Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 25

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 25


Boleh dikata setelah memahaminya, Koay Ji kemudian menyatu dengan alam, dia seperti tertidur tetapi mengerti dan tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Tetapi saat tidur atau tertidur, cobaan dan hadangan yang lain menempurnya, khayalan dan mimpi yang sangat liar dan gila. Mimpi untuk menjadi penguasa persilatan, mimpi memperoleh wanita-wanita cantik, menjadi orang yang sangat kaya dan dihormati. Dan Koay Ji harus menghadapi semuanya. Tetapi, seperti tadi, dia berkutat untuk mencoba dapat menerima semuanya, menerima apa adanya, memandang sekeliling dalam mata dan telinga batinnya dan kemudian membuatnya menemukan apa yang diinginkannya. Bukan ketenaran, bukan kekayaan, bukan kekuasaan, bukan wanita cantik, bukan semua itu, tetapi ketenangan dalam menerima, melihat dan memilah apa yang cocok dengan dirinya. Menerima diri, keterbatasan dan kekuatan dengan cara "apa adanya" dan mensyukuri miliknya.
Perlahan-lahan dia mulai sanggup menerima serta juga memandang gelombang yang menekannya, menekan emosinya, akalnya, hatinya dan semangatnya. Semua yang berada di luar dirinya seakan terus menantangnya, seakan melawannya, dan menuntut perlawanan dirinya hingga sampai titik yang melampaui kemampuannya. Karena itu, mengikuti juga apa yang dipahaminya beberapa waktu lalu, dia mencoba menerima batas kemampuannya, menerima apa adanya dan hebatnya dia mampu menemukan ketenangan. Dia mampu mengalahkan semua tekanan dan godaan dan sampai akhirnya setelah berkutat beberapa jam, diapun terlelap dalam diam. Dalam samadhi. Kini, dia benar-benar melupakan semuanya, tetapi menerima semuanya. Memaafkan dirinya, menerima semua deritanya, tetapi tetap berdiri di atas siapa dirinya, seperti apa dia kelak, dan bagaimana dia kelak. Koay Ji kini lupa segalanya, tenggelam dalam tidur dan mimpinya, tetapi wajahnya cerah.
Koay Ji lupa waktu dan barulah malam hari dia dapat menemukan dirinya kembali. Seutuhnya. Tidak lagi memandang melalui dinding kekuatan batinnya, tapi sekaligus memandang sekelilingnya dengan mata fisiknya dan juga mata hatinya. Tapi yang hebat, dia beroleh kesegaran berpikir, lebih baru, lebih bersemangat yang seolah bergelora dan terus menyala. Tapi, dia merasa teramat lelah dan teramat letih. Nyaris setengah hari atau mungkin lebih dan dia harus mengakui betapa mujijatnya Barisan yang bisa dia pastikan adalah ciptaan sang Suhu. Koai Ji baru sadar kini bahwa jalan masuk melalui hutan menuju pertapaan suhunya sudah menjadi arena belajar tingkat lanjut yang kelihatannya disediakan Suhunya. Tentunya bagi mereka sesama saudara seperguruan. Ketika akhirnya sampai, yang justru dia temui terlebih awal adalah Tek Ui Sinkay:
"Acccccch, padahal menurut Suhu, engkau mestinya membutuhkan waktu sehari semalam untuk terlepas dari formasi penghilang sukma. Tetapi ternyata, engkau hanya butuh setengah hari dari waktu yang diperkirakan. Engkau mampu melampaui dan mengatasi formasi pembingung sukma yang bahkan dapat menghilangkan sukma dan kesadaran kemanusiaan kita. Engkau hebat Siauw Sute, sungguh luar biasa....." sambut Sam Suhengnya yang menyambut kedatangannya di pintu masuk goa pertapaan Suhunya, Bu In Sinliong. Pada saat itu Koay Ji berjalan mendekat dalam kondisi sangat sadar dan amat jelas dengan lingkungannya. Dan dia jelas tahu jika saat itu dia sudah tiba di pintu masuk gua pertapaan gurunya.
"Sam Suheng,,,,,, achhhh..." begitu melihat Sam Suheng, orang yang amat dihormati dan amat dikasihinya itu, Koay Ji menjadi terharu. Tetapi bersamaan dengan itu, dia merasakan keletihan yang amat luar biasa menyerang dirinya. Untungnya Tek Ui Sinkay sepertinya memahami persoalannya itu, karenanya dengan lembut bagaikan orang tua kepada anaknya, dia menyambut dan merangkul Koay Ji sambil kemudian berbisik dengan suara penuh kasih sayang:
"Siauw sute, Insu berpesan, siapapun dari kita, begitu selesai melampui Barisan ini, haruslah segera beristirahat dan tidur. Ingat, benar-benar tertidur. Manfaat tidur itu bukan hanya sekedar mengembalikan kekuatan fisik dan kekuatan mental yang baru saja terkuras habis selama mengarungi Barisan Mujijat itu, tetapi juga menata dirimu sendiri dalam kematangan emosional dan ketenangan batin,,,,,,, Nach marilah.." Tek Ui Sinkay kemudian menuntun Koay Ji memasuki gua, dan setelah berbelok ke kiri selama beberapa meter, akhirnya tiba di sebuah ruangan. Begitu dibaringkan, Koay Ji yang kelelahan lahir dan batin sudah dengan cepat tertidur dan lupa segalanya. Dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi selanjutnya, keletihan yang amat sangat secara mental dan fisik dengan cepat melayangkannya ke dunia orang tidur, lelap dan tidak ingat satu apapun.
Sampai akhirnya pagi-pagi benar, dia terbangun serta menemukan dirinya dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur sederhana. Tapi, dia langsung tahu bahwa dia sudah berada dalam gua pertapaan Suhunya, meski tempat dimana sang Suhu bertapa, terisolasi dari tempat mereka saat itu. Maklum, sejak Koay Ji turun gunung, Suhunya dengan tegas memberitahukan bahwa sejak saat itu, dia akan segera memutuskan hubungan dengan dunia luar. Dan bahkan menutup akses masuk ke bagian dalam Gua pertapaannya untuk selama-lamanya. Koay Ji sangat paham dan tentunya masih ingat dengan amat jelas semua perintah dan pesan-pesan Suhunya kepadanya. Bahkan juga termasuk pesan-pesan sang Suhu kepada seluruh saudara seperguruannya melalui dirinya.
Sebetulnya, jika Koay Ji berkeras untuk menemui Suhunya, dia tahu jalan masuknya seperti bagaimana caranya Thian Hoat Tosu menemui suhunya berapa tahun silam. Tetapi, dia ingat betul permohonan terakhir Suhunya agar tidak lagi menemui dirinya apapun alasan dan apapun keperluannya. Bahkan seluruh kebutuhan Koay Ji ke depan pun, sudah dia atur dan sudah dia tunjuk siapa yang mengurus dan mewakili. Karena itu, pada akhirnya dengan penuh kesedihan dia hanya memandang dinding guanya dan kemudian bergumam sedih:
"Suhu, tecu sudah kembali......."
Tentu saja tidak ada jawaban meski dia berharap ada jawaban. Tapi begitupun Koay Ji merasa bahwa Suhunya mendengarkannya, meskipun tidak menjawab apa yang baru saja digumamkannya. Beberapa saat kemudian, setelah membenahi diri sendiri meski hanya sebentar, diapun melangkah keluar dari ruangan itu. Tetapi sayangnya dia tidak menemukan seorangpun dari saudara seperguruannya berada disana. Juga Tek Ui Sinkay tidak ditemukannya disana. Karena tidak menemukan satupun orang dalam gua, dia kemudian melangkah ke luar pintu gua, dan pada akhirnya dia menemukan orang-orang yang dicarinya. Sedang apakah mereka"
Semua saudara seperguruannya sedang berada di luar gua pertapaan dan dalam posisi segi enam dengan sang toa suheng berada tepat di tengah-tengah. Mereka semua tenggelam dalam samadhi, sepertinya posisi seperti itu sudah cukup lama. Terbukti dari rumput sekitar mereka yang seperti bekas didesak melesak ke tanah dan raut wajah mereka semua sangatlah serius. Sekali pandang Koay Ji langsung paham bahwa mereka sepertinya sedang berlatih satu imu, entah ilmu apakah itu gerangan. Melirik kondisi Toa Suhengnya yang penuh wibawa, Koay Ji tersenyum senang karena melihat jika semua saudara seperguruannya seperti berada dalam komando sang toa suheng. Dan jelas mereka sedang berlatih.
Sesungguhnya Koay Ji heran, dahulunya tidak ada bidang tanah luas di pintu masuk gua suhunya, tetapi sekarang, entah bagaimana terdapat bidang tanah yang cukup luas. Mungkin ada kurang lebih 10 x 30 meter yang menghampar di pintu masuk gua dan pintu masuk, itupun kini terekspose keluar dan dapat ditemukan begitu keluar dari hutan. Hutan itu sendiri memang amat lebat, terlebih dengan barisan mujijat yang terpasang disana, bisa dipastikan Suhunya sudah mempersiapkan semua ini bagi mereka anak muridnya. Entah dengan maksud apa. Jelas Koay Ji tidak dapat berspekulasi untuk kepentingan apa.
Melihat semua suhengnya sedang berlatih, Koay Ji mejadi agak bersemangat untuk ituk berlatih meski dengan cara yang berbeda. Dia memilih satu sudut berjarak beberapa meter dari barisan saudara seperguruannya yang sedang berlatih dan kemudian tenggelam dalam latihannya sendiri. Sebentar saja dia sudah tenggelam dalam samadhi dan berlatih kembali penggabungan dua hawa mujijat Pouw Tee Pwe Yap Siankang dan Toa Pan Yo Hian Kang. Setelah pertemuannya dengan si Pengemis aneh Lie Hu San, Koay Ji baru sekarang kembali berlatih dengan kedua ilmunya ini. Dan dia jadi sangat gembira berbareng menyesal karena tidak langsung berlatih dahulu setelah menemukan penerangan dari si pengemis Lie Hu San.
Bukan apa-apa, dia bisa menemukan kenyataan yang sangat menggembirakan, jika latihannya seperti menemukan tingkatan yang lebih baru lagi. Kekuatannya itu lebih bergelombang, lebih tertata, lebih mudah dikerahkan, dan bahkan memperkuat diri sendiri lebih dari waktu-waktu sebelumnya. Yang kurang disadarinya pada saat itu, mungkin ialah pengaruh perjalanannya memasuki atau menembusi hutan buatan suhunya. Tanpa proses tersebut, apa yang diterimanya dari si pengemis tetap hanya bagai "pengantar" belaka. Karena dengan pesan pembuka Lie Hu San, dia bertemu jalan dan cara melampaui Barisan Pembingung Sukma, sekaligus melatih seluruh potensi dirinya dengan menemukan batas kemamuan dirinya.
Maka ketika dia berlatih kembali pagi itu, dia seperti menemukan dirinya menapak selangkah lagi lebih maju. Dia tidak sadar jika Suhunya memang mengaturnya untuk maju menapak selangkah demi selangkah, tetapi melalui atau lewat penemuannya sendiri. Bukan lagi lewat "disuapi" sang Suhu, tetapi melalui upaya "menganalisa", "menggali", "menciptakan" dan "menemukan" serta "mengolah" sendiri berdasarkan semua yang dia punya. Berdasarkan, semua pengalamannya, semua bacaannya, semua yang disaksikannya. Seperti itulah kemajuan seorang yang paling bermakna. Bukan lagi lewat tuntutan, bimbingan, pengajaran sehari-hari dari seorang Suhu, tetapi melalui satu cara kerja mandiri dalam upaya untuk selalu dan selalu usaha menemukan, menciptakan dan membentuk.
Pagi itu, Koay Ji memahami semuanya. Meskipun sebelum-sebelumnya sebagian dari proses itu sudah dia mulai, mencipta, menganalisis, melihat untuk memperbaiki, dan seterusnya. Tetapi, dengan mengetahui batasnya, mengetahui kemampuannya, kini dia diingatkan bahwa kemajuannya sekarang, sangat tergantung atas kemauan dan ketekunannya sendiri. Semua sudah dia miliki, bacaan-bacaan, temuan-temuan lewat jurus serangan lawan, kawan dan tarung yang dilewati serta disaksikannya. Semua itu adalah bahan mentah, tetapi akan tetap menjadi bahan mentah jika dia membiarkannya tetap sebagai tontotan dan bukan bahan pelajaran. Dan dia sudah menyaksikan banyak. Teramat banyak malahan. Juga sudah memiliki ilmu sendiri yang tidak sedikit ragam macamnya. Warisan kedua Suhunya: Bu In Sinliong dan Bu Te Hwesio, dua manusia langka di dunia persilatan adalah bahan-bahan pembentuk dan dasarnya. Tapi, dia masih punya yang lain.
Karena dia juga masih membaca dua Kitab Pusaka, Kitab Pusaka Pouw Tee Pwe Yap Siankang dan pastinya Kitab Pusaka dari Pat Bin Ling Long. Khusus kitab yang kedua, memberi dia begitu banyak perspektif baru yang lebih kreatif dan progressif, sangat berbeda dengan warisan kedua suhunya yang sangat kokoh, dan mantap. Kemantapan dan kekokohan lewat Ilmu-Ilmu Budha sudah dia miliki dan kuasai secara baik, ditambah dengan kreatifitas dan dinamisasi yang diwarisinya dari Kitab Pat Bin Ling Long. Dan jika semua itu masih ditambah lagi dengan "kecelakaan" yang berubah menjadi "berkah" semasa kecil yang membuatnya jadi memiliki kekuatan raksasa dalam dirinya, maka Koay Ji seperti menemukan semua alasan menjadi seorang yang berbeda.
Samadhi dan latihan pagi Koay Ji yang sedang dalam semangat yang membuncah membuatnya memahami semua sejarah hidupnya. Meski mengalami peristiwa yang buruk dalam sejarah hidupnya, tetapi dia menerimanya sebagai takdir yang haruslah dia jalani. Karena toch, dia sekaligus menerima "ganti" yang sama besar, seimbang dengan jalan sengsara yang dilampauinya sejak masa kanak-kanaknya. "Menerima siapa dirimu apa adanya, memahami keterbatasan kemanusiaanmu, dan melangkah dengan semua itu sambil awas dengan sekelilingmu..." adalah warisan terakhir yang mengantarnya memasuki gerbang baru itu. Gerbang itu sendiri kemudian menjadi lebih jelas dan tegas setelah berhasil melampaui Barisan Pembingung Sukma di hutan masuk menuju gua pertapaan gurunya.
