Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 11

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 11


segera diantarkan para pelayan. Masakannya, minuman
dan penganannya lebih lengkap dan hebat dari pada
siang hari t adi. Semuanya serba istimewa.
Setelah makan, Yunus yang berada daiam keadaan
gembira, segera hendak melanjutkan pembicaraan. Ia
ingin berbicara sebanyak banyaknya. Tentu saja menurut
selera sendiri. Lingga W isnu sebenarnya bersiaga
melayani. Sebagai seorang tetamu, kedudukannya
berada dibawah tuan rumah. Tetapi melihat Sondong
Rawit yang nampak tersiksa, ia jad i tak enak hati. Maka
buru-buru ia berkata : "Saudara Yunus, aku lelah. Perkenankan aku
beristirahat terlebih dahulu."
Yunus nampak kecewa. Tetapi segera ia sadar.
Menyahut : "Saudara Lingga, semenjak kanak-kanak aku hidup
ditengah pegunungan. Jarang sekali di rumahku ada
tetamu seperti engkau. Malahan untuk yang pertama kali
inilah, aku mempunyai tetamu sendiri. Begitu gembira
dan terima kasih hatiku, sampai ingin mereguk dan
menikmati semua perasaanku sekaligus. Maafkan
perangaiku yang tak tahu diri ini. Sebenarnya, ingin aku
menyalakan lampu sebesar-besarnya untuk mengajakmu
berbicara. Tetapi ternyata engkau lelah. Baiklah, esok
hari saja k ita ngobrol lagi."
"Saudara Lingga, mari engkau t idur di kamarku saja."
tiba-tiba Sondong Rawit mengajak.
"Apa!" Yunus melotot. "Dalam kamarmu mana ada
tempat untuk tetamu" Biarlah dia tidur di kamarku!"
W ajah Sondong Rawit berubah.
"Apa?" ia menegas, seolah-olah tak percaya kepada
pendengarannya sendiri. "Y a, kenapa?" sahut Yunus cepat. "Aku sendiri, biarlah
tidur bersama ibu." Sondong Rawit bungkam. Tetapi ia tidak senang
mendengar ketetapan itu. Tanpa berkata lagi, ia
meninggalkan ruang tamu. Dan kembali lagi Lingga
W isnu menjadi t ak enak hati.
"Maafkan dia. Orang gunung memang kerap Kaii
kasar," Y unus mengomel.
"Akupun orang gunung. Tak perlu engkau memikirkan
diriku berlebih-lebihan," kata Lingga W isnu.
Yunus tersenyum. Sahutnya tak perduli :
"Kau ikutlah aku!"
Dengan membawa lentera ditangan, ia mendahului
berjalan. Lingga W isnu mengikuti dari belakang. Ia
dibawa berjalan melintasi dua pekarangan dalam. Sampai
di ruang ketiga, Yunus membelok ke arah ut ara melalui
lorong rumah yang agak panjang. Dan setelah melint asi
dinding batas pagar halaman, sampailah ia pada sebuah
kamar yang pintunya segera dibukanya. Eh, benar-benar
seperti istana raja-raja, bentuk rumah keluarga Dandang
Mataun, pikir Lingga W isnu di dalam hati. Dan begitu
pintu terjeblak, mata pemuda itu silau. Bau harum
menusuk hidungnya. Kamar itu terang-benderang oleh nyala lima belas
lampu antik. Masing-masing t erdiri dari segerombol buah
jarak dengan dibebat kapuk. Api menyala terang. Pada
tembok sebelah kiri, tergantung sebuah lukisan seorang
gadis Kartasura yang terkenal luwes dan cantik. Dan
tempat tidurnya, merupakan perabot yang mahal
harganya. Di depan pembaringan, terdapat sebuah meja
tulis, sepanjang model jaman itu. Kemudian sebuah
jambangan dengan bunga seruni. Di dekatnya berdiri
sebuah kurungan persegi panjang dengan dua ekor
burung nuri yang selalu bergerak-gerak.
Lingga W isnu semenjak kanak-kanak tak pernah
mempunyai kesonpatan melihat tata indah. Ia hidup
sebagai yatim piatu dan berada diatas gunung. Tak
mengherankan melihat keindahan itu ia menjadi kagum
dan benar-benar merasa seperti berada dalam sebuah
istana. "Ini kamarku," kata Yunus. "Malam in i tidur saja di
sin i," setelah berkata demikian, ia keluar kamar tanpa
menunggu ucapan tetamunya.
Lingga W isnu lantas memeriksa seluruh ruangan
kamar dengan cermat. Ia biasa hidup di kejar-kejar
lawan. Dan seringkali pula melihat tata-muslihat orang.
Maka terhadap sesuatu yang baru dan asing, ia selalu
menaruh curiga. Apabila tiada kesan-kesan yang
mencurigakan, segera ia menutup pintunya. Kemudian
perlahan lahan ia menbaringkan diri. Mendadak ia
mendengar daun pint u diketuk hati-hati dari luar.
"Siapa?" ia bangkit.
Pintu terbuka perlahan-lahan. Muncullah seorang
pelayan cant ik berumur enambelas tahun. W ajahnya
sedap dan nampak, cerdik. Ia datang dengan membawa
sebuah niru. "T uan Lingga, sebelum tidur silahkan makan bubur
halus lebih dahulu. Kami juga membawa seguci tuak,"
kata pelayan itu dengan suara halus sambil meletakkan
guci tuak di atas meja. Selamanya, belum pernah Lingga W isnu bergaul atau
berbicara ramah dengan seorang gadis cant ik. Gadis
cant ik yang pernah dilihatnya hanyalah: Damayant i
kekasih pamannya, Panjalu. Sedang yang pernah bergaul
rapat dengannya adalah Palupi, seorang gadis dusun
yang kebetulan berparas biasa saja. Keruan saja melihat
seorang gadis rupawan memasuki kamarnya, ia jadi
merasa kaku. Ia membalas tersenyum dengan muka
bersemu merah. "Namaku Sekarwati. Panggillah namaku W ati saja"
gadis itu memperkenalkan diri
sambil ia tertawa manis. "Aku
diperint ahkan majikan untuk
melayanimu. Apabila tuan memerlukan sesuatu, jangan
segan-segan memanggilku.''
"Aku eh aku ... untuk
sementara tak memerlukan sesuatu," sahut Lingga W isnu kaku. Memang tiada acara
lain pada malam itu, kecuali ia hendak tidur.
"Baik Kalau begitu perkenankan aku mengundurkan
diri." kata Sekarwati. Ia membalikkan. tubuh hendak
berlalu. T iba-tiba ia berputar lagi sambil berkata :
"Oh ya, yang membuat bubur halus itu, majikan
sendiri. Tuan makanlah, pasti istimewa."
Lingga W isnu tercengang. Ia seperti merasa sesuatu
yang meraba kedua belah pipinya, sehingga ia tak
mengerti apa yang harus d ikatakan Sekarwati w aktu itu
telah menjauhi sambil tertawa perlahan. Kemudian
menutup pintu dengan hati-hati sebelum tubuhnya hilang
dari penglihatan. Lingga W isnu menghela napas yang terasa meniadi
sesak. Tanpa mengacuhkan sepiring bubur itu ia
melompat diatas t empat t idur, segera ia berselimut. Dan
begitu berselimut , bau harum menusuk hidungnya.
Mula-mu la ia menaruh perhatian kepada penciuman
itu, pikirnya : 'Apakah pemuda diseluruh dunia ini, selain aku menaburi wewangian diatas tempat
tidurnya" ' Karena pikiran itu, ia jadi malu sendiri, lant aran
merasa diri jorok. Dan selagi pikirannya dirumun
persoalan itu, ia telah tertidur pulas dengan tak
set ahunya sendiri. Lingga W isnu kini adalah seorang pemuda yang
berilmu kepandaian tinggi. Meskipun tidur lelap panca
inderanya perasa sekali. Menjelang tengah malam, tibatiba ia tergugah oleh
kepekaannya sendiri. Ia seperti
mendengar suara. Lantas saja d ilemparkannya pandangnya pada jendela kaca yang berada di depannya.
"T uk - tuk - tuk!" dan jendela terketuk perlahan tiga
kali. Kemudian terdengar seseorang tertawa lembut.
Setelah itu terdengar bisiknya :
"Saudara Lingga, apakah engkau masih berkelana di
dalam alam mimp imu" Lihatlah, bulan bersinar
cemerlang menerangi bumi. Malam begini sungguh
sayang kalau d ilalu i tanpa bergadang terlebih dahulu.
Keluarlah, alam sangat indahnya ..."
Segera Lingga W isnu mengenal suara Yunus. Ia
menajamkan penglihatannya. Di luar jendela kaca,
cahaya bulan nampak cerah. Terus saja ia melompat
bangun. Sambil memperbaiki letak pakaiannya, ia
menyahut : "Baik. Tunggu sebentar"
Semenjak memasuki rumah keluarga Dandang
Mataun, diam-diam perhatiannya tergerak. Sekarang ia
menyaksikan untuk kesekian kalinya, lagak lagu tuan
rumah yang aneh. Terdorong oleh rasa ingin tahu, terus
saja ia membuka daun jendela. Kemudian meloncat
keluar. Ternyata di depan kamar itu adalah sebuah
taman bunga yang sedang bermekaran.
"Mari!" ajak Yunus yang berada tujuh langkah di
depan. Sambil membawa guci tuak, ia berjalan
mendahului. Lingga W isnu lantas mengikuti tanpa
membuka mulut sambil menebarkan matanya.
Cekat an Yunus membawa Lingga W isnu keluar taman.
Setelah berada di luar taman, ia berlari lari cepat menuju
ke sebuah bukit yang berada di sebelah barat-daya.
Pagar batu diloncatinya. Dan sepak terjangnya seakanakan tidak menghiraukan
segalanya. Lingga W isnu terus mengikuti dengan tetap berdiam
diri. Iapun meloncati pagar dinding itu. Yunus sendiri
tidak pernah menoleh. Setelah tiba di puncak bukit, ia
menikung dua kali. Dan tibalah pada suatu tempat yang
berpemandangan luas. Angin halus meraba tubuh. Dan
kebun bunga mawar yang sedang bermekaran,
menebarkan keharumannya. Jenisnya merah merekah
dan putih bersih bercampur baur seperti tersulam. Di
tengah sinar bulan, alangkah jadi indah bersemarak.
"Indah benar tempat ini. Mirip sebuah pertapaan!"
seru Lingga W isnu kagum di dalam hati. Lalu berkata :
"Saudara Yunus, apakah aku sedang mimpi?"
"T idak!" sahut Yunus sambil tertawa manis. "Bungabunga ini, aku sendiri yang
menanamnya. Kecuali ibu, pelayan-pelayan perempuan, aku larang memasuki
petamanan ini. "Kenapa?" Lingga W isnu heran.
"Laki-laki t erlalu kasar bersentuhan dengan bunga."
"Akh!" Lingga W isnu te rkejut. "Kalau begitu, tak berani
aku ..." "Aku yang membawamu kemari. Siapapun tak dapat
melarangnya," potong Yunus cepat sambil tertawa. Ia
melanjutkan perjalanan menyeberangi petamanan bunga. Setelah mendaki gundukan pendek, nampaklah
sebuah rumah kecil muncul diantara gerombolan bunga
sedap-malam. Di rumah kecil itulah tujuan Yunus
terakhir. Ia mempersilahkan Lingga W isnu duduk
diserambi depan. "Kau pernah merasakan enaknya tuak?" ujar Yunus.
"T uak" Apa itu?"
"Semacam minuman keras. Terbuat dari pohon
siwalan. Kau cicipilah barang dua mangkuk. Nanti kau
bakal ketagihan! " Lingga W isnu tertawa. Ia melayangkan pandangnya ke
bawah. Suatu keindahan meresap di dalam d irinya. Tidak
hanya itu. Dirasakannya juga suatu kehangatan yang
manis sekali. Entah apa selabnya. Dan untuk beberapa
saat lamanya ia berdiri t erpaku.
Sekarang, aku akan meniup seruling. Kau boleh
mencicipi tuakku." kata Yunus sambil memperlihatkan
sebuah seruling ditangan kanannya, katanya lagi :
"Kau bisa memetik kecapi?"
Tak terasa Lingga Wisnu mengangguk.
"Bagus!" seru Yunus girang. Terus saja ia lari
memasuki ruangan dalam dan keluar lagi sudah
menjinjing sebuah kecapi.
Melihat kecapi itu, teringatlah Lingga W isnu kepada
gurunya, Ki Ageng Gumbrek. Hampir dua tahun lamanya,
ia dipaksa mengiringi kehendak gurunya yang bertabiat
aneh itu. Tetapi justru demikian, ia kin i jadi bisa memetik
kecapi. Namun di depan Yunus, ia berkata merendah :
"Saudara Yunus, aku belajar memetik kecapi tanpa
guru. Kebiasaanku hanya mengiringi senandung orang.
Sama sekali aku tak mengenal sebuah lagupun."
"Akh, masa?" Yunus tak percaya. "Kau terlalu
merendahkan diri." Kemudian acuh tak acuh ia
mengangkat serulingnya kedepan mulut. Pada saat itu
juga Yunus meniup lagu kegemarannya. Mula-mula
perlahan seperti berbisik. Kemudian mengalun t inggi dan
melengking menembus kesunyian malam.
Mendengar t iupan seruling itu, Lingga W isnu tertegun
sampai lupa memetik kecapinya. Ia merasa dirinya
terbawa mengapung diantara awan-awan yang bergerak.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aneh! Selama hidupnya, belum pernah ia memperoleh
perasaan demikian. Dan apabila Yunus meletakkan
serulingnya di atas pangkuannya kembali, ia menghela
napas karena kagum. Katanya :
"Saudara Yunus! Tak pernah aku sangka engkau
seorang pemuda serba bisa. Mengapa engkau begini
cerdas?" "Akh, jangan mengolok! Mengapa tak kau petik
kecapimu" Apakah tiupanku tadi, tak dapat kau iring i"
Coba katakan kepadaku, lagu apa saja yang kau ganari?"
"Saudara Yunus, aku berkata sebenarnya bahwa
kecerdasan dan pengetahuanmu jauh berada di
atasanku. Bagaimana bisa aku memilih sebuah lagu yang
indah, sedangkan rasa keindahan itu sendiri belum aku
mengerti sebaik-baiknya?" kata Lingga W isnu sungguhsungguh. Mau tak mau Y unus
tertawa senang. Di dunia ini, siapakah yang tak seriang memperoleh pujian setulus
tulusnya demikian" Sahutnya :
"Benar begitu" Kalau benar begitu, biarlah aku yang
memilih lagunya, dan cobalah petik kecapimu!"
Tanpa menunggu jawaban, Yunus lantas meniup
serulingnya kembali. Lingga W isnu menunggu sebentar.
Kemudian mulailah ia memetik kecapinya Dan begitu
kedua alat tetabuhan itu berpadu, malam sunyi dan
bulan purnama terasa menjadi agung.
Dua orang pemuda itu terpekur sejenak, setelah lagu
yang dibawakan selesai. Keindahannya yang halus,
meresap di dalam perbendaharaan hatinya. Lingga W isnu
sebenarnya sering mengiringi K i Ageng Gumbrek bermain
kecapi. Gurunya yang lain, Kyahi Sambang Dalan pandai
meniup seruling pula. Akan tetapi, tiupan Yunus
mempunyai bentuk keindahannya sendiri. Dan keindahan
itu membawa suatu perasaan yang aneh, sehingga
sampai detik itu belum juga ia menemukan sebabsebabnya.
"Bagaimana" Dapatkah engkau menikmati keindahannya?" tanya Yunus.
"Sungguh! Selama hidupku, baru malam in i aku
seperti mengerti tentang keindahan hidup," sahut Lingga.
W isnu sejadi-jadinya. "Dahulu aku mengira, hidup ini
penuh siksa dan derita. Mimp ipun tak pernah, bahwa
pada suatu kali, aku di beri kesempatan mereguk
keindahannya yang sejati, meskipun hanya sesaat saja.
