Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 10

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 10


Lebih baik aku pergi menyelamatkan diri! Nah, selamat tinggal...!"
Sekonyong-konyong Ho Bing membalikkan tubuhnya, kemudian melesat masuk kembali
ke dalam rumah. Gerakannya cepat sekali dan tak dapat terduga oleh siapapun
juga. "Hei! Mau ke mana kau" Tunggu...!" Yok Si Ki berteriak, lalu menjejakkan kakinya
mengejar. Gerakannya juga tidak kalah cepat pula. Bahkan tampak lebih ringan dan lebih
lincah meskipun di pundaknya ada Tio Ciu In!
"Lepaskan aku! Lepaskan...!" Tio Ciu In menjerit.
"Yok Ciang-bun jangan lari! Lepaskan Nona Tio...!" Jeng-bin Lo-kai berseru keras
seraya melompat ke depan. Namun Pek-bin-kai segera menahannya.
"Jangan masuk, Lo-heng! Kedua orang itu sangat licik! Kita jangan sampai
terperangkap oleh akal bulus 745
mereka. Biarlah mereka di dalam. Rumah ini sudah kita kepung. Kita tunggu dulu
bantuan yang datang. Nanti kita gempur bersama-sama." Pengemis beralis putih itu menasehati Jeng-bin
Lo-kai. "Benar. Hampir saja aku terkecoh oleh kelicikan Ho Bing."
Sementara itu Ho Bing melesat ke ruang bawah tanah kembali. Yok Si Ki yang tak
ingin kehilangan Ho Bing cepat menyusup ke dalam pula sebelum pintu itu tertutup
kembali. Sambil berlari menuruni tangga Ho Bing menoleh.
"Tuan beruntung mau menerima saranku. Sebentar lagi tempat ini akan terkepung
oleh puluhan, bahkan mungkin malah ratusan pendekar persilatan. Tuan tentu tahu,
bahwa peristiwa pembantaian prajurit dan para pemenang sayembara itu membuat
pendekar-pendekar persilatan datang ke daerah ini."
"Lalu... mau ke mana kita" Bersembunyi di ruang ini?"
Ho Bing berdiri di tengah ruangan. Air mukanya yang kelimis, walaupun rambutnya
terpotong pendek, tampak berseri-seri. Pandang matanya menunjukkan kegembiraan.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku...!" Tio Ciu In yang menjadi ketakutan karena dibawa
kembali ke dalam ruangan itu, berteriak dan menjerit-jerit. Gadis itu benar-
benar ketakutan. "He-he-he, Yok Ciang-bun. Tentu saja kita bersembunyi di tempat ini. Mau ke mana
lagi?" 746 Pengemis licik itu tertawa senang. Tampak sekali kalau dia amat yakin akan
keselamatannya. "Apa maumu, heh?" Yok Si Ki membentak berang.
Tiba-tiba saja Ketua Tai-bong-pai itu menyambar dada Ho Bing. Cepat bagai kilat.
Ho Bing yang sudah bersiaga itu mengelak dan berteriak mengancam lawannya. Di
tangannya tergenggam botol berisi cairan berwarna merah.
"Berhenti, Yok Ciang-bun! Atau... kau dan gadis itu akan mati di ruangan ini!"
"Apa maksudmu...?" Yok Si Ki menggeram sambil membuang sobekan kain baju Ho Bing
yang tersambar oleh tangannya tadi.
Diam-diam hati Ho Bing menjadi kecut juga.
Dalam puncak kesiagaannya, ternyata tetap saja ia hampir mati disambar tangan
Yok Si Ki. Gerakan orang itu benar-benar seperti setan cepatnya.
-- o0d-w0o -- JILID XVIII API keadaan itu justru membuat hati Ho Bing semakin mantap. Dia sudah siap untuk
mati bersama kalau perlu.
T "Yok Ciang-bun, kau tidak punya kesempatan untuk lari lagi sekarang. Di atas
tentu sudah berkumpul ratusan pendekar 747
yang hendak menangkapmu. Di sini pun kau juga tidak mempunyai pilihan lain. Kau
memang gampang membunuh aku. Tapi kalau botol yang kubawa ini jatuh dan pecah,
hehehe... ruangan ini akan penuh asap beracun yang mematikan!" Ho Bing
mengancam. Yok Si Ki mendengus. "Huh! Kaukira aku takut menghadapi mereka" Hehe, sekarang
pun aku juga siap untuk kembali ke atas lagi. Aku mengejarmu karena aku tak
ingin kehilangan kau. Kau harus mati dulu sebelum aku bertempur dengan mereka."
Keringat dingin mengalir membasahi punggung Ho Bing. Tampaknya Yok Si Ki benar-
benar ingin membunuh semua lawannya.
"Baiklah, kalau memang itu yang Tuan inginkan...."
Ho Bing berdesah sambil mengangkat botol itu ke atas kepalanya.
"He! Tunggu!" Yok Si Ki tiba-tiba berteriak khawatir.
"Tidak peduli! Lebih baik kita mati bersama!"
"Jangan! Jangan! Aku... aku..." Baiklah, aku menyerah! Katakan apa maumu, nanti
kita rundingkan lagi."
Ternyata Yok Si Ki menjadi takut juga. Ruangan itu kedap udara, sementara pintu
keluarnya juga terbuat dari besi yang hanya bisa digerakkan dengan kunci rahasia
pula. Kalau asap beracun itu benar-benar ditebarkan oleh Ho Bing, maka dalam
waktu singkat dia tak mungkin bisa mendobrak pintu tersebut.
748 Ho Bing menahan tangannya. Matanya memandang Yok Si Ki.
"Baiklah, Yok Ciang-bun. Aku tak akan membanting botol ini asal kau memberikan
gadis itu dan mengembalikan uang tadi kepadaku."
Wajah Yok Si Ki menjadi merah. "Kau memang patut mati!" Ia menggeram dengan
suara tertahan. Tapi Ho Bing seperti tak mempedulikan lawannya.
Botol racun itu segera diangkat kembali ke atas kepalanya.
"Silakan! Kita mati bersama-sama." Ucapnya sambil mengayunkan tangannya ke
bawah. "Baik! Baik! Bangsat! Terimalah ini! Aku kembalikan semuanya kepadamu!"
Saking khawatirnya Yok Si Ki melemparkan tubuh Tio Ciu In begitu saja, sehingga
gadis itu jatuh berdebam di atas lantai. Kemudian dengan tergesa-gesa pula
tangannya mengeluarkan uang pemberian Ho Bing tadi dan melemparkannya kepada
pengemis itu. "Aduh...! Kalian semua manusia jahat dan keji!
Lepaskan aku!" Tio Ciu In melengking kesakitan.
Ho Bing tidak jadi membanting botolnya. "Bagus.
Ternyata Yok Ciang-bun masih dapat berpikir jernih juga. Sekarang silakan Yok
Ciang-bun keluar! Aku akan membuka pintunya dari sini."
Tapi Yok Si Ki tidak beranjak dari tempatnya.
Ketua Tai-bong-pai itu justru melipat lengannya di depan dada. Sikapnya menjadi
tak acuh. 749 "Huh!" Dia berdesah melalui hidungnya. "Jangan dikira hanya kau yang cerdik dan
tidak takut mati. Kini keadaanku sama dengan keadaanmu tadi. Tidak ada plihan lain selain
tergantung pada keinginan lawan. Dan... aku juga siap pula menghadapinya seperti
engkau tadi. Terserah kepadamu, kau pilih yang mana. Kalau pilih mati, yah...
banting saja botolmu itu! Dan aku segera akan membunuhmu sebelum racun itu
menghentikan detak jantungku!
Tapi kalau kau ingin tetap hidup, hehehe... terpaksa kita harus saling bahu-
membahu keluar dari tempat ini! Nah, bagaimana" Pikirkanlah dengan baik, karena
nyawa kita saling bergantung satu sama lain. Kalau salah satu ingin mati, yah...
matilah semuanya! Keputusan kuserahkan kepadamu!"
"Maksud Yok Ciang-bun...?" Keringat dingin semakin deras mengalir dari punggung
Ho Bing. Yok Si Ki tertawa dingin. "Aku tahu bahwa sebenarnya kau masih ingin tetap hidup
kalau diberi kesempatan. Begitu pula dengan aku saat ini.
Sebenarnya aku ingin sekali membunuhmu. Tapi kalau aku membunuhmu, maka kau
tentu akan segera meledakkan botol racunmu itu sehingga aku pun tidak akan dapat
menyelamatkan diri. Maka aku memilih tidak membunuhmu agar aku juga tetap hidup
pula. Bahkan aku rela menyerahkan kembali gadis dan uangmu. Tapi..."
"Tapi... apa?" 750 Yok Si Ki tertawa dingin. "Tapi... jangan kauanggap aku ini bodoh dan mudah
ditipu. Hehehe, kulihat kau sangat yakin bisa menyelamatkan diri di ruangan ini,
padahal pintunya cuma terbuat dari besi yang mudah dirusakkan. Para pengemis itu
akan mudah sekali menjebolnya. Aku curiga kau mempunyai jalan rahasia lain di
ruangan ini, hehehe."
Ho Bing benar-benar kaget melihat kecerdikan lawannya. "Yok Ciang-bun, aku..."
Serunya gugup. "Nah, melihat roman mukamu dan suaramu yang gemetar, aku semakin yakin bahwa kau
memang menyembunyikan pintu rahasia itu!"
Ho Bing semakin pucat. "Yok Ciang-bun, ini...
ini..." Yok Si Ki menggeram. "Ayoh, cepatlah! Orang-orang itu sudah berada di ruang
tengah. Sebentar lagi mereka akan tiba di depan pintu. Kau tidak ingin mati,
bukan?" "Tapi... tapi... maukah Yok Ciang-bun berjanji"
Berjanji tidak akan... membunuh aku dan mengambil gadis itu?" Dalam keadaan
tegang dan terburu-buru Ho Bing masih mencoba untuk menekan lawannya.
Yok Si Ki memandang geram. "Bodoh! Tentu saja aku takkan membunuhmu! Kalau aku
memang ingin membunuhmu, buat apa harus bertele-tele begini"
Bunuh saja dan habis perkara! Masa aku tak bisa mencari sendiri pintu rahasiamu
itu" Kalaupun tidak bisa, masa aku juga tidak dapat meloloskan diri dari
kepungan mereka?" 751 Dok! Dok! Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor dan luar!
Ho Bing terkejut. Pintu itu memang kuat, tapi tak mungkin bertahan kalau digedor terus menerus dengan
benda yang kuat. "Ayoh cepat! Sebentar lagi pintu itu akan jebol!"
Yok Si Ki menghardik. Akhirnya Ho Bing menurut juga. "Baiklah, Yok Ciang-bun... aku percaya ucapanmu!"
Katanya menyerah sambil menyambar tubuh Tio Ciu In, lalu melompat ke pojok
ruangan. Yok Si Ki tak mau lepas dari Ho Bing. Melihat pengemis kelimis itu meloncat, ia
segera menempel di belakangnya. Pengemis itu menyodokkan ujung tongkatnya ke
susunan batu-bata paling bawah, dan dinding itu sekonyong-konyong bergeser
dengan suara gemuruh. Lalu beberapa saat kemudian diantara dua dinding itu
terbuka sebuah celah sempit selebar tubuh manusia.
"Yok Ciang-bun, marilah,..,, Waktunya tidak banyak! Celah ini akan segera
tertutup kembali." Benar juga. Begitu Yok Si Ki masuk ke dalam celah, dinding itu berderak keras
menutup lagi. Lorong rahasia itu benar-benar gelap sekali.
Jangankan melihat lawan, memandang tangan sendiri pun tak bisa. Tapi, bagi jago
silat seperti mereka, hal itu bukanlah halangan. Apalagi bagi Yok Si Ki, dengan
naluri dan perasaannya yang terlatih, ketua Partai Tai-bong-pai itu mampu
membaca keadaan di 752 sekitarnya dengan baik. Dan Ho Bing tahu benar akan hal itu.
Sementara itu untuk menghilangkan rasa takutnya Tio Ciu ln mulai menyanyi lagi.
Meskipun suaranya menjadi kacau karena tubuhnya terguncang dalam pondongan Ho
Bing, namun ia tidak peduli. Dia terus menyanyi sebisanya.
"Diam kau!" Yok Si Ki membentak.
"Biar saja Yok Ciang-bun! Lorong ini berada di bawah tanah dan sudah jauh dari
pondok itu, tak seorangpun dapat mendengar suaranya. Biarkan saja...! Hitung-
hitung dapat hiburan."
"Huh!" Yok Si Ki mendengus, lalu diam kembali.
Sepeminuman teh kemudian, setelah berbelak-belok ke sana ke mari, akhirnya
lorong itu mulai terasa lembab dan agak basah. Lapat-lapat mulai terdengar suara
air. "Nah, sekarang berhentilah bernyanyi! Kalau tidak... hmm, akan kucium bibirmu
sampai tak bisa bernapas!" Tiba-tiba Ho Bing mengancam Tio Ciu In.
Ancaman itu lebih menakutkan daripada ancaman mati. Kontan saja Tio Ciu In
menghentikan nyanyiannya.
Ketika Yok Si Ki melihat cahaya samar-samar di ujung terowongan, wajahnya tampak
lega dan gembira. "Kita hampir sampai di atas tanah lagi?"
"Belum, Yok Ciang-bun. Itu hanya cahaya kunang-kunang...."
753 "Kunang-kunang" Sama saja! Kunang-kunang juga hidup di udara terbuka."
"Bukan, maksudku bukan kunang-kunang, tapi...
serangga lain yang tubuhnya bersinar seperti kunang-kunang." Ho Bing buru-buru
menerangkan. Benar juga. Keluar dari lorong itu, mereka belum juga sampai di atas. Mereka
justru masuk ke dalam lorong yang lebih luas dan lebih lebar lagi. Dan Yok Si Ki
menjadi kaget ketika kakinya menginjak air yang mengalir.
"Hati-hati, Yok Ciang-bun! Jangan terlalu ke tengah! Kita berada di sungai bawah
tanah! Berpeganglah terus pada dinding gua ini!" Ho Bing memperingatkan.
"Gila! Akan sampai di mana lubang gua ini?"
Ternyata timbul juga perasaan khawatir di hati Yok Si Ki. Walaupun bangunan
partai Tai-bong-pai juga didirikan di sebuah kuburan kuno, di mana di dalamnya
juga memiliki lorong-lorong rahasia seperti liang tikus, tapi lorong gua yang
diinjaknya sekarang tetap saja membuatnya ngeri dan kecut. Apalagi jika melihat
cahaya-cahaya kebiruan yang bertebaran di sekelilingnya. Cahaya yang timbul dari
tubuh serangga-serangga kecil di dalam gua itu bagaikan mata kawanan iblis yang
sedang mengintai mereka. "Sungai ini akan bermuara di laut, di Pantai Sarang Lebah." Ho Bing menjawab
tanpa menghentikan langkahnya.
"Kau maksudkan Gua Seribu Jalan itu...?"
754 Ho Bing berhenti sehingga Yok Si Ki hampir saja menabraknya. "Oh, Yok Ciang-bun
juga sudah pernah ke sana.." Memang benar, pantai itu banyak dikenal orang
karena keanehannya. Selain memiliki tebing yang curam dan batu karang besar-
besar, pantai itu juga memiliki ratusan lubang gua, sehingga orang
menyebutnya... Pantai Sarang Lebah... Gua Seribu Jalan, dan sebagainya. Dan
lorong ini memang bermuara di sana. Yok Ciang-bun dapat melihatnya nanti. Tapi
sebelum itu, lorong gua ini akan terpecah dan bercabang-cabang seperti liang
semut....." Apa yang dikatakan Ho Bing memang benar. Di dalam keremangan cahaya ratusan atau
ribuan serangga tadi, Yok Si Ki melihat bahwa sungai itu beberapa kali berbelok
dan berpecah menjadi beberapa jurusan. Begitu seringnya aliran sungai itu
bercabang menjadi beberapa jurusan, sehingga Yok Si Ki tak bisa mengingat lagi,
berapa kali mereka telah berbelok dan berganti arah.
