Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 31

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 31


Diam-diam Sie Lan In tertawa melihat pertarungan itu. Dia hanya mengkhawatirkan Tian Sin Su, sementara sisanya, dengan tingkat kepandaian yang dimiliki, akan sedikit lebih mudah menjaga diri terkena serempetan pukulan maupun juga pukulan tak terduga lainnya. Karena itu, Sie Lan In dapat bertarung lepas tanpa harus khawatir dengan nasib teman-temannya dan terus menerus melepaskan ginkangnya untuk tarung lawan Liok Kong Djie. Semakin lama semakin luas arena yang mereka butuhkan, karena keduanya sudah mengerahkan iweekang pada tingkatan yang amat tinggi. Dan, sebagai akibatnya, justru semakin sempitlah arena pertarungan dan semakin semrawutlah pertarungan massal itu. Terjangan tenaga mereka berdua membuat arena semakin sempit karena orang-orang menghindar dari sengatan kekuata iweekang mereka berdua.
Setengah jam berlalu dan pertarungan semrawut masih terus berlangsung, tetapi Sie Lan In melawan Liok Kong Djie semakin mendebarkan. Setelah awal-awalnya Liok Kong Djie seperti kurang bersemangat, akhir-akhirnya Suma Cong Beng mampu lagi merangsangnya untuk bertempur lebih hebat dan lebih bersemangat. Dan saat ini Sie Lan In sudah mulai melepas pukulan-pukulan berisi melawan dan menandingi kehebatan Liok Kong Djie yang memang sudah lama punya nama besar. Sie Lan In tidak lagi hanya bersandar pada kehebatan ginkangnya, tetapi mulai berani keluar menyerang mengandalkan ilmu pukulan yang ditunjang oleh iweekang lemas dan kecepatan geraknya yang tidak lumrah. Sementara Liok Kong Djie semakin menunjukkan kelebihannya dalam mengeluarkan jurus jurus yang mematikan dengan variasi yang mujijat.
Keduanya seperti sudah melupakan bahwa masih ada pertarungan lain di dekat mereka bertarung. Apalagi karena arena tersebut relatif kecil dan dibatasi atau dipagari oleh sejumlah pepohonan di belakang para pendekar dalam menghadapi keroyokan tersebut. Menyempitnya arena pertarungan membuat Pasukan Robot jadi banyak berdiam diri di sudut arena dan sulit bagi mereka untuk keluar menyerang lagi. Ingin menyerang tapi ruang yang tersedia kurang memadai bagi mereka bergerak dalam menyerang dan bertahan. Oleh karena itu sulit mereka semua untuk mengoptimalkan kelebihan jumlah orang untuk menyerang, dan akhirnya justru korban lebih banyak jatuh diantara mereka. Hal yang semakin lama semakin bisa dilihat dan dianalisis Jamukha.
Tengah pertarungan mereka memuncak, Hek Man Ciok mampu melukai seorang dari 5 Raja Tiang Pek. Sebetulnya, mereka berada satu tingkat dengan Hek Man Ciok jika maju bareng, jikapun kalah, hanya tipis semata. Tetapi, arena mereka sangatlah tidak nyaman, ditambah dengan 5 Pasukan Robot yang juga sering memintas jalan dan sering membuat mereka malah mati langkah. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Hek Man Ciok dan berhasil melukai lengan kanan salah seorang dari 5 Raja, meski tidak patah tetapi cukup membuatnya tidak mampu bertarung optimal selama beberapa jam atau bahkan sehari atau dua hari. Sementara itu, Yu Kong sendiri sudah kena serempet pukulan Si Tiok Gi yang langsung dia bayar kontan. Keduanya terluka, tetapi masih berkeras melanjutkan pertarungan. Hanya saja, Yu Lian sudah berjaga di sisi sebelah kakaknya dan terus menerus menjaga dan mengawasi kakaknya selama pertarungan terus berlangsung.
Harus dikatakan, hubungan Yu Kong dan Yu Lian sebagai kakak dan adik memang sangatlah dekat. Mereka berdua korban dari pengkhianatan Si Tiok Gi, kehilangan orang tua dan keluarga dan tumbuh bersama dan berlatih dibawah pimpinan Suhu yang sama. Karena itu, Yu Kong dan Yu Lian sungguh saling memperhatikan satu dengan yang lainnya, lebih erat dari sekedar kakak beradik yang tumbuh bersama dalam satu keluarga normal. Yu Lian yang mendapati kakaknya terluka, tidak rela membiarkannya terancam, dan segera berinisiatif melindunginya dan menjaganya dari segala kemungkinan yang lain. Karena itu, kondisi Yu Kong dapat terjaga dan selalu dalam pengawasan adiknya.
Jatuhnya korban di kedua belah pihak tidaklah membuat pertarungan berhenti, tetapi justru semakin memanas dan semakiin keras dan seru. Lawan jelas semakin murka, Jamukha menyerang serabutan tetapi tetap saja tidak menghasilkan apa-apa, bahkan seorang diantara 5 Raja Tiang Pek, kembali terkena totokan Hek Man Ciok. Memang, tidak fatal akibatnya. Namun, meski sama dengan kawannya tidaklah terlampau parah lukanya, tetapi jeritan kesakitannya membuat Jamukha bertambah marah dan murka karena belum mampu menyelesaikan pertarungan. Justru kawan kawannya yang semakin banyak menjadi korban pertarungan itu. Karena itu diapun berkata kepada kawan-kawannya:
"Tahan mereka, biar kuarahkan kawan-kawan lain kemari, mestinya mereka sudah tiba, entah mengapa belum juga sampai....."
Perkataannya membuat Sie Lan In tergetar dan membuatnya terserang Liok Kong Djie selama beberapa jurus. Untungnya, Sie Lan In memiliki kewaspadaan dan yang terutama reaksi dan gerak yang amat lincah dan amat cepat. Ini yang membuatnya selamat meski selama beberapa jurus dia terserang habis-habisan oleh Liok Kong Djie. Selain itu, kawan-kawannya yang lain juga sama-sama tergetar dan terkejut, sebab jika lawan bertambah lagi, maka peluang mereka untuk selamat otomatis akan semakin memudar. Hanya, tetap saja mereka bertarung dengan bersemangat dan membuat lawan-lawan yang akan mencecar mereka berpikir seribu kali untuk lebih masuk lagi. Yang menarik, keterdesakan Sie Lan In selama beberapa detik membuat kawan-kawan Liok Kong Djie jadi bersemangat dan berpikiran bahwa amat mungkin kemenangan bakal segera datang.
Tetapi, tidak demikian yang terjadi. Justru yang terjadi adalah bokongan Ma Hiong Seng atas Hek King Yap yang berakibat fatal bagi mereka berdua. Hek King Yap memang terkejut bukan main, tetapi masih tetap sangat waspada, pada saat itulah Ma Hiong Seng masuk menyerang dengan jurus Hay Tee Tancu (Mencari mutiara di bawah laut). Dia menendang bagian bawah tubuh Hek King Yap dan kemudian disaat lawan bergerak mengelak, dia segera menyusul dengan jurus Liu Sui Pian Lou (Air mengalir berubah arah). Pukulannya memang mengenai pinggang kiri Hek King Yap, tetapi pada saat bersamaan, Hek King Yap yang tahu maksud lawan, juga sudah balas menyerang dengan lebih hebat lagi. Dia dengan cepat menyerang dada lawan dengan menggunakan sebuah jurus Hui Hong Lam Hay (Angin puyuh yang datang dari selatan).
Artinya, Hek King Yap secara sengaja memberikan pinggang tetapi mendaat dada. Jelas pukulan yang mengena di dada lebih parah ketimbang di pinggang. Benturan secara bersamaan tak dapat dihindari terjadi:
"Bukk ..... bukkk ...... ngekkkkk ..... hoacchhhkkk....."
Mereka berdua terdorong ke belakang, dengan Hek King Yap menderita luka di bagian pinggang dan mulutnya nampak darah merembes, tetapi Moa Hiong Seng terlihat lebih parah lagi keadaannya. Dia terdorong dan langsung terlontar serta tak tertahankan dari mulutnya menyembur darah segar, tanda dia terluka lebih parah jika dibandingkan dengan Hek King Yap. Merekapun terdorong ke belakang, tetapi keadaan Hek King Yap yang terluka membawa perubahan pada ayahnya. Untung saja Hek King Yap paham dan tahu keadaan ayahnya itu, maka diapun berkata dengan suara rawan dan terdengar ayahnya:
"Jangan khawatir ayah, aku terluka ringan, lawan jauh lebih parah,,,, tetap tahan para musuh, sebentar aku bergabung...."
Suara itu membuat Hek Man Ciok senang dan kembali dia bersemangat mencecar lawan-lawannya yang sudah kocar-kacir. Boleh dibilang keadaannya yang justru paling cerah dan paling menguntungkan dibandingkan dengan kawan-kawannya yang lain. Dia menjaga pintu yang akan diterobos 10 orang, namun 2 diantaranya sudah dia lukai dan bertarung tidak dalam kemampuan terbaik mereka. Selain itu, Kelima raja Tiang Pek, juga tidak bisa bertarung optimal karena arena pertarungan terlampau penuh sesak, sulit mengembangkan satu barisan guna menempur lawan. Jadi, apa boleh buat..... meski kondisi yang terbatas dan sadar bahwa mereka tidak dapat meraih kemenangan akibat kondisi lingkungan, tetap mereka paksakan.
Tengah pertarungan mereka berlangsung lebih seru lagi, tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan yang kelihatannya dilepaskan oleh seorang tokoh berkepandaian tinggi. Suara teriakan tersebut terdengar melengking dan mengalun meskipun masih sangat jauh, tetapi cukup mampu ditangkap secara jernih oleh orang-orang yang sedang bertarung itu. Suara itu membuat wajah Jamukha berseri, bahkan diapun kemudian memandang kawan-kawannya yang sedang bertarung dan kemudian berkata dalam nada suara sangat senang dan bersemangat:
"Kita kedatangan dua tokoh puncak, Suhu dan Susiok Couw akan segera munculkan diri di tempat ini, sudah saatnya kita serang dan tahan mereka sedapat mungkin biar nanti mudah ditangkap dan ditawan satu demi satu. Dalam pertarungan puncak nanti, mereka ini bakal amat bermanfaat nanti......"
Tentu saja Sie Lan In mendengar kata-kata Jamukha dan juga Hek Man Ciok dapat mendengarnya dengan jelas. Meski belum tahu siapa gerangan tokoh yang akan datang sebagai bala bantuan pihak lawan, tetapi jika dia adalah Suhu dan paman kakek guru dari Jamukha, maka bisa dipastikan tokoh itu bukan tokoh biasa. Tetapi justru tokoh hebat. Karena berpikir demikian, maka Sie Lan In mendekati Hek Man Ciok dengan mengurangi serangan kearah Liok Kong Djie. Keduanya sama paham bahwa keadaan semakin membahayakan, dan harus bertarung dengan puncak kemampuan mereka masing-masing.
"Locianpwee, keadaan semakin berbahaya....."
"Benar Kouwnio, jika memang sampai terpaksa, maka kita masih bisa adu jiwa di tempat ini...." jawab Hek Man Ciok dengan penuh semangat dan membuat Sie Lan In jadi ikut terpengaruh. Semangat juang kakek yang sudah tua itu, entah mengapa justru merangsang semangat tarung Sie Lan In.
Dan benar saja, tidak lama kemudian muncul dua orang tokoh yang sudah cukup dikenal oleh Sie Lan In, yakni Geberz yang datang bersama ponakan muridnya yang juga sudah munculkan dirinya di Thian Cong Pay, si manusia misterius. Tetapi, tokoh kedua itu masih belum dikenal sama sekali oleh Sie Lan In. Kehebatannya bahkan tidaklah kalah dari Gebezs sendiri yang adalah paman gurunya, dan tokoh inilah yang dipanggil sebagai suhu oleh Jamukha:
"Achhh, Susiok couw, suhu, syukur jiwi berdua datang...... mereka cukup alot untuk dapat segera ditundukkan...." lapor Jamukha yang berharap dan meminta kedua tokoh itu untuk segera dapat turun tangan. Maklum, sudah berapa hari dia tugas luar untuk menangkap kawanan pendekar itu.
"Jamukha, engkau terlampau memakan waktu yang panjang guna menundukkan mereka saja, bagaimana mungkin kita beroleh hasil maksimal jika seperti itu caramu untuk menjalankan tugas...?" datang-datang, orang misterius yang dipanggil Suhu oleh Jamukha sudah menghadiahkan dampratan kepada Jamukha. Wajah sang murid, Jamukha terlihat langsung berubah merah padam, tetapi untuk menutupinya diapun buru-buru berkata:
"Maafkan tecu Suhu, tetapi mereka memang cukup hebat dan agak sulit untuk dapat kami taklukkan. Bahkan meskipun Liok Locianpwee sendiri sudah turun tangan dan bekerja sangat keras sejak dua hari terakhir ini. Meskipun demikian, masih tetap sulit untuk menaklukkan dan menahan mereka...... Dan selain daripada itu, merekapun suka menggunakan hutan dan gelapnya malam untuk bertarung dan melarikan diri, bertarung dan melarikan diri kebalik gelap dan pekatnya hutan belantara. Tetapi, hari ini kami sudah berhasil menahan dan kemudian menjebak dan mengurung mereka semua disini, sulit mereka melarikan diri lagi....."
"Hmmmm, sudahlah, banyak pekerjaan lain menanti. Biar dipastikan bahwa mereka bisa kita taklukkan dan kita tahan, akan tetapi jika tetap sulit juga, maka lebih baik binasakan saja" terdengar si manusia yang dipanggil suhu sudah berkata dan naga-naganya dia sedang sangat kesal.
"Tetapi mereka kini sudah terpojok Suhu, semestinya sudah lebih muda untuk dapat menangkap mereka saat ini....." Jamukha berkata sekali lagi sambil melihat seperti apa reaksi suhunya nanti.
"Jika sudah terpojok, coba kulihat bagaimana engkau dapat menaklukkan serta menangkap mereka semua..." berkata lagi sang Suhu dengan suara getas dan mulai membuat Jamukha kehilangan kata-kata. Untungnya pada saat itu terdengar suara orang lain yang ikut menyela.
"Ciok Sutit, sudahlah, bagaimanapun Jamukha muridmu sudah bekerja cukup keras hari ini, biarlah perkara untuk menaklukkan dan menangkap mereka kita lakukan bertiga dengan Liok hengte biar dapat menghemat waktu. Tinggal 4 ataupun 5 hari lagi lawan akan maju hingga mendekati kaki gunung, karena itu kita butuh lebih cepat melakukan persiapan-persiapan terakhir. Rijma Singh sudah mulai bekerja, dan karena itu, gangguan-gangguan seperti ini, mulai besok sudah tidak boleh terjadi lagi. Engkau harus bekerja lebih keras lagi Jamukha, biarlah untuk gangguan hari ini kita pahamu, tetapi mesti ini yang terakhir. Dan karen itu, maka musuh yang ada sekarang, mestimya dengan cepat dapat kita bereskan. Ayolah Ciok Sutit, waktu tidak akan menunggu kita lagi...."
