Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 15

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 15


mengaku didalam hati. Cepat ia melompat bangun dan terus mengejar.
Dengan himpunan tenaga saktinya yang sempurna, ia tak
mengalami kesukaran sedikitpun untuk menyusul.
Sebentar saja ia sudah berada satu langkah dibelakang
gadis itu. "Prabasin i, maafkan aku." katanya berulang kali.
Tetapi Sekar Prabasin i tak sudi mendengarkan.
Hatinya malu, menyesal dan marah. Ia merasa benarbenar dipermainkan. Sebagai
seorang gadis adalah tabu
apabila membuka rahasia hatinya begitu jelas dihadapan
seorang pemuda yang justru menjadi sasaran perhatiannya. Tetapi setelah lari mengumbar adat
selint asan lamanya, mendadak saja kekerasan hatinya
jadi lemah dengan tak dikehendakinya sendiri. Ia
menoleh dan melihat pipi dan telinga Lingga W isnu
merah akibat gaplokannya. Makin ia menjadi perasa. Dan
terjadilah suatu pergumulan hebat antara penyerahan
dan keangkuhannya. Akhirnya meletuslah perbendaharaan hatinya : "Kau menjemukan sekali sih ..."
Gembira Lingga W isnu mendengar Sekar Prabasini.
Alangkah manis dan Semanis dan sesedap setetes madu.
Bukankah kata-kata itu sendiri berarti suatu uluran
perdamaian. Maka sahutnya :
"Prabasin i, memang aku keterlaluan. Maafkanlah aku
..." "Kalau sudah kumaafkan, lalu bagaimana?" Sekar
Prabasin i merengut. "Aku senang!" Sekar Prabasini menundukkan kepalanya. Ia memperlambat larinya. Akhirnya berjalan dengan
langkah terantuk-antuk. Dan menjelang magrib, desa
Meteseh sudah berada tak jauh didepannya.
Mereka berdua mencari rumah makan. Dan di dalam
rumah makan itu, barulah mereka dapat duduk berjajar
dengan perasaan damai. Dengan berdiam diri mereka
saling pandang. Sekar Prabasin i masih agak basah
pakaiannya, sedang Lingga W isnu bersenyum gendeng.
"Hai! Mengapa kau mengumbar mulut?" tegur Sekar
Prabasin i. "Apa yang kau gelikan?"
"Perutku," sahut Lingga W isnu sekenanya.
"Kenapa perutmu" Sakit lagi?" Sekar Prabasini sengit.
"Bukan, Lapar ... Yang sakit kini adalah pip iku."
Sekar Prabasini tertawa. T ertawa manis sekali. Lingga
W isnupun tertawa. Akhirnya mereka tertawa berbareng.
Dan pada detik itu pula, hati mereka benar-benar
berdamai. Mereka lantas bercakap-cakap dengan ringan
sambil, makan dan minum. Malam hari itu mereka menginap di sebuah gubuk
yang berada diluar dusun. Puas hati Sekar Prabasin i,
karena Lingga W isnu ternyata seorang pemuda yang
sopan sant un. Sama sekali ia tak menggoda atau
mencoba membawa pembicaraan kearah tertentu.
Bahkan, tatkala rasa kantuknya tiba, ia tidur menggeletak diluar gubuk di atas seonggck jerami
kering. Keesokan harinya, mereka mandi di sebuah sungai
yang jernih airnya. Setelah gant i pakaian, berkatalah
Lingga W isnu : "Prabasin i, kurasa tugas kita yang terpenting adalah
mengantarkan abu ibumu mendaki gunung Dieng.
Bagaimana pendapatmu?"
"Benar," Prabasini membenarkan. "Tetapi bagaimana
sih sebenarnya, atau asal-mulanya kau dapat menemukan kuburan ayah?"
"Nant i kuceritakan sambil meneruskan perjalanan,"
sahut Lingga W isnu. Mereka mengisi perut dahulu. Kemudian meneruskan
mengarah ke barat. Dan sambil berjalan Lingga W isnu
menceritakan pengalamannya tatkala mula-mu la menemukan goa Bondan Sejiwan yang bersembunyi
diatas puncak gunung Dieng. Bagaimana ia memperoleh
kitab dan peta warisan yang akhirnya dapat dipergunakan untuk menghancurkan ilmu kebanggaan
keluarga Dandang Mataun. Sekar Prabasin i g irang berbareng duka cita. Ia
bergirang hati, karena ayahnya ternyata seorang
pendekar besar yang pant as dikagumi. Sebaliknya ia
berduka cita mengenangkan nasib ibunya yang malang.
Mengapa ibunya dilahirkan hanya untuk menderita"
Mengapa ibunya di dunia ini seolah-olah tiada suatu
kedamaian. Masing-masing membawa persoalannya
sendiri yang penuh duka cita. Dan tentu sekali dalam hati
manusia betapa sempit dan terlalu pendek masa damai
yang dapat terteguk oleh insan yang benar-benar
merindukan. Dalam pada itu, Lingga W isnu tak lupa pula
menceritakan sepak-terjang Cocak Obar-abir dan
Gemuling. Betapa mereka saling menipu dan akhirnya
saling membunuh. Dan mendengar hal itu bulu kuduk
Sekar Prabasini meremang "Eyang Cocak Obar-abir dan eyang Gemuling
sebenarnya adalah pinisepuh kita," kata Sekar Prabasini"Menurut ibu, mereka
jahat sekali. Masih ingatkah
engkau, perawakan tubuh eyang Gemuling" Dia gemuk,
bukan" Mukanya terdapat bekas luka panjang."
"Benar." Lingga W isnu terbangun ingatannya dan
teringat dengan kejadian lama.
"Menurut ibu, semenjak ayah lenyap tiada bekas,
seluruh keluarga Dandang Mataun bertebaran untuk
mencari jejaknya. Sepuluh tahun lamanya mereka
mencari ubek-ubekan. Akan tetapi t idak berhasil. Setelah
pulang, hanya eyang berdua itulah yang hilang tiada
kabar. Tak tahunya mereka berdua menemukan mautnya
diatas gunung Dieng. Tapi mereka berdua memang
pant as mati secara demikian. Bukankah mereka saling
bunuh-membunuh" Itulah keadilan Tuhan yang benarbenar adil," Sekar Prabasini
berhenti sebentar. Kemudian
meneruskan : "Ayah ternyata sudah lama meninggal dunia.
W alaupun demikian, masih dapat menjebak musuhmusuhnya. Aku benar-benar bangga
kepadanya. Dan aku tak malu pula disebut putrinya."
"Memang. Kau tak perlu malu menyebut diri sebagai
putri paman Bondan Sejivan." Lingga W isnu berkata
dengan tulus hati. "Akan tetapi tatkala aku terpaksa
memperlihatkan peta warisan didepan ibumu, pastilah
akan menerbitkan suatu malapetaka baru. Masakan
sekalian pamanmu akan berpeluk lut ut saja setelah
mengetahui dimana peta yang di-impi--impikan itu
berada, Mungkin sekali pada saat in i, mereka mengikuti
perjalanan kita." Sekar Prabasini mengerinyitkan dahinya. Kedua alisnya
yang lentik tegak. Berkata :
"Meskipun demikian, mereka takkan dapat berbuat
apa-apa terhadapmu. Sebaliknya andaikata ayah masih
hidup dan sempat menyaksikan betapa engkau
menghajar mereka morat-marit, maka alangkah girangnya ..." ia berhenti dengan nada kecewa.
Mendadak menghibur diri: "T api ibu sempat menyaksikan. Dialam baka ibu akan
mengabarkan hal itu kepada ayah. Dan ayah pasti
terhibur hatinya. Sebenarnya bagaimana sih rupanya
peta itu" Bolehkah aku melihatnya?"
"Kenapa tidak" Ini adalah warisan ayahmu. Sebenarnya harus kuserahkan kepadamu," Lingga W isnu.
Dan ia menyerahkan peta Bondan Sejiwan.
Sekar Prabasini menerima peta warisan itu dengan
tangan gemetaran. Dengan berdiam diri ia merenungi
dan mempelajari. Hatinya berduka berbareng girang.. Ia
mencoba mengalihkan peta itu kedalam ingatannya.
Tentu saja membutuhkan waktu berhari-hari lamanya,
Dan pada suatu hari, tiba-tiba ia berkata :
"Kakang Lingga. Lebih baik kita undur dahulu
perjalanan kita mendaki Gunung Dieng. Kurasa harta
warisan in i sangat penting."
Lingga W isnu heran. Menegas :
"Penting bagaimana?"
"Bukankah peta ini menyebutkan tentang harta
warisan" Kata ayah, barang siapa memperoleh harta ini,
diwajibkan menyerahkan uang sebesar seratus ribu
ringgit. Kalau begitu, jumlah harta warisan in i pasti luar
biasa banyaknya. Barangkali kita mampu membeli
sebagian pulau Jawa."
Lingga W isnu menarik napas. Diam-diam ia membenarkan ucapan Sekar Prabasin i, bahwa harta
warisan itu tak bernilai harganya. Ujarnya perlahan :
"Akan tetapi mengantarkan abu ibumu adalah suatu
tugas mulia dan yang terpenting. Lagi pula ...
sebenarnya aku mempunyai kewajiban mencari saudarasaudaraku yang hilang."
"Saudara-saudaramu?" Sekar Prabasini heran.
Lingga W isnu manggut. Kemudian ia menceritakan
riwayat hidupnya sejak kanak-kanak sampai berguru
kepada Kyahi Sambang Dalan. Dan mendengar riwayat
hidup Lingga W isnu, gadis itu jadi terharu.
"Akh, tak kusangka bahwa engkau pernah mengalami
penderitaan begitu hebat. Kalau begitu kita berdua ini,
bertemu dalam penderitaan." ia berkata "Tetapi peta itu
sendiri tidak boleh kau abaikan, Apabila kita berhasil
mencari harta warisan itu, akan mempermudah dirimu
mencari jejak kakak-perempuanmu ..."
Lingga W isnu tidak menjawab. Ia berbimbang sampai
dua hari lamanya. Dan pada hari ketiga, Sekar Prabasini
berkata mengesankan : "Kakang. Aku hanya merampas uang perbekalan
Panglima Sengkan Turunan sebesar dua ribu keping saja.
W alaupun demikian sudah menimbulkan suatu kesibukan
luar h iasa. Kakakmu seperguruan sampai ikut turun
tangan. Juga dirimu. Alangkah kerdil Panglima Sengkan
Turunan itu." "T idak, kau keliru." bant ah Lingga W isnu cepat. "Aku pernah melihat beliau
selint asan. Dia seorang panglima yang berkeperibadian besar dan bukan manusia berhati
kerdil seperti sangkamu. Kalau dia sampai sibuk
mengenai uang emas itu, lantaran merasa bertanggung
jawab terhadap rakyat. Uang emas itu bukan miliknya
pribadi. W ajib ia merebutnya kembali dan memanfaatkan. Pada saat ini, dia sedang menghimpun
kekuatan rakyat untuk melabrak tindak sew enang kaum
penguasa. Sudah lama Belanda dan para begundalnya
membuat sengsara mereka. Dan untuk bisa melabrak
mereka dia membutuhkan modal. Sekalipun hanya
berjumlah dua ribu keping emas, namun besar sekali
artinya. Tidak! Dia bukan manusia berhati kerdil!"
Sekar Prabasini tertawa manja. Sahutnya:
"Dan merebut kenfcali uang emas sejumlah dua ribu
keping saja, seorang panglima bersedia turun tangan
sendiri. Apalagi uang emas sebesar seratus ribu ringgit!
Bukankah jauh lebih berharga" Kenapa kakang tak mau


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencontoh kesediaan panglima itu" Hendaklah kakang
sadar, bahw a jumlah harta warisan itu mungkin sekali
melebihi sepuluh atau duapuluh juta ringgit emas tulen.
Alangkah akan berterima kasih dia, manakala kakang
bisa membant u memberi modal perjuangan kepadanya,
Seratus atau dua ratus ribu keping emas, kurasa belum
melarut kan jumlah harta warisan itu."
Mendengar ucapan Sekar Prabasini, Lingga W isnu
terkejut. Mendadak saja ia seperti seseorang terbangun
dari tidurnya. Terus saja ia menyambar tangan Sekar
Prabasin i dan berkata setengah memekik :
"Y a, Al ah. Kenapa aku tak bisa berpikir sampai d isitu"
Otakku benar-benar lagi keruh! Benar, adikku. Benar!
Kita berdua bisa ikut bersaham terhadap perjuangan
rakyat ini Kau hebat, adikku! Kau hebat sekali!"
"T ak usah kau menyanjung aku berlebih lebihan," kata
Sekar Prabasini dengan tertawa senang. "Cukup sudah,
asal kau memperhatikan diriku."
Pemuda itu menggenggam tangan Sekar Prabasini
erat-erat. Kemudian menguraikan perlahan-lahan seraya
menyahut : "T api kau memang hebat sekali. Seumpama kita bisa
menghaturkan sebagian harta warisan kepada Panglima
Sengkan Turunan, sungguh sungguh merupakan berkah
Tuhan bagiku." Lingga W isnu merasa seperti memperoleh semangat
baru. Terus saja ia mengajak Sekar Prabasini duduk di
tepi jalan. Peta peninggalan Bondan Sertiwan digelarnya
di atas rumput. Dan mereka berdua menekuni dengan
seksama. Ditengah-tengah peta itu terdapat bundaran merah.
Disampingnya tertera sepata kata KUNCI. Dan ditengah
bundaran sederet kalimat yang berbunyi : Naratoma Kimpurusa. Kimpurusa adalah
bahasa Kawi. Artinya: raksasa Apa artinya"
"Naratoma adalah mahapatih Airlangga di zaman
Mataram, untuk merebut kerajaannya kembali yang
diduduki raja Srivdjaya. Airlangga dan Naratoma
menyalakan api perjuangan di sekitar daerah W onogiri.
Apakah Narotama dahulu mendirikan gedung kediaman
didaerah ini" Lihat, disini terdapat tulisan: Harta warisan
disimpan di dalam istana Narot ama. Gali dan akan
diketemukan kamar baja. Didalamnya ada petunjuknya.
Bagaimana pendapatmu?"
Sekar Prabasini tercengang. Sahutnya:
"Eh, dari mana kau belajar sejarah" Kau seperti
menceritakan suatu peristiwa yang baru saja terjadi
kemarin lu sa! Karena itu, kita urungkan dahulu
perjalanan kita ke Dieng. Kita cari istana itu, mumpung
kita masih berada di daerah W onogiri."
Kali ini Lingga W isnu tidak manbant ah atau
membangkang. Ia diam bermenung-menung. Kemudian
berkata seperti kepada dirinya sendiri
"Daerah Wonogiri in i pada zaman dahulu pastilah
merupakan hutan rimba belantara. Coba bacalah
Wonogiri itu. W ono artinya hutan. Giri artinya gunung.
Jadi hut an gunung atau gunung berhutan. Dan Narot ama
adalah mahapatih seorang raja besar. Kuk ira setelah
perjuangan selesai, ia balik kemari untuk membangun
sebuah istana yang megah. Meskipun andaikata istana
itu sudah lenyap, rakyat pasti mengenal riwayat istana
itu dari cerita mulut ke mulut."
"Sekarang ini tak ada gunanya engkau menduga-duga
berkepanjangan." potong Sekar Prabasini. "Mari kita ke
Wonogiri. Kau bilang, W onogiri adalah sebuah nama
peringatan adanya hutan gunung atau gunung hutan.
Kurasa Narot ama dahulu membangun istananya di kota
itu. Andaikata tidak ... kita. cari di sekitarnya."
Kembali lagi Lingga W isnu tidak marbant ah atau,
membangkang. Setelah peta digulung, segera mereka
berangkat. Disepanjang jalan, mereka bicara hilir-mudik.