"Gila! Jangan-jangan kita terjebak di lorong ini, berputar-putar sampai tua! Ho
Bing...! Bagaimana kau dapat memilih arah yang benar" Apakah kau pernah
melewatinya?" Yok Si Ki menggeram. Suaranya sedikit bergetar oleh rasa ngeri.
"Jangan khawatir, Yok Ciang-bun! Aku sudah dua kali melewati terowongan ini.
Kelihatannya memang membingungkan, tapi sebenarnya sangat mudah.
Asalkan kita selalu mengikuti arus air ini, kita tentu 755
akan sampai juga di laut. Pokoknya jangan sekali-kali melawan arus."
"Benar juga...." Yok Si Ki membatin.
Namun demikian suara gemuruh di terowongan itu tetap saja mengejutkan hati Yok
Si Ki. Apalagi ketika dasar sungai itu menjadi semakin dalam, sehingga air itu
rasanya merambat naik dan hendak menelan mereka.
Ternyata rasa ngeri tersebut juga dirasakan pula oleh Tio Ciu In. Dalam keadaan
tertotok lemas seperti sekarang, gadis itu merasa seperti burung tak bersayap,
yang tak mampu berbuat apa-apa bila bahaya datang. Beberapa kali terlintas di
benak gadis itu, .kalau tiba-tiba mereka terperosok ke dalam air dan dia
terlepas dari gendongan Ho Bing! Kalau hal itu sungguh-sungguh terjadi, maka
tiada lain nasibnya selain tenggelam secara mengenaskan!
"Lepaskan aku...! Biarlah aku berjalan sendiri!"
"Benar, Ho Bing. Biarlah dia berjalan sendiri agar langkahmu menjadi lebih
cepat." Yok Si Ki berkata pula.
Ho Bing yang merasa lelah juga menggendong Tio Ciu In, akhirnya mau juga
menurunkan gadis itu dan memunahkan totokannya.
"Tapi ingat..., Nona! Kau jangan terlalu jauh dariku! Sekali kakimu salah
menginjak lubang sumur, maka arus air akan menyeretmu ke dalam sumur-sumur gelap
tak berujung! Ketahuilah, di tengah 756
tengah sungai ini banyak lubang sumur yang dihuni ular berbisa."
Suasana di gua itu tetap gelap gulita. Namun demikian Tio Ciu In tetap saja
menutup dadanya yang terbuka itu dengan wajah merah padam.
"Ooouh...!" Gadis itu menjerit kecil ketika tiba-tiba kakinya menginjak bagian


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang agak dalam. Bayangan lubang sumur berisi ular berbisa segera membuat Tio Ciu In menjadi
ketakutan, sehingga air yang mengalir di sela-sela kakinya terasa seperti
gesekan tubuh ular yang hendak membelit tubuhnya.
"Bagaimana kalau seandainya... permukaan air sungai ini menutupi seluruh lubang
gua...?" Yok Si Ki tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Ho Bing tersenyum, meskipun senyum itu tak bisa terlihat oleh lawan-lawannya.
"Yah, apa boleh buat, kita terpaksa kembali lagi ke tempat semula untuk mencari
lubang yang lain." "Huh...!?" Yok Si Ki menggerutu.
Sebenarnya menyesal juga Yok Si Ki mengikuti Ho Bing ke dalam lubang neraka itu.
Rasanya lebih mudah baginya menghadapi keroyokan para pengemis tadi daripada
harus melewati bahaya seperti itu.
Paling tidak, di dalam pertempuran, kesempatannya untuk tetap hidup akan lebih
banyak daripada mengadu nasib di tempat itu.
Waktu rasanya berjalan terlalu lambat dan mereka merasa seperti berputar-putar
di tempat yang sama. Begitu banyaknya lubang yang mereka hadapi, 757
sehingga mereka tak tahu lagi berapa banyak mereka berganti arah. Tentu saja
semuanya menjadi tegang dan takut. Takut salah jalan dan mati sia-sia di tempat
yang mengerikan itu. "A-aku... ta-takut! Bo-bolehkah aku menyanyi lagi... agar rasa takutku
berkurang?" Tiba-tiba Tio Ciu In yang melangkah di samping Ho Bing berdesah
pelan. Pelan sekali, namun sudah cukup untuk mengejutkan Yok Si Ki yang sedang
kalut pikirannya. "Apa katamu?" Yok Si Ki membentak, sehingga Tio Ciu In tersentak ketakutan.
"Aaaah, mengapa berteriak-teriak begitu, Ciangbun" Suaramu justru akan
membangunkan Hantu Penunggu Gua ini ..." Ho Bing cepat menengahi.
"Biarlah gadis ini menyanyi. Dalam saat begini, rasanya kita memang membutuhkan
hiburan untuk mengurangi ketegangan."
Yok Si Ki tak menjawab dan untuk beberapa saat mereka tak berbicara. Mereka
berjalan sambil berpegangan pada dinding gua.
"Baiklah! Menyanyilah sesukamu...!" Akhirnya Yok Si Ki berkata dengan suara
rendah. "B-benarkah...?" Tio Ciu In bertanya Wajahnya berseri penuh harapan.
"Menyanyilah...!" Ho Bing tertawa. "Jangan khawatir, aku takkan mencium bibirmu!
Hohohoho!" Entah, mengapa, Tio Ciu In masih tetap berharap akan datangnya pertolongan dari
Pendekar Buta itu. Bahkan Tio Ciu In juga percaya bahwa pendekar sakti 758
itu akan menepati janjinya, menolong dia dari tangan penjahat-penjahat tersebut.
Oleh karena itu dengan sangat bersemangat dia bernyanyi lagi.
Apabila di malam gelap gulita,
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama,
Malampun bagai tersentak dari tidurnya.
Menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku......" Aku selalu mengharap kedatanganmu!
Selesai menyanyikan bait pertama, Tio Ciu In lalu meneruskan lagi dengan bait
selanjutnya. Semalam penuh aku duduk sendiri,
Mengenang wajahmu dalam bayangan, Kutanya Sang Bulan bila ada pesanmu, Jatuhkan
saja ke dalam pangkuanku!
Kekasihku......" Aku selalu mengharapkan kedatanganmu!
Suara Tio Ciu In memang lembut. Meskipun gemetaran, namun nada suaranya benar-
benar cocok untuk lagu itu. Iramanya terdengar sendu dan menyedihkan, sehingga
Yok Si Ki dan Ho Bing seperti terhanyut dalam kesepian pula.
"Wah, kau pandai benar menyanyi...." Yok Si Ki memuji.
"Benar. Dan rasanya... suasana juga tidak menjadi tegang lagi." Ho Bing
menambahkan sambil tertawa.
759 Tio Ciu In mengambil napas dalam-dalam, siap untuk mengulang kembali lagunya.
Tapi ketika lagu itu hampir terlepas dari bibirnya, sekonyong-konyong dari arah
depan terdengar suara suling melengking menyayat hati! Suaranya mengalun tinggi
dalam lagu yang sama, lagu "Menanti Kekasih"!
Yok Si Ki dan Ho Bing tersentak kaget! Di dalam gua bawah tanah seperti itu ada
orang meniup suling"
Siapakah dia" Hantu"
Tiba-tiba Yok Si Ki menyambar leher Ho Bing.
Wuuuuut! Dan Ho Bing sama sekali tak bisa menghindar! Jalan darah Hong-to-hiat
di leher pengemis itu telah dicengkeramnya!
"Kau punya teman di sini" Huh!"
Mata Ho Bing mendelik ketakutan. "Jangan! Ja-jangan lakukan! Ciang-bun... kau
keliru! Kau salah sangka! Aku tidak tahu siapa dia!" Pekiknya dengan suara
parau. "Bohong...! Siapa orang yang mau berada di tempat ini selain orang sendiri?"
Ho Bing terbatuk-batuk hampir kehabisan napas.
Keringat dingin segera membanjir membasahi dahinya.
"Nanti dulu...! Tempat ini sudah dekat dengan pantai sarang lebah! Si-siapa t-t-
tahu... suara itu terbawa angin dari sana dan masuk ke dalam gua ini?"
Sambil berbicara Ho Bing mencoba melepaskan diri, tapi tak bisa. Cengkeraman itu
seperti 760 menyumbat seluruh saluran tenaga saktinya, membuat kekuatannya hilang entah ke
mana. Cengkeraman itu mengendor sedikit.
"Apa" Sudah dekat dengan pantai?" Yok Si Ki menggeram.
"Be-benar! Satu tikungan lagi kita akan tiba di Gua Besar! Dari tempat ini sudah
kelihatan lubang keluarnya...!"
"Benarkah...?" Yok Si Ki melepaskan tangannya.
"Awas kalau kau berbohong!"
"Oough...!" Ho Bing berdesah sambil mengusap lehernya yang kemerah-merahan bekas
jari. Di pihak lain suara suling itu bagaikan air kehidupan yang menetes ke dalam jiwa
Tio Ciu In. Begitu lega rasanya. Begitu gembira hatinya. Siapa lagi yang meniup suling itu
selain Si Pendekar Buta"
Tapi untuk menghindari kecurigaan lawannya, Tio Ciu In sengaja berpura-pura
tidak tahu. Dia tetap menyanyi, seolah-olah tidak mendengar suara suling
tersebut. "Diam...kau!" Yok Si Ki membentak. "Ho Bing, mari kita lihat siapa orang itu!"
Mereka lalu bergegas menyusuri lorong gua itu lagi. Dan beberapa saat kemudian
lorong itu benar-benar menikung ke kiri.
"Yok Ciang-bun, lihat! Bau air laut sudah terasa, bukan" Tuh, di depan...! Kita
sudah sampai di Gua Besar!" Ho Bing yang berada di depan berseru lega.
761 Yok Si Ki menyusul. Pandangannya segera terbentur pada sebuah gua besar
bercahaya remang-remang, di mana pada dinding-dindingnya terdapat banyak lubang
besar yang mengalirkan air dari dalamnya. Dan jauh di ujung sana, beberapa buah
lubang kosong tampak menyorotkan sinar yang menyilaukan.
"Itu dia lubang keluarnya!" Ho Bing bersorak gembira. Jarinya menunjuk ke arah
lubang yang menyilaukan itu.
Aliran sungai itu ternyata tidak memenuhi permukaan lantai di Gua Besar. Airnya
hanya mengalir di tengah-tengah gua, di antara bongkahan batu-batu besar yang
berserakan di tempat itu.
Suaranya gemericik menyejukkan hati. Sementara di bagian atas gua itu banyak
sekali kelelawar bergelantungan. Binatang-binatang malam itu mengeluarkan suara
mencicit tak henti-hentinya.
"Heran" Ke mana suara suling tadi" Mengapa tiba-tiba menghilang?" Ho Bing
bergumam heran. Tak ada jawaban. Semuanya memasang mata dan telinga. Yok Si Ki juga mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk memeriksa tempat itu. Tempat yang sangat sulit,
karena selain gelap juga banyak batu besar berserakan. Sangat sulit mencari
sosok manusia di tempat seperti itu.
"Tampaknya orang itu memang berada di luar gua...." Yok Si Ki membatin.
762 Ketika mereka bertiga bergeser ke depan, sebuah benda hitam yang sejak semula
mereka sangka batu karang, mendadak bergerak dan berdiri di depan mereka! Begitu
mengejutkan sehingga gadis seperti Tio Ciu In sampai terpekik saking kagetnya!
"Apakah Cu-wi ingin mendengarkan suara sulingku lagi...?" Benda hitam yang tiada
lain adalah seorang manusia mengenakan mantel kehitaman itu tiba-tiba berkata
pelan. "K-kau... siapa?" Ho Bing buru-buru menyapa.
Tapi Tio Ciu In segera mengenali orang itu. Tubuh yang tinggi kurus, dengan
rambut panjang menutupi bahu, siapa lagi kalau bukan Si Pendekar Buta"
"Locianpwe...?" Tio Ciu In berbisik.
Orang itu tidak menjawab. Dia malah mengangkat sulingnya. Tapi sebelum suling
itu ditiup, Yok Si Ki sudah lebih dulu melesat ke depan orang itu.
"Tahaaaaan...!" Teriak Ketua Tai-bong-pai itu keras.
Orang itu tak lain adalah Si Pendekar Buta itu, menurunkan sulingnya kembali.
"Tuan siapa" Apakah Tuan ingin meniup sulingku juga?"
"Jangan bergurau! Aku Yok Si Ki, Ketua Partai Tai-bong-pai angkatan ke tujuh!
Siapakah kau" Rasanya aku belum pernah melihatmu di dunia persilatan...."
Tak terduga Pendekar Buta itu berdesah panjang sekali. Wajahnya yang tertutup
rambut itu mendongak ke atas, sehingga dari kejauhan penampilannya benar 763
- benar seperti kembar dengan Yok Si Ki. Sama-sama jangkung, kurus dan berambut
panjang. Perbedaan mereka hanya pada warna rambut dan warna kain yang mereka
pakai. Kalau Yok Si Ki berambut hitam dan berpakaian serba putih, sebaliknya
Pendekar Buta mengenakan pakaian serba gelap dan rambutnya sudah bercampur
putih. "Aku memang jarang keluar dari pertapaanku!
Tentu saja Tuan tidak mengenal aku! Orang biasa menyebutku... Si Buta!"
"Kau... buta?" Yok Si Ki terperanjat.
Pendekar Buta itu mengangguk. "Apakah Tuan merasa kaget" Kaget menyaksikan orang
bermata buta seperti aku bisa sampai di tempat ini" Ah, maaf...
Tuan tak usah kaget! Aku memang tinggal di sini.
Gua ini... tempat tinggalku."
"Namamu Si Buta" Kau tinggal di sini" Hmmh, jangan main-main! Katakan saja terus
terang... Siapa namamu sebenarnya?"
"Maaf! Aku sudah lama tidak berhubungan dengan orang lain. Aku sudah melupakan
namaku. Tapi sejak aku keluar lagi, orang memanggilku Si Buta, dan aku
menerimanya. Jadilah namaku sekarang Si Buta!"
Sementara itu, Tio Ciu In yang sejak tadi merasa belum diperhatikan oleh
Pendekar Buta, segera melangkah ke depan.
"Locianpwe..." Kau... kau mendengar suara nyanyianku tadi, bukan?" Tio Ciu In
berbisik dan mencoba mendekat.
764 Tapi Ho Bing segera membentak. "Mau ke mana kau" Cepat... ke sini!"
Namun entah bagaimana cara bergeraknya, tiba-tiba Si Pendekar Buta itu telah
berada di antara Tio Ciu In dan Ho Bing! Demikian cepatnya sehingga tokoh
seperti Yok Si Ki pun sampai kecolongan! Pada saat menangkap gerakan lawan,
Ketua Tai-bong-pai itu cepat mengangkat kakinya, namun terlambat.
Orang buta itu telah berdiri di dekat Tio Ciu In.
Bahkan Ho Bing yang hanya tiga langkah jaraknya dari gadis itu tak mampu berbuat
banyak. "Gila...! Karena terlalu meremehkan orang, maka aku jadi kehilangan selangkah di
belakangnya!" Yok Si Ki menggeram.
Pendekar Buta membawa Tio Ciu In ke samping.
"Ya, Nona Tio... burung elangku memang mendengar suaramu dan memberitahukannya
kepadaku. Emm... aku tidak terlambat, bukan?"
"Tidak Locianpwe... aku tidak apa-apa."
"Syukurlah...!" Orang tua itu berdesah lega.
"Burung elang..." Oh-oh, jadi burung elang putih itu kepunyaanmu?" Ho Bing
tersentak kaget. "Awas, Yok Ciang-bun! Tampaknya orang ini adalah Pendekar Buta
yang dikatakan oleh pelayan rumah makan itu!"
Tiba-tiba Si Buta itu menoleh ke arah Ho Bing.
Keningnya yang tertutup itu berkerut.
"Pelayan rumah makan" Apakah hubungannya pelayan itu dengan Ji-wi berdua" Ah,
ya-ya... aku 765 tahu. Ji-wi tentu kawan si pengacau dari luar Tembok Besar itu, bukan?" Tak
terduga Pendekar Buta itu memotong ucapan Ho Bing.