"Baik susiok, kita memang harus bergerak cepat. Mari, kita tuntaskan dan bereskan, lebih cepat lebih baik. Liok Locianpwee, biarlah kita bertiga turun tangan untuk bisa menangkap mereka semua ..."
"Bagus Ciok Sutit, mari kita segera bekerja....."
Mendengar kalimat terakhir Geberz, manusia misterius yang disebut ataupun dipanggil She Ciok oleh Geberz terlihat memalingkan wajah ke arena dan kemudian berkata kepada semua kawan-kawannya;
"Cuwi sekalian silahkan mundur, biarkan kami bertiga yang menyelesaikan mereka dan menangkap para pengganggu ini untuk menjadi tahanan dan sandra di markas Bu Tek Seng Pay. Jamukha, tarik Pasukan Robotmu, dan engkau Ma Hu Paycu, segera tarik mundur juga 5 Raja dari Tiang Pek dan berjaga jangan sampai mereka melarikan diri. Si Hu Paycu, Suma hengte silahkan kalian juga mundurkan diri.... kita akan amat butuh mereka untuk pekerjaan yang lain nanti..." sekali berkata demikian, ornag yang dipanggil Ciok Sutit oleh Geberz itu bergerak, dan hampir semua tokoh Bu Tek Seng Pay menerima perintah segera bekerja.
"Baik....." terdengar hampir bersamaan semua menyahut, dan kemudian Jamukha dan juga Ma Hiong Seng serta juga Si Tiok Gi dan Suma Cong Beng, termasuk Lui Beng Wan mengundurkan diri dan meninggalkan Geberz, Liok Kong Djie dan manusia She Ciok di arena. Kelihatannya pertarungan besar akan segera pecah, karena pada saat itu, Sie Lan In dan Hek Man Ciok juga sudah bersiaga dan sudah mengajak semua kawan mereka untuk saling menjaga. Maklum, meski lawan mereka hanya tiga orang, tetapi kehebatan mereka tidaklah diragukan lagi. Sie Lan In sendiri sudah pernah mengecapi bertarung atau setidkanya melihat mereka dalam pertarungan di tempat berbeda.
"Hmmmm, apakah kalian masih berpikir untuk bertarung melawan kami, ataukah tidak lebih baik kalian menyerah saja untuk menghemat waktu kami..?" bertanya si manusia She Ciok dengan nada suara yang sangat arogan dan juga terdengar agak provokatif, namun penuh rasa percaya diri dan memandang semua lawannya dengan sinar mata mengancam.
"Hanya melawan Thian saja, makakami semua akan dengan senang hati menyerah, tetapi menghadapi kalian, kami merasa masih memiliki cukup kemampuan untuk bertahan dan menghindar. Karena itu, langsung saja tuan-tuan, jika engkau sudah merasa hebat, maka segeralah menyerang agar kita dapat saling tahu satu dengan yang lain..." Sie Lan In berkata dengan gagah berani, hal ini segera mengundang manusia she Ciok itu untuk melangkah maju dan berencana untuk mulai bertarung melawan mereka semua.
"Hmmmm, kemampuanmu memang hebat Kouwnio, tetapi sejujurnya engkau masih belum cukup bermampuan bertarung melawanku seorang diri. Tetapi, baiklah, jika benar kalian lebih memilih untuk tarung melawan kami bertiga, maka sebaiknya kalian segera menyiapkan diri masing-masing. Ingat, kami bertiga akan berusaha menangkap kalian hidup-hidup dan semoga kalian bersedia menjadi tawanan kami dan membantu kerjaan kami kelak..."
"Kami sudah siap sejak tadi, silahkan engkau turun tangan tuan, kami lebih dari mampu dan terlalu berani melawan dan bertarung denganmu...." sambut Sie Lan In yang sekaligus langsung memukul kesombongan lawan yang dia rasa terlampau memandang mereka remeh.
"Susiok, Liok Locianpwee, baiklah, mari kita bekerja keras menangkap mereka semua, jika mungkin kita tangkap dan tahan mereka, tetapi jika amat sulit, binasakan saja semuanya..." terdengar perintah akhirnya turun dari si manusia She Ciok itu, dan tarungpun segera dimulai.
"Hek Locianpwee majulah bersama Hek King Yap, hadapi Liok Kong Djie, Yu Toako majulah bareng Enci Lian menghadapi Geberz, biar kuhadapi pemimpin mereka yang sok main perintah ingin menangkap kita...." bisik Sie Lan In dan dianggukkan oleh kawan-kawannya itu. Pengaturan itu memang tepat dan pas dalam menghadapi tokoh-tokoh hebat di pihak lawan. Tokoh terhebat nampaknya memang si manusia she Ciok yang suka memberi perintah itu. Sementara Liok Kong Djie dan Geberz masih bisa dihadapi berdua, masing-masing Yu Kong berpasangan dengan adik perempuannya Yu Lian, sementara satunya lagi pasangan Hek Man Ciok dengan anaknya Hek King Yap.
Dengan formasi seperti itu, Sie Lan In dapat menghitung, bahwa kedua arena tersebut akan cukup berimbang. Dan itu berarti, akan tinggal bagaimana dia dalam berhadapan dengan si manusia misterius satunya lagi. Si manusia she CIOK, begitu Geberz memanggil keponakan muridnya itu. Dan kini, mereka semua sudah siap dan sebentar lagi pertempuran akan pecah. Semua kini senyap dan bersiap guna menyaksikan sebuah pertarungan lebih dahsyat dan lebih hebat antara dua pihak yang memang bertentangan itu.
Maka ketika Geberz dan Liok Kong Dji maju, benar saja mereka segera dipapak dan ditandingi oleh gabungan ayah anak dan adik kakak. Tetapi, jangan memandang enteng gabungan mereka, karena Liok Kong Djie dan Geberz segera menemukan kenyataan bahwa menghadapi gabungan itu mereka tidak dapat berbuat banyak. Gabungan dua orang yang meskipun memang masih dibawah kepandaian mereka, tetaplah cukup hebat dan sanggup menahan serangan-serangan mereka berdua, karena mereka saling melengkapi dan saling menolong dalam bertarung. Apalagi, karena pasangan itu saling mengetahui dan mengenal ilmu silat masing-masing, otomatis mereka tahu kapan masuk dan kapan menolong. Karena itu, Liok Kong Djie segera merasa berat, sama seperti Geberz yang sama hebatnya dengan Liok Kong Djie, juga kaget dengan kehebatan lawan. Geberz jelas kaget karena dia masih belum menduga sejauh itu kehebatan lawannya.
Sementara itu, manusia she Ciok yang bersikap misterius itu segera menghadapi Sie Lan In, sebelum menyerang dia berkata:
"Nona, lebih baik kalian menyerah menjadi tahanan kami..... lebih baik bekerjasama dengan kami ketimbang melawan kekuatan raksasa Bu Tek Seng Pay. Karena sesungguhnya Rimba Persilatan Tionggoan sebentar lagi sudah akan dapat kami kuasai...." bujuknya mencoba agar Sie Lan In luluh dan dapat menyerah. Hal yang dia tahu sebenarnya lebih baik tidak dilakukan, terutama karena melihat sikap dan juga sifat Sie Lan In yang agak keras dalam menentang dan juga melawan mereka. Tetapi, melihat kecantikan gadis itu yang begitu alami dan amat menonjol, maka dia menetapkan hati untuk mencobanya terlebih dahulu.
"Engkau ini sebetulnya mau bertarung melawanku atau ingin membujukku.." apakah engkau mau kubujuk agar segera membubarkan Bu Tek Seng Pay kalian yang ambisius dan banyak melahirkan kekacauan di Tionggoan...?" jawab Sie Lan In yang langsung membuat lawannya menarik nafas dan kemudian memandang Sie Lan In. Cukup lama dia memandang Nona itu, dan pada akhirnya, pada lain kesempatan diapun dengan terpaksa segera berkata:
"Baiklah Nona, engkau berjagalah......"
Selepas berkata begitu, manusia she Ciok, yang sebenarnya adalah murid dari Pek Kut Lojin bernama Ciok Seng dan berjuluk Giok Bin Thian Ong (Raja Langit Muka Pualam) segera mau menerjang. Murid Pek Kut Lojin ini sebetulnya pada awalnya bukanlah manusia buas dan bukanlah manusia yang berambisi besar dan tidak berbahaya. Tetapi entah apa yang terjadi atas dirinya dan entah apa sebabnya, tokoh ini justru kini muncul sebagai tokoh utama dari Bu Tek Seng Pay. Dan yang juga sangat penting, orang inipun memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan jelas bukanlah lawan lemah. Karena sesungguhnya, dia bahkan masih sedikit berada diatas kemampuan susioknya, Geberz.
Begitu berkata "engkau berjagalah", langkah kakinya sudah bergerak secara aneh dan amat mujijat dan dalam waktu singkat sudah menerjang kearah Sie Lan In. Tapi, Sie Lan In sendiri bukan orang awam dalam bergerak cepat dan mujijat, meskipun dia merasa sedikit heran karena ilmu langkah lawannya mirip dengan ilmu langkah yang sering dilihatnya dimainkan oleh Thian Liong Koay Hiap. Tetapi tentu saja Sie Lan In tidak bisa terus menerus kagum dan merasa heran, karena dia harus segera bergerak membendung dan melawan serangan cepat Ciok Seng. Selain karena ternyata tokoh itu juga memiliki kekuatan yang sangat hebat, bukan hanya sekedar memiliki daya gerak yang cepat nan mujijat. Bahkan, Sie Lan In segera menyadari bahwa kekuatannya malah lebih hebat dari Geberz.
Sadar sedang menghadapi lawan yang memang sangat hebat dan lihay, Sie Lan In sudah memainkan ilmu ginkang yang menjadi andalannya, yakni Sian Ing Tun Sin Hoat (Ilmu Bayangan Dewa Menghilang). Seiring dengan itu, kekuatan iweekang Hut Men Sian Thian Khi Kang (Tenaga Dalam Mujijat) juga sudah dikerahkannya untuk dapat membendung dan menandingi iweekang lawan yang juga sangat hebat dan istimewa. Dan benturan pertama sebanyak 3 kali antara kedua lengan mereka sudah cukup memberi gambaran kepada masing-masing sampai dimana kehebatan lawan dihadapan mereka. Kuat dan lemah masing-masing segera tergambar di benak masing-masing, dan cara melawanpun sudah langsung terpatri di kepala. Dan dengan cara seperti itulah mereka bertarung.
"Hebat.. hebat..." desis Ciok Seng menemukan kenyataan betapa Sie Lan In mampu membendung kekuatan tenaga serangannya dan juga mampu mengimbangi ilmu langkah mujijat yang dikeluarkannya. Bahkan, dalam beberapa detik kemudian, dia balik didesak Sie Lan In yang bergerak demikian luwes dan amat cepat dan nyaris tak terikuti pandangan mata. Dan bahkan lebih dari itu, gadis itu kini dapat berbalik menerjang Ciok Seng secara hebat dengan kecepatan bergeraknya yang nyaris sulit dipercayai Ciok Seng. Tetapi, Ciok Seng yang memang sudah tahu dan sadar akan kehebatan lawan, juga sudah menggeliat dan dengan langkah yang hebat dan mujijat dia melepaskan diri dari terjangan Sie Lan In yang amat cepat itu. Bahkan bukan hanya itu saja, diapun sudah langsung balik mencecar Sie Lan In dengan pukulan-pukulan hebat dan berbahaya.
Dalam waktu singkat keduanya tukar menukar jurus pukulan, adu cepat serta adu tangkas dan sudah pasti juga adu kekuatan. Sie Lan In seperti biasa menang cepat, tetapi juga tahu bahwa lawan masih lebih kuat, meski tipis saja iweekangnya. Dan karena ilmu langkah ajaibnya, maka Sie Lan In benar-benar harus bekerja keras untuk menghadapi rangkaian serangan dari ilmu-ilmu lawannya yang hebat luar biasa. Bahkan diapun cepat sadar, bahwa Ciok Seng yang misterius ini benar-benar merupakan lawan amat berat dan tidak akan demikian mudah baginya untuk menandingi tokoh tersebut. Karena selain dia memiliki kekuatan yang hebat, juga sekaligus memiliki tata gerak yang amat hebat dan juga yang amat mujijat. Paduan itu sungguh membuatnya merasa berat dan bahkan sering mampu membuat gerakan ginkangnya terganggu.
"Benar-benar hebat" desisnya dalam hati, kagum dengan kemampuan lawannya yang terasa hebat itu. Tetapi, seriring dengan itu, Sie Lan In sendiri mulai bangkit kebandelan dan juga gengsinya, hal yang kemudian memaksanya untuk mau tidak mau terus bertarung dalam tingkat kemampuannya yang tertinggi. Amat jarang dia memperoleh lawan yang membuatnya harus menguras seluruh ilmunya, ginkang hebatnya maupun juga kehebatan iweekangnya. Dan Ciok Seng ini, membuatnya mau tidak mau harus dapat menguras semua perbendaharaan ilmu yang sudah dipelajarinya dari Lam Hay Sinni subonya dan menuangkannya dalam bertahan dan menyerang. Wajar jika pertarungan mereka meningkat cepat, dan dalam waktu yang relatif singkat sudah saling serang dengan amat hebatnya.
Sementara itu, pertarungan di dua arena lainnya awalnya memang cukup seru dan imbang, tetapi karena Yu Kong sudah sempat mengalami luka meski tidak berat, tetapi setelah bertarung panjang, maka rasa sakit dari luka ringannya mulai sesekali mengganggu. Terlebih karena lawannya justru adalah tokoh yang masih setingkat diatas kemampuan ilmu silatnya. Dan hal yang sama juga dialami oleh Hek King Yap dan membuatnya mula sering harus dalam perlindungan tongkat besi ayahnya. Untung saja tongkat besi Hek Man Ciok memang pusaka yang menggetarkan sehingga mampu membuat lawannya sering mengindahkannya. Namun yang pasti, pergerakan mereka mulai dapat terbaca lawan hebat yang sedang mereka keroyok itu. Dan perlahan-lahan, tanpa mampu mereka hindari, langkah dan serangannya mulai mampu diantisipasi lawan.
