Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 16

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 16


kesadaran itu sendiri belum dikehendaki. Gerutunya: "Dalam keadaan begini, masih saja kau bergurau ..."
"Bergurau" Justru tidak!" Sekar Prabasini melot ot.
"Apakah engkau akan membiarkan diri kena tangkap?"
"Akh, ya." Kini Lingga W isnu tersadar benar-benar.
"Mari k ita pergi!"
Mereka mendekam beberapa saat lamanya, Setelah
yakin tiada lagi peronda diatas genting, cepat mereka
melompati pagar tembok dan lari secepat-cepatnya.
Tepat jam empat pagi, sampailah mereka dirum ah
penginapan dengan selamat.
Tiba di kaomar penginapan, Sekar Prabasin i segera
menyalakan lilin. Lingga W isnu mengeluarkan gumpalan
kertas dari dalam sakunya.
Kertas itu sudah kuning kotor oleh usianya. Setelah
diperiksa, ia bergembira. Benar-benar dua helai surat
yang dikehendaki. Yang pertama surat kesaksian
Pangeran Adiningrat dengan diperkuat oleh tanda ibu jari
Ngaeran dan Bolot. Dan yang kedua surat kesaksian
Sondong Ucek-ucek, pemimpin gerombolan yang tadinya
hendak bekerja sama dengan Kuncaraningrat. Tegasnya,
itulah dua helai surat kesaksian Songgeng Mint araga
yang jatuh di tangan Suramerto dan Mangun Sentono.
Dengan hilangnya surat itu, Songgeng Mint araga jadi
berputus asa. Betapa tidak" Karena dia tidak mempunyai
pegangan lagi untuk menghadapi kekalapan Srimoyo
yang mengundang begitu banyak pendekar-pendekar
kenamaan. "Kau benar-benar berhasil menolong jiwanya ayah
digadis yang cant ik jelita," seru Sekar Prabasini
menyindir. "Entah dengan apa gadis itu hendak
membalas budimu ..."
"Gadis siapa?" "Iddiiih ... pura-pura lagi. Bukankah Rara Witri?" Sekar
Prabasin i mendengus. Lingga W isnu tertawa geli. Tak sudi ia melayani sifat
Sekar Prabasini yang masih kekanak kanakan. Ia lantas
mengalihkan perhatiannya kepada bunyi surat kesaksiannya itu. Katanya setelah membaca surat
kesaksian itu : "Benar-benar Songgeng Mintaraga tidak berjusta. Apa
yang dikatakan benar belaka. Bacalah sendiri! Hm,
seumpama dia berjusta sedikit saja tak sudi aku
membantunya. Apa keuntungannya bentrok dengan
beberapa pendekar angkatan tua dan yang sebaya
dengan usiaku. Bahkan diant ara mereka terdapat pula
murid-murid kakang Purbaya."
Sekar Prabasini tertawa. Tertawa geli.
"Kenapa kau tertawa?" Lingga W isnu heran.
"Bagaimana pendapatmu" Cant ik atau t idak pendekar
wanita yang bernama Ayu Sarini?"
"Akh!" Lingga Wisnu te rsadar seperti tersengat semut.
"Cantiknya si cant ik. Akan tetapi dia kejam. Kesannya
seperti iblis. Hm, apa sebab dengan tiba-tiba saja ia
mengutungi lengan orang. Seumpama tak teringat
kakang Purbaya, pada saat itu aku sudah t urun tangan,"
ia berhenti sebentar. "Inilah sebabnya pula, aku
memanggil Rara W itri kemari agar mencariku. Aku
hendak mengikat janji kepadanya. Dia kularang
membocorkan beradaku disin i. Sebab diant ara mereka
terdapat sesama anggauta aliran Sekar T eratai."
Setelah berkata demikian, ia memeriksa lagi lembaran
kertas lainnya. Sekonyong-konyong wajahnya berubah
menjadi merah padam. Heran Sekar Prabasini melihat
perubahan itu. Biasanya pemuda itu selalu tenang
wajahnya, meskipun hatinya panas dan marah bukan
main. Apa sebab kali in i t idak demikian"
"Surat apa?" tanyanya ingin mengetahui.
"Bacalah sendiri," jawab Lingga W isnu.
Itulah surat tugas rahasia Suramerta dan Mangun
Sentana. Surat tugas yang ditanda tangani Patih
Pringgalaya dan Komandan Kompeni Belanda. Surat
tugas itu terbagi menjadi tiga bag ian. Yang pertama,
membunuh Songgeng Mint araga dengan jalan apapun.
Yang kedua menyusup dan menghancurkan laskar Lawu.
Ketiga, mempengaruhi dan menghimpun mereka agar
mau menjadi hamba-sahaya pemerint ah Kasunanan atau
bersedia menjadi kaki-tangan kompeni Belanda. Dengan
demikian, diharapkan dapat melumpuhkan perjuangan
Gusti Said. Biaya-biaya untuk tujuan itu disediakan
sepenuhnya. Akhirnya dijanjikan bahw a Suramerta dan
Mangun Sentana akan diangkat menjadi bupati
mancanegara, manakala dapat menyelesaikan tugasnya
dengan baik. Inilah penghianatan terkutuk! Sekar Prabasini adalah
seorang gadis yang semenjak kanak-kanak hidup
terasingkan dari percaturan masyarakat. Meskipun
demikian, membaca surat tugas rahasia itu, nalurinya
berontak. T iba-tiba saja dadanya serasa hendak meledak
oleh rasa marahnya. Terus saja, hendak merobek surat
rahasia itu. Cepat-cepat Lingga W isnu merebutnya.
Cegahnya : "Jangan! Kenapa kau begini sembrono" Kalau sampai
terobek, kita tak mempunyai bukti penghianatannya
lagi." "Akh, ya." Sekar Prabasini tersadar. "Hampir saja aku
merusak pekerjaan besar. Tapi kenapa Suramerta dan
Mangun Sentana membawa-bawa surat tugas ini"
Bukankah surat ini dapat mencelakan dirinya?"
"Maksudnya untuk mempengaruhi Srimoyo dan
pendekar-pendekar lainnya. Tegasnya, peristiwa Srimoyo-Songgeng Mint araga, hanyalah suatu dalih
belaka. Yang penting, inilah suatu kesempatan untuk bisa
mengumpulkan para pendekar dari segala penjuru."
jawab Lingga W isnu. "Bila mereka sudah berada dalam
genggamannya, adalah mudah sekali untuk menghancurkan laskar Lawu."
"T adinya aku hanya hendak menolong paman
Songgeng Mintaraga karena tertarik keluhuran budinya.
Setelah itu, aku t ak mau tahu menahu lagi persoalannya.
Tak tahunya, terseliplah suatu latar belakang persoalan
yang maha besar. Sekarang telah menjadi keputusanku.
Jangan lagi akan bentrok dengan kakang Purbaya.
Meskipun aku terpaksa berlawan-lawanan dengan
pendekar-pendekar dari segenap t anah air, tak akan-aku
mundur setapak. Untuk bangsa dan tanah air, aku
bersedia mengorbankan jiwaku," kata Lingga W isnu
dengan penuh semangat. Bukan main kagum Sekar Prabasini terhadap pemuda
ini. Katanya membantu : "Memang benar keputusanrnu. Andaikata kakak
seperguruanmu itu mengadu kepada gurumu, aku
percaya, gurumu akan memihak kepadamu. Apalagi
gurumu adalah sahabat panglima Sengkan Turunan.
Kakang Lingga, kalau begitu perkenankan aku mint a
maaf kepadamu." "Kau salah apa kepadaku?"
"Karena aku selalu menggoda dan menyindirmu yang
bukan-bukan." jawab Sekar Prabasini.
Lingga W isnu tertawa. Katanya mengalihkan pembicaraan : "Sudahlah. Kau perlu istirahat kini. Biarlah aku
memikirkan daya upaya seorang diri, bagaimana caraku
menghadapi kawanan penghianat itu."
Kali ini Sekar Prabasin i tidak membant ah. Ia menjadi
jinak dan penurut. Segera ia memasuki kamarnya dan
sebentar lagi tiada terdengar suaranya. Tatkala ia
terbangun pada keesokan harinya, matahari sudah
sepenggalah tingginya. Ia melihat Lingga W isnu duduk bersemedi di atas
pembaringan. W ajah pemuda itu nampak cerah. Ia tak
mau mengganggunya. Setelah membersihkan badan, ia
menyediakan makan pagi dan minuman hangat.
Kira-kira pukul sembilan, Lingga W isnu turun dari
pembaringan. Ia gembira karena merasa dirinya
memperoleh kemajuan. Jalan darahnya t erasa lancar dan
sempurna. Segera ia mandi, dan berganti pakaian.
Melihat makan pag i telah tersedia diatas mejanya,
hatinya bersyukur. Terasa suatu kemanisan meresap
didalam perasaannya Tatkala tangannya hendak meraih
gelas, tiba-tiba saja Sekar Prabasini muncul diambang
pintu sambil tertawa manis. Kata gadis itu :
"Kyahi, apakah sudah selesai bersembahyang?"
"Sudah, nyai. Apakah nyai sudah segar kernbali?"
Lingga W isnu membalas menggoda dengan tertawa.
"Sudah, kyahi. Akupun sudah berganti pakaian pula,"
ujar Sekar Prabasin i. "Apakah aku benar-benar mirip
seorang pemuda?" "Seorang pemuda yang terlalu cakap," jawab Lingga
W isnu dengan wajah merah,
Sekar Prabasini d iam-d iam menyesali pertanyaannya
sendiri. W ajahnya terasa panas. Akan tetapi hatinya
senang Entah apa sebabnya.
Mereka berdua lantas bersantap berbareng tanpa
berkata sepatah kata lagi. Masing masing seperti lagi
berusaha menyembunyikan perasaan hatinya. Belum
selesai mereka bersantap, datanglah seorang pelayan
mengantarkan seorang gadis. Dialah Para W itri yang
segera membungkuk hormat begitu melihat Lingga
W isnu dan Sekar Prabasini.
Lingga W isnu buru-buru membalas hormat. Sedang
Sekar Prabasini lantas saja memegang tangannya dan
diajaknya duduk berdamping. Rara W itri tak mengetahui
bahw a pemuda yang mengajaknya duduk berdamping,
sebenarnya seorang gadis seperti dirinya. Keruan saja ia
malu dan segan bukan main. Akan tetapi tak berani ia
membangkang, mengingat mereka berdualah nant i yang
hendak menolong menyelamatkan jiwa ayahnya.
"Benarkah namamu Rara W itri?" Sekar Prabasini
menegas. "Benar," jawab Rara W itri dengan wajah berobah
merah'. "Dan kakang sendiri?"
Sekar Prabasini membuang pandang sambil tertawa
lebar. Katanya mengarah kepada Lingga W isnu:
"Kau tanyalah padanya. Sudah beberapa hari ini d ia
sangat galak kepadaku. Aku dilarangnya memperkenalkan nama sendiri."
Rara W itri mengira Sekar Prabasin i sedang bergurau
dengan kawannya. Maka tak berani ia mendesak.
Katanya mengalihkan pembicaraan
"Kakang berdua hendak menolong menyelamatkan
jiwa ayahku. Bukan main besar budi ini untukku.
Meskipun tubuhku hancur lebur, rasanya kurang
termadai sebagai penebus."
"Ayahmu seorang pendekar yang luhur budi" sahut
Lingga W isnu. "Sudah seharusnya kami berdua berbuat
sesuatu untuk ayahmu. Tak usahlah kau pikirkan sebagai
suatu jasa yang berlebih-lebihan. Bukankah ayahmu
sebentar sore hendak menyelenggarakan pesta perjamuan?" "Benar. Akan tetapi pesan ayah, semuanya terserah
kepada kakang berdua." jawab Para W itri.
"Begitukah pesan ayahmu" Kalau begitu sampaikan
pesanku, agar ayahmu melanjutkan maksudnya untuk
menyelenggarakan pesta perjamuan itu. Kami berdua
mempunyai dua bungkus sebagai hadiah ... atau katakan
sebagai barang sumbangan. Hendaklah dua bungkus ini
dibukanya dihadapan para tetamu, manakala suasana
sudah menjadi genting. Kurasa, akan bagus hasilnya.
Karena kedua bungkus ini berisikan benda sangat
berharga, maka-jagalah jangan sampai kena hadang
orang!" Para W itri menerima kedua bungkus perberian Lingga
W isnu dengan hormat. Heran, ia mengamat-amati
bentuk dua bungkusan yang diterimanya itu. Yang
pertama berbentuk panjang dari berat . Mirip sebatang
senjata. Sedang yang kedua, kecil dan ringan. Tapi tak
berani ia mint a keterangan. Setelah menghaturkan rasa
terima kasih, segera ia mengundurkan diri.
"Mari kita ikut i dia. Kita lindungi dia dengan diamdiam," ajak Lingga W isnu.
"Kita harus menjaganya agar
tak terampas kembali oleh pemiliknya. "


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Prabasini mengangguk. Dan demikianlah,
setelah pintu dan jendela kamar tertutup kuat-kuat,
mereka segera terangkat. Sanpai di ruang tengah, t ibatiba mereka melihat Rara W
itri masih berada di ruangan
depan. Entah apa sebabnya, gadis itu tidak segera
pulang. Maka cepat mereka berdua bersembunyi dibalik
dinding lalu mengint ai. Terdengar Para W itri berkata
kepada pengurus penginapan
"Panggil ah pemilik rumah penginapan. Majikanmu,
maksudku. Katakan padanya, Umbul-umbul Kyahi
Tambur turun dari celah kepundan Lawu. Dan dia pasti
akan segera datang kemari"
Heran Lingga W isnu memandang Sekar Prabasini
Katanya berbisik mengulangi :
"Dia berkata apa?"
Sekar Prabasini adalah seorang gadis yang mempunyai
pengalaman luas dalam perant auan. Segera ia menyahut: "Itulah kata-kata sandi. Masakan kau tak tahu?"
Pengurus rumah penginapan tadi bersikap angkuh. Iatidak begitu mengacuhkan
terhadap seorang gadis seusia
anaknya. Tapi begitu mendengar kata-kata gadis itu,
berubahlah sikapnya. Gugup ia membungkuk hormat
sambil mengiakan beruntun. Kemudian cepat-cepat
melint asi pekarangan, dan memasuki sebuah rumah yang
berada di seberang rumah penginapan. Tak usah
menunggu lama, datanglah ia kembali mengantarkan
majikannya menghadap Rara W itri.
"nDorojeng memanggil kami" Paduka hendak memberi
titah apa kepada hambamu?"
"Aku Rara W itri, putri Songgeng Mint araga," jawab
Rara W itri. "Pergilah engkau ke markas besar laskar
Lawu. Katakan kepada penjaga markas, bahw a aku
memerlukan tenaga beberapa orang."
Berubah wajah pemilik rumah penginapan begitu
mendengar gadis itu menyebutkan namanya. Sama sekali
tak dikiranya bahw a gadis yang berada dihadapannya
adalah putri Songgeng Mint araga. Kaget ia, sampai
hatinya tergetar. Segera ia membungkuk hormat dua
kali. Kemudian memberi perint ah dua pelayannya agar
menyediakan seekor kuda balap. Begitu kuda balapnya
siap, ia melompat keatas punggung kuda dan
membedalnya bagaikan terbang.
Heran dan kagum Lingga W isnu menyaksikan
peristiwa itu. Sama sekali tak diduganya, bahw a
pengaruh Songgeng Mint araga sangat besar. Pikirnya di
dalam hati : 'Kalau begitu, tak perlu aku melindunginya lagi.'
Benar saja. Tak lama kemudian datanglah duapuluh
laskar bersenjata lengkap. Mereka diant ar oleh pemilik
rumah penginapan menghadap Rara W itri. Dan melihat
kedatangan mereka, maka Lingga W isnu segera kembali
ke kamarnya. Katanya kepada
Sekar Prabasini : "Siapa mengira, begini besar pengaruh paman Songgeng Mint araga. Kalau
begitu, benarlah ucapan muridnya. Bila saja paman
Songgeng Mint araga mau, dengan sepatah katanya seluruh laskar Lawu siap dibelakangnya. Kalau sampai
terjadi demikian, betapa Srimoyo mampu menuntut balas dendam. Bahkan dia dan kawan-kawannyalah yang
terancam kemusnaan."
