Pedang Sakti Tongkat Mustika 13
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 13
kerubut sepuluh orang, tidaklah aku undur selangkah
pun ..." Tepat pada saat itu, melesatlah sesosok bayangan
memasuki serambi sambil berseru nyaring :
"Bocah tak tahu adat! Enyahlah engkau dari sin i!"
Dalam selint asan, Lingga W isnu melihat perawakan
tubuh bayangan itu tinggi besar dan kekar. Rambutnya
rereyapan dan terlilit gelang tembaga yang berkilauan.
Pakaian yang dikenakannya terbuat dari kulit lembu
muda. Kesan dirinya mirip dengan seorang pertapa yang
soleh dan sakti. Tapi sebenarnya, dialah seorang bandit
besar yang berkeliaran disekitar Gorang-gareng.
Dia memakai nama mentereng, yang diambilnya dari
tokoh cerita Maha Bharata yang termashur Bargawastra. Tapi namanya sendiri sebenarnya Sastra
Unyeng. Dan semenjak hidup sebagai pemimpin bandit,
ia menghukum siapa saja yang berani memanggil nama
aslinya. Bargawastra salah seorang anak murid pendekar
Satmata, adik kandung ibu Sekarningrum,
yang bermukim di dusun Bulukerta. Letak dusun itu berada di
sebelah timur gunung Lawu. Dia datang ke Kemuning,
atas panggilan keluarga Dandang Mataun untuk
menerima pembagian rezeki. Itulah emas Suskandari
yang kena rampas Sekar Prabasin i. Dan ia baru datang
disiang hari tadi. Maka tak mengherankan, Lingga W isnu
belum mengenalnya. Bargawastra sendiri hendak mengambil muka terhadap keluarga Dandang Mataun. Tadi siang, ia
mendengar kabar, bahwa emas rampasan itu hendak
direbut kembali o leh seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Mendengar hal itu, ia jad i panas
hati dan penasaran. Sekarang, ia akan memamerkan
kemampuannya menghajar bocah itu. Begitu mendarat di
lantai serarribil, terus saja t angannya menyambar.
Lingga W isnu melihat datangnya serangan mendadak.
Gesit ia mengelak. Dan dengan sebat ia menerkam
rambut gondrong Bargawastra Kemudian ia bergerak
memutar, sehingga tubuh Bargawastra terputar pula
seperti gangsingan. Tiba-tiba terkamannya dilegakan.
Dan Bargawastra jadi terlempar tinggi. Tak ampun lagi,
dia terbanting jungkir-balik menelungkupi gerombol
bunga mawar yang berduri. Seketika itu juga muka dan
tubuhnya babak-belur teranjam ratusan duri tajam. Ia
berkaing-kaing kesakitan. Sama sekali tak terbayangkan,
bahw a dia bakal babak belur hanya dalam segebrakan
saja Menyaksikan hal itu, Sekarningrum tertawa merendahkan. Tempa menghiraukan apa yang sudah
terjadi, ia melanjutkan ceritanya dengan suara bergelora.
Katanya : "Pada malam hari itu, mereka berlima mengepung
Bondan Sejiwan dengan ilmu gabungan Panca Sakti.
Itulah ilmu-gabungan kebanggaan keluarga Dandang
Mataun turun-temurun. Ilmu sakti itu belum pernah
terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sebenarnya, dia
sanggup melayani. Hanya sayang, ia sudah mereguk
obat bius pelarut tenaga. Makin lama gerakannya makin
kendor. Nampak sekali kelelahannya. Sulitlah ia untuk
melanjutkan perlawanannya lagi. Bahkan unt uk bisa lolos
saja t iada harapan lagi.
"Dalam keadaan demikian, ilmu gabungan Panca-sakti
terlalu rumit baginya ..."
"Ningrun!" bentak Cocak Abang. "Apakah kau hendak
membuka rahasia ilmu sakti keluarga Dandang Mataun
kepada bocah itu?" Sekarningrum tidak menggubris bentakan Cocak
Abang. Dengan menatap wajah Lingga W isnu ia
meneruskan : "Jelaslah, bahw a ia ingin merobohkan salah seorang
musuhnya, agar dapat memecahkan ilmu gabungan itu.
Tetapi kecuali tenaganya nyaris hab is, ilmu Panca-sakti
adalah suatu persenyawaan. Masing-masing mempunyai
kerja-sama yang saling berhubungan dan saling
melindungi. Demikianlah, akhirnya dia hamp ir roboh
kecapaian. Tubuhnya sempoyongan semakin hebat. Dan
aku berteriak nyaring : "Jangan pikirkan aku! Pergilah! Pergilah! Cepat!
Selama hidupku, tak akan kulupakan diramu. Selamatkan
dirimu dahulu!" Hebat suara Sekarningrum t atkala menirukan pekiknya
dahulu. Sekar Prabasini sampai bergidik. Sebab pekik
ibunya mirip jeritan berbareng ratapan yang menyayat
hati. Seperti orang membangunkan seseorang yang t idur
pulas, ia berteriak : "Ibu!" Lingga W isnu kaget pula. Bulu kuduknya meremang.
Dengan was-was ia memandang wajah Sekarningrum.
Pandang mata Sekarningrum kelihatan kabur dan kuyu,
napasnya memburu. Tahulah dia, bahw a hati Sekarningrum penuh duka, benci, mendongkol dan
penasaran. Ia lantas tergugu beberapa saat lamanya.
"Ibu, sudahlah. Esok malam bisa d isambung lagi.
Sekarang, beristirahatlah dahulu. Aku sendiri hendak
menyelesaikan urusanku. Tapi esok malam, aku berjanji
hendak datang kembali unt uk mendengarkan sambungan
ceritanya." "T idak! Tidak!" seru Sekarningrum seperti t ersadar.
Ia menyambar lengan baju Lingga W isnu dan ditariknya.
Katanya : "Sembilan belas tahun lebih
aku membisu. Sekarang, aku
mempunyai kesempatan untuk
melontakkan semua isi hatiku.
Anakku Lingga. Kau dengarkan dahulu ceritaku
sampai selesai ..." Suara itu mengandung suatu permohonan. Maka
terpaksalah Lingga Wisnu memanggut seraya menyahut :
"Baiklah. Akan siku dengarkan sampai selesai."
Lega hati Sekarningrum. Perlahan - lahan ia
melepaskan cekalannya. Namun ujung jarinya masih
menjepit lengan baju Lingga W isnu. Katanya meneruskan
: "Mereka sebenarnya menghendaki jiwanya. Tapi
kecuali itu, yang terlebih penting lagi yalah harta karun!
Harta karun raja Airlangga! Rupanya Bondan Sejiwan
sudah dapat menduga jauh jauh sebelumnya. Kini dia
sudah mempersiapkan diri.
"Demikianlah, akhirnya ia terluka. Dan ia roboh
terkulai. Tapi didalam keadaan set engah sadar itu, masih
sempat dia mengeluh: Akh, petaku! Dan setelah itu, ia
tak ingat sesuatu apa lagi ...
"Hai, bangun dahulu!" t eriak paman Cocak Obar-abir.
"Kau tunjukkan dahulu dimana harta raja Airlangga itu!"
Paman Obar-abir berteriak demikian samb il melompat
memasuki panggung. Jari tangannya menusuk tubuh
Bondan Sejiwan di bagian tertentu. Dan akibat tusukan
jari itu, Bondan Sejiwan jadi tersadar sebentar.
Sahutnya: "Oh, kau menghendaki harta itu" Peta tak ada
padaku. Siapa yang berani, ikut lah aku! Dan setelah
berkata demikian, kali in i dia benar-benar roboh tak
sadarkan diri lagi. "Mereka semua jadi gempar mendengar jawaban
Bondan Sejiwan. Mereka juga ikut menyaksikan
perkelahian itu. Bila Bondan Sejiwan disadarkan, hebat
akibatnya. Betapa tidak" Kalau obat bius itu punah,
mereka semua bukan tandingnya. Sebaliknya, apabila
dibunuhnya, peta harta karun itu akan lenyap untuk
selama lamanya. "Mereka semua lantas sibuk berunding. Dan akhirnya
ayah mengusulkan suatu penyelesaian yang bagus sekali.
Ya, bagus sekali! Bondan Sejiwan hendak digeledahnya
dahulu. Apabila peta itu ternyata tiada padanya, uraturat kaki dan tangan Bondan
Sejiwan hendak diputuskan.
Kemudian baru dibebaskan. Dua hari laga, meskipun
obat bius telah lenyap dari tubuhnya, Bondan Sejiwan
sudah menjadi orang cacad. Semua ilmu saktinya lenyap.
Bukankah bagus sekali usulnya itu"
"Tetapi mereka tak bersabar lagi. Mereka pun
khawatir, jangan-jangan Bondan Sejiwan hanya berpurapura tertidur. Maka
merekapun memutuskan urat-urat
kaki dan tangan Bondan Sejiwan dahulu. Kemudian baru
menggeledah tubuhnya. Tapi t atkala itu, aku telah roboh
tertidur ... "Entah berapa lama aku tertidur. Setelah menyenakkan mata", dihadananku terjadi banjir darah.
Banyak aku lihat mayat-mayat bergelimpangan. Bondan
Sejiwan t idak nampak lagi di atas panggung. Hatiku jadi
berharap-harap cemas. Entah apakah dia berhasil
melarikan diri setelah membunuhi lawan-lawannya" Tapi,
masih sempat aku menyaksikan, tatkala mereka berlima
memutuskan urat-urat kaki dan tangannya. Aku jadi
kebingungan. Tak ada yang bisa memberi kabar
kepadaku. Gedung pertandingan sunyi senyap. Tetapi
syukurlah, bubur yang aku makan tidak begitu banyak,
sehingga aku kehilangan kesadaranku hanya se lama
waktu dua tiga jam saja. Akupun telah dapat berdiri
dengan tegak. Dan segera aku mengadakan pemeriksaan. Mayat-mayat itu ternyata bukanlah mayatmayat keluarga Dandang
Mataun. Tetapi mayat-mayat
tetamunya yang tadi menyaksikan pertandingan. Apa
yang telah terjadi" Tiba-tiba aku mendengar suara mengerang. Segera
aku menghampiri dan kulihat seorang tetamu yang
tertusuk kedua matanya. Tak usah aku katakan lagi,
bahw a bakal buta dikemudian hari. Akan tetapi jiwanya
selamat. Segera aku menolongnya. Tatkala kena raba
tanganku, dia bertanyakan siapa diriku. Mendadak saja
dia berkata dengan berani :
"Apakah engkau calon temanten?"
"Benar," sahutku. Ternyata dia seorang pendekar yang
tahan sakit. Tempa memperdulikan keadaan dirinya, dia
berkata : "Syukurlah, engkau telah tersadar. Sekarang, sudikah
engkau membawaku keluar dari gedung ini" Aku
bernama. W aluyo, berasal dari dusun Karangteleng. Aku
bukan teman maupun musuh keluargamu. Kedatanganku
kemari semata-mata memenuhi undangan ayahmu.
Katanya, ayahmu hendak mengawinkan dirimu dengan
bekas musuhnya. Maka aku datang bersama pendekar
Udayana, anak murid Kyahi Basaban."
Mendengar Sekarningrum menyebut nama Udayana
dan Kyahi Basaman, hati Lingga W isnu terperanjat
seperti mendengar geledek meledak disiang hari. Itulah
nama ayah dan kakek gurunya. Hampir saja ia membuka
mulut nya. Syukur Sekarningrum telah mendahului
melanjutkan ceritanya: "Dari mulut nya, aku mendengar kabar, bahwa Bondan
Sejiwan berhasil dilarikan. Tatkala pendekar Udayana
dan W aluyo tiba digedung pertandingan, mereka masih
sempat menyaksikan dia kena siksa. Itulah perlakuan
yang semena-mena! Sebagai pendekar-pendekar yang
berbudi luhur, mereka tak dapat membiarkan tindakan
sewenang-wenang itu berlaku dihadapan matanya.
Serentak mereka bergerak hendak
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan pertolongan. Dan tepat pada saat itu, terjadilah suatu
peristiwa perebutan peta yang terdapat pada tubuh
Bondan Sejiwan. Mereka saling bertengkar. Dan akhirnya
saling bunuh-membunuh! "Kesempatan itu dipergunakan sebaik baiknya oleh
pendekar Udayana. Dengan pertolongan pendekar
W aluyo, ia memanggul tubuh Bondan Sejiwan dan
dibawanya pergi. Tetapi tidak semua yang hadir kalap
oleh peta harta karun itu. T erutama anggauta-anggauta
keluarga kami bag ian wanita. Mereka berteriak-teriak
menyerukan tanda bahaya. Dan pendekar Udayana
lantas kena kerubut. Syukur masih ada pendekar W aluyo
yang melindungi Selain itu, kebanyakan di antara tetamu,
terpancing pada peta harta karun itu. Dengan demikian,
kepergian pendekar Udayana tidak mengalami rint angan
terlalu sulit. Tetapi walaupun demikian, kedua matanya
kena tusuk senjata ayah. Dia masih bisa membalas
dengan menghamburkan senjata bidiknya. Ayah bisa
menyelamatkan diri. Namun tak urung sebatang senjata
bidiknya dapat mengenai paru-parunya juga. Ayah tidak
mati, tetapi bidikan itulah yang kelak membawa mautnya
beberapa tahun kemudian. "Dalam pada itu, hawa pembunuhan terus mengiangngiang . Paman Obar-abir berhasil
mempertahankan diri. Tapi ia terkejut, tatkala melihat Bondan Sejiwan lenyap.
Tepat pada saat itu, ayah roboh terkulai pula sambil
menuding keluar. Dengan serentak paman Obar-abir
melesat keluar mengejar pendekar Udayana. Karena
dialah yang membawa kabur Bondan Sejiwan. Maka sisa
para tetamu ikut mengejar pula. Tetapi bukannya
mengejar pendekar Udayana, melainkan semata-mata
untuk mencoba merebut peta.
"Entah bagaimana akhirnya, akan tetapi di kemudian
hari aku mendengar tutur kata mengenai pengejaran itu.
Karena memanggul orang, gerakan pendekar Udayana
terhalang Merasa diri bakal terkejar, ia menyembunyikan
Bondan Sejiwan di balik gerombol belukar yang berada di
tepi tebing . Kemudian ia mengadakan perlawanan dan
pembelaandiri. "T api beberapa saat kemudian, corak dan tujuan
pertempuran itu jadi berubah acak-acakan tak keruan.
Itulah disebabkan pengaruh peta harta karun. Kembali
mereka saling berebut dan saling bunuh membunuh.
Sementara itu, pendekar Udayana mempunyai kesempatan untuk meninggalkan gelanggang. Agar
Bondan Sejiwan selamat, sengaja ia membuat penyesatan. Ia lari kearah yang bertentangan. Dan
semenjak hari itu, dia t iada kabar beritanya lagi ..."
"Hai! Mengapa kau ngoceh tak keruan" Awas" potong
Cocak Abang dengan berteriak nyaring.
"Hmm! Apakah kalian kira aku takut Mati" Kalian boleh
membunuhku. Bukankah kalian juga yang membunuh
tetamu-tetamu undangan dengan cara keji?" damprat
Sekarningrum dengan pandang menyala.
"Keji bagaimana?"
"Kalian pancing mereka memasuki tanah jebakan,
kemudian kalian habisi jiwa mereka. Bukankah begitu?"
"Ngacau! Udayana. yang membunuh mereka!" teriak
Cocak Abang dan Cocak Ijo dengan berbareng,
"Hmm!" dengus Sekarningrum. "Apakah kalian sangka
tak ada seorangpun yang menyaksikan peristiwa itu?"
"Siapa orang itu" Siapa?"
"Aku sendiri. Tatkala membimbing pendekar W aluyo
keluar dari dusun Kemuning," sahut Sekarningrum
dengan suara tegas. Lingga W isnu tertegun mendengar perdebatan dan
tutur kata Sekarningrum. Samar-samar ia seperti
memperoleh penjelasan dan latar belakang sebabsebabnya ayahnya dimusuhi
pendekar-pendekar dari berbagai penjuru. Rupanya ayahnya dipersangkutpaut kan dengan peristiwa Bondan
Sejiwan dari masalah pembunuhan pendekar pendekar undangan yang
sebenarnya dilakukan oleh keluarga Dandang Mataun.
Hanya bagaimana cara keluarga Dandang Mataun
menjebak dan membunuh mereka, belum jelas.
"Anakku Lingga," kata Sekarningrum. "Peta yang
berada ditangan paman Obar-abir sebenarnya adalah
peta yang palsu. Inilah yang aku katakan tadi, bahwa
jauh sebelumnya Bondan Sejiwan sudah membuat
persiapan untuk mengingusi mereka. Berbulan-bulan
lamanya mereka menggali sini dan membongkar sana.
Ratusan ribu ringgit telah mereka keluarkan sebagai
beaya pencarian harta karun itu. Tapi sebiji kerikil
emaspun tak mereka peroleh. Ha-ha ...! Benar-benar
memuaskan, dan setidak-tidaknya bisa menghibur hatiku
..." Cocak Prahara berlima menggeram mendengar ejekan
Sekarningrum. Menuruti hati, ingin mereka menerjang
dengan serentak. Akan tetapi mereka takut terhadap
Lingga W isnu. Maka akhirnya mereka hanya mengumpat
kalang kabut . Sekarningrum sendiri tidak menggubris. Setelah
tertegun-tegun sejenak, ia meneruskan lagi
"Dia telah t ersiksa. Urat-urat kaki dan t angannya telah
terputuskan. W alaupun pendekar Udayana telah berhasil
menyelamatkan jiwanya, pastilah ia menjadi laki-laki
yang tidak berguna lagi. Aku tahu, hatinya keras dan
angkuh. Sekarang aku mendengar berita darimu, bahwa
engkau merawat tulang belulangnya. Artinya, dia benar-
benar selamat pada waktu itu. Untuk muncul kembali,
pastilah dia tak berdaya lagi. Kemudian mati oleh rasa
hati dendam dan mendongkol .. "
Lingga W isnu tak bergerak dari tempatnya, seolaholah tersihir. Otaknya yang
cerdas sibuk merangkairangkaikan peristiwa itu. Sekarang, latar belakang
sebabsebab t erjadinya pengejaran terhadap ayahnya. Seakanakan lebih jelas lagi.
Itulah mengenai peristiwa
pembunuhan dan peta. Ayahnya dahulu pernah
menyebut-nyebut jembatan Jala Angin yang berada di
puncak Gunung Lawu. Apakah maksudnya bukan
mengenai Bondan Sejiwan" Atau ... peta harta karun itu
yang disebutkan sebagai Tongkat Mustika warisan Ki
Sabdhopalon pada zaman Majapahit"
Terjadinya pengejaran terhadap ayahnya, terang
sekali suatu fitnah. Sebab ayahnya sama sekali tidak
melakukan pembunuhan. Juga tidak ikut serta merebut
peta harta karun. Demikianlah bunyi cerita Sekarningrum. Dan rupanya, setelah mengetahui peta itu
palsu, rasa mendongkol dan penasaran mereka,
ditimpakan pada ayahnya. Maka t erjadilah perburuan itu.
Alangkah jahat dan keji fitnah itu! Dengan mata
menyala, ia lant as mengalihkan pandangnya, kepada
Cocak Frahara berlima Dari halaman serambi depan, Cocak Prahara
menantang : "Hai, Lingga! Kau tadi mendengar ilmu gabungan
Panca-sakti. Itulah ilmu sakti kebanggaan keluarga
Dandang Mataun Bagaimana" Apakah kau berani
mencobanya" Kalau berani, hayo keluar!"
Panas hati Sekarningrum mendengar bunyi tantangan
saudaranya. Akan tetapi ia sadar ilmu gabungan itu
memang hebat. Bahkan terlalu hebat bagi Lingga Wisnu.
Maka dengan menahan diri, ia berkata kepada Lingga
W isnu : "Kau pulanglah! Jangan layani mereka!"
Lingga W isnu tahu maksud ibu Sekar Prabasini.
Memang, untuk mencoba-coba ilmu gabungan Pancasakti, bukanlah mudah. Tapi kalau
hanya berlawanan seorang demi seorang dari mereka, ia sanggup
mengalahkan. Almarhum Bondan Sejiwan sendiri sulit
memecahkan rahasia ilmu sakti itu. Terhadap dirinya,
Cocak Prahara berlima sudahi bersikap memusuhi. Kuat
dugaan mereka, bahwa dirinya mempunyai hubungan
dengan almarhum Bondan Sejiwan. Karena almarhum
adalah musuh besar mereka, maka d irinya pun dianggap
demikian pula. Mereka, berlima adalah manusia-manusia
kejam. Dan tidak akan segan-segan menggunakan segala
macam tipu-daya. Kemungkinan sekali, dia akan
mengalami malapetaka, apabila tidak berhati-hati. Itulah
sebabnya dia berbimbang bimbang.
"Hmmm! Jadi engjcau tidak berani, bukan?" ejek
Cocak Abang. "Kalau begitu, kau berlut utlah dihadapan
kami t iga kali! Dan kami akan mengidzinkan engkau pergi
dengan selamat." Itulah suatu ejekan yang menyakitkan hati. Sebelum
Lingga W isnu menyahut, berkatalah: Cocak Mengi
menyambung ucapan kakaknya :
"Kau idzinkan dia pergi dengan selamat" Kukira,
meskipun sekarang dia sudi berlut ut, sudah kasep!"
setelah berkata demikian, ia membentak kepada Lingga
W isnu dengan suara nyaring: "Anak muda, malam ini
engkau harus mencoba-coba kepandaian kami berlima!"
Panas hati Lingga W isnu mendengar ucapan rnereka
berdua. Tak sudi ia kalah gertak. Maka menyahutlah ia
dengan nyaring pula : "Kudengar ilmu-gabungan Panca-sakti ciptaan keluarga Dandang Mataun, hebat sekali dan tak
terkalahkan. Akan tetapi, sebenarnya aku ingin
mencobanya. Sayang saat ini aku letih sekali. Sudikah
kalian mengidzinkan diriku beristirahat selama satu jam
saja?" Lingga W isnu mengganti sebutan paman dengan
kalian. Artinya, ia memandang mereka sebagai
musuhnya pula. Sebaliknya, mereka tak menghiraukan
sama sekali. Memang Lingga W isnu sudah dipandang
sebagai musuh yang harus dibinasakan. Jawab Cocak
Abang dengan nada mengejek .
"Baik, satu jam! Tetapi meskipun engkau beristirahat
sampai delapan hari, mustahil dapat lolos dari ilmugabungan kami!"
"Hai, nant i dulu!" seru Cocak Rawa. "Jangan jangan
binatang ini sedang merencanakan suatu muslihat. Mari
kita bereskan sekarang saja!"
"Jangan!" cegah Cocak Prahara. "Kakakmu sudah
mengabulkan permint aannya. Biarlah dia hidup satu jam
lebih lama.. Hanya saja, kita harus menjaganya jangan
sampai d ia kabur." "Kalau begitu, suruhlah dia beristirahat di dalam
gedung olah-raga!" Cocak Ijo memberi saran, "Di sana
kita mengurungnya." Cocak Prahara menyetujui saran itu. Maka berkatalah
ia kepada Lingga W isnu dengan suara nyaring :
"Hai, kau Lingga! Kau beristirahatlah di dalam gedung
olah-raga sana! Dengan begitu, kami tak usah khawatir
engkau akan lolos." "Baik," sahut Lingga W isnu dengan suara tenang.
Kemudian bangkitlah dia dari t empat duduknya.
Sekarningrum dan Sekar Prabasini menjadi bingung.
Ingin mereka mencegah kepergiannya. Akan tetapi sama.
sekali tak berdaya. Maka terpaksalah mereka mengikuti
Lingga W isnu memasuki gedung olah-raga. Dan dalam
pada itu, Cocak Prahara sudah memberi perint ah kepada
anak buah mereka, untuk menyalakan beberapa puluh
pelita, yang terbuat dari buah jarak. Seketika itu juga
ruang gedung olah-raga terang benderang.
Ternyata di dalam gedung itu, sudah terdapat
beberapa orang bersenjata lengkap. Di antara mereka,
Lingga W isnu mengenal tiga orang. Itulah RBhumi alias
Rekso Glempo, ketua perserikatan Macan Kumbang. Jaya
Tatit dan Zubaedah. Melihat Lingga W isnu, Pekso Glempo
berkata : "Saudara yang baik hati, kami mendengar engkau
diberi kesempatan beristirahat selama satu jam. Kau
gunakan sebaik-baiknya. Apabila pelita-pelita itu padam,
itulah suatu tanda waktu istirahatmu sudah habis."
Lingga W isnu tidak menjawab. Dia hanya mengangguk.. Setelah itu ia duduk di kursi yang berada
di tengah-tengah panggung.
Cccak Prahara berlima duduk pula di atas kursinya
masing-masing. Mereka bersikap mengurung. Merekapun
mengendorkan urat-uratnya untuk ikut beristirahat pula.
Akan tetapi di belakang mereka, berderet enambelas
orang. Diantara mereka nampak Cocak Kasmaran, Cocak.
Fawun dan Sondong Rawit. Lingga W isnu menebarkan penglihatannya dan dengan
sekali melihat, tahulah dia bahw a mereka menduduki
penjuru-penjuru tertentu yang sudah diperhitungkan.
Pikirnya d i dalam hati: 'Memang benar sulit untuk
memecahkan barisan mereka.'
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia duduk dengan tangan berjuntai sambil memeras
pikirannya. Menghadapi duapuluh satu orang, rasanya
hanya bisa membela diri saja. Untuk mengharapkan
dapat meloloskan diri, sangatlah sukar. Ia tahu pula,
apabila terkurung terus menerus, lambat laun tenaganya
akan terkuras habis. Akhirnya ia akan robch seperti
almarhum Bondan Sejiwan. Pikirnya lagi: 'Paman Bondan
Sejiwan yang berkepandaian demikian sakti, masih tidak
sanggup memecahkan rahasia ilmu gabungan Pancasakti. Apalagi aku ... '
Selagi berpikir demikian, tiba-tiba teringatlah dia
kepada beberapa halaman terakhir buku warisan ilinu
sakti Bondan Sejiwan. Itulah sebuah kitab yang berjudul:
'Kitab Rahasia Keluarga Setan Kobar'. Pada bagianbagian halaman itu, pernah ia
menjadi bingung. Karena tidak dapat menyelami arti dan int inya, sampailah dia
perlukan menjenguk goa, untuk melihat gambar-ganbar
pada dindingnya. Setelah dicocokkan, barulah dia
mengerti! Hanya saja, w aktu itu ia belum menyadari dan
mengetahui, arti dan int inya. Sebab nampaknya kusut
sekali, diantaranya terdapat suatu keterangan, bahwa ia
harus menyerang empat sampai delapan penjuru dalam
satu gebrakan. Kenapa begitu" Apakah bukan dipersiapkan untuk melayani dan menghadapi serangan
musuh yang tiba dengan berbareng dari pelbagai
penjuru" Lingga Uisnu terbenam dalami pikirannya. Ia merekareka dan menjenguk latar
belakangnya karena rupanya
setelah Bondan Sejiwan terlolos dari tangan-tangan
musuhnya, bersembunyilah dia untuk memecahkan
rahasia ilmu gabungan Panca-sakti keluarga Dandang
Mataun. Akhirnya oleh ketekunan dan kekerasan hatinya,
berhasilah dia mencipt akan ilmu pemunahnya yang
istimewa. Seumpama Bondan Sejiwan tidak terpotong
urat-urat kaki dan tangannya, pastilah dia akan datang
ke dusun Kemuning untuk menuntut balas. Sayang pada
saat itu, ia sudah cacad. Namun dendamnya terhadap
keluarga Dandang Mataun, bergolak hebat di dalam
dirinya. Maka ia berharap, bahwa pada suatu hari, ada
seseorang yang dapat menuntutkan dendamnya. Dan
disusunlah ilmu sakti dan penemuannya dengan rapih, di
dalam kitab dan pada gambar-gambar didinding goa.
Dengan sengaja ia membuat penyesatan dan jebakan.
Kecuali kitab saktinya dilumuri racun, peti penyimpannya
diperlengkapi dengan panah rahasia yang berbisa pula.
Semuanya itu dipersiapkan untuk menghalau tangantangan kotor keluarga Dandang
Mataun yang dibencinya. 'Syukurlah aku telah menemukan kitab warisannya
dan dapat memahami serta menyelam: int i serta isinya'
pikir pemda itu didalam rumunan benaknya. 'Dengan
bekal ilmu saktinya, kecuali dapat lolos dari marabahaya,
akupun akan dapat menuntutkan dendamnya paman
Bondan Sejiwan. Akh, arwah paman Bondan Sejiwan
pasti akan bersenyum puas, karena tak sia-sialah jerih
payahnya t atkala menciptakan ilmu sakti itu.'
Memperoleh pikiran demikian, Lingga W isnu jad i t egor
hati. Kedua matanya yang terpejam menjadi menyinarkan cahaya berkilat. W ajahnya nampak, terangbenderang. Dan pada saat
itu nyala pelita hampir habis.
Kira-kira seperempat jam lagi, pelita-pelita itu akan
padam. Dan itulah suatu tanda, bahwa pertempuran
yang menentukan akan segera dimulai.
Cocak Prahara berlima pada saat itupun menyenakkan
pula. Mereka heran, t atkala melihat w ajah Lingga W isnu
yang terang-benderang. Tak dapat mereka menebaknebak, apakah yang telah terjadi
di dalam d iri pemuda itu. Apakah dia sudah mendapatkan jalan keluar untuk
bisa kabur dengan selamat" Akh, tak mungkin. ilmu
gabungan Panca-sakti tidak memberi kesempatan kepada
set iap lawannya untuk bisa kabur. Meskipun demikian,
mereka berlima membuka matanya lebar untuk berjagajaga kalau-kalau Lingga W isnu
benar benar hendak melesat kabur. Tetapi justru mereka bersiaga demikian, kembali
Lingga W isnu memejamkan kedua matanya. Pemuda itu
berusaha mengingat-ingat kembali semua petunjukpetunjuk sakti di dalam kitab
warisan pendekar Bondan Sejiwan. Ia menghafalkan dan mencetak segala gerakan
dengan kuat di dalam benaknya. Seolah-olah lagi
menekuni kitab warisan, ia memeriksa halaman demi
halaman. Tiba-tiba terbacalah kembali kalimat pada
bagian 'Penentuan'. Bunyi kalimat itu: 'Dengan sebilah
pedang, potonglah jerami goni berserabutan'. Dan
membaca kalimat itu, ia kaget bukan kepalang sampai
berkeringat. 'Celaka!' demikian ia menjerit didalam hati. Mengingat
pengalaman kemarin, malam in i aku datang kemari
dengan tidak membawa senjata. Dengan demikian, aku
tidak akan mengalami kesulitan seperti kemarin. Tak
tahunya kini aku dipaksa unt uk bertempur. Dan jurus itu,
justru menitik beratkan pada tenaga pedang atau golok.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan"'
Selama itu, Sekar Prabisini terus memperhatikan
keadaan Lingga W isnu. Ia ikut berlega hati tatkala
melihat wajah pemuda itu terang-benderang. Tiba-tiba
sekarang dilihatnya pemuda itu seperti kehilangan
pegangan. Ia jadi terperanjat dan cemas. Pikirnya :
'Kenapa dia seperti tergoncang" Ia seperti kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri. Hal in i berbahaya ...'
memperoleh pikiran demikian, ia ikut menjadi bingung.
