Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 6

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 6


"Lihatlah, sekarang aku berganti pakaian baru. Kau t ak
perlu takut akan racun yang kulumurkan di pakaianku
tadi," kata Palupi dengan tertawa lebar.
"Ayunda, kau dapat memikirkan segala sesuatunya
dengan cermat t erlebih dahulu sebelum bertindak. Hai !
Apabila aku dapat mewarisi sepersepuluh bagian saja
dari kepandaianmu ini, aku sudah bersyukur set inggitingginya kepada Tuhan serta
sekalian alam." kata
Lingga W isnu bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, mendadak Palupi
berkilat-kilat kedua matanya. Dengan suara mengandung
penuh penyesalan ia berkata :
"Kau berkata ?"?" ?"" kau bisa jadi manusia bahagia
apabila mengenal racun" Huh ! Orang yang mengenal
racun, akan selalu tergoda oleh pikirannya terus menerus
untuk mengadakan berbagai percobaan penebaran
racun-racunnya. Setiap detik yang dipikirkan hanyalah
bagaimana dapat mennbuat racun sehebat-hebatnya
melebihi yang sudah-sudah. Lihatlah aku ini, set iap saat
manakala aku bangun tidur sampai nanti menjelang tidur
kembali, dalam hatiku terus bergumul satu perjoangan
hebat antara hawa napsuku sendiri. Karena itu apabila
dapat aku memohon kepada T uhan serta sekalian alam,
agar aku dilahirkan kembali sebagai manusia biasa
seperti dirimu. Alangkah bahagianya!"
Setelah berkata demikian, ia menghela napas
berulangkali. Kemudian menarik lengan Lingga W isnu.
Segera ia menusuk jari-jari Lingga W isnu dengan tusuk
kondenya. Kemudian mengurut-ngurutnya sehingga tak
lama kemudian, darah merah meleleh keluar.
Lingga W isnu semenjak tadi membiarkan tangannya
ditarik dan ditusuk dengan tusuk konde perak Palupi. Ia
heran, karena tusukan itu sama sekali tidak terasa sakit.
Bahkan tatkala darah mengalir keluar, ia merasakan
suatu hawa yang nyaman sekali meresap kedalam
peredaran darahnya. Ia jadi kagum luar biasa. Pada saat
itu mendadak saja ia mendengar suara Panjisangar
mengeliat. Ia terperarrjat dan lant as berseru :
"Hei, dia tersadar! "
?" "k mungkin!" sahut Palupi yakin. "Paling cepat, t iga
jam lagi!" Memperhatikan keadaan Panjisangar, Lingga W isnu
menjadi t eringat kepada pengalamannya tadi. Terus saja
mint a keterangan : "T adi sewaktu aku mengangkat keranjang, sama sekali
dia tak bergerak sehingga aku tak tahu bahwa dalam
keranjang itu ada manusianya. Akh, benar-benar tolol
aku ..." Palupi t ersenyum lebar. Menjawab:
"Hemm! Orang yang menyatakan dirinya tolol,
biasanya justru orang pinter luar biasa."
Lingga W isnu tidak menjawab. Ia hanya tertawa. Akan
tetapi di dalam hatinya puas. Sesaat kemudian ia berkata
lagi : "Eh, mereka tadi berebutan kitab sakti warisan
gurumu. Apakah mengenai ilmu pengetahuan ketabiban
atau sarwa racun?" "Dugaanmu tepat sekali," jawab Palupi senang. "Itulah
hasil jerih payah almarhum guruku. Semua ada dua
buku. Yang satu tentang ilmu ketabiban, dan yang lain
tentang rahasia ramuan sarwa racun. ?"" engkau ingin
melihat?" Heran Lingga W isnu mendengar tawarannva. Bukankah dia tadi menolak keinginan ketiga kakak
seperguruannya untuk membaca kitab warisan gurunya
barang sebentar saja" Melihat Palupi mengeluarkan
sebuah bungkusan kain putih yang disimpan dalam
sakunya, Lingga W isnu jadi terharu. Dalam bungkusan
kain putih itu terdapat bungkusan kertas minyak. Dan
setelah kertas minyak itu dibuka, terlihatlah dua jilid
kitab kuning dan hitam yang panjangnya enam sent i dan
lebar ampat senti. Dengan menggunakan tusukkonde
Palupi membuka-buka lembaran kitab yang penuh
tulisan-tulisan huruf Jawa kuno. " "k usah dikatakan lagi,
bahw a setiap lembar kertas itu pasti lah sangat beracun.
Orang akan celaka apabila berani dengan sembarangan
menyentuh atau membuka-buka dengan tangannya.
Memperoleh kepercayaan Palupi yang begitu besar
terhadap dirinya, Lingga W isnu merasa sangat bersyukur
dan girang sekali. Dengan mengangguk, ia memberi
isyarat bahwa sudahlah cukup ia melihat buku w arisan Ki
Sarapada itu. ?"k" Palupi kembali membungkusnya
dengan rapih. Dan dimasukkannya ke dalam saku.
Kemudian ia mengeluarkan sebotol bubuk berwarna
ungu. Ia menuang di atas telapak tangan dan
mamborehkan pada telapak tangan Lingga W isnu yang
tadi ditusuknya dengan tusuk-konde perak. Sebentar ia
mengurut jari-jari itu dan tak lama konudian bubuk berwarna ungu tadi lantas
saja terhisap masuk melalui
lubang-lubang bekas t usukan Palupi.
"Benar-benar hebat engkau, ayunda!" Lingga W isnu
memuji dengan setulus hati. "Seumurku belum pernah
aku menyaksikan seorang tabib seperti dirimu ! "
"Kepandaianku in i tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan kepandaian guruku," sahut Palupi.
"Guru pandai membedah perut dan dada serta ahli
menyambung tulang. Apabila engkau telah menyaksikan
kepandaiannya, barulah engkau pantas merasa kagum."
"Benar," kata Lingga W isnu. "Gurumu mahir
menggunakan racun. Tetapi pasti ahli pula dalam
menyembuhkan penyakit. Pantaslah eyangku pernah
memuji gurumu setinggi langit."
"Siapa eyangmu?" tanya Palupi penuh perhatian.
"Eyangku bermukim di atas Gunung Lawu. Namanya
Kyahi Basaman." jawab Lingga W isnu.
Mendengar jawaban Lingga W isnu, Palupi jadi
terperanjat. Agaknya ia mengenal nama Kyahi Basaman
yang termashur itu. Terus saja ia berseru girang:
"Akh! Jika guru masih h idup dan mendengar pujianmu
ini, pastilah beliau akan girang bukan kepalang. Hanya
sayang, beliau sekarang sudah tiada di dunia in i."
Perkataannya yang penghabisan diucapkan dengan nada
penuh duka. "Kakak seperguruanmu, Roha, tadi berkata bahwa
gurumu pilih kasih. Beliau agaknya hanya sayang
kepadamu belaka." kata Lingga W isnu dan manambahkan : "Kurasa kata-katanya benar belaka.
Tetapi hal itu terjadi karena engkaupun mencintai
gurumu dengan sepenuh hati. Dengan demikian terjadi
timbal balik yang sewajarnya."
Palupi tertawa melalui dadanya. Ia menundukkan
kepala. Dan beberapa saat kemudian ia berkata :
"Guru mempunyai ampat murid. Keampatnya sudah
kau ketahui semua. Yang tertua Kangmas Panjisangar,
kemudian kangmas Janggel dan ayunda Roha. Dan yang
keampat adalah aku sendiri. Sebenarnya setelah
mempunyai tiga orang murid, guru tidak ingin menerima
murid lagi. Akan tetapi melihat ketiga kakak seperguruanku itu saling bermusuhan dan mendendam,
guru menjadi cemas juga. Kalau nanti guru sudah
meninggal dunia, siapa yang dapat menguasai mereka
bertiga" ?"k" dalam usianya yang lanjut, beliau
menerima aku sebagai muridnya yang termuda."
Palupi berdiam sejenak. Kemudian meneruskan sambil
menatap wajah Lingga W isnu :
"Mereka bertiga sebenarnya bukanlah orang jahat.
Permusuhan itu terjadi semata-mata karena ayunda
Roha kawin dengan kangmas Janggel. Kangmas
Panjisangar jadi sakit hati. Dan samenjak itu mereka
saling bermusuhan sehingga tak dapat didamaikan lagi."
Lingga W isnu manggut. Tanyanya :
"Kakakmu Panjisangar apakah mencint ai ayunda
Roha" Kukira demikian bukan?"
"Bagaimana kisah asmara itu terjadi sesungguhnya
aku tidak menyaksikan. Sebab pada waktu itu mungkin
sekali aku belum lagi d ilahirkan di dunia ini," sahut Palupi
dengan tertawa manis. "Aku hanya mengetahui dari
guruku, bahwa kangmas Panjisangar dahulu sudah
beristeri. Akan tetapi rupanya ayunda Roha diam-diam
mencintai kangmas Panjisangar. Pada suatu hari ayunda
Roha meracun isteri kangmas Panjisangar hingga mati."
Mendengar sepak-terjang Roha yang sampai hati
meracun isteri Panjisangar, bulu romanya Lingga W isnu
terbangun. Terasa dalam hatinya, bahw a orang yang
pandai menggunakan racun, pasti kejam pula hatinya.
Sehingga apabila ada persoalan kecil saja, mereka lantas
main bunuh dengan racunnya itu.
"Karena gusar, kangmas Panjisangar lantas membalas
meracun ayunda Roha, sehingga menjadi orang cacad
seumur hidup. Ia menjadi wanita bongkok dan kakinya
pincang pula." kata Palupi. "Akan tetapi kangmas Janggel
yang menyintai ayunda Roha dengan segenap hati, tidak
berubah cinta kasihnya, meskipun ayunda Roha telah
cacad tubuhnya. ?"k" mereka berdua lantas kawin.
Entah bagaimana alasannya, setelah ayunda kawin
dengan kangmas Janggel, mendadak kangmas Panjisangar teringat akan hubungannya
pada masa lampau. Ia kembali baik hati kepada ayunda Roha dan mulai
mengganggu cinta kasih mereka berdua. Dengan
demikian, kalau tadinya ayunda Roha yang salah, kini
kangmas Panjisangar yang tercela. Sebab
yang membuktikan cinta kasih sejati adalah kangmas Janggel.
Dan menyaksikan peristiwa itu, guru menjadi jengkel.
Berulangkali guru mencoba menasehati mereka bertiga
agar teringat akan nilai-nilai budi pekerti. Akan tetapi
nasehatnya sama sekali t iada guna. Mereka menganggap
seperti segumpal awan berserakan di tengah udara.
Makin lama permusuhan mereka makin hebat. Masingmasing mempersiapkan kubu-kubu
pertahanan. Kangmas Janggel yang sangat menyintai ayunda Roha membangun sebuah rumah dari besi. Bentuknya
setengah bulat seperti bola. Rumah itu dilumuri racuh
penyepuh, dan ia menanam pula pohon-pohon
Bangaspati disekitar rumahnya. Itulah pohon-pohon
racun yang sangat berbahaya, karena tiada pemunahnya.
Semula rumah itu di maksudkan sebagai kubu
pertahanan menghadapi kangmas Panjisangar. Akan
tetapi karena merasa diri terancam bahaya terusmenerus, akhirnya mereka
bertempat tinggal dalam rumah tersebut. Hanya sekali-kali mereka mengadakan
perjalanan unt uk mengintai dimana kangmas Panjisangar
berada. Demikian pula yang dilakukan kangmas
Panjisangar terhadap mereka berdua. Dengan demikian,
karena mereka bertiga menggunakan nama guru,
masyarakat dibuat bingung oleh munculnya tiga tokoh
yang berbeda perawakan tubuhnya tetapi nama yang
dikenakan sama. ?"k" banyaklah cerita dan kisah-kisah
mengenai diri pribadi guruku Sarapada. Penduduk
disebelah selatan yakin bahw a Ki Sarapada adalah
seorang laki-laki berjubah. Sedangkan sebenarnya dialah
kangmas Panjisangar. Sebaliknya penduduk yang
bermukim di sebelah barat Gunung Merapi berkata,
bahw a Ki Sarapada sebenarnya seorang perempuan.
Sedang penduduk sebelah timur Gunung Merapi
mengabarkan bahwa Ki Sarapada adalah seorang laki-laki
berperawakan kasar dan nampak dungu. Itulah kedua
kakak seperguruanku kangmas Janggel dan ayunda
Roha." "Oh begitu?" kata Lingga W isnu sambil memanggut manggutkan kepalanya. "T etapi
sebenarnya diant ara mereka bertiga, siapakah yang berhak memakai nama K i
Sarapada?" "Aku sendiri tidak tahu." jawab Palupi dan
menairibahkan lagi: "T etapi satu hal yang pasti.
Betapapun alasan mereka bertiga, guru tidak merestui.
Hal itu disebabkan karena permint aan racun mereka. Apa
yang mereka lakukan benar-benar bertentangan dengan
panggilan hidup guruku. Berulangkali guru berkata
kepadaku, begini: "Aku mampelajari sarwa racun demi untuk menolong
sesama hidup. Sekarang kakakmu bertiga menyematkan
namaku untuk melampiaskan dendamnya masingmasing. Tidak segan-segan mereka
membunuh sesama

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

umat dengan menggunakan racun. W alau pun aku sama
sekali t idak melakukan hal itu, akan tetapi karena mereka
murid-muridku, maka kesalahan itu akan ditimpakan
diatas pundakku juga.. Apakah engkau mengira bahw a
Ngesti Tunggal ini tadinya seorang biadab yang senang
membunuh sesama hidup" Tidak,
anakku. Ilmu pengetahuanku ini kuperoleh dari padanya. Dia se orang
maha mulia yang bijaksana. Setiap saat yang dipikirkan
ialah bagaimana menolong orang dari lembah kesengsaraan hidup ... "Akan tetapi racun kami memang sangat dahsyat,
sehingga tiada seorang saktipun di dunia in i yang
sanggup menghadapinya. Sayang sekali, ketiga kakak
seperguruanku itu meracun orang baik-baik. Karena
mereka murid-murid guru, maka nama Ki Sarapada
menjadi bulan-bulanan orang. Hampir set iap orang
mengutuk dan menyumpah sampai langit ketujuh. Akh !
Benar-benar menyedihkan sekali. Adik yang baik,
bagaimana menurut pendapatmu?"
Lingga W isnu menghela napas. Sebagai anak yang
baru berumur belasan tahun, belum dapat ia membuat
pertimbangan. Tetapi secara naluriah ia tahu pekerti baik
dan buruk. Maka ia menjawab:
"Sepak terjang kakakmu bertiga memang ke-terlaluan.
Pastilah orang akan segera teringat pada gurumu
manakala orang-orang sekitar Gunung Merapi ini salah
tafsir dan salah terka mengenai pribadi gurumu Ki
Sarapada. Mereka menyangka bahwa ketiga kakak
seperguruanmu itulah Ki Sarapada. Herannya, ?"" sebab
gurumu tidak turun gunung untuk membereskan dan
membersihkan namanya?"
"Hal itu gampang dikatakan tetapi sukar di lakukan."
sahut Palupi. "Apabila guru sampai turun gunung, maka
salah pengertian akan jadi semakin parah ...... " gadis itu
lantas menghela napas dalam. Ia memeriksa luka-luka
Lingga W isnu sekali lagi. Kemudian menyatakan bahwa
racun telah larut sirna. Ia bangkit berdiri dan berkata :
"Malam in i aku masih harus menyelesaikan dua tugas
lagi. Yang pertama, kita harus mengambil obat pemunah
racun rumput Baiduri. Dan, yang kedua mengobati
Sukasa, puteri kangmas Janggel. Apabila tidak ..." ia
tersenyum dan tidak menyelesaikan perkataannya.
