Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 18

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 18


"Bocah dogol itu pernah kami t angkap dirumah kami."
"Akh, ya, ha-ha-ha ... orang Belanda itu tertawa
terbahak-bahak. "Bukankah dia mat' karena makan racun
Arsenikum?" "Benar. Itulah berkat jasanya mayor," kata Musafig illoh. Sekarang tahulah Lingga W isnu, bahwa orang Belanda
itulah yang disebut-sebut sebagai Mayor De Pool.
"T api, mayor ..." kata Musafigilloh lagi "Dideoan
hadirin in i, hendaklah dia keterangannya apa sebab
sampai hati membunuh gurunya sendiri. Dengan
keterangannya sendiri, sejarah kelak tidak akan
mengutuki kita." "Benar! Benari Y a, kenapa kau sampai hati membunuh
gurumu sendiri?" tanya Mayor De Pool.
Genggong Basuki nampak mendongkol memperoleh
pertanyaan demikian. Sebelum menjawab, ia mengerlingkan matanya kepada Musafigilloh. Katanya
dengan suara terpaksa : "Hal itu karena demi membalas budi saudara
Musafig illoh yang sangat besar. Aku sangat kagum dan
rela mengabdi padanya."
Musafig illoh tertawa menang. Ujarnya :
"Kakang Genggong Basuki! Semua yang hadir disini
adalah teman-tanan sendiri, kakang tak perlu bersegansegan. Katakanlah dengan t
erusterang saja. Kakang bisa
berbicara dengan bebas. Baiklah, kalau kakang masih
saja merasa segan, biarlah aku yang mewakili dirimu," ia
berhenti mint a idzin. Kemudian berkata nyaring kepada
Mayor De Pool. "Puteri seorang pendekar wanita bernama Sri
Ngrumbini adalah seorang gadis yang cantik luar biasa.
Gadis itu bernama Suskandari. Dengan saudara
Genggong Basuki, usianya terpaut tujuh belas tahun.
Antara gurunya dan pendekar Sri Ngrumbini sudah
terjadi kata sepakat, bahwasanya Mereka berdua kelak
akan hidup sebagai suami-isteri. Di luar dugaan, gadis itu
jatuh hati kepada seorang pendekar muda bernama
Lingga W isnu. Eh, bukan begitu. Dia dirampas pendekar
muda itu." "Dimana" Mayor De Pool menegas.
"Menurut kabar, mereka berdua pernah berkenalan
tatkala masih kanak-kanak. Kemudian mereka berjumpa
kembali di rumah keluarga Dandang Mataun. Salah
seorang anggauta keluarga Mataun hadir disini. Dia
bersedia menjadi saksi," kata Musaf igil oh lancar.
Kemudian menoleh mencari tempat Gocak Abang. "Ha,
itulah dia. Teman seperjuangan kita yang baru, saudara
Cocak Abang." Cocak Abang yang berdiri di samping Manusama,
menganggut. Dan melihat anggukan Cocak Abang, Mayor
De Pool nampak puas.. Ia mengalihkan pandangnya lagi
kepada Musafigilloh yang belum selesai berbicara. Kata
pemuda itu : "Oleh rasa marah, kakang Genggong Basuki mint a
bantuanku. Aku bersumpah hendak membantunya. Dan
rupanya alam membant u maksud kita yang baik. Secara
kebetulan, dia bisa kita tangkap bersama si dogol ..."
Mendongkol Lingga W isnu mendengar kata-kata
Musafig illoh. Jelas sekali, bahw a keterangan pemuda itu
banyak sekali bohongnya. Akan tetapi hadirin seperti
kena sihirnya. tereka menelan saja semua ucapannya.
Mayor De Pool tertawa terbahak-bahak. Serunya :
"Aku tidak bisa menyalahkan atau mencela kelemahan
saudara Genggong Basuki. Semenjak dahulu kala, orang
bersedia mati demi calon isterinya yang cantik jelita. Bila
mereka berdua kelak terangkat jodohnya, hm ...
siapapun akan merasa beriri hati."
Berbagai bayangan berkelebat didalam benak Lingga
W isnu. Ia jadi teringat tatkala tadi berhadapan-hadapan
dengan Genggong Basuki. Kemenakannya itu seperti
mengenal dirinya. W alaupun terbintik rasa hormatnya,
akan tetapi dia membandal karena dengki. Kenapa" Dia
pulalah yang terus mengacau. Akh, sama sekali tak
terduga, bahwa hal itu terjadi karena ada latar
belakangnya. Itulah mengenai Suskandari.
"Hm, benar-benar gila! Benar-benar edan, kalau dia
bersedia berhianat dan membunuh gurunya, karena
tergila-g ila paras cant ik. Atau sebenarnya penghianatan
itu terjadi set elah membunuh gurunya" Hai, kenapa dia
sampai begitu tersesat"' pikir Lingga W isnu seorang diri.
Dalam pada itu, Musafigilloh masih melanjutkan
perkataannya : "Suskandari kami tangkap dengan si dogol. Kabarnya
dia murid paman guru kakang Genggong-Basuki yang
bernama Botol Pinilis. Orang itu bersahabat erat dengan
Panglima Sengkan Turunan. Pastilah si dogol itu
mendapat keterangan tentang laskar Panglima Sengkan
Turunan. Bahkan menurut saudara Cocak Abang, dia
pulalah yang pembawa uang bekal laskar berandal."
Mayor De Pool seperti diingatkan. Segera memberi
perint ah : "Coba bawa masuk tawanan itu!"
Jantung Lingga W isnu berdegupan. Ia memut uskan
hendak menolong pemuda itu, bila dia terancam bahaya.
Segera ia merangkak mendekati ruang pertemuan itu.
Hampir berbareng dengan gerakannya, empat orang
menggusur seorang t ahanan dari dalam kamar sebelah.
Dialah Harimawan. Tangannya terbelenggu. Meskipun
demikian, nampak gagah dan tak mengenal takut.
Tatkala lewat di depan Musafigil oh, ia merbuka mulut nya
dan menyemburkan ludahnya. Musafigil oh mengelak.
Tangannya melayang menampar pipi. P lok!! Tak dapat
Harimawan menghindari. Seketika itu juga, pipinya
bengkak membiru. "Binatang! Kau berlut utlah dihadapan Mayor De Pool!"
bentak serdadu yang mengiringkan.
Harimawan memang seorang pemuda yang bandel
dan berani. Sama sekali ia tak mau berlutut atau
mengangga. Bahkan dengan tiba-tiba ia menyemburkan
ludahnya. Karena jaraknya sangat dekat Mayor De Pool
tak dapat mengelakkan dan gundulnya kena dihinggapi
sebuah gumpalan ludah Harimawan yang kental beriak.
Musafig illoh mendongkol bukan main. Sekali melompat, ia mengayunkan kakinya. Dan pemuda itu
roboh terjungkal diatas lantai.
''BangsatI Apakah kau benar-benar sudah bosan
hidup?" makinya. Harimawan meletik bangun. Garang ia membalas
membentak : "Hmm, kau kira aku takut mati" Kau boleh membunuh
aku sekarang juga. Tapi jangan harap kau bisa mengorek
mulut ku!" Musafig illoh bisa menahan diri. melihat Mayor De Pool
menyusuti ludah Harimawan, perlu ia menaikkan derajat
perwira itu dihadapan hadirin. Katanya nyaring :
"Mayor! Pemuda ini memang luar biasa. Kepandaiannya melebihi keempat murid Ki Sambang
Dalan. Karena itu, tak boleh kita menganggap enteng
padanya ..." "Betulkah itu?" Mayor de Pool menyahut cepat.
W ajahnya yang suram agak menjadi jernih. "Bagaimana
dengan gurunya sendiri" Masakan dia lebih unggul?"
Musafig illoh mendeham. Menjawab:
"Murid Ki Sambang Dalan lima orang. Bot ol pinilis,
Purbaya, Sugiri-Sukesi dan Lingga W isnu. Mereka
berlima, kecuali Lingga W isnu, kalah dalam hal apa saja.
Maka betapa penting arti dia, tak usah kita jelaskan lagi"
Cocak Abang dan Manusama tercengang mendengar
keterangan Musafigilloh tentang kepandaian Harimawan.
Sebab kedua-duanya pernah menyaksikan kepandaian
murid Botol Pinilis itu. Tapi tak lama kemudian tahulah
mereka, apa sebab Musafigilloh mengangkat-angkat
kepandaian Harimawan. Maksudnya untuk menolong
muka Mayor De Pool yang kena semprot ludah.
"Hoo, jadi dia murid Botol Pinilis" Siapa namanya?"
Mayor De Pool mint a keterangan.
"Harimawan," jawab Musafigilloh.
"Jadi, dia kemenakan berandal Lingga W isnu itu"
Bagusi Benar-benar besar jasamu!" Mayor De Pool
menghadiahkan pujian dengan tertawa lebar.
"Petang tadi. Lingga W isnu meruntuhkan nama para
pendekar beruntun-runtun. Mereka lantas menyatakan
bersedia berada dibawah perint ahnya. Maka dapatlah dia
kita buat semacam barang tanggungan, agar Lingga
W isnu menjadi jinak."
Tercengang Lingga W isnu mendengar percakapan itu.
Mereka bisa menyebut dan membawa bawa namanya
begitu lancar. Agaknya mereka sudah agak lama
mengenal namanya. Mungkin sekali, namanya sudah
dibuat penbicaraan mereka.
"Binatang," maki Harimawan. "Kau jangan bermimpi
yang bukan-bukan. Pamanku itu hanya tunduk kepada
eyang guru. dia seorang yang gagah perkasa. Biarpun
kamu semua maju berbareng, belum pantas menandingi
sepatunya saja .. " Cocak Abang yang pernah merasakan ketangguhan
Lingga W isnu, merah padam wajahnya. Tetapi
Musafig illoh yang pandai berpikir, tertawa terbahakbahak. Katanya :
"Harimawan! Kau memuji paman-gurumu terlalu
tinggi. Karena itu, ingin sekali kami bertemu dan
berkenalan. Kebetulan sekali, kau sekarang berada disin i.
Biarlah malam in i, kau kusekap disin i. Aku tanggung,
paman gurumu itu akan datang kemari menolongmu.
Dan pada saat itu, kami semua muncul. Aku ingin tahu,
dia dapat berbuat apa!"
Harimawan marah bukan kepalang. Itulah suatu
perbuatan licik dan terkutuk. Serunya :
"Kau seperti kura-kura yang hanya berani memperlihatkan punggungnya, tetapi memnyembunyikan
kepalanya. Kalau kau menganggap diri seorang
pendekar, tantanglah pamanku itu secara berhadaphadapan."
Musafig illoh tidak bersakit hati kena damprat
demikian. Ia bahkan tertawa kian nyaring. Katanya lagi :
"Akh, ternyata kau cint a benar kepada paman gurumu
itu. Agaknya harganya melebihi uang perbekalan yang
kau bawa. Bukankah engkau yang membawa uang
perbekalan itu?" Harimawan terkesiap. Ia merasa terjebak. Namun ia
tak merasa gentar. Setelah berdiam diri sejenak, ia
menjawab "Benar. Memang aku yang membawa uang perbekalan. Duaribu keping uang emas."
"Ha, bagus! Sekarang, dimana uang itu?"
"Apakah kalian benar-benar menginginkan uang itu?"
Harimawan menegas, Ia sekarang hendak menggunakan
kecerdikannya. Pikirnya di dalam hati ;
'Pastilah dia menginginkan uang itu. Aku harus
berpura-pura akan menunjukkan di mana uang
perbekalan itu berada. Sebelumnya aku mint a agar
membebaskan belengguku. Setelah bebas, bukankah aku
dapat melawannya" Meskipun mati, barangkali masih
dapat aku membunuh dua atau tiga orang ...'
Oleh pikiran itu, hati Harimawan menjadi tenang.
Tetapi Musafigilloh bukanlah tandingannya dalam hal
mengadu kepandaian maupun kecerdikan. Ia seperti
dapat membaca isi hati Harimwan. Sahutnya :
"Memang benar, kami membutuhkan uang itu.
Jumlahnya cukup lumayan untuk beaya menguburmu
secara baik-baik. Bukankah uang perbekalan itu telah
kau telan?" Harimawan tertegun. Didalam hati ia mengutuk
kalang-kabut . Dasar wataknya keras hati ia lantas
mengikuti jebakan Musafigilloh. Katanya:
"Benar. Uang perbekalan itu memangnya sudah
kutelan. Lihatlah, perutku menjadi buncit!"
"Oh, begitu?" Musafigilloh tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, biarlah kuperiksa isi perutmu. Dengan
begitu, aku dapat membuktikan kepada hadirin, bahw a
ucapanmu tidak dusta,''

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Musafig illoh tidak hanya menggertak. Benar benar ia
hendak membuktikan ucapannya. Ia menghunus pedangnya dan diancamkan ke perut Harimawan.
Membentak : "Coba, katakan sekali lagi, bahw a uang perbekalan itu
berada di dalam perutmu!"
"Kau tak percaya" Buktikanlah sendiri." Bukankah
sudah aku katakan, bahwa engkau boleh membunuhku
dimana saja atau kapan saja. Tapi jangan harap dapat
mengorek mulutku." Setelah berkata demikian, Harimawan menyemburkan
ludahnya. Tetapi Musafigilloh bukan Mayor De Pool.
Sekali menggerakkan kepalanya, ia bisa mengelakkan
semburan ludah. Kali ini hatinya panas. Terus saja ia
bergerak hendak menikam perut Harimawan. Sekonyongkonyong melesatlah sesosok
bayangan kedalam ruang pertemuan itu sambil membentak.
"Inilah Lingga W isnu!"
---o0odwo0o--Musafig illoh memutar tubuhnya. Tangan kirinya
menyambar kearah leher. Tapi dengan gerakan yang
sangat indah, bayangan itu dapat mengelak. Ternyata
bayangan itu seorang pemuda sangat tampan, dengan
mengenakan ikat kepala persegi empat dan pakaian
singsat. Lingga W isnu tersirap darahnya. Segera ia mengenali,
siapa pemuda itu. Dialah Sekar Prabasin i yang menyamar
sebagai seorang pemuda. "Hai, begitu cepat dia datang,' pikirnya.
Oleh perasaan girang dan syukur, ia sampai berseru
tertahan. Untunglah pada saat itu ruang pertemuan jadi
sibuk, semua hadirin lagi bersiaga bertempur.
Mereka yang hadir pada pertemuan itu, belum
mengenal Sekar Prabasini. Kecuali Genggong Basuki dan
Cocak Abang. Mereka berdua mempunyai dendamnya
masing-masing. Genggong Basuki mendongkol, karena
Sekar Prabasini adalah teman Lingga W isnu yang ikut
menertawakan kekalahannya. Dan Cocak Abang berdendam hati, karena gadis itu anak musuh besarnya.
Karena gara-garanya, keluarga Dandang Mataun sampai
mengalami kekalahan. Cocak Ijo sampai mati pula.
Karena itu, mereka berdua segera bergerak hendak
maju. T atkala itu terdengar Musafigilloh membentak :
"Sebenarnya siapa engkau" Pastilah engkau bukannya
Lingga W isnu!" "Aku Lingga W isnu. Murid kelima Kyahi Sambang
Dalan," jawab Sekar Prabasini. "Mengapa engkau
menangkap kemenakan muridku" Bebaskanlah dia!
Dalam segala halnya, akulah yang bertanggung jawab!"
Pada saat itu sekonyong-konyong terdengar suara
tertawa melalui hidung. Dialah Cocak Abang dan kata
pendekar berangasan itu :
"Anak jadah! Kau bisa mengelabuhi orang. Tetapi
mataku belum lamur. Mungkin sekali hadirin belum
pernah melihat dan mengenal Lingga W isnu, tapi kau
tahu sendiri bukan" Aku telah mengenal iblis itu dengan
baik," ia kemidian berpaling kepada Mayor De Pool.