Dalam pada itu., seperti seseorang kehilangan keblat,
Lingga W isnu merenungi nyala pelita pelita yang hampir
padam. Ia sibuk bukan main, karena belum memperoleh
penyelesaian. Pada waktu itu, datanglah Sukarwati,
pelayan Sekar Prabasini yang cantik, membawakan
secangkir teh panas. Ia menghampirinya seraya berkata
mempersil ahkan : '"Tuan, silahkan minum sebelum mulai.''
Pikirannya Lingga W Isnu sedang kusut. Ia kenal
pelayan perempuan itu, sebagai orang kepercayaan
Sekar Prabasini. Sikapnya sopan dan menarik, Maka
tempa ragu-ragu lagi, ia menyambuti cangkir pemberiannya. Dan terus saja ia tenpelkan pada
mulut nya. Tetapi tatkala hendak meneguk isinya, tibatiba cangkir yang.
tergenggam ditangannya pecah
berantakan oleh suatu benturan senjata bidik. Ia kaget.
Dan dengan pandang penuh pertanyaan, ia menebarkan
penglihatannya. Tepat pada saat itu, masih sempat ia
melihat Sekar Prabasini menarik tangannya. Maka
tahulah ia, bahwa itulah perbuatan Sekar Prabasin i. Dan
sadarlah dia, apa artinya.
'Benar-benar berbahaya di sin i,' katanya di dalam hati.
'Kenapa aku jadi begini goblok" Kenapa tak teringat
pengalaman paman Bondan Sejiwan" Paman dahulu
mengira bubur yang dihirupnya adalah masakan
isterinya. Isterinyapun percaya, bahwa bubur itu tak.
mengandung sesuatu, karena diperolehnya dari ibu
kandungnya sendiri. Sekarangpun, aku menerima cangkir
pemberian Sekarwati, karena dia adalah pelayan Sekar
Pra- basin i. Kenapa aku tak dapat berpikir bahw a pelayan
ini hanya sekedar pelaksana perint ah majikannya"'
Justru pada saat itu, ia mendengar Cocak Ijo meledak
mendamprat Sekar Prabasini :
"Binatang' Ibu dan anaknya memang setali tiga uang!
Ada ibunya, ada anaknya! Ibunya bersekutu dengan
bangsat. Anaknyapun bersekongkol dengan orang luar
pula." Tapi Sekar Prabisin i tidak gentar menghadapi
dampratan Cocak Ijo itu. Dengan berani ia membalas
mendamprat : "Leluhur keluarga Dandang Mataun menang sangat
hebat. Nilai budi pekertinya benar-benar setinggi langit,
sehingga amal perbuatannya memang luar biasa
hebatnya. Mengamal dengan memperbaiki jembatanjembatan, membuat jalan jalan
besar, memberi sedekah kepada orang-orang miskin. Pendek kata, merupakan
keluarga yang maha mulia."
Itulah suatu ejekan yang sangat hebat. Karena saja
Cocak Ijo murka sampai berjingkrak. Dengan muka
merah padam dan dada seakan-akan hendak meledak, ia
bergerak hendak menerkam keponakannya. Akan tetapi
Cocak Prahara dengan segera menghalanginya. Katanya
memperingatkan : "Jangan terbagi perhatianmu! Mungkin ini suatu tipu
muslihat untuk memberi kesempatan kepada bocah itu
agar bisa melarikan diri."
Cocak Ijo tersadar oleh peringatan itu. Cepat ia
menguasai diri dan duduk kembali di atas kursinya. Dan
pada saat itu, kesan cemas yang terbayang diwajah
Lingga W isnu telah lenyap. Serangan senjata bidik Sekar
Prabasin i memberi ilham kepadanya, di hati :
'A kh, benar! Kenapa aku tidak menggunakan senjata
bidik saja sebagai gant i sebilah pedang" Dalam hal
melepaskan senjata bidik, aku masih berada di atas
kepandaian paman Bondan Sejiwan. Bukankah aku
mengenakan pula baju mustika pemberian Ki Ageng
Gumbrek" Kenapa aku tidak membiarkan saja kena
hajaran mereka beberapa kali" Dengan begitu aku
mempunyai kesempatan untuk menggempur mereka dan
memecahkan ilmu gabungan mereka.'
Dengan pikiran demikian, dalam sekejab saja berseriserilah wajahnya. Terus saja
ia berbangkit dari kursinya
dan berkata memutuskan : "Cukup! Aku sudah cukup beristirahat! Silahkan kalian
mulai!" 0ooo-d-w-ooo0 1. Pecahnya Ilmu Panca Sakti
Itulah keputusan yang mengejutkan, karena lebih
cepat dari w aktu yang telah ditentukan. Beberapa tetamu
berteka-teki. Akan tetapi Cocak Prahara bersikap acuh
tak acuh. Mereka segera memerintahkan anak buahnya
untuk menukar dengan pelita-pelita baru. Kursi-kursi pun
segera dipinggirkan. Kata Lingga W isnu :
"Marilah kita tentukan dahulu syarat syarat menang
dan kalahnya." "Syarat menang kalah bagaimana?" Cocak Prahara
menegas. "Bagaimana kalau pihakmu yang kalah dan aku yang
menang?" "Hmm Kalau engkau menang, bawalah emas yang kau
kehendaki!" sahut Cocak Prahara. "Sebaliknya
apabila engkau tak berhasil, tak usah dibicarakan lagi."
Lingga W isnu t ahu akan arti perkataan itu. Jika kalah,
artinya jiwanya tak tertolong lagi. Sebaliknya apabila
menang, mungkin sekali mereka mempunyai dalih untuk
menyangkal. Maka katanya :
"Kalau begitu, bawalah emas itu ke mari. dahulu.
Tumpuklah dihadapanku. Bila aku menang, segera akan
membawanya pulang." Heran Cocak Prahara mendengar ucapan Lingga
W isnu. Terang sekali, ia sudah terkepung rapat. Kenapa
masih bisa mengharapkan kemenangan" Apakah pegangannya" Sedangkan Bondan Sejiwan yang berkepandaian tinggi pun tidak manpu meloloskan diri
dari ilmu-gabungan Panca-sakti yang dahsyat luar biasa.
Oleh pertimbangan itu, mereka menganggap ucapan
pemuda itu terlalu sombong. Dan mungkin sekali hanya
untuk menghibur diri sendiri.
Ilmu-gabungan Panca-sakti memang merupakan
pusaka andalan keluarga Dandang Mataun sejak puluhan
tahun yang lalu. Ilmu-gabungan itu dipersiapkan apabila
menghadapi musuh sebanyak empatpuluh atau limapuluh orang. Selamanya belum pernah gagal. Dan
sekarang, ilmu gabungan itu dilakukan untuk
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi seorang. Maka bisa dimengerti apa sebab
mereka menganggap bahwa ucapan Lingga W isnu terlalu
sombong dan tak masuk akal.
Sebenarnya, ilmu-gabungan Panca-sakti itu perlu
diperlihatkan apabila dalam keadaan terpaksa. Mereka
khawatir akan dijiplak orang. Tetapi karena Lingga W isnu
terlalu tangguh bagi mereka, maka satu-satunya jalan
untuk mengalahkannya hanyalah dengan menggunakan
ilmu gabungan tersebut. Mereka menebalkan mukanya
karena hal itu berarti main keroyok terhadap seorang
musuh. Persetan semua ejekan yang bakal terjadi. Bagi
mereka yang penting adalah menang. Dengan begitu
kewibawaan keluarga Dandang Mataun tidak akan runtuh
di dalam pergaulan. "Hai, Prabasini!" kata Cocak Prahara dengan
membusungkan dadanya. "Bawalah kantong emas itu
kemari. Ingin aku tahu, clia bisa berbuat apa terhadap
keluarga Dandang Mataun!"
Dalam hati, Prabasin i menyesali diri sendiri. Jika
tahu bakal begini jadinya,
pastilah dia akan mengembalikan kantong emas itu tatkala Lingga W isnu datang memintanya.
Sekarang, pemuda itu dipaksa mempertaruhkan jiwanya. Itulah suatu hal
yang tidak dikehendaki. Sekarang tak dapat ia berbuat lain kecuali patuh kepada
perint ah pamannya. Maka dengan lesu ia mengambil
kantong emas yang disimpannya. Kemudian ditaruh
diatas meja didalam ruang gedung.
"Jangan kau letakkan diatas meja!" tegur Cocak Fawa.
"Sontakkan diatas lantai dan aturlah seperti peta!"
Dengan tetap berdiam diri, Sekar Prabasini menyentak
kantong enas itu. Kemudian mengatur potonganpotongan enas itis sedemikian rupa
sehingga mirip gambar dunia. Dan setelah beres, berserulah Cocak
Prahara berlima dengan berbareng :
"Mari k ita mulai!"
Merekapun dengan serentak menghunus senjata
masing-masing. Lingga W isnu segera bersiaga pula. Akan
tetapi tatkala hendak bergerak, tiba tiba terdengarlah
suara tertawa bergelagak. Dan terdengar seseorang
berkata dengan suara nyaring :
"Saudara Cocak Prahara. Kami Anjar Semaja datang
mengunjungi kalian, untuk menanggung dosa!"
Cocak Prahara berlima terperanjat. Anjar Semaja
adalah pemimpin gerombolan penyamun yang bergerak
antara wilayah Paron sampai Kediri. Kenapa dia datang
tempa diundang?" "Silahkan masuk, saudaraku yang baik!" terpaksa
Cocak Prahara mengundangnya masuk.
Belasan orang lantas saja masuk gedung olah raga
saling susul. Perawakan mereka tak rata. Ada yang tinggi
besar, pendek, gencut dan kurus. Tetapi yang berjalan
didepan adalah Anjar Semaja, pemimpin gerombolan
Awu-awu langit yang termashur. Pengaruh dan
kewibawaannya tidak di bawah tataran keluarga
Dandang Mataun. Pada saat itu, Lingga W isnu berpaling kepada Sekar
Prabasin i. Gadis itu nampak mencoba menenangkan diri
meskipun wajahnya tegang Maka teringatlah dia kepada
perbuatan Sekar Prabasini t atkala membunuh Jumali dan
kawan kawannya di atas perahu. Mungkin sekali yang
datang sekarang ini, adalah pemimp innya, untuk
membuat perhitungan. Cocak Prahara menyambut kedatangan Anjar Semaja
dan mempersilalnkan duduk. Bertanya mint a keterangan:
"Saudara Anjar, sahabatku. Tengah malam buta
engkau mengunjungi gubuk kami. Sebenarnya apakah
maksudmu" Ha, kulihat pula rekan Buyut Sodana datang
pula. Ai , benar-benar suatu kehormatan besar bagi kami.
Setelah berkata demikian, Cocak Prahara membungkuk hormat kepada seorang tamu yang berada
dibelakang Anjar Semaja. Orang itu pesolek. Usianya
kurang Lebih empat puluh tahun. Ia berpakaian rapih.
dan kedua alisnya dicelak sehingga mirip anak ningrat
yang doyan perempuan. Dengan tertawa biesar, Anjar Semaja membalas
teguran Cocak Prashara. Katanya setengah berseru :
"Saudara Cocak Prahara, kau berbahagia sekali! Kau
mempunyai seorang keponakan perempuan yang berotak
cerdas dan berkepandaian tinggi. Sehingga Jumali dan
beberapa kawannya roboh ditangannya. Aku jadi
kehilangan pamorku .."
Heran Cocak Prahiara mendengar ucapan Anjar
Semaja. Dia dan keempat saudaranya sebenarnya belum
memperoleh laporan tentang sepak terjang Sekar
Prabasin i berlawan-lawanan dengan pihak Awu-awu
Langit. Belasan tahun lamanya terjadi suatu kerja sama
antara pihak Awu-awu Langit dan keluarga Dandang
Mataun. Didalam kebanyakan hal kedua pihak saling
membagi pekerjaan dan rezeki. Sekarang, Cocak Prahara
tengah menghadapi seorang lawan tangguh. Maka tak
ingin ia membuat. persoalan baru. Sahutnya dengan
sabar : "Sahabat, sebenarnya apakah yang telah di lakukan
oleh keponakanku t erhadapmu" Percayalah bahw a kami
tidak akan melindungi pihak yang salah. Siapa yang
berhutang jiwa harus dibayar dengan jiwa pula.
Sebaliknya, siapa yang berutang uang, harus dibayar
dengan uang pula. Bukankah demikian?"
Anjar Semaja tidak mengetahui latar belakang
persoalan keluarga Dandang Mataun. Ia tak pernah
menduga, bahwa pada saat itu Cocak Prahara berlima
sudah memandang Sekar Prabasin i sebagai musuh yang
harus disingkirkan. Karena itu, dia heran mendengar
kata-kata Cocak Prahara. Pikirnya di dalam hati :
'Benar-benar mengherankan! Kenapa si t ua bangka itu
yang biasanya sombong dan tak memandang mata
kepada siapapun, kali ini pandai berbicara" Apakah
karena dia takut menghadapi rekan Buyut Sedana"'
Dengan pikiran itu, ia menebarkan penglihatannya.
Tatkala melihat Lingga W isnu berada diant ara keluarga
Dandang Mataun, rasa herannya kian bertambah.
Bukankah pemuda itu yang dilaporkan sebagai seorang
pendekar muda-belia yang berkepandaian t inggi" Diapun
disebut pula sebagai sahabat Sekar Prabasin i. Maka
kembalilah ia berpikir di dalam hati :
"T ua bangka ini mempunyai seorang pembantu yang
hebat sekali. Aku rasa, Buyut Sodana, pun tak akan
sanggup melawannya. Akh, baiklah aku berjaga-jaga.
Mungkin dia sedang mengadakan tipu daya. Dia bersikap
halus dan lapang. Biarlah akupun bersikap demikian
pula.' Oleh rasa pertimbangan itu segera ia berkata
dengan suara tenang : "Kami, pihak Awu-awu Langit, belum pernah bentrok dengan pihakmu. Karena itu,
dengan memandang keangkaran kalian berlima, biarlah kuselesaikan persoalan Jumali. Aku anggap saja kematiannya terjadi
oleh kepandaiannya sendiri yang masih dangkal. Hanya
saja, mengenai emas itu," ia berhenti sebentar
mengarahkan pandangnya kepada beberapa puluh
potong emas yang tergelar di atas lantai. Meneruskan:
"Kami telah mengikut i barang itu berpuluh-puluh
kilometer jauhnya. Kami telah membuang tenaga dan
beaya yang tak sedikit. Malahan kami kehilangan jiwa
pula. Demi untuk melangsungkan hidup kami, maka ..."
Anjar Semaja tidak menyelesaikan perkataannya.
Cocak Prahara mengikut i pandangnya. Begitu melihat
pandang Anjar Semaja berada pada potongan emas,
hatinya jadi lega. Jadi kedatangan Anjar Semaja bukan
untuk mengadakan perhitungan balas dendam. Kalau
hanya soal emas saja malah kebetulan. Mereka bisa
diperkaitkan dengan Lingga W isnu. Maka katanya dengan
suara terbuka : "Emas yang saudara sebutkan berada disini. Ambillah
jika saudara menghendaki! Kami tidak akan menghalangi." Kembali lagi Anjar Semaja heran mendengar ucapan
tuan rumah. Kenapa ketua keluarga Dandang Mataun itu
demikian baik budi kali ini" Ia tadi menyangka buruk
kepadanya. Dengan cermat ia mengamat-amati wajah
Cocak Prahara. Benar benar orang itu berkata dengan
sungguh hati sehingga oleh kesan itu, ia menjawab :
"Saudara Cocak Prahara! Aku harus tahu diri. Aku
tidak mau mengambil seluruhnya. Bila kau idzinkan
mengambil separo saja, kami semua akan menghaturkan
rasa terima kasih yang tak terhingga. Emas itu
sesungguhnya akan kubuat menunjang keluarga yang
kehilangan jiwa serta untuk merawat mereka yang lukaluka."
"Silahkan! Silahkan ambil sendiri!" Cocak Prahara
menyetujui. Anjar Semaja bangkit dari kursinya dan membungkuk
hormat. Setelah mengucapkan terima kasih, segera ia
memberi isyarat tangan kepada anak buahnya untuk
memunguti emas yang bertebaran diatas lantai. Akan
tetapi baru saja tangan mereka meraba potongan emas,
tiba-tiba suatu kesiur angin menolaknya. Mereka
terdorong mundur. Agar jangan sampai roboh terjengkang, terpaksalah mereka mundur lagi beberapa
langkah. Dengan serentak mereka menoleh, dan
dihadapan-nya berdiri Lingga Wisnu yang berkata kepada
Anjar Semaja dengan tenang :
"Paman Anjar Semaja! Emas ini sesungguhnya uang
perbekalan tentara Panglima Sengkan Turunan Karena
itu apabila kau rampas, akan besar akibatnya dikemudian
hari." Nama panglima Sengkan Turunan pada waktu itu
sangat t ermashur. Akan tetapi, bagi Anjar Semaja, yang
biasa hidup bermajikan atas dirinya sendiri, tidak
mengacuhkan. Nama Panglima Sengkan Turunan tiada
pengaruhnya sama sekali. Sambil tertawa melalui
dadanya, ia menoleh kepada Buyut Sodana. Katanya :
"Hai, kau dengar sendiri" Kita akan digertaknya
dengan nama Panglima Sengkan Turunan!"
Buyut Sodana membawa sebatang pipa panjang mirip
alat penghisap candu. Rokok buatannya sendiri sebesar
ibu jari dihisapnya perlahan-lahan dan asapnya
dikepulkan ke udara beberapa kali. Sikapnya tenang
sekali dan tiada niatnya untuk menyahut ucapan Anjar
Semaja. Dia hanya mengerling. Kemudian menatap
wajah Lingga W isnu. Lingga W isnu membalas pandangnya. Buyut Sodana
yang berusia pertengahan itu, berkesan angkuh dan
agung-agungan. Ent ah apa sebabnya, mendadak saja,
memperoleh kesan dengki kepadanya. Akan tetapi
apabila melihat pandang matanya memiliki sinar tajam
dan raut muka yang bersemu kemerah-merahan,
percayalah dia, bahw a orang itu pastilah seorang
pendekar atau berandal yang berkepandaian tinggi.
Karena itu, tak berani memandang ringan. Dengan
mengangguk ia berkata rendah hati :
"Apakah paman ikut campur pula dalam soal ini"
Siapakah nama paman" Karena aku baru saja merant au,
belum memperoleh kesempatan mengenal nama paman"
Buyut Sodana t idak menjawab. Ia mengepulkan asap
rokoknya. Dan kali in i mengarah wajah Lingga W isnu
dengan tepat. Dan tatkala menghisap rokoknya untuk
yang kedua kalinya, ia mempermainkan asapnya diant ara
kedua lubang hidungnya. Seperti dua ekor ular keluar
dari lubang persembunyiannya, asap rokok itu berlenggat
lenggot mendaki tinggi. Menyaksikan lagaknya, sama
sekali Lingga W isnu tidak menjadi sakit hati. Sebaliknya
Sekar Prabasin i hendak menegurnya. Tapi pada saat itu
juga, Sekarningrum yang berada disampingnya, menggamit pundaknya agar menguasai diri.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Prabasin i menoleh. Ia melihat ibunya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. Sebagai
seorang gadis cerdas, tahulah ia artinya. Meskipun
hatinya mendongkol, terpaksalah ia menahan diri.
Dalam pada itu, Buyut Sodana sedang membuang sisa
rokoknya. Kemudian mengetuk-ketukkan mulut pipanya
yang panjang hendak membuang sisa abu dan
tombakau. Setelah itu ia menggulung rokoknya yang
baru dan disematkan pada pipanya. Lalu dinyalakannya.
Kemudian kembali lagi ia menghisapnya dengan nikmat.
Dan menyaksikan lakunya yang dibuat-buat itu, Cocak
Prahara berlima menjadi tak sabar lagi. Namun karena
Buyut Sodana adalah seorang pendekar kenamaan
semenjak beberapa puluh tahun yang lalu, sedapatdapatnya mereka mengendalikan
diri. Ilmu sakti Buyut Sodana bernama Kuntul Haneba. Dua
puluh tahun lebih, ia merajalela di Jawa Timur tempa
tandingan. Senjata andalannya yang berbentuk sebatang
pipa panjang, mempunyai daya kerja yang istimewa.
Kecuali dapat dibuat menikam, bisa pula unt uk menggaet
senjata lawan. Namun selama itu, keluarga Dandang
Mataun belum pernah menyaksikan sendiri kegagahannya. Percaya kepada kabar ketangguhannya,
mereka berharap agar dia bent rok dengan Lingga W isnu.
Syukur apabila pemuda itu dapat dikalahkan. Dengan
begitu, mereka tidak usah menerobos tenaga lagi.
Sekiranya tidak berhasil mengalahkannya, set idaktidaknya tenaga pemuda itu akan
berkurang. Buyut Sodana menyalakan api dan menyulut rokoknya,
yang agaknya belum terbakar penuh. Selagi demikian,
tiba-tiba melesatlah sesosok bayangan ke dalam ruang
gedung sambil berseru: "Kembalikan emasku!"
Bayangan itu mendarat diatas lantai dengan manis
sekali. Temyata dia seorang gadis. Hanya selisih
beberapa detik, mendarat pulalah seorang pemuda yang
berperangai kasar. Kemudian seorang laki-laki berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Ia berdandan sebagai
seorang pedagang. Roman mukanya berkesan lucu.
Lingga W isnu sudah mengenal gadis itu. Dia adalah
Suskandari. Ia girang berbareng khawatir dan kaget. Ia
girang karena kedatangannya berarti membantu dirinya.
Hanya saja, ia belum mengetahui betapa kepandaian
kedua kawan yang di bawanya. Iapun khawatir
memikirkan Sekarningrum dan Sekar Prabasini. Semenjak
mereka berdua menentang keluarganya, pastilah Cocak
Prahara berlima tidak akan bersegan-segan menganggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Disamping Cocak Prahara berlima,
terdapat gerombolan Awu-awu Langit dan Macan
Kumbang. Pengsn demikian, ia harus berlawan-lawanan
dengan tiga kelompok musuh yang tangguh. Kecuali
harus bisa membela diri, iapun perlu melindungi
Sekarningrum dan Sekar Prabasini. Sekiranya kedua
kawan Suskandari itu hanya berkepandaian sedang saja,
ia bisa membayangkan betapa dirinya akan dibuatnya.
sibuk. Benar-benar suatu keadaan yang tidak menggembirakan. Pada w aktu itu, beberapa anggaut a keluarga Dandang
Mataun lantas saja menghadang Suskandari dengan
kedua kawannya. Dan pemuda yang berada dibelakang
Suskandari lantas saja berteriak menegor :
"Hai! Apa-apaan ini" Hayo, kembalikan emas kami!"
Setelah menegor demikian, pemuda itu lantas saja
menaiki lantai hendak memunguti potongan-potongan
emas yang nampak bertebaran. Dan menyaksikan hal itu,
Lingga W isnu jadi prihatin. Pikirnya didalam hati :
"Akhl Dia pemuda yang sembrono! Pemuda begitu
tentu tak dapat diharapkan bisa melakukan suatu
pekerjaan besar." Cocak Kasmaran melihat pemuda itu membungkuk,
hendak memunguti potongan-potongan emas. Segera ia
mengayunkan kakinya hendak menendang tangan.
"Kakang Puguh Karimawan! Awas!'' Suskandari
memperingatkan, begitu melihat gerakan kaki Cocak
Kasmaran. Meskipun seorang pemuda semberono, tetapi ia
bermata tajam dan sebat. Ia melompat ke samping untuk
mengelakkan tendangan Cocak Kasmaran. Setelah itu ia
membalas menyerang dengan kedua tangannya. Tentu
saja Cocak Kasmaran tidak sudi mengalah. lapun
membela diri dan menangkis dengan kedua tangannya
pula. Pres! Empat tangan bentrok dengan menerbitkan
suara. Kemudian kedua-duanya terpental mundur
beberapa langkah. Pemuda itu menjadi penasaran. Ia maju lagi hendak
merfeilangi serangannya. Tiba-tiba orang berdandan
sebagai saudagar itu menyanggah :
"Harimawan! Tahan dahulu!"
Sekarang tahulah Lingga W isnu siapa pemuda itu.
Dialah kawan Suskandari yang ikut mengawal emas
perbekalan laskar Panglima Sengkan Turunan. Bukankah
Suskandari menerangkan bahwa emas itu kena dirampas
Sekar Prabasini setelah berpisah dari kawannya" Pemuda
semberono itu jadinya Puguh Harimawan, keponakan
Aria Puguh. Kalau begitu orang yang berdandan sebagai
pedagang itu, pastilah kakak seperguruannya sendiri:
Botol Pinilis. Memperoleh dugaan demikian, ia. memperhatikan
pedagang itu. Dia bersenjata sebatang cempuling pendek
semacam tongkat yang berujung tajam. Dan melihat
senjata itu, ia tak bersangsi lagi. Dengan gembira ia
melompat menghampiri pedagang itu, kemudian membungkuk hormat. Serunya dengan suara tegar:
"Kakang! Terimalah sembah hormat adikmu Lingga
W isnu!" Pedagang itu terbelalak. Segera ia menyambar kedua
tangan Lingga W isnu yang membuat sembah. W ajahnya
berseri-seri oleh rasa girang sekali. Sahutnya :
Lingga W isnu! Hai, apakah engkau adik seperguruanku" Kau masih begini muda belia. Akh,
benar-benar tak pernah aku sangka, bahwa kita akan
bertemu di sin i. Membayangkan atau bermimpi pun
tidak!" Suskandari menghampiri Lingga Wisnu. Berkata :
"Kakang! Inilah dia kakang Puguh Harimawan yang
kukatakan kepadamu."
Suskandari memperkenalkan si sembrono, dan Lingga
W isnu menoleh kepada, pemuda itu dan memanggut
kecil. Menyaksikan anggukan kecil itu, Puguh Harimawan
tak senang hati. "Hai, Harimawan! Kenapa engkau tak tahu tatasant un?" Tiba-tiba Botol Pinilis
menegur muridnya : "Bersembahlah kepadanya. Dialah pamanmu!"
Puguh Harimawan semakin merasa tak senang hati.
Bukankah Lingga W isnu lebih muda dari padanya"
Kenapa dia harus bersembah" Namun karena diperint ah
gurunya, mau tak mau segera ia menghampiri dan
hendak membuat sembah. Sembah itu dilakukan dengan
berat sekali. "Jangan! Tak usah engkau bersembah kepadaku,"
cepat Lingga W isnu mencegah dan menghalangkan
kedua tangannya. Puguh Harimawan yang telah setengah berlutut,
segera menegakkan kakinya kembali. Dia hanya
membungkuk pendek seraya memanggil paman kepada
Lingga W isnu. Katanya : "Saudara paman, terimalah hormatku ..."
"Apa itu saudara paman?" tegur Botol Pinilis.
"Meskipun usiamu lebih tua dari dia, akan tetapi t ataran
kedudukannya berada di atasmu. Dia seangkatan dengan
diriku." Merah wajah Puguh Harimawan kena tegur gurunya.
Lingga W isnu tertawa. Katanya dengan manis :
"Panggil saja aku paman kecil. Kalau perlu istilah
saudara pamanpun boleh."
"Y a, paman kecil ... eh, saudara paman ... eh, paman
kecil ..." sahut Puguh Harimawan terbata-bata .
Buyut Sodana mau tak mau harus menjadi penonton
saja, dalam menyaksikan tata-sant un pertemuan adik
dan kakak seperguruan serta keponakan murid dengan
paman gurunya. Kalau tadi dia memaksa orang agar
bersabar kepadanya, sekarang dialah yang kehilangan
kesabarannya. Ia mendongkol pula, karena menganggap
pekerti mereka tak memandang mata kepadanya. Sertamerta kedua matanya mencilak.
"Kamu semua in i orang-orang macam apa sebenarnya?" tegurnya dengan tinggi hati.
Teguran ini membuat semua orang heran dan kaget.
Akhirnya dia sudi pula membuka mulut dan ternyata
suaranya nyaring luar biasa, seperti teriakan burung
kakak tua. Gelombang suaranya tajam sekali menusuk
pendengaran. Akan tetapi Puguh Harimawan tak
mengenal takut. Dia maju selangkah seraya menyahut
dengan suara sengit : "Emas ini adalah emas kami. Kenapa kamu curi"
Karena itu, terpaksa aku mengajak guruku kemari untuk
mengambilnya kembali!"
Buyut Sodana tertawa melalui h idungnya dan sambil
mengepulkan asap rokoknya. Keruan saja Puguh
Harimawan mendongkol melihat lagaknya sehingga ia
berkata lagi : "Coba katakan terus terang, sebenarnya kau hendak
kembalikan atau t idak" Kalau t idak, hayo maju semua!
Buyut Sodana tertawa dua kali. Suara tertawanya pun
aneh pula. Kemudian menoleh kepada Anjar Semaja.
Katanya dengan mengangkat kepala:
"Coba beritahukan kepada budak ini, siapa aku
sebenarnya!" Anjar Semaja melakukan perint ahnya. Katanya :
"Inilah tuanku Buyut Sodana yang termashur
namanya. Kau masih muda belia seumpama belum
pandai beringus. Nah, bersembahlah kepadanya!"
Tentu saja Puguh Harimawan belum mengenal siapa
Buyut Sodana" Dia mendengar pula bahwa dirinya harus
menyembah orang itu. Lantas saja dia mendengus.
Sahutnya dengan sikap t ak perdulian :
"Aku tak perduli buyut buyutan
segala. Kami datang kemari untuk mengambil kembali emas kami." Tiba-tiba Cocak Kasmaran yang masih panas hati, maju
selangkah sambil berkata mengejek : "Eh, enak saja kau ngoceh Seperti burung. Kau
hendak mengambil emasmu kembali" Masa begitu gampang! Jika engkau mempunyai
kepandaian, kau layani aku dahulu! Kalau sudah, barulah
kita berbicara!" Tak usah dikatakan lagi, Cocak Kasmaran sudah
mencanangkan diri dan menant ang Puguh Harimawan
dengan terang-terangan. Belum lagi mu lut nya
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkam, tangannya sudah melayang. Dia ternyata
seorang berangasan yang ringan tangan.
Itulah serangan mendadak yang sama sekali tak
terduga. Dan pundak Puguh Harimawan terhajar telak.
Buk! Keruan saja sikasar itu murka bukan main. Segera
ia membalas menerang. Tangan kirinya menyambar
dengan cepat sekali. Serangannya mengenai perut. Bluk!
Cocak Kasmaran membungkuk karena perutnya jadi
mules. Dengan begitu kedua-duanya sama-sama kena
gebuk. Beberapa detik kemudian mereka lant as berkelahi
rapat seperti kambing. Kedua-duanya panas hati dan sengit. Lantas saja
terdengar suara blak-bluk-b lak-b luk yang gencar sekali.