"Semua ini terjadi karena kesemberonoanku saja ..."
Lingga W isnu menghela napas pula, dan menyambung
lagi: "Jika aku tadi tidak mencampuri urusanmu, pastilah
engkau telah dapat membereskan mereka berdua.
Bukankah engkau ingin berkata demikian kepadaku?"
"Y a ! " jawab Palupi dengan tegas. "Baguslah jika
engkau tahu, marilah kita berangkat sekarang."
"Apakah dia dimasukkan ke dalam keranjang lagi?"
tanya Lingga W isnu sambil menunjuk Panjisangar yang
masih menggeletak di tanah.
"Benar, kau tolonglah." kata Palupi.
Lingga W isnu menghampiri Panjisangar dan mencoba
mengangkatnya. Tentu saja tak dapat ia mengangkat
tubuh Panjisangar dengan seorang diri. Maka Palupi
membantunya. Dengan gabungan tenaga mereka
berdua, t ubuh Panjisangar terangkat dengan mudah dan
dimasukkannya ke dalam keranjang kembali. Palupi
kemudian mencari pikulannya.
Setelah diketemukan, seperti tadi ia memikul kedua
keranjangnya dan berjalan mengarah ke jurusan baratdaya. Berjalan kira-kira tiga
kilometer, t ibalah mereka di
sebuah gubuk. Palupi lantas berteriak :
"Paman Mawas! Hayolah!"
Pintu terbuka, dan muncullah seorang laki-laki h itam
legam memikul beban pula. pandang matanya berkilatkilat. Dengan tak mengeluarkan
sepatah katapun, ia segera mengikuti Palupi. 0ooo=dw=ooo0 1. Membongkar Rumah Aneh Melihat munculnya orang hitam lekam itu, meremanglah bulu rana Lingga W isnu.
Pikirnya di dalam hati: 'Lagi-lagi orang aneh .....'
Akan tetapi melihat kesungguh-sungguhannya dan
Palupi menanggapi dengan sikap wajar pula, tak berani
Lingga W isnu minta keterangan kepadanya. Iapun segera
mengikuti Palupi dalam jarak tiga langkah. Ampat-lima
kali Palupi menengok dan menghadiahkan suara
tertawamanis. Itu adalah suatu tanda bahwa kini ia
merasa puas terhadap si bocah yang mendengar kata.
Dari gubuk orang hitam itu, Palupi terus berjalan
mengarah ke utara. Dan selama berjalan mereka bertiga membisu. Kira-kira
jam ampat pagi, tibalah mereka didepan rumah aneh yang bentuknya seperti topi ditengkurupkan. Itulah rumah suami-isteri Jenggel
dan Roha. Palupi kemudian mengeIuarkan tiga ikat bunga biru dari dalam keranjang. Yang seikat diberikan nya kepada Lingga W isnu, yang lain di berikan
kepada orang hitam tersebut dan seikat lagi dipegangnya
sendiri. Setelah melompati pagar pohon Bangaspati, ia
berteriak nyaring : "Kangmas Janggel! Ayunda Rolla! Apakah kalian
berdua sudi membuka pintu bagiku?"
Tiga kali ia berseru, akan tetapi sama sekali tak
memperoleh jawaban. Setelah nenunggu beberapa saat lamanya,Palupi
memberi isyarat anggukan kepada Mawas. Orang itu
segera meletakkan bebannya di atas tanah, dan
mengeluarkan alat-alat besi terdiri dari sebuah alat
penyemprot api, tungku dapur, bubuk besi, timah dan
perabot pengebor. Ia membuat api dan mulai
melumerkan bubuk besinya. Setelah bubuk besi lamer, ia
lalu memateri bagian-bag ian yang renggang dari rumah
aneh tersebut. Lingga W isnu yang selama in i mengikut i gerak-gerik
orang hitam-lekam itu segera mengetahui bahwa dia
sedang menutup pintu-pintu dan jendela-jendela rumah
besi Janggel dan Roha. Rupanya karena merasa diri t idak
dapat mengatasi kepandaian adik seperguruannya,
Janggel dan Roha tak berani lagi menongolkan
kepalanya. Tak ubah seperti kura-kura sembunyikan kepala,
mereka lantas saja menutup semua pintu dan
jendelanya. Dengan demikian, seperti halnya yang dilihat
oleh Lingga W isnu, rumahnya yang aneh itu nampak
seperti tidak berpintu maupun berjendela.
Setelah semua lubang ditutup rapat, Palupi menggapai
Lingga W isnu. Dengan isyarat mata gadis itu memberi
perint ah kepada si bocah agar mengikutinya. Dia berjalan
mendahului dan melompati barisan pagar pohon-pohon
Bangaspati. Arahnya ke jurusan barat-laut dan setiap kali
mengalahkan kakinya, ia selalu menghitung dengan
cermat. Setelah berjalan beberapa puluh langkah, is
membelok ke timur lima langkah lagi dan ke kiri ampat
langkah. Kemudian berkata memutuskan :
"Di sinilah!" Lalu ia menyalakan lilinnya. Dengan
matanya yang tajam Lingga W isnu mengamati dua batu
besar yang berada di depannya. Ternyata di antara dua
batu besar tersebut terdapat sebuah lubang kira-kira
sebesar piring dan teraling sebuah batu.
"Inilah lubang tempat bernapas mereka," kata Palupi
sambil t erus berjongkok.
"Mereka tak dapat keluar lagi dari rumah itu, karena
semua lubang angin maupun pintu dan jendela telah
tertutup rapat. Maka sebentar lagi pastilah mereka akan
menghampiri lubang ini."
Lilin yang telah dinyalakan tali didekatkan ke mulut
lubang dan dengan bantuan angin perlahan-lahan
asapnya masuk ke dalam. Menyaksikan t indakan Palupi yang dianggapnya sangat
kejam, Lingga W isnu jadi bergidik. Tiba-tiba saja ia jadi
merasa iba terhadap mereka yang terkurung di dalam
rumah besi tersebut. Apakah perbuatan begini dapat
dibenarkan" . Beberapa saat kemudian, Palupi bahkan mengeluarkan
kipas bambunya, dan dengan kipas itu ia mulai
mengipasi asap lilin ke dalam lubang pernapasan. Dan
Lingga W isnu tak dapat bersabar lagi kini. Dengan berdiri
tegak ia berkata menegor :
"Ayunda Palupi! Apakah engkau sangat berdendam
terhadap kedua kakak seperguruanmu itu" Tak dapatkah
mencari jalan damai lain lagi?"
"T idak!" jawab Palupi dengan suara tawar.
"Apakah gurumu memberi perint ah kepadamu agar
engkau membersihkan rumah perguruanmu?"
"Belum sampai sebegitu jauh. Hanya mirip mirip saja."
sahut Palupi acuh tak acuh.
"T api tapi ..." kata Lingga W isnu terputus-putus. Tak
tahulah ia bagaimana hendak nenyatakan perasaan
hatinya. Palupi mendongak mengawaskan dan berkata
dengan suara dingin : "Kenapa engkau jadi begitu bingung?"
"Jika kedua kakak seperguruanmu mempunyai dosa
yang sangat besar, biarlah kali ini diberi kesempatan agar
mereka dapat merobah sepak terjangnya yang telah
lampau unt uk menebus dosadosanya." ujar Lingga W isnu
dengan suara memohon. "Y a!" sahut Palupi. "Gurukupun pernah berkata
begitu." Ia berdiam sejenak dan berkata lagi: "Sayang
sekali, guruku kini sudah berada di alam baka. J ika beliau
masih hidup, pasti beliau merasa cocok dengan cara
berpikirmu." Sedang mulutnya berkata demikian, tangannya tetap
mengipasi asap lilin yang makin lama makin banyak yang
masuk ke dalam lobang. Lingga W isnu menggaruk-garuk
kepalanya. Dengan menuding lilin berasap itu ia berkata:
"Bukankah asap beracun itu dapat membunuh
manusia?" "Oh, kalau begitu, hatimu yang mulia ini menyangka
aku hendak mengambil jiwa mereka?" seru Palupi
dengan tersenyum. W ajah Lingga W isnu lantas saja menjadi merah. Sebab
oleh jawaban itu, Palupi hendak meyakinkan kepada
Lingga W isnu, bahwa ia tidak berniat hendak membunuh
kakak seperguruannya. Maka bocah itu merasa malu
sendiri. Palupi sendiri t idak menghiraukan keadaan hati Lingga
W isnu. Dengan kukunya ia menggores lilinnya sambil
berkata : "Adikku Lingga, tolonglah engkau menggantikan aku.
Tetapi jaga, jangan sampai lilin ini padam. Kau boleh
memadamkan lilin ini, apabila apinya sudah membakar
sampai d igoresan ini."
Segera ia menyerahkan kipas bambunya kepada
Lingga W isnu dan kemudian bangkit berdiri sambil
menebarkan penglihatannya ke sekitar rumah aneh itu
serta memasang telinga. T anpa berkata sepatah katapun
lagi. Lingga W isnu lant as saja melakukan t ugasnya.
Apabila keadaan sekitar rumah aneh itu tetap sunyi
dan tiada terjadi sesuatu diluar perhitungannya, Palupi
lantas duduk di atas sebuah batu besar dekat Lingga
W isnu. "Orang berkuda yang menghancurkan kebun bungaku
adalah Sukasah, puteri kangmas Janggel" ujar Palupi
dengan tiba-tiba. "Akh!" Lingga W isnu berseru heran. "Bukankah dia
seorang laki-laki?" "Apakah orang perempuan tidak bisa menyamar
sebagai laki-laki?" sahut Palupi membalas pertanyaan
Lingga W isnu dengan pertanyaan pula.
Lingga W isnu tergugu sejenak. Minta keterangan :
"Apakah dia pun berada dalam rumah ini?"
"Benar!" jawab Palupi dengan tertawa lebar. "Apa
yang kita lakukan sekarang ini justru untuk menolong
dia. Kita harus merobohkan kedua kakak seperguruanku
terlebih dahulu, agar mereka berdua tidak merint angi
pekerjaan kita." Sekali lagi Lingga W isnu berseru tertahan. Di dalam
hati ia berkata : 'Benar-benar diluar dugaanku semua gerak geriknya.
Dia membakar lilin yang sama. Akan tetapi dia tidak
bermaksud membunuh orang. Sebaliknya malah hendak
menolong. Sepak terjangnya ini y ang sukar diduga hanya
set an dan iblis yang bisa menebaknya.'
"Sebenarnya kangras Janggel dan ayunda Roha
mempunyai seorang musuh bernama Anung Sukahar."
ujar Palupi. "Anung Sukahar sudah berada ditempat ini
kira-kira set engah tahun yang lalu. Akan tetapi masih


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum mampu ia menerjang rumah. Bangaspati ini Itulah
disebabkan karena pohon Bangaspati yang sangat
beracun. Di dunia ini tak ada orang yang mampu
melawan racun dahsyatnya. Hanya bunga biru itulah satu
satunya pemunah racun Bangaspati. Mula-mula kangmas
Janggel dan ayunda Roha tidak mengetahui khasiat
bunga biruku. Akan tetapi begitu kuberikan kepadamu
berdua, mereka lantas tersadar. Dapat dibayangkan
betapa terkejutnya mereka berdua, begitu menyaksikan
engkau dapat melawan pohon-pohon racun nya."
"Benar!" Lingga W isnu memotong. "Tatkala aku dan
abang Aruji datang ke mari, lapat-lapat aku mendengar
suara mereka, kaget berbareng gusar dari dalam rumah
ini." Palupi manggut dan berkata lagi :
"Seperti kataku t adi, racun Bangaspati sebenarnya tak
dapat dipunahkan oleh ramuan pemunah yang terdapat
di dunia in i. Sebaliknya kita bisa kebal terhadap
racunnya, apabila sering makan buahnya. Unt unglah,
meskipun besar bahayanya, tanda-tanda Bangaspati
mudah sekali dikenal. Jika pohon itu tumbuh di suatu
tempat, disekitarnya dalam jarak sepuluh atau dua puluh
meter, tiada terdapat seekor semut atau sebatang
rumputpun." "Benar katamu!" Lingga W isnu mengamini.
"T adinya aku heran sekali melihat sekitar rumah ini
tiada terdapat tumbuhan apapun juga. Akh! jika aku
tidak kau hadiahkan bunga birumu itu ..." berkata sampai
disitu, Lingga W isnu bergidik dengan sendirinya karena
teringat pengalamannya yang seram bersama Aruji.
"Bunga biru itu bernama Badjrarinonce. Dan Baru saja
berhasil aku tanam." Palupi memberi keterangan. "Aku
merasa syukur terhadap kalian berdua yang bisa
menghargai jerih payahku. Mengapa tidak kau lemparkan
saja ditengah jalan?"
"Bunga itu sangat indah!" kata Lingga W isnu.
"Hemm Karena indah, maka engkau tidak membuangnya, bukan?" Palupi menegas.
Lingga W isnu tergugu. Ia mendeham beberapa kali
karena t ak tahu bagaimana harus menjawabnya. Berkata
di dalam hati: 'Benar. Jika bunga itu t idak indah, barangkali tak sudi
aku menyimpannya di dalam saku. Dengan begitu yang
menolong aku dan abang Aruji sesungguhnya adalah
keindahannya.' Selagi ia mendengarkan kata hatinya sendiri, angin
mendadak meniup keras sehingga memadamkan nyala
lilin. Lingga W isnu terperanjat bukan main sampai
setengah berteriak : "Hai! Bagaimana ini?"
"Sudahlah! Kira-kira sudah cukup!" kata Palupi
menghibur. Hati Lingga W isnu tercekat mendengar suara Palupi
agak kurang senang. Ia jad i malu sendiri karena segala
yang dimint a Palupi berakhir dengan kejadian-kejadian
yang tidak memuaskan hati. Maka segera ia berdiri
dengan membungkuk penuh sesal. Katanya :
"Maaf, mbakyu! Entah sudah berapa kali aku mint a
maaf kepadamu. Entah kenapa, malam ini pikiranku
menjadi kusut begini."
Palupi tidak menyahut. Karena itu Lingga W isnu
meneruskan : "Aku tadi sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba angin
kencang meniup mBakyu Palupi! Tatkala engkau
menghadiahi aku bunga biru itu, sama sekali tak
kuketahui bahwa bunga itu menolong jiwaku. Meskipun
demikian, aku tetap menyimpannya, karena aku pikir
segala hadiah dari seseorang itu, harus dan wajib
disimpan dengan sebaik-baiknya."
Sekali lagi Palupi membungkam mulut. Ia hanya
mendengus beberapa kali. Dan hati Lingga W isnu jadi
pedih. Beberapa saat kemudian, ia mencoba berkata lagi:
"Belum lagi umurku mencapai sepuluh tahun, aku
sudah tiada berayah-bunda lagi. Jarang sekali orang
menghadiahi sesuatu kepadaku ..."
"Akupun begitu," tiba-tiba Palupi memotong. "Akan
tetapi semua orang dewasa di dunia ini berasal dari
bocah yang belum pandai beringus lambat laun,
seseorang akan bisa menjadi dewasa ..." sambil berkata
demikian ia turun dari batu. Ia menyerahkan lilinnya
kembali dan mencari sebuah batu.
Kemudian ditutupkan ke lubang pernapasan rumah
aneh itu. Dengan menghela napas ia berkata memerint ah :
"Hayooooolah!" Ia mendahului berjalan dan Lingga W isnu segera
mengikuti dengan menbungkam mulut. Bocah itu tak
berani lagi mengumbar pikirannya yang ternyata selalu
salah. Dan ternyata tatkala mereka t iba di rumah Janggel
Roha, si tukang besi berkulit hitam-lekam itu sedang
duduk di atas tanah sambil merokok.