Berkata seperti mengadu :
"Mayor, sebenarnya dia seorang perempuan. Dialah
keponakanku. Namanya Sekar Prabasini. Tatkala meninggalkan rumah, ia berangkat bersama-sama
dengan Lingga W isnu dan Botol Pinilis. Karena itu, kita
harus bersiap-siaga."
Mendengar laporan Cocak Abang, Mayor De Pool
segera berteriak nyaring :
"Letnan Manusama. Bawa beberapa orang berjagajaga di luar tangsi. Hajar set iap
musuh yang hendak mencoba masuk." Letnan Manusama memberi hormat. Dalam sekejab
mata terdengarlah teriakan-teriakan anak buahnya yang
bersiap-siap menyambut kedatangan musuh. Menyaksikan hal itu, wajah Sekar Prabasin i berubah.
Segera ia bertepuk tangan memberi tanda sandi. Dan
melompatlah dua orang pendekar melewati pagar
tembok. Merekalah Songgeng Mint araga dan Aria Puguh.
"T angkap mereka!" perint ah Musafigil oh.
Empat orang serdadu segera menerjang. Akan tetapi
mereka bukan tandingan Songgeng Mint araga berdua.
Dalam tiga jurus saja, mereka semua sudah terluka.
Letnan Manusama cepat-cepat membantu dengan
pedang ditangan. Tetapi Aria Puguh yang berada
disamping Songgeng Mint araga melepaskan pukulan
yang termasyur. Itulah pukulan Sapu Jagad yang dahulu
pernah diajarkan kepada Lingga W isnu.
Seketika itu juga Letnan Manusama terpental mundur
tujuh langkah. Cocak Abang tentu saja tak tinggal diam. Begitu
melihat Letnan Menusama terpental mundur dalam satu
gebrakan saja, segera ia melesat ke gelanggang dan
menghantam Songgeng Mint araga dengan pukulan yang
menerbitkan deru angin dahsyat. Lingga W isnu segera
mengenal pukulannya. Itulah salah satu jurus Sapt a
Prahara, ilmu sakti kebanggaan keluarga Dandang
Mataun dengan sekaligus. Kemampuan masing-masing
tidak begitu nampak. Sekarang, ia kagum terhadap
pukulan Cocak Abang. Benar-benar dia seorang pendekar
yang tangguh dan berbahaya. Pantaslah, kakakseperguruannya, Botol Pinilis,
selalu mencemaskan dirinya t atkala memasuki gelanggang.
Songgeng Mint araga tak berani ayal lagi. Cepat-cepat
ia mengerahkan ilmu saktinya yang bernama Rajah
Pideksa. Ilmu sakti Rajah Pideksa adalah ilmu pukulan
yang mengandung racun. Masih teringat segar didalam
benak Lingga W isnu, betapa Aruji dahulu menderita
hebat tatkala kena pukulan ilmu itu. Untunglah, dia
tertolong oleh Palupi, sehingga jiwanya dapat diselamatkan.. Maka begitu kedua sakti berbenturan,
baik Cocak Abang maupun Songgeng Mint araga
terhuyung satu langkah. Ilmu sakti Sapt a Prahara, mengandung tenaga keras
dan murni, sedang ilmu Rajah P ideksa lembek dan
dingin. Kedua pendekar itu masing-masing sudah
melampaui masa latihan sepuluh tahunan. Himpunan
tenaga sakti mereka sudah mencapai tataran tinggi.
Dalam bentroknya tangan yang pertama tadi, himpunan
tenag sakti mereka kira-kira sebanding.
Cocak Abang terkejut. Suatu hawa yang sangat dingin
menembus urat pergelangan tangan dan menusuk
sampai ke ketiak. Sebaliknya Songgeng Mintaraga kena
terserang hawa panas, sehingga darahnya bergolak
dalam rongga dadanya. Ia terperanjat dan menentang
lawannya dengan pandang tajam. Sekilas pandang, ia
melihat betapa pucat wajah Cocak Abang. Gundu
matanyapun menjadi merah. Itulah suatu tanda bahwa
racun dingin Rajah Pideksa menyerang urat-urat nadi
lawannya, sehingga Cocak Abang harus mengerahkan
sebagian besar tenaganya untuk membendungnya.
Menyaksikan hal itu, diam-diam ia bergirang hati.
Katanya didalam hati: 'Syukurlah, himpunan tenaga saktinya masih kalah
set ingkat denganku. W alaupun demikian, dialah lawanku
yang terberat selama ini.'
Segera ia mengambil keputusan untuk mendahului
menyerang. Ia maju selangkah dan menghantam lagi
dengan Rajah Pideksa. Tenaga sambarannya bergelombang memenuhi empat penjuru. Dengan
demikian, tak dapat Cocak Abang mengelak. Mau tak
mau ia harus membendung gelombang racun Rajah
Pideksa dengan pukulan Sapta Prahara.
Memang tenaga kedua pendekar itu, benar-benar
sebanding. Hanya saja sif at ilmu sakti yang dimiliki
masing-masing agak berbeda. Ilmu sakti Sapt a Prahara
adalah warisan leluhur Cocak Abang. Dandang Mataun
dahulu memperolehnya, dari hasil masa bertapanya.
Karena itu sifatnya murni bersih. Sebaliknya, Rajah
Pideksa adalah ilmu sakti yang mengandung racun.
Dengan demikian, meskipun himpunan tenaga sakti
mereka sama kuat, namun kedudukan Cocak Abang agak
merugikan. Sebab, sebagian t enaganya harus digunakan
untuk membendung dan menugusir hawa beracun. Untuk
dapat mengimbangi tenaga lawan, ia harus mengerahkan
tenaga jauh lebih besar. Itulah sebabnya, setelah
mengadu himpunan tenaga sakti tiga kali, Cocak Abang
lantas saja terpukul mun dur.
Disudut lain, Aria Puguh menghadapi keroyokan
Letnan Manusama dan Sersan Rabun. Letnan Manusama
berperawakan tinggi tegap. Dan Sersan Rabun berperawakan pendek bulat. Kedua duanya bersenjata
pedang. Karena itu, Aria Puguh terpaksa pula melawan
mereka dengan pedangnya. W alaupun dikerubut dua
orang, dia nampak t angguh dan dapat berkelahi dengan
hati mantap. Dengan rasa cemas, Musaf igilloh mengikuti pertempuran Cocak Abang dengan Songgeng Mint araga.
Sebagai salah seorang keluarga Dandang Mataun, Cocak
Abang memiliki tenaga pukulan yang dahsyat luar biasaPendekar itu sudah t
erkenal namanya semenjak puluhan
tahun yang lalu. Kenapa kali in i ia tak dapat bertahan
menghadapi adu tenaga dengan lawannya" Napasnya
sudah mulai tersengal-sengal. Keadaanya sudah payah
sekali, sesudah mengadu tenaga yang ke sembilan
kalinya. Musafigilloh kenal watak dan perangai keluarga
Dandang Mataun. Biasanya tak sudi memperoleh
bantuan. Tetapi dia sedang menghadapi kekalahan.
Masakan akan dib iarkan saja"
Memperoleh pikiran demikian, segera ia mencabut
pedangnya dan menyerang Songgeng Mint araga. Hebat
jurus serangannya. Begitu pedangnya berkelebat,
Songgeng Mintaraga terpaksa meompat mundur. Dan
Cocak Abang dapat bernapas lega, kini. Mereka berdua
lantas mendesak Songgeng Mint araga dengan hebatnya.
Setelah Songgeng Mint araga dan Aria Puguh turun
kegelanggang, sebenarnya Sekar Prabasin i ingin segera
melarikan diri. Tetapi ia kena dicegat Genggong Basuki
yang menyerang dengan pedangnya. Dalam mengadu
ilmu pedang. Sekar Prabasini bukan lawan Genggong
Basuki. Dalam keadaan terdesak, gadis itu melepaskan
pukulan-pukulan aneh yang diperolehnya dari kitab
warisan ayahnya. Ia mempelajari pukulan-pukulan itu
apabila sedang beristirahat. Manakala kurang je las, ia
memperoleh keterangan dari Lingga W isnu. W alaupun
belum pernah berlatih dengan sungguh sungguh, namun
pukulan-pukulan itu adalah warisan ayahnya yang
memang aneh Sifatnya dan dahsyat luar biasa. Bagaikan
kilat ia melepaskan tiga pukulan berantai. Itulah pukulan
pukulan yang dicangkok ayahnya dari sari-sari ilmu
pedang Ugrasawa, Parwati dan Aristri.. Sedangkan
tikaman yang keempat adalah sari-sari ilmu pedang
Sekar Ginabung. Genggong Basuki terperanjat bukan kepalang. Oleh
kagetnya, hampir-hampir saja ia tak dapat menangkis.
Untung, ia memiliki gerakan yang cepat luar biasa.
Dengan menjejakkan kakinya, ia melompat mundur.
Kemudian melesat maju dari samping sambil menyambarkan pedangnya. Mayor De Pool, yang selama itu memperhatikan
jalannya pertempuran, ikut menarik pedangnya pula.
Melihat Genggong Basuki kena terdesak mundur, ia
segera melorpat membantu. Dengan demikian, Sekar
Prabasin i kena dikerubut dua orang.
Ilmu pedang Genggong Basuki sudah mencapai
tataran kesempurnaan. Dalam pertempuran panjang
Sekar Prabasini

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan tandingnya. Apalagi dia memperoleh bantuan Mayor De Pool. W alaupun Sekar
Prabasin i mengenal bermacam-macam sari ilmu sakti,
perlahan-lahan ia jad i t erdesak mundur.
Semuanya itu tak terlepas dari pengamatan Lingga
W isnu. Segera ia hendak muncul dan menolong Sekar
Prabasin i. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara Ki
Ageng Gumbrek yang muncul diatas pagar tombok.
Sambil menggeragoti paha ayam, orang tua itu berteriak
nyaring : "Hei, anakku perempuan! Kau mundurlah saja. Inilah
pertempuran antara laki-laki laki-laki. Engkau sendiri
nant i saja bertempur dengan Lingga W isnu ."
Orang tua itu lantas tertawa terkekeh-kekeh. Dan
wajah Sekar Prabasin i terasa panas. Menuruti hatinya
ingin ia mendamprat. Tetapi betapa ia memperoleh
kesempatan" W aktu itu Genggong Basuki dan Mayor De
Pool menyerang ia secara berbareng. Maka jawabnya :
"Baik kek. Manusia in i mengaku sebagai anak murid
Sekar Teratai. Tetapi nyatanya, ia menjadi budak
Belanda. Karena itu, meskipun aku seorang perempuan
ingin menghajarnya. Kau tolonglah menghajarnya."
"Apanya yang harus kuhajar" Gundu matanya atau
gundu anunya" Bilanglah'!" sahut Ki Ageng Gumbrek
dengan tertawa semakin riuh.
Kali ini Sekar Prabasin i benar-benar merah wajahnya.
Sebagai seorang gadis, tak dapat ia membayangkan
gundu yang lain, kecuali gundu mata. Namun secara
naluriah, tahulah dia gundu apa yang dimaksud oleh si
tua itu. Maka cepat ia mengalihkan pembicaraan :
"Harimawan ternyata anak murid Sekar Teratai yang
set ia. Tolonglah dia! Jangan lupakan dia!"
"Baik ... baik!" sahut Ki Ageng Gumbrek sambil
terbatuk-batuk. "Anak yang baik, pasti mempunyai gundu
yang baik pula." Sudah barang tentu, pembicaraan mereka berdua
tidak terlepas dari pendengaran Mayor De Pool. Segera
perwira in i berteriak-teriak pada anak buahnya untuk
mencegat gerakan maju Ki Ageng Gumbrek yang masih
bercokol diatas pagar dinding. Tapi Ki Ageng Gumbrek
bukan manusia lumrah. Kepandaiannya set araf dengan
Kyahi Sambang Dalan. Selagi anak-buah Mayor De Pool
bersiaga dibawah pagar d inding, tiba-tiba ia menimpukkan tulang paha ayamnya. Hebat akibatnya.
Meskipun hanya tulang paha ayam, akan tetapi disertai
tenaga dahsyat. Dan dengan suara mengaung, tulang
paha ayam itu menyambar kearah Mayor De- Pool.
"Hai, buduk! Kau harus mampus dahulu!" teriak Ki
Ageng Gumbrek. Mayor De Pool seperti terpaku tatkala melihat tulang
paha ayam mengarah padanya. Tapi karena belum
takdirnya mati, seseorang mengulurkan tangan untuk
menolongnya. Itulah Musafigilloh.
Pendekar muda ini, memang seorang yang memiliki
perasaan tajam dan kecerdikan yang mengagumkan.
Begitu mendengar pembicaraan Sekar Prabasini dan Ki
Ageng Gumbrek, ia sudah dapat menduga. Meskipun
yang dibicarakan adalah Genggong Basuki, namun
tahulah dia bahwa sasaran Ki Ageng Gumbrek justru
kepada Mayor De Pool. Pada detik yang sangat
berbahaya, ia mendorong Mayor De Pool. Kena tenaga
dorongan, perwira itu terpental mundur ke belakang
sebatang pilar besi penjangga atap rumah Dan tepat
pada saat itu, tulang paha ayam Ki Ageng Gumbrek
menghantam pilar itu. Pilar itu patah menjadi tiga
bagian. Genting atap lantas saja runt uh berhamburan.
Dan bagaikan kejapan kilat, Ki Ageng Gumbrek tahu-tahu
sudah berada di depan Musafigilloh. Betapa cepatnya ia
mampu bergerak, sukar dilukiskan lagi.
Keadaan menjadi kalut . Mereka yang berada di dalam
ruang pertemuan itu melompat mundur menghindari.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik baiknya oleh Sekar
Prabasin i. Gadis itu lantas meninggalkan Genggong
Basuki. Sekar Prabasini sudah hampir mencapai pintu
gerbang, tatkala tiba-tiba kakinya kena disambar tiga
batang pedang. Hati Sekar Prabasini seolah-olah t erbang,
dan seluruh tubuhnya menjadi dingin. Ia tergencet dari
belakang dan dari depan. Dengan mati-matian, ia
berhasil mengelakkan dua pedang yang menyambar dari
depan. Tetapi yang dari belakang tepat sekali
menghantam kakinya. Untunglah, pedang yang menghantam kakinya itu, bukan bagian yang tajam.
Itulah gerakan pedang yang membalik setelah luput dari
sasaran. W alaupun demikian karena yang menghantam
memiliki himpunan tenaga yang kuat luar biasa, ia rcboh
di atas t anah. Orang yang merobohkan Sekar Prabasin i adalah
Genggong Basuki. Dalam keadaan kalut ., tak sudi ia
melepaskan mangsanya. Melihat Sekar Prabasini hendak
kabur, ia melompat mengejar.
Tatkala itu Letnan Manusama dan Sersan Rabun
menghadang. Itulah kesempatan yang bagus sekali. Begitu Sekar Prabasin i sibuk menangkis
kedua pedang lawannya, ia menikam dari belakang dan sasarannya ternyata dapat dihindari. Namun dengan kecepatan kilat, ia
menarik pedangnya dan kembali bagian tumpulnya m menghantam kaki Sekar Prabasin i. Setelah itu maju selangkah dan membalikkan
pedangnya. Karena berniat hendak menangkap gadis itu
hidup-hidup, ia menghantamkan hulu pedangnya.
Pada saat itu sekonyong-konyong pedang Letnan
Manusama berkelebat menangkis gagang pedang
Genggong Basuki. Dan berbareng dengan peristiwa itu,
nampaklah sesosok bayangan melesat keluar dari dinding
pagar dengan kecepatan yang sulit dilukiskan.
Genggong Basuki berpaling kepada Letnan Manusama.
Dan membentak dengan suara mendongkol sekali :
"Mengapa engkau membiarkan dia kabur dan
menangkis pedangku?"
