Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 4

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 4


mengikut saja apa perkataanku. Benar tidak?"
Tio Ciu In mengerlingkan matanya dengan gemas.
Pemuda di hadapannya itu memang pintar berbicara dan mengambil hati wanita.
"Baiklah... baiklah, Tuan Muda. Kau memang baik.
Baik sekali. Nah, kalau begitu mau tunggu apalagi"
Ayoh, kita pergi...!" katanya gemas.
Mereka lalu berjalan berendeng di jalan setapak yang cukup gelap itu. Sinar
rembulan terhalang oleh rimbunnya dedaunan yang memayungi jalan tersebut,
membuat bayangan-bayangan hitam di permukaan tanah. Namun demikian kedua jago
silat itu tidak menjadi takut atau merasa kesulitan karenanya.
250 Dari jauh terdengar lonceng dua belas kali. Mereka telah sampai di jalan raya
yang menuju ke kuil Pek-hok-bio. Di tempat yang cukup terlindung mereka
berhenti. "Kita tunggu saja di tempat ini. Mudah-mudahan Lo Kang dan Lo Hai berhasil." Liu
Wan berbisik di telinga Ciu In, tapi buru-buru menjauhkan diri lagi ketika
hidungnya tiba-tiba membaui bau harum rambut gadis itu.
"Kau suruh apa sebenarnya kedua pembantumu itu, Twako?" Ciu In yang tidak
menyadari kalau dirinya baru saja membuat Liu Wan kembali kesengsem kepadanya
itu berbisik perlahan pula di dekat telinga Liu Wan.
"Aku... aku suruh mereka mencegat kereta Cia Wan-gwe yang tentu diundang pula
dalam upacara korban ini. Cia Wan-gwe adalah salah seorang penganut Pek-hok-bio
yang dihormati. Kalau Lo Kang dan Lo Hai nanti berhasil, kita berdua akan
menyamar sebagai Cia Wan-gwe suami isteri. Wajahmu akan kuperjelek sedikit agar
seperti wajah bini muda Cia Wangwe." Liu Wan menerangkan dengan suara sedikit
gemetar. "Eh, mengapa justru diperjelek" Masakan seorang hartawan kaya-raya seperti Cia
Wan-gwe mencari isteri muda yang wajahnya jelek?" Ciu In bertanya bingung.
Liu Wan tersenyum kecut. "Yaaah, kata orang istri muda Cia Wan-gwe itu memang
cantik, karena dia 251 adalah penari termashur di kota Hang-ciu ini. Tapi...
kalau dibandingkan dengan wajahmu, yaaa...
ketinggalan jauh!" katanya kemudian dengan suara agak takut-takut.
Hampir saja Tio Ciu- In merasa hendak dipermainkan lagi. Tapi kemudian
terpandang olehnya wajah Liu Wan yang bersungguh-sungguh, pipinya justru menjadi
merah. "Hei... itu suara kereta!" tiba-tiba Liu Wan berseru perlahan.
Dari jauh tampak sebuah kereta kuda merayap pelan-pelan menuju ke arah mereka.
Sebuah kereta yang cukup bagus dan terawat baik, ditarik oleh dua ekor kuda
besar-besar. Dua orang pengendara atau sais tampak duduk di bagian depan
mengendalikan kuda-kuda itu. Dan meskipun dalam penyamaran, Liu Wan segera
mengenal dua sais kereta itu sebagai Lo Kang dan Lo Hai.
"Ah... mereka berhasil menculik Cia Wan-gwe.
Nah, Ciu-moi... marilah kita songsong mereka. Kita berdandan di dalam kereta
saja nanti." Selesai bicara Liu Wan Gwe segera bersiul untuk memberi tanda kepada kedua
pembantunya bahwa dia berada di tempat itu. Dan ternyata kedua orang bisu itu
benar-benar amat setia dan terlatih sekali. Tanpa menimbulkan kecurigaan kereta
itu mereka hentikan di bawah pohon siong yang rindang. Sambil turun dari kereta
dan seolah-olah memeriksa kendali kudanya, kedua orang bisu itu memberi
kesempatan kepada Liu 252
Wan dan Tio Ciu In untuk naik ke dalam kereta secara diam-diam.
Setelah yakin majikan mereka telah berada di dalam kereta, Lo Kang dan Lo Hai
lalu berpura-pura pula memeriksa roda-roda keretanya.
"Lo Kang... Lo Hai, berilah aku waktu barang sekejap! Aku dan Nona Tio akan
berdandan dulu... sebagai Cia Wan-gwe." Liu Wan berpesan kepada pembantunya.
"Ah... bagaimana... bagaimana aku harus berdandan" Aku belum pernah melihat
wajah bini muda Cia Wan-gwe." Ciu In bertanya dengan air muka kemerah-merahan.
Ternyata Liu Wan menjadi kikuk juga. Pemuda yang sebenarnya sudah amat terbiasa
berhubungan dengan wanita itu kini ternyata bisa menjadi salah tingkah pula
menghadapi gadis ayu seperti Ciu In.
"Ciu-moi, aku... eh... kalau boleh... anu... biarlah aku merias dan memoles
sedikit wajahmu, agar mirip dengan bini muda Cia Wan-gwe. Tentang bentuk badan
dan pakaiannya, kau nanti tinggal memberi ganjal sedikit pada dada dan perut,
kemudian menutupnya dengan pakaian mewah yang telah kusediakan. Kau akan
kelihatan agak gemuk dan pendek." dengan nada gemetar pemuda itu memberikan
keterangan. ' Seketika kulit yang putih halus itu menjadi merah seperti udang direbus. Kalau
mukanya dirias, hal itu 253
berarti membiarkan jari-jari tangan pemuda itu memegang dan mengusap-usap
wajahnya. Untuk sesaat lamanya Tio Ciu In tak bisa menjawab atau bersuara. Hatinya menjadi
bimbang dan bingung luar biasa. Namun ketika kemudian terbayang wajah adiknya
yang ia kasihi, hatinya pun lalu menjadi bulat. Biarlah dirinya berkorban
sedikit demi keselamatan adiknya.
"Ba-baiklah...." katanya kemudian dengan suara seret hampir-hampir tak
terdengar. Tampaknya Liu Wan tahu juga bahwa sebenarnya Tio Ciu In agak merasa keberatan
dirias wajahnya. Oleh karena itu dengan cepat, bahkan dengan kesan tergesa-gesa tangannya yang
trampil itu merias wajah Cui In. Meskipun demikian ketika jari-jarinya menyentuh
dagu Cui In yang mungil itu, keringat dingin tiba-tiba seperti membanjiri
tubuhnya. Apalagi ketika mata yang bulat berpendar-pendar indah itu untuk sesaat
menatap dirinya, kontan jari-jarinya menjadi gemetar sehingga alat riasnya
nyaris jatuh dari tangannya.
Ternyata kegugupan Liu Wan itu sedikit banyak menular juga kepada Ciu In. Ketika
ujung-ujung jari Liu Wan yang penuh bedak itu menyentuh dan mengusap pipinya,
tiba-tiba Ciu In merasa jantungnya berhenti berdetak. Kaki dan tangannya terasa
dingin sekali. Apalagi ketika hembusan napas pemuda itu menerpa wajahnya,
mendadak tubuhnya seperti gemetaran dan seakan mau melayang ke udara.
254 "Se-selesai... Ciu-moi. Kau... kau sekarang boleh mengenakan baju luar yang
mewah ini. Kau... kau tak perlu berganti pakaian." Akhirnya Liu Wan dapat juga
menyelesaikan tugasnya. Kemudian sementara Tio Ciu In menyelesaikan sendiri dandanannya, Liu Wan juga
memolesi wajahnya agar sesuai dengan wajah Cia Wan-gwe.
Begitu mahirnya pemuda itu menyamar sehingga sebentar saja wajahnya telah
berubah menjadi gemuk dan tua seperti halnya Cia Wan-gwe.
"Nah, kita sekarang telah menjadi Cia Wan-gwe suami isteri." pemuda itu
berkelakar. Lalu serunya kepada Lo Kang dan Lo Hai di luar, "Lo Kang... Lo Hai,
sekarang kita pergi ke Kuil Pek-hok-bio."
Tio Ciu In berdebar-debar juga hatinya. Baru sekarang ini dia memperoleh
pengalaman yang mendebarkan, namun juga mengasyikkan pula.
Otomatis perasaannya menjadi tegang, takut kalau penyamarannya tidak berhasil
dan diketahui oleh lawannya.
"Jangan takut! Tenang-tenang saja. Paling-paling kita berkelahi, bukan" Apakah
kau takut berkelahi?"
Liu Wan yang merasakan ketegangan Ciu In mencoba mengendorkannya.
Dan ucapan Liu Wan itu memang mengenai sasarannya. Semangat dan keberanian Ciu
In seperti terungkat kembali.
255 "Huh, mengapa mesti takut" Tadi pun aku sudah mengajak Twako untuk menggebrak
sarang mereka dari pintu depan!" kata gadis ayu itu panas.
Liu Wan tertawa perlahan. Tapi suaranya segera terhenti ketika pintu jendela
kereta itu diketuk dari luar.
"Ada apa Lo Kang... Lo Hai?" pemuda itu membuka jendela kereta seraya bertanya
kepada pembantu-pembantunya.
Kedua orang bisu itu tak memberi jawaban, hanya tangan Lo Kang yang menyodorkan
sesobek kain putih bertuliskan huhuf-huruf yang panjang. Liu Wan cepat menyambar
sobekan kain tersebut dan membaca huruf-hurufnya.
Kalau Penjaga menanyakan undangan, sebutkan saja sebuah angka ganjil.
Lo Kang - Lo Hai. "Ada apa, Twako" Apa yang ditulis di situ?" Tio Ciu In mendesak. Liu Wan
menghela napas panjang sambil tersenyum gembira. Sobekan kain itu dia
perlihatkan kepada Tio Ciu ln.
"Kode rahasia mereka. Nanti kalau penjaga pintu menanyakan undangan, kita harus
menjawab dengan angka ganjil." pemuda itu menerangkan.
"Ah, sungguh teliti juga mereka...." Tio Ciu ln berdesah.
256 Akhirnya kereta itu membelok ke kiri dan memasuki halaman depan Kuil Pek hok-
bio. Sepuluh orang anggota Pek-hok-bio segera berjajar menghalangi kereta.
Mereka tidak kalah garang dengan orang-orang yang datang di rumah Liu Wan sore
tadi. Semua memegang golok.
"Berhenti! Apakah Tuan membawa undangan?"
salah seorang di antara mereka berseru.
Liu Wan yang sudah menyamar sebagai Cia Wangwe itu melongokkan kepalanya keluar
jendela. "Kami mendapat... lima buah undangan!" jawabnya mantap.
"Oooh, Cia Wangwe rupanya! Silakan! Silakan...!"
orang itu berseru lagi, namun dengan suara yang lebih ramah.
Dengan tenang Lo Kang dan Lo Hai membawa kereta tersebut ke depan pendapa. Diam-
diam mata mereka melirik ke sana ke mari ketika Liu Wan dan Tio Ciu In turun
dari kereta dan melangkah menaiki tangga pendapa itu. Belasan orang penjaga
tampak berdiri berderet-deret di kanan kiri pintu masuk. Dan seorang pendeta
berjubah kuning berdiri di depan pintu untuk menyambut kedatangan para undangan.
"Nah... ini dia Cia Wan-gwe! Silakan masuk! Kami kira Cia Wan-gwe berhalangan
datang ...." pendeta itu menyambut kedatangan Liu Wan.
Liu Wan tidak menjawab. Pemuda itu hanya tersenyum sambil membungkukkan badannya
untuk membalas penghormatan Tuan rumah, sementara Tio 257
Ciu In dengan hati berdebar-debar mengikuti saja langkah Liu Wan. Mereka segara
diantar ke tempat pertemuan, di mana para undangan yang lain telah duduk
berkumpul mengelilingi sebuah panggung kecil yang dihiasi dengan kertas dan
bunga-bungaan yang indah dan meriah.
Sekejap wajah Tio Ciu In menjadi tegang. Matanya yang lebar indah itu menatap
tajam ke arah panggung. Ia ingin mencari di mana adiknya itu ditempatkan.
Demikian tegangnya sehingga ia tak sempat membalas anggukan kepala atau sapaan
ramah dari tamu-tamu yang lain.
Gadis itu baru sadar ketika Liu Wan meremas pergelangan tangannya.
"Sabar sedikit, Ciu-moi. Ia baru dikeluarkan pada upacara puncak nanti." pemuda
itu berbisik halus seperti tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Ciu In.
Untunglah Liu Wan dan Tio Ciu In datang terlambat, sehingga perhatian semua
orang tertuju ke arah panggung, di mana upacara keagamaan memang telah dimulai
sejak tadi. Delapan orang pendeta dengan jubah beraneka-warna tampak memimpin
upacara di atas panggung, sementara dua orang di antara mereka tampak berdiri
diam di tengah-tengah panggung. Yang seorang bertubuh tinggi kurus, berusia
sekitar lima puluhan tahun, sedangkan yang seorang lagi berbadan besar tinggi
seperti raksasa. "Pendeta bertubuh tinggi besar itulah yang bernama So Gu Tai atau Sogudai." Liu
Wan membisiki Tio Ciu 258
In. "Dan... pendeta tinggi kurus itu pemimpin Pek-hok-bio ini. Kepandaiannya
sangat tinggi dan ginkangnya sangat bagus. Ilmu andalannya adalah Tiat-poh-san
(Baju Besi), yang membuat ia kebal terhadap segala macam senjata;' tajam. Tanpa
sinkang yang tinggi jangan harap bisa melukai tubuhnya yang kurus kering itu."
Tio Ciu in melirik ke arah Liu Wan. Diam-diam hatinya merasa kagum terhadap
pemuda itu. Selain memiliki kepandaian yang bermacam-macam, pemuda itu juga
mempunyai pengetahuan yang luas pula di dalam dunia persilatan.
"Gurunya yang tak mau dikenal orang itu tentu seorang tokoh persilatan yang amat
tersohor di masa lalu." Gadis itu berkata di dalam hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara pujaan yang menggelegar memenuhi ruang pertemuan itu,
sehingga suara doa yang diucapkan secara berbareng oleh pendeta-pendeta tersebut
seperti hilang atau tertindih oleh getaran suara itu. Para undangan yang berada
di tempat itu segera berdiri sambil mengangkat kedua tangannya ke atas kepala.
Semuanya lalu mengikuti kata-kata yang diucapkan oleh suara yang menggelegar
itu. Liu Wan dan Tio In terpaksa mengikuti pula apa yang mereka lakukan.
Suara yang menggelegar itu seperti meletup dari mana-mana, sehingga Ciu In tidak
bisa mencari siapa yang telah mengeluarkan suara tersebut. Gadis itu baru
mengerti ketika Liu Wan memberitahukannya.
259 "Suara itu dikeluarkan oleh So Gu Tai dengan ilmu Sai-cu Ho-kangnya (Auman
Singa). Lwe-kangnya memang sangat tinggi. Hmmh, mari kita tunggu!
Sebentar lagi upacara puncak, yaitu Upacara Korban untuk Dewa Matahari dan
Bulan, akan dimulai."
Diam-diam Tio Ciu In bergetar juga hatinya. Orang yang bernama So Gu Tai itu
ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu hebat. Terus terang kalau
diperbandingkan dengan orang itu, dirinya masih kalah jauh. Oleh karena itu
hatinya semakin kagum kepada Liu Wan yang bisa mengalahkan orang itu.
Ketika Tio Ciu In memandang ke arah panggung kembali, tiba-tiba secara tak
sengaja matanya melihat sesuatu yang mencurigakan pada seorang tamu undangan.
Orang itu berdiri tak jauh di depannya, seorang laki-laki bongkok dengan rambut
dan jenggot yang penuh uban. Tadi secara tak sengaja Tio Ciu In melihat orang
tua itu membetulkan letak punggungnya yang menonjol itu.