"Paman Mawas! Tolong sekarang buka kembali
semua!" perint ah Palupi samb il menunjuk bagian rumah
yang tadi dipateri. Tanpa berkata sepatah katapun juga, tukang besi itu
segera mengambil alat-alatnya. Lalu ia melakukan
perint ah Palupi dengan sesungguh hati. Kira-kira
seperempat jam kemudian semua yang dipateri tadi
selesai dibuka kembali. "Sekarang bongkarlah pintunya, papan!" perint ah
Palupi. Mawas segera bekerja. Setelah mengetukngetuk
beberapa kali, ia kemudian menyentak dengan martilnya.
Dan dengan suara berkerontangan sepotong papan besi
jatuh ke bawah, dan terbukalah sebuah pintu yang
tingginya enam kaki dan lebarnya tiga kaki.
Lingga W isnu heran menyaksikan cara kerja pandai
besi itu. Ia benar-benar paham akan pekerjaannya,
perlengkapan rumah dikenalnya dengan baik. Dengan
cekatan ia menarik sebuah tombol yang ada dibalik pint u,
lalu muncul ah sepasang tangga kecil.
"Sekarang buanglah semua bunga biru!" perint ah
Palupi. Ia mendahului melaksanakan perint ahnya sendiri,
yang segera diikut i Mawas dan Lingga W isnu. Tatkala
hendak mendaki tangga penghubung, ia menebarkan
penciumannya. mendadak menoleh kepada Lingga
W isnu. Katanya: "Adik. Dalam sakumu masih tersimpan bunga biru
pemberianku, jangan kau bawa masuk."
"Akh!" seru Lingga W isnu heran sambil menggerayangi
sakunya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan
dibukanya. Katanya lagi :
"Penciumanmu benar-benar tajam! Meskipun didalam
bungkusan, masih saja t ercium olehmu."
Lingga W isnu membungkus bunga biru tersebut dalam
saputangan pemberian Sitaresmi. Bunga itu ternyata
telah layu. Dengan hati-hati ia menaruhkannya di luar
pintu. Melihat cara menaruh dan menyimpan, terharu hati
Palupi. Benar-benar Lingga W isnu menghargai bunga
pemberiannya. Tadi ia tidak yakin akan kejujuran bocah
itu, akan tetapi kini hatinya menjadi girang dan
bersyukur. Ia berpaling menatap wajah Lingga W isnu
dan memberi hadiah senyum. Katanya kemudian :
"Adik yang baik, kau benar tak berdusta!"
Lingga W isnu tak mengerti, apa sebab Palupi berkata
demikian. Serunya tersinggung:
"Dusta! Kenapa aku berdusta kepadamu?"
Palupi tidak menjawab. Ia mendahului me langkahkan
kakinya ke duhang pintu sambil berkata :
"Mereka yang berada di dalam tak tahan dengan
bunga biruku. Karena mereka biasa makan buah pohon
Bangaspati." Setelah berkata demikian, ia meneruskan
perjalanan memasuki rumah aneh tersebut dengan
membawa lenteranya. Lingga W isnu dan Mawas segera
mengikuti di belakang. Tiba di kaki t angga terakhir, mereka berada di sebuah
terowongan yang sangat sempit. Setelah membiluk dua
kali, lalu masuk ke dalam sebuah ruangan kecil
berdinding penuh lukisan dan perabot rumah tangga dari
bambu. Menyaksikan hal itu diam-diam Lingga W isnu
heran didalam hatinya. Sama sekali diluar dugaan,
bahw a Janggel yang nampaknya begitu kasar mempunyai perasaan halus sampai dapat menghiasi
rumahnya dengan lukisan-luk isan serta perabot meja
kursi yang sedap dipandang mata.
Palupi t erus berjalan t anpa membuka mulut. Beberapa
saat kemudian mereka bertiga tiba dibagian dapur. Dan
apa yang terjadi didalam dapur itu sangat mengejutkan
Lingga W isnu. Janggel dan Roha nampak menggelet ak diatas lantai.
Mereka berdua tidak berkutik, entah mati entah masih
hidup. Akan tetapi bukan keadaan mereka itulah yang
mengherankan hati Lingga Wisnu. Ia t ahu, mereka roboh
akibat racun bunga Badjrarinonce. Apa yang mengherankan hatinya ialah, ia melihat seorang dewasa
berada didalam sebuah kuali benar. Sedang air didalam
kuali itu nampak mengepulkan uap. W alaupun belum
mendidih, akan tetapi sudah pasti panas sekali.
Dan melihat hal itu, secara naluriah Lingga W isnu
mempercepat langkahnya. Ia bergegas mendahului
Palupi yang berjalan didepannya. Maksudnya sudah
terang hendak menolong orang itu yang tersiksa digodok
dalam kuali. Dia menduga bahwa orang itu terjatuh
dalam kuali tatkala pingsan akibat asap beracuh bunga
Badjrarinonce memasuki lubang pernapasan.
"Hai, kau mau ke mana?" tegor Palupi samba menarik
lengan baju Lingga W isny. "Coba lihat, dia laki-laki atau
perempuan?" "Dia laki-laki atau perempuan, bukan soal", sahut
Lingga W isnu dengan suara gemetar.
"Oh begitu" Coba lihat yang jelas, d ia me makai celana
atau tidak?" kata Palupi dengan muka merah.
"Apakah ...... apakah," Lingga W isnu ragu-ragu tatkala
melihat perobahan wajah Palupi. "Apakah dia tidak
memakai celana?" Pada waktu itu, orang perempuan tidak memakai
celana panjang. Maka begitu mendengar keterangan
Palupi bahwa orang yang berada di dalam kuali besar itu
seorang perempuan bertelanjang bulat, Lingga W isnu
merandak. Hatinya t ercekat dan wajahnya terasa papas.
Dia bukan anak bodoh, sekarang jelaslah sudah
persoalan yang timbul antara Janggel dan Roha dengan
Panjisangar. Anaknya, Sukasah terkena racun Badjrarinonce. Maka sadar dia, bahw a wanita yang
terendam dalam kuali besar itu tentu Sukasah. Itulah
sebabnya ia jadi bimbang. Selagi demikian, terdengar
Palupi berkata lagi memerint ah:
"Bungkukkan saja badanmu dan mendekatlah! Tolong
tambah kayunya, agar airnya cepat mendidih!"
Lingga W isnu percaya akan kecerdasan otak gadis itu.
Akan tetapi ia perlu meyakinkandiri. Tanyanya menegas :
"Apakah dia Sukasah?"
"Y a!" jawab Palupi. "Kangmas Janggel dan Ayunda
Roha ingin melarut kan racun yang berada dalam diri
Sukasah dengan jalan menggodoknya dalam kuali. Akan
tetapi tanpa bantuan bubuk racun Badjrarinonce, jerih
payahnya t idak akan berhasil. "
Mendengar keterangan Palupi, Lingga W isnu menjadi
berlega hati. Tanpa ragu-raqu lagi ia menambah
beberapa potong kayu bakar ke dalam tungku api. Akan
tetapi tak berani ia menambah terlalu banyak, karena
khawatir Sukasah tidak akan tahan. Terdengar Palupi
berkata memerint ah lagi :
"T ambah lagi! Kenapa engkau begitu pelit?"
Dengan ragu-ragu Lingga W isnu menatap wajah
Palupi, dengan pandang menyelidik.Palupi berkata
meyakinkan : "Percayalah, dia t idak akan mati!".
Dengan kepala penuh teka-teki ia menambah
sepotong kayu bakar lagi ke dalam tungku itu. Kemudian
mundur dengan tetap membungkuk. Setelah mundur
lima langkah, ia memut ar badan menjauhi. Melihat
pekerti Lingga W isnu, Palupi tersenyum dengan muka
bersemu merah. Tak lama kemudian, Palupi menghampiri kuali besar
itu. Ia mencelupkan jari telunjuk untuk mengukur suhu
air yang nampak mulai mendidih. Ia menunggu kira-kira
sepuluh menit lagi, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil
yang herisi bubuk berwarna ungu. Itulah bubuk bunga
biru Badjrarinonce. Ia menaburkan ke dalam air mendidih
dan kemudian mengaduknya. Setelah itu ia menghampiri


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janggel dan Roha. Dengan jari telunjuk ia mengambil bubuk pemunah
racun kemudian dise lomotkan ke hidung mereka ber dua.
Dan begitu menyedot obat pemunah racun yang ditempelkan Palupi, lantas saja
mereka bersin. Pada saat itu
juga mereka menjenakkan mata ..
Dalam pada itu, Palupi mulai bekerja. Ia menyenduk
air mendidih dalam kuali besar dengan sebuah gayung.
Air mendidih itu dibuangnya dan diganti dengan air
dingin. Sembari menuang air d ingin, tak lupa ia mena
burkan bubuk bunga birunya.
Menyaksikan hal itu, paras muka Janggel - Roha yang
tadinya guram lant as saja berubah girang. Mereka tahu
bahw a Palupi sedang menolong puterinya. Serentak
mereka bangun berdiri mengawasi gerak-gerik adik
seperguruannya itu dengan membungkam mulut.
Lingga W isnu menoleh dan mengamati w ajah mereka.
Nampaknya masih bimbang. Hal itu dapat dimengerti.
Puterinya kena racun adik seperguruannya, dan kini
gadis yang meracuni anaknya datang menolongnya.
Inilah pekerti yang tak pernah terlint as dalam benak
mereka. Janggel dan Roha tadi sudah berusaha mati-matian
untuk menolong jiwa puterinya itu dengan hati kurang
yakin. Sekarang Palupi dapat memunahkan racun dengan
cekatan dan pasti. Tentulah gadis itu sudah mewarisi
seluruh kepandaian gurunya. Menyadari hal itu, mereka
berdua nampak jelas. Akan tetapi mereka mati kutu,
bukankah dalam waktu singkat saja mereka berdua dan
kakak seperguruannya Panjisangar roboh ditangan adik
seperguruannya itu " .
Palupi tidak menghiraukan kesan mereka, ia tetap
bekerja dengan tekun dan sungguh-sungguh. Seperti
tadi, setiap kali air mendidih, ia me nyendok dengan
gayung dan membuanqnya. Kemudian diganti dengan
segayung air dingin. Direbus secara begitu, racun yang
mengeram di dalam tubuh Sukasah terhisap perlahanlahan oleh bubuk pemunah.
Setelah beberapa lama, Palupi kemudian berpaling kepada Mawas. Berkata
memerint ah : "Paman Mawas, hayolah turun tangan! Tunggu sampai
kapan lagi" Bukankah sekarang saat yang paling baik" "
"Baiklah," jawab si tukang pandai besi sambil
mengambil sepotong kayu bakar. Dan selagi Lingga
W isnu sedang merasa heran, tiba-tiba tangan Mawas
yang menggenggam kayu bakar terayun memukul kepala
Janggel. "He, gila kau!" bentak Janggel dengan suara gusar.
Segera ia hendak menggerakkan tangannya, tetapi
isterinya mencegah . "Kangmas Janggel, saat ini adik k ita sedang menolong
jiwa anak kita satu-satunya. Budi ini bukan main
besarnya. Menerima pukulan beberapa kali tanpa
membalas, rasanya bukan apa-apa. Kau terima saja
dengan ikhlas, orang itu hanya melaksanakan perint ah
adik kita." Mendengar kata-kata isterinya, Janggel jadi tercengang. Akan tetapi akhirnya ia nenundukkan kepala. Lalu berkata dengan suara menahan rasa gusar: "Baiklah." Dan ia menyerahkan dirinya kepada situkang besi untuk digebuk pulang-balik sampai babak
belur. "Anjing!" teriak Mawas,
situkang besi itu. "Kau
sudah merampas sawah ladangku, rumahku dan kau
paksa pula aku membangun rumah besi ini. Jangankan,
kau merasa hutang budi atau memberi upah kepadaku.
Bahkan kau gebuki aku sampai nyaris mati. Lihatlah,
tulang igaku patah tiga! Dan hampir satu tahun aku
terpaksa rebah tidak berdaya. Karena sawah ladangku
kau injak dan rumahku kau rampas, aku terpaksa
mengobati luka itu dengan sisa-sisa barangku yang
masih ada. Anjing! Aku ini orang miskin, kenapa engkau
begitu kejam dan biadab" Apa aku pernah mengganggu
selembar rambutmu" Oh, Tuhan ...! Akhirnya pada hari
ini aku bisa bertemu dengan kalian berdua!"
Sambil terus memaki, tukang besi itu memukul,
menghantam dan menendang kalang kabut tubuh
Janggel. Meskipun tidak memiliki himpunan tenaga sakti,
akan tetapi pukulannya cukup keras, karena tangannya
terlatih sebagai t ukang pandai besi. Kayu pembakar yang
digunakan sebagai alat penggebuk, patah dalam tujuhdelapan kali sabetan saja.
Dapat dibayangkan, bahwa Janggel sangat menderita
karenanya. Namun dengan mengertak gigi ia menerima
pukulan-pukulan pandai besi itu tanpa membalas atau
mengelak. Sekarang tubuhnya serta mukanya tidak
hanya babak belur, tetapi mulai berdarah.
Dalam pada itu Lingga W isnu yang berotak cerdas,
lantas saja dapat menebak latar belakang peristiwa itu.
Tukang besi itu rupanya menyimpan dendam begitu rupa
kepada suami isteri Janggel - Roha. Oleh pertolongan
Palupi, dapatlah ia melampiaskan dendamnya. Dia sendiri
adalah seorang anak yang mendendam pula terhadap
lawan-lawan ayah-bunda dan saudaranya yang mati
penasaran. Karena itu, menyaksikan betapa si tukang
besi dapat melampiaskan dendamnya, hatinya mendadak
ikut bersyukur pula. Tak sekehendaknya sendiri ia
memanjatkan doa syukur kepada Tuhan yang Maha adil.
Dalam waktu yang pendek saja, tiga potongan kayu
bakar sudah patah untuk alat penggebuk. Muka dan
seluruh t ubuh Janggel berlumuran darah, t ukang besi itu
lalu menghentikan gebukannya. Betapapun juga dia
bukan manusia kejam. Segera ia melemparkan kayu
bakarnya ke tanah. Lalu menghadap Palupi. Sambil
membungkuk hormat ia berkata :
"Nona Palupi. Pada hari ini engkau telah menolong aku
melampiaskan dendam. Budimu ini takkan kulupakan
selama-lamanya. Entah dengan cara bagaimana aku
dapat membalas budimu."
"Paman Mawas. Tak usah kau berkata demikian,"
sahut Palupi. Kemudian menoleh kepada Roha. Katanya:
"Ayunda, kembalikanlah sawah ladang dan rumahnya.
Aku mohon kepadamu, agar mulai saat ini ayunda
berdua jangan membalas sakit hati kepadanya lagi.
Maukah ayunda berdua berjanji?"
"Selama hidupku, tak akan lagi menginjak daerahnya,"
jawab Roha dengan angkuh. "Akan tetapi jangan harap
aku akan melupakan peristiwa yang terjadi pada hari in i."
"Baiklah," sahut Palupi memaklumi. "Paman Mawas,
kau pulanglah dahulu. Di sini tiada lagi sangkut -pautnya
dengan perkaramu. Semuanya sudah beres, bukan?"
Dengan muka berseri-seri, tukang besi itu memungut
beberapa potongan kayu bakar yang berlumuran darah.
Berkata: "Orang itu sangat jahat. Tetapi aku telah dapat
melampiaskan dendamku. Perkenankan aku menyimpat
alat penggebuk pembalas dendam ini,sebagai kenangkenangan."