"Menangkis?" Letnan Manusama melotot.
"Bukankah engkau yang memukul balik gagang
pedangku" Kenapa ....?"
"Jangan bergurau! Ayo kejar!"
---oo0dw0ooMereka segera memburu keluar. Di samp ing pintu
gerbang, mereka bertemu dengan seorang Kopral yang
patah kakinya sehingga tak dapat berdiri lagi. Segera
mereka menghampiri dan menanyalah Letnan Manusama: "Mana dia?" "Siapa?" Kopral itu terbelalak.
"Perempuan tadi ... Yang lari melintasi pagar t embok."
"Perempuan yang mana" Kami tak melihat seorang
manusiapun." Kopral itu heran.
Letnan Manusama gusar bukan main. Bentaknya :
"Apa kau buta" Kalau kau tidak bertemu dengan
manusia, kenapa kakimu patah" Setan kau! Jelas sekali,
perempuan itu melint asi pagar tembok. Kenapa matamu
tak melihat?" Seorang serdadu datang menghampiri kopral itu,
sambil membangunkan rekannya :
"Letnan! Yang melompat melint asi pagar tembok
adalah kopral ini. Aku ikut jadi saksinya, bahw a tiada
seorangpun yang lari keluar tangsi."
Mau tak mau Letnan Manusama menggaruk garuk
kepalanya. Menegas agak sabar :
"Kenapa engkau yang melompat pagar tembok?"
Dengan tergegap-gegap dan menahan rasa sakit,
Kopral itu menjawab : "Aku ... aku ... kena ditangkap dan .. dan dilemparkan
keluar." "Siapa yang melemparkan"
"Entah. Tadi Letnan membicarakan seorang perempuan. Kalau dialah yang lari keluar, maka dia
pulalah yang melemparkan diriku, sehingga kakiku
patah." Tak dapat Letnan Manusama mengumbar rasa
marahnya. Dia menghadapi suatu kenyataan. Kopral itu
patah sebelah kakinya. Pastilah bukan akibat dipatahkan
dengan tangannya sendiri. Teringat akan tegoran
Genggong Basuki, ia menoleh kepada pendekar itu dan
bertanya mint a keterangan :
"Mengapa engkau tadi memukul pedangku" Apa
maksudmu" Apakah engkau sudah hendak beringkarlagi" Bukankah engkau sudah
berjanji di hadapan kami akan set ia dan taat pada perint ah" Jangan engkau
mencoba mempermainkan kami I"
Genggong Basuki meluap darahnya. Namun karena
merasa diri berada dibawah perint ah, ia menahan
darahnya yang bergolak. Jawabnya ;
"Sebenarnya bukan aku yang memukul pedangmu.
Tapi justru engkaulah yang menangkis pedangku
sew aktu aku hendak memukul kepala perempuan itu."
"Omong kosong!" bentak Letnan Manusama. "Apa
perlu aku memukul gagang pedangmu" Hei, janganlah
engkau memandang rendah padaku. Kau tahu, aku
seorang Letnan. Mencapai tingkatan perwira tidaklah
mudah. Pangkat ini tidak hanya kuterima semacam
hadiah dari kakek. Tetapi aku tebus dengan darah dan
kesetiaanku. Kau berkata, aku memukul gagang
pedangmu, seolah olah sengaja memberi kesempatan
kepada perempuan itu untuk melarikan diri. Apakah
engkau menuduhku seorang penghianat?" ia berhenti
mengesankan dan sambil memelototkan matanya.
Berkata lagi : "Sekarang, aku bertanya kepadamu, apa sebab
engkau tidak menggunakan ujung pedangmu" Kenapa
engkau hanya memukul dengan gagang pedang" Hm..
jangan Kau mencoba mengelabui mataku. Ingat aku
seorang Letnan. Seorang perwira Kompeni Belanda!"
Diberondong dengan pernyataan dan tuduhan demikian, betapapun juga tersinggung kehormatan
Genggong Basuki. Dia adalah seorang pendekar yang
angkuh. Sebagai murid pendekar Purbaya yang tertua, ia
memiliki kepandaian yang tertinggi diantara saudarasaudara seperguruannya.
Apalagi, ia mewarisi pula ilmu
pedang Sugiri-Sukesih. Karena itu, ia dihormati oleh
saudara-saudara seperguruannya. Bahkan paman gurunya sendiri, Sugiri dan Sukesi, menghargainya pula.
Sekarang ia kena hina oleh seorang Letnan. Tuduhan
seolah-olah ia membant u Sekar Prabasini meloloskan diri,
merbuat darahnya bergolak hebat. Dengan merah padam
ia menjawab : "Jangan engkau menuduhku dengan sembarangan
saja. W alaupun engkau seorang Letnan tak layak
berbicara demikian dihadapanku. Jelek-jelek aku mempunyai kedudukan pula, yang setaraf dengan
kedudukanmu. Jelas sekali, engkaulah yang memukul
gagang pedangku. Kenapa engkau justru berbalik
menuduhku" Coba, dapatkah engkau membuktikan
bahw a akulah yang memukul pedangmu?"
Semenjak tadi Letnan Manusama berkesan kurang
baik terhadap Genggong Basuki. Kalau saja Musafig illoh
tadi tidak mencegahnya, ujung pedangnya sudah
menikam perut pendekar itu. Maka ia membentak pula :
"Binatang! Kau benar-benar menghina seorang
perwira. Kau bilang , kedudukanmu setaraf dengan
kedudukanku. Apa kedudukanmu dalam aliran rumah
perguruan" Apakah rumah perguruan Sekar Teratai
set araf kedudukannya dengan kedudukan Kompeni
Belanda yang menguasai hampir seluruh wilayah
Nusantara" Binatang! Enak saja kau mengumbar mulut."


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah memaki demikian ia membabatkan pedangnya
dengan sungguh-sungguh. Genggong Basuki pun segera
menangkis tanpa segan-segan lagi. Begitu kedua pedang
itu berbenturan, mereka berdua mundur setengah
langkah. Genggong Basuki terkejut. Tangannya tergetar
dan panas. Sama sekali tak diduganya, bahwa orang
Maluku itu mempunyai himpunan tenaga yang kuat.
Bahkan lebih unggul dari tenaganya sendiri. Sebaliknya
letnan Manusama tak kurang-kurang pula rasa terkejutnya. Lengannya mendadak t erasa pegal. Pikirnya
didalam hati : 'Pantaslah Musaf igilloh mengharapkan tenaga bantuannya. Dia memiliki tenaga yang luar biasa
dahsyatnya, setelah berpikir demikian, ia membentak
kalap "Benar berani engkau melawanku" Sebenarnya
engkau hendak membantu kami atau seorang matamata?"
Letnan Manusama hendak mengulangi serangannya.
Tiba-tiba sesosok bayangan menangkis pedangnya,
letnan Manusama menoleh. Dan melihat Musafig illoh
berada didepannya sambil berkata:
"Manusama! Sabar dahulu!"
"Ha, Musafigilloh! Coba adililah peristiwa ini!" teriak
Letnan Manusama. Musafig illoh mengalihkan pembicaraan. Bertanya :
"Kemana larinya perempuan tadi?"
"Ha, justru itulah soalnya." Sahut Letnan Manusama.
"Dialah yang melepaskan."
"Aku!" bentak Genggong Basuki. "Apa keuntunganku
melepaskan dia?" Selagi mereka bertengkar. Ki Ageng Gumbrek,
Songgeng Mintaraga dan Aria Puguh sudah tiada nampak
batang hidungnya lagi. Melihat Sekar Prabasini terbebas
dari kepungan serdadu, mereka menyerang kesanakemari dengan sepenuh tenaga
Setelah itu dengan berbareng mereka keluar pagar tembok. Dan sebentar
saja t ubuh mereka lenyap dari penglihatan.
)o0oo-d-w-oo0o( Jilid 10 1. PEREMPUAN PENUNGGU KEDAI
YANG MENOLONG membebaskan Sekar Prabasini dari
ancaman bahaya adalah Lingga W isnu. Semenjak tadi
pemuda ini memperhatikan pertempuran antara Sekar
Prabasin i dan pengeroyoknya dengan rasa cemas.
Menuruti kata hati, ingin ia segera muncul dan melabrak
budak-budak kompeni itu. Akan tetapi suatu perhitungan
lain menusuk benaknya. Teringatlah dia, bahva se lama
tadi Mayor De Pool belum memerint ahkan anak buahnya
menggunakan senjata bidik. Pikirnya didalam hati.
'Apakah mereka menunggu kedatanganku" Mungkin
begitu. Bila aku muncul, barulah mereka bersenapan.
Kalau mereka menggunakan senapan, alangkah bahayanya. W alaupun aku memiliki kepandaian sepuluh
kali lipat lagi, susah lah melawan mereka. Mungkin sekali
aku bisa menyelamatkan diri, akan tetapi untuk
menolong Sekar Prabasini sangatlah sulit ...'
Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia
menahan diri. Dengan hati-hati ia mengikuti pertempuran
itu. Dilihatnya Genggong Basuki membalik pedangnya
untuk memukul kepala Sekar Prabasin i. Hati Lingga
W isnu tersirap. Tak usah dijelaskan lagi, bahw a
Genggong Basuki bermaksud menangkap Sekar Prabasini
hidup-hidup. Untuk apa, bila tidak dipersiagakan sebagai
umpan dirinya" Setelah berhasil menangkap dirinya
bukankah perkara gampang saja menyelesaikan mereka
yang kena tangkap hidup-hidup" Kalau mau diperkosa,
mungkin bisa dihidupi. Kalau tidak, tinggal menarik
pelatuk senapan. Bukankah mudah" Dan teringat akan
kemungkinan-kemungkinan ini, bulu kuduk Lingga W isnu
bergeridik. Dan pada saat itu timbul an tekatnya hendak
menolong Sekar Prabasini.
Prabasin i dan Suskandari benar-benar dalam bahaya,
pikirnya d idalam hati. Mereka terancam kehormatan
dirinya. Aku sendiri hanya t erancam hidupku, bila sampai
tertangkap. Tapi mereka berdua akan dirusak dahulu
kehormatannya sebelum mati. Ih...
Oleh keputusan itu, segera ia melesat turun dan
mendorong pedang Manusama agar memukul gagang
pedang Genggong Basuki. Tata himpunan tenaga sakti
Lingga W isnu pada saat itu sudah mencapai t ataran yang
tinggi luar b iasa, sehingga dapat dengan sesuka hatinya.
Sifatnya halus dan dahsyat. Genggong Basuki dan
Manusama yang berkepandaian tinggi sampai dapat
dikelabuhi tanpa merasa. Setelah pedang mereka
terbentrok, masing-masing saling menuduh dan menyalahkan. Tentu saja Lingga W isnu tak sudi menyia-nyiakan
kesempatan itu.. Sebelum para serdadu sadar akan
bahaya, cepat luar biasa menyambar seorang kopral dan
dilemparkan keluar pagar tembok. Dia sendiri terus
melesat keluar pintu gerbang dengan menggendong
Sekar Prabasini, Sekar Prabasini sebenarnya terkejut, tatkala dirinya
kena sambar suatu tenaga dahsyat. Tatkala melihat siapa
penolongnya, hatinya tenang luar biasa. Perint ahnya:
"Pulang dahulu! Kita perlu berunding!"
Lingga W isnu mengangguk. Dan dengan kecepatan
kilat, ia membawa Sekar Prabasini menghilang kegelapan. Setelah berlari larian sekian lamanya, tibatiba Sekar Prabasini
meniup telinganya sambil berkata:
"Eh! Apakah aku hendak kau gendong terus
menerus?" Lingga W isnu tersadar, dengan muka merah, ia
menurunkan gadis itu ketanah. Lalu bertanya cepat
untuk menghalau rasa malunya:
"Sebenarnya apa lagi. yang harus dirundingkan?"
Sekar Prabasini memang seorang gadis yang nakal.
Sebenarnya wajahnya terasa panas juga, karena kena
gendong. Namun mendengar pemuda itu hendak
membelokkan persoalan, ia justeru tidak menghendaki.
Sahutnya: "Aku senang sekali, bila kau gendong terus-menerus.
Dengan begitu tak sia-sialah aku bila terpaksa
mengorbankan jiwaku."
Terharu hati Lingga W isnu mendengar ucapan Sekar
Prabasin i. Ia t erhenyak sejenak. Kemudian berkata:
"Kau cepat sekali datang. Apakah kau segera
berangkat begitu bertemu dengan guruku?"
Sekar Prabasini mengangguk sambil menggeribiki
pakaiannya. Menjawab: "T anda-tanda arah kepergianmu sangat jelas, sehingga tidak menyukarkan kami Paman Puguh
bergemetaran karena marah, setelah menyaksikan
penghianatan Genggong Basuki dengan mata-kepalanya
sendiri. Sekarang, kita dapat membawa persoalan
pembunuhan itu kepada mereka berdua. Kurasa paman
Gumbrek mempunyai pengaruh besar untuk meyakinkan
kedua kakakmu seperguruan.
"Bagus! Kalau begitu biarlah aku menolong Suskandari
dahulu. Tentang janjiku terhadap ayunda Sukesi bisa
didamaikan, bukan..."
"Eh, kenapa begitu bersemangat" Lagi pula, siapakah
yang menjanjikan perdamaian itu?" damprat Sekar
Prabasin i. "Memang..... Suskandari cantik luar biasa ..."
Lingga W isnu jadi serba salah. Ingin ia memberi
penjelasan betapa bahaya kedudukan Suskandar. Akan
tetapi bukankah Sekar Prabasini sudah mendengar
sendiri dari mulut Musafigiloh" W alaupun masih samarsamar namun dapat ditebak
dengan mudah apakah rencana pihak kompeni terhadap gadis itu.
"Prabadisi! Sudah kukatakan, bahwa gadis itu adalah
temanku bermain-main sew aktu masa kanak-kanak," ia
mencoba mekeyakinan lagi.
"Apakah kau menyesal berhubungan dengan diriku?"
Sekar Prabasini memotong.
"Menyesal" Mengapa menyesal?" Lingga Wisnu heran
Sekar Prabasini tertawa nakal. Sahutnya:
"Syukurlah bila kakang tidak menyesal. Dengan begitu
hatiku senang." "Sebenarnya, apakah maksud pertanyaan itu?"
"Aku hanya ingin memperingatkan kakang saja."
jawab Sekar Prabasin i. "Y ang pertama tentang harta
warisan itu. Bukankah sudah kita ketemukan tandatandanya" Kemudian janji
pertemuan dengan kedua kakakmu seperguruan. Kalau kau sibuk menolong si
cant ik, kukhawatirkan kakang bakal tenggelam didalam
masalahnya." "Masalah apa?" Lingga Wisnu penasaran.
"Masalah si cant ik. Bukankah Suskandari bidadari
cant ik nomor satu didunia" Kalau tidak, kalau tidak,
masakan Genggong Basuki sampai.. sampai..." Sekar
Prabasin i tidak menyelesaikan perkataannya. Ia lantas
lari mendahului. Dan terpaksalah Lingga W isnu
mengiringkan. Meskipun mendongkol, ia tertawa geli
juga didalam hati. Sekar Prabasini ternyata tidak kerumah Songgeng
Mint araga untuk bertemu dengan Ki Ageng Gumbrek
atau tuan rumah. Dia kembali ke penginapan dan terus
saja masuk ke dalam kamarnya. Hal itu membuat Lingga
W isnu gelisah. "Kalau aku menuruti saja kemauannya, bukankah aku
jadi kanak-kanak lagi?" p ikirnya. "Suskandari berada
dalam bahaya. Setiap detik banyak artinya. Kalau aku
lalai sedikit saja, akibatnya mungkin sangat parah.
Biarlah aku keluar dengan diam-diam."