Akh, apakah begini kenikmatan sorga yang dijanjikan
kepada manusia?" Yunus tertawa geli. Kata-kata Lingga W isnu terlalu
berlebih-lebihan. Namun ia segan mengusiknya. Bahkan
ia duduk beringsut-ingsut mendekati. Dan begitu
berdekatan, Lingga W isnu mencium bau harum yang
meremangkan bulu ronanya. Ini bukan harum bunga
mawar yang bertebaran di depannya. Tetapi bau harum
... Tak berani Lingga W isnu menyelesaikan dugaannya.
"Sebenarnya, engkau senang atau tidak, aku meniup
seruling?" t iba-tiba Yunus meminta ketegasan.
"Tentu, tentu! Kenapa kau tanyakan" Begitu
mendengar tiupan serulingmu, ingatanku terbawa pada
masa-masa lalu, tatkala masih berada diatas puncak
gunung Dieng," sahut Lingga W isnu.
Yunus menoleh, menatap wajahnya. Mulut nya
bergerak-gerak hendak mencetak kata-kata, tetapi batal
sendiri. Sebagai gant i, ia meniup serulingnya lagi. Dan
Lingga W isnu seolah-olah mempunyai kewajiban untuk
segera mengiringkanya dengan petikan kecapi.
Selagi nada lagu memasuki bait-bait pertengahan,
tiba-tiba Yunus berhenti dengan mendadak. Seruling
yang berada di mulut dihentakkan kebawah. Kemudian
dipatahkan menjadi dua bagian.
"Hai, kenapa?" Lingga W isnu kaget berbareng heran.
"Serulingmu sangat bagus. Engkaupun pandai meniupnya. Mengapa kau ?"
Yunus menundukkan kepala. Katanya perlahan:
"Belum pernah selama hidupku, aku meniup seruling
untuk seseorang. Mereka semua hanya gemar membicarakan tentang senjata tajam, ilmu tataberkelahi, perang, uang dan cita-
citanya. Hmm!" "Tetapi aku senang sekali melihat dan mendengar
engkau meniup seruling. Tak percayakah engkau
pernyataanku ini?" ujar Lingga W isnu dengan suara
tinggi. "Seumpama benar demikian, engkaupun esok pagi
akan pergi jauh. Dan begitu engkau pergi, kesenyapan
hidup kembali lagi. Apa perlu aku meniup seruling malam
ini?" sahut Yunus suara agak gemetar.
Lingga W isnu tercengang. Oleh rasa tegang, ia
berpaling menatap wajah Yunus kuning bersih.
"Memang, tabiatku sangat buruk. Hal itu telah aku
sadari," kata Yunus lagi. "Entah apa sebabnya, aku
seakan-akan tak dapat menguasai suatu rangsang yang
datang tiba-tiba. Aku tahu engkau sebal kepadaku.
Meskipun engkau sangat baik kepadaku, akan tetapi
hatimu tersiksa karena sifat burukku. Bukankah begitu?"
Lingga W isnu terdiam, mulutnya seolah-olah terkunci
rapat. "Benar begitu, bukan" Ya, benar begitu," ujar Yunus
seraya menghela napas pendek. "Itulah sebabnya, mulai
esok hari kau tak bakal sudi melihatku lagi. Malahan,
seumpama aku tidak menahanmu, malam ini juga kau
ingin sekali meninggalkan rumahku."
Mendengar kata-kata Yunus, mendadak saja Lingga
W isnu merasa menjadi bingung. Itulah disebabkan,
semua perkataan Yunus benar belaka. Sulit ia mencoba
berkata : "Saudara Yunus, dalam h idupku, inilah yang pertama
kalinya, aku merasa benar-benar merantau. Kau bilang,
aku sebal melihat perangaimu. Memang, aku harus
membenarkan perkataanmu itu. Tadinya memang aku
sebal terhadapmu. Tetapi kini, tidak!"
"T idak" Kenapa?" Yunus menegas dengan suara
perlahan. Ia mengawasi Lingga W isnu dengan hati yang
cenas dan penuh selidik. "Sekarang aku tahu, apa sebab engkau bertabiat
aneh. Sekarang aku mengerti, apa sebab merasa diri t ak
dapat menguasai suatu rangsangan yang, datang dengan
sekonyong konyong. aku yakin hal itu terjadi lantaran
hatimu selalu diliputi perasaan duka-cita. Entah duka-cita
apa aku t ak tahu. Tetapi pasti begitu," kata Lingga W isnu
dengan suara yakin. Kemudian meneruskan dengan
suara hati-hati : 'Maukah engkau menceritakan kedukaan hatimu
kepadaku?" W ajah Yunus berubah. Tiba-tiba saja matanya
berlinangan. Cepat ia menundukkan kepala dan
membuang pandang. Sekian lamanya ia terpekur
mencoba menguasai diri. Setelah menegakkan kepalanya
kembali, ia menatap w ajah Lingga W isnu seraya berkata
perlahan : "Benar! Engkau seperti dewa peramal. Pandang
matamu seperti kuasa menembus kabut rahasia h idup.
Baiklah, aku akan menceritakan kepadamu segala
penderitaan batinku. Tetapi .... tetapi jangan-jangan
engkau lantas memandang rendah diriku, setelah
mendengar keadaan diriku."
"Meskipun aku masih muda, seumpama seorang, anak
yang belum pandai beringus, aku berjanji, bahwa hal itu
tak mungkin terjadi!" seru Lingga W isnu dengan suara
menyala-nyala. Beberapa saat lamanya, Yunus menatap wajah Lingga
W isnu, mencari keyakinan. Kemudian ia mengumpulkan
keberaniannya untuk mengabarkan riwayat hidupnya.
Katanya : "Baiklah, aku percaya kepadamu. Biarlah aku ceritakan
siapa diriku." Lingga W isnu membalas menatap wajah Yunus.
Dengan sungguh-sungguh ia menaruh perhatian dan siap
mendengarkan tiap patah kata yang membersit dari
mulut Yunus. "T atkala ibuku masih muda remaja, aku sudah
mengintip-int ip untuk lahir," Yunus memulai dan sesaat
kemudian meneruskan : "Maksudku, tatkala ibu masih remaja, ia kena
diperkosa oleh seorang laki-laki busuk. Dan akibat dari
perkosaan itu, lahirlah aku. Kakek tentu saja t idak tinggal
diam. Dengan berbekal kepandaiannya, ia melabrak
manusia busuk itu. Akan tetapi kakek kalah. Karena
penasaran, kakek mengumpulkan sepuluh orang t eman-
temannya. Dan barulah manusia busuk itu bisa terusir
dari rumah. Tetapi dengan demikian, aku jad i tak
mempunyai ayah lagi. Nah, tahulah engkau kini, bahw a
aku ini anak seorang manusia busuk. Hasil dari suatu
perkosaan. Sekarang hinalah aku!"
Lingga W isnu tahu, tabiat Yunus aneh. Tetapi tak
pernah menyangka, bahwa jalan p ikirannya aneh pula.
Maka buru-buru ia menjawab :
"Engkau sendiri tak dapat disalahkan. Kalau memang
harus ada yang disalahkan, haruslah si manusia busuk
itu." "Akh engkau hanya menghibur hatiku saja!" ujar
Yunus dengan suara dalam. "Seumpama engkau berada
diant ara sepuluh orang, yang sembilan orang berpikir
lain. Kata mereka, justru diriku adalah yang menyebabkan dan yang membuat ibu serta manusia
busuk itu terang nafsunya. Memang dihadapanku mereka
tak berani berkata begitu. Tetapi dibelakangku, mereka
mencemooh, mencaci dan mengutuk diriku. Merekapun
memaki-maki ibu pula."
m siapa mereka yang berani menghinamu dan
menghina ibumu?" seru Lingga W isnu dengan mata
menyala. "Baik, aku berjanji kepadamu hendak
membantumu menghajar mereka sampai jera. Manusia
jahil mu lut itu tidak pantas kita kasihani. Saudara Y unus!
Setelah mendengar kisah hidupmu, kini tiada lagi sisa
rasa sebal dan jemuku kepadamu. Dan demi Tuhan,
sekiranya engkau sudi menganggap diriku sebagai salah
seorang sahabatmu, aku pasti akan datang lagi
kepadamu dan bersedia menyertaimu ke mana engkau
pergi." "Oh, benarkah itu?" seru Yunus girang. Dan karena
rasa g irangnya, kedua matanya basah. Rasa haru
menyelinap ke dalam lubuk hatinya. Mendadak ia
meloncat bangun dan memeluk Lingga Wisnu. Kemudian
menandak-nandak kegirangan.
Menyaksikan lagak-lagu Yunus, Lingga W isnu tercengang. Ia kaget tatkala kena peluk. Lengan nya
empuk halus. Bau harum rambutnya, alangkah sedap.
Selagi demikian, Yunus menandak nandak. Mau tak mau,
ia tertawa geli juga. "Saudara Lingga, lihatlah. Aku begini girang. Kau t ahu
sebabnya?" Yunus seperti menguji
"Apakah karena aku bersedia menyertaimu ke mana
engkau pergi?" "Benar. Engkau berjanji dengar sungguh-sungguh,
bukan?" Yunus berhenti menandak. Ia menegas.
"T ak pernah aku berdusta terhadap siapapun. Guruku
sering berkata, bahwa untuk suatu janji, seorang laki-laki
harus berani mengorbankan diri sendiri. Kalau perlu, jiwa
dan hartanya," jawab Lingga W isnu dengan suara
meyakinkan. Sekonyong-konyong terdengarlah suara bergemeresak
dibawah gundukan. lingga W isnu melompat bangun dan
menoleh ke arah suara itu. Sesosok bayangan muncul
diant ara gerombol bunga. Terdengar dia mendengus
menngerendengi : "Hmm, dimalam buta kamu mengadakan pertemuan.
Ouh!" Bayangan itu berperawakan jangkug kurus. Siapa lagi,
kalau bukan Sondong Rawit" Wajahnya guram. Ia berdiri
sambil bertolak pinggang. Terang sekali, ia dalam
keadaan marah. Yunus terkejut. Tetapi begitu mengenal bahw a orang
itu adalah Sondong Rawit, segera ia menegur dengan
kata-kata pedas : "Kau sendiri keluyuran sampai di sini. Kenapa?"
"Kau jawablah pertanyaanmu sendiri!" sahut Sondong
Rawit. "Aku sedang bergadang menikmati bulan purnama
dengan saudara Lingga. Apa salahnya?" jawab Yunus
cepat. "Dia berada di sin i karena aku undang. Sebaliknya
engkau" Siapa yang mengundangku" Coba bilang!
Bukankah siapa saja tahu bahw a kalian aku larang


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasuki wilayah ini" Di dunia in i, kecuali ibu, siapapun
tak diperkenankan memasuki petamananku. Paman
Cocak Rawa sendiri yang menetapkan undangundangnya.
Kenapa sekarang engkau berani melanggarnya?" Sondong Rawit mendengus. Sambil menuding Lingga
W isnu, ia berkata : "Dan dia" Kenapa dia datang ke mari?"
"Bukankah telingamu tadi sudah mendengar" Dia
datang ke mari karena aku undang! Berani engkau
mencampuri urusanku?" bentak Yunus.
Tak enak hati Lingga W isnu menyaksikan pertengkaran mulut itu, lantaran dirinya. Segera ia
menengahi : "Aku kira, sudah cukup kita begadang menikmati
cerah bulan. Biarlah aku mengundurkan diri saja."
"T idak! Jangan pulang dahuki!" Yunus mencegah.
Lingga W isnu yang sudah berdiri, lalu duduk kembali
di tempat semula. Ia melihat muka Sondong Rawit
semakin muram. Meskipun dia tak berani membant ah
kata-kata Yunus, namun jelas sekali hatinya mendongkol.
"Bunga yang aku tanam di sin i adalah hasil jerih
payahku sendiri. Bunga tanamanku sendiri boleh aku
cabuti, atau aku jual atau aku pertontonkan kepada
orang lain." ujar Yunus dengan dengan suara galak.
"Siapapun tak dapat mengingkari hakku itu. Sekarang,
aku larang engkau menonton bunga-bungaku! Kau
dengar?" "Tetapi, aku terlanjur melihat semua tanaman
bungamu." kata Sondong Rawit kekanak kanakan,
"Hanya saja, aku belum pernah menciumnya. Sekarang,
biarlah aku menciumnya.1'
"T ak boleh! Tak boleh!" Yunus melarang menjerit-jerit.
Kali in i Sondong Fawit berani manbangkang. Ia
menghampiri serumpun bunga mawar, lalu menciumi
bunganya. Meluap amarah Yunus. Serta-merta ia meloncat dari
tempatnya. Sekali melesat ia menyambar tangkai bunga
itu, lalu dicatutnya. Setelah dilemparkan ke tanah, ia
mencabut yang lain. Demikianlah sampai t iga-empat kali.
"Kau menghina aku! Kau menghina aku!" Yunus
menjerit-jerit. "Kenapa kau cium bungaku" Biar aku
cabuti saja. Biar kau dimarah i paman. Bukankah kau
tahu, siapa saja aku larang melihat bungaku. Kenapa kau
malahan menciumi" Biar semuanya aku cabuti saja ..."
Tiba-tiba ia lantas menangis menggerung-gerung
sambil mencabuti tanaman bunganya, hebat sepakterjangnya. Seperti tadi, ia
mengamuk. Rumpun-rumoun bunga mawar yang telah dicabutnya dilemparnya ke
tanah asal jadi saja. Sebentar kemudian, taman
bunganya telah menjadi rusak.
Lingga W isnu tak dapat mencegah. Ia seperti tergugu
melihat watak Yunus. Tanaman bunganya, benar-benar
dicabut i semua. Tangkainya jadi berserakan dan
bertebaran seperti jerami.
"Nah, kau sekarang puas, bukan?" jerit Yunus.
Sondang Rawit tetap gusar. Akan tetapi dia bungkam.
Melihat kurang-lebih empatpuluh batang bunga mawar
tercabut berserakan, ia memut ar tubuh dan berjalan
dengan penasaran. Tatkala hendak menuruni gundukan,
ia menoleh dan berkata: "Aku selalu bersikap baik t erhadapmu. Kenapa engkau
perlakukan aku begini rupa" Coba pikir baik-baik. Engkau
mmpunyai budi pekerti tidak?"
Yunus masih menangis. Jawabnya pedas :
"Siapa mint a kau bersikap baik kepadaku" Jika engkau
tak senang melihatku, mengadulah kepada paman!
Suruh dia mengusirku dari sini! Malam ini, aku akan tetap
berada di sin i dengan saudara Lingga! Nah, adukanlah
hal in i kepada paman. Sama sekali aku tidak t akut."
Sondong Rawit menghela napas. Ia menundukkan
kepala. Hatinya pedih bukan main. Dengan berdiam diri,
ia menuruni gundukan. Setelah bayangan Sondong Rawit hilang dari
pengamatan, Yunus kembali memasuki paseban dan
duduk disampirg Lingga W isnu. Kedua pipinya basah
kuyup oleh air mata. "Kenapa sikapmu begitu keras kepada kakakmu
sendiri?" t anya lingga W isnu.
"Dia bukan kakak kandungku" sahut Yunus diant ara
sedu-sedannya. "Ibuku, puteri eyang Dandang Mataun.
Dan dia, anak pamanku yang menguasai rumah eyang.
Dia kakak misanku. Akh, seumpama aku mempunyai
ayah, pastilah aku tidak tinggal di rumah in i. Dengan
mempunyai rumah sendiri, tak bakal aku dihina orang."
Berkata demikian, tangis Yunus kian menjadi-jadi.
