Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 12

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 12


maju sambil melepaskan tikamannya, ia malahan
melepaskan tali libatan. Dan dengan kecepatan luar biasa
ia melompat kesamping sambil melindungi Suskandari.
Cocak Prahara jad i kehilangan keseimbangan. Tubuhnya
menyelonong kedepan sampai dua langkah jauhnya.
Kemudian dengan mati-matian ia mempertahankan
dirinya dengan menjagangkan kedua kakinya.
Lingga W isnu mempergunakan kesempatan yang
bagus itu. Dengan membimbing tangan Suskandari, ia
lari ke serambi depan lalu membalikkan tubuhnya. Ia.
berdiri t egak dan menunggu kedatangan mereka dengan
sikap t enang luar biasa.
Cocak Prahara jadi panas hati. Ia merasa diri kena
dipermainkan seorang pemuda seumpama bocah belum
pandai beringus. Maka dengan penasaran dan penuh
dengki ia memburu. Keempat saudara dan dua
kemenakannya segera menyusul. Dan sebentar saja,
mereka bertujuh sudah mengambil sikap mengurung.
"Kau jawablah pertanyaanku! Di mana Kebo Wulung
kini berada!" bentak Cocak Prahara dengan menudingkan
tembaknya. "Kebo Wulung" Siapa Kebo W ulung?" sahut Lingga
W isnu heran. Kemudian meneruskan dengan suara
sabar: "Marilah kita bicarakan dengan baik-baik. Paman
sekalian t ak usah bergusar hati terhadapku."
"Apakah kau murid si Kebo
W ulung Eondan Sejiwan?" Cocak Prahara tak menggubris.
"Apakah kedatanganmu ke mari atas perint ahnya"
Belum lagi Lingga W isnu membuka mulutnya, Cocak Mengi ikut berbicara. Katanya
garang : "Anak muda! Sebelum terlanjur, berilah kami keterangan sejelas-je lasnya. Coba
kau jawab, di mana Bondan Sejiwan kini berada?"
Kedua alis Lingga W isnu terbangun. Teringatlah dia,
bahw a Cocak Obar-abir dan Dandang Gemuling dahulu
menyebut Bondan Sejiwan dengan nama Kebo Wulung
pula. Maka oleh ingatan itu, segera ia menjawab :
"Dengan sesungguhnya, selama hidupku belum
pernah aku melihat wajah Bondan Sejiwan. Bagaimana
dia bisa memerint ah aku untuk datang kemari?"
"Apa kata-katamu ada harganya untuk kami percayai?"
Cocak Mengi menegas. "Hm, meskipun aku bukan seorang ksatria besar tetapi
selama hidupku belum pernah aku berbohong terhadap
siapapun," sahut Lingga W isnu mendongkol. "Secara
kebetulan aku bertemu saudara Yunus. Kemudian
bersahabat dan datang kemari untuk mengunjungi dan
menjenguk kesehatannya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan Bondan Sejiwan?"
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Cocak Prahara
berlima agak menjadi t enang. Namun rasa curiga mereka
belum hilang. Setelah berdiam sejenak, Cocak Prahara
berkata mengancam : "Kau bisa menyebut nama Bondan Sejiwan dengan
lancar. Pastilah engkau mengetahui dan kenal pribadinya.
Apabila kau tak mau menyebutkan di mana tempat
persembunyiannya, janganlah kau mengharap bisa keluar
dari dusun Kemuning. Terus terang saja, dialah buruan
kami!" Tercengang Lingga W isnu mendengar bunyi ancaman
Cocak Prahara. Ia jadi t eringat kepada nasib keluarganya
yang terus-menerus di kejar-kejar musuh dari berbagai
jurusan. Dan teringat hal itu, hatinya sengit. Namun
masih bisa ia bersikap sabar dan tenang. Setelah
membungkuk hormat, ia menyahut :
"Aku memang kenal namanya. Tapi aku bukan sanak
atau kadangnya. Akupun belum pernah melihat dirinya
dengan berhadap-hadapan. Apalagi berbicara dengan
dia. Hanya saja, memang aku tahu, di mana dia kini
berada. Tapi yang aku khawatirkan, barangkali tiada
seorangpun yang berani menemuinya ..."
Itulah suatu penghinaan bagi Cocak Prahara berlima.
lantas saja ia menggerung hebat. Teriaknya :
"Siapa bilang kami tak berani mencarinya" Belasan
tahun sudah, kami berusaha mencari dan menemukannya kembali. Kami berlima boleh kau
antarkan seorang demi seorang atau dengan berbareng.
Sesukamulah! Biarpun dia bersembunyi di ujung langit,
kami tidak akan mundur selangkah pun juga. Nah,
antarkan kami kepadanya! A tau, berilah k ami keterangan
di mana dia sekarang be rada."
Lingga W isnu te rtawa tawar. Sebagai seorang pemuda
yang banyak mempunyai pengalaman berhadapan
dengan musuh-musuh ayah bundanya, lantas saja dia
dapat menilai budi-pekerti Cocak Prahara. Sahutnya
menggertak : "Benar-benarkah paman hendak menemuinya?"
Dengan hati panas, Cocak Prahara maju selangkah.
Berteriak nyaring : "T ak salah lagi. Aku memang ingin menemui dia. Di
mana?" Lingga W isnu mengkerutkan dahi. Bertanya menegas :
"Sebenarnya apa maksud paman hendak menemuinya?" "Hai, anak muda!" bentak Cocak Prahara. "Kau bocah
kemarin sore seumpama belum pandai beringus.
Janganlah engkau mempermainkan aku yang sudah
ubanan! Kau katakanlah, di mana dia sekarang berada!"
Lingga W isnu tersenyum melihat lagak lagu orang t ua
itu yang masih berangasan. Jawabnya :
"Kurasa paman masih membutuhkan w aktu beberapa
tahun untuk bisa menemui dia."
"Apa maksudmu?" potong Cocak Prahara.
"Karena dia sudah meninggal dunia." ujar Lingga
W isnu dengan suara tenang.
Mendengar kata-kata itu, mereka semua tercengang.
Juga seluruh anggauta keluarga Dandang Mataun yang
ikut menyusul ke serambi depan. Dan tiba-tiba
terdengarlah pekik Yunus :
"Ibu! Ibu!" Lingga W isnu menoleh. Dan pada saat itu, ia masih
berkesenpatan melihat ibu Yunus jatuh pingsan di atas
kursi. Cepat Yunus mengangkat kepalanya dan
diletakkan di atas pangkuannya. Wajah ibunya pucat lesi.
Kedua matanya tertutup rapat.
"Hm!" dengus Cocak Mengi dengan bersungutsungut.
Cocak Rawa berpaling kepada Yunus. Menuding sambil
berkata mmerint ah : "Kau bawalah ibumu masuk ke dalam! Keluarga
Dandang Mataun tak boleh memperlihatkan kelemahannya!" Yunus menangis dengan tiba-tiba. Jawabnya dengan
sengit : "Ibu terkejut tatkala mendengar berita ayah. Kenapa
mesti malu" Apa yang harus disembunyikan" Ibu susah!
Pedih! Hati ibu kena tertikam!"
Mendengar ucapan Yunus, Lingga W isnu kaget dan
berpikir di dalam hati : 'Jadi, Bondan Sejiwan suami wanita itu" Jadi Bondan
Sejiwan ayah Yunus"'
Cocak Mengi menegakkan pandangnya mendengar
kata-kata Yunus. Dengan menahan luapan marahnya, dia
membentak : "Kakang Prahara! Kau sayang kepada bocah itu
Nyatanya dia berani melawan perint ah kakang Cocak
Rawa. Idzinkan aku menghajar padanya supaya tak
berani lagi ia berlaku kurang ajar!
Cocak Prahara mencoba menengahi. Katanya sengit
kepada Yunus : "Kau bilang Bondang Sej iwan ayahmu" Hayo, kau
bawa ibumu masuk ke dalam, cepat!"
Yunus tak berani membantah perint ah pamannya yang
tertua. Dengan memaksa diri ia menanah ibunya hendak
dibawanya masuk ke dalam rumah Sekonyong-konyong
ibu Yunus tersadar. Perlahan-lahan ia berkata kepada
Yunus : "Katakan kepada anak Lingga, bahwa aku ingin
berbicara esok malam! Banyak yang hendak kutanyakan
kepadanya.'' Yunus memanggut dan segera menghampiri Lingga
W isnu. Katanya : "Masih ada satu hari lagi. Esok malam datanglah
kemari lagi untuk mencari emasmu. Aku ingin
mengetahui, apakah kau mempunyai kemampuan atau
tidak." Setelah berkata demikian, ia mengerlingkan
matanya kepada Suskandari. Pandangannya sengit.
Kemudian ia memapah ibunya masuk ke dalam.
"Mari adik, kita pergi saja." ajak Lingga W isnu kepada
Suskandari. Dengan memanggut kecil Suskandari
mendahului memut ar tubuhnya.
"Nant i dahului" seru Cocak Ijo dengan menghalangkan
kedua tangannya. "Jawab pertanyaanku satu kali lagi!"
"Hari sudah larut malam, paman." sahut Lingga Wisnu
dengan membungkuk hormat. "Lain kali aku datang ke
mari unt uk memenuhi kehendak paman."
"T idak! Jawab pertanyaanku dahulu. Tatkala Kebo
W ulung mampus, siapa yang menyaksikan" Lagi pula, di
mana dia mampus?" Dengan sebenarnya, Bondan Sejiwan bukan sanak dan
bukan kadang Lingga W isnu. Akan tetapi mendengar
lagak pertanyaan Cocak Ijo, ia jad i panas hati. Entah apa
sebabnya. Dan seketika itu juga, teringatlah dia kepada
Cocak Obar abir dan Dandang Gemuling yang datang ke
Gunung Dieng hendak menggerayangi warisan Bondan
Sejiwan. Ia berpikir di dalam hati :
"Hm ... apakah aku tak tahu maksudmu sebenarnya"
Kau benci terhadap Bondan Sejiwan tetapi hatimu
mengincar warisannya. Bagus benar hatimu. Meskipun
sampai mati, tidak akan aku memberi keterangan
kepadamu." Dan oleh pikiran itu, ia menjawab dengan mengulum
senyum : "Sebenarnya aku hanya mendengar berita kematian
Bondan Sejiwan dari tutur-kata seorang sahabat. Kalau
tak salah, menurut sahabatku itu Bondan Sejiwan
meninggal di sebuah pulau di Laut Jawa. Karimun Jawa,
nama pulau itu." Cocak Prahara berlima saling pandang dengan
keheran-heranan. Mati di tengah pulau Karimun Jawa"
Eh, kenapa begitu jauh" Selagi mereka sibuk menebaknebak, lingga W isnu ber
kata lagi : "Nah bila paman sekalian ing in melihat makamnya,
'pergilah 'ke Karimun Jawa! Dari pant ai Jepara tidak
begitu jauh." Lingga W isnu menggunakan pengalamannya untuk
mengibuli mereka. Tatkala ayah-bundanya dahulu
menjadi orang buruan, pernah ia ikut bersembunyi di
Jepara. Dengan demikian ia t ahu pasti berapa jauh jarak
antara pant ai Jepara, dengan Karimun Jawa. Dan setelah
berkata demikian, ia membungkuk hormat dan berkata
lagi : "Sekarang perkenankan kami berdua beristirahat
dahulu. Hari sudah jauh malam. Dan hawa pegunungan
terlalu dingin bagiku. "Nant i dahulu!" cegah Cocak Rawa. Kedua t angannya
dilint angkan menghadang kepergian Lingga W isnu.
Tak senang Lingga W isnu dihadang dengan cara
demikian. Segera ia menolak lengan Cocak Rawa Tetapi
Cocak Rawa tak mau mengerti, sebab ia menekuk
lengannya dan mencengkeram. Sasarannya mengarah
pergelangan tangan. Lingga W isnu tak sudi terlibat dalam suatu perkelahian
lagi. Begitu tangannya berbenturan, cepat ia menyambar
lengan Suskandari. Dengan suatu isyarat, ia mengajak
Suskandari meloncat melalui hadangan kaki Cocak Rawa.
Ternyata Suskandari seorang gidis cerdas. Ia mendahului
melompat dan berhasil melalui hadangan Cocak Rawa
dengan selamat. Cocak Rawa jadi panas hati. Tangan kanannya
bergerak meraba pinggangnya. Dan tiba-tiba saja ia
sudah menggenggam sebatang cambuk lemas yang


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Cambuk itu
termasuk senjata andalannya. Dibuat dari urat kerbau
yang kuat luar biasa, karena berlapis logam. Kedahsyatannya melebihi cambuk yang dibuat dari logam
penuh. Sebab daya gunanya jauh lebih baik daripada
logam yang sifatnya kaku. Kadang-kadang bisa lencang
tak ubah sebatang tembak. Kadangkala bisa me lingkar
semacam gaetan setajam pisau cukur. Dan dengan satu
lecutan, ia menghantam punggung Lingga W isnu yang
telah melalu inya. Betapa bahayanya, t ak usah dikatakan
lagi. Lingga W isnu mendengar kesiur angin mengejar
dirinya. Tanpa menoleh, ia melesat maju sambil
menyambar tangan Suskandari. Kemudian dengan
mengerahkan enam bagian himpunan tenaga saktinya, ia
membawa Suskandari meloncat keatas dinding. Dan
cambuk Cocak Rawa menghajar t empat kosong.
Cocak Rawa makin penasaran. Belasan tahun lamanya
ia telah melatih diri dengan cambuk andalannya. Selama
itu, t ak pernah sasarannya gagal. Tetapi anak muda itu
ternyata bisa mengelakkan diri dengan mudah saja. Maka
ia mengulangi lagi serangannya. Kali Ini mengarah kaki
Suskandari yang baru saja mendarat di atas tembok.
Mendongkol hati Lingga msnu menyaksikan kelicikan
Cocak Rawa. Mengapa menghantam Suskandari yang
kepandaiannya kalah tinggi" Sebat ia mengulur tangan
kirinya menangkap ujung cambuk sambil melindungi
Suskandari . T atkala itu, kedua kakinya t elah mendarat di
atas tembok. Dengan mengerahkan tenaga, ia menghentak. Cocak Rawa kaget bukan kepalang. Sama
sekali tak diduganya, bahw a Lingga W isnu mampu
menangkap ujung cambuknya.
W aktu melecutkan cambuknya, ia melompat maju
pula. Kini tiba-tiba kena hentak Lingga W isnu dari atas
tembok. Karena kalah tenaga, ia terangkat naik. Kedua
kakinya jadi bergelantungan Ia jad i kehilangan tenaga.
Tak dapat lagi ia berkutik. Dalam detik itu juga, ia jadi
menyesal atas kesemberonoannya sendiri. Tadinya ia
mengira, dengan menjatuhkan Suskandari dari atas
tembok, kedudukan keluarga Dandang Mataun jadi tidak
terlalu suram. Tak tahunya ia kini malah kena
digelantungkan di udara t ak ubah seorang persakitan lagi
menjalankan hukuman gant ung. Ia mendongkol, panas
hati, penasaran, malu dan menyesal.
Cocak Ijo tahu, kakaknya dalam kesulitan. Cepat ia
melepaskan golok terbangnya hendak menolong.
Bidikannya mengarah pada cambuk. Sebaliknya Lingga
W isnu mengira dirinya kena serang. Cepat ia melepaskan
ujung cambuk yang berada dalam genggamannya sambil
membawa Suskandari meloncat turun melint asi tembok.
Tepat pada saat itu, sebatang golok menyambar kearahnya. Dengan gesit ia
mendupak selagi melompat.
Dan golok itu terpental balik membentur golok kedua.
Trang! Kedua golok runtuh bergemelontangan di atas
tanah. Dalam pada itu, Cocak Rawa yang bergelantungan di
atas terbanting jatuh, tatkala Lingga W isnu melepaskan
genggamannya. Tepat pada saat itu, ia melihat
berkelebatnya sebatang golok yang terpental balik kena
dupak Lingga W isnu Kaget ia melecutkan cambuknya.
