Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 11

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 11


memang menyediakan ikan yang biasa mereka ambil.
Demikianlah, selama enam hari mereka mencoba terus mencari Tio Ciu In. Pada hari
ke tiga Giam Pit Seng menemukan tali rambut muridnya itu, sehingga mereka
menjadi bersemangat kembali. Tapi penemuan itu ternyata merupakan petunjuk
mereka yang terakhir. Selanjutnya mereka tak pernah menemukan apa-apa lagi.
Hingga pada hari yang ke tujuh mereka mulai putus asa.
"Bagaimana menurut pendapat Lo-jin-ong" Apakah Tio Ciu In masih hidup atau
mati?" Giam Pit Seng bertanya kepada sesepuhnya.
"Entahlah, Pit Seng. Sama sekali tak ada gambaran yang dapat menjadi petunjuk
untuk meramalkan hal itu. Pikiran dan perasaanku serasa gelap dan buntu.
Tetapi kecil rasanya kemungkinan untuk hidup bagi anak itu...."
"Hmmh, Si Keparat Ho Bing itu juga tidak muncul pula. Dialah yang menjadi gara-
gara semua ini. Ah, Locianpwe... apa yang harus kita kerjakan sekarang?"
Liu Wan berdesah dengan suara tersendat-sendat.
"Apa boleh buat, kita telah berusaha selama enam hari di sini. Kami terpaksa
pulang." Liu Wan duduk termangu-mangu. Semua bayangan Tio Ciu In selama ini kembali
terbayang di depan matanya. Senyumnya. Cara bicaranya.
829 Demikianlah, seperti apa yang dikatakan oleh Lojin-ong, walaupun sangat berat
mereka terpaksa meninggalkan tempat itu. Mereka harus kembali, karena banyak
tugas yang harus mereka lakukan selain itu.
Liu Wan sendiri selama hampir sebulan masih tetap mondar-mandir di pantai
tersebut. Pemuda itu masih berharap dapat bertemu kembali dengan Tio Ciu In.
Tapi setelah sekian lamanya tidak juga bersua, akhirnya pupus juga harapannya.
Dengan sedih dia pergi melanjutkan pengembaraannya. Kenangan tentang gadis ayu
itu dibawanya ke mana pun dia pergi.
-- o0d-w0o -- LIMA TAHUN kemudian.... Waktu lima tahun memang tidak terlalu lama.
Namun selama kurun waktu yang tidak terlalu lama itu ternyata telah banyak
sekali perubahan yang terjadi di negeri Tiongkok. Pasukan Mo Tan dengan
panglima-panglimanya yang gagah berani telah banyak menyusup ke selatan. Mereka
melewati Tembok Besar, kemudian menyerang dan menguasai beberapa kota kecil di
sepanjang Sungai Ho-ang-ho.
Sementara itu pemberontakan suku-suku kecil di hulu Sungai Yang-tse juga semakin
merajalela. Begitulah, hanya dalam waktu lima tahun semenjak Au-yang Goanswe memperoleh
kepercayaan penuh 830 dari Permaisuri Li, maka suasana di dalam negeri pun mulai berubah buruk. Cita-
cita untuk mencapai negeri yang aman dan nyaman, yang telah dirintis oleh
Permaisuri Li semenjak wafatnya Kaisar Liu Pang, mulai goyah dan siap untuk
runtuh kembali. Dengan kekuasaannya yang besar, Au-yang Goanswe menguasai para menteri dan
penasehat kerajaan. Dengan siasat dan kelicikannya pula, Auyang Goanswe
memfitnah Panglima Besar Yap Kim, sehingga pahlawan yang berjasa besar terhadap
negara itu justru dibuang dan dipenjarakan oleh Permaisuri Li.
Oleh karena secara diam-diam di kotaraja sendiri terjadi persaingan dan
permusuhan di antara para penguasanya, maka di daerah pun suasananya juga
semakin jelek dan rusuh. Para Gubernur atau Raja Muda yang berkuasa di luar kota
raja, seolah-olah tidak terkendali lagi. Dengan longgarnya pengawasan dari
pusat, maka kekuasaan mereka benar-benar melebihi kaisar sendiri.
Penjahat merajalela, sementara para penguasa di daerah pun tidak kalah buruknya
daripada mereka. Rakyat kecil menjadi ketakutan, karena merekalah yang akhirnya menjadi korban
kebrutalan itu. Para petani tidak berani sembarangan turun ke sawah. Selain banyak penjahat yang
mengancam mereka, hasil sawah mereka pun belum tentu dapat mereka nikmati dengan
baik. Kalau bukan perampok yang menjarah-rayah hasil panenan mereka itu, para
831 penguasa lalim pun sering mengambilnya dengan dalih untuk negara. Begitulah,
mereka yang bermandi keringat, tetapi orang lain yang berpesta pora. Bagi mereka
cukup diberi jatah sebagian kecil saja dari hasil sawah ladang mereka itu.
Suasana negeri yang demikian itu juga menimbulkan pelecehan terhadap wanita
secara semena-mena. Penculikan, perkosaan, dan segala tindak kekerasan terhadap
wanita terjadi di mana-mana.
Tentu saja keadaan itu menimbulkan gelombang kemarahan dari para pendekar
persilatan. Muncullah dewa-dewa penyelamat yang berusaha melindungi rakyat
banyak. Meraka secara sendiri-sendiri atau berkelompok, memburu para penjahat
itu dan berusaha untuk mengenyahkan mereka.
Maka bentrokan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Dunia persilatan menjadi gempar oleh pertempuran-pertempuran mereka. Korban
segera berjatuhan di antara dua golongan itu. Mereka tidak mengindahkan
peraturan dan hukum negara lagi. Hanya hukum alam yang berlaku di kalangan
mereka. Siapa yang lebih kuat, dialah yang menang.
-- o0d-w0o -- SEMENTARA itu suasana prihatin terasa mengambang di seluruh negeri. Ibu Suri Li,
yang pada tahun-tahun pertama memegang kekuasaan sangat 832
disukai rakyat, kini sedang menderita sakit. Oleh karena Pangeran Mahkota Liu
Wan Ti, yang seharusnya menggantikan kedudukannya belum juga ditemukan, maka
untuk sementara waktu kekuasaan negeri terpaksa dilimpahkan kepada Tujuh
Menteri. Mereka dibantu oleh Dewan Penasehat Kerajaan yang terdiri dari sepuluh orang.
Aturan yang berlaku memang tertulis demikian.
Namun di antara aturan yang tertulis dan kenyataan yang ada ternyata sangat
berlainan. Resminya saja kekuasaan ada pada Tujuh Menteri dan Sepuluh Dewan
Penasehat Kerajaan, tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya kekuatan
apa-apa. Au-yang Goanswe yang sekarang memiliki kekuatan sangat besar, justru lebih
berkuasa daripada Tujuh Menteri itu. Dengan dukungan Pasuka,n Kim-i-wi dan Gin-
i-wi, ditambah lagi dengan bantuan sebagian besar Panglima Kerajaan yang
terbujuk oleh rayuannya, maka kekuasaannya justru lebih menentukan daripada
mereka. Sebagai seorang pembesar yang mendapat kepercayaan dari Ibu Suri atau bekas
Permaisuri Li, apalagi kini memiliki kedudukan sebagai Panglima Besar Bala
Tentara Kerajaan, maka Jenderal Au-yang merupakan orang terkuat di kota raja.
Dan semua yang didapatnya tersebut memang merupakan cita-citanya semenjak dulu.
Melalui jalan yang sangat panjang, disertai dengan segala macam cara dan tipu
daya, jenderal yang 833 menyimpan dendam kesumat terhadap Dinasti Han itu, akhirnya berhasil
menyingkirkan hampir semua lawannya. Impian dan cita-citanya untuk mengembalikan
pamor Keluarga Beng, serta melampiaskan dendam ayahnya terhadap Keluarga Kaisar
Liu Pang, tinggal beberapa langkah lagi.
Dua puluh tahun lalu, pada permulaan langkahnya, Au-yang Goanswe berhasil
menyingkirkan Pangeran Liu Yang Kun dari lingkungan istana. Walaupun tidak dapat
membunuh pangeran mahkota yang tersohor sangat sakti mandraguna itu, namun
dengan segala tipu dayanya Au-yang Goanswe mampu
menyingkirkannya, bahkan juga sekalian melenyapkan seluruh keluarganya.
Setelah langkah pertama itu terlaksana, Au-yang Goanswe lalu mengincar Pangeran
Liu Wan Ti, adik Pangeran Liu Yang Kun. Tetapi sebelum rencana tersebut
dilaksanakan, pangeran muda itu sudah keburu meloloskan diri dari istana. Pergi
entah ke mana. -- o0d-w0o -- 834 JILID XX AMUN kepergian Pengeran Liu Wan Ti
tidak mempengaruhi kelangsungan
rencana Au-yang Goanswe selanjutnya.
N Jendral tua yang sudah teracuni dendam kesumat itu segera meneruskan
rencananya. Dan langkah berikutnya,
langkah yang paling berat dan sulit dilakukan, yaitu menyingkirkan Panglima
Besar Bala Tentara Kerajaan, Panglima Yap Kim beserta para perwira
kepercayaannya. Namun sekali lagi dengan tipu daya dan kelicikannya, Au-yang
Goanswe juga berhasil menjatuhkan dan menyingkirkan mereka pula.
Bahkan salah seorang di antara perwira tinggi yang ikut tersingkir bersama
Panglima Yap Kim itu adalah Kong-sun Goanswe, Komandan Pasukan Rahasia Kerajaan,
yang menjadi saingan beratnya selama ini.
Panglima Yap Kim dituduh berkhianat dan dianggap bersalah terhadap kerajaan,
sehingga Ibu Suri Li lalu mencopot jabatannya dan membuangnya ke Benteng Langit,
yaitu sebuah bangunan kuno yang didirikan di atas pulau karang kecil di tengah-
tengah aliran Sungai Huang-ho. Ketika Liu Pang naik tahta, bangunan kokoh kuat
seperti benteng tersebut diubah fungsinya menjadi sebuah penjara.
Sedangkan Jenderal Kong-sun yang sebelumnya merupakan Komandan Pasukan Rahasia
Kerajaan, yang juga dianggap bersalah karena tidak mengetahui 835
pengkhianatan. Panglima Yap Kim, dipindah ditugaskan ke daerah perbatasan bagian
utara. Jenderal Kong-sun yang mahir ilmu perang itu hanya ditugaskan sebagai komandan
pasukan kecil yang mengawasi suku bangsa liar di luar Tembok Besar.
Dan selama lima tahun itu pula, Au-yang Goanswe masih selalu menyelenggarakan
Perlombaan Mengangkat Arca di setiap peringatan Tahun Baru.
Dengan cara yang sangat rahasia ia masih tetap mencari pemuda bertatto naga,
yang dicurigai sebagai keturunan Pangeran Liu Yang Kun. Semua anak keturunan
Kaisar Liu Pang harus dilenyapkan. Namun demikian dengan dalih perlombaan
tersebut dia juga berhasil mengumpulkan jago-jago silat kelas tinggi untuk
diangkat menjadi pengawalnya.
Persahabatan rahasia dengan Raja Mo Tan juga masih tetap dilakukan oleh Au-yang
Goanswe. Meskipun persahabatan tersebut terasa mulai mengendor setelah Au-yang Goanswe
merasa dirinya kuat dan tidak memerlukan bantuan lagi.
Demikianlah, setelah semua lawannya tersingkir, maka perjalanan cita-cita Au-
yang Goanswe tinggal beberapa langkah lagi.
Rencananya sekarang adalah menunggu kematian Ibu Suri Li. Setelah Pemangku
Kekuasaan Negeri yang sedang sakit berat itu meninggal dunia, maka Au-yang
Goanswe merencanakan untuk mengangkat dirinya menjadi Wali Kerajaan. Dengan
kekuasaan dan dukungan para pengikutnya, Jenderal Au-yang 836
yakin bahwa rencananya itu akan mudah dilaksanakan. Kemudian pada suatu saat
yang tepat nanti, ia akan mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar. Dan pada
saat itu dia akan menggunakan nama marga Beng kembali.
Begitulah, dalam suasana penuh keprihatinan itu, Au-yang Goanswe beserta para
pendukungnya justru tidak sabar lagi dalam menunggu berita kematian dari istana.
Di dalam istananya yang besar dan megah, yang dibangun di atas puing-puing
reruntuhan istana Pangeran Liu Yang Kun, Au-yang Goanswe terus mengikuti semua
perkembangan di istana Kaisar.
Tiba-tiba seorang prajurit kelihatan berlari melintasi halaman istananya.
Prajurit itu berlari ke gardu jaga dan melaporkan maksudnya kepada perwira yang
berada di sana. Perwira tua itu mengerutkan keningnya, lalu bergegas masuk ke
ruang dalam. "Goanswe...! Ada berita dari istana bahwa Menteri Si Sun Ong dan Kui Hua Sin
memasuki Ruang Pertemuan. Bahkan di ruang itu juga sudah siap pula beberapa
orang dari Dewan Penasehat Kerajaan. Beng Goanswe menduga, mereka akan
membicarakan sesuatu yang sangat penting...." Perwira tua itu melapor.
Au-yang Goanswe yang sedang minum teh bersama para pembantu dekatnya, cepat
meletakkan cangkirnya. Wajahnya berseri-seri.
837 "Bagaimana dengan... Ibu Suri" Apakah... sudah ada kabar tentang dia?" Au-yang
Goanswe berdiri dan bertanya penuh semangat.
Perwira tua itu memberi hormat dengan cepat.
"Sama sekali belum ada berita, Goanswe."
Jenderal Au-yang menggeram dengan suara kesal.
"Lalu... apa maksud pertemuan mereka" Apakah mereka ingin menyusun rencana untuk
melawan aku, heh" Lao Cing, pergilah ke istana menemui Beng Cun! Selidiki, apa
maksud pertemuan itu!"
Seorang perwira Kim-i-wi yang sedang tidak berdinas dan sedari tadi berada di
dekat Au-yang Goanswe, segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu!
Di luar pendapa perwira Kim-i-wi itu memanggil para pengawalnya, kemudian
bersama-sama meninggalkan istana itu dengan naik kuda.
Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang perwira berseragam lusuh, naik
kuda diiringkan sekelompok prajurit penjaga pintu gerbang kota.
Perwira itu tampak sangat kusut dan kelelahan. Baju seragamnya tampak kotor
penuh debu, sementara topi kebesarannya hanya digantungkan pula di belakang
punggungnya. Rambutnya yang tebal dibiarkan lepas tertiup angin.
Dilihat dari penampilannya bisa diduga bahwa usia perwira itu tentu belum ada
empat puluh tahun. Namun kalau dilihat dari sikap dan penampilannya, maka dapat ditebak bahwa
perwira itu tentu telah 838
banyak mengarungi ganasnya medan pertempuran.
Apalagi kalau dilihat dari beberapa luka yang tergores di wajah dan tangannya.
"Siapa perwira yang datang berpapasan dengan kita itu, Prajurit?" Perwira
berpakaian lusuh itu bertanya kepada prajurit yang mengawalnya.
"Beliau... Jendral Lao Cing, Wakil Komandan Pasukan Kim-i-wi, Yo Ciang-kun!"
"Jendral Lao Cing" Ah, sudah belasan tahun aku di perbatasan sehingga tak
mengenal lagi rekan-rekanku di kota raja. Hmm! Semua sudah berubah. Dia telah
menjadi jendral sekarang."
"Ciangkun pernah bertemu dengan Lao Goanswe?"
Prajurit itu bertanya pula.
Yo Ciangkun yang berseragam lusuh itu tersenyum kecut, kemudian menggebrak
kudanya agar berjalan lebih cepat. Ketika berpapasan dengan rombongan Lao
Goanswe, Yo Ciangkun cepat mengangkat tangannya. Karena terlalu lama di
perbatasan, maka sopan-santun keprajuritannya juga tidak sekuat dulu lagi.
