Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 36

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 36


Dan sebelum dia kembali secara serius memperhatikan arena besar itu, dia terkejut karena didekatnya terdengar teriakan ngeri dan menggetarkan hatinya. Jeritan seseorang yang meregang nyawa. Sebenarnya mereka yang meregang nyawa di pertempuran seperti itu adalah hal biasa dan terjadi nyaris setiap saat. Apalagi karena yang bertarung ada sedemikian banyak orang dari kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi sekali ini kedengarannya agak aneh, karena jeritan itu hebat dan tanda bahwa yang menjerit itu memiliki kekuatan yang tidak kecil dan tidak main main. Itupun berarti seorang tokoh di salah satu pihak sudah terluka, dan dari nada dan kekuatan jeritan itu, bisa dipastikan kalah secara penasaran dan bakalan berakhir secara penasaran bagi salah satu pihak.
Apa gerangan yang terjadi" Melihat kedatangan Dewi Alehai dengan membawa dua orang tokoh yang amat hebat, Yu Lian sudah memiliki perasaan, bahwa musuh mereka sangat mungkin bisa kembali selamat. Maklum, kedatangan bala bantuan dari pihak lawan akan berakibat datangnya gangguan bagi pertarungan mereka dan sekalian sebagai bantuan bagi lawan-lawan mereka. Karena perasaan tersebut, Yu Lian memperhatikan lebih cermat pertarungan kakaknya Yu Kong melawan Si Tiok Gi dan menemukan kenyataan kakaknya pada dasarnya sudah mendesak lawan itu, namun tetap saja bukan hal mudah untuk segera menang. Karena itu, dengan rasa dendam dan juga marah yang sudah lama bersarang dalam hatinya, membuat dia mengambil keputusan cepat: "toch engkau membokong orang tuaku, sekali ini, biar engkau merasakan hal yang sama....." dalam waktu yang singkat, Yu Lian sudah mengambil keputusan dan bersiap segera menjalankan rencananya. Dan pada saat Dewi Alehai memasuki arena pertempuran Mo Hwee Hud melawan Panglima Arcia, kesempatan itupun diperoleh Yu Lian. Yu Lian tidak ayal melihat peluang terbuka baginya untuk mengakhiri kehidupan musuh keluarganya.
Tepat pada saat itu, Yu Kong menyerang menggunakan ilmu Ceng Hwee Ciang dan dalam jurus Boan thian kok hay (mengelabuhi langit menyeberangi samudra). Serangannya itu tidak dilawan oleh Si Tiok Gi yang segera memilih untuk menghindar dengan jurus Ku ing heng hui (Burung manyar terbang sendiri), pilihan jurus menghindar yang memang sangat tepat. Tetapi, pada saat itu, dia malah menghindar kearah Yu Lian yang justru pada saat itu sudah memutuskan untuk membantu kakaknya. Yu Lian yang khawatir kedatangan Dewi Alehai kembali bakalan menyelamatkan posisi Si Tiok Gi yang sedang menghadapi pengadilan mereka sudah siap. Maka, tanpa berpikir panjang lagi, dia segera menyambut lawan yang berkelit kearahnya dengan sebuah jurus Ki hong teng ciat (burung hong terbang ular membelit). Dia tidak perlu berpeluh, karena seperti sudah diatur, Si Tiok Gi melayang ke posisi atau kearahnya dan dalam keadaan yang kosong tanpa perlawanan. Benar-benar seperti domba yang dibawah ke pembantaian, disodorkan kepadanya untuk segera dieksekusi. Dan dia dengan tidak ragu, dan malah senang melakukannya dengan jurus yang mematikan.
Betapa terkejutnya Si Tiok Gi ketika merasakan pukulan panas atau tepatnya luar biasa panasnya menyerang dari arah belakang, arah dia berkelit dengan manis dari terjangan pukulan Yu Kong. Dia sadar sudah tidak mungkin dia mengelak lebih jauh lagi, amat terlambat, tetapi jika seekor semutpun berusaha keras menyelamatkan nyawanya, apalagi seorang manusia seperti Si Tiok Gi. Dengan cepat dia berusaha mengelak dalam gerakan yang tergesa-gesa jurus Ciong hay kui cu (sisa mutiara didasar samudra), meski dia tahu akan sia-sia, tetapi tinggal itu yang dapat dia lakukan. Repotnya, pada saat yang bersamaan Yu Kong juga menerjang lagi dengan jurus Nuh-siau sam-kang (badai keras melanda sungai), yang terus usaha mengejar dan memburunya. Dan pada saat itulah Si Tiok Gi sadar bahwa jalannya sudah tertutup dan nasibnya sudah ditentukan:
"Bukkkkkk .......... bukkkkkkk ...."
"Aaaaarrrrrccccchhhhhhhhhhh ......."
Dua pukulan berat menerjang Si Tiok Gi, pukulan Yu Lian dari belakang dan juga disambut sebuah pukulan lain dari Yu Kong dari depan. Kedua pukulan itu dengan telak menghantamnya di dada dan punggung, dan kedua pukulan itu bagaikan menyediakan pukulan yang sekedar disodorkan dan punggung serta dada yang datang menumbuknya. Akibatnya sudah tentu hebat dan hanya teriakan ngeri yang menjadi tanda bahwa dengan itu, orang yang terpukul telah itu, melepas nyawa dalam ketakberdayaan. Dia sadar bahwa nyawanya sudah diujung tanduk dan tak akan mungkin dapat dia hindari lagi jemputan dari alam kematian. Memang begitu, kematiannya Si Tiok Gi ditandai dengan luka parah, darah yang menghijau dan kehitaman dan mata yang melotot penasaran, tanda bahwa dia tidak rela menerima kematiannya pada saat itu. Tetapi, kematiannya itupun, sebenarnya adalah karma yang memang harus dia bayar dengan menghancurkan keluarga kakak beradik yang menghadiahinya masing-masing satu pukulan berat dari Ilmu Ceng Hwee Ciang. Maka tamatlah riwayat Si Tiok Gi dan pemberontakannya atas Hong Lui Bun, tugas Yu Kong dan Yu Lian, juga tuntas di Tionggoan. Balas dendam berhasil dan juga pembersihan mereka atas Hong Lui Bun berhasil.
Tetapi, tidak di pihak lain. Kematian Si Tiok Gi membuat Dewi Alehai melengak dan merasa murka karena dia terlambat menyadari bahwa seorang sekutu kuat lainnya sedang terdesak. Dan yang membuatnya marah adalah, dia terlambat bertindak untuk membantu dan menyelamatkan kawan mereka itu. Terlebih murka karena dia juga melihat bahwa tubuh kaku atau mayat kaku Lu Kun Tek dan Mo Put Siu tergeletak dekat dengan tubuh Si Tiok Gi. Tanda bahwa Hong Lui Bun sekutu mereka, sudah tamat ditinggal tokoh-tokoh utama yang selama ini mengendalikan beberapa orang pengikut asal daerah perbatasan itu. Tetapi, Dewi Alehai cukup paham, jika dia tetap berkeras melakukan perlawanan, posisinya bisa terjebak di kerumunan pertarungan yang ruwet dan saling libas itu. Apalagi, dia sendiri dapat melihat, bahwa ada banyak tokoh hebat di pihak lawan.
Maka dengan menahan amarahnya, diapun segera berkata kepada Mo Hwee Hud yang terus bertarung hebat melawan Panglima Arcia:
"Mo Hwee Hud, mari sebelum semuanya terlambat, beberapa orang kawan kita, yang justru pemimpin sudah jatuh di tangan mereka. Binasa......" sambil berkata demikian Dewi Alehai menggeram dan nampaknya seperti sebuah isyarat bagi semua anak buah mereka disekitar tempat itu.
Dam memang seperti itulah jadinya. Tiba-tiba, menyerbu masuk arena, banyak anak buah Bu Tek Seng Pay, termasuk semua Pasukan Robot dan menyerbu masuk ke arena. Dan itu memberi peluang dan waktu bagi Mo Hwee Hud dan Panglima Arcia untuk sejenak berpisah karena banyak orang yang masuk dan mengganggu arena tarung mereka. Bisa jadi demikian, karena memang Mo Hwee Hud sendiri mulai mengurangi intensitas kehebatan serangannya, dan Panglima Arcia juga tidaklah terlampau bernafsu membunuh Mo Hwee Hud. Yang menjadi target utama mereka bukanlah seorang Mo Hwee Hud, melainkan Geberz, tokoh lawan lainnya yang lolos dan mencuri beberapa pusaka dari Persia. Repotnya, sampai saat itu, mereka, Liga Pahlawan Bangsa Persia, belum menemukan jejak Geberz.
Pada akhirnya, serbuan masuk anggota Bu Tek Seng Pay memisahkan banyak pertarungan antar tokoh. Tetapi, terjangan masuk pasukan baru itu, beberapa, utamanya Pasukan Robot, menerjang tanpa takut terluka dan bertarung cukup hebat. Tetapi mereka yang lain, yaitu Utusan Pencabut Nyawa, justru masuk untuk membawa nyawa mereka jadi korban. Dalam waktu singkat, suasana dan arena mereka menjadi ribut dan kembali tidak beraturan, dan ketika pertarungan mereka semakin meningkat panas dan seru, tokoh-tokoh utama pihak Bu Tek Seng Pay ternyata sudah menghilang. Dan hal yang sama terjadi di arena pertempuran Liok Kong Djie melawan Kim Jie Sinkay dan juga arena lainnya. Tokoh-tokoh lawan menghilang dengan cepat, dan ini membuat arena pertempuran selanjutnya menjadi seperti arena pembantaian belaka.
Meskipun ditinggal tokoh-tokoh utama, tetapi jumlah pasukan Bu Tek Seng Pay memang jauh lebih banyak, sehingga pihak musuh tetap tertahan langkah mereka untuk merangsek masuk ke dalam markas lawan lebih jauh lagi. Dalam waktu singkat, semua tokoh lawan menghilang dari arena, dan hal ini mempermudak pihak penyerang dalam menghadapi dan mengalahkan serta bahkan membantai pihak bertahan. Pintu Gerbang markas yang ditinggal para pemimpin kecuali anak buah mereka, mempertontonkan betapa anak buah mereka, memang hanya "alat" dan hanya diperlakukan sebagai "pion berlindung". Semua tokoh mereka, kecuali yang terbunuh di arena, sudah berlalu dan pertarungan berat sebelah terus terjadi dan jelas korbanpun terus ebrjatuhan. Hanya saja, karena banyaknya pasukan lawan yang bertahan mati-matian, membuat proses penyerbuan masuk kedalam markas juga makan waktu lama.
Kembali ke arena dimana Siauw Hong dan Kwa Siang sedang bertarung, setelah sekian lama Dewi Alehai pergi, Bu Tek Seng Ong kemudian mengangkat lengannya dan berseru dengan suara keras:
"Serang mereka yang tersisa......"
Dua orang yang selama ini berjaga disisi kiri dan kanannya, yakni kedua Panglima Pasukan Robot segera bergerak. Hanya saja, terlihat perbedaan mereka dengan anggota pasukannya, yakni keduanya bergerak jauh lebih gesit dan lebih cepat, tidak sekaku anggota pasukan robot yang hanya mengandalkan kekebalan belaka. Kedua tokoh mereka, bergerak cepat dan angin pukulan mereka jauh lebih kuat ketimbang Pasukan Robot yang berada di bawah komando Jamukha dan sedang bertarung melawan Pahlawan Bangsa Persia di pintu masuk lembah mereka. Tapi itu berarti kedua tokoh itu memang hebat dan layak menjadi Pemimpin Pasukan Robot yang terkenal susah dilukai.
"Tio Sumoy, tahan, engkau melihat keadaan, biar aku yang maju untuk menandingi mereka berdua. Perhatikan secara seksama semua arena, juga lindungi Siauw Hong dan Siang Heng disana...." Khong Yan menahan lengan Tio Lian Cu yang sudah mau bergerak untuk maju menandingi kedua Panglima Pasukan Robot itu. Dan sepertinya, sejak 3 orang pengawalnya menghilang atau digondol pergi Lam Hay Sinni, maka Bu Tek Seng Ong kini sudah memilih Pemimpin Pasukan Robot dan mengalihkan tugas mereka untuk menjadi Pelindung disisinya. Pilihan yang cukup masuk di akal, selain Pemimpin pasukan Robot cukup lihay, juga karena pada saat itu ketersediaan waktu yang terbatas. Bu Tek Seng Pay sedang menuju pertarungan melawan pihak pendekar yang marah dan kini sedang mengepung markasnya. Maka memilih yang tersedia, adalah pemimpin pasukan robot yang cukup pantas untuk mendampingi pemimpin mereka.
Khong Yan agak kaget, karena berbeda dengan Pasukan Robot lain, kedua lawan yang dia hadapi ini, bergerak dengan kecepatan hebat dan kekuatan pukulan yang juga sama hebatnya dan jauh melampaui anggota mereka. Jelas masih jauh lebih cepat dan jauh lebih kuat jika dibanding Pasukan Robot yang dia hadapi sebelum-sebelumnya. Mereka ini berbeda dengan Pasukan Robot lainnya, tidak saja hanya dengan mengandalkan kekebalan baju besi mereka belaka, tetapi juga memiliki kemampuan menyerang dan bertahan yang cukup hebat. Tetapi, sayangnya mereka menghadapi Khong Yan, seorang tokoh muda yang juga sangat hebat, digdaja dan sudah tentu pilih tanding. Apalagi karena iweekang dan gerakan Khong Yan, justru sudah disempurnakan oleh Koay Ji (dan juga Thian Liong Koay Hiap). Hal ini yang membuat Khong Yan ini bukan lagi sekedar pemuda sakti pilih tanding seperti sebelumnya. Karena ketika harus melawan tokoh-tokoh hebat lawan, dia sudah punya kepercayaan diri dan kemampuan yang cukup memadai. Itu pula sebabnya Khong Yan memiliki keyakinan atas dirinya ketika memasuki markas lawan dan tetap berdiri tenang di tengah kepungan musuh.
Menghadapi keroyokan kedua tokoh Pasukan Robot, dia tidak menjadi gugup, tapi memainkan sekaligus menjajal kekuatan pukulan lawan dengan kekuatan iweekang yang memang menjadi inti kemampuannya. Penguasaanya atas iweekang mujijat perguruannya, yakni Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang, yang diwarisi dari Suhunya sudah jauh lebih sempurna lagi. Apalagi karena Koay Ji berkali-kali mengajar dan sekaligus membimbingnya untuk dapat melangkah setapak lebih maju dari waktu ke waktu. Karena itu, dengan penuh percaya diri dia menyambut pukulan hebat kedua lawannya dan mudah saja dia memelesetkan pukulan mereka dan segera dia tahu dan paham sampai dimana gerangan tingkat kekuatan iweekang kedua lawannya itu. "Hmmmm, memang sudah cukup hebat, tapi jelas masih amat jauh untuk bisa dan dapat menandingiku......" desisnya dalam hati.