Tio Ciu In cepat meraih lengan penolongnya.
"Locianpwe, kau benar. Pengemis jahat ini memang orang upahan Mo Goat, gadis
dari luar Tembok Besar itu. Dia mau membunuhku!"
"Sudahlah, Nona Tio. Kau tak perlu khawatir. Yok Si Ki adalah tokoh terkemuka di
dunia persilatan. Dia seorang ke tua partai persilatan yang dihormati orang.
Tentu saja dia takkan mau menghina seorang gadis muda seperti engkau. Kau
akan...." "Cukup!" Yok Si Ki berteriak. "Kau tidak perlu mengejek aku! Aku memang tidak
berniat mengganggunya! Aku lebih tertarik kepada kepalan tanganmu!"
"Sudahlah Yok Ciang-bun... aku tidak ingin bertentangan denganmu. Aku sudah
bosan berkelahi. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
Kekerasan hanya akan menimbulkan rasa sakit. Sakit di badan atau pun sakit di
hati. Tak ada kedamaian dan kebahagiaan yang diperoleh dari jalan kekerasan!"
Bukan main berangnya hati Yok Si Ki. "Aku tidak butuh ceramahmu! Aku butuh
pukulan dan tendanganmu! Nah, apakah kau takut berhadapan dengan aku?"
766 Ternyata Pendekar Buta tidak goyah oleh tantangan lawan. Pendekar itu justru
menarik lengan Tio Ciu In dan mengajaknya pergi.
Tio Ciu In memandang penolongnya dengan perasaan kagum. "Kau memang hebat,
Locianpwe! Dari sikapmu aku bisa melihat bahwa sebenarnya kau tidak takut kepadanya. Namun
demikian ternyata kau tidak melayani tantangannya! Kata Guruku, sikap seperti
itu baru bisa dicapai orang setelah dia bisa mengalahkan dirinya sendiri."
Pendekar itu tersenyum kecut, lalu menggeleng.
"Kau keliru, Nona Tio. Aku bukan manusia seperti itu. Aku memang benar-benar
sudah bosan berkelahi."
"Hei! Berhenti...! Enak saja kau membawa gadisku!" Tiba-tiba Ho Bing meloncat
dan berteriak lantang. Tio Ciu In dan Pendekar Buta berhenti melangkah, lalu dengan berani gadis itu
menghadapi Ho Bing. "Pengemis jahat, kau mau apa" Minta digebuk...?"
Sekarang di bawah perlindungan Pendekar Buta, Tio Ciu In menjadi galak dan tidak
takut lagi kepada lawan-lawannya.
Ho Bing terkejut. Sesaat ada juga rasa keder melihat orang buta di belakang
gadis itu. Namun menyaksikan Yok Si Ki juga melesat datang dan berdiri di
sebelahnya, hatinya menjadi besar kembali.
"Hohoho... kau menjadi galak sekarang! Tapi...
tidak apa-apa. Aku justru senang menghadapi gadis 767
bersemangat! Marilah, sayang...!" Ho Bing mengembangkan lengannya dan maju ke
depan. Tangan Pendekar Buta menyentuh bahu Tio Ciu In dari belakang. "Nona, kau siap
menghadapi dia...?" Dia berbisik perlahan. Tio Ciu In mengangguk. "Aku akan mencobanya...."
"Baiklah. Tapi... kau harus berhati-hati! Dari suara langkah kakinya, dia tentu
memiliki ilmu silat tinggi.
Tapi, terserah kau. Aku... akan menjaga orang yang bernama Yok Si Ki itu.
Tampaknya dia lebih berbahaya daripada temannya. Nah, demi keamananmu... bawalah
sulingku ini! Selipkan di pinggangmu! Suaranya bisa menjadi pedoman bagiku untuk
mengikuti gerakanmu." Pendekar Buta itu berbisik lagi di telinga Tio Ciu In.
Tio Ciu In menerima suling itu dan
menyelipkannya di balik tali pinggang. Setelah itu kakinya melangkah ke depan
sambil mengayunkan tangan kiri, menyongsong kedatangan Ho Bing. Entah kapan ia
mencabut senjatanya, tapi yang jelas tangan itu telah memegang sepasang pedang
pendek. "Bagus...!" Ho Bing memuji sambil mengayunkan tongkatnya untuk menangkis.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Traaaaang! Bunga api muncrat berhamburan menerangi gua itu.
Keduanya bergetar mundur. Ho Bing tergetar selangkah ke belakang, sementara Tio
Ciu In terdorong empat langkah lebih banyak.
768 Seperti tahu saja, Pendekar Buta itu berbisik dengan ilmu Coan-im-jib-bit.
"Jangan terlalu sering mengadu tenaga! Lebih baik kau mengambil keuntungan
dengan pedang pendekmu. Dia memang lebih kuat, tetapi tidak segesit gerakanmu.
Pedangmu dapat meluncur lebih cepat daripada tongkat besinya. Lawanlah dari
jarak dekat. Jangan terlalu jauh. Nah, apabila beruntung kau akan bisa
mengalahkannya." Tio Ciu In melirik heran. Rasanya orang tua itu seperti tidak buta saja, dan bisa melihat apa yang terjadi. Namun demikian apa yang dikatakan orang itu ia lakukan juga. Demikianlah, sekejap kemudian terja- dilah pertempuran seru di dalam gua itu. Tio Ciu In dengan dukungan Pendekar Buta, berusaha mendesak Ho
Bing yang lebih berpengalaman. Dan sesuai petunjuk 769
penolongnya itu, Tio Ciu In merangsak terus, tanpa memberi kesempatan pada
lawannya untuk mengambil jarak.
Bertempur di tempat gelap, di antara bebatuan besar yang berserakan, memang
membutuhkan kemampuan tersendiri. Untunglah dalam penggemblengannya selama ini,
Tio Ciu In bersama su-heng dan adiknya, juga mendapatkan pelajaran tentang cara
bergerak berdasarkan perasaan nalurinya.
Traaaaang! Traaanng....! Beberapa kali pedang Tio Ciu In membentur tongkat lawan, sehingga lengannya
terasa linu. Namun dengan semangatnya yang tinggi gadis itu tetap menerjang dan bertempur
terus dalam jarak dekat. Ho Bing memang menjadi kewalahan dengan gaya tempur
seperti itu. Tongkat panjangnya sama sekali tidak mendapatkan ruang gerak untuk
berkembang. Dalam ruang gerak yang sempit, tongkatnya hanya bisa dipergunakan
untuk menangkis dan membela diri.
Meskipun demikian gaya tempur seperti itu juga amat berat bagi Tio Ciu In. Tanpa
didukung dengan tenaga dalam yang lebih kuat dan ilmu silat yang lebih tinggi
daripada lawan, gaya tempur seperti itu akan segera berbalik menjadi bumerang
yang akan menyulitkan diri sendiri.
Sejak semula Pendekar Buta mengira bahwa Tio Ciu In telah mempelajari Ilmu Silat
Kulit Domba, yang merupakan ilmu andalan Im-yang-kau. Dengan 770
ilmu silat pilihan itu Pendekar Buta berharap Tio Ciu In mampu menggebrak dan
mengacaukan lawannya. Bahkan dengan kelebihan ilmu silatnya itu, Tio Ciu In mampu melukai lawannya
lebih dulu. Namun harapan itu tidak terwujud. Tampaknya Tio Ciu In memang belum mencapai
tataran yang tertinggi dalam ilmu silat Im-yang-kau itu. Malah beberapa jurus
kemudian gadis itu mulai kelihatan keteter dan terdesak mundur.
Ho Bing memang bukan tokoh sembarangan.
Sebenarnya lelaki pesolek itu bukanlah pengemis sungguhan. Dia adalah orang
kepercayaan Au-yang Goan-swe yang ditanam di daerah itu untuk mengawasi
kepentingan mereka di sana. Dan pondok di tengah-tengah rawa itu adalah markas
mereka di daerah pantai timur kota Hang-ciu.
Begitulah, karena sebelumnya memang sudah ada jalinan rahasia antara Au-yang
Goan-swe dan Mo Tan, maka tidak mengherankan kalau Mo Goat bisa berhubungan
denga Ho Bing. Ketika Mo Goat yang amat asing di daerah itu, membutuhkan orang
yang bisa membantu dia mencari Tio Ciu In dan kawan-kawannya, dia segera
menghubungi orang-orang Auyang Goanswe di daerah itu. Mo Goat lalu bertemu
dengari Ho Bing, dan selanjutnya mengupah pengemis itu untuk melampiaskan
dendamnya. Sementara itu Ho Bing sendiri sebelum menjadi orang kepercayaan Au-yang Goanswe,
merupakan tokoh yang amat ditakuti di daerah Barat. Dengan 771
tongkatnya yang berlubang-lubang seperti suling, tokoh itu malang melintang
sebagai jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga). Berkali-kali para pendekar dari
golongan putih mencarinya, namun tak seorang pun mampu mengatasinya. Ilmu
tongkatnya memang sulit dicari tandingannya. Selain kuat dan ganas, jurus-
jurusnya juga penuh dengan gerakan-gerakan licik dan berbahaya. Apalagi di dalam
tongkat itu juga dipasangi berbagai macam jebakan dan senjata rahasia mematikan.
"Hohoho, bidadariku...! Menyerah sajalah! Kau bukan lawan yang setimpal buatku!
Jangan-jangan pukulanku malah bisa merusakkan kulitmu nanti...!"
Begitu merasa kemenangan telah berada di tangannya, Ho Bing mulai mengejek dan
tertawa. Sebenarnyalah Tio Ciu In mulai terdesak di bawah angin. Dengan makin seringnya
mengadu senjata, maka tenaga simpanan gadis itu juga semakin berkurang pula. Dan
akhirnya tenaga itu benar-benar terkuras habis.
Begitulah, setelah Tio Ciu In kehabisan tenaga, maka tongkat Ho Bing mulai
melebarkan sayapnya. Dalam medan tempur yang lebih luas, tongkat berbahaya itu segera menampakkan
kehebatannya. Terdengar suara mengaung panjang, meliuk-liuk tinggi rendah, ketika lubang-
lubang di dalam tongkat itu diterobos angin.
Meskipun demikian ternyata sulit juga untuk segera menjatuhkan Tio Ciu In.
Walaupun kalah segala-772
galanya, tapi ilmu silat gadis itu juga bukan ilmu silat pasaran. Dengan segala
keuletan dan latihannya selama ini, Tio Ciu In cukup bisa menjaga dirinya.
Akhirnya habis juga kesabaran Ho Bing. Ketika Tio Ciu In menangkis sabetan
tongkatnya, Ho Bing cepat memencet salah satu lubang tongkatnya. Buuuuuushh
...! Dari ujung tongkat yang berada tidak jauh dari wajah Tio Ciu In itu
tersebar bubuk kehijauan, yang kemudian menyelimuti kepala gadis itu.
"Huk-huk-huk... ah, h-h-huk-hukk-huuuuk!" Tio Ciu In tersedak, kemudian
terbatuk-batuk. "Nona Tio! Apa yang terjadi" Kau kenapa...?"
Tiba-tiba Pendekar Buta menghambur ke depan.
Kesepuluh jari-jari tangannya yang terkembang itu mendorong ke tubuh Ho Bing.
Wussh! Hembusan angin tajam berbau amis menerjang dengan dahsyatnya, sehingga Ho
Bing maupun Yok Si Ki menjadi terperanjat bukan main!
"Ho Bing, menghindarlah...!" Yok Si Ki menjerit.
Sambil memberi peringatan Yok Si Ki melesat ke depan. Sisi tangannya menabas ke
arah pukulan Pendekar Buta. Taaaas! Hembusan angin berbau amis itu menghantam
sisi telapak tangannya dan membias ke segala penjuru.
"Aaaaah...!" Pendekar Buta mengeluh perlahan dan tubuhya bergoyang-goyang mau
jatuh. Tebasan tangan Yok Si Ki yang mengandung tenaga bias itu ternyata bisa
membalikkan kekuatannya. 773 "Locianpwe...?" Tio Ciu In yang terbebas dari semburan bubuk beracun itu segera
menubruk penolongnya. Pendekar Buta mengambil napas panjang untuk meluruskan kembali pernapasan dan
jalan darahnya. Setelan semuanya kembali normal, dia baru mengerah kan perhatian ke
sekelilingnya. Dicobanya untuk mendengarkan keadaan lawannya.
"Jangan khawatir, Nona Tio. Aku tidak apa-apa.
Cuma... penyakit lamaku kelihatannya kambuh kembali. Aku juga tidak menyangka
penyakit itu akan kambuh pada saat-saat begini. Tapi... sudahlah, aku bisa
mengatasinya. Eh, bagaimana dengan Ketua Tai-bong-pai itu" Apakah dia juga baik-
baik saja?" Tio Ciu In melirik. Dilihatnya Yok Si Ki berdiri tegak di tempatnya. Orang itu
tampak garang dan seperti tidak mengalami gangguan apa-apa.
"Dia... dia berdiri tegak di depan kita. Tampaknya dia segera akan menyerangmu
lagi." "Aaah, dia memang hebat sekali! Sayang penyakitku tiba-tiba kambuh...."
"Locianpwe... sakit?" Tio Ciu In berdesah ketakutan.
"Benar. Sebenarnya aku butuh istirahat untuk memulihkannya kembali. Tapi dalam
keadaan begini... yah, apa boleh buat! Oleh karena itu kalau aku tidak bisa
menolongmu nanti, kau harus cepat-cepat menerobos ke dalam gua lagi! Jangan
keluar 774 dari gua sebelum mereka pergi! Di luar kau akan mudah ditangkap mereka."
"Locianpwe...?"
"Sudahlah, kau ikuti saja kata-kataku!"
Sementara itu Yok Si Ki melangkah mendekati Pendekar Buta. Matanya yang tajam
dan dingin seperti mata burung hantu menatap lawannya. Ada rasa heran dan kurang
percaya dalam sorot matanya.
"Sungguh dahsyat sekali pukulanmu! Tidak kusangka orang tak dikenal seperti
engkau, memiliki tenaga dalam sehebat itu. Sekarang aku benar-benar menjadi
curiga. Siapakah sebenarnya engkau ini ...?"
Yok Si Ki memuji dengan suara menyelidik.
"Sudahlah, Yok Ciangbun. Aku benar-benar tidak ingin berkelahi denganmu.
Lepaskan saja kami berdua dan biarkan kami pergi."
"Uh, enaknya...! Jangan biarkan mereka lolos, Ciangbun! Mereka telah berada di
bawah kekuasaan kita. Orang buta ini tidak kuat menahan pukulan sisi tanganmu.
Dan... gadis ini juga sudah terkena pengaruh bubuk laba-labaku. Sebentar lagi
dia akan roboh dengan sendirinya, hehehe!" Ho Bing berseru sambil melangkah
mendekati Tio Ciu In. Tapi sebagai orang yang sangat berpengalaman, Yok Si Ki tidak percaya begitu
saja apa yang dilihatnya. Ia melihat beberapa keanehan pada lawannya. Semula ia
melihat kedahsyatan pukulan orang buta itu. Rasanya kekuatan orang itu mampu
meruntuhkan sebuah bukit. Tapi anehnya, ketika arus 775
pukulan itu membentur pukulannya, tiba-tiba saja kekuatan itu menyusut dan
hilang. Ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Mungkin jebakan, tapi kemungkinan juga
bukan. "Orang ini sangat mencurigakan. Satu-satunya jalan untuk membongkar kedoknya
cuma mengalahkannya...." Yok Si Ki bergumam dalam hati.
"Bagaimana, Yok Ciang-bun" Bolehkah kami berdua meninggalkan tempat ini?"
Pendekar Buta bertanya perlahan.
Yok Si Ki memandang tajam. "Boleh, tapi... dengan satu syarat...."
"Syarat..." Apakah syaratnya?"
"Mudah saja, yaitu... kau kalahkan aku dulu!"
Sekonyong-konyong tubuh Pendekar Buta bergoyang-goyang lagi. Tio Ciu In menjerit
dan buru-buru melompat mendekati. Namun seperti halnya Pendekar Buta, gadis itu
mendadak juga terhuyung-huyung.
