Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 10

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 10


ukiran. Makin lama makin ia merasa menjadi lancar. D an
gerakan-gerakan itu diulanginya beberapa kali* sampai
didalam ingatannya. "Terima kasih," kata Lingga W isnu sambil bersembah
ke arah kuburan Bondan Sejiwan yang berada di
depannya. Tiba-tiba terlihatlah pedang kehitam-hitaman
yang masih menggeletak di atas tempat duduk almarhum
yang kini dijad ikan nisan. Aneh bentuk pedang itu.
Setengah berbentuk pedang dan setengah berbentuk
keris. Bagiannya melengkung tiga kali dan pada ujungnya
terdapat semacam sungut kelabang. Sungut ini
bentuknya seolah-olah dipersiapkan untuk menggaet
senjata lawan. "Pedang apa ini?" p ikir Lingga W isnu di dalam hati.
Dengan obornya ia meneliti. Pada hulunya terdapat
sederet huruf berbunyi: Pedang Kebo Wulung.
Selagi mengamat-amati dan mengagumi bentuk
pedang itu, pandang matanya melihat seonggok senjata
bidik yang berbentuk kelabang dan bor. Itulah senjata
bidik yang istmewa sekali. Tanpa ragu-ragu lagi Lingga
W isnu memungutnya dan mengantonginya. Ingatannya
terus berjalan lagi. Kini teringat kepada pesan tulisan
pendekar luar biasa Bondan Sejiwan yang tertera pada
sampulnya. Bahasanya, sebagai upah saja, diperkenankan menelan ramuan obat mustika. Ramuan
obat mustika apakah yang dimaksudkan" Lingga W isnu
jadi berteka-teki. Tatkala kembali ke rumah pertapaan segera ia mencari
bungkusan obat tersebut yang terletak dalam lapisan peti
sebelah atas. Sebagai seorang yang pernah hidup
disamping Palupi, dengan segera dapatlah ia membedakan antara racun dan obat. Mengingat bahwa
ramuan obat yang disebutkan sebagai ramuan obat
mustika itu berada dalam peti kecil, pastilah bukan
barang beracun. Dengan tak ragu-ragu lagi ia terus
menelannya. Tetapi alangkah terkejutnya! Tiba-tiba kepalanya
menjadi pusing. Seluruh t ubuhnya menjadi panas-dingin.
Beberapa saat kemudian Lingga W isnu melontarkan
darah kental hitam. Dengan sekuat tenaga ia merangkakrangkak menghampiri,
pembaringannya. Belum lagi
tangannya dapat meraba tepi pembaringan ia roboh
terkulai. Entah berapa lama ia berada dalam keadaan tak
sadar. Tahu-tahu ia merasa diri berselimut di atas
pembaringannya. Dilihatnya paman Ganjur duduk disisi
pembaringan dengan pandang cemas. Begitu melihat
Lingga W isnu menyenakkan mata, dengan hati girang
paman Ganjur yang baik hati itu memeluk dan
menciuminya. Kemudian dengan gerak gerik tangannya,
paman yang baik hati itu menanyakan kesehatannya.
"Kenapa aku?" tanya Lingga W isnu.
Ganjur memberi keterangan dengan isyarat tangannya. "Aku pingsan" Berapa lama?" Lingga W isnu mint a
keterangan. Ganjur, paman yang baik hati itu menunjukkan tiga
jari tangannya di depan hidungnya. Dan dengan
tangannya pula ia mengabarkan bahw a Lingga W isnu
melontakkan darah terus-menerus dalam tiga hari itu.
Paman Garflur menunjuk pada bentong bentong merah
yang melumuri pembaringannya. Dan memperoleh
keterangan itu, serentak Lingga W isnu bangkit. Pemuda
itu heran, mengapa dirinya, tiba-tiba merasa ringan
sekali. Tak dikehendaki sendiri Lingga W isnu berseru
girang. "Paman, lihat! Aku bisa bergerak begini lincah. Oh,
paman ... apakah darah kental ini bukan racun
Pacarkeling yang sekian tahun lamanya mengeram di
dalam diriku?" Ganjur tidak mengetahui tentang masalah racun
Pacarkeling. Ia hanya melihat wajah Lingga W isnu
bersinar cerah. Itulah pernyataan suatu luapan rasa
girang luar biasa. Mengapa girang"
Lingga W isnu mint a kepada paman Ganjur supaya
membersihkan tempat tidurnya. Setelah membersihkan
diri, dengan perlahan-lahan ia mencoba menerangkan
tentang racun Pacarkeling yang telah lama mengeram di
dalam tubuhnya. Memperoleh perasaan bahw a keadaan
tubuhnya kini tiba-tiba menjadi ringan dan gesit, ia
menduga bahwa gumpalan darah hitam kental itu
pastilah racun Pacarkeling. Ganjur bisa menerima
keterangannya Lingga W isnu. Sekarang ia jadi mengerti.
Apa sebab Lingga Wisnu berkurang tenaganya setiap kali
melontarkan pukulan-pukulannya. Ia
jadinya ikut bersyukur dan girang hati, apabila racun Pacarkeling
benar-benar bisa terenggut dari t ubuh Lingga W isnu oleh
obat mustika warisan Bondan Sejiwan.
Untuk mengatur keseimbangan tenaganya, Lingga
W isnu membutuhkan istirahat enam hari lamanya.
Setelah itu dengan tiada bosannya ia meyakinkan semua
ajaran yang terdapat dalam kitab peninggalan Bondan
Sejiwan. Kemudian Lingga W isnu juga mencoba
menyelami ilmu pedang dengan menggunakan pedang
Kebo Wulung. Hasilnya sungguh mengagumkan. Kecuali
jauh lebih serasi dan cocok, tajamnya luar b iasa pula.
Dengan sekali tabas, terpotonglah batu pegunungan.
Keruan saja Lingga W isnu girang bukan main. Benar
benar sebilah pedang mustika.
'Mungkin sekali pendekar besar Bondan Sejiwan sesat
perjalanan hidupnya. Akan tetapi kepandaiannya harus
dikagumi.' Lingga W isnu memberi pertimbangan dan
penilaian terhadap almarhum pendekar luar biasa
Bondan Sejiwan. Dan makin Lingga W isnu menyelami
ilmu-ilmu sakti almarhum, makin ia kagum. Dalam hati
pemuda itu menaruh hormat setinggi-tingginya.
Enam bulan lewatlah sudah. Sekarang sampailah
Lingga W isnu pada t iga lembar t erakhir. Tiba-tiba saja ia
menemukan jalan buntu seperti dahulu. Dengan seksama
pemuda itu mengulangi membaca kalimat-kalimatnya.
Kemudian mencoba memecahkan dan menyelami dengan
perbandingan ilmu sakti warisan Kyahi Sambang Dalan
dan Ki Ageng Gumbrek. Tetap saja ia terbentur pada
masalah yang tak terpecahkan. Ia jadi heran dan kagum
bukan main. Benar-benar ilmu sakti Bondan Sejiwan
merupakan suatu perbendaharaan ilmu kepandaian yang
sangat tinggi. Jangan lagi menggunakan ajaran ilmu sakti
pendekar-pendekar lain, sedangkan ajarannya, seumpama seseorang telah dapat mewarisi bagian ilmu
saktinya yang telah terbaca, t ak akan dapat membentur
bagian yang terakhir ini.
Tiga hari tiga malam penuh Lingga W isnu mencoba
menyingkap tabir teka-teki itu. W aktu itu bulan gede
memancarkan sinarnya d iluar pertapaan. Teringatlah
Lingga W isnu akan pengalamannya, sewaktu Cocak
Obar-abir dan Gumuling, menyusup ke dalam rumah.
Hampir-hampir saja ia menemui malapetaka. Maka
pikirnya d i dalam hati: 'Ilmu sakti pendekar Bondan Sejiwan ini bersifat luar
biasa. Aku tak sanggup memecahkan teka-teki yang
terakhir. W alaupun demikian, aku sudah memiliki
sebagian besar ilmu saktinya dan aku harus bersyukur
serta berterima kasih. Dengan berbekal sebagian besar
ilmu saktinya, rasanya aku sanggup menghadapi lawanlawan berat betapa licinnya
pun. Sebaliknya apabila kitab
warisannya ini sampai terbaca oleh orang-orang berhati
kejam dan bengis, bahaya besar pula. D ari pada jatuh di
tangan mereka, lebih baik kubakarnya saja ...'
Oleh pikiran itu, Lingga W isnu lalu menyalakan api.
Kedua kitab warisan pendekar Bondan Sejiwan lantas dibakarnya. Sekian
lamanya nyala api membakar kedua kitab warisan itu. Akan tetapi aneh! Selagi lembaranlembaran kedua kitab itu
menjadi hangus, kulit penutupnya hanya menjadi hitam saja. 'Kenapa tak terbakar"' pikir Lingga W isnu dan ia
mencoba membesetnya. Tetapi tak berhasil. Meskipun
kedua tangannya kini bertenaga kuat luar biasa. Lingga
W isnu memperhatikan kulit buku itu, dengan seksama.
Setelah dipencet dan disent il pada tempat-tempat
tertentu, tahulah Lingga W isnu bahwa kulit buku itu
terbuat dari tembaga bercampur logam tertentu.
Kekuatannya mirip dengan baju mustika hadiah Ki Ageng
Gumbrek, yang tak mempan senjata tajam maupun api.
Dengan menggunakan pisau, Lingga W isnu lalu
membuka kedua lapisan kulit buku tersebut. Ia heran
tatkala menemukan dua lembar kulit lembu yang tipis
sekali. Setelah diperhatikan t ernyata merupakan deretan
kalimat dan peta. Lingga W isnu membaca :
=Siapa memperoleh harta terpendam ini, hendaklah
mencari seorang perempuan bernama Sekamingrum
yang bertempat tinggal di dusun Popongan. Berilah dia
seratus ribu ringgit agar dapat menyambung hidupnya
seperti layaknya seorang perempuan yang mempunyai
harga diri! = 'Apa artinya in i"' pikir Lingga W isnu di dalam hati.
'Pendekar besar Bondan Sejiwan nampaknya seorang
tinggi hati. Bunyi kalimatnya seolah-olah seorang
panbesar yang dipertuan!'
Sekarang Lingga W isnu memeriksa lembaran kulit
yang kedua. Itulah gambar contoh contoh ilmu pukulan.
Tatkala diperhatikan dengan seksama, ia terkejut
berbareng girang. Ternyata itulah kunci jawaban jurusjurus pada tiga lembaran
terakhir yang memacetkan latihannya. Sekarang, hatinya penuh syukur dan
berulangkali menghela napas lant aran kagum. Terasa
sekali bahw a semuanya sudah diatur demikian rupa
sehingga ahliwaris yang dikehendaki pendekar itu,
terpaksa harus mencari penjelasannya dalam lipatan kulit
kitab. Benar-benar cermat dan hebat!
'Kalau begitu peta gambar yang mengabarkan tentang
harta terpendam, pastilah bukan suatu lelucon belaka,'
pikir Lingga W isnu di dalam hati. Sekiranya tidak
demikian, apa perlunya petanya disimpan sangat rapi"
Beliau menghendaki agar membagi harta terpendam
kepada seseorang yang bernama Sekarningrum. Sebagai
upah jasanya, dikabarkan kunci jawaban jurus-jurus
lembaran terakhir, yang memang merupakan int i sari
seluruh ilmu w arisannya.
Kedua lembar kertas itu lantas disimpannya rapihrapih di dalam ku lit kitab
semula. Kemudian ia rajin
berlatih. Dan enam hari lewatlah sudah. Sekali lagi ia
memperhatikan pesan pendekar Bondan Sejiwan tentang
seseorang yang bernama Sekarningrum. Hidupkah dia
pada jaman ini" Jangan-jangan Sekarningrum hidup pada
jaman angkatan kakek-moyangku.
Pada hari ketujuh ia memasukkan kulit kitab warisan
ke dalam buntalannya yang sederhana. Kemudian
mengucap selamat berpisah kepada paman Ganjur.
Dengan air mata berlinangan, paman gagu yang baik hati
itu mengantarkannya sampai di pinggang gunung.
Berat rasa hati Lingga W isnu berpisahan dengan
Ganjur. Paman gagu itu tak ubah ayah kandungnya
sendiri. Tetapi justru teringat akan itu timbul ah
semangat penuntutan dendam di dalam hati Lingga
W isnu. Bukankah maksudnya yang utama hendak
mencari musuh ayah-bundanya yang membuat bencana
maha besar terhadap keluarganya. Dan oleh ingatan itu
sekaligus berkobar kobarlah darah mudanya. Dan dengan
menegakkan dada, ia meninggalkan pinggang gunung
Dieng. Inilah untuk pertama kalinya ia berjalan seorang diri.
Setelah sepuluh tahun lamanya ia tersekap di atas
gunung, benar-benar membuat dirinya terasing dan
asing dari semua penglihatannya yang berada di depan
matanya. Semuanya, seolah-olah serba baru baginya.
Tatkala sampai di batas kota yang berada di kaki


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung, ia melihat gerakan tentara. Pada tiap-tiap
tempat t ertentu terdapat penjagaan tentara rakyat yang
berada membantu perjoangan Pangeran Mangkubumi I
dengan sukarela. Mereka melakukan pemeriksaan
terhadap orang-orang yang melint asi penjagaan.
Melihat penjagaan keras itu, teringat kembalilah
Lingga W isnu kepada pengalamannya. Untuk menghindarkan rasa kecurigaan, ia menyimpan Kebo
W ulung serapih mungkin. Lalu mengambil jalan
pegunungan. Dengan demikian beberapa kali ia bisa lolos
dari pemeriksaan para penjaga.
Empatbelas hari dan empatbelas malam Lingga W isnu
berjalan terus-menerus dengan mengambil jalan berputar. Ia beristirahat hanya pada malam hari. Dan
meneruskan perjalanan menjelang fajar. Dari dusun
Sapuran ia mengarah ke timur laut. Dusun-dusun yang
dilalu inya tak terhitung lagi jumlahnya. Setelah tiba di
dusun W onosegara ia memasuki hutan belukar dan tiba
di dusun Tangen pada hari ke duabelas. Sebenarnya
dusun Tangan sangat dekat dengan Sukowati tempat
gurunya berada. Akan tetapi selama h idupnya belum
pernah ia mengenal daerah Sukowati. Tak mengherankan, ia tersesat sampai jauh ke timur. Dan
pada hari ke empatbelas tibalah Lingga W isnu di dusun
Trinil. Dusun Trinil t erletak di tepi Bengawan Solo. Pedagang
pedagang besar yang mengangkut barang dagangannya
lewat sungai, berhenti di dusun itu sebelum memasuki
kota Ngawi. Maka dusun Trinil mengundang tengkulaktengkulak yang datang dari
kota-kota di daerah Jawa Timur. Dengan demikian, pada dewasa itu dusun Trinil
menjadi pusat perdagangan.
Di dusun inilah, Lingga W isnu baru mengetahui bahw a
daerah Sukowati sudah jauh terlint asi. Unt uk balik
kembali ke arah barat, beberapa pedagang menyarankan
agar menggunakan rakit atau perahu tambang saja.
Kecuali menghemat waktu, perjalanan itu tidak begitu
memint a tenaga pula. Demikianlah, setelah bersantap Lingga W isnu mencari
perahu tambang sewaan yang berlayar mengarah ke
barat. Ia mendapat sebuah perahu besar. Pemiliknya
seorang doyan duit. Namanya Kertomidin alias Demalung. Penyewanya seorang pedagang besar
bernama Nitigurnito. Ia seorang peramah dan usianya
kurang lebih empatpuluh sembilan tahun. Oleh gerincing
uang, Kertomidin memberanikan diri untuk minta idzin
kepada Nitigurnito agar menerima Lingga W isnu di dalam
perahu yang sudah disewanya. Dan ternyata Nitigurnito
tidak berkeberatan. Pada waktu Kertomidin hendak menjalankan perahunya, seorang pemuda nampak berlari-lari kencang
mendatangi. Pemuda itu berteriak-teriak pula memint a
tempat menumpang ke Sragen. Katanya, dia mempunyai
persoalan yang penting di kota itu.
