senyap. Perkampungan mati tiada bernafas.
Penduduk tiada seorangpun mencongakkan diri diluar
rumah. Dalam keadaan demikian, nampaklah lima
penunggang kuda berlari-lari menyeberangi laut an
lumpur. Mereka tak menghiraukan licinnya jalan, dingin
hawa dan hujan rint ik. Kuda yang berada paling depan membawa seorang
kanak-kanak berumur kurang lebih sepuluh tahun. Anak
ini berpakaian biru singsat. Pada pelananya tergantung
sebatang pedang pendek. Yang berada dibelakangnya seorang gadis berumur 16
tahun. Parasnya cant ik. Hanya saja wajahnya muram
berduka dan kuyu. Jelas sekali, ia menderita suata
keletihan luar b iasa. Rambutnya kusut setengah terurai.
Pakaian yang dikenakan berlepotan lumpur. Sedangkan
lengan kirinya t erbalut saputangan yang di tambusi darah
kental. Penunggang kuda ketiga t idak jelas w arna pakaiannya,
karena penuh lumpur. Usianya kurang lebih sembilan
belas tahun. Dia seorang pemuda yang gagah tampan.
Pandangnya memancarkan suatu keberanian tersembunyi. Agak jauh dibelakangnya berderap dua ekor kuda
yang saling susul. Yang pertama ditunggangi seorang
wanita setengah umur. Alisnya tebal melengkung
melindungi sepasang matanya yang tajam. Pandang
wajahnya muram luar b iasa oleh susuatu kedukaan yang
berlarut . Lehernya terbalut sehelai selendang sutera
berwarna kelabu. Melihat darahnya yang menembusi
lipatan pembebatnya yang tebal - teranglah sudah bahw a ia baru saja menderita
luka agak parah. Ia d ijajari oleh seorang laki-laki berumur limapuluh
tahun lebih. Laki-laki ini bertubuh singsat dan cekatan. Ia
membekal sebilah pedang terhunus. Kerapkali ia menoleh
ke belakang. Kemudian melambatkan kudanya sambil
menebarkan penglihatannya. Ia berjenggot pendek dan
rambutnya yang agak gondrong sudah beruban.
W alaupun demikian - diant ara keampat penunggang
kuda - dialah yang nampak gesit dan segar bugar.
Pandang matanya tajam luar biasa, akan tetapi,
mengandung air mata yang membasahi kelopak ke dua
belah pipinya tergores ampat luka memanjang. Dua
diant aranya adalah goresan luka baru.
Melihat cara mereka berlima melarikan kudanya,
mudah ditebak bahwa mereka sedang melarikan d iri dari
sesuatu peristiwa. Kelima kuda tunggang mereka
nampak let ih sekali. Dalam pada itu cuaca senjahari itu makin mendekati
petang yang muram. Dan hujan rint ik kian menjadi
deras. Buru-buru mereka menikungi jalan pegunungan.
Seberang-menyeberang jalan nenghadang jurang dalam
dan tanaman liar. Laki-laki beruban yang berada dibelakang, tiba-tiba
menghentak tali kendali sehingga kudanya kaget
berjingkrak. Lalu menyusul kuda wanita setengah umur
yang berada duapuluh langkah didepannya.
"Larasati! Kalau terus-terusan begini, kita akan mati
kecapaian. Tak apalah aku mati ditengah perjalanan in i.
Tetapi bagaimana ketiga anak kita" Marilah kita
beristirahat sebentar!" serunya dengan perkataan
ditekan-tekan. "Malam nanti kita melanjutkan perjalanan. Selanjutnya
kita hadapkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Adil.
Bagaimana lukamu?" Setelah berkata demikian, kedua kelopak matanya
basah kena air mata. Ia sangat berduka. Hatinya
tersayat-sayat. Lalu menangis tertahar-tahan. Untunglah
angin meniup kencang, sehirgga suara tangisnya
terendap dari pengamatan pendengaran.
Larasati, wanita setengah umur yang muram
wajahnya, lalu tersenyum. Sahutnya lembut :
"T ak apa-apa. Kau tak perlu resah hati. Inilah luka
ringan yang tiada artinya sama sekali. Kulitku hanya
terlecet sedikit. Hanya yang kucemaskan ialah luka ... eh
lengan Sudarawerti. Nampaknya ia menderita luka berat.
Lenganriya seperti terkulai ..."
Tetapi luka yang diderita Larasati sendiri, sebenarnya
parah. Senjata yang melukai lehernya tidak hanya
melecet kulit belaka. Tetapi menembus hampir satu
senti. Urat nadi nyaris terancam.
Seseorang yang menderita luka demikian, tidak boleh
bergerak terlalu banyak Sebaliknya senjahari itu, ia
berada diatas kudanya mengarungi badai hujan tiada
hentinya. Sudarawerti yang berada didepan, agaknya mendengar keluh-kesah Larasati. Ia berpaling. Katanya
dengan nada riang : "Ayah!.Jangan dengarkan ibu! Lenganku tak kurang
suatu apa.". Ia tersenyum, akan tetapi dua titik air mata
jatuh kepelana kudanya. Teranglah; mereka berdua
sedang berusaha menghibur dan membesarkan hati lakilaki beruban itu.
"Sudarawerti, janganlah kau membohongi aku,
bukankah lukamu ..." tegor laki-laki beruban itu.
"Ayah, benar-benar aku t ak kurang suatu apa," sahut:
Sudarawerti. "Lihatlah!"
Setelah berkata demikian, ia mengertak gigi.
Kemudian nengangkat lengannya yang tadi sarrpai
terkulai. Katanya nyaring: "Sekarang, sama sekali t ak terasa sakit."
Akan tetapi begitu tangannya terangkat, suatu rasa
nyeri luar biasa menggigit janttngnya. Peluh dingin
meraba jidat dan tengkuk Sudarawerti. Cepat-cepat ia
membuang mukanya. Lalu memacu kudanya sambil
menurunkan lengannya, hati-hati.
Kedua orang tuanya berkata tajam. Dengan sekilas
pandang, tahulah mereka bahwa puterinya sedang
menanggung suatu derita yang nengancam. Apabila
lengan yang terluka itu tidak segera gemperoleh
perawatan yang balk, Sudarawerti bisa cacat seumur
hidupnya. Karena sangat berduka laki-laki beruban itu
mendcngak ke udara suram .
"Hm Kata orang, aku disebut Arya Udayana seorang
ahli pedang murid ketiga guru besar Kyahi Basaman.
Selamanya tak pernah aku merasa malu terhadap bumil
dan langit yang melindungiku. Melihat kekiri aku berbesar
hati. Melihat kekanan aku berbangga hati. Memandang
ke depan tiada rasa segan. Menoleh kebelakang tiada
rasa kecewa. Kenapa kini, Ya Tuhan, kami bisa menjadi
begini" Kenapa aku harus membuat anak-isteriku
tersangkut dalam kesengsaraanku yang terpaksa
merant au dari tempat ke tempat sekian bulan lamanya"
Ya Tuhan, berilah ..... kami cerahmu!"
Larasati menahan kendali kudanya, kemudian menghduipiri suaminya. Setelah lari berjajar, ia menekap
lengan kirinya. Katanya lembut :
"Suamiku, jangan engkau terlalu berduka memikirkan
kami. Manusia yang suci bersih pasti akan nemperoleh
berkat Tuhan Yang Maha Adil. Memang keluargamu lagi
menjadi korban suatu fitnah. Kabut gelap menutupi
penglihatanmu. Akan tetapi sebentar atau lama, latar
belakang peristiwa in i pasti akan tersingkap. Sabarlah
untuk beberapa hari saja. Apabila kita sudah bertamu
dengan Kyahi Basaman, semuanya akan menjadi beres
seperti sediakala." Lake-laki beruban yang menyebut dirinya Arya
Udayana menggelengkan kepala. Sahutnya sedih :
"Hari ini sudah hari y ang ke 174 ... Kita telah melint asi
air, gunung, rimba dan ladang belukar. Tapi tetap saja
kita diikut i. Selama seratus tujuh puluh ampat hari,
belum pernah kita beristirahat barang sebentarpun.
Alangkah sakit hatiku Larasati, tak usahlah engkau
menutupi suatu kenyataan! Pendekar-pendekar gagah
seluruh penjuru ingin membekuk aku, engkau dan ketiga
anak kita. Hidup atau mati. Kalau hal itu sudah
terlaksana, barulah mereka mau tidur. W alaupun aku
memiliki lidah tajam, set ajam Shri Kresna sulit bagiku
untuk memberikan penjelasan kepada mereka."
"Kangmas! Janganlah kau terlalu bersedih hati. Salah
paham ini pasti ada akhirnya.Tuhan Maha Adil. W aktu
masih panjang. T ak perlu kita terburu napsu."
Udayana berpaling menatap wajah isterinya. Ia
melihat selendang kelabu membalut lehernya.
Sekarang semua lipatannya sudah menjadi merah
semua. Suatu bukti bahwa darah masih saja mengalir.
Melihat hal itu, ia malu kepada diri sendiri. Dia yang
terkenal sebagai seorang ahli pedang, apa sebab tak
mempu melindungi isterinya.
"Kita berlari-lari sepanjang malam sampai sekarang,"
katanya dengan menghela napas. "Rumah Panjalu tak
jauh lagi dari sin i. Mari kita beristirahat sebentar. Aku
mengharap bisa mencapai rumah Panjalu pada esok
pagi." Dengan pelahan-lahan Larasati mengangguk. sahutnya : "Benar. Kita perlu menghimpun tenaga kurasa malam
nant i kita tak dapat kesempatan beristirahat. Selain itu,
kita perlu merawat luka Sudarawerti. Akh, kasihan anakanak kita yang t idak
berdosa dan yang tak t ahu-menahu
tentang peristiwa ini. Mereka ikut pula nenanggung
derita. Selama tujuh tahun, hampir dikatakan kita tak
merasakan suatu ketenangan meski satu haripun ..."
Bukan kepalang sedihnya Udayana diingatkan perkara
itu, Dengan hati bergetar ia berkata :
"Larasati! Benar-benar tak pant as aku menjadi suami
dan ayah ketiga anak kita. Aku tak sanggup melindungi
kalian." "Jangan kau terlalu menyesali d iri sendiri," bujuk
Larasati. "Siapa saja takkan sanggup menghadapi lawan yang
jumlahnya tidak hanya se ratus dua ratus orang. Mereka
bisa saling bergiliran. Akan tetapi engkau" Akh! Sebab
musabab terjadinya peristiwa ini adalah aku. Aku isterimu
yang membuka suatu rahasia besar, karena ketololan
dan kecerobohanku. Sebenarnya, akuulah yang harus
mati." Udayana mendongak keudara. Ia menarik napas
dalam lagi. Lalu melepaskan pandang dijauh sana.
Katanya setengah berseru :
"He! Bukankah itu sebuah rumah" Mari kita kesana
untuk beristirahat sebentar. Kita perlu berteduh agar t ak
kemasukan angin jahat dan dingin hujan!"
Setelah berkata demikian, Udayana menghentak
kendali kudanya. Ia mendahului memimp in rambongannya menuju kerumah itu. Isterinya se gera
mengikuti dengan membedalkan kudanya pula.
Dan ketiga anaknya lantas saja berada dibelakangmereka.
Rumah yang berada didepan sebenarnya bukan rumah
orang. Rumah itu sebuah lumbung desa tempat
penyimpan hasil bumi. Pastilah milik se orang berada.
Sebab yang mempunyai lumbung di tengah ladang,
biasanya seorang kepala Desa, haji atau seorang petani
yang makmur hidupnya. Makin mendekati rumah itu, hujan terasa bertambah
deras. Mereka tak menghiraukan deras hujan. Yang
ditakuti apabila ada angin jahat menyusup tubuhnya.
Syukurlah, rumah itu t idak begitu jauh.
Dalam waktu kurang dari seperempat jam, sampailah
mereka. Lumbung yang dikiranya rumah penduduk, berukuran
kecil, akan tetapi bersih. Gentingnya terbuat dari rambut
pohon aren. Gelap kelam, namun kokoh. Dindingnya
bambu dan masih rapat. Suatu tanda bahwa pemiliknya
masih memakainya. Yang melompat turun dari kudanya terdahulu adalah
Udayana. Kemudian merentangkan kedua tangannya
untuk menyambut isterinya. Hati-hati ia bermaksud
menolong isterinya t urun dari kuda.
Akan tetapi isterinya malahan melompat t urun dari sisi


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainnya. Katanya : "Kangmas! Tak usahlah kangmas terlalu memperhatikan aku. Kau bantulah anak kita
Sudarawerti." Akan tetapi pada saat itu Sudarawerti sudah melompat
turun tanpa bantuan siapapun juga. Ia bahkan lari
menghampiri ibunya. Itulah sebabnya Udayana mendekati anaknya yang paling bungsu. Baru saja ia
hendak menggapainya, Sudarawerti sudah mendahului.
Rupanya ia segera berputar arah begitu melihat ayahnya
menghampiri ad iknya. "Lingga! Biarlah aku yang menolongmu. Ayah hendak
beristirahat disini," katanya lembut .
Bocah itu menarik kendali kudanya kencang-kencang.
Ia mendengar kata-kata kakaknya perempuan, akan
tetapi sama sekali t ak bergerak. Dengan w ajah keagungagungan ia mendongak,
melihat udara kelam. Sepasang
alisnya berkerut seakan-akan seorang panglima lagi
memecahkan suatu persoalan.
Lingga baru berumur delapan tahun. Nama lengkapnya Lingga W isnu. Suatu nama yang diambil
ayahnya dari seorang raja keramat dijaman kerajaan
Pejajaran. Selama dilahirkan didunia, ia ikut menderita
bersama ayah-ibunya. Merantau dari tempat ketempat.
Penghidupan demikian membuat dirinya lekas masak dan
berkepribadian penuh. W ajahnya tiada cahaya berseri.
Kegembiraan masa kanak-kanaknya lenyap sehingga ia
lebih mirip dengan seorang pemuda t anggung yang hendak menanjak dewasa.
Sudarawerti meraih lengan adiknya itu dengan sabar.
Katanya lembut lagi : "Lingga, kau lagi memikirkan apa" Lihatlab hujan kian
deras!" Lingga W isnu tersentak sejenak. Kemudian melompat
turun tanpa bantuan. Ia menolak raihan Sudarawerti
dengan tersenyum. Sahutnya ringan:
"Apa yang kupikirkan" Bukankah ayah hendak
beristirahat?" Sudarawerti tertawa sedih. Katanya menghibur :
"Benar, kuda kita sudah lelah. Satu hari satu malam
kita berlari-lari terus tiada henti. Kitapun agaknya perlu
beristirahat pula." Sambil berkata demikian, ia mengamat-amati Lingga W isnu. Adik ini sudah set inggi
pundaknya. Dan tiba-tiba kedua matanya berkaca-kaca. Dahulu,
tujuh tahun yang lalu, dia masih perlu didukung
bergantian, tatkala harus meninggalkan kampung
halaman. Ia dibesarkan disepanjang jalan, dari tempat
ketempat. Kini sudah mirip seorang pemuda tanggung.
Nasibnya seperti Pinten-Tansen, putera raja Pandu
dalam cerita Maha Bharata yang dibesarkan didalam
perantauan *). Akh! Ternyata cerita wayang yang
nampaknya tak ubah dongeng seribu satu malam benarbenar terjadi dan dialaminya.
Tatkala itu Lingga W isnupun menatap wajah
Sudarawerti. Seperti berjanji, diapun lagi ment aksir-taksir
tinggi badannya. Lalu berkata:
"Kak! Satu atau dua tahun lagi, tinggi tubuhku akan
melampaui t inggimu."
