Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 21

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 21


kehendakmu sendiri."
Lingga W isnu kemudian menghunus sesuatu dari balik
pinggangnya. Itulah sebatang tongkat yang diketemukan
didalam goa harta karun - dan melihat tongkat itu,
mereka semua berseru tertahan :
"Tongkat! Hei, tongkat apa?"
"Inilah tongkat mustika yang kalian perebutkan. Nah,
ambillah tongkat ini. Kepadaku kalian berdua harus
menuntut dan bukan kepada pemilik wilayah ini." sahut
Lingga W isnu dengan mengangkat kepala, dia sengaja,
berlagak oleh rasa mendongkol dan benci. kemudian
dengan menjejakkan kakinya ia terbang tinggi dan
mendarat diatas daun kering.
Sudah barang tentu Anung Danusubrata tidak sudi
membiarkan pemuda itu mendarat dengan aman
sentausa. Dengan tongkatnya ia menggebuk permukaan
air. Seketika itu juga, air teraduk dan berputar-putar.
Bahaya besar segera mengancam. Sebab mau tak mau
Lingga W isnu terpaksa mendarat. Dan bila sampai
mendarat, artinya kalah. Karena itu Sudarawerti sampai
memekik. Diluar dugaan, Lingga W isnu dapat melesat
mundur dan mendarat pada daun kering lainnya.
Anung Danusubrata tak mau kalah pamor. Segera ia
meloncat pula kedalam air. Meskipun gemuk, tetapi
Anung Danusubrata sudah berhasil menggabungkan tiga
aliran sakti menjadi satu. Gerak-geriknya luar biasa gesit
dan bertenaga dahsyat. Ia menyabetkan tongkatnya
menghajar law annya yang masih muda.
Lingga W isnu terpaksa mundur lagi. Menyaksikan hal
itu, timbul rasa girang dalam hati Anung Danusubrata. Ia
hendak main desak, bila didesak terus menerus,
bukankah Lingga W isnu terpaksa melompat undur
kedarat ... " Akan tetapi dugaan Anung Danusubrata meleset.
Lingga W isnu kini tak sudi mundur lagi. Ia menghalangkan tongkatnya dan mulai mengadakan
perlawanan. Manakala melihat bahwa Anung Danusubrata mendesak terus, ia menabas permukaan
air. Air lantas saja berput aran cepat sekali.
Berkelahi diatas air tidaklah semudah didaratan.
Kecuali harus mahir meringankan tubuh, harus pula
lincah. Susahnya lagi b ila hendak menghajar lawan mau
tak mau terpaksa mengerahkan tenaga. Dengan tekanan
tenaga itu, kaki yang berada diatas daun kering akan
melesak kedalam. Sekarang Anung Danusubrata menghadapi air berputar. Selagi demikian, air itupun menghisap pula.
Dalam kagetnya, ia memukulkan tongkatnya. Ia berharap
dapat memperoleh arus tenaga berbalik. Akan tetapi
kedua kakinya sudah terlanjur melesak kedalam
permukaan air. Cepat-cepat ia meloncat ke arah daun
kering yang berada didepannya.
Tatkala itu, ia melihat Lingga W isnu bergerak hendak
menghalangi. Buru-buru ia menghimpun tenaga dan
meniup sekeras kerasnya. Hebat tenaga tiupannya.
Permukaan air bergelombang dan hampir saja membuat
Lingga W isnu kehilangan keseimbangan. Selagi demikian,
iapun menyerang pula. Lingga W isnu t entu saja tak tinggal diam. Tongkatnya
menabas. Dan pada det ik itu, tubuhnya membal keatas.
"Hei! Kau mau apa?" teriak Anung Danusubrata.
Ia menghajarkan tongkatnya. Justru demikian, ujung
tongkat Lingga W isnu menikam dari udara dan tepat
sekali mengenai ujung tongkatnya. Ia kaget, sebab
tongkat Lingga W isnu seakan-akan menempel. Dengan
mati-matian ia mencoba membebaskan diri. Tapi ia kena
tekan. Tak mengherankan, berat t ubuhnya menjadi dua
kali lipat. Kedua kakinya lantas saja melesak kedalam
sebatas dengkul. "Hei!" ia memekik terkejut.
Lingga W isnu tersenyum. Sebenarnya Anung Danusubrata harus mengaku kalah. Tapi orang tua itu
agaknya tak sudi mengalah. W ataknya selamanya mau
menang sendiri. Agar membuat hatinya puas, Lingga
W isnu menyongkelkan tongkatnya. Seketika itu juga,
tubuh Anung Danusubrata terangkat naik dan di
lemparkan kedaratan. Dia sendiri lant as berjungkir balik
dan mendarat pada daun kering disebelah sana.
Anung Danusubrata tak dapat menguasai diri lagi.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba saja saluran perasaannya
macet. Tahu-tahu, ia terbanting diatas tanah bergedebukan. "Danusubrata! Kau kalah!" terdengar suara Jaganala.
"Sudahlah! Kau harus mengaku kalah."
Merah padam wajah Anung Danusubrata. Memang ia
harus merasa kalah. Akan tetapi hatinya belum puas.
Bagaimana kalau mengadu kepandaian didarat" Tiba-tiba
saja t imbullah rasa jahatnya. Ia berpura-pura berseru:
"Anak muda! Aku kalah. Aku pantas menjadi
muridmu." Lingga W isnu tertawa. Ia lantas mendarat. Diluar
dugaan, tiba-tiba Anung Danusubrata membuang
tongkatnya. Lalu menyerang dengan tangan kosong.
Lingga W isnu menyambut serangan itu dengan tangan
kiri samb il menyimpan tongkatnya pula. Suatu gelombang dahsyat mulai berbenturan.
Sebentar saja, wajah Anung Danusubrata nampak
merah padam. Dengan megap-megap ia berseru kepada
Prangwedani : "Inilah saat-saat pertaruhan kita. Apakah kau akan
tinggal diam?" Prangwedani seperti kena sihir. Terus saja ia
melompat dan menempelkan t angannya pada punggung
Anung Danusubrata. Lingga W isnu kemudian merasakan
betapa tenaga Anung Danusubrata jadi bertambah sekian
lipat. Sudarawerti dan Sekar Prabasini jadi tak senang hati.
Inilah pertempuran. kerubutan seperti kanak-kanak.
Sekar Prabasini yang berwatak panas, lantas saja
mengejek: "Bagus! Inilah Ketua Aliran besar Ugrasawa dan
Parwati yang kepandaiannya hanya mengkerubut
seorang pemuda yang pantas menjadi cucu muridnya.
Bagus!" Tentu saja, mereka berdua mendengar belaka katakata Sekar Prabasini. Akan tetapi
pada saat itu, mereka seumpama berada diatas punggung seekor harimau. Tak
dapatlah mereka mengalah atau meleng sedikit saja.
Bahaya mengancam akan bertambah besar.
Dalam pada itu berkatalah Rara W indu :
"Tenangkan hatimu, anak! Himpunan tenaga sakti
sahabatmu itu masih lebih dari pada cukup."
Sekar Prabasin i menoleh. Mendengar ucapan gurunya,
hatinya mau percaya. Maka sekarang ia dapat mengikuti
adu tenaga sakti itu dengan hati mantap.