Dan memang, kehebatan mereka bukan di iweekang, meski juga sudah cukup tinggi dan cukup hebat dibanding pasukan pimpinan mereka. Tetapi, pukulan Khong Yan yang sering mampu menyelinap dan memukul mereka berdua, masih tetap tidak mendatangkan efek apapun, dan tetap saja keduanya terus memukul dan mencecar Khong Yan. "Hebat, mereka memang berbeda dengan yang lainnya...." desis Khong Yan dalam hati, namun tidak berkecil hati. Karena dengan paham kemampuan dan keistimewaan lawan, kini dia lebih mampu mengerahkan tenaga dan kekuatan untuk mencecar dan mencari tahu kelemahan kedua lawan yang mengerubutinya dengan ketat itu. Apakah kelemahan mereka sama dengan pasukan pimpinannya ataukah masih punya titik lemah yang lain"
"Awas,,,,,," teriak Khong Yan memberi peringatan kepada lawannya setelah dua kali dia melangkah menghindar dengan Ilmu Thian Liong Pat Pian dan dengan amat cepat memukul balik dalam jurus Oh jiau kui hun (mencakar mampus sukma gentayangan). Kedua kepalan lengannya membentuk segitiga menajam diujung telunjuknya dan kemudian mencecar kedua lawannya dengan pukulan-pukulan hebat dari Ilmu Tam Ci Sin Thong. Dia sudah paham dan mempelajari kelemahan Pasukan Robot dari Koay Ji, dan karena itu juga dia paham, bahwa untuk memukul lawan seperti itu, membutuhkan ilmu totok istimewa. Dan kebetulan, dia menguasai Tam Ci Sin Thong yang hebat, selain Kim Kong Ci dari Suhunya. "Apakah akan bisa memukul dan menyakiti mereka...?" desisnya dan segera mencoba untuk melihat dan memastikan hasilnya.
Kedua lawannya terkejut ketika dari jemari dan bentuk segitiga kepalan lengan Khong Yan mengalir dengan cepat menyerang mereka selapis kekuatan yang amat tajam dan membuat tubuh mereka yang terlindung, tetap saja merasa kesakitan. Dan mereka mulai kalang kabut ketika Khong Yan selanjutnya mencecar mereka di sambungan-sambungan tulang, yang mereka paham merupakan area yang tidak terlindungi dan menjadi titik kelemahan mereka. Tetapi, keduanya tidak kalah aksi dan strategi, karena dengan cepat mereka berdua bekerjasama, menanggulangi pukulan lawan dengan cara bergantian. Jika kawan yang diserang, maka kawan yang satunya akan cepat menerjang Khong Yan secara hebat, begitu seterusnya karena Khong Yan memang tidak menyasar kedua lawannya sekaligus. Dia mesti memilih sasaran-sasaran khusus berhubung tidak semua bagian mematikan di tubuh lawan bisa dia serang dan mendatangkan efek.
Pada akhirnya, kedua lawannya yang mulai belajar bekerjasama dan ternyata cukup mampu menanggulangi semua serangan berbahaya Khong Yan. Bahkan, beberapa kali, mereka bisa memukul mundur Khong Yan dan secara berbareng balas untuk balik menyerang. Hanya, dengan Ilmu Langkah ajaibnya, Khong Yan bisa dan mampu menghindar, malah kemudian dengan cepat mencecar kedua lawannya sampai terdesak mundur kembali. Khong Yan kini merasa yakin, bahwa sama saja seperti pasukan robot lainnya, kelemahan kedua pemimpinnya juga berada pada titik sambungan tulang. Dan karena itu, meski lawan sesekali bisa mendesaknya dengan bekerja sama, tetapi tidak merasa gembira. Kelemahan lawan sudah dia kantongi dan tinggal mengkondisikan mereka dalam keadaan sulit untuk slaing membela diri dan kemudian mengalahkan mereka.
Dengan pengetahuan itu, kini makin jelas Khong Yan menguasai arena, dan karena itu diapun tidak lagi sepenuhnya terus mengejar kedua lawannya itu. Tetapi masih sempat-sempatnya memberi perhatian atas perkembangan di semua arena yang lain. Termasuk mengawasi posisi Tio Lian Cu yang sedang mencermati arena tarung Kang Siauw Hong melawan Geberz dan terlihat oleh Khong Yan, bahwa Kang Siauw Hong agak terdesak oleh lawan tuanya yang memang hebat. Tapi dengan senang dia juga melihat bahwa Bun Kwa Siang tidak berhalangan meski berkali-kali terkena pukulan hebat dari lawannya. Sementara khusus untuk Kang Siauw Hong, dia masih mampu bertahan dengan secara baik meskipun sebetulnya sedikit agak terdesak oleh gempuran-gempuran Geberz.
Memang, pertempuran Geberz dan Kang Siauw Hong mulai berat bagi Siauw Hong karena Geberz kelihatannya sudah semakin paham bahwa gadis itu memang masih belum lama berlatih dan terutama sangat kurang atau minim pengalaman tempur. Hanya, karena paham dan yakin bahwa adanya baik Sie Lan In maupun Koay Ji yang terus mengawasi mereka, membuat Khong Yan tetap merasa besar hati, meski banyak lawan yang mengepung mereka. Padahal, di pihak Siauw Hong sendiri, meski lebih sering terdesak, tetapi semakin paham dia dengan ilmu geraknya, dan lama kelamaan diapun lebih banyak bersandar kepada ilmu mujijat tersebut. Tetapi, pada saat itu, Kang Siauw Hong mulai menimbang-nimbang untuk balik menyerang dengan ilmu pukulan andalan yang diajarkan Koay Ji beberapa hari sebelumnya. Dan dia percaya dengan keampuhan ilmu itu.
"Jangan kaget, gadis misterius dari Lembah Cemara yang luput dari perhatian kalian itu masih menyimpan potensi yang sulit kita perkirakan...... dia masih memiliki ilmu dan pegangan lain yang dahsyat. Kalian harus tetap berhati-hati dengannya, dia tidak selemah yang kalian kira" suara itu menyelusup masuk ke telinga Bu Tek Seng Ong dan terlihat dia sedikit melengak mendengar apa yang disampaikan kepadanya itu. Dan ketika akhirnya dia memperhatikan gelagat Kang Siauw Hong di lapangan, diapun manggut-manggut dan paham dengan sendirinya. Meski terdesak, Siauw Hong masih tetap tenang dan terlihat seperti sedang berpikir keras untuk melakukan sesuatu yang masih belum bisa mereka tebak apa itu. Kelihatannya perkataan yang disampaikan ke Bu Tek Seng Ong adalah benar, yakni bahwa Siauw Hong sedang mempersiapkan sesuatu dalam pertempuran itu. Entah apa, atau apa cukup hebat untuk menggempur Geberz"
Dan memang betul, pada saat itu Kang Siauw Hong mempertimbangkan untuk menyerang lawannya dengan menggunakan Ilmu Hian Bun Sam Ciang. Salah satu ilmu untuk menyerang yang amat dahsyat dan pernah diperagakan oleh Koay Ji sewaktu melawan Phoa Tay Teng yang hebat mujijat. Tetapi, karena Siauw Hong masih menghiraukan pesan Koay Ji, maka dia terpaksa menahan diri untuk terus bertahan saja dengan ilmu geraknya yang sulit ditembus oleh Geberz. Sesekali dia menyerang balik guna bisa memunahkan serangan Geberz dengan Ilmu Ci Liong Ciu Hoat (Ilmu Mengekang Naga). Dan satu saat, Saiuw Hong justru maju ketika Geberz menggempurnya dengan jurus Kim ciam teng-hay (paku emas memantek samudra) yang mengincar titik-titik berbahaya di tubuhnya. Dan majunya secara tiba-tiba, justru mengejutkan Geberz yang mengira Siauw Hong menyongsong jurus pukulannya dan punya maksud lain.
Geberz yang justru khawatir, mengira ada gerakan aneh dan mujijat lain dari Siauw Hong. Maklum, sudah berkali-kali kejadian dimana Siauw Hong lolos dan menyerang dia balik secara hebat, padahal posisi sebelumnya sudah sangat sulit. Siauw Hong yang maju menyerang menyongsong jurus pukulan lawan menggetarkan Geberz. Dia dengan tidak gentar menerobos maju dengan jurus Im wu kim kong (Cahaya emas dibalik kabut). Dia balik menotok baik lengan Geberz maupun juga dua titik berbahaya di kepala Geberz yang otomatis membuyarkan serangannya kearahnya dan melangkah maju karena belum mengena gerakan totokan Siauw Hong. Dalam waktu seketika Geberz bertindak menghindar, takut efek jurus aneh dan berbahaya yang dilepas Siauw Hong nantinya.
"Hmmm, ternyata dia masih menyimpan banyak gerakan lain yang cukup membuat Geberz pusing..... gadis itu sungguh misterius..... dan sangat menarik" kembali terdengar desisan suara di telinga Bu Tek Seng Ong yang mengangguk-angguk tanda setuju dengan suara tersebut. Memang benar, Siauw Hong sangat misterius terutama dalam kemampuan dan juga jurus-jurus tambahan yang lebih aneh dan dahsyat, tepat waktu dan sasaran yang dipilih secara baik. "Siapa yang melatihnya, dan juga bagaimana mereka melatihnya....?" benar-benar pusing Bu Tek Seng Ong dan kaumnya memikirkan dan menebak-nebaknya. Padahal, si pengirim suara dari belakang Bu Tek Seng Ong, juga sama penasarannya dan memperhatikan cara bertarung Siauw Hong secara teliti.
Dalam keadaan seperti itu, Bu Tek Seng Ong merasa ada sesuatu yang luar biasa terjadi di belakangnya, di tempat dimana tokoh yang selalu membisikinya sesuatu berada. Dan tanpa menoleh dia sudah tahu dan sudah paham apa atau siapa yang datang dan berada di belakangnya. Tidak banyak orang dan tokoh yang mampu berada dan bergerak di belakangnya tanpa dia mampu ketahui, baru akan dia tahu jika melakukan gerakan. Dan tokoh yang datang barusan, dia yakin betul adalah tokoh mujijat yang dikenal dengan nama RAJMID SINGH. Dan tanpa terasa mulut dan bibirnya mengembang seulas senyuam. Bahkan dia terlihat mulai menimbang untuk mengeluarkan perintah yang lain setelah kembali melakukan analisa atas medan tempur saat itu.
Tetapi, dia semakin gembira karena beberapa menit kemudian, muncul tokoh-tokoh lain disitu, Mo Hwee Hud dan Tam Peng Khek, dan susul-menyusul datanglah tokoh tokoh utama Bu Tek Seng Ong. "Kini sudah saat yang tepat untuk menangkap orang orang itu, kekuatan sudah lebih dari memadai meski harus dilakukan secepatnya karena bantuan mereka pasti akan cepat merembes datang...." desis Bu Tek Seng Ong yang kemudian mengambil keputusan cepat. Dia menunggu semua berkumpul di sekitar arena perkelahian pada saat itu, dan kemudian menengok ke belakang dan melihat seorang sesepuh di belakang menganggukkan kepalanya. Sebuah tanda persetujuan bahwa serangan yang menentukan sudah boleh dia perintahkan karena semua sudah siap, mereka sudah siap.
?"Tangkap mereka,,, lakukan secepatnya. Tetapi ingat, tangkap hidup-hidup. Jangan sampai ada yang meloloskan diri...."
Terdengar seruan Bu Tek Seng Ong sambil memandang Mo Hwee Hud agar turun arena menyerang Tio Lian Cu yang masih berpangku tangan di tengah arena. Dan Mo Hwee Hud yang memang masih sangat gatal tangan karena sedang asyik-asyiknya bertempur melawan Panglima Arcia tapi tiba-tiba dia harus tinggalkan, tidak menunggu lama untuk tampil dan langsung mengincar Tio Lian Cu. Tentu saja dia dengan cepat disambut oleh Tio Lian Cu dan segera terjadi pertempuran hebat dan menambah arena menjadi 4 arena pertarungan. Dan Mo Hwee Hud menjadi kaget kembali, karena kini Tio Lian Cu entah mengapa sudah memiliki kemampuan untuk mengimbanginya dan tidak agi terlihat agak terdesak atau merasa berat lagi melawannya seperti dahulu-dahulu.
Serangan-serangan hebat dengan kekuatan iweekang Mo Hwee Hud kini dapatlah dengan baik diladeni Tio Lian Cu. Bukan hanya itu, langkah dan gerak bertahan Tio Lian Cu juga sangat hebat dan sering membuat Mo Hwee Hud dari pihak menyerang tiba-tiba menjadi pihak yang didesak dan terserang. Hal yang membuatnya menjadi sangat penasaran dan lupa bahwa lawannya adalah seorang gadis dan masih muda pula. Pertarungan keduanya dengan cepat meningkat hebat dan semakin hebat karena baik Mo Hwee Hud maupun Tio Lian Cu bertempur sengit untuk menyerang dan menaklukkan lawan. Dan untuk itu, mereka harus bertarung dengan atau dalam kemampuan puncak dan mengerahkan iweekang ke tataran yang tinggi.
Tio Lian Cu jelas sadar, bahwa lawan-lawan yang mengepung adalah lawan-lawan berat, dan dia yakin bahwa Koay Ji berada di sekitar arena tersebut. Oleh karena itu, dia merasa bebas dan percaya diri untuk melakukan perlawanan ketat dan membuat Mo Hwee Hud merasa penasaran. Bagi Mo Hwee Hud sendiri, entah mengapa dia merasa semakin tua dan semakin banyak tokoh yang mampu mengimbanginya. Dan karena itu, dia bertekad untuk mengalahkan lawan dan memulihkan kepercayaan atas kemampuannya dan juga, kepercayaannya atas dirinya sendiri. Wajar jika dia kemudian bertarung secara serius dan mengincar kemenangan atas Tio Lian Cu yang dia tahu adalah salah satu tulang punggung lawan yang menyerang Markas mereka pada hari itu.
Saat itu, baik Kang Siauw Hong yang melawan Geberz dan sedikit terdesak; Bun Kwa Siang yang berkelahi santai melawan Pek Bin Hwesio dan barisan Pek Lian Pay; Khong Yan yang mendesak kedua Panglima Pasukan Robot; dan juga Tio Lian Cu yang melawan Mo Hwee Hud - berarti bahwa mereka semua, keempat anak muda itu sudah terlibat pertarungan hebat. Meski arena Siauw Hong adalah yang paling lemah, tetapi dia tidak akan kalah dalam waktu singkat, bahkan sesekali dia masih mampu mendesak mundur Geberz. Tetapi, keadaan seperti itu jelas tidak akan berlangsung sangat lama karena pengalaman seorang Geberz yang memang jauh lebih banyak dan sangat luas. Selain itu, Geberz masih merasa penasaran dengan jurus dan gerakan-gerakan Siauw Hong yang jelas berasal dari perguruan mereka, perguruan anak murid Pat Bin Lin Long. Kepenasarannya itu membuatnya terus memancing Siauw Hong bergerak dan menyerang.
