Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 14

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 14


bahw a anak-anak muridnya kuncup hatinya begitu
mendengar nama ilmu Panca sakti. Benar-benar diluar
dugaan. Baiklah, kalau begitu, semenjak hari ini orang
tak perlu bersegan - segan lagi. terhadap Sekar Teratai.
Pan kuharap, kamu menyempaikan salamku kepada
gurumu, bahwasanya lebih baik nama Sekar Teratai
terhapus saja dari percaturan masyarakat ..."
Puguh Harimawan mendongkol bukan main mendengar ucapan Cocak Rawa. Terus saja ia melompat
maju tanpa persetujuan gurunya. Katanya dengan
membentak : "Kau bilang Sekar Teratai" lebih baik lenyap dari
percaturan masyarakat" Huh, kau kira kami gent ar
menghadapi kalian?" "Kalau begitu, kaulah saja yang maju," sahut Cocak
Rawa dengan tertawa merendahkan.
Puguh Harimawan benar-benar tidak gentar sedikitpun. Kakinya bergerak hendak melangkah maju.
Tiba-tiba tangannya kena ditarik Lingga W isnu. Kata
paman cilik itu : "Kakang Harimawan. Biarlah aku maju lebih dahulu.
Apabila aku gagal, barulah kakang membantunya diriku."
Puguh Harimawan menanggut. Sahutnya :
"Baik. Begitu membutuhkan aku, panggillah namaku
saja, Harimawan atau Puguh begitu saja. Tak usah
menyebutku kakang segala. Bukankah kau justru
pamanku?" Lingga W isnu te rsenyum. Ia mengangguk pendek Dan
Suskandari t ertawa geli.
"Apa yang kau tertawakan?" Puguh Harimawan
menegur dengan mata melotot.
"Akh, tak apa-apa. Aku hanya ingin tertawa. Dan
akupun tertawa" jawab Suskandari manis.
Tak puas Puguh Harimawan mendengar jawaban
Suskandari. Ingin ia menegas. Tapi pada saat itu,
dilihatnya Lingga W isnu sudah melompat memasuki
gelanggang. Benar-benar dia hanya bersenjatakan
sibatang tusuk konde Suskandari.
"Aku Jingga W isnu. Dengan ini ingin aku berkenalan
dengan gabungan ilmu Pancasakti keluarga Dandang
Mataun. Selama hidupku belum pernah aku melihatnya!"
seru Lingga W isnu "Hm, pupukmu belum lagi kering. Tapi lagamu seperti
pendekar bangkotan!" teriak si berangasan Cocak A bang.
"Kau berlagak mengenal rahasia kubu Panca Sakti. Huu,
apa sih modalmu" Lingga W isnu menatap wajah Cocak Prahara berlima
dengan tenang. Ia seperti berpikir sejenak. Kemudian
berkata perlahan : "Ilmu Panca Sakti adalah gabungan ragam ilmu
kepandaian yang maha dahsyat. Seumpama bukan
paman yang menghendaki, pastilah aku tidak berani
untuk mohon agar Panca Sakti diperlihatkan dihadapanku. Paman tadi menyebut kubu Panca Sakti.
Bagus! Nah, ingin kulihat bagaimana macamnya!"
"Kakang! Jangan terjebak!" seru Cocak Ijo memperingatkan. "Jangan terjebak apa" Puguh Harimawan melotot.
Kami tidak pernah main jebak-jebakan seperti kamu.
Kami selalu berbicara terang dan berhadap-hadapan.
Kalau yang kami maksudkan satu, kamipun akan b ilang
satu. Tetapi kamu Huuu ..."
Mendengar ucapan Puguh Harimawan, kembali lagi
Suskandari tertawa. Lingga W isnupun tertawa pula.
Katanya kepada si semberono :
"Mereka orang-orang berusia lanjut, tidak bakal
mempedayakan kita yang masih muda. Kau tak perlu
kuatir, kakang Puguh!" Setelah berkata demikian, ia
menoleh kepada Cocak Prahara berlima. Berkata: "Aku
sudah siap. Aku harap hendaklah paman sekalian
menaruh belas kasihan kepadaku ..."
Cocak Prahara heran. Mendengar ucapannya, jelas
sekali Lingga W isnu merasa gentar terhadap Panca Sakti.
Akan tetapi, sikapnya sangat tenang. Gerak-geriknya
yakin.. Pandang matanya sama sekali tiada membayangkan rasa takut atau cemas. Benar-benar
mereka tak dapat menebak hati anak muda itu.
Mereka tahu, Lingga W isnu berkepandaian tinggi.
Maka tak berani mereka menganggapnya sebagai lawan
yang ringan. Dengan suatu isyarat t angan, mereka mulai
bersiap. Cocak Rawa dan Cocak Abang melesat ke kanan.
Ketiga saudaranya mengikut i gerakannya dengan
menempati kedudukan masing-masing. Sebentar saja
lingga W isnu sudah terkurung rapat.
Tetapi Lingga Wisnu kelihatannya acuh tak acuh, Sana
sekali ia tak bergerak. Bahkan tiba-tiba ia membungkuk
memberi hormat. menegas :
"Apakah kita bertempur diluar panggung?"
"Y a Tak usah diatas panggung," sahut Cocak Prahara.
"Nah, keluarkan senjatamu!"
Lingga W isnu tersenyum, kemudian memperlihatkan
tusuk konde Suskandari Berkata :
"Paman sekalian adalah angkatan tua. Betapa aku
berani melawan paman sekalian dengan menggunakan
senjata tajam" Maka biarlah aku menggunakan tusuk
konde ini untuk menghadapi paman sekalian."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, baik Cocak Prahara
berlima maupun hadirin lainnya terheran-heran Banyak di
antara mereka yang menganggap Lingga W isnu seorang
anak yang takabur. Apa artinya sebatang tusuk konde"
Semua orang tahu, bahwa tusuk konde amat mudah
patah. Betapa mungkin dapat diadu dengan senjata
Cocak Prahara berlima yang serba kokoh.
Botol Pinilis membungkam mulut semenjak t adi. Tetapi
diam-diam ia mempersiapkan kedua senjat andalannya
untuk menolong adik seperguruannya manakala terancam Bahaya. Kepada Puguh Harimawan dan
Suskandari ia berkata : "Musuh kita terlalu kuat, sedang jumlah kita hanya
empat orang. Apabila sebentar aku memberi tanda,
segeralah kamu berdua meloncat ke atas genting dan
larilah secepat cepatnya. Aku dan adik Lingga akan
melindungimu untuk menghadang musuh. Jangan kamu
berdua memperdulikan kami. W alaupun kami terancam
bahaya apapun juga, janganlah kamu mencoba-coba
untuk membantu. mengerti?"
Botol Pinilis berpesan demikian, karena mempunyai
perhitungannya sendiri. Meskipun seumpama Lingga
W isnu mempunyai kepandaian yang berarti, belum juga
dapat menandingi Cocak Prahara berlima. Andaikata
diapun membantu pula, juga belum berarti banyak.
Tetapi ia percaya, bahw a baik Lingga W isnu maupun
dirinya sendiri, pasti dapat lolos dari bahaya ancaman
mereka. Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan Puguh
Harimawan dan Suskandari, apabila mereka berdua kena
kepung. Itulah sebabnya, mereka harus lari mendahului.
Dikemudian hari, mereka berdua bisa diharapkan lapor
kepada panglima Sengkan Turunan. Sedangkan dia
sendiri akan balik kembali set elah memperoleh bantuan
dari sahabat sahabatnya. Pastilah gurunya dan Ki Ageng
Gumbrek tidak akan tinggal diam. Dan jika mereka
semua datang kembali, ilmu Panca sakti keluarga
Dandang Mataun pasti bisa dirobohkan. Dia tidak
mengharapkan bant uan Lingga W isnu, sebab meskipun
berkepandaian cukup, pastilah masih kurang masa
latihannya. o))0ooo.dw.ooo0((o Dalam pada itu, semua yang berada di dalam
gelanggang pertempuran sudah siap siaga. T etapi Lingga
W isnu masih belum merasa puas. Nampaknya seakanakan melihat sesuatu yang masih
kurang. Akhirnya ia berkata : "Paman Cocak Prahara sekalian. Aku berterima kasih
karena paman sekalian sudi memberi pengalaman
kepadaku. Hanya saja menurut tanggapanku, masih
kurang lengkap. Tadi, aku mendengar istilah kubu.
Apakah bukan Kubu Penjuru Delapan?"
Cocak Prahara berlima heran tercengang cengang.
Menegas : "Kubu Penjuru Delapan?"
"Benar. Kubu Penjuru Delapan. Itulah suatu Kubu
yang melindungi gerakan Panca Sakti. Bukankah
demikian?" sahut Lingga W isnu. "Nah, aturlah sekalian,
agar aku dapat memperoleh pengalaman lebih luas lagi."
Cocak Mengi yang tidak sabaran, lantas membentak :
"Bagus! Kau sendirilah yang memint a. Maka jika kau
mampus, jangan sesali siapapun juga. Setelah membentak demikian, ia berpaling kepada Cocak Rawun
dan Sondong Rawit. Memerint ah :
"Semua maju!" Oleh perint ah Cocak Mengi, Cocak Rawun dan
Sondong Rawit segera mengangkat tangannya memberi
isyarat aba-aba. Dan muncul ah lima belas orang yang
segera bergerak mengepung.
Melihat bertambahnya anggauta lawan yang bergerak
di atas gelanggang pertempuran. Botol Pinilis terteguntegun.
Mulutnya bergerak hendak menegor kesemberonoan adik seperguruannya - akan tetapi pada
saat itu pula timbullah pikirannya bahw a tegorannya itu
pasti t iada guna nya lagi. Oleh pikiran itu ia batal sendiri.
Sekarang ia memperhatikan mereka semua yang sedang
bergerak-gerak dan berputar-put ar mengurung Lingga
W isnu. Mereka terdiri dari laki laki dan perempuan
Gerakan mereka rapih dan cekatan. Matu tak mau ia jadi
kagum. Pikirnya didalan hati: 'Belasan tahun aku
berkelana untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Tetapi baru kali ini aku melihat barisan
Kubu pertahanan yang dahsyat dan rapih. Mereka
bergerak dengan berlari-larian. Namun tiada terdengar
suara langkahnya sama sekali. Akh, Lingga benar-benar
semberono. Melayani lima orang saja,
sudah sulit, apalagi menghadapi belasan orang. Bagaimana aku
harus menolong menembus mata rant ai mereka berlima"
Mungkin sekali aku masih mempunyai harapan. Tetapi
untuk mencoba menembus sekian orang yang selalu
bergerak berlari-larian diluar mata rant ai Panca Sakti ...
hmm. Rasanya biarpun aku merubah diri menjadi seekor
lalat, rasanya t ak akan mampu Akh, Lingga, benar-benar
kau t ak tahu diri ...' Benar-benar Eotol Pinilis tertegun tegun, dalam
keraguannya yang mencemaskan dirinya sendiri. Tetapi
Lingga W isnu sendiri nampak tenang tenang saja. Ia
menjepit tusuk konde Suskandari dengan jari-jari tangan
kanannya. Tangan kirinya dilancangkan ke depan dan
ditekuk sedikit seolah-olah seekor ular hendak menyambar mangsa. Kemudian kedua kakinya mulai melebar. T iba-tiba ia bergerak dan lari berput aran.
Setelah empat lima kali, ia berbalik merubah jurusan
dengan mendadak pula. Melihat gerakan Lingga W isnu, Cocak Prahara berlima


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memusatkan seluruh perhatiannya. Sedangkan pandang
mata mereka tak berani beralih dari gerak-gerik Lingga
W isnu yang penuh teka-teki. Sebab sudah sekian
lamanya ia berputar-put ar, masih saja belum ada tandatandanya hendak menyerang:
Botol Pinilis maupun Cocak Prahara berlima, tidak
mengetahui bahwa Lingga W isnu sebenarnya sedang
melakukan ajaran-ajaran warisan pendekar Bondan
Sejiwan. Dahulu, tatkala Bondan Sejiwan lolos dari
kepungan Cocak Prahara berlima, ia mengeram diri di
dalam goanya. Terus-menerus tak kenal berhenti,
pendekar yang mengandung dendam kesumat itu
mencari-cari jalan keluar untuk dapat memecahkan
rahasia Kubu Penjuru Delapan dan kehebatan Panca
Sakti. Pada t ahun-tahun pertama, belum juga ia berhasil
menemukan t itik-tolak apa sebab Kubu Penjuru Delapan
dan Panca Sakti bergerak terus saling menyusul, sampai,
lawannya kena dirobohkan. Asal yang satu bergerak,
empat lainnya menyusul bergerak pula. Begitu terusmenerus, sehingga lambat laun
membuat pandang mata lawan kabur. Benar benar ia bingung dan tak dapat
mengerti. Pada suatu hari, Bondan Sejiwan keluar dari goanya.
Dengan tertatih-tatih ia merangkak ke puncak gunung
untuk mencari hawa segar. Tiba ba ia melihat seekor ular
bergerak melingkar dan menegakkan kepalanya. Itulah
kodrati gerakan seekor ular apabila merasa terancam
bahaya. Ia bersiaga melawan berbareng menyerang.
Tetapi dia tak akan menyerang, apabila tidak didahului.
Dan melihat t ata laku ular itu, timbul an sepercik ilham di
dalam benak Bondan Sejiwan. Ya, inilah cara yang
praktis sekali untuk memecahkan ilmu Kubu Penjuru
Delapan dan Panca Sakti sekaligus.
'Menunggu serangan lawan, kemudian baru bergerak
untuk melawan!' katanya berulangkali di dalam hati.
Hatinya menjadi girang. Sebab lambat laun ia
memperoleh keyakinan. Dan dengan keyakinannya itu, ia
kembali ke goanya mengasah otak. Satu bulan lamanya
ia mencoba memahami ilmu sakti kebanggaan keluarga
Dandang Mataun, sampai akhirnya diket ahuinyalah
kelemahannya. Dengan ilmu ular itu sekarang ia sangguo
memecahkan pertahanan Kubu Penjuru Delapan dan
Panca Sakti. Dan penemuannya itu segera dicatat dalam
buku warisannya. Setelah selesai, t imbullah pikirannya di
dalam hati : 'Urat-uratku sendiri sudah terputus. Tak bisa aku
berkelahi seperti dahulu. Adakah gunanya aku memperoleh rahasia perlawanan ilmu kebanggaan
keluarga Dandang Mataun" Aku sekarang berada di
dalam goa ini. Seratus tahun lagi ... mungkin seribu
tahun lagi ... kitabku baru diketemukan orang. Tetapi
pada saat itu, mereka semua sudah mampus! Hmm,
benar-benar penasaran hatiku! Tapi baiklah ... meskipun
andaikata Cocak Prahara berlima sudah mampus, ilmu
kebanggaan mereka pasti ada yang mewarisinya. Kalau
tidak ada daya perlawanannya, akan keturunan mereka
pasti akan merajalela tanpa tandingan. Aku harap saja
kitabku ini akan diket emukan orang dikemudian hari.
Syukurlah bila Tuhan mengabulkan bisa diketemukan
oleh seseorang yang bisa mewakili d iriku membalas
dendam selagi Cocak Prahara berlima masih hidup dalam
keadaan segar-bugar. Bila hal. in i dikabulkan, ya
Tuhanku, aku rela. Kau masukkan neraka sebagai
penebusan. Di alam bakapun Bondan Sejiwan tidak pernah
mengira, bahwa pada hari itu seorang anak muda
bernama Lingga W isnu sedang mengadakan perlawanan
terhadap kubu Panca Sakti keluarga Dandang Mataun
dengan ilmu warisannya. Dia berput ar-putar terus tanpa
menyerang, untuk menunggu gerakan lawan. Itulah
dasar rahasia kitab warisannya. Dan karena ia berlarilarian, semua lawannya ikut
berlari-larian pula sambil
mengawaskan gerak-gerik dengan cermat.