Maksudnya, hendak menggaet sebelum mengancam
dirinya. Di luar dugaan, cambuknya telah terpapas
kutung. Keruan saja hatinya mencelos. Dengan matimatian ia merobohkan, diri di
atas tanah sambil bergulingan. Justru pada saat itu, kedua golok yang
saling berbenturan, meletik memburu dirinya Ia selamat,
tetapi tak urung bajunya masih saja kena sambar
sehingga terobek. Ia bangkit tertatih-tatih. Mulutnya ternganga. Sama
sekali tak disangkanya, bahw a dalam keadaan demikian,
masih Lingga W isnu mampu mengadakan serangan
balasan dengan menggunakan golok lawan. Cambuknya
sendiri t erpotong menjadi dua bagian sehingga tak dapat
dipergunakan Cocak Prahara kagum bukan main, sampai ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Adik-adiknyapun begitu juga. Kata Cocak Abang :
"Umur bocah itu belum melebihi dua puluh lima tahun.
Seumpama dia belajar ilmu sakti selagi masih dalam
kandungan enaknya, kepandaian nya pun terbatas pada
masa latihannya. Tetapi kenapa dia memiliki kepandaian
jauh melebihi diriku?"
Cocak Rawa yang masih penasaran, t ak sudi mengakui
keunggulan Lingga W isnu. Ia mencari kamb ing hitamnya.
Teriaknya : "Bangsat Bondan Sejiwan yang berkepandaian tinggi
akhirnya roboh ditangan kita. Masakan kita kini kalah
melawan bocah kemarin sore" Besok malam dia datang
lagi untuk mencoba mengambil emasnya kembali.
Baiklah, besok malam kita mengadakan perlawanan yang
sungguh-sungguh. Dengan bersungut-sungut, mereka membubarkan diri.
Pada saat itu, Lingga W isnu dan Suskandari sudah
berada dalam rumah penginapannya, dengan tak kurang
suatu apa. Mereka menyalakan lampu penerangan.
Suskandari memuji dan mengagumi kepandaian Lingga
W isnu tiada hentinya dan berkata :
"Kakang Lingga. Kakang Puguh Harimawan biasanya
memuji-muji kepandaian gurunya. Tetapi aku rasa,
kepandaian gurunya tidak akan bisa menandingi
kepandaianmu." "Maksucinu, temanmu yang mengawal barang
perbekalan?" Lingga W isnu menegas.
"Y a," Suskandari mengangguk. Pipinya agak bersanu
merah. "Siapa gurunya?"
"Namanya yang benar, kurang jelas," sahut Suskandari. "Dia menyebut nama gurunya dengan
sebutan Botol Pinilis, murid Kyahi Sambang Dalan. Lucu
nama itu, Botol Pinilis! Mula-mu la aku tertawa geli
mendengar namanya. Sebutan Kyahi Sambang Dalan,
lucu pula kedengarannya. Apakah kakang percaya,
sebutan Botol Pinilis atau Sambang Dalan adalah nama
mereka yang benar?" Lingga W isnu mengangguk. Pikirnya di dalam hati :
'Kalau begitu, guru Puguh Harimawan adalah kakang
seperguruanku. Dia harus menyebut paman kepadaku ...'
Teringatlah dia, bahwa pada suatu hari, datanglah dua
orang menjenguk gurunya. Mereka bernama Purabaya
dan Botol Pinilis. Gurunya memperkenalkan mereka
sebagai kakak seperguruannya. Tetapi ia tidak mengharpkan mengabarkan hubungannya dengan Botol
Pinilis maupun Kyahi Sambang Dalan kepada Suskandari.
Karena hari. sudah jauh malan, segera ia memadamkan
pelita. Kemudian mendahului merangkaki t anpat t idur.
Pada malan hari ketiga, Lingga W isnu memint a kepada
Suskandari, agar gadis itu menunggu saja di penginapan.
Sehari tadi, ia memikirkan tentang kemungkinankemungkinannya. Rasanya lebih baik
apabila ia pergi sendirian. Dengan demikian perhatiannya tidak terbagi.
Apabila terancam bahaya, tak usah lagi ia memikirkan
keselamatan Suskandari. Suskandari menyadari kepandaian diri sendiri yang
belum berarti apabila d ibandingkan dengan keluarga
Dandang Mataun. Ia, malahan membuat susah Lingga
W isnu saja. Lingga W isnu menunggu sampai larut malam. Setelah
mint a diri kepada Suskandari, berangkatlah dia seorang
diri. Seperti kemarin malam, ia mengambil jalan masuk
lewat dinding pagar. Begitu mendarat di dalan
pekarangan, ia melihat rumah tiada penerangannya sama
sekali. Suasananya sunyi-senyap tak ubah suatu
perkuburan. Hati-hati ia mendekati serambi depan dari
samping. Tiba-tiba terdengar bunyi seruling mengalun
tinggi. "Akh! Inilah seruling Y unus memberi isyarat kepadaku,
agar datang kepadanya." pikir Lingga W isnu. "Keluarganya licin dan ganas. Namun Yunus masih
mengingat azas persahabatan.
Gembira dan penuh syukur rasa hati Lingga W isnu.
Segeraa melompati tembok pagar mengarah datangnya
suara seruling. Itulah bukit kemarin lusa dengan taman
bunga mawar dan rumah pesanggerahannya. Segara ia
mendaki tanjakan. Dan nampaklah dua sosok tubuh
sedang duduk di serambi pesanggerahan. Mereka berdua
adalah wanita. Lingga wisnu berhenti mengamat-amati.
Ia menunggu bulan purnama muncul dari balik segumpal
awan. Dan begitu cahayanya memancar kebumi,
nampaklah seorang diantaranya sedang meniup seruling.
"Hai, siapa" Terang sekali, lagu yang ditiup adalah
lagu kesenangan Yunus. Gaya dan caranya meniup
adalah gaya dan cara Yunus pula," Lingga W isnu
berteka-teki. Ia jadi heran dan curiga. Dengan hati-hati
ia lantas menghampiri. "Lingga! Kakang Lingga!" seru wanita yang meniup
seruling itu dengan suara t ertahan.
Lingga W isnu tertegun. Itulah suara Yunus! Tetapi
kenapa suara seorang gadis" Apakah dia sedang
menyamar" Kenapa itu, tak dapat ia menyahut dengan
segera. Setelah berdiam sejenak, barulah ia membuka
mulut nya : "Kau ... kau ... bukankah Yu ..."
Yunus memotong perkataan Lingga W isnu dengan
tertawa geli. Katanya : "Mari, sebenarnya aku seorang perempuan. Sekian
lamanya aku mengkelabuimu. Maafkan aku, kakang. Kau
tak tersinggung, bukan?"
Keterangan Yunus ini menambah keheranan Lingga
W isnu. Ia benar-benar terpaku dan merasa diri seolaholah berada dalam suatu
impian aneh. Tetapi sedetik
kemudian, teringatlah dia akan lagak-lagu dan sepakterjang Yunus, perangai dan
sifat seorang perempuan. Ia
jadi geli sendiri dan rasa kecurigaannya lenyap.
"Namaku Sekar Prabasini. Bondan Sekar Prabasin i,"
kata Yunus. Ia mengerti keadaan hati Lingga'Wisnu.
Katanya lagi : "Yunus adalah nama samaranku." berkata demikian, ia
tertawa manis. Manis sekali!
Dengan mengenakan pakaian wanita, Yunus nampak
cant ik luar biasa. Alisnya lent ik Mata nya jernih-bening.
Pipinya penuh. Bibirnya ti pis. Dan perawakan tubuhnya
singsat semampai. Melihat kesan demikian, Lingga W isnu tertawa geli di
dalam hati. Pikirnya : 'Dasar aku yang t olol! Sampai seorang gadis saja tidak
segera aku kenal.' "Mari kakang, aku perkenalkan kepada ibuku. Ibu
ingin berbicara denganmu," kata Bondan Sekar Prabasini
menyambut tangan Lingga Lingga W isnu membiarkan
tangannya t erbimbing. Justru demikian, wajahnya terasa
menjadi panas Sambil berjalan menghampiri ibu Sekar
Prabasin i ia menarik tangannya perlahan-lahan. Sekar
Prabasin i pun agaknya tersadar. Dengan tersipu sipu ia
melepaskan genggaman tangannya.
"Ibu perkenalkan diriku. Lingga W isnu," kata Lingga
W isnu dengan suara agak kaku.
Lingga W isnu membungkuk hormat. Dan ibu Sekar
Prabasin i segera bangkit dari tempat duduknya.
Sahutnya : "Anak janganlah memakai adat istiadat yang yang
berlebih-lebihan. Duduklah!"
Lingga W isnu menganat-amati ibu Sekar Prabasini.
Kedua matanya merah bendul. Wajahnya kucai dan t idak
bertenaga. Suatu tanda, bahwa wanita itu dalam
keadaan duka cita yang hebat. Pikir Lingga W isnu di
dalam hati : 'Ibu ini pada zaman mudanya telah kena di ganggu
iblis. Kemudian lahirlah Prabasini. Kalau begitu, iblis itu
adalah Bondan Sejiwan sepantaslah, keluarga Dandang
Mataun benci luar biasa terhadap pendekar Bondan
Sejiwan. Bahkan nampaknya membenci ibu ini pula.
Tatkala Prabasini menyebut Bondan Sejiwan sebagai
ayahnya, dia kena bentak. Sebaliknya, begitu mendengar
kematian Bondan Sejiwan, ibu ini lantas saja jatuh tak


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadarkan d iri. Itulah suatu tanda rasa duka-cita yang
hebat! Kenapa diantara keluarga Dandang Mataun terjadi
suatu perpecahan" Pastilah ada latar belakangnya yang
menarik. Mungkin pula menyangkut masalah hubungan
antara pendekar Bondan Sejiwan dan ibu ini. Akh, biar
bagaimana, aku harus menghibur ibu Sekar Prabasini. '
Dengan menperoleh keputusan demikian, ia menatap
wajah ibu Sekar Prabisini. Tetapi sekian lamanya, ibu
Sekar Prabisini tetap mengunci mulut nya. Setelah
menghela napas beberapa kali, ia berkata memberanikan
diri unt uk memint a keterangan. Tanyanya :
"Benarkah dia telah wafat" Anak Lingga, apakah
engkau melihatnya sendiri?"
Lingga W isnu tahu, siapakah -yang disebut dia. Itulah
Bondan Sejiwan. Dan ia memanggut. Ibu Sekar Prabasini
menatapnya sejenak. Pandang matanya berbimbang-bimbang. Berkata
meyakinkan : "Anak kau sahabat anakku Prabasin i. Karena itu tak
dapat aku bersikap seperti sekalian pamannya.
Percayalah, aku tidak mempunyai rasa permusuhan
terhadapmu, maka kumint a sudilah engkau menceritakan
wafatnya dengan sebenar-benarnya."
.. Bagaimana sif at dan perangai Bondan Sejiwan
sebenarnya masih gelap bagi Lingga Wisnu.
Ia hanya mendengar t utur-kata kedua gurunya belaka
Menurut kedua gurunya sepak terjang Bondan Sejiwan
aneh serta luarbiasa. Dia boleh digolongkan manusia
sesat dan tak sesat. Itulah tutur kata yang berteka-teki.
Sebab penilaian terhadap Bondan Sejiwan tergantung
pada manusia yang pernah mengenalnya. Yang merasa
dirugukan tentu saja akan mengutuknya sebagai manusia
iblis. Sebaliknya yang merasa dilindungi, memujanya
sebagai juru-selamat. Lingga wisnu mempunyai pendapat
sendiri. Kalau kedua gurunya yang dikenal masyarakat
sebagai manusia-manusia aneh menyebut Bondan
Sejiwan berperangai luar biasa, maka sudah dapat
dibayang kan betapa hebat sepak-terjangnya.
Akan tetapi lepas dari persoalan buruk dan baiknya,
sesungguhnya Bondan Sejiwan memang manusia luar
biasa. Hal itu dapat dinilai dari warisan kepandaiannya.
Kalau bukan manusia yang memiliki ot ak cerdas luar
biasa, mustahil bisa mencipt a ragam ilmu kepandaian
hebat bukan main. Lingga W isnu mengagumi dengan
diam-diam. Dan senenjak manpelajari kitab warisannya,
ia mengakui Bondan Sejiwan sebagai gurunya yang ke
tiga di dalam hati sanubarinya. Itulah sebabnya ia
bersakit hati t atkala keluarga Dandang Mataun menyebut
dan memaki Bondan Sejiwan sebagai bangsat. Hanya,
karena belum mengetahui latar belakang persoalannya,
tak dapat ia mengadakan pembelaan. Benarkah Bondan
Sejiwan seorang bajingan yang pantas dikutuk"
Sekarang ia mendengar suara ibu Bondan Sekar
Prabasin i yang lembut. Dia bersikap lain terhadap
Bondan Sejiwan. Padahal dia dikabarkan terusak masa
gadisnya. Tetapi menilik sikapnya, pastilah cerita tentang
dirinya adalah kabar isapan jempol belaka. Maka ia
memperoleh kesan lain terhadap Bondan Sejiwan. Dan
dengan kesan itu, ia menjawab pertanyaan ibu Bondan
Sekar Prabasini : "Sebenarnya, belum pernah aku bertemu dengan
paman Bondan Sejiwan. Meskipun demikian perhubungan kami seperti guru dan murid. Beliau adalah
guruku, karena ilmu kepandaianku ini aku peroleh dari
beliau. Lebih baik aku menutup mulut mengenai
kematian beliau. Sebab aku khawatir, makamnya akan
terusak oleh tangan-tangan jahat."
Tiba-tiba ibu Bondan Sekar Prabasini roboh diatas
kursinya. Bondan Sekar Prabasini melompat dan
menggoncang-goncang t ubuh ibunya. Serunya setengah
meratap : "Bu' Ibu! Kuatkan hatimu! Bukankah ibu ... ingin
mendengar keterangan tentang ayah yang sebenarrya?"
Kira-kira sepuluh menit, ibu Bondan Sekar Prabisini
roboh dan tak sadarkan diri di atas kursinya. Dan setelah
memperoleh kesadarannya dia menangis sedih. Ratapnya: "Delapanbelas tahun lamanya aku menunggu. Setiap
hari, set iap malam. Setiap detik Senant iasa aku berharap
dan berdoa, bahwa pada suatu hari dia akan datang
membawa aku dan Prabasini pergi dari rumah terkutuk
ini. Akh, mengapa dia sendiri yang mendahului isteri dan
anaknya Dan kau Prabasini anakku. Kau belum pernah
melihat w ajah ayahmu. Tak boleh aku meratapinya?"
Sudah terlalu sering, Lingga W isnu melihat dan
mengalami kepiluan demikian. Tatkala ayah-bundanya
dan kedua kakaknya mati dan hilang, betapa sedih
hatinya tak dapat terlukiskan lagi. Karena itu bisa
menerima ratap-tangis ibu Sekar Prabasini. Tapi adalah
membahayakan, apabila membiarkannya dalam keadaan
demikian. Setidak-tidaknya, kesehatannya akan terancam
bahaya. Katanya menghibur :
"Ibu sudahlah. Jangan diperturutkan rasa hati Akupun
pernah merasakan kerisauan hati demikian. Seumpama
aku tak dapat menolong diri, pada saat ini tiada lagi
Lingga W isnu di dunia. Paman Bondan Sejiwan kini sudah
tenteram dialam baka. Akulah yang mengubur tulangtulangnya."