Akan t etapi sama sekali tidak menyinggung lagi tentang
harta warisan itu. Mereka sadar, bahwa batu-batu
mungkin mempunyai telinga.
Pada zaman itu daerah Wonogiri masih tertutup hutan
belantara. T anahnya gampirtg dan berbatu. Kdfcena itu,
tidak mengherankan bahwa mereka membutuhkan waktu
enam hari untuk mencapai. kota W onogiri.
Wonogiri sekarang merupakan sebuah kota yang
sederhana. Belum boleh disebut kota besar, walaupun
merupakan kota penghubung. Maka dapat dibayangkan,
betapa penting arti kota itu pada zaman dahulu. Kecuali
merupakan sebuah kota yang paling besar diseluruh
daerah, juga menjadi urat nadi perdagangan. Di
dalamnya terdapat jumlah penduduk yang cukup padat.
Toko-toko, pasar dan penginapan.
Lingga W isnu dan Sekar Prabasini kali ini menginap
disebuah rumah penginapan. Rumah penginapan itu
dekat dengan perusahaan gamping. Maka genting dan
dindingnya kotor oleh abu gamping. Meskipun demikian,
banyak juga pengunjungnya - mungkin sekali,- rumah
penginapan itu merupakan tempat penghubung perdagangan yang luwes. Lingga W isnu dan Sekar Prabasini pun mempunyai
perhitungan itu pula. Sengaja mereka bercampur dan
bergaul dengan para penginap dan pekerja-pekerja
penginapan. Mereka mencoba mint a keterangan tentang
sejarah perjuangan Airlangga dan Narot ama. Tapi diluar
dugaan, baik penduduk aseli maupun para penginap,
asing dengan sejarah itu.
Sekar Prabasini jadi t ak sabar hati lagi.
Kepada seorang pelayan, dia berkata penuh
penasaran: "Masakan kau tak tahu" Narotama adalah Mahapatih
Airlangga. Kabarnya dia membangun istana di sini."
"Istana" Dimanakah ada sebuah istana di sini?"
pelayan itu heran. "Akh. semenjak dilahirkan belum
pernah aku melihat istana berada di kota W onogiri. Kalau
di ibu kota tempat raja bersemayam, kabarnya ..."
"Kau bohong!" potong Sekar Prabasini. "Barangkali
disekitar kota ini ..."
"Mana ada istana" Kalau tak percaya, silahkan cari
sendiri!" Sekar Prabasin i yang berwatak panas hampir saja
menggaplok pelayan itu. Kata-katanya dianggapnya
menghinanya. Untung, Lingga W isnu kenal watak
kawannya berjalan itu. Segera ia mengajaknya berjalanjalan keluar penginapan
mencari kabar berita. Tetapi sampai pada hari kelima usahanya tetap tak
berhasil. W onogiri menang tak memiliki sebuah istana.
Oleh karena kesal hati, mereka berjalan-jalan sejadijadinya. Kini mendaki
gundukan tanah untuk melihat
matahari t enggelam di barat. Namun terdorong oleh rasa
masgul, keindahan alam dipetang hari itu sama sekali t ak
merasuk didalam perbendaharaan hati.
Tiba-tiba Lingga W isnu yang memiliki pendengaran
tajam, mendengar sesuatu yang mencurigakan. Cepat ia
memberi kisikan kepada Prabasini :
"Bersembunyi!" Sekar Prabasin i percaya benar kepada kawannya
berjalan itu. Terus saja ia meloncat mengikuti dan
bersembunyi ditengah pekuburan. Dan tak lama
kemudian terdengarlah suara langkah dari dua penjuru
yang datang hampir berbareng. Belasan orang jumlahnya
dan mereka semua menyandang senjata tajam. W aktu
itu matahari telah tenggelam, sehingga mereka nampak
bagaikan bayangan yang tiba dengan berduyun-duyun.
Selagi mereka datang saling menghampiri, terdengarlah tepuk t angan sandhi dua kali berturut-turut
dari arah barat dan timur. Mereka lantas bergabung
menjadi satu, kemudian duduk diatas tanah denganmembungkam mulut.
Jarak antara mereka San Lingga W isnu berdua, kirakira
dua puluh langkah jauhnya. Dan karena pendengaran Prabasini tidak set ajam Lingga W isnu, ia
bergerak maju mendekat. "T unggu!" cegah Lingga W isnu seraya menarik
bajunya. "T unggu apa lagi?" Prabasini jadi tak senang hati.
"Sst ..." Lingga W isnu memberi isyarat supaya
menutup mulut. Menuruti kata hati, Prabasini ingin mendanpratnya..
Akan tetapi ia tahu, Lingga W isnu pasti mempunyai
alasan tertentu. Oleh pertimbangan itu, ia menyabarkan
diri. Namun, menunggu adalah suatu siksa sendiri..
Detik-detik terasa alangkah lambat. Tak lama kemudian,
terdengarlah gelombang angin menyirbuki mahkot a
daun-daun dan rumput diatas pekuburan nampak seolaholah bergerak,
Berbareng dengan suara berisik itu, Lingga W isnu
menyambar lengan Prabasini. Dan dibawa berlompat
kearah sebuah nisan bertembok keliling. Mereka
bersembunyi dibaliknya. Dan pada saat itu nampaklah
sesosok bayangan yang tiba-tiba saja sudah berada
didepan rombongan. Segera mereka berdua menajamkan
penglihatan dan pendengaran.
Dalam hati Prabasin i kagum terhadap kegesitan Lingga
W isnu. Pikirnya didalam hati:
'Hebat tenaganya. Iapun dapat dengan cepat
mengambil keputusan. Sopan dan cermat. Sayangnya,
agak kering.' Tentu saja Lingga W isnu tak dapat mendengar suara
hati Prabasin i. Seluruh perhatiannya dipusatkan kepada
rombongan orang yang berada didepannya. Terdengarlah seseorang yang bersuara parau :
"Saudara-saudara sekalian. Dari jauh kalian datang.
Pastilah kalian tidak hanya mengorbankan harta dan
waktu saja, tetapi tenaga pula."
Seseorang menyahut : "Guruku sedang sakit. Hampir satu bulan beliau
berada diatas pembaringannya. Untuk memenuhi
undanganmu beliau mengirimkan paman Tawon Kemit
pemimpin kami. Paman Tawon Kamit di perint ah guru
untuk mematuhi segala perint ah tuanku Srimoyo."
"Gurumu pendekar Anung-anung benar-benar memperhatikan kesulitanku, Perkenankan aku menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada beliau,"
ujar orang yang bersuara parau. Dan dialah yang disebut
dengan nama Srimoyo. Lingga W isnu tak dapat melihat wajahnya dengan
jelas. Akan tetapi, perawakan orang itu sesuai dengan
namanya yang terdengar agak kewanitaan. Gerakgeriknya nampak gesit. Pastilah dia
seorang pendekar yang memiliki kepandaian berarti. Kata Srimoyo
meneruskan : "Saudara Tawon Kemit terkenal dengan pedang
Karawelang. Sebilah pedang yang menggetarkan wilayah
Banyumas Selatan. Dia sudi datang membantuku. Karena
itu, masakan kita tak akan berhasil" Saudara Tawon
Kemit, hatiku benar-benar lega melihat kehadiranmu."
"Akh, janganlah memuji aku berlebih-lebihan."
terdengar seseorang menyahut. Ia bertubuh kasar, dan
memiliki suara laki-laki t ulen :
"Kami, anggauta Sekar Ginabung, terlatih hidup
sederhana semenjak ratusan t ahun yang lalu. Sekarang,
kami menocba-ccba diri untuk membantu kesulitan
kakang Srimoyo. Tapi yang kukhawatirkan, janganjangan kami semua tak mampu
menyelesaikan kesulitan kakang." Tergetar hati Lingga Wifenu mendengar T awon Kerrut
menyebut-nyebut aliran Sekar Ginabung.
Dahulu, semasa h idup dengan ayah bundanya,
bukankah anggauta-anggauta Sekar Ginabung ikut pula
mengganggu kedamaian keluarganya" Sekar Ginabung
adalah suatu aliran yang mengutamakan tata ilmu
pedang. Aliran itu termashur di ant ara tiga aliran lainnya.
Ugrawasa, Sekar Teratai dan Puji Rahayu. Masing-masing
aliran tersebut memiliki dasar ilmu saktinya yang
diandalkan. Seingatnya, rumah perguruan Sekar Ginabung berada di atas gunung Papandayan. Sekarang,
Tawon Kemit dan rombongannya datang dari jauh,
sampai memasuki daerah bukit seribu. Maka pastilah
persoalan Srimoyo merupakan suatu masalah maha
besar. Oleh pikiran itu, segera ia menajamkan
pendengarannya agar dapat mengikuti pembicaraan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka dengan jelas. Ternyata mereka berdua berbicara dengan kata-kata
upacara belaka. Mereka saling segan dan berhati-hati.
Dan pada saat itu terdengarlah suara tepukan yang
datang dari arah Utara. Kemudian muncullah rombongan
ke tiga yang datang saling menyusul. Tak lama lagi
muncul dua rombongan pula. dan melihat, kedatangan
kedua rombongan itu, mereka berdiri menghormat serta
menyebut-nyebut aliran Ugrasawa, Puji Rahayu dan
Sekar Teratai. Sedang rombongan ketiga adalah
anggauta-anggauta gerombolan yang bermukim di
sekitar gunung Slamet. Tak lama kemudian masing-masing ketua rombongan
saling memperkenalkan diri. Pendekar Tawon Kemit
memimpin rombongan aliran Sekar Ginabung. Pendekar
Sastra Demung memimpin rombongan aliran Ugrawasa.
Sedang rombongan aliran Puji Rahayu diketuai pendekar
Kartolo. Dan seorang yang bernama Kayat Pece adalah
pemimpin gerombolan perampok yang bermukim
disekitar Gunung Slamet. Rombongan yang kelima
nampaknya sebagai tuan rumah. Srimoyo adalah
ketuanya. Mendengar nama-nama mereka, Lingga W isnu jadi
semakin heran. Bukankah mereka adalah pendekar yang
kenamaan. Gurunya seringkali menyebut nama-nama
mereka. Masing-masing menilai kepandaian tinggi dan
keistimewaannya. Sehingga mereka bersikap angkuh dan
tak sudi saling mengenal. Tapi apa sebab tiba-tiba pada
petang hari itu, mereka berkumpul dan nampak bersatu
padu untuk membantu memecahkan kesulitan Srimoyo"
Kesulitan apakah yang sedang dihadapi Srimoyo sampai
bisa menggerakkan perhatian empat aliran sekaligus"
Srimoyo bersikap mengambil hati terhadap mereka
semua. tiada hentinya ia menyatakan rasa terima kasih
dengan membungkuk-bungkuk hormat. Maka jelaslah
sudah, bahwa kedatangan mereka adalah atas undangannya Diam-diam Sekar Prabasini heran pula menyaksikan
kehadiran mereka. Sebagai seorang nan biasa hidup
berkelana untuk mencari mangsa tahulah dia siapa
mereka. Meskipun belum pernah melihat orangnya,
tetapi ia mengenal nama mereka sebagai pendekarpendekar kenamaan. Kepandaian
mereka pasti tinggi dan tak boleh diremehkan. Sadar akan hal itu, tak berani ia
bergerak. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan merekaakan berakibat runyam.
"Saudara-saudara, akulah yang bernama Srimoyo ..."
terdengar Srimoyo berkata. "Perkenankan aku mengaturkan rasa terima kasih atas kesediaan saudarasaudara membantu diriku."
Sekar Prabasini mengrernyitkan dahinya dan pikirnya
didalam hati: 'Srimoyo ... Srimoyo ... hai! Kapan aku
pernah mendengar nama ini?"
Lingga W isnu sedang mengingat-ingat kembali nama
itu pula. Bunyi nama itu tak pernah terlupakan oleh
ingatannya semasa kanak-kanak. Karena nama itu
berkesan nama seorang wanita. Dan teringat akan kesan
itu, t eringat pulalah d ia kepada nama suatu aliran yang
menyematkan nama seorang wanita. Itulah aliran
Parwati. "Akh, ya!" Ia jadi yakin, Srimoyo pernah datang
dirumah perguruan eyang-guru. Ya benar, dia datang
beserta bibi Damayanti. Teringat akan pengalamannya dahulu, tatkala rumah
perguruan eyang-gurunya didatangi berbagai aliran
pendekar kenamaan, bulu kuduknya menggeridik.
Bukankah mereka dahulu bersatu padu pula mengadakan
pengejaran ayah-bundanya"
"Saudara Srimoyo, janganlah terlalu merendahkan diri
terhadap kami," ujar Sastro Demung. "Kami datang atas
nama ikrar set ia kawan. Beberapa hari lagi, kawankawan dari gunung W ilis,
Sawungrana dan Bangkalan datang. Malahan beberapa saudara dari Sekar Teratai,
akan datang pula ..."
"Sekar Teratai" Siapa yang bakal datang?" seru
Kartolo. "Akh, bagus sekali! Murid siapa mereka?"
Lingga W isnu terkejut. Berkata di dalam hati dengan
perasaan heran : 'Ya, benar. Murid siapa mereka" Kenapa Sekar Teratai
ikut pula didalam persekutuan ini"'
Terdengar jawaban Sastro Demung
"Merekalah rombongan yang dipimpin oleh Nawawi
dan Ayu Sarini. Kabarnya mereka berdua itu adalah
murid pendekar besar Purbaya."
"Apakah kakang Tawon Kemit bersahabat dengan
mereka berdua?" Kayat Pece minta keterangan.
"Bersahabat sih tidak," jawab Tawon Kemit. "Yang
terang, mereka datang atas undangan kakang Srimoyo.
Dengan demikian, mereka merasa d iri ikut serta
memperkokoh bunyi ikrar set ia kawan yang menjadi
sendi dan cita-cita kita bersama, Bukankah begitu?"
"Y a, benar." ujar Kayat Pece. "Kakak seperguruannya
yang bernama Genggong Basuki adalah sahabat karibku.
Dialah murid pendekar Purbaya yang tertua. Kabarnya,
diapun ikut serta." "Genggong Basuki?" seru Kartolo. "Bukankah dia
seorang ahli pedang yang tiada tandingnya" Kabarnya,
dia pernah menalukkan tujuh pendekar pedang dari Jawa
Barat." "Benar. Menang dialah orangnya," Srimoyo meyakinkan. Mendengar serangkaian tanya jawab itu, hati Lingga
W isnu menjadi lega. Rasa tegangnya menurun. Pikirnya
di dalam hati : 'A kh, aliranku ikut serta didalam persekutuan ini. Kalau
begitu, mereka adalah pendekar-pendekar yang bertujuan mulia. Sebaiknya akupun membantu mereka
dengan diam-diam. Sebenarnya, kesuiitan apakah yang
diderita oleh Srimoyo sampai mendatangkan bantuan
begini banyak"' Pada saat itu terdengarlah suara Srimoyo;
"Saudar-saudara sekalian, kakakku dahulu meninggal
dengan hati penasaran. Sepuluh tahun lamanya aku
berkelana hendak menuntut dendam. Tetapi orang yang
membunuh kakakku itu lenyap tiada kabarnya, seakanakan ib lis. Tetapi oleh
ketekunanku akhirnya Tuhan
membuka mata dan telingaku, Beberapa hari yang lalu,
aku mendapat kisikan dua sahabatku, Bolot dan Ngaeran.
Mereka berdua menyebut seorang bangsat bernama
Songgeng Mintaraga. Pernahkah saudara mendengar
nama itu" Dia seorang banssat berkepandaian tinggi.
Karena merasa d iri tak ungkulan melawan kepandaiannya, terpaksalah
aku mohon bantuan saudara-saudara sekalian. Tolonglah! Rasanya tak layak
aku disebut manusia hidup manakala tak dapat menuntut
dendam arwah kakakku."
