Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 7

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 7


penyimpan alat-alat ketabiban Ki Sarapada. Kemudian
keluar menghampiri Aruji.
"Abang," kata Lingga W isnu terharu. "Selama
beberapa hari ini adikmu berusaha mati-matian untuk
mempelajari rahasia kitab ketabiban Ki Sarapada. Hanya
saja aku masih belum dapat memahami seluruhnya.
Karen terdesak oleh keadaan, aku nemberanikan diri
untuk main coba-coba. Sebab racun yang mengeram di
dalam tubuhmu tak dapat ditunda-tunda lagi pengobatannya. Esok pagi, sudah kasep. Maka apabila
cara penyembuhanku ini akan mencelakakan abang,
akupun tak akan hidup seorang diri lagi dalam dunia in i.
Segera aku akan bunuh diri dihadapan mayatmu."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, Aruji tertawa.
Sahutnya : "Adik, kenapa engkau berkata demikian" Nah cepatlah
engkau berusaha menancapkan semua alat penyembuhanmu ke dalam tubuhku, moga-moga kau
berhasil sehingga paman akan merasa malu sendiri.
Tetapi apabila usahamu itu justru akan merengut jiwaku,
lebih baik begitu dari pada mati d i dalam lumpur begini
seperti babi cacingan."
Dengan tangan bergemetaran Lingga W isnu merabaraba urat nadi Aruji dengan
cermat. Kemudian mengambil pisau tajam untuk membedah. Sudah barang
tentu, selama hidupnya belum pernah Lingga W isnu
menbelah seseorang. Bahkan menyembelih babipun
belum pernah. Kalau kin i ia berbuat demikian, adalah
semata-mata dipaksa oleh keadaan. Sebab menurut
catatan ilmu ketabiban Ki Sarapada, cara melawan
pukulan beracun yang kini sudah bercampur baur dalam
darah, hanya dengan cara membedah urat-urat nadi
tertentu. Tetapi karena selama hidupnya belum pernah
menancapkan pisau belati pada tubuh seseorang,
tangannya nendadak menggigil. Bid ikannya justru
meleset, sehingga ia harus mengulangi beberapa kali.
Keruan saja Aruji lant as
saja mand i darah. Membedah di tempat dekat urat nadi, sangatlah
berbahaya. Hal itu disadari
oleh Lingga W isnu setelah
hafal dengan bunyi kitab ilmu ketabiban Ki Sarapada. Itulah sebabnya
ia menjadi gugup. Dan melihat darah Aruji yang membanjir keluar, kini tidak hanya gugup akan tetapi bingung pula. Tiba-tiba pada saat itu terdengarlah suara seseorang
tertawa di belakang punggungnya. Lingga W isnu
menoleh, dan melihat Ki Sarapada berjalan sambil
menggendong t angan. Dengan berpayung ia bebas dari
air hujan, ia nampak puas nenyaksikan Lingga W isnu
mencoba menolong Aruji dengan cara yang salah.
"Paman Sarapada," kata Lingga W isnu dengan suara
mohon belas kasihan. "Darah terus mengalir, bagaimana
caranya aku menghentikan?"
"Tentu saja aku tahu. Tetapi apa perlu aku
beritahukan kepadamu?" sahut Ki Sarapada dengan
suara dingin. Setelah itu ia tertawa perlahan melalui
hidungnya . Mendengar tawa Ki Sarapada, seluruh tubuh Lingga
W isnu menjadi dingin. Apalagi tatkala itu ia berada di
tengah hujan badai. Lantas saja ia menggigil, dengan
menguatkan imannya ia berkata lagi :
"Baiklah begini saja, kita mengadakan penukaran
secara adil. Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Kau
tolong abang Aruji, setelah sembuh aku segera akan
bunuh diri dihadapanmu."
Kembali Ki Sarapada tertawa melalui h idungnya.
Sahutnya : "Sekali aku telah berkata tidak sudi mengobati, selama
hidup tak akan sudi mengobati. Dia hidup atau mati tiada
sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia h idup oleh
pertolonganku, apakah malaikat akan menggendongku
masuk ke sorga" Sebaliknya kalau dia mampus, apakah
aku lantas menjadi set an berkeliaran" Juga aku tidak
perduli dengan dirimu. Meskipun sepuluh Lingga W isnu
mati dihadapanku, tidak bakal aku sudi menolong Aruji."
Mendengar jawaban Ki Sarapada, hati Lingga W isnu
menjadi berputus asa. Tahulah sudah, bahwa tiada
gunanya lagi untuk berbicara berkepanjangan dengan
tabib itu. Keberaniannya mendadak saja terhimpun
dengan tak setahunya sendiri. Itulah disebabkan oleh
rasa dengki benci dan dendam terhadap Ki Sarapada.
Lantas saja ia bekerja sedapat-dapatnya, berdasarkan
ingatannya belaka. Ia seperti lagi membalik balik
lembaran kitab ilmu ketabiban Ki Sarapada di depan
matanya. Dan sesuai dengan petunjuk di dalamnya, tangannya
bergerak membedah ke sana ke mari dan menyekat
meluas nya racuh Rajah Pideksa. di luar dugaan, tiba-tiba
saja aliran darah Aruji terhenti. Pemuda berewok itu
tidak lagi mengeluarkan darahnya. Hal itu melegakan hati
Lingga W isnu. Beberapa saat ia menunggu. Tiba-tiba saja
Aruji melontakkan darah kental beberapa kali.
Melihat Aruji melontakkan darah hitam kent al, tak
tahulah Lingga W isnu apakah dia berhasil, atau justru
sebalik nya. Tak heran hatinya menjadi berdebar-debar.
Ia sudah mengambil ketetapan, apabila Aruji mati diapun
akan segera menyusul mati bunuh diri. Tiba-tiba
teringatlah dia Ki Sarapada berada belakang punggungnya. Terus saja ia menoleh,
masih saja Ki Sarapada nampak bersenyum mengejek. Akan tetapi samar-samar
wajahnya memperlihatkan rasa kagum dan heran. Maka
tahulah ia, bahwa usahanya tidak gagal seluruhnya.
Artinya juga belum tepat sekali. W alaupun demikian,
hatinya agak terhibur. Dengan cepat ia lari masuk ke dalam rumah dan
membalik-balik buku kadar ramuan obat. Setelah
bertekun beberapa saat lamanya, dapatlah ia membuat
kadar ramuan obat. Akan tetapi sesungguhnya jenis
ramuan obat yang ditulisnya itu merupakan obat
penyembuh racun Rajah Pideksa. Setelah menimbang
sebentar ia memberanikan diri untuk menyerahkan
kepada seorang pelayan agar membuat ramuan obat
yang ditulisnya. Pelayan itu segera membawa surat resep Lingga
W isnu kepada Ki Sarapada. Dia mohon izin kepada
majikan nya apakah diperkenankan melayani bocah itu.
Setelah bunyi resep itu dibaca Ki Sarapada, ia
mendengus beberapa kali. Kemudian dia berkata :
"Kau buatkan saja menurut bunyi resep ini. Biarlah
diminumkan. Kalau tidak mati seketika, anggap saja
memang berumur panjang."
Mendengar kata-kata Ki Sarapada, dengan cepat
Lingga W isnu meminta kembali surat resepnya. Kadarnya
lantas dikurangi. Setelah itu di serahkan kepada si
pelayan yang segera rembuat ramuan obat menurut
resepnya sehingga menjadi semacam obat kental.
Dengan mata berkaca-kaca Lingga W isnu membawa
obat ramuannya kepada Aruji. Katanya dengan bingung:
"Inilah obat ramuan hasil jerih payahku mencuri bunyi
kitab paman Sarapada. Setelah abang minum obat ini,
entah sembuh, entah malah celaka. Adikmu tak tahu."
"Bagus!" seru Aruji penuh semangat. " Inilah namanya
orang buta menuntun kuda buta. Apabila sampai
tergelincir ke dalam jurang, kedua-duanya akan jatuh
saling t indih." Setelah berkata demikian Aruji tertawa terbahak
bahak. Kemudian dengan memejamkan matanya ia
meneguk ramuan obat Lingga W isnu.
Semalam sunt uk perut Aruji sakit bukan kepalang.
Ususnya melilit seperti tersayat. Dan tiada hentinya
melontakkan darah. Lingga W isnu menunggunya semalam sunt uk pula dibawah hujan lebat. Menjelang
esok hari barulah terang. Matahari muncul di udara
dengan cahayanya yang lembut.
"Adik, aku belun mati!" seru Aruji tiba-tiba dengan
girang. "Ranuan obatmu benar-benar manjur. Penyakitku
jadi berkurang." Keruan saja Lingga W isnu girang bukan kepalang.
Sahutnya : "Kalau begitu resepku semalam boleh juga, bukan " "
"Benar, t ak pernah kuduga bahwa pada hari ini dunia
melahirkan seorang t abib sakti yang masih belum pandai
beringus. Biarlah aku menamakan engkau 'Dukun
Malaikat'. Sebab resepmu ternyata bisa menyembuhkan
babi. Hanya saja ramuan obatmu terlalu keras, usus baku
sepertinya tersayat-sayat oleh ratusan pisau kecil."
"Y a, kadar ramuan obatku memang agak berat."
Lingga W isnu menyesal. Ramuan obat yang dibikin Lingga W isnu, sebenarnya
sesuai dengan iImu Ki Sarapada. Boleh dikatakan tepat
sekali. Akan tetapi kadarnya terlalu berat, sehingga
merupakan obat pemunah racun Rajah Pideksa yang
kuat luar biasa. Apabila Aruji tak mempunyai tenaga
jasman i melebihi manusia biasa, pastilah dia akan mati.
Pada pagi hari itu, Ki Sarapada datang memeriksa.
Melihat w ajah Aruji bersemu merah dan bersemangat, ia
terkejut. Diam-diam ia berpikir di dalam hati:
"Y ang satu pandai, dan yang lain berani. Berkat kerja
sama mereka berdua, t ernyata racun Rajah Pideksa bisa
disembuhkan." Pada keesokan harinya, Lingga W isnu membuat
racikan obat-kuat untuk mengembalikan tenaga Aruji. Ia
membongkar semua simpanan obat kuat Ki Sarapada
dan tanpa menghiraukan apakah sipemilik menggerutu
atau tidak, lantas saja ia berikan kepada A ruji. Pikirnya di
dalam hati: 'Kalau dia marah, paling-paling aku hanya dibunuhnya.
Akan tetapi tenaga abang Aruji harus pulih seperti
sediakala.' Dengan pertolongan obat-obat simpanan Ki Sarapada,
tenaga Aruji tidak hanya pulih seperti sediakala akan
tetapi himpunan tenaga saktinya malah menjadi
bertambah. Maka dengan rasa penuh terima kasih ia
berkata kepada Lingga W isnu :
"Adik, lukaku kini sudah sembuh, tenaga saktiku pulih
pula. Setiap hari engkau menemani tidur di atas tanah
terbuka ini, tanpa menghiraukan kesehatanmu sendiri.
Inilah cara yang kurang baik. Biarlah sekarang berpisah
dulu." Satu bulan mereka bergaul. Dalam hati masing-masing
sudah terikat rasa persahabatan, seia sekata dan sehidup
semati. Kini mereka terpaksa berpisah, dengan
sendirinya hati Lingga W isnu menjadi terharu. T ak ingin
ia memperkenankan Aruji meninggalkan dirinya. Akan
tetapi ia ingat pula bahw a Aruji tak mungkin mengawaninya terus menerus di atas
gunung Merapi. Maka dengan sedih dan pilu terpaksalah ia mengucapkan
selamat jalan kepada abangnya itu.
"Kaupun tak perlu bersedih hati, adik. Setiap tiga
bulan sekali aku pasti datang menjengukmu. Mungkin
sekali racun yang mengeram di dalam tubuhmu sudah
dapat dibuyarkan. Apabila engkau sudah sembuh seperti
sediakala, aku segera menghant arkanmu kembali kepada
kakek gurumu di gunung Lawu," Aruji menghibur.
Setelah berkata demikian, pemuda itu menghadap Ki
Sarapada untuk mohon diri. Katanya:
"Berkat kitab iImu ketabiban paman, akhirnya aku
tertolong. Tak sedikit aku menghabiskan obat simpanan
paman, yang sangat berharga"
"Akh, hal itu t iada artinya," sahut Ki Sarapada dengan
manggut-manggut. "Lukamu kini memang telah sembuh
benar, hanya usiamu menjadi berkurang enampuluh
tahun." "Apa" Usiaku?" Aruji t ak nengerti.
"Menilik kesehatan tubuhmu yang tetap kuat itu,
sedikitnya engkau bisa hidup seratus duapuluh tahun
lagi," ujar Ki Sarapada. "Akan tetapi bocah itu keliru
membuat kadar ramuan obatnya. Kadarnya sangat kuat,
karena itu obat pemunah racun Rajah Pideksa justeru
berbalik meracuni umurmu. akibatnya, apabila engkau
berada ditengah hujan dalam cuaca yang lembab Pula,
seluruh tubuhmu akan menjadi nyeri. Dan kira-kira pada
umur tujuh puluh tahunan, riwayatmu akan tamat."
Mendengar keterangan Ki Sarapada, Aruji tertawa.
Sahutnya dengan hati ikhlas :
"Seorang laki-laki memperoleh kesempatan untuk
beramal dan berbuat kebajikan kepada negara dan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangsa serta umat mdi seluruh dunia, sudahlah cukup
apabila dapat berumur limapuluh tahun saja. Sekarang
aku mendengar bahwa aku bisa berumur tujuhpuluh
tahun. Itulah lebih dari cukup. Sebaliknya apa perlu seseorang hidup sampai
seratus tahun lebih apabila, tiada
mempunyai kebajikan sesuatu " Hidup demikian
hanyalah menghabiskan beras dan sayur mayur saja."
Ki Sarapada manggut , akan tetapi ia tidak berkatakata lagi . Melihat hal itu,
Aruji lantas mengundurkan diri.
Dan Lingga W isnu mengantarkan sampai di mulut
lembah Mrepat Kepanasan. Di sini mereka berdua
berpisah dengan mencucurkan air mata. Tadi Lingga
W isnu mendengar perkataan Ki Sarapada, bahwa umur
Aruji kurang enampuluh tahun. Ia sangat berprihatin.
Katanya di dalam hati: 'Dengan asal jadi saja aku mengaduk ramuan obat.
Kini usianya rusak k arena t anganku. Biarlah sisa h idupku
kupergunakan untuk menekuni segala ilmu rahasia ilmu
sakti paman Sarapada. Siapa tahu, akan kuperoleh suatu
uraian t entang memperpanjang umur.'
Bagaikan patung tak berjiwa, Lingga W isnu mengawasi kepergian Aruji sampai bayangan pemuda itu
hilang dari penglihatan. Kemudian perlahan-lahan ia
nemutar tubuhnya dan balik pulang ke pondok.
Sepanjang jalan ia menghela napas dengan hati duka,
alangkah pedih perpisahan itu. Perpisahan yang tak
dikehendaki sendiri. Selagi bermenung-menung, tiba-tiba ia mendengar
suara menggelegar. Ia mendongak mengawasi udara.
Awan hitam mendadak saja menutupi seluruh penglihatan. Guruh berdentuman seperti sedang berlomba, dan kilat mengejap-ngejap menusuk cakrawala. Kemudian hujan turun sangat deras. Hujan deras di
tengah gunung Merapi bukan suatu kejadian yang perlu
diherankan. Selama di pondok Sarapada, hampir sepuluh
kali ia melihat hujan turun. Akan tetapi hujan kali ini la in
sifatnya. Hujan itu mengandung lumpur. Tak mengherankan sebentar saja hujan, lumpur itu telah
menbenam bukit-bukit yang berada disekitar gunung
Merapi. Dan tanah-tanah yang membenam ikut longsor
pula. Menyaksikan kejadian itu Lingga W isnu terkejut bukan
main. Segera ia memanjangkan langkah lari menyingkir.