"Nona Tio...?" Pendekar Buta menyambar pinggang Tio Ciu In dan menotok beberapa
jalan darah di punggungnya untuk menahan pengaruh racun yang tampaknya mulai
menyerang gadis itu. Akan tetapi Yok Si Ki tidak memberi kesempatan lagi. Selagi Pendekar Buta itu
sibuk menolong Tio Ciu In, tangannya segera melayang, menghantam tengkuk
pendekar itu. "Lihat pukulan!" Dia memberi peringatan.
776 Pendekar Buta terperanjat. Dengan keadaannya sekarang ia tidak mungkin berkelahi
dengan siapapun juga. Jangankan melawan Yok Si Ki ataupun Ho Bing, menghadapi
Tio Ciu In saja ia takkan mampu.
Tapi ia tak bisa menghindar lagi. Sambil mendorong tubuh Tio Ciu In, ia membalik
dan terpaksa menangkis pukulan Yok Si Ki. Meskipun dia tak yakin bisa
mengerahkan kekuatannya kembali, tapi ia tetap mencobanya pula.
Dieees! Dua kekuatan yang maha dahsyat saling berlaga di udara! Dan kali ini
mereka berdua sama-sama tergetar mundur! Hanya bedanya, Yok Si Ki tampak biasa-
biasa saja, sementara Pendekar Buta tampak mengalirkan darah segar dari sudut
bibirnya. "Yok Ciang-bun...! Tampaknya kau telah berhasil mempelajari Tenaga Sakti Inti
Roh atau Tenaga Sakti Inti Seribu Nyawa, ciptaan mendiang Kwa Eng Ki."
Pendekar Buta berdesis dengan suara terengah-engah.
Ternyata kekuatannya dapat keluar juga, walaupun baru sebagian saja.
Yok Si Ki terbelalak kaget. Kakinya melangkah mundur. "Dari mana kau tahu
tentang ilmu rahasia itu" Kau..." Hmm, siapakah kau sebenarnya?"
"Sudah kukatakan, aku hanya seorang lelaki buta yang tak punya nama. Tak ada
gunanya kau membunuh aku. Lebih baik kau biarkan aku pergi, dan aku akan sangat
berterima kasih kepadamu."
Yok Si Ki mendengus. Hatinya makin penasaran karena orang buta itu ternyata
telah mengenal 777 ilmunya, yang berarti orang itu sudah pernah mengenal atau berhadapan dengan
ilmu tersebut. Padahal sepengetahuannya baru dia sendiri yang berhasil mempelajari ilmu
tersebut. "Lalu dengan siapa dia pernah berhadapan"
Mendiang ketua Tai-bong-pai lama, Kwa Eng Ki"
Atau... jangan-jangan dia bertemu dengan Tai-bongpai Kui-bo, yang telah bisa
memecahkan kunci rahasia ilmu itu di buku Tai-bong Pit-kip...!" Yok Si Ki
membatin. Begitu ingat Tai-bong Kui-bo, ketua Tai-bong-pai itu seperti tersentak dari
tidurnya. Hatinya menjadi curiga. Jangan-jangan orang buta di depannya itu
memang pernah bertemu dengan Tai-bong Kui-bo dan merampas bukunya.
"Kau.... kau" Apakah kau kenal dengan Tai-bong Kui-bo?" Tak terasa mulutnya
terbuka. Pendekar Buta mengerutkan dahinya. "Apa" Tai-bong Kui-bo" Siapakah dia" "
Katanya tak mengerti. Yok Si Ki tertegun. Ia melihat kejujuran pada wajah lawannya.
"Baiklah, kalau memang tidak tahu... ya, sudah!
Sekarang kita selesaikan saja persoalan kita dengan kaki tangan."
Selesai berkata Yok Si Ki benar-benar menyerang Pendekar Buta. Kedua telapak
tangannya mendorong ke depan dengan kekuatan penuh. Dari kedua tangannya itu
tersebar bau wangi menusuk hidung.
778 Pendekar Buta buru-buru melangkah ke samping.
Meskipun lawannya belum mempergunakan Tenaga Sakti Inti Roh, tetapi Hio-yen Sin-
kang (Tenaga Sakti Asap Dupa) yang ia hadapi sekarang juga tidak kalah berbahaya
pula. Tenaga Sakti yang menjadi tumpuan para anggauta Tai-bong-pai itu sangat
terkenal di dunia persilatan.
Namun pada saat yang sama, rasa sakit itu tiba-tiba kambuh lagi! Begitu sakitnya
sehingga Pendekar Buta kembali terhuyung-huyung mau jatuh. Akibatnya serangan
Yok Si Ki tak bisa dihindari sepenuhnya!
Sreeet...! Angin pukulan Yok Si Ki menyerempet bahu Pendekar Buta, sehingga
tubuh orang tua itu terpelanting menabrak dinding!
Yok Si Ki tak mau memberi kesempatan lagi.
Sesuai dengan wataknya yang ganas dan kejam, maka serangan berikutnya segera
tertuju pada jantung lawannya.
Wuuuuuus...! Dan kali ini Yok Si Ki benar-benar mempergunakan Tenaga Sakti Inti
Roh! Pasir dan kerikil tampak bertebaran di sekelilingnya, sehingga ketua Tai-
bong-pai itu seperti dikurung pusaran pasir lembut.
"Locianpwe...!" Tio Ciu In menjerit dan mencoba menolong Pendekar Buta yang
jatuh terlentang di lantai gua.
"Nona Tio, jangan mendekat..." Pendekar Buta berseru.
779 Terlambat. Tio Ciu In yang berada di garis pukulan Yok Si Ki tak mampu mengelak
lagi. Disertai dengan suara jeritannya yang keras gadis itu terpental dan
tubuhnya menimpa Pendekar Buta.
"Nona Tio...!"!" Pendekar Buta yang tidak bisa melihat bagaimana keadaan gadis
itu berteriak ketakutan. Orang tua itu cepat meraba seluruh tubuh Tio Ciu In. Ketika kemudian tersentuh
oleh jarinya darah yang mengalir dari mulut gadis itu, kemarahannya tak bisa
dibendung lagi. Bergegas gadis itu diletakkan di dekatnya, lalu tiba-tiba
tubuhnya melenting berdiri dan mengaum keras sekali!


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaaaaaarrrrrgghh....."!!!"
Begitu kuat dan keras getarannya sehingga gua itu bagaikan digoyang oleh gempa.
Dan getaran itu semakin menjadi-jadi ketika dalam kemarahannya Pendekar Buta itu
menjebol sebuah batu besar, dan membantingnya kuat-kuat!
Dhuuuuuuaaaaaar......! Pecahan batu kerikil dan pasir berhamburan disertai suara gemuruh memekakkan
telinga. Akibatnya gua itu bergetar hebat seolah mau runtuh. Bahkan getaran itu
juga menyebabkan batu dan debu di atas langit-langit gua berhamburan ke bawah.
Ribuan kelelawar penghuni gua itu mencicit ketakutan. Mereka mencoba
menyelamatkan diri dengan terbang keluar gua. Begitu kacau dan ributnya 780
suasana sehingga banyak yang saling bertabrakan di udara, atau jatuh menggelepar
tertimpa pecahan batu. Suasana di dalam gua itu benar-benar seperti neraka. Debu dan pasir bertebaran,
disertai jatuhnya bongkahan-bongkahan batu yang retak dan copot dari langit-
langit gua. "Yok Ciang-bun! Cepat kita keluar sebelum gua ini benar-benar runtuh!" Ho Bing
berteriak dan lebih dulu meloncat ke arah pintu gua.
Yok Si Ki tidak menjawab, tapi dengan tangkas tubuhnya berloncatan di antara
hujan batu. Mereka sama sekali tak memikirkan nasib Pendekar Buta dan Tio Ciu In
lagi. Bagi mereka yang penting adalah menyelamatkan diri mereka sendiri.
Dalam situasi demikian, maka tingkat kesaktian seseorang akan tampak dengan
jelas. Ho Bing yang tangkas dan memiliki tenaga dalam cukup tinggi, tetap bisa
bergerak dengan cepat dan lincah.
Tubuhnya dapat meliuk-liuk, ke kanan dan ke kiri, menghindari batu-batu besar
yang berjatuhan dari langit-langit gua. Tongkatnya berputar seperti gasing di
atas kepalanya, bagaikan lembaran kain payung melindungi badan dari guyuran debu
dan kerikil tajam. Gerakan Ho Bing benar-benar hebat. Ketika kemudian kakinya menginjak pintu gua,
tubuhnya sama sekali tidak terluka. Bahkan pakaian yang dia kenakan masih tetap
bersih dan rapi. Hanya sepatu 781
dan ujung celananya saja yang tampak kotor terkena debu.
Namun apa yang dilakukan Ho Bing tersebut ternyata belum sehebat apa yang
dikerjakan oleh Yok Si Ki. Dalam keadaan hiruk-pikuk seperti itu, ternyata
gerakan yang dilakukan oleh Yok Si Ki benar-benar sulit diterima akal sehat.
Seperti saat mengerahkan Tenaga Sakti Inti Roh tadi, maka sambil berloncatan
tubuh Yok Si Ki seperti mengeluarkan angin berputar yang membiaskan segala macam
benda yang datang kepadanya.
Tubuhnya seakan-akan terlindung oleh tabung kaca yang tak kelihatan oleh mata.
Sebentar saja tubuh ketua Tai-bong-pai itu telah berada di luar gua, mendahului
Ho Bing yang sebenarnya sudah lebih dulu menyelamatkan diri.
Ho Bing benar-benar semakin keder melihat kesaktian Yok Si Ki. Orang itu seperti
setan saja, tahu-tahu telah berdiri di luar gua.
Sementara itu hiruk-pikuk di dalam gua itu masih saja berlangsung dengan
hebatnya. Bahkan debu tebal bercampur pasir juga menyembur sampai ke luar gua,
sehingga lubang-lubang mulut gua itu bagaikan kepundan gunung berapi yang sedang
menyemburkan asapnya. Ho Bing dan Yok Si Ki terpaksa melompat ke belakang menjauhi lubang gua itu.
"Bagaimana... dengan gadis itu, Yok Ciang-bun"
Apakah Si Buta mampu menyelamatkannya?" Di 782
dalam ketegangannya Ho Bing masih juga memikirkan Tio Ciu In.
Yok Si Ki menghela napas panjang.
"Entahlah...! Rasanya sulit untuk keluar dari gua itu kalau kita harus
menggendong orang lain."
"Lalu... apa yang akan kita perbuat" Menunggu sampai reda dan mencari mereka?"
Yok Si Ki mengangguk. "Kita harus tahu, bagaimana keadaan mereka. Mati atau
hidup. Kalau sudah mati, kita tinggalkan saja tempat ini. Tetapi kalau ternyata
mereka masih hidup, kita harus membunuhnya lebih dulu. Aku tidak ingin menanam
bibit kesulitan di kemudian hari."
Akan tetapi sampai matahari hampir terbenam, reruntuhan di dalam gua itu belum
juga tuntas. Sekali-sekali masih terdengar suara gemuruh jatuhnya bebatuan dari
langit-langit gua. Tentu saja Yok Si Ki dan Ho Bing tak ingin mengambil resiko
masuk ke dalam. "Lihat, Yok Ciang-bun! Aliran sungai dari dalam gua itu tidak mengalir ke luar
lagi. Tampaknya alur sungai itu telah tertimbun tanah dan bebatuan. Dan hal itu.
berarti terowongan-terowongannya akan penuh terisi air. Oleh karena itu kalau
mereka masih hidup, mereka akan tetap sulit pula untuk menyelamatkan diri."
Sekali lagi Yok Si Ki menganggukkan kepalanya.
"Tampaknya memang demikian. Kalau begitu kita tinggalkan saja tempat ini!"
783 Demikianlah, mereka berdua lalu meninggalkan pantai itu, dan kembali ke kota
Hang-ciu. Sama sekali mereka tak menduga kalau lawan-lawan mereka masih tetap
hidup di antara reruntuhan gua itu.
Ternyata pada saat bencana itu terjadi, Pendekar Buta dengan sisa-sisa
tenaganya, masih dapat menyeret tubuh Tio Ciu In ke dalam lubang terowongan yang
dikenalnya. Kemudian sambil menunggu redanya bencana tersebut, Pendekar Buta
mencoba mengobati luka-luka dalam yang diderita oleh gadis itu. Namun karena
luka-lukanya memang terlalu parah, sementara Pendekar Buta sendiri juga dalam
keadaan lemah, maka usaha tersebut kurang membawa hasil. Gadis itu tetap
tergolek pingsan di tempatnya, meskipun nyawanya masih bisa diselamatkan.
Ketika hari semakin gelap, dan hawa malam mulai terasa mengalir dalam gua,
Pendekar Buta merasakan tubuhnya mulai membaik. Sementara itu Tio Ciu In juga
mulai siuman dari pingsannya. Gadis cantik itu mulai membuka matanya.
"Locianpwe...?"" Jeritnya lirih tatkala melihat Pendekar Buta itu duduk di
dekatnya. "Syukurlah... kau telah siuman kembali, Nona. Aku benar-benar khawatir melihat
keadaanmu. Pukulan Ketua Tai-bong-pai tadi sungguh dahsyat sekali.
Pukulannya menyebabkan jalan darahmu menjadi kacau. Bahkan beberapa diantaranya
tertutup. Beruntung aku segera dapat memperbaiki dan 784
membukanya kembali. Namun demikian kau tetap harus beristirahat penuh dalam
beberapa hari ini. Engkau harus berlatih dan membiasakannya lagi secara hati-hati."
"Terima kasih, Locianpwe. Kau telah menolong jiwaku. Aku tidak tahu bagaimana
jadinya bila Locianpwe tidak ada.
Oooohh!!" Tio Ciu In bangkit dan merangkapkan dua tangannya di depan dada. Tapi mulutnya
segera menjerit kecil ketika sadar tubuhnya tidak mengenakan pakaian sama
sekali. Otomatis kulit mukanya menjadi merah sekali.
Meskipun tidak bisa melihat, tetapi Pendekar Buta bisa menebak apa yang terjadi.
Tergopoh-gopoh ia meminta maaf.
"Maaf, Nona Tio. Aku terpaksa membuka pakaianmu. Tidak ada jalan lain untuk
menolongmu, selain harus cepat-cepat membenahi jalan darah yang kacau itu.
Keadaanmu tadi benar-benar sangat mengkhawatirkan. Celakanya, setelah pengobatan
selesai dan keadaanmu telah menjadi baik, aku justru tidak berani mengenakan
pakaianmu kembali. Aku memang orang tua yang canggung. Sekali lagi, maafkanlah
aku..." Orang tua itu berkata dengan rasa sesal yang dalam.
Sebenarnya Tio Ciu In sudah hampir menangis.
Namun melihat kesungguhan orang tua itu, hatinya menjadi sadar kembali.
Bagaimanapun juga orang tua 785
itu telah menolong jiwanya. Apalagi orang tua itu menolong dengan sungguh-
sungguh. Tidak ada tanda-tanda buruk yang menyatakan bahwa orang tua itu berniat
jelek terhadapnya. Tio Ciu In segera mengenakan pakaiannya kembali.
Rambutnya yang kusut ia rapikan kembali, walaupun tanpa tali pita, karena
talinya telah hilang entah ke mana. Begitu pula dengan sepasang sepatunya.
Barang itu juga hilang. Kemudian sambil memasang ikat pinggangnya, dia melirik
ke arah penolongnya. Tiba-tiba matanya terbelalak. Dilihatnya orang tua itu mengcengkeram perut dan
dadanya. Mulutnya meringis menahan sakit, sementara tubuhnya tampak bergetar
seperti orang kedinginan. Bahkan dahinya sudah penuh keringat.
"Locianpwe...?"" Tio Ciu In menjerit kaget.
Namun orang tua itu tak menjawab. Dia sedang sibuk melawan rasa sakit yang
menyerangnya. Ketika tubuhnya kemudian bergetar dengan hebat dan bergoyang-
goyang mau jatuh, Tio Ciu In menubruk.
Ternyata pendekar tua itu telah pingsan. Matanya terpejam, sementara pakaiannya
basah oleh keringat. "Locianpwe...." Locianpwe...!" Tio Ciu In berteriak-teriak memanggil sambil
mengguncang tubuh tua itu.
