Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 20

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 20


mengerinyutkan dahinya. "Eh, sebentar! Aku pernah
mendengar dongeng tentang kepahlawanan Dewa Wisnu
tatkala membunuh raksasa sakti bernama Kasjipu. Dewa
syiwa dan Dewa Brahmana dikalahkan maka Dew a W isnu
merubah diri menjadi singa dengan nama Bathara
Narasinga. Dan matilah raksasa K asjipu."
"Apa hubungannya dengan pamor pedang ini?" Lingga
W isnu menyela. "Menurut cerita, tersebutlah Mpu bernama Hanjali. Dia
hidup di atas samudra. Unt uk memperingati kepahlawanan Dewa W isnu, ia membuat dua bilah
senjata sakti. Yang pertama: sebatang keris. Y ang kedua
sebatang pedang. Keris itu diberi pamor seekor naga
tegak berdiri. Ia menamakan keris Nagasasra. Pedang
itupun diberi pamor seekor naga pula. Bedanya
mencengkeram dunia. Ia menamakan Naga Sanggabuwana." Lingga W isnu berenung sebentar. Kemudian memutuskan: "Mari kita jenguk goa harta karun. Barangkali kita
memperoleh keterangan. Lagi pula, bukankah goa itu
yang harus kita selamatkan?"
Sekar Prabasini mengangguk. Dan mereka berdua
segra melanjutkan perjalanan dengan hati-hati. Mereka
memutar ke arah selatan. Lalu mendaki ketinggian.
Maksudnya hendak mengintai dari atas. Dengan
demikian t idak semata-mata menghampiri goa. Sebab hal
itu akan menarik perhatian lawan. Mereka berlega hati,
karena goa ternyata tidak terusik. Hanya saja mereka
terkejut tatkala melihat padepokan kakek Argajati.
Semua bangunan hancur musna.
Lingga W isnu bergerak mendekati padepokan. Tibatiba telinganya yang kini
menjadi tajam luar biasa mendengar suatu gerak. Ia merandak seraya berseru:
"Awas! Kita sudah terkepung!"
Sekar Prabasin i terperanjat. Ia meloncat kesamping
beraling pada sebatang pohon besar. Tepat pada saat
itu, berdesinglah sebutir peluru. Dan terdengarlah suara
Musafig iloh: "Hai saudara Lingga! Kalau kau tidak menyerahkan
harta itu, tinggalkan kelalamu disini!"
Berbareng dengan gaung suaranya, muncul ah
puluhan orang. Mereka bersenjata tajam dan tampaklah
sebagian besar terdiri dari kaum pendekar. Melihat hal
itu, Lingga W isnu berseru kepada Sekar Prabasini:
"Adik! Apa yang akan terjadi janganlah kau keluar dari
tempatmu. Aku masih mampu melawan mereka semua."
Setelah berseru demikian, ia meloncat ketengah
lapangan dan menjawab kata-kata Musafigiloh:
"Dimana Genggong Basuki?"
Musafig iloh t ertawa. Sahutnya:
"Dia siap menembak tengkukmu. Karena itu, serahkan
harta itu." Lingga W isnu tak menjawab. Ia menjiratkan pandang
kepada wajah lawannya yang kini berada sepuluh
langkah disekelilingnya. Tiba tiba tangannya bergerak.
Tiga orang terpental diudara dan jatuh berjungkir balik di
atas tanah. Itulah suatu peristiwa di luar dugaan
siapapun. Musafig iloh boleh membanggakan otaknya
yang cerdas dan cerdik, akan tetapi sama sekali tak
menduga bahwa ilmu sakti Lingga W isnu demikian
hebatnya sehingga mampu memukul kawan-kawannya
dari jarak jauh. Seketika itu juga, ia seperti tersadar.
Sambil melompat ia berteriak nyaring:
"Awas! Serbu!" Akan tetapi Lingga W isnu kembali menyerang. Dan
kembali lagi terjadi korban. Suara bergedukan terdengar
diant ara kesibukan mereka. Selanjutnya pertempuran
terjadi dengan berserabutan.
Lingga W isnu dikerubut lebih dari seratus orang.
Namun ia tetap gagah dan lincah. Kemana saja
pedangnya bergerak, selalu membawa korban. Musafig iloh lantas berteriak penasaran :
"Semua mundur! Jangan terlalu dekat!"
Memang, pertempuran seperti sebentar tadi, akan
membawa korban banyak. Sebab mereka kehilangan
sasaran karena berdesak desak. Sekarang mereka
mundur. Dengan demikian gerakan Lingga W isnu
kelihatan jelas. Sekar Prabasini menyaksikan pertempuran itu dari
balik pohon. Ia melihat pemuda pujaannya berdiri gagah
bagaikan Dewa W isnu. Dengan gesit pedangnya
berkelebat dan empat orang tahu-tahu menggeletak di
atas tanah. Seorang laki-laki bertubuh kekar mengayunkan goloknya. Terdengar seruan peringatan
kawan nya : "Awas!" Lingga W isnu terkejut. Ia lagi menghadapi tujuh orang
yang maju sekaligus. Kemudian mendengar sambaran
golok yang membawa tenaga besar. Tanpa berpikir lagi,
ia mengangkat tangan kirinya. Krak! Golok orang itu
dapat dipatahkan Bahkan ujungnya terpelanting menikam perut. Dengan sekali menjerit, orang itu
terjungkal di atas t anah.
Menyaksikan kematian orang tua itu anak buahnya
marah tak kepalang. Dengan serentak mereka maju
berbareng. Lingga W isnu melayan i dengan gagah
perkasa. Tiba-tiba terdengarlah suatu letusan beberapa
senjata. Lingga W isnu mengerang. Kedua tangannya
bergerak cepat dan empat orang mati lagi.
Sekar Prabasini yang menyaksikan Lingga W isnu
terluka kena peluru, tak dapat lagi menahan diri. Ia
hendak segera memasuki gelanggang. Tapi sekonyongkonyong ia melihat suatu
kejadian aneh. Pada saat itu
berkelebatiah sesosok bayangan berjubah abu-abu.
Dengan sekali t endang, belasan orang t erpental mundur.
Lalu melompat menerkam Lingga W isnu. Pemuda itu hendak mengadakan
perlawanan. Tapi lengannya rupanya kena tembus peluru
sehingga gerakannya t ak leluasa lagi. Tahu-tahu ia kena
disambar dan dibawa terbang keluar kalangan.
"Hei, berhenti!" Sekar Prabasini mengejar.
Tentu saja, ia tidak melint asi daerah pertempuran.
Akan tetapi mengambil jalan berput ar yang menyekat
arah lari si jubah abu-abu. Diluar dugaan, orang itu cepat
sekali gerakannya tak ubah siluman. Sebentar saja,
tubuhnya teraling deret pepohonan. Sekar Prabasini tak
berputus asa. Ia t erus mengejar. Melihat orang berjubah
abu-abu itu mendaki keatas, ia terus mengejar dengan
menghunus pedang Naga Sanggabuwana.
Rimba raya makin lama makin padat. Teriakan para
serdadu t ak terdengar lagi. Yang terdengar hanya gaung
suara angin menumbuk jurang-jurang dalam. W aktu itu
matahari hamp ir berada d i titik tengah. Dan tatkala ma
tahari mulai condong ke barat. Sekar Prabasini tiba-tiba
saja berada ditengah lapangan terbuka terselimut awan
putih yang berarak-arak t ak henti-hentinya.
Sekar Prabasin i celingukan. Penglihatannya tak kuasa
menembus duapuluh langkah didepannya. Dan hawa
dingin mulai terasa meresapi t ubuhnya. Si jubah abu-abu
tiada nampak lagi dalam penglihatannya. Kemana arah
larinya, hanya set an yang tahu. W alaupun demikian.
Sekar Prabasin i berkeputusan akan mencari t erus sampai
ketemu. Sekiranya harus mati, hatinya ikhlas.
Sekonyong-konyong ia mendengar bunyi langkah. Ia
mendekam sambil menajamkan penglihatan. Beberapa
saat kemudian ia melihat perawakan seorang laki-laki
yang berjalan dengan membawa tongkat. Rambutnya
terurai panjang dan hampir tak mengenakan baju. Sekar
Prabasin i heran. Pikirnya di dalam hati:
"Orang ini pasti bukan sembarangan. Hawa begitu
dingin, namun ia hampir tak mengenakan baju. Kalau
bukan orang berjubah abu-abu yang kini menyamar
untuk mengelabui mataku" Akh, benar begitu! Lingga
terluka, darahnya mungkin membasahi jubahnya. Karena
itu, dia t erpaksa membuka jubahnya.
Dengan pikiran itu, ia hendak meloncat menghadang.
Tepat pada saat itu, ia mendengar orang itu bergumam:
"Kalau memang sudah jodoh. Siapakah yang tersesat
diwilayah begini" Anak dara, kau keluarlah?"
Sekar Prabasini t ertegun Ia kagum bukan main. Orang
itu tidak hanya melihat diri nya, tapipun jenis
kelaminnya. Tapi berbareng dengan perasaannya itu,
rasa curiganya naik pula. Kalau tidak pernah melihat,
betapa mungkin dapat mengetahui dirinya seorang
gadis" Kata-katanya pasti pula. Maka dengan pikiran itu,
ia melompat dan menyahut dengan suara membentak:
"Kemana dia kau bawa?"
Orang itu ternganga. Dengan menggaruk-garuk
kepala, dia berkata: "Siapa yang kubawa?"
"Jangan berlagak dungu. Kalau tidak maka ujung
pedang inilah yang akan berbicara."
Kembali lagi orang itu ternganga-nganga keheranan.
Lalu tersenyum lebar. Sahutnya:
"Kau berbicara mengenai siapa" Kenapa kau menuduh
aku?" "Bagaimana kau bisa tahu, bahwa aku seorang gadis"
Kalau belum pernah melihat, tak mungkin!" ujar Sekar
Prabasin i sengit. "Kau tadi sudah melihat, sewaktu
kukejar dari belakang. "
"Setiap orang pasti tahu, bahwa mengejar seseorang
pasti dari belakang. Masakan dari depan" orang tua itu
mencoba melucu. "Diam! Tak sempat aku bergurau denganmu" bentak
Sekar Prabasini. Orang tua itu kini tertawa gelak. Katanya seperti
kepada diri sendiri: "Benar-benar cocok! W ataknya cocok! Perangainya
cocok! Lagak lagunya cocok!"
"Siapa yang cocok?" Sekar Prabasini menegas.
Sekarang gadis itu berhati panas ini, ganti kena dilagui
orang itu. Orang itu tertawa terbahak-bahak sampai kedua
pundaknya tergoncang. Ia merasa lucu sekali menyaksikan peribadi Sekar Prabasini yang gampang
kena pengaruh. Setelah itu ia berkata:
"W ilayah ini tak pernah terinjak kaki manusia
semenjak puluhan tahun yang lalu. Tiba-tiba aku
mendengar suatu pernapasan. Jelas sekali, itulah
pernapasan seorang insan. Setelah kuamat-amati, tata
napasmu tipis. Tak ragu kau pasti seorang wanita yang
masih suci bersih. Kalau bukan, niscayalah kau seorang
banci. Nah, itulah alasannya kenapa aku dapat
menegormu. Apakah yang aneh?"
Sekarang, Sekar Prabasin i merasa tertarik. Rasa
curiganya hilang sebagian. Namun tak mau ia kalah
gertak. Sahutnya: "Baik. Memang kau berkepandaian tinggi. T api jangan
harap aku bisa kau gertak. Serahkan dia!"
"Siapa yang harus kuserahkan" Coba jelaskan
kepadaku! Mungkin aku bisa menolongmu." kata orang
itu. "Dan aku segera memberi keterangan t entang istilah
cocok tadi kepadamu. Bukankah kau tertarik apa sebab
aku mengulangi kata-kata cocok untukmu?"
Sekar Prabasini mengamat-amati paras orang itu.
Mukanya sudah berkerinyut dan rambutnya sudah putih
pula. Orang setua dia, pastilah tidak berbohong. Apalagi
dia berada di atas gunung yang sunyi. Rupanya sudah
hidup berpuluh tahun pula. Maka berkatalah ia:
"Temanku dibawa lari seseorang yang memakai
pakaian abu-abu. Apakah bukan engkau?"
Orang itu tertegun sejenak. Lalu tertawa perlahan
sambil memanggut-manggut. Meng- guman:
"Nah, apa kataku. Kalau Tuhan sudah memberinya
jodoh, jalan itu pasti ada." Lalu berkata dengan tegas:
"Anak, yang jelas orang yang mengenakan jubah abuabu itu bukan aku."
"Kalau bukan engkau, siapa lagi yang berkeliaran


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disin i?" "Masih ada dua orang, paling sedikit."
Sekar Prabasini terperanjat. Teringat kisah semalam,
hatinya lantas sibuk menduga-duga. Tak terasa ia
menyisipkan pedangnya, kemudian mint a ketegasan lagi.
"Apakah kau kenal dia?"
Orang itu memanggut. Jawabnya :
"Benar. Dia termasuk paman guruku."
"Akh, kalau begitu, apakah engkau yang bernama
Eyang Kemasan?" "Hai! Bagaimana kau tahu?" orang t ua itu terperanjat
hingga ternganga. Sekar Prabasini bergembira. Terus saja ia membungkuk hormat sambil berkata:
"Kalau begitu maafkan kelancanganku. Tak patut aku
menyebut eyang dengan engkau. Maafkan kesalahanku."
Orang tua itu yang memang benar bernama Kemasan,
masih belum hilang juga rasa herannya. Sekian puluh
tahun lamanya ia mengikut i gurunya dan baru hari itu, ia
mendengar namanya disebut orang luar.
"Bagaimana kau tahu, aku bernama Kemasan" Anak,
kau jawablah pertanyaanku ini mungkin
aku bisa menolongmu lebih banyak lagi."
"Eyangku yang memberi keterangan. Eyang Argajati
yang kini menjadi pemilik pertapaan Argajati," jawab
Sekar Prabasin i dengan hati senang. "Semalam, dia
mengisahkan tentang riwayat hidup Eyang Rara W indu.
Beliau pernah ditolong guru eyang. Lalu lenyap dari
percaturan manusia setelah hidup berdamai dengan
eyang Jaganala." "Bagus! Bagus! Orang yang mengenakan jubah abuabu itulah Jaganala. Dialah paman
guruku!" seru Kemasan. "Apakah beliau masih hidup?" Sekar Prabasini tak
percaya. "Apakah umur manusia bisa melebihi seratus
tahun?" Hajar Kemasan tertawa perlahan. Sahutnya:
"Lima atau tujuh abad yang lalu, manusia hidup
sampai duaratus tahun. T api lambat laun makin menjadi
pendek. Mungkin satu atau dua abad lagi, manusia sukar
mencapai usia tujuhpuluh tahun."
Mendengar keterangan Hajar Semasan, maka Sekar
Prabasin i yang masih muda belia, menjadi kekanakkanakan. Serunya kagum:
"Apakah eyang Jaganala mempunyai ilmu sakti
memperpanjang usia?"
"Kau tanyakan sendiri!" ujar Hajar Kemasan. "Usiaku
sendiri sudah melewati seratus tahun. Kenapa tak kau
tak tanyakan kepadaku?"
Lambat laun Sekar Prabasini senang berbicara dengan
kakek itu. Hajar Kemasan sebenarnya berkesan demikian
pula. Kata Sekar Prabasini:
"Y a, bagaimana seseorang dapat mencapai usia
sepanjang itu?" "Apakah kau senang berumur panjang?"
"Setiap orang niscaya berkeinginan demikian. Apalagi
bila h idupnya sejahtera."
"Benar." Hajar Kemasan tertawa. "T api kau lebih
cocok bila bertemu dengan Rara W indu."
