Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 8

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 8


pukulan sakti yang akan diajarkan."
Memperoleh pikiran demikian, segera ia berlut ut
benar-benar. Sumpahnya: "Aku Lingga W isnu, dengan ini bersumpah, kepada
diriku sendiri, kepada penilik ilmu sakti akan diajarkan
kepadaku, kepada bumi dan langit serta Tuhan serta
sekalian alam. Bahwasanya set elah aku mewarisi ilmu
sakti ini tidak akan kupergunakan untuk menghina orangorang yang bertabiat baik
dan mencelakai seorang t anpa
alasan. Apabila ternyata dikenudiap hari aku melanggar
janji ini, paman Aria Puguh boleh datang kepadaku,
untuk membunuh diriku."
Mendengar sumpah Lingga W isnu, Aria Puguh tertawa.
Ujarnya: "Bagus! Berdirilah tegak kembali dan dengarkanlah!
Tahukah engkau, ilmu sakti apakah yang hendak
kuajarkan kepadamu?"
"Pastilah ilmu sakti yang terelok di dunia ini!" jawab
Lingga W isnu dengan suara penuh semangat.
Sekali lagi Aria Puguh tertawa. Berkata:
"Inilah ilmu sakti Sapu Jagad! Esok pagi bisa kita mulai
..." Aria Puguh berkata esok pagi, akan tetapi tiba-tiba
tubuhnya melesat. Gerakan itu mengherankan dan
mengagumkan Lingga W isnu. Gurunya yang baru itu,
lenyap dari pengamatannya. Tatkala menoleh, gurunya
sudah berada di belakang punggungnya dan menepuk
pundaknya. "Kau t angkaplah aku!" seru gurunya.
Lingga W isnu telah memperoleh dasar-dasar ajaran
ilmu sakti Sardula Jenar dari ke empat gurunya,
W irupaksa, Kredana, Jabrik dan Putaksa. Kecuali dasar
pembawaannya baik, diapun seorang anak yang cerdik
dan cerdas luar bias. Maka begitu mendengar seruan Aria
Puguh, ia tidak segera memutar tubuhnya untuk
menangkap. Akan tetapi mengendapkan pundaknya
dahulu, kemudian baru tangan kirinya d igerakkan. Dan
tangan kanannya tiba-tiba menyusul menyambar sambil
mendengarkan kesiur angin gerakan tubuh gurunya.
Dan pada saat itulah, kedua tangannya tiba-tiba
menyamber ke arah kaki. "Bagus! Inilah cara menangkap yang tiada celanya
sama sekali!" seru gurunya. Namun sambaran yang
bagus itu tiada berhasil. Sebaliknya sekali lagi pundaknya
kena ditepuk. Lingga W isnu terkejut, secepat kilat ia
memutar tubuhnya, tetapi tubuh gurunya lagi-lagi luput
dari pengamatannya. Menghadapi kecepatan gerak gurunya itu, otak Lingga
W isnu yang cerdik lantas saja bekerja. Terinaatlah dia
ajaran-ajaran keempat gurunya yang pernah memberinya dasar-dasar rahasia ilmu sakti Sardula
Jenar. Sekarang, tidak lagi la memut ar tubuh atau
menyambar sasaran. Sebaliknya,
selangkah demi selangkah ia berjalan mengarah ke sebuah batu besar
set inggi gubuk. Begitu menghanpiri, segera ia memut ar
tubuhnya dengan dinding batu di belakang punggungnya. Kemudian berseru girangi
"Guru. Sekarang tak dapat lagi guru menyelinap
dibelakang punggungku. Aku dapat melihat gerakan
guru!" Inilah suatu kecerdikan yang mengagumkan Aria
Puguh. Dengan berdiri d i depan sebuah batu besar, tak
dapat lagi ia menyelinap di belakang punggung bocah
itu. Maka sambil t ertawa ia berkata :
"Bagus! Bagus sekali! Kau cerdik dan mempunyai
bakat besar! Dikemudian hari pastilah dapat engkau
mewarisi ilmu sakti Sardula Jenar dengan sempurna!"
Keesokan harinya, Aria Puguh mulai memberi pelajaran jurus-jurusnya. Dalam beberapa hari saja selesailah sudah, seratus
delapan jurus yang mempunyai tiga perubahan pada setiap gerakannya. Mengelak dan menyerang silih berganti, sehingga semua jurusnya berjumlah tiga ratus duapuluh empat.
Seperti diket ahui, Lingga W isnu memiliki ot ak yang
cerdas luar yang jarang terdapat di dunia. Baru saja
diajari tiga kali sudah dapat menghafal dan memahami
semuanya. Bahkan dengan perlahan lahan ia dapat pula
melakukan gerakan-gerakan jurus ilmu sakti Sapu Jagad
dengan tepat sekali. Menyaksikan hal itu, diam-diam Aria
Puguh bergembira bukan kepalang. Terus saja ia mulai
memecahkan intisari jurus-jurus yang sudah dipahaminya
itu. Pandai sekali Aria Puguh meresapkan ajarannya ke
dalam perbendaharaan muridnya. Sebaliknya, Lingga
W isnu yang mempunyai bekal otak cerdas luar biasa dan
bersungguh-sungguh, dengan
mudah saja dapat menangkap sernua keterangan dan penjelasan gurunya.
Inilah yang dinamakan suatu perjodohan. Gurunya rajin,
ulat dan telaten, sedangkan muridnya memiliki sorangat
penuh dan bersungguh sungguh. Pada setiap malam,
tigapuluh jurus dengan pecahan-pecahannya dan
perubahannya dapat dilampaui dengan cepat serta
sempurna. Apabila sedang berlatih, bocah tanggung itu
tidak mengingat waktu lagi. Tahu-tahu fajar hari telah
tiba. Pada pagi hari ke-empat, t atkala Aria Puguh berjalanjalan menghirup udara
segar, tiba-tiba ia melihat Lingga
W isnu masih saja asyik berlatih. Ia jadi kagum akan
kemajuan yang keras. Setelah memperhatikan selint asan,
ia menjadi heran, lantaran muridnya dapat melakukan
int i rahasia ilmu Sapu Jagad dengan sempurna. Padahal
ia baru saja mengajarkannya. Keruan saja ia bersyukur
dalam hati. Dengan berjingkit ia menghampiri muridnya.
Kemudian melompat dengan mendadak serta menghantam punggung muridnya.
Lingga W isnu kala itu sedang bertekun menyelidiki
jurus ke sembilan puluh delapan. Tiba t iba ia mendengar
kesiur angin tajam mengancam punggungnya. Cepat luar
biasa ia berputar tubuh sambil meloncat ke sarrping.
Tangan kanannya di tabalkan untuk menangkis
berkelebatnya kaki selagi menendang dirinya. Akan tetapi
begitu mengenali siapakah penyerangnya, segera ia
menarik t angkisannya. "Paman Puguh" seruhnya girang.
"Jangan berhenti! Hayo, serang terus!" sahut Aria
Puguh dengan tertawa. Ia mendahului menyerang
kepala. Dengan cepat Lingga W isnu mengelakkan diri. Kakinya
dimajukan selangkah, agak kesamping dan dari situ ia
mulai mengirimkan serangannya mengarah pinggang.
Inilah jurus ke sembilan puluh delapan.
"Bagus! Begitulah seharusnya!" puji Aria Puguh. Guru
ini segera menangkis dan kembali menyerang.
Lingga W isnu melayani serangan gurunya beberapa
jam lamanya. Seringkali ia salah langkah dan gurunya
segera membetulkan, sehingga ia jadi sangat bersyukur.
Semangat tempurnya makin lama makin menghebat.
Terus-menerus ia melayani gurunya, sehingga habislah
semua tiga ratus dua puluh arrpat jurus. Namun gurunya
enggan berhenti. Bahkan dia menyerang lagi dan
mengulang semua jurus-jurus pukulan sampai beberapa
kali. Dan Lingga W isnu sendiri seolah-olah memperoleh
suatu mustika yang tak ternilai harganya. Dengan tak
disadari sendiri ia telah menggenggam beberapa macam
rahasia pukulan ilmu sakti Sapu Jagad, yang belum
pernah diperolehnya dari keempat gurunya dahulu.
"Sekarang marilah kita beristirahat" ajak Aria Puguh
setelah melihat muridnya itu mandi ker ingat. Akan tetapi
selagi duduk beristirahat ia mulai memberikan berbagai
penjelasan penjelasan pent ing. Dan apabila melihat
muridnya sudah cukup beristirahat, kembali lagi ia
melatihnya dengan sungguh-sungguh.
Mereka berdua, guru dan murid, terus menerus
berlatih sampai tiba saat bersantap pagi hari. Kemudian
kembali mereka berlatih lagi sampai matahari condong ke
barat. Setelah makan siang, lagi-lagi mereka berdua
berlatih sampai jauh malam. Tegasnya, mereka berhenti
beristirahat apabila waktu makan tiba. Tak terasa, tujuh
hari lewatlah sudah. Pada malam hari kedelapan, Aria
Puguh berkata kepada Lingga W isnu :
"Anakku, apa yang kumiliki kini sudah kuberikan
kepadamu. Sekarang tinggal caramu sendiri meyakinkannya. Apabila menghadapi musuh, seseorang
akan mengandal pada tujuh bagian latihannya dan tiga
bagian pada kecerdasannya kalau kau hanya mengandal
kepada latihanmu saja akan sukarlah memperoleh
kemenangan. Sebaliknya apabila engkau hanya mengandal kepada kecerdasanmu belaka, hasilnya sama
pula. Engkau tidak akan berdaya, karena engkau
melupakan latihanmu. Kedua unsur itu harus saling
mengisi." Dengan bersungguh-sungguh Lingga W isnu merasukkan nasehat gurunya itu ke dalam perbendaharaan hatinya. Di kemudian hari ia dapat
membuktikan kebenaran pesan itu. Karena rajin berlatih
dan dibantu oleh kecerdasan otaknya, ia berhasil
melandaskan dendam orang tuanya yang mati tak
berliang kubur. "Esok pagi aku harus bergabung kepada Panglima
Sengkan Turunan kembali," kata Aria Puguh lagi. "Maka
semenjak malam in i engkau harus sanggup berlatih
seorang diri." Merah kedua mata Lingga W isnu yang mendengar
ucapan gurunya itu. Hampir-hampir saja tak sanggup ia
menahan linangan air matanya. Benar dia baru
berkumpul beberapa hari saja, akan tetapi sepak terjang
gurunya itu sangat menawan hatinya. Dia seorang yang
manis budi mengajarnya dengan sungguh-sungguh.
Aria Puguh sebenarnya seorang peperangan yang
ulung. Seringkali ia melihat berbagai peristiwa yang
menggoncangkan hatinya. W alaupun demikian, melihat
muridnya itu mendadak menundukkan kepalanya,
hatinya tak urung menjadi terharu juga. Terus saja ia
mengusap-usap rambut bocah itu. Katanya dengan suara
membujuk: "Lingga, jarang sekali aku bertemu dengan seorang
yang berbakat dan cerdik sebagai engkau. Hanya sayang
sekali, kita berdua t idak di perkenankan berkumpul lebih
lama lagi." "Bagaimana kalau aku ikut paman saja, bergabung
dengan Panglima Sengkan Turunan?" Lingga W isnu
mencoba. "Engkau masih begini keci , Lingga. Belum bisa
engkau hidup di dalam kancah peperangan." sahut Aria
Puguh, Lingga W isnu hendak menjawab ucapan gurunya itu.
Mendadak terdengar suara teriakan kaget yang sangat
riuh. Bulu kuduknya lantas saja meremang dengan tak
dikehendakinya sendiri! Dan bersama gurunya, ia lari
mendaki tanjakan. Begitu melihat apa yang terjadi
dibawah gunung, mereka berdua kaget bukan kepalang.
Seluruh gunung menjadi terang benderang oleh nyala
api yang datangnya dari bawah. Lalu nampaklah
berbagai senjata berkilauan. Itulah gabungan tentara


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belanda dan laskar Kasunanan, yang dengan tiba-tiba
saja t elah mengurung puncak gunung Merbabu.
Pendekar-pendekar gagah yang bergabung dalam
laskar perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas
Said, baru saja bubar. Yang masih berada di atas gunung
tidak begitu besar jumlahnya. Inilah suatu masalah yang
menyulitkan! Merekapun tidak berjaga-jaga atau memperoleh berita terlebih dahulu tentang sergapan
tentara Belanda dan laskar Kasunanan itu. Hal itu
disebabkan lantaran penjaga-penjaga yang berada di
gardu-gardu penjagaan telah terbunuh semuanya.
Dengan demikian, tiada seodangpun diant ara mereka
yang dapat memberi t anda bahaya.
Lingga W isnu sendiri kala itu sedih bukan main,
lantaran harus berpisah dengan keempat gurunya yang
pernah mendidiknya dengan sungguh-sungguh. Inilah
perpisahan yang amat menyakitkan hatinya. Perpisahan
yang tiada kata-kata selamat jalan atau selamat
berpisah, lantaran di paksa oleh keadaan. Apa yang
dapat dilakukannya hanyalah membungkuk hormat
beberapa kali t erhadap mereka. Katanya tersekat-sekat :
"Paman Kardana, paman Jabrik, paman Putaksa.
Sampaikan hormatku kepada paman W irupaksa yang ...
aku ... " Tak dapat Lingga W isnu menyelesaikan katakatanya. Tenggorokannya
seakan akan tersumbat. Tatkala ia mencoba menguasai diri, Pangeran Natayuda
telah mendahului. Kata Pangeran Natayuda :
"Adikku, jangan engkau berpisah dari gurumu, Aria
Puguh. Kau dengarkan setiap perkataannya."
Lingga W isnu masih berkutat dengan perasaan sendiri.
Untuk menjawab kata-kata Pangeran Natayuda, ia hanya
dapat memanggut. Dalam pada itu, suara berisik
ditengah gunung terdengar semakin hebat. Itulah suatu
tanda bahwa tentara Belanda dan laskar Kasunanan
sudah mulai mendaki bukit yang berada di depan.
"Mari!" ajak Jabrik. "Saudara Aria Puguh, kau
berangkatlah sebentar lagi, set elah kita berhasil
menyesatkan musuh." Mereka senua lantas mulai bekerja. Jabrik melihat Aria
Puguh tidak bersenjata, maka cepat cepat ia
melemparkan goloknya kepadanya sambil berkata
setengah berseru : "Saudara Aria Puguh, sambutlah ini!"
"Aku tidak membutuhkan senjata apapun!" sahut Aria
Puguh. Ia menyambar golok Jabrik selagi golok itu
sedang melayang di udara. Tatkala hendak dikembalikan
kepada pemiliknya, Jabrik sudah lari jauh, sehingga ia
membatalkan niatnya. "Mari!" katanya kepada Lingga W isnu. Dengan
membawa golok ditangan kanannyaa, ia menarik lengan
Lingga W isnu dengan tangan kirinya. Kemudian
dibawanya lari mengarah utara.
Dengan berlari-larian, mereka berdua mengitari
belakang pasanggrahan. Dari sana cahaya api nampak
terang benderang. Dan diant ara nyala api itu, nampak
tentara Belanda dan laskar Kasunanan mendaki puncak
gunung berlapis lapis. Entah berapa jumlahnya.
Merekapun mulai menembakkan senjata apinya. Ada pula
diant ara mereka yang melepaskan anak panah bagaikan
hujan. Menyaksikan hal itu, Aria Puguh merandek kemudian
ia balik memasuki dapur dan muncul kembali dengan
membawa dua buah wajan. "Inilah tamengmu!" katanya kepada Lingga W isnu
sambil menyerahkan sebuah wajah kepadanya. "Mari!"