Beberapa saat kemudian mata itu terbuka kembali.
Tetapi selain sangat pucat, orang tua itu tampak lemah sekali.
786 "Maaf, Nona Tio... penyakit lamaku benar-benar kambuh lagi. Untuk beberapa hari
aku tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kaki dan tanganku lumpuh. Aku hanya dapat
menggerakkan kepalaku saja."
"Lumpuh..." Locianpwe lumpuh?" Tio Ciu In berdesah tak percaya.
"Benar. Aku akan menderita lumpuh untuk beberapa hari, sampai penyakit itu
pergi...." Tio Ciu In memandang wajah yang hampir tertutup oleh kumis dan jenggot panjang
itu. Dia benar-benar tak mengerti, penyakit apa yang diderita orang tua itu,
sehingga harus menderita sedemikian hebatnya.
Tampaknya Pendekar Buta tahu apa yang dipikirkan Tio Ciu In.
"Nona Tio, aku menderita penyakit 'Salah Jalan'.
Belasan tahun yang lalu ketika sedang berlatih menghimpun tenaga sakti, seorang
musuh telah membokong aku, sehingga latihanku menjadi 'salah jalan'. Lebih
celaka lagi, dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, musuh-musuhku yang lain
juga datang dan mengeroyok aku. Terpaksa dalam keadaan lemas dan hampir lumpuh
aku menghadapi mereka. Ketika akhirnya aku bisa juga meloloskan diri, keadaanku benar-benar sudah
hancur luar-dalam. Badanku penuh' darah, sementara luka di bagian dalam tubuhku juga parah sekali.
Boleh dikatakan keadaanku saat itu seperti mayat hidup. Hidup tidak, tapi
matipun juga belum."
787 Orang tua itu berhenti sebentar untuk mengambil napas. Kulit mukanya tampak
semakin pucat. "Akhirnya luka-luka itu memang bisa kusembuhkan. Tapi akibat dari 'salah jalan'
itu masih kuderita sampai sekarang. Apabila penyakit itu datang, aku sama sekali
tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Badanku akan lumpuh untuk beberapa
hari." Tio Ciu In menganguk-angguk. Gurunya memang pernah bercerita, bahwa dalam ilmu
silat sering terjadi 'salah jalan'. Semakin tinggi dan rumit ilmu yang dipelajari, semakin banyak
pula resiko untuk menderita 'salah jalan'. Bahkan kesalahan itu sering membawa
kematian. "Lalu... di mana keluarga Locianpwe" Tentunya mereka yang merawatmu jika
penyakit itu datang."
Orang tua itu menarik napas dalam-dalam. Dan jawabannya sungguh mengejutkan Tio
Ciu In. "Aku tidak memiliki keluarga lagi, Nona.
Semuanya telah tiada. Ayahku, Ibuku, isteriku, anak-anakku, semuanya telah mati
mendahului aku. Kini aku hanya sebatang kara saja di dunia ini."
"Sendirian..." Lalu... siapa yang merawatmu selama ini kalau penyakit itu
datang" Bukankah kau tidak bisa apa-apa?"
Orang tua itu tersenyum kecut. "Sudah lama aku ingin mati, agar arwahku bisa
segera berkumpul dengan keluargaku. Maka di saat-saat kambuh seperti ini, aku
justru berharap segera bisa mati. Tapi sampai 788
sekarang penyakit itu belum juga bisa mencabut nyawaku. Meskipun berhari-hari
perutku tak diisi, tergolek di tanah dikerumuni semut dan nyamuk, aku tetap
masih hidup." "Aaaah...!" Tio Ciu In menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bahkan penyakit ini pernah kambuh di saat aku sedang mandi di sungai bawah
tanah itu. Begitu mendadak, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menyelamatkan diri. Aku tergolek tak berdaya di dalam air dingin itu selama
berhari-hari. Celakanya, kepalaku masih tersangkut diantara dua batu, sehingga
aku masih tetap bisa bernapas."
"Aaah! Lalu, berapa hari biasanya penyakit itu menyerang?"
"Yah, tergantung keadaan. Kadang-kadang tiga hari... lima hari, atau... sepuluh
hari. Tapi biasanya cuma lima hari."
"Lima hari" Lama juga..." Tio Ciu In bergumam.
"Ah, biarkan saja. Aku juga tidak pernah memikirkannya lagi. Aku malah senang
kalau bisa mati. Semuanya berakhir, dan aku segera bisa bertemu dengan
isteriku... anak-anakku. Mereka sudah terlalu lama menungguku."
"Locianpwe....?"
"Sudahlah, Nona. Kau tak perlu berpikir apa-apa.
Yang penting kini adalah mengembalikan tenagamu.
Berlatihlah dengan tekun agar kesehatanmu cepat 789
pulih kembali. Setelah itu kau bisa keluar dari gua ini."
Tio Ciu In terdiam. Matanya memandang orang tua itu dengan penuh perasaan haru
dan sedih. Orang tua yang memiliki ilmu silat sangat tinggi itu ternyata sangat
menderita dalam hidupnya. Entah mengapa, tiba-tiba timbul perasaan kasihan di
dalam hatinya. "Locianpwe, kau juga tidak perlu khawatir.
Sementara aku di sini, aku akan merawatmu. Kita sama-sama memulihkan kesehatan."
Demikianlah, untuk membalas budi orang tua itu Tio Ciu In merawatnya dengan
baik. Atas petunjuk orang tua itu Tio Ciu In membawa penolongnya itu ke gua
tempat tinggalnya. Gua itu dapat dicapai melalui lorong-lorong kecil di dalam
tanah. Karena Tio Ciu In sendiri juga masih lemah, maka perjalanan itu
membutuhkan waktu yang lama.
Gua itu bersih dan nyaman. Hembusan udara yang mengalir lewat aliran sungai di
depan pintu gua, membuat tempat tersebut tidak panas dan pengap.
Sementara di dalam ruang gua telah diatur dan ditata seperti sebuah kamar besar.
Ada tempat memasak, mencuci, serta tempat untuk istirahat.
Malam itu angin laut bertiup dengan kencangnya, sehingga udara segar juga
berhembus pula dengan kuatnya ke dalam gua. Tio Ciu In mengambil selimut yang
ada di rak batu dan menutupkannya di atas tubuh Pendekar Buta.
790 Tiba-tiba gadis itu menarik napas panjang. Entah mengapa, pikirannya melayang
kepada Liu Wan, pemuda yang selalu berbaik hati menolongnya.
Pemuda itu tentu sedang mencarinya sekarang.
Mungkin pemuda itu bersama Jeng-bin Lo-kai dan kawanan pengemisnya sedang
mengobrak-abrik pondok kecil di tengah rawa itu.
SAMA SEKALI tidak terpikirkan oleh Tio Ciu In, bahwa pada saat itu Liu Wan
justru sedang menghadapi maut. Dalam keadaan tertotok lemas pemuda itu harus
menghadapi api yang berkobar hebat di sekelilingnya.
-- o0d-w0o -- JILID XIX ETIKA dinding pondok itu mulai
terkoyak api, maka satu persatu kayu
penahan genting pun mulai berjatuhan
Kpula. Sementara itu di bagian bawah, tiang penyangga rumah juga sudah mulai
goyah digerogoti api. Liu Wan terbatuk-batuk. Matanya hampir tak bisa dibuka lagi. Ruangan itu penuh
asap tebal yang menyesakkan napas.
791 Mendadak lantai ruangan itu berderak patah.
Ternyata lidah api benar-benar telah membakar balok penyangga lantai, sehingga
lantai papan di atasnya langsung rontok pula ke bawah. Otomatis semua orang yang
ada di dalam ruangan itu terjeblos ke bawah.
Byuuuuur......! Dalam keadaan lumpuh dan terikat mereka tak mungkin dapat bergerak atau berenang
menyelamatkan diri. Apalagi ketiga tokoh Aliran Im-yang-kau itu terikat menjadi
satu. Yang bisa mereka lakukan hanya berusaha untuk tetap mengambang dan
menempatkan hidung mereka di atas air. Tapi untuk melakukan hal itu juga sulit
bukan main. Terutama bagi orang-orang Im-yang-kau itu. Selain guncangan air
membuat mereka selalu bergerak timbul-tenggelam, mereka harus bisa saling
bergantian mengambil napas di permukaan air. Dan usaha itu semakin sulit dengan
adanya kayu-kayu yang berjatuhan dari rumah.
Untunglah mereka berempat merupakan jago-jago silat yang sudah terbiasa
melakukan latihan bernapas di dalam air. Sehingga dengan kemampuan dan
kecerdikan mereka, mereka bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Bahkan


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan memanfaatkan alunan gelombang air, mereka dapat menghindari kayu dan api
yang berjatuhan di sekitar mereka.
Karena pondok itu memang terpencil dan jauh dari pemukiman penduduk, maka tak
seorang pun 792 mengetahui kebakaran tersebut. Sampai pondok itu habis roboh ke dalam air, tidak
seorang pun datang melawat ke tempat itu.
Akhirnya dengan memanfaatkan gelombang air, mereka berempat dapat mendarat di
tepian empang. Mula-mula yang dapat membebaskan diri dari pengaruh totokan adalah Lo-jin-ong.
Orang tua itu segera melepaskan diri dari ikatan dan keluar dari dalam air.
Kemudian berturut-turut ia menolong Tan Sin Lun, Giam Pit Seng, dan Liu Wan. Dan
begitu selesai mengeluarkan mereka, orang tua itu lalu duduk bersamadi untuk
memulihkan tenaga lebih dulu.
Beberapa saat kemudian orang tua itu menarik napas panjang. Lalu tubuh yang
bongkok itu berdiri. Wajah tua renta itu sudah berseri-seri kembali.
Liu Wan memandang kagum. Orang tua itu benar-benar memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Hanya dalam waktu singkat dia bisa memunahkan totokan lawan.
Padahal dengan segala kepandaiannya Liu Wan masih tetap belum bisa melepaskan
diri. Bahkan usahanya itu justru membuat otot-ototnya menjadi sakit.
"Locianpwe, tolonglah aku. Bukalah totokanku ini..." Akhirnya pemuda itu memohon
perlahan. Orang tua itu menoleh. Mulutnya yang ompong tak bergigi itu tersenyum lebar.
"Anak muda, ilmu silatmu tadi benar-benar hebat.
Kau bisa melayani Bocah Gila itu dalam beberapa 793
saat lamanya. Aku lantas teringat kepada sahabatku, yang memiliki gerakan
seperti ilmu silatmu itu. Dia bernama Hong-lui-kun Yap Kiong Lee (Si Tinju Petir
dan Badai). Hemmm, kau kenal dengan dia?"
Liu Wan tak segera menjawab. Selama ini ia selalu menyamar karena tak ingin
dikenal orang, sehingga pertanyaan itu sulit dijawabnya. Untunglah pada saat
yang bersamaan terdengar suara ramai mendatangi.
"Apakah itu...?" Liu Wan pura-pura kaget.
Lo-jin-ong menoleh. Dilihatnya beberapa orang penduduk berlari ke tempat itu.
Karena hari sudah gelap, mereka membawa obor di tangan.
Ternyata ada juga seorang penduduk yang melihat kebakaran itu. Kebetulan sore
tadi ia ingin berobat ke rumah Tabib Ciok. Melihat pondok itu dimakan api, dia
cepat kembali memberi tahu tetangga-tetangganya. Tapi karena kampung mereka
cukup jauh, maka kedatangan mereka sudah terlambat.
Namun demikian kedatangan orang-orang itu cukup memberi pertolongan kepada Liu
Wan dan kawan-kawannya. Mereka membawa Liu Wan dan
rombongan orang Im-yang-kau itu ke kampung mereka. Mereka bergantian menggotong
Liu Wan, Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun. Hanya Lo-jin-ong yang bisa berjalan
sendiri. Ternyata mereka tidak mengenal Liu Wan. Wajah pemuda itu sama sekali tidak mirip
Tabib Ciok, karena penyamarannya telah dicopot dan dipereteli oleh Mo Hou.
Apalagi alat penyamarannya yang lain, 794
seperti bantal pengganjal pung gung, gigi palsu, dan lain-lainnya, juga copot di
dalam empang. Orang-orang itu tinggal di dekat kuil Pek-hok-bio, yang semalam baru saja
diobrak-abrik oleh kawanan pengemis dari Tiat-tung Kai-pang.
"Para pendeta kuil itu memang tidak pernah mengganggu penduduk kampung ini. Tapi
kami sering bertanya-tanya di dalam hati kalau kebetulan banyak tamu asing yang
datang. Logat bicara mereka seperti orang-orang dari luar Tembok Besar." Salah
seorang penduduk itu bercerita.
"Benar. Dandanan mereka pun lain dengan dandanan orang-orang di sini. Sikap
mereka pun kasar-kasar. Pernah beberapa orang diantara mereka berkelahi dengan
pemuda kami. Untung para pendeta kuil itu cepat melerai." Yang lain ikut
berbicara pula. "Yaaaah, akhirnya ketahuan juga bahwa kuil itu dipergunakan oleh para perusuh
dari utara." Pemilik rumah yang dipakai untuk merawat Liu Wan dan kawan-kawannya
berkata pelan. "Siapa yang mengatakan itu?" Lo-jin ong bertanya.
"Para pengemis itu." Orang-orang itu menjawab serentak.
Lo-jin-ong tersenyum. "Apakah pengemis-pengemis itu tidak berbohong" Jangan-
jangan mereka hanya memfitnah saja, karena permintaan derma mereka ditolak oleh
para pendeta kuil itu."
"Wah, Loheng ini ada-ada saja. Kau belum tahu siapa mereka. Pengemis-pengemis
itu adalah anggota 795 Tiat-tung Kai-pang, yang sangat terkenal di daerah selatan ini. Mereka bukan
pengemis-pengemis biasa. Mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Segala sepak-terjang mereka juga diatur
dan diawasi oleh perkumpulannya."
"Wah, hebat sekali...!" Lo-jin-ong pura-pura kagum.
Beberapa orang lalu bertanya tentang kebakaran di rumah Tabib Ciok. Mereka juga
menanyakan Tabib Ciok dan pembantunya.
Lo-jin-ong menjadi bingung juga untuk menjawab.
Apalagi ketika ia melirik ke arah Liu Wan. Pemuda yang menyamar sebagai Tabib
Ciok itu masih tampak lemah tak berdaya. Tentu ada sesuatu yang disembunyikan
pemuda itu, dan ia tak ingin mencampurinya. Selain mereka belum pernah saling
mengenal, hati tuanya merasakan bahwa pemuda itu tak bermaksud jahat. Oleh
karena itu ia menjawab pertanyaan orang-orang itu sesuai dengan apa yang
dialaminya, tanpa menyinggung atau melibatkan Liu Wan.
"Entahlah. Semula kami hanya ingin mencari tempat aman untuk mengobati luka,
karena kami baru saja bertempur dengan perampok di jalan. Eeeeh, tak tahunya
para perampok itu masih tetap mengejar kami. Nah, di dalam pondok itulah kami
bertempur lagi. Mereka berjumlah banyak, sehingga kami kewalahan. Kami diringkus
dan diikat menjadi satu, lalu dibakar bersama-sama pondok kayu itu."
796 "Oh, begitu. Lalu... apakah Loheng tidak bertemu dengan Tabib Ciok, pemilik
rumah itu?" Lo-jin-ong menggelengkan kepalanya. "Ketika kami datang, rumah itu kosong tidak
ada penghuninya." "Ah, kalau begitu Tabib Ciok masih hidup." Orang-orang itu tersenyum gembira.
Tampaknya mereka sangat hormat dan suka kepada tabib itu.
Sekali lagi Lo-jin-ong melirik ke arah Liu Wan.
Ketika dilihatnya pemuda itu mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya, dia
segera menghampiri. "Wah, tampaknya kau sudah bisa membebaskan diri dari pengaruh totokan itu. Bukan
main. Orang muda zaman sekarang memang hebat-hebat." Ia berbisik di telinga Liu
Wan. Liu Wan tersenyum kikuk. Orang tua itu seperti tahu segalanya. Oleh karena itu
ia segera mengalihkan pembicaraan.