Akan tetapi baru saja me langkah beberapa tapak,
guntur meledak di atas kepalanya. Kilat mengejap dan
menembus dadanya. Dan ia jatuh terkapar di atas t anah.
Dalam keadaan lupa d iri, tiba-tiba ia melihat berkelebatan sebongkah batu turun
dengan sangat deras dari angkasa. Tak mengherankan, hatinya jadi tergetar karena rasa
takutnya. Pada detik itu tubuhnya merasa panas dingin
tak menentu. Dalam keadaan putus asa, ia memejamkan
kedua belah matanya menunggu maut.
"Bres!" Bongkahan batu itu menimpa dadanya. Dan ia
berteriak bangun dari mimpinya.
Iapun siuman ke mbali ......
o)00oodwoo00(o 1. Persiapan Balas Dendam
Mimpi tak ubah w anita yang terus-menerus membuat
teka-teki dunia, set iap orang yang pernah hidup dapat
menceritakan pengalamannya tentang keajaibannya
mimpi. Dan set iap bangsa mempunyai perbendaharaan
cerita khayal tentang keragaman mimpi pula, lantaran
ajaibnya serta sulit diterima akal. Keajaiban dan tiadanya
masuk akal itu, lantaran mimpi persoalan bawah sadar.
Dia mempunyai dunianya sendiri. Mempunyai kehidupannya sendiri. Mempunyai persoalannya sendiri.
Tetapi anehnya, mempunyai hubungan erat sekali
dengan dunia kenyataan. Seorang laki-laki pernah bemimpi menjadikan dirinya
seorang gadis tatkala tercebur di dalam telaga iblis.
Kemudian datanglah seorang sakti yang bisa menolong
mengembalikan jenis semula, asal saja mau dikawinkan.
Kelak apabila sudah beranak lima orang, ia akan kembali
pulih seperti sediakala. Lantaran terpaksa, ia menerima
syarat itu. Demikianlah ia mengandung sampai lima kali
berturut-turut. Anak-anaknya terdiri dari dua laki-laki dan
tiga perempuan. Dan tatkala tersadar dari mimpinya oleh
rasa girang, masih sempat ia melihat asap penghabisan
lilinnya yang tadi dihembuskan padam sebelum tidur.
Dengan demikian mimp inya hanya berlangsung dalam
detik-detik saja. Padahal dalam mimpinya ia tercebur di
dalam telaga sakti. Berunding dengan laki-laki sakti.
Mengandung serta berturut-turut melahirkan lima orang
anak. Paling t idak, kisahnya berjalan selama lima tahun.
o)00oodwoo00(o Jilid 4 Sebaliknya, seseorang pernah bemimpi tercebur dalam
sumur. Ia terbangun lantaran rasa kagetnya. Inilah
mimpi terlalu pendek Dan untuk mimpi sependek itu, ia
membutuhkan waktu hampir satu malam suntuk.
Demikian pula pengalaman Lingga W isnu.
Dalam mimp inya ia bertemu dengan Ki Sarapada, guru
Palupi yang sudah meninggal. Kemudian berada di dalam
pondokannya hampir satu bulan penuh. Selama itu, ia
bertekun mempelajari semua h impunan rahasia ilmusakti ketabiban yang tiada
keduanya di dunia. Mimpi dalam keadaan pingsan in i, hanya berlangsung . selama
tiga hari saja. Ajaib. Tetapi yang lebih mengherankan lagi
ialah pengalamannya dalam mimpi itu.
Siapapun tidak akan percaya, bahwa Lingga W isnu
dikemudian hari akan mengenal segala rahasia ilmu sakti
ketabiban, lantaran mimp inya itu. Palupi yang mendengarkan tutur katanya, berkali-kali menghela
napas lantaran herannya. Gadis in i lantas mengujinya dengan berbagai
pertanyaan sulit. Dan Lingga W isnu dapat menjawab
dengan tepat sekali. Malahan bocah itu pandai
mengemukakan soal-soa l sulit yang membuat palupi
harus berpikir keras sebelum memperoleh jawabannya.
Demikianlah, selama dua tahun Lingga W isnu dirawat
Palupi. Selama itu Aruji sudah dapat disembuhkan.
Tatkala berpamit, kejadiannya seperti dalam mimp inya.
Bocah itu mengantarkan jauh-jauh. Lalu balik pulang ke
pondokan Palupi seorang diri. Hanya saja, w aktu itu tiada
hujan lumpur atau kilat mengejap, yang membuat ia
sadar dari mimpinya. Sebaliknya, alam bahkan nampak
cemerlang sekali. Langit terang benderang. Angin
meniup sejuk dan bunga Badjra Rinonce sedang
merekahkan bunga-bunga birunya yang indah.
Tatkala Lingga W isnu memasuki usia lima belas t ahun,
pada suatu hari Palupi menemukan sesuatu yang aneh
sekali yang terjadi di dalam tubuh bocah itu. Beberapa
kali ia mencoba kepekaan urat-urat Lingga W isnu. Akan
tetapi ternyata urat-urat Lingga W isnu seperti tiada
berperasaan lagi. Gadis itu mencoba menyelami dan
menggunakan cara-cara lain yang lebih cermat. Akan
tetapi betapapun dia berusaha, racun Pacar keling yang
mengeram di dalam sumsum Lingga W isnu sana sekali
tak dapat dikeluarkan. Belasan hari lamanya Palupi
mencari sebab sebabnva namun masih saja gelap
baginya. Seorang gadis pendiam. Hampir tiga tahun Lingga
W isnu bergaul dengan gadis itu akan tetapi boleh
dikatakan pemah berbicara berkepanjangan. Dia bekerja
sendiri dan memecahkan berbagai persoalan sendiri pula.
Pada hari itu karena tak tahan menghadapi teka teki
yang masih gelap baginya. Ia mint a keterangan kepada
Lingga W isnu. Katanya sambil menghela nafas :
"Ilmu sakti kakek gurumu memang sangat tinggi, Akan
tetapi, rupanya dalam ilmu ketabiban kakek gurumu
masih sangat asing. Boleh dikatakan tiada berpengalaman sama sekali. Itulah sebabnya ia malahan
membuat celaka dirimu. Jelas sekali, engkau terkena
racun hahat Pacar Keling. Namun dia bahkan membantu
menembus jalan-jalan darahmu, sehingga seluruh urat
nadi di dalam tubuhmu menjadi terbuka semua. Benarbenar hal itu membuat dirimu
celaka" Lingga W isnu kenal watak Palupi. Biasanya gadis itu
diam dan t enang serta tak mengacuhkan segala kejadian
di luar d irinya. Sekarang ternyata ia kata-kata yang agak
keras. Jelaslah bahw a gadis itu menyembunyikan
marahnya, maka buru-buru ia menjawab :
"Itulah Perbuatan Panyingkir. bukan eyang guru"
Meskipun Palupi gadis Pendiam dan ketiga saudaranya
berhati busuk namun hati Lingga W isnu berkenan
kepadanya. Ia menganggap Palupi tak ubahnya seperti
saudara seperguruannya sendiri. Maka dengan tulus
ikhlas ia menceriterakan pengalamannya semenjak
kanak-kanak sehingga datang ke rumah perguruan eyang
gurunya. Ia mengenal berbagai cabang ilmu sakti berkat
warisan orang tuanya. Ayahnya mewarisi tata ilmu sakti
aliran Aristi. Sedangkan ibunya mewarisi ilmu sakti aliran
Panembahan Larasmaja. Dengan jelas pula ia menceritakan bagaimana tatkala ia bertenu dengan
seorang yang menamakan diri Panembahan Panyingkir.
Dahulu, t atkala Lingga W isnu dibawa masuk ke dalam
padepokan Argapura, ia kena kebasan tangan salah
seorang saudara seperguruan Anung Danudibrata,
sehingga jatuh tertidur. Tetapi berkat tata ilmu sakti
warisan ibunya, yang justru bertentangan dan berlawanan dengan t ata ilmu sakti dari aliran Argapura,
begitu kena kebut lantas saja terjadilah suatu
perlawanan yang wajar. Dan Lingga W isnu tersedar dari
tidurnya! Dasar ia seorang anak cerdik, berpura-puralah
ia masih tertidur pulas. Namun dengan diam-diam ia
mendengarkan percakapan antara Anung Danudibrata
dengan keempat saudara seperguruannya .
Karena pembicaran itu tahulah Lingga W isnu bahw a
Anung Danudibrata dengan keempat saudara seperguruannya sama sekali belum mewarisi seluruh ilmu
sakti aliran Ugrasawa. Satu-satunya tokoh di Argapura
yang sudah berhasil menyelami ilinu sakti warisan Resi
Ugrasawa hanyalah panembahan Panyingkir seorang.
Memang, ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa, tidaklah
mudah. Jarang sekali anak keturunannya dapat
mempelajarinya. Rata-rata murid-murid keturunannya
hanya mencapai tingkatan ke tujuh. Dan yang sudah
menyelami sampai tingkat ke sembilan hanyalah
Panembahan Panyingkir. Sayang ia terlalu aneh
wataknya. Puluhan t ahun lamanya ia selalu menutup diri
di dalam kamar dan tak pernah bergaul dengan sekalian
saudara-saudara seperguruannya. W alaupun demikian
karena merasa d iri bukan ketua Argapura, ia
menghormati Anung Danudibrata sebagai pengganti
almarhum gurunya. Sedangkan terhadap Saptawita,
Jarot , Hasan Hidayat dan Saroni sama sekali ia tak
mengacuhkan. Setiap tahun sekali, peraturan padepokan Argapura
mengharuskan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anak muridnda menguji kepandaiannya masing-masing. Akan tetapi justru pada
hari yang sangat penting itu, Panembahan Panyingkir
selalu jatuh sakit sehingga tak dapat hadir. Tentu saja
banyak diant ara mereka yang lantas menaruh curiga
kepadanya Benarkah dia sakit atau hanya pura-pura
saja" Namun tak berani mereka mencoba-coba
menanyakan. Itulah sebabnya, baik Anung Danudibrata
dan sekalian tokoh sakti padepokan Argapura, sama
sekali tidak mengetahui sampai di mana tingginya ilmu
kepandaian Panembahan Panyingkir. Dan Anung Danudibrapa pun tak pernah mau mendesak agar
merrperlihatkan ilmu kepandaiannya. Tetapi sekarang,
lantaran kena desak Kyahi Basaman, mau tak mau Anung
Danudibrata teringat kepada Panyingkir. Mula-mu la ia
ragu, kemudian teringat pula ia mengutus Saptawita
menghadap Panembahan Panyingkir dengan membawa
tongkat ketua. Demikianlah, dengan diant arkan oleh salah seorang
anggota Padepokan Argapura, Lingga W isnu dibawa
menghadap Panembahan Panyingkir dan masih teringat
dia akan kata-kata Panembahan Panyingkir yang gelak:
"Kau siapa dan darimana datangmu, tak perlu aku
menanyakan." Suara itu datang dari balik dinding. Suaranya sama
sekali tak mirip suara seorang Panembahan yang saleh,
kesannya seolah-olah dia sedang berhadapan dengan
seorang algojo yang hendak menjatuhkan golok
besarnya. Namun dia bersikap mendengarkan saja. Kata
orang itu lagi: "Duduklah! Dengarkan baik-baik. Aku akan menguraikan int isari ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa.
Aku hanya menguraikannya sekali saja. Kau sanggup
mengingat-ingatnya atau tidak, tergantung kepada
nasibmu belaka. Ketua kami memerint ahkan agar aku
menurunkan ilmu sakti warisan Resi Ugrasew a kepadamu. Sebenarnya inilah perint ah yang sangat
mengherankan. Namun aku tak perduli. Kau sendiri
saksinya, bahw a hari ini aku tunduk dan patuh kepada
perint ah ketua biara. Bagaimana" Apa kau sudah siap"
Nah aku akan mulai ..."
Semenjak tadi Lingga W isnu tertarik perhatiannya
kepada suara orang yang menamakan diri Panembahan
Panyingkir. Suara itu datang dari balik tembok.
Sebenarnya hal itu tak perlu diherankan. Setiap tokoh
sakti dapat melakukannya hanya yang membuat Lingga
W isnu tercengang adalah bahwasanya orang yang
menamakan diri Panembahan Panyingkir ini, dapat
berbicara dengan wajar, seolah-olah sedang berhadaphadapan
muka. Lingga W isnu yang sudah berpengalaman banyak, bertemu dan berbicara dengan
tokoh-tokoh sakti yang mengejar-ngejar ayah bundanya,
diam-diam tercekat hatinya. Benar-benar dia merupakan
tokoh sakti yang tiada taranya.
Dalam pada itu, orang yang menamakan diri
Panembahan Panyingkir terus saja menguraikan rahasia
ilmu sakti warisan Resi Ugrasawa. Ia tidak memperdulikan apakah Lingga W isnu sudah siap atau
belum. Tanpa berkeputusan dia membuka mulutnya
terus menerus selama dua jam. Dan sama sekali ia tak
memberi penjelasan tentang apa yang sudah dikatakan.
Apalagi mengulanginya dan sejenak kemudian dia
berkata memutuskan: "Nah, selesailah sudah aku menguraikan rahasia ilmu
sakti warisan Resi Ugrasawa. Sekarang terserah kepada
nasibmu, apakah engkau sanggup mengingat-ingatnya
atau tidak." Untuk membesarkan hati Panembahan Panyingkir,
Lingga W isnu lantas saja menyahut:
"Semua uraian tuan sudah dapat kuingat dengan
baik." Mendengar ucapan Lingga W isnu, orang yang
menamakan diri Panonbahan Panyingkir terkejut. Segera
berkata menguji : "Coba, aku ingin mendengar!"
Tanpa menaruh prasangka sedikitpun, Lingga W isnu
mengucapkan kembali ajaran-ajaran Panembahan Panyingkir dengan lancar di luar kepala. Dari awal
sampai akhir ternyata hal itu membuat orang yang
menamakan diri Panembahan Panyingkir tercengang
bukan main. Benar-benarkah di dunia ini ada seorang
bocah yang memiliki daya ingatan begitu hebat" Ia
terpaku beberapa saat lamanya.
Anung Danudibrata memberi perint ah kepadanya agar
ia mengajarkan rahasia ilmu sakti w arisan Resi Ugrasawa
kepada Lingga W isnu sampai bocah itu dapat
memahami. Sebenarnya di dalam hatinya ia tidak rela
sama sekali. Hanya lantaran tunduk kepada ketua,
terpaksalah ia melakukan. Terdorong oleh rasa hati t idak
rela, ia membuka mulut nya asal jadi saja. Sama sekali
tak pernah terduga, bahwa bunyi hafalan rahasia ilmu
sakti warisan Resi Ugrasawa yang cepat dapat
tertangkap oleh daya ingatan Lingga W isnu yang luar
biasa. Demikianlah, setelah merenung beberapa saat
lamanya, berkatalah dia :
"Coba, biarlah ku lihatnya urat-urat nadimu. Kudengar
suaramu tidak lancar. Pastilah engkau menderita sesuatu
..." Dan apabila kedua tangan Lingga W isnu di serahkan
kepadanya lewat lubang dinding, mulailah dia menembusi jalan darah bocah itu. Dia seorang tokoh
sakti maha hebat. Himpunan tenaga saktinya luar biasa
tingginya. Dan dengan himpunan t enaga sakti itulah, dia
menembusi seluruh jalan darah Lingga Wisnu.
