Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 17

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 17


engkau dapat melayani aku sampai lima jurus, kau boleh
berkata kepada siapapun bahwa aku penipu besar.
Setuju?" 0oo-dw-oo0 Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Genggong Basuki
bertiga heran berbareng lega hati. pikir Genggong Basuki
di dalam hati : "Bocah ini benar-benar besar mulut . Mustahil engkau
sanggup merobohkan Nawawi dalam lima jurus saja"'
dengan pikiran itu ia berkata :
"Baiklah! Akulah yang menghitung."
Genggong Basuki dan Ayu Sarini mundur keluar
gelanggang. Dan semua hadirin melepaskan pandangnya
kearah Lingga W isnu dan Nawawi dengan penuh
perhatian. Nawawi benar-benar tak berani merendahkan Lingga
W isnu. Hatinya penuh kebimbangan. Karena itu ia
bersikap hati-hati. Ia membungkuk hormat sebagai
layaknya seorang keponakan terhadap pamannya. Lalu
berkata : "Bila nant i ternyata masih terdapat kekurangankekuranganku, haraplah sudi
memberi saran dan nasehat." Perlahan-lahan Lingga W isnu menghampirinya. Setelah bersiaga bertempur, ia berkata :
"Jurusku yang pertama adalah Kidang Kumba.. Kau
mengertikan" Nah, sambutlah." Nawawi tercengang mendengar perkataan Lingga
W isnu. Ia jadi geli sendiri, pikirnya di dalam hati :
'Hmm, engkau hendak menggunakan tipu muslihat,
bukan" Dimanakah pernah terjadi seseorang memberitahukan ragam sebelum menggempur lawan"
Kalau tidak bertujuan mengakali" Kidang Kumba
membidik sasaran atas. Pastilah engkau hendak
menyerang bawah. Nah, biarlah aku menjaga perut. Bila
te benar-benar menyerang perut, aku akan membarengi
menyodok dadamu.. ' setelah berpikir demikian, ia
memanggut sambil menyahut :
"Baik. Kau seranglah I"
Berkata demikian, Nawawi mempersiapkan kedua
tangannya. Benar-benar ia hendak melindungi perutnya.
Pemuda itu berseru : "Hai! Kenapa kau tak percaya?" Ia menunda
serangannya. Dan berseru lagi:
"T angkislah dengan kedua tanganmu! Kau tak akan
sanggup menyongsong pukulan dengan sebelah tangan."
Nawawi terperanjat. Sama sekali tak terduga duga,
bahw a Lingga W isnu benar-benar menyerang dengan
jurus Kidang Kumba. Masih untung, Lingga W isnu
menunda serangannya. Kalau tidak, hidungnya pasti
akan menyemburkan kecap merah. Teringat akan
himpunan tenaga Lingga W isnu yang dahsyat tadi, gugup
ia menyusulkan sebelah tangannya. Dengan begitu
benarlah kata Lingga W isnu, bahw a ia harus menapak
pukulannya dengan dua belah tangannya. Bres!
Tubuhnya tergetar dan mundur selangkah bergoyangan.
"Bagus!" Seru Lingga W isnu memuji. "Sekarang,
seranganku yang kedua terdiri dari tiga jurus sekaligus
yang kugabungkan menjadi satu. Jurus Gajah Marabah,
Guntur Geni dan Sardula langking menerkam jant ung.
Bagaimana engkau hendak melawannya?"
Tanpa berpikir lagi, Nawawi menjawab:
"Aku akan meramahkan dengan t iga jurus pula. Jurus
Tinjomaya, Bramasta dan Garuda Yaksa."
"Dua yang benar. Tapi yang ketiga, tidak tepat," ujar
Lingga W isnu seperti seorang guru mengajar muridnya.
Memang, sengaja ia berlaku demikian unt uk membuat
Nawawi t akluk benar-benar.
"Kau tak percaya" Mari kujelaskan. Titik penjagaan
Garuda Yaksa berada disekitar dada. Tujuannya
memunahkan sambil membalas menyerang. Bila lawan
akan. mengadu tenaga, itulah bagus. Kalau tidak,
terpaksalah engkau membalas menyerang. Untuk
menyerang balik, kau harus menarik jari-jarimu dahu lu
yang sudah terlanjur terbuka menjadi suatu cengkeraman. Kemudian memutar pergelangan untuk
kau buat tenaga tolak. Dengan demikian, engkau
meninggalkan separo garis pertahananmu. Karena itu,
kau t akkan sanggup menahan gempuranku jurus Sardula
lengking menerkam jantung."
"Kalau begitu aku akan menggunakan jurus Habra
Markata," sahut Nawawi cepat.
"Ha, itu benar!" ujar Lingga W isnu. "Nah sambutlah!"
Sambil berkata demikian, Lingga W isnu melancarkan
serangannya. Cepat dan gesit sekali, Nawawi mengadakan pembelaan. Ia menjaga tangan kanan
lawan. Akan tetapi tangan kanan Lingga W isnu hanya
terangkat sedikit. Sedang tangan kirinya tiba-tiba yang
menerjang sasaran. Seru Lingga W isnu :
''Dalam suatu perkelahian, kau tak boleh terlalu kokoh
memegang keharusan jurus-jurus ajaran. Semuanya bisa
berubah menurut keadaan. Pastilah gurumu pernah
berpesan demikian." Diperlakukan sebagai kanak-kanak, lambat laun
Nawawi mendongkol juga. Diam-diam ia mempersiapkan
serangan balasan apabila sudah dapat memunahkan t iga
jurus serangan itu. Tetapi kegesitan dan kecepatan gerak
Lingga W isnu diluar perhitungannya.
Sebat luar biasa Lingga. W isnu melejit kekiri dengan
membuka dadanya. Cepat-cepat Nawawi menjodohkan
tangannya. Tapi mendadak pergelarannya kena tekap
dari ditarik. Buru-buru ia menahan diri dengan
menjagangkan kedua kakinya kuat-kuat. Ternyata Lingga
W isnu tidak hanya menarik saja. Ia melesat kesamping
dan tiba-tiba sudah berada dibelakang punggung
Nawawi. Ia menggempur pantatnya, sebelum Nawawi sempat
memutar tubuhnya. Plok, dan kedua kaki Nawawi
gempur garis pertahanannya. Ia terhunyuk ke depan.
Dan baiu b isa membalikkan tubuh setelah berjuang
dengan susah-payah. "Bagus,"seru Lingga W isnu gembira. "Sekarang
jurusku yang kelima. Jurus terakhir. Hati-hatilah, aku
hendak menagunakan jurus 'menyembah keblat'.
Nawawi heran. Bukankah jurus 'menyembah keblat' itu
hanya digunakan untuk permulaan kali sebagai
penghormatan kepada lawannya bertanding" Jurus itu
sama sekali t idak masuk hitungan.
Lingga W isnu rupanya dapat membaca hatinya.
Berkata : "Apakah kau sangka jurus menyembah keblat hanya
untuk upacara saja" Apakah kau kira jurus itu tiada
faedahnya untuk menghadapi lawan" Sebenarnya kau
harus dapat meraba apa maksud pendiri aliran Sekar
Teratai menciptakan jurus itu. Yakinlah bahw a tiada satu
juruspun ciptaan pendiri Sekar Teratai yang tidak
dipersiapkan untuk melumpuhkan lawan agar dapat
merebut kemenangan. Kau lihat sajalah, kalau tidak
percaya!" Setelah berkata demikian, ia mengedapkan tubuhnya
dan meliuk seakan-akan gendewa. Tangan kanannya
membuat tinju dan ditekap oleh tangan kirinya.
Kemudian membuat gerakan membungkuk hormat. Ia
maju selangkah dan kedua tangannya menyerang
dengan berbareng. Semuanya itu dilakukan dengan cepat
dan tiba-tiba. Gugup Nawawi mengadakan pembelaan. Tahu-tahu
pahanya kena tinju. Tubuhnya terhuyung dan mundur
roboh. Tepat pada saat itu, Lingga W isnu melompat
menyambarnya. Ia menjagangnya beberapa saat, lalu
direbahkan dengan perlahan- lahan dan hati-hati.
Nawawi melompat bangun. Terus saja ia membungkuk
hormat dan berkata dengan hormat :
"Maafkan paman. Mataku terlalu lamur sehingga t idak
mengenal paman dengan segera."
Cepat-cepat Lingga W isnu membalas hormatnya.
Menjawab : "Mengingat, usia kakang lebih tua, lebih baik kita
saling menyebut kakak-adik saja."
"Akh, tak berani aku berbuat demkian. Mungkin
paman jauh lebih senang, manakala kusebut dengan
adik. Akan tetapi bijla guru mendengar, apa jadinya?"
sahut Nawawi cepat. "Lagi-pula ilmu kepandaian paman
benar-benar luar-biasa dan berada jauh diatas tingkatanku. Lima jurus tadi, benar-benar jurus ilmu
Sardula. Paman telah meribuka mataku. Dikemudian hari,
aku akan menekuni petunjuk-petunjuk paman yang
sangat berharga itu."
Nawawi benar-benar memegang perkataannya. Dikemudian hari ia berlatih menurut petunjuk-petunjuk
Lingga W isnu. Dan ia menjadi seorang pendekar
kenamaan yang jarang sekali tandingannya. Sampai
berusia lanjut, ia menghormati paman gurunya yang
muda belia itu. Pada saat itu, Lingga W isnu hanya tersenyum. Tak
dapat ia menolak alasan Nawawi. Memang, kalau guru
Nawawi akhirnya mendengar betapa sikap muridnya itu
terhadap dirinya, bisa-b isa dikut ungi kedua lengannya.
Genggong Basuki dan Ayu Sarini kin i tak dapat lagi
bersangsi, setelah menyaksikan Lingga W isnu dapat
merobohkan Nawawi dengan lima jurus. W alaupun
demikian, Genggong Basuki masih yakin akan ketangguhannya sendiri. Pikirnya di dalam hati :
'A ku memang murid tertua pendekar Purbaya. Akan
tetapi ilmu pedangku, kuperoleh dari paman Sugiri dan
bibi Sukesi. Dia tadi selalu melawan musuhnya dengan
tangan kosong. Mungkin dia hebat dalam tata-berkelahi
dengan tangan kosong. Tapi belum tentu ia mahir dalam
ilmu pedang.' Selagi berpikir demikian, Ayu Sarini berseru kepadanya: "Kakang, kau belum mencoba ilmu pedangmu."
Itulah pucuk dicint a ulam tiba alias kebetulan sekali.
Terus saja ia menghadap Lingga W isnu. Berkata dengan
suara angkuh ; "T uan! Sekarang giliranku. Aku biasa menggunakan
pedang. Karena itu lawanlah aku dengan pedang pula."
Genggong Basuki sudah merubah sebutan bangsat
kecil menjadi tuan. Sedikit banyak ia sudah menghargai.
Akan tetapi sebutan tuan itu sendiri, kurang sedap dalam
pendengaran Lingga W isnu. Apalagi d ia bersikap tinggi
hati. 'Rupanya dia terlalu yakin pada kepandaian sendiri.
Mungkin sekali ia sudah mencapai tataran kesempurnaan.' pikir Lingga W isnu di dalam hati. 'Melihat
gerak-geriknya, gurunya tidak hanya satu. Biarlah
kumint a keterangannya.' Memperoleh pikiran demikian, ia bertanya mint a
keterangan : "Menurut kabar, engkau adalah murid tertua kakang
Purbaya. Tapi kakang Purbaya sesungguhnya seorang
ahli tata-berkelahi dengan tangan kosong. Sebaliknya
kau terkenal dengan pedangmu. Apakah kabar itu tidak
benar?" "Benar atau t idak, apa perduli t uan?" sahut Genggong
Basuki cepat. "Aku memang murid tertua pendekar
Purbaya. Ilmu pedangku kuperoleh dari suami isteri
Sugiri-Sukesi, paman dan bibi guruku. Kenapa" Apakah
aku tidak berhak lagi menyebut diriku sebagai murid
Sekar T eratai" Paman Botol panilispun pernah mengajari


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku satu dua jurus. Apakah aku t idak berhak membawabawa nama rumah perguruan
Sekar Teratai?" 'A kh, scmbong benar manusia in i"' pikir Lingga W isnu
lagi di dalam hati. 'Sifat dan perangainya ternyata jauh
berbeda dengan Nawawi. Pant as sepak terjangnya
keterlaluan. Biarlah kuhajarnya benar-benar, agar
dikemudian hari tidak merusak nama baik rumah
perguruan Sekar Teratai. Mungkin sekali, d ia akan biia
merubah sepak terjangnya setelah kuberi pengalaman
pahit. Mudah-inudahan ...'
Memperoleh keputusan demikian, Lingga W isnu
menyahut dengan menegakkan kepala. Katanya :
"Untuk mengadu pedang bukanlah soal sulit. Hanya
saja, set elah kau kalah wajib engkau mendengar
perkataanku. Barangkali tidak terlalu sedap bagi
pendengaranku." "Sekarang belum ada keputusan siapa yang menang
dan kalah. Karena itu kalau tuan hendak berbicara
tentang menang dan kalah adalah terlalu pagi. Tuan
buktikan dahulu!" ujar Genggong Basuki dengan
mengulum senyum. Kemudian ia melintangkan pedangnya didepan dadanya dan mengambil tempat di
sebelah kiri. "Kakang Genggong Basuki! Pedang tidak boleh kau
angkat terlalu tinggi. Dia adalah paman guru kita!" seru
Nawawi, Tetapi Genggong Basuki t idak menggubris seruan adik
seperguruannya'.itu. Ia t ahu, peraturan tata-tertib rumah
perguruan Sekar Teratai. Bahwasanya apabila angkatan
muda berlatih pedang dengan angkatan tua, maka
pedang angkatan muda tidak boleh diangkat terlalu
tinggi. Sebab gerakan pedang itu sendiri merupakan tatatertib kehormatan.
Kecuali itu,- anggauta angkatan muda
tidak diperkenankan berdiri disebelah kiri Tapi pada saat
itu ia. menganggap Lingga W isnu bukan paman gurunya.
Karena itu dia menempati setelah kiri dan mengangkat
pedangnya tinggi diatas dada. Dengan tangan kiri ia
menggenggam hulu pedang kemudian menantang :
"Silahkan, tuan!"
Betapa sabar Lingga akhirnya mendongkol juga.
Meskipun demikian ia tidak segera menerima tantangan
Genggong Basuki. Ia menoleh Kepada Songgeng
Mint araga dan berkata :'
"Paman Songgeng! Maafkan, aku tadi memanggil
paman dengan saudara. Sebab pada saat itu aku
memperkenalkan diri sebagai adik seperguruan pendekar
Bondan Sejiwan ..." "Akh, tak mengapa. Janganlah meributkan hal itu.
Itulah perkara kecil yang sama sekali tak ada harganya
dibicarakan," Jaw ab Songgeng Mint araga.
"Terima kasih, paman. Sekarang, bolehkah aku
memint a pertolongan beberapa murid paman untuk
membawakan sepuluh batang pedang kemari?"
"Kenapa tidak" Janganlah engkau bersegan-segan
terhadapku. Apa artinya sepuluh batang pedang" Jiwaku
sendiri k ini adalah seumpama milikmu. Tentu saja muridmiridku akan bersedia
melakukan perint ahmu dengan
ikhlas." Ujar Songgeng Mint araga.
Rara W itri yang mendengar percakapan itu segera,
memberi tanda kepada beberapa murid ayah nya agar
mengambil sepuluh batang pedang. Segera mereka
masuk kedalam rumah dan datang kembali dengan
membawa sepuluh batang pedang. Mengingat Lingga
W isnu telah menolong jiwa gurunya, mereka bahkan
memilihkan pedang-pedang yang istimewa. Kemudian
kesepuluh batang pedang itu di letakkan diatas meja
yang berada t ak jauh dari Lingga Wisnu.