Lingga W isnu tidak menghiraukan gerakan lawan Ia
terus lari berput aran sekian lamanya. Sekonyongkonyong ia memperlambat diri.
Makin lambat dan makin kendor. Namun sama sekali tidak nampak adanya suatu
tata muslihat untuk menyerang. Akhirnya, bahkan
berhenti sama sekali. Kemudian duduk memeluk lut ut.
W ajahnya nampak berseri-seri. Keruan saja mereka
semua yang melihat perangainya menjadi heran. Seluruh
keluarga Dandang Mataun tidak mengetahui, bahwa ini
termasuk salah satu tipu-daya untuk melalaikan
penjagaan. Disamping itu untuk membuat mereka
kehilangan kesabaran pula.
Benar saja! Cocak Abang yang berangasan segera
menggerakkan kedua tangannya untuk menyerang.
W aktu itu ia berada dibelakang punggung. Lingga W isnu,
sehingga dapat menyerang secara gelap.
"Jangan! Jangan mengacaukan jalur jalur pembelaan!"
Cocak Ijo memperingatkan.
Peringatan Cocak Ijo itu menyadarkan Cocak Abang.
Segera ia menarik serangannya, kembali. Dan mereka
lantas melanjutkan berlari-lari berputaran dengan penuh
siaga, menerjang manakala lawannya menyerang. Tetapi
Lingga W isnu tetap duduk memeluk lutut. Mau tak mau
manbuat mereka mendongkol Akhirnya saling pandang
memint a, pertimbangan. Cocak Prahara sebenarnya sudah kehilangan kesabarannya pula. Ingin ia memberi idzin adik-adiknya
untuk menyerang. Tetapi hal itu bertentangan dengan
dasar keharusan int i ilmu gabungan Panca Sakti. Maka
meskipun hatinya mendongkol bukan main, t ak berani ia
melanggar int i keharusannya. Satu-satunya yang dapat
dilakukan hanyalah mempercepat larinya sambil menggertak-gertak. Iapun memberi isyarat mata kepada
sekalian saudaranya agar meninggikan kewaspadaan.
Lingga W isnu tetap bersikap adem saja. Malahan
sekonyong-konyong menguap beberapa kali. Lalu tidur
berbaring. Kedua t angannya dibuat alas kepala semacam
bant al. Matanya menatap atap sambil diselingi menguap
lebar-lebar Bukan main mendongkol Cocak Prahara berlima. Kalau
mereka harus berlari-larian terus, sedangkan lawannya
enak-enak bertiduran sambil menguap, bukankah
napasnya lambat laun akan kempes sendiri"
Enambelas orang pimpinan Cocak Pawun yang harus
berlari-larian pula untuk mengaburkan penglihatan
lawan, diam-diam d ihinggapi kegelisahan demikian juga.
Namun secara naluriah mereka seakan-akan tahu, bahwa
lawannya itu lagi melakukan suatu t ipu muslihat. Karena
itu, meskipun napasnya lambat-laun mengangsur, tak
berani mereka lalai sedikitpun. Tetapi mereka bukan
Cocak Prahara berlima yang sudah mempunyai masa
latihan puluhan tahun lamanya. Sejam kemudian,
keringat mulai mengucur membasahi badan dan
nafasnya mulai t ersengat-sengal.
Dalam pada itu, Lingga W isnu masih saja enak-enak
melakukan peranannya. Berkata didalam hatinya, aku
ingin tahu sampai kapan mereka bisa bersabar. Apakah
mereka benar-benar mempunyai napas kuda"' Dan diamdiam ia mencuri pandang untuk
mengamat-amati gerakan mereka yanp tak kenal henti. Kemudian berpura-
pura merapatkan matanya seolah-olah hendak tidur
pulas. Puguh Harimawan, Suskandari, Sekar Prabasini dan
ibunya heran menyaksikan tingkah laku Lingga W isnu.
Dalam hati, mereka merasa lucu. Akan tetapi
sesungguhnya diam-diam mereka cemas dan gelisah.
Bagaimana kalau tiba-tiba lawannya menyerang dengan
berbareng" Masih sanggupkah ia menolong diri"
Hanya Bot ol Pinilis seorang yang dapat menyadari
maksud Lingga W isnu Pastilah adiknya seperguruan itu
sedang menguji kesabaran lawannya. Disamp ing itu
hendak memancing kelengahannya pula. W alaupun
begitu, perbuatan adiknya seperguruan itu memang
terlalu berani. Bahkan suatu keberanian yang melampaui
batas. Kalau saja lawannya menyerang dengan
mendadak, apakah dia sanggup terbang menjangkau
atap gedung untuk mengelakkan diri"
Pada saat itu, Cocak Prahara benar-benar tidak
bersabar lagi. Diam-diam ia bersiap hendak menyerang
apabila memperoleh waktunya yang baik. Manakala
Lingga W isnu tenggelam dalam keasyikannya sendiri,
tiba-tiba ia memberi isyarat kepada Cocak Ijo dengan
kibasan tangan kibasan tangan kirinya. Empat batang
golok tahu-tahu menyambar dengan mendadak. Itulah
golok terbang Cocak Ijo yang sudah terkenal semenjak
belasan t ahun yang lalu.
Puguh Harimawan, Suskandari, Sekar Prabasini dan
Eotol Pinilis kaget sant ai memekik tertahan. Sedang ibu
Sekar Prabasin i menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya, karena tak sampai hati menyaksikan
peristiwa itu. Betapa tidak, karena empat batang golok
terbang Cocak Ijo membidik sasarannya dengan jitu
sekali Sebaliknya pihak keluarga Dandang Mataun bersorak
kegirangan. Mampuslah bocah itu! Empat batang golok
terbang Cocak Ijo membidik sasarannya dengan jitu dan
menancap dipunggung Beberapa orang anggauta barisan
Kubu Penjuru Delapan sampai menghentikan larinya.
Bukankah musuh sudah mampus"
Tetapi mereka tidak pernah mengira, bahw a tubuh
Lingga W isnu terlindungi baju sakti pemberian Ki Ageng
Gumbrek yang tidak mempan oleh senjata tajam macam
apa pun juga. Tiba-tiba saja bocah itu melesat bangun.
Dan empat batang golok runtuh bergemelontangan di
atas lantai . Pada detik itu pula Lingga W isnu berkelebat melint asi
mata-rant ai penjagaan Cocak Prahara berlima yang
masih tertegun mengawasi akibat sambaran golok yang
mengenai sasarannja. Tahu-tahu terdengarlah jerit
lengking Sondong Rawit yang ternyata kena gaplok
Lingga W isnu dan melontakkan darah segar dengan serta
merta. Selagi begitu, tubuhnya kena terangkat tinggi
tinggi dan terlempar keluar dari garis pertahanan Kubu
Penjuru Delapan. Lingga W isnu tidak sudi berhenti sampai disitu saja"
Itulah kesempatan yang sebagus-bagusnya. Dan ia
hendak menggunakan kesempatan itu dengan sebaikbaiknya. Selagi Cocak Prahara
berlima tertegun-tegun dan kelimabelas orang pembantunya terpaku oleh rasa
kaget, ia menghant amkan tangan dan menendangkan
kedua kakinya bertubi-tubi. Seorang demi seorang roboh
tak berkutik. Kemudian dilemparkan kedalam bidang
gerak mata-rant ai Panca-sakti.
Cocak Kawun dan beberapa anggauta rombongannya
sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang t idak rendah.
Akan tetapi kepandaiannya se olah-olah terenggut oleh
peristiwa yang berada diluar dugaan mereka. Baru saja
mereka bergerak dua tiga langkah, Lingga W isnu sudah
berhasil merobohkannya. Dan seperti nasib kawan
kawannya, mereka dilemparkan kedalam gelanggang
dalam keadaan malang-melintang. Dengan demikian,
pecahlah mata-rant ai Panca-sakti dan garis pertahanan
Kubu Penjuru Delapan keluarga Dandang Mataun Karena
daerah geraknya kini tertutup oleh mereka yang kena
dirobohkan malang-melint ang.
Tentu saja, Cocak Prahara berlima, t idak t inggal diam,
selama Lingga W isnu merobohkan anggauta-anggauta
Kubu Penjuru Delapan seorang demi seorang. Mereka
mencoba bergerak seirama dengan keharusan dan
ketentuan gerakan gerakan Panca-sakti, Tapi gerakan itu
terpaksa macet, karena mereka terpaksa sibuk menerima
tubuh-tubuh yang dilemparkan Lingga W isnu kepadanya.
Itulah waktu sebaik-baiknya bagi Lingga W isnu selagi
mereka sibuk dalam kerepotannya. Terus saja ia
melompat menyerang Cocak Ijo yang tadi begitu
gegabah berani melepaskan golok terbangnya.
Kala itu, Cocak Ijo baru saja menerima lemparan
tubuh salah seorang anggauta Kubu Penjuru Delapan.
Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya Lingga
W isnu menghampiri dirinya. Hatinya kaget setengah
mati. Ia tadi heran dan kecut hati, tatkala melihat
keempat batang goloknya tidak mempan. Sekarang, ia
justru kena ancaman balas dendam. Dengan tergesagesa ia melepaskan empat batang
golok terbangnya lagi. "Mampus! Mampus!" teriaknya berulang kali, untuk
membesarkan hatinya sendiri. "Masakan dadamu tak
mempan kena golokku?"
Lingga W isnu tahu, dadanya terancam golok t erbang.
Akan tetapi ia tak menghiraukan, karena dadanya telah
terlindung baju sakti warisan gurunya. Tangannya tetap
meluncur mengarah tenggerokan. Prak! Keempat batang
golok terbang Cocak Ijo yang tepat mengenai sasaran,
runtuh jatuh bergemelontangan diatas lantai. Tapi pada
saat itu pula, jari-jari Lingga W isnu menerkam urat
tenggorokan. Seketika itu juga Cocak Ijo roboh dengan
melontakkan darah berhamburan.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan main kagetnya Cocak Abang, melihat saudaranya terancam bahaya maut. Segera ia menghantam Lingga W isnu dengan tongkatnya. Bidikannya mengarah kaki kanan. Biasanya, tidak perduli
siapa saja, akan roboh begitu kena terhantam
tongkatnya yang disertai tenaga dahsyat.
"Ih, hebat juga!" seru Lingga W isnu dengan t ertawa.
Sebat ia menyambar seorang dan dibuatnya sebagai
perisai. Berseru : "Kau pukul ah!"
Untuk kedua kalinya Cocak Abang terperanjat. Ia
yakin, Lingga W isnu tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk mengelak. Diluar dugaannya, ia menyambar
seseorang untuk dibuatnya perisai. 'Bangsat!' makinya
didalam hati. Dengan mati-matian ia mencoba menarik
pukulannya. Karena tidak mungkin lagi, ia hanya dapat
membuang tongkatnya kesamping.
"Kakang Prahara, awas!" teriaknya bersakit hati
apabila melihat tongkatnya terbang mengarah kedada
kakaknya t ertua. Cocak Prahara melihat berkelebatnya tongkat Cocak
Abang. Dengan terpaksa ia menangkis. Tombaknya
dilint angkan. Dan kedua senjata itu berbenturan sangat
nyaring. Api meletik bagaikan kembang api yang kuncup
padam. Selagi mereka berdua sibuk, Lingga W isnu menerjang
Cocak Rawa dengan tusuk konderya. Seperti seekor ular
hendak memagut musuhnya, tusuk konde Suskandari
dibolang-balingkan kedepan mata. Keruan saja Cocak
Rawa terbang semangatnya,
Ia mundur sambil me lindungi dirinya dengan senjata
cemeti rant ainya. Dengan mati-matian ia mengadakan
pembelaan. T api serangan Lingga W isnu saling susul dan
merangsak terlalu cepat. Tusuk konde itu seolah-olah
berkeredepan menebarkan puluhan butir permata yang
menyilaukan matanya. Sekarang barulah ia sadar, betapa
hebat senjata istimewa itu. Hampir-hampir melengket
dikedua matanya. Ke mana ia bergerak dan berpaling,
tusuk konde itu tiba-tiba saja sudah berada didepan
kelopak mata. Bagaimana kalau tiba-tiba saja menusuk
gundu" Ih, -benar-benar mengerikan'
Dua kali tusuk konde itu menyentuh kelopak mata.
Untunglah, masih bisa ia menolong diri oleh kesebatannya. Tetapi semangatnya telah terbang. Tibatiba saja ia dihinggapi
perasaan takut luar biasa. Itulah
kejadian untuk yang pertama kalinya sepanjang
hidupnya. Karena kehilangan semangat, ia jadi kehilangan
pengamatan diri. Gerakan pembelaannya jad i kacau.
Dengan asal jad i saja, ia mengobat-abitkan cemeti
rant ainya untuk menggebah rangsakan lawan. Akan
tetapi, Lingga W isnu seperti tidak mempedulikan dayausahanya. Akhirnya dalam
keadaan terdesak, terpaksalah
ia melepaskan cemeti-rantainya. Kemudian buru-buru ia
menutup kedua matanya dengan tangan.
"Apakah kau masih sempat?" gertak Lingga W isnu.
Dengan hati panas-dingin, Cocak Rawa bergulingan di
atas lantai. Kedua tangannya tetap menutup mata.. Ia
memang bisa menyelamatkan matanya, akan tetapi tak
dapat mengelakkan hant aman tangan kiri Lingga W isnu.
Tahu-tahu pinggangnya terasa nyeri. Dan ia roboh
terjerambah tak berkutik lagi.
Cocak Rawa terkenal dengan cemeti rant ai nya
semenjak puluhan tahun yang lalu. Belasan kali ia
merobohkan lawan-lawannya, baik diatas panggung adukepandaian maupun di dalam
perkelahian wajar. Bahkan
ia pernah merobohkan dua belas orang sekaligus dalam
suatu pertandingan yang menentukan. Hal itu terjadi,
tatkala ia terlibat dalam suatu perkelahian mati-hidup
dengan kawanan warok yang bermukim di pinggang.
Gunung Lawu sebelah timur. Dan semenjak itu, namanya
terkenal disegala penjuru. Ia dihormati dan disegani
orang. Tapi kali ini, ia menumbuk batu. Siapapun tak
menduga, bahwa dia bakal roboh dengan mudah sekali
di tangan seorang pendekar muda yang baru saja
muncul dalam percaturan hidup. Tak mengherankan,
seluruh keluarga Dandang Mataun yang menyaksikan
peristiwa itu, heran dan kaget setengah mati. Bagaimana
mungkin! Tapi kenyataannya memang demikian. Siapapun tak dapat mengingkari pula.
Botol Pinilis tidak terkecuali. Setelah tertegun
keheranan, ia sekarang yakin akan kepandaian adiknyaseperguruan itu. Gerakan
tangannya benar-benar aneh.
Suatu gerakan tangan yang belum pernah dilihatnya.
Dari siapakah ia memperoleh kepandaian itu" Tatkala
berusia sebaya dia. Karena itu benar-benar aneh. Aneh
sekali! Pastilah adiknya-seperguruan itu pernah menerima warisan sakti dari seseorang. Tapi siapa" Siapa
lagi kecuali gurunya"
Tentu saja Puguh Harimawan dan Suskandari belum
dapat berpikir sejauh itu. Mereka hanya yakin, bahwa
Lingga W isnu berkepandaian tinggi. Nyatanya, dia bisa
unggul. Dan menyaksikan hal itu, mereka berdua girang
penuh rasa syukur. Begitu girang mereka sampai
bersorak tak dikehendaki sendiri.
Sekar Prabasini dan ibunya lain pula kesannya.