Sekejap Tio Ciu In tak habis mengerti, mengapa punggung yang bongkok itu bisa
melenceng ke kanan dan ke kiri sehingga perlu dibetulkan kembali. Namun di lain
saat gadis itu menjadi berdebar-debar hatinya.
Jangan-jangan orang itu juga sedang menyamar seperti dirinya. Tapi sebelum ia
mengatakan kecurigaannya itu kepada Liu Wan, sekonyong-konyong lampu di ruangan
tersebut padam. Dan gantinya lilin-lilin besar yang telah disiapkan di atas 260
panggung itu kemudian dinyalakan oleh para pendeta tadi.
Sementara itu penjagaan di sekitar ruangan dan gedung tempat pertemuan itu
semakin diperkuat lagi. Puluhan orang penjaga tampak berpagar betis mengelilingi setiap tempat yang
dirasa berbahaya. Bahkan pintu halaman juga telah ditutup, sedangkan para anggota Pek-hok-bio yang
garang-garang itu kelihatan meronda di seluruh halaman.
Malam semakin terasa dingin. Bulan penuh yang sejak sore tadi selalu terbungkus
awan, mendadak muncul pula di atas langit. Dan seperti mendapat aba-aba, tiba-
tiba angin pun lalu bertiup pula dengan derasnya.
"Ah, tampaknya Dewi Bulan benar-benar menerima persembahan kita kali ini...!"
salah seorang anggota Pek-hok-bio yang bertugas di halaman depan itu berkata
kepada kawannya. "Yah, sungguh mengherankan. Bersamaan dengan akan dimulainya Upacara Korban ini,
tiba-tiba rembulan muncul dari peraduannya. Dewa angin seakan-akan menjadi ikut
bergembira pula." temannya menyahut dengan suara bersungguh-sungguh.
"Hemmm, tetapi omong kosong... malam ini rasanya hatiku seperti tidak tenteram.
Sedari tadi perasaanku selalu berdebar-debar saja. Jangan-jangan
...." yang seorang lagi tiba-tiba menyela.
"Ah, kau ini...!" Tampaknya kekalahanmu dalam memainkan Barongsai di pendapa
kabupaten tadi 261 masih membekas di hatimu, sehingga kau masih dilanda kekhawatiran saja sampai
sekarang!" orang yang pertama tadi berkata kesal karena kegembiraannya seperti
diganggu oleh temannya tersebut.
"Benar! Kau tampaknya memang masih terpengaruh oleh kekalahanmu tadi. Sudahlah,
jelek-jelek, kau dan Pang Un masih mendapatkan nomer dua. Kau masih lebih unggul
daripada pemain Hek-to-pai itu." orang yang ke dua tadi juga ikut menghibur
pula. "Ah, bukan hal itu yang membuat hatiku tidak tenteram. Kekalahanku tadi memang
wajar. Pemain barongsai dari Ui-thian-cung itu memang cerdik dan lihai, sehingga
aku dan Pang Un selalu dibuat mati langkah." anggota Pek-hok-bio yang selalu
berdebaran hatinya itu membela diri.
"Lalu... apa yang kaukhawatirkan" Apakah kau mempunyai pikiran bahwa malam ini
akan ada orang yang berani datang ke mari untuk mengacaukan jalannya upacara
kita" Hehehehe, kau jangan terlalu bodoh. Siapa yang akan berani memasuki sarang
macan seperti ini?" "Bukan! Bukan itu! Upacara ini...?" sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pemain
barongsai Pek-hok-bio itu menolak tuduhan teman-temannya, tapi untuk menerangkan
kekhawatirannya itu ternyata mulutnya mengalami kesulitan.
262

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah...! Tampaknya kau hanya merasa tegang karena upacara korban seperti
ini memang baru sekali ini kita selenggarakan. Mungkin kau juga terpengaruh atau
terlalu memikirkan gadis manis yang hendak kita korbankan itu, hehehe...!" orang
ke dua tadi segera menengahi perselisihan kecil itu.
"Ayoh, kita meronda lagi...!" para anggota Pek-hok-bio yang lain segera berseru
pula. Demikianlah para anggota Pek-hok-bio yang bertugas mengawasi halaman itu lalu
menyebar kembali. Dengan kewaspadaan tinggi mereka mengawasi seluruh halaman
kuil mereka. Upacara yang sedang mereka selenggarakan sekarang ini adalah
upacara khusus yang tidak boleh diketahui oleh orang luar, karena itu tak
seorang pun diperbolehkan masuk selain anggota-anggota kehormatan.
Ternyata tidak cuma para penjaga kuil saja yang menjadi tegang, tapi tamu-tamu
undangan yang berada di dalam ruang pertemuan pun menjadi tegang pula hatinya
ketika gadis yang akan dikorbankan itu telah dikeluarkan dari tempat
penyimpanannya. Tak terkecuali Tio Ciu In dan Liu Wan! Bahkan pemuda itu sampai
harus memegang lengan Ciu In agar tidak bertindak sembrono.
Hampir-hampir semua mata tak berkedip memandang ke arah altar yang ada di
tengah-tengah panggung di mana gadis itu dibaringkan. Seperti terkena pengaruh
sihir, gadis itu sama sekali tak bergerak atau bersuara. Meskipun pelupuk
matanya 263 itu terbuka lebar, namun sama sekali matanya tak bereaksi melihat kerumunan
orang di sekitarnya. Liu Wan menggamit lengan Tio Ciu In.
"Bagaimana..." Apakah gadis itu benar Adikmu?"
bisiknya perlahan. Tio Ciu In mengusap keringat yang mengalir di lehernya. "Aku... aku agak sangsi,
Twako. Potongan tubuhnya memang seperti Siau In, adikku, tapi... tapi wajahnya
rasanya seperti bukan. Aku belum bisa melihatnya dengan jelas. Twako, mari...
marilah kita mendekat saja!" jawabnya kemudian dengan suara seperti tercekik
karena ketegangan hatinya.
Liu Wan ingin mencegah, tapi Tio Ciu In sudah terlanjur melangkah ke depan. Dan
pada saat yang sama orang tua bongkok di depan Tio Ciu In tadi juga bergeser ke
arah panggung pula, sehingga Tio Ciu In seperti sedang membuntutinya.
Tentu saja Liu Wan juga takkan mem biarkan Tio Ciu In menempuh bahaya sendirian.
Dialah yang tadi mengajak gadis itu ke mari. Apalagi di tempat tersebut dia
sebagai Cia Wan-gwe memang seharusnya selalu mendampingi isterinya ke mana ia
pergi. Oleh karena itu dengan agak tergesa namun juga jangan sampai menimbulkan
kecurigaan Liu Wan mengikuti langkah Tio Ciu In dari belakang.
Sementara itu di atas panggung, upacara benar-benar telah mencapai puncaknya.
Dengan diikuti suara-suara pujian yang ditujukan kepada Dewi Bulan dan Matahari,
Ketua Kuil Pek-hok-bio yang tinggi 264
kurus itu mulai mencopoti pakaian yang dikenakan oleh gadis korban mereka. Dan
bersamaan itu pula sebagian dari atap genteng yang menaungi ruangan tersebut
dibuka oleh petugas Pek-hok-bio, sehingga sinar bulan yang putih pucat itu
segera menerobos ke dalam, persis di atas altar di mana gadis korban itu
tergeletak. Suasana semakin mencekam. Di dalam keremangan sinar lilin yang bergoyang-goyang,
cahaya bulan yang menerobos genting itu bagaikan tebaran jala yang mengurung
altar tempat gadis korban itu berbaring.
Semuanya diam terpaku di tempat masing-masing.
Hanya para pendeta itu saja yang masih tetap melantunkan doa-doa pujaannya.
Ketua Kuil Pek-hok-bio telah selesai mencopoti pakaian gadis korbannya. Tubuh
mulus itu tampak gilang gemilang ditimpa sinar bulan. Dan gadis itu sendiri
tetap seperti semula. Diam, pasrah, dengan tatapan mata yang dingin kaku seolah
tak bernyawa. Ketika ketua Kuil Pek-hok-bio itu kemudian mencabut pisau belati dari
pinggangnya, dan siap untuk dihunjamkan ke jantung gadis itu, sekonyong-konyong
berkelebat sebuah bayangan dari bawah panggung, yang kemudian ternyata diikuti
pula oleh sebuah bayangan lainnya.
-- o0d-w0o -- 265 JILID VII AHAAAAAAN...!" bayangan yang
pertama yang tidak lain adalah orang
tua bongkok tadi berteriak seraya
Tmenyerang punggung Ketua Kuil Pek-
hok-bio. "Hentikan...!" bayangan ke dua yang tidak lain adalah bayangan Tio Ciu In
berseru pula seraya menerjang ke arah altar.
Semua orang terkejut. Kejadian itu benar-benar di luar dugaan. Tak seorang pun
berpikir bahwa tempat yang terjaga kuat dan rapi itu akan bisa kemasukan perusuh
dari luar. Demikian pula halnya dengan para pimpinan, pendeta dan para anggota
Kuil Pek-hok-bio itu. Namun semua telah terjadi. Dua orang tamu undangan telah meloncat menyerang ke
arah panggung. Dan penyerang itu ternyata sangat dikenal, oleh para anggota Kuil
Pek-hok-bio tersebut, karena mereka adalah Gu Lam Si Kakek Penjaga Kamar Buku,
dan Nyonya Cia anggota kehormatan Kuil Pek-hok-bio sendiri.
"Gu Lam! Apa yang kaulakukan?" Ketua Kuil Pek-hok-bio yang kurus kering itu
membentak sambil mengelak ke samping.
"Cia Hu-jin (Nyonya Cia), tahaaaaaan ...!" para pendeta yang mengelilingi altar
itu berteriak seraya menghadang langkah Tio Ciu In.
266 Melihat serangan tangannya gagal, kakek bongkok itu segera berputar pula ke
samping untuk mengejar lawannya, tapi dua orang pendeta berjubah merah itu telah
memotong langkahnya. Bahkan kedua orang itu telah menyabetkan dua pasang ujung
lengan baju atau jubah mereka yang panjang ke arah dada dan kepalanya. Begitu
kuat tenaga dalam yang mereka pergunakan sehingga angin pukulannya telah lebih
dulu datang daripada ujung lengan bajunya.
"Gu Lam! Apakah kau sudah gila, menyerang Ketua sendiri?" sambil menyerang salah
seorang dari pendeta itu menghardik.
Wuuuuus! Wuuuuus! Plak! Plak! Kakek bongkok itu tidak berusaha untuk mengelak, sebaliknya ia mengerahkan
tenaga ke lengannya untuk menangkis serangan tersebut. Dan akibatnya sungguh di
luar dugaan masing-masing.
Kedua pendeta berjubah merah itu merupakan tokoh tingkat dua di Kuil Pek-hok-
bio, dan merupakan orang-orang ke dua setelah ketuanya.
Sedangkan Gu Lam hanyalah penjaga Kamar Buku.
Maka tidaklah aneh kalau kedua pendeta berjubah merah tersebut tidak bersungguh-
sungguh dalam serangan mereka. Mereka hanya mengerahkan separuh bagian dari
tenaga dalam mereka, dan semua itu sudah lebih dari cukup untuk menghentikan
amukan Gu Lam. Dan keduanya yakin betul akan hal itu.
267 Akan tetapi hasilnya sungguh mengejutkan!
Bukannya Gu Lam yang jatuh tunggang langgang akibat bentrokan kekuatan itu, tapi
sebaliknya justru mereka berdualah yang terdorong ke belakang dengan kuatnya!
Untunglah dalam kekagetan mereka, mereka masih bisa bertahan untuk tidak jatuh
terjengkang ke atas panggung, sehingga untuk sementara mereka masih dapat
menyelamatkan diri dari rasa malu yang lebih besar!
Tentu saja kedua pendeta itu menjadi marah bukan main. Wajah mereka menjadi
merah padam saking malu dan gusarnya. Namun ketika mereka berdua sudah bersiap
sedia untuk menghukum Kakek Gu Lam, tiba-tiba mereka terbelalak! Kakek penjaga
kamar buku itu kini telah berubah bentuk maupun wajahnya!
Kakek bongkok itu kini dapat berdiri dengan tegap.
Sebuah bantal kecil yang dipakai untuk mengganjal punggungnya tadi tampak
tergeletak di bawah kakinya. Wajahnya yang berjenggot dan berkeriput tadi kini
kelihatan bersih dan gagah. Ternyata getaran udara yang diakibatkan oleh
bentrokan tenaga tadi telah merontokkan tempelan-tempelan bedak kering yang
dipakai untuk menyamar sebagai Gu Lam.
Sementara itu nasib lio Ciu In ternyata juga tidak jauh bedanya dengan Gu Lam
palsu! Di dalam ketergesaannya tadi ternyata Ciu In juga telah melupakan pula
penyamarannya sendiri. Ketika empat orang pendeta yang berada di sekeliling
altar tadi 268 mencegatnya, ia tidak peduli. Ciu In nekad saja menjenguk ke arah altar untuk
melihat gadis korban itu. Gadis itu hanya mengelak saja secara reflek ketika dua
orang di antara pendeta itu mendorongnya.
Akibatnya dorongan itu mengenai bantal yang mengganjal perut dan dadanya,
sehingga bantal itu tersembul ke luar dari tempatnya. Tentu saja bentuk tubuhnya
menjadi lucu dan aneh! "Hah, kau bukan Cia Hu-jin!" kedua pendeta itu segera berteriak.
"Hei" Siapa kau...?" dua orang pendeta berjubah merah itu juga berteriak pula ke
arah Gu Lam palsu. Kejadian yang tak tersangka-sangka itu segera merubah suasana yang semula tenang
dan serius itu menjadi ribut dan panik. Para tamu yang rata-rata tak mengerti
ilmu-ilmu silat itu menjadi ketakutan.
Mereka menyangka kuil itu telah kedatangan musuh atau pasukan keamanan kota.
Mereka segera berlarian ke arah pintu, sehingga tak ayal lagi mereka saling
bertubrukan dan berdesak-desakan. Jerit dan tangis para tamu wanita tak dapat
dicegah lagi. Namun keributan itu sama sekali tak
mempengaruhi keadaan di atas panggung. Lelaki yang menyamar sebagai Gu Lam palsu
dan masih tetap berhadapan dengan pendeta berjubah merah. Lelaki yang masih amat
muda itu tidak segera menjawab pertanyaan lawan-lawannya. Matanya yang tajam itu
justru melirik ke arah Tio Ciu In yang juga kedodoran penyamarannya. Sekilas
dahinya yang lebar itu 269
berkerut, agaknya ia merasa kaget atau heran, karena ada orang lain yang sedang
menyamar pula seperti dirinya. Ada terbersit keinginannya untuk mengetahui siapa
gadis itu, tapi kedua lawannya tak memberi kesempatan kepadanya.
Melihat perusuh yang menyaru sebagai Gu Lam palsu itu tidak mempedulikan
pertanyaan mereka, kedua pendeta berjubah merah itu menjadi marah bukan buatan.
Berbareng mereka menerjang dari kanan dan kiri. Masing-masing tetap
mempergunakan ujung lengan baju mereka yang lebar itu sebagai senjata.
Whuuus! Whus! Whuuuss! Hembusan angin yang amat kuat segera mengurung Gu Lam palsu. Begitu kuatnya
sehingga anak muda itu tidak berani lagi adu kekuatan seperti tadi. Dan untuk
menyelamatkan diri dari kurungan tersebut, pemuda itu cepat merendahkan tubuh
serendah-rendahnya, kemudian bergeser mundur mengikuti hembusan angin pukulan
lawannya. Sesaat dua pendeta berjubah merah itu terkesiap melihat gerakan anak muda
tersebut. Gerakan yang dilakukan oleh anak muda itu terang sangat sulit dan
merupakan bagian dari sebuah jurus ilmu silat yang sangat tinggi. Kelihatannya
memang sederhana, tapi tanpa dasar dan perhitungan yang matang tak mungkin
gerakan tersebut bisa dilaksanakan dengan mulus. Jelas bagi kita sekarang,
pemuda itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Cuma mereka berdua 270
tidak tahu, dari aliran atau perguruan mana lawan mereka tersebut berasal. Yang
terang mereka berdua harus berhati-hati.