Bu Tek Seng Ong pada sisi lain paham, bahwa mereka harus bergerak cepat dan karena itu, dia akhirnya berbalik memandang dua tokoh mujijat yang berada atau tepatnya berdiri di belakangnya. Jelas dia bermaksud meminta pertimbangan kedua orang itu agar musuh, keempat anak muda itu dapat dijinakkan secepatnya karena mengingat Markas sudah kesusupan musuh. Bahkan, pintu gerbang konon sudah hancur dan musuh akan mulai memasuki Markas meski masih tetap tertahan oleh beberapa jebakan alam yang mereka buat, dan juga banyaknya anak buah mereka yang terus bertahan. Terlihat Bu Tek Seng Ong berpaling ke belakang dan tidak lama kemudian mereka terlibat dalam percakapan yang cukup serius, dan Bu Tek Seng Ong mengangguk-angguk. Keputusan sudah mereka ambil, dan kelihatannya ada strategi lain yang akan mereka lakukan, jelas akan melibatkan tokoh-tokoh utama di pihak mereka. Dan apa gerangan yang akan mereka lakukan sehingga terlihat mereka sangat serius"
Tetapi, pada saat mereka bercakap-cakap serius itu, sesuatu di arena pertarungan terjadi dan merubah situasi dan kondisi pertempuran di arena. Apa gerangan yang terjadi pada saat itu...."
Adalah Koay Ji yang turun ke arena setelah menugaskan Sie Lan In melakukan tugas yang lain melihat arena yang semakin berbahaya dengan datangnya lawan lawan hebat. Tokoh-tokoh utama Bu Tek Seng Ong, dan terutama setelah Koay Ji melihat kedua tokoh mujijat yang telah sama berdiri di belakang Bu Tek Seng Ong sudah akan terlibat. Sadarlah Koay Ji bahwa pertarungan pamungkas akan segera berlangsung, dan karena itu dia segera menugaskan Sie Lan In guna melakukan persiapan. Tetapi, dia sendiri sudah memutuskan turun tangan tepat ketika Bu Tek Seng Ong bercakap-cakap dengan kedua manusia mujijat di belakangnya. Koay Ji merasa dia harus segera turun dan membantu kawan-kawannya untuk bertahan dari gempuran pihak lawan yang bakalan hebat.
Koay Ji memilih saat itu, karena konsentrasi kedua tokoh mujijat itu terganggung oleh percakapan mereka dengan Bu Tek Seng Ong. Waktu itulah dia kemudian berkelabat memasuki arena dan langsung menyerang Geberz dengan serangan yang hebat. Serangannya yang penuh kekuatan iweekang membuat Geberz merasa kaget dan karenanya mampu mengundurkan tokoh itu yang menghindar lompat ke belakang. Saat itu, Koay Ji kemudian langsung menyerang Mo Hwee Hud yang juga samat kaget dan mundurkan diri berdekatan dengan posisi mundurnya Geberz dan keduanya segera bersiap melakukan perlawanan lebih jauh. Mundurnya mereka kelihatannya memang disengaja oleh Koay Ji, karena dia tidak mengejar keduanya, sebaliknya dia segera memilih berdiri sejajar diantara keempat kawannya dan kemudian diapun segera berkata:
"Sahabat-sahabat, kita sedang menghadapi semua tokoh utama Bu Tek Seng Pay yang sudah mundur masuk ke kandang mereka sendiri. Khong Sute, berdiri di sisi kanan, Tio Ciangbudjin engkau berdiri di sisi sebelah kiriku. Bun Kwa Siang, engkau berjaga di belakang, pukul sekuatnya siapapun yang mendekat, dan jangan takut menggunakan ilmu ajaranku. Hong moy, engkau berdiri di sisiku, kita akan bekerja dan melawan semua musuh secara bersama dan jangan berdiri terlampau jauh dari arena kita bekerjasama melawan mereka........"
Selepas perkataan Koay Ji, Khong Yan, Tio Lian Cu, Bun Kwa Siang dan si nakal Kang Siauw Hong segera menempati posisi yang dimaksud. Bahkan Siauw Hong yang biasanya nakal, kali ini sudah maklum, bahwa kakaknya sedang bekerja dan jelas nampak sangat serius. Tidak seperti biasanya kakaknya seserius itu, dan jika sudah dalam keadaan serius, maka diapun agak sedikit was-was untuk ermain-main. Karena itu, dengan tidak ragu dia berdiri berdampingan di sisi kakaknya itu, dan saat itu dia mendengar suara Koay Ji yang dibisikkan kepadanya dengan ilmu menyampaikan suara yang hanya dia yang paham:
"Jika memang harus, jangan takut melepas ilmu-ilmu ajaran toako, kita berhadapan dengan musuh-musuh hebat...."
"Baik Toako......."
Sementara itu, melihat munculnya Koay Ji, Rajmid Singh sudah langsung paham bahwa lawan berat mereka sudah munculkan dirinya. Dan diapun tertawa terkekeh kekeh dan kemudian berkata:
"Hohoho, ternyata andalan lawan-lawan kita hanyalah anak semuda ini,,,,,, tidak akan sulit kita menaklukkan mereka semua......" suaranya terdengar seperti seekor kucing kejepit, nyelekit dan tidak enak di kuping.
"Memang tidak sulit, dan saking mudahnya, engkau terbirit-birit dari pintu gerbang sana..... hahahaha, ilmu sihir dan jebakan sihirmu tidak akan mempan orang tua. Dan engkau Bu Tek Seng Ong, sudah waktunya engkau menghentikan perbuatan laknatmu dan kemudian mempertanggungjawabkannya dihadapan seluruh pendekar Tionggoan. Korbanmu sudah terlampau banyak, maaf jika kami harus turun tangan kejam atas dirimu nantinya....."
"Hahahahahaha, sungguh berisi, sungguh berisi......" terdengar pujian Bu Tek Seng Ong, tokoh yang berada dibalik semua kekisruhan, terror, pembunuhan serta juga pertikaian berdarah di daratan Tionggoan selama beberapa saat belakangan ini. Dia tidak terdengar takut, tetapi penuh percaya diri dengan apa yang dia lakukan dan apa yang akan dia kerjakan nanti. Kelihatannya, keberadaan dua tokoh yang berdiri di belakangnya membuatnya menjadi percaya diri dan karena itu dia tidak terlihat sangsi ataupun takut dengan semua yang terjadi.
"Jika dapat menangkap mereka berlima, selesailah pertarungan melawan mereka yang pongah menyebut pembela keadilan. Serang mereka......" perintahnya sambil menggerakkan tangan sebagai tanda agar serangan segera dilakukan pada saat itu juga. Genderang perang sudah ditabuh.
"Mo Hwee Hud dan Sam Boa Niocu menyerang dari kanan, Geberz dan Jamukha menyerang dari kiri, Liok Kong Djie dan Tiang Pek Paycu Ki Leng Sin Ciang (RaksasaTelapakTanganSakti) Ma Hiong Seng, kalian menyerang dari belakang, tinggalkan saja untuk bagian depannya karena akana da yang akan menanganinya secara khusus..." terdengar komando tambahan dari sang pemimoin Bu Tek Seng Ong yang mengatur orang-orangnya. Secara cepat dan tepat dia membagi tugas dan percaya, bahwa missi mereka akan berhasil. Benarkah" Entah.
Dan seperti yang sudah dikomandokan tadi, nama-nama yang disebutkan segera mengambil posisi, dan hanya dalam hitungan detik, serangan merekapun segera dimulai. Koay Ji paham, bahwa posisi mereka sangat berbahaya, tetapi dengan mereka bertarung saling membelakangi, membuat pertahanan mereka menjadi lebih kokoh dan kemungkinan di keroyok secara massal terhitung sulit. Tetapi, Koay Ji juga paham, bahwa pertarungan seperti itu tidak akan bertahan lama, dan adalah dia yang harus bertanggungjawab atas pertahanan mereka pada saat itu. Berpikir demikian, maka diapun kemudian menggereng dalam nada marah dan kemudian berteriak dalam kekuatan yang amat hebat:
"Arrrrrrrrcccccckkkkkkkkkkk ....."
"Hmmmm, serang dan segera lumpuhkan,,,,, dia memanggil bantuan..." terdengar teriakan Bu Tek Seng Ong yang cukup sadar dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Koay Ji dengan teriakan kerasnya barusan.
Dan benar saja, meskipun sisi paling bahaya adalah bagian belakang yang dijaga oleh Kwa Siang, tetapi Koay Ji sudah memperkirakan bahwa Kwa Siang tidak akan mudah ditembus. Beberapa kali dia berbenturan dengan tidak taku melawan Liok Kong Djie dan bertarung gagah dengan gagah berani. Kekebalanlah yang kemudian membuatnya mampu bertahan meski berkali-kali dia kena terpukul Liok Kong Djie yang kemudian sadar bahwa tidak ada gunanya melawan Kwa Siang dengan tenaga luar. Meski tenaga luarnya sendiri amat hebat, tetapi dia sadar, belum cukup hebat untuk menghadapi si pemuda yang memiliki kekuatan gwakang mujijat. Benturan mereka sampai dua kali, membuatnya terlempar ke belakang karena kalah kuat kekuatan gwakangnya. Begitupun dengan terjangan Ma Hiong Seng, meskipun beberapa kali masuk ke sasaran, tetapi tidak mampu mengapa-apakan Bun kwa Siang yang memang mujijat itu.
Sementara pada bagian kanan yang dijaga oleh Khong Yan, mendatangi dan juga menyerangnya secara kebetulan adalah musuh perguruannya " Mo Hwee Hud yang maju bersama istrinya Sam Boa Niocu. Tetapi, meski gabungan mereka berbahaya, Khong Yang yang berdiri bersisian dengan Siauw Hong dan Kwa Siang meladeni mereka dengan tenang dan hati-hati. Posisinya membuat Mo Hwee Hud dan juga Sam Boa Niocu tidak bisa mencecarnya habis-habisan, dan karena itu, justru adalah Mo Hwee Hud yang lebih serng melawan dan menyerang Khong Yan dengan ilmu ilmu andalannya yang menyeramkan. Hanya, sehebat apapun Mo Hwee Hud, tetap saja semua ilmu hebatnya sudah dikenal oleh Khong Yan yang memang dilatih oleh suhunya secara khusus menghadapi musuh mengerikan seperti Mo Hwee Hud ini. Dan lagi, tambahan ilmu pengajaran Koay Ji, membuatnya menanjak semakin tinggi hingga tidak lagi merasa takut dan khawatir dengan seorang seperti Mo Hwee Hud. Hingga sisi kanan untuk sementara dapat dipertahankan, apalagi Siauw Hong sesekali datang memberi dia bantuan.
Di sisi kiri ada Tio Lian Cu yang kini bisa berhadapan dengan Geberz dan Jamukha hingga hitung-hitungannya akan bisa mendesak lawan. Tetapi, pada akhirnya siapa yang menonton pertempuran sadar, bahwa cara yang dipilih Koay Ji dengan Kwa Siang pada pertahanan pintu belakang, memang sangat hebat. Kwa Siang benar benar menjadi palang pintu belakang yang maha kuat, susah dipukul jatuh, meski untuk itu Koay Ji harus membagi waktu dan perhatian untuk meninjau keadaannya. Beda dengan Khong Yan dan Lian Cu yang memang lebih bisa dipercayainya. Pada kasus Tio Lian Cu, karena Jamukha tidak bisa selalu menyerang, membuat Geberz yang selalu ambil insiatif, tetapi jelas susah mengeroyoknya karena di sisi itu, juga ada Koay Ji yang selalu siaga.
"Rajmid Singh Locianpwee,,,,, sudah saatnya....."
Perkataan Bu Tek Seng Ong diiringi dengan majunya dia ke arena dan langsung menyerang posisi Koay Ji dan Siauw Hong. Sementara saat dia maju ke arena, tokoh yang disebut Rajmid Singh sudah meloncat ke belakang dan kemudian dalam posisi ini dia mulai berkemak-kemik. Jelas apa yang akan diakukan Rajmid Singh sementara Bu Tek Seng Ong kelihatannya sudah memutuskan untuk segera turun tangan, waktu semakin sempit.
Serangan Bu Tek Seng Ong mengarah ke Koay Ji, tetapi Koay Ji sadar bukan tokoh ini yang mesti dia waspadai. Meski demikian, Koay Ji kaget juga karena Bu Tek Seng malah turun tangan sendiri dan dengan mudah dia menangkis serangan itu. Bu Tek Seng Ong memang terasa cukup hebat, masih sedikit lebih hebat dibanding tokoh sekelas Mo Hwee Hud dan Liok Kong Djie, tetapi jelas masih belum mampu menggetarkan Koay Ji. Yang dikhawatirkan Koay Ji bukanlah Bu Tek Seng Ing yang baginya tidaklah terlalu membahayakan. Justru adalah Rajmid Singh yang entah berada di sisi mana sekarang dan tokoh satunya lagi yang belum dapat dilihat oleh Koay Ji secara lebih jelas. Kedua tokoh itulah yang mendatangkan rasa was-was bagi Koay Ji, karena dia paham dan yakin, mereka berdualah tokoh paling hebat di pihak lawan saat ini.
Serangan-serangan Bu Tek Seng Ong dengan mudah ditepis dan dialihkan oleh Koay Ji, tetapi dia kaget karena jurus serangan dan kekuatan iweekangnya, nyaris sama kuat dengan Siauw Hong. Hanya saja, masih lebih terlatih dan lebih lancar dalam mengalirkan serangan demi serangan yang juga segera jelas adalah aliran perguruan Pat Bin Lin Long. "Hmmmm, jelas mereka semua, Geberz, Phoa Tay Theng, Pek Kut Lodjin berasal dari perguruan yang sama" desis Koay Ji. Berpikiran begitu, Koay Ji menjadi lebih tenang. Bukan apa-apa, dia memiliki pengetahuan dan bahkan menguasai secara jelas dan dalam khasanah ilmu silat Pat Bin Lin Long tersebut, malah dalam banyak hal lebih luas dan lebih detail dibanding semua anak murid perguruan tersebut.
Tetapi hal yang membuatnya merasa aneh dan heran adalah, mengapa anak-anak murid tokoh mujijat 200 tahun silam itu justru nyaris semua ada di jalan yang tersesat" Hanya Pek Kut Lodjin dan cucu luarnya yang dia tahu berada di jalan yang sebaliknya. Tetapi, tetap saja dunia persilatan tidak memahami mengapa Pek Kut Lodjin sedemikian kejinya dan mengaduk-aduk rimba persilatan. Kini, setelah Pek Kut Lodjin, 20 atau 30 tahun kemudian, anak murid keturunan Pat Bin Lin Long yang lainnya, turut membawa bencana bagi rimba persilatan. Bencana karena sudah amat banyak korban, sudah ratusan atau bahkan ribuan nyawa melayang secara sia-sia karena ambisi mereka.