*) Pandawa diusir dari negeri Hastina selama
beberapa tahun. Sudarawerti tertawa tawar Sahutnya:
"Benar, adikku. Kau akan lebih tinggi dari padaku.
Setiap matahari muncul dilangit, tinggi tubuhmu selalu
bertambah dan bertambah. Jangan-jangan engkau kelak
memiliki t ubuh seperti Bhima **)"
Tujuh tahun lamanya, keluarga Udayana hidup dalam
perantauan. Mereka tidak hanya merantau untuk mencari
sandang - pangan ***), tetapi pun berlari-larian sambil
membela diri terhadap serangan lawan yang datang
bertubi-tubi dari seluruh penjuru mata angin. Selama
merant au, mereka kepanasan, kehujanan, kelaparan dan
kehausan. Dalam kepahitan hidup merekapun memperoleh suatu hikmah.
Masing-masing berusaha menghibur dan membesarkan hati. Dan dengan diam-diam mereka
menguatkan hati untuk mereguk semua penderitaan
yang mereka alami. Pada saat itu datanglah kakaknya laki-laki menghampiri. Dia seorang pemuda yang berumur kurang
lebih sembilanbelas tahun. Dengan tiba-tiba saja ia
menyamber kendali kuda Lingga W isnu. Katanya sambil
tertawa ramah "Hai! Apakah kalian hendak mandi hujan" Beristirahatlah dengan ayah-bunda! Beliau berdua berada
didalam lagi menyalakan api."
"Engkaulah justeru yang paling lelah kali in i. Kita
berdua bisa beristirahat dengan perlahan-lahan," sahut
Sudarawerti. Suaranya lembut penuh perasaan.
**) Dalam ceritanya ia berperawakan tinggi besar
***) Makan-minum. Kakaknya yang bernama Umardanus, tertawa perlahan. Memang dialah satu-satunya anggauta keluarga yang penuh lumpur sehingga warna pakaian
yang dikenakan jadi semu. W aktu mendengar ujar
adiknya, dia tidak membuka mulutnya. Sebaliknya
dengan seorang diri ia membawa kelima ekor kuda
keladang rumput yang berada disebelah selatan
Lumbung itu. Melihat rumput, lima ekor kuda itu terus saja mengisi
perutnya dengan lahap. Dan Umardanus tetap berada
disitu tanpa menghiraukan derasnya hujan.
Udayana nuncul diambang pintu sambil menggeribiki
pakaiannya. Melihat putera sulungnya tak berani
meninggalkan kuda, ia lantas berseru :
"Mardanus! Tinggalkan saja. Mereka takkan lari. Kau
perlu beristirahat!"
"Sebentar, ayah. Lebih baik ayah memeriksa kuda
Sudarawerti dan ibu. Aku bisa nengurusi diri." Sahut
Umardanus dengan suara hormat.
Udayana mengurut-urut janggutnya. Ia diam sejenak
menimbang-nimbang. Kemudian berputar tubuh dengan
menarik napas, perlahan-lahan ia memasuk i lumbung
menghampiri isteri dan anaknya yang lain.
Memang, setiap kali beristirahat, Umardanus selalu
mengurus kuda tunggangan terlebih dahulu. Sebab kudakuda itu merupakan kaki dan
tulang punggung keluarganya. Kalau sampai terjadi sesuatu, semuanya
akan lumpuh. Dan kelumpuhan berarti suatu ancaman
bahaya sendiri. Itulah sebabnya selama merant au tujuh tahun tak
pernah ia melalaikan t ugas pekerjaannya. Malahan kudakuda itu baginya jauh
lebih berharga dari pada jiwanya
sendiri. Itulah sebabnya, demi kuda-kuda itu ia tak
menghiraukan hujan atau terik matahari. Kalau perlu ia
rela menderita lapar dan dahaga.
Didalam ruang lumbung yang bersih itu, duduklah
Udayana dengan isterinya, Sudarawerti dan Lingga
W isnu. Perlahan-lahan ia melepaskan bungkusan yang
selalu menggeblok pada punggungnya. Itulah bungkusan
makanan kering, nasi t anpa sayur ! .
"Anak-anak, mari kita makan," ajaknya. "Kali ini
mungkin sekali merupakan perjalanan kita yang terakhir.
Sebab setelah kita bertemu dengan paman-gurumu
PanjaIu kemudian eyang gurumu, selanjut nya t iada lagi
yang bakal mengganggu kita."
Setelah berkata demikian, ia membuka pula dua botol
air minum . Ia mengangsurkan kepada isterinya. Berkata
pula : "Inipun merupakan suguanku yang terakhir kepadamu. Kau minumlah!"
Perlahan suaranya, sehingga mirip orang berbisik.
Kemudian dengan pandang lembut ia menatap wajah
Sudarawerti. Katanya : "Coba, kau perlihatkan lukamu!"
"Akh, lukaku tidak parah." sahut Sudarawerti cepat.
"Luka ibu perlu mendapat perhatian ayah."
Larasati tertawa perlahan. Ujarnya :
"Lukaku" Apakah arti lukaku ini! Ibu kan sudah berusia
tua. Seumpama, lantaran tidak kena obat, akan
meninggalkan cacatpun t idak banyak artinya. Pendeknya
bukan soal lagi. Sebaliknya engkau seumpama tanaman
sedang mekar mekarnya. Bukankah kau kini sudah
berumur enambelas tahun " Coba, kalau lenganmu
sampai cacat, engkau akan menyesal seumur hidupmu.
ibupun ikut menderita pula."
"Baiklah, baiklah. Kalian jangan saling bertengkar.
Obat lukaku cukup untuk penyembuh dua orang lagi,"
tukas Udayana. Setelah berkata demikian, Udayana membuka pembalut isterinya. Luka itu masih mengeluarkan darah.
Hal itu membuat hatinya bercekat. Katanya didalam hati:
" Hebat sabetan golok Rujipinentang. Benar-benar dia
merupakan musuh t angguh sampai bisa melukai isteriku.
Untunglah t idak sampai memagas urat nadi," dan cepatcepat ia menaburkan bubuk
obat luka yang berwarna kelabu. "Sekarang giliranmu, anakku," katanya kemudian.
Sudarawerti membuka pembalut lukanya sendiri.
Kemudian mengangsurkan lengannya kepada ayahnya.
Luka itu dideritanya tiga hari yang lalu. Karena kurang
terawat dan kena hujan dan angin jahat, kini nampak
diseliputi nanah. Melihat nanah itu, Udayana mengerutkan alis. Katanya sambil menghela napas :
"Sudarawerti, kalau kasep dua hari lagi, pastilah
lenganmu akan cacat. Kau ... kau ..."
Ia tak meneruskan kata-katanya. Sebenarnya ia
menganjurkan agar Sudarawerti merawat lukanya baikbaik. Akan tetapi selama
beberapa hari in i, hampirhampir tiada suatu kesempatan untuk beristirahat.
Musuh yang datang dari semua penjuru angin
menyerang secara bergiliran. Apalagi berkesempatan
melihat luka, sedangkan untuk menidurkan diri saja sama
sekali tiada waktu. Itulah sebabnya, dengan membungkam Udayana menuang sisa obat bubuknya
lalu membuang pembungkusnya diatas tanah. Ujarnya
setengah berdoa : "Mudah-mudahan inilah perjalanan kita yang terakhir."
Selagi ia merenungi ucapannya sendiri dengan w ajah
muram, tiba-tiba Lingga W isnu mint a keterangan diluar
dugaan. Katanya anak tanggung itu :
"Ayah, dapatkah aku mint a suatu keterangan " Ada
sesuatu yang tidak kumengerti .. "
Udayana tercengang. Segera ia berpaling dan
menatap wajah puteranya yang bungsu. wajah Lingga
W isnu nampak muram dan setengah bergusar .
Dan melihat kesan itu, ia menghela napas lagi dengan
tak dikehendaki sendiri, sahutnya dengan perlahan :
"Kau hendak minta keterangan apa, anakku " Kau
berkatalah! Sebenarnya, andaikata kau tak mengerti,
akhirnya kau akan mengerti sendiri. Aku sendiri sudah
memutuskan hendak memberi penjelasan kepadamu.
Kukira umurmu kini sudah dapat menangkap suatu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterangan." Anak lumrah yang berumur delapan tahun ,sebenarnya tidak mungkin dapat diajak
membicarakan masalah orang tua. Akan tetapi Lingga W isnu adalah
seorang anak yang dibentuk oleh keadaan.
Pertumbuhan akalnya lebih cepat daripada anak
lumrah. Dan set elah mendengar kata-kata ayahnya,maka
ia berkata: "Ayah, yang kuingat ........ eh, teringatlah aku pada
waktu itu. Kita semua berlari sepanjang malam, melewati
gunung dan melint asi hutan. Aku ...... "
"Akh, anakku!" potong ibunya dengan suara
mengeluh, lantas meneluk lehernya dengan air mata
bercucuran. "Itulah terjadi t iga tahun yang lalu..."
"Sekarang ini berapa sih usiaku?"
"Delapan t ahun," sahut ayahnya dengan suara t egas.
"Hai! Jad i aku sekarang sudah berumur de lapan!" seru
Lingga W isnu. "Kata kakak Sudarawerti, kita merantau
selama tujuh tahun. Kalau begitu ayah mengajak aku
meninggalkan rumah sewaktu aku masih, berumur satu
tahun. Ayah, aku telah melihat banyak gunung, hutan,
jurang, sungai dan batu. Ayah mengajak aku merant aui
padang luas. Kadang-kadang menyeberangi ladang
belukar. Teringatlah aku, kalau hujan turun deras dan
angin meniup begitu gemuruh. Teringatlah aku, kalau
berhari-hari kita berada di tengah terik matahari. Kita
lantas mencari mata air untuk meneguk airnya yang
bening. Hanya yang kuherankan, apa sebab ayah, ibu,
kak Mardanus, kak Sudarawerti mesti harus bertempur
set iap, kali bertemu dengan orang " Apakah kita pernah
menyalahi mereka" Ataukah mereka memang orang-orang jahat yang memusuhi kita"
Buktinya, suatu kali kita pernah melint asi kota dan pedusunan. Dan ayah tak
perlu menghunus pedang untuk nenikam mereka ..."
Masih sangat muda usia Lingga W isnu. Akan tetapi
pengalamannya terlalu dahsyat. Dari tahun ke tahun,
nalurinya membuat akalnya mulai ingin mengerti
semuanya. Tatkala mula-mula melihat keluarganya
bertarung dengan orang-orang tertentu, ia bersikap acuh
tak acuh. Kemudian rasa takut mulai menggerayangi.
Lalu rasa gusar dan girang apabila keluarganya menang.
Setelah itu mulai menebak-nebak apa sebab selalu
terjadi suatu pertarungan adu jiwa. Dan pada tiga hari
yang lalu, untuk yang pertama kalinya salah seorang
anggauta keluarganya kena luka. Dialah Sudarawerti.
Dan hal itu membuat akalnya mulai bingung. Lalu ibunya
kena sabetan golok seorang musuh yang menamakan diri
Rujip inentang. Kalau begitu terjadi suatu pertarungan itu,
tidak dikehendaki oleh keluarganya sendiri. Terasa sekali,
betapa ayah-bundanya terpaksa melayani lawan untuk
suatu pembelaan diri. Mengapa Ayah bundanya di
musuhi orang begitu banyak " Benar-benar ia tak
mengerti. Dan dalam tiga hari itu, ingin ia mint a
penjelasan. Namun rasa lelahnya lebih menguasai dari
pada perhatiannya itu . Ia tertidur begitu menggeletakkan badan. Kini dia kehujanan. Pakaiannya
basah kuyup. Inilah yang membuat dirinya tak dapat
tertidur dengan cepat. Maka ini pula kesempatan baginya
untuk minta keterangan kepada ayahnya.
"Lingga, jangan membuat Ayahmu berduka ! " tegur
ibunya. Mendengar teguran ibunya, wajah W isnu nampak
muram luar b iasa. Ia jad i bingung, cemas dan sesal.
Akhirnya ia ingin menangis dengan perasaan tak
menentu. Sejenak kemudian ia mencari kesan wajah
ayahnya. Berkata : "Benarkah ayah berduka dengan pertanyaanku ini"
Kalau begitu, patutlah aku ayah hukum."
Udayana menoleh kepada isterinya. Berkata:
"Larasati, mengapa dia kau tegur demikian " Dalam
hal in i bukan dia yang salah. Sebaliknya akulah manusia
yang tiada gunanya hidup sebagai ayah dan suamimu.
Tujuh tahun lamanya, aku membuat engkau sengsara.
juga ketiga anakku ...... "
Ia berhenti menelan ludah. Kanudian meraih leher
Lingga W isnu dan nengusap-usap kepalanya dengan
perasaan kasih-sayang. Katanya lagi dengan suara agak
parau: "Lingga, kau tak salah! Sama sekali tak salah.
Mengapa aku mesti menghukummu" Selama tujuh t ahun
ini, ayahmu mencoba mengatasi kesulitan ini, untuk
mengkikis suatu salah paham. Akan t etapi, ayahmu t idak
berdaya sama sekali menghadapi lawan-lawan yang
bersikap sangat ganas."
Lingga W isnu mengangkat kepalanya memandang
wajah ayahnya. Berkata seperti merajuk :
"Ayah, dapatkah ayah menjelaskan tentang salah
paham itu?" Udayana mengangguk seraya tertawa sedih. Jawabnya
pasti : "Tentu. Tentu saja. Saat ini justeru saat kita yang
terakhir. Semenjak tadi, ayah sudah berkeputusan untuk
menjelaskan kepadamu, walaupun otakmu mungkin
belum dapat mengerti persoalan latar-belakangnya.
Kalau ayah tidak menjelaskan sekarang, kapan lagi
ayahmu memperoleh kesempatan lagi " Kau duduklah
baik-baik. Kemudian dengarlah set iap patah kata
ayahmu. Sebab setelah ini, ayahmu tidak akan berkatakata lagi."
Sudarwerti yang semenjak tadi berdiam diri sambil
membalut lukanya, menyambung :
"Ayah! Selama tujuh tahun merantau, baru kali ini
ayah membawa kami melarikan diri. Aku tahu
sebenarnya. Itulah lantaran aku dan ibu terluka. Ibu
mahir sekali menggunakan pedang. Kak Umardanus
makin tangguh. Akupun merasa mendapat kemajuan
pula. Setelah lukaku sembuh, tak perlu ayah membawa
kami lari-lari begini. Hanya saja, ada satu hal yang tidak
kumengerti. Ayah terlukai musuh. Mengapa ayah tak
mau membalas, sedangkan sebenarnya ayah mampu
berbuat begitu.?" Sambil bertanya demikian, Sudarawerti mengawasi
luka ayahnya yang menggarit kedua belah pipinya.
Lingga W isnupun demikian pula. Berkata menguatkan
pertanyaan kakaknya : "Benar ayah. Apa sebab ayah membiarkan musuh
melukai pipi ayah " "
"Lingga! Jangan kurangajar!" be ntak ibunya .
"Larasati, biarlah!" kata Udayana membujuk. Akan
tetapi wajahnya nampak muram luar b iasa. W alaupun
demikian, pandang matanya tiba-tiba bersinar tajam.
Dengan suara bernada menghibur ia berkata kepada
kedua anaknya : "T ak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi setelah
pernah berbuat suatu kekeliruan. Sekarang in i ayahmu
sudah berusia lebih dari set engah abad. Kalau hari ini
harus mati, hati ayah rela benar. Akan tetapi bagaimana
dengan kamu sekalian. Kalau ayah menggali tanah lebih
dalam lagi, kamulah yang bakal memiku l akibatnya.