Sementara itu di dekat mereka Tio Ciu In juga sedang menghadapi empat orang
pendeta berjubah kuning tingkat tiga di kuil Pek-hok-bio itu. Karena
penyamarannya sudah terlanjur kedodoran, maka Tio Ciu In juga tak ingin
direpotkan oleh dandanannya lagi. Baju luar, sanggul, ganjal perut dan tempelan-
tempelan bedak yang menutup sebagian wajahnya segera dibuangnya.
Melihat lawan mereka sekarang berubah menjadi gadis yang lebih cantik lagi,
empat pendeta berjubah kuning itu terke jut. Apalagi ketika mereka lihat gadis
itu masih sangat muda sekali.
"Kau... kau siapa" Mengapa kau mengacau upacara kami?" dalam gugupnya salah
seorang dari pendeta itu berseru.
Seperti halnya dengan Gu Lam palsu, sikap Tio Ciu In sekarang juga tidak
setegang tadi. Kenyataan bahwa gadis yang terbaring di atas altar itu bukan
adiknya membuat hati Tio Ciu In menjadi tenang kembali. Namun demikian Tio Ciu
In tetap bertekad untuk menolong gadis itu. Gadis yang tak berdosa itu harus
diselamatkan. "Jangan kalian ributkan aku ini siapa! Lebih baik kalian melepaskan gadis yang
tak berdosa itu!" 271 "Kurang ajar! Kau bocah kecil ini memang sudah bosan hidup! Pergi...!" Pendeta
itu tersinggung dan berteriak gusar.
Tanpa basa-basi lagi keempat pendeta berjubah kuning itu lalu menyerang Tio Ciu
In. Seperti teman-teman mereka yang berjubah merah, merekapun mempergunakan
lengan baju mereka yang lebar dan panjang itu untuk senjata. Bagaikan gumpalan
awan yang bertebaran di udara, lengan baju mereka bergulung-gulung menimpa ke
arah dada Tio Ciu In. Begitu dahsyatnya tenaga yang mereka kerahkan sehingga Tio Ciu In merasa seperti
ada ratusan batu besar yang hendak menimpanya.
Dan kali ini Tio Ciu In tidak mau sembrono lagi seperti tadi. Dengan tangkas
kedua tangannya mencabut pedang pendek yang terselip di lengannya.
Srrrt! Srrrt..! Pedang itu lalu diputarnya dengan kencang mengelilingi tubuhnya,
sehingga lawan-lawannya terpaksa menarik kembali serangan mereka agar tidak
terpotong oleh sabetan pedang tersebut.
Tapi para pendeta itu juga tak ingin melepaskan Tio Ciu In. Untuk menanggulangi
pedang tesebut mereka terpaksa mengeluarkan senjata pula, yaitu kebutan lalat
yang gagangnya terbuat dari besi dan bulu kebutannya dari ekor kuda pilihan.
Dengan bulu kebutan tersebut para pendeta itu ingin merampas pedang pendek Tio
Ciu In. Demikianlah pertempuran seru pun tak bisa dielakkan lagi, sehingga panggung yang
sempit itu 272 menjadi terlalu sesak untuk pertempuran dua arena tersebut. Terpaksa dalam
sebuah kesempatan Tio Ciu In meloncat turun ke bawah panggung. Tentu saja lawan-
lawannya tak ingin kehilangan dirinya. Mereka melayang turun pula mengejar dia.
Sambil melayani kurungan lawannya Tio Ciu In mencuri lihat ke sekelilingnya, ke
ruang kosong yang telah ditinggalkan tamu-tamunya. Gadis itu hanya melihat
belasan penjaga atau anggota Kuil Pek-hok-bio di tempat itu. Mereka bersiaga
penuh dengan senjata masing-masing mengurung ruangan tersebut.
Tapi ia tak melihat Liu Wan di antara mereka.
Kemanakah sebenarnya pemuda lihai itu"
Ternyata apa yang dilakukan oleh Liu Wan juga tidak kalah sibuknya dengan Tio
Ciu In maupun Gu Lam palsu. Pemuda itu sekarang sedang bertempur pula dengan
hebatnya melawan So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio di atas genting. Jauh
lebih dahsyat dan lebih seru dari pada pertempuran di dalam ruangan tersebut.
Tadi ketika seluruh perhatian orang tertuju ke arah keributan di atas panggung,
diam-diam Liu Wan melihat musuh lamanya, So Gu Tai bersama Ketua Kuil Pek-hok-
bio berusaha meloloskan diri melalui lobang genting yang terbuka. Tentu saja
pemuda itu tak mau melepaskannya, dengan tangkas ia mengejar mereka.
Untuk beberapa saat kedua tokoh Pek-hok-bio itu menjadi bingung melihat Cia Wan-
gwe yang telah 273 mereka kenal itu bisa melompat ke atas genting mengejar mereka. Tetapi setelah
Liu Wan tertawa dan mengejek tingkah laku mereka, So Gu Tai segera mengenalnya.
"Bun-bu Siu-cai (Pelajar Serba Bisa), mengapa kau selalu saja mengejar-ngejar
aku" Apa salahku kepadamu?"
peranakan suku bangsa Monggol dan Hun itu bertanya jeri. "Saudara So, siapakah yang menyamar seperti Cia Wan-gwe ini?" Ketua Pek- hok-bio bertanya kepada So Gu Tai. "Dialah pemuda yang kuceritakan dulu. Namanya Liu Wan, digelari orang Si Pelajar Serba Bisa karena dia pandai ilmu silat, ilmu sastra, ilmu-ilmu pengobatan,
melukis dan menyamar."
"Oooh!" Ketua Kuil Pek-hok-bio yang kurus kering itu terkejut.
"Benar, hahaha...! Kalian tak menyangka, bukan"
Aku pun tak menyangka pula bahwa tokoh-tokoh 274
terhormat seperti kalian berdua ini bisa berubah menjadi pengecut yang


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan anak buahnya untuk menyelamatkan dirinya sendiri!" Liu Wan tertawa
mengejek sambil melepaskan alat-alat penyamarannya.
"Bangsat! Kau benar-benar sombong! Kaukira aku takut mendengar namamu, hah?"
Ketua Kuil Pek-hok-bio itu tersinggung dan menjerit berang.
Selesai mencopoti semua alat yang ia pakai untuk menyamar, Liu Wan bertolak
pinggang. "Hehehe, kalau kau memang tidak takut... mengapa kau harus melarikan
diri?" "Kurang ajar! Bocah bermulut lancang! Lihat kebutanku...!" sambil berteriak
marah Ketua Kuil Pek-hok-bio itu mengeluarkan kebutan dan menyerang Liu Wan.
Bulu kebutan yang lemas itu mendadak menjadi kaku seperti sikat baja dan menusuk
ke uluhati. Tapi dengan lincah Liu Wan menggeliat ke samping, kemudian balas
menyerang dengan tusukan jari tangannya. Cuuuus! Jari itu melesat ke arah ketiak
lawannya. Ketua Pek-hok-bio semakin gusar. Kebutan yang gagal mengenai lawannya itu ia
tarik ke atas, kemudian ia sabetkan mendatar mengarah ke kepala Liu Wan. Dan
kali ini bulu kebutan itu telah berubah menjadi lemas kembali seperti cambuk.
Taaaaar! Bulu kebutan itu melecut udara kosong, karena Liu Wan telah lebih dulu
menundukkan 275 tubuhnya. Bahkan sambil menundukkan tubuhnya pemuda itu masih sempat membalas
pula. Siku kanannya terayun menghajar lutut lawannya.
Dengan tergesa-gesa Ketua Kuil Pek-hok-bio itu membuang tubuhnya ke belakang!
Praaak! Dua buah genting hancur terijak kakinya. Dan tubuh yang kurus kering itu
terguling ke kiri hampir jatuh. Untunglah So Gu Tai cepat menyambar ujung
jubahnya. "Bedebah! Kau memang harus dibunuh!" untuk menutupi perasaan malunya Ketua Kuil
Pek-hok-bio itu mengumpat-umpat.
"Sudahlah! Mari kita lawan bersama-sama!"
akhirnya So Gu Tai yang lihai itu menawarkan diri.
"Baik! Marilah...!" ternyata Ketua Kuil Pek-hok-bio itu menyahut tanpa malu-malu
lagi. Namun sebelum pertempuran itu dilanjutkan kembali, tiba-tiba di halaman depan
terdengar suara ribut-ribut pula. So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio saling
pandang dengan wajah kaget, lalu menatap Liu Wan dengan curiga.
"Kau membawa teman?" So Gu Tai menggeram.
Liu Wan tercengang. Tapi di lain saat bibirnya kembali tersenyum. "Kau jangan
mengada-ada! Bukankah itu suara para tamu yang lari ketakutan"
Kau jangan mencari-cari al"san untuk melarikan diri!"
ejeknya pedas. "Bangsat sombong...!" Ketua Kuil Pek-hok-bio mengumpat.
276 Tapi sebelum orang kurus kering itu melompat menerjang Liu Wan, mendadak dari
bawah genting meloncat tiga orang berjubah kuning.
"Suhu! Kuil... kuil kita diserbu gerombolan pengemis! Mereka telah masuk ke
halaman!" dengan suara gugup mereka bertiga melapor kepada Ketua Kuil Pek hok-
bio. "Hah..." Gerombolan pengemis" Pengemis dari mana?" So Gu Tai menyahut dengan
suara geram. "Tampaknya mereka dari perkumpulan Tiat-tung Kai-pang!"
"Tiat-tung Kai-pang?" Ketua Kuil Pek-hok-bio berdesah cemas." Hmmh, kalau
begitu.... cepat kalian siapkan saudara-saudara kalian untuk menghadapi mereka!
Sebentar lagi aku datang!"
Tak heran kalau Ketua Kuil Pek-hok-bio itu merasa cemas. Perkumpulan Tiat-tung
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bertongkat Besi) memang sebuah perkumpulan yang
amat disegani di daerah selatan. Belasan tahun yang lalu ketika masih dipimpin
oleh Tiat-tung Lo-kai, perkumpulan pengemis tersebut benar-benar mengalami
kejayaannya. Sedemikian kuat dan besar anggota mereka waktu itu sehingga
perkumpulan mereka terpaksa dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah selatan dan
utara aliran Sungai Yang-tse. Daerah di sebelah selatan Sungai Yang-tse dipimpin
oleh Tiat-tung Lo-kai, sedangkan di sebelah utara Sungai Yang-tse dipimpim oleh
Tiat-tung Hong-kai (Pengemis Gila 277
Bertongkat Besi). Mereka berdua adalah saudara seperguruan. Dan sekarang,
meskipun perkumpulan itu tidak sebesar dan sekuat dulu lagi, namun sisa-sisa
kebesarannya masih tetap melekat di hati kaum persilatan.
Begitu pendeta-pendeta berjubah kuning itu pergi, Ketua Kuil Pek-hok-bio kembali
menghadapi Liu Wan. "Huh! Ternyata kau bersekongkol dengan pengemis-pengemis busuk dari Tiat-tung
Kai-pang!" Liu Wan menjadi marah juga akhirnya. "Kau jangan mencampur-adukkan urusanku
dengan urusan Tiat-tung Kai-pang! Aku tidak mengenal mereka, dan mereka juga
tidak mengenal aku! Kalau kebetulan sekarang mereka datang ke sini bersamaan
dengan kedatanganku, hal itu berarti bahwa kuilmu ini memang mempunyai banyak
musuh!" "Tutup mulutmu!" orang tua itu menjadi marah.
Demikianlah pertempuran tak bisa dielakkan lagi, Liu Wan dikeroyok Ketua Kuil
Pek-hok-bio dan So-Gu Tai. Mereka bertempur di atas genting dengan ginkang
mereka yang tinggi. Di dalam cahaya bulan yang gilang gemilang tubuh mereka
berkelebatan ke sana ke mari bagaikan burung malam yang sedang berebut mangsa.
Ketua Kuil Pek-hok-bio tetap memegang kebutannya, sementara So Gu Tai telah
mengeluarkan ruyungnya pula, tapi Liu Wan tetap mempergunakan tangan kosong
untuk melayani mereka. Meskipun 278
demikian pemuda itu tidak tampak di bawah angin.
Malahan sering kali pemuda itu bisa menindih permainan senjata lawannya.
"Anak Setan! Anak Gila! Siapakah sebenarnya kau ini" Siapakah Gurumu?" karena
kesalnya Ketua Kuil Pek-hok-bio itu mengumpat-umpat tiada habisnya.
Liu Wan tertawa lepas. "Kau ingin mengetahui siapa aku dan siapa Guruku"
Hahahaha, mudah sekali! Desaklah aku! Paksalah aku untuk mengeluarkan ilmu
silatku yang sejati! Nanti kau akan mengenalnya...!"
"Baik! Hati-hatilah...!"
Ketua Kuil Pek-hok-bio itu lalu memberi tanda kepada So Gu Tai. Bersama-sama
mereka menerjang Liu Wan. Sambil mengibaskan kebutannya Ketua Kuil Pek-hok-bio
itu menebarkan tepung kuning berbau wangi ke tubuh Liu Wan. Dan serangan
tersebut segera dibantu pula oleh So Gu Tai. Raksasa Monggol itu menyabetkan
ruyungnya ke bawah, sementara tangannya yang lain mengayunkan belasan batang
paku kecil ke arah kepala, dada dan perut Liu Wan. Tampaknya mereka berdua
memang benar-benar ingin mendesak pemuda itu.
Serangan yang bertubi-tubi itu memang membuat Liu Wan kewalahan, tapi pemuda itu
masih tetap bertahan untuk tidak mengeluarkan ilmu andalannya.
Dengan berjungkir balik sambil berkali-kali mengibaskan lengan bajunya, pemuda
itu berusaha 279 mengelak dan menyingkirkan paku-paku serta tepung beracun yang mengurung
dirinya. Tapi So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio sudah bertekad untuk memaksa Liu Wan
mengeluarkan ilmu andalannya. Belum juga pemuda itu mampu membebaskan dirinya,
mereka telah menyusulkan pula serangan yang lain. Bulu kebutan Ketua Kuil Pek-
hok-bio itu tiba-tiba meledak ketika disabetkan, dan sejumput bulu pada ujungnya
mendadak putus, lalu menebar ke arah Liu Wan. Sedangkan So Gu Tai dengan tenaga
dalamnya yang kuat memutar-mutar ruyungnya sekuat tenaga.
Kini Liu Wan memang tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Dalam keadaan
sibuk menghindari serangan paku dan taburan tepung wangi itu, dia tidak mungkin
bisa mengelakkan dua serangan tersebut. Apalagi putaran ruyung So Gu Tai itu
benar-benar ganas luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu Liu Wan memang dipaksa untuk mengeluarkan
kesaktiannya. Tanpa mempergunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi tak mungkin
seseorang dapat melepaskan diri dari hujan serangan seperti itu. Dan hal itu
memang dilakukan oleh Liu Wan!