Semua hadirin mengarahkan pandangnya kepada
Lingga W isnu, mereka berteka-teki dan mencoba
menebak apa maksud Lingga W isnu menghendaki
sepuluh batang pedang dibawa kehadapannya- Apakah
dia hendak memilih sebatang di antaranya" Akan tetapi
diluar dugaan, Lingga W isnu justru memungut pedang
buntung Ayu Sarini. Kemudian sambil t ertawa ia berkata:
"Biarlah aku memakai pedang buntung ini saja."
Sudah barang tentu para hadirin tercengang
keheranan. Bagaimana mungkin sebatang pedang
buntung dapat melawan pedang Genggong Basuki"
Banyak diant ara mereka menganggap pemuda itu terlalu
sombong dan takabur. Sebaliknya Genggong Basuki
merasa diri direndahkan. Ia gusar bukan kepalang.
Bentaknya : "Benar-benarkah engkau hendak menggunakan pedang buntung itu?"
"Kau boleh mulai menyerang " sahut Lingga W isnu
sambil menjepit pedang buntung itu diantara ibu jari dan
jari t elunjuknya. "Kau benar-benar tak memandang mata padaku Jika
kau nant i mampus jangan sesalkan diriku!" teriak
Genggong Basuki. Ia kini merubah sebutan t uan dengan
engkau. Artinya, ia tak dapat menguasai d iri lagi Ia
lantas memutar pedangnya. Dan diantara cahaya
pedangnya yang berkilauan, ia menggerung :
"Awas!" Genggong Basuki benar-benar menikam. Arah bidikannya kepada pundak kanan. Menurut perhitungannya, itulah bagian yang lemah. Sebab
Tangga W isnu, hanya dapat, menjepit pedangnya.
Dengan demikian, tak dapat ia bergerak leluasa.
Ruangan serambi depan Songgeng Mint araga yang
terisi kurang lebih empat ratus orang, sepi dengan t ibatiba.
Mereka semua membungkam mulut dan mengarahkan seluruh perhatiannya ke gelanggang
pertempuran. Mereka melihat, betapa cepat dan dahsyat
serangan pedang Genggong Basuki yang disertai
himpunan tenaga sakti. Tatkala ujung pedangnya hampir
mencapai sasaran, sekonyong-konyong Lingga W isnu
menangkis dengan pedang buntungnya. Kedua senjata
tajam itu lantas saja berbenturan.
Setelah suara nyaring pedang lenyap dari pendengaran, para hadirin terperanjat dan tertegun
keheran-heranan. Mereka mendengar suara pedang
patah dan runtuh bergemelontangan diatas lantai.
Ternyata itulah pedang Genggong Basuki yang
mendadak saja patah menjadi tiga bagian. Bagaimana
bisa begitu" mereka bertanya-tanya di dalam hati. Ilmu
tangkisan apakah yang digunakan Lingga W isnu untuk
membabat pedang Genggong Basuki sampai patah"
Selagi hadirin tercengang keheran-heranan, Lingga
W isnu menuding ke meja samping. Berkata:
"Jangan khawatir! Aku telah mint a kepada paman
Songgeng Mintaraga agar menyediakan sepuluh batang
pedang. Nah, tukarlah pedangmu yang buntung itu. Kau
boleh memilih sesuka hatimu."
Sekarang, barulah hadirin mengerti, apa sebab Lingga
W isnu tadi memohon sepuluh batang pedang kepada
Songgeng Mintaraga. Dan yang heran dan menyesal,
adalah Rara W itri dan beberapa murid yang mengambil
sepuluh batang pedang itu. Kalau tahu begitu, tidak
bakalan mereka memilihkan pedang yang justru
istimewa. Genggong Basuki terperanjat berbareng gusar luar
biasa. Tanpa membuka mulutnya ia membuang pedang
buntungnya. Kemudian melompat ke meja sambil
menyambar sebilah pedang. Setelah itu menerjang
Lingga W isnu dengan sekonyang konycng. Terdorong
oleh rasa gusarnya, ia menyerang sehebat-hebatnya
seumpama seekor kerbau gila hendak merobek-robek
siapapun yang merintanginya. Dengan seluruh tenaganya, ia membabat kebaw ah.
Otak Lingga W isnu memang cerdas luar b iasa dan ia
menduga, bahwa Genggong Basuki hanya menggertak
saja. Karena itu tak sudi ia menangkis atau melompat
tinggi. Dan dugaannya tepat benar. Genggong Basuki
benar-benar mengurungkan sasaran b idikannya, Tibatiba saja pedangnya di tarik
dibuatnya menikam perut. Melihat berkelebatnya pedang, Lingga W isnu segera
menangkis dengan mengerahkan himpunan tenaga
saktinya.. Tak! Dan untuk kedua kalinya, pedang Genggong Basuki
patah menjadi tiga bagian. Tak mengherankan,
Genggong Basuki menjadi kalap. Tanpa menunggu
perkataan Lingga W isnu ia telah melompat keluar
gelanggang dan menyambar sebilah pedang lagi.
Kemudian mengulangi serangannya dengan dahsyat.
Akan tetapi, untuk yang ketiga kalinya, pedangnya patah
lagi dalam segebrakan saja. Sekarang larut lah sebagian
besar kesombongan hatinya. Ia berdiri t ertegun bagaikan
patung yang tak pandai membuka mulut. Ia heran dan
penasaran. "Hai, tuan kecil!" seru Ayu Sarini dari luar gelanggang.
"Kenapa engkau melawan ilmu pedang kakang Genggong
Basuki dengan ilmu iblis" Apakah ini namanya mengadu
kepandaian?" Lingga W isnu merasa dirinya kena tegur. Segera ia
melempar pedang buntungnya. Kemudian ia mengambil
dua batang pedang. Yang sebatang diberikan kepada
Genggong Basuki. ia berpaling kepada pendekar wanita
yang garang itu sambil ber senyum. Katanya :
"Ini bukan ilmu iblis, nyonya. Kau mengaku murid
Sekar Teratai. Masak tidak mengenal ilmu sakti Esmu
Gunting?" Selagi ia berbicara, tiba-tiba Genang Basuki menggunakan kesempatan itu. Dengan kecepatan kilat,
ia menikam punggung Lingga W isnu dan setelah itu baru
ia berteriak : "Awasi" Lingga W isnu tahu kecurangan lawannya. Namun ia
tak bersakit hati. Sambil mengelak kesamping, ia
menirukan bunyi teriakannya seraya menggerakkan
pedangnya : "Awas!" Genggong Basuki menyerang dengan tipu-tipu ajaran
suami isteri Sugiri-Sukesi ltulah ilmu pedang pengejar
angin atau Mayang Seta. Kali ini tidak sudi ia
membiarkan pedangnya sampai kena bentrok. Ia
bergerak sepesat angin. .itulah keistimewaannya ilmu
pedang Mayang Seta yang berint ikan pada kecepatan
bergerak. Dengan ilmu pedang itu, Ki Sambang Dalan
pada zaman mudanya d ikenal sebagai pendekar tiada
bayangan, juga Genggong Basuki sudah semenjak
belasan tahun lamanya, disebut sebagai pendekar t anpa
bayangan. Selama itu, ilmu pedang dan kecepatannya
memang tiada lawannya. Maka tidak mengherankan
betapa ia yakin kepada kemenangannya.
Tapi mendadak, ia terkejut bukan main. Pantatnya
seperti terbentur sebuah benda dingin. Cepat ia memut ar
pedangnya sambil membabatkan Namun pantatnya
masih saja tertempel benda dingin itu- Kali ini ia benarbenar-kaget sampai
punggungnya berkeringat dingin.
Untuk membebaskan diri, ia menubruk kedepan sambil
menjatuhkan diri. Kemudian melompat tinggi jauh ke
depan lagi. Tetapi masih saja pant atnya terasa dingin.
Dalam sekejapan tadi, ia melihat benda apakah yang
terasa dingin pada pant atnya. Itulah ujung pedang
Lingga W isnu. Keruan saja ia sibuk bukan main. Sekali
lagi ia menjatuhkan diri samb il bergulingan. Namun ke
mana saja ia bergerak, ujung pedang Lingga W isnu tetap
menempel pantatnya. Karena putus asa, ia jad i nekat.
Pedangnya diputar berserabutan. Ha, sekarang terjadi
ujung pedang Lingga W isnu tidak lagi menempel
dipantatnya. Tapi t atkala hendak berdiri, tahu-tahu ujung
pedang sudah berada di depan dadanya. Kalau saja
Lingga W isnu menyorongkan pedangnya sedikit saja,
tamatlah riwayatnya sebagai pendekar tanpa bayangan.
0oodwoo0

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia kini benar-benar merasa takut dan bingung. Itulah
perasaan takut dan bingung untuk yang pertama kalinya
dialaminya. Selamanya, ia membanggakan diri sebagai
seorang ahli pedang tercepat diempat penjuru dunia,
sampai sudah tidak merasa malu menyematkan sebutan
sebagai pendekar tanpa bayangan seperti eyang
gurunya. Kini, ternyata ia mati kut u menghadapi
kegesitan Lingga W isnu yang bisa bergerak cepat pula
seperti dirinya. Bahkan kecepatan Lingga W isnu berada
di atasnya. Lingga W isnu mengamat-amati, wajah Genggong
Basuki yang pucat lesi. Seluruh tubuhnya bermandikan
keringat. Betapun juga ia jadi iba hati. Bukankah
Genggong Basuki kemenakan muridnya sendiri" Adalah
keterlaluan sekali bila d ibuatnya malu dihadapan umum.
Maka segera ia menarik pedangnya dan mundur
selangkah. "Inilah pedang Sekar Teratai yang sejati," katanya.
"Apakah engkau belum pernah mempelajarinya?"
Genggong Basuki melompat bangun sambil menggibriki pakaiannya. Diam-diam ia menenangkan diri sambil mengatur pernapasannya kembali. Kemudian menjawab dengan menundukkan kepala : "Itulah ilmu pedang Mayang Seta." "Benar." kata Lingga W isnu. "Kau sudah mengenal
namanya. Masakan belum mampu menguasai?"
Genggong Basuki mencoba menguasai diri. Perlahanlahan ia menegakkan kepalanya.
Kemudian menyahut : "Marilah mengadu pedang dengan cara yang wajar!
Ilmumu terlalu campur-aduk."
"Campur aduk bagaimana?" Lingga W isnu heran.
"Y ang kupergunakan adalah ilmu pedang Sekar Teratai
yang aseli. Baiklah, kalau kau belum merasa puas. Lihat,
akulah kini yang mendahului menyerang. Coba kau
pertahankan!" Lingga W isnu benar-benar menyerang, Perlahan-lahan cara menyerangnya. Dan
Genggong Basuki segera menggerakkan pedangnya untuk menangkis.. Setelah itu
dengan suatu kecepatan ia hendak lakukan serangan
balasan. Tetapi pada saat itu mendadak saja Lingga
W isnu menekan pedangnya. Buru-buru ia menarik
pedangnya. Heran! Pedangnya seperti kena tempel
sebatang besi berani yang kuat luar biasa. Ia jadi sibuk.
Melihat Genggong Basuki sibuk dalam usahanya
hendak menarik pedangnya, Lingga W isnu tersenyum.
Dua kali ia memut ar pedangnya. Dan pergelangan
tangan Genggong Basuki ikut terputar dua kali pula.
Sekarang ia menariknya dengan mengerahkan himpunan
tenaga sakti t ujuh bagian. Dan pedang Genggong Basuki
kena direnggutnya dan dilemparkan keatas lantai.
"Bagaimana" Apakah kau masih ingin mencoba lagi?"
kata Lingga W isnu sabar.
Rasa penasaran Genggong Basuki makin menghebat.
Ia sekarang jadi nekad, Dengan membungkam mulut ia
menyambar sebatang pedang lagi dari atas meja.
Kemudian menyerang pundak kiri Lingga W isnu.
Sekarang ia menikam dengan cara yang lain. Pedangnya
ditusukkan dan ditarik silih berganti dengan cepat. Ia
sadar, bahw a dalam hal mengadu himpunan tenaga
sakti, merasa diri kalah jauh.
Lingga W isnupun tidak memutar pedangnya lagi.
Setelah mengelakkan beberapa tikaman Genggong
Basuki. ia menikam dada si bandel itu. Itu lah serangan
yang hebat sekali. Mau tak mau Genggong Basuki harus
menangkis. Trang! Dan untuk kesekian kalinya pedang
Genggong Basuki jadi terlepas dari genggamannya. Kali
ini sampai ment al t inggi keudara hampir mencapai langitlangit.
Genggong Basuki benar-benar menjadi kalap. Tak sudi
ia menunggu pedangnya turun dari udara. Dengan sekali
meloncat, ia menyambar sebatang pedang baru lagi.
Kemudian maju lagi hendak menyerang.
"Apakah benar-benar engkau tak mau menyerah?"
Bentak Lingga W isnu. Ia lantas membolang-balingkan
pedangnya mematikan daerah gerak
Genggong Basuki. Dan diancam gerakan pedang
demikian.. Genggong Basuki terpaksa membatalkan
maksudnya, Namun masih saja ia mencoba membebaskan diri. Ia mengelak samb il menarik
tubuhnya kebelakang. Menyaksikan kehandalannya,
Lingga W isnu jadi mendongkol. Ia menggertak sambil
menyambar kaki sibandal itu, dengan perlahan.
Namun karena himpunan tenaga saktinya sangat
besar, tubuh Genggong Basuki terangkat naik dan
akhirnya roboh terbanting diatas lantai. Kemudian Lingga
W isnu mengancamkan ujung pedangnya pada tenggorokan Menegas : "Benar-benar kau tak mau menyerah?"
Selama hidupnya, belum pernah Genggong Basuki
terhina seperti pada saat itu. Ia mendongkol, gusar dan
malu bukan main. Karena tak dapat menguasai d iri,
akhirnya ia jatuh pingsan.
Ayu Sarini melompat kedalam gelanggang melihat
kakaknya rebah tak berkutik. Segera ia menyerang
kalang-kabut an sambil berteriak :
"Kalau kau bunuh dia, bunuhlah kami berdua pulaI"
Tergetar hati Lingga W isnu mendengar teriakan Ayu
Sarini dan melihat keadaan Genggong Basuki. W ajah
Genggong Basuki pucat-lesi. Kedua matanya melotot
menatap langit-langit. Kedua gundu matanya sama sekali
tak bergerak. Tubuhnya tak berkutik pula. Benarbenarkah ia mati karena
penasarannya" Ia lantas
membungkuk hendak memeriksa pernapasan. Pada saat
itu, ia melihat berkelebatnya kedua tangan Ayu Sarini
menyerang dirinya. Tak sudi ia mengelak atau mencoba
melawannya. Ia hanya mengerahkan himpunan tenaga
saktinya kuat-kuat sambil membenturkan baju mustikanya yang tak mempan oleh senjata tajam macam
apapun. "Jangan khawatir! Kakakmu belum mati," kata Lingga
W isnu setelah memeriksa pernapasannya. Tetapi Ayu
Sarini sudah kalap. Kedua tangannya terus menggebuki
punggung Lingga W isnu asal jad i saja. Setiap kali
membal, ia menambah tenaga pukulannya. Keruan saja
Nawawi yang berada di luar gelanggang terkejut
menyaksikan isterinya memukuli paman gurunya. Terus
saja ia melompat dan menarik t ubuh Ayu Sarini.
"Lepas! Lepas! Biarlah aku ikut mati!" seru pendekar
wanita itu. "E-eh - lepas bagaimana" Kau tak boleh ikut mati.
Bukankah engkau isteriku dan aku suamimu" Kau baru
boleh mati manakala aku lah yang t erjengkang mampus,"
ujar Nawawi membadut. Rupanya dengan cara
demikianlah ia harus melayan i watak isterinya yang
angin-anginan itu. Tetapi Ayu Sarini tetap menbandal. Ia menjagangkan
kedua kakinya karena emoh kena tarik. Dan kedua
tangannya masih saja berserabutan memukuli Lingga
W isnu, meskipun agak terenggang. Maka terpaksalah
Nawawi menggerahkan tenaganya untuk menarik
mundur. Karena masing-masing saling berkutat, akhirnya
mereka jadi tarik-tarikan sendiri. Sebenarnya itulah
pemandangan yang lucu sekali. Tetapi mengingat t abiat
Ayu Sarini yang garang dan ganas, tiada seorangpun
yang berani tertawa. "Eh, kau bandel sekali!" seru Nawawi geram.