Mereka saling mengamuk. Karena menuruti hati panas,
mereka t idak manperdulikan pembelaan diri lagi. Mereka
memukul awur-awuran dan tak pernah gagal pada
sasarannya. Dan menyaksikan hal itu, diam-diam Lingga
W isnu menghela napas. Pikirnya di dalam hati :
'Kenapa murid kakang Botol Pinilis begini tolol"
Seumpama menghadapi musuh tangguh, dengan satu
pukulan saja, dia pasti terjungkal roboh. Apakah kakang
Botol Pinilis tidak pernah memberi petunjuk-petunjuk"'
Puguh Harimawan bertubuh kuat dan gagah. Hatinya
jujur. Tetapi perangainya keras dan sembrono. Botol
Pinilis menerimanya sebagai murid karena kejujurannya
dan keadaan tubuhnya yang kuat. T etapi karena berhati
keras dan Semberono, pemuda itu tidak begitu cermat
menekuni ilmu tata berkelahi. Sekian tahun lamanya ia
menjadi murid Bot ol Pinilis, tetapi belum juga mewarisi
dua bagian kepandaian gurunya. Sebenarnya, dibandingkan dengan kepandaian Cocak Kasmaran ia
kalah jauh. Syukur tubuhnya kuat, serta tahan sakit
Sedang Cocak Kasmaran berkelahi hanya menuruti
perasaan hatinya, seakan-akan kalap. Sehingga pukulanpukulannya terjadi asal
saja. Demikianlah, mereka berdua terus saling gebuk makin
lama makin hebat. Kemudian tibalah pertempuran itu
pada babak akhir. Dengan tinju kanan, Puguh
Harimawan menggempur Cocak Kasmaran. Cepat-cepat
Cocak Kasmaran mengelakkan diri kekiri. Diluar dugaan,
tangan kiri Puguh Harimawan menyambar dengan suatu
kecepatan luar biasa. Serangan ini tak dapat dielakkan.
Cocak Kasmaran kena terhajar keras sekali. Tubuhnya
terbanting dan jatuh terkapar di atas lantai dengan tak
sadarkan diri. Kemenangan ini membuat hati Puguh Harimawan
besar dan girang sekali. Ia berbangga hati karena bisa
merobohkan lawannya. Dengan mengharap pujian, ia
menoleh kepada gurunya. Ia heran dan kaget tatkala
melihat wajah gurunya merah padam menahan rasa
amarah. 'Hai, kenapa guru bergusar kepadaku"
Bukankah aku menang"' pikirnya menebak-nebak.
Suskandari menghampiri kakak seperguruannya.
W ajah sang kakak bengap dan kuping kanannya
berdarah. Segera ia menyusuti dengan sapu t angannya.
Kata Suskandari setengah berbisik:
"Kenapa engkau sama sekali tidak mengelak satu
pukulanpun" Kenapa engkau melawan keras dengan
keras?" "Untuk apa aku mengelak?" sahut Puguh Ha-rimawan.
"Kalau aku main elak, pastilah aku tak akan berhasil
menghajarnya ..." Tiba-tiba terdengarlah suara Buyut Sodana yang
nyaring luar biasa : "Janganlah engkau terlalu cepat berbesar hati, setelah
dapat merobohkan seorang lawan. Eh, anak apakah
engkau benar-benar menghendaki emas itu?"
Setelah berkata demikian, Buyut Sodana. melompat
dan mengekangi deretan emas yang berserakan di atas
lantai. Katanya dengan membusungkan dada :
"T ak peduli engkau menggunakan tinju atau
dupakanmu Asal saja engkau mampu menggeserkan
kakiku, emas yang berada dibawahku boleh kau ambil
semua!" Semua yang mendengar ucapan Buyut Sodana
tercengang. Alangkah terkebur orang itu! Tak usah
dikatakan lagi, Puguh Harimawan mendongkol bukan
main. Sahutnya dongan sengit :
"Apakah mulutmu dapat aku percaya" Benarkah
ucapanmu sudah kau pikirkan panjang panjang" Janganjangan engkau menyesal!"
Buyut Sodana tertawa dengan mengangkat kepala.
Berkata kepada Anjar Semaja :
"Apakah bocah ini waras ot aknya" Dia berkata, aku
bakal menyesal. Lucu, tidak?"
Anjar Semaja tidak menyahut. Dia hanya jadi tertawa
kering. Keruan saja hati Puguh Harimawan mendongkol
bukan main. Teriaknya : "Akan kucoba!" Si sembrono Menghampiri Buyut Sodana dekat dekat.
Kemudian mengerahkan seluruh tenaganya dan mengayunkan kakinya, menghantam kaki Buyut Sodana.
Lingga W isnu yakin, bahwa tendangan Puguh
Harimawan mempunyai daya berat dua atau tiga ratus
kati. Tidak perdiuli betapa kuat Buyut Sodana, ia pasti
kena geser. Kecuali apabila d ia mempunyai ilmu gaib
diluar nalar manusia. Oleh pertimbangan itu, ingin ia
menyaksikan kesudahannya.
Pada saat kaki Puguh Harimawan hampir tiba pada
sasarannya, tiba-tiba dengan sebat sekali Buyut Sodana
menggerakkan pipa panjangnya memapak tendangan
kaki yang hampir tiba pada sasarannya. Tak! Tepat sekali
ujung pipanya mengenai lut ut. Dan Puguh Harimawan
roboh dengan gaya berlut ut. Kakinya menjadi kejang dan
tak bertenaga lagi. Buyut Sodana membungkuk membalas hormat Puguh
Harimawan sambil berkata :
"Hai! Hai! Jangan bersujut kepadaku demikian rupa!
Tak berani aku menerima sembahmu!"
Bukan main rasa hati Puguh Harimawan. Pada
pemuda itu seolah-olah terasa hendak meledak. Itulah
suatu hinaan besar baginya. Namun ia tak bertenaga
lagi. Diluar kehendaknya sendiri, tubuhnya mei bungkukbungkuk seakan-akan sedang
membuat sembah. Suskandari terperanjat menyaksikan hal itu. Cepat-cepat
ia menghampiri kakak seperguruannya. Kemudian
memajangnya dan dibawanya menghadap kepada
gurunya. Kata gadis itu dengan suara meminta :
"Paman. Orang itu harus paman hajar biar jera!"
Puguh Harimawan yang mendongkol karena kina
diingusi, mendamprat : "Kau manusia busuk! Kau menggunakan akal bulus!
Kau bukannya seorang pendekar!"
Botol Pinilis memijat pinggang dan punggung
muridnya. Setelah itu memijit pahanya pula. Sambil
memijat-mijat, ia berkata dengan perlahan :
"Masih beran ikah engkau semberono di kemudian
hari?" Si semberono memburigkam mulut . Namun ia
bersyukur karena tenaganya pulih kembali oleh pijatan
gurunya. Dan menyaksikan hal itu, diam-diam Buyut
Sodana kagum terhadap si pedagang sama sekali tak
diduganya, bahwa dengan suatu pijitan saja, bocah itu
dapat dipulihkan tenaganya. Dan selagi ia keheranan,
tiba-tiba Botol Pinilis berkata kepadanya :
"Ini sudah masuk perhitungan."
Dan setelah berkata demikian, tangan kanannya
menarik cempulingnya. Jelaslah sudah, bahwa ia hendak
maju untuk menolong kehormatan muridnya. Dan
melihat dia maju, Lingga W isnu berpikir di dalam hati:
"Kakang Botol Pinilin adalah murid aliran Sekar T eratai
yang tertua. Aku adalah adiknya. Dan sudah selayaknya
kalau aku yang maju terlebih dahulu." Dan memperoleh
pikiran demikian, ia segera berseru kepada Botol Pinilis :
"Kakang, biarlah aku dahulu yang maju. Bila tak
berhasil, baru nanti kakang menggantikan."
"Jangan! Biar aku saja yang maju." jawab Botol Pinilis
dengan perlahan. Botol Pinilis berbimbang-bimbang untuk mengidzinkan
adik seperguruannya mewakili dirinya. Adik seperguruannya itu masih muda. W alaupun gurunya
kabarnya telah mewariskan semua ilmunya dengan
sempurna, namun ia masih mengkhawatirkan akan masa
latihannya. Kecuali itu, pastilah dia mempunyai
pengalaman. Menghadapi Buyut Sodana yang sudah
banyak makan garam, bukanlah tandingnya. Kecuali itu,
ia tahu bahwa gurunya sangat sayang kepada muridnya
yang terakhir itu. Bila sampai terluka, pastilah gurunya
bakal berduka. Dia akan ditegur karena dikiranya tidak
melindungi. Bila sampai demikian halnya, ia akan
menanggung malu seumur hidupnya. Kalau tadi ia
membiarkan Puguh Harimawan mencoba mengadu
untung, itulah disebabkan semata-mata untuk memberi
pelajaran kepada muridnya yang semberono itu, agar
dikemudian hari bisa berhati-hati. Dia berharap, agar
dengan pengalaman itu, muridnya yang semberono itu
menjadi sadar akan kekurangannya. Dan ia akan belajar
dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, Lingga W isnu tak mau mengerti
pertimbangan kakak seperguruannya itu. Katanya
dengan perlahan pula : "Kakang. Dipihak mereka terdapat banyak orangorang pandai. Sedangkan barisan
ilmu gabungan Pancasakti keluarga Dandang Mataun, sangat berbahaya.
Mungkin sekali sebentar lagi akan terjadi suatu
pertempuran dahsyat. Kakang seumpama seorang
panglima perang yang memegang pucuk pimpinan. Maka
sebelum kakang masuk ke gelanggang biarlah adikmu
mencobanya dahulu." Kagum Botol Pinilis mendengar alasan adiknya
seperguruan. Dia masih sangat muda, akan tetapi pandai
memegang tata santun. Ia melihat kesungguhannya
pula. Maka akhirnya dia berkata memutuskan :
"Baik adik, hanya saja hendaklah engkau ber hatihati!"
Lingga W isnu memanggut lalu memut ar tubuhnya.
Perlahan-lahan ia menghampiri Buntut Sodana. Berkata
dengan tenang : "Akupun ingin memperoleh emasku kembali. Bolehkah
aku mencoba untung?"
Buyut Sodana dan rekan-rekannya dari golongan Awuawu Langit heran mendengar dan
melihat Lingga W isnu hendak mencoba untung. Sebentar tadi, Puguh
Harimawan yang bertubuh kekar telah dirobohkan dalam
satu gebrakan saja. Kenapa bocah ini yang usianya
berada dibawah pemuda kekar itu, t idak t ahu diri" Maka
Buyut Sodana menjawab perkataan Lingga W isnu dengan
suara merendahkan : "Baik. Tetapi kau harus berjanji, tidak akan membuat
sembah kepadaku seperti si dogol"
Berkata demikian, ia menghisap pipa panjangnya dan
mengepulkan asap rokoknya yang tebal ke udara. Ia
sudah bersiaga penuh. Dan seperti Puguh Harimawan,
Lingga W isnu menghampiri tiga langkah. Kemudian
mengangkat kaki kanannya hendak menyapu.
Puguh Harimawan yang memperoleh pengalaman
pahit tadi, kaget menyaksikan gerakan kaki Lingga
W isnu. Pekiknya cemas : "Paman kecil, jangan! Dia akan menghantam kakimu
dengan pipanya seperti terhadapku tadi!"
Cocak Prahara berlimapun tidak mengerti apa sebab
Lingga W isnu yang memiliki kepandaian tinggi mencoba
untungnya begitu semberono. Apakah kaki Lingga W isnu
tak mempan kena totok pipa baja Buyut Sodana.
Sebaliknya yang diam-diam bersiaga adalah Botol Pinilis.
Sebab, meskipun dewa sendiri yang mengkisiki, ia takkan
percaya bahwa kaki L ingga W isnu kebal. Maka pada saat
itu, ia sudah mengambil keputusan. Bila Buyut Sodana
kembali lagi menghantamkan pipa baja, segera ia hendak
menolong adik seperguruan itu. Kemudian menyerang
Buyut Sodana yang sombong.
Dalam pada itu kaki Lingga W isnu sudah bergerak
dengan cepat luar biasa. Dan seperti t adi, Buyut Sodana
segera memapaki kaki Lingga W isnu dengan pipa baja.
Di luar dugaan gerakkan kaki Lingga W isnu sebenarnya
hanya suatu gertakan belaka. Pada detik hendak kena
totokan, ia menarik kembali. Sebagai gant inya, ia
menyapu dengan sebelah kakinya yang lain. Buyut
Sodana sudah terlanjur menusukkan ujung pipanya.
Hatinya terkisap tatkala tusukkannya menumbuk udara
kosong. Segera ia sadar akan ancaman bahaya. Tapi
pada detik itu, emas yang dikakangi, sudah kena tersapu
Lingga W isnu. Ternyata Lingga Wisnu tidak hanya puas memperoleh
emas. Gerakkan kakinya terus menyambar mencari
bidikan yang diarahnya. Keruan saja Buyut Sodana
mendongkol bukan main. Mula-mula ia kena diingusi,
sekarang ia diserang dengan t iba-tiba. Maka dengan hati
mendongkol dan panas, ia menikam pant at Lingga
W isnu. Lingga
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
W isnu merendahkan tubuhnya sambil mengelak ke kanan. Kembali lagi kakinya bergerak
menyapu emas. Dan dengan dibarengi serangan tangan
kirinya, berhasillah ia merampas emas lagi. Hal itu terjadi
karena tangan Buyut Sodana sedang bergerak menikam,
sehingga daerah pertahanannya jadi kosong.
Lagi-lagi Lingga W isnu tidak mau sudah dan sekarang,
kaki kirinya yang bergerak. Gerakannya sangat cepat,
sehingga mendahului gerakan lawan sebelum sempat
memperbaiki kedudukannya. Dan untuk yang ketiga
kalinya, ia berhasil menyapu beberapa tumpuk emas lagi.
Dalam waktu yang pendek saja, pemuda itu sudah
berhasil menyapu tiga t umpuk kepingan emas. Dan yang
mengherankan kepingan kepingan emas itu lenyap dari
penglihatan seperti tersulap. Tapi sebenarnya dengan
suatu kecepatan luar biasa, ia berhasil memasukkan
kepingan-kepingan emas itu ke dalam kantong bajunya.
Setelah itu ia berdiri dengan tenang bersiaga
menghadapi segala kemungkinan.
"Biarlah aku nyatakan kepadamu, bahwa aku hendak
mengambil semua kepingan emas yang berada dalam
penjagaanmu," katanya. "Paman Cocak Prahara dan
engkau sendiri bukankah sudah berjanji" Barangsiapa
yang dapat merampas emas yang dalam penjagaanmu,
maka emas itu. boleh menjadi miliknya. Bukankah
begitu?" Pemuda itu tidak menunggu jawaban Buyut Sodana.
Sedang Buyut Sodana sedang menyusun bunyi
jawabannya di dalam hati, Lingga Wisnu sudah bergerak
dengan suatu kesehatan yang mengherankan. Betapa
tidak" karena untuk ke sekian kalinya pemuda itu
berhasil lagi mengantongi emasnya.
Menyaksikan hal itu, Cocak Prahara dengan seluruh
keluarganya kagum bukan main. Tak terasa mereka
memuji kecerdikan dan kesehatan pemda itu. Juga Anjar
Semaja dengan orang-orangnya. Sebaliknya, wajah
Buyut Sodana merah padam. Masakan dia bisa diingusi
seorang pemuda yang belum bisa kencing. Hatinya yang
mendongkol dan penasaran kin i mengandung rasa
dengki luar biasa. Lantas saja tangannya melayang dan
kakinya menendang pergelangan tangan Lingga W isnu.
Itulah salah satu jurus ilmu saktinya yang disegani lawan
dan kawan. Lingga W isnu tak berani lantas menangkis serangan
Buyut Sodana. Ia mundur oleh serangan itu. Kemudian
memperhatikan gerakan dua tangan serta kedua kaki
lawannya. Itulah gerakan seekor burung. Apakah ini
yang dinamakan ilmu sakti Kuntul Haneba seperti tutur-
kata gurunya dahulu"
Menghadapi ilmu sakti Buyut Sodana yang luar biasa
itu, Lingga W isnu tidak berani merapatkan diri. Dia
bergerak dengan berputaran. Setiap kali ia menghindar
atau mengelak, sambil memperhatikan gerakangerakannya. Buyut Sodana jadi kesal. Ia memperhebat4
serangannya. Justru demikian, Lingga W isnu dapat
mengelak atau menghindarkan diri dengan cepat pula.
Tatkala Botol Pinilis melihat cara perlawanan Lingga
W isnu, ia berpikir di dalam hati:
'Bocah ini tidak berani bertempur secara berhadaphadapan. Selalu ia
menghindarkan diri dan tak berani
mencoba mendekati. Agaknya ia hanya mengandalkan
pada kegesitannya semata.'
Buyut Sodana pun berpendapat demikian pula. Dan
memperoleh kesan itu, kesombongannya lantas membersit di dalam hati. Akh, hanya begini saja
kepandaiannya, pikirnya. Lantas ia tertawa terbahakbahak sambil melancarkan
gempuran terus- menerus .
Jelas sekali, bahwa ia mengganggap musuhnya sebagai
lawan yang enteng sekali. Ia lupa, betapa tadi Lingga
W isnu dengan kecepatan yang mengagumkan berhasil
menyapu kepingan, emas yang berada di dalam
penjagaannya. Beberapa saat kemudian, ia mulai menyulut tombakaunya dan menikmati pipa panjangnya. Tapi pada
saat itu, Lingga W isnu sudah bisa memahami letak inti
ilmu kepandaian lawan, diam-diam ia bergirang hati
kesombongan Buyut Sodana, karena kesombongan
kerapkali membawa suatu kelengahan. Dan kesempatan
itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Cepat luar
biasa, tiba-tiba t angan kirinya menyambar hidung.
Karuan saja Buyut Sodana terkejut. Tadi, lawannya
yang kecil itu sama sekali tak berani mendekati dan
menyelonongkan tangan kirinya. Inilah suatu serangan
yang tak terduga-duga. Cepat-cepat ia menangkis tangan
kiri Lingga W isnu dengan pipanya. Dan kakinya
membarengi bergerak menyapu sasaran.
Diluar dugaan pula, kali in i Lingga W isnu tak sudi
menghindar atau mengelakkan diri. Ia membiarkan
kepalanya kena incaran tangkisan pipa. Tapi dengan tibatiba
saja, tangan kanannya menyambar dan mencengkeram pipa itu. Buyut Sodana terkejut. Ia dalam
keadaan kepalang tanggung. Pipanya sudah terlanjur
ditangkiskan dengan cepat dan kuat-kuat. Maka tiada
kesempatan lagi. untuk menariknya. Dan terpaksalah ia
merenggutkan ke atas. Gerakan ini, justru termasuk dugaan Lingga W isnu.
Selagi Buyut Sodana menarik pipanya ke atas, pinggang
kanannya terbuka. Inilah kesempatan yang tak di siasiakan. Sebat luar b iasa,
tangan kirinya menotok t ulang
iganya. Plak! Buyut Sodana menggeliat mundur. Ia terkejut dan
menginsyafi keteledorannya. Akan tetapi sudah kasep.
Tahu-tahu tenaganya pudar dan tubuhnya bergemetar
diluar kehendaknya sendiri. Dan pada saat itu, ia
mendengar suara t ertawa Sekar Prabisin i.
Senang Lingga W isnu mendengar suara tertawa Sekar
Prabasin i. Dan seperti galibnya seorang pemda yang
mendengar suara tertawa seorang gadis yang berkenan
di hatinya, timbul ah gairah hidupnya! Semangat
tempurnya terbangun sekaligus. Terus saja ia menyodorkan pipa yang kena dirampasnya, balik ke
mulut pemiliknya dan api tombakau yang sedang
menyala, menyelamot bibir atas dan kumis. Keruan saja
Buyut Sodana kaget berjingkrak.
"Lingga W isnu, adikku! Jangan bergurau!" seru Botol
Pinilis. Akan tetapi di dalam hatinya, ia kagum
menyaksikan kepandaian adik seperguruannya itu.
Mendengar tegoran kakak seperguruannya, Lingga
W isnu menarik pipanya kembali yang tadi menyelomot
kumis pemiliknya. Kemudian ia meniup api tombakaunya
seolah-olah hendak memadamkan. Tapi karena tiupannya terlalu keras, api tombakau yang menyumpal
lubang pipa justru jadi terbang berhamburan mengenai
wajah Buyut Sodana. Dan kembali lagi Buyut Sodana
berjingkrakan. Botol Pinilis segera melompat memasuki gelanggang.
Melihat Buyut Sodana yang tadi bersikap sombong hati
dan kini kena di selomot seorang pemuda kemarin sore,
mau tak mau membuat dirinya tertawa juga. Namun ia
sadar, Buyut Sodana tidak boleh dibuat gegabah. Maka
cepat cepat ia menolong membebaskan urat-uratnya
yang kejang akibat gempuran Lingga W isnu. Kemudian
menyambar pipa yang masih berada d i genggaman
Lingga W isnu dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Dengan berbuat begitu ia berharap menyudahi adu
kepandaian itu agar tidak jadi berlarut . Bukan karena
takut berlawan-lawan dengan pendekar itu, akan tetapi
hadirnya dipihak Dandang Mataun bisa menambah beban
yang tidak enteng. Sebagai seorang pendekar yang
berpengalaman, ia merasa perlu menarik simpati
terhadap lawannya yang kemungkinan besar bisa
menyeberang ke pihaknya. Buyut Sondana sendiri, tatkala itu masih saja terpukau
oleh' kejadian yang menyakitkan hatinya. Sama sekali ia
tidak menghiraukan masuknya Bot ol Pinilis ke dalam
gelanggang. Tahu-tahu tangan kanannya telah menggenggam pipanya kembali. Selintasan saja ia
melihat betapa sekalian hadirin menertawakannya
dengan nada geli dan merendahkan. Ia benar-benar jadi
merasa terhina. Terus saja ia membant ing pipanya
hancur berentakan. Kemudian dengan langkah panjang
meninggalkan gelanggang. Sebentar saja, ia telah
melint asi p int u keluar dan bayangan tubuhnya lenyap
digelap malam. Anjar Semojo, kawannya sejalan, terkejut melihat
kepergiannya. Buru-buru ia lari mengejarnya hendak
mencegah. Tahu-tahu ia nampak terpental balik
memasuki gedung pertempuran dan mati-matian ia
mencoba mempertahankan diri. Sekalipun demikian,
tetap saja ia t erhuyung mundur beberapa langkah. Maka
jelaslah, bahw a tenaga lontaran Buyut Sodana sesungguhnya bukan sembarangan. W alaupun Lingga
W isnu dapat mengalahkan dengan mudah, namun
tenaga saktinya ternyata mampu melemparkan seorang
pendekar semacam Anjar Semojo, seorang pemimpin
berandal nan disegani lawan dan kawan semenjak
belasan tahun yang lalu. Maka bisa dimengerti, apa
sebab Botol Pinilis bersikap hati-hati terhadapnya.
Ketangguhannya tiada berada dibawah Cocak Prahara
berlima. Cocak Prahara bersaudara kagum menyaksikan
kepandaian Lingga W isnu. Akan tetapi mereka tidak
terkejut. Jauh-jauh tahulah mereka, bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian tinggi. Hanya saja caranya
menjatuhkan Buyut Sodana begitu cepat, benar-benar
diluar dugaan. Sebaliknya, tidaklah demikian kesan anakbuah Anjar Semojo.
Melihat pemimpinnya kena dilontarkan Buyut Sodana, mereka kaget dan panas hati.
Kalau Buyut Sodana yang kena dikalahkan b isa
melontarkan pemimpinnya dengan mudah sampai
mundur sempoyongan, apalagi pemuda itu. Pemimpinnya
bukanlah tandingnya yang berarti, apakah yang
diandalkan, kecuali mengadalkan jumlah banyak. Maka
diam-diam mereka bersiaga menunggu aba-aba.
Dalam pada itu Botol Pinilis heran dan kagum
menyaksikan cara Lingga W isnu tadi merobohkan Buyut
Sodana. Pukulannya itu sendiri, termasuk salah satu
ajaran ilmu perguruannya Sekar Teratai tingkat tinggi.
Tapi yang mengherankan adalah caranya dia membawakan pukulan itu membidik sasarannya. Gerakannya sama dengan gerakan tatkala merebut
kepingan emas yang berada dalam penjagaan Buyut
Sodana. Gerakan demikian, belum pernah ia memperolehnya dari gurunya. Pikirnya di dalam hati :
'Apakah guru pilih kasih" Akh, tak mungkin! Sekalipun
guru sangat kasih kepada muridnya yang bungsu ini,
tidak akan mengajarkan gerakan-gerakan
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bertentangan dan berbeda titik-tolaknya. Gerakan itu
sama sekali bukan gerakan aliran Sekar Teratai. Kalau
bukan, lantas siapakah yang mengajar gerakan
demikian"' Puguh Harimawan tentu saja tak dapat membuat
suatu perbandingan, penilaian atau ulasan untuk dirinya
sendiri. Gerakan paman gurunya yang kecil itu, terlalu
cepat baginya. Ia hanya merasa puas, set elah pihaknya
memperoleh kemenangan. Dengan wajah terangbenderang, ia menoleh kearah
Suskandari hendak membagi rasa syukur. Tapi Suskandari sendiri sudah
tertawa risi Sekar Prabasini yang berada tak jauh dari
padanya ikut tertawa pula. Tertawa senang dan menang.
Dan hal itu membuat rasa puas Puguh Harimawan
menjadi nikmat. Pada saat itu tiba-tiba terdengarlah suara Bot ol Pinilis
lantang : "Saudara Cocak Prahara" Tadi saudara sudah
membuat semacam sayembara. Bahwasanya emas akan
dikembalikan apabila kami mampu mengambil sendiri
dari penjagaan Buyut Sodana. Sekarang Buyut Sodana
meninggalkan gelanggang. Artinya dia membiarkan emas
tak terjaga lagi. Maka sebelum memunguti emas,
perkenankan kami mengucap terima kasih." Dan setelah
berkata demikian, ia memberi perint ah kepada muridnya:
"Ambil semua emas yang berceceran di atas lantai itu!
Hitung, apakah sudah genap. Kurang sekeping, kita wajib
mengadakan perhitungan lagi!"
Sebenarnya, emas rempasan itu tidak kurang barang
sekepingpun. Botol Pinilis yang berpengalaman, yakin
akan hal itu. Kalau dia berkata demikian, maksudnya
semata-mata untuk menaikkan harga diri saja. Didepan
gerombolan bandit, ia perlu menundukkan sikap garang.
Cocak Prahara yang kenyang makan garam, ternyata
tak sudi kalah gertak. Ia membiarkan Puguh Harimawan
memunguti emasnya dengan sikap acuh tak acuh.
Bahkan ia lantas memejamkan matanya. Sebaliknya t idak
demikian halnya Anjar Semojo. Di dalam usahanya
hendak merebut emas rampasan itu, ia sudah berkorban
jiwa. Itulah sebabnya, ia tak rela melihat Puguh
Harimawan memunguti dan mengantongi emasnya
kembali tanpa sanggahan. Diantara berkilaunya emas,
pandang matanya memancarkan sinar berapi-api.
Mendadak saja ia melompat menghampiri dan mendorongkan tangannya. Dan kena dorongan itu,
Puguh Harimawan mundur sempoyongan.
"Hai, apa maksudmu. Apakah kau hendak coba coba
mengukur tenaga?" bentak Puguh Harimawan mendongkol. Botol Pinilis maju. Berkata kepada muridnya :
"Harimawan, mundur! Dia bukan tandingmu!"
Setelah berkata demikian, Botol Penilis membungkuk
hormat kepada Anjar Semojo. Katanya sambil t ertawa :
"Selamat bertemu, kawan. Akhir-akhir in i usahamu
kudengar memperoleh kemajuan, sehingga daerah
penggaronganmu bertambah luas. Eh, bagaimana kalau
kita main coba-coba?"
"Hm!" Anjar Semojo menggeram. "Siapa sudi
membadut dengan tampangmu. Aku Anjar Semojo
selamanya malang-melint ang tiada rint angan. T iap orang
kenal siapa diriku. Akulah pemimpin gerombolan Awuawu Langit yang menggetarkan
jala langit semenjak belasan tahun yang lalu. Sebaliknya aku belum
mengenalmu. Sebenarnya siapakah engkau ini sampai
berani membadut gt depanku?"
"Aku" Akh, aku hanya manusia hidup. Namaku pun
sangat sederhana," sahut Botol Pinilis tak bersakit hati.
"siapa?" bentak Anjar Semojo.
"Botol Pinilis. Mata pencaharianku berdagang kelontong. Mengapa" Apakah kau mempunyai barang
dagangan yang berharga?"
Anjar Semojo mendongkol. Terus saja ia berteriak
kepada bawahannya : "Bawa kemari senjataku!"
Botol Pinilis ternyata seorang pendekar yang pandai
berjenaka pula. T iap kali berbicara tangan dan kepalanya
ikut bergerak-gerak untuk menggelitiki hati lawannya.
Mendengar lawannya berteriak hendak menggunakan
senjata, ia bersikap ding in saja. Bahkan kepalanya
dimiringkan sambil t ertawa melebar.
Senjata andalan Anjar Semojo ternyata sebatang
tombak panjang dan besar. Begitu 'menerima senjata
andalannya dari saJah seorang bawahannya, terus saja ia
menikam dengan tenaga penuh. Tak usah diterangkan
lagi, bahw a hatinya mendongkol luar biasa terhadap
Botol Pinilis. Botol Pinilis tetap saja memiring miringkan kepalanya
sambil terttawa. Dan dengan gesit, ia melompat
menghindari. Serunya girang:
"Ha, bagus! Barang daganganmu lumayan juga. Mari
kita uji apakah benar-benar ada harganya untuk
diperjual-belikan ..,"
Murid Kyahi Sambang Dalan ini ternyata seorang
pendekar yang besar nyalinya. Sambil membungkuk
mengelakkan set iap serangan, ia memunguti emas yang
masih tercecer di atas lantai i Dan menyaksikan hal itu,
sadarlah Cocak Prahara bahw a Botol Pinilis bukan
sembarang orang. Anjar Semojo ternyata bukan
tandingnya. Kalau aku bertopang dagu saja, emas itu benar-benar
akan hilang, pikirnya di dalam hati. Segera ia memberi
isyarat mata kepada Cocak Ijo dan Cocak Rawun. Dan
oleh isyarat mata itu, Cocak Ijo dan Cocak Rawun
melesat memasuki gelanggang sambil berseru :
"Emas bukan batu kerikil yang tiada harganya. Kau
bayarlah jiwamu dahulu!"
Menghadapi rangsakan Cocak Ijo dan Cocak Rawun,
cepat Botol Pinilis mengendapkan diri. Ia menggeserkan
tubuhnya ke kanan dan tangan kirinya menyerang dari
samping. Itulah salah satu jurus rumah perguruan Sekar
Teratai. Serangan Cocak Ijo dan Cocak Rawun sebenarnya
merupakan jurus gabungan ilmu sakti keluarga Mataun
yang dahulu pernah merobohkan pendekar besar Bondan
Sejiwan. Itulah gabungan ilmu sakti! Begitu mereka
berdua melepaskan salah satu jurusnya, terus saja
bergerak hendak maju mendesak. Tiba-tiba mereka
melihat Botol Pinilis menggeser ke samping sambil
melontarkan serangan. Cepat-cepat mereka mundur. Dan
tepat pada saat itu Cocak Rawa dan Cocak Abang
menggantikan kedudukannya dengan menangkis serangan Botol Pinilis. Kemudian dengan kecepatan luar
biasa tangan Cocak Abang menyelonong menghantam
pinggang. Semenjak Botol Pinilis tamat belajar dan berkelana
seorang diri untuk mencari pengalanan belum pernah ia
bertemu dengan lawan yang sebanding. W alaupun ia
gemar bergurau dan berjenaka, namun tabiatnya cermat
dan hati-hati. Dengan berbekal kedua tabiatnya itu,
belum pernah ia gagal menghadapi lawan. Sekarang, ia
sadar benar-benar, bahwa ilmu Pancasakti keluarga
Dandang Mataun hebat luar biasa. Cocak Prahara kini
ikut pula memasuki gelanggang. Dengan demikian ia
menghadapi lima orang sekaligus. Cepat ia menggeser
tubuhnya untuk menghindari serangan Cocak Prahara.