Ketika akhirnya pemuda itu merasa tidak dapat menghindar lagi, tiba-tiba ia
memutar tubuhnya seperti gasing. Dan pada saat itu pula sekonyong-konyong dari
telapak tangan Liu Wan meniup angin pusaran yang amat kuat, berputar seperti
puting 280 beliung, yang melanda dan melontarkan kembali semua benda yang mendekati
dirinya. Begitu dahsyatnya hembusan angin yang keluar dari telapak tangan pemuda
itu, sehingga tidak cuma paku, tepung wangi, dan bulu kebutan saja yang
terpental balik, tapi tubuh Ketua Pek-hok-bio dan So Gu Tai pun ikut terdorong
mundur pula dengan kuatnya. Bahkan tumpukan genting yang terinjak oleh pemuda
itu turut tersibak dan terlempar ke mana-mana. Dan sebagian di antaranya jatuh
ke bawah menimpa panggung upacara!
Semuanya terkejut. Tidak terkecuali Gu Lam palsu yang masih bertempur seru
melawan dua pendeta berjubah merah itu. Pecahan-pecahan genting yang berjatuhan
dari atas itu memaksa dia berjumpalitan ke arah altar untuk menyelamatkan gadis
korban yang masih terbujur diam di tempat tersebut. Sekali sambar pemuda itu
berhasil menyingkirkan tubuh telanjang itu dari malapetaka.
Bergegas pemuda itu melepaskan baju luarnya dan mengenakannya pada tubuh gadis
itu. Kemudian dengan geram pemuda itu menatap ke atas panggung kembali. Tapi
kedua lawannya tadi telah menghilang.
Demikianlah pula halnya dengan anggota-anggota Pek-hok-bio lainnya. Ruangan itu
telah kosong. Tinggal gadis yang menyamar sebagai Cia Hujin bersama lawan-lawannya saja yang
masih berada di sana. 281 Pemuda yang menyamar sebagai Gu Lam itu menatap ke atas genting. Ia tidak tahu
siapa yang sedang berlaga di sana. Namun mendengar deru angin dahsyat yang
menggetarkan bangunan gedung itu ia percaya tentu ada orang sakti di atas
genting. Tak terasa matanya menatap ke arah Tio Ciu In kembali.
"Tampaknya gadis itu juga membawa teman pula.
Mungkin gurunya. Dia juga bermaksud menolong Li Cu. Eeem, siapakah dia...?"
pemuda itu berkata di dalam hatinya.
Pemuda itu lalu melangkah ke jendela dan melongok ke halaman. Di dalam cerahnya
sinar rembulan ia melihat pertempuran yang kacau balau di sana.
"Ah, teman-teman dari Tiat-tung Kai-pang benar-benar telah datang. Aku tinggal
merawat dan mengurusi Li Cu saja sekarang." desisnya gembira.
Pemuda itu lalu kembali lagi ke dalam. Sambil bersila di dekat gadis yang
ditolongnya, pemuda itu memusatkan seluruh pikiran dan perasaannya. Jari-jari
nya yang telah terisi tenaga sakti itu lalu menotok dan mengurut beberapa jalan
darah di tubuh gadis yang baru saja ditolongnya tersebut. Peluh mengalir
membasahi dahi dan lehernya, tapi pemuda itu tak mempedulikannya. Tangannya
terus sibuk mengurut di sana-sini.
Tubuh yang terpaku diam seperti patung itu tiba-tiba bergerak. Mula-mula bola
matanya melirik ke kanan dan ke kiri, lalu kepalanya menoleh pula ke 282
kanan dan ke kiri. Demikian melihat pemuda yang duduk di dekatnya, gadis itu
tiba-tiba bangkit dengan kaget. Tak terduga tangannya melayang menampar pipi Gu
Lam palsu beberapa kali. Plaak! Plaaak! Plaaak! Lalu dengan isak tertahan gadis itu melompat berdiri hendak berlari meninggalkan
tempat itu. Tapi begitu sadar bagian tubuh bawahnya tak mengenakan apa-apa gadis
itu segera mendekam kembali dengan tergesa-gesa. Dan tangisnya pun segera
meledak pula dengan hebatnya.
"Kau jelek...! Kau jahat...! Kau apakan aku tadi"
Uhu-huuuuu...!" Pemuda yang menyamar sebagai Gu-Lam palsu itu beringsut, namun tidak berani
terlalu dekat. Dengan sedih ia memandang gadis yang sedang menangis itu.
Tangannya mengusap-usap pipinya yang bengkak.
"Li Cu Sumoi...! Aku tidak berbuat apa-apa kepadamu. Percayalah. Aku tahu kau
membenciku. Tapi apa daya, Suheng telah mengutus aku untuk membawamu pulang. Maafkan
aku...." Tak terduga tangis perempuan itu malahan semakin menjadi-jadi.
"Bohong! Kau bohong! Kau tentu telah menculik aku! Kau tidak bisa mendapatkan
aku secara wajar, maka kau lalu menculik aku! Memperkosa aku!
Huuuuu...!" "Tidak, Su-moi... aku tidak serendah itu! Aku justru yang menolongmu dari
cengkeraman pendeta-pendeta 283
Pek-hok-bio ini! Lihatlah...! Pertempuran antara kawan-kawan kita kaum Kai-pang
melawan penculikmu masih berlangsung!"
Gadis yang bernama Li Cu itu tersentak kaget.
"Kai-pang..." Kaumaksudkan perkumpulan Tiat-tung Kai-pang" Ada apa mereka itu di
sini?" serunya tak percaya. Otomatis tangisnya berhenti, dan tinggal sedu-sedan
saja. Pemuda yang baru saja menyamar sebagai Gu Lam palsu itu menghela napas panjang.
"Sumoi, ketahuilah...! Kau telah diculik oleh pendeta Kuil Pek-hok-bio ini untuk
dikorbankan kepada Dewi Bulan. Untunglah aku dapat melacak jejakmu, sehingga
dengan pertolongan kawan-kawan kita dari Tiat-tung Kai-pang aku bisa
membebaskanmu. Lihatlah di luar, kawan-kawan kita masih bertempur melawan orang-
orang Pek-hok-bio ini!"
Gadis itu memandang ke jendela sebentar, lalu menunduk kembali. Wajahnya yang
cantik manis itu masih tampak marah dan kesal.
"Kau jangan melihat aku saja! Carikan kembali pakaianku!" bentaknya kaku.
"Eh... ba-baik, Su-moi!" dengan gugup pemuda itu menjawab, lalu berlari ke atas
panggung untuk mencari pakaian su-moinya tadi.
Sekilas pemuda itu menoleh ke pertempuran yang masih berlangsung antara Tio Ciu
In dan empat orang pengeroyoknya.
284 Dengan sepasang pedang pendeknya gadis itu menghadapi lawan-lawannya yang
garang. Pedangnya berkelebatan mengelilingi tubuhnya, seakan-akan sedang
merangkai sebuah pagar besi yang menutup dan melindungi seluruh bagian tubuhnya.
Dan dalam waktu dan kesempatan yang tepat, pagar besi itu tiba-tiba terbuka
untuk balas menyerang lawan-lawannya.
Permainan pedang gadis itu sangat rapi dan kuat, baik pada saat menyerang maupun
bertahan. "Ilmu pedang gadis itu agak aneh. Biasanya orang selalu mengandalkan kelincahan
dan kecepatannya dalam bermain pedang, tapi gadis ini ternyata tidak demikian.
Dia justru selalu bertumpu pada kuda-kudanya yang kuat dan gerak pergelangan
tangannya yang luwes. Rasanya seperti tidak bermain pedang, tapi sedang menulis
atau menggambar saja."
Gerakan-gerakan pedang Tio Ciu In memang sangat berlainan dengan gerakan ilmu
pedang pada umumnya. Selain tidak mengandalkan kecepatan maupun kelincahan
gerak, permainan pedang Tio Ciu In juga tidak mengandalkan ketajaman mata pedang
pula seperti halnya ilmu-ilmu pedang umumnya. Ilmu pedang Hok-hong Kiam-hiat
milik Tio Ciu In justru bertumpu pada kelihaian memainkan ujung pedangnya.
Dengan keluwesan serta ketrampilan pergelangan tangannya, ujung pedang pendek
itu mampu menusuk, menoreh, mengungkit, mencongkel dan mengukir tubuh lawan,
tanpa membutuhkan ancang-ancang.
285 Maka tidak mengherankan bila ke empat pendeta berjubah kuning itu menjadi
kebingungan melayani Tio Ciu In. Semula mereka berempat sangat berbesar hati
karena merasa dengan kebutan mereka itu mereka akan segera bisa menundukkan ilmu
pedang gadis tersebut. Senjata kebutan yang bergagang pendek dengan juntai
rambut panjang itu benar-benar sebuah senjata yang cocok untuk menundukkan
pedang. Ketajaman mata pedang takkan berguna menghadapi juntai rambut yang lemas.
Sebaliknya juntai rambut panjang itu akan dengan mudah membelit batang pedang
dan merampasnya. Akan tetapi permainan pedang Tio Ciu In yang aneh dan tidak umum itu ternyata
sangat sulit untuk ditundukkan. Bahkan sebaliknya mereka berempat sendirilah
yang menjadi kelabakan melayani ilmu pedang gadis itu. Padahal kalau diukur,
kepandaian gadis itu terpaut banyak dengan mereka. Gadis itu hanya menang
sedikit bila dibandingkan dengan masing-masing dari mereka. Tapi ilmu pedang
aneh itulah yang membuat gadis itu sulit dihadapi.
Demikianlah, pertempuran antara Tio Ciu In dan empat orang pengeroyoknya semakin
tampak seru dan menegangkan. Untuk beberapa saat sulit untuk menentukan siapa
yang lebih unggul. Tio Ciu In sendiri sangat sukar memecahkan kepungan lawan-
lawannya, tapi sebaliknya ke empat pendeta tersebut juga sulit menundukkan gadis
yang masih muda belia itu. Mungkin cuma daya tahan mereka berlimalah 286
yang akan menentukan akhir dari pertempuran tersebut.
Sementara itu pecahan kayu dan genting yang berjatuhan dari atas semakin lama
semakin banyak pula, sehingga atap ruangan itu lambat-laun tinggal kerangkanya
saja. Akibatnya orang yang sedang berlaga di atas genting itu lalu menjadi
kelihatan dari bawah. Tapi pertempuran mereka memang tinggal menunggu saat-saat akhir saja. Setelah
Liu Wan mengeluarkan kesaktiannya. So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio itu sama


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tak mampu melawan lagi. Dengan ilmunya yang dahsyat, yang mampu
menimbulkan gejolak angin pusaran yang amat kuat, pemuda itu sama sekali tak
bisa didekati lagi. Bahkan dengan pukulan-pukulan jarak jauhnya (pek-kong-ciang)
yang ampuh, pemuda itu dapat membunuh lawan-lawannya setiap saat.
So Gu Tai menyadari bahaya tersebut. Oleh karena itu pula, meskipun keadaannya
sangat sulit, otaknya selalu mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari
tempat itu. Dan kesempatan itu akhirnya memang ia dapatkan!
Suatu saat ketika rekannya, Si Ketua Kuil itu, tak mampu mengelak lagi dari
sambaran pukulan Liu Wan, So Gu Tai pura-pura memberi pertolongan.
Tubuh kurus kering itu dipeluknya agar tidak terbanting ke bawah. Tapi bersamaan
dengan saat itu juga tangan kirinya menghajar genting di bawahnya 287
hingga ambrol. Seperti tidak disengaja tubuhnya yang besar itu terjeblos ke
bawah. Namun ketika Liu Wan mencoba mengejar dirinya, So Gu Tai cepat
melemparkan tubuh Ketua Kuil Pek-hok-bio yang ada di dalam pelukannya itu ke
arah Liu Wan. Terpaksa Liu Wan menghantam sekali lagi tubuh Ketua Kuil Pek-hok-bio itu dengan
Pek-khong-ciangnya. Bhuuk! Tubuh kurus kering itu terhempas ke samping,
membentur dinding dan terkulai di atas genting. Darah segar tampak mengalir dari
mulut orang tua itu. Liu Wan cepat melongok ke lobang genting di mana So Gu Tai tadi meloncat turun,
tapi buruannya itu sudah hilang. Di bawah hanya terlihat pertempuran antara Tio
Ciu In melawan empat orang pengeroyoknya. Ketika pemuda itu bermaksud membantu
gadis tersebut, sekonyong-konyong terdengar suara menahannya.
"Liu Wan, tunggu...!"
Pemuda itu mengurungkan niatnya. Dilihatnya Ketua Kuil Pek-hok-bio itu masih
bisa bergerak. Mata yang sudah hampir kehilangan cahayanya itu menatap ke arah
dirinya. "Kau benar, Anak Muda.... Aku sekarang tahu siapa dirimu. Kau... kauuu... huk-
huk! Kau... huk... ooough....!" Ternyata orang tua itu tak kuasa meneruskan perkataannya. Kepalanya terkulai,
nyawanya 288 melayang. Liu Wan menghela napas, kemudian melompat turun melalui lobang tadi.
Belum juga kakinya menyentuh lantai seseorang telah membentaknya.
"Kau... siapa?"
Liu Wan cepat membalikkan tubuhnya. Di depannya berdiri sepasang muda-mudi dalam
sikap siap sedia untuk berkelahi. Mereka adalah Gu Lam palsu dan Li Cu, yang
kini sudah mengenakan pakaiannya kembali.
"Ooooh, Nona adalah gadis yang hendak dikorbankan tadi...." begitu memandang Li
Cu, Liu Wan segera menyapa ramah.
Pemuda yang menyaru sebagai Gu Lam itu mengerutkan keningnya. Hatinya sedikit
cemburu mendengar pemuda tampan itu menyapa sumoinya.
"Kau siapa...?" tanyanya kemudian dengan suara kaku.
Liu Wan tersenyum. Dan pemuda itu memang ganteng sekali kalau tersenyum, hingga
Gu Lam palsu itu semakin cemburu dibuatnya.
"Saudara tidak perlu khawatir kepada saya. Saya adalah teman gadis yang sedang
bertempur itu. Kami berdua bermaksud menolong Nona ini dari kebiadaban orang-
orang Pek-hok-bio." Liu Wan menerangkan maksudnya berada di tempat itu.
Pemuda yang menyaru sebagai Gu Lam itu menyeringai malu. "Maaf, kalau begitu
kami berdua sangat berhutang budi kepada Tuan. Ehm, kami 289
berdua adalah kakak beradik seperguruan. Namaku Ku Jing San, sedangkan Sumoiku
ini bernama Song Li Cu. Bolehkah kami mengetahui nama Tuan?"
katanya kemudian dengan suara lantang dan tegas.
Liu Wan membalas penghormatan Ku Jing San dan Song Li Cu.
"Ah, jangan sungkan-sungkan. Aku, Liu Wan, memang telah lama bermusuhan dengan
pimpinan Kuil Pek-hok-bio ini. Kebetulan saudara perempuanku juga hilang,
sehingga aku yang curiga kepada pendeta jahat itu lalu mencarinya ke sini. Tapi
ternyata Nona Li Cu yang diculik oleh mereka, bukan adikku...."
Ku Jing San dan Song Li Cu terkejut. "Jadi adik Tuan juga diculik orang?" Ku Jing San bertanya kaget.
Liu Wan mengangguk, lalu memandang keluar jendela. "Apakah Saudara Ku yang
membawa kaum Kai-pang itu?" katanya mengalihkan pembicaraan.
"Benar. Antara kami dan perkumpulan Tiat-tung Kai-pang memang bersahabat erat.
Guru kami sangat dekat dengan pimpinan mereka." Ku Jing San menerangkan.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan membantu temanku itu dahulu. Silakan Saudara Ku
dan Nona Song melihat di luar, mungkin orang-orang Kai-pang itu ingin bertemu
dengan kalian!" Setelah merangkapkan kedua tangannya di depan dada Liu Wan lalu melangkah
menghampiri arena 290 pertempuran Tio Ciu In. Dan gadis ayu itu segera menyambutnya dengan dampratan.
"Twako, ke mana saja kau tadi" Aku sampai kewalahan memecahkan kepungan pendeta-
pendeta jahat ini!" Liu Wan berhenti di luar arena dan tidak segera terjun membantu Tio Ciu In.