"Siapakah Songgeng Mint araga itu?" terdengar suara
berbareng minta keterangan.
"Dialah seorang bangsat yang memimpin laskar
perjuangan. T adinya, kukira ia seorang pendekar bangsa
yang berhati mulia. T ak tahunya, dialah seorang bangsat
yang mengotori azas tujuan kita bersama." jawab
Srimoyo dengan suara berkobar-kobar. Dan dengan tibatiba ia menghunus pedangnya.
Dan dihantamkan pada sebuah nisan, untuk menyatakan betapa besar rasa
dendamnya. "Nant i dulu," Sastra Demung berseru sambil
mengangkat tangannya. "Meskipun aku bermukim jauh
didaerah Jawa Barat, akan tetapi sepak-terjang pendekar
Songgeng Mintaraga kudengar jelas. Dia seorang
pejuang semenjak zaman mudanya. Benarkah dia
pembunuh kakakmu" Dari manakah rekan Bolot. dan
Ngaeran memperoleh keterangan tentang tindak
jahatnya?" Mendengar kesangsian pendekar Sastra Demung,
Srimoyo segera menjawab: "Kedua sahabatku itu tidak hanya mendengar tetapi
mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Merekapun mempunyai bukti-buktinya sehingga keterangannya tidak menyangsikan. Kakang Sastra
Demung, percayalah! Aku kenal rekan Bolot dan
Ngaeran. Mereka bukan manusia yang senang menfitnah.
Apalagi mereka tahu, bahwa si bangsat Songgeng
Mint araga adalah salah seorang pejuang bangsa yang
dahulu pernah kukagumi pula."
Sastra Demang nampak berbimbang-bimbang. Setelah
menimbang-nimbang sebentar, ia berkata:
"Baiklah. Mungkin engkau mempunyai alasan-alasan
yang berdasar. Tetapi Songgeng Mint araga adalah
seorang pejuang yang termashur namanya. Semenjak
kanak-kanak, dia bertempat tinggal di kota ini. Pasti]ah
pengaruhnya sangat besar dan sudah berakar dalam hati
penduduk di sekitar Wonogiri. Sekarang kita berada
didalam wilayahnya. Dan justru bertujuan hendak
membunuhnya. Aku harap saja saudara-saudara sekalian
berhati hati dan waspada."
"Memang kita harus hati-hati," sahut Srimoyo.
'Petaruhnya sangat besar dan berurat- akar disini. Itulah
sebabnya, aku merasa diri tak berdaya menghadapinya.
Maka kuundang saudara sekalian untuk membantu
kesulitanku ini. Kebetulan sekali, besok pagi adalah hari
ulang tahunku. Ingin aku merayakan hari ulang tahunku
itu di kediamanku yang berada di batas kota."
"Hai, kapan kakang Srimoyo membeli rumah disini?"
potong-Tawon Kemit heran. "Bukankah tenpat tinggal
kakang di Kartasura?"
"Benar. Tempat tinggalku di Kartasura. Tetapi secara
kebetulan aku tertarik untuk membeli rumah disini, yang
letaknya berada di tepi hutan di atas ketinggian kaki
bukit Gamping. Rumah kuno semacam benteng yang
benar-benar menarik perhatian. Dan apa sebab aku
membeli rumah itu, pastilah mudah diterka. Itulah
sehubungan dengan tujuan balas dendamku untuk
memudahkan pelaksanaannya." jawab Srimoyo. Ia
berhenti sebentar mencari kesan. Kemudian meneruskan:
"Nah, dengan ini kuundang saudara sekalian
menghadiri pesta ulang tahunku. Dan kuharap pula
malam in i saudara-saudara bermalam d i kediamanku
yang baru itu. Bagaimana, apakah saudara sekalian sudi
menenuhi harapanku?"
Itulah suatu undangan yang menggembirakan.
Mereka datang dari jauh, kecuali sudah kehilangan
tenaga, ingin pula menikmati makan minum yang lezat
sekedar pelipur hati. Karena itu t ak segan-segan mereka
menerima undangan odengan segera. Kata Kayat Pece :
"Bagus. Memang kami bangsa anjing yang cepat
sekali berliur, apabila mendengar undangan pesta yang
menggembirakan. Pastilah kakang Srimoyo tidak akan
melupakan menyediakan sekedar minuman keras untuk
pelicin tenggorokan bukan" Hanya saja, kita berjumlah
cukup banyak. Sedang kita berada didaerah lawan,
apakah dengan kedatangan kita beramai-ramai tidak
menimbulkan kecurigaan anak buah Songgeng Mint araga" "Benar. Hal itu sudah aku pikirkan jauh sebelumnya," sahut Srimcyo. "Karena itu sebaiknya kita
menggunakan tanda-tanda sandi. untuk mengenal lawan
dan kawan, kita mengadakan gerakan tangan dengan
tiga jari. Begitu masuk ke dalam gerbang rumahku,
hendaklah saudara mengucapkan kata: 'masa bakti'. Dan
anak-anak kami akan menjawa: 'apakah bukan masa
pembajaan?"

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saran itu segera memperoleh persetujuan.
Kemudian mereka memutuskan pula untuk menebarkan mata-mata dengan tujuan menyelidiki
keadaan keluarga Songgeng Mint araga. Dan pertemuan
rahasia itu berakhir sampai jauh malam.
Sekar Prabasini jadi lega hati. Sekian lamanya ia
menahan diri, dan kini dapatlah ia bebas bergerak
kembali, meskipun kedua kakinya terasa kejang. Sambil
duduk menghempaskan diri di atas batu nisan, ia berkata
kepada Lingga W isnu : "W ah, besok bakal ada keramaian. Kita nonton, kan?"
"Nonton sih, boleh. Akan tetapi kau harus mendengarkan setiap patah kataku," sahut Lingga
W isnu. "Sama sekali kau ku larang menimbulkan garagara."
"Memangnya aku seorang yang senang membuat
gara-gara?" Sekar Prabasin i menggerutu.
Lingga W isnu tertawa. Tak berani ia membuat
komentar lagi. Dengan pandang berseri ia membawa
Sekar Prabasini pulang ke penginapan. W aktu itu malam
sudah terlalu larut. Jangan lagi seorang penjual
makanan, sedang anjing pun agaknya malas muncul di
jalanan. Keesokan harinya, mereka berusaha kembali untuk
menemukan bekas istana Narot ama. Seperti beberapa
hari yang lalu, usahanya sia-sia belaka. Sekar Prabasini
jadi uring-uringan. Ia kini mengutuki seluruh penduduk
Wonogiri sebagai gerombolan manusia yang melarat dan
tidak berkebudayaan sama sekali. Tapi apabila teringat
kepada pertemuan rahasia semalam, rasa gairahnya
membersit dalam hati. Tiba-tiba saja ia nampak gembira
dan kehilangan kesabaran.
"Kakang Lingga. Apakah kita nanti menyamar sebagai
tamu yang diundang?" tanyanya menegas,
"Benar. Kau berani menghadapi mereka?"
"Kenapa t idak" Untukmu aku bersedia mengorbankan
jiwaku. Bukankah engkau berbakti pula terhadap ayahbundaku?"
Terharu Lingga W isnu mendengar bunyi jawaban
Sekar Prabasini. Itulah suatu jawaban yang membersit
dari ketulusan hatinya. Terus saja ia menyambar
tangannya dan dibawanya berjalan menyusuri pengempangan sawah. Anehnya gadis yang galak itu,
jadi penurut pula. Justru demikian, hati pemuda itu
bergetar lembut oleh rasa bahagia yang t ak tertuliskan.
Petanghari itu tiba dengan diam-diam. Setelah
mengenakan pakaian bersih, mereka berangkat meninggalkan rumah penginapan Sekar Prabasini
mengenakan pakaian laki-laki berwarna biru muda. Dan
ia berubah menjadi seorang pemuda yang cakap luar
biasa. Dengan langkah tenang, mereka mendekati gerbang
kediaman pendekar Srimoyo. Segera mereka mengangkat tangan dengan memperlihatkan t iga jarinya.
Kemudian membisikkan kata-kata sandi 'masa bakti'. Dan
segera mereka dipersilahkan dengan rasa hormat oleh
para penyambut tetamu. Kemudian diant arkan oleh
beberapa orang memasuki pendapa rumah yang cukup
mewah dan berwibawa. Setelah duduk, dua orang
datang membawa niru penuh penganan dan minuman.
Sama sekali mereka tidak menanyakan nama dan
alirannya. "Silahkan," kata wakil tuan rumah dengan suara
ramah. "Sudah lama kami mendengar nama saudara
yang besar. Maka maafkan hidangan kami yang sangat
sederhana ini" Geli hati Lingga W isnu dan Sekar Prabasini.
Bagaimana dia mengenal diri mereka" Tapi mereka
membungkam mulut. Setelah memanggut pendek,
dengan senang hati mereka meneguk minuman dan
menggerumiti penganan yang disediakan diatas mejanya.
Sementara itu para tetamu datang tak hentinya. Tak
usah menunggu lama, pendapa telah penuh sesak. Para
penyambut tamu sibuk melayani makan minum. Hati
Lingga W isnu dan Prabasini bersyukur, karena tiada yang
memperhatikan diri mereka.
Pertemuan itu dibuka dengan upacara meneguk
minuman keras tiga k ali. Pendekar Srimoyo lantas berdiri
tegak mengucapkan selamat datang kepada para
tetamunya. Setelah itu ia duduk lima langkah di depan
Lingga W isnu berdua. Sekarang Lingga W isnu dapat
melihat pribadinya dengan tegas. Perawakannya semampai. Gerak-geriknya cekatan dan gagah, suatu
tanda memiliki kepandaian tinggi. Umurnya kurang lebih
empat puluh delapan tahun, Roman wajahnya membayangkan suatu kecerdikan. Pandang matanya
tajam, tetapi pada saat itu nampak bendul merah. Raut
wajahnya mengandung suatu kesedihan tak tertanggungkan. Rupanya ia menangis dan sedih
memikirkan nasib kakaknya yang mati penasaran.
"Agaknya dia sangat mencintai saudaranya.. Benarbenar harus dipuji dan pant as
dihormati, terhadap seorang laki-laki seperti dia," pikir Lingga W isnu didalam
hati. "Dan untuk membalas dendam kematian kakaknya,
ia rela mengorbankan harta-bendanya. Ia. menyelenggarakan pesta undangan dan ternyata
memperoleh perhatian para pendekar ternama dari
segala penjuru. Pastilah dia seorang yang besar
pengaruhnya di dalam tata pergaulan hidup. Sebenarnya,
siapakah yang disebut Songgeng Mint araga" Apakah dia
eyang yang besar pengaruhnya pula, sehingga pendekar
Srimoyo perlu memohon bantuan para sahabatnya?"
Srimoyo berdiri kembali dan membungkuk hormat tiga
kali berturut-turut kepada para. Sama sekali ia tak
berbicara, kecuali mengucapkan kata-kata rasa terima
kasih tak terhingga. Ia mohon hendaknya sekalian
hadirin sudi menghabiskan hidangannya. Dan para
tetamu segera membalas hormatnya dengan berdiri pula.
Karena merasa termasuk golongan muda, Lingga W isnu
dan Sekar Prabasini ikut serta berdiri membalas
hormatnya. Sekonyong-konyong salah seorang murid Srimoyo
datang menghadap gurunya dengan tergesa-gesa. Ia
membisikkan sesuatu. Dan w ajahnya sang guru nampak
cerah. Cepat-cepat ia meletakkan cangkirnya diatas
meja. Kemudian berjalan set engah berlari mengarah
pintu gerbang. Sebentar kemudian ia kembali mengiringkan tiga orang tetamu yang diperlakukan
dengan hormat sekali. Ia msrpersilahkan ketiga
tetamunya itu duduk di kursi kehormatan. Dan
berpikirlah Lingga W isnu didalam hati :
'Pastilah mereka bertiga pendekar-pendekar kenamaan..' dan ia lalu mengamat-amati mereka bertiga.
Seorang laki-laki yang hampir sebaya umurnya dengan
Srimoyo, duduk menghadap tetamu lainnya. Ia
berpakaian seorang pelajar. Pedang panjangnya berada
dipinggang kiri. Pandang matanya tajam luar biasa dan
sikapnya tinggi hati. Tetamu yang kedua adalah seorang
pemuda yang berumur kira-kira tigapuluh tahun.
Perawakannya gagah dan kesan wajahnya agak bengis.
Sedangkan tamu yang ketiga adalah seorang wanita
yang berparas elok.. "Saudara Genggong Basuki, kedatanganmu benarbenar tepat. Perkenankan aku
mengucapkan rasa syukurku," kata Srimoyo.
Orang pertama yang disebut Genggong Basuki tertawa
lebar. Sahutnya : "Kita berdua adalah anak keturunan suatu perguruan
yang bersumber tunggal. Saudara adalah salah seorang
anggauta aliran Partiwi. Sedangkan kami bertiga adalah
anak murid Sekar Teratai. Bagaimana aku bisa berpeluk
tangan saja sedangkan saudara berada dalam kesulitan?"
"Terima kasih," kata Srimoyo cepat. 'Terimalah rasa
hormatku. Begitu juga terhadap saudara Nawawi dan
Ayu Sarini." Mendengar nama mereka bertiga, berpikirlah Lingga
W isnu didalam hati : Kalau begitu, mereka bertiga adalah murid kakang
Purbaya. Kenapa murid kakang Purbaya begini sombong
dan besar kepala"' Dalam pada itu, terdengarlah Srimoyo berkata lagi :
"Apakah guru saudara bertiga tidak ikut serta?"
"Guruku dari angkatan tua. tentu saja beliau tidak
mempunyai semangat untuk mencampuri masalahmu.
Tetapi kami bertiga mempunyai pendapat sendiri. Pendek
kata, tak dapat kami bertiga berpeluk tangan saja. Oh,
ya. Kedua adik seperguruanku ini sekarang sudah
menjadi suami-isteri.!"
"Hei, bagus. Kalau begitu perkenankan aku ikut serta
menyambut kabar gembira ini," seru Srimoyo dengan
gembira. Kemudian menoleh kepada para hadirin dan
berteriak : "Saudara-saudara sekalian. Inilah suatu berita yang
benar-benar tidak kita duga. Ternyata pendekar Nawawi
dan Ayu. Sarini sudah membentuk mahligai bahagia.
Hayoo, kita menghabiskan minuman kebahagiaan ini
demi kesehatan mereka."
Seruan Srimoyo disambut dengan sorak ramai
bergemuruh. Dan suami isteri Nawawi-Ayu Sarini buruburu berdiri dan memanggut
dengan tersipu-sipu. "Benar-benar nasib bagus sekali!" seru Kayat Pece. "Inilah yang dinamakan orang
sepasang Kamajaya dan Ratih. Di dunia ini, siapakah yang dapat melawan
sepasang pedang mereka?"
"Benar! Benar! Huraaa
...!" sambut hadirin. Mereka
lantas makan-minum dengan
sepuas-puasnya. Nawawi dan Ayu Sarini sama sekali tidak membantah pujian mereka yang berlebih lebihan. Diamdiam Lingga W isnu malu
hati. Justru pada saat itu,
Sekar Prabasini mencubit lengannya sambil berbisik :
"Ha, tak kukira kemenakan muridmu adalah sepasang
pendekar pedang yang bisa malang melint ang di seluruh
penjuru dunia. Apakah engkau tidak iri" Lihatlah Ayu
Sarini Dia cant ik jelita dan galak. Bagaimana pendapatmu" Apakah aku lebih galak daripada dia?"
Lingga W isnu tergugu. Tak dapat ia menjawab
sindiran Sekar Prabasini. Akhirnya membalas mencubit
dengan tertawa lebar. Merah wajah Sekar Prabasin i kena
cubit Lingga Wisnu. Itulah yang pertama kalinya terjadi.