Lingga W isnu tak mau berpikir panjang-panjang lagi,
apa akibatnya esok hari bila Prabasini melihat dirinya
tiada dalam kamar. Setelah berada di luar halaman
penginapan, ia berlari-larian kencang seolah-olah di kejar
iblis. Perjalanannya mengarah ke barat Bukankah
Musafig iloh t adi menyebut nyebut kota Sukaharja"
Tak lama kemudian ia menemukan t anda-tanda jejak
sepatu. Niscayalah sepatu-sepatu kompeni Belanda atau
serdadu-serdadu bumi-putera. Ia girang bukan kepalang.
Tatkala tiba di Sukaharja, fajar hari telah menyingsing.
"Niscaya Suskandari berada dalam penjagaan kuat..."
pikirnya didalami hati. "T api bagaimana nant i akibatnya,
aku harus menolongnya. Semalam aku main bersembunyi. Sekarang, biarlah aku terang-terangan
saja. Sebab bila lalai sedikit saja Suskandari dalam
bahaya besar. Kalau hal itu. sampai terjadi, bagaimana
aku harus bertanggung jawalb terhadap ibunya?"
Setelah makan pagi, segera ia mencari benteng yang
disebutkan Musafigiloh. Ternyata yang disebut benteng,
sebenarnya sebuah gedung milik seorang hartawan Cina,
Mungkin sekali pemiliknya d itangkap atau diancam
demikian rupa, sehingga terpaksa menyerahkan kediamannya yang serba mewah.
Dengan sekali pukul saja daun pintu gedung itu
terbang dan menimpa dua jambangan emas yang hancur
berderai. Hati Lingga W isnu pagi itu memang sedang
mendidih. Ia merasa dipermainkan dan jijik terhadap
Genggong Basuki yang mengaku telah membunuh
kakaknya seperguruan Purbaya. Walaupun belum pernah
berjumpa, akan tetapi sebagai salah seorang adiknya
seperguruan sudah sewajarnya wajib ia menuntut balas.
Alangkah keji murid khianat itu.. Karena itu, ia bertekad
hendak mengadu kepandaian serta melampiaskan hawa
amarahnya. Bagaimana akibatnya, ia tak mem-perdulikan
lagi. Dengan langkah lebar ia berteriak:
"Hai orang-orang jahanam! Suruhlah Musafig iloh dan
Genggong Basuki keluar menemui aku!"
Tiba-tiba belasan orang datang berlari-larian dari
kamar sebelah menyebelah. W aktu itu, hari masih terlalu
pagi. Kebanyakan di antara mereka masih menikmati


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selimut nya masing-masing. Tahu-tahu mereka terkejut,
tatkala mendengar hancurnya pint u dan dua jam-bangan
ikan. Dengan serentak mereka keluar dan melihat
datangnya Lingga W isnu, segera mereka bersiaga.
Bentaknya: "Siapa kau?" Lingga w isnu tak sudi membuang buang waktu lagi. Ia
mendorongkan tenaga himpunan saktinya dan bagaikan
rumput kering belasan orang itu terpental membentur
dinding dan jendela. Kemudian Lingga W isnu melompat
meng hampiri pintu tengah. Dan begitu pintu t engah itu
hancur berderai, nampaklah Musafi- giloh dan Genggong
Basuki sedang makan-minum dengan gembiraMusafig iloh
dan Genggong Basuki sebenarnya mendengar suara hiruk-p iruk diseramb i depan. Mereka
memerint ahkan Cocak Abang untuk menyelidiki. Tetapi
Lingga W isnu sudah tiba didepan mereka. Dengan sekali
sambar, Lingga W isnu melemparkan Cocak Abang yang
hendak mencapai pintu tengah kedalam.
Musafig iloh cepat melompat sambil membentangkan
kedua tangannya. Tangkapannya tepat. Meskipun
demikian ia terhuyung beberapa langkah. Dan menyaksikan hal itu, tokoh-tokoh pendekar rumah
perguruan Ugrasawa yang berkhianat terperanjat.
Mereka tahu. Cocak abang yang hendak menyelidik itu,
bukan tokoh sembarangan. Sedang Musafigiloh adalah
pemimpin mereka. Namun dalam satu gebrakan saja
sudahlah jelas siapa yang lebih unggul.
Tapi sebenarnya Lingga W isnu terperanjat juga. Ia
sudah menggunakan hampir seluruh himpunan tenaga
saktinya. Namun mereka berdua bisa mempertahankan
diri dan t ak kurang suatu apa. Itulah suatu tanda, bahwa
kesaktian Musafigiloh tidak boleh dipandang ringan.
Selagi terperanjat, Lingga W isnu bergirang hati pula. Ia
melihat Suskandari berada diant ara mereka, duduk
disebelah kiri Genggong Basuki dan Manusama. Sejenak
ia tertegun melihat Suskandari. Sebaliknya Suskandari
berseru girang: "Kakang Lingga!"
Dengan serentak Suskandari bangkit cari tempat
duduknya. Sekonycng-konyong ia bergemetaran dan
roboh diatas kursinya kembali. Tahulah Lingga W isnu,
bahw a Suskandari kena siksa tertentu. Dengan hati
panas, ia melompat hendak menolong. Tiba-tiba
punggungnya terasa kena pukulan Genggong Basuki dan
Manusama yang dilontarkan dengan berbareng.
Tetapi Lingga Wisnu tidak menghiraukan Kesaktiannya
cukup kuat menahan pukulan mereka. Tangannya terus
menyambar. Dan sebentar saja, Suskandari sudah
berada dalam pelukannya. Dengan menjejakkan kakinya,
ia membawa Suskandari terbang melint asi meja
perjamuan. Tentu saja anak-buah Musafigiloh tidak tinggal diam.
Dengan serentak mereka bergerak mengepung. Tetapi
Lingga W isnu tidak sudi memberikan kesempatan.
Dengan sebelah tangannya menggempur sambil melompat mundur. "Suskandari, apakah kau bisa bergerak?" bisiknya.
"Kedua kakiku serasa lumpuh." jawab si gadis.
Teringatlah Lingga W isnu kepada sepak terjang gadis
itu tatkala dahulu melawan keluarga Dandang Mataun..
Sekarang ia nampaknya ia tak berdaya. Maka tak usah
dijelaskan lagi, bahw a ia lumpuh akibat siksa Musaf igiloh
dan kawan-kawannya, "Biarlah kakimu kupijat." kata Lingga W isnu. "Apakah
kau sudi kupanggul di atas pundakku?"
Belum gadis itu menjawab, paras muka Lingga W isnu
terasa panas sendiri. Meskipun bermaksud baik akan
tetapi sangat t idak sedap didalam penglihatan. Apalagi di
hadapan orang banyak lagi musuh pula. Maka
mengurungkan niatnya. Bisiknya:
"Sebentar lagi aku akan melompat mundur. Carilah
pegangan kuat-kuat agar tidak terlempar, apakah kedua
tanganmu dapat bergerak dengan leluasa?"
"Dapat." sahut gadis itu.
Legalah hati Lingga W isnu.
Dengan tidak menyia-nyiakan
waktu, ia mendorongkan tenaga himpunannya.. Lalu
pada saat itu pula, ia berjungkir-balik tinggi diudara
dan melesat keluar pintu.
Seperti kelelawar ia terbang
melint as, tatkala anak buah
Musafig iloh memburu dengan berteriak-teriak, tubuhnya
lenyap dari penglihatan. Itulah salah satu kepandaian warisan almarhum
pendekar Bondan Sejiwan.. Ki Ageng Gumbrek berkata
bahw a kepandaian Kyahi Sambang Dalan masih berada
diatasnya. Akan tetapi bila Kyahi Sambang Dalar. pada
saat itu menyaksikan kepandaian muridnya yang bungsu
itu, pasti akan tertegun-tegun heran. Dalam tata napas
dan pengalaman, mungkin dia lebih berpengalaman.
Akan tetapi mengenai kepandaian itu, di dunia ini pada
hakekatnya hanya Bondan Sejiwan yang memiliki. Dan
kini sudah di warisi Lingga W isnu dengan sangat
sempurna. Dengan berlari-larian kencang, Lingga W isnu memanggul Suskandari. Kira-kira menjelang tengah hari,
ia sudah berada di penginapan. Tatkala memasuki kamar
Sekar Prabasin i, gadis itu tiada nampak batang
hidungnya. "Suskandari, baiklah kau beristirahat dahulu dalam
kamarku." kata Lingga W isnu. Ia tidak menunggu
persetujuan gadis itu. Setelah merebahkannya diatas
tempat t idur, ia segera kembali ke kamar Prabasini. Tadi
ia melihat setumpuk kertas diatas meja. Karena itifi
segera ia membawa Suskandari ke dalam kamarnya
sendiri agar dapat membaca tumpukan kertas Prabasini
tanpa terganggu. Ternyata isinya hanya suatu corat coret. Setelah di
amat-amati mirip sebuah peta penunjuk. Dibawahnya
terdapat suatu keterangan pendek :
"Telah kuselidiki rumah itu. Kutemukan peta ini.
Aselinya berada padaku. Kalau tetap pada rencana
semula, susullah aku. Kalau hatimu berada pada
kekasihmu itu, jangan mencoba menemui aku
lagi." Lingga W isnu terpaksa tersenyum pahit. Dan entah
apa sebabnya, hatinya tiba-tiba terasa sakit dan iba.
Pikirnya: "Latar belakang penculikan Suskandari rasanya
tidaklah sederhana. Kalau aku sampai terlibat, akan
menyia-nyiakan harapan Prabasini. Suskandari memang
temanku bermain semasa kanak-kanak. Ibunya sangat
baik kepadaku. Akupun berhutang budi. Sebaliknya
Prabasin i adalah puteri tunggal pendekar Bondan
Sejiwan. Seumpama tidak mewarisi kepandaian ayahnya,
jiwaku sudah lama melayang. Kalau d itimbang-timbang
aku berhutang jiwa kepada keluarganya. Dia k ini menjadi
anak yatim pula. Aku, tak boleh aku membiarkan dia
pergi seorang diri ..."
Memperoleh pikiran demikian, perlahan-lahan ia
memasukkan surat Prabasini ke dalam sakunya.
Kemudian bergegas ia menjenguk Suskandani yang
masih saja belum dapat bergerak.
Lingga W isnu segera memeriksanya. Setelah berenung-renung sejenak, ia berpikir didalam hati:
"Agaknya dia dibuat salah urat. Aku harus memijatmijat pangkal pahanya. Hal ini
tidak mungkin terjadi. Kalau begitu, biarlah kuserahkan saja kepada paman
Songgeng Mint a-raga. Mungkin sekali Ki Ageng Guiribrek
masih berada di tempat kediamannya. Dengan
pertolongan mereka. Suskandara pasti akan pulih
kembali. Teringat pulalah dia, bahw a Puguh, Harimawan
niscaya masih menunggu kedatangannya. Dengan
demikian, Suskandari tidak merasa asing sementara ia
mengejar Sekar Prabasini Dengan pertimbangan demikian., berkatalah ia kepada
Suskandari "Suskandari! Di kota ini ada seorang sahabat kita.
Bagaimana kalau kau kuserahkan kepadanya?"
"Kemana aku akan kau bawa dan akan kau serahkan
kepada siapa, terserah padamu belaka. Asalkan t idak kau
serahkan kepada Genggong Basuki," sahut Suskandari.
Teringatlah Lingga W isnu akan pembicaraan Musafig iloh semalam. Sebenarnya ingin ia memperoleh
kabar tentang peristiwa penahanan terhadap gadis itu,
akan tetapi hatinya sangat gelisah memikirkan Sekar
Prabasin i. Maka setelah memperoleh persetujuan
Suskandari segera ia mendukungnya ke rumah Songgeng
Mint araga. Benar saja. Songgeng Mint araga. Ki Ageng GumbrekAria
Puguh dan Harimawan seperti sedang menunggunya. Begitu ia muncuj dengan membawa
Suskandari, mereka berdiri menyambut
"Nah, benar tidak kataku tadi," kata Ki Ageng
Gumbrek dengan t ertawa terbahak-bahak. "Lingga pasti
mengejar mereka ke Sukaharja untuk menolong gadis
Ngrumbini. Sebenarnya mulia hati. Tetapi gadis manakah
yang dapat di nsyafkan de mikian."
Lingga W isnu tahu siapa yang dimaksudkan Ki Ageng
Gumbrek. Ia hanya membalasnya dengan tersenyum.
Dan setelah menyerahkan Suskandari, segera ia
berpamit. Katanya kepada Ki Ageng Gumbrek dan Aria
Puguh: "Sebenarnya aku tidak menepati janji terhadap kedua
kakakku-seperguruan. Entah hukuman apa lagi yang
akan kuterima nanti."
"Akh, tentang mereka itu, serahkan saja kepadaku,"
sahut Ki Ageng Gumbrek. "Malahan ingin aku
menyaksikan betapa engkau menghajarnya kalang
kabut." Lingga W isnu kenal mulut Ki Ageng Gumbrek yang
jahil. Kalau d ilayani niscaya akan menjadi-jadi. Maka
setelah membungkuk hormat, segera ia meninggalkan
rumah kediaman Songgeng Mint araga.
Sebenarnya, Songgeng Mintaraga mencegahnya.
Bukankah dia belum makan siang" Tapi ia sudah
kehilangan kegembiraan. W alaupun semalam penuh
tidak memejamkan mata, namun tiada niatnya hendak
beristirahat. Ia kembali ke penginapan. Setelah membayar beaya
penginapan, kembali ia menekuni peta corat-coret Sekar
Prabasin i. Disebelah timur terlukis sebuah gunung.
Kemudian sebuah telaga. Dipojok kertas t erdapat huruf L
dan S" T ak usah ia berpikir terlalu lama. Gunung dengan
huruf L itu pasti Lawu. Sedang telaga S adalah telaga
Sarangan. "Apakah harta karun itu berada disana" pikirnya
pulang balik. Dan dengan kepala berteka-teki ia berjalan mengarah
ke t imur. Kalau aku t ahu bakal kembali mendaki Gunung
Lawu, tidaklah perlu sampai t iba di W onogiri, pikirnya. Ia
berjalan cepat sampai matahari condong ke barat. Dan
pada waktu itu barulah teringat bahwa dirinya belum
makan siang. Maka segera ia singgah ke kedai sederhana
yang kebetulan nenjual nasi. W alaupun lauk-pauknya
sangat miskin, namun karena lapar ia makan dengan
lahap sekali. Dua hari dua malam, Lingga W isnu melakukan
perjalanan. Dan pada hari ketiga sampailah ia disebuah
telaga yang jernih airnya. Segera ia berhenti dan duduk
berjuntai diatas batu yang mencongak ditebingnya.
Udara kala itu biru jernih. Matahari bercahaya cerah


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun tidak menyakiti tubuh, karena tertahan lapisan
hawa gunung yang sejuk. Sekarang, ia merasa agak lelah. Maka ia mencari
suatu keteduhan dan membaringkan diri diatas
rerumputan yang hijau muda. Tak terasa ia tertidur.
Tatkala menjenakkan mata, matahari sudah condong ke
barat Perasaan tubuhnya menjadi segar bugar. Dan cleh
perasaan itu, dapatlah ia menikmati pemandangan yang
berada disekitarnya. Ia berpaling dan melihat sebuah
kuburan tua yang berbatu nisan. Tiba-tiba jant ungnya
memukul. Dilihatnya batu nisan itu berhuruf berukir.
Samar samar ia melihat huruf: P u r b a y a.
Bergegas ia menghampiri Kemudian membersihkan
debu dan kotoran yang menutupi. Jelas sekali itulah
kuburan yang sudah t ua sekali. Dan tulisan itu berbunyi:
Disini beristirahat kasatria sakti Purbaya.
"Purbaya?" ia berkomat-kamit. "Apakah makam
kakakku-seperguruan Purbaya?"