Tetapi tiba-tiba Cocak Mengi menggantikan kedudukan
Cocak Rawun dan dengan cepat membawa Cocak
Prahara mundur. Dengan dibarengi gerakan lainnya,
mereka berlima nampak seolah-olah berubah menjadi
beberapa puluh orang. Tubuh mereka berkelebatan
seperti bayangan. Menghadapi tata-pertanpuran demikian, mau tak mau
Botol Pinilis menjadi terkejut. Ia tak mengerti, ilmu
berkelahi apa yang sedang dilancarkan lawan-lawannya
itu. Benar-benar serangan mereka dahsyat luar biasa.
Nampaknya kalut , tetapi maju dan mundurnya sangat
rapih. Sekian lamanya ia mencoba menyerang. Namun
tiada seorangpun yang dapat disentuhnya. Ia kaget,
heran dan akhirnya sadar. Buru-buru ia mencoba
merubah sikap. Dengan t enang, ia menempatkan diri di
tengah-tengah mereka. Sama sekali ia tak mau
menyerang. Sebaliknya, ia hanya bertahan dan menangkis apabila kena serang. Tentu saja ia membuat
dirinya kena t erkurung rapat-rapat.
Melihat Botol Pinilis hanya pandai membela diri, diamdiam Anjar Semojo berbesar
hati. Ia tadi bersakit hati
karena kena dipermainkan pendekar itu. Sekarang
timbul ah niatnya hendak membalas dendam. Ia
menunggu saatnya yang bagus untuk menikam Botol
Pinilis sehebat hebatnya. Dan sekaranglah saatnya yang
paling baik, selag i lawannya sibuk berjaga-jaga diri
terhadap rangsakan Cocak Prahara berlima.
"Paman Botol Pinilis, awas!" seru Suskandari
memperingatkan, gadis itu terkejut melihat berkelebatnya tombak Anjar Semojo.
Botol Piniiis adalah murid Kyahi Sambang Dalan yang
telah mewarisi kepandaian gurunya. Seumpama Cocak
Prahara tidak menggunakan ilmu gabungan, mereka
tidak akan bisa berbuat banyak terhadapnya. Demikian
pula menghadapi serangan gelap Anjar Semojo, seorang
pemimpin berandal yang berkepandaian tinggi.
Dengan sebat sekali, Bot ol Pinilis memut ar tubuhnya;
Berbareng dengan itu, t anganya bergerak. Tombak Anjar
Semojo kena di tangkisnya dan kemudian ditangkapnya.
Itulah salah satu jurus Sekar Teratai untuk menghadapi
lawan yang bersenjata. Ilmu tata berkelahi dengan
tangan kosong. Untuk memahirkan ilmu itu, seseorang harus berlatih
terus-menerus. Dan Botol Pinilis telah melatihnya
semenjak puluhan tahun yang lalu sehingga tak
mengherankan ia dapat melumpuhkan tikaman Anjar
Semojo dengan satu kali gerak saja. Kemudian ia
menariknya samb il menangkis serangan Cocak Bawa
dengan tangan kiri. Kaki kanannya d igeserkan setengah
langkah untuk mengelakkan tendangan Cocak Mengi.
Dengan demikian, ia bisa memunahkan tiga serangka!
serangan sekaligus , "Akh, hebat! Sesungguhnya ilmu w arisan Sekar Teratai
sanggup berlawanan dengan ilmu sakti aliran manapun
juga," pikir Lingga W isnu didalam hati. "Kalau saja Puguh
Harimawan bisa mewarisi ilmu warisan Kakang Botol
Pinilis, sudah dapat malang-melint ang tanpa tandingan."
Selagi berpikir demikian, Lingga W isnu mendengar
Anjar Semojo berteriak kesakitan. Sebagai ahliwaris ilmu
sakti Kyahi Sambang Dalan ia sudah dapat menduga
gerakan kelanjutan Botol Pinilis. Pastilah Anjar Semojo
akan dipaksa mengadu tenaga dan kemudian diangkat
tinggi tinggi dan setelah itu, dengan tiba-tiba melepaskan
adu tenaga itu. Anjar Semojo kehilangan keseimbangan,
karena kehilangan daya perlawanan. Dan pada saat itu,
Botol Pinilis menghantam pundaknya sampai patah.
"Bagus!" puji Lingga W isnu.
Beberapa orang laskar Awu-awu Langit menolong
pemimpinnya dengan tergopoh-gopoh. Jayatatit, Zubaedah dan Rekso Glempo menuntut bela. Serentak
mereka bertiga menyerang Botol Pinilis. Juga kali in i,
Botol Pinilis dapat menunjukkan keahliannya. Dengan
kesebatan dan kelincahannya seorang demi seorang
dibantingnya ke lantai sambil mengelakkan set iap
serangan Cocak Prahara berlima. Dan menyaksikan
ketangguhan murid Kyahi Sambang Dalan itu, anak buah
Anjar Senojo tidak berani berkutik lagi dari t enpatnya.
"Ha, mari tuan-tuan! Sekarang aku bisa melayani
tuan-tuan tanpa gangguan lagi." kata Botol Pinilis kepada
Cocak Prahara berlima dengan tertawa lebar.
Cocak Prahara berlima mendongkol. Terus saja
mereka melancarkan serangan bertubi-tubi.
Bayangan mereka berkelebatan. Mau tak mau Botol
Pinilis mengimbangi dengan kecepatannya pula. Pikir
pendekar itu : 'Benar-benar hebat dan berbahaya ilmu gabungan
mereka. untuk bisa memecahkan tata perkelahiannya,
aku harus dapat merobohkan salah seorangnya ...'
Oleh pikiran itu, segera ia memperhebat daya
perlawanannya. Tangan dan kakinya menyambarnyambar bagaikan kilat menusuk
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cakrawala; Namun sudah sekian lamanya ia berusaha, tetap saja tak manpu
menyentuh lawannya. Mau t ak mau ia jadi sibuk sendiri.
Cocak Prahara berlima sebenarnya heran dan kagum
juga. Sama sekali tak diduganya, bahw a pendekar yang
tampahnya mirip orang dusun itu dapat mengadakan
perlawanan. Pembelaannya rapat dan rapi, meskipun
kena rangsakan serta kepungan hebat.
Sudah barang tentu Botol Pinilis t idak dapat membaca
gejolak hati dan pikiran lawannya, seluruh perhatiannya
ditumpahkan kepada cara kelima lawannya menyerang
dirinya. Adakalanya salah seorang menendang dari
depan. Kemudian dengan sekonyong-konyong melesat
kesamping. Dan pada saat itu seorang lagi menyerang
sengit menggantikan kedudukannya. Yang datang dari
sebelah kiri mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Lalu menyambar hendak memeluk. Mau tak mau Botol
Pinilis terpaksa mundur. Diluar dugaan lawan yang
berada dibelakangnya mengayun kakinya hendak
mendupak. "Hebat! Benar-benar hebat!" pikirnya berkeringat.
Makin lama makin hebat cara menyerang Cocak
Prahara berlima. Corak-ragamnya makin beraneka
macam. Botol Pinilis merasa diri benar-benar repot.
Untuk mengurangi ancaman bencana, segera ia
mengeluarkan dua senjata andalannya. Sebatang tongkat
pendek dan sebuah bindi tipis mirip perisai. Katanya
didalam hati menghibur diri :
'A ku seorang diri, sedang mereka berlima. Rasanya
tiada akan melunturkan pamor rumah perguruan, apabila
aku terpaksa bersenjata .. '
Dengan pertimbangan demikian, ia kini dapat
mengadakan perlawanan makin g igih. Setiap kali ia
berusaha mencari jalan keluar membobol pengepungan
mereka dengan tusukan serta tikaman tongkatnya yang
berujung tajam. Tak usah menunggu lama lagi, maka Cocak Prahara
berlima kerepotan menghadapi tongkat Botol Pinilis yang
berbahaya. Hampir hampir mata rant ai bobol. Cepatcepat Cocak Prahara berseru
dengan kata-kata sandi : "Angin tiba! Mari kita pasang layar!"
Cocak Rawun dan Sondong Pawit yang berada di luar
gelanggang segera berlari-larian membawa senjata.
Kemudian dilempar-lemparkan seolah-olah sedang,
melancarkan suatu serangan rangsakan Tapi dengan
tiba-tiba saja, ruyung, tombak maupun golok, tongkat
besi dan caneti baja sudah berada dalam genggaman
majikannya masing-masing.
Pertempuran kini makin menjadi seru dan sengit luar
biasa. Masing-masing terancan bahaya maut. Mereka
yang menyaksikan di luar gelanggang menahan napas
oleh rasa tegang dan kagum.
Puguh Harimawan sibuk bukan main, melihat gurunya
terancam bahaya pengepungan yang sangat kuat.
Terasalah di dalam hatinya, bahw a ilmu kepandaiannya
sangat dangkal. Dan yang sama sekali t ak berdaya untuk
memberi pertolongan atau bantuan. Tetapi ia tidak rela
gurunya terancam bahaya begitu dahsyat. T iba-tiba saja
ia melompat hendak memasuki gelanggang dengan
memutar goloknya. Diluar dugaan, baru saja ia bergerak,
sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok bayangan
didepannya. Tahu-tahu pundaknya kena ditekan. Ia
kaget. Dalam rasa kagetnya ia membabatkan goloknya.
Heran! Tangannya tak dapat digerakkan. Pundaknya
seperti kena tindih batu sebesar gardu penjagaan.
"Kakang Harimawan! Jangan bergerak'. Sayangilah
jiwamu!" terdengar suara mencegah maksudnya .
Harimawan menoleh. Ternyata yang menekan pundaknya adalah si paman cilik. Tadi ia menyaksikan
betapa Lingga W isnu dengan mudah saja dapat
mengalahkan Buyut Sodana. Dalam hatinya, ia tidak
yakin kegagahannya. Tetapi kini baru lah ia sadar, betapa
dahsyat, tenaga si paman cilik itu. Dengan sekali tekan
saja, kedua tangannya seolah-olah lumpuh. Mau tak mau
kini ia harus patuh kepada tiap ucapannya.
"T ak usahlah engkau terlalu sibuk. Gurumu masih
sanggup melayani mereka," kata Lingga W isnu sambil
menarik t angannya. Puguh Harimawan mengerinyitkan dahi. Benarkah
gurunya masih sanggup melayani kelima lawannya itu"
Ia mencoba menyabarkan diri dan berusaha yakin
terhadap: penglihatan Lingga Wisnu. Dengan seksama ia
mengikuti jalannya pertempuran.
Dalam pada itu, Lingga W isnu sendiri mengikut i
pertempuran itu dengan pengamatan. Kadang kadang ia
mendongak kearah genting dengan berdiam diri.
Agaknya ia terbentur pada suatu persoalan yang sulit.
Suskandari yang semenjak tadi memperhatikannya,
mendekati sambil menegor :
"Kakang Lingga kenapa engkau tidak segera
membantu paman Botol Pinilis" Betapa tangguh paman
Botol Pinilis, kalau dikerubut lima orang terus-menerus,
akan kerepotan juga akhirnya."
Lingga W isnu tidak menyahut. Dengan suatu gerakan
tangan, ia mengharapkan agar Suskandari mundur. Dan
Suskandari benar-benar mundur dengan wajah lesu.
Sebaliknya Sekar Prabasini d iam-d iam bersyukur hati,
melihat Lingga W isnu menolak kehadiran Suskandari.
Dengan lapang dada, ia kin i dapat mengikuti pertempuran di tengah gelanggang yang makin menjadi
seram. Botol Pinilis mencoba menghantam salah seorang
musuhnya. Berulangkali dan makin lama makin cepat.
Namun tetap saja, musuhnya tak dapat disentuhnya.
Bahkan senjata mereka tak pernah bentrok. Masingmasing berusaha menghindarkan
suatu benturan. Pada saat itu, sekonyong-konyong Lingga W isnu
menghampiri Suskandari. Katanya dengan suara ringan :
"Adik, maafkan sikapku tadi. Aku sedang berusaha
memecahkan suatu teka-teki. Sekarang aku sudah
berhasil ..." "Maaf" Apakah yang harus kumaafkan?" sahut
Suskandari. "Kau bantulah paman Botol Pinilis."
Lingga W isnu tertawa. Pandang matanya berseri-seri.
Sahutnya : "Teka-teki itu sudah berhasil kupecahkan. Sekarang
tidak perlu bercemas-cemas lagi."
Sepasang alis Suskandari berdiri tegak. Dengan
pandang menebak-nebak, ia berkata :
"Sebenarnya engkau lagi membicarakan apa" Soal
teka-teki itu nanti kita pecahkan bersama, bila
pertanpuran sudah selesai."
Mendengar ucapan Suskandari, kembali lagi Lingga
W isnu tertawa. Sahutnya :
"Y ang kupikirkan justru t entang pertempuran itu. Cara
bertempur merekalah yang kusebut sebagai teka-teki.
Coba katakan padaku, bagaimana cara kita menghancurkan barisan Panca sakti mereka. Maka
amatilah lagi dengan seksama, betapa mereka tak sudi
bentrok." "Y a, kenapa?" Suskandari kini t ertarik hatinya .
"Sebab bentrokan itu sendiri berarti kehilangan waktu.
Jadi t itik-tolak ilmu gabungan Panca-sakti ini berdasarkan
kecepatan bergerak. Itulah sebabnya, bilamana kita ing in
menecahkan mata rant ainya, harus mengimbangi dengan
kecepatan pula. Tegasnya, kita harus sanggup mengadu
kecepatan. Dan barulah kita berhasil."
Suskandari terbangun semangat tempurnya. Tetapi
kemudian berkata penuh bimbang :
"Mereka sudah berlatih diri dengan sempurna. Gerakgeriknya gesit dan nampak w
ajar sekali! Bagaimana kita
bisa berlomba mengadu kecepatan dengan mereka?"
Lingga W isnu bersenyum. Alasan dan kesangsian
Suskandari masuk akal. Setelah menatap w ajah gadis itu
beberapa saat lamanya ia berkata memutuskan :
"Aku akan mencoba. Hanya sekarang, pinjami lah aku
tusuk-kondenu." Dengan pandang penuh pertanyaan, Suskandari
mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dan
bermata berlian. Kemudian diserahkannya kepada Lingga
W isnu - Kata pemuda itu :
"Aku akan melayani mereka dengan tusuk konde ini."
"Akh" seru Puguh Harimawan dan Suskandari
berbareng. Mereka kemudian tertawa lebar. Dalam hati
mereka menganggap ucapan Lingga W isnu, sekedar
bergurau saja. Betapa tidak" Meskipun terbuat dari
emas, tusuk konde itu mudah sekali patah. Apalagi
manakala terbentur senjata tajam yang bertenaga
penuh. Lingga W isnu tidak menghiraukan kesan hati mereka
berdua. Dengan pandang tajam ia berteriak kepada Botol
Pinilis : "Kakang Botol Pinilis! Dari Kurantil in jaklah pintu
Gedong tengah. Kemudian dari Baruna lewatlah pintu
Trenggana." Itulah istilah-istilah sandi yang hanya di ketahui oleh
pendekar kelas utama. Dan mendengar seruan itu, Cocak
Prahara berlima terkejut heran. Pikir mereka menebaknebak: 'Ha, kenapa bocah itu
mengetahui rahasia ilmu Panca Sakti" Siapa yang mengkisiki",
Sebaliknya, Botol Pinilis tidak segera mengerti akan
kata-sandi itu. Ia harus berpikir dua kali lipat dahulu
sebelum menangkap arti terjemahannya. Lingga W isnu
sendiri tidak perduli, apakah kakak seperguruannya
mengerti akan istilah-istilah sandi itu. Setidak-tidaknya
dengan membongkar rahasia titik-tolak ilmu Panca sakti,
akan mengacaukan pemusatan lawan. Teriaknya berturut-turut : "Nagapasa menyambar Baruna. Masuk ke dalam
segera Muncar dan menghilang lewat Girilaya."
Mau tak mau Bot ol Pinilis terpaksa berpikir. Apa
maksud Lingga W isnu" Mustahil adiknya seperguruan itu
berteriak-teriak tanpa tujuan. Teringatlah dia, bahwa
sekian kali ia berusaha menerobos kepungan Cocak
Prahara, akan tetapi tetap saja tak berhasil. Apakah
Lingga W isnu bermaksud memberi petunjuk padanya,
caranya menerobos barisan ilmu Pancasakti"
Beberapa saat lamanya ia mencoba menterjemahkan
kata-kata sandi itu. Kemudian memutuskan di dalam
hati: 'A kh, benar! Dia membicarakan keblat penjuru.
Kenapa tidak kucoba"'
Ia menunggu saatnya yang baik Kemudian dengan
tiba-tiba ia melesat ke kiri melalui p int u Gedong Tengen
dan melompat ke pintu Nagapasa. Ternyata ia
memperoleh lowongan. Segera ia hendak menerobos
keluar. Mendadak saja ia mendengar seruan Lingga
W isnu : "lewat Girilaya! Lewat Girilaya!"
Botol Pinilis terkejut. Girilaya adalah kata sand i Barat
daya. Terus saja ia melemparkan pandangnya ke sasaran
itu. Tapi di pintu itu Cocak Rawa dan Cocak Mengi
menjaga dengan ketatnya. Ia berbimbang-bimbang
sejenak. Kemudian memutuskan lagi: 'A kh, t ak mungkin
Lingga W isnu salah melihat,'
Ia percaya benar kepada penglihatan adik seperguruannya yang cerdas dan luar biasa. Segera ia
melesat ke Barat daya sambil mengirimkan gempuran.
Cocak Pawa dan Cocak Mengi tahu akan tugasnya. Bila
musuh datang menyerang, segera mereka memecah diri.
Kedudukannya akan digantikan Cocak Prahara dan Cocak
Ijo. Itulah rahasia ilmu mata rantai Pancasakti. Tapi baru
saja mereka hendak memecah diri, tahu-tahu Botol Pinilis
telah menerjangnya. Murid Kyahi Sambang Dalan ini
menghantamkan bindi perisai nya ke kiri dan ke kanan
untuk mencegah masuknya Cocak Prahara dan Cocak Ijo.
Tongkat bajanya mengejar kedudukan Cocak Rawa dan
Cocak Mengi yang bergerak hendak memecah diri. Oleh
serangan diluar dugaan in i, mereka berempat terkejut.
Cepat-cepat mereka merapat hendak bergabung. Tapi
dengan gerakan yang cepat luar biasa, Bot ol Pinilis
berhasil lo los dalam sekejab mata saja. Tahu-tahu ia
sudah berdiri t egak disamping Lingga W isnu.
Cocak Prahara tercengang-cengang menyaksikan hal
itu. Inilah untuk yang pertama kalinya mereka kehilangan
sasarannya. Bagaimana Bot ol pinilis bisa lolos dari
kepungan yang rapat luar biasa" Puluhan tahun merela
malang melintang menguji ketangguhan ilmu Panca
Sakti. Selama itu tak teralahkan dan tak pernah gagal
Oleh Ingatan ini mereka jadi penasaran. Kenyataan
sebentar tadi terlalu menyakitkan. Serentak mereka
mundur dan merapikan diri Dan berkatalah Cocak
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prahara dengan nyaring kepada Botol Pinilis :
"Kau bisa lolos dari mata rant ai kubu-kubu Panca
Sakti. Artinya ilmu kepandaianmu bukan sembarangan.
Ilmu tata berkelahimu mengingatkan kami pada aliran
Sekar Teratai. Bagaimana kau sebut sang serba pandai
Kyahi Sambang Dalan?"
"Beliau adalah guruku," sahut Botol Pinilis. "Bagaimana, apakah aku menurunkan pamor rumah
perguruan Sekar Teratai?"
Cocak Prahara mendengus. Katanya mendongkol :
"Hmm, pantas. Corak perkelahianmu membawa ragam
aliran Sekar T eratai. Apakah kau kira kami t ak tahu?"
Botol Pinilis tahu, Cocak Prahara berlima penasaran. Ia
menghela napas. Kemudian mengalihkan pembicaraan :
"Kita sudah bertempur. Masing-masing sudah berusaha menjatuhkan lawan. Aku kau kerubut dengan
berlima. Ternyata aku tak sanggup merobohkan. Begitu
pula kalian berlima. Inilah yang disebut orang setali tiga
uang. Sekarang, bagaimana baiknya k ita mengatur emas
itu?" berhenti menebarkan penglihatannya. Kemudian ia
menoleh kepada Anjar Semaja. Katanya :
"Urusan perdagangan kita
sudah selesaikan" Nah, kau
boleh pergi!" Sebat kata-kata Botol Pinilis
bagi pendengaran Anjar Semaja. Sebagai seorang pemimpin berandal, biasanya
ia dihormati dan disanjung
puji. Sekarang ia kena hina di
depan orang banyak. Celakanya ia merasa diri tak sanggup melawan pula.
Maka dengan suara besar, ia menyahut :
"Hei, Botol Pinilis! Jangan engkau pasti dan menepuk
dada. Pada suatu hari nant i engkau pasti akan jatuh
ditanganku. Aku, Anjar Semojo, masakan dapat kau buat
main-main" Hari ini memang aku baru naas. Tapi besok
atau lusa, aku akan bangun sebagai Gatutkaca ..."
Botol Pinilis tertawa. Katanya :
"Kalau kau bisa bangun Gatutkaca, jangan lupa pakai
baju kaos Ont okusuma! Kalau t idak, kau bakal jadi ayam
terondol. Selamat jalan - selamat jalan! Mas Gatut kaca
..." Bukan main mendongkol Anjas Semojo. W ajahnya
sampai merah biru. Tetapi ia mati kut u. Berkelahi kalah,
mengadu mulut kalah pula Maka ia terpaksa mengajak
pergi rombongannya meninggalkan gedung pertempuran. Di dalam hati ia mengharap, tuannya
bersikap acuh tak acuh. Karuan saja hatinya ingin
meledak. Beberapa saat kemudian, Cocak Prahara
berkata kepada Botol Pinilis :
"T uan, kau ternyata seorang, pendekar yang berhak
hidup pada zaman ini. Kepandaianmu patut kami hargai.
Karena itu, perkara emas, baiklah kita atur begini. Kau
bawalah yang separuh"
Cocak Prahara selamanya mau menang sendiri. Tapi
kali ini ia mau mengalah, mengingat Botol Pinilis adalah
salah seorang anggauta Sekar Teratai. Kalau muridnya
saja sudah demikian hebat apalagi gurunya. Dan ia tak
mau menambah jumlah musuh lagi. Terlalu berat
akibatnya, apabila sampai bermusuhan dengan Sekar
Teratai. Maka keputusannya itu rasanya sudah cukup
pant as dan adil. Botol Pinilis tertawa lebar. Katanya :
"Aku menghargai pertimbanganmu. Sayang bahwa
emas itu bukan milikku pribadi. Sekiranya demikian, aku
akan menerima keputusanmu. Untuk seorang sahabat,
kenapa aku terlalu kikir" Tapi emas itu milik laskar
Panglima Sengkan Turunan. Uang perbekalan untuk
modal melawan kompeni Belanda dengan begundalbegundalnya, Muridku yang tolol
itulah yang tadinya diserahi tugas pengawalan. Tapi ditengah jalan kena
rampas salah seorang anggauta keluargamu. Maka aku
berkewajiban mengembalikan emas itu seutuh-utuhnya
kepada, pemiliknya. Kalau tidak, bagaimana aku harus
mempertanggung jawabkan?"
Selagi Cocak Prahara hendak membuka mulutnya,
tiba-tiba Cocak Abang menimbrung. Kata pendekar
berangasan itu : "Perkara emas, jangan diperdebatkan berkepanjangan! Kau boleh membawanya, asal bisa
memenuhi dua syarat?"
"Akh, begitu" Coba katakan syarat apa itu" Sekiranya
terlalu berat, aku akan mencoba menawarnya," sahut
Botol Pinilis dengan suara tenang. "Bukankah dalam
penghidupan ini berlaku pula soal t awar-menawar?"
'T idak! T idak ada tawar-menawar lagi!" bent ak Cocak
Abang sengit. "Syarat pertama: kau harus memberi ganti
atas kerugian kami. Dan emas boleh kau bawa!"
"Berapa jumlahnya?" potong Botol Pinilis.
"Bukan soal jumlah atau nilai. Yang penting, engkau
harus membawa barang semacam alat penebus. Itulah
peraturan kami yang sudah berjalan semenjak aku belum
lahir. Artinya, kau menghargai kami."
Botol Pinilis tersenyum seraya memanggut. Tahulah
dia, bahw a syarat itu adalah soal kehormatan. Karena
itu, tidak lagi ia bergurau. Berkata dengan suara
sungguh-sungguh: "Baiklah, akan aku penuhi syarat itu. Esok hari, biarlah
aku ke Madiun untuk memilih barang penukar yang
cukup berharga. Selain itu aku akan mengadakan pesta
perpisahan pula sebagai pernyataan rasa terima kasih.
Boleh bukan aku mengundang beberapa orang
penduduk" Nah, sekarang, katakanlah syarat yang
kedua! Ingin aku mendengar bunyinya."
Cocak Abang kelihatan puas mendengar perkataan
serta melihat Botol Pinilis. Kemudian berkata lagi :
"Baik. Syarat kedua sederhana saja. Bocah itu,
tinggalkan disini." "Bocah yang mana?" Botol Pinilis heran "Apakah
muridku" Akh, dia seorang yang tolol. Rasanya tiada
gunanya ..." "Bukan. Bocah itu! Bocah yang bernama Lingga
W isnu." Botol Pinilis terkejut. Pikirnya di dalam hati: 'Lingga
W isnu adalah adik seperguruanku. Dialah murid
kesayangan guru. Melihat sikap Cocak Prahara, keiuafc?a
Dandang Mataun menghargai guru. Apa sebab sekarang
hendak menahan murid kesayangannya" Akh, pastilah ini
hanya suatu dalih belaka, untuk menimbulkan gara-gara
saja ..' Botol Pinilis tidak mengetahui latar belakang
persoalannya. Bahwasanya Lingga W isnu mempunyai
sangkut -paut dengan kepentingan keluarga Dandang
Mataun. Bahwasanya diapun seorang ahli w aris pendekar
Bondan Sejiwan yang ditakuti, orang pada zamannya.
Lingga W isnu terlalu mengetahui rahasia keluarga
Dandang Mataun dengan pendekar Bondan Sejiwan.
Karena itu Cocak Prahara berlima bertekad hendak
membinasakan bocah itu. Mereka tahu, kepandaian
Lingga W isnu sangat tinggi. Tetapi mereka percaya,
bahw a ilmu Panca Sakti keluarga Dandang Mataun tidak
bakal kena dirobohkan. Dalam pada itu, Botol Pinilis yang tak mengetahui latar
belakang persoalannya, mencoba mengendorkan ketegangan baru yang tidak diharapkan, Ia tertawa
lebar. Kemudian mencoba berkelakar. Katanya :
"Adikku seperguruan ini, seorang anak yang doyan
makan. Kalau dia kalian harapkan tinggal disini, wah!
jangan-jangan dia akan menghabiskan beras persediaan
keluarga besar Dandang Mataun. Apakah kalian tidak
akan rugi nanti?" Puguh Harimawan kenal akan watak dan tabiat
gurunya. Bila dia bergurau, artinya mengandung
ancaman. Pastilah pertempuran seru bakal terulang
kembali. Maka dengan tajam, diam-diam ia memegang
senjatanya erat-erat. Cocak Prahara yang masih memegang tombaknya,
menyahut dengan suara tegas :
"Adik seperguruanmu tadi, pandai mengajari engkau
bagaimana caramu bisa lolos dari mata-rant ai jala Pancasakti. Agaknya dia
mengenal ilmu gabungan kami Pancasakti. Maka biarlah kami mencoba-coba
kepandaiannya." Ilmu gabungan Panca-sakti yang merupakan jala tak
tertembus oleh macam kepandaian apapun, terdiri dari
lima tataran. Tadi, t atkala menghadapi Botol Pinilis, baru
sampai pada tataran kedua. Masih sanggupkah Botol
Pinilis menghadapi yang tiga tataran lagi" Mustahil!
Cocak Prahara berlima tidak percaya, bahwa di dunia ini
masih ada seseorang yang bisa merobohkan ilmu sakti
kebanggaan keluarga Dandang Mataun turun temurun.
Botol Pinilis tahu diri Dia seorang pendekar yang
cermat dan berhati-hati menghadapi semua persoalan.
Tadi ia merasakan, betapa hebat daya perlawanan dan
rangsakan ilmu Panca- sakti. Pikirnya di dalam hati :
'Dengan pengalamanku belasan tahun, masih tak
dapat aku menembus mata-rant ai pertahanannya.
Apalagi mencoba mengetahui kunci rahasianya. Apakah
Lingga W isnu sanggup menghadapinya" Ajaran yang
diperolehnya sama dengan apa yang aku peroleh dari
guru. W alaupun cerdas, dalam hal pengalaman aku
menang jauh. Benar dia dapat memberi kisikan dan
petunjuk-petunjuk bagaimana caraku bisa meloloskan diri
dari kepungan mereka. Tetapi hal itu terjadi, karena dia
tidak bertempur langsung. Ku-umpamakan seorang
penonton pertandingan catur yang dapat melihat
kelemahan lawan. Sebaliknya bila dia bertempur secara
langsung, akan lain halnya. Sebab dia tidak memperoleh
kesempatan untuk berpikir dan menimbang-nimbang
kemungkinan-kemungkinannya sedikit saja salah langkah
atau lalai, berarti menghadapi maut. Apakah ... apakah
... akh .... mustahil dia sanggup merobohkan mereka ...'
Oleh pertimbangan ini, dengan hati-hati Botol Pinilis
berkata : "Ilmu sakti keluarga Dandang Mataun tiada keduanya
di dunia. Terlalu hebat! Terlalu hebat untuk dicobanya
terhadap adikku seperguruan karena dia belum pandai
beringus. Lihatlah, usianya pant as kalau menjadi cucu
kalian. Benar-benar tidak seimbang dengan kedudukan
kalian, apa keuntungannya untuk mempersulitnya" Bila
dia pernah berbuat kurang ajar terhadap kalian, biarlah
kalian menunjuk seseorang untuk mewakili kalian
menghajarnya sampai jera sebagai hukumannya."
Botol Finilis kelihatan bersikap mengalah. Tapi
sebenarnya ia mempunyai perhitungannya sendiri. Ia
percaya, adiknya seperguruan itu tidak bakal kena
dikalahkan bila berlawan-lawanan seorang demi seorang.
Bahkan dia masih sanggup menghadapi dua lawan
sekaligus. Tadi ia menyaksikan sendiri, betapa Buyut
Sodana dapat dirobohkannya dengan mudah.
Cocak Rawa yang pandai membakar hati segera
mengetahui Botol Pinilis. Ia tak sudi kalah gertak Maka
berkatalah dia sambil mencibirkan bibirnya :
"Sekar Teratai mempunyai nama besar semenjak
puluhan tahun yang ialu. Akh, tak mengira sama sekali
Perjodohan Busur Kumala 3 Setan Harpa Karya Khu Lung Pedang Kunang Kunang 7
kerubut sepuluh orang, tidaklah aku undur selangkah
pun ..." Tepat pada saat itu, melesatlah sesosok bayangan
memasuki serambi sambil berseru nyaring :
"Bocah tak tahu adat! Enyahlah engkau dari sin i!"