Inilah dia, hari ini, seorang Koay Ji yang menjadi apa adanya, siapa dirinya tanpa tahu identitasnya. Tapi dia tidak lagi menangisinya. Karena Pemahaman yang lebih tentang dirinya dan kemampuannya membawanya pada kesadaran baru. Toch, kemajuannya sangat pesat dan hebat, dia sadari itu, tetapi tidak menjadi gembira berlebihan. Karena posisinya pada saat itu adalah menyadari keniscayaannya untuk tidak berhenti berproses, tidak berhenti berjalan, tetapi terus hidup, terus maju dan jangan pernah berhenti. Terus menggali, terus menganalisa, terus membentuk, terus menciptakan.... tidak ada kesempurnaan yang statis. Kesempurnaan bukan titik akhir, tetapi sebuah proses yang tidak pernah akan berhenti, titik akhir di hari ini bisa merupakan titik awal di hari yang lain. Selama kita manusia hidup, selama itu pula kita akan mencari, menggali, membentuk, menciptakan, dan besoknya akan seperti itu lagi. Terus dan terus seperti itu.
Koay Ji mulai memasuki tahapan menyadari memiliki banyak, sekaligus menyadari bahwa dia belum memiliki banyak. Tetapi, dia baru berada di pintu masuk tahapan yang bakalan lebih luas lagi nantinya. Dia masih tetap membutuhkan waktu panjang guna memaknai penemuan baru atas dirinya sendiri. Tetapi, berdiri di posisi itupun sudah bermakna sangatlah besar dan amat penting bagi dirinya sendiri. Karena sesungguhnya, dia terlampau cepat berada pada posisinya sekarang ini, terlampau muda usia baginya pada saat mencapainya. Seperti begitu banyak kebetulan dan kemujijatan serta keberuntungan yang ditemuinya dan didapatkannya. Tapi begitu jalan kehidupan, yang kadang-kadang terasa mudah dan beruntung bagi orang lain, kadang terasa nelangsa dan buruk bagi orang lainnya lagi.
Koay Ji tergugah dari pendalaman pribadinya dan juga latihan dalam samadhinya ketika beberapa jam kemudian saudara-saudara seperguruannya menggugahnya dari samadhi. Dan alangkah kagetnya dia karena begitu sadar, sudah berada di hadapannya berdiri ketujuh saudara-saudara seperguruannya dan semua sedang asyik mengamati keadaannya:
"Achhh, maafkan para Suheng, Suci ketika bangun pagi tadi karena tidak menjumpai menemui seorangpun, akhirnya keluar dan menemui para suheng dan suci tenryata sedang berlatih di pagi hari. Tecu juga jadi ikut-ikutan berlatih meski hanya berlatih sendirian belaka......"
"Hmmmm, dan sepagi ini engkau sudah terbangun lagi....?" tanya Toa Suhengnya yang seperti heran dan terkejut, jelas diwajahnya. Melihat ini, Koay Ji menjadi rada bingung, entah apa maksud toa suhengnya.
"Benar Toa suheng........ apakah ada yang keliru dan ada yang salah yang baru saja kulakukan toa suheng" Tanyanya bingung
"Beginis siauw sute yang baik, kami membutuhkan waktu sampai 36 jam baru dapat bangun kembali, tetapi engkau kelihatannya hanya butuh waktu sekitar 12 jam atau malah kurang......., benar-benar hebat ramalan Insu kita itu...." desis Jit yang Sin sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping takjub. Sungguh awalnya dia kurang yakin. Tetapi menemukan kenyataan betapa Koay Ji memang benar hanya butuh atau membutuhkan waktu 12 jam untuk sadar kembali dan malah kini sudah berlatih bersama mereka, benar-benar sangat mencengangkan.
Meski, sebenarnya dia sejak lama sudah paham dan mengerti bahwa Suhunya itu banyak sekali dipenuhi misteri, selain memiliki kepandaian dan ilmu silat yang maha tinggi, tetapi juga dia tahu sang suhu memiliki kemampuan guna meramal kejadian di masa depan. Sementara di lain pihak, menurut penulisan suhunya, siauw sutenya juga memiliki banyak kelebihan dan banyak sekali kebisaan yang akan mereka tahu satu demi satu kelak.
"Achhh Toa Suheng, engkau terlalu berlebihan...... tapi, bagaimana keandaan Insu?" begitu mendengar nama Suhunya dibawa-bawa, Koay Ji bersemangat dan menduga jika Suhunya itu berada bersama mereka. Tapi dia segera kecele karena ternyata suhu mereka tidak ada disitu.
"Berlebihan siauw sute" hahahaha, tanyakan kepada para suheng dan sucimu yang lain, yang juga sama-sama membaca tulisan yang ditinggalkan oleh Insu bagi kami semua. Dia menuliskan jelas apa yang akan terjadi hingga pertemuan kita pada pagi hari ini. Bahwa kami semua bakalan membutuhkan waktu hingga kurang lebih 2 hari 1 malam untuk mampu melintasi Barisan Pembingung Sukma yang terlampau aneh dan mujijat itu. Tetapi dilain pihak, engkau justru hanya membutuhkan cukup berapa jam belaka. Selain itu, Insu menuliskan bahwa engkau cukup 12 jam memulihkan dirimu sendiri, dan kami bakalan membutuhkan waktu 36 jam setidaknya untuk dapat pulih kembali. Dan, kenyataannya memang demikian. Dan apakah menurutmu ini bukanlah sebuah keanehan...", terang Pek Ciu Ping sambil melihat kearah Koay Ji yang juga kebingungan.
"Accccch, Insu sampai menulis begitu detail....?" tanya Koay Ji yang sedikit kecewa karena menyangka bisa bertemu Suhunya. Dia sendiri tidak terlalu menganggap bahwa kemampuannya untuk ebih cepat menyeberangi Barisan Pembingung Sukma dan kecepatannya dalam memulihkan diri sebagai sesuatu yang luar biasa. Ataupun sesuatu yang harus dibanggakannya dihadapan sesama saudara seperguruannya. Dia bersikap biasa-biasa saja dan membuat semua saudara seperguruannya mau tidak mau kagum dan membenarkan penilaian guru mereka sendiri. Tentang siauw sute mereka yang aneh dan punya kehebatan tersendiri, termasuk juga keluhuran budi yang tak mereka sangkal.
"Begitulah kenyataannya Sute....." adalah Sam Suhengnya, Tek Ui Sinkay yang kini menjawab pertanyaannya barusan. Pertanyaan mengenai dimana keberadaan Insu mereka, karena tidak nampak berada bersama mereka. Meski sebenarnya Koay Ji tahu, sang suhu sudah menegaskan mundurkan dirinya.
"Ooooh........" singkat komentar Koay Ji, antara kecewa dan gembira. Kecewa tidak dapat bertemu Suhunya yang amat dia hormati tetapi merasa amat gembira karena bertemu secara lengkap dengan semua saudara seperguruannnya justru di depan goa pertapaan suhu mereka.
"Mari, sudah saatnya kita sarapan pagi, dan setelahnya kita dapat bercakap-cakap secara lebih leluasa..." Tek Ui Sinkay berbicara sekaligus mengundang semua orang untuk menikmati sadarapan pagi.
"Eccchhh, tapi, dimana sarapannya Sam Suheng" Dan mengapa di Markas Thian Liong Pang sama sekali sudah tidak ada manusianya...?" tanya Koay Ji yang masih heran dengan pengalamannya memasuki areal Thian Cong Pay. Pandang matanya mengarah ke Cu Ying Lun dan Tek Ui Sinkay yang dia tahu betul adalah saudara seperguruan pertama yang datang ke Thian Cong San. Mereka berdua mestinya tahu dengan perkembangan disana.
"Siauw Sute,, begitu kami berdua kembali ke Thian Cong Pay, meski hanya ditinggal beberapa bulan, ternyata perubahan luar biasa sudah terjadi. Keamanan memasuki Gua ini sudah berlipat ganda, dan hal yang sama terjadi dengan mulut lembah guna masuk ke Markas Thian Cong Pay kita ini. Coba engkau tebak sendiri, jika bukan Insu, habis siapa lagikah gerangan yang bermampuan melakukan hal seperti ini bagi kita semua....?" Cu Pangcu atau kakak seperguruan ketujuhnya menjelaskan singkat kepada Koay Ji yang keheranan.
"Jadi..." kemana anak murid Thian Cong Pay...." kemana pula anak buah Sam Suheng, anggota kaypang yang demikian banyak itu....?" tanya Koay Ji yang meski mulai paham tetapi belum seutuhnya.
"Kita makan dulu sute, baru membicarakannya semua...." ajak Tek Ui Sinkay sambil mengajak pergi, makan ke Markas Thian Cong Pay. Dan Koay Ji kembali heran, karena bukankah Thian Cong Pay hanya dihuni 5 orang belaka" Mengapa pula mereka akan makan disana"
"Hanya kita sesama saudara seperguruan yang diijinkan Insu memasuki dan datang ke tempat ini, orang lain dilarang keras, bahkan juga pelayan. Ini untuk menghormati Insu yang masih bertapa di dalam sana......" tegas Pek Ciu Ping, sang Toa Suheng sambil mulai berjalan mengikuti di belakang Tek Ui Sinkay. Kata-kata dan kalimat Pek Ciu Ping jelas dan tegas, dan sepertinya adalah pesanan dan sekaligus perintah bagi mereka semua selaku anak murid dari Bu In Sinliong sendiri. Dan diam-diam Koay Ji mencatatnya dalam hati sekaligus yakin, bahwa memang benar Suhunya kini menutup diri untuk selamanya. Buktinya, meski mereka semua muridnya sudah datang dan berkumpul di tempat pertapaannya, tetapi sang suhu tetap saja tidak munculkan diri menemui mereka.
Tidak berapa lama, mereka kini berhadap-hadapan dan siap duduk di meja makan yang berbentuk segi empat. Sebuah peristiwa makan pagi bersama untuk pertama kalinya bagi seluruh anak murid Bu In Sinliong. Dan secara lengkap pula, tidak ada yang tertinggal. Tuan rumahnya sudah jelas adalah Cu Ying Lun, murid ketujuh atau murid bungsu Bu In Sinliong sebelum menerima Koay Ji menjadi murid penutupnya. Dan selaku Tuan Rumah sekaligus pemimpin Thian Cong Pay, selaku Pangcu Thian Cong Pay dia bertindak secara lugas dan cepat. Ternyata, ini kebingungan Koay Ji yang lain, rumah utama Thian Cong Pay sudah siap dengan makanan yang cukup lengkap. Siapa dan darimana bahan makanan pagi mereka yang demikian lengkap, banyak jenisnya dan juga takarannya banyak. Padahal, bukankah tinggal beberapa orang belaka yang ada disini"
"Mari para suheng, suci dan siauw sute...... sarapan pagi sudah tersedia. Silahkan Toa Suheng memulainya......"
Makan pagi yang cukup ramai, tetapi adalah Oey Hwa dengan sesekali dibantu Pek Sim Nikouw atau Pek Bwe Li, masing-masing murid kelima dan keenam yang paling ramai. Keduanya tanpa sungkan menasehati dan "menggurui" Koay Ji dalam bahasa bahasa guyon orang dewasa. Apalagi ketika mereka mampu menyelesaikan makan pagi dengan lebih cepat dibandingkan orang lain. Mereka tidak beranjak dari meja makan dan mulai menggoda Koay Ji
"Ingat siauw sute, pilihan untuk gadis impianmu itu haruslah serasi. Dia harus cantik dan juga lembut, baru bisa serasi denganmu, dan baru kita restui. Karena itu, jangan sampai engkau asal pilih ya....." nasehat Oey Hwa dengan mimik wajah yang cukup lucu sambil melirik Pek Bwe Li dan tersenyum.
"Dan jangan terlampau banyak menyakiti anak gadis orang, berdosa jika engkau sampai melakukannya siauw sute....." tambah Pek Sim Nikouw atau Pek Bwe Li senada dengan godaan Oey Hwa
"Benar jangan asal suka dan kemudian asal pacaran, ataupun suka gonta-ganti pacar seenaknya mentang mentang engkau orang hebat berkepandaian tinggi. Tidak baik seperti itu, kami kedua sucimu akan memarahimu jika melakukannya. Insu akan tidak suka jika engkau berlaku begitu....."
"Dan lagi, orang sepertimu sangat langka, pastilah banyak anak gadis orang yang akan memperebutkan dirimu nanti....."
Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya. Koay Ji sampai merah kuning biru wajahnya dikerjain kedua sucinya. Tetapi, meski begitu dia tidak marah, karena dia tahu persis kedua sucinya itu berlomba menyayanginya seperti menyayangi anak mereka sendiri. Tetapi, nasehat mereka mengingatkannya kepada Sie Lan In, gadis yang sudah menyita ruang hatinya, dan membuatnya teringat Nona Yu yang sudah menjadi "istrinya". Keduanya cantik dan manis budi. Tetapi, dia tidak mengatakan apa-apa menyahuti kedua sucinya. Lagipula dia belum siap untuk mengakui siapa pilihan dan tambatan hatinya pada saat itu. Tetapi, Tek Ui Sinkay dan Cu Ying Lun terlihat saling lirik dan tersenyum. Sedetik kemudian:
"Apakah engkau sedang terkenang dan mengenang Nona Sie Lan In yang cantik jelita dan kini sedang merindukannya, siauw sute....?" ledek Tek Ui Sinkay yang langsung membuat Koay Ji jadi kelabakan dengan wajah bersemu merah. Sungguh sial, dia menjadi bahan olok olok nyaris semua saudara seperguruannya saat itu. Dan ini memancing Oey Hwa kembali beraksi karena benar-benar pengen tahu siapa orang yang dicintai siauw sutenya:
"Ha, jadi benar engkau sudah punya kekasih hati ya siauw sute, waaaaah, engkau belum memperkenalkannya kepada kami....." kejarnya
"Acccch, sam suheng mau tahu saja asal bicara......." tangkis Koay Ji tanpa paham apa yang sebaiknya dia katakan.
"Oooocccch, baiklah, akan kukatakan kepadanya bahwa engkau yang adalah Koay Ji, Thian Liong Koay Hiap sekalian dan pemuda Bu San yang pura-pura bodoh itu ternyata tidak menyukai Sie Kouwnio, bagaimana.....?" goda Tek Ui Sinkay dengan senyum mengembang melihat Koay Ji kelabakan.
"Waaaaah, jangan, jangan begitu Sam Suheng,..... ini..... ini......" Koay Ji sontak tak sadar membuka perasaan hatinya didepan semua saudara seperguruannya.
"Nach, terbukti kan engkau mencintai Sie Kouwnio......?" kejar Tek Ui Sinkay dan sontak membuat Koay Ji terdiam. Benar juga, dia cepat sekali terpancing dan tidak mampu menyembunyikan perasaannya sendiri.
"Siapa Sie Kouwnio itu.....?" tanya Oey Hwa tegas, ingin tahu lebih banyak. Maklum, dia berpikir siapapun jodoh bagi Koay Ji, haruslah dia yang melakukan seleksi dan membantu Koay Ji memutuskan.