Anung Danusubrata berdua Prangwedani mengeluh
ketika merasa himpunan tenaga sakti mereka seperti
terkuras. Mereka terperanjat dan berusaha mati-matian
hendak membebaskan diri. Akan tetapi jasmaninya
seperti kena arus aliran listrik yang mahabesar. Tak
dapat lagi mereka bergerak. Karena itu mereka
mengeluh. Sekarang mereka hendak berteriak. Akan
tetapi set iap kali hendak membuka mulut kerongkongannya seperti kena gumpalan darah yang
akan segera keluar. Selama hidupnya, belum pernah mereka takut,
berkecil hati atau gentar terhadap siapapun. Kini mereka
merasakan hal itu. Hatinya meringkus ciut. Dan suatu
bayangan mati tercetak didepan kelopak matanya.
Keruan saja wajah mereka pucat lesi.
Syukur, Lingga W isnu dapat menguasai diri. W alaupun
hatinya tadi benci dan terbakar rasa ingin membalas
dendam, tapi dia sudah biasa h idup terhina dan
direndahkan. Dapat ia memaafkan dan memaklum i. Oleh
pertimbangan itu, perlahan-lahan ia menarik tenaganya
kembali. Lalu meloncat undur beberapa langkah. Dan
pada saat itu, Anung Danusubrata dan Prangwedani
roboh lunglai. Mulut nya menyemprotkan darah. Dan
seluruh himpunan tenaga saktinya t erkuras habis. Benar,
pengetahuannya tidak hilang, akan tetapi untuk bisa
memperoleh himpunan tenaga sakti sedahsyat sekarang,
akan membutuhkan waktu, dua atau tigapuluh tahun
lagi. Padahal umurnya kin i sudah mendekati seratus
tahun. Masih adakah harapan untuk memperoleh gerak
hidup lagi" Mereka jadi berputus asa. Semua jerih
payahnya jadi sia-sia. Entah apa sebabnya tiba-tiba
teringatlah dia kepada kutuk leluhurnya. Siapa yang
berani menggabungkan tiga ilmu saktinya yang sudah
dibagi akan hancur seluruh hidupnya. Dan kutuk itu
benar-benar terjadi kini.
0dewi-kz0 1. SELAMAT TINGGAL SEMUANYA
DENGAN MENGHELA napas Ki Jaganala merenungi
dua sahabatnya yang roboh terkulai di atas t anah. Ia jadi
teringat kepada watak serta perangai diri sendiri dikala
mudanya. Diapun dahulu besar kepala dan mau menang
sendiri. Syukur dia sadar serta insyaf terhadap kebajikan
manusia sesungguhnya. Seumpama tidak, diapun
mungkin akan mengalami nasib demikian.
"Kemasan! Maukah kau menolong mereka?" ia
menoleh kepada kemenakan muridnya.
Tak dapat ia mint a bantuan terhadap Sekar Prabasini
maupun Sudarawerti. Karena mereka gadis, mereka pun
bermusuhan dengan dua sahabatnya itu. Juga, ia tak
dapat mint a bantuan Lingga W isnu yang justru
bermusuhan langsung. Tapi diluar dugaan, Lingga W isnu
menghampiri dan t erus memondong Anung Danusubrata.
Menyaksikan hal itu, Ki Jaganala kagum bukan main.
Sedang Rara W indu memanggut puas dan teringat
kepada Basaman waktu mudanya. Diapun memiliki hati
lapang. Selapang hati Lingga W isnu.
Ki Jaganala kemudian menggendong Prangwedani.
Tatkala Hajar Kemasan buru-buru hendak menggantikan,
ia menolak. Dengan lembut ia berkata:
"Kata orang, kanak-kanak harus belajar mewarisi
pengalaman orang tua. Tapi sesungguhnya, pada w aktu
ini orang tua harus belajar kepada pengucapan hati
kanak-kanak. Sekarangpun aku sedang menjadi murid
anakku Lingga W isnu."
Sudah barang tentu, Lingga W isnu tersipu. Sahutnya:
"Eyang! Tak berani aku menerima penghargaan
demikian tinggi. Kalau sampai terjadi begini, sesungguhnya karena t erpaksa saja. Hatiku tadi, sangat
sakit. Sekarang setelah melampiaskan, apa guna aku
berkepanjangan. Siapapun berhak dan diberi kesempatan
untuk mencari jalan kesadaran."
Anung Danusubrata dan Prangwedani kemudian
ditempatkan didalam bilik sebelah. Mereka masih belum
memperoleh rasa sadarnya kembali. Luka yang diderita
terlalu parah. Andaikata tidak memiliki himpunan tenaga
sakti yang sudah mencapai tataran kesempurnaan, niscaya jiwanya sudah terenggut. Lingga W isnu kemudian menceritakan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

latar belakang peristiwa pertemuannya dengan Anung Danusubrata dan Prangwedani. Rara W indu dan Jaganala menghela napas panjang. Sedang Sekar Prabasini dan Sudarawerti merah
padam karena mendongkol dan benci.
"Sekarang, perkenankan aku mohon penjelasan agar
tenteramlah hatiku." Akhirnya Lingga W isnu berkata.
"Eyang Jaganala adalah tokoh berjuba abu-abu yang
menolong dan menyelamatkan ayunda. Tapi seingatku,
aku melihat tiga tokoh yang berpakaian jubah. Yang
pertama eyang. Yang kedua paman Podang W ilis dan
yang ketiga samar-samar. W aktu itu, aku kena
dipukulnya. Apakah bukan pendekar Prangwedani?"
"Benar." Jaganala mengangguk membenarkan. "Itulah
sebabnya tak dapat aku mengulurkan tangan tatkala
melihat ayah bundamu kena keroyok. Satu-satunya jalan
yang dapat kulakukan hanyalah menyelamatkan ayundamu. Maklumlah, mereka adalah sahabat sahabatku. Aku terikat pada arti persahabatan itu."
Diingatkan peristiwa itu, Sudarawerti menangis sedih.
Lingga W isnu kemudian menghibur :
"Ayunda! Ayah bunda sudah terkubur baik baik. Eyang
dan paman-paman guru yang melakukan upacara
penguburan. Akupun dahulu menangis sedih diantara
kesadaranku yang bentar ada dan tiada. Hal itulah yang
membuat hati eyang guru runtuh. Eyang guru sampai
mengorbankan pantangan rumah perguruan demi
merebut hidupku. Akan tetapi ternyata kebaikan eyang
guru disalah gunakan Anung Danusubrata dan Prangwedani." "Kenapa t ak kau bunuh saja?" Sudarawerti menyahut
diant ara sedu sedannya. "Mereka kini sudah punah seluruh himpunan tenaga
saktinya. Seorang penggembalapun dapat memukulnya
roboh. Mudah-mudahan, mereka menjadi sadar. Dan
kuharapkan saja b isa merubah diri dalam menghabiskan
sisa hidup nya." Ki Jaganala dan Rara W indu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti apa maksud Lingga W isnu. Kemudian
bertanyalah Rara W indu: "Anak! Jika kau tak berkeberatan, maukah kau
menerangkan tentang asal usul tongkatmu itu" Dan
siapakah gurumu?" Lingga W isnu berbimbang-bimbang sebentar. Kemudian ia menyebutkan nama: Kyahi Sambang Dalan
dan Ki Ageng Gumbrek. Setelah itu pengalamannya
merint au dengan Sekar Prabasin i. Karena percaya bahw a
baik Rara W indu dan Ki Jaganala sudah menjauhi serba
duniawi, ia menyebut tentang goa penemuannya. Hanya
saja tidak menyinggung tentang harta karun. Didalam
goa itulah ia menemukan tongkat sakti dan pedang Naga
Sanggabuwana. Juga kitab sakti yang kin i d ipendamnya
menunggu jodohnya. Rara W indu dan Jaganala menghela napas kagum.
Mereka saling pandang. Kemudian berkata hampir
berbareng: "Inilah yang dinamakan jodoh. Benar-benar kehidupan
ini ada yang mendalangi."