Mau tak mau ia jadi berpikir keras. Dan berkata
didalam hati: "Purbaya adalah nama kakakku seperguruan. ia
diwartakan mati terbunuh Muridnya sendiri mengakui hal
itu. Tetapi kuburan ini sudah tua. Apakah kakang
Purbaya di makamkan begini rupa agar tidak segera
diket ahui oleh orang?"
Tergoncang hati Lingga W isnu memperoleh dugaan
itu. Tiba-tiba datanglah seorang bocah penggembala
kerbau. Bocah itu berada diatas kerbaunya dengan
menidurkan diri. Aneh nya lagi, ia sedang sibuk membaca
buku. Sama Sekali ia tak menghiraukan arah penggembalaannya, Dibiarkan kerbaunya berjalan sekehendaknya sendiri. "Bocah, ini berlagak seperti seorang pendekar besar
atau seorang pelajar yang kutu buku." pikir Lingga W isnu
geli didalam hati. Namun perasaannya menyuruhnya
agar berhati-hati dan berwaspada terhadap bocah itu.
Maka tegurnya Halus: "Gus! *) Telaga ini bernama apa" Dan kuburan
siapakah ini?" (* = panggilan unt uk anak laki-laki).
Bocah itu memandangnya sejenak. Kemudian tertawa
panjang. Setelah itu, barulah ia menyahut:
"Niscaya tuan datang dari jauh. Telaga itu kami sebut
Telaga puteri. Dan kuburanran itu adalah kuburan
keluarga kami." Heran Lingga W isnu mendengar keterangannya.
Kuburan kami" Tak terasa ia menegas :
"Apa" Kuburan keluargamu?"
Bocah itu tidak segera menjawab. Ia tertawa geli.
Sejenak kemudian berkata:
'W alaupun dari jauh, nampaknya t uan bukan, seorang
yang goblok. Pastilah pula bisa membaca bunyi huruf
pada batu nisan itu.. Masakan tuan belum kenal nama:
Purbaya?" Hati Lingga W isnu seperti kena ditebak. Memang ia
justru lagi d isibukkan oleh nama yang dibacanya. Selagi
sibuk mencari kata- kata untuk menjawab ucapan bocah
itu, berkatalah dia lagi:
"Sepanjang ingatan tuan, kasatria siapa saja yang
mengenakan nama Purbaya?"
Mau tak mau, kehormatan Lingga W isnu tersinggung
juga. Namun ucapan bocah itu justru menggugah dirinya.
Sahutnya: "Adik agaknya hendak menguji aku. Sepanjang
ingatanku hanya dua orang. Y ang pertama adalah salah
satu nama tokoh W ayang Gatutkaca. Dia dipanggil atau
disebut sebagai Aria Purbaya. Dan yang kedua, panglima
perang Mataram dijaman Sultan Agung. Dialah yang
memimpin penggempuran terhadap benteng Jan Pieter
Zoon Coen di Jayakart a."
"Y a, benarlah begitu." bocah itu lalu duduk tegak
diatas kerbaunya. "Tetapi sebenarnya masih ada seorang
lagi. Itulah leluhur kami yang datang dari Kartasura.
Beliau bertapa dipuncak Gunung Lawu. Bertapa terusmenerus sampai ajalnya sampai.
Dan jenazahnya dimakamkan d isini. Nama lengkapnya leluhur kami;
Pangeran Purbaya dari Kartasura. Beliau dikuburkan
disin i, ditepi telaga yang bernama Telaga Puteri. Sebab
isteri beliau musna t atkala mandi di telaga itu ..."
Setelah berkata demikian, bocah itu melanjutkan
perjalanannya tanpa mempedulikan Lingga W isnu.
Sekarang dia tidak membaca buku lagi. Akan tetapi
meniup seruling yang berbunyi sangat merdu.
"Bocah itu pasti berpendidikan." pikir Lingga W isnu
clidalam hati. Dia mengaku anak keturunan Pangeran
Purbaya yang bermakam di sini. Agaknya, dia tidak
berdusta. Sayang aku belum mengenal namanya. Eh .."
apakah kakang Purbaya sebenarnya termasuk salah
seorang kerabatnya" Jangan-jangan dia anak kakang
Purbaya, Hendak ia mengejar, tetapi bocah itu sudah
menghilang dibalik anak bukit. Maka ia menghempaskan
diri lagi diatas rerumputan yang dipilihnya tadi. Ia seperti
merasakan sesuatu. Tetapi apa itu; ia sendiri tidak tahu.
Perasaan itu hanya berkelebat di dalam benaknya.
Setelah cukup beristirahat, ia bangkit dan melanjutkan
perjalanannya. Ia memasuki sebuah dusun yang berada
di tengah lapangan terbuka. Karena pikirannya masih
terpancang pada nama Purbaya, ingin ia memperoleh
keterangan lebih luas lagi. Siapa t ahu, keluarga kakaknya
seperguruan itu berada didusun itu. Tetapi nama
Purbaya memang terlalu banyak dikenakan orang.
Siapapun berhak menyematan nya. Tiada larangan dan
tiada hukumnya. "Akh, sudahlah," ia memutuskan. "Aku kemari untuk
menyusul Prabasini Kenapa aku terlibat dalam soal itu.
Biarlah begitu saja ... Nanti bila sudah jelas, barulah aku
ikut campur . Ia tahu bunyi keputusannya itu, hanya untuk
menghibur dirinya yang sudah jadi usilan. Karena itu ia
tertawa seorang diri. Mentertawai dirinya sendiri.
W aktu itu matahari masih panas, meskipun sudah
condong kebarat. Sekarang ia merasa lapar dan dahaga.
Dilayangkan pandangnya mencari sebuah kedai, Tetapi
dusun itu terlalu miskin. Sama sekali tiada terdapat
seorang penduduknya yang berjualan. Bahkan penduduknya seperti bersembunyi di dalam rumahnya
masing-masing. "Aneh," pikir Lingga W isnu di dalam hatinya. "Dusun
ini seperti berada dalam keadaan perang. Sunyi sepi
Terlalu sunyi, malah"
Ia sudah melalui dua petak sawah. Masih saja ia
belum melihat seorang penduduk yang dapat diajaknya
berbicara. Apalagi membayangkan sebuah kedai yang
menjual makanan-dan minuman.
Leher dan perutnya kini benar-benar mulai mengganggu. Ia layangkan matanya kekanan dan kekiri
Siapa tahu, mungkin diant ara rumah-rumah penduduk
yang terlindung oleh kerindangan pohon-pohon terselip
sebuah kedai yang menjual makanan dan minuman.
Syukurlah setelah melampaui sepetak sawah lagi, samarsamar nampaklah sebuah
kedai yang berada ditepi jalan?
Kedai itu berbentuk seperti paseban seorang hamba
kerajaan. Atapnya dari jerami kering dan dindingnya
terbuat deri bambu dan setengah papan. Penunggu
seorang perempuan tua kira-kira berumur tujuhpuluh
tahun. Dan melihat semuanya, legalah hati Lingga W isnu.
"Aneh! Sekian lamanya aku melint asi dusun dusun
pegunungan. Rasanya seperti kisah seorang pengembara
mengarungi samudera pasir, kata Lingga W isnu didalam
hati. Lingga W isnu segera singgah. Di depan halaman
terdapat sebuah pasu air tempat pencuci kaki. Itulah
salah satu adat istiadat pada zaman itu yang dikenalnya
dengan baik. Kaka segera ia membasuh kakinya. Dan
terdengarlah perempuan tua itu berteriak ke dalam
rumah: "Nok! ada tamuuu ...!"
(Nok = panggilan unt uk seorang gadis kecil).
Dari dalam rumah, muncul ah seorang gadis kira-kira
berumur tujuhbelas tahun. Ia datang dengan membawa
secangkir air teh dan sepiring penganan diatas niru yang
seolah-olah sudah d isediakan jauh sebelumnya. Dan
dengan tersenyum pendek, ia meletakkannya di depan
meja Lingga W isnu. Lingga W isnu memperhatikan gadis itu. Dia tidak
begitu cantik. Akan tetapi serasi dan lembut. Pakaian
yang dikenakan dari bahan kasar. Berbaju cerah dan
berkain batik Parangkusuma. Kulitnya lunak berwarna
kuning keputih-putihan. Jelaslah sudah, bahw a dia bukan
keturunan seorang penduduk aseli. Paling tidak, ia
berdarah priyayi. Apalagi gerak-geriknya lembut dan
sopan. Setelah menyajikan hidangan itu, dia kembali masuk
ke dalam. Diam-diam Lingga W isnu melongokkan
matanya. Ternyata gadis itu sedang duduk menyulam
sepunting bunga. Semenjak zaman dahulu, lembah lawu ini seringkali
dilint asi para bangsawan. Mungkin sekali dia salah
seorang keturunannya. Atau memang anak keturunan
bangsawan Purbaya yang disebut sibocah tadi: Pangeran
dari Kartasura" Teringat akan hal itu, ia mencoba mengajak berbicara
dengan nenek penunggu kedai. Kemudian bertanya:
"Sebenarnya bagaimana aku harus memanggilmu?"
Nenek itu tertawa. Menjawab:
"Aku tidak mempunyai nama. Orang-orang kampung
menyebutku nenek. Nah, panggil saja aku nenek tua.
Atau simbah!" Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah Lingga
W isnu bahwa nenek itu tak senang memperkenalkan
namanya. Segera ia mengalihkan pembicaraan dan sama
sekali tidak menyinggung-nyinggung tentang makam
atau nama yang dimakamkan di dekat Telaga Puteri.
Selagi demikian, datanglah empat orang menunggang
kuda. Mereka bertubuh kasar. Gerak geriknya seperti
bajingan murah. Dengan berbareng mereka meloncat
dari atas kudanya dan langsung menghampiri si nenek.
Kata seorang yang bertubuh kekar:
"Hai, nek! Apakah kau kemarin melihat seorang gadis
menunggang kuda lewat disini?"
Nenek itu memiringkan kepalanya. Menyahut :
"Kau berkata apa?"
Orang itu nampak mendongkol. Lalu membentak :
"Aku bertanya padamu, apakah kau kemarin melihat
seorang gadis menunggang kuda lewat disin i?"
Nenek itu tertawa terkekeh-kekeh sambil menggelenggelengkan kepalanya. Dan
Lingga W isnu terkesiap hatinya. Pikirnya: "Apakah bukan Sekar Prabasini yang dimaksudkan?"
Memperoleh dugaan demikian. Lingga W isnu memperhatikan mereka berempat Melihat dandanannya
mereka seperti anak-buah pendekar Srimoyo. Mengapa
mereka mengejar Sekar Prabasini "
"Bagaimana" Kau lihat t idak?" bentak oraing itu-.
Nenek itu masih saja tertawa. Jawabnya:
"Kupingku ini memang aneh. Kalau diajak bicara
perlahan-lahan, bisa mendengar Tetapi kalau mendengar
suara kasar, malan buntu."
Lingga W isnu tahu, bahwa nenek itu hanya berpurapura tuli. Maka tahu pulalah
ia, bahw a nenek itu menggenggam suatu rahasia. Sebaliknya empat orang itu
jadi tidak bersabar lagi. Kata yang bertubuh besar:
"Gadis itu merampok rumah kami. Ia membongkar
sumur. Kemudian minggat. Setelah kami periksa sumur
itu, belasan batang panah beracun berloncat dari dalam
Dua orang teman kami, mati sekaligus. Karena itu kami
datang hendak menangkapnya. Taruhkata engkau tuli,
pasti matamu dapat melihatnya."
Tetapi nenek itu masih saja tertawa ketolol-tololan.
Dan orang bertubuh kekar itu kehilangan kesabarannya.
Tiba-tiba saja ia maju dan hendak menghantam nenek
itu. Menyaksikan hal itu. Lingga W isnu t ak tinggal diam. Ia
melompat dan menghalangkan tangannya. Suatu
bentrokan tak dapat dihindarkan lagi. Dan orang itu
mundur sempoyongan dengan mata. terbelalak.
"Siapa kau?" bentaknya
"Nenek itu kurang pendengarannya Kenapa kau
hendak main pukul?" Lingga

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

W isnu membalas membentak. "Lagipula bagaimana kalian tahu, bahwa
gadis yang kalian cari itu lewat disini?"
"Gadis itu meninggalkan sepucuk surat yang
mengabarkan ke mana dia hendak pergi. Karena itu kami
mengejarnya." sahut orang bertubuh kekar itu. Tapi
karena ia merasakan kehebatan t enaga Lingga W isnu, ia
lantas membalik tubuh. Dengan suatu isyarat mata, ia
mengajak ketiga temannya meninggalkan w arung.
"Hai!" tiba-tiba nenek tua itu memanggil. "Kau tadi
bertanya apa" Sudah kukatakan telingaku ini aneh Kalau
diajak berbicara keras, tidak mendengar. Terlalu
perlahan juga tuli Sebaliknya kalau sedang, pandai ia
mengangkat tiap patah perkataanmu. Coba ulangi
pertanyaanmu dan berbicaralah dengan suara sedang"
Orang bertubuh kekar itu membalikkan badannya.
Berkata dengan suara sedang:
"Kami mencari seorang gadis menunggang kuda.
Apakah engkau melihat dia lewat di sini?"
"Oh, gadis cantik menunggang kuda ...?" ulang nenek
itu. "Benar .. kemarin kulihat dia pada waktu begini in i.
Dia malahan singgah disini" Dia berpesan padaku, bila
ada yang mencarinya diharapkan menyusul ke Telaga
Sarangan." Hati Lingga W isnu tergetar. Tiada sangsi lagi, bahw a
gadis itu niscaya Sekar Prabasini. Ia meninggalkan pesan
untuk dirinya. Dan orang bertubuh kekar itu lantas
melompat ke atas pelana kudanya. Kemudian dengan
berderap, ia membawa ketiga temannya mengarah
ketimur, "Nok! Catat!" seru nenek itu kepada gadis itu yang
sedang menyulam. "Sudah. Nih, lihat!" sahut gadis itu sambil perlihatkan
sulamannya. Ternyata jumlah bunga sulamannya sudah
menjadi tujuh. Siapa yang dua orang lagi, pikir Lingga
W isnu Pemuda itu sibuk sendiri Dalam hatinya ia merasa
heran. Pastilah gadis dan nenek itu bukan tokoh-tokoh
sembarangan. Akan tetapi ia tidak t akut. Ia percaya pada
kepandaiannya sendiri. Andaikata mereka berdua musuh
dalam selimut yang akan merugikan dirinya, rasanya ia
tak perlu gentar menghadapinya,
"Sebenarnya siapakah gadis yang dicarinya itu?" ia
bertanya mint a keterangan.
Nenek tua itu tertawa ramah. Sahutnya,
"Anak! Kau seorang baik hati. Biarlah aku memberi
keterangan kepadamu. Gadis itu tidak memperkenalkan
namanya. Ia cantik, tapi sepak terjangnya kejam
Kemarin ia melukai dua orang tetamu."
"Salahnya sendiri," sambung gadis itu. "Mereka
mengganggu Malahan tak tahu diri Merekalah yang
mencoba menggerayang. Dan gadis itu lalu menghajarnya. Hebat caranya. Dengar sekali gerak,
kedua musuhnya kena di lukai Kemudian berkata: Kalau
masih ingin menuntut dendam carilah aku disekitar
Telaga Sarangan!" Heran Tangga W isnu mendengar keterangan gadis itu.
Pikirnya: "Sekar Prabasini hendak membongkar harta karun atas
petunjuk peta ayahnya.. Mestinya harus dilakukan
dengan diam-diam. Tapi apa sebab ia justru menghendaki agar diikut i orang?"
Lingga W isnu mencoba memahami, tetapi tetap tak
mengerti maksudnya. Ia tahu. Sekar Prabasin i jauh
berpengalaman dalam masalah hidup liar dari pada
dirinya. Iapun cerdik pula. Gerak-geriknya sulit diduga
dan sering kali mengandung maksud yang dalam.