Lingga W isnu tetap belum mengerti perangai dan
tabiat Yunus yang aneh. Jalan pikirannya sukar
dimengerti. Pikirnya di dalam hati
'Rumah ini adalah rumah eyangnya. Kini di kuasakan
kepada pamannya. Bukankah tetap satu keluarga"
Kenapa dia merasa dihina keluarga pamannya"' berpikir
demikian, ia mencoba berkata:
"Aku lihat dia bersikap baik.kepadamu. Engkaulah
yang terlalu galak terhadapnya."
Yunus mengangkat kepalanya. Tiba-tiba ia tertawa.
Sahutan : "Sekiranya aku tidak bersikap galak kepadanya,
pastilah d ia bakal memperlakukan aku yang bukanbukan."
Jawaban Yunus aneh bagi pendengaran Lingga Wisnu.
Lagak-lagunyapun bukan manusia lumrah pula Dia b isa
menangis menggerung-gerung dan tertawa riang dengan
mendadak. Inilah tanda-tanda manusia berbahaya!
W alaupun demikian. Karena Y unus seorang yatim seperti
dirinya, hatinya bersimpati padanya.
"Ayahku juga mati kena aniaya orang seperti
ayahmu." kata Lingga W isnu menghibur. 'Yaktu itu, aku
baru berumur tujuh atau delapan tahun. Ibuku mati pula
pada hari itu." "Apakah engkau sudah menuntut balas?" Yunus
menegas. "Sampai hari ini, aku belum memperoleh kesempatan
untuk.." "Kalau begitu catatlah namaku dalam hatimu! Bila
engkau hendak menuntut balas, dengan seluruh hatiku,
aku akan membantumu," potong Yunus dengan suara
prihatin. "T ak perduli musuhmu sangat tinggi ilmu
kepandaiannya, aku akan membantumu."
Mendengar ucapan Yunus, Lingga W isnu geli
tercampur terharu. Tadinya, ia hendak menghibur dan
memberi seri-tauladan, betapa sikapnya terhadap
pembunuh-pembunuh ayah-bunda serta saudaranya.
Bahwasanya, meskipun hati berdendam sedalam lautan,
tidak boleh mengumbar adat seenaknya sendiri. Tetapi
sekarang, dia justru dihibur Yunus, malah. Tak terasa
terloncatlah kata-katanya :
"Saudara Yunus, aku sangat berterima kasih
terhadapmu." Yunus memegang pergelangan tangan Lingga W isnu.
Dan pemuda itupun membalas pasangannya. Sedang
Yunus tak menolak. Ia membiarkan tangannya kena
tekap. "Dalam hal tata-berkelahi, aku kalah beberapa puluh
kali lipat dari padamu." katanya. "Akan tetapi mengenai
sikap h idup di dalam pergaulan, rupanya engkau belum
berpengalaman banyak. Dikemudian hari, aku perlu
menyumbangkan pertimbanganku.'
"Akh, kau baik sekali kepadaku," Lingga W isnu kini
benar-benar terharu. "Selama hidupku belum pernah aku
mempunyai seorang teman seusiamu."
"Benar begitu" Tetapi tabiatku sangat buruk." Yunus
mengaku dengan menundukkan kepalanya. "Y ang aku
khawatirkan, jangan-jangan dikemudian hari, aku
berbuat kesalahan terhadapmu ..."
"Aku kenal tabiatmu, semenjak pertemuan kita yang
pertama," sahut Lingga W isnu. "Seumpama engkau
melakukan kesalahan terhadapku, tidak akan aku
rasukkan ke dalam hatiku benar-benar."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, Yunus bersyukur
bukan main, sampai ia menghela nafas lega. Tiba-tiba,
diluar dugaan ia berkata :
"Tetapi justru demikian, hatiku merasa t ak tenang."
"Mengapa?" Yunus tak menjawab. Ia makin menundukkan
kepalanya. Dan melihat sikap sahabatnya itu maka
Lingga W isnu semakin heran. Kenapa sahabatnya kali ini
begitu lembut" Kebengisan serta kegalakannya lenyap
sama sekali dari perbendaharaan hatinya.
"Saudara Yunus," kata Lingga W isnu dengan suara
bergetar. "Sebenarnya ingin aku mengajakmu berbicara.
Tetapi ... entah kau sudi mendengarkan atau tidak?"
Yunus menegakkan pandangnya lagi. menjawab
meyakinkan: "Di dalam dunia ini, hanya tiga orang saja yang aku
dengar perkataannya. Yang pertama ibuku, kedua
pamanku Cocak Rawa dan yang ketiga, ialah ... engkau!"
Hati Lingga W isnu semakin tergerak. Berkata :
"Terima kasih. Kau tenyata menghargai diriku terlalu
tinggi. Sebenarnya, perkataan siapapun, asal saja pant as
harus kau dengar." "T idak!" Yunus menolak dengan tegas. "Dalam dunia
ini, tiada suatu kewajiban yang berbunyi begitu. Seorang
yang berbicara terlalu pant as, biasanya banyak ulatnya.
Sebab, kata-kata belum tentu membawa sikap dirinya Sebaliknya, seseorang yang
memberlakukan diriku sangat baik dan akupun berkenan padanya, meskipun
kadangkala kata-katanya tidak pantas, akan tetapi aku
dengarkan perkataannya. Sebaliknya, bila hatiku jemu
terhadapnya, meskipun kata-katanya pantas didengar,
aku akan tetap bersikap tuli
Lingga W isnu tertawa geli. Ujarnya :
"Saudara Yunus. Cara berpikirmu masih kekanakkanakan. Sebenarnya, berapa umurmu
kini?" "Delapan atau sembilan belas t ahun Dan kau?"
"Mungkin lebih tua tiga atau empat tahun,"
Yunus menundukkan kepala. W ajahnya mendadak
bersemu merah. Katanya dengan suara perlahan :
"Semenjak kanak-kanak aku hidup sebatang-kara
dengan ibu. Tiada mempunyai kakak maupun adik.
Bagaimana kalau kita mengangkat saudara saja" Maukah
engkau menerimaku sebagai ..."
Lingga Jlsnu seorang pemuda cermat, lantaran
digodok oleh pengalamannya yang nahit semenjak belum
pandai beringus'. Itulah sebabnya, tak dapat ia menerima
Yunus dengan segera. Ia belum kenal Yunus sedalamdalamnya. Juga ibunya maupun
keluarganya. Tercetaklah dalam ingatannya siang tadi, bahwa keluarga Yunus
merupakan musuh penduduk. Oleh pertimbangan itu, ia
jadi berbimbang-bimbang. Yunus ternyata perasa. Ia seperti dapat meraba
keadaan hati Lingga w isnu. Terus saja ia berputar t ubuh
dan lari menuruni tanjakan. Keruan saja, Lingga W isnu
jadi terkejut. Cepat ia memburu. Dan dalam sekejab saja
bayangan Yunus nampak sudah mulai mendaki bukit
yang berada di sebelah depan.
'Dia mudah tersinggung, lantaran tabiatma keras dan
aneh. Akh, tak boleh aku mengecewakan hatinya. Dia
bisa bersakit hati. Dan kalau sampai hatinya merasa aku
lukai, jangan-jangan ..' pikir Lingga W isnu sambil
memburu. Ia khawatir, Yunus akan nekat bunuh diri
terjun ke dalam jurang. Menilik adatnya yang aneh dan
sukar di duga, bukan mustahil ia b isa berbuat begitu.
Oleh pikiran itu segera ia menggunakan ilmu sakti Maya
Putih warisan Ki Ageng Gumbrek. Dalam beberapa
lint asan saja, ia sudah dapat mendahului. Kemudian
berdiri menghadang. Benar saja dugaannya. Yunus berusaha mengelakkan
hadangannya dengan nyelonong ke sebelah kiri. Cepat
Lingga W isnu melcmpat menghadang kembali sambil
berseru: "Adikku Yunus! Kau marah padaku?"
Mendengar Lingga W isnu memanggil adik kepadanya ,
Yunus girang bukan kepalang. Serentak ia berhenti.
Kemudian duduk bersimpuh dan perlahan-lahan menegas
dengan hati-hati: "Benarkah engkau sudi memanggil adik kepadaku"
Bukankah diriku tidak cukup berharga untuk kau panggil
demikian?" "Kapan aku tidak menghargaimu?" sahut Lingga W isnu
terharu. "Mari! Di tempat ini kita saling mengangkat
saudara. Kau sudi bukan?"
Terus saja Yunus bangkit dan berdiri tegak. Kanudian
masing-masing mengiris kulit pergelangan tangannya
sampai keluar darah. Setelah itu, mereka memanunggalkan darah mereka masing masing dengan
memipitkan pergelangan tangan.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan disaksikan oleh Bumi, Bulan cemerlang dan
langit, mereka bersumpah sebagai saudara seia-sekata.
Berbareng mereka mencium bumi tiga kali. Lalu, Lingga
W isnu memanggil adik kepada Yunus. Dan Yunus
mencium kedua lutut Lingga W isnu dan menyebut kakak
kepada pemuda itu. Perlahan suaranya, lantaran hatinya
terharu. Lingga W isnu mundur untuk memberi hormat pula.
Sahutnya : "Selanjutnya, aku akan menanggil namamu saja, agar
hati kita terasa lebih dekat. Setuju?"
Yunus tersenyum. Ia memanggut. Jawabnya:
"Sekehendakmulah. Kau panggil diriku apa saja, aku
akan patuh kepadamu."
Lega hati Lingga W isnu. Kemudian ia mengajak
pulang, karena hari sudah larut malam. Yunus tak
membantah. Ia kembali kepaseban mengambil guci
tuaknya, dan mengembalikan kecapi ketempat semula.
Setelah itu dengan berendeng mereka berjalan pulang.
Sampai didepan pintu kamar, Lingga W isnu berpesan :
"Jangan sampai ibu terbangun. Sebaiknya kita tidur
disin i saja." Mendengar ucapan Lingga W isnu, w ajah Yunus merah
dengan mendadak. Ia tertawa manis seraya menolak
tangan Lingga W isnu. Katanya:
"Kau ... kau ... sampai besok pagi!" dan setelah
berkata demikian, ia lari keluar.
"Aneh!" Lingga W isnu tercengang. Seperti biasanya,
pada keesokan harinya, Lingga W isnu bangun pada pagi
buta. Ia bersemedi dahulu agar memperoleh suatu
kesegaran dalam dirinya. Satu jam kemudian, Sekarwati
muncul mengantarkan ia air hangat. Cepat ia melompat
dari pembaringan sambil mengucapkan terima kasih. Dan
setelah mencuci muka, makan pagi segera tersedia dihadapannya. Dan selagi makan,
Yunus muncul diamibang pint u memasuki kamarnya.
"Mari k ita makan pag i bersama,'' Lingga W isnu segera
menawari. Yunus tertawa. Sahutnya :
"Terima kasih. Apakah kangmas akan melihat suatu
keramaian?" "Keramaian apa?" Lingga Wisnu heran.
"Seorang gadis datang pada pagi hari buta tadi untuk
menagih emas. mari kita lihat!"
Sebenarnya Lingga W isnu ingin mint a keterangan
tentang kata-kata 'menagih' itu. Tetapi karena Yunus
sudah mengajaknya, ia lantas mengangguk. Katanya :
"Baik ..." Berdua mereka memasuki sebuah gedung yang
mempunyai ruangan olah raga: Di ruangan itu mereka
melihat seorang gadis sedang bertempur melawan
Sondong Rawit. Dan dua orang duduk diatas kursi di luar
gelanggang. Yang seorang bersenjata sebatang tongkat,
dan lainnya bertangan kosong.
Yunus menghampiri orang yang bersenjata tongkat. Ia
berbisik, dan orang itu menoleh kepada Lingga W isnu.
Ternyata dia seorang yang sudah berusia lima puluhan
tahun lebih. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah
banyak ubannya. Ia menatap Lingga W isnu beberapa
saat lamanya dengan penuh perhatian, kemudian
memanggutkan kepalanya. Lingga W isnu hanya membalas memandang beberapa
detik. Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada gadis
yang sedang bertempur melawan Sondang Rawit. Ia
seorang gadis berumur sembilan belas tahunan.
Parasnya cant ik sekali. Gerak-geriknya gesit. Pakaiannya
berwarna merah. Diam-diam Lingga W isnu mencoba menduga-duga
siapakah gadis itu. Setelah pertempuran berlangsung sepuluh jurus, hati Lingga YMsnu tercekat. Ia melihat suatu
gerakan pedang yang sangat dikenalnya. Ujung pedang itu menyambar pundak Sondong Rawit. Lalu dengan tiba-tiba berobah sasaran menikam leher. Inilah gerakan salah satu jurus ajaran gurunya, Kyahi Sambang Dalan!
Mereka berdua memang bertempur dengan menggunakan senjata. Gadis itu berpedang. Dan
Sondong Rawit bergolok. Masing-masing nampak mahir
sekali menggunakan senjata andalannya Tadi gadis itu
menyambar pundak. Sondong Rawit segera menangis
dengan mengadu tenaga. Dan kena tangkisan Sondong
Rawit, pedang gadis itu terpental. Justru pada saat itu,
mendadak pedangnya menikam leher. Sondong Rawit
kaget samoai me lesat mundur tiga langkah Namun gadis
itu tak sudi memberi waktu bernapas. Gesit sekali ia
melejit. Sebelah tangan dan kedua kakinya sama-sama
bekerja saling menyusul. Menyaksikan hal itu, Lingga
W isnu berbimbang-bimbang. Inilah bukan jurus ajaran
gurunya. Pikir Lingga W isnu :
'Tetapi, bagaimanapun juga, dia musti pernah
menerima jurus-jurus ajaran guru. Setidak-tidaknya,
termasuk golongan guru. Jangan-jangan dia murid salah
seorang saudara seperguruanku Sekiranya dia tidak
memiliki ilmu pedang itu takkan mungkin ia bisa
membuat Sondong Rawit benar-benar rapat dan kuat
sekali.' Gerak-gerik gadis itu memang cepat dan gesit.
Pedangnya, berkelebatan, namun dibandingkan dengan
kepandaian Sondong Pawit, ia masih kalah ulet . Tak
perduli pedangnya garang bagaikan jari maut, namun dia
bukan tanding Sondong Rawit. Lingga W isnu melihat,
dalam beberapa gebrakan lagi, gad is itu akan segera
terangsak. Dan ternyata penglihatannya memang tepat.
Beberapa jurus kemudian, Sondong Rawit yang sudah
tenang kembali, mulai melancarkan serangan serangan
yang berbahaya. Dan gadis itu mundur selangkah
dengan berputaran. "Hmm," dengus Yunus. "Dengan bekal kepandaian
begitu, sudah berani main labrak kesini." Yunus tertawa
tawar. Lalu katanya lagi :
"Dia bukan tanding kakak misanku. Bagaimana.
menurut pendapatmu?"
Lingga W isnu belum menjawab atau ia melihat
berkelebatnya babatan golok Sondong Rawit yang
berbahaya sekali. W aktu itu, gerakan lawan nya mulai
kendor. Itulah kesempatan sebagus-bagusnya bagi
Sondong Rawit untuk memperkembangkan ilmu goloknya. Setelah merangsak beberapa kali, goloknya
bergerak melint ang. Dan gadis itu terancam pinggang
dan lengannya sekaligus. Hati Lingga W isnu tercekat. Melihat suatu kegentingan, tanpa berpikir tunjang lagi ia melompat ke
gelanggang. Kedua tangannya menyekat garis tengah.
Itulah berbahaya sekali, karena kedua-duanya sedang
mengayunkan senjatanya. Yunus yang menyaksikan hal
itu, memekit kaget. Dan kedua orang t ua yang berada di
luar gelanggang meloncat bangun. Namun, baik Yunus
maupun kedua orang tua itu, tak berdaya lagi untuk
menolong Lingga W isnu terhindar dari bahaya.