Dapatkah dibenarkan apabila seorang ayah meninggalkan suatu warisan penderitaan
kepada anak keturunannya" Tidak! Tak dapat aku menanamkan bibit
permusuhan yang berlarut -larut tiada habisnya untuk
kamu sekalian." "Akh, ayah terlalu bermurah hati kepada mereka." ujar
Sudarawerti. "Sebaliknya mereka tak mau tahu. Mereka
mengejar kita terus menerus selama tujuh t ahun. Setiap
gerakan senjata mereka mengancam maut tak terampun
kan. Selama beberapa tahun, entah sudah berapa kali
ayah dan ibu menderita luka ringan dan berat. Tetapi kerelaan ayah dan ibu
menanggung derita itu, tak dapat
merubah hati mereka. Bahkan mereka bertambah ganas
dan ganas. Kenapa semangat ayah tiba-tiba menurun
deras?" Udayana menggelengkan kepalanya sambil menghela
napas. Katanya perlahan: "T idak, anakku. Tidak. Sama sekali tidak. Semangat
ayahmu bukan runtuh dengan deras. Tetapi karena
mempertimbangkan keadaan. Tegasnya ayahmu ini
dipaksa oleh suatu keadaan. Memang merubah sikap
mereka, kini tiada harapan lagi. Satu-satunya jalan
hanyalah membela diri mati-matian. Kita membunuh atau
dibunuh. Akan tetapi anakku, musuh-musuh kita ini luar
biasa banyaknya. Barangkali kau masih ingat, tatkala
mula-mula kita meninggalkan rumah. Dari Sumedang aku
membawa kalian lari kebarat sampai mencapai pant ai
barat. Kemudian menembus hutan belukar, balik ke
timur. Melint asi Cirebon. Berbelok keselatan. Menyeberang pegunungan Banyumas. Akhirnya sampai
disin i. Dilembah Gunung Lawu. Akan tetapi musuhmusuh kita tetap mengejar.
Setiap kali memasuk i suatu
wilayah, musuh-musuh berganti orang. Kau tahu,
siapakah musuh kita sebenarnya?"
"Itulah yang hendak kutanyakan," sahut Sudarawerti.
"Benar ayah, agar kita menjadi jelas siapa musuhmusuh kita." Lingga W isnu
menguatkan. Udayana menundukkan kepalanya. Setelah diam
sejenak, dengan muka berkerut lalu ia berkata:
"Musuh kita adalah seluruh pendekar di dunia ini yang
mempunyai angan-angan hendak nencapai langit."
Baik Sudarawerti maupun Lingga W isnu menggeridik
mendengar keterangan ayahnya. Sudarawerti delapan
tahun lebih tua daripada Lingga W isnu. Karena itu dapat
ia berpikir dan menimbang. Katanya lagi mint a
penjelasan : "Seluruh pendekar didunia ini" Masakan begitu, ayah"
Bagaimana mereka memusuhi ayah. Apakah ayah pernah
mengenal mereka?" "T idak. Tidak semuanya," jawab ayahnya.
" Mengapa mereka bersatu padu ayah?" Sudarawerti
heran. " Itulah karena ........ karena ... " jawab ayahnya nya
sulit. Ia menimbang-nimbang sebentar.
Kemudian mengalihkan pembicaraan:
"Mereka mencanangkan ayah sebagai seorang pencuri
mahabesar yang harus dibekuk hidup atau mati. Barang
siapa dapat menangkap ayahmu ini h idup-hidup,
memperoleh tiga bagian mustika dunia. Sebaliknya
apabila menangkap ayahmu mati, hanya peroleh
sebagian. Tetapi sebagian itu sudah cukup untuk
membuat namanya tenar di dunia. Karena apa yang
disebut mustika itu merupakan ilmu sakti tertinggi
didunia. Konon dikatakan dapat melawan jin, setan, iblis
dan dewa sendiri. Ia akan merajai segenap manusia
didunia. Dia akan dihormati dan dipuja sebagai malaikat."
"Akh! Itulah kabar berlebih-lebihan saja," gerutu
Sudarawerti. "Kita hidup pada jaman in i. Pernahkah
Tuhan melahirkan seorang yang bisa mengalahkan dewa
atau malaikat" Itulah suatu dusta besar!"
"Benar. Itulah suatu dusta. Namun ayahmu tidak
berdaya melawan anggapan demikian," kata ayahnya.
"Jadi, mereka mengejar ayah sampai di Lembah
Gunung Lawu ini semata-mata lantaran menginginkan
iImu sakti t iada taranya didunia in i?"
" Benar." "Inilah suatu kegilaan," bisik Sudarawerti dengan
terlongong. "Ya, benar-benar gila!"
" Kau boleh berkata demikian, anakku. Tetapi
buktinya, keluarga ayahmu menjadi buruan mereka.
Cobalah pertimbangkan masak-masak, dapatkah ayahmu
melawan demikian banyaknya?" kata Udayana dengan
menghela napas sedih. "Itulah sebabnya, tiada jalan lain kecuali melarikan
diri. Kemudian berusaha mencari paman gurumu dan ....
kalau Tuhan melindungi, kita akan berlindung kepada
eyang-gurumu Kyahi Basaman. Ia adalah seorang guru
besar, dihormati dan disegani orang. Setidak-tidaknya
pendekar-pendekar Jawa Tengah mengenal namanya.
Karena itu anakku, meskipun penderitaan kita berlarut larut , namun aku tak
percaya bahwa suatu penderitaan
tiada akhirnya. Belum pernah manusia menyaksikan
awan hitam menutupi langit cerah sepanjang masa. Dan
sebaliknya pula, matahari yang perkasa terbatas pula
kekuasaannya ..." "Seluruh pendekar nemusuhi ayah," Lingga W isnu
berkomat-kamit, memotong perkataan ayahnya. "Mereka
berbuat begitu, semata-mata karena ingin memiliki
warisan ilmu sakti. Kata ayah, barangsiapa yang dapat
menangkap ayah hidup atau mati akan mendapat ilmu
sakti mustika dunia. Sebenarnya apakah yang disebutnya
mustika dunia itu, ayah?"
Udayana tercengang mendengar pertanyaan puteranya yang bungsu itu. Terus saja ia meraih dan
mengusap-usap kepalanya. Katanya perlahan:
"Kau begini cerdas. Kau ... kau ..." Ia berhenti tak
meneruskan. Hatinya meneruskan : 'Kau tumbuh terlalu cepat .....'.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan hatinya lant as saja terasa pedih.
Lalu berpaling kepada isterinya. Berkata :
"Larasati! Meskipun kita kini hampir memasuki wilayah
perguruan, namun hidup atau mati belum dapat kita
pastikan. Oleh karena itu, kalau kin i aku tidak segera
memberi penjelasan kepada anak-anak kita, janganjangan
aku tidak mempunyai kesempatan lagi. Bagaimana menurut pendapatmu?"
Larasati menatap wajah suaminya. sabar :
"Kalau demikian pertimbanganmu, terserahlah padamu." Segera Udayana menghirup napas segar. la melepaskan raihannya. Kemudian memandang wajah
Lingga W isnu dan Sudarwerti. Berkatalah dengan hatihati:
"Anakku, inilah soal yang sulit untuk kau pahami.
Mungkin sekali karena umurmu belum cukup kuat untuk
menanggapi. Terus terang saja, sampai kini ayahmupun
tetap berada dalam suatu teka-teki pelik. Sebenarnya
bagaimana asalmula terjadinya suatu fitnah ini, masih
kurang jelas. Hanya anehnya, mengapa mereka semua
tahu belaka tentang diri ayahmu. Pastilah ada seorang
yang meniup-niupkan suatu kabar tentang diriku. Benar
dan tidak bercampur-aduk tak keruan. Aku mempunyai
dugaan. Tetapi selama tujuh t ahun lebih, tak dapat aku
membuka mulut ku. Akh, seumpama ayahmu t idak terlalu
sibuk menghadapi orang-orang yang datang memusuhi
tanpa alasan permusuhan, siang-siang ayahmu pasti
sudah dapat membekuk biang keladinya ..."
Sanpai disini Udayana berhenti berbicara. Mulut nya
membungkam dengan mendadak. Giginya berceratukan
seolah-olah sedang menggigit sesuatu yang ulat luar
biasa. Sudarawerti seorang gadis perasa. Terus saja berkata
: "Ayah sangat bersakit hati. Biarlah ayah tak
meneruskan saja keterangan tentang peristiwa yang
memedihkan ini" "T idak, anakku. Ayahmu harus berbicara terus. Hanya
saja ..." ia berhenti lagi.
Tiba-tiba berdiri dan berjalan keluar ambang pintu.
Menyeru putera sulungnya: "Mardanus, kemarilah! Ayah
hendak berbicara dengan kamu semua."
Umardanus masih mengawasi kelima ekor kudanya.
Mendengar seruan ayahnya, segera ia menambatkan talitali kendali menjadi
seonggok. Kemudian bergegas
memasuki lumbung. Mint a keterangan :
"Ayah hendak berbicara perkara apa?"
"Kau duduklah dahulu diant ara kedua adikmu!"
perint ah Udayana. Umardanus menggeribiki pekaiannya. Kemudian menghampiri kedua adiknya. Tak dapat ia segera duduk,
karena pakaian yang ia kenakan sudah basah kuyup.
"Baiklah, kau berdiri saja. Kau panaskan tangan dan
kakimu, sambil mendengarkan," kata Udayana memutuskan. "Cobalah kau terka, apa sebabnya seluruh pendekar
dunia ini memusuhi ayahmu sekeluarga ! "
Umardanus menatap wajah ayahnya dengan hati
tercekat. Lalu menjawab perlahan :
"Y ang kuketahui, sepak terjang mereka membuat ayah
sangat berdendam dan penasaran."
"Y ang kumaksudkan sebab-sebabnya," tukas Udayana.
Umardanus bimbang. Hati-hati ia menjawab:
"Menurut yang kudengar, ayah dituduh menyimpan
sebatang tongkat mustika dunia. Atau setidaknya ayah
tahu rahasianya dan tahu pula dimana tongkat mustika
itu tersimpan." "Benar. Sebatang tongkat mustika. Itulah garagaranya. Tahukah engkau apa
sebenarnya tongkat mustika itu?" ayahnya seperti guru nguji muridnya.
Sebelum Umardanus menjawab pertanyaan sang
ayah, tiba-tiba Lingga W isnu memotong dengan
pertanyaan pula: "Kak Mardanus! Kenapa mereka mengira ayah yang
menyimpan tongkat itu?"
Mendengar pertanyaan itu, Umardanus tercengang.
Justeru hal itu pulalah yang membuat dirinya terus
berteka-teki selama t ujuh tahun lebih.
"Entahlah ..." jawabnya. "Aku sendiri ku rang jelas."
Setelah menjawab demikian, ia berpaling ke ayahnya.
Meneruskan : "Orang-orang yang datang mengejar kita ini, pada
suatu hari dipanggil seseorang yang membawa warta
tongkat mustika tersebut. Mereka dikisiki d imanakah
tongkat mustika itu berada. Mereka diberi penjelasan
pula, bahw a tongkat mustika itu tidaklah hanya menggenggam suatu rahasia ilmu
sakti yang sangat tinggi tetapipun menyimpan sebuah gunung emas dan berlian
yang tak ternilai harganya. Pendek kata, barangsiapa
dapat mamperoleh tongkat mustika itu akan bisa
memerint ah dunia. Benar tidaknya, aku tak tahu. Ayah,
benarkah itu?" Pandang mata Sudarawerti dan Lingga W isnu
mengarah kepada ayahnya. Tiba-tiba mereka melihat
kedua mata ibunya mereteskan air mata. Mereka jadi
terkejut. Lingga W isnu terus saja meloncat dari
duduknya. Ia memeluk ibunya dan berkata
"Ibu, kalau keterangan ayah akan menyusahkan ibu,
biarlah ayah t idak usah menjawab pertanyaan kakak."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, air mata Larasati
menetes kian deras. Ia berpaling kepada suaminya.
Kemudian menunduk memandang kepala anaknya yang
bungsu. Katanya perlahan :
"Memang semuanya ini ibumu ikut bersalah. Bahkan
ibumulah yang menjadi bibit permusuhan ini ..."
"Larasati! Pengakuanmu tidak benar!" potong suaminya setengah membujuk. "Aku sendiri belum
memperoleh pegangan yang kuat."
"T idak! Aku, selama tujuh tahun engkau membungkam demi untukku," ujar Larasati
dengan suara pasti. "Sekarang tak boleh lagi engkau memendam
persangkamu. Betapa rapat seseorang membungkus ikan
busuk, akhirnya akan tercium juga. Selama merant au
tujuh tahun ini, jangan lagi engkau, aku sendiri telah
memperoleh tanda tandanya. Dialah ..."
"Larasati!" potong suaminya dengan suara keras.
Tetapi berbareng dengan itu, ia menghela napas.
Dengan menundukkan kepala ia berkata mendesah :
"Baiklah, aku akan berbicara. Akan t etapi, sama sekali
tiada maksudku, aku mencelamu. Bahkan selama in i, aku
sangat berbahagia. Aku berhutang budi padamu,
Larasati. engkaulah pelita hidupku, mercu hidup anakanakku yang lahir lewat
rahimmu. Kalau malapetaka ini
terjadi juga, bukankah sudah semestinya aku harus menyadari jauh sebelumnya."
Larasati mengusap air matanya. Ia menatap wajah
suaminya dengan pandang lembut. Kemudian berkata
lembut : "Katakan saja! Aku adalah bagian hidupmu. Tiada
sesuatu kekuatan yang bisa memisahkan kita, kecuali
maut ... Kau katakan saja, suamiku "
Udayana meruntuhkan pandang keperdiangan Ia
menyalakan api lebih besar lagi. Kemudian melemparkan
pandang keluar pintu. Udara lembah Gunung Lawu telah
menjadi guram. Dingin hawa mulai merayapi t ujuh.
Perlahan-lahan ia mengembarakan pandang dan
berhenti pada wajah ketiga anaknya. Dan diant ara
gemercik hujan, mulai ia berkata :
"Semasa kanak-kanak, aku h idup di wilayah ini. Di
wilayah Gunung Lawu yang dianggap keramat oleh
penduduk Jawa Tengah. Aku hidup di pinggang gunung
sebelah timur laut, didalam d ia mempunyai pertalian
darah dengan seorang kesatria sakti yang bermukim
dipuncak gunung. Kabarnya salah seorang putera Raja
Brawijaya terakhir pada jaman keruntuhan kerajaan
Majapah it. "Pedepokan eyang gurumu disebut orang Wukir Baji.
Tempatnya berada dibewah kepundan sebelah utara.
Memencil dari semua kesibukan dunia. Siang dan malam
hari hanya berselimut awan putih yang dingin luar biasa.
"Eyang gurumu mempunyai tujuh murid. Ayahmu ini
termasuk murid kelima. Paman-gurumu yang tertua
bernama: Ugrasena. Lalu: Dewabrata, Tawangalun,
Podang W ilis, kemudian ayahmu. Setelah itu Panjalu dan
Samtanus. Guru tidak menerima murid perempuan.
Itulah sebabnya, sekalian muridnya adalah laki-laki.
"Kami bertujuh hidup sebagai keluarga sendiri. Saling
menolong dan saling membantu. Pendek kata saling
bahu-membahu. Setelah masing-masing mempunyai
keluarga lantas berpisah. Diantara kami, kabarnya t inggal
dua orang saja yang belum kawin. Merekalah pamanmu
Panjalu dan Samtanus. "Semenjak kami berpisah, eyang gurumu mendaki
puncak gunung. Kabarnya beliau ingin melewati
jembatan Jalu Angin agar bisa bertemu dengan kasatria
Majapah it itu. Syukur masih hidup. Seumpama tidak,
makampun bolehlah." "Bukankah kerajaan Majapahit runtuh beberapa ratus
tahun yang lalu?" sela Sudarawerti.