Dengan tenang pemuda itu menonton pertempuran sambil bersilang tangan di atas
dada. Akan tetapi sikap itu justru menggetarkan hati empat orang pendeta
berjubah kuning tersebut.
Apalagi ketika pemuda itu bercerita kepada Tio Ciu In tentang kedatangan orang-
orang Kai-pang dan kematian Ketua Kuil Pek-hok-bio, empat orang pendeta tak bisa
lagi menguasai hatinya. Mereka menjadi ketakutan dan putus asa.
"Kau... bohong! Kau berusaha mempengaruhi kami!" salah seorang dari pendeta itu
berteriak. Liu Wan tertawa. "Kau tak percaya" Lihatlah di atas genting! Kau akan melihat
mayat ketuamu! Nah... itu lihat! Tangan dan kaki yang terjulur keluar dari lobang genting itu,
bukankah tangan dan kaki ketuamu" Atau... kalian ingin menyaksikan dulu mayat-
mayat kawan kalian yang dibantai oleh orang-orang Kai-pang di luar sana?"
Ucapan yang bernada ejekan dan ancaman itu ternyata besar sekali pengaruhnya.
Suasana ruangan yang sepi, keributan di luar gedung, dan hancurnya sebagian
besar atap dan genting ruangan itu, benar-benar membuat empat pendeta itu
percaya akan 291 ucapan Liu Wan tersebut. Otomatis semangat dan keberanian mereka menghilang. Tak
ada keinginan mereka untuk melawan lagi.
"Aku menyerah...!" orang yang paling tua di antara mereka kemudian berseru
sambil melompat mundur. Senjatanya dibuang. Ternyata yang lain pun mengikuti pula langkah pendeta tertua tersebut. Mereka
meloncat mundur dan membuang kebutan mereka. Tio Ciu In juga tidak mengejar
mereka lagi. Dan gadis itu semakin kagum pada kecerdikan Liu Wan. Tanpa turun
tangan pemuda itu ternyata bisa menundukkan perlawanan mereka.
Liu Wan lalu mengumpulkan senjata-senjata mereka, lalu menaruhnya di atas meja.
"Coba dua orang di antara kalian pergi ke atas genting untuk mengambil mayat
ketua Pek-hok-bio!" perintahnya kepada pendeta yang tertua tadi.
"Baik...!" Demikianlah pertempuran di dalam gedung itu sudah selesai. Kini tinggal
pertempuran seru di halaman, antara anak buah Kuil Pek-hok-bio melawan orang-
orang dari Kai-pang. Ku Jing San dan Song Li Cu yang telah turun di halaman
depan tampak mengamuk dengan hebatnya. Tak seorang pun anak buah Kuil Pek-hok-
bio yang mampu menahan pukulan dan tendangan mereka. Mayat-mayat dari kedua
belah pihak telah bergelimpangan, terutama orang-orang dari kuil Pek-hok-bio.
292 "Berhenti semua...!!!"
Seperti seorang panglima perang, Liu Wan berseru sambil berkacak pinggang di
atas tangga pendapa. Di belakangnya tampak empat pendeta berjubah kuning, di
mana salah seorang di antaranya tampak membawa mayat Ketua Kuil Pek-hok-bio. Tio
Ciu In mengawasi mereka dari samping dengan pedangnya.
Suara bentakan Liu Wan itu disertai oleh lwekangnya yang tinggi, maka tidaklah
mengherankan bila suaranya dapat mengatasi gaduhnya suasana di tempat tersebut.
Bahkan demikian kuat getaran suaranya sehingga mampu mengguncang jantung setiap
orang yang berada di halaman itu. Tak terkecuali Ku Jing San dan Song Li Cu
sendiri. Pertempuran pun berhenti dengan tiba-tiba.
Semuanya memandang ke atas tangga pendapa seperti terkesima. Dengan takjub
mereka menatap Liu Wan yang sangat berwibawa itu.
"Saya harap semuanya menghentikan pertumpahan darah ini! Lihat...! Orang yang
menjadi biang keladi pertumpahan darah malam ini telah mati! Oleh karena itu
semua anggota Kuil Pek-hok-bio harap meletakkan senjata masing-masing!" Liu Wan
berteriak sekali lagi. Melihat tokoh-tokoh mereka telah menyerah, bahkan ketua mereka juga sudah
meninggal, maka seluruh anggota Kuil Pek-hok-bio yang masih hidup lalu membuang
senjata mereka pula. Mereka diam 293
dan menurut saja ketika digiring lawan-lawan mereka ke pendapa.
Beberapa saat kemudian terjadi kesibukan di ruang pendapa yang luas itu. Ku Jing
San dan beberapa tokoh Kai-pang tampak mengatur tawanan dan kawan-kawan mereka
sendiri. Beberapa orang ditugaskan untuk mengumpulkan orang-orang yang terluka
dan yang menjadi korban di dalam kemelut tadi. Demikian sibuknya mereka sehingga
mereka seolah-olah melupakan Liu Wan dan Tio Ciu In yang secara diam-diam
meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan terdengar dentang suara lonceng dua kali, pertanda waktu telah
menunjukkan pukul dua malam. Langit terang benderang, sehingga rembulan penuh
yang telah jauh bergulir ke arah barat itu bebas menebarkan sinarnya ke seluruh
permukaan bumi. Semua jalan-jalan yang membelah kota Hang-ciu tampak sepi, sama sekali tidak
mencerminkan bahwa seharian tadi orang baru saja bersuka ria menyambut
kedatangan Tahun Baru. Malam ini semua orang tampaknya benar-benar ingin.
mengaso setelah seharian penuh mereka tak beristirahat.
Yang masih kelihatan hidup dan bergerak di jalan-jalan itu hanyalah hewan-hewan
piaraan seperti anjing, kucing dan lain sebagainya. Mereka masih berkeliaran di
jalan-jalan untuk mengais sisa-sisa makanan yang dibuang orang di pinggir jalan.
Tampaknya penduduk kota itu benar-benar telah dicekam oleh mimpi mereka masing-
masing, sehingga 294 kedatangan kereta Liu Wan itu sama sekali tak menggoyahkan tidur mereka, Lo Kang
dan Lo Hai yang amat setia itu membawa kereta tersebut ke penginapan. Suara roda
besinya yang geludak-geluduk itu terdengar amat nyaring dan berkumandang
memenuhi jalanan. Dari jauh suaranya seperti genderang perang yang ditabuh di
malam hari, nikmat namun juga menggetarkan hati.
Kereta itu berhenti di depan penginapan. Lo Hai turun membukakan pintu dan
mempersilakan Liu Wan dan Tio Ciu In untuk menemui pemilik penginapan itu
sendiri. "Ciu-moi, malam ini kita beristirahat dulu di penginapan ini. Besok pagi kita
lanjutkan usaha kita untuk mencari Adikmu. Marilah... kau tidak usah curiga atau
ragu-ragu. Aku telah mengenal dengan baik pemilik penginapan ini. Lo Kang dan Lo
Hai telah memesan dua kamar untuk kita berdua. Ayo...!"
Sesaat Tio Ciu In masih merasa ragu. Tapi di lain saat melihat kesungguhan hati
Liu Wan, hatinya menjadi tenteram pula.
"Baiklah, Twako...." desahnya pelan tanpa berani memandang Liu Wan.
"Bagus. Nah, Lo Kang dan Lo Hai, kalian kembalilah ke pondok kita di tengah
empang itu! Tunggulah aku di sana!" pemuda itu memberi perintah kepada pembantunya.
-- o0d-w0o -- 295 Demikianlah, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, malam itu Tio Ciu
In sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Bayangan wajah Siau In yang lincah
dan bandel itu selalu melintas dan menggoda hatinya. Adiknya itu memang nakal
dan usil sehingga seringkali sangat menjengkelkan hatinya. Tapi bagaimanapun
juga gadis itu adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya di dunia ini.
Untuk kesekian kalinya Tio Ciu In menarik napas panjang. Panjang sekali, Ia
mengenang nasibnya. Nasib perjalanan hidupnya dengan Siau In, adiknya.
Sejak kecil mereka diasuh oleh gurunya, Giam Pit Seng, seorang tokoh aliran Im-
yang-kau. Menurut cerita gurunya, dia dan adiknya dulu diambil dari dekapan seorang
nelayan tua yang mati akibat kebiadaban bajak laut yang menjarah rayah
kampungnya. Nelayan she Tio itu menitipkan dia dan adiknya kepada Giam Pit Seng
agar dirawat seperti anaknya sendiri.
Kebetulan Giam Pit Seng juga tidak memiliki anak isteri pula, sehingga
kedatangan dia dan adiknya itu benar-benar sangat membahagiakan hati pendekar
pit (pena) tersebut. Dia dan Siau In benar-benar dianggap sebagai anak sendiri,
diasuh dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. Waktu itu dia sudah berusia enam
tahun, sementara Siau In berumur tiga tahun.
Menurut Giam Pit Seng, dia dan Siau In adalah anak-anak yang cerdas dan cerdik,
sehingga semua 296 pelajaran ilmu silat dan ilmu sastra yang diberikan oleh gurunya itu cepat
sekali diserap dan diterima.
Namun demikian sesekali gurunya itu masih mengeluh karena mereka berdua adalah
wanita. Gurunya juga menginginkan seorang murid lelaki, yang akan diwarisi ilmunya Hok-
hong Pit-hoat. Dan keinginan Giam Pit Seng itu akhirnya terkabul juga. Setelah mengasuh dia dan
Siau In selama empat tahun, suatu hari Giam Pit Seng membawa seorang anak lelaki
berusia dua belas tahun ke rumah. Anak yang lebih tua dua tahun dari dia itu
bernama Tan Sin Lun, putera seorang kepala desa, sahabat Giam Pit Seng.
Meskipun lebih dulu berguru kepada Giam Pit Seng, tetapi dia dan Siau In
memanggil suheng kepada Tan Sin Lun. Hubungan mereka bertiga sangat baik dan
rukun seperti saudara sekandung saja. Hal itu berlangsung hingga mereka menjadi
dewasa. Setelah menjadi dewasa itulah lambat laun tali hubungan mereka semakin berubah.
Kata orang, dia dan adiknya memiliki wajah yang sangat cantik sehingga orang
orang selalu memandang kagum kepada mereka. Dan anggapan seperti itu akhirnya
menular pula kepada Tan Sin Lun, suhengnya. Tanpa disadarinya suhengnya itu
jatuh cinta kepadanya. Dan rasa cinta itu selalu diperlihatkan oleh suheng-nya
apabila tiada seorang pun di dekat mereka.
Selama ini dia memang belum paham akan perasaannya sendiri. Ia memang menyukai
Tan Sin 297 Lun, karena sejak kecil mereka selalu bersama-sama.
Tapi ia tidak tahu, rasa sukanya itu berdasarkan rasa cinta atau cuma rasa
sayang saja. Ia memang senang selalu berdekatan dengan suhengnya itu, tapi
selama ini ia tak pernah berpikir atau membayangkan bahwa ia akan menjadi suami
isteri dengan Tan Sin Lun.
Selama ini ia hanya berpikir bahwa Tan Sin Lun adalah pemuda yang baik hati dan
berjiwa ksatriya. Itu saja. Lain tidak. Itulah sebabnya ketika kemarin siang Tan Sin Lun mencium
pipinya, ia menjadi tersinggung dan marah.
Sekali lagi Tio Ciu In menghela napas panjang.
Tiba-tiba saja bayangan Liu Wan berkelebat di depan matanya. Pemuda yang baru
dijumpainya kemarin siang itu seperti telah dikenalnya bertahun-tahun.
Wajahnya, kepandaiannya, sikapnya serta semua tindakannya, rasanya selalu
mengundang kagum di hatinya.
Tiba-tiba Tio Ciu In menjadi jengah sendiri.
Belum-belum ia telah memperbandingkan Liu Wan dengan Tan Sin Lun.
Tok! Tok! Tok! Tio Ciu In terkejut. Pintu kamarnya diketuk orang.
Bergegas turun dari pembaringan dan mengenakan baju luarnya. Sebelum membuka
pintu ia merapikan dulu rambutnya.
"Selamat pagi, gadis ayu...!" Liu Wan memberi salam.
298 "Eh-oh... pukul berapa sekarang?" Tio Ciu In menjawab gugup.
Tiba-tiba berhadapan dengan orang yang baru saja dilamunkan membuat gadis itu
gugup tidak keruan. Untunglah Liu Wan seorang pemuda yang pandai bicara, sehingga rasa kikuk dan
malu yang mengharu biru di hati Tio Ciu In segera menghilang pula.
"Hei, kau jadi mencari adikmu tidak" Hari sudah siang. Lihatlah, matahari telah
berada di atas atap! Mengapa kau belum bangun juga" Apakah mimpimu indah sekali" Ahaa, tahulah aku!
Kau tentu bermimpi jadi pengantin, sehingga kau menjadi segan untuk bangun.
Pengantin lelakinya tentu... tentu...."
"Apaaa..." Coba, siapa..." Siapa sebutkan! Sekali kau kesalahan omong, aku akan
pergi dan tak mau kenal kau lagi!" serui Tio Ciu In gemas. Matanya membelalak,
pipinya merah. Liu Wan meringis dan tak berani menggoda lagi.
"Maaf, Ciu-moi.... Jangan marah. Aku cuma ingin bercanda denganmu. Entah
mengapa, pagi ini hatiku merasa gembira bukan main, sehingga rasanya aku jadi


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin menggoda siapa saja yang kutemui."
Tio Ciu In mencibirkan mulutnya. "Huh! Dasar...!
Kalau mau bercanda lihat-lihat dulu orangnya! Jangan asal sambar saja! Huh, coba
katakan terus terang! Siapa yang hendak kausebutkan sebagai... pengantin lelaki" Suhengku, bukan?"
sergahnya kemudian dengan nada tetap marah-marah.
"Haaah...?" Liu Wan berdesah kaget.
299 Mulutnya ternganga, matanya melotot. "Sungguh mati aku tak bermaksud mengatakan
seperti itu! Sumpah!" Kini giliran Tio Ciu In yang tercengang keheranan.
"Kau tidak; bermaksud mengatakan seperti itu" Lalu...
lalu apa yang hendak kaukatakan?" suara Tio Ciu In merendah. Wajahnya menjadi
pucat. Mendadak air muka Liu Wan menjadi merah padam. Sikapnya menjadi kikuk dan
kemalu-maluan, persis seperti pengantin yang sedang dipertemukan di depan tamu.
"Apa..." Apa yang hendak kaukatakan tadi?" Tio Ciu In mendesak penasaran.
Sambil cengar-cengir Liu Wan memandang Tio Ciu In. Masih kelihatan rasa takutnya
kalau-kalau gadis itu akan menjadi marah lagi.
"Aku tadi ingin mengatakan bahwa... pengantin prianya adalah aku sendiri!"
akhirnya pemuda itu berani juga mengatakannya.
Wajah yang putih mulus itu tiba-tiba berubah menjadi merah seperti udang
direbus. Tanpa mengatakan apa-apa lagi pintu kamarnya dibanting.
"Ciu-moi... Ciu-moi! Maafkanlah aku!" Liu Wan berseru sambil berusaha membuka
pintu itu dari luar, tapi tidak bisa. Tio Ciu In menguncinya dari dalam.
"Wah, gawat...! Dia benar-benar marah sekarang!
Huh... inilah akibatnya kalau orang suka bergurau!"
Liu Wan menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
300 Dengan lesu pemuda itu melangkah meninggalkan kamar Tio Ciu In. Wajahnya yang
semula cerah dan gembira itu kini kelihatan susah dan sedih. Hatinya sungguh-
sungguh amat menyesal telah menggoda Tio Ciu In tadi. Seharusnya dia tidak omong
sembarangan di depan Tio Ciu In yang sedang bersusah hati karena kehilangan
adiknya itu. "Tapi apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur.