Lingga W isnu tertarik hatinya t atkala mendengar suara
teriakan pemuda itu yang kedengaran nyaring dan halus.
Dia pun heran pula tatkala melihat w ajahnya. Pikirnya di
dalam hati: "Apakah benar di dunia ini terdapat seorang pemuda
yang begini cakap?" Pemuda itu umurnya kurang-lebih duapuluh tahun.
Kulitnya kuning-halus. Mokanya bersemu dadu dan
membawa-bawa buntalan di punggungnya. Buntalannya
terbuat dari kain mirip kantong beras. Nampaknya terisi
penuh. Nitigurnito berkenan terhadap pemuda itu. Dengan
ramah ia mengijinkan si tukang perahu agar menerimanya sebagai penumpangnya yang baru. Sudah
barang tentu Kertomidin alias Demalung yang sangat
doyan duit, girang bukan kepalang. Buru-buru dipasangnya sebuah tangga papan untuk menyambut
kedatangan pemuda itu. Tetapi begitu pemuda itu
menaruhkan kakinya di atas perahu, Lingga W isnu
terkejut. Ia merasakan, betapa perahu sekonyongkonyong seperti melesak ke dalam
air. Ia heran, sebab pemuda itu berperawakan kurus dan berat tubuhnya
tidak akan melebihi limapuluh kilogram. Apa sebab dia
demikian berat" Apakah karena buntalannya yang
nampak besar itu" Begitu mendarat di atas perahu, pemuda itu memberi
hormat kepada Nitigurnito dan Lingga W isnu. Ia
menyatakan rasa terima kasihnva. Kemudian memperkenalkan namanya, Yunus. Karena mendapat
kabar ibunya sakit keras, maka pada hari itu ia
bermaksud cepat-cepat menyambangi. Nampaknya
pemuda itu, yang bernama Yunus, menaruh perhatian
kepada Lingga W isnu. "Saudara Lingga," katanya. "Mendengar lagu suaramu,
pastilah engkau bukan penduduk sini."
"Benar," jawab Lingga W isnu. "Aku dibesarkan di
sekitar kota Wonosobo. Inilah untuk yang pertama
kalinya aku berada di dekat perbatasan Jawa Tengah."
"Dari W onosobo" Kalau begitu, pastilah saudara
Lingga mempunyai urusan besar disini."
"Akh, tidak. Aku berjalan hanya untuk melihat dunia."
Lingga W isnu memberi keterangan.
Selama perahu berlayar, mereka berdua asyik
berbicara. Tiba-tiba dua buah perahu datang dengan
cepat. Bagaikan anak panah, kedua perahu itu
mendahului. Yunus mengawaskan kedua perahu itu yang
lenyap di tikungan sungai sebelah depan dengan
cepatnya. Kira-kira menjelang jam dua tengah hari, saudagar
Nitigumito yang baik budi itu mengundang mereka
berdua, menemaninya makan siang. Lingga W isnu
menghabiskan tiga piring nasi, sedang Yunus hanya
sepiring. Selama makan dan minum, gerak-gerik Yunus
nampak berkesan makin halus.
Dan baru saja mereka selesai makan siang,
terdengarlah suara air terkayuh. Lalu nampaklah dua
buah perahu lewat di samping. Sebuah diantaranya amat
menarik perhatian. Seseorang yang bertubuh besar
berdiri di ujung perahunya sambil mengerlingkan
matanya beberapa kali. Yunus nampak tak senang hati.
Sepasang alisnya terbangun dengan tiba-tiba. Matanya
bersinar tajam dan wajahnya berubah merah padam.
Lingga W isnu heran menyaksikan perubahan wajah
kawannya itu. Pikirnya di dalam hati :
'Dia begini muda dan cakap. Apa sebab romannya bisa
berubah menjadi sengit dengan mendadak"'
Yunus melihat kesan wajah Lingga W isnu yang
memancarkan pandang heran. Cepat-cepat ia tersenyum.
Dan kembalilah wajahnya yang lemah lembut. Sikapnya
halus dan menawan seperti sediakala. Tatkala itu,
Kertomidin alias Demalung, datang menyuguh air teh
hangat. Untuk mengalihkan kesan Yunus segera
menghirup air tehnya. Tak disangkanya, rontokan tehnya
masih terapung apung seperti kerumun ratusan anak
nyamuk Idih! alangkah jorok dan kasar! Tak d ikehendaki
sendiri ia mengerutkan alis. Dan caw an teh diletakan di
atas meja pendengan dengan perasaan kesal.
Semuanya itu tak luput dari pengamatan Lingga
W isnu. Untuk pertama kalinya ini, ia merant au seorang
diri tanpa kawan t anpa sanak keluarga. Kecuali berbekal
pengetahuan yang diperolehnya dari beberapa gurunya
dan pengalaman h idupnya semasa berumur delapan
tahun, tiada sekelumit pengalaman lagi. Unt unglah, dia
seorang pemuda yang memiliki karunia Tuhan. Otaknya
hidup dan perasaannya tajam. Melihat kesan dan gerakgerik Yunus, ia memperoleh
suatu perasaan, bahwa antara pemuda itu dan penumpang empat perahu yang
lewat dan berpapasan tadi, pasti terselip suatu perkara.
Hanya saja, tak dapat ia menebak, perkara apa yang
pernah terjadi. Oleh pikiran itu, diluar kehendaknya
sendiri ia mengawasi dua perahu yang t adi lewat dengan
cepat. Menjelang petanghari, perahu singgah di sebuah
dusun. Karena haus kepada penglihatan - Lingga W isnu
menyatakan diri hendak turun ke darat. Ia mengajak
Nitigurnito menemani. Tetapi saudagar itu menolak,
lantaran tak dapat meninggalkan barang dagangannya.
Katanya : "Lagi pula apa keuntungannya mendarat di sebuah
dusun yang sunyi sepi" Apa yang dapat di lihat dan
dinikmati" Inilah dusun mati tak ubah sebuah kuburan
panjang. Tiada lain kecuali tegalan, sawah dan
pengempangan ikan." Jelas sekali maksud Nitigurnito. Dia hendak berkata,
bahw a hanya orang yang hidupnya tak ubah seekor
katak di dalam tempurung, yang masih bisa tertarik
penglihatan sekitar dusun yang sunyi itu. Akan tetapi
Lingga W isnu tak bersakit hati. Ia seorang pemuda yang
jujur terhadap dirinya sendiri. Memang, bukankah dia
seorang pemuda yang sekian tahun lamanya tersekap di
atas dusun" Maka ia bersenyum ihlas, menerima sindir
itu. Dan seorang diri ia turun ke darat. Sampai lewat
magrib ia berjalan keliling dusun dan memasuki kedai
minuman. Setelah membeli beberapa butir buah-buahan,
barulah ia kembali ke perahunya, hendak ia memanggil
Nitigurnito dan Yunus untuk menemani menggerumuti
buah-buahannya, tetapi mereka berdua ternyata sudah
tenggelam di dalam selimut nya. Setelah berenungrenung sejenak, iapun lantas
merebahkan diri pula. Pada t engah malam, t erdengarlah suara suitan (siulan
tajam) panjang samar-samar. Pendengaran Lingga W isnu
tajam luar biasa. Segera ia terbangun dari mimpinya, dan
dengan diam-diam ia merapikan pakaiannya.
Tak lama kemudian, terdengarlah suara pengayuh
perahu meraba permukaan air. Terang, ada sebuah
perahu mendatangi. Dan dengan tiba-tiba Yunus
terbangun dari tidurnya. Ia bangkit dan duduk dengan
mendadak. W ajahnya nampak tegang diant ara cahaya
pelita perahu yang menyala samar-samar. Ternyata ia
tidur tanpa membuka pakaian dalamnya. Dari bawah
selimut nya, ia menghunus sebatang pedang panjang.
Kemudian ia berjalan memburu bagian depan perahu.
Sikapnya garang dan ganas. Keruan saja Lingga W isnu
terkejut dan heran. Pikirnya menebak-nebak :
'Apakah dia salah seorang kaki-tangan pembajak yang
sengaja menyelundup ke dalam perahu ini untuk
mengincar barang-barang dagangan paman Nitigurnito"
Kalau begitu, tak boleh aku berpeluk tangan saja ...'
Semenjak di perjalanan, Lingga W isnu menyimpan
pedang Kebo W ulung serapi mungkin. Ia berjanji pada
dirinya sendiri, tidak akan sembarangan memperlihatkan
di depan orang. Sebab pedang Kebo Wulung di tangan
majikannya dahulu, pasti sudah sangat terkenal. Ia
sendiri belum t ahu pasti, apakah majikan pedang pusaka
itu dahulu seorang pendekar budiman atau seorang
pembunuh kejam yang dibenci orang di seluruh dunia.
Menimbang demikian, sedapat mungkin ia sembunyikan
serapi-rapinya. Pendek kata, ia tak bakal menggunakannya sekiranya tidak terlalu terpaksa. Itulah
sebabnya memperoleh rasa curiga terhadap Yunus, ia
hanya menyelipkan belatinya di pinggangnya dan
memperlengkapi beberapa butir senjata bidiknya.
Kemudian dengan hati-hati ia mengint ai di balik gubuh
perahu. Beberapa saat kmudian, perahu yang terdayung dari
arah depan telah menghampiri perahu penumpang kian


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat. Terdengar suara kasar di atas perahu itu :
"Hai, saudara Yunus! Apakah benar benar engkau
tidak menghargai suatu persahabatan?"
"Kalau benar bagaimana" Kalau tidak, kau mau apa?"
balas Y unus dengan suara nyaring.
"Hm! Dengan susah payah kami menguntitnya mulai
dari Surabaya. Tetapi engkau dengan enak saja
memegatnya dan memakannya." kata orang itu.
Oleh suatu tanya jawab yang,nyaring dan berisik itu,
Nitigurnito terbangun dari tidurnya. Segera ia mengint ai
dari balik gubuk perahu. Ia kaget setengah mati begitu
melihat suatu penglihatan yang menggeridikkan bulu
romanya. Empat perahu datang menghampiri berlerotan
dengan memasang puluhan obor yang menyala terang.
Belasan orang berdiri berjajar dengan membawa senjata
andalannya masing-masing. Keruan saja ia bergemetaran
dan mulutnya berceratukan dengan tak dikehendaki
sendiri. Lingga W isnu menghampiri dan membesarkan hatinya.
Katanya membujuk: "Paman tak usah takut. Perselisihan itu bukan berkisar
memperebutkan harta paman."
Sebagai seorang pemuda yang memiliki kecerdasan
luar b iasa, dengan cepat saja ia dapat menebak tujuh
bagian persoalan yang t erjadi di depan matanya. Pastilah
hal itu mengenai suatu perebutan rezeki antara Yunus
dan gerombolan pembajak itu. Tapi selagi ia hendak
memberi penjelasan kepada Nitigurnito, tiba-tiba terdengarlah bentakan Yunus setengah berteriak :
"Harta benda di kolong langit ini, apakah milikmu?"
"Letakkan dua ribu ringgit emas itu diatas geladak!
Mari kita bagi seadil-ad ilnya. Engkau separoh dan kami
separoh," ujar seorang berperawakan pendek kecil yang
di perahu kedua. "Lihatlah! Jumlah kami banyak.
W alaupun begitu, kami rela-menerima separoh bagian.
Bukankah kami sudah mau mengalah?"
"Huh! Jangan bermimpi yang bukan bukan!" jawab
Yunus setelah menyemprotkan ludah sejadi-jadinya.
Dua orang yang berdiri di belakang si pendek kecil
nampak menjadi .gusar. Berkata kepada orang yang
membuka mulutnya pertama tadi :
"Kakang Jumali! Apa perlu kita mengadu mulut
dengan bangsat itu." dan setelah berkata demikian,
dengan tiba-tiba mereka berdua melesat dan turun di
geladak perahu penumpang. Rupanya mereka beradat
berangasan dan gampang sekali tersinggung kehormaftan dirinya. Menyaksikan kedua perampok meloncat keperahunya,
Nitigurnito roboh ketakutan. Katanya menggigil :
"Anakku ... eh .. saudara Lingga. Lihat! Lihat! Mereka
bakal kalap ...!" Lingga W isnu menarik lengan saudagar itu dan
dibawanya mundur sambil membesarkan hatinya dengan
kata-kata lemah-lembut: "Paman, jangan takut! Masih ada aku ..."
Pada detik itu, Yunus mulai memperlihatkan giginya.
Kakinya bergerak dan mendupak seorang yang tiba
terlebih dahulu di atas geladak. Begitu kena dupakannya,
orang itu terbalik dan tercebur di dalam sungai. Yunus
tidak hanya menggerakkan kakinya saja. Pedangnya
menyambar orang kedua. Dialah orang yang beradat
berangasan. Dan melihat menyambarnya pedang, buru
buru ia menangkis dengan goloknya. Tapi pedang Yunus
luar b iasa t ajam. Begitu membentur, goloknya terkutung.
Belum lagi d ia b isa berbuat sesuatu, ujung pedang
menikam pundaknya. Tiada ampun lagi, d ia roboh
terjengkang bermandikan darah.
"Jumali! Perahuku bukan panggung untuk mempertontonkan badut-badut semacam mereka!"
ejeknya Yunus dengan tertawa merendahkan.
"Bangsat!" maki Jumali. Kemudian berteriak kepada
salah seorang bawahannya yang berada di sampan
ketiga. "Saleh! Angkut Bolot kemari!"
Saleh membawa seorang temannya. Dengan berbareng mereka melompat di atas geladak dan
memapah Bolot yang tertikam lengan kanannya dan
rekan Bolot yang tadi tercebur ke dalam sungai, waktu
itu, sudah berenang dan merangkaki perahunya. Inilah
suatu tontonan yang menyakitkan hati kawanan
perompak itu. "Kami yang bernaung dibawah ketua kami, Anjar
Semoyo, selamanya belum pernah bentrok dengan
pihakmu. Mengapa engkau main serampangan saja"
Apakah lantaran terlalu yakin pada kekuatan diri sendiri"
hm, hm. Meskipun keluarga Dandang Mataun pernah
merajai lautan dan daratan, masakan kami takut"
Janganlah engkau menganggap, bahwa kami bisa kau
buat permainan!" teriak Jumali setengah kalap.
Mendengar kata-kata keluarga Dandang Mataun, hati
Lingga W isnu tercekat. Teringatlah dia kepada Cocak
Obar-abir dan Gumuling yang datang di atas gunung
Dieng hendak mencuri kitab warisan Bondan Sejiwan.
Katanya di dalam hati : 'T atkala Cocak Obar-abir hendak membunuhku,
bukankah dia menyatakan diri salah seorang anggauta
keluarga Dandang Mataun"' Terus saja ia memasang
telinganya tajam-tajam : Yunus mendengus. Lalu menjawab teriakan Jumali :
"Kau mengangkat-angkat keluargaku. Bagus! Tapi
lebih baik janganlah engkau mencoba mengambil hatiku.
Jago godogan biasanya memang pintar mengambil hati
lawan, setelah merasakan pedasnya sebuah dupakan
saja!" Diejek damkian, Jumali meluap darahnya. Nanun
masih bisa ia menguasai hatinya. Menegas:
"Kau tegaskan sekali lagi! Kau bisa menghargai arti
suatu persahabatan atau tidak?"