Apalagi yang dia jumpai adalah bekas teman dekatnya. Tangannya tetap teracung
untuk memberi hormat, namun mulutnya berkata seenaknya.
"Wah, Saudara Lao! Apa khabar" Tidak kusangka kita bisa bertemu lagi...!"
Jendral Lao kelihatan tersentak di atas kudanya.
Pandangan matanya berkilat tegang, sementara dahinya berkerut melihat ke arah Yo
Ciangkun. Melihat sikapnya mudah diduga bahwa hatinya 839
merasa kurang senang menyaksikan kelancangan Yo Ciangkun.
Mereka berhadapan dalam jarak yang amat dekat.
Dan baru beberapa saat kemudian Jendral Lao dapat mengingat wajah Yo Ciangkun.
Namun wajah jendral itu tidak berubah ketika membalas sapaan Yo Ciangkun. Bahkan
suaranya berkesan acuh dan dingin.
"Ah, kau... Yo Keng" Mengapa kamu berada di sini?"
Yo Ciangkun terkesiap. Namun demikian dia segara menyadari kekeliruannya. Kini
semuanya telah berubah dan keadaannya tidak seperti dulu lagi.
Sekarang Lao Cing telah menjadi jendral, bahkan elah menjadi Wakil Komandan
Pasukan :Kim-i-wi yang termashur itu. Tentu saja dia bukan apa-apa dibandingkan
Lao Goanswe. Apakah arti seorang perwira rendah dari daerah perbatasan seperti
dia" "Aaah, celaka! Bodoh benar aku!" Geramnya menyesali diri.
Yo Keng cepat turun dari kudanya. Sambil membungkuk dia memberi hormat. "Maafkan
aku, Lao Goanswe. Terimalah hormatku." Ucapnya tergesa untuk memperbaiki
kekeliruannya. Wajah Lao Goanswe justru semakin keruh. Apa yang dilakukan Yo Keng tersebut
malah berkesan meledek atau mengolok-olok dirinya.
840 "Yo Keng, jangan bergurau! Katakan saja apa keperluanmu di tempat yang bukan
menjadi daerah tugasmu ini?"
Sekarang ganti Yo Keng yang kaget. Tidak terduga langkah pertamanya di kota raja
justru jatuh di bara api yang berbahaya. Padahal kedatangannya ke kota raja
membawa persoalan penting bagi pasukannya di perbatasan.
"Aku... ah, maafkanlah aku. Aku menjadi gugup sekali, karena aku harus segera menemui Menteri Kui Hua Sin." Yo Keng menjadi bingung

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan salah ting- kah. Lao Cing tetap berada di atas punggung kudanya. Sama sekali ia tak mau turun menyambut kedatangan teman dekatnya itu. "Mengapa harus menemui Menteri Kui Hua Sin"
Apakah tidak dapat disampaikan kepada orang lain?"
841 "Ah, bukan begitu maksudku." Yo Keng buru-buru menjelaskan. "Persoalan yang
kubawa ini bukan persoalan biasa. Tapi menyangkut persoalan negara.
Aku akan dianggap bersalah, bahkan bisa \dianggap membocorkan rahasia kerajaan,
kalau persoalan yang kubawa ini kukatakan kepada orang lain. Jadi, hanya kepada
Pemangku Kekuasaan Negeri saja hal ini harus kukatakan. Maafkanlah aku... "
Mata Jendral Lao Cing yang sipit itu tampak berkilat-kilat lagi. Namun kali ini
mengandung sinar keji dan licik. Hal itu dapat dilihat dari sikapnya yang
mendadak berubah ramah dan bersahabat.
"Baiklah. Aku takkan mencampuri urusanmu. Tapi ketahuilah, hari ini Menteri Kui
Hua Sin dan Menteri-menteri lainnya sedang mengadakan pertemuan di istana.
Bahkan mereka sedang mengadakan pertemuan dengan Dewan Penasehat Kerajaan. Lebih
baik kau datang nanti sore saja. Percuma kau datang ke sana. Tak seorang pun
diperbolehkan masuk ke istana...."
Yo Keng semakin bingung. "Tapi... apa yang harus kuperbuat" Laporan itu tidak
boleh ditunda-tunda lagi.
Kong-sun Goanswe akan marah sekali kalau laporan itu sampai terlambat."
"Yaa, kalau begitu... kau bisa mencobanya. Mudah-mudahan Beng Goanswe
mengijinkan niatmu. Nah, selamat jalan. Kuharap kita bisa bertemu lagi."
Selesai berbicara, Lao Goanswe menghentakkan tali kudanya, sehingga kudanya
melompat ke depan 842 dengan garangnya. Para pengawal cepat memacu kuda mereka pula, takut
ketinggalan. "Lao Goanswe...!!!" Yo Keng berseru gugup, tapi Lao Cing dan anak buahnya tak
ada yang peduli lagi. Mereka tetap memacu kuda dengan kencang.
Yo Keng menundukkan mukanya. Sekarang dia benar-benar memaklumi ucapan Kong-sun
Goanswe tentang keadaan di kota raja. Kota raja sekarang memang sudah berubah
dan amat berbeda dengan keadaan lima atau enam tahun lalu. Orang tidak dapat
lagi membedakan mana kawan dan mana lawan.
Istana Kaisar penuh dengan serigala-serigala berbulu angsa, yang setiap saat
bisa berubah wujud untuk menikam kawan sendiri dari belakang.
"Benar juga kata-kata Kong-sun Goan swe.
Semuanya sudah berubah. Ternyata aku pun tak bisa mengenali kawanku pula.
Sungguh tak kusangka. Padahal aku benar-benar mengenalnya di masa-masa yang lalu. Hemmmm....!"
"Yo Ciangkun, kau tidak apa-apa bukan" Mengapa Yo Ciangkun tidak sekalian minta
tolong kepada Jendral Lao" Dia dapat membawa Yo Ciangkun masuk ke istana...."
Tiba-tiba Yo Keng terkejut mendengar suara prajurit pengawalnya.
Yo Keng menghela napas panjang. "Kau benar, Prajurit. Bagaimana aku bisa lupa
bahwa dia adalah Wakil Komandan Pasukan Pengawal Istana" Tentu saja dia dapat
memasukkan siapa saja ke istana."
843 "Lalu... apa yang akan Yo Ciangkun lakukan sekarang?"
"Apa boleh buat. Aku terpaksa ke istana untuk menemui Lao Goanswe lagi. Biarlah
aku akan sedikit mengalah kepadanya. Dalam keadaan begini, kepentingan negara di
atas segala-galanya."
"Kalau begitu kami akan mengantar Yo Ciangkun ke istana." Prajurit itu berkata
pula. Demikianlah, Yo Keng lalu meneruskan
perjalanannya ke istana. Prajurit-prajurit penjaga Pintu Gerbang Kota itu
mengantarnya sampai di depan pintu halaman istana. Di sana mereka diterima oleh
para pengawal istana berbaju emas, yang biasa disebut pasukan Kim-i-wi (Pasukan
Baju Emas). "Aku Yo Keng, perwira dari pasukan ke tiga di perbatasan utara. Aku
diperintahkan Kong-sun Goanswe untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin, yang saat
ini sedang mengadakan pertemuan dengan Dewan Penasehat Kerajaan. Antarkan aku
menghadap Beliau. Penting sekali. Inilah tanda pengenalku dari Pasukan
Perbatasan." Yo Keng mengeluarkan selembar perak sebesar tapak tangan bertuliskan huruf
"SENG" dari emas, yang merupakan tanda kebesaran pasukan Kong-sun Goanswe di
perbatasan. "Baiklah, Ciangkun. Kami akan melaporkan masalah ini ke atasan kami. Kebetulan
Beng Goanswe sedang berbincang-bincang dengan Lao Goanswe di Gedung Bendera."
844 "Tunggu! Mengapa aku tidak kalian bawa langsung ke Ruang Pertemuan itu" Laporan
yang hendak kusampaikan kepada Menteri Kui Hua Sin ini tidak boleh terlambat.
Tolonglah...!" "Maaf, kami tidak bisa, Ciangkun. Pada saat-saat seperti ini tak seorang pun
boleh masuk ke tempat itu.
Hanya Beng Goanswe dan Lao Goanswe yang berhak mengijinkan orang ke sana."
Yo Keng berdesah. Hatinya mulai kecewa dan ragu.
Ragu akan keberhasilan tugasnya. Sebelum dia berangkat, Kong Sun Goanswe sudah
mengatakan bahwa tugasnya ini akan banyak menghadapi rintangan. Terutama dari
orang-orang yang kini berkuasa, yang pada lima tahun lalu telah memfitnah
Panglima Yap Kim dan Kong-sun Goanswe. Dan ramalan itu ternyata benar. Kini
hidungnya sudah mulai mencium bahaya yang akan tiba.
"Baiklah. Sekali lagi aku akan mencoba untuk membujuk dan memberi pengertian
kepada Beng Goanswe dan Lao Goanswe. Kalau mereka masih tetap tidak memberikan
ijin, yaaaa... aku terpaksa nekad masuk ke dalam, walaupun taruhannya adalah
nyawa." Sambil menunggu Yo Keng bergumam di dalam hati.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan Yo Keng. Utusan Jendral
Kong-sun itu melihat Jendral Beng sendiri yang keluar menemuinya. Sedang Lao
Goanswe, yang dikatakan sedang berbicara dengan jendral itu, tidak tampak 845
batang hidungnya. Mungkin menunggu di ruangan dalam.
"Yo Ciangkun..." Ayoh, masuklah!" Dengan ramah Beng Goanswe mempersilakan Yo
Keng masuk. Yo Keng dibawa Beng Goanswe ke Ruang
Bendera. Beberapa orang prajurit Kim-i-wi tampak berjaga-jaga di dalam ruangan
itu. Namun demikian Yo Keng tidak melihat Lao Goanswe di sana.
"Yo Ciangkun, duduklah! Jangan khawatir!
Sebentar lagi kau akan diantar ke Ruang Pertemuan.
Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk memberitahukankan kedatanganmu kepada
Menteri Kui. Sekarang bersihkan dulu badanmu, agar penampilanmu tidak memalukan
di hadapan Beliau...!"
Yo Keng tidak dapat menolak sambutan yang ramah tersebut. Dia menurut saja
ketika dibawa ke Ruangan Belakang dan diberi sepasang pakaian bersih. Bahkan dia
juga tidak bisa menghindar pula ketika diajak minum teh lebih dahulu.
Sama sekali Yo Keng tidak menyadari akan tipu muslihat dan kelicikan lawan-
lawannya. Begitu teh di dalam cangkirnya habis, tiba-tiba kepalanya terasa
berputar. Semakin cepat, sehingga tubuhnya seperti mengambang di udara. Dan
sebentar kemudian semua yang dilihatnya menjadi gelap.
"Bagus! Nah, prajurit... geledah tubuhnya!" Tiba-tiba Lao Goanswe muncul dari
ruangan dalam dan memberi perintah kepada para prajurit pengawalnya.
846 "Kau yakin dia membawa surat rahasia Kong-sun Goanswe?" Beng Goanswe bertanya
kepada Lao Goanswe, wakilnya.
Lao Goanswe mengangguk. "Ya! Lihatlah sarung pedangnya itu! Aku yakin dia
menyembunyikan sesuatu di sana. Sejak bertemu di jalan tadi, kulihat dia tak
pernah melepaskan benda itu."
"Benar, Goanswe. Ada surat di sini." Prajurit yang menggeledah Yo Keng tiba-tiba
berseru sambil memperlihatkan gulungan kain berwarna putih.
"Apa isinya?" Beng Goanswe yang tidak sabar menunggu cepat mendesak.
Lao Cing memberikan gulungan kertas itu setelah membaca isinya. Dia tampak puas
walaupun masih kelihatan tegang.
"Nah, Beng Goanswe... dugaanku benar, bukan"
Aku mengenal Yo Keng sudah puluhan tahun lamanya. Aku tahu betul siapa dia.
Turun-temurun keluarganya adalah prajurit. Jangan harap bisa mempengaruhi atau
memaksa dia. Orang seperti dia bersedia mati atau berkorban apa saja demi
keyakinannya. Dan prajurit tangguh seperti dia, selalu mempersiapkan tindakannya
dengan cermat dan teliti.Tampaknya saja dia sendirian, tapi sebenarnya tidak.
Aku yakin beberapa orang pengawalnya berkeliaran mengawasinya dari jauh. Kalau
tadi kita bersikap keras dan main paksa kepadanya, yaah...
jangan harap surat ini bisa jatuh ke tangan kita.
Sebelum kita dapat meringkusnya, dia akan memberi 847
isyarat kepada kawan-kawannya. Dan sebelum kita menggeledahnya, dia akan lebih
dulu menghancurkan surat ini dengan pedangnya...."
Beng Goanswe mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau benar. Yo Keng membawa berita buruk bagi kita. Kong-sun Goanswe melaporkan
bahwa Pangeran Liu Wan Ti sudah ditemukan, dan sekarang berada dalam lingkungan
pasukannya. Wah, gawat! Seharusnya orang itu kita buang saja sejak dulu, sehingga tidak menimbulkan
kesulitan seperti sekarang. Hmmm, kita harus cepat-cepat memberitahukan hal ini
kepada Au-yang Goanswe. Berita ini sangat berbahaya bila sampai di tangan Dewan Penasehat Kerajaan. Lao
Goanswe... apa rencana kita selanjutnya?"
"Tenang, Beng Goanswe. Jangan panik. Jangan berbuat sesuatu yang menimbulkan
kecurigaan orang di sekitar kita. Ingat...! Siapa tahu ada kawan Yo Keng berada
di tengah-tengah kita?"
"Tidak mungkin!" Beng Goanswe melotot.
Tapi Lao Goanswe cepat menyentuh lengan rekannya. "Goanswe, jangan memandang
enteng lawan. Apalagi orang seperti Kong-sun Goanswe dan Yo Ciangkun ini."
Beng Goanswe terdiam. "Baiklah. Lalu ... apa tindakan kita selanjutnya?"
Lao Goanswe berbisik di telinga atasannya. "Kita berbuat seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Anggap saja Yo Keng tertidur sekejap karena terlalu lelah.
848 Sementara itu isi surat itu kita ubah isinya.
Bagaimana?" Beng Goanswe menatap wakilnya dengan gembira.
"Jadi Yo Keng tetap kita biarkan menghadap Menteri Kui Hua Sin, tapi... dengan
membawa surat yang telah diubah isinya" Wah, kau benar-benar hebat dan cerdik
luar biasa! Bagus! Mari kita laksanakan! Tapi... apa yang harus kita tulis di
dalam surat itu?" Lao Cing tersenyum licik. "Mudah saja. Kita tulis saja, seakan-akan Kong Sun
Goanswe minta prajurit untuk memperkuat pasukannya, karena mendapat gempuran
pasukan Mo Tan. Kini pasukannya dalam keadaan porak poranda."
Beng Goanswe menepuk pundak rekannya. "Yah, benar. Dengan demikian akan terjadi
salah pengertian di antara mereka. Menteri Kui setelah membaca surat itu tentu
minta kepada Au-yang Goanswe untuk mengirimkan pasukan, sementara Yo Keng
menerimanya sebagai bantuan untuk Pangeran Liu Wan Ti nanti. Padahal pasukan itu
justru akan membereskan Pangeran Liu Wan Ti di sana. Bagus!
Tapi kita harus berusaha agar Yo Keng tidak berbicara langsung dengan Menteri
Kui Hua Sin." Katanya gembira. "Tentu saja. Suasana tegang dalam pertemuan ini justru membuat Menteri Kui tidak
punya waktu untuk menemui Yo Keng. Paling-paling dia hanya memanggil Beng
Goanswe untuk menyampaikan pesannya kepada Au-yang Goanswe."