Meskipun mereka ikut bersyukur di dalam hati, namun
tak berani menyatakan rasa syukur dengan terangterangan. Mereka sudah terlalu
lama kena larangan dan terkekang kemerdekaannya sehingga sama sekali mereka
tak berani memperlihatkan rasa girangnya bahkan
diwajahnyapun. Bagi Lingga W isnu sendiri, inilah pengalamannya
untuk yang pertama kalinya berlawanan dengan tokohtokoh kenamaan. Itulah
sebabnya, ia bertempur dengan
penuh semangat. Ia bersungguh-sungguh dan sana
sekali tak bersegan-segan. Sebab ia sadar akan
mengalami bencana apabila lalai lengah sedikit saja.
Maka dengan tangan kirinya, ia menggempur musuh
dengan menggunakan tipu-tipu jurus Sardula Jenar.
Sedangkan tangan kanannya merangsak dengan tiputipu warisan Bondan Sejiwan. Ia
berhasil mencampuradukkan demikian rupa, sehingga seumpama. Kyahi
Sambang Dalan dan Bondan Sejiwan hadir pada saat itu
tidak akan segera mengenal ajaran nya. Kecuali jurusjurus tertentu. Itupun hanya
setengahnya. Maka tidaklah
mengherankan, bila Cocak Prahara berlima
jadi kelabakan dan seringkali t ertegun-tegun diamuk teka-teki
terus menerus. Setelah merobohkan Cocak Rawa dan Cocak Ijo,
Lingga W isnu beralih kepada Cocak Abang. Kembali lagi
ia menggunakan kegesitarmya untuk mengancam kedua
mata si berangasan dengan membolang-balingkan tusuk
konde Suskandari. Dan dirangsak demikian, Cocak A bang
kelabakan seperti adiknya tadi.
Cocak Prahara kali in i tidak tinggal diam melihat
adiknya terancam bahaya. Segera ia menolong dengan
mendorong salah seorang muridnya yang rebah
melint ang didepannya keluar gelanggang. Cocak Mengi
yang berada di dekatnya mengerti kehendak kakaknya
yang dibutuhkan ilmu Panca-sakti dengan main dupak
dan dorong. Dengan demikian, murid-muridnya yang
rebah malang melint ang dihadapannya tiada lagi. Setelah
itu, ia berusaha maiibangun titik-titik mata rant ai Pancasakti untuk mengadakan
garis pembelaan, meskipun
sudah kehilangan dua orang anggota.
Tentu saja, Lingga W isnu
tidak sudi memberi kesempatan Terus-menerus ia mencecar Cocak Abang, dengan tusuk kondenya. Dengan demikian, usaha Cocak Mengi untuk membangun garis pertahanan Panca-sakti selalu gagal. Dan sedang Cocak Prahara dan kedua saudaranya menjadi klabakan, Cocak Abang sudah kena
terhajar pundaknya. Bukan main panas hati Cocak Mengi. Serentak ia
menghantamkan penggadanya kearah punggung. Dan
Cocak Prahara membarengi dengan menusukkan
tombaknya dari depan. Cocak Abang yang sudah kena
pukulan, berusaha pula mengimbangi usaha kedua
saudaranya dengan sebisa b isanya Ia tahu betapa
pentingnya usaha membangun kembali pertahanan
Panca-sakti. Itulah satu satunya cara perlawanan yang
bisa diharapkan. Lingga W isnu mengelakkan serangan kedua lawannya.
Dan ia tetap memburu Cocak Abang yang sudah kena
digempurnya. Tapi garis pertahanan ilmu Panca-sakti
memang hebat. Sekalipun anggautanya kini tinggal tiga
orang, namun masih terasa keangkarannya. Mau tak
mau, Lingga W isnu terpaksa mengandalkan kecepatannya bergerak. Tubuhnya berkelebatan bagaikan bayangan. Dan tiba-tiba ia menyelipkan tusuk
konde Suskandari pada rambutnya. Kemudian meloncat
tinggi keudara. Tangannya menyambar palang atap. Dan
ia bergelantungan seperti seekor kera.
Cocak Prahara bertiga tadi mengimbangi kecepatan
lawannya dengan gerakan yang cepat pula Tubuh
mereka berputar-putar dan berkelebatan dari tempat ke
tempat. Seluruh perhatiannya dipusatkan untuk memburu beradanya lawan. Tahu-tahu tubuh Lingga
W isnu lenyap dari pengamatannya Selagi mereka
melayangkan pandang untuk mencari t empat beradanya,
tiba-tiba serangkum angin turun bergelombang.. Mereka
kaget. Dan cepat-cepat mundur. Pengalamannya
mengkisiki bahw a serangkan angin itu bukan angin
lumrah. Itulah serangkum angin bergelombang yang
mengandung serangan berbahaya. Tahu-tahu Cocak
Abang dan Cocak Mengi menjerit dengan berbareng
Beberapa biji bola timah menghantam mereka berdua.
Dan mereka berdua roboh terkulai di atas lantai.
Gugup Cocak Prahara melompat mendekati kedua
saudaranya, hendak memberikan pertolongan. Selagi
membungkuk, gelombang angin terasa datang menyerang. Ia adalah anggauta keluarga Dandang
Mataun yang tertua. Kecuali sudah banyak makan garam,
kepandaiannya jauh melebihi sekalian saudaranya. Maka
dengan sebat ia memutar tombaknya. Dan belasan biji
timah kena ditangkisnya. "Bn, jangan kau kira bisa mengumbar adat. Apakah
kau kira aku b isa kau robohkan dengan senjata bidikmu"
Hm, jangan bermimpi!'' bentaknya.
Khawatir bila Lingga

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

W isnu terus menerus memberondongkan biji-biji timahnya, ia tetap memutarmut ar tombaknya yang
dipergunakan sebagai perisai dan
alat penggebuk. Diiuar dugaan, tiba-tiba tangannya
bergetar. Tombaknya serasa tersangkut pada sesuatu
kaitan yang kuat. Kaget ia mengerahkan seluruh
tenaganya untuk merenggut. T api kaitan itu sama sekali
tak bergeming. Bahkan diiuar dugaannya, tangannya tak
kuasa lagi menggenggam tangkai t ombak. Kembali lagi ia
terkejut. Dan pada saat itu, mendadak saja ia kehilangan
pegangan. Gugup ia melompat kesamping. Kedua
tangannya diangkatnya berbareng untuk melindungi
dada dan mukanya. Kemudian ia mundur beberapa
langkah untuk memperoleh penglihatan .
Ternyata tombaknya kena terampas anak muda itu.
Betapa dahsyat tenaganya tak dapat diingkari lagi,
sampai dapat merampas tombak yang berada dalam
genggamannya. Namun ia tak sudi menyerah. Dengan
menguatkan diri, ia berteriak menantang :
"Kau ingin menggunakan tombakku" Silahkan! Aku
Cocak Prahara belum pernah mundur, biar selangkahpun!" Dengan tertawa, Lingga W isnu turun ke lantai seraya
membawa tombak rampasannya. Sebentar ia menggerakkan tombak rampasannya seakan akan
hendak menusuk atau menikam. Tiba-tiba ia berseru :
"Paman! Lihat!"
Dengan sekali ayun, tombak yang berada di dalam
genggamannya melesat. Cocak Prahara kaget setengah
mati. Dengan rasa putus asa, ia menggerakkan badannya
untuk mencoba mengelak. Di luar dugaan, tombak itu
bukan membidik dirinya. Akan tetapi lewat disamping
kepalanya dan menancap pada tiang agung.
Hebat tenaga lontaran Lingga W isnu. Tombak itu
sampai amblas memasuki tiang. Tangkainya meraung
bergetaran. Gedung olah-raga bagaikan akan roboh
berantakan. Dan genting diatas rontok berhamburan. Tak
mengherankan, banyak di antara hadirin lari berserabutan karena takut kerobohan dinding.
Cocak Prahara berdiri termangu-mangu. Semangatnya
runtuh sekaligus. Lesu dan berputus-asa. Dan pandang
matanya lantas saja menjadi kuyu. Betapa tidak" Kalau
saja tombak itu diarahkan kepadanya, sanggupkah ia
mengelakkan diri atau menangkisnya" Meskipun andaikata kepandaiannya kini berlipat sepuluh kali,
rasanya kekebalan badannya tidak akan melebihi
kekekaran t iang agung. Maka tahulah dia, bahwa Lingga
W isnu bermaksud baik kepadanya. Ia diampuni.
Alangkah menyakitkan hati! Rasanya lebih baik mati
daripada t erhina demikian.
Botol Pinilis mengenal jurus itu dengan, baik. Itulah
jurus penghabisan ilmu pandang Sekar Teratai kebanggaan rumah perguruannya. Gurunya baru
menurunkan jurus itu kepada muridnya apabila tenaga
himpunannya sudah memenuhi syarat-syarat tertentu. Ia
pun mewarisi jurus itu, akan tetapi tenaga himpunannya
tidaklah sebesar adik-seperguruannya itu. Maka tanpa
terasa ia berteriak kagum "
"Adik Lingga! Benar-benar sempurna timpukanmu.
Mataku kini benar-benar terbuka ..."
Lingga W isnu menoleh. Ia tertawa. Kemudian
melemparkan pandang kepada Cocak Prahara yang
berdiri murung. Dengan rasa pahit pendekar bangkotan
itu terpaksa menelan kenyataan. Empat saudaranya telah
terkapar rebah didepannya. Mau apa lagi" Muridmuridnyapun tergeletak malang-
melint ang pula. Tiba-tiba
saja timbullah niatnya hendak bunuh diri. Laki-laki boleh
mati dan mampus, tapi tak boleh membiarkan diri
terhina. Ia melihat tiang agung, didepannya. Tatkala
kakinya hendak bergerak membawa tubuhnya, suatu
pikiran menusuk benaknya :
'Hari ini aku benar -benar runtuh habis-habisan. Akan
tetapi, masakan aku membiarkan kekalahan ini tak
terbalas" Aku sudah tua, memang. Namun bukankah aku
bisa mendidik murid-muridku untuk membangun keangkaran ilmu Panca-sakti dan Kubu Penjuru Delapan
yang tiada keduanya di dunia ini?"
Oleh pertimbangan ini, ia dapat bernapas lebih lapang.
Lalu berkata lantang kepada Botol Pinilis :
"Kau boleh membawa emasmu semua!"
W aktu itu Lingga W isnu sedang datang menghampiri
kakaknya seperguruan setelah melihat Cocak Prahara
termangu-mangu kehilangan semangat tempurnya. Ia
mencabut tusuk konde yang berada dirambut nya,
kemudian dikembalikan kepada Suskandari, Gadis itu
menerima tusuk kondenya kembali dengan hati girang.
Dan pada saat itu ia mendengar ucapan Cocak Prahara.
Tapi karena sasaran, ucapannya kepada Botol Pinilis, ia
tidak menghiraukan. Dengan penuh perhatian ia
mengikuti gerakan t angan Suskandari mengenakan tusuk
kondenya. Sementara itu Puguh Harimawan tidak sudi membuang-buang waktu lagi. Terus saja ia maju
memunguti kepingan emas yang bertebaran di atas
lantai. Perbuatannya diikut i pandang oleh orang orang
yang berada diluar gelanggang. Mereka semua adalah
anggauta keluarga Dandang Mataun. Sebenarnya ada
juga but iran rasa tak rela. Akan t etapi mereka t ak berani
berkutik, karena Lingga W isnu benar-benar dapat
merobohkan pemimpin atau ketua mereka.
Cocak Prahara menghampiri Cocak Abang. Si
beringasan yang kena timpuk biji timah Lingga W isnu
sama sekali tak dapat bergerak. Seluruh anggauta
badannya lumpuh, kacuali kedua gundu matanya yang
bergerak-gerak dengan penasaran. Cocak Prahara
mencoba menolong. Dengan keahliannya ia mengurut
urat-uratnya yang jadi. kaku kejang. Namun sekian
lamanya ia berusaha, tetap saja tak berhasil. Heran ia,
apa sebab tak berhasil. Oleh rasa penasaran, ia mencoba mengulangi
terhadap ketiga adiknya yang lainnya. Cocak Rawa,
Cocak Mengi dan Cocak Ijo. Juga terhadap mereka
bertiga, keahliannya macet. Benar-benar hebat serta
mengherankan. Akhirnya diakui, bahw a ilmu kepandaian
Lingga W isnu benar-benar berada diatasnya. Hendak ia
mint a tolong, tapi hatinya segan. Akhirnya melemparkan
pandang kepada Prabasini agar mau jadi perant ara.
Sekar Prabasini kenal w atak pamannya itu. Ia berpurapura tidak mengetahui.
Malahan membuang pandang kesamping. Keruan saja orang tua itu mendongkol
setengah mati. Ia mendeham. Dan oleh deham itu, mau
tak mau Sekar Prabasini jad i terpaksa menoleh.
Menegas: "Paman memanggil aku?"
"Anak jahanam!" Cocak Prahara memaki di dalam hati.
"Benar-benar kau berani main gila terhadapku. Awas!
Sebentar lagi kau rasakan hukumanku. Ibumupun tidak
akan luput dari dosamu, keparat! Namun terpaksa ia
menelan kata hatinya itu. Dengan memperlihatkan w ajah
manis, berkatalah dia: "Anakku, kau tolonglah empat pamanmu ..."
Sekar Prabasini berpura-pura t uli. Menegas :
"Apa" Paman bilang apa?"
"Anak jadah!" maki Cocak Prahara didalam hati.
"Benar-benar kau berani main gila terhadapku. Awas!"
Tapi demi menolong saudara saudaranya, meskipun
mendongkol terpaksa juga dia berkata :
"Anakku yang baik. Cobalah mint akan kesediaan
sahabatmu itu, agar menolong paman-pamanmu."
Masih saja Sekar Prabasin i berpura pura tuli. Bahkan
sekarang ia berlagak goblok pula.
"Paman berkata apa" Sahatt" Sahabat yang mana"
"Oh! Mudah-mudahan kau digigit iblis!" Cocak Prahara
mendongkol bukan main. Tapi kaLi ini pun terpaksa ia
mengalah pula. Katanya dengan menahan rasa
mendongkol : "Bukankah anak Lingga sahabatmu?"
"Oh, dia?" Sekar Prabasini bangkit dari kursinya sambil
mencibirkan bibirnya. "Baiklah, akan kukatakan kepadanya. Hanya saja kali ini, paman tidak lagi main
paksa, bukan?" Setelah berkata demikian, ia menghampiri L ingga W isnu dan berkata merendah :
"Kakang Lingga. Pamanku yang baik hati memint a
kepadamu, agar sudi menolong paman-paman yang lain.
Kau mau, bukan?" Dengan serta-merta Lingga W isnu mengangguk dan
memberikan jawaban : "Tentu saja. Tiada niat dalam hatiku, hendak
membunuh paman-pamanmu. Kalau aku menyerang
mereka, semua karena terpaksa. Biarlah kut olongnya."
Berkata demikian, Lingga W isnu bergerak hendak
menghampiri. Diluar dugaan, Botol Pinilis mencegahnya.
Kata kakak seperguruannya itu:
"Adikku Llhkga. Kau benar-benar tak mengerti perkara
dagang Pada saat in i, adalah kesempatan sebagusbagusnya untuk menaikkan harga
barang. Untuk menjual tenagapun rasanya cukup berharga pula Masakan
tenagamu sama sekali- tiada upahnya?"
Lingga W isnu tahu, Botol Pinilis jemu terhadap sepak
terjang keluarga Dandang Mataun. Dia sendiri tak begitu
mendendam mengingat Sekarningrum dan Sekar
Prabasin i termasuk keluarga Dandang Mataun juga.
Namun, tak dapat ia mengabaikan kedudukan kakak
seperguruannya. Di perantauan dia berhak berbicara
mewakili gurunya. Maka wajiblah ia patuh kepadanya.
Sahutnya : "Kakang. Aku adikmu. Sudah semestinya aku tunduk
dan patuh kepada tiap katamu."