"Persetan dengan semuanya itu! Selamanya aku
majikan atas diriku sendiri. Kalau aku berkenan, tak perlu
aku memperdulikan segala pertimbangan." sahut Yunus.
"Berbicaralah yang lebih jelas lagi!" ujar Jumali.
"Jembatan yang kulalui jauh lebih banyak dari pada yang
pernah kau lint asi. Sudah sewajarnya, aku harus
berpegang pada t ata santun pergaulan. Tapi t ata-sant un
bukan berarti aku sudah merasa taluk padamu. Kau
mengerti" Nah, nyatakan yang tegas! Jangan menggunakan kata-kata berputar tak keruan junt rungannya karena kalau memang tiada jalan lagi,
barulah kita mencoba-coba ketajaman senjata. Dengan
begitu, dikemudian hari aku tak bakal dituduh Ketuamu,
main kuasa-kuasaan t erhadap bocah ingusan ..."
Dengan ucapannya itu, teranglah bahwa Jumali segan
dan menghargai Ketua keluarga Dadang Mataun.
Sebaliknya Y unus malahan menjadi besar kepala. Dengan
tertawa melalu i hidungnya, ia berkata :
"Dengan berbekal kepandaian badut, kalian mencoba
hendak terbinaku" Eh, kalian benar-benar tak tahu diri."
Sampai disitu, tahulah Lingga W isnu bahwa mereka
bakal mengadu senjata. Baginya, latar belakang
pembicaraan itu sudah jelas. Jumali atau pihak Anjar
Semoyo sedang mengincar mangsanya. T api kedahuluan
Yunus. Jumali jadi tak senang hati terhadap keluarga
Dadang Matuan dan dia mint a bagian. Tapi Yunus
menolak. Pemuda ini tipis perawakannya. Di manakah dia
menyimpan harta rampasannya" Pastilah yang berada di
dalam bungkusannya itu. Pikir Lingga W isnu :
'Mereka berdua setali t iga uang. Sama-sama jahat dan
sama-sama penyamun. Biarlah mereka bercakar-cakaran.
Apa peduliku"' Dalam pada itu perkelahian mulai terjadi. Perahu
penumpak milik Kertomidin cukup leluasa untuk dibuat
gelanggang mengadu senjata. Dengan membawa
sepuluh orang Jumali melompat ke dalam perahu
penumpang. Ia membawa sebilah golok besar mirip
golok penyembelih kerbau. Di depan Yunus, ia
membungkuk hormat sebagai suatu tata-sant un. Rupanya ia mau mengesankan, bahwa dirinya adalah
seorang yang mengerti tentang tata-tertib. Katanya :
"Sekalian t eman-temanku ini bukanlah tandingmu. Aku
tahu! Karena itu, biarlah aku mewakili mereka mencobacoba ketajaman pedangmu.
Pedang Dandang Mataun yang merajai w ilayah Gunung Lawu!"
"Hm." dengus Y unus. "Kau hendak maju seorang diri
atau main kerubut?" Jumali tercengang sejenak. Kemudian tertawa.
Sahutnya dengan mendongakkan kepalanya :
"Kau benar-benar bocah tak tahu diri. Kau anggap apa
aku ini" Kau masih mempunyai teman, suruhlah dia
keluar dari dalam gubuk perahu! Biarlah dia menjadi
saksi agar dikemudian hari aku tidak dituduh orang
berbuat sewenang-wenang terhadap salah seorang
anggauta keluarga Dandang Mataun." Setelah berkata
demikian, ia berseru lantang: "Sehabat seperjalanan!
Silahkan engkau menjadi saksinya!"
Dua orang bawahannya menghampiri gubuk perahu.
Sambil menjengukkan kepalanya ke dalam gubuk,
mereka berkata mempersilahkan kepada saudagar
Nitigurnito dan Lingga W isnu :
"Sahabat! Kami mengundang kalian untuk menjadi
saksi keramaian ini!"
Saudagar Nitigurnito menggigil ketakutan. Tak dapat
ia memberi jawaban, dengan pucat lesi ia berpaling
kepada Lingga W isnu mencari pertimbangan. Kata Lingga
W isnu meyakinkan : "Paman, mereka hanya menghendaki kita untuk
menjadi saksi saja. Mari kita keluar."
Lingga W isnu menarik dan membimbing lengan
Nitigurnito keluar gubuk. Sementara itu, Yunus sudah tak
sabar lagi. Lant ang ia berkata :
"Jadi kau benar-benar membutuhkan saksi" Baik! T api
tontonan apakah yang hendak kau pamerkan kepada
saksi?" Setelah berkata demikian pedangnya terus saja
menusuk pinggang. Jumali bertubuh besar dan tak ubah
anak raksasa. Meskipun demikian gerakannya gesit dan
ringan. Dengan sebat ia menangkis. Goloknya berkelebat
ke samping, kemudian berputar dan menabas. Inilah
suatu pembelaan diri yang hebat sekali. Tatkala mata
golok hendak memagas leher sekonyong-konyong
berbalik dan hanya bermaksud membenturkan punggungnya. Jelas sekali, maksudnya ia tak sampai hati
memagas leher atau membelah kepala Yunus dengan
sekali t abas. Tetapi Yunus tak sudi menerima budi baik itu. Sambil
memberondongkan tiga t ikaman sekaligus, ia berteriak :
"T ak usah engkau berlagak seperti seorang dermawan. Hayo, keluarkan semua kepandaianmu!"
Berbareng dengan teriakannya, Yunus merangsak
terus menerus sehingga Jumali hampir tak mempunyai
kesempatan untuk menangkiss. T iba-tiba ia kaget t atkala
ujung pedang Yunus hampir saja menyentuh bajunya.
Itulah terjadi, lantaran hatinya terlalu hatinya menyaksikan lagak lagu Yunus yang congkak dan tak
memandang mata terhadapnya. Gugup ia melesat
mundur kesamping dan sambil membabatkan goloknya.
Hatinya tergetar mengingat kejadian sebentar tadi.
Nyaris " dadanya tertembus pedang si congkak.
"Anak sambel ini benar-benar patut dihajar babakbelur", makinya didalam hati.
Terus saja ia membalas

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang dengan dahsyat. Goloknya menabas-nabas
dan berseliweran dengan sebatnya.
Yunuspun tak kurang-kurang gesitnya. Gerakan
pedangnya makin fana makin cepat. Ia pandai
mengelakkan diri dan pedangnya tiada hentinya
memunahkan setiap bentuk serangan. Sudah begitu,
berkali-kali ujungnya menyelonong menusuk dada,
pinggang dan perut. Setelah lewat beberapa jurus, Lingga W isnu segera
mengetahui bahwa ilmu pedang Yunus lebih tinggi
set ingkat daripada ilmu golok Jumali. Meskipun Jumali
banyak makan garam dan goloknya jauh lebih berat
daripada pedang, namun sama sekali ia tak berdaya
menghadapi kelincahan Yunus. Lambat-laun, ia bahkan
mulai merasa kewalahan. seperempat jam kemudian, pernapasannya mulai terdengar mengorong. Keringat membasahi sekujur badannya dan gerak-geriknya mulai lamban. Sebaliknya rangsangan Yunus, bertambah hebat. Sekonyong-konyong Yunus berteriak melengking. Dan berbareng dengan auman teriakannya,
ujung pedangnya berhasil menikam paha Jumali yang
menjerit kaget sambil melompat mundur. W ajahnya
menjadi pucat. Tangan kirinya mengayun. Tiga batang
panah paku menyamber beruntun.
Yunus benar-benar cekatan. Diserang dengan mendadak, sama sekali ia tak nampak bingung. Dua kali
pedangnya menyapu dua buah paku yang menyambar
padanya. Sedang paku ketiga dihindari dengan
mengelakkan diri. Ia baru hendak mengumbar mulut nya,
tatkala diluar perhitungannya kedua paku yang dapat
disapunya justru meletik menyambar dada Lingga W isnu.
Melihat hal itu, ia memekik terkejut.
Tadinya ia mengira Lingga W isnu seorang pendekar
muda yang lagi menyamar. Tapi melihat pemuda itu
sama sekali tak bergerak atau tak berdaya sesuatu untuk
menghindari letikan dua paku yang akan menembus
dadanya, ia jadi kaget dan berkhawatir. Pada detik itu
juga, ia hendak meloncat untuk menolong. Tiba-tiba ia
melihat suatu keanehan. Kedua paku Jumali itu tepat
sekali mengenai dada Lingga W isnu, namun runt uh
dengan begitu saja di atas geladak. Sama sekali tak
melukai pemuda itu. Dan dia kelihatan diam saja seakanakan tidak pernah terjadi
sesuatu. Ketiga sampan Jumali menyalakan obor terang
benderang. Semua orang menyaksikan, bagaimana
kedua paku Jumali meletik dan mengenai dada Lingga
W isnu. Setelah melihat kesudahannya, mereka semua
tercengangan dan saling pandang! Kemudian dengan
berbareng pula mereka mengawaskan Lingga W isnu.
Pemuda itu pastilah berilmu kepandaian t inggi, meskipun
pakaian yang dikenakan mirip pakaian seorang pemuda
kota kecil. Tentu saja, siapapun tak tahu bahwa dada Lingga
W isnu terlindung baju mustika pemberian Ki Ageng
Gumbrek. Baju itu tak tertembusi serta tak mempan
tertikam senjata tajam betapa keraspun.
Jumali seorang perompak berpengalaman. Ia melihat
Lingga W isnu tak roboh kena letikan senjata pakunya.
Pada saat itu, ia melihat pula Yunus tertegun karena
kaget. Itulah kesempatan yang sebagus-bagusnya
baginya. Terus saja ia menimpukkan tiga batang panah
pakunya lagi. Yunus menjerit lantaran kaget. Serangan gelap itu
sulit sekali untuk dihindari. Iapun tak berdaya untuk
menangkis dengan pedangnya. Satu-satunya gerakan
yang dapat dilakukan, hanyalah mengendapkan diri.
Memang, dapat ia mengelakkan paku yang pertama. Tapi
dua paku lainnya tepat sekali membidik sasarannya.
Secara wajar ia memejamkan matanya menunggu nasib.
Dan mendadak pada detik itu, terdengarlah suara
benturan nyaring. Ia menyenakkan matanya dan di
lihatnya kedua paku itu runtuh terpelanting di atas
geladak. Yunus seorang pemuda yang tajam mata. Sekali
menggerakkan gundu-matanya, ia melihat gerakan
tangan Lingga W isnu. Dialah yang menolong jiwanya. Hal
itu terjadi, karena Lingga W isnu sebal menyaksikan
Jumali berlaku curang. Segera ia memungut dua batang
panah paku yang tadi jatuh runtuh di depannya setelah
membentur dadanya. Dan dengan dua batang panah
paku itu, ia memunahkan serangan paku Jumali yang
hampir saja mengenai sasaran.
Dengan rasa terima kasih sebesar-besarnya, Yunus
mananggut kepada Lingga W isnu. Kemudian melemparkan pandangnya kepada Jumali dengan sengit.
Ia mendongkol dan timbul ah rasa bencinya. Dengan
serta-merta ia meletik tinggi dan menyerang Jumali
setengah kalap. Meskipun Jumali heran melihat gagalnya panah
pakunya, namun la segera tersadar terhadap kedudukan
Lingga W isnu. Siapa lagi kalau bukan perbuatan pemuda
itu. Itulah sebabnya, ia bisa mendahului gerakan dendam
Yunus. Goloknya mendahului menabas, tatkala Yunus
masih berada di udara. Yunus terkejut melihat berkelebatnya golok. Gesit ia
melejit kesampdng untuk mengelak. Baru ia mencecarkan pedangnya. Kali ini, dia bersungguh-
sungguh. Beberapa saat kemudian, pedangnya berhasil
menembus iga. Jumali menjerit kesakitan dan goloknya
runtuh bergemelontangan. Masih belum puas Yunus berhasil melukai iga lawan, ia
melompat menghampiri dan menahaskan pedangnya.
Cress! Paha Jumali terkutung. Dan pemimpin perompak
itu roboh pingsan! Anak buahnya kaget bukan kepalang menyaksikan
pemimpinnya roboh pingsan. Dengan berbareng mereka
maju menyerang sambil menolong Jumali terhindar dari
maut. Yunus seolah olah terbakar hatinya. Ganas ia
menyapu semua senjata yang mengarah padanya. Dan
kembali lagi tujuh orang kena dilukai. Mereka roboh
dengan bercucuran darah. Menyaksikan hal itu, Lingga W isnu jadi tak sampai
hati. Serunya setengah membumjuk:
"Saudara Yunus, sudahlah! Ampuni mereka!"
Tetapi Y unus sedang serigit-sengitnya. Ia melukai dua
orang lagi. Sisa perampok lainnya jadi kuncup hatinya.
Buru-buru mereka mencebur di dalam sungai menyelamatkan diri. Tak sanggup mereka menghadapi
amukan pemuda itu yang sudah menjadi kalap.
Dengan mundurnya sisa perompak, Jumali jadi tak
dapat tertolong. Masih ia roboh pingsan dengan
berlumuran darah. Yunus mendekati dan mengayunkan
pedangnya. Seketika itu juga kepala Jumali tertabas
kutung. Dengan sekali menggerakkan kakinya, ia
mendupak tubuh Jumali dan tercebur di dalam sungai.
Kemudian ia mencublas kepala Jumali. Setelah disontek
tinggi, ia melemparkannya pula ke dalam sungai!
Itulah suatu perbuatan yang mengejutkan dan diluar
dugaan Lingga W isnu. Ia jadi tak puas menyaksikan
perangai Yunus. Perbuatannya keterlaluan! Ia sudah
memperoleh kemenangan. Apa sebab menuruti gelora
hati yang panas sehingga tak memberi kesempatan
hidup kepada lawannya" Bukankah Jumali sudah cukup
tersiksa setelah pahanya t erkutung sebelah" Diapun tadi
bersikap hati-hati pula, sebelum memutuskan persoalan
dengan, mengadu senjata. Seumpama dialah yang
menang pastilah dia tak berani memperlakukan Yunus
dengan senibarangan. Dia tadipun bersikap segan dan
hormat kepada Ketua keluarga Dandang Mataun.
Nitigurnito nampak duduk terjongkok dekat gubuk
perahu dengan pandang terlongong-longong. Itulah
penglihatan seorang yang tergempur oleh rasa t akut dan
ngeri. Dengan pandangan itu, menambah hati Lingga
W isnu pepat serta penuh sesal. Selagi demikian, pemuda
itu melihat Yunus menabasi ketujuh orang lawannya tadi.
Seorang demi seorang dilemparkan ke dalam sungai
sehingga permukaan air menjadi merah.
Menyaksikan perbuatan Yunus yang bengis dan kejam
itu, perompak-perompak lainnya segera kabur dengan
sampannya. Masing-masing hendak berusaha menolong
jiwanya sendiri. Lingga W isnu benar-benar tertegun menyaksikan
sepak-terjang pemuda itu yang ganas luar biasa.
Semenjak bayi ia dikejar-kejar lawan dan seringkali ia
menyaksikan seorang mati tertikam didalam suatu
perkelahian. Akan tetapi belum pernah ia melihat salah
seorang lawannya sekejam Yunus.
"Mengapa engkau perlu mengutungi kepala mereka"
Bukankah mereka hanya bertujuan hendak merampas
uangmu semata?" Lingga W isnu ingin memperoleh
penjelasan. "Merekapun gagal pula. Artinya uangmu
sama sekali t ak berkurang. Kenapa main membunuh?"
Yunus melototi. Sahutnya sengit :
"Apakah engkau tak melihat sendiri betapa licik
mereka" Mereka main kepung. Melakukan serangan
gelap dan main keroyok. Seumpama aku jatuh di t angan
mereka, entah perlakuan apa yang bakal menimpa diriku.