"Hai! Apakah beliau pun masih hidup?" Sekar Prabasini
tercengang. Jakar Lefasam mengangguk. Katanya meyakinkan :
"Masih segar bugar seperti ibumu sendiri. Bila saja
bertemu dengan dia, niscaya akan cocok. Itulah
sebabnya berulangkali aku berkata cocok." kata Hajar
Kemasan menerangkan teka-tekinya t anpa dimint a.
"Kenapa begitu?" lagi-lagi Sekar Prabasini kagum. Ia
seperti mendengar sebuah dongeng tentang bidadari
menjadi manusia yang h idup semenjak ratusan tahun
yang lalu. "Puluhan t ahun sudah, ia mengharapkan memperoleh
seorang murid. Seorang pewaris ilmu saktinya. Bila dia
berkesan terhadapmu, maka rezekimu melebihi seorang
raja. Didunia in i, siapa lagi'yang dapat melawanmu."
Sekar Prabasin i t ahu, bahwa kata-kata Hajar Kemasan
tidak hanya terjadi karena hendak membesarkan hatinya
atau sekedar untuk penghibur. Maka dengan sungguhsungguh ia mengucap :
"Sekalipun aku berkemauan demikian, akan tetapi
tiada kemampuanku untuk menjadi muridnya ."
"Akh, janganlah berkata demikian. Kulihat kau
berbakat dan cocok dengan watak dan perangai Rara
W indu. Niscaya kau akan berhasil mewarisi. Kenapa kau
berkata begitu, anak" Hei, siapa namamu" Kau kenal
namaku sebaliknya aku tidak."
Sekar Prabasini tertawa. Menjawab:
"Sekar Prabasini."
"Bagus nama itu! Kaupun seorang dara yang berhati
sederhana!" seru Hajar Kemasan.
Tergetar hati Sekar Prabasini mendengar pujian itu.
Dialah orang ketiga yang menganggap dirinya manusia
baik. Yang pertama ibu kandungnya. Kedua Lingga
W isnu. Dan yang ketiga Hajar Kemasan. Tak
mengherankan, hatinya lantas saja runt uh dan bersedia
tunduk. Setelah diam sejenak, ia menyahut dengan nada
manja : "T api semua orang mengatakan aku berandalan."
Hajar Kemasan tertawa lebar. Katanya:
"Andaikata di dunia ini tiada Rara W indu, aku
berkenan mengambilmu sebagai murid. Biasanya,
seseorang yang berkeinginan menjadi murid akan
berusaha membuat dirinya meyakinkan akan kemampuannya. Akan tetapi kau tadi berkata, bahwa
dirimu merasa tak berkemampuan. Itulah tanda
kesederhanaanmu dan kejujuran. Dan biasanya rasa
jujur sering terdapat pada diri seorang yang disebut
berandalan ." Sekar Prabasini merunt uhkan diri. Dia bersembah.
Berkata: "Akan tetapi dapatkah aku bertemu dengan beliau?"
"Kau berdirilah! T anah diatas gunung ini sangat dingin
dan jahat!" Hajar Kemasan mengulurkan tangannya. Dan
suatu tenaga halus membangkitkan tubuh Sekar
Prabasin i. Katanya lagi :
"Kau dengarkan perkataanku. Memang tiada mudah
bisa bertemu dengan dia. Akupun jarang sekali d itemui.
Akan tetapi bila jodoh itu tiba, semuanya seolah-olah
memberi jalan kepadamu. Kau terimalah pengikat
rambutku. Kau perlihatkan kepadanya. Niscaya ia akan
memperhatikan dirimu!"
Sekar Prabasini menerima pengikat rambut Hajar
Kemasan. Tatkala hendak membuka mulutnya orang t ua
itu meneruskan perkataannya,
"Bila kau bertemu dengan dia, panggilah sebagai
bunda. Dia pasti senang. Sebab pernah dia bercita-cita
ingin menjadi seorang ibu. Tentang orang yang
mengenakan jubah abu abu adalah sahabatnya. Dari dia,
semuanya akan kau peroleh. 'Kaupun harus menghormati
paman guruku itu seperti dia. Bila kau sudah
berhasil.mewarisi ilmu kepandaiannya, berjanjilah kepadaku bahwa engkau akan mengamalkan bagi
kepentingan umum. Nah, berangkatlah anakku!"
Terharu "Eyang! Semua kehendak serta harapan eyang, akan
kulaksanakan. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan
hati eyang di kemudian hari." sahut Sekar Prabasin i.
Setelah berkata demikian, ia meneruskan perjalanannya
dengan petunjuk-petunjuk Hajar Kemasan.
0odwo0 1. ILMU SAKTI GUNTUR DAN BADAI.
PERTAPAAN RARA W INDU berada diatas laut pasir.
Laut pasir yang berada dipuncak gunung Lawu,
dibentengi dua buah kepundan. Di sana terdapat sebuah
makam. Menurut cerita penduduk, itulah makam Putera
Mahkota Kerajaan Majapah it penghabisan. Dia melarikan
diri dan emoh bekerja sama dengan Tentara Islam
(tentara Demak) dan bermukim di atas gunung Lawu.
Dikemudian hari d ia d isebut sebagai Sunan Lawu, dan
meninggal di atas gunung itu.
Rara W indu bermukim didekat makam itu. Ia
mendirikan sebuah rumah dari batu. Tentu saja
bentuknya tidak seperti rumah lumrah. Barangkali lebih
tepat bila disebut kamar atau rumah petak. Karena
letaknya berada di atas gunung bisa dibayangkan betapa
dinginnya. Hampir sepanjang hari dan malam tertutup
embun awan dan hujan gerimis tiada hentinya.
Sebelum fajar hari menyingsing, ia keluar rumah untuk
berlatih mematangkan ilmunya. Kemudian bersiap-siap
berburu binatang. Biasanya ia tiba dirumah sebelum
siang hari tiba. Dan kembali lagi, ia memasuki cara
hidupnya yang sangat sederhana. Menyekap diri
sepanjang malam, setelah berlati lagi di petang hari.
Demikianlah, pada fajar hari itu, ia membuka
pintunya. Ia heran tatkala melihat tubuh seseorang
menelungkup di atas tanah.
Itulah Sekar Prabasini yang tak ingat dirinya lagi
semenjak semalam. Siapa dia" Kenapa langkahnya sama
sekali tak terdengar olehnya" Biasanya, pendengarannya
sangat tajam. Dalam mimpipun ia masih sanggup
menangkap bunyi suara sesuatu yang bergerak di sekitar
rumahnya. Meskipun masih acak-acakan, Sekar Prabasini telah
mewariskan ilmu sakti ayahnya lewat Lingga W isnu.
Itulah ilmu sakti Bondan Sejiwan yang pernah
menggemparkan jagad belasan tahun yang lalu. Kecuali
itu, di atas gunung sunyi senyap semenjak puluhan
tahun yang lalu. Karena itu, tak pernah terlint as dalam
benak Rara W indu bahwa pada suatu kali pertapaannya
akan diinjak kaki manusia. Inilah sebabnya pula, Rara
W indu tak mendengar langkah Sekar Prabasini. Atau
memang atas kehendak Tuhan untuk membuat Rara
W indu terbangun perhatiannya.
Melihat tubuh Sekar Prabasini tertelungkup tak
bergerak, Rara W indu membatalkan niatnya hendak
berlatih. Tak perduli siapa dia, segera ia memapahnya
dan dibawa masuk ke dalam rumah. Ia meletakkannya
diatas t empat t idur yang berselimut tebal. Lalu membuat
pendiangan api. Kebetulan sekali, api tak pernah padam
didalam rumahnya. Maka ia tinggal menyalakan sebesarbesarnya.
Oleh penerangan nyala api, dapat ia mengamat-amati
wajah Sekar Prabasin i yang cant ik menggiurkan. Ia jadi
teringat kepada kecantikan sendiri semasa mudanya.
Karena itu, hatinya kian tertarik. Pikirnya didalam hati :
"Y ang jelas, dia bukan anak bidadari atau keturunan
peri (= jin perempuan yang cantik). Lalu, anak siapa
sampai tersesat di sin i" Mustahil ia mempunyai masalah
seperti diriku, sehingga aku perlu menjauhi dunia ramai."
Untuk memudahkan penghangatan, ia menanggalkan
pakaian Sekar Prabasin i yang basah. T iba-tiba ia melihat
pengikat rambutnya. Ia terkejut dan tercengang. Serunya
tertahan : "Hei, pengikat rambut Hajar Kemasan! Ah kalau begitu
kedatangannya niscaya atas petunjuknya! "
Seketika itu juga, hatinya penuh dengan teka-teki. Apa
sebab Hajar Kemasan menyuruh gadis itu datang
kepadanya. Selagi demikian, kembali lagi ia terkejut
tatkala melihat pedang mustika. Kena cahaya api,
pedang itu memantulkan cahaya kemilau.
"Pedang bagus! Pasti bukan pedang sembarangan!"
Ia membawa pedang itu keperdiangan agar memperoleh penerangan tajam. Namun, belum juga ia
puas. Hatinya ragu-ragu, karena melihat sesuatu yang
meragukan hatinya. "Ah, masakan benar pedang ..." ia bergumam seorang
diri. Kembali lagi ia menatap Sekar Prabasini yang masih
belum memperoleh kesadarannya. Maka ia menyelimut inya dan dibawanya mendekati perdiangan
api yang menyala besar. Setelah itu, ia lari keluar rumah
dengan membawa pedang. Tatkala itu matahari mulai bersinar. Dan sinarnya tiba
diatas gunung mendahului - sinar terang tanah. Ditengah
lapang, ia bisa memeriksa pedang itu secermatnya.
Sekarang ia baru percaya, bahwa penglihatannya tadi t ak
salah. "Benar-benar pedang Naga Sanggabuwana.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana bisa berada ditangan gadis itu?" ia heran
bukan kepalang. Rara W indu tercengang beberapa saat lamanya.
Karena hatinya belum yakin benar, ia berlari-larian
menuju pondok Jaganala. Dengan mengacungkan
pedang itu seperti kanak-kanak, dia berkata kepada
Jaganala. "Kau kenal pedang pendek ini" Lihat! Bukankah
pedang ini yang selalu membuat hatiku risau?"
Rara W indu memperlihatkan pedang Naga Sanggabuwana. Dan Jaganala mengamat amati. Kena
pantulan cahaya matahari, kedua matanya silau. Lalu
bergumam seorang diri "Pedang Naga Sanggabuwana! Benar, ini pedang Naga
Sanggabuwana. Dari mana kau peroleh?"
Rara W indu gembira mendengar pengakuan itu.
Segera berseru : "Usia pedang ini seumur sejarah manusia sendiri.
Bukankah begitu" Inilah pedang pusaka dunia yang t iada
keduanya. Dan pedang ini berada ditangan anak itu."
"Anak siapa?" Jaganala heran tak kepalang. "Coba
ceritakan padaku! Pasti engkau mengalami suatu
peristiwa yang hebat."
Kata-kata Jaganala menyadarkan Rara W indu.
Bukankah semenjak tadi dia belum menceritakan
peristiwanya karena terdesak oleh rasa gembira dan
kagum" Maka sambil memperlihatkan pengikat rambut
Hajar Kemasan, segera ia menceritakan asal-usul di
ketemukan pedang itu. Ia menemukan seorang dara
yang tertelungkup pingsan didepan rumahnya.
"Kau maksudkan seorang gadis?" Jaganala menegas.
"Kalau begitu niscaya ada hubungannya dengan bocah
itu." "Bocah siapa?" Rara W indu berganti mint a keterangan.
"Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Semula
kukira dia tak mampu menghadapi lawannya begitu
banyak Setelah kulihat ia kena sambaran peluru, segera
dia kut olong. Kubawa dia kesebuah goa. Kuuji dia.
Ternyata dia berkepandaian t inggi. Sebenarnya tak perlu
kutolong. Dengan demikian, kaulah yang berbahagia.
Kau sekarang mempunyai harapan, sedang aku belum.
Tapi bagaimana pedang mustika itu dapat berada
ditangan dara itu?" Rara W indu tak dapat menjawab. Setelah berdiam diri
beberapa saat lamanya, akhirnya ia berkata :
"Dalam hal in i ada suatu peristiwa yang berada diluar
kekuasaan kita. Bukankah semua peristiwa dunia ada
yang mendalangi" Paling baik, mari kita uji pedang ini.
Bila benar pedang Naga Sanggabuwana, niscaya terdapat
tanda-tandanya ..." Rara W indu mengajak Jaganala menghampiri sebuah
telaga, sambil membawa pasu. Ia mengambil air kedalam
pasu. Lalu memasukkan pedang pendek itu kedalamnya.
Setelah itu ia mundur lima langkah sambil berkata:
"Kita lihat dari sin i. Tajamkanlah penglihatanmu, agar
tak kehilangan pengamatan."
Mereka berdua kemudian meruntuhkan pandangnya
kepasu yang berada lima langkah di depannya. T iba-tiba
permukaan airnya menjadi cerah. Lalu berubah merah
darah. Permukaannya mulai bergelombang. Dan warna
merah itu berubah lagi. menjadi h ijau. Tepat pada saat
itu, melesatlah segaris cahaya putih melencang keatas
sejauh enam depa. Cahaya itu kemudian berlenggaklenggok tak ubah gerakan ular
menyusur di jalan licin. Dan menyaksikan hal itu Rara W indu girang bukan
kepalang. Setengah berjingkrak ia berseru:
"Benar! Pedang Naga Sanggabuwana! Lihat cahaya
putih itu! Mula-mula lencang. Kemudian berlenggok.
Bayangkan saja, andaikata cahaia itu menikam seorang
lawan. Itulah merupakan tikaman yang berbahaya. Kau
ingat pula perubahan cahayanya tadi. Mula-mu la
cemerlang, kemudian merah. Lalu hijau. Itulah suatu
himpunan tenaga sakti. Himpunan tenaga sakti W asu
Delapan. Menurut cerita, itulah cahaya gapura sorgaloka.
Cahaya itu disebut Hasta Pradipt a. Artinya cahaya
delapan. Cahaya itu bisa pecah menjadi delapan. Juga
merupakan cahaya tunggal. Bila manunggal men jadi
cahaya cemerlang. Mengandung kekuatan dahsyat tak
terbayangkan." (Depa = dua belah tangan direntangkan.
Buw ana = dunia). "Dan yang cahaya merah?" Jaganala mint a keterangan. "Itulah cahaya gelap. Artinya dapat di lepaskan, selagi
lawan tak berjaga jaga. Sifatnya rahasia dan dapat
dilepaskan dari jarak jauh. Dan tahu-tahu musuh sudah
melontakkan darah. Ih, betapa mengerikan!"
Jaganala kagum bukan main mendengar keterangan
tentang kesaktian pedang Naga Sanggabuwana. Cahayanya yang lencang naik keangkasa seakan-akan
sedang menyangga buwana benar-benar. Kini bahkan
pecah berderaian se perti kembang api. Sungguh! Suatu
cahaya pedang yang indah luar biasa."
Tiba-tiba suatu pertanyaan timbul di dalam benak
Jaganala. Kata pendekar itu:
"Kau merendam pedang kedalam air untuk melihat
cahayanya. Maksud air itu, adalah himpunan tenaga
sakti, bukan?" "Masakan kau perlu bertanya demikian?" Rara W indu
berkata. "Hal itu sudah jelas. Jika air satu pasu saja b isa
membersitkan cahayanya, maka bila saja himpunan
tenaga pemiliknya maha dahsyat sudah dapat dibayang
kan betapa hebatnya ..."
Jaganala menggelenglan kepalanya. oleh rasa kagumnya. Katanya kepada dirinya sendiri :
"Bukan main! Syukurlah, pedang itu tak kulihat tatkala
aku masih muda. Sekiranya demikian ... hm ... ah, hebat
bukan main! Cahayanya pasti dapat membuat menikam
gunung ! " "Benar! Dan gunung itu akan runtuh berguguran !"
Rara W indu menguatkan. Jaganala menghela napas pargang.
"Kau berkata, bahwa pemiliknya seorang dara, apakah
kau t ak berniat memperkenalkan kepadaku?"