Lingga W isnu sudah barang tentu sadar akan ancaman
bahaya itu. Tapi pada detik yang menentukan tangan
kanannya menolak serangan Sondong Rawit dengan
perlahan. Dan tangan kirinya menangkap pergelangan
tangan sigadis dengan perlahan pula. Berbareng dengan
gerakan itu ia mengendapkan diri. Dengan demikian,
terbebaslah dirinya dari ancaman maut.
Gerakan Lingga W isnu nampaknya sederhana saja.
Hanya akibatnya diluar dugaan siapapun. Tatkala
mengendapkan diri, ia menggempur tekanan tenaga
mereka berdua dengan ilmu saktinya yang lunak. Begitu
terpotong, baik pedang maupun golok, gagal mencapai
sasaran. Dalam keadaan demikian, Lingga W isnu bisa
leluasa merampas senjata mereka. Namun ia t ak berbuat
begitu, karena khawatir akan menyinggung kehormatan
diri Sondong Rawit. Sebaliknya, karena gerakan ilmu
saktinya utuh, kuda-kuda mereka berdua kena digempur
sampai mundur sempoyongan dua atau tiga langkah.
Keruan saja mereka kaget sampai memekik tertahan.
Setelah bisa memperbaiki diri, mereka menjadi gusar
dengan alasannya masing-masing.
Malahan, hati Sondong Rawit memang sudah dengki
terhadap Lingga W isnu. Di depan adik misannya, harga
dirinya runt uh. Ia malu sekali sampai tak bisa pejamkan
mata satu malam sunt uk. Sekarangpun dirinya dilakukan
sangat ringan dihadapan adik misannya itu. Malahan
kedua orang tua yang berada di luar gelanggang pula.
Tak mengherankan, hatinya menjadi panas
Sebaliknya, gadis itu gusar lantaran mengira Lingga
W isnu membantu Sondong Rawit. Menuruti kata hati,
ingin ia menggerakkan pedangnya. Tetapi segera
sadarlah dia bahw a kepandaian pemuda itu sangat
tinggi. Maka dengan terpaksa ia mengendalikan
rangsangan hati. Kemudian mundur dua langkah dan
hendak mengangkat kaki. "Nona, tunggu!" seru Lingga W isnu. "Ingin aku
berbicara denganmu."
"T ak dapat aku melawanmu," balas gadis itu diant ara
rasa gusarnya. "T etapi seseorang berkepandaian sekian
kali lipat tingginya dariku akan datang mengambil
emasnya kembali. Mau berbicara apa lagi?"
Lingga W isnu maju selangkah seraya membungkuk
hormat. Sahutnya : "Jangan engkau menuruti kata hati saja, bersabarlah
sedikit. Sebenarnya, siapakah namamu" Bolehkah aku
..." "Ih .. " Dan gadis itu meludah di lantai. "Tak tahu
malu!" dengan sekali loncat, ia sudah keluar pintu
Lingga W isnu segera mengejarnya. Akan tetapi, ia
membiarkan gadis itu mencapai serambi depan dahulu.
Kemudian dengan sekali menjejakan kaki, ia melesat
bagaikan bayangan. Tahu-tahu ia sudah menghadang di
depan gadis itu. Katanya setengah berbisik :
"Sst! Jangan pergi dulu! Aku akan membantumu ..."
Gadis itu tercengang sampai menghentikan langkahnya. Sambil menatap wajah Lingga W isnu, ia
menegas : "Siapa kau.?" "Aku Lingga!" Gadis itu mengerutkan dahinya. Ia menatap wajah
Lingga W isnu dengan tajam. Menguji :
"Kau kenal paman gagu?"
Mendengar pertanyaan itu, Lingga W isnu mengigil.
Siapa lagi yang disebut paman gagu itu, kalau bukan
paman Ganjur" Terus saja ia memperkenalkan nama
lengkapnya : "Aku Lingga W isnu. Bukankah engkau Suskandari?"
Mendadak saja, w ajah gadis itu berseri- seri. Oleh rasa
girang, ia lupa diri. Terus saja disambarnya tangan
Lingga W isnu dan ditariknya mendekat. Serunya :
"Benar! Aku Suskandari! Benar benarkah engkau
kakang Lingga W isnu?" tetapi setelah mengucap
demikian, justru ia tersadar. Dengan wajah merah, ia
melepaskan pegangannya. Tepat pada saat itu, terdengarlah suara Sondong
Rawit : "Akh, aku kira siapa engkau, saudara Lingga. Kiranya,
engkau mata-mata Said atau Mangkubumi yang
merembes ke mari ..."
Lingga W isnu tercengang. Memang, ia mengenal nama
Mangkubumi dan Raden Mas Said. Ia mengagumi
kegagahan mereka. Tetapi kalau dia kin i datang ke
rumah keluarga Dandang Mataun atas nama kedua
pahlawan itu, sama sekali tidak benar. Maka berkatalah
dia memberi keterangan : "Aku memang kenal nama mereka berdua. Aku kenal
pula panglima Sengkan Turunan. Tetapi tak benar
apabila aku dikatakan mata-mata mereka. Mengapa
saudara bisa menuduhku demikian" Apakah karena aku
kenal gadis ini" Dialah sahabatku semenjak kami masih
kanak-kanak. Sepuluh tahun lebih kami berdua tak
pernah bertemu pandang. Sekarang, bolehkah aku mint a


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterangan kepadanu, apa sebab engkau bentrok dengan
sahabatku ini" Bagaimana pendapatmu, manakala aku
memberanikan diri, untuk mendamaikan perselisihan
kalian berdua?" "Apabila emas yang aku minta bisa diserahkan,
barulah persoalan selesai," sahut Suskandari.
"Hnm! Begitu gampang?" dengus Sondong Rawit.
"Saudara Sondong Rawit, mari aku perkenalkan ..."
Lingga W isnu mencoba meredakan ketegangan! "Dia
bernama Suskandari. Seperti kataku tadi, semenjak
kanak-kanak kami berdua pernah hidup dibawah satu
atap. Sampai pada hari in i, lebih dari sepuluh tahun
lamanya, kami tak pernah bertemu. Mari, aku
perkenalkan ..." Sondang Rawit t etap bersikap dingin. Ia memandang
Suskandari dengan pandang tegang. Dan menyaksikan
hal itu, hati Lingga Wisnu menjadi t ak enak Buru-buru ia
mengalihkan pembicaraan. Katanya kepada Suskandari :
"Bagaimana engkau segera mengenal diriku?"
"T anda bekas luka di dahimu sebelah kanan!
"T anda bekas luka?" Lingga W isnu meraba dahinya
dengan tercengang,. "Bagaimana aku bisa melupakan peristiwa dahulu itu,
tatkala engkau dilukai penculik ketika ia mencoba
melarikan aku. Seumpama engkau tidak berusaha
menolong diriku dengan mati-matian, entahlah akibatnya. Apakah peristiwa itu tak pernah terkenang lagi
olehmu?" Merah wajah Lingga W isnu. Sambil menurunkan
tangan dari dahinya, ia menyahut :
"T ak mungkin aku lupa. Bukankah kita sedang
bermain-main?" Yunus yang selama itu mendengarkan pembicaraan
mereka, tiba-tiba menimbrung :
''Kalau masih hendak berbicara, berkepanjangan lagi,
masuklah ke dalam!" Akan tetapi Lingga W isnu tidak menggubris Gelisah ia
mint a keterangan kepada Suskandari :
"Sebenarnya, bagaimana asal mulanya engkau sampai
bentrok dengan saudara Sondong Rawit?"
"Aku dan kakang Puguh kena pegat," Suskandari
memberi, keterangan. "Puguh?" Lingga W isnu memotong dengan terperanjat. 'Maksudnu, Aria Puguh, guruku" Puguh yang
dahulu berada di rumahmu dalam keadaan luka berat"
Masih ingatkah engkau, tatkala mula-mu la aku datang ke
rumahmu" Bukankah aku datang dengan seorang lakilaki" Dialah Aria Puguh. Aku
memanggilnya paman. Apakah dia yang kau sebut kakang Puguh?"
"Bukan! Bukan paman kita Aria Puguh dahulu. Tetapi
keponakannya." Suskandari memberi keterangan. "Namanya Puguh juga. Lengkapnya: Puguh Harimawan.
Kami berdua mendapat t ugas mengawal sejumlah emas
bekal belanja laskar Panglima Sengkan Turunan, Di
tengah jalan kita kena pegat seorang jahat. Dialah
orangnya!" Suskandari menuding Yunus. Sekarang, barulah jelas
bagi Lingga W isnu, bahwa uang emas rampasan Yunus,
sesungguhnya milik laskas Panglima Sengkan Turunan.
Ia pernah melihat Panglima itu, t atkala datang bersama
gurunya, Aria Puguh, di lereng gunung Merbabu, sebagai
utusan Raden Mas Said. Aria Puguh adalah seorang
perwira kepercayaannya. Sekarang, uang perbekalannya
kena rampas. Sudah semestinya ia t ak akan tinggal diam.
Jangan lagi terhadap kedua orang yang sangat dia
hormati itu. Seumpama uang emas itu milik Suskandari
atau ibunya, dalam keadaan demikian, ia akan berpihak
padanya. Sekalipun terhadap Yunus. Lagi pula, uang
emas itu pasti sangat penting untuk perbekalan laskar
Panglima Sengkan Turunan. Bisa jadi merupakan
perbekalan yang menentukan timbul-tenggelamnya suatu
perjuangan. Bukankah Panglima Sehkan Turunan adalah
seorang Panglima Raden Mas Said yang sedang bangkit
melawan Kompeni Belanda beserta begundalnya" Karena
itu, sudah semestinyalah kalau ia membantunya.
Setelah memperoleh keputusan demikian, ia berkata
kepada Yunus : "Adik, maukah engkau mengembalikan uang emas itu
kepadanya?" "Hem!" Yunus mendengus. "Menghadaplah sendiri
kepada kedua pamanku itu. Ajaklah beliau berbicara."
Mendengar syarat itu, Lingga W isnu segera menghampiri. Karena dia sudah menjadi saudara angkat
Yunus dan ternyata kedua orang itu adalah pamannya,
maka tiada jeleknya bila ia membungkuk hormat kepada
mereka. Demikianlah, setelah berhadap-hadapan, Lingga
W isnu berjongkok, dan hendak bersembah.
Orang tua yang memegang tongkat berseru cepat :
"Hei! Tak berani aku menerima sembahmu pemuda,
kau bangunlah!" Di mulut dia berbicara demikian manis. Tetapi setelah
menyandarkan tongkatnya pada sandaran kursi, dengan
tangannya dia memegang bahu Lingga W isnu. Kemudian
diangkatnya sambil mengerahkan himpunan tenaga
saktinya Lingga W isnu terperanjat tatkala kena angkat orang
tua itu. Apabila membiarkan diri, ia akan t erlempar tinggi
di udara. Maka segera ia mengerahkan ilma saki 'Mundi',
agar badannya jadi seberat gunung. Dengan menggunakan ilmu sakti pemberat badan itu, ia berbasil
menyembah dengan tubuh tak bergeming.
Di dalam hati, orang tua itu kaget. Pikirnya didalam
hati : 'Hebat bocah ini! Sekian puluh tahun aku melatih
menghimpun tenaga sakti. Namun masih tak sanggup
aku mengangkat tubuhnya.' Ia lantas tertawa berkakakan
seraya ia berkata : "Selamat, selamat! Pantas, keponakanku memujimu
sebagai seorang pemuda, yang memiliki ilmu sakti t inggi.
Benar-benar tak tercela. Aku membuktikan sendiri."
Yunus yang berada di belakang Lingga Wisnu maju ke
samping. Berkata memperkenalkan :
"Inilah pamanku yang ketiga. Namanya Cocak Rawa.
Dan dia, pamanku yang kelima. Aku memanggilnya
Cocak Ijo," Yunus menuding kepada orang tua yang
bertangan kosong. Baik Cocak Rawa maupun Cocak Ijo membungkam
mulut . Mereka seperti tak senang, diperkenalkan
namanya kepada Lingga W isnu. Pemuda itu menjadi
perasa. Diam-diam ia mendongkol. Katanya di dalam
hati: 'Kalian memang keluarga terhormat Tetapi ayahbundaku masakan lebih rendah
daripada kalian"' Namun
ia seorang pemuda yang pandai membawa diri. Segera ia
menoleh kepada Yunus. Berkata dengan suara tegas :
"Aku mint a dengan hormat, agar emas itu segera kau
kembalikan kepada adikku!"
"Adik! Adik! Adik!" Yunus jadi dengki. Ia lalu
menambahkan : "Selalu saja kau sebut dia adikku. Begitu besar
perhatianmu kepadanya! Mengapa aku tak memperoleh
perhatianmu yang layak?"
"Adikku Yunus! Kita semua adalah golongan ksatrya,
kalau tak mau disebut sebagai golongan pendekar.
Jangan engkau bergurau keterlaluan," kata Lingga W isnu
tak memperdulikan ocehan Yunus. "Emas itu kau
rampas, karena engkau tidak mengetahui siapa
pemiliknya. Tak apalah! Siapapun bisa berbuat salah.
Dan hidup ini cukup lapang untuk memaafkan
kesalahanmu itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa uang
emas itu adalah milik laskar Panglima Sengkan T urunan,
sudah semestinyalah kau kembalikan dengan segera.
Malahan kita wajib mohon maaf sebesar-besarnya."
Cocak Rawa dan Cocak Ijo jadi tak enak hati T adinya
mereka mengira, bahw a uang emas itu milik seorang
saudagar besar yang sedang sial T ak tahunya uang emas
itu, milik laskar Panglima Sengkan Turunan. Mereka
kenal baik siapa Panglima Sengkan T urunan. Ia seorang
Panglima yeng besar pengaruhnya. Sekarang sudah
mereka ketahui, bahwa uang emasnya berada di
keluarga Dandang Mataun. Seumpama gadis itu bisa
diusirnya pergi, Panglima Sengkan Turunan bisa
mengirimkan laskarnya Siapa yang mampu menghadapi
laskar yang jumlahnya mungkin ribuan orang"
Inilah ancaman yang sangat membahayakan kesejahteraan keluarga Dandang Mataun.
Memperoleh pertimbangan demikian, kambali Cocak
Rawa tertawa berkakakan. Lalu ia berkata kepada Yunus:
"Anakku, demi persahabatanmu dengan dia, kau
kembalikanlah uang emas itu!"
Girang hati Lingga W isnu mendengar perint ah Cocak
Rawa. Inilah suatu keputusan yang bijaksana. Di luar
dugaan, Yunus menyahut galak :
"T idak paman! Tak dapat aku kembalikan uang emas
itu!" Lingga W isnu tercengang. Tiba-tiba suatu ingatan
menusuk benaknya. Segera ia berkata :
"Oh, ya. Yang sebagian memang berada padaku.
Biarlah aku mengembalikannya dahulu kepadanya.
Bagaimana?" "Jika yang sebagian engkau kehendaki, pada saat ini
juga akan kuserahkan." ujar Yunus. "Selamanya tak
pernah aku menganggap sebungkus emas sebagai
barang mustika dunia. Tetapi kalau dia yang menghendaki aku mengembalikan uang emas yang t elah
aku rampas, hmm. Tak sudi aku menyerahkannya ..."
berkata demikian Yunus menuding Suskandari dengan
mata berapi-api. Suskandari menjadi gusar. Ia maju se langkah dan
berkata bengis : "Engkau mau mengembalikan atau t idak" Atau engkau
ada syarat-syarat tertentu" Sebutkan!"
Yunus tak menghiraukan reaksi Suskandari Masih saja
ia menatap Lingga W isnu Menegas kepada pemuda itu :
"Sebenarnya engkau berpihak di mana" Dia atau aku?"
Memperoleh pertanyaan demikian, Lingga W isnu jadi
berbimbang hati. Hati-hati ia menjawab:
"Sebenarnya aku tidak memihak siapa pun. Hanya
saja, aku patuh kepada guruku."
"Gurumu" Siapa gurumu?"
"Guruku salah seorang perwira pent ing dalam laskar
Panglima Sengkan Turunan'."