Huh! Setelah pernah menolong jiwaku, janganlah engkau
lantas menganggap diri, bisa memberi nasehat atau
menegor aku dengan sembarangan saja. Tahu?"
Lingga W isnu terbungkam. Itulah jawaban yang tak
pernah diduganya. Katanya di dalam hati :
'Benar ujar Jumali tadi. Bocah ini sama sekali tak
mengenal nilai-nilai budi.'
Yunus sendiri nampak tak pedulikan. Ia sibuk
menyusut pedangnya pada tepi perahu setelah
mencelupkan di dciam permukaan air. Setelah jadi
bersih, ia menyarungkan dengan cermat. Tiba- tiba saja
kesengitannya hilang. Kemudian tertawa manis sekali.
Katanya ramah : "Saudara Lingga, engkau telah menolong jiwaku. Aku
sangat berterima kasih kepadamu."
Inilah perubahan dan pernyataan di luar dugaan pula.
Untuk yang kedua kalinya, Lingga W isma terhenyak.
Tanpa membuka mulut nya, ia memanggut. Heran dia
menyaksikan perangai Yunus. Mula-mula ia berkesan
lemah lembut. Tiba-tiba saja berubah menjadi seorang
pemuda yang kejam bengis. Dan set elah memenggali
kepala lawan dan menyemprot dirinya, kembali lagi ia
bersikap manis serta lembut hati. Dia seakan-akan
manusia berhati serigala atau serigala berhati manusia.
Selama hidupnya, baru untuk yang pertama kali itulah ia
berkenalan dengan seorang yang berperangai demikian.
Dalam pada itu, Yunus memanggil Kartomidin dan
empat pembantunya yang selama dalam perjalanan
bertugas mendayung perahu. Dengan upah besar, ia
menyuruh mereka membersihkan darah yang t ercecer di
atas geladak. Mereka semua kecuali t akut, sesungguhnya
bermata duitan. Lagi-pula, bukankah perahu itu
perahunya sendiri pula. Sekalipun tak diperint ah,
merekapun bakal mmbersihkan juga noda-noda darah
itu. Maka tanpa membuka sepatah katapun, mereka
lantas saja bekerja. "Paman Kartamidin, setelah selesai tolong sediakan
makanan malam unt uk kita semua. Inilah uangnya!" kata
Yunus menambahi perintahnya.
Tatkala itu, sekitar sungai kembali padam. Geladak
hanya terpantuli cahaya pelita remang-remang. Untuk
menghindar pandangan orang, Kartomidin melanjutkan
perjalanan. Menjelang fajar hari, hidangan telah selesai
dimasak. Yunus mengundang Lingga W isnu dan Nitigurnito
makan bersama. Sambil makan, dia membuka mulutnya.
Sama sekali ia tidak menyinggung soal pertempuran tadi.
Juga tidak membicarakan tentang ilmu tata-berkelahi
sedikitpun juga.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara Lingga," katanya riang. "Angin meniup
lembut. Bulan cerah pula. Hawa segar seolah-olah
menembus perasaan kita. Apakah tidak tepat kalau kita
bergadang" Kau bersenandunglah dan aku yang
menimpali!" Lingga W isnu pernah belajar memetik kecapi tatkala
mengiringi kemauan Ki Ageng Gumbrek di atas gunung
Dieng. Senandung dan lagu, bukan merupakan hal asing
baginya. Tapi untuk meladeni Yunus yang berperangai
aneh Itu, hatinya segan. Sahutnya asal jadi saja :
"Sama sekali aku tak pandai bersenandung. Maafkan."
Yunus bersenyum. Matanya berkilat tajam. Lalu
mengalihkan pembicaraan. Katanya setengah memerint ah: "Kau minumlah suguhanku!"
Dengan tenang, perahu penumpang meluncur di atas
permukaan air. Pulau yang bersemarak di udara sudah
cenderung ke barat. Itulah suatu tanda fajarhari berada
di ambang. Meskipun demikian Yunus dan Lingga W isnu
masih saja asyik berbicara dengan mencegluk minumannya. Lingga W isnu hidup beberapa tahun di atas
gunung. Ia biasa minum minuman keras untuk mengusir
dingin hawa yang meresapi tubuhnya. Karena itu, ia
dapat melayani minum beberapa cawan banyaknya.
Sebaliknya, yang mengherankan adalah Yunus. Masih
berusia muda dia, tetapi kuat pula mencegluk beberapa
caw an minuman geras. Apakah diapun hidup diatas
gunung, sehingga minuman keras tidak asing lagi
baginya" Sekonyong-konyong Yunus melemparkan cawannya.
Dengan sekali menjejakkan kakinya, ia meletik ke
belakang buritan dan merebut kemudi. Setelah
merampas pengayuhnya pula, ia membelokkan ke kiri
dan perahu bergeser arah.
Lingga W isnu tercengang. Kenapa pemuda itu
mempunyai perangai yang bisa berubah dengan
mendadak" Ia menajamkan mata dan telinga. Samar
samar ia mendengar sampan terkayuh. Dan muncul ah
sebuah sampan yang laju dengan-amat cepatnya.
Apakah hubungannya dengan sepak terjang Yunus yang
tiba-tiba menjadi kalap seperti kerasukan roh jahat"
Teka-teki itu tak usah menunggu jawabannya terlalu
lama. Begitu sampan yang bertentangan arah itu
mendekati perahu penumpang, tiba-tiba Yunus menggerakkan kemudinya lagi. Perahu bergeser arah
dan membentur sampan yang datang sangat laju.
"Hai!" Lingga Wisnu kaget sampai berteriak.
Sampan yang terbentur perahu Kartomidin, memuat
lima orang. Anak-buahnya mencoba mengelakkan. Tapi
perahu yang manbentur sampan itu, terlalu besar
perbandingannya. SiajjLa saja mereka berusaha sekuat
tenaga. Brak! Dan ujung sampan itu mendongak tinggi
karenanya ujung yang lainnya tenggelam dalam. Tepat
pada saat itu, tiga bayangan melesat t inggi di udara dan
mendarat di geladak perahu Kartomidin. Gerakannya
gesit dan ringan sekali. Kini, tinggal dua orang yang masih berada didalam
sampan. Merekalah juru-mudi dan pembantunya. Karena
terikat pada pekerjaannya, tak sempat lagi mereka
menolong dirinya. Dengan berteriak kaget, mereka
tercebur di dalam sungai. "Tolong!" serunya nyaring.
Air yang datang dari kelokan, berarus deras. Oleh
benturan itu, permukaan air seperti terkocak. Arus sungai
berubah menjadi gelombang gelombang pendek tapi
kuat. Dalam keadaan demikian, juru-mudi dan pembantunya itu terseret putaran air sehingga menghadapi bencana. Kalau saja terdapat kerajaan
buaya di dalam sungai, bakal terjadi suatu penglihatan
yang mengerikan. 'Bocah ini benar-benar kejam,' pikir Lingga W isnu di
dalam hati. Dengan sekali t arik, ia menguraikan lingkaran
dadung perahu. Kemudian ia menggigit ujungnya.
Sebentar ia menunggu saat timbulnya dua orang itu yang
tercebur ke dalam sungai. Lalu dengan menggigit ujung
dadung, ia melesat tinggi di udara. Kedua tangannya
dikembangkan dan menyaibar dua orang itu yang muncul
dipermukaan air. Oleh pantulan dadung yang terikat
pada tiang perahu, tubuhnya balik seperti pegas. Dan
dengan membawa dua orang itu pada kedua tangannya,
ia mendarat di atas geladak. Indah gerakannya, sehingga
mereka yang menyaksikan kagum luar biasa.
"Bukan main!" mereka berseru tertahan. Dan diant ara
seruan ketiga orang yang baru saja tiba di atas geladak,
terdengar pujian Yunus pula.
Lingga W isnu meletakkan kedua orang itu di atas
geladak tak ubah dua karung goni. Kemudian ia duduk
kembali pada tempatnya semula. Diam-d iam
ia mengerling kepada ketiga penunggang sampan yang
tenggelam. Yang pertama: seorang laki-laki berusia
kurang-lebih lima puluh tahun. Tubuhnya kurus kering,
berkumis jarang. Yang Kedua, berumur kurang-lebih
empat puluh tahun, tubuhnya kekar dan kasar. Dan yang
ketiga seorang perempuan berumur tigapuluh tahunan.
Sambil tertawa guram, orang tua itu berkata kepada
Lingga W isnu : "T uan muda, engkau jempolan sekali. Siapakah
gurumu" Siapa pula namamu?"
Lingga W isnu bangkit dari tempat duduknya. Dengan
memanggut hormat, ia menyahut
"Orang menyebut nama kependekanku saja: Lingga!
Kedua tuan itu terancam bahaya. Aku jadi tak sampai
hati membiarkan mereka mati tenggelam. Maafkan atas
kelancanganku. Sekali kali bukan maksudku hendak
memamerkan kepandaian diri."
Orang tua itu tercengang mendengar suara Lingga
W isnu yang bernada sopan dan halus. Kemudian ia
berpaling menghadapi Yunus. Berkata tajam :
"Pantas, engkau berkepala besar! Tak tahunya engkau
mempunyai seorang pembantu berkepandaian tinggi.
Apakah dia salah seorang sahabatmu?"
W ajah Yunus berubah merah padam. Tegurnya:
"Engkau seorang berusia tua. Kau hargai dirimu
sendiri, agar tak perlu menerima cercaanku yang tak
enak." Lingga W isnu teringat akan ketajaman lidah Yunus.
Dia sendiri seorang panuda yang senantiasa menghargai
seorang t ua di atas kehormataannya sendiri. Karena itu,
hatinya tak enak apabila menyaksikan adu-mulut yang
akan menyeret dirinya. Pikirnya di dalam hati: 'Mereka
semua nampaknya bukan orang baik-baik pula. Kalau
aku membiarkan diriku terseret arus, rasanya ...' Terus
saja ia berkata tegas : "Aku dan saudara Yunus ini, baru saja berkenalan.
Itupun secara kebetulan pula, lantaran berada di sebuah
perahu yang sama. Jadi, tidak tepat apabila disebut
sebagai suatu sahabat. Perkenalan bukanlah berarti
persahabatan! Meskipun demikian ingin aku mengemukakan sebuah saran. Apabila diant ara kamu
terjadi suatu perselisihab, hendaklah diusahakan agar
menjadi damai saja. Dengan begitu kamu semua tidak
akan merusak sendi-sendi perdamaian yang perlu kita
himpun selama hidup."
Ini bukan saran, tetapi sebuah pidato. Tak
mengherankan, Yunus yang berwatak angin-anginan
mendadak membentak sambil melot ot :
"Geladak perahu bukan lantai surau! Mengapa engkau
berkhotbah dan mengoceh tak keruan" Jika engkau
takut, melompatlah ke darat!"
Untuk yang ketiga kalinya, Lingga W isnu tertumbuk
batu. Pikirnya di dalam hati:
'Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan
seorang pemuda sekasar dia ...'
Begitu menyaksikan sikap galak Yunus terhadap
Lingga W isnu, yakinlah orang tua itu bahwa mereka,
berdua memang bukan sahabat. Keruan saja hatinya
girang bukan kepalang. Serunya ramah kepada Lingga
W isnu : "Saudara Lingga! Kau tidak menpunyai tali persahabatan dengan bocah itu. Ha, bagus sekali! Aku
mengucapkan selamat. Tunggulah sebentar, kalau
persoalanku dengan bocah itu sudah beres nanti kita
berbicara. Boleh kita mengikat tali persahabatan."
Lingga W isnu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk
dan mundur keluar gelanggang. Dan orang itu lantas
menghadapi Yunus. Berkata menyabarkan diri :
"Bocah! Usiamu masih muda sekali. Tetapi, perbuatanmu sangat bengis. Jumali memang bukan
tandinganmu. T ak mengapa kalau hanya kau lukai. Akan
tetapi, mengapa kau menghendaki jiwanya pula?"
"Aku seorang diri, sedang mereka berjumlah banyak.
Perawakan tubuh merekapun kuat dan perkasa. Sudah
begitu, mereka main keroyok pula. Kalau aku tidak
melawan dengan keras, apakah yang bakal terjadi atas
diriku?" balas Yunus dengan suara garang. "Kau kini
mendadak menegur pula. Hmm, apakah engkau tidak
bakal d itertawai orang, karena mau menang sendiri
terhadap seseorang yang berusia jauh lebih muda" Jika
engkau merasa mempunyai kepandaian, mengapa tidak
engkau sergap sendiri mangsa itu" Mengapa menunggu
sampai aku sudah berhasil" Coba katakan, siapakah
diant ara kita ini, yang lebih jujur! Aku atau engkau."
Perkataan Yunus diucapkan dengan halus tetapi tajam.
Dan orang t ua itu jadi bungkam di buatnya. Sekonyongkonyong seorang perempuan
tua yang berdiri diant ara
mereka membuka mulut: "Hai bocah cilik! Orang tuamu terlalu memanjakan
dirimu. Lantaran itu, engkau tak mengerti tentang adatistiadat. Siapakah ayah
ibumu" Masakan mereka tak
pernah mengajarimu, agar engkau bisa menghargai
orang tua yang usia nya jauh diatasmu?"
"Huh!" dengus Yunus. "Tak usah dia perlu berusia
lanjut, kalau saja bisa menghargai diri sendiri, masakan
aku tak akan menaruh hormat kepadanya" Orang tua
semacam kalian, harus aku hormati dan aku hargai
apanya?" Merasa kena selomot , orang tua itu tak dapat lagi
menguasai rasa gusarnya. Tangannya melayang dan
menggempur hiasan perahu. Dan kena gempurannya,
hiasan kayu itu hancur berantakan.
Melihat tenaga besi orang tua itu, Yunus berkata :
"Hai, kakek! Siapa yang tak kenal kepandaianmu yang
hebat itu" Semenjak dahulu aku tahu. Sekiranya ingin
pamer kepandaian, seyogianya
kau pertontonkan dihadapan sekalian paman-pamanku."
Disemprot demikian, rasa gusar orang tua itu kian
menjadi-jadi. Bentaknya :
"Hem, kau hendak menggertak dengan menyebut
paman-pamanmu" Siapa paman-pamanmu itu" Sekiranya
sekalian paman-pamanmu dan kakekmu mempunyai
kepandaian tidak bakal membiarkan ibumu kena
diperkosa orang. Tak nanti pula, engkau dilahirkan
sebagai anak haram ..."
Meluap hawa amarah Yunus. W ajahnya merah padam.
Tetapi diant ara luapan rasa amarahnya, terdapat rasa
duka, malu dan pedih. Justru demikian, kesan
diwajahnya mendadak menjadi seram suram. Matanya
menyala bagaikan api. Laki-laki yang bertubuh kekar dan perempuan yang
berada disampingnya, tertawa berkakakan melihat kesan
waj ah Yunus. Mereka seakan-akan melihat suatu
tontonan yang lucu. Dan pada saat itu, Lingga W isnu
menatap wajahnya. Ia nampak mengalirkan air mata.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan melihat air mata itu, diam-diam Lingga Wisnu heran
dan terharu. Pikirnya : 'Yunus lebih berpengalanan dari pada diriku. Mengapa
ia menangis?" Berpikir demikian, tiba-tiba Lingga W isnu seperti
tersadar. Akh, dia menanlis lantaran terhina, pikirnya. Dia
seorang diri. Dan d iperlakukan rendah oleh segerombolan orang tua. Dan memperoleh kesadaran ini,
Lingga W isnu merasa di pihak Yunus. Itulah disebabkan
karena ia t eringat akan nasib sendiri, yang hidup sebagai
anak yatim piatu. Segera timbul keputusannya hendak
membantu pemuda itu. Orang tua itu, yang sudah berhasil membuat Yunus
menangis nampak jadi puas. Katanya menang :
"Hai! Apa perlu menangis" Apa gunanya" Sekalipun
engkau menangis seribu kali sehari, tetap saja dirimu
seorang anak yang dilahirkan dari suatu perkosaan.