Diam-diam Koay Ji menyesalkan kenyataan itu. Dia merasa sayang dengan bakat istimewa dan kemampuan Pat Bin Lin Long yang luar biasa dilanjutkan oleh anak dan cucu muridnya yang berjalan di jalan sesat. Syukur dia melatih sekalian terus menjaga Kang Siauw Hong, turunan tunggal Pek Kut Lodjin, penjahat besar masa lalu yang ternyata adalah korban dari suhunya sendiri. Menjadi boneka kejahatan gurunya dengan cara keji. Maka dengan pengetahuan itu, Koay Ji terus mampu menghalau dan melawan semua serangan Bu Tek Seng Ong dan bahkan sesekali dia mengembalikan serangannya dan membuat tokoh itu terlontar ke belakang dengan hebatnya. Sesekali dia membiarkan Siauw Hong yang menangkis dan menghalau serangan Bu Tek Seng Ong, untuk memberi pengalaman dan juga pengetahuan lain bagi gadis adik angkatnya itu.
Tengah tarung mereka meningkat lebih berbahaya, tiba-tiba yang dikhawatirkan oleh Koay Ji sejak awal muncul juga pada akhirnya:
"Hahahahaha, menyerahlah kalian anak-anak muda yang hebat. Kalian sudah amat kelelahan, lebih baik kalian segera mengaso......."
Jelas, itulah serbuan sihir Rajmid Singh yang amat berbahaya, dan dia harus segera menghadapinya. Dia sendiri dan Kwa Siang masih bisa mengatasi, tetapi dia sadar bisa berbahaya bagi kawan-kawannya yang lain, Khong Yan dan Tio Lian Cu serta juga adiknya Kang Siauw Hong. Mau tidak mau diapun mengerahkan kekuatan sihirnya dan balas membentak:
"Terus bertarung, biarkan siluman busuk asal Thian Tok itu ngoceh tidak keruan, jaga konsentrasi masing-masing......" bentakan mujijat Koay Ji memang bermanfaat, meski sempat membuat kawan-kawannya agak tersentak oleh kekuatan mujijat Rajmid Singh tadinya. Sementara Koay Ji menyerahkan agar Siauw Hong melawan Bu Tek Seng Ong, yang dia tahu meski berat tetapi rada lumayan untuk bertahan beberapa lama dari serangannya. Apa boleh buat, pilihan Koay Ji pada saat itu sudah sangat terbatas.
"Hahahahaha, Ular Besar ini akan segera menelan kalian semua..." luar biasa, ada banyak orang yang tertegun menyaksikan di udara ada seekor ular besar atau malah ular raksasa yang sudah terbentuk dan meliuk-liuk ingin menerkam kelima anak muda yang sedang sibuk bertempur melawan musuh-musuh mereka. Tetapi, semua, yakni Khong Yan, Tio Lian Cu dan Siauw Hong sudah membulatkan tekad dan mengerahkan kekuatan batinnya. Sementara khusus Kang Siauw Hong, karena berada dekat Koay Ji, diapun bisa menerima serangan sihir itu atas sedikit bantuan kakaknya. Tetapi, jelas pertarungahn dan serangan sihir atas mereka mendatangkan pengaruh yang sungguh tidak kecil.
"Hmmmmm, ular mana menang melawan burung raksasa....?" lawan Koay Ji sambil mengerahkan lengannya dan menunjuk ke atas, dan sebentar saja di angkasa jadi sebuah arena tarung mujijat, antara Rajmid Singh melawan Koay Ji. Memang rada untung bagi Koay Ji yang memiliki kekuatan batin dan kekuatan mujijat berdasarkan kejadian istimewa atas dirinya. Lebih dari itu, sejak mengetahui melawan musuh yang berbekal sihir, dia mulai mendalami bagian kitab mengenai sihir yang sudah dia tanamkan di kepalanya sejak masa kecilnya. Khusus melawan ilmu sihir, ilmu hitam dan juga ilmu batin lainnya.
"Ularku lebih besar dan akan memakan burungmu....." terdengar bentakan mujijat Rajmid Singh yang membuat banyak orang kembali merasa seram karena ular besar itu tiba-tiba lebih membesar
"Burung raksasaku tidak akan takut orang tua......"
Pada saat tarung mujijat itu berlangsung, nampak tokoh mujijat yang satu lagi mulai berjalan agak maju memasuki ruang yang cukup untuk dia melakukan serangan. Dia mengincar posisi Koay Ji dan juga Siauw Hong. Dan dia menunggu serangan sihir Rajmid Singh yang lebih hebat untuk membuat Koay Ji lebih sibuk agar dia mampu menyudutkan anak muda itu dan meraih kemenangan dengan lebih cepat. Dia tahu, jika Koay Ji roboh, maka anak muda lainnya akan mudah ditaklukkan dengan sihir mujijat dari Rajmid Singh.
"Awas hujan api akan membakar kalian semua.." kembali Rajmid Singh membentak dengan suara penuh wibawa
"Accccch, hujan es akan menawarkannya,,,,,," dalam ilmu sihir, Koay Ji memang hanya menguasai pertahanan atas ilmu sihir, dan jarang atau kurang mau berlatih dengan menyerang lawan menggunakan ilmu sihir model seperti Rajmid Singh pada saat itu. Tetapi, itu sudah cukup baginya untuk melindingi diri dan melindungi teman-teman yang lain yang sedang bertempur.
"Api akan semakin membesar...... api akan membakar kalian semua....." sambaran api itu, benar-benar membesar dan menyerang Koay Ji dan kawan-kawannya. Tapi pada saat itu, Koay Ji sendiri sudah berkonsentrasi penuh menghadapi ilmu sihir lawan. Karenanya diapun membalas;
"Hmmmmm, api hanya akan melehkan es yang dingin membeku, tetapi tidak akan banyak berarti melawan air yang adalah lawannya...."
Saat tarung sihir mujijat itu berlangsung semakin memuncak, adalah saat yang juga dipilih oleh Bu Tek Seng Ong dan belakangan bergabung si manusia mujijat satu lagi yang langsung menyerang posisi Koay Ji saat itu. Untungnya, meski sedang dalam tarung sihir, Koay Ji masih sempat melihat serangan hebat yang sedang saat itu mengarah ke posisinya. Dan dia kaget serta terkesiap, karena pada saat itu dia harus menahan arus sihir lawan yang maha hebat. Itu berarti dalam seketika, dia harus membagi perhatian, dan mau tidak mau dia mesti menanggulangi terlebih dahulu serangan lawan ke arahnya. Tapi mulutnya masih sempat berteriak dalam bahasa yang tidak dikenal oleh siapapun pada saat itu. Entah suara apakah itu" kelihatannya hanya seorang Koay Ji dan pihak tertentu yang paham dan tahu arti dan makna suara aneh Koay Ji itu.
Dengan cepat Koay Ji menahan serangan lawan meski posisinya agak sulit. Tapi dia enggan berkelit, karena agak bahaya dengan posisi kawan-kawannya yang lain. Karena itu, dengan cepat dia mengerahkan kekuatan iweekang gabungan guna menahan serangan cepat dan membahayakan dari lawannya. Dan kini, baru dapat dia melihat jelas, kakek yang sudah amat tua, mungkin setua suhunya yang sedang datang dan menyerangnya. Dia sadar bahaya, dan karena itu menahan dengan jurus istimewa dari Ilmu Budha, amat jarang atau bahkan belum pernah dia sendiri keluarkan dan kerahkan sebelumnya. Dia lupa dengan janjinya, karena hanya ingat jurus pertahanan Tay Lo Kim Kong Ciang dengan ilmu tubuh bersepuh emas yang tahan bakar dan tahan racun.
"Duk..... Duk..... Duk......"
Terjadi benturan sampai tiga kali, tetapi Koay Ji mundur selangkah sementara lawan yang menyerangnya terlihat kaget karena tidak mampu memukul Koay Ji secara telak dalam serangannya tadi. Bahkan, meski mundur selangkah, Koay Ji kemudian menggunakan ilmu lain, yang dia namai Ilmu Ci Liong Ciu Hoat (Ilmu Mengekang Naga) dengan rumus yang dia buat sendiri menyempurnakan ilmu itu. Sebanyak 3 kali dia menyerang lawan dengan mengarah lengan, pundak dan juga dada kiri lawan sambil tubuhnya doyong ke belakang dan berayun dengan satu kakinya guna menjangkau posisi yang pas dan selanjutnya menyerang lawan.
"Iccchhhh, luar biasa......"
Lawannya terkejut dengan serangan balik Koay Ji, karena mampu mendesaknya dan mau tidak mau dia mundur setengah langkah. Memberi ruang dan waktu yang baik bagi Koay Ji memperbaiki posisi dan kemudian, mereka kini berhadapan dalam posisi bebas, dan setara tanpa ada yang dirugikan. Sementara itu, teriakan khas dan aneh Koay Ji sudah berbuah baik, karena puluhan kera tiba-tiba melacak posisi Rajmid Singh dan langsung melempari tokoh itu dengan buah-buahan dan juga bebatuan. Dalam posisi yang sedang mengerahkan tenaga mujijat, jelas kerepotan besar bagi Rajmid Singh guna menahan gangguan yang sebenarnya kecil itu. Tetapi, gangguan kecil itu sudah menyelamatkan dan bermakna besar bagi Koay Ji dan kawan-kawannya yang sedang bertempur seru. Ilmu sihir kembali lenyap, dan mereka kini bertarung habis-habisan untuk bisa menang.
Kembali terjadi saling serang antara Koay Ji dan lawannya yang sudah amat renta tapi mampu menggedor ilmu iweekangnya secara hebat. Sesungguhnya dia merasa tidak kalah terlampau jauh, hanya tipis saja, adalah terutama kekhasan iweekangnya yang membuat dia mampu bertahan. Sekaligus juga membuatnya tidak amat berat menahan semua serangan lawannya yang maha hebat itu. Keuntungan baginya, karena serangan Rajmid Singh yang membuatnya salah posisi kini agak terhenti gara-gara serangan para monyet. Orang tua itu marah-marah tetapi sulit menyerang pasukan monyet yang berdiri agak jauh di atas pohon, dan terlampau lucu jika dia menyerang pohon gara-gara mau mengusir monyet. Karena itu, diapun bergegas guna mencari tempat yang lebih strategi untuk membantu kawan-kawannya. Tapi, apa lacur, dia kesulitan karena banyak lokasi yang sedang terbakar membara, hingga hanya hutan tadi lokasi yang tepat.
Sementara itu, Koay Ji sudah bisa memperbaiki posisinya meskipun masih tetap dalam posisi terserang lawan dan dia berusaha menetralisasinya. Sama dengan adiknya Siauw Hong yang juga terus menerus didesak Bu Tek Seng Ong dan anehnya, mereka bertarung dalam ilmu yang sama dan jurus-jurus yang sama. Hanya, kematangan, pengalaman dan juga latihan Bu Tek Seng Ong menang jauh, sementara iweekang mereka justru terlihat setanding. Keunggulan Siauw Hong ada pada khasanah jurus dan variasi jurusnya yang jauh lebih tajam, jauh lebih banyak dan jauh lebih bervariasi. Karena itu, tetap saja poisis Siauw Hong terdesak, namun keunggulannya dalam Ilmu Gerak Mujijat membuat dia mampu menghindar semua kesulitan yang didatangkan lawannya. Dan ini membuatnya merasa senang dan mulai merasa percaya diri guna menghindari serangan lawan. Bahkan pada akhirnya, dia jadi senang mengelak dan menghindar dengan ilmu yang sama hingga beberapa puluh jurus lamanya.
Semua arena kini menjadi agak terdesak, terutama Kwa Siang yang kini tinggal mengandalkan kekebalannya saja dan sudah menjadi bulan-bulanan kedua lawan yang terus mencecar dan menyerangnya. Meskipun demikian Bun Kwa Siang tidak mengeluh, tetapi menjadi marah sedikit demi sedikit bahkan emosinya sudah makin meninggi. Apalagi karena saat itu baik Siauw Hong maupun Koay Ji yang biasanya menahan emosinya dan biasanya menyabarkannya, juga sedang sibuk meladeni lawan masing-masing. Akibatnya, lama kelamaan Bun Kwa Siang yang sudah agak emosional mulai agak terpancing menjauh dari posisinya oleh kedua lawannya dan mulai meninggalkan cela yang berbahaya bagi kawan-kawannya. Untunglah meski dogol, tetapi rasa setia kawan dan loyalitas Kwa Siang terhitung luar biasa, dan dia dapat menyadari posisi dan tugasnya. Karena itu, dia masih sesekali berpindah lagi ke posisi pada awalnya, mengawal celah belakang pertahanan mereka.
Pada saat posisi Koay Ji semakin membaik, tiba-tiba kembali terdengar seruan dan juga suara mujijat dari Rajmid Singh:
"Wahai ULAR RAKSASA, terkam dan telan mereka......"
Seruan yang amat aneh dan mujijat ini benar-benar tepat pada saatnya dan mampu mengguncang situasi pertempuran. Koay Ji mau tidak mau harus mengerahkan lagi kekuatan mujijatnya dan memunahkannya sambil membentak keras:
"Naga Raksasa akan mengejar kemanapun engkau pergi,,," bentakan sihir Koay Ji memang mampu menandingi kemampuan sihir Rajmid Singh dan bahkan untuk sesaat mengembalikan semangat kawan-kawannya dan memukul. Tapi, bayarannya cukup mahal bagi Koay Ji, karena tiba-tiba lawan mujijatnya sudah mencecar dia kembali dengan hebatnya. Posisi baik yang secara susah payah diraih oleh Koay Ji, kembali menguap dan dia kembali terperosok dalam kondisi yang sangat buruk dan berbahaya, bahkan sebuah sentilan ringan lawan sempat mengenai pundaknya dan dia merasa cukup terganggu meski luka itu ringan saja. Dan repot, dia tidak dapat segera mengobati dirinya dan masih harus melakukan perlawanan atas serangan lawannya yang bergelombang datang menyerbunya.?
Kemana para pasukan monyet" Ternyata dalam kebingungannya, Rajmid Singh pada akhirnya menemukan akal juga. Dia menyuruh anak buah Bu Tek Seng Ong, Utusan Pencabut Nyawa yang tidak ikut bertarung untuk bekerja mengusir dan juga melawan para monyet yang bersembunyi di pepohonan di samping arena. Dengan menemukan cara yang tepat itulah akhirnya Rajmid Singh kembali mampu untuk menyerang lawan-lawannya dengan Ilmu Sihir dan membuat kondisi Koay Ji kembali menjadi amat berbahaya. Meskipun demikian, untuk beberapa saat lamanya, dia belum bisa lagi menyerang balik, karena pengaruh dan wibawa Koay Ji barusan cukup menyentak dan beraroma sihir yang amat sangat kuatnya.