Palupi bermenung-menung setelah mendengar cerita
Lingga W isnu. Tiba-tiba ia berkata setengah berseru :
"Adik Lingga! Pendeta itu sangat jahat padamu!"
Keruan saja Lingga W isnu terkejut mendengar sernan
Palupi itu. Sahutnya gagap :
"Baik aku maupun dia tak pernah saling mengenal.
Apa gunanya ia mencelakakan diriku?"
"Coba, apa yang telah dikatakan kepadamu, setelah ia
selesai menembusi seluruh jalan darahmu?" Palupi
menegas. "Dia mengulangi kata-katanya yang tadi bahwa dia t ak
perlu mengenal namaku, tak perlu tahu pula dari mana
asalku dan aliranku," jawab Lingga W isnu sungguhsungguh.
Dan mendengar jawaban Lingga W isnu, Palupi
tersenyum. Katanya : "Hmm! Seumpama aku Panembahan Panyingkir maka
akupun tak perlu menanyakan namamu dan dari mana
engkau datang, serta apa pula golonganmu. Sebab
dengan sekali menyentuh tanganmu saja, tahulah aku
bahw a dirimu adalah anak murid Kyahi Basaman.
Bukankah engkau pernah menerima pelajaran-pelajaran
tata ilmu sakti w arisan Resi Aristi lewat ayahmu" Akupun
akan segera tahu pula, bahwa di dalam dirimu
mengeram racun yang sangat berbahaya. Kenapa dia
justru menembusi jalan darahmu" Bukankah dengan
demikian, dia justru memang sengaja hendak mencelakai
dirimu?" Lingga W isnu terpukau. Selagi hendak membuka
mulut nya, Palupi telah mendahului :
"Eyang gurumu seorang yang sangat jujur, diapun
agaknya tidak begitu paham akan azas-azas pengobatan
sehingga sama sekali tidak mencurigai seseorang. Ia
menganggap tabiat semua orang seperti dirinya sendiri."
"Seumpama Panembahan Panyingkir berbuat demikian, apakah tujuannya" Dan apa pula maksudnya?"
Lingga W isnu mencoba manbantah.
"Apa alasan sesungguhnya, akupun tak tahu.
Barangkali karena engkau terlalu jujur terhadapnya.
Engkau bisa menghafal semua ajarannya di luar kepala
tanpa salah sedikitpun. Untuk alasan in i saja cukuplah
sudah seseorang membunuhmu."
"Kenapa begitu?" Lingga W isnu heran.
"Kau ingat tabiat dan sepak terjang ketiga saudara
seperguruanku" Seumpama mereka mendengar dirimu
dengan tiba-tiba saja dapat menguasai rahasia ilmu
ketabiban almarhum guru, pastilah engkau bakal
dituduhnya telah mencuri buku warisan guru. Merekapun
akan segera membunuhmu !"
"Kata eyang guru, pendiri Padepokan Argapura adalah
murid tertua Resi Roma Harsana. Biara Argapura
merupakan menara aliran suci. Dan sudah seratus t ahun
Argapura memimpin aliran-aliran pendekar-pendekar
sadar. Kupikir, meskipun benar didalam padepokan
Argapura mungkin terdapat beberapa orang yang
berpikiran sempit dan berjiwa rendah, namun rasanya
tak mungkin berbuat serendah itu. Apalagi eyang guru
meniadakan pertukaran pula semacam jual beli. Tukar
menukar ini jauh lebih menguntungkan pihak Argapura
dari pada aliran Aristi, sebab eyang guru terikat janji tak
boleh mempelajari rahasia ilmu sakti aliran Ugrasawa
yang diajarkan kepadaku."
"Hmm, aliran pendekar-pendekar sadari" potong
Palupi dengan suara dengki. "Ayahbunda dan saudaramu
bukanlah mati lantaran keganasan tangan orang-orang
yang menamakan diri golongan pendekar-pendekar
sadar, lant as saja mereka berbuat semena-mena
terhadap pendekar pendekar yang digolongkan aliran
tersesat dan liar. Alangkah keji cara mereka mengadili
Pendekar-pendekar dari golongan mereka belum tentu
merupakan manusia baik. Sebaliknya para pendekar
Ngesti T unggalpun belum tentu busuk semua."
Kata-kata Palupi ini benar-benar mengenai lubuk hati
Lingga W isnu. Bocah itu lantas saja teringat pada
peristiwa pembunuhan kedua orang tuanya dan
saudaranya di atas gunung Lawu. Memang, ayah bunda
dan saudaranya mati di t angan mereka yang menamakan
diri para pendekar aliran suci dan sadar. Tatkala melihat
mayat ayah bundanya, mereka nampak berduka cita.
Akan tetapi di dalam hati masing-masing justru berkata
bahw a kematian ayah-bundanya sudah pada t empatnya.
Kesan demikianlah yang selalu teringat dalam lubuk hati
bocah itu. T entu saja terhadap eyang guru dan pamanpaman gurunya, belum pernah
ia menyatakan kesan hatinya itu. Kini Palupi dengan sengaja atau tidak, tibatiba membongkar rahasia
yang tersimpan dalam lubuk
hidupnya. Hatinya lantas saja tergoncang, seperti
tersentak ia menangis menggerung-gerung.
"Sejak jaman dahulu, manusia hidup dan mati
sebenarnya tanpa teman dan tanpa kawan. Hanya
anehnya, setelah berada bersama-sama di dalam dunia
yang sama ini pula, mereka lant as bersaing dan
bermusuhan," kata Palupi menghibur. "Karena teringat
pada peristiwa ayah bundamu, engkau menangis. Akan
tetapi bila engkau tidak mati, di kemudian hari pasti
banyak manusia-manusia yang akan membuatmu
menangis menggerung gerung lagi."
Mendengar kata-kata Palupi, Lingga W isnu lantas
berhenti menangis. Sambil mengusap air matanya ia
menatap wajah gadis itu. Katanya sulit :
"Jadi, orang yang menamakan dirinya Panembahan
Panyingkir itulah ... sesungguhnya musuh besar ayahbundaku?"
Palupi tidak segera menjawab. Ia tersenyum rahasia
seperti biasanya. Iapun tidak melayani lagi. Setelah
memutar t ubuh, ia mengambil cangkulnya dan berangkat
ke ladang merawat bunga Brajarinonce seperti yang
dilakukan pada set iap hari.
Sampai petang hari, dia baru muncul kembali.
W ajahnya yang tadi siang nampak guram, kini menjadi
cerah. Katanya dengan suara gembira:
"Baiklah, adik Lingga. Sebenarnya hatimu bergolak
hebat lantaran ingin membalaskan dendam ayah-bunda


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan saudaramu. Sayang, penyakitmu terlalu berat.
Meskipun aku masih sanggup mempertahankan jiwamu
dengan ramuan obatku, tetapi untuk memusnakan racun
yang sudah mengeram di dalam sungsummu, benar-
benar aku merasa tak sanggup. Akan t etapi membiarkan
dirimu menjadi manusia tak berguna lantaran racun
Pacarkeling, rasanya kurang tepat pula. Meskipun
penyakitnya berada di dalam tubuhmu tak dapat
disembuhkan namun setidaknya engkau harus dapat
membalas dendam kepada musuh-musuh ayahbundarnu. Dengan demikian, engkau akan membuat
arwah ayah bundamu dan saudaramu tenteram di alam
baka. Besok pafi, biarlah kuant arkan engkau kepada
seseorang. Dia seorang sakti yang berilmu kepandaian
tinggi. Aku akan memohon kepadanya agar dia sudi
mewariskan ilmu saktinya kepadamu. Dan selama itu,
aku akan menjaga kesehatanmu agar tidak lumpuh
karena racun Pacarkeling. Bagaimana, apa engkau
setuju?" Sudah tentu hati Lingga W isnu girang bukan kepalang.
Begitu girang dia sampai menandak-nandak. Lalu
berseru: "Terima kasih, oh Ayunda! Terima kasih! Berapa lama
aku hidup, memang semenjak aku turun dari padepokan
Argapura, t idak kupikirkan lagi. Akan tetapi hatiku selalu
gelisah manakala teringat arwah-arwah ayah bunda dan
saudaraku yang masih menanggung penasaran. Aku
berjanji kepadamu dan juga kepada diriku sendiri serta
berjanji kepada hidupku, bahwasanya apabila aku sudah
mewarisi sekalian ilmu sakti pamanmu, akan cepat-cepat
melaksanakan balas dendam ayah-bunda dan saudaraku." Lingga W isnu tak berani mint a keterangan tentang
siapakah orang yang dijanjikan itu. Selamanya Palupi
bersikap rahasia. Akan t etapi ia percaya bahwa gadis itu
bermaksud baik terhadap dirinya. Hanya saja gerak
geriknya sangat sukar ditebak. Dan malam itu Lingga
W isnu tak dapat tidur dengan nyenyak. Hatinya sangat
girang karena janji Palupi. Memang ia sudah mengantongi beberapa ragam ilmu sakti yang diwarisi
dari ayah-bundanya. Akan tetapi keragamannya masih
seperti cakar ayam. Sekarang apabila ada seseorang
yang sudi memberi petunjuk-petunjuk, bukankah dia
akan menjadi orang yang berarti di kemudian hari"
Meskipun, mungkin sekali belum boleh diandalkan untuk
menghadapi musuh besar ayah-bundanya, namun
set ldaknya sudah merupakan tataran persiapan balas
dendam. Dan dengan bekal tata ilmu sakti yang teratur
itu, dia akan bisa menanjak ketataran kesempurnaan
dikemudian hari. Orang yang dijanjikan itu bernama Kerdhana. Ia
bermukim dipinggang gunung Merapi bagian timur.
Orangnya berperawakan pendek ketat. Seperti Palupi, dia
seorang pendiam pula. Saudara seperguruannya berjumlah t iga. Jabrik, Puthaksa dan Wirupaksa.
Satu tahun lamanya Lingga W isnu menerima dasardasar pelajaran mereka berempat.
Yang bernama: ilmu sakti Sardula Jenar. Dan selama itu Palupi tak pernah
meninggalkan. Setiap kali habis berlatih, selalu ia
memeriksa keadaan tubuh Lingga W isnu. Setiap malam
ia menggpdok ramuan obat-obatan tertentu untuk
mengikis habis racun Pacarkeling.
Pada suatu hari datanglah Palu menghampiri. Kata
gadis itu dengan berbisik:
"Adik Lingga, gurumu menghendaki engkau berkemaskemas sebentar malam. Sekarang
ini ke empat gurumu telah mendahului berangkat. Dan esok pagi engkau
bersama aku disuruh mengikuti jejak mereka."
"Ke mana?" Lingga W isnu heran.
"Gurumu akan selalu meninggalkan tanda-tanda
disepanjang jalan. Lihatlah, kita berdua masing-masing
diberinya sebatang panah hijau. Panah hijau ini semacam
tanda pengenal dijalan" jawab Palupi cepat. Dan setelah
menyerahkan sebatang anak panah kepada Lingga
W isnu, ia berkata meneruskan: "Pada saat ini negara
sedang kacau balau. Pangeran Mangkubumi sudah
bertekad bulat untuk mendirikan kerajaan baru. Dan kita
ini, tergabung dalam himpunan laskar perjuangan yang
membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi menegakkan keadilan. Kompeni Belanda dan laskar
Kasunanan adalah musuh-musuh kita. Aku tahu, engkau
bukan salah seorang anggauta Ngesti Tunggal. Akan
tetapi keempat gurumu semua termasuk tokoh-tokoh
pembantu Pangeran Mangkubumi. Terserah padamu, apakah engkau berada dipihak gurumu atau
tidak." Mendengar kata-kata Palupi, Lingga W isnu merenung. Sejak di rumah perguruan Kyahi Basaman, tahulah ia bahwa Ngesti Tunggal membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi
menentang kebijaksanaan Patih Pringgalaya. Eyang
gurunya pun menggabungkan diri dengan laskar Raden
Mas Said. Karena baik Pangeran Mangkubumi maupun
Raden Mas Said menentang pihak Belanda, rasanya t idak
tercela apabila dia k ini berpihak kepada keempat gurunya
untuk membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi.
Setelah memperoleh pertimbangan demikian, ia menyahut : "Ayahku murid aliran Aristi yang membantu perjuangan Raden Mas Said membangun kerajaan baru.
Kurasa akupun tidak akan kena damprat eyang guru dan
sekalian paman guru, manakala aku berada di pihak
Pangeran Mangkubumi. Tegasnya, seumpama aku ini
seorang penumpang perahu, akan tunduk patuh kepada
pemegang kemudinya. Hanya saja tentang panah hijau
ini, benar-benar aku tak mengerti maksudnya."
Palupi t ersenyum. Jawabnya:
"Meskipun engkau kini telah menjadi menusia lain,
akan tetapi engkau masih tergolong pelajar lemah. Tidak
selayaknya engkau berkelana t urun Gunung seorang diri.
Karena ini aku di perint ahkan untuk selalu menyertaimu.
Tetapi karena akupun hanya pandai ilmu ketabiban saja,
keempat gurumu memandang perlu untuk memberikan
tanda pengenal pencegah bencana di perjalanan demi
keselamatan kita berdua."
Lingga W isnu memeriksa panah hijau yang berada di
tangannya. Dia boleh berotak cerdas, akan tetapi tak
dapat menemukan keanehannya. Akhirnya ia mengira
bahw a panah hijau itu hanya semacam benda yang
membawa alamat baik saja.
"Baiklah, ayunda. Aku sangat berterima kasih atas
perhatian guru." Berkata demikian ia segera menyimpan
panah hijau itu ke dalam bungkusannya.
Keesokan harinya, berbareng dengan munculnya
matahari di t imur, mereka berdua berangkat dengan naik
kuda. Mereka menempuh perjalanan perlahan-lahan. Dan
menjelang petang hari, tibalah mereka di sebuah
kampung. "Kita singgah di sin i," kata Palupi. Mereka lantas
mencari pondokan, untuk dapat beristirahat satu malam
penuh. Dan pada esok harinya mereka meneruskan
perjalanan kembali. Mereka melewati dusun-dusun yang
pernah dirampok Kompeni Belanda. Banyak penduduknya
yang mati terbunuh. Dan menyaksikan bekas-bekas
kekejaman Kompeni Belanda, Lingga W isnu jadi teringat
akan nasibnya sendiri. Lantas saja ia mengaburkan
kudanya untuk melupakan kesan-kesannya itu.
W aktu itu t engah hari tepat dari arah depan kelihatan
seorang penunggang kuda mendatangi dengan mengaburkan kudanya secepat angin. Debu tebal
membubung keudara. Tatkala berpapasan, orang itu
berpaling. Akan tetapi baik L ing ga Wisnu maupun Palupi
bersikap acuh tak acuh. Baru mencapai perjalanan lima atau enam kilometer,
mereka mendengar derap kaki kuda datang dari arah
belakang. Makin lama. derap itu terdengar makin nyata.
Tatkala Lingga W isnu berpaling, ia melihat seorang
penunggang kuda be-roman gagah, nampak memakai
ikat kepala hijau. "Aneh sekali gerak-gerik orang itu!" kata Lingga W isnu
setelah penunggang kuda itu melint asi. "Bukankah yang
berpapasan dengan kita tadi pula?"
"Memang, orang itu pula yang tadi datang dari depan
dan berpaling sew aktu berpapasan." Palupi pun
sebenarnya memperhatikan secara diam diam. Ia tidak
menjawab pertanyaan Lingga W isnu. Ujarnya :
"Sebentar lagi, kalau d ia balik kembali, kau larikan
kudamu secepat-cepatnya."