"Jangan begitu sumoy, nanti siauw sute kita kebakaran jenggot. Ini gadis cantik yang sangat dicintai sute kita......" tambah Tek Ui Sinkay tambah menjadi-jadi dan makin membuat Oey Hwa sewot.
"Tapi, aku belum tahu siapa dia...." kejar Oey Hwa sambil memandang tajam kearah Tek Ui Sinkay menuntut jawaban.
"Nanti juga sute akan memperkenalkanmu dengan Nona cantik itu, pokoknya top dech, mana cantik dan berkepandaian tinggi pula. Sudah pasti sangat serasi dengan siauw sute kita yang baik ini......."
"Sudah, sudahlah..... Sie Lan In itu murid bungsu Lam Hay Sinni. Sudah cukup, kita perlu memperbincangkan masalah lain, cukup perbincangan ringan ini...." terdengar Pek Ciu Ping menengahi dan mulai memimpin percakapan. Mendengar bahwa Sie Lan In adalah murid Lam Hay Sinni, semua terdiam. Tapi,
"Hehehehe, baik toa suheng, silahkan engkau memimpin kami semua..." terdengar Tek Ui Sinkay berbicara dan mempersilahkan Pek Ciu Ping berbicara lebih lanjut. Karena dia sendiri sangat paham bahwa ada banyak persoalan yang harus mereka bicarakan, selain urusan dunia persilatan, juga urusan perguruan mereka sendiri, sebagaimana perintah melalui tulisan-tulisan yang ditinggalkan Bu In Sinliong bagi mereka semua sesama saudara seperguruan.
Koay Ji terselamatkan oleh menyelanya Pek Ciu Ping dalam percakapan mereka antar sesama saudara seperguruan. Sebab jika tidak, maka Koay Ji pasti akan tetap semakin parah menjadi buan-bulanan Oey Hwa yang seperti bekerjasama dengan Tek Ui Sinkay dan Pek Bwe Li. Untunglah memang ada pekerjaan besar mereka semua yang amat penting dan harus segera mereka percakapkan. Koay Ji menarik nafas panjang dan merasa gembira terbebas dari godaan dan jahilnya saudara-saudara seperguruannya itu. Dan kini mereka bersiap menunggu Pek Ciu Ping yang kelihatannya sudah bersiap-siap untuk segera memulai percakapan penting diantara mereka berdelapan selaku murid Bu In Sinliong.
"Para Sute dan Sumoy, kalian semua tentu sudah tahu dan membaca, kecuali Siauw Sute, surat peninggalan Insu bagi kita semua. Diluar dugaan kita semua, ternyata Insu sangatlah mengenal karakter dan juga latar belakang kita masing-masing. Hal yang terus terang membuat lohu sendiri merasa amat terharu meski sudah sangat lama tidak bertemu dia orang tua secara langsung. Bahkan Insu nyaris tidak pernah meminta satupun hal untuk dapat kukerjakan buat dia orang tua, kelihatannya juga demikian bagi para sute dan sumoy sekalian. Sampai hari ini, sejak turun gunung, Insu boleh dibilang tidak pernah memintaku melakukan satu hal sajapun untuk kepentingannya. Kecuali melakukan sesuatu harus selalu sesuai dengan keadilan dan kepentingan orang banyak. Hanya satu, dan ini satu-satunya permintaan Insu bagi kita semua, dan permintaannya bagi kita masing-masing sudah dicatat dan ditinggalkannya buat kita pahami. Lohu tidak akan menegaskan yang sudah tertulis bagi kalian semua, tetapi sangatlah diharapkan oleh Insu agar dapat kita kerjakan satu hal secara bersama-sama......"
Pek Ciu Ping terlihat diliputi rasa haru yang luar biasa. Dan memang tokoh ini agak perasa, sebagaimana juga dijelaskan panjang lebar oleh Suhunya dalam surat yang ditinggalkan khusus untuknya. Butuh beberapa saat sebelum dia melanjutkan guna memimpin pertemuan mereka, dan setelah bisa menguasai dirinya, beberapa saat Pek Ciu Ping kembali melanjutkan:
"Secara garis besar, Insu menerangkan siapa kita dan sekaligus menugaskan kita masing-masing pada jalan yang berbeda. Jika boleh lohu bacakan, maka penugasan yang berbeda dengan yang dituliskan Insu dalam surat kepada masing-masing sute dan sumoy, adalah sebagai berikut: Ji Sute (sambil menahan diri sebentar, kelihatan sekali jika Pek Ciu Ping sendiripun menahan rasa untuk dapat membacakan bagian yang satu ini)...... setelah sekian lama engkau menjadi petani dan terus membayangi kecintaanmu, yakni Su Sumoy mu, maka dengan ini kunyatakan bahwa larangan kalian berdua untuk berjodoh kucabut......"
"Aiiiiich, Insu......." terdengar isak tangis Pek Sim Nikouw atau Pek Bwe Li ketika Pek Ciu Ping mengungkit dan menegaskan ditariknya penolakan Suhu mereka atas tali jodohnya dengan Ji Suhengnya.
Sementara itu, mendengar perkataan Pek Ciu Ping atau sang Toa Suhengnya, Cing San Khek (Jago Berbaju Hijau) Tiat Kie Bu berdiri dan dengan muka memerah dan kemudian memandang Pek Ciu Ping dan berkata dengan suara marah:
"Toa Suheng,,,,,,, meskipun Insu menghukum kami berdua karena berani berbuat atau melanggar larangannya, tetapi kami berdua secara rela menerima hukuman itu dengan penuh kesadaran. Meskipun puluhan tahun kami berdua berdekatan, tetapi tidaklah sekalipun kami melanggar larangan Insu yang terakhir... tidaklah perlu untuk dipersoalkan lagi lebih jauh..." tatap mata dan sikap Tiat Kie Bu yang sehari-harinya tenang sontak berubah menjadi keras dan amat tegas. Sementara isak tangis dari Pek Bwe Li atau Pek Sim Nikouw menyelingi atau malah tambah menjadi-jadi melihat sikap kekasihnya itu.
"Ji Sute, duduk......." Pek Ciu Ping boleh penuh perasaan dan agak sentimentil, tapi dia juga bisa tegas memimpin saudara seperguruannya. Dan melihat perubahan Pek Ciu Ping, Tiat Kie Bu segera sadar.
"Maaf Toa Suheng, bukannya tidak menghormatimu, tetapi aku memang betul-betul sedang terbawa emosi. Maaf, maaf. Tetapi biarkan kami berdua menebus dosa yang sudah terjadi itu, kami tidak sekalipun menyesalkan keputusan Insu atas diri kami berdua selama ini......" setelah berkata demikian, sambil memandang dengan penuh kasih kearah Pek Bwe Li, Tiat Kie Bu kemudian duduk. Keadaan dan suasan sontak menjadi hening, menjadi agak menegangkan.
"Begitu baru benar.... Ji Sute, apakah engkau pikir Insu tidak pernah memikirkan dan menyayangi kalian berdua..." Insu memang menulis surat kepada kalian berdua, tapi mengenai keputusannya dia tuliskan di surat khusus untuk lohu. Karena itu, Ji Sute dan engkau Su Sumoy, hentikan tangismu dan dengarkan perintah dan juga keputusan Insu untuk kalian berdua. Sam Sute, engkau menemaniku membaca surat dan keputusan Insu, meski surat ini sejatinya ditujukan kepadaku selaku wakil Insu menyampaikan keputusannya. Tetapi, supaya ada saksi bahwa keputusan ini berasal dari Insu, maka engkau menjadi saksinya..."
"Ba... ba... baik Toa Suheng....." desis suara Pek Sim Nikouw lemah dan bersamaan dengan itu Tek Ui Sinkay terlihat berdiri untuk mendampingi Pek Ciu Ping, dan Oey Hwa terlihat memeluk dan merangkul Pek Sim Nikouw penuh kasih sambil berbisik-bisik menenangkannya. Suasana yang sungguh sangatlah mengharukan saat itu. Mereka semua tenggelam dalam pikiran dan kesenduan yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Prahara dan penderitaan panjang Tiat Kie Bu dan Pek Bwe Li, dua sejoli yang amat saling cinta pada masa muda mereka, memang merupakan rahasia umum yang sangat mengganjal antara mereka sesama saudara seperguruan. Apalagi, karena Oey Hwa sangat dekat dan selalu membela Pek Bwe Li. Tetapi, entah mengapa Suhu mereka melarang keras perjodohan mereka dan mengancam akan mengeluarkan mereka dari perguruan bila melanggar larangannya.
"Dengan disaksikan Sam Sute sebagai saksi, maka lohu membacakan keputusan Insu atas kalian berdua,,,, nach dengarkan...... "Mengenai Tiat Kie Bu dan Pek Bwe Li engkau sampaikan pesan-pesanku. Bahwa tidak ada satupun keputusanku yang berdasarkan ilmu penerawanganku yang semenyedihkan dengan saat kuputuskan larangan berjodoh bagi kedua muridku yang amat kukasihi. Mereka berdua, seperti juga murid-muridku yang lain kudidik seperti mendidik seorang anak bagiku. Tetapi, pada masa-masa tuaku, baru kusadari, bahwa memang kadang ada perasaan yang jika berarti matipun tetap saja sangat bermakna dan berharga. Karena itu, larangan perjodohan antara mereka kucabut dan engkau harus menyampaikannya secara langsung. Lam Hay Sinni sudah meneliti keberadaan mereka dan diapun sangat setuju agar mereka dirangkapkan sebagai suami-istri segera setelah pertemuan kalian nanti. Sampaikan juga permohonan maaf Gurumu karena sudah membuat mereka menderita selama sekian puluh tahun. Kecintaan mereka sangat kurasakan, meski mereka sebenarnya bisa saja menikah dan hidup terpencil secara diam-diam tanpa atau diluar sepengetahuanku..."
"Acchhhh, Insu......." terdengar tangis Pek Bwe Li kembali pecah ketika Pek Ciu Ping masih belum selesai membacakan perintah atau pesan Suhu mereka itu. Tangisnya sangatlah menyedihkan dan menyayat hati.
"Tidak,,,, tidak Insu, kami menerima semua keputusanmu dengan legowo, kami tahu kami berdua memang sesekali juga bersalah dengan berkeinginan untuk melanggar larangan Insu, tapi kami tak mampu menyusahkan Insu yang menjadi penyelamat dan bahkan orang tua bagi kami berdua...... huhuhuhuhuh..." isak tangis Pek Bwe Li jadi tidak tertahan dan menangis dalam rangkulan Oey Hwa yang juga jadi menangis sama sedihnya bersama sucinya itu. Suasana serentak kembali dipenuhi kesedihan sementara Tiat Kie Bu sendiripun terlihat menitikkan air mata sambil tertunduk, tidak tahu harus mengatakan apa. Keadaan seperti itu berangsung sekian lama sampai akhirnya isak tangis Pek Bwe Li mulai reda dalam rangkulan dan juga bujukan Oey Hwa adik seperguruannya.
Melihat keadaan mulai kembali mereda dan kemudian masing-masing mulai mampu mengontrol emosinya, terdengar Pek Siu Ping melanjutkan membacakan surat dan pesan-pesan yang diberikan dan disampaikan oleh Suhu mereka Bu In Sinliong dari tempat pertapaannya yang sudah terpisah. Suaranya serak, karena dia sendiripun amat terharu dan bersimpati sangat dengan apa yang dialami kedua saudaranya itu. Dan selanjutnya, masih mengenai keputusannya ditujukan kepada murid kedua dan murid keempatnya, kemudian dibacakan lebih jauh dan lebih lanjut olehnya setelah dia sendiripun berusaha keras menahan rasa haru, bahkan sesungguhnya menahan turunnya air matanya sendiri. Butuh perjuangan berat kelihatannya bagi Pek Ciu Ping untuk melanjutkan membaca pesan suhu mereka. Bahkan, Koay Ji sempat melihat jika toa suhengnya itu sempat meneteskan air mata:
"Sesungguhnya, jika mereka memaksakan diri untuk merangkapkan diri sebagai suami-istri pada masa lalu, maka mereka sudah lama "terbunuh" oleh sebab yang mereka tidak pahami. Mungkin siauw sutemu bisa memberikan sedikit penjelasan mengenai hal tersebut dari sudut pandang yang berbeda..... Tetapi, sudahlah, soal itu adalah masalah lalu, untuk kedepannya setelah mereka terangkap sebagai suami istri, Pek Bwe Li harus segera meninggalkan kuil pertapaannya. Dan sebagai hadiah pernikahan bagi mereka berdua, kuwariskan gua pertapaan yang menghadap ke Thian Cong Pay bagi mereka berdua. Sekaligus, mereka akan memperoleh tugas untuk ikut menjaga Tian Cong Pay dan mendalami ilmu silat khusus yang kuciptakan buat menjaga Perguruan kita itu......"
Semua termenung dan terdiam padahal Pek Ciu Ping sudah selesai membacakan surat khusus keputusan Suhu mereka atas nasib Tiat Kie Bu dan Pek Bwe Li. Tapi, Pek Ciu Ping memandang Koay Ji dan bertanya:
"Siauw Sute, apakah engkau bisa menebak dan membantu kami memahami apa yang dimaksudkan oleh Insu mengenai kata "terbunuh" tersebut..." tanyanya kepada Koay Ji yang sendiripun agak bingung pada awalnya. Tapi, sedikit banyak dia tahu maksud dari Gurunya yang menunjuk dirinya. Karena itu, dia kemudian bangkit dan mendekati Pek Bwe Li sambil berkata:
"Su Suci, bolehkah kumemeriksa peredaran darahmu sebentar saja.....?" tanya Koay Ji dengan snagat berhati-hati. Maklum, dia tahu perasaan Liok Sucinya sedang terguncang dengan berita menghentak yang baru dia dengar.
"Engkau boleh melakukannya sute....." jawab Pek Bwe Li dengan lemah, dia masih saja terus terisak bersama Oey Hwa. Tapi, meski demikian, dia sendiri berharap mengetahui sesuatu yang dapat lebih membantunya guna mengerti prahara yang membuatnya seperti sekarang ini.
Koay Ji kemudian memegang lengan Su Sucinya dan berkonsentrasi secara khusus dengan peredaran darah sucinya itu. Setelah beberapa menit dia terus melakukan pemeriksaan, kepalanya atau wajahnya terlihat berkerut dan berubah menjadi agak serius. Bahkan, beberapa saat kemudian dia terdengar bertanya kepada Pek Bwe Li dalam nada suara yang serius:
"Liok Suci, apakah engkau boleh mengijinkan jika tecu mencoba menotok beberapa jalan darah di bagian punggungmu..." hanya untuk sekedar lebih memastikan apa yang sudah kutemukan barusan. Untuk dapat memastikannya, maka sutemu benar-benar amat membutuhkan pemeriksaan dari beberapa sisi dan sudut yang berbeda. Terutama ini diperlukan karena kelihatannya memang merupakan hal yang secara langsung berhubungan dengan apa yang sangat mungkin sudah diketahui Insu. Tapi Insu memutuskan tidak memberitahukannya pada saat itu.