"Lalu, apa yang hendak kau lakukan sekarang?" Sekar
Prabasin i mint a ketegasan.
"T idur. Bukankah engkau semalam kurang tidur pula"
Sebentar sore kita dapat hadir dalam keadaan segar
bugar." Benar-benar mereka memasuki kamarnya masing
masing, sementara Rara W itri pulang dengan membawa
bungkusan pemberian Lingga W isnu. Dua puluh orang
anggauta Laskar Lawu mengawalnya dengan rapat dan
berwaspada. Menyaksikan hal itu baik Lingga W isnu
maupun Sekar Prabasini puas. Dengan hati lapang,
mereka merebahkan diri diatas pembaringannya. Dan tak
lama kemudian mereka tertidur lelap.
0o0-dw-0o0 Sore hari itu tiba dengan diam-diam. Sebelum mandi,
Lingga W isnu bersemadi dahulu diatas pembaringan.
Jalan darahnya terasa lancar, pernapasannya lega dan
untuk kesekian kalinya selalu saja ia merasa memperoleh
kemajuan. Rasa segar bugar menyelimut i hatinya,
sehingga ruang benaknya menjadi jernih. Terus saja ia
melompat turun dari pembaringan. Dan tiba-tiba saja
Sekar Prabasini telah berada didekatnya,
"Baru saja aku membelikan seperangkat pakaian
untukmu." katanya.. "Bukankah kita perlu mengenakan
pakaian agak mentereng sebagai tetamu undangan"
Mungkin pula, kita berdua akan merupakan tetamu yang
istimewa sebentar malam."
Lingga W isnu te rtawa. Meskipun ia tidak menghendaki
menjadi t etamu yang istimewa namun pakaian itu sendiri
tiada celanya untuk dikenakan. Demikianlah, setelah
mandi benar-benar ia mengenakan pakaian yang
disediakan Sekar Prabasin i. Pandai benar Sekar Prabasini
mengukur bentuk dan perawakan tubuhnya, sehingga
enak dikenakan. Ia jadi kagum dan terharu oleh
kecermatannya. "Kita makan dahulu. Kemudian berangkat." katanya.
Sekar Prabasin i tidak menolak. Dan seperti tadi pagi,
mereka berdua berbareng makan. Sebenarnya jenis
makan siang itu, tidaklah mewah. Akan tetapi karena
makan siang itu baru dimakannya setelah sehari tiba,
mereka berdua jadi bernapsu oleh rasa lapar dan
dahaga. Sebentar saja semua makanan dan minuman
ikut tersapu bersih pula.
Tatkala mereka memasuki serambi rumah Songgeng
Mint araga, semua tetamu undangan sudah lengkap.
Srimoyo, Tawon Kemit, Genggong Basuki Ayu Sarini,.
Suramerto, Mangun Sentono dan lain-lainnya duduk
dimeja pertama. Mereka mendapat perlayanan istimewa
dari t uan rumah sendiri.
Kesan perjamuan jauh berlainan dengan pesta
perjamuan yang diselenggarakan Srimoyo. Semuanya
serba teratur dan sopan. Maklumlah; tuan rumah atau
Songgeng Mint araga adalah seorang pemimpin laskar.
Persediaan makan minum serba lengkap. Dan anak
buahnya biasa terlatih cekatan, sopan dan pandai
bergaul. Maka suasananya terasa cerah serta meyakinkan. Tatkala lampu-larrpu mulai d inyalakan,
serambi depan rumah itu berubah layak sebuah istana
raja kecil. "Saudara-saudara, silahkan minum!" kata Songgeng
Mint araga dengan hormat.
Srimoyo berdiri mengangkat tempat minumnya. Tibatiba saja, ia membant ingnya
diatas lantai hingga hancur
berantakan. Lalu berteriak dengan bengis :
"Songgeng Mintaraga! Enak saja kau memper-silahkan
kami meneguk minumanmu. Apakau kau bermaksud
menyuap kami " Masakan harga jiwa kau samakan
dengan segala minuman dan makanan in i" Disin i telah
berkumpul beberapa belas pendekar kenamaan. Bicaralah didepan mereka, bagaimana cara kita
menyelesaikan masalah hutang jiwa ini. Bicaralah yang
jelas! Jangan lagi perkara makan minum dan segala
tetek-bengek!" Itulah suatu serangan tiba-tiba yang t ak terduga sama
sekali. Meskipun Songgeng Mint araga tahu, bahwa
perjamuan itu akhirnya akan menjadi tegang, namun
ucapan Srimoyo yang garang itu membuat mulutnya
terbungkam. Gagak Pengasih, murid Songgeng Mint araga tak
senang melihat gurunya terdorong kepojpk. Terus saja ia
berdiri t egak dan berteriak mewakili gurunya :
"Saudara Srimoyo! Benar-benar engkau manusia yang
tak mengenal t ata-sant un. Kita lagi makan minum. Sama
sekali belum sampai pada acara kata-kata. Apa sebab
engkau lantas saja membuka mulut begitu besar"
Apakah pekertimu itu tidak akan merosot kan derajat
kaum pendekar lainnya" Lagipula, dengarkanlah baikbaik bagaimana peristiwa
kakakmu te rjadi. Kakakmu mati
karena perbuatannya yang keji. Dengan licik ia hendak
mengadakan pembunuhan, semata-mata tergiur paras
cant ik belaka. Guruku ..."
Sekonyong-konyong terasa ada segumpal angin
menyambar. Cepat-cepat Gagak Pengasih menundukkan
kepalanya. Ia melihat sesuatu yang berkerepan diatas
pandang matanya. Tatkala menoleh, di lihatnya tiga
batang paku berbulu tertancap pada dinding dalam. Ia
kaget dan gusar. Lingga W isnu pun demikian pula. Sebab
segera ia mengenal siapakah pembidiknya. Itulah paku
Cundamanik, senjata bidik kaum Sekar Teratai. Siapa lagi
kalau bukan milik Ayu Sarin i, Nawawi atau Genggong
Basuki. "Bagus benar!" teriak Gagak Pengasih sambil
menghunus goloknnya. "W ajahmu memang cantik.
Kabarnya kau kaum Sekar Teratai. Kenapa begini keji"
Kau pulalah yang menguntungi lengan kanan adikkuseperguruan. Benar-benar
perempuan bangsat!" Dengan menghunus goleknya, Gagak Pengasih hendak
melompat maju menghampiri Ayu Sarini. Tapi Songgeng
Mint araga buru-buru mencegahnya Katanya mengalah :
"Jangan! Aku tak mengidzinkan kau berbuat begitu!"
Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Ayu Sarini.
Berkata lagi dengan suara hormat:
"Neng, kau murid aliran Sekar Teratai. Kenapa
perangaimu tiada beda dengan muridku?"
Halus ucapan Songgeng Mint araga, akan tetapi
tajamnya tiada beda dengan suatu tikaman pedang.
Keruan saja Srimoyo tidak rela membiarkan tetamu
undangannya kena hina. Tiba-tiba saja ia menyerang
dengan sambitan dua batang pisau, sambil memaki :
"Bangsat! Enak saja kau mengumbar mulut !"
Songgeng Mint araga sama sekali, tak gugup kena
serangan tiba-tiba. Dengan tenang, ia menyambut dua
batang pisau itu dengan jepitan dua jarinya. Kemudian
meletakkan kedua pisau itu diatas meja dengan sabar
sekali. Katanya: "Kenapa saudara Srimoyo sangat marah kepadaku"
Kista masih cukup mempunyai waktu untuk berbicara
sambil makan minum. Perbuatan yang tergesa-gesa
seringkali t ak ada faedahnya.."
Srimoyo kaget menyaksikan kepandaian Songgeng
Mint araga. Pikirnya, pant aslah kakang Kuncaraningrat
mati ditangannya. Akan tetapi ia tak gent ar. Selagi hentimembuka mulut, Tawon
Kemit yang berada dekat Songgeng Mintaraga melompat. Pendekar itu menyambar
lengan kanan Songgeng Mint araga. Teriaknya :
"Saudara Mint araga! Kau hebat! Ingin aku menjabat
tanganmu ..." Songgeng Mint araga yang berpengalaman, dapat
menebak maksud lawan. Apabila membiarkan lenganya
kena sambar, tulang sendinya akan patah. Maka cepat
luar b iasa ia mengelak sambil melompat mundur. Itulah
gerakan yang sama sekali tak terduga. Maksud Tawon
Kemit hendak menjangkau. Tapi yang kena tersambar
tangannya ada lah sebuah kursi. Kena gempuran tenaga
saktinya, kursi itu patah berantakan.
Mau tak mau Songgeng Mint araga sibuk juga
menyaksikan tetamunya begitu galak. Kawan-kawan
Srimoyo dengan serentak mencabut senjatanya masingmasing. Murid-muridnya dan
beberapa sahabatnya demikian pula. Ia khawatir pertempuran akan segera
terjadi, sedangkan pendekar Bondan Sejiwan yang
diharapkan belum tiba. Ia percaya, pendekar luar biasa
itu pasti dapat melerai perselisihan itu. Dengan demikian,
tidak akan terjadi korban sia-sia. Oleh pikiran itu, ia
mengerlingkan mata kepada Rara W itri dengan pandang
penuh pertanyaan. Rara W itri mengerti maksud ayahnya. Ia jadi sibuk
pula. Dua bungkusan yang diperolehnya dari Lingga
W isnu dipeluknya dengan erat-erat. Diluar kehendaknya


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri, ia mengharapkan terjadinya suatu keajaiban
yang membersit dari dua bungkusan itu. Keajaiban apa,
ia tak tahu sendiri. Tadi pagi Lingga W isnu berpesan
kepadanya, bahwa dua bungkusan itu baru boleh
dibukanya, apabila suasana berubah menjadi tegang. Hal
itu telah dikatakan pula kepada ayahnya. Karena itu,
sikapnya kini hanya menunggu perint ah ayahnya. Tibatiba pada saat itu ia
melihat ayahnya memberi isyarat
mata. Terus saja ia bangkit sambil membuka dua
bungkusan pemberian Lingga W isnu. Ternyata bungkusan itu adalah yang pertama berisikan dua batang
pedang. Dan segera ia meletakkan dua batang pedang
itu diatas meja. Songgeng Mint araga heran melihat dua batang
pedang itu. Tak dapat ia menangkap maksud Bondan
Sejiwan. Pikirannya jadi sibuk menebak-nebak. Sebaliknya, dipihak Srimoyo terjadi suatu kesibukan.
Tawon Kemit dan Ayu Sarini yang segera mengenal
pedangnya masing-masing malu bukan kepalang. Mereka
sampai berseru tertahan. Ayu Sarini adalah seorang pendekar wanita yang
mudah sekali tersinggung. Terus saja ia menyambar
pedangnya. Kemudian menantang :
"Kalau engkau memang seorang pendekar, marilah
kita bertempur mengadu kepandaian dengan berhadaphadapan. Bukan mencuri seperti
bangsat kesiangan. Hayo, siapa yang berani mengadu pedang denganku?"
Songgeng Mint araga tergugu. Benar-benar ia tak
mengerti liku-likunya. Dengan pandang mint a keterangan, ia menatap w ajah puterinya. Sebaliknya Ayu
Sarini tidak mau mengerti. Sekali bergerak, pedangnya
menusuk dada. Mint araga mundur selangkah samb il menjeblak.
Setelah seorang muridnya datang mengantarkan sebatang golek. Ia menerima goleknya itu, akan tetapi
sama sekali tak membalas. Dan diperlakukan demikian,
Ayu Sarini merasa dirinya direndahkan. Terus saja ia
menusuk pundak kiri. Songgeng Mint araga mengeluh. Mau t ak mau ia harus
menangkis. Dengan suatu tabasan pendek, tiba-tiba
goleknya berbelok dan menyapu dari samping diluar
kehendaknya sendiri. Itulah ancaman bahaya bagi Ayu
Sarini. Kalau dia berani menangkis, pedangnya pasti
tergempur runtuh.. Alangkah ia akan malu. Tetapi ia
salah seorang murid pendekar Purbaya. Cepat luar biasa,
ia mengendakan diri. Dan pada detik itu pula, pedangnya
menikam perut mengadakan pembalasan.
Songgeng Mint araga terkejut. Inilah serangan balasan
yang hebat. W alaupun ia sudah kenyang makan garam,
namun serangan itu sendiri diluar perhitungannya. Tak
sempat lagi ia mengadakan pembelaan. Satu-satunya
jalan hanya melompat. Maka dengan mengerahkan
tenaga, kakinya menjejak lantai.. Tubuhnya lantas
terbang tinggi melint asi kepala Ayu Sarini. Ia berhasil
menyelamatkan perutnya. Sekalipun demikian, celananya
kena terebek juga. Untung hanya sebesar ujung pedang..
"Benar-benar berbahaya ..." pikirnya didalam hati. Ia
menabaskan goloknya beberapa kali untuk berjaga-jaga.
Siapa tahu, Ayu Sarini menyusuli serangan baru.
kemudian turun di atas lantai dengan memutar
tubuhnya. Indah dan ringan gerakkannya.
Sebenarnya, tepat dugaan Songgeng Mintaraga. Ayu
Sarini benar-benar menyusuli serangan baru. Kemudian
ia kena pegat dua orang murid Songgeng Mint araga.
Terus saja pendekar wanita itu gusar bukan kepalang.
Dengan bengis ia menikam, menusuk dan membabat.
Akan tetapi dua murid Songgeng Mint araga bukan
makanan empuk baginya. Apalagi mereka berdua
dendam terhadapnya, karena Pramana terkutung
lengannya akibat pedangnya. W alaupun ilmu kepandaian
mereka kalah tinggi, akan tetapi betapapun tak mudah
diundurkan. Pada saat itu, sempat Songgeng Mint araga memperhatikan Rara W itri. Gadis itu sedang membuka
bungkusan yang kedua. Ia heran tatkala melihat dua
helai kelompok kertas. "Ayah, apakah ini?"
Melihat kertas itu, Songgeng Mintaraga girang bukan
kepalang. Itulah warna kertas yang dikenalnya seperti
warna tangannya sendiri. Terus saja ia menyambar
kertas itu. Kemudian berteriak-teriak :
"T ahan. Tahan! Aku hendak berbicara dahulu ..."
Mendengar teriakan gurunya, kedua muridnya yang
sedang mengkerubut Ayu Sarini menunda gerakan
senjatanya. Mereka mundur dengan berbareng. Sebaliknya, Ayu Sarini yang penasaran tidak menghiraukan seruan penundaan. Melihat dua pengeroyoknya mundur, segera ia melayangkan kakinya.
Duk! Salah seorang murid Songgeng Mint araga kena
dupak. Dan murid itu terjungkal dengan melontakkan
darah. "Bangsat! Perempuan tak punya malu!" maki
rekannya. Ayu Sarini tidak menggubris. Hatinya terlalu mendongkol, mengingat pedangnya kena terampas
lawan semalam. Itukah suatu penghinaan besar baginya.
Rasa penasaran dan mendongkolnya dialamatkan kepada
Songgeng Mint araga. Selagi memperoleh kesempatan,
gerakan pedangnya kena dirint angi mereka berdua.
Keruan saja ia menjadi jengkel. Mereka berdua harus
mendapat hajaran yang setimpal. Demikianlah ia berhasil
mendupak salah seorang diant ara mereka, sewaktu
bergerak mundur oleh seruan gurunya.
Songgeng Mint araga tahu, perlakuan Ayu Sarini
terhadap muridnya adalah keterlaluan. Tetapi sedapat
mungkin ia menguasai diri. Dialihkan pandangnya kepada
rombongan Srimoyo. Berseru :
"Saudara-saudara, tolong! Dengarkan permohonanku
ini." Pada waktu itu suasana tegang sekali. Kedua belah
pihak seakan-akan tidak sudi lagi lagi suara ketiga.