"Kau" Engkau yang mengubur tulang-tulangnya?" Ibu
Bondan Sekar Prabasini mengangkat kepalanya. Dan
diant ara tetesan air matanya, nampaklah sepercik cahaya
tersembul di wajahnya. Katanya lagi : "Oh, budimu
sangat besar. Entah bagaimana caraku kelak membalas
budimu itu ..." Setelah berkata demikian, segera ia bangkit dari
kursinya. Terus saja ia membungkuk dan memberi
hormat serta hendak membuat sembah. Keruan saja
Lingga W isnu kaget bukan kepalang. Buru-buru ia
mencegah. Tapi ibu Sekar Prabasini tak mau mengerti.
Katanya memberi perintah kepada anaknya :
"Prabasin i! Hayo, kau bersembah kepada anak
Lingga!" Dan sebelum Lingga W isnu dapat berbuat sesuatu
apa, Bondan Sekar Prabasini tiba-tiba saja menjatuhkan
diri pada lut ut Lingga W isnu dan membuat sembah.
Cepat Lingga W isnu membangunkannya dan membalas
membuat sembah. Setelah itu ia mempersilahkan Bondan
Sekar Prabasini kembali duduk di atas kursinya.
Beberapa saat kemudian, ibu Sekar Prabisini sudah
dapat menguasai, diri. Ia nampak tenang kembali.
Bertanya : "Apakah dia t idak menulis surat untuk kami berdua?"
Mendengar pertanyaan itu, Lingga W isnu jadi teringat
kepada bunyi pesan Bondan Sejiwan Ia harus mencari
seseorang yang bernama Sekarningrum. Tempat tinggalnya di dusun popongan. Dan ia diwajibkan
memberi uang sebesar seratus ribu ringgit Apakah ibu
Prabasin i in i yang bernama Sekarningrum" Menilik bunyi
nama gadis itu, agaknya ibu gadis itu bernama
Sekarningrum. Tetapi dia disebutkan bertempat tinggal di
dusun Popongan. Apakah dia dahulu bertempat tanggal
di dussun popongan dan kemudian dibawa sekalian
saudara ke Kemuning" Seumpama benar, bagaimana
harus memberi uang sebesar seratus ribu ringgit" Dari
mana" Menilik bunyi suratnya, Bondan Sejiwan menulis
dengan sungguh-sungguh. Lingga W isnu jadi sibuk menebak-nebak. Sebab
jumlah uang yang disebutkan itu alangkah besar!
Siapapun akan mudah tergiur Apakah Bandan Sejiwan
tewas karena harta itu" Ia pernah memeriksa peta
Bondan Sejiwan. Namun tidak begitu menaruh perhatian,
karena seringkali manusia mati dan tersesat oleh hartabenda Dan sekerang
pertanyaan ibu Bondan Sekar
Prabasin i seperti menggugah ingatannya. Hati-hati ia
mint a ketegasan : "Maaf, ibu. Apakah ibu bernama. Sekar..... Sekarningrum?" Ibu Bondan Sekar Prabasini terkejut W ajahnya
berubah. Sahutnya dengan suara agak gemetar :
"Benar. Namaku Sekarningrum. Darimana engkau
tahu" Siapa yang mengisiki d irimu" Akh, ya.' Pastilah
engkau ketahui, dari bunyi surat Bondan Sejiwan.
Apakah suratnya kini kau baw a serta?"
Tegang, sikap ibu Prabasini tatkala menunggu
jawaban Lingga W isnu. Pandang matanya seakan-akan
tidak berkedip-. Selagi ia menunggu-nunggu jawaban,
tiba-tiba Lingga W isnu melesat keluar serambi.
Tangannya menyambar kearah segerombol bunga
mawar yang berada didekat tanjakan.
Sekarningrum dan Sekar Prabasin i kaget dan heran.
Dengan pandang penuh pertanyaan, mereka mengikuti
gerakan Lingga W isnu. Kenapa pemuda itu tiba-tiba
melarikan diri" Tetapi kemudian terdengarlah suara
mengaduh dari balik gerombol bunga. Dan muncul ah
Lingga W isnu dengan menggusur seorang laki-laki mati
kutu. Dia digabrukkan pada lantai di depan Sekarningrum
"Hai! Paman Cocak Kasmaran!" seru Prabasini heran
dengan suara tertahan. Sekarningrum segera mengenalnya pula. Ia menghela
napas panjang. Katanya prihatin kepada Lingga W isnu :
"Bebaskan dia, anakku. Di sini tiada seorangpun yang
memandang kami berdua sebagai manusia berharga.
Karena itu mereka dengan enak saja main selidik dan
main mengint ip semua gerak gerik serta pembicaraan
kami berdua." Suara Sekarningrum terdengar lesu dan patah
semangat. Lingga W isnu segera membebaskan tawanannya dengan satu tepukan. Dan tawanan itu,
yang bernama Cocak Kasmaran, memekik perlahan, dan
tersadar. Dengan Cocak Kasmaran, belum pernah Lingga
W isnu mengadu kepandaian Dia adalan salah seorang
anggauta keluarga Dandang Mataun yang tidak hadir
pada pertempuran kemarin malam.
"Paman Kasmaran," tegur Sekar Prabasin i dengan
memberungut. "Kami sedang berbicara kenapa paman
mengintip" Sama sekali paman tidak menghargai
martabatmu sendiri.' Kedua mata Cocak Kasmaran terbelalak. Ia mendongkol, namun tak membuka mulutnya. Dengan
berdiam diri, ia memut ar tubuhnya dan melangkah
hendak meninggalkan serambi. Pengalamannya sebentar
tadi, menyadarkan dirinya bahw a ia bukan tandingan
anak muda itu yang dapat mencekiknya dengan sekali
sambar. Namun set elah berada beberapa langkah diluar
serambi, ia menoleh dan berkata dengan sengit :
"Hai! Engkaulah yang mestinya harus malu terhadap
kami, karena melahirkan seorang anak tanpa bapak.
Huu! Kau perempuan pandai mencuri laki-laki. Sekarang
anak perempuanmu kau ajari pula mencuri laki-laki."
Itu adalah suatu penghinaan besar terhadap
Sekarningrum berdua. Maka dapat dimengerti, betapa
tersinggung rasa kehormatan Sekar Prabasin i. Dengan
tiba-tiba gadis itu menghunus pedangnya dan melompat
keluar serambi memburu pamannya. Serunya dengan
suara penuh kebencian : "Kau bilang: apa" Paman, mulut mu kotor sekali!"
Cocak Kasmaran memutar tubuhnya dan berdiri tegak
siap unt uk bertempur. Bentaknya :
"Apa" Kau hendak melawan kami" Aku datang kemari
atas perintah paman-pamanmu semua. Tahu" Kau mau
apa?" "Jika paman hendak berbicara dengan kami, bukankah
dapat menunggu esok hari dibawah matahari terangbenderang"' Sekar Prabasini
membalas membentak. "Kenapa paman main selid ik dan intip?"
"Hmm!" dengus Cocak Kasmaran. Kemudian ia tertawa
melalu i hidungnya. "Kalian memasukkan orang hutan
kemari. Sejarah lama akan kalian ulangi lagi! Delapanbelas tahun sudah nama kehormatan keluarga
Dandang Mataun merosot akibat perbuatan ibumu. Kau
malu, t idak?" W ajah Sekar Prabasini berubah. Ia menoleh kepada


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya. Berkata mengadu :
"Ibu, dengarlah kata-katanya. Pantaskah ucapan itu
keluar dari mulut seorang laki-laki yang kusebut paman?"
Cocak Kasmaran hendak membalas dengan ucapan
sengit. Tetapi Sekarningrum. mendahului memanggil
Sekar Prabisini. Katanya perlahan :
"Prabasin i! Jangan layani dia. Kakang Kasmaran, kau
kemarilah! Ingin aku berbicara denganmu."
Cocak Kasmaran mendengus lagi. Lalu menghampiri
dengan sikap tinggi hati Sekarningrum tidak menghiraukan. Katanya kemudian :
"Kami ibu dan anak sudah lana h idup menderita
Meskipun demikian kami berdua wajib berterima kasih
kepada sekalian paman dan semua saudara-saudaraku.
Sebab kami berdua masih di-idzinkan bertempat tinggal
di dalam lingkungan keluarga Dandang Mataun. Tentang
Bondan Sejiwan belum pernah aku berbicara sepatah
katapun kepada Prabasini. Tapi sekarang, setelah
ayahnya sudah meninggal dan selagi kakang mengetanui
semua peristiwanya, sudilah kakang menolong kami,
menuturkan semua yang kakang ketahui tentang diri
Bondan Sejiwan kepada anakku Prabisin i dan Lingga
W isnu. Sudikah kakang mengabulkan permintaanku ini?"
"Kenapa aku yang harus menceritakan?" tegur Cocak
kasmaran dengan mendongkol. "Inilah urusanmu! Inilah
perkaramu! Maka engkau sendirilah yang sebenarnya
harus menceritakan asal-mulanya. Apakah karena
merasa malu, sehingga engkau mint a pertolonganku?"
Sekarningrum menghela napas. Sejenak ia berdiam
diri. Kemudian berkata : "Malu" Apa yang harus aku malukan" Kalau aku mint a
pertolonganmu, semata-mata karena kakang adalah
salah seorang saksi yang pernah berhutang budi
kepadanya. Bukankah Bondan Sejiwan pernah menolong
jiwamu" Hmm, apakah didalam hatimu tiada lagi
terdapat nilai-nilai budi seperti anggauta keluarga
Dandang Mataun " Mendengar perkataan Sekarningrum, wajah Cocak
Kasmaran merah-padam. Sahutnya dengan sengit.
"Baiklah, benar, ia pernah menolong jiwaku. Tetapi
kenapa dia sudi menolong jiwaku" Huu ... seorang
bangsat seperti Bondan Sei wan mana mau menolong
orang tanpa perhitungan yano melit demi kepentingan
diri sendiri" Baiklah b iar aku ceritakan semuanya.
Memang, kalau engkau yang-bercerita sendiri, pastilah
akan kau t ambahi bumbu-bumbu yang sedap."
Setelah berkata demikian Cocak Kasmaran mengambil
tempat duduk. Kemudian mulailah dia berkata :
"Hai, saudara Lingga dan Prabasini, dengarkanlah!
Akan aku mulai menceritakan mengenai seorang bangsat
yang bernama Bondan Sejiwan Biarlah aku ceritakan
semuanya, biar kamu berdua bisa menilai dan
mengetahui betapa jahat si babi Bondan Sejiwan ..."
"Apa" Kau bilang babi" Jika engkau memburukburukkan ayah, tak sudi lagi aku
mendengarkan semua kata-katamu!" damprat Prabasini Dan kedua kupingnya
lantas ditutupnya rapat-rapat.
"dengarkan saja!" kata ibunya "Ayatmu kini sudah
meninggal dunia Meskipun ayahmu belum dapat
dikatakan sebagai manusia baik. namun apabila
dibandingkan dengan keluarga Dandang Mataun, nilai
budinya seratus kali lipat lebih tinggi."
"Hmm, jangan lupa, engkaupun termasuk keluarga
Dandang Mataun," ujar Cocak Kasmaran dengan tertawa
melalu i hidungnya. Tetapi Sekarningrum bersikap dingin.
Sama. sekali ia tidak mengacuhkan ejekan kakaknya.
Dan mulailah Cocak Kasmaran bercerita :
"Peristiwa itu terjadi pada duapuluh tahun yang lalu,
tatkala itu aku lagi berumur dua puluh satu tahun.
Pekerjaanku membantu paman Cocak Temboro, mengawal barang dagangan ..."
"Huh, dagangan?" gerutu Sekar Prabasin i. "Katakan
saja t erus-terang, barang rampokan...! Malu!"
"Prabasin i! Jangan usil!" t egur ibunya.
W ajah Cocak Kasmaran merah padam. Dan tatkala itu,
berpikirlah Lingga W isnu di dalam hati:
'Rupanya yang disebut anggauta keluarga Dandang
Mataun tidak hanya lima orang. Dahulu, dua orang yang
bernama Cocak Obar-abir dan Gumuling, mengaku
sebagai anggauta keluarga Dandang Mataun sewaktu
menggerayangi peti warisan paman Bondan Sejiwan.
Sekarang ... sekarang aku mendengar nama Cocak
Temboro pula ...' Dalam pada itu, Cocak Kasmaran sudah dapat
menguasai diri. Ia meneruskan ceritanya :
"Pada suatu hari, aku membantu paman Cocak
Temboro mengawal semacam barang di W onogiri dan
pada malam kedua, aku memperoleh kesempatan untuk
bekerja di luar: T etapi aku gagal ..."
"Coba jelaskan, apakah yang kau kerjakan pada w aktu
itu," potong Sekarningrum dengan suara dingin.
Cocak Kasmaran menjadi gusar. Dengan hati
mendongkol, ia berkata sengit :
"Baik! Jad i aku kau suruh berkata terus-terang" Hmm,
aku bukannya kau. Aku seorang laki-laki. Kalau berani
berbuat, masakan tidak berani menjelaskan" W aktu itu,
aku melihat seorang gadis cant ik sekali. Malah puteri
Bupati Wonogiri . Untuk mengharap bisa mempersunting
gadis secantik itu, adalah mustahil sekali. Satu-satunya
jalan, hanyalah mendekapnya di tengah malam dan
memperkosanya. Demikianlah malam itu aku memasuki
kamarnya. Diluar dugaan, gadis itu menolak kehendakku,
dengan angkuh. Kareng jengkel, ia aku bunuh. T ernyata
dia masih berkesempatan untuk memekik. Dan
pekikannya terdengar oleh penjaga-penjaga Kabupaten.
Aku terkepung rapat. Dan merasa tak sanggup
menghadapi orang begitu banyak, aku lantas menyerah"
Mendengar tutur kata Cocak Kasmaran, bulu kuduk
Lingga W isnu bergidik. Ia heran pula, cara Cocak
Kasmaran menceritakan perbuatannya dengan enak saja.
Sama sekali tak merasa malu dan menyesal. Mengapa
seseorang bisa kehilangan pertimbangan nilai budi
pekerti demikian" "Aku dijebloskan dalan penjara." Cocak Kasmaran
melanjutkan ceritanya. "Tetapi aku tidak takut Paman
Cocak Temboro adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi. Tak ada seorangpun di daerah
gunung Lawu ini yang bisa menandingi. Aku Percaya asal
Paman mendengar kegagalanku ini, pasti dia bakal
datang menolong. Akan tetapi sepuluh hari sudah aku
menunggu paman tidak juga muncul. Sementara itu
surat keputusan mengenai diriku telah datang. Aku
diputuskan menjalani hukuman mati, di dalam penjara
Wonogiri itu juga. Tatkala orang pengawal penjara
memberi kabar kepadaku t entang keputusan itu, barulah
aku merasa t akut ..."
"Hm. Aku kira engkau tidak mengenal rasa takut ..."
ejek Sekar Prabasini. Cocak Kasmaran tidak menggubris ejekan keponakannya itu. Ia meneruskan ceritanya :
"T iga hari kemudian, kepala penjara datang menjenguk kamar sel ku dengan membawa niru besar
berisi sepiring daging dan sebotol minuman keras Aku
tahu artinya. Esok pagi aku harus menjalankan
hukumanku. Aku tahu, semua orang pasti bakal mati.
Sama saja. Akan tetapi cara mati itulah yang menakutkan
diriku. Akupun masih sayang kepada diriku sendiri. Aku
masih muda belia dan merasa belum puas mereguk
kesenangan. Namun aku berusaha menguatkan dan
mengeraskan hatiku. Makan dan minuman keras itu, aku
sapu habis Kemudian aku menidurkan diri. Tepat pada
tengah malam, aku t ersadar oleh tepukan perlahan pada
pada pundakku. Segera aku bangkit. Dan terdengarlah
bisikan ditelingaku: Sst" Jangan bersuara! Aku akan
menolong jiwamu! - Setelah berbisik denikian, ia
menabas belenggu kaki dan tanganku dengan pedangnya. Alangkah tajam pedangnya! Dengan sekali
tabas saja belenggu besi yang menelikung diriku
terpapas kut ung. Setelah itu, ia menarik tanganku. Dan
aku diajak keluar penjara. Sebentar saja, kami berdua
telah tiba diluar kota dan berhenti di sebuah surau.