Maka beberapa saat lamanya, Rajmid Singh masih terdiam, karena memang secara otomatis membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengembalikan semangatnya. Sekaligus diapun menjadi sadar bahwa sesungguhnya dipuncak kemampuan, Koay Ji lawannya itu, bahkan mampu menggedornya dan mampu menindih kekuatan sihirnya. Hal yang sesungguhnya membuatnya tersentak dan agak kaget. Dia tidak menyangka jika kekuatan sihir dan wibawa serta pengaruh suara mujijat Koay Ji bahkan mampu mengimbanginya dan mampu menawarkan serangannya. Berpikir demikian, Rajmid Singh mulai menjadi lebih berhati-hati dan mempersiapkan semua serangannya secara lebih baik. Rajmid Singh bersikap lebih positif dan optimist karena memang dia menyiapkan serangan-serangan selanjutnya dalam kerjasama dengan tokoh lain. Aspek inilah yang meski dia sempat sangat kaget dan kagum dengan kehebatan Koay Ji, tetapi tetap saja optimist dan percaya bahwa apa yang akan mereka lakukan pasti berhasil.
Kembali kearena pertarungan, bukan hanya Koay Ji seorang sesungguhnya yang sedang dalam kerepotan menghadapi dua lawannya di jenis pertarungan yang berbeda. Tio Lian Cu dan Khong Yan juga menghadapi hal yang sama, sementara Siauw Hong sudah akrab dengan keterdesakkan meskipun lawan yang lebih ampuh di saat-saat menentukan, justru sering kehilangan kesempatan. Kelihatannya Siauw Hong membekal banyak sekali jurus yang amat ampuh dan mampu memukul Bu Tek Seng Ong balik dan membuyarkan semua skenario serangan mutlaknya untuk meraih kemenangan. Jurus-jurus yang diandalkan dan menjadi jurus simpanan Siauw Hong benar-benar ampuh dan juga mujarab dalam menjaga dirinya untuk tidak sampai kalah secara telak. Apalagi, Siauw Hong merasa amat bersemangat bertarung bersebelahan dengan kakak angkatnya yang dia lihat bertarung habis-habisan untuk mereka semua.
Khong Yan untungnya sudah menjejeri kemampuan Mo Hwee Hud, meskipun ada Sam Boa Niocu yang membantu kakek itu, tetapi dengan arena terbatas bagi upaya pengeroyokan, otomatis menguntungkan posisi Khong Yan. Karena itu, dia dapatlah bertahan dengan baik meskipun juga tetap saja agak sulit untuk mengalahkan kedua lawan yang bergantian menyerangnya secara hebat. Terutama adalah Mo Hwee Hud yang terus mencecarnya dengan segenap amarah dan kebenciannya, dan Sam Boa Niocu yang menjagakan pertahanan bagi aspek serang Mo Hwee Hud. Karena itu, Khong Yan juga tidak beroleh progress memadai meski sesekali mendesak mundur Mo Hwee Hud. Hanya sesekali dia kehilangan waktu sepersekian detik ketika mesti melawan hentakan sihir yang dilontarkan oleh Rajmid Singh, seperti yang baru saja terakhir. Tetapi, dengan cepat dia bisa mengatasi keripuhannya dan kembali melakukan perlawanan hebat.
Situasi yang sama belaka, dialami oleh Tio Lian Cu yang bertarung melawan Geberz dan dibantu oleh Jamukha. Tio Lian Cu mampu mengimbangi serangan Geberz, tetapi sulit guna menembus pertahanan lawan yang digalang bersama dengan Jamukha. Apalagi, Jamukha khusus membantu penyerangan jika kondisi Geberz jadi tidak menguntungkan Akibatnya, Tio Lian Cu sering didesak tetapi sulit untuk terjerumus dalam keadaan menyulitkan karena sesungguhnya dia mampu menjaga dirinya dengan baik. Seperti Khong Yan, dia juga sesekali terganggu dan kehilangan kewaspadaan dalam sepersekian detik akibat serangan sihir pihak lawan. Setelah serangan sihir, kembali dia seperti juga Khong Yan, harus berjuang keras kembali menutupi kelemahan yang muncul dan mestilah berusaha sekeras mungkin untuk menyeimbangkan posisi melawan serangan kedua lawannya.
Posisi Koay Ji pada saat itu, kembali sulit, meskipun dia masih mampu bergerak dengan ilmu Thian Liong Pat Pian, sebagaimana Siauw Hong yang tinggal mampu mengandalkan ilmu gerak langkah mujijat tersebut. Tetapi, Koay Ji melakukannya dengan penuh perhitungan, tidak akan mencari jalan aman dan jalan mundur, tapi juga mengintai jalan untuk balik menyudutkan lawan. Tetapi, dalam kagetnya, dia menemukan kenyataan sulit melakukannya terhadap kakek tua lawannya yang maha hebat ini. Kemampuan kakek ini menurut timbangannya, bahkan masih sedikit melebihi kehebatan dan kesaktian Phoa Tay Teng yang dilawannya beberapa waktu yang telah lewat. Untung saja diapun sudah berlatih lebih keras dan memperlakukan latihannya akhir-akhir ini untuk terus meningkatkan iweekang dan juga kekuatan batinnya. Dengan cara itu, dia merasa tidak harus kewalahan dan apalagi kalah dan tidak harus tenggelam dalam jebakan lawan semisal Phoa Tay Teng yang membuat dia mesti melawan dengan segala keterpaksaan. Tidak, Koay Ji justru terus dan terus mengintai kesempatan guna menyerang baik lawan, meski saat itu, dia sedang dalam desakan hebat lawannya.
Posisi mereka menjadi semakin rawan dan berbahaya karena Kwa Siang sudah amat sering terpancing jauh meninggalkan lubang di belakang pertarungan lainnya. Meski Bun Kwa Siang masih akan mampu untuk balik menutupnya dengan cepat, tetapi yang jelas, dia sedang emosional dan akan sangat sulit mengontrol emosinya. Terlebih karena para pengontrol emosinya, juga sedang berjibaku dan bertarung dengan tingkat konsentrasi yang amat tinggi dan tidak boleh banyak terganggu. Bahkan Kang Siauw Hong dan Koay JI pada saat itu sedang dalam kondisi yang tidak begitu baik, sedang didesak lawan masing-masing. Kondisi seperti ini jelas amat berbahaya dan tidak menguntungkan kelima anak muda yang sedang dalam konsentrasi penuh menghadapi pengeroyokan dan juga serbuan lawan-lawan mereka yang rata-rata hebat dan mumpuni.
Keadaan mereka menjadi semakin parah, karena tengah kondisi mereka semua yang sedang tidak baik, tiba-tiba:
"Awas ULAR RAKSASA, jauh lebih besar lagi, mengancam menelan kalian semua, maka segeralah menyerah,,,,, menyerahlah......"
"Wahai ULAR RAKSASA, terkam dan serang tuanmu dan kawan-kawannya...." tiba tiba terdengar bentakan Koay Ji, tetapi bersamaan dengan itu suara sihir itu makin kuat dan menggema sama:
"Terkam dan telan tuanmu, terkam dan telan tuanmu...."
Bersamaan dengan Koay Ji yang menggemakan suara itu dan otomatis kehilangan posisinya, dia dengan cepat merasakan sebuah serangan yang berbahaya sedang mengarah dirinya. Dan jelas Koay Ji tahu artinya, tetapi sekali ini sayangnya, dia sudah tidak memiliki cukup waktu lagi untuk menghindar pukulan itu. Untungnya, saat mengerahkan kekuatan sihir, dia juga sudah melapisi tubuhnya dengan khikang istimewa milik perguruan suhunya, Siauw Lim Siem, yang disebut dengan Ilmu mujijat Kim Kong Pu Huay Che Sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak). Tetapi, serangan kakek yang menjadi lawannya saat ini, sudah dia prediksi akan mampu menembus khikang istimewa itu, meski juga Koay Ji yakin masih tidak akan mampu merusak tubuhnya. Perlindungan dari khikang itu dan juga kekuatan hawa murninya pada saat itu sudah amat hebat dan kuat, dan Koay Ji percaya penuh dengan kemampuannya tersebut.
"Dukkkkkkkk,,,,,,,"
Hebat sekali pukulan itu, Koay Ji benar merasakan bagaimana pukulan itu mampu menembus khikang perlindungan dirinya. Tetapi, otomatis kekuatan pukulan itu meski menembus, tetapi sudah banyak berkurang karena menembus tirai tidak kelihatan yang melindungi tubuh Koay Ji. Koay Ji mundur dan terdorong sampai 4 (empat) langkah ke belakang dan di bibirnya terlihat ada tetesan darah, tetapi dia masih sadar dengan dirinya dan bahaya yang dihadapi. Lukanya tidak terlampau berbahaya meskipun mampu melukainya. Karenanya, dengan tetap mengeraskan hati, dia memasang langkah pertahanan kokoh dan sekaligus pada saat itu juga menyiapkan bukan hanya bertahan, tetapi juga akan balik menyerang dengan ilmu-ilmu mujijat yang dia bekal pada saat itu. Dan memang benar, si tokoh tua nan hebat itu, tidak berhenti sampai disitu. Tetapi, dia kaget karena Koay Ji tidak memilih untuk bertahan, melainkan tap memilih balik menyerangnya. Tetapi, dia paham, Koay Ji mencecarnya untuk mencari waktu beristirahat sejenak.
Maka dengan kecepatan luar biasa dan juga dengan kekuatan yang maha besar, dia mencecar Koay Ji setelah mengelakkan dua pukulan dan kini menyerangnya tanpa ampun. Apalagi dia merasa sudah di atas angin, melihat Koay Ji sudah terluka dan dalam posisi yang sangatlah tidak menguntungkan. Jika bukan saat ini menang, maka kapan lagi peluang itu datang"
Tidak menunggu Koay Ji sampai sadar seratus persen, meluncurlah serangan maut kakek tua itu dan tidak tanggung-tanggung, dengan kekuatan iweekang yang luar biasa kuatnya dia menerkam Koay Ji dengan jurus Coan Ping Kiu Siau (Burung garuda berputar sembilan kali di kabut) dan dikombinasikan lagi dengan jurus San tian keng hong (Kilat mengejutkan pelangi). Dua jurus maut itu menuju atau mengarah ke kepala dan titik-titik mematikan di pundak dan leher Koay Ji, selain itu kekuatan iweekang yang luar biasaa dari alirannya, yakni Ilmu sakti Cap Sah Sik Heng Kang Sim Coat benar-benar sulit diraba. Koay Ji jelas sadar bahaya, karena itu diapun tidak mengacuhkan lukanya, tetapi ketika terdorong mundur otaknya yang cerdik sudah menyusun strategi jalan keluar lainnya.
Sekali ini, diapun tidak lagi mau memikirkan pertarungan lain, karena jika dia sampai terluka hebat dan jatuh, maka kawan-kawannya yang lain juga akan sangat sulit untuk dapat diselamatkan. Dalam sekejap Koay Ji sudah memikirkan sejumlah jurus mujijat dari Pat Bin Lin Long yang sudah lama dia tambahkan dan cipatakan sendiri dan digabungkan dengan sebuah jurus serangan dari Hian Bun Sam Ciang. Maka, tidak menunggu serangan lawan, Koay Ji sudah langsung berputar tiga kali di tempat dimana dia terdorong. Dan kemudian lengannya bergerak dalam formula jurus Mo in kim ci (Mengusap awan dengan sayap emas) dalam Ilmu Ci Liong Ciu Hoat dan ketika lawan mendekat, tiba-tiba lengan satunya lagi dengan kaki bergerak menghindari menyusul dengan jurus Can goat siau seng (Bulan sabit menyinari bintang). Kedua jurus ini nampaknya seperti jurus saling menyakiti alias bagaikan jurus "mati bersama" atau "luka parah bersama", padahal Koay Ji masih ada juga menyelipkan gerakan lain yang disebutnya gerak Liu An Hwa Beng (Pepohonan gelap bunga terang).
Koay Ji yang cerdik sudah paham, bahwa lawan yang sedang menang posisi tidak akan bermain-main dengan keselamatannya. Dan karena itu, dia bergerak dengan jurus mengajak terluka bersama, padahal ada langkah selipan sederhana yang menyamarkan maksudnya, bunga terlindung dari pepohonan, dengan bersembunyi atau menyembunyikan serangannya di balik jurus "mati bersama", Koay Ji sukses mengelabui si tua mujijat. Benar saja, kakek tua itu jelas tidak mau dan tidak ingin mati atau terluka bersama Koay Ji yang dia paham akan berlaku demikian karena sudah terluka sebelumnya. Tetapi, satu langkah sederhana dan tidak terbayangkan karena memang meniru gaya pegulat mongol, tiba-tiba membuat Koay Ji sudah dalam posisi menyerang si kakek. Sungguh cepat, cerdik dan penuh perhitungan selain membutuhkan keberanian.
Serangan yang disamarkan itu, tiba-tiba sudah mengancam si kakek, dan sekali ini dalam sebuah gerakan menyerang jurus Ya Can Pat Hong (Bertarung malam dari delapan arah). Betapa kaget kakek itu karena dari posisi yang tersudut, sekarang Koay Ji malah berbalik menyerangnya, meskipun dia paham bahwa serangan itu bisa dia elakkan. Tetapi, jelas dengan posisi sekarang, Koay Ji berbalik menyerang dan menyeimbangkan pertarungan mereka berdua. "benar hebat anak muda ini" desisnya dalam hati penuh rasa kagum, tetapi juga rasa iri dan dengki yang semakin tebal. Tentu saja Koay Ji kurang tahu pergolakan dalam hati kakek itu, dia tetap saja membangun serangan guna membangun dan merangkai kembali posisinya yang sudah sempat tergoyahkan amat kuat dan bahkan juga sudah terluka meski belum sangat mengganggunya dalam pertarungan.