849 Demikianlah ketika Yo Keng sadar kembali, Beng Goanswe seakan-akan menggoyang-
goyang lengannya. "Yo Ciangkun! Yo Ciangkun! Wah, tampaknya kau lelah sekali! Masa berbicara
sambil memejamkan mata! Marilah, Menteri Kui telah memanggilmu!"
Yo Keng terkejut. Matanya menatap tajam ke sekitarnya. Dan diam-diam tangannya
meraba sarung pedangnya. Perasaannya menjadi lega melihat benda itu masih tetap
di tempatnya. "Beng Goanswe..." Apakah aku tertidur tadi?"
"Tertidur sih... tidak! Hanya tampaknya kau sangat lelah, sehingga berbicara
sambil terantuk-antuk."
Beng Cun berbohong. "Aaaah......!" "Ayolah, Yo Ciangkun! Menteri Kui Hua Sin telah menunggumu. Mari, kuantar kau ke
sana...!" "Sekarang..." Beng Goanswe sendiri yang akan mengantarku" Ah, jangan! Biarlah
prajuritmu saja, atau... di manakah Lao Goanswe sebenarnya" Tadi aku bertemu dia
di jalan. Dia mengatakan bahwa hendak ke mari pula...."
Beng Goanswe berdiri dan menarik lengan Yo Ciangkun. "Marilah, kebetulan aku
juga akan ke Ruang Pertemuan. Kau tentu bertemu dengan Lao Goanswe di sana. Dia
memeriksa semua pos penjagaan istana setiap hari. Ayoh...!"
Tanpa menyadari kelicikan orang, Yo Ciangkun menurut saja ketika dibawa masuk
halaman dalam 850 istana. Mereka menuju ke Ruang Pertemuan, di mana sepanjang jalan Yo Keng tak
habis-habisnya mengagumi keindahan bangunan istana. Walaupun dia seorang
perwira, tapi selama hidupnya Yo Keng belum pernah menginjakkan kakinya di
halaman istana. Sementara itu Lao Goanswe buru-buru
mengirimkan surat pemberitahuan kepada Auyang Goanswe. Lalu memberi pesan kepada
para perajurit jaga, dia segera berangkat menuju ke Ruang Pertemuan pula. Dia
harus mendampingi Beng Goanswe agar rencananya berjalan dengan baik.
Dan memang benar pula, bahwa pada saat itu Menteri Kui Hua Sin sedang mengadakan
pertemuan dengan menteri menteri lainnya. Bahkan Menteri Kui Hua Sin juga
mengundang seluruh anggota Dewan Penasehat Kerajaan pula, karena kali ini
Menteri Kui Hua Sin benar-benar ingin membicarakan keadaan negeri mereka.
Hal itu dilakukan Menteri Kui karena keadaan di luar tembok kora raja benar-
benar semakin memburuk. Menteri Kui menerima banyak laporan tentang situasi di
daerah. Baik laporan tentang masuknya pasukan Mo Tan ke selatan, maupun laporan
tentang kerusuhan dan ketidak amanan di seluruh pelosok negeri. Bahkan Menteri
Kui juga menerima laporan tentang semakin jauhnya wibawa dan pengaruh kerajaan
atas propinsi dan daerahnya.
Terutama propinsi-propinsi yang jauh dari kota raja.
851 Dan semua itu sangat menyedihkan hati Menteri Kui.
Dia bersama enam menteri lainnya hampir tak bisa berbuat apa-apa semenjak
mendapatkan mandat itu. Sekarang Menteri Kui sudah nekad. Dia harus menyelamatkan kerajaan, sebelum
terlambat. "Apabila keadaan ini kita biarkan berlarut-larut, niscaya negeri ini akan
runtuh. Lebih celaka lagi kalau Mo Tan menguasai negeri kita. Kita semua akan
dijadikan budak-budaknya. Harta dan kekayaan kita akan dijarah rayah dan
dirampok. Lalu... apa jadinya dengan anak keturunan kita nanti?" Menteri Kui
membuka pertemuan itu dengan suara lantang.
"Benar. Tahun ini sudah ada empat kota yang jatuh ke tangan Mo Tan. Dan sekarang
pasukannya sudah mulai mengalir ke arah selatan. Menurut laporan, mereka mulai
menuju ke perbatasan Se-cuan, Kang-su, dan Cing-hai. Kalau kita tidak segera
mengambil tindakan, maka pasukan Mo Tan akan segera menguasai Propinsi Si-kang.
Apabila hal itu benar-benar terjadi, maka jalan perdagangan kita ke barat akan
putus, suatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup negeri kita." Menteri
Si Sun Ong yang duduk di sebelah Kui Hua Sin tak terduga juga berkata pula
dengan berani. Sekejap para menteri dan para Penasehat Kerajaan lainnya, terpaku diam di tempat
masing-masing. Diam-diam semuanya melirik ke arah pintu dan jendela Ruang Pertemuan yang
tertutup rapat. Mereka tahu bahwa di luar ruangan banyak prajurit Kim-i-wi, 852
anak buah Au-yang Goanswe, sementara masalah yang mereka bicarakan itu adalah
tanggung jawab Auyang Goanswe sebagai Panglima Bala Tentara Kerajaan.
"Baiklah, semua ini memang menjadi tugas Bala Bantuan Kerajaan. Namun kita
sebagai penerima mandat dari Ibu Suri, berhak pula meminta pertanggungjawaban
Panglima Bala Tentara Kerajaan.
Panglima Kerajaan harus bisa mengatasi masalah ini.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa jadinya kalau serbuan Mo Tan itu tidak secepatnya ditanggulangi?" Akhirnya
Menteri Kui memecah kesunyian mereka.
"Memang benar apa yang diucapkan oleh Menteri Kui. Kita tidak boleh diam saja
melihat hal ini. Kita wajib menanyakan kepada Panglima Kerajaan. Sampai di mana
tindakan yang telah dilakukannya untuk menangani masalah itu?" Lagi-lagi Menteri
Si Sun Ong memberi dukungan kepada rekannya.
"Tapi...?" Menteri Go Hak tiba-tiba menyela, namun segera terdiam kembali.
Wajahnya tampak pucat. Go Hak adalah Menteri Bendahara Kerajaan.
Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas kekayaan dan harta benda kerajaan,
dia paling sering berurusan dengan petugas-petugas Kerajaan Dan dalam masalah
yang mereka bicarakan itu, dia pula yang paling banyak mendapat tekanan dari
Auyang Goanswe. 853 "Apakah yang ingin kaukatakan, Menteri Go"
Maksudmu terlalu berbahaya bagi kita untuk menanyakan hal tersebut kepada Au-
yang Goanswe. Begitukah?" Menteri Kui mendesak dengan suara gemas.
"Bukan! Bukan itu! Kukira... kalau kita hanya menghubungi panglima saja, tidak
segera menyelesaikan masalah ini. Kita perlu mengusahakan jalan lain selain hal
itu. Misalnya... kita perlu segera menemukan kembali Pangeran Liu Wan Ti atau...
Pangeran Liu Yang Kun! Saat ini kita membutuhkan sosok penguasa yang berwibawa
serta disegani orang untuk membangkitkan kekuatan rakyat!"
"Benar. Aku sependapat dengan Menteri Go. Pada saat-saat seperti ini baru kita
ingat akan kebutuhan seorang kaisar yang kuat dan bijaksana." Menteri Liang Wei
memberikan suaranya. Sebagai Menteri Urusan Hukum dan Keadilan Liang Wei memang
selalu mendambakan sandaran yang kuat.
Kui Hua Sin dan Si Sun Ong terperangah. "Bagus.
Pendapat kalian memang benar sekali. Rasanya kami berdua juga sependapat pula
dengan kalian." Menteri Kui makin bersemangat.
"Ada saran yang lain?" Menteri Si Sun Ong memandang Menteri Gan Jit Kong dan
Kiat Peng To yang belum mengeluarkan pendapatnya sejak tadi.
"Aku pribadi juga setuju dengan pendapat Menteri Go. Tapi bagaimana kita harus
melaksanakan hal itu"
Kita semua tahu, bahwa selama ini sudah diusahakan 854
untuk mencari Pangeran Liu Wan Ti. Namun selama itu pula kita tidak dapat
menemukannya. Lalu... tindakan apalagi yang harus kita usahakan?" Menteri Gan Jit Kong berkata pelan.
"Benar. Selama ini kita sudah menyebar petugas rahasia ke seluruh negeri, bahkan
juga sudah menghubungi para Kepala Daerah pula. Tapi ternyata Pangeran Liu Wan
Ti tetap belum ditemukan. Oleh karena itu kita harus mencari jalan lain. Eemm...
aku punya usul. Bagaimana kalau kita menawarkan hadiah besar bagi orang yang
bisa memberi petunjuk tempat tinggal Pangeran Liu Wan Ti...?" Menteri Kiat Peng
To mengajukan sarannya. "Usulmu memang bagus. Tapi... apakah hal itu tidak membikin malu kita sendiri"
Bagaimana bisa terjadi seorang putera mahkota sampai hilang dari istana?"
Menteri Gan Jit Kong memotong ucapan Menteri Kiat Peng To.
Menteri Kiat Peng To tersenyum. "Menteri Gan, kukira kita tidak perlu merasa
malu lagi. Penduduk di seluruh pelosok negeri ini rasanya sudah tahu semua akan
hilangnya Pangeran Mahkota. Kita tidak dapat menutup-nutupi lagi. Kita justru
harus bisa segera menemukannya, karena hal seperti ini akan meresahkan rakyat
banyak. Bagaimana, Menteri Kui?"
Menteri Kui Hua Sin mengerutkan dahinya.
Pendapat Menteri Kiat Peng To memang masuk akal 855
juga. Bahkan usul itu tampaknya memang paling mengena.
Tapi karena usul tersebut berkaitan dengan kehormatan negara, Menteri Kui tidak
bisa memutuskan begitu saja.
"Bagaimana menurut pendapat para menteri yang lain?"
Demikianlah, karena semua juga sependapat dengan usul Menteri Kiat Peng To, maka
Menteri Kui Hua Sin lalu meminta nasehat serta pendapat sepuluh anggota Dewan
Penasehat Kerajaan. Dan akhirnya para anggota dewan itu menyetujui niat mereka.
Kemudian Menteri Kui membagi tugas yang harus mereka kerjakan. Menteri Go Hak
diminta untuk menyiapkan hadiahnya, sedangkan Menteri Liang Wei diminta untuk
menyiapkan orang yang bertugas menyiarkan pengumuman itu ke seluruh negeri.
Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To bertugas menyiapkan orang yang akan
melihat dan meneliti propinsi-propinsi mana yang perlu dicurigai.
Sementara Menteri Kui dan Si Sun Ong akan menghubungi Au-yang Goanswe.
Di tengah kesibukan pertemuan itu, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar.
Beng Goanswe masuk disertai Yo Ciangkun. Mereka berdiri di dekat pintu.
Untuk sesaat semua menteri terkejut. Mereka baru saja membicarakan Au-yang
Goanswe, kini tahu-tahu tangan kanan jendral yang sangat berpengaruh itu telah
berada di depan mereka. 856 "Beng Goanswe, ada perlu apa?" Menteri Kui cepat menyapa.
"Maaf, Kui Taijin. Yo Ciangkun dari perbatasan utara ingin menghadapmu. Dia
membawa berita dari Kong-sun Goan-swe."
Menteri Kui Hua Sin terkesiap. "Silakan masuk!
Apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?"
Yo Keng cepat mengambil surat rahasia yang dia sembunyikan di dalam sarung
pedangnya. Surat itu buru-buru diberikan kepada Beng Goanswe untuk dihantarkan
ke tangan Menteri Kui. Setelah itu dia kembali berdiri tunduk di tempatnya.
Menteri Kui menerima surat tersebut dan membukanya. Wajahnya sedikit berubah. Yo
Keng berdebar-debar ketika tidak melihat sinar kegembiraan di wajah menteri tua
itu. Apakah penemuan Pangeran Liu Wan Ti itu tidak disukai mereka"
Surat itu dibaca secara bergilir oleh para menteri.
Dan rata-rata wajah mereka menjadi masam dan kurang gembira malah. Yo Keng
semakin bingung dan penasaran. Jangan-jangan semua pejabat di kota raja memang
telah berubah pikiran. "Bagaimana, Taijin?" Yo Keng tak kuasa menahan hatinya.
"Baiklah, Yo Ciangkun. Kami telah mengerti kesulitan Kongsun Goanswe. Kami akan
memikirkannya. Jangan khawatir. Biarlah kami berbicara dulu dengan Panglima
Kerajaan. Nah, Beng Goanswe...! Tolong kirimkan prajurit untuk 857
mengundang Au-yang Goanswe ke mari! Kami ingin merundingkan situasi negara
dengan dia...." Menteri Kui menghela napas panjang.
"Tapi Taijin, Kong-sun Goanswe...." Yo Keng mencoba melaporkan maksud
kedatangannya. Tapi entah sejak kapan Lao Goanswe datang, tahu-tahu ia telah berada di samping
Yo Keng. "Sudahlah, Yo Keng. Menteri Kui akan berbicara dulu dengan Au-yang Goanswe. Kita
tunggu keputusannya di luar. Ayolah...!" Wakil Komandan Kim-i-wi . itu cepat-
cepat menarik lengan Yo Keng keluar dari ruangan itu.
Yo Keng tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terpaksa menurut saja apa yang
diperintahkan Lao Goanswe.
Bahkan dia juga tak dapat menolak pula ketika dibawa ke istana Au-yang Goanswe.
Sebagai seorang prajurit dia tidak bisa membantah perintah atasannya.
Demikianlah Yo Keng terpaksa menunggu di istana Au-yang Goanswe. Ketika sampai
malam hari jendral itu juga belum kembali dari istana, Yo Keng terpaksa menginap
pula. Dia baru merasa curiga ketika esok harinya dipanggil Au-yang Goanswe ke
pendapa. Ketika menerima tugas dari Kong-sun Goanswe, Yo Keng telah dipesan dengan
sungguh-sungguh agar menghadap langsung kepada Menteri Kui Hua Sin.
Dia tidak boleh percaya kepada siapapun juga selain kepada menteri itu. Dan dia
harus berhati-hati bila berhadapan dengan Au-yang Goanswe beserta anak buahnya.
Termasuk di antaranya adalah para anggota 858
Pasukan Kim-i-wi dan Gin-i-wi, karena merekalah sebenarnya yang berkhianat
terhadap kerajaan, dan kemudian memfitnah Panglima Yap Kim ke dalam penjara. ,
Tapi apa dayanya sekarang. Dia justru berada di dalam cengkeraman Au-yang
Goanswe begitu datang di kota raja. Sebagai perajurit dia tak bisa menolaknya.
"Selamat pagi, Goanswe...!" Yo Keng menyapa dengan cara dan sikap seorang
prajurit. "Aha, kaukah... perwira yang datang dari perbatasan itu" Bagus. Mari kita minum
teh dulu. Setelah itu aku akan menyampaikan kehendak dan perintah Menteri Kui Hua Sin
kepadamu." "Terima kasih, Goanswe."
"Yo Keng! Aku mendapat perintah dari Menteri Kui Hua Sin untuk mengirim empat
ribu orang prajurit ke benteng Kong-sun Goanswe. Tapi aku tidak diberitahu
maksudnya. Nah, sekarang katakan padaku... apa sebenarnya yang terjadi di sana"
Apakah Raja Mo Tan menyerang bentengmu?" Auyang Goanswe bertanya dengan suara
menyelidik. Yo Keng terkejut. Sekejap matanya berkilat ke arah jendral itu. Dan dalam
sekejap itu pula pikirannya menjadi tegang. Pertanyaan itu memojokkan dirinya
dan mengandung bisa yang sangat berbahaya. Begitu jawabannya salah, jiwanya tak
mungkin tertolong lagi. 859 "Bagaimana Yo Keng" Mengapa kau diam saja?"