"Benar. Hanya saja diluar terjadi suatu kepercayaan
yang keras sekali, bahw a putera Majapahit itu
sesungguhnya tidak mati. Dia pernah minum air hidup
yang membawa suatu kekekalan. Dan kabarnya, dia
membangunkan kerajaan jin yang berbakti kepada
Tuhan." jawab ayahnya. "Biarlah kita ikut i saja dongeng
rakyat itu ..." "Ayah agaknya menganggap suatu dongeng belaka.
Masakan eyang guru tidak?"
"Kabar, bahw asanya dia hendak melint asi jembatan
Jala Angin untuk bisa bertemu dengan kasatria sakti
tersebut, sebenarnya hanya satu dalil semata. Yang
benar, eyang gurumu hendak mencoba memecahkan
teka-teki tentang jembatan Jala Angin itu."
Umardanus, Sudarawerti dan Lingga W isnu heran
mendengar keterangan ayahnya itu. Tatkala mereka
hendak mint a keterangan tentang jembatan tersebut,
ayahnya telah mendahului berkata :
"Kitapun akan menuju kesana pula, apabila keadaan
sangat memaksa." Mendengar pernyataan itu, mereka bertiga menoleh
kepada ibunya. Larasati nampak mengucurkan air mata.
Hal itu membuat mereka berteka-teki.
Dalam pada itu, Udayana memandang tiga anaknya,
seorang demi seorang. Berkata menguji :
"Pernahkah engkau mendengar kabar, apa sebab
jembatan itu bernama Jala Angin " "
" Belum pernah aku mendengar," jawab Umardanus.
"Itulah suatu tempat yang sangat berbahaya dan
sukar dicapai," Udayana menerangkan. "W alaupun
demikian, banyak orang-orang gagah yang ingin
menyeberangi. Apa sebabnya " Sebenarnya aku sendiri
belum mengetahui jelas, kecuali suatu kabar angin
belaka. Dan kabarnya sudah lebih seribu jiwa yang mati
terperosok ke dalam jurang, yang dalamnya ent ah
berapa ratus ribu kaki."
"Jika jembatan itu sangat berbahaya, apa sebab
mereka datang kesana seolah-olah sedang berlomba?"
ujar Sudarawerti sambil menundukkan kepala.
Udayana menjawab : "Itulah karena mereka ingin memiliki sebatang tongkat
mustika dunia yang katanya menggenggam rahasia ilmu
sakti tertinggi dan harta karun yang luar biasa
banyaknya." "Akh!" seru Sudarawerti dan Lingga W isnu berbareng
dengan suara tertahan. Kemudian kesunyian terjadi
dengan sejenak. Dan hujan setengah deras diluar
lumbung terdengar gemersak.
"Ayah!" Sudarawerti berkata. "Sebatang tongkat
mustika berada diseberang jembatan. Mengapa ayah
dikejar-kejar ribuan orang perkara tongkat itu pula?"
"Nah, inilah soalnya." sahut Udayana. "Guruku
terkenal sebagai seorang sakti yang tinggi ilmunya.
Mengingat kepandaiannya, mereka yakin eyang gurumu
berhasil menyeberangi jembatan maut dan berhasil pula
memdliki tongkat mustika tersebut. Karena set iap
set ahun sekali guru muncul dipadepokan, mereka
mengira bahw a tongkat mustika itu telah diserahkan
kepada salah seorang muridnya."


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa justeru ayah yang kena fitnah?"
"Karena paman gurumu bertempat tinggal disekitar
Gunung Lawu, sebaliknya hanya ayahmu seorang yang
merant au sampai di Jawa Barat. Sebab ibumu berasal
dari Sumedang. Di Sumedang, ibumu mempunyai
warisan tanah dan perumahan. Tak tahunya ..." Udayana
bimbang. Ia mengerling kepada Larasati. Melihat air
mata isterinya mengucur bertambah deras, ia lantas
manbungkam. "Kau katakan saja, suamiku," ujar Larasati diant ara
sedannya. Dengan hati berduka Udayana meneruskan kata
katanya: "T ak tahunya justeru ayahmu bertempat t inggal jauh,
maka mereka mengira bahw a tongkat itu ayahmulah
yang menyimpan ..." "Kalau begitu, kesalahan in i tak dapat ditimpakan
kepundak ibu!" seru Sudarawerti.
"T idak. Memang ibumu yang menjadi bibitnya," kata
Larasati. "Coba ayahmu bertempat t inggal ditempat lain,
atau katakan saja berdekatan dengan saudara-saudara
seperguruannya, bukankah mereka tak mempunyai
alasan menuduh ayahmu yang bukan-bukan " "
"Aneh! Benar-benar aneh!" Sudarawerti meledak.
"Sebenarnya apa sih tongkat mustika Aku sendiri
menganggapnya sebagai dongeng. sebaliknya mereka
menganggapnya sebagai sesuatu sungguh-sungguh ada.
Bukankah ayah tak pernah melihat tongkat itu " "
"Benar. Tak pernah aku melihat tongkat tersebut, "
sahut Udayana. "Kalau begitu, apakah mereka gila?" teriak Sudarawerti. Udayana tertawa menyeringai. Suatu kepedihan
terbayang pada wajahnya. Katanya kepada isterinya :
"Larasati, lihatlah! Sedangkan anak-anak kita saja
tidak percaya kepada keteranganku bahwasanya aku
benar-benar tak pernah melihat tongkat tersebut. Apalagi
mereka ..." Mendengar ucapan ayahnya, Sudarawerti terkejut.
Ucapannya tadi dimaksudkan untuk mengutuk mereka.
Dan bukan menyangsikan keterangan ayahnya. Memang
perkataan itu mempunyai dua arti. Mengutuk dan
menyangsikan keterangan ayahnya. Masakan ribuan
pengejar ayahnya gila semua dan memusuhi tanpa
alasan yang berdasar "
"Ayah, sama sekali aku bukan menyangsikan
keterangan ayah. Aku percaya benar. Aku mengatakan
mereka gila, karena perbuatannya itu benar benar tak
ubah rombongan orang gila ! "
Udayana tersenyan lebar. Sahutnya :
"Bukan karena mereka gila, tetapi karena engkau
masih terlalu muda untuk bisa mengerti. "
Sudarawerti menoleh kepada Umardanus mencari
pengertian. Tapi pada saat itu, Umardanus menundukkan
kepalanya sambil memeras pakaiannya yang basah
kuyup. "Baiklah, kujelaskan." kata Udayana menutuskan.
"Mula-mu la latar belakangnya dahulu. Itulah perkara
jembatan maut yang bernama Jala Angin. Jembatan itu
sebenarnya berbentuk sebuah batu memanjang yang
menghubungkan puncak gunung dengan dataran
ketinggian. Seperti kalian ketahui, Gunung Lawu
mempunyai tiga kepundan. Masing masing kepundan
dibatasi oleh jurang dalam.Dan batu itu melint ang dari
kepundan satu ke lainnya. Sepanjang tahun, batu
penghubung itu diliputi awan tebal dan kabut hitam.
Selain itu angin yang datang dari dasar jurang luar biasa
derasnya. Jangan lagi manusia atau binatang, sedangkan
batu raksasa b isa dilontarkan tinggi-tinggi seumpama
dapat mencapai bint ang. Batu itupun sangat licin, karena
lumutnya sudah berumur ratusan ribu tahun. Barang
siapa melalui jembatan itu dan sampai t ergelincir, jangan
harap lagi dapat melihat matahari atau bulan. Tubuhnya
akan musnah ditelan kegelapan jurang yang dalam entah
berapa ribu kaki. W alaupun demikian, karena d iseberang
jembatan terdapat sebuah mustika dunia yang harganya
melebihi seribu jiwa, banyak juga para pendekar
mengadu untung. Sepanjang cerita, selama ratusan
tahun itu hanya ada dua orang yang berhasil mencapai
seberang jembatan. Merekalah yang disebut orang Ki
Ageng Branjangan dan Ki Ageng Tapak Angin. Pada
masa mudanya, mereka merupakan bintang kasatria
gagah tiada tandingnya."
"Apakah mereka berdua menyeberangi jembatan itu
demi tongkat mustika itu" " sela Sudarawerti.
"Benar. Seumpama tidak mungkin sekali hanya untuk
mengangkat nama," jawab Udayana "Mereka dapat
menyeberang akan tetapi tak dapat balik kembali. Karena
itu cerita tentang tongkat mustika tetap merupakan
suatu rahasia besar."
"Sebenarnya siapakah yang menyebarkan, cerita
tentang tongkat mustiks itu, ayah?" tanya Lingga W isnu.
"Kata orang pemiliknya sendiri "
"Siapa dia?" "Putera raja Majapahit itu sendiri," jawab Udayana.
"Tegasnya begini. Tatkala kerajaan Majapahit runt uh,
raja putera itu melarikan diri kemari. Karena dia menjadi
perburuan, akhirnya dengan memberanikan diri ia
melint asi jembatan Jala Angin dan selamat. Dia lenyap
dari percaturan. Akan tetapi tongkat mustika milik kerajaan Majapahit yang
dibawanya semenjak melarikan diri
dari Majapahit terbawa hilang pula. Dan semenjak itu
tersebarlah dongeng perkara tongkat mustika tersebut.
Banyak orang ingin memiliki. Sebab barangsiapa dapat
nemiliki tongkat mustika tersebut akan menjadi seperti
raja, se umpama raja Majapahit sendiri yang pernah menguasai seluruh kepulauan
Nusantara sampai Madagaskar. Selain itu, dia akan mewarisi rahasia ilmu sakti
leluhur kita semenjak dunia ini ada,"
"Apakah manusia-manusia pada waktu ini tiada yang
sakti?" t anya Lingga W isnu.
"Banyak terdapat orang-orang sakti, tetapi dibandingkan dengan kesaktian orang pada jaman
dahulu sangat jauh terpautnya. Dahulu orang bisa
membuat sebilah keris hanya dengan t angan. Bisa duduk
diatas api unggun seolah-olah berada di at as t anah yang
dingin. Bisa menghilang, dapat merubah diri. Mampu
mentaklukkan kerajaan jin dan ib lis. Bisa berhubungan
dengan dewa dan bidadari. Mampu menggempur gunung
dengan tumbukan kaki dan tangannya. Bisa mendorong
lantang sampai mundur seribu kaki. Seperti Empu
Beradah di kabarkan bisa menyeberangi pulau Bali,
hanya menginjakkan kakinya diatas selembar rumput
alang alang. Pendek kata ragam kesaktian yang kita miliki sekarang in i hanyalah
merupakan sisa-sisa butirannya
belaka. Sedangkan yang inti-patinya lenyap ditelan
sejarah. Peristiwa ini samalah halnya y ang pernah terjadi
dinegeri Mesir. Peradaban bangsa Mesir yang bisa
membangun bangunan agung lenyap tak keruan hingga
tak dapat diwarisi oleh angkatan yang mendatang.
Bagaimana bisa t erjadi demikian, masih merupakan raha-
sia dunia yang sangat besar dan sampai kin i masih saja
merupakan teka-teki tak terpecahkan. Orang-orang tua
pernah berkata bahwa dunia dahulu pernah mengalami
kiamat sehirgga melenyapkan peradaban jaman Purba."
Mendengar tutur kata itu, Lingga W isnu yang masih
berumur delapan tahun tertarik bukan main sehingga
mulut nya terlolong-lolong.
"Demikianlah oleh keyakinan itu orang-orang gagah
tidak menghiraukan masalah persambungan jiwa. Akan
tetapi seorang demi seorang, mereka runtuh ditelan
jurang. Dan habislah riw ayat hidupnya yang pernah
cemerlang. Maka tak mengherankan pula, apa sebab
ribuan orang datang mengejar ayahmu ..." Udayana
meneruskan. Sudarawerti terpekur sejenak. Berkata :
"Tetapi soalnya apakah benar ayah menyimpan
tongkat mustika itu " "
"Sudah kukatakan tadi bahwa sampaipun detik ini
ayahmu belum pernah melihat. Apalagi menyimpan atau
memiliki," jawab Udayana dengan suara tegas. "Kalau hal
itu difitnahkan kepada ayahmu adalah disebabkan eyang
gurumu nenghampiri jembatan Jala Angin setelah
ketujuh muridnya mengundurkan diri dari rumah
perguruan. Eyang gurumu seorang sakti yang melebihi
orang-orang gagah lainnya. Semua orang percaya bahwa
eyang gurumu pasti berhasil. Bukt inya Ki Ageng
Branjangan dan Ki Ageng Tapak Angin bisa melin tasi
jembatan Jala Angin dengan selamat. Celakanya eyang
gurumu setiap t ahun sekali datang kembali kepadepokan
untuk menerima sujud murid-muridnya yang terdekat.
Dan hal ini d ikabarkan orang bahwa eyang gurumu
sudah berhasil pulang dari seberang jembatan dengan
membawa tongkat mustika tersebut. Terang sekali, itulah
suatu fitnah. Akan tetapi jalan pikiran mereka bisa
dimengerti. Cobalah pikir, eyang gurumu datang
dipadepokan satu tahun sekali untuk beberapa hari,
kemudian balik kembali di jembatan Jala Angin. tahun
berikutnya datang lagi. Lalu balik kembali. Demikianlah
sampai lima enam kali. Kalau tidak memiliki tongkat
mustika, bagaimana mungkin bisa menyeberangi
jembatan maut tersebut."
"Apakah eyang guru benar-benar berhasil memiliki
tongkat mustika tersebut?" Sudarawerti menegas.
Udayana bimbang. Sejenak kemudian menjawab
pertanyaan anaknya : "Itulah sebabnya ingin aku membawa semuanya
kesana untuk membuktikan. Seumpama eyang gurumu
berhasil menyeberangi jembatan Jala Angin akupun akan
membawa kalian menyeberangi pula."
"Apakah ...... apakah kita akan berhasil " "
Udayana nampak gelisah. Ia mendongak merenungi
atap. Beberapa saat ia berdiam diri. Kemudian
menundukkan kepalanya dan berkata :
"Memang aku tak mengharapkan bisa berhasil
menyeberangi jembatan maut itu. Yang kuharapkan
salah seorang keluarga kita harus bisa menyeberang.
Dengan begitu keturunan kita tidak akan terputus. Sebab
kalau engkau bisa melintasi jembatan Jala Angin, tiada
seorangpun berani mencoba menyeberangi embatan
tersebut ..." "Ayah, kalau jembatan itu Memang sangat berbahaya,
mengapa ayah tidak mengungsi kapedepokan saja " "
Sudarawerti menegas dengan suara gemetar.
"Sudah kukatakan tadi, bahwa eyang gurumu lebih
sering berada di jembatan maut itu, dari pada
dipadepokan. Syukurlah bilamana eyang gurumu berada
dirumah perguruan. Seumpama tidak, mereka bisa
membakar padepokan karena gusar dan marah. Dan ini
merupakan dosa tak terampunkan untuk ayahmu.
Matipun rasanya belum dapat menebus noda tersebut."
jawab Udayana. Kesunyian lantas terjadi lagi. Gemericik hujan
terdengar nyata kembali. Sekonyong konyong Larasati
berkata : "Mengapa engkau mash sembunyikan satu hal lagi,
suamiku" Katakanlah! Katakanlah terus terang !