Posisi Koay Ji yang semakin membaik dan terus membaik, seakan menjadi titik balik keadaan di arena pertarungan. Apa pasal" Karena kini serangan sihir Rajmid Singh tidak lagi terdengar, bahkan selebihnya anak buah dan anak murid Bu Tek Seng Ong kini tercerai berai entah kemana. Ini seperti senjata makan tuan, manakala sosok ular raksasa ciptaan Rajmid Singh tadi, justru berbalik mengejar dan juga menyerang anak buah Bu Tek Seng Pay dengan ganasnya. Jelas mereka yang tidak paham sihir berlarian dan serabutan entah kemana, ketakutan melihat ular raksasa yang mengamuk dan mengancam akan menerkam dan menelan mereka. Melihat ukuran ular itu saja sudah amat menggetarkan, apalagi melihat betapa ular liar dan besar itu mengejar mereka semua dengan ganasnya. Benar-benar mengerikan dan membuat mereka kocar-kacir. Semua mencari jalan selamat masing-masing. Tetapi, apakah gerangan yang mampu membuat mereka seperti itu setelah tadinya justru berteriak-teriak gembira dan bersorak menjemput kemenangan"
Setelah Koay Ji berteriak menetralisasi dan bahkan mengembalikan serangan sihir Rajmid Singh, diapun terhajar lawannya. Tetapi, Rajmid Singh sendiri sudah sempat goyah saking kuatnya serangan sihir yang dibalikkan oleh Koay Ji tadi itu, untungnya hanya sesaat belaka. Tidak berapa lama, Rajmid Singh mencoba untuk kembali memulihkan lagi semangatnya dan mengerahkan segenap kekuatan sihirnya. Tetapi apa lacur, dalam waktu sekejap kemudian, ada beberapa kejadian yang lain susul-menyusul terjadi dengan amat cepatnya. Formula serangan balik Koay Ji yang sudah mulai memudar dan sudah mulai dapat dikuasai kembali oleh Rajmid Singh, tiba-tiba didukung dan diperkuat oleh suara sihir lainnya. Siapa gerangan yang melakukannya" ya, bukan lain MINDRA. Ini dia ahlinya. Adalah Mindra yang datang dan kini meladeni tarung sihir melawan Rajmid Singh, dan bahkan Mindra membuat Rajmid Singh terkurung dalam pertarungannya sendiri melawan ular ciptaannya. Dan Mindra dengan cerdik menerjang Rajmid Singh yang sebenarnya sudah mulai mampu menguasai dirinya itu.
Mindra yang melihat upaya keras Rajmidh Singh untuk dapat memulihkan diri, sudah segera tenggelam dan melibatkan diri dalam tarung sihir tersebut. Diapun segera berkemak-kemik mengerahkan kemampuan sihirnya dan kemudian Mindra berbalik mengalirkan dan memperkuat kembali serangan balik sihir Rajmid Singh yang tadi sudah diawali dan dikembalikan oleh Koay Ji. Memperoleh serangan dari Mindra, Rajmid Singh kaget karena awalnya dia sudah mampu menguasai diri, tetapi tiba-tiba arus kekuatan hebat menerpanya kembali. Akibatnya fatal, dia kembali masuk dalam jebakan sihir ciptaannya sendiri dan menyaksikan betapa ular raksasa itu kini mengancam dirinya dan dia mesti bersemadhi untuk dapat memunahkannya. Mindra bekerja lebih jauh, diapun kemudian mengalihkan efek sihir ke kawanan anggota lawan yang bersiap masuk mengeroyok kawan-kawan mudanya. Dan sekali ini dia sukses besar, karena lawan jadi berserabutan berlarian mencari jalan selamat bagi diri mereka masing-masing.
"Hehehehe, Ular Raksasa kini akan menyantap kalian......" desis Mindra dengan kekuatan gaib yang amat kuat.
Pada saat Rajmid Singh sedang sangat disibukkan meladeni Mindra, beberapa sosok tubuh memasuki arena dengan cepatnya. Kim Jie Sinkay masuk menutup pintu yang terbuka lebar akibat Bun Kwa Siang yang sudah jauh meninggalkan post penjagaannya. Kedatangannya tepat waktu dan membantu Sie Lan In yang sudah berada disitu terlebih dahulu guna menjaga segala kemungkinan. Bukan hanya itu, secara bersamaan Panglima Arcia dan Panglima Ilya, juga menyusul memasuki arena, dan Panglima Arcia tanpa banyak bicara sudah merangsek dan menyerang Geberz yang terkejut setengah mati melihat saiapa lawannya itu. Benar dia tahu bahwa kedatangan mereka semata karena dirinya, dan dia selama ini bersembunyi di Bu Tek Seng Pay menghindari kejaran Liga Pahlawan Persia. Tetapi, Geberz jelas tidak takut karena dia percaya dengan kemampuannya dan percaya dengan kekuatan penopangnya, Bu Tek Seng Pay. Dia sangat percaya diri bahwa akan bisa dan mampu alias berkemampuan menandingi dan juga mengalahkan kaum Liga Pahlawan Bangsa Persia. Karena sesungguhnya, hanya ada satu orang yang dia sangat hormati dan takuti di Persia, dan orang itu justru tidak berada disitu. Adalah tokoh yang bernama Spenta Amaity, Guru Agung Bangsa Persia, orang sangatlah ditakuti dan disegani Geberz.
Kedatangan Sie Lan In, Kim Jie Sinkay, Panglima Arcia dan Panglima Ilya dengan cepat membuat perimbangan berubah drastis. Arena tarung Tio Lian Cu yang tadinya menghadapi Geberz, kini beralih dikeroyok tokoh-tokoh hebat lawan lainnya. Tapi, dia melihat betapa Liok Kong Dji bersikap agak kelewatan menghadapi Kwa Siang, dan dialah yang kini disasar oleh Tio Lian Cu. Untung saja, karena dia masih agak hormat dengan angkatan tua perguruannya, maka dia tidak datang dengan jalan langsung menyerang, tetapi mendatanginya dan menegurnya. Dalam posisi itu, Tio Lian Cu memperlakukan dirinya sebagai seorang Ciangbudjin Hoa San Pay, dan meski masih muda, dia memiliki hak melakukannya. Toch dia yang memegang dan mewarisi pusaka Hoa San Pay, maka dia berhak bicara;
"Hentikan........" bentaknya sambil mendekati arena pertarungan Bun Kwa Siang yang menghadapi Liok Kong Djie dan Ma Hiong Seng. Bentakannya cukup hebat dan sekaligus menangkis pukulan Ma Hiong Seng dan kemudian mengerahkan kekuatan hebatnya untuk mematahkannya. Setelah itu, dia menghadapi Liok Kong Djie yang heran dengan keberanian Tio Lian Cu, tetapi melihat bagaimana gadis itu menghempas serangan lawan, diapun tersentak. Bahkan terdiam sejenak, segera mengawasi Tio Lian Cu dan kemudian bertanyalah kakek tua yang aslinya asal dari Hoa San Pay itu:
"Hmmm, pastilah engkau yang kini menjadi Ciangbudjin Hoa San Pay....." desis Liok Kong Djie dengan heran dan takjub. Maklum, tangkisan dan serangan balik Tio Lian Cu tadi melawan Ma Hiong Seng mengejutkannya dan membuatnya tidak berani untuk tidak memuji kehebatan gadis itu. Penuh perhitungan, tenaga yang tepat dan variasi yang indah, dan paling penting, terlihat sederhana tetapi sangat efektif dalam menolak dan mendorong lawan ke belakang. Hanya tokoh-tokoh utama dari Hoa San Pay yang akan sanggup melakukannya dengan sangat baik, dan gadis yang akan dilawannya, justru memainkannya secara baik. Tidak kalah darinya.
"Tidak salah, dan jika tidak keliru, Locianpwee adalah Liok Kong Djie, seorang tokoh Hoa San Pay yang membelot dan sudah dibebaskan dari keanggotaan...." desis Tio Lian Cu tidak marah, tetapi juga tidak menunjukkan rasa hormat karena melihat tokoh itu bekerja dengan kaum penjahat.
"Hohoho, apakah Thian Hoat Tosu kehabisan bahan sehingga menjadikan gadis semuda engkau menjadi Ciangbudjin......?" ejek Liok Kong Djie setelah memastikan bahwa memang Tio Lian Cu masih muda, terlihat sangat muda malah. Jelas bagi Liok Kong Djie, dia tidak pantas dan tidak layak memimpin Hoa San Pay yang sudah punya sejarah panjang itu. Bagaimana bisa gadis semuda ini menjadi Ciangbudjin dan memimpin demikian banyak anak murid Hoa San Pay" sungguh sulit diterima oleh seorang Liok Kond Dji.
"Hmmmm, setidaknya pantas melacak Locianpwee yang mengganggu Hoa San Pay melalui sejumlah murid yang kemudian memberontak, dan terpaksa hari ini, sebagai Ciangbudjin Hoa San Pay meminta pertanggungjawaban Locianpwee. Dimana Suma Cong Beng dan kawan-kawannya....?" tanya Tio Lian Cu tajam dan menohok langsung ke pusat kesombongan Liok Kong Djie. Jelas, tegas, sangat optimist dan memukul kesombongan seorang Liok Kong Djie.
"Hmmmm, engkau masih terlampau kanak-kanak untuk menanyaiku kouwnio, dan terlampau tidak layak memimpin Hoa San Pay....." desis Liok Kong Djie juga sama keras dan sama tegasnya.
"Baiklah, maafkan jika sebagai Ciangbudjin sampai tidak menghormati Locianpwee, berhati-hatilah, tugas perguruan akan kujalankan......" berkata Tio Lian Cu memberi peringatan bahwa dia akan segera menyerang.
"Tio Ciangbudjin, tahan....... biar kuwakili Suhu menghadapimu....." tiba-tiba ada suara yang datang dari belakang Liok Kong Djie dan langsung mendekati arena itu serta bahkan kemudian berdiri di depan Liok Kong Djie. Dia bukan lain adalah tokoh muda, meski masih lebih tua dari Tio Lian Cu, dan yang sudah pernah bertemu dan bahkan bertempur dengan Tio Lian Cu sendiri di Gunung Hoa San. Dia adalah murid Liok Kong Djie yang gagah, bernama Liu Beng Wan dan sudah berusia sekitar 30 tahunan, berwatak gagah perwira namun berhutang jiwa dan budi kepada Suhunya Liok Kong Djie yang sudah tua. Dia menyadari perbuatan suhunya yang eksentrik dan sering salah jalan, tapi apa mau dikata, budi orang tua itu mengikatnya. Maka, meski tidak ikut jalan kejahatan, tetapi dia terus membayangi dan menjaga Suhunya yang sudah tua dan renta itu.
"Hmmmm, Wan jie, hukuman atas pembangkanganmu akan kuhapus jika engkau mampu melawan dan bahkan menawan gadis itu, kita sangat membutuhkannya pada saatnya kelak.." terdengar suara Liok Kong Djie yang diiyakan oleh Lui Beng Wan dengan wajah yang gelap dan terlihat sangat terpaksa. Lui Beng Wan tentunya tidak akan dan tidak berniat menjatuhkan Tio Lian Cu, selain karena dia tahu lawan muda itu sangat hebat, juga tidak ingin dia menyerahkan Tio Lian Cu yang gagah itu kepada sahabat suhunya yang rata-rata sesat dan menyeramkan. Dia lebih memilih bertarung dan bertarung dan tanpa harus menang.
"Baiklah Suhu, akan kucoba....."
"Hmmm, majulah Lui Beng Wan......."
Dua jago Hoa San Pay dari generasi termuda berhadap-hadapan dan tidak lama kemudian sudah saling serang dengan ilmu-ilmu yang mirip. Tio Lian Cu kaget, karena Lui Beng Wan ternyata sudah tidak kalah dengan Suhunya sendiri, padahal ketika mereka bertarung di Hoa San Pay, kekuatan dan kepandaian mereka juga setanding. Saat ini, setelah dia maju sangat jauh, ternyata kemampuan Lui Beng Wan juga sama meningkat dengan amat hebatnya. "Atau jangan-jangan dahulu dia sengaja mengalah...?" tebak Tio Lian Cu penuh kekaguman dengan kemampuan dan juga kebersahajaan Beng Wan.
Tetapi, memang demikian. Lui Beng Wan bertarung dan meladeni Tio Lian Cu dalam kekuatan dan kemampuannya yang amat hebat dan diluar dugaan Tio Lian Cu yang berpikir jika Lui beng Wan adalah tokoh dengan kemampuan yang sama dengan waktu mereka bertarung setahun sebelumnya. Tahu tahu, Lui Beng Wan bertarung mantap, berisi, penuh perhitungan dan jelas sekali sangat paham dan menguasai dengan baik intisari ilmu Hoa San Pay. Hanya, variasi dan jurus-jurus menyerang yang dikuasainya lebih kaya dan sudah banyak modifikasi disana-sini yang juga membuat serangannya terasa lebih berbahaya. Namun, harus diakui, keaslian daya gerak dan jurus Hoa San Pay masih tersisa, meski tidak murni lagi.
Sebaliknya, Tio Lian Cu justru lebih memiliki kemurnian dan juga keaslian, meski kematangan masih sedikit lebih di pihak Lui Beng Wan. Karenanya bertarunglah keduanya dengan seru, dan dalam kagetnya baik Tio Lian Cu maupun Liu Beng Wan menemukan kenyataan jika lawan mereka masing-masing mampu saling mengimbangi. Tio Lian Cu kaget karena Liu Beng Wan mampu menahan kekuatan iweekangnya yang sudah disempurnakan Bu In Sinliong dan juga oleh Koay Ji akhir-akhir ini. Hal yang sama juga berlaku bagi Liu Beng Wan yang kaget karena kemampuan Tio Lian Cu kini sudah mampu dan sanggup merendenginya; "Luar biasa, dahulu meski dia sudah hebat, tetapi sangat jelas masih mampu kutangani dengan baik...." desis Liu Beng Wan dalam hatinya.
Jelas keduanya sama kaget dan sama mengagumi kemampuan lawan dan juga membuat pertarungan keduanya jadi seperti sedang latihan ketimbang bertempur untuk saling menjatuhkan dan saling mengalahkan. Keduanya saling belajar dan saling menemukan kelebihan dan juga kekurangan lawan, sehingga keduanya juga sama seperti sedang mengamati intisari kepandaian Hoa San Pay yang dimainkan secara luar biasa masing-masing oleh keduanya. Perimbangan mereka nyaris di semua aspek pertarungan dengan tingkat perbedaan yang tipis belaka. Baik dari segi ginkang, iweekang, pengalaman, latihan, keduanya berbeda amat tipis dan jelas akan sulit untuk dapat saling menjatuhkan.
Sementara itu, Khong Yan mulai bertarung ketat dengan Mo Hwee Hud setelah Panglima Ilya menyerang Sam Boa Niocu dan terlibat dalam pertarungan yang juga cukup seru. Berbeda dengan Khong Yan yang sedikit mampu mendesak lawannya, Mo Hwee Hud yang memang sudah mulai rusak "semangatnya". Begitu mengetahui jika kemampuannya saat ini ternyata mulai dilampaui banyak orang, Mo Hwee Hud agak tersentak kaget. Awalnya, dia beranggapan kemampuannya sudah amat hebat dan hanya beberapa orang belaka yang akan mampu menandinginya. Tetapi, sejak munculnya Thian Liong Koay Hiap, Koay Ji, dan lalu Tio Lian Cu, Sie Lan In dan Khong Yan, dan menemukan murid-muridnya terluka parah dan bercacat satu demi satu, kesombongannya mulai runtuh.