Botol Pinilis tertawa puas. Katanya :
"Keluarga Dandang Mataun sudah semenjak puluhan
tahun membuat susah penduduk. Mereka menjadi lintah
darat yang mengisap darah rakyat jelata. Sepuluh
kelompok dusun yang berada dipinggang gunung Lawu
ini berada dalam kekuasaan mereka. Mereka seolah-olah
keluarga tuan tanah, yang membuat diri mereka majikan
atas sekalian penduduk. Tak ada. serumpun keluargapun
yang dibiarkan hidup merdeka di wilayahnya. Didalam
dua hari in i, aku berkesempatan berbicara dengan
penduduk. Mereka muak dan mual terhadap keluarga
Dandang Mataun yang sewenang wenang. Semua hasil
bumi boleh dikatakan tertimbun di dalam gudang
keluarga Dandang Mataun. Karena itu, jika engkau
hendak menolong mereka, ingatlah akan nasib rakyat.
Mint alah uang dan beras sebagai upahnya. Dan uang
serta beras itu kau berikan kepada penduduk untuk
meringankan beban hidupnya.
Lingga W isnu memanggut membenarkan. Ia percaya
kata-kata Botol Pinilis tentang penderitaan rakyat. Ia
sendiri pernah menyaksikan pengalaman demikian,
tatkala mula-mula hendak berkenalan dengan keluarga.
Dandang Mataun. Tiada seorangpun yang sudi memberi
keterangan atau menunjukkan di mana tempat tinggal
keluarga Dandang Mataun. Mereka bersikap bermusuhan. Hanya saja mereka, takut terhadap


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuaraan keluarga Dandang Mataun. Dengan mata
kepala sendiri, ia menyaksikan betapa bengis sepak
terjang Sondang Rawit tatkala menggebu segerombol
petani yang datang untuk minta keadilan.
"Benar .. memang keluarga Dandang Mataun sudah
lama menindas rakyat," akhirnya ia berkata perlahan.
"Hanya saja apa yang harus kulakukan terhadap
mereka?" "Bukankah aku t adi sudah menyinggung tentang upah
jasa dan tata-tertib perdagangan?" sahut Botol Pinilis
seraya mengelus jenggotnya. "Pendek kata kau harus
menuntut upah jasa, dan kau harus melakukan tawarmenawar dengan harga yang
pantas. Pendek kata kau harus ..." Puguh Harimawan kenal akan tabiat dan perangai
gurunya. Juga Suskandari t ak kecuali. Sebaliknya, Lingga
W isnu yang belum kenal tabiat dan perangai kakaknya
seperguruan itu diam menebak-nebak.
"Upah jasa bagaimana" T awar-menawar harga barang
apa?" Sekar Prabasini, meskipun termasuk keluarga Dandang
Mataun, senang mendengar usul Bot ol Pinilis. Segera ia
menyetujui didalam hatinya dan ingin pula menguatkan.
Sebagai seorang gadis setengah liar dan biasa pula
berhubungan dengan orang-orang yang hidup liar,
seringkali ia melakukan tukar-menukar jasa itu. Maka
katanya girang : "Kakang Lingga! Masakan engkau belum dapat
mengerti maksud kakakmu?"
Cocak Prahara geram bukan main mendengar ucapan
Sekar Prabasini. Gadis itu. t erang-terang sudah berpihak
kepada lawan. Tapi pada saat itu kedudukannya tak ubah
seperti seorang persakitan didepan meja pengadilan. Tak
dapat ia maju atau mundur. Dan pada saat itu,
terdengarlah suara Botol Pinilis :
"Adik Lingga! Ha, sekarang t elah kuperoleh nilai harga
yang pantas. Upah menolong tiap jiwa seharga
empatratus pikul beras putih."
"Empat ratus pikul?" Lingga W isnu menegas, seolaholah tidak percaya kepada
pendengarannya sendiri. "Y a empat ratus pikul beras putih yang mulus dan
bersih. Sama sekali tiada antahnya. Apalagi sampai
kecampuran beras merah. Dan ukuran timbangannya
harus tepat. Meskipun kurang satu cangkirpun tidak
boleh," sahut Botol Pinilis dengan gaya seenaknya. Sama
sekali ia tidak menghiraukan Cocak Prahara, apakah dia
setuju atau tidak. Senang atau mendongkol.
'Tetapi, mereka yang butuh pertolongan berjumlah
empat orang. Artinya seribu enam ratus pikul beras!"
seru Lingga W isnu. "Hai" Kau pandai benar berhitung," ujar Bot ol Pinilis
dengan suara tinggi. "Kau bisa menghitung diluar kepala
tanpa catatan! Kau hebat, adikku. Satu orang empat
ratus pikul. Empat orang, artinya empat kali e mpat ratus
pikul. Kau benar-benar pandai berhitung mencongak."
Puguh Harimawan mencibirkan bibirnya mendengar
kata-kata gurunya. Apa sih keanehan serta kehebatannya
orang menghitung empat kali empat ratus" Akupun bisa
segera menghitung diluar kepala, katanya di dalam hati.
Ia tak tahu bahwa gurunya itu sudah bergurau
menggelitik hati Cocak Prahara.
Dalam pada itu dengan pandang tak perduli, Botol
Pinilis berkata kepada Cocak Prahara :
"Empat adikmu kini dalam keadaan setengah hidup.
Esok pagi hendaklah kau sediakan beras sebanyak seribu
enamratus pikul itu. Bila timbangannya tepat, keempat
adikmu baru kita tolong. Kalau tidak, coba rawat sendiri.
Siapa t ahu, engkau mempunyai sahabat seekor iblis atau
malaikat penolong. Hendaklah kau ketahui, bahwa beras
sebanyak itu bukan bermaksud kita kakangi sendiri . T api
hendak kubagi-bagii-kepada penduduk yang sudah lama
kau hisap darahnya. Mengerti?"
Cocak Prahara tak berani berkutik. Ia benar benar
seperti seorang persakitan menunggu keputusan pengadilan. Meskipun hatinya memaki-maki set inggi
langit, ia terpaksa mengangguk menyetujui. Tetapi ia
masih mencoba: "T api dalam waktu sependek ini, bagaimana caraku
dapat mengumpulkan beras sebanyak itu. Isi gudang
persediaan atau katakan saja seluruh milik keluarga
kami, tidak mencapai jumlah sedemikian besar. Paling
banyak hanya tujuh puluh atau delapan puluh pikul.
"T api maaf seribu maaf. Keputusan pengadilan sudah
jatuh," sahut Botol Pinilis dengan suara dingin. "Namun
mengingat engkau adalah gadis itu, biarlah kuperkenankan main cicilan."
"Main cic ilan bagaimana?" Cocak Prahara menegas
dengan suara mendongkol. "Bila esok engkau bisa mengumpulkan empat ratus
pikul beras putih, adikku akan menolong menyadarkan
salah seorang adikmu. Bila kau mampu mengumpulkan
delapan ratus pikul, adikku akan menolong menyadarkan
dua orang. Tapi seumpama engkau baru bisa
mengumpulkan sisanya dalam waktu satu bulan ... yah",
kita tunda satu bulan. Kalau kau mint a mundur tiga bulan
atau setengah tahun atau satu tahun atau lima tahun,
boleh saja. Percayalah, adikku pasti mau datang
menolong pada waktu-waktu pelunasan itu. Dia tidak
bakal mempermain-mainkan jiwa adik-adikmu itu.
Bagaimana?" Bukan main masgul hati Cocak Prahara. Katanya di
dalam hati : 'Keempat adikku benar-benar lumpuh. Tak dapat lagi
mereka menunggu w aktu setengah bulan lagi. Sekarang
dia menyediakan w aktu pengunduran sampai lima tahun.
Hm, bangsat benar! Bukankah kau menghendaki
mampusnya keluarga Dandang Mataun" Hm ... rupanya
aku benar-benar tidak diberinya kesempatan bernapas.
Apa boleh buat. Biarlah esok pagi kuusahakan untuk
memenuhi. Kalau mereka sudah tersadar kembali,
masakan tak mampu keluarga Dandang Mataun
menuntut balas ...' Oleh pertimbangan itu, dengan hati berat Cocak
Prahara memanggut seraya berkata
"Baiklah. Esok hari, beras yang kau pinta akan kami
penuhi." Botol Pinilis tertawa menang. Sahutnya:
"Akh, benar-benar engkau seorang tengkulak yang
mengerti ilmu dagang. Bagus! Semenjak hari ini aku
akan selalu berhubungan denganmu untuk mencari
barang dagangan yang bagus."
Cocak Prahara membungkam mulut . Ia merasa tak
berdaya, meskipun mengerti sedang dipermainkan dan di
olok-olok. dan karena pembicaraan sudah selesai, ia
meninggalkan ruang gedung pertempuran dengan
semangat runtuh. Lingga W isnu kemudian menghampiri Sekar ningrum.
Ia membungkuk hormat dan mint a diri. ia percaya, Cocak
Prahara tidak akan mengusiknya,
karena masih membutuhkan pertologannya.
"Mari k ita beristirahat dahulu, adik," kata Botol Pinilis.
Mereka berempat segera meninggalkan gedung
dengan membawa emas perbekalan. Hati mereka girang
bukan main dan bersyukur kepada, kemudahan Tuhan.
Dengan langkah tenang, mereka keribali ke rumah
penginapannya. Itulah rumah salah seorang penduduk
yang miskin. Tatkala itu fajar-hari telah tiba. Suskandari masuk ke
dapur mempersiapkan makan pagi. Ia membuat air teh
dan penganan pula Dan sambil bersantap mereka
membicarakan kemenangannya. Rasa girang dan syukur
menyelimut i hati mereka masing-masing.
"Adik Lingga," kata Botol Pinilis. "T ahukah engkau
berapa jumlah murid guru kita?"
"Y ang kuingat, hanya kakang Purubaya dan kakang
Botol Pinilis," sahut Lingga W isnu.
Botol Pinilis tersenyum. Katanya lagi :
"Sebenarnya masih ada sepasang murid lagi yang
sengaja kita rahasiakan. Itulah suami isteri Sugiri.
Isterinya bernama Sukesi, Mereka berdua bermukim di
lereng gunung Tangkuban Perahu. Mereka berdua adalah
sepasang pendekar yang melindungi duabelas wilayah
Jawa Barat, termasuk daerah Banyumas dan sekitarnya.
Tatkala kita herempat mendengar berita bahwa guru
mempunyai seorang murid lagi yang masih muda belia,
kita merasa lucu dan geli. Guru kita memang pandai
berkelakar. Tetapi memiliki penglihatannya sendiri yang
aneh dan meyakinkan. Kita berempat yakin, bahwa murid
yang termuda itu pasti memiliki syarat-syarat yang
dibutuhkan guru. Kita lant as berunding. Bagaimana
memanggil murid yang berusia muda itu. Kakang
Purubaya dan Sugiri mengusulkan agar menyebutmu
anak. Maklumlah, sesungguhnya engkau pantas memanggil kami, dengan sebutan paman atau ayah.'
'T api, walaupun masih belum pandai beringus,
bukankah paman wajib memanggil kakang Lingga W isnu
sebagai adik" Betapapun juga kedudukannya adalah adik
seperguruan paman," potong Suskandari.
"Benar. Tetapi dahulu kita berpendapat bahwa
kepandaian adik Lingga tak akan melebihi kepandaian
muridku Puguh Harimawan. Bukankah guru sudah lanjut
usianya dan Lingga W isnu masih muda belia belaka"
Meskipun dia menerima seluruh warisan kepandaian
guru, pastilah baru merupakan kumpulan teori saja. Dia
masih membutuhkan masa latihan dua atau tigapuluh
tahun lagi," kata Botol Pinilis.
"Dan sekarang" Bagaimana pendapat paman?"
"Maksudmu, kenyataannya"' sahut Botol Pinilis sambil
tersenyum puas. Perlahan-lahan ia meneguk air tehnya.
Kemudian berkata dengan suara-sungguh-sungguh :
"Dan sekarang, setelah aku menyaksikan dengan
mata-kepalaku sendiri, benar-benar aku merasa takluk.
Jangan lagi suami-isteri Sugiri sedangkan kakang
Purubaya sendiri tidak akan bisa menandingi kepandaian
adik L ingga. Adikku Lingga, benar-benar kau penjelmaan
guru semasa muda. Bahkan aku yakin waktu guru masih
seusiamu., kepandaiannya belum mencapai tataran yang
kau capai sekarang. Karena itu, semenjak kini pamor
rumah perguruan Sekar Teratai berada padamu. Jatuh
dan bangunnya rumah perguruan Sekar Teratai
tergantung pada sepak-terjangmu belaka. Sayang, disini
tak ada ayam dan daging goreng. Ingin sekali aku
merayakan kata-kataku ini sebagai pernyataan rasa
syukur dan pengucapan selamat kepadamu."
Setelah berkata demikian, Bot ol Pinilis berdiri tegak.
Sifat jenakanya lenyap dari raut mukanya. Dengan
sungguh-sungguh ia meneguk air tehnya kembaliKemudian membarengi dengan
mengunyah penganan lahan-lahap. Dan menyaksikan hal itu, Lingga W isnupun
segera berdiri tegak. Iapun menegak air tehnya untuk
menyambut penghormatan kakak seperguruannya. Tentu
saja, Puguh Harimawan t ak sudi ketinggalan. Si dogol itu
segera berdiri gedobrakan karena perutnya menyinggung
sudut meja. Kemudian seperti sedang berlomba, ia
menghirup air tehnya mendahului Suskandari.
"Adikku Lingga. Benar-benar aku bangga kepadamu.
Engkau ternyata seorang anak yang sopan santun, halus
budi, cermat dan berhati-hati. Jarang sekali, suatu rumah
perguruan menemukan tunasnya begitu sempurna
seperti dirimu. Mari adik, kita teruskan makan-minum ini
sebagai suatu pesta kecil-kecilan dariku, untuk menghormatimu.' Mereka kembali duduk. Sambil menggerumiti penganan, berkatalah Botol Pinilis kepada Puguh
Harimawan : "Puguh. Manakala engkau memperoleh satu bagian
saja kepandaian pamanmu ini, cukuplah sudah untuk
menjadi bekal hidupmu malang melint ang tanpa
tandingan. Setidak-tidaknya akan besar faedahnya untuk,
dirimu sendiri." Puguh Harimawan telah menyaksikan kepandaian
Lingga W isnu dengan mata kepalanya sendiri. Dia ikut
berbesar hati dan bangga. Sekarang ia mendengar
ucapan gurunya. Segera ia mengerti maksudnya. Terus
saja ia ujenghadap kepada Lingga W isnu dan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membungkuk hormat. Katanya :
"Semenjak sekarang, pangil ah aku tanpa sebutan
kakang lagi. Aku adalah kemenakan muridmu. Dan bila
paman sudi menghadiahi barang sejurus dua jurus, aku
akan berterima kasih sepanjang hidupku."
"Akh, janganlah berlebih-lebihan memberi hormat
kepadaku," ujar Lingga W isnu. Iapun segera berdiri
memberi hormat. Dikemudian hari, Lingga W isnu benar-benar memberikan sebagian kepandaiannya kepada Puguh
Harimawan. Dan sejak saat itu, si dogol Puguh
Harimawan berubah menjadi manusia lain. Berubah
menjadi seorang pendekar yang namanya menggetarkan
lawan dan kawan. Juga Suskandari, menerima petunjuk-
petunjuk yang berharga. Karena dia adalah pewaris
kepandaian ibunya. Dengan cepat sekali ia menjadi
seorang pendekar wanita yang gesit dan cekatan luar
biasa. Dibandingkan dengan kepandaiannya, kini berlipat
sekian kali t ingginya. 0ooo-d.w-ooo0 1. Mencari Harta Warisan Pagi hari telah tiba tatkala mereka memasuki kamar
tidurnya masing-masing. Satu malam penuh mereka
berjuang antara hidup dan mati. Tak mengherankan,
mereka cepat sekali tertidur. Tatkala seseorang
mengetuk pintu kamarnya, matahari sudah condong ke
barat. "Siapa?" kata Botol Pinilis mint a keterangan.