Lingga W isnu terperanjat. Ia mint a keterangan :
"Apa" Apa ia penyamun?"
"Kau lihat sajalah. Lima kilometer lagi di depan kita,
pasti akan t erjadi suatu peristiwa," kata Palupi. "Dan kita
tidak akan dapat mundur lagi. Rasanya, satu-satunya
jalan hanyalah mencoba menerjang untuk meloloskan
diri." Mendengar kata-kata Palupi, hati Lingga W isnu
menjadi gelisah. Ia menatap wajah Palupi. Gadis itupun
nampaknya tegang sendiri. Sebenarnya ingin Lingga
W isnu minta penjelasan lagi. Akan tetapi melihat wajah
Palupi begitu tegang , ia membatalkan diri. Dan dengan
berdiam diri ia mengikut i kuda Palupi.
Kira-kira empat kilometer lagi, tiba-tiba terdengarlah
mengaungnya sebatang anak panah di tengah udara.
Kemudian nampak tiga penunggang kuda melint ang
ditengah jalan. Melihat mereka, Lingga W isnu segera
maju ke depan dan mengangguk hormat. Ujarnya :
"Aku bernama Lingga W isnu. Dan kawanku ini
bernama Palupi. Kita berdua sedang melakukan
perjalanan jauh. Sama sekali kita tidak membawa harta
benda yang berharga. Apakah kami berdua diperkenankan lewat?"
W alaupun masih merupakan pemuda tanggung, akan
tetapi Lingga W isnu mempunyai pengalaman banyak
dalam riwayat hidupnya. Itulah pengalamannya tatkala
selama delapan t ahun terus menerus dikejar-kejar lawan.
Dia pandai membawa diri. Karena itu berhadapan dengan
mereka bertiga yang melint angnya kudanya di tengah
jalan, segera ia berkata merendah.
Seorang diant ara mereka tertawa melalu i dadanya,
sahutnya : "Kami kekurangan uang. Karena itu tolong pinjami
kami uang seratus ringgit saja."
Lingga W isnu tercengang. Ia berpaling kepada Palupi
mint a pertimbangan. Dalam pada itu sipenunggang kuda
yang berikat kepala hijau yang tadi mondar-mandir
dengan kudanya, membentak :
"Kami hendak pinjam uang seratus ringgit. Kamu
ngerti apa tidak?"

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar bentakan itu, Lingga W isnu menjadi gusar.
Tak sudi ia kalah gertak. Sahutnya membentak pula :
"Sudah belasan tahun aku berkelana, belum pernah
aku bertemu dengan orang yang sekurang ajar engkau!"
Mendengar bentakan Lingga W isnu, mereka bertiga
tertawa. Alangkah lucu ucapan bocah itu. Sudah belasan
tahun berkelana. Memang meskipun apa yang diucapkan
Lingga W isnu sedikit banyak mengandung kebenaran,
akan tetapi mengingat usianya, siapapun tentu tidak
akan percaya. Orang berikat kepala hijau itu lantas
berkata lagi : "Baiklah, taruh kata engkau sudah belasan tahun
berkelana seorang diri. Apakah engkau pernah melihat
seorang yang bisa memanah seperti aku?"
Setelah berkata demikian, ia mengambil busur dan
peluru. Dengan beruntun ia melepaskan tiga peluru ke
udara. Setelah itu ia melepaskan anak panahnya. Dan
ketiga peluru itulah sasarannya. Jitu sekali bidikannya.
Ketiga peluru itu pecah menjadi enam bagian dan runtuh
berbareng meluruk ke bawah. Lingga W isnu ternganganganga menyaksikan kepandaian
orang itu. Justru demikian, tiba-tiba lengan kirinya terasa sakit. Ternyata
ia terkena panah dengan tak setahunya.
Pada saat itu orang ketiga yang berperawakan pendek
dan berewok, tiba-tiba menyambarkan cemetinya.
Dengan sebat Lingga W isnu menggerakkan kudanya
untuk mengelakkan diri. Ia berhasil menggagalkan
serangan orang itu. Akan tetapi selagi demikian, mendadak cemeti itu
berbalik arah. Kini melilit golok yang diselipkan
dipinggangnya. Dan berbareng dengan gerakan itu, tibatiba Lingga W isnu melihat
berkelebatnya sebatang pedang memapas tali bungkusan yang berada dipunggungnya. Kena babatan pedang, bungkusannya
jatuh di atas t anah. Dan setelah mengambil bungkusan itu dengan
cemetinya, orang itu lantas mengaburkan kudanya.
"Terima kasih!" kata penunggang kuda yang berikat
kepala hijau sambil tertawa senang. Dan setelah berkata
demikian, dia lantas menyusul temannya. Sedang orang
yang berada disampingnya mengeprak kudanya pula.
Sebentar saja ketiga penyamun itu hilang dari
penglihatan. Lingga W isnu jadi sangat lesu. Ia sangat berduka dan
mendongkol. Ia merasa diri tiada guna. Ia telah belajar
tata berkelahi satu tahun lamanya. Namun menghadapi
tiga penyamun itu saja t ak dapat ia berbuat sesuatu yang
berarti. "Mari kita jalan terus!" ajak Palupi dengan suara
tenang. "Masih untung, jiwa kita tidak diarahnya.."
Lingga W isnu menundukkan kepalanya. Dengan tetap
berdiam diri ia mengikut i Palupi meneruskan perjalanan.
Kira-kira setengah jam mereka berjalan, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda sangat berisik. Lingga W isnu
menoleh. Hatinya tercekat, karena yang datang adalah
mereka bertiga tadi. Apalagi yang mereka kehendaki"
Apakah belum merasa puas telah memperoleh uang"
Dan kini hendak merenggut jiwa" Memperoleh dugaan
demikian, bulu kuduk Lingga W isnu bergidik dengan
sendirinya. Ketiga penyamun itu dapat mengejar Lingga W isnu
dan Palupi dengan cepat sekali. Selagi mereka berdua
saling memandang dengan wajah penuh pertanyaan,
tiba-tiba ketiga penyamun itu melompat dari kudanya
masing-masing. Lalu membungkuk hormat. Kata orang
berikat kepala hijau itu :
"Akh, ternyata kalian berdua orang sendiri. Maaf,
maafkan! Kami tak kenal kalian, sehingga telah berbuat
keliru. Harap kalian berdua memaafkan perbuatan kami
tadi." Si pendek berewok lantas saja menyerahkan
bungkusan Lingga W isnu yang tadi dirampasnya. Ia
menyerahkan kembali dengan kedua tangannya. Dan
Lingga W isnu jadi terheran-heran. Hatinya penuh
pertanyaan. Itulah sebabnya tak berani ia menyambuti
bungkusannya sendiri. Ia berpaling kepada Palupi mint a
pendapatnya. Ternyata gadis itu memanggutkan kepalanya. Dengan
wajah tenang sekali. Maka W isnu
segera menerima kembali bungkusannya. "Perkenankan kami bertiga mengenal nama kalian
berdua, agar dikemudian hari kami tidak berbuat keliru
lagi." "Bukankah tadi kami sudah memperkenalkan diri" Aku
Lingga W isnu, dan kawanku ayunda Palupi." sahut
Lingga W isnu. Orang berikat kepala hijau itu senang. Sambil
menegakkan badannya ia menyahut :
"Nama bagus, Aku sendiri bernama Galong. Dan kedua
temanku ini bernama Gandu dan Tanjung. Kalau tadi
adik segera memperlihatkan tanda panah hijau kepada
kami, pastilah kami segera mengerti. Untungnya kami
bertiga t idak sampai melukai dirimu."
Mendengar kata-kata Galong, barulah Lingga W isnu.
khasiat panah hijau yang dibawanya. Sewaktu berkemaskemas di rumah perguruan, ia
menyimpannya di dalam bungkusannya. Coba seumpama disimpan dibalik
bajunya, bukankah dia bakal kehilangan bungkusannya
yang berisi uang pula"
"Pastilah adik berdua hendak mendaki gunung
Merbabu, bukan?" Menegas Galong. "Kalau begitu, mari
kita berjalan bersama-sama. Saudara kita berdua, Gandu
dan Tanjung berasal dari Madura. Meskipun demikian
mereka bisa menangkap bahasa kita, asal saja bahasa
sehari-hari." Galong berbicara dengan nada ramah, akan t etapi hati
Lingga W isnu tetap bimbang. Betapapun juga melihat
mereka berdua bekerja sebagai penyamun, sedang katakata penyamun tak dapat
dipercaya penuh. Maka jawabnya mengelak : "Kami berdua tak mempunyai tujuan tertentu."
Mendengar jawaban Lingga W isnu, Galong nampak
tersinggung. W ajahnya berubah merah. Katanya menegur : "Kami bertiga datang dari Jawa Timur. Ratusan
kilometer telah kami tempuh siang malam, lantaran tiga
hari lagi himpunan laskar perjuangan Mangkubumi akan
mengadakan pertemuan besar di atas gunung Merbabu.
Kenapa kalian t idak sudi mendaki?"
Pilu juga hati Lingga W isnu mendengar teguran itu.
Dengan sesungguhnya, ia tak mengerti tujuan perjalanannya. Di sepanjang jalan Palupi selalu
membungkam mulut dan tak pernah memberi keterangan. Akan tetapi dia memang seorang pemuda
yang berpembawaan dapat menangkap suatu keadaan
dengan cepat sekali. Maka dengan suara wajar ia
berkata: "Apakah pertemuan itu sangat penting artinya?"
"Tentu saja!" sahut Galong dengan suara tetap
mengandung kegusaran. "Bukankah kita diharuskan
datang menghadiri pertemuan itu untuk menghormati
panji-panji Imogiri?"
Kembali Lingga W isnu bingung. Apa itu panji panji
Imogiri" Meskipun dia seorang pemuda yang cerdas
sekali, akan tatapi pergaulannya dalam percaturan hidup
masih sempit. Apa yang dinamakan panji-panji Imogiri itu sesungguhnya hanyalah merupakan suatu lambang
perjuangan saja. Itulah terjadi pada t ahun 1749.
Pada tahun itu kedaulatan Mataram diserahkan
dengan percuma dan t anpa alasan kepada pemerint ahan
Belanda. Sri Pakubuwana wafat. Mataram bersama
dengan susuhunan dimakamkan. Tidak di Imogiri, tempat
pemakaman raja-raja Mataram, akan tetapi di Batavia
*). Seperti yang t elah dijanjikan Belanda, putera mahkota
diangkat menjadi susuhunan Paku Buwana III sebagai
pengganti almarhum ayahnya. Akan tetapi seluruh
Keraton marah besar terhadap penyerahan Mataram itu.
Timbul ah kini berbagai golongan di dalam istana yang
membahayakan Sri Pakubuw ana III. V.O.C. lantas saja
bertindak. Dengan alasan demi menyelamatkan Sri Paku Buwana
III, beberapa Pangeran yang menentang Belanda
ditangkap dan diangkut ke Semarang. Nasib pangeran-
pangeran itu belum dapat diketahui sejarah, hingga kini.
Peristiwa penculikan pangeran-pangeran itu dijadikan
hari lambang perjuangan membebaskan Mataram dari
cengkeraman Belanda. Dan panji-panji Imogiri dijadikan
sebagai peringatan adanya pangeran-pangeran yang
diangkut Belanda ke Semarang. Panji-panji Imogiri
memperingatkan pula kepada sekalian rakyat, bahwa
Belanda hendak mengimogirikan **) kerajaan Mataram
dan Susuhunan. ***) *) Sekarang Jakarta. **) mengimogirikan = membunuh atau meniadakan
selaras dengan pengertian bahwa Imogiri tempat
pemakaman raja-raja. ***) Baca: R. Moch. Ali S.S. "Perjoangan Feodal
Indonesia", halaman 191. Penerbit Ganaco N.V.,
Bandung - tahun 1963. Lingga W isnu tidak mengetahui semua kejadian itu.
Tak mengherankan, kepalanya menjadi penuh teka-teki
tentang apa yang disebut panji-panji Imogiri. Namun
dasar seorang pemuda cerdas, lantas saja
ia memutuskan : "Kita baru saja bertemu dan berkenalan. Karena itu
wajib aku merahasiakan tujuan perjalanan. Bukankah
begitu" Mari, mari kita berjalan bersama-sama."
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Galong lantas
manggut-manggut penuh pengertian. W ajahnya berubah
menjadi girang. Dia tertawa lebar sambil menyahut :
"Memang telah kuduga bahwa adik hendak menyembunyikan maksud sebenarnya. Bagus! Akupun
akan bersikap demikian terhadap seseorang yang belum
pernah kukenal." Sampai disitu, berlima mereka berjalan sama sama
melanjutkan perjalanan mendaki gunung Merbabu.
Galong memimpin perjalanan. Setiap kali berjumpa
dengan rombongan-rombongan atau garudu-gardu
penjagaan, ia hanya menggerakkan tangannya saja.
Gerakan-gerakan tangannya ternyata besar khasiatnya.
Rumah-rumah di sepanjang jalan bersiaga penuh untuk
menerima kedatangan mereka berlima. Juga rumahrumah makan yang disinggahi tak
sudi menerima pembayaran. Perlayanan terhadap mereka berlima
sangat manis sekali. Selang dua hari tibalah mereka diatas pinggang
gunung Merbabu sebelah Utara. Diatas gunung ini
barulah Lingga W isnu mengembarakan penglihatannya
dengan bebas merdeka. Di segala penjuru ia melihat
ratusan orang berlerot t iada putusnya mendaki gunung.
Pakaian mereka warna-warni. Cara dandanannya
berbeda-beda pula. Perawakan mereka pun macammacam. Ada yang gemuk, ada yang
kurus, ada yang jangkung dan ada yang pendek. Sebaliknya yang boleh
dikatakan sama ialah bahw a mereka semua memiliki
gerakan yang gesit. Diantara mereka banyak yang sudah
kenal dengan Galong, Gandu dan Tanjung.
Lingga W isnu dan Palupi bersikap tidak ingin tahu
dengan rahasia mereka. Itulah sebabnya, selagi mereka
berbicara, mereka berdua sengaja berdiri jauh-jauh.
W alaupun demikian pendengaran mereka yang tajam
dapat menangkap logat bahasa orang-orang yang datang
mendaki gunung Merbabu itu. Ternyata mereka yang
datang mempunyai logat Banyumas, pantai ut ara, Jawa
Timur serta orang-orang yang hidup di selatan gunung
Merapi. Mengapa mereka mendaki gunung di sini
beramai-ramai" Sebenarnya Lingga W isnu sangat ingin
memperoleh keterangan dari Palupi, akan tetapi tatkala
itu Palupi tiba-tiba bersembunyi. dibalik sebuah batu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar. Sewaktu muncul kembali, ia sudah mengenakan
pakaian laki-laki. Malam itu Galong membawa rombongannya bermalam
di kaki Gunung. Dan keesokan harinya, ia memimpin
rombongannya mendaki gunung Merbabu sebelah Utara.
Selagi bersantap, tiba-tiba terdengarlah seruan orang
sambung-menyambung : "Pangeran Natayuda datang!"
Mendengar seruan sambung-menyambung itu delapan
orang berdiri serent ak. Kemudian berlari-lari menyambut
kedatangan orang yang diserukan.
