Pendekar Pedang Pelangi 5
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 5
silat yang aneh dan mengerikan. Sepintas lalu gaya dan gerakannya seperti campur
aduk antara beberapa ilmu silat yang dimainkan bersama-sama. Namun apabila
diperhatikan benar-benar, maka akan tampak betapa dalamnya arti dari setiap
gerakan yang kelihatan seperti campur aduk itu. Begitu dalam dan rumit sehingga
menyimpan kekuatan yang dahsyat tiada terkira. Apalagi semuanya itu didukung
oleh lwe-kang dan ginkang gadis itu yang sukar diukur pula tingginya.
Akan tetapi Kwe Tek Hun sendiri juga memiliki ilmu yang hebat pula. Sebagai ahli
waris Keh-sim Taihiap (Pendekar Patah Hati), yang tersohor memiliki beberapa
macam ilmu kesaktian tinggi, seperti Pek-in Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan
Putih), Kim-hong-kun-hoat (Pukulan Burung Merak), Pai-hud-sinkang (Tenaga Sakti
Menyembah Budha) dan Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai),
maka tak mengherankan bila pemuda gagah itu juga tumbuh seperti ayahnya. Di
dalam usianya yang masih amat muda, kesaktian Kwe Tek Hun benar-benar sulit
dicari tandingannya. 332 Namun di kota Hang-ciu ini ternyata Kwe Tek Hun mendapatkan lawan yang setimpal.
Mo Goat, seorang gadis remaja, yang usianya jauh lebih muda daripada Kwe Tek
Hun, ternyata mampu menandinginya.
Malahan kalau dikaji benar-benar, gadis cantik itu justru memiliki beberapa
kelebihan yang bisa membahayakan jiwa Kwe Tek Hun. Apalagi gadis itu tampaknya
belum mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya.
Sebagai seorang yang juga memiliki ilmu silat tinggi Liu Wan segera bisa membaca
irama pertempuran mereka. Setelah pertempuran berlangsung lebih dari lima
puluhan jurus, terlihat permainan pedang Kwe Tek Hun mulai tampak kesulitan
menghadapi kelincahan kipas Mo Goat.
Meskipun permainan pedang Kwe Tek Hun tersebut bukan merupakan ilmu andalan
Keluarga Kwe, tapi untuk memainkannya pemuda itu sudah menopangnya dengan Pai-
hud-sinkang dan Pek-in-ginkang, sehingga kekuatan dan kecepatannya benar-benar
telah menjadi berlipat ganda. Akan tetapi kehebatan ilmu pedang itu masih tetap
saja di bawah bayang-bayang ilmu kipas Mo Goat yang cepat dan kuat. Tampaknya
lwekang dan ginkang gadis cantik itu memang lebih tinggi daripada Kwe Tek Hun.
Kenyataan itu benar-benar mengecutkan hati Liu Wan. Pemuda sakti yang mahir
bermacam-macam ilmu itu merasa bahwa kepandaiannya tak lebih baik daripada Kwe
Tek Hun. Walaupun dia memiliki 333
Thian-lui-khong-ciang yang ampuh, rasanya juga sulit mengalahkan Mo Goat. Gadis
cantik itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, sehingga Pek-in Ginkang
keluarga Kwe yang sangat disegani orang itu tak berdaya dibuatnya.
Thian-lui-khong-ciang memang dahsyat. Tapi ilmu itu membutuhkan pengerahan
lwekang yang berat pula. Kalau lawan dengan ginkangnya yang tinggi bisa selalu
menghindari pukulannya, akhirnya ia sendiri yang akan kehabisan tenaga.
"Bukan main...!" Liu Wan berdesah kagum.
Sebaliknya pertempuran tingkat tinggi itu semakin membuka mata Tio Ciu In.
Ternyata apa yang didapat dari gurunya selama .ini belumlah apa-apa bila
dibandingkan dengan mereka. Jangankan harus mengikuti jurus-jurus yang mereka
keluarkan, melihat gerakan-gerakan mereka yang cepat bagai kilat itu saja sudah
membuat pening kepalanya. Namun kenyataan itu justru menggugah semangatnya. Ia
harus bisa seperti mereka. Ia harus lebih tekun mempelajari ilmu silat Im-yang-
kau, karena gurunya pernah bercerita bahwa Aliran Im-yang-kau juga memiliki
sebuah ilmu yang amat dahsyat, yang disebut Ilmu Silat Kulit Doma. Siapa tahu
dirinya bisa mempelajarinya kelak"
Traaaaaaang...! Tiba-tiba Tio Ciu In dikejutkan oleh suara benturan senjata yang amat nyaring.
Ketika gadis ayu itu memandang ke arena pertempuran, dilihatnya Kwe 334
Tek Hun dan Mo Goat telah berhenti bertempur.
Mereka tampak berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah. Sementara Liu Wan
yang berdiri menonton tadi telah berada di dekat Tek Hun.