Selama diajak lari, aku menurut saja. Memang tak dapat
aku berbuat apapun, selain menurut. Bukan main pesat
larinya. Tenaganyapun besar sekali, sehingga tak dapat
aku melepaskan diri dari tekanan tangannya. Tetapi
karena tertarik, aku tidak terlalu lelah. Sampai d isurau
itu, napasku tidak memburu. Ia melepaskan genggamannya. Kemudian menyalakan sebuah pelita
yang terbuat dari minyak buah jarak. Setelah cahaya
menyibakkan kegelapan malam, barulah aku dapat
melihat wajahnya dengan jelas. Diluar dugaanku,
ternyata dia seorang pemuda yang sebaya dengan
usiaku. Tadinya aku kira seorang tua yang sudah berusia
lanjut, menilik ilmu kepandaiannya yang sangat tinggi.
Perawakan tubuhnya tegap. W ajahnya tampan luar
biasa. Dikemudian hari, ternyata ia baru berumur
duapuluh tahun.' Berkata demikian, ia menyiratkan pandanan kepada
Sekarningrum dan Sekar Prabasini bergantian untuk
mencari kesan. Setelah itu, ia melanjutkan ceritanya lagi:
"Segera aku membungkuk hormat kepada pemuda itu
sambil menyatakan rasa terima kasihku, Hmm. T ernyata
dia seorang pemuda yang angkuh dan kepala besar.
Sama sekali d ia tidak membalas hormatku. Katanya
dengan singkat: Aku bernama Bondan Sejiwan. Apakah
engkau salah seorang keluarga Dandang Mataun" Aku
memanggut. Dalam pada itu, aku memperoleh kesempatan untuk mengamat-amati pedangnya yang
dapat menabas rantai belengguku dengan mudah. Itulah
sebatang pedang berwarna hitam. Anehnya, ujungnya
terpecah menjadi dua semacam mulut ular.
Lingga W isnu diam-diam bersenyum. Katanya didalam
hati : 'Itulah pedang Cunduk Trisula.'
Akan tetapi, ia bersikap membungkam mulut dan
membiarkan Cocak Kasmaran melanjutkan ceritanya.
Berkatalah orang itu : "Kut anyakan tempat tinggalnya, akan tetapi ia
menjawab dengan suara menggerutu. Katanya: 'Em. Apa
perlu kau ketahui. Betapapun juga, di kemudian hari
engkau tidak akan merasa berterima kasih kepadaku.'
Mendengar ucapan itu, aku jadi sangat heran. Pikirku, ia
telah menolong jiwaku. Untuk seumur hidup, pastilah aku
akan senantiasa mengingat budinya. Agaknya ia
mengerti jalan pikiranku. Katanya lagi: 'A ku menolong
jiwamu', demi kepentingan pamanmu yang ke enam,
Cocak Temboro! Kau ikutlah aku!' ...
"Dengan hati menebak-nebak, aku ikut i dia. Ia
membawa diriku ke Sragen. Dengan menutup mulut, ia
melompat keatas sebuah perahu. Dan aku ikut pula
dibelakangnya. Dengan suara pendek, ia memberi
perint ah kepada tukang perahu, agar berangkat
mengarah ke timur. Aku jadi berlegah hati, karena
perjalanan itu mendekati jalan-lint ang yang menuju
kemari. Artinya, aku tak usah takut lagi kepada hambahamba hukum yang mencoba
mengejarku "Bondan Sejiwan mengeluarkan sebentuk senjata dari
dalam sakunya. Senjata itu mirip sebuah cempuling
pendek. Itulah senjata andalan paman Cocak Temboro.
Dan melihat senjata andalan paman itu, aku jadi
bertambah heran. Biasanya, tak pernah paman berpisah
dari senjatanya. Kenapa senjatanya berada ditangan
penolongku"

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman adalah sahabat-sahabat karibku! kata Bondan
Sejiwan diant ara tertawanya. Ia tertawa beberapa kali
lagi. Tiba-tiba pandang matanya berubah menjadi
bengis. Entah apa sebabnya, aku dihinggapi perasaan
kaget dan takut. "Di dalam gubuk itu, terdapat sebuah peti, katanya
lagi sambil menunjuk ke dalam gubuk perahu. "Aku
menghendaki agar engkau membawanya pulang. Kau
serahkan suratku ini kepada ayahmu dan sekalian para
pamanmu!" "Dengan berdiam diri, aku mengikut i arah telunjuknya.
Di dalam gubuk, aku lihat sebuah peti besar yang
tertutup rapat sekalj. Kecuali dilibat dengan ikatan tali,
terpaku pula. "Engkau harus membawa peti ini pulang secepatnya.
Jangan engkau singgah dimanapun juga! ia berkata, 'Peti
ini harus dibuka oleh t angan ayahmu sendiri!
"Aku mengangguk. Dan ia memberi pesan :
"Sebulan lagi aku akan datang berkunjung kerumahmu. Berilah kabar kepada ayahmu dan sekalian
paman-pamanmu yang kau hormati, agar menyambut
kedatanganku dengan baik "Itulah ucapan-ucapan yang tak keruan junt rungannya. Meskpun demikian, aku t anggapi dengan
hati lega. Setelah memberi pesan demikian, ia
menyambar galah penggayuh, dan dengan sekali
menancapkan penggayuh itu di atas permukaan air, ia
melompat tinggi di udara. Dan mendarat ditebing sungai
dengan selamat. "Bagus!" seru Sekar Prabasini tanpa merasa.
"Hmm" denpus Cocak Kasmaran dengan mendongkol.
Dan tiba-tiba ia meludahi lant ai serambi. 'Bangsat itu
memang gesit dan tenaganya besar luar biasa. Tetapi
gerak-geriknya benar-benar sukar kuduga. Barangkali ia
keturunan malaikat terkutuk."
Tak usah dikatakan lagi, ucapannya membersit dari
hati yang mendongkol. Tetapi baik Sekar prabasini
maupun Sekarningrum, bersikap t ak acuh mereka seolaholah tidak mengetahui
keadaan hati Cocak Kasmaran.
"T atkala itu aku pandang dia sebagai penolongku"
Cocak Kasmaran meneruskan ceritanya. "Melihat pandang matanya yang tajam dan bengis, rupanya dia
sangat benci kepadaku. Meskipun demikian aku tak mau
percaya kepada penglihatanku sendiri Mungkin sekali
memang demikian perangainya. Sebab
biasanya, seseorang yang berkepandaian t inggi, mempunyai lagaklagu yang aneh. Karena itu,
aku tidak terusik oleh pandang matanya yang bengis. Setelah mendarat,
segera aku membawa peti besar itu pulang. Sepanjang
jalan, aku sibuk menduga-duga, tentang peti yang
kupanggul diatas pundak. Alangkah beratnya! Pastilah
isinya emas, atau perak, atau permata yang tak ternilai
harganya. Tentunya, inilah harta-benda berkat usaha
paman Cocak T emboro. Aku percaya pula, bahw a semua
paman dan ayahku akan menyambut kedatanganku
dengan rasa syukur. Dan pastilah mereka akan memberi
sebagian harta itu kepadaku sebagai Hadiah. Dan
memperoleh keyakinan demikian, aku jadi bersemangat
dan girang bukan kepalang. Ternyata dugaanku tidak
meleset sama sekali. Ayah dan sekalian pamanku memuji
diriku set inggi langit. Kata mereka, baru pertama kali aku
keluar rumah namun sudah memperoleh hasil yang tak
tercela." "Siapa bilang, paman tercela?" potong Sekar Prabasini
dengan suara mengejek. "Setelah membunuh seorang
gadis remaja, engkau pulangnya dengan membawa
sebuah peti besar. Mustahil kalau paman bukan kekasih
malaekat." "Prabasin i, diam!" tegur ibunya. "Dengarkan cerita
pamanmu baik-baik!" Cocak Kasmaran sendiri tidak melayani ucapan
keponakannya. Ia melanjutkan ceritanya. Katanya :
"Malam hari itu, kami berkumpul dipaseban. Ayah
menyuruh kami semua menyalakan penerangan sebesarbesarnya. Setelah itu, empat
orang pelayan menggotong peti besar itu, dan ditaruh ditengah-tengah paseban.
Ayah duduk di paseban dengan keempat isterinya.
Dengan satu isyarat mata segera aku melepaskan ikatan
tali yang melibat peti besar. Setelah itu semua pakunya
aku cabuti sebuah demi sebuah.
"Masih segar dalam ingatanku, t atkala aku mencabuti
paku-paku itu. Paman tertawa geli. Katanya diant ara
tertawanya: 'Sebenarnya, gadis manakah yang memikat
Temboro sangga ia jadi lupa daratan" Dia hanya
menyuruh seorang bocah membawa pulang petinya Mari!
..Mar ikita lihat mustika apakah yang dikirimkan pulang
ini! "Segera aku membuka tutup peti Dan aku dapati
sepucuk sampul yang bunyinya begini: Di persembahkan
kepada seluruh keluarga Dandang Mataun. Indah, bentuk
huruf-hurufnya Terang sekali bukan tulisan paman Cocak
Temboro. Maka surat itu aku serahkan kepada paman
tertua. "Kau maksudkan kakek Cocak Kalaseta?" potong Sekar
Prabasin i. Cocak Kasmaran mengangguk. Dan sambil menatap
Lingga W isnu, ia berkata :
"Kami keluarga Dandang Mataun, menggunakan nama
Cocak didepan nama-nama kami. Ayah kami bernama
Cocak Pangabaran. Kemudian keempat pamanku yang
bernama : Cocak Kalaseta,Cocak Gemuling, Cocak
Temboro dan Cocak Obar-abir.
Lingga W isnu kenal dan pernah melihat Cocak
Gemuling dan Cocak Obar-abir. Mereka berdua mati
diatas gunung Dieng, tatkala menggerayangi peti warisan
Bondan Sejiwan. Namun ia bersikap diam dalam
mendengarkan keterangan Cocak Kasmaran. Kata Cocak
Kasmaran melanjutkan ceritanya:
"Paman Cocak Kalaseta menerima surat itu. Akan
tetapi ia tidak segera membukanya untuk dibaca.
Sebaliknya ia memberi perint ah kepada isteri paman
Cocak Temboro, agar membuka bungkusan terlebih
dahulu yang berada didalam peti besar. Bungkusan itu
terjahit rapih. Kata paman Cocak Kalaseta kepada bibi
Temboro : "Adik, guntingi semua benangnya!"
Heran aku mendengar perintah paman Cocak
Kalaset a. Kenapa dia perlu bertindak cermat. Sementara
itu, bibi Temboro mengambil gunting dan setelah
menggunting tali pengikat, dengan kedua tangannya ia
membawa bungkusan itu kepada paman Cocak Kalaseta.
"Mari kita lihat apa isinya!" ujar paman Cocak Kalaseta
sambil menjengukkan kepalanya.
Dengan cekatan, bibi Temboro membuka tutup
bungkusan. Tiba-tiba menyambarlah delapan atau
sembilan anak panah beracun dari dalam bungkusan ...
Sekar Prabasini kaget sampai memekik mendengar
peristiwa itu. Sebaliknya Lingga W isnu sama sekali tidak
heran. Teringatlah dia, akan pengalamannya di dalam
goa dahulu. Itulah kepandaian dan ciri Bondan Sejiwan
membuat jebakan anak panah.
"Syukurlah, aku tidak terburu napsu." kata Cocak
Kasmaran memuji d iri sendiri. "Seumpama terbutu napsu
dengan membuka bungkusan itu, maka akulah yang
akan mati terjengkang sebab sembilan anak panah Itu
terbagi dalam dua jurusan. Y ang empat batang langsung
menancap dada bibi Temboro. Dan yang lima batang lagi
menembus perut paman Cocak Kalaseta. Hebat racun
anak panah itu. Hampir berbareng, mereka dua roboh ke
lantai tanpa bersuara Darah yang mengucur berubah
menjadi hitan. Dan mereka berdua mati tiada berkutik
lagi ... Berkata demkian, Cocak Kasmaran menoleh kepada
Sekar Prabasini. Katanya dengan suara mengandung
dendam dan ejekan : "Itulah perbuatan ayahmu. Bagus, bukan" Hmm - Dan
gemparlah seluruh ruang paseban. Paman Cocak Obarabir dan paman Cocak Gemuling
serentak menoleh kepadaku, mereka menduga buruk diriku Dan menyuruhku membuka bungkusan besar itu. Dengan
terpaksa aku menurut. Namun tak berani aku
menghampiri atau mencoba meraba bungkusan besar
itu. Aku berdiri jauh-jauh dan membuka bungkusan
dengan galah penggaet. Ternyata kali ini tiada sebatang
anak. panahpun yang menyambar. Dan kau tahu, apakah
isinya" "Apakah isinya?" Sekar Prabasini maembalas pertanyaan dengan pertanyaan.
Tiba-tiba wajah Cocak Kasmaran menjadi merah
padam. W ajahnya berubah menjadi bengis. Dengan
suara nyaring, ia memekik :
"Itulah mayat paman Cocak Temboro!" Sekar Prabasini
terkejut. Parasnya pucat.
Itulah berita yang sama sekali tak d iduganya. Dan
melihat kepucatan wajah Prabasini, maka ibunya
memeluknya. Dan beberapa saat lamanya mereka
berdua berdiam diri. "Nah, kejam tidak perbuatan itu?" seru Cocak
Kasmaran. "Sebenarnya, sudahlah cukup dengan
pembunuhan saja. Mengapa perlu membungkus mayat
paman demikian rapi unt uk dikirimkan pulang kehadapan
sekalian keluarga Dandan Mataun" Kenapa" Coba jawab,
kenapa?" "Benarkah engkau tidak dapat menjawab pertanyaanmu sendiri?" jawab Sekarningrum. "Benarbenarkah engkau tidak tahu apa
sebab ia sampai berbuat demikian t erhadap keluarga Dandang Martaun?"
Cocak Kasmaran mendengus. Air mukanya berubahubah. Akhirnya berkata :
"Anggap saja aku menang t idak tahu. Karena engkau
maha tahu, nah cobalah jawab pertanyaanku itu!"
Sekarningrum melemparkan pandang ke udara bebas
yang penuh dengan bintang-bintang dan cahaya bulan.
Hatinya nampak tertawan. Dan lambat lambat ia
meruntuhkan pandangnya kepada alam sekitarnya.
Kemudian kepada Sekar Prabasini kemudian sambil
mengusap-usap rambut anaknya, ia berkata :
"Sekarang, biarlah aku yang meneruskan cerita
pamanmu. W aktu itu umurku satu tahun lebih tua dari
usiamu sekarang. Akan tetapi sifatku masih kekanakkanakan. Aku kosong dari
segala masalah hidup. Seluruh
keluarga memanjakan diriku Segala pemint aanku pasti
dikabulkan Tetapi aku tahu! seluruh anggota Dandang
Mataun adalah sekumpulan manusia-manusia jahat.
Semua bentuk kejahatan pernah mereka lakuan, Karena
itu, aku t idak senang terhadap mereka Itulah sebabnya,
sama sekali aku t idak bersedih hati t atkala melihat mayat
paman Cock Temboro. Atku hanya heran. Kukenal Ilmu
kepandaian paman Cocak Temboro. Dialah yang tertinggi
diant ara sekalian saudaranya. Bagaimana d ia dapat
ditewaskan" Aku bersembunyi dibelakang punggung ibu.
Tak berani aku berbicara sepatah katapun. Ayah
memungut surat yang berada ditangan paman Kalaseta.