Setelah berkata demikian, kembali ia membungkuk
hormat kepada Palupi kemudian memutar tubuhnya
meninggalkan ru angan itu dengan langkah panjang.
Melihat pandang rata tukang besi yang berseri-seri itu,
jant ung Lingga W isnu t ergoncang. Itulah suatu keserian
yang membersit dari rasa syukur luar biasa. Ia jadi ingat
dirinya sendiri. Apabila dikemudian hari ia juga berhasil
melampiaskan dendamnya, pastilah akan segirang dia
pula. Teringat pula ia kepada musuh musuhnya yang
kejam. Kekejaman mereka tiada beda dengan kebengisan Janggel dan Roha. Mengingat pekertinya
yang busuk, bukanlah suatu hal yang mustahil, akan
mengejar si tukang besi untuk menganiaya sekali lagi,
begitu Palupi meninggalkan rumahnya. Memperoleh
pikiran demikian, segera Lingga W isnu lari mengejar
Mawas sambil berseru ia berkata :
"Paman Mawas, menurut pendapatku, Janggel dan
Roha bukanlah manusia baik, karena itu, lebih baik
paman mengungsi jauh-jauh. Sawah dan ladang serta
rumah paman segera dijual saja dan dengan bekal uang
hasil penjualan itu, hendaklah paman mencari daerah
yang jauh dan aman dari perbuatan mereka."
Mawas, si tukang besi tercengang. Sejenak kemudian
ia terperanjat. Benar, plkirnya. Mereka berdua, suami
isteri Janggel dan Roha adalah manusia-manusia
beracun. Kemungkinan besar mereka akan datang
kembali untuk menyakiti dirinya. Akan tetapi menjual
sawah ladang dan rumah yang telah didiami belasan
tahun alangkah sayang. Rasa c int a kepada kampung
halaman sudah demikian meresap di dalam d irinya. Maka
berkatalah dia mencoba minta pertimbangan :
"Tetapi, bukankah mereka berdua sudah berjanji
kepada nona Palupi" Masakan mereka akan melanggar
janjinya sendiri?" Palupi tadi menyesali Lingga W isnu, nengapa ia
memperkenalkan namanya terhadap suami isteri Janggel
dan Roha. Pastilah hal itu ada alasannya yang kuat.
Itulah sebabnya begitu ia mendengar ucapan Mawas,
Lingga W isnu lalu berkata meyakinkan :
"Mereka berdua adalah manusia beracun, kataku t adi.
Apakah paman percaya kepada janji janji orang seperti
mereka?" Mawas seperti tersadar dari tidurnya. Dengan suara
nengeluh ia berkata: "Benar, benar! Baiklah, kalau begitu aku harus
nenyingkir jauh-jauh."
Setelah berkata demikian, dengan bergegas ia nenuju
ke ambang pintu. Sekonyong-konyong pula ia berhenti
lalu menoleh dan berkata kepada Lingga W isnu :
"Terima kasih, anakku. Siapa namamu?"
"Lingga W isnu," jawab Lingga W isnu pendek.
"Lingga W isnu, alangkah bagus namamu!" sera Mawas
si t ukang besi. Tiba-tiba ia tersenyurn. Kemudian berkata setengah
berbisik : " Aku harap dengan sangat, hendaklah engkau
memperhatikan nona Palupi selama hidupmu."
Mendengar ucapan Mawas, Lingga W isnu tercekat
hatinya berbareng heran. Bertanya menegas :
"Apa maksud paman?"
"Anakku, Lingga," kata Mawas dengan sungguh
sungguh. "Selama hidup aku ini hidup sebagai pandai
besi. Tetapi meskipun tolol, tidaklah set olol kerbau.
Umurmu ampat atau limatahun lebih muda dari dia.
Meskipun demikian, ia sangat memperhatikan dirimu. Dia
seorang gadis yang suci bersih, berhati mulia dan
berkepandaian tinggi. Tahukah engkau siapa dia
sebenarnya, selain kau kenal sebagai murid Ki Sarapada"
Sebenarnya dia anak seorang maha sakti. Karena itu
baik-baiklah engkau bergaul dengan dia."
Setelah berkata demikian, Mawas memutar t ubuh dan
keluar ambang pintu dengan tertawa.
Keruan saja Lingga W isnu tak dapat menyelami arti
kata-katanya. Secara naluriah tiba-tiba ia merasa malu
seperti melihat seorang perempuan bertelanjang bulat
dihadapannya. Untuk mengatasi perasaan nalu riahnya
itu, ia berseru membalas :
"Paman, sampai bertemu lagi ! "
"Anakku, sampai bertemu kembali!" jawab Mawas.
Ia lalu mengumpulkan alat-alat besinya ke dalam
keranjang. Setelah lengkap semua, segera ia memikulnya
berjalan pulang ke kampungnya dengan hati lega. Kirakira sepuluh langkah
berjalan, ia bersenandung. Itulah
suatu bukti kesederhanaan hatinya. Ia menangis sewaktu
sedih, ia membungkam mulut sewaktu prihatin, dan
tertawa serta bersenandung tatkala hatinya tegar.
Seperti seorang hukuman melihat salah se orang
sahabatnya memperoleh kebebasannya kembali, Lingga
W isnu menghela napas karena jelus, irihati atau ikut
bersyukur. Dan dengan langkah perlahan ia berjalan
kembali ke dapur. Tatkala itu Sukasah telah sadar dari pingsannya, ia
sudah berdiri di atas lant ai dengan berkerebong selimut
kain panjang. Terhadap Palupi, keluarga Janggel dan Roha jelus,
dengki dan benci. Akan tetapi menyaksikan kepandaian
gadis itu dalam hal menggunakan obat dan racun. Mau
tak mau, mereka merasa sangat kagum. Dengan berdiri
tegak mereka menatap pandang Palupi seakan-akan
persakitan menunggu keputusan hakim dengan membungkam mulut. Sama sekali mereka bertiga tidak
menghaturkan rasa t erima kasihnya.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Palupi sendiri tak menghiraukan sikap mereka yang
dingin itu. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan tiga
ikat rumput obat kering berwarna putih. Diletakkannya
ketiga ikat rumput obat kering itu diatas meja, kemudian
berkata: "Rumah kalian tidak lagi merupakan rumah tertutup.
Sekalian pohon-pohon racunmu sudah kupunahkan.
Karena itu pada suatu kali musuh kalian Anung Sukahar,
sew aktu-waktu dapat memasuki rumah in i. Karena itu
kalian bisa memilih, keluar atau tetap berada di dalam
rumah ini. Kedua-duanya sama saja bahayanya bagi
kalian bertiga. Inilah rumput Kalajana, yang dahulu
kut anam diant ara bunga Badjararinonce. Dengan
membakar rumput ini, kukira kalian sanggup mengundurkan gangguan Anung Sukahar, akan tetapi
semenjak ini, janganlah engkau mengambil jiwa orang
dengan sesukamu sendiri. Kuharapkan pula agar
permusuhan kalian dengan keluarga Anung Sukahar
dapat diselesaikan dengan damai."
Paras muka Janggel dan Poha berubah-rubah. Kadang
merah-padam. Kadang pula nampak berseri. Mereka
merasa girang dan bersyukur karena memperoleh
pertolongan. Sebaliknya mereka mendongkol karena
harus mendengarkan segala petuah dan ceramah adik
seperguruannya yang masih kanak-kanak.
Itulah suatu penghinaan luar biasa bagi mereka.
Meskipun danikian, mereka tak dapat memungkiri
kenyataan. Janggel segera mengatasinya dengan
berkata: "Adik Palupi, terima kasih atas segala perhatianmu
ini." "Hmm." dengus Lingga W isnu di dalam hati. "Engkau
berterima kasih terhadap alat pemunah lawan, dan
bukan karena tertolongnya jiwa anakmu."
Setelah suaminya menghaturkan terima kasih, Roha
mengeluarkan sebuah botol kecil, yang kemudian
diserahkan kepada Palupi. Katanya :
"Adikku, inilah obat pemunah racun Pacarkeling. Aku
percaya, engkau bisa membuatnya sendiri. Akan tetapi
kukira tak keburu lagi untuk menolong temanmu itu."
Mendengar disebutnya racun Pacarkeling, hati Lingga
W isnu te rcekat. Ia girang tercampur heran. Bagaimana ia
dapat melihat racun Pacarkeling yang mengeram di
dalam dirinya dengan sekali melihat saja" Sedang
hatinya penuh pertanyaan demikian, ia melihat Palupi
menerima botol pemberian Roha. Gadis itu segera
memeriksanya dan kemudian menoleh kepada Lingga
W isnu. Katanya lembut : "Adik yang baik, orang yang berhati mulia di mana
tempat mudah memperoleh pertolongan Tuhan. Terimalah!" Setelah berkata demikian kepada Lingga W isnu, gadis
itu berputar arah kepada Sukasah. Katanya dengan suara
angker : "Sukasah! Kenapa engkau memberikan racun Pacarkeling kepada orang luar?"
Sukasah terkesiap. Ia heran bukan main,bagaimana
Palupi bisa mengetahui rahasia itu yang ditutupnya
rapat-rapat. Karena ditanya secara mendadak, ia
menjawab dengan gugup : "Aku aku ..." "Adik Palupi," kata Janggel. "Sukasah memang
keterlaluan. Dan aku sudah menghajarnya."
Setelah berkata demikian, ia berjalan mendekati
puterinya. Kemudian memutar tubuh Sukasah sehingga
memunggungi Palupi dan Lingga W isnu. Dibukanya
selimut kain panjang yang menutupi punggung
puterinya, dan begitu selimut kain tersibak, nampak
punggung Sukasan penuh jalur bekas sabetan cambuk
yang bersemu darah. Sebenarnya tatkala menolcng melarut kan racun yang
mengerarn di dalam tubuh Sukasah, Palupi melihat bekas
sabetan cambuk tersebut. Tetapi mengingat bahwa
perbuatan Sukasah melanggar undang-undang gurunya,
merupakan kesalahan sangat besar, ia wajib menegor.
Bahwasanya Sukasah telah memberikan racun Pacarkeling kepada orang luar, diket ahui Palupi tatkala
Roha menyerahkan obat pemunahnya. Ia teringat pula
bahw a racun Pacarkeling yang mengeram di dalam tubuh
Lingga W isnu. Pada saat itu serasa ia dengar suara
gurunya mengiang dalam telinganya :
"Jika engkau sendiri yang meracuni orang, andaikata
kesalahan tangan, segera engkau dapat memberi
pertolongan. Sebaliknya apabila racun itu jatuh ke
tangan orang lain yang kemudian menggunakannya
untuk mencelakakan orang baik-baik, maka korban itu
takkan tertolong lagi. Dosa ini sepuluh lipat besarnya dari
pada meracuni orang dengan tangan sendiri."
Palupi percaya bahw a larangan demikian itu pastilah
sudah sering dikatakan kepada Sukasah, oleh kedua
orang tuanya. Kenapa dia masih melanggar juga"
Pastilah ada latar belakangnya yang beralasan kuat.
Sebenarnya Palupi ingin mint a keterangan lebih jelas
lagi. Akan tetapi karena anak itu sudah dihajar keras oleh
kedua orang tuanya, ia merasa t ak sampai hati. Segera ia
mengambil keputusan untuk berangkat saja. Katanya
sambil membungkuk hormat kepada kedua kakak
seperguruannya. "Kangmas Janggel berdua, maafkan aku. Pada akhirakhir in i aku banyak melakukan
kesalahan kepada kangmas berdua. Sampai bertemu lagi."
Janggel segera membalas hormat, akan tetapi tidak
demikian halnya Roha. Perempuan bongkok itu hanya
mendengus. Sudah barang tentu Palupi tahu akan arti
itu, namun ia tidak menghiraukan. Dengan memberikan
isyarat mata kepada Lingga W isnu, ia mendahului
bertindak keluar ruangan. Baru saja ia hendak
melangkah ambang pint u, Janggel mengejar berseru :
"Adik! Adik!" Palupi memut ar tuhuhnya. Dan begitu melihat paras
muka kakak seperguruannya penuh rasa bimbang dan
guram, segera ia mengetahui apa yang berkutik di dalam
hatinya. Dengan tertawa manis Palupi berkata :
"Kangmas Janggel, apakah yang menyulitkan hatimu?"
"Keluarga Anung Sukahar berjumlah tiga orang.
Himpunan ilmu saktinya sangat tinggi dan untuk
mengundurkan mereka bertiga, kami membutuhkan
bantuan seorang lagi," sahut Janggel.
"Himpunan tenaga sakti dalam tubuh Sukasah,
kemenakanmu, masih terlalu dangkal. Karena itu ingin
aku memohon kepadamu ..." ia tak dapat menyelesaikan
perkataannya, karena tiba-tiba hatinya menjadi segan.
Palupi tersenyum. Dan segera menunjuk ke keranjang
bambu yang menggeletak di luar pintu.
"Kangmas Panjisangar berada di dalam keranjang itu!
Bubuk bunga biru Badjrarinonce ada ditangan ayunda
Roha dan cukup untuk memunahkan racun yang
mengeram di dalam tubuh kangrnas Panjisangar.
Kangmas Janggel, kenapa engkau tak mau menggunakan
kesempatan sebagus ini untuk memperbaiki hubunganmu
dengan kangmas Panjisangar" Jika engkau memberikan
pertolongan kepadanya ia tentu akan membantu
kesulitanmu juga." Mendengar keterangan Palupi, bukan main g irang hati
Janggel. Belasan tahun lamanya ia bermusuhan dengan
kakak seperguruannya sendiri. Sebenarnya ingin ia
memperoleh kesempatan untuk damai, akan tetapi selalu
gagal. Bahkan makin lama makin mendalam. Sama sekali
tak pernah di duganya, bahwa adik seperguruannya yang
masih belum pandai beringus itu dengan mudah saja
dapat mengatur siasat yang mengagumkan. Kecuali
mengundurkan lawan berbareng memperbaiki perhubungan antara sesama saudara
seperguruan. Keruan saja hati Janggel jadi terharu. Setelah menghaturkan
terima kasihnya, segea ia mengambil keranjang bambu
itu. Dalam pada itu Lingga W isnu sudah memungut bunga
birunya lagi yang t adi diletakkan di luar .
Palupi mengalihkan perhatiannya kepadanya. Kemudian ia berpaling lagi kepada Janggel dan berkata:
"Kangmas Janggel. Kepala dan hampir seluruh
tubuhmu mengalirkan darah. Tetapi begitu hawa racun
yang mengeram di dalam tubuhmu ikut merembes keluar
pula. Kuharap janganlah engkau menaruh dendam
terhadap perbuatanku yang kurang ajar t adi."
Lagi-lagi Janggel terkejut seperti orang yang tersadar
dari t idur nyenyak. Pikirnya di dalam hati:
'A kh, baru sekarang aku tahu, bahwa perint ahnya agar
pandai besi itu memukul aku sebenarnya, kecuali
menghukum kesalahanku, juga mengandung maksud
baik. Racun yang mengeram di dalam tubuhku kini sudah
hilang, sebaliknya pada Roha masih ada. Kalau begitu
aku harus mengeluarkan darahnya pula agar ia t erhindar
dari keracunan.' Memperoleh pengertian itu, ia merasa benar benar
takluk terhadap adik seperguruannya yang jauh lebih
muda dari dirinya. Benar-benar si kecil itu banyak akal
dan lebih unggul dari pada dirinya sendiri. Segera
lenyaplah napsunya untuk merebut atau merampas buku
warisan gurunya yang berada di tangan Palupi.