"Bukankah aku suamimu?"
Sekar Prabasin i yang semenjak tadi memperhatikan
mereka berdua, perlahan-lahan menghampirinya. Berkata
menawarkan jasa : "Biarlah kut olong. Biar kugigit pant atnya! Aku ingin
tahu, apakah pantatnya keras atau tidak?" '
Mendongkol hati Ayu Sarini mendengar ucapan Sekar
Prabasin i. Tapi teringatlah dia bahwa pemuda itu benci
kepadanya. Bagaimana kalau dia benar-benar membuktikan ancamannya. Kalau pantatnya sampai kena
gigit seorang pemuda di depan unum, wah, bisa runyam.
Oleh karena itu, ia segera menjatuhkan diri dan duduk
bersimpuh di atas lantai. Kemudian menangis karena
mendongkol. "Hai, kenapa menangis" Aku kan belum sampai
menggigit pantatmu?" teriak Sekar Prabasini tersenyum
Sebenarnya Nawawi ikut tersinggung. Betapa juga,
bukankah Ayu Sarini isterinya yang syah" Bagaimana ia
bisa membiarkan pant at isterinya dibicarakan seorang
pemuda didepan umum" Tapi mengingat pemuda itu
adalah sahabat paman gurunya, terpaksa ia menelan
rasa kehormatannya. Sekonyong-konyong, di luar
dugaan, Ayu Sarini melompat bangun dan menggempur
pundak Sekar Prabasini. Itulah serangan "yang terjadi sangat cepat dan tibatiba. Sekar Prabasini tak
sempat mengelak atau menangkis. Sedangkan Lingga W isnu tak mau menghalang-halang i. Maka pundak Sekar Prabasini
benar-benar kena gebuk. Sekar Prabasini kaget sampai
berteriak tertahan. Tetapi pada saat itu juga, Ayu Sarini
memekik tinggi. Kemudian duduk mendeprok sambil
memjijat mijat kedua tangannya. Pekiknya :
"Aduh tanganku! Tanganku!"
"Kenapa t anganmu?" tanya suaminya gugup. Ia kaget
tatkala melihat tangan Ayu Sarini menjadi bengkak
kemerah-merahan. Sekejap itu pulalah t ahulah ia, bahw a
hal itu terjadi akibat kena pentalan himpunan tenaga
sakti Lingga W isnu. Pantas saja, Lingga W isnu tak mau
menangkis atau mencoba menghalang-halangi tatkala
Ayu Sarini menyerang Sekar Prabasini. Sebaliknya
rombongan murid-murid para pendekar, mengira bahw a
bengkaknya tangan Ayu Sarini adalah akibat menyerang
Sekar Prabasin i. Karena Sekar Prabasini tadi diperkenalkan sebagai putera Bondan Sejiwan, mereka
percaya bahwa pemuda itu berkepandaian t inggi.
Oleh pekik Ayu Sarini, Genggong Basuki tersadar.
Segera ia berdiri dan membungkuk hormat tiga kali
kepada Lingga W isnu. Katanya:
"Paman Lingga. Benar-benar aku menyesal. Aku
seorang keponakan yang tak tahu diri. Sekarang sudilah
paman menolong Ayu Sarini?"
Sikap Lingga W isnu berbeda dengan tadi. Ia bersikap
kaku dan berwibawa. Sama sekali ia t idak mendengarkan
permint aan Genggong Basuki. Sahutnya pendek :
"Apakah kau insyaf atas kesalahanmu?"
Tak berani Genggong Basuki berkeras kepala seperti
tadi. Ia menundukkan kepala. Lalu menjawab :
"Y a, paman. Aku salah. Aku bersalah merobek-robek
surat kesaksian kakang Songgeng Mint araga. Juga tidak
seharusnya aku membantu kakang Srimoyo."
Lingga W isnu menghela napas. Katanya memberi
nasihat : "Memang, aku sangat menyesal apa sebab kau
merobek surat kesaksian itu. Hampir saja kau
menimbulkan korban entah berapa puluh orang. Karena
itu, hendaklah engkau bisa berpikir panjang sebelum
berbuat. Tentang sikapmu membantu paman Srimoyo,
sama sekali tidak salah itulah perbuatan setia-kawan
yang sejati. Karena itu, engkau bahkan harus dipuji.
Hanya saja kau belum tahu kedudukan paman Srimoyo
sebenarnya." Genggong Basuki heran. Bertanya :


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah kakang Srimoyo salah seorang pendekar
Parwati yang kenamaan" Apa maksud paman menyangsikan kejujurannya?"
"Kau tadi belum sampai membaca bunyi pantangan
kelima angger-angger Sekar Teratai." jawab Lingga
W isnu tak langsung. "Paman tadi menyuratiku membaca pantangan yang
ketiga, ketujuh dan kesebelas," kata Genggong Basuki.
"Pantangan ketiga, ialah larangan membunuh tanpa
sebab Ayu Sarini telah melanggar pantangan ini. Karena
itu wajib ia memohon maaf kepada kakang Songgeng
Mint araga dan membayar kerugian."
"Huh ...," dengus murid-murid Songgeng Mint araga
dengan berbareng. "Masakan tangan kutung hanya
memperoleh ganti rugi saja" Enak saja kau bicara."
Genggong Basuki merasa p ihaknya bersalah. Maka ia
menutup mulut. Lingga W isnu kanudian mengarahkan
pandangnya kepada Songgeng Mint araga dan sekalian
muridnya. Berkata dengan nyaring :
"Perbuatan keponakan muridku memang keterlaluan.
Aku menyesal sekali. Tunggulah sampai luka rekan
Pramana sembuh. Aku akan berdaya upaya sampai dia
dapat menggunakan sebelah tangannya dengan sempurna. Ilmu itu bukan berasal dari rumah perguruan
Sekar Teratai' Mereka semua tahu, betapa tinggi ilmu kepandaian
Lingga W isnu. Bila pemuda itu bersedia menjadi guru
Pramana, adalah menguntungkan sekali, Lagi pula, dia
sudah menolong jiwa gurunya. Maka mereka menerima
usul Lingga W isnu dengan puas.
Setelah suasana reda kembali, Lingga W isnu
melanjutkan perkataannya kepada Genggong Basuki :
"Sekarang, bagaimana bunyi pant angan yang ketujuh?" "Itulah larangan memutuskan suatu hal t anpa diselidiki
dahulu. Sedangkan bunyi pantangan yang kesebelas,
ialah larangan bergaul dengan penjahat. Siapakah yang
paman maksudkan dengan penjahat" Kakang Srimoyo
adalah seorang pendekar."
Mereka yang hadir dalam pesta perjamuan itu, tentu
saja tidak mengenal bunyi angger-angger rumah
perguruan Sekar Teratai. Kecuali anak-anak murid rumah
perguruan itu sendiri. Begitu mendengar bunyi angger kesebelas mereka
semua terkejut. Genggong Basuki dikatakan Lingga
W isnu melanggar pantangan, karena bergaul dengan
penjahat. Apakah: mereka rombongan penjahat"
Didalam hal ini, Srimoyolah yang sangat tersinggung.
Dengan berjingkrak ia berseru :
"Apakah aku seorang penjahat ?"
Mendengar seruan Srimoyo, cepat-cepat Ling ga
W isnu menyahut : "Paman Srimoyo, janganlah salah paham. Bukan
paman yang kami maksudkan."
"Lant as siapa?" Srimoyo menegas. Sastra Demung dan
lain-lainnya ingin pula memperoleh ketegasan.
dw Lingga W isnu menyapu hadirin dengan pandang
matanya yang tajam. Kemudian berhenti kepada
Suramerto dan Mangun Sentono yang nampak duduk
meringkas diantara tetamu. Tatkala Lingga W isnu hendak
membuka mulutnya, tiba-tiba masuklah beberapa murid
Songgeng Mintaraga menendang Pramana. Murid-murid
itu menyampaikan kabar gembira kepada Pramana,
setelah Lingga W isnu menyatakan bersedia mewariskan
suatu ilmu kepandaian kepadanya. Oleh rasa syukur dan
girang hati, Pramana mint a dihadapkan kepada Lingga
W isnu agar bisa menyampaikan rasa terima kasih,
lukanya yang masih basah tidak dihiraukan.
Lingga W isnu kagum kepada ketahanan dan kemauan
keras Pramana. Ia membalas hormat tatkala calon
muridnya itu menghaturkan rasa terima kasihnya. W ajah
Pramana pucat lesi, namun sikapnya gagah luar biasa.
"T uan telah menyelamatkan jiwa guruku. Sekarang
malahan bersedia pula menjadi guruku. Budi tuan besar
benar tak terbalas lagi. Aku hanya bisa menghaturkan
rasa t erima kasihku yang tak terhingga ..."
"Jangan panggil aku dengan sebutan tuan. Panggil
saja aku adik. kakang atau saudara," sahut Lingga
W isnu. "Akh, bagaimana aku bisa memanggil demikian"
W alaupun usia tuan lebih muda dari padaku, namun
kedudukan tuan sebagai guru. Maka perkenankan, aku
memanggil guru terhadap tuan. Sekiranya tidak
diperkenankan, aku akan memanggil dengan sebutan
tuan atau tuanku." kata Pramana dengan sungguhsungguh.
Tak dapat Lingga W isnu mengatasi alasan Pramana. Ia
menoleh kepada Songgeng Mintaraga. Berkata :
"Paman, Tak kusangka, bahwa murid paman sangat
gagah dan cerdik sekali. Khawatir kalau akan menarik
kesanggupanku, maka cepat-cepat ia datang untuk
menyatakan rasa terima kasihnya meskipun masih
menderita luka parah."
Songgeng Mintaraga tertawa, sahutnya :
"Anak Lingga, kau pandai berkelakar."
Dan demikianlah, setelah menyatakan rasa terima
kasih berulangkali, Pramana digendong kembali dan
dibawa masuk ke dalam kamarnya. Lingga W isnu
mengikuti dengan pandang matanya. Kemudian beralih
kepada Ayu Sarini yang masih merint ih-rint ih.
"Lengan Pramana, engkaulah yang menabas. Luka
yang dideritanya sepuluh kali lipat sakitnya dari pada
lukamu. W alaupun demikian sama sekali ia tak merint ih
atau mengerang." Lingga W isnu berkata. Kemudian ia
menghampiri hendak memeriksa.
"Jangan raba! Aku isteri orang!" damprat Ayu Sarini.
"T ak perlu kau menolong aku! Aku mati atau tidak, apa
perdulimu?" Panas muka Lingga W isnu didamprat demikian. Ia
merasa malu dan serba salah. Sebentar ia melemparkan
pandang kepada Sekar Prabasin i hendak mint a jasajasanya. Akan tetapi Sekar
Prabasini mengenakan pakaian laki-laki. Diapun tak dapat menyentuh kulit Ayu
Sarini. Akhirnya, teringatlah dia kepada Rara W itri, Maka
dengan suara lembut ia berkata :
"Adik, maukah engkau mewakili diriku?"
Tepat pada waktu Rara W itri hendak mengangguk,
terdengarlah pintu gerbang tergedor dari luar. Memang,
setelah pesta perjamuan mulai, pintu gerbang rumah
Songgeng Mint araga merupakan Markas Besar Laskar
Lawu yang tertutup rapat. Itulah sebabnya, Suramerto
dan Mangun Sentono tak dapat berkutik. Dan pada saat
hadirin menoleh, pintu gerbang itu terjebak lebar.
Dan masuklah dua orang yang berdandan sebagai
petani dusun. Hadirin terkejut. Siapakah mereka berdua itu yang
sanggup membuka pintu gerbang dari luar" Pastilah
mereka bukan sembarang orang.
Seperti saling berjanji, hadirin mengamat-amati
mereka. Yang berjalan disebelah kiri; seorang laki-laki
berusia lebih kurang 55 tahun. Dan yang berada di
sampingnya seorang perempuan sebaya umurnya. Dia
menggendong seorang anak berumur dua atau tiga
tahun. Pandang mereka tajam luar biasa. Dan tiba-tiba
saja Ayu Sarin i melompat bangun dan lari menyongsongnya sambil berseru girang :
"Paman Sugiri! Bibi Sukesi!"
Nawawi dan Genggong Basuki pun ikut lari
menyongsong. Nawawi menirukan seruan isterinya.
Sedang Genggong Basuki menanggilnya sebagai guru.
Maka sekarang tahulah hadirin, bahwa mereka berdua
adalah dua suami-isteri Sugiri-Sukesi - mu rid Ki Sambang
Dalan yang berkekepandaian sangat tinggi.
Lingga W isnu tak dapat berdiam diri saja. Mendengar
seruan Ayu Sarini, segera ia mengikut i Genggong Basuki
dan Nawawi menyongsong mereka Dengan sekilas
pandang ia menatap wajah kedua kakaknya seperguruan
itu. Sugiri berwajah sederhana. Dia nampak matang dan
sifatnya tenang berwibawa. Sedang Sukesi berwajah
galak. Kesannya tak beda dengan Ayu Sarini.
Ayu Sarini memperlihatkan kedua tangannya kepada
Sukesi seperti hendak mengadu. Tatkala Lingga W isnu
hendak membungkuk hormat, Sukesi sedang menundukkan pandang kepada dua tangan Ayu Sarini
yang bengkak. Kedua alisnya bergerak gerak. Sambil
mengurut-ngurut, ia bertanya :
"Kenapa?" Itulah pertanyaan yang diharap-harapkan - Terus saja
Ayu Sarini berputar sambil menuding Lingga W isnu.
Dengan masih menahan rasa mendongkol dan penasarannya, ia menjawab :
"Bibi, dialah orangnya. Dia mengaku sebagai paman
guru. Tapi ia melukai kedua tanganku dan mematahkan
pedang pemberian bibi."
Lingga W isnu terkejut. Jawaban Ayu Sarini benarbenar mengandung racun. Iapun
menyesal apa sebab sampai mematahkan pedang Ayu Sarini. Kalau saja ia
tahu bahwa pedang itu pemberian kakaknya seperguruan, pastilah tidak akan perbuat begitu. Maka
cepat-cepat ia membungkuk hormat sambil berkata
mohon maaf : "Sama sekali tak kuketahui bahw a pedang itu
pemberianmu. Maafkan kelancangan adikmu ..."
"Adik" Adik dari mana?" dengus Sukesi heran.
Pendekar wanita itu lantas berpaling kepada suaminya.
Mereka berdua saling pandang. Kata Sukesi mint a
pembenaran : "Kabarnya, memang guru mempunyai seorang murid
muda belia. Apakah dia" Kalau benar dia, kenapa tak
tahu diri?" "Belum pernah aku bertamu dengan dia,.'' sahut
suamirya pendek. "Hmm .,." dengus Sukesi . "Meskipun andaikata dia
mewarisi seluruh kepandaian guru, mestinya harus sadar
dan tahu diri. Bahwasanya ilmu kepandaian itu tiada
batasnya. Kalau merasa diri sudah pandai, diatasnya
masih ada dewa. Dewapun harus tahu diri pula, bahwa
diatasnya masih ada Yang Menguasainya. Hm ... baru
saja ia memperoleh sekelumit kepandaian., lantas saja
menghina yang lemah. Pantaskah itu" Seumpama Ayu
Sarini salah, bukankah masih ada gurunya" Biarlah dia
yang menegur. Kita berdua hanya bisa memperingatkan
saja." "Kakang Genggong Basuki juga menerima hinaan,
bibi." Ayu Sarini mengadu
"Apa?" Sukesi terperanjat. Sepasang alisnya terbangun. "Ha, kami berdualah yang wajib menghajarnya bila dia salah. Kenapa paman gurunya ikut
campur?" Lingga W isnu merasa diri bersalah. Lalu menjawab :
"Kalau begitu, maafkan kelancangan adikmu."