Au-yang Goanswe mendesak. Matanya mulai kemerahan.
Sebagai prajurit yang biasa bertempur di medan perang, maka naluri keprajuritan
Yo Keng segera timbul. Dalam situasi demikian, otaknya segera bekerja,
menghitung untung-ruginya.
"Tampaknya dia belum tahu isi surat itu dan sekarang ingin mengorek keterangan
dari aku. Kalau aku mengatakan apa adanya, bahwa Pangeran Liu berada di dalam
benteng, maka dia bisa kalap dan mengirimkan pasukan sandinya untuk membunuh
Pangeran Liu. Tapi kalau aku berbohong dan tepat pada sasarannya, dia akan
menjadi penasaran, sehingga... kematianku dapat tertunda."
Sama sekali Yo Keng tidak menyangka bahwa jendral itu telah tahu semuanya.
Kalaupun sekarang dia pura-pura dia tidak tahu dan bertanya kepada Yo Keng, hal
itu hanya untuk mengetahui hasil dari pada tipu daya Jendral Lao Cing. Sekalian
juga untuk mengetahui, kepada siapa saja berita tentang Pangeran Liu itu
disampaikan. "Yo Keng! Kau dengar pertanyaanku?" Au-yang Goanswe membentak, sehingga prajurit
yang bertugas di halaman istana itu terkejut mengawasi mereka.
"Ah! Maaf, Goanswe! Aku... aku memang sulit untuk menjawab pertanyaan Goanswe
itu!" Tiba-tiba Yo Keng mendapatkan jalan.
860 Benar juga. Au-yang Goanswe menjadi penasaran.
"Kenapa mesti sulit, heh" Kau mau merahasiakan sesuatu dari aku?"
"Bukan! Bukan begitu, Goanswe! Bukan...!
Goanswe tentu tahu bahwa pasukan di daerah perbatasan tidak selalu terkumpul
menjadi satu. Mereka terdiri dari beberapa kelompok besar yang selalu berkeliling dan
berpindah tempat di sepanjang perbatasan itu. Hanya Kong-sun Goanswe saja yang
secara resmi selalu berkedudukan di dalam benteng, meskipun pada kenyataannya
beliau juga selalu berkeliling pula...."
"Ayoh, jawab saja pertanyaanku! Jangan melingkar-lingkar!"
"Baik! Baik, Goanswe! Terus terang saja aku... aku sebenarnya tidak begitu tahu
apa yang terjadi di dalam benteng. Kebetulan... kebetulan kami sudah lebih dari
tujuh bulan meninggalkan benteng itu. Dan selama itu pula kami tidak pernah
bertemu dengan Kong-sun Goanswe. Oleh karena itu kami kaget sekali ketika
seorang kurir Kong-sun Goanswe tiba-tiba datang ke tempat kami. Ternyata dia
membawa surat yang harus kuantar sendiri kepada Menteri Kui. Tugasku adalah
tugas rahasia, yang tak seorang pun boleh tahu. Dan lagi... surat itu hanya
boleh kuserahkan kepada Menteri Kui." Akhirnya Yo Keng dapat juga berbohong.
Au-yang Goanswe memandang Yo Keng dengan tajamnya. Roman mukanya kelihatan lega.
861 Tampaknya dia percaya apa yang dituturkan Yo Keng. Tapi sebaliknya Yo Keng
sendiri justru tidak menyadari bahwa ceritanya semakin menguatkan niat jendral
itu untuk menyingkirkan dia.
"Mumpung berita tentang keberadaan Pangeran Liu Wan Ti di benteng Kong-sun
Goanswe belum tersebar ke mana-mana, aku harus cepat-cepat melenyapkan dia!
Besok akan kukirim pula sepuluh ribu orang prajurit, secara terpisah dari
beberapa tempat, untuk menghancurkan Pangeran Liu Wan Ti dan Kong-sun Goanswe!
Akan kubuat seolah-olah benteng itu telah diduduki musuh. Biarlah Lao Goanswe
yang menghubungi Raja Mo Tan." Au-yang Goanswe membuat rencana di dalam hatinya.
Kemudian seolah-olah memahami penuturan Yo Keng, Au-yang Goanswe mengangguk-
angguk. "Kalau begitu, bersiaplah! Pasukan akan berangkat besok pagi. Kau bisa berjalan
bersama mereka" Yo Keng cepat-cepat membungkukkan badannya.
"Terima kasih, Goanswe! Tapi... bersama sebuah pasukan besar akan menghambat
perjalananku. Sementara itu kedatanganku akan sangat dinantikan oleh Kong Sun Goanswe. Oleh
karena itu, Goanswe... biarlah aku berangkat lebih dulu."
Diam-diam wajah Au-yang Goanswe menjadi gembira. Dengan berjalan seorang diri
justru lebih mudah untuk membunuh Yo Keng.
Demikianlah, pada hari itu juga Yo Keng berangkat meninggalkan kota raja, Au-
yang Goanswe 862 memberinya bekal dan pakaian karena ia harus berjalan selama tiga hari penuh
untuk mencapai benteng Kong-sun Goanswe. Sama sekali tidak disadari oleh Yo Keng
bahwa Au-yang Goanswe telah mempersiapkan lubang kuburan bagi dirinya. Jendral
tua itu telah memerintahkan Beng Goanswe untuk mengirim pasukan rahasia untuk
membunuhnya. Yo Keng harus mati sebelum tiba di perbatasan.
Ketika matahari mulai condong ke barat, perlahan Yo Keng sudah mendekati kota
An-yang. Sejak dari kota raja sampai di An-yang, Yo Keng selalu memberi tanda di
tempat-tempat yang mudah terlihat. Seperti dugaan Lao Goanswe, kepergiannya ke
kota raja memang selalu diawasi oleh beberapa orang pengawalnya.
Tapi Yo Keng tidak ingin singgah di kota An-yang.
Selain kota itu penuh dengan prajurit kerajaan, Yo Keng juga tak mau berjumpa
dengan banyak orang. Dia justru ingin lewat di jalan sepi, karena dia harus tetap waspada terhadap
siapa saja, termasuk kepada Au-yang Goanswe dan anak buahnya. Menurut penuturan
Kong-sun Goanswe, jendral tua itu sangat licik dan berbahaya.
Yo Keng mengambil jalan kecil ke arah barat. Ia ingin lewat di bagian selatan
Propinsi Sian-su, menyusuri daerah perbukitan di sebelah kota Lia-feng, dan
selanjutnya meneruskan perjalanan menuju kota kecil Leng-fu di tepian Sungai
Huang-ho. Dan jika tidak ada hambatan atau rintangan, dia akan sampai di 863
kota itu menjelang matahari terbenam. Dan menurut rencana ia akan berjumpa
dengan para pengawalnya di sana.
Kuda Yo Keng memang kuda pilihan. Kuda itu tahan berlari disegala medan. Selama
tiga hari berjalan menuju ke
kota raja kemarin, Yo Keng hanya sempat memberi istirahat kudanya itu pada malam hari. Sementara pagi sampai sore terus mereka berjalan tanpa mengenal lelah. Tiba-tiba kuda tunggangan itu berhenti dan mengangkat kaki depannya tinggi- tinggi. Yo Keng mencabut pedangnya. Kuda itu memberi firasat bahwa ada orang di sekitar tempat itu.
Benar saja. Dari balik semak pepohonan sekonyong-konyong muncul belasan orang
bertopeng menghadang di tengah jalan. Ketika Yo Keng menoleh, ternyata di
belakangnya pun telah 864
berloncatan pula orang-orang yang sama. Dia telah dikepung dari segala jurusan.
Tanpa bertanya lagi Yo Keng menghentakkan tali kekang kudanya, sehingga kuda itu
menerjang ke depan dengan garangnya. Pedangnya berkelebat melindungi badannya.
"Berhentiiiii...!"
Traaang...! Traaaang! Traaaaaang!
Orang-orang bertopeng itu beramai-ramai menyerang Yo Keng yang bertahan di atas
pungung kudanya. Dan pertempuran brutal pun segera berlangsung dengan sengitnya.
Orang-orang bertopeng itu mengeroyok dengan senjata mereka.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa orang di antara mereka mulai terluka akibat sabetan pedang Yo Keng.
Perwira dari perbatasan itu memang tidak bisa dianggap enteng.
Pengalamannya dalam pertempuran sangat banyak.
Dan tampaknya orang-orang itu hanyalah perampok-perampok jalanan. Mereka
berkeliaran akibat situasi keamanan yang buruk. Kini menghadapi Yo Keng, seorang
perwira yang biasa berlaga di medan pertempuran, mereka tidak dapat berbuat
banyak. Walaupun mereka berjumlah banyak, tetapi Yo Keng sendiri hampir tak bisa
disentuh. Di atas punggung kuda yang biasa membawanya dalam setiap pertempuran,
Yo Keng benar-benar seperti garuda yang terbang di atas awan. Sesekali dia
menyambar ke kanan dan ke kiri untuk merobohkan mangsanya.
865 Beberapa saat kemudian para perampok mulai tampak kebingungan. Kuda perang yang
dinaiki Yo Keng itu semakin garang mengobrak-abrik mereka.
Korban mulai berjatuhan, Bukan karena pedang Yo Keng, tapi karena tendangan kaki
kuda gila itu. Akhirnya mereka tak tahan lagi. Mereka lalu lari berserabutan menyelamatkan
diri. Mereka lari sambil membawa teman-temannya yang terluka.
"Gila! Siang hari bolong begini ada juga perampok berkeliaran! Kurang ajar!"
Begitu musuh-musuhnya hilang, Yo Keng menggeram kesal.
Ketika sampai di sebuah sungai kecil Yo Keng turun dari kuda, dan dibiarkannya
kudanya itu beristirahat. Dia sendiri lalu duduk di bawah pohon rindang.
Hembusan angin segar hampir membuatnya terlena, kalau tiba-tiba tidak terdengar
suara. jeritan meminta tolong. Yo Keng bangkit dengan cepat. Kudanya juga kaget
dan melompat keluar dari dalam air.
Kemudian Yo Keng bergegas memanjat pohon.
Matanya nyalang mencari asal suara tadi. Tiba-tiba matanya melihat serombongan
wanita berlarian dikejar oleh belasan lelaki kasar. Mereka berkejaran di pinggir
hutan. "Gila! Tampaknya ada perampok lagi! Benar-benar rusak negeri ini!" Yo Keng
menggeram marah. Tanpa memikirkan rasa lelahnya lagi Yo Keng memacu kudanya untuk menolong
wanita-wanita itu. Tapi ketika sampai di pinggir hutan itu, semuanya 866
sudah hilang. Orang-orang itu tidak kelihatan lagi.
Bahkan di atas tanah juga tidak ada bekas-bekasnya pula.
"Eh, ke mana mereka" Masa mereka bisa menghilang?"
Tapi Yo Keng tidak segera menyerah. Dia malah menjadi penasaran, sehingga tempat
itu justru diaduknya dengan teliti. Tidak sejengkal tanah pun luput dari
pengamatannya. Dan akhirnya ia dapatkan juga apa yang dia inginkan.
Tepat di tengah-tengah semak belukar, tak jauh dari tempat itu, Yo Keng
menemukan sebuah lubang gua.
Tidak begitu besar, tapi manusia dapat masuk dengan mudah. Dan dari bekas-bekas
yang ada, Yo Keng yakin bahwa orang-orang itu benar-benar lewat melalui lubang
tersebut. Setelah mengikat kudanya di tempat yang tersembunyi, Yo Keng nekad masuk ke
dalam lubang itu. Sungguh menakjubkan. Beberapa saat kemudian ujung terowongan
itu menembus ke lereng tebing curam, di mana di bawahnya mengalir sungai deras.
"Ah, sungai di bawah itu tentu merupakan kepanjangan dari sungai tempat aku
beristirahat tadi. Tapi... ke mana orang-orang itu tadi" Apa ada jalan setapak ke bawah?"
Ketika Yo Keng melongok ke bawah, di bawah tebing tampak belasan buah tenda
didirikan berjajar di tepian sungai. Puluhan lelaki bertubuh tegap tampak
berjalan hilir-mudik di antara tenda-tenda itu. Sepintas 867
lalu mereka kelihatan seperti kawanan perampok yang membangun sarang di lembah
sempit itu. Tempat itu memang strategis sekali. Selain tersembunyi, juga sulit dijangkau
orang. Jalan keluarnya pun hampir tidak ada pula. Bagian samping dibatasi oleh
tebing yang tinggi, sementara di bagian depan dan belakang merupakan aliran
sungai yang terjal bertingkat-tingkat. Sehingga satu-satunya jalan hanya dari lubang gua itu.
"Tempat ini memang sangat baik untuk bersembunyi, tapi berbahaya untuk sebuah
pasukan. Memang sulit untuk ditemukan, namun mudah diserang dan dihancurkan lawan. Heran,
siapakah mereka?" Yo Keng lalu mencari akal untuk menuruni tebing itu. Tapi belum juga cara itu
dia temukan, telinganya mendengar langkah orang memasuki terowongan itu.
Cepat dia bersembunyi di tempat gelap.
Tujuh orang lelaki lewat di depannya. Masing-masing membawa perempuan
dipundaknya. Mereka kelihatan tergesa-gesa sehingga tidak memperhatikan keadaan
di sekeliling mereka. Mereka melangkah dengan terburu-buru. Begitu pula ketika
menuruni tebing itu. Kebetulan lelaki yang paling belakang agak sedikit ketinggalan dari kawan-
kawannya. Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh Yo Keng. Sekali sodok dengan
sarung pedangnya, lelaki itu roboh tak berkutik. Dan perempuan yang ada dalam
pelukan 868 orang itu cepat disambarnya serta ditaruh pula di atas pundaknya.
Lalu dengan cekatan orang itu diseretnya ke tempat yang tersembunyi.
Selanjutnya, seperti tak pernah terjadi apa-apa, ia berjalan di belakang
rombongan tersebut. Dia sengaja memperlambat langkahnya.
Kemudian buru-buru menyelinap pergi, begitu rombongan tersebut menginjakkan kaki
di bawah tebing. Yo Keng menyuruk ke dalam semak-semak.
"Hei, mau apa sebenarnya kau" Kenapa kaugantikan orang itu dengan kekerasan"
Kau... siapa?" Tiba-tiba terdengar bisikan di belakang Yo Keng. Suaranya kecil.
Bukan main kagetnya Yo Keng! Otomatis tubuhnya berbalik, sehingga perempuan di
atas pundaknya itu hampir saja terjatuh.
"Sia-siapakah... kau?" Mata Yo Keng jelalatan mencari lawannya. Tapi tak seorang
pun di sekitarnya. "Celaka...! Bagaimana kau ini" Kau sekarang sedang menggendong aku! Wah,
gobloknya!" Suara itu terdengar kembali, bahkan lebih keras dan berkesan jenaka.
Suaranya berubah besar seperti suara lelaki.
Yo Keng terkejut. Dan lebih kaget ketika jalan darah tong-tie-hiat di lehernya
telah dicengkeram oleh perempuan itu.
"Hei, awas! Jangan dibanting! Nanti suaranya akan terdengar oleh mereka!" Suara
itu lagi-lagi memperingatkan.
869 Yo Keng menggeram. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang yang menyamar menjadi
wanita itu telah mencengkeram jalan darah kematian di lehernya.
"Si-siapa kau..." Mengapa kau menyamar menjadi perempuan dan membiarkan diri
dibawa oleh lelaki kasar itu?" Yo Keng menggeram dengan suara tertahan.
"Wah, jangan bertanya sekarang! Nanti saja setelah kita benar-benar aman. Kini
turunkanhah aku dulu dan jangan banyak bicara!"
Untunglah kedatangan rombongan itu tidak begitu diperhatikan oleh yang lain,
sehingga penyusupan Yo Keng berjalan dengan mulus. Hanya seorang saja di antara
ketujuh lelaki tadi yang berteriak mencarinya.