Bukankah kita berdua telah menemukan pula tandatandanya " "
Mendengar perkataan isterinya, bukan main sedih hati
Udayana. Ia lantas nampak duapuluh tahun lebih tua dari
pada usianya sekarang. Mukanya nampak kusut sayu dan
guram. Akan tetapi ia mencoba menguatkan diri. Setelah
menatap wajah isterinya beberapa saat lamanya, ia
berkata perlahan : "Sebenarnya, aku sendiri masih bimbang. Benarkah
dia yang menerbitkan huru-hara ini?"
"Kalau bukan dia, siapa lagi?" sahut isterinya.
Udayana menghela napas panjang sekali seraya
bergeleng kepala. Ia keberatan untuk meluluskan
anjuran isterinya. "Apakah harus aku sendiri yang menceritakan?" desak
Larasati. "Dua anak d iantara ketiga anak kita sudah
menanjak dewasa. Masih perlukah engkau sembunyikan
masalah kehidupan muda-mudi?"
"Tetapi apa perlu mengungkat soal lama" Apakah
keuntungannya?" Larasati menatap wajahnya, lalu berkata :
"Aku tahu engkau seorang pendekar yang mengutamakan budi luhur. Demi kebajikan itu, kau rela
hancur lebur tanpa kubur. Akan tetapi, aku t idak! Sebab
disin i kupertaruhkan kesucian hatiku. Karena aku tak rela
engkau mengalami malapetaka sebesar ini. Itulah karena
gara-gara masa mudaku. Engkau khawatir menyinggung
perasaanku. Karena itu, engkau mencoba menutupi.
Tetapi justeru demikian, aku jadi tersinggung. Sebab
artinya engkau mencurigai kesetiaan dan kesucianku."
"Larasati, nengapa kau berkata begitu" Demi Tuhan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak pernah aku berkata yang bukan bukan terhadapmu,"
potong Udayana. Umardanus, Sudarawerti dan Lingga w isnu berprihatin
menyaksikan orang tuanya bertengkar kata. Inilah
kejadian yang disaksikan untuk yang pertama kali.
Mereka jadi terpaku. "Baiklah anakku, biarlah aku yang memberi keterangan kepada kalian," kata Larasati dengan tabah.
"Pada masa mudaku, aku seperti engkau, Sudarawerti.
Cukup menarik dan cukup menawan perhatian orang.
Ayah bundaku mempertunangkan aku dengan seorang
pemuda yang belum pernah kukenal. Itulah adat-istiadat
jaman kuno. Pemuda itu bernama Dara Petak. Dia anak
seorang yang berpengaruh. Selain itu, ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Menurut orang, tiada
celanya. Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu,
aku berkeputusan untuk membangkang kehendak
eyangmu, inilah jadinya. W alaupun ayahmu tadi
menyatakan masih b imbang namun aku mengira bahw a
semuanya ini adalah perbuatannya. Kau ingat-ingatlah
namanya Dara Petak. Aku mengharapkan agar dikemudian hari kalian bisa
menyelidiki benar tidaknya."
Sederhana keterangan Larasati, akan tetapi cukup
merangkum keseluruhannya. Dan mendergar cara ibunya
menekan-nekan setiap patah katanya membuat hati
mereka bertiga bercekat. Mendadak pada saat itu, terdengarlah suara derap
kuda diant ara gemericik hujan. W ajah Udayana berubah
hebat. Serunya setengah mengeluh:
"Akh! Benar-benar mereka tidak membiarkan kita bisa
beristirahat sebentar. Kalau begitu anak-anakku tiada
jalan lain kecuali menyeberangi jembatan Jala Angin.
Sebab untuk lari mengungsi dipadepokan eyang gurumu,
rasanya t ak sempat lagi."
Mendengar ucapan Udayana, Larasati mencelat
keambang pintu dengan menghunus pedangnya .
"Biarlah aku mengambil kuda kita," katanya
"Ibu! Tak usah ibu bersusah-payah. Biarlah aku!" seru
Umardanus. Udayana melesat menghadang. Cegahnya:
"Biarkan ibumu yang pergi. Sekarang yang penting
dengarkan kata-kataku ini. Aku tak tahu apakah katakataku ini merupakan pesan
ayahmu yang penghabisan."
Umardanus mundur selangkah. Ia berdiri tegak
didepan kedua adiknya dengan memancarkan pandang
berapi. "Umardanus, Sudarawerti, Lingga W isnu! Dengarkan.
Siapa saja diant ara kamu bertiga, harus bisa melint asi
jembatan. Jika harapan ayahmu ini terkabulkan, itulah
sudah cukup, yang kelak wajib menyambung asal
keturunan keluarga kita. Kau dengar?" kata Udayana
dengan suara gemetar. "Y a, ayah," mereka bertiga menjawab berbareng
dengan suara tertahan. "Tetapi apabila kita semua terpaksa gugur sebelum
mencapai jembatan Jala Angin, ya sudahlah. Itulah diluar
kekuatan dan kekuasaan kita. Artinya Tuhan yang
menghendaki. W alaupun demikian sampai detik kin i,
masih aku berdoa semoga Tuhan memberkahi ayahibumu, semoga salah seorang
diantara kamu bertiga bisa
selamat sampai keseberang jembatan. Oh Tuhan, Kau
dengarkanlah suaraku kali ini! Kemudian, apabila Tuhan
mengabulkan sehingga salah seorang diant ara kamu
bertiga bisa menyeberangi jembatan maut, pergilah
engkau kedusun Karang teleng. Letak dusun itu
disebelah selatan Kartasura. Carilah seorang buta yang
bernama: Ki W aluja. Tanyakan kepadanya apakah dia
masih menyimpan barang titipan keluarga Udayana. Dia
nant i akan menjawab: Sekarang waktu apa " Maka
engkau harus menjawab katu-kata sandi itu: Hari sudah
lewat lohor. Matahari bersinar pare-anom. Apabila dia
mendengar jawabanmu, ia akan berkata: Dimanakah jalan yang bisa membawa manusia
ke ketenteraman abadi" Jika dia berkata demikian, maka benarlah dia Ki
W aluja. Maka engkau harus menjawab: KUNCI. Nah, kau
ingatlah kata-kata sandi itu. Umardanus, kau lindungi
kedua adikmu itu. Cepat!"
Udayana nampak gugup. Sebab ia mendengar
beradunya senjata. Alangkah cepat gerakan musuh itu.
Pastilah dia bukan sembarangan.
"Umardanus! Kau lepaskan panah berapi biru itu!
Disini dekat rumah perguruan ayahmu. Barangkali salah
seorang paman gurumu melihat api tanda bahaya," kata
Udayana. Setelah berkata demikian ia melesat keluar pintu.
Setelah Udayana hilang dikegelapan malam, Umardanus menyambar lengan Lingga W isnu. Katanya
dengan suara dalam: "Adikku selama tujuh tahun belum pernah sekali jua
engkau terluka. Karena itu, engkau satu-satunya harapan
kita. Aku akan membawamu lari dan melindungimu
sampai mencapai jembatan Jala Angin. Aku t ahu dimana
arah jembatan tersebut, karena ayah mengabarkan
kepadaku. Aku, Sudarawerti, ayah dan ibu mempertaruhkan harapan kepadamu seorang. Engkaulah
kelak yang harus dapat menyambung asal usul keluarga
kita. Karena itu dengan tubuhmu yang masih ut uh mogamoga Tuhan mengabulkan
permohonan keluargamu. Kami sekeluarga berharap agar dikemudian hari engkau
bisa mencuci bersih rasa penasaran keluargamu
Terutama rasa sakit hati ayah bundamu yang pernah
mendukungmu kesana kemari menempuh bahaya dan
melindungi dirimu. Adikku, cepatlah kau melompat diatas
kudamu dan kaburlah dengan segera. Kesana!"
Setelah berkata demikian dengan menghumus pedang
Umardanus berjalan menghampiri ambang pintu,
melindungi kedua adiknya.
Tiba diluar, Sudarawerti segera memberi contoh
melompat keatas kudanya dengan gesit sekali. Dan
setelah Lingga W isnu berada pula diatas pelana kudanya,
Umardanus menjajari dan menghentak kendalinya.
"Mari!" ajaknya.
Limapuluh meter didepannya, ibunya sedang bertempur melawan seorang yang mengenakan jubah
pendeta. Pendeta itu bersenjata sepasang golok. Dialah
yang mengenalkan diri dengan nama Ruji Pinent ang.
Gerakannya gesit dan membawa angin bergulungan.
Larasati dengan sebentar saja dapat dikurungnya rapatrapat.
Melihat ibunya kena kurung. Umardanus mengurungkan niatnya mengaburkan kudanya. Teringatlah dia kepada pesan
ayahnya. Cepat ia menarik
anak panah dan dinyalakan.
Kemudian dilepaskan keudara. Seketika itu juga terdengarlah suara bersuling
diudara tinggi. Kemudian dengan suara ledakan kecil, apinya yang biru pecah
berantakan merayapi keseluruh penjuru. Indah sekali
pemandangan itu dimalam gelap gulita, tetapi mereka
samua tiada kesempatan untuk menikmati keindahan itu.
Setelah melepaskan anak panah, Umardanus melompat dengan menyambarkan pedangnya. Tangan
kirinya menggenggam pula sebilah belati tajam .
Begitu memasuki gelanggang dengan mengerahkan
tenaga ia menangkis golok Rujipenentang berbareng
menikamkan belatinya. Rujipenentang kaget sampai undur dua langkah. Dan
pada saat itu, mendadak Lingga W isnu melompat pula
dari kudanya sambil menarik pedang pendeknya yang
selalu tergantung dipelananya.
"Hai! Kau hendak kemana7" cegah Sudarawerti.
"Kakak! Jangan halangi aku!" teriaknya seperti kalap.
"Mereka sangat kejam dan sama sekali t ak sudi memberi
ampun. Mereka selalu mengejar k ita seperti barisan iblis.
Kalau aku tidak ikut membasmi mereka, sampai kapan
kita bisa hidup tenteram" A ku harus membasmi mereka!
Aku harus membasmi mereka!"
"Lingga! Jangan menuruti perasaanmu sendiri. Kau
ingat pesan kakak atau tidak " Cepat! Pergilah! Lihat
musuh makin banyak! Aku akan membantu ayah ibu
menahan mereka, sementara kau perai menjauhi."
Memang benar. Pada saat itu muncul ah belasan orang
berkuda yang langsung mengepung Udayana dan
Larasati dengan segera. Melihat datang musuh, Udayana
sama sekali tak gentar. Seperti Umardanus, kedua
tangannya menggenggam pedang dan belati yang
berkilat karena t ajamnya. Dengan cepat ia mendampingi
isterinya yang tak sudi mundur walaupun selangkahpun.
Untuk sejenak mereka tak berdaya menghadapi
perlawanan yang rapih itu.
Udayana suami isteri merupakan sepasang pendekar
semenjak memasuki Jenjang perkawinan. Mereka bisa
bekerja sama. Sekarang mereka berdua ditambah
dengan pengalamannya yang pahit dan berbahaya
selama tujuh tahun berturut turut. Tak mengherankan,
pembelaan diri mereka rap ih dan rapat. W alaupun kena
kerubut belasan orang, namun gerak gerik mereka tidak
kacau. Sudarawerti menjadi sibuk sendiri. tak dapat ia
membiarkan kedua orang tuanya dikeroyok demikian.
Perlahan-lahan ia menguraikan pedang lemas yang
membelit pinggangnya. Pedangnya itu terbuat dari emas
sangat t ua. Sifatnya lemas dan ulat. Begitu kena ditarik,
pedang itu lencang seperti berpegas. Tepat pada saat
itu, kilat mengejap. Dan kena kejapan kilat, pedang emas
meletikkan cahaya kemilau.
Umardanus yang sedang melayani musuh, Kaget
melihat kejapan cahaya itu. Dengan menjejak tanah, ia
mundur jumpalitan sambil berteriak:
"Adik, kau tak usah maju! Bawalah Lingga menjauh
cepat-cepat. Kalau t idak, kita bakal menggagalkan pesan
ayah." Sudarawerti t ertegun. Ia menjadi bingung dan dengan
wajah penuh pertanyaan, ia menatap kakaknya, Belum
pernah kakaknya menbentak dengan suara demikian.
Hatinya yang lembut terhentak kaget. Dengan suara
gugup ia mint a penjelasan .
"Sebenarnya kakak mau apa?"
"Kakak mau apa?" bentak Umardanus dengan mata
membelalak. Katanya menjelaskan:
"Belum pernah aku berbicara dengan cara begini
kepadamu, bukan " Tapi sekarang lain! Siapa diantara
kita kamu berdua tidak mau mendengarkan perkataan
ini, tak kuakui sebagai saudaraku lagi: berdua
mendengar" Nah, sekarang naiklah ke kudamu. Lingga,
kau pergilah menuju jembatan Angin. Kesana terus! Lihat
yang tenang!" Dengan air mata bercucuran, Sudarawerti coba
meyakinkan : "Kakak, kau keliru! Pesan ayah sebenarnya dialamatkan kepadamu dan adik. Sebab kakak dan adik
adalah laki-laki. Ayah mengharapkan keturunan untuk
menyambung asal usu l keluarga. Bukan aku! Aku
seorang perempuan. Biarlah aku yang mau membantu
ayah-bunda. Ingatlah, kak. Aku seorang perempuan.
Tanggung jawab untuk melaksanakan pesan ayah sangat
berat bagiku. Terus terang saja, aku tak sanggup! Aku


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perempuan! Seumpama aku selamat, apakah
yang harus kulakukan" Karena itu maafkan adikmu in i.
Biarlah aku yang membantu ayah-bunda. Sebaliknya
kakak dan adiklah yang harus memikul tugas berat untuk
mencuci bersih nama keluarga kita dikemudian hari."
"T utup mulutmu!" bentak Umardanus dengan mata
berapi-api. "Kau hendak mathantu ayahbunda, apakah
kepandaianmu melebihi aku?"
"Tentu saja kepandaian kakak berada d iatasku," sahut
Sudarawerti dengan suaraberduka.
"Jika begitu, kau mengertimaksudku," kata Umardanus. "Belasan musuh yang mengejar kita kali in i,
nampaknya seranbongan pendekar pilihan. Mereka tahu,
jika lambat sedikit, ayahbunda dan kita semua berarti
selamat. Karena sudah hampir mamasuki wilayah
perguruan eyangguru. Itulah sebabnya, mereka mengerahkan jago-jagonya kelas satu Sekarang kau
berlagak hendak melawan mereka. W alaupun tubuhmu
bakal han cur, tiada gunanya sama sekali. Kau tak bisa
menolong ayah-bunda. Maka itu, cepatlah engkau pergi
membawa adikmu mendahului kami! Percayalah, kami
akan segera menyusul!"
Keras kata-kata Umardanus, sehingga suaranya agak
menggeletar, sedang kedua matanya penuh air mata.
Teranglah, bahwa ia berbicara demikian untuk
menghibur kedua adiknya. Sudarawerti seorang gadis lembut perasaan dan
cerdas. Ia tahu menebak maksud kakaknya itu. Lantas
saja iamenangis sedih. Katanya mencoba:
"Kakak, tak dapatkah engkau berangkat bersama
kami?" "T idak!" bentak Umardanus. "Kau mau mendengar
perkataanku atau tidak?"
Sudarawerti mendengar suara bengis kakaknya,
tapipun berbareng melihat kedua mata kakaknya yang
bercucuran air mata. Ia lantas menjad i lemah hati.
Perlahan-lahan ia melibatkan pedang emasnya kembali
pada pinggangnya yang ramping.
"Baiklah ....... kak. Baiklah." katanya perlahan diantara
sedannya. Umardanus tersenyum lebar. Akan tetapi mengandung
suatu rasa sedih tak terhingga. Sahutnya serang.