"Kau telah mematahkan pedang pemberianku. Artinya
kau sama sekali tidak menghargai kakakmu," kata Sukesi
sengit. "Andaikata guru sangat sayang kepadamu,
masakan engkau lantas berlagak dan sama sekali tidak
menghargai kakakmu seperguruan?"
Lingga W isnu bungkam. Dan segenap hadirin jad i tak
enak hati. Mereka melihat betapa galak pendekar wanita


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Kata-katanya makin lama makin sengit. Tanpa
mengusut latar belakangnya, lantas saja menjatuhkan
palu hukuman. Alangkah keterlaluan!
0odwo0 1. Pertempuran Kacau Murid-murid Songgeng Mintaraga gelisah bukan main.
Sebaliknya Srimoyo, Amir Hamzah, Genggong Basuki,
Nawawi dan Ayu Sarini mendapat angin baru. Mereka
kini bisa menegakkan kepalanya kembali. Tak usah
menunduk lagi karena merasa malu dan segan.
"Bibi!" kata Ayu Sarini. "Setelah mengaku sebagai
paman guru, tiba-tiba diapun datang membawa-bawa
nama pendekar Kebo W ulung."
"Kebo W ulung siapa" Bondan Sejiwan, maksudmu?"
potong Sukesi sengit. "Benar, Bondan Sejiwan! Dia selalu mengagulagulkannya. Dan atas nama pendekar
itu pula ia merobohkan kakang Genggong Basuki dan kakang
Nawawi ..." Mendengar kata-kata Ayu Sarini, cuping hidung Sukesi
bergerak-gerak. Suatu tanda, bahwa darahnya meluapDan melihat hal itu, Lingga W
isnu tetap bersikap sabar
dan mengalah. Sebenarnya tak sengaja suami isteri Sugiri dan Sukesi
datang pada pesta perjamuan itu. Sudah satu tahun
lebih, mereka merantau untuk mencarikan obat anaknya
satu-satunya. Itulah anak yang digendong Sukesi.
Kaswasih, namanya. Menurut para ahli, Kaswasih
mendelita penyakit dalam semenjak didalam kandungan.
Terjadi akibat goncangan hebat, t atkala ibunya berkelahi
melawan seorang musuh tangguh. Dan untuk bisa
menyembuhkan penyakit dalam itu, mereka harus
menemukan sebutir atau dua butir buah mustika yang
jarang sekali t erdapat dalam dunia. Tetapi sebagai orang
tua, mereka tak kenal lelah dan putus asa. Dari tempat
ke tempat, mereka merant au. Tapi selama itu, Kaswasih
bertambah kurus dan kurus. Tak mengherankan, mereka
jadi cemas dan gugup. Menuruti nasehat seorang tua,
mereka mendaki Gunung Lawu menghadap Kyahi
Basaman dan melihat penyakit yang diderita Kaswasih,
Kyahi Basaman teringat kepada Lingga W isnu. Cucu
muridnya itupun dahulu menderita penyakit macan:
demikian. Entah bagaimana kabarnya. Kyahi Basaman
tidak mendengar lagi. Dengan lemah-lunglai suami-isteri Sugiri Sukesi
melanjutkan perjalanannya Kalau Kyahi Basaman saja
tidak sanggup mengobati, siapa lagi yang dapat
menolong" Tatkala memasuki daerah W onogiri mereka
mendengar kabar, bahw a muridnya berada dikota itu.
Teringatlah mereka bahwa muridnya selalu berjalan
bersama Ayu Sarini dan Nawawi. Diapun banyak
sahabatnya. Mungkin sekali dia bisa menolong. Maka
berangkatlah mereka mencarinya. Dan demikianlah,,
mereka tiba di rumah Songgeng Mint araga.
Sukesi memang seorang pendekar yang keras
tabiatnya. Gampang sekali tersinggung hatinya. Apalagi
pada waktu itu ia sedang bersedih hati memikirkan
anaknya. Mendengar muridnya kena hina, ia bersakit
hati. Hinaan itu sendiri seolah-olah penghinaan terhadap
anaknya yang kurus kering seperti monyet kecil. Tadinya
ia masih mau bersabar karena Lingga W isnu disebut
paman guru oleh Ayu Sarini. Tetapi satelah mendengar
pula bahw a Lingga W isnu datang dengan membawabawa nama Bondan Sejiwan, ia
merasa seperti ditantang.
Seketika itu juga ia berpaling kepada suaminya dan
mint a keterangan dengan suara sengit :
"Coba katakan padaku, apakah Kebo Wulung masih
hidup?" "Menurut kabar, ia sudah meninggal. Tetapi apakah
benar demikian, hanya Tuhan yang tahu." jawab Sugiri.
Pendekar ini masih bisa bersikap tenang, meskipun
hatinya berduka. Sekar Prabasini mendongkol menyaksikan Lingga
W isnu kena t egur pulang-balik, dengan kata-kata kasar.
Iapun mendengar Sukesi menyinggung-nyinggung nama
ayahnya pula. Nada suaranya mengejek dan merendahkan. Keruan saja tak dapat ia menahan diri.
Terus saja membentak : "Kau bilang, diatas manusia masih ada dewa. Kenapa
kau menghina orang?"
"Kau siapa?" Sukesi membalas membentak dengan
gusar. "Dialah anak manusia Bondan Sejiwan." Ayu Sarini
memberi keterangan. Mendengar keterangan Ayu Sarini, sekonyong konyong tangan Sukesi bergerak. Di antara sinar lampu,
nampaklah sebuah benda berkeredep menyambar Sekar
Prabasin i. Kaget Lingga W isnu menyaksikan hal itu.
Hendak ia mencegah tetapi sudah tidak terburu lagi.
Pada saat itu Prabasini memekik. Pundak kirinya kena
terhajar paku Cundamanik, meskipun sudah berusaha
mengelak. Oleh rasa kaget. Lingga Wisnu melompat dan
memegang pundak Sekar Prabasini. Dilihatnya paku
Cundamanik itu menancap dalam dipundak kiri.
Sekar Prabasini kesakitan. Tak dapat lagi ia menahan
diri. Hendak ia membalas menyerang tetapi buru-buru
Lingga W isnu mencegahnya. Berkata membujuk :
"Jangan bergerak! Biar aku menolongmu dahulu."
Dengari dua jarinya, Lingga W isnu menjepit ujung
paku Cundamanik, Ia mencabut perlahan-lahan dan
tetap. Ia berlega hati, karena paku itu tidak bercabang.
Setelah tercabut kira-kira tigaperempat bagian, ia
mengerahkan himpunan tenaga saktinya. Dan paku
Cundamanik dapat di cabutnya. Kemudian dilemparkan
keatas lantai. Rara W itri menghampiri dengan membawa sapu
tangan. Ia menyerahkan sapu t angan itu kepada Lingga
W isnu. Dengan sapu tangan itu Lingga W is nu menyusuti
darahnya. Setelah bersih Rara W itri menyerahkan sapu
tangan lagi.. Dan segera Lingga W isnu membalutnya..
"Dengarlah perkataanku," bisik Lingga W isnu sambil
membalut. "Jangan layani dia."
"Kenapa?" Sekar Prabasin i bertanya dengan hati
penasaran. "Kita berdua harus menghormati. Merekalah kakak
seperguruanku. Karena itu tak dapat aku berlawanlawanan."
Sekar Srabasin i menatap wajah Lingga W isnu dan
melihat pemuda itu bersungguh-sungguh, t erpaksalah ia
memanggut dengan lesu. Meskipun hatinya mendongkol
dan penasaran bukan main., tapi ia terpaksa menahan
diri. Lingga W isnu bersyukur melihati Sekar Prabasini
menguasai d iri. Ia khawatir, mengingat t abiat kawannya
itu gampang sekali meluap darahnya. Sekarang,
meskipun menderita luka, masih sudi mendengarkan
sarannya. Itulah suatu tanda bahwa Sekar Prabasini
agaknya mau melakukan apa saja demi kepentingannya
Keruan saja ia bergirang hati dan merasa bahagia.
Sukesi menunggu sampai Lingga W isnu selesai
membalut luka Sekar Prabasin i. Sebagai seorang yang
termasuk golongan pendekar besar, perlu ia membawa
sikapnya demikian. Kemudian berkata dengan mencibirtan bibir : "Aku sendiri belum pernih bertemu dengan pendekar
yang menamakan dirinya Kebo Wulung. Kabarnya ia
seorang sakti yang berkepandaian sangat tinggi, sampai
kemasyurannya menggetarkan jagad. Tetapi, ternyata
anaknya tak dapat mengelakku sambaran pakuku saja.
Padahal, aku hanya mencoba-coba. Kalau begitu, apakah
Kebo W ulung hanya bernama belaka?"
Sekar Prabasini melemparkan pandang kepada Lingga
W isnu. Kalau menuruti kata hatinya, ia ingin membalas
mendamprat. Tetapi ia sudah berjanji kepada Lingga
W isnu, tidak akan melayani Sukesi. Sebaliknya pada saat
itu, Lingga W isnu tertegun-tegun seperti kehilangan
pegangan. Di dalam hati pemuda itu berpikir
'A yuna Sukesi benar-benar berada dalam kesalahpahaman yang hebat. Jika aku bant
ah, ia pasti akan merasa ku tentang. Rasa marahnya akan menghebat
jadinya. Biarlah aku berdiam diri saja.'
Rupanya Sukesi bisa rnenebak kesulitan Lingga Wisnu.
lalu berkata memutuskan "Kau membungkam mulut. Apakaj karena kau segan
berbicara dihadapan hadirin" Atau kau sengaja
mengesan pada kami, bahwa engkau benar-benar
anggauta Sekar Teratai sehingga demi menjaga pamor
rumah perguruan tak sudi bertengkar dengan kami"
Baiklah, tak jauh dari sin i terdapat Sebuah bangunan
rusak. Itulah bangunan dari tangsi Kompeni Belanda
yang telah ditinggalkan. Nah, aku harap engkau esok hari
datang menemui kami, menjelang matahari tenggelam.
Kami ingin mencoba kepandaianmu, apakah benar-benar
engkau Adalah adik seperguruan kami"'
Semua orang tahu. Meskipun Sukesi seolah-olah sudah
setengah mengakui bahwa Lingga W isnu adik seperguruannya dan walaupun maksudnya hanya untuk
mencari keyakinan dengan jalan menguji kepandaian
pemuda itu, sebenarnya merupakan tantangan belaka
Tak mengherankan, Songgeng Mintaraga yang merasa
berhutang budi terhadap Lingga W isnu, jadi sibuk dan
berkhawatir. Cepat-cepat ia berdiri. Dan setelah
membungkuk hormat dengan Merangkap kedua tangan
didepan perutnya, ia berkata dengan suara rendah :
"T uan sekalian adalah sepasang pendekar besar pada
jaman in i. Pendekar Sukesi terkenal ilmu pedangnya
Mayang Seta. Dan pendekar Sugiri temashur sebagi
seorang sakti bertangan guntur. Maka bukan kepalang
girang hati kami atas kedatangan tuan sekalian.
mengundang saja, sebenarnya t iada keberanianku. Maka
- " "Hm ..." Sukesi memotong dengan mendengus. Ia
menoleh pada suaminya Tapi suaminya nampak gelisahPendekar itu jadi tak enak
sendiri memperoleh penghormatan berlebih-lebihan, karena usianya sebaya
dengan Songgeng Mint araga. Bahkan Songgeng Mint araga lebih tua dan kedudukannya sebenarnya tinggi
di masyarakat sebagai komandan Laskar Lawu yang
terkenal. "Anak Lingga datang kemari, bukan bertujuan untuk
membuat malu murid tuan berdua, kata Songgeng
Mint araga mencoba menjelaskan, dia datang karena
mendengar aku dalam kesulitan dan bermaksud
mendamaikan suatu persengkataan, Ketiga murid tuan
berdua mengetahui sendiri dengan jelas. Karena itu,
perkenankan aku esok pagi menyelenggarakan suatu
pesta tersendiri untuk menyambut kedatangan tuan
berdua, Juga sebagai pernyataan syukur dan gembira
atas bertemunya tuan berdua dengan adik seperguruan
Sekar Teratai ..." Tetapi Sukesi tidak merasukkan kata-kata Songgeng
Mint araga didalam pendengarannya. Dia bahkan membuang mukanya. Tatkala Songgeng Mintaraga
menyinggung istilah adik seperguruannya, ia seperti
diingatkan. Terus saja berkata menegas kepada Lingga
W isnu : "Bagaimana" Kau berani datang atau tidak?"
"Dimanakah aku harus menemui ayunda berdua"
Meskipun kakang dan ayunda hendak melukai aku,
takkan berani mengelak ..." sahut Lingga W isnu.
"Hm ... siapa yang mengidzinkan engkau memanggil
aku "ayunda?" dengus Sukesi galak. "T ulen atau palsu
tentang dirimu, harus kubuktikan dahulu. Jangan panggil
ayunda dahulu kepadaku. Juga aku melarang engkau
memanggil kakang terhadap suamiku. Tunggu sampai
aku mengujimu dan baru kita membicarakan tentang
panggilan itu. Mario"
Sukesi menarik tangan Ayu Sarini dan mendahului
berjalan meninggalkan pesta perjamuan- Baik Lingga
W isnu maupun Songgeng Mint araia tak berani mencegahnya.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertegun-tegun tatkala mengikuti kepergian mereka dengan pandang matanya. Tiba-tiba
Lingga W isnu melihat sesuatu yang bergerak diant ara
hadirin. T erus saja ia lari melesat sambil berteriak :
"Hei, tunggu!" Semenjak tadi Lingga W isnu selalu membagi pandang
dan perhatiannya kepada Suramerto dan Mangun
Sentono yang nampak duduk diant ara hadirin. Disampingnya duduk pula seorang berkumis dan
bercambang tebal dengan perawakannya yang tinggi
besar. Lingga W isnu belum kenal siapakah dia. Tapi
melihat keakrabanya, pastilah ia t ermasuk sekutu mereka
berdua. Kesan orang itu gagah, Pandangnya berpengaruh. Dikemudian hari Ia memperkenalkan diri
sebagai seorang pendekar Ugrasawa. Orang' menyebutnya dengan nama T runo- taruna.
Tatkala Songgeng Mint araga memperlihatkan dua
helai kesaksian, Suramerto dan Mongun Sentono mulai
gelisah. Mereka berdua berbisik b isik dengan wajah
berubah Kemudian Lingga W isnu Menyinggungnyinggung tentang kawanan penjahat. Syukur suamiisteri Sukesi-Sugiri
datang, Sewaktu Lingga W isnu
mengarahkan pandangnya kepada mereka berdua.
Sekarang yakinlah mereka, bahwa bocah itulah yang,
mencuri surat perint ah dan dua helai surat kesaksian
kemarin malam Segera mereka berbisik kepada Trunotaruna agar
meninggalkan pesta perjamuan saja. T etapi Tru-notaruna
tak mau bergerak dari t empat duduknya. Katanya :
"T unggu- sampai pada saatnya."
Mereka berdua menghela nafas Namun nampak
tunduk. Maka jelaslah, bahw a Trunotaruna berpengaruh
besar terhadap mereka berdua. Dan tatkala menyaksikan
betapa Lingga W isnu menjadi jinak menghadapi suami
isteri Sugiri-Sukesi, mereka berdua diam-diam ikut
bersyukur dan girang. Mereka memuji kebesaran Tuhan
atcs kemarahannya. Justru pada saat itu, Trunotaruna
lalu berkata : "Sekarang saatnya yang baik. Nanti, bila suami -isteri
Sugiri-Sukesi meninggalkan pesta perjamuan, kita bertiga
mengikuti seakan akan pengiringnya. Kalian berdua
menusup diant ara rombongan Sekar Teratai. Kukira,
Lingga W isnu takkan berani berbuat apa-apa."
Suramerto dan Mangun Sentono mendengar saran
Trunotaruna. Maka begitu Sukesi memut ar tubuh hendak
meninggalkan pesta perjamuan cepat cepat mereka
berdua mendekati rombongan murid. Dan apabila
rombongan murid mulai bergerak hendak mengikuti
Sugiri-Sukesi keluar serambi , cepat-cepat ia mendahului.