Dengan berdiam diri Palup i dan Lingga W isnu
meninggalkan rumah aneh itu. Di dalam benak Lingga
W isnu berkecamuk banyak persoalan yang berkelebatan
tiada hentinya. Ia menggeridik tatkala mereka bertiga
tadi membicarakan perkara racun Pacarkeling. Berbagai
pertanyaan timbul dalam hatinya:
'A ku terkena racuh Pacarkeling. Siapa yang melukai
aku, agaknya set an dan iblis yang tahu. Kini set itik
cahaya menyingkap kabut tebal itu. Sukasah memberikan
racun kepada seseorang. Sayang, ayunda Palupi tidak
mint a keterangan kepadanya, siapa orang itu. Ia kecew a
dan menyesali Palupi. Akan tetapi tiba-tiba suatu
pertimbangan lain menusuk benaknya. Katanya didalam
Kati: 'Dalam semua sepak terjangnya, gadis in i selalu
mengandung dua maksud yang saling bertentangan. Dia
menggebuk sambil menolong. Dia tak mau mint a keterangan yang lebih jelas lagi
tentang orang yang membawa racun Pacarkeling dari tangan Sukasah.
Apakah dia bermaksud melindungi aku" Memang hatiku
penuh dendam terhadap orang itu dan semua yang
membunuh ayah-bunda dan saudaraku. Tetapi aku
belum mempunyai kepandaian yang berarti. Kalau
mendadak hatiku panas dan ingin melampiaskan
dendamku, bukankah sama saja artinya aku mengantarkan jiwaku sendiri"'
Dan memperoleh pertimbangan demikian, hatinya
menjadi lega. Tatkala itu fajar telah menyingsing. Mereka berdua
sudah bekerja berat dan semalaman sunt uk tidak
memejamkan mata. Meskipun demikian karena terselimut kesejukan hawa pegunungan yang segar,
sarna sekali rereka t idak merasa letih.
"Ayunda Palupi, bagaimana engkau tahu bahwa
Sukasah kena racun Badjrarinonce?" tanya Lingga W isnu.
"Dalam kegelapan malam, mataku tak dapat melihat
tegas." "Mula-mu la sew aktu melihat kawanan anjing hutan itu,
kukira yang datang adalah salah seorang keluarga Anung
Sukahar," sahut Palupi. "Akan tetapi begitu melihat pada
leher orang itu terikat seikat rumput obat, segera aku
mengetahui bahwa ia adalah Sukasah."
"Apakah sebeIumnya kau pernah melihat Sukasah?"
potong Lingga W isnu. "Belum pernah aku melihat orangnya, tetapi kenal
namanya." jawab Palupi dengan sederhana. Kemudian
meneruskan: "Kemudian kuserang dia dengan paku
beracun milik kangmas Panjisangar dan paku itu sangat
terkenal diant ara kita sesama rumah perguruan. Itulah
salah satu senjata guruku yang diajarkan kepadanya.
Namanya paku Yomani. Sudah barang tentu kangmas


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janggel berdua menemukan surat tulisan kangmas
Panjisangar yang sebenarnya tulisanku sendiri. Itulah
sebabnya pula mereka berdua menuduh kangmas
Panjisangar meracuni anaknya."
"Dari mana kau peroleh senjata rahasia kakakmu
Panjisangar?" tanya Lingga W isnu.
"Adik yang balk, engkau bukan anak tolol. Pastilah
engkau bisa menebaknya," jawab Palupi dengan tertawa
lebar. Lingga W isnu berdiam sejenak, kemudian ia berkata
nyaring seperti baru tersadar:
"Akh, sekarang tahulah aku. Pada saat itu kakakmu
Panjisangar t elah kau bekuk dan kau masukkan ke dalam
keranjang. Bukankah begitu" Dan engkau mengambil
sebuah paku Yomaninya."
"Benar," sahut Palupi. "Melihat bunga biru itu kangmas
Panjisangar sudah menaruh curiga. Ia mengikuti dirimu
tatkala engkau berdua mint a keterangan jalan yang
menuju ke rumah guru. Dan akhirnya ia masuk ke dalam
keranjangku." Mereka berdua lantas tertawa gembira. Tiba tiba
wajah Palupi berubah menjadi sungguh-sungguh.
Katanya : "Adik Lingga, racun Pacarkeling yang mengeram di
dalam dirimu itu belum larut seluruhnya. Sewaktu-waktu
engkau masih akan terserang hawa yang dingin luar
biasa. Karena itu obat pemunah hadiah ayunda Roha
harus kau telan secepat mungkin."
Diingatkan tentang racun Pacarkeling yang mengeram
di dalam dirinya, Lingga W isnu segera menceritakan
bagairnana terjadinya. Maksudnya ia hendak memperoleh keterangan pula siapakah orang yang
memukul dirinya dengan racun Pacarkeling. Akan tetapi
Palupi hanya bersikap diam saja.
"Ayunda Palupi, kemarin aku menerangkan kepadamu
bahw a orang tua dan sekalian saudaraku tiada lagi.
Mereka sesungguhnya coati terbunuh oleh lawan-lawan
yang belum kuketahui dengan jelas." kata Lingga W isnu
menambahi. Dan sekali lagi, tanpa dimint a Palupi dengan
sukarela mengisahkan riwayat hidupnya.
Dan mendengar riwayat hidup Lingga W isnu, Palupi
nampak menundukkan kepalanya. Tetapi gadis itu tetap
membungkam mulut . Tak terasa mereka berdua sudah tiba kenbali ke gubuk
Palupi. Aruji masih nampak tidur nyenyak. Palupi segera
mengeluarkan obat pemunah dan diberikannya kepada
Lingga W isnu. Kemudian ia mencari cangkulnya dan
berangkat ke ladang untuk mengatur kembali bungabunga birunya yang semalam
terinjak-injak kuda Sukasah dan kawanan anjing liar.
Menyaksikan hal itu, segera Lingga Wisnu menjejalkan
obat pemunah ke dalam mulut Aruji. Kemudian ia
mencari cangkul pula dan menyusul ke ladang untuk
membantu Palupi. Semalam penuh ia bekerja berat, dan sama sekali
tidak memicingkan mata. Namun begitu, ia berangkat ke
ladang juga untuk merawat kembali bunga-bunga
birunya. Dia sudah begitu memperhatikan diriku, kalau
aku tidak membantu apa yang menjadi perhatiannya,
maka aku adalah manusia yang tak mengenal budi, pikir
Lingga W isnu sambil bekerja dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi sebenarnya dia tak boleh bekerja
menggunakan tenaga yang berlebihan. Karena racun
Pacarkeling yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Meskipun Palupi seorang gadis yang kurus kering,
akan tetapi kesehatannya menang seratus kali lipat
apabila dibandingkan dengan Lingga W isnu. Inilah
perhitungan yang tak pernah terpikirkan oleh Lingga
W isnu. Bocah itu hanya menurut i luapan perasaannya
belaka yang penuh dengan tata susila dan kemanusiaan.
Matahari sudah sepenggalah t ingginya tatkala tiba-tiba
seseorang nenegor dirinya :
"Hai, adik Lingga! Kau sudah bisa bergerak bahkan
mencangkul pula, apakah aku sedang mimpi?"
Serentak Lingga W isnu menoleh dan melihat Aruji
berdiri di pengempangan ladang dalam keadaan segar
bugar. W ajahnya nampak bersemu merah, satu tanda
kesehatannya telah pulih kembali. Tetapi justru pada
saat itu suatu gumpalan hawa dingin bergolak hebat di
dalam perut Lingga W isnu. Ia terkejut, buru-buru
diletakkannya cangkulnya dan menbungkukkan tubuhnya. Dengan mengertak gigi ia menahan rasa sakit
luar b iasa sedangkan tubuhnya lantas saja menggigil dan
kanudian roboh terguling ke atas t anah.
Keruan saja hal itu membuat Aruji kaget setengah
coati. Dengan sekali menjejak tanah ia melesat
mengham piri dan memeluk Lingga W isnu. Teriaknya :
"Adik! Adik! Kau kenapa" Apakah kau kumat lagi?"
"Abang Aruji ......... aku bersyukur karena kau telah
sehat kembali," sahut Lingga W isnu dengan suara lemah.
Aruji jad i kebingungan. Tubuh Lingga W isnu terasa
dingin sekali. Dengan sekehendaknya sendiri ia menoleh
kepada Palupi. Gadis itu berhenti mencangkul dan
berkata : "Bawa masuk saja ke dalam rumah!"
" Sebenarnya bagaimana" Sejak kapan ia bisa
menggerakkan kaki dan tangannya" Dan kenapa tiba-tiba
ia roboh kembali?" Aruji menegas dengan suara
menggeletar. "Aku bilang, bawa dia masuk ke dalam rumah!" sahut
Palupi dengan suara dingin. Kanudian ia berjalan
mendahului mengarah ke rumahnya. Meskipun dalam
hati Aruji masih penuh pertanyaan, tetapi pemuda itu tak
berani membuka mulut lagi. Segera ia memondong tubuh
Lingga W isnu dan dibawanya berjalan mengikut i Palupi.
"Kau berkata, engkau keponakan Ki Sarapada,
bagaimana engkau memanggil padanya?" tanya Palupi
setelah Aruji meletakkan Lingga W isnu diatas dipan.
Aruji terkesiap. Menyahut "Paman."
"Apakah dia kakak ibumu?"
"Bukan. Aku memanggil paman padanya, karena aku
termasuk sealiran dengan dia."
"Hem!" dengus gadis dusun itu. "Apakah kau seorang
anggauta Ngesti Tunggal?"
"Benar." "Engkau sudah tahu, tatkala dia kau bawa menginap
ke mari, sudah dapat menggerakkan kaki dan t angannya.
Mengapa hal itu kau tanyakan padaku?" tanya Palupi
dengan wajah bersungguhsungguh.
Aruji bercekat hatinya. Mendadak pikirannya yang
seperti diliputi kabut menjadi terang kembali. Terus saja
katanya sambil menepuk kepalanya :
"Akh, benar! Kenapa pikiranku menjadi kacau begini"
Tatkala dia kembali dari rumah aneh itu, kaki tangannya
sudah dapat digerakkan. Ia bahkan berseru dan menegas
kepadaku, apakah hal itu hanya suatu mimpi belaka. Aku
menegaskan bahwa dia bisa bergerak benar-benar.
Hanya saja aku tak tahu, bagaimana dia b isa
menggerakkan kaki dan tangannya dengan tiba-tiba
saja?" Palupi tidak segera menjawab. Ia memeriksa denyut
nadi dipergelangan tangan Lingga W isnu. Sejenak
kamudian berkata : "T ahukah engkau, racun apakah yang mengeram di
dalam tubuhnya?" "Aku hanya mendengar keterangan dari kakek
gurunya Kyahi Basaman. Dia terkena pukulan tangan
jahat yang beracun. Racun itu racun Pacarkeling." jawab
Aruji. Palupi tersenyum. Agaknya ia puas. Kemudian
memanggut kecil. Katanya :
"Apakah bocah ini anggauta Ngesti Tunggal pula?"
"Bukan," sahut Aruji dengan suara tegas. "Tatkala
kubawa dia mendaki gunung Merapi, aku berjanji kepada
kakek gurunya. Bahwasanya tujuanku hendak membalas
budi dengan mengandalkan kesaktian paman Sarapada.
Dan apabila d ia dapat disembuhkan kembali, tak perlu
merasa berhutang budi. Aku berkata kepada Kyahi
Basaman bahw a untuk kesemuanya itu tak perlu dia
masuk ke dalam golongan kita."
Palupi menatap wajah Aruji dengan pandang heran.
Tanyanya tak mengerti : "Kakek bocah ini mengapa begitu picik pandangannya
terhadap golongan kita?"
"Entahlah," sahut Aruji dengan tertawa melalui
dadanya. Kemudian meneruskan:
"Golongan kita ini disebut aliran ib lis. Mereka yang
menamakan diri orang yang berTuhan, jijik bersent uhan
dengan orang dari golongan kita."
"Oh, begitu?" dengus Palupi dengan suara kecewa.
Dan hati Aruji bercekat. Ia, khawatir Palupi tidak mau
menolongnya lagi, setelah mendengar bahwa kakek guru
Lingga W isnu memandang aliran Ngesti Tunggal sebagai
golongan iblis Yang menjijikkan. Maka buru-buru ia
berkata dengan suara memohon :
"Sebenarnya setelah aku bertemu dengan paman
Sarapada, segera aku akan membicarakan hal in i.
Sayang sekali sampai hari ini, aku belum berhasil
menghadap beliau. Apakah engkau masih sudi menunjukkan di manakah tempat tinggalnya?"
"Hmmm!" dengus Palupi. Ia diam beberapa saat
lamanya. Kemudian berkata: "Engkau menyebut beliau
paman, bukan?" "Benar!" "Beliau adalah guruku."
"Akh ! " Aruji kaget sampai berjingkrak. Tetapi dia seorang
pemuda berpengalaman dan cerdas. Kemarin, meskipun
dapat berjalan seperti sediakala, namun tenaga saktinya
belum pulih kembali. Tetapi pada pagi hari ini, ia merasa
diri sehat benar. Bahkan di dalam tubuhnya terasa
segumpal hawa hangat yang nyaman luar biasa
berputar-putar menembus peredaran darahnya. Itulah
suatu tanda bahwa dirinya sudah pulih. Padahal dia
belum bertemu dengan pamannya Ki Sarapada. Kalau
begitu, siapa lagi yang menolongnya, selain gadis di
depannya ini" Maka segera ia menjatuhkan diri dan
bersimpuh di hadapannya. Katanya dengan suara
memohon : "Dengan sekali melihat t ahulah sudah kau bahwa anak
ini terkena pukulan jahat PacarKeling. Maka aku yakin,
pastilah engkau mempunyai pegangan untuk menyembuhkannya. Aku sendiri yang menderita pukulan
jahat dapat kau sembuhkan hanya dalam waktu satu
malam saja. Ini semua membuktikan, bahwa engkau
sudah mewarisi kepandaian paman Sarapada. Teringatlah aku akan suatu pepatah: menolong jiwa
orang lebih penting dari pada menolong rumah tingkat
tujuh yang terbakar api. Memang sekali menolong orang,
seyogyanya jangan setengah-setengah."
"Hmmm! Rupanya engkau pandai berkhotbah di
hadapanku," potong Palupi dengan memberengut.
"Bukan begitu! Aku telah berhutang budi terhadap
kakek gurunya, maka dengan ini aku mo hon kepadamu
agar engkau menolong cucunya."
"T ak kukira engkau ternyata seorang bajik. Engkau
tahu pula membalas budi," kata Palupi dengan suara
dingin. "Yang berhutang budi adalah engkau, bukan
aku!" Cepat-cepat Aruji membungkukkan badan
dan menundukkan kepala sampai mencium bumi. Katanya
dengan suara putus asa: "Adik yang baik, adik kecil ini anak seorang pendekar
sejati. Aku percaya bahwa darah ayahnya mengalir
dalam dirinya. Kita boleh kehilangan ribuan orang yang
tiada gunanya. Akan tetapi apabila sampai kehilangan
seorang berjiwa kasatria, sesungguhnya sangat disayangkan" "Apakah seorang pendekar sejati mesti baik hatinya"
Haih, di dalam jagad in i berapa jumlahnya orang yang
berhati baik" Kalau aku harus menyembuhkan orangorang berhati baik diseluruh
dunia in i, mestinya aku harus mempunyai tangan seribu dan kaki seribu pula,"
kata Palupi lagi. Kemudian ia menghela napas panjang. Berkata
meneruskan:

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekiranya dia salah seorang anggauta golongan kita,
masih mau aku berusaha menolong jiwanya. Sebaliknya,
dia adalah cucu seorang pendekar yang mengaku dirinya
seorang kasatrya sejati dan memandang hina kepada
golongan kita. Kenapa dia tidak mencari seorang dukun
pandai lain saja?" "Sebenarnya akulah yang membawa adik kecil in i ke
mari," sahut Aruji. "Oh, begitu?" Palupi mengerutkan kening.
o))0oodwoo0((o 1. Mimpi Lingga Wisnu Lingga Wisnu sendiri kala itu kehilangan kesadarannya . Satu kekuatan yang berada diluar kemampuannya
merenggut dirinya. Ia di bawa terbang tinggi ke udara
menyusupi gumpalan gumpalan awan, kemudian dibanting ke atas tanah sehingga debu lantas saja
membubung tinggi dan matanya menjadi gelap. Selagi
demikian, tiba-tiba ia mendengar deru angin melanda
bumi. Dan debu yang menutupi penglihatannya dibawa
buyar berderai. Segera ia mengucak matanya. Dan tibatiba saja ia sudah berada di
dalam sebuah ruangan besar. Aruji berada disampingnya. Dan didepannya berdiri
seorang laki-laki berusia kurang lebih tujuh puluh t ahun.