Bukankah begitu" Nah, serahkan emas itu. Kamipun
tidak akan serakahi. Kami akan menyisihkan sebagian
sebagai hak hidupnya janda Jumali."
Yunus mendongkol sampai tubuhnya menggigil. Akan
tetapi, menghadapi mereka ia merasa dirinya tak
mampu. Dengan menangis seru, Yunus berteriak :
"Jika kalian hendak membunuhku, bunuhlah! Bagaimanapun akibatnya, aku tak akan menyerahkan
emas itu!" "Hmm, begitu?" dengus orang tua itu. Tiba-tiba saja ia
menyambar jangkar besi yang beratnya duaratus kilo.
Dengan enteng, ia melemparkannya ke tepi. Dengan
demikian perahu penumpang lantas saja berputar-put ar
kena kait. Tak lama kemudian berhent sama sekali. Tak
usah dikatakan lagi, bahw a pameran kepandaian untuk
yang kedua kalinya ini, membuktikan bahwa tenaga
orang tua itu memang luar biasa kuat.
"Nah, kau serahkan tidak emas itu?" gertaknya.
Dengan tangan kiri, Yunus menyusut air matanya.
Menyahut : ''Baiklah, akan aku serahkan. Tunggu sebentar!"
Setelah berkata demikian, larilah ia memasuk i gubuk
perahu. Kemudian keluar lagi sambil membawa
bungkusan sepanjang guling yang nampaknya berat
sekali. Orang tua itu buru-buru mengulurkan kedua
tangannya, hendak menerima buntalan itu.
"Ih, begitu gampang?" dengus Yunus. Dan dengan
mendadak-saja ia melemparkan bunt alannya itu ke
dalam sungai. Hebat akibat lemparan itu. Selain
menerbitkan suara hebat, permukaan air pun muncrat
tinggi di udara. Kemudian ia menant ang dengan suara
nyaring : "Jika kalian berani membunuhku, nah bunuhlah aku
sekarang! Kalau kalian menghendaki emas itu, huh!
Jangan mimpi!" Laki-laki yang bertubuh besar itu, gusar bukan
kepalang. Terus saja ia mengayunkan goloknya hendak
membelah tubuh Yunus yang menjengkelkan hatinya.
Sudah barang tentu, Yunus tidak t inggal diam. Serentak
ia menghunus pedangnya pula. Dan menangkis.
Sebentar saja mereka bertenpur dengan sengit.
Laki-laki bertubuh besar lawan Yunus itu, bernama
Jaya Tatit. Sebagai orang yang berperawakan tinggibesar, sudah selayaknya kalau
tenaganya besar pula. Namun gerak-geriknya kaku. Goloknya menyambarnyambar membabat dan menahas tiada
hentinya. Hanya saja, tak pernah dapat menyentuh Yunus yang bisa
bergerak gesit. Malahan set elah mengelak dua kali,
pemuda itu mulai membalas.
"T ahan! Tahan dahulu!" seru orang tua itu.
Mendengar seruan orang tua itu, Yaya Tatit terus
mundur. Dan orang tua itu maju selangkah dengan
pandang tajam. Berkata : "Seekor harimau memang melahirkan anak harimau.
Itulah engkau, bocah! Ayahmu menang hebat. Kalau
engkau sekarang bisa berkelahi, sudah selayaknya.
Hanya saja, kalau dibiarkan maka lambat laun kau bisa
jadi kurang ajar. Masakan kau tidak menghargai aku?"
Tak jelas gerakannya. Tahu-tahu ia sudah berada di
depan Yunus. Tetapi Yunus sendiri sudah bersiaga
penuh. Dengan pedang panjangnya, ia menusuk. Cepat
tusukannya. Sayang, orang tua itu terlalu tangguh
baginya. Dengan bertangan kosong saja, ia dapat
mengelakkan diri. Kemudian mulai merangsak.
Mau tak mau, Yunus berkelahi dengan mundur. Ingin
ia membuat suatu-pembalasan. Akan tetapi tak
memperoleh hasil karena rangsakan orang tua itu
demikian cepatnya, sehingga ia tak memperoleh
kesempatan sedikitpun juga. Meskipun tangannya
menggenggam pedang panjang, namun tiada gunanya
sama sekali. Dengan sekali melihat, tahulah Lingga W isnu bahw a
orang tua itu bukan tandingnya Yunus. Dalam segala hal,
dia berada diatas pemuda itu. Dan dugaannya ternyata
tepat sekali. Setelah melakukan serangkaian serangan,
lengan Yunus kena dicengkeramnya. Seketika itu juga
runtuhlah pedang Yunus. Dan lengannya mendadak saja
menjadi lemas. Begitu pedangnya runtuh bergemelontangan di atas
geladak, orang tua itu menyontek dengan sebelah
kakinya. Kena sontekannya, pedang Yunus membalik ke
atas. Tangan kirinya bergerak menangkap ujungnya.
Kemudian tangan kanannya bergerak. Dan pedang itu
patah menjadi dua bagian. Keruan saja Yunus kaget
setengah mati sampai w ajahnya menjadi pucat.
Berkatalah orang tua itu :
"Jika aku tidak memberimu tanda mata pada salah
satu bagian tubuhmu, pastilah engkau makin meremehkan diriku. Jangan khawatir, aku hanya ingin
menggores pipimu saja." setelah berkata demikian, ujung
patahan pedang itu bergerak hendak menggoret pipi
Yunus. Yunus kaget bukan kepalang. Dengan muka pucatpasi, ia meloncat mundur. Tetapi
dengan mudah saja, orang tua itu dapat mengejarnya.
Tangan kirinya yang memegang patahan pedang
mulai bergerak menjangkau. Dan Yunus menjerit
ketakutan. 'Ih!" hati Lingga W isnu tercekat. 'Jika pipinya yang
kuning halus itu sampai kena tergores, dia bakal
menderita cacat seumur hidupnya. '
Pada saat itu Yunus sudah menjerit lagi dengan suara
putus asa. Cepat Lingga W isnu merogo bajunya. Ia
menemukan sebuah kancing, dan segera direnggutnya.
Lalu disent ilnya. "T rang!" Orang tua itu terkejut, selagi hatinya mulai menjadi
girang lant aran akan segera bisa menggores pipi Yunus
yang montok. Tangan kiri yang memegang patahan
pedang tergetar. Lengannya lantas menjadi kesemutan.
Dan patahan pedang yang berada dalam genggamannya
runtuh di atas geladak. Menyaksikan hal itu, Yunus lega luar biasa. Kalau
sedetik tadi ia dalam ketakutan, mendadak saja hatinya
kini berbalik menjadi beringas. Sekali melompat, ia
berlindung dibelakang punggung Lingga W isnu dan terus
saja memegang lengannya. Lalu mendamprat :
"Hai, kampret tua! Kau benar-benar berlagak. Hayoo,
ke mari. Kalau berani!"
Orang tua itu sebenarnya bernama Bhumi. Tetapi
orang-orang menyebutnya sebutan Reksa Glempo. Dialah
pemimpin Ki Rekso dengan Macan Kumbang, gerombolan
penyamun yang bergerak di sekitar pegunungan
Kendeng. Ilmu andalannya Esmu Gunting. Selamanya
belum pernah ia berkelahi dengan menggunakan senjata.
Dengan kedua t angan yang tajam mirip sebuah gunting,
cukup ia merajai daerah sekitar pegunungan Kendeng,
Ngawi dan lembah gunung Lawu. Sekarang, mendadak
saja ia mempunyai pengalaman baru. Karena timpukan
sebuah kancing baju saja, pedang yang berada di dalam
genggamannya bisa runtuh diatas geladak. Sedang
lengannya jadi kesemutan pula. Padahal ia memiliki
tenaga luar biasa besarnya. Inilah suatu peristiwa yang
belum pernah dialami selama hidupnya. Pikirnya di dalam
hati : "Ih, kenapa bocah itu mempunyai t enaga sebesar ini?"
Jaya Tatit yang berdiri disamp ing Zubaedah segera
sadar, akan kehebatan Lingga W isnu. Dan Zubaedah,
perempuan setengah umur peserta Rekso Bhumi,
mempunyai kesan penglihatan yang sama pula. Pikirnya
di dalam hati : "Emas sudah terbuang di dasar sungai. Kalau t erpaksa
mengadu tenaga dengan pemuda itu, nampaknya akan
berlarut -larut . Apa perlunya?"
Dan dengan pertimbangan itu, ia lantas saja berseru
kepada Rekso Bhumi : "Sesepuh *), sudahlah! Dengan memandang muka
kepada sahabat kita Lingga, sebaiknya kau beri ampun
saja bocah biadab itu!"
*) Sesepuh = Ketua "Huh!" dengus Yunus selagi Reksa Bhumi belum dapat
membuka mulut. "Setelah melihat orang berkepandaian
tinggi, lantas saja hendak mengangkat kaki. Ih, lagakmu
benar-benar lagak bangsat. Terhadap orang yang kiranya
lemah, berani main hina. Tetapi begitu ketumbuk batu,
buru-buru berani hendak bersimpuh. Huuu ... Mentangmentang jadi begal
pasaran ..." Bukan main tajam mulut Yunus, sampai Lingga W isnu
mengerutkan dahinya. Pikirnya di dalam hati :
"Bocah ini benar-benar seperti kanakkanak. Baru saja
lolos dari lubang jarum, mulut nya sudah begini jahil.
Apakah dia t ak bisa melihat gelagat?"
Kena ketajaman kata-kata Yunus, Zubaedah terdiam.
Ia jad i serba salah. Melayani, salah. Tidak melayan i,
salah pula. Sebaliknya, Rekso Bhumi yang berpengalaman, bisa mencari jalan lain. Katanya ramah
kepada Lingga W isnu : "Saudara, kau hebat! Kebetulan sekali rembulan sudah
condong jauh ke barat. Sebentar lagi udara bakal t erangbenderang kena cahaya
matahari. Bagaimana kalau kita
berolah raga sebentar?"
Ketua perkumpulan Macan Tutul, Rekso Bhumi alias
Rekso Glempo, telah menantang. Dalam hatinya,
memang ingin mencoba-coba ilmu saktinya Esmu
Gunting yang telah ditekuninya selama dua puluh tahun
lebih. Mengingat usia Lingga W isnu yang masih muda
belia, ia yakin bahw a dirinya bakal menang.
Lingga W isnu jadi berbimbang-bimbang. Pikirnya di
dalam hati : "Jikalau aku melayaninya, meskupun belum pasti
kalah, akan tetapi setelah bergerak satu dua jurus,
berarti pula aku telah membantu Yunus. Rekso Bhumi ini
meskipun sudah keriputan, nampaknya pendekar dan
lic in jalan pikirannya. Apakah guna faedahnya aku
menanam bibit permusuhan kepadanya?"
Dan oleh pikiran itu, cepat-cepat ia membungkuk
memberi hormat. Katanya: "Selama hidupku, baru untuk pertama kali in ilah aku
merant au. Karena itu, aku belum t ahu tingginya gunung
dan tebalnya bumi. Paman Rekso Bhumi, bila
dibandingkan dengan kepandaianmu, kepandaianku ini
sama sekali tiada arti. Karena itu, bagaimana aku berani
melayani paman?" Rekso Bhumi alias Rekso Glempo tersenyum. Pikirnya
di dalam hati: 'T ak aku sangka, meskipun masih begini
muda, pandai membawa diri. Inilah kesempatan sebaikbaiknya untuk mengundurkan
diri secara terhormat, maka berkatalah dia : "Sahabat Lingga, engkau bersegan segan terhadap
diriku. Mengapa?" Tiba-tiba ia menghampiri Yunus, sambil melot otkan
matanya, katanya kasar : "Di kemudian hari, meskipun tulang tulangku telah
keropos, masih ada waktu untuk menghajarmu. Tahu?"
Setelah berkata demikian, ia menggapai Jaya Tatit,
lalu mengajaiknya pergi :
"Mari!" ajaknya.
Sekonyong-konyong Yunus, si mulut jahil, berseru :
"Hai, orang tua! Lagakmu saja seperti seorang
pendekar besar. Melihat hebatnya kepandaian saudara
Lingga, terus saja engkau mencari alasan mundur.
Bukankah begitu?" Yunus sengaja mengejeknya untuk melampiaskan rasa
mendongkolnya. Kecuali itu, ingin pula ia menyaksikan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rekso Bhumi alias Rekso Glempo bertempur melawan
Lingga W isnu. Di dalam hati ia percaya, bahwa ilmu
kepandaian Lingga W isnu lebih tinggi dari pada si tua
bangkotan itu. Rekso Bhumi alias Rekso Glempo jadi serba salah.
Dadanya panas, serasa hendak meledak. Namun masih
bisa ia menguasai diri. Berkata kepada Lingga W isnu :
"Saudara Lingga, meskipun usiamu masih muda, akan
tetapi engkau mengenal arti kata suatu persahabatan.
Itulah sebabnya aku memanggil saudara kepadamu.
Mari, mari kita bermain segebrak dua gebrak saja! Biar
bocah jahil yang tak tahu diri itu, tidak mengira bahw a
aku t idak mempunyai keberanian."
Lingga W isnu sebenarnya tak senang hati pula
mendengar mulut jahil Yunus. Mendengar ucapan Rekso
Bhumi alias Rekso Glempo, ia menyahut :
"Paman, mengapa engkau mendengarkan ocehan
seorang anak" Aku kira dia hanya melepaskan kata-kata
sejadi-jadinya saja."
"Engkau tak usah kuatir, saudara Lingga, akupun tidak
akan berkelahi dengan sungguh-sungguh," ujar Rekso
Bhumi mendesak. Dan pada saat itu, Yunus berkata lagi dengan suara
tajam : "Mulut mu memang bilang tidak takut. Tetapi hatimu
sebenarnya berdegupan. Sekiranya tidak begitu, tanganmu yang ganas masakan tinggal diam saja" Idiih!
Masih bisa engkau ngomong tentang persahabatan pula"
Tetapi memang! Memang! Memang lebih baik jangan
bertempur saja! Tetapi demi Tuhan, sampai seusia ini
belum pernah aku menyaksikan kelicikan seorang ketua
gerombolan penyamun seperti dirimu. Maka dari itu,
lebih baik engkau jangan bertempur saja!"
Meluaplah hawa amarah Rekso Bhumi. Di luar
kehendaknya sendiri, tiba-tiba tangannya bergerak
menampar wajah Lingga W isnu. Akan tetapi belum
sampai pada sasarannya, cepat ia menarik tangannya
kembali. Lantas berkata :
"Saudara Lingga! Mari! Mari! Aku ingin belajar kenal
dengan ilmu ke pandaianmu."
Didesak demikian rupa, Lingga W isnu tak dapat
mundur lagi. Segera ia melompat ke tengah gelanggang.
Berkata dengan suara hormat :
"Baiklah. Hanya saja, sudilah paman menaruh iba
kepadaku ..." "Kau baik sekali, sahabat Lingga! Silahkan!" sahut
Rekso Bhumi alias Rekso Glempo dengan suara
menantang. Lingga W isnu tertegun sejenak. Meskipun ia baru
untuk pertama kalinya merant au seorang diri, tetapi
semenjak belum bisa beringus sudah kenyang mengenal
lagak-lagu seorang pendekar. Maka tahulah dia, apabila
tetap membawa sikap merendahkan diri terus-menerus,
berarti pula ia merendahkan orang tua itu. Segera ia
mengayuhkan pukulan jurus Sardula Jenar yang
pertama. Sasaran yang dibidiknya adalah dada lawan.
Rekso Bhumi tercengang. Juga kedua rekannya.