Akan tetapi pandang mata Lingga W isnu benar-benar
tajam. Gerak-gerik mereka tak luput dari pengamatannya, meskipun lagi menghadapi kesulitan.
0odwo0 Sebaliknya Sukesi salah paham. Ia mengira, Lingga
W isnu hendak mencegah kepergiannya atau menghalangi sebentar. Sebagai seorang pendekar yang
merasa berkedudukan t inggi, t ak senang ia diperlakukan
demikian. Semua ucapan dan gerakannya merupakan
undang-undang yang tiada batal oleh alasan apapun.
Maka bentaknya : "Benar-benar kau manusia busuk tak tahu diri! Kau
berani mengganggu aku?"
Membentak demikian, ia memut ar tubuhnya seraya
melayangkan tangannya. Arah sasarannya kepala, Itulah
salah satu macam serangan yang biasanya tak pernah
gagal. Ia melatihnya terus menerus selama tigapuluh
tahun lebih dengan suaminya, Pernah ia meruntuhkan
tujuhbelas ekor burung yang t erbang bertebaran dengan
seraangannya itu. Bisa dibayangkan betapa cepat dan
bahayanya. Hati Lingga W isnu tercekat, Cepat ia mengelak.
Tangan Sukesi lewat diatas pundak dan menyerenpet
selint asan- Meskipun demikian ia merasa pedas sekali.
Insyaflah ia, bahw a kakaknya seperguruan itu benarbenar tinggi ilmu
kepandaiannya. Sebaliknya, Sukesi
terperanjat heran. Ia jadi penasaran. Cepat ia
membalikkan t angan dan membabat pinggang, Kali ini ia
mengerahkan tenaganya. Menghadapi serangan ini, Lingga W isnu merasa wajib
menahan diri. Ia menjejakkan kakinya dan meloncat
mundur melint asi meja dan kursi Dengan demikian, dua
kali berturut-turut Sukesi gagal serangannya. Karena
masih megendong anaknya, tak dapat ia bergerak
dengan leluasa. Teringat pula bahw a ia telah
memutuskan untuk mengadu kepandaian esok petang,
terpaksa ia menelan rasa mendongkol dan penasaranDan ia meneruskan berjalan
dengan membimbing tangan Ayu. Sarini. Suramerto dan Mangun Sentono tidak sudi kehilangan
kesempatan yang bagus itu. Juga Trunotaruno yang
berada dibelakangnya. mereka lantas menerobos keluar
rombongan dari lari secepat-cepatnya.
"Hai! Mau lari kemana" Berhenti!" seru Lingga W isnu.
Karena terpaksa melompat untuk menghindarkan
serangan Sukesi, jaraknya k ini kian menjauh dari mereka
bertiga. namun - Lingga W isnu tidak mau kehilangan
mangsanya. Tak ubah seekor burung, ia terbang
melint asi kursi dan meja. Tangannya berkelebat dan
menyambar Trunotaruna, yang roboh kena cengkeraman
Lingga W isnu. "Ih, celaka!" Tronotaruna mengeluh didalam hati.
"Baru saja aku keluar dari rumah perguruan, kena
dirobohkan seorang bocah dengan satu gebrakan ..."
Dan baru saja ia mengeluh demikian, tubuhnya
dilemparkan Lingga W isnu balik dan jatuh dilantai
serambi depan Dalam pada itu, Suramerto dan Mangun Sentono
sudah berhasil lolos dari p int u gerbang. W aktu itu bulan
sipit nampak remang-remang-tersapu awan hitam.
Suasana malam gelap pekat, Benar-benar Tuhan
melindungi mereka berdua. Begitu melint asi tirai malam,
tubuh mereka tiada nampaklagi. Mereka seperti hilang
teraling ib lis. Lingga W isnu tak berani mengejar. Ia tahu, mereka
berdua jago yang mempunyai kepandaian tinggi. Kalau
tidak, masakan pantas menjadi sahabat Songgeng
Mint araga yang dihormati. dan disegani pendekar itu.
Dalam malam gelap, mereka bisa menyedang balik.
"Biarlah untuk sementara mereka kabur. Aku sudah
berhasil menangkap kawannya seorang Pastilah aku
dapat manperoleh keterangan dari mulut nya," pikir
Lingga W isnu. Ia lantas manut ar tubuhnya hendak balik
kembali memasuki gerbang. Sekonyong-konyong ia
mendengar suara seseorang berseru kepadanya' :
"Hai, sahabat kecil! Baru sepuluh - tahun aku tidak
bertemu denganmu. Dan kepandaianmu sudah maju
begini pesat! Selamat! Selamati"
Goncang hati Lingga W isnu mendengar suara itu.
Itulah suara yang pernah dikenalnya dan senant iasa
meresap di dalam perbendaharaan hatinya. segera ia
menoleh dan melihat seorang t ua mengempit Suiamerto
dan Mangun Sentono. Orang itu berkumis dan
berjenggot awut-awutan. Rambut, alis, kumis dan
jenggotnya sudah putih semua. Siapa lagi kalau bukan Ki
Ageng Gumbrek pendekar sakti yang dahulu mewarisi
ilmu berlari kepada Lingga Wisnu.
"Guru!" seru Lingga W isnu girang. Terus saja ia lari
menghampiri dan bersembah.
Ki Ageng' Gumbrek tertawa berkakakan. Sahutnya :
"Eh, semenjak kacau perutmu berubah Dahulu kau t ak
sudi menyebutku guru. Akupun tak sudi engkau
menyebut aku sebagai gurumu, Kau menyembah pula
padaku. Apa-apaan, nih .... Hai, coba lihat, siapa dia
yang berada dibelakang- ku!"
Lingfla W isnu mengalihkan pandang Ia melihat.
seorang laki-laki berusia kurang lebih 48 tahun.
Rambutnya sudah setengah beruban. W ajahnya menceritakan suatu perbendaharaan pengalaman yang
matang- Dan melihat orang itu; Lingga W isnu kian
menjadi girang. Dialah Arya Puguh yang dahulu
melindungi mati-matian sampai nyaris mengorbankan
jiwanya sendiri. Cepat ia lari menghampiri dan
merangkulnya erat-erat. "Paman!" serunya penuh haru. "Paman cepat menjadi
tua." Arya Puguh tertawa senang. Sama sekali ia tak
bersakit hati atau tersinggung. Sahutnya :
"Inilah penanggungan orang yang hidup dalam kancah
perjuangan. Perhatian hidup terlalu terbagi-bagi."
Lingga W isnu memeluknya kian erat. Alangkah jauh
beda keadaannya dengan Ki Ageng Gumbrek. Meskipun
usia orang tua itu sudah lanjut, namun raut wajahnya
nampak segar bugar. "T api paman tak kurang suatu apa, bukan?" kata
Lingga W isnu. "Seperti kau lihat, hidungku tetap satu. Tiada yang
kurang." sahut Arya Puguh.
Mereka berdua lalu berjalan bergandengan tangan.
Hati mereka berdua terharu tergoncang pertamuan itu.
Kalau saja tidak mendengar suara Srimoyo, mereka
tidak, akan tersadar. "Hai!" seru pendekar itu. "Kakang Suramerto dan
Mangun Sentono adalah tetamu undanganku. Kenapa
kau perlakukan demikian?"
Lingga W isnu seolah-olah tidak menggubris seruan
Srimoyo. Ia menghadap kepada Songgeng Mint araga.
Kemudian para hadirin. Memperkenalkan mereka berdua
yang baru datang: "Beliau ini Ki Ageng Gumbrek, salah seorang guruku.
Dan dia Arya Puguh, salah seorang pembantu Panglima
Sengkan Turunan. Dia seorang ahli imu bertangan
kosong. Mahir dalam ilmu sakti SarduJa Jenar. Sewaktu
mula-mu la belajar berkelahi, dialah guruku yang
pertama." Ketua-ketua rombongan, terperanjat mendengar nama
Ki Ageng Gumbrek. Nama itu tidak lagi asing bagi
mereka. Namun pendekar sakti itu, tak berketentuan
tempat tinggalnya. Ia bergerak dari tempat ke tempat
tak ubah iblis. Namun ilmu kepandaiannya sangat tinggi.
Termasuk golongan angkatan tua yang sejajar dengan
guru mereka semua. Karena itu, serentak mereka
membungkuk hormat. Dan menyaksikan mereka membungkuk hormat, sekalian hadirin buru-buru berdiri
tegak menyambut kedatangan pendekar berambut awutawutan itu.
"Sudahlah, sudahlah! Jangan menghormat orang
seperti malaikat!" seru Ki Ageng Gumbrek. "Aku adalah
manusia yang sebenarnya tiada gunanya. Kerjaku hanya
makan nasi atau menabuh kecapi. Sama sekali tiada
perhatianku terhadap masalah penghidupan yang hanya
meruwetkan hati melulu. Tapi pada suatu hari aku
mendengar beberapa orang berkusak-kusuk hendak
menjual jasa terhadap kompeni Belanda. Ha, inilah lain!
Seseorang boleh jahat, boleh jadi maling! Tapi kalau
sampai mau menjual bangsa dan negara kepada orang
asing adalah keterlaluan! Maka tak dapat lagi aku t inggal
berpeluk tangan. Segera aku menyusul kemari. Kudengar
malam ini, para pejuang kesejahteraan bangsa dan
negari sedang berkumpul. Nah, hendak kulaporkan
penghianat-penghianat itu kemari ..."
"Siapakah yang berhianat?" Srimoyo tersinggung.
Sebab dia merasa sibuk melahirkan suatu persekutuan
balas dendam akhir-akhir in i. "Apakah mereka bertiga"
Mereka adalah pendekar- pendekar kenamaan Ugrasawa
semenjak belasan t ahun yang lalu ..."
"Benar. Di.antaranya, mereka bertiga inilah." jawab Ki
Ageng Gumbrek dengan tegas.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaget dan heran, Srimoyo mendengar bunyi jawaban
Ki Ageng Gumbrek. Membela :
"T idak mungkin! Mereka bertiga adalah sahabatku
semenjak belasan tahun yang lalu. Akh, tanganlah
memfitnah demikian. Fitnah lebih jahat daripada
membunuh!" Ki Ageng Gumbrek tersenyum lebar. Sambil membanting Suramerto dan Mangun Setono di atas
lantai, ia menjawab : "Aku adalah orang baik. Belum pernah aku memfitnah
orang, mendendam atau mencampuri masalah penghidupan. Secara kebetulan sekali, tatkala aku
hendak mencuri ayam di kota, mendengar kusak-kusuk
mereka. Mereka berada ditangsi Belanda. Dan merencanakan hendak menghancurkan Laskar Perjuangan anak-Adik Raden Mas Said Maka ku.ikuti
mereka dan kuamat-amati sepak terjangnya. Kenapa aku
memfitnah?" Srimoyo adalah seorang pendekar yang seringkali
menggunakan perasaannya semata dari pada pertimbangan akalnya. Ia jadi tersinggung. Menaikkan
suaranya : "Apakah paman mempunyai bukti?"
Ki Ageng Gumbrek- tertawa bekakakan. Menyahut :
"Bukt i! Masakan aku perlu mempunyai bukt i untukmu"
Ucapan Ki Ageng Gumbrek sudah menjadi jaminan. Apa
yang kukatakan, itulah Undang undang yang berlaku."
Tentu saja, siapapun tak dapat menerim dengan
alasan ini. Srimoyo jadi panas hati Berkata tak senang
hati : "Apakah alasannya untuk bisa mempercayai, terhadap
set iap patah perkataan paman?"
Sekarang Ki Ageng Gumbrek yang ganti tersinggung
kehormatannya. Dengan gundu mata berputar, ia
membentak "Kau murid Prangwedani, bukan" Gurumu sendiri t idak
berani mengucap demikian terhadapku. Kenapa kau
begitu?" Sastra Danung yang mengetuai rombongan anak
murid Ugrasawa tak senang mendengar kata-kata Ki
Ageng Gumbrek. Itulah kata-kata seseorang yang ingin
menang sendiri. Ia lantas maju menghampiri Srimoyo.
Tatkala itu Lingga W isnu cepat-cepat bertindak. Ia kenal
perangai dan tabiat gurunya. Kalau sampai kalap, akan
jadi kacau-balaulah. Segera ia memperlihatkan dua helai
surat. Berkata kepada Srimoyo :
"Paman, tolong kau bacakan bunyi surat ini, agar
hadirin dapat mendengar dan mengadili."
Dua kali sudah Srimoyo dikacaukan oleh lembaran
surat itu. Yang pertama, surat kesaksian. Dan yang
kedua, adalah surat ini, yang kini berada ditangannya.
Dengan hati berdegupan, ia membaca. Dan baru
membaca beberapa deret kalimat, ia kaget sampai berjingkrak. Itulah surat perint ah patih Pringgalaya
terhadap Suramerta dan Mangun Sentana. Surat perint ah untuk mengadu damba para pendekar dan laskar perjuangan, agar saling
bunuh-membunuh. Dan mereka berdua dibantu oleh
seorang kepercayaan Komandan Kompeni Belanda di Surakarta, bernama
Truno Taruna. Surat perintah itu diperkuat oleh dua
tanda t angan dan dua cap jabatan. Tanda tangan Patih
Pringgalaya dan Komandan Kompeni - Belanda.
0oodwoo0 Setelah Srimoyo selesai membaca surat itu, para
hadirin gempar. Kartolo, ketua rcmbongan - Puji Rahayu,
melompat dan mendekati T runo Taruna. Membentak :
"Benarkah engkau anak murid Ugrasawa?"
Truno Taruna dalam keadaan runt uh semangat. Tak
dapat ia segera menjawab. Ia menoleh kepada Sastra
Demung. Dan Sastra Demung jadi tak enak hati.
Maklum lah dia ketua rombongan Ugrasawa. Terus saja ia
menghampiri sambil menegas :
"Jawablah pertanyaan rekan Kartolo!"
Truno Taruna mati kutu. Merasa terdesak kepojok,
mendadak ia jadi nekad. Kumisnya bergerak. Kedua
gundu matanya bergerak-gerak. Menjawab pendek :
"Benar. Aku anak murid Ugrasawa."
"Bohong!" bentak Sastra Denung. 'belum pernah aku
melihat t ampangmu. Kau murid siapa?"
"Aku bawahan Musafigiloh, murid Panembahan
Panyingkir." "Kalau begitu, kau pengacau Jahanam Musafigiloh
sudah lama meninggalkan rumah perguruan. dia seorang
penghianat terkutuk. Kau menyebut-nyebut namanya
Bagus!" bentak Sestra Demung sengit. Tangannya
melayang. Dan Truno Taruna dihajar pulang-balik sampai
kedua pipinya babak-belur.
"Kau menghajar orang yang tidak berdaya. Apakah
tidak malu?" teriak Truno taruna. "Aku rmemang
pengikut Musafigil oh Dia memang seorang pendekar
yang mengerti kehendak zaman dan tidak lama lagi
seluruh Jaw a ini akan diduduki kompeni Belanda, Karena
itu, Musafigilloh bergabung dengan kompeni Belanda.
Bukan sebagai penghianat tetapi justru hendak
memajukan bangsanya pula. Musafig illoh bercita-cita
agar negeri kita menjadi sebuah negara merdeka. Duduk
sama rendah, berdiri sama tinagi dengan bancpa lain di
dunia in i. tidak lagi menjadi hamba--sahaya Su ltan atau
Sunan yang hidupnya Sesungguhnya hanya menjadi
budak besar belaka."
Belum lagi selesai Truno Taruna menyatakan isi
hatinya, tinju Sastra Demung sudah mendarat di
dadanya. Dan kena pukulan itu, Truno Taruna roboh tak
sadarkan d iri. Menyaksikan hal itu, semua hadirin puas.
tetapi Suramerta dan Mangun Sentana terbang
semangatnya. Mereka sadar akan bahaya yang
mengancam dirinya, mereka jadi berputus asa."