"Silahkan Sute....." berkata Pek Bwe Li sambil berdiri, menjadi lebih tenang dan terus saja langsung membelakangi Koay Ji, karena diapun bersama yang lain tahu betul, bahwa Koay Ji memang menguasai ilmu pertabiban yang tinggi. Bahkan Suhu mereka sendiripun meyakini hal tersebut.
Mendengar persetujuan Pek Bwe Li yang bahkan sudah langsung menyodorkan punggungnya, Koay Ji kemudian bekerja cepat menotok di beberapa titik. Secara tiba-tiba Pek Bwe Li menjerit kesakitan, bahkan mulutnya terlihat sedikit berdarah, tetapi rasa sakitnya cepat hilang ketika Koay Ji kembali menotok 4 titik berlainan secara cepat dan beruntun. Setelah berhenti beberapa saat lagi sambil menunggu Pek Bwe Li membersihkan mulutnya yang sempat berdarah, Koay Ji lanjut menotok kembali di beberapa titik dan kemudian menyudahi pemeriksaan atas diri sucinya. Keningnya masih tetap berkerut dan terlihat sedang berpikir keras, dan beberapa saat kemudian diapun berkata:
"Insu benar,,,,,, jika perjodohan Suci dengan Ji suheng berlangsung pada 30 tahun silam, maka Suci akan tewas bersama dengan bayi yang akan dikandungnya itu. Ada beberapa aliran darah dan kondisi kandungan Suci yang kurang baik sehingga saat atau ketika mulai terisi jabang bayi, maka bayinya akan membawa bencana bagi dirinya sendiri dan bahkan bagi Suci sendiri. Sementara keadaan Ji Suheng sudah tecu pelajari dengan amat baik dahulu, jenis darah suheng justru akan saling memperkuat proses yang tidak sehat dalam tubuh Suci. Tetapi, setelah kutotok tadi dan juga setelah suci tidak bisa melahirkan lagi, maka bahaya itu justru sudah lalu dengan sendirinya....." demikian penjelasan Koay Ji yang menyampaikannya secara perlahan dan agak berhati-hati sambil memandang bergantian baik Ji Suhengnya maupun juga sang su suci.
"Sute,,,, apakah engkau tidak sedang bermain-main...?" bertanya Ji Suhengnya, Tiat Kie Bu dengan wajah berkerut dan penuh nada dan tanda tanya. Jelas dia tidaklah meragukan kemampuan Koay Ji, tetapi ingin memastikan sesuatu. Dan Koay Ji yang maklum dengan hentakan emosi kedua suheng dan sucinya itu tidak menjadi marah, sebaliknya dia berkata lagi:
"Ji Suheng, engkau sendiri tahu betapa hormatku kepada Suheng dan Suci. Bahkan tulisan Insu itu sedikitpun aku tidak tahu, penjelasanku tadi adalah penjelasan lewat pemeriksaan jalan darah, dan bahkan masih harus kulanjutkan untuk supaya suci dapatlah sembuh seratus persen. Janganlah khawatir Ji Suheng, tecu, seperti juga Insu, tidak akan dan tidak pernah berpikir mempermainkanmu, juga mempermainkan Suci, yang adalah orang-orang terdekat yang kuhormati dan kukasihi ....."
"Accchhhhhhh baru kusadari mengapa Insu menolak perjodohan kami dan bahkan menghadiahi sumoy dengan beberapa totokan. Ternyata dia sudah memprediksi dan mengetahui masalah ini sejak jauh-jauh hari..... ach, maafkan kami Insu.., kami sungguh tidak menyalahkanmu Insu" terdengar Tiat Kie Bu akhirnya sadar dan memandang sumoynya, Pek Bwe Li dengan tatap mata mesra, bahagia karena akhirnya mereka bisa berjodoh. Meski sudah teramat tua usia, tetapi mereka sejak dahulu memang tinggal berdekatan untuk bisa saling tahu dan saling jaga keadaan dan kesehatan masing-masing. Mereka berdua tidak pernah bisa tinggal berjauhan untuk waktu yang agak lama. Karena jika mereka tinggal berjauhan justru membuat mereka merana dan tetap saling mencari. Begitulah cinta.
"Baiklah, untuk urusan pernikahan Ji Sute dan Su Sumoy biar kita tunda setelah pertemuan ini. Pernikahan itu, biarlah sekalian jadi pesta perjumpaan kita sesama saudara seperguruan karena belum pernah kita bisa selengkap ini. Nach, lohu akan melanjutkan pesan-pesan Suhu bagi kita....."
Pek Ciu Ping kembali menyimpan surat yang tadi berisi perintah untuk Ji Sutenya dan Su Sumoynya, sekaligus permohonan maaf Bu In Sinliong kepada kedua anak muridnya yang ternyata senantiasa saling setia bahkan hingga usia tua mereka itu. Beberapa saat kemudian, Pek Ciu Ping kembali melanjutkan memimpin pertemuan dan memberitahu pesan selanjutnya. Sekali ini, pesan disampaikan secara khusus kepada muridnya yang ketiga, Tek Ui Sinkay. Untuk itu, Tek Ui Sinkay kembali ke tempat duduknya yang semula:
"Sam Sute, Insu mengikuti sepak terjangmu yang gagah perkasa dalam membela kaum pengemis dan menjaga martabat mereka. Insu memutuskan membebaskan dan membiarkan engkau berkarya bagi Kaypang, tetapi karena keadaan Rimba Persilatan yang agak bergejolak, maka engkau harus memelihara Ilmu Silatmu. Dan perintah yang lain tentunya engkau sudah pahami sendiri. Tetapi, keputusanmu kelak untuk terus memimpin Kaypang atau tidak, hendaklah kelak engkau bertanya kepada seorang tokoh bernama Ceng San Sinkay (Pengemis Berbaju Hijau). Tidak usah dan tidak perlu engkau mencarinya sendiri, karena tokoh itu akan muncul dengan sendirinya nanti paling lama satu tahun sejak pertemuan pada hari ini. Nach, apakah engkau dapat memahami dan mengerti apa yang dimaksudkan Insu melalui suratnya ini Sam Sute....?"
"Sangat paham Toa Suheng......"
"Bagus,,,,, kita semua diperintahkan juga untuk sewaktu-waktu membantu Kaypang baik semasa kepemimpinan Sam Sute ataupun setelah tidak lagi selama mereka terus berjalan di jalur yang tepat seperti saat ini. Bahkan, menurut Insu, siauw sute bahkan sudah terlibat membantu Kaypang selama ini....."
Mendengar namanya kembali disebut, Koay Ji terlihat memerah mukanya, tetapi tidak dapat mengatakan apa-apa. Sementara Pek Ciu Ping kembali melanjutkan membacakan pesan-pesan Insu mereka:
"Ngo Sute dan engkau sekalian Liok Sumoy... (sambil memandang kepada Siau Ji Po dan Oey Hwa), kalian berdua ditetapkan untuk terus dengan usaha kalian di kota tempat tinggal dewasa ini. Tetapi, jangan pernah berhenti dan sampai melalaikan latihan ilmu silat, khususnya engkau Ngo Sute, karena sebetulnya musuh-musuh keluarga kalian juga selalu mengintai dari saat kesaat. Selain itu, dalam keadaan tertentu, jangan pernah berlaku pelit untuk membantu sesama saudara seperguruan kalian yang dalam kesulitan. Apakah kalian mengerti dengan pesan Suhu ini khusus untuk kelian berdua....?" setelah menyampaikan pesannya, Pek Ciu Ping langsung bertanya kepada suami-istri yang kelihatan senang dengan pengertian Insu mereka atas apa yang sudah mereka capai dan kerjakan selama ini.
"Siap Toa Suheng, pesan dan perintah Insu sangat kami pahami...... mohon bantuan toa suheng untuk bisa membantuku melatih ilmuku lebih jauh....." Siau Ji Po yang memang hobby ilmu silat menggunakan kesempatan itu untuk meminta.
"Hmmmm, dapat kita atur setelah pertemuan ini Ngo Sute..... ada lain lagikah yang ingin kalian berdua tanyakan....?"
"Sudah cukup Suheng....."
"Dan kemudian, kepada Chit Sute Cu Ying Lun. Suhu mengijinkanmu untuk terus memimpin Thian Cong Pay dan menghargai usaha kerasmu membina perguruan itu sejak dahulu. Tetapi, pergolakan rimba persilatan bakal segera menyeretmu untuk terlibat padahal perguruan itu masih sangat prematur. Karena itu semasa masih dalam pembenahan lebih lanjut, maka sebaiknya jangan dulu membawa perguruan itu kedalam kancah pertikaian Rimba Persilatan. Sepuluh tahun kedepan, Thian Cong Pay sudah akan siap. Tetapi, tentu saja, sejak sekarang dipersiapkan lebih baik lagi. Dan karena akan menggunakan Ilmu-Ilmu Insu, maka kita semua diharapkan mendukung apa yang sudah dimulai oleh Chit Sute. Kedepan, Ji Sute dan Su Sumoy akan berada bersama Chit Sute untuk ikut melatih, menjaga dan membesarkan perguruan. Malah keahlian bertani Ji Sute juga diharapkan Insu agar membantu banyak perguruan ini agar dapat berkembang dengan baik kedepan. Siauw Sute, meski berada serta membantu Sam Sute, tetapi tetap akan tercatat sebagai sesepuh Perguruan ini, dan karena itu juga wajib membesarkannya...... itu perintah Insu dan harapan beliau bagi Chit Sute dan juga kita semua....."
"Terima kasih Insu, terima kasih Toa Suheng, sudah pasti kepercayaan Insu akan kupegang dan kujunjung tinggi....." Cu Ying Lun berkata dengan penuh ucapan terima kasih, bahkan juga kepada seluruh saudara seperguruannya.
"Tapi, ada satu hal yang perlu engkau perhatikan Chit Sute,,,,,," terdengar Pek Ciu Ping bersuara memperingatkan Cu Ying Lun.
"Silahkan Toa Suheng, pasti kuperhatikan,,,,,," jawab Cu Ying Lun yang juga sama ingin tahu apa yang dimaksudkan
"Pertama, jaga tingkah pola keluargamu. Jangan terlampau mencampurkan urusan keluargamu dengan perguruan ini karena sesungguhnya, Insu menceritakan semua urusan sejak kehadiran Siauw Sute di perguruan Thian Cong Pay. Hal ini haruslah sangat engkau perhatikan, sebab jika tidak, Insu akan menarik kepercayaannya ini daripadamu. Lohu ingin kita semua perhatikan, Insu meninggalkan sebuah pengenal yang melambangkan kehadirannya di tengah kita semua dan wajib kita hormati sama dengan berhadapan dengan dia orang tua langsung. Kedepan, sebagai Toa Suheng kalian semua, Lohu akan menjadi pengganti Insu untuk menilik dan juga memperhatikan kalian semua......... dan kedua, mengenai cucu luarmu, Khong Yan, dia adalah murid dari seorang tokoh besar Budha yang berasal dari Thian Tok. Bagaimana keadaannya kelak Insu serahkan kepadamu......."
Semua memperhatikan, termasuk juga Cu Ying Lun yang mengangguk dan setuju dengan apa yang disampaikan Pek Ciu Ping. Tidak ada sama sekali penolakannya, meski dia sedikit malu karena memang, putrinya dia tahu kurang begitu suka dengan kehadiran Koay Ji dahulu, pada masa kecilnya. Untungnya, dia memahami serta tahu bahwa Koay Ji pada masa kanak-kanaknya memang sudah menunjukkan sifat dan kelakuan yang agak luar biasa. Bahkan tanpa ilmu silat dan hanya mendengar bisa menguasai beberapa jurus Thian Cong Pay.
"Selanjutnya, mengenai tanda kepercayaan Insu, benda ini kelak akan muncul, dan jika sudah muncul itu menjadi tanda bahwa kita sudah berpisah dengan Insu untuk selamanya. Menurut dia orang tua, satu-satunya yang berkemampuan memasuki Gua pertapaan Insu kelak hanyalah satu orang, yakni siauw sute kita inilah. Itupun karena kasih dan persahabatannya dengan para penunggu dan sahabat-sahabatnya di hutan sekitar tebing pertapaan Insu. Dan dialah yang tahu kapan benda itu harus dan mesti dia ambil, entah bagaimana caranya......"
Koay Ji tahu dan maklum. Persahabatannya dengan Monyet-monyet disana akan membuatnya mampu menemukan jalan masuk. Dan dia memang sudah menebak dengan tepat. Sangat tepat malahan. Tetapi, memikirkan bahwa dia akan melakukan itu pada saat suhunya yang amat dia hormati sudah meninggal, membuat perasaan dan keinginannya menjadi tawar. Saudara-saudara seperguruannya menatapnya tanpa ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Sampai kemudian kembali terdengar Pek Ciu Ping berkata:
"Selanjutnya, mengenai engkau Siauw Sute, hal-hal yang menurut Insu perlu untuk engkau ketahui sangatlah terbatas. Kecuali peringatan Insu bahwa engkau harus mempersiapkan dirimu secara sangat serius. Karena, Perguruan kita menurut Insu dalam setahun kedepan, terhitung sejak engkau tiba disini, akan kedatangan atau bakalan menerima tamu perguruan. Insu sendiri memahami sangat sedikit, tetapi supaya kita semua awas, tamu perguruan ini ada hubungan dengan Sukong kita. Ada hubungan dan kaitan dengan Kakek Guru kita, karena kejadiannya terjadi ketika Insu bersama Lam Hay Sinni sedang melakukan kunjungan ke Persia. Kejadiannya tepat ketika Insu berada di luar Tionggoan dan yang turun tangan adalah langsung Sukong kita itu. Tetapi herannya, mengapa baru pada generasi kita sekarang ini mereka datang untuk menuntut balas. Secara sangat sekilas Insu menjelaskannya memang......" sampai disini Pek Ciu Ping berhenti sejenak, setelah menarik nafas dia langsung melanjutkannya lagi.