Dengan berlompatan, mereka berdua memasuki kabut
gelap. Dan pada saat itu terdengarlah teriakan serdaduserdadu Belanda dan laskar
Kasunanan sambung menyambung : "Kejar! Kejar!"
Dan laskar Kasunanan serta serdadu-serdadu Belanda
itu berserabutan mengejar mereka berdua sambil
memanah dan menembakkan senjata api.
Atela Puguh berjalan dibelakang. Dengan perisai
bajanya yang istimewa ia menangkis set iap anak panah
dan senjata api tentara Belanda yang menghujani
mereka. Di tengah kesibukan itu tameng istimewanya
menerbitkan suara berisik membisingkan telinga. Lingga
W isnu sendiri seperti mengerti akan tugasnya sebagai
pembuka jalan. Ia maju dengan bersenjata tombak
pendek. Tatkala kena pegat serdadu-serdadu yang
sedang merangkaki t ebing, terus saja ia menyerang. Dan
belasan serdadu kena dirobohkan dengan gampang.
Akan t etapi tombak pendek itu merupakan senjata yang
tidak tepat baginya. Gerakannya tidak begitu leluasa.
Itulah sebabnya, setelah kena keroyok serdadu dan
laskar Kasunanan lainnya, ia hanya dapat melindungi diri.
Tak lama kemudian sampailah mereka dipinggang
gunung. Baru saja mereka melepaskan napas lega,
terdengar suara riuh lagi. Pasukan serdadu Belanda yang
dipimpin oleh seorang perwira tiba-tiba saja menerjang
dari samp ing. Perwira itu rupanya bermaksud hendak
menangkap Aria Puguh dan Lingga W isnu hidup-hidup.
Itulah sebabnya ia melarang serdadu-serdadunya
melepaskan peluru. Sebaliknya, dengan pedang panjang
di tangan ia memimpin pasukannya mengepung rapat
rapat. Aria Puguh menangkis sebatang pedang perwira
itu. Dalam satu bentrokan ia mengetahui bahw a perwira
itu bertenaga besar. Maka dengan sebat ia membalas
menyerang. "Maju" Perwira itu memberi aba-aba kepada
serdadunya. Tak sudi Aria Puguh melayani perwira itu lama-lama.
Dengan melindungan tameng istimewanya ia mengancam perwira itu dengan golok pemberian Jabrik.
Ia menikam samb il membentak. Dan celakalah perwira
itu. Tulang iganya kena tusuk sehingga ia berteriak
kesakitan. Sewaktu Aria Puguh mencabut senjatanya, ia
menoleh. Ternyata Lingga W isnu tak terlihat lagi. Bukan
main terkejutnya. Dengan pandang beringas ia
mengembarakan pandangnya. Di sebelah kirinya ia
melihat kerumun serdadu-serdadu sambil berteriak-teriak
kalap. Segera ia melompat dan menerjang. Dan kena
terjangannya, beberapa serdadu mundur dan menyibakkan diri dengan menderita luka-luka parah.
Ternyata Lingga W isnu dikepung oleh t iga orang serdadu
yang bersenjata pedang panjang. Tombak pendeknya
sudah terlepas dari tangannya. Ia melawan dengan
jurus-jurus ilmu sakti Sardula Jemar dengan tangan
kosong. Meskipun terdesak, namun masih bisa ia
mempertahankan kedudukannya. Menyaksikan hal itu,
tanpa bersuara lagi Aria Puguh melompat menerjang.
Seorang serdadu roboh terjungkal dan menyusul yang
kedua. Dengan demikian tertolonglah Lingga W isnu.
"Mari!" ajak Aria Puguh. Dan sambil menarik tangan
Lingga W isnu, ia menyibakkan beberapa serdadu yang
masih menghadang di depannya.
"Kejar!" seru beberapa serdadu. Dan mereka lantas
saja mengejar beramai-ramai sairb il berteriak sambungmenyambung.
Mendengar teriakan sambung-menyambung itu sepasukan serdadu yang berada di sebelah kiri turun
menerjang. Aria Puguh membalikkan tubuh, dan
menikam. Dua serdadu roboh tertikam dengan sekaligus.
Kemudian ia menerjang yang ketiga yang mencoba
merangsak dari depan. Serdadu itu menjerit tinggi.
Menyaksikan hal itu, serdadu-serdadu lainnya yang
sedianya hendak menerjang bersama-sama, tak berani
mendesak lebih jauh. Mereka merandek seperti patungpatung tak bernyawa. Tentu
saja hal itu merupakan kesempatan yang bagus sekali bagi Aria Puguh. Cepat
cepat ia menyambar Lingga W isnu dan kemudian
didukungnya. Dengan menggunakan ilmu saktinya, ia
kabur sepesat angin. Setelah dua ratus meter
meninggalkan lawan, barulah ia menurunkan muridnya
itu di atas tanah. "Apakah engkau terluka?"
Aria Puguh mint a keterangan. Lingga W isnu mengusap mukanya. Tangannya
menyentuh barang bergernyik. Buru-buru ia memeriksa
tangannya dalam cahaya bulan remang-remang. Dan ia
melihat cairan merah. Itulah darah segar. Keruan ia
terkejut, hatinya tercekat pula tatkala melihat wajah
gurunya berlepotan darah. Gugup ia berseru :
"Paman! Darah ... darah ...!"
"T idak apa. Inilah darah serdadu serdadu yang kena
tikamanku," sahut Aria Puguh. "Kau terluka atau tidak?"
"T idak," jawab Lingga W isnu.
"Bagus," Aria Puguh bersyukur. Terus saja menggandeng Lingga W isnu seraya berkata :
"Mari, kita harus pergi
secepatnya!" Mereka lantas menyelusup diantara pepohonan, menghindari bahaya. Setelah berjalan kira-kira setengah jam lamanya, sampailah mereka
di suatu lembah yang sama
sekali tiada pohonnya. Tatkala Aria Puguh melongok ke bawah, nampak cahaya terang di beberapa tempat. Puluhan serdadu berjalan mondarmandir dengan menyandang
senjata. Keruan saja hatinya terkejut bukan main. Tak terasa ia berseru
tertahan : "Akh! Tak dapat kita lewat di situ. Kita harus
mengambil jalan lain. Di sin i pun tiada semak belukar
untuk berlindung." Dengan t etap membimbing t angan Lingga W isnu, Aria
Puguh membelok ke kanan. Berjalan kira kira tiga ratus
meter sampailah dia di depan sebuah goa buntu yang
panjangnya hanya dua meter. Goa itu tertutup oleh
seriak belukar. Karena tiada p ilihan lain, Aria Puguh
membawah masuk Lingga W isnu ke dalam goa itu untuk
bersembunyi dan melihat keadaan.
Lingga W isnu merasa sangat lelah. Meskipun
semenjak kanak-kanak hidup selalu dikejar-kejar oleh
musuh-musuh ayah-bundanya, akan tetapi baru pada
malam itulah dia bertempur secara berhadap-hadapan.
Maka begitu merebahkan diri, ia lantas tertidur nyenyak.
Aria Puguh segera mengangkat tubuhnya dan dipeluknya
serta dipangkunya. Setelah itu ia menajamkan pendengarannya agar dapat mengikuti perkembangan
keadaan medan perang. Di luar goa, suara riuh rendah
belum juga berhenti. Kemudian ia mendengar suara
gemerotok keras. Dan udara tiba-tiba menjadi terang
benderang oleh nyala api. Tahulah dia, bahw a
perkemahan yang didirikan oleh himpunan laskar
perjuangan di atas gunung Merbabu, telah dibakar
musna oleh tentara-tentara penyerbu. Hatinya panas
bukan main. Satu atau dua jam kemudian, terdengarlah suara
terompet mengalun di udara. Itulah suatu tanda bahwa
komandan tentara Belanda memanggil laskar-laskarnya
agar berkumpul dan turun gunung. Hati Aria Puguh
lantas saja berdebar-debar. Pendengarannya yang tajam
segera menangkap langkah-langkah

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki mereka berderapan. Hatinya mengeluh dengan sendirinya.
Betapa tidak" Ia mendengar langkah-langkah serdadu penyerbu
semakin mendekati goa persembunyiannya sehingga
hatinya cemas bukan kepalang. Kalau sampai serdaduserdadu itu menemukan goa
persembunyiannya ... entah
apa jadinya. 0dw0 Tiba-tiba terdengarlah seseorang duduk di luar goa.
Untunglah goa persembunyiannya teraling gerombol
semak-belukar, sehingga orang itu tidak melihat dirinya.
Dengan menggengam senjata pemberian Jabrik erat-erat
dan tangan kirinya menekap mulut Lingga W isnu, ia
bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia terpaksa
menekap mulut Lingga W isnu lantaran khawatir bocah itu
terkejut dan berteriak. Beberapa saat lamanya tiada terdengar sesuatu.
kecuali langkah-langkah sibuk. Lalu tiba-tiba terdengar
seseorang membentak : "Bawa ke mari anjing itu!"
Kemudian terdengar beberapa orang menyeret
seseorang berjalan ayal-ayalan. Pastilah itu seorang
tawanan yang diseret beberapa serdadu secara paksa.
"Menurut penglihatan salah seorang pembantu kita,
engkau menyerahkan senjatamu kepada seseorang.
Siapa dia" Dan siapa pula bocah tanggung itu?"
Itulah bentakan seseorang yang memberi perint ah
kepada beberapa serdadu membawa tawanannya.
Suaranya nyaring bagaikan genta pecah.
Dan oleh suara nyaring itu, Lingga Wisnu benar-benar
tersadar dari tidurnya. Syukur jauh-jauh sebelumnya Aria
Puguh telah menekap mulutnya. Maka begitu melihat
Lingga W isnu tersadar dari t idurnya, segera ia membisiki:
"Diam ..." Dalam pada itu orang yang memiliki suara nyaring luar
biasa t adi, terdengar membentaknya lagi :
"Kau mau bilang apa tidak" Kalau engkau tetap
membandel, kukutungi sebelah kakimu terlebih dahulu!"
"Jika engkau hendak mengutungi kakiku, lakukanlah!"
tantang seorang dengan suara tajam. "Aku, Jabrik,
masakan takut kau kutungi" Meskipun kau kutungi kedua
kaki dan tanganku, aku tidak akan merint ih atau
menyesal. Kau boleh mengutungi kepalaku sekali! Huh!"
Mendengar suara Jabrik, Lingga W isnu jadi terkejut.
Serunya tertahan : "Paman Jabrik ...!"
"Ssstti Jangan bergerak!" bisik Aria Puguh.
"Jadi benar-benar engkau tak sudi mamberi keterangan" Baiklah!" lagi-lagi orang yang bersuara
nyaring t adi membentak. "Cah!" terdengar jawaban Jabrik. Dari dalam goa,
Lingga W isnu dapat membayangkan bahwa gurunya
tentulah meludahi orang itu. T iba-tiba ia terkejut t atkala
mendengar erang gurunya: "Aduh!"
Suara orang itu disusul dengan suara terbantingnya
benda berat. Rupanya sebelah kakinya benar-benar
dikutungi. Karena itu Lingga W isnu tak dapat Biguasai
diri lagi. Ia merengut dari tekapan tangan Aria Puguh.
"Paman Jabrik!" Lingga W isnu memekik sambil terus
menerjang ke luar goa Begitu keluar dari mulut goa, ia melihat seseorang
mengayunkan goloknya ke arah tanah. Di antara cahaya
api, ia melihat seseorang rebah menggeletak berlumuran
darah. Itulah gurunya, Jabrik!
Dengan rasa gusar bukan kepalang, ia menerjang
dengan salah satu jurus ilmu saktinya Sardulo Jenar yang
mengandung ancaman maut. Orang yang sedang mengayunkan goloknya itu
memekik tinggi, begitu kena pukulan Lingga W isnu.
Matanya berkunang-kunang dan mundur sempoyongan
dengan tak dikehendaki sendiri. Selagi demikian,
lengannya pun terasa sakit. Sedang goloknya kena
terampas. Lingga W isnu tidak kepalang tanggung. Setelah
berhasil menghant am orang itu dan merampas
senjatanya, ia membacoknya pula. Meskipun belum
memiliki h impunan tenaga sakti, akan tetapi tenaga
jasman inya sudah cukup membuat somplak pundak
serdadu itu. Saking sakitnya, orang itu menjerit tinggi
dan jatuh terkapar di atas tanah tak sadarkan diri.
Sebenarnya di depan goa terdapat beberapa serdadu
yang bersikap mengurung tawanannya. Namun peristiwa
itu terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba. Lantaran
kaget, mereka jadi tertegun saja. Dan setelah melihat
kawannya jatuh terkapar, barulah mereka tersadar.
Serentak mereka menerjang, sambil berteriak-teriak.
Lingga W isnu tidak gentar. Dengan golok rampasannya, ia menyerang dan membela diri. Sewaktu
berada dalam bahaya, tiba-tiba meloncatlah seseorang
dari dalam goa, dengan membawa senjata rant ai
berkilauan. Ternyata rant ai itu terbuat dari perak murni.
Begitu digerakkan di udara remang-remang, lantas saja
berkeredepan menyilaukan mata. Dialah Aria Puguh,
yang meloncat keluar goa untuk melindungi Lingga
W isnu dan dengan sekali menggerakkan senjata
rant ainya, beberapa serdadu menjerit kesakitan. Senjata
mereka terpental ke udara.
Keruan saja serdadu-serdadu itu kaget bukan
kepalang. Beberapa orang yang masih berada d i luar
gelanggang, lantas saja berseru seru mengabarkan tanda
bahaya. Sigap luar b iasa Aria Puguh menyambar Lingga
W isnu dan dibawanya lari turun gunung. Dan pada saat
itu mereka berdua dihujani anak panah serta tembakan
senjata api. Tiba-tiba diant ara serdadu-serdadu yang kalang kabut
itu, muncullah empat orang yang gerakannya sangat
gesit. Dengan sekali melihat, tahulah Aria Puguh bahwa
mereka berempat memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
Seorang diant ara mereka memasang gendewanya dan
melepaskan anak panah. Aria Puguh kala itu lari sambil mengempit Lingga
W isnu. Ia berlompatan ke sana ke mari untuk
menghindari sambaran anak panah dan mesiu senjata
berapi. Tatkala mendengar kesiur angin tajam mengancam tengkuknya, cepat-cepat ia mengendapkan
diri. Dan t iga batang anak panah lewat di atas kepalanya
dengan bersuling nyaring.
Tetapi justeru karena mengendapkan diri, langkah Aria
Puguh menjadi terhenti. Pada saat itu, seorang diantara
ke tiga musuh yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi
melepaskan tiga anak panah lagi. Ketiga anak panah itu
mempunyai arah bidikan yang berbeda-beda. Yang
pertama mengarah kepada Lingga W isnu. Yang kedua
mengarah Aria Puguh dan yang ketiga menjaga gerak
larinya. Melihat ancaman bahaya itu, Aria Puguh
memutar senjata rantainya. Dan ketiga panah itu runtuh
di tanah dengan sekali kebasan.
"Paman! Biar aku turun saja!" seru Lingga W isnu
dengan semangat tempur yang menyala.
Aria Puguh menurunkan Lingga W isnu sambil berkata:
"Kamu lari dulu!"
Mereka berdua telah terpisah agak jauh dari tentara
Belanda dan laskar Kasuhunan. Akan tetapi keempat
orang yang masih mengejarnya seolah-olah bayangannya
sendiri. Dengan cepat mereka telah tiba dihadapannya.
"Sahabat! Letakkan senjatamu!" salah seorang
diant ara mereka berseru. "Kau serahkan dirimu! Kami
berjanji akan memperlakukan dirimu baik-baik!"