"Hei..." Ke mana Ogilai tadi" Apakah ia masih di atas?"
"Aaa, sudahlah! Biarkan saja ia berbuat sekehendak hatinya. Paling-paling ia
berada di antara semak-semak itu! Hehehehe!"
SEMENTARA itu di kota raja, Au-yang Goan-swe sudah mengirimkan pasukan
rahasianya untuk mengejar Yo Keng. Pasukan yang amat terlatih itu menyamar
seperti rombongan penduduk biasa.
Mereka bergerak di dalam beberapa kelompok.
Semula mereka bermaksud menghadang Yo Keng di kota Lia-feng. Namun rencana
mereka berubah lagi karena Yo Keng tidak menuju ke kota itu. Mereka lalu menuju
ke kota berikutnya, yaitu kota Leng-fu di 870
tepian Sungai Huang-ho. Untuk itu mereka membagi rombongan menjadi dua bagian.
Sebagian melewati perbukitan di selatan Lia-feng, dan sebagian lagi menerobos
terus ke barat melalui Tai-bong-sui, daerah rawa-rawa berbahaya.
Demikianlah, pada saat matahari mulai bergeser turun ke barat, beberapa kelompok
di antara pasukan itu telah tiba di kota Leng-fu. Mereka segera berkumpul di
luar pintu gerbang kota bagian selatan.
Mereka dipimpin oleh Tongkat Bocor Ho Bing, yang kini telah berhasil menjadi
orang kepercayaan Auyang Goan-swe.
?"Heran! Mengapa Ciang Ciangkun belum juga datang" Dia seharusnya tiba di sini.
Jarak yang mereka tempuh lebih pendek daripada kita." Lelaki bermuka kelimis itu
menggerutu, karena Ciang Kwan Sit, pemimpin rombongan mereka, belum juga tiba di
tempat itu. Padahal rombongan Ciang Kwan Sit lewat Tai-bong-sui.
"Biarlah kita bersabar sedikit." Salah seorang di antara temannya yang berkepala
gundul mendinginkan hatinya.
"Tapi... kita tidak mempunyai banyak waktu, Tiat-tou (Kepala Besi)! Sebentar
lagi Yo Ciangkun akan tiba. Kita belum mengatur rencana untuk menghadapinya...."
"Kalau begitu, mengapa tidak kau saja yang menyusun rencana" Bukankah Ciang
Ciangkun telah 871 memberi wewenang kepadamu?" Si Gundul itu menjawab enteng.
"Hei, mengapa aku...?" Ho Bing berteriak.
"Mengapa..." Hehehee, sudah kukatakan, selain lebih cerdik dan lebih banyak
akal, kau sudah diberi wewenang oleh Ciang Ciangkun. Mau apa lagi"
Ayolah...!" "Tapi ilmu silat kalian banyak yang lebih tinggi daripada ilmu silatku."
"Waah... itu tidak menjadi soal. Sekarang yang penting adalah rencananya, bukan
pertempurannya. Ayolah!" Ho Bing tidak dapat menolak lagi. Terpaksa dia mengambil alih pimpinan rombongan
itu. Dia lalu membagi rombongan tersebut menjadi tiga kelompok kecil. Kelompok
pertama dipimpin oleh Tiat-tou, dan tetap berada di tempat itu. Kelompok ke dua,
dipimpin Siang-kim-eng (Sepasang Elang Emas), menunggu di pintu gerbang kota
sebelah timur. Sedang Ho Bing bersama lima orang sisanya, masuk ke dalam kota. Mereka bersiap-
siap untuk membantu kelompok yang nanti berhadapan dengan Yo Keng.
"Dengan pembagian kelompok seperti ini kita berharap tidak akan kehilangan
buruan kita. Kelompok yang menerima kedatangan Yo Keng harus segera memberi tanda kepada yang
lain. Bagaimana?" "Baiklah... kita semua sependapat. Mari kita berangkat!" Tiat-tou mewakili
teman-temannya. 872 Demikianlah mereka lalu berpencar bersama kelompok mereka masing-masing Mereka
tidak sempat lagi menunggu kedatangan rombongan Ciang Kwan Sit.
Sama sekali mereka tidak menyangka kalau rombongan Ciang Kwan Sit mendapat
rintangan di tengah jalan. Begitu melewati rawa-rawa Tai-bong-sui, rombongan itu
bertemu dengan sebagian kecil dari iring-iringan pasukan Raja Mo Tan yang
menyusup ke Propinsi Siangsi. Dan tanpa berbasa-basi lagi pasukan itu mengepung
dan menyerang rombongan Ciang Kwan Sit.
Kelompok kecil pasukan Raja Mo Tan yang tidak mengenakan seragam perajurit itu
dipimpin oleh Sogudai, seorang keturunan Mongol yang mengabdi kepada Raja Mo
Tan. Rombongan itu merupakan sebagian dari pasukan besar Raja Mo Tan yang mulai
menyusup ke wilayah Tiong-goan.
Ternyata berita tentang Pangeran Liu Wan Ti itu telah diketahui pula oleh Raja
Mo Tan. Bahkan raja dari berbagai suku bangsa liar di luar Tembok Besar itu
sudah menyusun rencana untuk menyerbu Kerajaan Han.
Demikianlah, selagi Jenderal Au-yang sendiri sibuk dengan rencana
pengkhianatannya, Raja Mo Tan justru mulai menabuh genderang perangnya. Panglima
Solinga dengan pasukan besarnya telah berangkat menuju ke benteng Kong-sun
Goanswe. Sedangkan panglima-panglima Raja Mo Tan yang lain, seperti 873
Panglima Yeh Sui dan Huang Yin, berangkat ke timur dan ke selatan. Mereka berdua
diperintahkan untuk memotong bala bantuan yang datang dari Tiong-goan.
Dan di dalam rombongan pasukan yang menuju ke timur itulah kelompok pasukan
Sogudai berada. Seperti halnya Panglima Solinga, Panglima Yeh Sui dan Panglima Huang Yin
merupakan jago-jago yang handal. Bahkan seperti halnya Panglima Solinga, mereka
berdua juga memiliki kesaktian yang hebat pula. Perbedaan mereka hanyalah dalam
usia. Panglima Yeh Sui dan Huang Yin adalah jago-jago tua yang berusia lebih dari lima
puluh tahun, sementara Panglima Solinga yang anak keturunan suku Mongol itu
masih sangat muda. Di dalam perjalanannya ini Panglima Yeh Sui membawa lima ribu orang perajurit.
Dan untuk mengurangi kesan sebagai sebuah barisan besar ataupun arak-arakan
prajurit, Panglima Yeh Sui membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil.
Setiap kelompok terdiri dari empat puluh atau lima puluh orang, dan dipimpin
oleh seorang pemimpin kelompok. Mereka sengaja menyamar seperti rakyat biasa,
agar perjalanan itu tidak terlalu menarik perhatian orang. Mereka berjalan
berombongan, kelompok demi kelompok, seakan-akan rombongan pengungsi yang
melarikan diri dari daerah perbatasan.
Namun di sepanjang jalan pasukan itu banyak membuat kesengsaraan penduduk.
Apalagi tingkah 874 laku mereka sering tidak terkendali. Mereka merampas dan menjarah rayah
persediaan pangan penduduk. Bahkan mereka berlaku kasar terhadap wanita,
sehingga acapkali timbul kerusuhan diantara mereka dengan penduduk setempat. Dan
kadangkala kerusuhan yang mereka timbulkan itu berkembang menjadi pertempuran-
pertempuran kecil di sepanjang perjalanan mereka. Akibatnya bisa diduga, banyak
penduduk yang tidak tahu memegang senjata menjadi korban kebrutalan mereka.
Penduduk desa menganggap pasukan itu sebagai gerombolan pengungsi yang bertindak
brutal karena kelaparan. Mereka menjadi perampok karena terpaksa. Sama sekali
mereka tidak menduga bahwa gerombolan itu adalah pasukan asing yang hendak
menduduki negeri mereka. Akhirnya situasi seperti itu mengundang simpati para pendekar di seluruh negeri.
Tanpa diundang mereka datang dari Propinsi Kiang-su, Siang-si, Ho Pak, San-tung
dan sekitarnya. Mereka mencoba membantu penduduk mengatasi gerombolan tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian muncul beberapa kelompok kekuatan, yang lebih
tersusun rapi, dan memiliki pandangan lain terhadap kemelut di daerah itu.
Mereka terdiri dari kelompok para pendekar yang dipimpin oleh pendekar-pendekar
yang dianggap mampu memimpin mereka.
Demikianlah, belasan orang dari rombongan Ciang Kwan Sit itu harus menghadapi
pasukan Sogudai yang 875 berlipat ganda banyaknya. Meskipun demikian, karena mereka rata-rata memiliki
ilmu silat tinggi, maka untuk sementara mereka dapat bertahan dengan baik.
Mereka tetap melawan dengan semangat tinggi.
Tapi bagaimanapun juga jumlah mereka terlalu sedikit. Satu banding empat dalam
sebuah pertempuran, tetap merupakan masalah yang serius.
Walaupun mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang baik, namun di pihak Sogudai
terdapat pula jago-jago gulat yang tangguh. Bahkan beberapa saat kemudian
Sogudai dan dua orang pengawalnya telah menunjukkan keunggulannya. Beberapa
orang anak buah Ciang Kwan Sit terlempar dari arena pertempuran.
Peristiwa itu semakin membesarkan hati anak buah Sogudai. Mereka lalu mengamuk
dan berkelahi seperti serigala haus darah. Apalagi sebagai suku-suku liar dari
padang rumput, mereka memang sangat mahir berkelahi dalam kelompok. Di daerah
mereka, mereka sudah terbiasa bertarung dalam kelompok melawan harimau ataupun
kuda-kuda liar. Dan kini mereka mulai bersikap seperti itu pula. Mereka
berkelahi seperti kawanan serigala yang sedang mengepung binatang mangsanya.
876 Ciang Kwan Sit menjadi marah. Di kalangan keprajuritan dia merupakan seorang perwira menengah yang disegani. Ilmu cambuknya tidak ada duanya di jajaran pasukan rahasia. Kini melihat anak buahnya terdesak, kemarahannya tak bisa ditahan lagi. Tangannya segera mengurai cambuk baja yang
terbelit di pinggangnya. Lalu dengan garang it menghentakkan ujungnya!
Thaaaaaar! Taaaaar....! Dua orang anak buah Sogudai terjungkal roboh!


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila! Kubunuh kau...!" Sogudai menjerit marah.
Tubuh Sogudai yang tinggi besar itu meloncat ke atas melampaui kepala anak
buahnya. Dari ujung lengan bajunya melesat sebuah belati ke arah Ciang Kwan Sit!
Siiiiiing! Sekali lagi Ciang Kwan Sit menghentakkan cambuknya. Kini ditujukan ke arah
datangnya belati. 877 Taaaas! Ujung cambuknya menghantam badan belati tersebut sehingga arahnya
melenceng ke kanan. -- o0d-w0o -- JILID XXI ELANJUTNYA kedua orang itu
berhadapan muka seperti ayam aduan. Dan tampaknya mereka tak ingin saling
berbicara S lagi, karena kemudian senjata mereka ternyata lebih bersemangat
daripada mulut mereka. Ciang Kwan Sit tetap memegang cambuk, sementara tangan Sogudai telah memegang
belati besar sepanjang siku tangannya. Belati itu bersinar biru karena tajamnya.
Dan di tangan Sogudai benda itu benar-benar mengerikan.
Mereka segera terlibat dalam pertemuran yang sengit. Sogudai yang kasar dan kuat
itu berkelahi dengan liar dan ganas. Belati besarnya melayang-layang mengejar
lawan. Sementara Ciang Kwan Sit menghadapinya dengan tenang, namun penuh dengan
perhitungan. Dia sama sekali tidak melayani kegarangan Sogudai. Dia lebih banyak
menghindar dan menjauhi lawannya. Bahkan untuk menahan desakan Sogudai, ia
sering melecutkan ujung cambuknya keras-keras.
878 Beberapa kali senjata mereka beradu di. udara. Dan dengan sifatnya masing-
masing, kedua senjata itu berusaha untuk menekan lawannya. Ciang Kwan Sit dengan
cambuknya yang lemas dan panjang itu selalu mencoba memotong dan menahan gerakan
lawan. Sementara Sogudai dengan belati besarnya, tetap merangsak ke depan dengan
kekuatan besarnya. Keduanya memang bukan orang sem-barangan.
Seperti halnya keturunan suku Mongol lainnya, Sogudai memiliki tubuh yang kokoh
dan kuat. Ditambah dengan ilmu silatnya yang tinggi, maka kekuatannya semakin menjadi
dahsyat sekali. Sebaliknya Ciang Kwan Sit juga mempunyai ilmu silat yang hebat pula. Di kalangan
Pasukan Rahasia ilmu cambuknya sangat terkenal. Rekan sepasukannya, mendiang Su
Hiat Hong dan Lim Kok Liang, amat segan terhadap ilmu cambuknya.
Begitulah, semakin lama pertempuran mereka menjadi semakin seru. Demikian
sengitnya, sehingga masing-masing tidak ada waktu lagi untuk melihat
sekelilingnya. Mereka tidak sempat pula melihat anak buah mereka. Apalagi arena
pertempuran semakin menebar ke segala penjuru. Bahkan sebagian dari mereka
kembali memasuki rawa-rawa.
Tapi jumlah mereka memang tidak seimbang.
Pasukan Sogudai berlipat lebih banyak, sehingga dengan menebarnya arena itu
semakin membuat pasukan Ciang Kwan Sit terpecah-belah. Akhirnya setiap prajurit
Ciang Kwan Sit harus melawan enam 879
atau tujuh orang lawan. Akibatnya bisa diduga. Satu persatu mereka mati
terbunuh. "Lihat! Teman-temanmu sudah mati semua!
Mengapa kau tidak menyerah saja?" Sogudai berseru gembira melihat lawannya
tinggal Ciang Kwan Sit seorang.
Ciang Kwan Sit menggerakkan giginya. "Bangsat!
Dari mana kau mendapatkan pasukan sedemikian banyaknya, heh" Kau tentu bukan
gerombolan perampok biasa! Anak buahmu amat terlatih dalam pertempuran! Jangan-
jangan kau mau memberontak, ya?"
"Gerombolan perampok" Kurang ajar ...! Kaukira kami siapa, heh" Jangankan cuma
kau dan kawan-kawanmu itu, bala tentara dari negerimu pun takkan mampu melawan
pasukan kami, hohohehe!"
"Hei, kalian..." Jadi kalian ini ... pasukan asing?"
Ciang Kwan Sit tersentak kaget, sehingga pertahanannya sedikit mengendor.
Akibatnya belati Sogudai menyerempet bahunya.
Membuat bahu itu tergores dalam dan hampir memutuskan uratnya. Darah mengucur
membasahi pakaian Ciang Kwan Sit. Dan lengan itu terasa lemas dan sulit
digerakkan. "Gila! Kau benar-benar gila!" Ciang Kwan Sit mengumpat.
Tapi Sogudai tidak meladeni sumpah serapah Ciang Kwan Sit. Melihat lawannya
terluka, sepak-terjangnya justru semakin ganas. Matanya melotot penuh hawa 880
pembunuhan, membuat Ciang Kwan Sit semakin turun semangat tempurnya.
"Aduuuuh...!" Sekali lagi Ciang Kwan Sit menjerit ketika belati besar itu
menghunjam lengannya. Otomatis cambuknya terlepas dari pegangan.
"Mati kau sekarang...!" Sogudai bersorak kegirangan. Belatinya menyambar ke arah
tenggorokan. Traaaaang! Tiba-tiba belati besar itu terlempar ke udara! Sebutir kerikil
menghantam badan belati tersebut! Namun pada saat terakhir ujung belati itu
masih sempat menyayat leher Ciang Kwan Sit!