"Tetapi, satu hal yang amat perlu digarisbawahi adalah, kemampuan serta tingkat kepandaian mereka yang akan datang adalah setingkat dengan Insu kita yang mulia. Insu menyebutkan getarannya sangat terasa dan semakin kuat selama beberapa bulan terakhir, dan karena itu dia orang tua sudah membuat persiapan bagi kita semua. Gambarannya adalah, seorang yang bijaksana, seorang yang rada angin-anginan karena korban cinta dan seorang yang amat berbahaya dan jahat. Tapi, ketiganya adalah tokoh yang nyaris tanpa lawan. Bahkan konon masih diatas kemampuan 3 Dewa Tionggoan, kecuali Lam Hay Sinni yang berkembang hebat setahun terakhir ini. Dan untuk engkau, siauw sute, kau kebagian menghadapi salah seorang diantara ketiga tokoh berat itu, sementara barisan yang kami mulai latih dan sempat engkau pergoki pagi tadi, adalah Ilmu Barisan untuk menahan salah satu diantara mereka. Bagaimana menurut pengalamanmu menghadapi atau melewati Barisan Pembingung Sukma siauw sute.....?" tanya Pek Ciu Ping tiba-tiba dan membuat Koay Ji kaget. Bukan apa-apa, dia sedang membayangkan betapa hebat musuh-musuh mereka, tahu-tahu dia ditanya toa suhengnya.
"Apa maksud pertanyaanmu barusan toa suheng....." bertanya balik Koay Ji karena sesungguhnya dia belum memahami inti pertanyaan yang diajukan toa suhengnya barusan kepadanya.
"Bagaimana kemampuanmu jika lawanmu menguasai ilmu sehebat Barisan yang engkau lewati kemaren siang itu....?" kembali dan sekali lagi Pek Ciu Ping bertanya kepada Koay Ji untuk menegaskan maksudnya.
"Hmmmm, sejujurnya, jika seseorang mampu dan sanggup melepaskan pengaruh sehebat Barisan itu, maka sutemu ini masih belum sanggup untuk menghadapinya. Barisan itu sungguh hebat dan mujijat....." berkata Koay Ji secara jujur, karena dia merasakan bahwa Barisan itu memang mujijat.
"Siauw sute, terima kasih atas kejujuranmu. Tetapi, Insu berkata, jika engkau belum mampu dan belum sanggup memasuki dan melewati Barisan itu secara baik dan tak terganggu, maka engkau sudah boleh meninggalkan tempat ini. Tetapi, setahun kelak engkau arus berada di tempat ini........" tegas Pek Ciu Ping, hal yang langsung membuat Koay Ji kaget dan berpaling memandang toa suhengnya.
"Siauw sute, hal yang sama berlaku atas kami bertujuh. Kami tidak berhak mewakili Insu menerima kunjungan mereka bertiga, jika kami gagal mencapai titik seimbang dengan pengaruh dan kemujijatan Barisan itu. Nach, kamu bisa paham sekarang..?" tanya Pek Ciu Ping kepada Koay Ji
"Tetapi, tetapi mengapa harus Barisan Pembingung Sukma ini yang justru menjadi tolok ukurnya....?" tanya Koay Ji masih tetap merasa penasaran. Apa sebenarnya kehebatan yang terutama dari barisan itu.
"Karena kemampuan lawan perguruan kita, setanding dan sebanding dengan daya tekan dan daya pengaruh serta daya pukul dari Barisan Mujijat itu. Karena itulah, jika belum mampu menandingi Barisan itu, engkau dilarang keluar dari sini..... termasuk bahkan untuk membantu menghadapi Bu Tek Seng Pay" tegas Pek Ciu Ping dengan wajah dan suara yang yang tegas dan amat serius. Sebelum Koay Ji bertanya lebih jauh, Pek Ciu Ping menambahkan dengan nada suara yang sama:
"Bahkan kami bertujuhpun mendapatkan persyaratan yang sama. Jika memang kami belum mampu seperti Barisan itu, maka lebih baik jangan mewakili sukong dan Insu dalam menerima kunjungan ketiga orang hebat itu kelak. Karena itu, siauw sute, baik engkau ataupun kami menerima penugasan yang sama berat. Suhu sudah membagi-bagi tanggungjawab itu kepada kita semua, dan sekarang adalah tugas kita mencari jalan untuk menerima tanggungjawab tersebut......" demikian Pek Ciu Ping menegaskan apa yang harus mereka kerjakan.
"Apakah ada petunjuk bagaimana melakukannya....." maksudku, mencapai tingkat yang seimbang dengan Barisan itu.." apakah Insu meninggalkan petunjuk serta juga jalan untuk mencapai tingkatan itu......?" bertanya Koay Ji untuk memastikan. Tapi dia kecewa ketika toa suhengnya berkata:
"Kami memang memperoleh petunjuknya siauw sute, tetapi khusus mengenai dirimu Insu hanya berkata bahwa sudah saatnya dan sudah waktunya engkau mencari dan menciptakannya sendiri karena semua bahan sudah engkau miliki.." demikian pesan Insu kepadamu siauw sute.
Koay Ji manggut-manggut dan kemudian beberapa saat dia berkata kembali dengan suara yang terdengarnya biasa saja dan membuat semua saudara seperguruannya kaget dengan dirinya:
"Acccch, jika demikian sutemu paham toa suheng,,,,, jika memang demikian, sutemu akan langsung mulai berlatih saat waktu memang memadai....."
"Baiklah siauw sute, ingat dari perguruan kita hanya engkau yang berkemampuan untuk melawan mereka satu melawan satu. Dan engkau melakukannya atas nama Insu dan atas nama kami semua..... catat itu"
"Baik toa suheng, sutemu paham,,,,,,,"
"Baguslah....." tegas Pek Ciu Ping antara kaget dan bingung karena tidak nampak sedikitpun ada rasa cemas dan takut di wajah sutenya yang masih amat belia itu. Bahkan, sutenya seperti memiliki rasa percaya diri dan keyakinan yang tinggi untuk dapat mencapai tingkatan yang dia butuhkan untuk bisa sewaktu-waktu meninggalkan Thian Cong Pay.
"Nach, para sute dan sumoy, kita harus meniru siauw sute yang tidak terlihat takut dan cemas untuk mengejar ketertingalannya. Insu sudah memberi petunjuk berarti bagi kita, bahwa ada elemen dasar dan penyanggah, ada elemen pengokoh dasar kekuatan Barisan kita, dan ada elemen yang dinamis dalam bertahan dan sekaligus elemen penyerang. Kita butuh mendalami siapa-siapa dalam posisi mana dan baru kemudian bisa melatihnya secara perlahan-lahan, semoga dalam sebulan kita sudah bisa beroleh hasil yang cukup baik....." demikian Pek Ciu Ping dalam menyemangati sute dan sumoynya.
"Betul, tanpa harus menyebutkan tenggat waktu pertikaian dengan Bu Tek Seng Pay, rasanya kita semua setuju untuk berusaha secara serius mencapai hasil yang dalam tempo yang singkat" Tek Ui Sinkay menambahkan.
"Hmmmm, baiklah kita nanti berlatih lebih jauh lagi, siapa tahu siauw sute kita bisa membantu memberikan masukan-masukan berharga agar mempermudah kita nanti untuk berlatih lebih effisien.." berkata Tiat Kie Bu yang paham dan tahu betul dengan kecerdasan seorang Koay Ji.
"Hmmmm, baiklah kita membahasnya kelak. Tetapi, hari ini biarlah kita menyiapkan upacara pernikahan ji sute dan su sumoy sebagaimana pesan dan perintah Insu kepada kita setelah pertemuan ini,,,,,,," kembali Pek Ciu Ping mengendalikan serta memimpin rapat mereka.
"Tapi toa suheng, hingga sekarang tecu belum melihat siapa yang akan bisa ikut membantu kita mempersiapkan pesta yang dimaksud....." Koay Ji bertanya sambil melirik Sam suheng dan Chit suhengnya. Maksudnya adalah, dimana gerangan tokoh-tokoh kaypang lainnya dan anak murid Thian Cong Pay yang setahunya mestinya sudah berada bersama di Thian Cong San sini.
"Siauw sute, masakan dengan kecerdasanmu engkau tidak dapat memikirkan hal sekecil itu.....?" berkata Tek Ui Sinkay, bukannya menjawab pertanyaan Koay Ji, tapi malahan justru berbalik bertanya kepada Koay Ji. Dan mendengar sindiran Tek Ui Sinkay, Koay Ji baru sadar dan kemudian tertawa.
"Accccch, benar, mengapa tecu tidak terpikir sampai kesana....?" bergumam Koay Ji dan membuat semua saudara seperguruan serentak memandang kearahnya. Malah Pek Bwe Li sudah bertanya langsung:
"Masak engkau memang benar tahu siauw sute.....?" tanya Pek Bwe Li yang balik jadi heran dan bertanya-tanya
Koay Ji memandang sucinya itu, mengangguk-angguk kelihatan sedang berpikir dan kemudian berkata dengan suaranya yang halus:
"Jika tecu tidak salah menduga, maka mereka mestinya berada tidak jauh dari sini, namun di tempat yang tersembunyi dan rahasia. Bukan tidak mungkin merekapun sedang dalam persiapan dan sedang melatih diri...... apakah benar tebakan tecu ini" Tanya Koay Ji kepada semua saudara seperguruannya.
"Ach, engkau memang seperti hantu......" berkata Pek Bwe Li karena memang benar tebakan dan dugaan Koay Ji
"Dibagian mana sutemu terlihat seperti hantu suci....?" kejar Koay Ji mengomentari desisan Pek Bwe LI yang sebenarnya menyiratkan kekagumannya atas kepintaran dan kecerdasan adik seperguruannya itu.
"Engkau paham sendiri, tidak perlu bertanya....." pura-pura marah sucinya itu.
"Tidak ada masalah lagi, sekarang saatnya kita mempersiapkan pernikahan dan juga pesta sederhana ji sute dan su sumoy, nach, bagaimana usulan kalian semua untuk merayakan hari bahagia saudara seperguruan kita ini.....?"
Pada akhirnya sepanjang hari itu, sama sekali tidak ada lagi latihan dan tidak ada lagi ketegangan. Karena sepanjang hari selepas makan pagi dan pertemuan antar mereka sesama saudara seperguruan, mereka semua sibuk mempersiapkan Thian Cong San untuk menjadi tempat pernikahan yang amat terlambat dari dua orang murid Bu In Sinliong. Merekapun menyibukkan diri masing-masing, semua berusaha mengambil bagian dan membuat persiapannya. Bahkan, beberapa orang murid Thian Cong San dan Kaypang diundang keluar sejenak untuk mempersiapkan hari bahagia kedua mempelai.
Dan pada akhirnya, sejak sore hari hingga malam hari, merekapun merayakan dan berpesta untuk menghormati hari bahagia Tiat Kie Bu dan Pek Bwe Li. Kedua orang yang sudah berusia rata-rata 60 tahunan itu merayakan pernikahan mereka dengan perasaan berbahagia yang tak tersembunyikan. Pernikahan di usia ke-60 memang bukan dosa, hanya kurang wajar saja, tetapi tetap saja dimungkinkan bagi mereka yang secara khusus menginginkannya. Dan pestapun berlangsung hingga malam hari, kendati mereka yang hadir hanyalah tokoh-tokoh Kaypang dan Thian Cong San selain sesama saudara seperguruan itu.
Pernikahan yang aneh tetapi membahagiakan kedua orang yang melakoninya terus saja berlangsung. Tanpa hambatan dan tanpa halangan. Kebahagiaan adalah yang utama, kelengkapan pesta dan juga makanannya adalah soal nomor dua. Toch yang penting adalah upacaranya, bukanlah makanannya dan meriah atau tidaknya pesta tersebut. Karena bagi Tiat Kie Bu dan Pek Bwe Lie, yang paling penting dan utama adalah, mereka sempat menikah di kehidupan mereka saat ini, daripada tidak sama sekali. Mereka sudah sangat lama menjalani dan saling mencintai satu dengan yang lain dan saling menginginkan satu dengan yang lainnya. Karena itu, tidaklah penting untuk terlampau sibuk memikirkan hal-hal remeh, hal-hal tidak penting, tetapi cukup menyambut ucapan SELAMAT BERBAHAGIA.
Tentu saja tidak ada pesta yang tidak akan usai. Tetapi baru usai pesta sudah langsung lagi berkeringat dan berupaya keras adalah sesuatu yang berbeda. Dan itu adalah sang pemuda yang kita tahu dan kenal, dia bernama Koay Ji. Begitu pesta usai, dia yang sebenarnya sudah merasa penasaran sejak siang tadi memutuskan untuk kembali menjajal Barisan Pembingung Sukma. Barisan itu pada siang hari sebelumnya sudah membuatnya tersentak hebat, merasa penasaran dan seperti terus memanggilnya untuk mengurai rahasianya. Pengaruhnya, daya mistiknya, serta daya serang Barisan ini, sungguh mengganggunya dan mendatangkan rasa tertantang yang berbeda. Semakin menemukan lawan hebat, semakin Koay Ji merasa besar daya tarik dan tantangannya. Artinya, semakin ingin dia datang dan menerima tantangan itu untuk membuka rahasianya. Karena itu, Koay Ji malam-malam kembali mendatangi Barisan aneh tesebut.
Selain itu, drama dan kisah-kisah menarik antara sesama saudara seperguruan yang diikutinya tadi, sungguh-sungguh tertanam di angannya dan mengingatnya dengan amat baik. Semua kejadian itu entah mengapa membekas dalam ingatan dan sulit untuk tidak diingat-ingatnya. Terutama memperhatikan "kesendirian" sang Toa Suheng yang mirip suhunya, berwibawa, penyendiri, penyayang dan melindungi semua saudara seperguruannya. Kemudian kisah tragedi berujung bahagia kedua saudara seperguruannya, kisah cinta yang sungguh mengharukan, mempertaruhkan cinta dan menghormati Suhu yang menjadi orang tua mereka. Kisah cinta yang hanya dapat ditemui dalam kisah-kisah dongeng.
Kemudian kisah kelana kakak seperguruan yang ketiga, kisah kepahlawanan dan ketokohan, yang menjadi inspirasi baginya karena sang suheng adalah juga walinya. Inilah Pangcu Kaypang yang juga sekaligus menjabat sebagai Tionggoan Bengcu, tokoh yang dihormati dan dianggap mampu memimpin para pendekar di Tionggoan. Dan lebih lanjut, juga ada kisah suami-istri yang saling menopang dalam diri kakak seperguruan kelima dan suci keenam, kisah lain yang juga membuatnya kagum. Perbedaan suami-istri ini sudah pernah disaksikannya, meski sayang mereka punya atau mendidik murid secara kurang perhatian. Tetapi, kedua suheng dan sucinya ini juga teladan lain badinya. Dan akhirnya kisah Cu Ying Lun yang sudah lama menjadi Pangcu Thian Cong Pay, perguruan ilmu-ilmu suhu mereka di daerah Thian Cong San. Masak kisah-kisah itu tidak berkaitan dengan semua yang sedang dia hadapi pada saat itu" Ini merupakan tantangan yang harus dia pecahkan. Tapi, dia tahu bahwa dia mesti memulai dari barisan aneh dan mujijat itu, dia harus mengurai rahasia Barisan aneh yang hebat itu.