"Baiklah, nek Akupun akan segera pergi" akhirnya ia
berkata. Nenek itu memanggut. Ia mengerlingkan matanya ke
dalam. Lingga W isnu mengikuti pandang nenek itu
dengan diam-diam. Sekarang jumlah bunga itu menjadi
delapan. Tahulah dia, bahwa dirinya sudah t ercatat pula.
Ia lantas berangkat. Setelah meninggalkan dusun itu,
segera ia berlari-lari mengarah ke t imur. Memang, dalam
perjalanan jarak jauh, menunggang kuda lebih
menguntungkan tetapi kuda tak dapat diajak menerobos
atau memotong perjalanan dengan melewati jurang atau
hutan gerumbul yang padat. Sebaliknya, Lingga W isnu
yang memiliki kepandaian tinggi dapat dengan leluasa
memotong arah perjalanan. Dengan ilmu saktinya, dapat
ia melompati jurang-jurang dan mendaki bukit dengan
cepat. Ia tak merasa canggung, karena sudah biasa
hidup diatas gunung. Dan sebentar saja Telaga Sarangan
sudah nampak didepan matanya
Ia beristirahat sejenak ditepi telaga memperhatikan
pemandangan sekitarnya. Pada dewasa itu, telaga
Saiangan belum seindah sekarang. Telaga itu masih
tertutup rimbun belukar. Disana-sini masih terdapat
gugusan-gugusan liar sehingga kesannya menyeramkan.
Hut an padat memagarinya. Dan sekali-kali terdengar
aum binatang buas yang mencari mangsa.
Lingga W isnu kemudian membuat sebuah rakit Setelah
selesai, ia naik di diatasnya dan mengayuhnya tak ubah
sebuah perahu. Tiba-tiba ia. melihat sesuatu yang
gemerlap tergantung diatas sebatang pohon. Apa itu"
Bergegas ia membawa rakitnya menepi. Setelah
diperhatikan ternyata sebuah kunci terbuat dari emas
murni Keruan saja Lingga W isnu merasa heran. Pikirnya:
"Kunci siapakah in i?"
Ia membolak-balikkannya kunci itu. Sama sekali tiada
tanda-tandanya. Lalu memberanikan diri untuk menciumnya. Ia kaget. Itulah bahu wangian yang
dikenalnya. Katanya didalam hati:
"Kunci Prabasini, Apa maksudnya" Kenapa kunci ini
sengaja digant ungkan diatas pohon ini" Bagaimana kalau
sampai diket emukan lain orang" Atau ,.. atau ia berada
dalam bahaya?" Memperoleh pikiran demikian, hatinya tergetar.
Perasaan gugup menyelimut i dirinya. Pikirnya lagi:
"Kunci Prabasini ini berada disini. Niscaya Prabasin i t ak
jauh dari t empat ini pula."
Segera ia memperbaiki letak pakaiannya. Tatkala
hendak melangkahkan kakinya, ia melihat suatu coratcoret diatas sebuah batu.
Begini bunyinya: Ditetaga Sarangan Diatas Gunung Lawu Dengan kunci emas Mencari harta leluhur "Hei! Kenapa Prabasini sengaja memancing kedatangan orang?" seru Lingga W isnu heran didalam
hatinya. "Apakah maksudnya?"
Dengan terlongong-longong ia duduk di atas batu. Ia
mencoba memahami dan memecah teka-teki Sekar
Prabasin i, Katanya di dalam hati:
"Tempat beradanya harta karun itu masih merupakan
teka-teki besar. Sekarang Prabasini menambah teka-teki
baru lagi. Apa maksudnya"'
Tak usah disangsikan lagi, bahw a harta karun itu
berada diatas gunung. Akan tetapi dimana letaknya"
Gunung Lawu termasuk gunung raksasa. Bukankah
dirinya tak ubah sebatang jarum diatas permukaan laut"
Harta itu sendiri, baginya tidak terlalu penting. Yang
dikhawatirkan bila jatuh ditangan para penjahat atau
penghianat negeri Lingga W isnu kemudian naik ke atas rakitnya lagi.
Dalam hai ini, ia tak boleh gegabah. Pasti ada liku-likunya
yang pelik. Lagi pula siapa tahu, kalau dirinya sedang
diint ip orang. Ia mengayuh perahunya, ke tengah telaga. Maksudnya agar memperoleh penglihatan yang luas.
Seberang menyeberang t elaga, t erasa indah dan agung.
Meskipun seram, akan tetapi lebih aman dan damai bila
dibandingkan dengan kesibukan kota-kota besar.
"Biarlah aku mengelilingi telaga ini agar lebih
mengenal letak tanahnya. Di atas permukaan air,
siapakah yang akan mengganggu diriku. Malahan, aku
akan segera melihat orang-orang tertentu yang
berkeliaran disekitar t elaga." pikirnya didalam hati,.
Perlahan-lahan ia menyimpan kuncinya. Kemudian
berlagak sebagai seorang yang tengah berpesiar,
Dilayangkan penglihatannya dari seberang keseberang.
Apabila petanghari tiba, ia mendarat dan tidur diatas
pohon. Hawa gunung luar biasa d inainnya. Untunglah tadi ia
membekal penganan dari kedai si nenek. Dan sambil
menggerumuti penganan, Dia memperhatikan alam
sekitarnya. Berjam jam ia memperhatikan. Tahu-tahu ia
tertidur. Tatkala hawa dingin membangunkannya,
matahari sudah muncul dilangit timur.
Dengan sekali loncat, Lingga W isnu mendarat diatas
tanah, Bertiduran di tengah alam terbuka bagi Lingga
W isnu bukan merupakan suatu hal yang asing.. Dahulu
semasa masih berada diatas Gunung Dieng, seringkali ia
bertiduran diatas dahan pohon. Begitu turun diatas
tanah, keadaan tubuhnya menjadi segar bugar.
Ia menunggu sampai matahari sepengalah tingginya.
Setelah mandi segera ia mencari bekas jejak kaki
Prabisini, Tak lama kemudian sampailah ia disebuah
ketinggian. Dengan berlari-larian, ia mendaki bukit itu. Begitu tiba
di atasnya, ia heran. Di-bawah sana tergelar petak sawah
yang indah. Nampak pula taman bunga yang teratur.
Harumnya semerbak memasuki hidungnya.
"Milik siapa sawah dan taman bunga itu" ia menebaknebak. "Apakah seorang
pertapa?" Ia menuruni bukit itu dan mendaki bukit lagi yang
berada disebelahnya. Sambil berjalan, ia mencoba
mencari kemungkinan-kemungkinannya. Setelah ubekubekan beberapa saat lamanya, ia
melihat dua kanakkanak sedang menggembala kerbau. Teringat kepada
bocah penggembala kerbau kemarin, ia lant as bersikap
hati-hati dan waspada. Dua penggembala kerbau itupun memperhatikan
dirinya. Pandang matanya keheran-heranan dan penuh
curiga. Mereka saling memandang dan saling memberi
isyarat mata. Lingga W isnu kemudian menghampiri.
Bertanya: "Adik berdua! Aku datang kemari untuk berpesiar.
Apakah ada jalan untuk mendaki ke atas?"
Kedua penggembala kecil itu saling memandang.
Salah seorangnya menyahut dengan suara nyaring:
"Aku tak tahu."
Mendongkol hati Lingga W isnu mendengar dan melihat
sikapnya yang acuh tak acuh. Bila d ibandingkan dengan
sikap nenek dan gadis kemarin, alangkah jauh. Meskipun
nenek dan gadis itu bersikap rahasia, akan t etapi mereka
ramah-tamah. Tiba-tiba ia merasa heran Kedua bocah itu mendadak
melompat turun dari kerbaunya masing-masing.. Kemudaan saling memaki. Setelah itu saling melempari
tanah basah. Bahkan kedua kerbaunya diadu dan
membiarkan merusak t anaman
"Lucu kedua bocah ini," pikir Lingga W isnu didalam
hati "Mereka tadi nampak bersatu padu dan aman damai.
Dengan mendadak mereka bertengkar, saling memaki
dan saling melempari t anah." Ia lantas maju dua langkah
hendak melerai. Tetapi kedua bocah itu telah terlanjur berkelahi. Tidak
hanya sampai disitu saja, mereka bahkan menghardikhardik kerbaunya agar
berkalahi dengan sungguhsungguh. Keadaannya lantas menjadi kacau balau.
Celakalah Lingga Wisnu. Jalan yang sedang diambilnya
terlalu sempit. Sekarang, kedua kerbau itu saling seruduk
dan saling menguber. Tiba-tiba saja larinya mengarah
padanya. Kedua bocah itu nampak terkejut. Keduaduanya segera melompat keatas
kerbaunya masingmasing. Mereka berteriak teriak dalam usahanya hendak
menguasai binatangnya. Tetapi kerbau mereka bahkan
makin menggila. Lingga W isnu terperanjat. Tak terasa ia memekik.
Secara wajar, himpunan tenaga saktinya dikerahkan
untuk menahan lajunya dua kerbau yang menyeruduk
kearahnya. Mengingat kedua bocah itu, tak berani ia


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan sepenuh tenaga. Ia hanya mengerahkan
tenaga tiga bagian saja. W alaupun demikian, kedua
kerbau itu dapat ditolaknya ke kiri dan ke kanan hingga
roboh membentur tebing gunung. Ia sendiri membarengi
dengan berjongkok di antara kedua perutnya.
Ia selamat Tapi sekonyong-konyong ia mendengar
kedua anak memekik tinggi. Jantungnya berdegupan.
Pikirnya se lint as: "Celaka! Apakah aku menggunakan tenaga terlalu
besar sehingga melukai mereka" Kalau benar demikian,
aku melukai dua bocah yang tidak berdosa."
Cepat ia berputar. Dilihatnya kedua kerbau itu lari
meubras-nubras menuruni bukit. Tapi kedua anak itu, tak
nampak. Apakah mereka terlempar"
"Hai!' kemana mereka?" ia heran berbareng terkejut.
Tatkala ia melayangkan matanya hendak mencari dimana
mereka kini berada, muncul ah dua orang petani dari
tikungan. Mereka lalu berseru nyaring:
"Setan! Masakan dihari terang benderang ada
penjahat masuk kemari?"
Mendengar seruan mereka, Lingga W isnu menjadi
gugup. Cepat-cepat ia berteriak:
"Eh, kang! Nanti dulu. Aku bukan penjahat".
Lingga W isnu merasa, bahw a seruan dua orang petani
itu dialamatkan kepadanya. Maka ia hendak memberi
keterangan siapa dirinya.
Tetapi kedua petani itu tidak menggubris. Bentak
salah seorangnya: "Kau bukan penjahat" Kenapa kau lukai kerbau kamj
dan kau culik anak-anak kami?"
Lingga W isnu heran. Dengan terbata-bata ia
menyahut: "Aku menculik anakmu" Kapan .... mereka ... mereka
.. " Dua petani itu memotong perkataan Lingga W isnu
dengan tertawa merendahkan. Dengan nada mengejek
mereka menirukan ucapan Lingga W isnu:
"Mereka ... mereka ... mereka kenapa" Kalau bukan
kau culik, apa sebab mereka lenyap?"
"Untuk apa aku menculik anakmu?" Lingga W isnu
mendongkol,. "Siapa tahu hatinya orang" Bisa saja kau jual."
Mau tak mau, Lingga W isnu te rtawa geli juga. Dengan
sabar ia berkata : "Coba kau periksa dahulu kerbaumu. Luka atau t idak!
Setelah itu, carilah kedua anakmu. Jangan lantas
menuduh orang" Kedua petani tiba-tiba saja menjadi marah" Dengan
paculnya masing-masinp mereka maju dan menyerang
berbareng. Sudah barang tentu, Lingga W isnu heran
berbareng terkejut la heran menahadapi dua orang
petani yang berwatak begitu ganas. Sebaliknya ia
terkejut menyaksikan kesehatan dan tenaganya, W alaupun seorang petani biasa bekerja berat, namun
tenaga mereka melebihi kekuatan petani lumrah. Karena
itu tak berani Lingga W isnu memandang ringan.
Terpaksa Lingga W isnu mengelak sambil menyambarkan tangannya hendak merampas kedua
pacul mereka. Diluar dugaan kedua petani itu melolonglolong seperti sedang
kebakaran rumah , "Tolong! Tolong! Ada pembunuh! Perampok !"
Lingga W isnu mendongkol dan geli hati. Katanya
kepada mereka, "Mengapa kalian menyebut aku seorang pembunuh.
Jika aku benar-benar berniat hendak mengambil jiwamu,
sudah semenjak tadi kalian t ak bernapas ?"
Dengan sekali sambar, kedua pacul itu dapat
dirampasnya kemudian dilemparkan ke atas tebing.
Tepat pada saat itu datanglah delapan orang yang
membawa pacul pula. Sedang kedua petani tadi lari
mengundurkan diri, mereka berdelapan menyerang
dengan berbareng. Mau tak mau hati Lingga W isnu jadi kesal juga.
Pikirnya mendongkol; "Akh, aku jadi berkelahi tak keruan-keruan. Kalau
menang, apakah yang kumenangkan.. Kalau kalah,
celaka benar .,," Karena delapan orang itu menyerang dari kiri kekanan,
belakang depan terpaksalah ia bergerak dengan gesit.
Tujuannya hanya hendak melarikan diri. Ia melompat
mundur. Tiba-tiba ia menjadi heran. Kedelapan orang itu
telah mengurung rapat. Kemana saja ia bergerak, salah
seorang diant ara mereka telah menghadangnya dengan
menyabatkan paculnya. Agaknya mereka telah berlatih semenjak lama,
pikirnya. Teringatlah dia kepada cara berkelahi keluarga
Dadang Mataun, Meskipun berbeda jauh, akan tetapi
pada dasarnya tidaklah beda. Maka terpaksalah ia
berkelahi dengan sungguh-sungguh.
Tentu saja mereka biakan tandingnya Lingga W isnu.
Sebentar saja, ia telah dapat memecahkan kepungan
mereka. Hanya saja, karena tidak menggunakan
kekerasan, masih saja mereka dapat mengurung rapat.
Lebih hebat lagi mereka t idak t ahu diri. W alaupun sudah
dapat dibobolkan masih saja mereka mengotot.
Lambat laun Lingga W isnu mendongkol juga. Tengan
sekali menjejakkan kakinya ia melesat sejauh sepuluh
langkah. Kemudian berseru:
"Janganlah kalian memaksa aku untuk berkelahi
dengan sungguh-sungguh. Bila aku menggunakan
pukulanku, pastilah kalian akan menderita luka."
"Apa yang kau maksudkan dengan sungguh-sungguh
itu!" bentak seorang yang rupanya menjadi pemimpinnya. "Kau anjing bangsat! Apakah kau kira
kami t akut?" Mendongkol hati Lingga W isnu. Pikirnya didalam hati.
"Mereka ini bandel. Biar kukutungkan pacul mereka.
Ingin kut ahu apelkah mereka takut atau tidak."
Memperoleh keputusan demikian, ia meraba hulu
pedangnya. Mendadak terdengarlah seseorang berseru
dari ketinggian: "Hei! Kenapa kalian berkelahi?"
Lingga W isnu mendongak dan melihat seorang berusia
tua. Rambut dan jenggotnya telah memutih, dandanannya mirip seorang petani, akan tetapi wajahdan pandang matanya jernih.
Maka tahulah Lingga W isnu, bahwa erang itu niscaya memiliki kepandaian
tinggi "Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami."
sahut seorang. "Kerbau yang mana" Kerbau kita tak kurang suatu
apa. Juga anak-anak kita." ujar orang t ua itu. Kemudian
ia memanggil: "Sidin! Samijo!"
Lingga W isnu mengerlingkan matanya dan melihat dua
ekor kerbau datang dengan langkah tenang. Dan
dibawah perutnya, mendadak muncul dua bocah tadi
yang tertawa cekikikan. "Eh, kurang ajar!" maki Lingga W isnu dalam hati
"Pantaslah kerbau-kerbau lari berputaran seperti terkendalikan, Alihkan, mereka berada dibawah perutnya.