Tadinya, mereka bertiga mengira, pemuda itu berkepandaian tinggi. Sama sekali tak terduga, bahwa
pukulannya begitu sederhana saja. Seperti diketahui,
jurus-jurus ilmu tata berkelahi Sardula Jenar, memang
sangat sederhana. Pukulan-pukulannya mirip pukulanpukulan
ajaran pengantar tata-berkelahi tataran permulaan. Sama sekali tiada tipu-tipu muslihat atau
keistimewaannya. Seorang pendekar rendahanpun bisa
memunahkan tiap serangan-serangannya dengan mudah. Malahan seorang tukang pukul biasapun, akan
sanggup melawan dengan baik, asal saja memiliki t enaga
jasman i yang kuat. Itulah sebabnya, Yunuspun yang
merasa diri terlanjur membuka mulut besar, kecewa
bukan main sampai dahinya pucat.
Sebaliknya, Rekso Bhumi alias Rekso Glempo girang
bukan kepalang. Dengan hati mantap, mulailah dia
menyerang.. Setiap pukulannya, disertai himpunan
tenaga wkti, sehingga terdengar suara berderu-deru. Ia yakin dapat merobohkan Lingga W isnu dalam tiga jurus saja. Sekiranya tidak demikian, paling tidak, akan bisa membuat pemuda itu kelabakan. Diluar dugaan, gerakan-gerakan pemuda itu yang nampaknya sederhana saja, ternyata
gesit dan-licin luar b iasa. Betapa dia menghujani
pukulan-pukulan deras dengan berbagai tipu tipu
muslihat t inggi, t etap saja tak mampu menyentuh tubuh
Lingga W isnu. Keruan saja ia jad i terkejut dan terheranheran. Dirasakannya
suatu keanehan yang tak dapat
dimengerti. Mengapa pukulan pukulan dan gerakangerakannya yang sederhana itu,
tak dapat terkejar oleh pukulan lint ang Esmu Gunting yang termasyur kecepatannya semenjak puluhan t ahun yang lalu" Sama
sekali ia tak pernah mimpi, bahwa nun jauh di atas
puncak gunung Dieng, seorang petapa sakti bernama Ki
Sambang Dalan, telah berhasil meniupkan nyawa baru ke
dalam jurus-jurus Sardula Jenar yang sederhana. Dan
pemuda itu t elah mewarisinya dengan sangat sempurna.
Iapun tak pernah mengira pula, bahwa seorang pendekar
besar yang lainnya, yang bernama Ki Ageng Gumhirek,
telah mewariskan ilmu kepandaian 'Maya Putih' kepada
pemuda itu. Maka di tangan pemuda itu, Sardula Jenar
mendadak saja berubah kemujijatannya. Tubuhnya
berkelebatan tak ubah bayangan maya.
Keruan saja Rekso Bhumi alias Rekso Glempo
makin.lama makin menjadi sibuk. Bagaimana ia
berusaha, tetap saja tak dapat mendekati tubuh Lingga
W isnu. Ia malah merasa diri kena libat terus-menerus.
Akhirnya ia berpikir d i dalam hati: 'Teranglah sudah,
bahw a ia tidak berniat menggebuk aku, agar aku tak
usah menanggung malu. Meskipun demikian, kalau
kesudahannya aku tidak dapat berbuat sesuatu, bocah
biadab anak jadah itu akan memperolokkan juga. Lantas
bagaimana baiknya" Dirumun pikirannya sendiri, kesibukannya berubah
menjadi rasa cemas. Dengan serta merta ia menghimpun
seluruh kepandaiannya. Lalu melancarkan serangan
dengan sungguh-sungguh dan cermat. Gerakannya
dipercepat, sedang tiap pukulannya maribawa ancaman
maut. Meskipun demikian, tetap saja nihil, seakan-akan
tiada bedanya dengan pukulan-pukulannya yang pertama. Pada saat itu Lingga W isnu berpikir di dalam hati :
'Sesungguhnya tidak mudah orang memiliki ilmu 'Esmu
Gunting' setinggi dia. Aku harus berani mengalah, agar
dia tak usah menanggung malu menghadapi mulut jahil
si Yunus ...' setelah memperoleh keputusan demikian, ia
sengaja menggelincirkan sebelah kakinya. Seketika itu
juga geraknya menjadi ayal.
Rekso Bhumi girang melihat adanya suatu lowongan.
Tetapi di dalam hati, tiada niatnya hendak mencelakai
pemuda itu. Ia hanya ingin merobek kain bajunya saja,
artinya ia sudah dapat memperoleh kemenangan.
Demikianlah, dengan cepat diterkamnya pundak
Lingga W isnu. Bidikannya tepat. Tetapi kesudahannya, ia
heran bukan kepalang. Jelas sekali, terkamnya sudah
berhasil mencengkeram daging. Tiba-tiba daging yang
dicengkeramnya itu menjadi keras dan licin. Ia k aget dan
cengkeramannya luput seperti seseorang menangkap
belut yang t iba-tiba lolos dari tangannya. Hai! Mengapa"
Ia tak tahu, bahwa hal itu t erjadi berkat baju mustika Ki
Ageng Gumbrek yang dihadiahkan kepada pemuda itu
beberapa tahun yang lalu.
Lingga W isnu tahu diri. Ia lant as melcmpat mundur
sambil berkata : "Aku menyerah!"
"Akh! Kau sengaja mengalah!" sahut Rekso Bhumi
setengah mengeluh. Tetapi dengan rela hati ia
tersenyum sambil membungkuk hormat.
Justru pada saat itu, si mulut Jahil menimbrung :
"Memang dia mengalah. Kau tahu atau t idak" Syukur
kalau engkau tahu!" Merah padam wajah Rekso Bhumi alias Rekso Glempo
disemprot Yunus. Sebagai seorang pemimpin suatu
perkumpulan, tersinggunglah kehormatannya. Segera ia
hendak membuka mulutnya untuk mempertahankan
harga dirinya, mendadak terjadilah suatu peristiwa lain.
Di seberang sungai, beberapa puluh orang datang
berbondong-bondong, dengan membawa obor menyala.
Mereka berteriak-teriak ribut :
"Mana bocah itu" Bawa ke mari! Kami ingin mengeraterat dagingnya demi
menenteramkan arwah Jumali!"
Yunus menoleh. Melihat datang puluhan orang hendak
menuntut balas kepadanya, mau tak mau hatinya
menjadi kuncup. Segera ia memipitkah tubuh kepada
Lingga W isnu. "Karsongali! Bawalah seseorang ke mari!" perint ah
Rekso Bhumi. Dengan cepat, sampailah rombongan itu di tepi
sungai. Akan tetapi, perahu Kertomidin atau Demalung,
berada agak jauh dari tepi. Dua orang lantas terjun ke
dalam air. Mereka berenang timbul-tenggelam seakanakan dua ekor ikan terbang.
Dalam sekejapan saja sudah
meloncat ke atas geladak.
"Bungkusan emas sudah dilemparkan bocah biadab itu
ke dalam air. Panggil teman-temanmu dan cari
bungkusan emas itu!" teriak Rekso Bhumi alias Rekso
Glempo sambil menuding ke arah terlemparnya
bungkusan emas. Dan menerima perint ah ketuanya,
mereka berdua lantas saja terjun ke sungai lagi.
Yunus yang memepetkan badannya pada Lingga
W isnu, menarik lengan pemuda itu dan berkata dengan
suara memohon : "Mereka hendak membunuh aku. Tolonglah aku dari
ancaman mereka!" Lingga W isnu menoleh. Ia melihat wajah Yunus yang
sedih mengibakan hati. Lantas saja ia mananggut .
"Kalau begitu, kau tariklah jangkarnya selag i mereka
sibuk mencari bungkusan emas itu," bisik Yunus dengan
suara penuh syukur. Gerak-gerik Y unus sudah barang tentu tidak lepas dari
perhatian Rekso Bhumi. Melihat pemuda itu berbisik-bisik
kepada Lingga Wisnu, segera ia bertindak. Akan tetapi ia
kalah sebat. Tiba-tiba saja Yunus menyambar sebuah
bangku tempat bergadang yang terletak di tepi dinding
perahu. Lalu dilemparkannya ke arah ketiga musuhnya.
Inilah kejadian d i luar dugaan. Jaya Tatit dan
Zubaedah yang tidak mengira sama sekali bakal d iserang
secara mendadak, tak sempat lagi mengelakkan diri.
Mereka berdua tercebur ke dalam air.
Rekso Bhumi masih senpat menangkis sambaran
bangku itu. Dengan tangannya yang kuat bagaikan besi,
ia menangkap kaki bangku itu. Lalu dengan sekali remas,
kaki bangku itu menjadi patah berant akan. Berbareng
dengan itu, ia melompat ke tepi perahu. Ia bebas dari
serangan Yunus, akan tetapi bingung melihat kedua
rekannya tercebur ke dalam sungai. Inilah karena ia
mengetahui bahwa kedua rekannya itu tak pandai
berenang. Sedang Karsongali dan kawannya pada saat
itu sudah menyelam ke dasar sungai dan jaraknya agak
jauh. Tetapi ia seorang yang berpengalaman. Segera ia
menjangkaukan bangku yang berada ditangannya,
sambil menggenggam sebelah kaki bangku itu erat-erat.
Maksudnya agar mereka berdua dapat menyambar ujung
kaki bangku masing-masing sebelah. Kemudian segera
akan di hentakkan ke atas.
Tiba-tiba saja dia teringat kepada Yunus. Hatinya
sangat panas. Menuruti kata hatinya tak sudi ia


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membiarkan bocah itu tak berbalas. Maka ia lemparkan
bangku itu ke sungai sambil berseru :
"Apungkan diri kalian dengan memegang bangku itu
sebagai alat pengapung! Bocah itu biarlah kuhajarnya
mampus dahulu!" Berbareng dengan seruannya, ia menyambar penggayuh salah seorang anak-buah Kertomidin alias
Demalung. Yunus pun berbuat demikian pula. Dengan
membolang-balingkan penggayuh itu sebagai penggada,
Yunus melindungi mukanya rapat-rapat .
"Kau tariklah jangkarnya, cepat" serunya kepada
Lingga W isnu. Dengan sebat Lingga W isnu menyambar tali jangkar,
kenudian dihentakkan. Dan jangkar itu terangkat naik
dari g ili-gili dan melayang ke perahu. Hebat perbawa
jangkar yang sedang melayang itu. Nampaknya seperti
wajar saja akan jatuh di atas geladak. Tetapi sebelum
itu, mendadak saja b isa menyelonong menyambar dada
Rekso Bhumi. Keruan saja orang tua itu kaget. Buru-buru ia
melompat menyingkir. Yunuspun berbuat demikian pula.
Dengan demikian, mereka jad i berpisah. Dan pada saat
itu, perahu bergerak mengikuti arus sungai. Sedang
Lingga W isnu menyambar jangkar yang akan jatuh di
atas geladak dengan tenang-tenang saja.
Rekso Bhumi kagum menyaksikan tenaga Lingga
W isnu yang dapat menyambut datangnya jangkar yang
berat. Selagi demikian, hatinya tercekat pula melihat
bergeraknya perahu makin lama makin cepat. Kalau
sampai terpisah dari kawan-kawannya, bakal celaka.
Maka dengan sekali menjejakkan kakinya, ia melesat ke
tebing sungai. Tatapi, perahu sudah terlanjur bergerak
menjauhi tebing sungai, jaraknya melebihi lima belas
meter. Dengan sekali melihat, tahulah Lingga W isnu bahw a
orang itu tak akan mampu mencapai t ebing. Buru-buru ia
mengangkat jembatan perahu dan melemparkan ke atas
air. W aktu itu Rekso Bhumi sudah mengeluh. Tak dapat
dielakkan lagi, bahwa ia bakal tercebur di dalam air.
Selagi demikian, ia melihat berkelebatnya selembar
papan didepannya. Betapa girang rasa hatinya, tak
terkatakan lagi. Terus saja ia mendarat pada papan itu.
Kemudian dengan menjejakkan kakinya, ia meloncat ke
darat. Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih
kepada pemuda itu, berbareng mengaguminya.
"Hai!" seru Yunus mendongkol. 'Untuk kesekian
kalinya berbaik hati terhadap orang tua itu. Heh,
sebenarnya engkau hendak membantu aku apa dia"
Biarkan dia tercebur ke dalam sungai. Bukankah dia t idak
bakal mati?" Lingga W isnu t ahu tabiat pemuda itu aneh. Karenanya
tak mau ia melayani. Terus saja ia masuk ke dalam
gubuk dan merebahkan diri. Yunus tambah mendongkol.
Ingin ia mendampratnya, akan tetapi Lingga W isnu
bersikap membungkam mulut. Maka terpaksalah dia
merangkaki gubuknya pula dengan bersungut-sungut.
Keesokan harinya, tatkala matahari hamp ir condong
ke barat, sampailah perahu Kertomidin alias Demalung di
Kedungbarang. Lingga W isnu menghaturkan terima kasih
kepada Nitigurnito atas pertolongannya menumpang di
perahu. Kemudian memberikan bayaran kepada Kertomidin alias Demalung. Tetapi, Nitigurnito mencegah. Katanya : "Jangan! Biarlah aku yang membayar beaya
perjalananmu!" saudagar ini bahkan merasa berhutang
budi terhadap pemuda itu. Seumpama tak ada dia,
barang-barangnya bakal diludaskan o leh perompakperompak tadi malam.
Lingga W isnu tak mau mengecewakan kehendak
Nitigurnito yang ingin menbalas jasa. Setelah menghaturkan rasa terima kasih, segera ia berpamitan.
Diluar dugaan, Yunuspun hendak mendarat pula. Kata
pemuda itu kepada Nitigurnito :
"Aku juga t ahu, bahwa engkau tak akan mengijinkan
aku pula untuk membayar beaya perjalanan. Tetapi aku
tak sudi kau perlakukan demikian. Aku seorang
penumpang. Dan aku akan tetap membayar," dan
setelah berkata demikian, ia meraup segenggam uang
emas dan ditaruhnya di atas meja.
"Pak Kertomidin alias Demalung! Inilah merupakan
beaya perjalananku. Kau ambillah!"
Kertomidin alias Demalung sebenarnya seorang mata
duitan. Tetapi setelah mengenal perangai dan tabiat
penumpangnya yang muda itu, tak berani ia menerima
pembayaran itu lantaran takut kena salah. Maka dengan
lagak berpura- pura goblok, ia menyahut :
"nDoromas .. eh, aku tak mempunyai uang kecil
sebagai ..." "Siapa yang ingin kau kembalikan kelebihan pembayaranku?" bentak Yunus. "Ini untukmu semua!"
Kertomidin tercengang. Mulutnya sebenarnya sudah
mengilar. Tetapi, ia tak berani buru-buru menerima
rezeki itu. Ia jadi nampak berbimbang-bimbang.
Sahutnya bergemetaran : "T ak usah sebanyak itu ... tak usah sebanyak i ..."
"Eh, kau cerewet juga?" bentak Yunus. "Berapa aku
mau memberimu, itulah hakku sendiri. Apa perlu engkau
mengoceh tak keruan" Apakah engkau ingin perahumu
aku lubangi biar t enggelam?"
Diancam demikian, Kertomidin alias Dema- lung kaget
seperti tersambar petir. Gugup ia menyahut :
. "Oh, kalau begitu ... terima kasih, terima kasih ..."
dan dengan tangan bergemetaran ia memungut
tumpukan uang emas itu. Yunus kemudian membuka bungkusannya. Begitu
terbuka, sinar bergemerlapan memantul keluar oleh
cahaya matahari. Dengan serta merta ia meletakkan di
atas atas meja. Lalu d ihitungnya. Semuanya berjumlah
tigaratus potong mas. Ia membagi menjadi dua bag ian.