Sastra Demung perlu mencerahkan nama rumah
perguruannya yang tercemar oleh Truno TarunaKatanya nyaring :
"Memang sudah semenjak lama menjadi suatu
kerincuhan Sidalam rumh perguruan kami. Panembahan
Panyingkir mati oleh suatu penghianatan. Peristiwa itu
terjadi sepuluh tahun yang laiu. Musaf igilloh adalah
murid penghianat yang menamakan diri Panembahan
Panyingkir. Tetapi sesungguhnya, pembunuh panembahan Panyingkir itu ialah seorang Cina bernama
Lie Kong. Salah seorang mata-mata Belanda yang
berkepandaian sangat tinggi. Tegasnya, meskipun
Musafig illoh be rada di dalam rumah perguruan kami,
bukan termasuk anggauta Ugrasawa Dia dan Lie Kong
adalah seumpama dua duri yang mengeram di dalam
tubuh. Untung ketua kami, Anung Damidibrata segera
dapat bertindak cepat. Namun mereka berdua sudah
berhasil menghilang dari rumah perguruan atas
petunjuk-petunjuk seorang bernama Truno Taruna. Dia
tadi mengaku diri sebagai pengikut Musafigiloh. Pasti
dialah orangnya. Sekarang, karena sudah ternyata
kejahatannya, sebaiknya kita bunuh saja."
"Jangan! Biarkan mereka hidup sehari dua hari lagi."
Lingga W isnu mencegah. "Biarlah dia memberi keterangan yang lebih luas lagi tentang mata-rant ai
penghianatannya. Kukira akan sangat berguna bagi
kelanjutan perjuangan kita."
Lingga W isnu sesungguhnya punya alasannya sendiri.
Mendengar Sastra Demung menyebut seorang bernama
Musafig illoh, teringati lah dia kepada pengalamannya
sepuluh tahun lalu, tatkala dia datang ke rumah
perguruan Ugrasawa dengan Kyahi Basaman. Dialah
dahulu seorang anak yang memiliki ot ak cerdas luar
biasa, sampai pula Kyah i Basaman mengaguminya. Kalau
sekarang dia dinyatakan sebaaai seorang penghianat,
pant ilah tidak bekerja seorang diri. Ia percaya, bahwa
mata-rant ai pengkhianatan itu pasti terlebar sangat luas.
Saran Lingga W isnu disetujui hadirin. Anak murid
Songgeng Mint araga lalu menggusur Truno Taruna ke
dalam kamar tahanan. Dan karena sudah larut malam,
pesta perjamuan ditutup. Dan pada saat itu. Srimoyo menghampiri Songgeng
Mint araga. la menyesal bukan main, bahw a atas
kebodohannya - kalau saja Lingga W isnu tidak ikut
mencampuri peristiwa persengketaan itu. pastilah
perbuatannva akan menimbulkan bencana besar bagi
perjuangan semesta. Alangkah besar dosanya. Dosa
yang tak terampuni lagi. Oleh karena itu, ia mint a maaf
kepada Songgeng Mint araga dan menyatakan terima
kasih Kepada Lingga W isnu. Katanya lagi :
"Saudara Lingga, rasa terima kasihku tak terhingga.
Mataku benar-benar lamur sampai tidak mengerti diriku
menjadi kuda tolol. Inilah akibatnya orang yang terburu
napsu. Yang hanya menuruti gejolak napsu pribad i.
Andaikata saudara tidak membukakan kedua mataku,
dosa yang bakal kuderita tiada lagi memperoleh
keampunan. "Akh, siapapun akan berbuat demikian dan sesaat
karena tidak menyadari. Paman berani mengakui
kesalahan, Itulah, suatu bukti, bahwa paman sesungguhnya seorang kasatria. Kalau aku mengetahui
Sinimerto dan Mangun Sentono, itulah suatu kebetulan
belaka." Lingga W isnu membesarkan hati. Kemudian ia
menceritakan betapa supt perint ah itu diperolehnya.
Lega hati Srimoyo mendengar tutur kata Lingga
W isnu. Segera ia mengajak rombongannya pulang.
Sementara tetamu-tetamu lainnya bubaran pula. Songgeng Mint araga memasukkan Suramerto dan
Mangun Sentono ke dalam kamar tahanan. Ia berjanji
kepada Lingga W isnu hendak mencari keterangan
sebanyak-banyaknya dari mulut mereka
0odwo0 Sekarang sunyilah suasana serambi rumah Songgeng
Mint araga. Songgeng Mintaraga. membawa Arya Puguh
beristirahat di kamar sebelah. Sedang Sekar Prabasini
tetap mendampingi Lingga W isnu yang duduk berbicara
dengan Ki Ageng Gombrek. "Kau bawa saja dia kekamarmuI" ujar Ki Ageng
Gumbreg kepada Rara W itri.
Sudah barang t entu, wajah Rara W itri berubah hebat.
Masakan dia disuruh membawa seorang pemuda ke
kamarnya" Karena tidak berani membant ah perintah Ki
Ageng Gumbrek, ia hanya berpura-Jrura tidak mendengar. Ki Ageng Gumbrek tertawa lebar. Ia dapat membaca


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan hati gadis itu. Katanya :
"Neng! diapun seperti engkau. Masakan t ak tahu?"
Rara W itri terbelalak. masih ia tak percaya. Menoleh
kepada Lingga W isnu dan mint a keyakinan :
"Apakah dia ..."
"Y a .. " Lingga W i snu mengangguk dengan t ertawa.
Lalu berkata kepada Sekar Prabasini
"Perananmu sudah cukup. Pakaianmu bukankah
menyiksamu?" Luka dipundak mengganggu ketegaran Sekar Prabasin i. Ia nampak letih dan kesakitan. Sahutnya
malas: "Pakaianku dirumah penginpan. Kalau aku merasa
terbelenggu, tinggal membuka penutup kepala ini.
Kenapa susah-payah?"
Lingga W isnu kenal tabiatrya. Gadis itu tidak boleh
dipaksa. Maka ia mengalihkan pembicaraan kepada Ki
Ageng Gumbrek: "Bagaimana guru bisa segera tahu, bahwa ia seorang
wanita"* "Namanya pun kukenall juga. Bukankah dia Sekar
Prabasin i?" sahut Ki Ageng Gumbrek.
"Hai, dari siapa guru mengetahui namanya?" Lingga
W isnu heran, "Dari mu lut mu." jawab Ki Ageng Gumbrek.
Lingga W isnu saling pandang dengan Sekar Prabasini.
Tatkala hendak mint a keterangan, Ki Ageng Gumbrek
berkata : "Sebenarnya sudah lima hari ini aku dan pamanmu
mengikutimu dengan diam-diam. Kalau aku lantas
mengetahui temanmu berjalan itu, sudahlah pantas. Aku
senang, karena ternyata engkau seorang kasatria benar.
Sama sekali tak mengganggunya. Lagi pula ilmu
kepandaiaranu maju sangat jauh. Meskipun belum t entu
dapat menjajari gurumu, akan tetapi aku sudah bukan
tandingmu lagi ..." "Guru memuji aku berlebih-lebihan," kata Lingga
W isnu dengan muka merah. "Seumpama benar, itupun
berkat ajaran dan petunjuk-petunjuk guru dahulu."
"Aku membicarakan keadaanmu sekarang Dan bukan
dahulu," potong Ki Aaeng Gumbrek.
"Sekarangpun aku seringkali menemui kesukarankesukaran juga. Alangkah senangku,
bila memperoleh petunjuk-petunjuk guru."
"Begitu" Ha, hal itu sangat mudah, apabila kau
pintakan kepada tuan rumah sebotol atau dua botol
minumai keras. Tuan rumah tidak kikir, bukan?" ujar Ki
Ageng Gumbrek dengan tertawa lebar.
Rara W itri jad i sibuk. Lantas saja ia berlari-larian
masuk kedalam kamar dan kembali dengan membawa
empat botol minuman keras. Sudah barang tentu, Ki
Ageng Gumbrek girang bukan kepalang. Terus saja ia
meneguk sebotol habis.. Lalu berbicara dengan nerocos
seolah-olah t ak dapat lagi menguasai mu lut nya. Akhirnya
berkata : "Kalau kau ingin mengetahui persekutuan penghianatan, pergilah sekarang juga. Aku sendiri sudah
mempunyai kawan berbicara. Inilah botol-botolku ..."
"Eyang!" tiba-tiba Sekar Prabasini berseru.
"Eyang?" Ki Ageng Gumbrek membelalakkan matanya.
"Kau sahabat muridku, karena itu panggillah aku paman.
Lagi pula aku tidak mempunyai isteri. Selamanya jejaka.
Kalau saja aku mau kau panggil paman adalah karena
terpaksa saja." Sekar Prabasin i tertawa. Lucu, guru Lingga W isnu
yang seorang ini. Lalu memperbaiki diri. Katanya :
"Baiklah. Mulai saat ini aku akan menyebutmu paman.
Tadi paman berkata, bahwa paman sudah mengikuti
kami berdua. slama lima hari yang lalu. Kalau begitu
pasti tahu pula sepak terjang kakak-seperguruan kakang
Lingga. Bagaimana pendapat paman?"
''Mereka memang keterlaluan. Maksudku si perempuan
itu!" sahut Ki Ageng Gumbrek sambil menepuk botolnya.
'Biarlah besok aku membantumu."
"T api sebenarnya tak ingin aku berlawan-lawanan
dengan mereka," ujar Lingga W isnu. "Apakah guru sudi
mendamaikan saja?" "Apa yang kau takutkan"' suara Ki Ageng Gumbrek
meninggi. "Hajar saja perempuan galak itu! Seumpama
gurumu menegormu, katakan saja bahwa akulah yang
memerint ahmu!" Lingga W isnu kenal adat Ki Ageng Gumbrek yang
angin-anginan itu. Tak dapat pendekar tua itu diajak
berbicara berkepanjangan. T api mendengar dia sanggup
membantu, hatinya terhibur. Dan karena melihat Ki
Ageng Gumbrek terbenam dalam minuman keras, L ingga
W isnu mengajak Sekar Prabasini kembali ke rumah
penginapan. Sudah barang tentu Songgeng Mint araga dan Rara
W itri menjadi sibuk. Dengan sungguh sungguh mereka
mengusulkan agar Lingga W isnu dan Sekar Prabasini
menginap saja di rumahnya,
"Besok aku menginap disini," kata Lingga W isnu.
"Sekarang ini, idzinkan dia berganti pakaian dahulu."
Karena Lingga W isnu bersungguh-sungguh hendak
mengantar Sekar Prabasin i dahulu ke rumah penginpan,
Songgeng Mintaraga dan Rara W itri tak berani
menahannya. Dengan terpaksa mereka melepas pemuda
yang telah menolong jiwanya.
"Aku mesti segera balik," kata Lingga W isnu
meyakinkan "Bukankah kedua guruku berada disin i ?"
Lega hati Songgeng Mint araga mendengar janji L ingga
W isnu yang meyakinkan hatinya. Maklumlah, belum
sempat ia membalas budinya. Dan setelah Lingga W isnu
dan Sekar Prabasin i keluar gerbang, cepat ia
menyediakan beberapa botol minuman lagi untuk Ki
Ageng Gumbrek. Kemudian Rara W itri masuk ke dalam
kamarnya untuk beristirahat.
W aktu itu kira-kira pukul tiga menjelang pagi hari,
tatkala Lingga W isnu dan Sekar Prabasini berjalan keluar
rumah Songgeng Mint araga mereka berjalan bergandengan, karena, malam hari sangat pekat. Dunia
agaknya terancam hujan lebat.
"Bagaimana" Apakah kita kembali ke rumah penginapan?" Sekar Prabasini mint a keputusan.
"Hari sudah larut malam. Penjaga penginapan
mungkin sudah tidur lelap. Bagaimana kalau k ita melihatlihat rumah peninggalan
paman Srimoyo?" Lingga W isnu
usul. "Bagus. Tapi kurasa tidak perlu tergesa-gesa.
Bukankah dia berjanji dengan hendak segera meninggalkan rumah kediamannya itu" Lebih baik kita
berjalan mengadakan penyelidikan. Bukankah gurumu
tadi berkata, bahwa ingin menyaksikan persekutuan
penghianatan, sebaiknya kita cepat-cepat berangkat."
Lingga W isnu seperti teringatkan. Terus saja ia
membawa Sekar Prabasini berjalan cepat. Tetapi dimana
dia harus pergi" Tiba-tiba teringatlah dia pula kepada
tempat pertemuannya dengan kedua kakaknya seperguruan besok petang.
"Mari, kita meninjau bangunan bekas tangsi Belanda
itu. Ingin kutahu, apa sebab ayunda Sukesi memilih
tempat itu." ajak Lingga W isnu.
Sekar Prabasini mengangguk. Sambil menahan rasa
nyerinya, ia mencoba mengikuti Lingga W isnu yang
berjalan cepat. Sebenarnya, rasa kantuk dan lukanya
mengganggu ketegaran tubuhnya. Tapi entah apa
sebabnya, rasa gairah hidupnya selalu bersedia berada
didamping Lingga W isnu. Rasa enggan sekali, bila
berpisah dari padanya. W alaupun demikian, luka tetap
luka. Lambat laun pundak dan lengannya terasa menjadi
kaku juga. Tak dapat lagi ia menggerakkan tangannya
dengan leluasa. Diam-diam ia mengeluh. T atkala hendak
menyatakan rasa gangguan itu, terdengar Lingga W isnu
berkata : "Adik, sifat ayunda Sukesi menyerupai Ayu Sarini.
Kedua-duanya senang bersenjata pedang. Apakah
mereka berdua memang guru dan murid" Memilik Ayu
Sarini menperoleh pedang dari ayunda Sukesi, mungkin
dia muridnya. Bukankah Genggong Basuki menyebut
ayunda Sukesi sebagai gurunya pula,-meskipun dia murid
kakang Purbaya." Sekar Prabasini tertawa melalui hidungnya, menyahut:
"Kau selalu memikirkan mereka dan sama sekali tidak
memikirkan diriku." Ditegor demikian, barulah Lingga W isnu te ringat akan
luka yang dideritanya. Pikirnya :
"Aku mempunyai himpunan tenaga sakti pelindung
jasman i. Sebaliknya dia tidak. Akh, benar benar aku tak
memperhatikan lukanya ...'
Memperoleh pikiran demikian, dengan suara mint a
maaf dia menyahut : "Lukamu tidak begitu membahayakan, adik.."
Lingga W isnu hendak meraih lengan. mendadak ia
melihat t iga bayangan melint asi ketinggian. Cepat Lingga
wisnu membawa Sekar Prabasini bersembunyi di balik
batu kurang lebih berjarak seratus meter, pandang mata
Lingga W isnu mengenali bayangan yang berada di depan
itu. "Hai" ia berbisik terkejut kepada berbisik Sekar
Prabasin i. "Genggong Basuki! Dia tadi berangkat
bersama ayunda Sukesi dan kakang Sugiri. Kenapa dia
berada disini " Apakah dua orang dibelakangnya
ayunda....bukan! Mereka laki-laki semua !"
"T ahan mereka!" sahut Sekar Prabasini.
"Untuk apa?" "Gurumu berkata, bahwa ada persekutuan penghianatan. Kalau ingin tahu, kita harus segera
berangkat. Kau tadi heran pula terhadap Genggong
Basuki. Dia murid kakakmu Purbaya yang tertua. Kenapa
dia murid kedua kakakmu Sukesi dan Sugiri" Ingat
pulalah tut ur kata pendekar Sastra Demung, tentang
sepak terjang Musafigilloh. Siapa tahu, diapun pengikut
Musafig illoh," ujar Sekar Prabasini.
Lingga W isnu seperti tersadarkan. Meskipun tuduhan
demikian sangat samar-samar, tapi entah apa sebabnya,
perasaaanya seperti membenarkan perkataan Sekar
Prabasin i. Terus saja ia melemparkan pandangnya
kepada t iga sosok bayangan yang berlari-lari d idepannya
Sekarang ia melihat suatu keanehan. Genggong Basuki
seperti di kejar dua orang. Siapakah mereka" Pikirnya
sibuk : 'Genggong Basuki terlalu yakin kepada kepandaiannya
sendiri. Tidak gampang-gampang ia menyerah. Kenapa
kini membiarkan diri kena di kejar orang" Pastilah
pengejarnya bukan sembarang orang ...'