Karena itu. Songgeng Mint araga harus mengulangi
seruannya beberapa kali. Baru, setelah ia menggunakan
himpunan tenaga saktinya, suasana dapat di tindihnya.
Dan berkatalah ia lagi : "Saudara Srimoyo! Dengan ini perkenankan diriku
menyatakan rasa sesalku karena dahulu aku membunuh
kakakmu. Percayalah, aku benar-benar menyesal. Nah,
saudara-saudara sekalian dan sahabat-sahabatku dari
segenap penjuru, kuakui bahwa pendekar Kuncaraningrat
kakak saudara Srimoyo benar-benar mati oleh tanganku
ini ..." Mendengar perkataan Songgeng Mintaraga, maka
suasana pesta perjamuan menjadi sunyi senyap dan tibatiba Srimoyo meledak,
"Bagus! Jadi engkau telah mengakui.. Karena engkau
berhutang jiwa, maka wajiblah engkau membayarnya
dengan jiwa pula!" "Benar! Benar! Hut ang jiwa harus d ibayar dengan
jiwa!" seru beberapa teman-temannya. Dan makin lama
makin riuh sehingga suasana pesta perjamuan kembali
jadi berisik. "Sahabat-sahabatku, sabarlah barang sebentar!"
Songgeng Mint araga mencoba mengatasi.. Kemudian
sambil memperlihatkan dua helai surat yang sudah
kekuning-kuningan, ia berseru nyaring :
"Lihatlah! Aku membawa dua helai kertas yang sudah
tua. Inilah surat kesaksian. Sudikah diant ara sahabatsahabat membaca surat
kesaksian in i" Setelah itu,
adililah diriku! Bila aku diharuskan tetap membayar jiwa,
segera aku akan bunuh diri. Percayalah, meskipun aku
bukan seorang pendekar, tidak akan kusesali perbuatan
bunuh diri in i sampai diakhirat."
Keterangan Songgeng Mint araga tentang dua helai
surat itu membuat mereka heran dan ingin tahu. Surat
apa itu" Masing-masing lantas memberi tafsiran dan
dugaan. Dan untuk kesekian kalinya suasana pesta
perjamuan menjadi berisik.
"Bagaimana kalau aku saja yang menunjuk?"
Songgeng Mintaraga mint a pertimbangan. "Atau biarlah
saudara Srimoyo menunjuk tiga orang untuk membaca
surat ini." Srimoyo tidak tahu menahu tentang surat kesaksian
itu. Apakah tuan rumah hendak mengulur waktu"
Meskipun denikian dan betapapun juga, t idak akan luput
dari tangannya. Biarlah ia memberi kesempatan untuk
menunda kenatiannya. Maka berkatalah ia dengan lega
hati : "Baiklah. Sekarang atau nanti, engkau harus
membayar jiwamu juga. Aku akan memenuhi permint aan
terakhirmu. Kakang Genggong Basuki, kakang Sastra
Demung dan saudara Kayat Pece! Sudikah saudara
bertiga mengabulkan permohonannya" Coba, bacalah
bunyi surat itu dengan berbareng. Kami semua ingin
mendengarnya." Selagi Genggong Basuki bertiga-bangkit dari kursinya,
Suramerta dan Mangun Sentana saling berbisik dengan
wajah pucat-lesi. Mereka berdua segera mengenal surat
kesaksian Songgeng Mint araga yang semalam kena
rampas orang. Mereka lantas saja merasa diri terjepit
dipojok. Tak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan,
mirip persakitan menunggu keputusan hakim.
Sastra Demung yang mula-mula membaca, lalu
berkata kepada Srimoyo: "Menurut pendapatku, lebih baik kita sudahi saja
permusuhan ini. Kamu berdua mulai saat in i justru harus
bersahabat." Sastra Demang adalah ut usan pihak Ugrasawa. Ilma
kepandaiannya sudah mencapai tataran kesempurnaan.
Usianya hampir sebaya dengan Songgeng Mint araga.
Kecuali rohaniahnya sudah matang, kepandaiannya
disegani orang. Itulah sebabnya, mereka sonua
tercengang mendengar ucapannya. Beberapa orang yang
duduk dikursi set engah bangkit, sibuk menduga-duga..
Sebenarnya surat kesaksian apakah yang membuat
Sastra Demung tiba-tiba berubah pendiriannya"
Srimoyo heran berbareng penasaran. Ia sendiri lant as
maju untuk membaca dua lembar surat itu. Membaca
bunyi surat pengakuan kakaknya, ia masih bersangi.
Sebab dia mungkin bisa d ipaksa. Akan tetapi begitu
membaca surat kesaksian Pangeran Adiningrat, hatinya
terpukul. Perasaan malu, kecew a dan bingung berkecamuk dalam dadanya. Ia jadi tertegun dengan
resah. Tiba-tiba Genggong Basuki yang ikut membaca dari
belakang punggung Sastra Demung berteriak :
"Palsu! Siapapun dapat membuat surat semacam ini.
Saudara-saudara, jangan sampai kena di kelabui manusia
terkutuk ini! Dan set elah berkata demikian, tiba-tiba ia
menyambar dua helai surat kesaksian itu dan dirobeknya
berkeping-keping. Bukan kepalang terkejutnya Songgeng Mint araga
melihat kedua surat kesaksiannya kena terobek tangan
Genggong Basuki. Pada saat itu gelaplah pandang
matanya. Maklumlah, kedua surat kesaksian itu
merupakan senjata satu-satunya untuk mengatasi f itnah.
Dengan terobeknya surat kesaksian itu, tiada lagi ia


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai pegangan. Serentak ia menekam hulu
goloknya erat-erat dan berteriak bengis :
"Genggong Basuki! Kau datang kemari membawa
nama rumah perguruanmu. Kenapa kau merobek surat
seseorang yang bukan milikmu sendiri" Benar benar kau
manusia tak beradab."
"T ak beradab?" Genggong Basuki tertawa terkekehkekeh. "Sebenarnya aku atau
engkau yang pant as disebut manusia tak beradab" Terang-terangan, kau
telah membunuh kakak rekan Srimoyo. Lalu kau
mengada-ada dengan membuat surat kesaksian palsu.
Coba bilang, apakah kau tidak malu pada diri sendiri"
Surat kesaksian semacam ini, siapapun dapat membuat.
Andaikata aku mengeram satu hari saja didalam kamar,
aku bisa membuat puluhan lembar yang sama rupa dan
sama bentuknya. Apakah kau kira, aku t ak dapat meniru
bentuk huruf-hurufnya?"
Tatkala membaca surat kesaksian, baik Sastra
Demung maupun Kaya Pece tersadar bahw a Srimoyolah
yang terburu napsu dalam masalah balas dendam itu.
Akan tetapi setelah mendengar ucapan Genggong Basuki
yang masuk akal, mereka jadi berbimbang-bimbang.
Apakah dua helai surat kesaksian itu benar-benar asli
atau palsu" Adalah sulit sekali untuk membuktikannya
palsu dan tidaknya. Maka mereka berdua mendadak
terbungkam mulutnya, sehingga tertegun-tegun kehilangan pegangan. Seketika itu juga, suasana serambi depan rumah
Songgeng Mint araga sunyi senyap. Rasa tegang
menggerayangi perasaan set iap orang. Dan Rara W itri
yang mengharapkan terjadinya suatu keajaiban, menjadi
putus asa. Ia tahu, dalam kekalahannya, ayahnya akan
nekat atau melakukan bunuh diri.
"Ayahi" jeritnya putus asa.
Gagak Pengasih semenjak tadi menahan diri. Sekarang
menyaksikan gurunya dihina demikian rupa, meluaplah
darahnya. Terus saja ia menabaskan goloknya kepada
Genggong Basuki. Hebat dan dahsyat serangannya.
Tetapi Genggong Basuki pun bukan sembarang pendekar
pula. Tiba-tiba saja tangan dan pedangnya berkelebat.
Tahu-tahu golok Gagak Pengasih terlempar dan jatuh
bergemelontangan di atas lantai. Dan ujung pedang
Genggong Basuki mengancam tenggorokannya.
"Hm, kau ingin menccba-coba ilmu pedang Sekar
Teratai. Jangan bermimpi!" bentak Genggong Basuki.
"Sekarang bertekuk lututlah. Kalau tidak, terpaksa Kau
harus membayar lelucon ini dengan jiwamuI"
Menyaksikan Gagak Pengasih terancam jiwanya,
rekan-rekannya tentu saja tidak berpeluk tangan saja.
Dengan serentak, mereka menghunus senjatanya
masing-masing. Kemudian menyerbu berbareng.
Serbuan murid-murid Songgeng Mint araga itu seolaholah aba-aba bagi pihak
Srimoyo. Mereka pun dengan
serentak menyongsong gegap gempita. Dan pertempuran kacau segera terjadi. Kursi dan meja pesta
perjamuan hancur berserakan. Piring dan gelas terpental
berhamburan, sehingga terdengar berisik sekali.
Gagak Pengasih terus mundur sampai beberapa
langkah. Ia mencoba membebaskan diri. Akan tetapi
ujung pedang Genggong Basuki terus menempel
tenggorokan seakan-akan tak sudi terenggang serambutpun. "Eh! Kau jangan bermimpi yang bukan bukartl" ejek
Genggong Basuki. "Kuhitung sampai tiga. Kalau kau
masih membandel, tenggorokanmu bakal tertikam."
"Kau tikamlah aku!" teriak Gagak Pengasih. "Kau kira
murid Songgeng Mint araga takut mati" Manusia boleh
mati, tapi tak boleh kau hina. Hayo, bunuhlah aku!"
Panas hati Genggong Basuki. Iapun tak sudi kalah
gertak. Tapi selagi hendak menusukkan pedangnya, ia
melihat Songgeng Mint araga melompat ditengah-tengah
gelanggang sambil berteriak:
"Semua mundur! Biarlah aku yang bertanggung
jawab!" Setelah berkata demikian, ia mengancamkan goloknya
ke lehernya sendiri. Berseru kepada murid-muridnya :
"Kalian mundurlah! Aku t idak menghendaki kalian ikut
serta mengorbankan jiwa. Masalah balas dendam ini
adalah masalahku sendiri. Karena aku berhutang jiwa,
biarlah aku sendiri yang membayarnya. Nah, mundurlah!" Sekalian muridnya patuh padanya. W alaupun hatinya
pedih, namun mereka mundur juga. Seketika itu juga,
ruang serambi depan menjadi sunyi tegang. Mereka
tahu, gurunya sudah mengambil keputusan karena sudah
merasa t erdorong kepojok.
Memang, Songgeng Mint araga sudah putus asa.
Tadinya ia mengharapkan dapat mengatasi ketegangan setelah memperlihatkan dua helai surat
kesaksiannya. Ternyata harapannya gagal, karena
Genggong Basuki merobek-robeknya hingga hancur
berkeping-keping. Ia masih bisa mengendalikan diri.
Siapa tahu, pendekar Bondan Sejiwan akan muncul oleh
peristiwa. Sebab, bukankah dua helai surat kesaksian itu
dialah yang mengembalikan" Dengan terobeknya surat
kesaksian itu; pastilah dia tersinggung kehormatannya.
Ia tahu Bondan Sejiwan aneh wataknya. Setiap patah
katanya harus didengar siapapun. Siapa yang berani
mencoba-coba membangkang, pasti terenggut jiwanya.
Tapi nyatanya, sampai pertempuran kacau itu terjadi,
pendekar luar b iasa dan aneh itu tidak muncul juga.
Karena itu demi membatasi terjadinya korban yang siasia, ia memutuskan untuk
mengakhiri persoalan. Tibatiba selagi ia hendak menggorok lehernya sendir^
terdengarlah suara Rara W itri :
"Ayah! Bukankah ayah menyimpan surat itu"
perlihatkan kepada mereka! Dia pasti datang!"
Untuk membuat lega puterinya, Songgeng Mint araga
merogo sakunya dengan kepala kosong.. Ia mengeluarkan sehelai kertas berisikan yang berisikan
sebuah lukisan sebatang pedang aneh. Itulah surat
Lingga W isnu. Kemudian diperlihatkan kepada hadirin.
Didalam hatinya, sama sekali ia tak mengharapkan
sesuatu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk membuat
puterinya senang dan berlega. Lalu berseru nyaring :
"T uanku Bondan Sejiwan! Kau datang terlambat! T api
sama sekali aku tidak menyesalimu. Semuanya ini harus
terjadi, karena nasibku yang buruk!"
Tentu saja hadirin tidak mengerti apa hubungannya
lukisan pedang aneh itu dengan disebutnya nama
pendekar Bondan Sejiwan. Mereka hanya tercengang
sejenak. Dan selint asan mencoba menebak-nebak apa
maksud pendekar tua itu.Tiba-tiba mereka t erkejut oleh
suatu perubahan yang membuat hatinya t ergetar. Golok
yang hampir saja menabas leher, sekonyong-konyong
terpental dan runtuk bergenrontangan. Dan pada saat
itu, berdirilah seorang pemuda cakap disamping
Songgeng Mint araga. dialah Lingga W isnu yang tak lama
kemudian disusul Sekar Prabasin i yang mengenakan
pakaian laki-laki. Sebenarnya Lingga W isnupun mengharap akan terjadi,
suatu perubahan, setelah pihak Srimoyo melihat dua
helai surat kesaksian. Lalu, persengketaan itu akan dapat
diatasi. Dengan demikian, tak usah ia muncul. Diluar
dugaan, Genggong Basuki yang justru mengacaukan
harapannya. Genggong Basuki anggauta alirannya
sendiri. Ia mendongkol. Dan mau tak mau terpaksa
muncul juga, karena melihat Songgeng Mint araga benarbenar hendak melakukan
bunuh diri. Tepat t atkala golok
hampir menyentuh tenggorokan, ia menyentil Cunduk
Trisula, senjata bidik w arisan Bondan Sejiwan. Kemudian
melesat ketengah gelanggang setelah memberi isyarat
mata kepada Sekar Prabasini.
Selagi hadirin tercengang-cengang oleh kehadirannya,
ia berkata sambil menunjuk Sekar Prabasini :
"T uanku Bondan Sejiwan berhalangan datang. Kami
berdualah yang diutus menghadiri pertemuan ini. Dialah
putera tuanku Bondan Sejiwan. Dan aku saudara
mudanya." Sengaja ia tak memperkenalkan diri sebagai murid
Bondan Sejiwan, karena banyak diant ara pihak Srimoyo
berumur sebaya dengan ayahnya sendiri. Dengan begitu
dapatlah ia berbicara sama tinggi dengan mereka,
apabila menyebut diri sebagai adik Bondan Sejiwan.
Bukankah Bondan Sejiwan seangkatan dengan guru-guru
mereka" Bahkan menurut tutur-kata Songgeng Mint araga, Bondan Sejiwan dapat berbioat ra bebas
dengan Prangwedemi, ketua aliran Parwati.
Beberapa orang baik d iantara pihak Srimoyo maupun
Scnggeng Mint araga, pernah mendengar sepak-terjang
Bondan Sejiwan yang aneh dan luar biasa. Tetapi
merekapun pernah mendengar kabar, bahwa pendekar
itu akhirnya kena aniaya. Dan mati dengan penasaran.
Sekarang tiba-tiba ia muncul dalam percaturan hidup lagi
dengan mengirimkan kedua wakilnya. Apakah berita
kematiannya tidak benar"
Rara W itri menghampiri ayahnya. Berkata secara
berbisik : "Ayah, dialah yang datang menemuiku."
Songgeng Mint araga tertegun-tegun. Melihat usia
Lingga W isnu, ia jadi berbimbang bimbang. Ia kecew a
dan geli. Dapatkah ia mempertaruhkan kepercayaannya
kepadanya" Apakah yang dapat di lakukan oleh seorang
bocah dalam menghadapi masalah yang pelik ini"
Ayu Sarini yang berdarah panas, lantas saja
membentak i "Hai! Siapakah kau Siapa yang menyuruh kau kemari?"