"Nah, begitulah baru seorang adik. Akh, adikku yang
manis dan baik hati. Kau lindungilah ad ikku itu. T ak usah
kau menunggu ayahbunda dan aku! Kau dengar
perkataanku ini" Nah cepatlah kau larikan kudamu.
Tuhan Yang Maha Adil melindungi kalian berdua dan
akan memberkahi kita semua. Selamat jalan, adikku.
kalian berdua bisa mencapai jembatan Jalan Angin yang
dituju! " Setelah berkata demikian, ia menghampiri Lingga
W isnu. Pedang pendek adiknya diambilnya dari
tangannya. Ia sendiri lant as mengasurkan, pedangnya.
Katanya : "Adik! Pedang ini walau jelek pedang pusaka turuntemurun. sebuah pedang leluhur
ibu. Dengan pedang ini, leluhur ibumu pernah membuat nama cemerlang. Kau
tahu namanya" Pedang ini bernama: Pedang Gumbala
Geni. Artinya penggebah jin set an dan iblis! sayang ayah
bunda kena fitnah sehingga kita terpaksa hidup
mengembara tak tentu tujuan selama tujuh t ahun lebih.
Kita bisa hidup sampai kin i adalah karunia Tuhan dan
berkat kegagahan ayah bunda. Beberapa hari yang lalu,
ayah mewariskan Pedang Gumbala Geni kepadaku
lantaran ayah telah merasa usianya makin tua. Beliau
mengharapkan kepadaku, agar akulah yang berada
didepan sebagai perisai dan penggebah musuh-musuh
kita. Tetapi malam in i, pedang Gumbala Geni kuserahkan
kepadamu, adik. Baik ayah bunda maupun aku mengharapkan agar engkau kelak dapat
mengangkat dan menjunjung tinggi nama keluarga kita untuk selamanya."
Lingga W isnu menerima pedang Gumbala Geni dengan
tangan bergemetaran. "Kakak ........ kakak ........ aku ..." katanya tergagap.
"Kau peganglah erat-erat!" potong Umardanus. "Lekas
kau lecut kudamu agar lari secepat-cepatnya. Percayalah
pada saat ini engkau dilindungi kekeramatan pedang
Gumbala Geni. Kau akan selamat. Kau akan bisa
menyeberangi lembatan itu. Kau akan menjadi seorang
laki-laki sejati dikemudian hari. Percayalah, adikku. Memang aku sendiri masih
meraba-raba peristiwa permusuhan besar ini. Tegasnya aku masih gelap, karena
itu sebelum berhasil engkau menggenggam ilmu sakti
yang tangguh lebih baik kau menyematkan nama
samaran saja, adikku. Hal in i penting sekali demi
tujuanmu yang besar dikemudian hari ..."
Tepat pada saat itu terdengarlah teriak Udayana
mengandung kemarahan. "Akh kalian keterlaluan. Mengapa kalian begini ganas"
Baiklah aku Udayana malam in i kau paksa melakukan
pembunuhan besar-besaran. Lihat saja!"
Boleh dikatakan belum berhenti ia berkata-kata atau
disana terdengar suara jeritan menyayatkan hati.
Memang Udayana terkenal sebagai seorang ahli pedang
kenamaan. Selama menjadi perburuan tujuh t ahun lebih
belum pernah ia melakukan ilmu sakti simpanannya. T api
malam itu merupakan malam pertaruhan hidup dan mati.
Apalagi ia merasa dipaksakan oleh keganasan lawan.
Maka tanpa segan-segan ia menerjang dengan ilmu
pedang simpanannya. Akibat robohnya seorang musuh, rekan-rekan yang
menjadi gusar. Lantas saja nampaklah berbagai senjata
berkeredepan apabila kena kejapan kilat menyambar
cakrawala. Dengan berteriak-teriak mereka meluruk
suami-isteri Udayana bagaikan gugurnya gunung.
Tak usah diceritakan, Udayana sangat sibuk menghadapi lawan yang banyak sekali lum lahnya.
Menyaksikan hal itu, Umardanus mencium adiknya
silih berganti. Lingga w isnu masih tertegun oleh perbawa
pedang sakti. Sebaliknya tidak demikianlah halnya
Sudarawerti yang sudah berumur. Ia mengerti cium itu.
Lantas ia menangis sedih.
"Berangkatlah adikku !" kata Umardanus.
Sudarawerti mengertak gigi menguatkan hati, rasa
penasarannya jatuh kepada kuda Lingga W isnu.
Mengapa semuanya ini harus terjadi " Dan dengan
sekuat tenaga ia menghantarkan kuda Lingga W isnu .
Kuda yang tak mengerti kesalahannya, kaget
berjingkrak begitu kena hantamannya. Lantas saja
melesat maju dengan berderap. Untung Lingga W isnu
sudah biasa naik kuda. Meskipun tubuh bergoyang
tatkala kudanya melompat maju, tetari beberapa detik
kemudian ia sudah bisa menguaai. Tatkala menoleh,
kakaknya perempuan sudah berada dibelakangnya
dengan menghunus pedang emasnya.
Umardanus mengikuti kepergian kedua adiknya
dengan pandang matanya. Setelah mereka lenyap dibalik
tikungan bukit, ia berputar tubuh. Berteriak keras:
"Ibu! Silahkan mengaso sebentar. Biarlah aku yang
maju!" Dalam pada itu Sudarawerti dan Lingga W isnu terus
melarikan kudanya secepat-cepatnya. Jalan yang
ditempuhnya mendaki tegak. Belukar dan hutan raya
diterjangnya dengan membabi buta. Setelah lari
berkejar-kejaran belasan kilo meter jauhnya, tiba-tiba
seperti saling berjanji kuda mereka meringik sedih
dengan berbareng. 1a terjatuh bergulingan kehabisan
napas. Kejadian demikian sebenarnya wajar. Berhari-hari
lamanya, kurang lebih seratus tujuh puluh ampat hari,
kuda mereka berlari-larian kencang dari tempat ke
tempat. Dan boleh dikatakan hampir tak pernah
beristirahat cukup. Meskipun termasuk kuda pilihan, namun bukan
terbuat dari besi atau baja. Dan pada malam hari itu,
keduanya roboh dan tewas seketika itu juga karena letih
dan kehilangan napas. Sudarawerti dan Lingga W isnu melompat ke tanah
dengan berjungkir-balik. "Lingga! Bagaimana" Kau T erluka?" teriak Sudarawerti
cemas. "T idak." sahut Lingga W isnu sederhana sambil
menggeribik pakaiannya. Sudarawerti melemparkan pandang kearah depan. Ia
melihat sebuah bukit bertebing tegak. Diam-diam ia
menghela napas. Katanya didalam hati: 'Meskipun kudakuda ini mendadak bisa h
idup kembali, rasanya tidak
akan sanggup mendaki bukit
itu." memperoleh pertimbangan demikian, segera ia menyambar tangan
Lingga W isnu dan di ajaknya lari mendaki bukit.
Ditengah jalan sekonyong-konyong Lingga W isnu
merandek. Berkata : "Kak! Bagaimana menurut pendapatmu" Apakah ayah
dan ibu bisa se lamat" Eh maksudku, bisa mengundurkan
musuh?" "Musuh sangat besar jumlahnya," sahut Su- darawerti."Merekapun nampaknya tangguh. Tetapi ayah
seorang ahli pedang yang gagah. Ilmu kepandaian
ibupun sudah mencapai kesempurnaan Kak Umardanus
demikian pula. Dia sedang gagah-gagahnya. Maka aku
yakin, mereka bisa menggebu musuh dengan mudah.
Sebentar lagi mereka bertiga akan menyusul kita."
Tetapi kata-kata itu hanya dimulut nya. Sedangkan
hatinya khawatir bukan main. Ia tahu, ayah-bundanya
telah terluka. Kakaknyapun demikian pula. Sedang
musuh-musuh yang meluruk sangat banyaknya dan
semuanya tangguh. Lingga W isnu melamparkan pandang diudara guram
gelap. Seorang diri ia berkata :
"Ayah nampaknya mempunyai kesulitannya sendiri
yang tak dapat dikatakan dihadapan kita semua. T adi ia
mau menbuka mulut, setelah mendapat izin ibu.
Benarkah itu?" Setelah berkata demikian seorang diri, ia menoleh
kepada Sudarawerti. Ia percaya kakaknya perempuan
itu, pasti mengetahui persoalannya yang benar.
Sudarawerti dapat menebak kejolak hati adiknya.
Cepat ia rengalihkan perhatian :
"Lihatlah kedepan! Menurut keterangan ayah dibalik
bukit itulah terbentang jembatan Jala Angin, yang gawat
bukan main. Ribuan pendekar-pendekar gagah terpeleset
masuk kedalam jurang. Tetapi dengan kehendak Tuhan
engkau akan selamat t iba diseberangnya. Mari! Mari kita
kesana!" Berkata demikian, pandang mata Sudarawerti memandang kearah lain agar tidak kebentrok dengan
pandang mata adiknya. Sebab didalam hati kecilnya
sendiri, ia menyangsikan perkataannya tadi. Benarkah
Tuhan Yang Memerint ah hidup, akan memberikan
perhatian istimewa kepada adiknya"
Sekonyong-konyong Lingga W isnu merenggut tangannya yang dipegang kakanya. Katanya nyaring :
"Janganlah enykau mencoba mengelabui aku, kak
! Kenapa kaupun tak sudi menjelaskan persoalan yang
masih geiap bagiku ini "
apakah ayah yang salah "
Kalau tidak salah masakan
dimusuhi manusia diseluruh
dunia. Kakak aku tahu kau
mengerti persoalan sebenarnya. mengapa kau t ak
sudi menjelaskan kepadaku"
Apabila kau tetap membungkam, mulai saat ini tak sudi
aku mengakuimu sebagai kakaku."
Hebat ancaman Lingga W isnu dalam pendengaran
Sudarawerti. Kalau saja ia tak mendengar sendiri,
pastilah t idak akan percaya bahwa anak berumur delapan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun bisa berkata demikian keras terhadapnya. Ia jadi
berduka, bingung dan tak tahu apa yang harus
dilakukan. Seperti wanita diseluruh dunia, Sudarawerti
lekas saja meneteskan air meta lantaran pepat..
"Adikku!" akhirnya ia berkata. "Aku bersumpah demi
Tuhan bahwa akupun sesungguhnya tak mengerti
dengan jelas. Akupun baru sebentar tadi mendengar
penjelasan. Dan aku yakin. Ayah tidak bersalah. Beliau
korban suatu fitnah! Entah bagaimana bentuk fitnah itu."
"Benarkah perkara sebatang tongkat mustika belaka?"
potong Lingga W isnu. "Kita ini masih muda belia. Pengalaman hidup kita
masih kosong. Seumpama kita berumur duapuluh t ahun
lagi, barangkali aku akan tahu betapa pentingnya
memperoleh tongkat mustika tersebut, adikku."
"Jadi benar-benar perkara tongkat mustika?" Lingga
W isnu menegas.. "Kukira begitu."
"Katakan yang terang, kak! Jadi perkara tongkat
mustika?" ke mbali lagi L ingga W isnu menegas.
Sudarawerti menatap wajahnya. Kemudian berikan
jawaban dengan menggeletar :
"Ayah seorang jujur. Beliau seorang kasatria sejati.
Maka aku percaya kepada keterangannya. Ya perkara
tongkat mustika! Hanya saja disamping itu masih ada
sesuatu yang menyulitkan ayah. Beliau tadi mencoba
membicarakan akan tetapi t idak jelas."
Lingga W isnu terpekur. Kemudian mendongak keudara. Teringatlah dia tadi ibunya selalu mengucurkan
air mata apabila ayah nampak sulit bicara. Maka
bertanyalah dia dengan suara t egas .
"Kakak! Apakah perkara ibu" Maksudku, apakah ibu
yang salah?" Sudarawerti berbimbang-bimbang. Menjawab:
"Samar-samar pernah aku mendengar hal itu. Akan
tetapi, aku tak yakin. Ayah sendiri tadi, tidak yakin pula
bahw a dalam hal ini ibu yang membuat bibit permusuhan
ini. Ibu seorang suci. Ibu sangat mencintai ayah. Selama
tujuh tahun mengikuti ayah menjadi perburuan, tak
pernah is mengeluh. "
Lingga W isnu menghela nafas. Lalu berkata:
"Kalau ibu atau ayah yang salah, wajib kit a mohon
maaf. Sebaliknya kalau ayah dan itu tidak salah, kita
harus mencuci noda itu. Bukankah begitu pesan kakak
Umardanus?" Bukan main terharunya hati Sudarawerti. Adiknya baru
berumur delapan tahun, namun kata-katanya benarbenar seperti seorang anak yang
sudah menanjak dewasa. Inilah akibat penggodogan selama delapan
tahun siang dan malam. Pertumbuhan rohaninya sangat
cepat. Terlalu cepat, malah.
"Benar, Lingga W isnu," akhirnya Sudarawerti menyahut dengan hati terharu. "Kata-katamu adalah
ucapan seorang kasatria sejati. maka benarlah kata ayah
tentang dirimu. W alaupun ilmu kepandaianmu paling
lemah diant ara kami, akan tetapi bakatmu berada diatas
kita semua. Karena itu engkaulah yang kelak wajib
membersihkan nama orang tua kita dan menuntut balas
dendam!" Lingga W isnu membungkam mulut . Ia nampak susah
hati. Lama sekali ia berdiam diri. Lalu berkata perlahan
seperti pada dirinya sendiri:
"Jadi merekalah yang bersalah. Tetapi, apakah
maksud Ibu menyuruh kita mengingat-ingat names DARA
PETAK " Ibu berkata, bahwa tanda tandanya sudah
diketemukan." "Perkara itu masih gelap. Ayah sendiri masih
berbimbang-bimbang. Biarlah kita menyelidiki saja
dikemudian hari dengan perlahan-lahan. Sekarang kita
berdua terlalu sulit untuk memahami. Yang paling
penting kita berdua harus bisa menyeberangi jembatan
Jala Angin dengan selamat.Terutama engkau, adikku.
Baik ayah bunda maupun kakak dan aku mengharapkan
dirimu. Engkaulah adikku yang bisa membersihkan noda
keluargamu dikemudian hari."
Lingga W isnu tertawa. Sahutnya:
"Ribuan orang menjadi musuh kita. Sanggupkah aku
melawan mereka?" "Kau berada dijalan yang benar. Tuhan akan
memberkatimu dan melindungimu," Sudarawerti mengesankan. Pada saat itu mendadak terdengarlah suara lapat-lapat
dari jauh : "Sudarawerti! Kenapa engkau masih berhenti disitu"
Cepat! Bawalah adikmu lari!"
Sudarawerti segera mengenal suara kakaknya. Gugup
ia mengajak LinggaW isnu :
"Hayo!" Dengan tangan lembut sedingin es ia menggandeng
tangan Lingga W isnu dan dibawanya mendaki bukit,
setelah berjalan selint asan tiba-tiba Lingga W isnu
merendek lagi. Berkata kepada kakaknya :
"Aku lelah. Kita berhenti dahulu!"
Sudarawerti dapat menebak kata hati Lingga W isnu
sesungguhnya. Bocah itu pasti teringat keadaan ayah
ibunya, juga terhadap keselamatan kakaknya. Umardanus. Dia sendiri sebenarnya demikian pula. Akan
tetapi mengingat tugas yang harus dilaksanakan, tak
dapat ia mengidzinkan adiknya berlalai-lalai. Segera ia
menguatkan hati dan mengendalikan perasaannya
sendiri. W alaupun demikian, tak urung ia gagal juga. ia
menoleh dan menembakkan pandangnya kearah pertempuran.