Kemudian berkatalah Rara W indu:
"Anak! Ilmu saktimu kini berada jauh di atas kami.
Bagaimana dengan sahabatmu Sekar Prabasini?"
"Eyang ... kitab sakti itu telah kupendam. Kalau aku
bisa mewarisi adalah karena aku telah memiliki bekal
sebelumnya. Himpunan t enaga sakti Sekar Prabasini kini
masih rendah. Bila kelak sudah dapat mewarisi
kepandaian eyang berdua, akulah yang akan menjemputnya. Dan selanjut nya akulah yang akan
menyempurnakan. Maksudku, barulah aku dapat mengisikkan ajaran-ajaran yang terdapat didalam kitab
sakti itu." "Baik." Rara W indu mengangguk. "Tapi kenapa kau
rela berkabar kepadanya?"
"Sebab kitab sakti itu, kami berdua menemukannya.
Seperti tongkat dan pedang. Aku tongkatnya dan dia
pedangnya." jawab Lingga W isnu cepat.
"Dan kakakmu Sudarawerti. Bagaimana?" tiba-tiba
Jaganala ikut berbicara. "Dia sudah selesai pelajarannya.
Apa yang kumiliki sudah kuwariskan kepadanya."
Lingga W isnu menoleh kepada kakak perempuannya.
Dengan girang ia menyahut:
"Sudah barang t entu, ingin aku hidup berkumpul lagi
seperti dahulu." "Y a, begitulah baiknya. Dengan demikian pelajaran
Sekar Prabasini tidak akan terganggu." Rara W indu
membenarkan. Itulah keputusan yang menggembirakan meskipun
berat hatinya berpisah, namun kesediaan guru mereka
berdua merupakan suatu rezeki yang luar biasa
besarnya. Karena itu, dengan ikhlas ia mengangguk. Lalu
Sekar Prabasini menghampiri L ingga W isnu menyerahkan
pundi-pundi. Katanya: "Kau masih sanggup membawa ini, bukan?"
Mereka semua tak mengerti apa isi pundi pundi itu.
Mereka hanya mengira, niscaya bersangkut paut dengan
suatu perjanjian. Lingga W isnu merasa perlu memberi
penjelasan. Katanya : "Inilah abu jenazah ibunya. Sebelum wafat beliau
mint a kepadaku agar mempersatukan dengan kerangka
suaminya. Itulah ayah Sekar Prabasini berbareng
guruku." "Guru yang mana?" Jaganala menegas.
"Y ang memberikan aku sejilid kitab warisannya,
disamping kitab yang kutemukan."
"Bondan Sejiwan?"
"Benar." "Dialah ayah Sekar Prabasin i?"
"Benar." "Hm." Jaganala menjenak napas, "aku mendengar
nama itu. Nama yang menggoncangkan jagad. T ernyata
dia pendekar yang benar-benar hebat."
Puas hati Sekar Prabasini mendengar Ki Jaganala
memuji ayahnya. Dan tatkala ia hendak menyatakan
terima kasih, t iba-tiba Sudarawerti berkata:
"Adik. Aku seorang perempuan. Meskipun belum jelas,
tapi aku tahu arti hubunganmu. Kau serahkan dia
kepadaku! Aku akan mewakili dirimu. Selama kau
menyelesaikan pelajaranmu, akulah yang mengawal dan
mengamat amati - kalau dia nyeleweng, akulah yang
akan menarik t elinganya. Karena itu, legakan hatimu."
Sekar Prabasini tertawa lebar. Ia menundukkan
pandangnya. Sedang wajah Lingga W isnu menjadi panas.
Tapi ucapan itu, benar-benar mengenai sasarannya. Hal
itulah yang sesungguhnya membuat hati Sekar. Prabisini
gelisah. Apa arti segala kepandaian, bila kehilangan
kekasih hati" Gurunya, Rara W indu adalah contoh yang
jelas." Demikianlah, pada keesokan harinya Lingga W isnu
dan Sudarawerti berpamit turun gunung. Baik Ki
Jaganala maupun Rara W indu menyertai doa restunya.
Sedang Sekar Prabasini melepaskan dengan ikhlas.
Sepanjang jalan mereka berbicara tak berkeputusan.
Sudarawerti menceritakan pengalaman hidupnya selama
berpisah. Tiada yang dapat diceritakan, kecuali hanya
perasaan sedihnya dan rasa sunyinya. Maklumlah ia
hidup tersekap di atas gunung. Sedang Lingga W isnu
mengulangi kisah perjalanan hidupnya yang berlaratlarat. Kali ini lebih cermat
dan bersungguh-sungguh. Maka tak terasa mereka telah t iba dipinggang gunung.
Hari itu, tiada hujan tiada kabut. Matahari bersinar
cerah, sehingga pemandangan terasa segar. Petak-petak
hutan nampak tegak berwibawa serta agung. Kadangkadang angin meniup membungkuk-
bungkukkan puncak mahkot anya. Lalu suara gemeresah dan bergaungan
saling menyusul dan mengendapkan.
Pada waktu itu sepak terjang kompeni memang
kejam. Mereka tidak hanya membunuh saja tapi
menawan, menyiksa, memperkosa dan merampas hartabenda milik rakyat. Kaum
pujangga menyebutnya sebagai 'wedon putih (=hantu putih). Kecuali menggambarkan w arna kulitnya yang putih, juga sebagai
makhluk menakutkan. "Ayunda! Akan kubawa engkau melint asi rimba dan
celah-celah jurang untuk mengintip mereka." kata Lingga
W isnu. "Apakah kau kira aku orang kota sampai kau perlu
menyebut rimba dan jurang?" sahut Sudarawerti.
Lingga W isnu tertawa. Maksud perkataan itu
menggambarkan betapa besar perhatiannya terhadap
kakaknya perempuan satu satunya. Kemudian ia
mendahului berjalan. Makin lama makin cepat. Setelah
itu berlari-larian sedang dan kencang. Dan selama itu,
Sudarawerti dapat menjajari bahkan seringkali mendahului. Sama sekali napasnya tak mengangsur,
itulah suatu tanda, bahwa himpunan tenaga saktinya
telah mencapai t ataran sempurna.
Tatkala tiba didekat padepokan Argajati petang hari
hampir tiba. Suasananya sunyi senyap. Hal itu bahkan
membuat hati Lingga W isnu berdegupan. Cepat mendaki
ketinggian. Merasa kurang puas, ia memanjat pohon.
Dan begitu melihat kebawah, darahnya tersirap.
Pertapaan telah menjadi abu. Disana-sini tanah
terbongkar. Syukur, dengan sekali pandang tahulah dia,
bahw a goa harta karun agaknya belum tergerayangi.
Maka bergegas ia turun sambil berkata:
"Niscaya telah terjadi suatu perubahan yang
mengerikan. Pertapaan menjadi abu serata tanah. Mari
kita lihat goa peninggalan gurumu."
Dengan melalui jalan yang telah dikenal Lingga W isnu
membawa Sudarawerti melompati jurang dan memasuki
terowongan. Dalam goa itupun, kosong melompong.
Karuan saja Lingga W isnu terperanjat sampai tertegun.
Dengan wajah setengah pucat, dia berseru:
"Ayunda! Kalau sampai terjadi sesuatu mengenai
keluarga eyang Argajati, aku akan menanggung malu
selama hidupku." Sudarawerti ternyata dapat berpikir cepat. Tatkala
menghadapi malapetaka keluarga, ia sudah cukup
dewasa sehingga apa yang di alaminya merasuk dalam
perbendaharaan hati - setelah menatap wajah adiknya,
dia berkata: "Biarlah aku yang menyelidiki. Aku seorang perempuan. Bila pandai membawa diri, takkan terjadi
suatu halangan atau hambatan."