Pemuda itu sendiri merasa diri pula. W ajahnya terasa
panas. Syukur para tetamu undangan lainnya, pada saat
itu sedang sibuk mengurusi perut, sehingga tidak
memperhatikan perubahan wajah mereka.
Selagi demikian, seorang murid Srimoyo mendekati
gurunya. Ia menyerahkan dua helai kertas. Segera
Srimoyo membacanya dan nampak wajahnya berubah.
Kemudian berkata setengah berseru :
"Eh, Songgeng Mint araga benar-benar bermata dewa.
Dia tahu kehadiran kita. Dan rupanya ia tak mau pula
ketinggalan. Saudara-saudara sekalian, esok malam


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diapun menyelenggarakan pesta perjamuan. Dia mengundang kehadiran saudara-saudara sekalian," ia
berhenti sebentar mencari kesan. Kemudian berkata
kepada muridnya: "Coba panggil pembawa surat ini!"
Murid itu membungkuk hormat dan mengundurkan diri
dengan langkah lebar. Suasana perjamuan lantas saja
berubah menjadi tegang. Semua hadirin menunda
meneguk minuman bahagia suami-isteri Nawawi-Ayu
Sarini. Dan tak lama kemudian masuklah seorang
pemuda berpakaian seragam. Pemuda itu berumur
kurang lebih dua puluh lima tahun. Sikapnya tenang dan
raut wajahnya sama sekali tak berubah menghadapi
perbawa pesta perjamuan. Ia menghampiri Srimoyo
dengan hormat dan berkata :
"Secara kebetulan saja, guru kami mendengar
kedatangan tuan-tuan sekalian. Karena W onogiri termasuk wilayah perjuangan semesta, maka guru kami
mengundang tuan-tuan sekalian untuk menghadiri
perjamuan beliau. Kami diut us kemari unt uk memperoleh
kepastian apakah tuan-tuan besok sudi memenuhi
undangan guru." Srimoyo tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap lucu
kata-kata upacara - Katanya :
"Sebenarnya kau siapa?"
"Kami sendiri bernama Pramana, murid guru yang ke
sembilan belas. Maafkan, apabila kami terlalu banyak
berbicara," sahut Pramana dengan suara sopan santun.
"Hm ..." Srimoyo menggerutu. "Songgeng Mint araga
mengadakan pesta perjamuan. Pastilah bukan karena
kebetulan saja. Bukankah begitu?"
Meskipun Pramana diperlakukan agak kasar, namun
sikapnya tetap t ak berubah. Masih saja ia berdiri hormat
dan menjawab pertanyaan tuan rumah dengan suara
merendahkan diri: "Kami hanyalah ut usan belaka. Tak dapat kami
menjawab pertanyaan tuan."
"Bagus!" tiba-tiba Srimoyo membentak. "Gurumu
seorang bangsat, tahu" Dia sedang mengatur tata
muslihat untuk menjebak kita, bukan" Eh, coba katakan
terus terang, racun apakah yang bakal dibuat ramuan
makanan pesta perjamuan nant i?"
Dibent ak demikian, Pramana tetap bersikap sant un.
Sahutnya : . "Memang guru menyelenggarakan suatu pesta
perjamuan yang khusus diperuntukkan sebagai penyambut kedatangan tuan-tuan didaerah ini. Sebab
guru kami sangat kagum kepada keperkasaan dan
kegagahan tuan-tuan sekalian. Beliau ingin bertemu dan
berkenalan dergan tuan-tuan sekalian."
"Eh! Kau pandai berbicara," ejek Genggcng Basuki,
murid Purbaya yang tertua. "Coba jawablah yang jelas!
Sewaktu gurumu menganiaya dan akhirnya membunuh
kakak saudara Srimoyo, kau hadir atau tidak?"
"Akh, kami k ira masalahnya tidaklah sesederhana itu,"
jawab Pramana dengan wajah berubah. "Kami kira, pesta
perjamuan itu akan memberi kesempatan kepada guru
untuk menjelaskan masalahnya."
"Bagus! Gurumu bangsat dan kaupun pandai
menarikan lidah!" bent ak Genggong Basuki. "Gurumu
hutang nyawa, masakan cukup ditebus dengan suatu
penjelasan saja" Eh, enak saja kau mementang mulut."
"Pada waktu itu, guru terdorong ke pojok. Tak dapat
lagi guru mengelakkan diri. Akhirnya peristiwa itu
terjadilah ..." Pramana mencoba memberi keterangan.
"Dan semenjak itu, guru selalu nampak bermurung serta
bersedih hati. Guru sangat menyesal apa sebab peristiwa
itu harus terjadi ..."
"Kalau begitu matamu melihat sendiri peristiwa
pembunuhan itu!" tiba-tiba Nawawi ikut berbicara.
"T idak. Aku tidak menyaksikan sendiri. Akan tetapi aku
percaya, bahwa guruku tidak akan membunuh seseorang
tanpa alasan yang berdasar. Guru adalah seorang
pejuang yang mengabdikan seluruh hidupnya pada
perjuangan bangsa dan negara. Beliau berhati mulia.
Jangan lagi sampai membunuh orang, sedang jiwanya
sendiri akan rela d iserahkan bila perjuangan bangsa
memint anya." Pramana membela.
"Setan terkutuk!" maki Ayu Sarini. Tiba-tiba saja ia
melesat dari kursinya. Pedangnya berkelebat dan
menekan dada Pramana dengan tangan kirinya. Itulah
gerakan yang cepat luar biasa. Pramana terkejut.
Dengan tangan kanannya ia menolak tangan kiri Ayu
Sarini yang menekan dadanya. Kemudian mencoba
membebaskan ancaman itu dengan menggerakkan
tangan kirinya. "Hai!" L ingga W isnu te rkejut. "Tangan kanannya bakal
tertabas!" Sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi,
tahulah ia sasaran pedang Ayu Sarini berikut nya. Dan
pembelaan Pramana sangat lemah. Ia justru kena
terjebak. "Apakah kemenakanmu yang cantik itu benar-benar
hendak menabaskan pedangnya?" Sekar Prabasini
menegas. Belum sempat Lingga W isnu nsenjawab, maka
terdengarlah t eriak kesakitan Pramana. Ayu Sarini benarbenar menabaskan
pedangnya. Dan pundak Pramana
terbabat kutung. Sudah barang tentu sekalian hadirin
terkejut sehingga berdiri serentak dengan tak dikehendaki sendiri. W ajah Pramana pucat lesi. Lengan kanannya jatuh
terpental diatas lantai. Sekalipun demikian, masih bisa ia
menguatkan diri sehingga tidak roboh pingsan. Dengan
pandang penuh sesal ia merobek ujung bajunya.
Kemudian membebat lukanya. Setelah itu membungkuk
memungut lengannya yang kutung. Dan pergilah ia
dengan langkah lebar. Sekalian hadirin tercengang menyaksikan ketangguhannya. Mereka saling pandang dan di dalam
hati masing-masing menyesali perbuatan Ayu Sarini yang
kejam luar biasa. Bukankah d ia seorang utusan belaka"
Kenapa kena aniaya" Ayu Sarini sendiri bersikap acuh tak acuh. Tenangtenang ia menyusut darah
Pramana yang melekat dipedangnya. Kemudian kembali ke tempat duduknya.
W ajahnya sama sekali t idak berobah.
"Bangsat itu menjerumuskan muridnya sendiri kedalam lubang harimau," kata Genggong Basuki. "Dia
seorang pemuda yang bandel dan tak mengerti tatasant un. Apa sebab diutus
mewakili d irinya" Hm - kalau
muridnya saja sudah bandel, pastilah gurunya jauh lebih
bandel dan galak. Nah, bagaimana" Apakah besok kita
menghadiri pesta perjamuannya?"
"Sudah tentu kita harus memenuhi undangannya,"
sahut Srimoyo. "Kalau t idak, kita tidak berharga lagi."
"Kalau begitu, kita sudahi saja pesta perjamuan ini,"
usul Kayat Pece yang berpengalaman. "Malam ini lebih
baik k ita pergunakan untuk menyelidiki keadaan mereka.
Siapa tahu, dengan kejadian ini, mereka benar-benar
hendak meracun kita ..."
"Rekan Kayat benar," Srimoyo membenarkan. "Tak
usah diragukan lagi. Songgeng Mint araga pasti membuat
persiapan-persiapan di luar dugaan kita. Nah siapakah
diant ara hadirin yang sudi mengorbankan tenaga untuk
menyelidiki keadaan mereka?"
"Akulah yang akan menyelidiki keadaan mereka,"
sahut Genggong Basuki dengan suara yakin sekali.
Srimoyo menuang segelas minuman keras. Kemudian
dibawanya menghampiri ahli pedang Sekar Teratai itu.
Katanya dengan mengangguk hormat:
"Saudara Genggong Basuki, terimalah hormatku."
Senang Genggong Basuki memperoleh penghormatan
dari tuan rumah. Dengan sekali teguk ia mengeringkan
minuman keras yang diperseribahkan kepadanya. Dan
pesta perjamuan itu berakhir dengan cepat.
Lingga W isnu membawa Sekar Prabasini menyelinap
diant ara para tetamu yang sedang bubar dan secara
diam-diam mengikut i Genggong Basuki dari jarak
tertentu. Niatnya hendak menguntitnya.
W aktu itu kira-kira pukul dua malam. Genggong
Basuki kembali ke rumah penginapannya. Setelah
mengenakan pakaian serba hitam, ia melesat keluar
jendela dan berlari-lari mengarah ke barat daya. Gesit
gerakannya. Sebentar saja ia lenyap di tikungan jalan.
Akan tetapi Lingga W isnu tak sudi kehilangan
sasarannya. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi,
dapat ia mengikuti gerakan Genggong Basuki. Sekar
Prabasin i yang berada disandingnya, terus dibimbingnya
agar dapat menyertai gerakannya.
Pada pagar t embok sebuah gedung, Genggong Basuki
berhenti sebentar. Ia menebarkan penglihatannya.
Kemudian melompati tembok pagar itu dengan gerakan
ringan dan cekatan. Menyaksikan hal itu, berkatalah
Lingga W isnu didalam hati:
"Ia dikabarkan sebagai seorang ahli pedang tanpa
tandingannya. Nyatanya, benar-benar sebat dan gesit.
Kakang Purbaya patut berbangga hati mempunyai
seorang murid yang berkepandaian begitu tinggi.
Setidak-tidaknya kepandaiannya bisa menjaga pamor
rumah perguruan Sekar Teratai. Akan tetapi kenapa dia
berhati kejam" Kedua adiknya seperguruannya pun
benar-benar manusia tercela. Kenapa murid-murid
kakang Purbaya begitu kejam dan bengis"'
Dengan membimbing tangan Sekar Prabasini, Lingga
W isnu melompati pagar tembok itu pula. Ia menyelinap
dibelakang pohon mangga. Masih sempat ia melihat
Genggong Basuki melintasi sebuah kamar yang nampak
terang benderang. Timbul ah rasa ingin tahu Lingga
W isnu dan Sekar Prabasin i tentang kamar itu. Segera
mereka berdua menghampiri jendela dan mengintai
lewat cela-cela dinding. Dan nampaklah seorang laki- laki
berusia lebih kurang limapuluh lima tahun duduk
menghadap ke utara. W ajahnya bermuram durja.
Dengan suara parau ia berkata :
"Bagaimana keadaan Pramana?"
"Beberapa kali kakang Pramana tak sadarkan diri.
Tetapi sekarang darahnya sudah mampat tak keluar
lagi," sahut seseorang dengan suara hormat.
Orang tua itu menghela napas. Dan Lingga W isnu
lantas saja dapat menebak, bahwa orang tua adalah
yang bernama Songgeng Mint araga. Ia berada didalam
kamarnya bersama dua orang muridnya. Agaknya ia
sedang membicarakan luka Pramana yang tadi diut usnya
membawa surat undangan kepada pendekar Srimoyo.
Muridnya yang kedua berkata :
"Guru. Bagaimana kalau kita mengadakan perondaan
malam in i" Aku khawatir, bahw a mereka tengah
mengintai rumah kita ..."
Songgeng Mintaraga menghela napas kembali, seraya
menjawab dengan bergeleng kepala:
"Diduga atau t idak akhirnya toh sama saja. Pada saat
ini, aku sudah menyerahkan nasibku kepada t akdir. Esok
pagi, hendaklah kamu berdua membawa bibimu
mengungsi ke Sokawati. Carilah panglima Sengkan
Turunan, Dan katakan kepada beliau, bahw a bibimu
membutuhkan perlindungannya. Sedangkan kedua adikmu, Para W itri dan Gagak Baka, antarkan mendaki
gunung Lawu, ke rumah perguruan Kyahi Basaman. Aku
percaya, pendekar sakti itu pasti mau melindungi kedua
adik mu itu." Tergetar hati Lingga W isnu mendengar Songgeng
Mint araga menyebut-nyebut nama eyang gurunya.
Benarkah orang tua itu seorang bangsat kejam seperti
yang dikatakan Srimoyo" Pikirnya d i dalam hati.
Nampaknya, ia seorang tua yang saleh. Rasanya sukar
dimengerti, apa sebab dia dahulu sampai membunuh
seseorang. Selagi berpikir demikian, terdengarlah murid
Songgeng Mintaraga berkata manbujuk :
"Guru, hendaklah guru jangan berputus asa.
Kedudukan guru di wilayah in i bagaikan seorang
panglima perang. Guru mempunyai murid dua ribu orang
lebih yang tersebar dimana-mana. Merekapun sudah
terlatih menjadi seorang pejuang semenjak beberapa


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun yang lalu. Dengan sepatah kata saja, guru dapat
memanggil mereka. Bilamana kita mengadakan perlawanan, pastilah musuh kita tak berdaya."
Tetapi Songgeng Mint araga tetap saja bermuram
durja. ia seolah-olah kehilangan semangat dan untuk
yang ketiga kalinya ia menghela napas lalu berkata :
"Lawan kita bukan manusia lumrah. Mereka adalah
pendekar-pendekar kenamaan. Kecuali kepandaiannya
sangat tinggi, pengaruhnya meliputi seluruh Nusantara.
Tiada gunanya sama sekali kita melawan mereka. Bila
sampai terjadi banyak korban, adalah sia-sia belaka.
Bukankah kini masa perjuangan yang justru membutuhkan tenaga mereka" Seandainya mereka
bersatu-padu membantu perjuangan Gusti Said melawan
Belanda, pastilah akan besar artinya. Bila t erpaksa gugur,
maka gugurlah mereka sebagai ratna. Sebaliknya,
perselisihan in i adalah masalah perorangan. Baik kamu
atau mereka, akan mati yang tiada harganya sama
sekali. Sudahlah, jangan kau berpikir berkepanjangan.
Bila aku mati sudilah kalian merawat bibi dan kedua
adikmu. Aku serahkan mereka bertiga kepada kalian. Dan
di alam baka, arwahku akan tenteram sejahtera ..." dan
setelah berkata demikian, orang t ua itu mengucurkan air
mata. Itulah suatu perpisahan yang tidak dikehendaki,
tetapi harus terjadi. "Guru, janganlah guru mengucapkan kata kata itu,"
ujar muridnya yang duduk disebelah kanan. "Ilmu
kepandaian guru sangat t inggi. Sekiranya t idak demikian,
mustahil guru dapat menguasai wilayah seluas in i. Baik
panglima Sengkan Turunan maupun Gusti Said,
mengandal kepada ketangkasan guru. Karena itu, guru
dapat mengadakan perlawanan. Seumpama kalahpun
guru tidak akan mati ditangan mereka. Masakan
panglima Sengkan Turunan dan Gusti Said akan berpeluk
tangan saja melihat kematian guru?" ia berhenti
mengesahkan. Kemudian meneruskan
"Pada saat ini kita berjumlah dua puluh lima orang.