Dalam selint asan, Lingga W isnu melihat perawakan
tubuh bayangan itu tinggi besar dan kekar. Rambutnya
rereyapan dan terlilit gelang tembaga yang berkilauan.
Pakaian yang dikenakannya terbuat dari kulit lembu
muda. Kesan dirinya mirip dengan seorang pertapa yang
soleh dan sakti. Tapi sebenarnya, dialah seorang bandit
besar yang berkeliaran disekitar Gorang-gareng.
Dia memakai nama mentereng, yang diambilnya dari
tokoh cerita Maha Bharata yang termashur Bargawastra. Tapi namanya sendiri sebenarnya Sastra
Unyeng. Dan semenjak hidup sebagai pemimpin bandit,
ia menghukum siapa saja yang berani memanggil nama
aslinya. Bargawastra salah seorang anak murid pendekar
Satmata, adik kandung ibu Sekarningrum,
yang bermukim di dusun Bulukerta. Letak dusun itu berada di
sebelah timur gunung Lawu. Dia datang ke Kemuning,
atas panggilan keluarga Dandang Mataun untuk
menerima pembagian rezeki. Itulah emas Suskandari
yang kena rampas Sekar Prabasin i. Dan ia baru datang
disiang hari tadi. Maka tak mengherankan, Lingga W isnu
belum mengenalnya. Bargawastra sendiri hendak mengambil muka terhadap keluarga Dandang Mataun. Tadi siang, ia
mendengar kabar, bahwa emas rampasan itu hendak
direbut kembali o leh seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Mendengar hal itu, ia jad i panas
hati dan penasaran. Sekarang, ia akan memamerkan
kemampuannya menghajar bocah itu. Begitu mendarat di
lantai serarribil, terus saja t angannya menyambar.
Lingga W isnu melihat datangnya serangan mendadak.
Gesit ia mengelak. Dan dengan sebat ia menerkam
rambut gondrong Bargawastra Kemudian ia bergerak
memutar, sehingga tubuh Bargawastra terputar pula
seperti gangsingan. Tiba-tiba terkamannya dilegakan.
Dan Bargawastra jadi terlempar tinggi. Tak ampun lagi,
dia terbanting jungkir-balik menelungkupi gerombol
bunga mawar yang berduri. Seketika itu juga muka dan
tubuhnya babak-belur teranjam ratusan duri tajam. Ia
berkaing-kaing kesakitan. Sama sekali tak terbayangkan,
bahw a dia bakal babak belur hanya dalam segebrakan
saja Menyaksikan hal itu, Sekarningrum tertawa merendahkan. Tempa menghiraukan apa yang sudah
terjadi, ia melanjutkan ceritanya dengan suara bergelora.
Katanya : "Pada malam hari itu, mereka berlima mengepung
Bondan Sejiwan dengan ilmu gabungan Panca Sakti.
Itulah ilmu-gabungan kebanggaan keluarga Dandang
Mataun turun-temurun. Ilmu sakti itu belum pernah
terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sebenarnya, dia
sanggup melayani. Hanya sayang, ia sudah mereguk
obat bius pelarut tenaga. Makin lama gerakannya makin
kendor. Nampak sekali kelelahannya. Sulitlah ia untuk
melanjutkan perlawanannya lagi. Bahkan unt uk bisa lolos
saja t iada harapan lagi.
"Dalam keadaan demikian, ilmu gabungan Panca-sakti
terlalu rumit baginya ..."
"Ningrun!" bentak Cocak Abang. "Apakah kau hendak
membuka rahasia ilmu sakti keluarga Dandang Mataun
kepada bocah itu?" Sekarningrum tidak menggubris bentakan Cocak
Abang. Dengan menatap wajah Lingga W isnu ia
meneruskan : "Jelaslah, bahw a ia ingin merobohkan salah seorang
musuhnya, agar dapat memecahkan ilmu gabungan itu.
Tetapi kecuali tenaganya nyaris hab is, ilmu Panca-sakti
adalah suatu persenyawaan. Masing-masing mempunyai
kerja-sama yang saling berhubungan dan saling
melindungi. Demikianlah, akhirnya dia hamp ir roboh
kecapaian. Tubuhnya sempoyongan semakin hebat. Dan
aku berteriak nyaring : "Jangan pikirkan aku! Pergilah! Pergilah! Cepat!
Selama hidupku, tak akan kulupakan diramu. Selamatkan
dirimu dahulu!" Hebat suara Sekarningrum t atkala menirukan pekiknya
dahulu. Sekar Prabasini sampai bergidik. Sebab pekik
ibunya mirip jeritan berbareng ratapan yang menyayat
hati. Seperti orang membangunkan seseorang yang t idur
pulas, ia berteriak : "Ibu!" Lingga W isnu kaget pula. Bulu kuduknya meremang.
Dengan was-was ia memandang wajah Sekarningrum.
Pandang mata Sekarningrum kelihatan kabur dan kuyu,
napasnya memburu. Tahulah dia, bahw a hati Sekarningrum penuh duka, benci, mendongkol dan
penasaran. Ia lantas tergugu beberapa saat lamanya.
"Ibu, sudahlah. Esok malam bisa d isambung lagi.
Sekarang, beristirahatlah dahulu. Aku sendiri hendak
menyelesaikan urusanku. Tapi esok malam, aku berjanji
hendak datang kembali unt uk mendengarkan sambungan
ceritanya." "T idak! Tidak!" seru Sekarningrum seperti t ersadar.
Ia menyambar lengan baju Lingga W isnu dan ditariknya.
Katanya : "Sembilan belas tahun lebih
aku membisu. Sekarang, aku
mempunyai kesempatan untuk
melontakkan semua isi hatiku.
Anakku Lingga. Kau dengarkan dahulu ceritaku
sampai selesai ..." Suara itu mengandung suatu permohonan. Maka
terpaksalah Lingga Wisnu memanggut seraya menyahut :
"Baiklah. Akan siku dengarkan sampai selesai."
Lega hati Sekarningrum. Perlahan - lahan ia
melepaskan cekalannya. Namun ujung jarinya masih
menjepit lengan baju Lingga W isnu. Katanya meneruskan
: "Mereka sebenarnya menghendaki jiwanya. Tapi
kecuali itu, yang terlebih penting lagi yalah harta karun!
Harta karun raja Airlangga! Rupanya Bondan Sejiwan
sudah dapat menduga jauh jauh sebelumnya. Kini dia
sudah mempersiapkan diri.
"Demikianlah, akhirnya ia terluka. Dan ia roboh
terkulai. Tapi didalam keadaan set engah sadar itu, masih
sempat dia mengeluh: Akh, petaku! Dan setelah itu, ia
tak ingat sesuatu apa lagi ...
"Hai, bangun dahulu!" t eriak paman Cocak Obar-abir.
"Kau tunjukkan dahulu dimana harta raja Airlangga itu!"
Paman Obar-abir berteriak demikian samb il melompat
memasuki panggung. Jari tangannya menusuk tubuh
Bondan Sejiwan di bagian tertentu. Dan akibat tusukan
jari itu, Bondan Sejiwan jadi tersadar sebentar.
Sahutnya: "Oh, kau menghendaki harta itu" Peta tak ada
padaku. Siapa yang berani, ikut lah aku! Dan setelah
berkata demikian, kali in i dia benar-benar roboh tak
sadarkan diri lagi. "Mereka semua jadi gempar mendengar jawaban
Bondan Sejiwan. Mereka juga ikut menyaksikan
perkelahian itu. Bila Bondan Sejiwan disadarkan, hebat
akibatnya. Betapa tidak" Kalau obat bius itu punah,
mereka semua bukan tandingnya. Sebaliknya, apabila
dibunuhnya, peta harta karun itu akan lenyap untuk
selama lamanya. "Mereka semua lantas sibuk berunding. Dan akhirnya
ayah mengusulkan suatu penyelesaian yang bagus sekali.
Ya, bagus sekali! Bondan Sejiwan hendak digeledahnya
dahulu. Apabila peta itu ternyata tiada padanya, uraturat kaki dan tangan Bondan
Sejiwan hendak diputuskan.
Kemudian baru dibebaskan. Dua hari laga, meskipun
obat bius telah lenyap dari tubuhnya, Bondan Sejiwan
sudah menjadi orang cacad. Semua ilmu saktinya lenyap.
Bukankah bagus sekali usulnya itu"
"Tetapi mereka tak bersabar lagi. Mereka pun
khawatir, jangan-jangan Bondan Sejiwan hanya berpurapura tertidur. Maka
merekapun memutuskan urat-urat
kaki dan tangan Bondan Sejiwan dahulu. Kemudian baru
menggeledah tubuhnya. Tapi t atkala itu, aku telah roboh
tertidur ... "Entah berapa lama aku tertidur. Setelah menyenakkan mata", dihadananku terjadi banjir darah.
Banyak aku lihat mayat-mayat bergelimpangan. Bondan
Sejiwan t idak nampak lagi di atas panggung. Hatiku jadi
berharap-harap cemas. Entah apakah dia berhasil
melarikan diri setelah membunuhi lawan-lawannya" Tapi,
masih sempat aku menyaksikan, tatkala mereka berlima
memutuskan urat-urat kaki dan tangannya. Aku jadi
kebingungan. Tak ada yang bisa memberi kabar
kepadaku. Gedung pertandingan sunyi senyap. Tetapi
syukurlah, bubur yang aku makan tidak begitu banyak,
sehingga aku kehilangan kesadaranku hanya se lama
waktu dua tiga jam saja. Akupun telah dapat berdiri
dengan tegak. Dan segera aku mengadakan pemeriksaan. Mayat-mayat itu ternyata bukanlah mayatmayat keluarga Dandang
Mataun. Tetapi mayat-mayat
tetamunya yang tadi menyaksikan pertandingan. Apa
yang telah terjadi" Tiba-tiba aku mendengar suara mengerang. Segera
aku menghampiri dan kulihat seorang tetamu yang
tertusuk kedua matanya. Tak usah aku katakan lagi,
bahw a bakal buta dikemudian hari. Akan tetapi jiwanya
selamat. Segera aku menolongnya. Tatkala kena raba
tanganku, dia bertanyakan siapa diriku. Mendadak saja
dia berkata dengan berani :
"Apakah engkau calon temanten?"
"Benar," sahutku. Ternyata dia seorang pendekar yang
tahan sakit. Tempa memperdulikan keadaan dirinya, dia
berkata : "Syukurlah, engkau telah tersadar. Sekarang, sudikah
engkau membawaku keluar dari gedung ini" Aku
bernama. W aluyo, berasal dari dusun Karangteleng. Aku
bukan teman maupun musuh keluargamu. Kedatanganku
kemari semata-mata memenuhi undangan ayahmu.
Katanya, ayahmu hendak mengawinkan dirimu dengan
bekas musuhnya. Maka aku datang bersama pendekar
Udayana, anak murid Kyahi Basaban."
Mendengar Sekarningrum menyebut nama Udayana
dan Kyahi Basaman, hati Lingga W isnu terperanjat
seperti mendengar geledek meledak disiang hari. Itulah
nama ayah dan kakek gurunya. Hampir saja ia membuka
mulut nya. Syukur Sekarningrum telah mendahului
melanjutkan ceritanya: "Dari mulut nya, aku mendengar kabar, bahwa Bondan
Sejiwan berhasil dilarikan. Tatkala pendekar Udayana
dan W aluyo tiba digedung pertandingan, mereka masih
sempat menyaksikan dia kena siksa. Itulah perlakuan
yang semena-mena! Sebagai pendekar-pendekar yang
berbudi luhur, mereka tak dapat membiarkan tindakan
sewenang-wenang itu berlaku dihadapan matanya.
Serentak mereka bergerak hendak
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan pertolongan. Dan tepat pada saat itu, terjadilah suatu
peristiwa perebutan peta yang terdapat pada tubuh
Bondan Sejiwan. Mereka saling bertengkar. Dan akhirnya
saling bunuh-membunuh! "Kesempatan itu dipergunakan sebaik baiknya oleh
pendekar Udayana. Dengan pertolongan pendekar
W aluyo, ia memanggul tubuh Bondan Sejiwan dan
dibawanya pergi. Tetapi tidak semua yang hadir kalap
oleh peta harta karun itu. T erutama anggauta-anggauta
keluarga kami bag ian wanita. Mereka berteriak-teriak
menyerukan tanda bahaya. Dan pendekar Udayana
lantas kena kerubut. Syukur masih ada pendekar W aluyo
yang melindungi Selain itu, kebanyakan di antara tetamu,
terpancing pada peta harta karun itu. Dengan demikian,
kepergian pendekar Udayana tidak mengalami rint angan
terlalu sulit. Tetapi walaupun demikian, kedua matanya
kena tusuk senjata ayah. Dia masih bisa membalas
dengan menghamburkan senjata bidiknya. Ayah bisa
menyelamatkan diri. Namun tak urung sebatang senjata
bidiknya dapat mengenai paru-parunya juga. Ayah tidak
mati, tetapi bidikan itulah yang kelak membawa mautnya
beberapa tahun kemudian. "Dalam pada itu, hawa pembunuhan terus mengiangngiang . Paman Obar-abir berhasil
mempertahankan diri. Tapi ia terkejut, tatkala melihat Bondan Sejiwan lenyap.
Tepat pada saat itu, ayah roboh terkulai pula sambil
menuding keluar. Dengan serentak paman Obar-abir
melesat keluar mengejar pendekar Udayana. Karena
dialah yang membawa kabur Bondan Sejiwan. Maka sisa
para tetamu ikut mengejar pula. Tetapi bukannya
mengejar pendekar Udayana, melainkan semata-mata
untuk mencoba merebut peta.
"Entah bagaimana akhirnya, akan tetapi di kemudian
hari aku mendengar tutur kata mengenai pengejaran itu.
Karena memanggul orang, gerakan pendekar Udayana
terhalang Merasa diri bakal terkejar, ia menyembunyikan
Bondan Sejiwan di balik gerombol belukar yang berada di
tepi tebing . Kemudian ia mengadakan perlawanan dan
pembelaandiri. "T api beberapa saat kemudian, corak dan tujuan
pertempuran itu jadi berubah acak-acakan tak keruan.
Itulah disebabkan pengaruh peta harta karun. Kembali
mereka saling berebut dan saling bunuh membunuh.
Sementara itu, pendekar Udayana mempunyai kesempatan untuk meninggalkan gelanggang. Agar
Bondan Sejiwan selamat, sengaja ia membuat penyesatan. Ia lari kearah yang bertentangan. Dan
semenjak hari itu, dia t iada kabar beritanya lagi ..."
"Hai! Mengapa kau ngoceh tak keruan" Awas" potong
Cocak Abang dengan berteriak nyaring.
"Hmm! Apakah kalian kira aku takut Mati" Kalian boleh
membunuhku. Bukankah kalian juga yang membunuh
tetamu-tetamu undangan dengan cara keji?" damprat
Sekarningrum dengan pandang menyala.
"Keji bagaimana?"
"Kalian pancing mereka memasuki tanah jebakan,
kemudian kalian habisi jiwa mereka. Bukankah begitu?"
"Ngacau! Udayana. yang membunuh mereka!" teriak
Cocak Abang dan Cocak Ijo dengan berbareng,
"Hmm!" dengus Sekarningrum. "Apakah kalian sangka
tak ada seorangpun yang menyaksikan peristiwa itu?"
"Siapa orang itu" Siapa?"
"Aku sendiri. Tatkala membimbing pendekar W aluyo
keluar dari dusun Kemuning," sahut Sekarningrum
dengan suara tegas. Lingga W isnu tertegun mendengar perdebatan dan
tutur kata Sekarningrum. Samar-samar ia seperti
memperoleh penjelasan dan latar belakang sebabsebabnya ayahnya dimusuhi
pendekar-pendekar dari berbagai penjuru. Rupanya ayahnya dipersangkutpaut kan dengan peristiwa Bondan
Sejiwan dari masalah pembunuhan pendekar pendekar undangan yang
sebenarnya dilakukan oleh keluarga Dandang Mataun.
Hanya bagaimana cara keluarga Dandang Mataun
menjebak dan membunuh mereka, belum jelas.
"Anakku Lingga," kata Sekarningrum. "Peta yang
berada ditangan paman Obar-abir sebenarnya adalah
peta yang palsu. Inilah yang aku katakan tadi, bahwa
jauh sebelumnya Bondan Sejiwan sudah membuat
persiapan untuk mengingusi mereka. Berbulan-bulan
lamanya mereka menggali sini dan membongkar sana.
Ratusan ribu ringgit telah mereka keluarkan sebagai
beaya pencarian harta karun itu. Tapi sebiji kerikil
emaspun tak mereka peroleh. Ha-ha ...! Benar-benar
memuaskan, dan setidak-tidaknya bisa menghibur hatiku
..." Cocak Prahara berlima menggeram mendengar ejekan
Sekarningrum. Menuruti hati, ingin mereka menerjang
dengan serentak. Akan tetapi mereka takut terhadap
Lingga W isnu. Maka akhirnya mereka hanya mengumpat
kalang kabut . Sekarningrum sendiri tidak menggubris. Setelah
tertegun-tegun sejenak, ia meneruskan lagi
"Dia telah t ersiksa. Urat-urat kaki dan t angannya telah
terputuskan. W alaupun pendekar Udayana telah berhasil
menyelamatkan jiwanya, pastilah ia menjadi laki-laki
yang tidak berguna lagi. Aku tahu, hatinya keras dan
angkuh. Sekarang aku mendengar berita darimu, bahwa
engkau merawat tulang belulangnya. Artinya, dia benar-
benar selamat pada waktu itu. Untuk muncul kembali,
pastilah dia tak berdaya lagi. Kemudian mati oleh rasa
hati dendam dan mendongkol .. "
Lingga W isnu tak bergerak dari tempatnya, seolaholah tersihir. Otaknya yang
cerdas sibuk merangkairangkaikan peristiwa itu. Sekarang, latar belakang
sebabsebab t erjadinya pengejaran terhadap ayahnya. Seakanakan lebih jelas lagi.
Itulah mengenai peristiwa
pembunuhan dan peta. Ayahnya dahulu pernah
menyebut-nyebut jembatan Jala Angin yang berada di
puncak Gunung Lawu. Apakah maksudnya bukan
mengenai Bondan Sejiwan" Atau ... peta harta karun itu
yang disebutkan sebagai Tongkat Mustika warisan Ki
Sabdhopalon pada zaman Majapahit"
Terjadinya pengejaran terhadap ayahnya, terang
sekali suatu fitnah. Sebab ayahnya sama sekali tidak
melakukan pembunuhan. Juga tidak ikut serta merebut
peta harta karun. Demikianlah bunyi cerita Sekarningrum. Dan rupanya, setelah mengetahui peta itu
palsu, rasa mendongkol dan penasaran mereka,
ditimpakan pada ayahnya. Maka t erjadilah perburuan itu.
Alangkah jahat dan keji fitnah itu! Dengan mata
menyala, ia lant as mengalihkan pandangnya, kepada
Cocak Frahara berlima Dari halaman serambi depan, Cocak Prahara
menantang : "Hai, Lingga! Kau tadi mendengar ilmu gabungan
Panca-sakti. Itulah ilmu sakti kebanggaan keluarga
Dandang Mataun Bagaimana" Apakah kau berani
mencobanya" Kalau berani, hayo keluar!"
Panas hati Sekarningrum mendengar bunyi tantangan
saudaranya. Akan tetapi ia sadar ilmu gabungan itu
memang hebat. Bahkan terlalu hebat bagi Lingga Wisnu.
Maka dengan menahan diri, ia berkata kepada Lingga
W isnu : "Kau pulanglah! Jangan layani mereka!"
Lingga W isnu tahu maksud ibu Sekar Prabasini.
Memang, untuk mencoba-coba ilmu gabungan Pancasakti, bukanlah mudah. Tapi kalau
hanya berlawanan seorang demi seorang dari mereka, ia sanggup
mengalahkan. Almarhum Bondan Sejiwan sendiri sulit
memecahkan rahasia ilmu sakti itu. Terhadap dirinya,
Cocak Prahara berlima sudahi bersikap memusuhi. Kuat
dugaan mereka, bahwa dirinya mempunyai hubungan
dengan almarhum Bondan Sejiwan. Karena almarhum
adalah musuh besar mereka, maka d irinya pun dianggap
demikian pula. Mereka, berlima adalah manusia-manusia
kejam. Dan tidak akan segan-segan menggunakan segala
macam tipu-daya. Kemungkinan sekali, dia akan
mengalami malapetaka, apabila tidak berhati-hati. Itulah
sebabnya dia berbimbang bimbang.
"Hmmm! Jadi engjcau tidak berani, bukan?" ejek
Cocak Abang. "Kalau begitu, kau berlut utlah dihadapan
kami t iga kali! Dan kami akan mengidzinkan engkau pergi
dengan selamat." Itulah suatu ejekan yang menyakitkan hati. Sebelum
Lingga W isnu menyahut, berkatalah: Cocak Mengi
menyambung ucapan kakaknya :
"Kau idzinkan dia pergi dengan selamat" Kukira,
meskipun sekarang dia sudi berlut ut, sudah kasep!"
setelah berkata demikian, ia membentak kepada Lingga
W isnu dengan suara nyaring: "Anak muda, malam ini
engkau harus mencoba-coba kepandaian kami berlima!"
Panas hati Lingga W isnu mendengar ucapan rnereka
berdua. Tak sudi ia kalah gertak. Maka menyahutlah ia
dengan nyaring pula : "Kudengar ilmu-gabungan Panca-sakti ciptaan keluarga Dandang Mataun, hebat sekali dan tak
terkalahkan. Akan tetapi, sebenarnya aku ingin
mencobanya. Sayang saat ini aku letih sekali. Sudikah
kalian mengidzinkan diriku beristirahat selama satu jam
saja?" Lingga W isnu mengganti sebutan paman dengan
kalian. Artinya, ia memandang mereka sebagai
musuhnya pula. Sebaliknya, mereka tak menghiraukan
sama sekali. Memang Lingga W isnu sudah dipandang
sebagai musuh yang harus dibinasakan. Jawab Cocak
Abang dengan nada mengejek .
"Baik, satu jam! Tetapi meskipun engkau beristirahat
sampai delapan hari, mustahil dapat lolos dari ilmugabungan kami!"
"Hai, nant i dulu!" seru Cocak Rawa. "Jangan jangan
binatang ini sedang merencanakan suatu muslihat. Mari
kita bereskan sekarang saja!"
"Jangan!" cegah Cocak Prahara. "Kakakmu sudah
mengabulkan permint aannya. Biarlah dia hidup satu jam
lebih lama.. Hanya saja, kita harus menjaganya jangan
sampai d ia kabur." "Kalau begitu, suruhlah dia beristirahat di dalam
gedung olah-raga!" Cocak Ijo memberi saran, "Di sana
kita mengurungnya." Cocak Prahara menyetujui saran itu. Maka berkatalah
ia kepada Lingga W isnu dengan suara nyaring :
"Hai, kau Lingga! Kau beristirahatlah di dalam gedung
olah-raga sana! Dengan begitu, kami tak usah khawatir
engkau akan lolos." "Baik," sahut Lingga W isnu dengan suara tenang.
Kemudian bangkitlah dia dari t empat duduknya.
Sekarningrum dan Sekar Prabasini menjadi bingung.
Ingin mereka mencegah kepergiannya. Akan tetapi sama.
sekali tak berdaya. Maka terpaksalah mereka mengikuti
Lingga W isnu memasuki gedung olah-raga. Dan dalam
pada itu, Cocak Prahara sudah memberi perint ah kepada
anak buah mereka, untuk menyalakan beberapa puluh
pelita, yang terbuat dari buah jarak. Seketika itu juga
ruang gedung olah-raga terang benderang.
Ternyata di dalam gedung itu, sudah terdapat
beberapa orang bersenjata lengkap. Di antara mereka,
Lingga W isnu mengenal tiga orang. Itulah RBhumi alias
Rekso Glempo, ketua perserikatan Macan Kumbang. Jaya
Tatit dan Zubaedah. Melihat Lingga W isnu, Pekso Glempo
berkata : "Saudara yang baik hati, kami mendengar engkau
diberi kesempatan beristirahat selama satu jam. Kau
gunakan sebaik-baiknya. Apabila pelita-pelita itu padam,
itulah suatu tanda waktu istirahatmu sudah habis."
Lingga W isnu tidak menjawab. Dia hanya mengangguk.. Setelah itu ia duduk di kursi yang berada
di tengah-tengah panggung.
Cccak Prahara berlima duduk pula di atas kursinya
masing-masing. Mereka bersikap mengurung. Merekapun
mengendorkan urat-uratnya untuk ikut beristirahat pula.
Akan tetapi di belakang mereka, berderet enambelas
orang. Diantara mereka nampak Cocak Kasmaran, Cocak.
Fawun dan Sondong Rawit. Lingga W isnu menebarkan penglihatannya dan dengan
sekali melihat, tahulah dia bahw a mereka menduduki
penjuru-penjuru tertentu yang sudah diperhitungkan.
Pikirnya d i dalam hati: 'Memang benar sulit untuk
memecahkan barisan mereka.'
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia duduk dengan tangan berjuntai sambil memeras
pikirannya. Menghadapi duapuluh satu orang, rasanya
hanya bisa membela diri saja. Untuk mengharapkan
dapat meloloskan diri, sangatlah sukar. Ia tahu pula,
apabila terkurung terus menerus, lambat laun tenaganya
akan terkuras habis. Akhirnya ia akan robch seperti
almarhum Bondan Sejiwan. Pikirnya lagi: 'Paman Bondan
Sejiwan yang berkepandaian demikian sakti, masih tidak
sanggup memecahkan rahasia ilmu gabungan Pancasakti. Apalagi aku ... '
Selagi berpikir demikian, tiba-tiba teringatlah dia
kepada beberapa halaman terakhir buku warisan ilinu
sakti Bondan Sejiwan. Itulah sebuah kitab yang berjudul:
'Kitab Rahasia Keluarga Setan Kobar'. Pada bagianbagian halaman itu, pernah ia
menjadi bingung. Karena tidak dapat menyelami arti dan int inya, sampailah dia
perlukan menjenguk goa, untuk melihat gambar-ganbar
pada dindingnya. Setelah dicocokkan, barulah dia
mengerti! Hanya saja, w aktu itu ia belum menyadari dan
mengetahui, arti dan int inya. Sebab nampaknya kusut
sekali, diantaranya terdapat suatu keterangan, bahwa ia
harus menyerang empat sampai delapan penjuru dalam
satu gebrakan. Kenapa begitu" Apakah bukan dipersiapkan untuk melayani dan menghadapi serangan
musuh yang tiba dengan berbareng dari pelbagai
penjuru" Lingga Uisnu terbenam dalami pikirannya. Ia merekareka dan menjenguk latar
belakangnya karena rupanya
setelah Bondan Sejiwan terlolos dari tangan-tangan
musuhnya, bersembunyilah dia untuk memecahkan
rahasia ilmu gabungan Panca-sakti keluarga Dandang
Mataun. Akhirnya oleh ketekunan dan kekerasan hatinya,
berhasilah dia mencipt akan ilmu pemunahnya yang
istimewa. Seumpama Bondan Sejiwan tidak terpotong
urat-urat kaki dan tangannya, pastilah dia akan datang
ke dusun Kemuning untuk menuntut balas. Sayang pada
saat itu, ia sudah cacad. Namun dendamnya terhadap
keluarga Dandang Mataun, bergolak hebat di dalam
dirinya. Maka ia berharap, bahwa pada suatu hari, ada
seseorang yang dapat menuntutkan dendamnya. Dan
disusunlah ilmu sakti dan penemuannya dengan rapih, di
dalam kitab dan pada gambar-gambar didinding goa.
Dengan sengaja ia membuat penyesatan dan jebakan.
Kecuali kitab saktinya dilumuri racun, peti penyimpannya
diperlengkapi dengan panah rahasia yang berbisa pula.
Semuanya itu dipersiapkan untuk menghalau tangantangan kotor keluarga Dandang
Mataun yang dibencinya. 'Syukurlah aku telah menemukan kitab warisannya
dan dapat memahami serta menyelam: int i serta isinya'
pikir pemda itu didalam rumunan benaknya. 'Dengan
bekal ilmu saktinya, kecuali dapat lolos dari marabahaya,
akupun akan dapat menuntutkan dendamnya paman
Bondan Sejiwan. Akh, arwah paman Bondan Sejiwan
pasti akan bersenyum puas, karena tak sia-sialah jerih
payahnya t atkala menciptakan ilmu sakti itu.'
Memperoleh pikiran demikian, Lingga W isnu jad i t egor
hati. Kedua matanya yang terpejam menjadi menyinarkan cahaya berkilat. W ajahnya nampak, terangbenderang. Dan pada saat
itu nyala pelita hampir habis.
Kira-kira seperempat jam lagi, pelita-pelita itu akan
padam. Dan itulah suatu tanda, bahwa pertempuran
yang menentukan akan segera dimulai.
Cocak Prahara berlima pada saat itupun menyenakkan
pula. Mereka heran, t atkala melihat w ajah Lingga W isnu
yang terang-benderang. Tak dapat mereka menebaknebak, apakah yang telah terjadi
di dalam d iri pemuda itu. Apakah dia sudah mendapatkan jalan keluar untuk
bisa kabur dengan selamat" Akh, tak mungkin. ilmu
gabungan Panca-sakti tidak memberi kesempatan kepada
set iap lawannya untuk bisa kabur. Meskipun demikian,
mereka berlima membuka matanya lebar untuk berjagajaga kalau-kalau Lingga W isnu
benar benar hendak melesat kabur. Tetapi justru mereka bersiaga demikian, kembali
Lingga W isnu memejamkan kedua matanya. Pemuda itu
berusaha mengingat-ingat kembali semua petunjukpetunjuk sakti di dalam kitab
warisan pendekar Bondan Sejiwan. Ia menghafalkan dan mencetak segala gerakan
dengan kuat di dalam benaknya. Seolah-olah lagi
menekuni kitab warisan, ia memeriksa halaman demi
halaman. Tiba-tiba terbacalah kembali kalimat pada
bagian 'Penentuan'. Bunyi kalimat itu: 'Dengan sebilah
pedang, potonglah jerami goni berserabutan'. Dan
membaca kalimat itu, ia kaget bukan kepalang sampai
berkeringat. 'Celaka!' demikian ia menjerit didalam hati. Mengingat
pengalaman kemarin, malam in i aku datang kemari
dengan tidak membawa senjata. Dengan demikian, aku
tidak akan mengalami kesulitan seperti kemarin. Tak
tahunya kini aku dipaksa unt uk bertempur. Dan jurus itu,
justru menitik beratkan pada tenaga pedang atau golok.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan"'
Selama itu, Sekar Prabisini terus memperhatikan
keadaan Lingga W isnu. Ia ikut berlega hati tatkala
melihat wajah pemuda itu terang-benderang. Tiba-tiba
sekarang dilihatnya pemuda itu seperti kehilangan
pegangan. Ia jadi terperanjat dan cemas. Pikirnya :
'Kenapa dia seperti tergoncang" Ia seperti kehilangan
kepercayaan kepada diri sendiri. Hal in i berbahaya ...'
memperoleh pikiran demikian, ia ikut menjadi bingung.