"Wah, Locianpwe kejam sekali. Membiarkan kami semua lemas tak berdaya."
Lo-jin-ong tersenyum maklum. "Ah, tidak mudah memunahkan totokan itu. Terus
terang aku tak mampu melakukannya. Dibutuhkan seorang yang memiliki tenaga dalam
sempurna untuk dapat memunahkan totokan itu. Bocah kejam itu benar-benar hebat
sekali. Semuda itu usianya, ternyata ilmu silatnya sudah mendekati kesempurnaan.
"Lohu (aku) yang telah belajar dan mendalami ilmu silat lebih dari 797
tiga perempat abad, rasanya cuma sedikit saja di atasnya. Bahkan Ilmu Memindah
Jalan Darah, yang telah kupelajari selama puluhan tahun sama sekali tidak dapat
menangkal kekuatan jarinya. Yah, apa boleh buat... kita terpaksa harus menunggu
totokan itu punah sendiri."
Lo-jin-ong tidak melanjutkan kata-katanya, karena orang-orang kampung itu segera
mendekati Liu Wan pula. Mereka bertanya macam-macam, yang dijawab seadanya oleh
pemuda itu. Demikianlah, beberapa saat kemudian Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun juga bisa
bergerak kembali. Giam Pit Seng segera mengucapkan terima kasih kepada para penolongnya. Sedangkan
Liu Wan bergegas mendekati Tan Sin Lun yang pernah berkunjung ke pondoknya.
Dengan berbisik Liu Wan minta agar penyamarannya tidak dibeberkan kepada
penduduk itu. Setelah berbicara panjang lebar dengan orang-orang kampung itu, Liu Wan lalu
memberitahukan keadaan Tio Ciu In dan Tio Siau In kepada Giam Pit Seng. Dia juga
bercerita tentang kepergian Tio Ciu In ke markas Tiat-tung Kai-pang ketika
mereka berpisah. "Anak muda! Siapakah tokoh Tiat-tung Kai-pang yang berada di Hang-ciu sekarang"
Kudengar Tiat-tung Hong-kai dan Tiat-tung Lo-kai sudah lama meninggal?" Lo-jin-
ong berbisik kepada Liu Wan.
798 "Entahlah, Locianpwe. Tapi pimpinan Tiat-tung Kai-pang yang ada di Hang-ciu
sekarang adalah Jeng-bin Lo-kai."
Ternyata berita itu sangat mencemaskan hati Giam Pit Seng. Dengan suara agak
gemetar ia meminta pendapat Lo-jin-ong.
"Bagaimana kalau kita segera menjumpai anak itu, Lo-jin-ong" Siapa tahu anak itu
butuh pertolongan" Dia telah kehilangan adiknya, tentu pikirannya sangat kacau."
"Mungkin kita tak perlu ke markas Tiat-tung Kai-pang, Locianpwe. Hari sudan
malam, mungkin Nona Tio sudah kembali ke penginapan. Kita tengok dulu di sana."
Liu Wan memotong. "Baiklah. Kita pergi ke penginapan dulu. Kalau belum kembali, kita pergi ke
markas Tiat-tung Kai-pang. Ayoh, sekarang kita berpamitan dulu kepada para
penolong kita!" Lo-jin-ong mengangguk-angguk, lalu melangkah ke depan untuk
meminta diri kepada tuan rumah.
Demikianlah, malam itu juga mereka mencari Tio Ciu In. Tan Sin Lun yang sangat
mengkhawatirkan keadaan sumoi-nya, tampak sangat tegang di sepanjang jalan. Dan
sikap pemuda pendiam itu tak pernah lepas dari penglihatan Liu Wan.
"Tampaknya memang ada perhatian khusus dari pemuda ini untuk Tio Ciu In."
Katanya di dalam hati. Sampai di penginapan mereka mendapat keterangan bahwa Tio Ciu In belum kembali.
Tentu saja 799 semuanya menjadi heran dan khawatir. Bahkan Tan Sin Lun mulai berpikir yang
bukan-bukan. Jangan-jangan sumoinya mendapat kesulitan di markas Tiat-tung Kai-
pang. Lalu dengan tergesa-gesa mereka menuju keluar kota, ke markas Tiat-tung Kai-
pang. Namun di tempat itu mereka benar-benar memperoleh berita yang mengejutkan.
Tio Ciu In hilang diculik Yok Si Ki dan Ho Bing!
"Yok Si Ki..." Gila...! Mengapa iblis itu sampai di Pantai Timur ini" Apa yang
sedang dicarinya?" Giam Pit Seng tersentak kaget. Nama Yok Si Ki memang
menyeramkan dan sangat ditakuti orang di mana-mana.
"Siapakah Yok Si Ki itu, Suhu?" Tan Sin Lun bertanya.
Lo-jin-ong kelihatan kesal pula. "Manusia iblis itu bukan tokoh sembarangan. Dia
adalah Ketua Partai Tai-bong-pai. Ilmu silatnya sangat hebat. Terkenal karena
kekejamannya dan kesukaannya
mempermainkan wanita. Siapapun juga harus berhati-hati bila bertemu dengan orang
itu." Tan Sin Lun semakin kelabakan mendengar keterangan itu. "Lalu.,, lalu apa yang
mesti kita lakukan, Suhu?" Teriaknya ketakutan.
Giam Pit Seng juga tidak kalah khawatirnya.
Namun demikian dia masih dapat mengendalikan dirinya. Dia segera meminta
pendapat Lo-jin-ong, orang yang amat dihormatinya.
800 Sesepuh aliran Im-yang-kau itu mengelus-elus jenggotnya. Sebelum menjawab ia
bertanya lebih dulu kepada Jeng bin Lo-kai.
"Lo-heng, benarkah anak itu dibawa oleh Yok Si Ki?"
"Lo-hu tidak tahu pasti, siapa sebenarnya yang membawa Nona Tio. Seingatku Si
Tongkat Bocor Ho Bing tidak pernah berkawan dengan ketua Tai-bongpai. Tapi
kenyataannya mereka berdua memang berkomplot untuk menculik gadis itu. Lo-hu
menyaksikan sendiri mereka membawa masuk Nona Tio ke dalam rumah. Ketika Lo-hu
bersama kawan-kawan yang lain mengepung dan mengejar mereka, mereka telah hilang
tidak tentu rimbanya. Kami lalu menggeledah rumah itu. Tapi kami tetap tak bisa
mendapatkan mereka. Kedua orang itu benar-benar hilang...."
"Kau tidak menyelidiki rumah itu dengan teliti"
Siapa tahu mereka lewat pintu rahasia?"
Jeng-bin Lo-kai mengangguk. "Benar. Kami memang curiga, jangan-jangan mereka
lari lewat pintu rahasia. Celakanya, kami tidak pernah bisa menemukan pintu
rahasia itu. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari mereka di rawa-rawa itu.
Tetapi mereka tetap tidak dapat kami temukan...."
Jeng-bin Lo-kai memberi keterangan.
"Benar. Tidak biasanya Yok Si Ki berkawan dengan orang lain. Dia selalu
bertindak sendirian. Dia terlalu percaya pada kemampuannya sendiri. Tentu 801
ada sesuatu yang membuat mereka saling membutuhkan." Lo-jin-ong menduga-duga.
"Lalu... apa yang akan kita perbuat, Lo-jin-ong?"
Giam Pit Seng mendesak. "Yah, sebaiknya kita melihat rumah di tengah rawa itu lagi. Siapa tahu kita bisa
menemukan petunjuk di sana?"
"Benar, Lo-jin-ong." Jeng-bin Lo-kai mengiyakan.
"Satu-satunya petunjuk yang bisa kita cari memang hanya di tempat itu.
Marilah... akan kutunjukkan tempatnya."
"Wah, kami cuma mengganggu Jeng-bin Lokai saja..."Giam Pit Seng berdesah kikuk.
"Ah, Saudara Giam... jangan terlalu sungkan.
Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu. Apalagi musibah itu
disebabkan oleh keinginan Nona Tio untuk mengunjungi markas kami." Pengemis tua
itu menjawab dengan suara ikhlas.
Demikianlah, mereka lalu pergi bersama-sama ke pondok Ho Bing. Hari benar-benar
telah menjadi gelap ketika mereka sampai di daerah rawa-rawa itu.
"Itulah rumahnya...!" Jeng-bin Lo-kai menunjuk ke sebuah pondok kecil agak
menjorok ke tengah rawa. Mereka meniti jembatan bambu, melangkah menuju halaman pondok. Rumah itu masih
tetap terbuka pintunya. Bahkan lampunya juga belum dinyalakan, sehingga dari
luar tampak gelap gulita.
Tampaknya Ho Bing belum kembali, atau 802
kemungkinan memang benar-benar sudah menghilang dari tempat itu.
"Bagaimana, Lo-jin-ong" Kita langsung masuk ke dalam atau kita ketuk dulu
pintunya?" Giam Pit Seng meminta pendapat pimpinannya.
Lo-jin-ong mengerahkan tiga bagian dari seluruh tenaga saktinya, kemudian
melangkah mendekati pintu.
"Tampaknya penghuni rumah ini memang belum pulang. Tetapi kita tidak boleh
lengah. Siapa tahu ada orang lain di dalam" Atau mungkin juga ada...
jebakan?" "Benar! Kalau begitu... biarlah lo-hu yang masuk lebih dahulu!" Jeng-bin Lokai
berkata lantang. Lalu tanpa persetujuan kawan-kawannya Jeng-bin Lo-kai masuk. Lo-jin-ong dan Giam
Pit Seng cepat mengikuti di belakangnya. Begitu pula dengan yang lain. Mereka
masuk ke pondok itu dalam keadaan siap tempur.
Pondok kecil itu mempunyai lima buah ruangan, yaitu ruang depan, ruang tengah,
ruang samping dan ruang belakang. Mereka memeriksa ruangan tersebut satu persatu
dengan teliti. Bangkai serigala masih berserakan di segala tempat, sementara bau anyir juga
masih tercium di dalam pondok itu.
"Semuanya belum berubah. Keadaannya masih tetap seperti siang tadi...." Jeng-bin
Lo-kai bergumam perlahan.
803 "Bagus! Kalau begitu tempat ini belum dijamah orang lain selain kita sendiri.
Nah, sekarang... di manakah tempat menghilangnya Yok Si Ki dan Ho Bing?" Lo-jin-
ong berbisik. "Kami tidak tahu pasti. Mereka menghilang setelah masuk ke Ruang Belakang.
Padahal ada tiga buah pintu di dalam ruangan itu. Kami tidak bisa menentukan,
pintu mana yang dipakai oleh mereka.
Tapi yang jelas semua pintu dapat mereka pergunakan untuk melarikan diri, karena
semuanya menuju ke halaman belakang."
Mereka berdiri di ruang belakang. Giam Pit Seng menyalakan lampu yang tergantung
di dekat pintu keluar menuju dapur. Di dalam keremangan lampu minyak, suasana di
dalam pondok itu sungguh menyeramkan.
"Lihat...! Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pintu rahasia di tempat
ini. Kesimpulannya... mereka memang benar-benar lari lewat halaman belakang, menerobos semak-semak,
kemudian menyeberangi rawa-rawa. Kami tidak bisa mengikuti mereka, karena mereka
lebih paham dan lebih kenal tempat ini."
Lo-jin-ong, Giam Pit Seng dan yang lain, mencoba meneliti seluruh perabot yang
ada di dalam ruangan itu. Mereka mencoba mendapatkan pintu rahasia yang mungkin


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan oleh Yok Si Ki. Namun ternyata tak seorang pun menemukannya. Pintu itu
benar-benar tersembunyi. 804 Demikianlah, mereka lalu keluar ke halaman belakang. Dalam temaramnya cahaya
bulan yang tampak hanyalah rawa dan semak belukar. Begitu luasnya rawa itu
sehingga batasnya pun tidak kelihatan oleh mereka. Suasananya tampak lengang,
sunyi, serta mengerikan! "Lihat...! Rawa ini sudah memakan banyak korban.
Baik penduduk di sekitarnya, maupun para pendatang yang belum paham seluk beluk
rawa ini." Jeng-bin Lo-kai menerangkan.
"Lalu... sampai di mana para anggota Tiat-tung-kai-pang tadi menyusuri rawa
ini?" Lo-jin-ong bertanya.
Jeng-bin Lo-kai tersenyum malu. "Wah, maafkanlah kami. Kami hanya sampai pada
jarak satu lie dari sini. Kami terpaksa kembali karena keadaan rawa semakin
berbahaya dan sulit dilalui. Di malam hari semua binatang melata akan keluar
dari sarangnya. Padahal sebagian besar dari binatang itu memiliki racun yang
sangat berbahaya. Terutama racun ular rawa berjengger merah. Sekali patuk
racunnya akan membuat orang menjadi buta dan gila."
"Oh... sedemikian berbahayanya" Wah, benar-benar mengerikan!" Giam Pit Seng
mengerutkan dahinya. "Baiklah! Kalau begitu biarlah kami menunggu di sini sampai besok pagi. Kami
akan mencoba sekali lagi menyusuri rawa ini pada siang hari. Siapa tahu kami
dapat menemukan orang-orang itu. Nah, terima kasih atas bantuan Jeng-bin Lo-kai.
Untuk selanjutnya, biarlah kami yang menangani sendiri.
805 Kami tidak berani terus-terusan mengganggu para sahabat dari Kai-pang..." Lo-
jin-ong berkata pelan. Tiba-tiba wajah pengemis tua itu berubah. "Apa yang kaukatakan itu, Lo-jin-ong"
Jangan katakan bahwa kami para pengemis ini adalah orang-orang yang takut mati.
Kalau tadi kami harus menunda pencarian di dalam rawa, hal itu bukan karena kami
takut. Tapi semua itu kami lakukan demi keselamatan orang-orang kami pula. Kami
tak ingin asal berani saja. Kami juga harus memperhitungkan keselamatan kami
sendiri pula." "Ah, maafkan kami! Maafkan...! Kami tidak bermaksud begitu. Kami benar-benar
tidak ingin mengganggumu. Itu saja, lain tidak!" Lo-jin-ong cepat-cepat
menjelaskan. "Benar, Locianpwe. Kami sangat berterima kasih sekali atas bantuanmu. Namun
demikian kami juga sangat sungkan kalau harus selalu merepotkan orang...." Giam
Pit Seng ikut berbicara. "Tidak! Lo-hu tidak merasa terganggu sama sekali.
Oleh karena itu kami akan tetap tinggal pula sampai besok." Jeng-bin Lo-kai
berkata tegas. Mereka lalu masuk ke dalam pondok lagi. Lo-jin-ong dan Jeng-bin Lo-kai segera
bersila dan bersamadhi di pojok ruangan. Begitu pula dengan Giam Pit Seng,
setelah mengatur penjagaan ia lalu bersamadi pula di belakang sesepuhnya itu.
806 Sementara itu Liu Wan dan Tan Sin Lun merasa kegerahan di dalam pondok. Keduanya
melangkah keluar mencari udara segar.
"Nona Tio juga datang ke pondokku beberapa hari yang lalu." Liu Wan membuka
percakapan. Tan Sin Lun menoleh. Matanya memandang Liu Wan, kemudian menghela napas panjang.
"Dia juga menanyakan Siau In, adiknya?"
Liu Wan mengangguk. "Benar. Dan jawabku sama dengan jawaban yang kuberikan
kepada Tan-heng. Nona Siau In memang tidak pernah dibawa ke tempatku."
Sin Lun berdesah panjang. Sambil memandang bintang-bintang di langit ia
bergumam. "Heran. Ke mana sebenarnya anak itu" Apabila tidak ada apa-apa, tentunya sudah
kembali menemui Suhu."
"Yah, kita hanya bisa berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang jelek
padanya." Liu Wan mencoba membesarkan hati pemuda itu.
Keduanya lalu berbincang-bincang sambil berjaga.
Semakin lama Liu Wan semakin yakin bahwa pemuda itu memang amat mencintai Tio
Ciu In. Dan entah mengapa, kenyataan itu benar-benar sangat memukul hatinya.