"Mari kita lihat!" ajak Lingga W isnu. Palupi tidak
membantah. Segera di kut inya bocah itu dengan langkah
panjang. Seperti berbaris, mereka yang mendaki gunung
Merbabu berdiri dengan rapih dan tenang. Tak lama
kemudian terdengar derap kaki kuda, dan muncul ah
seorang pemuda berumur dua puluh tahun. Kudanya
berjalan perlahan-lahan. Manakala me lihat jumlah
penyambutnya terlalu banyak, segera ia melompat turun
dari kudanya. Seorang berperawakan tinggi besar, muncul diant ara
gerombolan orang. Orang itu segera menyambut kuda
Pangeran Natayuda. Segera Pangeran Natayuda menyerahkan kendalinya. Dia sendiri lantas berjalan dan
memanggut hormat kepada para penyambutnya. Melihat
Lingga W isnu yang masih berkesan kanak-kanak, ia
tertegun sejenak. Kemudian bertanya dengan manis:
"Siapakah saudara ini?"
"Aku bernama Lingga W isnu." sahut Lingga W isnu
pendek. "Apakah tuan, yang disebut Pangeran Natayuda?" "Akh, jangan memanggil aku tuan," potong Pangeran
Natayuda dengan tertawa ramah. "Panggil saja namaku:
Natayuda." Lingga W isnu tertarik akan sikap pangeran itu yang
sopan. Segera ia membungkuk hormat. Dan dengan
tersenyum Pangeran Natayuda berjalan mengarah
penginapan yang disediakan.
Lingga W isnu benar-benar tertarik hatinya. Selagi
tertegun, tiba-tiba Palupi meniup telinganya. Kata gadis
itu: "Dia seorang Pangeran! Kita berdua ini keturunan
orang lumrah. Rupanya dia berpengaruh. Inilah
kesempatan baik, apabila engkau hendak bersahabat
dengan dia. Kalau engkau bisa berbicara dari hati ke hati
dengan Pangeran itu, setidaknya martabatmu akan naik."
Geli hati Lingga W isnu mendengar kata-kata Palupi.
Akan tetapi pikiran gadis itu menarik hati pula. Lantas
saja ia menyusul ke rumah penginapan, mencari
Pangeran Natayuda. Di depan kamar Pangeran Natayuda, ia sengaja
berbatuk kecil. Kemudian mengetuk pintu perlahanlahan. Ia mendengar suara
seseorang sedang membaca buku di dalam kamar itu. Begitu pintu terbuka dan
muncul ah Pangeran Natayuda dengan wajah berseriseri.
"Dalam rumah penginapan sesunyi ini. Saudara Lingga
sudi datang kemari. Inilah bagus sekali," kata Pangeran
Natayuda dengan suara ramah.
Lingga W isnu masuk. Dan nampak di depan matanya
sejilid buku dan sehelai peta diatas meja. Itulah sehelai
peta dari sebuah kerajaan baru. Khawatir ia bakal
dicurigai Pangeran Natayuda cepat-cepat ia mengalihkan
pandangnya. Dan pada saat itu Pangeran Natayuda
mint a keterangan kepadanya asal usul dirinya.
Lingga W isnu tidak menyembunyikan riwayat hidupnya. Dengan terus terang dia berkata bahwa dirinya
adalah putera pendekar Udayana yang menemui ajalnya
di atas gunung Lawu. Kemudian dia kini berada
dipinggang gunung Merapi untuk menyembuhkan
penyakitnya. "Oh!" Pangeran Natayuda berseru tertahan. "Ayahmu
seorang pendekar yang putih bersih. Kami juga
menghargainya ..." Mendengar Pangeran Natayuda menghargai diri
ayahnya, hati Lingga W isnu tergerak. Lantas saja ia
merasa dekat sekali dengan Pangeran itu. Dengan katakata ia menyahut :
"Penghargaan Pangeran terhadap almarhumah, sangat
mengharukan hati kami. Akan tetapi tak berani kami
menerima penghargaan Pangeran yang terlalu tinggi."
Pangeran Natayuda tertawa lebar. Ujarnya:
"Adikku inilah yang dinamakan jodoh. Kita bisa
bertemu di sini dan berbicara dari hati ke hati. Besok adik
akan mendaki gunung pula, bukan" Biarlah esok
kuperkenalkan kepada pendekar pendekar gagah dari
seluruh Nusantara ini. Adik bisa membuktikan sendiri
bahw a mereka semua mengenal nama ayahmu dan
menghargai kemegahannya. Kutanggung adik akan
merasa gembira sekali."
Bangga juga hati Lingga W isnu mendengar kata-kata
Pangeran Natayuda. Segera ia berbicara panjang lebar
tanpa segan-segan lagi. Ia membicarakan tentang
kancah perjuangan, ilmu tata sakti dan ilmu ketabiban
yang dikenalnya. Dan mendengar tutur kata Lingga
W isnu, diam-diam Pangeran Natayuda tercengang. Pikir
Pangeran Natayuda di dalam hati:
"Bocah narrpaknya luas sekali pengetahuannya.
Jarang sekali aku menjumpai seorang bocah seperti dia.
Bocah seperti dia sangat dibut uhkan oleh Pangeran
Mangkubumi. Biarlah kubawanya serta di dalam
pertemuan-pertemuan resmi. Siapa t ahu dikemudian hari
ada gunanya." Mereka berdua berbicara sampai larut malam sekaji.
Apabila suasana d i situ bertambah sunyi senyap, barulah
Lingga W isnu kembali ke kamarnya. Palupi ternyata
belum memejamkan matanya.
Seperti biasanya, ia menunggu kedatangan Lingga
W isnu dengan setia. Dan dengan semangat menyalanyala Lingga W isnu segera
menceritakan pengalamannya
bergaul dengan Pangeran Natayuda. Seperti biasanya
juga, Palupi bersikap mendengarkan saja. W ajahnya
sangat t enang dan tiada nampak perobahan atau kesan
sesuatu. Entah dia ikut bersyukur lantaran perkenalan itu
atau tidak, hanya malaikat dan Tuhan sendiri yang tahu.
0o-dwe-o0 Pada hari keempat, adalah hari pertama tahun 1754.
Itulah hari yang dijanjikan Pangeran Natayuda hendak
membawa Lingga W isnu untuk diperkenalkan dengan
para pendekar gagah yang datang dari segala penjuru.
Sebelum bertemu dengan Pangeran Natayuda, ia dan
Palupi dibagi Galong mendaki dan menuruni bukit-bukit
tak keruan juntrungnya. Kadang-kadang setelah sampai
di pinggang gunung, dibawanya turun ke kaki gunung
kembali. Kadangkala melintasi pedusunan dan lamping
bukit. Dan seperti kanak-kanak belajar berjalan, ia
dibawa pula beringsut-ingsut dari keblat ke keblat.
W alaupun hati Lingga W isnu kerapkali merasa kesal,
namun tahulah dia bahw a maksud Galong untuk
menyesatkan penglihatan orang-orang tertentu yang
tidak dikehendaki. Tatkala Lingga W isnu hendak berangkat meneruskan
perjalanan mendaki puncak gunung. Palupi datang
menghampiri dan menyerahkan sebuah kantong berisi
ramuan obat. Kata gadis itu:
"Di dalam pertemuan besar in i mungkin kita berdua
akan duduk berpisahan. Maka kau bawalah kant ong obat
pemunah racunmu ini. Setiap kali dirimu merasa akan
kumat, cepat-cepatlah menelan t iga butir."
"Engkau akan ke mana?" Lingga W isnu tercekat.
"Aku" Akupun berada diant ara para hadirin. Hanya
saja, rasanya akan mengganggu dirimu. Sebab pastilah
Pangeran Natayuda akan membawamu duduk kesampingan. Kalau akupun duduk mendampingimu,
akan menimbulkan berbagai pertanyaan."
"Kenapa begitu?" Lingga W isnu tidak mengerti.
Palupi tidak menjawab. Dia hanya tersenyum manis.
Kemudian mendahului berangkat meninggalkan kamarnya. Menjelang tengah hari, sampailah mereka di pinggang
gunung. Belasan orang berdiri menyambut dengan niru
penuh hidangan. Setelah berhenti sebentar untuk
bersantap dan minum serta beristirahat pula, mereka
yang mendaki gunung meneruskan perjalanannya
keriba|i. Sejak itu terus menerus terdapat gardu-gardu
penjagaan yang ketat main tanya dan periksa kepada
set iap orang yang datang dan melint asi penjagaan.
W alapun demikian, cara mereka bertanya dan memeriksa
sangat sopan. Tatkala giliran memeriksa t iba pada Lingga
W isnu dan Palupi, Pangeran Natayuda hanya memanggutkan kepala dan lantas saja mereka diijinkan
melint asi penjagaan tanpa pertanyaan lagi. Malahan
barisan penjaga bersikap hormat terhadap rombongannya. 'Sungguh berbahaya,' kata Lingga W isnu di dalam hati.
Makin sadarlah ia betapa besar pengaruh Pangeran
Natayuda. Ia bergirang dan bersyukur di dalam hati
karena sonalam dapat berbicara secara akrab sekali.
Hanya saja belum dapat menduga-duga apa yang bakal
terjadi nanti. Tatkala magrib tiba, sampailah mereka di atas
gunung. Ratusan orang berdiri dan berbaris dengan
rapih. Mereka menyambut kedatangan para tetamu.
Sikap mereka angkar. Tetapi begitu melihat kedatangan
Pangeran Natayuda, pemimpin laskar itu, lantas saja
maju menyambut. Kemudian dengan bergandengan
tangan mereka berdua masuk ke dalam sebuah rumah
pasanggrahan yang besar. Di kiri-kanan pasanggrahan itu terdapat berpuluhpuluh bangunan yang berpencaran
letaknya. Yang paling besar adalah rumah tadi, yang dimasuki Pangeran
Natayuda. Sama sekali ada pagar pagar ketat dan kokoh,
sehingga keadaannya tiada mirip dengan sarang
berandal. Di atas banyak bangunan-bangunan itu yang
terpancang sehelai bendera berwarna hijau dan kuning.
Itulah bendera yang disebut orang dengan nama
bendera Pare Anom. Bagi Lingga W isnu sama penglihatan itu merupakan
pengalaman baru. Belasan tahun ia lakukan berkelana,
akan tetapi baru kali inilah ia merasa berkumpul dengan
ratusan manusia yang nampaknya bersatu padu. Dengan
penuh selidik ia mengamati wajah setiap orang yang
dilihatnya. Mereka semua bergaul sangat rapat sebagai
sahabat. Akan tetapi, wajah mereka nampak berduka.
Inilah anehi Palupi yang berpakaian sebagai pemuda, mendapat
sebuah kamar bersama Lingga W isnu. Karena mereka
berdua termasuk dalam rombongan Pangeran Natayuda,
pelayanannya lebih sempurna. Akan tetapi hidangan
yang disajikan hanya berupa nasi putih dan sayur mayur
belaka. Sama sekali t iada daging atau ikan basah.
"Ayunda," kata Lingga W isnu. "Guru katanya berada di
sin i. Dan kita kinipun berada di sin i pula. Mengapa guru
tidak cepat-cepat menemui kita" Apakah mereka justru
tidak menghendak pertemuan kita?"
Palupi hanya mendengus, Sama sekali ia tidak
menjawab atau memberi keterangan. Lingga W isnu yang
kenal tabiat Palupi, tak mau mendesak pula. Akan tetapi
dengan demikian ia jad i bermenung-menung seorang
diri. Kepalanya penuh teka-teki yang tak dapat segera
menemukan jawabannya. Pada keesokan harinya, tanggal 2 Januari 1754, Palupi
dan Lingga W isnu dibangunkan sebelum pagi hari tiba.
Setelah mandi dan makan pagi, mereka berdua berjalanjalan menyusur tepi kepundan
gunung. Kali in i mereka melihat orang-orang yang cacad tubuhnya. Ada yang
hanya memiliki sebelah tangan atau sebelah kaki dan
wajah wajah bekas sabetan senjata tajam. Itulah suatu
bukti, mereka baru saja datang dari medan pertempuran.
Sebenarnya ingin Lingga W isnu memperoleh keterangan
tentang diri mereka, akan tetapi Palupi segera
membawanya pergi. Pada siang sampai sore hari, barang hidangan yang


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibawa masuk ke dalam kamar melulu sayur mayur
belaka. Semuanya ini kian menimbulkan berbagai
pertanyaan di dalam hati Lingga Wisnu. Katanya di dalam
hati. 'Siapakah mereka yang cacad tubuhnya itu" Kenapa
sekalian hadirin berwajah muram" Mereka nampaknya
bergaul sangat rapat, akan tetapi selalu membungkam
mulut . Dan apa maksudnya hidangan yang disajikan
hanya sayur mayur belaka" Memang di atas gunung
sukar mendapat daging. Tetapi pertemuan secara besarbesaran ini tidak terjadi
secara kebetulan belaka. Mestinya jauh sebelumnya mereka sudah bersiap-siap.
Masakan t iada terdapat seiris daging saja"'
Dan malam seperti kemarin, tiba lagi. Seseorang
mengetuk pintu kamar Lingga W isnu. Berkata dari luar
ambang pintu : "Pangeran Natayuda mengundang saudara W isnu
untuk menyaksikan upacara pertemuan ini."
Lingga W isnu berpaling kepada Palupi. Gadis itu
menundukkan kepalanya dengan sikap acuh tak acuh.
Agaknya jauh-jauh sudah dapat menebak akan adanya
undangan ini. Katanya: "Berangkatlah! Jangan lupa, kau bawa pula obat
pemunah racun Pacarkeling."
"Dan ayunda?" Lingga W isnu menegas.
"Aku dapat mengurus diriku sendiri," jawab Palupi
dengan suara d ingin. "Kau tak usah memikirkan aku.
Percayalah, selama engkau berada di sini, aku tetap
mendampingimu!" Oleh jawaban itu hati Lingga W isnu menjadi t enteram.
Segera ia mengikut i pesuruh tadi memasuki sebuah
bangunan besar yang berada di tengah-tengah
pasanggerahan. Pangeran Natayuda ternyata menunggu dirinya di
depan pintu pasanggrahan. Setelah ia menggabungkan
diri dengan rombongannya, segera Pangeran itu masuk
ke pasanggrahan. Begitu masuk ke dalam pasanggrahan,
perhatian Lingga W isnu terbangun. Ia melihat bermacam-macam senjata tertancap di atas tanah
semacam pagar. Semuanya delapan belas macam. Dan
masing masing senjata menyinarkan sinar gemerlapan
oleh pantulan cahaya dian yang dinyalakan terang
benderang. Jumlah orang-orang yang berada di dalam
pasanggerahan itu kurang lebih tiga ribu orang. Inilah
suatu jumlah yang luar biasa. Mau t ak mau Lingga W isnu
menjadi heran. Kenapa orang sebanyak itu bisa
berkumpul di atas gunung yang sunyi sepi itu.
Di tengah ruangan, Lingga W isnu melihat rangkaian
gambar sebagai hiasan d inding. Setelah diamati, sekalian
gambar itu memperlihatkan luk isan serdadu-serdadu
Kompeni Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap
orang-orang yang ditangkapnya. Dibawah lukisan itu
terdapat sederet tulisan yang berbunyi: semoga Tuhan
menerima arwah pendekar-pendekar pencinta bangsa
dan negara. Amien. Membaca tulisan itu, hati Lingga W isnu terkesiap.
Siapakah mereka yang disebut sebagai pendekar
pencinta bangsa dan negara" Pemuda itu belum pernah
mendengar peristiwa berdarah yang terjadi di dalam
istana Kartasura setelah Sri Paku Buwana III naik t akhta.
Mereka sesungguhnya para pangeran, yang diculik dan
diangkut Kompeni Belanda, ke Semarang. Bagaimana
nasib mereka, hanya Tuhan sendiri yang t ahu.