Perawakan orang itu tinggi kurus-kering. Kepalanya
setengah botak sehingga dahinya menonjol ke depan dan
matanva kelihatan sipit. Hidungnya kecil akan tetapi
lobangnya terlalu besar. Melihat dirinya, orang itu tertawa lalu berkata dengan
suara parau : "Hai, tahukah engkau siapa aku" Akulah Sarapada,
tabib sakti tak ubah malaekat yang sanggup menghidupkan manusia yang sudah terkubur di dalam
bumi seribu t ahun. Kau percaya, tidak?"
Aruji lantas saja menjatuhkan diri. Setelah bersembah
sampai mencium bumi, ia berkata dengan suara mint a
belas kasihan : "Paman, meskipun ayahnya murid Kyahi Basaman
yang mengaku diri dari aliran suci dan memandang jijik
kepada aliran kita, akan tetapi ibunya adalah puteri
Panembahan Larasmaya yang sealiran dengan kita."
Mendengar kata-kata Aruji, Ki Sarapada yang pada
mulanya bersikap kaku lantas saja kelihatan berubah.
Katanya menyahut : "Jika begitu, bangunlah engkau! Jadi dia putera
Larasati" Itulah lain perkara," set elah berkata demikian,
ia menghampiri Lingga W isnu. Dengan suara lemah
lembut dia berkata : "Anakku, di dalam dunia ini tak terhitung jumlahnya
orang-orang yang mengaku dirinya suci akan tetapi
sesungguhnya jahat sekali. Mereka yang mengaku
dirinya suci kebanyakan hanya mementingkan diri
sendiri. Lihatlah, selagi kancah peperangan di tanah air
begini bergolak, mereka berebut nama kosong agar
diakui masyarakat sebagai aliran suci-bersih yang
mengerti perkara T uhan. Kami yang berada dipihak Gusti
Pangeran Mangkubumi, tidak memperdulikan suci atau
kotor dan baik atau buruk. Perkara in i berada d idahului
mereka, maka kami terpaksa juga membuat peraturan.
Bahwasanya kami tidak akan menolong orang-orang
yang menganggap dirinya kasatrya dari aliran suci dan
golongan baik. Engkau adalah cucu Panembahan
Larasmaya yang sealiran dengan kami. Baiklah, aku akan
menyembuhkan penyakitmu. Asal saja engkau berjanji,
setelah sembuh engkau akan meninggalkan rumah
perguruan Kyahi Basaman yang menganggap dirinya
golongan kasatrya suci dan baik. Bagaimana?"
"Itu tidak boleh, paman!" tiba-tiba Aruji menjawab
mewakili Lingga W isnu yang belum sempat membuka
mulut nya. "Sudah kukatakan tadi bawa sebelum
berangkat ke mari aku telah berjanji kepada Kyahi
Basaman. Sekali-kali paman Sarapada tidak boleh
mamaksa adikku Lingga W isnu ini memasuki aliran kita
sebagai suatu jual beli. Bahkan kyahi Basaman tidak sudi
pula mengakui menerima budi dari aliran kita."
"Hmm. Orang yang bernama Kyahi Basaman itu
manusia macam apa" sampai berani menghina golongan
kita" Kalau begitu apa perlu aku menolong menyembuhkan penyakit cucunya" Tetapi mengingat
bocah ini cucu Panembahan Larasmaya, biarlah aku ing in
mendengar ucapannva sendiri. Nah, bagaimana?"
Lingga W isnu sadar, bahwa racun Pacarkeling sudah
mengamuk ke seluruh jalan darahnya. Demikian hebat
penderitaannya sampai kakek gurunya, Kyahi Basaman
yang berkepandaian t inggi, merasa t ak berdaya. Jiwanya
kini hanya tergantung kepada t abib Ki Sarapada belaka.
Kalau tabib itu mau mengulurkan tangannya, dia bakal
hidup. Sebaliknya apabila tidak sudi menolong, dia akan
segera mati. Tetapi tatkala berpisah dengan kakek
gurunya, ia dipesan berulang kali jangan sampai
memasuki aliran sesat. Orang boleh mati t ak berkubur di
dalam dunia in i, akan tetapi dalam menghadap Tuhan
jangan sampai tersesat, demikianlah pesan Kyahi
Basaman. Sebaliknya, bagaimana sesungguhnya aliran
Ngesti T unggal itu, belum ia ketahui dengan jelas.Apakah
benar aliran sesat atau tidak" Namun terhadap Kyahi
Basaman ia menaruh hormat karena orang tua itu sangat
kasih kepadanya, tak ubah ubah cucu kandung sendiri. Ia
berpesan demikian karena terdorong oleh rasa kasih
sayangnya dan bukan bermaksud jahat atau hendak
menjerurnuskan dirinya ke dalam jurang. Oleh pertimbangan demikian, ia berpikir di dalam hati: 'T abib
ini nampaknya galak dan memang aneh adatnya. Baiklah, meskipun dia akhirnya tak
sudi menolong jiwaku, tetapi rasanya adalah suatu dosa besar apabila
melanggar pesan kakek guru.'
Dengan keputusan itu Lingga W isnu menjawab
dengan lantang: "Paman Sarapada, ibuku anak Panembahan Larasmaya yang sealiran dengan paman. Pastilah ibuku
seorang yang baik hati pula. Hanya saja eyangku
berpesan kepadaku, agar aku tidak masuk aliran Ngesti
Tunggal. Aku sudah sanggup. Dan kalau sekali sudah
sanggup, bagaimana mungkin aku melanggar perkataanku itu sendiri" Kalau sampai terjadi demikian,
aku bukan laki-laki lagi. Bukankah ucapan seorang lakilaki berharga seribu
gunung" Dengan pendirian in i,
apabila paman tidak sudi rnengobati aku, tidak apalah.
Seumparna aku berhasil kau sembuhkan tetapi kemudian
masuk aliran Ngesti Tunggal, maka di dunia ini hanya
ketambahan seorang laki-laki dengan mulut tidak dapat
dipercaya lagi. Apakah gunanya hidup demikian dan
apakah keuntungannya dunia menghidupi aku?"
Mendengar jawaban Lingga W isnu, diam-diam Ki
Sarapada terkejut. Pikirnya: 'Setan cilik ini besar
mulut nya. Ia berlagak seperti seorang kasatria sejati
yang tidak butuh nasi dan pakaian. Hmm, kalau aku tidak
mau mengobati, masakan dia tidak berlutut memohon
belas kasihan ku"' Memperoleh pikiran demikian, ia berkata lant ang
kepada Aruji: "Aku sudah mendengar pendirian bocah ini.
Dia tidak sudi memasuk i aliran kita. Karena itu bawalah
dia keluar! Tak sudi aku menyaksikan orang mati di
dalam rumah ku." Aruji kenal tabiat pamannya itu. Sekali ia berkata
tidak, dia tetap akan mempertahankannya pendiriannya
itu. Sebaliknya kalau sudah sanggup, meskipun yang
berkepentingan akan lari, akan dikejarnya sampai dapat
ditangkapnya kembali. Maka segera ia berkata kepada Lingga W isnu :
"Adikku, meskipun aliran Ngesti Tunggal tidak
mempunyai Nabi, akan tetapi tujuannya sama dengan
agama lain yang menyembah Tuhan yang Maha Esa.
Banyak di antara anggautanya adalah kasatrya sejati
yang tak usah kalah dengan golongan eyangmu.
Eyangmu, Panembahan Larasmaya membuktikan hal itu.
Bukankah ibumu seorang wanita sejati pula" Karena itu,
apakah jeleknya engkau masuk aliran Ngesti Tunggal"
Kelak dihadapan kakek gurumu, aku yang bertanggung
jawab ." "Baik." jawab Lingga W isnu diluar dugaan. "Nah,
pukullah punggungku beberapa kali. Disin i, tulang
punggung ke delapan dan ke sebelas!"
"Baiklah!" sahut Aruji girang.
Dengan cepat ia melakukan apa yang dimint a Lingga
W isnu. Dengan seketika itu juga kedua kaki Lingga
W isnu bisa bergerak. "Abang!" kata Lingga W isnu sambil menggerakkan
kakinya. "Benar, aku percaya kepada perkataanmu.
Apabila engkau berani bertanggung jawab, pastilah
eyang guru tidak akan marah. Tak kukira, bahw a
engkaupun berpendirian seperti pamanmu Ki Sarapada,"
setelah berkata demikian, dengan angkuh Lingga W isnu
keluar ruangan. Keruan saja Aruji sangat terkejut. Serunya kepada
Lingga W isnu : "Hai, hai! Engkau mau ke mana?"
"Jika aku mati di depan rumah Ki Sarapada, seorang
tabib sakti, tak ubah malaekat, bukankah akan mengotori
namanya yang menjulang tinggi di atas gumpalan
awan?" jawab Lingga W isnu dengan suara mengejek.
"Karena itu, biarlah aku mati di jalan saja."
Dan setelah itu, ent ah dari mana datangnya kekuatan,
Lingga W isnu lari kencang bagaikan melesatnya anak
panah! "Bagus! Orang boleh mati di luar kandangku dan apa
peduliku?" kata Ki Sarapada dengan tak kurang
angkuhnya. Aruji tidak menggubris ujar pamannya. Dengan matimatian ia mengejar Lingga W
isnu. Meskipun dia terluka
pula, akan tetapi lukanya lebih ringan dari pada luka
yang diderita Lingga W isnu.
Dalam hal ilmu kepandaian, Aruji pun menang seratus
kali lipat dari pada Lingga W isnu. Kecuali gerak-geriknya
lebih gesit, langkahnya panjang pula. Maka tak
mengherankan, lengan Lingga W isnu kena disambernya
dan dibawanya kembali ke pondok Ki Sarapada. Kedua
tangan Lingga W isnu bergerak ingin merenggutkan diri.
Akan tetapi tenaganya terlalu lemah, sehingga ia menjadi
mati kutu. "Oh, paman!" seru Aruji dengan tersengal-sengal.
"Apakah paman benar-benar tak sudi menolong bocah
ini?" "Sekali aku menolak, tiada lagi yang bisa merobah
pendirianku. Kalau kau tidak percaya boleh engkau mint a
bantuan seribu dewa untuk menggugurkan pendirianku
ini dan aku tidak akan bergerak meski serambutpun."
sahut Ki Sarapada dengan angkuhnya.
Aruji lalu berkata lagi :
"Tetapi paman akan menolong menyembuhkan
lukaku, bukan?" "Y a," jawab Ki Sarapada.
"Balk," kata Aruji setelah menghela napas. Meneruskan: "Karena aku pernah berhutang budi kepada
kakek guru bocah ini, maka idzinkan aku menolong
cucunya. Hal in i demi menjaga nama Ngesti Tunggal.
Kalau salah seorang anggauta Ngesti Tunggal tak dapat
dipercaya lagi mu lutnya, dimanakah pamor Ngesti
Tunggal hendak paman sembunyikan" Karena itu, biarlah
paman tidak usah menyembuhkan aku lagi, sebaliknya
tolonglah bocah ini. Dengan begitu idzinkan aku menukar
jiwa. Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Paman tidak
rugi, bukan?" Ki Sarapada mengerutkan dahinya. Menyahut:
"Jant ungmu kena pukulan Rajah Pideksa, itu adalah
pukulan beracun yang sangat berbahaya. Dalam satu


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minggu ini, apabila engkau bisa mencari tabib pandai,
jiwamu masih dapat tertolong tetapi apabila sampai
lewat satu minggu, hanya jiwamu saja yang dapat
diselamatkan, sedangkan himpunan ilmu saktimu akan
musnah. Kalau sampai dua minggu sedang engkau
kumat dan belum menemukan t abib pandai, jiwamu akan
melayang." "Hal itu janganlah paman hiraukan. Inilah urusanku
sendiri. Mati sekarang atau besok bukankah sama saja"
Tetapi mati untuk satu kebajikan, sarna sekali aku tidak
akan menyesal," ujar Aruji dengan suara tegas.
Mendengar kata-kata Aruji, Lingga lantas berseru
nyaring : "Aku tidak mau! Aku tidak mau! Aku tidak mau kau
tolong!" setelah itu ia berpaling pada Aruji, serunya
nyaring pula: "Abang! Apakah kau kira Lingga W isnu ini
manusia h ina dina" Kenapa engkau menukar jiwamu
sendiri dengan jiwaku " Sekalipun aku hidup, rasanya
dunia tiada untungnya. Duapuluh, t igapuluh tahun yang
lalu, bukankah di dunia ini tiada seorang manusia kecil
bernama Lingga W isnu" Dan dunia tidak pernah merasa
rugi. Karena itu tak perlu abang menukar jiwa dengan
jiwaku." Akan tetapi Aruji adalah seorang laki-laki sejati. Sekali
dia berkata, tidak sudi ia menarik kembali. Dengan kedua
tangannya yang kuat ia menyamber Lingga W isnu dan
didudukkannya di kursi. Kemudian ia mencari tali dan
Lingga W isnu diikatnya erat-erat pada sandaran kursi itu.
Keruan saja Lingga W isnu gugup setengah mati.
Teriaknya : "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau tidak , engkau
akan kumaki hab is-hab isan!" dan tatkala melihat Aruji
tidak menggubris teriakannya, ia terus mencaci kalang
kabut. Mula mula ia mengutuk Ki Sarapada, kemudian
Aruji. Teriaknya kalap : "Kau bangsat Sarapada! Kepalamu kecil seperti
kelapa! Perutmu gendut seperti kerbau. Benar benar kau
seperti kutu busuk! Katanya kau seorang tabib pandai,
akan tetapi nyatanya gigimu kuning semua! Kau begitu
bangga kepada aliranmu Ngesti Tunggal, nyatanya
engkau adalah seorang yang tak punya perikemanusiaan.
Engkau iblis! Engkau siluman! Engkau setan! Dan engkau
Aruji, engkau kerbau berewok! engkau juga setan
busuk!" Makian Lingga W isnu makin lama makin tajam dan ia
tidak sembarang memaki saja, tetapi bersajak pula. Dan
mendengar Lingga W isnu bisa memaki dengan bersajak,
Ki Sarapada dan Aruji merasa aneh luar biasa.
Beginilah sajak makian Lingga Wisnu :
Ting tong ting prut, Ada singkong dirubung semut
Sarapada otaknya berlumut
Tabib sakti tukang kentut.
Bang beli getuk Setalen dua tumpuk Aruji seperti kunyuk Kalau kencing keluar masuk!