"Utusan keluarga Dandang Mataun," jawab Puguh.
Harimawan. "Dia mengirim ut usan ke mari. mengharap
kehadiran kita." Botol Pinilis tersenyum. Berkata :
"Benar pandai mereka menemukan pondokan - tempat
kita menginap. Baiklah, mari kita bersiap-siap."
Desa Kemuning terletak dipinggang gunung Lawu.
Meskipun termasuk daerah makmur, akan tetapi untuk
mengumpulkan beras sejunlah itu tidaklah mudah. Cocak
Prahara tahu akan hal itu. Tetapi terdorong oleh rasa
gelisah dan balas dendam, ia menyebarkan seluruh orang
orangnya ke berbagai daerah semenjak fajar-hari tadi. Ke
Madiun, Sragen, Tawangmangu - Matisih, Sarangan dan
sekitar pinggang gunung. Berkat kesungguhan dan
pengaruh uangnya, ia berhasil mengumpulkan jumlah
beras yang dimint a Botol Pinilis. Tapi akibatnya, harga
beras jadi naik. Rakyat jelata tak mampu membelinya
lagi Kegoncangan harga pasar itu berjalan sampai
beberapa minggu lamanya setelah peristiwa tersebut
terjadi. Demikianlah, setelah rombongan Botol Pinilis tiba,
Cocak Prahara mempersilahkan Botol Pinilis untuk
memeriksa jumlah beras yang dikehendaki. Tapi tentu
saja, Cocak Prahara tidak sudi membuang-buang waktu.
Ia memerint ahkan supaya beras itu dibagikan kepada
penduduk sambil menghitung jumlahnya.
Tidak mengherankan, peristiwa itu benar-benar
mengherankan dan mengejutkan seluruh penduduk. Apa
sebab, keluarga Dandang Mataun yang terkenal sebagai
keluarga lintah darat, mendadak saja berubah menjadi
dermawan. Mereka tak tahu peristiwa apa yang telah
terjadi di dalam keluarga itu.
Dengan disaksikan Cocak Prahara, Bot ol Pinilis
membagikan beras itu kepada penduduk seadil-ad ilnya.
Ia kini bersikap sungguh sungguh dan tak mau mengejek
Cocak Prahara lagi. Di dalam hati, ia memuji
kesungguhan hati orang tua itu.
Tapi sebaliknya Cocak Prahara makin mendongkol.
Rasa dendamnya makin menjadi-jadi saja. Setiap kali
Botol Pinilis menuang sebakul beras yang diberikan
kepada penduduk, darahnya serasa mengucur sebanyak
itu pula. Namun, tentu saja, tak berani ia memperlihatkan kesan hatinya. Diam-diam ia mencuri
pandang kepada adiknya, Cocak Ijo. Dialah satu-satunya
saudaranya yang tidak pingsan penuh-penuh. Hanya
saja, d ia lumpuh tak dapat bergerak akibat timpukan
timah Lingga W isnu yang mengenai urat-uratnya
tertentu. Botol Pinilis adalah seorang pendekar yang berpengalaman. Untuk menghajar adat kepada pendekar
tua itu, tiba-tiba ia berkata :
"Saudara Cocak Prahara. S ilahkan engkau saja yang
membagi beras. Dengan demikian engkau akan nampak
menjadi seorang dermawan benar-benar." Itulah suatu
sindiran yang taiam sekali baginya. Namun sekali lagi, ia
terpaksa mengiyakan. Dan dengan dibantu oleh orangorangnya ia membagi-bagikan
beras dengan hati mengutuk. Sampai tengah malam, barulah dia selesai membagibagikan berasnya. Setiap kali
setelah membagi empatratus pikul, Lingga W isnu menolong salah seorang
saudaranya. Demikianlah, apa bila seribu enam ratus
pikul sudah dibagi bagikan habis, keempat saudara Cocak
Prahara telah memperoleh kesadarannya kembali.
Mereka dapat bergerak seperti sediakala, akan tetapi
sebagian besar tenaganya masih punah. Dengan begitu
mereka hanya bisa mengunpat-umpat di dalam hati
tatkala menyaksikan keluarganya menghambur hamburkan harta bendanya, yang terkumpul sedikit demi
sedikit, lantaran terpaksa.
Kira-kira pukul tiga malam, pendapa keluarga
Dandang Mataun telah sunyi kembali. Penduduk pulang
ke rumah masing-masing karena keempat saudara Cocak
Prahara sudah sembuh kembali, Lingga W isnu bermaksud hendak mengundurkan diri. Dengan membungkuk hormat, ia berkata kepada Cocak Prahara :
"Paman. Hendaklah paman sudi memaafkan diri kami.
Sekarang perkenankan kami kembali ke pondokan."
Belum lagi Cocak Prahara membuka mulut , Botol
Pinilis menyambung. Katanya dengan setengah tertawa
"Saudara Cocak Prahara berlima. Kami tahu, kalian
berlima sakit hati karena terpaksa menghamburkan harta
benda keluargamu turun menurun. Seribu enam ratus
pikul beras, bukanlah suatu jumlah yang sedikit. Tetapi
meskipun demikian, mulai, saat ini nama keluarga
Candang Mataun tidak lagi seburuk dahulu. Karena
perbuatan kalian tadi adalah suatu perbuatan amal..
Pastilah sekalian penduduk sini memuji kebaikanmu dihadapan Tuhan. Karena itu,
aku mint a keil&lasan hati
kalian." Botcl Pinilis tidak menunggu jawaban Cocak Prahara.
Segera ia mengajak ronibongannya mengundurkan diri.
Sekonyong-konyong ia melihat Sekar Prabasini berlari-lari
ke serambi depan menghampirinya. Kata Sekarningrum
kepada Lingga W isnu : "Anakku Lingga, apakah sekarang engkau hendak
meninggalkan kami?" Lingga W isnu mengangguk. Jawabnya :
"Benar bibi. Tiada lagi yang kukerjakan di sini. Maka
perkenankan kami berangkat sekarang juga."
Tiba-tiba Sekarningrum nampak bergemetaran. Katanya dengan suara tersekat-sekat :
"Sebenarnya ... sebenarnya di manakah kuburannya"
Anakku Lingga, bawalah serta aku untuk menyaribangi
kuburannya." Belum lagi Lingga W isnu menjawab permint aan
Sekarningrum, mendadak saja ia mendengar angin
menyambar. Ia kaget sempai berpaling ke arah
datangnya angin itu. Segera ia melompat dan
menyambar empat batang golok terbang
yang menyambar ke arah Sekarningrum. Tetapi pada saat
itulah ia mendengar Sekarningrum memekik nyaring. Dan
tubuhnya roboh terkulai diatas lant ai. Ternyata masih
ada sebatang golok yang menikamnya. Golok yang
menancap pada dirinya rupanya disertai dengan suatu
tenaga yang dahsyat luar biasa, sehingga tertancap
sangat dalam. Hampir saja gagangnya ikut serta amblas
kedalam tubuh wanita itu.
Sekarningrum rebah tak berkutik. Dengan setengah
kalap Sekar Prabasini menubruk dan hendak mencabut
golok yang menancap di punggung ibunya. Buru-buru
Botol Pinilis mencegah. Katanya :
"Jangan. Bila kau cabut , ibumu tak dapat membuka
matanya kembali." Lingga W isnu tahu, siapa yang melakukan serangan
gelap itu. Dengan geram ia menimpukan keempat golok
terbang yang berada dikedua tangannya kepada
pemiliknya. Dialah Cocak Ijo!
W atak Cocak Ijo tidak, berbeda jauh dengan watak
Cocak Abang. Ia berangasan dan bengis luar biasa.
Mendengar Sekarningrum hendak mencari kuburan
Bondan Sejiwan, tak dapat lagi ia menahan diri. Terus
saja ia meninpukkan golok-golok terbangnya. Sebagai
seorang pendekar yang berpengalaman, masih sempat ia
memperhitungkan hadirnya Lingga W isnu. Tapi selagi
kedua tangan Lingga Wisnu bergerak menyambar empat
batang goloknya, maka dengan penuh napsu ia
melepaskan sebatang golok lagi. Kali in i, mengarah
kepada Sekamingnm. Perhitungannya ternyata tepat,
Lingga W isnu sedang memunahkan empat batang
goloknya. Maka tak sempat lagi, ia menyambar sebatang
goloknya yang ditimpukkan hampir berbareng. Sekarningrum roboh tak berkutik. Dan ia merasa puas
luar biasa, Dengan tersenyum iblis ia berdiri memandang
korbannya. Mendadak ia melihat berkelebat empat
batang goloknya mengarah dirinya. Inilah senjata makan
tuan! Terus saja ia bergulingan untuk menghindarkan.
Seperti diket ahui, dialah satu-satunya saudara Cocak
Prahara yang tidak perlu pingsan oleh timpukan senjata
bidik Lingga W isnu. Maka tenaga dan kegesitan tidak
perlu kurang begitu banyak. Ia berhasil membebaskan
diri dari ancaman goloknya. Tapi diluar dugaan,
mendadak saja pant at dan pangkal pahanya menjadi
kaku kejang. Dan ia roboh terbanting sewaktu mencoba
berdiri. Lingga W isnu mendongkol dan jemu t erhadap pekerti
Cocak Ijo. Ia kena diingusi ahli golok itu. Maka iapun
hendak membalas dengan caranya pula. Sengaja ia
melepaskan empat golok, pastilah Cocak Ijo dapat
memunahkan atau mengelakkan diri. Tapi Cocak Ijo lupa,
bahw a Lingga W isnu mempunyai senjata bidik. Itulah
senjata bidik yang membuat dirinya kemarin lumpuh tak
bergerak. Selagi, ia bergulingan mengelakkan diri,
belasan senjate bidik Lingga W isnu menghantam pantat
dan pangkal pahanya. Ia terjungkal. Dan kali in i Lingga
W isnu tidak bersegan-segan lagi Terdorong oleh rasa
mendongkol dan jemu, pemuda itu menimpuk dengan
disertai tenaga dahsyat. Seketika itu juga, tulang sendi
Cocak Ijo rontok patah Urat-uratnya hancur. Dan Cocak
Ijo mampus pada saat itu juga.
Dengan hati pedih, Lingga W isnu menoleh ke arah
Sekar Prabasin i. Gadis itu memeluk tubuh ibunya eraterat. Oleh rasa sedih,
gadis itu sampai tak mampu
mengeluarkan suara tangis lagi. Apa yang dapat
dilakukannya hanya menciumi dan mencoba menyadarkan ibunya. Lingga W isnu menghampiri dengan hati remuk redam.
Ia jadi teringat dengan pengalamannya sendiri, tatkala
memeluk dan menangisi jenazah ayah-bundanya. Dahulu
ia memeluk dan menangisi jenazah ayah-bundanya


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didepan orang banyak. Sekarang, Sekar Prabasini
mengalami nasib yang sama pula. Ibunya mati terkapar
dihadapan para tamu dan seluruh anggauta keluarganya
yang bersikap memusuhi. Dan teringat akan hal itu,
hatinya terharu bukan main.
Perlahan-lahan pemuda itu meraba tubuh Sekarningrum. Tahulah dia, bahw a wanita malang itu tak
dapat tertolong lagi. Satu-satunya harapan hanyalah
mencoba menyadarkan barang semenit dua menit. Maka
segera ia memijat urat-urat tertentu untuk mengurangi
rasa sakit. Dan benar saja, Sekarningrum sadar tanpa
menderita rasa sakit. Begitu menyenakkan mata, ia dapat
berkata genang tenang kepada anaknya satu-satunya itu
dan dengan suara penuh kasih :
"Prabasin i, kau tak perlu bersedih hati. Semua orang
akan kembali ke asal-mula Juga dirimu kelak. Sekarang
aku dapat menyusul di mana ayahmu berada. Dan aku
akan mendampingi dan dapat melayani tanpa gangguan
siapapun." Sekarningrum tersenyum puas. Dan Sekar Prabasini
mencoba bersenyum pula, seolah-olah ikut serta
bersyukur terhadap kepergian ibunya hendak menyusul
ayahnya di alam baka. Tetapi hatinya hancur luluh tak
keruan. Akhirnya dengan menggigit bibirnya, tak dapat
lagi ia membendung butiran-butiran air matanya yang
membanjiri pip inya. Sekarningrum sendiri tidak memperhatikan keadaan
Sekar Prabasini. Ia mengalihkan pandang kepada Lingga
W isnu. Katanya : "Anakku Lingga. Hanya sebuah pertanyaan lagi yang
hendak kutanyakan kepadamu. Kupinta kepadamu, agarengkau
menjawab sebenarnya. Maukah engkau meluluskan permint aanku ini"
"Tentu saja, bibi. Coba katakan apa yang hendak bibi
tanyakan kepadaku," jawab Lingga W isnu dengan
sungguh-sungguh, penuh haru.
"Apakah dia meninggalkan surat wasiat" Apakah dia
menyinggung-nyinggung namaku"
Air mata Lingga W isnu bercucuran, tatkala ia t erpaksa
menjawab : "Paman Bondan Sejiwan menulis kitab wasiat. Dan
dengan bekal itu, aku dapat menghancurkan rahasia ilmu
sakti Dandang Mataun, Dengan demikian, aku berhasil
mewakili dirinya menuntut balas."
"Akh, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa"
Apakah dia tidak menulis surat kepadaku" Apakah dia
sama sekali t idak meninggalkan surat wasiat bagiku?"
Lingga W isnu menggelengkan kepalanya. Menjawab
dengan suara perlahan : "T idak ..." Mendengar jawaban Lingga W isnu, wajah Sekarningrum nampak kuyu. Ia jadi kehilangan sepercik
harapan. Katanya dengan suara lemah :
"Pasti ia mengira aku berada dipihak saudara
saudaraku. Akh, Tuhan menjadi saksi, bahw a aku tidak
meracuni dirinya. Yah, tatkala dia minum racun itu,
tenaganya benar-benar punah."
"T idak, bibi!" Lingga W isnu mencoba menghiburnya.
'T idak! Di alam baka paman tahu, bahwa hati bibi suci
bersih ..." "Dia wafat dengan hati
menaruh dendam. Dengan hati pedih dan sedih,"
Sekarningrun mengeluh. "Y a, pastilah dia mengira,
bahw a akulah yang menaruh racun terkutuk itu. Dan meskipun kau bersedia menjadi saksi bahw a aku sesungguhnya berada dipihaknya, sudahlah kasep. Bukankah dia tak dapat menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri?" Bukan main rasa haru L ingga W isnu. Ia t ahu ibu Sekar
Prabasin i sangat kecewa. Akan tetapi tak dapat lain lagi.
Memang, Bondan Sejiwan sama sekali tidak menulis
surat kepadanya. Tiba-tiba teringatlah dia. Bukankah
Bondan Sejiwan menulis surat peta" Dalam tulisannya ia
menye-but-nyebut nama Sekarningrum pula. Teringat hal
itu, segera ia meraba sakunya dan memperlihatkan
sehelai kertas kulit. "Bibi, lihat!" serunya gembira sambil memperlihatkan
surat wasiat itu di depan mata Sekarningrum.
W aktu itu Sekarningrum baru saja merapatkan kedua
matanya. Kedua lengannya telah menjadi lemah lunglai.
Dan begitu mendengar seruan Lingga W isnu, ia tersentak
bangun. W ajahnya segera nampak segar manakala
meliliat surat wasiat itu.
"Surat apa itu?" katanya tersekat sekat. "Ya, benar.
Itulah tulisan tangannya. Dia menulis apa" Menulis
tentang apa?" Bukan main terharunya Lingga W isnu menyaksikan
perubahan itu. Sekarningrum nampak bergirang hati.