Lingga W isnu kemudian menebarkan penglihatannya
ke semua penjuru. Bendera berkibar-kibar menghiasi
dinding pertemuan. Terdapat pula berbagai macam alat
senjata dan pakaian kuda serta topi perang. Dari ruang
ke ruang terdapat semboyan-semboyan yang berupa
tulisan. Karena kurang jelas, tak dapat Lingga W isnu
membacanya. Akan tetapi yang lebih menarik perhatiannya ialah
wajah para pengunjung yang semuanya nampak muram
dan berduka. Pemuda itu menjadi bingung. Apakah
semua yang memasuki pasanggrahan w ajib berduka cita
" Kalau memang diwajibkan denikian, dia harus berduka
cita terhadap siapa"
Seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus tiba-tiba
berdiri dari kursinya. Setelah membuat sembah terhadap
hadirin, berkatalah dia dengan suara nyaring:
"Saudara-saudara hadirin, marilah kita mulai bersembahyang!" Semua orang lantas melakukan sembahyang.
Pangeran Natayuda menjadi imamnya. Lingga W isnu
yang sedikit banyak pernah mendapat tuntunan
bersembahyang dari kedua orang tuanya, juga ikut
bersembahyang. Hanya saja ia tak tahu tujuan
sembahyang itu. Tetapi setelah orang tinggi kurus itu
berkhotbah tentang gugurnya para pangeran yang
diangkut Kompeni Belanda ke Semarang, hati bocah itu
terkesiap. Entah apa sebabnya tiba-tiba hatinya
bergelora. Darahnya meluap dan semangatnya berkobarkobar. Teringat akan nasib
ayah-bunda dan saudaranya
yang mati t iada berkubur, justru lantaran dikenal sebagai
sepasang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya, tak
dapat lagi ia menahan air matanya. Meskipun ayah
bukan seorang pangeran, akan tetapi nasibnya mirip
sekali dengan para Pangeran yang diangkut ke
Semarang, justru lantaran mereka dianggap berbahaya
bagi yang sedang berkuasa.
Selagi bersedu-sedan, sekali lagi ia terperanjat tatkala
hadirin tiba-tiba berteriak seperti kalap.
"Kalau di dunia ada dua matahari, bagaimana k ita bisa
hidup aman dan damai" Hancurkan Kompeni Belandal
Atau kita akan hancur sendiri!"
"Benar, kembalikan gunung-gunung dan pohon
pohonku!" "Hidup! Basmi semua malapetaka dunia!"
"Benar. Kembalikan tanah-tanah dan sungaisungaiku!" "Hidup Pangeran Mangkubumi!"
"Cincang Patih Pringgalaya!"
"Dia sudah mampus!"
"Membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya!
Bunuh semua anak keturunannya!"
Dan makin lama teriakan-teriakan itu makin menjadi
kalap. Masing-masing meledakkan isi hatinya. Dan
teringat akan lawan-lawan ayah bundanya yang
bersembunyi, di belakang tabir, tanpa merasa Lingga
W isnu ikut berseru pula :
"Gempur orang-orang yang mengaku diri golongan
Suci! Hancurkan padepokan Argapura! Cincang orang
yang menamakan diri Panembahan Panyingkir!"
Sekalipun ia berseru kalap, akan tetapi suaranya
tenggelam dalam keriuhan t eriakan-teriakan hadirin yang
berjumlah dua-tiga ribu orang.
Orang jangkung kurus yang memimpin upacara
sembahyangan itu, mengangkat kedua tangannya.
Hadirin yang berteriak-teriak kalap menjadi tenang
kembali. Apabila suara kalap tadi sudah padam,
berkatalah dia dengan nyaring:
"Para utusan daerah diberi kesempatan untuk
melaporkan keadaan daerahnya masing masing kepada
Pangeran Natayuda. Silahkan!"
Seorang laki-laki yang duduk di sebelah barat, segera
bangkit dari kursinya. Berkata:
"Musuh kita sesungguhnya adalah Kompeni Belanda.
Sri Paku Buwana II, Susuhunan Kartasura, sesungguhnya
hanya boneka belaka. Karena itu sedapat mungkin kita
harus mencari kepala-kepala Kompeni Belanda dan
bukan kepala-kepala orang-orang yang kebetulan
mengabdi kepada Sri Paku Buwana III!"
Suara itu nyaring luar biasa, sehingga Lingga W isnu
terkejut. Sama sekali tak diduganya bahw a seseorang
bisa mempunyai suara demikian nyaring. Berkata orang
itu lagi: "Saudara-saudara seperjuangan ...!"
Selagi orang itu hendak meneruskan perkataannya,
tiba-tiba terdengarlah suara nyaring sambungmenyambung di luar perkemahan :
"Panglima Aris Munandar, ut usan Raden Mas Said
datang untuk ikut serta memeriahkan pertemuan ini!"
Mendengar seruan itu, Pangeran Natayuda bangkit
dari kursinya. Berkata menyambut:
"Saudara-saudara sekalian! Marilah kita sambut utusan
Raden Mas Said!" Semua hadirin kenal siapa Raden Mas Said. Dialah
menantu pangeran Mangkubumi yang menyulutkan
pemberontakan sekitar Kartasura.. Ia dibannt u Panembahan Martapura dan laskarnya tersebar mulai
dari Madiun, Bojanegara dan Wonogiri. Ia d itakuti baik
pihak lawan maupun kawan. Karena sikap tegasnya
terhadap lawan, ia disebut dengan Pangeran Samber
Nyawa. Maka begitu mendengar aba-aba Pangeran
Natayuda, maka sekalian hadirin lantas saja bangkit dari
kursinya masing-masing. Pintu pasanggrahan terbuka lebar. Dua orang masuk
membawa dua obor besar. Kemudian berjalan mendahului menyusur garis kiri dan garis kanan seolaholah merupakan batas jalan.
Tak lama kemudian masuklah tiga orang yang mengenakan pakaian singsat.
Yang berjalan di depan, seorang laki-laki kurang lebih
berumur empat puluh t ahun. Romannya bengis, pakaian
yang dikenakan sangat sederhana terbuat dari kain
kasar. Dia mengenakan sepatu rumput t anpa kaus kaki.
Rambutnya kusut masai dan lengan bajunya nampak
usang. Kesan pribadinya seperti petani yang gagal dalam
masa panen. Akan tetapi dia sebenarnya seorang
panglima andalan Pangeran Samber Nyawa. Dialah yang
disebut orang Panglima Sengkan Turunan. Asalnya
memang seorang petani dari daerah Wonogiri. Akan
tetapi karena jasa-jasa dan keberaniannya serta
kesetiaannya, ia dilantik oleh Raden Mas Said, menjadi
salah seorang panglimanya.
Orang kedua, yang berjalan di sebelah kiri adalah
seorang berkulit kuning bersih. Dia seorang ningrat.
Pandangnya tajam dan cemerlang. Pakaian yang
dikenakan bersih pula, bahkan berkesan mentereng.
Usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun. Namanya
Aris Munandar. Dan orang ketiga adalah seorang laki-laki yang
berperawakan tinggi kekar. Kulitnya hitam lekam seperti
kulit manggis. Usianya belum melebihi tigapuluh tahun.
Meskipun demikian, pandang matanya berwibawa penuh.
Gerak-geriknya gesit. Dialah Aria Puguh, salah seorang
pengawal pribadi Pangeran Samber Nyawa yang
termashur. Sampai di depan gambar-gambar lambang perjuangan, mereka bertiga berdiri tegak. Kemudian
membungkuk hormat. Itulah suatu pernyataan duka cita
dan penasaran atas hilangnya beberapa pangeran yang
tiada beritanya. Setelah itu, Panglima Sengkan Turunan
berkata kepada Pangeran Natayuda :
"Junjungan kami, Raden Mas Said, dengan ini
menyampaikan salam perjuangan kepada paduka.
Junjungan kami ikut berduka cita atas hilangnya
beberapa pangeran pecinta bangsa dan negara karena
diculik Belanda. Rasa dukacita junjungan kami dinyatakan dengan memaklumkan perang kepada
kompeni Belanda beserta antek-anteknya. Junjungan
kami k in i sudah menduduki lembah gunung Lawu. Setiap
kali bersiaga untuk bekerja sama antara laskar Pangeran
Mangkubumi." Kata-kata Panglima Sengkan Turunan sebenarnya
sederhana, akan tetapi, kesannya menarik hati. Lantaran
kesederhanaannya itu, justru mengasi lihat wataknya
yang tulus ikhlas dan jujur. Maka para hadirin riuh
rendah bertepuk tangan.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Natayuda bangkit dari kursinya - Dia
membalas hormat Pangeran Sengkan Turunan :
"Terima kasih, terima kasih. Saudara-saudara kita
yang hilang diculik kompeni Belanda sebenarnya bukan
milik pangeran Mangkubumi, akan tetapi adalah milik
saudara-saudara pula. Karena itu sudah sepatutnyalah
kita bekerja sama dengan laskas Raden Mas Said. T etapi
sebelum kami membicarakan hal in i, perkenankan kami
mengenal nama saudara."
"Orang menyebut kami Senkan Turunan. Jabatan
kami, salah seorang panglima Raden Mas Said, akan
tetapi sebenarnya kami ini hanya seorang dusun yang
dilahirkan di pojok desa Wonogiri ."
Kembali lagi para hadirin mendengar betapa jujur dan
tulus hati utusan Pangeran Samber Nyawa itu. Sekali lagi
mereka bertepuk tangan riuh.
"Jadi saudaralah yang terkenal dengan nama Panglima
Senkan Turunan?" kata Pangeran Natayuda. "Nama
saudara sangat kami kagumi. Dengan ini perkenankan
kami atas nama saudara-saudara yang hadir dalam
pertemuan ini untuk ..."
Belum lagi Pangeran Natayuda menyelesaikan katakatanya, tiba-tiba Arya Puguh,
tetamu yang berkulit hitam lekam, melesat ke pintu. Dengan menebarkan
pandangnya ke arah hadirin dengan mata penuh selidik,
ia bersikap menghadang. Sudah tentu semua hadirin
heran menyaksikan hal itu. Setelah kena pandang,
mereka berbalik mengawasi ut usan Pangeran Samber
Nyawa itu. Pada saat itu, Arya Puguh mendadak menuding dua
orang berusia pertengahan yang duduk di ant ara hadirin.
Terus membentak: "Bukankah kamu berdua begundal Pringgalaya"
Mengapa berada di sini?"
Kata-kata itu membuat kaget sekalian hadirin. Semua
yang hadir tahu belaka siapakah Patih Pringgalaya.
Dialah sumber kekacauan dan kerincuhan. Dengan t idak
sepengetahuan Sri Paku Buw ana III, ia melaporkan
kepada Gubernur Jendral Belanda Baron van Imhoff
tentang perselisihan hasil sebidang tanah antara
Pangeran Mangkubumi dan dirinya sendiri. Dan
sebenarnya dia sama sekali tidak mempunyai w ewenang
dalam hal itu. Tetapi laporan itu sendiri sesungguhnya
mempunyai tujuan tertentu. Dengan pengaduan itu
sekaligus ia hendak berkata kepada pemerint ah Belanda,
bahw a didalam pemerint ahan Susuhu- nan sama sekali
tiada yang pandai mengemudikan negara, sehingga perlu
mohon bantuan Jendral Baron van Imhoff untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut. Disarnping itu, ia
mempunyai maksud pula hendak mengadu domba antara
Pangeran Mangkubumi dan kakaknya, Sri Paku Buwana
II sedang latar belakang sesungguhnya ia iri hati atas
kegagahan Pangeran Mangkubumi, yang dapat menindas
pemberontakan Sukawati. Sepak terjang Patih Pringglalaya inilah yang mengakibatkan pemberontakkan
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, yang
kemudian hari mengakibatkan runtuhnya kerajaan
Mataram. Sekarang para hadirin mendengar tuduhan Aria
Puguh bahwa kedua tetamu yang berada di antara
mereka adalah begundal Patih Pringgalaya. Benarkah
tuduhan itu" Dua orang yang kena tuding itu tetap saja duduk di
atas kursinya. Yang pertama seorang laki-laki kira-kira
berusia empatpuluh tahun. Mukanya licin dan sikapnya
sopan sekali. Perawakannya tinggi semampai, sedang
yang kedua, bertubuh pendek ketat. Ia berkumis dan
berjenggot tebal. Kulitnya kehitam-hitaman, sehingga
mengingatkan orang kepada kulit seorang Arab. Ia
nampak terkejut, tatkala kena tuding. Akan tetapi pada
detik itu pula ia dapat bersikap tenang kembali. Ia
menegas sambil t ertawa :
"Salah lihat?" bentak Aria Puguh. "Bukan kah engkau
Sersan T itiprana dan kawanmu itu Letnan Srinadi" Hem!
Dengan kedua kupingku aku mendengar sendiri kasak
kusukmu di rumah penginapan. Lantas kamu berdua
menelusup ke mari. Siapapun akan segera tahu, apa
maksudmu menyelundup ke mari. Dengan tanda-tanda
sandi engkau akan memberi kabar kepada Kompeni
Belanda atau anjing-anjing Pringgalaya untuk segera
menyerbu ke mari. Bukankah demikian" Ya, begitulah
kasak kusukrnu di dalam penginapan."
Mendengar kata-kata Aria Puguh, orang yang disebut
Sersan Titiprana segera menghunus goloknya, lalu
melompat menerjang dan segera hendak menyerang.
Akan tetapi kawannya, Letnan Srinadi segera mencegahnya. Dengan sikap tenang, Letnan Srinadi
berkata : "Raden Mas Said adalah yang terkenal dengan
sebutan Samber Nyawa, menantu Pangeran Mangkubumi. Meskipun menantu, akan tetapi siapa pun
tahu, bahwa dia mempunyai cita-citanya sendiri. Tatkala
dahulu menyulutkan api pemberontakan di sekitar
Sukawati, ia kena dihancurkan laskar Pangeran
Mangkubumi. Apakah kekalahannya yang telah mencoreng mukanya itu, akan dibiarkan saja". Siapapun
tak akan percaya. Dan sekarang dia mengutus kamu
berdua menghadap Pangeran Natayuda sebagai wakil
Pangeran Mangkubumi, bukankah kau bermaksud untuk
mengacau balau di sini" Aha, kau benar-benar pandai
memutar balik keadaan."
Suara Letnan Srinadi halus tetapi tajam. Kata-katanya
mempunyai pengaruh besar sehingga para hadirin yang
mendengar jelas menjadi bimbang.
Sengkan Turunan mengenakan pakaian seorang
petani. Akan tetapi ia seorang peperangan ulung yang
cerdik dan segera saja dapat menanggapi pandang
hadirin yang berbalik curiga kepada pihaknya. Segera ia
mencampuri berbicara. Tanyanya :
"Engkau siapa tuan" Bukankah engkau Letnan Srinadi"
Tadi tuan belum menjawab tuduhan saudaraku."
Mendapat pertanyaan demikian, Letnan Srinadi
tergugu. Mulutnya nampak bergerak hendak mengungkap kata-kata, akan tetapi berhenti di
kerongkongannya. Menyaksikan hal
itu Pangeran Natayuda segera menghampiri. Tanyanya menegas:
"Apakah benar, engkau anak buah Patih Pringgalaya"
Atau engkau salah seorang kerabat Pangeran Mangkubumi" Kalau aku tak salah dengar, kau tadi
berbalik menuduh utusan Pangeran Samber Nyawa
hendak membuat kekacauan di sini sebagai pembalas
dendam majikannya terhadap Pangeran Mangkubumi.
Kalau begitu, engkau benar-benar kerabat Pangeran
Mangkubumi. Akan tetapi kenapa aku tak pernah kenal
dirimu" Apakah mataku yang sudah lamur" Saudara,
coba jawab yang benar!"