Keadaan di dua arena itu sama sekali tak dapat lagi diikuti oleh Sie Lan In, karena dia sendiri sedang amat sibuk dengan desakan lawannya yang amat berat ini. Kekuatan iweekang mereka masing-masing yang sangat berbeda jenis dan juga ciri khas kehebatannya, membuat mau tidak mau Sie Lan In dan Ciok Seng lebih teliti dan lebih waspada. Jika Sie Lan In lebih bersifat lemas, maka lawannya bersifat alot dan sulit untuk digiring ataupun sulit untuk dilontarkan. Pergulatan iweekang lawan iweekang juga mendatangkan kesulitan tersendiri bagi Sie Lan In, karena dia harus mengaku masih kalah seurat. Justru karena itulah sesekali dia membiarkan diri untuk diserang lawan guna mengembalikan semangat dan kekuatannya yang cepat terkuras jika adu iweekang.
Sementara itu, setelah bertarung lebih 50 jurus, Hek King Yap semakin kepayahan tetapi semangat bertarungnya memang sangat luar biasa. Sungguh patut diacungi jempol. Tetapi, sayang memang, karena kondisi fisik bagaimanapun juga semakin tergerus dan semakin tidak bisa dibohongi setelah terluka dalam adu ilmu dengan Ma Hiong Seng sebelumnya. Bahkan suatu ketika, Hek Man Ciok harus berjibaku menyelamatkan anaknya ketika Hek King Yap alpa untuk bergerak mundur. Namun, posisi mereka menjadi sangat terdesak dan ketika Liok Kong Djie terus menyerang dan kini menyasar Hek Man Ciok dengan jurus Ular Keluar Sarang, tokoh tua itu harus gopoh menghindar. Saat menghindar itulah sebuah serangan cepat dan dahsyat dilepaskan Liok Kong Djie mengarah telak ke dada Hek King Yap dalam jurus ampuh Kim So Heng Kong (Rantai emas melintangi sungai).
Hek King Yap sudah pasti akan terpukul, tetapi Hek Man Ciok tidak rela anaknya terpukul karena memang sudah terluka sebelumnya. Jika sampai itu terjadi, maka besar kemungkinannya Hek King Yap akan mengalami cedera yang agak berat dan bisa dipastikan akan amat parah. Mengingat hal itu, maka dengan cepat dan nekat, dengan sedapat mungkin coba menangkis dengan tongkat besinya, dia melompat menghalang tepat di tengah-tengah Hek King Yap dan Liok Kong Djie. Tetapi Liok Kong Djie cukup cerdik, dengan menggeser sedikit lengannya, pukulan itu tetap masuk dan akhirnya memakan pundak kanan Hek Man Ciok menggantikan sasaran awalnya Hek King Yap. Tak pelak lagi diapun terpukul:
"Dukkkk...... ngeeckkkkk"
Tetapi meski terpukul, tokoh tua itu memang sangat alot dan ulet. Dengan amat cepat dia memutar tongkatnya dan dengan nekat menyerang Liok Kong Djie yang terpaksa harus mundurkan dirinya jika tidak ingin terkena hempasan tongkat besi berkekuatan besar itu. Sungguh amat disayangkan, karena Hek Man Ciok juga kini teruka dan karena itu, pasti pertarungan mereka bisa sewaktu-waktu berakhir. Maklumlah, karena Hek King Yap sendiri toch sudah sulit untuk bertahan lebih jauh karena sudah terlebih dahulu terluka dalam pertarungan sebelumnya. Keduanya, ayah dan anak itu, kini sudah terluka dan jelas Liok Kong Djie sudah mulai membayangkan kemenangan pada akhirnya dapat juga dia raih. Memang pada saat itu kemenangan sudah semakin dekat dengannya.
Keadaan yang sama namun sedikit lebih baik dialami oleh Yu Kong dan Yu Lian. Hanya karena Yu Lian memang berkonsentrasi melindungi dirinya dan kakaknya, maka mereka bisa bertahan lebih lama, setidaknya lebih lama dibandingkan dengan Hek Man Ciok dan Hek King Yap. Tetapi, sudah cukup jelas bahwa mereka sangat kerepotan menghadapi serbuan Geberz. Dan seperti juga Liok Kong Djie, Geberz sudah membayangkan akan segera mengakhiri pertarungan dengan kemenangan berada dipihaknya. Tetapi, belum lagi kedua tokoh tua itu bergerak lebih jauh untuk memastikan kemenangan mereka, tiba-tiba di telinga Yu Kong, Yu Lian, Hek Man Ciok dan Hek King Yap serta Sie Lan In terdengar suara yang seperti nyamuk masuk ke telinga mereka, namun terdengar cukup jelas:
"Bersiaplah, 50 Utusan Pencabut Nyawa yang berjaga di tepi hutan belakang kalian semua sudah kutotok habis. Di dalam hutan akan menyambut kalian beberapa ekor monyet besar, jangan banyak bertanya ikutlah saja bersama mereka, karena sebuah tempat rahasia akan mereka tunjukkan nanti. Sie Kouwnio, engkau membantuku untuk menahan mereka sebentar guna memberi kawan-kawanmu waktu yang cukup menyingkir dari sini...... nach, kalian semua bersiaplah...."
Tidak ada seorangpun yang bertanya, tetapi jelas mereka kaget dan menebak-nebak siapa gerangan tokoh yang tadi berbicara kepada mereka. Tetapi, Sie Lan In dan Yu Lian kenal betul dengan suara yang masuk ke telinga mereka tadi, dan karena itu keduanya percaya sepenuhnya. Berbeda dengan Yu Kong dan ayah anak Hek Man Ciok dan Hek King Yap yang sam sekali belum tahu siapa tokoh yang barusan bersuara tadi. Tetapi, keduanya segera paham begitu suara yang luar biasa menggetarkan arena perkelahian dan disusul dengan munculnya seseorang yang bikin kuncup nyali banyak orang:
"Arrrrrrccccchhhhhhhhhhhhh ....." kemunculannya benar-benar menghentak karena diawali dengan sebuah raungan maha dahsyat.
Raungan yang amat keras bagaikan auman si raja hutan memenuhi arena itu dan menggetarkan sanubari semua insan yang sedang berada di seputar arena tarung itu. Dan tidak lama kemudian, raungan dahsyat itu disusul dengan munculnya tokoh yang selalu mengganggu persiapan dan kegiatan Bu Tek Seng Pay selama ini. Dan mudah ditebak, karena siapa lagikah gerangan jika bukan tokoh yang terkenal dan bernama THIAN LIONG KOAY HIAP".
Begitu munculkan diri, dia langsung menerjang Liok Kong Djie dan memundurkan kakek itu hingga terhuyung-huyung ke belakang. Sesudah itu, diapun segera pindah berkelabat mengejar Geberz yang sebelum digebah sudah mundur terlebih dahulu ke dekat Ciok Seng yang pada saat bersamaan sedang mengejar Sie Lan In. Waktu yang hanya sedetik itu digunakan Thian Liong Koay Hiap memandang Yu Kong, Yu Lian berdua dan kemudian berkata:
"Cepat, waktu kita terbatas......" ujarnya sambil matanya melirik ke tempat dimana para penjaga, Utusan Pencabut Nyawa terlihat berdiri kaku. Jelas mereka semua sudah tertotok dan tidak berdaya.
"Baik Locianpwee......" berkata Yu Kong dan langsung bergerak dan mengajak juga Hek Man Ciok dan Hek King Yap. Melihat betapa Hek King Yap masih ragu, Yu Kong segera berkata kepada kedua orang itu:
"Jangan engkau khawatir, dia sahabat dekat kami, ayahmu sudah terluka, akupun juga sudah terluka meski tidak begitu parah dan masih bisa kutahan. Tetapi keadaan kita sangat berbahaya. Jika kita tidak segera berlalu dari tempat ini, maka lain waktu bisa jadi kita tidak akan miliki lagi. Ayolah,,,,"
Baru kemudian Hek King Yap mengiyakan dan segera menarik ayahnya sekaligus menuntunnya karena kondisinya memang yang paling parah ada saat itu. Setelah tahu anaknya Hek King Yap bersedia pergi, Hek Man Ciok mengiyakan dan mereka segera bergabung dengan Yu Kong dan Yu Lian yang memimpin mereka terbang ke belakang. Hanya itu yang diingat Hek Man Ciok karena setelah itu dia pingsan saking lelah dan letihnya. Dan benar saja, Utusan Pencabut Nyawa yang semuanya berdiri gagah menjaga barisan belakang mereka untuk memasuki hutan, hanya bisa memandangi mereka dengan pandangan mendelik. Tetapi, tak satupun dari mereka semua yang mampu bergerak dan menghalangi keempat orang itu memasuki hutan. Selamatlah mereka dari arena maut itu.
Setelah kurang lebih 50 meter memasuki hutan yang lebat itu, benar saja, mereka berlima, termasuk Tian Sin Su bertemu beberapa monyet yang kelihatan besar-besar dan juga tangkas. Tanpa banyak bicara, monyet-monyet itu berlarian kedepan menyambut sambil menengok ke belakang mengecek, apakah empat orang yang di belakang mereka ikut atau tidak. Melihat keempatnya terus mengikuti mereka, maka monyet-monyet itupun bergegas maju lebih jauh ke depan. Terlihat jelas bahwa mereka sedang berjalan dengan berbelok-belok dan menuju sebuah tempat yang sudah disediakan dan mereka tahu dimana itu. Mereka berjalan dengan cepat dan mampu melalui pepohonan yang cukup padat, besar-besar dan memang banyak terdapat di dalam hutan itu. Sampai pada akhirnya mereka semua tiba di suatu tempat yang cukup tersembunyi dan monyet-monyet itu membawa keempat orang tersebut memasuki sebuah gua yang sulit sekali untuk mereka temukan.
Sulit ditemukan karena berada dibawah sebatang pohon besar yang sudah amat tua dan sekelilingnya dipenuhi dengan rumput-rumput dan tanaman kecil yang sekaligus menutupi lubangnya. Tambah aneh lagi, karena bukan dari bawah mereka masuk kedalamnya, tetapi melalui jalan yang tidak lumrah. Jalan masuknya tidak lewat liang utama yang dilindungi rumput dan tanaman kecil lainnya, melainkan lewat batang pohon di atas yang saking tuanya sudah ada lubang di tengah batang pohon besar itu. Dan siapa yang bisa menduga bahwa ada liang dan lubang besar dalam tanah yang terlindung demikian banyak rumput". Tapi yang lebih aneh lagi, karena ruang didalamnya, dibawah akar-akar pohon besar itu, ternyata cukup luas dan memadai bagi mereka berlima, termasuk Tian Sin Su. Namun yang paling menyenangkan buat mereka saat itu adalah, dalam ruangan itu sudah tersedia buah-buahan yang segar dan siap untuk dimakan.
Ketika mereka ingin mengambil buah itu untuk dimakan, mereka memandang lebih dahulu kearah monyet-monyet itu, terutama Yu Lian. Dan monyet-monyet nampak menganggukkan kepala mereka ketika Yu Lian seperti sedang minta ijin kepada mereka untuk mengambil buah itu buat dimakan. Melihat anggukan para monyet itu, Yu Lian kemudian berkata:
"Terima kasih sahabat-sahabat monyet", dan selanjutnya diapun mengambil buah yang tersedia itu dan memakannya. Yu Kong dan kedua tokoh she Hek ayah dan anak itupun segera mengikuti cara Yu Lian dan sebentar saja merekapun sudah makan dan bahkan menghabiskan buah-buahan yang tersedia. Setelah itu Hek Man Ciok mulai berusaha memulihkan tenaga dan luka yang dia derita akibat serial pertarungan panjang selama beberapa hari terakhir. Hal yang sama juga dilakukan oleh Yu Kong, sementara Yu Lian dan juga Hek King Yap terlihat berusaha samadhi mengembalikan semangat dan kebugaran. Tian Sin Su yang lebih segar memilih untuk melindungi mereka semua yang sedang melakukan samadhi. Mereka merasa tenang dengan keadaan dalam gua bawah tanah itu, tanpa mereka semua tahu bahwa jarak mereka dari arena pertarungan tadi sebetulnya dekat saja. Tidak akan lebih jauh dari jarak 500 meter.
Bagaimana keadaan arena pertarungan tadi" Kedatangan Thian Liong Koay Hiap benar-benar membuyarkan rencana dan persiapan Bu Tek Seng Pay. Kelima calon tawanan sudah meloloskan diri, tinggal Sie Lan In dan juga Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap yang harus mereka hadapi pada saat itu. Tentunya mereka mencak-mencak, apalagi karena Utusan Pencabut Nyawa kembali kehilangan 50 orang anggotanya. Ke-50 orang itu bukan hanya sekedar tertotok lumpuh, tetapi tertotok dan kehiangan pusat kekuatannya karena Koay Ji memang memutuskan bertindak kejam terhadap kawanan yang sangat buas dan sangat kejam ini. Maka, dia sudah bekerja langsung menurunkan tangan kejam kepada Utusan Pencabut Nyawa yang tadinya berjaga di belakang para pendekar. Totokannya sudah sekaligus memutus urat nadi yang menjadi sumber kekuatan mereka, dan jangan harap mereka masih dapat bersilat setelah kena hukuman Koay Ji itu.
Kedatangan Thian Liong Koay Hiap benar-benar mengejutkan Ciok Seng, Geberz dan tentu juga Liok Kong Djie. Bahkan juga membuat kebat-kebit Lui Beng Wan, Suma Cong Beng, Jamukha, Si Tiok Gi, Ma Hiong Seng, Tam Peng Khek dan semua tokoh mereka yang berada disitu. Karena setelah menggetarkan semangat mereka lewat suara raungan singa, sejenis auman singa dari Siauw Lim Sie, dia juga sudah mengundurkan Liok Kong Djie yang terpental mundur sampai 5 langkah ke belakang. Kemudian juga membuat Geberz pergi menjauh meninggalkan Hek King Yap dan Hek Man Ciok yang sudah terdesak hebat. Sementara Ciok Seng sendiri juga tergetar hebat meski hanya sesaat. Memang, beda dengan yang lain, pengaruh suara itu kecil saja baginya, tetapi kemunculan Thian Liong Koay Hiap membuatnya tergetar, matu tidak mau. Dia memang tidak takut, tapi jelas sadar jika missinya terancam gagal. Dan hal sekecil itu yang kemudian dimanfaatkan oleh Sie Lan In untuk meloncat mundur dari arena dan mendekati kawan-kawannya serta mengawal dan membiarkan mereka berlalu.
"Lama sekali baru engkau muncul.." tegur Sie Lan In kepada Thian Liong Koay Hiap. Memang sejak awalnya Sie Lan In punya rasa tidak suka kepada tokoh ini entah apa alasannya. Tetapi, semakin lama semakin dia menyimpan kekaguman karena Thian Liong Koay Hiap banyak melakukan hal menggemparkan, dan terutama kepandaian dan ilmunya yang memang sangat hebat. Namun meski kagum, tetapi Sie Lan In tetap dari luarnya bersikap judes, keras dan anehnya, Thian Liong Koay Hiap tidak pernah marah dengan sikapnya yang seperti itu. Seakan dia mandah saja dan membiarkan dirinya selalu diperlakukan semau-maunya oleh Sie Lan In, kapanpun mereka bertemu dan berjumpa. Sementara Sie Lan In juga rada heran dengan kenyataan itu dan sikap Thian Liong Koay Hiap kepadanya itu. Tetapi seperti itulah, memang hubungan mereka berdua rada aneh, hal yang juga Sie Lan In rasa aneh, tapi tak dapat menjelaskannya.