Hati Aria Puguh mendadak menjadi sebal ketika
mendengar suara orang itu. Ia menjadi mendongkol.
Sambil lari ia memindahkan senjata di tangan kirinya,
kemudian ia menpersiapkan senjata sumpitannya yang
terbuat dari paku-paku berujung tajam. Ia menunggu
sampai orang itu datang dekat. Dan dengan t iba-tiba ia
melepaskan senjata bidiknya t iga batang sekaligus.
Orang yang mengumbar suaranya tadi sama sekali
tidak menduga bahwa Aria Puguh memiliki senjata bidik
istimewa. Tatkala melihat berklebatnya tiga batang paku,
ia kaget setengah mati. Tanpa ampun lagi ia roboh
terjengkang. Kedua paha orang itu tertancap sebatang paku,
sedang tangan kanannya dapat hadiah sebatang paku
pula. Sebaliknya, ketiga kawannya tidak memperdulikan
ancaman bahaya. Mereka mengejar terus seperti saling
berlomba. Melihat datangnya ketiga orang itu yang semakin lama
makin dekat, Aria Puguh berkata kepada Lingga W isnu
seperti sedang bergurau: "Anakku, sepasang golok orang itu tepat sekali untuk
dirimu. Biarlah kurampasnya sekali unt ukmu i"
Setelah berkata demikian, Aria Puguh memindahkan
senjata rantainya ke tangan kanannya kembali, kemudian
melompat maju menghampiri salah satu musuhnya yang
bersenjata sepasang golok. Terang sekali maksudnya, ia
hendak membuktikan ucapannya. Akan tetapi orang itu
ternyata bukan lawan lemah. Ia mendahului menyerang
berulangkali. Unt uk beberapa waktu lamanya, Aria Puguh
belum berhasil mencapai maksudnya.
Selagi Aria Puguh berkutat dengan orang itu, kedua
musuhnya menghampiri Lingga W isnu. Masing-masing
bersenjata sebatang pedang panjang dan ruyung besi.
Inilah bahaya bagi Lingga W isnu, karena dia tidak
bersenjata sama sekali. Golok rampasannya tadi
tertancap pada pundak orang yang orang yang hendak
membunuh gurunya, Jabrik. Maka dengan tangan kosong
ia mencoba membela diri. Aria Puguh menjadi mendongkol dan kebat- kebit.
Sadarlah d ia, bahw a dirinya tidak boleh terlibat terus
menerus oleh napsunya hendak merampas sepasang
golok lawan. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil
memutar tubuhnya. Senjata rant ainya diayunkan dan
menghantam orang di dekat Lingga W isnu yang
bersenjata ruyung. Maka terdengarlah suara "Prak!"
Kena pukulan senjata rant ai Aria Puguh, orang yang
bersenjata ruyung itu terhuyung mundur. Justeru pada
saat itu Lingga W isnu sedang mengayunkan kakinya.
Tepat sekali tendangannya sehingga meskipun tidak
sampai mengeluarkan darah, orang itu terguling di atas
tanah dengan memaki-maki kalang-kabut.
Kejadian itu membangkitkan rasa amarah orang
ketiga. Dengan sebatang pedang ditangan ia menerjang
dan menabas, sementara secepat kilat Aria Puguh
melompat dan menangkap pergelangan tangannya.
Kedua orang itu lantas berkutat mengadu tenaga.
Pada saat Aria Puguh berkutat mengadu tenaga
dengan orang yang bersenjata pedang itu, yang
bersenjata sepasang golok dan ruyung datang mengeroyok. Mereka menyerang dari sebelah belakang.
Juga orang yang tadi roboh kena paku Aria Puguh, kini
juga dapat bangun pula. Dengan masih menggenggam
tombak panjang ia maju tertatih-tatih, kemudian
menikam. Akan tetapi sasarannya adalah Lingga Wisnu.
Inilah saat-saat berbahaya bagi Aria Puguh dan Lingga
W isnu. Meskipun demikian Aria Puguh tidak menjadi
bingung atau berputus asa. Sambil berseru nyaring, ia
menghajar orang yang bersenjata ruyung. Kena
pukulannya, orang itu roboh terjengkang. Begitu hebat
cara robohnya sehingga ia menubruk kawan sendiri yang
sedang berjalan t ertatih-tatih sambil menggenggam tombak panjang hendak menikam
Lingga W isnu. Karena tadi
sudah menderita luka, tak dapat ia mempertahankan diri
tatkala kena tubruk kawannya. Dengan demikian ia ikut
terguling pula diatas tanah. Masih syukur, mereka tidak
sampai saling menikam. Dengan cepat Aria FUguh melompat merampas
ruyung. Kemudian dengan ruyung ini ia menangkis
sepasang golok yang menyambar dirinya. Setelah itu ia
menarik tangan Lingga Wisnu dan diajaknya lari secepat
mungkin. Ia tak sudi terlibat terus menerus lantaran
serdadu Belanda dan laskar Kasuhunan sudah mulai
bergerak mendekati. Sekarang keempat lawannya tidak berani melawan
lagi. Mereka mulai sadar, bahw a lawannya itu bukan
lawan sembarangan. Namun membiarkan buruannya
lolos dengan begitu saja, sudah barang t entu mereka tak
rela. Seperti berjanji, mereka lantas saja melepaskan
senjata jarak jauh. Itulah senjata sumpitan yang
bentuknya seperti panah-panah kecil.
Sambil melindungi Lingga W isnu, Aria Puguh
menangkis sambaran senjata bidik dengan ruyung dan
rant ainya. Kadangkala ia melompat atau mengelak


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menyingkirkan Lingga W isnu dari berbagai
serangan yang saling menyusul. Namun karena harus
melindungi Lingga W isnu, gerakannya tidak segesit
biasanya. Satu kali ia harus menarik Lingga W isnu kedadanya
terlebih dahulu, untuk menangkis sambaran senjata
bidik. Kali ini ia terlambat. Tiga batang anak panah
meraung membuntutinya. Dua anak panah bisa
dielakkan. Akan tetapi yang ketiga mengenai jitu paha
kirinya. Dia terkejut, sebab mula-mula tiada terasa sakit
sama sekali! Mendadak lama-lama menjadi gatal.
Tahulah dia bahw a anak panah itu mengandung racun
jahat. Segera ia mengerahkan tenaganya untuk berlari
lebih kencang lagi. Tetapi justeru demikian racun yang
merayap di dalam dirinya bekerja kian merunyam.
Kakinya lantas saja terasa kaku, sehingga t ak dapat lagi
dilangkahkan. Malahan beberapa saat kemudian ia roboh
terguling. "Paman!" Lingga W isnu berteriak lantaran kaget bukan
main. Hampir saja ia terguling pula.
Ditengah keremangan malam, keempat penyerangnya
samar-samar melihat robohnya Aria Puguh. Begitu
mendengar teriakan Lingga W isnu, mereka bertambah
yakin. Lant as saja mereka berlomba untuk mengejar.
"Lingga!" seru Aria Puguh "Lari! Cepat! Aku akan
menahan mereka!" Lingga W isnu kenyang pengalaman pahit. Melihat
gurunya roboh, ia seperti teringat akan nasib ayahbundanya sendiri. Maka t anpa
perdulikan bahaya, segera
ia melompat ke samping gurunya dan bersikap hendak
melindungi. "Lingga! Dengan kepandaianrnu ini, sanggupkah
engkau melindungi diriku?" kata Aria Puguh terharu, ia
tahu muridnya itu sangat cerdas.
Akan tetapi sama sekali tak mengira bahwa ia berbakti
pula meskipun baru bergaul selama delapan hari saja.
Dalam pada itu keempat penyerangnya sudah datang
semakin dekat. Mereka semua bersenjata dan bermaksud
hendak menawan buruannya hidup-hidup. Yang membawa sepasang golok dan sebatang pedang panjang
memutar ke sebelah belakang dari Lingga W isnu, dan
menerjang berbareng. Yang di arah adalah betis kanan.
Lingga W isnu menjadi terkejut ketika melihat serangan
itu. Ia mengelak dengan melompat. Sudah barang tentu
Aria Puguh tak sudi tinggal diam. Meskipun kaki kirinya
tidak dapat digerakkan, akan tetapi ia memaksa diri
berbangkit. Tadi ia berhasil merampas ruyung besi. Maka tanpa
berpikir panjang lagi ia segera menimpukkannya kepada
orang yang bersenjata sepasang golok. Orang itu kaget
bukan kepalang sampai ia tak sempat mengelakkan diri.
Kepalanya terhantam ruyung itu. Dan pada saat itu pula
Aria Puguh melesat menubruk lehernya. Krak! Dan orang
itu terguling roboh, tak bernapas lagi.
Inilah peristiwa hebat bagi ketiga lawannya. Orang
yang bersenjata pedang panjang lantas saja memut ar
tubuhnya dan lari terbirit-birit. Sedang kedua kawannya
segera menyusul pula. Apalagi yang seorang telah
terluka pundaknya semenjak tadi.
Aria Puguh sendiri nyaris kehilangan tenaga. Darahnya
mengucur tiada hentinya. Kaki kanannya beku tak dapat
digerakkan lagi. Namun tak sudi ia menyerah dengan
keadaan itu. Dengan menguatkan hati ia mengumpulkan
sisa-sisa tenaganya. Kemudian dengan bantuan ruyung
rampasannya ia mencoba bangkit. Ia sadar, bahwa
ketiga musuhnya tadi lari untuk kembali lagi dengan
membawa bala bant uan. Kesempatan untuk melarikan
diri hanya sedikit saja. "Mari!" ia berkata mengajak.
Dengan menyeret kakinya ia berjalan se langkah demi
selangkah, dengan bantuan ruyung rampasannya. Lingga
W isnu berjalan di sebelah kanannya. Ia memasang
pundaknya untuk memeluk lengan gurunya dan
membiarkan dirinya digelendoti. Dengan demikian
perjalanan agak lancar juga.
Akan tetapi setelah berjalan beberapa ratus meter,
keadaan Aria Puguh bertambah hebat. Rasa beku yang
memendam sebelah kakinya tadi perlahan-lahan naik ke
tangan. Dan tiba-tiba saja tangan itu kehilangan tenaga.
Ia tahu, itulah racun jahat yang sedang bekerja. Segera
ia memindahkan ruyung rampasannya ke t angan kiri dan
melanjutkan berjalan sedapat-dapatnya. Sedangkan
Lingga W isnu tak mengerti tentang bekerjanya racun
jahat itu. Yang dirasakan, Aria Puguh menggelendot
makin berat. Meskipun ia mandi keringat, namun tetap
membungkam mulut . Tetapi setelah berjalan dua tiga
kitametdt lagi, rasa lelahnya tak tertahankan lagi.
"Paman, didpan nampak sebuah rumah. Mari kita
beristirahat di sana," katanya sambil menuding ke depan.
"Bukankah kita bisa bersembunyi di rumah itu?"
Aria Puguh msmanggut sambil mengumpulkan sisa
tenagnya. Begitu tiba di depan pintu, habislah
tenaganya. Ia roboh terkulai. Lingga isnu mencoba
menahannya, akan tetapi gagal. Ia menjadi sangat
terkejut. "Paman!" ia memekik. Gugup ia membungkuk hendak
membangkitkan. "Paman, bagaimana?"
Hampir bersamaan dengan waktu itu, terbukalah pint u
rumah. Dan seorang perempuan berusia pertengahan
muncul di ambang pintu. Melihat munculnya perempuan
itu, Lingga W isnu lantas saja berkata mengadu :
"Bibi! Kami di kejar-kejar t entara Belanda. Pamanku ini
terluka. Bolehkah kami menumpang satu malam saja di
sin i?" Perempuan itu seorang petani. Ternyata ia murah hati.
Segera ia memanggut dan memanggil seorang anak
tanggung kira-kra berusia delapan atau sembilan belas
tahun untuk membantu menggotong Aria Puguh masuk.
Kemudian ia direbahkan di atas dipan panjang yang
terbuat dari bambu. Aria Puguh sebenarnya luka parah. Akan tetapi karena
tangguh dan memiliki h impunan tenaga sakti kuat, ia
tidak pingsan atau kalut pikirannya. Meskipun kaki dan
tangannya beku sebelah, dengan tenang-tenang saja ia
mint a kepada Lingga W isnu agar mengambil pelita yang
menyala di dinding. Dan dengan penerangan pelita itu ia
memeriksa lukanya. Mereka yang melihat luka t erkejut, karena kaki k irinya
tidak hanya bengkak saja tetapi pun nampak matang biru
dan bergenik. Kesannya mengerikan. Tiba-tiba saja
tatkala Lingga W isnu melihat luka itu, terbanglah
ingatannya kepada mimpinya yang ajaib. Ia seperti
pernah melihat luka demikian dan pernah pula
mempelajari cara pengobatannya. Dan oleh ingatan itu
terus saja ia menerkam pundak Aria Puguh.
"Paman! Luka dipundakrnu harus kubalut dahulu!"
katanya. Segera ia merobek lengan bajunya dan menggunakannya sebagai pembalut . Mula-mula ia
membalut pundak Aria Puguh keras kencang. Setelah itu
ia membalut paha untuk mencegah menjalarnya racun
jahat ke jantung. Apabila telah dikerjakan dengan rapih,
dengan hati-hati ia mencabut senjata sumpitan beracun
yang masih menancap pada paha. Begitu tercabut darah
hitam meleleh keluar. Melihat darah hitam itu, Aria Puguh menundukkan
kepala. Ia bermaksud hendak menghisap darah hitam itu
dari lukanya. Akan tetapi mulut nya tak sampai. Lingga
W isnu lantas saja melakukannya menggantikan. Ia
menghisap berulang-ulang dan memuntahkannya di atas
tanah: Setelah menyedot dan menghisap kira-kira empat
puluh kali, barulah luka itu mengalirkan darah merah.
Aria Puguh menghela napas lega. Katanya dengan
suara haru: "Alhamdulillah. Ternyata bukan racun yang sangat
berbahaya. Lingga, kau kumurlah cepat-cepat."
Perempuan petani milik rumah itu semenjak tadi
berdoa dengan maksud menolong meringankan penderitaan Aria Puguh. Dan mendengar ucapan Aria
Puguh, ia girang bukan kepalang. Dan untuk menyatakan
rasa syukurnya, ia berdoa panjang pendek dengan giat
sekali. Keesokan harinya, pemuda t anggung itu keluar rumah
untuk melihat keadaan gunung. Lewat tengah hari ia
datang dan melaporkan bahwa tentara Belanda tiada
nampak seorangpun lagi. Berita itu melegakan hati
Lingga W isnu. Akan tetapi melihat keadaan Aria Puguh
yang mengkhawatirkan, ia menjadi gelisah. Benar,
bengkaknya mulai kempes, tetapi suhu badannya naik
tinggi sehingga seringkali mengigau.
Dua tahun lebih Lingga W isnu berada di samp ing
Palupi. Banyak pula pengetahuannya tentang obatobatan. Apalagi d ia pernah
bermimpi ajaib bertemu dengan Ki Sarapada. Meskipun demikian, ia tak dapat
berbuat sesuatu, malahan ia nampak menjadi bingung.
Hal itu disebabkan karena untuk pertama kali itulah ia
merawat orang sakit. "Denmas *)," kata perempuan petani pemilik rumah.
"Racun yang berada di dalam tubuh pamanmu agaknya
belum terkuras habis. Apakah denmas mempunyai daya
upaya untuk menanggulanginya?"
Lingga W isnu mengerutkan dahinya. Sebenarnya,
dengan ilmu pengetahuannya dapat ia menolong Aria
Puguh dengan segera. Akan tetapi, di atas gunung,
dapatkah ia menemukan ramuan obat-obatan yang
diperlukan" Karena itu oleh pertanyaan pemilik rumah, ia
jadi pepat. Sahut asal jadi saja :
"Apakah dusun ini dekat dengan kota yang menjual
ramuan-ramuan obat?"