Beginilah bunyinya : Kukirimkan mayat saudararrru kemari. Terimalah
dengan rasa syukur! Dia memperkosa kakakperempuanku. Kemudian dibunuhnya. Diapun membunuh ayah-bunda dan dua kakakku lagi. Jadi
semuanya lima orang. Yang hidup tinggal aku sendiri,
karena kebetulan dapat meloloskan diri. Dan h iduplah
aku sebatang kara dari tempat ke tempat. Kini, barulah
aku muncul kembali dalam pergaulan.
Hut ang darah harus terbayar. Aku harus menuntut
balas sepuluh kali lipat. Dan hatiku baru puas. Karena
keluarga Dandang Mataun hutang lima jiwa, maka aku
harus membunuh limapuluh jiwa dan memperkosa
sepuluh anggauta keluarganya. Karena itu, bersiagalah!
=

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Peristiwa itu merupakan lembaran sejarah hidupku
yang baru, sehingga bunyi surat Bondan Sejiwan yang
menggemparkan terukir kuat dalam ingatanku. Selama
hayat masih dikandung badan, takkan tercicir meski
sepatah katanya pun."
Lingga W isnu jadi teringat nasib sendiri. Kalau begitu
jalan hidup Bondan Sejiwan sama saja dengan sejarah
hidupnya. Diapun kehilangan ayah-bunda dan dua orang
saudara-sekandung. Sedang kakak-perempuannya, Sudarawerti, tak keruan rimbanya.
"Kakang Cocak Kasmaran! Benar tidak perbuatan
paman Cocak Temboro" Dia. pembunuh seluruh keluarga
Bonda Sejiwan atau tidak?" kata Sekarningrum kepada
Cocak Kasmaran. Cocak Kasmaran tidak menjawab. Ia hanya memanggut. Tapi setelah memanggut, tiba-tiba meledak:
"Kami semua hidup sebagai laki-laki. Merampas,
merampok, membakar rumah atau membunuh adalah
pekerjaan laki-laki. Kenapa aku harus memungkiri
perbuatan paman Cocak Temboro" Paman melihat gadis
cant ik. Hatinya tertambat, tapi gadis itu mungkin tak
mau mengerti. Pastilah ia menolak ajakan paman yang
bermaksud baik. Dia menyakiti hati paman, sebelum
diperkosanya. Kalau paman sampai membunuhnya,
itulah sudah semestinya."
"Kenapa yang lain-lain d ibunuhnya pula?" damprat
Sekar Prabasini. "Kau anak kemarin sore, tahu apa?" Cocak Kasmaran
setengah memaki. "Itulah justru merupakan suatu bukti,
bahw a paman terlalu disakiti hatinya."
"Eh, enak saja kau berkata begitu," gerutu Sekar
Prabasin i. "Sesudah memperkosa lantas melakukan
pembunuhan." "Itulah laki-laki!" sahut
Cocak Kasmaran dengan suara gagah. Kemudian menyambung cerita Sekarningrum : "Setelah membaca surat
Bondan Sejiwan, maka ayah tertawa berkakakan. Kata ayah: Jadi dia hendak
datang kemari" Bagus! Dengan begitu, tidak usah
bersusah-payah mencarinya. Kalau dia bersembunyi, dimana k ita harus mencarinya" - Dan pada
hari itu juga, ayah mulai bersiap-siap Ayah cermat sekali.
Pada malam hari, seluruh keluarga diwajibkan jaga
malam dengan bergantian. Malah keesokan harinya, ayah
perlu memanggil kedua pamanku lagi."
Lingga W isnu heran. Pikirnya: 'Hai, banyak sekali
jumlah keluarga Dandang Mataun seolah-olah tiada
habis-habisnya.' Tatkala itu Sekar Prabasini mint a keterangan kepada
ibunya : "Ibu, siapa yang dipanggil kedua paman itu" Siapa
nama mereka?" "Itulah kedua eyangmu. Mereka berdua adik
nenek!"jawab Sekarningrum. "Beliau bertempat tinggal di
desa Bulukerta sebelah timur gunung ini Eyangmu yang
tertua bernama Argajati. Dan adiknya, Satmata.''
"Merekalah dua orang sakti yang tiada bandingnya di
dunia in i," Cocak Kasmaran menyambung dengan suara
bangga. "Tapi Bondan Sejiwan benar-benar tak ubah
iblis. Entah bagaimana caranya dia bisa mengetahui
maksud ayah memanggil kedua pamanku itu. Tiba-tiba
saja dua orang ut usan ayah, di sergapnya ditengah jalan
dan dibunuhnya. Dan semenjak itu, ia muncul seperti
malaikat dan menghilang seperti iblis. Setiap malam ia
masuk ke dalam rumah kami dan mula-mula mencuri
limapuluh batang alat pemotong padi dan dengan alat
itu, ia membunuhi keluarga kami Kadang-kadang satu
malam sampai sepuluh orang. Mereka mati dengan dada
tertancap clurit atau alat pemotong padi. itu. Maka
tahulah kami apa sebab ia mencuri limapuluh buah clurit
itu. Rupanya ia hendak membuktikan ancamannya,
bahw a ia perlu membunuh limapuluh orang keluarga
kami demi memuaskan hatinya. Dan sebelum lima puluh
orang terbunuh ditangannya, ia takkan berhenti
mengancam kedamaian hidup kami."
"Jumlah seluruh keluarga lebih dari seratus orang.
Masakan tak dapat melawan seorang saja?" kata Sekar
Prabasin i.. "Soalnya, dia tak pernah memperlihatkan diri " sahut
Cocak Kasmaran. "Dia main sembunyi seperti iblis.
Gerak-geriknya t ak ubah seperti seekor kucing mengintip
sarang tikus. Ia menerkam korbannya apabila kebetulan
memencil. Keruan saja, ayah gusar bukan kepalang.
Dalam kesibukannya, ayah mengundang belasan pendekar pada setiap malamnya, dengan dalih sedang
berpesta. Dengan begitu, setiap malam kami mengadakan pesta makan minum. Berapa banyak harta
yang telah kami hamburkan, sudah tak terpikirkan lagi.
Ayahpun menyebarkan surat-surat pengumuman untuk
menantang Bondan Sejiwan bertempur dengan terangterangan agar memperoleh
keputusan. Akan tetapi Bondan Sejiwan membuta dan tuli. Sama sekali ia tak
menggubris surat tantangan ayah. Karena itu satusatunya jalan hanyalah.
mengundang pendekar-pendekar
sebanyak-banyaknya dengan melalui pesta-pora. Agaknya Bondan Sejiwan takut melihat jumlah kami yang
banyak. Setengah tahun lamanya, ia tidak pernah muncul
lagi. Dan pendekar-pendekar undangan ayahpun mulai
berpamitan pulang seorang dani se orang.
"Tetapi, begitu rumah kediaman kami kembali sunyi
sepi, kakak kami yang tertua, dan dua saudara sepupu
kami terdapat mati di dalam kamarnya. Dan keesokan
harinya, tiga kemenakan kami, mati tenggelam di dalam
empang. Tubuh mereka masing-masing t ertancap sebuah
clurit. Jelas bangsat itu benar-benar pandai menguasai
diri. Ia bisa menunggu kesanpatan dengan sabar sampai
setengah tahun lamanya. Dan semenjak itu, setiap
sepuluh hari sekali, pasti ada seorang diantara kami yang
menjadi korban balas dendamnya Bondan Sejiwan.
"T ukang-tukang peti mati sampai kehabisan persediaan. Maka terpaksalah kami membeli peti-peti
mati dari Seragen. Madiun atau Kediri. Sudah tentu kami
menutup rapat-rapat peristiwa kematian yang sebenarnya. Kami kabarkan, bahwa dusun kami sedang
terserang penyakit menjalar yang dahsyat. Dan untuk
mengelabui penduduk, ayah perlu membuat selamatan
untuk menggant inya nama desa Popongan jadi
Kemuning. Ningrum adikku, pastilah engkau masih
teringat pada hari-hari yang menggiriskan hati."
Sekarningrum tidak segera menjawab. Dan kini
tahulah Lingga W isnu, apa sebab Bondan Sejiwan
menyebut desa kediaman isterinya dengan nama
Popongan. "T atkala itu, seluruh dusun gempar karena rasa takut,"
kata Sekarningrum setelah berdiam sejenak. "Betapa
ayah berusaha untuk menutupi kejadian yang sebenarnya, lambat-laun tersiar juga. Seketika itu juga,
penduduk lantas mengungsi ke desa-desa terdekat.
Dengan demikian, ayah tidak mempunyai pengharapan
lagi untuk bisa memperoleh tenaga peronda. Dan
terpaksalah anggauta keluarga meronda dan berjagajaga diri pada siang dan malam
hari secara bergiliran seperti dahulu. Anggauta-anggauta wanita dan anakanak disembunyikan di dalam
rumah tertentu yang terjaga, rapat. Kami tidak diperkenankan meninggalkan
pintu rumah selangkahpun juga."
"Meskipun demikian, nada suatu malam, dua iparku
lenyap tak keruan," sambung Cocak Kasmaran dengan
gigi berceratukan. "Kami semua menduga bahw a kedua
iparku itu pasti telah mati di t angan si bangsat. Eh, diluar
dugaan, selang satu setengah bulan, mereka berdua
mengirim surat dari dusun W alikukun. Mereka berkata,
bahw a setelah menulis surat, harus segera mengikuti
seorang tengkulak perempuan ke Surakarta. Ternyata
mereka berdua telah dijual oleh sibangsat Bondan
Sejiwan kepada tengkulak perempuan. Tegasnya,
mereka harus melayani tetamu-tetamu lelaki set iap satu
hari satu malam duapuluh orang sehingga bisa
dibayangkan, betapa menderita kedua kakak iparku itu.
Mereka disekap satu setengah bulan. Dan dipaksa
melayani duapuluh lelaki set iap harinya. Masyaallah ...
pintu besi pun bisa jebol bila diperlakukan demikian."
Mendengar t utur kata Cocak Kasmaran, Lingga W isnu
bergidik. Seluruh bulu rananya meremang. Pikirnya di
dalam hati: 'Hebat cara pembalasan dendam paman
Bondan Sejiwan. Memang, ia harus membalaskan sakit
hati ayah-bunda dan ketiga kakaknya. Akan tetapi
setelah penyebabnya sudah kena dibinasakan, mestinya
tak perlu lagi ia merajalela begitu mengerikan.'
Dengan menghela napas, Cocak Kasmaran melanjutkan ceritanya : 'Kedua kakakku mendongkol bukan main mendengar
berita itu. Oleh rasa mendongkol dan sakit hati, mereka
berdua sanpai jatuh pingsan. Ayah tak dapat berbuat
suatu apa kecuali mengirimkan uang penebus kepada
tengkulak perempuan tersebut, agar membebaskan
kedua menantunya. "Dua t ahun lmanya kami dirusak kedamaian hat i kami.
Dan yang membuat kita mendongkol, setiap tiga bulan
sekali, ia mengirimkan surat perhitungan dan peringatan,
seolah-olah kami mempunyai hutang yang wajib kami
bayar penuh-penuh. Dia mengirimkan daftar nama-nama
yang telah dibunuh. Dalam waktu dua tahun itu, sudah
berjumlah empatpuluh tiga orang. Dengan begitu, dia
masih menagih tujuh jiwa lagi.
"Kami keluarga Dandang Mataun, biasanya malangmelint ang tanpa tandingan
semenjak puluhan tahun yang
lalu. Baik penduduk maupun penguasa setempat tak
berani mengganggu gugat sepak terjang kami. Tetapi
sekarang, kami d ipermainkan oleh seorang lawan, saja
yang benar benar bisa membuat hati kami sedih, lelah
dan gelisah. Menuruti-hati kami ingin menuntut balas
pula secepat-cepatnya agar memperoleh penyelesaian.
Akan tetapi bangsat Bondan Sejiwan adalah seorang
musuh yang sangat licin dan gagah. Ayah dan beberapa
paman kami, pernah bertempur seorang demi seorang.
Ternyata mereka bukan merupakan tandingan Bondan
Sejiwan yang memang berkepandaian t inggi luar biasa.
"Kami semua jad i putus asa. Rasanya, tiada sesuatu
yang dapat kami lakukan, kecuali menunggu datangnya
maut. Akhirnya kami bersepakat untuk membuat
pembelaan diri dengan cara bergabung. Akan tetapi asal
kita sudah bersiaga bertempur dan membuat penjagjfcn
rapat, ia tak pernah muncul sampai berbulan-bulan
lamanya. Sebaliknya, bilamana lalai sedikit saja, tiba-tiba
ia muncul kembali dan membunuh. Demikianlah setelah
melampaui masa dua tahun, hutang jiwa kami tinggal
tujuh orang. Nah, Prabasini, cobalah jawab dengan
terus-terang! Layakkah kita apabila kita membencinya"
Pant as atau tidak kita mengutuknya sampai tujuh
turunan?" "Kemudian bagaimana?" ujar Prabasini mengelakkan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan pamannya. "Biarlah ibumu saja yang melanjutkan ceritaku ini,"
sahut Cocak Kasmaran dengan suara lesu.
Lingga W isnu mengalihkan pandang kepada Sekarningrum. W ajah Sekarningrum nampak berduka
seperti menahan suatu penyakit dada, ia berkata
perlahan : "Anakku lingga. Engkau telah merawat dan mengubur
jenazahnya. Biarlah aku berkata terus terang saja.
mengenai hubungan kami. Rasanya tidak ada perlunya
untuk menyembunyikan sesuatu hal. Hanya saja, setelah
selesai aku menceritakan sejarah hubungan kami dengan
dia, tolong kau kabarkan sebab musabab meninggalnya.
Dengan itu kami ibu dan anak, jadi mengerti keadaannya
yang sebenarnya. Dengan begitu ..."
Sekarningrum t ak dapat menyelesaikan perkataannya.
Ia menangis sedih sekali, sehingga ucapannya tertunda
beberapa saat lamanya. Setelah hatinya lega, mulailah
dia berkata lagi : "T atkala itu, aku tidak mengetahui sebab musababnya
kenapa dia demikian kejam terhadap keluarga kani.
Bahkan kami tidak ingin mengetahuinya. Ayahpun
membungkam terhadapku. Ayah, hanya melarang diriku
keluar dari pekarangan rumah, meskipun hanya
selangkah. Karena t idak memperoleh pkijelasan, aku jadi
masgul. Kenapa ayah mendadak saja menawan diriku"
Meskipun ayah berusaha menemaniku dengan beberapa
iparku, namun hatiku merasa tersiksa. Sebab aku hanya
diperkenankan bermain-main di dalam taman saja yang
berukuran ciut. "Pada bulan ketiga, musim bunga tibalah. Petamanan
ini penuh dengan bau harum yang segar dan hatiku tak
terkendalikan lagi karena ingin menjenguk bunga
tanamanku. Tetapi karena sepak terjang Bondan Sejiwan
yang ganas, t erpaksalah aku bergulat mengatasi gejolak
hatiku. Aku harus menyekap diri d i dalam rumah. Pernah
pada suatu kali aku ingin membolos seorang diri. Akan
tetapi teringat betapa sungguh-sungguhnya, ayah
melarangku keluar rumah, maka aku batalkan niatku itu.
"Pada suatu hari, aku bermain-main di dalam taman
dengan dua orang iparku yang menempati kanar ketiga
dan kelima. Pamanku, Cocak Kasmaran dan Cocak
W indupun ikut pula menemani. Jadi jumlah kami lima
orang. Aku tertarik pada permainan ayunan. Sebab bila
aku bisa berayun tinggi sampai melampaui pagar
dinding, pastilah bisa melihat pemandangan yang berada
diluar, tembok. Maklumlah, aku sudah cukup lama
tersekap. Kira-kira hamp ir dua tahun. Maka tak
mengherankan, hatiku amat rindu melihat kehidupan
alam dan kesegaran penglihatan.