Perwira itu terjungkal pingsan dengan darah mengalir dari luka barunya!
"Aaaah!" Sogudai juga menggeram kesakitan.
Dengan muka merah padam Sogudai melihat ke sekelilingnya, mencari orang yang
telah mengganggu perkelahiannya. Dan di tepi rawa, di atas sebuah cabang pohon,
dilihatnya seorang lelaki setengah baya tertawa ke arahnya. Sogudai tidak segera
mengenalnya. Tetapi suara tertawa itu cepat mengingatkannya kembali kepada musuh
bebuyutannya selama ini, Bun-bu Siu-cai (Si Pelajar Serba Bisa) Liu Wan. Dan
seperti halnya lima tahun lalu, pemuda itu masih juga menyamar sebagai tabib
keliling. Bahkan pakaian dan buntalan obatnya juga masih memakai yang dulu pula.
881 "Sogudai! Kau masih ingat kepadaku?" Pemuda itu menyapa, dan sama sekali tidak
peduli pada kawan-kawan Sogudai yang mengepung di bawah pohonnya.
"Bun-bu Siu-cai!" Sogudai berdesah dengan suara gemetar.
"Hahaha, Sogudai... ternyata kecurigaanku selama ini memang benar. Kedatanganmu
ke Tiong-goan dulu adalah untuk mencari jalan bagi pasukan Raja Mo Tan. Kini
saat untuk menyerbu tampaknya sudah tiba. Kau benar-benar dikirim bersama
pasukan perangmu menyeberangi Tembok Besar!" Pemuda yang tidak lain adalah Liu
Wan itu berseru dari atas
.pohon. "Bunuh dia....!" Sogudai berteriak marah.
Belasan anak panah melesat menuju ke tempat Liu Wan berada. Namun dengan cepat
pemuda itu melompat ke cabang yang lain, kemudian berjumpalitan ke bawah,
sehingga anak panah itu gagal memburunya.
Begitu berdiri di atas tanah, Liu Wan tidak segera melayani Sogudai dan anak
buahnya. Sebaliknya dengan tenang pemuda itu menghampiri tubuh Ciang Kwan Sit,
dan memeriksa luka-lukanya. Baru setelah yakin Ciang Kwan Sit masih hidup, dia
berdiri menghadapi lawannya.
"Sogudai! Kembalilah sebelum terlambat! Katakan kepada Rajamu, bahwa kami telah
mencium maksudnya! Katakan pula, bahwa bangsa Han tidak akan membiarkan tanah
ini diinjak oleh orang seperti 882
dia! Para pendekar telah besatu, menyusun kekuatan untuk menghadapi serbuannya.
Lihatlah...! Pasukan para pendekar telah siap bertempur denganmu!" Kata Liu Wan
berapi-api. Telunjuknya menuding ke tengah rawa, di mana puluhan kepala
tersembul di antara semak dan alang-alang.
"Gila! Sejak dulu kau selalu merintangi jalanku!"
Liu Wan tertawa panjang. "Sudah kukatakan dari dulu, bahwa aku paling tidak suka
melihat orang asing menginjak-injak dan merusak negeriku!"
"Bagus! Tampaknya kau memang telah menunggu kedatangan kami. Nah, mari kita selesaikan saja secepatnya! Prajurit, cepat lepaskan panah berapi! Kita undang pasukan yang lain ke tempat ini!" Liu Wan terkejut. Otomatis otaknya bekerja. Kalau Sogudai benar-benar mengundang bantuan, berarti kekuatan mereka akan bertambah. Dan bila jumlah
bantuan itu sama banyaknya dengan jumlah kekuatan Sogudai 883
sekarang, berarti para pendekar persilatan yang dibawanya takkan menang melawan
mereka. Liu Wan cepat memanggil tiga orang kawannya yang bersembunyi di dalam semak di
pinggir rawa. Salah seorang di antara mereka berbadan kecil, namun lengannya tampak lebih
panjang dari ukurannya. Orang itu berjalan seperti kera. Tapi ketika sebuah anak panah melesat ke
arahnya, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara dengan gesitnya. Dan di lain saat
anak panah itu telah berada dalam cengkeraman jarinya.
"Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun!" Sogudai yang sudah terbiasa berkeliaran di
Tiong-goan itu segera mengenali orang berbadan kecil itu.
"Ang-heng, pilihlah lima orang berkepandaian tinggi di antara teman-teman kita!
Bawalah mereka ke belakang untuk menjaga jalan mundur ke dalam rawa!
Kita tidak tahu persis, berapa jumlah musuh yang akan tiba nanti. Kita harus
siap untuk mundur bila diperlukan!" Liu Wan berbisik kepada Ang Jit Kun.
"Baik, Ciok-heng!" Pencuri Sakti itu lalu berkelebat cepat memasuki rawa-rawa
kembali. Gerakannya cepat bukan main.
"Ciok-heng! Apa yang harus kami kerjakan?" Dua orang yang datang bersama Ang Jit
Kun tadi bertanya kepada Liu Wan.
"Saudara Un dan Saudara Lo, kita bertiga tetap di sini. Kita pimpin rekan-rekan
kita menghadapi mereka! Tapi ingat...! Kita harus tetap menjaga, agar 884
kawan-kawan kita tidak keluar dari garis pertempuran! Kita tidak boleh menerobos
ke dalam lingkungan musuh! Kita harus tetap berada dalam satu baris tempur."
Un Kao dan Lo Su Ti, dua pendekar yang tampaknya merupakan pembantu utama Liu
Wan, menganggukkan kepala.
"Baik, kami tahu maksud Ciok-heng. Kita harus segera bisa menyelamatkan diri
kalau terdesak. Tetapi, sebelum bala bantuan mereka datang, kita harus secepatnya mengurangi
jumlah mereka. Siapa tahu bala bantuan mereka tidak banyak, sehingga kita bisa
menumpasnya" Begitu bukan?"
Liu Wan mengangkat ibu jarinya. "Bagus! Jiwi memang berpandangan tajam! Marilah!
Mereka sudah tidak sabar lagi!"
Demikianlah pertempuran tak bisa dielakkan lagi.
Masing-masing berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Anak buah Sogudai menyerang dengan ganas dan penuh semangat, sementara para
pendekar yang dipimpin oleh Liu Wan pun melayani mereka dengan penuh semangat
pula. Meski secara perorangan para pendekar itu memiliki kepandaian lebih tinggi, tapi
dalam pertempuran besar mereka tetap harus waspada dan dapat menempatkan diri
dalam kelompoknya. Sekejap saja dia terlepas dan kelompoknya dan terjebak dalam
kepungan lawan, maka akan sangat sulit untuk 885
meloloskan djri. Betapapun lihai ilmu silat seorang perajurit, namun siasat dan
cara bertempur tetap diperlukan dalam setiap arena.
Walaupun demikian kemampuan perorangan juga tak bisa diabaikan. Seorang jago
silat tetap lebih berbahaya daripada prajurit biasa. Tanpa senjatapun mereka
masih lebih berbahaya daripada prajurit bersenjata.
Korban mulai berjatuhan, sehingga jumlah mereka semakin berkurang pula. Tempat
yang licin berlumut itu kini mulai tampak kemerahan. Sogudai yang sedang
berhadapan dengan Liu Wan juga mulai gelisah pula. Bantuan belum datang,
sementara anak buahnya banyak yang telah menjadi korban.
Tapi wajah itu segera berseri kembali ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai
mendatangi. Benar juga, dari balik pepohonan tiba-tiba muncul belasan orang
bersenjata yang segera menceburkan diri ke dalam pertempuran.
Datangnya bala bantuan yang tidak kecil itu membuat perubahan kekuatan di arena.
Pasukan Sogudai yang tadi terdesak, kini berbalik mendesak lawan. Apalagi bala
bantuan yang datang masih tetap bermunculan tiada putusnya. Mereka langsung
menggempur pasukan pimpinan Liu Wan.
Liu Wan cepat memberi isyarat kepada Un Kao dan Lo Su Ti. Perlahan-lahan mereka
mundur sambil membawa teman mereka yang terluka. Ang Jit Kun bersama lima orang
kawannya segera menebar 886
membuka jalan. Karena mereka memang tak pernah meninggalkan jalan masuk ke dalam
rawa, maka pasukan para pendekar itu dengan mudah dapat meloloskan diri. Pasukan
Sogudai yang tidak tahu keganasan rawa itu mencoba mengejar mereka.
Namun beberapa orang di antara mereka segera tenggelam ke dalam lumpur.
"Jangan masuk ke dalam rawa! Hujani mereka dengan panah!" Sogudai berteriak.
Berpuluh-puluh anak panah meluncur mengejar para pendekar itu. Tapi sudah
terlambat. Selain gerakan para pendekar itu sangat cepat, kondisi rawa-rawa itu
benar-benar sangat membantu mereka.
Sebentar saja mereka telah lenyap ke dalam rimbunnya semak belukar. Dan di lain
saat rombongan para pendekar itu telah menaiki sampan masing-masing dan pergi
dari tempat itu. Sogudai berteriak marah. Musuh lama yang telah berada dalam genggaman, ternyata
lepas begitu saja. -- o0d-w0o -- Sementara itu Liu Wan membawa kawan-
kawannya ke kota Lau-ying, sebuah kota kecil di sebelah utara Tai-bong-sui.
Mereka langsung menuju, ke markas darurat mereka, di sebuah kuil kosong di luar
kota. Kedatangan mereka disambut oleh kawan-kawan mereka yang lain.
887 "Ciok-heng, kita mendapat tamu dari kota Ling-fu.
Sekarang ia berada di dalam bersama kawan-kawan."
Seorang lelaki bersenjata golok memberi laporan.
Liu Wan mengangguk. Setelah mengatur dan menugaskan beberapa orang kawannya
untuk mengurusi yang luka, Liu Wan mengajak Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun ke
dalam untuk menemui tamunya.
"Ahh...?" Liu Wan berdesah ketika melihat tamunya. Tapi rasa kaget itu cepat
disembunyikannya. Dia sedang menyamar sebagai Tabib Ciok sekarang.
"Selamat bertemu, Ciok Sin-she! Perkenalkan... aku yang rendah bernama Tan Sin
Lun, dari Aliran Im-yang-kau. Mungkin Sin-she masih ingat padaku, karena aku
pernah datang mengunjungi pondokmu di kota Hang-ciu lima tahun lalu...." Tamu
itu memperkenalkan diri. "Ah, tentu saja.... Tan Siau-heng. Meskipun sudah tua ingatanku masih tetap
baik. Hemm, apakah sumoimu yang hilang itu sudah kautemukan?"
Liu Wan tetap berusaha bersikap wajar, walaupun hatinya tetap berdebar-debar.
Bagaimanapun juga ia harus berhati-hati, sebab sebagai Liu Wan maupun sebagai
Tabib Ciok ia sama-sama telah mengenal Tan Sin Lun. Ia harus pandai membawakan
perannya. Tan Sin Lun menghela napas panjang. "Belum.
Malah aku juga kehilangan kakaknya pula. Dan sampai sekarang... kedua sumoiku
itu tak pernah kembali."
888 Mereka lalu duduk di ruangan tengah. Sebelum menanyakan maksud kedatangan
tamunya, Liu Wan memperkenalkan kawan-kawannya. Setelah itu baru dia menanyakan
keperluan Tan Sin Lun. "Ciok Sin-she, rasanya kita semua sudah tahu bahwa suku bangsa Hun bermaksud
mencaplok negeri kita. Bertahun-tahun mereka mempersiapkan diri. Dan tampaknya
niat itu benar-benar mereka laksanakan sekarang. Mereka melintasi Tembok Besar
secara diam-diam!" Liu Wan tidak segera menyahut. Dia tetap berdiam diri menunggu habisnya ucapan
Tan Sin Lun. "Tapi... gerakan mereka tetap saja tercium oleh para pendekar persilatan. Banyak
tokoh-tokoh persilatan yang datang ke daerah ini. Semuanya ingin menghadapi para
penyerbu itu. Dan kami dengar...
Ciok Sin-she berhasil mempersatukan para pendekar itu." Tan Sin Lun melanjutkan
kata-katanya. "Ah, hanya sebagian kecil saja. Di kota-kota lain juga banyak perkumpulan-


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkumpulan seperti ini."
Liu Wan merendah. "Benar, Ciok Sin-she. Di kota Leng-fu, kami juga mendirikan perkumpulan seperti
ini. Kami memberi nama Pek-lian-eng (Pendekar Teratai Putih)." Tan Sin Lun
melanjutkan kata-katanya.
"Ya, kami juga sudah mendengarnya, Tan-heng.
Bahkan kami pernah bertemu pimpinannya, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing."
889 Tan Sin Lun tersenyum gembira. "Nah, Ciok Sinshe... kedatanganku ke sini justru
atas perintah Ma Susiok itu. Beliau mengharapkan bantuan Ciok Sin-she."
"Bantuan" Bantuan apa?" Liu Wan mengerutkan keningnya.
"Tan Siau-hiap...! Selain memimpin Pek-lian-eng, Ma Tai-hiap adalah ketua cabang
Aliran Im-yang-kau di bagian utara. Ilmu silat Ma Tai-hiap jauh lebih tinggi di
atas kami. Lalu... bantuan apa lagi yang dapat kami berikan kepadanya?" Ang Jit
Kun ikut berbicara. Tan Sin Lun memperbaiki letak duduknya, kemudian merogoh saku dan mengeluarkan
segulung kain putih selebar saputangan.
"Ciok Sin-she...! Sekarang Pangeran Liu Wan Ti berada di dalam benteng Kong-sun
Goan-swe. Di mana Pangeran Liu mencoba mengajak para pendekar untuk memerangi
Raja Mo Tan. Beliau mulai mengumpulkan orang-orang yang betul-betul dapat
dipercaya untuk mewujudkan maksudnya itu. Dan kebetulan Ma Su-siok terpilih
sebagai salah seorang yang mendapat kepercayaan tersebut. Sekarang Ma Susiok
juga mulai mengumpulkan kawan-kawan pula.
Nah, salah seorang yang sangat dipercaya oleh Ma Su-siok adalah... Ciok Sinshe!
Dan kedatangan kami ke mari untuk menyerahkan undangan dari Ma Susiok kepada
Ciok Sin-she. Silakan diterima...!"
Liu Wan menerima kain yang disodorkan Tan Sin Lun dan membacanya. Isinya antara
lain mengajak 890 Ciok Sin-she dan kelompoknya untuk bergabung dengan barisan Pangeran Liu. Dan
dalam waktu dekat Pangeran Liu ingin merundingkan cara mewujudkan rencana
mereka. Selesai membaca Liu Wan meminta pendapat rekan-rekannya. Terutama kepada Si
Pencuri Sakti Ang Jit Kun.
"Kalau memang benar demikian maksud Pangeran Liu, maka tidak ada masalahnya kita
bergabung dengan mereka. Semakin besar dan terarah, maka kekuatan kita akan
semakin kokoh pula. Rasanya Pangeran Liu memang cocok untuk memimpin kita."
"Baiklah, Tan-heng. Rasanya kami juga tidak keberatan untuk bergabung. Katakan
kepada Ma Taihiap, bahwa kami semua siap bergabung dengan Pangeran Liu!"
Akhirnya Liu Wan menjawab.
Tan Sin Lun bangkit dan merangkapkan kedua tangannya. "Terima kasih, Ciok Sin-
she. Ma Susiok tentu akan senang sekali mendengarnya."
Matahari mulai terbenam. Mereka makan minum sekedarnya. Ketika akhirnya Tan Sin
Lun meminta diri, maka matahari benar-benar sudah tenggelam.
Sebelum berangkat pemuda itu masih sempat bercerita pula tentang utusan Kong-sun
Goanswe yang telah sebulan lamanya belum kembali. Utusan itu bernama Yo Keng,
seorang perwira, diutus ke kota raja untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin.