Rara W indu tertawa. Sahutnya:
"Mari, ikut padaku!"
Dengan membawa pedang mustika dunia itu Rara
W indu lari pulang. Jaganala ikut berlari larian pula.
Begitu tiba didepan pintu, Sekar Prabasini telah
berpakaian lengkap dan duduk bersimpuh menyambut
kedatangan mereka. Katanya pendek :
"Ibu, perkenankan aku bersembah padamu."
Rara W indu tertegun dipanggil sebagai ibu. Hatinya
terharu dan terasa lu luh. Terus saja ia memeluk dan
menciumnya. Sahutnya: "Anakku! Kau siapa?"
"Aku Sekar Prabasini. Ayah bundaku telah w afat."
Rara W indu menatapnya sejenak. Lalu menghibur :
"T ak apalah. Mulai sekarang, kau kuperkenankan
menyebut diriku sebagai ibumu."
Sekar Prabasin i girang bukan main. Ucapan Rara
W indu itu menyatakan diri, bahw a ia sudah diterima
sebagai anggaut a keluarga sendiri. Karena girangnya, air
matanya memenuhuhi kelopak. Memang, semenjak
ibunya meninggal hatinya pepat dan hancur. Ia merasa
dibenci pula oleh semua pamannya. Kini, ia menemukan
seseorang yang sudi menjadi ibunya. Bahkan seorang
pendekar yang maha sakti pula.
"Nah, berdirilah! Ini kakak bunda. Namanya Jaganala.
Kau panggil ah paman."
Sekar Prabasini segera berdiri dan membungkuk
hormat. Dan melihat seorang gadis cant ik yang gerakgeriknya mengingatkan kepada
Rara W indu semasa masih muda, Jaganala tertawa lebar. Katanya kepada
Rara W indu: "Adik! Kau telah menemukan dirimu sendiri. Kau t idak
hanya memperoleh anak angkat, akan tetapi pewaris
pula. Berbahagialah!"
Rara W indu mengetahui arti ucapan Jaganala. Cepat ia
menyahut: "Kakak! Aku tak mau serakah. Kau boleh menganggapnya sebagai pewarismu pula. Tegasnya,
biarlah kita asuh bersama."
Jaganala girang. Hatinya penuh syukur. Apalagi Sekar
Prabasin i. Meminta salah seorang diant ara mereka
berdua sebagai guru, rasanya tak berani. Sekarang
mereka bersedia menjadi guru. Bahkan kedua-duanya.
Maka hari depannya sudah dapat dibayangkan mulai
sekarang. "Sebenarnya, tak berani aku menjadi gurunya. Aku
hanya bersyukur untukmu. Bukankah aku sudah
mempunyai seorang pewaris?" kata Jaganala.
Rara W indu mengangguk. Menyahut:
"Itulah sebabnya aku mempunyai usul demikian.
Muridmu itu, akupun ikut serta mengasuh. Kenapa
sekarang kau menolak calon murid dan anakku?"
"Baiklah. Kuharap saja, anakmu ini bisa bergaul rapat
dengan pewarisku." "Tentu saja." Sebenarnya, ingin sekar Prabasin i mint a keterangan
apakah pewaris ilmu sakti Jaganala. Akan tetapi dia
segera menahan diri Rasanya kurang sopan, ia ikut
berbicara Bukankah dikemudian hari masih ada waktu
panjang untuk mengenal murid Ki Jaganala" Diapun ingin
mint a keterangan tentang Lingga W isnu. Sebab siapa lagi
si jubah abu-abu itu, kalau bukan Ki Jaganala. Akan
tetapi melihat betapa baik sikap K i J aganala terhadapnya
dia percaya Lingga W isnu tidak menemui kesukaran.
Mungkin sekali bahkan mendapat kemajuan yang perlu
diperoleh. o0dw0o LINGGA W ISNU memang dibawa lari Jaganala dari
medan pertempuran. Hebat cara berlari orang tua itu.
Diapun mengenal liku-liku perjalanan yang penuh
bahaya. Mula-mu la menuruni dan mendaki tebing-tebing
yang penuh bahaya, setelah itu melint asi padang belukar
dan mendaki terus. warna sekali ia menganggap
tubuhnya ringan saja. Diapun sebenarnya sanggup
bertenaga seperti orang tua itu, tetapi bahwasanya harus
lari begitu cepat sambil membawa orang adalah diluar
kemampuannya. Suatu kali, perjalanan t erhadang sebuah jurang dalam
dan lebar. Orang tua itu kemudian melemparkan seutas
tali yang mengubat diseberang. Lalu, dengan sekali
lompat ia melayang bagaikan burung bersayap. Akh
benar benar hebat! Pikir Lingga W isnu didalam hati.
Demikianlah, melint asi jurang dalam, Jaganala
membawa Lingga W isnu menuruni sebuah lembah yang
luar biasa sifatnya. Lembah itu terletak diant ara dua
kepundan. Tiada langit atau matahari. Artinya, mega dan
matahari tak terlihat oleh penglihatan karena tertutup
kepundan itu. Dan setelah membawanya kedalam goa
lembah itu, Lingga W isnu di letakkan perlahan-lahan
diatas t anah. Lingga W isnu berdiri tegak. Setelah membungkuk
hormat ia berkata: "Eyang! Perkenankan aku menghaturkan rasa terima
kasih tak terhingga. Bolehkah aku mengenal nama
eyang?" Pandang mata orang tua itu berkilat-kilat. Setelah
merenungi wajah Lingga W isnu beberapa saat lamanya
ia menyahut: "Kau sedang terluka. Kau perlu beristirahat. Disini
terdapat makan minum cukup. Kau rawatlah tubuhmu
dahulu. Baru kita kelak berbicara."
Lingga W isnu seorang pemuda yang cerdas. Kalau
Sekar Prabasini sudah dapat menduga siapa orang tua
itu, diapun demikian pula. Pikirnya, dia mengenakan juba
abu-abu. Siapa lagi kalau bukan Ki Jaganala. T api biarlah
aku berpura-pura t ak mengenal namanya.
Selagi demikian, sekonyong-konyong Jaganala menempeleng Plak! Plak! Keruan saja Lingga W isnu
terperanjat dan tercengang. Sama sekali tak diduganya,
bahw a dia bakal di tempeleng. Selain itu, gerakan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaganala sangat cepat. Maka tak sempat ia mengelak.
Tapi t atkala Jaganala menempeleng untuk yang kedua
kalinya. Lingga W isnu sudah bersiaga. W alaupun
gamparan in i sangat cepat, namun dapat ia mengelak.
Hanya saja, dia tak mau menangkis karena Jaganala
sudah berusia tua dan diwaktu itu berkedudukan sebagai
penolong jiwanya. Ia hanya melencangkan jari telunjuknya untuk menangkis telapak tangan Jaganala.
Jaganala terperanjat. Cepat-cepat ia menarik tangannya. Benar hanya sebuah jari t elunjuk, akan tetapi
ia tahu apa akibatnya. Ia berkepandaian sangat tinggi.
Gerakannya luar biasa cepatnya dan datang dari segala
jurusan. Lingga W isnu tak sudi mengalah. Dengan cepat pula ia
mengadakan perlawanan. Akan tetapi bukan bergebrak.
Hanya menggerakkan jari-jari seolah-olah sedang
menangkis dengan gerakan pemunahnya.
"Ha, bagus!" seru Jaganala dengan tertawa berkakakan. Seperti diketahui, pada zaman mudanya tak
sudi ia mengalah terhadap siapapun. Maka begitu
memperoleh perlawanan, timbul ah sifatnya yang mau
menang sendiri. Segera ia bersiaga bertempur dengan
menggerakkan semua anggauta badannya yang cepat
luar b iasa. Kali ini menahaskan tangannya mengarah
punggung dan pinggang. Lalu mendupakkan kakinya.
Tapi semuanya dapat ditangkis dan dipunahkan Lingga
W isnu dengan gerakan kaki dan tangannya pula.
Lingga W isnu sedang terluka. Syukur lukanya tidak
begitu parah. W alaupun harus memerlukan suatu masa
rawatan, namun ia masih dapat menggunakan tenaganya
dengan leluasa Syukur, sifat pertarungan itu tidak
memukul dengan sungguh-sungguh. Hanya bergerak,
pada jarak tertentu. Jaganala bergerak. dia bergerak pula untuk memunahkan. Gerakan ini, tidak perlu menggunakan
tenaga besar. Tapi tak ubah seseorang sedang
melakukan gerakan olahraga Meskipun demikian,
cepatnya luar biasa dan benar-benar membutuhkan
pemusatan seluruh perhatiannya.
Dalam sekejab saja, dua puluh jurus telah lewat. Dan
pada saat ini, mendadak Jaganala menarik semua
serangannya. Kemudian berkata setengah menggerutu :
"Kalau t ahu begini, tak perlu aku menolongmu. Benarbenar tolol aku!"
Lingga W isnu membungkuk hormat seraya menyahut :
"Bagaimana eyang berkesimpulan demikian?"
"Betapa tidak" Ilmu kepandaianmu sudah sangat
tinggi. Kuyakin, bahwa di kemudian hari engkau bakal
menjadi seorang pendekar tiada bandingnya. Nah,
selamat t inggal. Kau boleh merawat lukamu disini. Makan
dan Minuman disin i cukup satu bulan.' ujar Jaganala. Dan
setelah berkata demikian, ia memut ar tubuhnya keluar
goa. "Eyang!" seru Lingga W isnu gugup."Eyang keliru.
Masih banyak kekurangan yang kuperoleh. Aku masih
membutuhkan petunjuk dari eyang."
Jaganala menoleh. Dengan pandang tak senang dia
menjawab: "Membutuhkan petunjukku" Jangan bergurau !"
"Aku bersungguh-sungguh eyang."
"Bagaimana aku bisa memberi petunjuk kepada
seseorang yang berkepandaian setatar dengan diriku
sendiri?" Lingga W isnu hendak menyatakan, bahwa tanggapan
Jaganala salah. Memang dia harus merasa puas setelah
memperoleh warisan Bondan Sejiwan. Tapi setelah
membaca kitab sakti warisan Ki Sabdapalon, ilmu
saktinya mendadak saja menjadi sekecil biji merica. Dan
apa yang diperlihatkan tadi, sebenarnya hanyalah
sebagian kecil dari pada bunyi tulisan Kitab Sakti yang
baru diperolehnya. Hal itu terpaksa digunakannya,
mengingat gerakan Jaganala cepat dan aneh luar biasa.
"Kalau kau tidak memiliki ilmu kepandaian set araf
dengan diriku, betapa mungkin kau dapat melawan serta
memunahkan semua seranganku?" kata Jaganala lagi
dengan suara tak senang. Lingga W isnu hendak menyebutkan Kitab Sakti yang
dibawanya serta, akan tetapi suatu pikiran lain menahan
dirinya. Maka ia hanya berdiam diri dengan berdiri t egak.
Jaganala merasa tersinggung. Tanpa memperdulikan
keadaan hati Lingga Wisnu, segera ia meninggalkan goa.
Dan tepat pada saat itu Lingga W isnu berseru dari dalam
goa: "Eyang! Cucumu Lingga wisnu perkenankan memberi
hormat kepadamu." Jaganala merandek sejenak. Kemudian. Meneruskan
perjalanannya pulang ke pondoknya. Dan pada hari itu,
ia berjumpa dengan Rara W indu. Ia masih mendongkol
tarhadap kepandaian Lingga W isnu. Karena itu tak sudi ia
membicarakan atau menyinggungnya. Ia bahkan merasa
Irihati terhadap Rara W indu, memperoleh pewarisnya
yang tepat. "Aneh watak orang itu," pikir Lingga W isnu di dalam
hati. "Dia bermaksud menolong diriku. Kemudian
membawaku kemari. Setelah diuji, aku ditinggalkan d isini
agar merawat diri. Sebenarnya dia bermaksud jahat atau
tidak?" Ia menghempaskan diri pada sebuah batu. Matanya
tertarik kepada sebuah tikungan yang membentuk
sebuah bangunan kamar. Segera ia memasuk i dan
melihat timbunan makanan dan minuman. Ia mencium
bau arak pula. K arena hawa dingin, bau arak itu menarik
pemapasannya. "Ah, aku perlu menghangatkan badanku."
Perlahan-lahan ia merembet menyusur dinding. Sebab,
lukanya kini mu lai mengganggu. Ia memeriksa timbunan
makanan dahulu dan melihat terdapat ikan asin, beras
dan jagung, setelah itu ia membuka sumbat sebuah guci
minuman, lalu meneguk isinya. Perasaannya jadi agak
segar. Karena perutnya terasa lapar, ia mengunyah
dendeng yang sebenarnya belum matang. W alaupun
demikian, sedap juga rasanya. Dan kembali lagi ia
memperoleh tenaga hidup. Lalu meraba-raba sebuah
kotak. Isinya ternyata ramuan obat luar. Segera ia
memborehkan kepada lukanya. Kena boreh ramuan obat
itu, darahnya berhenti mengalir.
Tatkala malam hari tiba, ia membuat perdiangan.
Semuanya sudah tersedia, seperti rant ing kering dan
batu api. Dalam keadaan luka, tak dapat ia menuruni goa
yang berada diatas ketinggian. Apalagi mencoba
merangkaki tebing kepundang yang berdiri tegak
bagaikan dinding pelindung. Maka satu-satunya, jalan
yang terbuka baginya hanyalah berusaha menyembuhkan lukanya. Himpunan tenaga sakti Lingga W isnu sudah mencapai
tataran sempurna. Kini dia bisa pula membaca isi Kitab
yang diketemukan di dalam goa harta. Selain banyak
membantu mempercepat kesembuhan, ilmu saktinya
maju di luar set ahunya sendiri, dan apabila suatu
kesenyapan mulai merayapi dirinya, teringatlah dia
kepada Sekar Prabasin i, sahabat sahabat dan kakakkakaknya seperguruan. Pikirnya
sering: "Apakah mereka bisa menerobos kepungan kompeni?"
Lingga W isnu tak tahu bahwa Sekar Prabasini
berusaha mengejarnya. Dan secara kebetulan ia kini
berada dalam asuhan Rara W indu dan Jaganala. Maka
tak mengherankan pemuda itu menjadi resah.
"Sebenarnya siapakah kakek ini. Niscaya dialah eyang
Jaganala. D ahulu ayunda Sudarawerti dibawanya. Biarlah
kut anyakan kepadanya. Mungkin sekali, peristiwa ini
adalah kehendak Tuhan untuk mempertemukan aku
dengan ayunda." Memperoleh keyakinan ini, hatinya mulai tenteram.
Dengan sungguh-sungguh ia berlatih diri kini. Berlatih
menurut petunjuk petunjuk Kitab Sakti. Ia baru menekuni
beberapa lembar, dan hasilnya berada diluar dugaan. Ia
merasa memperoleh kemajuan pesat, hingga ilmu sakti
warisan Bondan Sejiwan terasa ketinggalan jauh.
"Kakek itu dapat melawan jurusku sampai duapuluh
gebrakan. W alaupun demikian belum juga aku mengenal
alirannya, suatu kali ia berpikir didalam hati. Dibandingkan dengan kedua guruku, ia berada setingkat
atau dua tingkat diatasnya."
Demikianlah ia berpikir, berlatih dan berusaha
menyembuhkan lukanya, selama enam hari. Pada hari
ketujuh kesehatannya sudah pulih semua. Segera ia
berkemas hendak meninggalkan goa. Tapi alangkah
terkejutnya tatkala melihat pint u goa tertutup rapat.
"Hei! Kenapa?" ia heran.
Ia mencoba mendorongnya. Akan tetapi pintu goa itu
sama sekali tak bergeming. Ia jadi penasaran,
dikerahkan seluruh tenaganya dan dipusatkan. Sekali lagi
ia mencoba mendorongnya. Pintu goa itu terdengar
berderak. Namun tak bergeming juga. Dan menghadapi
kenyataan itu, ia lalu berteriak:
"Eyang! Aku sudah sembuh!"