"Lohu mesti mengerjakan banyak hal sebelumnya Sie Kouwnio, maaf jika nyaris terlambat datang menyelamatkan kawan-kawanmu. Tetapi, mereka sudah dibawa ketempat yang aman oleh kawan-kawanku, tenang saja. Sekarang, kitapun harus pergi dari tempat ini, sebaiknya kita bergabung dengan rombongan Pendekar yang sudah bergerak dari Thian Cong Pay..." jawab Koay Ji yang senang melihat Sie Lan In baik-baik saja dan bahkan sedang sibuk melawan tokoh-tokoh Bu Tek Seng Pay. Memang, dia sempat kaget karena nyaris saja terlambat, tetapi untungnya saat ini dia sempat menyelamatkan kedua Nona yang punya kaitan erat dengan hidupnya. Sie Lan In dan juga Nona Yu Lian. Dan setelah Yu Lian pergi menyelamatkan diri, kini dia masih bersama Sie Lan In, siap meninggalkan arena itu.
"Bagaimana cara kita pergi dari sini....?" tanya Sie Lan In penasaran dengan cara yang dimaksud Thian Liong Koay Hiap. "Akan sanggupkah dia menggertak atau memaksa mereka mundurkan diri dari sini....?" desis Sie Lan In dalam hati, kaget dan juga penuh rasa penasaran
"Engkau lihat saja, coba kugertak mereka terlebih dahulu......"
Setelah berkata demikian, Thian Liong Koay Hiap memandang kawanan Bu Tek Seng Pay yang berkekuatan cukup hebat saat itu. Karena boleh dibilang, pada saat itu, tokoh- tokoh hebat mereka banyak yang berada di sekitar arena berhadapan dan langsung saling tatap dengan Thian Liong Koay Hiap. Tetapi hal itu ternyata tidak membuat tokoh yang menghantui mereka semua dari Bu Tek Seng Pay, menjadi ketakutan dan kecil hati. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, Thian Liong Koay Hiap menghadapi mereka dengan gagah berani dan malahan dengan tidak ada rasa takut kemudian berkata dengan suara tegas;
"Pertarungan terbuka toch tinggal beberapa hari lagi kedepan, ecch mengapa kalian malahan sampai mengirimkan tokoh sebanyak ini mengejar kawan-kawanku disini" Dan tidak malu pula melakukan pengeroyokan..... dan, sungguh sulit kumengerti mengapa Hong Lui Bun, Tiang Pek Pay bahkan tokoh-tokoh Hoa San sampai bisa galang-gulung disini dengan para penjahat.... aneh, sungguh aneh. Lama kelamaan, Bengcu Tionggoan bakalan menghabiskan banyak waktu mengurusi urusan yang tidak genap seperti hari ini...."
"Hmmmm, mereka sungguh berani memata-matai Gunung Pek In San kami, wajar jika kami berusaha menangkap dan menghukum mereka semua. Dan tidak ada hubungannya dengan pertarungan terbuka beberapa hari lagi....." Ciok Seng yang menjawab dengan suara dingin dan terasa dia agak emosional berhadapan dengan Thian Liong Koay Hiap. Tetapi, sejujurnya juga sedikit merasa jeri.
"Hahahaha sahabat, memata-matai jika mereka berada di pinggang gunung sebelah utara Pek In San dimana Markas kalian yang megah berada, tapi jika masih berada di kaki gunung Pek In San dan engkau sudah sebut mereka memata matai, siapa yang dapat percaya dengan omong kosongmu itu..?" jawab dan tangkis Koay Ji hingga sulit membuat Ciok Seng buka suara. Padahal Koay Ji sudah tahu bahwa Sie Lan In memang sedang memata-matai Pek In San. Dan dia yakin, saat itu Sie Lan In memiliki banyak informasi penting bagi para pendekar.
"Kenapa tidak kita tangkap dan hajar saja manusia kurang ajar itu...?" terdengar Liok Kong Djie mengusulkan, maklum, dia tadi menderita kerugian karena didorong mundur oleh Thian Liong Koay Hiap. Ini membuatnya menjadi marah dan geram, sulit sekali dia menerima didepan banyak orang terdesak sampai sedemikian rupa, dimundurkan sampai beberapa langkah oleh Koay Ji. Meskipun memang dia sudah lelah dan merasa cukup letih, tetapi begitupun kekalahannya tadi tetap memalukan baginya. Karena itu, dia berusaha untuk membuat pertarungan bisa terjadi, dan jika demikian, maka dia sudah memilih untuk melawan Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap dengan sepenuh kemampuannya.
Tetapi Koay Ji hanya memandangnya sekejap, sama sekali tidak berbicara kepada tokoh besar itu. Selanjutnya, dia kembali mengalihkan pandangan kepada Geberz dan juga Ciok Seng yang sepertinya bertindak sebagai pemimpin bagi kawanan Bu Tek Seng Pay disitu. Terdengar dia berkata:
"Hmmm, segala manusia khianat seperti itu, kurang enak lohu harus banyak buang kata, jauh lebih baik diam. Nach, bagaimana menurut kalian" Apakah mau kita habisi disini dan menunggu hari pertarungan tiba ataukah kalian semua berkeras untuk menangkap kami semua" tapi mohon maaf, kawan-kawanku yang lain sudah berada bersama rombongan kami yang lain. Dan mengenai kami berdua, tentunya kalian mestilah bekerja keras untuk bisa menangkap kami, dan kuperingatkan itu bukan hal yang mudah......"
Bukan hanya Liok Kong Djie, tetapi juga Lui Beng Wan dan Suma Cong Beng jadi amat marah dengan kesombongan yang ditunjukkan oleh Thian Liong Koay Hiap. Mereka tidak bisa terima dengan pandangan yang amat sinis dan merendahkan yang tadi diucapkan oleh Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap. Tetapi, karena masih ada Ciok Seng disitu, maka mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka harus menunggu Ciok Seng yang berbicara dan mengambil keputusan apa yang harus mereka lakukan pada saat itu. Meski demikian, Ciok Seng yang cerdik bukan tidak melihat kenyataan itu, dan dia sadar bahwa kekuatan mereka sebenarnya cukup memadai. Karena itu, tentu saja dia tidak akan mundur hanya karena dia merasa agak jeri melawan Thian iong Koay Hiap. Karenanya, diapun sudah berkata guna tambah memanaskan pertikaian mereka semua;
"Engkau boleh kubiarkan pergi Thian Liong Koay Hiap, tetapi kulihat, Liok Kong Djie Locianpwee dan anak muridnya tidak akan demikian rela membiarkan engkau pergi begitu saja.... bukan begitu Suma hengte...?"
Mendapat angin dari Ciok Seng, Suma Cong Beng yang cerdik bukannya tidak tahu apa maksudnya. Tapi, diapun sadar, Suhunya sedang emosi dan sudah teramat lelah dalam mengejar lawan-lawan tadi. Sebenarnya dia yakin, bersama Lui Beng Wan dan Suhunya bertiga, mereka cukup punya kekuatan melawan Thian Liong Koay Hiap. Tapi, masalahnya, sang suhu sudah teramat lelah dan dia serta Lui Beng Wan juga sama, setelah mengejar dan bertarung selama dua hari berturut-turut jelas mempengaruhi emosi dan fisik mereka. Padahal, pada saat itu, suhunya yang amat dia andalkan, juga tidak lagi dalam kondisi yang prima, dan jelas akan amat sulit guna menghadapi Thian Liong Koay Hiap. Sialnya, pada saat itu, justru Thian Liong Koay Hiap justru masih segar-bugar karena memang baru saja munculkan diri itu. "Ach sungguh berabe......" pikirnya susah. Tapi dia harus mengatakan sesuatu hal pada saat itu, karena mereka sedang berada dihadapan begitu banyak orang dan kawan-kawan seperjuangan mereka.
"Apakah kami harus melawan Thian Liong Hoay Hiap" menilik kehebatannya, maka kami bertiga suhu dan murid bersedia menghadapinya, entah apakah dia berani menghadapi kami bertiga secara bersamaan....?" Suma Cong Beng memang cerdik, jika dia menantang maka ceritanya bisa jadi lain, tetapi jika mereka melakukan perlawanan atas nama Bu Tek Seng Pay, maka tersedia banyak bantuan disitu. Kini, bola sulit itu berada ditangan Thian Liong Koay Hiap, dan Koay Ji serta Sie Lan In bukannya tidak tahu dengan strategi licik Suma Cong Beng itu. Tapi Koay Ji sudah memiliki perhitungan lain dan berkata,
"Liok Locianpwee, sungguh sayang buatmu karena kulihat tenagamu sudah terkuras amat banyak, buktinya tadi sebuah hentakanku saja membuatmu mundur hingga berapa langkah ke belakang. Dan, terus terang Suma Cong Beng yang hanya hebat mulutnya itu sama sekali tidak lohu pandang sebelah mata, hanya memang licik dan curang memang menjadi keahliannya. Orang itu memang terkenal busuk dan tak salah jika ornag banyak menyebutnya sebagai sampah di kalangan rimba persilatan Tionggoan dewasa ini. Kecuali Liu heng yang memang gagah perkasa tetapi sayang sekali, dia masih belum memiliki sikap dan pegangan pasti dalam hidupnya..... jelas kalian bertiga tidak akan mampu untuk sekedar menahanku dan apalagi untuk sampau berbuat apa-apa terhadapku. Maka terasa aneh buatku jika engkau sampai mau memanas-manasiku, dan menantang berani atau tidak......hahahaha, sungguh lucu dan membuatku ingin tertawa"
Sungguh terus terang dan menohok tajam kata-kata Thian Liong Koay Hiap. Sampai Suma Cong Beng tidak tahu mau berkata apa-apa lagi. Satu yang amat jelas adalah bahwa sebuah penghinaan besar baginya ketika Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap menyebutnya sebagai: SAMPAH di dunia persilatan Tionggoan. Ada siapa gerangan yang sanggup menerima penghinaan seperti yang baru saja diucapkan oleh Koay Ji tadi itu" Karena itu, Suma Cong Beng dengan garang dan murka sudah melangkah maju satu langkah kedepan, dan kemudian menuding Thian Liong Koay Hiap dan diapun berkata:
"Memangnya sesuci apa Thian Liong Koay Hiap sampai berani mengata-ngataiku dan juga menghina kami bertiga ini" Suhu memang kelelahan, tetapi bukan tidak mampu melawanmu sama sekali. Cuiiih, bangsat pengecut, bilang saja jika engkau memang takut melawan kami......" pilihan kata-kata Suma Cong Beng memang cukup cerdik, dia balik menghina Thian Liong Koay Hiap.
"Hahahahaha, pura-pura gagah. Padahal, Hoa San Pay yang membesarkanmu saja engkau khianati, apalagi cuma suhumu yang menjadi bahan andalanmu meraup keuntungan di Bu Tek Seng Pay" Suma Cong Beng, kecerdikanmu adalah kelicikan dan kecurangan, engkau akan berakhir dengan tragis sebagai manusia, karena ada banyak pihak yang sekarang mengejar-ngejarmu. Tanpa lohu turun tangan nanti, akan ada banyak orang, banyak tokoh yang dengan senang hati akan membuatmu modar,,,,, maka, mengotori tanganku saja jika harus menghadapi mahluk sampah persilatan seperti dirimu ini...." sekali lagi Thian Liong Koay Hiap angkat suara memojokkan dan mengata-ngatai Suma Cong Beng sampai manusia khianat itu tidak tahu mau berkata apa lagi.
"Thian Liong Koay Hiap, engkau terlampau menghina kami...." Liu Beng Wan tampil membela Suma Cong Beng, bagaimanapun juga yang dihina dan dipermainkan oleh Thian Liong Koay Hiap adalah saudara seperguruannya. Meski dia memang rada tidak suka dengan Suma Cong Beng, tetapi yang dihina dan dipermainkan Thian Liong Koay Hiap bagaimanapun adalah saudara seperguruannya.
"Jika bukan karena dia, Hoa San Pay tidak akan bernoda buruk seperti sekarang ini. Engkau masih belum mendatangkan noda hitam hengte, tetapi jika kelamaan, maka engkau akan berubah jadi sama dengan sampah yang sangat memuakkan serta menjemukan ini...." jawaban Thian Liong Koay Hiap kembali tegas dan membuat Liu Beng Wan terdiam dan juga merasa malu karena makian itu memang benar. Dia kehabisan kata-kata, sementara Suma Cong Beng sudah keder sejak awal dan berdiri tanpa tahu mau berkata apa lagi.
Melihat keadaan dan posisi Liok Kong Djie yang terpojok menyedihkan seperti itu, Ciok Seng akhirnya angkat bicara;
"Apakah engkau masih berpikir pergi dari sini dengan aman Thian Liong Koay Hiap" adalah lebih engkau berpikirlah dengan lebih jernih dan hitung-hitunglah kehadiran kawan-kawanku yang berada disini...."
"Berapa hari lalu ada 3 orang yang nyaris jadi tangkapan di gunung Thian Cong Pay. Tapi, mereka masih beroleh kemurahan.... Lohu tidaklah berharap kemurahan yang sama akan datang darimu dan dari Bu tek Seng Pay. Hanya, apakah kalian cukup yakin dan benar-benar berkemampuan untuk menangkap dan menahanku disini juga bersama Sie Kouwnio...." lebih baik engkau berpikirlah lebih tenang dan lebih panjang lagi....." jawab Thian Liong Koay Hiap tenang sambil memandang tajam langsung ke mata Ciok Seng.
Lama kelamaan Sie Lan In semakin kagum juga dengan kegagahan dan juga cara Thian Liong Koay Hiap menghadapi kawanan musuh yang hebat-hebat itu. Dia bisa menyudutkan Suma Cong Beng dan membuat Ciok Seng sulit mengambil keputusan dan dia kelihatannya sama sekali tidak takut untuk dikeroyok lawan yang cukup banyak dan sakti itu. Bukan main. Ini perlahan mendatangkan perasaan kagum yang aneh dalam benak dan dalam hati Nona Sie Lan In yang biasanya galak terhadap Thian Liong Koay Hiap itu. Dan dia tidak sadar jika pandangan negatifnya mengenai tokoh ini semakin lama semakin menipis. Bahkan hari ini, sepertinya sudah nyaris sirna. Pandangan negatif dan juga sentimennya terhadap Thian Liong Koay Hiap semakin lama semakin berganti kekaguman.