"Demikianlah, aku bermain ayun-ayunan, dengan
gembira. Setiap kali berayun, aku makin tinggi dan makin
tinggi. Pemandangan alam d iluar tembok dapat ku
jenguk dan kujenguk. Tiba- tiba saja pamanmu Cocak
W indu, memekik menyayatkan hati. Sebatang cunduk
Trisula menancap di dadanya. Dan ia mati seketika itu
juga. Dan pada saat itu ... engkau, kakang Cocak
Kasmaran lant as saja melarikan diri. Dan kami bertiga,
tidak kau pedulikan lagi . Bukankah begitu?"
Merah wajah Cocak Kasmaran. Buru-buru
ia menyahut; "Habis" Seorang diri, tidaklah mampu aku melawannya. Maka. segera aku lari masuk ke rumah
untuk mencari bantuan. Coba aku t idak cepat-cepat lari,
pastilah aku akan mampus sia-sia saja ..."
"Hm." Sekar Prabasini mendengus. Sebaliknya, ibunya
bersikap dingin saja. Katanya melanjutkan ceritanya :
"Aku menyaksikan peristiwa pembunuhan itu dari
papan ayunan yang masih berayun dengan cepat. Dan
selagi aku kebingungan, karena belum jelas tentang
sebaib-musababnya terjadi pembunuhan itu, tiba-tiba
kulihat berkelebatnya sesosok bayangan mengarah
padaku. Bayangan itu menuruti gerakan ayunan.
Sewaktu aku terbawa papan ayunan menjangkau
ketinggian, ia menyambar d iriku dan dibawanya terbang.
Aku memekik sekuat-kuatnya oleh rasa kaget dan cemas.
Sebab, kakiku tidak lagi menginjak papan ayunan.
Sedangkan diriku berada di udara hampir mencapai,
puncak pohon Susu Anjing. Celakalah, bila sampai
terbanting di atas tanah. Apalagi ayunan tadi, diriku
terlambung seperti terlemparkan.
"Bayangan yang menyambar diriku memegang tangan
kiriku kuat-kuat. Ia membawa diriku terbang melint asi
tembok. Tiba-tiba tangannya menyambar dahan pohon
mangga dan dengan begitu lambungan ayunan agak
tertahan. Kemudian dengan gesit, ia membawa aku
mendarat di atas tanah. "Aku terhindar dari marabahaya. Tetapi kemudian, ia
membawaku lari dengan memelukku erat-erat.-Dalam
bingungku, aku memukuli mukanya. Tatkala, pundakku
kena tekan, sekonyong konyongriya lenyaplah tenagaku.
Dan tak lama kemudian, aku mendengar suara berisik
dibelakangku. Itulah langkah ayahku beramai yang
berusaha mengejar diriku yang kena culik.
"Dua jam lagi lenyaplah suara berisik itu. Tahulah aku,
bahw a mereka sudah ketinggalan jauh. Dan aku masih
saja dibawa lari makin lama makin cepat. Akhirnya, dia
berhenti di sebuah goa yang berada disamping jurang
curam. Jarak antara goa dan seberang tebing kurang
lebih dua puluh meter. "Ia menepuk pundakku seraya meletakkan aku di atas
sebuah batu. Tenagaku pulih kembali. Dan ia
memandang diriku dengan bersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba t eringatlah aku kepada nasib dua
iparku yang pernah terculik. Apakah aku pun akan
diiualnya kepada tengkulak perempuan untuk melayani
duapuluh orang hidung belang set iap harinya" Daripada
hidup demikian, lebih baik aku mati saja. Dan kini,
barulah aku menyadari kehendak baik ayahku, dengan
menyekapku di dalam rumah terpisah. Teringat hal itu,
aku jadi benci kepada diriku sendiri. Terus saja aku
melompat membenturkan kepalaku pada batu yang
mencongak ditepi jurang. "Dia terperanjat bukan kepalang melihat perbuatanku
itu. Sama sekali tak diduganya, bahwa aku hendak
melakukan bunuh diri. Meskipun demikian masih bisa iamencegah kenekatanku.
Dengan t angkas ia menyambar
pinggangku. Namun kepalaku terbentur juga pada batu
itu, meskipun tidak keras. Inilah bekas lukanya ..."
Sekarningrum memperlihatkan ujung keningnya yang
tertutup rambut. Nampak sekali bekas lukanya. Melihat
bekas luka itu, pastilah ia dahulu menderita luka yang tak
enteng. "Maksudnya mencegah kenekatan itu, mungkin sekali
terbersit dari hati nuraninya yang baik. Tetapi andaikata
ia membiarkan diriku membenturkan kepalaku pada
batu, pastilah di kemudian hari. tidak akan menjadi
peristiwa yang berlarut larut . Bagi dia sendiri,
penggagalan itu mungkin baik akibatnya. Tapi bagiku
adalah sebaliknya." Sekarningrum melanjutkan tutur
katanya dengan menghela napas beberapa kali.
Meneruskan : "Aku pingsan karena lukaku. Tatkala memperoleh
kesadaranku kenbali, aku berada di atas sehelai
permadani di dalam goa. Penglihatan itu sangat asing
bagiku. Oleh rasa kaget, hampir saja aku tak sadarkan
diri lagi. Tetani setelah melihat pakaianku masih tetap
keadaan rapih, legalah hatiku. Ternyata dia tak
memperkosaku. mungkin sekali disebabkan oleh kenekatanku hendak bunuh diri, ia malahan tidak
menggangguku. "Rupanya dia dihinggapi rasa khawatir tentang diriku.
Jangan-jangan aku nekad hendak bunuh diri lagi. Maka
selama dua hari dua malam, ia menjagaku sangat
cermat. Dia masak sendiri untuk makanku. Sebaliknya,
aku tak sudi menjamah masakannya. Aku menangis
terus-menerus sampai pada hari keempat. Dan pada hari
kelima aku jad i kurus kering.
"Ia mencoba memasak hidangan lezat. Dan dengan
sabar membujukku agar mau makan masakan yang
dihidangkannya. Tapi tetap saja aku takkan menghiraukan bujukannya. Sekonyong-konyong ia menjambak rambutku, kepalaku ditengadahkannya.
Hidungku dipencetnya rapat-rapat. Selagi mulut ku
terbuka, ia menjejali makanan. Kuahnya dituangkan pula
ke dalam mulut ku. Karena hidungku terpencet, mau tak
mau aku harus meneguknya. Barulah hidungku
dibebaskannya. Dan ia tidak lagi menjambak. Tetapi
begitu terbebas, aku menyembulkan sisa makanan dan
kuah kemukanya. Dengan sengaja aku berbuat demikian,
agar ia membunuhku karena marah. Dalam hatiku aku
mengharapkan kematian daripada diperkosanya. Pengalaman kedua iparku terlalu mengerikan bagiku.
"Diluar dugaan, ia hanya tertawa saja. Dengan sabar,
ia menyusuti sisa makanan yang menempel dimukanya.
Ia menatap diriku beberapa saat lananya. Kemudian
menghela napas. "Aku hendak menyanyikan sebuah lagu untukmu. Kau
mau mendengarkan atau tidak?" katanya kepadaku.
"Aku tak sudi mendengarkan!" dampratku
Mendadak saja ia meloncat-loncat kegirangan dan
menandak-nandak. Ujarnya :
"Aku sangka, engkau gadis gagu. Kiranya engkau bisa
berbicara juga." Itulah pernyataan diluar dugaanku. T iba-tiba saja aku
tertawa diluar kesadaranku sendiri, karena ucapannya
begitu lucu dan menggelikan. Jadi tadinya
ia menganggap aku ini gadis gagu
"Siapa yang gagu?" dampratku lagi. "Aku membungkam mulut karena tak sudi berbicara dengan
orang jahat." Dia tak melayani berbicara. Sebaliknya ia lant as saja
merebahkan diri di mulut goa. Kemudian menyanyi dan
menyanyi dengan suara tinggi mengalun sampai larut
malam. Tatkala bulan muncul di udara lewat tengah
malam, masih saja ia menyanyi. Senandung berisikan
letupan asmara antara dua muda-mudi yang hidup dalam
masa madu. Seumurku belum pernah aku keluar rumah.
Dan mendengar senandung cinta kasih itu, hatiku
tertarik. "Hmm." Cocak Kasmaran menggerendeng. "Kau bilang
tak sudi mendengarkan. Tetapi akhirnya kau dengarkan
juga, bukan" Siapa sudi mendengarkan ceritamu yang
memuakkan ini" Dan setelah menggerendeng demikian,
serentak ia berdiri dan meninggalkan paseban pasanggrahan dengan langkah lebar.
"Ibu' Pastilah dia hendak mengadu kepada paman
sekalian," ujar Sekar Prabasini.
"Biar saja, aku tidak takut. Apalagi kakekmu telah
meninggal, dunia empat tahun yang lalu. Kedudukan
sekalian pamanmu dan diriku sejajar," sahut Sekarningrum. "Kalau begitu, lanjutkan cerita ibu," desak Sekar
Prabasin i. "Entah sampai jam berapa dia bergadang dan tiba-tiba


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja aku telah tertidur." Sekarningrum melanjutkan'
ceritanya. "Tatkala aku terbangun di pagi hari, dia tak
kelihatan. Ha, baiklah aku minggat saja, pikirku. Tetapi
setelah melongok keluar goa, aku jadi putus asa.
Ternyata goa itu berada pada puncak gunung dekat
kepundan. Sama sekali tiada jalan keluar. Hanya orangorang berkepandaian tinggi
seperti dia, baru b isa mencapai goa tempat beradaku dan sebaliknya.
"Kira-kira tengah hari, barulah dia pulang. Ia
membawa berbagai hiasan, pakaian dan bedak.
Semuanya itu dipersembahkannya kepadaku. Tapi tak
sudi aku menyentuhnya. Malahan aku lemparkan ke
dalam jurang. Menyaksikan perbuatanku, ia sama sekali
tidak marah. Bahkan dia tertawa gembira sekali.
"Dan malam itu, kembali lagi dia bersenandung
untukku. Sebenarnya, t ak sudi aku mendengarkan. Akan
tetapi betapa aku bisa menutup telinga terus-menerus.
Sekali-kali aku dengar bunyi senandungnya juga. Dan
keesokan harinya, ia menghilang kembali. Kali ini dia
datang dengan membawa main-mainan. Dan sebuah
boneka, ayam-ayaman, burung-burungan, marmut marmut an, kura-kuraan, katak-katakan dan kucing. Dan
melihat kucing itu, tak sampai hati aku melemparkannya
ke dalam jurang. "Ia jad i mengerti tata-rasaku. Dan semenjak itu, ia
membawa binatang-binatang hidup yang lembut sifatnya.
Seperti ayam, burung, itik dan anjing serta kambing. Dan
ia menemani merawat semua binatang itu. Kadangkadang ikut bermain boneka pula.
Diluar kehendakku sendiri, perasaanku terhadapnya jadi berubah. T idak lagi
aku merasa ngeri atau takut bergaul dengan dia.
"Tetapi pada suatu hari, sekonyong-konyong sikapnya
berubah. Ia menatap diriku lama sekali dengan pandang
bengis. Tentu saja, aku jadi ketakutan. Dan perasaan
ngeri kembali lagi mencekam sanubariku. Aku lalu
menangis dan ia menghela napas berulangkali. Kemudian
berkata membujuk : 'Sudahlah, jangan menangis!'
Tak berani aku menangis lebih lama., meskipun ingin
rasanya menangis sampai mati. Aku takut membuatnya
kesal. Jangan-jangan sikapnya y ang telah menjadi lunak,
bisa kembali bengis dengan tiba-tiba. Tetapi pada malam
hari itu aku melihat dia menangis. Menangis seorang diri
di luar pintu goa. Malam itu gelap-pekat. Semenjak sore tadi guntur
berdentuman diantara kejapan kilat. Dan Beberapa saat
kemudian, turunlah hujan deras. Ia tak memperdulikan
semuanya itu. Tetap saja ia menangis sedih dalam
keadaan basah kuyup. Aku jadi tak sampai hati.
Sekarang, akulah yang ganti
membujuknya. Kataku : " Masuklah, kau bisa
masuk angin." Namun ia tidak menggubris bujukanku. Aku
jadi tertarik. Kataku mint a
keterangan : 'Kenapa. Kau menangis "'
Diluar dugaanku, mendadak ia menyahut dengan
suara bengis luar biasa. Katanya:
"Besok adalah hari peringatan tahun ke empatbelas
matinya ayah-ibu, kakak dan kedua saudaraku. Dalam
satu hari saja, keluargaku musnah oleh tangan jahat
salah seorang anggauta keluargamu. Karena itu, esok
hari aku harus membunuh anggauta keluargamu lagi.
Setidak tidaknya seorang! T api rumahmu terjaga sangat
kuat dan rapih. Ayahmu mengundang beberapa tokoh
pendekar yang berkepandaian tinggi, Seperti Ki Ageng
Gumbrek, Kyahi Sambang Dalan dan Ugrasena. Akan
tetapi aku tidak t akut. Biarlah, kalau aku harus mati ..."
Setelah berkata demikian, ia meninggalkan goa dalam
hujan deras. Dan dua hari lamanya, ia tak muncul lagi.
Dan ent ah apa sebabnya, aku jadi selalu teringat
padanya. Diam-diam aku berharap, moga-moga ia
pulang dengan selamat. Sekar Prabasini mengerlingku matanya ke Lingga
W isnu, untuk mencari kesan. Ingin membaca keadaan
hati Lingga W isnu t erhadap ibunya. Akan t etapi Lingga W isnu duduk dengan
sangat tenang. Perhatiannya
tertarik kepada tutur kata ibunya. Dian-diam, ia
bersyukur didalam hati. 0ooo-dw-ooo0 1. BONDAN SEJIWA N Dalam pada itu, Sekarningrum meneruskan ceritanya :
"Cuaca kian menjadi gelap. Itulah petang hari yang
ketiga. Dua tiga kali aku melongok ke mulut goa. Yang
aku lihat hanyalah awan gunung yang datang
bergulungan. Tapi tatkala aku melongok untuk yang
kelima kalinya, nampaklah empat orang berlari-larian
mendaki puncak gunung. Gesit gerakan mereka, seakanakan empat sosok bayangan.
Mereka saling kejarmengejar.
"Aku menajamkan penglihatanku. Syukur petang hari
belum tiba benar-benar. Masih bisa mataku mengenal
dua orang di antara mereka. Yang lari paling depan
adalah dia. Yang kedua dan ketiga berdandan pendeta.
Mereka bersenjata cempuling dan rant ai bergigi. Sedang
yang keempat, ayah dengan bersenjata tongkat
Sarparaja yang terkenal semenjak puluhan tahun yang
lalu. Dengan membawa pedang hitamnya, ia melayani
serangan mereka bertiga. Nampak olehku dengan tegas,
bahw a ilmu kepandaian kedua orang pendeta itu sangat
tinggi. Dikemudian hari, barulah aku ketahui bahw a
mereka berdua sesungguhnya adalah adik seperguruan
Anung Danudibrata aliran Ugrasawa dan adik- seperguruan pendekar Yudhanata aliran Parwati. Namanya Pritanjala dan Jaka Puring. Gesit cara mereka
berdua menyerang. Hampir saja rant ai dan cempulingnya
berhasil menghant am sasaran. Aku terperanjat sampai
memekik diluar kehendakku sendiri. Aku mencemaskan
keselamatan jiwanya. Tetapi dengan pedang hitamnya, ia
berhasil menangkis dan memunahkan serangan mereka.
Bahkan pedangnya dapat menahas ujung rantai dan
cempuling dengan berbareng.
"Rupanya ayah mendengar gaung pekikanku - Ia
menoleh. Dan melihat diriku, ayah melompat keluar
gelanggang. Lalu lari mengarah ke goa hendak
menghampiri daku. "Dan melihat hal itu, dia jadi sibuk sekali. Terus saja
dia meninggalkan kedua lawannya. Kemudian mengejar
ayah. Tentu saja kedua lawannya mengejar pula.