Malam semakin larut. Udara pun terasa semakin dingin pula. Rasa kantuk mulai
menyerang Liu Wan dan Tan Sin Lun, sehingga untuk menghilangkannya 807
Liu Wan lalu berdiri dan berjalan menuju ke halaman depan.
"Mau ke mana...?" Tan Sin Lun bertanya.
"Berjalan-jalan saja. Mataku mengantuk sekali.
Aku..." Hei, awas! Aku seperti melihat bayangan di jembatan!" Tiba-tiba Liu Wan
berbisik dan berlindung di bawah rimbunnya dedaunan.
"S-s-siapa...?" Tan Sin Lun tergagap kaget.
"Entahlah! Tolong kauberitahu yang lain bahwa ada orang datang ke tempat ini!
Aku akan mengawasi orang itu...."
Tanpa membantah Tan Sin Lun menyelinap masuk, kemudian melaporkan kecurigaan Liu
Wan itu kepada gurunya. Sementara itu Liu Wan mencoba memotong gerak bayangan itu.
"Berhenti...!" Liu Wan menghardik begitu bayangan tersebut kelihatan lagi.
Bayangan itu tersentak kaget dan berhenti dengan tiba-tiba. Di dalam kegelapan
malam tampak bayangan mengkilap panjang terpegang di dalam tangannya.
"Kau siapa" Mengapa berkeliaran di sini" Apa yang kaucari?" Tak terduga bayangan
itu justru membentak Liu Wan.
"Gila! Aku yang bertanya kepadamu! Jawab dulu!"
Liu Wan berseru marah. "Persetan! Kau... yang gila! Enak saja memaksa orang! Kau pikir ini rumahmu,
heh?" 808 Ternyata bayangan itu menjadi berang pula.
Bahkan sambil berteriak dia menyerang dengan benda mengkilap itu. Wuuuuuut!
Terdengar suara mencicit ketika benda yang tidak lain adalah sebatang tongkat
besi itu menerjang ke arah ulu hati Liu Wan!
Traaaaaang! Liu Wan menangkis dengan kursi yang ada di dekatnya, sehingga kursi itu pecah berantakan! Liu Wan melompat mundur. Dia tetap tak bisa mengenali lawannya. Malam memang terlalu gelap untuk melihat wajah orang. Tetapi yang jelas orang itu bersenjatakan tongkat besi seperti
halnya kaum pengemis. Begitulah, karena tak ada yang mau mengalah, maka mereka berdua segera terlibat
dalam pertempuran sengit. Bayangan itu menyerang Liu 809
Wan dengan ganas. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti burung elang melihat
mangsa. Begitu cepat dan kuat ayunannya sehingga Liu Wan dibuat repot untuk
menghindarinya. Liu Wan terpaksa mengurai sabuknya, sebuah sabuk terbuat dari kulit ular
berbandul perak. Sabuk itu segera dia pergunakan untuk melayani lawannya.
Siiiuuut! Traaaaaang! Thiiiiing...!
Berkali-kali kedua macam senjata itu berbenturan di udara. Bunga api memercik ke
mana-mana. Semakin lama semakin sering, sehingga lengan mereka menjadi kesemutan dibuatnya.
"Bagus! Ternyata orang ini boleh juga! Siapa dia...?" Liu Wan berkata di dalam hati.
Sebaliknya orang itu benar-benar kaget melihat kemampuan Liu Wan. Permainan
tongkatnya yang selama ini sangat disegani orang, ternyata mendapat perlawanan
sengit dari sabuk kulit lawannya.
Sementara itu Lo-jin-ong dan Jen-bin Lo-kai telah berlari ke halaman depan. Giam
Pit Seng dan Tan Sin Lun mengikut di belakang mereka. Melihat Liu Wan telah
bertarung dengan seseorang, mereka berempat segera bersiap-siap untuk membantu.
Melihat lawan berjumlah banyak, Orang itu diam-diam menjadi keder juga hatinya.
"Kurang ajar! Ternyata kau membawa banyak orang untuk merampok rumahku!" Orang
itu berteriak geram. 810 "Rumahmu..." Kau" Kau... Si Tongkat Bocor Ho Bing?" Liu Wan berseru kaget.
Orang itu tertawa panjang. "Hehehe... tampaknya kau terkejut mendengar namaku,
ya" Bagaimana" Masih mau merampok juga?"
Tiba-tiba Jeng-bin Lo-kai melangkah ke depan.
"Kami para pengemis Tiat-tung Kai-pang tidak pernah menjadi perampok! Bahkan
menjadi penipu atau pembohong pun belum pernah! Nah, Ho Bing...
katanya kau juga menjadi anggota kami pula!
Benarkah...?" Bukan main terkejutnya Ho Bing. Dia berbohong ketika berhadapan dengan Liu Wan
dan Tio Ciu In pagi tadi. Semua itu dia lakukan hanya untuk menjebak Tio Ciu In.
Tak terduga tokoh Tiat-tung Kai-pang yang ia catut namanya itu sekarang berada
di depannya. Sekejap timbul maksud Ho Bing untuk melarikan diri. Tetapi keinginannya menjadi
batal ketika Jeng-bin Lo-kai dan pengawalnya bergerak mengepungnya.
"Bagus!" Ho Bing justru menggertak. "Aku memang bukan orang Tiat-tung Kai-pang!
Aku... Ho Bing Si Tongkat Bocor!"
Jeng-bin Lo-kai tertawa mengejek. "Ho Bing! Kau jangan terlalu sombong di
depanku. Meskipun ilmu silatmu terkenal hebat, tapi tenaga murnimu kau hambur-
hamburkan di segala tempat. Kau hanya seperti harimau kertas, tampaknya saja
garang, dan menakutkan, tapi sebenarnya kropos tak berdaya.
811 Menghadapi lawan bertenaga dalam tinggi, kau takkan bisa berbuat apa-apa."
Ucapan pengemis tua itu laksana peluru meriam yang menghantam dada Ho Bing. Dia
memang merasa lemah dalam hal tenaga dalam. Melawan Jeng-bin Lo-kai dia tidak
takut, tapi yang perlu dia perhitungkan justru pemuda yang baru saja bertempur
dengan dirinya tadi. Terasa olehnya pemuda itu belum mengeluarkan semua
kepandaiannya. "Sayang Yok Si Ki sudah pergi...."
"Hei! Mengapa kau diam saja" Ayoh, katakan... di mana sumoiku" Jawab!" Tan Sin
Lun berteriak tak sabar. Ho Bing mendelik. "Bangsat! Kau... siapa?" ,
"Aku kakak seperguruan Tio Ciu In! Ayoh, cepat katakan!"
Sambil menjerit Tan Sin Lun menyerang Ho Bing.
Pemuda itu tidak bisa mengekang hatinya lagi.
Kekhawatirannya terhadap keselamatan Tio Ciu In membuatnya mata gelap.
"Tan-heng, jangan...!" Liu Wan yang sudah merasakan kehebatan tongkat Ho Bing
berseru. Terlambat. Hanya dengan miringkan tubuhnya, Ho Bing mampu meloloskan diri dari
serangan Tan Sin Lun. Sebaliknya, pada saat yang hampir bersamaan tongkat Ho
Bing menusuk ke arah dada Tan Sin Lun dengan cepatnya.
Wajah Giam Pit Seng menjadi pucat seketika.
Muridnya yang belum berpengalaman itu benar-benar 812
dalam bahaya. Untuk menolong jelas tidak bisa.
Jaraknya terlalu jauh. Sesuatu yang dapat ia lakukan hanyalah menyerang Ho Bing
dengan bintang terbangnya!
Siiiiiing! Taaaaassh! Tuuuk! Gedubrak! Bruk!
Ternyata tidak hanya Giam Pit Seng yang kaget atas serangan Ho Bing tadi. Dalam
kagetnya ternyata Lo-jin-ong dan Liu Wan juga menyerang pula.
Masing-masing dengan ilmu andalannya. Lo-jin-ong dengan Ilmu Silat Kulit
Dombanya, melempar tongkatnya ke lengan Ho Bing. Sedang Liu Wan dengan Hong-lui-
kun-hoat juga berusaha menghalau tongkat pengemis hidung belang itu.
Ketika serangan itu datang pada saat yang sama.
Mula-mula tongkat Ho Bing yang sudah menyentuh baju Tan Sin Lun itu tergetar
hebat, akibat tangan yang memegangnya tak mampu mengelakkan terjangan tongkat
Lo-jin-ong. Namun pada saat itu juga jari Ho Bing sudah memencet tombol
rahasianya, sehingga asap tebal berwarna kuning menyambar ke wajah Tan Sin Lun.
Tapi pada saat asap kuning itu menyembur keluar, maka pukulan petir Liu Wan juga
persis datang menyambar tongkat itu. Terdengar sebuah letupan kecil ketika
tongkat tersebut terpental dari tangan Ho Bing. Namun demikian tongkat itu
sempat merobek baju Tan Sin Lun dan menggores kulit dadanya.
Bahkan asap kuning itu sudah terhisap pula oleh hidung Tan Sin Lun.
813 Bruuuuk! Tubuh Tan Sin Lun terbanting pingsan di atas tanah! Sementara itu
senjata rahasia bintang terbang milik Giam Pit Seng juga mengenai punggung Ho
Bing dengan telak, bahkan persis pada jalan darah Tai-hung-hiat di bawah pundak.
Akibatnya tubuh pengemis hidung belang itu juga tersungkur pula di samping Tan
Sin Lun. Giam Pit Seng segera menghambur ke depan untuk menolong muridnya. Kedua jari
telunjuknya cepat menotok di beberapa tempat. Kemudian tangannya bergegas
mengambil beberapa ramuan obat serta memasukkannya ke dalam mulut Tan Sin Lun.
"Bagaimana" Lukanya parah?" Lo-jin-ong bertanya khawatir.
"Lukanya memang tidak seberapa, karena tongkat itu hanya menggores sedikit saja.
Tapi asap kuning itulah yang berbahaya. Anak ini terlanjur menghisapnya,
walaupun tidak banyak."
Mereka lalu membawa Tan Sin Lun ke dalam pondok dan meletakkannya di atas
lantai. Liu Wan dan Jeng-bin Lo-kai juga meringkus Ho Bing yang sudah terluka
itu dan membawanya ke dalam rumah pula.
"Kurang ajar! Lepaskan aku...!" Pengemis hidung belang itu mengumpat-umpat.
"Jangan khawatir! Aku akan melepaskanmu kalau kau sudah mengatakan di mana Tio
Ciu In berada...." Liu Wan menggeram dengan suara kesal.
"Persetan! Perempuan hina itu sudah mati!"
814 Plok! Plok! Telapak tangan Liu Wan menampar pipi Ho Bing beberapa kali, meskipun
tidak sampai merontokkan giginya.
"Aduh....! Bangsat! Keparat! Lepaskan tanganku!"
Ho Bing menjerit-jerit. Setelah mengobati Tan Sin Lun, Giam Pit Seng menghampiri Ho Bing. Dengan suara
tertahan pendekar Aliran Im-yang-kau itu bertanya tentang murid perempuannya.
Dari sikap dan roman mukanya, kelihatan sekali kalau dia menahan rasa marahnya.
"Aku tidak tahu! Tanyakan sendiri kepada Yok Si Ki! Orang itu yang membawa
muridmu!" Liu Wan menyambar leher baju Ho Bing. "Jangan coba-coba melibatkan orang lain!
Aku tahu sendiri, kaulah yang membawa gadis itu! Kau ingat Tabib Ciok yang
datang bersama gadis itu" Akulah tabib itu!"
Ho Bing terperanjat. Matanya terbelalak memandang Liu Wan. Tiba-tiba mulutnya
berdesis. "Kau... siapa?"
"Namaku Liu Wan. Tapi banyak yang menyebutku Bun-bu Siu-cai. Tabib Ciok adalah
penyamaranku di kota Hang-ciu ini...."
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Ho Bing.
Bahkan tidak cuma Ho Bing, tapi juga semua tokoh yang ada di situ. Nama Bun-bu
Siu-cai sangat terkenal di pantai timur Tiong-kok. Namun demikian tak seorangpun
di antara mereka yang pernah melihat wajahnya.
815 Lo-jin-ong mengangguk-anggukkan kepalanya.
Bayangan wajah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, orang yang pernah dikenalnya, kembali
terbayang di depan matanya. Dan dia semakin yakin, bahwa pemuda ini tentu
mempunyai hubungan dengan orang itu.
"Oh, jadi kaulah pendekar ternama itu" Bagus!
Kalau begitu, siapa orang tua bongkok ini" Gurumu?"
Ho Bing berkata lantang. Sama sekali tidak kelihatan takut menghadapi lawan
banyak. Liu Wan tersenyum. "Hari ini nasibmu memang kurang beruntung. Locianpwe ini
adalah tokoh paling tinggi di dalam aliran Im-yang-kauw saat ini. Beliau adalah


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lo-jin-ong atau Toat-beng-jin!"
Ho Bing mengerutkan keningnya, kemudian tertawa panjang. "Kau benar, Liu Wan.
Nasibku memang kurang baik hari ini. Begitu mendapat lawan, sekaligus dapat
tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan. Hohoho, baiklah. Rasanya aku tidak
perlu berbelit-belit lagi sekarang. Akan kukatakan apa yang kalian inginkan...."
"Jangan bertele-tele! Cepat katakan! Di mana Nona Tio sekarang?" Jeng-bin Lo-kai
membentak. "Sabarlah, Hu-pangcu! Aku akan bercerita...."
Begitulah, Ho Bing lalu bercerita apa adanya.
Bagaimana ia dan Yok Si Ki meloloskan diri melalui pintu rahasia dan kemudian
bertemu pendekar bermata buta di dalam Gua Seribu Jalan.
816 "Bohong! Dia tentu berbohong, Suhu!" Tan Sin Lun yang sudah berangsur baik dan
ikut mendengarkan cerita Ho Bing, tiba-tiba berteriak.
"Huh! Terserah kalian... mau percaya atau tidak!
Kalau kalian ingin mencoba kesaktian Pendekar Buta itu, aku pun bersedia
mengantarnya. Tapi... jangan salahkan aku, bila kalian mendapat celaka nanti!
Harap tahu saja, pendekar itu mampu meruntuhkan atap gua... hanya dengan getaran
suaranya! Kau dengar! Hanya dengan getaran suaranya!" Ho Bing berteriak pula
dengan suara mendongkol. Semuanya terdiam di tempatnya. Mereka tahu bahwa Ho Bing tidak berbohong atau
ingin menakut-nakuti mereka. Dari roman mukanya dapat dilihat bahwa pengemis
hidung belang itu juga ketakutan pula ketika bercerita.
"Baiklah, antarkan kami ke gua itu! Kami juga ingin berkenalan dengan Pendekar
Buta itu. Siapa tahu dia masih hidup dan dapat menyelamatkan Tio Ciu In" Kukira
orang yang memiliki kemampuan meruntuhkan atap gua dengan getaran suaranya,
tentu dapat pula mengatasi bencana yang terjadi...."
Akhirnya Lo-ji-ong berkata pelan.
"Aku sependapat dengan ucapan Lo jin-ong. Ho Bing, cepat...antarkan kami ke gua
itu!" Seru Liu Wan tidak sabar.
"Baik, kalian mau lewat mana" Lewat pintu rahasia... atau lewat rawa-rawa di
belakang itu?" 817 Jeng-bin Lokai mendengus dengan suara di hidung.
"Huh! Aku tahu rencanamu. Manusia licik seperti kamu tentu mempunyai rencana-
rencana busuk untuk mencelakakan kami dalam usahamu meloloskan diri.
Bagimu, lewat terowongan di bawah tanah ataupun lewat rawa-rawa, sama saja. Kau
akan berusaha menyesatkan kami, bahkan menjebloskan kami ke tempat-tempat
berbahaya, kemudian menyelinap pergi meninggalkan kami. Begitu, bukan" Hoho...
jangan harap kau bisa mengelabuhi aku! Aku akan menjagamu seperti seorang ibu
menjaga bayinya!" Ho Bing menyeringai senang, seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Jeng-bin Lo-
kai. "Bagaimana" Kalian pilih lewat mana......?"