Tak dapat Letnan Srinadi berpura-pura dungu lebih
lama lagi. Segera ia mengerling kepada Sersan T itiprana
dan memberi isyarat mata. Sersan Titiprana meloncat,
iapun segera menyusul. Malahan dia lantas membabat
wajah Aria Puguh dengan pedangnya.
Gerak-gerik Letnan Srinadi mirip seorang banci. Akan
tetapi gerakannya gesit sekali.. Dalam sekejab mata ia
menghujani dada Aria Puguh dengan tikaman-tikaman
berbahaya. Utusan Pangeran Samber Nyawa datang ke pasanggrahan semata-mata untuk menyatakan rasa setia
kawan. Sama sekali mereka tidak mempersiapkan
senjata. Itulah sebabnya serangan Letnan Srinadi dan
Sersan Titiprana yang bekerja sama rap i dan cepat, membuat sekalian hadirin terperanjat dan cemas. Di antara mereka lapat-lapat seperti telah pernah mendengar nama letnan Srinadi. Kalau tak
salah dia salah seorang perwira andalan Patih Pringgalaya yang dahulu pernah tertangkap Raden Mas
Said dan kemudian dibebaskan kembali. Hal ini
disebabkan lantaran Letnan Srinadi d iwaktu itu
berkedudukan sebagai dut a. Dan membunuh duta adalah
tabu bagi pejuang-pejuang Raden Mas Said. W alaupun
demikian untuk memberi sedikit hajaran, Letnan Srinadi
di sunati hampir habis. Aria Puguh ternyata seorang berkepandaian tinggi.
Dengan gerakan sebat luar biasa, tangan kirinya t iba-tiba
mendahului gerakan pedang Letnan Srinadi. Ia
mengendapkan tubuhnya sedikit, lalu tangan kanannya
menyambar, menghantam sersan Titiprana. Karena
tubuhnya sudah merendah maka ia tak khawatir kena
tikaman pedang Letnan Srinadi.
Menyaksikan kesehatan Aria Puguh, tanpa merasa
para hadirin bersorak-sorak memuji. Dengan seorang diri
saja kedua tangannya dapat melabrak kedua penyerangnya dengan sekaligus. Dan kedua penyerangnya itu ternyata dapat diundurkan; Sebab
apabila kasep sedikit saja, mereka pasti akan kena
tercengkeram tangan perkasa Aria Puguh.
Kini para hadirin berubah menjadi girang dan berada
dipihak Aria Puguh. Tadinya, banyak diantara mereka
yang hendak membantu. Menyaksikan kesehatan dan
kegagahan Aria Puguh, mereka lantas saja menonton.
Hebat cara perlawanan Aria Puguh. Kedua t angannya
menyambar-nyambar tiada hentinya dengan cepat dan
sebat. Letnan Srinadi dan Sersan Titiprana dibuat sibuk
tak keruan. Mereka berdua kini sadar pula bahwa mereka
yang tadinya hendak mengepung Aria Puguh, kini
malahan kena kepung rapat-rapat. Mereka berdua tak
ubah tercebur ke dalam sarang harimau yang setiap saat
mengancam jiwanya. Itulah sebabnya mereka berkelahi
sambil mundur perlahan-lahan. Kemudian dengan tibatiba mereka merangsak maju
mendesak dengan maksud, apabila Aria Puguh kena didesak mundur, dengan sekali
menjejakkan kaki mereka hendak melarikan d iri lewat
pintu depan. Akan tetapi Aria Puguh bukan pendekar yang mudah
kena diingusi. Ia berkelahi sangat hati-hati. Mula-mula
membela diri, kini berbalik menyerang. Tak perduli ia
bertangan kosong, ternyata berkali-kali ia dapat
merint angi maksud kedua penyerangnya dengan rapat
sekali. Kedua kakinya y ang teguh tetap menjaga ambang
pintu, sehingga Letnan Srinadi maupun Sersan T itiprana
tiada memperoleh kesempatan untuk bisa lolos dari
penjagaannya. Dalam seribu kesibukan Letnan Srinadi menjadi nekad.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan kirinya menghunus pedang dengan ukuran
pendek. Dengan demikian ia menggunakan sepasang
pedang, panjang dan pendek. Kemudian merabu dan
merangsak Aria Puguh dengan mati-matian. Ia harus bisa
merobohkan lawannya itu sebelum tercapai maksudnya
mendekati pintu. Sersan Titiprana yang berada
disampingnya, rupanya mengerti pula maksud kaw annya.
Segera ia bergulingan di tanah dan membabat kedua
kaki Aria Puguh. Inilah cara berkelahi yang sangat
berbahaya. Setiap saat Aria Puguh bakal kena dikut ungi.
Kalau bukan kakinya, pastilah tangannya. Tetapi Aria
Puguh nampak tenang-tenang saja. Ia dapat diundurkan
beberapa langkah. W alaupun demikian langkahnya tidak
menjadi kacau. Bahkan sebentar kemudian ia berbalik
dapat mendesak lagi, sehingga kedudukannya kembali
seperti semula. Pertempuran mereka makin lama menjadi makin seru.
Bayangan mereka berkelebatan menyambar-nyambar
sehingga mengaburkan penglihatannya para hadirin.
Letnan Srinadi nampak menjadi gemas sekali. Ingin ia
bisa mengutungi tubuh lawannya dengan cepat. Oleh
hasrat itu, lantas saja ia merangsak maju. Tepat pada
saat itu mendadak ia mendengar Sersan Titiprana
memekik kesakitan. Pedangnya terpental ke udara dan
tangannya terkulai ke bawah. Dan pada saat itu,
muncul ah seorang laki-laki dalam gelanggang menyambar pedang yang terpental ke udara. Ternyata
dia adalah W irupaksa, guru Lingga W isnu.
Berbareng dengan terlemparnya pedang ke udara,
Aria Puguh menendangkan kakinya. Tak ampun lagi,
Sersan Titiprana terjungkal, roboh. Tepat nada saat itu,
kaki kirinya melayang menendang Letnan Srinadi pula.
Letnan Srinadi ternyata lebih gesit dari pada Sersan
Titiprana. Masih dapat ia meloloskan diri dari sambaran
kaki. Pedangnya berkelebat membalas menyerang. Lagilagi yang di arah adalah
kedua kaki dan tangan Aria
Puguh. Aria Puguh ternyata tidak hanya perkasa dan gagah
saja, akan tetapi gesit pula. Ia membiarkan ujung
pedang Letnan Srinadi nyaris menyentuh dadanya. Dan
tiba-tiba ia memiringkan tubuhnya. Tangannya berkelebat menyambar hulu pedang dan ditariknya
dengan suatu hentakan. Keruan saja Letnan Srinadi
kaget setengah mati. Tak dapat ia mempertahankan
pedangnya. T erpaksa ia melepaskannya. Dan pada saat
itu tangan kirinya yang membawa pedang pendek
menikam. Aria Puguh melihat berkelebatnya pedangnya Letnan
Srinadi, cepat sekali ia memut ar pedang rampasannya
dan menangkis. Trang! Api meletik berbareng dengan
suara nyaring yang mengaung-ngaung memenuhi ruang
pasanggrahan. Dan celakalah letnan Srinadi! Selagi
tangannya tergetar karena adu tenaga itu, tiba-tiba saja
Aria Puguh mengulangi serangannya lagi. Dan pedang
pendeknya terpental runtuh di atas tanah. Karena ia
tidak bersenjata lagi, terpaksalah ia mundur dan mundur.
Aria Puguh tertawa panjang. Sambil tertawa tangan
kanannya menyambar dada. Letnan Srinadi mati kut u.
Tubuhnya kena diangkat tinggi di udara. Diluar dugaan
tangan kiri Aria Puguh secara tiba-tiba saja menyambar
celana Letnan Srinadi dan direnggutkan ke bawah.
Berbareng dengan suara memberebetnya kain, celana
Letnan Srinadi kena dicopot ke bawah. Dengan
sertamerta, Letnan Srinadi jad i bertelanjang bulat dari
pinggang ke bawah. Dan semua hadirin lant as saja
melihat suatu pemandangan yang mengherankan. Itulah
bekas sunatan yang hampir habis!
Seperti membawa sebuah benda saja, Aria Puguh
lantas menghadapkan muka Letnan Srinadi kepada
hadirin seraya berkata nyaring:
"Saudara-saudara sekalian, lihatlah yang terang! Dia
menjadi banci lantaran apa" Dahulu dia menjadi duta
kepercayaan Patih Pringgalaya menghadap majikan kami.
Inilah upahnya orang yang tidak tahu malu. Orang
demikian patut disunati sampai habis!"
Baru sekarang para hadirin sadar. Mereka yang tidak
mengerti latar belakang terjadinya peristiwa penyunatan
itu segera mendapat keterangan dari teman-temannya,
yang mendengar kabar. Sebentar saja mereka dapat
diyakinkan oleh bukti itu. Sekarang mereka mengalihkan
pandang kepada belalai Letnan Srinadi yang nampak
terkutung, hampir habis. Lantaran lucu, mereka semua
tertawa lebar. Lantas berjalan menghampiri dan
mengepung Letnan Srinadi, yang kini tidak hanya pucat
lesi t apipun merah padam karena malu.
Aria Puguh lalu menyerahkan Letnan Srinadi dan
Sersan Titiprana kepada panitya pertemuan. Semua
hadirin kagum dan memuji-muji kegagahannya. Pangeran Natayuda kemudian menghampiri Letnan
Srinadi yang sedang ditelikung bersama Sersan T itiprana.
Tanyanya menegas : "Kau mengenakan pakaian seragam perwira Susuhunan. Sesungguhnya engkau laskar Susuhunan
ataukah laskar kompeni Belanda" Dan apa maksudmu
menyelundup ke mari" Coba katakan kepada kami,
berapa teman-temanmu yang kau bawa kemari dan
bagaimana caranya engkau bisa menyelundup ke mari?"
Baik Letnan Srinadi maupun Sersan Titiprana
membungkam. Dua-tiga kali Pangeran Natayuda mencoba membujuk, namun tetap saja gagal. Dan
melihat kebandelan itu, Pangeran Natayuda lalu
mengerdipi seorang anggauta panitya pertemuan. Orang
itu lantas maju bersama empat orang kawannya.
Kemudian membawa Letnan Srinadi dan Sersan T itiprana
keluar pasanggrahan. Nasib kedua mata-mata itu tidak
hanya disunati saja, t etapi dikutungi kepalanya pula.
"Jika tiada pertolongan saudara bertiga, tentu sekali
kami bakal mengalami bencana," kata Pangeran
Natayuda Panglima Sengkan Turunan. Setelah itu ia
memberi hormat menyatakan rasa t erima kasihnya.
Buru-buru Panglima Sengkan Turunan membalas
hormatnya. "Akh, itupun hanya secara kebetulan saja. Selama di
tengah Jalan kami melihat dua orang tadi yang gerakgeriknya sangat mencurigakan.
Selagi mereka menginap, kami bertiga mengint ainya. Kesudahannya kami segera
mengetahui dan mengenal siapa mereka sebenarnya.
Rupanya mereka berdua belum insyaf kalau kami int ai,
sehingga berbicara kasak-kusuk dengan leluasa."
Sementara Pangeran Natayuda berbicara dengan
Panglima Sengkan Turunan, W irupaksa mendekati Aria
Puguh. Dengan menggoncang goncangkan tangannya, ia
menjabat t angan utusan Pangeran Samber Nyawa yang
gagah itu. Dan tatkala Panglima Sengkan Turunan
dibawa Pangeran Natayuda untuk membicarakan
masalah-masalah yang resmi, ia membawa Aria Puguh
keluar pasanggrahan. katanya sambil berjalan mencari
tempat yang sepi: "Saudara Puguh! W alaupun kita baru bertemu pada
hari in i, akan tetapi rasanya aku seperti bertemu dengan
seorang sahabat kekal. Dapatkah saudara memandang
demikian pula terhadapku" Aku disebut orang W irupaksa." "Akh, kangmas W irupaksa! Meskipun aku belum
pernah bertemu dengan kangmas, akan tetapi nama
kangmas sangat termashur di antara kami. Kangmas
salah seorang perwira laskar Pangeran Mangkubumi.
Beberapa kali kangmas menghancurkan Kompeni
Belanda dan melindungi rakyat. Itulah perbuatan yang
sangat mengagumkan diriku. Sekarang aku bertemu
muka dengan kangmas, rasa hatiku girang bukan main!"
W irupaksa tertawa lebar. Katanya:
"Akh, jangan memuji berlebih-lebihan kepadaku.
Kaupun seorang yang hebat pula." Setelah berkata
demikian, ia mengalihkan pembicaraan: "Siapakah
gurumu?" Memperoleh pertanyaan itu, wajah Aria Puguh
berubah, sahutnya: "Guruku bernama Kyahi Solihin. Satu tahun yang lalu
beliau gugur di medan perang Sokawati."
Tatkala itu Kredana menyusul. Ia sempat mendengar
jawaban Aria Puguh. Dia seorang berhati tulus. Setelah
saling memandang dengan W irupaka , ia berkata:
"Kyahi Solih in seorang pendekar yang kami kagumi
juga. Tetapi maaf, sekalipun Kyahi Solihin berkepandaian
tinggi, akan tetapi dibandingkan dengan saudara, masih
jauh terpautnya." Aria Puguh berdiam diri. Ia tidak segera menyahut.
Nampak sekali ia berbimbang-bimbang.
"Memang benar. Seringkali kepandaian seorang murid
melebihi gurunya sendiri. Akan tetapi cara saudara
melayani kedua mata-mata tadi benar-benar mengagumkan. Kalau tak salah, kepandaian yang kau
perlihatkan bukan berasal dari Kyahi Solih in."
Aria Puguh merasa diri terdorong ke pojok. Setelah
berbimbang-biirbang sejenak, ia menjawab:
"Kangmas W rpupaka. berdua adalah saudaraku
seperjuangan. Rasanya tidak se layaknya apabila aku
terus menerus main bersembunyi. Memang setelah guru
wafat, aku bertemu dengan seorang yang aneh. Dia
menaruh iba kepadaku dan mengajarkan beberapa jurus
ilmu pukulan sakti. Aku belajar kepadanya selama enam
bulan. Dan aku di suruh bersumpah untuk tidak
menyebutkan namanya. Lantaran itu, maafkanlah aku
apabila t idak bisa menjawab pertanyaan kangmas."
W irupaksa dan Kredana melihat Aria Puguh menjawab
pertanyaannya dengan sungguh-sungguh karena itu
buru-buru Wirupaksa berkata :
"Kalau begitu, maafkan kami berdua. Apa sebab aku
mohon jawaban siapa gurumu, semata-mata lantaran
kami berdua mempunyai urusan yang sangat penting."
"Apakah itu?" Aria Puguh menegas. "Sekiranya dapat
aku melakukan, coba jelaskan kepadaku. Bukankah kita
saudara-saudara seperjuangan" Kenapa bersegan-segan
terhadapku?" W irupaksa memanggut. Setelah itu bersama Kredana
ia mencari dua saudara seperguruannya: Jabrik dan
Putaksa. Kemudian mereka berempat berbicara dengan
berbisik-bisik. "Kau hendak bicara apa?" tanya Jubrik.
"Aku hendak membicarakan utusan Pangeran Samber
Nyawa, Aria Puguh," jawab W irupaksa dengan sungguhsungguh. "Kita berempat tiada
sanggup melawan ilmu kepandaiannya. Sedangkan menurut penglihatanku, dia
seorang jujur." "Kecuali mengenai gurunya. Dia tidak mau berbicara
terus terang." Kredana menambahi.
W irupaksa segera menuturkan pembicaraannya dengan Aria Puguh. Lalu menerangkan maksudnya.