"Limabelas pal dari sini terdapat sebuah kota. Mungkin
sekali di kota itu denmas bisa bertemu dengan seorang
tabib pandai pula." Jingga W isnu menghela napas. Mengingat saran itu
sangat baik, segera ia berkata memutuskan :
"Baiklah. Aku akan pergi ke kota."
Pemilik rumah itu ternyata seorang petani yang benarbenar baik hati. Ia meminjam
gerobak berikut kerbaunya
dari tetangga sebelah kemudian disuruhnya mengantarkan Lingga W isnu dan Aria Puguh turun
gunung. Aria Puguh direbahkan di dalam gerobak,
sedang Lingga W isnu duduk di samping Dikun, si
pemuda tanggung yang memegang kemudi.
*) Denmas = tuan Dikun mengantarkan sampai ke kota. Dengan
pertolongannya pula, Lingga W isnu memperoleh sebuah
rumah penginapan. Setelah semuanya beres segera ia
kembali pulang. Nampaknya berjalan sangat lancar dan
sederhana saja. Akan tetapi gerobak itu sesungguhnya
semenjak lama dikunt it beberapa mata-mata laskar
Kasunanan. Begitu melihat Lingga W isnu membawa Aria
Puguh memasuki rumah penginapan, mata-mata itu
segera lari kencang melaporkan kepada atasannya.
Lingga W isnu masih mempunyai beberapa ringgit sisa
uang bekalnya. Dan dengan uang itu ia mencari
beberapa ramuan obat yang diperlukan. Karena selama
itu ia belum pernah memasuki kot a, ia mengajak seorang
pelayan ynagai penunjuk jalan. Setelah memperoleh
ramuan obat yang diperlukan, segera ia pulang ke rumah
penginapan. Sama sekali ia tak tahu bahwa dua orang
polisi t elah menguntitnya secara diam-diam.
Tiba di rumah penginapan, segera ia memasak
ramuan obat-obatnya. Dalam pada itu Aria Puguh masih
tetap rebah di tempat tidur dengan kepala panas
bagaikan api. Belum lagi air mendidih, delapan orang
pilisi tiba-tiba memasuki rumah penginapan dan
membawa rant ai pembelenggu. Seorang yang mengenakan pakaian preman menuding kepada Lingga
W isnu seraya berkata: "Dialah orangnya!"
Seorang polisi lant as membentak :
"Hai! Kau pelarian dari gunung, bukan?"
Lingga W isnu kaget tak terkira. Tak tahulah ia apa
yang harus dilakukan. Akhirnya dalam b ingungnya ia
menjawab sekenanya saja :
"Bukan ..." Polisi itu tertawa terbahak-bahak. Katanya :
"Bukankah engkau membawa-bawa seseorang yang
luka parah" Kenapa dia terluka?"
"Siapa yang terluka?" Angga W isnu berlagak bodoh.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Polisi itu tertawa terbahak-bahak lagi
sambil menggerincingkan rantai belenggunya. Bentaknya :
"Kau jangan mimpi bisa mengibuli aku" Apa aku perlu
memeriksa kamarmu?" Hati Lingga Wisnu te rgetar. Takut akan ancaman itu ia
lari masuk ke dalam kamarnya dan mencoba
membangunkan Aria Puguh. Pada saat itu terdengar
rombongan polisi t adi berteriak nyaring:
"Berandal Merbabu bersembunyi di dalam rumah
penginapan ini. Kepung. Jangan biarkan lolos!"
Oleh teriakan-teriakan nyaring itu, Aria Puguh
tersadar. Karena kaget, ia bangkit dengan segera.
Maksudnya hendak duduk dan menurunkan kakinya di
lantai. Akan tetapi t ak dapat ia bergerak dengan leluasa.
Begitu kakinya meraba lantai, ia justeru roboh terguling.
Dan pada saat itu masuklah rombongan polisi
mengepung kamarnya. Dalam bingungnya, Lingga W isnu tidak menolong
gurunya bangun. Sebaliknya ia melompat di ambang
pintu dan berdiri untuk merint angi. Dan rumah
penginapan itu lantas saja menjadi berisik. Para tetamu
melompat keluar dari kamalnya masing-masing dan
berkumpul dipekarangan untuk menyaksikan hambahamba
negerl melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap buruannya yang disebutkan
sebagai berandal dari gunung Merbabu. Akan tetapi
begitu melihat Lingga W isnu, mereka menjadi keheranheranan. Apakah pemuda
tanggung itu perlu digerebeg
sekawanan polisi yang berjumlah delapan orang"
Dalam pada itu seorang polisi melemparkan rant ai
belenggunya ke leher Lingga W isnu. Bocah itu mundur
mengelakkan diri. Sama sekali ia tidak berkisar dari
ambang pintu. Niatnya sudah teguh, untuk mencegah
kawanan polisi memasuk i kamar. Bagaimana akibatnya
nant i, tak masuk dalam pikirannya.
Polisi itu malu karena tak mampu membekuk seorang
anak tanggung. Sedang dia merasa diri sudah
berpengalaman belasan t ahun lamanya. Lant aran malu, i
menjadi gusar. T angan kirinya bergerak dan menyambar
tengkuk. Lingga W isnu t ak gentar melihat datangnya serangan.
Ia menangkis sambaran tangan yang hendak mencengkeram tengkuknya. Ia menggunakan salah satu
jurus ilmu sakti Sardula Jenar. Dan begitu tangannya
membentur sasaran, polisi itu mundur sempoyongan. Dia
menjadi gusar set engah mati. Sambil memut ar tubuh,
kakinya menendang dan mulutnya memaki:
"Anjing haram" Lingga W isnu menang gesit. Melihat berkelebatnya
kaki ia mengelak ke samping. Dengan kedua tangannya
ia menangkap kaki itu, terus diangkat dan didorong
dengan keras. itu juga polisi tadi terlempar dan jatuh
terbanting di atas tanah Tetamu-tetamu yang berkumpul dipekarangan, menjadi kagum dan bersorak tak terasa. Terhadap
rombongan polisi Belanda mereka nampaknya tak
senang. Meskipun bukan termasuk gerombolan pemberontak, mereka berpihak kepada Lingga W isnu.
Mungkin sekali lant aran melihat Lingga W isnu seorang
pemuda tanggung yang sama sekali tidak bersenjata
atau berteman. Namun kedelapan polisi itu nampak
beringas dan bengis. Mereka jadi tak puas, dan
bersyukur tatkala melihat Lingga W isnu berhasil
melemparkan seorang polisi sampai terbanting di atas
tanah. Ketujuh polisi lainnya heran menyaksikan ketangguhan
Lingga W isnu. Mereka mengira anak itu mempunyai ilmu
gaib. Segera mereka saling memberi isyarat kemudian
menerjang berbareng. Diantara mereka ada yang
bersenjata pedang, golok dan penggada kayu. Dan
menyaksikan gerakan mereka, para tetamu kaget, takut
dan bingung. Mereka mundur dengan sendirinya.
Meskipun Lingga W isnu kini sudah mewarisi ilmu sakti
Sardula Jenar dari Aria Puguh, akan tetapi tenaganya
masih lemah. Lagi pula ia belum berpengalaman. Itulah
sebabnya, menghadapi keroyokan demikian, ia menjadi
bingung. Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba
melompatlah seseorang dari kamar sebelah. Orang itu
bertubuh besar dan berkulit hitam. Dengan sekali lompat,
ia telah berada di depan Lingga W isnu dan terus
menggerakkan kaki dan tangannya. Entah bagaimana
caranya bergerak, secara tiba-tiba saja polisi-polisi yang
bersenjata tajam itu kena terampas senjatanya dan
dilemparkan berjungkir balik. Kemudian ia mendesak,
menyerang dan menerjang ke kiri dan ke kanan, sampai
ketujuh polisi itu babak belur. Setelah itu ia berteriak
nyaring seperti kerbau menguak. Aneh suaranya!
"Siapa kau?" seorang polisi menegur. "Kami hendak
menangkap penjahat. Jangan ikut campur!"
Orang itu seperti t uli. Sekali menggerakkan t angan, ia
menjambret dada polisi itu dan mengangkatnya tinggitinggi. Kemudian dilemparkan
hingga polisi itu melayanglayang bagaikan layangan put us, dan roboh di atas
tanah tak sadarkan diri. Menyaksikan hal itu kawanan polisi
yang lain bubar berderai dan lari berserabutan keluar
rumah penginapan. Orang itu kemudian berpaling kepada Lingga W isnu.
Ia membuka mulut nya dan tangannya bergerak-gerak,
tetapi mulut nya tiada mengeluarkan suara apapun,
kecuali: ah, uh, ah, uh. Maka tahulah Lingga W isnu
bahw a orang itu gagu. Dan apa yang dikehendaki sangat
mudah ditebak. Beberapa saat lamanya Lingga W isnu bingung
menebak-nebak. Akan tetapi dia memang anak cerdas
luar biasa. Segera ia mengamat-amati gerakan tangan
dan gerakan mulut orang itu. Selagi mengamat-amati
mendadak orang itu mengangkat t angannya ke atas lalu
ditabaskan ke bawah. Kedua kakinya digerakkan, dan
tahu-tahu ia sudah melakukan jurus-jurus ilmu sakti
Sardula Jenar, dari jurus pertama sampai jurus kesepuluh
Setelah itu ia berhenti. Sikapnya menunggu.
Otak Lingga W isnu yang cerdas luar b iasa segera
dapat mengerti kehendaknya. Buru-buru ia menjawab
dengan melanjutkan jurus kesebelas sampai jurus kelima
belas. Dan melihat Lingga W isnu dapat melanjutkan
jurus-jurus ilmu sakti Sardula Jenar, si gagu tertawa
lebar sambil memanggut -manggutkan kepalanya. Sekonyong konyong ia melompat sambil mengulurkan
tangannya. Tahu-tahu Lingga W isnu dipondongnya dan
hendak dibawanya pergi. Lingga W isnu teringat gurunya yang masih rebah di
dalam kamar. Dengan girang ia menuding kamarnya. Si
gagu rupanya mengerti gerakan tangannya. Segera ia
masuk ke dalam kamar sambil menggendong Lingga
W isnu. Terhadap Lingga W ilnu ia seolah-olah menemukan mustika yang tak ternilai harganya.
Tetapi begitu melihat wajah Aria Puguh yang pucat
lesi bagaikan mayat, orang itu nampak kaget sekali.
Buru-buru ia menurunkan Lingga W isnu dan menghampiri Aria Puguh. Ia memijit-mijit menyadarkannya. Kemudian kedua tangannya digerakkan. Oleh pijitannya, Aria Puguh tersadar. Begitu melihat
siapa yang memijitnya, wajahnya bersinar terang. Iapun
segera menggerakkan kedua tangannya sambil menunjuk
pahanya. Orang itu mengerti arti gerakan tangan Aria Puguh.
Seketika itu juga ia bekerja. Dengan tangan kiri ia
membimbing Lingga W isnu dan dengan tangan kanannya
ia memondong Aria Puguh. Kemudian dengan langkah
lebar ia keluar kamar dan meninggalkan rumah
penginapan. Ia lari sangat pesat begitu tiba di jalan, tak
perduli berat tubuh Aria Puguh hampir mencapai delapan
puluh kilo. Baik pemilik rumah penginapan maupun para pelayan,
tak ada yang berani merint angi. Semuanya menyaksikan
kegagahannya. Seorang diri saja ia sanggup mengundurkan delapan orang polisi.
Malah yang seorang dibanting roboh sampai pingsan
tak sadarkan diri. Terhadap orang segagah itu, siapakah
yang berani mencoba-coba merintangi kehendaknya"
Namun pihak kepolisian tidak mau sudah. Dua orang
mata-matanya segera menguntitnya. Tentu saja mereka
tak berani berada terlalu dekat. Mereka menguntit dalam
jarak dua puluh langkah. Tujuan mereka hanya ing in
mengetahui di manakah tempat tinggal si gagu itu.
Setelah mereka ketahui, mereka akan menyulutkan
tanda-tanda tentu untuk mencari bala bant uan.
Aria Puguh masih tak sadarkan diri. Ia t ak tahu bahwa
dirinya dibawa kabur oleh si gagu dari rumah
penginapan. Si gagu sebaliknya tidak mengetahui bahwa
dirinya selalu dibayangi dua orang mata-mata. Tetapi
tidak demikian halnya dengan Lingga Wisnu yang cerdik.
Ia melihat dua orang yang selalu mengikut i. Diam-d iam
ia menarik tangan si gagu. Dan dengan merronyongkan
mulut ia memberi kabar. Si gagu lantas berpaling.
Namun ia bersikap acuh t ak acuh. Dengan berlagak pilon
ia lari terus dengan cepat. Lingga W isnu dibawanya lari
kencang melint asi tegalan-tegalan sepi. Kira-kira tiga
atau empat kilo meter lagi, tiba-tiba si gagu meletakkan
Aria Puguh ke atas tanah. Agaknya dia hendak
beristirahat untuk menghilangkan rasa lelahnya. Tetapi
tahu-tahu dengan sekonyong-konyong ia membalikkan
tubuhnya, dan melesat ke belakang. Dalam dua tiga
enjotan saja, ia sudah sampai kedepan mata-mata itu
yang kaget setengah mati.
Itulah serangan diluar dugaan. Dalam kaget dan
takutnya, kedua mata-mata itu segera memutar tubuh.
Niatnya hendak mengangkat kaki. Namun sudah kasepi
Si gagu sangat cepat gerakannya. Sebelum mereka
berdua dapat menggerakkan kaki, tangan si gagu sudah
menghempaskannya. Tak ampun lagi mereka roboh di
atas t anah. Orang gagu itu bekerja tidak kepalang tanggung. Melihat kedua lawannya roboh, tangannya mencengkeram rambut mereka. Kemudian diangkat tinggi-tinggi dan dibenturkan ke sebuah batu yang berada di pinggir tegalan. Prak!

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ampun dan tak sempat lagi kedua mata-mata itu berteriak. Mereka mati dengan
kepala pecah! Setelah menamatkan riwayat hidup kedua mata-mata
itu, si gagu kembali menghampiri Aria Puguh. Dengan
enteng sekali ia mengangkat tubuh Aria Puguh dan
dibawanya berlari lagi. Larinya cepat bagaikan terbang.
Celakalah Lingga W isnu! Pemuda ini mencoba lari
sekencang-kencangnya, agar dapat menjajarinya. Usahanya sia-sia belaka, meskipun ia t elah mengerahkan
seluruh kesanggupannya. Makin lama ia makin tertinggal.
Akhirnya ia merasa tak sanggup lagi. Dan dengan napas
tersengal-sengal ia menghentikan langkahnya.
Si gagu menoleh. Ia berhenti pula samb il tersenyum.
Melihat Lingga W isnu kehabisan tenaga, ia menghampiri
dengan wajah ramah. Lalu menyambar tubuhnya dan
digendongnya. Dengan menggendong dua orang, ia lari
kencang lagi. Malahan kini larinya lebih kencang,
dibandingkan dengan semula, lantaran ia tidak usah
menunggu-menunggu Lingga W isnu.
Setelah berlari-lari sekian lamanya, ia membelok ke
kiri dan lari mengarah ke sebuah gunung. Ia mendaki
dengan cekatan. Dan sama sekali tak mengenal lelah.
Dalam sekejab mata saja dua bukit telah dilalu inya. Tibatiba nampak sebuah
gubuk di depan lamping gunung.
Dengan langkah tetap ia menghampiri gubuk itu.