Sudarawerti t ak menunggu pembenaran Lingga W isnu,
dengan gesit tiba-tiba tubuhnya melesat keluar goa.
Sebentar saja, bayangannya lenyap dibalik rimbun
pepohonan. Lingga W isnu kemudian mulai membuat penyelidikan.
Ia menyalakan lentera, dan dengan lentera itu ia
memeriksa seluruh ruang goa. W alaupun sunyi tapi t iada
yang rusak. Itulah suatu tanda, bahwa goa belum pernah
terinjak kaki musuh. Memperoleh kesimpulan demikian,
dia berlega hati. Setelah itu memasuki bilik-bilik
penginapan. Di belakang terdapat sisa makanan dan
minuman. Sedang bilik penginapan Botol Pinilis kosong.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba teringatlah dia bahw a kakaknya seperguruan
yang seorang ini pandai berpikir seperti meramal. Maka
ia menyelidiki kamarnya dengan teliti dan cermat. Tapi
sekian lama ia meneliti dan memeriksa, sama sekali tiada
di ketemukan tanda-tanda yang menggembirakan.
"Apakah mereka memutuskan untuk menyerbu musuh
dengan tiba-tiba?" pikir Lingga W isnu. "Mungkin sekali
mereka memikirkan diriku dan Sekar Prabasini."
Teringat akan peristiwanya, ia jadi sedih. Andaikata
mereka adalah dirinya, tentu akan gelisah dan bingung
pula. Memperoleh pikiran itu, tiba-tiba timbul an
semangat juangnya. Katanya kepada diri sendiri:
"Kalau mereka sampai celaka, akulah yang berdosa."
Dia bergegas keluar. Tepat pada saat itu Sudarawerti
melayang masuk sambil berseru:
"Semuanya sepi. Tapi kuketemukan sebuah kuburan
baru. Entah kuburan siapa."
Tercekat hati Lingga W insu mendengar warta itu.
Bergegas ia keluar menjenguk kuburan itu. Ia
bermenung beberapa saat lamanya. Lalu berkata:
"Bila ada yang dikubur, pasti ada pula yang mengubur.
Mari kita cari." Lingga W isnu masih asing terhadap wilayah itu.
Karena itu usahanya sia-sia.
"Bagaimana kalau k ita ikut i jejak kompeni" Setelah itu
kita mencari keterangan pa da penduduk yang hidup.
Kukira mereka bisa memberi keterangan."
"Akh benar." seru Lingga W isnu.
Hari masih gelap. Untung sekali dalam usaha musim
hujan. Jejak kaki manusia dan binatang belum t erhapus,
karena air hunan senantiasa mengalir ke bawah. Dua jam
kemudian bulan muncul dilangit. Hal itu memudahkan
pengamatannya. Tapi setelah sekian lama tetap siasia.
"Kau dikenal oleh beberapa orang disini - kenapa kau
tak menyulut obor saja dan mendatangi padepokan"
Kukira akan menarik perhatian orang." kata Sudarawerti
mengemukakan pendapatnya.
"Akh, benar." seru Lingga W isnu tertahan. "Kenapa
tidak semenjak tadi?"
Oleh pikiran itu segera ia mencari rumput kering dan
rant ing-ranting. Kemudian ia membakarnya. Beberapa
saat saja obor istimewa itu terbakar. Dan dengan obor
itu mereka memasuki padepokan lagi membuat
pemeriksaan. Dugaan Sudarawerti ternyata benar. Pendengaran
mereka berdua yang tajam melebihi manusia lum rah,
mendengar pernapasan orang. Napas orang itu kian
mendekat. Dia berhenti, lalu mengint ip. Tiba-tiba berseru
ragu: "Apakah angger Lingga?"
"Eyang puteri! Benar, aku Lingga."
"Akh, kau membuat kami bingung dan membuat
segala perubahan." kata nenek Argajati mendekat. "Mari
ikut aku. Sebentar kau akan mendengar semuanya."
Mereka dibawa memasuki celah tebing dan tak lama
kemudian tiba disebuah pedusunan yang terletak
ditengah hutan. Selama perjalanan, mereka tidak
berbicara sepatah kata-pun. Baru setelah memasuki
batas dusun itu, nenek Argajati berkata:
"Ayah Saraswati telah pulang dengan tenteram dua
hari yang lalu." "Kenapa" Apakah sakit?" Lingga W isnu terbelalak.
"Akibat lukanya. Tapi tak mengapa. Dia puas karena
sudah selesai menunaikan darma baktinya."
Lingga W isnu merasa tak enak hati. Ia merasa
berdosa. Maka dengan wajah berubah ia mint a
keterangan : "Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"
Nenek Argajati menatap wajah Lingga W is nu.
Kemudian menjawab: "Mari masuk. Anak-anak ingin bertemu denganmu."
Mereka dibawa memasuki sebuah rumah beratap
alang-alang. Lingga W isnu kemudian memperkenalkan
Sudarawerti pada Saraswati juga Rara W itri. Mereka
nampak gembira begitu melihat Lingga W isnu.
"Eyang! Kulihat padepokan hancur menjadi abu.
Dengan uang itu, biarlah adik-adik membangunnya
kembali. Juga perkampungan ini.
"Terima kasih, angger." sahut nenek Argajati. "Tapi
coba kisahkan kembali, kemana saja angger pergi selama
ini." Lingga W isnu kemudian menceritakan kepergiannya
dengan singkat tapi jelas. Juga tentang diri Sekar
Prabasin i yang kini sudah menjadi murid Rara Windu dan
Ki Jaganala. Mendengar disebutnya kedua tokoh tua itu yang
ternyata masih hidup segar bugar, keluarga Argajati
nampak berbahagia dan terhibur. Setelah itu nenek
Argajati ganti berkabar. Katanya :
"Kami semua percaya, angger tidak akan mendapat
halangan. Sebab kami percaya rezeki angger sanget
besar. Sekiranya tidak demikian, angger sudah
meninggal sewaktu terjungkal dalam sumur itu. Tentang
padepokan itu sendiri, sebenarnya kami sendiri yang
membakar. Dengan tidak memperoleh tempat meneduh,
kompeni akhirnya mengundurkan diri. Tetapi tentang
gurumu dan ketiga kakakmu seperguruan, angger harus
segera menyusul." "Kenapa?" Migga W isnu terperanjat.
"Pada hari itu juga, kami berhasil menembus
kepungan kompeni. Lalu mengungsi kemari. Pada malam
harinya kami membakar padepokan itu. Eyangmu
Argajati terluka. Disini dia kami rawat. Dan disini pula dia
meninggal." kata nenek Argajati dengan suara tenang.
"Setelah kompeni mengundurkan diri, ketiga kakakmu
seperguruan dan Ki Ageng Gumbrek berusaha mencarimu. Tiga hari mereka pergi lalu memut uskan
hendak mengikuti gerakan kompeni. Dua hari yang
lampau angger Botol Pinilis datang kemari. Dia berkabar
bila Lingga wisnu datang kemari katakan bahw a dia
sudah berada dipadepokan Kyahi Basaman untuk
menyelamatkan dari sasaran kompeni yang kian menjadi
biadab. Hanya itu pesannya."
"Apakah dia t idak memberi keterangan lain lagi?"
"T idak." "Apakah kompeni akan menyerbu padepokan eyang
guru?" "Kalau mereka bisa menyerbu kemari, kenapa tidak
dapat kesana?" jawab nenek Argajati.