Suaranya bergelora dan bergema di dalam ruang goa.
Dan setelah menunggu sekian lamanya, tiada suatu
perubahan. Karena itu, dia kini jadi berteka-teki. Katanya
didalam hati: "Dia membawaku kemari dengan maksud menolongku. Tapi setelah mengujiku, ia nampak kecewa.
Ia pergi tanpa pamit. Namun membiarkan aku merawat
diri dengan persediaan makan minum yang cukup.
Sekarang ia menutup goa ini. Sebenarnya apa
maksudnya" Kalau dia menghendaki aku mati, tentunya
tidak perlu melalui cara begini. Kepandaiannya cukup
untuk membunuh diriku, karena aku sedang terluka ..."
Hatinya agak terhibur memperoleh pikiran demikian.
Tiba-tiba suatu pikiran lain menusuk benaknya.
Bagaimana kalau bukan dia yang menutup pintu goa"
Mungkin seseorang yang menghendaki dia mati atau
angin dahsyat atau suatu pergeseran tanah. Hal itu
mungkin terjadi. Ia lantas menjadi resah hati. Dua kali sudah, ia kena
tersekap sebuah goa. Teringatlah ia tatkala tersekap
didalam goa harta. Jalan keluarnya akibat suatu
pertolongan dari luar. Itulah kunci emas yang dibawa
Sekar Prabasinj. Apakah kinipun dia harus menunggu
datangnya Sekar Prabasini. Tapi seumpama dia benarbenar datang, tenaganya pun
tidak akan dapat menolongnya. Ia mencoba memeriksa pintu goa. Mungkin sekali
terdapat lubang kuncinya. Alangkah kecewanya. Pintu
yang menutup mulut goa hanyalah sebuah batu raksasa.
Bentuk bangunannya seperti terukur. Walaupun demikian
tidak rapat benar, tetapi yang dapat melalui selanya
hanyalah binatang-binatang serangga.
"Apakah mungkin terdapat pintu keluar lainnya?" ia
menduga-duga. Lingga W isnu kemudian memeriksa seluruh goa.
Setelah berputar-putar sekian lamanya, harapannya tiada
berhasil. Sama sekali tiada pintu lain, kecuali beberapa
lubang kecil yang merupakan lubang angin. Mau tak mau
ia menghela napas. Kemudian duduk berjagang dagu
diatas batu. "Baiklah, aku berlatih saja seperti dahulu. Nasib
manusia bukankah berada ditahan Tuhan" Kenapa aku
ikut -ikut an memilir?" ia memut uskan. Semangat hidupnya terbangun lagi dan terus saja ia membalikbalikkan halamannya. Dan
setelah belajar satu hari satu
malam, harapannya mulai t imbul. Ia menemukan rahasia
himpunan tenaga sakti yang hebat. Himpunan tenaga
sakti itu terbagi menjadi sembilan bagian. Setelah
merasukkan ke dalam ingatannya, mulailah ia bersemadi.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada bagian pertama, tubuhnya merasa segar-bugar.
Suatu getaran halus mulai meraba seluruh urat nadinya.
Hawa bergumpal berputaran seakan-akan menumbuk
dinding daging. Dan pada bagian kedua, tubuhnya
terguncang-guncang. Tak dapat ia menguasai gerakan
kaki dan kedua tangannya. Ia menjadi ketakutan.
Ingin ia memberhentikan. Akan tetapi t ubuhnya justru
malah t erguncang hebat. Kedua tangannya berserabutan
dan kedua kakinya menggigil. Tak usah dijelaskan lagi,
bahw a dia kini terkuasai o leh suatu tenaga yang
membersit dari dirinya sendiri.
"Gerakan apakah ini?" ia kaget.
Tentu saja tiada yang dapat menjawab atau yang
mendengar. Bahkan dia tak tahu, bahwa wajahnya kini
berubah menjadi merah membara. Syukur, dia seorang
pemuda berpembawaan tenang berkat pengalamannya
yang pahit semasa kanak-kanak. Selain itu, otaknya
cerdas dan pandai berpikir.
"Apakah aku salah menghafal?" pikanya didalam hati.
Dengan kerlingan mata ia menjenguk isi kitab yang
berada didepannya. Bunyi kata-katanya sesuai dengan
tata napas dan tata- penyalurannya. Karena itu ia
memutuskan memasuki bagian yang ketiga. Suatu
perubahan yang menggembirakan terjadi. Benar tangan
dan kakinya masih bergerak-gerak, akan tetapi dapat
menguasai, wajahpun berubah menjadi hijau.
Dengan lega hati, mulailah ia menghirup napas.
Sekarang ia mencoba menikmati tata-rasa yang terjadi
dalam dirinya. Rasa nyaman menyelimut i seluruh
perasaannya. Dan apabila telah cukup ia melanjutkan
kebagian empat. Tubuhnya kini menjadi hangat. Suatu
keuntungan terjadi pada dirinya d iluar pengetahuannya. Sebab
andaikata dia tak memiliki himpunan tenaga sakti yang
kuat, tubuhnya sebenarnya akan terbakar hangus dari
dalam. Ia merasakan suatu kehangatan, karena hawa
dingin diatas gunung. Selain itu, himpunan tenaga
saktinya yang lama sedang bertempur hebat melawan
tenaga sakti yang baru. Karena itu kepalanya menguap.
Sedang warna wajahnya berubah-rubah. Kadang hijau,
kadang kuning, merah, hitam putih kebiru-biruan dan
hijau lembayung. Tatkala memasuki bagian kelima, tubuhnya menjadi
lemas lunglai. Gerakan tangannya berhenti. Getarannya
tiada lagi. Juga kedua kakinya. Yang terasa hanya suatu
kelumpuhan. Akan tetapi seluruh tubuhnya terselimut
suatu getaran gergeriming yang membuat bulu kuduknya
meremang. Dan pada saat itu, w arna wajahnya kembali
seperti sediakala. Bagian keenam dapat dimasuki dengan lancar. Tibatiba saja ruang benaknya seperti
terbuka seolah-olah dapat ia mengetahui rahasia alam yang tergelar
didepannya. Pandang matanya kini tajam luar b iasa.
Dadanya terasa penuh serta teguh. Hatinya tegak dan
sikap h idupnya menjadi t egas. Ia merasa diri seolah-olah
sanggup menggempur dan menghancurkan segalanya
yang merint angi. Setelah puas merasakan perubahan perasaan itu, ia
memasuki bagian ketujuh. Di dalamnya terdapat
petunjuk-petunjuk mengembalikan tenaga lontaran dari
luar. meniadakan, memunahkan dan menghisap. Karena
itu, tubuhnya mendadak, saja menjadi penuh. Semua
hawa dan angin dapat disedotnya punah. Tak
mengherankan perasaan tubuhnya kini jadi dingin.
Pada bagian delapan, perasaan itu tiada lagi. Kembali
lagi ia merasa sediakala hanya saja inderanya menjadi
peka. Semuanya dapat dimanunggali. Karena dapat
manunggal dengan alam, maka alampun seakan-akan
memberi kabar rahasianya masing-masing. Sudah barang
tentu ia girang bukan kepalang.
Dan pada bagian kesembilan, ia merasakan suatu
ketenteraman. Sekarang, semuanya berkumpul dihati
dan manunggal dengan rasanya. Tangan, kaki dan
semua inderanya bergerak dan mencapai titik tujuan
selaras serta secepat kehendak hati. Karena pikiran
bersumber pada rasa, maka kecepatan berpikir masih
kalah jauh dengan getaran hatinya.
Merasa sudah tamat. Lingga W isnu melompat bangun.
Gerakan tubuhnya ringan luar biasa. Terus saja ia
bersimpuh menyembah kitab itu. Katanya setengah
berbisik: "Entah siapa yang menulis kitab ini. Dengan ini
kusampaikan sembah t erima kasihku. Semoga kau selalu
melindungi. Akupun berjanji takkan menyalah gunakan
wawarahmu." Ia melompat bangun lagi. Lalu berseru nyaring:
"Y a Tuhanku! Dengan kehendakmu aku memperoleh
kemajuan. Terima kasih dan maafkan segala dosa serta
kesilapanku." Hebat gaung suara Lingga W isnu. Sekonyong-konyong
goa itu tergetar. Suatu suara gedebrukan. Ternyata
bongkah batu yang menutup goa, terpental hancur dan
runtuh di dalam jurang. Keruan saja Lingga Wisnu heran
tak kepalang. "Ah, kalau begitu kitab ini sangat berbahaya! seruan
manusia yang bahaya!" serunya di dalam hati. "Pantas
ayah dikejar-kejar terus oleh manusia manusia yang
menghendaki tongkat mustika. Kalau begitu biarlah
kupendam saja. Siapa yang kelak berjodoh, biarlah
Tuhan memberi petunjuk padanya."
Akan tetapi dimana dia harus memendam kitab itu.
Goa itu pernah terinjak orang. Apakah goa harta karun"
Goa itupun kini kena kepung Musafigiloh. Bila harta
benda saja yang kena rampas, tak apa. T api bila kitab ini
jatuh padanya, alangkah bahayanya. Niscaya akan
banyak manusia yang mati. Apakah didalam goa Bondan
Sejiwan. Goa itupun pernah kena injak keluarga Mataun.
Lingga W isnu berpikir sejenak. Timbul niatnya hendak
dibawanya saja kemana dia pergi. Namun, itupun cara
yang kurang sempurna. Suatu kali kitab itu pasti jatuh.
Atau dibakar saja" Ia merasa sayang. Baik dan buruknya
adalah akibat budi manusia yang menemukan.
Demikianlah ia menimbang-nimbang beberapa waktu
lamanya. Akhirnya ia memut uskan untuk memendamnya
didalam goa itu. Betapapun jaga, letak goa itu sangat
sukar. Yang menginjakkan kakinya hanya dua orang saja.
Dirinya sendiri dan Ki Jaganala. Ki Jaganala sudah
berusia lanjut. Seumpama menemukan kitab itu, tiada
gunanya. Kecuali bila dia mempunyai murid.
Setelah memutuskan demikian, ia keluar goa untuk
menjenguk sekitarnya. Tiba-tiba ia tertarik kepada suatu
tempat yang berada di bawah. Tegasnya dalam jurang
kepundan. Samar samar ia melihat suatu lekukan. Segera
ia meloncat turun dan hinggap pada batu yang
mencongak. "Ha, inilah t empat yang setepat tepatnya," "pikirnya.
Ia memasuki sebuah terowongan sempit. Setelah
memeriksa letak tempatnya, ia memendamnya sangat
rapih. Kemudian ia mengukir batu penutupnya dengan
kata-kata: "Dipersembahkan bagi yang menemukan dan
berjodoh. Salam dari Lingga Wisnu anak malang
yatim piatu." Ia berdiri tegak dan membungkuk hormat sekali lagi.
Kemudian keluar dari terowongan itu dan mendongak
keatas. Puncak gunung nampak dengan nyata. Cepat ia
menghimpun tenaganya dan meloncat. Suatu tenaga
dahsyat luar b iasa, sampailah ia didataran goa pertama
dan di sini ia bersembah lagi, dan meninggalkan sebaris
perkataan untuk Ki Jaganala. Ia menyebut nama itu
dengan tak ragu-ragu. Juga menanyakan tentang kakak
perempuannya. Ia menyatakan diri sebagai adik
kandungnya. Setelah puas, cepat ia melompat mendaki
lereng kepundan. Tatkala tiba disuatu lembah, petang hari telah tiba.
Seluruh penglihatan tertutup awan putih. Namun
penglihatannya sama sekali tak terganggu. Juga dingin
hawa dan angin tak kuasa mengusik dirinya. Tiba-tiba
pendengarannya yang tajam luar b iasa menangkap suara
pertempuran. Ia heran. Siapakah yang bertempur diatas
gunung yang sunyi ini"
Dengan berlari-larian kecil, Lingga W isnu mendekati
arah suara itu. Benar saja. D i seberang sana nampak dua
orang sedang bertempur. Tatkala itu hujan turun agak
deras. Namun mereka tidak memperdulikan. Puluhan kali
bahkan ratusan kali, Lingga W isnu pernah menyaksikan
suatu pertempuran. Akan tetapi kali ini, hatinya t ertarik.
Cara mereka berkelahi luar biasa. Yang satu laki-laki
dan yang lain perempuan. Usia mereka sudah lanjut . Bila
yang satu menikam, lainnya tiba-tiba lenyap. Beberapa
detik kemudian, dia muncul kembali dalam jarak
beberapa puluh langkah. Kemudian saling menghampiri,
dengan hati-hati. Mereka membawa senjata pedang. Bila berbenturan,
api meletik. Lalu lenyap. Maka tahulah Lingga W isnu,
bahw a mereka bukan sembarangan orang. W alaupun
demikian, Lingga W isnu seperti mengenal corak
perkelahiannya. Apakah bukan yang disebutkan didalam
kitab sakti" Hanya saja, bahwasanya mereka pandai
menghilang merupakan kelebihannya. Itulah suatu bukti
bahw a mereka dapat bergerak begitu sebat melebihi
gerakan bidang penglihatan .
Tengah mereka saling menyerang, guntur meledak
dahsyat. Kilat menyambar menusuk seberang bumi.
Tepat pada saat itu, mereka bergerak dengan berbareng.
Lingga W isnu mengguratkan kejapan kilat untuk
mengamat amati mereka berdua. Yang laki-laki ternyata
si jubah abu-abu. Dan yang perempuan ...
Lingga W isnu berpikir sejenak. Berkata didalam hati :
"Bila orang tua itu benar-benar Ki Jaganala, maka
yang wanita itu pastilah Rara W indu. Tapi benarkah
mereka masih h idup dan masih bertenaga begitu
dahsyat?" Bila tidak menyaksikan sendiri, niscaya Lingga W isnu
tidak ataan percaya bahwa di dunia ini masih terdapat
semacam ilmu kepandaian begitu hebat. Dia sendiri
rasanya sanggup melakukan. Hanya saja, bila seusia
mereka, rasanya belum tentu. Ia belum menyadari,
bahw a ilmu ke pandaiannya kini sebenarnya masih berada
diatas mereka. Iapun akan sanggup berbuat demikian
dalam seusia mereka. Sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba pendengarannya menangkap bunyi halus Siapa lagi yang
datang" Hati-hati ia mencuri pandang. Dan nampaklah
seorang laki-laki berambut panjang duduk berjuntai di
atas batu. Orang itu mengikuti pertempuran dengan
penuh perhatian. "Seorang berkepandaian tinggi lagi ..." pi'kir Lingga
W isnu didalam hati. "Siapa d ia" Kenapa tiba-tiba aku
dipertemukan dengan beberapa tokoh tinggi diatas
gunung sunyi ini" Dalam pada itu, kilat mengejap lagi. Kedua pedang
berbenturan. Pedang si jubah abu-abu berwarna merah,
sedang yang berada ditangan wanita itu sama sekali
tiada cahayanya. Begitu berbenturan, mereka berdiam
sejenak. Lalu mundur dengan berbareng dan maju lagi.
Demikianlah belulang kali t erjadi.
Lingga W isnu kini tergolong seorang pendekar tokoh
tinggi pula. Namun hatinya kagum bukan main. Karena
cara bertempur demikian - hanya dapat dibacanya lewat
kitab saktinya.- Selama hidupnya belum pernah ia
melihat suatu pertempuran yang nampaknya bermain
main. Akan tetapi sesungguhnya mengandung suatu
benturan adu tenaga yang dahsyat luar biasa.
Pedang yang berada ditangan laki-laki berjubah abuabu itu, makin lama makin
menjadi merah. Setiap kali
meletikkan api seolah-olah sedang membakar pedang
lawannya. Dan pada saat itu terdengar suara laki-laki
berambut rereyapan bernada mengeluh:
"Hei! Bibi bakal kalah juga."