Sakit hati Lingga W isnu kena tegur Ayu Sarini, karena
pendekar wanita itu justru salah seorang anggauta
rumah perguruannya. Di dalam hati ia berkata :
'Meskipun usiamu lebih tua dari padaku, namun kau
harus menyebut diriku paman. Bukankah kau murid
kakang Purbaya" Baik, tunggulah sebentar. Apabila aku
sudah memperkenalkan diri, apakah kau masih bersikap
kurangajar terhadapku ...'
Kemudian berkatalah dia dengan tenang :
"Aku bernama Lingga. Kakang Bondan sejiwan lah
yang memberi perint ah padaku, agar aku datang kemari.
Sayang, karena terhenti oleh suatu soal di tengah jalan,
aku datang agak terlambat. Saudara Songgeng
Mint araga, maafkan kelambatanku ini."
Ayu Sarini baru berumur sekitar dua puluh lima tahun.
Karena itu; belum mengenal siapakah pendekar Bondan
Sejiwan. Iapun bertabiat tinggi hati dan bengis sepak
terjangnya. Maka kembali lagi ia membentak :
"Bondan Sejiwan siapa" Didepan para pendekar
janganlah kau bergurau. Enyahlah, sebelum aku
bertindak. Apakah kau.kira aku bisa kau gertak dengan
nama putera Majapahit segala?"
Bondan Sejiwan memang sebuah nama yang terkenal
diant ara tutur-kata rakyat sebagai putera Majapahit. Dia
seorang ksatria yang tersisihkan dan berperangai aneh
luar biasa. Dan rupanya ayah Sekar Prabasini sengaja
memilih nama itu untuk menyebut diri sendiri seolaholah hendak menyatakan kepada
set iap orang, bahwa dirinyapun tersisihkan oleh masyarakat seperti Bondan
Sejiwan dizaman Majapahit.
Lingga W isnu masih dapat menyabarkan diri terhadap
ketajaman lidah Ayu Sarin i, meskipun hatinya kian
mendongkol. Sebaliknya Sekar Prabasini merasa tersinggung kehormatannya, karena Bondan Sejiwan
adalah ayah-kandungnya. Dasar ia bertabiat panas pula,
maka tanpa memikirkan akibatnya ia membalas
mengejek : "Kau sendiri menyematkan nama Ayu Sarini. Apakah
kau benar-benar ayu" Huh"
Dan tiap wanita akan terbakar hatinya, begitu
mendengar ejekan demikian. Begitu pulalah hati Ayu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sarini. Betapa tidak" Karena soal kecant ikan mengambil
tempat sebagian besar dalam lubuk hati set iap wanita.
Itulah modal kehormatan yang pokok. Modal naluri hati
seorang wanita. Maka seketika itu juga, mendidihlah
darah pendekar wanita itu. Seperti iblis ia melompat
sambil menusukkan pedangnya dengan tipu muslihat
jurus ciptaan Kyahi Sambang Dalan yang dahsyat dan
berbahaya luar biasa. Sebagai murid Kyahi Sambang Dalan, sudah barang
tentu Lingga W isnu kenal jurus itu. Dahulu, gurunya
selalu mengesankan bahwa jurus itu tidak boleh
dipergunakan dengan sembarangan saja. Kecuali apabila
sangat terpaksa. Sebab jurus itu mengancam maut. Dan
susah sekali dielakkan. Sekarang, hanya soal selisih katakata saja, Ayu Sarini
sudah menggunakannya. Lingga
W isnu tak tahu, bahwa menyinggung soal kecantikan
adalah tabu bagi set iap wanita. W anita yang kena hina
demikian, bersedia mati dan bila berontak akan
mempertaruhkan segenap jiwanya. Karena itu, betapa
Sekar Prabasin i dapat mengelakkan jurus yang luar biasa
tersebut. Meskipun andaikata dengan tiba-tiba kepandaiannya naik sepuluh kali lipat, masih belum t entu
dapat mengelak tanpa menderita luka.
"Akh, benar-benar jahat perenpuan ini," pikir Lingga
W isnu didalam hati. Kenapa menyerang seseorang yang
bukan musuhnya dengan jurus itu" Dan kali ini Lingga
W isnu tak dapat lagi bersabar diri
"Kau terlalu," katanya. Terus saja ia mengangkat
kakinya dengan ilmu warisan Bondan Sejiwan. Dan tibatiba saja ujung pedang Ayu
Sarini sudah kena diinjaknya.
Semua hadirin heran dan tercengang menyaksikan
kegesitan pemuda itu. Dengan jurus apakah dia berhasil
menindih serangan Ayu Sarini yang berbahaya itu"
Songgeng Mint araga pun kagum bukan main. Dia sendiri
tidak sanggup berbuat demikian.
Tentu saja yang paling terkejut dan penasaran adalah
Ayu Sarini sendiri. Dengan jurus itu entah sudah berapa
kali ia membunuh musuhnya. Selama itu, belum pernah
ia gagal, meskipun kepandaian musuhnya berada
diatasnya, Tapi kali in i kenapa tiba-tiba macet" Kenapa
dengan sekali gerak saja Lingga W isnu dapat menginjakujung pedangnya" Dengan
mengerahkan tenaga, ia mencoba menarik pedangnya. Akan tetapi usahanya siasia belaka. Pada saat itu, t
angan kiri L ingga W isnu justru
menyambar mukanya. Tak dapat ia menghindar dengan
membuang mukanya saja, karena lengan Lingga W isnu
dapat menjangkaunya dengan leluasa. Maka terpaksalah
ia melepaskan pedangnya dengan melompat mundur.
Dengan demikian, dua kali sudah pedangnya kena
rampas lawan! Lingga W isnu benar-benar mendongkol. Ia sambar
pedang itu. Dan dengan kedua t angannya, mematahkan
menjadi beberapa bagian. Kemudian dilemparkan
kelantai bergemelontangan. Setelah itu ia menyapu
hadirin dengan pandang matanya yang berkilat-kilat.
Genggong Basuki dan Nawawi adalah dua kakak
seperguruan Ayu Sarini. Dengan mata kepalanya sendiri,
mereka menyaksikan betapa adik seperguruannya itu
kalah dalam segebrakan saja. Keruan saja mereka
marah, karena pamor rumah perguruannya terbawa
runtuh oleh kekalahan itu. Seketika itu juga Nawawi
hendak melompat ke gelanggang. Akan tetapi Genggong
Basuki yang berpengalaman mencegahnya. Bisiknya :
"T unggu. Semenjak tadi, dia belum berbicara. Biarlah
dia menerangkan maksud kedatangannya. Setelah itu
kita bertindak." Benar dugaan Genggong Basuki. Lingga W isnu lantas
membuka mulutnya. Kata pemuda itu ;
"Kakak pendekar Srimoyo dahulu, adalah seorang
ksatrya yang tercela tabiat dan perangainya. Karena itu,
terpaksalah Songgeng Mint araga membunuhnya. Hal itu
demi menjaga martabat dan kehormatan golongan
ksatrya lainnya. Peristiwa itu, diketahui dengan jelas
sekali o leh kakakku seperguruan Bondan Sejiwan. Kecuali
itu Pangeran Adiningrat dan Sondong Ucek-ucek menulis
surat kesaksiannya pula. Kemudian kakang Bondan
Sejiwan membawa rekan Songgeng Mintaraga menghadap pendekar Prangwedemi, ketua aliran Parwati
untuk menjelaskan persoalannya yang benar. Dan
semenjak itu, persoalan atau persengkataan itu disudahi.
Dua helai surat itulah, merupakan surat kesaksiannya.
Bukan surat palsu seperti yang dituduhkan tuan
Genggong Basuki. Bukankah yang merobek-robek kedua
helai surat itu bernama Genggong Basuki?" demikian
kata Lingga W isnu sambil menuding kearah Genggong
Basuki. Puas dan tergetar hati Songgeng Mint araga mendengar kata-kata Lingga W isnu. Sekarang ia
percaya, bahwa pemuda itu benar-benar utusan
pendekar Bondan Sejiwan. Kalau bukan utusannya,
betapa mungkin mengetahui peristiwa persengkataan itu
dengan jelas" Tanpa merasa, ia menekap pergelangan
tangan Rara W itri erat-erat.
Genggong Basuki tertawa melalui dadanya. Dengan
suara menggertak, ia berkata :
"Aku berkata: itulah surat kesaksian palsu. Dan sekali
aku berkata demikian, akan tetap berlaku sepanjang
zaman. Itulah hasil tipu daya Songgeng Mintaraga yang
lic ik unt uk mengelabui kita semua. Apakah keberatannya
apabila aku robek-robek berhamburan?"
Lingga W isnu menatap keponakan muridnya itu.
Menyahut dengan tersenyum :
"T atkala kami berdua hendak berangkat ke mari,
kakang Bondan Sejiwan telah membaca surat itu
dihadapan kami berdua. Tadi, saudara Sastra Demung
dan Kaya telah manbacanya. Aku kira mereka berdua
masih ingat bunyi surat kesaksian itu. Nah, biarlah putra
kakang Bondan Sejiwan ini, membacanya di luar kepala."
Setelah berkata demikian, Lingga W isnu membungkuk
hormat kepada Sastra Demung dan Kayat Pece. Dengan
maksud mengangkat mereka berdua sebagai saksi.
Kemudian berkata kepada pendekar Srimoyo :
"Saudara Srimoyo, maafkan kami. Terpaksa aku
membuka rahasia almarhum kakakmu, di depan umum."
"Kakakku adalah seorang pendekar berhati bersih.
Rahasia apakah yang hendak kau beberkan didepan
kami" S ilahkan!" sahut Srimoyo dengan membusungkan
dadanya. Lingga W isnu bersenyum. Ia menoleh kepada
pendekar Sastra Demung dan Kayat Pece untuk mint a
idzin. Kata mereka berdua hampir berbareng :
"Silahkan. Barangkali ot ak kami tidak terlalu tumpul.,
sehingga gampang sekali lupa mengingat-ingat bunyi
surat kesaksian itu."
Lingga W isnu menyatakan terima kasih. Kemudian
berpaling kepada Sekar Prabasin i. Kemarin malam,
teringatlah dia betapa gadis itu berkali-kali membaca
bunyi surat kesaksian. Mengingat otak Sekar Prabasini
tajam luar biasa, pastilah dia hafal akan bunyi katakatanya di luar kepala. Ia
bersyukur dan mantap setelah
melihat wajah Sekar Prabasini yang membalas pandangnya dengan yakin. "Kau masih ingat bunyi surat kesaksian itu tatkala
ayahmu membaca didepan kita, bukan?"
Sekar Prabasini mengangguk; Terus saja ia membaca
bunyi surat kesaksian itu diluar kepala dengan lancar.
Selagi membaca, hatinya memuji dirinya sendiri. Coba,
andaikata ia tak usilan membaca berulangkali dan
menghafalkan bunyi surat kesaksian itu, pastilah akan
menanggung malu dihadapan hadirin. Diam-d iam ia
mengerling kepada Lingga W isnu. Pemuda itu nampak
puas sekali. Dan menyaksikan hal itu, mendadak saja
sifat keperempuannya timbul diluar kehendaknya sendiri.
Ia lantas membaca dengan suara, merdu, halus dan jelas
seolah-olah sedang menyanyikan lagu cinta kasih.
Hebat adalah kesan Srimoyo. Ia melihat pendekar
Sastra Demung dan Kayat Pece tertegun keheranan.
Akhirnya memanggut-manggut kecil membenarkan.
Hadirin lantas berbicara kasak-kusuk mengadili sepakterjang dan perangai
Kuncaraningrat. Keruan saja
Srimoyo jadi malu bukan main. Belum selesai Sekar
Prabasin i membaca, lantas saja ia memekik :
"Berhenti! Bocah, sebenarnya siapakah engkau?"
Belum sartpat Sekar Prabasini menjawab, atau
Genggong Basuki sudah menyambung :
"Saudara Srimoyo dan kawan-kawan sekalian. Bocah
ini pasti salah seorang anak buah sibangsat Songgeng
Mint araga. Sekiranya bukan, pastilah pula salah seorang
sahabat undangannya. Siapa tahu, diant ara mereka
sudah memperbincangkan kemungkinankemungkinannya"
Jauh sebelumnya, bocah itu nampaknya sudah bersedia-sedia."
Srimoyo tersadar oleh kata-kata Genggong Basuki.
Lalu berseru sambil menentang mata kepada Lingga
W isnu berdua "Akh, ya! Kau bilang, bahwa Bondan Sejiwan yang
menyuruhmu datang kenari. Bagaimana akan kau
buktikan, benar tidaknya terhadap kami?"
"Sebenarnya, apa yang kau kehendaki, agar kau
percaya?" Lingga W isnu mendongkol. Srimoyo menghunus pedangnya yang panjang dan dibolangbalingkan didepan matanya. Katanya
menantang: "Aku sendiri belum pernah bertemu dengan pendekar
yang menamakan diri Bondan Sejiwan. Tetapi menurut
kabar Bondan Sejiwan berkepandaian sangat t inggi. Huh,
betapa aku bisa percaya begitu saja sebelum
menyaksikannya sendiri" Karena kau berdua menyatakan
diri sebagai adik seperguruan dan putranya, kalau begitu
kamu berdua pasti sudah mewarisi ilmu kepandaiannya
dan kini, ccba tangkislah pedangku. Bila dapat menangkis
pedangku, barulah aku mau percaya."
Srimoyo memandang enteng Lingga W isnu, mengingat
usia pemuda itu jauh berada dibawahnya. Juga terhadap
Sekar Prabasini yang menyatakan diri sebagai putra
Bondan Sejiwan. Taruh kata, mereka benar-benar telah
mewarisi kepandaian Bondan Sejiwan, masa latihannya
pun terlalu pen dek. Mustahil mereka berdua sudah
berlatih semenjak dalam kandungan. Sebab sesuatu ilmu
kepandaian baru mencapai taraf kesempurnaan apabila
sipewaris sudah memiliki masa latihan paling tidak tiga
puluh tahun lamanya. Maka ia yakin, akan dapat
merobohkan mereka berdua dalam beberapa gebrakan
saja. Dengan demikian, ia akan dapat meyakinkan
kawan-kawannya bahw a dua helai surat kesaksian itu
memang palsu. Pada saat itu Lingga W isnu duduk di atas kursi, begitu
mendengar t antangan Srimoyo, ia meneguk minumannya
beberapa kali. Kemudian memasukkan sepotong daging
ke dalam mulut nya. Lalu berkata sambil mengunyah ;
"Untuk melawan pedangmu, kurasa t idak perlu sampai
menggunakan warisan kakang Bondan Sejiwan. Kau
telah dipegnainkan dan diperalat seseorang. Namun tidak
menyadari juga. Sungguh sayang sekali ..."
"Siapa yang memperalat aku" Siapa yang mempermainkan aku?" teriak Srimoyo dengan mendongkol. "Hai, bocah. Benar-benar kau t ak tahu diri.
Kau enyahlah sebelum aku menghajarmu benar benar."
Lingga W isnu tetap saja bersikap acuh tak acuh.
Dengan meram-melek ia mengunyah daging gorengnya.
Sambil menelan, ia menyahut dengan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang meyakinkan : "Sebentar lagi aku akan membuktikan betapa engkau
kena diperalat oleh hamba-sahaya mata-mata musuh.
Sekarang biarlah aku membicarakan ilmu pedang Parwati
menurut tutur-kata kakakku Bondan Sejiwan. Memang
ilmu pedang Parwati hebat tak terkatakan. Tapi hm - "
"Siapa kesudian mendengarkan ocehanmul" potong
Srimoyo panas hati. "Baiklah. Tapi selamanya aku tak mau menggerakkan
pedangku sebelum merundingkan pertaruhannya ."
"Pertaruhan apa yang kau kehendaki?"