Seseorang yang berada di ambang pintu lari
menyambut. Dia seorang perempuan berumur tiga puluh
tahun lebih. Dia memanggut kepada si gagu dan si gagu
pun membalas anggukannya. Nampaknya ia heran
melihat si gagu membawa-bawa dua orang dalam
gendongannya. Segera ia mengajak masuk.
"Suskandari! Kau sediakan t iga mangkok air teh!" seru
perempuan itu. Dari dalam kamar terdengar jawaban. Dan muncullah
seorang gadis kecil membawa niru berisi tiga mangkok
air teh. Ia nampak heran begitu melihat si gagu.
Kemudian ia memandang kepada Aria Puguh dan
mengamat-amati Lingga W isnu. Kedua matanya jernih
bening dan meresapkan penglihatan. Gadis kecil inilah
yang bernama Suskandari. Umurnya kurang lebih
duabelas t ahun dan manis kelihatannya.
Setelah menyiasati Suskandari pandang mata Lingga
W isnu beralih kepada perempuan muda itu. Dia seorang
perempuan yang cantik, mukanya putih bersih dan halus.
Bibirnya manis dan suaranya meresapkan pendengaran.
Meskipun pakaiannya sederhana, pribadinya berkesan
agung. Dengan ramah ia bertanya kepadanya:
"Umurmu sebaya dengan anakku. Siapa namamu"
Bagaimana engkau bisa bertemu dengan dia?"
W aktu itu Lingga W isnu sudah diturunkan ke tanah.
Mendengar lagak lagunya, tahulah ia bahw a si gagu
adalah sahabat nyonya rumah itu. Maka dengan t ulus ia
menceritakan pengalamannya.
Ibu Suskandari kemudian memperkenalkan namanya.
Ia bernama Ngrumbini. Dan set elah memperkenalkan
namanya, ia masuk ke dalam lalu keluar lagi dengan
membawa dua botol ramuan obat. Lingga W isnu melihat:
bubuk putih dan merah. Terbawa oleh rasa girangnya,
segera ia menyendoknya sedikit dan diadukkan ke dalam
air teh. Setelah itu ia menegukkan ke dalam mu lut Aria
Puguh. Ngrumbini heran menyaksikan Lingga W isnu mengerti
tentang obat-obatan. Segera ia berkata :
"He, engkau semuda ini sudah mengerti tentang ilmu
ketabiban?" Oleh perkataan itu Lingga W isnu tersadar.
W ajahnya menjadi merah. Buru-buru ia membungkuk
hormat dan memint a maaf atas kelancangannya dan
berkata : "Maaf, bibi. Maafkan aku ..."
Tetapi Ngrumbini t idak merasa t ersinggung, Ia bahkan
tertawa manis sekali. Katanya:
"Bagus! T ak usah engkau bersegan segan terhadapku.
Rupanya engkau murid seorang t abib pandai. Kalau aku
boleh bertanya, siapa gurumu?"
"Sebenarnya aku tidak mempunyai guru. Hanya secara
kebetulan saja aku mendapat kesempatan belajar
mengenai obat-obatan dipinggang gunung Merapi."
Ngrumbini mengira. Lingga W isnu tidak mau
memperkenalkan nama gurunya. Oleh pertimbangan t ata
sant un, tak mau ia mendesak. Berkata mengalihkan
pembicaraan: "Apakah engkau membutuhkan alat-alat tertentu?"
"Benar. Apakah bibi mempunyai pisau kecil" Aku harus
mengiris lukanya." Ngrumbini segera menyediakan pisau kecil yang
dimint anya. Dengan cekatan Lingga W isnu mengiris luka
Aria Puguh. Setelah itu ia memborehkan dengan obat
bubuk kuning. Ia menunggu sebentar. Kemudian luka itu
dicucinya kembali dan diborehi bubuk kuning lagi. Tiga
kali ia mencuci dan memborehi luka Aria Puguh. Dan
menyaksikan hal itu Ngrumbini bertambah keheranheranan. Makin percayalah ia bahw
a Lingga W isnu pastilah murid seorang t abib sakti.
Selang beberapa waktu, Aria Puguh membuka
mulut nya. Ia memperdengarkan suara t ak jelas.
"Anakku, engkau benar-benar seorang tabib pandai,
Dia ketolonganl" seru Ngrumbini dengan suara girang.
Dengan isyarat tangan, ia memanggil si gagu. Ia mint a
tolong kepadanya agar ia membawa Aria Puguh masuk
ke dalam kamarnya. Dan tatkala si gagu membawa Aria
Puguh masuk ke dalam kamar, Ngrumbini menutup botol
obatnya sambil ia berkata kepada Lingga W isnu :
"Mari, kuperkenalkan dengan anakku, dia bernama
Suskandari. Mulai sekarang tinggallah bersama kami di
sin i." Lingga W isnu memanggut. "Meskipun engkau tidak memperkenalkan nama
gurumu, aku bisa menebak delapan bagian. Lantaran
engkau menyebutkan gunung Merapi." kata Ngrumbini.
"Apakah engkau kenal t abib sakti Ki Sarapada?"
Ngrumbini tidak menunggu Lingga W isnu membenarkan dugaannya, dengan tersenyum manis ia
masuk ke belakang. Dan dengan dibantu Suskandari ia
menanak nasi dan menyembelih ayam. Sebaliknya Lingga
W isnu lelah sekali. Oleh rasa kantuknya, dengan tak
dikehendaki sendiri ia tertidur ditepi meja. Kepalanya
terletak diatas tangannya yang bersilang diatas meja.
Apakah dunia hancur pada saat itu, berada di luar
ingatannya. Keesokan harinya, baru saja matahari muncul di
udara, Suskandari sudah menarik tangan Lingga W isnu.
Kata gadis cilik itu : "Mari, cuci muka!"
Lingga W isnu tersentak dari tidurnya. Ia mengucakngucak matanya. Tiba-tiba
teringatlah dia kepada Aria
Puguh. Serentak ia menyahut:
"Aku hendak melihat paman dahulu. Bagaimana
lukanya ..." "Paman Ganjur telah membawanya pergi semenjak
fajar hari tadi." kata Sukandari.
Lingga W isnu terperanjat mendengar perkataan
Suskandari. Menungkas: "Paman Ganjur" Siapa paman Ganjur?"
"Paman Ganjur ... si gagu ..." jawab Suskandari
dengan tertawa. Hati Lingga W isnu tercekat. Menegas dengan wajah
berubah: "Dibawa ke mana paman Aria Puguh?"
Suskandari hendak menjawab. Tetapi pada saat itu,
Lingga W isnu tiba-tiba melompat dari kursi dan lari
memasuki kamar, benar-benar kosong. Tiada Aria Puguh
maupun Ganjur, si gagu. Hati Lingga W isnu terpukul. Terus saja ia roboh
terkulai. "Ibu! Ibu!" teriak Suskandari memanggil ibunya.
Ngrumbini datang dengan cepat. Meliha keadaan
Lingga W isnu roboh terkulai ia berkata membesarkan
hati Suskandari: "T ak apa. Kecuali terkejut, semalam perutnya belum
kemasukan sebutir nasipun. Sebentar lagi ia akan sium an
kembali." Setelah berkata demikian, ia menghanpiri Lingga
.W isnu dan memijid - m ijid pundaknya. Bisiknya :
"Anakku, pamanmu terluka parah sekali, ia perlu
memperoleh pertolongan seorang tabib pandai. Engkau
mengenal obat-obatan. Pastilah engkau mengerti pula
bahw a obat bubuk kuning semalam hanya merupakan
obat darurat saja. Bukankah begitu?"
Lingga W isnu mengangguk. Dengan suara kalap ia
menyahut: "Benar, bibi. Aku hanya memberikan pertolongan
pertama. Ia kena racun senjata rahasia yang sangat
jahat. Kalau tidak cepat-cepat memperoleh pertolongan
yang sempurna, sebelah kakinya bisa mati selamalamanya."
"Anakku Lingga," seru Ngrumbini kagum, dan
menambahkan lagi: "Dari mana engkau memperoleh
pengetahuan ketabiban begini sempurna?"
Lingga W isnu terhibur hatinya tatkala mendengar
ucapan Ngrumbini. Jawabnya:
"Secara kebetulan saja aku berada dipondok salah
seorang murid terpandai t abib sakti Ki Sarapada."
"Oh!" seru Ngrumbini dengan suara tertahan.
"Pantaslah. Engkau mahir sekali dalam pengetahuan ilmu
ketabiban. Kalau tahu begini aku tidak akan mengijinkan
Ganjur membawa Aria Puguh pergi."
Lingga W isnu menghela napas. Katanya:
"Sebenarnya, paman dibawa ke mana?"
"Ganjur membawanya menghadap seseorang. Orang
itu berilmu ke pandaian t inggi. Dan pada zaman ini, kukira
hanya dia seorang yang dapat menyembuhkan. Kau
tunggu saja di sini. Apabila sudah sembuh, pamanmu
pasti akan datang ke mari menjengukmu."
Lingga W isnu tahu, apabila gurunya mendapat
pertolongan seorang t abib pandai, pastilah lukanya akan
dapat disembuhkan. Hanya saja, lantaran kata-kata
Ngrumbini bersikap menghibur, hatinya jadi sedih.
Beberapa saat lamanya ia termangu-mangu. Ngrumbini
segera menolongnya bangun sambil membujuknya lagi:
"Anakku Lingga. Pamanmu pasti sembuh. Sekarang
pergilah mencuci muka. Setelah itu kita makan. Semalam
aku menyembelih seekor ayam untukmu. Meskipun aku
tak pandai memasak, akan t etapi daging ayam itu sendiri
pastilah akan menawan seleramu."
Lingga W isnu sadar akan maksud baik Ngrumbini.
Meskipun masih merasa lemas, ia mencoba menguasai
diri. Kemudian mencuci mukanya di sebuah pancuran
yang berada di samping rumah. Setelah itu ia duduk
bersama dengan ibu dan puterinya.
Ngrumbini pandai mengambil hati. Suaranya sendiri
sudah meresapkan pendengaran. Apalagi dia bermaksud
membujuk dan membesarkan hati. Lingga W isnu lantas
saja menyerah kalah. Dengan kemauan sendiri ia
menceriterakan riwayat hidupnya. Dan mendengar
riwayat hidup Lingga W isnu, Ngrumbini menghela napas
berulangkali. Katanya pilu :
"Kalau begitu, tinggallah engkau bersama kami di sini.
Jangan engkau mencemaskan apa-apa lagi. Kau tunggu
saja pamanmu di sini. Apabila sudah sembuh, pastilah
dia akan menjengukmu."
Lingga W isnu memanggut. Semenjak bayi, ia hidup
menderita sekali. Ia dibawa orang tuanya merantau dari
tempat ke tempat untuk menghindari lawan-lawan yang
datang tiada hentinya. Setelah berumur delapan tahun,
dengan cara yang menyedihkan sekali kedua orang
tuanya meninggal di depan matanya. Sekarang, ia
bertemu dengan Ngrumbini yang halus bidi dan manis
sekali sepak terjangnya. Keruan saja ia seperti
memperoleh seorang ibu sejati. Disamping dia masih ada
seorang puteri yang manis pula. Ialah Suskandari. Gadis
itu elok jelita dan senantiasa bersedia menjadi kawannya.
Maka tak mengherankan, baru beberapa hari saja L ingga
W isnu merasa betah tinggal di rumah Ngrumbini.
Pada suatu hari Ngrumbini mint a kepada Lingga W isnu
agar memperlihatkan ilmu sakti, yang diajari oleh Aria
Puguh dihadapannya. Dan Lingga W isnu tidak berkeberatan. Segera ia mengabulkannya permint aan
Ngrumbini. Dengan cermat Lingga W isnu melakukan
jurus-jurus ilmu-sakti Sapu Jagad. Dan menyaksikan cara
Lingga W isnu melakukan atau mengolah jurus-jurus Sapu
Jagad, Ngrumbini memuji tiada hent inya. Insyaflah dia
bahw a hal itu telah terjadi berkat kecermatan dan
ketelitian Aria Puguh tatkala memberi pelajaran.
Berselang sepuluh hari, Ngrumbini menganjurkan
kepada Lingga W isnu, agar berlatih dengan sungguhsungguh pada set iap hari.
Namun ia tak pernah

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membenarkan atau menyalahkan. Dengan seksama ia
menilik dan mengikut i gerak-geriknya Lingga W isnu
dalam mengolah liku-liku int isari ilmu sakti Sardula Jenar.
Sepatah katapun tak pernah terbersit dari mulutnya yang
menyinggung tentang latihan itu. Malahan, beberapa hari
kemudian jarang sekali ia hadir. Sebaliknya Suskandari
mengganti kedudukannya menemani lingga W isnu.
Tetapi tiba-tiba pada hari kedua belas, Suskandari
dipanggil ibunya tatkala seperti biasanya menemani
Lingga W isnu berlatih sampai rampung.
Lingga W isnu tak pernah menduga jelek. Ia merasa
pastilah ada alasannya apa sebab Suskandari d ipanggil
ibunya dan tidak diperkenankan lagi hadir tatkala ia
sedang berlatih. Mungkin sekali hal itu merupakan
pant angan besar bagi seseorang yang melihat seorang
lagi berlatih diri. Pada suatu hari Ngrumbini datang
kepadanya dan berkata : "Anakku Lingga, bibi hendak pergi sebentar. Kau
temanilah ad ikmu Suskandari. Tetapi jangan kau ajak dia
keluar rumah, karena di sekitar rumah ini banyak
binatang-binatang buas."
Ngrumbini tidak memberi keterangan ke mana dia
hendak pergi. Tetapi sebenarnya dia hendak ke kota
membeli dua perangkat pakaian buat digunakan oleh
Lingga W isnu, lantaran pakaian yang dikenakan sudah
usang. Lingga W isnu patuh kepada pesan Ngrumbini. Ia
menjaga Suskandari seperti seseorang menjaga adik
kandungnya sendiri. Suskandari sendiri kelihatan bersikap manja terhadap Lingga wisnu. Ia berlari-larian
ke sana ke mari mengajak bermain petak. Tiba-tiba gadis
itu berkata: "Kangmas Lingga, mari kita bermain masak-masakan.
Biarlah aku membeli seekor ayam dahulu. Kau nanti yang
menyembelih." Tanpa menunggu persetujuan Lingga W isnu, gadis itu
lari keluar rumah. "Kau hendak mencari ayam di mana" Lingga W isnu
melayani. Di pekarangan depan. Di sana banyak ubi hutan,"
sahut Suskandari. Maka tahulah Lingga W isnu, bahwa ubi hutan itu
diumpamakan sebagai ayam. Ia lantas pergi ke dapur
mencari sebilah pisau. Bukankah dia telah diangkat jadi
tukang sembelih ayam" Akan tetapi setelah menunggu
sekian lamanya, Suskandari t idak muncul kembali. Ia jadi
tak sabaran. Memanggil : "Suskandari! Suskandari!"
Tetapi panggilannya tiada jawaban. Jantungnya jadi
berdegupan. Teringat dia akan pesan Ngrumbini, bahwa
disekitar rumah itu banyak berkeliaran binatang-binatang
buas. Dengan pisau di t angan ia melompat keluar rumah.
Dan begitu berada di pekarangan, ia kaget bukan-main.
Seorang laki-laki bertubuh besar nampak mengempit
Suskandari dan sedang memutar tubuh hendak pergi.
Keruan saja ia berteriak kalap:
"Hei! Hei! Kau hendak membawanya kemana?"
Orang itu tidak menghiraukan. Dia melompat keluar
halaman. Pada saat itu Lingga W isnu melesat pula.
Bocah itu tidak hanya mengejar, tetapi menyerang pula
dengan pisaunya. Keruan saja penculik itu kaget. Sama
sekali tak mengira bahw a bocah itu bisa menikam.