Lingga W isnu melemparkan pandangnya ke arah
pertempuran. Penglihatan orang ini tak salah. Tokoh
wanita itu kalah dalam hal senjata. Akan tetapi ilmu
kepandaiannyapun berada diatas lawannya.
"T ring!" Pedang tokoh wanita itu kena terlempar tinggi
diudara dan runt uh di atas telaga. Dan kena runt uhan
pedang, permukaan air muncrat tinggi pula. Lalu berbusa
dan berasap. Dalam bebrapa detik saja, pedangnya itu
luluh dan lenyap. Yang nampak di permukaan air
hanyalah gagangnya. Hal itu membuktikan betapa hebat
adu tenaga sakti mereka. Laki-laki berjubah abu-abu melesat hendak memotong
perjalanan. Ia tahu, bahwa lawannya akan segera
melarikan diri. Gerak-geriknya gesit luar biasa. Sekarang
Lingga! W isnu mulai dapat mengenal wajahnya. Dialah
laki-laki yang membawanya ke dalam goa. Tapi pada
saat itu, ia nampak sangat berwibawa dan luar biasa.
Tatkala itu, laki-laki berereyapan datang menghampiri
wanita yang disebutnya sebagai bibiknya. Ia melemparkan sebatang pedang. Lalu kembali duduk


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti semula. Dan terdengar wanita itu tertawa riang.
Katanya: "Kangmas Jaganala! Sekarang cobalah pedang ini!"
Mendengar nama Jaganala disebut sebut, hati Lingga
W isnu tercekat walaupun tadi ia sudah menerka
demikian. Kalau begitu, wanita itu benar-benar Rara
W indu. Dugaannya sama sekali tak meleset. Sahut
Jaganala dengan tertawa geli pula.
"Baik! Kau gunakan, W indu! Tapi pedang tak bermata.
Jangan menyesal, BiLa aku nanti melukaimu."
"Masakan kau perlu memperingatkan demikian
terhadapku?" kata Rara W indu. Suaranya, menyatakan
rasa tak puasnya. Ia kin i berdiri tegak dengan pedang
bersungguh-sungguh. Setelah berhadap-hadapan, mereka mulai bertempur
lagi. Jaganala menerjang bagaikan badai dan guntur.
Sedang Rara W indu mengadakan perlawanan tak ubah
kejapan kilat. Pada suatu waktu, dia mengibaskan
pedangnya. Cepat bidikannya. Pedangnya bentrok Dan
sinar merah pedang Jaganala lenyap dengan mendadak.
"Hei!" Jaganala heran.
Dia melesat sambil memasuki kabut . Juga Rara Windu.
Dan keduanya sebentar saja lenyap dari penglihatan.
Lingga W isnu masih menunggu. Ia mengira, sebentar
lagi mereka niscaya muncul kembali. Akan t etapi mereka
tak muncul-muncul juga. Karena itu ia menoleh kepada
laki-laki rereyapan yang tadi duduk berjuntai. Orang
itupun tiada nampak pula. Mau tak mau Lingga W isnu
terpaksa menggaruk-garuk kepalanya. Dia boleh memiliki
kepandaian tertinggi di dunia, akan tetapi peristiwa
dlemikian belum pernah dialaminya. Karena itu
dugaannya masih salah. "Makin tua orang memang makin g ila," katanya
didalam hati sambil tersenyum geli.
"Tetapi masakan suatu pertarungan berhenti tanpa
penyelesaian" W alaupun mungkin sedang berlatih atau
menguji sesuatu, suatu penyelesaian harus terjadi. Tak
mungkin begini." Dalam hal ini, dugaan Lingga W isnu tepat. Ia hanya
salah dalam ment aksir lagak-lagu dan sepak terjang
mereka yang masih asing baginya, sebab tak lama
kemudian, ia menghampiri. Didepannya kini tergelar
suatu petak hutan cemara. Dua sinar pedang
bersilangan. Pedang Rara W indu hijau, sedang pedang
Jaganala yang bersinar merah masih mampu mengadakan perlawanan. Pertempuran kali ini lain lagi coraknya. Tadi, Rara
W indu kena desak sama sekali. Akan tetapi dia kini dapat
mendesak. Dan melihat pertempuran itu, benak Lingga
W isnu mencoba membayangkan masa muda mereka.
Jaganala seorang pendekar yang angkuh dan t inggi hati.
Ilmu kepandaiannya tak terlawan, sehingga dapat
malang-melintang tanpa tandingan. Sebaliknya ilmu
kepandaian Rara W indu adalah ilmu sakti gabungan.
Ilmu saktinya sendiri bergabung dengan ilmu sakti Hajar
Pangurakan, kakak seperguruan Jaganala, salah seorang
kakak seperguruannya saja. Sebab ilmu yang diberikan
adalah ilmu warisan gurunya. Lagipula, tak pernah ia
menilik sebagai murid. Hanya sekedar menyempurnakan
percobaan penggabungan. Mereka berdua dahulu pernah bertempur mengadu
kepandaian. Dua kali berturut-turut Jaganala dikalahkan
sehingga kesombongannya runtuh. Lalu mereka mendaki
gunung dan lenyap dari percaturan pergaulan. Ternyata
mereka bersatu padu. Masing-masing mendalami
kepandaiannya. Akhirnya mereka kini bertempur lagi
untuk mencoba-coba ilmu kepandaiannya masingmasing.
Ilmu kepandaian mereka sejajar. Rara W indu menang
sedikit. Dia kalah, manakala senjatanya kalah baik.
Sebaliknya bila bersenjata bagus, Jaganala kena didesak,
pikir Lingga W isnu didalam hati.
Jaganala masih mencoba melawan. Pedangnya
menyambar-nyambar tiada hentinya. Beberapa kali
terdengar suara berisik tumbangnya pohon-pohon
cemara manakala kena pangkas. Kilat mengejap dan
tiba-tiba saja petak hutan itu menjadi gundul tertabas.
Dan kembali lagi, Lingga W isnu tercengang. Meskipun
ilmu kepandaiannya kini sangat tinggi, melebihi mereka,
namun belum pernah ia mencoba coba. Karena itu belum
dapat membayangkan, bahwa tenaga saktinya kini
mampu menabas petak hutan dalam selint asan saja.
anehnya lagi, baik Jaganala maupun Rara W indu kini
lenyap tak keruan. "Biar kususul! Aku harus memperoleh keterangan
tentang ayunda Sudarawerti, Kalau aku menyia-nyiakan
kesempatan ini, kapan lagi aku dapat melihat mereka
berdua?" Dengan keputusan itu, Lingga W isnu kemudian
mengikuti jejak mereka. Meskipun seluruh alam hitam
lekam, akan tetapi inderanya sudah peka. Ia seolah-olah
dapat mencium mereka dan masih bisa menerima
getaran getaran urat nadi mereka. Tahu pulalah dia,
bahw a laki-laki yang berambut rereyapan berada tak
jauh didepannya. Bahkan, ia mulai mendengar langkahnya pula. Tak lama kemudian angin meniup kencang sekali.
Seluruh penglihatan tertutup kabut tebal. Namun Lingga
tak menghiraukan. Ia bahkan merasa segar-bugar. Disini
hujan tiada lagi. Yang mengherankan, hawa terasa
kering. Dan samar-samar cahaya bulan nampak semu.
"Ah, seperti mimp i saja." pikir Lingga W isnu di dalam
hati. Diantara kabut , ia melihat sebuah bangunan.
Bangunan itu seperti berada di atas puncak gunung.
Terus saja ia menghampiri dan berlari-lari kencang
karena rasa girang. Hebat cara lari L ingga W isnu. Jurang
dan batu-batu dilompatnya dengan mudah. Dan jalan
lic in dilalu i t anpa kesukaran sedikitpun.
Sekarang ia melihat sebuah telaga mengitari
kepundan. Karena berbimbang bimbang, ia berhenti. Lalu
duduk di atas batu. Sebenarnya hawanya luar biasa
dinginnya. Akan tetapi ilmu saktinya kini sangat tinggi.
Setelah bersemadi beberapa waktu lamanya, tubuhnya
menjadi hangat. Dan tatkala menjenakkan matanya,
bulan muncul terang benderang.
"Ah, alangkah indahnya! Kepundan itu seperti
membungkuki permukaan telaga. Tak mengherankan,
bayangannya terpantul kembali o leh cahaya bulan terang
benderang. Apalagi air telaga itu jernih luar biasa. Dan
dibelakangnya tergelar suatu dataran tanah agak
berpasir. Benar-benar merupakan pemandangan indah
yang layak diketemukan dalam khayal seorang pelukis."
Lingga W isnu pernah mendengar kabar tentang
dataran tinggi ini. Menurut tutur kata, inilah dataran
Jonggring Salaka. Dalam cerita wayang adalah kahyangan para dewa. Kata orang pula, tidak sembarang
insan dapat menikmati keindahannya apabila tidak
memiliki mata dagma (indera keenam) atau bila manusia
itu belum mengendap rasa hidup nya.
Memang! Apalagi yang dapat dilihat, kecuali
rerumputan lembut yang tergelar ditepi telaga itu
seakan-akan permadani" Ditempat-tempat tertentu
terdapat kelompok bunga aneka warna yang jarang
sekali hidup di tanah rendah. Hanya itu saja. Bila
manusia masih terikat kuat pada duniawi, tiada sesuatu
yang menarik. Sebaliknya bila manusia sudah terbebas
dari belenggu keduniawian, pemandangan itu memang
sangat menarik. Kadang-kadang terdengar suara burung. Itulah burung
Jalak Emas. W arnanya kuning keemasan. Jarang sekali
tidur. Mungkin sekali oleh pengaruh iklimnya. Sebentar
nampak dan sebentar hilang dibalik pepohonan. Menurut
kisah orang-orang tua, itulah anak keturunan burung
pengawal Sunan Lawu yang wafat diatas kepundan
gunung. "Kau datanglah! Kami telah menunggumu semenjak
lama," t iba-tiba terdengar suara ramah.
Suara itu belum pernah dikenal Lingga W isnu. Tetapi
ia dapat menebak, bahwa itulah suara laki-laki berambut
rerayapan, muncul dari balik pepohonan dengan tertawa.
"Kau Lingga W isnu, bukan?"
"Bagaimana paman tahu?" Lingga W isnu heran.
"Salah seorang sahabatmu yang memberi t ahu."
"Salah seorang sahabatku" Siapakah sahabatku yang
berada disini?" hati Lingga
W isnu melonjak. "Dialah murid bibi Rara Windu."
"Hei! Siapa?" Lingga W isnu sibuk sendiri. Seketika itu
juga, beberapa bayangan berkelebatan di dalam
benaknya. "Sekar Prabasini." sahut laki-laki itu.
"Prabasin i!" seru Lingga W isnu. "Dia berada disini"
Bagaimana caranya?" Laki-laki itu bersenyum lebar. Lalu memperkenalkan
diri. Katanya: "Aku sendiri bernama Hajar Kemasan. Niscaya kau
pernah mendengar nama itu."
"Y a. Eyang Argajati pernah menceritakan kisah
paman." "Benar. Diapun berkata begitu, tatkala mula-mu la
bertemu denganku." kata Hajar Kemasan. Kemudian ia
menceritakan peristiwa pertemuan itu. "Sahabatmu itu
memang bernasib bagus. Ia cerdas pula. Kepandaiannya
kini hamp ir menyamaiku. Setiap kali, akulah yang
berkewajiban menjadi lawannya berlatih. Setiap kali ia
mencoba mencari keterangan tentang dirimu kepadaku.
Rupanya, segan ia membicarakan dirimu kepada kedua
gurunya." Terharu hati Lingga Wisnu mendengar kata kata Hajar
Kemasan. Sekar Prabasin i benar benar mencintainya. Ia
mendaki gunung, karena berusaha mencarinya. Karena
kemuliaan hatinya, dia menjumpai suatu kemuliaan pula.
Pikir pemuda itu didalam hati.
"Sekar Prabasini sekarang menjadi murid Rara W indu
dan Ki Jaganala. Rasanya tidak mengecewakan. Bila
kepandaiannya di kemudian hari dapat setaraf dengan
kepandaian kedua gurunya, didunia ini siapa lagi
tandingnya" Mudah-mudahan hatinya yang panas dan
liar dapat ditenteramkan oleh iklim yang melingkupi.
Dengan demikian, dikemudian hari t idak akan membuah:
diriku susah. "Mari k ita naik!" ajak Hajar Kemasan. "Sebenarnya bibi
dan paman sudah mengetahui kehadiranmu. Karena itu,
mereka berdua memperkenankan engkau bertemu."
Lingga W isnu menangguk. Lalu berjalan mendampingi.
Sekonyong-konyong suatu ingatan menusuk benaknya.
Bertanya mencoba: "Paman! Bolehkah aku memperoleh suatu keterangan
yang selalu membuat hatiku resah"
"Aku bukan dewa, meskipun tempat ini bernama
Jonggring Salaka. Tapi cobalah katakan! Barangkali aku
dapat menolongmu." sahut Hjaar Kemasan dengan
tertawa lebar. Lingga W isnu berbimbang-bimbang sebentar. Lalu
berkata dengan tiba-tiba:
"Pernahkah paman melihat seorang gadis selain Sekar
Prabasin i?" "Disini?" "Y a." "T idak." Hajar Kemasan bergeleng kepala dan melihat
geleng kepala itu, hati Lingga Wisnu seperti kena ditikam
suatu benda tajam yang dingin luar biasa. Ia jad i putus
asa. Selagi demikian, mendadak Hajar Kemasan
melanjutkan perkataannya "Akan tetapi dipadepokan paman Jaganala dahulu
pernah kulihat." "Apakah Jonggring Salaka bukan padepokan paman
Jaganala?" Lingga Wisnu berharap cemas.
"Disini tempat berkumpul kita. Tapi kita mempunyai
kediaman masing-masing."
"O, begitu?" Lingga W isnu girang. "Apakah paman
pernah mendengar namanya."
"Tentu saja. dialah adik seperguruanku. Namanya
Sudarawerti. Kenapa?"
Mendengar Hajar Kemasan menyebut nama ayundanya, Lingga W isnu hampir p ingsan oleh rasa
girang. Sebaliknya Hajar Kemasan Yang tak tahu sebab
musababnya jadi terperanjat. Gugup ia meraih pundak
sambil bertanya minta keterangan:
"Hai! Kenapa?" Lingga W isnu tertarik dan percaya pada kejujurannya


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hajar Kemasan. Segera ia nguasai diri dan menceritakan
peristiwanya. Dan teringat peristiwa itu, kedua kelopak
matanya berkaca-kaca. Maklumlah, pada saat itu, kedua
orang tuanya tewas. Juga kakaknya Mardanus.
Hajar Kemasan menghela napas. Berkata seperti pada
dirinya sendiri. "Dunia in i penuh dengan manusia manusia gila. Sudah
terlalu banyak, manusia manusia mati oleh kebiadabannya sendiri. Itulah sebabnya, aku lebih
senang hidup disini daripada dibawah sana. W alaupun
kadangkala terasa suatu kesenyapan yang menyayat."
Sambil berbicara, petak hutan telah terlint asi. Segera
nampaklah sebuah bangunan diatas semenanjung kecil.
Nampak segerombol pepohonan yang agaknya sengaja
ditanam. Itulah biara atau pertapaan Rara W indu.
Sebuah pertapaan yang senantiasa terselimut kabut
putih. Hati Lingga W isnu berdegupan. Sebentar lagi, ia akan
mengalami suatu pertemuan yang mengharukan. Tidak
hanya akan bertemu dengan Sekar Prabasini saja,
tapipun ayundanya. "Apakah ayundaku sudah mewarisi seluruh kepandaian
gurunya?" Lingga W isnu mencoba bertanya.
"Kau saksikan saja sendiri." sahut Hajar Kemasan.
Didepan biara, berdiri Jaganala dengan Rara W indu.