"Bila kau kalah, hendaklah kau menyudahi persengkataanmu dengan rekan Songgeng Mint araga
dan kalau kau setuju, nah berkatalah dengan suara
nyaring dihadapan para pendekar kenamaan yang kau
bawa hadir disini." kata Lingga W isnu.
"Itulah pasti!" teriak Srimoyo dengan suara penuh.
"Biarlah mereka semua menyaksikan! Sebaliknya,
bagaimana kalau kau tak dapat melawan pedangku?"
"Kalau kalah, segera aku akan membungkuk hormat
beberapa kali di hadapanmu. Kemudian aku tak mau
campur tangan lagi masalah in i." sahut Lingga W isnu
sambil terus mengunyah sisa gumpalan daging goreng
yang menyumbat sebagian mulutnya.
"Baik!" seru Srimoyo. "Nah, majulah. Jangan hanya
mengumbar mulut yang bukan-bukan."
Berkata demikian, Srimoyo memutar pedangnya
sehingga memperdengarkan suara berdesing-desing. Tak
usah dikatakan lagi, bahw a hatinya sangat sengit dan
sengaja hendak mempertontonkan himpunan tenaga
saktinya. Didalam hat inya ia berpikir :
'Jikalau aku tidak memberi tanda mata kepadanya,
pastilah engkau akan memandang rendah t erhadap i]mu
pedang Parwati. Hmm. Jangan engkau berteriak
mengiang-ngiang seperti babi apabila ujung pedangku
menikam tubuhmu.' Tetapi Lingga W isnu masih tetap duduk bercokol di
atas kursinya. Berkata seperti kepada salah seorang
sahabatnya. "Kakang Bondan Sejiwan pernah membicarakan ilmu
pedang aliran Parwati. Sebenarnya hebat juga. Hanya
sayang ilmu pedang Parwati hanya merupakan sepertiga
ilmu pedang Resi Romaharsana pada zaman Majapahit.
Bukankah ilmu pedang kebanggaan Parwati bernama
Sapt a Prahara" Berpesanlah kakang Bondan Sejiwan
kepadaku. Bila Srimoyo tetap membandel sehingga
pertempuran tak dapat dicegah lagi, aku harus
memperhatikan ilmu pedang kebanggaannya itu. Tata
muslihat gerakan pedang dan lainnya, tak usah kau
perhatikan. Lalu aku diajari beberapa tipu-tipu pukulannya untuk memunahkan. Kau tak percaya"
Biarlah nant i kubuktikan."
Selagi berkata demikian, tiba-tiba berkelebatlah
sesosok bayangan. Berkatalah bayangan itu :
"Baik. Ingin aku menyaksikan, bagaimana cara Bondan
Sejiwan memunahkan jurus Sapta Prahara."
Dia ternyata seorang laki-laki berumur lima puluh
tahun. Dengan sebilah pedang terus saja ia menikam
Lingga W isnu yang masih tetap bercokol diatas tempat
duduknya Dengan sebat, Lingga W isnu melompat
ketengah gelanggang sambil berkata :
"Sabar, tuan. Sebenarnya siapa tuan" Tanpa
memperkenalkan nama lantas menyerangku?"
"Iblis laknat! Kau ingin
tahu namaku" Akulah Amir
Hamzah. Murid aliran Parwati angkatan ketigapuluh dua. Akulah kakak seperguruan Srimoyo." "Bagus!" Seru Lingga W isnu. "Dahulu kakang Bondan Sejiwan pernah bertemu berhadap hadapan dengan pendekar Prangwedemi. ketua aliran Parwati. Dia berkesempatan
membicarakan tentang jurus-jurus ilmu pedang Sapta
Prahara yang kabarnya tiada tandingnya dijagad ini.
W aktu itu kakang Bondan Sejiwan hanya tertawa saja.
Tak mau ia membantah atau mencelanya, mengingat
kedatangannya adalah semata-mata untuk mendamaikan
persengkataan rekan Songgeng Mint araga dengan
adikmu. Sungguh berbahagia. Kita berdua adalah muridmurid mereka berdua yang
dahulu memperbincangkan. pedang Sapta Prahara. Kau murid Prangwedani, dan aku
pewaris ilmu ke pandaian k akang Bondan Sejiwan. Malam
ini, kita berdua bisa mencoba-coba dan membuktikan
benar tidaknya ucapan kakang Bondan Sejiwan terhadap
gurumu." Amir Hamzah seperti malas membuka mulut nya. Ia
hanya berkata pendek : "Kalau begitu, kau tahu bahwa ilmu pedang Sapta
Prahara harus dilakukan oleh dua orang?" Setelah
berkata denikian, ia memberi isyarat mata kepada
Srimoyo. Kemudian dengan sengit mereka berdua-
menyerang berbareng. Gesit luar b iasa Lingga W isnu mengelakkan serangan
mereka. Belum sempat ia menghunus pedangnya,
mereka berdua sudah merangsak lagi. Sekar Prabasini
tidak mengenal corak ilmu pedang Sapta Prahara yang
memang harus dilakukan oleh dua orang berbareng. Ia
memandang pertempuran. itu berat sebelah. Maka
berserulah dia: "T ahan! Kakang Lingga tadi bersedia bertempur
seorang lawan seorang. Kenapa kamu berdua main
kerubut?" Amir Hamzah melot otkan matanya, dibentak:
"Kalau begitu, kau memalsu nama Bondan Sejiwan.
Kau mengaku sebagai anaknya. Apakah ayah mu tidak
pernah berkata kepadamu, bahwa ilmu pedang Sapta
Prahara harus d ilakukan oleh dua orang" Sebenarnya,
ayahmu tahu atau t idak t entang int i ragam ilmu pedang
Sapt a Prahara" Atau engkau hanya manusia jahanam
yang mengaku sebagai anaknya?"
Merah wajah Sekar Prabasini d idamprat demikian.
Memang, ilmu pedang yang harus dilakukan oleh dua
orang, baru untuk pertama kali itu didengarnya.
Untunglah, Lingga W isnu berpengetahuan luas. Ia
pernah membaca buku warisan pendekar Bondan
Sejiwan. Maka berkatalah pemuda itu :
"Saudara Amir Hamzah dan Srimoyo, ilmu pedang
Sapt a Prahara berdasar kepada himpunan tenaga kosong
dan berisi. Karena itu harus dilakukan oleh dua orang.
Tetapi, siapa yang telah mahir himpunan tenaga
saktinya, bisa melakukan dengan seorang diri. Karena
itu, seruan putera kakang Bondang Sejiwan sebenarnya
tidak terlalu salah. Dia mengira, himpunan tenaga sakti
kalian berdua sudah sempurna. Sehingga masing-masing
dapat menggunakan ilmu pedang Sapta Prahara seorang
diri saja." Itulah jawaban Lingga W isnu yang sama sekali tidak
terduga oleh Amir Hamzah dan Srimoyo berdua. Didalam
hati mereka berkata : 'T idak pernah guru memberi penjelasan bahwa jurus
ilmu pedang Sapta Prahara Sesungguhnya dapat
dilakukan oleh seorang saja. Apakah bocah ini sengaja
ngoceh tak keruan"' Memang dugaan mereka berdua terhadap Lingga
W isnu itu setengah benar. Buku warisan Bondan Sejiwan
menyebutkan pula bahwa tata jurus ilmu pedang Sapta
Prahara harus dilakukan oleh dua orang. Kalau Lingga
W isnu tadi bisa memberi alasan, sesungguhnya
terdorong semata mata untuk menutupi ketololan Sekar
Prabasin i. Sebaliknya, melihat Amir Hamzah dan Srimoyo
berbimbang hati-gadis itu mendapat angin. Ketenangan
dan kepercayaannya kepada diri sendiri timbul kembali.
Dengan membusungkan dada, maka kembali ia berkata
"Karena pertempuran harus kalian lakukan dengan
berdua, maka syarat t aruhannya harus berlipat pula."
"Kau hendak bertaruh apa?" damprat Amir Hamzah
mendongkol. "Aku tak sudi berbicara dengan tampangmu", Sekar
Prabasin i membalas darnpratannya. "Prakarsa persengkataan ini adalah Srimoyo. Maka aku juga ingin
berbicara dengan dia. Hai! bagaimana?"
"Bilanglah!" sahut Srimoyo pendek.
Sekar Prabasin i tertawa menang. Berkata seperti
seorang guru terhadap muridnya :
"Bila kalian kalah, kecuali harus menyudahi persengkataan ini, harus menyerahkan pula gedungmu,
lengkap dengan petamanan dan isinya. Bagaimana"
Berani tidak?" Panas hati Srimoyo mendengar ucapan Sekar
Prabasin i. Pikirnya d idalam hat i :
'Biarlah kut erima saja permint aannya. Masakan ilmu
pedang Sapta Prahara dapat dia kalahkan" Seumpama
mereka tidak mati diujung pedangku, setidaknya aku bisa
melukai.' Oleh pertimbangan itu, ia lalu menjawab :
"Baik. Aku terima pertaruhan ini. Seumpama masih
merasa belum puas, kau boleh juga maju Dengan begitu
kau t idak akan merasa kami kerubut!"
Dalam perdebatan, betapa Sekar Prabasini mau
mengalah. Sahutnya dengan sengit :
"Aku maju atau tidak, soal gampang. Yang harus
dibicarakan ialah gedung itu sendiri. Benar-benarkah itu
gedung milikmu sendiri atau sebenarnya engkau hanya
salah seorang penunggunya" Coba sebutkan, berapa
harga gedung itu?" '
Bukan main mendongkol hati Srimoyo kena hina
demikian. Dengan mata merah, ia berpaling kepada
Lingga W isnu. Kemudian membentak :
"Hai, bocah. Apakah kau sepaham pula dengan
kawanmu itu" Benar-benarkah engkau tidak menghargai
gedung milikku itu?"
0oo0dwooo0 Jilid 9 Songgeng Mintaraga yang semenjak tadi membungkam mulut, lalu ikut berbicara. Katanya :
"Saudara Srimoyo, sebenarnya berapa harga gedungmu itu?" "Dua bulan yang lalu aku membeli gedung itu. Kubeli
dengan harga tigaratus ringgit," sahut Srimoyo.
"Karena rekan Lingga hendak melawanmu atas
namaku, biarlah aku wakili pula dirinya. Engkau
mempertaruhkan gedungmu, seharga tigaratus ringgit.
Akupun akan bertaruh pula atas nama rekan Lingga
sebesar tigaribu ringgit," kata Songgeng Mintaraga. "Bila
rekan Lingga tak sanggup melawan kedua pedangmu,
uang sebesar tigaribu ringgit boleh kau ambil. Sekiranya
masih belum puas boleh kau menuntut padaku" setelah
berkata demikian, ia berbisik kepada Rara W itri. Rara W itri segera masuk
kedalam ruang dalam. Kemudian keluar
kembali sambil membawa uang tiga ribu ringgit yang
disusun rapih diatas sebuah niru perak.
Didalam hati, sesungguhnya Songgeng Mint araga
masih sangsi terhadap kemampuan Lingga W isnu.. Ia
hanya tahu, Lingga W isnu datang untuk mencoba
melindungi dirinya. Itulah suatu perbuatan yang tak
ternilai harganya. Ia tak menghendaki pemuda itu
mengorbankan jiwa bagi dirinya. Itulah suatu perbuatan
yang tak ternilai harganya. Karena itu ia melipatkan nilai


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harga pertaruhan. Maksudnya, dengan uang sebesar itu,
Srimoyo berdua akan bisa membatasi diri dengan
melukainya saja. Kayat Pece kepala gerombolan penyamun gunung
Slamet bergembira menyaksikan pertaruhan itu. Tigaribu
ringgit Alangkah besar jumlahnya. Seusianya, belum
pernah ia memperoleh rezeki sebesar itu. Kerapkali unt uk
duapuluh atau tigapujuh ringgit saja ia sudah melakukan
suatu pembunuhan. Untuk tigaribu ringgit, mau ia
mengampuni seratus kepala manusia .. Maka berserulah
ia : "Bagus, inilah taruhan yang maha adil. Saudara Amir
Hamzah dan Srimoyo, jangan kau bunuh dia. Cukuplah
sudah apabila kalian lukai saja. Aku menjagoi kamu
berdua," berkata demikian, ia mengeluarkan sepotong
emas murni dari dalam sakunya dan dilemparkan diatas
meja. Berteriak: "Aku mau bertaruh tiga lawan satu. Emasku ini kirakira berharga seratus ringgit.
Hayoo, siapa berani bertaruh, denganku?"
Tak ada seorangpun yang berani menerima tantangannya, Didalam hati mereka masing-masing
mereka percaya bahwa Amir Hamzah dan Srimoyo akan
dapat mengalahkan Lingga W isnu. Karena itu siapa sudi
bertaruh untuk menjagoi Lingga W isnu" Diluar dugaan,
tiba-tiba Rara W itri meloloskan gelang emasnya.
Kemudian ditaruh diatas meja. Berkata tegas kepada
Kayat. Pece. "Paman, Gelang ini tidak hanya terbuat dari emas
murni. Tapipun ditaburi beberapa butir berlian. Aku taksir
harganya seribu atau duaribu ringgit. Aku pertaruhkan
atas nama kakang Lingga. Dengan begitu tidak hanya
tiga lawan satu, tapi sepuluh lawan satu. Bagaimana"
Apakah paman puas?" Kayat Pece terkejut melihat gelang berkeredepan
diatas meja. Terus saja ia menghampiri dan memeriksa
gelang itu- Berkata "Benar. Harga gelangmu ini mungkin sekali bisa
mencapai duaribu ringgit. Biarlah aku tambah dengan
lima bat ang emas lagi. Dengan begitu benar-benar tepat,
tiga lawan satu. Setelah berkata demikian, kepala
gerombolan penyamun itu benar-benar meletakkan lima
batang emas lagi diatas meja. Kemudian berkata dengan
tertawa : "Anak cantik, kudoakan mudah-mudahan engkau
menang. Dengan begitu, enam batang emas in i akan
menjadi milikmu. Dikemudian hari apabila mendapat
jodoh, tak perlu lagi engkau minta hadiah emas kawin,
hi-ha-ha ..." Ayu Sarini yang semenjak tadi terbungkam mulutnya
karena pedangnya kena dipatahkan Lingga W isnu, tibatiba mengambil sisa
pedangnya yang buntung. Dilemparkannya pedang buntung itu diatas meja sambil
berkata : "Aku juga ikut bertaruh. Inilah t aruhanku!"
"Siapa kesudian bertaruh dengan pedang buntung?"
damprat Sekar Prabasini. "Kau tak mengerti maksudku" Akupun bertaruh satu
lawan tiga. Bila pihakku kalah, tikamlah aku tiga kali.
Sebaliknya bila pihakmu kalah, aku akan menikamnu
sekali saja dengan pedang buntungku ini. Jelas?"
Sudah barang tentu sekalian yang mendengar
keheran-heranan. Itulah macam pertaruhan yang belum
pernah mereka saksikan. Jago-jago kenamaan yang ikut
mendengar bunyi pertaruhan itu sampai bergeleng
kepala. Hebat benar pendekar wanita Sekar Teratai ini.
Agaknya ia terlalu bersakit hati terhadap putra Bondan
Sejiwan yang memperolokkan kecantikannya.
Sekar Prabasin i benar-benar tajam lidahnya. Dengan
tertawa lebar ia menyahut :
"W ajahmu begitu cantik molek. Bagaimana sampai
hati aku menikammu tiga kali" Biarlah aku menggarit
mukamu yang cantik itu tiga kali saja."
Bukan main mendongkolnya Ayu Sarini. Tubuhnya
sampai bergemetaran menahan luapan darahnya.
Nawawi, suami Ayu Sarini meledak :
"Hai, bocah! Aku nanti akan ikut serta merobek
mulut mu!" Tetapi Sekar Prabasini tidak bersakit hati. Ia melawan
kata-kata sengit Nawawi dengan tertawa semakin lebarSebaliknya Rara W itri t ak
puas menyaksikan N awawi ikut
mencampuri macam pertaruhan. Katanya sengit :
"Kau hendak membantu isterimu" Akupun ikut serta.