"Hmml" dengus Yunus mendongkol. "Pulang balik,
engkau hanya membantu dia. Baiklah, emas itu memang
berada di sini. Tetapi engkau sendiri tahu, betapa
sulitnya aku mempertahankannya. Malahan kalau tidak
bernasib baik dan berakal jitu, pastilah jiwaku sudah
melayang di tengah perjalanan. Karena aku memperoleh
emas itu dengan akal dan keringat, maka engkaupun
haruslah merebutnya kembali dengan akal dan keringat
pula. Aku beri waktu tiga hari, kau rebutlah emas itu!
Tetapi bila dalam waktu tiga hari engkau tak berhasil
merebutnya, maka akupun t ak akan bersegan-segan lagi
terhadapmu." ' Lingga W isnu menyambar tangan Yunus dan diajaknya
menyendiri. Katanya : "Adikku, semalam engkau berjanji hendak patuh dan
taat kepadaku. Tetapi belum lagi setengah hari, katakatamu sudah berubah.
Mengapa?" "Jika kau perlakukan diriku dengan baik sekali, pastilah
aku akan patuh pada setrap patah katamu. Bukankah
aku berkata begitu" sahut Yunus cepat.
"Apakah aku bersikap tak baik kepadamu?" Lingga
W isnu tak mengerti. "Benarkah aku t ak dapat mengambil
uang emas itu kembali?"
Kedua mata Yunus menjadi merah basah Lalu ujarnya:
"Baru semalam engkau mengangkat diriku sebagai
saudaramu. Tetapi begitu bertemu dengan sahabat lama,
engkau sudah tidak menaruh perhatian lagi kepadaku.
Seumpama aku hendak mengangkangi emas Panglima
Sengkan Turunan apa yang aku andalkan" Paling-paling
aku pasti mati dan memang sebenarnya aku harus tahu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri, bahw a di dunia ini tiada seorangpun yang menaruh
belas kasih kepadaku."
Hati W isnu tergetar. Namun jawaban Yunus tidak juga
membuatnya puas. Berkata memberi pengertian :
"Engkau saudara angkatku. Dan dia, puteri sahabatku.
Baik d ia maupun engkau, aku pandang sebagai bagian
hidupku sendiri. Tiada sama sekali aku membedabedakan. Mengapa engkau bersikap
kaku begini?" "Sudahlah. Jangan bicara berkepanjangan," bentak
Yunus. "Kalau mempunyai akal, kau ambil saja emas itu
dalam waktu tiga hari ..." dan setelah berkata demikian,
ia lari ke dalam. Lingga W isnu menghela napas. Hatinya masgul luar
biasa. Karena menumbuk suatu kegagalan maka
terpaksalah ia membawa Suskandari keluar dari rumah
keluarga Dandang Mataun. Dan menginap di rumah
seorang petani. Di rumah ini Lingga W afcnu mint a
keterangan asal-mula terjadinya perampasan uang emas
itu kepada Suskandari. Dan Suskandari memberi
keterangan terlalu sederhana. Ia seperti belum percaya
penuh kepada Lingga W isnu, Katanya, ia dan Puguh,
pada suatu hari berpisah. Dan pada saat itu, emas
kawalannya di rampas Yunus. Karena emas itu menjadi
tanggung jawabnya, ia lantas menyusul ke rumah
keluarga keluarga Dandang Metaun.
"Selanjutnya engkau sendiri menyaksikan bagaimana
kesudahannya." Suskandara menutup ceritanya.
Melihat Suskandari berbimbang-bimbang terhadap
dirinya, Lingga W isnu membatalkan niatnya hendak
mengetahui latar-belakang persoalannya yang lebih jelas
lagi. Ia lant as mempersiapkan diri dalam usahanya
hendak merebut uang emas itu kembali dari tangan
Yunus. Pada malam harinya, sekitar jam dua Lingga W isnu
mengajak Suskandari untuk mengintip gerak gerik
keluarga Dandang Mataun. Begitu melompat ke atas
genting, ia melihat gedung pertemuan terang-benderang
oleh nyala api Cocak Rawa dan Cocak Ijo duduk
berhadap-hadapan denfan Yunus dan Sondong Pawit.
Mereka makan-minum diseling pembicaraan yang
menggembirakan, seolah-olah sedang berpesta. Lingga
W isnu mencoba menguping pembicaraan mereka. Siapa
tabu, dengan tak sadar mereka menyinggung tentang
uang emas disembunyikan. Selagi demikian, ia dengar
Yunus berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Bungkusan emas memang ada di sin i. Siapa saja
yang merasa diri mempunyai kepandaian, boleh ambil,"
dan setelah berkata demikian, ia tertawa melalui
dadanya. Suskandari menarik lengan Lingga W isnu dan
membisik: "Rupanya dia sudah mengetahui kita berada di sini."
Lingga W isnu mengangguk. Meskipun demikian
pandang matanya tak beralih. Ia melihat Yunus
meletakkan dua buah bungkusan di atas meja. Segera ia
membukanya. Dan terpantullah sinarnya, bergemerlapan.
Itulah emas yang dipertaruhkan. Kemudian ia meletakkan pedangnya disampingnya sedangkan Sondong Rawit yang duduk disampingnya meletakkan
pula goloknya di atas meja. Kemudian mereka meneguk
minumannya dan menikmati panganan yang disediakan.
"Mereka sengaja memperlihatkan emasnya dengan
penjagaan yang rapi dan kuat. Tiada jalan lain, kecuali
mengadu kekerasan. Perlukah. aku berbuat begitu?" pikir
Lingga W isnu di dalam hati Ia menoleh kepada
Suskandari untuk memperoleh pertimbangan. Tetapi
gadis itu hanya membungkam mulut saja.
Setengah jam lagi, ia menunggu. Mereka yang berada
di dalam gedung tetap saja bercokol diatas kursinya
masing-masing. Akhirnya terpaksalah Lingga W isnu
mengalah. Dengan hati dengki, ia mengajak Suskandari
pulang kepondokan. Malam itu, mereka merasa gagal
merampas emasnya kembali.
Keesokan harinya, Suskandari agak leluasa sikapnya.
Ia tak menaruh sangsi lagi kepada Lingga W isnu.
Sekarang ia mengabarkan, bahwa ibunya dalam keadaan
sehat walafiat dan seringkali membicarakannya.
Lingga W isnu lant as saja merogoh saku celananya dan
memperlihatkan sebuah gelang emas kecil. Katanya :
"Inilah gelang emas pemberian ibumu, tatkala aku
hendak berangkat mendaki gunung Dieng. Dahulu,
pergelangan tanganku tidak sebesar sekarang. Karena itu
gelang emas pemberian ibumu, hanya kusimpan di dalam
saku. Aku selalu membawanya ke mana aku pergi."
Suskandari tertawa. Ia memperlihatkan lengan Lingga
W isnu dan gelang emas itu. Katanya mengalihkan
pembicaraan : "Sepuluh tahun lebih, kita tak pernah bertemu.
Akupun tak pernah mendengar kabar beritamu.
Sesungguhnya, selama itu apa saja yang telah kau
kerjakan?" "Setiap hari, aku hanya berlatih dan mendalami ilmu
ajaran guru." jawab Lingga W isnu sederhana.
"Pantas saja ilmu kepandaianmu hebat sekali"
Suskandari memuji. "Sewaktu kemarin kau menolak
tubuhku, kedudukanku gempur..."
"Tetapi dari mana engkau memperoleh ilmu pedang
Sekar Teratai?" Lingga W isnu minta keterangan. "Siapa
yang memberimu pelajaran.'
Memperoleh pertanyaan demikian, tiba-tiba kelepak
mata Suskandari basah. Jawabnya :
"Kakang Puguh yang mengajari. Bukankah dia
termasuk salah seorang murid Sekar Teratai"
Hati Lingga W isnu tercekat melihat kelopak mata
Suskandari yang menjadi basah dengan tiba-tiba.
Tanyanya menegas "Apakah dia terluka dalam perjalanan itu?"
"T ak mungkin dia terluka ..."
"Kalau begitu, mengapa engkau bersedih hati?"
"Aku dibiarkan berjalan seorang diri. Dia berpisah dan
meninggalkan aku tanpa pamit," kata Suskandari,
menundukkan pandang. Lingga W isnu tak mau mendesak. Ia lant as
mendalihkan pembicaraan tentang kemungkinannya
sebentar malam dalam usahanya merebut kembali uang
emas Dan apabila sudah memperoleh kata sepakat
mereka lalu bersemedi menghimpun tenaga saktinya
masing-masing. Larut malam, mereka mengintip lagi dari atas atap
gedung pertemuan, seperti kemarin malam
Meja itu tetap terjaga oleh empat orang Hanya saja,
kedudukan Cocak Ijo ditempati oleh orang lain. Pastilah
mereka itu saudara seperguruan Cocak Rawa atau Cocak
Ijo. Kalau bukan, pasti pula termasuk anggauta keluarga
Dandang Mataun. Menurut keterangan Yunus, semua pamannya berjumlah lima orang. Bila hanya dua orang menampakkan diri dengan terang-terangan, tentunya
yang tiga orang sedang bersembunyi disuatu tempat
tertentu. Lingga W isnu seorang pemuda cermat, lantaran
digodok oleh pengalaman hidupnya semenjak kanakkanak. Merrperoleh dugaan
demikian, segera ia mengkisiki Suskandari : "W aspadalah, pasti ada beberapa orang yang
bersembunyi di sekitar tempat ini. Kita mau mengint ip
mereka. Jangan-jangan justru kita yang mereka intip."
Suskandari memanggut. Sekonyong-konyong ke dua.
alisnya berkerut -kerut. Tanpa mint a pertimbangan, ia
meloncat turun. Gerakan itu membuat hati Lingga Wisnu
terkesiap. Segera ia mengejar dengan maksud mengawal
dari belakang. Suskandari ternyata mengarah ke belakang, ia
mencari dapur dan terus menyalakan api. Sebelum
Lingga W issnu sempat memberi pertimbangan, dapur
sudah dibakarnya. Sebentar saja api menjilat tinggi
sampai ke atap gedung. Seketika itu juga, seluruh
anggauta rumah tangga keluarga Dandang Mataun
menjadi kacau-balau. Gugup mereka lari berserabutan
mencari air dan merobohkan batang pisang untuk
memadamkan api. Dan pada saat itu, Suskandari lari.
balik ke atas gedung pertemuan.
Tahulah Lingga W isnu akan maksud gadis itu. Dia
hendak mengalihkan perhatian empat orang yang berada
di dalam gedung pertemuan. Dan akal itu memang tepat
sekali. Tatkala mereka berdua telah berada di-atas atap
gedung pertemuan kembali, keempat orang tadi tiada
nampak batang hidungnya. Suskandari girang. Ia merasa
diri akalnya berjalan dengan baik sekali. Terus saja ia
berseru kepada Lingga W isnu:
"Mereka sedang sibuk memadamkan api. Mari kita
bekerja!" dan segara ia melompat turun melalui jendela.
Lingga W isnupun mencontoh perbuatannya Tetapi, ia
berhenti bergelantungan di luar jendela untuk menjaga
kemungkinannya. "Ikut aku!" ajak Suskandari.
Gadis itu tiba di atas lantai dan hendak segera
menghampiri meja. Lingga W isnu terpaksa pula
mengikuti. Ia melihat bungkusan emas itu berada di atas
meja tanpa penjaga. Dan dengan, bernapsu Suskandari.
maju selangkah. Tangannya menyambar. Mendadak saja
Lingga W isnu merasakan suatu keanehan, lantai yang
diinjaknya terasa lunak dan bergoyang. Segera sadarlah
dia, bahw a lantai itu merupakan jebakan
Cepat tangannya bergerak, menjangkau tubuh
Suskandari, samb il melompat kesamping. Tetapi terlambat! Sambaran t angannya gagal.
Pada detik itu juga. Suskandari terjeblos ke dalam
lubang jebakan. Lingga W isnu menjejakkan kakinya pada
lantai yang menjeblak kedalam. Tangannya menyambar
dan berhasil mencapai tiang yang berada di sebelahnya.
Kemudian ia menurunkan kakinya pada dasar tancapan
tiang itu. Ia selamat, tetapi kaget dan memikirkan nasib
Suskandari. Dengan jantung berdegupan ia berpaling ke arah
jendela. Dan seseorang yang merasa terancam bahaya,
biasanya menjadi peka oleh rasa naluriahnya. Apalagi
Lingga W isnu seorang pemuda yang mempunyai
pembawaan cerdas luar biasa. Tiba t iba saja ia menaruh
curiga terhadap jendela itu. Menurut dugaannya, pada
jendela itulah terletak pesawat penggerak lant ai jebakan.
Memperoleh dugaan demikian, terus saja ia melompat
hendak menyelidiki. Selagi badannya terapung di udara, angin tajam
menyambar padanya. Tahulah dia, seseorang menyerang
dari belakang punggung. Cepat ia menangkis. Suatu
bentrokan terjadi. Prak! Dan orang itu terdorong mundur.
Namun dia ternyata gesit. Begitu roboh di atas lantai, dia
meletik bangun. Lingga W isnu t ak sudi kena libat. Ia melompat ke atas
genting. T api orang itupun menyusul dengan sebat pula.
Pemuda itu mendongkol juga. Ia memutar pandang. Dan
pada saat itu bulu kuduknya menggeridik. Sebab dengan
tiba-tiba saja, ia telah kena kepung. Beberapa orang
yang berperawakan tak rata memandang padanya
dengan bengis. Yang langsung berhadapan dengan dia seorang
berperawakan pendek kecil set engah cebol. Disampingnya seorang laki laki pula berperawakan tinggi
besar. Orang itu nampak perkasa seperti tokoh cerita
wayang Bima Dua orang itu didampingi empat orang lagi
yang bersenjata lengkap. Dan karena mereka berdiri
membelakangi cerah bulan, Lingga W isnu tak dapat
melihat w ajahnya dengan jelas.
Ia lant as mengamat-amati orang yang menyusulnya
Ternyata dia Sondong Rawit. Dan begitu melihat
Sondang Rawit, segera ia sadar siapakah mereka.
Pikirnya di dalam hati: 'Mereka inilah keluarga Dandang
Mataun. Hanya saja aku belum tahu maksud mereka
sesungguhnya. Apakah benar-benar mereka bermaksud
mencelakai d iriku" Memperoleh pikiran demikian, ia
bersikap w aspada dan hati-hati.
Di antara mereka yang mengepung, kecuali Sondong
Rawit, ia mengenal tiga orang dengan segera Yang
pertama Cocak Rawa. Kemudian Cocak Ijo. Dan yang


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketiga, Yunus. Tatkala ia bermaksud hendak menegorrwa, tiba-tiba orang yang berperawakan tinggibesar tertawa terbahak
bahak. Hebat perbawanya. Atap
yang diinjaknya bergetar dan suara tertawa nyaring
sekali. "Kami berlima tinggal di sebuah dusun yang sepi,"
katanya nyaring. "T ak pernah kuduga, bahwa pada hari
ini salah seorang bawahan Sengkan Turunan sudi
mengunjungi rumah kami."
Lingga W isnu maju selangkah. Ia memanggut hormat
seraya menyahut . "Perkenaikan, kami, memperkenalkan diriku terhadap paman sekalian,"
"T ak usah Bukankan engkau bernama Lingga W isnu?"
potong orang itu galak. Yunus yang berdiri di belakang, mereka maju
menengahi. Katanya memperkenalkan paman-pamannya
"Inilah pamanku yang paling tua. Cocak Prahara,
namanya. Kemudian pamanku yang ketiga bernama
Cocak Abang. Dan yang keempat, Cocak Mengi. Dan dia,
kakak misanku yang lain. bernama Cocak Rawun. Dia
putera paman Cocak Prahara.'"