Rasa girang yang mendekati gejolak rasa girang kanakkanak. Maka segera ia
mendekati bunyi tulisan yang
tertera dipojok peta, agar Sekarningium dapat membacanya sendiri. Dengan napas sesak, Sekarningrum membaca tulisan
suaminya : 'Barangsiapa memperoleh harta terpendam ini,
hendaklah mencari seorang perempuan bernama
Sekarningrum, yang bertempat t inggal di dusun Popong,
Berilah dia seratus ribu ringgit agar hidupnya seperti
layaknya seorang perempuan yang mempunyai harga diri
... Ia berhenti sebentar, seperti sedang berpikir.
mendadak berkata setengah berseru :
"Hai! Benar-benar akulah yang dimaksudkan. Dusun
Popongan! Artinya hidup terkurung seperti popongan
kalau begitu dia tahu penderitaanku. Dan aku, akh jelas
sekali... aku diharapkan keluar dari kehidupan keluargaku. Agar aku dapat hidup bebas merdeka seperti
layaknya seorang perempuan yang mempunyai harga
diri. Akh, anakku Lingga aku menyatakan rasa kasihku.
Aku tidak membutuhkan uang Yang ku .. bagiku yang
terpenting ialah ternyata dia masih ingat kepadaku.
Dalam penderitaannya masih ia memikirkan keadaan
diriku Sekarang biarlah aku pergi menyusulnya ..."
Lingga W isnu t ahu, bahwa tenaga hidup Se-karninrum
nyaris pudar. Maka ia menoleh kepada Sekar Prabasini
hendak menghiburnya. Tiba-tiba Sekarningrum yang
telah memejamkan kedua matanya menyenak kembali.
Dia berkata memohon : "Anakku Lingga. Dua hal lagi aku pinta kesediaanmu.
Dan aku mengharapkan engkau menerimanya tanpa
tawar-menawar." "Katakan saja, b ibi," sahut Lingga W isnu. "Aku selalu bersedia melakukan apa
saja. permint aanmu, asal saja aku mampu." "Y ang pertama, kuburlah aku di sampingnya.
Dan yang kedua .... yang kedua ..."
"Y ang kedua ... sebutkan, bibi! Sebutkan bibi!" Lingga
W isnu mendesak sambil mendekatkan telinganya.
"Y ang kedua, kamu ... kamu ..." kata Sekarningrum
sambil menunjuk Prabasini. Kemudian ia membagi
pandang kepada Lingga W isnu. Dan kembali lagi kepada
Sekar Prabasin i. Mulut nya bergerak-gerak hendak
mengucapkan sesuatu. Tetapi tiba-tiba ia telah
kehilangan tenaga. Kepalanya runtuh kesamping. Dan ia
meninggal dalam keadaan tenang dan damai.
Gugup Lingga W isnu meraba dadanya. Benar-benar
napas Sekarningrum t iada lagi. Dan pada saat itu, Sekar
Prabasin i menubruk dan memeluk ibunya erat-erat. Ia
memekik dan menangis menggerung-gerung. Akhirnya
pingsan t ak sadarkan diri.
Lingga W isnu terkejut. Ia memeluk tubuh Sekar
Prabasin i, dan menggoyang-goyangnya.
"Prabasin i! Prabasini!"
"Jangan kuatir, adik. Dia pingsan oleh rasa duka yang
luar biasa." Botol Pinilis menghibur.
Setelah berkata demikian, ia manijat urat pernapasan
Sekar Prabasin i. Tak lama kemudian, gadis itu telah
memperoleh kesadarannya kembali. Dengan pandang
kosong, ia menebarkan penglihatannya.
"Prabasin i, bagaimana perasaanmu?" t anya
Lingga W isnu dengan suara cemas,
Sekar Prabasini tidak menyahut. Dan kembali lagi
Lingga W isnu menegas. Tetapi tetap gadis itu
membungkam mulut. Botol Pinilis, Suskandari dan Puguh Harimawan
memperoleh kesan aneh. Mereka tidak mengetahui
hubungan yang terjadi antara Lingga W isnu, Sekarningrum dan Sekar Prabasin i. Terang sekali
Sekarningrum dan Sekar Prabasini termasuk keluarga
Dandang Mataun. Akan tetapi, apa sebab Saudarasaudaranya membunuhnya" Dan apa
latar belakang persoalannya sampai Sekarningrum begitu dekat hatinya
kepada Lingga W isnu"
Selagi mereka bermenung-menung, terdengarlah
suara Lingga W isnu : "Prabasin i, mari. Kau ikut kami. Tak dapat engkau
tinggal disini lagi."
Lingga W isnu berkata dengan suara hatinya. Kedua
kelopak matanya berkaca-kaca, namun masih Sekar
Prabasin i membungkam mulut. Baru, setelah menarik
napas dua tiga kali, ia memanggut pendek.
Melihat Sekar Prabasini memanggut, tanpa segansegan lagi Lingga W lfcnu menolong
Sekar Prabasini berdiri tegak. Kemudian ia memondong tubuh Sekarningrum. Sama sekali tak dihiraukannya keadaan
hati Cocak Prahara berlima. Perlahan-lahan ia keluar
halaman. Sekar Prabasini - Suskandari dan Bot ol Pinilis
serta Puguh Harimawan mengikutinya dari belakang.
Memang, bukan main panas hati Cocak Prahara
bertiga. Mereka merasa diri tidak lagi dianggap sebagai
manusia. Mereka dipaksa menyaksikan Cocak Ijo mati
dihadapannya. Sudah begitu, kini melihat betapa Lingga
W isnu dan kawan-kawannya membawa pergi jenazah
saudara perempuannya tanpa mint a persetujuannya.
Menuruti kata hati, ingin mereka melampiaskan rasa
mendongkolnya. Akan tetapi mereka insyaf, Lingga
W isnu dan Botol Pinilis memiliki kepandaian sangat
tinggi. Pihaknya sendiri, sudah kehilangan seorang
anggauta keluarga yang tangguh. Karena itu, dengan
menahan diri, mereka membiarkan Lingga W isnu dan
rombongannya meninggalkan rumahnya tak terusik.
Setelah berada di tengah jalan, Bot ol Pinilis berkata
kepada Puguh Harimawan : "Aku mempunyai uang seratus ringgit. Bawalah uang
ini kepada pemilik rumah yang kita tumpangi, dan kau
berikan uang ini kepadanya. Katakan juga, sebelum pagi
hari t iba, hendaklah pindah tempat."
Botol Pinilis menyerahkan uang seratus ringgit kepada
Puguh Harimawan. Muridnya itu menegas :
"Kenapa dia harus pindah tempat begitu cepat?"
"Apa kau kira keluarga Dandang Mataun memeluk
lut ut saja, setelah kita pergi" Mereka mendongkol
terhadap kita. Rasa mendongkolnya pastilah akan
dialamatkan kepada pemilik rumah yang kita tumpangi."
sahut Botol Pinilis memberi keterangan. "Terhadap kita,
mereka tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi begitu kita
pergi meninggalkan dusun ini, segera mereka akan turun


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan. Yah, karena petani itu memberi tempat
menumpang kepada kita. Sekarang, barulah Puguh Harimawan mengerti apa
sebab pemilik runah itu harus segera berangkat
meninggalkan dusun. Sambil menyimpan uang pemberian gurunya, ia memuji di dalam hati. Kemudian
bergegas menemui pemilik runah. Ia menyampaikan
pesan gurunya, dan karena waktu itu pagi hari belum
tiba, maka pemilik rumah itu masih mempunyai
kesempatan untuk meninggalkan dusunnya sebelum
matahari terbit. Ia mengucapkan terima kasih terhadap
maksud baik t etamunya. Demikianlah, setelah Puguh Harimawan kembali,
Lingga W isnu meneruskan perjalanannya. Sepanjang
jalan baik Bot ol Pinilis maupun yang lain-lain,
membungkam mulut. Tatkala sinar matahari mulai
merekah diufuk timur, mereka berhenti disebuah gardu
penjagaan yang terletak jauh dari dusun. Gardu
penjagaan itu telah keropos dindingnya. Tiang-tiangnya
nampak tak terpelihara. Maka jelaslah, bahw a gardu
penjagaan itu, sudah tak pernah dipergunakan. Di dalam
gardu penjagaan inilah mereka beristirahat.
Puguh Harimawan dan Suskandari membersihkan
daun-daun kering yang bertebaran di atas lantai.
Kemudian dengan hati-hati Lingga W isnu meletakkan
jenazah Sekarningrum. Mereka lantas merubung jenazah
itu dengan prihatin. "Kita apakan jenazah nyonya ini?" Botol Pinilis mint a
pertimbangan mereka. "Apakah akan kita kubur saja di
sin i" Atau akan kita bawa ke kota dahulu untuk
dimandikan?" Lingga W isnu tak kuasa menjawab. Ia menyiratkan
pandang kepada Suskandari, Puguh Harimawan dan
Sekar Prabasini., Mereka bertigapun membungkam
mulut . "Seumpama kita membawanya pergi kekota dahulu,
rasanya tak mudah," kata Botol Pinilis lagi. "Pembesar
negeri t entu akan mint a keterangan kita sejelas-jelasnya.
Barangkali kita bisa lolos dari pertanyaannya, akan t etapi
kita akan repot memberi jawaban set iap kepala dusun
yang kita lalu i. Lagipula, dimana kita akan memandikan
jenazah nyonya ini" Karena itu lebih baik kita kubur saja
di sin i." "T idak, ibu tak boleh dikubur di sini!" bant ah Sekar
Prabasin i. "Bukankah ibu menghendaki agar dikubur di
samping ayah" Syukur bisa bersama-sama di dalam satu
liang kubur." 'Tetapi dimana kuburan ayahmu?" Botol Pinilis mint a
penjelasan. Tak dapat Sekar Prabasini memberi keterangan
kepada Botol Pinilis. Sesungguhnya ia tak mengetahui di
mana kuburan ayahnya. Ia lantas melemparkan pandang
kepada Lingga W isnu : "Ayahnya terkubur dipuncak gunung Dieng kita."
Lingga W isnu memberi keterangan.
"Diatas gunung Dieng" Gunung Dieng kita?" Botol
Pinilis berseru heran. Rupanya Sekar Prabasini heran pula
mendengar keterangan Lingga W isnu. Dan berkata lagi
Lingga W isnu kepada Botol Pinilis :
"Ayahnya adalah pendekar besar Bondan Sejiwan.
Dialah pendekar yang pada zamannya terkenal gagah
perkasa dan bertabiat aneh."
Umur Botol Pinilis tak jauh selisihnya dengan umur
Bondan Sejiwan. Tatkala ia mulai berkelana, kegagahan
pendekar Bondan Sejiwan seringkali d idengarnya. Ia
menaruh hormat terhadap pendekar besar itu. W alaupun
tidak selalu menyetujui sepak-terjangnya. Karena itu pula
hormatnya terhadap jenazah Sekarningrum naik. set ingkat. Jadi. dialah isteri pendekar besar itu" Pikirnya
didalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah semangatnya
untuk membuat jasa. Setelah berenung-renung sejenak,
berkatalah dia kepada Sekar Prabasini :
"Aku ada usul. Mudah-mudahan engkau bisa
menerima usulku in i."
Sekar Prabasini menatap wajah Botol Pinilis. Usia Bot ol
Pinilis sebaya dengan paman-pamannya. Maka menyahutlah dia : "Pastilah usul paman ada harganya untuk di dengar,
silahkan, paman." Disebut paman, Botol Pinilis perlu memberi keterangan
terlebih dahulu. Berkata sambil menunjuk Lingga W isnu :
"Usia Lingga W isnu sebaya denganmu. Meskipun
demikian, dia adalah adik seperguruanku dan karena
engkau sahabatnya, jangan engkau memanggil paman
kepadaku. Panggil saja aku kakang."
Mendengar ucapan Botol Pinilis, Puguh Harimawan
tergerak hatinya, Ia mengerling kepada Sekar Prabasini
dan berkata di dalam hati :
'W ah, celaka. Kalau dia mananggil kakang kepada
guruku, mau tak mau aku harus memanggilnya bibi.
Padahal, usianya terpaut sangat jauh cari umurku.'
Tentu saja Sekar Prabasini tidak mengetahui apa yang
berkutik di dalam hati Puguh Harimawan. Setelah
menyiratkan pandang kepada Lingga W isnu, ia berkata :
"Baiklah. Mulai saat in i, aku akan memanggilmu
kakang. Aku berjanji pula, akan patuh dan taat kepada
semua saran-saran kakang."
'W aduh, apa kataku ... Benar-benar dia memanggil
kakang terhadap guru,' Puguh Harimawan mengeluh di
dalan hati. 'Perempuan cilik in i kenapa begitu gampang
saja mengubah sebutan paman menjadi kakang dalam
waktu begini singkat" Sama sekali tak nampak
keseganannya. Akh, celaka! Sesudah mempunyai paman
cilik, sekarang ada bibi cilik lagi ...'
Si dogol itu lantas sibuk seorang diri. Ia b ingung
menempatkan diri dalam persoalan itu. Maklumlah.
Usianya kin i sudah hampir mencapai tigapuluh tujuh
tahun. Dan oleh tataran kedudukannya, ia harus
memanggil paman dan bibi terhadap bocah cilik yang
berumur sekitar duapuluh tahun. Busyeeet!
Tentu saja Bot ol Pinilis tak mengerti apa yang
menyebabkan keresahan hati muridnya itu. Ia hanya
melihat si dogol duduk bergelisah. Sedangkan pandangnya selalu beralih dari Lingga W isnu ke Sekar
Prabasin i. Ia memperhatikan sebentar, kemudian
meneruskan berkata kepada Prabasini :
"Ibumu ingin berkubur bersama ayahmu. Keinginan
hati ibumu itu, pasti akan k ita laksanakan. Adik tak perlu
bercemas hati. Soalnya sekarang adalah tata pelaksanaannya. Kurasa alangkah sulit."
"Apa yang menyulitkan?" Sekar Prabasin i. ti dak sabar.
"Jarak ant ara Gunung Lawu dan Gunung Dieng sangat
jauh. Sekarangpun lagi berkecamuk suatu perjuangan
rakyat yang menentukan. Maka sudah bisa dibayangkan,
betapa sulit perjalanan kita apabila membawa-bawa
sesosok mayat. Taruh kata kita sudah berada di kaki
Gunung Dieng, masih ada pula satu masalah. Jangan lagi
dibebani jenazah ibumu, sedang membawa diri sendiri
saja sudah sangat sukar. Sebab puncak gunung yang kita
maksudkan amat terjal, lic in dan sempit. Mungkin sekali
adik belum bisa membayangkan keadaan tanah gunung
Dieng, karena belum pernah melihat gunung itu?"
Sekar Prabasini bergeleng kepala. Mint a ketegasan :
"Lalu bagaimana baiknya?"
'Masih ada satu jalan keluar," sahut Botol Pinilis. "T api
kurasa jalan hidup inipun belum merupakan jalan keluar
sesungguhnya." "Apa itu?" "Kita bawa tulang-belulang almarhum ayahmu ke
mari, kemudian kita kubur bersama-sama dengan
jenazah ibumu. Akan tetapi jasmaniah ayahmu kini sudah
memperoleh kedamaian dan ketenteraman. Benarkah
kita, apabila membongkar kuburannya untuk kemudian
kita bawa-bawa pindah ke mari" kata Bot ol Pinilis mint a
pertimbangan. 0ooo-d.w-ooo0 Jilid 8 Mendengar kata-kata Botol Pinilis, Sekar Prabasini
mendadak saja menjadi bingung. Ia menangis oleh rasa
bingungnya itu. Seperti seorang kalap yang membutuhkan pertolongan, ia berkata setengah berseru:
"Lalu bagaimana?"