Maka mulailah tokoh sesat itu berpikir untuk menarik diri dan berlatih lebih jauh agar kegemilangannya bisa diraih kembali. Tapi, untuk melakukannya dia harus melewati episode sulit di Pek In San, dan saat ini dia sedang didesak oleh Khong Yan yang terus menerus menyerang dan mendesaknya tanpa sedikitpun rasa kasihan. Hal yang mengejutkannya. Lawan mudanya jelas terus mencecarnya, karena memang ada dendam perguruan yang sudah berusia panjang dalam sejarah pertemuan mereka. Anak muda Khong Yan yang adalah musuh sejarahnya kini menandinginya adalah fakta yang sulit diterima kakek itu, dan membuatnya merasa sangatlah kaget dan juga penasaran. Pemikiran itu membuat Mo Hwee Hud mulai tawar hati dan yakin, dia harus mengundurkan diri sejenak untuk menempa dirinya kembali dan membayar rekening kematian murid-muridnya.
Untunglah Tam Peng Khek ada dekat disitu, dan kemudian turun tangan membantu suhunya sekaligus mengurangi tekanan Khong Yan. Masuknya Tam Peng Khek menyadarkan Mo Hwee Hud bahwa dia masih harus menyelamatkan diri dan baru berpikir berlatih untuk menemui lawan-lawannya kelak. Tetapi, tidak mungkin dia melarikan diri karena suhengnya, Rajmid Singh justru berada disitu atas prakarsa dan undangannya. Suhengnya itu bisa murka besar jika ditinggalkan di Pek In San dan dia pergi begitu saja. Susah payah dia membujuk dan merangsangnya dengan kisah bahwa Pusaka Guci Perak sudah muncul di Tionggoan. Maka adalah tidak mungkin dia lakukan itu, meninggalkan suhengnya yang sudah tua renta itu di Pek In San tanpa permisi. Tidak mungkin.
Apalagi, Mo Hwee Hud kini memperhitungkan untuk meminta beberapa kesaktian suhu mereka untuk bisa dilatih agar kemampuan dan ilmunya bisa meningkat lebih hebat lagi. Dia tahu suhengnya ini masih menyimpan beberapa kitab ilmu dari suhu mereka di Thian Tok sana, tetapi ilmu-ilmu yang tersisa terlalu hebat dan atau terlalu sesat latihan dan akibatnya. Karena itu hanya murid-murid tertentu yang melatihnya, tidak semua murid diijinkan berlatih ilmu itu. Tapi buat Mo Hwee Hud saat itu, dia tidak lagi perduli dan harus melatih dirinya kembali dengan lebih hebat. Untuk itu, dia butuh ilmu baru yang akan membantunya membalaskan dendamnya atas kejadian yang menimpa murid-muridnya yang cacad permanen.
Pertarungan dua lawan satu berlangsung cukup seru, dan Tam Peng Khek memang bukan petarung utama, tetapi dia akan masuk secara penuh ketika suhunya, Mo Hwee Hud terdesak atau didesak Khong Yan. Dengan cara tersebut, maka mereka berdua mampu melayani dan menghadapi Khong Yan secara lebih baik. Selain itu, masuknya Tam Peng Khek juga membangkitkan kembali semangat Mo Hwee Hud yang sempat redup menemukan kenyataan betapa Khong Yan seperti mampu meladeni dan malahan mendesaknya dengan hebat. Justru Khong Yan sudah lebih hebat dari suhunya, Bu Te Hwesio, yang tidak pernah bertarung lebih dari seimbang dengannya. Kenyataan ini membuat kepercayaan diri Mo Hwee Hud Sempat anjlok dan jatuh sampai ke titik yang sangat mengecewakan dan membuatnya nyaris patah arang. Kini, Mo Hwee Hud bertarung untuk masalah keselamatannya, dan bukan lagi demi nama dan harta.
Sementara itu, arena yang paling hebat dan paling berbahaya justru adalah Koay Ji yang sedang melawan si kakek mujijat itu. Malah saking hebatnya, kakek itu berhasil melukai Koay Ji dan juga belum pernah sekalipun terdesak oleh lawan mudanya itu, meski ada alasan lain atau sebab lain tentunya. Pada dasarnya, kakek itu sangatlah hebat, Koay Ji sendiri mengakuinya dan bahkan sudah pernah terkena serangan si kakek yang mampu menembus khikang hebatnya. Artinya, Koay Ji sendiri sudah paham, dia sedang berhadapan dengan lawan yang maha luar biasa, yang bahkan masih sedikit mengatasi Phoa Tay Teng lawan hebat sebelumnya di Thian Cong San. Untungnya, Koay Ji tidak lagi merasa ketakutan, justru sebaliknya merasa tertantang untuk melawannya meskipun rada disayangkan karena kondisinya pada saat itu sudah terluka, meskipun bukan luka berat. Selain itu, posisinya yang selalu terdesak, juga disebabkan oleh kenyataan betapa dia diganggu oleh serangan sihir Rajmid Singh yang nyaris setanding dengan dia dalam hal ilmu sihir dan ilmu hitam. Itu yang dialami dan dihadapi Koay Ji.
Kini, tanpa bantuan serangan Rajmid Singh yang sudah sedang sibuk bertarung sihir berhadapan dengan Mindra, Koay Ji mulai secara penuh menaruh perhatian atas pertarungannya dan juga tentunya keselamatan diri. Dia sudah terluka, khikangnya sudah tertembus, tetapi luka itu tidaklah terlampau mengganggunya, selain itu dia juga memiliki obat mujarab guna mengobati luka ringan. Kini Koay Ji berkonsentrasi untuk secara penuh melawan kakek itu dan senang melihat bantuan Sie Lan In yang sudah datang, sehingga dia tidak lagi perlu terlampau memperhatikan kawan-kawannya yang lain. Sekilas dia juga melihat keadaan Siauw Hong, tetapi dia sadar bahwa adiknya meski benar sedang terdesak hebat, tapi dia juga percaya adiknya masih akan mampu bertahan lebih lama. Apalagi, kawan-kawan mereka yang lain, juga sebentar lagi pasti bergabung.
Berpikir demikian, maka Koay Ji menjadi lebih tenang dan memainkan Ilmu Thian Liong Pat Pian secara lebih leluasa dan menjadi lebih mudah meladeni lawannya. Tetapi, dia masih tetap bertahan karena mencari kesempatan memulihkan dirinya, karena tanpa terluka saja, dia merasa tokoh yang dihadapinya sudah amat hebat, apalagi ketika dirinya terluka. Karena pemikiran itu, maka Koay Ji menjadi lebih banyak mengandalkan gerakan mujijatnya dan juga ginkangnya Liap In Sut. Pada saat itu, dia berpikir, jika terlampau lama bertarung, maka kakek lawannya pastilah juga akan sulit bertahan lama. Maka, mengandalkan ilmu gerak yang sudah jauh lebih lengkap dan luas, diapun menghadapi serangan lawannya, menghalau jurus maut dan kemudian melepaskan diri dari bahaya.
"Hmmmmm, engkau mau bertarung atau berlari-lari anak muda....?" geram si kakek yang berusaha keras mencecar dan mengalahkannya tetapi benar kewalahan karena gerakan mujijat Koay Ji. Repotnya, dia mengenal ilmu langkah itu, tetapi tidak selengkap dan tidak seluas khasanahnya dengan yang dimainkan oleh Koay Ji. Ini membuatnya sering salah kira dan salah menduga, membuat Koay Ji seringkali dengan mudah menghindari rangsekannya.
"Hahahahahaha, Locianpwee, seandainya engkau berjiwa ksatria, tidak akan kalian berdua tokoh-tokoh berusia tinggi mengeroyokku secara licik. Sungguh heran, tokoh seusia kalian masih saja licik dan tidak tahu malu. Curang, mau menang sendiri dan licik pula.... hahahaha" ledek dan maki Koay Ji dengan tidak lagi menyisakan rasa hormat kepada lawannya yang licik itu. Sesungguhnya karena Koay Ji sendiri sudah merasa marah dan memutuskan mencoba untuk memancing amarah lawannya yang sudah tua itu, mana tahu berhasil.
Dan memang, mendengar jawaban Koay Ji, si kakek mujijat menjadi semakin murka dan menyerang semakin hebat dan semakin menekan. "Sungguh repot, dia sudah murka, tetapi melawannya membutuhkan kekuatan seutuhnya, tenaga sepenuhnya sementara saat ini aku justru sedikit mengalami luka....." sungguh dilematis Koay Ji dalam menghadapi serbuan serta serangan beruntun dan mematikan dari lawan. Disatu sisi dia repot menghadapi kakek itu dan membutuhkan kekuatan ekstra besar menghadapinya saking hebatnya kakek itu, padahal dia sendiri sedang terluka. Di sisi lain, dia memancing amarah kakek itu agar terus menekan dan menyerangnya dengan hebat dan sekuat tenaganya. Pancingannya memang berhasil dan mengena dengan sukses sehingga membuat kakek itu menerjang dengan hebat, dan ini memang dikehendaki Koay Ji.
Dalam perhitungan Koay Ji, menimbang usia tua lawannya, maka nafasnya secara fisik akan dengan cepat terkuras. Apalagi dengan merangsang dan memicu emosi dan amarah kakek itu. Maka kekuatan besar akan dikerahkannya untuk mengejar kemenangan melawan dirinya. Jika itu terjadi, maka kakek itu akan cepat kehabisan tenaga dan pernafasan. Pada saat itulah Koay Ji punya kesempatan memenangkan pertarungan melawan kakek yang demikian hebat ini. Dia sendiri bergidik melihat betapa radius beberapa puluh meter, batu dan pasir beterbangan akibat iweekang hebat yang menerjang keluar dalam takaran yang luar biasa. Sangat luar biasa, karena kakek itu sudah emosi.
Ketika kakek itu kembali menerjangnya habis-habisan, Koay Ji mau tidak mau harus meladeninya dengan sangat berhati-hati tentunya. Begitupun, mau tidak mau diapun tetap harus sesekali membentur kekuatan lawannya yang menyerangnya dengan membadai. Dan untungnya, dia menguasai iweekang yang mampu meladeni lawan lebih keras dan hebat, baik dengan mementalkan, ataupun mendorong, mengisap maupun membalikkan. Tetapi, kesemuanya itu sayangnya sangat membutuhkan kekuatan iweekang di tingkat puncaknya, mau tidak mau. Sementara mengerahkan iweekang sebesar itu, perlahan namun pasti mendatangkan luka dalam dirinya dan memperparah luka dalamnya. Koay Ji menyadari bahwa lukanya bertambah parah, meskipun sedapat mungkin dia berusaha membuat agar lawannya tidak tahu atau tidak paham bahwa lukanya semakin parah.
Sayang, dia lupa kalau lawannya bukanlah orang sembarangan. Sudah tentu kakek itu sadar bahwa luka dalam tubuhnya perlahan-lahan semakin parah karena dia harus mengerahkan kekuatan di luar takaran dalam pertarungan itu. Lebih celaka lagi, Koay Ji sama sekali tidak diberi nafas dan kesempatan untuk mengambil dan meminum air mujijat yang amat dibutuhkannya untuk memulihkan diri dan juga tentu iweekangnya. Karena itu, luka-luka dalam Koay Ji justru semakin bertambah parah dari waktu ke waktu, dan hal itu disadarinya hingga diapun mulai memikirkan jalan bertarung yang lain. Sekali lagi, lawannya orang yang cerdas, awas dan sekaligus amat berpengalaman, dan karena itu, semua strategi Koay Ji bisa dibacanya baik cepat maupun agak lambat.
Maka pada akhirnya, Koay Ji pun terus menerus dan harus berusaha mati-matian melakukan perlawanan serta berusaha sedapat mungkin menghindari kontak pukulan antara mereka berdua. Dan untuk itu, sama saja dengan keadaan Siauw Hong pada arena di sebelahnya, pada ahirnya diapun banyak menggunakan Ilmu Thian Liong Pat Pian. Tetapi, jauh melebihi Siauw Hong, dia berputar-putar dan mengelilingi tubuh lawan dengan kecepatan seadanya dan menyesuaikan dengan watak dan karakter jurus serangan kakek mujijat itu. Kadang cepat berkelabat dan kadang dengan gerak yang lamban tetapi mampu menggagalkan dan memunahkan serangan kakek itu. Tetapi, ujung pukulan dan jurus serangannya biasanya bertemu dengan pukulan balasan ataupun pukulan "pencegat" dari kakek itu, sehingga tetap saja benturan mereka tak terhindarkan.
Keadaan seperti itu, jelas membuat keadaan dan posisi Koay Ji terlihat sangatlah repot dan semakin mengenaskan. Hebatnya, meski situasinya amat sulit pada saat itu, tetapi Koay Ji tetap berusaha bersikap tenang dan tidak terpengaruh oleh lawan yang terus mencecarnya. Keadaan itu membuat lawannya juga tidak terlihat merasa di atas angin, melainkan harus terus berusaha menciptakan suasana dan situasi yang lebih baik. Apalagi karena sesekali Koay Ji menyentil dengan Ilmu Ci Liong Ciu Hoat dan membuat terjangan pukulan kakek itu seringkali tertahan atau jika tidak, bergeser dari sasaran utamanya.
Menghadapi keadaan tersebut, kakek itu tiba-tiba bergerak semakin lambat dan kedua lengannya bisa diikuti pandangan mata telanjang pergerakannya. Tetapi, saat itu justru Koay Ji merasa tersentak, karena lawan bergerak penuh dengan tenaga murninya. Dengan kata lain, lawannya mulai mengajak adu tenaga dan akan sangat repot jika diladeninya berhubung dia sedang sedikit terluka akibat pertarungan yang diganggu oleh ilmu sihir tadi. Tetapi, jika dia menggunakan ilmu menghindar, maka kawan-kawannya atau mereka yang berada di luar arena dan berada di dekatnya sangat mungkin terkena tenaga pukulan yang lolos dari tangkisannya. Tidak. Koay Ji bukanlah orang yang akan membiarkan kawan-kawannya terluka dalam keadaan dan kondisi seperti itu. Dia memutuskan akan melawan kekuatan hebat tersebut, meskipun apa boleh buat, dia harus mengerahkan kekuatan hebat, kekuatan penuh untuk menangkis dan terus bertarung melawan kakek itu. Koay Ji sadar, dirinya ada dalam posisi sulit, tetapi adu dna tarung mereka yang beresiko besar melukainya harus dia jawab dan harus dia lawan.