Untunglah bahwa Lingga W isnu tidak bermaksud
mengarah jiwanya. Ia hanya menikam kaki. Justru
demikian penculik itu mendongkol dan gusar karena rasa
sakitnya. "Kurang ajar!" makinya. Dia menurunkan Sukandari.
Lalu berbalik sambil menghunus goloknya dan terus
menyerang. Lingga W isnu tidak takut. Dia menangkisnya dengan
tangan kosong. Tentu saja yang dipukul balik adalah
lengan si penculik. Itulah salah satu jurus ilmu sakti Sapu
Jagad warisan gurunya. Sekali ia menangkis, tangan
kanannya segera menyerang.
Heran orang itu! Terpaksalah ia melayani dan
terjadilah suatu perkelahian yang ganjil. Seorang dewasa
bertubuh besar dan membawa golok bertempur melawan
seorang pemuda tanggung bersenjatakan pisau dapur.
Dalam hal tenaga, tentu saja orang itu menang dua kali
lipat. Goloknya menerbitkan kesiur angin menderu-deru.
Namun dalam hal kegesitan, Lingga W isnu jauh lebih
menang. Ia menghindarkan bentrokan senjata dengan
mengelakkan diri dan disaat-saat tertentu ia menikam
atau menusuk dengan tiba-tiba.
Selang beberapa jurus, orang itu jadi sibuk sendiri. Ia
heran dan penasaran. Kenapa ia tak sanggup
merobohkan seorang pemuda tanggung yang hanya
bersenjata pisau dapur saja" Karena itu ia berkelahi
makin sengit tak ubah sedang berhadap-hadapan
dencran seorang musuh tangguh yang memiliki ilmu
tinggi, goloknya kini membabat mengarah kaki. Bagus
sasarannya akan tetapi sulit untuk dilakukan. Hal itu
disebabkan lantaran lawannya lebih pendek dari dirinya
sendiri. Untuk dapat menyerang kaki, terpaksalah ia
harus bergulingan ditanah. Kemudian ia berjongkok atau
membungkuk. Cara berkelahi demikian itu sebenarnya menghabiskan
tenaga. Akan tetapi Lingga W isnu belum berpengalaman.
Ia menjadi sibuk juga. Terpaksalah d ia bermain mundur
untuk menghindari golok lawan.
Suskandari yang telah terbebas tidak hanya, tinggal
menonton saja. Dia lari ke dalam rumah dan datang
kembali dengan membawa pedang panjang. Dengan
senjata itu ia menyerang penculiknya dari belakang.
Ternyata ia pandai memainkan pedang pula, meskipun
belum mahir. "Hai, set an! Kau perempuan cilik ikut -ikut campur
pula" Apa kau ingin mampus?" bentak penculik itu. Cepat
ia membalikkan tubuh dan mengayunkan goloknya.
Namun ia tidak menggunakannya tenaga sepenuhpenuhnya lantaran tidak menghendaki
jiwa Suskandari. Ia hanya menangkis agar pedang Suskandari terlepas
dari t angannya. Akan tetapi Suskandari seorang gadis cerdik.
Gerakannya gesit pula. Dia mengelakkan diri dari
tangkisan itu sambil melompat ke belakang, ia maju ke
samping dan dengan cepat menikam lagi.
Lega hati Lingga W isnu menyaksikan Suskandari bisa
menikamkan pedangnya. Tadi ia khawatir melihat
majunya gadis cilik itu. Setelah melihat serangannya
beberapa kali, ia menjadi girang. Terus saja ia
membarengi dengan tikaman berant ai jurus delapanbelas
dari ilmu sakti Sardula Jenar. Dan diserang berbareng itu,
si penculik jad i kalang-kabut . Untuk membela diri maka
terpaksalah dia bergerak dengan sebat sekali.
Lingga W isnu memperoleh hati. Karena memperoleh
hati, serangannya makin gencar. Dan hal in i membuat
hati penculik itu bersyukur. Sebab, meskipun mereka
berdua pandai berkelahi, namun baik tenaga maupun
keulatannya masih kurang jauh. Maka dengan sabar ia
hanya membela diri saja, dengan mengelakkan berbagai
serangan. Dan dugaannya ternyata benar. Beberapa
waktu kemudian kegarangan Lingga W isnu dan
Suskandari makin surut. Sekarang mereka berdualah
yang bergilir menghadapi serangan balasan.
Tatkala Suskandari menikam, penculik itu menangkis
dengan tenaga penuh. Demikian hebat tenaganya,
sehingga Suskandari tak dapat mempertahankan diri.
Pedangnya lantas terpental di udara dan jatuh
berkelontangan di tanah. Melihat Suskandari terancam bahaya, Lingga W isnu
menerjang dan menikam. Buru-buru penculik itu
menangkis sambil menendang Suskandari dengan
sebelah kakinya. Kena tendandannya itu, gadis cilik itu
terguling-guling. Lingga W isnu kaget dan cemas. Lupa akan penjagaan
diri, ia melompat menikam dengan sembrono sekali.
Tentu saja hal itu membuat girang si penculik. Ia
mengelak lalu merangsak dengan goloknya. Dan
menghadapi rangsakan itu Lingga W isnu buru-buru
mengangkat pisau dapurnya untuk menangkis. Inilah
bentrokan yang tak dapat dihindarkan lagi. Pisau
dapurnya lantas saja terlepas dari t angan dan menancap
di atas tanah. Selagi terkejut, pergelangan tangannya
kena pula dicengkeram dan diput ar .
Lingga W isnu kesakitan. Namun dalam kesakitan ia
tidak menjadi gugup. Tangan kirinya segera menyelonong masuk menghantam tulang rusuk. Penculik
itu kaget bukan kepalang. Dalam kagetnya ia melepaskan
cengkeramannya dan melompat mundur. Begitu berdiri
tegak kembali di atas tanah, segera ia melesat
menyambar Suskandari dan d ikempitnya. Kemudian ia
memanjangkan kakinya. W alaupun sedang kesakitan, begitu melihat Suskandari kena dibawa lari, Lingga W isnu menjadi
kalap. Segera ia memungut pisau dapurnya lagi yang
tertancap di atas t anah, kemudian ia lari mengejar sambil
berteriak : "Hei! Berhenti!"
"Akh, setan cilik!" maki penculik itu. "Apa kau tak
sayang jiwamu?" Dengan tangan kiri mengempit Suskandari tangan
kanannya menggerakkan goloknya sambil ia membalikkan tubuhnya. Ia harus melayani Lingga W isnu
yang sudah dapat mengejarnya kembali. Setelah
bertempur lima enam jurus, Lingga W isnu kena
pundaknya. "Bagaimana" Apa engkau masih bandel?" bentak
penculik itu. Lingga W isnu benar-benar tak mengenal takut.
Bajunya terobek dan pundaknya mengucurkan darah.
Namun ia menjawab dengan garang pula :
"lepaskan Suskandari! Dan aku tidak akan mengejarmu lagi!" Tentu saja penculik itu tidak menghiraukan ocehannya. Ia memutar tubuh dan memanjangkan
langkahnya. Dan Lingga W isnu pun tetap mengejarnya
sambil terus berteriak-teriak. Akhirnya penculik itu
menjadi kewalahan juga. Habislah kesabarannya. Dan
timbul ah pikirannya: "Jika aku t idak membunuhnya, aku akan di ganggunya
terus-menerus." Memperoleh pikiran demikian, ia
berhenti dan memutar tubuhnya. Dengan goloknya ia
menyongsong serangan Lingga Wisnu. Ia kini tidak mau
berkelahi setengah hati. Baru beberapa gebrak saja lagilagi pisaunya Lingga W
isnu kena dipentalkan runt uh di
atas tanah dan terus saja ia menendang Lingga W isnu
sehingga terguling. Setelah itu ia mengayunkan goloknya
hendak menghabisi jiwanya.
Suskandari yang berada dalam kempitannya, melihat
ancaman bahaya itu. Dengan mati-matian ia menggelendoti lengan penculik itu dan menggigitnya.
Kena gigitannya, penculik itu kesakitan sehingga
menjerit. Dan bacokannya gagal pula.
Inilah kesempatan yang bagus bagi Lingga W isnu.
Bocah itu lantas membuang diri dengan bergulingan di
tanah. Lalu kembali merangkak-rangkak memungut pisau
dapurnya. Tentu saja penculik itu mendongkol bukan
main. Dengan penuh dengki ia menjewer telinga
Suskandari lalu mengulangi serangannya yang tadi kena
digagalkan. Karena sudah berpengalaman, dengan
mudah saja ia dapat melukai Lingga W isnu. Kali ini jidat
si bocah yang termakan golok, sehingga ia mengalirkan
darah. Menimbang bahwa oleh luka kali ini Lingga Wisnu
tidak akan dapat berdaya banyak lagi, segera ia memut ar
tubuh hendak kabur secepat-cepatnya.
Akan tetapi Lingga W isnu benar-benar berani dan
bandel. Ia melompat dan menubruk kaki yang terus


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipeluknya erat-erat. Karena kehilangan pisau dapurnya,
ia kini menggunakan ketajaman giginya. Meniru
perbuatan Suskandri, ia menggigit kaki penculik itu
sekuat tenaganya. Penculik itu berkaing-kaing kesakitan sambil memakimaki kalang-kabut . Dengan
geram ia mengangkat sebelah kakinya dan diinjakkan ke kepala Lingga W isnu.
Kemudian mendupaknya dengan sekuat tenaga. Dan
kena dupakan itu, Lingga W isnu terpental menggabruk
tanah. Penculik itu sudah telanjur dengki kepadanya.
Terus saja ia mengejar, dan dengan golok ditangan ia
berniat membunuhnya. Untunglah, pada detik-detik yang sangat berbahaya
bagi Lingga W isnu, terdengarlah suara kesiur angin. Dan
tahu-tahu kepala penculik itu terbentur sebuah benda
yang menbeletuk. Penculik itu terkejut. Ia menoleh. Dan
nampak Ngrumbini sedang mengayunkan senjata
bidiknya yang kedua. Ternyata senjata bidik itu sebutir
telur. Pant aslah, begitu membentur kepalanya, menerbitkan suara merrbeletuk. Ia jadi kuncup hatinya
dan terus saja ia meninggalkan Lingga W isnu, untuk
kabur secepat-cepatnya dengan masih mengempit
Suskandari. Tentu saja Ngrumbini tidak menbiarkan penculik itu
kabur dengan membawa puterinya. Ia melepaskan
sambaran telurnya yang ketiga. Kali in i tepat mengenai
mata kiri. Penculik itu menjadi gelagapan. Meskipun
hanya sebutir telur, akan tetapi timpukan itu cukup
keras, sehingga matanya berkunang-kunang. Ia jadi
gusar, terus saja ia melepaskan Suskandari. Sedang
tangan kirinya digunakan unt uk mengucak-ucak matanya
yang kena pecahan telur. Ia maju menyerang dengan
golok di tangan kanan. Ngrumbini tak bersenjata. Ia melayani serangan si
penculik dengan kelincahan tubuhnya. Dalam pada itu
Lingga W isnu sudah merayap bangun. Segera ia
memungut pisau dapurnya kembali dan tanpa memperdulikan luka-lukanya,
ia maju menyerang membantu Ngrumbini. Semangat t empurnya makin lama
makin menyala-nyala, dan tidak takut segala akibatnya.
Suskandaripun tidak tinggal diam. Teringat dia akan
pedang panjangnya yang tertinggal di pekarangan rumah
tatkala kena gempur penculik itu. Segera ia lari
mencarinya dan datang kembali dengan membawa
pedang itu. Karena didesak Lingga W isnu, penculik itu tak dapat
lagi memusatkan serangannya kepada Ngrumbini seperti
semula. Ngrumbini jadi memperoleh kesempatan untuk
menerima pedang Suskandari. Dengan pedang ditangan,
ia tak ubah seekor harimau tumbuh sayap. Namun ia
seorang penyabar. Tak mau ia segera turun ke
gelanggang menggunakan pedangnya. Ia menjumput
tiga buah batu dan ditinpukkan. Keruan saja si penculik
jadi kerepotan setengah mati. Hampir saja ia terkena
tikaman pisau dapur Lingga W isnu.
Selagi penculik itu terpaksa mundur Ngrumbini berkata
dengan suara sabar: "Bribil selagi aku tiada di rumah, kenapa engkau
hendak menculik anakku" Apakah itu perbuatan seorang
laki-laki sejati?" Ngrumbini tidak memberi kesempatan Bribil menjawab
tegurannya. Dengan pedang ditangan ia menyerang. Dan
Brib il menjadi sibuk tak keruan. Cepat-cepat ia
menendang Lingga W isnu. Bocah itu roboh terguling.
Kemudian ia melayan i serangan Ngrumbini dengan
sungguh-sungguh. Ngrumbini nampaknya sedang gusar. Ia berkelahi
dengan hebat. Setelah mendesak beberapa kali,
berhasillah ia melukai pundak Brib il, dan Bribil jadi
berkaok-kaok kesakitan. Karena kesakitan, gerakannya
jadi lambat. Ngrumbini tidak sia siakan kesempatan sebagus itu.
Terus saja ia merangsak dan menghantam golok Bribil.
Dan kena hant amannya, golok Bribil terlepas dari
tangannya. Buru-buru ia melompat sambil berkata :
"Aku berbuat demikian, semata-mata melakukan
perint ah suamimu. Engkau hendak membunuhku, nah,
bunuhlah! Tetapi aku akan mati penasaran. Apabila aku
jadi set an, akan tetap mencarimu di mana saja engkau
berada!" Sepasang alis Ngrumbin i berdiri tegak. Dengan wajah
merah karena marah, pedangnya menikam. Bribil
agaknya sudah menduga demikian, maka cepat-cepat ia
menjejakkan kakinya dan melesat mundur, kemudian lari
tunggang-langgang menuruni gunung.
Ngrumbini tidak mengejarnya. Dengan menyarungkan
pedangnya ia berbalik menghampiri Suskandari dan
Lingga W isnu. Ia bersyukur karena Suskandari sama
sekali tidak terluka. Akan tetapi melihat Lingga W isnu
mandi darah, cepat-cepat ia membimbingnya pulang.
Dengan tangannya sendiri ia membersihkan luka-lukanya
dan mengobati dengan bubuk kuning semalam. Bocah itu
itu ternyata mendapat dua luka. Syukur lukanya tidak
berbahaya. Benar ia mengeluarkan banyak darah, akan
tetapi t idak sampai membahayakan jiwanya.
"Kau rebah saja di pembaringan," kata Ngrumbini
dengan suara terharu. Suskandari segera menceritakan pengalamannya. Dan
mendengar tutur kata puterinya, hati Ngrumbini
bertambah terharu. Pikirnya di dalam hati :
'Sama sekali tak kusangka bahw a dia berhati mulia.
Dia masih begini muda, akan tetapi gagah sekali. Kalau
begitu aku harus menolongnya agar mendapat seorang
guru yang tepat untuk menjangkau masa depannya. Oleh
pikiran itu ia berkata kepada Lingga W isnu :
"Lingga, kau t idur saja baik-baik. Sebentar malam k ita
berangkat." Baik Suskandari maupun Lingga W isnu heran
mendengar perkataan Ngrumbini. Sebenarnya mereka
ingin mint a keterangan, akan tetapi Ngrumbini telah
masuk kembali berkemas-kemas. Ia mempersiapkan dua
buntalan dan menunggu datangnya sore hari. Setelah
makan petang, bertiga mereka duduk menghadapi pelita.