"Aku merasa berhut ang kepada eyang guru bila
sampai terjadi malapetaka, hidup berumur panjangpun
rasanya tak senang. Biarlah malam ini juga, kita
menyusul mereka." "Bila diperkenankan, kamipun akan ikut serta." tibatiba Saraswati dan Rara W
itri memohon. Lingga W isnu berbimbang sejenak. Lalu memutuskan:
"Terima kasih, adik. Akan tetapi adik masih dalam
suasana berduka. Lagipula padepokan eyang guru t iada
sangkut annya dengan padepokan Argajati. W alaupun
dalam hal ini adik bersiaga penuh demi memunahkan
kompeni yang sewenang terhadap rakyat kita."
Alasan L ingga-Wisnu masuk akal. Maka nenek Argajati
dapat menahan lagi. W aktu terasa amat berharga.
Terpaksa mereka melepaskan Lingga W isnu dan
Sudarawerti melanjutkan perjalanan.
Untuk mencapai padepokan Kyahi Bafeman harus
mengambil jalan berputar. Perjalanan demikian, membutuhkan waktu t iga atau empat hari pada dewasa
itu. Sebab harus melalui perbatasan W engker, W alikukun
dan Ngrambe. Angkatan bersenjata tak dapat mengambil
jalan memotong, mengingat letak tanahnya. Kecuali itu,
akan dihadang jurang dan tebing yang tinggi. Apalagi
bila mereka membawa per lengkapan senjata berat. Hal
inilah menguntungkan Lingga W isnu. Karena tidak
membawa sesuatu dan hanya berjalan dengan
Sudarawerti seorang, dapat ia menembus hutan rimba,
melalu i jurang dan mendaki tebing tinggi tanpa
kesukaran sedikitpun. Tapi, karena ia kalah tempo,
betapapun rasa hatinya jad i gelisah. Memikir demikian,
larinya kian pesat. Sampai dibawah suatu tanjakan, mereka melihat
serombongan orang. Jelas sekali mereka salah satu
rombongan kompeni. Hanya saja mereka terdiri dari
rombongan pekerja bayaran. Kata Lingga W isnu:
'A yunda! Mereka membawa beberapa obor kuda.
Mungkin sekali persediaan bahan makanan. Meskipun
mereka hanya pekerja lepas namun tak boleh kita
biarkan sampai di t ujuannya. "
"Kita gebah saja kudanya. Atau harus kita bunuh?"
sahut Sudarawerti. "Jangan! Jangan melakukan pembunuhan da hulu."
"Baik." Mereka menghampiri dan dengan tiba-tiba menyergap.
Tanpa berkata sepatah katapun juga. Sudarawerti
melemparkan beberapa penunggang kuda dan menggebah kudanya. Sudah barang tentu mereka
terkejut. Tatkala terbanting diatas tanah, mereka
mengerang sambil berteriak:
"Perampok! Perampok!"
Satu rombongan lain datang hendak memberi
pertolongan akan tetapi kena dicegat - dengan sekali
kebas mereka terpental balik dan kuda-kuda lari
berjingkrakan. Tak mengherankan, pemiliknya memaki
kalang kabut . Namun mereka harus merasa untung,
karena t ak perlu kehilangan jiwa.
Lingga W isnu dan Sudarawerti kemudian melanjutkan
perjalanan. Baru saja melint asi tanjakan, muncul ah
beberapa orang dari balik tikungan jalan. Mereka lantas
saja menghadang. Ternyata mereka bersenjata senapan.
"Minggir!" bentak Sudarawerti. Ia mengayunkan cemiti
hasil rampasannya. Gugup mereka menangkis dengan senapannya. Dan
tepat pada saat itu Lingga W isnu mengebas. Suatu
gelombang angin dahsyat mementalkan tubuh mereka.
Lalu terdengar jerit mereka, karena terhunjam senjatanya masing-masing.
Sebenarnya Lingga W isnu tiada bermaksud membunuh atau melukai mereka. Ia mengibaskan
tangannya, karena mengkhawatirkan Sudarawerti. Maklum, selama hidupnya atau sebagian besar hidupnya
ia tersekap diatas gunung. Niscaya masih asing t erhadap
daya tembak sepucuk senapan.
Tatkala tiba dibawah padepokan, Lingga W isnu
merasa lapar. Ia mengajak Sudarawerti menghabiskan
sisa bekalnya. Lalu mulai mengatur rencana. Karena
padepokan Kyahi Basaman tak mempunyai anggauta
wanita, maka Sudarawerti harus menyamar.
Tepat pada saat itu, ia mendengar derap kuda ramai.
Serombongan serdadu berkuda lewat. Segera Lingga
W isnu dan Sudarawerta melesat mendahului. Karena
cepatnya, t iada seorangpun yang mengetahui. Kemudian
ia menggelundungkan beberapa batu pegunungan.
Celakalah mereka. Tatkala itu mereka sedang memasuki
celah tebing. Kena gelundung batu, mereka mati kena
gencet. Makin lama Sudarawerti makin tertarik menyaksikan
gerak-gerik Lingga W isnu yang cekatan serta sebat.
Segala tindakannya pasti dan meyakinkan. Dibandingkan
dengan dahulu, ia kagum luar biasa.
Tak sempat lagi ia bermenung. Lingga W isnu telah
mengajaknya mendaki gunung. Tak jauh didepannya
nampak serombongan orang lagi. Kali ini mereka
bersenjata tajam. "Jika begini halnya, niscaya telah ada rombongan yang
mendahului. Pada saat ini mungkin mulai bergebrak. Tapi
kenapa tak terdengar letusan senapan sekalipun?" Lingga
W isnu menjadi gelisah. "Untuk mengurangi kekuatan mereka, biar lah
kusingkirkan dahulu manusia-manusia itu. kata Sudarawerti. Tanpa menunggu persetujuan adiknya,
Sudarawerti melompat. Hebat gerakannya. Tahu t ahu
mereka semua sudah tak bersenjata lagi. Berbareng


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan runtuhnya senjata mereka, terdengar jeritan
memilukan. Mereka terpental tinggi di udara dan runtuh,
sebagian besar jatuh ke dalam jurang. Sedang lainnya terkapar pingsan.
"Bagus!" puji Lingga wisnu. Sekarang barulah dia
menyaksikan kepandaian Rara W indu dan Ki Jaganala
yang rupanya sudah diwarisi kakaknya perempuan. Jika
kelak Sekar Prabasini demikian pula, ia tinggal
menyempurnakan saja. Mereka meneruskan perjalanan lagi. Kembali lagi ia
melihat berkelebatnya sesosok bayangan mengenakan
jubah. Ia sedang diubar delapan orang yang berteriakteriak:
"Hei, kau mau apa" Jangan harap kau bisa memberi
bantuan kawanan berandal disin i."
Terang sekali, bayangan berjubah itu berada dipihak
Kyahi Basaman. Dan Lingga W isnu bersakit hati
mendengar orang-orang itu menyebut padepokan Kyahi
Basaman sebagai sarang kawanan berandal. Terus saja
ia melesat dan mencegat mereka.
"Kalian menyebut sarang berandal" Nah, inilah
berandalnya." seru Lingga wisnu.
Mereka terperanjat, karena kena hadang dengan tibatiba. Sebelum sempat berbuat
apa pun, mereka terlanda angin dahsyat. Tiba-tiba saja tubuh mereka terangkat
tinggi. Dan tanpa ampun lagi mereka terpelanting jatuh.
"Lingga!" seru bayangan berjubah yang balik dengan
mendadak. Lingga W isnu menoleh. Ia kaget bercampur girang
karena mengenal suara itu. Sahutnya :
"Kakang Botol Pinilis!"