Tentu saja dia tidak takut dan tidak khawatir jika sampai terluka berat, tetapi dia hanya ingin menguji apa yang terlintas dalam ingatannya tentang Barisan itu. Betapa amat sering Suhunya menyelipkan namanya dalam pesan-pesan yang disampaikan melalui toa suheng, Pek Ciu Ping. Dia seperti sedang merasakan bahwa Insu nya sendiri yang menyebut dan menyisipkan namanya, dan jika demikian, maka pastilah ada sesuatu yang tersembunyi yang membutuhkan uraiannya, dan membutuhkan analisanya. Koay Ji kini bukanlah anak-anak, pergaulannya dengan Suhunya berdua saja selama 10 tahun membuat dia banyak paham bagaimana cara kerja suhunya itu. Meski sangat misterius tetapi dia mulai dapat menangkap beberapa ciri suhunya yang memang mujijat itu, termasuk cara kerjanya. "Suhu pasti ingin aku membantu para suheng dan sumoy untuk membuka beberapa rahasia Barisan ini....." desisnya dalam hati dan menetapkan langkahnya untuk masuk.
Maka perlahan-lahan Koay Ji menapak maju, selangkah demi selangkah dan pada akhirnya diapun mulai memasuki Barisan tersebut. Bedanya sekali ini dia sudah memperoleh gambaran tentang barisan itu dan karenanya dia sudah sangat siap. Berbeda dari pengalaman kemaren siang, sekali ini dia tidaklah goyah meski merasa teramat hebat gangguan serta tekanan yang berusaha mengalihkan perhatiannya. Hanya kekokohan dan uletnya Koay Ji mampu menahan semua itu, dia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi, meskipun harus diakuinya terpaan dan tekanan atas dirinya sungguh luar biasa. Tetapi rencananya tetap dijalankan, dia ingin mengetahui rahasia barisan itu, dan dia tahu serta merasa amat yakin dia akan bisa menemukan rahasianya. Koay Ji memang memiliki keyakinan dan keuletan yang berbeda dengan semua saudara seperguruannya yang lain. Tapi dia juga sekaligus sadar, bahwa untuk menemukan rahasia Barisan itu, dia mesti berada di jantung pusat barisan mujijat tersebut, tidak bisa tidak.
Pelajaran pertama yang kemudian dipetik oeh Koay Ji adalah, memasuki Barisan itu tanpa persiapan sama saja dengan mengantarkan nyawa. Dan itu dia alami ketika pertama kali dia memasuki Barisan siang kemaren, nyaris hanyut dan tenggelam dalam pengaruh mujijat Barisan itu. Ketika memasuki dengan persiapan memadai, ternyata membuatnya memiliki daya tahan yang lebih dari cukup, sehingga meski serangan sangatlah hebat dan membadai, menerpa secara bergelombang, tetapi tetap saja dia memiliki pertahanan dan daya tahan yang kokoh. Malah lebih dari itu, perlahan-lahan diapun mulai mampu menyesuaikan pandang matanya dengan situasi sekitar yang sayangnya teramat samar dan bayangan-bayangan yang muncul sungguh sangat menggoda dan bisa merusak konsentrasinya. Tetapi semua itu dilawan dengan keuletan dan keyakinannya atas dirinya sendiri, hal yang amat membantunya untuk terus melangkah maju.
Tetapi seorang Koay Ji tidaklah mudah untuk mundur. Meski masih terdesak, tetapi dia jelas sudah mampu bertahan lebih baik, dan kini dia berkeinginan untuk mulai melakukan upaya menyelidik lebih jauh. Dia paham, yang perlu dia cari adalah "inti barisan", karena ini adalah aturan pertama untuk memahami barisan manapun juga. Menemukan pusat dan sumber utama energi Barisan, adalah sebuah keharusan untuk dapat mempelajari rahasia dan intisari barisan yang dimaksud. Barisan itu dapat ditemukan dalam bentuk dan skema dengan system segi tiga, segi empat, segi lima, segi enam, dan seterusnya ataupun skema lingkaran. Tapi semua barisan pastilah memiliki pusatnya. Pusat pergerakan, pusat sumber tenaga dan pusat yang mengatur system bergeraknya. Sementara untuk menentukan pusatnya bukanlah persoalan yang gampang. Apalagi karena pada saat itu, Koay Ji selalu dan selalu saja diganggu oleh "barisan" yang menyerang, menyerang dan terus mengganggu konsentrasinya. Sungguh bukan pekerjaan mudah.
"Ach, jika bukannya Barisan berporos di skema 6 sudut atau 6 sisi, mestinya di skema 7 sudut/sisi, karena bukankah jumlah para suheng dan suci adalah 7 orang" Setelah memahami satu bagian itu, Koay Ji lanjut mulai meneliti sumber dan arah serangan yang selalu mengejar dan menekannya. Ini bagian yang sangatlah sulit, terutama karena dia harus mulai dari titik nol. Mulai dari mengerti karakter pukulan, kekuatan pukulan dan ragam kondisi saat pukulan ataupun tekanan itu datang. Dia membutuhkan waktu hingga 3 (tiga) jam hanya untuk menyimpulkan bahwa ragam serangan dan sudut serangan itu datang dari 6 jenis dan 6 arah berbeda. Itu berarti barisan tersebut berdasar atas 6 sisi ataupun 6 sudut. "Bagaimana ini, bukankah mereka ada bertujuh....?" tanya Koay Ji kebingungan dalam hati. Bertemu persoalan pelik membuat Koay Ji terpaksa kembali melakukan penelaahan dan setelah sejam lebih dia berusaha, akhirnya dia dapat menemukan ragam yang berbeda.
Ada satu serangan tunggal tak berwujud yang paling berbahaya dan biasanya datang bersamaan dengan salah satu sisi atau sudut utamanya. Dengan kata lain, ada satu varian bebas yang bisa menempel 6 sisi utama lain, sisi tunggal inilah yang misterius dan sulit ditemukan kecuali harus meneliti sekian lama. Setelah dua jam berlalu, Koay Ji merasa pasti dan menentukan bahwa Barisan ini bersisi enam tapi membiarkan satu sisi palsu yang bergerak bebas dan semaunya. Bergerak secara bebas dan tidak terikat enam sisi lainnya. Selain sudah dapat menemukan sisi palsu itu atau satu sisi menggantung yang dapat menempel sisi 6 utama, Koay Ji juga mulai mampu mengenali karakter 6 sisi yang lainnya. Tetapi, baru sampai pada titik itu belaka pemahamannya. Belum lebih. Dan saat itu, dia merasa sudah terlampau lelah dan letih, karena sudah nyaris 6 jam dia berkutat disana tanpa henti-hentinya. Meski temuannya masih amat terbatas, tetapi dia sudah sangat senang, karena perlahan dia mulai lebih paham.
"Biarlah aku beristirahat dan mencoba lagi pagi nanti...." desisnya menghentikan upayanya dan kemudian dia memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Tetapi, temuan awalnya sungguh-sungguh sudah amat menggembirakan hatinya sendiri. Sebuah kemajuan yang bagus. Bahkan dia memiliki keyakinan akan menemukan rahasia barisan itu dalam waktu singkat. Dia tinggal menentukan sisi palsu atau sisi menggantung dan sangat mampu beradaptasi, terutama karakter utama dan sisi mana yang paling sering dia menempel dan menyaru. Setelah itu, dia masih harus pula untuk menentukan karakter dasar dan elemen utama dari enam sisi berbeda itu. Karena setelah itu, dia akan dapat menentukan darimana sumber pergerakannya serta darimana sumber utama kekuatannya.
"Hmmmm, memang masih cukup jauh, tetapi bukan tidak dapat terpecahkan sama sekali. Pesan apa gerangan yang ingin Insu sampaikan melalui barisan itu....?" desis Koay Ji penasaran dan ingin secepatnya membongkar rahasia Barisan dalam hutan itu. Tetapi tentu saja saat itu dia masih belum memperoleh jawaban yang pasti dan masih harus terus berusaha keras. Ketika akhirnya dia memasuki gua pertapaan Suhunya, waktu sudah menjelang subuh, pagi akan segera menjelang datang. Tak ada lagi aktivitas yang dilakukannya kecuali pergi beristirahat dan mengumpulkan kembali semangat dan kekuatannya.
Dan ketika bangun pagi keesokan harinya, Koay Ji lebih memilih bergabung untuk bersama saudara seperguruannya berlatih meski tetap secara terpisah. Seperti kejadian sehari sebelumnya. Barulah pada bagian akhir latihan, disaat istirahat menjelang makan pagi, dia dapat bercakap dengan Pek Ciu Ping dan Tiat Kie Bu. Sementara Tek Ui Sinkay dan Cu Ying Lun segera menuju Rumah Utama Thian Cong Pay karena ada yang mesti mereka kerjakan:
"Jiwi suheng, ada temuan pertama yang kiranya cukup penting meskipun masih tetap harus ditelaah lebih jauh...."
"Apa maksudmu sute....?" tanya Pek Ciu Ping keheranan karena baru usai berlatih tapi Koay Ji sudah mengajaknya bicara, dan materi pembicaraannya masih belum jelas baginya saat itu, maklum masih cukup lelah.
"Temuanku semalam di dalam Barisan itu. Begini jiwi suheng, jika Barisan dimasuki tanpa persiapan, maka orang yang masuk itu akan terperosok dalam ketidakpastian untuk waktu yang sangat panjang. Saat menemukan kesadaran dan konsentrasinya diapun masih butuh waktu 3,4 jam baru dapat menemukan elemen-elemen yang mendukung Barisan dan butuh 3,4 jam lainnya untuk mengenali cara kerja Barisan ini. Tetapi, syaratnya adalah, orang yang masuk itu mestilah super pintar. Tetapi, jikalau dia memasuki barisan dalam kesiagaan penuh, maka 3,4 jam pertama boleh dipotong dan tidak usah dihitung karena orang itu pasti sangat awas dan bakal lebih mudah memahami rahasia barisan. Terlebih jika orang bersangkutan memahami Ilmu Barisan, akan sangat lain lagi kisahnya nanti....." jelas Koay Ji dan membuat baik toa suheng dan ji suhengnya tersentak kaget dan heran. Tidak henti-hentinya siauw sute mereka ini menghadirkan kejutan.
"Apa maksudmu siauw sute,,,,," engkau memasuki barisan itu lagi ya semalam.." tanya Tiat Kie Bu menebak, dan sebenarnya tidak perlu dia menjawab dan karena itu belum ada jawaban dia sudah merasa maklum sendiri.
"Acccch, seusai pesta ji suheng semalam, memang aku mengunjungi barisan itu. Tapi, ketika tecu siap memasuki Barisan, ternyata efeknya tidaklah sehebat ketika masuk tanpa tahu sedang berhadapan dengan apa...... ini merupakan penemuan pertama tecu. Artinya, efek kejut harus disiapkan sedemikian rupa oleh Barisan itu kelak jika berhadapan dengan lawan yang sangat hebat....."
"Apakah engkau yakin sute...?" tanya Pek Ciu Ping yang kini menjadi terkesan dan ingin tahu lebih banyak. Dia paham siauw sutenya ini memang memiliki banyak sekali kemujijatan sama seperti suhunya, karenanya dia tidak segan untuk bertanya kepada Koay Ji, sute termuda mereka.
"Sangat yakin suheng,,,,,,,, nanti malam akan kucoba sekali lagi..." jawab Koay Ji dengan juga sama bersemangatnya.
"Baiklah, mari kita lanjutkan sambil makan pagi saja......" ajak Pek Ciu Ping kepada kedua sutenya itu.
Di ruang makan mereka kemudian disambut oleh Tek Ui Sinkay dan Cu Ying Lun dan menemani mereka semua makan pagi. Tengah Koay Ji bercakap dengan Pek Ciu Ping dan sedang seru-serunya, mendadak Tek Ui Sinkay memberitahu mereka semua sebuah pengumuman atau pemberitahuan:
"Para suheng, sumoy dan sute sekalian, hari ini menurut informasi dari anggota Kaypang ada permintaan memasuki Lembah ini dari Penghuni Lembah Cemara yang langsung dipimpin Ketua Lembah Cemara, yaitu tokoh tua Soh Hun Ciang (Si Pukulan Maut) Hoan Thian Keng. Tokoh ini meski jarang berkelana di dunia Kangouw, tetapi memiliki nama besar. Karena itu, Lembah Cemara meskipun tidak terlibat dalam kisruh rimba persilatan, tetaplah sebuah tempat yang penuh misteri dan amat ditakuti dan dihormati orang. Tetapi, Lembah Cemara bukan tempat yang sama sekali asing bagi kita semua, karena Chit Sute justru beroleh istrinya dari sana, yakni adik Hoan Bwee. Karena itu, boleh dibilang kita akan menerima tamu yang akan tinggal di Thian Cong Pay ini, karena mereka sesungguhnya sekaligus mereka adalah keluarga dari Chit Sute......."
Semua nampak terdiam dan agak bingung bakal menerima tamu yang lain dan malah tinggal di Thian Cong Pay, karena sesungguhnya mereka berdiam di Thian Cong San untuk berkonsentrasi dan terus berlatih keras. Wajar jika tidak ada yang menyambut dengan gembira kabar tersebut. Tetapi Cu Ying Lun jelas memahami persoalan tersebut dan karena itu dia menyambung:
"Para suheng, suci dan siauw sute, urusan Lembah Cemara biar kuurus dengan menempatkan mereka di dua rumah yang tersedia di samping kiri dan nantinya ada beberapa pelayan yang melayani mereka. Kita semua akan tetap berlatih setiap malam dan pagi hari, biarlah kuatur agar tidak saling mengganggu kecuali bertemu setiap kita makan pagi di tempat ini......"
Melihat posisi Chit Sutenya, Pek Ciu Ping sadar bahwa sulit untuk memaksakan agar Cu Ying Lun mengabaikan mereka. Karena itu, untuk mencairkan suasana dia kemudian tertawa dan berkata:
"Hahahahaha, engkau terlampau sungkan Chit Sute, bagaimanapun mereka adalah bagian dari keluargamu. Karena itu, kebersamaan kita dalam berlatih tidak perlu terusik dengan kedatangan mereka. Bahkan, kita harus pandai mengatur waktu agar engkau memiliki waktu yang cukup memadai untuk menemani mereka semua. Tapi, memang benar, biarlah yang lain tidak perlu terlalu terganggu dan berlaku seperti biasa, kita dapat bertemu mereka setiap pagi hari seperti suasana hari ini. Ayolah, tidak ada masalah sedikitpun, dan kita haruslah mendukung Chit Sute menerima keluarganya dari Lembah Cemara...." perkataan toa suheng ini membuat Cu Ying Lun akhirnya dapat tersenyum kembali dan suasanapun berubah kembali menjadi lebih cair dan lebih bergembira.