Tepatnya duapuluh empat orang, karena kakang
Pramana belum sanggup bangun dari pembaringanMasakan kita tidak sanggup melawan
mereka" Bila guru tidak yakin, sahabat sahabat guru banyak pula. Pastilah
mereka akan datang bila guru mengundangnya. Dan
kami yakin, mereka akan membantu guru secara
sukarela." Songgeng Mintaraga mendengus. Kemudian ia t ertawa
perlahan melalui dadanya. Berkata:
"Semasa mudanya dahulu, aku berdarah panas seperti
kamu. Dan inilah kesudahannya. Inilah akibatnya. Justru
dimasa perjuangan memint a seluruh perhatian kita, aku
menerbitkan huru hara. Bukankah secara langsung, aku
mengacaukan jalannya perjuangan semesta" Aku
memang berhutang nyawa, maka sudah sepantasnya aku
membayar nyawa pula. Dengan begitu persoalan ini jadi
selesai dan arah perjuangan semesta tidak lagi
terhambat oleh persoalan pelarangan."
Terharu hati Lingga W isnu mendengar ucapan
Songgeng Mintaraga. Pikirnya didalam hati :
'Ia seorang yang berjiwa besar dan jujur. Alangkah
jauh kesannya dengan kabar yang ditiup tiupkan
Srimoyo. Mungkin pada zaman mudanya ia pernah salah.
Sekarang ia penuh sesal terhadap dirinya sendiri. Kalau
dipikir, siapakah orang hidup di dunia ini yang tidak
pernah salah"' "Guru!" tiba-tiba seru seorang murid.
Songgeng Mintaraga menegakkan pandang. Sahutnya:
"Kau hendak berkata apa lagi?"
"Begini ... karena guru tidak sudi melawan mereka,
marilah kita lari pada malam ini juga. Guru bisa
bersembunyi dengan aman sentausa ..."
"Kau berkata apa?" potcng Songgeng Mint araga.
"Bersembunyi" Akh, betapa kita berbuat begitu"
Terhadap peleton serdadu Belanda, tak pernah kita
undur setapak. Kenapa harus takut menghadapi maut?"
"Y a, benar," sahut murid lainnya. "Tak dapat guru
mengambil tindakan demikian. Guru seorang pendekar
kenamaan. Masakan harus lari terbirit-birit oleh ancaman
musuh." "Hm ... pendekar kenamaan," gerutu Songgeng
Mint araga. "Apakah arti kemashuran dan kenamaan itu.
Pada saat ini, aku justru t idak memikirkan soal nama dan
segala semboyan semboyan kosong. Menyingkir atau
melarikan diri, kurasa tiada gunanya. Umurku sudah
lanjut. Apalagi yang ku angan-angankan" Seumpama aku
bersembunyi sepuluh tahun, usiaku sudah, enampuluhlima tahun. Hm, berapa tahun
lagi aku betah menyembunyikan diri" Mati sekarang atau besok,
bukankah t iada bedanya bagi aku yang sudah pikun ini"
Karena itu, biarlah besok aku menghadapi mereka
seorang diri. Kamu sendiri, kuharap cepat-cepat
meninggalkan kota!" Kedua muridnya itu menjadi sibuk. Kata mereka
hampir berbareng : "Guru; kami akan mati dan hidup disamping guru."
"Apa?" bentak Songgeng Mint araga. "Dalam keadaan
terdorong ke pojok, apa sebab kalian membangkang
perint ahku?" Kena bentak gurunya, kedua murid itu membungkam
mulut . Mereka jadi gelisah.
"Dalam saat seperti begini, dengarkanlah perint ahku.
Dengarkanlah permohonanku," kata Songgeng Mint araga. "Memohon?" kedua muridnya terkejut.
"Y a, memohon. Aku memohon kepadamu berdua,
agar taat dan patuh pada perint ahku," kata Songgeng
Mint araga dengan suara tertekan-tekan. "Selagi kita
masih mempunyai kesempatan, maka bantulah bibimu
berkemas-kemas. Jangan lupa pula kereta perjalanan."
Kedua murid itu mengangguk, akan tetapi tidak
bergerak dari tempat duduknya. Menyaksikan hal itu,
Songgeng Mint araga menghela napas berulangkali.
Akhirnya berkata kalah : "Baiklah, kamu kumpulkan seluruh anggauta laskar
'Lawu Selatan'. Biarlah aku berbicara yang penghabisan
kali dihadapan mereka."
Kedua murid itu segera berdiri melakukan perint ah itu.
Cepat-cepat Lingga W isnu dan Sekar Prabasin i mundur
dari d inding kamar dan bersembunyi dibalik gerombol
dedaunan. Tepat pada saat itu, mata Lingga W isnu
melihat sesosok bayangan mendekam didekat pagar
dinding sebelah barat. Melibat perawakan tubuhnya,
segera Lingga W isnu mengenalnya. Dialah Genggong
Basuki yang tadi lenyap melint asi kamar. Dan di sebelah
belukar terdapat sesosok bayangan lagi, berpakaian biru
semu. Dialah Ayu Sarini Sekarang tahulah Lingga W isnu,
apa sebab Genggong Basuki tadi melint asi kamar menuju
ke arah barat. Rupanya dia sedang menjemput adiknya
seperguruan yang datang dari arah barat. Dan pada
saat-saat itu Lingga W isnu dan Sekar Prabasini mengintai
kamar Songgeng Mint araga. Seumpama Genggong
Basuki dan Ayu Sarini datang kembali, pastilah mereka
berdua akan ketahuan. Geram hati Lingga W isnu teringat akan kekejaman Ayu
Sarini tadi. Begitu enak saja menabas lengan Pramana
seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu. Sebagai anak
murid aliran Sekar Teratai, sebenarnya tidak boleh
berbuat sekejam demikian. Maka timbullah niatnya
hendak memberi pelajaran kepadanya. Berkata membisik
kepada Sekar Prabasini : "Jangan mengadakan suatu gerakan sedikitpun juga.
Aku hendak ..." Sekar Prabasini memotong perkataannya dengan
pandang bersenyum. Sahut gadis itu nakal
"Kau melarang, tapi aku justru ingin bergerak. Kau
lihat!" Dan benar-benar gadis bandel ini membuktikan
ucapannya. Tiba-tiba saja ia menyelinap di balik
gerombol dan berjalan mengendap-endap memutari
rumah. Tahulah Lingga W isnu menebak maksudnya. Dia
hendak menyerang Genggong Basuki dan Ayu Sarin i dari
belakang punggung. Genggong Basuki dan Ayu Sarini berkepandaian t inggi.
Jauh lflb ih tinggi dari pada Prabasin i. W alaupun kena
diserang dari belakang, belum tentu mereka tak dapat
mengelak, pikir Lingga W isnu. Dan memperoleh pikiran
demikian, ia melepaskan pandang tajam kepada kedua
murid Purbaya itu. Genggong Basuki dan Ayu Sarini sedang memusatkan
seluruh perhatiannya kepada gerak gerik Songgeng
Mint araga yang kini duduk seorang diri didalam
kamarnya. Gesit luar b iasa Lingga W isnu melesat
mengitari taman, kemudian menghampiri Genggong
Basuki dan Ayu Sarini dengan suatu kecepatan yang tak
terlukiskan. Dengan sekali gerak, ia berhasil menyambar
pedang Ayu Sarini yang tergantung dipinggangnya.
Anehnya, pendekar wanita itu sama sekali t ak tersadar.
Sekar Prabasini merandek melihat gerakan kawannya
itu. Tatkala Lingga W isnu datang padanya dengan
membawa pedang Ayu Sarini, hatinya t erbakar oleh rasa
cemburu. "Kau simpanlah pedang ini," bisik L ingga W isnu seraya
menyodorkan pedang curian.
Sekarang tahulah Sekar Prabasini akan maksud Lingga
W isnu. Pasa cemburunya sirna larut . Dan dengan
gembira ia menerima pemberian itu. Kemudian mengikuti
Lingga W isnu mengintai dari jendela sebelah utara.
o0dw0o 1. Adu Kepandaian Duapuluh ampat orang memasuki kamar Songgeng
Mint araga. Mereka membungkuk hormat apabila melint asi ambang pintu. Kemudian berdiri berdesakan
menghadap gurunya. Songgeng Mint araga sendiri hanya
memanggut-manggut kecil. W ajahnya muram dan
pandangnya resah. Dua tiga kali ia menghela napas, lalu
berkata dengan suara pedih :
"Anak-anaku, semasa mudaku, aku hidup sebagai
seorang penyamun. Benar, aku seorang penyanun.
Pastilah ucapanku ini mengejutkan hatimu.. Akan tetapi
pada saat begini ini, aku harus berbicara terus-terang
kepadamu sekalian." Lingga W isnu mengalihkan pandang kepada sekalian
murid Songgeng Mint araga. Pandang mata mereka
gelisah. Itulah suatu tanda, bahwa sesungguhnya
mereka tidak mengira sama sekali bahw a gurunya dahulu
seorang penyamun pada masa mudanya. Dan memperoleh kesan demikian, ia jadi menaruh perhatian
pula. Pada saat itu, ia melihat Songgeng Mintaraga
menghela napas untuk yang kesekian kalinya.
"Daerah operasiku berada disekitar gunung Merbabu,"
kata Songgeng Mint araga melanjutkan tutur katanya.
"Pada suatu hari, aku memperoleh kabar dari anggautaanggautaku bahwa suatu
rombongan yang datang dari
Salatiga akan lewat tak jauh dari kaki gunung. Itulah
rombongan Pangeran Adiningrat yang pulang dari
Semarang setelah mengadakan perundingan dengan
pihak kempeni. Bagi seorang penyamun, berita itu sangat
menggembirakan. Betapa tidak" Pastilah mereka membawa harta benda jauh lebih banyak dari pada
rombongan saudagar. Lagi pula, membegal seorang
ningrat, mempunyai harta sendiri. Seumpama meng
harapkan uang tebusan, jumlahnya tidak ternilai lagi.
Harta pangeran itu sendiri, berasal dari darah rakyat
lewat tindak sewenang-wenang kompeni Belanda,
dengan demikian, tidak terlalu jahat rasanya bila
merampas harta bendanya. Maka bulatlah t ekadku untuk
menghadangnya. Segera aku mengumpulkan anak
buahku. Dan kubawa menghadang perjalanan mereka.
Diluar dugaan, rombongan pangeran Adiningrat dikawal
oleh seorang pendekar ahli pedang kenamaan. Namanya
Kuncaraningrat. Salah seorang pendekar dari aliran
Parwati. Dialah kakak pendekar Srimoyo ..."
Sampai disin i, Lingga W isnu dan Sekar Prabasini lantas
saja dapat menduga-duga peristiwa balas dendam itu.
Pikir Lingga W isnu : 'Jadi. beginilah terjadinya. Songgeng Mint araga
hendak membegal. Dan Kuncaraningrat adalah yang
mengawal harta benda itu. Kedua-duanya lantas
bertempur. Dan rupanya Kuncaraningrat mati terbunuh.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau begitu, inilah persoalan lumrah yang terjadi dalam
gelombang penghidupan.' Sambil mendengarkan, Lingga W isnu tak lupa
membagi pandang kepada Genggong Basuki dan Ayu
Sarini. Ia me lihat tangan Ayu Sarini bergerak meraba
pinggang. Dia nampak terkejut, karena pedangnya hilang
tanpa diketahui. Begitu kaget dia, sampai berjingkrak.
Segera ia memberi tanda gerakan tangan kepada
Genggong Basuki. Lalu keduanya melesat keluar pagar
tembok meninggalkan rumah Songgeng Mint araga. Dan
menyaksikan hal itu, Lingga W isnu tertawa geli didalam
hati. Dalam pada itu, terdengarlah suara Songgeng
Mint araga lagi : "Telah kukatakan tadi, bahw a Kuncaningrat adalah
seorang ahli pedang kenamaan aliran Parwati. Seperti
kalian ketahui, aliran Parwati merupakan salah satu
cabang yang sama besar pengaruhnya dengan aliranaliran Ugrasawa dan Aristi.
Itulah sebabnya, pengaruh
lingkungan Kuncaraningrat sangat luas. Banyak sekali
handai taulan dan sahabat-sahabatnya." Ia berhenti
sebentar. Kemudian meneruskan :
"Oleeh pertimbangan itu, mula-mula tak berani aku
turun tangan. Kebetulan sekali, rombongan itu bermalam
di selatan Salatiga. Segera aku datang menyelidiki.
Malam itu, aku berada diantara rombongan itu. Tiba-tiba
aku mendengar suatu pembicaraan yang membuat
hatiku mendongkol dan jijik bukan main. Siapa mengira,
bahw a Kuncaraningrat seorang ahli pedang kenamaan itu
adalah seorang pemuda bongor. Rupanya selama dalam
perjalanan, ia menaruh hati kepada puteri Pangeran
Adiningrat. Karena merasa diri seorang pemuda dari
kalangan orang biasa, maka mustahil sekali untuk dapat
memeluk gadis itu, dengan jalan melamar. Apalagi,
puteri Pangeran Adiningrat sangat cantik. Dan kabarnya
akan dipersembahkan dan dipersunting Susuhunan. Maka
diam diam ia merencanakan suatu pembunuhan keji Ia
bersekutu dan mengadakan perundingan rahasia dengan
seorang kepala begal bernama Sondong Ucek-ucek. Esok
hari, apabila rombongan lewat di tikungan jalan Ngapel
Sondong Ucek-ucek harus menghadangnya, kuncaraningrat akan berpura-pura melawan. Ia nanti
akan mundur jauh meninggalkan rombongan. dan saat
itu, anak buah Sondong Ucek-ucek hendak membunuh
seluruh keluarga Pangeran Adiningrat, kecuali putrinya.
Menyaksikan pembunuhan itu, Kuncaraningrat akan
menjadi kalap. Ia akan balik kembali memberikan
pertolongan. Sondong Ucek-ucek dan anak buahnya
harus mundur berantakan. Dengan demikian akan
mengesankan hati putri Adiiningrat betapa sungguhsungguh Kuncaraningrat
melindungi dan membelanya.
Putri akan merasa hutang budi. Akhirnya pasti bersedia
diperisteri. Sondang Ucek-ucek menyetujui perundingan
dan persetujuan itu karena yang penting baginya adalah
perampasan harta benda itu sendiri. Mendengar
perundingan itu, bukan main panas hatiku. Segera aku
balik dan mengajak anak buahku mengadakan pengintaian disekitar jalan Ngampel. Bulatlah tekadku
hendak menggagalkan rencana mereka yang busuk itu"
"Ha, in ilah lain jad inya,"
pikir Lingga W isnu didalam
hati. Tadinya ia mengira,
bahw a pembunuhan itu terjadi lantaran perebutan
harta benda saja. Tak tahunya, terselip suatu cerita latar belakang yang
menentukan. "Memang aku termasuk
seorang pemuda berdarah panas. Meskipun hidup sebagai penbegal, belum pernah
aku curang. Semuanya kulakukan dengan terangterangan dan berhadap-hadapan. Kalau
berhasil, itulah rezekiku Kalau gagal, biarlah mampus. Apalagi seorang
pendekar sebagai Kuncaraningrat. Ia sudah bersedia
menjadi pengawal rombongan. Apa sebab berhianat
sebagai seorang pengecut?"
Songgeng Mintaraga melanjutkan tutur katanya.