Pintu tidak dikuncinya. Ngrumbini nampaknya seorang
wanita gagah yang tidak gentar menghadapi ancaman
bahaya apapun juga. Kira-kira menjelang malam hari, tiba-tiba terdengarlah
langkah kaki memasuki pekarangan. Ternyata dialah
Ganjur, si gagu yang baik hati. Ia nampak angkar
berwibawa dan langkahnya ringan sekali. Jelaslah bahw a
ia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Ngrumbini menyambut kedatangannya dengan berdiri
dari tempat duduknya. Ia berbicara dengan Ganjur
dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya. GAnjur
rupanya mengerti akan isyarat tangan Ngrumbini. Dia
nampak memanggut-manggut.
"Paman Aria Puguh kau bawa ke mana?" tanya Lingga
W isnu mint a keterangan. "Apakah dia tertolong?"
Ngrumbini segera menterjemahkan perkataan Lingga
W isnu. Setelah memperoleh jawaban, maka Ngrumbini
mewakili Ganjur. Katanya:
"Dia dalam keadaan baik. Jangan engkau merasa
khawatir. Sekarang perkenankan aku berbicara denganmu." Ngrumbini membawa Lingga W isnu masuk ke dalam
kamar. Dia duduk di atas pembaringan, sedangkan
Lingga W isnu berdiri di depannya.
"Lingga, duduklah disampingku," kata Ngrumbini
sambil menarik tangan Lingga W isnu dengan suara
manis. "Begitu aku melihat dirimu, entah apa sebabnya
hatiku berkenan sekali. itulah sebabnya engkau
kupandang tak ubah anak kandungku sendiri. Tadi
engkau telah berkorban demi Suskandari. Itulah budimu
yang pertama kali yang tidak akan ku lupakan se lama
hidup. Malam ini kami hendak pergi ke suatu tempat
yang jauh sekali. Karena itu pergilah engkau bersama
paman Ganjur." "Oh, jadi bibi tidak mengajak aku bersama?" Lingga
W isnu heran. "Kukira bibi tadi bermaksud mengajak aku
pergi." Ngrumbini menghela napas. Sahutnya:
"Sebenarnya tak sampai hatiku berpisah denganmu.
Akan tetapi aku ingin Ganjur membawamu kepada
seseorang. Dialah guru pamanmu, Aria Puguh. Baru
beberapa bulan saja pamanmu Aria Puguh belajar ilmu
kepadanya. Ternyata dia sudah memiliki ilmu kepandaian
sangat tinggi. Orang itu mempunyai ilmu kepandaian
yang tiada bandingnya di jagad ini. Dan aku
menginginkan engkau berguru kepadanya."
Mendengar kata-kata Ngrumbini, Lingga W isnu
terdiam. Hatinya tertarik. Tatkala hendak membuka
mulut nya, Ngrumbini meneruskan :
"Seumur hidupnya, orang itu hanya mempunyai dua
orang murid saja. Hal itu terjadi pada belasan t ahun yang
lampau. W alaupun demikian, sampai kin i dia belum mau
menerima seorang murid lagi. Kau seorang yang
berbakat. Hatimu mulia pula. Aku percaya dia pasti akan
menerimamu sebagai muridnya. Ganjur in i bujangnya.
Itulah sebabnya, dengan perantaraannya aku mengirimkan engkau kepadanya: Kau pergilah dengan
dia. Seumpama orang itu tidak sudi menerimamu sebagai
muridnya, Ganjur akan membawamu kembali kepadaku."
Sampai disitu Lingga W isnu telah mengambil
keputusan. Dia memanggut.
"Bagus" seru Ngrumbini gembira. "Sebelum bertemu
dengan orang itu, baiklah kuberitahu tentang tabiatnya.
Ia seorang aneh. Seumpama engkau tidak patuh
kepadanya, segera ia membencimu sampai tujuh
turunan. Sebaliknya, andaikata engkau terlalu menurut,
diapun akan mencelamu habis-habisan. Dan pastilah
engkau akan di katakan sebagai seorang anak yang sama
sekali t ak mempunyai semangat hidup. Maka kin i segalagalanya tinggal t erserah
kepada nasibmu belaka. "
Ngrumbini meloloskan sebuah gelangnya dan dikenakan pada pergelangan tangan Lingga W isnu. Ia
memijitnya sedikit, sehingga gelang itu tidak akan lolos
lagi dari pergelangan tangan si bocah.
"Di kemudian hari, apabila engkau sudah tamat,
engkau akan menjadi seorang pemuda yang tinggi
besar." kata Ngrumbini dengan tersenyum. "Janganlah
engkau melupakan bibimu dan adikmu Suskandari,!"
"Akh, bibi bergurau," sahut Lingga W isnu sungguhsungguh, 'andaikata aku
diterima sebagai murid, aku
mohon dengan hormat, dikala senggang hendaklah
bibi mengajak adik Suskandari datang menjengukku."
Kedua mata Ngrumbini berkaca-kaca. Hatinya t erharu.
Jawabnya: "Baik. Aku akan selalu teringat padamu."
Ngrumbini menulis sepucuk surat. Dan kemudian
diserahkan kepada Ganjur. Setelah perbekalan selesai
disiapkan, segera ia berkata memutuskan :
"Marilah kita sekarang berangkat!"
Berempat mereka keluar rumah. Sesampainya di luar
halaman mereka berpisah dalam dua jurusan. Masingmasing dengan tujuannya
sendiri. Suskandari bersama ibunya mengarah ke timur,
sedang Ganjur mengajak Lingga W isnu mengarah ke
barat. Berat rasa hati Lingga W isnu berpisah dari
Ngrumbini dan Suskandari. Inilah perpisahan yang
memilukan untuk yang ke enam kalinya! Yang pertama
tatkala berpisah dengan eyang gurunya dan Sitaresmi.
Yang kedua dengan Aruji, yang ketiga dengan keempat
gurunya. Yang kelima dengan gurunya, Aria Puguh. Dan
yang ke enam dengan Ngrumbini dan Suskandari.
Ganjur tahu bahwa Lingga W isnu mengeluarkan
banyak darah tatkala menderita luka. Karena itu
ia memondongnya dan dibawanya lari cepat, tak
perduli jalan pegunungan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempit dan licin. Kakinya
melesat dengan gesit sekali.
Ia melakukan perjalanan siang dan malam. Ia baru berhenti beristirahat pada
larut malam. Tetapi bukannya di hotel atau di rumah
seseorang, melainkan di tengah-tengah tegalan atau di
dalam goa-goa. Kalau ia memasuk i pedusunan atau kota,
semata- mata hanya untuk membelikan barang makanan
bagi Lingga W isnu. Dia sendiri hanya mengisi perutnya
sekenanya saja. Sering Lingga W isnu mint a keterangan tentang dusundusun yang dilalu inya atau
ke mana arah tujuannya. Ganjur hanya menjawab dengan menudingkan tangannya ke arah depan. Dan setelah tiga hari, jalan
yang ditempuhnya makin lama makin menjadi su lit. Pada
waktu itu sampailah dia di sebuah pinggang gunung
terjal. Jalanan hampir boleh dikatakan tiada. Untuk maju
terus Ganjur menggunakan kedua .tangannya merayap
atau merangkaki tebing. Kadang-kadang ia merambat
lewat akar-akar pepohonan. Pada waktu itu Lingga W isnu
menggunakan kesempatan untuk melongok ke bawah.
Hatinya ngeri luar b iasa, karena di bawah kakinya adalah
jurang yang dalamnya entah berapa ratus meter. Tak
terasa ia memeluk leher Ganjur erat-erat karena takut
terlepas. Dalam hatinya berdoa panjang dan pendek.
Betapa tidak" Sekali terpeleset mereka berdua bakal
jatuh di dalam jurang yang sangat dalam. Dan tamatlah
riwayat hidupnya ... Hampir satu hari lamanya Ganjur memanjat dan
merangkaki tebing-tebing terjal. Dan menjelang petang
harinya, sampailah d ia d i sebuah puncak gunung yang
tinggi. Lingga W isnu diturunkan di atas batu. W aktu itu
luka-lukanya sudah menjadi kering. Hanya di atas alisnya
masih tertinggal luka kecil. Karena itu gerakan kaki dan
lengannya t ak terhalang lagi. Begitu berdiri di atas batu,
segera ia melayangkan penglihatannya. Di depannya
tergelar sebidang tanah lebar dengan dipagari hutanhutan cemara yang tinggi-
tinggi. Kesannya sangat indah
dan menyenangkan. Setelah beristirahat sejenak, Ganjur memondongnya
lagi. Kemudian melanjutkan perjalanan. Hanya sekali itu
ia tidak berlari-lari lagi seperti semula. Setelah melewati
enam rumah batu, ia tersenyum gembira. Kesannya
seperti seorang perantau yang melihat kampung
halamannya kembali. Di depan sebuah rumah batu, Ganjur membimbing
Lingga W isnu masuk ke dalam pekarangannya. Lantai
rumah batu itu kotor dan banyak kayu-kayu yang malang
melint ang. Itulah suatu tanda bahwa rumah itu lama
tiada penghuninya. Segera Ganjur menyapunya. Sekarang rumah batu itu nampak rapih dan menyenangkan. Terus saja ia menyalakan api dan
memasak air dan nasi. Puncak gunung itu tinggi. Perjalanannya sangat sukar
pula. Entah bagaimana caranya, si gagu Ganjur dapat
menyediakan beras dan lauk-pauk yang dibutuhkan.
Lingga W isnu boleh cerdas, akan tetapi tak mampu
menjawab teka-teki itu. Tiga hari tiga malam lamanya Lingga W isnu berada
dalam rumah batu itu dengan Ganjur. Bagi Lingga W isnu
hal itu merupakan suatu siksaan karena Ganjur tak dapat
dielak berbicara. Setelah menjelang hari keempat ia jadi
gelisah. Dengan gerakan-gerakan tangannya, ia mencoba
berbicara dengan Ganjur. Ia mencoba mint a keterangan
kepadanya, kapan datangnya guru yang dijanjikan.
Ganjur rupanya mengerti pertanyaan Lingga W isnu.
Dia menunjuk ke bawah gunung. Mengira bahwa-guru
yang dijanjikan itu berada di bawah gunung. Lingga
W isnu segera mengajak : "Mari k ita turun saja!"
Akan tetapi Ganjur menggelengkan kepalanya. Maka
terpaksalah L ingga W isnu berdiam saja meskipun hatinya
sangat masgul. Hal itu disebabkan karena ia merasa
kesepian. Kalau saja ia bisa berbicara dengan Ganjur,
hatinya agak terhibur meskipun berada di tempat yang
sunyi dan sepi. Pada suatu malam ia terperanjat dari tidurnya. Di
depan matanya berkelebat cahaya terang. Segera ia
menggeliat dan duduk ditepi pembaringan. Di depannya
berdiri seorang tua membawa lilin menyala. Orang tua itu
berseri-seri w ajahnya, tanda hatinya girang.
Dasar ot ak Lingga W isnu cerdas, cepat cepat ia turun
dari pembaringan. Lantas saja bersimpuh dihadapannya
sambil berkata : "Guru, akhirnya guru datang juga."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Sahutnya :
"Eh! Siapa yang mengidzinkan engkau memanggilku
sebagai gurumu" Bagaimana engkau bisa yakin bahw a
aku akan menerimamu sebagai murid?"
Lingga W isnu girang bukan kepalang. Oleh kata-kata
orang tua itu, jelaslah sudah bahw a dia bakal diterima
sebagai murid. Segera ia menjawab:
"Bibi Ngrumbini yang mengajari aku."
"Hmm!" orang tua itu mengeluh. "Artinya ia
menambahi kesulitan lagi kepadaku."
Setelah menggerutu demikian, tiba-tiba ia tersenyum.
Katanya : "Baiklah, mengingat mendiang ayahmu, aku bersedia
menerimamu sebagai murid."
Bukan kepalang girang Lingga W isnu. Terus saja ia
bersembah beberapa kali. Tetapi orang tua itu
mencegahnya. Katanya: "Cukup! Cukup! Sampai besok saja!"
Pada keesokan harinya, sebelum terang t anah, Lingga
W isnu sudah bangun dari tidurnya. Segera ia mencari
Ganjur. Dan melihat kedatangannya, Ganjur girang
bukan kepalang. Untuk menyatakan kegirangannya yang
meluap-luap, ia mengangkat tubuh Lingga W isnu dan
dilemparkan tinggi-tinggi di udara dan ditanggapi dengan
tangannya. Empat lima kali ia berbuat demikian,
sehingga Lingga W isnu te rapung-apung di udara. Lingga
W isnu tahu, bahwa Ganjur ikut bergirang hati karena
dirinya diterima menjadi murid. Lalu ia tertawa cekikikan
karena geli. Guru besar itu segera keluar dari kamarnya, begitu
mendengar suara t ertawa riuh. Menyaksikan lagak-lagu si
gagu, ia menghampiri. Berkata kepada Lingga W isnu :
"Bagus! Kau masih begini muda akan tetapi engkau
mengerti perbuatan-perbuatan mulia dan gagah. Engkau
telah menolong seorang perempuan. Sebelum engkau
mengenal namaku, coba perlihatkan kepadaku, kepandaian apa yang telah kau miliki."
Lingga W isnu menundukkan kepalanya. W ajahnya
merah karena malu. Ia segan memperlihatkan ilmu
kepandaiannya dihadapan orang tua itu.
"Jika engkau tidak sudi memperlihatkan ilmu
kepandaianmu, bagaimana aku bisa mengajari d irimu?"
kata orang tua itu sambil tertawa.
Sekarang barulah Lingga W isnu mengerti dengan
maksud orang tua itu. Terus saja menyahut:
"Baiklah, guru."
Setelah berkata demikian, ia mulai memperlihatkan
ilmu sakti Sapu Jagad yang diperolehnya dari keempat
gurunya dan Aria Puguh. Orang tua itu mengawasi
dengan pandang berseri-seri. Ia menunggu sampai
Lingga W isnu selesai dengan jurus yang terakhir,
kemudian barulah dia tertawa. Katanya :
"Pantas saja Puguh selalu memuji kecerdasanmu.
Mulanya aku tidak percaya. Katanya, dia mengajarkan
jurus-jurus Sapu Jagad baru beberapa hari saja
kepadamu. Nyatanya engkau bisa melakukan begitu
rupa. Bagus!" Mendengar disebutnya nama gurunya, Aria Puguh.
Lingga W isnu te rgerak hatinya. Sebenarnya ingin segera
ia memperoleh keterangan tentang gurunya. Akan t etapi
karena orang tua itu masih berbicara, tak berani ia
memutuskan. "Sekarang, bolehlah engkau mengenal namaku." kata
orang tua itu. "Mulai sekarang panggillah aku, Sambang Dalan"
Lingga W isnu membungkuk hormat. Kemudian ia
mint a keterangan : "Guru tadi menyebut nama paman. Di mana d ia
sekarang" Apakah dia baik-baik saja?"
Orang tua itu mengerinyitkan dahinya. Biasanya
hatinya tidak senang apabila seseorang mengalihkan
pembicaraan dengan tak seidzinnya. Akan tetapi
mengingat bocah itu sangat memikirkan keselamatan
gurunya, diam-diam ia menaruh perhatian. Pikirnya di
dalam hati : "Benar. Dia seorang anak yang mulia hatinya. Sama
sekali ia tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
Yang ditanyakan adalah keselamatan gurunya." Kemudian ia menjawab: "Ia tak kurang suatu apa. Ia sudah kembali kepada
pasukannya. Kini berada bersama-sama dengan Panglima
Sengkan Turunan." Lingga W isnu girang bukan main. Hanya saja hatinya
menyesal karena tak dapat bertemu lagi dengan
gurunya, yang telah mewariskan ilmu sakti Sapu Jagad
kepadanya. "Baiklah," kata orang tua itu. "Karena kau sudah
mengenal namaku, dan akupun telah menerimamu
sebagai murid, marilah kita melakukan upacara di
dalam." Apa yang dinamakan upacara, bukanlah semacam
upacara sembahyangan. Orang tua itu hanya mengeluarkan selembar kertas lukisan seorang ksatrya
beroman alim dan agung. Sambil menyulut lilin ia
berkata: "Inilah gambar Pangeran Mangkubumi I yang kini
sudah mengangkat senjata menuntut keadilan. Ksatrya
inilah yang harus kau hormati dengan sedalamdalamnya. Nah, perlihatkan hormatmu
kepadanya!" Lingga W isnu segera bersimpuh di hadapan gambar
itu. Ia bersembah berulangkali tiada hent inya sehingga
membuat orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya: "Sudahlah, cukup!"