Dan memang benar, menjelang siang hari, ketika semua orang sedang bersantai, kecuali Koay Ji yang sudah kembali meneliti Barisan dalam hutan, muncullah tamu yang dimaksudkan. Rombongan dari Lembah Cemara dibawah pimpinan Soh Hun Ciang (Si Pukulan Maut) Hoan Thian Ceng. Tetapi, ternyata rombongannya cukup banyak, karena berjumlah nyaris 20 orang atau bahkan mungkin lebih dari itu. Rombongan itu terdiri dari kedua istrinya yang tentunya juga sudah Nenek-Nenek, yakni Nenek Hua Han dan juga Nenek Tio Cui In. Kemudian nampak juga kedua anaknya, yakni masing-masing Hoan Thian Kong dan Hoan Thian Bun yang adalah kakak dan adik dari Hoan Bwee istri dari Cu Ying Lun. Menyusul kemudian generasi ketiga atau cucu-cucu dari Si Pukulan Maut Hoan Thian Kheng, yakni masin-masing adalah Hoan Kun yang tertua, kemudian Hoan Siang In, menyusul sepasang gadis kembar Hoan Beng Lian dan Hoan Beng In. Dan yang paling akhir adalah seorang gadis manis cucu luar penguasa Lembah Cemara dan bernama Kang Siauw Hong. Bersama mereka turut pula mengantar sambil mengawal sejumlah 11 (sebelas) orang pasukan pengawal dari Lembah Cemara.
Bukan main kagetnya Cu Ying Lun menyaksikan kedatangan Lembah Cemara dalam jumlah yang terhitung cukup besar itu. Dengan terburu-buru dia menyambut dan langsung menyongsong rombongan tersebut:
"Acccch, Gakhu (mertua laki-laki), Gakbo dan adik-adik serta keponakan semua, selamat datang di Gunung Thian Cong San kami ini" sambut Cu Ying Lun yang tidak terlalu menduga jika rombongan mertuanya sebanyak ini. Awalnya dia menduga hanya sebanyak 5 atau 6 orang, tidak tahunya datang dalam rombongan yang cukup besar, berjumlah lebih dai 20 orang. Tentunya sebuah jumlah yang tidak sedikit pada saat Thian Cong Pay sedang menerima tamu yang cukup banyak.
"Acccch, syukurlah engkau berada di Thian Cong San Lun ji, tetapi kemanakah gerangan Bwee ji" Mengapa aku tidak melihatnya berada disini...." juga cucu-cucuku, berada dimana mereka....?" bertanya tokoh yang disebut Hoan Thian Kheng atau yang julukannya Soh Hun Ciang (Si Tangan Sakti) begitu melihat bahwa anak perempuannya tidak menyambutnya disitu. Juga dia tidak melihat adanya cucu-cucunya ikut menyambut bersama menantunya itu. Tentu saja dia menjadi heran dan sudah langsung bertanya.
"Accch, Gakhu, demi keamanan keluargaku dan juga keluarga perguruan Thian Cong Pay, terpaksa untuk sementara ini Bwee moi bersama anak-anak bersama juga keluarga yang lainnya tinggal di tempat yang agak rahasia dan aman. Tetapi, sebentar lagi mereka semua akan datang kemari, karena sesungguhnya tidak terduga jika gakhu akan dapat tiba secepat ini di Thian Cong San. Maafkan anak menantumu ini yang tidak cepat menyambut......"
"Acccch, begitu kiranya. Hmmmm, Bu Tek Seng Pay memang harus menerima pembasalan atas semua yang mereka lakukan, termasuk juga atas perlakuan dan pembunuhan yang mereka lakukan atas Penghuni Lembah Cemara...." desis si Tangan Sakti, Hoan Thian Kheng yang terlihat mengerti dengan alasan Cu Ying Lun, tetapi juga geram dengan Bu Tek Seng Pay.
"Begitulah Gakhu, nach, sekarang marilah kuperkenalkan gakhu dengan semua saudara seperguruanku yang kebetulan sudah lengkap berada disini sejak beberapa hari yang lalu... mari gakhu" berkata Cu Ying Lun sambil membuka jalan bagi Hoan Thian Kheng untuk masuk kedalam Rumah Utama, dan tidak berapa lama saudara seperguruannya ikut memapak dan menyambut para tamu dan suasana berubah menjadi lebih ramai.
"Hahahahaha, luar biasa, sungguh keberuntungan besar bagi Kangouw memperoleh bantuan yang sangat berharga dari para jago Lembah Cemara..... Locianpwee, perkenalkan lohu Tek Ui Sinkay, yang saat ini diberi kepercayaan oleh kawan-kawan rimba persilatan untuk menjadi Bengcu Tionggoan. Terutama untuk melawan Bu Tek Seng Pay yang sedang mengganas terhadap kawan-kawan kang ouw, bahkan juga sudah membunuh ratusan pesilat Kangouw..... selamat bertemu Locianpwee..." sambut Tek Ui Sinkay yang dengan cepat dan ramah menyambut dan langsung berlaku dan bertindak sebagai Bengcu Tionggoan.
"Hahahahaha, Pangcu Kaypang yang terkenal dan kini menjadi Bengcu Tionggoan ternyata adalah juga Suheng dari menantuku ini,,,,, sungguh senang dapat bertemu langsung dan bercakap-cakap dengan Bengcu Tionggoan...... selamat bertemu, selamat bertemu, sungguh kesempatan berharga bagi kami semua dari Lembah Cemara. Akan menjadi perjalanan menarik dan bisa menambah pengalaman buat cucu-cucuku bersanding dan berjuang bersama seluruh pendekar di Tionggoan. Terima kasih Tek Ui Bengcu..."
"Gakhu, Tek Ui Sinkay ini adalah Sam Suhengku, dan yang menjadi Toa Suheng adalah Pek Ciu Ping, Jit Yang Sin Sian, mari Toa Suheng......." Cu Ying Lun sudah bertindak langsung sebagai perantara untuk memperkenalkan rombongan dari Lembah Cemara dan para saudara seperguruannya. Dan karena kedua rombongan memang terdiri dari banyak anggota, maka perkenalan mereka berlangsung cukup lama dengan basa-basi yang normal antar sesama insan persilatan. Tentu saja Cu Ying Lun yang menjadi perantara dan menyambung-nyambungkan percakapan agar pertemuan tersebut dapat berlangsung dengan baik. Dan memang, dalam waktu singkat mereka kemudian terlibat dalam percakapan serius.
Namun karena perjalanan yang cukup jauh, hanya Hoan Thian Kheng dan kedua putranya, yakni putra sulung Hoan Thian Kong dan adiknya Hoan Thian Bun yang menemani untuk bercakap-cakap lebih jauh. Selebihnya, kedua istrinya dan semua cucu-cucunya sudah meminta untuk diantarkan beristirahat. Sementara Cu Ying Lun mengajak Tek Ui Sinkay dan Pek Ciu Ping untuk dapat menemaninya bercakap-cakap dengan ayah mertuanya itu.
"Sebenarnya Lembah Cemara tidak pernah berniat mencampuri urusan Kangouw, karena itu pernikahanmu dengan Bwee ji juga tidak mengundang orang-orang dari latar Kangouw. Tetapi beberapa bulan lalu, Gakbomu merasa rindu untuk menemui adikmu Hoan Li bersama keluarganya, terutama Gakbomu kangen dengan cucu luar Cu Siauw Bwee. Perjalanan yang hanya sehari itu, gakbomu minta ditemani Liang Ji sekeluarga bersama anak tunggal mereka yang ingin berjalan-jalan menikmati pemandangan menuju Kota Sui Yang. Mana tahu sepulangnya dari Kota Sui Yang mereka dihadang sekelompok orang yang mengaku sebagai Utusan Pencabut Nyawa dan dipaksa ikut ke Pek In San. Karena menolak, merekapun dikerubuti dan dengan kejinya membantai gakbomu, Liang ji sekeluarga termasuk cucuku yang baru berumur 10 tahun itu. Peristiwa ini membuat semua keluarga kita di Lembah Cemara murka dan pada akhirnya memutuskan turun ke dunia Kangouw untuk melakukan pembalasan atas hutang berdarah itu. Dan karena menurut letaknya Thian Cong San tidaklah begitu jauh dari Pek In San sana, maka kami memutuskan untuk menemuimu terlebih dahulu disini Lun ji, dan kelak kami akan menuju Pek In San guna menagih hutang darah kami disana" demikian penjelasan Hoan Thian Kheng, tokoh besar yang meski sudah terlihat amat tua tetapi masih juga terlihat gagah dan tetap bersemangat.
"Acccch, maksud gakhu, gakbo dan adik Swi Liang sekeluarga terbunuh dalam kejadian tersebut..." astaga, benar-benar kejadian buruk bagi keluarga kita, dan Bwee moi malahan masih belum diberitahu mengenai kejadian buruk yang sudah menimpa keluarga kita ini......" keluh Cu Ying Lun yang kaget mendengar kejadian maha buruk yang telah menimpa keluarga istrinya di Lembah Cemara. Malahan sampai peristiwa buruk yang menelan korban beberapa orang sekaligus, termasuk ibu dan adik dari istrinya itu.
"Begitulah Lun ji, kami memutuskan melakukan pembalasan dan sebelumnya juga memang sengaja meluangkan waktu ke Thian Cong San untuk memberitahumu dan juga untuk memberitahu Bwee moi, istrimu sekalian" berkata Hoan Thian Kong, anak tertua yang sekaligus menjadi Pemimpin Lembah Cemara saat ini menggantikan ayahnya yang sudah semakin tua itu.
"Acccch, memang masuk di akal, tetapi, tahukah gakhu seberapa besar kekuatan Bu Tek Seng Pay yang didukung oleh Utusan Pencabut Nyawa di Pek In San" Mereka kini menggunakan Markas di Pek In San, tempat yang dahulunya adalah markas dari Pek Lian Pay.....?" tanya Cu Ying Lun ditengah-tengah kesedihan yang amat mendera dan yang baru saja didengarnya itu.
"Sepanjang perjalanan kami menghindari bentrok dan pertemuan dengan kaum pendekar, dan bahkan sering menyaru sebagai pedagang hingga mencapai Thian Cong San sini. Sejujurnya kami masih belum mengetahui dan belum memperoleh gambaran yang jelas dan utuh kekuatan dari Utusan Pencabut Nyawa yang ganas itu. Dan mengenai ech, siapa pula tokoh yang engkau maksudkan sebagai Bu Tek Seng Pay itu Lun ji..." apakah mereka juga adalah sekomplotan ataukah kekuatan yang lain lagi...?" bertanya Hoan Thian Kong karena ada yang baginya masih belum cukup jelas. Sementara Cu Ying Lun kaget, karena keluarganya mau menuntut balas tetapi sama sekali masih buta dengan kekuatan lawan yang sedang mereka satroni itu. Mereka kurang paham jika sedang berhadapan dengan kekuatan raksasa yang amat mengerikan dan amat hebat itu.
"Accccchhh, menyerang kesana untuk saat ini adalah sama dengan bunuh diri. Jika gakhu dan kong toako pernah mendengar nama-nama seperti Mo Hwee Hud, maka dialah salah satu saja pentolan dari Utusan Pencabut Nyawa. Adalah murid tertua tokoh itu yang menjadi pemimpin Utusan Pencabut Nyawa, dan mereka menjadi bagian penyerang dari kelompok lebih besar yang menamakan diri mereka Bu Tek Seng Pay yang dipimpin Bu Tek Seng Ong. Bahkan Mo Hwee Hud sendiripun masih tunduk kepada tokoh yang amat misterius dan konon amatlah sakti mengatasi tokoh sehebat Mo Hwee Hud sekalipun. Dan, anggota mereka di Pek In San, diperkirakan ada sekitar 1000an jumlahnya malahan mungkin lebih dari jumlah itu, maka jika kita berhadapan dengan gabungan kekuatan yang sangat besar seperti itu, kunjungan kita kesana sekarang ini akan sama dengan mengantarkan nyawa secara cuma-cuma...." berkata Cu Ying Lun untuk menjelaskan kondisi yang mereka hadapi pada saat itu. Pada dasarnya keluarga Lembah Cemara memang belum paham dengan siapa mereka sedang berhadapan, dan untung tidak main serang ke Pek In San. Sebab jika mereka langsung menerjang kesana, maka kekuatan Lembah Cemara sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan lawan yang sedang bermarkas di Pek In San sana.
"Acccch, maksudmu Mo Hwee Hud si tua bangka itu juga berada bersama dengan mereka dan menjadi bagian dari kekuatan lawan di Pek In San...?" terdengar suara rada jerih dari Hoan Thian Kheng. Jelas saja, meski Lembah Cemara cukup hebat dan sangatlah terkenal meski tidak berurusan dengan dunia kangouw, tetapi nama seorang Mo Hwee Hud tetap saja mereka kenal dengan sangat baik. Nada suara Hoan Thian Kheng jelas tergambar bahwa mereka juga tahu nama besar Mo Hwee Hud itu. Dan karena itu, wajar jikalau nada suara Hoan Thian Kheng terdengar agak jerih, meski jelas saja tidak takut menghadapinya, apalagi karena urusan ini adalah urusan balas dendam.
"Benar gakhu, bahkan masih ada juga bersama mereka disana sejumlah tokoh tua yang seangkatan dan sangat hebat, bahkan juga ada yang setingkat Mo Hwee Hud kepandaian mereka. Yaaa, memang amat banyak tokoh-tokoh tua yang entah kenapa pada bermunculan dan membantu Bu Tek Seng Pay itu. Maka, bisa kita bayangkan betapa sangat berbahaya melawan mereka tanpa persiapan yang cukup dan tanpa persatuan dengan dunia Kangouw......" jawab Cu Ying Lun dan membuat Hoan Thian Kheng dan kedua anaknya terdiam, sadar kebenaran atas perkataan Cu Ying Lun yang diucapkan barusan.