891 "Utusan itu belum juga kembali?" Liu Wan mengerutkan dahinya. "Ah, mungkin dia
mendapat kesulitan di kota raja...."
"Tampaknya memang demikian. Semua orang memang harus berhati-hati di kota raja.
Kata orang suasana di sana sudah tidak sehat lagi. Ibu Suri dalam keadaan sakit,
sementara keluarga Kaisar yang lain juga tidak ada yang dapat diharapkan lagi.
Bahkan para pejabat kerajaan juga tidak ada yang peduli pula.
Mereka saling mencari kepuasannya sendiri."
"Benar. Oleh karena itu dengan munculnya Pangeran Liu Wan Ti, rasanya kita semua
harus bergembira...." Ang Jit Kun berkata pelan.
Setelah Tan Sin Lun pergi, Liu Wan memanggil Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.
"Saudara Ang, tampaknya situasi semakin gawat.
Aku akan pergi dalam beberapa hari. Tolong kaupimpin kawan-kawan kita. Apabila
saat bulan purnama aku belum datang, bawalah kawan-kawan kita ke rawa Tai-bong-
sui. Para pendekar akan mengadakan pertemuan di tempat itu. Mereka akan
merundingkan jalan yang hendak kita tempuh bersama. Aku akan pergi ke kota raja
untuk melihat keadaan. Siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang penting bagi
perjuangan kita." "Ciok Sin-she akan berangkat malam ini juga?"
Ang Jit Kun bertanya kaget.
"Benar. Situasi sudah semakin gawat. Pasukan asing sudah masuk ke negeri kita,
sementara di kota 892 raja malah saling cakar-cakaran sendiri. Kita harus segera berbuat sesuatu."
"Ciok Sin-she hendak berbuat apa...?" Ang Jit Kun berdesah tak mengerti.
Tapi Liu Wan tak menjawab. Selesai membenahi bekalnya ia segera berangkat
meninggalkan tempat itu. Dia berkuda ke arah timur.
Dua hari kemudian Liu Wan sudah melewati kota An-yang. Ia terkejut ketika
berjumpa dengan barisan prajurit dari kota raja. Demikian panjang barisan itu
sehingga Liu Wan terpaksa menyelinap ke dalam hutan dan kebun untuk menghindari
mereka. "Ah! Tampaknya Au-yang Goanswe sudah mencium juga kedatangan pasukan Mo Tan.
Pasukan ini sangat lengkap dan dipersiapkan untuk perang yang panjang."
Hampir setengah hari barisan prajurit itu baru habis. Liu Wan menyeka debu dan
keringat yang mengotori wajahnya. Sambil meneruskan perjalanan ia sibuk
berpikir. Dua atau tiga hari lagi perang besar akan berkecamuk di sepanjang
aliran Sungai Huangho. Dan perang itu akan membuat penderitaan dan kesengsaraan
rakyat kecil. Malam itu Liu Wan menginap di kota An-sing, sebuah kota kecil di sebelah
tenggara An-yang. Walaupun kecil tapi kota itu sangat ramai. Anak Sungai Huang-ho di bagian
selatan kota, memberi banyak kesuburan pada sawah ladang, sehingga 893
daerah itu tampak lebih makmur daripada daerah sekitarnya.
Tapi barisan prajurit yang lewat di kota itu telah meresahkan hati mereka.
Bagaimanapun juga perang tidak pernah mereka sukai.
"Maaf, Tuan... meja ini sudah dipesan orang.
Sebentar lagi mereka datang. Kalau Tuan ingin makan, Tuan dapat pergi ke rumah
makan sebelah. Di sana masih banyak tempat kosong...." Pelayan memberi tahu
ketika Liu Wan bermaksud duduk di ruangan makan penginapan itu.
Liu Wan menarik napas kecewa. Tapi ketika hendak berbalik, seorang lelaki
berseru kepadanya. "Ciok-heng, marilah kita duduk bersama...! Masih ada kursi kosong di mejaku!"
Liu Wan menoleh. Dilihatnya seorang lelaki tua berpakaian sederhana duduk di
dekat jendela. Ketika Liu Wan memperhatikan, dia segera mengingatnya.
Orang itu adalah Ui Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung di Hang-ciu. Orang
tua itu duduk bersama dua orang puteranya, Ui Kong Tee dan Ui Kong Lam, yang
pandai bermain barongsai itu. Sebagai penduduk yang pernah tinggal satu kota
tentu saja mereka mengenal satu sama lain.
"Ah, apakah aku yang sudah tua ini bertemu dengan keluarga Ui dari Ui-thian-
cung...?" Liu Wan menyapa ramah.
894 Ui Tiam Lok berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Begitu
pula dengan kedua puteranya. Mereka saling memberi hormat.
Liu Wan menerima undangan mereka.
Mereka lalu saling menanyakan kabar dan pengalaman masing-masing. Dan akhirnya
mereka juga saling menanyakan keperluan masing-masing di tempat itu.
"Ciok Sin-she...! Kau tentu masih ingat peristiwa lima tahun yang lalu, bukan"
Pada waktu itu muncul beberapa tokoh aneh di dunia persilatan, yang
memperkenalkan diri sebagai utusan dari Pondok Pelangi. Kepandaian mereka begitu
tinggi, sehingga tokoh-tokoh besar seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Keh-
sim Thai-hiap Kwe Tiong Li pun tidak mampu menandingi mereka. Bahkan keduanya
ditaklukkan dengan mudah, kemudian dibawa pergi entah ke mana. Dan sampai
sekarang mereka berdua belum kembali. Usaha kaum persilatan untuk mencari mereka
juga tidak pernah berhasil. Tidak seorang pun tahu, di mana Pondok Pelangi itu
berada." Ui Tiam Lok bercerita perlahan.
Liu Wan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Matanya menerawang jauh keluar jendela. Peristiwa di dunia persilatan pada lima
tahun lalu memang tidak dapat dilupakan begitu saja. Terutama bagi dirinya
sendiri. Banyak peristiwa mengesankan yang tidak mungkin bisa dia lupakan, Kedatangan
anak-anak 895 Raja Mo Tan yang memiliki kesaktian seperti iblis di daerah Tiong-goan. Kemudian
lenyapnya Tio Ciu In, gadis yang baru saja dikenalnya, namun telah mampu
mengusik hatinya. Dan yang terakhir adalah munculnya beberapa orang tokoh Pondok
Pelangi yang sempat membikin geger dunia persilatan.
Lima tahun telah berlalu, namun semua peristiwa itu seperti masih terbayang di
pelupuk mata. "Yaaah, tentu saja aku masih ingat, Ui-heng.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan peristiwa itu" Ilmu silat yang telah
kupelajari selama puluhan tahun ini ternyata tidak berarti apa-apa dibandingkan
ilmu silat mereka. Cuma dengan tiga jurus, orang-orang dan Pondok Pelangi itu
telah mengalahkan aku. Aku benar-benar kecewa dan malu sekali pada waktu itu."
Ui Tiam Lok tersenyum arif. Usianya yang sudah mencapai tujuh puluh lima tahun
itu membuatnya matang luar dalam.
"Ciok-heng, kau tak perlu merasa malu dan patah semangat. Tidak hanya kau yang
mengalami hal itu...."
"Yah, tapi.... rasanya mengganjal juga di dalam hati. Apalagi mereka datang dan
pergi begitu saja, seolah-olah tidak ada seorang manusia pun di Tionggoan ini
yang mampu mengusik mereka. Rasa-rasanya kita ini seperti anak-anak yang tak
bisa berbuat apa-apa. Benar-benar sebuah mimpi buruk dalam kehidupan kita...."
896 Pelayan yang mengusir Liu Wan tadi datang membawa makanan yang mereka pesan.
Dengan sikap sopan dan ramah pelayan itu menaruh makanan di atas meja.
Gerakannya sangat cekatan. Beberapa kali tangan itu menyambar dan meletakkan
mangkok kuah ke atas meja. Dan yang sangat mengherankan, kuah yang ada di dalam
mangkok itu sama sekali tidak bergetar, apalagi memercik. Padahal cara
meletakkannya pun secara sembarangan pula.
Tak seorang .pun melihat keanehan itu. Liu Wan juga baru menyadari ketika
pelayan tersebut sudah meninggalkan mereka.
"Eh....?"?"
"Ciok-heng, ada apa?" Ui Tiam Lok bagai tersengat lebah.
Liu Wan memandang kembali mangkok kuah di depannya. Tak ada getaran. Tak ada
percikan. "Ah, tidak apa-apa... Ui-heng. Aku hanya sedikit terkejut. Rasa-rasanya pernah
melihat pelayan itu. Tapi aku lupa di mana?" Liu Wan cepat mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin
dianggap terlalu berprasangka dan curiga.
Sambil makan mereka lalu berbicara lagi. Ui Tiam Lok bercerita tentang beberapa
kejadian yang menimpa keluarganya, yang akhirnya membuat dia keluar dari
kampungnya. "Ciok-heng.... Dalam satu bulan ini beberapa orang nelayanku telah empat kali
melihat orang-orang 897 misterius itu. Mereka naik sampan kecil terbuat dari tulang-tulang ikan paus."
"Orang-orang dari Pondok Pelangi...?"
Ui Tiam Lok mengangguk. "Aku sudah memberitahukan hal itu kepada tokoh-tokoh
persilatan yang kukenal, agar mereka bersiap-siap menghadapi kedatangan mereka.
Siapa tahu mereka ingin menculik beberapa orang di antara kita lagi?"
Liu Wan menghela napas panjang. "Perang besar akan segera meletus. Pasukan Raja
Mo Tan telah menyeberangi Tembok Besar. Tapi, dunia persilatan justru bergolak
sendiri...." "Ciok-heng, kau benar.... Tampaknya perang besar memang segera meletus. Aku juga
sudah melihatnya. Bahkan pasukan yang dikirim dari kota raja sudah melewati kota ini pula."
"Tapi bukan itu yang kuprihatinkan. Sebenarnya kita dapat mengusir musuh bila
bersatu. Baik prajurit, rakyat, maupun para pendekar persilatan. Tapi tampaknya
Mo Tan memang tahu kelemahan kita.
Sudah beberapa tahun ini rakyat hidup dalam kerusuhan dan ketidak-adilan. Di
istana pun para pejabat saling berebut pengaruh. Kini para pendekar juga diteror
pula oleh kemunculan orang-orang Pondok Pelangi. Nah... lengkap sudah!"
"Oh..."!" Ui Tiam Lok seakan-akan baru terjaga dari tidurnya. "Benar! Jangan-
jangan semua itu memang berkaitan satu sama lain. Nah, Ciok-heng!
Apa yang sebaiknya kita lakukan?"
898 Mata Liu Wan berkilat-kilat. "Tentu saja yang terpenting adalah... mempersatukan
semua kekuatan kita! Mereka harus kita galang menjadi satu kekuatan untuk
menghadapi pasukan Mo Tan!"
Ui Tiam Lok tersenyum. "Ya, tapi... bagaimana caranya?"
Liu Wan melirik ke sekitarnya. Setelah yakin tak seorang pun memperhatikan
mereka, ia berbisik perlahan.
"Mudah. Kita harus dapat mencari seorang pemimpin yang benar-benar mampu
menguasai semua kekuatan itu. Seorang pemimpin yang sangat disegani dan
dihormati oleh kekuatan kita itu!"
"Siapa...?" Ui Tiam Lok menatap tajam.
Sekali lagi Liu Wan mengedarkan pandangannya.
"Ada dua tokoh! Mereka adalah.... Pangeran Liu Yang Kun dan bekas Panglima Besar
Yap Kim! Menurut pendapatku hanya mereka berdua yang mampu mempersatukan
kekuatan itu!" Mata Ui Tiam Lok yang sudah berkeriput itu terbelalak. Namun sinar kegembiraan
tampak di dalamnya. "Benar, Ciok-heng. Aku sependapat denganmu.
Tapi rasanya.... hanya tokoh ke dua saja yang bisa diharapkan. Itu pun harus ada
yang dapat membebaskan dia dari Benteng Langit."
"Bagaimana dengan Pangeran Liu Yang Kun...?"
Ui Thian Lok menggelengkan kepalanya. "Aku tak yakin beliau masih hidup. Dua
puluh tahun bukanlah 899 waktu yang pendek. Kalau masih hidup, tidak mungkin dia melupakan keluarganya."
"Bukankah isteri dan anak-anaknya telah mati semua?"
"Ya, tapi masih ada adik-adiknya. Bukankah mereka juga keluarganya?"
Liu Wan menghela napas dalam sekali. Wajahnya yang tertutup kumis dan jenggot
palsu itu tampak gelap. "Kau benar. Memang akulah yang terlalu berharap." Akhirnya Liu Wan bergumam
seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.
Ui Tiam Lok memandang tamunya. "Maaf, Ciok-heng. Bukannya aku merendahkan nama
Pangeran Liu Yang Kun, tetapi kita memang tidak mungkin mengharapkannya lagi.
Kita harus berpijak pada kenyataan. Dan kenyataannya, Pangeran Liu Yang Kun
sudah tidak mungkin diharapkan lagi. Kini tinggal Panglima Besar Yap Kim saja
yang dapat kita harapkan. Sayang sekali... beliau terkurung dalam penjara. Apa
daya kita...?" Wajah Liu Wan yang tertutup cambang itu tiba-tiba menjadi cerah kembali. "Ui-
heng, aku punya rencana...!"
"Rencana..." Rencana apa?"
"Ah, nanti saja! Belum saatnya dikatakan...."
Liu Wan tidak meneruskan ucapannya, karena pelayan yang menghidangkan kuah tadi
datang kembali. Dan Liu Wan baru menyadari, betapa 900
gagahnya pelayan itu. Tubuhnya tinggi dan besar.
Raut mukanya yang keras dan penuh keyakinan itu membuat usianya kelihatan lebih
dewasa. Penampilannya sama sekali tidak sesuai dengan seragam kacungnya.
"Maaf, Tuan. Tuan Muda yang duduk di pojok ruangan itu ingin mengundang Cu-wi
semua. Apakah Cu-wi bersedia...?"
Liu Wan dan Ui Tiam Lok melihat ke pojok ruangan. Mereka melihat seorang pemuda
berpakaian pelajar duduk sendirian di mejanya. Bajunya yang longgar berwarna
putih, sementara topinya berwarna hitam seperti
rambutnya. Kumis tipis menempel di atas bibirnya, membuat pemuda itu kelihatan ganteng sekali. Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Masing-masing

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat pundaknya. Keduanya tidak mengenal pemuda itu. 901 "Siapa dia" Mengapa dia mengundang kami?"
"Tuan Muda itu mengaku saudara Pangeran Liu Yang Kun dari istana kaisar. Apakah
Cu-wi belum mengenalnya?"
Tidak hanya Liu Wan yang kaget mendengar jawaban itu, tapi juga Ui Tiam Lok
beserta putera-puteranya. Bagaimana tidak" Mereka baru saja berbicara tentang
Pangeran Liu Yang Kun, kini tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sebagai
saudara pangeran itu. Liu Wan dan Ui Tiam Lok berembug sebentar.
"Baiklah, kami tidak berkeberatan." Mereka lalu berdiri mengikuti pelayan itu.
Pemuda ganteng itu menyambut kedatangan mereka. "Oh, terima kasih atas kesediaan
Cu-wi memenuhi undanganku. Perkenalkanlah, aku bernama Souw Hong Lam. Silakan
duduk...!" Mereka lalu saling memperkenalkan diri. Meskipun demikian Liu Wan dan Ui Tiam
Lok tetap berhati-hati. "Maaf...! Siau-te telah berani mengganggu ketenangan Cu-wi berempat. Cu-wi tentu
merasa kaget, curiga, dan bingung. Kita memang belum pernah saling mengenal
sebelumnya. Tapi, apa boleh buat.... tidak ada cara lain. Siau-te ingin sekali
berbicara tentang orang-orang Pondok Pelangi itu dengan Cu-wi berempat. Kudengar
Cu-wi baru saja bercerita tentang mereka." Souw Hong Lam berkata panjang lebar.