Botol Pinilis menghela napas. Ia membiarkan Sekar
Prabasin i sibuk beberapa saat lamanya sampai kemudian
ia berkata menyarankan : "Bila adik set uju, aku mengusulkan agar jenazah
ibumu dibakar saja. Nanti dulu ... aku tahu, hal itu
bertentangan dengan agama dan adat istiadat kita.
Kulihat meskipun kau bukan orang saleh, tapi sedikit
banyak mempertaruhkan kepercayaan keharibaan agama
kita, Islam." Sekar Prabasini tercengang. Memang, meskipun belum
pernah bersembahyang, akan tetapi leluhurnya memeluk
agama Islam. Karena itu, meskipun dia orang acakacakan, termasuk anggauta rumpun
agama tersebut. Dan membakar mayat belum pernah di lakukan orangorang Islam d i bumi Jawa ini.
Tapi Jalan lain, tiada lagi.
Akhirnya mau tak mau ia menerima saran itu.. Perlahan
lahan ia memanggut. Dan pada saat itu air matanya
memenuhi kelopak mata. Botol Pinilis kemudian mengajak Puguh Harimawan
mencari kayu bakar. Lingga W isnu dan Suskandairi
mencari rumput-rumput kering. Matahari sudah sepenggalah tingginya, tatkala mereka mulai menyulut
api. Dan jenazah Sekarningrum diletakkan hati-hati
diatas pancaka. Sakit hatinya Sekar Prabasini menyaksikan tubuh
ibunya dijilat api. Rasanya seperti dirinya sendiri d ibakar
hidup-hidup. Ia lantas mendekam diatas tanah dan
menangis sedih sekali. Semenjak dilahirkan, ia hidup dipencilkan oleh
anggauta-anggauta keluarga lainnya. Meskipun rumahnya besar tak ubah sebuah istana, namun ia
merasa asing. Hanya ibunya seorang tempat ia
mengadukan gundah hatinya itu. Dan hanya ibunya
seorang pula yang sayang dan kasih padanya dengan
setulus hati. Sekarang ibunya pergi untuk selamalamanya.
Mati dan kemudian. Dibakar Menurut
perasaannya, kepergian ibunya tidak wajar.
Paman-pamannya kerap kali. menyatakan permusuhannya dengan terang-terangan. Ia diejek,
disind ir dan d ihina. 0leh lingkungan keluarga yang
demikian itu, ia tumbuh menjadi seorang gadis yang luar
biasa tabiatnya. Sepak terjangnya aneh dan bandel Ia
memberontak terhadap sekelilingnya, karena merasa
diberlakukan tidak adil. Ia benci dan curiga terhadap
siapapun, kecuali ibunya. Hatinya bagaikan bara yang
senantiasa siap merangsang pada sembarang waktu.
"Ibu! Kau pergilah! Tapi mengapa harus pergi! Aku
jadi terpaksa hidup sebatangkara ...!" ia memekik-mekik.
Botol Pinilis tahu betapa hebat rasa sedih Sekar
Prabasin i. Tiada gunanya untuk mencoba menghiburnya
atau menasehatinya. Untuk meringankan hati, dia justru
harus menangis dan menjerit sepuas-puasnya. Karena
itu, dia membiarkan gad is itu melolong tanpa terganggu.
Sedangkan Lingga W isnu pun bersikap demikian pula.
Hanya Suskandari yang nampak resah. Secara naluriah
ikut bersedih hati sampai air matanya bercucuran
membasahi pipi. Hampir mendekati petang hari pembakaran mayat itu
selesai. Lingga W isnu mencari sebuah guci. Apabila api
telah padam, ia mengumpulkan abu dan sisa-sisa tulang
Sekarningrum dan dimasukkan ke dalam guci itu.
Kemudian menutupnya rapat-rapat. Dua kali ia membuat


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembah sambil berkata : "Bibi, tenangkan hatimu! Pasti aku akan memenuhi
harapanmu, menguburmu disamping atau didalam satu
liang kubur suamimu ..."
W aktu petang hari tiba, semuanya sudah siap untuk
berangkat meneruskan perjalanan. Dan berkatalah Botol
Pinilis kepada Lingga W isnu :
"Adik, aku hendak ke Sukawati untuk mengantarkan
emas ini kepada Panglima Sengkan Turunan. Laskar
Raden Mas Said sudah bersiaga penuh disepanjang jalan
Karangpandan. Mereka hendak mengadakan pukulan
terakhir terhadap serdadu-serdadu
Belanda yang bertangsi di dalam kota Surakarta. Akh, sebentar lagi
gerakan penyerbuan itu bakal terjadi. Dan emas ini
merupakan perbekalan yang menentukan. Syukur,
engkau telah menyelamatkan. Sekiranya tidak, perjuangan Raden Mas Said menunt ut keadilan untuk
kandas ditengah jalan ..."
Mendengar kata-kata Botol Pinilis, Sekar Prabasini jadi
perasa. Katanya setengah berbisik seolah-olah kepada
dirinya sendiri : 'A kh, tak pernah terbayang dalam hatiku, bahwa emas
itu merupakan modal perjuangan yang begitu berharga.
Andaikata kakang Botol Pinilis tidak datang, pastilah aku
akan mengandaskan perjuangan laskar Panglima
Sengkan Turunan ..."
Puguh Harimawan teringat, bahwa gadis itulah yang
membuat gara-gara. Tatkala ia d itugaskan mengawal
emas perbekalan itu, tiba-tiba Sekar Prabasin i muncul
dan merampasnya. Karena itu, mendengar ucapan Sekar
Prabasin i, hatinya jad i terhibur, Terus saja
ia menyambung : "Syukurlah, asal saja kau insyaf, aku ikut senang."
Itulah sindiran hebat bagi pendengaran Sekar
Prabasin i yang bertabiat luar biasa dan selamanya belum
pernah ia mau mengalah terhadap siapapun. Bukankah
terjadinya perampasan itu lantaran Puguh Harimawan
tak becus menyelamatkan" Maka ia berkata tak langsung
kepada Botol Pinilis : "Kakang Botol Pinilis hatiku tenteram apabila kakang
sendiri yang membawa emas itu ke Sukawati.. dengan
begitu tidak akan menerbitkan suatu gara-gara lagi."
Mendongkol hati Puguh Harimawan mendengar
perkataan Sekar Prabasini. Benar-benar ia dianggap
manusia tak berguna. Menuruti kata hati, ingin membalas
dengan dampratan. Tapi oleh pandang tajam gurunya, ia
batal sendiri. "Bagaimana kalau adik sekalian ikut pergi ke
Sukawati?" Botol Pinilis bertanya.
"Kakang, kurasa lebih baik aku ke Karangpandan
dahulu untuk menemui guru," sahut Lingga W isnu.
"Apakah guru berada disana?" Botol Pinilis menegas.
"Benar. Mula-mula ke Sukawati, Kemudian ke
Karangpandang. Akupun akan bisa bertemu dengan
kakang Puguh." "Guru dan adinda Puguh tidak lagi berada di
Karangpandan," kata Botol Pinilis. "Kabar yang aku
terima, beliau berada di sekitar W onogiri. Dan adinda
Puguh membantu Panglima Sengkan Turunan di
Sukawati." Hati Lingga W isnu tergerak.
Berkata setengah berseru:
"Ha, kalau begitu biarlah aku
mencari guru di daerah Wonogiri.
Tak jadi aku ke Karangpandan.
Bagaimana pendapat kakang?"
Botol Pinilis mendeham dua
kali sebelum menjawab. Setelah
menimbang-nimbang beberapa saat, berkata : "Pada saat ini, Pangeran Sengkan Turunan membutuhkan peribantu-pembantu yang tangguh. Adik
mempunyai kepandaian begini sempurna., Bila datang
bersamaku kepadanya, pastilah akan membuat gembira
hatinya. Akan tetapi dikemudian hari - aku percaya
bahw a adik pasti tidak akan tinggal diam dan akhirnya
maribant u perjoangan rakyat menuntut keadilan."
Merah wajah Lingga W isnu mendengar kata-kata
kakak seperguruannya itu. Cepat-cepat ia menyahut :
"Kakang, dalam segala halnya, aku taat dan tunduk
padamu. Bimbinglah aku agar aku menjadi manusia
berharga dikemudian hari."
Botol Pinilis tertawa. Ia t erharu mendengar sikap adik
seperguruannya yang halus sekali budi pekertinya.
Katanya "Hebat budi pekertimu, adik. Aku kagum dan hormat
padamu. Baiklah kita berpisah sampai di sin i saja."
Setelah berkata demikian. Botol Pinilis memutar
tubuhnya dan berangkat meneruskan perjalanan, Puguh
Harimawan dan Suskandari segera berpamit pula. Kata
Suskandari : "Kakang, kau rawatlah dirimu baik-baik."
Lingga W isnu memanggut. "Kau berjanji?" Suskandari menekankan.
Kembali lagi Lingga W isnu memanggut. Dan
Suskandari nampak puas. Pandang matanya berseri seri.
Katanya lagi : "Aku ingin melihat dirimu selalu dalam keadaan segar
bugar." "Akupun mengharapkan agar engkau melatih petunjuk-petunjukku," sahut Lingga W isnu. "Dengan
menekuni petunjuk-petunjukku, artinya kau akan selalu
teringat kepadaku." "Tentu, sejak hari ini aku pasti akan menjadi manusia
lain." Suskandari berjanji.
"Bagus! Aku senang mendengar janjimu. Sampaikan
salam baktiku kepada bibi. Katakan kepada bibi, bahwa
aku senantiasa teringat padanya."
Suskandari tersenyum lebar, matanya bercahaya.
Sahutnya : "Ibupun seringkali menyebut-nyebut dirimu. Akh, bila
kini mengetahui bahw a engkau sudah tumbuh menjadi
seorang dewasa, pastilah ibu akan sangat bergirang hati.
Nah, kakang. Kita berpisah dahulu."
Suskandari kemudian memutar tubuhnya, memisah
diri untuk menyusul Botol Pinilis dan Puguh Harimawan
yang sudah berjalan mendahului. Mereka mengarah ke
barat daya. Beberapa kali Suskandari menoleh. Dan
Lingga W isnu membalasnya dengan lambaian tangan.
Pada lambaian tangan yang ketujuh, bayangan mereka
bertiga telah lenyap dibalik rimbun dusun.
o-dw-o "Hmm!" tiba-tiba terdengar Sekar Prabasini mendengus. "Dari pada selalu melambaikan tangan
seperti wayang kulit tertiup angin, kan lebih baik
menyusul saja!" Lingga W isnu tercengang. Inilah ucapan Sekar
Prabasin i yang tak diduganya sama sekali. Sebagai
seorang pemuda yang belum berpengalaman tak dapat
ia menebak keadaan hati gadis itu. Sebaliknya, melihat
Lingga W isnu tergugu, Sekar Prabasin i berkata dengan
suara menekankan : "Kenapa tak kau susul saja" Sebenarnya, kaupun
harus pergi bersama dia. Dengan begitu, perpisahan ini
tidak akan mengharukan hatimu, bukan?"
Sekarang barulah Lingga W isnu tersadar, apa sebab
gadis itu tiba-tiba marah padanya. Sama sekali ia tidak
mendongkol atau tersinggung. Bahkan ia jad i tertawa
geli. Katanya memberi keterangan ;
"Kau belum tahu hubunganku dengan dia, bukan"
Tatkala masih kanak-kanak, pernah aku terancam
bahaya besar Ibunyalah yang menolongku. Sejak itu, aku
bergaul dan bermain-main dengan dia."
Sekar Prabasini membuang pandang. Hatinya kian
mendongkol. Tiba-tiba saja ia mengambil segenggam
batu dan dilemparkan asal jad i ke segala penjuru.
Sebuah batu menghantam dinding tebing dari hancur.
Katanya setengah berseru :
"Bagus! Bagus sekali! " Kalian berdua sudah sejak
kanak-kanak. Jadi. Sudah lama bergaul, bukan?"
Lingga W isnu mengenal tabiat Sekar Prabasini yang
luar biasa. Ia membiarkannya saja. Justru demikian,
Sekar Prabasini semakin panas hatinya. Berkata sengit :
"Dengan dia, kau banyak bicara. Dengan dia, kau
sering tertawa. Tetapi aku, kau biarkan saja. Mengapa
kau membuatku mendongkol selalu?"
"Kapan" Kapan aku membuatmu mendongkol" Kapan
aku membiarkan dirimu ..." Lingga W isnu tercengang.
"Iddih ..." potong Sekar Prabasini. "Dia memang gadis
manis. Apalagi sejak kanak-kanak kau sudah.bergaul.
Sudah menjadi kawan bermain. Sebaliknya aku" Aku
seorang gadis sebatang kara. Tiada berayah-bunda ..."
setelah berkata demikian, Sekar Prabasin i menangis
menggerung- gerung. Tentu saja, hati Lingga W isnu jadi tak enak melihat
Sekar Prabasini menangis demikian rupa. Katanya
mencoba membujuk : "Janganlah kau menuruti perasaanmu belaka. Marilah
kita berdamai. Bukankah kita berdua akan selalu berjalan
bersama-sama?" Mendengar ucapan Lingga W isnu, hati Sekar Prabasini
agak terhibur. Tangisnya behenti dengan tiba-tiba, dan
wajahnya nampak bersemu merah lembut. Sahutnya:
"Apa yang hendak kita damaikan" Kau pergilah
menyusul adikmu yang manis itu. Aku seorang anak
sebatang kara. Apa perlu kau perhatikan diriku" Biarkan
saja aku terombang-ambing dari ujung langit ke ujung
langit. Biarkan aku seperti sebuah sampan, tergulunggulung gelombang dari laut
ke laut ..." Bingung juga Lingga W isnu menghadapi gadis yang
bertabiat luar biasa ini. Ia kehilangan akalnya. Tak tahu
lagi ia, apa yang harus d ilakukan. Ia jadi membungkam
mulut . Sekar Prabasin i menjadi jengkel sekali melihat Lingga
W isnu tertegun-tegun kehilangan akal. Hatinya panas
bukan main. Terus saja ia menyambar guci abu ibunya.
Dan pergi dengan langkah lebar. Tentu saja Lingga
W isnu tersentak kaget. Serunya gugup :
"Hei! Kau akan ke mana?"
"Hei, hei apa?" sahut Sekar Prabasini sengit.
"Kau akan ke mana?"
"Apa perdulimu?"
Mau tak mau Lingga W isnu terpaksa menyusul. Ia
mencoba mengajak berbicara, akan tetapi gadis itu tetap
membungkam mulut. Sikapnya sengit dan tak perduli,
sampai t iba di sebuah kota kecil.
Karena malam hari telah tiba, Lingga W isnu mencari
sebuah pondokan untuk menginap. Sekar Prabasini
membeli seperangkat pakaian laki laki. Ia hendak
menyamar sebagai seorang pemuda seperti dahulu.
Lingga W isnu tahu gadis itu tak membekal uang cukup.
Dahulu. ia meninggalkan rumah asal pergi saja. Maka ia
memberinya dua keping emas. Tetapi Sekar Prabasini
menolaknya. Katanya : "Aku tak butuh uangmu. Kau simpan saja untuk
adikmu yang manis. Kau tunggu saja di sin i.. Sebentar
lagi aku akan menjadi seorang hartawan. Percaya,
tidak?" Lingga W isnu tak dapat menebak hatinya. Ia segera
menutup pintu kamarnya set elah gadis itu mengundurkan diri. Dan baru pada keesokan harinya ia
mengerti makna kata-kata Sekar Prabasini. Karena
tatkala mereka meneruskan perjalanannya terdengarlah
percakapan orang sepanjang jalan, bahw a seorang
hartawan di kota itu semalam kebobolan. Sekantong
emas dan uang tunai seribu ringgit hilang lenyap
digondol maling. Lingga W isnu mengerutkan kening. Ia mengerling
kepada Sekar Prabasin i. Gadis itu sekarang nampak
segar-bugar dan gagah perkasa. Ia menyelipkan sebuah
kantong dipinggangnya. Dan kedua saku celananya
terdengar bergemerincing. Katanya, ia sekarang memiliki
uang seribu ringgit, yang diterimanya dari dewa Narada
yang semalam turun dari langit. Maka tahulah Lingga


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

W isnu bahwa kawannya berjalan itulah yang semalam
menjadi maling. Diam-diam ia mengeluh di dalam hati.