Begitu lihat Lingga W isnu. Dia berkata menuding :
"Dialah itu! Dia tidak membutuhkan petunjuk petunjuk
lagi." Rara W indu memanggut pendek. Kemudian dengan
ramah melambaikan t angannya. Katanya menyambut:
"Kami berdua akan mint a maaf, karena membuat
hatimu gelisah." "Ah, bagaimana aku berani menerima permint aan
maaf eyang. Justru akulah yang harus berterima kasih
atas budi eyang berdua," sahut Lingga W isnu dengan
membungkuk hormat. Senang Rara W indu mendengar bunyi perkataan
pemuda itu. W ajahnya nampak cerah dan segera
mempersilahkan masuk. Katanya memperkenalkan Jaganala: "Inilah kakakku perguruan. Katanya kau telah
memperkenalkan namamu. Akan tetapi dia sendiri tak
sudi." Ki jaganala tertawa lebar. Diapun menyambut
kedatangan Lingga W isnu dengan ramah dan berkata:
"Kupercaya lukamu te lah sembuh, bukan?"
"Berkat bantuan eyang, lukaku telah sembuh," sahut
Lingga W isnu. "Dan bila kau dapat keluar dari goa tanpa bantuanku,
artinya kepandaianmu sudah berada diatas kami berdua."
Lingga W isnu menundukkan kepalanya. Pujian itu
terlalu tinggi baginya. Maka cepat- cepat ia menjawab:
"T idak! Hanya secara kebetulan saja aku dapat keluar
goa itu. Tadinya aku menangis dan berseru-seru
memohon bantuan eyang."
Puas Ki Jaganala mendengar ucapannya. Itulah suatu
tanda, bahwa pemuda itu pandai membawa diri. Maka ia
membawa Lingga W isnu duduk didekatnya. Dan
berkatalah Rara W indu: "Kau ingin bertemu dengan sahabatmu Sekar
Prabasin i, bukan?" "Tentu saja." Ki Jaganala mewakili perasaan Lingga
W isnu. Rara W indu dan Hajar Kemasan lantas tertawa
pelahan. Kata Rara Windu lagi:
"Tentang diriku, niscaya engkau pernah mendengar.
Juga tentang sepak t erjang kakakku seperguruan. Sebab
waktu Argajati berkisah, kau berada disamping Sekar
Prabasin i. Sekarang, baiklah kami terangkan apa sebab
kami masih hidup dan berada disini."
"Terima kasih atas kepercayaan eyang." sahut Lingga
W isnu dengan suara merendah.
Rara W indu menghela napas. Lalu melanjutkan
perkataannya: "Kami sengaja mengasingkan diri untuk mensucikan
hati kami masing-masing. Karena itu, kami menutup diri
untuk berhubungan dengan dunia Luar. Meskipun
demikian, kami tetap memperhatikan apa yang terjadi
dimuka bumi ini. Hati kami betapapun juga tak rela bila
mendengar apalagi melihat suatu kebengisan menguasai
kedamaian hidup rakyat jelata. Maka kami memut uskan
untuk mencari pewaris. Maksud kami agar pewaris kami
dapat mewakili gurunya berdarma terhadap kebajikan
manusia. Namun karena sadar pula bahw a ilmu
kepandaian itu makin lama makin maju, set iap kali kami
mengadakan pertemuan dan latihan seperti yang kau
lihat tadi. Selain memperdalam suatu ilmu, banyak juga
gunanya untuk memanjangkan umur. Tentu saja hal ini
terserah belaka kepada T uhan diatas kita. Jika Dia yang
menghendaki, kamipun tidak berdaya menolaknya.
Bukankah begitu?" Lingga W isnu mengangguk membenarkan. Ia menganggap ucapan Rara W indu menggelikan hati.
Siapapun sadar akan hal itu. Karena itu ia bersenyum.
Pikirnya didalam hati: "Rara W indu pandai merendahkan hati. Sama sekali
tak terlihat bekas-bekas wataknya pada zaman muda
menurut tutur kata orang banyak."
Karena hari sudah cukup malam, Lingga W isnu
dipersilahkan beristirahat dahulu. Dan pemuda itu tak
berani menolak, meskipun hatinya berharap dapat
bertemu dengan Sekar Prabasini dan sudaraw erti dengan
segera. Kamar peristirahatan Lingga W isnu berada didekat
telaga yang jernih. Sedang Hajar Kemasan menempati
bilik lain. Dan di mana Ki Jaganala dan Rara windu
beristirahat, tak diketahui Lingga W isnu.
Malam itu terasa sunyi senyap. Teringat pengalamannya tadi, Lingga W isnu perlu berlatih
menghimpun tenaga saktinya. Maka ia duduk bersemadi.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara dipermukaan air
telaga. Ia bangkit dan mengintip dari lubang angin. Dan
terlihatlah seorang laki-laki berdandan seperti Ki
Jaganala. Karena rambutnya reraya pan, pastilah Hajar
Kemasan. Orang tua itu berlari-larian. Hebat cara
berlarinya. Tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan. Didalam sekejap saja, d ia
sudah berada di t epi telaga. Dan
seorang perempuan datang menyambutnya .
"Hai, siapa?" Lingga W isnu te rtarik.
Perempuan itu berperawakan sedang semampai.
Tubuhnya montok dan berkesan teguh Sayang malam
hari membuat penglihatan jadi tak jelas, meski bulan
bersinar cukup cerah. "Kakang Kemasan! Apa sebab kau berlari-larian di
malam hari?" perempuan itu mint a keterangan.
Hajar Kemasan tertawa lebar. Sahutnya:
"Kalau kau mendengar berita ini, n iscaya akan
pingsan. Tapi biarlah kusimpan dahulu. Sekarang aku
harus lapor dahulu kepada gurumu."
"Apakah ada suatu kesulitan?"
"Mari!" ajak Hajar Kemasan.
Mereka kemudian mendaki ketinggian dan sebentar
saja telah melint asi petak hutan. Lingga W isnu tertaik
mendengar percakapan itu. Meskipun pendek, tapi cukup
mengesankan baginya. Yang pertama, perempuan itu
memanggil kakak terhadap Hajar Kemasan. Yang kedua
agaknya terjadi suatu peristiwa penting.
Dengan menggunakan ilmu ajaran kitab sakti, ia
mengikuti mereka berdua. Hasilnya diluar dugaan. Sama
sekali mereka tak mendengar bunyi langkahnya. Itulah
suatu kemajuan yang hebat. Meskipun demikian, tak
berani ia menghampiri terlalu dekat. Sebab betapapun
juga, mereka berdua bukan tokoh-tokoh sembarangan.
Kalau sampai ketahuan, rasanya t idak enak.
"Mereka itu sebenarnya sahabat gurumu semasa
mudanya. Yang berperawakan gemuk, pemimpin
golongan Ugrasawa. Yang berperawakan jangkung,
pemimpin aliran Perwati." Kata Hajar Kemasan.
"Aku tahu siapa mereka, bukankah Anung Danusubrata dan Prangwerdani?" sahut perempuan itu
cepat. "Kabarnya Prangwedani sudah meninggal dan
mempercayakan jabatannya kepada salah seorang
muridnya. Ah, rupanya dua-duanya masih saja jadi
sember keruwetan." "Bagaimana kau tahu?" suara Hajar Kemasan
meninggi. Lalu tertawa lebar. Katanya lagi: "Y a, aku
tahu. Aku telah mendengar riwayat hidupmu."
"Dari siapa?" perempuan ini ganti bertanya .
Lingga W isnu mendengar Hajar Kemasan tertawa
melalu i dadanya. Dan pada saat tahu lah dia, siapa
perempuan yang diajak berbicara Hajar Kemasan.
Pastilah kakak perempuannya. Sudarawerti.
Seketika itu juga, seluruh tubuhnya menggigil.
Dadanya jadi penuh dan ingin saja ia menyerunya.
Syukur, dapat ia menguasai diri. Bukankah sudah lama
dia berpisah" Lagi pula dimalam hari. Niscaya akan
menimbulkan salah duga walaupun Hajar Kemasan. Maka
ia menghibur diri. "Biarlah esok hari saja. Dengan saksi Ki
Jaganala dan Rara W indu, rasanya lebih mengesankan.
Akupun takkan kena salah."
"Danusubrata dan Prangwedani memang sumber
keruwetan." terdengar Hajar Kemasan mengalihkan
pembicaraan. "Barangkali mereka masih penasaran
terhadap tongkat Bibi. Tapi nyatanya, tongkat itu kena
dialahkan parang gurumu. Sebentar tadi, aku menyaksikan. Baru setelah bibi bersenjata pedang
mustika milik muridnya, parang paman Jaganala lu luh
dibuatnya. " Diam-diam Lingga W isnu meraba tongkatnya sendiri.
Kalau begitu, tongkat yang dibawanya lain dengan
tongkat Rara W indu yang terkenal dengan sebutan
tongkat mustika. Tongkatnya dan pedang Sekar Prabasini berasal dari
goa harta karun. Jika pedang Sekar Prabasin i dapat
meluluhkan parang Ki Jaganala, maka tongkat yang
dibawanya niscaya setangguh pedang itu. Kalau begitu,
Tongkatnyalah yang layak disebut tongkat mustika bukan
tongkat Rara W indu yang menjadi perebutan orang,
karena dimashurkan sebagai t ongkat mustika dunia.
Teringat hal itu, ia jadi bersedih hati karena sudah
berapa orang mati dalam perebutan itu. Diantaranya
termasuk ayah bunda dan kakaknya tertua. Belum
terhitung mereka yang kena dibunuh ayah-bundanya.
"Sebenarnya siapakah murid bibi itu?"
"Seperti dirimu. Sama-sama perempuan. Hanya saja
namanya lain." sahut Hajar Kemasan dengan tertawa.
"Siapa namanya?"
"Sekar Prabasini. Nah, bukankah lain bunyinya dengan
Sudarawerti?" ujar Hajar Kemasan.
Tergetar hati Lingga W isnu. Benar-benar Sudarawerti
perempuan itu. Dan pada saat itu, Sudarawerti tertawa
geli. Katanya: "Apakah usianya set ataran pula denganku?"
"T idak. Dia masih muda belia. Akan tetapi dengan
cepat ia dapat menerima ajaran-ajaran bibi. Aku yakin,
dalam waktu dua tahun saja dia sudah dapat mewarisi
kepandaian gurunya."
"O begitu?" "Besuk atau lusa, bibi akan melantiknya sebagai
muridnya. Dia harus mengangkat sumpah. Diapun akan
diuji. Itu sebabnya, kau dipanggil datang kemari untuk
menghadiri." Lega hati Lingga W isnu mendengar percakapan
mereka. Akan tetapi bagaimana halnya dengan Anung
Danusubrata dan Prangwedani" Mereka berdua tidak
mempercakapkan lagi. Karena mereka segera memasuki
pertapaan Rara W indu. Lingga W isnu merasa tak sopan
bila terus mengikut i. Maka ia balik ke peristirahatannya .
Keesokan harinya ia bangun sebelum pagi hari cerah.
Hawa gunung terasa sangat segar. Setelah bersemadi
menghimpun tenaga saktinya, segera ia keluar. Dan
Hajar Kemasan telah berdiri tegak didepan pintu
menunggunya. "Anak! Bibi dan paman guru telah menunggumu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semenjak fajar hari t adi."
"Ah! Kenapa eyang tak mau membangunkan aku?"
"Sebenarnya tidak sebagai b iasanya bibi dan paman
membangunkan tetamunya sepagi ini. Tapi karena
semalam terjadi sesuatu, maka beliau berdua ingin
mendengarkan pendapatmu." kata Hajar Kemasan
dengan sungguh-sungguh. "kenapa aku" Apa yang harus kupersembahkan
kepada beliau berdua?"
Hajar Kemasan tertawa melalu i dadanya. Sahutnya :
"Anak, kau membawa dirimu. Sebenarnya bibi sudah
mengetahui siapa dirimu."
"Pastilah Prabasini yang bercerita."
"Benar," kata Hajar Kemasan. "Perhubungan mereka
tak ubah ibu dan anak kandung belaka. Apalagi setelah
mendengar kabar, bahw a Sudarawerti adalah ayundamu." "Hei! Pastilah eyang yang berkabar," seru Lingga
W isnu bersyukur. Hajar Kemasan mengangguk. Katanya lagi:
"Disini, semuanya harus terang benderang. Tak boleh
diant ara kita menyimpan suatu rahasia atau sesuatu
yang harus disembunyikan ."
Lingga W isnu mengangguk mengerti. Ia kemudian
mengikuti Hajar Kemasan. Sekarang pemandangan
pertapaan Jongring Salaka menjadi jelas. Dataran
ketinggian itu benar benar sedap dipandang dan seolaholah merupakan dunia
sendiri yang terpisah dari dunia
luar. Hajar Kemasan mengikut i pandang Lingga W isnu
kemudian berkata sambil menuding:
"Kami dapat melihat sekitar wilayan ini Lihat, semua
yang bergerak dibawah dataran ini segera dapat kita
ketahui." Lingga W isnu menjengukkan penglihatan. Benar
semuanya nampak jelas. Teringat percakapan Hajar
Kemasan dan Sudarawerti semalam tentang Anung
Danusubrata dan Prangwedani dapatlah ia mengerti
delapan bagian. Rupanya dua tetamu itu sudah
diket ahui, sebelum mereka tiba. Nyatanya sampai pada
pagi hari itu, kedua tetamu itu belum nampak.
Lingga w fcsnu dibawa masuk ke sebuah ruangan mirip
pendapa. Dari jauh ia melihat Sekar Prabasini dan
Sudarawerti duduk bersimpuh menghadap Rara W indu
dan Ki Jaganala. Mereka mengungkurkan pendapa,
sehingga tak melihat kedatangannya. Tapi andaikata
melihatpun, mereka pasti takkan berani mencoba
menoleh atau menegor. Rara W indu dan Jaganala
kelihatan angkar berwibawa. Terdengar suara Rara
W indu samar-samar: "Betapapun juga, kita tak boleh membiarkan mereka
berbuat seenaknya sendiri di
sin i. Bukankah mereka yang
datang kemari dengan maksud buruk?" "Hal itu harus kita buktikan dahulu." Jaganala
seakan-akan mempertahankan. "Mengingat ikrar persabatan,
biarlah aku nant i yang memberi penjelasan."
"Bagaimana bila mereka mau menang sendiri" Apakah
kita hanya t inggal berpeluk tangan saja?"
Jaganala kelihatan berbimbang bimbang. Sejenak
kemudian menjawab: "Bila demikian halnya, memang tak dapat kita berbuat
lain. Hanya saja kuharap jangan dilukai. Aku percaya
mereka akan mau mengerti ."
Tentu saja Lingga W isnu tak dapat membaca
persoalannya sangat jelas. Ia hanya dapat menarik
kesimpulan bahw a baik Rara W indu maupun Ki Jaganala
sudah memperoleh sikap. Syukur! Ketegangan wajah Rara W indu tidak berjalan
lama. Setelah berenung renung sebentar, raut w ajahnya
berobah. Suatu keserian mulai cerah. Dengan mengulum
senyum ia menggapaikan tangannya kepada Lingga
W isnu. Katanya: "Anak! Sebentar lagi aku akan mengangkat Sekar
Prabasin i menjadi murid resmi. Bagaimana" Apakah kau
setuju?" Itulah-pertanyaan diluar dugaan. Setelah duduk,
Lingga W isnu menjawab: "Bila eyang berkenan dan dia senang, aku ikut
syukur." Rara W indu meruntuhkan pandang kepada Sekar
Prabasin i. Katanya : "Kau berdirilah, anakku! Apakah kau tak sudi
menyambut kedatangan sahabatmu?"
"Tentu saja aku gembira. Tapi bukankah aku sedang
melakukan upacara?" jawab Sekar Prabasini.