Yang sebagian segera dimasukkannya ke dalam
bungkusan pakaiannya dengan cekatan, dan sebagian
lagi d isorongkan ke depan Lingga W isnu.
"Ini bagianmu!" katanya.
"Apa?" Lingga W isnu tercengang.
Yunus tertawa puas. Dan wajahnya mendadak saja
kelihatan manis. Katanya :
"Apakah engkau mengira aku benar-benar telah
membuang emas rampasan in i ke dalam sungai" Huh,
masakan aku setolol itu. Mereka boleh mencari dan
menggerayangi seluruh dasar sungai. Sekiranya berhasil,
mereka bakal menemukan sebungkusan batu saja."
setelah berkata begitu, ia lantas saja tertawa geli.
Lingga W isnu menghela napas. Y unus lebih muda dari
pada dirinya. Tetapi umur semuda itu sudah bisa
mengelabui Rekso Bhumi alias Rekso Glempo, seorang
pemimpin gerombolan penyamun, yang sudah banyak
makan garam. Benar-benar mengagumkan!
"Saudara Yunus! Aku tak membutuhkan uang emas
itu. Kau ambillah sendiri. Kalau tadi aku membantumu,
bukanlah lant aran uang emasmu," kata Lingga W isnu.
"Tetapi ini pemberianku-kepadamu," sahut Yunus
cepdj:. "Uang emas ini, bukannya engkau yang
merampas. Jadi bagianmu, merupakan uang emas halal!
Kenapa engkau berlagak sebagai seorang pendekar
berhati palsu?" Lingga W isnu tetap menggelengkan kepala. Ia tak
mau menerima uang emas pemberian Y unus.
Nitigurnito adalah seorang saudagar besar. Dalam tata
hidup persoalan harta benda, bukan merupakan hal asing
baginya. Akan tetapi melihat kedua pemuda itu, ia heran
sekali. Yang seorang tak dapat menghargai arti uang
emas. Dan yang lainnya menganggapnya masalah
ringan. Yang seorang mendesak hendak memberi, dan
yang lain menolak dengan keras. Selama hidupnya yang
telah melampaui setengah abad, belum pernah ia melihat
peristiwa demikian. "T ak perduli engkau mau apa tidak, aku harus
memberikannya kepadamu." kata Yunus dengan suara
nyaring. Sekonyong-konyong ia melcmpat ke darat.
Lingga W isnu te rtegun. Tetapi segera tersadar. Ia pun
melompat memburu. Akan tetapi Yunus dapat berlari
kencang. Sayang, ia ketemu batunya. Dengan sekejapan
saja L ingga W isnu dapat mendahuluinya.
"T unggu!" kata Lingga W isnu sambil memegat larinya.
"Kau bawa sajalah emasmu
ini!" Yunus mencoba menerobos melalu i samping
Namun sia-sia belaka. Tanpa mampu ia melint asi
Lingga W isnu. Dalam sengitnya, sekonyongkonyong ia menyerang wajah Lingga W isnu. Lingga W isnu menangkis serangannya. Dengan tangan kiri ia menolak. Sebenarnya ia tidak gunakan
tenaga saktinya, akan tetapi Yunus kena didorong tiga
langkah. Merasa dirinya tak akan sanggup lolos dari pegatan
Lingga W isnu, mendadak saja Yunus menjatuhkan diri
dan duduk bersimpuh di atas tanah. Dengan tiba-tiba
pula menangis sedu-sedan.
"Apakah aku menyakitimu?"
Lingga W isnu mint a keterangan dengan perasaan
cemas. Ia mengira tangkisannya tadi, membuat Yunus
kesakitan lengannva. "Siapa bilang aku kesakitan?" seru Yunus sambil
melompat bangun. Dengan tiba-tiba saja ia melesat
tinggi melampaui Lingga W isnu yang sedang berjongkok.
Lingga W isnu jadi tercengang-cengang. Dengan mata
tak berkedip, ia mengawaskan kepergian Y unus yang t ak
lama kemudian lenyap dari penglihatan.
Benar-benar aneh tabiatnya. Lingga W isnu bergumam
seorang diri. Ia kagum akan kecerdikan pemuda itu.
Tetapi ia heran pula, terhadap tabiatnya yang aneh.
Dengan hati geli, terpaksalah ia membawa bungkusan
emas yang diperuntukkan baginya, pikirnya sambil
berjalan memasuki kot a :
'T ak enak hatiku, sebelum dapat mengembalikan emas
ini kepadanya. Aku membantunya hanya semata-mata
bukan karena uangnya. Kalau aku menerima emasnya,
seolah-olah menerima bagianku, dikemudian hari,
bukankah aku bisa dituduh orang bersekutu dengan dia"'
0oo-dw-oo0 BAGIA N II (bagian I nya mana yee hi hi )
Pada malam harinya Lingga W isnu menginap di
sebuah losmen milik seorang Tionghoa asal Hokkian. Di
dalam kamarnya, berbagai pertimbangan memenuhi
pikirannya. Tujuannya memasuki wilayah Sukowati
hendak mencari gurunya. Tak terduga, ditengah jalan ia
menemukan suatu peristiwa yang mengikat. Bagaimana
kelak ia harus mempertanggung jawabkan emas yang
dibawa bawanya itu kepada gurunya. Rasanya susah ia
memberikan pertanggungan jawab. Maka makin kuatlah
ketetapannya hendak mencari Yunus sampai ketemu.
Kemudian emas itu harus diserahkan kembali. Kalau dia
menolak, akan ditinggalkannya saja.
Keesokan harinya, ia segera berangkat mencari jalan
menuju ke dusun Kemuning. Ternyata dusun itu berada
di sebelah barat gunung Lawu. Untuk mencapai dusun
itu, setidak-tidaknya membutuhkan waktu dua hari.
Gunung Lawu, bagi Lingga W isnu mempunyai kesan
yang mendalam dalam hati Lingga W isnu! Di gunung
itulah sekalian saudara dan ayah-bundanya menemui
ajalnya. Di gunung itu pulalah sekalian paman guru dan
eyang gurunya bermukim. Selain itu, gunung Lawu
merupakan gunung keramat bagi penduduk disekitarnya.
Mereka percaya, bahwa Resi Hancman betapa di
puncaknya. Resi Kanoman adalah salah satu tokoh dalam
ceritera Ramayana. Ia seekor kera putih, panglima raja
Ramadewa yang hidup pada zaman ribuan tahun yang
lalu. Meskipun seekor kera, tetapi sifat kasatryanya b isa


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencuri hati orang, sehingga namanya tetap abadi di
sepanjang masa. Pada zaman abad pertengahan, puncak gunung Lawu
menjadi pusat perhatian orang lagi. Dialah satu-satunya
putera Majapahit yang berhasil melarikan diri tatkala
kerajaan Majapah it runtuh kena serbu tentara Islam dari
Denak Bint ara. Putera Majapah it itu menpunyai pusaka
sakti umbul-umbul dan tambur. Barangsiapa berlindung
dibawah umbul-umbul sakti itu, dirinya t idak t ampak oleh
penglihatan orang. Dan tambur itu sendiri, bisa
memanggil roh-roh halus dan t entara siluman. Pada saat
itu, dari mulut kemulut dibisikkan orang, bahwa Raden
Mas Said sedang bertapa di bawah kepundang gunung
dengan maksud hendak memperoleh warisan pusaka
sakti tersebut. Dan dari gunung Lawu itu pula, diramalkan orapg
bahw a Ratu Adil bakal mengatur tata-tertib di tanah
Jawa di kemudian hari, apabila negara berada dalam
bencana keruntuhan. Demikianlah, maka gunung Lawu akan tetap keramat
dan abadi dalam hati penduduk.
Dalam usahanya mencari keluarga Dandang Mataun,
Lingga W isnu berjumpa dengan seorang petani
perempuan. Lantas saja ia bertanya :
"Bibi, bolehkah aku minta petunjukmu?"
Petani perempuan itu menatap wajahnya. Dengan
ramah ia menyahut : "Tentu. Tetapi aku ini orang dusun, nak. Petunjuk apa
yang akan kau mint a?"
"T ahukah bibi, dimana keluarga Dandang Mataun
bertempat tinggal?" Mendadak saja, wajah perempuan itu berubah.
Keramahannya t adi lenya. Lalu menyahut kasar:
"Aku tak tahu. Cari saja sendiri!" set elah menyahut
demikian, ia melanjutkan pekerjaannya.
Lingga W isnu heran. Apa sebab perempuan itu tibatiba berubah sikapnya" Sambil
berjalan ia mencoba menebak-nebak teka-teki itu. Di tengah jalan ia bertemu
dengan seorang pedagang keliling. Ha, mungkin dia bisa
memberi petunjuk, pikirnya. Lantas saja ia menghampiri
sambil bertanya : "Saudara, bolehkah aku numpang bertanya" Di
manakah tempat tinggal keluarga Dandang Mataun?"
Pedagang keliling itu berhenti. Ia mengamat-amati
dirinya. Menegas : "Apa perlu saudara menanyakan tempat tinggal
keluarga itu?" "Aku hendak mengembalikan bungkusan titipannya."
"Kalau begitu, saudara sahabatnya, bukan" Kau cari
saja sendiri. Apa perlu bertanya kepadaku?"
Untuk kedua kalinya, Lingga W isnu heran. Selain itu,
ada perasaan malu menyelomot lubuk hatinya. Mengapa
orang itu tiba-tiba jadi kasar" Apakah penduduk sekitar
gunung Lawu memang manusia-manusia kasar" Akh,
tidak mungkin! Eyang guru dan sekalian paman gurunya
termasuk penduduk sekitar gunung Lawu. Almarhum
ayahnyapun pada zaman mudanya, bermukim di salah
satu pinggang gunung Lawu itu.
Sekarang ia mencari seorang kanak-kanak yang
berumur kurang dari sepuluh tahun, untuk mencari
keterangan. Seorang kanak-kanak dibawah umur sepuluh
tahun, masih bersih tabiatnya. Setelah menyesapkan dua
buah kelip di dalam tangannya, ia bertanya ramah :
"Adik, tahukah engkau tempat tinggal keluarga
Dandang Mataun?" Anak itu sudah menggenggam mata uang pemberiannya. Tetapi tiba-tiba saja mengembalikannya
sambil menuding : "Kau mencari rumahnya" Itu! Istana besar itu!" dan
setelah berkata demikian, bocah itu lari menjauhi.
Kembali L ingga W isnu heran. Tetapi dia sesungguhnya
bukan pemuda yang tak pandai berpikir. Semenjak ia
bertemu dan melihat perubahan sikap petani perempuan,
segera dapat menebak delapan bagian. Kalau saja ia
mint a keterangan lagi kepada seorang pedagang keliling
dan seorang bocah, semata-mata lantaran ingin
memperoleh keyakinan. Bukankah orang yang memperkenalkan namanya dengan Cocak Obar-abir
dahulu itu, pernah menyebut dirinya sebagai salah
seorang anggauta keluarga Dandang Mataun" Menilik
sepak-terjangnya dia seorang bengis, dan kejam.
Terhadap saudaranya sendiri, sampai hati ia membunuhnya demi memperoleh kitab sakti warisan.
Juga Yunus, adalah seorang pemuda yang kejam dan
aneh tabiatnya. Bagi orang dusun yang berwatak dan hidup
sederhana, tabiat Yunus yang aneh itu pastilah
dibencinya. Rumah yang disebut sebagai istana oleh si bocah cilik,
sebenarnya bukanlah sebuah istana dalam arti kata yang
benar. Rumah itu hanya besar dan berhalaman luas.
Kesannya mentereng dan angke. Letaknya di sebuah
bukit yang terlindung oleh gerombol pepohonan lebat.
Dari dalam halaman yang luas, Lingga W isnu
mendengar suara riuh orang. Kemudian muncul ah
duapuluh empat orang petani dengan membawa pacul
dan kapak. Petani-petani itu berkerumun dan merundingkan sesuatu di luar pagar batu. Kemudian
masuk halaman lagi, sambil berteriak-teriak :
"Hai, kamu keluarga Dandang Mataun! Kamu telah
membunuh tiga orang teman kami! Jangan enak-enak
berpeluk lutut! Masakan kalian boleh berbuat semenamenanya" Hayo, ganti jiwa
ketiga teman kami itu!"
Diantara mereka, terdapat delapan orang perempuan
yang membiarkan rambut nya kusut masai dan terurai
reriapan. Mereka menangis menggerung sambil memakimaki. Melihat hal itu,
terdengarlah hati Lingga W isnu. Ia
jadi teringat pada pengalaman hidupnya sendiri yang
merasa di perlakukan tidak adil oleh hidup. Maka ia
mendekati. Kemudian bertanya :
"Sebenarnya, apa yang telah terjadi?"
Seseorang menoleh kepadanya. Menjawab:
"Saudara nampaknya seorang pendatang. Pastilah
engkau tidak mengetahui apa yang telah terjadi.
Keluarga Dandang Mataun merupakan tataran tinggi
diant ara penduduk sini. Semenjak dahulu, keluarga itulah
yang memegang kendali penghidupan. Mereka semua
pandai berkelahi, sehingga menjagoi wilayah sin i.
"Mereka keluarga tuan tanah yang bengis. Kekayaannya adalah h impunan darah kami. Kemarin
mereka mendatangi nenek Dimeja, menagih uang sewa
tanah. Nenek Dimeja mint a waktu penglunasan
pembayaran sewa tanah dalam beberapa hari saja.
Mereka menjadi gusar. Nenek Dimeja yang sudah
keropos tulang-belulangnya itu, didorong dengan kasar.
Tentu saja kena dorong mereka, ia mundur sempoyongan dan jatuh terbaik. Kepalanya membentur
batu. Dan ia mati pada saat itu juga. Anak dan
keponakan nenek Dimeja menuntut balas. Mereka
melabrak dengan nekad. Tetapi kena dihajar roboh
sehingga luka-luka berat. Apakah tindakan mereka itu
tidak kejam?" Selagi orang itu memberi keterangan kepada Lingga
seorang petani lain sedang menumbuk numbukkan
bajaknya pada pintu depan, yang ditutup rapat. Dan
pemuda-pemuda lainnya melempari batu.
Sekonyong-konyong terjeblaklah pint u depan. Sesosok
bayangan melesat keluar. Sebelum orang-orang melihat
bayangan itu dengan tegas, tujuh orang temannya telah
roboh terpelanting. Kepala mereka lantas saja bermandikan darah! 'Dia keji sekali!' pikir Lingga W isnu. Dia lantas
menajamkan matanya, agar memperoleh penglihatan
yang lebih jelas lagi. Bayangan itu berperawakan jangkung kurus. Kulit
mukanya bersemu kuning. Dengan sepasang alisnya
yang berdiri tegak, siapa saja akan segera memperoleh
kesan, bahwa dia seorang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. "Kalian benar-benar sekumpulan anjing dan babi!"
bentaknya garang. "Mengapa kalian merusak rumah
kami" Apakah kalian t ak mengenal peraturan?"
Biasanya, orang mendamprat untuk memperoleh
jawaban. Tetapi sebelum para petani sempat membuka
mulut nya, dia bergerak lagi dengan gesit. Tujuh orang
terlempar jatuh menungkrap di tanah.
'Hebat t enaga orang ini,' pikir Lingga W isnu. "Seperti
potongan jerami saja, ia melemparkan orang. Pastilah dia
salah seorang keluarga Yunus. Kalau d ia dahu lu
menyertai Yunus, tak perlulah aku membant unya.
Kegesitan dan kekuatannya, bisa menandingi Rekso
Bhumi dengan leluasa sekali ...'