Kepandaiannya menunggang kerbau melebihi kepandaian
se orang prajurit berkuda. Dan kedelapan petani ini
datang menyerang dengan tiba-tiba. Disengaja atau
tidak" Kalau begitu baiklah aku berwaspada.
Orang tua yang berada diket inggian itu lalu berkata
kepada kedelapan petani yang mengerubut Lingga
W isnu: "Kamu benar-benar petani-petani biadab yang tak
tahu tata-sopan. Hampir-hampir saja kalian melukai
seorang pesiar yang t ak berdosa. Hayo .... Kenapa kalian
tidak mohon maaf?" Kedelapan petani dan kedua penggembala kecil yang
sudah mempersatukan diri itu, lalu menghadap Lingga
W isnu. Dengan berbareng mereka membungkuk hormat.
Kemudian meninggalkan tempat itu dengan berdiam diri..
"Apakah tuan datang untuk berpesiar?" tanya orang
tua itu. "Benar" sahut Lingga W isnu singkat.
"Gunung Lawu adalah gunung bersejarah semenjak
zaman dahulu. Takkan tammat tuan mengagumi. Juga
sawah ladangnya yang indah permai, takkan dapat
menghilangkan duka cita tuan. Kecuali bila tuan berada
di gunung ini beberapa hari lamanya." kata orang tua itu
dengan ramah. Lingga W isnu merasakan keramahan itu. Nampaknya
dia sopan pula. Maka tanyanya dengan hormat:
"Bolehkah aku menyebut nama eyang?"
(Eyang = kakek). "Akh, tak usah tuan menyebut aku eyang atau tuan.
Lebih baik kita saling mengengkau Dengan demikian
perasaan kita jad i lebih bebas. Dan pergaulan kita akan
terasa lebih akrab" Lingga W isnu menyetujui saran itu. Jawabnya :
"Benar." "Selama hidupku, aku berdiam di atas gunung ini."
kata orang tua itu. "Dusun tempat kediamanku disebut
orang: Karang Teleng. Bila tuan hendak menginap
beberapa hari di gunung ini, silahkan menginap
dirumahku, '' "Kau baik sekali, eyang. Terima kasih. Hanya saja aku
khawatir akan mengganggu saja,"
Orang tua itu tertawa lebar. Sahutnya:
"Kenapa tuan berkata begitu" Inilah peristiwa yang
sederhana saja. Tuan datang kemari untuk berpesiar.
Kebetulan sekali aku mempunyai sebuah gubuk. Lalu,
tuan berkenan menginap digubukku. Bila cocok, kita
berdua akan jadi sahabat. Bila tidak tuan dapat pergi
dengan bebas merdeka.. Apakah yang mengganggu
diriku?" Lingga W isnu heran dan girang mendengar kata-kata
orang tua itu. Tak usah disangsikan lagi, bahw a pelajar
atau seorang yang berpendidikan. Maka segera ia
menghampiri dan membungkuk hormat.. Ia merasa puas
dapat berkenalan dengan dia. Memang, didalam hatinya,
ia bermaksud mencari seseorang yang dapat menemani
atau memberi petunjuk petunjuk yang berharga dalam
pencarian mencari harta warisan Bondan Sejiwan
Syukurlah, bila bisa memberi kabar tentang beradanya
Sekar Prabasini. Orang t ua itu menunjuk kearah lereng gunung sambil
berkata: "Desa Karang Teleng terletak di lereng gunung itu.
Disana tiada terdapat sesuatu yang berharga, kecuali
sayur-mayur dan sekedar ikan kering. Bila tuan hendak
berpesiar, silahkan dahulu. Sebentar malam hendaklah
tuan singgah digubukku. Kami akan berusaha menyediakan ikan segar dan minuman hangat. Mungkin
sekali k ita dapat berbicara berkepanjangan. "
"Terima kasih," sahut Lingga W isnu bergembira.
Didalam hatinya ia berkata
"Orang tua ini luar biasa. Bila sikapnya tidak
mengandung maksud, pastilah dia seorang pendekar
yang berkepandaian tinggi. Sekiranya tak berhasil
menemukan harta warisan leluhur Sekar Prabasin i,
berkenalan dengan dia sudah merupakan suatu
keuntungan besar bagiku. Delapan petani-petani tadipun
bukan manusia lumrah. Perlu aku berkenalan dan
bersahabat dengan mereka .. "
Lingga Wtsnu kemudian mendaki gunung. Lagaklagunya benar-benar seorang pesiar.
Tetapi sebenarnya ia selalu memasang matanya. Setiap tempat dicarinya
dengan teliti dan selalu dirasukkan kedalam perbendaharaan ingatannya.
Sampai tengah hari; Lingga W isnu berjalan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berputaran.. Kadang-kadang ia melihat seorang petani
sedang mengharap sawah dan beberapa orang penebang
pohon. Mereka memperhatikan dirinya dengan diamwdiam seolah-olah sedang
menyelidiki. Ia heran dan
merasa syak. Namun ia tak takut. Dengan diam-diam
pula, ia memperhatikan tempat dan kelilingnya, Dan
memberi tanda-tanda t ertentu dengan jari atau geseran
kakinya. Tatkala matahari hampir memasuki petang hari, ia
duduk berjuntai diatas batu, Agar tak dicurigai, ia
berpura-pura merokok. Dan batu koreknya (batu letikan)
disimpannya di dalam sakunya. Semenjak hendak
mendaki gunung, ia sudah mempersiapkan batu letikan.
Siapa t ahu akan banyak faedahnya dimalam hari.
Matahari telah tenggelam kini. Segera kita kembali ke
rumah orang tua itu, hendak menepati janji. Ternyata
rumah tua itu seperti rumah seorang kepala kampungSerambi depannya lebar dan
luas. Berpagar batu dan berpintu gerbang. Begitu tiba didepsn pintu gerbang, seseorang
membuka pintu itu dengan perlahan-lahan. Lalu
muncul ah seorang gadis yang cantik luar b iasa. Pandang
matanya bersinar tajam. Kulit wajahnya halus. Perawakan tubuhnya padat semampai.
"Akh!" Lingga W isnu terkejut. "Kecantikan dan
kemanisannya merupakan gabungan perwatakan Sekar
Prabasin i dan Suskandari. Heran ... benar-benar
mengherankan. Di atas gunung yang sunyi senyap
begini, berdiam seorang gadis cantik jelita tiada taranya."
Lingga W isnu hendak membuka mulutnya atau gadis
itu telah mendahului. Dia tertawa manis sekali sambil
berkata lembut: "Apakah tuan yang datang
kemari untuk berpesiar" Ayah telah membicarakan diri t uan " Lingga W isnu mengucapkan terima kasih.
Lalu mengikuti gadis itu masuk ke dalam, pekarangan rumah yang dilalu inya, penuh bunga aneka-warna yang semerbak
harumnya. Bila pemilik rumah tidak berpendidikan,
mustahil dapat mengatur petamanan itu demikian serasi
serta indah. Rasanya t idak kalah dengan t aman bunga di
kota besar. Orang tua - ayah gad is itu - sudah menghadang
diserambi depan dengan tertawa ramah. Diatas meja
benar-benar telah tersedia beberapa botol minuman
keras dan beberapa piring ikan segar.
"Bagaimana kesan tuan tentang Telaga Sarangan
kami?" "Benar hebat dan agung." jawab Lingga W isnu dengan
sungguh-sungguh. "Keindahannya, lebih menarik daripada T elaga Puteri ."
"Apakah tuan pernah melihat Telaga Puteri juga?"
potong orang tua itu. "Secara kebetulan aku lewat dan berkesempatan
menikmati keindahannya." ujar Lingga W isnu. Dan orang
tua itu tertawa lebar" Katanya;
"Hanya sayang sekali. Seseorang jarang sekali dapat
menghargai keindahan gunung dan telaganya. Mereka
lebih tertarik kepada jabatan tinggi, pangkat besar dan
logam yang berwarna kuning. Sayang, bukan?"
Mendengar ucapan orang tua itu, Lingga W isnu
terperanjat. Pikirnya didalam hati:
"Ia menyebut-nyebut logam kuning. Bukankah emas
yang dimaksudkan" Apakah dia sudah dapat menduga
maksud kedatanganku kemari" Akh, aku terlalu curiga.
W alaupun harta warisan itu berada digunung ini, belum
tentu dia mengetahui. Sekiranya mengetahui, masakan
dia t inggal diam?" Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya jadi
tenteram kembali. Tatkala tuan rumah mempersilahkan
meneguk minuman keras, ia dapat melayani dengan baik
dan wajar. Kemudian berbicara tentang kesenian,
kebudayaan, wayang kulit- dan sejarah. Ternyata orang
tua itu dapat berbicara banyak tentang semuanya itu.
Terutama masalah seni wayang kulit dan sejarah..
Dengan demikian mereka berbicara seperti dua
sahabat yang akrab. Hanya saja masing masing tidak
menanyakan nama dan asal usul seolah-olah suatu
pant angan besar. Setelah meneguk beberapa gelas minuman, orang tua
itu nampak menjadi pusing. Dengan tertawa mohon
maaf, ia berkata: "Tenagaku tidak sekuat zaman dahulu. Kepalaku
sudah pusing. Perkenankanlah aku mendahului beristirahat. Pemandangan sekitar dusun ini sangat indah
diwaktu bulan purnama. Bila tuan ingin menikmati
keindahannya, silahkan Tuan tak usah bersegan-segan.
Pintu depan tidak akan kami t utup. Dengan demikian, tak
perlu tuan mengetuk. Tolak saja, dan pintu akan terbuka,
Apakah tuan membutuhkan seorang teman" Biarlah anak
kami menyertai tuan"
"Baik sekali orang in i," Pikir Lingga W isnu, "ia seolah-olah mengetahui isi
hatikuku. Memang, ingin aku menikmatr malam bulan purnama. Siapa tahu aku
memperoleh petunjuk-petunjuk yang berharga,"
la lantas mengucapkan terima kasih. Dan tatkala
orang tua itu mengundurkan diri, anak gadisnya telah
berada disisinya Berkata manis:
"Apakah tuan untuk yang pertama kali ini datang
kemari?" "Y a." sahut Lingga W isnu kaku.
"Ayah berkata, bahwa tuan datang dari arah Telaga
Puteri. Mungkin tuan datang dari Kartasura. T etapi entah
dimana dan kapan ".. aku seperti pernah melihat wajah
tuan." "Akh, kau pandai berkelakar." sahut Lingga W isnu
dengan tertawa. "Sebenarnya aku ingin berkenalan
denganmu pada t ahun-tahun sebelumnya, Sayang, baru
sekarang aku mengenalmu. "
Gadis itu tertawa. Tetapi tidak menanggapi ucapan
Lingga W isnu. Katanya mengalihkan pembicaraan:
"Silahkan! Kamar untuk tuan tidak begitu baik.
Maklum, rumah pegunungan,"
Lingga W isnu menjenguk kamarnya, Ternyata bersih
dan menyenangkan. Jendelanya menghadap sebuah
kolam ikan yang ditanami berbagai tetanaman bunga.
Harum bunganya menusuk lubang hidung.
Gadis itu kemudian mengundurkan diri. Katanya
dengan lembut: "Pemandangan sekitar rumah ini menggairahkan.
Makin mendalami makin terasa keindahannya yang
abadi. Tapi ent ahlah. Orang kota biasanya lebih tertarik
kepada harta benda."
Lingga W isnu terkejut. Pikirnya didalam hati:
Dia pun menyebut-nyebut harta benda seperti
ayahnya. Apakah keluarga in i benar-benar sudah
mengetahui maksud kedatanganku."
Kalau begitu aku harus berwaspada.
0odwo0 Lingga W isnu tidak segera menidurkan diri. Teringatlah dia kepada Sekar Prabasin i Kemana perginya
gadis itu" Aku tersesat kemari, akan tetapi setidaktidaknya memperoleh kamar dan
pelayanan yang baik. Sedang dia mungkin sekali menginap ditengah alam. Akh
.. ia mengeluh didalam hatinya.
Tak terasa ia melemparkan pandangnya keluar
jendela. Bulan gede sedang memancarkan cahayanya.
Hatinya tertarik. Segera ia mengerubungi dirinya dengan
pakaian tebal, kemudian keluar halaman mereguk
keindahan malam. Ia mendengar desah gelombang Telaga Sarangan.
Lalu berjalan mendaki bukit dan berdiri didekat batu.
Telaga Sarajgan yang kena pantulan cahaya rembulan
amat indah bila dijenguk dari atas. Kegedeannya
dipantulkan kembali oleh permukaan air. Kesannya
agung dan menyedapkan perasaan.
Selagi ia tertawan keindahan telaga itu tiba-tiba ia
mendengar suara tembang (nyanyian) seorang gadis
yang berbunyi begini: Samengko kang tinutur. sembah katri kang sayekti katur
mring Hyang Sukema, suksmanen sehari-hari arahen dipun kacukup sembahing jiwa sut eng ngong.
alih bahasa: Sekarang yang akan dikatakan
tentang sembah ketiga yang benar
Kepada Hyang Suksma Hendaklah kau lakukan setiap hari
Resapkanlah dalam perasaanmu
Kedalam a lam jiwamu. Itulah lagu gambuh yang menganjurkan kepada tiap
Insan agar bersembah kepada Yang Maha Kuasa dengan
bersungguh-sungguh. Kalau diartikan lebih mendalam,
mengandung peringatan pula terhadap siapapun yang
terlalu condong kepada harta benda dan kesenangan
lahiriah. Dalam hal ini, Lingga W isnu merasa diri menjadi
sasarannya. W alaupun pencarian harta itu semata-mata
untuk menuruti kehendak Sekar Prabasini, namun
siapakah yang dapat rnembaca hatinya. Maka ia merasa
perlu untuk memberi keterangan tentang dirinya.
Sahutnya: Didalam dunia ini ada juga seorang laki-laki
Berdiri t egak dengan sebilah pedang ditangan
Apakah arti permata dan kesenangan lahiriah
Bila dibandingkan dengan tugas suci
pada tiap kasatria sejati
Sekali hidup kemudian mati
Bertempur menghancurkan angkara murka.
Begitu kata-kata Lingga W isnu bergaung hilang
diant ara celah-celah bukit, muncul ah gadis, puteri
pemilik rumah, diant ara batu-batu yang mencongak
dipermukaan bumi. Dengan bersenyum ia memandang
Lingga W isnu. Kemudaan melambaikan tangannya
dengan perlahan, Lingga W isnu menghampiri T atkala berada didepannya
sekira lima langkah, berkatalah gadis itu:
"Apakah benar-benar engkau bercita cita hendak
menghancurkan angkara murka?"
"T ak tahulah aku," sahut Lingga W isnu. "Tapi kukira,
bila laki-laki itu sudah mengutuhkan pilihannya, tidakkan
mungkin mengundurkan diri. Kata pepatah bahasa, lebih
hidup satu hari menjadi harimau dari pada satu tahun
menjadi kambing sembelih."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, gadis itu berubah
wajahnya. Dengan tertawa dingin melalui dadanya, ia
berkata: "Kau datang kemari hendak mencari harta bukan"
Janganlah bermimpi yang bukan bukan..! "
Dengan sekonyong-konyong gadis itu menghunus
pedang pendek yang bersinar h ijau. Kemudian menikam
Lingga W isnu dengan gerakan cepat luar biasa. Sudah
barang tentu Lingga W isnu kaget bukan main. Ia
mengelak cepat pula. Menegas:
"Hai! Kenapa?" Gadis itu tidak menyahut. Ia menikam. Kali in i sangat
gesit. Karena dia bersungguh sungguh, tak berani Lingga
W isnu semberono. Segera ia mengimbangi dengan gesit
pula. Hanya saja ia tidak melakukan perlawanan. Setiap
kali d itikam, ia melompat mundur. Karena itu ia terdesak
sampai dengan tiba-tiba berada ditengah-tengah kubu
batu. "T ahan! Berilah aku kesempatan berbicara Dengarkan
dahulu . " Belum lagi ia menyelesaikan perkataannya, muncullah
beberapa orang dari balik batu. Diantara mereka t ampak


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tua pemilik rumah. Ia bersenjata cempuling
Tatkala melompat keatas batu, dengan ganas ia
menyerang. Hebat sambaran cempulingnya Maka tahulah Lingga
W isnu bahwa orang tua itu sudah cukup terlatih dan
pandai menguasai senjatanya, Tenaganya pun cukup
tinggi. 0oodwo00 "Eyang!" seru Lingga W isnu. "Sebenarnya apa yang
sudah terjadi" Kenapa sikapmu mendadak berubah?"