Rara W indu tertegun sejenak. Lalu berkata memutuskan: "Biarlah kita tunda dahulu. Sebentar lagi kita akan
menerima tetamu." Sekar Prabasini kemudian berdiri dan berputar
menghadap Lingga W isnu. Dan begitu bertemu pandang,
wajahnya berubah. Jelaslah sudah, bahw a ingin ia
berbicara banyak. Hanya saja keadaan yang tak
mengizinkan. Sudarawerti yang ikut berdiri pula. Melihat Lingga
W isnu ia bergemetaran. Hanya saja kesannya lain dari
pada Sekar Prabasini Setelah tertegun-tegun beberapa
saat lamanya, ia berjalan menghampiri seraya berseru:
"Lingga! Benarkah kau Lingga W isnu" Coba kemari!
Biar kuperiksa keningmu."
Lingga W isnu lantas saja merasa diri seorang anak
yang baru saja pandai beringus. Suara Sudarawerti
alangkah mengharukan dan menyedapkan hatinya. Itulah
suara ibu kandungnya sendiri. Tanpa menghiraukan
apapun juga, ia lari menghampiri dan memeluk ayunda
nya. "Ayunda! Kau tak lupa padaku, bukan?"
"Bagaimana aku bisa melupakan" Siang malam aku
memikirkan dirimu. Hanya set elah kuperoleh dari guru
bahw a engkau berada dalam asuhan paman-paman guru
kita, legalah hatiku. Akan tetapi setiap kali besar
harapanku dapat melihatmu. Ah, banyaklah yang akan
kuceritakan kepadamu. Sekarang, biar kuperiksa bekas
lukamu." Lingga W isnu mempunyai cacad bekas luka pada
keningnya. Itulah cacad, tatkala dia kena luka dalam
masa perburuan. Dan apabila melihat cacad itu,
Sudarawerti mendekati dengan air mata berlinang.
"Guru!" katanya. "Tak dapat lagi aku menemukan
suatu kalimat untuk menyatakan betapa besar rasa
terima kasihku kepada guru. Karena guru, aku masih
hidup. Karena guru aku menjadi manusia agak berarti.
Karena guru aku dapat bertemu dengan adik kandungku.
Karena guru ..." Jaganala t ertegun-tegun. Hatinya terharu bukan main.
Terharu bercampur rasa bahagia. Selama hidupnya baru
kali itu ia mengalami perasaan demikian. Tak terasa ia
menoleh kepada Rara W indu. Rara W indu bersenyum
kepadanya. Kata pendekar w anita itu:
"Kau mengerti sekarang apa arti kebajikan itu. Karena
kebajikanmu in ilah, semua kehilafan lebur punah.
Selamat! Selamat!" "Kau pun merasakan rasa bahagia in i?" Jaganala
menegas dengan suara t ak jelas.
"Tentu." "Kaupun akan memperoleh kebahagiaan pula. Kaupun
mempertemukan bocah itu dengan Sekar Prabasini." kata
Jaganala. Mendengar ucapan Jaganala, merah wajah Lingga
wisnu. Iapun lantas mundur satu langkah menghadap
padanya. Tatkala hendak membuka mulutnya, tiba-tiba
terdengar suara memotong:
"Hei saudara Jaganala! Kau sudah mempunyai istana,
kenapa tak pernah mengundang padaku?"
Mereka yang berada dalam ruang pendapa, menoleh.
Dan nampaklah dua orang berpakaian jubah memasuki
dataran ketinggian. Gesit gerak-gerik mereka. Sebentar
saja mereka telah t iba dipendapa.
Usia mereka rata-rata delapan puluh tahun lebih.
W alaupun demikian, usia itu tidak membelenggu diri
mereka. Yang berperawakan gemuk pendek adalah
Anung Danusubrata. Dan yang agak kekurus-kurusan
Prangwedani. Dengan Anung Danusubrata, Lingga Wisnu
pernah melihat. Itulah tatkala dia dengan Kyahi Basaman
diant arkan menghadap padanya. Sedangkan Prangwedani hanya mendengar namanya belaka. Mereka
jadi tak senang hati mendengar ucapannya. Alangkah
sombong dan memuakkan. Rara W indu dan Jaganala berdiri menyambut. Dan
setelah mempersilahkan duduk, bertanyalah Rara W indu:
"Sebenarnya apakah maksud kedatangan saudara
berdua" Jaganala adalah kakakku. Tapi kukira saudara
berdua datang demi untukku silahkan berbicara!"
Prangwedani menoleh kepada Anung Danusubrata.
Lalu menyahut: "Benar. Memang kami datang untukmu. Di manakah
tongkat itu?" "Tongkat?" Rara W indu tercengang. Lalu tertawa geli.
"Apakah tongkatku dahulu" Apanya yang menarik?"
"Jangan bergurau!" bentak Anung Danu- subrata.
"Sudah banyak korban dipihakku."
"Juga pihakku." Prangwedani menguatkan.
"Kenapa sampai jadi korban" Korban apa" Rara Windu
heran. "Korban tongkat mustika." Aba-tiba Sudarawerti
menyambung. "Eh, Sudarawerti. Didepan kedua tamu kita yang
agung, janganlah ikut berbicara." tegur Rara W indu.
Akan tetapi suaranya tidak bersungguh-sungguh. Karena
itu, Sudarawerti berkata lagi:
"Merekalah penyakitnya. Merekalah sumber malapetaka keluarga kami."
"Keluarga yang mana?" bentak Prangwedani dan
Anung Danusubrata dengan berbareng.
Sudarawerti melemparkan pandang kepada Lingga
W isnu. Ia nampak bersedih hati. Lalu menjawab
terpaksa. "Duapuluh tahun yang lalu, bukankah ada anak buah
kalian ikut memburu keluarga kami"
"Keluarga kami yang mana?" mereka menegas lagi.
Sudarawerti menggigit bibirnya. Menjawab.
"Pernahkah kalian mendengar nama pendekar Udayana?" "Hai!" mereka t erkejut seperti kena sengat. Dan diluar
kehendaknya sendiri, mereka sampai berbangkit dari
tempat duduknya. Kemudian Anung Subrata menuding
Sudarawerti dengan gemetaran. Membentak:
"Kau siapa" Janganlah sembarang menuduh orang.
Kau belum cukup dewasa, akan tetapi kenapa pandai
memfitnah orang?" "Akulah salah seorang anaknya yang masih hidup."
Mendengar jawaban Sudarawerti mereka saling
pandang beberapa saat lamanya. Kemudian menoleh
kepada Rara Windu. Kata Prangwedani :
"Nah kau dengar sendiri k ini. Tongkat mustikamu yang
membuat malapetaka itu."
"Kenapa tongkatku" Selamanya tak pernah aku
meninggalkan tempatku." jawab Rara W indu dengan
penasaran. "Coba tongkatmu dahulu kau berikan kepada kami,
takkan terjadi korban begitu banyak" gerutu Prangwedani seenaknya sendiri.
Percakapan itu membuka pikiran Lingga W isnu.
Sekarang, ia agak dapat memahami terjadinya peristiwa
itu. Rupanya setelah menyaksikan betapa tangguh Rara
W indu tatkala bertempur melawan Jaganala, tertariklah


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pada senjata tongkatnya yang tak mempan oleh
senjata tajam. Ingin mereka memiliki. Tapi dengan cara
apa" Mereka percaya, bahwa dengan jumlah banyak
akan dapat merebut tongkat itu. Namun setelah
dipikirnya panjang-panjang, cara demikian t idak tepat.
Sekarang mereka teringat kepada masalah hubungan
antara Rara W indu dan Kyahi Basaman dizaman muda.
Satu-satunya orang yang dapat meluluhkan kekerasan
hati Rara W indu, hanyalah Kyahi Basaman. Tetapi orang
tua itu terlalu saleh. Apa akal" Maka mereka hendak
menempeleng dengan meminjam tangan Kyahi Basaman.
Korban yang mereka pilih ialah Udayana yang hidup
diluar rumah perguruan. Mereka berharap dengan
matinya Udayana akan membangkitkan semangat
tempur orang tua itu. Udayana digiring terus sampai ke Gunung Lawu.
Disinilah dia baru dibunuh dengan segenap keluarganya.
Gunung Lawu tempat Kyahi Basaman bertapa. Gunung
Lawu tempat Rara W indu bersemayan. Dan Ki Jaganala
yang mengetahui peristiwa itu, tak dapat mengulurkan
tangan mengingat t ali persahabatan. Satu satunya jalan,
hanya menyelamatkan salah seorang anggauta keluarga
Udayana. Dan peristiwa selanjutnya yang dialami Lingga
W isnu diatas gunung Cakrabuwana adalah dalam rangka
merebut tongkat mustika Rara W indu.
"Prangwedani! Anung Danusubrata!" tiba-tiba Ki
Jaganala meledak. "Pada zaman mudaku memang aku
seorang jahanam. Tapi sama sekali tak pernah mengira,
bahw a kalian jauh lebih jahanam daripadaku. Tatkala aku
menyaksikan anak buahmu membunuh suatu keluarga
dilereng gunung ini, tak sudi aku mengetahui latar
belakangnya. Aku hanya t ahu diri. Bahwasanya tak boleh
aku merint angi anak buahmu mengingat tali persahabatan kita dizaman muda. Tapi andaikata aku
tahu latar belakangnya takkan kubiarkan anak buahmu
mengganas begitu jahat."
"Jaganala! Apakah dalam hal ini kau sudah berbalik
memusuhi kami?" teriak Anung Danusubrata.
"Segala permusuhan dapat didamaikan. Dahulu aku
pernah bentrok dengan Rara Windu. T api akhirnya dapat
berdamai. Sekarangpun aku berharap demikian pula.
Apalagi usia kita sudah lanjut. Sebelah kaki kita sudah
masuk keliang kubur," jawab Jaganala dengan suara
tenang. "Hm jelek-jelek akupun mempunyai t ongkat. Jika Rara
W indu tidak menyerahkan tongkat itu, biarlah tongkatku
yang menggebuknya," ujar Anung Danusubrata tak
menghiraukan. Kemudian ia mengedipi Prangwedani
yang segera berdiri bersiaga.
Lingga W isnu lantas teringat kepada pengalamannya
dahulu. Anung Danusubrata semenjak dahulu angkuh
dan tak memandang siapapun sampai eyang gurunya
bersedia mengalah demi kepentingannya. Kenangan itu
senantiasa membuat hatinya berterima kasih terhadap
eyang gurunya yang saleh. Ia berjanji kepada diri sendiri,
hendak membalas budi. Rara W indu mengangkat kedua tangannya seperti
menolak sesuatu. Lalu berkata:
"Kakang Danusubrata dan kakang Prangwedani. Kita
bukan anak kecil lagi. Kenapa mati-matian memperebutkan tongkat yang t iada harganya. W alaupun
tongkat itu sangat ampuh, tapi sama sekali tak berarti
bila yang menggunakan tak berkepandaian. Kurasa
dalam hal in i sangat terletak pada ilmu kepandaian
seseorang. Dan bukan tongkat itu sendiri."
"0, begitu" Kau menganggap tingkat itu tak berharga"
Nah, berikan kepada kami." potong Anung Danusubrata
dengan mengejek. Anung Danusubrata dan Prangwedani sengaja
bersikap angkuh menghadapi Rara W indu. Dahulu
mereka menyaksikan betapa Jaganala kena digebah
gampang olehnya. Peristiwa itu tak pernah terlupakan.
Mengetahui bahwa hal itu terjadi berkat ilmu gabungan,
maka kedua pendekar itu membuat suatu persekutuan
untuk saling tukar ilmu saktinya masing masing dengan
tujuan hendak menghancurkan ketangguhan Rara
W indu. Ilmu sakti mereka berdua, memang berasal dari satu
sumber. Sayang, mereka t ak dapat minta bantuan Kyahi
Basaman. Sebab Kyahi Basaman dahulu kekasih Rara
W indu. W alaupun demikian, mereka percaya akan dapat
menghadapi Rara W indu dengan bekal dua per tiga ilmu
gabungan Ugrasawa dan Parwati. Seperti diketahui, ilmu
sakti itu berasal dari Resi Roma Harsana d izaman
Majapah it. Kemudian pecah menjadi tiga bagian.
Ugrasawa, Parwati dan Aristi. Ugrasawa mencintai
Parwati, sedang Parwati mencintai Aristi. Untuk
menghindari suatu malapetaka kemudian hari Roma
Harsana memecah ilmunya menjadi bagian. Masingmasing dapat berdiri sendiri, akan
t etapi t ak dapat saling
membunuh. Kecuali b ila mereka saling tukar ilmu
kepandaian bagiannya masing-masing. Karena itu, Resi
Roma Harsana melarang penggabungan itu. Dia
mengutuki atas kehendak Dewa, bahwa barangsiapa
melanggar pantangan itu akan bernasib buruk.
Secara kebetulan, Kyahi Basaman yang menjadi
ahliwaris aliran Aristi yang ketujuh terpaksa memohon
bantuan Anung Danusubrata akan tetapi. kelinci
percobaannya justeru mengambil salah seorang anak
murid Kyahi Basaman. Dialah Udayana ayahanda Lingga
W isnu dan Sudarawerti. Dengan demikian, terpaksa ia
menolak agar tak memberi jejak pada maksud
sebenarnya. Sementara itu, Anung Danusubrata diam-diam bekerja
sama dengan Prangwedani meletakkan jabatannya agar
terbebas dari ketentuan tata-tertib rumah perguruannya.
Dia bahkan berkabar bahw a dirinya sudah meninggal.
Dan kursi plmpinnan diserahkan kepada salah seorang
anak muridnya yang pandai.
Adapun tujuan mereka berdua hendak meyakinkan
sejarah, bahw a ilmu sakti rumah perguruannya adalah
yang tersakti dan terhebat. Pendek kata, tak sudi mereka
melihat dua matahari dalam dunia. Demikianlah, sete-lah
merasa kuat, mereka kini hendak mencoba ilmu
gabungannya melawan Rara W indu.
Rara W indu bukan manusia goblok. Semenjak semula
ia menaruh curiga terhadap mereka berdua. W aktu
mengadu kepandaian melawan Jaganala, mereka berdua
hadir. Tak mengapa. Mungkin secara kebetulan saja.
Tapi yang kedua kalinya, kenapa justru mereka berdua
yang mengajak Jaganala mendatangi pertapaannya"
Niscaya ada udang dibalik batu. Karena itu, ia
menantang mereka pula. Tapi tatkala itu Anung
Danusubrata dan Prangwedani merasa diri tak ungkulan.
Itulah sebabnya mereka berjanji hendak hadir sebagai
saksi semata. Jaganala yang berwatak berangasan semasa mudanya
menjadi tak senang hati. W alaupun mereka berdua
termasuk sahabat sahabatnya, namun dengan Rara
W indu ia sudah hidup damai puluhan tahun lamanya.
Lagipula dia salah seorang adik seperguruannya. Puluhan
tahun pula, dia senantiasa berlatih bersama. Dan tatkala
mengambil Sudarawerti sebagai murid, Rara W indu ikut
pula menyumbangkan kepandaiannya. Oleh pikiran itu,
tak terasa ia mengerling kepada Sudarawerti.
Semenjak tadi, Sudarawerti mendongkol terhadap
mereka berdua. Apalagi, mereka adalah sumber
malapetaka orang tuanya. Maka begitu menerima
kerlingan gurunya, ia salah terka. Ia mengira, gurunya
memberi kisikan padanya agar menghajar mereka
berdua. Tak mengherankan rasa dendamnya meledak
memenuhi dadanya. Ia sadar, bahw a mereka berdua bukan tokoh-tokoh
sembarangan. Kepandaiannya mungkin set araf dengan
kedua gurunya. Akan tetapi ia tak gentar. Ia percaya,
kedua gurunya tidak akan tinggal diam bila dia berada
dalam bahaya. Dengan pertimbangan demikian, mendadak saja ia melompat kedepan Prangwedani
sambil berkata : "Maaf. Biarlah aku yang mewakili."
Gesit gerakan Sudarawerti. Berbareng dengan perkataannya, tangannya menekuk. Tatkala kedua
kakinya mendarat, kedua tangannya diajukan kedepan.