Lingga W isnu memanggut hormat, setiap kali Yunus
menyebut nama. mereka masing-masing. Dalam hati ia
berpikir' " 'Rupanya keluarga Dandang Mataun menyematkan
nama Cocak sebagai nama keluarga. Y ang tertua: Cocak
Prahara. Kemudian, Cocak Abang, Cocak Rawa, Cocak
Mengi dan Cocak Ijo" Dan anak muda itu mengenakan
nama. Cocak Rawun. Apakah dikemudian hari, dia calon
pengganti nama keluarga Dandang Mataun"'
Diantara kelima saudara, Cocak Abang beradat
berangasan. Dengan serta merta ia menegor:
"Hai anak muda! Usiamu belum seberapa, tapi sudah
pandai membakar rumah. Bagus! Sesungguhnya kepandaian apakah yang kau andalkan?"
"Itulah perbuatan temanku yang semberono," sahut
Lingga W isnu dengan sopan. "Aku sangat menyesal atas
terjadinya pembakaran itu. Syukurlah, api tidak begitu
besar. Biarlah esok pagi, ia kusuruh menghaturkan maaf
kepada paman sekalian."
Cocak Abang melototkan matanya. Memang api telah
kena terpadamkan, akan tetapi hatinya masih saja panas.
Cocak Mengi yang berperawakan tinggi-jangkung dengan
punggung agak melengkung maju ke depan. Katanya
menimbrung : "Puluhan t ahun kami tinggal di sin i. Selama itu belum
pernah kami terusik oleh pekerti siapapun. Mereka yang
datang kemari hanyalah untuk menghaturkan sembah
sesuatu semata. Sebaliknya, engkau masih muda belia
dan berani membuat onar di sini. Sebenarnya siapakah
gurumu?" "Guruku berada dalam
laskar Panglima Sengkan Turunan." sahut Lingga
W isnu dengan tenang. "Kedatanganku kemari, semata-mata untuk memohon agar paman sekalian sudi mengembalikan emasnya Panglima Sengkan Turunan. Aku berjanji hendak mendesak guruku, agar beliau sudi berkirim surat kepada paman sekalian unt uk menyatakan
terima kasih." Cocak Mengi mendengus. Sekian panjangnya, pemuda
itu mengoceh. Akan tetapi nama gurunya tidak pernah
disinggungnya. Selagi hendak membuka mulut, kakaknya
yang-tertua, Cocak Prahara membentak nyaring kepada
pemuda itu : "Siapa gurumu!"
Lingga W isnu mendeham. Menyahut :
"Guruku jarang sekali berkelana atau memperkenalkan
diri. Karena itu, tak berani aku menyebutkan nama
beliau. lagi pula bagi paman sekalian tiada artinya sama
sekali." "Hem." Cocak Abang t ak sabar lagi. Memang adatnya
berangasan. Lantas saja ia memut uskan:
"Jadi engkau masih hendak menyembunyikan nama
gurumu" Apakah kau kira, kami tak dapat mengenal
gurumu" Kami mempunyai cara lain. Kau berhatihatilah!" Dan dengan wajah merah
padam ia berseru kepada Cocak Rawun : "Rawun! Cobalah kau bermain-main sebentar dengan
bocah itu!" Seorang pemuda yang tadi diperkenalkan sebagai
putera Cocak Prahara, dengan gesit masuk ke
gelanggang. Terus saja tangannya bergerak menampar
pipi. Kemudian kakinya menyusul membuat suatu
tendangan. Lingga W isnu mengelak. Dan Cocak Rawun melepaskan tinju kirinya. Pikir Lingga W isnu :
'Mereka berjumlah banyak. Kalau mereka maju satu
persatu, aku bisa celaka karena lelah. Bila aku tidak
melawannya dengan cepat, sulit untukku meloloskan
diri.' Oleh pikiran itu, ia menyambut tinju kiri Cocak Rawun
dengan berhadap-hadapan. Tangan kanannya berkelebat
menyambar tinju itu. Lalu dilemparkan ke belakang
sambil melompat ke samping.
Cocak Rawun tak berkesempatan lagi untuk membebaskan dirinya yang kena sambar. Belum lagi ia
menancapkan kakinya, tubuhnya sudah tertarik ke
depan. Tidak dikehendaki sendiri ia menyelonong ke
depan. Tatkala kakinya menginjak atap, genting yang
diinjaknya pecah. Dan ia terjeblos ke bawah. Syukurlah
pada saat itu, Cocak Ijo masih berkesempatan
menyambar dirinya. Sekiranya tidak demikian, pastilah
dia bakal terbanting ke lantai. Mukanya merah padam
oleh rasa malu. Dengan penasaran ia menyerang lagi.
Lingga W isnu sudah bersiaga. Sama sekali ia tak
bergeming t atkala lawannya menyerang dengan dahsyat.
Nampaknya ia hendak mengadakan perlawanan dengan
berhadap-hadapan. Tetapi mendadak saja, ia memut ar
tubuhnya berbareng mengangkat kaki kirinya. Dan Cocak
Rawun roboh terjungkal. Lingga W isnu ternyata tidak hanya mendupakkan kaki
kirinya saja. lapun menggerakkan tangan kanannya
selagi kaki kirinya d itarik. Dengan suara deras, tangan
kanannya menyambar pant at Cocak Rawun. Ia
mencengkeram dan mengangkatnya. Oleh gerakan itu,
tak sampai Cocak Rawun mencium tanah. Ia malahan
dapat berdiri kembali dengan tak kurang suatu apa.
Bukan main rasa mendongkol Cocak Rawun. Akan
tetapi tak dapat ia berkelahi lagi. Ia harus tahu diri.
Meskipun matanya masih melot ot, terpaksa ia mengundurkan diri. "Hai, bocah ini benar-benar hebat!" seru Cocak Abang
dengan hati gusar. "Biarlah aku mencoba-coba mengadu
kepandaian dengan muridnya seorang sakti." Setelah
berseru demikian, ia maju sambil menggerakkan kedua
tangannya. Tiba-tiba Yunus melompat kesamping orang tua itu
dan berbisik : "Paman, dia telah mengangkat saudara denganku.
Janganlah paman melukainya"
"Setan! Minggir!" bentak Cccak Abang dengan sengit.
Tetapi Yunus bahkan memegang tangannya dan
berkata setengah merajuk :
"Paman tidak melukainya, bukan?"
"Kau lihat saja bagaimana nant i." Sahutnya orang t ua
itu sambil mengibaskan tangannya yang kena genggam.
Dan oleh kibasan itu, Yunus terpelanting mundur
beberapa langkah. Hampir hampir saja ia roboh
terguling. Cocak Abang tidak menghiraukan. Dua langkah ia
maju menghampari Lingga W isnu. Bentaknya:
"Kau majulah!" "Akh, aku tak berani," sahut lingga W isnu sambil
membungkuk hormat. "Kau tak mau menyebutkan nama gurumu. Maka
seranglah aku t iga kali," perint ah Cocak Abang.
"Aku ingin melihat sendiri,. apakah aku sanggup
mengenal gurumu." Panas juga hati Lingga W isnu mendengar dan melihat
sikap Cocak Abang yang besar kepala. Setelah
menimbang-nimbang sejenak, akhirnya ia berkata
dengan suara merendah : "Kalau begitu, terpaksalah aku mengiringi kehendak
paman. Tetapi kepandaianku hanya terbatas. Aku mohon
paman berbelas kasihan kepadaku."
"Jangan ngoceh tak keruan!" bentak Cocak Abang.
"Siapa sudi mengobrol denganmu" Hayo, seranglah!"
Kembali lagi Lingga W isnu membungkuk hormat. Dan
tiba-tiba tangannya menyambar. Serangan pendek itu
membawa kesiur angin keras. Keruan saja Cocak Abang
terperanjat. Sama sekali tak diduganya, bahwa pemuda
itu memiliki tenaga himpunan begitu kuat. Buru-buru ia
melint angkan tangannya dan hendak menyambar lengan
baju Lingga W isnu tadi menyerang dengan tangan kiri.
Begitu melihat Cocak Abang membalas menyerang, gesit
ia menarik tangannya kembali. Kemudian dengan tibatiba pula, ia menyerang raut
muka. "Hai!" Cocak Abang terperanjat lagi. Itulah suatu
serangan yang terjadi sangat cepat. Tak sempat, lagi ia
menangkis. Padahal, ia seorang pendekar yang sudah
terlalu banyak makan garam Ribuan kali ia menghadapi
lawan lawan berat yang mempunyai tata-berkelahi yang
berbeda. Namun serangan Lingga W isnu kali ini adalah
yang terhebat. Satu-satunya jalan unt uk melepaskan diri,
hanyalah melenggakkan tubuhnya ke belakang.
Lingga W isnu tak sudi memberi kesempatan lawan
untuk dapat mengadakan serangan balas. Ia bergerak
mundur dan kemudian melingkarkan tubuhnya. Gerakan
itu seperti memberi kesempatan pada lawan untuk
memperbaiki kedudukannya, mengira bahw a Lingga
W isnu hendak melarikan diri. Cepat ia mengulurkan
tangannya beri hajaran. Tapi sebelum t angannya sampai
pada sasaran, sekonyong-konyong ia merasakan suatu
kesiur angin. Dilihatnya kedua tangga Lingga W isnu
bergerak dengan berbareng mirip sambaran seekor ular
hendak mematuk sasaran. Sasaran itu mengarah kepada
kedua tulang iganya yang dituju.
"Hiha..." ia tertawa di dalam hati. "Meskipun kau
berhasil menyentuh igaku, apa artinya dibandingkan
dengan gempuranku." Cepat luar b iasa ujung t angan Lingga W isnu t iba pada
sasarannya dan mengenai pinggang Cocak Abang
dengan jitu. Dan terdengarlah suara gemeretak dua kali
hampir berbareng. Dan tepat pada detik itu, Lingga
W isnu te lah melesat mundur sambil berput aran sebentar.
Kemudian berdiri t egak mengawasi lawannya.
Cocak Abang terperanjat dan mendongkol. Ia kena
selomot kesombongannya sendiri. Ternyata kekebalannya tak kuasa membendung pagutan ujung
tangan Lingga W isnu yang nampaknya tak bertenaga.
Nyatanya, seluruh tubuhnya merasa kesemutan dan
sebaliknya, meskipun merasa diri seorang yang kenyang
makan garam, namun masih tak dapat mengenal corak
tata-berkelahi yang terlalu percaya kepada pagutan
tenaga tangan. Tapi dalam pada itu, Yunus kagum
menyaksikan kegesitan Lingga W isnu. Hampir saja ia
berteriak memujinya. Sebenarnya dalam jurus tadi,

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lingga W isnu menggunakan jurus gabungan. Mula-mula ia bergerak
dengan ilmu ajaran Kyahi Sambang Dalan. Lalu ia
menggunakan ilmu kegesitan ajaran Ki Ageng Gumbrek.
Dan yang terakhir ia memagut kan tangan dengan ilmu
sakti warisan Bondan Sejiwan. Maka tak mengherankan,
apa sebab Cocak Abang menjadi bingung.
Tetapi yang heran dan bingung, tidak hanya Cocak
Abang seorang. Juga Cocak Prahara dan Cocak Mengi t ak
kurang-kurang pula. Mereka saling memandang dengan
pandang penuh pertanyaan.
Selamanya, Cocak Abang menganggap dirinya seorang
pendekar besar. Kali ini, ia kena selomot dalam satu
gebrakan saja. Tak mengherankan kehormatan dirinya
tersinggung, sekaligus. Dengan serentak ia melompat
maju dan menyerang dengan mendadak. W ajahnya
merah padam. Alis dan kum isnya terbangun. Gerakan
kedua tangannya lalu terdengar membawa kesiur angin
dahsyat". Hebat perbawa Cocak Abang. Dibawah sinar bulan
cemerlang, kepalanya nampak mengepulkan asap
siapapun mengerti, itulah akibat rasa marah yang tak
terkendalikan lagi. Gerakan kakinya ayal, akan tetapi
mantap. Itulah suatu-tanda bahwa Cocak Abang
mempunyai himpunan tenaga sakti yang sudah mencapai
puncak kesempurnaan. Lingga W isnu tak berani bermain-main lagi.
Menghadapi serangan Cocak Abang ia mengidapkan
diri sanib il mendekat. Dua kali berturut-turut, ia
membebaskan diri dengan cara demikian Pada jurus
ketiga, diam-diam ia bersiaga mengadakan perlawanan
dengan ilmu sakti Sardula Jenar. Dan pada jurus
keempat, pertempuran sengit terjadilah.
Tapi justru menghadapi perlawanan Lingga W isnu,
serangan Cocak Abang tidaklah secepat tadi. Gerakannya
kini agak kendor. Namun setiap pukulannya mengandung
tekanan dahsyat. Setiap kali, apabila tangannya
bergerak, angin dahsyat mendahului atau mengiringi.
Menghadapi tekanan himpunan sakti demikian dahsyat
Lingga W isnu tercekat hatinya. Namun sama sekali ia t ak
gugup. Sekonyong-konyong ia melihat cahaya merah
kuning berada dalam tapak tangan Cocak Abang. Ia
terperanjat. Pikirnya di dalam hati :
"Apakah ini yang bernama ilmu Le bur Seketi?"
Teringatlah ia kepada tutur-kata gurunya tentang
berbagai ilmu sakti dengan t anda t andanya. Seperti ilmu
sakti pukulan Narantaka, Rajah Selandaka, Mandi,
Brajadent a dan sebagainya. Dan ilmu sakti Lebur
Seketika merupakan ilmu pukulan yang tak boleh
mengenai sasaran. Barang siapa kena gempurannya,
akan ront ok tulang-tulangnya. Memperoleh ingatan
demikian, segera ia mengubah tata-berkelahinya. Untuk
mencegah pendekatan, kedua tangannya dipukulkan
saling susul dengan sebat sekali.
Cocak Abang bersenyum mengejek. Tahulah dia,
bahw a Lingga W isnu segan terhadap ilmu-saktinya. Ia
jadi berbesar hati. Lantas saja ia mendesak selangkah
demi selangkah. Mendadak saja lengan kanannya terasa
nyeri. Kaget ia melesat mundur sambil memeriksa
tangannya. Ternyata lengan yang tadi terasa nyeri
kelihatan merah dan bengkak. Tahulah dia, lengannya
tadi kena sentuh tanpa diket ahui karena cepatnya. Ia
pun mengerti, bahwa Lingga W isnu bermurah hati
terhadapnya. Sekiranya menghantam dengan benarbenar, tangan atau lengannya pasti
sudah rusak. Meskipun demikian, hatinya penasaran juga. Sayang, t ak
dapat lagi ia melanjutkan pertempuran itu. Dalam adu
kepandaian itu, ia sudah jatuh.
Selagi pertempuran berhenti, Cocak Mengi maju
menghampiri Lingga W isnu. Katanya dengan suara
tenang : ''Anak mudai Masih begini muda usiamu. Akan tetapi
ilmu kepandaianmu hebat sekali. Marilah ingin aku
mencobamu., dengan berbekal senjata"
Lingga W isnu cepat-cepat membungkuk hormat,
sahutnya dengan suara merendahkan hati:
"W aktu aku datang kemari, tak berani aku membekal
senjata. Aku datang dengan tangan kosong .. "
Cocak Mengi tertawa memotong. Katanya :
"Kau mengenal adat-istiadat. Bagus! Memang kulihat
engkau tak membawa senjata. Hal itu terjadi karena
engkau terlalu yakin kepada kemampuanmu sendiri.
Hatimu terlalu besar sehingga keberanianmu sangat
mengagumkan. Tidak apalah hanya saja malam in i,
engkau harus memperlihatkan kepadaku. Mari, kita
melihat-lihat gedung, olah-raga barang sebentar!"
Apa yang dikatakan gedung olah-raga sebenarnya
tempat keluarga Mataun berlatih. setelah berkata
demikian, Cocak Mengi mendahului melompat t urun dari
genting. Dan rombongannya ikut turun pula. Maka tak
dapat lagi, Lingga W isnu menolak undangan itu.