Masih saja ia tertawa, atau t iba-tiba dilihatnya Lingga
W isnu bersembah kepadanya sambil berkata :
"Guru!" Mau tak mau Kyahi Sambang Dalan menerima sembah
calon muridnya itu. Katanya :.
"Mulai sekarang kau adalah muridku yang sah,
Sebelum kau tiba di sini, aku mempunyai dua orang
murid. Dengan demikian engkau adalah muridku yang
ketiga. Terpautmu, sangat jauh dengan kedua kakak
seperguruanmu itu. Hal itu disebabkan karena belasan
tahun lamanya aku belum menemukan calon murid lagi
yang berbakat seperti engkau. Kini sudah kuput uskan
bahw a engkau menjadi murid penutup. Karena itu
engkau harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian
hari engkau bisa menjaga martabat perguruanmu."
Lingga W isnu manggut berulangkali. Janjinya :
"Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan kehendak
guru. Dan Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan pula
kepadaku untuk bisa menjunjung tinggi martabat
perguruan guru." "Sudah kukatakan tadi, namaku Sambang Dalan.
Orang-orang menyebut diriku Kyahi Sambang Dalan. Kau
ingat-ingatlah namaku ini. Sebab aku tidak akan
menyebutnya lagi dihadapanmu. Di kemudian hari
apabila seseorang bertanya kepadamu siapa gurumu,
engkau harus bisa menjawab dengan tepat. Jangan
sampai kau lupakan namaku!"
Mendengar kata-kata gurunya, Lingga W isnu tertawa
geli di dalam hati. Tak pernah diduganya bahwa orang
tua itu pandai juga bersenda gurau. Bukankah Ngrumbini
berpesan kepadanya bahwa orang tua itu aneh
tabiatnya. Kyahi Sambang Dalan adalah rekan sejaman dengan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kyahi Basaman. Ia malang-melint ang dua puluh tahun
lamanya tanpa tandingan. Karena tak senang menjual
lagak, namanya tak begitu tersohor. Ia tidak
memperdulikan hal itu. Ia malahan menjadi seorang
pendekar yang senang hidup menyendiri. Tetapi
terhadap Lingga W isnu tiba- tiba timbul ah rasa ibanya.
Bocah ini yatim p iatu, pantaslah dia harus d ikasihani.
Demikianlah pikirnya di daiam hati. Sebagai seorang
pendekar besar, sudah tentu ia mendengar kabar
tentang kegagahan Udayana. Ia kagum dan menghargai
ayah Lingga W isnu itu. Anak Udayana inipun berbakat
bagus dan berotak cerdas. Tabiatnya mulia pula. Oleh
pertimbangan-pertimbangan
itu mendadak sajalenyaplah tabiat anehnya. Ia tidak hanya menerima
Lingga W isnu sebagai muridnya akan tetapi bersedia
bersenda-gurau pula. "Kedua kakak seperguruanmu berusia jauh lebih tua
dari padamu. Umurnya kini barangkali tigapuluh lima
tahun lebih." kata Kyahi Sambang Dalan. "Malahan
murid-murid mereka ada d i ant aranya yang berusia lebih
tua dari pada engkau Maka bisa kejadian mereka akan
menyesali aku lantaran aku menerima seorang murid
begini muda. Lebih celakanya lagi, apabila engkau tidak
berhasil. Seumpama engkau kalah sewaktu diadu dengan
murid-murid mereka, kedua kakak seperguruanmu pasti
akan mencela diriku."
"Guru, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh,"
kata Lingga W isnu dengan semangat berkobar-kobar.
Kemudian mengalihkan pembicaraan: "Apakah paman
Aria Puguh murid guru?"
"Puguh, salah seorang perwira andalan Panglima
Sengkan Turunan," jawab Kyahi Sambang Dalan. "T iada
waktunya untuk belajar lama-lama kepadaku. Aku hanya
mengajari ilmu pukulan Sapu Jagad saja. Karena itu tak
dapat dia disebut sebagai muridku." Ia berhenti sebentar,
memalingkan pandangnya. Sambil menuding kepada
Ganjur, ia meneruskan: "Lihat pulalah dia, Setiap kali k ita
berlatih, dia menyaksikan. Diam-diam ia menyimpannya
di dalam ingatannya. Apa yang diingatnya bukan sedikit.
W alaupun demikian, apabila dibanding dengan kedua
muridku, bedanya seperti bumi dan langit."
Mendengar kata-kata Kyahi Sambang Dalan, Lingga
W isnu te rcengang oleh rasa kagum. Dengan mata kepala
sendiri ia menyaksikan betapa perkasa si gagu itu.
Kepandaiannya tinggi. Meskipun demikian ia hanya
seorang pelayan yang dapat memiliki ilmu kepandaiannya itu dengan jalan mencuri pandang saja.
Gurunya sendiri, Aria Puguh, hanya memperoleh pukulan
ilmu sakti Sapu Jagad. Meskipun demikian gurunya itu
seorang pendekar tangguh dan gagah sekali. Jika ilmu
kepandaian mereka berdua hanya dikatakan sebagai satu
kepandaian sambil lalu saja, maka betapa tinggi ilmu
sakti Kyahi Sambang Dalan, sudah dapat dibayangkan.
Diam-diam ia berpikir di dalam hati :
'Jika aku belajar dengan sungguh sungguh, meskipun
tidak dapat menjajari kedua kakak seperguruanku,
set idak-tidaknya aku akan bisa memiliki kepandaian
set araf dengan paman Ganjur. Kurasa itupun sudah
cukup untuk kubuat bekal membalas dendam kematian
ayah bunda.' Dan oleh pikiran ini, ia menjadi girang sekali.
"Rumah perguruan kita ini bernama Sekar Teratai.
Selanjutnya engkau bakal disebut orang sebagai kaum
Sekar Teratai." kata Kyahi Sambang Dalan. Lalu
meneruskan keterangannya :
"Kami kaum Sekar Teratai menpunyai berbagai
peraturan yang keras. Selain peraturan peraturan keras,
ada pula pant angan pantangannya. Yakni, pantang
berbuat cabul, pantang melakukan kejahatan, pantang
menjadi hamba sahaya musuh bangsa, pantang minum
ganja dan lain lainnya. D i kemudian hari akan ku jelaskan
lebih lanjut lagi. Sekarang, resapkan segala pesanku
kedalam perbendaharaan hatimu. Yang pertama, engkau
harus patuh kepada perkataan gurumu! Dan yang kedua,
jangan melakukan hal-hal yang t ercela"
"Pasti aku akan patuh kepada setiap patah kata guru,
dan aku berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang
buruk," kata Lingaa W isnu dengan suara berkobar-kobar.
Kyahi Sambang Dalan-girang mendengar janji Lingga
W isnu. Serunya: "Bagus, anakku! Sekarang, marilah k ita mulai berlatih.
Puguh mengajari pukulan pukulan Sapu Jagad yang
dilakukan secara selint as saja. Sebenarnya ilmu pukulan
Sapu Jagad yang diajarkan kepadamu itu serupa dengan
seseorang yang menyikat jalan panjang. Apabila engkau
tidak mulai dari ujungnya atau t idak kau selami dari titik
pangkalnya, di kemudian hari engkau tidak akan
memperoleh kesempurnaan. Karena itu kini aku akan
mengajarimu dengan ilmu sakti Sardu la Jenar, sebagai
pelajaran dasar dahulu."
"Sardula Jenar?" kata Lingga W isnu heran. "Dahulu
pernah aku memperolehnya dari paman W irupaksa.
Sama sekali t iada keistimewaannya."
"Oh, begitu" Seumpama benar demikian, kukira belum
berarti." kata Kyahi Sambang Dalan. "Apakah engkau
sudah merasa dapat mempergunakan ilmu Sardula
Jenar" Jika merasa begitu, kau keliru jauh. Sebab, jika
engkau sudah mahir memainkan ilmu sakti Sardula
Jenar, hanya beberapa orang saja yang dapat
mengalahkanmu." Lingga W isnu tercengang. Ia percaya keterangan
gurunya itu. Karena itu tak berani lagi ia membuka
mulut nya. "Apakah engkau kurang yakin?" kata Kyahi Sambang
Dalan. "Coba, kau lihatlah! Setelah itu tirukan!" Setelah
berkata demikian, Kyahi Sambang Dalan lant as memberi
contoh jurus-jurus Sardula Jenar. Dan Lingga W isnu
dengan penuh perhatian mengikuti setiap gerakan Kyahi
Sambang Dalan. Semuanya mirip, sama sekali tiada
bedanya dengan ajaran yang diperolehnya dari
W irupaksa. Ia jad i heran dan tidak mengerti. Apakah
kehebatannya ilmu pukulan Sardula Jenar. Sedang
Lingga W isnu masih'berpikir pulang balik maka Kyahi
Sambang Dalan menegurnya:
"Apakah engkau mengira aku membohongimu" Mari
kau coba. Kau serang aku. Apabila
engkau bisa menyentuh ujung bajuku. Maka benarlah engkau dah
mahir." Tentu saja Lingga wisnu tak berani menyerang
gurunya. Ia hanya bersenyum saja. Dan sama sekali tak
bergerak dari t empatnya.
"Hayo, maju! Aku sudah
mengajarimu salah satu jurus ilmu sakti Sardula Jenar." Mendengar bahwa gurunya mulai hendak memberi pelajaran. Lingga
W isnu lantas saja melompat masuk ke dalam gelanggang, dengan segera ia menyambar baju gurunya yang berpakaian pendeta. Menurut perasaannya, ia bakal dapat menyentuhnya. Alangkah herannyaa! Setiap kali tangannya nyaris menyentuh ujung baju mendadak saja
ujung baju gurunya itu mundur sendiri. lantas melompat
menerkam tetapi justeru demikiaian ia kehilangan
pengamatan. Tiba-tiba saja tubuh gurunya lenyap dari
depannya. "Aku di sini!" seru gurunya sambil t ertawa. Tangannya
menerkam pundaknya. Ternyata ia berada di belakang
punggungnya. Lingga W isnu mengasah otaknya. Dan cepat ia
memutar tubuhnya. Kemudian dengan berjumpalitan ia
menghampiri. Gerakannya gesit sekali. Kedua tangannya
dipentang untuk memeluk. Tetapi ia hanya memeluk
udara kosong melompong. Sama sekali tubuh gurunya
tak dapat disentuhnya. Dan apabila ia berpaling, gurunya
telah berada kira kira sepuluh langkah di belakang
punggungnya. Lingga W isnu jadi penasaran. Ia melompat sekali lagi
dengan gesit. Tangannya menyelonong ke depan. Dan
pada saat itu gurunya tiba-tiba mengebaskan lengan
bajunya. Dan tubuhnya ikut melesat. Dengan begitu ia
menghindarkan terkaman Lingga W isnu, sehingga bocah
itu hanya menangkap angin.
Sekalipun begitu Lingga Wisnu tidak jadi berputus asa.
Lantaran mendongkol, ia malahan jadi bersemangat. Kini
ia tertawa gembira. Ia mengejar, membiluk dan
mengikuti gerakan gurunya. Tiba-tiba ia melihat si gagu
menggerak-gerakan tangannya di luar gelanggang.
Diam-diam ia memperhatikan. Mendadak saja hatinya
tergerak. Katanya di dalam hati :
'Paman Ganjur menyuruh aku meniru gerakan guru
melakukan ilmu sakti Sardula Jenar. Apakah maksudnya"
Memang, guru bergerak dengan langkah langkah Sardula
Jenar. Mengapa bisa begini gesit"'
Ia masih mengubar selint asan. Kemudian dengan
perilahan-lahan ia mu lai memperhatikan gerak-gerik
gurunya. Karena otaknya cerdas luar biasa, sebentar saja
telah dapat ia memahami semua gerakannya. Setelah
merasa diri dapat menirukan, segera ia mencontoh
gerakan gurunya. Lantas saja kegesitannya bertambah
beberapa kali lipat. Kyahi Sambang Dalan semenjak tadi mengawasi
gerak-gerik muridnya. Diam-diam ia manggut-manggut.
Pikirnya di dalam hati : 'Anak ini benar-benar cerdas. Ia mengerti apa yang
kukehendaki.' Lingga W isnu memperhebat pengejarannya karena
kini bisa bergerak lebih sebat dan gesit. Akan tetapi
gerakan gurunya pun bertambah gesit lagi, sehingga
usahanya untuk menangkap atau menyentuh ujung baju
gurunya menjadi sia-sia belaka. Tetapi Ganjur yang
berada di luar gelanggang bergembira, karena mereka
berdua bergerak bagaikan bayangan saja.
Beberapa saat kemudian, mendadak saja Kyahi
Sambang Dalan melompat keluar gelanggang. Kemudian
berbalik menubruk muridnya dan diangkatnya tinggitinggi diudara. Serunya sambil
t ertawa : "Murid yang- baik! Murid yang baik! Engkau seorang
anak manis sekali!" "Guru!" seru muridnya pula yang menjadi g irang luar
biasa. "Barulah kin i aku sadar bahw a ilmu sakti Sardula
Jenar tidak boleh dibuat gegabah."
"Bagus, anakku! Cukup sudah untuk hari ini," tungkas
gurunya. Ia menurunkan t ubuh muridnya sambil berkata
lagi : "Sekarang kau ulangi sendiri!"
Lingga W isnu segera mengulangi jurus-jurus ilmu sakti
Sardula Jenar. Setelah menperhatikan gerak-gerik Lingga
W isnu beberapa kali, Kyahi Sambang Dalan kemudian
masuk ke dalam kamarnya. Tetapi Lingga W isnu tak sudi beristirahat. Ia berlatih
terus sampai belasan kali, sehingga makin lama makin
mengerti guna faedahnya ilmu sakti Sardula Jenar.
Ternyata ilmu sakti Sardula Jenar berpokok pada
kegesitan dan kesebatan. Kesadaran ini membuat
hatinya bertambah girang. Ia begitu girang sampai tak
dapat tidur nyenyak pada malam harinya. Jurus-jurus
berkelebatan di dalam benaknya, sehingga dalam
mimpinya ia sedang berlatih dengan giat.
Keesokan harinya, tatkala fajar hari baru saja
menjenguk di langit timur, Lingga W isnu sudah bangun
dari tidurnya. Terus saja ia melompat dari pembaringannya dan berlatih mengulangi jurus-jurusnya
semalam. Ia takut lupa. Maka dengan sungguh-sungguh
dan penuh perhatian ia berlatih seorang diri. Selagi
tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba ia mendengar
batuk gurunya di belakang punggungnya. Segera ia
berputar dan berseru girang :


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guru!" Kyahi Sambang Dalan tertawa lebar. Sahut orang t ua
itu : "Engkau telah paham dan mengerti dengan cepat
sekali. Bagus, anakku! Tetapi sebenarnya engkau baru
mengerti bagian atas. Bagian bawahnya belum. Karena
Senopati Pamungkas 17 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Jejak Di Balik Kabut 1
^