Dalam pada itu., seperti seseorang kehilangan keblat,
Lingga W isnu merenungi nyala pelita pelita yang hampir
padam. Ia sibuk bukan main, karena belum memperoleh
penyelesaian. Pada waktu itu, datanglah Sukarwati,
pelayan Sekar Prabasini yang cantik, membawakan
secangkir teh panas. Ia menghampirinya seraya berkata
mempersil ahkan : '"Tuan, silahkan minum sebelum mulai.''
Pikirannya Lingga W Isnu sedang kusut. Ia kenal
pelayan perempuan itu, sebagai orang kepercayaan
Sekar Prabasini. Sikapnya sopan dan menarik, Maka
tempa ragu-ragu lagi, ia menyambuti cangkir pemberiannya. Dan terus saja ia tenpelkan pada
mulut nya. Tetapi tatkala hendak meneguk isinya, tibatiba cangkir yang.
tergenggam ditangannya pecah
berantakan oleh suatu benturan senjata bidik. Ia kaget.
Dan dengan pandang penuh pertanyaan, ia menebarkan
penglihatannya. Tepat pada saat itu, masih sempat ia
melihat Sekar Prabasini menarik tangannya. Maka
tahulah ia, bahwa itulah perbuatan Sekar Prabasin i. Dan
sadarlah dia, apa artinya.
'Benar-benar berbahaya di sin i,' katanya di dalam hati.
'Kenapa aku jadi begini goblok" Kenapa tak teringat
pengalaman paman Bondan Sejiwan" Paman dahulu
mengira bubur yang dihirupnya adalah masakan
isterinya. Isterinyapun percaya, bahwa bubur itu tak.
mengandung sesuatu, karena diperolehnya dari ibu
kandungnya sendiri. Sekarangpun, aku menerima cangkir
pemberian Sekarwati, karena dia adalah pelayan Sekar
Pra- basin i. Kenapa aku tak dapat berpikir bahw a pelayan
ini hanya sekedar pelaksana perint ah majikannya"'
Justru pada saat itu, ia mendengar Cocak Ijo meledak
mendamprat Sekar Prabasini :
"Binatang' Ibu dan anaknya memang setali tiga uang!
Ada ibunya, ada anaknya! Ibunya bersekutu dengan
bangsat. Anaknyapun bersekongkol dengan orang luar
pula." Tapi Sekar Prabisin i tidak gentar menghadapi
dampratan Cocak Ijo itu. Dengan berani ia membalas
mendamprat : "Leluhur keluarga Dandang Mataun menang sangat
hebat. Nilai budi pekertinya benar-benar setinggi langit,
sehingga amal perbuatannya memang luar biasa
hebatnya. Mengamal dengan memperbaiki jembatanjembatan, membuat jalan jalan
besar, memberi sedekah kepada orang-orang miskin. Pendek kata, merupakan
keluarga yang maha mulia."
Itulah suatu ejekan yang sangat hebat. Karena saja
Cocak Ijo murka sampai berjingkrak. Dengan muka
merah padam dan dada seakan-akan hendak meledak, ia
bergerak hendak menerkam keponakannya. Akan tetapi
Cocak Prahara dengan segera menghalanginya. Katanya
memperingatkan : "Jangan terbagi perhatianmu! Mungkin ini suatu tipu
muslihat untuk memberi kesempatan kepada bocah itu
agar bisa melarikan diri."
Cocak Ijo tersadar oleh peringatan itu. Cepat ia
menguasai diri dan duduk kembali di atas kursinya. Dan
pada saat itu, kesan cemas yang terbayang diwajah
Lingga W isnu telah lenyap. Serangan senjata bidik Sekar
Prabasin i memberi ilham kepadanya, di hati :
'A kh, benar! Kenapa aku tidak menggunakan senjata
bidik saja sebagai gant i sebilah pedang" Dalam hal
melepaskan senjata bidik, aku masih berada di atas
kepandaian paman Bondan Sejiwan. Bukankah aku
mengenakan pula baju mustika pemberian Ki Ageng
Gumbrek" Kenapa aku tidak membiarkan saja kena
hajaran mereka beberapa kali" Dengan begitu aku
mempunyai kesempatan untuk menggempur mereka dan
memecahkan ilmu gabungan mereka.'
Dengan pikiran demikian, dalam sekejab saja berseriserilah wajahnya. Terus saja
ia berbangkit dari kursinya
dan berkata memutuskan : "Cukup! Aku sudah cukup beristirahat! Silahkan kalian
mulai!" 0ooo-d-w-ooo0 1. Pecahnya Ilmu Panca Sakti
Itulah keputusan yang mengejutkan, karena lebih
cepat dari w aktu yang telah ditentukan. Beberapa tetamu
berteka-teki. Akan tetapi Cocak Prahara bersikap acuh
tak acuh. Mereka segera memerintahkan anak buahnya
untuk menukar dengan pelita-pelita baru. Kursi-kursi pun
segera dipinggirkan. Kata Lingga W isnu :
"Marilah kita tentukan dahulu syarat syarat menang
dan kalahnya." "Syarat menang kalah bagaimana?" Cocak Prahara
menegas. "Bagaimana kalau pihakmu yang kalah dan aku yang
menang?" "Hmm Kalau engkau menang, bawalah emas yang kau
kehendaki!" sahut Cocak Prahara. "Sebaliknya
apabila engkau tak berhasil, tak usah dibicarakan lagi."
Lingga W isnu t ahu akan arti perkataan itu. Jika kalah,
artinya jiwanya tak tertolong lagi. Sebaliknya apabila
menang, mungkin sekali mereka mempunyai dalih untuk
menyangkal. Maka katanya :
"Kalau begitu, bawalah emas itu ke mari. dahulu.
Tumpuklah dihadapanku. Bila aku menang, segera akan
membawanya pulang." Heran Cocak Prahara mendengar ucapan Lingga
W isnu. Terang sekali, ia sudah terkepung rapat. Kenapa
masih bisa mengharapkan kemenangan" Apakah pegangannya" Sedangkan Bondan Sejiwan yang berkepandaian tinggi pun tidak manpu meloloskan diri
dari ilmu-gabungan Panca-sakti yang dahsyat luar biasa.
Oleh pertimbangan itu, mereka menganggap ucapan
pemuda itu terlalu sombong. Dan mungkin sekali hanya
untuk menghibur diri sendiri.
Ilmu-gabungan Panca-sakti memang merupakan
pusaka andalan keluarga Dandang Mataun sejak puluhan
tahun yang lalu. Ilmu-gabungan itu dipersiapkan apabila
menghadapi musuh sebanyak empatpuluh atau limapuluh orang. Selamanya belum pernah gagal. Dan
sekarang, ilmu gabungan itu dilakukan untuk
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi seorang. Maka bisa dimengerti apa sebab
mereka menganggap bahwa ucapan Lingga W isnu terlalu
sombong dan tak masuk akal.
Sebenarnya, ilmu-gabungan Panca-sakti itu perlu
diperlihatkan apabila dalam keadaan terpaksa. Mereka
khawatir akan dijiplak orang. Tetapi karena Lingga W isnu
terlalu tangguh bagi mereka, maka satu-satunya jalan
untuk mengalahkannya hanyalah dengan menggunakan
ilmu gabungan tersebut. Mereka menebalkan mukanya
karena hal itu berarti main keroyok terhadap seorang
musuh. Persetan semua ejekan yang bakal terjadi. Bagi
mereka yang penting adalah menang. Dengan begitu
kewibawaan keluarga Dandang Mataun tidak akan runtuh
di dalam pergaulan. "Hai, Prabasini!" kata Cocak Prahara dengan
membusungkan dadanya. "Bawalah kantong emas itu
kemari. Ingin aku tahu, clia bisa berbuat apa terhadap
keluarga Dandang Mataun!"
Dalam hati, Prabasin i menyesali diri sendiri. Jika
tahu bakal begini jadinya,
pastilah dia akan mengembalikan kantong emas itu tatkala Lingga W isnu datang memintanya.
Sekarang, pemuda itu dipaksa mempertaruhkan jiwanya. Itulah suatu hal
yang tidak dikehendaki. Sekarang tak dapat ia berbuat lain kecuali patuh kepada
perint ah pamannya. Maka dengan lesu ia mengambil
kantong emas yang disimpannya. Kemudian ditaruh
diatas meja didalam ruang gedung.
"Jangan kau letakkan diatas meja!" tegur Cocak Fawa.
"Sontakkan diatas lantai dan aturlah seperti peta!"
Dengan tetap berdiam diri, Sekar Prabasini menyentak
kantong enas itu. Kemudian mengatur potonganpotongan enas itis sedemikian rupa
sehingga mirip gambar dunia. Dan setelah beres, berserulah Cocak
Prahara berlima dengan berbareng :
"Mari k ita mulai!"
Merekapun dengan serentak menghunus senjata
masing-masing. Lingga W isnu segera bersiaga pula. Akan
tetapi tatkala hendak bergerak, tiba tiba terdengarlah
suara tertawa bergelagak. Dan terdengar seseorang
berkata dengan suara nyaring :
"Saudara Cocak Prahara. Kami Anjar Semaja datang
mengunjungi kalian, untuk menanggung dosa!"
Cocak Prahara berlima terperanjat. Anjar Semaja
adalah pemimpin gerombolan penyamun yang bergerak
antara wilayah Paron sampai Kediri. Kenapa dia datang
tempa diundang?" "Silahkan masuk, saudaraku yang baik!" terpaksa
Cocak Prahara mengundangnya masuk.
Belasan orang lantas saja masuk gedung olah raga
saling susul. Perawakan mereka tak rata. Ada yang tinggi
besar, pendek, gencut dan kurus. Tetapi yang berjalan
didepan adalah Anjar Semaja, pemimpin gerombolan
Awu-awu langit yang termashur. Pengaruh dan
kewibawaannya tidak di bawah tataran keluarga
Dandang Mataun. Pada saat itu, Lingga W isnu berpaling kepada Sekar
Prabasin i. Gadis itu nampak mencoba menenangkan diri
meskipun wajahnya tegang Maka teringatlah dia kepada
perbuatan Sekar Prabasini t atkala membunuh Jumali dan
kawan kawannya di atas perahu. Mungkin sekali yang
datang sekarang ini, adalah pemimp innya, untuk
membuat perhitungan. Cocak Prahara menyambut kedatangan Anjar Semaja
dan mempersilalnkan duduk. Bertanya mint a keterangan:
"Saudara Anjar, sahabatku. Tengah malam buta
engkau mengunjungi gubuk kami. Sebenarnya apakah
maksudmu" Ha, kulihat pula rekan Buyut Sodana datang
pula. Ai , benar-benar suatu kehormatan besar bagi kami.
Setelah berkata demikian, Cocak Prahara membungkuk hormat kepada seorang tamu yang berada
dibelakang Anjar Semaja. Orang itu pesolek. Usianya
kurang Lebih empat puluh tahun. Ia berpakaian rapih.
dan kedua alisnya dicelak sehingga mirip anak ningrat
yang doyan perempuan. Dengan tertawa biesar, Anjar Semaja membalas
teguran Cocak Prashara. Katanya setengah berseru :
"Saudara Cocak Prahara, kau berbahagia sekali! Kau
mempunyai seorang keponakan perempuan yang berotak
cerdas dan berkepandaian tinggi. Sehingga Jumali dan
beberapa kawannya roboh ditangannya. Aku jadi
kehilangan pamorku .."
Heran Cocak Prahiara mendengar ucapan Anjar
Semaja. Dia dan keempat saudaranya sebenarnya belum
memperoleh laporan tentang sepak terjang Sekar
Prabasin i berlawan-lawanan dengan pihak Awu-awu
Langit. Belasan tahun lamanya terjadi suatu kerja sama
antara pihak Awu-awu Langit dan keluarga Dandang
Mataun. Didalam kebanyakan hal kedua pihak saling
membagi pekerjaan dan rezeki. Sekarang, Cocak Prahara
tengah menghadapi seorang lawan tangguh. Maka tak
ingin ia membuat. persoalan baru. Sahutnya dengan
sabar : "Sahabat, sebenarnya apakah yang telah di lakukan
oleh keponakanku t erhadapmu" Percayalah bahw a kami
tidak akan melindungi pihak yang salah. Siapa yang
berhutang jiwa harus dibayar dengan jiwa pula.
Sebaliknya, siapa yang berutang uang, harus dibayar
dengan uang pula. Bukankah demikian?"
Anjar Semaja tidak mengetahui latar belakang
persoalan keluarga Dandang Mataun. Ia tak pernah
menduga, bahwa pada saat itu Cocak Prahara berlima
sudah memandang Sekar Prabasin i sebagai musuh yang
harus disingkirkan. Karena itu, dia heran mendengar
kata-kata Cocak Prahara. Pikirnya di dalam hati :
'Benar-benar mengherankan! Kenapa si t ua bangka itu
yang biasanya sombong dan tak memandang mata
kepada siapapun, kali ini pandai berbicara" Apakah
karena dia takut menghadapi rekan Buyut Sedana"'
Dengan pikiran itu, ia menebarkan penglihatannya.
Tatkala melihat Lingga W isnu berada diant ara keluarga
Dandang Mataun, rasa herannya kian bertambah.
Bukankah pemuda itu yang dilaporkan sebagai seorang
pendekar muda-belia yang berkepandaian t inggi" Diapun
disebut pula sebagai sahabat Sekar Prabasin i. Maka
kembalilah ia berpikir di dalam hati :
"T ua bangka ini mempunyai seorang pembantu yang
hebat sekali. Aku rasa, Buyut Sodana, pun tak akan
sanggup melawannya. Akh, baiklah aku berjaga-jaga.
Mungkin dia sedang mengadakan tipu daya. Dia bersikap
halus dan lapang. Biarlah akupun bersikap demikian
pula.' Oleh rasa pertimbangan itu segera ia berkata
dengan suara tenang : "Kami, pihak Awu-awu Langit, belum pernah bentrok dengan pihakmu. Karena itu,
dengan memandang keangkaran kalian berlima, biarlah kuselesaikan persoalan Jumali. Aku anggap saja kematiannya terjadi
oleh kepandaiannya sendiri yang masih dangkal. Hanya
saja, mengenai emas itu," ia berhenti sebentar
mengarahkan pandangnya kepada beberapa puluh
potong emas yang tergelar di atas lantai. Meneruskan:
"Kami telah mengikut i barang itu berpuluh-puluh
kilometer jauhnya. Kami telah membuang tenaga dan
beaya yang tak sedikit. Malahan kami kehilangan jiwa
pula. Demi untuk melangsungkan hidup kami, maka ..."
Anjar Semaja tidak menyelesaikan perkataannya.
Cocak Prahara mengikut i pandangnya. Begitu melihat
pandang Anjar Semaja berada pada potongan emas,
hatinya jadi lega. Jadi kedatangan Anjar Semaja bukan
untuk mengadakan perhitungan balas dendam. Kalau
hanya soal emas saja malah kebetulan. Mereka bisa
diperkaitkan dengan Lingga W isnu. Maka katanya dengan
suara terbuka : "Emas yang saudara sebutkan berada disini. Ambillah
jika saudara menghendaki! Kami tidak akan menghalangi." Kembali lagi Anjar Semaja heran mendengar ucapan
tuan rumah. Kenapa ketua keluarga Dandang Mataun itu
demikian baik budi kali ini" Ia tadi menyangka buruk
kepadanya. Dengan cermat ia mengamat-amati wajah
Cocak Prahara. Benar benar orang itu berkata dengan
sungguh hati sehingga oleh kesan itu, ia menjawab :
"Saudara Cocak Prahara! Aku harus tahu diri. Aku
tidak mau mengambil seluruhnya. Bila kau idzinkan
mengambil separo saja, kami semua akan menghaturkan
rasa terima kasih yang tak terhingga. Emas itu
sesungguhnya akan kubuat menunjang keluarga yang
kehilangan jiwa serta untuk merawat mereka yang lukaluka."
"Silahkan! Silahkan ambil sendiri!" Cocak Prahara
menyetujui. Anjar Semaja bangkit dari kursinya dan membungkuk
hormat. Setelah mengucapkan terima kasih, segera ia
memberi isyarat tangan kepada anak buahnya untuk
memunguti emas yang bertebaran diatas lantai. Akan
tetapi baru saja tangan mereka meraba potongan emas,
tiba-tiba suatu kesiur angin menolaknya. Mereka
terdorong mundur. Agar jangan sampai roboh terjengkang, terpaksalah mereka mundur lagi beberapa
langkah. Dengan serentak mereka menoleh, dan
dihadapan-nya berdiri Lingga Wisnu yang berkata kepada
Anjar Semaja dengan tenang :
"Paman Anjar Semaja! Emas ini sesungguhnya uang
perbekalan tentara Panglima Sengkan Turunan Karena
itu apabila kau rampas, akan besar akibatnya dikemudian
hari." Nama panglima Sengkan Turunan pada waktu itu
sangat t ermashur. Akan tetapi, bagi Anjar Semaja, yang
biasa hidup bermajikan atas dirinya sendiri, tidak
mengacuhkan. Nama Panglima Sengkan Turunan tiada
pengaruhnya sama sekali. Sambil tertawa melalui
dadanya, ia menoleh kepada Buyut Sodana. Katanya :
"Hai, kau dengar sendiri" Kita akan digertaknya
dengan nama Panglima Sengkan Turunan!"
Buyut Sodana membawa sebatang pipa panjang mirip
alat penghisap candu. Rokok buatannya sendiri sebesar
ibu jari dihisapnya perlahan-lahan dan asapnya
dikepulkan ke udara beberapa kali. Sikapnya tenang
sekali dan tiada niatnya untuk menyahut ucapan Anjar
Semaja. Dia hanya mengerling. Kemudian menatap
wajah Lingga W isnu. Lingga W isnu membalas pandangnya. Buyut Sodana
yang berusia pertengahan itu, berkesan angkuh dan
agung-agungan. Ent ah apa sebabnya, mendadak saja,
memperoleh kesan dengki kepadanya. Akan tetapi
apabila melihat pandang matanya memiliki sinar tajam
dan raut muka yang bersemu kemerah-merahan,
percayalah dia, bahw a orang itu pastilah seorang
pendekar atau berandal yang berkepandaian tinggi.
Karena itu, tak berani memandang ringan. Dengan
mengangguk ia berkata rendah hati :
"Apakah paman ikut campur pula dalam soal ini"
Siapakah nama paman" Karena aku baru saja merant au,
belum memperoleh kesempatan mengenal nama paman"
Buyut Sodana t idak menjawab. Ia mengepulkan asap
rokoknya. Dan kali in i mengarah wajah Lingga W isnu
dengan tepat. Dan tatkala menghisap rokoknya untuk
yang kedua kalinya, ia mempermainkan asapnya diant ara
kedua lubang hidungnya. Seperti dua ekor ular keluar
dari lubang persembunyiannya, asap rokok itu berlenggat
lenggot mendaki tinggi. Menyaksikan lagaknya, sama
sekali Lingga W isnu tidak menjadi sakit hati. Sebaliknya
Sekar Prabasin i hendak menegurnya. Tapi pada saat itu
juga, Sekarningrum yang berada disampingnya, menggamit pundaknya agar menguasai diri.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Prabasin i menoleh. Ia melihat ibunya menggelengkan kepalanya dengan perlahan. Sebagai
seorang gadis cerdas, tahulah ia artinya. Meskipun
hatinya mendongkol, terpaksalah ia menahan diri.
Dalam pada itu, Buyut Sodana sedang membuang sisa
rokoknya. Kemudian mengetuk-ketukkan mulut pipanya
yang panjang hendak membuang sisa abu dan
tombakau. Setelah itu ia menggulung rokoknya yang
baru dan disematkan pada pipanya. Lalu dinyalakannya.
Kemudian kembali lagi ia menghisapnya dengan nikmat.
Dan menyaksikan lakunya yang dibuat-buat itu, Cocak
Prahara berlima menjadi tak sabar lagi. Namun karena
Buyut Sodana adalah seorang pendekar kenamaan
semenjak beberapa puluh tahun yang lalu, sedapatdapatnya mereka mengendalikan
diri. Ilmu sakti Buyut Sodana bernama Kuntul Haneba. Dua
puluh tahun lebih, ia merajalela di Jawa Timur tempa
tandingan. Senjata andalannya yang berbentuk sebatang
pipa panjang, mempunyai daya kerja yang istimewa.
Kecuali dapat dibuat menikam, bisa pula unt uk menggaet
senjata lawan. Namun selama itu, keluarga Dandang
Mataun belum pernah menyaksikan sendiri kegagahannya. Percaya kepada kabar ketangguhannya,
mereka berharap agar dia bent rok dengan Lingga W isnu.
Syukur apabila pemuda itu dapat dikalahkan. Dengan
begitu, mereka tidak usah menerobos tenaga lagi.
Sekiranya tidak berhasil mengalahkannya, set idaktidaknya tenaga pemuda itu akan
berkurang. Buyut Sodana menyalakan api dan menyulut rokoknya,
yang agaknya belum terbakar penuh. Selagi demikian,
tiba-tiba melesatlah sesosok bayangan ke dalam ruang
gedung sambil berseru: "Kembalikan emasku!"
Bayangan itu mendarat diatas lantai dengan manis
sekali. Temyata dia seorang gadis. Hanya selisih
beberapa detik, mendarat pulalah seorang pemuda yang
berperangai kasar. Kemudian seorang laki-laki berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Ia berdandan sebagai
seorang pedagang. Roman mukanya berkesan lucu.
Lingga W isnu sudah mengenal gadis itu. Dia adalah
Suskandari. Ia girang berbareng khawatir dan kaget. Ia
girang karena kedatangannya berarti membantu dirinya.
Hanya saja, ia belum mengetahui betapa kepandaian
kedua kawan yang di bawanya. Iapun khawatir
memikirkan Sekarningrum dan Sekar Prabasini. Semenjak
mereka berdua menentang keluarganya, pastilah Cocak
Prahara berlima tidak akan bersegan-segan menganggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Disamping Cocak Prahara berlima,
terdapat gerombolan Awu-awu Langit dan Macan
Kumbang. Pengsn demikian, ia harus berlawan-lawanan
dengan tiga kelompok musuh yang tangguh. Kecuali
harus bisa membela diri, iapun perlu melindungi
Sekarningrum dan Sekar Prabasini. Sekiranya kedua
kawan Suskandari itu hanya berkepandaian sedang saja,
ia bisa membayangkan betapa dirinya akan dibuatnya.
sibuk. Benar-benar suatu keadaan yang tidak menggembirakan. Pada w aktu itu, beberapa anggaut a keluarga Dandang
Mataun lantas saja menghadang Suskandari dengan
kedua kawannya. Dan pemuda yang berada dibelakang
Suskandari lantas saja berteriak menegor :
"Hai! Apa-apaan ini" Hayo, kembalikan emas kami!"
Setelah menegor demikian, pemuda itu lantas saja
menaiki lantai hendak memunguti potongan-potongan
emas yang nampak bertebaran. Dan menyaksikan hal itu,
Lingga W isnu jadi prihatin. Pikirnya didalam hati :
"Akhl Dia pemuda yang sembrono! Pemuda begitu
tentu tak dapat diharapkan bisa melakukan suatu
pekerjaan besar." Cocak Kasmaran melihat pemuda itu membungkuk,
hendak memunguti potongan-potongan emas. Segera ia
mengayunkan kakinya hendak menendang tangan.
"Kakang Puguh Karimawan! Awas!'' Suskandari
memperingatkan, begitu melihat gerakan kaki Cocak
Kasmaran. Meskipun seorang pemuda semberono, tetapi ia
bermata tajam dan sebat. Ia melompat ke samping untuk
mengelakkan tendangan Cocak Kasmaran. Setelah itu ia
membalas menyerang dengan kedua tangannya. Tentu
saja Cocak Kasmaran tidak sudi mengalah. lapun
membela diri dan menangkis dengan kedua tangannya
pula. Pres! Empat tangan bentrok dengan menerbitkan
suara. Kemudian kedua-duanya terpental mundur
beberapa langkah. Pemuda itu menjadi penasaran. Ia maju lagi hendak
merfeilangi serangannya. Tiba-tiba orang berdandan
sebagai saudagar itu menyanggah :
"Harimawan! Tahan dahulu!"
Sekarang tahulah Lingga W isnu siapa pemuda itu.
Dialah kawan Suskandari yang ikut mengawal emas
perbekalan laskar Panglima Sengkan Turunan. Bukankah
Suskandari menerangkan bahwa emas itu kena dirampas
Sekar Prabasini setelah berpisah dari kawannya" Pemuda
semberono itu jadinya Puguh Harimawan, keponakan
Aria Puguh. Kalau begitu orang yang berdandan sebagai
pedagang itu, pastilah kakak seperguruannya sendiri:
Botol Pinilis. Memperoleh dugaan demikian, ia. memperhatikan
pedagang itu. Dia bersenjata sebatang cempuling pendek
semacam tongkat yang berujung tajam. Dan melihat
senjata itu, ia tak bersangsi lagi. Dengan gembira ia
melompat menghampiri pedagang itu, kemudian membungkuk hormat. Serunya dengan suara tegar:
"Kakang! Terimalah sembah hormat adikmu Lingga
W isnu!" Pedagang itu terbelalak. Segera ia menyambar kedua
tangan Lingga W isnu yang membuat sembah. W ajahnya
berseri-seri oleh rasa girang sekali. Sahutnya :
Lingga W isnu! Hai, apakah engkau adik seperguruanku" Kau masih begini muda belia. Akh,
benar-benar tak pernah aku sangka, bahwa kita akan
bertemu di sin i. Membayangkan atau bermimpi pun
tidak!" Suskandari menghampiri Lingga Wisnu. Berkata :
"Kakang! Inilah dia kakang Puguh Harimawan yang
kukatakan kepadamu."
Suskandari memperkenalkan si sembrono, dan Lingga
W isnu menoleh kepada, pemuda itu dan memanggut
kecil. Menyaksikan anggukan kecil itu, Puguh Harimawan
tak senang hati. "Hai, Harimawan! Kenapa engkau tak tahu tatasant un?" Tiba-tiba Botol Pinilis
menegur muridnya : "Bersembahlah kepadanya. Dialah pamanmu!"
Puguh Harimawan semakin merasa tak senang hati.
Bukankah Lingga W isnu lebih muda dari padanya"
Kenapa dia harus bersembah" Namun karena diperint ah
gurunya, mau tak mau segera ia menghampiri dan
hendak membuat sembah. Sembah itu dilakukan dengan
berat sekali. "Jangan! Tak usah engkau bersembah kepadaku,"
cepat Lingga W isnu mencegah dan menghalangkan
kedua tangannya. Puguh Harimawan yang telah setengah berlutut,
segera menegakkan kakinya kembali. Dia hanya
membungkuk pendek seraya memanggil paman kepada
Lingga W isnu. Katanya : "Saudara paman, terimalah hormatku ..."
"Apa itu saudara paman?" tegur Botol Pinilis.
"Meskipun usiamu lebih tua dari dia, akan tetapi t ataran
kedudukannya berada di atasmu. Dia seangkatan dengan
diriku." Merah wajah Puguh Harimawan kena tegur gurunya.
Lingga W isnu tertawa. Katanya dengan manis :
"Panggil saja aku paman kecil. Kalau perlu istilah
saudara pamanpun boleh."
"Y a, paman kecil ... eh, saudara paman ... eh, paman
kecil ..." sahut Puguh Harimawan terbata-bata .
Buyut Sodana mau tak mau harus menjadi penonton
saja, dalam menyaksikan tata-sant un pertemuan adik
dan kakak seperguruan serta keponakan murid dengan
paman gurunya. Kalau tadi dia memaksa orang agar
bersabar kepadanya, sekarang dialah yang kehilangan
kesabarannya. Ia mendongkol pula, karena menganggap
pekerti mereka tak memandang mata kepadanya. Sertamerta kedua matanya mencilak.
"Kamu semua in i orang-orang macam apa sebenarnya?" tegurnya dengan tinggi hati.
Teguran ini membuat semua orang heran dan kaget.
Akhirnya dia sudi pula membuka mulut dan ternyata
suaranya nyaring luar biasa, seperti teriakan burung
kakak tua. Gelombang suaranya tajam sekali menusuk
pendengaran. Akan tetapi Puguh Harimawan tak
mengenal takut. Dia maju selangkah seraya menyahut
dengan suara sengit : "Emas ini adalah emas kami. Kenapa kamu curi"
Karena itu, terpaksa aku mengajak guruku kemari untuk
mengambilnya kembali!"
Buyut Sodana tertawa melalui h idungnya dan sambil
mengepulkan asap rokoknya. Keruan saja Puguh
Harimawan mendongkol melihat lagaknya sehingga ia
berkata lagi : "Coba katakan terus terang, sebenarnya kau hendak
kembalikan atau t idak" Kalau t idak, hayo maju semua!
Buyut Sodana tertawa dua kali. Suara tertawanya pun
aneh pula. Kemudian menoleh kepada Anjar Semaja.
Katanya dengan mengangkat kepala:
"Coba beritahukan kepada budak ini, siapa aku
sebenarnya!" Anjar Semaja melakukan perint ahnya. Katanya :
"Inilah tuanku Buyut Sodana yang termashur
namanya. Kau masih muda belia seumpama belum
pandai beringus. Nah, bersembahlah kepadanya!"
Tentu saja Puguh Harimawan belum mengenal siapa
Buyut Sodana" Dia mendengar pula bahwa dirinya harus
menyembah orang itu. Lantas saja dia mendengus.
Sahutnya dengan sikap t ak perdulian :
"Aku tak perduli buyut buyutan
segala. Kami datang kemari untuk mengambil kembali emas kami." Tiba-tiba Cocak Kasmaran yang masih panas hati, maju
selangkah sambil berkata mengejek : "Eh, enak saja kau ngoceh Seperti burung. Kau
hendak mengambil emasmu kembali" Masa begitu gampang! Jika engkau mempunyai
kepandaian, kau layani aku dahulu! Kalau sudah, barulah
kita berbicara!" Tak usah dikatakan lagi, Cocak Kasmaran sudah
mencanangkan diri dan menant ang Puguh Harimawan
dengan terang-terangan. Belum lagi mu lut nya
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkam, tangannya sudah melayang. Dia ternyata
seorang berangasan yang ringan tangan.
Itulah serangan mendadak yang sama sekali tak
terduga. Dan pundak Puguh Harimawan terhajar telak.
Buk! Keruan saja sikasar itu murka bukan main. Segera
ia membalas menerang. Tangan kirinya menyambar
dengan cepat sekali. Serangannya mengenai perut. Bluk!
Cocak Kasmaran membungkuk karena perutnya jadi
mules. Dengan begitu kedua-duanya sama-sama kena
gebuk. Beberapa detik kemudian mereka lant as berkelahi
rapat seperti kambing. Kedua-duanya panas hati dan sengit. Lantas saja
terdengar suara blak-bluk-b lak-b luk yang gencar sekali.