Aku nanti akan menabas hidungmu dan kedua
tanganmu. Dengan begitu, kau t idak akan bisa memeluk
isterimu yang cantik lagi."
"Bagus, akupun nanti akan memotong buah dadamu,"
kata Nawawi dengan panas hati. "Saudara Kayat Pece,
sudikah engkau menjadi saksi pertaruhan ini?"
Kayat Pece hidup sebagai penyamun semenjak
mudanya. Seringkali ia melakukan pembunuhan. Tetapi
menghadapi macam pertaruhan itu, hatinya ngeri. Tak
berani ia membayangkan betapa Sarini nant i tergores
mukanya dan Nawawi bakal tak berhidung dan tak
bertangan. Sebaliknya, kalau jago Rara Witri kalah, gadis
itu bakal kehilangan buah dada! Bukankah sayang sekali"
Maka berkatalah ia menyadarkan diri :
"Nyonya Sarini dan nona Rara, kalian berdua adalah
wanita. Lebih baik kalian bertaruh bedak dan gincu
daripada mempertaruhkan pipi dan buah dada. Bukankah
pipi dan buah dadamu bukan milikmu sendiri" Itulah
milik suami dan orang-orang tercentu yang kalian
kehendaki. Bukankah begitu" Hi-ha-ha ..."
Baik Ayu Sarini maupun Sekar Prabasini merasa panas
wajahnya mendengar kata-kata Kayat Pece. Tetapi Rara
W itri seperti kalap. Kata gadis itu dengan sengit :
"Perempuan itu telah mengutungi lengan kakak
seperguruanku Pramana. Maka aku nanti akan menembus kedua matanya sampai buta!"
Mendengar ucapan Rara W itri, Kayat Pece terbungkam. Dendam gadis itu rasanya beralasan. Tibatiba Genggong Basuki berkata
: "Kalau Nawawi membela Ayu Sarini, sudah sew ajarnya. Karena dia adalah isterinya. Sebalikya, aku
lihat engkau terlalu baik terhadap adik Bondan Sejiwan.
Kenapa?" Betapapun sengitnya hati Rara W itri pada saat itu,
merah juga mukanya kena tegor demikian. Cepat-cepat
ia mengalihkan pembicaraan:
"Kau sendiri hendak bertaruh apa" Bukankah engkau
kakak Nawawi dan Ayu Sarini dalam rumah perguruan
Sekar Teratai?" Semenjak tadi Sekar Prabasini mendongkol menyaksikan sepak terjang ketiga pendekar Sekar
Teratai itu. Belum Genggong Basuki sempat menjawab,
ia berkata nyaring : "Biarlah aku yang bertaruh dengan dia."
'"Bertaruh apa?" Genggong Basuki menegas,
"T iga lawan satu." sahut Sekar Prabasini.
"T iga lawan satu bagaimana?"
"Kalau jagoku kalah, didepan hadirin aku akan
memanggilmu eyang tiga kali. Sebaliknya, bila jagomu
yang kalah, kau cukup memanggilku eyang sekali sajaBagaimana?"
Itulah bunyi taruhan yang sama sekali tak diduganya.
Alangkah jauh berlawanan dengan bunyi taruhan antara
Ayu Sarini dengan Rara W itri. Mau tak mau mereka yang
mendengar bunyi taruhan itu tertawa geli. Sebaliknya
Genggong Basuki merasa d iri terhina benar-benar.
Maklum lah, ia merasa diri seorang pendekar besar.
Masakan demikianlah bunyi pertaruhan itu" Katanya:
"Siapa sudi bergurau denganmu" Baiklah begini saja.
Bila jagomi menang, aku akan mencoba coba pedangku
denganmu." Sekar Prabasini tak sudi mengalah. Sahutnya :
"Kalau begitu,, kau menganggap ilmu pedangmu lebih
tinggi daripada ilmu pedang Sapta Praha, kebanggaan
rumah perguruan Parwati?"
"Aku anak murid Sekar Teratai," sahut Genggong
Basuki. "Pendekar Amir Hamzah dan Srimoyo adalah
anak murid Parwati. Tiap golongan dan aliran
mempunyai corak kepandaiannya masing-masing. Jangan
kau mimpi akan bisa mengadu domba antara golonganku
dengan Parwati." Amir Hamzah merasa jemu sudah mendengar mereka
adu mulut. Serunya nyaring :
"Sudahlah. Sekarang, hai bocah! Mari k ita mulai"
Setelah berkata demikian, ia mendahului menggerakkan pedangnya. Srimoyo segera mengikuti.
Hebat corak serangan mereka berdua. Pedang mereka
berderuh-deruh dan datang dari arah yang berlawanan.
Tata-kerja kaki mereka cepat dan gesit Mereka
menempati arah-arah b idik tertentu. Dan gerakan
pedang mereka saling menyusul dan saling berlipat.
Empat jadi delapan. Delapan jadi enambelas. Enambelas
menjadi tiga-puluh dua. Dan tigapuluh dua berubah
menjadi enamjruluh empat. Maka bisa d ibayangkan
betapa cepat dan dahsyat ilmu pedang Saptaprahara.
0odwo0 Memang, jurus ilmu Sapt a Prahara merupakan ilmu
pedang kebanggaan kaum Parwati. W alaupun demikian,
Lingga W isnu masih teringat akan uraian Bondan Sejiwan
didalam buku warisannya bahw a masih saja terdapat
kelemahan-kelemahannya. Menurut Bondan Sejiwan, Prangwedani tetap yakin
bahw a jurus Sapta Prahara, tiada ada keduanya,
siapapun tak sanggup memecahkan. W aktu itu Bondan
Sejiwan berdiam diri saja. Tetapi setelah pulang ke
goanya, ia benar-benar menciptakan jurus pemunahnya.
Demikianlah, tatkala keluarga Mataun bertempur
melawan dirinya, diant ara tetamu undangannya terdapat
beberapa ahli pedang kaum Parwati. Mereka membantu
keluarga Dandang Mataun. Kesempatan itu dipergunakan untuk membuktikan
perkataannya. Benar saja, jurus ciptaannya benar benar
dapat memunahkan dan menggagalkan set iap jurus ilmu
pedang Sapta Prahara. Dan pengalamannya itu ditulisnya
jelas dalam buku peninggalannya. Lingga W isnu telah
membacanya dengan tamat dan hafal di luar kepala.
Karena itu menghadapi serangan Amir Hamzah dan
Srimoyo, hatinya sama sekali t idak gentar.
Lingga W isnu mengandal kepada kegesitannya. Setiap
serangan digagalkan dengan elakan-elakan yang cepat
luar biasa. Hal itu membuat hati Amir Hamzah dan
Srimoyo penasaran. Namun mereka tetap berkelahi
dengan mantap. Meskipun setiap tikamannya dapat
dielakan, tapi mereka mendesak terus-menerus. Bahkan
makin lama makin cepat, sehingga membuat hadirin
kagum luar biasa. "Bocah itu memang gesit gerakannya. Mungkin benar
dia adik seperguruan atau murid Bondan Sejiwan," kata
Kayat Pece kepada Sastra Demung yang duduk
disampingnya. Dan orang tua dari aliran Ugrasawa itu
mengangguk. Jawabnya : "Karena usianya masih muda, mungkin sekali ia
lambat-laun kalah menghadapi ilmu pedang kaum
Parwati yang memang hebat. Hm, sungguh sayang!
Malah jarang sekali seorang pemuda seusia dia memiliki
kegesitan dan kecepatan gerak seperti dia.
Penglihatan Sastra Demung hampir mendekati
kebenarannya. W aktu itu, Srimoyo menusuk dada Lingga
W isnu. Dan Amir Hamzah membarengi mengarah kekiri.
Kemudian menikam lambung kanan Lingga W isnu
dengan tiba-tiba. Keruan saja kedudukan Lingga W isnu
terjepit. T ak dapat lagi ia mengelakkan diri. Semua jalan
mundur, tercegat. Akan tetapi pemuda itu nampak t iada
gugup sama sekali. Diluar dugaan, ia mengendapkan diri.
Kakinya mendupak. Setelah itu ia membenturkan
kepalanya ke perut Amir Hamzah. Unt ung, ia tidak
menggunakan tenaganya penuh-penuh. W alaupun demikian, pendekar itu terpelanting mundur dan hampir
saja roboh terjengkang. Itulah kejadian yang sama sekali tak terduga. Dalam


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejutnya, Srimoyo membabatkan pedangnya untuk
mencegah serangan susulan. Ternyata Lingga W isnu
hanya mundur menghindari sampai tiga kali berturutturut. Tentu saja hal itu
membuat hati Srimoyo penasaran. Makinya : "Binatang! Kau hendak lari kemana?"
Sebenarnya, Lingga W isnu berkelahi dengan membatasi diri. Kalau mau, Amir Hamzah tadi sudah
dapat dirobohkan. Hal itu disebabkan, karena masih
mengharapkan suatu perdamaian. Tapi set elah dirinya
dimaki sebagai binatang, timbul ah rasa marahnya.
Pikirnya didalam hati : 'Kalau aku tidak membuat t akluk benar benar rasanya
sulit meyakinkan mereka. Akupun masih ingin mencari
kesempatan menghajar ketiga murid kakang Purbaya
yang keterlaluan itu. Mengulur w aktu berarti membuangbuang tenaga tiada
gunanya. Biarlah kurampungi saja ...'
Memikir demikian, ia melesat menyambar gelas
minumannya. Dua tiga kali ia meneguk. Kemudian
melompat kembali ke tengah gelanggang sambil berkata
nyaring : "Nah, seranglah aku! Kepandaianmu masih terlalu
jauh dibawahku." Bukan main marah Srimoyo direndahkan demikian.
Terus saja ia menyerang setengah kalap. Amir Hamzah
cepat-cepat mencegah. Katanya :
"Adik! Jangan sampai kau terjebak tata-muslihatnya.
Ia sengaja membuatmu marah."
Peringatan Amir Hamzah membuat Srimoyo tersadar.
Cepat-cepat ia mengendalikan diri dan mengikut i irama
gerak-pedang kakak seperguruan. Ia merangsak dari k iri.
Dan kakaknya seperguruan memotong dari kanan.
Namun Lingga W isnu masih dapat juga lolos. Ia melesat
keluar gelanggang, dan berkata kepada Sekar Prabasini :
"Adik Carikan aku minuman segar! Atau tuangkan
gelasku yang kosong itu!"
''Baik!" seru Sekar Prabasin i gembira. Ia tahu, Lingga
W isnu benar-benar hendak memancing hawa amarah
lawannya. Maka bukannya ia mengisi gelas, akan tetapi
memperhatikan gerakan pemuda itu yang tiba-tiba saja
menyambar kursi disamp ingnya.
"Kau isilah! Pedang mereka cukup kulawan dengan
kursi ini," kata Lingga W isnu.
Benar-benar Lingga W isnu melawan pedang mereka
dengan kursi. Setelah melihat Sekar Prabasin i mengisi
gelas minumannya, ia melemparkan kursi kedepan
sehingga membuat lawannya mundur. Kemudian
melompat sambil menyambar gelas. Sekali teguk,
habislah isi gelas itu. Lalu ia menyambar sepotong paha
ayam. Dan sambil ia menggerogoti paha ayam, lalu
berkata : "Apakah kalian masih saja tak percaya, bahwa ilmu
pedang Sapta Prahara banyak sekali terdapat lubang
kelemahannya" Sudah begitu, kepandaianmu berdua
masih berada jauh dibawahku. Bagaimana kalian b isa
mengharapkan dapat melukai aku" Kau tak percaya"
Biarlah aku melayanirnu sartibil menggerogoti paha ayam
ini" Tentu saja panas hati Amir Hamzah dan Srimoyo.
Sekarang mereka tidak dapat lagi mengendalikan d iri.
Masing-masing ingin menancapkan pedangnya ketubuh
pemuda itu. Maka kacaulah ketentuan-ketentuan jurus
Sapt a Prahara yang membutuhkan suatu kerja-sama
rapih. Lingga W isnu menghindari tiga tikaman merekaKemudian melompat keluar gelanggang
dan meneguk gelasnya yang sudah diisi kembali oleh Sekar Prabasini.
Setelah itu ia menghadapi mereka kembali sambil
mengoceh : "Nah,. lihatlah betapa tolol kamu berdua. Apakah
kamu tidak tersadar juga, bahwa aku melawanmu
dengan tangan kosong belaka" Tak dapatkah kau
berpikir, bagaimana akibatnya bila aku melawanmu
dengan pedang pula" Akh, benar-benar kan t olol. Setotol
kerbau buduk!" "Kau berkata apa?" Sekar Prabasini menegas dari luar
gelanggang. "Kerbau buduk" He-e benar-benar mereka
sepasang kerbau tolol!"
Mendengar kata-kata Sekar
Prabasin i, dada Amir Hamzah
dan Srimoyo serasa akan meledak. Dengan menggerung, mereka menyerang Lingga W isnu berbareng. Tapi Lingga W isnu
dapat menggelakkan dengan
mudah sekali, Kata pemuda itu
: "Aku adalah utusan Bondan Sejiwan, pendekar besar.
Tugasku untuk mendamaikan kamu sekalian. Ingatlah,
bahw a tanah air membutuhkan tenaga kamu sekalian.
Kenapa kamu bertengkar hanya soal pembalasan
dendam perorangan belaka" Kuperingatkan tadi, bahwa
kamu sebenarnya kena diperalat dua orang penghianat.
Sekarang ini, mereka baru mencari akal untuk dapat
meloloskan diri. Eh, jangan bermimpi! Sebentar aku akan
menghajarmu ..." Berkata demikian, tiba-tiba ia menimpuk Srimoyo
dengan tulang kaki ayam. Kaget Srimoyo mundur
mengelak. Dan pada detik itu pula, Lingga W isnu
menjepit ujung pedang Amir Hamzah dengan paha
ayamnya. Pemda itu mengerahkan himpunan tenaga
saktinya. Membentak : "Lepas!" Berbareng dengan bentakannya, ia menarik. Dan
pedang Amir Hamzah kena ditariknya sampai meliuk
kelantai. Amir Hamzah sendiri terjerunuk kedepan dan
berusaha mati-matian mempertahankan diri dengan
menjagangkan kedua kakinya. Oleh rasa kaget.,, malu
dan putus asa karena tak mampu mempertahankan
pedangnya, ia mengambil keputusan terakhir. Ia
melepaskan genggamannya, kemudian membiarkan diri
terseret daya tarik Lingga W isnu sambil melepaskan
pukulan geledeknya. Amir Hamzah, sesungguhnya cerdik juga. Akan tetapi
Lingga W isnu tahu menebak jalan pikirannya. Gesit ia
menjejakan kedua kakinya, dan tubuhnya melesat t inggi
diudara, samb il membawa pedang rampasan. Melihat
Srimoyo maju hendak kakaknya, ia menyambitkan t ulang
paha ayamnva. Kali ini dia mengerahkan himpunan
tenaga sakti nya tujuh bagian. Dan kena gempuran
himpunan tenaga saktinya pedang srimoyo terpenta
kesamping Lingga W isnu tak sudi sia-siakan kesempatan yang
baik. Dengan berjumpalitan diudara ia menyambar
pedang Srimoyo sebelum runtuh dilantai. Hebatnya lagi.
kaki kanannya masih sempat mendupak urat pingang
Srimoyo sehingga pendekar itu rnendadak saja mati
kutu. "Kamu berdua sebenarnya belum pernah melihat t atakerja ilmu pedang rumah
perguruanmu sendiri yang menjadi kebanggaan aliran Parwati. Nah sekarang
lihatlah! dengan seorang diri aku dapat melakukan jurus-
jurus pedang Sapta Prahara" seru Lingga W isnu setelah
turun diatas lantai. Dan dengan dua pedang rampasannya, pemuda
benar-benar melakukan jurus-jurus Sapta Prahara, Kedua
pedangnya berkelebatan dari kiri dan kanan. Arah bidik
dan titik-tolaknya bertentangan. BIla yang kanan
menyerang, yang kiri mempertahankan diri, Begitulah
sebaliknya. Narnpaknya kusut akan tetapi sesungguhnya
membahayakan lawan, Itulah jurus-jurus ilmu pedang
Sapt a Prahara yang asli dan dapat dipertontonkan Lingga
W isnu dengan mahir sekali.