"Jika demikian, apa yang Koay Hiap inginkan pada saat ini....?" bertanya Ciok Seng dalam posisi yang semakin tertekan, padahal kekuatan mereka sebenarnya tidaklah kalah. Pertanyaan Ciok Seng pada dasarnya terdengar aneh, karena sesungguhnya, saat itu kekuatannya berada di atas Thian Liong Koay Hiap yang hanya berdua saja dengan Sie Lan In. Dan jika dihitung, maka berada dipihak mereka, selain dirinya sendiri masih ada Geberz susioknya, kemudian juga ada Liok Kong Djie, ada Liu Beng Wan, Si Tiok Gi, Ma Hiong Seng, Jamukha, Tam Peng Khek dan istrinya dan masih ada Utusan Pencabut Nyawa dan Pasukan Robot. Entah mengapa Ciok Seng justru bersikap lunak terhadap Koay Ji dan seakan-akan memberi angin dan juga segan dengan tokoh aneh itu.
"Maafkan, karena sebentar lagi kami berdua akan segera berlalu, dan kita akan bisa bertemu kembali beberapa hari kedepan. Pada saat itu, hitung-hitungan sedikit dan banyak, satu lawan satu atau mengeroyok, bukan lagi menjadi persoalan. Karena memang pertempuran itu adalah soal melawan kejahatan....." tenang saja Thian Liong Koay Hiap bicara, dan sekali ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan lawan. Karena semakin jelas bahwa mereka sama sekali tidak rela membiarkan Thian Liong Koay Hiap berlalu begitu saja, meskipun juga untuk menahannya mereka mulai berpikir beratus kali dengan kemampuan mereka.
"Maafkan, kami tidak bisa membiarkan engkau berlalu Thian Liong Koay Hiap" pada akhirnya Ciok Seng mengemukakan apa yang menjadi pikiran mereka semua. Saat itu diapun mulai berpikir bahwa mestiny, dengan keroyokan Geberz, Liok Kong Djie dan dirinya sendiri maka peluang memenangkan tarung lawan Thian Liong Koay Hiap cukup terbuka. Sementara untuk melawan Sie Lan In akan dibebankan kepada Liu Beng Wan, Jamukha, Si Tiok Gi, Ma Hiong Seng dan juga Tam Peng Khek. "Perimbangan kekuatan seperti itu mestinya akan menghasilkan kemenangan, bahkan cukup berlebihan untuk sekedar menang", dan seperti biasa Suma Cong Beng yang merancang strategi ini dan kemudian dia mengemukakan strategi itu kepada kawan-kawannya. Otaknya memang penuh akal bulus dan licik, dan itulah yang disukai Ciok Seng darinya.
"Apakah engkau mengira ketika datang tadi lohu berpikir bakalan berlalu secara baik-baik" Hahahaha, kalian keliru jika demikian. Karena tentu saja lohu sudah amat siap dan juga sedia termasuk melawan keroyokan kalian semua. Lohu tidak akan heran, karena memang seperti itu perangai banyak tokoh yang bergabung dengan Bu Tek Seng Pay kalian. Sifat-sifat yang curang, licik, kejam, senang membunuhi banyak orang, adalah apa yang kalian tunjukkan hingga membuat rimba persilatan bangkit melawan kalian semua. Tapi, ngomong-ngomong, kemana gerangan sobat-sobat seperti Mo Hwee Hud, Sam Boa Niocu dan juga Bu Tek Seng Ong...." akan lebih seru jika mereka semua pada datang dan hadir disini untuk meramaikan suasana...." masih sempat Thian Liong Koay Hiap berkelakar, seakan belum cukup lawan yang berjejer dihadapannya itu.
Mau tidak mau Ciok Seng menjadi sangat mendongkol mendengar kata-kata nan jumawa dan meledek dari Thian Liong Koay Hiap itu. Tetapi, dia sangatlah sadar bahwa melawan tokoh sehebat Thian Liong Koay Hiap dia tidak boleh emosional. Tidak boleh banyak berayal dan harus berkonsentrasi penuh, bahkan harus juga mengandalkan kekuatan lain selain dirinya. Maka untuk menghidupkan peluang dan juga semangat kawan-kawannya yang lain, dengan menguatkan diri diapun berkata dengan suara tawar dan dingin,
"Rasanya kami semua sudah lebih dari cukup untuk membuatmu menjadi tawanan di gunung Pek In San kami ini. Kami jelas akan dengan senang hati mengumumkan kepada dunia persilatan bahwa tokoh bernama Thian Liong Koay Hiap sudah berada di gunung Pek In San sebagai tawanan yang terhormat dari Bu Tek Seng Pay kami ini.... hahaha, sungguh menyenangkan membayangkan jika benar hal itu dapat terjadi" menutup kata-katanya, Ciok Seng tertawa, meski kesannya sebenarnya hanya untuk menenangkan hati dan semangatnya belaka. Dan kawan-kawannya tahu belaka, seperti juga Koay Ji dapat menangkap kesan itu.
"Kalau memang begitu, untuk apa kalian terus berdiam diri dan tidak segera datang menyerang kami berdua..." apa masih menunggu kawan-kawan kalian yang lain" Hahahaha, dan catat, lohu akan meminta korban tidak sedikit sekali ini. Setelah memunahkan kepandaian 50 Utusan Pencabut Nyawa, lohu akan senang jika bisa melakukan hal yang sama untuk 4,5 orang diantara kalian, karena itu, bersiaplah kalian semua dan tentunya ingat pesan dan nasehat Lohu agar kalian semua berhati-hatilah..... lohu akan menyerang siapa saja dalam pertempuran kita nanti" Thian Liong Koay Hiap mengancam dan membuat siapapun disana tergerak hatinya dan diam-diam merasa rada seram dengan ancaman itu. Dan otomatis, merekapun bersiap menjaga diri sendiri.
Tapi, apakah memang benar Koay Ji sedikitpun tidak merasa takut menghadapi ancaman musuh yang sedemikian banyaknya itu" sebenarnya sama sekali tidak. Thian Liong Koay Hiap bukanlah dewa, dan karena dia memang bukan dewa, maka kedatangannya bukanlah tanpa perencanaan sama sekali. Sudah sangat jelas jika dia mempunyai rencananya sendiri, dan rencana tersebut sebetulnya sudah dia paaparkan kepada Sie Lan In. Beberapa waktu lalu, sesaat setelah kawan-kawan mereka pergi, dan kemudian dilanjutkan menjelang lawan-lawan mengepung dan mengeroyok mereka, dibisikkannya kepada Sie Lan In:
"Sie Kouwnio, lawan terlampau kuat, engkau nanti pergi terlebih dahulu dan tunggu lohu di balik pohon besar sebelah timur sana. Kita hanya akan bisa meloloskan diri dengan menggunakan kendaraan besarmu... tapi apakah dia nanti akan cukup kuat untuk mengangkut kita berdua nantinya....?"
"Lebih dari mampu, hanya saja, jika biasanya dia mampu terbang sehari-semalam dengan satu orang di punggungnya, maka jika membawa dua orang, paling lama dia terbang sehari saja..." jawab Sie Lan In.
"Hmmmm, kita hanya butuh dia terbang sejauh 1,2 km dan setelah itu kita turun di satu tempat. Jika demikian kita bisa menghindar, tetapi engkau harus pergi lebih dahulu menyiapkannya. Tetapi tunggu saat pertempuran pecah, dan jika sudah siap nanti dengan kendaraan besarmu itu, kirimkan saja isyarat maka aku akan segera menuju ke tempat yang ditentukan....."
"Baik Koay Hiap..... tapi aku bakalan membutuhkan dorongan kuat iweekangmu untuk bisa mencelat keatas, dan menyerang mereka dengan pedang. Baru setelah itu akan berlalu dengan cepat. "
"Baik, engkau lakukan sekarang, mereka akan mulai menyerang" percakapan kedua orang itu berakhir dengan majunya Geberz, Liok Kong Djie dan Ciok Seng yang akan mulai menyerang Koay Ji. Pada saat itulah Sie Lan In membentak keras dan kemudian mencelat keatas setelah sebuah kakinya disampok oleh Koay Ji. Sungguh pameran ilmu silat yang amat luar biasa, karena Sie Lan In bukan hanya bergerak cepat tetapi juga segera mendatangkan perbawa yang amat hebat, luar biasa dan mengagumkan. Pameran ilmu silat yang sekaligus membuat lawan-lawannya kocar-kacir dan keder. Apa pasal"
Pada saat Sie Lan In mencelat keudara, bersamaan dia mencabut Thian Liong Pokiam (Pedang Pusaka Khayangan), dan bersama dengan itu dia memainkan ilmu Hui Sian Hui Kiam (Pedang Terbang Memutar). Inilah Ilmu Pedang Terbang yang sudah teramat jarang muncul di dalam dunia persilatan. Menjadi lebih hebat lagi, karena memang, pada saat itu, Sie Lan In sudah sanggup dan dapat mencapai Kepandaian Kiam Jin Hip It (Pedang dan Tubuh Terhimpun Menjadi Satu) dan tingkatan ilmu mitis ilmu pedang, yakni Sen Hap Kiam (Badan Menyatu Dengan Pedang). Ini adalah tingkatan puncak Ilmu Pedang Terbang dan sudah dapat dicapai oleh Sie Lan In selama beberapa waktu belakangan. Terutama setelah dia berlatih sebulan penuh di laut Selatan.
Pada satu kesempatan belaka dia sudah menyerang semua lawannya dengan jurus maut yakni rangkaian jurus Han Mo Tui Ho (Setan kedinginan mengejar api) dan jurus Han Mo Hoan Sin (Setan kedinginan jungkir balik). Akibatnya sungguh amat mengejutkan, bahkan juga membuat Geberz, Liok Kong Djie dan Ciok Seng tergetar hebat melihat kilatan berwarna keputihan terbang dengan kecepatan yang amat menakutkan. Dalam sebuah serangan berangkai, Sie Lan In memainkan jurus maut itu dan menyerbu Liu Beng Wan, Jamukha, Si Tiok Gi, Ma Hiong Seng, Suma Cong Beng, Tam Peng Khek dan istrinya serta juga mengejar 5 Raja yang dua diantaranya sudah terluka. Sungguh luar biasa, pameran ilmu pedang terbang yang amat mengagumkan dan memang amat dahsyat.
Semua memang dapat menghindar dengan gopoh, tetapi begitupun pedang dengan cahaya keputihan yang berkelabat menggiriskan membuat hati mereka ciut. Ada sebagian besar yang selamat dalam dua kali kesiutan dan menyambarnya sinar putih bagai kilat itu, tetapi ada juga yang tidak selamat. Terutama, karena memang Sie Lan In menyasarnya. Dan korban terbesar yang kena lentikan Pedang mujijat itu adalah Suma Cong Beng yang memang sangat menyebalkan dan membuat Sie Lan In begitu membencinya. Putaran dan sabetan pedang pertama dapat dihindari semua tokoh itu, tetapi sabetan kedua ada variasinya, khusus terhadap Suma Cong Beng. Begitu dia menghindar, Pedang terbang bergerak cepat dan mengancam lehernya. Dalam keadaan apa boleh buat, Suma Cong Beng menangkis pedang dengan lengannya, dan tak terhindarkan:
"Cressssss.................." dengan tidak meninggalkan bekas namun pastilah lengan Suma Cong Beng sudah menjadi korban menggantikan lehernya. Tetapi tiada yang sempat menyadarinya karena pada saat bersamaan semua pada sibuk menghindari serangan dan sengatan pedang terbang yang amat dahsyat itu. Sedikit orang yang tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Setelah berhasil dengan targetnya dan pedang bersatu kembali dengan tuannya, Sie Lan In pun bergerak pergi. Sementara semua orang masih terpukau dan tersihir dengan pameran maut "ilmu pedang terbangnya", serta juga masih kaget dan masih bergidik karena diserang secara amat luar biasa oleh pedang terbang yang sebagian dari mereka baru sekali itu mengalaminya. Keadaan seperti itu yang memang disasar oleh Sie Lan In dan karena itu, diapun sudah berkata dengan suara jernih dan nada yang jelas sekali amat puas:
"Aku pergi......."
Dan tidak ada yang sadar dengan kepergiannya ketika kemudian terdengar jeritan menyayat hati dari Suma Cong Beng....
"Accccch, lenganku......"
Jeritan menyayat hati itu muncul seiring dengan menghilangnya Sie Lan In kebalik hutan. Tetapi, siiapa gerangan yang mampu dan dapat mengejar si ratu ginkang jika sudah sedang melarikan diri" nyaris tidak ada. Lagipula tidak ada yang peduli lagi dengan kepergian Sie Lan In karena mendengarkan jeritan menyayat Suma Cong Beng. Ternyata, saking cepat dan tajam pedang Sie Lan in, Suma Cong Beng masih belum sadar selama beberapa detik jika lengan kirinya sudah terpotong sampai sebatas sikunya. Pada saat dia ingin mengangkat lengan tersebut, lengan sebatas siku kebawah justru jatuh tergeletak di tanah, persis di hadapannya. Dan diapun yang memang pada dasarnya pengecut, tidak sadar menjerit histeris dan kemudian kehilangan kesadarannya alias pingsan menggeletak di tanah.
Melihat keadaan sang murid tersayang, Suma Cong Beng yang pingsan karena lengannya terpotong buntung, wajah Liok Kong Djie tiba-tiba berubah membesi dan matanya nyalang sulit ditebak. Rasa murka dan emosi sudah memenuhi wajahnya dan Thian Liong Koay Hiap tentu dapat melihat karena selalu mengawasi mereka semua, termasuk Liok Kong Djie. Koay Ji senang dengan hukuman yang dijatuhkan Sie Lan In dan gadis itu sudah pergi, kini adalah tugasnya untuk juga segera pergi. Tetapi, dia sadar dia masih harus melawan 3 tokoh besar yang kini mulai bergerak mengurungnya. Bahkan Liok Kong Djie sudah membuka serangan dengan angin pukulan yang sangat luar biasa, seakan menumpahkan kekesalan dan kemarahan atas apa yang dialami muridnya melalui pukulannya yang amat berat itu. Koay Ji juga memahami dan melihat, karena memang jelasi jika kakek itu menumpahkan kemarahannya dalam pukulan bertenaga luar biasa itu.