"Cepat tahan I" bisik Sekar Prabasini.
Lingga W isnu percaya. Kawannya berjalan itu cerdas
ot aknya. Diapun banyak pengalamannya. Pastilah dia
menpunyai alasan, apa sebab menyuruh menahan larinya
Genggong Basuki. Maka cepat-cepat ia memungut
sebutir batu. Kemudian ditimpukkan. Tepat timpukan
Lingga wisnu. Genggong Basuki roboh terjungkal. Pan
dua orang pengejarnya segera menangkapnya.
"Genggong Basuki, kau tolol!" bentak laki-laki
berperawakan sedang. "Hm ..." Genggong Basuki menggerendang. "Musafigiloh. Kau boleh mencincang aku atau membunuh
aku, tapi jangan mencoba menghina aku."
"Siapa yang menghinamu?" Musafigiloh tertawa
terbahak-bahak. "Semenjak dahulu aku berusaha
membantumu. Tidak hanya untuk merebut kedudukan
semulia-mulianya bagimu, tapipun calon isteri yang
cant ik luar biasa ..."
Hati Lingga W isnu tergetar. Itulah lagu suara yang


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling berkesan di dalam hati sanubarinya. Suara
seorang pendekar Ugrasawa yang cerdik luar biasa. Yang
dahulu pernah mengelabui kakek-gurunya Kyahi Basaman. Menurut keterangan Sastra Demung, dialah
murid musuh rumah perguruan Ugrasawa bernama Lie
Kong yang membunuh Panembahan Panyingkir. Dan
dalam beberapa detik itu, teringatlah Lingga W isnu
kepada pengalamannya yang pahit. Hampir saja ia mati
kena tangan jahat orang yang menamakan diri
Panembahan Panyingkir itu.
'Nampaknya Genggong Basuki menghadapi kesukaran.' pikirnya didalam hati. 'A ku harus menolongnya. ' Oleh pikiran itu, tangannya meraba raba mencari
segumpal tanah. Tiba-tiba Sekar Prabasini menyentuh
tangannya. Berbisik perlahan sekali :
"Sabar dahulu. Dia menyebut kedudukan dan calon
isteri yang cantik. Apakah kau tak tertarik?"
Genggong Basuki seperti mati kut u dihadapan
Musafig illoh. Ia nampak gelisah. Namun ke beranian serta
sifat bandelnya, tiada sama sekali. Mau t ak mau, Lingga
W isnu heran benar. Apakah dia takut menghadapi
keroyokan Musafigilloh dan temannya" W alaupun kalah,
tiada alasannya d ia menundukkan kepala seakan-akan
moncong kerbau kena tuntun majikannya.
"Aku salah seorang anggota rumah perguruan Sekar
Teratai. Tak boleh aku bergaul dengan orang jahat," kata
Genggong Basuki. "Kenapa kau menyebut-nyebut
tentang kedudukan dan ..."
Musafig illoh tertawa terbahak-bahak lagi dan memotong perkataan Genggong Basuki. Lalu membentak: "Bahw asanya engkau anak-murid Sekar Teratai, aku
sudah tahu semenjak dahulu. Kenapa" Apakah kau t idak
tertarik lagi" Baiklah, kalau begitu calon isterimu
kukangkangi sendiri. Kau tak perlu lagi berhubungan
dengan aku. Bukan kah aku orang jahat?"
Genggong Basuki hendak membuka mulutnya. Tibatiba
orang yang berada disamping Musafig illoh menyambung : "Kau belum memberi laporan kepada kami. Lalu
berusaha kabur ditengah malam buta. Apakah kau
menghendaki kami membongkar rahasiamu d ihadapan Ki
Sambang Dalan" Ha-ha-ha! Aku ingin melihat tampangmu, apakah kau masih berani mengaku sebagai
anak murid Sekar Teratai."
Terkejut hati Lingga W isnu mendengar orang itu
menyinggung-nyinggung nama Ki Sambang Dalan yang
ketua rumah perguruan Sekar Teratai. Apa maksudnya
dengan kata-kata membongkar rahasia" Ia melihat
Genggong Basuki bergelisah bukan kepalang, setelah
mendengar ancaman itu. Pastilah rahasia yang sangat
menentukan! Pikir Lingga W isnu di dalam hati. Dia berani
menentang tentang janji kedudukan dan calon isteri yang
cant ik luar biasa. Tapi begitu mendengar istilah
membongkar rahasia, ia nampak gelisah. Sebenarnya
rahasia apakah yang menggelisahkan dirinya"
"Aku bukan kabur. Tapi aku tak mau berbicara di sin i,"
kata Genggong Basuki dengan suara bergetar.
"Kenapa?" bentak Musafigilloh.
"Guruku berada di sini."
"Guru yang mana lagi?" ejek Musafigil oh. Kemudian
tertawa melalui hidungnya. Ia menoleh kepada
kawannya membagi pandang.
Lingga W isnu seolah-olah melihat wajah Genggong
Basuki berubah. Menjawab dengan menahan rasa
mendongkolnya : "Kenapa lau mendesak aku terus-menerus?"
"Selamanya aku baik terhadapnu. Tapi kau selalu
menyusahkan aku. Ingat pulalah kedudukanku. Aku
bertanggung jawab langsung kepada pemerintah"sahut
Musafig illoh. Kemudian ia menambahkan kepada temannya. "Manusama! Kau jelaskan kepadanya apa
sebab kita mencarinya."
Sekarang tahulah Lingga W isnu siapa orang itu.
Menilik namanya, dia berasal dari Maluku.
Kata Manusama kepada Genggong Basuki :
"Mayor De Pool sudah berkenan menerimamu. Beliau
menaruh kepercayaan hingga kau diberinya tugas
penting. Kau ditugaskan untuk meracun pendekarpendekar yang sedang berkumpul di
sin i. Kenapa t ak kau laku kan?" "T ak dapat aku berbuat begitu. Selain tak berdaya,
kedua guruku tiba-tiba datang pula." jawab Genggong
Basuki. "Guru, guru. Selalu saja kau menyebut nyebut guru
untuk menyusahkan kami berdua," gerendeng Musafig illoh. "Apakah engkau hendak membangkang
perint ah Mayor De Pool" Kau tahu sendiri, apa
hukumannya terhadap seorang kepercayaannya yang
menghianati." "Bunuhlah aku!" tantang Genggong Basuki cepat.
"Memang aku tak pantas lagi h idup di dunia. Aku
seorang yang berdosa besar. Setiap kali memejamkan
mataku, bayangan guruku selalu berada dihadapanku ."
"Berkali-kali kau menyebut guru. Guru yang mana?"
potong Musafigilloh. "Guruku yang pertama. Purbaya" sahut Genggong
Basuki dengan suara menggeletar. "Karena itu, aku akan
sangat berterima kasih bila kau mau membunuhku."
"Baik!" bentak Manusama jengkel. Orang itu mencabut
pedang pendeknya dan mengayunkan tangannya.
"T ahan!" cegah Musafigil oh. "Manusama b ila dia t etap
membangkang, tak perlu kita sendiri yang membunuhnya. Biarlah dia mempertanggung-jawabkan
kesalahannya sendfiri. Nah, kita bebaskan saja dia!"
"Membebaskan" Lantas, bagimana kita ber-tanggung
jawab terhadap atasan?"' seru Manusama dengan suara
menebak-nebak. "Dia membunuh gurunya sendiri, Purbaya. Dia berdosa
terhadap diri sendiri dan rumah perguruannya. Pastilah
dia akan dibunuh oleh kaumnya sendiri. Apa perlu kita
bersusah payah mengotori senjata?"
0oodwoo0 Ucapan Musafigilloh itu tak ubah halilint ar menyambar
hati Lingga W isnu. T atkala mengadu kepandaian dengan
Genggong Basuki, ia melihat kehandalan dan kekurangajaran kemenakannya itu. W
alaupun Nawawi sudah memperingatkan, namun tetap ngotot. Rupanya dia
bermaksud membunuh gurunya sendiri. Hai, mimpipun
rasanya t akkan pernah terjadi.
'Kenapa dia sampai membunuh gurunya"' pikir Lingga
W isnu pada detik itu. 'Dan kenapa pula kakang Purbaya
bisa dibunuhnya" W alaupun Genggong Basuki memiliki
ilmu pedang ajaran kakang Sugiri-Sukesi. rasanya belum
cukup sebagai bekal membunuhnya. Kakang SugiriSukesi sendiri, belum tentu
bisa...' Mendadak terlint aslah bayangan cerita Sekarringrum,
tentang teraniayanya pendekar Bondan Sejiwan. 'Apakah
kakang Purbaya juga kena racun sebelum terbunuh"'
pikir Lingga W isnu. Dan hatinya terdoncang hebat.
"Musafigilloh!" kata Genggong Basuki dengan suara
bergemetaran. "Kau sudah t'bersumpah tidak akan
membocorkan rahasia in i. Kenapa kau membuka mulut"'"
Musafig illoh tertawa tawar. Sahutnya :
"Kau ini hanya ingat sumpahku saja. Tetapi lupa
kepada sumpah sendiri. Kau sudah bersumpah padaku,
bahw a mulai waktu itu kau akan patuh kepada
perint ahku. Sekarang, katakan terus terang, engkau atau
aku yang melanggar sumpah" - Kalau k ini aku membuka
rahasia, adalah didepan orang kita sendiri, Manusama
akan menutup mulut selama engkau tidak membangkang
perint ahku." "Baik. Tapi betapapun juga aku tak akan mau
mengulangi sejarah dengan meracun para pendekar
sebelum membunuhnya. bukannya takut kepada mereka,
tetapi karena aku jelek-jelek t ergolong seorang kasatrya,
juga. Apalagi engkau justru menghendaki aku membunuh semua pendekar, termasuk kakek guru dan
guruku. tak dapat aku berbuat demikian," sahut
Genggong Basuki. Mendengar kata-kata Genggong Basuki, benarlah
dugaan Lingga W isnu. Kakak seperguruannya mati
terbunuh oleh racun atau dibunuh setelah punah
tenaganya. Pada saat itu, ia mendengar Musafigilloh
tertawa lagi. Kita larang itu:
"Kakang Genggang Basuki- S iapakah yang tidak
mengetahui bahwa engkau seorang kasatrya dan
bukannya aku menyuruhmu membunuh mereka dengan
racun jahat. Aku hanya menghendaki supaya mereka
lumpuh. Kemudian kita tawan. Sekarang, marilah kita
rundingkan dibenteng tangsi Kasunanan. Di sana, kawankawan sudah berkumpul.
Mayor De Pool hadir pula."
"Kenapa ke sana?" Genggong Basuki terkejut.
"Mengapa?" "Kedua guruku justru mengadakan perjanjian di t angsi
itu dengan seseorang."
"Kapan?" "Esok petang. Setelah matahari t enggelam."
"Akh, kalau begitu kebetulan," kata Musafigilloh sambil
menyarungkan pedangnya perlahan lahan. "Lagi pula,
apabila cepat hadir, sebelum matahari terbit, sudah
selesai. Dan esok petang kita bisa mengepung gurumu
beramai-ramai. Kau tak usah ikut serta. Meskipun kedua
gurumu ggagah perkasa, masakan bisa melawan kita
yang berjumlah banyak?"
Genggong Basuki hendak menyatakan pendapatnya.
Tiba-tiba Musafigil oh menyambung perkataannya. :
"Putri pendekar Sri Ngrumbini itu memang cantik
bagaikan bidadari- Namanya sedap pula didengar
Suskandari. Nama yang merdu bukan main. Di dalam
dunia ini, sukarlah dicarikan tandingnya. Sayang sekali,
manakala dia kau serahkan kepadaku."
"Musafigilloh! Lidahmu benar-benar jahat!" teriak
Genggong Basuki. "Bagus! Bagus!" Musafig illoh tertawa menang. Ia
meraba-raba kantongnya, kemudian memperlihatkan
sebuah benda. Karena suasana malam itu gelap. Lingga
W isnu hanya melihatnya dengan samar-samar. Ia
menoleh kepada Sekar Prabasin i. Gadis inipun bernapsu
pula ingin melihat benda itu. Dan pada saat itu,
terdengar Genggong Basuki berseru tertahan :
"Hai! Itu kan tusuk kondenya .-!"
"Benar. Apakah kau tak percaya" Lihat" kata
Musafig illoh. Ia menarik pedangnya. Kemudian melemparkan trusuk konde itu tinggi di udara dengan
tangan kirinya. Trang! Ia menetak tusuk konde itu
dengan pedangnya. Lingga W isnu menggunakan tusuk konde Suskandari
sebagai senjata melawan pedang dan golok keluarga


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dandang Mataun. Ia tahu, bahwa meskipun tidaklah
sekuat senjata pusaka, namun tidak gampang-gampang
kena dipatahkan senjata tajam. Apalagi Musafig illoh
hanya menetaknya. Perbuatannya itu hanya untuk
membuktikan kepada Genggong Basuki, bahw a tusuk
konde Suskandari memang lain bila d ibandingkan dengan
tusuk konde lumrah. "Kau lihat buktinya, bukan?" ujar Musafigilloh. "Tusuk
konde manakah yang tahan tetakan pedang, kalau bukan
tusuk konde seorang pendekar" Kau periksalah lebih
cermat lagi! Bukankah ini deretan huruf-huruf namanya"
Tusuk konde ini dulu milik ibunya ..."
"Musafigilloh ...l" kata Genggong Basuki dengan suara
parau. "Bagaimana engkau memperoleh tusuk konde itu"
Dari siapa" Dimana d ia sekaradg" Berapa waktu yang
]alu, dia selalu berada dengan paman Botol Pinilis."
Musafig illoh tersenyum. Ia menoleh kepada Manusama. Berkata : "Manusama, mari kita berangkat! Mulai sekarang kita
tidak memerlukan manusia seperti dia lagi."
Musafig illoh tidak hanya menggertak saja. Ia
membuktikan ucapannya. Dengan langkah lebar, ia
mengarah ke utara. Manusama mengikuti dari belakang.
"Musafigilloh!"
seru Geiggong Basuki. Apakah Suskandari kau tawan" Paman Botol Pinilis bermusuhan
dengan pihakmu. Karena Suskandari mengikuti paman
dia selalu berada ditengah tengah para pendekar yang
menentang kompeni Belanda. Apakah dia jatuh
ditangkap kompeni" Hidup atau sudah mati?"
Musafig illoh berhenti melangkah. Menoleh sambil
menjawab : "Benar. Suskandari memang berada dalam tangan
kami. Dia benar-benar seorang gadis cant ik. Aku sendiri
belum beristeri. Biarlah kumohon idzin kepada Mayor De
Pool. agar dia diserahkan kepadaku. Bila aku bermaksud
mengawininya, pastilah di dzinkan."
Genggong Basuki menjerit tertahan. Katanya sambil
menghampiri : "T ak dapat kau berbuat begitu. Bukankah dia .. "
"Benar.". Musafigilloh menghela napas. "Sebenarnya,
seorang kasatrya t idak akan merenggut isteri kawannya.
Percayalah, Musafigilloh lebih menghormati tali persahabatan dari pada tergiur paras cantik. Tetapi dia
belum menjadi isterimu. Lagipula engkau akan menghianati kami. Karena itu, tiada lagi persahabatan
antara kita berdua. Tegasnya, mulai saat ini, tiada lagi
suatu ikatan apapun diant ara kita. Masing-masing boleh
berbuat sesuka batinya."
Genggong Basuki tergugu. Beberapa saat kemudian
barulah dia berkata mint a belas kasihan:
"Musafigilloh dan saudara Manusama. Maafkanlah aku.
Pikiranku lagi kusut. Aku merasa
bersalah kepada kalian."