Terdiamnya mereka membuat suasana sejenak agak hening, tetapi hanya beberapa saat karena kemudian Tek Ui Sinkay angkat bicara:
"Hoan Locianpwee,,,,, kehadiran kami disini, termasuk kehadiranku sebagai Bengcu Tionggoan dewasa ini menggantikan Hu Sin Kok Locianpwee, adalah dalam upaya mengumpulkan kekuatan dunia Kangouw untuk menempur Pek In San. Karena jika kita bekerja dengan terpisah dan dengan kekuatan masing-masing, maka upaya mengalahkan Bu Tek Seng Pay saat ini adalah mustahil alias sia-sia. Tapi, sebulan kedepan, semua perguruan termasuk Siauw Lim Sie, Hoa San Pay, Thian San Pay, Bu Tong Pay, Kaypang dan semua perguruan silat terkemuka, akan mengirimkan utusan untuk menggempur mereka. Korban yang jatuh karena pembantaian mereka sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, sudah terlampau banyak. Karena itulah, kita mengumpulkan kekuatan untuk melawan dan menumpas kejahatan mereka. Jika Hoan Locianpwee tidak berkeberatan, maka rombongan Lembah Cemara dapat saja bergabung dengan para Pendekar Tionggoan untuk melawan dan juga membasmi mereka sebulan kedepan...... sebagai Bengcu Tionggoan, Lohu mengundang Hoan Locianpwee dan rombongan untuk ikut bergabung...." Tek Ui Sinkay dengan cermat dan cerdik masuk berbicara. Dia sudah bisa menangkap bahwa urusan Lembah Cemara adalah urusan balas dendam, tetapi tanpa dukungan kekuatan yang cukup hebat, urusan mereka justru bisa terbengkalai. Bahkan bisa menjadi korban sia-sia melawan kehebatan lawan saat ini.
Ketiga orang itu, Hoan Thian Kheng dan kedua putranya tampak saling pandang dan tidak terlihat merasa takut jeri lagi. Tetapi, Hoan Thian Kong yang kemudian berkata dengan suara penuh nada optimist:
"Kami Lembah Cemara tentu saja bersedia dan akan ikut bergabung dengan semua kekuatan yang bertujuan sama. Tetapi, ada permohonan kami, biarlah untuk Utusan Pencabut Nyawa, tolong secara khusus serahkan kepada kami dari Lembah Cemara untuk menumpas dan menghukum mereka....... bagaimana kiranya Bengcu bisa memberi keadilan bagi kami dengan pilihan ini....?"
Tek Ui Sinkay merasa gembira, dan pengaturan siapa yang akan melawan Utusan Pencabut Nyawa baginya tidak sukar diputuskan. Karena berpikir demikian, maka diapun berkata sambil tertawa:
"Hahahahaha, baik, kita putuskan demikian saja. Lembah Cemara akan berhadapan langsung dengan Utusan pencabut Nyawa, hanya akan kami tambahkan beberapa orang untuk menandingi tokoh-tokoh mereka, tetapi itupun akan diketahui langsung oleh cuwi sekalian. Bagaimana.... apakah bisa diterima...?"
"Baik, kami setuju jika demikian....."
Percakapan merekapun terus berlangsung, bahkan semakin ramai dengan beragam topik pembicaraan yang hangat tentang dunia persilatan. Hoan Thian Khek semakin asyik ditemani putra tertuanya bercakap dan bertukar pikiran hingga akhirnya memasuki waktu untuk makan siang bersama-sama. Pada saat itu, hanya Koay Ji yang tidak terlihat ada bersama mereka semua, maklum Koay Ji sedang asyik dengan pekerjaan dan urusannya yang lain.
Hanya saja, Hoan Bwee, istri Cu Ying Lun, ketika mendengar ibunya meninggal, bahkan juga adik dan keponakannya, meski sudah bergabung kembali dengan ayah, kakak dan adiknya serta juga dengan Cu Ying Lun suaminya, tetap bersedih hati. Bagaimanapun, dia menghabiskan masa kecilnya di Lembah Cemara dengan Ibunya dan semua kakak dan adik-adiknya, maka dapat dipahami mengapa dia amat sedih dengan berita duka itu. Meskipun demikian, dia mengeraskan hati untuk duduk makan siang bersama seluruh keluarga ayahnya, tetapi rasa sedihnya tetap saja sulit untuk dihilangkan. Tetap tergambar dari seri wajah dan sinar matanya yang amat sedih dan masih sulit menerima berita itu.
Dan kemana gerangan Koay Ji saat itu" Sangatlah mudah ditebak, dia pasti kembali menggeluti hutan dimana terdapat Barisan Pembingung Sukma yang maha hebat itu. Sejak kedatangan keluarga Cu Ying Lun, Chit Suhengnya, dia seperti beroleh kesempatan untuk menghilang dan sudah langsung menuju Barisan yang semakin menarik perhatiannya itu. Barisan itu bagai menyita perhatiannya dan semakin membuatnya ingin memecahkan rahasia dan misteri dalamnya. Koay Ji paham bahwa langkah pertama sudah dapat dia selami dengan baik, dan mestinya langkah-langkah berikutnya akan dengan mudah dia ketahui jika membutuhkan waktu lebih banyak dan lebih panjang. Itulah sebabnya dia tidak mau lagi membuang waktu dan memanfaatkan waktu yang ada lebih baik.
Sebagaimana dugaannya, persiapan yang matang dan kesiapan batin membuat serangan awal yang amat dahsyat berkurang banyak. Ketika Koay Ji kembali masuk kedalam barisan, meski kekuatan besar itu tetap menerpanya, tetapi dia tidak lagi kehilangan kesadaran dan konsentrasi seperti pada percobaannya yang pertama. Setelah masuk, kemudian dia kembali mulai mengulang apa yang dia lakukan sehari sebelumnya, yakni berlatih untuk menggali, mengenali, mengulas dan menganalisis struktur Barisan Rahasia tersebut. Perlahan-lahan dia mulai mengenali bangun yang semakin dia yakini bertumpu pada 6 titik dasar dengan satu titik atau satu sisi yang menggantung bebas dan dapat bergerak kemana saja sesuai dengan keinginannya. Setelah menyimpulkan dan mengujinya sekali lagi, Koay Ji semakin teryakinkan dan bahkan sudah menetapkan kesimpulannya.
Pengalaman dan pengetahuannya akan ilmu-ilmu sihir dan ilmu hitam membuatnya lebih mudah untuk mengenali lebih jauh kedalaman barisan itu. Selama tiga jam dia berkutat sampai tengah hari, dia mampu mengenali kekokohan dasar barisan itu yang menurut analisanya merupakan landasan utama. Landasan utama berarti dasar darimana bangun barisan itu dibentuk, dan karena empat sisi, maka Barisan itu bisa mengecil dan membesar dengan ukuran terbesar tergantung kekuatan empat dasar pembentuknya. Tetapi, yang mengagetkannya adalah, keempat dasar itu, keempat landasan utama bangun barisan itu, memiliki keterkaitan dan ikatan yang agak luar biasa. Artinya, satu roboh, maka barisan akan roboh, satu terluka, maka barisan akan bisa terluka secara keseluruhan. Tetapi, jika keempat dasar itu saling terikat, maka Barisan itu akan semakin memiliki bentuk yang amat kuat dan amat kokoh, akan teramat susah untuk dikalahkan. Apalagi dibuyarkan, karena ada "kekuatan aneh" yang sulit dijelaskan, tetapi justru memiliki daya yang amat luar biasa. Koay Ji sendiri sulit merumuskannya.
Selama 3 jam, Koay Ji dapat mengenali dasar dan landas bangun Barisan tersebut, tetapi belum mampu menterjemahkannya untuk Barisan yang akan dibentuk dan dilatih oleh ketujuh saudara seperguruannya. Memang benar, mereka bertujuh sudah memperoleh dasar-dasar Barisan Pembingung Sukma, tetapi masih belum bisa melatih lebih jauh. Koay Ji tidak paham dan tidak tahu mengapa mereka belum bisa maju lebih jauh dalam berlatih. Padahal, karena dalam tulisan yang ditinggalkan Suhu mereka, memang terdapat pesan " "tunggu Koay Ji mampu memecah Barisan itu, baru dapat melatihnya lebih jauh. Tanpa mengetahui urusan tersebut, Koay Ji terus dan terus berusaha. Sampai saat ini, untuk tahap awal, dia sudah mulai cukup mengenali, cukup mengetahui dasar-dasarnya, sementara untuk daya gerak, akan bisa dilatih menyusul kemudian....."
Setelah 3 jam berlalu, Koay Ji beristirahat, dan dia tidak kesulitan mendapatkan makanan karena dia sudah menyiapkannya. Atau yang benar, dia sudah menemui "sahabat-sahabat" baiknya dalam hutan, dan para sahabat itulah yang mencarikan dia makanan pada saat dia istirahat. Dan, memang begitulah adanya. Pada 3 jam setelah berlelah berlatih dan terus menerus mencari, Koay Ji memutuskan untuk sejenak beristirahat. Dan pada saat itu, dia sudah ditunggu oleh 5 ekor monyet besar yang membawakannya makanan seperlunya. Sambil bercakap-cakap dengan riang dalam bahasa monyet, Koay Ji makan buah-buahan yang sudah disediakan baginya. Dan setelah sejam lebih beristirahat, kembali dia memasuki Barisan itu dan berupaya lebih jauh untuk mengenali.
Sekali ini dia berusaha untuk mengenali dan menganalisis 4 sisi yang dia sudah identifikasi sebelumnya. Mencoba mengenali karakternya lebih jauh dan lebih dalam, kemudian mengenali kekuatannya, serta juga terus berusaha untuk mencari tahu bagaimana menyusunnya. Dan paling akhir, dia terkejut untuk mengetahui apa gerangan yang menjadi pengikatnya sehingga menjadi demikian kuatnya. Misteri yang masih sulit untuk dipahaminya. Satu jam, dua jam, tiga jam bahkan hingga mendekati matahari terbenam, Koay Ji masih tetap berkutat dalam barisan itu dan belum mengetahui kekuatan apa yang menjadi perekat 4 dasar yang berpasangan itu. Tapi jika dia bertahan untuk terus mencari, itu sebenarnya karena dia menjadi semakin jelas, semakin paham dengan 4 dasar utama Barisan. Hanya satu bagian terakhir yang masih mengganjalnya.
Tapi Koay Ji menyudahi penyelidikannya karena tahu dan sadar, pada jam seperti itu dia pastilah akan dicari oleh semua saudara seperguruannya. Selain itu, bertahan sekian lama dalam Barisan, cukup menguras energy dan staminanya, meski dia masih mampu bertahan lebih jauh sebenarnya. Tetapi, dia sudah cukup beroleh pemahaman yang dia rasa cukup penting dan akan dianalisisnya lebih jauh pada lain kesempatan. Atau setelah makan malam, dia memutuskan akan bisa mencerna dan menganalisis lebih jauh guna beroleh pemahaman yang lebih lengkap dan lebih mengena. Koay Ji cukup optimist.
Tetapi, ketika Koay Ji melangkahkan kakinya keluar dari Barisan untuk menuju Rumah Utama, entah mengapa dia berpikir untuk beristirahat dan mengembalikan kebugarannya sejenak. Pikiran itu langsung diikutinya dan memilih satu lokasi yang tidak terlampau terekspose dan duduk disana sambil perlahan-lahan berpikir dan menganalisa sambil samadhi. Keempat dasar penopang barisan itu entah dengan cara bagaimana dapat menyatu demikian erat dan kuatnya, padahal masing-masing pilar dasar itu berpasangan. Padahal masing-masing pasangan terlepas dan bebas, meskipun terlepas masing-masing tetapi terlihat menyatu atau menjadi satu. Ibaratnya, menempel erat dan susah dipisahkan tetapi tidak diikat oleh benda fisik, seperti terikat begitu saja. Persoalannya adalah, apa yang menjadi pengikat mereka sehingga terikat sedemikian erat dan nampak nyaris mustahil dipecah"
Nach, dua basis atau dasar dari bangun barisan itu, berpasang-pasangan menjadi dua pasang, dan kedua pasang itu seperti menjadi dua tetapi masih tetap empat. Artinya, mereka nempel begitu saja dan menghadirkan paduan kekuatan yang luar biasa dari keadaan mereka itu. Posisi dan kondisi yang aneh, tetapi entah mengapa Koay Ji seperti mampu merasakan bahwa dia agak dekat dengan suasana dan situasi seperti itu. Tetapi apa itu gerangan, dia masih belum bisa merumuskannya dalam kata-kata. Empat buah tetapi menjadi dua, apa yang bisa mengikat sehingga hal-hal yang berpasangan bisa dihitung dan terlihat menjadi satu" Dan kejadian itu berlaku bagi dua pasang. Tetapi apa yang merekat mereka"
Saat itu Koay Ji sudah merasa cukup dan merasa puas sendiri dengan tahap apa yang dipahaminya saat itu. Dia menyimpan hal yang lain untuk dibuka secara perlahan-lahan dan tidak ingin terburu-buru serta tidak ingin juga terlampau lamban. Koay Ji terbiasa dengan proses seperti itu sejak masih kecil, sejak dididik oleh Suhu yang tak terlihat dan sejak dididik oleh Bu In Sinliong. Pada masa kecilnya, Koay Ji sabar menghadapi penyakitnya dan beroleh jawaban secara bertahap atau secara perlahan-lahan dan berproses, tidak terburu-buru, tetapi pasti kemajuannya. Suhu keduanya, juga sama saja. Harus menahan diri untuk mengajar secara langsung, tetapi menitipkan teori-teori mujijat untuk dapat dipelajari perlahan oleh Koay Ji, dan buktinya dia memang mampu. Sama juga dengan Bu In Sinliong, yang membuka perlahan-lahan potensinya dan kemudian masuk dalam proses menemukan atau menciptakan sendiri ilmu silatnya.
"Cukup untuk hari ini......." setelah memutuskan demikian, Koay Ji kemudian berjalan pergi dan pada saatnya dia berkumpul bersama di Rumah Utama yang semakin ramai saja dengan kedatangan rombongan dari Lembah Cemara. Begitu Koay Ji memasuki ruangan makan yang kini ditata lebih besar dan lebih luas lagi, dia rada kaget menemukan beberapa orang yang seusia dirinya dan belum lagi dia kenal. Maklum, ketika rombongan itu datang, Koay Ji sudah cepat menyelusup pergi guna urusan yang membuatnya penasaran.... Barisan itu. Karena itu, wajar ketika dia memasuki ruang makan yang sudah demikian ramai, dia bertemu dengan beberapa anak muda yang menatapnya heran.
"Siauw sute, mari, engkau adalah orang terakhir yang sedang kami tunggu-tunggu sejak tadi...." sambut Cu Ying Lun sambil mengundang Koay Ji. Sontak beberapa mata anak muda seusianya menatapnya dan merasa heran karena dari segi usia, Koay Ji tidaklah terlampau banyak, masih amat mudah dan jauh sekali jaraknya dengan sesama saudara seperguruannya. Bahkan dibandingkan dengan Cu Ying Lun saja yang paling muda, sudah berusia lebih dari 55 tahun dan merupakan murid ketujuh. Sementara itu, Koay Ji justru kelihatannya berusia paling banyak 20 atau 21 tahun, jauh jaraknya dengan Cu Ying Lun. Bagaimana bisa jarak mereka demikian jauh antara mereka berdua kakak beradik seperguruan itu" Sebuah pertanyaan yang wajar tentu saja.
Imam Tanpa Bayangan 6 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pedang Sinar Emas 1
^