Tidak salah lagi, Liok Kong Djie maju dengan emosi dan menyerang dengan penuh tenaga Siauw Thian Sin Kang (Tenaga Sakti Membakar Langit), dan melangkah maju dalan Ilmu Mie Tjong Sin Poh(Ilmu langkah sakti penghilang jejak). Jelas kalau pukuannya berasal dari apa yang dinamakan Ilmu Pukulan Jit Gwat It Sian Kun (Pukulan Matahari dan Rembulan Satu Garis), Itulah satu ilmu pukulan yang memang merupakan andalan dari Hoa san Pay. Tetapi, Koay Ji tentu saja tidak akan membiarkan dirinya diserang begitu saja, apalagi pada saat bersamaan serangan Geberz dan Ciok Seng juga sudah menjelang datang. Menimbang keadaan, diapun akhirnya bergerak dengan Ilmunya Thian Liong Pat Pian yang juga sudah sempat disempurnakannya. Ilmu langkah mujijat yang kini menjadi sudah jauh lebih luas khasannahnya ketimbang yang dikenali dan juga dikuasai baik oleh Geberz maupun juga oleh Ciok Seng sendiri.
Sebentar saja mereka sudah bergebrak hebat, Koay Ji menangkis 5 pukulan lawan dan kemudian bergerak lincah kekiri, kenanan atau bahkan menyelinap dari jurus pukulan ketiga lawannya itu. Sementara lima benturan yang terjadi dilakukannya dengan menggiring ilmu pukulan Liok Kong Djie dan membenturkannya dengan Geberz, kesudahannya membuat mereka berdua mundur dua langkah masing-masing. Sungguh sebuah pameran pertarungan tingkat tinggi, dan dalam sepuluh jurus jelas Koay Ji tidaklah berada dalam kesulitan. Karena dia mampu bergerak lincah dan balas menyerang yang rata-rata membuat ketiga lawannya terhentak karena menghadapi kekuatan yang sangat luar biasa. Baik gerakan yang mujijat maupun kekuatan iweekangnya memang sangat mengejutkan.
Dan terutama yang lebih memusingkan ketiga lawan mautnya itu adalah kekuatan iweekang mengisap yang secara otomatis memancar dari tubuhnya. Dan masih juga disertai lontaran iweekangnya yang berubah-ubah, kadang-kadang kuat mendorong, kadang berubah menggiring, kadang menghempaskan, ataupun kadang-kadang jadi menghisap tenaga mereka. Inilah yang membuat ketiga lawannya salah tingkah dan sulit untuk mendekati, apalagi untuk memukul Thian Liong Koay Hiap. Dan setelah 15 jurus berlalu dengan menggebrak lawannya dan menumpas kesombongan merka sampai tidak bisa mendekati dan menyernagnya, Koay Ji merasa sudah cukup. Terutama, karena pada saat itu, kawan-kawan mereka yang merubungi Suma Cong Beng sudah mulai berdiri dan ikut menyaksikan pertarungan hebat yang tersaji di hadapan mereka antara tokoh-tokoh berkepandaian mujijat. Bagaimanapun Koay Ji masih berprinsip untuk "tidak membunuh", tetapi jika dikerubuti demikian banyak orang, maka dia merasa sulit jika tidak menjatuhkan tangana kejam. Ketimbang melakukannya, Koay Ji berpikir lebih baik menyingkir dan menunggu isyarat dari Sie Lan In untuk segera mengundurkan dirinya. Tetapi, repotnya, dia masih belum lagi mendengar isyarat dari Nona Sie.
Karena itu, Koay Ji segera mengerahkan kekuatannya hingga tujuh bagian tenaga iweekangnya dan kemudian memutuskan mencoba ilmu baru ciptaannya, yakni jurus keempat dan jurus kelima (karena jurus pertama sampai ketiga adalah ilmu rahasia Siauw Lim Sie) dari ilmu baru ciptaannya. Dia memberi nama Ilmu baru itu Ilmu Liu Hud Jiu Toh Cu (Tangan Budha Bergerak Merebut Mustika), yang terdiri dari 5 jurus belaka, dengan jurus keempat adalah ciptaan suhunya dan jurus kelima adalah juga jurus ciptaannya sendiri. Jurus keempat, yakni jurus Sam Liong Toh Cu (3 Naga Berebut Mustika) dan jurus kelima Jurus Hud Jiu Can Liong Boh Ciau (Tangan Budha Menebas Naga Memancar Luas) " jurus baru dengan kehebatan 3 jurus awal yang coba dia kombinasikan. Selain untuk keperluan Kuil Siauw Lim Sie, maka 3 jurus awal memang dilarang keras digunakan oleh Koay Ji, tetapi jurus keempat dan kelima tidak dilarang, karena memang ada andilnya dalam menciptakannya. Meski atas tuntunan dan usulan suhunya.
Sebenarnya, Koay Ji sekali ini rada berspekulasi. Karena keinginannya menyerang ketiga orang ini sebetulnya sekedar ingin melatih dan melihat efek dari kedua jurus baru yang didalaminya selama beberapa hari terakhir. Dan dia menemukan waktu dan kesempatan ketika melihat dan menemukan rombongan yang dipimpin Sie Lan In ada dalam kepungan lawan. Dan untuk keluar dari kepungan yang sudah ganti mengepungnya itu, maka dia merasa cukup pantas untuk mencoba ilmu barunya itu. Melihat bahwa kesempatan yang muncul secara kebetulan itu, Koay Ji kemudian kini memutuskan mencobanya. "Kapan lagi...?" pikirnya. Jurus keempat atau jurus Sam Liong Toh Cu (3 Naga Berebut Mustika) dikerahkannya dengan iweekang Toa Pan Yo Hian Kang, dan kemudian disusul dengan bagian menyerang jurus kelima dalam topangan iweekang gabungan, dalam Jurus Hud Jiu Can Liong Boh Ciau (Tangan Budha Menebas Naga Memancar Luas). Dengan dorongan iweekang itu, berarti Koay Ji berniat menyerang dan bukannya sekedar menggebrak ataupun guna sekedar bertahan.
Geberz, Liok Kong Djie dan Ciok Seng tidak menduga jika mereka menjadi sejenis kelinci percobaan jurus baru yang diciptakan belum lama oleh Koay Ji. Tetapi, jelas mereka terkejut ketika Koay Ji memainkan jurus 3 Naga Berebut Mestika. Karena dari tubuh Koay Ji mengalir kekuatan yang amat hebat, ada yang bersifat menotok, memukul dan juga menghempas atau mendorong mereka. Bukan hanya itu, Ciok Seng dan Geberz menjadi kaget karena kekuatan menghisap yang keluar dari tubuh Koay Ji mirip dengan yang mereka saksikan dan juga rasakan di Thian Cong Pay. Tetapi, kekagetan mereka mesti disimpan rapih, karena pada saat itu, Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap bukannya terserang, sebaliknya justru kini menyerang mereka. Bukan sekedar menyerang, karena tepatnya sedang menyerbu mereka dengan kekuatan iweekang yang sulit mereka tebak.
Tidak tanggung-tanggung, Koay Ji menyerang mereka bertiga dan ketika akhirnya masing-masing menangkis, mereka kaget karena dorongan dan totokan yang tadi mereka rasakan tiba-tiba berubah menjadi gaya iweekang menggiring. Untungnya, mereka bertiga adalah ahli-ahli ilmu dalam, maka merekapun menghentak secara bersamaan sehingga terlepas. Tetapi, pada saat yang bersamaan kedua lengan Thian Liong Koay Hiap kembali bergerak dan entah bagaimana rasanya seperti ada satu kekuatan luar biasa menghempas dari lengannya. Kekuatan tersebut sangatlah hebat dan besar, dan sekarang mencecar mereka bertiga secara bersamaan. Dan merekapun mau tidak mau harus bertahan karena daya hisap yang mereka lawan, juga semakin menguat, nyaris sekuat daya menghempas yang mengalir dari lengan Koay Ji . Karena keadaan yang susah itu, mereka menangkis apa adanya, dan tiba-tiba saja terdengar benturan hebat:
"Dukkkk, dukkkkk, dukkkkkk....."
Benar mereka menangkis, tetapi ketiganya sadar bahwa posisi mereka amat lemah dan lawan memberi mereka sedikit kemurahan. Karena itu, mereka mundur sampai 3,4 langkah ke belakang, sementara lawan mereka, Thian Liong Koay Hiap sudah mencelat ke belakang dan kemudian berkata:
"Nach, sampai jumpa berapa hari kedepan..... anggaplah hari ini kuampuni kalian bertiga, tetapi, awaslah dalam pertemuan nanti, karena jika kalian tetap berkeras dan bersikap kejam, maka lohu tidak akan segan menumpas kalian"
Setelah berkata demikian, dengan langkah mujijatnya dia bergerak cepat dan amat aneh namun sebentar saja sudah tiba dan berada di pinggiran hutan. Pada saat itu terdengar bentakan keras dan hebat dari Jamukha:
"Serang dan kejar......"
Serentak semua yang masih bisa, mengejar masuk kedalam hutan. Bahkan juga Liok Kong Djie ikut mengejar bersama Liu Beng Wan yang khawatir melihat sang Suhu yang emosinya sungguh menggetarkannya. Pada akhirnya hanya tertinggal Suma Cong Beng yang terluka, Geberz yang nampak termangu-mangu dan Ciok Seng yang sama keadaannya dengan paman gurunya itu. Beberapa saat kemudian keduanya saling tatap muka dan senyum yang pahit tersungging di bibir keduanya. Dan Ciok Seng kemudian berkata:
"Susiok, tokoh hebat bernama Thian Liong Koay Hiap ini seperti memiliki hubungan dengan Tang Hok yang dilawan Phoa Susiok berapa waktu lalu di Thian Cong San. Apakah pandanganku keliru...?"
"Entah mereka tokoh yang sama ataukah berbeda, kita sama sekali tidak tahu. Tapi, jika mereka orang berbeda, maka tidak ada cara lain selain meminta Phoa Susiok dan Suhu untuk turun tangan segera. Kehadiran Rijma Singh akan kurang karena lawan memiliki beberapa tokoh mujijat yang tidak kalah banyaknya. Jika tidak, maka bahaya yang mengancam Bu Tek Seng Pay sekali ini, akan sangat sulit untuk dapat kita hadapi dan kita atasi....."
"Hmmmmm, engkau benar Sutit, berdasarkan dua pengalaman pahit yang terakhir ini, biarlah Susiokmu ini yang akan berbicara dengan mereka semua. Sepulang ini akan kubicara langsung dengan Suhumu, waktu kita masih ada 3,4 hari sebelum mereka datang menyerang. Apakah persiapan-persiapan yang lainnya sudah cukup matang menurut pengamatanmu....?"
"Sejauh ini sudah memadai Sam Susiok, semua pintu masuk sudah selesai dengan racun dan ilmu sihirnya....."
"Baiklah, kita sebaiknya pulang. Mengejar tokoh sehebat Thian Liong Koay Hiap tidak ada guna dan tidak ada untungnya sama sekali, biarlah kita menyiapkan cara yang tepat menyambut kedatangannya di Markas kita nanti. Kita siapkan kejutan yang akan membuatnya kaget kelak...."
"Baik Susiok....."
Kedua tokoh hebat Bu Tek Seng Pay itupun berlalu. Sementara itu, tokoh-tokoh lain mengejar Thian Liong Koay Hiap, meski namanya mengejar tetapi sebetulnya tidak ada seorangpun yang benar-benar mengejar. Mereka paham belaka siapa tokoh yang mereka sedang kejar atau sedang mereka buru itu. Dan merekapun tahu jika mampu menyandak, merekapun tidak akan mampu mengapa-apakan yang sedang mereka kejar itu. Bahkan tiga tokoh hebat merekapun tidak mampu mengapa-apakannya, apalagi hanya kelas mereka". Semuanya hanya sekedar menunjukkan bahwa "mereka berani" mengejar, tidak lebih dari itu. Kecuali seorang tokoh dan muridnya, yaitu Liok Kong Djie dan Liu Beng Wan yang memang marah dan dendam dengan Thian Liong Koay Hiap dan Sie Lan In. Terutama nama terakhir yang telah membuat Suma Cong Beng bercacat. Buntung.
Sementara itu, begitu Koay Ji berlari menuju lokasi, benar saja semenit kemudian dia menemukan tempat itu dan melihat Sie Lan In yang sudah berada di punggung burung besarnya itu menunggu Thian Liong Koay Hiap. Sebagaimana perjanjian sebelumnya, Koay Ji akan ikut menunggang untuk menghindari kejaran lawan-lawan hebat di belakangnya. Tetapi melihat keadaannya, Koay Ji berubah pandangan dan kemudian segera berkata kepada Sie Lan In:
"Sie Kouwnio, Strategi kita berubah, tokoh-tokoh hebat mereka tidak ikut mengejar, dengan demikian kawan-kawan Sie Kouwnio tentu sudah bebas. Nanti biar kawan-kawan monyet yang kelak akan mengantarkan mereka bertemu dengan rombongan para pendekar..... untuk saat ini Lohu ada sesuatu urusan lain yang harus segera dikerjakan, apakah Sie Kouwnio berminat ikut..." urusan ini masih ada hubungan dengan pertempuran 3,4 hari kedepan....."
"Tetapi mereka sudah semakin mendekat Koay Hiap, kita perlu menghindari mereka terlebih dahulu..." usul Sie Lan In
"Baik, Sie Kouwnio, silahkan, Lohu akan mengikuti dari pepohonan..." sambil berkata demikian, Koay Ji segera mencelat kembali dan berlari cepat dengan menggunakan pucuk-pucuk pohon sebagai pijakannya terus berlari. Dan tidak lama kemudian, merekapun tiba di tempat yang cukup aman untuk bercakap-cakap. Sudah cukup jauh terpisah dari lawan-lawan tadi.
Kita tinggalkan sebentar Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap yang kembali bertemu dengan Sie Lan In. Kita ikuti perjalanan Koay Ji beberapa hari terakhir. Karena perlu untuk mengetahui urusan apa yang akan dikerjakan Thian Liong Koay Hiap dan karena itu perlu mengundang Sie Lan In ikut serta. Mari kita ikuti perjalanan Koay Ji sejak dia pergi meninggalkan Thian Cong Pay pada kurang lebih 3 hari yang sudah lewat. Koay Ji meninggalkan Thian Cong Pay setelah terlebih dahulu mengambil Kim Pay berupa Kim Liong yang kemudian diserahkannya kepada Pek Ciu Ping, toa suhengnya. Tentu saja Koay Ji mampu memasuki gua itu dengan bantuan monyet-monyet yang memang menjadi sahabat lamanya dan sekaligus sahabat setianya, malah dia sempat bertemu kembali dengan teman-temannya yang menjadi bagian masa lalunya saat tinggal di dalam gua suhunya itu.
Tidak ada yang luar biasa yang ditemukan Koay Ji di gua suhunya, karena memang gua itu sudah dihadiahkan kepadanya, maka dia menitipkannya kepada kawan-kawan monyetnya. Bahkan Raja Monyet di hutan itu yang langsung menyanggupi untuk menjaga dan membersihkan gua milik Koay Ji tersebut. Bukan hanya itu, saat memberitahu bahwa Koay Ji akan menuju ke Pek In San, dua orang monyet besar menyatakan kesediaan untuk mengawaninya menuju Pek In San. Dan Koay Ji sudah menyanggupinya karena memang jaraknya tidak terlampau jauh, dua gunung yang saling sambung satu dengan yang lain.