"T ak lama kemudian, mereka tiba di dataran
ketinggian yang berada didepan tebing seberang goa. Di
dataran ini, dia berhasil mengejar ayah dan serta merta
ia menyerang ayah. Baru beberapa jurus, ke dua pendeta
itu datang pula. Dan dia lantas terkepung rapat lagi
seperti tadi. "Ayah tak sudi menyia-nyiakan waktu. Cepat ia
melompat mundur dan kembali lagi lari mengarah ke
goaku. Aku jadi girang sekali. Teriakku:
"Ayah, cepat! Cepat!"
Seperti kalau, dia mendesak kedua lawannya dan
kemudian ayah memburu lagi. Dia berhasil mengejar dan
menyerang ayah dengan tikaman tikaman dahsyat.
Sebentar saja ayah terdesak. Ia terancam bahaya.
"Selagi aku gelisah memikirkan keadaannya, kedua
pendeta itu telah tiba. Segera mereka berdua melancarkan serangan kilat untuk menolong ayah. Dan
terpaksalah dia membagi perhatiannya. Dengan demikian, selamatlah ayah dari ancaman bahaya.
"Ningrum! Bagaimana keadaanmu?" ayah berteriak.
"Aku selamat tak kurang suatu apa. Ayah tak usah
cemas!" sahutku nyaring.
"Akh, syukur! Ayah bergembira. Tunggu dahulu, biar
kubereskan dahulu bangsat mi ...
Setelah berkata demikian, ayah menyerang dengan
penuh semangat. Dan pertempuran mati-matian terjadi
sangat cepat, "Saudara Bondan Sejiwan!" seru Pritanjala. "Baik
diriku maupun golongan kami tidak mempunyai
permusuhan apapun denganmu. Aku hanya harapkan,
agar engkau mau mengerti. Kami golongan Ugrasawa
ikut campur semata-mata terdorong oleh rasa adil dan
kemanusiaan. Perbuatanmu benar-benar keterlaluan.
Kami berjanji t idak akan membant u pihak manapun juga,
asal engkau sudi menyudahi permusuhanmu dengan
keluarga Dandang Mataun. Sudahilah rasa balas
dendammu pada hari in i!"
"Hmm, enak saja engkau mengumbar mulut mu!"
dampratnya dengan mengertak gigi. "Apakah tak boleh
aku melakukan balas dendam demi menentramkan
arwah ayah-bunda dan sekalian saudaraku yang
terbunuh tanpa dosa apapun?"
"Kami mengerti T api engkau sudah banyak membunuh
demi memuaskan hatimu sendiri. Aku kira, sudah lebih
dari cukup," sahut Pritanjala. "Sekarang, pandanglah
diriku. Kupint a agar kedua belah pihak menyudahi
persoalan ini." Tapi dia tidak menggubris. Tiba-tiba saja ia
menyerang Pritanjala. Karena itu, pertempuran sengit
terjadi lagi kian menghebat. Masing-masing tak sudi
mengalah. Pritanjala berkepandaian tinggi. Pekannya
Jakapuring yang bersenjata rant ai tak tercela pula.
Petainya berderun-derun menerbitkan suara angin
dahsyat. Meskipun ujungnya telah terkutung, namun t ak
mengurangi perbawanya. "Sebentar saja dia terancam bahaya. Seluruh
badannya telah mandi keringat:. Dia terdesak dan
terdesak. Tiba-tiba dia mundur dengan senpoyongan.
Hampir-hampir ia roboh terguling. Justru pada saat itu,
rant ai Jakapuring menyambar dirinya. Dengan matimatian ia berhasil mengelakkan.
Tetapi tepat pada saat itu, ia di-papaki cempuling Pritanjala. Kembali lagi ia
mengelak dan memut ar t ubuhnya. Dan pada detik itu, ia
melihat kesan wajahku. "Itulah penglihatan yang menentukan baginya.
Dikemudian hari ia memberi keterangan tentang keadaan
dirinya pada saat itu. Sebenarnya ia sudah kehilangan
tenaga. Tulang belulangnya seakan-akan terlolosi. Tapi
begitu melihat kesan wajahku yang menaruh perhatian
kepadanya, t iba-tiba terbangunlah semangat tempurnya.
Tenaganya serasa pulih kembali. Dengan galak, ia
memutar tubuhnya dan pedangnya berkelebatan mengancam maut. "Ningrum! Jangan takut! Pasti aku dapat menjungkalkan mereka. Kau lihatlah!" serunya.
"Entah bagaimana cara dia menggerakkan pedangnya.
Tiba-tiba saja Pritanjala memekik menyeramkan. Dia
roboh bergulingan. Ternyata kepalanya terbelah dan
tepat di dahinya tertancap cunduk Trisula. Keruan saja
ayah. dan Jakapuring kaget bukan kepalang. Dan pada
detik itu, dia menyerang ayah.
"Saat itu digunakan sebaik-baiknya oleh Jakapuring. Ia
menyerang dari belakang. Tapi dengan gesit, dia dapat
mengelakkan gempuran Jakapuring. Ia mendahului
memutar tubuhnya sambil melompat kesamping. Namun
Jakapuring terus memburunya dengan sabatan melint ang. Itulah saat-saat yang berbahaya. Dan kena
ancaman bahaya demikian, tiba-tiba tubuhnya menggeliat memutar seperti seekor ular hendak
membelit mangsanya. Tangan kirinya menyelonong ke
depan dan dua jarinya menusuk mata Jakapuring.
Gerakan itu diikut i dengan seruan nyaring sekali
"Jakapuring terkejut. Cepat-cepat ia mengendapkan
kepalanya untuk menyelamatkan diri dari tusukan jari.
Selagi demikian, tiba-tiba pedang hitamnya menyambar.
Tak ampun lagi t ubuh Jakapuring t erkutung menjadi dua


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh babatan pedang, ia memekik mengerikan dan mati
seketika itu juga." Sekar Prabasini ikut berseru karena terbenam cerita
ibunya. Ia kagum bukan main. Dan ibunya melanjutkan
ceritanya lagi : "Setelah Jakapuring mati, ia menyerang lagi kepada
ayah. Tatkala itu, wajah ayah pucat lesi "seperti tiada
berdarah. Tak usah dikatakan lagi, bahw a ayah kaget
dan ketakutan begitu melihat kedua rekannya yang
berkepandaian tinggi mati dengan cepat. Ayah membela
diri dengan sembarangan saja. Karena hatinya telah
gentar, tak dapat lagi ayah memainkan tongkatnya
dengan sempurna. Melihat itu, aku berteriak-teriak :
"T ahan! Tahan!"
Mendengar teriakanku, dia berhenti menyerang. Dan
aku berteriak lagi : "Bawa dia kemari! Dialah ayahku!" Dengan pandang
bengis, ia menatap ayah. Katanya membentak :
"Kau pergilah! Aku ampuni dirimu!"
Ayah tercengang. Segera ia memut ar tubuhnya
hendak meninggalkan tempat itu aku girang bukan
kepalang melihat ayah mendapat ampun. Tetapi sudah
dua hari tiga malam aku tidak makan dan minum.
Tubuhku terasa lemah. Karena kaget melihat pertempuran dahsyat dan pula oleh rasa g irang,
mendadak aku roboh diatas t anah.
"Melihat aku roboh, ia melompat ke dalam goa hendak
menolongku. Ayahpun ikut pula memburu. Dengan
bengis, ayah memandang padanya tatkala menolongku
bangun. Aku tidak pingsan hanya kehilangan tenaga
saja. Karena itu dapatlah melihat segalanya yang terjadi
dengan jelas. Selagi ia menolong membangunkan diriku,
tiba-tiba saja ayah mengayunkan tongkat Sarparaja
mengemplang Punggungnya. Tentu sekali, serangan
gelap itu tak diduganya. Perhatiannya berada padaku
penuh-penuh. Kaget aku berseru :
"Awas!" "Oleh peringatanku, ia kaget sekali. Segera ia
memutar tubuhnya dan meloncat ke samping.
Meskipun gerakannya gisit, nanun tongkat ayahku
masih saja menghajar punggungnya. Syukur, ia tadi
bergerak. Sehingga serangan itu tidak mengenai dirinya
penuh-penuh. Selagi memutar tubuhnya, ia berhasil
merampas tongkat Sarparaja dan dilemparkannya ke
dalam jurang. Kemudian ia melompat dan menyerang
ayah dengan kedua tangannya.
"Ayah gugup bukan main. Ia tertegun dan menyesal
karena serangannya gagal. Tongkat andalannya terampas pula. Itulah suatu peristiwa yang tak pernah
terbayangkan. Biasanya, jangan lagi menyerang dengan
cara gelap, sedangkan dengan berhadap-hadapan saja
tak pernah ia gagal. Tatkala menghadapi serangan
balasan, sama. sekali ayah tidak berusaha mengelak atau
menangkis. Ia malahan berdiam diri dengan menutup
kedua matanya menunggu maut.
"Dengan mendadak saja, dia membatalkan serangannya. Dia menoleh kepadaku, lalu menghela
napas. Kemudian ia memandang ayah dan berkata
dengan bengis : "Nah, pergilah cepat! Jangan tunggu sampai pikiranku
berubah. Benar-benar aku tak akan memberimu ampun
lagi!" Tanpa berkata sepatah katapun juga, ayah memutar
badannya dan lari secepat-cepatnya.
"Ia mengawasi kepergian ayah, lalu menoleh
kepadaku. Tiba-tiba saja ia melontarkan darah. Darahnya
menyembur ke bajuku."
Prabasin i memekik tertahan mendengar hal itu.
Katanya setengah menggerendeng :
"Eyang benar-benar tak tahu malu! Dengan berhadaphadapan, ia tak berani me lawan
Tiba- tiba menyerang dari belakang. Itulah bukan perbuatan seorang ksatrya."
Ibunya menghela napas. Sahutnya :
"Sebenarnya, dia adalah musuh kita. Empat-puluh
empat anggauta keluarga kita mati dibunuhnya. Kalau
sampai memberi peringatan, semata mata oleh rasa
kaget, begitu melihat serangan gelap ayah. Mungkin
inilah yang dinamakan takdir! Takdir yang meramalkan
masa depan yang gelap. Karena peristiwa itu merupakan
titik tolak dan asal mula aku dijauhkan dari ikatan
keluarga." Ia berhenti sebentar. Kemudian meneruskan
ceritanya : "Dengan sempoyongan ia masuk ke dalam goa.
Mengambil ramuan obat dan diminumnya. Beberapa kali
ia masih melontarkan darah. Aku kaget dan cemas,
sehingga menangis diluar kehendakku sendiri. Dan
mendengar t angisku, ia jadi gembira. T anyanya :
"Kenapa kau menangis?"
"Aku menangis karena engkau terluka demikian parah,
oleh tangan ayahku dengan cara yang curang," jawabku.
Dia tertawa senang. Tanyanya menegas :
"Jadi. engkau menangis untukku?"
Oleh pertanyaan itu, t ak dapat aku menjawab dengan
segera. Aku jadi berbimbang bimbang dalam keadaan
duka cita. Katanya kemudian kepadaku :
"Semenjak pamanmu Cocak Temboro membinasakan
seluruh keluargaku, aku hidup sebatang kara. Tiada
seorangpun di dunia ini yang menaruh perhatian
kepadaku. Apalagi bersedih atau menangis meratapi
nasibku. Akan tetapi pada hari ini, aku menyaksikan seorang menangis untuk
diriku. Inilah suatu peristiwa
yang berharga tinggi bagiku. Pada hari ini pula, aku telah
membunuh empatpuluh empat anggauta keluargamu.
Sebenarnya, masih kurang enam orang orang lagi yang
harus aku bunuh. Akan tetapi melihat airmatamu, aku
berjanji t idak akan membunuh lagi."
0oo-dw-oo0 Jilid 7 "Aku tidak menjawab. Itulah suatu penghargaan
bagiku. Air mataku berharga enam jiwa. Pada saat itu,
aku menangis. Hanya saja, tak tahu aku titik berat
tangisku itu. Entah terdorong rasa syukur atau duka-cita.
Dan dalam rada itu, dia berkata lagi :
"Akupun tidak akan mengganggu anggauta perempuan keluargamu. Semenjak hari ini, aku sudahi
saja. Kau tunggulah sampai lukaku sembuh. Dan aku
akan mengantarkan engkau pulang dengan tak kurang
suatu apa." Masih saja aku menangis. Akan tetapi kini t ahulah aku,
membaca perasaanku sendiri. Aku merasa lega hati,
syukur dan berterima kasih. Karena oleh air mataku, ia
tidak akan melakukan pembunuhan dan mengganggu
ipar-iparku. Aku pun ternyata tidak akan diganggunya
pula. Dan oleh rasa terima kasih, keesokan harinya aku
bersedia menanak nasi baginya dan merawat lukanya.
Pada suatu hari, ia tak sadarkan diri selama satu hari.
Tak tahu aku, apa yang harus aku lakukan. Aku khawatir,
ia akan kehilangan jiwanya., Karena bingung, aku
menangis dan sampai kedua mataku bendul. Selagi
menangis, mendadak ia menyenakkan matanya. Kemudian tertawa. Katanya :
'"Mengena kau menangis" Aku tidak akan mati ..."
Selang dua hari lagi, benar-benar dia pulih seperti
sediakala. Dia bisa bangun sendiri dan berjalan-jalan.
Pada malam harinya, ia mengabarkan kepadaku, bahwa
akibat serangan ayah adalah sangat hebat. Seumpama,
tidak tertolong oleh ramuan obat dan ketabahan hatinya,
pastilah dia akan mati. Dan bila dia mati, akupun akan
mati kelaparan pula. Sebab, aku tak akan dapat keluar
dari goa dengan seorang diri. Sebaliknya, tiada
seorangpun keluargaku yang akan berani mendatangi
goa. Aku percaya, ucapannya bukan suatu bualan
kosong. Sekiranya ada salah seorang anggauta
keluargaku yang berani menghampiri goa, pastilah hal itu
sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Bukankah dia
dalam keadaan luka parah" Jangan lagi bertempur,
sedang menggerakkan tangannya saja d ia tak mampu.
Diapun sadar akan hal itu. Andaikata aku berniat jahat,
itulah kesempatan yang sebaik-baiknya untuk membunuhnya... "Ibu," potong Sekar Prabasini. "Dia sangat baik
terhadap ibu. Maka ibupun wajib membalas budi
baiknya." Dan setelah berkata demikian, ia menoleh
kepada Lingga Wisnu. Pemuda itu bersikap dingin. Sama
sekali ia tak menghiraukan pandang mata Sekar
Prabasin i. "Dari hari ke hari, kesehatannya semakin maju."
Sekarningrum meneruskan ceritanya. "Selama itu,
seringkali ia mengajakku berbicara tentang masa kanakkanaknya. Digambarkannya
kepadaku, betapa besar rasa
kasih-sayang ayah-bundanya. Kedua kakaknya dan kakak
perempuannya pun kasih kepadanya pula. Pernah pada
suatu kali, ia sakit panas. Dan ibunda, tidak
memejamkam matanya barang sekejappun selama tiga
hari tiga malam. Akan tetapi pada suatu malam,
datanglah mala-petaka itu. Paman Cocak Temboro
memperkosa kakaknya perempuan. Kemudian membunuh ayah bunda dan kedua kakaknya.
"Terharu aku mendengar tutur katanya. Ia kejam dan
bengis. Akan tetapi bila membicarakan keadaan
keluarganya, mendadak saja sikapnya jadi lemah lembut.
Itulah suatu tanda, bahwa budi pekertinya sebenarnya
baik dan halus. Ia memperlihatkan pakaian kanakkanaknya yang tersulam indah.
Katanya, itulah sulaman almarhum ibunya tatkala dia hampir mencapai umur satu
tahun." Berkata demikian, Sekarningrum menarik sehelai
pakaian kanak-kanak dari bawah tempat duduknya dan
diletakkannya di atas meja.