Mulutku ini kadang-kadang memang terlalu ceriwis, sehingga sering membuat gara-
gara." Liu Wan lalu melangkah ke ruang makan. Di ruangan yang luas itu sudah banyak
orang, sebagian besar adalah tamu-tamu yang menginap di rumah penginapan itu
sendiri. Rata-rata mereka telah bersiap-siap untuk meninggalkan penginapan itu.
Ada yang hendak meneruskan perjalanannya, ada pula yang akan pulang ke kampung
setelah menyaksikan perayaan Tahun Baru yang sangat meriah kemarin.
"Tuan Liu...! Ah, hampir saja kami kehilangan jejak Tuan tadi malam. Untunglah
ada seorang teman kami yang melihat Tuan masuk ke penginapan ini."
tiba-tiba terdengar suara orang menegur.
Liu Wan menoleh. Seorang pemuda gagah bangkit dari kursinya dan bergegas
menghampiri dirinya. Liu Wan segera mengenalnya sebagai Ku Jing San, pemuda yang
ditemuinya tadi malam di Kuil Pek-hok-bio.
301 "Oh, Saudara Ku Jing San rupanya. Bagaimana Saudara Ku tahu aku menginap di
sini?" Liu Wan menyambut teguran pemuda itu dengan ramah pula.
"Ah, mudah saja. Bukankah di kota ini banyak anggota Kai-pang yang berkeliaran"
Tuan Liu marilah kita duduk semeja saja di sana. Nanti kuperkenalkan dengan
suhengku. Dia baru saja datang di kota ini beberapa saat yang lalu. Dia ingin
sekali berkenalan dengan Tuan Liu, sekalian mengucapkan rasa terima kasih atas
bantuan Tuan membebaskan Sumoi kami."
Liu Wan memandang ke meja yang ditunjuk oleh Ku Jing San. Di sana telah berdiri
seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap bersama Song Li Cu.
Mereka berdua tampak tersenyum menantikan kedatangannya. Liu Wan menjadi kikuk
dan tidak enak hati. "Wah, Saudara Ku terlalu membesar-besarkan masalah sepele seperti itu. Aku malah
menjadi malu...." Liu Wan menggerutu, tapi terpaksa menurut saja ketika
lengannya ditarik Ku Jing San ke mejanya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap itu memberi hormat kepada Liu Wan dan mempersilakan
Liu Wan untuk duduk di depannya. Dengan berat hati Liu Wan terpaksa mengikuti
saja kemauan mereka. "Maaf, kami telah mengganggu Saudara Liu Wan pagi ini." Pemuda tinggi tegap itu
membuka pembicaraan. "Perkenalkan, aku yang rendah adalah saudara seperguruan
tertua dari Ku Jing San dan Song Li Cu ini. Namaku Kwe Tek Hun. Atas nama adik-
302 adikku ini aku mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Saudara Liu Wan tadi
malam." Liu Wan tersenyum dan melirik ke arah Song Li Cu, tapi yang dilirik sedang asyik
mengawasi toa-suhengnya yang gagah ganteng itu.
"Ah, Saudara Kwe... kau keliru! Aku sama sekali tidak merasa telah membantu
Saudara Ku Jing San dalam membebaskan Nona Song Li Cu. Dia sendirilah yang
sebenarnya telah membebaskan su-moinya. Aku hanya kebetulan saja di sana, karena
aku juga sedang mencari adik ku yang hilang." Liu Wan cepat menyanggah perkataan
Kwe Tek Hun. Sambil berkata Liu Wan menepuk pundak Ku Jing San, seakan-akan hendak mengatakan
bahwa yang sebenarnya sangat berjasa di dalam pembebasan Song Li Cu itu adalah
Ku Jing San sendiri. Bukan dirinya. Ku Jing San tampak tersipu, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sangat
senang dan bangga mendengar perkataan tersebut. Berkali-kali matanya yang polos
jujur itu menatap ke arah sumoinya, walaupun Song Li Cu sendiri tampak acuh tak
acuh terhadapnya. Gadis cantik itu masih tetap memandangi Kwe Tek Hun yang
tampan dan gagah. Diam-diam Liu Wan menghela napas. Ia melihat sesuatu yang kurang serasi di
antara mereka. Tampaknya ada jalinan cinta segitiga yang ruwet di antara tiga saudara
seperguruan itu. 303 "Cinta... cinta. Kau memang aneh. Kadang-kadang kau bisa membuat orang merasa
sangat berbahagia. Namun sering kali pula kau membikin orang menjadi sangat menderita.
Hemmmmmmmmm...!" Liu Wan mengeluh di dalam hati.
Melihat tamunya termenung diam seperti sedang memikirkan sesuatu, Kwe Tek Hun
cepat menghibur. "Saudara Liu, bagaimanapun juga kami tetap menganggap bahwa kau telah membantu
kami membebaskan Song Li Cu. Dan untuk membalas kebaikan Saudara Liu itu kami
telah berjanji pula akan membantu mencari adik Saudara Liu yang hilang. Bahkan
kami juga akan meminta pertolongan orang-orang Tiat-tung Kai-pang untuk
mencarinya." Wajah Liu Wan menjadi cerah dengan tiba-tiba.
Usul Kwe Tek Hun itu benar-benar amat bagus dan menggembirakan hatinya. Dengan
pertolongan orang-orang Kai-pang, jejak Tio Siau In tentu akan mudah diketahui.
Bukankah ratusan anggota Tiat-tung Kai-pang yang ada di daerah itu setiap
harinya selalu tersebar di segala tempat" Bukan mustahil salah seorang di
antaranya pernah melihat kepergian Tio Siau In.
"Terima kasih, Saudara Kwee... terima kasih. Aku sungguh-sungguh sangat gembira
dan berterima kasih sekali bila Saudara Kwe dan kawan-kawan dari Tiat-tung Kai-
pang mau membantu aku mencari adikku."
Kwe Tek Hun tersenyum puas. "Bagus. Kalau begitu mau tunggu apa lagi"
304 Marilah kita sekarang menemui Jeng-bin Lo-kai (Pengemis Tua Bermuka Seribu) yang
kebetulan berada di kota ini. Nanti aku yang akan berbicara kepadanya."
"Jeng-bin Lo-kai..." Siapakah dia?" Liu Wan bertanya pelan.
"Dia adalah Hu-pangcu (Wakil Ketua) Tiat-tung Kai-pang. Kepandaiannya amat
tinggi, terutama di bidang berdandan dan menyamar, sehingga ia dijuluki orang
Jeng-bin Lo-kai. Dia pulalah yang telah mendandani Ku Jing San tadi malam."
"Apakah dia juga ikut datang di kuil Pek-hok-bio tadi malam?"
"Benar. Dia memang ikut memimpin anak buahnya di halaman kuil itu. Bahkan dia
sempat mengutarakan kekagumannya ketika Tuan Liu dengan amat berwibawa
menghentikan pertempuran dari atas pendapa. Namun ketika dia ingin bersua dan
berkenalan, ternyata Tuan Liu sudah pergi." Ku Jing San yang sejak duduk di
kursi tadi hanya berdiam diri saja, tiba-tiba menjawab pertanyaan Liu Wan.
"Ah, maaf... aku memang segera meninggalkan tempat itu tadi malam. Aku tidak
ingin mengganggu...."
Suara Liu Wan sekonyong-konyong me rendah.
Begitu pula halnya dengan tamu-tamu yang lain.
Suara percakapan dan obrolan yang ramai di dalam ruangan itu mendadak menurun,
bahkan hampir terhenti sama sekali. Semua mata memandang keluar, 305
ke pintu yang menghubungkan ruang makan tersebut dengan pendapa depan.
Seorang gadis remaja yang cantik sekali, berusia antara enam belas atau tujuh
belas tahun, dengan pakaian dan perhiasan mahal, tampak melangkah lincah ke
dalam ruangan itu. Tubuhnya yang kecil namun berbentuk indah itu melenggang
sedikit genit ke arah meja yang kosong. Sikapnya sangat tenang dan berani,
bahkan terasa agak dingin dan penuh percaya diri,
sehingga orang- orang yang ada di dalam ruangan itu tak ada yang berani bersikap kurang ajar. Apalagi ketika gadis cantik itu meletakkan kipasnya di atas meja. Sebuah kipas yang sangat aneh karena kipas tersebut terbuat dari lembaran baja tipis bermata tajam. Seorang pelayan bergegas menghampiri dan menanyakan keinginan gadis itu.
306 "Kau siapkan masakan apa saja yang paling enak di rumah makanmu ini untuk lima
orang lelaki dan seorang wanita, lalu hidangkan di atas meja ini! Nih, kau bawa
sekalian uang pembayarannya!" gadis itu berkata nyaring seraya memberikan uang
dua tail perak. Suaranya terdengar bening dan merdu sehingga pelayan itu menjadi
bengong seperti orang yang kesengsem mendengarkan suara buluh perindu.
Pelayan itu menjadi gugup dan salah tingkah melihat uang sebanyak itu.
"Ini...ini, eh... ini terlalu banyak, Sio-cia. Satu tail pun sudah lebih dari
cukup untuk memenuhi meja ini...."
"Sudahlah! Kaubawa saja uang ini! Aku memang sengaja membayar dua kali lipat.
Tapi ingat...! Kalau masakanmu tidak bisa memenuhi seleraku, nasibmu dan nasib
rumah makanmu ini benar-benar akan menjadi jelek sekali! Nah, pergilah...!"
Mata yang bulat indah itu menatap dingin seperti mengandung ancaman, membuat
pelayan itu meremang bulu kuduknya. Entah mengapa sikap gadis cantik itu benar-
benar amat berwibawa dan menggiriskan hati.
"Ba-baik, Sio-cia...."
Hampir serentak para pengunjung restoran itu menghela napas panjang. Dalam waktu
yang cuma sesaat tadi mereka seperti disuguhi sebuah pemandangan yang
menegangkan. Demikian pula halnya dengan Liu Wan dan Kwe Tek Hun 307
bersaudara. Tak terasa sikap dan tingkah laku gadis cantik itu telah mampu
merampas dan mempengaruhi perhatian mereka berempat.
"Saudara Kwe mengenal dia?" Liu Wan bertanya perlahan kepada Kwe Tek Hun.
Pemuda tinggi tegap itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku belum pernah melihat dia. Tapi kipasnya itu...?" tiba-tiba pemuda
itu menghentikan kata-katanya. Matanya memandang ke arah pintu yang
menghubungkan ruangan itu dengan ruang dalam.
Semua pengunjung yang sudah mulai mengobrol lagi itu sekonyong-konyong
menghentikan pula obrolan mereka seperti halnya Kwe Tek Hun.
Pandangan mereka juga tertuju pula ke pintu dalam, ke arah Tio Ciu In yang
mendadak keluar menuju ruang makan tersebut.
Tidak seperti biasanya, kali ini Tio Ciu In memang berdandan sedikit luar biasa.
Tubuhnya yang tinggi lentur itu dibalut pakaian berwarna hijau muda, sehingga
kulitnya yang putih halus itu tampak semakin cerah dan segar dipandang mata.
Rambutnya yang biasanya cuma dikepang dan dibiarkan terurai di belakang
punggungnya itu sekarang disanggul ke atas seperti layaknya gadis-gadis
pingitan. Maka tidaklah mengherankan bila wajahnya yang sudah ayu itu menjadi
semakin cantik seperti bidadari.
"Gila! Rasanya seperti bermimpi saja... melihat dua bidadari di pagi hari!"
seorang tamu yang duduk di sebelah meja Liu Wan berdesah tak terasa.
308 Ternyata kali ini Kwe Tek Hun juga tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Matanya menatap tak berkedip ke arah Tio Ciu In yang melenggang lembut mendekati
mereka berempat. Dan matanya mungkin akan terus melotot kalau Song Li Cu tidak
segera menggamit lengannya dengan perasaan tak senang.
"Huh...!" Song Li Cu yang mendadak merasa seperti kehilangan kecantikannya di
depan gadis-gadis ayu yang baru saja datang itu bersungut-sungut kesal.
-- o0d-w0o -- JILID VIII UH!" gadis cantik bermata dingin itu merasa tak senang pula melihat
kedatangan Tio Ciu In yang mampu
Hmenyaingi kecantikannya.
Di depan meja Kwe Tek Hun, Tio
Ciu In menegur Liu Wan yang ternyata juga ikut terbengong-bengong pula
menyaksikan kecantikan gadis itu.
"Twako, mari kita berangkat sekarang...!"
"Ini... ini... eh, ke mana kita akan pergi?" Liu Wan menjawab gugup, sehingga
Ciu In menjadi geli melihatnya.
309 "Hei, bukankah kita akan mencari Siau In"
Mengapa kau sudah lupa lagi?" dengan gemas Tio Ciu In menggerutu.
"Eh-oh... ya benar. Mari... mari...!"
Bagaikan orang bingung Liu Wan lalu berdiri dan hendak beranjak pergi dari
tempat itu. Untunglah dengan sigap Kwe Tek Hun menahan lengannya.
"Sebentar, Saudara Liu...! Kau hendak pergi ke mana" Bagaimana dengan rencana
kita untuk menemui Jeng-bin Lo-kai?" pemuda itu mengingatkan.
"Hah?" Liu Wan tersentak kaget dan tersadar dari linglungnya.
Kemudian dengan tergesa-gesa pemuda itu mempersilakan Tio Ciu In duduk di kursi
dan memperkenalkannya kepada Kwe Tek Hun
bersaudara. Tak lupa dengan wajah kemerah-merahan Liu Wan meminta maaf atas
kekilafannya. Lalu pemuda itu juga bercerita kepada Tio Ciu In tentang rencana
mereka untuk minta pertolongan orang-orang Tiat-tung Kai-pang, agar jejak Tio
Siau In cepat ditemukan. "Terserah kepada Twako. Pokoknya Adikku segera diketemukan." Tio Ciu In menyahut
perlahan. "Nah, kalau begitu kita berangkat saja sekarang!"
Kwe Tek Hun menggeram dengan suara bersemangat.
"Aih... nanti dulu! Bagaimana dengan makan pagi kita" Bukankah perut kita belum
terisi?" Namun 310 dengan cepat Song Li Cu menahan keinginan kakak seperguruannya itu.
"Ah, kau benar Nona Song. Kita tak perlu tergesa-gesa. Kita memang harus mengisi
perut kita dulu." Sambil tertawa Liu Wan menyambut usul gadis manis itu.
Demikianlah seraya menyantap bubur ayam hangat mereka lalu melanjutkan obrolan
mereka kembali. Dan Kwe Tek Hun yang merasa dirinya sebagai pihak tuan rumah lalu bercerita
tentang pengalaman-pengalamannya yang mengesankan selama ia berkelana di dunia
persilatan. Pengalaman Kwe Tek Hun memang sangat banyak, pengetahuannya juga
luas karena sejak kecil sampai menginjak remaja sering diajak oleh gurunya yang
juga orang tuanya sendiri, mengembara ke seluruh pelosok negeri.
Semuanya asyik mendengarkan. Sambil makan perhatian mereka hampir tak pernah
lepas dari bibir Kwe Tek Hun. Bahkan Liu Wan yang sudah bertahun-tahun
bertualang di dunia kang-ouw pun masih tetap merasa kagum pula mendengar kisah-


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kisah yang diutarakan oleh Kwe Tek Hun. Apalagi Tio Ciu In yang masih hijau itu,
kisah cerita yang baru pertama kali didengarnya itu benar-benar amat menarik
hatinya. Namun yang sungguh amat menyolok adalah perhatian yang dibenarkan oleh
Song Li Cu. Dengan pandang mata mesra, kagum serta bangga, gadis itu selalu
mengawasi wajah kakak seperguruannya yang gagah tampan itu. Gadis cantik itu
hanya mau 311 melepaskan pandangannya apabila sedang melayani tambahan makanan atau minuman
Kwe Tek Hun. Walaupun sedang asyik makan dan mendengarkan cerita Kwe Tek Hun, tetapi Liu Wan
sempat juga melihat kemesraan yang diberikan oleh gadis itu.