Jelas sekali ia melontarkan tenaga himpunan. Suatu
gumpalan tenaga tiba dengan dahsyat.
Prangwedani baru saja bangkit dari kursinya. Sama
sekali ia tak menduga bakal diserang demikian. Ia
tertolak mundur hingga terjengkang. Tentu saja Rara
windu dan Jaganala terperanjat. Namun t ak sempat lagi
mereka mencegah. W ajah Prangwedani merah padam. Ia terperanjat dan
malu sekali. Dengan serta merta ia bangun. Tanpa
menghiraukan lagi siapa yang menyerangnya, ia
membalas dengan pukulan tenaga. Dialah ketua aliran
Parwati. Tak usah dijelaskan lagi, bahw a himpunan
tenaga saktinya luar biasa hebatnya. Apalagi ilmu
saktinya kini sudah bergabung dengan ilmu sakti aliran
Ugrasawa. Seketika itu juga, tempat duduk Sudarawerti
yang terbuat dari batu pualam, hancur berhamburan.
Sudarawerti sudah bersiaga. Kedua kakinya menjejak
tanah dan tubuhnya mental tinggi. Dengan demikian,
tempat duduk yang hancur berhamburan itu sama sekali
tak mengenai dirinya. Lalu mendarat dihalaman dejpan
dengan tak kurang suatu apa.
Prangwedani mendongkol. Selama hidupnya belum
pernah ia terhina demikian rupa. Murid muridnya dahulu
yang seusia Sudarawerti ratusan orang jumlahnya.
Kecuali anak seorang yang berkedudukan baik, kini
sudah berumur diatas limapuluh tahun. W alaupun
demikian tak berani mereka beradu pandang dengannya
Apalagi mencoba-coba menyerang berhadap-hadapan.
Dapat dibayangkan betapa panas hatinya. Dengan
serentak ia mengejar Sudarawerti sambil melontarkan
pukulan. Bentaknya: "Budak kurang ajar! Kau hendak lari ke mana?"
Sudarawerti berputar dan menangkis. T enaga mereka
berdua berbenturan. Bres! Dan pada saat itu, tubuh
Sudarawerti t erbang ke udara dan hinggap diatas pohon.
Indah dan cekatan gerakan Sudarawerti. Ia sudah
mewarisi kepandaian gurunya. Gerak-geriknya wajar dan
kecepatannya mengingatkan Prangwedani pada Rara
W indu semasa mudanya. Tapi justru demikian, ia makin
mendongkol. Kembali lagi ia menyusul dan membarengi
dengan pukulan hawa. Sudarawerti tak sudi mengadu tenaga lagi. Ia
mengelak dan meloncat kesana kemari memperlihatkan
kelincahannya. Dan tak terasa tigapuluh jurus telah
lewat. Selama itu pula pukulan Prangwedani yang
dahsyat bagaikan guntur tak pernah menyentuh dirinya.
Sekarang Prangwedani yang jadi kelabakan. Betapapun juga, usianya sudah lanjut. Inilah suatu, hal
yang berada diluar perhitungannya. Meskipun ragam ilmu
kepandaiannya bertambah sekian kali lipat, akan tetapi
tenaga saktinya sebagai dasarnya tidak sekuat dahulu
lagi. Tak dikehendaki sendiri, tenaganya makin terasa
berkurang. Dan justru pada saat itu, Sudarawerti mulai
melancarkan serangan balasan. Diapun berani mengadu
tenaga pula. Prangwedani terpaksa membela diri dan bertahan
sebisa-bisanya. Dengan tangan kiri ia melindungi
dadanya dan dengan tangan kanannya ia mencoba
menyerang serta melakukan t ata muslihat. Kelima jarinya
mencengkeram. Maksudnya hendak menangkap kemudian meremukkan. Tentu saja Sudarawerti tak sudi menjadi korban
Dengan cerdiknya, ia menukar serangannya. Tangan
kirinya menyapu dan dua jari tangan kanan, tiba-tiba
menyelonong mengarah mata.
Prangwedani terperanjat. Terpaksa ia mengangkat
tangan kanannya untuk melindungi wajahnya sambil
menundukkan kepalanya. Ia bermaksud melindungi mata
dan menangkis. Tapi dengan demikian, ia menutupi
bidang penglihatannya sendiri.
Sudarawerti cerdik. Ia membatalkan serangannya.
Dengan mendadak ia kini yang mencengkeram. Yang
dicengkeram pergelangan tangan kanan Prangwedani


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terangkat melindungi wajahnya. Prangwedani kaget
sampai ia berjingkrak, tatkala pergelangan tangannya
kena tangkap. Tahu-tahu tenaganya menjadi punah.
Sudarawerti tak mau kehilangan kesempatan yang
bagus itu. Ia tahu pula, bahw a tenaga himpunan
lawannya punah kena cengkeramannya yang tepat
mencengkeram urat nadi. Terus saja ia mengangkat
tubuh Prangwedani tinggi di udara dan dibawanya
berputar. Dengan sekali menghentak, tubuh Prangwedani
terbang bagaikan layang-layang putus dan jatuh tercebur
didalam telaga. Lingga W isnu tersenyum dan puas. Kepandaian
ayundanya ternyata berada diatas semua kakak-kakak
seperguruannya. Mungkin sekali sejajar dengan kepandaian kedua gurunya. Betapa tidak" Kedudukan
Prangwedani sejajar dengan kedua gurunya. Bahkan
set ingkat lebih-tinggi. Dan tak beda dengan eyang
gurunya (Kyahi Basaman) yang memimpin aliran Aristi.
Dan dalam suatu pertempuran yang cepat, dapat
melemparkan Ketua aliran Parwati sangat mudah.
Jaganala jadi tak enak hati. Ia khawatir persoalan
akan menjadi tambah rumit. Ia menjejak tanah dan
tubuhnya terbang kepermukaan air telaga. Dan dengan
sekali sambar ia membawa Prangwedani kedarat. Justeru
pada saat itu, Anung Danusubrata datang menyerang.
"Kau menghianati persahabatan. Maka kau pun harus
mandi didalam t elaga." serunya.
Lingga W isnu merasa berhut ang budi terhadap
Jaganala. Kecuali ayundanya, dirinyapun pernah diselamatkan. Maka tanpa berpikir lagi ia melompat dan
memunahkan tenaga pukulan Anung Danusubrata. Dan
akibatnya hebat sekali sehingga membuat siapapun
tercengang. Termasuk dirinya sendiri. Betapa tidak"
Ia hanya mengebaskan tangannya. Tapi suatu
gelombang himpunan tenaga yang dahsyat luar buasa,
mengangkat tubuh Anung Danusubrata tinggi diudara.
Untung sekali ia tak bermaksud jahat. Maka setelah
dibawa jungkir balik oleh arus tenaga yang berputaran,
ketua golongan Ugrasawa itu didaratkan dengan tak
kurang suatu apa. Anung Danusubrata begitu terperanjat sampai
beberapa saat lamanya, berdiri tertegun. Tapi setelah
melihat siapa yang melemparkan, ia malu penasaran dan
tercengang. Dengan t ongkatnya ia menuding. Kemudian
membentak : "Kau siapa?" "Siapa namaku tak penting. Tapi biarlah aku yang
mewakili. Sebab dalam hal in i aku langsung tersangkut."
jawab Lingga W isnu. "Kau siapa?" kali ini suara Anung Danusubrata
bergetaran. "Akupun dahulu pernah datang kebiaramu."
"Siapa?" Anung Danusubrata tertegun. Dan ia nampak
berpikir keras. "Janganlah kau sembarangan saja
menjawab pertanyaanku. Apakah kau kira aku kena kau
gertak dengan ... "W aktu itu aku masih kanak-kanak. Aku datang
dengan eyang gifiuku untuk minta pertolonganmu. Tapi
jangan lagi menolong, bahkan aku sengaja kau racuni.
Padahal eyang guruku sudah mau mengalah dengan
menyerahkan int i rahasia ilmu sakti Alirannya. Meskipun
kurang jelas karena eyang guru tidak dapat hadir, tapi
sebagai seorang pandai niscaya engkau sudah mengantongi. Sungguh hebat tipu muslihatmu. Kau
bekerja sama dengan Prangwedani, tapi dia hanya
memperoleh ilmu sakti aliran Ugrasawa. Sedangkan
engkau tidak hanya memperoleh rahasia ilmu sakti
Parwati tapi lengkap dengan aliran Aristi. Dengan
demikian, kaulah yang sebenarnya berhak menyematkan
diri sebagai pengganti cikal bakal tritunggal."
"Hei, sebenarnya kau siapa?" Anung Danusubrata
penasaran dan bingung. Lingga W isnu sudah terlanjur menelanjangi orang. Tak
sudi lagi ia kepalang tanggung. Katanya lagi:
"Bukankah orang tua yang bersembunyi di dalam
tembok itu adalah Prangwedani" Dialah yang menghancurkan aku atas perint ahmu. Setidak-tidaknya
atas sepengetahuanmu. Kenapa dia tidak memperoleh
bagian" Sekiranya dia memperoleh bagiannya, tidaklah
mudah kakakku perempuan menceburkannya kedalam
telaga. Jadi apabila d itelusur, maka engkaulah yang
menceburkan Prangwedani didalam telaga. Bukan
kakakku perempuan." Seketika itu juga, Anung Danusubrata tertegun
kebingungan. Mendadak saja teringat lah dia kepada
sibocah yang berpenyakitan Serunya diluar kemauannya
sendiri: "Jadi kaulah dahulu yang datang dengan Kyahi
Basaman?" "Benar. Akulah Lingga W isnu."
"Kau kenapa adikku?" tiba-tiba Sudarawerti memotong
percakapan mereka. "Panjang ceritanya. Biarlah aku menghajar pendeta ini
dahulu. Sebentar kukabaskan pengalamanku itu." jawab
Lingga W isnu. Sudarawerti tak mengira bahw a adiknya dapat
melontarkan Anung Danusubrata demikian mudah. Maka
ia percaya akan ketangguhannya hanya sampai dimana
masih merupakan teka teki besar.
Rupanya, baik Jaganala maupun Rara Windu menaruh
perhatian besar terhadap Lingga W isnu. Ia heran
menyaksikan pemuda itu dapat melemparkan Anung
Danusubrata dengan sekali kebas. Apalagi Anung
Danusubrata menyinggung nyinggung nama Kyahi
Basaman. Sedang pemuda itu mengakui diri sebagai cucu
muridnya. Dalam pada itu wajah Anung Danusubrata merah
padam karena kena dibongkar rahasianya dan Prangwedani yang sempat pula mendengar ucapan
Lingga W isnu nampak terlongong longong. Ia tertolong
Jaganala meskipun pakaiannya tetap basah kuyup. Lalu
menegas: "Hei Anung! Benarkah ucapan bocah itu?"
"Kau t unggulah barang sebentar! Biarlah aku menutup
mulut nya yang liar tak keruan!" jawab Anung
Danusubrata mengelakkan pertanyaan Prangwedani.
"Hm ..." dengus Lingga W isnu. Lalu berputar
mengawasi Prangwedani. Berkata:
"Kaupun nanti harus menerima bag ian pula. Hut ang
nyawa haruslah dibayar dengan nyawa. Hutang uang
harus dibayar dengan uang dan hutang tenaga harus
dibayar dengan tenaga."
"Hut ang tenaga bagamana?"
Prangwedani tak mengerti. "Bukankah engkau yang meracuni diriku" Bila saja aku
tak tertolong, saat ini aku sudah menjadi kerangka.
Engkaulah yang menyebabkan. Nah, kau rasakan nant i
pembayarannya. Dan jangan coba berpikir hendak
melarikan diri! Aku, Lingga W isnu, akan memburumu
meskipun kau mengungsi ke ujung neraka."
Makin berbicara banyak, hati Lingga W isnu makin
menjadi panas. Itulah berkat pengalaman hidupnya yang
terlalu pahit. Ia bahkan merasa pasti pula, bahw a
Prangwedani, yang memukul dirinya tatkala ayah
bundanya kena kerubut. Hal itu ingin dilontakkan
sekaligus, tapi pada saat itu Anung Danusubrata sudah
menyerang dengan tongkat andalannya yang dianggap
sakti. Memang ilmu kepandaian Anung Danusubrata ternyata berada diatas Prangwedani. Tenaganya dahsyat
luar biasa. Apalagi ia bersenjata tongkat. Tak
mengherankan mereka yang menyaksikan menjadi
cemas. Hanya Sekar Prabasin i seorang yang tetap
tenang. "Apakah kawanmu sanggup berlawan lawanan dengan
Anung Danusubrata?" tanya Rara W indu mencoba.
"Guru! Dia pernah dikerubut berpuluh musuh. Namun
seorang diri, dia sanggup mentaklukkan." jawab gadis
itu. Sebenarnya jawabannya kurang tepat. Dikerubut
berpuluh orang, bukan suatu ukuran. Rara W indu sendiri
akan sanggup menundukkan berpuluh-puluh orang.
Sebaliknya ilmunya dan kesaktiannya Anung Danusubrata
bukan olah-olah tingginya. Menurut titur kata Lingga
W isnu, dia kini sudah memiliki ilmu sakti tritunggal.
Gabungan ilmu sakti Ugrasawa dan Parwati serta Aristi
yang sudah dapat berdiri sendiri dengan tegaknya
semenjak puluhan tahun lamanya. Rasa Rara W indu
sendiri akan dapat dibuatnya repot.
Pendekar wanita tua itu berpikir didalam hati :
"Dapatkah aku berlawan-lawanan dengan tenaga
gabungan Anung Danusubrata, Prangwedani dan
Basaman?" Rara W indu menghela napas. Ia menggigil dengan
sendirinya. Maka ia menganggap Sekar Prabasini
bermulut besar. Atau jawabannya sebenarnya sebuah
doa bagi sahabatnya yang mungkin istimewa. Sebaliknya
Sekar Prabasini makin tenang. Rara W indu tak tahu,
bahw a pemuda itu telah menemukan sebuah kitab sakti
yang tiada bandingnya di dunia. Dalam hal ini Sekar
Prabasin i t ak mau membuka rahasia itu walaupun kepada
gurunya sendiri yang sudah mengangkatnya sebagai
anak kandung. Tatkala itu terdengar suara Lingga W isnu :
"Jangan tergesa-gesa mengadu tenaga. Tenangkan
hatimu! Aku akan membuatmu puas."
"Apakah kau malekat?" bentak Anung Danusubrata
penasaran. "Kita membuat perjanjian dahulu." Lingga W isnu tak
menghiraukan. "Perjanjian apa?"
"Mari kita bertempur diatas permukaan air. Bukankah
kau t adi berpenasaran melihat sahabatmu jatuh tercebur
didalam telaga tak ubah ayam terondol" Setidak-tidaknya
didalam hatimu niscay a timbul suatu tekat hendak
membalas dengan menceburkan diriku kedalam telaga.
Legakan hatimu, aku akan memberi kesempatan. Lagi
pula bertempur dengan cara demikian jauh lebih
berharga dari pada bertempur semacam anak kampung."
"Jangan mengoceh tak keruan. Siapa tak tahu bahwa
kau sedang mengulur umurmu?" bentak Anung
Danusubrata. Lingga W isnu tertawa. Menyahut:
"Jadi kau set uju bukan" Nah, siapa yang mendarat
lebih dahulu, dialah yang kalah. Seumpama aku, kau
boleh mengemplang diriku sesuka hatimu. Sebaliknya
bila kau kalau kau harus keluar dari dataran ketinggian
ini dengan bergelundungan. Bagaimana?"
Anung Danusubrata mencuri pandang ke arah telaga,
dilihatnya beberapa helai daun kering mengambang
diatas permukaan air. Maka berkatalah dia angkuh:
"Baik. Jadi kau ingin mampus d i dalam air" Itulah
Bunga Ceplok Ungu 3 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Nurseta Satria Karang Tirta 4
^