"Sebagai seorang pengawal, ia sudah melanggar
kewajiban. Sebagai seorang pendekar, ia merendahkan
derajat kaumnya. Demikianlah, aku menunggu terjadinya
sandiwara itu. Tatkala rombongan Pangeran Adiningrat
memasuki tikungan jalan Ngampel, Sondong Ucek-ucek
benar-benar muncul dengan anak-buahnya. Pertempuran
segera terjadi. Kuncaraningrat berkaok-kaok dan
berpura-pura sibuk mengatur suatu pembelaan. Ia lari
kesana kemari dengan pedang terhunus. Justru hal itu,
membuat hatiku mendongkol dan muak bukan main.
Mengingat akan terjadinya suatu pembunuhan, tak dapat
lagi aku bersabar lebih lama lagi. Segera aku membawa
anak buahku menyerbu gelanggang pertempuran. Dan
terlibat dalam suatu pertempuran seru Kuserukan kepada
rombongan Pangeran Adiningrat, bahwa telah terjadi
suatu penghianatan keji. Dan sudah barang tentu,
seruanku itu membuat Kuncaraningrat menjadi. kalap.
Dengan pedangnya ia menerjang.
"Alangkah dahsyat! Benar-benar ia seorang ahli
pedang kenamaan yang tak mengecewakan. Syukur ia
sedang kalap. Dengan begitu, tak dapat ia mengendalikan diri sebaik-baiknya. Dan kesempatan
bagus itu, segera kupergunakan. Akhirnya aku berhasil
menabarkan pedangku. Dan ia roboh menghembuskan
napasnya yang penghabisan ..."
"Guru, manusia sekeji itu sudah selayaknya mati!"
seru seorang murid memotong tutur-kata Songgeng
Mint araga. "Kenapa kita takut menghadapi rencana balas
dendam adiknya" Bila dia datang, kita bongkar rahasia
keji itu dihadapan sahabat-sahabatnya. Mungkin sekali,
dia pant ang mundur dan tetap menuntut balas. Akan
tetapi mustahil sekali d iantara rombongannya tiada
terdapat beberapa orang yang jujur."
"Benar," kata Lingga W isnu didalam hati. "Asai saja
keterangan Songgeng Mintaraja in i benar, pantas
mendapat penghargaan. Jangan jangan masih terselip
suatu "Malah lagi diant ara mereka ..."
Songgeng Mint araga menghela napas lagi. Ia
berenung-renung sejenak. Kemudian meneruskan tutur
katanya : "Setelah berhasil membunuh Kuncaraningrat, sadarlah
aku. akan ancaman bahaya. Kuncaraningrat berasal dari
perguruan Parwati. Itulah suatu aliran ilmu pedang yang
tak teralahkan. Aliran Parwati adalah pewaris pendekar
sakti Roma Harsana yang hidup pada abad yang lampau.
Pastilah tidak mudah aku menceritakan peristiwa yang
sebenarnya dihadapan sekalian para saudara seperguruannya. Bila mereka bersatu padu menuntut
balas, bagaimana aku dapat melawannya" Sedang
menghadapi seorang Kuncaraningrat saja, aku sudah
kewalahan. Untung dia sedang kalap. Apalagi hendak
mencoba berlawan-lawanan dengan dua orang Kuncaraningrat atau tiga ampat. lima Kuncaraningrat.
Untunglah, pada saat itu rekan-rekanku dapat menangkap Sondang Ucek-ucek dalam keadaan hidup.
Aku paksa dia agar menulis surat pernyataan
persekutuannya. Bahwasanya Kuncaraningrat bermaksud
mengganggu putri Pangeran Adiningrat. Ternyata
Sondong Ucek-ucek tidak berkeberatan.. Didalam surat
kesaksiannya, ia bahkan berani mengangkat sumpah
pula." Ia berhenti sebentar mengesankan, melanjutkan :
"Pangeran Adiningrat merasa berhutang budi kepadaku. Mendengar kesulitanku, dengan sukarela ia
menulis sehelai surat pernyataan menceritakan peristiwa
yang sebenarnya. Beliau memaksa dua hambanya pula
yang bernama Bolot dan Ngaeran untuk menandatangani
surat kesaksian itu. Mereka berdua sama sekali tak
mengira, bahw a pendekar Kuncaraningrat mempunyai
rencana keji demikian. Seumpama tiada kehadiranku,
pastilah mereka berdua sudah t idak bernyawa lagi. Maka
semenjak itu, mereka berdua menjadi sahabatku.
Kemudian aku membawa dua helai surat kesaksian itu ke
Surakarta untuk menghadap pendekar besar Prangwedemi ketua aliran Parwati.
"Akh, benar-benar tak kuduga,
bahwa berita pembunuhan itu telah terdengar oleh Prangwedemi
beberapa hari sebelum aku memasuki Surakarta.
Ditengah perjalanan, aku berpapasan dengan rombongan
mereka. Sama sekali aku tak diberi kesempatan untuk
memberi peringatan. Untunglah pada saat aku terdorong
kepojok, datanglah seorang pendekar luar b iasa. Dengan
pedang yang istimewa ia dapat melumpuhkan mereka
semua. Kemudian aku diant arkan menghadap Prangwedemi dan dengan bantuan pendekar luar biasa
itu, dapatlah aku memberi keterangan kepada Prangwedemi tentang peristiwa terjadinya pembunuhan.
Ternyata Prangwedemi adalah seorang pendekar besar
pula serta jujur. Akan tetapi, demi menjaga nama baik
aliran Parwati, ia mint a kepadaku agar jangan
membocorkan perangai Kuncaraningrat. Aku bersedia
dan berjanji. Dan semenjak itu, benar-benar aku
menutup mulut. Itulah sebabnya, tiada seorangpun yang
mengetahui peristiwa matinya Kuncaraningrat dan siapa
pembunuhnya. Pada waktu itu, pendekar Srimoyo masih
berumur belasan tahun. Sudah barang tentu, ia tidak
mengetahui keadaan hati Kuncaraningrat yang sebenarnya. Sebagai seorang adik yang tahu menghormati kakaknya, sudah selayaknya kuhargai.
Pant aslah ia menuntut dendam. Hanya saja ..."
"Itulah suatu balas dendam yang kurang tepat,"
potong salah seorang muridnya. "Kakaknya patut
mengalami nasib demikian. Guru, apakah ke dua surat
kesaksian itu masih berada di tangan guru?"
"Justru hal itulah yang kini menjadi kunci kesulitanku,"
sahut Songgeng Mint araga. Kedua surat itu kini tiada lagi
ada padaku. Hilang" "Hilang?" seru muridnya menegas.
Songgeng Mintaraga mejenak napas dan me-manggut.
Kemudian memberi keterangan :
'"Pertama-tama aku harus menyesali d iriku sendiri.
Mataku lamur dan buta sampai tak dapat mengenal
wajah manusia. Satu tahun yang lalu, salah seorang
sahabatku menyampaikan berita kepadaku tentang


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepak-terjang pendekar Srimoyo, Menurut kabar,
Srimoyo mencari pembunuh kakaknya. Itulah aku sendiri.
Merasa diri masih belum cukup t angguh untuk menuntut
dendam, ia menyempurnakan kepandaiannya. Sekarang
ia sudah siap segala-galanya dan mulailah ia mencari
diriku. Tentu saja segera aku mencari daya upaya untuk
menyelamatkan diri. Teringatlah aku kepada dua orang
sahabatku yang mempunyai hubungan dekat dengan
aliran Parwati. Merekalah Suramerto dan Mangun
Sentono, abdi dalam atau hamba kerajaan istana
Surakarta. Bila mereka berdua sudi menjadi perant araku,
pastilah perselisihan itu akan selesai. Maka berangkatlah
aku mencari mereka berdua ..."
"Akh, teringatlah aku," sela seorang murid. "Jadi
tatkala guru pergi selama satu bulan dahulu, sebenarnya
lagi mencari mereka berdua?"
"Benar," Songgeng Mint araga memanggut. "Aku
mencari mereka dirumahnya yang terletak di wilayah
Palur. Sayang, mereka tiada dirumah. Menurut
keterangan, mereka ke ibukota untuk memenuhi
panggilan Gusti Patih Pringgalaya. Karena sudah terlanjur
berada dirumahnya, aku memutuskan untuk menunggu
mereka. Lebih kurang satu minggu, kalau tak salah,
mereka datang. Rasa girangku bukan main besarnya,
karena bertemu dengan dua sahabat lama. Demikian
pulalah mereka berdua. "Segera kusampaikan maksud perjalananku menemui
mereka berdua. Itulah masalah perselisihan antara diriku
dengan keluarga Kuncaraningrat. Dan aku memohon
pertolongan mereka berdua agar bisa memberi
penjelasan kepada pendekar Srimoyo. Suramerto dan
Mangun Sentcno dengan penuh semangat menyatakan
kesediaan mereka untuk menjadi perant araku Bahkan
mereka meyakinkan diriku, bahw a masalah itu pasti
dapat dibereskan manakala aku mempunyai bukti-bukti
cukup. Alasannya sangat nalar, maka kuserahkan dua
helai surat kesaksian kepadanya. Akh, bagus kata
mereka. Bila Srimoyo melihat dua surat kesaksian itu,
pastilah dia akan membatalkan niat nya untuk balas
dendam. Sebaliknya dia akan mencari perant ara pula
untuk mohon maaf kepadaku, demikianlah mereda
meyakinkan diriku. Hanya saja mereka berpesan, agar
aku tidak menceritakan hal in i kepada siapapun juga.
Dan aku berjanji akan membungkam mulut.
"Dua hari dua malam aku menginap di rumah mereka.
Dan aku memperoleh pelayanan yang memuaskan sekali.
Kebetulan sekali didesanya sedang terjadi sedekahan
atau keramaian untuk memperingati desa. Aku ikut
menonton wayang dan menandak-nandak pada malam
tayub atau tarian bebas itu. Pendek kata, puaslah hatiku.
Kemudian pada hari aku hendak berangkat pulang,
Suramerto membawa aku beromong-emong kosong,
mengenai panca-roba zaman. Katanya bintang kejayaan
Susuhunan Surakarta, pada saat itu sudah mulai surut . Ia
mencela habis-habisan perjuangan Gusti Said dan
Mangkubumi I. Beliau berdua dikatakan sebagai
manusia-manusia goblok dan buta. Sudah jelas, kata
mereka bahwa kunci kesejahteraan bangsa berada di
tangan pemerintah Belanda. Bukankah pemerint ahan
Kasuhunan terwujud berkat bantuan pemerint ah Belanda" Karena itu, kita harus bisa melihat gelagat.
Selagi huru-hara sedang hebat-hebatnya, inilah suatu
kesempatan yang bagus bagi orang-orang yang
mempunyai kepandaian tinggi. Dengan menjual tenaga
sedikit;, kemuliaan h idup sudah terbentang di depan
mata kita. Sekiranya aku sudi berhamba, mereka berdua
bersedia pula menjadi perant ara untuk membawa diriku
ke gerbang Gunung Emas. Dan mendengar sasaran
pembicaraan mereka berdua, aku menjadi tercengang.
Jadi kemana aku harus berhamba, t anyaku. Lewat Gusti
Patih Pringgalaya, jawab mereka. Gusti Said tidaklah
lebih seorang berandal rumput yang tiada mempunyai
masa depan. Dan mendengar ucapannya, tiba-tiba aku
menjadi marah. Kucela sikap dan cara berpikir mereka
berdua. Kenapa sudi menjadi budak bangsa asing yang
sebenarnya sedang merantau di tanah air kita in i.
Kukesankan kepada mereka berdua, betapa besar
dosanya kepada anak cucu dikemudian hari bila sampai
berhianat terhadap bangsa dan negara. Apakah arti
kemuliaan h idup sekeluarga, sedangkan ribuan orang
hidup sengsara akibat penghianatan kita. Itulah hidup
berdansa diatas tumpukan mayat. Hidup demikian,
sebenarnya suatu siksa sendiri."
Mendengar ucapan Songgeng Mintaraga, hati Lingga
W isnu tergetar. Katanya di dalam hati:
'Orang ini mempunyai penglihatan jauh. Jiwanya luhur
pula. Akh, t ak pantas dia mati t erajang oleh sekumpulan
manusia yang terbakar oleh rasa dendam kesumat saja
...' Dan diam-diam ia mengagumi orang tua itu.
"Beberapa saat lamanya, kami bent rok karena
perselisihan pendapat," Songgeng Mintaraga meneruskan. "Tapi pada sore harinya, mereka berdua
bersedia mengalah. Kembali lagi mereka ramah-tamah
terhadapku. Bahkan mereka mohon maaf atas kehilafannya. Kata mereka: " Janaanlah di masukkan hati
semua kata-kataku tadi pagi. Itulah ucapan seorang yang
lagi kekurangan uang belanja ...
"Mereka berdua pandai meredakan rasa tegang,
sehingga hatiku tegar kembali T api, ya Aliah, sama sekali
tak kuduga, bahwa mereka ber dua sesungguhnya dua
ekor anjing yang benar- benar bersedia menghamba
kepada pemerint ah Belanda. Hal ini baru kuketahui
dikemudian hari. Sebenarnya apa yang mereka katakan
adalah sungguh-sungguh. Dengan begitu. sebenarnya
kepergianku kepadanya tak ubah seseorang menggali
lubang kematiannya sendiri. Betapa tidak" Aku
mengharapkan bantuan mereka Tak tahunya, mereka
berdua justru ditugaskan patih Pringgalaya menghancurkan diriku. Sebab rupanya patih Pringgalaya
tahu, bahw aku seorang pemimpin Laskar Lawu yang
menghambat gerakan kompeni Belanda semenjak
beberapa tahun yang lalu."
"Apa yang mereka lakukan?" teriak seorang murid
yang berdiri dipojok. "Mereka memutar balik peristiwa yang terjadi
dihadapan Srimoyo." Songgeng Mintaraga menyahut.
"Sehingga hati Srimoyo bertambah panas terhadapku.
Hal itu benar-benar tak kuketahui selama delapan bulan
yang lalu." "Akhl Mengapa mereka berbuat sekejam itu"
Bukankah mereka tadinya bersedia membantu kesukaran
guru?" "Benar. Tapi setelah aku menolak ajakannya agar
membantu majikannya menghancurkan laskar Gusti Said,
mereka lant as berbalik memusuhiku. Siapa bisa menduga
demikian" Meskipun bentrok, bukankah pada sore
harinya sudah damai kembali" Sekarang, dua helai surat
kesaksian itu berada ditangan mereka. Dengan begitu
tak dapat aku membela diri didepan pendekar Srimoyo.
Pangeran Adiningrat sudah lama wafat. Kedua abdinya,
Bolot dan Ngaeran yang ikut pula menanda tangani surat
kesaksian, demikian pula. Juga puterinya yang menjadi
pokok persoalan. Puteri ini wafat tatkala melahirkan
puteranya yang pertama. Dengan begitu, tiada lagi
peganganku. Yang mengherankan mereka berdua berada
pula dengan Srimoyo. Kalau begitu laskar Lawupun
terancam bahaya. Tegasnya tidak hanya aku seorang
yang terancam kematian. Tetapi Laskar Lawu akan
mereka musnakan pula."
Mendengar ucapan Songgeng Mintaraga, sekalian
muridnya marah bukan kepalang. Dengan serentak
mereka menyatakan hendak bertempur sampai titik
darah penghabisan. Mereka memaki dan mengutuk
perbuatan Suramerto dan Mangun Sentono. Benar-benar
dua ekor anjing buduk yang pantas dibinasakan.
"Sabarlah!" kata Songgeng Mintaraga mengatasi rasa
marah mereka. "Aku tak mengidzinkan kalian menuruti
perasaanmu belaka. Yang penting aku sudah membuka
rahasia perbuatan Kuncaraningrat terhadap kalian
semua. Artinya aku sudah menginkari janjiku kepada
pendekar besar Prangwedemi. Karena itu, kumint a
sekalian jangan meniup-niupkan berita kebusukan
Kuncaraningrat. Biarlah mereka berbicara apa saja
tentang diriku. Tapi aku sendiri jauh lebih senang
diperlakukan begitu, dari pada aku menginkari janji.