Gadis in i cerdik dan gagah. Akan tetapi tabiatnya
memang luar biasa. Ia merasa diri tak dapat melayani.
Ingin ia berjalan seorang diri. Tetapi ia tak sampai hati
untuk meninggalkan gadis itu seorang diri. Bukankah
gadis itu seorang yatim-piatu" Bukankah ia sudah
berjanji pula t erhadap almarhum ibunya"
Hari itu, t ibalah mereka di Karang pandan. Masih saja
Sekar Prabasin i membungkam mulut. Ia berjalan
seenaknya sendiri. Kadang-kadang lewat pengempangan
sawah. Kadang pula menyeberang sungai, Malahan dua
tiga kali memanjat pohon dan tidur beristirahat diatas
dahan. Dan Lingga W isnu terpaksa mengikuti serta
menunggu dengan sabar hati. Pikirnya: 'Sampai kapan
dia mengumbar adatnya ini" Hum, mudah-mudahan aku
dikaruniai T uhan usus panjang ...'
Tatkala matahari condcng ke barat, tiba-tiba
terlihatlah awan hitam datang berarak-arak. Udara cepat
sekali menjadi hitam kelam. Hujan deras mulai
mengancam. Angin bergulungan menghantam dinding-dinding gunung, sehingga
memantulkan suara beraungraung. Mereka berdua mempercepat langkah, agar dapat
mencapai sebuah dusun tak jauh didepannya. Tetapi
baru saja berjalan lima atau enampuluh tindak, hujan
telah t urun dengan derasnya.
Lingga W isnu tadi membeli payung. Dengan demikian
ia tidak usah khawatir kehujanan. Sebaliknya, Sekar
Prabasin i yang sedang mengumbar adatnya, terus saja
berlari-lari untuk mencari t empat berteduh. Tetapi sudah
sekian lamanya ia berlari-larian, tetap saja tak nampak
olehnya sebuah rumah atau gubuk untuk tempat
berlindung. Tak mengherankan ia jad i basah kuyup.
Namun ia t ak sudi menyerah kalah. Masih saja ia berlarilarian kesana kenari
seperti seekor tikus hendak
membebaskan diri dari sebuah kubang air.
Lingga W isnu lari menghampiri. Dengan cepat ia dapat
menyusulnya, bahkan melewatinya kemudian ia menyerahkan payungnya sambil berkata :
"Pakailah payungku ini."
Sekar Prabasini membandal. Tak sudi ia menerima
belas kasih siapapun. Dengan mengatupkan bibir, ia
menolak payung itu kesamping.
"Adik," kata Lingga W isnu membujuk. "Bukankah kita
berdua sudah mengangkat saudara" Kita telah bersumpah, hendak mati dan hidup bersama. Senang
dan susah akan kita pikul bersama juga. Kenapa engkau
bersikap demikian t erhadapku?"
Mendengar ucapan Lingga W isnu, kekerasan hati
Sekar Prabasini luluh. Sahut gadis itu :
"Baik. Jadi kau tidak senang apabila aku marah
kepadamu" Jika begitu, engkau harus berjanji kepadaku." "Coba sebutkan!" kata Lingga W isnu. "Kau boleh
mengikat janji kepadaku. Dan aku akan selalu menerima
dan taat kepada janji yang mengikatku."
"Benar begitu?" Sekar Prabasini mencibirkan bibir.
"Kalau begitu, dengarkan! Semenjak hari ini kau harus
berjanji t idak akan berjumpa lagi dengan Suskandari. Bila
kau terima syaratku ini, segera aku akan mohon maaf
kepadamu." Dan ia tertawa manis. Manis sekali ..
Lingga W isnu tertegun. Ia merasa diri sulit menerima
perjanjian itu. Ia merasa berhut ang budi terhadap
Suskandari. Juga terhadap ibunya. Kepada mereka
berdua ia hendak membalas budinya. Karena itu, tak
dapat ia menerima syarat Sekar Prabasini.
"Memang sudah kuduga, bahwa kau takkan dapat
mengabaikan adik Suskandari yang manis luar biasa ..."
gerendeng Sekar Prabasini. Kemudian dengan mendadak, ia lari menubras ditengah hujan lebat.
"Hai, Prabasini! Prabasini " L ingga W isnu gugup.
Sekar Prabasini tidak menghiraukan. ia lari terus.
Makin lama makin menggila. Syukurlah, pada sebuah
tikungan ia melihat sebuah barak kosong. Segera ia
berteduh dan bermaksud bersembunyi. Akan tetapi
Lingga W isnu dengan tiba-tiba saja sudah berada
dibelakangnya. Gadis itu dalam keadaan basah kuyup. Padahal ia
mengenakan pakaian bahan t ipis. Maka bentuk tubuhnya
yang ketat padat nampak menggiurkan.
"Kau memang senang menghina diriku," katanya
menggerutu. "Menghina bagaimana?" SJtfe W isnu heran.
"Sesudah tidak memperoleh perhatianmu - kau senang
sekali aku dalam keadaan begini."
Secara wajar Lingga W isnu meruntuhkan pandang
kepadanya. Dan kulit Sekar Prabasini yang hanya teraling
sehelai pakaian tipis, tiba-tiba saja mendebarkan hatinya.
Ia jad i tahu diri. Terus saja ia menanggalkan pakaian
rangkapnya dan diselimut kannya.
Mendadak saja, Sekar Prabasini menangis menggerung-gerung. Dan kembali lagi Lingga W isnu
tercengang-cengang. Kesalahan apa lagi yang diperbuatnya" Ia tak tahu, bahwa dengan tiba-tiba saja
Sekar Prabasini teringat akan cinta kasih ibunya, begitu
Lingga W isnu menyelimut i tubuhnya yang basah kuyup
dengan kain rangkap yang kering hangat. Dan ibunya
kini telah tersimpan rapat didalam guci yang dibawanya.
Lingga W isnu membiarkan gadis itu menangis sepuaspuasnya. Menghadapi gadis yang
bertabiat luar biasa itu,, ia harus dapat menahan diri. Hanya saja, sampai
hujan berhenti, masih saja Sekar Prabasini menangis
sedih. Suatu kali ia melihat gadis itu mencuri pandang
kepadanya. Anehnya, begitu beradu pandang, tangisnya
makin menjadi-jadi. "Baiklah," pikir Lingga W isnu di dalam hati. 'Aku ingin
tahu, sampai kapan kau betah menangis. Apakah air
matamu melebihi lautan teduh" Hm. Benar-benar aku
ingin tahu' Tentu saja Sekar Prabasini tak mengetahui apa yang
terpikir didalam hati pemuda itu. Ia terus menangis dan
menangis sampai tiba-tiba terdengar suara langkah
terantuk-antuk batu menghampiri barak. Tak lama
kemudian, muncullah seorang laki-laki memajang
seorang perempuan. Nampaknya perempuan itu menderita sakit. Ia merint ih dan mengerang.
Laki-laki itu iba kepadanya. Ia mencoba meringankan
penderitaannya dengan kata kata bujukan dan hiburan.
Dan oleh munculnya mereka berdua, Sekar Prabasini
berhenti menangis. Tak sengaja, ia memperhatikan
gerak-geriknya. Juga Lingga W isnu tak terkecuali. Dan
tiba-tiba saja timbullah suatu pikiran didalam hatinya ;
'Laki-laki itu membujuk dan menghibur isterinya yang
lagi menanggung sakit. Kalau aku berpura-pura sakit,
mungkin sekali Sekar Prabasini menaruh perhatian
kepadaku,' pikir pemuda itu didalam hati.
Tak lama kemudian, sepasang suami isteri itu
melanjutkan perjalanannya dengan tertatih-tatih. Sebentar Sekar Prabasini mengikut i dengan pandang
matanya. Lalu bersiap-siap hendak meneruskan perjalanannya pula. Selagi hendak meninggalkan pintu
keluar, sekonyong-konyong ia mendengar Lingga W isnu
memekik tertahan : "Duh ... aduuuuh!!"
Kaget ia memut ar t ubuh. Dan pada saat itu ia melihat
Lingga W isnu meliuk-liuk menahan sakit. Kedua
tangannya menekan perut dan mengaduh terusmenerus. Oleh rasa kaget, Sekar
Prabasin i melompat dengan membawa gucinya. Kemudian diletakkan diatas
tanah sambil berseru gugup :
"Kenapa?" Lingga W isnu t ak menjawab. Ia rebah terduduk diatas
tanah. Keringat dingin membasahi seluruh t ubuhnya.
"'Kenapa" Sakit perut?" Sekar Prabasini menegas.
Tetap saja Lingga W isnu tak menyahut. Ia rebah
terduduk di atas t anah. Keringat dingin terus keluar dan
ia meringis kesakitan, terus merint ih. Tetapi di dalam
hatinya ia berkata: 'Sekali bermain sandiwara, tidak boleh kepalang
tanggung.' Memperoleh keputusan demikian, ia menahan napas.
Sebagai, seorang pemuda yang tinggi ilmunya, dapat ia
mengatur napasnya sesuka hatinya. Dan begitu
napasnya tertahan, sekujur badannya dingin dengan
mendadak. "Sebenarnya kau kenapa?" Sekar Prabasini gugup tak
keruan. Kali ini hatinya benar-benar sibuk. Ia meraba
pergelangan tangan Lingga W isnu. Dingin! Dan ia lantas
menangis kebingungan. Maklumlah, selamanya belum
pernah ia merawat orang sakit. Bahkan ibunyalah, yang
selalu merawat dirinya b ila sakit. Karena itu, cepat sekali
ia kehilangan akal Lingga W isnu benar-benar tak mau kepalang
tanggung. Dengan tersekat-sekat ia berkata :
"Adik ... agaknya sakitku ini tak dapat disembuhkan
lagi. Kau berangkatlah seorang diri. Jangan pedulikan
aku ..." 'T api kenapa" Kenapa kau mendadak sakit" Kenapa?"
Sekar Prabasini setengah menjerit.
"Dik, sebenarnya aku mempunyai penyakit turunan,"
sahut Lingga W isnu dengan suara lemah, "Setiap kali aku
menjadi sedih atau merasa mendongkol, penyakit itu
kambuh. Sekarang hatiku pepat, sedih dan mendongkol.
Perutku lantas ... adduuh .. adduuuh ..."
Benar-benar Sekar Prabasini kebingungan. Lupa dia
kepada adat-istiadat pada zaman itu, terus saja ia
menubruk dan merangkul. Lalu mengurut-urut dada dan
perut Lingga W isnu. Lingga W isnu jadi kegelian sendiri. Ia malu dan kikuk
kena peluk seorang gadis. Apalagi kena peluk seorang
gadis basah kuyup yang membuat bentuk badannya jadi
jelas dan gairah. "Kakang Lingga, tak boleh kau mati. Memang akulah
yang membuat hatimu sedih, mendongkol dan pepat."
Sekar Prabasini meratap. "Memang aku seorang gadis
tak tahu diri. Seorang gadis sebatang kara yang
berkepala batu. Kakang, aku berjanji tidak akan
membuatrnu sedih, pepat dan mendongkol ..."
Mau tak mau Lingga W isnu tertawa di dalam hati. Ia
berhasil dalam peranannya. Berkata di dalam hati :
'A ku kini kena peluknya. Kalau sandiwaraku bubar
tengah Jalan, aku bakal dicap sebagai seorang pemuda
kurang sopan ...' dan ia terus merint ih panjang dan
pendek. Kemudian mengeluh mengambil hati :
"T ak dapat aku hidup lebih lama, adik. Kalau aku
sampai mati, jangan kau bakar diriku. Aku takut panas.
Karena itu kubur saja dengan wajah tengkurap. Lalu ..
lalu... carilah..kakang Botol Pinilis dan kabarkan tentang
nasibku ini ... adduuuh ..."
"T idak! Tak boleh kau mati!" Sekar Prabasini
menangis. "Sebenarnya aku hanya berbohong dan
bermain sandiwara kepadamu. Aku tidak marah
kepadamu. Yang kuharapkan, agar engkau menaruh
perhatian kepadaku. Kakang ... aku sayang padamu ...
Jika kau mati, akupun akan bunuh diri dan mati
disampingmu ..." Hati Lingga W isnu tergetar. Gadis itu berkata dengan
sungguhi-sungguh di antara air matanya yang bercucuran. Mustahil dia sedang .bersandiwara seperti
dirinya. Maka ia berpikir di dalam hatinya :
"Akh, tak kukira bahwa ia cinta kepadaku."


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan aneh, memperoleh pikiran demikian, mendadak
saja hatinya terselimut perasaan syukur dan bahagia. Ia
lantas saja jad i berbimbang bimbang. Apakah dia harus
bersandiwara terus" Dalam pada itu pelukan Sekar Prabasini makin erat.
Gadis itu sedih dan cemas bukan kepalang, Ia mengira.
Lingga W isnu benar-benar tak tertolong lagi. Mengeluh
sedih "Kakang, jangan t inggalkan daku! Kau t ak boleh mati,
atau matilah bersamaku ..."
Hati Lingga W isnu benar-benar tergoncang. Tiba-tiba
saja berkelebatlah bayangan Palupi dan Suskandari.
Kemudian ayal-bunda, kakaknya tertua dan saudara
perempuannya. Seketika itu juga teringatlah dia kepada
darma yang harus dilakukan.
'Kakak perempuanku kini entah berada dimana,
mungkin dia menderita hebat kena siksa yang
mengiranya mengetahui tentang wasiat peninggalan
ayah. Sekarang aku begini, berpeluk-pelukan dengan
seorang gadis. Akh! Palupi dahulu menaruh perhatian
besar terhadapku. Dia ikut berprihatin mengenai
penyakitku. Dia berjanji akan menorrukan obat pemunah
racun yang dahulu mengeram didalam diriku. Juga
Suskandari kini mungkin sedang memikirkan aku. Kenapa
aku justru melupakan mereka semua karena menuruti
kata hati sendiri"' Oleh timbulnya pikiran itu, ia jadi malu kepada dirinya
sendiri. Terus saja ia menguraikan pelukan Sekar
prabasin i. Kemudian berkata:
"Prabasin i, kau mengaku hanya bermain sandiwara
terhadapku, dengan berpura-pura marah. Akupun
sebenarnya sedang bersandiwara pula terhadapmu.
Maafkan ..." Setelah berkata demikian, ia tertawa
terbahak-bahak untuk meyakinkan gadis itu. Tentu saja pengakuan itu membuat hati Sekar Prabasin i kaget dan malu
bukan main. Ia tercengang
sejenak. Sekonyongkonyong ia melayangkan
tangannya menampar telinga Lingga W isnu. Kemudian melompat bangun dan lari lintang pukang dengan membawa guci abu. Telinga Lingga W isnu pengang. Tamparan itu benarbenar tak terduga olehnya. Lagi
pula terlalu dekat. Sebagai seorang pendekar yang memiliki kepandaian
tinggi, sebenarnya bisa ia mengelak atau menangkis.
Tapi ia tak sampai hat i membuat gadis itu kecewa. Maka
ia membiarkan dirinya kena gaplok. Hanya saja tak
pernah mengira, bahwa gaplokan Sekar Prabasini terlalu
keras. Itulah suatu tanda, bahwa gadis itu benar-benar
marah. "Akh, aku benar-benar semberono. Kalau kali ini d ia
marah benar-benar, Itulah akibat kesalahanku sendiri." ia
Pukulan Naga Sakti 11 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bangau Sakti 20
^