Apa boleh buat. Dia tidak mempunyai waktu yang panjang untuk menimbang, apa dia harus melawan ataukah menghindar dengan konsekwensi yang sudah dia tahu. Dan dia lebih memutuskan untuk melawan atau melakukan perlawanan. Segera Koay Ji memusatkan kekuatannya dan memilih untuk mengutamakan iweekang Pouw Tee Pwee Yap Sinkang dengan pilihan mempelesetkan atau menggiring kesamping kekuatan tenaga menyerang lawan yang hebat itu. Dia agak khawatir menggunakan kekuatan iweekang gabungan, berhubung kekuatan iweekangnya sulit dikerahkan sampai pada kekuatan puncaknya. Karena itu, dia memutuskan untuk menggunakan salah satu iweekang andalannya dan sudah langsung bersiap untuk melakukan perlawanan.
Kakek itu sudah segera tahu pilihan Koay Ji dan dia tersenyum sejenak, dan Koay Ji sudah paham apa yang akan segera terjadi dengan rangkaian serangan lawan. Karena itu, keduanya saling pandang dan mulai saling ukur kemampuan dengan kakek itu terlihat tersenyum aneh dan sinis. Saat itulah untuk pertama kalinya Koay Ji melihat secara penuh wajah kakek itu, juga sinar matanya yang terlihat cerdik namun sayang agak jalang dan liar dan seperti tidak stabil emosinya. Sinar mata manusia yang memang terlihat cerdas, sangat pintar, namun tidak memiliki landas moral dan landas rasa kemanusiaan yang memadai, hingga rela dan sanggup menyiksa dan membunuh dengan mudah. Mulailah Koay Ji merasa pantas jika Bu Tek Seng Ong menjadi seperti sekarang, karena kelihatannya kakek inilah backing dan penopang utama mereka.
Bahkan juga, kelihatannya sejak kasus lama dimana Pek Kut Lodjin membawa drama dan terror berdarah di Tionggoan, konon disebabkan manusia satu ini. Terror dan kejadian berdarah puluhan tahun lalu, kelihatannya juga erawal dari tokoh hebat yang emosinya sangat labil ini. Dan kini, terror itu menjadi tanggungjawabnya, sebab jika tidak, maka akan semakin banyak korban yang jatuh dengan sia-sia. Tidak salah lagi, inilah biang keladi utamanya dan bukan Bu Tek Seng Ong yang kelihatannya juga cuma boneka mainan kakek ini. Bukan tidak mungkin Bu Tek Seng Ong yang dipanggil She CIOK itu hanya boneka juga seperti Pek Kut Lodjin dahulu itu. Maka, Koay Ji merasa adalah tugasnya untuk membasmi bibit penyakit berbahaya bagi dunia persilatan Tionggoan ini.
"Awas,,,,," desis kakek itu dan kemudian maju kedepan tanpa melangkah, tahu-tahu saja kedua kakinya bergeser perlahan dan mendekati posisi berdiri Koay Ji di tengah arena. Koay Ji tidak lagi menghindar, sebaliknya dia menggerakkan kedua lengan dan kemudian kakinya bergerak seirama dengan pergerakan kedua kaki lawannya. Tidak lama kemudian merekapun sudah saling adu kekuatan dalam jarak yang cukup dekat, Koay Ji memainkan kombinasi Hian Bun Sin Ciang dengan totokan maut Ci Liong Siu Hoat, sementara lawannya bergerak-gerak aneh dengan gerakan yang belum dikenal Koay Ji. Tetapi, pengetahuannya cukup dalam dan mengenali gerak itu sebagai gerak-gerak khas dari daerah Thian Tok, bercampur Tibet dan malah juga Tionggoan sendiri. Sungguh kaya variasi kakek itu. Sadarlah Koay Ji bahwa kakek itu memang berbahaya, penuh gerakan mujijat dan kekuatannya sangatlah hebat. Diapun masih belum yakin apakah dalam keadaan sehat akan mampu untuk menandingi kekuatan iweekang kakek itu jika digerakkan dengan ilmu dan jurus-jurus pembunuh yang mujijat.
Kakek itu memang hebat luar biasa, Koay Ji sampai harus menguras semua ilmu dan penguasaannya atas Ilmu Ci Liong Ciu Hoat dan memainkan jurus-jurus yang amat aneh dan mematikan. Tetapi, itu hanya mampu memuat si kakek menunda serangannya, tetapi setelah menggeliat beberapa kali, kembali dia menerjang dan menyerang Koay Ji. Kekuatannya memang luar biasa, dan karena itu, dia berhasil membuat Koay Ji kembali harus beberapa kali adu tenaga dengannya. Kondisi ini membuat luka Koay Ji bertambah parah, tetapi, juga celaka bagi kakek itu, karena harus mengerahkan kekuatan sepenuhnya, maka wajahnya mulai memerah tanda-tanda orang yang kelelahan. Koay Ji merasa sedikit terhibur meski berbarengan, juga sedikit khawatir dengan kondisinya yang lukanya semakin bertambah parah. Posisi dan kondisi bertarung yang dilematis bagi Koay Ji, tetapi tetap harus dia lakoni dan hadapi.
Tapi, dalam hal semangat, Koay Ji tetap berkobar melakukan perlawanan. Bahkan kini, diapun meladeni adu kekuatan yang dikehendaki kakek itu, dan perlahan-lahan keduanya sudah lupa dengan keadaan sekeliling dan berkonsentrasi bertarung satu dengan yang lain. Gerakan mereka kadang lamban, kadang cepat tak terikuti, tetapi jangan salah, terserempet sedikit saja, tokoh kelas satu Tionggoan pasti akan modar saking kuatnya tenaga serang menyerang keduanya. Mereka tidak tahu dan sudah tidak memperhatikan lagi apa yang sedang terjadi di arena sekitar tempat mereka bertarung mati-matian itu. Yang penting, mereka melakukan analisa, memikirkan jurus anti serangan lawan, dan menimbang apa yang sebaiknya dilakukan agar mampu memenangkan pertarungan itu.
Mereka malah lupa, sudah berapa jurus adu pukulan dan adu serang dengan ilmu dan jurus-jurus mujijat. Yang pasti, kakek itu semakin kelelahan dan Koay Ji di pihak lain semakin parah luka dalamnya. Tetapi, terus saja keduanya saling beradu ilmu, jurus dan pukulan dengan kekuatan hebat. Koay Ji tidak lagi perduli dengan luka dalamnya, kakek itupun tidak ingat lagi bahwa dia sudah sangat tua dan renta, hingga lama kelamaan kelelahan mulai menggerogoti iweekangnya. Hebatnya, mereka berdua masih tidak mengurangi intensitas penggunaan kekuatan dan yang akhirnya membuat keduanya sama-sama terluka dalam. Tetapi sinar mata iri dan dengki serta rasa ingin melumat dan membunuh Koay Ji masih saja tajam menusuk mengarah Koay Ji. Sementara Koay Ji yang juga sudah terluka parah semakin suram sinar matanya, namun semangat bertarungnya masih sangat besar selama melihat kakek itu masih berdiri untuk menyerang.
Keduanya cukup lama, atau malah sangat lama bertarung dalam kondisi seperti ini, sampai tenaga si kakek terkuras hebat sementara luka Koay Ji juga makin parah. Kini, kelelahan si kakek sudah merambat menjadi luka dalam, sementara luka Koay Ji akibat tarung iweekang, juga semakin parah, dan menghambat mereka bertarung lebih hebat lagi. Orang-orang mulai menunggu, siapa yang akan jatuh duluan dalam posisi yang seperti itu. Mereka menunggu dengan was-was, karena melihat, meski sudah terluka, tetapi serangan dan tenaga pendorong serangan masih tetap hebat, tajam dan kuat menghentak.
Setelah sekian lama semua orang dalam ketegangan sehingga lupa waktu, Mereka berdua yang sedang bertarung pada akhirnya adu kekuatan dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan dan sisa kebugaran masing-masing. Sampai beberapa kali adu pukulan mereka berdua terjadi:
"Duk,,,,,, duk,,,,,, duk,,,,,,,,"
"Hoackkkkk, Hoackkkkkk ...." keduanya, bukan hanya Koay Ji, setelah adu pukulan yang hebat sama terdorong ke belakang dan memuntahkan darah segar. Bahkan Koay Ji sampai terdorong hingga terjengkang ke belakang, sementara kakek yang menjadi lawannya, sama juga terdorong hingga terlentang. Hanya, keadaan kakek itu masih sedikit lebih baik ketimbang Koay Ji, tetapi sama juga terluka dalam dan muntahkan darah dari mulutnya. Kelelahan membuat kakek itu luka dalam karena fisiknya sudah tidak begitu mendukung.
Dan setelah keduanya terlempar ke belakang serta terluka dan masing-masing juga muntahkan darah segar, Koay Ji merasa kepalanya berkunang-kunang namun tetap berusaha sekuat tenaga menahan untuk tetap sadar. Sementara kakek aneh itu terlempar ke belakang dan sudah langsung berusaha untuk berdiri, tetapi tetap agak kesukaran hingga pada akhirnya berusaha untuk duduk. Keduanya jelas terluka cukup parah. Tapi jelas keadaan Koay Ji lebih parah dbandingkan dengan kakek tua lawannya yang memang sakti mandraguna itu. Dan begitu mereka berdua, Koay Ji dan kakek lawannya itu sama terlempar ke belakang terluka, barulah orang banyak mampu melihat seperti apa keadaan kedua yang secara hebat bertarung dalam sebuah arena yang tak terlihat mata itu. Keduanya terluka sama parah, meski masih Koay Ji yang jauh lebih parah, tapi tetap saja saat itu kondisi fisik masing-masing sudah sangat sulit. Dan saat itu, ternyata arena yang lain sudah sama-sama bubar dan kini saling berjaga melihat hasil dari tarung hebat antara mereka berdua. Hasil yang sama-sama terluka.
Memang, Koay Ji dan kakek itu tidak sadar dan tidak lagi tahu bagaimana keadaan arena sekitar mereka beberapa saat setelah mereka saling serang dengan amat serunya. Ketika keduanya memutuskan saling libas dengan kekuatan iweekang masing-masing pada puncaknya, mereka tidak tahu bahwa radius 30-40 meter dari posisi mereka, mengalami pengaruh akibat adu kekuatan hebat keduanya. Mereka tidak sadar jika lontaran maupun angin pukulan keduanya dalam kekuatan iweekang tingkat puncak, membuat arena sekitar mereka terganggu. Bahkan Siauw Hong dan kawan-kawan yang melawan tokoh-tokoh puncak Bu Tek Seng Pay, sampai harus berhenti dan menatap ke pertarungan maut Koay Ji melawan si kakek.
Mereka semua, bahkan termasuk juga Bu Tek Seng Ong sampai melongo ketika menyaksikan efek pertarungan maut yang sungguh belum pernah tersajikan dalam sejarah maut di rimba persilatan Tionggoan sejauh ini. Menakjubkan. Pandangan semua tokoh yang berada disitu terhadap Koay Ji dan kakek lawannya perlahan terbentuk dan sama-sama percaya dan yakin, keduanya adalah sama tokoh sakti mandraguna. Kekaguman terhadap Koay Ji jelas lebih menonjol karena menilik usia yang masih muda, berbeda jauh jaraknya dengan kakek lawannya yang semua tahu sudah amat banyak umurnya itu.
Saat tarung hebat itu berlangsung semakin memuncak, arena lain satu demi satu berhenti bertarung, termasuk arena Khong Yan melawan Mo Hwee Hud, Tio Lian Cu, Sie Lan In, Kim Jie Sinkay dan semua tokoh pendekar lainnya. Mereka semua perlahan-lahan membentuk lingkaran untuk menikmati pertarungan langka yang amat hebat, dengan para pahlawan secara otomatis membentuk setengah lingkaran yang membelakangi pintu masuk markas dan pihak Bu Tek Seng Ong memilih posisi yang membelakangi tebing bagian belakang markas Bu Tek Seng Pay. Tidak ada yang sadar bagaimana pengelompokkan itu terjadi, karena memang semua orang terkuras perhatiannya oleh pertarungan luar biasa dengan kekuatan mujijat yang diperagakan kedua tokoh hebat yang terus bertarung.
Kadang mereka berdua yang bertarung, melakukan serang dan bertahan dalam gerakan lambat namun kekuatan yang memancar sangatlah hebat dan luar biasa. Kadang dilain waktu, mereka bergerak cepat dan bahkan tidak terlihat tubuh mereka dari luar arena oleh mereka yang berilmu hebat sekalipun, kecuali tokoh-tokoh sekelas Bu Tek Seng Ong, Sie Lan In dan tokoh hebat lainnya. Pendeknya kedua tokoh yang bertarung dalam arena tersebut benar-benar mendatangkan rasa kagum yang luar biasa. Penonton sampai ternganga dan kini memutari arena menyaksikan pameran ilmu-ilmu hebat dan jurus-jurus sederhana yang digunakan namun terlihat bermanfaat dan sangat berguna.
Dalam keadaan seperti itu, saat dimana semua pendekar membentuk setengah lingkaran mengelilingi arena maut Koay Ji melawan si kakek aneh, dan setengah lingkaran lainnya adalah pasukan Bu Tek Seng Pay, maka Panglima Arcia melawan Geberz, juga berlangsung seru. Inilah arena kedua, satu-satunya arena yang tersisa selain Koay Ji melawan si kakek. Tidak ada satupun dari pasukan Liga Bangsa Persia yang menonton pertarungan Koay Ji saat itu, mereka khusus menjaga arena Panglima Arcia melawan Geberz. Sementara pasukan Bu Tek Seng Pay sendiri, menyisakan beberapa orang dan tokoh untuk ikut menunggui dan menjaga pertarungan itu. Pertarungan dan arena lain yang juga sebenarnya tidak kalah hebat dengan tarung maut yang sedang disaksikan nyaris semua orang disitu dan membuat tarung massal terhent sejenak. Tang pasti, Panglima Arcia saat itu sudah sedang berada di atas angin dang mendesak lawannya, meskipun untuk menang, dia masih akan membutuhkan waktu yang cukup panjang dan lama.
Dan Panglima Arcia jelas paham dengan posisinya, sama dengan Geberz yang juga tetap bertarung hebat dan paham bahwa dia tidak dapat berharap bantuan orang lain setelah melihat betapa tokoh mujijat andalan mereka juga sedang bekerja keras. Hal lain tidak dapat lagi diikutinya, termasuk dimana posisi Rajmid Singh dan juga kawan-kawannya yang lain. Semua pasti sedang bekerja keras. Posisinya yang makin sulit, pada akhirnya membuat dia memutuskan, bahwa ketimbang menunggu bantuan orang lain, termasuk saudara seperguruannya, lebih baik bersandar atas kemampuan sendiri dan terus bertarung. Itulah sebabnya Geberz melakukan tarung seru melawan Panglima Arcia yang memang dia tahu berniat keras dan punya alasan kuat mengejarnya hingga ke Tionggoan.
Pendekar Penyebar Maut 9 Kedele Maut Karya Khu Lung Senopati Pamungkas 31
^