Tak mengherankan semua hadirin tercengangcengang
menyaksikan kepandaian Lingga W isnu mempertontonkan kemahirannya melakukan jurus-jurus
ilmu pedang Sapta Prahara. Tidak hanya para angkatan
mudanya, tapi juga Songgeng Mint araga Sastra
Demung.. Genggong Basuki, Tawon Remit, Nawawi, Ayu
Sarini, Kayat Pece, Suramerto, Mangun Sentono dan
sekalian anak murid Songgeng Mint araga, Itulah suatu
kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kedua pedang Lingga W isnu makin lama makin
nampak berseliweran. Cahayanya berkeredepan kena
pantulan sinar lampu. Dan angin menderu-deru tiada
hentinya. Setelah enampuluh empat jurus selesai,
terdengarlah seruan pemuda itu, dan tiba-tiba saja kedua
pedang itu melesat ke atas dan menancap dalam pada
penglari atap rumah. Itulah ilmu timpukan pedang Sekar
Teratai yang istimewa. Botol Pinilis dahulu pernah kagum
menyaksikan kemahirannya. Maka tidak mengherankan,
bahw a semua hadirin bersorak bergemuruh menyatakan
rasa kagumnya. Mereka bertepuk t angan dan bersuitan.
Dengan terang-terangan mereka menyatakan pujian.
Dan apabila suara bergemuruh itu mulai reda,
terdengarlah suara gembira Sekar Prabasin i yang
diucapkan dengan nyaring :
"Ha-ha! Nah, sekarang bakal ada orang memanggil
eyang kepadaku!" Genggong Basuki tergugu. Raut mukanya nampak
merah-biru karena rasa mendongkol dan malu. Ia
menekan hulu pedangnya erat-erat, siap untuk
bertempur. Dan Kayat Pece kemudian tertawa :
''Rara W itri! Kau menang! Nah, bawalah semua
emasku." setelah berkata demikian, ia mendorong
keenam batang Emasnya ke depan Rara W itri.
Senang hati Rara W itri melihat kejujuran dan sifat
jant an Kayat Pece. Ia bangkit dari kursinya dan
membungkuk hormat. Sahutnya :
"Paman, biarlah aku mewakili paman memberi hadiah
kepada semua hadirin. Apakah paman rela apabila
jumlah nilai pertaruhan kita kubagi rata kepada hadirin?"
"Semua emasku adalah milikmu. Kau bakar atau kau
buang adalah hakmu." jawab Kayat Pece.
Rara W itri mengangguk hormat. Kemudian ia berkata
nyaring kepada murid-murid ayahnya:
"Saudara-saudara, diatas meja terdapat setumpuk
benda yang bernilai harga kurang lebih tigaribu ringgit.
Inilah jumlah nilai uang enam batang emas paman Kayat
Pece dan sebuah gelang permataku. Ayah mengundang
saudara-saudara sekalian untuk menghadiri pesta
pertemuan ini. Sayang sekali, ayah tak sempat melayani
saudara saudara sekalian dengan baik. Karena itu, emas
dan gelang permataku ini esok hari akan aku jual dan
hasil penjualannya akan kubagi rata kepada saudarasaudara sekalian. Siapa saja,
termasuk anggautaanggauta
pengiring para pendekar kenamaan, kuperkenankan mengambil bagiannya."
Keputusan Rara W itri sangat bijaksana. Baik pihak
Srimoyo maupun murid-murid Songgeng Mint araga
merasa puas. Mereka semua nampak berseri seri
wajahnya. Hanya Amir Hamzah dan Srimoyo yang jadi
bermurung hati. Mereka mendongkol, karena dikalahkan.
Mereka malu, karena tadi sudah terlanjur membuka
mulut besar. Songgeng Mint araga dapat membaca keadaan hati
mereka berdua. Dengan sikap hormat, pendekar tua itu
berkata kepada hadirin : "Saudara-saudara sekalian. Sewaktu muda, perangaiku memang keras dan berangasan. Perangai
itulah yang membuat aku kesalahan tangan sampai
membunuh kakak saudara Srimoyo. Peristiwa itu
betapapun juga membuat hatiku menyesal dan malu.
Sekarang perkenankan aku bersembah kepada saudara
Srimoyo sebagai pernyataan maafku ..." ia berhenti
sebentar menoleh kepada puterinya. Berkata :
"W itri! Kau pun harus bersembah kepada pamanmu
Srimoyo." Rara W itri tahu diri. Ia mendahului ayahnya membuat
sembah kepada Srimoyo, Dan pendekar itu tak dapat
berbuat lain, kecuali membalas sembah mereka berdua.
Ia t adi sudah berjanji, hendak menyudahi persengkataan
manakala kena dikalahkan. Sebagai seorang ksatria,
wajib ia memegang janji. Lagipula bunyi dua helai surat
kesaksian menyatakan pula tentang kesalahan kakaknya.
Karena itu t iada lagi alasan yang kuat untuk melanjutkan
persengketaan itu. Pikirnya didalam hati :
'Masih beruntung, aku tidak sampai terluka. Lagipula
Songgeng Mint araga sudi bersembah padaku dihadapan
umum. Inilah suatu penyelesaian terhormat. Masakan
aku t ak mau menerima"'
Tapi tepat pada saat itu ia seperti melihat bayangan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

almarhum kakaknya. Tak terasa kedua matanya berkacakaca.
"Saudara Srimoyo," kata Songgeng Mint araga dengan
manis. '"Mengenai pertaruhan itu, biarlah aku yang
mewakili dirimu. Besok aku akan mencarikan sebuah
gedung untukmu. Atau aku akan membangunkan sebuah
gedung baru sebagai pengganti gedungmu untuk kedua
utusan pendekar Bondan Sejiwan ini."
"T idak' seru Sekar Prabasini. "Kita semua adalah
golongan ksatria.. Ucapan kita jauh lebih berharga dari
pada harga gedung itu sendiri. Mengapa hendak menjilat
ludah sendiri?" Hadirin heran mendengar kata-kata Sekar Prabasini.
Songgeng Mint araga telah menjanjikan sebuah gedung
baru. Pasti lebih indah dari pada gedung Srimoyo yang
nampak kuna. Kenapa Sekar Prabasini menolak" Apakah
pemuda itu hendak membuat malu Srimoyo benarbenar" Mereka tentu saja tak tahu,
bahwa kemarin malam Sekar Prabasini menemukan tanda-tanda sandi
yang dicarinya. 0oo-dw-oo0 Songgeng Mint araga membungkuk hormat pada Sekar
Prabasin i. Katanya mengambil hati :
"Anak muda. Budimu setinggi gunung terhadapku.
Jiwaku sendiri belum termadai sebagai penebus budimu
itu. Tapi sekarang, sudilah engkau menolong diriku sekali
lagi. Aku mempunyai sebidang tanah yang luasnya empat
kali lipat luas gedung saudara Srimoyo. Perkenankanlah
tanah ku itu sebagai pengganti perkarangan dan rumah
saudara Srimoyo yang kalah dalam pertaruhain ini.
Sekar Prabasini bersenyum. Dasar tajam lidahnya,
dapat ia menjawab dengan tenang :
"T adi, dia hendak membunuhmu. Seumpama engkau
hendak mengganti jiwamu dengan luas tanahmu itu,
dapatkah ia menerima pemohonanmu itu?"
Mendengar kata-kata Sekar Prabasini, Songgeng
Mint araga tak dapat membuka mulutnya. Memang,
Srimoyo pasti tak mau sudah. W alaupun ia bersedia
menyerahkan seluruh harta bendanya, tiada gunanya.
Maka berkatalah ia kepada Rara Witri :
"W itri! Utusan pendekar Bondan Sejiwan tetap
menghendaki gedung itu. Kalau begitu, antarkan uang
taruhannya tigaribu ringgit ini kepada pamanmu Srimoyo
sebagai pengganti harga gedungnya."
"Sudahlah," cegah Srimoyo. "Simpanlah uangmu baikbaik. Aku seorang laki-laki
pula yang tahu menghargai
mulut . Kakang Songgeng Mint araga, maafkanlah aku.
Aku datang kemari sesungguhnya untuk membalaskan
dendam kakakku. Karena merasa diri tak ungkulan
melawanmu, aku membawa sahabat-sahabat undangaku.
Sekarang permusuhan ini kusudahi sampai disini sajaBesok aku akan pulang
kekampung dan akan menggantungkan pedangku untuk selama-lamanya.
Karena itu, biarlah gedungku menjadi milik kedua tuan
ini." Ia berhenti sebentar berpaling kepada Lingga Wisnu
dan Sekar Prabasini. kemudian menghadap sahabatsahabatnya. Setelah membungkuk
hormat ia berkata : "Saudara-saudara datang kerana oleh ajakanku.
Ternyata aku gagal membalaskan dendam kakakku dan
ternyata pula kakakku lah yang salah dalam persengketaan ini. Maafkan aku membalas budi saudara
sekalian yang memerlukan datang dari jauh. Idzinkanlah
aku membalas budi saudara-saudara sekalian dikemudian
hari. Sekarang perkenankan aku maribungkuk hormat
terhadap saudara saudara sekalian sebagai pernyataan
terima kasihku." Terharu hati Lingga W isnu mendengarkan kata-kata
Srimoyo. Ternyata pendekar itu bersifat jantan dan dapat
merubah sikap pula. Setelah hadirin saling hormat,
berkatalah ia kepada Srimoyo :
"Saudara Srimoyo! Biarlah aku memanggilmu dengan
paman Srimoyo, karena usiaku sesungguhnya jauh
berada dihawahmu. Kepandaian paman Amir Hamzah
dan Srimoyo, sebenarnya berada di atasku. Karena itu,
tak perlu paman berdua menggantung pedang." Dan
setelah berkata demikian, ia berdiri dan membungkuk
hormat. Semua hadirin tercengang mendengar pernyataan
Lingga W isnu. Tak usah disangsikan lagi, bahw a Lingga
W isnu menang secara meyakinkan. Siapapun takkan
sanggup melawan pedang Amir Hamzah dan Srimoyo
sambil menggeragoti paha ayam dan meneguk minuman.
Kenapa dia berkata, bahwa kepandaian dua pendekar
Parwati itu berada diatasnya"
"T idak! Tidak! Kau tak perlu membesar-besarkan
hatiku. Aku kalah, dan kalau sudah kalah ya memang
harus kalah. Mengapa engkau berkata, bahwa kepandaianku berada diatasmu" Janganlah keterlaluan
menghina diriku," ujar Airur Hamztt Mendongkol.
"Apa yang kukatakan adalah benar. Kepandaian
paman berdua benar-benar berada diatasku. Paman
berdua tidak percaya?" sahut Lingga W isnu Kemudian
meneruskan memberi keterangan :
"Pendekar Bandan Sejiwan sebenarnya bukan kakakku
seperguruan atau guruku. Hanya secara kebetulan saja,
aku memperoleh sekelumit kepandaiannya. Aku diajari
bagaimana mengalahkan paman berdua. Karena jauhjauh
sudah dapat menduga akan terjadinya persengketaan ini. Aku disuruh melawan paman berdua
dengan cara berandalan untuk memancing kemarahan
paman berdua. Kemudian dengan suatu akal, aku akan
memperoleh kemenangan. Akal itu, dia pula yang
mengajari. Dengan demikian, sesungguhnya paman
berdua kalah melawan pendekar Bondan Sejiwan. Dan
bukan kukalahkan. Aku hanya pelaksananya sematamata.
"Jadi kau bukan adik atau murid Bondan Sejiwan?"
Amir Hamzah heran. "Benar. Karena itu, paman tak usah malu bila
dikalahkan. Sebab, sesungguhnya di jaman ini kepandaian Bondan Sejiwan kukira tiada yang sanggup
menandingi. Maafkan . .. sedang guru paman sendiri,
guru Prangwedani bukan tandingannya pula. Apalagi
paman berdua." ujar Lingga W isnu.
Sebenarnya ucapan Lingga W isnu menyakitkan hati
Amir Hamzah dan Srimoyo. Benarkah gurunya kalah
dengan Bondan Sejiwan" Namun hati mereka menjadi
tenang, karena perbandingan itu menghibur rasa
kekalahannya. Dengan ikhlas Amir Hamzah membungkuk
untuk membalas hormat Lingga W isnu tadi. Kemudian
berkata dengan suara merendah
"Anak muda, kau telah membuat cerah muka kami
berdua. Perkenankan aku menghaturkan rasa terima
kasihku tak terhingga. Bolehkah aku mengenal namamu
berdua?" "Aku sendiri bernama Lingga W isnu. Dan dia ... eh,
sebenarnya dia benar-benar putera pendekar Bondan
Sejiwan," sahut Lingga W isnu
Amir Hamzah dan Srimoyo menunggu Sekar Prabasini
memperkenalkan namanya. Tapi gadis itu yang
mengenakan pakaian laki-laki itu, membungkam mulut.
Maka tahulah mereka, bahwa dia berkeberatan mempernalkan namanya. Mereka lantas mengambil
keputusan hendak segera berangkat. Dengan berbareng
mereka membungkuk hormat kepada Songgeng Mint araga. Berkata : "Kami telah membuat susah kakang Songgeng
Mint araga. Sekarang perkenankan kami berangkat.
Maafkan segala-galanya."
Cepat-cepat Songgeng Mint araga membahas hormat
mereka. Menyahut dengan suara manis :
"Adik sekalian, sekiranya t idak t erjadi peristiwa in i, tak
dapat aku bersahabat, Besok pagi aku datang
mengunjungi adik sekalian."
"T ak usah," ujar Srimoyo. "Kami berdua akan
meninggalkan -Wonogiri malam ini juga."
Mereka berdua memutar tubuhnya. Selagi hendak
melangkahkan kakinya, tiba-tiba terdengar seruan Sekar
Prabasin i kepada A yu Sarini:
"Hai! Bagaimana tentang pertaruhan pedang buntung?" Rara W itri baru saja berlega hati melihat ayahnya
luput dari bahaya maut. Karena itu tidak menginginkan
lagi terjadi suatu ketegangan baru. Siapa tahu,
ketegangan itu akan merubah keputusan Srimoyo. Maka
cepat-cepat ia berkata: "Bagaimana kalau kita bergadang di dalam rumah"
Soal kecil itu, rasanya tak perlu di ungkat-ungkat."
Tetapi, selamanya, Sekar Prabasin i mengotot. Jawabnya sambil menuding Genggong Basuki:
"Dia belum memanggil eyang kepadaku. Karena itu,
persoalan belum boleh dianggap selesai. Coba seumpama jago mereka yang menang, kita masingmasing akan kebagian tikaman pedang
buntung sebelum sempat menyebut eyang tiga kali kepadanya."
Dalam hati Rara W itri membenarkan ucapan Sekar
Prabasin i. Tetapi ketegangan baru itu tidak dikehendaki .
Sebaliknya Genggong Basukii dan Ayu Sarini mendongkol
dan penasaran mendengar ucapan Sekar Prabasin i.
Sebab mereka berdualah yang tertusuk kehormatannya
dengan langsung Tiba-tiba saja, mereka melompat berbareng ke tengah
gelanggang. Tetapi Genggong Basuki tidak menghampiri
Sekar Prabasin i. Sasaran rasa mendongkol dan malunya
dialamatkan kepada Lingga W isnu. Katanya sambil
menuding; "Kau menimpuk pedang kepenglari. Itulah timpukan
gaya Sekar Teratai. Darimana kau mencuri ilmu itu"
Sebenarnya kau siapa" Hayo,- bilang"
Nawawi yang mendampingi istrinya semenjak tadi,
ikut pula masuk kegelanggarg. Berkata ia membantu
kakaknya seperguruan : "Kaupun tadi menggunakan jurus-jurus Sardula Jenar.