Heran ia, apa sebab pertempuran itu tiba-tiba sudah
mendekati tanjakan dibawahnya. Pada saat itu kilat
mengejap beberapa kali. Puluhan senjata nampak
berkelebat meluruk ayah bundanya dan kakaknya. maka
tahulah dia kin i, karena banyaknya lawan, ayah-ibu dan
kakaknya membela diri sambil berlari mundur. Setelah
berkelahi beberapa waktu lamanya, mereka telah tiba
dibawah tanjakan bukit. Samar-samar ayahnya mendampingi ibunya. Sedang
kakaknya melesat kesana-kemari dengan maksud
melindunginya. Mereka bertiga bekerja sama sangat
rapih, berkat pengalamannya selama delapan tahun
menjadi perburuan. Biasanya musuh berjumlah paling banyak sepuluh
orang. Akan tetapi malam ini, musuh yang datang
mengeroyok mencapai jumlah-ampat puluhan orang. Tak
mengherankan mereka bertiga kena di desak mundur
dari t empat ketempat. Musuh yang berada disebelah kiri. mengenakan
pakaian serba hitam dan jubah w arna mut ih. Dialah yang
menyebut diri: Ruji Pinent ang. Senjatanya sepasang
golok. Gerakannya gesit dan ganas. Dan yang berada
disebelah kanan, seorang jago lain berperawakan pendek
kecil. Tangan kirinya memegang perisai besi, sedang
tangan kanannya menggenggam sepotong penggada
bergigi tajam. Dialah lawan yang paling lincah cara
per-lawanannya. Beberapa kali ia meloncat kesana
kemari unt uk menyerang atau mengelak.
Beda dengan Ruji Pinentang ia ternyata sangat licik.
Serangannya selalu dilancarkan, manakala suami isteri
Udayana sedang repot menghadapi keroyokan.
Yang berada ditengah, seorang pendekar berpakaian
singsat. Umurnya belum mencapai lima puluh, tahun.
Tampangnya bengis. Senjatanya pedang panjang.
Dan mereka bertiga ini merupakan pemimpin puluhan
pengeroyok. Sambil bertenpur seringkali mereka menyerukan aba-aba pengepungan atau pengeroyokan.
"Kak Sudarawerti! Ketiga orang itu berasal dari
mana?" Lingga W isnu minta keterangan.
"Aku sendiri kurang terang." jawab Sudarawerti.
"Hanya nama mereka pernah kudengar. Yang mengenakan jubah pendeta itu bernama Ruji Pinentang.
Dan sikate ini bernama: Orang Aring. Dan yang
bersenjata pedang panjang seorang ahli bernama:
Lemah Ijo." Lingga W isnu menarik napas. Berkata seorang diri :
"Mereka sangat gesit dan ganas. Apakah ayah bisa
melawan mereka bertiga dengan sekaligus?"
"Ayah sendiri kena keroyok duapuluh orang. W alaupun
demikian, ayah pasti sanggup merobohkan mereka
bertiga. Kau lihat saja nant i." sahut Sudarawerti
meyakinkan adiknya. Akan tetapi sesungguhnya, dia
sendiri tidak yakin. Maka cepat-cepat mengalihkan
pembicaraan; "Mari kita daki bukit ini secepat mungkin. Diseberang
bukit inilah jembatan Jala Angin. Moga-moga sa-ja eyang
guru berada disitu."
Sudarawerti menarik lengan adiknya dan bawanya lari
secepat-cepatnya. Tatkala itu, ia mendengar suara
parau. Itulah suara yang dikenalnya dan yang membuat
hatinya tergetar. "Kami suami isteri Udayana dengan ketiga anak
keturunan kami. Selamanya belum pernah berkenalan
dengan kalian. Apa sebab kalian mengejar kami siang
dan malam tanpa alasan tanpa perkara?" teriak Udayana.
"Sudah delapan tahun kalian menyiksa kami dengan
suatu teka-teki yana susah kami tebak. Apakah kalian
benar-benar menghendaki jiwa kami berlima?"
Ruji Pinent ang menggerendeng:
"Kamu membunuh guruku. Karena itu wajib aku
menuntut dendam." "Membunuh gurumu " Yang mana " " Udayana heran.
Ruji Pinent ang hendak membuka mulutnya. Tiba-tiba
Orang-Aring mendahului: "Buat apa engkau mengadu mulut dengan bangsat ini.
Renggut jiwanya! Habis perkara ..."
Udayana berbimbang-bimbang mendengar jawaban
Ruji P inentang tadi. Selama sekian tahun menjadi
buruan, memang dia mengalami suatu pertempuran
sengit beberapa kali. la hanya melukai. membunuh tak
pernah dilakukan. Apakah kesalahan t angan " .
Pada saat itu Lemah Ijo menimbrung:
"Jangan bunuh mereka! Kita harus menangkap
mereka hidup-hidup. Kalau mereka mati, sia-sialah usaha
kita ini unt uk memperoleh tongkat itu"
"Huh!" dengus Orang-Aring. "Mereka hidup atau mati,
tongkat itu akhirnya akan bisa kita rebut. Mengapa kau
ribut tak keruan" Kalau mereka dibiarkan h idup, huh,
sungguh enak!" Tetapi seorang lain yang berada dibelakang mereka,
menimbrung: "Jangan! Jangan dibunuh! Biarkan mereka hidup.
Kalau mereka mati, benar-benar kita jadi gelap. Teka-teki
itu tidak dapatkita peoahkan."
Hebat suara itu. Kecuali nyaring, kerasnya seperti
genta kena gebuk besi panjang. Itulah sebabnya, Lingga
W isnu ikut terkesiap pula. Ia berduka dan bergusar,
sehingga tangannya yang kecil bergetar.
Sudarawerti tercekat hatinya begitu merasakan
getaran t angan adiknya. Cepat-cepat ia menguatkan diri.
Lalu menekap tangan adiknya, Cepat-cepat dibawanya
lari makin cepat. Mula-mu la ia lari asal lari saja. Lambatlaun merasa seperti
diburu. Dan larilah kedua anak itu
seperti kalap. Sebentar saja dua gundukan tanah tinggi
yang merupakan bukit, sudah terlampaui.
Sekarang mereka berdua merasa diri agak aman.
Mereka mengendorkan langkahnya. Peluhnya rnembasahi
badan dan bercampur aduk dengan air hujan. Sambil
mengatur napas, Sudarawerti memasang telinga. Tiada
lagi t erdengar beradunya pedang dan golok. Suara hiruk-
piruk pertempuran lenyap teraling bukit.
Kemudian ia menatap wajah adiknya. Lingga W isnu
nampak muram. Sepasang alisnya berdiri tegak dengan
bibir mengatup rapat. Itulah suatu tanda, hatinya
bergolak hebat. Dia membungkam karena berusaha
menguasai diri. "Kau kenapa, Lingga?" Sudarawerti menegas dengan
hati-hati. Gadis ini terkejut dan cemas.
"Aku ...... aku ...... sanggupkah aku membalaskan
dendam ayah dan ibu yang kena keroyok musuh begini
besarnya " " . Itulah suatu ucapan yang tepat sekali me ngenai
sasaran. Sudarawerti sendiri sebenarnya lagi memikirkan
soal itu pula. T ak terasa, air matanya meleleh. Katanya:
"Kata ayah dahulu, seorang laki-laki tidak boleh
merendahkan kemampuannya sendiri. Engkau pasti bisa.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lihatlah keatas! Masakan Tuhan akan menutup
matanya?" Sudarawerti menudirg keudara, seolah-olah Tuhan
bertahta dibalik langit yang guram kelam. Namun hal itu
besar pengaruhnya didalam hati adiknya. Mendadak saja,
bocah itu bisa melepaskan ucapan galak .
"Y a benar. Aku seorang laki-laki. Tak boleh aku
menangis. Mari kita terus!"
Selagi ia hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba suatu
bayangan menyambar lengannya. Ia kaget setengah
mati. "Siapa?" bentaknya.
Kilat mengejap. Dan ia melihat seorang lelaki bertubuh
kekar berdiri tegak didepannya.
Laki-laki itu kedua pipinya bermandikan darah segar.
Dialah ayahnya sendiri. Disamping nya berdiri kakaknya
pula. Lengan dan kakinya terluka. Dan luka itu
mengucurkan darah. Melihat mereka berdua, bocah itu seperti kalap.
Memekik hebat: "Kalau aku selamat, aku akan menuntut dendam.
Ayah! Kakak! Jangan takut! Aku akan membalaskan
dendammu ...!" Dengan wajah terharu, Udayana meraih kepala putera
bungsunya itu. Berkata sambil mengusap rambutnya :
"Anakku! Ayahmu bersyukur didalam hati mendengar
dan melihat semangatmu. Akan tetapi ayahmu
mengharapkan engkau menjadi seorang kasatria sejati
dikemudian hari. Dan seorang kasatria se jati, tidak boleh
hanya menuruti kata hatinya belaka. Engkau harus b isa
menimbang-nimbang dengan baik. Harus bisa membe
dakan ant ara budi dan penasaran. Kalau dikemudian hari
engkau menjadi seorang pendekar yang tinggi ilmu mu,
akan tetapi melakukan sembarang pembunuhan lantaran
menurut i rasa penasaranmu belaka, akan membuat
sengsara manusia yang tidak berdosa. Lihatlah, ayah dan
ibumu adalah korban suatu dendam yang masih sangat
gelap. Betapa sengsaranya, engkau mengalami sendiri.
Karena itu, hendaklah dikemudian hari engkau hanya
menuntut dendam kepada musuh kita yang benar.
Bagaimana caramu bisa mengetahui musuh keluargamu
yang bersembunyi ini, hendaklah kau bersabar hati dan
tabah. Selidiki dahulu sampai jelas!"
Lingga W isnu t ertegun karena rasa kagum. Pikirnya di
dalam hati: "Akh, benarlah keterangan kak Sudarawerti. Ayah
tidak hanya gagah, tetapi jujur pula. Dia sedang luka
parah. hatinya pasti panas bagaikan api. W alaupun
demikian masih bisa bersabar hati untuk membedakan
musuh yang hanya ikut -ikut an belaka."
Pertumbuhan jiwa Lingga wisnu memang tak dapat
dipersamakan dengan anak-anak sebayanya. Dia
mempunyai cara berpikir sendiri karena pengalaman
hidupnya. Dia mempunyai pengucapan hati sendiri,
karena penggodogan nasibnya. Ini semua merupakan
sendi kekuatan baginya dikemudian hari. Pada saat itu,
yang terasa didalam hatinya adalah suatu keyakinan,
bahw a ayahnya sama sekali bersih dari suatu noda. Dan
menga-lami nasib menjadi buruan oleh suatu fitnah yang
masih gelap. Dalam pada itu Udayana menghela napas dalam,
begitu melihat putera bungsunya terbungkam mulutnya.
Berkata lagi : "Anakku, malam in i ayahmu baru sadar. Tujuh tahun
lebih, kalian kubawa merant au dari tempat ketempat.
Kukira didalam dunia yang maha luas ini, masih ada
suatu tempat untuk kita diami. Tak tahunya, kita terus
dikejar musuh tersembunyi. Kalau t ahu begini, semenjak
dahulu lebih baik kalian kubawa kemari saja. Hm, kukira
aku bisa dan sanggup melindungi rumah perguruan
leluhurmu. Tak tahunya, akhirnya aku harus membawamu kemari juga. Alangkah tololku!"
Mendengar suara ayahnya, hati Lingga W isnu rusak
bukan main. Tak tahu dia, harus berbuat bagaimana.
Tiba-tiba ia t eringat sesuatu. Lantas berteriak kalap :
"Mana ibu?" "Aku disini, anakku!" terdengar suatu jawaban lembut.
Kilat mengejap. Dan Lingga W isnu melihat ibunya
datang menghampiri ayahnya dengan langkah tertatih-
tatih. Terang sekali, dia terluka pula. Kali in i sangat
parah. "Ibu! Kau terluka?" jerit Lingga W isnu.
"Akh, hanya luka kulit saja." sahut ibunya dengan
suara menghibur. Udayana kemudian menimpali :
"Ibumu hanya menderita luka ringan. Kau tak perlu
merisaukan, anakku. Mari kita meneruskan perjalanan.
Jembatan Jala Angin sudah berada didepan hidung kita,
ia berhenti sebentar. Kemudian berpaling kepada
Umardanus: "Kau masih bisa berjalan?"
"Mengapa tidak " " sahut Umardanus dengan suara
gagah. Udayana tertawa perlahan. Katanya :
"Kita berhasil mengundurkan musuh. Akan tetapi aku
yakin, sebentar lagi mereka bakal datang lagi dengan
jumlah yang berlipat. Itulah sebabnya kita perlu
berangkat dengan segera. Larasati, bukankah engkau
hanya menderita luka ringan?"
Larasati menyahut dengan suara sedih :
"Lukaku ini t ak berarti. Mari kita berlalan terus!"
Mereka semua merupakan satu keluarga yang saling
menghibur dan membesarkan hati. Baik Larasati maupun
Umardanus sebenarnya menderita luka parah. Akan
tetapi dengan menguatkan diri, ia berusaha membesarkan hati seluruh anggauta keluarganya. Dan
malam gelap menolong menyembunyikan keadaan
mereka masing-masing. Dapat dimengerti bahw a perjalanan itu merupakan
perjalanan yang penuh penderitaan dan siksa. W alaupun
demikian, mereka semua tiada yang mengeluh. Setapak
demi set apak, mereka maju terus. Dan awan
pegunungan mulai menyelimut i mereka. Setelah lewat
larut malam, dua tikungan bukit telah dilint asi. Hanya
sekarang, sesuatu yang menakutkan hati menghadang
kedepan. Tepat dipinggang bukit menghadanglah suatu lembah
yang gelap sekali. Sebuah jurang bertebing curam
nampak muncul diant ara kejapan kilat. Penuh uap dan
kabut hitam. Begitu mereka mendekati tempat itu,
lenyaplah anggauta tubuh mereka sendiri dari penglihatan. Udayana berhenti melepaskan pandang. Dan Lingga
Vlsnu yang berdiri disampingnya mengarahkan pandangnya kepada jurang. Lapat-lapat ia mendengar
suara gemuruh seakan-akan suara napas raksasa sedang
tidur bersenggur. Tak dikehendaki sendiri, tengkuknya
meramang. Selagi mereka tertegun dengan pikirannya masingmasing, tiba-tiba hujan berhenti.
Angin keras menyapu kabut gunung mendaki udara. Dan lambat-laun ketebalan
kabut itu kian menipis dan nenipis. Samar-samar bulan
sisir menjenguk ditelahan tabir awan yang guram.
"Mari kita beristirahat!" kata Udayana dengan suara
dalam. Mereka sudah berpengalaman tidur ditengah alam
terbuka dalam keadaan basah maupun kering. Maka
begitu mendengar ucapan Udayana, masing-masing
mencari tempatnya sendiri. Dan mereka terus berdiam
diri sampai matahari muncul di udara.
Tak usah diceritakan lagi, satu malam penuh mereka
diserang rasa dingin luar biasa. Masih untung, hujan
berhenti dengan mendadak. Sekiranya tidak demikian,
pastilah penderitaan mereka akan bertambah.
Oleh sinar matahari itu, penglihatan yang terbentang
didepan mereka bertambah jelas. Kabut yang menyelimut i tebing jurang itu kini nampak bedanya
dengan udara bersih. Dan dengan mambungkam mulut,
mereka merenungi jurang itu.
"Apakah jurang itu yang dinamakan Jala Agin?" tibatiba Lingga W isnu mulai
membuka mulut. Udayana mengangguk membenarkan. W ajahnya
guram, akan tetapi berwibawa. Perlahan-lahan ia
mengelanakan pandangnya. Tiba-tiba ia nampak kaget.