Musafig illoh tertawa terbahak-bahak. Serunya :
"Nah, beginilah baru benar!
Sekarang aku dapat memberi
jaminan, bahwa Suskandari pasti akan menjadi isterimu.
Tetapi, ingat! Kau harus melaksanakan tugasmu dengan
sebaik-baiknya. Bila sudah berhasil meracun pendekarpendekar terutama aliran
Parwati, artinya, hari pernikahanmu sudah dekat. Setelah itu, pendekar
pendekar aliran Aristi. Sementara aku membasmi rumah
perguruan Ugrasawa, hendaklah engkau menaruhkan
bubuk racun terhadap guru dan kakek gurumu.
Percayalah, aku tidak akan membunuh para pinisepuh
Sekar Teratai. Cukup kalau kami t awan hidup hidup. Kau
sendiri tidak perlu berkecil hati, seolah-olah berdosa
terhadap gurumu. Sebab kedudukan gurumu dalam hal
ini, hanyalah merupakan jalanan dalam mencapai nasib
baikmu yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Kelak
pemerint ah yang syah, tidak akan melupakan jasamu.
Kau akan diangkat menjadi seorang Adipati dan jaminan
yang layak selama h idupmu. Dan disamping itu seorang
isteri secantik bidadari, Nah, siapapun akan merasa iri
hati kepadamu." "Janganlah engkau berbisa tentang pangkat segala.
Cukuplah sudah, apabila ..."
Musafig illoh tertawa. Berkata mengalihkan penbicaraan : "Oh, ya. Bagaimana kau tadi bisa jatuh?"
"Entahlah. Barangkali akulah yang sedang sial.
Rupanya kakiku menyaruk batu. Secara kebetulan
membalik memukul betisku." sahut Genggong Basuki.
Pengakuan Genggong Basuki membuktikan betapa ahli
Lingga W isnu dalam ilmu melempar.
Genggong Basuki sama sekali tak pernah menduga
bahw a dirinya kena serangan gelap. Dia hanya merasa
terpukul oleh kepingan batu yang secara kebetulan
mengenai betisnya. Batu itu tepat membentur salah satu
urat yang membuat kakinya kejang dengan tiba-tiba.
Dan kemudian jatuh karena kehilangan keseimbangan.
"Bukan sial, namanya. T etapi mujur!" seru Musafigilloh
dengan tertawa. "Itu suatu tanda bahwa engkau
bernasib baik dan sudah ditakdirkan bakal menjadi suami
seorang isteri yang sangat cantik. Sebab, seumpama
betismu tidak t erpukul pentalan batu, kami berdua tidak
akan sanggupi mengejarmu. Dan engkaupun tak akan
tersadarkan dari kesesatanmu, Apabila-sampai terjadi
demikian, bukan saja namamu akan hancur tetapi usaha
kitapun akan gagal bubar. Kecuali itu, Suskandari yang
cant ik jelita akan menjadi isteri Musafigil oh."
Musafig illoh berbicara seolah-olah sedang bercanda.
Tetapi tiap patah katanya, t ak ubah sebilah pisau tajam
menusuki hati Genggong Basuki. Pendekar yang galak
itu, tiba-tiba saja kehilangan kegarangannya. Dengan
menghela nafas ia berkata perlahan :
"Jadi ... ke mana aku harus pergi?"
"Kau. ingin bertemu dengan Suskandari atau tidak?"
sahut Musafigilloh dengan suara menang lalu menambahkan lagi: "Mari kita ke benteng Kasunanan
dahulu menghadap Mayor De Pool. Setelah beres aku
antarkan engkau menemui Suskandari. Percaya sajalah,
Suskandari akan menjadi milikmu. Dan seumur hidupmu
kau akan| berterima kasih kepada Musafigilloh."
"Baik. Mari kita pergi" kata Genggong Basuki.
"Sebenarnya, bagaimana Suskandari sampai bisa berada
dalam tanganmu?" "Itulah berkat pertolongan letnan Manusama." jawab
Musafig illoh sambil tertawa. Ia berpaling kepada
Manusama dan mengejapkan moanya. "Ha, baru kali ini
aku menyebut dihadapanmu bukan" Sebagai seorang
perwira, besar kekuasaannya. Meskipun begitu, dia
bersedia mengalah terhadapku. Selagi dia makan-minum
di sebuah warung dengan ketiga pembantunya, ia
melihat tiga orang yang menarik perhatiannya. Setelah
diselidiki, ternyata tokoh-tokoh yang ada harganya untuk
diambil. Letnan Manusama membiarkan yang tua tak
terusik. Tetapi yang dua orang, Ha-ha-ha. Tetapi kau tak
usah cemas. Legakan hatimu, karena calon isterimu yang
cant ik kami perlakukan sebagai tetamu yang terhormat."
Lingga W isnu mengeluh. T iga orang yang disebutkan
itu, siapa lagi kalau bukan Botol Pinilis, Suskandari dan
Harimawan" Teringat akan uang bekal laskar Panglima
Sengkan Turunan, ia jadi sibuk. Pikirnya :
'Dengan susah payah kakang Botol Pinilis merebut
uang perbekalan kembali dari tangan keluarga Dandang
Mataun. Sekarang Harimawan tertawan. Jangan-jangan
uang perbekalan berada padanya. Jika sampai, kena
terampas oleh pihak kompeni, kesulitannya untuk
merampas kembali sepuluh kali lipat jadinya ...'
Memperoleh pikiran demikian, segera menajamkan
telinganya. Ia yakin, kakak seperguruannya itu tidak
akan tinggal diam. Apalagi bila uang perbekalan itu
sampai kena terampas. Dia pasti bersedia mengorbankan
jiwanya. Tetapi baik Musaf igilloh maupun Manusama,
tidak menyinggung lagi soal penangkapan itu. Keruan
saja ia jadi bingung. "Kakang Genggong," kata Musafigilloh sambil menyarungkan pedangnya, "Bila kau sudah berhasil
melumpuhkan, para pendekar Parwati, semenjak itu akan
bertambah-tambah kekuatan kita. Apalagi, bila kaum
Ariati, Ugrasawa dan Sekar Teratai sudah dapat
kukuasai. Hem, kita tinggal menggertak saja kepada
pihak kompeni, untuk mint a sebagian tanah. Kita akan
menjadi majikan, tanpa banyak kesulitan. Kau tak perlu
menyangsikan hadirnya Letnan Manusama. W alaupun dia
orang Maluku, tetapi didalam hatinya, ia tak mau menjadi
budak Belanda selama hidupnya."
Musafig illoh berbicara dengan suara tegar dan yakin
seolah-olah seluruh pendekar di segenap penjuru sudah
dikuasinya. Genggong Basuki dan Manusama ikut
menyatakan rasa syukurnya pula. Kadang-kadang
mereka menyumbangkan tertawanya. Tetapi bunyi
tertawanya pahit. "Kau ingin bertemu dengan calon isterimu, bukan" Dia
sekarang berada di Sukoharjo. Mari k ita berangkat." kata
Musafig illoh menutup perkataannya.
Ia mendahului berjalan. Manusama mendampingi. Dan
Genggong Basuki mengikut i dengan terpincang-pincang.
Habislah sudah segala keangkeran dan kegarangannya.
Di serambi rumah Songgeng Mint araga tadi, dia bersikap
angkuh serta t inggi hati. Pandang matanya meremehkan
siapa saja yang berada di penglihatannya. Sekarang
dengan Musafigil oh, ia tak ubah seekor anjing yang
sibuk mengibas-ngibaskan ekornya.
Lingga W isnu tahu, apa sebab kemenakan muridnya
itu bersedia berhamba kepada Musafigil oh. Kecuali
tergila-g ila terhadap Suskandari, dia merasa berdosa
karena membunuh gurunya sendiri. Benar-benar manusia
pengecut dari berbahaya! Lingga W isnu belum pernah
bertemu dengan pendekar Purbaya. Akan tetapi ia
merasa dirinya wajib menuntut keadilan. Dan tiba-tiba
saja ia bergerak hendak mengejar si laknat itu.
Sekar Prabasini agaknya sudah dapat menebak
hatinya. Cepat menyanggah
"Jangan! Kau tak akan dapat berbuat seorang diri.
Kalau kau dapat mengetahui penghianatannya, hanyalah
karena kebetulan saja. Dapatkah engkau memaksa
gurumu dan sekalian saudara mempercayai laporanmu"
Kedudukanmu pada saat ini tidak menguntungkan.
Kedua kakak seperguruanmu curiga padamu. Bila mereka
mendengar matinya paman Purbaya lewat mulut mu,
justru engkaulah yang mula-mula akan ditangkapnya.
Sebab, siapapun, tak akan percaya paman Purbaya mati
di tangan muridnya. Akupun tidak, seumpama aku salah
sarang murid gurumu. Apa arti kepandaian Genggong
Basuki, bila d ibandingkan dengan gurumu" Apalagi jika
engkau membunuh Genggong Basuki pula ... Karena itu,
paling kita harus mencari saksi. Dan saksi itu kecuali
kedua kakak seperguruanmu yang rnencurigaimu,
set idak-tidaknya seorang pendekar tua seperti Ki Ageng
Gumbrek." Lingga W isnu seperti tersadar dari tidur lelap. Tak
dapat ia membantah pendapat Sekar Prabasini. Bahkan
diam-diam ia heran, apa sebab kali. ini Sekar Prabasini
bisa berbicara begitu panjang dan matang. Perlahanlahan ia mengamat-amati
wajahnya. Kemudian berkata
terharu : "Benar. Hatiku kalut sehingga pikiranku tidak bekerja.
katakan padaku, apakah yang harus kulakukan"
Sekar Prabasini tersenyum lebar. Sahutnya;
"Mereka akan berunding di tangsi Kasunanan. Kalau
engkau ingin mengetahui corak persekutuan itu lebih


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luas lagi, berangkatlah sekarang. Aku sendiri akan
mencoba mencari saksi."
"Siapa-" "Ki Ageng Gumbrek dan paman Songgeng Mint araga."
jawab Sekar Prabasini. "T api awas, kalau kau ing in
melihat Suskandari, jangan tinggalkan aku!"
Lingga W isnu tertawa geli. Kumat lagi wataknya, pikir
pemuda itu. Selagi hendak membuka mulut, Sekar
Prabasin i berkata lagi :
"Kau cukup meninggalkan tanda-tanda tertentu
sepanjang jalan. Dan aku akan segera menyusulmu. "
Sekar Prabasini tidak menunggu persetujuan Lingga
W isnu. Setelah berkata demikian ia pergi. Lingga W isnu
tertegun. Aneh, perasaannya. Dahulu ia dapat pergi atau.
berpisah tanpa kesan. Sekarang, begitu gadis itu
meninggalkannya ia merasa seperti kehilangan. Dengan
pandang terlongong-longong ia mengikuti kepergian
Sekar Prabasin i dengan gundu-matanya, sampai bayangannya hilang digelap malam.
0oodwoo0 Setelah menghela napas, ia mengalihkan pandang
kearah menghilangnya Musaf igil oh bertiga. Dipusatkannya perhatiannya, Kemudian lari mengejar.
Dari SeJatan ia berlari-larian kearah utara. T etapi setelah
lari beberapa waktu lamanya, tiada sesosok bayanganpun yang terlint as dihadapannya. Suasana larut
malam itu sunyi malah. "Ke mana mereka pergi" Celaka! Aku harus
meninggalkan t anda-tanda arah kepergianku. Akan tetapi
aku sendiri belum memperoleh kepastian, pikir Lingga
W isnu di dalam hati. Kalau dipikir, baru beberapa menit ketiga orang itu
pergi. Tetapi dalam waktu sesingkat itu mereka pergi
lenyap seperti tertelan iblis. Tanda-tanda dan jejaknya
sama sekali tak terlihat. W alaupun demikian, ia percaya
akan dapat mengejarnya. Baru saja ia sampai diperbatasan kota, tiba-tiba
muncul ah seseorang dari gerombolan rumput. Orang itu
muncul sambil menarik goloknya. Cepat Lingga W isnu
melompat. Bagaikan anak panah, tubuhnya berkelebat
melewatinya. Crang itu heran. Apakah ia salah melihat" Bukankah
tadi dilihatnya sesosok bayangan berkelebat mendatangi.
Kenapa tiba-tiba lenyap" Orang itu bercelingukan
menebarkan penglihatannya sambil
mergucak-ucak mata. Tetap saja tak dapat menangkap bayangan Lingga
W isnu, yang melint as sangat cepat dan lenyap dibalik
tabir malam. Hampir satu jam Lingga W isnu berlari larian ke sana
ke mari, akan tetapi masih belum memperoleh petunjukpetunjuk. Tiba-tiba ia
melihat sebuah bangunan yang
menarik perhatian. Bangunan itu bertingkat dua. Tegak
berdiri sangat tinggi dan dilindungi pagar tembok yang
sangat kokoh. Dan melihat bangunan itu, Lingga W isnu
berpikir : 'Apakah ini yang dinamakan tangsi Kasunanan"'
Samar-samar ia melihat sinar api. Dan melihat sinar
api itu, ia berpikir lagi :.
"Katanya Kompeni Belanda pernah mempunyai tangsi
di daerah sini. Gedung mana lagi yang pantas menjadi
tangsi Belanda, selain bangunan ini" Tapi mengapa ada
sinar lampu" Ha, jangan jangan inilah gedung yang
dikatakan Musafigilloh sebagai tempat pertemuan ...'
Selagi ia berpikir demikian, sekonyong konyong
melesatlah sesosok bayangan keluar dari sebuah jendela.
Gerakan orang itu cepat luar biasa. Dan dalam sekejap
mata. saja lenyaplah bayangannya. Sekiranya bukan
Lingga W isnu yang bermata tajam, berkelebatnya
bayangan itu tak akan tertangkap oleh penglihatan. Tak
usah dikatakan lagi, bahw a orang itu memiliki
kepandaian yang sangat, tinggi. Siapa" pikir Lingga
W isnu, ia lantas menghampiri bangunan itu.
Setibanya disamping gedung, dengan menjejakkan
kakinya, Lingga W isnu melesat ke atas tembok pagar.
Sekonyong-konyong hatinya tergetar. Ia mendengar
suara orang yang sangat dikenalnya. Itulah suara Cocak
Abang, salah seorang anggota Dandang Mataun yang
berangasan. Dia berbicara dengan Manusama, dibawah
rindang sebatang pohon. Kata Cocak Abang :
"Musafigilloh benar-benar seorang yang tak tahu diri.
Dia bukan wakil pemerint ah. Bukan pula ketua aliran.
Tapi lagaknya seperti seorang pembesar. Malam sudah
mendekati pagihari. Kenapa kita harus berkumpul lagi?"
Manusama mendeham. Lalu menjawab :
Gembira hati Lingga W isnu mendengar percakapan itu.
Siapa lagi yang dibicarakan, kalau bukan Suskandari dan
Harimawan. Hati-hati ia mendekati jendela dan mengintai
ke dalam. Ternyata pertemuan itu dilangsungkan
disebuah pendapa dalam yang tertutup oleh bangunan
tinggi. Cocak Abang dan Manusama mencampurkan diri di
antara hadirin yang berjumlah kira-kira enam puluh
orang. Seorang Belanda berpakaian milite r duduk diatas
kursi. Musaf igilloh yang berdiri didepannya berkata
nyaring : "Saudara Genggong Basuki sudah sadar kembali.,
dialah murid tertua aliran Sekar T eratai angkatan kedua.
Bila si tua Sambang Dalan sudah mampus, kurasa dialah
yang bakal menggantikan menggantikan kedudukannya."
"Dan gurunya?" potong orang Belanda itu.
"Bukankah gurunya sudah mati?"
"Tetapi betapapun juga, dia seorang yang tinggi
akalnya. Oleh petunjuknya, aku dapat membekuk dua
orang penting. Yang perempuan dibawanya ke
Sukoharjo. Dan yang muda disekap disin i."
"Hem, apanya yang hebat?" dengus Cocak Abang.
Istana Pulau Es 22 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Pendekar Patung Emas 13
^