Mereka saling mengamuk. Karena menuruti hati panas,
mereka t idak manperdulikan pembelaan diri lagi. Mereka
memukul awur-awuran dan tak pernah gagal pada
sasarannya. Dan menyaksikan hal itu, diam-diam Lingga
W isnu menghela napas. Pikirnya di dalam hati :
'Kenapa murid kakang Botol Pinilis begini tolol"
Seumpama menghadapi musuh tangguh, dengan satu
pukulan saja, dia pasti terjungkal roboh. Apakah kakang
Botol Pinilis tidak pernah memberi petunjuk-petunjuk"'
Puguh Harimawan bertubuh kuat dan gagah. Hatinya
jujur. Tetapi perangainya keras dan sembrono. Botol
Pinilis menerimanya sebagai murid karena kejujurannya
dan keadaan tubuhnya yang kuat. T etapi karena berhati
keras dan Semberono, pemuda itu tidak begitu cermat
menekuni ilmu tata berkelahi. Sekian tahun lamanya ia
menjadi murid Bot ol Pinilis, tetapi belum juga mewarisi
dua bagian kepandaian gurunya. Sebenarnya, dibandingkan dengan kepandaian Cocak Kasmaran ia
kalah jauh. Syukur tubuhnya kuat, serta tahan sakit
Sedang Cocak Kasmaran berkelahi hanya menuruti
perasaan hatinya, seakan-akan kalap. Sehingga pukulanpukulannya terjadi asal
saja. Demikianlah, mereka berdua terus saling gebuk makin
lama makin hebat. Kemudian tibalah pertempuran itu
pada babak akhir. Dengan tinju kanan, Puguh
Harimawan menggempur Cocak Kasmaran. Cepat-cepat
Cocak Kasmaran mengelakkan diri kekiri. Diluar dugaan,
tangan kiri Puguh Harimawan menyambar dengan suatu
kecepatan luar biasa. Serangan ini tak dapat dielakkan.
Cocak Kasmaran kena terhajar keras sekali. Tubuhnya
terbanting dan jatuh terkapar di atas lantai dengan tak
sadarkan diri. Kemenangan ini membuat hati Puguh Harimawan
besar dan girang sekali. Ia berbangga hati karena bisa
merobohkan lawannya. Dengan mengharap pujian, ia
menoleh kepada gurunya. Ia heran dan kaget tatkala
melihat wajah gurunya merah padam menahan rasa
amarah. 'Hai, kenapa guru bergusar kepadaku"
Bukankah aku menang"' pikirnya menebak-nebak.
Suskandari menghampiri kakak seperguruannya.
W ajah sang kakak bengap dan kuping kanannya
berdarah. Segera ia menyusuti dengan sapu t angannya.
Kata Suskandari setengah berbisik:
"Kenapa engkau sama sekali tidak mengelak satu
pukulanpun" Kenapa engkau melawan keras dengan
keras?" "Untuk apa aku mengelak?" sahut Puguh Ha-rimawan.
"Kalau aku main elak, pastilah aku tak akan berhasil
menghajarnya ..." Tiba-tiba terdengarlah suara Buyut Sodana yang
nyaring luar biasa : "Janganlah engkau terlalu cepat berbesar hati, setelah
dapat merobohkan seorang lawan. Eh, anak apakah
engkau benar-benar menghendaki emas itu?"
Setelah berkata demikian, Buyut Sodana. melompat
dan mengekangi deretan emas yang berserakan di atas
lantai. Katanya dengan membusungkan dada :
"T ak peduli engkau menggunakan tinju atau
dupakanmu Asal saja engkau mampu menggeserkan
kakiku, emas yang berada dibawahku boleh kau ambil
semua!" Semua yang mendengar ucapan Buyut Sodana
tercengang. Alangkah terkebur orang itu! Tak usah
dikatakan lagi, Puguh Harimawan mendongkol bukan
main. Sahutnya dongan sengit :
"Apakah mulutmu dapat aku percaya" Benarkah
ucapanmu sudah kau pikirkan panjang panjang" Janganjangan engkau menyesal!"
Buyut Sodana tertawa dengan mengangkat kepala.
Berkata kepada Anjar Semaja :
"Apakah bocah ini waras ot aknya" Dia berkata, aku
bakal menyesal. Lucu, tidak?"
Anjar Semaja tidak menyahut. Dia hanya jadi tertawa
kering. Keruan saja hati Puguh Harimawan mendongkol
bukan main. Teriaknya : "Akan kucoba!" Si sembrono Menghampiri Buyut Sodana dekat dekat.
Kemudian mengerahkan seluruh tenaganya dan mengayunkan kakinya, menghantam kaki Buyut Sodana.
Lingga W isnu yakin, bahwa tendangan Puguh
Harimawan mempunyai daya berat dua atau tiga ratus
kati. Tidak perdiuli betapa kuat Buyut Sodana, ia pasti
kena geser. Kecuali apabila d ia mempunyai ilmu gaib
diluar nalar manusia. Oleh pertimbangan itu, ingin ia
menyaksikan kesudahannya.
Pada saat kaki Puguh Harimawan hampir tiba pada
sasarannya, tiba-tiba dengan sebat sekali Buyut Sodana
menggerakkan pipa panjangnya memapak tendangan
kaki yang hampir tiba pada sasarannya. Tak! Tepat sekali
ujung pipanya mengenai lut ut. Dan Puguh Harimawan
roboh dengan gaya berlut ut. Kakinya menjadi kejang dan
tak bertenaga lagi. Buyut Sodana membungkuk membalas hormat Puguh
Harimawan sambil berkata :
"Hai! Hai! Jangan bersujut kepadaku demikian rupa!
Tak berani aku menerima sembahmu!"
Bukan main rasa hati Puguh Harimawan. Pada
pemuda itu seolah-olah terasa hendak meledak. Itulah
suatu hinaan besar baginya. Namun ia tak bertenaga
lagi. Diluar kehendaknya sendiri, tubuhnya mei bungkukbungkuk seakan-akan sedang
membuat sembah. Suskandari terperanjat menyaksikan hal itu. Cepat-cepat
ia menghampiri kakak seperguruannya. Kemudian
memajangnya dan dibawanya menghadap kepada
gurunya. Kata gadis itu dengan suara meminta :
"Paman. Orang itu harus paman hajar biar jera!"
Puguh Harimawan yang mendongkol karena kina
diingusi, mendamprat : "Kau manusia busuk! Kau menggunakan akal bulus!
Kau bukannya seorang pendekar!"
Botol Pinilis memijat pinggang dan punggung
muridnya. Setelah itu memijit pahanya pula. Sambil
memijat-mijat, ia berkata dengan perlahan :
"Masih beran ikah engkau semberono di kemudian
hari?" Si semberono memburigkam mulut . Namun ia
bersyukur karena tenaganya pulih kembali oleh pijatan
gurunya. Dan menyaksikan hal itu, diam-diam Buyut
Sodana kagum terhadap si pedagang sama sekali tak
diduganya, bahwa dengan suatu pijitan saja, bocah itu
dapat dipulihkan tenaganya. Dan selagi ia keheranan,
tiba-tiba Botol Pinilis berkata kepadanya :
"Ini sudah masuk perhitungan."
Dan setelah berkata demikian, tangan kanannya
menarik cempulingnya. Jelaslah sudah, bahwa ia hendak
maju untuk menolong kehormatan muridnya. Dan
melihat dia maju, Lingga W isnu berpikir di dalam hati:
"Kakang Botol Pinilin adalah murid aliran Sekar T eratai
yang tertua. Aku adalah adiknya. Dan sudah selayaknya
kalau aku yang maju terlebih dahulu." Dan memperoleh
pikiran demikian, ia segera berseru kepada Botol Pinilis :
"Kakang, biarlah aku dahulu yang maju. Bila tak
berhasil, baru nanti kakang menggantikan."
"Jangan! Biar aku saja yang maju." jawab Botol Pinilis
dengan perlahan. Botol Pinilis berbimbang-bimbang untuk mengidzinkan
adik seperguruannya mewakili dirinya. Adik seperguruannya itu masih muda. W alaupun gurunya
kabarnya telah mewariskan semua ilmunya dengan
sempurna, namun ia masih mengkhawatirkan akan masa
latihannya. Kecuali itu, pastilah dia mempunyai
pengalaman. Menghadapi Buyut Sodana yang sudah
banyak makan garam, bukanlah tandingnya. Kecuali itu,
ia tahu bahwa gurunya sangat sayang kepada muridnya
yang terakhir itu. Bila sampai terluka, pastilah gurunya
bakal berduka. Dia akan ditegur karena dikiranya tidak
melindungi. Bila sampai demikian halnya, ia akan
menanggung malu seumur hidupnya. Kalau tadi ia
membiarkan Puguh Harimawan mencoba mengadu
untung, itulah disebabkan semata-mata untuk memberi
pelajaran kepada muridnya yang semberono itu, agar
dikemudian hari bisa berhati-hati. Dia berharap, agar
dengan pengalaman itu, muridnya yang semberono itu
menjadi sadar akan kekurangannya. Dan ia akan belajar
dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Akan tetapi, Lingga W isnu tak mau mengerti
pertimbangan kakak seperguruannya itu. Katanya
dengan perlahan pula : "Kakang. Dipihak mereka terdapat banyak orangorang pandai. Sedangkan barisan
ilmu gabungan Pancasakti keluarga Dandang Mataun, sangat berbahaya.
Mungkin sekali sebentar lagi akan terjadi suatu
pertempuran dahsyat. Kakang seumpama seorang
panglima perang yang memegang pucuk pimpinan. Maka
sebelum kakang masuk ke gelanggang biarlah adikmu
mencobanya dahulu." Kagum Botol Pinilis mendengar alasan adiknya
seperguruan. Dia masih sangat muda, akan tetapi pandai
memegang tata santun. Ia melihat kesungguhannya
pula. Maka akhirnya dia berkata memutuskan :
"Baik adik, hanya saja hendaklah engkau ber hatihati!"
Lingga W isnu memanggut lalu memut ar tubuhnya.
Perlahan-lahan ia menghampiri Buntut Sodana. Berkata
dengan tenang : "Akupun ingin memperoleh emasku kembali. Bolehkah
aku mencoba untung?"
Buyut Sodana dan rekan-rekannya dari golongan Awuawu Langit heran mendengar dan
melihat Lingga W isnu hendak mencoba untung. Sebentar tadi, Puguh
Harimawan yang bertubuh kekar telah dirobohkan dalam
satu gebrakan saja. Kenapa bocah ini yang usianya
berada dibawah pemuda kekar itu, t idak t ahu diri" Maka
Buyut Sodana menjawab perkataan Lingga W isnu dengan
suara merendahkan : "Baik. Tetapi kau harus berjanji, tidak akan membuat
sembah kepadaku seperti si dogol"
Berkata demikian, ia menghisap pipa panjangnya dan
mengepulkan asap rokoknya yang tebal ke udara. Ia
sudah bersiaga penuh. Dan seperti Puguh Harimawan,
Lingga W isnu menghampiri tiga langkah. Kemudian
mengangkat kaki kanannya hendak menyapu.
Puguh Harimawan yang memperoleh pengalaman
pahit tadi, kaget menyaksikan gerakan kaki Lingga
W isnu. Pekiknya cemas : "Paman kecil, jangan! Dia akan menghantam kakimu
dengan pipanya seperti terhadapku tadi!"
Cocak Prahara berlimapun tidak mengerti apa sebab
Lingga W isnu yang memiliki kepandaian tinggi mencoba
untungnya begitu semberono. Apakah kaki Lingga W isnu
tak mempan kena totok pipa baja Buyut Sodana.
Sebaliknya yang diam-diam bersiaga adalah Botol Pinilis.
Sebab, meskipun dewa sendiri yang mengkisiki, ia takkan
percaya bahwa kaki L ingga W isnu kebal. Maka pada saat
itu, ia sudah mengambil keputusan. Bila Buyut Sodana
kembali lagi menghantamkan pipa baja, segera ia hendak
menolong adik seperguruan itu. Kemudian menyerang
Buyut Sodana yang sombong.
Dalam pada itu kaki Lingga W isnu sudah bergerak
dengan cepat luar biasa. Dan seperti t adi, Buyut Sodana
segera memapaki kaki Lingga W isnu dengan pipa baja.
Di luar dugaan gerakkan kaki Lingga W isnu sebenarnya
hanya suatu gertakan belaka. Pada detik hendak kena
totokan, ia menarik kembali. Sebagai gant inya, ia
menyapu dengan sebelah kakinya yang lain. Buyut
Sodana sudah terlanjur menusukkan ujung pipanya.
Hatinya terkisap tatkala tusukkannya menumbuk udara
kosong. Segera ia sadar akan ancaman bahaya. Tapi
pada detik itu, emas yang dikakangi, sudah kena tersapu
Lingga W isnu. Ternyata Lingga Wisnu tidak hanya puas memperoleh
emas. Gerakkan kakinya terus menyambar mencari
bidikan yang diarahnya. Keruan saja Buyut Sodana
mendongkol bukan main. Mula-mula ia kena diingusi,
sekarang ia diserang dengan t iba-tiba. Maka dengan hati
mendongkol dan panas, ia menikam pant at Lingga
W isnu. Lingga
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
W isnu merendahkan tubuhnya sambil mengelak ke kanan. Kembali lagi kakinya bergerak
menyapu emas. Dan dengan dibarengi serangan tangan
kirinya, berhasillah ia merampas emas lagi. Hal itu terjadi
karena tangan Buyut Sodana sedang bergerak menikam,
sehingga daerah pertahanannya jadi kosong.
Lagi-lagi Lingga W isnu tidak mau sudah dan sekarang,
kaki kirinya yang bergerak. Gerakannya sangat cepat,
sehingga mendahului gerakan lawan sebelum sempat
memperbaiki kedudukannya. Dan untuk yang ketiga
kalinya, ia berhasil menyapu beberapa tumpuk emas lagi.
Dalam waktu yang pendek saja, pemuda itu sudah
berhasil menyapu tiga t umpuk kepingan emas. Dan yang
mengherankan kepingan kepingan emas itu lenyap dari
penglihatan seperti tersulap. Tapi sebenarnya dengan
suatu kecepatan luar biasa, ia berhasil memasukkan
kepingan-kepingan emas itu ke dalam kantong bajunya.
Setelah itu ia berdiri dengan tenang bersiaga
menghadapi segala kemungkinan.
"Biarlah aku nyatakan kepadamu, bahwa aku hendak
mengambil semua kepingan emas yang berada dalam
penjagaanmu," katanya. "Paman Cocak Prahara dan
engkau sendiri bukankah sudah berjanji" Barangsiapa
yang dapat merampas emas yang dalam penjagaanmu,
maka emas itu. boleh menjadi miliknya. Bukankah
begitu?" Pemuda itu tidak menunggu jawaban Buyut Sodana.
Sedang Buyut Sodana sedang menyusun bunyi
jawabannya di dalam hati, Lingga Wisnu sudah bergerak
dengan suatu kesehatan yang mengherankan. Betapa
tidak" karena untuk ke sekian kalinya pemuda itu
berhasil lagi mengantongi emasnya.
Menyaksikan hal itu, Cocak Prahara dengan seluruh
keluarganya kagum bukan main. Tak terasa mereka
memuji kecerdikan dan kesehatan pemda itu. Juga Anjar
Semaja dengan orang-orangnya. Sebaliknya, wajah
Buyut Sodana merah padam. Masakan dia bisa diingusi
seorang pemuda yang belum bisa kencing. Hatinya yang
mendongkol dan penasaran kin i mengandung rasa
dengki luar biasa. Lantas saja tangannya melayang dan
kakinya menendang pergelangan tangan Lingga W isnu.
Itulah salah satu jurus ilmu saktinya yang disegani lawan
dan kawan. Lingga W isnu tak berani lantas menangkis serangan
Buyut Sodana. Ia mundur oleh serangan itu. Kemudian
memperhatikan gerakan dua tangan serta kedua kaki
lawannya. Itulah gerakan seekor burung. Apakah ini
yang dinamakan ilmu sakti Kuntul Haneba seperti tutur-
kata gurunya dahulu"
Menghadapi ilmu sakti Buyut Sodana yang luar biasa
itu, Lingga W isnu tidak berani merapatkan diri. Dia
bergerak dengan berputaran. Setiap kali ia menghindar
atau mengelak, sambil memperhatikan gerakangerakannya. Buyut Sodana jadi kesal. Ia memperhebat4
serangannya. Justru demikian, Lingga W isnu dapat
mengelak atau menghindarkan diri dengan cepat pula.
Tatkala Botol Pinilis melihat cara perlawanan Lingga
W isnu, ia berpikir di dalam hati:
'Bocah ini tidak berani bertempur secara berhadaphadapan. Selalu ia
menghindarkan diri dan tak berani
mencoba mendekati. Agaknya ia hanya mengandalkan
pada kegesitannya semata.'
Buyut Sodana pun berpendapat demikian pula. Dan
memperoleh kesan itu, kesombongannya lantas membersit di dalam hati. Akh, hanya begini saja
kepandaiannya, pikirnya. Lantas ia tertawa terbahakbahak sambil melancarkan
gempuran terus- menerus .
Jelas sekali, bahwa ia mengganggap musuhnya sebagai
lawan yang enteng sekali. Ia lupa, betapa tadi Lingga
W isnu dengan kecepatan yang mengagumkan berhasil
menyapu kepingan, emas yang berada di dalam
penjagaannya. Beberapa saat kemudian, ia mulai menyulut tombakaunya dan menikmati pipa panjangnya. Tapi pada
saat itu, Lingga W isnu sudah bisa memahami letak inti
ilmu kepandaian lawan, diam-diam ia bergirang hati
kesombongan Buyut Sodana, karena kesombongan
kerapkali membawa suatu kelengahan. Dan kesempatan
itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Cepat luar
biasa, tiba-tiba t angan kirinya menyambar hidung.
Karuan saja Buyut Sodana terkejut. Tadi, lawannya
yang kecil itu sama sekali tak berani mendekati dan
menyelonongkan tangan kirinya. Inilah suatu serangan
yang tak terduga-duga. Cepat-cepat ia menangkis tangan
kiri Lingga W isnu dengan pipanya. Dan kakinya
membarengi bergerak menyapu sasaran.
Diluar dugaan pula, kali in i Lingga W isnu tak sudi
menghindar atau mengelakkan diri. Ia membiarkan
kepalanya kena incaran tangkisan pipa. Tapi dengan tibatiba
saja, tangan kanannya menyambar dan mencengkeram pipa itu. Buyut Sodana terkejut. Ia dalam
keadaan kepalang tanggung. Pipanya sudah terlanjur
ditangkiskan dengan cepat dan kuat-kuat. Maka tiada
kesempatan lagi. untuk menariknya. Dan terpaksalah ia
merenggutkan ke atas. Gerakan ini, justru termasuk dugaan Lingga W isnu.
Selagi Buyut Sodana menarik pipanya ke atas, pinggang
kanannya terbuka. Inilah kesempatan yang tak di siasiakan. Sebat luar b iasa,
tangan kirinya menotok t ulang
iganya. Plak! Buyut Sodana menggeliat mundur. Ia terkejut dan
menginsyafi keteledorannya. Akan tetapi sudah kasep.
Tahu-tahu tenaganya pudar dan tubuhnya bergemetar
diluar kehendaknya sendiri. Dan pada saat itu, ia
mendengar suara t ertawa Sekar Prabisin i.
Senang Lingga W isnu mendengar suara tertawa Sekar
Prabasin i. Dan seperti galibnya seorang pemda yang
mendengar suara tertawa seorang gadis yang berkenan
di hatinya, timbul ah gairah hidupnya! Semangat
tempurnya terbangun sekaligus. Terus saja ia menyodorkan pipa yang kena dirampasnya, balik ke
mulut pemiliknya dan api tombakau yang sedang
menyala, menyelamot bibir atas dan kumis. Keruan saja
Buyut Sodana kaget berjingkrak.
"Lingga W isnu, adikku! Jangan bergurau!" seru Botol
Pinilis. Akan tetapi di dalam hatinya, ia kagum
menyaksikan kepandaian adik seperguruannya itu.
Mendengar tegoran kakak seperguruannya, Lingga
W isnu menarik pipanya kembali yang tadi menyelomot
kumis pemiliknya. Kemudian ia meniup api tombakaunya
seolah-olah hendak memadamkan. Tapi karena tiupannya terlalu keras, api tombakau yang menyumpal
lubang pipa justru jadi terbang berhamburan mengenai
wajah Buyut Sodana. Dan kembali lagi Buyut Sodana
berjingkrakan. Botol Pinilis segera melompat memasuki gelanggang.
Melihat Buyut Sodana yang tadi bersikap sombong hati
dan kini kena di selomot seorang pemuda kemarin sore,
mau tak mau membuat dirinya tertawa juga. Namun ia
sadar, Buyut Sodana tidak boleh dibuat gegabah. Maka
cepat cepat ia menolong membebaskan urat-uratnya
yang kejang akibat gempuran Lingga W isnu. Kemudian
menyambar pipa yang masih berada d i genggaman
Lingga W isnu dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Dengan berbuat begitu ia berharap menyudahi adu
kepandaian itu agar tidak jadi berlarut . Bukan karena
takut berlawan-lawan dengan pendekar itu, akan tetapi
hadirnya dipihak Dandang Mataun bisa menambah beban
yang tidak enteng. Sebagai seorang pendekar yang
berpengalaman, ia merasa perlu menarik simpati
terhadap lawannya yang kemungkinan besar bisa
menyeberang ke pihaknya. Buyut Sondana sendiri, tatkala itu masih saja terpukau
oleh' kejadian yang menyakitkan hatinya. Sama sekali ia
tidak menghiraukan masuknya Bot ol Pinilis ke dalam
gelanggang. Tahu-tahu tangan kanannya telah menggenggam pipanya kembali. Selintasan saja ia
melihat betapa sekalian hadirin menertawakannya
dengan nada geli dan merendahkan. Ia benar-benar jadi
merasa terhina. Terus saja ia membant ing pipanya
hancur berentakan. Kemudian dengan langkah panjang
meninggalkan gelanggang. Sebentar saja, ia telah
melint asi p int u keluar dan bayangan tubuhnya lenyap
digelap malam. Anjar Semojo, kawannya sejalan, terkejut melihat
kepergiannya. Buru-buru ia lari mengejarnya hendak
mencegah. Tahu-tahu ia nampak terpental balik
memasuki gedung pertempuran dan mati-matian ia
mencoba mempertahankan diri. Sekalipun demikian,
tetap saja ia t erhuyung mundur beberapa langkah. Maka
jelaslah, bahw a tenaga lontaran Buyut Sodana sesungguhnya bukan sembarangan. W alaupun Lingga
W isnu dapat mengalahkan dengan mudah, namun
tenaga saktinya ternyata mampu melemparkan seorang
pendekar semacam Anjar Semojo, seorang pemimpin
berandal nan disegani lawan dan kawan semenjak
belasan tahun yang lalu. Maka bisa dimengerti, apa
sebab Botol Pinilis bersikap hati-hati terhadapnya.
Ketangguhannya tiada berada dibawah Cocak Prahara
berlima. Cocak Prahara bersaudara kagum menyaksikan
kepandaian Lingga W isnu. Akan tetapi mereka tidak
terkejut. Jauh-jauh tahulah mereka, bahwa pemuda itu
memiliki kepandaian tinggi. Hanya saja caranya
menjatuhkan Buyut Sodana begitu cepat, benar-benar
diluar dugaan. Sebaliknya, tidaklah demikian kesan anakbuah Anjar Semojo.
Melihat pemimpinnya kena dilontarkan Buyut Sodana, mereka kaget dan panas hati.
Kalau Buyut Sodana yang kena dikalahkan b isa
melontarkan pemimpinnya dengan mudah sampai
mundur sempoyongan, apalagi pemuda itu. Pemimpinnya
bukanlah tandingnya yang berarti, apakah yang
diandalkan, kecuali mengadalkan jumlah banyak. Maka
diam-diam mereka bersiaga menunggu aba-aba.
Dalam pada itu Botol Pinilis heran dan kagum
menyaksikan cara Lingga W isnu tadi merobohkan Buyut
Sodana. Pukulannya itu sendiri, termasuk salah satu
ajaran ilmu perguruannya Sekar Teratai tingkat tinggi.
Tapi yang mengherankan adalah caranya dia membawakan pukulan itu membidik sasarannya. Gerakannya sama dengan gerakan tatkala merebut
kepingan emas yang berada dalam penjagaan Buyut
Sodana. Gerakan demikian, belum pernah ia memperolehnya dari gurunya. Pikirnya di dalam hati :
'Apakah guru pilih kasih" Akh, tak mungkin! Sekalipun
guru sangat kasih kepada muridnya yang bungsu ini,
tidak akan mengajarkan gerakan-gerakan
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bertentangan dan berbeda titik-tolaknya. Gerakan itu
sama sekali bukan gerakan aliran Sekar Teratai. Kalau
bukan, lantas siapakah yang mengajar gerakan
demikian"' Puguh Harimawan tentu saja tak dapat membuat
suatu perbandingan, penilaian atau ulasan untuk dirinya
sendiri. Gerakan paman gurunya yang kecil itu, terlalu
cepat baginya. Ia hanya merasa puas, set elah pihaknya
memperoleh kemenangan. Dengan wajah terangbenderang, ia menoleh kearah
Suskandari hendak membagi rasa syukur. Tapi Suskandari sendiri sudah
tertawa risi Sekar Prabasini yang berada tak jauh dari
padanya ikut tertawa pula. Tertawa senang dan menang.
Dan hal itu membuat rasa puas Puguh Harimawan
menjadi nikmat. Pada saat itu tiba-tiba terdengarlah suara Bot ol Pinilis
lantang : "Saudara Cocak Prahara" Tadi saudara sudah
membuat semacam sayembara. Bahwasanya emas akan
dikembalikan apabila kami mampu mengambil sendiri
dari penjagaan Buyut Sodana. Sekarang Buyut Sodana
meninggalkan gelanggang. Artinya dia membiarkan emas
tak terjaga lagi. Maka sebelum memunguti emas,
perkenankan kami mengucap terima kasih." Dan setelah
berkata demikian, ia memberi perint ah kepada muridnya:
"Ambil semua emas yang berceceran di atas lantai itu!
Hitung, apakah sudah genap. Kurang sekeping, kita wajib
mengadakan perhitungan lagi!"
Sebenarnya, emas rempasan itu tidak kurang barang
sekepingpun. Botol Pinilis yang berpengalaman, yakin
akan hal itu. Kalau dia berkata demikian, maksudnya
semata-mata untuk menaikkan harga diri saja. Didepan
gerombolan bandit, ia perlu menundukkan sikap garang.
Cocak Prahara yang kenyang makan garam, ternyata
tak sudi kalah gertak. Ia membiarkan Puguh Harimawan
memunguti emasnya dengan sikap acuh tak acuh.
Bahkan ia lantas memejamkan matanya. Sebaliknya t idak
demikian halnya Anjar Semojo. Di dalam usahanya
hendak merebut emas rampasan itu, ia sudah berkorban
jiwa. Itulah sebabnya, ia tak rela melihat Puguh
Harimawan memunguti dan mengantongi emasnya
kembali tanpa sanggahan. Diantara berkilaunya emas,
pandang matanya memancarkan sinar berapi-api.
Mendadak saja ia melompat menghampiri dan mendorongkan tangannya. Dan kena dorongan itu,
Puguh Harimawan mundur sempoyongan.
"Hai, apa maksudmu. Apakah kau hendak coba coba
mengukur tenaga?" bentak Puguh Harimawan mendongkol. Botol Pinilis maju. Berkata kepada muridnya :
"Harimawan, mundur! Dia bukan tandingmu!"
Setelah berkata demikian, Botol Penilis membungkuk
hormat kepada Anjar Semojo. Katanya sambil t ertawa :
"Selamat bertemu, kawan. Akhir-akhir in i usahamu
kudengar memperoleh kemajuan, sehingga daerah
penggaronganmu bertambah luas. Eh, bagaimana kalau
kita main coba-coba?"
"Hm!" Anjar Semojo menggeram. "Siapa sudi
membadut dengan tampangmu. Aku Anjar Semojo
selamanya malang-melint ang tiada rint angan. T iap orang
kenal siapa diriku. Akulah pemimpin gerombolan Awuawu Langit yang menggetarkan
jala langit semenjak belasan tahun yang lalu. Sebaliknya aku belum
mengenalmu. Sebenarnya siapakah engkau ini sampai
berani membadut gt depanku?"
"Aku" Akh, aku hanya manusia hidup. Namaku pun
sangat sederhana," sahut Botol Pinilis tak bersakit hati.
"siapa?" bentak Anjar Semojo.
"Botol Pinilis. Mata pencaharianku berdagang kelontong. Mengapa" Apakah kau mempunyai barang
dagangan yang berharga?"
Anjar Semojo mendongkol. Terus saja ia berteriak
kepada bawahannya : "Bawa kemari senjataku!"
Botol Pinilis ternyata seorang pendekar yang pandai
berjenaka pula. T iap kali berbicara tangan dan kepalanya
ikut bergerak-gerak untuk menggelitiki hati lawannya.
Mendengar lawannya berteriak hendak menggunakan
senjata, ia bersikap ding in saja. Bahkan kepalanya
dimiringkan sambil t ertawa melebar.
Senjata andalan Anjar Semojo ternyata sebatang
tombak panjang dan besar. Begitu 'menerima senjata
andalannya dari saJah seorang bawahannya, terus saja ia
menikam dengan tenaga penuh. Tak usah diterangkan
lagi, bahw a hatinya mendongkol luar biasa terhadap
Botol Pinilis. Botol Pinilis tetap saja memiring miringkan kepalanya
sambil terttawa. Dan dengan gesit, ia melompat
menghindari. Serunya girang:
"Ha, bagus! Barang daganganmu lumayan juga. Mari
kita uji apakah benar-benar ada harganya untuk
diperjual-belikan ..,"
Murid Kyahi Sambang Dalan ini ternyata seorang
pendekar yang besar nyalinya. Sambil membungkuk
mengelakkan set iap serangan, ia memunguti emas yang
masih tercecer di atas lantai i Dan menyaksikan hal itu,
sadarlah Cocak Prahara bahw a Botol Pinilis bukan
sembarang orang. Anjar Semojo ternyata bukan
tandingnya. Kalau aku bertopang dagu saja, emas itu benar-benar
akan hilang, pikirnya di dalam hati. Segera ia memberi
isyarat mata kepada Cocak Ijo dan Cocak Rawun. Dan
oleh isyarat mata itu, Cocak Ijo dan Cocak Rawun
melesat memasuki gelanggang sambil berseru :
"Emas bukan batu kerikil yang tiada harganya. Kau
bayarlah jiwamu dahulu!"
Menghadapi rangsakan Cocak Ijo dan Cocak Rawun,
cepat Botol Pinilis mengendapkan diri. Ia menggeserkan
tubuhnya ke kanan dan tangan kirinya menyerang dari
samping. Itulah salah satu jurus rumah perguruan Sekar
Teratai. Serangan Cocak Ijo dan Cocak Rawun sebenarnya
merupakan jurus gabungan ilmu sakti keluarga Mataun
yang dahulu pernah merobohkan pendekar besar Bondan
Sejiwan. Itulah gabungan ilmu sakti! Begitu mereka
berdua melepaskan salah satu jurusnya, terus saja
bergerak hendak maju mendesak. Tiba-tiba mereka
melihat Botol Pinilis menggeser ke samping sambil
melontarkan serangan. Cepat-cepat mereka mundur. Dan
tepat pada saat itu Cocak Rawa dan Cocak Abang
menggantikan kedudukannya dengan menangkis serangan Botol Pinilis. Kemudian dengan kecepatan luar
biasa tangan Cocak Abang menyelonong menghantam
pinggang. Semenjak Botol Pinilis tamat belajar dan berkelana
seorang diri untuk mencari pengalanan belum pernah ia
bertemu dengan lawan yang sebanding. W alaupun ia
gemar bergurau dan berjenaka, namun tabiatnya cermat
dan hati-hati. Dengan berbekal kedua tabiatnya itu,
belum pernah ia gagal menghadapi lawan. Sekarang, ia
sadar benar-benar, bahwa ilmu Pancasakti keluarga
Dandang Mataun hebat luar biasa. Cocak Prahara kini
ikut pula memasuki gelanggang. Dengan demikian ia
menghadapi lima orang sekaligus. Cepat ia menggeser
tubuhnya untuk menghindari serangan Cocak Prahara.