Sebenarnya dari mana kau mencuri ilmu kami itu?"
Lingga W isnu sama sekali tak menduga, bahwa akan
terjadi suatu ketegangan baru. Dalam hati ia memaki
Sekar Prabasin i yang membuat gara-gara itu. Namun ia
tertawa menghadapi kekasaran mereka. Sahutnya :
"Mencuri" Mencuri dari mana?"
"Kau bangsat kecil!" maki Ayu Sarini dengan wajah
kalap. "Kau masih menyangkal?"
Lingga W isnu tertawa lebar sambil bergeleng kepala.
Kemenakan, muridnya itu benar-benar galak. Sewaktu
hendak membuka mulutnya, t erdengar Genggong Basuki
tertawa melalu i dadanya. Lalu berkata menegas :
"Kalau. tidak mencuri, dari manakah engkau
memperolehnya?" Kembali lagi Lingga W isnu te rtawa. Sejenak kemudian
menjawab dengan tenang : ''Aku tak perlu mencuri. Karena aku murid Sekar
Teratai." Mendengar jawaban Lingga W isnu, rombongan
Genggong Basuki yang terdiri dari murid-murid aliran
Sekar Teratai tercengang keheranan. Mereka saling
pandang mencari pertimbangan. Dan pada saat itu Ayu
Sarini maju selangkah. Sambil menuding ia berkata
sengit : "Hai, bangsat kecil. Apakah kau sebenarnya orang
gila! Bukankah kau tadi selalu membawa-bawa nama
Bondan Sejiwan" Kenapa sekarang mengaku sebagai
murid Sekar Teratai" Ha, ini namanya. yang palsu
bertemu dengan yang tulen. tahu, dari mana kami
bertiga ini. Buka telingamu baik-baik! Kami bertiga
adalah murid rumah perguruan Sekar Teratai. Tahu?"
Lingga W isnu tidak bersakit hati didamprat demikian.
Tetap saja ia bersikap sabar dan tenang. Ujarnya


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seperti kunyatakan tadi, bahwa pendekar Bondan
Sejiwan sesungguhnya tiada mempunya hubungan dan
sangkut paut dengan diriku. Aku hanyalah salah seorang
sahabat putera pendekar Bondan Sejiwan. Tentang kamu
bertiga sebenarnya sudah kuketahui jauh-jauh sebelumnya. Jadi tegasnya; kita ini adalah sesama aliran
dan sesama golongan."
Nawawi terhenyak. Rupanya ia bisa berpikir agak
sabar. Setelah Terdiam sejenak, ia berkata hati-hati :
"Semua murid eyang guru dan paman guru, kukenal
dengan baik. Sebenarnya kau murid siapa?"
"Akulah murid Ki Sambang Dalan," jawab. Lingga
W isnu, Mendengar jawaban Lingga W isnu, mereka bertiga
kaget sampai berjingkrak. Kata Nawawi mint a keyakinan
pada isterinya : "Sarini! Bocah in i ngoceh tak karuan. Apakah kau
pernah mendengar kabar, bahwa eyang guru mempunyai
seorang murid lagi?"
Ayu Sarini semenjak tadi sudah tak dapat menahan
amarahnya lagi. Mendengar pertanyaan suaminya, ia
menjawab sengit: "Eyang guru seumpama bermata dewa. Mustahil dia
mempunyai murid penipu. "
Lingga W isnu tertawa melalui dadanya. Pikirnya
didalam hati : 'Murid kakang Purbaya in i cepat sekali berpanas hati.
Pikirannya cupat pula. Seumpama pedangnya masih
utuh, pastilah d ia akan segera menikamku. Dengan
pikiran itu, ia berkata :
"Benar, Ki Sambang Dalan memang bermata dewa.
Bahkan kakang Purbayapun sebenarnya sudah harus
memiliki mata dewa. Apa sebab dia menerima murid
sambarangan saja" Benar-benar tak kumengerti"
Srimoyo, Amir Hamzah, Songgeng Mint araga, Sastra
Demung, Kayat Pece, Kartolo dan sekalian hadirin
tercengang mendengar cara Lingga W isnu menanggil
kakang terhadap pendekar Purbaya. Dia dapat menyebut
nama pendekar kenamaan itu. Mustahil dia bukan salah
seorang anggauta rumah perguruan aliran Sekar Teratai.
Sebaliknya Genggong Basuki bertiga justru tertusuk
kehormatannya, karena si penipu kecil itu menyebut
nama gurunya dengan enak saja. Maka bentak Nawawi
menegas ; "Sebenarnya dari manakah engkau memperoleh ilmu
rumah-perguruan Sekar Teratai?"
Pendekar itu masih saja mengira, bahw a Lingga W isnu
seorang penipu yang hendak mempermainkan mereka
bertiga. Itulah sebabnya, meskipun agak bisa berpikir
tenang, namun tak urung kehilangan kesabarannya juga,
"Bukankah sudah kukatakan?" sahut Lingga W isnu
dengan suara tetap sabar. "Guruku bernama Ki Sambang
Dalan. Dialah yang disebut pendekar sakti tanpa
bayangan ..." Nawawi melemparkan pandang kepada Genggong
Basuki mint a pendapatnya. Kakak seperguruannya itu
berdiri tertegun dengan membungkam mulut. Tadi, ia
menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu kepandaian
Lingga W isnu. Tatkala memperkenalkan diri sebagai anak
murid Sekar T eratai, ia setengah percaya. Mungkin sekali
ia mu rid paman gurunya Botol Pinilis atau murid SugiriSukesi. Tetapi setelah
mendengar bahwa bocah itu
mengaku sebagai murid eyang gurunya, keraguannya
lenyap. Pastilah bocah itu seorang penipu besar. Betapa
mungkin" Eyang gurunya terkenal sebagai seorang
pendekar yang selalu merant au dari tempat ke tanpa
tempat. Masakan dalam perant auannya ia menerima
seorang murid yang masih muda belia" - Bagaimana cara
mendidiknya" Dewapun tak akan sanggup merubah
seorang anak muda belia menjadi seorang pendekar
yang tinggi ilmu kepandaiannya dalam sekejap mata.
Malahan, seumpama bocah itu mengaku sebagai murid
suami-isteri Sugiri Sukesih pun masih menyangsikan
juga. Bukankah usia suami-isteri Sugiri-Sukesi hampir
mencapai lima puluh lima tahun" Masakan mereka
berdua mau menerima murid semuda bocah itu. Semua
orang tahu, bahwa untuk memiliki ilmu kepandaian
set araf bocah itu, paling tidak harus melampaui masa
dua atau tiga puluh tahun. Yakinkah suami-lsteri Sugiri
Sukesi bahwa umur mereka akan bisa mencapai delapan
puluh lima tahun, sehingga mau menerima seorang
murid yang masih ingusan" Semuanya t idak masuk akal!
Maka berkatalah ia mengejek :
"Kalau begitu engkau adalah pamanku. Bukankah
begitu, paman yang baik?"
"Jangan menyebut paman kepadaku. Aku pun tidak
mau menerima pula sebut an sang pendekar gagah atau
sebutan-sebutan lainnya. Kalau kalian bertiga menyebut
diri sebagai keponakan-keponakanku, akupun sulit
menerimanya," sahut Lingga W isnu dengan tenang.
Panas kedua telinga Genggong Basuki mendengar
jawaban Lingga W isnu. Berkata mencoba :
"Paman yang baik, tolong berilah kami nasehat.
Apakah kami bertiga tadi mencemarkan pamor rumah
perguruan sehingga paman mencela guruku menerima
murid-murid seperti kami bertiga" Hayoo, berilah kami
nasehat! Kasihanilah keponakan-keponakan muridmu ini
... Ha-ha-hal" Genggong Basuki tertawa oleh rasa mendongkolnya. Dia
sendiri sudah berumur tigapuluh delapan tahun. Dengan sengaja ia menyebut
Lingga W isnu paman berulangkali. Lalu membahasakan diri sebagi keponakan muridnya. Tentu
saja hal itu membuat geli
sekalian romgongan Srimoyo
hingga mereka tertawa berkakakan.
Mendengar suara rcmbongan Srimoyo, barulah wajah
Lingga W isnu berubah dengan sungguh-sungguh.
Katanya dengan suara berwibawa
"Jika kakang Purbaya atau kakang Sugiri berdua
berada disin i, pastilah mereka akan
menampar mulut mu!" "Kau bilang apa" Keparat! Jangan ngoceh tak keruan!"
bentak Genggong Basuki sambil menghunus pedangnya.
Menyaksikan hal itu. Genggong Mint araga sibuk tak
keruan. Cepat-cepat ia melerai. Kata nya kepada
Genggong Basuki : "Saudara Genggong Basuki; kuharap kata-kata anak
Lingga jangan dimasukkan ke dalam, hati. Mari kita
lanjutkan menikmati hidangan".
Dengan kata-katanya ini, jelaslah bahw a Songgeng
Mint aragapun tidak percaya terhadap keterangan Lingga
W isnu. Usia mereka terpaut jauh. Masakan bocah itu
paman Genggong Basuki bertiga" Tetapi, hati Genggong
Basuki sudah telanjur panas. Tak mempedulikan
permint aan Songgeng Mint araga, ia membentak mengguruh kepada Lingga W isnu :
"Bangsat kecil! Meskipun andaikata engkau menyembah diriku tiga kali, dan kemudian menyebut
kami bertiga paman atau bibi, sudah tak terampuni lagi."
Semenjak tadi, Sekar Prabasini mendongkol mendengar Genggong Basuki bertiga menyebut Lingga
W isnu sebagai bangsat kecil, menuruti panasnya hati, ia
meledak : "Hei, cucunda Genggong Basuki! Sebelum engkau
dipanggil paman, harus menyebut diriku eyang dahulu!'
Lingga W isnu menoleh, ia khawatir kawannya itu akan
menimbulkan gara-gara baru lagi. Cepat ia mencegah :
"Adik, janganlah engkau bergurau. Liatlah akibat garagaramu aku menghadapi
kesulitan." Setelah berkata
demikian, ia menatap wajah Genggong Basuki. Berkata :
"Sebenarnya belum pernah aku bertemu dengan
kakang Purbaya, kakang Sugiri dan ayunda Sukesi. Kaian
bertigapun berusia jauh lebih tua dari padaku. Memang
tak pantas kalian Menyebut diriku sebagai pamanmu.
Akan tetapi, sepak terjang kalian bertiga benar-benar tak
pant as. Dan memalukan sekali."
Terbangun sepasang alis Genggong Basuki. Darahnya
mendidih dan berdeburan didalam dada. Oleh rasa gusar
yang tak terbangun lagi, badannya sampai menggigil.
Lalu tertawa berkakakan melepaskan ledakan hatinya.
Kemudian berkata dengan suara menggeletar :
"Akh, bocah edan! Jadi kau benar-benar hendak
memberi nasehat kepada kami" Coba katakan padaku,
apakah kesalahan kami bertiga" Salah seorang sahabat
kami dalam kesulitan. Apakah kami tidak boleh
membantu?" Lingga W isnu berdeham dua kali. Menjawab tak
langsung : "Pendiri Sekar Teratai mewariskan duabelas anggerangger kepada kita semuanya.
Kau tahu bukan, bunyi pant angan angger ketiga, kelima, ketujuh dan kesebelas"
Kenapa kau langgar" Ccba baca"
Genggong Basuki terhenyak. Pikirnya, bocah ini bisa
menyinggung-nyinggung soal angger-angger dua belas
rumah perguruan. Sebenarnya siapakah dia"
Selagi berpikir demikian, Ayu Sarini tak dapat
menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia menimpuk Lingga
W isnu dengan pedang buntungnya, sambil berteriak
sengit : "Coba tangkap! Ingin aku menguji kepandaian murid
Sekar Teratai!" Melihat berkelebatnya pedang buntung, maka Lingga
W isnu sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya.
Ia menunggu sampai ujung pedang hampir menyentuh
dirinya. Tiba-tiba tangan kirinya ditengadahkan, sedang
tangan kanannya di angkat tengkurap. Kemudian dengan
cepat sekali ia mengadukan kedua tangannya seperti lagi
bertepuk. Plok! dan pedang buntung Ayu Sarini. kena
ditangkapnya. Itulah salah satu tata-tipu muslihat rumah
perguruan Sekar Teratai yang bernama Cengkeraman
Rajawali. "Bukankah ini tata-muslihat ilmu cengkeraman
rajawali" Cocok atau tidak dengan aslinya?" ia menegas.
Kembali Genggong Basuki terhenyak heran. Juga
Nawawi. Didalam hati mereka berkata :
'Benar. Memang ajaian rumah perguruan Sekar
Teratai. Hanya saja, kenapa bocah ini bisa melakukannya
dengan sempurna" Guru sendiri belum tentu mampu
berbuat demikian ,..' Ayu Sarinipun tercengang keheranan sampai t erteguntegun Ia merasa d iri seperti
mati kut u. Tatkala mengalihkan pandang, ia melihat suaminya menghampiri
pemuda itu. Berkatalah suaminya dengan nada hati-hati :
"Memang benar. Engkau telah menggunakan salah
satu ajaran tata-muslihat perguruan kita. Tetapi
sekarang, aku ingin mencoba-coba kepandaianmu
supaya terbuka mataku.'' "Kakang Nawawi. Eh, biarlah aku memanggilmu
kakang saja, mengingat perbedaan usia," sahut Lingga
W isnu dengar sabar. "Gurumu terkenal dengan sebutan
pendekar Narantaka pula. Dengan begitu, pastilah
engkau telah mewarisi ilmu sakti Sardula Jenar dan Sapu
Jagad. Apakah engkau sudah dapat membelah batu dan
menghancurkan batang besi?"
Nawawi sekararg tidak berani lagi merendahkan
ucapan-ucapan Lingga W isnu. Dengan hati-hati ia
menjawab: "Akh, aku baru saja belajar ku litnya. Tak berani aku
berkata bahwa aku sudah belajar de..... ada kalimat
kurang... "'Tidak usah engkau merendahkan diri, kakang." ujar
Lingga W isnu. "Seumpama engkau sedang berlatih ilmu
tangan kosong dengan gurumu dan gurumu benar-benar
menggunakan seluruh kepandaiannya, berapa jurus
engkau dapat melawannya ?"
"Sepuluh jurus yang pertama," jawab Nawawi cepat
"Benar-benar sepuluh jurus ?" Lingga w isnu menegas.
"Benar. Sepuluh Jurus. Sebab seringkali aku berlatih


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlawan-lawanan. Hanya saja setelah meningkat ke
jurus sebelas dan seterusnya aku dalam kesulitan."
"Bagus. Gurumu terkenal dengan sebutan Narantaka.
Kepandaiannya berkelahi dengan tangan kosong sudah
sangat sempurna. Karena itu sungguh mengagumkan
bahw a engkau sanggup melawannya sampai sepuluh
jurus. Tak mengecewakan engkau membawa-bawa nama
gurumu" "Akh, sebenarnya kepandaianku masih terpaut jauh
dengan kemahiran guru, " kata Nawawi
Sudah barang tentu Ayu Sarini tidak senang suaminya
benar-benar mengakui Lingga wisnu sebagai paman
gurunya, maka tegurnya dengan suara menyesali.
"Kakang Nawawi" Apakah hatimu sudah meringkas
kena gertak bocah itu?"
Nawawi kaget seperti tersengat lebah. Katanya :
"Akh, ya." "Akh ya, bagaimana?" Lingga W isnu menegas. "Apa
yang harus kubuktikan lagi agar engkau percaya bahwa
aku adalah paman gurumu?"
"Mari k ita mencoba-coba sebentar. Bila engkau ..."
"Oh, begitu?" potong Lingga W isnu. "Baiklah, bila
Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 3 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Memburu Iblis 15
^