Kalau k ini aku membuka rahasia ini juga, lant aran Laskar
Lawu terancam perbuatan terkutuk Suramerto dan
Mangun Sentono. Kepada mereka berdualah sasaran
kalian yang benar," ia berhenti menghela napas.
"Sekarang, panggil ah kedua adikmu Rara W itri dan
Kondang Kasiani" Dengan wajah murung, sekalian murid keluar kamar.
Dan tak lama kemudian masuklah seorang gadis berumur
kurang lebih tujuhbelas tahun dengan seorang pemuda
tanggung berumur sebelas atau duabelas tahun.
Merekalah Para W itri dan Kondang Kasian, putera-puteri
Songgeng Mintaraga. "Ayah!" Jerit Para W itri sambil menubruk pangkuan
Songgeng Mintaraga. Dan gadis itu lantas menangis
sedu-sedan. Songgeng Mintaraga terbungkam mulutnya. Ia
mengusap-usap rambut Para W itri dengan tangan
kanannya. Sedang tangan kirinya memeluk Kondang
Kasian yang berdiri didamp ingnya.
"Apakah ibumu sudah siap?"
Para W itri memanggut. "Bagus," kata Songgeng Mint araga. "Sekarang,
dengarkan pesan ayahmu. Jika adikmu sudah mendekati
usia dewasa, hendaklah kau ajari bekerja yang layak.
Jadikanlah dia seorang petani atau pedagang. Jangan
kau bawa dia memimpikan kedudukan tinggi atau
pangkat yang mentereng. Kularang dia mempelajari ilmu
kepandaian atau ilmu sakti macam apapun juga. Dengan
begitu, hidupnya akan damai dan tenteram."
"T idak, ayah!" bantah Para W itri. "Dia justru harus
belajar ilmu kepandaian agar dapat menuntut dendam
ayah." "Kau bilang apa?" bentak Songgeng Mint araga.
W ajahnya menjadi merah padam. Akan tetapi hanya
sedetik dua detik. Setelah itu kembali muram dan
penyabar. Katanya dengan suara rendah:
"W itri, dengarkan baik-baik pesan ayahmu ini.
Semuanya ini kupesankan kepadamu, agar anak
keturunan kita selamat. Sebab didalam pergaulan hidup
ini, seringkali terjadi penyakit angkara manusia yang
tiada habis-habisnya. Itulah rasa dendam kesumat, iri
hati, jelus, cemburu dan dengki. Karena itu, aku
menghendaki Kondang Kasian hidup sebagai rakyat
jelata, kelak. Lagi pula adikmu tidak memiliki bahan
bagus. Seumpama belajar ilmu kepandaianpun tidak
akan dapat mencapai setengah kepandaian. Tegasnya
dia tidak akan dapat mencapai setengah kepandaianku.
Apa yang bisa dilakukan dengan bekal sekerdil itu"
Lihatlah ayahmu sendiri in i! Meskipun memiliki kepandaian agak berarti, akhirnya tidak berdaya juga
mempertahankan hidup damai sejaht era. Mati itu sendiri,
tidaklah begitu mengusik hatiku. Sebab set iap orang
hidup, pasti akan mati. Tapi alangkah besar sesalku,
bahw a aku tidak diberi kesempatan melihatmu membangun rumah tangga Setelah kepergianku, hendaklah kau menghadap Panglima Sengkan Turunan.
Katakan pada beliau, bahw a aku menunjuk muridku
Anjar Tahunan sebagai penggantiku. Dan mulai detik ini
pula, sekalian murid dan laskarku harus tunduk dan
patuh padanya. Mengerti?"
Lingga W isnu heran. Pikirnya didalam hati:
'Laskar Lawu berjumlah ribuan orang. Dan Songgeng
Mint araga pemimpinnya. Meskipun Srimoyo memperoleh
bantuan pendekar-pendekar kenamaan, dapatkah mereka melawan Laskar Lawu yang berjumlah ribuan
orang itu" Mustahil! Kompeni Belanda yang bersenjata


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senapanpun, tidak berdaya. Kenapa Songgeng Mint araga
bersikap begini lemah menghadapi ancaman Srimoyo"
Benar benar aneh! "Apakah aku harus memanggil paman Anjar Tahunan
menghadap ayah?" Para w itri menegas.
"Apakah kau belum jelas menanggapi kata-kataku ini?"
Songgeng Mint araga menyesali. "Pamanmu itu keras
tabiatnya. Dia sedang pulang ke kampung. Bila kau
panggil dia untuk menghadap ayahmu dan mengetahui
masalahnya, apakah dia akan berpeluk tangan saja
melihat diriku terhina begini rupa" Sekali ia bertindak
maka pertempuranpun akan terjadi. Berapa banyak jiwa
yang akan melayang" Dan aku, tak menghendaki mereka
mati demi untukku. Didepan mereka menunggu suatu
gerbang yang pantas sekali menuntut tenaga dan jiwa
mereka. Itulah gerbang kesejahteraan bangsa. Karena
itu, aku hanya menghendaki, agar engkau menghadap
panglima Sengkan Turunan membawa pesanku ini.
Kemudian umumkan keputusanku ini kepada sekalian
murid-muridku. Jadi aku tidak menyuruhmu memanggil
Anjar T ahunan menghadapku pada saat ini. Terang?"
Para W itri mengangguk. Sedu sedannya naik.
Kemudian dengan membimbing tangan adiknya, ia
mundur sampai ke pintu. Berkata mencoba :
"Ayah, apakah tiada jalan lain untuk menghindari
ancaman mati ini?" Hal itu sudah kupikirkan semenjak beberapa hari y ang
lalu." sahut Songgeng Mintaraga menghela napas.
"Apakah kau kira aku t idak bergirang hati serta bersyukur
apabila terhindar dari kematian" Di dalam dunia in i,
hanya ada seorang saja yang bisa menolong diriku.
Itulah pendekar luar b iasa yang dahulu pernah
menolongku dari kepungan orang-orang Parwati. Tetapi
kukira pendekar luar biasa itu sudah tiada lagi dalam
dunia ini ..." Mendergar kata-kata Songgeng Mint araga, w ajah Rara
W itri berseri dengan tiba-tiba. Ia menghampiri ayahnya
dua langkah. Bertanya menegas
"Ayah, siapakah orang itu" Siapa tahu, barangkali d ia
belum meninggal dunia."
"Bondan Sejiwan, begitulah namanya. Ia di sebut pula
dengan julukan Pendekar Kebo Wulung" sahut Songgeng
Mint araga. "Dialah yang kusebut pendekar luar biasa. Dia
pulalah yang mengetahui masalahku. Ketika duabelas
murid Prangwedemi menghadangku di tengah perjalanan, ia mengundurkan mereka seorang diri.
Dengan seorang diri pula ia berhadap-hadapan dengan
Prangwedemi untuk menjelaskan masalahku. Sekarang
Prangwedemi kabarnya sudah wafat. Penggantinya
bernama Yudana. Pendekar Kebo Sulungpun mengalami
aniaya Wew :P hal 92-93 gak adaaaaaaaaaa !!
Para W itri t ertegun keheranan. Ia kagum menyaksikan
betapa gesit Lingga Wisnu. Segera ia mengkisiki adiknya
agar menunggu dikamar ibunya. Kemudian ia melcmpat
pagar tembok itu pula, menyusul Lingga W isnu dan
Sekar Prabasini. Ia mengejar beberapa rint asan. Melihat
Lingga W isnu dan Sekar Prabasini sudah meninggalkannya sangat jauh, ia menghentikan langkah.
Lalu memut ar t ubuh hendak balik kembali T api baru saja
ia berpaling, sekonyong-konyong lengannya teraba
sesuatu. Tahu-tahu pedangnya telah terampas.
Dan Lingga W isnu sudah berada disampingnya.
Sudah barang tentu Para W itri terkejut bukan
kepalang. Betapa mungkin, seseorang bisa bergerak
begitu cepat. Selagi tertegun keheranan, terdengarlah
Lingga W isnu berkata meyakinkan :
"Adik, janganlah kau sangsi kepadaku, seumpama aku
berniat mencelakaimu, dapat kulakukan dengan mudah
sekali. Akulah salah seorang sahabat ayahmu. Maka
dengarlah semua perkataanku."
Para W itri menganggut, meskipun hatinya masih
berbimbang-bimbang. Lingga W isnu agaknya dapat
menebak keadaan hati gadis itu. Berkata meyakinkan lagi
: "Ayahmu terancam bahaya maut. Beranikah engkau
menempuh bahaya untuk menolongnya" Sanggupkah
engkau?" "Asal ayah tertolong, aku bersedia hancur lebur,"
sahut Rara W itri. "Bagus. Ayahmu sesungguhnya seorang mulia hati.
Ayahmu lebih senang mengorbankan diri sendiri dari
pada mengorbankan beberapa Jiwa demi persoalannya.
Dialah benar-benar seorang pendekar yang jarang
terdapat di dunia ini. Karena itu, aku hendak
membantunya. Maka dari itu jangan sangsi "
Sekarang Bara W itri tidak sangsi lagi. Pemuda yang
berada didepannya itu benar-benar meyakinkan hatinya.
Maka ia membungkuk hormat sambil menyatakan rasa
terima kasihnya "jangan begitu," Lingga W isnu mencegahnya. "Belum
tentu pula aku dapat menolong. Semuanya ini
tergantung pada nasib yang baik. Sekarang, bawalah aku
ke kamarmu. Dapatkah engkau menyediakan alat tulis?"
Rara W itri terhenyak sejenak. Tapi melihat Sekar
Prabasin i berada didamping pemuda itu, kecurigaannya
pudar. Pikirnya didalam hati: 'D ia membawa seorang
teman. Mustahil ia hendak berbuat tak senonoh
terhadapku. Lagi pula tenaga sambarannya dahsyat luar
biasa d iwaktu mencegah gerakanku menyatakan hormat
padanya. Kalau saja dia benar-benar hendak menolong
ayah, pastilah mampu.' Dan dengan pertimbangan ini ia
bertanya mencari keyakinan :
"Sebenarnya siapakah kakak berdua?"
"W aktu kita sangat sempit. Hayo, kau sediakan saja
alat tulis dan kertas. Aku hendak menulis surat
kepadanya. Bila ayahmu membaca surat itu, kuharap
saja tidak berputus asa lagi jadinya," sahut Lingga Wisnu
menyimpang. Rara W itri sudah berada dalam pengaruh pemuda itu,
maka berkatalah gadis itu :
"Baiklah. Mari!"
Ia berjalan mendahului. Dan Lingga W isnu berjalan
mengikuti dengan didampingi Sekar Prabasini. Berkata :
"Kau ingin mengetahui nama kami berdua, bukan"
Biarlah tetap merupakan rahasia dahulu. Bahkan kupinta
padamu, agar merahasiakan pula pertemuan kita ini. Kau
sanggup?" Para W itri memanggut. Ia sekarang mengerti maksud
Lingga W isnu. Dan w ajahnya lantas saja menjadi cerah.
Dengan penuh gairah, ia membawa Lingga W isnu berdua
melint asi taman bunga memasuki kamarnya. Cepat ia
menyediakan alat tulis dan kertas. Kemudian duduk
berjarak ampat langkah didekat pintu masuk.
Lingga W isnu membubuki kertas yang berada diatas
meja. Ia menulis. Sekar Prabasini yang berada
disampingnya terkejut melihat apa yang ditulisnya, Akan
tetapi oleh isyarat mata, ia membungkam.
"Adik," kata Lingga W isnu kepada Rara W itri. "Esok
pagi pergilah kau menemui kami di rumah penginapan
Praci, jam sembilan. Kami akan menunggumu."
Rara W itri mengangguk sambil menerima lipatan
kertas yang diberikan kepadanya. Kata Lingga W isnu
lagi: "Sampaikan surat ini kepada ayahmu secepat
mungkin. Hanya saja kau harus berjanji kepadaku."
"Katakanlah!" "Hendaklah kau rahasiakan pertemuan kita ini. Bila
ayahmu mint a keterangan tentang diriku, jangan kau
katakan. Kularang engkau melukiskan perawakanku dan
usiaku. Kau mengerti?"
Para W itri heran. Menegas:
"Apabila kau sebutkan kesan diriku, aku tidak akan
membantumu lagi." Lingga W isnu mengesankan.
Sebenarnya Rara W itri masih ingin memperoleh
penjelasan. Akan tetapi karena melihat Lingga W isnu
bersungguh-sungguh, ia terpaksa memanggut. Katanya
berjanji : "Baiklah. Aku berjanji."
Lingga W isnu menarik lengan Sekar Prabasini. Dengan
membawa gadis itu, ia melesat keluar melalu i jendela.
Gesit gerakannya, sehingga untuk kedua kalinya Rara
W itri kagum bukan main. Sebentar kemudian, ia
tersentak oleh lipatan kertas yang berada di tangannya.
Cepat ia berlari-larian menuju ke kamar ayahnya. Hatinya
memuku!, tatkala melihat pintu dan jendela kamar
ayahnya tertutup rapat. Dengan menghimpun tenaga ia
menggempur jendela sampai terbuka. Ia melompat
kedalam sambil mengacungkan surat.
"Ayah!" serunya. "Lihat!"
Ia melihat ayahnya sedang memegang sebuah cawan.
Tahulah dia apa isi caw an itu. Pastilah ayahnya hendak
menghabisi jiwanya dengan meminum racun. Karena itu,
wajahnya jadi pucat dan suaranya menggeletar tatkala
mengulangi seruannya: "AyahI Lihat surat ...!"
Songgeng Mint araga menurunkan cawannya. Ia
menoleh dengan pandang kosong. Dan Para W itri
berkata lagi sambil membuka lipatan kertas :
"Ayah, surat. Bacalah dahului"
Songgeng Mintaraga menyadarkan pandang matanya. Ia melihat lukisan sebuah pedang. Dengan tiba-tiba saja caw annya terlepas dari tangannya dan hancur berantakan diatas lantai.
Kaget dan heran Rara W itri menyaksikan hal itu.
Kenapa ayahnya sampai kehilangan tenaga pengamatan" Tapi setelah melihat perubahan wajah
ayahnya, hatinya bersyukur bukan main. W ajah ayahnya
yang suram, mendadak berubah berseri-seri penuh
cahaya gairah hidup. "Siapa .... siapa yang memberimu surat ini" Siapa ...?"
Songgeng Mint araga menegas dengan suara bergemetar.
Dengan kedua tangannya ia meraih surat di t angan Rara
W itri. "Apakah dia datang" Apakah benar-benar ia
datang?" Rara W itri tak dapat menjawab dengan segera. Ia
mendekatkan pelita untuk memperoleh penglihatan lebih
jelas. Kemudian ikut mengamat-amati surat Lingga
W isnu. Sama sekali tiada hurufnya, kecuali luk isan
sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang itu
seperti berlidah Berlidah dua. Mirip seekor ular yang siap
menerkam mangsanya. Ia tidak mengerti, apa sebab
ayahnya kegirangan begitu melihat gambar itu. Bertanya:
"Gambar pedang. Pedang siapa?"
"Asal dia datang, ayahmu bakal tertolong. Inilah
pedang Kebo Wulung Apakah dia datang menemuimu?"
"Dia siapa?" Rara Witri heran.
"Pemilik pedang ini. Maksudku yang melukis pedang
ini," kata Songgeng Mint araga.
Sekarang barulah Rara W itri mengerti maksud
ayahnya. Ia memanggut seraya menyahut :
"Besok pagi aku disuruh mencarinya disuatu tempat,"
"Dimana?" "Dirumah penginapan Praci."
"Akh! Apakah dia tidak berkata, bahwa akupun perlu
ikut serta?" "T idak. Dia tidak berkata begitu," jawab Rara W itri.