"Hm!,; dengus orang tua itu
"Apakah engkau tidak
merasa sendiri" Mulanya kusangka engkau tetamu
terhormat. Tak tahunya engkau seorang penjahat yang
gila harta benda." Dalam pada itu, delapan petani t adi, ikut muncul pula.
Beberapa orang diant ara mereka berkata hampir
berbareng: "Memang semenjak pagi tadi, sudah kami ketahui
siapa engkau sebenarnya. Kau manusia jahat yang gila
harta. Hayo, bunuhlah dia "
Sekarang, mereka tidak hanya bersenjata pacul
belaka. Tetapi pedang, golok, cagak dan tongkat besi.
Dengan serentak mereka menerjang. Lingga W isnu
mengeluh. Ia tidak diberi kesempatan untuk berbicara.
Maka terpaksa ia mengadakan perlawanan. Dengan
sekali hunus pedang Kebo W ulung berkelebat. Dan dua
senjata mereka terkutung dengan mudah.
Sudah barang t entu, para petani t erperanjat sehingga
mundur dengan tergesa gesa. Syukur, Lingga W isnu
tidak mengejar. Serunya :
"T ahan!" "Apa yang harus ditahan?" teriak orang tua pemilik
rumah dengan tertawa terbahak-bahak. "W alaupun
engkau memiliki pedang mustika, tetapi kami sudah
mengurungmu. Percayalah, tidak akan dapat engkau
berbuat banyak!" Lingga W isnu biasa bergaul dengan orang-orang tua
yang aneh tabiatnya seperti gurunya sendiri dan Ki
Ageng Gumbrek. Selamanya ia menghormati dengan hati
tulus. Juga kali ini.. Meskipun diserang orang tua itu
bertubi-tubi, tak mau ia membalas atau mendesaknya.
Arah sasarannya kepada orang lain.
Akan tetapi gerakan mereka gesit dan aneh luar biasa.
Kalau diserang ia mundur dan yang lain menggantikan.
Tegasnya, mereka menyerang den mundur dengan
bergantian. Merekapun tidak sudi membiarkan senjatanya kena bentrok pedang mustika Lingga W isnu
yang tajam luar b iasa. Karena itu, lambat laun Lingga
W isnu mendongkol juga. Sekarang ia memperhatikan kesepuluh lawannya,
Kecuali orang tua dan gadis itu, kepandaian kedelapan
petani itu t idaklah seberapa. Hanya karena mereka maju
mundur dengan bergantian, tak pernah seorangpun kena
dilukai, "Coba, kuarahkan seorang saja. Ingin ku tahu,
bagaimana cara mereka mempertahankan diri." pikir
Lingga W isnu didalam hati,
Memperoleh pikiran demikian, Lingga W isnu segera
ijendesak seorang petani. Petani itu berlari-larian
sekeliling batu. Lalu lenyap" Sebagai gant inya, gadis
putera pemilik rumah menyerang dengan pedang
pendeknya. Selagi Lingga W isnu menghadapi gadis itu
dengan ragu-ragu, ia diserang dari belakang dan
samping. Cepat-cepat ia mendesak dan menyerang gadis
itu dengan gesit. Mereka semua menghilang dibalik batu.
Sebagai gantinya adalah orang tua pemilik rum ah.
"Hai!" pikir Lingga W isnu. "Merekapun pandai
bertempur seperti keluarga Dandang Mataun."
Memperoleh ingatan itu, ia segera memperhatikan
gerak-gerik mereka. Benar-benar tiada bedanya. Apakah
mereka mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga
Dandang Mataun?" Sekali lagi ia mencari keyakinan. Setelah yakin benar
segera ia bersuit nyaring. Pedangnya berkelebat
keberbagai penjuru.. Sekali bergerak, sasarannya tiga
tempat. Dan mereka lantas saja menjadi gempar dan
terperanjat. Sebenarnya, bila mau Lingga W isnu dapat merobohkan mereka dengan mudah. Akan tetapi ia tak
sampai hati melukai mereka. Tujuannya kini hanya
hendak menerobos keluar dari kepungan, Ujung
pedangnya bergerak gerak tiada hentinya. Dan ia
menyerang tiga sasaran sekaligus. Malahan pada suatu
kali, ia menyerang tujuh sasaran dengan berant ai.
Seketika itu juga, garis pertahanan mereka kacau balau.
Lingga W isnu sengaja mengarah kepada gadis itu.
Dengan gesit ia memburu, setiap kali memunahkan
serangan yang lain. Sebentar saja gadis itu. terdesak
sampai dipint u luar. Ia memekik ketakutan. Dan
mendengar pekiknya Lingga W isnu menghentikan
serangannya, Itulah suatu kesalahan besar bagi Lingga W isnu. Hal
itu diketahuinya benar. Sebab ia takut melukai gadis itu,
Justru pada saat itu, bumi yang diinjaknya amblong.
Gadis itu membarengi dengan pekikan tinggi ..
Lingga W isnu kaget. Ia kaget karena tubuhnya
terjebur kedalam lubang. Iapun kaget dan tertegun
sejenak mendengar pekikan gadis itu untuk yang kedua
kalinya. Kenapa" Pada detik itu, ia membagi perhatian.
Kepada bumi yang diinjak dan gadis itu. Tahu-tahu
Rubuhnya telah terbanting masuk ke dalam lubang.
Sekarang barulah ia teringat untuk menolong dirinya
sendiri. Tetapi telah kasep. W alaupun mempunyai
kepandaian tinggi, tetapi karena gerakannya terhenti,
membuat dirinya kehilangan pegangan. Tak keburu lagi,
ia menolong dirinya sendiri.
Satu-satunya perbuatan yang dapat dilakukan in i,,
hanyalah mencoba menghambat lajunya, Ia kemudian
berjungkir balik. Tatkala kedua kakinya meraba dasar
tanahnya, ternyata lembab seperti berlumpur. Tahulah ia
kini, bahw a dirinya jatuh kedalam sumur yang sangat
dalam. Sumur itu gelap gulita sehingga penglihatannya tak
dapat melihat kedua tangannya. Teringatlah dia, bahw a
di dalam sakunya tersimpan sebuah batu letikan. Maka ia
menyalakannya. Dan dengan bantuan letikan batu api
itu, dapatlah ia melihat sekelilingnya
Ia merobek lengan bajunya dan membakarnya. Api
lantas menyala. Tetapi baunya sangat tajam serta nyaris
menyesakkan napas. Selint asan, ia melihat betapa dalam
dasar sumur yang diinjaknya itu. Tiada harapan untuk
dapat merayap keatas. Dasar tanahnya pun tidak rata.
Untunglah, didepan matanya terlihat sebuah lubang,
Doanya: "Mudah-mudahan sebuah terusan,"
Karena mempunyai penerangan istimewa, ia lantas
memasuki terusan itu. Ternyata sebuah terowongan
mirip lorong dibawah t anah. Selangkah demi selangkah,
ia maju akhirnya tibalah dia kepada dinding batu buntu.
Lingga W isnu menghela napas panjang. Ia berkata
perlahan: "Hai! Tak pernah kusangka, bahwa disinilah ajalku
sampai ... Semua orang memang mati. Tapi aku akan
mati sangat kecewa. Mati tersekap didalam lubang sumur
diatas Gunung Lawu , .."
-0ooo0dw0ooo01. TONGKAT MUSTIKA
TETAPI Lingga W isnu bukan seorang pemuda yang
mudah berputus asa. Semenjak kanak-kanak ia pernah
mengalami penderitaan-penderitaan hebat melebihi
manusia lainnya. Begitu ia berputus asa bangkitlah rasa
amarahnya. Hal itu terjadi, karena ia merasa
dipermainkan nasib. Menurut nasehat orang-orang tua, ia
wajib berhati mulia. Sekarang ia korban dari kemuliaan
hatinya sendiri. Coba andaikata tadi ia tidak mengenal iba terhadap
gadis itu, tidakkan mungkin ia sampai terperosok ke
dalam sumur. Tiba-tiba ia menghantam dinding yang menghalang
didepannya. Kena hantamannya dinding itu t ergetar dan
nampak bergerak-gerak. Melihat hal itu sepercik harapan
timbul didalam hatinya "Apakah ini dinding buatan?" serunya didalam hati.
Oleh harapan itu segera ia bekerja. Sekarang ia tidak
menggunakan tinjunya. Akan tetapi pedang Kebo Wulung
yang tajam luar biasa. Ia membongkar den mengoiekngorek dinding itu gempur
sedikit demi sedikit dan meluruk kebawah. Sekarang ia yakin. Dinding sumur itu benar-benar
dinding buatan. Tambalan dan lapisannya selalu
bergerak-gerak. Maka harapan Lingga W isnu kian
menjadi besar. Segera ia mengerahkan seluruh
himpunan tenaga saktinya. Lalu dilepaskan dengan
dibarengi teriakan nyaring. Inilah yang pertama kalinya,
in menggunakan seluruh himpunan tenaga saktinya,
yang meledak bagaikan dinamit. Dinding sumur itu
ambrol dan ternyata berlubang mirip terowongan.
Tanpa bersangsi lagi. Lingga W isnu masuk merangkak.
Sebentar saja sampailah ia d i dalam ruang lain. Hatinya
tergetar dan heran, tatkala kedua matanya menjadi silau.
Ia memejamkan matanya sejenak. Kemudian menjenakkan dengan perlahan-lahan. Beberapa saat
lamanya ia membuat penelitian dan penyelidikan.
Diperhatikan apa yang membuat matanya menjadi silau.
Setelah memperoleh penglihatan. tegas, ia gembira
bukan kepalang. Disana terdapat sebuah terowongan. Dan cahaya itu
datang dari terowongan t ersebut. Bergegas ia memasuki
terowongan itu yang tidak begitu panjang bila
dibandingkan dengan terowongan yang telah dilalu inya.
Tapi kembali lagi ia tiba pada d inding pembatas. Ia
memperhatikan sebentar. Samar-samar ia melihat bentuk
dinding itu seperti pintu,
Pintu itu terbuat dari batu pualam yang t ermashur liat
luar b iasa. Tajam senjata biasanya tak dapat
merusaknya. Biasanya batu pualam berwarna hijau. Tapi
pintu itu berwarna putih. Dengan demikian, termasuk
batu pualam yang jarang terdapat didunia Melihat
bentuknya yang luar biasa, maka harganya tak ternilai
lagi. Lingga W isnu menyimpan Pedang Kebo Wulung. Hatihati ia meraba pintu pualam itu.
Halus dan licin. Ia meraba-raba sampai akhirnya d iketemukannya lubang
kunci. Melihat lubang kunci itu, harapannya menjadi
semakin besar. Teringatlah dia kepada kunci emas. Dan
dengan berdoa ia mengeluarkan kunci emas dari dalam
sakunya. Hati-hati ia memasukkannya. Ternyata tepat sekali.
Dan dengan bersorak ge mbira di dalam hati, ia memut ar.
Klik! Pintu didorongnya terbuka. Dan begitu terbuka
kedua matanya Benar-benar silau.. Meskipun belum
melihat dengan tegas, namun hatinya sudah dapat
menebak. Itulah harta karun. Harta warisan yang
diketemukan pendekar Bondan Sejlwan .
Segera ia masuk dan menutup pintunya kembaliKemudian, ia menyimpan kuncinya
kembali didalam sakunya. Sekarang ia membuka matanya lebar-lebar.
Akh, benar. Di depannya terdapat timbunan permata dan
emas tak ubahnya sebagai bukit. Meskipun ruang itu
sebencinya gelap gulita, tetapi bercahaya terang
benderang oleh pantulan cahayanya. Seketika itu juga, ia
tertegun. Perasaannya seperti di alam mimpi. Benarkah
ia kini berada dide-pan bukit harta karun yang tak
terhitung lagi jumlahnya"
Lingga W isnu menghampiri dan mengaduk-aduknya,
tiba-tlba tangannya menyentuh suatu benda panjang.
Tatkala ditarik, ternyata sebatang tongkat yang terbuat
dari pualam murn i berlapis emas dan Bertabur berlian.
Samar samar ia melihat ukiran huruf yang berbunyi:
tongkat mustika penguasa dunia. ,
Membaca huruf itu, ia tersenyum. Pengukir huruf ini
terlalu rendah menilai budi manusia. Benarkah kehidupan
manusia ini berada dalam pengaruh harta benda semata"
Tetapi tatkala ia memut ar-mutar hulunya, penutupnya
terlepas. Tongkat itu ternyata berlubang seperti
serubung. Ia melongoknya dan menemukan segulung
lontar yang terbuat dari kulit. Entah kulit apa.
Segera ia membebernya. Ternyata sebuah peta. Ia
lantas memeriksanya dengan teliti. Peta itu melukiskan
tempat-tempat dan gunung gunung dengan jelas.
Terdapat pula sungai sungai dan letak tanah. Dan
dibawahnya terdapat petunjuk-petunjuknya. Bagaimana
cara mempertahankan dan menyerang.
dw Teringatlah Lingga W isnu, bahwa itulah peta pada


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

zaman Airlangga merebut negeri dari kekuasaan laskar
Sriwijaya. T iba-tiba ia heran sendiri, apa sebab dia dapat
membaca dan memahami bahasanya. Bukankah Airlangga hidup pada abad kedua belas"
Tatkala pandang matanya sampai di sudut peta,
terukirlah huruf yang berbunyi Trunajaya. Dan
membaca itu, ia heran dan kaget. Pikirnya didalam bati:
"T runajaya" Bukankah pahlawan Madura yang dapat
meruntuhkan tahta raja Kartasura" Bagaimana petanya
dapat berada dalam ruang ini" Sebenarnya harta benda
ini warisan Trunajaya atau Airlangga?"
Ia menjadi bingung sendiri. Tiba-tiba teringatlah dia
kepada ayah bundanya. Bukankah keluarganya hancur
akibat perebutan tongkat mustika ini" Tak terasa ia
mengucurkan air mata "Entah sudah berapa jiwa korban untuk memperoleh
peta ini. Peta yang sesungguhnya tiada gunanya lagi.
Lihatlah, peta ini hanya melukiskan sebagian daerah
Jawa Timur dan Jawa Tengah, Daya gunanya tidak
begitu menarik lagi. Ia memperhatikan sederet tulisan lagi yang belum
dibacanya, Bunyinya: Bila tongkat ini muncul, tanah Jawa akan cerah bagaikan sinarnya matahari
"Hem' Lingga W isnu mendengus. "Peta terkutuk! Ayah
terpaksa mengorbankan jiwanya dengan sia-sia, Kabarnya, tongkat mustika ini berada diatas kepundan
Gunung Lawu di seberang jembatan Jala Angin, Tak tahu
mendekam disini. Sekarang telah kutemukan. Untuk apa
. . ?" Sekonyong-kcnyong teringatlah dia, bahwa disekitar
Surakarta sedang berkecamuk peperangan yang menentukan antara Gusti Said dan pihak Belanda, Bila
peta ini dipersembahkan kepadanya, alangkah akan
Jejak Di Balik Kabut 7 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Sepasang Pedang Iblis 11
^