Pada waktu itu, seorang petani berusia kurang lebih
empatpuluh tahun memajukan diri. Ia diikut i oleh dua
orang pemuda yang berdiri d i samp ingnya. Kata orang
itu : "Kamu telah membunuh orang. Masakan kami hanya
berhak menabuhkentung saja" Benar, kami ini sekumpulan manusia-manusia miskin. T etapi kami bukan
sekumpulan anjing atau babi seperti katamu itu. Jiwa
kamipun sama harganya dengan jiwa kalian! Hidung
sama-sama satu dan telinga sama-sama dua."
Orang jangkung kurus itu tertawa mendengus lalu
menjawab : "Jika belum aku mampuskan beberapa orang lagi,
rasa-rasanya kamu anjing-anjing in i masih saja
menggonggong tak keruan." sekali berkelebat, ia
menangkap petani yang membuka mulutnya itu. Tibatiba tubuhnya kena dijunjung
tinggi. Kemudian dilemparkan keluar pagar batu :
"Enyah!" bentaknya nyaring.
Kedua orang pemuda yang menyertai petani itu,
menjadi gusar. Berbareng mereka menyerang dengan
paculnya. Yang diserang menangkis dengan tangan
kirinya. Dan kedua pacul mereka kena di hentakkan
tinggi di udara jatuh di atas tanah. Selagi mereka berdiri
terkejut, orang jangkung kurus itu sudah berhasil
menangkap tengkuknya masing-masing. Kemudian diangkatnya tinggi tinggi dan dilemparkan kearah sebuah
batu besar. Jelas sekali maksud orang jangkung kurus
itu, dia hendak menghancurkan kepala mereka pada
batu. Keruan saja gerombolan petani-petani yang lain
menjerit kaget. Lingga W isnu mengambil keputusan hendak melihat
gelagat dahulu, meskipun hatinya ikut menjadi panas
menyaksikan lagak-lagu orang jangkung kurus itu.
Pikirnya : 'A ku ingin bertemu dengan Yunus. Kalau belum-belum
aku menerbitkan perkara, bukankah bakal menghadapi
kesulitan"' Tetapi, pada w aktu itu dia melihat melayangnya t ubuh
kedua pemuda itu hendak terbentur pada batu. Kalau
dibiarkan saja, kepala mereka berdua bakal pecah
berantakan. Meremanglah bulu tengkuknya. Mendadak ia
lupa kepada segala pertimbangannya. Terus saja ia
melesat dengan menggunakan ilmu bayangan Maya
Putih ajaran Ki Ageng Gumbrek, lantaran kesempatannya
yang sempit. Dengan kedua tangannya, ia menangkap
tubuh mereka berdua, dan diturunkan perlahan-lahan di


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas t anah. .. ada bagian kalimat yg lewat..
Berseru demikian, ia menepuk tengkuk Lingga W isnu
dengan disertai tenaga sakti. Hebat tenaga sakti yang
dikerahkan. Tadi, ia terkesiap tatkala menyaksikan
kegesitan pemuda itu. Ia merasa pasti, bahw a dia bukan
seorang pemuda sembarangan. Maka dalam mengerahkan tenaga saktinya, ia tidak mau kepalang
tanggung. Lingga W isnu tak sudi tengkuknya kena
dihajar orang. Ia mengendapkan diri sedikit. Maka
tepukan si jangkung kurus lewat disamping telinganya.
Dan pada detik itu Lingga W isnu berpikir :
'Sebenarnya, aku hendak datang sebentar malam. T ak
tahunya, aku kini terlibat dalam kesulitan. Tetapi demi
menolong jiwa kedua pemuda itu, apa lagi yang dapat
aku lakukan, selain menyambar tubuh mereka berdua
selagi masih berada di udara" Maka untuk mengurangi
rasa t ak senang si jangkung kurus, ia t idak membalas.
Kali in i, orang jangkung kurus itu benar-benar
terkejut. Pikirnya : 'Anjing-anjing dan babi-bab i itu berani memasuki
pekarangan. Tak tahunya, mereka mempunyai jago
andalan,' memperoleh pikiran demikian, ia membentak
sengit : "sahabat! Apakah engkau jago undangan mereka
untuk mempersulit kami?"
Lingga W isnu menutar tubuh. Membungkuk untuk
memberi hormat sambil menjawab :
"Maafkan kelancanganku. Sebenarnya tiada sangkutpaut ku dengan mereka. Kalau aku
mengulurkan tangan, semata-mata karena melihat adanya ancaman jiwa.
Saudara mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa adatmu
tiada beda dengan orang-orang dusun itu?"
Menyaksikan sikap hormat Lingga W isnu, orang
jangkung kurus itu heran. Iapun mendengar tuturbahasa Lingga W isnu yang
diucapkan dengan halus. Dia
memuji pula kepandaiannya. Rasa curiga dan amarahnya
lantas saja lenyap sebagian. Tanyanya :
"Sebenarnya engkau siapa, sahabat" Apa sebab
engkau ikut -ikut an pula mengunjungi rumah kami?"
"Namaku Lingga." sahut Lingga W isnu. "Apakah salah
satu sahabatku keluarga Dandang Mataun tinggal di
sin i?" "Siapa sahabat itu" Akupun salah seorang anggauta
keluarga Dandang Mataun."
"Sahabatku itu bernama Yunus. Usianya kurang lebih
delapan atau sembilan belas tahun. Parasnya cakap
sekali dan mengenakan pakaian seorang pelajar."
Orang jangkung kurus itu lantas memanggutmanggut memaklumi. Kemudian berputar
menghadapi gerombolan petani yang belum bubar juga. Dengan sikap
bengis ia menant ang : "Apakah kalian hendak mencari mampus" Mengapa
masih saja berjubel di sini?"
Melihat Lingga W isnu berbicara dengan si orang
jangkung kurus itu seperti sahabat lama, gerombolan
petani jadi berbimbang-bimbang. Mereka melihat, Lingga
W isnu tadi berkepandaian tinggi pula. Maka seorang
demi seorang lantas memut ar t ubuh dan pergi. Sebentar
saja, mereka telah bubar seperti sekawanan burung
sawah kena halau. "Sahabat, mari masuk!" undang si jangkung kurus.
Lingga W isnu menerima baik undangan itu. Segera ia
mengikutinya dari belakang, memasuki halaman rumah
yang luas. Rumah itu sendiri, memang seperti istana.
Berpendapa luas dan bertiang sentausa. Di dinding
tengah, terbacalah sederet tulisan yang berbunyi:
"Dandang Mataun lahir dan mati seorang diri."
Alangkah sombong bunyi tulisan itu. Akan tetapi
penuh yakin akan kekuatan diri sendiri. Lingga W isnu
lantas menyiratkan pandang kepada perabotan rumah
yang serba mentereng. Diam-diam ia heran. Pikirnya :
"Perabotan ini terdiri dari barang-barang mahal.
Sedang rumah ini berada di atas gunung. Perlengkapan
demikian, kalau bukan karena besarnya pengaruh,
pastilah lant aran kekejamannya memaksa penduduk
untuk mencari alat pengangkutnya. Seumpama keduaduanya tidak, tentunya keluarga
ini kaya raya sehingga mampu membeli dan mendatangkan perabot runah yang
mahal-mahal dari jauh."
Lingga W isnu tahu, bahwa hati tuan rumah masih
merasa t ak senang terhadapnya, walaupun nampaknya ia
ramah. Itulah sebabnya, ia bersikap merendahkan hati
dan berhati-hati. "Aku harap saudara mau memanggil sahabatku Yunus,
agar aku bisa menyerahkan barangnya," ia berkata
merendah. "Yunus adalah adikku," sahut orang itu. "Aku sendiri
bernama Sondong Rawit. Adikku sedang bepergian. Kau
tunggu sajalah!" Sebenarnya tak ingin Lingga W isnu berada di dalam
rumah keluarga itu lama-lama. Tetapi ia harus
mengembalikan bungkusan emas itu kepada Yunus.
Maka terpaksalah ia menyabarkan diri. Namun sampai
siang hari Y unus tak muncul-muncul juga. Ia jadi gelisah.
Apakah bungkusan emas itu diserahkan saja kepada
Sondong Rawit" 'Akh, rasanya kurang kena,' ia berpikir
pulang - balik. Dalam pada itu, Sondong Rawit memanggil pembantupembantu rumah tangganya,
menghidangkan makan siang. Lezat lauk-pauknya. Ayam goreng, daging, ikan
kali dan sayur-mayur. Benar-benar keluarga Dandang
Mataun memiliki harta bertimbun. Lingga W isnu
menggerumuti hidangan makan siang itu dengan
berdiam diri. Dalam hati ia mencoba menjauhkan kesankesannya yang buruk. Namun,
ia tetap, seorang pemuda jujur. Makin ia berusaha menjauhi, makin merumunlah
kesan kesan buruknya. Sampai matahari condong ke barat, Yunus belum juga
muncul. Habislah sudah kesabarannya. Lantas ia
meletakkan bungkusannya di atas meja. Sekarang ia
menutuskan hendak menyerahkan barang itu kepada
Sondong Rawit saja. Bukankah d ia salah seorang
anggauta keluarganya. Yang penting di dalam hal in i,
yalah: janganlah d irinya membawa-bawa emas yang
tidak syah. Maka katanya :
"Saudara Sondong Rawit. Inilah bungkusan milik
adikmu. Tolong, sampaikan kepadanya! Sekarang
idzinkan aku ..." Belum selesai ucapannya, ia mendengar suara orang
tertawa riuh datang dari luar rumah. Diantaranya
terdengar suara tertawa seorang perempuan. Ia merasa
kenal bunyi tertawa itu dan segera saja ia menoleh.
Bukankah itu suara tertawa Yunus" Dan benarlah
dugaannya. Di antara mereka, nampak Yunus berjalan
bergandengan. "Ha, itulah adikku sudah pulang!"kata Sondang Rawit.
Ia bangkit dari kursinya dan keluar pendapa hendak
menyambut kedatangan mereka. Dan Lingga W isnupun
akan ikut serta, akan tetapi, Sondang Rawit buru-buru
mencegahnya. Katanya dengan suara memerint ah :
"Saudara Lingga! Duduk sajalah ditempatmu!"
Lingga W isnu heran. Akan tetapi tak dapat ia
membangkang kehendak tuan rumah. Setelah menunggu
sekian lamanya, tetap saja Yunus tak muncul
dihadapannya. Sebaliknya yang menenuinya lagi adalah
Sondong Rawit. Sewaktu hendak mint a penjelasan,
Sondong Rawit berkata ramah :
''Adikku lagi ganti pakaian. Sebentar lagi ia akan keluar
menemui saudara." Masih pemuda itu menunggu munculnya Y unus sekian
lamanya. Tatkala Yunus akhirnya muncul, wajahnya
nampak berseri-seri. Katanya setengah berseru :
"Saudara Lingga! Bukan rnain syukurku engkau sudi
mengunjungi rumahku."
"Engkau lupa membawa bungkusanmu," sahut Lingga
W isnu langsung seraya menuding, kepada bungkusan
yang tadi diletakkan di atas meja.
0ooo)-dw-(ooo0 Jilid 6 Melihat bungkusan itu, wajah Yunus berubah
Tegurnya : "Kau benar-benar tak menghargai aku."
"Bukan begitu," Lingga W isnu menyahut cepat. "Nah,
sekarang idzinkan aku pergi." segera ia bangkit dari
kursinya dan membungkuk hormat pntuk berpamit.
Tetapi Yunus menolak pemberian hormatnya. Ia
menekap pergelangan tangan Lingga W isnu. Berkata :
"Jangan! Aku larang engkau pergi!"
Lingga W isnu kaget berbareng heran. Ia merasakan
tangan Yunus sangat lunak.
"Ada satu hal yang hendak aku tanyakan kepadamu,
saudara Lingga. Maka aku harap engkau bermalam di
sin i." "A ... aku mempunyai urusan sangat penting sehingga
tak dapat aku bermalam d i sini. Kelak, kalau urusanku
sudah selesai, aku akan singgah dan bermalam di sin i,"
Lingga W isnu menolak dengan suara tergagap-gagap.
"T idak! Kau harus bermalam di sini!" Yunus menaksa.
Tiba-tiba Sondong Rawit yang selama itu duduk
diant ara mereka, menimbrung.
"Kalau saudara Lingga memang mempunyai urusan
penting, tak dapat kita memaksanya. Janganlah kita
menghambat perjalanannya.
Yunus bersungut-sungut. W ajahnya muram. Setelah
menarik napas, ia berkata mengalah:
"Baiklah, kalau engkau segera hendak berlalu. Tetapi
bawalah bungkusan ini serta. Saudara Lingga, rumahku
memang tak pantas. Engkau tak sudi bermalam
dirumahku. Artinya engkau tidak menghargai aku.
Baiklah, silahkan." Lingga W isnu jadi berbimbang-bimbang. Hatinya
merasa tak enak membuat kecewa sahabatnya itu yang
bermaksud baik. Tetapi ia harus cepat-cepat berangkat
mencari gurunya. Setelah berdiri menimbang-nimbang
beberapa saat lamanya, akhirnya menutuskan :
"Saudara Yunus, engkau sangat baik kepadaku.
Baiklah, malam in i aku menginap di sini."
Mendengar keputusan Lingga W isnu, Yunus menjadi
girang bukan kepalang. W ajahnya berubah berseri-seri.
Terus saja ia berteriak memanggil pembantu-pembantu
rumah tangganya. Memberi perint ah :
"Kau sediakan makanan dan minuman hangat!"
Sondong Rawit nampak tak senang hati mendengar
keputusan Lingga W isnu. Meskipun demikian, ia tak
meninggalkan tempat itu. Masih saja ia bercokol
menemani mereka. Hanya saja ia bersikap membungkam. Yunus sangat gembira. Ia berbicara tentang
senandung, dongeng-dongeng rakyat, kepercayaan
penduduk, ilmu t ata-berkelahi dan persoalan perang.
... sepertinya ada kalimat terpotong...
Sebab pada saat itu, pikirannya sedang risau hendak
menyusul gurunya yang berada dimedan perang secepat
mungkin. Terhadap seni budaya dan dongeng-dongeng
rakyat, ia kurang tertarik, meskipun bukan perkara asing
baginya. Ia berpikir di dalam hati :
'Yunus ini luas pengetahuannya. Akan tetapi t abiatnya
aneh ...' Sebaliknya perhatian Sondong Rawit berbeda dengan
adiknya. Nampaknya ia paham benar akan ilmu tata
berkelahi. Akan tetapi mengenai seni budaya dan lainnya
ia buta sama sekali. Jelas sekali, ia menjadi sebal
mendengarkan obrolan Yunus tentang seni budaya dan
dongeng dongeng rakyat. Namun tetap saja ia bercokol
di atas kursinya. Lambat laun Lingga W isnu jad i perasa. Setiap kali ada
kesempatan, ia mengalihkan pembicaraan kepada ilmu
tata berkelahi. Sondong Rawit lantas merasa memperoleh tempat. Dengan penuh semangat, ia lantas
menyambung. Akan tetapi baru saja setengah jalan,
Yunus memotongnya. Dan kembali lagi Yunus membicarakan tentang seni budaya atau ilmu perang.
Mau tak mau Lingga W isnu merasa diri seakan-akan
dipaksa untuk mengenal tabiat dan perangai mereka
berdua. Yunus seorang pemuda periang hati. Ia
berbicara dengan perasaannya dan sebaliknya, Sondang
Rawit, dia pendiam tetapi angkuh. W alaupun katanya
kakak Yunus, namun kelihatannya segan terhadap
adiknya itu. Terasa sekali ia se lalu menghindari
bentrokan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentrokan. Malahan, manakala Yunus setengah menegur atau setengah menyindir, tak berani
ia membalas. Tak terasa sore hari datang diam-diam. Hidangan sore
Pengelana Rimba Persilatan 9 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Kisah Pedang Di Sungai Es 6
^