902 Liu Wan maupun Ui Tiam Lok terkejut. Jarak antara meja mereka dengan meja pemuda
itu sangat jauh, bahkan di selingi oleh beberapa meja yang penuh tamu pula.
Bagaimana pemuda itu dapat mendengarkan percakapan mereka"
Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok.
Mereka semakin berhati-hati. Kalau memang benar apa yang diucapkan pemuda itu,
berarti pemuda itu memiliki tenaga dalam yang hebat.
"Maaf, Souw-heng. Kata pelayan rumah makan ini, kau masih memiliki hubungan
keluarga dengan Pangeran Liu Yang Kun. Hmm, benarkah...?" Liu Wan bertanya hati-
hati. Pemuda itu tertawa. Dan Liu Wan harus mengakui bahwa pemuda itu benar-benar
tampan sekali. Giginya tersusun rapi, sementara bibirnya yang tertutup kumis
tipis itu merekah seperti bibir wanita.
"Ah! Kalau mau dianggap masih keluarga, yah...
bisa saja, karena salah seorang keluargaku adalah menantu Kaisar Liu Pang. Tapi
kalau hal itu dianggap bukan keluarga, yaaa... memang bukan apa-apa!"
Liu Wan tersentak. Putera Kaisar Liu Pang yang sudah menikah hanya Pangeran Liu
Yang Kun. Dan kedua isteri pangeran itu adalah Souw Lian Cu dan Han Tui Lan.
"Salah seorang isteri Pangeran Liu Yang Kun adalah puteri pendekar Souw Thian
Hai. Apakah Saudara dari keluarga pendekar ternama itu?" Liu Wan bertanya kaget.
903 "Benar. Tapi aku tidak berani mengaku terlalu dekat dengan mereka. Aku hanya
keluarga jauh. Namun demikian kepergianku ini juga untuk mencari Pendekar Souw Thian Hai. Kata
orang dia diculik utusan dari Pondok Pelangi. Nah, apakah Ji-wi Locianpwe tahu
letak Pondok Pelangi itu?"
Ui Tiam Lok menelan ludah. Sambil bergeser di tempat duduknya, ia berkata pelan.
"Souw-heng...! Kami memang baru saja membicarakan orang-orang dari Pondok Pelangi itu. Aku
mengatakan kepada Ciok Sin-she ini, bahwa beberapa orang nelayan di kampungku
telah melihat lagi kedatangan mereka di Laut Utara. Tapi para nelayan itu tidak
ada yang tahu dari mana mereka datang...."
"Laut Utara...." Oh! Apakah mereka datang dari seberang lautan". Bukan dari
daratan kita ini?" Souw Hong Lam bergumam.
"Dugaan Tuan memang benar...." Tiba-tiba pelayan muda itu datang lagi membawa
botol arak pesanan Souw Hong Lam. Bibirnya tersenyum kepada Souw Hong Lam.
Tentu saja ucapan pelayan itu sangat mengejutkan mereka. Bahkan Liu Wan yang
sudah bercuriga sejak tadi sampai melongo mendengarnya.
Tapi pelayan muda itu dengan tenang melanjutkan kata-katanya. "Maaf. Bukan
maksudku untuk mencampuri pembicaraan Tuan. Tapi, orang-orang dari Pondok
Pelangi itu memang bertempat tinggal jauh di seberang lautan sana. Siaute pernah
904 berkunjung ke tempat itu. Pada musim panas begini, tempat tinggal mereka memang
sangat indah. Tapi pada musim dingin, seluruh tanah mereka diselimuti oleh
salju. Bahkan permukaan laut di sekitar tanah mereka pun dilapisi oleh es pula.
Liu Wan cepat berdiri sambil merangkapkan tangannya. "Maaf, bolehkah kami tahu
nama Saudara" Sejak tadi aku memang tidak percaya bahwa Saudara adalah seorang pelayan biasa."
"Wah, Sin-she salah duga. Siau-te memang seorang pelayan. Sudah lima hari Siaute
bekerja di sini. Siaute bernama A Liong. Dan Siaute memang berasal dari Lautan
Es itu...." Tiba-tiba tangan Souw Hong Lam menyambar ke depan, ke arah pergelangan tangan A
Liong. Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa
mengikutinya. Tapi A Liong sekarang bukanlah A Liong lima tahun lalu. Gerak tangannya ternyata
jauh lebih cepat daripada gerakan Souw Hong Lam! Bagaikan main sulap, lengan
pemuda itu tiba-tiba lenyap dari tempatnya. Dan tangan Souw Hong Lam hanya mampu
meraup asap tipis yang tiba-tiba mengepul di tempat lengan A Liong tadi berada.
Asap itu segera buyar tertiup angin, meninggalkan bau amis menyentak hidung.
"Gila...!" Liu Wan mengumpat di dalam hati.
"Pelayan ini jelas lihai sekali! Jikalau aku yang mendapat serangan itu, aku
tidak mungkin bisa 905 mengelakkannya. Paling-paling aku hanya bisa mengadu tenaga!"
Ternyata Souw Hong Lam sendiri juga tidak kalah kagetnya. Dia tidak meneruskan
gerakannya. Matanya yang jernih dan tajam itu menatap lawan lekat-lekat.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyerang, Saudara.
Aku hanya ingin mengetahui, siapakah .saudara ini sebenarnya...."
A Liong tersenyum. "Ah, tidak apa-apa. Siaute hanya bergurau pula. Siaute ingat,
waktu masih kecil dahulu sering bermain "tangkap tangan" dengan teman-temanku.
Melihat gerakan tangan Tuan tadi, otomatis tanganku menghindar."
"Tapi.... asap itu?" Liu Wan menyela.
Lagi-lagi A Liong tersenyum. "Ah, bukankah asap itu keluar dari arak yang
kubawa" Arak itu baru saja dipanaskan!"
"Tapi baunya amis sekali...."
A Liong tidak menjawab. Dia cepat
membungkukkan badan dan melangkah mundur untuk kembali ke tempatnya.
"Tunggu...!" Souw Hong Lam berseru.
Tapi A Liong tetap melangkah ke dalam, sehingga Souw Hong Lam terpaksa bangkit
dan mengejarnya. Liu Wan dan keluarga Ui mengikut di belakangnya.
Namun mereka tidak menemukan A Liong. Pelayan lainnya mengatakan bahwa A Liong
baru saja keluar untuk membeli daging.
906 Tampaknya Souw Hong Lam tidak mau
kehilangan. Setelah membayar semua makanan, ia berlari keluar. Liu Wan dan
keluarga Ui tidak mau ketinggalan pula.
Mereka berlari-lari kecil di jalan raya. "Ah! cepat sekali dia menghilang!
Padahal kita hanya terlambat beberapa langkah saja di belakangnya...!" Souw Hong
Lam bersungut-sungut. Mereka berdiri di perempatan jalan. Ui Tiam Lok tiba-tiba menunjuk ke sebuah
kereta yang berjalan lambat dari arah selatan. Dua orang petugas keamanan tampak
berdiri di atas kereta, sementara beberapa petugas lain membunyikan tambur untuk
menarik perhatian orang. Dua petugas itu meneriakkan sebuah seruan tentang
hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan Pangeran Liu Wan Ti.
"Eh, katanya Pangeran Liu berada di Benteng Kong-sun Goanswe. Mengapa para
petugas itu meneriakkan pengumuman itu" Apakah berita itu belum didengar oleh
pemerintah?" Ui Tiam Lok berbisik.
Souw Hong Lam menoleh. Dahinya berkerut.
"Apa..." Pangeran Mahkota itu masih hidup?"
Liu Wan mengangkat pundaknya. "Berita yang terdengar memang begitu. Malah
kabarnya beliau sekarang sedang mengumpulkan kekuatan untuk melawan Raja Mo Tan
di benteng Kong-sun Goanswe."
907 "Lhoh" Mo Tan menyerang Tiong-goan?" Lagi-lagi Souw Hong Lam berseru tak
percaya. "Wah, Siau-ya benar-benar ketinggalan jaman!"
Entah dari mana datangnya tiba-tiba A Liong telah berada di belakang mereka.
"Kau....?"?" Semuanya berdesah kaget.
"Oh, maaf! Siau-te telah mengagetkan Cu-wi sekalian! Siau-te dari pasar untuk
membeli daging, tapi ternyata sudah habis. Jadi, siau-te terpaksa... eh, mengapa
Cu-wi berada di sini" Bukankah Cu-wi sedang minum arak?" A Liong pura-pura
terkejut. Souw Hong Lam menelan ludah. "Maaf, kami memang mencari Saudara. Kami
bersungguh-sungguh tentang Pondok Pelangi itu sehingga kami menginginkan
beberapa keterangan lagi dari Saudara."
"Oh, ya-ya...! Tapi sekarang siau-te sedang sibuk.
Bagaimana kalau kita bertemu saja di kuil San-hong-bio besok pagi?"
"Baiklah, Saudara.... A Liong. Kami akan menunggu di depan Kuil San-hong-bio
besok pagi." Liu Wan mengiyakan ketika dilihatnya Souw Hong Lam tidak segera menjawab.
Entah mengapa, tapi pelayan itu benar-benar menarik perhatian Liu Wan. Ada
sesuatu yang disembunyikan oleh pemuda gagah itu. Sikapnya sangat aneh. Sama
anehnya dengan Souw Hong Lam, yang juga baru dikenalnya itu. Diam-diam Liu Wan
ingin tahu, siapa sebenarnya mereka itu.
908 Demikianlah hari berikutnya mereka bertemu di halaman San-hong-bio. Liu Wan
tetap dalam penyamaran sebagai Tabib Ciok, sementara A Liong tidak berpakaian
seperti pelayan lagi. Pemuda itu datang dengan pakaian longgar berwarna biru
tua. Di atas pungungnya terikat sebuah bungkusan kain.
"Maaf, hari ini siau-te akan pergi ke suatu tempat, sehingga tak dapat menemani
Cu-wi terlalu lama. Kita langsung saja berbicara tentang Pondok Pelangi itu...."
Begitu datang A Liong berkata lantang.
Souw Hong Lam maju ke depan. "Aku sependapat denganmu, Saudara A Liong! Aku juga
tidak ingin berbelit-belit. Kedatanganku ke mari adalah untuk mengajakmu pergi
ke Pondok Pelangi." "Ke Pondok Pelangi" Mau apa Siau-ya ke sana?" A Liong kaget.
"Saudara A Liong! Jangan panggil aku... Siau-ya!
Kau bukan seorang pelayan lagi! Panggil saja aku Hong Lam! Dan aku memanggilmu A
Liong! Kita tak perlu berbasa-basi."
"Baiklah...!" Tak terduga A Liong mengiyakan.
"Nah, A Liong.... aku ingin mencari Souw Thian Hai! Dia masih keluargaku. Kata
orang dia bersama isterinya dibawa oleh utusan dari Pondok Pelangi lima tahun
lalu." "Souw Thian Hai dan isterinya" Dia bertubuh tinggi besar berambut putih" Dan
usianya kira-kira sama dengan.... Ui-locianpwe ini?" Mendadak A Liong berteriak
gembira. 909 "A Liong! Apa maksudmu?"
Cepat bagai kilat A Liong menyambar lengan Souw Hong Lam. Dan pemuda ganteng itu
mengelak. Tapi sia-sia. Jari tangan A Liong yang kokoh kuat itu lebih dulu
mencengkeram pergelangan tangannya.
Souw Hong Lam berontak. Asap tipis berwarna kemerahan tiba-tiba mengepul di atas
topinya. Dan kekuatan yang maha besar segera menghentakkan tangannya dari
cengkeraman A Liong. Demikian besar kekuatan tersebut, sehingga getaran anginnya
dapat dirasakan oleh Liu Wan maupun Ui Tiam Lok.
A Liong melepaskan tangannya. Bibirnya tersenyum. "Bagus! Kau memang dari
keluarga Souw. Ketahuilah, Souw Tai-hiap memang berada di Pondok Pelangi selama lima tahun ini.
Tapi beliau sudah kembali ke Tiong-goan sebulan lalu."
"Benarkah...?" Souw Hong Lam berseru gembira.
"Lalu ke manakah mereka sekarang?"
A Liong mengangkat pundaknya. "Entahlah, aku tidak tahu. Aku cuma berjumpa saja
di perjalanan. Mungkin dia langsung kembali ke kampungnya...."
"Ke rumahnya" Ah, tidak! Aku baru saja dari sana!
Eh.... mengapa kau tahu benar keadaannya" Apakah kau dari.... Pondok Pelangi
juga?" Tiba-tiba mata Souw Hong Lam terbelalak.
A Liong kembali tersenyum. "Benar, aku memang datang dari daerah itu. Walaupun
bukan dari Pondok Pelangi."
910 Liu Wan dan Ui Tiam Lok terkejut. Otomatis mereka bersiaga. Namun dengan tenang
A Liong menerangkan bahwa dia bukanlah orang Pondok Pelangi. Seperti halnya
pendekar Souw dan isterinya, dia juga seorang pendatang pula di tempat itu.
"Ah, tampaknya misteri tentang orang-orang dari Pondok Pelangi akan segera
terkuak...." Tak terasa Liu Wan berdesah perlahan.
"Wah, kalau begitu... orang yang dilihat oleh para nelayan itu tidak lain adalah
Hong-gi-hiap Souw Thian Hai.
Bahkan kemungkinan juga malah... Saudara A Liong ini." Ui Tiam Lok tiba-tiba
berseru. A Liong tertawa. "Mungkin juga, Ui-locianpwe.
Sebab banyak juga nelayan yang kutemui di perjalanan. Rata-rata mereka merasa
aneh melihat perahuku yang terbuat dari tulang-tulang ikan paus."
"A Liong, menurut pendapatmu ke mana kira-kira tujuan pendekar Souw Thian Hai?"
Souw Hong Lam mendesak. A Liong tidak menjawab. Pemuda itu memang tidak tahu arah dan tujuan Souw Thian
Hai beserta isterinya. Tiba-tiba Ui Tiam Lok memegang tangan Souw Hong Lam. "Souw-heng, rasanya Saudara
A Liong ini memang benar-benar tidak tahu! Tapi Souw-heng juga tidak perlu
khawatir! Pendekar Souw sangat terkenal di dunia persilatan. Semua orang tahu
dia. Maka kedatangannya kali ini tentu tidak akan lepas 911
dari perhatian banyak orang. Sebaiknya kita berangkat ke Tai-bong-sui saja.
Tempat itu akan menjadi ajang pertemuan para pendekar persilatan. Aku yakin kita
akan mendapatkan keterangan dari sana.
Bagaimana...?" "Bagus, Ui-locianpwe! Pendapat Locianpwe benar sekali. Di sana akan berkumpul
para pendekar dari segala penjuru. Siapa tahu ada salah seorang yang pernah
melihat Souw-taihiap" Kebetulan sekali aku juga hendak ke sana pula." A Liong
bersorak gembira. Demikianlah, dua hari kemudian para pendekar persilatan yang berdiam di sekitar
aliran Sungai Huang-ho, berkumpul di tengah rawa Tai-bong-sui.
Mereka datang secara rahasia. Dan undangan hanya diberikan kepada orang yang
sudah dikenal dan dipercaya. Namun demikian tamu yang datang ternyata lebih
banyak dari yang diperkirakan. Mereka berkumpul di sebuah pulau gundul di tengah
rawa. Tempat itu sangat cocok sekali untuk berkumpul.
Selain tempatnya lapang, kebetulan pula air di sekitarnya amat lebar dan dalam.
Ketika rombongan Liu Wan datang, tempat itu telah ramai sekali. Ada rombongan
dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng dan banyak pendekar
Anak Berandalan 4 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 23
^