Giam Pit Seng mendekati Lo-jin-ong. "Sebaiknya kita lewat rawa-rawa saja, Lo-
jin-ong. Lebih aman serta lebih cepat sampai, karena kita selalu tahu di mana
kita berada. Di dalam terowongan kita sulit menentukan arah." Dia berbisik
perlahan. "Baiklah! Saudara Ho, kami ingin lewat rawa-rawa saja." Lo-jin-ong memberi
kepastian. Demikianlah, Giam Pit Seng lalu mengatur rencana keberangkatan mereka. Tan Sin
Lun tidak diperkenankan ikut. Pemuda itu tetap tinggal bersama para pengawal
Jeng-bin Lo-kai di rumah itu.
Sementara itu karena sampan yang tersedia hanya dua buah, maka Jeng-bin Lo-kai
dan Lo-jin-ong berada satu sampan dengan Ho Bing. Sedang Liu Wan dan Giam Pit
Seng berada dalam sampan yang lain.
818 Untuk menjaga agar Ho Bing tidak lari, Jeng-bin Lo-kai sengaja menotok beberapa
jalan darah di pangkal paha pengemis palsu itu. Bahkan demi keamanan mereka, Ho
Bing ditempatkan di tengah-tengah.
Malam semakin larut, sementara bintang di langit telah jauh bergeser ke arah
barat. Kedua sampan kecil itu bergeser perlahan di antara semak-semak belukar
yang banyak terdapat di tengah rawa itu. Selain berpedoman pada bintang-bintang,
mereka juga mengandalkan pengalaman dan daya ingat Ho Bing, yang telah biasa
bertualang di tempat itu.
Rawa itu seperti tidak ada ujungnya. Semakin jauh sampan mereka melaju, maka
semakin bingung pula mereka menentukan arah. Rasanya sampan itu hanya berputar-
putar saja di antara gerumbul perdu dan alang-alang.
Tapi dengan tenang dan penuh keyakinan, Ho Bing menunjukkan jalan yang harus
mereka lalui. Dengan berpedoman pada letak bintang di langit, Ho Bing membawa
rombongan itu ke arah yang benar.
Akhirnya ketika sinar kemerahan mulai semburat di ufuk timur, rombongan tersebut
sampai juga di seberang. Mereka menyembunyikan sampan mereka, kemudian naik ke
daratan. Lo-jin-ong kembali membebaskan totokan Ho Bing.
Sementara itu udara bertiup dengan kencang menerpa tubuh mereka, sebagai bukti
bahwa mereka telah berada di dekat pantai.
819 "Bagus Ho Bing! Tampaknya kau memang benar-benar tahu cara melintasi rawa-rawa
ini. Kata orang, rawa ini penuh dengan binatang-binatang berbahaya, yang setiap
saat bisa membunuh orang. Tapi sejak berangkat tadi, kita tidak menemuinya sama
sekali. Bagaimana kau bisa menghindari mereka" Apakah cerita tentang binatang - binatang
berbahaya itu hanya bohong belaka?" Jeng-bin Lo-kai bertanya sambil berdecak
kagum. Tiba-tiba Ho Bing tertawa. "Kalau kukatakan apa yang ada di tengah perjalanan
tadi, mungkin kita belum sampai di tempat ini."
"Apa katamu...?" Liu Wan tersentak tak paham.
"Sebenarnya kita baru saja lolos dari dua kali kematian. Pertama, kita lolos
dari keroyokan ular berjengger merah. Ke dua, kita lolos dari pusaran maut."
Semuanya mengerutkan dahi. "Jangan berbelit-belit! Jelaskan kata-katamu!" Mereka
berdesis hampir berbareng.
Ho Bing kembali tertawa. "Ketahuilah, ular rawa bercengger merah itu hidup di
tempat yang banyak ditumbuhi pohon bunga. Turun temurun ular itu selalu
beristirahat pada saat pohon bunga sedang mekar. Dan waktunya tidak lama.
Mungkin cuma sepeminuman teh saja. Setelah itu mereka akan keluar lagi...."
"Oh, begitukah..." Sungguh berbahaya sekali!
Untung kita tidak ribut selama berada di tempat itu...."
Jeng-bin Lo-kai berdesah ngeri.
820 "Benar, Hu-pangcu. Sedikit saja kita membangunkan mereka, hohoho... tempat itu
akan penuh dengan ular bercengger merah! Dan bila sudah demikian keadaannya,
maka cuma manusia bersayap saja yang mampu keluar dari tempat itu."
Liu Wan menarik napas lega. "Lalu... di mana bahaya kematian yang ke dua itu
berada" Kami tidak melihat pusaran air itu."
Ho Bing menatap pemuda tampan itu dengan perasaan puas. Puas karena memiliki
pengalaman lebih baik daripada mereka.
"Liu-heng, kau masih ingat ketika hendak mengayuh sampan... ke daerah yang
terbuka tadi?" "Maksudmu... bagian yang tidak ada tumbuh-tumbuhan dan semak-belukar itu" Airnya
sangat dalam?" Sekali lagi pengemis hidung belang itu tertawa lepas. "Jadi Liu-heng berpendapat
demikian" Oho... untunglah aku cepat-cepat membawa Liu-heng menghindari tempat itu. Kalau
tidak... wah, kau dan Giam Locianpwe sudah bertemu dengan Giam-lo-ong (Dewa
Kematian) sekarang."
"Mengapa begitu, Saudara Ho?" Lo-jin-ong yang jarang sekali berbicara itu
mendesak menyela pembicaraan mereka.
"Ah, Locianpwe.... biasanya orang yang belum tahu tentang rawa ini, cenderung
memilih lewat di tempat yang terbuka. Selain tidak ada tumbuh-tumbuhan yang
menghalangi pandangan, bahaya yang datang 821
pun segera bisa dilihat. Namun... justru di sanalah tempat yang paling berbahaya
pada rawa-rawa ini."
"Paling berbahaya" Mengapa?" Karena memang belum tahu, Lo-jin-ong minta
penjelasan. "Seharusnya orang merasa curiga. Paling tidak...
berpikir tentang keanehan itu. Mengapa di tempat itu tidak ada tanaman,
sementara di perairan di sekitarnya penuh dengan semak belukar?"
"Yaya.. cepat katakan! Apanya yang berbahaya"
Heh"!" Jeng-bin Lo-kai membentak tak sabar.
Tapi dengan tenang Ho Bing melanjutkan keterangannya. Sama sekali tak
terpengaruh oleh bentakan Jeng-bin Lo-kai.
"Seperti yang diduga oleh Saudara Liu tempat itu memang dalam airnya. Tapi bukan
itu yang ditakuti orang. Yang ditakuti adalah... pusaran airnya! Pada waktu-
waktu tertentu terjadi pusaran air yang dahsyat, yang akan menelan benda apa
saja ke dalam dasarnya. Apabila sampan kita berada di sana, kemudian muncul pusaran air tersebut, maka
kita semua akan tersedot ke bawah, dan hilang entah ke mana. Kata orang di dasar
rawa itu terdapat lobang, yang berhubungan dengan sungai di bawah tanah."
Semuanya termangu-mangu mendengar keterangan pengemis hidung belang itu.
"Tapi... mengapa baru sekarang hal itu kaukatakan"
Mengapa tak kauberitahukan pada saat kita berada di sana?" Jeng-bin Lo-kai
mendongkol. 822 "Oh-oh, aku tak ingin mati bersamamu, Lo-kai.
Kau tidak mungkin percaya kepadaku. Kalau saat itu aku berkata demikian, engkau
akan menuduhku bohong. Kau tentu berprasangka bahwa aku hanya merancang jalan
untuk melarikan diri. Dan yang paling kutakutkan, ketidak percayaanmu itu akan
membuahkan keputusan untuk memaksa lewat di tempat itu. Bukankah hal itu sangat
mengerikan?" "Sudahlah, Saudara Ho. Mari kita lanjutkan perjalanan kita!" Lo-jin-ong
menghentikan pembicaraan mereka.
Demikianlah bersamaan dengan terbitnya matahari, mereka menjejakkan kaki mereka
di pantai Gua Seribu. Sorot matahari yang merah kekuningan itu seolah-olah
melapis permukaan laut dengan hamparan emas berkilauan. Kebetulan pula angin
yang bertiup tidak begitu kencang, sehingga gelombang pun tidak segarang
biasanya. "Itulah gua-gua itu!" Ho Bing menunjuk ke tebing pantai yang memanjang jauh ke
selatan, di mana lubang-lubang gua itu bertaburan bagai sarang tawon.
Begitu banyaknya, sehingga sulit untuk menghitung, apalagi mencari lubang gua
yang dikehendaki. "Ah! Bagaimana kau mencari lubang gua di mana kau berada tadi malam?" Giam Pit
Seng mulai ragu. Ho Bing melangkah maju, diikuti oleh Jeng-bin Lokai yang tak pernah lekang
barang seujung rambut pun.
823 "Tidak sulit, Lo-kai. Kita tak usah mencari lubang gua yang berada di tebing
atas, Kita cari saja lubang gua yang sejajar dengan permukaan laut, karena
lubang gua yang kita cari itu merupakan muara sebuah sungai bawah tanah. Nah,
setelah itu kita lihat di dalamnya. Bila di situ terdapat bekas reruntuhan tadi
malam, maka lubang itulah gua yang kita cari...."
Liu Wan mengangguk-angguk. "Baik! Marilah kita mulai mencarinya...!"
Meskipun lubang gua yang berada di bawah sangat banyak, dan setiap saat harus
melongok ke dalam, namun lubang gua yang mereka cari akhirnya ketemu juga.
Bahkan jejak-jejak sepatu Ho Bing dan Yok Si Ki banyak terdapat di sana.
"Nah, lihatlah! Reruntuhanya masih baru...." Ho Bing berkata lantang.
Semua berebut masuk. Mereka melihat batu-batu besar berserakan di mana-mana.
Dari pecahan-pecahan batu yang ada, mereka percaya bahwa kejadiannya memang
belum lama. Bahkan batu-batu itu banyak yang runtuh begitu tersentuh tangan
mereka. Semakin dalam mereka masuk, keadaannya semakin porak poranda. Rasanya tidak
mungkin kalau hal itu disebabkan oleh getaran suara manusia.
Kerusakan itu lebih pantas disebabkan oleh goncangan gempa yang hebat.
"Bukan main! Benarkah semua ini disebabkan oleh kekuatan seorang manusia" Hmm,
jangan-jangan 824 hanya kebetulan saja...." Lo-jin-ong tak henti-hentinya berdecak heran.
"Apa maksud Locianpwe?" Liu Wan bertanya tak mengerti.
"Hmm... jangan-jangan memang ada gempa bumi di tempat ini. Atau... mungkin
keadaan gua ini memang sudah rapuh sebelumnya, sehingga getaran sedikit saja
sudah membuat batu-batu di atas berguguran ke bawah. Hal seperti itu memang
banyak terjadi di gua-gua berusia ribuan tahun." Lo-jin-ong menerangkan.
"Benar, Lo-jin-ong. Aku berpikir demikian.
Rasanya sulit dipercaya kalau hal ini diakibatkan oleh manusia." Giam Pit Seng
memberikan tanggapannya pula.
Jeng-bin Lo-kai menyentuh batu yang melekat di dinding gua. Ketika tangannya
mencoba mendorong, batu tersebut tak bergerak sedikit pun. Begitu pula ketika ia
mencoba menggoyang batu lainnya.
"Tapi batu-batu di gua ini tampak kokoh kuat...."
Dia bergumam kurang percaya.
Liu Wan menoleh. Ketika matanya tak melihat Ho Bing, ia berteriak. "He..." Di
mana Ho Bing tadi?" Semuanya tersentak kaget. Pengemis hidung belang itu benar-benar tidak ada di
antara mereka. "Kurang ajar...! Sekejap saja aku berpaling, orang itu sudah menghilang!" Jeng-
bin Lo-kai mengumpat-umpat.
825 "Jangan-jangan dia juga berbohong tentang semua ini. Mungkin Tio Ciu In tak
pernah dibawa ke sini. Dia hanya mencari jalan untuk melepaskan diri dari kita." Giam Pit Seng semakin
ragu. Tiba-tiba Liu Wan meloncat ke depan dan mendorong sebongkah batu besar. Dengan sebat tangannya menarik sesuatu dari bawah batu tersebut. "Locianpwe, lihat...! Bukankah ini sepatu Tio Ciu In?" Pemuda itu berseru keras sekali. Lo-jin-ong dan Giam Pit Seng bergegas melihat sepatu itu.
"Benar. Sepatu ini memang milik Tio Ciu In. Anak itu sendiri yang membuatnya
setiap kali menyelesaikan latihan silatnya...." Giam Pit Seng mengangguk-angguk.
Matanya berkaca-k'aca. "Ciu In......!! " Lo-jin-ong berseru dengan kekuatan tenaga dalammya. Suaranya
bergema, bergulung-826 gulung, menembus lorong-lorong gua itu. Begitu kuat getarannya sehingga lapisan
tanah dan bongkahan batu kecil yang masih tersisa di atap gua berguguran ke
bawah. "Lo-jin-ong, awaaaas...! Susunan batu di dalam gua ini masih belum mantap benar.
Semuanya masih mudah runtuh." Liu Wan memperingatkan.
"Benar. Aku memang kurang
memperhitungkannya. Aku terlalu khawatir terhadap keselamatan Tio Ciu In."
Mereka lalu masuk lebih ke dalam lagi. Ketika mereka mendapatkan lubang-lubang
yang lain, mereka mulai bingung. Apalagi ketika mereka masuk ke dalam salah satu
lubang di antaranya, mereka kembali mendapatkan sebuah gua besar yang memiliki
beberapa buah lubang terowongan lagi.
"Awassss...! Gua ini memiliki terowongan yang berbelit-belit seperti sarang
laba-laba! Sebelum kita berjalan lebih dalam dan kehilangan arah, kita harus
mencari cara agar tidak tersesat. Kita tidak boleh kehilangan jalan untuk
kembali ke gua besar tadi.
Nah, bagaimana pendapatmu... Jeng-bin Lokai?" Lojin-ong menghentikan langkahnya
dan bertanya kepada wakil ketua Tiat-tung Kai-pang.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau benar, Lo-jin-ong. Sekali kita kehilangan arah, maka kita semua akan
berputar-putar di dalam gua-gua ini sampai mati. Sudah banyak cerita yang
kudengar tentang hal itu. Hemmmmm, menurut 827
pendapatku... kita harus memberi tanda setiap memasuki lubang gua yang lain.
Bagaimana...?" "Baiklah. Mari kita mencobanya...."
Kemudian setiap kali berbelok dan masuk ke dalam gua yang lain mereka memberi
tanda dengan goresan-goresan pada dindingnya. Mereka melakukannya berkali-kali,
hingga suatu saat mereka menjadi kaget ketika tiba-tiba telah berada di tempat
semula. Padahal mereka yakin bahwa mereka tidak merasa berputar atau berbalik arah.
"Gila! Gua ini benar-benar membingungkan.
Bagaimana kita bisa kembali ke tempat ini" Bukankah kita tadi maju terus ke
dalam tanpa mengambil jalan ke kiri atau ke kanan?" Liu Wan bingung.
"Benar, Liu-heng. Tapi kita keluar dari lubang yang lain lagi. Jadi benar dugaan
Lo-jin-ong, bahwa lubang terowongan di dalam tanah ini berbelit-belit seperti
sarang laba-laba." Giam Pit Seng membenarkan.
Lo-jin-ong mendekati mereka. Sambil menepuk pundak Liu Wan dia mengajak keluar
dari gua tersebut. "Sebaiknya kita keluar dulu. Kita rundingkan cara yang baik untuk mengatasi hal
ini. Selain daripada itu kita perlu makan pula, bukan" Nah, mari kita
keluar...!" Ternyata matahari telah sepenggalah tingginya.
Panasnya memancar, mengusap dinding-dinding karang yang tinggi, seolah-olah mau
menghangatkan suasana yang kaku di siang hari itu. Mereka mencoba 828
mencari ikan apa saja untuk mengisi perut. Sungai-sungai di bawah tanah itu
Seruling Perak Sepasang Walet 1 Panji Sakti Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 1
^