Setelah menyerahkan Kim Liong kepada toa suhengnya, Koay Ji minta diri dengan alasan akan mencari Sie Lan In yang memutuskan memata-matai Gunung Pek In San. Sebelumnya, diapun meghadap dan bercakap dengan Sam Suhengnya yang sudah memutuskan untuk segera menuju kaki gunung Pek In San dalam waktu dekat. Karena konon, para pendekar sudah berdatangan dan sudah saatnya mereka diatur dan bergabung bersama seluruh kaum pendekar, agar tidak terjadi kejadian yang tidak diharapkan.
"Mereka perlu dijaga, jika tidak bakalan menjadi korban Utusan Pencabut Nyawa dan sangat mungkin terbunuh satu demi satu....." demikian perkataan Tek Ui Sinkay yang cukup masuk di akal.
"Jika memang demikian, biarlah tecu berangkat menyelidiki Pek In San, dan Sam Suheng membawa tokoh-tokoh lainnya berkumpul di kaki gunung Pek In San" saran Koay Ji yang kemudian diiyakan Tek Ui Sinkay yang pada saat itu ditemani Kim Jie Sinkay dan Cu Ying Lun. Saran yang memang tepat, sebab jika benar tidak ada perlindungan kawanan pendekar yang mulai berkumpul di kaki gunung Thian Cong San, maka musibah dan bendana yang akan terjadi disana.
Dan memang benar, pada dua hari berselang bersama semua rombongan Khong Sim Kaypang, Lembah Cemara dan Tio Lian Cu, Khong Yan, serta seluruh saudara seperguruan Koay Ji, mereka melakukan perjalanan menuju kaki gunung Thian Cong San yang bersambungan dengan kaki gunung Pek In San. Karena menurut laporan, rombongan Siauw Lim Sie, Hoa San Pay, dan banyak perguruan lain akan tiba dalam waktu dekat. Tidak lama kemudian, Thian Cong Pay menjadi sepi, karena sesungguhnya sehari sebelumnya Koay Ji sendiripun sudah melakukan perjalanan sendirian menuju gunung Pek In San.
Rombongan besar dipimpin oleh Tek Ui Sinkay dengan tokoh-tokoh yang sudah dikenal, seperti seluruh saudara seperguruan Tek Ui Sinkay berada didalamnya, masih ditambah dengan tokoh-tokoh Khong Sim Kaypang. Kemudian, juga terdapat tokoh-tokoh Lembah Cemara dan ditambah lagi dengan Tio Lian Cu, Khong Yan dan juga Bun Kwa Siang yang selalu mengawal Kang Siauw Hong sebagaimana pesan Koay Ji. Rombongan ini saja memiliki kekuatan yang tidak kecil, apalagi akan segera bergabung tokoh-tokoh lain dari Siauw Lim Sie yang konon langsung dipimpin oleh Ciangbudjin dan tokoh hebat mereka yang lainnya. Belum lagi tokoh-tokoh Hoa San Pay yang Ciangbudjinnya sudah berada dan bergabung dengan Tek Ui Sinkay. Dan tentu saja, dalam kelompok itu, juga bergabung barisan-barisan mujijat, baik milik Kaypang, Khong Sim Kaypang dan juga Siwu Lim Sie.
Mari kita ikuti perjalanan Koay Ji. Sehari sebelum rombongan itu bergerak, Koay Ji sudah terlebih dahulu memasuki daerah Pek In San bersama dua ekor monyet besar sahabat semasa kecilnya. Salah satunya adalah monyet yang dia selamatkan pada masa kecilnya, dan karena itu, kesetiaannya kepada Koay Ji sungguh amat kental. Dia sudah tumbuh menjadi monyet dewasa yang kuat dan dihormati oleh kawan-kawan di kelompoknya. Bahkan konon, diapun memiliki hubungan yang baik dengan kelompok monyet di Gunung Pek In San. Dan inilah yang dimanfaatkan oleh Koay Ji, karena dia ingin menyelidiki keadaan Pek In San terlebih dahulu sambil juga mencari keberadaan Sie Lan In.
Yang tidak diduga dan disangka oleh kuat dan ketatnya pertahanan di markas Bu Tek Seng Pay di pinggang utara Gunung Pek In San, adalah kemampuan aneh nan mujijat dari Koay Ji. Terutama adalah kemampuannya berbicara dengan Monyet dan juga persaudaraan dan kasih sayangnya kepada binatang itu yang tumbuh bersama dengan dia bahkan sejak masa kecilnya. Mengapa demikian" karena ketika sore hari dia "melakukan pertemuan" dengan rombongan monyet dari gunung Pek In San, kepadanya sudah langsung diberitahukan lokasinya, kelebihannya serta juga kekurangannya. Maksudnya gunung Pek In San. Bahkan juga, lebih dari itu, seekor monyet lainnya langsung pergi untuk menghubungi kawanan monyet yang tinggal di sekitar markas Bu Tek Seng Pay. Saat bertemu Koay Ji, merekapun sama terkejut, kaget, gembira dan senang karena Koay Ji mampu berkomunikasi dan berbicara dengan mereka secara leluasa.
Bukan cuma itu, Koay Ji bahkan berbicara dan bersedia berteman dengan mereka. Lebih dari itu, malah menghormati mereka, tidak menganggap mereka sebagai hewan yang lebih rendah dan sekedar hanya disuruh-suruh begitu saja. Sikap dan pembawaan Koay Ji seperti itu yang justru membuat kawanan monyet di gunung Pek In San jadi tunduk dan menghormatinya lebih dari pemimpin kawanan mereka sendiri. Maka, ketika kawanan Monyet dari sekitar markas Pek In San datang dan bergaul akrab dengannya, mengalirlah seluruh kisah dan cerita sedih dari mereka. Termasuk pengaduan betapa banyak kawan mereka yang dibunuh, diburu dan kemudian dipermainkan, dijadikan boneka mainan dan sejenis penghibur bagi kawanan Bu Tek Seng Pay yang rata-rata memang kejam dan sangat bengis itu. Hal yang menghadirkan amarah dan juga rasa murka bagi Koay Ji dan yang membuat kawan-kawan monyet menjadi terharu dan secara otomatis mendukung dan malah bersedia membantu Koay Ji.
"Ada sebuah jalan rahasia di bawah, kami sering melihat tokoh-tokoh Pek Lian Pay dahulu kala menggunakannya..." seru seekor monyet besar dari daerah Pek In San dekat markas Bu Tek Seng Pay.
"Ach, benarkah demikian.....?" tanya Koay Ji kaget, karena jelas ini informasi yang sangat penting dan bisa amat menentukan.
"Memang benar, tetapi sekarang sudah tidak ada yang menggunakannya lagi sejak ada banyak orang datang di sana, tetapi kami semua sering mempergunakannya untuk melarikan diri ataupun bersembunyi....." seru seekor monyet yang terlihat sudah cukup tua dan uzur.
"Kemana tembusnya jalan rahasia itu....?" tanya Koay Ji penasaran dan gembira mendengar laporan penting itu.
"Ada yang tembus ke kaki gunung sebelah utara, ada yang juga tembus ke bawah, ke bagian ngarai yang banyak orang-orang mereka juga....."
"Ach, bagus sekali jika demikian...." semakin senang Koay Ji, karena penemuan yang tidak terduga ini. Dan sebelum monyet yang lain berbicara dan memberikan usul lain, maka Koay Ji bertanya dengan suara gembira dan sempat memuji-muji pengetahuan monyet kawannya itu segera bertanya,
"Apakah aku bisa dibawa kesana untuk mengetahui jalan rahasia yang dimaksudkan itu tadi..?" tanya Koay Ji penasaran, dan jelas sangat antusias dengan penemuan yang agak luar biasa itu. Jika betul ada.
"Boleh, sekarang juga bisa, karena jalan keluarnya berada dekat dari sini.." jawab si monyet gembira karena seperti mendapat perhatian yang lebih dari Koay Ji, persis manusia saja lakunya.
"Ach, engkau hebat sahabat, bagaimana, siapakah sajakah yang akan ikut aku mencari jalan rahasia itu....?" tanya Koay Ji
Ternyata hanya ada dua yang akan ikut dengannya. Kawan masa kecilnya dan juga si monyet penunjuk jalan rahasia yang dimaksud.... setelah berbagi tugas dengan kawan-kawan monyet lainnya, Koay Ji kemudian melakukan perjalanan bersama dua monyet yang lain. Dari dua monyet yang datang bersamanya dan berasal dari Thian Cong Pay, tinggal satu yang terus bersama dengannya, sementara yang satu lagi sudah berbaur bersama kawan-kawannya yang berasal dari Pek In San. Tetapi, merekapun memperoleh tugas yang lain, yakni tugas untuk memata-matai semua pergerakan Bu Tek Seng Pay.
Dan kelak dari merekalah Koay Ji akhirnya mengetahui bahwa Sie Lan In dan juga kawan-kawannya sedang dikejar-kejar dan dikeroyok oleh kawanan Bu Tek Seng Pay. Kawanan monyet itulah yang memberitahunya dan kemudian mengatur cara dan strategi menyelamatkan Sie Lan In dan kawan-kawan. Kawanan monyet itu juga yang menyembunyikan kawan-kawan Sie Lan In, yang menunjukkan jalan serta juga menyediakan makanan selama mereka bersembunyi dalam liang persembunyian. Dan beberapa saat kemudian, membawa mereka untuk bertemu dengan rombongan yang dipimpin oleh Tek Ui Sinkay.
Setelah selesai pembagian tugas Koay Ji dengan para monyet, maka merekapun berpisah dengan titik pertemuan kelak di pintu keluar jalan rahasia. Koay Ji dengan ditemani dua monyet, memasuki jalan rahasia yang awalnya cukup sempit, namun hanya sekitar 20 meter kemudian, berubah menjadi terowongan yang cukup lebar dan cukup tinggi. Bahkan Koay Ji kemudian bisa berdiri dan berjalan secara leluasa bersama dua ekor monyet sahabatnya itu. Dan sepanjang pejalanan menuju ke pintu keluar dekat Markas Bu Tek Seng Pay (dahulunya bekas markas Pek Lian Pay) ada sekitar 3 pintu rahasia lainnya. Koay Ji secara sengaja menandainya, dan yang melakukannya adalah monyet sahabat yang menyertainya.
Di masing-masing pintu keluar yang berjumlah 3 buah itu, ada ruangan yang cukup lebar dan luang. Tampaknya sengaja dibuat untuk tempat istirahat ataupun tempat pertemuan, karena dekat dengan pintu masuk sehingga udara yang masuk cukup banyak dan memadai. Dan Koay Ji menandai semua ruangan itu, tentunya bersama dengan pintu masuk atau tepatnya pintu keluar rahasia. Karena dia memproyeksikan kelak akan dapat menggunakan ruangan-ruangan tersebut. Entah untuk apa, Koay Ji sendiripun belum tahu, tetapi untuk mengenali kelak, ada lebih baik ditandai dan dia tahu lokasi tepatnya.
Setelah menandai ketiga pintu rahasia itu, merekapun melanjutkan perjalanan dan ketika mendekati pintu keluar di dekat Markas Bu Tek Seng Pay, hari sudah gelap. Artinya malam sudah menjelang datang. Tetapi, alangkah senangnya Koay Ji ketika dari depan datang beberapa ekor monyet yang sudah menyiapkan makan malam baginya dan kedua kawannya. Merekapun makan bersama malam itu, tapi, monyet ada monyet yang lain berbisik kepadanya:
"Di depan, ada jalan yang bercabang, bercabang dua, tapi sayangnya memang agak gelap dan terlampau sulit kami masuki..."
"Ach, terima kasih banyak kawan" puji Koay Ji sambil menepuk bahunya tanda persahabatan, dan monyet itupun senang bukan main. Merasa diperhitungkan dan diperlakukan layak oleh Koay Ji. Hal yang tidak mereka dapatkan dari kawanan manusia di gunung Pek In San yang sering memburu mereka.
Meski malam sudah datang, tetapi Koay Ji tidak berhenti, sepanjang jalan menuju ke Markas Bu Tek Seng Pay dia tidak menemukan apa-apa, hanya melulu jalan rahasia dan dia merasa tidak puas. Dia memutuskan memeriksa jalan bercabang yang dilaporkan sahabatnya tadi dan dengan kekuatan iweekangnya, matanya mampu menerobos gelapnya malam. Maka, meninggalkan dua kawannya (monyet) yang memilih istirahat dan sudah tertidur lelap, Koay Ji terus menyusuri lorong rahasia satunya lagi sendirian saja. Tetapi ternyata lorong itu sendiri cukup panjang dan tanpa disadarinya membawanya hingga ke tempat yang tidak disangka-sangkanya sama sekali. Membawanya kepada beberapa penemuan.
Setelah kurang lebih 500 meter dia melangkah masuk, Koay Ji masih juga tidak dapat menemukan apa-apa. Tetapi, dia tetap optimist jika jalan rahasia ini pasti akan membawanya masuk hingga ke Markas Bu Tek Seng Pay di gunung Pek In San. Jalan Rahasia itu sendiri masih terbentang di depannya dan masih belum putus, dan lebar serta tinggi masih sama. Hingga Koay Ji yakin bahwa jalan ini dibuat oleh orang yang sama, baik pada ujung jalan masuk maupun pada ujung jalan keluarnya. Bahkan, juga termasuk jalanan dimana dia masih menyusurinya dan belum tahu akan berujung dimana nantinya, atau akan membawanya hingga kemana. Setelah berjalan selama beberapa menit lagi, Koay Ji masih juga belum menemukan apa-apa selain bentangan jalan yang cukup leluasa untuk dapat dilampauinya. Tetapi, ketika dia mencoba melangkah beberapa tapak lagi kedepan, telinganya yang tajam mendengarkan suatu gerakan lemah persis diatasnya, atau persis berada di atas kepalanya. Diapun kaget.
Koay Ji berhenti sejenak, tetapi beberapa saat dia menunggu, tidak terdengar lagi ada gerakan diatasnya. Menunggu beberapa saat lagi tanpa kepastian, akhirnya Koay Ji mengetukkan lengannya ke dinding di atas kepalanya untuk memastikan apakah ada orang lain di atas ana. Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada gerakan, maka akhirnya diapun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan untuk memeriksa keadaan di depan. Tetapi, baru saja dia hendak melangkah, tiba-tiba dia mendengar bisikan dari atasnya, bisikan orang yang tidak bertenaga dalam sama sekali. Tapi, dia dapat mendengar suara itu, seperti bisikan:
"Pinto Hui Goan Siansu, siapakah tuan yang berada di bawah....?" suara yang lemah tapi masih bisa didengarnya
"Siauwte Koay Ji, sedang menyelidiki Markas Bu Tek Seng Pay yang mengganas di dunia persilatan dan markas mereka di Pek In San ini...."