Pandang matanya berhenti pada sebuah dinding .
"Eh! Benar-benarkah aku tak salah lihat?" serunya
sambil mengucak-ucak kedua matanya. "Umardanus!
Benarkah pada dinding itu terdapat sederet tulisan?"
Ia mendahului mendekat. Isterinya dan ketiga
anaknya lant as menyusul dibelakangnya.Dinding itu lic in
berlumut. Dua baris huruf kecil berwarna putih nampak
menyolok. sekiranya aku tak kembali
janganlah mencoba menyusul
Dengan berdiam diri, Udayana merenungi bentuk tulisan
itu. Lama ia merenung-renung. Tiba t iba saja ia menekuk
lut ut. Katanya mengajak dengan suara menggeletar :
"Anak-anakku! Kalian berlut utlah! Inilah pesan eyanggurumu. Benar-benar beliau
sampai disin i ..." Mendengar ajakan Udayana, Larasati segera menjatuhkan diri. Ketiga anaknya lant as pula menekuk
lut ut. Kata Udayana sejenak kemudian:
"Aku sendiri belum pernah melihat jembatan Jala
Angin. Tetapi pesan guruku ini merupakan suatu
petunjuk. Kalau kita bisa menyusur Jalan tebing ini,
sampailah k ita kepada tujuan itu. Akan tetapi nampaknya
sangat licin. Anakku, pernah aku mendengar keterangan
eyang-gurumu. Jembatan itu sebenarnya adalah selonjor
batu Pandang yang menghubungkan jurang dan jurang.
Jurang itu entah berapa kaki dalamnya. Kabarnya ang in
datang dari bawah. Barang siapa tak dapat mempertahankan diri, akan kena dibawa kabur tinggi.
Lalu dihempaskan kepada tebingnya. Itulah sebabnya
tiada seorangpun yang berani mengadu untung.
W alaupun demikian, agar anak ke turunan kita tidak
terputus sampai d isini saja, maka salah seorang diantara
kita harus bisa menyeberangi dengan selamat."
Setelah berkata demikian, Udayana berdiri. Isteri dan
ketiga anaknya berdiri pula. Kata Udayana lagi :
"Eyang gurumu pernah nenginjak tempat ini. Mungkin
pula telah menyelidiki kemungkinannya. Agaknya
berbahaya sungguh. Beliau tak mengizin kan salah
seorang muridnya main coba-coba disini untuk bisa
memperoleh suatu mustika dunia yang sebenarnya mirip
satu khayal belaka."
"Ayah!" sekonyong-konyong Sudarawerti memotong
perkataannya. "Mangapa kita harus melin tasi jembatan
maut itu?" Udayana menarik napas dalam. W ajahnya nampak
guram. Dengan suara pedih ia menjawab :
"T ak seorangpun didunia ini pernah berhasil melintasi
jembatan Jala Angin. Mereka mati terbuang didalam
jurang. Itulah sebabnya pula, tiada seorangpun yang
tahu betapa caranya melint asi jembatan Jala Angin
dengan selamat. Seumpama tiap orang bisa melint asi,
tidak akan ayah membawa kalian kemari."
"Mengapa begitu, ayah?" Lingga W isnu belum
mengerti. "Anak! Kalau tempat pengungsian kita masih bisa
dicapai orang, apa perlu kita mengadu jiwa

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeberangi jembatan maut itu."
"Akh, mengerti aku sekarang." sahut Lingqa W isnu.
Salah seorang diant ara kita harus selamat. Perlunya
anak-keturunan leluhur kita, t idak akan punah. Benarkah
begitu?" Bukan main terharunya Udayana mendengar ucapan
Lingga W isnu. Berkata patah-patah:
"Benar, anakku. Benar ..... Salah seorang di antara
kita harus b isa menyeberangi jembatan maut itu. Inilah
kesempatan kita untuk bisa mempertahankan hidup ..."
"Kalau begitu, bukan perkara tongkat mustika yang
kabarnya berada diseberang jurang. Bukankah begitu?"
Linggu W isnu menegas. "Benar. Tongkat mustika itu hanya Tuhan, Malaikat
dan setan-setan yang tahu." Udayana menjawab dengan
suara sedih. "Sebenarnya, apa sih tongkat mustika itu?"
"Anak! Justeru perkara tongkat itu, kita hidup berlaratlarat begini. Karena itu,
tak usahlah kita membicarakan
lagi." sahut ayahnya. "Akan tetapi, biarlah kusampaikan
kabar t entang tongkat mustika itu."
"Bukankah berasal dari Majapahit?" potong Lingga
W isnu dengan bernapsu. "Benar." "Kalau berasal dari Majapahit, bagaimana bisa berada
diseberang jembatan itu?"
Udayana tersenyum. Ia meraih kepala Lingga W isnu
dan diusapnya dengan kasih-sayang. Katanya :
"Itulah sebuah dongeng belaka, anakku. Kata orang,
Sabdapalon yang membawanya menyeberang."
"Sabdapalon?" Lingga W isnu berseru heran. "Siapakah
dia?" "Menurut sebuah cerita, dialah dewa penunggu
kesajaht eraan tanah Jawa.. Dialah abdi raja Majapahit
penghabisan. Tatkala istana terbakar, dia membawa
tongkat mustika tersebut menyeberangi jembatan Jala
Angin. Setelah disimpannya rapi, ia meneruskan
perjalanannya ke barat. Kabarnya dia tidur di puncak
Gunung Merapi selama limaratus t ahun."
Lingga W isnu tertarik hatinya.. Ia berkomat kamit
menghitung dengan jarinya. Bisiknya perlahan :
"Sekarang tahun 1701. Majapahit runtuh t ahun Tahun
berapa sih, kak?" Selama merant au, Sudarawerti bertindak sebagai guru
pengajar. Gadis ini seringkali mendongengkan beberapa
kejadian yang bersejarah. Tentu saja sejarah yang
diket ahuinya dan didengarnya dari mu lut kakak atau
ibunya. "Katakan saja sudah hampir tiga ratusi. tahun." sahut
Sudarawerti. "Akh, kalau begitu, duaratus tahun lagi, Sapdapalon
baru bangun. Eh, masakan didunia in i ada mahluk yang
betah tidur begitu lama!" seru Lingga W isnu.
Menyedihkan keadaan mereka. Akan t etapi ,endengar
kata-kata Lingga. Wisnu, mereka masih bisa bersenyum.
"Mari!" Udayanamemutuskan.
Sebenarnya masih ingin Lingga W isnu memperoleh
keterangan lagi tentang Sabdapalon. Tetapi ayahnya
sudah berjalan. Kemudian ibu dan kedua kakaknya
menyusul dibelakangnya. Maka dengan hati-hati ia
mengikuti. "Ayah!" tiba-tiba Umardanus membuka mulutnya.
"Semalam aku telah melepaskan panah berapi. Apa
sebab salah seorang paman-guru kita belum muncul?"
Udayana menundukkan kepala. Menjawab:
"Semalam hujan badai. Siapa yang sudi menmbiarkan
dirinya berada diluar dalam keadaan hujan demikian.
moga-moga salah seorang melihat cahaya panah itu.
Dalam hal in i, kita hanya b isa berdoa. Akh, marilah kita
atasi semua kesulitan ini dengan tenaga dan kemampuan
kita sendiri. Tuhan pasti rnemberkati."
Mereka menghampiri pinggiran dinding gunung yang
tegak tinggi. Dan yang dikatakan jalan menuju ke
jembatan Jala Angin itu sebenarnya lebih mirip suatu
pengempangan sawah. Tegasnya lebarnya selebar
sebuah pengempangan sawah. Licin dan berlumut.
Sedang diseberangnya jurang curam yang dalamnya
entah berapa ribu kaki. Panjang jalan sampai mencapai jembatan batu kurang
lebih duapuluh meter saja. Akan t etapi menilik batu-batu
dasar yang berlumut, teranglah sudah bahwa sudah
puluhan tahun lamanya t ak pernah terinjak kaki manusia.
Lingga W isnu yang berada dibelakang, melepaskan
pandang kepada batu putih yang merupakan jembatan
penghubung itu. Tak dapat ia meyakinkan diri sendiri,
siapakah yang membuat jembatan demikian. Entah
manusia ent ah alam. Tapi pada saat itu, khayalnya
dipenuhi tokoh Sabdapalon dewa penunggu kesejahteraan tanah Jawa. Apakah dewa itulah yang
membuat jembatan Jala Angin.
Panjang jembatan itu tak dapat tertembus ketajaman
mata. Yang nampak hanya sepanjang sepuluh meter.
Sisanya d iselimut i kabut tebal hitam lekam. Bagaimana
bentuk ujungnya atau berapa puluh meter jauhnya, tiada
seorangpun yang bisa memberi keterangan. Selamanya
belum pernah seorangpun yang berhasil mencapai
seberang. Konon dikabarkan, putera Majapahit menyeberangi jembatan Jala Angin untuk menghindari
pengejaran tentara Islam (T entara Demak). Ia berhasil
melint asi kabut tebal itu. Selanjutnya tiada ceritanya lagi.
Entah dia berhasil mencapai seberang atau tidak.
Mungkin pula dia berhasil. Tetapi untuk bisa balik dengan
selamat, rasanya t ak mungkin lagi.
"Jembatan didepan itu pastilah jembatan Jala Angin,"
kata Udayana dengan perlahan. Sebenarnya ia bersangsi
sendiri mengenai jembatan tersebut. Sebab, belum
pernah ia menginjakkan kakinya dilembah itu. Malah
melihatpun baru untuk pertama kalinya.
"Anak-anak, mari ! Inilah satu-satunya jalan hidup
kita," katanya. Ia segera mendahului mendekati jalan
berdinding yang hendak membawanya ke jembatan Jala
Angin. T atkala tangannya meraba dinding, mendadak ia
kaget. "Apa artinya ini?" serunya setengah memekik.
Dengan pandang tegang ia mengawasi dinding batu.
Larasati dan ketiga anaknya buru-buru menghampiri.
mereka menemukan dua baris huruf kecil-kecil lagi. Dan
begitu membaca bunyinya, mereka kaget.
Udayana! tongkat itu tidak mudah kuperoleh
karena itu pertahankan dengan jiwamu .
"Apa artinya ini?" Udayana mengulangi seruannya
dengan suara set engah berbisik. Dengan jari-jarinya ia
meraba-raba. Lalu berkata se-olah berkata dirinya
sendiri: "Bukan! Bukan! Bukan guru. Siapa yang menulis
ini" Apa maksudnya Pula?"
"Suamiku," tiba-tiba terdengar suara Larasati menggeletar. "Itulah karena aku ... Kau masih raguragu?"
Baru saja Larasati menutup mulutnya, terdengarlah
suara nyaring beberapa orang. Mereka menoleh dan
diatas gundukan berdirilah duapuluh orang lebih
memegang senjatanya masing-masing.
"Ih! Mereka bertiga lagi ..." Udayana mengeluh.
"Mereka membawa tenaga baru. Ah sampai kapan kita
bisa hidup aman damai?"
"Jawabannya kini makin terang, suamiku." sahut
Larasati. "Kita akan bisa hidup damai kembali, manakala
penulis tulisan itu sudah lenyap dari percaturan hidup.
Bukankah itu suatu fitnah?"
"Benar, suatu fitnah." ujar Udayana dengan napas
memburu. "Kini tahulah aku, apa sebab mereka
menuduh aku menyimpan tongkat. Ah benar-benar gila!"
Tak sempat lagi Udayana berbicara berkepanjangan.
Beberapa orang datang meluruk kebawah. Cerak-gerik
musuh baru in i, lebih mantap dan perkasa. Namun hati
Udayana sama tak gentar. Dengan pandang tajam ia
mengawasi mereka. mendadak diatas ketinggian ia
melihat seorang mengenakan jubah abu-abu. Siapa dia"
tak dapat ia mengenalnya.
Selagi ia mencoba memperoleh penglihatan terang,
Umardanus sudah melompat menerjang sambil berteriak
: "Manusia-manusia serigala. Kalian ganas melebihi
binatang. Hayo maju!"
Lingga W isnu yang belum pandai beringuspun ikut
tergetar hatinya oleh rasa kesal dan marah. Dengan
menghunus pedang pendeknya, ia melompat maju.
Udayana terperanjat. "Umardanus! Lingga! Kembali!" teriaknya.
Mendengar seruan ayahnya, Umardanus merandek. Ia
terkejut tatkala ayahnya menyebut nama Lingga. Cepat
ia berput ar kebelakang dan melihat Lingga W isnu berada
dibelakangnya dengan langkah kalap. Seperti burung
alap-alap, ia menyambar lengan adiknya. Katanya
nyaring : "Lingga, tahan!" dan terus dibawanya kembali kepada
ayahnya. Tatkala itu beberapa orang sudah berada sepuluh
meter didepannya. Dengan senjata andalannya masingmasing, mereka mengurung.
Sedang yang lain, datang berturut-turut bagaikan gugurnya bukit batu.
Udayana menggeser tubuhnya, mendampingi Larasati.
Ia menghunus pedangnya. W ajahnya nampak tak
tenteram. Setelah menoleh kepada Umardanus, ia
berkata : "Umardanus! Dan semua saja, dengarlah ! dengan
susah-payah ayah-bundamu melindungi kamu sekalian
sampai disin i. Tadinya aku berharap akan dapat bertemu
dengan eyang-gurumu. Sebaliknya aku menemukan
suatu deret tulisan yang menbuat hatiku tak tenteram.
Anak-anakku, kamu tidak boleh mengadu jiwa. kamu
harus tetap hidup untuk bisa memecahkan teka-teki itu.
Agar dikemudian hari kamu dapat menyambung anak
keturunan keluarga Udayana. Bersama ibumu, aku akan
mempertahankan serbuan mereka.
Kamu sendiri, pergilah cepat-cepat menyeberang jembatan itu!"
"Ayah! Mengapa ayah tidak mencoba mengajak
mereka berbicara?" teriak Sudarawerti.
"T idak ada gunanva, anakku. Mereka semua ganas.
Tujuan mereka hanya hendak menbunuh ayahmu
sekeluarga. Nah, seberangilah jembatan itu. Cepat!"
sahut Udayana dengan suara keras.
Sebelum Umardanus bertiga dapat menggerakkan
kaki, terdengarlah seorang musuh berkata nyaring:
"Hai! Jangan biarkan mereka membunuh diri maju ! "
Ucapan itu ternyata merupakan suatu aba-aba.
Belasan orang lant as saja bergerak mengepung. Akan
tetapi sudah barang tentu Udayana tidak tinggal diam.
Keputusannya sudah kokoh.Ia bersedia mengorbankan
jiwa dalam pertarungan ini. Segera ia maju dan
menghantamkan pedangnya .
Seperti semalam, Ruji Pinent ang, Orang Aring dan
Lemah Ijo, segera mengkerubutnya. mereka bertiga
merupakan lawan yang tangguh dan gesit. W alaupun
demikian, tak berani mereka semberono. Sekali OrangAring mendekat, senjatanya
lantas saja terbang keudara.
Senjata Orang-Aring berbentuk sebuah penggada
bergigi terbuat dari besi ut uh. Tetapi dengan sekali
sabet, Udayana dapat mementalkan. Maka bisa
dibayangkan betapa dahsyat tenaga ahli pedang itu. Tak
memalukan ia menjadi murid Kyahi Basaman yang
namanya menggetarkan jagad.
o))oo-dw-oo((o 1. Lonceng Tanda Bahaya Umardanus mengeluh. Sebenarnya enggan ia
meninggalkan ayah-bundanya menghadapi bahaya yang
menentukan. Akan tetapi pesan ayahnya sangat penting
Bende Mataram 10 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Pedang Bunga Bwee 4
^