Terpaksalah ia meloncat turun dari atas gent ing
mengikuti mereka memasuki gedung tempat berlatih.
Tatkala hendak memasuki ambang pintu, tiba tiba
Yunus mendekati mengkisiki :
"Di dalam tongkatnya tersimpan senjata jepretan
beracun!" Tercekat hati Lingga W isnu mendengar kisikan itu.
Seumpama tidak memperoleh kisikan itu sama sekali ia
tak menduganya. Maka dengan hati berwaspada, ia
menebarkan penglihatannya.
Gedung berlatih itu berukuran lebar dan luas sekali. Di
dalamnya terdapat tiga panggung persegi panjang.
Keluarga Mataun lantas saja berkumpul berkelompokkelompok. Rupanya mereka semua
gemar akan ilmu tata-tempur baik laki- laki maupun perempuan. Mereka
hendak menyaksikan adu kepandaian antara Cocak
Mengi dari Lingga W isrru. Malahan, diant ara mereka
terdapat beberapa anak yang lagi berumur tujuh atau
delapan tahun. Setelah mereka mencari tempat duduknya masing-
masing, muncul ah seorang wanita setengah umur.
Usianya kurang lebih empat puluhan lima tahun. Ia
didampingi Sekarwati, budak Yunus yang lincah dan
genit. "Ibu!" seru Yunus menghampiri.
W anita itu elok wajahnya, namun mengandung rasa
duka-cita. Mendengar seruan anaknya, ia hanya
mengerlingkan mata. Sama sekali tak menyahut
memperlihatkan wajah jernih. Pandang matanya guram
tak bersinar. "Anak muda," kata Cocak Mengi. Di sini banyak
terdapat bermacam-macam senjata. Kau hendak menggunakan senjata apa, boleh pilih sendiri," setelah
berkata demikian, ia menunjuk sekitar gedung. Pada
dinding gedung terdapat deretan berbagai macam
senjata. Lingga Fisnu sadar, bahw a ia sedang menghadapi
persoalan yang rumit sekali. Tak gampang-gampang ia
memperoleh penyelesaian tanpa kekerasan Namun, ia
tak menginginkan akan terjadinya ketegangan yang
bertambah hebat. Karena itu tak boleh ia sampai melukai
siapapun, meskipun dirinya seumpama t erdesak kepojok.
Inilah pengalamannya untuk yang pertama kalinya
setelah memasuki kancah penghidupan babak kedua.
Dan masalah yang sedang dihadapi itu, ternyata sulit luar
biasa. Ia berbimbang-bimbang sejenak untuk menentukan sikap. Yunus semenjak tadi memperhatikan Lingga W isnu.
Melihat pemuda itu berbimbang bimbang, ia berseru :
"Pamanku yang ketiga ini paling senang terhadap
seorang muda yang berkepandaian tinggi. Pastilah dia
tidak akan melukaimu ..."
"Kau t utuplah mulut mu!" potong ibunya dengan suara
sengit. Tak usah dikatakan lagi, bahwa wanita itu tibatiba saja berpanas hati.
Cocak Mengi menoleh kepada Yunus, berkata:
"Kau lihat saja, bagaimana kesudahannya nant i."
Setelah berkata demikian, ia melemparkan pandang
Lingga W isnu. Berkata lagi :
"Anak muda, kau menggunakan pedang atau golok
panjang?" Lingga W isnu terdesak. Mau tak mau ia harus
memberikan jawaban. Segera ia menebarkan penglihatannya. Tiba-tiba ia melihat seorang anak
berumur empat tahun berada di dekat Sekarwati. Pastilah
anak itu salah seorang anggauta keluarga Mataun. Ia
hadir oleh orang tuanya dengan membawa alat-alat
permainan, di antaranya terdapat sebatang pedang kayu
yang dicat hitam. Dan melihat pedang kayu itu, Lingga
Uisnu lantas menghampiri. Katanya lembut :
"Adik kecil, boleh aku pinjam pedangmu" Sebentar
saja ..." Bocah itu ternyata seorang pemberani, sama sekali ia
tak takut terhadap seorang asing. Dengan tertawa ia
mengangsurkan pedang kayunya. Dan setelah Lingga
W isnu menerima pedangnya, ia lari ke dekapan
Sekarwati. "Paman, tak berani aku menggunakan senjata benarbenar," kata Lingga W isnu
menghampiri Cocak Mengi. "Bukankah kita hanya bermain-main saja?"
Sebenarnya, Lingga W isnu bermaksud merendahkan
diri. Akan tetapi bagi Cocak Mengi, justru dianggap
menghinanya. Hampir saja orang tua itu, tak sanggup
mengendalikan rasa amarahnya. Unt uk menghibur
dirinya sendiri, ia tertawa terbahak-bahak. Katanya
diant ara tertawanya : "Memang, akulah yang lagi sial. Puluhan tahun
lamanya aku berkelana mencari lawan dan kawan.
Selama itu belum pernah aku bertemu dengan seorang
yang berani merendahkan diriku. Hm, pernahkah engkau
mendengar nama tongkatku: Kyahi Jagabumi" Baiklah,
jika benar-benar kau mempunyai keberanian dan
kepandaian dewa, hayo kau tabaslah tongkatku kutung!"
Yang disebut tongkat Jagabumi, terbuat dari
campuran besi dan baja. Siapapun percaya bahw a
tongkat itu takkan mungkin tertabas kutung oleh pedang
kayu. Kecuali apabila pedang kayu itu buah tangan dewa
sakti. Dan setelah berkata demikian, dengan hati
mendongkol Cocak Mengi menyambar tongkatnya dan
dibabatkan kearah pinggang Lingga W isnu. Hebat
sarribarannya. Dalam gedung itu lantas saja terdengar
suatu berdengung. Yunus memekik cemas, menyaksikan sambaran
tongkat pamannya yang hebat t ak terkatakan Pada saat
itu, ia melihat tubuh Lingga W isnu berputar seperti
terseret putaran anginnya. Akan tetapi belum sampai
tubuh Lingga W isnu terlempar, tiba-tiba pedang kayu
ditangannya bergerak lincah dan menikam pergelangan.
Cocak Mengi mundur sambil menarik tongkatnya.
Sebagai gantinya, ia maju selangkah dan menusuk ke
arah dada. 'A kh!' seru Lingga W isnu di dalam hati. 'Kiranya
tongkatnya bisa dipergunakan untuk menikam pula. Aku
harus berhati-hati.' Cepat-cepat ia mengelak dan pedang kayunya
menetak lengan. Cocak Mengi terperanjat. Ia tahu
meskipun hanya pedang kayu, akan tetapi bila menabas
lengan bisa mengutungkan. Cepat ia melepaskan
pegangannya, sehingga ujung tongkat jatuh menusuk
lantai. Tapi tepat pada saat itu, serangannya yang tak
kalah dahsyatnya. Hebat gerak-geriknya. Selain sebat,
mengandung ancaman mengerikan. Sedikit saja Lingga
W isnu kena tersentuh, pasti akan celaka.
Lingga W isnu kagum melihat kegesitan dan kesehatan
Cocak Mengi. Oleh rasa kagum, ia berkelahi dengan hatihati dan cermat. Ia selalu
mengelak atau menghindari.
Dan pukulan tongkat yang tidak mengenai sasaran,
menghantam batu lantai hingga hancur berantakan.
Keping kepingannya terpelesat ke sana ke mari bagaikan
titik hujan. Maka bisa dibayangkan betapa akibatnya,
apabila sampai-mengenai t ubuh manusia yang terdiri dari
darah dan daging. Lingga W isnu tak sudi terpengaruh kedahsyatan
tongkat Jagabumi. Segera ia melayani kegesitan lawan
dengan ilmu Sepi Angin ajaran Ki Ageng Gumbrek.
Tubuhnya bergerak lincah, gesit dan sebab luar b iasa.
Tak ubah bayangan, ia melesat kesana kenari. Dan
set iap kali memperoleh kesempatan, pedangnya menabas dan menikam. Tak terasa, pertempuran cepat itu telah memasuki
jurus duapuluh. Setelah itu, Cocak Mengi kelabakan
sendiri. Ia sudah terlanjur membuka mulut besar. Akan
tetapi sampai sekian jurus, belum berhasil merobohkan
lawannya yang masih berusia muda sekali. Sekian puluh


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun lamanya, ia malang-irelint ang tanpa tandingan
karena tongkatnya itu. Akan tetapi pada malam itu, ia
malah kena dipermainkan seorang bocah cilik. Masakan
melawan pedang kayu saja, membutuhkan w aktu begitu
lama" Dan oleh pikiran itu, ia menjadi gugup. Tak
dikehendaki sendiri, keringatnya membasahi seluruh
tubuhnya. Oleh rasa gopoh dan mendongkol, ia jadi penasaran.
Segera ia merubah tata-berkelahinya. Dengan gesit ia
mencoba melibat Lingga W isnu dehgan tongkat
andalannya. Gerakannya membuat semua penonton
mundur beberapa langkah, karena tersapu angin yang
datang bergulungan. Ada di antaranya yang bersandar
pada tembok untuk mempertahankan diri.
Setelah merubah tata-berkelahinya, Lingga W isnu
mengakui di dalam hati bahwa orang t ua itu merupakan
lawannya yang tertangguh selama hidupnya. Tak dapat
ia mendekatinya. Sedang pedang kayunya sendiri yang
bakal patah menjadi dua tiga bagian.
'A kh, kalau begitu terpaksa aku harus melawannya
dengan ilmu gabungan kedua guruku,' ia berpikir di
dalam hati. Lalu iapun segera merubah tataberkelahinya. Gerakannya jadi lambat
nampak ayalayalan. Cocak Mengi bergirang hati menyaksikan gerakan
Lingga W isnu yang makin lama makin lambat. Itulah
suatu tanda, bahwa dia kehilangan tenaga. Oleh pikiran
itu, tak sudi ia sia-siakan kesempatan yang bagus. Begitu
memperoleh kesempatan dengan sebat ia menghantamkan tongkatnya.
Lingga W isnu kelihatan lelah. Dengan ayal-ayalan ia
menyambut serangan tongkat Cocak Mengi yang dahsyat
tak terkatakan. Yunus yang berada di luar gelanggang
berseru cemas. Tiba-tiba ia melihat suatu perubahan
yang mengherankan. Pada saat ujung tongkat lewat di
depan dadanya, cepat luar biasa Lingga W isnu
menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ujung tongkat
kena di tangkapnya dengan t angan kiri. Dengan tenaga
penuh, ia menghentak sambil menarik. Kemudian pedang
kayunya menyambar. Bret ! Dan baju Cocak Mengi
terobek. Cocak Mengi kaget bukan kepalang. Pada detik itu
pula, telapak tangannya panas luar b iasa oleh gentakan
Lingga W isnu. Tak dapat lagi ia mengelakkan diri atau
mencoba mempertahankan diri. Satu-satunya jalan,
hanya melepaskan genggamannya. Artinya, tongkat
andalannya kena direbut lawan. Hal itu sebenarnya
sudah merupakan karunia, meskipun memalukan sekali.
Coba, seumpama Lingga W isnu tidak mengenal belas
kasih, dadanya sudah kena tikam dengan telak.
Lingga W snu tahu keripuhan lawan. Hatinya yang
mulia tidak mengidzinkan untuk membuat orang t ua itu
menanggung malu. Selagi menarik pedang kayunya, ia
menyodorkan tongkat yang kena dirampasnya kepada
pemiliknya kembali. Gerakan itu dilakukan dengan sangat
cepat dan semu, sehingga hanya seorang ahli saja yang
bisa mengetahui. Sebenarnya, Cocak Mengi sudah merasa mati kut u.
Akan tetapi hatinya panas dan mendongkol. Sambil
menerima tongkatnya kembali, ia berteriak tinggi sambil
menyerang. Itulah kejadian diluar dugaan Lingga W isnu.
Ia heran, apa sebab orang tua itu membandel" Bukankah
dia kalah" Apa sebab ia masih menyerang" Tapi tak
sempat lagi ia berpikir berkepanjangan. Ia harus
mengelakkan serangan tiba-tiba itu. Sebab ia melesat ke
samping dengan memiringkan badannya. Lalu melompat
mundur. Cocak Mengi tidak mau mengerti. Sebenarnya kalau
mau, Lingga W isnu dapat menyerangnya dari samping.
Tapi ia tak memperdulikan kemuliaan hati pemuda itu.
Dengan penasaran, ia menarik tongkatnya. Lalu
menyerang, tapi kali ini dibarengi dengan suara berdesir.
Dan dari ujung tongkatnya, melesatlah tiga batang paku
beracun yang tipis. Sasarannya membidik atas, tengah
dan bawah. Jarak mereka sangat dekat. Maka bisa d ibayangkan,
betapa bahayanya. Apalagi Cocak Mengi membarengi
dengan tusukan. Yunus berseru kaget. Hampir saja ia
melompat ke dalam gelanggang, kalau saja tidak kena
tarik ibunya. Lingga W isnu sudah berjaga-jaga semenjak memperoleh kisikan Y unus. Tapi serangan itu sangat keji.
Gesit luar biasa, ia menyapu ketiga paku itu dengan
pedang dan ujung bajunya. Itulah jurus simpanan ilmu
sakti Sekar Teratai hasil didikan Kyahi Sambang Dalan
yang jarang sekali muncul di depan umum. Kalau saja
tidak merasa terpaksa, tidak akan Lingga W isnu
menggunakan ilmu simpanan tersebut. Setelah itu,
dengan geram ia maju selangkah, dan menekan ujung
tongkat Jagabumi dengan pedang kayunya ke lantai.
Itulah suatu peristiwa diluar dugaan Cocak Mengi. Ia
tadi sudah merasa pasti, bahw a serangan paku
beracunnya akan berhasil. Tak mengherankan, tongkat
Jagabumi tidak perlu ditariknya kembali cepat-cepat.
Sekarang tongkatnya kena tindih. Suatu tenaga luar
biasa besarnya menekan kebawah, memaksa ujung
tongkatnya kelantai. Terus saja ia berjagang dan
mempertahankan agar tongkatnya tidak tertekan. Akan
tetapi pedang kayu Lingga W isnu terus menekan
kebawah sedikit demi sedikit. Dan tatkala ujung tongkat
meraba lantai, kaki kirinya menggant ikan kedudukan
pedang. Tongkat itu diinjaknya.
Keringat dingin membanjiri seluruh tubuh Cocak
Mengi. Ia berkutat mati-matian untuk membebaskan
tongkatnya. Selagi mengerahkan sisa tenaganya, tibatiba Lingga Wisnu meloncat
mundur. Oleh perubahan itu,
Cocak Mengi terhentak mundur beberapa langkah dan
hampir saja ia roboh terjengkang. Ia berhasil
mengangkat tongkatnya kembali. Akan tetapi lantai yang
terbuat dari batu pualam h ijau meninggalkan lobang
besar sebesar tusukan ujung tongkat Jagabumi. Dan
menyaksikan hal itu, semua hadirin terperanjat dan
tercengang. Tak usah diumumkan lagi. Cocak Mengi yang kalah. Ia
mendongkol bukan kepalang. T ak pernah terlint as dalam
benaknya, bahwa pada suatu kali ia bakal dikalahkan
lawan yang hanya bersenjata pedang kayu. Ia menggigil
oleh rasa marah, kecewa dan benci. Dengan kedua
tangannya ia melemparkan tongkatnya ke atas
wuwungan gedung. Brak! Dan atap gedung olah raga
tertembus tongkatnya dengan suara berderakan.
"Tongkatku kena kau kalahkan dengan pedang
kayumu. Apa perlunya kusimpan lagi sebagai senjata
mustika?" teriaknya dengan wajah merah padam.
Lingga W isnu tak bergerak dari tempatnya. Ia tahu,
orang tua itu sedang mengumbar rasa mendongkolnya.