Lingga W isnu mengamat-amati sulaman pakaian
kanak-kanak itu. Sulaman seorang bayi montok yang
telanjang bulat. W ajahnya manis. Dan pandangnya
menyenangkan. Rangkaian warna sulaman itu sendiri,
indah pula. Tiba-tiba ia jadi terharu sendiri. Teringatlah
dia kepada masa kanak kanaknya. Iapun kini tidak
berayah-bunda lagi. "Seperti beberapa hari y ang lalu, ia bersenandung lagi
untukku," Sekarningrum melanjutkan ceritanya. "Diwaktu
senggang, ia memotong dahan kayu dan mengukir
boneka-boneka untukku. Katanya, aku adalah satu bocah
yang belum mengerti sesuatu.
"Akhirnya sembuhlah dia. Akan tetapi, meskipun sudah
sehat seperti sediakala, tiada nampak lagi ketegaran
hatinya. Aku jadi heran. Pada suatu hari, aku tanyakan
sebab-sebabnya. Jawabannya mengherankan daku.
Katanya, dia tak sampai hati meninggalkan aku.
'Kalau begitu, biarlah aku berdiam terus disini
menemani engkau" kataku tempa terpikir.
"Mendengar ucapanku, dia girang bukan kepalang.
Larilah dia mendaki puncak. Ia memanjat pohon dan
mendarat dengan berjumpalitan. Ia lalu berjingkrakan
dan menandak-pandak. Kemudian ia menghampiriku lagi
dan memperlihatkan sehelai peta yang menunjukkan
harta karun terpendam. Katanya, itulah harta-benda raja
Airlangga tatkala terpaksa meninggalkan negeri. Untuk
melawan raja Sriwijaya, raja Airlangga menyimpan hartabendanya pada suatu tempat
yang dirahasiakan. Itulah
harta-benda kerajaan Mataram dahulu."
Mendengar tutur-kata Sekarningrum, Lingga W isnu
mananggut didalam hati. Pikirnya: Jadi itulah peta harta
benda yang terdapat di dalam kitab warisan. Pant as
dahulu Cocak Obar-abir sampai hati menikam saudaranya
sendiri .. "Rahasia harta karun Raja Airlangga tetap tersimpan
sampai ratusan tahun lamanya, demikianlah ia berkata,"
Sekarningrum meneruskan tutur katanya. "Dan secara
kebetulan saja, ia memperolehnya. Dia berjanji, setelah
berhasil membongkar harta karun itu, akan segera
datang meminang diriku. Sekarang, aku hendak
diant arkan pulang dahulu."
Sekarningrum berhenti sebentar. W ajahnya tiba-tiba
berubah. Tatkala melanjutkan ceritanya, suaranya sengit.
Katanya : "T atkala tiba dirumah, semua anggauta keluarga


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meludah ke tanah begitu melihat diriku. Aku jadi
mendongkol dan benci. Akupun sebal terhadap mereka.
Mereka semua tidak mempunyai kesanggupan untuk
melindungi keselamatan keluarganya. T api melihat diriku
pulang ke rumah dengan tubuh putih bersih, mereka
bersikap merendahkan. Kenapa mereka dahulu bisa
bersikap belas kasih kepada kedua iparku yang jelas
sekali sudah terusak kesuciannya" Karena itu aku jadi,
muak. Dan semenjak hari itu, tak sudi lagi berbicara
dengan mereka." "Ibu, sikapmu benar sekali!" kata Sekar Prabasini.
"Bukankah begitu kakang Lingga?"
Lingga W isnu tidak menyahut. Ia mendengarkan
kelanjutan tutur kata Sekarningrum :
"T iga bulan lamanya aku menunggu kedatangannya.
Dan pada suatu malam, aku mendengar suara
senandung terpencil dari dinding dinding gunung. Itulah
suara dan senandung yang kukenal. Dan aku segera
membuka jendela kamarku. Lalu datanglah ia. Dan
pertemuan itu membuat perasaanku aneh sekali. Rasa
girang, bahagia, syukur, sejuk dan gairah, berada dalam
diriku. Itulah suatu rumun perasaan yang belum pernah
kurasakan. Dan pada malam hari itu, hiduplah kami
sebagai suani-isteri. Kemudian lahirlah engkau... Peristiwa itu terjadi oleh keinginanku sendiri. Jadi bukan
karena aku kena perkosa. Itulah pula sebabnya, aku t ak
pernah menyesal. Maka tidaklah benar, apabila terbetik
kabar, bahw a aku diperkosanya." Ia berhenti mengesankan. Meneruskan: "Prabasini, selama itu
ayahmu memperlakukan diriku dengan baik sekali. Dia
bersikap hormat pula terhadapku. Dan kami berdua
saling mencintai." Lingga W isnu terharu mendengar tutur kata Sekarningrum. Selain berani, d iapun jujur pula. Itulah
suatu kisah cinta-kasih yang ruwet akan tetapi
mengasyikkan. Lalu menyambung:
"Dan pada w aktu itu, ibu memperoleh kisikan tentang
harta-karun yang terpendam?"
"Benar," sahut Sekamingrum. "Dia berkata, bahwa
belum ada kesempatan untuk mencarinya. Akan tetapi
dia sudah mengetahui dimana tempat beradanya. Segera
kami berdua berunding untuk melarikan diri saja dari
rumah. Tatkala pada pagi harinya aku berkemas-kemas,
tiba t iba pintu terketuk. Rupanya pembicaraan kami kena
dicuri dengar orang. Cepat aku menyembunyikan surat
mohon diriku kepada ayah. lalu aku menegang
lengannya. Hatiku kecut dan takut.
"Jangan takut,'' katanya membujuk. "meskipun
terkepung sepasukan angkatan perang, kita akan dapat
meloloskan diri. Percayalah!"
"Setelah berkata demikian, dengan gagah ia membuka
pintu. Dan didepan pintu, berdirilah tiga orang yang
selamanya aku takuti dan aku hormati. Ayah, paman
Gemuling dan paman Obar-abir! Hanya saja, mereka
tidak bersenjata sama sekali. Bahkan mereka mengenakan pakaian tidur. W ajah mereka ramah pula,
sehingga aku tertegun keheran-heranan. Kata ayah :
"Kami sudah mengetahui persoalan kalian. Rupanya
sudah takdir, bahw a kalian sudah jodoh yang telah
ditetapkan sebelum lahir. Sebenarnya hal in i merupakan
masalah yang sulit. Terus-terang aku katakan, bahwa
perhubungan kalian merupakan peristiwa terkutuk.
Tetapi karena jodoh kalian agaknya sudah ditakdirkan
Tuhan sebelum lahir, maka b iarlah kami menerimamu
sebagai anggauta keluarga kami. Dengan begitu,
selesailah sudah permusuhan yang kini terjadi. Kita
sekarang t idak perlu lagi saling mengangkat senjata.
"Mendengar kata-kata ayah, dia berdiam sejenak
menimbang-nimbang. Kemudian menyahut :
"Apakah kalian masih khawatir aku akan melakukan
pembunuhan lagi" Percayalah, aku sudah berjanji kepada
Ningrum, tidak akan membunuh atau mengganggu lagi
salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun."
"Bagus," seru ayah dengan gembira. "Karena itu, tak
dapat engkau memperisteri anakku dengan jalan
melarikan diri. Marilah kita berbicara secara baik-baik dari
hati ke hati. Lamarlah anakku. Dan aku akan
mengawinkan kalian berdua dengan suatu upacara yang
layak." "Itulah suatu keputusan di luar dugaan. Tadinya, kami
mengira akan melalui samodra kesulitan yang berlarut larut . Tak mengherankan,
ia jadi girang bukan kepalang.
Memang, sebenarnya tiada maksudnya hendak mengawini diriku dengan paksa. Doa restu orang tua
dengan segenap keluarga, adalah jalan lurus yang
sebaik-baiknya. Tetapi ... akh! Ternyata dia kena jebak
ayahku!" "Apa?" Lingga W isnu sampai berseru diluar kehendaknya sendiri. "Jadi ayahmu sedang melakukan
tipu-muslihat?" Sekarningrum mengangguk dengan lesu, ia melanjutkan ceritanya. Katanya :
"Ayah memberi kamar samp ing kepadanya. Dan
sementara itu, persiapan upacara pengantin mulai
diselenggarakan. Tetapi dia seorang yang hati-hati,
cermat dan berwaspada. Tak sudi ia menerima minuman
atau makanan pemberian ayah. Samuanya diperiksa
dahulu dan diberikan kepada anjing atau kucing sebagai
percobaan. W alaupun demikian, masih ia tak pernah
menyentuhnya. Untuk makan-minumannya, ia membelinya sendiri d i kedai-kedai makanan.
"Pada suatu malam, ibu datang dengan membawa
sepiring bubur kepadaku. Berkatalah ibu kepadaku,
bahw a bubur itu sengaja dimasaknya sendiri untuk bakal
menantunya. Sudah barang tentu aku sangat bersyukur
melihat sikap ibu yang sudah bersedia menerimanya
sebagai menantu penuh-penuh. Tempa curiga, aku
membawa sepiring bubur itu kepadanya. Dia bergembira
melihat aku menghantarkan sendiri barang makanan itoi.
Ia mengira, akulah yang menasaknya sendiri. Karena itu,
tempa curiga dan tempa diperiksanya lagi, ia terus
menghirupnya. Tapi sekonyong-konyong wajahnya
berubah menjadi pucat. Segera ia bangkit dan berseru :
"Kenapa sampai hati engkau kepadaku?"
Aku kaget sampai pucat pula. Sahutku dengan suara
menggeletar : "Kenapa engkau meracuniku?" teriaknya.
"Racun?" aku berteriak pula dengan suara tertahan ...
Sekarningrum berhenti sejenak. Napasnya memburu.
Dan serambi itu mendadak saja terasa menjadi, tegang
dan sunyi. Tiba-tiba terdengarlah suara berisik. Cocak
Prahara berlima muncul dari balik gerombol bunga.
Teriak Cocak Prahara : "Eh, Ningrum! Kau tak malu menceritakan riwayatmu
sendiri yang kotor dan busuk itu?"
W ajah Sekarningrum yang bernasib malang itu
menjadi pucat, dan kemudian berubah menjadi merah
padam. Sahutnya dengan suara tertahan-tahan :
"Sembilanbelas tahun sudah aku tak sudi berbicara
dengan kalian. Akupun t ak pernah berkata sepatah kata
juga sampai matinya. Kenapa aku takut menghadapi
semuanya ini" Anakku Lingga, kau takut atau tidak
menghadapi mereka?" Lingga W isnu hendak menbuka mulut nya. Tetapi
Bondan Sekar Prabasini telah mendahuluinya. Kata gadis
itu : "Kakang Lingga tak kenal t akut terhadap siapapun!"
"Bagus,'' Sekarningrum berlea hati. "Kalau begitu, t ak
perlu aku menghiraukan mereka. Aku akan melanjutkan
ceritaku." Hebat kata-kata Sekarningrum. Tapi dia nampak
sangat lemah seperti orang berpenyakitan. Tapi kini
dengan tiba-tiba ia bersikap gagah dan galak. Suaranya
tegas dan sengaja dibesarkan. Dengan nyaring ia
meneruskan ceritanya : "Aku lantas menangis. Tak tahu aku apa yang harus
aku lakukan. Dengan sesungguhnya aku tak mengerti
bahw a bubur itu beracun. Siapakah yang menaruh curiga
terhadap ibu kandung sendiri" Hatiku susah bukan main,
karena dia menuduhku meracuni. Selagi demikian, pintu
kamar terjeblak. Dan beberapa orang dengan bersenjata
lengkap menyerbu kamar. Yang berada di depan adalah
mereka berlima. Pada tangannya masing-masing nampak
senjata andalan mereka. Garang nampaknya, seolah-olah
pahlawan tempa tandingan. Sebaliknya, ayah berdiri di
luar pintu. Dia memanggilku agar keluar kamar. Dan
tahulah aku, begitu aku keluar kamar, dia akan d irajam
beramai-ramai. Maka aku menjawab seruan ayah :
'T idak! Aku tidak akan keluar kamar! Kalau ayah
hendak membunuh dia, bunuhlah aku dahulu!"
Tatkala itu, Bondan Sejiwan duduk di atas kursi
dengan wajah bersungut-sungut. Ia mengira aku
bersekutu dengan ayah semua. Hatinya susah dan tiada
niatnya hendak melawan. Tetapi begitu mendengar
jawabanku, dengan mendadak ia melomoat bangun.
Tanyanya kepadaku dengan suara agak sabar :
"Jadi engkau tak tahu kalau bubur ini beracun?"
Aku tak menjawab dengan segera. Piring bubur itu
aku sambar dan sisa buburnya kuhirup sebagian. Kataku
meyakinkan : "Sekiranya bubur ini mengandung racun, biarlah aku
mati bersamamu!" Aku hendak menghirup sisanya sampai hab is. Akan
tetapi ia menyampok piring itu sehingga hancur
berantakan di atas lantai. Kemudian ia tertawa sambil
berkata : "Bagus. Mari kita mati bersama!" Dan setelah berkata
demikian terhadapku, ia berpaling kepada mereka.
Katanya: "Hmm, kalian menggunakan cara yang rendah
sekali dan kotor. Apakah kalian t idak malu?"
Paman Obar-abir yang berangasan meledak :
"Siapa yang meracunmu" Kalau engkau mempunyai
kepandaian, hayo keluar! Mari mengadu ilmu!"
"Baik," sahut nya. Dan ia membimbingku keluar kamar.
Digedung olah-raga, ternyata sudah dibangun sebuah
panggung yang semula dikatakan sebagai panggung
tempat pertemuan pengantin. Dan diatas panggung,
sekalian paman dan berlima lalu berdiri berjajar siap
bertempur. Namun ia bersikap acuh tak acuh. Sama
sekali t ak menghiraukan jumlah mereka yang banyak.
"Memang benarlah ucapan paman Obar-abir, bahw a
bubur itu tidak beracun. Tetapi di kemudian hari tahulah
aku, bahwa bubur itu mengandung ramuan obat tidur
serta pelarut tenaga. Barangsiapa menelan ramuan obat
itu, akan terkuras habis tenaganya sedikit demi sedikit.
Kemudian akan tertidur pulas dan baru tersadar setelah
melampaui empatpuluh delapan jam lamanya. Dengan
demikian, mereka bermaksud merobohkan Bondan
Sejiwan dengan berlagak melalui pertempuran. Mulamula aku heran, kenapa mereka
memilih cara demikian. Tapi segera aku ketahui alasannya. Ternyata di dalam
gedung itu, hadir pula beberapa tokoh pendekar aliran
Ugrasawa, Parwati dan golongan lainnya. Sedangkan
pendekar pendekar golongan Aristi tidak sud i sudi ikut
hadir setelah mengetahui pekerti mereka yang hina. Dan.
dihadapan tokoh-tokoh pendekar itulah, mereka hendak
menjual lagak secara ksatria! Apabila Bondan Sejiwan
roboh akibat obat tidur, mereka akan segera
menyiksanya ..." Sampai di sin i, wajah Sekarningrum merah-padam.
Ucapannya sengit mengandung luapan rasa marah yang
sudah lama tertahan dan kini mempunyai kesempatan
untuk dilampiaskan. Tatkala, ia hendak meneruskan
ceritanya, Cocak Abang berteriak kepada Lingga W isnu :
"Hai saudara Lingga! Kau berani melayani ilmu sakti
gabungan kami yang bernama Pancasakti atau tidak?"
Dua hari yang lalu Lingga W isnu bersikap segan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap mereka, karena mereka adalah paman Sekar
Prabasin i. Akan tetapi setelah mendengar tutur kata
Sekarningrum, lenyaplah rasa hormatnya. Ia kini
mendongkol dan muak terhadap mereka. Maka dengan
sengit, ia menyahut : "Hm, kamu hanya berlima saja. W alaupun aku kalian
Pendekar Sakti 10 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Para Ksatria Penjaga Majapahit 6
^