Sesaat Liu Wan merasa terharu juga. Namun apabila kemudian dilihatnya wajah Ku
Jing San yang sayu, hatinya ikut merasa sedih pula.
"Secara diam-diam tampaknya Ku Jing San telah mencintai Song Li Cu, akan tetapi
gadis itu sendiri kelihatannya lebih mengagumi Twa-suhengnya.
Sementara Kwe Tek Hun sendiri tak bisa diduga hatinya, apakah ia membalas cinta
Song Li Cu atau tidak...."
Tak terasa Liu Wan berdesah panjang. Pikirannya lantas terhunjam pada keadaannya
sendiri. Dalam usianya yang sudah dua puluh lima tahun ini ia telah banyak
mengenal dan berhubungan dengan wanita, namun tak seorang pun di antaranya yang
mampu menarik dan menggugah perasaan cintanya. Bahkan sudah berulang kali ia
mencoba menyelusuri keadaan diri pribadinya seridiri, untuk mengetahui mengapa
ia merasa sulit mencintai wanita. Tapi sampai sekarang ia belum pernah
mendapatkan jawabannya. Padahal ia tak memiliki impian yang muluk-muluk. Sama
sekali ia tak bercita-cita untuk kawin dengan seorang putri raja yang cantik
bagai bidadari. Diam-diam Liu Wan melirik Tio Ciu In yang duduk di sampingnya. Gadis yang lembut
dan ayu itu benar-312 benar lain daripada yang lain. Gadis itu mampu meng goncangkan batinnya,
meruntuhkan- dinding hatinya, sehingga beberapa kali membuatnya gugup, linglung
dan salah tingkah. Namun demikian dia juga belum tahu, apakah dirinya telah
jatuh cinta atau tidak, karena menurut pengalaman, perasaannya yang panas
membara dan menggebu-gebu itu akan segera padam apabila wanita itu mulai
bertingkah ingin menguasai dirinya.
"Liu Twako...?" tiba-tiba terdengar suara Tio Ciu In memanggilnya.
"Ha" Yaa... apa?"
Bagaikan disengat lebah Liu Wan tersentak kaget, bahkan hampir terjengkang dari
kursinya. Sesaat kemudian pemuda itu menjadi gugup. Tapi hanya sesaat saja,
karena dengan cepat pemuda itu bisa menguasai dirinya kembali.
"He, Twako... kau melamun, ya?" Tio Ciu In menegur sambil tertawa.
"Tidak. Aku sedang asyik mendengarkan cerita Saudara Kwe...." Liu Wan mencoba
membela diri. Tak terduga Tio Ciu In dan yang lain justru tertawa semakin keras. "Nah ...
nah... kebohonganmu justru ketahuan malah. Apa yang hendak kau dengarkan lagi
kalau cerita itu sudah selesai sejak tadi?" Dengan suara riang Tio Ciu In
semakin menggoda. "Benarkah..." Wah, ini... ini...." Liu Wan tersenyum malu.
313 "Sudahlah, tampaknya Saudara Liu Wan menyukai ceritaku sehingga tertidur." Kwe
Tek Hun bergurau. "Oleh karena itu sebaiknya kita segera berangkat saja."
Semuanya tertawa. Liu Wan terpaksa ikut tertawa pula, meskipun tertawa kecut.
Namun suara tertawa mereka terpaksa terhenti ketika mendadak gadis ayu yang baru
saja datang tadi menggebrak mejanya.
"Brengsek! Pelayan...!" gadis ayu itu berteriak memanggil pelayan.
"Ya. Sio-cia..." Apakah Sio-cia menghendaki sesuatu" Apakah ..... apakah..." Anu
... eh, hidangan yang Sio-cia pesan be-be belum selesai!" Tergopoh-gopoh pelayan
yang melayani gadis itu tadi datang dan bertanya gugup.
"Persetan! Aku tidak menanyakan masakanmu!
Aku hanya tidak menyukai suara berisik di ruangan ini! Hmmmh! Apakah kau tidak
mempunyai tempat yang lain, yang terpisah dari tempat ini, agar aku bisa tenang
menikmati hidanganmu?" Gadis itu membentak sambil bertolak pinggang. Suaranya
nyaring dan beberapa kali matanya yang bulat indah itu melirik ke arah meja Kwe
Tek Hun. Pipi Song Li Cu menjadi merah karena jelas yang dimaksudkan oleh gadis itu
adalah rombongannya. Namun sebelum Song Li Cu bertindak lebih jauh, Kwe Tek Hun telah lebih dahulu
menahannya. Dengan sabar dan tenang pemuda gagah itu menjura ke arah tetangganya yang sedang
marah tersebut. 314 "Maafkanlah kami, Nona. Kami sampai lupa bahwa kami bukan berada di tempat kami
sendiri. Biarlah kami pergi. Nona tak perlu mencari tempat yang lain lagi."
Kwe Tek Hun lalu mengajak Liu Wan, Tio Ciu In, dan adik-adik seperguruannya
meninggalkan tempat itu. Liu Wan, sebagai pemuda matang yang telah kenyang
pengalaman, dapat menerima dan memahami sikap Kwe Tek Hun yang sabar dan mau
mengalah itu. Tapi bagi Tio Ciu In, Ku Jing San dan Song Li Cu, sikap Kwe Tek
Hun yang terlalu mengalah itu benar-benar tidak bisa mereka terima. Bukankah
tempat itu tempat umum" Bukan rumah pribadi"
Seharusnyalah setiap orang yang berada di tempat itu menyadari bahwa ia tidak
berada di rumahnya sendiri.
Tetapi karena Kwe Tek Hun sebagai wakil dari rombongan itu telah mengutarakan
sikapnya, maka meskipun menahan berang Ku Jing San, Song Li Cu dan Tio Ciu In
terpaksa menahan dirinya. Dengan perasaan kesal dan penasaran mereka mengikuti
saja langkah Kwe Tek Hun dan Liu Wan, keluar dari ruangan tersebut. Namun
demikian tetap saja Ku Jing San dan Song Li Cu yang agak berangasan itu tak bisa
menyembunyikan kedongkolan hatinya ketika lewat di dekat meja gadis itu. Kedua
saudara seperguruan itu menatap dengan mata melotot seakan-akan hendak menelan
tubuh gadis itu. Tak terduga gadis yang rewel dan cerewet itu ternyata pemarah pula. Sikap yang
ditunjukkan Ku 315 Jing San dan Song Li Cu itu ternyata telah menyulut api kemarahannya juga.
Persis pada saat Ku Jing San dan Song Li Cu berjalan di dekat mejanya, gadis ayu
itu dengan sengaja menumpahkan minumannya.
Tentu saja air teh itu muncrat mengenai pakaian Ku Jing San dan Song Li Cu.
Song Li Cu tak bisa mengekang kemarahannya lagi. Dengan cepat tangannya meraup
tumpahan air teh yang ada di atas meja untuk disiramkan kembali ke wajah gadis
ayu itu. Namun sebelum tangannya mampu meraih ke atas meja, ujung sepatu gadis
ayu itu ternyata telah lebih dulu menghantam lututnya.
Duukk! Seketika itu juga Song Li Cu kehilangan keseimbangan tubuhnya. Badannya
terjungkal ke depan menghantam meja!
Ku Jing San yang sedikit terlambat menyadari keadaan sumoinya, cepat bertindak.
Tangannya menyambar tubuh gadis yang dicintanya itu!
Braaaaaak! Tubuh Song Li Cu menghajar meja sehingga tumpahan air teh tadi justru
membasahi pakaiannya lagi. Untunglah sebelum tubuh Song Li Cu itu terjerembab ke
lantai dan mencium kaki gadis ayu tersebut, lengan Ku Jing San yang kokoh itu
telah berhasil menyambarnya, sehingga Song Li Cu terhindar dari penghinaan yang
lebih besar lagi. Ku Jing San benar-benar tak mampu
mengendalikan dirinya lagi. Apalagi ketika tubuh Song Li Cu yang ada di dalam
pelukannya itu ternyata 316
telah tertotok lemas tak bisa bergerak. Kemarahannya benar-benar meledak.
Dengan cepat pemuda itu meletakkan tubuh Song Li Cu di atas kursi yang terdekat,
lalu tanpa bicara apa-apa lagi kaki kanannya terayun deras ke depan, mengarah ke
kaki meja, dengan maksud untuk melontarkannya ke tubuh lawan. Dengan kekuatan
dan ketangkasan kakinya Ku Jing San yakin ia dapat membalas penghinaan yang
menimpa sumoinya. Gadis ayu itu tentu akan jatuh tunggang langgang tertimpa meja. Tapi sedetik
kemudian mata Ku Jing San terbelalak! Hampir tak dipercayainya gadis ayu yang
kelihatan amat lemah itu ternyata mampu bergerak lebih cepat! Jauh lebih cepat
dari gerakannya malah! Seperti main sulap saja gadis ayu itu membawa kursinya meluncur ke depan meja,
lalu kakinya yang terbungkus sepatu mungil itu diangkat ke atas, menyongsong
kaki Ku Jing San. Maka tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki yang berlawanan
arah itu bertemu satu sama lain.
Sekejap Ku Jing San agak menyesal. Pemuda itu khawatir tenaganya akan terlalu
besar sehingga kaki lawannya yang cantik itu dapat menjadi patah karenanya.
Mati-matian Ki Jing San mencoba mengurangi tenaganya!
Tapi untuk yang kedua kalinya Ku Jing San telah terkecoh oleh lawannya. Kebaikan
hatinya itu ternyata justru telah mencelakakan dirinya sendiri. Ketika 317
kedua kaki yang berlawanan arah itu saling berbenturan satu sama lain, bukannya
kaki mungil itu yang patah, tetapi justru sebaliknya kaki Ku Jing San yang kokoh
kuat itulah yang berderak mau patah.
Dhueees! "Uuugh!" Ku Jing San mengeluh pendek.
Tubuhnya yang besar itu terlempar ke belakang menabrak meja yang lain.
Namun demikian dengan tangkas pemuda itu bangkit kembali. Hanya saja ketika akan
melangkah, tiba-tiba saja kakinya terasa sakit bukan main.
Terpaksa dengan hanya bertumpu pada kaki kirinya pemuda itu meloncat ke depan
lawannya kembali. Tangan kirinya meluncur dengan kekuatan penuh ke arah muka gadis ayu itu. Dan
kali ini pemuda itu benar-benar tidak mau sembrono lagi. Pukulannya itu benar-
benar dilandasi dengan seluruh tenaga dalamnya yang dahsyat.
Akan tetapi untuk yang ke sekian kalinya Ku Jing San telah salah perhitungan
pula. Lawannya kali ini ternyata memiliki watak, sifat dan kesaktian yang tidak
lumrah manusia. Gadis ayu yang kelihatan lemah gemulai itu ternyata sama sekali
tidak mempunyai rasa belas kasihan dan kebajikan.
Bagaikan iblis wanita yang haus darah gadis ayu itu juga mengayunkan tangan
kanannya, dan belasan am-gi (senjata rahasia) berbentuk bintang segera menebar
menyongsong kedatangan Ku Jing San. Begitu banyaknya senjata rahasia itu
tersebar dari telapak 318
tangannya, seolah-olah gadis ayu itu hendak membunuh seekor gajah hanya dengan
sekali timpuk. Wajah Ku Jing San menjadi pucat pasi. Pemuda itu merasa ajalnya telah sampai.
Tak mungkin ia dapat menghindari semua senjata rahasia yang tertuju ke arah
bagian-bagian tubuhnya yang mematikan itu.
Seluruh kejadian, sejak Song Li Cu mendapat musibah sampai dengan Ku Jing San
terancam jiwanya, berlangsung dalam waktu yang singkat, sehingga orang-orang
yang berada di dalam ruang makan itu hampir sama sekali belum menyadari apa yang
telah terjadi. Baru sesaat kemudian semuanya sadar bahwa telah terjadi keributan
yang bisa mengancam jiwa mereka. Otomatis semuanya bubar dan lari menghindar.
Ternyata Liu Wan dan Kwe Tek Hun yang berjalan mendahului rombongan itu juga
terlambat mengetahui kejadian yang menimpa Song Li Cu dan Ku Jing San tersebut.
Mereka berdua baru sadar ketika keadaan Ku Jing San sudah diambang maut!
Demikianlah, di dalam situasi yang amat mendesak dan berbahaya bagi keselamatan
Ku Jing San itu, tiada lain yang bisa dilakukan oleh Kwe Tek Hun dan Liu Wan
selain berusaha menolong dengan ilmunya yang paling tinggi. Hampir berbareng
keduanya bergerak! Liu Wan berbalik sambil merendahkan badannya.
Dari bawah pinggangnya pemuda itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah
taburan am-gi yang meluncur dari tangan gadis ayu itu. Terdengar 319
suara mendesing tajam dari telapak tangannya itu ketika hembusan angin yang kuat
menyambar ke arah taburan am-gi.
Siiiiiiing!!! Dan pada saat yang bersamaan Kwe Tek Hun menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuh
pemuda itu melesat seperti kilat ke depan dengan gaya dan gerakan yang sangat
aneh serta mentakjubkan. Badan pemuda itu selalu berputar setengah lingkaran
setiap menjejakkan kakinya ke lantai. Dan hanya dalam dua kali gerakan saja
pemuda itu telah mampu menyambar tubuh Ku Jing San. Jauh lebih cepat daripada
luncuran am-gi lawannya. Pada detik itu pula tiba-tiba terdengar suara ledakan
yang keras bagaikan petir.
Duuuuuuuaaar! Belasan senjata rahasia yang meluncur dari tangan gadis itu tadi tampak
berhamburan ke lantai terkena pukulan udara kosong yang melesat dari tangan Liu
Wan! Akan tetapi secara tak terduga salah sebuah di antaranya mendadak meledak
ketika jatuh menimpa lantai! Dan ledakan itu ternyata disertai semburan api
kecil berwarna kehijauan! Celakanya semburan api itu persis mengenai tumit Ku
Jing San yang terseret ketika diselamatkan Kwe Tek Hun!
"Auuuugh...!" sekali lagi Ku Jing San mengeluh kesakitan karena semburan api
panas itu kebetulan mengenai bagian tulangnya yang nyeri tadi.
320 Ku Jing San lolos dari maut berkat pertolongan Kwe Tek Hun dan Liu Wan. Tetapi
gadis ayu itu justru tertawa menyakitkan.
"Hihihi... hebat sekali! Sungguh hebat sekali!
Selama keluar dari rumah baru sekarang aku melihat ilmu silat yang bermutu! Dan
kalian berdua ternyata memiliki ilmu silat yang berbeda. Yang satu mempunyai
Thian-lui-khong-ciang (Pukulan Petir Membelah Langit) dari keluarga Yap,
sedangkan yang lain memiliki Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang
Berantai) dari Keluarga Kwe yang tersohor! Nah, coba kalian sebutkan... apa
hubungan kalian dengan keluarga-keluarga tokoh persilatan yang kusebutkan tadi?"
Kalau pada saat itu ada halilintar yang menyambar di dalam ruangan tersebut,
mungkin Liu Wan maupun Kwe Tek Hun tidak akan sekaget seperti sekarang.
Rasanya benar-benar tak masuk akal, hanya dengan melihat sebuah gerakan saja
dari ilmu silat mereka, gadis ayu yang masih berusia sangat muda itu mampu
menebak dengan tepat asal-usul ilmu silat Liu Wan maupun Kwe Tek Hun!
"Nona..." Sebutkan dulu, kau siapa ...?" dengan suara serak Liu Wan bertanya.