Sebenarnya bukan tongkatnya yang buruk, akan tetapi
karena ilmu kepandaiannya kalau jauh dengan Lingga
W isnu. Semua orang tahu akan hal itu. Dan sebenarnya
tak perlu Cocak Mengi menutup-nutupi kekalahannya.
Diantara keluarga Mataum yang berkumpul di dalam
gedung itu, tinggal Cocak Prahara, Cocak Rawa dan
Cocak Ijo. Cocak Ijo adalah seorang ahli pembidik
senjata jauh. Senjata yang digunakan adalah semacam
belati panjang yang tipis. Bentuknya setengah golok
setengah pisau. Tajamnya luar b iasa. Selain itu
mengandung racun dahsyat. Selama hidupnya, belum
pernah ia kehilangan sasaran bidikannya. Selalu tepat,
dan tak pernah meleset. Senjata andalannya disimpan dalam sebuah kantong
semacam tempat anak panah. Masing masing senjata
mempunyai daya berat setengah kilo, dan biasanya
senjata bidik terlepas tanpa suara. Tapi senjata bidik
Cocak Ijo yang istimewa itu, meraung nyaring seperti
seruling. Itulah disebabkan pada ujung goloknya terdapat
sebuah lobang sebesar biji asam. Suara itu sendiri
dimaksudkan sebagai suatu sant un. Lawan diperingatkan
terlebih dahulu agar bersiaga penuh, begitu mendengar
suara raungan. Akan tetapi sebenarnya raungan suara itu
justru mengacaukan pemusatan lawan. Salah-salah bisa
membuat lawan yang kecil hati jadi bingung dan gugup.
Melihat kakaknya gagal menguji ketangguhan Lingga
W isnu, tanpa berbicara lagi ia melompat ke dalam
gelanggang. Katanya nyaring :
"Saudara Lingga! Tahun depan umurku lagi mencapai
empatpuluh t ahun. Jadi, aku masih pant as menyebutmu
sebagai saudara. Kau hebat, saudara. Dengan senjata
kayu kau bisa mentaklukkan tongkat mustika kakakku.
Bagaimana kalau sekarang aku mencoba-coba senjata
bidikku?" Setelah berkata demikian, ia mengalihkan kantong
kulit yang berada dipunggung ke pinggang.
Lingga W isnu menatap gerak-gerik Cocak Ijo sebentar.
Rasanya tiada gunanya ia mencoba menolak. Maka
terpaksalah ia mengangguk. Sahutnya:
"Baiklah, hanya saja tak berani paman menyebut
diriku dengan paman. Sebab aku sudah mengangkat
saudara dengan kemenakanmu. Harap saja paman sudi
bermurah hati terhadapku."
Ia mengembalikan pedang kayu kepada si bocah yang
meminjami. Kemudian balik kembali meminjami. Dan
kemudian balik memasuk i gelanggang. Ia tahu, kali ini
bakal menghadapi pertempuran seru. Apa lagi ia
menghadapi keluarga Mataun yang termuda. Pastilah dia
lebih berangasan dari pada saudara saudaranya yang tua
tadi. Dalam pada itu, semua penonton mundur sampai ke
dinding. Mereka tahu senjata bidik Cocak ljo tak boleh
dibuat sembrono. Sekali terlepas, maka udara akan
dipenuhi golok dan belati yang berterbangan dengan
suara meraung, tak mengherankan suasana gelanggang
jadi tenang karena malapetaka mengancam pada
sembarang waktu. Sebab apabila Lingga W isnu terpaksa
mengelak seniata bidik akan terus meluncur menikam
salah seorang penonton yang lagi bernasib sial.
Lingga W isnu sendiri kala itu terpaksa memeras otak.
Bagaimana cara yang sebagus bagusnya untuk melawan
senjata bidik Cocak Ijo" Kalau hanya main tangkap,
rasanya kurang kena. Karena gerakan itu hanya
memperlihatkan suatu kegesitan belaka. Seumpama
Cocak Ijo bisa dikalahkan dengan cara demikian,
tentunya dia belum puas. Kecuali apabila sanggup
menanamkan rasa segan ke dalam hati mereka semua
agar Suskandari dibebaskan dengan hormat. Pikirnya:
"Dia hendak memperlihatkan kepandaiannya dalam hal
membidikkan senjata. Kenapa aku tak menirunya" Dan
memperoleh pikiran demikian, segera ia berkata lagi :
"Paman biarlah aku mengambil segnggam batu untuk
menghadapi senjata bidik paman yang dahsyat."
Setelah berkata demikian, ia keluar gelanggang dan
mengambil seraup batu-batu kerikil yang kecil. Ia sudah
memperoleh keputusan hendak melawan senjata bidik
Cocak Ijo dengan ilmu ajaran Ki Ageng Gumbrek.
"Silainkan!" katanya set elah memasuki gelanggang
kembali. "Hati-hati!" Cocak Ijo memperingatkan.
Berbareng dengan peringatannya, sebatang golok
menyambar dengan suara meraung. Hebat suara
raungan itu. Gerakan Cocak Ijo tangkas pula. Maka
cepat-cepat, Lingga W isnu menyentil sebuah batu. Tak!
Batu membentur ujung golok. Dan suara raungan itu
terhenti, karena batu menyumbat lobang suara.
"Bagus!" Cocak Ijo memuja.. "Kalau begitu tak boleh
aku bersegan-segan lagi. Hati-hatilah!"
Dua belati t erbang menyambar dengan sekaligus. Dan
dua kali pula terdengar bentrokan nyaring. Yang pertama
terhajar miring dan menancap pada tiang. Sedang yang
kedua runtuh bergelontangan di lantai. Peristiwa itu
benar-benar mengejutkan Cocak Prahara y ang mengikuti
adu kepandaian antara saudara-saudaranya melawan
Lingga W isnu. Betapa tidak" Senjata bidik Cocak Ijo mempunyai
berat kurang lebih setengah kilo. Kena tenaga lontaran
pembidiknya akan mempunyai daya berat sekian kali
lipat. Akan tetapi kena diruntuhkan Lingga wisnu yang
hanya bersenjatakan kerikil. Tak usah dikatakan lagi
bahw a himpunan tenaga sakti Lingga Wisnu diatas Cocak
Ijo. W ajah Cocak Ijo nampak berubah, begitu menyaksikan runt utnya dua belati. Tapi pada saat itu
pula, ia memberondongkan empat belatinya sekaligus.
Lingga W isnu sudah mempunyai dugaan demikian. Ia
menyongsong sambitan belati Cocak Ijo dengan empat
butir kerikilnya Ting, ting, ting ting! Dan empat belati
Cocak Ijo runtuh di atas lantai saling susul seperti t adi.
"Akh! Bagus! Bagus!" seru Cocak Ijo.
Ia seperti menyatakan pujian dengan hati tulus, akan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi hatinya sesungguhnya mendongkol bukan main.
Segera ia melepaskan mbelatinya sekaligus. Kemudian
dua batang goloknya menyusul beberapa detik. Arah,
bidikannya memenuhi keblat penjuru. Akan tetapi
sasarannya satu. Teriaknya di dalam hati: 'Hmm Coba
ingin kulihat, apakah kau mampu meruntuhkan ke enam
golok dan kedua golokku yang datang dari berbagai
penjuru ...' Terbangnya delapan senjata bidik Cocak Ijo membawa
suara meraung-raung berisik sekali. Kena pantulan sinar
lampu, kedelapan senjata bidik itu membawa cahaya
berkeredepan. Tapi sebentar saja, baik suara raungan
maupun cahaya berkeredepan itu, padam dengan
mendadak, kena benturan enambelas kerikil Lingga
W isnu yang bersuing pula di udara.
'A kh! Benar-benar hebat!" seru Cocak Ijo di dalam
hati. Sekarang ia jadi penasaran. Dengan semangat
tempur yang menyala-nyala, ia me lepaskan enam batang
belati dan goloknya sampai tiga kali berturut-turut saling
menyusul. Tak usah dikatakan lagi, betapa berisik suara
raung lalu lintas udara. Cocak Prahara adalah seorang pendekar berpengalaman. Melihat gerak-gerik Lingga W isnu gesit
dan tangkas luar biasa, tahulah dia bahw a pemuda itu
pasti murid seorang pendekar yang berkepandaian t inggi
luar biasa. Kalau sampai golok atau belati Cocak Ijo
melukainya, akan panjang ekornya. Maka buru-buru'ia
berteriak mencegah : "Adik! Jangan menuruti hati panas saja! Tahan!"
Tetapi pencegahan itu sudah kasep. Tiga kali berturutturut, Cocak Ijo melepaskan
senjata bidiknya. Setiap kali
ia melepaskan enam batang. Dengan demikian,
delapanbelas batang senjata bidik berkeredepan memenuhi udara tak ubah hujan grimis. Adalah tak
mungkin untuk menarik kembali.
Lingga W isnu sendiri bersikap tenang luar biasa
menghadapi hujan senjata bidik. Mula-mu la ia menebarkan duabelas batu kerikilnya unt uk meruntuhkan
enam batang golok. Kemudian ia melesat kesana kemari
menangkap enam belati susulan. Setelah kena tergenggam ditangannya, ia menyambitkan kembali
meruntuhkan enam golok yang menyambar untuk yang
ketiga kalinya. Dengan t iga gerakan itu, kedelapan belas
senjata bidik Cocak Ijo rontok bergelontangan di atas
lantai. Dan yang kena bentur senjata kerikilnya terbang
keluar gelanggang menancap pada dinding. Itulah suatu
pemandangan yang benar-benar mempesonakan. Mereka
semua yang melihat, memekik tertahan oleh rasa heran
dan kagum. Pandang mata Cocak Prahara, Cocak Abang Cocak
Mengi, Cocak Rawa dan Cocak Ijo mendadak menjadi
bengis. Dengan serentak mereka berteriak nyaring :
"Apakah kedatanganmu ke mari atas perintah Bondan
Sejiwan?" Lingga W isnu tercengang. Memang, ia tadi menggunakan jurus ilmu w arisan Bondan Sejiwan t atkala
menghadapi rumunan golok terbang Cocak Ijo. Tetapi
bagaimana mereka berlima, bisa mengenal dengan sekali
melihat saja" Pemuda itu tak tahu, bahwa pada jaman mudanya
mereka berlima pernah bertempur melawan Bondan
Sejiwan. Tatkala Cocak Ijo dahulu menyerang dengan
delapanbelas senjata bidiknya, cara menangkap dan
mengadakan perlawanan' Bondan Sejiwan tak beda
dengan cara perlawanan Lingga W isnu yang berhasil
memunahkan serangan golok terbang Cocak Ijo, benarbenar tak pernah terlupakan.
Di dunia ini hanya dia seorang. Bertahun tahun lamanya, mereka membicarakan dan merundingkan gerakan Bondan
Sejiwan yang ternyata merupakan obat pemunah
sambaran golok terbang yang ampuh. Gerakan itu tak
pernah terhapus dari ingatannya. Bahkan seringkali
dibawanya bermimpi. Itulah sebabnya, begitu melihat
gerakan perlawanan Lingga W isnu segera mereka
mengenal t anpa ragu-ragu lagi.
Lingga W isnu tak mengetahui latar belakang sejarah
mereka berlima yang bersangkut paut dengan Bondan
Sejiwan. Melawan Cocak Rawit, Cocak Abang dan. Cocak
Mengi tadi, ia hanya menggunakan jurus-jurus ajaran
kedua gurunya. Tapi setelah merasa terdorong kepojok
oleh sarbaran belati terbang Cocak Ijo, dengan tak
dikehendaki sendiri mengadakan perlawanan dengan
jurus warisan Bondan Sejiwan. Memang warisan ilmu
Bondan Sejiwan sudah meresap di dalam darah
dagingnya, seolah-olah miliknya sendiri. Karena itu cara
menggunakannya secari naluri belaka.
Begitulah tatkala mendengar pertanyaan itu segera ia
hendak maiiberi keterangan. Tapi pengalaman hidupnya
yang pahit, menahan diri. Ia menaruh curiga terhadap
bunyi dan nada pertanyaan mereka. Cara mereka
bertanya, mengingatkan dirinya kepada musuh-musuh
ayah-bundanya yang bersikap galak dan main paksa.
Mulut nya yang Sudah bergerak, segera menutup
kembali. Selagi demikian, terlihatlah t iga orang memasuki
paseban. Yang berjalan di depan adalah Suskandari yang
terbelenggu kedua tangannya. Ia dikawal oleh dua orang
yang bersenjata terhunus karena rupanya, baru saja
Suskandari dikeluarkan dari lubang jebakan.
Melihat munculnya Suskandari, hati Lingga W isnu
tergetar. Terus saja ia melesat menghampiri Cocak
Prahara dan Cocak Bawun segera memburunya dengan
senjata andalannya masing masing.
Lingga W isnu tak menghiraukan. Ia menyusul
Suskandari. Tiba-tiba dua pengawalnya menyerang
dengan berbareng. Cepat ia mengendapkan diri. Dan
pada detik itu, terdengarlah suatu bentrokan senjata
tajam. Itulah bentrokan senjata antara dua pegawai
Suskandari dan Cocak Prahara.
"Tolol' Minggir" bentak Cocak Prahara dengan hati
mendongkol. Lingga W isnu tadi, tidak mengadakan
perlawanan tatkala kena serang dua pengawal Suskandari. Ia hanya mengendapkan diri, sehingga
kedua nedang penyerangnya menyelonong melalui
punggungnya. Justru pada saat itu Cocak Prahara dan
Cocak Hawun sedang menyerang pula. Dengan begitu
senjata mereka berempat jadi berbenturan. Keruan saja,
dua pengawal itu kaget setengah mati. Mereka heran
bukan kepalang atas terjadinya benturan itu.
Pada saat itu, Lingga W isnu mempunyai kesempatan
menghampiri Suskandari. Dengan ,sekali tabas,' ia
memutuskan tali pembelenggu dengan pedang Suskandari yang masih tergantung di pinggangnya.
Kemudian berkata : "Ini pedangmu!"
"Kak Lingga!" seru Suskandari girang. Cepat ia
membuang tali pembelenggunya dan terus menerima
pedangnya. Dan baru saja pedangnya dipegangnya, dua
batang tombak pendek Cocak Prahara melintang
didepannya. Ia terperanjat. Tapi pada saat itu, ia
mendengar suara mengaduh. Cepat ia menoleh dan
melihat dua pengawal yang sialan tertumblas tombak
Cocak Prahara. Unt ung Cocak Prahara masih sempat
menyasarkan tikamannya hingga hanya mencublas paha.
Kalau tidak, mereka berdua pasti akan menjadi sate
mentah.. Peristiwa itu terjadi oleh kecekatan Lingga W isnu yang
bisa mengambil keputusan di luar dugaan. Melihat
ancaman bahaya, sebat ia menyambar dua pengawal
yang menyerang dari samping dan dibenturkan pada
tombak majikannya. Dan set elah itu, ia merenggut tali
pembelenggu Suskandari untuk dijadikan alat melawan
keganasan tombak Cocak Prahara.
Cocak Prahara pada saat itu mendongkol bukan main.
Dengan geram, ia mendupak kedua begundalnya.
Kemudian mengulangi t ikamannya kembali. Lingga W isnu
menyambar tangan Suskandari dan dibawanya melompat
mundur. Kemudian ia melibat ujung tombak Cocak
Prahara dengan tali pembelenggu.
Sudah barang tentu, Cocak Prahara tak sudi kena
libat. Untuk membebaskan libatan itu, ia melompat
dengan menikamkan tombaknya lagi untuk yang ketiga
kalinya. Lingga W isnu memuji kecekatannya. Tetapi
ot aknya yang cerdas dapat mengambil tindakan diluar
dugaan. T adi menang ia bermaksud menarik tombak itu,
setelah melibatnya. Apabila Cocak Prahara meloncat
Pendekar Bloon 2 Pedang Keadilan Karya Tjan I D Pendekar Jembel 10
^