"Kau baca pesanku?"
"Lewat nenek Argajati."' "Bagus! Kau nant i harus mengabarkan semuanya. Sekarang, marilah kita lintasi tebing itu! Mungkin sekali Kyahi Basaman sedang menghadapi keroyokan. Untung, gurumu sudah tiba disana." "Guru yang mana?"
Lingga W isnu minta ke terangan.
"Kedua-duanya. Guru kita dan gurumu Ki Ageng
Gumbrekz." jawab Botol Pinilis.
Karena keadaan tak memungkinkan untuk berkepanjangan, mereka melanjutkan perjalanan dengan
berdiam diri. Tebing yang menghadang didepan, segera
mereka rangkaki. Dan sampailah mereka disebuah
Ketinggian yang datar. "Kakang! Biar aku yang masuk. Kakang dan ayunda
berjaga-jagalah disini. Barangkali mereka menyembunyikan penembak penembak jarak
jauh." kata Lingga W isnukz. "Benar. Majulah!" Botol Pinilis menyetujui .
Lingga W isnu kenal liku-liku pertapaan. Ia mengambil
jalan memut ar. Tatkala sampai d ibelakang gununggunungan, ia melihat seseorang
lari ketakutan. Ia menduga dan mengamati. Kiranya si Samin salah
seorang pekerja dapur pertapaan. Dia dahulu sering
membawakan makanan, t atkala ia berebah sakit didalam
kamar. Seringkali dia bercanda dengan maksud
menghiburnya. Maka segera ia menegor dan mendekapnya" "Mau kemana?" Kena dekapan Lingga W isnu, Samin bergemetaran.
Katanya mohon dikasihan i:
"Ampun, tuan." "Mint a ampun?" Lingga W isnu tertawa. "Coba lihat,
siapa aku!" Perlahan-lahan L ingga W isnu menguraikan t angannya.
Sekarang Samin memut ar tubuhnya dan mengamatamati. Agaknya tak segera ia
mengenal. Mungkin karena malam hari atau masa perpisahan yang terlalu lama.
"Bukankah kau Samin?" tanya Lingga.
"Terdengarnya seperti suara gus Lingga. Benar?"
"Benar. Aku Lingga W isnu."
"Masya Allah!" seru Samin. Lalu melompat memeluk.
"Min! Padepokan ini sudah t erkepung. Kau hendak lari
kemana" Dari pada kau tertangkap seorang diri,
bukankah lebih baik bersama-sama aku?"
"Benar. Tapi apa sebab bila memasuk i pendapa itu,
siapapun lantas rebah tak berdaya" Menurut bunyi ajaran
paman pamanmu dahulu, itulah obat bius. Apakah bukan
pengaruh roh jahat?"
Lingga Uilnu perlu cepat-cepat. Maka ia mendahului
berjalan. Didebat persimpangan, penciumannya yang
tajam menangkap bau yang mencurigakan. Ia merandek.
Lalu berbisik kepada Samin:
"Kau bersembunyilah disin i!"
Samin mengangguk. segera ia menyesapkan tubuhnya
kedalam gerumbul. Dan seorang diri Lingga wisnu
memasuki bangunan padepokan. Segera ia mengenakan
ilmu saktinya tingkat tujuh. Seketika itu juga, nalurinya
menyibakkan jalan. Ia seolah-olah dibawa menghampiri
sesuatu. Lalu berhenti dengan tiba-tiba. Dan tatkala itu ia
melihat gelombang asap. "Hai! Apakah asap ini yang menyebabkan?" pikirnya
didalam hati. Memang, itulah asap hashish, semacam tetumbuhan
yang mengandung asap pelumpuh. Tetumbuhan itu
berasal dari negeri Cina dan dibawa masuk ke Timur
Tengah. Pada zaman dari Omar Khay am, daun pelumpuh
itu sangat termashur dan ditakuti orang. Terutama para
wanita dan gadis-gadis. Siapapun akan roboh tak
berdaya bila menghisap asapnya. Apalagi sampai
memakannya atau minum. Tak mengherankan muridmurid Kyahi B asaman kena t
erobohkan. Mereka bersedia
berkelahi sampai mati, namun tiba-tiba seluruh sendi
tulangnya lemah lunglai. Lalu lumpuh dan akhirnya
kehilangan kesadaran. Syukur Lingga W isnu sudah memiliki tingkatan ilmu
manunggal dengan sarwa alam seakan-akan mendapat
petunjuk. Ia melihat empat orang menutupi hidungnya
dengan sehelai kain. Mereka sedang meniup-niup suatu
persediaan yang berasap tebal. Lingga W isnu menaruh
curiga. Terus saja meloncat dan menerkam mereka.
Perdiangan itu kemudian di padamkan.
"Siapa yang perintah?" bentaknya.
Mereka berempat sama sekali tak mengira, bahw a
seseorang akan menerkamnya dan ternyata tahan
menghisap asap. Karena itu, mulutnya seperti terkunci.
Selagi demikian, Lingga W isnu membelejeti kain
penutupnya. "Jangan!" mereka mencegah dengan ketakutan.
"Masih berasap."
Mereka menuding kearah sisa asap yang masih
mengepul tebal. Seketika itu juga timbul ah pikiran
Lingga W isnu hendak mengetahui tentang cara kerja
asap yarg menyebarkan bau tak sedap. Ia melemparkan
mereka berempat. Ke arah asap. Mereka megap-megap
dan tersendat. Tahu-tahu mereka roboh tak berdaya.
Lingga wisnu memeriksa keadaan mereka. W alaupun
kehilangan kesadarannya, namun peredaran darah,
denyut nadi dan pernapasan masih berjalan wajar. Ia
jadi girang. Kalau begitu, paman-paman gurunya yang
kena asap jahat itu, masih b isa disadarkan kembali bila
asap bius y ang dihadapannya hilang. Maka ia menginjakinjak. Setelah itu, ia
membuat mereka berempat lumpuh.
Lingga W isnu tak mau kepalang tanggung lagi. Ia
menanggalkan pakaian salah seorang yang berperawakan besar. Kemudian dikenakan pada dirinya
sebagai pakaian rangkap. Setelah itu menyelungdup
lewat dapur menuju serambi depan. Danjpada saat itu, ia
mendengar suara beberapa orang bersahut-sahut an :
"Jika tua bangka itu tak mau tunduk, kita sembelih
saja beramai-ramai. "'
"Y a, padepokan inipun kita bakar saja."
"Jangan! Jangan kita bakar! Anjing tua itu akan mati
terbakar. Terlalu nyaman. Biar kita seret dahulu, lalu kita
kuliti." Merah telinga Lingga W isnu mendengar suara mereka.
Ia melihat empat orang berdiri didepan serambi yang
sudah penuh dengan manusia. Hal itu mengingatkan dia
kepada peristiwa yang pernah dialami dahulu. Tapi kali
ini penuh dengan manusia-manusia berseragam. Terdiri
dari suku-suku bumiputera dan beberapa orang serdadu
Belanda. Lingga W isnu memasuki ruang depan dengan hatihati. Karena ia berseragam seorang
serdadu bawahan, tiada orang yang memperhatikan. Ia melihat Kyahi
Basaman duduk di atas meja bundar berkaki rendah.
W ajahnya pucat dan pandang matanya kuyu. Suatu
tanda bahwa dia sedang sakit keras. W alaupun demikian
ia tak rebah, kena asap bius.
Sebaliknya mereka semua mengenakan kain penutup.
Karena itu bisa bergerak dan berbicara dengan bebas.
Apalagi empat orang tadi yang mempunyai tekanan
suara bernada nyaring dan kuat.