"Benar, Nona... sebutkanlah namamu dan nama perguruanmu!" Kwe Tek Hun turut
menandaskan pertanyaan Liu Wan.
321 Gadis ayu itu tertawa geli, namun kali ini nadanya terasa dingin dan kaku.
Suaranya pun terdengar congkak dan ketus ketika memberi jawaban.
"Kalian mau tahu namaku" Huh, boleh saja! Setiap saat kalian boleh saja mencari
aku untuk membuat perhitungan! Dengar, namaku... Mo Goat! Aku datang jauh dari
utara Tembok Besar, dari Gurun Gobi!
Cukup jelas?" "Gurun Gobi...?" Liu Wan dan Kwe Tek Hun berdesah sambil berusaha mengingat-
ingat tokoh-tokoh persilatan yang bertempat tinggal di Gurun Gobi, yang mungkin
mempunyai hubungan dengan gadis di depan mereka itu.
Tetapi sampai beberapa saat mereka berdua tetap tak mampu menemukan tokoh yang
mereka kenal. Sebaliknya dengan tatapan matanya yang semakin mengancam, gadis ayu yang bernama
Mo Goat itu mendesak mereka.
"Ayoh, sekarang lekaslah kalian katakan! Apa hubungan kalian dengan tokoh-tokoh
tua yang telah kusebutkan tadi?"
Liu Wan dan Kwe Tek Hun saling pandang satu sama lain. Sebenarnya mereka tak
ingin membawa-bawa nama guru atau perguruan mereka. Akan tetapi gadis itu telah
menyebutkan nama dan asal-usul perguruannya, sehingga tak enak rasanya kalau
mereka tetap menyembunyikan diri mereka. Salah-salah mereka dikira takut
terhadap gadis itu. 322 Sementara itu Tio Ciu In telah membawa Song Li Cu dan Ku Jing San ke tempat yang
aman. Song Li Cu masih tetap lemas kena totokan tadi, sedangkan Ku Jing San juga
masih merasakan kesakitan pada kaki kanannya. Karena tidak bisa mengobati
mereka, maka Tio Ciu In memutuskan untuk menantikan saja petunjuk dari Kwe Tek
Hun dan Liu Wan. Dan Tio Ciu In segera memasang telinga ketika gadis yang bernama Mo Goat itu
bertanya tentang asal-usul Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Di dalam hatinya gadis ayu
itu juga ingin tahu siapa sebenarnya Liu Wan yang baru saja dikenalnya itu.
"Baiklah. Dugaan Nona memang benar. Aku memang mempunyai hubungan perguruan
dengan keluarga Yap, karena salah seorang dari anggota keluarga itu adalah
Guruku. Dan namaku sendiri adalah Liu Wan...." akhirnya Liu Wan mengaku juga.
"Nah, dugaanku benar bukan" Thian-lui-khong-ciang hanya ada satu di dunia ini,
dan ilmu sakti itu hanya dimiliki oleh keluarga Yap di kota raja. Melihat
kesempurnaan ilmu yang kau keluarkan tadi, aku berani memastikan bahwa kau
adalah murid Hong-lui-kun Yap Kiong Lee yang terkenal itu. Benar tidak?"
dengan suara tetap kaku Mo Goat berkata lantang.
Liu Wan yang biasanya tangkas berbicara itu terdiam. Wajahnya kelihatan kaku
menahan geram. "Dan dugaanku tentang engkau juga benar, bukan?"
Mo Goat mengalihkan ucapannya kepada Kwe Tek 323
Hun. "Kau tentu anak murid Keluarga Kwe yang bertempat tinggal di Pulau Meng-to


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu." Kwe Tek Hun berdesah pendek. Hatinya juga merasa geram terhadap gadis itu, tapi
seperti halnya Liu Wan dia juga merasa sulit untuk
mengungkapkannya. Gadis itu memang pintar mempermainkan orang.
"Ya! Aku memang putera tunggal pendekar Kwe Tiong Li, pemilik Pulau Meng-to."
Sekejap mata yang bulat indah itu terbelalak. "Oh, jadi kau putera pendekar yang
disebut orang Keh-sim Tai-hiap itu" Sungguh tak kusangka sama sekali.
Pantaslah kalau Ban-seng-po Lian-hoan yang kau keluarkan tadi mampu mengungguli
kecepatan senjata rahasiaku. Ban-seng-po Lian-hoan memang hebat sekali. Mungkin
sejajar dengan Bu-eng Hwe-teng milik Bit-bo-ong jaman dahulu."
Diam-diam Liu Wan dan Kwe Tek Hun merasa tergetar juga hatinya. Gadis remaja itu
ternyata luas sekali pengetahuannya. Sungguh tak sebanding dengan usianya.
"Wah, jangan-jangan ilmu silat gadis ini juga hebat pula...." Liu Wan mulai
menduga-duga di dalam hati.
Semantara itu melihat kedua adik seperguruannya masih menderita akibat perbuatan
lawannya, Kwe Tek Hun menjadi penasaran.
"Nona...! Kami hanya tertawa secara tidak sengaja.
Itu pun aku sudah berusaha mengalah dengan meminta maaf kepadamu. Tetapi mengapa
kau tetap 324 saja menganiaya dan mempermainkan Adik-adikku"
Apakah engkau benar-benar tidak memiliki perasaan?"
Mata itu tiba-tiba berkilat marah. "Apa katamu"
Kau anggap aku tak berperasaan" Huh! justru kalianlah yang tak memiliki
perasaan! Semua orang Han berhati culas dan kejam! Mengapa aku harus berbelas
kasihan kepada kalian?" sekonyong-konyong Mo Goat menjerit.
Semua orang terperanjat. Ucapan yang baru saja keluar dari mulut gadis itu
seperti melantur, namun juga seperti mengandung arti yang dalam, seolah-olah
gadis itu sangat kecewa dan amat membenci bangsa Han.
"Eh, ucapan Nona sungguh sangat mengherankan sekali. Mengapa Nona menyeret-
nyeret bangsa Han dalam pertengkaran kita ini" Mengapa pula Nona mengatakan
orang Han itu culas dan kejam" Apa hubungannya?" Liu Wan bertanya penasaran.
Tak terduga kemarahan Mo Goat semakin berkobar. Gadis itu mengembangkan kipasnya
di depan dada. Matanya yang indah itu menjadi beringas.
"Jangan banyak tanya! Pokoknya setiap orang Han yang mengganggu aku takkan
kuberi ampun! Harus dibunuh! Termasuk... temanmu yang telah berani menyerangku
itu!" serunya nyaring seraya menuding ke arah Ku Jing San.
Kwe Tek Hun mendengus melalui hidungnya. "Kau takkan bisa membunuhnya. Dia
adalah adik 325 seperguruanku. Selama aku masih ada di sini, dia takkan bisa kauapa-apakan!"
pemuda gagah itu menggeram.
"Hihihihi...! Kau katakan aku tak bisa membunuhnya" Oooo, kau benar-benar buta
dan bodoh! Apa kau tak menyadari bahwa Sutemu itu sebentar lagi akan mati" Coba
kaulihat kakinya yang sakit itu...!" mendadak gadis itu tertawa mengejek.
Kwe Tek Hun menoleh. Dipandangnya Ku Jing San lekat-lekat. Hatinya merasa was-
was juga. "Jing San...! Bagaimana kakimu?" tanyanya khawatir.
Ku Jing San yang kesakitan itu cepat membuka sepatunya. Tiba-tiba matanya
terbeliak. Kaki yang terbungkus sepatu itu ternyata sudah busuk dan berwarna
kehijauan! Dan ketika pemuda itu menaikkan pipa celananya, warna kehijauan itu
ternyata telah merembes ke atas sampai di bawah lututnya!
"Suheng...!" Ku Jing San berteriak gemetar ke arah Kwe Tek Hun.
Bagai berlomba Kwe Tek Hun dan Liu Wan melesat mendekati Ku Jing San. Keduanya
bergegas memeriksa kaki anak muda itu. Kwe Tek Hun mencoba menekan bekas luka
bakar akibat ledakan senjata rahasia tadi. Tapi betapa kagetnya dia ketika
daging itu mendadak terlepas dan jatuh tergumpal di atas lantai. Daging di atas
tumit itu sekarang 326 menganga, namun anehnya tak setetes pun darah keluar.
Kwe Tek Hun meloncat mundur dengan muka pucat. Liu Wan menatap pendekar muda itu
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai seorang tabib yang mengerti ilmu
pengobatan ia tahu bahwa kaki itu tak bisa dipertahankan lagi.
"Saudara Kwe! Potong saja kaki itu sebelum racunnya naik ke atas! Cepat!" Liu
Wan berseru tegang. "Apaaaa..." Kakiku dipotong?" Ku Jing San menjerit hampir pingsan.
"Saudara Liu" Apa maksudmu...?" Kwe Tek Hun menegaskan pula dengan suara
menggeletar. "Daging itu sudah mati dan busuk! Tak mungkin bisa dihidupkan lagi walau dengan
obat dewa sekalipun! Satu-satunya jalan hanya dibuang, sebelum menjalar ke
bagian lain!" Liu Wan menerangkan.
"Ooouuh...!" Ku Jing San berdesah ketakutan.
Wajahnya menjadi putih pucat seperti tak berdarah.
"Saudara Kwe, cepat...! Lakukan apa yang dikatakan Liu Twako! Dia seorang tabib
yang tak mungkin berdusta!" dalam ketegangannya Tio Ciu In ikut berteriak.
"Hihihihi...! Mengapa kalian semua menjadi cemas" Biarkan saja dia mati! Racun
api itu memang tidak ada obat pemunahnya! Sekali kena tak mungkin bisa hidup
lagi!" Mo Goat tertawa puas.
327 Melihat pertunjukkan kekejaman yang sangat mengerikan itu para tamu yang masih
tersisa di tempat tersebut segera bubar menyelamatkan diri.
Ruang makan itu lantas menjadi sepi.
"Iblis keji! Kau memang bukan manusia...!"
akhirnya Kwe Tek Hun memekik, lalu mencabut pedang yang terselip di pinggangnya
dan menabas kaki Ku Jing San, persis pada lututnya.
Darah segar mengucur deras dari kaki yang terpotong itu. Dan pukulan batin
tersebut benar-benar tak dapat dipikul oleh Ku Jing San. Pemuda itu terkapar di
lantai tak sadarkan diri.
Liu Wan yang kemudian bergerak menolongnya.
Pemuda yang mahir ilmu pengobatan itu segera memungut bungkusan obatnya. Paha Ku
Jing San cepat diikatnya erat-erat, kemudian lukanya yang menganga lebar itu
ditaburinya dengan obat sampai rata. Setelah itu semuanya dibalut dengan kain
bersih, sehingga sebentar kemudian kaki yang buntung tersebut telah terbungkus
dengan rapi. Melihat sutenya telah dirawat Liu Wan, Kwe Tek Hun segera kembali menghadapi Mo
Goat. Wajah pemuda gagah itu tampak suram. Bagaimanapun sabarnya pemuda itu,
namun usia Kwe Tek Hun tetap masih muda. Darahnya masih mudah bergejolak pula
seperti halnya pemuda lain. Apalagi tindakan sewenang-wenang itu menimpa adik
seperguruannya sendiri. Maka tidaklah mengherankan bila akhirnya pemuda itu tak
bisa menahan dirinya lagi.
328 Terdengar suara berkerotokan ketika Kwe Tek Hun mengerahkan tenaga saktinya.
Matanya tampak mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan.
"Nona! Sebetulnya aku tidak suka berkelahi dengan wanita. Tetapi perlakuanmu
yang amat kejam itu dan tak berperikemanusiaan itu membuat aku terpaksa
menghadapimu." Lagi-lagi Mo Goat tertawa dingin. Nada suaranya semakin terasa mengerikan,
seperti suara hantu cantik di malam sunyi.
"Kau mau melawanku" Baiklah! Tapi jangan menyesal bila nasibmu sama seperti
kawanmu itu. Hihihi, majulah...!"
Kwe Tek Hun mencabut kembali pedangnya.
Pemuda itu tidak ingin bernasib malang seperti halnya Ku Jing San dan Song Li
Cu, terjungkal pada gebrakan pertama. Apalagi gadis cantik itu sekarang membawa
kipas bajanya yang aneh. "Lihat pedang!" Kwe Tek Hun tiba-tiba berseru dan menyerang. .
Mula-mula pedang Kwe Tek Hun menghunjam ke bawah, menuju ke perut Mo Goat. Tapi
sebelum ujung pedang itu menyentuh sasaran, Kwe Tek Hun mengangkatnya ke atas
seperti layaknya orang mencongkel sebuah benda dengan ujung pedang.
Terdengar suara mengaung takkala ujung pedang yang tipis itu bergetar dengan
hebat. Mo Goat terkesiap. Walaupun serangan yang sesungguhnya belum datang, namun
getaran ujung 329 pedang yang menggiriskan itu seperti memberi bisikan padanya agar berhati-hati.
Oleh karena itu sama sekali ia tak berusaha menangkis atau menyentuh ujung
pedang pedang tersebut. Gadis itu memilih jalan yang lebih aman, yaitu
menghindar sambil balas menyerang.
Dengan gesit Mo Goat menggeliatkan tubuhnya ke kanan, sehingga pinggangnya yang
kecil pipih itu seolah-olah terlipat mau patah. Dan gerakannya yang indah itu
segera diikuti dengan meluncurnya ujung kaki kirinya ke atas, ke dagu Kwe Tek Hun. Untuk sesaat Kwe Tek Hun mengagumi kecerdikan lawan yang tak mau membentur ujung pedangnya, sehingga jebakan yang telah dia persiapkan menjadi batal untuk dilakukan. Bahkan sekarang dagunya balik diserang dengan
ujung sepatu lawan. Kwe Tek Hun menarik tubuhnya ke belakang sambil mengayunkan pedangnya mendatar.
Sambil 330 mengelak pemuda itu bermaksud menabas kaki Mo Goat. Kali ini Kwe Tek Hun benar-
benar mengerahkan kelincahan dan kecepatan geraknya agar mampu memotong kaki
gadis itu, sehingga dendam Ku Jing San dapat terbalas.
Tapi keinginan itu memang sulit terlaksana.
Jangankan memotong kaki lawan, menyentuh kainnya pun ternyata tak bisa. Gerakan
Kwe Tek Hun yang dilandasi tenaga dalam sepenuhnya itu memang cepat bukan main,
namun ternyata gerakan Mo Goat jauh lebih cepat lagi. Hanya dengan jalan
melemparkan badannya ke belakang, gadis ayu itu sudah bisa meloloskan diri dari
tabasan pedang Kwe Tek Hun.
Meskipun demikian beberapa gebrakan tadi sudah cukup bagi mereka untuk men
jajaki ilmu masing-masing. Ternyata mereka sama-sama memiliki kegesitan dan ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa. Ban-seng-po Lian-hoan dari keluarga Kwe yang
sangat dikagumi orang itu ternyata sekarang bisa dilayani dengan baik oleh Mo
Goat. Ginkang gadis itu benar-benar hebat tiada terkira.
Dan pertarungan selanjutnya lebih tepat disebut pertandingan ilmu meringankan
tubuh daripada bertempur mengadu ilmu silat. Mereka berdua bagaikan sepasang
burung walet yang berlaga di udara. Tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari,
di antara meja dan kursi. Kadang-kadang terdengar suara nyaring apa bila kedua
senjata mereka beradu satu sama lain.
331 Traaaaaang! Traaaaaang! Tiiing!
Tak terasa peluh dingin membasahi punggung tangan Liu Wan. Pertarungan itu
sungguh dahsyat dan menegangkan. Masing-masing ternyata memiliki modal ilmu
silat yang sulit dicari tandingannya. Mo Goat yang cantik itu mempunyai ilmu
Istana Pulau Es 6 Anak Berandalan Karya Khu Lung Kereta Berdarah 12
^