"Accch, benarkah engkau bukan orang mereka....?" bisik suara itu lagi, sangat lemah dan sepertinya tidak memiliki tenaga dalam.
"Benar Hui Goan Suhu, aku datang dari Thian Cong San menyelidiki keadaan di Pek In San sini, karena banyak gerakan mencurigakan....." jawab Koay Ji hati-hati dan dengan kebat-kebit, jangan sampai musuh yang menipunya.
"Acccch, semoga Thian menjawab doaku hari ini,,,,,, jika engkau bukan mereka, bukalah pintu rahasia yang tersembunyi di sebelah kiri. Membukanya perlu dengan menarik sebuah batu yang tertutup dengan batu lainnya berwarna seperti warna tanah. Tetapi, sekitar batu tersebut engkau akan menemukan petunjuk yang akan menjelaskan posisinya, bentuknya aneh sendiri. Engkau melangkah 10 meter dan terletak di sebelah bawah, carilah dan engkau akan menemukan aku....."
Koay Ji jelas sangat tertarik, maka tanpa berpikir panjang dia berjalan sepuluh meter kedepan dan kemudian dia memandang ke bawah di sebelah kiri, memang benar ada tata letak yang berbeda disana. Ada sebuah batu yang tersamarkan, namun di atas batu itu ada sebuah tanda silang yang sulit ditemukan jika tidak dicari. Maka mengikuti instruksi Hui Goan Hwesio tadi, diapun mengangkat batu yang diatas, dan benarlah dibawahnya ada sebuah batu lagi yang tertanam kedalam tanah. Diapun menarik batu tersebut perlahan saja dan kemudian menunggu beberapa saat dengan hati yang lumayan tegang.
Benar saja, perlahan-lahan dia melihat dinding gua dihadapannya bergerak perlahan lahan dan tak lama kemudian, dia dapat melangkah masuk kedalamnya. Pintu rahasia rupanya, dan dia tahu akan sulit ditemukannya tanpa batuan Hui Goan Hwesio. Begitu masuk, dia mendapati dirinya berada di jalan rahasia yang satu lagi, tetapi tepatnya diujung jalan rahasia dimana kiri dan kanannya merupakan ruang tahanan. Diapun berjalan beberapa saat dan akhirnya menemukan sebuah ruang rahasia ataupun ruang tahanan yang ada orangnya. Untuk memastikan orang yang dia cari, diapun kemudian berbisik lirih:
"Hui Goan Hwesio......?" tanyanya perlahan untuk memastikan karena dia masih belum mengenal orang yang memberinya bisikan tadi.
Koay Ji kaget melihat keadaan kakek yang mengangguk dengan lemah ketika dia membisikkan nama HUI GOAN HWESIO barusan. Kakek itu sudah tumbuh kembali rambutnya, dan bukannya botak seperti biasanya HWESIO, bahkan rambutnya itu sudah amat panjang tak terurus, tubuhnya tinggal tulang terbungkus kulit, matanya sudah cekung dan kakinya dirantai.
"Anak muda, tutup kembali pintu rahasia itu, sewaktu-waktu jika mereka masuk atau turun kemari, akan sangat berbahaya jika mereka mengetahui jalan bawah tanah itu. Setelah ditutup kembali, barulah kita boleh bercakap-cakap secara lebih leluasa lagi,,,, nacj, cepatlah engkau menutupnya....."
Setelah memperoleh petunjuk bagaimana menutup pintu rahasia itu, barulah Koay Ji kembali mendapatkan si kakek yang kakinya dirantai. Tetapi Koay Ji tidak dapat masuk kedalam ruangan si kakek karena pintunya memang tertutup dan kunci dia tidak punya. Sebetulnya Koay Ji dapat saja memaksa membuka dan membobol patok2 pemisah mereka, tetapi si kakek melarangnya karena menurutnya mereka dapat bercakap seperti itu.
"Anak muda, engkau dengarkanlah, waktu kita tidak lama.... ruangan ini adalah penjara bawah tanah. Jika tidak salah, beberapa hari lalu ada seorang yang mereka masukkan kemari, berada di ujung sebelah kiri, aku tidak mengenalnya. Engkau boleh memeriksanya kelak. Aku adalah Hui Goan Hwesio, pemimpin Pek Lian Kauw sebelum berubah menjadi Pek Lian Pay sekarang ini. Kami adalah kumpulan patriot yang tetap bersama-sama meski tidak lagi berjuang untuk Negeri kami, tetapi kami tinggal bersama sebagai satu perkumpulan. Tempat ini adalah landasan dan markas perjuangan kami dahulu, sebab itu hanya generasiku yang paham dengan jalan rahasia bawah tanah itu yang dibuat generasi sebelum kami. Sayang sekali, lebih 10 tahun yang silam Pek Bin Hwesio membokongku dan merebut markas ini dengan membunuh 4 pembantuku yang masih mengetahui lika-liku perjuangan tempo dulu. Mereka memenjarakanku disini sudah lebih sepuluh tahun, belum membunuhku karena berharap kuberitahu harta karun peninggalan perjuangan kami. Padahal tidak ada sama sekali harta karun itu, kecuali sedikit sisanya untuk membangun Pek Lian Kauw kami. Anak muda, aku sama sekali tidak mengenalmu, akan tetapi kutinggalkan sedikit harta itu untuk membangun kembali Pek Lian Kauw setelah mereka semua bisa dibinasakan. Tetapi jika memang tidak mungkin dibangun lagi, kuserahkan kebijaksanaan kepada engkau bagaimana harta itu kelak dipergunakan. Hanya, mohon engkau bersihkan tempat kami ini dari para pembunuh dibawah Pek Bin Hwesio dan semua yang membantunya. Nach, harta peninggalan itu kuserahkan kepadamu, berada tepat dibawah ruang pertemuan pintu rahasia kedua. Engkau gali sampai satu meter dasar gua tersebut, tepat di tengah ruang pertemuan, dan ada disitulah harta tersisa itu. Tidak usah banyak bertanya, jika engkau berhasil maka hidupkupun berakhir, tidak ada hal lagi yang mengikatku untuk terus hidup setelah peninggalan kami diserahkan kepada orang yang bakal mempergunakannya dengan baik dan bertanggungjawab......"
"Ach Locianpwee,,,,,,"
"Cukup anak muda,,,,, aku sudah teramat lelah.... penjara bawah tanah ini akan berakhir di bagian belakang Markas Pek Lian Kauw, nach engkau pergilah untuk coba menemukannya. Jika sudah berhasil dengan perjuanganmu itu, sudah cukup dengan memberitahuku kelak dan tanggungjawabmu selesai atas diriku. Setelah mengalami siksaan selama 10 tahun terakhir, semua organ tubuhku banyak yang sudah rusah, maka hidupku biarlah berakhir disini. Silahkan anak muda........"
Koay Ji terharu dan paham dengan kesendirian dan penderitaan Hu Goan Hwesio ini, karena itu sebelum pergi diapun berkata:
"Meski locianpwee tidak butuh janjiku, tetapi pada hari ini, siauwte Koay Ji berjanji akan melakukan semua permintaan Locianpwee dan mempertaruhkan nyawaku sebagai jaminannya..... siauwte mohon diri...."
Setelah berjanji kepada Hui Goan Hwesio, Koay Ji kemudian melangkah menyusuri penjara tersebut yang menurut Hui Goan Hwesio akan berujung atau tembus ke bagian belakang Markas Pek Lian Kauw. Ia ingin mengetahui ujung tersebut, maka perlahan dia menyusuri jalan dan menjelang ujung dari penjara bawah tanah itu. Dan ternyata ada sekitar 16 ruangan bawah tanah untuk mengurung tahanan, Koay Ji menghitungnya, namun ada 8 ruangan belaka yang berisi manusia. Tetapi, selain Hui Goan Hwesio, yang lainnya rata-rata sudah meninggal dunia. Tetapi, orang yang kedelapan, yang ditunjukkan oleh Hui Goan Hwesio sebagai orang yang baru dijebloskan, ternyata masih hidup.
Ketika akan melewatinya Koay Ji terkejut ketika manusia tersebut terdengar merintih kesakitan namun dalam bahasa asing, bahasa Thian Tok tepatnya. Tetapi, karena memang Koay Ji memahami meski tidak sangat ahli bahasa tersebut, dia jadi terhenti dan kemudian memandang orang itu. Bahkan kemudian dia bertanya dalam bahasanya, bahasa Thian Tok:
"Apakah engkau baik-baik saja" Siapakah engkau...?" tanyanya penuh harap, meski dia tahu tidak akan dapat mengenalnya. Karena memang dia jarang memiliki kawan atau kenalan orang tua asal thian tok.
Orang yang merintih itu terdiam beberapa saat, kemungkinan besar dia terkejut karena ada orang lain yang masuk. Masuk bukan berasal dari pintu masuk, justru berasal dari dalam, entah darimana asalnya, darimana datangnya dan darimana masuk kedalam gua tahanan itu. Tetapi beberapa saat kemudian dia terdengar balik bertanya dalam bahasa Tionggoan,
"Siapa pula engkau....." engkau bukannya dari Bu Tek Seng Pay yang khianat dan suka membunuh orang itu...?"
"Bukan, aku datang untuk membasmi mereka. Kawanan pendekar ada kurang lebih 400an yang berkumpul untuk membasmi Bu Tek Seng Pay...." jawab Koay Ji sudah langsung mengidentifikasi diri dan kelompoknya.
"Acccch, akan sia-sia belaka, sungguh akan sia-sia. Mereka menyiapkan banyak sekali perangkap yang berbahaya dan bahkan mematikan, ada perangkap beracun, ada perangkap sihir dan masih banyak lagi perangkap yang susah untuk diduga dan mematikan,,,,, lebih baik batalkan anak muda..... jika memaksakan diri, korban yang jatuh bakalan terlampau besar" desah orang dalam tahanan yang berusaha untuk mengingatkan Koay Ji bahaya menyerang gunung Pek In San. Tentu saja Koay Ji tertarik untuk tahu lebih banyak.
"Hmmm, siapa pula engkau lopeh....?" tanya Koay Ji dalam bahasa Tionggoan karena ternyata orang itu mampu berbahasa Tionggoan dengan baik. Koay Ji rada penasaran dan ingin tahu, karena melihat keadaannya dan mendengar bicaranya, orang itu mestilah tahu cukup banyak.
"Acccch, aku salah satu dari mereka dahulunya, tetapi, setelah mereka mengetahui kalau aku membantu anakku melarikan diri dari mereka, maka beberapa hari lalu akupun dikurung disini...... bahkan kedua mataku sudah dibutakan, otomatis ilmu sihir kebanggaanku punah dengan sendirinya.... acccch, benar-benar menyedihkan, benar-benar kejam dan tidak tahu terima kasih mereka semua itu" keluh manusia dalam kurungan itu dengan setengah menangis.
"Bersabarlah Lopeh, sebentar lagi waktu mereka akan berakhir....." hibur Koay Ji dan berusaha membesarkan hatinya
"Anak muda, bolehkah aku minta tolong..?" terdengar suaranya dengan penuh harap memohon pertolongan Koay Ji. Seperti biasanya, sebagai pemuda yang memiliki perasaan halus dan selalu sedia menolong orang, Koay Ji terdiam, bukan tidak ingin membantu, tetapi ingin mengenal orang itu dan ingin tahu apa yang dapat dan bisa dia bantu untuk orang itu.
"Apa engkau bisa membantuku anak muda...?" kembali terdengar orang itu bertanya dan mengagetkan Koay Ji, lupa bahwa dia belum mengatakan kesanggupan untuk membantu atau tidak.
"Apa yang bisa kulakukan Lopeh....?" akhirnya Koay Ji bertanya apa yang bisa dia bantukan bagi orang tua malang itu.
"Jika engkau suatu saat bertemu dengan anakku, Nadine, beritahukan bahwa ajalku habis di ruang bawah tanah ini. Beritahukan dia, bahwa Mo Hwee Hud dan murid-muridnya memang benar telah membunuh semua kakaknya di Thian Tok. Tetapi, karena Mo Hwee Hud terlampau hebat dan ganas, sampaikan agar dia tidak usah membalaskan dendam kami lagi, biarlah dia hidup dengan tentram di Tionggoan sini saja. Lagi pula, setelah kulihat calon suaminya, bisa kutebak dia adalah salah satu kelompok orang gagah dari kalian......"
"Accch, jadi lopeh ini justru adalah ayahanda dari adik Nadine....?" tanya Koay Ji sungguh kaget tak terkira. Dia tidak menyangka jika tokoh yang kini mengeram dalam kurungan itu adalah Mindra, murid ketiga Mo Hwee Hud yang dia tahu ahli sihir yang sangat hebat.
"Apakah engkau mengenal anak gadisku itu anak muda...." selamatkah dia" Ada dimanakah dia gerangan...?" mendengar Koay Ji mengenal anaknya, tiba-tiba orang dalam penjara itu menjadi antusias dan bertubi-tubi bertanya kepada Koay Ji tanpa memperhatikan apakah Koay Ji bisa menjawab atau tidak. Untung saja Koay Ji cukup maklum dengan keadaannya.
"Sabar, sabar Locianpwee, memang benar jika Nona Nadine adalah sahabat baikku. Baiklah, setelah menyelidiki tempat ini, Lopeh akan kubawa untuk ikut serta, ada yang akan bersedia mengurus lopeh sampai badai ini mereda dan sampai Bu Tek Seng Pay ini kuhancurkan....."
"Accch, engkau terlampau optimist anak muda, hati-hati, kekuatan mereka amatlah besar dan sangat menakutkan, mungkin engkau sendiri masih belum mampu untuk menghancurkan kekuatan mereka yang berlapis-lapis...." ujar Mindra, tokoh yang ternyata adalah ayahanda Nadine dan sekarang dikurung di penjara bawah tanah. Dan nampaknya, seperti keluhannya tadi, dia dibuang ke penjara bawah tanah dengan terlebih dahulu membutakan kedua matanya. Entah apa alasannya dan entah mengapa dia berakhir di penjara ini.
"Tenang saja Lopeh, kupastikan keruntuhan mereka dan itu hanya merupakan soal waktu terhitung saat ini. Karena dewasa ini, segenap perguruan serta juga kaum pendekar rimba persilatan Tionggoan, sudah pada bangkit melakukan perlawanan. Maka, kupastikan keruntuhan kawanan kejam itu tidak akan lama lagi. Jika tidak, maka percuma saja aku menyandang julukan Thian Liong Koay Hiap yang selalu membayangi dan melawan perbuatan jahat mereka"
Bara Diatas Singgasana 24 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Hati Budha Tangan Berbisa 3
^