Sudah satu t ahun Lingga W isnu belajar kepada kita. Kita
berempat hanya memberinya dasar dasar belaka.
Sedangkan dia anak seorang pendekar suci bersih. Kalau
kita tidak bisa menolong bocah itu membalaskan dendam
ayah-bundanya, rasanya kitapun ikut bertanggung jawab
terhadap arwah-arwah di alam baka. Eyang guru murid
kita, Kyahi Basaman, adalah seorang pejuang yang
berada di pihak Pangeran Samber Nyawa. Karena itu
apabila pendidikan selanjut nya kita pasrahkan kepada
Aria Puguh, rasanya t idak salah. Akan tetapi, bagaimana
caranya kita menyerahkan kepadanya?"
"T iada halangannya kita berbicara terus terang
kepadanya." Jabrik memberi saran. "Kita mengajukan
permohonan. Diterima atau tidak tergantung belaka
kepada nasib murid kita."
"Bagaimana apabila hal in i kita bicarakan terlebih
dahulu dengan Pangeran Natayuda?" Putaksa usul.
Usul in i segera memperoleh persetujuan dan mereka


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berempat segera menemui Pangeran Natayuda yang
sudah selesai mengadakan pembicaraan secara resmi
dengan utusan Pangeran Samber Nyawa. Pangeran
Natayuda memangnya tertarik kepada
Lingga w isnu. Semalam, setelah Lingga Wisnu kembali
ke kamarnya, segera ia memanggil mereka berempat
yang menjadi guru Lingga W isnu. Karena itu setelah
mendengar alasan W irupaksa berempat, ia menyetujui
maksud mereka. Katanya: "Akan tetapi lebih sempurna apabila kalian mengetahui
dulu bagaimana pendapatnya saudara Aria Puguh,
sebelum mengambil keputusan."
W irupaksa berempat segera menemui Aria Puguh
kembali. Jabrik bertindak sebagai penyambung lidah.
Katanya : "Saudara Puguh. Tadi saudaraku W irupaksa belum
sempat memberi keterangan tentang apa sebenarnya
yang kami sebut urusan penting. Baiklah sekarang kami
terangkan saja kepadamu. Kemudian, terserah kepadamu apakah engkau bisa menerima usul k ami atau
tidak." Setelah berkata demikian, segera menuturkan riwayat
hidup Lingga W isnu. Kemudian ia menyudahi dengan
kata-kata: "Anak itu mempunyai masa depan gemilang di
kemudian hari. Kami berempat mencoba mendidik dalam
hal ilmu pengetahuan dan ilmu kepandaian. Otaknya
sangat terang dan bahannya baik sekali. Daya
ingatannya jauh melebihi kita berempat. Baru satu tahun
dia belajar kepada kami, kepandaian kami sudah
dihirupnya habis. Dia masih sangat muda. Sedangkan
banyak hal-hal yang terjadi di dunia in i belum
diket ahuinya dan diinsyafinya. Kami berempat berpendapat, bahwa apabila anak itu berada dibawah
asuhanmu, akan memperoleh kemajuan pesat. Sebaliknya apabila tetap di tangan kami, sukar sekali ia
memperoleh kemajuan ..."
Mendengar alasan Jabrik berempat, Aria Puguh diam
menimbang-nimbang. Sejenak kemudian ia berkata :
"Jadi, saudara-saudara sekalian mengharap aku
mendidiknya?" W irupaksa, Kredana, Jabrik dan Putaksa menganggut
berbareng. Sahut Jabrik: "Kami t adi memperoleh kesempatan menyaksikan ilmu
kepandaianmu. Ternyata ilmu ke pandaian itu sepuluh kali
lipat t ingginya dari pada ilmu kepandaian kami berempat.
Itulah sebabnya apabila saudara tidak sudi menerima dia
sebagai murid, pastilah arwah almarhum Udayana akan
tetap penasaran. Sebaliknya, apabila saudara menerimanya, arwah almarhum Udayana dan isterinya
akan berterima kasih kepadamu."
Setelah berkata demikian, Jabrik berempat lalu
membungkuk hormat. Keruan saja Aria Puguh tercekat
hatinya. Buru-buru ia membalas hormat dan berkata :
"Kangmas berempat sangat menghargai aku. Sudah
sepantasnya bila aku menerimanya. Hanya sayang,
sekarang ini aku berada dalam laskar perjuangan. Siang
dan malam tiada waktu tertentu. Setiap kali aku
dikirimkan ke medan perang melakukan t ugas. Seringkali
pula aku bertempur melawan tentara Belanda atau laskar
Susuhunan. Entah berapa lama lagi umurku. Itulah
sebabnya, meskipun aku membawa murid kangmas
sekalian akan banyak gagalnya dari pada hasilnya.
Sebab, sama sekali aku tidak mempunyai waktu
senggang untuk mendidiknya. Selain itu keselamatannya
selalu terancam." Alasan itu masuk akal, sehingga Jabrik dan tiga
saudaranya menjadi putus asa. Di lain pihak, melihat
mereka berputus asa maka Aria Puguh menjadi gelisah.
Katanya tak jelas seolah-olah kepada dirinya sendiri :
"Ada seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian
seratus kali lipat dari pada aku. Jika d ia sudi menerima
murid kangmas berarrpat, benar benar merupakan
karunia Tuhan ..." sampai di situ mendadak saja ia
menggoyang-goyangkan kepalanya. Lalu berkata lagi:
"T idak! Tidak mungkin! Ini t ak mungkin bisa terjadi ..."
Jabrik ber empat heran. W irupaksa yang berdarah
panas lantas saja mint a keterangan:
"Siapa orang itu?"
"Itulah orang aneh yang kusebutkan tadi." jawab Aria
Puguh. "Kepandaiannya tiada batasnya dan ia hanya
mengajarkan selama enam bulan saja. Meskipun
demikian, aku sudah dapat memiliki kepandaian seperti
kini. Padahal apa yang ku w arisi itu barulah ku litnya saja
..." "Siapa orang aneh itu?" W irupaksa menegas.
Suaranya bernada girang bukan kepalang.
"Dia aneh tabiatnya." Aria Puguh memberi keterangan.
"Dia mengajariku ilmu kepandaian W alaupun demikian,
dia melarangku menyebutnya sebagai guru. Diapun
melarangku memberi tahukan kepada siapa saja tentang
nama dan tempatnya. Itulah sebabnya hatiku berbimbang-bimbang, apakah dia sudi menerima murid
kangmas ber empat, sebagai muridnya."
"Di mana tempat tinggal orang aneh itu?" tanya
Kredana. "T adi aku sudah berkata, aku dilarang menyebutkannya. Dia sebenarnya aku sendiri tidak tahu.
Agaknya dia tidak mempunyai t empat tinggal yang t etap.
Mungkin sekail dia seorang perantau yang berjalan dari
tempat ke terrpat dan datang maupun pergi seenaknya
sendiri. Ke mana perginya dan kapan datangnya, tidak
pernah memberi kabar kepadaku."
Jabrik ber empat merasa kewalahan memperoleh
keterangan dari Aria Puguh. Sekarang t inggal satu usaha
lagi dengan memanggil Lingga Wisnu menghadap. Bocah
itu lantas diperkenalkan kepada Aria Puguh.
Senang Aria puguh melihat Lingga W isnu yang
beroman cakap dan bertubuh sehat sekali. Tatkala ia
mint a keterangan sampai dimana Lingga W isnu belajar
kepada W irupaksa berempat, bocah itu segera dapat
menjawab dengan rapi sekali. Tiba-tiba bertanyalah
Lingga W isnu dengan tak segan-segan lagi kepada Aria
Puguh: "Paman Puguh. Tatkala paman merobohkan dua matamata tadi, pukulan apakah yang
paman gunakan?" Aria Puguh tertawa lebar. Tak pernah disangkanya,
bocah itu memperhatikan. Jawabnya:
"Itulah salah satu pecahan ilmu sakti Sardula Jenar,
yang pernah kau pelajari juga."
"Mengapa begitu cepat dan dahsyat" Kedua mataku
sairpai tak sanggup mengikuti gerakannya." ujar Lingga
W isnu. "Apakah engkau ingin mempelajari ilmu pukulan itu?"
Tentu saja tawaran itu menggirangkan hati. Lingga
W isnu seorang anak yang cerdas pula. Lantas saja
menyahut : "Jika paman sudi mengajariku, ajarilah aku."
Aria Puguh menoleh kepada W irupaksa empat.
Katanya kemudian: "Setelah pertemuan ini, aku ditugaskan untuk tetap
hadir diantara saudara-saudara seperjuangan, seminggu
atau dua minggu. Biarlah kesempatan ini kupergunakan
untuk menurunkan beberapa jurus ilmu sakti kepada
murid kangmas berempat."
Tentu saja Jabrik berempat girang bukan kepalang.
Cepat-cepat mereka menghaturkan terima kasih. Sedangkan Lingga W isnu lantas pula membungkuk
hormat. Pada hari ketiga pertemuan resmi, boleh dikatakan
sudah selesai. Antara Panglima Sengkan Turunan sebagai
utusan Pangeran Samber Nyawa dan Pangeran Natayuda
yang mewakili Pangeran Mangkubumi, sudah terjadi kata
sepakat untuk di lakukan suatu perserikatan. Masingmasing p ihak bertekad untuk
menggempur Kompeni Belanda sampai Kerajaan Mataram dikembalikan ut uh
seperti semula. Maka dengan tercapainya kata sepakat
itu, pada hari keempat pertemuan antar angkatan
dibubarkan Pangeran Natayuda segera mengantarkan para
tetamunya untuk berpisahan. Mereka pulang dengan hati
puas dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Puncak
Gunung Merbabu yang sunyi sepi lantas saja tergetar
kena perbawanya. Panglima Sengkan Turunan pulang ke daerahnya
berserta Aris Munandar. Sedang Aria Puguh tetap berada
di atas gunung menemani Pangeran Natayuda sebagai
wakil laskar Pangeran Samber Nyawa. Dan Jabrik
berempat selalu menemani. Sebaliknya, selama hari-hari
itu Lingga W isnu mencari di mana beradanya Palupi
Ia sadar apa sebab keempat gurunya tiba-tiba
menyerahkan dirinya kepada Aria Puguh. Itu semua
berkat pengaruh Palupi. Dan gadis yang selalu bersikap
rahasia itu, kian menjadi teka-teki besar baginya.
Siapakah sesungguhnya Palupi" Pastilah dia bukan
seorang gadis sembarangan!
Di atas meja, ia menemukan sepucuk surat.
Sederhana saja bunyinya. Begini :
= Adikku Lingga Aku telah mendengar kabar dari keempat gurumu.
Hatiku girang bukan kepalang.
Belajarlah dengan sungguh-sungguh! Jangan lupa
obat Pemunah racun Pacarkeling. Setiap kali engkau
harus menelannya. Dan jangan sampai kau buang=
Terharu dan geli hati Lingga W isnu, membaca surat
Palupi. Dibuang" Masakan dibuang" Dan teringat akan
jasa-jasa Palupi yang merawat dirinya begitu cermat dan
sabar, membuat hatinya sangat pilu. Seumpama tidak
teringat bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata
sebagai persiapan balas dendam demi ketenteraman
arwah ayah-bundanya, pastilah dia sudah turun gurung
untuk mencari gadis itu. Apabila gadis itu kembali ke
pinggang gunung Merapi, ia rela pula untuk menyusulnya. Akhirnya ia menghibur diri: Baiklah,
apabila aku sudah mewarisi ilmu sakti paman Aria Puguh,
belum kasep rasanya aku menyusulnya kembali ke
pinggang gunung Merapi. Pada malam itu ia tidur sekamar dengan ke empat
gurunya. W aktu itu panitya pertemuan masih sibuk
membereskan perkemahan. Karena itu masing-masing
sibuk dalam urusannya sendiri. Aria Puguh yang beroleh
kamar penginapan di depan kamar Lingga W isnu dan
guru-gurunya, datang menyambangi. Kata orang gagah
itu: "Kangmas W irupaksa sekalian. Begitu aku melihat
murid kangmas, hatiku sangat tertarik. Siapakah
namanya?" "Lingga W isnu," jawab Jabrik.
"Rupanya dia sudah memperoleh dasar-dasar ilmu
sakti Sardula Jenar. Ini sangat memudahkan untuk
menerima ajaran jurus-jurus sakti yang ku peroleh dari
orang aneh itu. Sebab orang aneh itu sesungguhnya
mewariskan rahasia int i ilmu sakti Sardula Jenar
kepadaku. Sebab itu aku-akan meniru dan mencontoh
cara menurunkan ajarannya kepadaku dahulu. Akan
tetapi tentu saja aku tak dapat membuat bocah itu bisa
mewarisi dengan sempurna, lantaran waktunya sangat
sempit. Namun diatas segalanya ini masih ada Tuhan
yang maha ajaib. Selain Tuhan yang maha ajaib, masih
ada harapan lagi yang boleh kita andalkan, yaitu bakat
dan pembawaan, kerajinan serta keuletan calon
pewarisnya. Menimbang semuanya itu perkenakan, aku
mengundang namanya saja dari pada sebagai guru dan
murid. Sebab nyatanya tak dapat aku berjanji akan t erus
menerus meniliknya."


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alasan saudara kurang tepat," ujar W irupaksa.
"Apabila Lingga W isnu sudah menerima pelajaran darimu
satu atau dua gebrak saja, artinya dia sudah menjadi
muridmu, dan saudarapun berhak menyebut diri sebagai
gurunya. Akh, saudara Aria Puguh, hatimu terlalu
sederhana!" Aria Puguh dapat menerima alasan W irupaksa ber
empat, akan tetapi pendiriannya tak dapat diubahnya
lagi. Tetap saja ia hanya mengakui dirinya sebagai
paman angkat saja, sedang Lingga W isnu sebagai anak
angkatnya. Karena itu W irupaksa berempat terpaksa
menerima keputusan Aria Puguh.
Mereka berempat tahu, bahwa Aria Puguh bakal
menurunkan warisan-warisan ilmu sakti tinggi, yang
tentu saja tak boleh dilihat seseorang. Itulah sebabnya
W irupaksa berempat segera pindah kamar, dan Lingga
W isnu tidur dengan Aria Puguh.
Aria Puguh menunggu sampai mereka berempat
masuk ke dalam kamarnya. Kemudian ia membawa
Lingga W isnu berjalan ke luar penginapan. Malam hari
kala itu sangat pekat, sehingga baik Aria Puguh maupun
Lingga W isnu tak dapat melihat tubuhnya masingmasing. Kata Aria Puguh:
"Ilmu kepandaianku ini kuperoleh dari seorang sakti
yang telah berusia lanjut. Aku sendiri belum berhasil
menyelami sampai ketataran kesempurnaan. Meskipun
demikian, apabila hanya untuk melayani pendekarpendekar kelas dua atau kelas
tiga, rasanya sudah cukup. Tatkala aku mewarisi ilmu pukulan ini, orang aneh
itu memaksa aku untuk bersumpah kepadanya.
Bahwasanya semenjak itu tak boleh aku menghina
orang-orang yang berkelakuan baik atau mencelakai
seseorang tanpa alasan."
Lingga W isnu seorang anak cerdas. Segera ia mengerti
maksud Aria Puguh. Katanya di dalam hati :
'Sebelum menerima ajarannya aku diwajibkan bersumpah dengan berlutut. Aku dibawanya berjalan
ditengah alam yang gelap pekat. Maksudnya bukan aku
berlutut kepadanya, akan tetapi kepada diriku sendiri dan
bersarbah kepada orang aneh yang memiliki ilmu
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 5 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Pendekar Guntur 14
^