Tetapi tiba-tiba Cocak Mengi menggantikan kedudukan
Cocak Rawun dan dengan cepat membawa Cocak
Prahara mundur. Dengan dibarengi gerakan lainnya,
mereka berlima nampak seolah-olah berubah menjadi
beberapa puluh orang. Tubuh mereka berkelebatan
seperti bayangan. Menghadapi tata-pertanpuran demikian, mau tak mau
Botol Pinilis menjadi terkejut. Ia tak mengerti, ilmu
berkelahi apa yang sedang dilancarkan lawan-lawannya
itu. Benar-benar serangan mereka dahsyat luar biasa.
Nampaknya kalut , tetapi maju dan mundurnya sangat
rapih. Sekian lamanya ia mencoba menyerang. Namun
tiada seorangpun yang dapat disentuhnya. Ia kaget,
heran dan akhirnya sadar. Buru-buru ia mencoba
merubah sikap. Dengan t enang, ia menempatkan diri di
tengah-tengah mereka. Sama sekali ia tak mau
menyerang. Sebaliknya, ia hanya bertahan dan menangkis apabila kena serang. Tentu saja ia membuat
dirinya kena t erkurung rapat-rapat.
Melihat Botol Pinilis hanya pandai membela diri, diamdiam Anjar Semojo berbesar
hati. Ia tadi bersakit hati
karena kena dipermainkan pendekar itu. Sekarang
timbul ah niatnya hendak membalas dendam. Ia
menunggu saatnya yang bagus untuk menikam Botol
Pinilis sehebat hebatnya. Dan sekaranglah saatnya yang
paling baik, selag i lawannya sibuk berjaga-jaga diri
terhadap rangsakan Cocak Prahara berlima.
"Paman Botol Pinilis, awas!" seru Suskandari
memperingatkan, gadis itu terkejut melihat berkelebatnya tombak Anjar Semojo.
Botol Piniiis adalah murid Kyahi Sambang Dalan yang
telah mewarisi kepandaian gurunya. Seumpama Cocak
Prahara tidak menggunakan ilmu gabungan, mereka
tidak akan bisa berbuat banyak terhadapnya. Demikian
pula menghadapi serangan gelap Anjar Semojo, seorang
pemimpin berandal yang berkepandaian tinggi.
Dengan sebat sekali, Bot ol Pinilis memut ar tubuhnya;
Berbareng dengan itu, t anganya bergerak. Tombak Anjar
Semojo kena di tangkisnya dan kemudian ditangkapnya.
Itulah salah satu jurus Sekar Teratai untuk menghadapi
lawan yang bersenjata. Ilmu tata berkelahi dengan
tangan kosong. Untuk memahirkan ilmu itu, seseorang harus berlatih
terus-menerus. Dan Botol Pinilis telah melatihnya
semenjak puluhan tahun yang lalu sehingga tak
mengherankan ia dapat melumpuhkan tikaman Anjar
Semojo dengan satu kali gerak saja. Kemudian ia
menariknya samb il menangkis serangan Cocak Bawa
dengan tangan kiri. Kaki kanannya d igeserkan setengah
langkah untuk mengelakkan tendangan Cocak Mengi.
Dengan demikian, ia bisa memunahkan tiga serangka!
serangan sekaligus , "Akh, hebat! Sesungguhnya ilmu w arisan Sekar Teratai
sanggup berlawanan dengan ilmu sakti aliran manapun
juga," pikir Lingga W isnu didalam hati. "Kalau saja Puguh
Harimawan bisa mewarisi ilmu warisan Kakang Botol
Pinilis, sudah dapat malang-melint ang tanpa tandingan."
Selagi berpikir demikian, Lingga W isnu mendengar
Anjar Semojo berteriak kesakitan. Sebagai ahliwaris ilmu
sakti Kyahi Sambang Dalan ia sudah dapat menduga
gerakan kelanjutan Botol Pinilis. Pastilah Anjar Semojo
akan dipaksa mengadu tenaga dan kemudian diangkat
tinggi tinggi dan setelah itu, dengan tiba-tiba melepaskan
adu tenaga itu. Anjar Semojo kehilangan keseimbangan,
karena kehilangan daya perlawanan. Dan pada saat itu,
Botol Pinilis menghantam pundaknya sampai patah.
"Bagus!" puji Lingga W isnu.
Beberapa orang laskar Awu-awu Langit menolong
pemimpinnya dengan tergopoh-gopoh. Jayatatit, Zubaedah dan Rekso Glempo menuntut bela. Serentak
mereka bertiga menyerang Botol Pinilis. Juga kali in i,
Botol Pinilis dapat menunjukkan keahliannya. Dengan
kesebatan dan kelincahannya seorang demi seorang
dibantingnya ke lantai sambil mengelakkan set iap
serangan Cocak Prahara berlima. Dan menyaksikan
ketangguhan murid Kyahi Sambang Dalan itu, anak buah
Anjar Senojo tidak berani berkutik lagi dari t enpatnya.
"Ha, mari tuan-tuan! Sekarang aku bisa melayani
tuan-tuan tanpa gangguan lagi." kata Botol Pinilis kepada
Cocak Prahara berlima dengan tertawa lebar.
Cocak Prahara berlima mendongkol. Terus saja
mereka melancarkan serangan bertubi-tubi.
Bayangan mereka berkelebatan. Mau tak mau Botol
Pinilis mengimbangi dengan kecepatannya pula. Pikir
pendekar itu : 'Benar-benar hebat dan berbahaya ilmu gabungan
mereka. untuk bisa memecahkan tata perkelahiannya,
aku harus dapat merobohkan salah seorangnya ...'
Oleh pikiran itu, segera ia memperhebat daya
perlawanannya. Tangan dan kakinya menyambarnyambar bagaikan kilat menusuk
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cakrawala; Namun sudah sekian lamanya ia berusaha, tetap saja tak manpu
menyentuh lawannya. Mau t ak mau ia jadi sibuk sendiri.
Cocak Prahara berlima sebenarnya heran dan kagum
juga. Sama sekali tak diduganya, bahw a pendekar yang
tampahnya mirip orang dusun itu dapat mengadakan
perlawanan. Pembelaannya rapat dan rapi, meskipun
kena rangsakan serta kepungan hebat.
Sudah barang tentu Botol Pinilis t idak dapat membaca
gejolak hati dan pikiran lawannya, seluruh perhatiannya
ditumpahkan kepada cara kelima lawannya menyerang
dirinya. Adakalanya salah seorang menendang dari
depan. Kemudian dengan sekonyong-konyong melesat
kesamping. Dan pada saat itu seorang lagi menyerang
sengit menggantikan kedudukannya. Yang datang dari
sebelah kiri mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Lalu menyambar hendak memeluk. Mau tak mau Botol
Pinilis terpaksa mundur. Diluar dugaan lawan yang
berada dibelakangnya mengayun kakinya hendak
mendupak. "Hebat! Benar-benar hebat!" pikirnya berkeringat.
Makin lama makin hebat cara menyerang Cocak
Prahara berlima. Corak-ragamnya makin beraneka
macam. Botol Pinilis merasa diri benar-benar repot.
Untuk mengurangi ancaman bencana, segera ia
mengeluarkan dua senjata andalannya. Sebatang tongkat
pendek dan sebuah bindi tipis mirip perisai. Katanya
didalam hati menghibur diri :
'A ku seorang diri, sedang mereka berlima. Rasanya
tiada akan melunturkan pamor rumah perguruan, apabila
aku terpaksa bersenjata .. '
Dengan pertimbangan demikian, ia kini dapat
mengadakan perlawanan makin g igih. Setiap kali ia
berusaha mencari jalan keluar membobol pengepungan
mereka dengan tusukan serta tikaman tongkatnya yang
berujung tajam. Tak usah menunggu lama lagi, maka Cocak Prahara
berlima kerepotan menghadapi tongkat Botol Pinilis yang
berbahaya. Hampir hampir mata rant ai bobol. Cepatcepat Cocak Prahara berseru
dengan kata-kata sandi : "Angin tiba! Mari kita pasang layar!"
Cocak Rawun dan Sondong Pawit yang berada di luar
gelanggang segera berlari-larian membawa senjata.
Kemudian dilempar-lemparkan seolah-olah sedang,
melancarkan suatu serangan rangsakan Tapi dengan
tiba-tiba saja, ruyung, tombak maupun golok, tongkat
besi dan caneti baja sudah berada dalam genggaman
majikannya masing-masing.
Pertempuran kini makin menjadi seru dan sengit luar
biasa. Masing-masing terancan bahaya maut. Mereka
yang menyaksikan di luar gelanggang menahan napas
oleh rasa tegang dan kagum.
Puguh Harimawan sibuk bukan main, melihat gurunya
terancam bahaya pengepungan yang sangat kuat.
Terasalah di dalam hatinya, bahw a ilmu kepandaiannya
sangat dangkal. Dan yang sama sekali t ak berdaya untuk
memberi pertolongan atau bantuan. Tetapi ia tidak rela
gurunya terancam bahaya begitu dahsyat. T iba-tiba saja
ia melompat hendak memasuki gelanggang dengan
memutar goloknya. Diluar dugaan, baru saja ia bergerak,
sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok bayangan
didepannya. Tahu-tahu pundaknya kena ditekan. Ia
kaget. Dalam rasa kagetnya ia membabatkan goloknya.
Heran! Tangannya tak dapat digerakkan. Pundaknya
seperti kena tindih batu sebesar gardu penjagaan.
"Kakang Harimawan! Jangan bergerak'. Sayangilah
jiwamu!" terdengar suara mencegah maksudnya .
Harimawan menoleh. Ternyata yang menekan pundaknya adalah si paman cilik. Tadi ia menyaksikan
betapa Lingga W isnu dengan mudah saja dapat
mengalahkan Buyut Sodana. Dalam hatinya, ia tidak
yakin kegagahannya. Tetapi kini baru lah ia sadar, betapa
dahsyat, tenaga si paman cilik itu. Dengan sekali tekan
saja, kedua tangannya seolah-olah lumpuh. Mau tak mau
kini ia harus patuh kepada tiap ucapannya.
"T ak usahlah engkau terlalu sibuk. Gurumu masih
sanggup melayani mereka," kata Lingga W isnu sambil
menarik t angannya. Puguh Harimawan mengerinyitkan dahi. Benarkah
gurunya masih sanggup melayani kelima lawannya itu"
Ia mencoba menyabarkan diri dan berusaha yakin
terhadap: penglihatan Lingga Wisnu. Dengan seksama ia
mengikuti jalannya pertempuran.
Dalam pada itu, Lingga W isnu sendiri mengikut i
pertempuran itu dengan pengamatan. Kadang kadang ia
mendongak kearah genting dengan berdiam diri.
Agaknya ia terbentur pada suatu persoalan yang sulit.
Suskandari yang semenjak tadi memperhatikannya,
mendekati sambil menegor :
"Kakang Lingga kenapa engkau tidak segera
membantu paman Botol Pinilis" Betapa tangguh paman
Botol Pinilis, kalau dikerubut lima orang terus-menerus,
akan kerepotan juga akhirnya."
Lingga W isnu tidak menyahut. Dengan suatu gerakan
tangan, ia mengharapkan agar Suskandari mundur. Dan
Suskandari benar-benar mundur dengan wajah lesu.
Sebaliknya Sekar Prabasini d iam-d iam bersyukur hati,
melihat Lingga W isnu menolak kehadiran Suskandari.
Dengan lapang dada, ia kin i dapat mengikuti pertempuran di tengah gelanggang yang makin menjadi
seram. Botol Pinilis mencoba menghantam salah seorang
musuhnya. Berulangkali dan makin lama makin cepat.
Namun tetap saja, musuhnya tak dapat disentuhnya.
Bahkan senjata mereka tak pernah bentrok. Masingmasing berusaha menghindarkan
suatu benturan. Pada saat itu, sekonyong-konyong Lingga W isnu
menghampiri Suskandari. Katanya dengan suara ringan :
"Adik, maafkan sikapku tadi. Aku sedang berusaha
memecahkan suatu teka-teki. Sekarang aku sudah
berhasil ..." "Maaf" Apakah yang harus kumaafkan?" sahut
Suskandari. "Kau bantulah paman Botol Pinilis."
Lingga W isnu tertawa. Pandang matanya berseri-seri.
Sahutnya : "Teka-teki itu sudah berhasil kupecahkan. Sekarang
tidak perlu bercemas-cemas lagi."
Sepasang alis Suskandari berdiri tegak. Dengan
pandang menebak-nebak, ia berkata :
"Sebenarnya engkau lagi membicarakan apa" Soal
teka-teki itu nanti kita pecahkan bersama, bila
pertanpuran sudah selesai."
Mendengar ucapan Suskandari, kembali lagi Lingga
W isnu tertawa. Sahutnya :
"Y ang kupikirkan justru t entang pertempuran itu. Cara
bertempur merekalah yang kusebut sebagai teka-teki.
Coba katakan padaku, bagaimana cara kita menghancurkan barisan Panca sakti mereka. Maka
amatilah lagi dengan seksama, betapa mereka tak sudi
bentrok." "Y a, kenapa?" Suskandari kini t ertarik hatinya .
"Sebab bentrokan itu sendiri berarti kehilangan waktu.
Jadi t itik-tolak ilmu gabungan Panca-sakti ini berdasarkan
kecepatan bergerak. Itulah sebabnya, bilamana kita ing in
menecahkan mata rant ainya, harus mengimbangi dengan
kecepatan pula. Tegasnya, kita harus sanggup mengadu
kecepatan. Dan barulah kita berhasil."
Suskandari terbangun semangat tempurnya. Tetapi
kemudian berkata penuh bimbang :
"Mereka sudah berlatih diri dengan sempurna. Gerakgeriknya gesit dan nampak w
ajar sekali! Bagaimana kita
bisa berlomba mengadu kecepatan dengan mereka?"
Lingga W isnu bersenyum. Alasan dan kesangsian
Suskandari masuk akal. Setelah menatap w ajah gadis itu
beberapa saat lamanya ia berkata memutuskan :
"Aku akan mencoba. Hanya sekarang, pinjami lah aku
tusuk-kondenu." Dengan pandang penuh pertanyaan, Suskandari
mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dan
bermata berlian. Kemudian diserahkannya kepada Lingga
W isnu - Kata pemuda itu :
"Aku akan melayani mereka dengan tusuk konde ini."
"Akh" seru Puguh Harimawan dan Suskandari
berbareng. Mereka kemudian tertawa lebar. Dalam hati
mereka menganggap ucapan Lingga W isnu, sekedar
bergurau saja. Betapa tidak" Meskipun terbuat dari
emas, tusuk konde itu mudah sekali patah. Apalagi
manakala terbentur senjata tajam yang bertenaga
penuh. Lingga W isnu tidak menghiraukan kesan hati mereka
berdua. Dengan pandang tajam ia berteriak kepada Botol
Pinilis : "Kakang Botol Pinilis! Dari Kurantil in jaklah pintu
Gedong tengah. Kemudian dari Baruna lewatlah pintu
Trenggana." Itulah istilah-istilah sandi yang hanya di ketahui oleh
pendekar kelas utama. Dan mendengar seruan itu, Cocak
Prahara berlima terkejut heran. Pikir mereka menebaknebak: 'Ha, kenapa bocah itu
mengetahui rahasia ilmu Panca Sakti" Siapa yang mengkisiki",
Sebaliknya, Botol Pinilis tidak segera mengerti akan
kata-sandi itu. Ia harus berpikir dua kali lipat dahulu
sebelum menangkap arti terjemahannya. Lingga W isnu
sendiri tidak perduli, apakah kakak seperguruannya
mengerti akan istilah-istilah sandi itu. Setidak-tidaknya
dengan membongkar rahasia titik-tolak ilmu Panca sakti,
akan mengacaukan pemusatan lawan. Teriaknya berturut-turut : "Nagapasa menyambar Baruna. Masuk ke dalam
segera Muncar dan menghilang lewat Girilaya."
Mau tak mau Bot ol Pinilis terpaksa berpikir. Apa
maksud Lingga W isnu" Mustahil adiknya seperguruan itu
berteriak-teriak tanpa tujuan. Teringatlah dia, bahwa
sekian kali ia berusaha menerobos kepungan Cocak
Prahara, akan tetapi tetap saja tak berhasil. Apakah
Lingga W isnu bermaksud memberi petunjuk padanya,
caranya menerobos barisan ilmu Pancasakti"
Beberapa saat lamanya ia mencoba menterjemahkan
kata-kata sandi itu. Kemudian memutuskan di dalam
hati: 'A kh, benar! Dia membicarakan keblat penjuru.
Kenapa tidak kucoba"'
Ia menunggu saatnya yang baik Kemudian dengan
tiba-tiba ia melesat ke kiri melalui p int u Gedong Tengen
dan melompat ke pintu Nagapasa. Ternyata ia
memperoleh lowongan. Segera ia hendak menerobos
keluar. Mendadak saja ia mendengar seruan Lingga
W isnu : "lewat Girilaya! Lewat Girilaya!"
Botol Pinilis terkejut. Girilaya adalah kata sand i Barat
daya. Terus saja ia melemparkan pandangnya ke sasaran
itu. Tapi di pintu itu Cocak Rawa dan Cocak Mengi
menjaga dengan ketatnya. Ia berbimbang-bimbang
sejenak. Kemudian memutuskan lagi: 'A kh, t ak mungkin
Lingga W isnu salah melihat,'
Ia percaya benar kepada penglihatan adik seperguruannya yang cerdas dan luar biasa. Segera ia
melesat ke Barat daya sambil mengirimkan gempuran.
Cocak Pawa dan Cocak Mengi tahu akan tugasnya. Bila
musuh datang menyerang, segera mereka memecah diri.
Kedudukannya akan digantikan Cocak Prahara dan Cocak
Ijo. Itulah rahasia ilmu mata rantai Pancasakti. Tapi baru
saja mereka hendak memecah diri, tahu-tahu Botol Pinilis
telah menerjangnya. Murid Kyahi Sambang Dalan ini
menghantamkan bindi perisai nya ke kiri dan ke kanan
untuk mencegah masuknya Cocak Prahara dan Cocak Ijo.
Tongkat bajanya mengejar kedudukan Cocak Rawa dan
Cocak Mengi yang bergerak hendak memecah diri. Oleh
serangan diluar dugaan in i, mereka berempat terkejut.
Cepat-cepat mereka merapat hendak bergabung. Tapi
dengan gerakan yang cepat luar biasa, Bot ol Pinilis
berhasil lo los dalam sekejab mata saja. Tahu-tahu ia
sudah berdiri t egak disamping Lingga W isnu.
Cocak Prahara tercengang-cengang menyaksikan hal
itu. Inilah untuk yang pertama kalinya mereka kehilangan
sasarannya. Bagaimana Bot ol pinilis bisa lolos dari
kepungan yang rapat luar biasa" Puluhan tahun merela
malang melintang menguji ketangguhan ilmu Panca
Sakti. Selama itu tak teralahkan dan tak pernah gagal
Oleh Ingatan ini mereka jadi penasaran. Kenyataan
sebentar tadi terlalu menyakitkan. Serentak mereka
mundur dan merapikan diri Dan berkatalah Cocak
Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prahara dengan nyaring kepada Botol Pinilis :
"Kau bisa lolos dari mata rant ai kubu-kubu Panca
Sakti. Artinya ilmu kepandaianmu bukan sembarangan.
Ilmu tata berkelahimu mengingatkan kami pada aliran
Sekar Teratai. Bagaimana kau sebut sang serba pandai
Kyahi Sambang Dalan?"
"Beliau adalah guruku," sahut Botol Pinilis. "Bagaimana, apakah aku menurunkan pamor rumah
perguruan Sekar Teratai?"
Cocak Prahara mendengus. Katanya mendongkol :
"Hmm, pantas. Corak perkelahianmu membawa ragam
aliran Sekar T eratai. Apakah kau kira kami t ak tahu?"
Botol Pinilis tahu, Cocak Prahara berlima penasaran. Ia
menghela napas. Kemudian mengalihkan pembicaraan :
"Kita sudah bertempur. Masing-masing sudah berusaha menjatuhkan lawan. Aku kau kerubut dengan
berlima. Ternyata aku tak sanggup merobohkan. Begitu
pula kalian berlima. Inilah yang disebut orang setali tiga
uang. Sekarang, bagaimana baiknya k ita mengatur emas
itu?" berhenti menebarkan penglihatannya. Kemudian ia
menoleh kepada Anjar Semaja. Katanya :
"Urusan perdagangan kita
sudah selesaikan" Nah, kau
boleh pergi!" Sebat kata-kata Botol Pinilis
bagi pendengaran Anjar Semaja. Sebagai seorang pemimpin berandal, biasanya
ia dihormati dan disanjung
puji. Sekarang ia kena hina di
depan orang banyak. Celakanya ia merasa diri tak sanggup melawan pula.
Maka dengan suara besar, ia menyahut :
"Hei, Botol Pinilis! Jangan engkau pasti dan menepuk
dada. Pada suatu hari nant i engkau pasti akan jatuh
ditanganku. Aku, Anjar Semojo, masakan dapat kau buat
main-main" Hari ini memang aku baru naas. Tapi besok
atau lusa, aku akan bangun sebagai Gatutkaca ..."
Botol Pinilis tertawa. Katanya :
"Kalau kau bisa bangun Gatutkaca, jangan lupa pakai
baju kaos Ont okusuma! Kalau t idak, kau bakal jadi ayam
terondol. Selamat jalan - selamat jalan! Mas Gatut kaca
..." Bukan main mendongkol Anjas Semojo. W ajahnya
sampai merah biru. Tetapi ia mati kut u. Berkelahi kalah,
mengadu mulut kalah pula Maka ia terpaksa mengajak
pergi rombongannya meninggalkan gedung pertempuran. Di dalam hati ia mengharap, tuannya
bersikap acuh tak acuh. Karuan saja hatinya ingin
meledak. Beberapa saat kemudian, Cocak Prahara
berkata kepada Botol Pinilis :
"T uan, kau ternyata seorang, pendekar yang berhak
hidup pada zaman ini. Kepandaianmu patut kami hargai.
Karena itu, perkara emas, baiklah kita atur begini. Kau
bawalah yang separuh"
Cocak Prahara selamanya mau menang sendiri. Tapi
kali ini ia mau mengalah, mengingat Botol Pinilis adalah
salah seorang anggauta Sekar Teratai. Kalau muridnya
saja sudah demikian hebat apalagi gurunya. Dan ia tak
mau menambah jumlah musuh lagi. Terlalu berat
akibatnya, apabila sampai bermusuhan dengan Sekar
Teratai. Maka keputusannya itu rasanya sudah cukup
pant as dan adil. Botol Pinilis tertawa lebar. Katanya :
"Aku menghargai pertimbanganmu. Sayang bahwa
emas itu bukan milikku pribadi. Sekiranya demikian, aku
akan menerima keputusanmu. Untuk seorang sahabat,
kenapa aku terlalu kikir" Tapi emas itu milik laskar
Panglima Sengkan Turunan. Uang perbekalan untuk
modal melawan kompeni Belanda dengan begundalbegundalnya, Muridku yang tolol
itulah yang tadinya diserahi tugas pengawalan. Tapi ditengah jalan kena
rampas salah seorang anggauta keluargamu. Maka aku
berkewajiban mengembalikan emas itu seutuh-utuhnya
kepada, pemiliknya. Kalau tidak, bagaimana aku harus
mempertanggung jawabkan?"
Selagi Cocak Prahara hendak membuka mulutnya,
tiba-tiba Cocak Abang menimbrung. Kata pendekar
berangasan itu : "Perkara emas, jangan diperdebatkan berkepanjangan! Kau boleh membawanya, asal bisa
memenuhi dua syarat?"
"Akh, begitu" Coba katakan syarat apa itu" Sekiranya
terlalu berat, aku akan mencoba menawarnya," sahut
Botol Pinilis dengan suara tenang. "Bukankah dalam
penghidupan ini berlaku pula soal t awar-menawar?"
'T idak! T idak ada tawar-menawar lagi!" bent ak Cocak
Abang sengit. "Syarat pertama: kau harus memberi ganti
atas kerugian kami. Dan emas boleh kau bawa!"
"Berapa jumlahnya?" potong Botol Pinilis.
"Bukan soal jumlah atau nilai. Yang penting, engkau
harus membawa barang semacam alat penebus. Itulah
peraturan kami yang sudah berjalan semenjak aku belum
lahir. Artinya, kau menghargai kami."
Botol Pinilis tersenyum seraya memanggut. Tahulah
dia, bahw a syarat itu adalah soal kehormatan. Karena
itu, tidak lagi ia bergurau. Berkata dengan suara
sungguh-sungguh: "Baiklah, akan aku penuhi syarat itu. Esok hari, biarlah
aku ke Madiun untuk memilih barang penukar yang
cukup berharga. Selain itu aku akan mengadakan pesta
perpisahan pula sebagai pernyataan rasa terima kasih.
Boleh bukan aku mengundang beberapa orang
penduduk" Nah, sekarang, katakanlah syarat yang
kedua! Ingin aku mendengar bunyinya."
Cocak Abang kelihatan puas mendengar perkataan
serta melihat Botol Pinilis. Kemudian berkata lagi :
"Baik. Syarat kedua sederhana saja. Bocah itu,
tinggalkan disini." "Bocah yang mana?" Botol Pinilis heran "Apakah
muridku" Akh, dia seorang yang tolol. Rasanya tiada
gunanya ..." "Bukan. Bocah itu! Bocah yang bernama Lingga
W isnu." Botol Pinilis terkejut. Pikirnya di dalam hati: 'Lingga
W isnu adalah adik seperguruanku. Dialah murid
kesayangan guru. Melihat sikap Cocak Prahara, keiuafc?a
Dandang Mataun menghargai guru. Apa sebab sekarang
hendak menahan murid kesayangannya" Akh, pastilah ini
hanya suatu dalih belaka, untuk menimbulkan gara-gara
saja ..' Botol Pinilis tidak mengetahui latar belakang
persoalannya. Bahwasanya Lingga W isnu mempunyai
sangkut -paut dengan kepentingan keluarga Dandang
Mataun. Bahwasanya diapun seorang ahli w aris pendekar
Bondan Sejiwan yang ditakuti, orang pada zamannya.
Lingga W isnu terlalu mengetahui rahasia keluarga
Dandang Mataun dengan pendekar Bondan Sejiwan.
Karena itu Cocak Prahara berlima bertekad hendak
membinasakan bocah itu. Mereka tahu, kepandaian
Lingga W isnu sangat tinggi. Tetapi mereka percaya,
bahw a ilmu Panca Sakti keluarga Dandang Mataun tidak
bakal kena dirobohkan. Dalam pada itu, Botol Pinilis yang tak mengetahui latar
belakang persoalannya, mencoba mengendorkan ketegangan baru yang tidak diharapkan, Ia tertawa
lebar. Kemudian mencoba berkelakar. Katanya :
"Adikku seperguruan ini, seorang anak yang doyan
makan. Kalau dia kalian harapkan tinggal disini, wah!
jangan-jangan dia akan menghabiskan beras persediaan
keluarga besar Dandang Mataun. Apakah kalian tidak
akan rugi nanti?" Puguh Harimawan kenal akan watak dan tabiat
gurunya. Bila dia bergurau, artinya mengandung
ancaman. Pastilah pertempuran seru bakal terulang
kembali. Maka dengan tajam, diam-diam ia memegang
senjatanya erat-erat. Cocak Prahara yang masih memegang tombaknya,
menyahut dengan suara tegas :
"Adik seperguruanmu tadi, pandai mengajari engkau
bagaimana caramu bisa lolos dari mata-rant ai jala Pancasakti. Agaknya dia
mengenal ilmu gabungan kami Pancasakti. Maka biarlah kami mencoba-coba
kepandaiannya." Ilmu gabungan Panca-sakti yang merupakan jala tak
tertembus oleh macam kepandaian apapun, terdiri dari
lima tataran. Tadi, t atkala menghadapi Botol Pinilis, baru
sampai pada tataran kedua. Masih sanggupkah Botol
Pinilis menghadapi yang tiga tataran lagi" Mustahil!
Cocak Prahara berlima tidak percaya, bahwa di dunia ini
masih ada seseorang yang bisa merobohkan ilmu sakti
kebanggaan keluarga Dandang Mataun turun temurun.
Botol Pinilis tahu diri Dia seorang pendekar yang
cermat dan berhati-hati menghadapi semua persoalan.
Tadi ia merasakan, betapa hebat daya perlawanan dan
rangsakan ilmu Panca- sakti. Pikirnya di dalam hati :
'Dengan pengalamanku belasan tahun, masih tak
dapat aku menembus mata-rant ai pertahanannya.
Apalagi mencoba mengetahui kunci rahasianya. Apakah
Lingga W isnu sanggup menghadapinya" Ajaran yang
diperolehnya sama dengan apa yang aku peroleh dari
guru. W alaupun cerdas, dalam hal pengalaman aku
menang jauh. Benar dia dapat memberi kisikan dan
petunjuk-petunjuk bagaimana caraku bisa meloloskan diri
dari kepungan mereka. Tetapi hal itu terjadi, karena dia
tidak bertempur langsung. Ku-umpamakan seorang
penonton pertandingan catur yang dapat melihat
kelemahan lawan. Sebaliknya bila dia bertempur secara
langsung, akan lain halnya. Sebab dia tidak memperoleh
kesempatan untuk berpikir dan menimbang-nimbang
kemungkinan-kemungkinannya sedikit saja salah langkah
atau lalai, berarti menghadapi maut. Apakah ... apakah
... akh .... mustahil dia sanggup merobohkan mereka ...'
Oleh pertimbangan ini, dengan hati-hati Botol Pinilis
berkata : "Ilmu sakti keluarga Dandang Mataun tiada keduanya
di dunia. Terlalu hebat! Terlalu hebat untuk dicobanya
terhadap adikku seperguruan karena dia belum pandai
beringus. Lihatlah, usianya pant as kalau menjadi cucu
kalian. Benar-benar tidak seimbang dengan kedudukan
kalian, apa keuntungannya untuk mempersulitnya" Bila
dia pernah berbuat kurang ajar terhadap kalian, biarlah
kalian menunjuk seseorang untuk mewakili kalian
menghajarnya sampai jera sebagai hukumannya."
Botol Finilis kelihatan bersikap mengalah. Tapi
sebenarnya ia mempunyai perhitungannya sendiri. Ia
percaya, adiknya seperguruan itu tidak bakal kena
dikalahkan bila berlawan-lawanan seorang demi seorang.
Bahkan dia masih sanggup menghadapi dua lawan
sekaligus. Tadi ia menyaksikan sendiri, betapa Buyut
Sodana dapat dirobohkannya dengan mudah.
Cocak Rawa yang pandai membakar hati segera
mengetahui Botol Pinilis. Ia tak sudi kalah gertak Maka
berkatalah dia sambil mencibirkan bibirnya :
"Sekar Teratai mempunyai nama besar semenjak
puluhan tahun yang ialu. Akh, tak mengira sama sekali
Perjodohan Busur Kumala 3 Setan Harpa Karya Khu Lung Pedang Kunang Kunang 7