"BasamanI" kata seorang murid Mayor Belanda.
"Semua muridmu sudah berada ditanganku. Mereka
hanya luka sedikit."
"Luka" Apakah bukan keracunan?" sahut Kyahi
Basaman dengan tenang. Mayor itu terhenyak sedetik seakan akan kena tusuk.
Lalu berkata terpaksa: "Benar. Terpaksa kami menggunakan alat pertolongan, karena ilmu kepandaian kalian sangat
tinggi. Karena itu kini perkenankan aku menasehatimu.
Hendaklah kau ikut kami semua."
"Apakah hanya itu nasehatmu?"
"Kau dengarkan dahulu. Seluruh penduduk kini sudah
mau mengerti maksud baik kompeni Jakarta. Kami
datang untuk meninggikan kebudayaan kalian. Agar
keludukar kalian sejajar dengan bangsa lainnya."
"O, begitu?" "Maksud kami datang kemari semata mata untuk
menyadarkan dirimu. K ami jamin, bahwa murid-muridmu
akan mendapat kedudukan yang layak. Lihatlah
contohnya kaum Parwarti dan Ugrasena."
"Hm. W alaupun kaum Parwati dan Ugrasena
mempunyai semangat bertempur demi napsunya, namun
selamanya berlawanan dengan kompeni. Karena itu aku
heran, apa sebab tiba-tiba dua kaum itu takluk kepada
Belanda." ujar Kyahi Basaman. Tubuhnya tiba-tiba
bergoyang dan menyaksikan hal itu, mereka semua
bergembira. Jagonya sudah tak berdaya. Lain-lainnya
adalah mudah. Jika semuanya ini tidak atas kehendak
Tuhan, siapa lagi yang mengatur serba kebetulan itu"
Mayor itu tersenyum. Sekarang ia tak perlu takut lagi.
Apa yang dapat diperbuat seseorang yang lagi sakit.
Maka dengan menegakkan dadanya, ia menjawab:
"Benar. Mereka itulah orang-orang yang pandai
melihat cahaya terang dan segeta meninggalkan dunia
gelap." "Hm." Kyahi Basaman mendengus. "Semenjak dahulu
manusia yang pernah hidup, mati. Siapa yang takkan
mati" Apa yang akan diwariskan kepada angkatan
mendatang" Hanya ini. Semangat pahlawan. Nah, biarlah
semangat pahlawan dan keadilan orang-orang yang
mendahului terpancang di bumi ini sebagai panji-panji
hidup." Mayor itu tertegun. Tiba-tiba seorang yang sangat
dikenal Lingga Wisnu berkata nyaring :
"Jika Kyahi Basaman kukuh pendiriannya, tak perlu
lagi berbicara berkepanjangan. Mari kita ringkus saja."
Dialah Musaf igiloh. Dan dibelakangnya, berdiri tiga.
orang yang menghampiri Kyahi Basaman dengan
gerakan gesit. Tak usah dikatakan lagi, bahw a mereka
berkepandaian sangat tinggi. Lingga W isnu heran. Dari
mana manusia hianat itu memperoleh anggauta
anggautanya begitu hebat"
"Mereka bukan golongan pendekar. Tapi sekumpulan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serdadu. Tak ada kamus angger-angger pertarungan
kasatria sejati. Seumpama dapat aku mengalahkan
beberapa orang, lainnya tidak sud i mengaku kalah." pikir
Lingga W isnu didalam hati.
Selagi hendak bergerak, tiba-tiba terdengar suara
tertawa panjang. Sesosok bayangan berjubah kekuningkuningan menyelinap masuk.
Gerakannya bagaikan kilat.
Dalam sekejab saja sudah berada dibelakang Musafigiloh
dan langsung melontarkan pukulan.
Musafig iloh bukan seorang pendekar berkepandaian
rendah. Tahu dirinya diserang, ia memut ar tubuhnya
sambil menangkis. Maksudnya hendak mengadu keras
lawan keras. Akan tetapi bayangan itu tak sudi kena
bentrok. Sama sekali tak terduga, ia beralih sasaran.
Yang diserang kini orang yang berdiri mengepung Kyahi
Basaman. Lalu pindah kelainnya set elah itu yang
keempat. Luar biasa cepat gerakannya. W alaupun tidak
mengenai sasaran, akan tetapi gerakan perpindahannya
itu cepat bagaikan iblis. Keruan saja yang diserang
tertegun sejenak. Orang berjubah kuning itu kemudian membungkuk
hormat kepada Kyahi Basaman. Berkata dengan suara
ramah: "Kakang Basaman. Selama h idupku baru untuk yang
pertama kali ini, aku menginjak pertapaan ini. W alaupun
sudah lama aku mengenal namamu yang cemerlang,
namun Tuhan baru mempertemukan pada hari in i.
Terimalah sebuah sungkem adikmu Gumbrekz. Jelekjelek aku ikut mengasuh cucumu
Lingga W isnu." Memang orang itu Ki Ageng Gumbrek. Ia muncul pada
saatnya yang tepat. Dan mendengar namanya, Kyahi
Basaman tertawa lebar. Sahutnya sambil memanggut :
"Ah, Ki Ageng Gumbrek. Sudah lama pula aku
mengagumi dirimu. Kau berkata tentang cucuku" Apakah
dia masih hidup?" "Cucumu masih segar bugar." jawab Ki Ageng
Gumbrek. Akan tetapi didalam suaranya mengandung
kebimbangan. Sebab sebenarnya ia tak tahu apakah
Lingga W isnu pada saat itu masih h idup. Yang diketahui,
Lingga W isnu lenyap tak keruan.
"Kalau Ki Ageng yang mengasuh cucu muridku,
matipun hatiku ikhlas." kata Kyahi Basaman.
Itulah suatu pujian yang luar biasa. K i Ageng Gumbrek
sudah lama kagum kepada Kyahi Basaman. Kepandaiannya memang terkenal. Tapi bahw a Kyahi
Basaman ikut menaruh perhatian benar-benar diluar
dugaan. Tak mengherankan pandang matanya berseriseri. Dengan suara rendah ia
menyahut : "Kyahi Basaman merupakan panji panji pendekar
bangsa. Pujianmu terhadapku merupakan suatu kehormatan tak ternilai harganya."
Setelah berkata demikian, ia berputar mengarah
kepada Musafigiloh. Membentak :
"Ketuamu Danusubrata betapapun seorang yang
mempunyai kehormatan Kenapa kau malahan sudi
menjadi begundal kumpeni" Apakah kau bercita-cita
ingin jadi raja" Mayor Belanda yang berada didekat Musafigiloh
membuka mulut. Ia mendahului Musaf igiloh membuka
mulut : "Dia memang pant as menjadi raja. Apa sangkut
pautnya dengan tampangmu."
Pada saat itu, sekonyong-konyong masuklah suatu
benda bulat yang terbang menghantam opsir Belanda
itu. Keruan saja ia kaget. Cepat dia berputar dan
menghantam benda itu sehingga terpukul kesamping dan
jatuh ke lantai bergelundungan. Mereka semua tak tahu
benda apakah itu. Akan tetapi begitu kena pukulan,
terdengar jerit memilukan.
"Hai! Siapa main gila ini?" bentak Musafigiloh.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung melesat masuk
seraya menjawab: "Aku, Sambang Dalan. Kenapa?"
Lingga W isnu bergembira, dialah gurunya yang
dirindukan siang dan malam. Oleh rasa gembira itu,
hampir saja ia meloncat. "Hai!" t eriak Mayor Belanda. Kenapa manusia manusia
tak keruan macamnya ini, di biarkan masuk?"