Mereka berdua jadi tercengang dan saling memandang, akhirnya Aruji membuka mulut :
"Paman, sekarang idzinkan aku mencari seorang t abib
pandai." "Di p inggang gunung Merapi ini tiada se orang tabib
pandai," sahut ki Sarapada dengan suara dingin. "Dan
engkau tak dapat mencapai kaki gunung Merapi dalam
waktu t ujuh hari, karena itu sebeIum engkau kembali ke
mari mayatmu sudah dimakan busuk gagak."
Aruji tertawa. Sahutnya: "Kalau di dunia in i hidup seorang tabib sakti yang tidak
mau menolong apabila sekali berkata tidak sudi
menolong, maka di dunia ini pun terdapat seorang lakilaki yang t idak takut mati
di tengah jalan." Setelah berkata demikian penuda itu melangkahkan
kakinya keluar. "Oh, Sarapada!" teriak Lingga W isnu yang sudah
terikat erat di atas kursi. "Jika engkau tidak mau
mengobati abang Aruji, pada suatu hari aku akan datang
kemari unt uk membunuhmu. Aku aku ..." Karena diamuk
gejolak hatinya, ia terkulai t ak sadarkan diri.
"Hmm, Mrepat Kepanasan adalah satu Padepokan
yang suci bersih. Tak bisa ada orang yang mati d i atas
tanahnya." kata Ki Sarapada seperti pada dirinya sendiri.
Kenudian ia mengambil sepotong tandung menjangan
muda yang terletak di atas meja. Terus ditimpukkan ke
arah Aruji yang sedang berjalan membelakanginya.
Tepat timpukan itu tanduk menjangan itu mengenai
belakang lutut Aruji, yang lantas saja roboh di tanah t ak
berkutik lagi. W atak Sarapada memang benar benar aneh.
Kalau dia sudah menolak, tak perduli siapa yang
nemohon kepadanya, ia takkan merubah keputusannya
tadi. Sebaliknya apabila dia mau menolong meskipun
orang yang berkepentingan tidak sudi ditolongnya, pasti
ia akan memaksa menyembuhkannya juga. Kecuali itu ia
bisa berpikir pan jang pula. Tadi ia mendengar ancam
Lingga W isnu. Dan ucapan bocah itu benar benar
berkesan di dalam lubuk hatinya. Ia melihat Lingga
W isnu, seorang bocah yang masih berumur belasan tahun. Namun demikian bocah itu
berjiwa kasatria sejati. Sesungguhnya bukan bocah sembarangan. Dialah
cucu murid Kyahi Basaman. Di kemudian hari apabila
bocah ini sampai mati di dalam rumahnya, pasti akan
menerbitkan ekor panjang.
Setelah menimbang beberapa saat lamanya, akhirnya
ia nengambil keputusan. Katanya didalam hati:
'A kh, buat apa aku bersusah payah menolong mereka
berdua" Biarlah kedua-duanya mati di luar rumahku. Ada
baiknya, Mrepat Kepanasan in i bertambah dua setan
penasaran ' Setelah mengambil keputusan demikian, ia menghampiri Lingga W isnu dan melepaskan tali
pengikatnya. Maksudnya setelah bocah itu dilepaskan,
akan dilemparkan keluar p int u. Mati atau hidup, apa
perduliku, pikirnya. Akan tetapi tatkala tangannya
menyentuh pergelangan Langan Lingga W isnu, ia
tertegun. Dirasakan urat nadi Lingga W isnu berdenyut
dengan sangat aneh. Hatinya tercekat. Ia mengulangi lagi dengan cermat.
Kini ia jad i heran. Pikirnya:
'Masakan bocah seumur dia sudah bisa menembusi
seluruh peredaran darah dan urat nadinya" Sedang aku
sendiri yang dengan susah payah melatih diri berpuluh
tahun lamanya, belum mampu berbuat demikian.
Mengapa bocah belasan tahun ini sudah dapat
menembusi seluruh peredaran darah dan urat nadinya.
Oh, ya! Kini aku mengerti, pastilah in i perbuatan kakek
gurunya, Kyahi Basaman yang t erlalu sayang kepadanya.
Begitu sayang dia kepada cucunya ini, sampai dia rela
membuang tenaga himpunan saktinya untuk membantu
menembusi seluruh jalan darahnya.'
Sekali lagi Ki Sarapada memegang urat pergelangan
Lingga W isnu. Kemudian memeriksa seluruh urat-urat
bocah itu dengan t erlebih cermat. Benar-benar urat nadi
dan jalan darah si bocah berjalan sangat lancar tanpa
rint angan. Segera ia nembuka pakaian Lingga Wisnu dan
memeriksa seluruh tubuhnya. Bagian perut, dada dan
lain sebagainya, setelah memijit pada tempat tempat
tertentu, maka t ahulah dia unt ungnya maupun ruginya si
bocah. Katanya dengan tertawa dingin :
"Kyahi Basaman berlagak pandai. Dia terlalu sayang
kepada cucunya. A kan tetapi malah bocah ini jadi celaka.
Kalau peredaran darah belum tertembus semua, masih
ada harapan untuk memperoleh pertolongan. Kini racun
Pacarkeling sudah merayap ke seluruh isi perutnya,
kecuali oleh malaikat, jiwanya tak dapat ditolong lagi, hehe-he! Orang
memashurkan ilmu kepandaian Kyahi
Basaman set inggi langit, akan tetapi menurut pendapatku, dialah seorang tua yang paling bodoh di
dunia ini!" Kira-kira seperempat jam kemudian, perlahan lahan
Lingga W isnu menjenakkan matanya. Ia telah sium an
kembali. Ia melihat Ki Sarapada di atas kursinva yang
berada di pojok ruangan. Dan Aruji masih tetap
menggeletak di rumput di luar rumah. Ketiga orang itu
membungkam mulut dengan pikiran masing-masing.
Ki Sarapada memang seorang tabib sakti.
Seluruh hidupnya dipersembahkan untuk ilmuke tabiban. Segala macam penyakit aneh dapat di
atasinya. Itulah sebabnya namanya termashur ke seluruh
penjuru Nusantara. Racun jahat yang berada dalam
tubuh Lingga W isnu adalah semacam racun yang paling
berbahaya. Apalagi sekarang urat nadi bocah itu sudah
tertembus. Dengan demikian, menjadi arus yang sangat baik bagi
menjalarnya racun Pacarkeling. Inilah suatu persoalan
pelik dalam ilmu ketabiban.
Seorang ahli catur, merasakan sulit sekali mencari
tandingan setimpal. Seorang ahli ilmu pasti akan
melupakan makan dan minumnya sebelum soal soal yang
berada didepan matanya dapat di jawabnya. Begitu pula
Ki Sarapada pada saat itu. Ia menemukan suatu masalah
pelik dalam diri Lingga W isnu. T entu saja ia ing in dapat
mengatasi. Setelah menimbang setengah harian, akhirnya ia memperoleh suatu akal.
Katanya kepada dirinya sendiri : 'Baiklah, aku akan menyembuhkan dahulu. Kemudian
baru kubunuh.' Akan tetapi menolak racun yang berada di dalam isi
perut bocah itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Ki Sarapada dipaksa untuk memeras ot ak dan
pengalamannya. Lama sekali ia berdiam diri. Akhirnya ia
mengeluar kan alat-alat ketabibannya. Lantas ia bekerja
membendung aliran-aliran racun menjadi bagian-bagian
yang kecil. Ia hendak merebut jiwa Lingga Wisnu sedikit
demi sedikit dengan melalui bagian -bagian racun yang
disekatnya. Mula-mu la ia mengikat pergelangan tangan Lingga
W isnu. T iap-tiap ruas tulang diikatnya erat-erat. Dengan
demikian darah jadi terbendung. Setelah itu ia mulai
menggunakan pisaunya yang terbuat dari baja dan
perak. Kemudian ia menyelomoti bocah itu dengan bara yang
telah ditaburi ramuan obat pemunah tertentu. Karena
terdesak oleh obat pemunah itu, racun Pacarkeling yang
mengeram di dalam urat nadi Lingga W isnu lantas saja
meruap keluar dan merembet melalu i pisau-pisau baja
yang tertancap di antara daging dan urat. Ki Sarapada
tidak perduli apakah Lingga Wisnu kesakitan atau tidak.
Untungnya Lingga W isnu seorang bocah yang tidak
gampang menyerah. Kalau ia merasa disakit i, ia makin
menjadi gigih mempertahankan diri. Itulah berkat
pengalamannya delapan tahun terus menerus hidup
dikejar-kejar musuh. Pikir Lingga W isnu di dalam hati:
'Hemm, engkau hendak membuat aku mengeluh atau
merint ih, bukan" Kau memang iblis! Kau memang setan!'
Dan untuk membuat jengkel Ki Sarapada, ia malah
mengajaknya berbicara dan bergurau dengan bebas. Ia
malah mengajaknya berdebat pula dengan persoalan
ilmu hayat dan anatomi. Meskipun Lingga W isnu tidak paham dengan berbagai
azas ilmu ketabiban, tetapi ayah dan ibunya didalam
perantauannya selama delapan tahun, berusaha mengobati luka-luka yang dideritanya dengan kemampuannya sendiri. Sedikit banyak mereka semua
memreroleh pengalaman. Tak terkecuali Lingga W isnu.
Tentu saja pengetahuan Lingga W isnu apabila dibandingkan dengan tabib sakti Ki Sarapada bedanya
seperti langit dan bumi. Akan tetapi karena soalnya
mengenai ilmu ketabiban, yang menjadi kegemaran Ki
Sarapada, maka orang tua itu pun mau juga
mendengarkan dan membicarakan.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah berpuluh tahun Ki Sarapada hidup mengasingkan diri di atas Gunung Merapi. Dia tak
mempunyai teman bergaul kecuali para pelayannva
sendiri. Dalam banyak hal para pelayan itu hanya
bersikap menghamba. Jangan lagi berani berdebat,
membantah perint ah saja merupakan pantangan besar
baginya. Kin i bocah itu berani berdebat dengan dirinya.
Meskipun pengetahuannya ngawur belaka, akan tetapi
menarik juga karena sekian tahun lamanva tidak pernah
berbicara secara bebas dari hati ke hati, maka kehadiran
Lingga W isnu itu sedikit banyak menggembirakan hatinya
juga. Demikianlah, berbareng dengan tibanya petang hari,
selesai sudah babak pertama Ki Sarapada merebut jiwa
Lingga W isnu. Dalam padanya itu dua orang pelayan
telah merrpersiapkan makan malam di atas neja dan
membawa sepiring nasi dengan lauk pauknya ke luar
rumah, untuk Aruji yang masih menggeletak di atas
rumput. Pada malam itu juga Aruji tetap berada di luar
rumah berselimut hawa gunung Merapi yang dingin luar
biasa. Sementara itu anggauta badan Lingga W isnu sudah
dapat digerakkan lagi. Melihat Aruji tak bergerak di luar
rumah, bocah itu datang menghampiri. Ia lant as tidur
disampingnya sebagai kawan sepakat dan sefaham.
Ki Sarapada sama sekali tidak menggubris sepak
terjang Lingga W isnu. Hanya saja diam-diam ia kagum
dalam hati. Betapa pun juga bocah itu memang lain dari
pada bocah umumnya. Pada keesokan harinva Ki Sarapada melanjutkan
pengobatannya terhadap Lingga W isnu. Tetapi racun
Pacarkeling yang merayap di dalam tubuh bocah itu
sudah terlalu luas. Unt uk menolaknya keluar, sesungguhnya sudah sangat sulit. Setelah berpikir sekian
lamanya, akhirnya Ki Sarapada membuat ramuan obat
pemunah. Ia hendak menggunakan dingin untuk
menghilangkan dingin, karena racun Pacarkeling bersifat
dingin. Begitu obat pemunah masuk kedalam tubuh
Lingga W isnu menggigil sampai set engah harian
lamanya. Namun set elah rasa d ingin lenyap, semangat
bocah itu maju sangat baiknya.
Kira-kira matahari sudah doyong ke barat, kembali lagi
Ki Sarapada mengobati Lingga W isnu dengan menyelomotkan bara. Berulangkali Lingga W isnu mencoba memancing tabib itu agar sudi menolong Aruji
yang masih menggeletak di luar rumah, akan tetapi
usahanya siasia belaka. Ki Sarapada tetap tidak
menggubris. Benar benar ia tabib berkepala batu.
Lingga W isnu agaknya dilahirkan sebagai anak yang
cerdas luar biasa. Tiba-tiba saja suatu pikiran menusuk
benaknya. Katanya diluar dugaan Ki Sarapada:
"Paman, sebagai tabib pastilah paman paham akan
urat-urat manusia. Umpamanya urat samping yang
terletak di tubuh manusia in i paling aneh, bukan" Akan
tetapi pernahkah paman mendengar bahwa ada seorang
yang tidak mempunyai urat samping itu?"
Mendengar perkataan Lingga W isnu, Ki Sarapada
tergugu. Inilah buah pikiran luar biasa. Bentaknya
kemudian : "Omong kosong! Betapa mungkin orang tidak
mempunyai urat itu?"
Lingga W isnu memang sengaja membual untuk
memancing tabib sakti yang aneh adatnya itu. Sahutnya:
"Dunia in i terlalu luas, paman. Segala keanehan
mungkin saja terjadi. apalagi perkara urat samping."
"Urat itu memang agak aneh. Akan tetapi tidak dapat
dikatakan bahw a tiada gunanya sama sekali. Kau tak
percaya" Baiklah" Aku mempunyai sejilid buku tentang
ilmu urat yang kutulis dengan tanganku sendiri. Kalau
kau sudah membacanya, barulah kau akan paham
tentang liku-liku urat ditubuh manusia." kata Ki
Sarapada. Lalu ia masuk ke kamarnya dan kembali membawa
sejilid buku tipis berwarna hitam. Dan buku itu kemudian
diserahkan kepada Lingga W isnu.
Lingga W isnu segera membalik-batik lembaran buku
itu. Ternyata isinya sangat luas. Masalah urat nadi yang
berada dalam tubuh manusia dibahasnya dengan cermat
dan tertib sekali. Ki Sarapada membandingkan penemuan-penemuan orang kuno dan kekinian. Dengan
tekun Lingga W isnu membacanya. Setiap halaman ia
hafalkan dengan baik. Tiba-tiba saja teringatlah dia
kepada Musafigiloh Busih, salah seorang murid Argapura
yang berot ak cemerlang. Dengan hanya sekali Baca
Musafig iloh Busih dapat menghafalkan seluruh tulisan
himpunan sakti eyang gurunya, Kyahi Basaman.
Dibandingnya dengan liku-liku ilmu sakti tulisan Ki
Sarapada in i, jauh lebih mudah sebab sebab setiap soal
dibahas secara jelas sekali. Maka set elah membaca isi
kitab tersebut sampai selesai, Lingga W isnu mengembalikan buku itu kepada Ki Sarapada saMbil
menggelengkan kepala dan berkata :
"Kitab ini telah pernah kubaca. Sewaktu eyang guru
berumur tigapuluh tahun. Beliau telah mengarang
sebuah kitab 'pengantar dan tuntunan ikht isar urat-urat
nadi manusia'. Kitab karangan eyang guru itu isinya
serupa benar dengan karangan mu ini. Dengan demikian,
semenjak tadi aku heran, entah siapa yang menjiplak.
Engkau ataukah eyang guru."
"He-he-he," Sarapada tertawa dengan mendongkol.