Songgeng Mint araga menarik napas. Tetapi w ajahnya
cerah. Katanya setengah berbisik seperti kepada dirinya
sendiri : "Orang gagah luar biasa itu memang aneh
perangainya. Kalau dia tidak berkata sesuatu, pasti ada
maksudnya. Sebaliknya bila membuka mulutnya, siapapun harus taat dan mendengarkan setiap patah
perkataannya dengan sungguh sungguh. Baiklah, kau
pergilah esok pagi mencarinya. Akh, sedetik saja kau
kasep, ayahmu kini sudah berada ditengah awan ..."
Mendengar ucapan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya, keringat dingin membasahi tengkuk Rara W itri. Maka berkatalah dia
dengan hati-hati : "Sekarang, sebaiknya ayah tidur saja."
Songgeng Mintaraga memanggut. Ia kini menjadi
seorang penurut dengan mendadak. Dan kabar yang
menggirangkan itu sebentar saja telah tersiar luas
diant ara murid-murid dan Laskar Lawu. isteri Songgeng
Mint araga girang dan bersyukur bukan kepalang. Hanya
saja ia masih berbimbang-bimbang terhadap pendekar
luar b iasa yang hendak datang menolong. Benarbenarkah dia akan datang esok
hari" Tapi melihat kecerahan wajah suaminya, |a percaya bahwa bahaya
maut telah teratasi. Karena itu, ia tak jadi berkemaskemas lagi.
Tatkala itu Lingga W isnu dan Sekar Prabasini sudah
jauh meninggalkan rumah Songgeng Mint araga. Sekar
Prabasin i tadi melihat Lingga W isnu menggambar
sebatang pedang yang aneh bentuknya, W aktu itu tak
berani ia membuka mulut untuk mint a keterangan.
Sekarang tak perlu ia khawatir akan diint ip orang, Maka
bertanyalah ia : "Sebenarnya pedang apakah yang kau lukis tadi?"
"Bukankah engkau telah mendengar tutur kata
Songgeng Mintaraga tentang seorang pendekar luar
biasa yang memiliki pedang aneh" Itulah pedang Kebo
W ulung milik almarhum ayahmu. Dia yakin, bila ayahmu
datang pastilah jiwanya bakal tertolong. Dengan melihat
bentuk pedang itu, dia akan t eringat ayahmu."
Terharu hati Sekar Prabasini mendengar keterangan
Lingga W isnu. Namun ia heran apa sebab Lingga W isnu
bermaksud menolong jiwa Songgeng Mint araga. Tanyanya : "Kau hendak menolong jiwanya. Apakah keuntunganmu?" "Kulihat Songgeng Mint araga seorang ksatria yang
luhur budi," jawab Lingga W isnu. "Dia kena fitnah dua
sahabatnya yang dipercayai. Kalau sampai mati, itulah
mati sia-sia belaka. Dapatkah kita menyaksikan dia mati
penasaran" Apa lagi ternyata dia adalah sahabat
ayahmu." "Oh, begitu" Kukira kau sud i menolong karena melihat
puterinya yang cantik jelita," kata Sekar Prabasini berlega
hati "Prabasin i, sebenarnya aku kau golongkan manusia
apa sampai kau mempunyai pikiran demikian," Lingga
W isnu mendongkol. "Hai, kenapa kau marah, sayang" Siapa pun akan
curiga kepadamu. Kau seorang pemuda dan dia seorang
gadis cant ik. Kenapa kau suruh mencarimu dipenginapan?" Tepat kata-kata Sekar Prabasini, sehingga Lingga
W isnu tak kuasa menjawab. Akhirnya mau tak mau ia
tertawa geli juga. Katanya:
'Pandang matamu cupat benar. Hm, bagaimana aku
harus mengobatimu" Baiklah, mari kutunjukkan padamu,
apa sebab aku menyuruhnya mencariku dipenginapan"
Sekar Prabasini menggerutu. Hendak ia membuka
mulut nya, akan tetapi Lingga W isnu menyambar
tangannya. Pemuda itu lari pesat mengarah ke timur.
Dan terpaksalah ia lari sekuat-kuatnya untuk bisa
menjajari. Tak lama kemudian, sampailah mereka di gedung
kediaman Srimoyo. Dengan menarik tangan Sekar
Prabasin i, Lingga W isnu melcrnpati pagar tembok batu.
Dan dibalik gercmbolan tetanaman, ia membawa gadis
itu bersembunyi. Bisiknya:
"Didalam rumah ini banyak terdapat orang-orang
pandai. Karena itu kita harus berhati-hati, Sekali mereka
melihat kedatangan kita, akan gagallah rencanaku."
"Baik.." sahut Sekar Prabasini memberengut. "Tapi
kau harus berjanji, bahw a tujuanmu menolong Songgeng
Mint araga bukannya disebabkan pandang puterinya.
Kalau kau menolong orang t ua itu demi Rara W itri, aku
akan berteriak teriak biar gagal usahamu."
Lingga W isnu tertawa mendongkol. Akan tetapi ia
percaya. Sekar Prabasini hanya mengancam dimulut nya
saja. Dan hati-hati ia membawa gadis itu mendekati
rumah penginapan. Tatkala itu suasana sudah sunyi
senyap. Maklumlah, hari hampir mendekati fajar.
W alaupun demikian, perlu ia berhati-hati. Tiba-tiba ia
melihat seorang pelayan lewat melint asi taman bunga.
Cepat ia me lompat dan menyambar mulut nya. Berkata
mengancam : "Dimana letak kamar para tetamu yang datang
menginap disin i?" Pelayan itu ketakutan melihat pandang mata. Lingga
W isnu yang berwibawa. Segera ia memberi keterangan.
"Bukan semuanya yang kumaksudkan," potong Lingga
W isnu. "Tapi dua orang tetamu bernama Suramerto dan
Mangun Sentono." Pelayan itu menuding kearah sebuah kamar yang
terletak disebelah barat. Lingga W isnu berterima kasih.
Katanya : "T api maaf. Kau terpaksa kut awan juga di sini.
Menjelang pagi hari, engkau akan bebas sendiri tanpa
pertolongan." Setelah berkata demikian, ia memijat salah suatu urat
tertentu. Kemudian memondongnya dan diletakkan
dibalik gerombol belukar. Setelahnya itu dengan hati-hati
ia mendekati kamar sebelah barat.. Sudah barang tentu,
Sekar Prabasin i tidak sudi ketinggalan. Tatkala Lingga
W isnu membongkar jendela, ia ikut berperihatin.
Hebat cara kerja Lingga W isnu. Dengan tenaga
himpunan saktinya yang sempurna, ia menempelkan
tangannya. Tiba-tiba saja jendela itu terbuka dengan
sendirinya. Kemudian ia melompat masuk. Sekar
Prabasin i melompat masuk pula.
Sebenarnya, gerakan mereka tiada membersitkan
suara sedikitpun juga. Akan tetapi Suromerto dan
Mangun Sentono benar-benar tajam telinganya. Begitu
mendengar desir angin, mereka tersentak bangun. Tetapi
begitu bergerak, Lingga W isnu mendahului. Dan mereka
rebah tak berdaya. Dengan leluasa Lingga W isnu menggeledah isi kamar.
Lemari, laci, bawah bantal dan tempat tidur dibongkarnya. Pakaian, uang dan senjata diadukaduknya sehingga bertebaran di
atas lantai. Sekar Prabasin i lantas menyalakan lilin dan ia membant u
menyuluhi. Namun apa yana dikehendaki Lingga W isnu
belum juga diketemukan. Tiba-tiba terdengarlah langkah
kaki diseberang kamar. Cepat ia memadamkan lilin. Dan
di dalam gelap, Lingga W isnu terus mengadakan
penggeledahan. Akhirnya, ia menggerayangi saku Suramerto. Hatinya
girang, karena menemukan segumpal kertas. Terus saja
ia memasukkannya didalam sakunya. Bisiknya kepada
Sekar Prabasini : "Sudah kutemukan."
"Bagus!" sahut Sekar Prabasini girang dengan berbisik
pula. "Mari k ita keluar. Di luar kudengar langkah kaki."
"T unggu sebentar." kata Lirfgaa W isnu masih dengan
berbisik. Ia lant as menghampiri. meja. Dengan
mengerahkan himpunan t enaga sakti, ia menulis dengan
jari penunjuk. Pendek bunyinya: Hormat dan salam dari
sahabatmu, Songgeng Mint araga. Tetapi yang mengagumkan adalah bekas jari penunjuk itu. Alas meja
seperti melesak ke dalam.
Berbareng dengan mereka melompat ke luar jendela,
bulan sip it tiada lagi sehingga malam jad i gelap gulita.
Tiba-tiba saja sebatang pedang menyambar dada Lingga
W isnu. Lingga W isnu sama sekali tak gent ar sedikitpun.
Sebat ia menyambar pergelangan tangan penyerangnya.
Di luar dugaan, penyerangnya dapat bergerak dengan
cepat pula. Tahu-tahu ujung pedang menikam ulu hati
Lingga W isnu tidak menghiraukan. Ia mengandalkan
pada baju mustika pemberian Ki Ageng Gumbrek yang
tak mempan senjata betapa tajampun. Ia tak t akut akan
terluka. Tangannya terus bergerak mencengkeram
lengan. Sudah barang tentu penyerangnya kaget bukan
kepalang. Benarkah di dunia ini terdapat seseorang yang
benar-benar kebal" Selagi dalam keadaan demikian, tahu-tahu lengannya
tercengkeram. Hebat cengkeraman itu. Maka cepat-cepat
ia mengerahkan tenaga hendak membebaskan diri. Tapi
suatu tamparan mengarah mukanya. Gugup ia melonpat
mundur. Diluar kehendaknya sendiri, pedangnya terairpas. Oleh rasa kaget dan takut, ia lari dengan
jumpalitan dan sebentar saja tubuhnya lenyap dibalik
dinding kamar. Lingga W isnu membiarkan penyerangnya kabur
dengan selamat. Ia tahu siapa dia. Dialah pendekar
pedang Tawon Kemit, adik Anung-anung aliran Sekar
Ginabung. Tawon Kemit pernah malang-melint ang tiada
tandingnya semenjak belasan tahun yang lalu. Pedangnya yang bernama Korowelang, belum pernah
terkalahkan. Sekarang pedang andalannya itu terampas
orang dalam satu gebrakan saja. Keruan saja ia
mendongkol bukan kepalang. Kecuali malu, gentar juga
Ayu Sarini mengalami nasib seperti Tawon Kermit
pula. Sewaktu ikut mengintai rumah Songgeng
Mint araga, ia kehilangan pedangnya. Pendekar wanita
yang genit itu; hampir saja menangis oleh rasa marah
dan penasaran. Meskipun perampas pedangnya tidak
berniat jahat namun perampasan itu sendiri cukup
menghinanya. Malam itu, baik Ayu Sarini maupun Tawon Kemit, tidak
sanggup menidurkan diri. Mereka berdua diamuk
berbagai dugaan dan pikiran. Pendekar dari manakah
yang sanggup merampas pedangnya" Hampir-hampir
saja mereka tidak mau percaya, bahwa pedang andalan
masing-masing sesungguhnya kena terampas.
Sebenarnya Tawon Kemit keluar kamar tanpa tujuan.
Ia berjalan mondar-mandir di halaman mencari angin
segar. Tiba-tiba ia melihat cahaya menyala dalam kamar
Suromerto dan Mangun Sentono. Segera ia menghampiri
dan bersembunyi di belakang gerombol tetanaman.
Telinganya yang tajam mendengar suatu kesibukan
didalam kamar itu. Cepat ia menghunus pedangnya.
Inilah pencuri yang bosan hidup, pikirnya didalam hati. Ia
percaya akan dapat merobohkan pencuri itu dalam satu
gebrak saja. Diluar dugaan, ia gagal bahkan pedang
Korowelang kena terampas.
Dengan sesungguhnya, Tawon Kemit adalah seorang
ahli pedang. Di dalam aliran Sekar Ginabung, keahliannya
tiada yang dapat menandingi. Bahkan kakaknya
seperguruan, Anung-anung,
kalah setingkat. Tak mengherankan, ia disegani lawan dan kawan. Pedangnya
Korowelang, termasuk sebatang pedang pusaka pula.
Belum pernah pedang itu gagal menembus sasarannya.
Tapi malam itu, pedang Korowelang terpental balik.
Apakah bukan hantu" Maka bisa dimengerti, apa sebab ia
lari lintang-pukang. Dan begitu memasuki kamarnya
segera ia membangunkan teman-tenannya.
0odw - kzo0 Dalam pada itu, Lingga W isnu dan Sekar Prabasini
cepat-cepat lari mendekati pagar tembok. Mereka tak
usah takut bakal terlihat, karena sekitar pagar tembok
gelap pekat. Halaman gedung kediaman Srimoyo luas
pula Banyak pohon pohonan yang tumbuh dengan
suburnya, sehingga menutupi penglihatan. Tapi.t atkala
hendak melompati pagar, kaum Sekar Ginabung sudah
terbangun. Dan kesibukan itu menjalar dari tempat ke
tempat. Dan terpaksalah Lingga W isnu mengurungkan
niatnya.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita bersembunyi dahulu," ajak Lingga W isnu. Ia tak
berani semberono. karena gedung Srimoyo penuh
dengan pendekar-pendekar berilmu tinggi. Maka perlahan-lahan ia membawa Sekar Prabasin i mendekati
tembok dan mendekam rendah di atas tanah.
Prarasa L ingga W isnu memang tajam luar biasa. Tibatiba saja diatas genting
bermunculan beberapa orang
peronda. Coba, seumpama tadi tergesa-gesa melompati
pagar tembok, mereka akan kepergok dengan perondaperonda yang berada diatas
genting sebelah depan. "Hai, apakah in i?" tiba-tiba Sekar Prabasini berkata.
"Coba., rabalah!"
Gadis itu membawa tangan Lingga W isnu ke tempat
yang dikehendaki. Mula-mula pemuda itu tak mengerti
maksud Sekar Prabasini. Tapi setelah meraba beberapa
saat lamanya, hatinya mulai tertarik. Kaki pagar tembok
itu berlumut sangat tebal. Tapi aneh! Diantaranya
banyak terdapat lubang-lubang ukiran huruf. Ia terus
meraba dan meraba. Sekar Prabasin i mengikut i titik-tolak rabaan Lingga
W isnu.. Ia lantas mengejah. Eh, benar benar terbaca,
pikirnya didalam hati. Dan setelah sekian lamanya
meraba, akhirnya membaca:
NAROTAMA - KIMPURASA. "Hai! Bukankah t anda sandi in ilah yang kita cari?" seru
Sekar Prabasini berbisik.
Hampir sepuluh hari lamanya, mereka mencari istana
Mahapatih Narot ama. Mulai matahari
terbit sampai jauh malam. Sekarang, tiba-tiba mereka menemukan secara kebetulan
sekali Keruan saja, mereka girang dan bersyukur bukan main.
Narot ama hidup pada zaman Airlangga hendak
merebut negerinya. Raja itu terusir oleh kekuasaan raja
Sriwijaya- Ia memasuk i hut an dan mendaki gunung. Dan
Narot ama mengikuti dengan setia. Dengan tekun ia
menyusun laskar perjuangan disekitar W onogiri. Ia
mendirikan markas gerilya diant ara pegunungan seribu.
Karena peristiwa itu terjadi pada abad kedua belas, maka
tidaklah mengherankan bila gedung markas besarnya
lenyap ditelan sejarah. Lingga W isnu terpaku oleh rasa g irangnya. Tiba-tiba
tengkuknya kena hembusan halus hangat. Ia menoleh
dan melihat Sekar Prabasini tersenyum lebar. Ia jadi
sadar, meskipun Hikmah Pedang Hijau 15 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Keris Pusaka Nogopasung 4
^