"Kenapa tak boleh" Laskar Panglima Sengkan Turunan
kini mengepung dan menelanjangi begundalbegundalmu."
Mayor itu tertawa. Sahutnya:
"Aku bukan anak kemarin sore yang dapat kau buali.
Hayo buka! Siapa yang berada dalam karung itu."
Mayor itu mendongkol. Sama sekali la t ak percaya apa
yang dikatakan Kyahi Sambang Dalan. Ia hanya percaya,
bahw a mereka yang datang orang-orang berkepandaian
tinggi. Yang mengherankan, kenapa mereka bisa datang
tanpa penutup hidung" Apakah pengaruh asap bius tak
mempan lagi. Sambil menunggu karung itu dibuka salah seorang
sersannya, ia melayangkan pandangnya, Alam pegunungan itu berkabut, tetapi bukan berasap. Hai
kenapa" Mendadak ia melihat murid murid Kyahi
Basaman yang rebah di atas lantai mulai menjenakkan
matanya. "Musafigiloh, lihat!" ia t erkejut.
Musafig iloh hendak mengalihkan pandangnya. Mendadak pada detik itu, ia mendengar suara sersan
yang membuka karung: "Genggong! Saudara Genggong!"
Lingga W isnu terkejut, ia sampai melongokkan
penglihatannya. Genggong Basuki berdarah mukanya.
Napasnya kembang kempis. Menyaksikan hal itu, Mayor Belanda itu membentak
kepada Kyahi Sambang Dalan:
"Hei! Kau berani menyiksa salah seorang anggauta
kami yang baik?" Kyahi Sambang Dalan tertegun. Ia seperti tak
mempercayai pendengarannya sendiri. Berkata menegas:
"Benarkah dia termasuk anggautamu?"
"Dia seorang pembantu yang baik," teriak Mayor itu.
Sebenarnya Musafigiloh hendak mencegah, tapi kasep.
"Ha, pernyataanmu itu justru memantapkan hatiku,"
ujar "Kyahi Sambang Dalan. "Aku hanya memusnakan
kepandaiannya. Sayang dia membunuh paman gurunya
pula . . . " Tenang kata-kata Kyahi Sambang Dalan.
Tapi bagi Lingga W isnu cukup tegas, bahwa gurunya
marah benar. Biasanya jarang sekali d ia berbicara.
Pada saat itu pula muncul ah Sukesi dan Sugiri.
Mereka muncul seperti iblis. Dengan berbareng mereka
berkata: "Guru! Kamilah yang salah. Sebenarnya adik Lingga
sudah mengkisiki, tapi aku kena dibakarnya. Genggong
Basuki membunuh guru sendiri. Sudah sepatutnya ia
mati karena hutang jiwa."
Dalam pada itu Mayor Belanda pemimpin penyerbuan
menjadi penasaran. Kenapa makin banyak muncul t okohtokoh pandai. Dimanakah anak
buahnya" Mustahil laskar
Panglima Sengkan Turunan benar-benar tiba.
Lagi-lagi muncul dua orang. Kali ini seorang berjubah.
Merekalah Sudarawerti dan Botol Pinilis. Teriaknya:
"Adik Lingga! Kau sekarang boleh menghajar mereka.
Seluruh Kompeni sudah berhasil k ita rampas senjatanya."
"Lingga!" hampir semua hadirin berseru.
Ki Ageng Gumbrek tertawa. Sedang Kyahi Basaman
dan Kyahi Sambang Dalan menatapnya dengan berbagai
pertanyaan. Lingga W isnu kemudian berkata kepada
Musafig iloh: "Musafigiloh! Maaf, terpaksa aku memusnakan semua
kepandaianmu, demi kebaikanmu sendiri dikemudian
hari. Gurumu pada saat in i, sudah menjadi manusia
lumrah pula." "Hai L ingga!" Kyahi Basaman memotong. "Kaulah anak
yang berpenyakitan dahulu?"
"Benar." Lingga W isnu segera datang bersembah.
"T uhan Maha Adil." ujar Kyahi Basaman. "T api
hendaklah kau jangan menyebut rekan Anung Danusubroto dan Prangwedani dengan begitu saja. Kalau
kau mau memanggil diriku eyang. Merekapun rekan
eyangmu." "Eyang, panjang ceritanya. Tapi demi Tuhan, pada
saat ini mereka berdua berada di bawah asuhan eyang
Jaganala dan eyang Rara W indu."
Kyahi Basaman seorang yang saleh. Tapi mendengar
Lingga W isnu menyebut nama Rara W indu, betapapun
hatinya bergetar sampai tertegun. Mustahil Lingga Wisnu
mengarah kisah bohong. Sebab Rara W indu lahir
sebelum ia dilahirkan. Maka berpikirlah dia.
"Y a, biarlah dia menyelesaikan peristiwa ini. Masih
sempat aku mint a keterangan."
Dan Lingga W isnu kemudian melayangkan pandangnya kepada Musafigiloh:
"Bagaimana" Aku akan mengampuni jiwamu, bila kau
mau menjelaskan tentang dua hal. Yang pertama,
peristiwa terbunuhnya kakakku seperguruan Purbaya.
Yang kedua, dimanakah adikku Suskandari, Harimawan
kau t awan?" Musafig iloh kelihatan pucat, dan dia menyahut:
"Aku ... Basuki yang memikat Purbaya dia dibawa
kesuatu tempat. Karena hubungan guru dan murid,
Purbaya tak curiga.. ia kena Kami bius. Selanjutnya
Genggong Basuki sediri yang membunuh ..."
Sampai disitu Botol Pinilis, Sukesi dan Sugiri memekik
karena marah. Kyahi Basaman nampak menguasai diri. la
menundukkan kepala dan Musafigiloh berkata lagi:
"Tentang Suskandari dan Harimawan mereka berada
disin i. Suskandari kami sekap didalam keret a sebab
Genggong Basuki tak mau berpisah dengannya. Ia tidak
hanya gandrung, t apipun sudah gila. sedang Harimawan
kami... ikat dibawah pohon gerumbul itu. Dia ..."
Belum selesai ia b icara, peluru senapan meletus,
Musafig iloh roboh terkulai dengan dada tertembus.
Mayor Belanda yang berdiri d ibelakangnya yang
menembaknya, lalu melarikan diri.
Tepat pada itu sekalian anak murid Kyahi Basaman
tersadar. Mereka melompat bangun dan hendak
menegejar. 00oodwoo00 PA DA MALAM harinya, pesta terjadi di serambi
pertapaan Kyahi Basaman. Suskandari dan Harimawan
sudah terbebaskan. Dan Lingga W isnu kemudia
mengisahkan riwayat hidupnya kepada Kyahi Basaman
semenjak berpisah. Mereka yang mendengarkan. bergeleng kepala.
Sungguh-sungguh ajaib. Lingga W isnu sendiri merasa
sangat berbahagia. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh yang
dikenalnya dan yang dihormati. Tinggal seorang saja,
ialah Palupi. Dalam hati ia berjanji hendak menyambangi
dalam perjalanan mendaki gunung Dieng untuk
mengubur kerangka pendekar Bondan Sejiwan bersama
abu istrinya. Setelah itu ia akan bebas mengarahkan seluruh
perhatiannya ke arah Gunung Lawu, karena seumpama
orang hutang, semuanya sudah dibayarnya lunas. Kini
tinggal menunggu turunnya Sekar Prabasini. Bila terasa
terlalu lama, ia dapat menyusulnya.
Kenapa tidak" (tamat) PDF by Dewi KZ Tiraikasih W ebsite http://kangzusi.com/ Bukit Pemakan Manusia 20 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Wanita Iblis 9
^