Kemudian menatap wajah Lingga W isnu dengan
tercengang. Tapi lantas saja ia menjadi gusar tak
kepalang. Katanya di dalam hati:
'Usiaku kini baru mencapai 60 tahun, dan Basaman
kalau tak salah sudah berumur 90 tahun. Dan aku
mengarang buku ini sew aktu berumur 30 tahun. Maka
benarlah kalau anak set an itu menuduh aku yang
menjiplak Sebab tatkala itu Basaman sudah berumur 60
tahun. hm. kurang ajar! Padahal semua uraian dan
persoalan yang kutulis di dalam buku itu, benar-benar
hasil keringatku sendiri. Tetapi bagaimana anak set an itu
bisa berkata, bahwa apa yang kutulis itu hanyalah kata
pengantar karangan Basaman" Eh, benar-benar anjing
budak setan cilik in i. Kalau tidak diberi hajaran sedikit,
mulut nya makin besar.' Dan setelah berpikir demikian,
kembali lagi ia memperdengarkan suara tawa, lalu
membentak : "Baik, jadi kau bilang buku itu hanyalah kata
pengantar buku karangan kakekmu " Kalau begitu, kau
sudah pahan benar. Hayo, bacalah diluar kepala! Kalau
salah sehuruf saja, jiwamu akan kucabut dengan kedua
telapak tangan ini, kayo, mulai!"
Semenjak berumur ampat-lima tahun, Lingga W isnu
dipaksa oleh keluarganya untuk menghafalkan semua
ilmu pengetahuan dengan cepat.
Apabila sampai t erdapat kesalahan sedikit saja, segera
ia dihadiahi cubitan atau gamparan. Hal itu disebabkan
oleh keadaan yang memaksa. Sejak bayi, Lingga W isnu
dibawa merant au dari tempat ke tempat untuk
menghindari pengejaran lawan. Kesempatan dalam
memberikan pendidikan sangat sempit.Karena itu dalam
hal ingatan, Lingga Wisnu boleh dikatakan sudah terlatih
dan menjadi keistimewaannya. W alaupun demikian,
ancaman Ki Sarapada benar-benar sangat menakutkan.
Maklum lah, apabila sampai salah satu huruf saja,
jiwanya akan dicabut . Dia percaya, bahwa Ki Sarapada
benar-benar akan melakukan apa yang telah dikatakan,
mengingat tabiatnya yang sangat luar biasa. Memperoleh
pikiran demikian ia jadi menyesal di dalam hati, apa
sebab tadi ia membuat tabib Sarapada menjadi marah
dan penaran. Inilah suatu senda gurau yang lewat batas.
Tetapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur
maka t erpaksa ia mengumpulkan semua ingatannya. Lalu
mengucapkan isi buku yang t elah dibacanya tadi dengan
suara lant ang. Untunglah, sepatah kata pun tiada yang
salah. Ki Sarapada heran bukan kepalang. Hampir-hampir ia
percaya bahwa bocah itu memang pernah membaca
buku ciptaan Kiayi Sarapada yang sama sekali tiada
bedanya dengan buku ciptaannya sendiri. Akan tetapi
karena buku itu memang ciptaannya sendiri, akhirnya ia
menjadi kagum akan kecerdasan Lingga W isnu. Pikirnya
di dalam hati : "Setan kecil ini benar-benar hebat. Dengan hanya
membaca sekali, dia sudah sanggup menghafalkan
semua isi buku di luar kepala. Inilah bakat yang tiada
bandingnya di jagad ini."
Ia tak tahu bahwa di dalam b iara Argapura masih
terdapat seorang bernama Musafigiloh Busih yang daya
ingatannya tidak berada dibawah Lingga W isnu.
"Pint ar, benar-benar pintar!" Ki Sarapada memuji. Lalu
ia melanjutkan usahanya mengenyah racun yang
mengeram di dalam tubuh bocah itu. Setelah beristirahat
sebentar, sengaja ia hendak menguji sekali lagi
kepintaran Lingga W isnu dengan berkata :
"Aku masih mempunyai duabelas jilid kitab ketabiban.
Entah siapa yang menjiplak, Kyahi Basarnan atau aku."
Setelah berkata demikian, ia mengambil buku
ciptaannya sendiri yang terdiri dari duabelas jilid. Lingga
W isnu kagum, tatkala membuka lembaran buku itu.
Sudah tentu tak mudah untuk dihafalkan dalam sekali
baca saja. Mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya.
Pikirnya : 'Meskipun isi buku ini sangat luas, akan tetapi masih
sanggup aku menghafalkan. Hanya saja aku membutuhkan waktu sepuluh hari. Biarlah aku mencari
saja bab-bab yang ada sangkutpautnya dengan urusan
penyembuhan luka abang Aruji.'
Karena berpikir begitu, dengan cepat ia membalikbalik kitab dan membuka bagian
uraian penyembuhan luka-luka akibat pukulan sakti dalam jilid ke sembilan.
Uraiannya sangat jelas sekali. Disitu terdapat uraian
tentang menangkis pukulan-pukulan beracun seperti
Brajamu sti, Esmugunting, Rajah Pideksa dan lain-lain.
Keruan saja Lingga W isnu girang bukan main. Segera ia
membacanya dengan cermat.
Tanda-tanda kena pukulan sakti diuraikan dengan
jelas sekali. Akan tetapi cara menyembuhkannya hanya
di sebutkan sangat ringkas, dengan berbagai petunjuk
singkat saja. Pada halaman terakhir, terdapat pula uraian
tentang akibat pukulan beracun Pacarkeling. Akan t etapi
cara pengobatannya hanya ditulis pendek saja.
Bunyinya: tidak ada. Semenjak turun dari Argapura, sadarlah ia, untuk
mengobati racun yang mengeram di dalam tubuhnya
memang sangat pelik. Bahkan tiada harapan lagi.
Sekiranya tidak demikian, eyang gurunya yang
mempunyai kesaktian luar biasa pasti dapat menolongnya. Karena itu ia menjadi acuh tak acuh.
Perhatiannya kini tertuju kepada ba-gaimana caranya
dapat menolong Aruji. Maka kembali lagi ia mernbuka
lembaran yang memuat racun pukulan Rajah Pideksa
yang melukai Aruji. Pikirnya:
'Baiknya pikiranku kin i kupusatkan untuk menyembuhkan abang saja. Dan jangan sampai aku
membuat Ki Sarapada mendongkol lagi.'


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera ia meletakkan semua kitab itu di atas meja.
Kemudian dengan hormat ia berkata kepada Ki
Sarapada: "Ilmu sakti paman Sarapada menang kalah jauh bila
dibandingkan dengan ilmu sakti eyang guruku. Akan
tetapi didalam hal pengobatan, paman menang jauh.
Kedua belas buku ini sangat dalam isinya. Betapa tinggi
ilmu kepandaian kakek guruku, pastilah beliau tak
sanggup mengarangnya. Akan tetapi berbicara tentang
cara mengobati luka akibat pukulan beracun, kukira
kemahiran paman Sarapada belum b isa menyamai
kemahiran eyang guruku."
"Heng!" dengus Ki Sarapada. "Jangan coba membakar
hatiku." "Paman tak percaya" Dengar. Aku akan menghafalkan
kitab karangan eyang guruku." sahut Lingga W isnu
dengan suara tegas. Lalu ia mu lai menghafalkan bunyi
ajaran-ajaran eyang gurunya t entang cara penyembuhan
luka-luka akibat pukulan beracun. Akan tetapi semuanya
itu sebenarnya adalah hasil hafalannya setelah membaca
bukunya Ki Sarapada. Setelah menghafal di luar kepala
tanpa salah sedikitpun juga, berkatalah dia :
"Tentang menyembuhkan luka akibat pukulan beracun
Pacarkeling, eyang guru menyerah kalah. Akan tetapi
paman Sarapada ternyata demikian pula."
"Hmm! T ak perlu engkau memancing hatiku." sahut Ki
Sarapada dengan suara dingin. Kau sendiri akan menjadi
saksi, apa aku benar-benar tidak mampu melawan racun
Pacarkeling. Hanya saja apabila aku sudah berhasil
menyembuhkan lukamu, jiwamupun tak akan berumur
panjang." Meskipun Lingga W isnu cerdik dan pintar luar biasa,
akan tetapi t ak dapat ia menangkap maksud kata-kata Ki
Sarapada. Sama sekali tak pernah terlint as dalam
pikirannya, bahwa maksud Ki Sarapada untuk menyembuhkan dirinya adalah semata-mata untuk
membuktikan bahwa dia sanggup menaklukkan racun
Pacarkeling. Setelah rengesankan bahw a dirinya benarbenar seorang t abib sakti
dan pandai, segera ia hendak
membunuh Lingga W isnu. Itulah sesuai dengan peraturan yang dibuatnya sendiri
bahw asanya aliran Ngesti Tunggal tak diperkenankan
menolong yang tidak sealiran.
Lingga W isnu sendiri sebenarnya tidak memikirkan
dirinya sendiri. Semenjak turun dari biara Argapura. Pada
saat itu perhatiannya penuh ditujukan kepada usaha
menyembuhkan Aruji. Maka berkatalah dia :
"Sekiranya umurku tak dapat dipertahankan, perkenankan aku memohon kepada paman untuk
membaca kitab buah pena paman sendiri. Tentu saja
boleh, bukan?" Ki Sarapada yakin bahw a bocah cilik itu tak akan hidup
lebih lama lagi. W alaupun sanggup menghafalkan
seluruh rahasia ilmu ketabibannya, apakah gunanya"
Paling-paling hanya akan dibawanya pulang ke neraka.
Maka tanpa pikir panjang lagi ia manggut menperkenankan. Katanya :
"Kau boleh membaca semua kitab-kitab karanganku."
Pengetahuan Ki Sarapada sebenarnya sangat luas.
Seseorang yang tak berhati lapang pula, pasti t idak akan
sanggup mengarang ilmu ketabiban yang demikian
besar. Akan tetapi setelah memasuki aliran Ngesti
Tunggal, ia menjadi seorang pejoang yang membantu
perjuangan Pangeran Mangkubumi I. Karena itu dia
sangat membenci sekalian hamba-negeri, hartawanhartawan rakus dan orang-orang
yang menganggap dirinya sok suci. Terhadap golongan, yang paling
belakang dia sangat benci. Apalagi t erhadap para pendekar, yang memusuhi haluan
perjuangannya. Itulah sebabnya tak sudi ia menolong orang-orang yang tidak
sepaham dan sealiran dengan keparcayaan yang
dianutnya. Akan tetapi ilmu pengetahuan yang dimiliki olehnya
memang terasa sia-sia saja, sebab selama hidupnya
bakal tiada seorangpun yang dapat di ajaknya saling
bertukar pikiran. Apalagi diapun tak mengharapkan
mempunyai seorang ahli waris. Itulah sebabnya ia
senang hidup di atas gunung seorang diri. Tetapi setelah
berpuluh tahun hidup seorang diri, lambat laun ia merasa
sunyi juga dan ingin mencari iseng. Kebetulan sekali
Lingga W isnu datang. W alaupun masih bocah kemarin
sore, akan tetapi dia pandai dan bisa diajak berbicara
mengenai ilmu ketabiban, diam-diam ia berkenan
terhadap bocah itu. Sayang sekali, mengapa si bocah t ak
sudi memasuki alirannya. Dalam pada itu Lingga W isnu dengan tekun
mempelajari kitab-kitab ketabiban siang malam tiada
mengenal lelah. Begitu tekun sampai lupa makan dan
kurang tidur. T adinya dia hanya bermaksud mempelajari
bagian-bagian yang bersangkutan dengan luka Aruji,
akan tetapi setelah membaca kitab-kitab tulisan Ki
Sarapada hatinya lambat laun kian tertarik. Sekarang
tidak hanya beberapa bagian saja yang dibacanya, akan
tetapi ratusan macam buah karya Ki Sarapada.
Melihat si bocah begitu tekun mempelajari kitab-kitab
ketabiban buah karyanya, diam-diam Ki Sarapada girang
bukan main. Hatinya menjadi puas karena kini bisa
mentaklukkan anak setan itu. Pikirnya di dalam hati :
'Kau bilang bahw a kitab-kitab karyaku ini hasil jip lakan
kakekmu. Huh! Kau berlagak pandai dan yakin bisa
mengingusi aku. Sekarang rasakan betapa luas ilmu
pengetahuanku mengenai ketabiban.'
Tatkala itu Ki Sarapada melihat Lingga W isnu
bersunggut-sungut. Dan ia mengira bocah itu tentu tak
dapat memahami Inti sari uraian uraian tertentu yang
terdapat di dalam kitab karangannya. Sebenarnya Ki
Sarapada seorang cendekiawan yang cerdik dan cerdas.
Apabila dia mau berpikir agak mendalam lagi, pastilah
dapat menebak maksud Lingga W isnu sesungguhnya.
Hanya saja karena terpengaruh oleh rasa girang yang
meluap, prasangkanya tak begitu peka lagi. Puas hatinya
melihat anak set an itu, dengan mati-matian menekuni
hasil karyanya. Beberapa hari lewat sudah. Karena kesungguhannya,
Lingga W isnu berhasil menghafalkan semua resep-resep
pengobatan tertentu yang ribuan macamnya. W alaupun
kadarnya mungkin sekali asal jadi saja, akan tetapi
kesanggupannya itu benar-benar mengagumkan. Seorang tabib yang sudah berpengalamanpun mungkin
sekali tak dapat meniru kemampuan Lingga W isnu yang
dapat menghafalkan duabelas jilid kitab ketabiban dalam
waktu enam hari saja di luar kepala.
Diwaktu siang pada hari keenam, kembali Lingga
W isnu membalik-balik lembaran kitab yang memuat
tentang luka yang diderita Aruji. Ki Sarapada pernah
menyatakan, apabila dalam waktu tujuh hari dapat
menemukan seorang tabib pandai, lukanya mungkin
sekali masih dapat disembuhkan. Sebaliknya apabila
sampai melampaui batas waktu, meskipun sembuh akan
tetapi himpunan tenaga saktinya tak akan bisa pulih
seperti sediakala. Itulah sebabnya, karena pukulan Rajah Pideksa sangat
beracun, dan mulai menembus ke seluruh tulang dan
carat nadi. Selama enam hari, Aruji terus rebah tak berkutik di
atas rumput di luar rumah. Pada hari keenam, tiba-tiba
hujan turun pula setelah matahari bersinar sangat
teriknya di siang hari. Sudah barang tentu Ki Sarapada
tahu, bahwa Aruji terpaksa tidur di lumpur. Tetapi
nampaknya ia t ak perduli.
Menyaksikan hal itu Lingga W isnu gusar tak kepalang.
Kutuknya di dalam hati : 'Manusia ini benar-benar anak kambing. Aku pernah
mendengar ayah berkata bahwa seorang tabib harus
mengamalkan pengetahuannya yang luas dan mulia
untuk mengabdi kepada manusia di seluruh dunia. Tak
perduli apakah manusia itu sepaham dengan dia atau
justru bermusuhan. Sebaliknya orang ini tidak demikian.
Dia benar benar seorang cendekiawan, tetapi semua ilmu
kepandaiannya hanya d iamalkan ke dalam kitabnya
melulu. Sedang amal perbuatannya justru bertentangan
dengan apa yang ditulisnya. Kalau bukan keturunan iblis,
mustahil rasanya T uhan melahirkan manusia seperti dia.'
Pada malam hari ke t ujuh, hujan turun semakin lebat.
Kilat mengejap-ngejap dengan diseling suara guntur.
Dengan mengertak gigi, Lingga W isnu berkata di dalam
hati: 'Biarlah aku akan mencoba menolong abang Aruji
sedapat-dapatku. Barangkali caraku mengobatinya akan
salah, akan tetapi dari pada mati d itengah hujan badai,
lebih baik aku berusaha atas nama Tuhan.'
Dengan alat perlengkapan tertentu dari dalam peti
Pendekar Muka Buruk 10 Tokoh Besar Karya Khu Lung Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 7
^