Mo Goat berdiri tegak sambil mengibas-ngibaskan kipasnya di depan dada. Bibirnya
yang merah tipis itu tersenyum mengejek. Sedangkan Kwe Tek Hun tampak berdiri
lesu memandangi pedang yang terlepas jatuh dari tangannya.
"Kau memang hebat, Nona. Rasanya aku harus belajar sepuluh tahun lagi untuk bisa
menandingimu. Baiklah, kami mengalah kali ini. Tapi suatu saat aku akan mencarimu untuk
membuat perhitungan lagi."
akhirnya pemuda itu menggeram perlahan.
Tak terduga gadis cantik itu mencibirkan bibirnya.
"Wah, enak benar...! Begitu kalah langsung pergi sambil mengancam akan membalas
dendam. Mana ada peraturan begitu?" ujarnya lantang.
Kwe Tek Hun tersentak kaget. "Maksud Nona...?"
Crek! Gadis cantik itu menutup kipasnya dengan tiba-tiba. Matanya yang mencorong
dingin itu menatap ganas. "Tinggalkan dulu kepalamu! Baru kau boleh pergi
meninggalkan tempat ini!" bentaknya keras.
"Kurang ajar...!" Kwe Tek Hun menggeram dengan wajah pucat pasi.
"Kau sungguh keterlaluan sekali, Nona! Apakah kau benar-benar ingin membunuh
kami semua?" Liu Wan berseru penasaran.
335 "Tentu saja. Kalian telah berani mengusik ketenanganku. Dan tadi sudah
kukatakan, orang-orang Han yang berani mengganggu aku akan kubunuh.
"Baik! Kalau begitu silakan kaubuktikan niatmu itu!" Liu Wan menjadi marah juga
akhirnya. "Saudara Liu! Biarkan aku yang membuktikan ucapannya itu!" tiba-tiba Kwe Tek Hun
berteriak, lalu menyerang lebih dulu ke arah Mo Goat.
Gadis cantik itu tertawa mengejek.
"Majulah sekalian semuanya, agar aku bisa menghemat waktu!" serunya seraya
mengelak ke samping. "Iblis...!" Liu Wan mengumpat keras.
Pemuda itu lalu merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Berbareng dengan
kedua kakinya yang ditarik merenggang, kedua belah telapak tangan yang terbuka
itu mendorong ke depan dengan kekuatan penuh. Wuuus! Terdengar suara desir angin
meluncur dari kedua telapak tangan tersebut.
Mo Goat ingin mencoba kekuatan Thian-lui-khong-ciang Liu Wan. Sambil merendahkan
badannya, gadis itu mengibaskan kipasnya ke depan.
Duaaaaar! Terdengar sebuah letupan yang amat keras!
Gadis cantik itu terdorong mundur satu langkah, sementara dua lembar daun
kipasnya di bagian tengah tampak melengkung. Sebaliknya tubuh Liu Wan sendiri
kelihatan bergoyang-goyang, meskipun kedua kakinya tetap kokoh menghunjam
lantai. Pemuda itu 336 merasakan betapa kuatnya sambaran kipas lawannya tadi.
"Bagus, kalian berdua telah maju berbareng! Kali ini aku pun tidak akan segan-
segan lagi mengeluarkan ilmuku! Nah, lihatlah...!" sekonyong-konyong Mo Goat
berseru nyaring. Liu Wan bersiap kembali dengan pukulan Thian-lui-khong-ciangnya. Bahkan pemuda
itu telah siap untuk mengurung lawannya dengan ilmu silat andalan perguruannya,
Tai-khong Sin-kun (Pukulan Angin Puyuh)! Sedangkan Kwe Tek Hun tampak
merapatkan ujung-ujung jari tangannya di depan wajahnya, seolah-olah ingin
membentuk dua buah paruh burung merak dengan jari-jarinya itu.
Tapi mata mereka tiba-tiba terbeliak. Tubuh lawannya yang ramping indah itu
,mendadak pecah menjadi dua bagian, dan masing-masing bagian lalu tumbuh menjadi
tubuh Mo Goat yang utuh, sehingga di dalam arena tersebut ada dua Mo Goat yang
siap bertarung dengan mereka.
"Gila! Tidak mungkin..." Kwe Tek Hun berdesis ragu.
"Awas, Saudara Kwe, gadis ini pandai ilmu sihir!"
Liu Wan yang juga menjadi bingung itu memperingatkan temannya.
"Hihihihi...! Ayolah, keluarkan seluruh kepandaianmu!" sepasang Mo Goat kembar
itu menantang. 337 "Saudara Kwe, mari kita hadapi dia bersama-sama!"
"Mari!" Karena tak tahu mana Mo Goat yang aseli dan mana Mo Goat yang palsu, maka Liu
Wan dan Kwe Tek Hun menyerang saja semuanya. Liu Wan segera mengeluarkan Pukulan
Angin Puyuhnya. Bergantian kedua telapak tangannya menghantam tubuh Mo Goat yang
berdiri di depannya. Angin kencang terasa bersiutan dari telapak tangannya,
melanda tubuh gadis itu. Dan dalam waktu yang bersamaan Kwe Tek Hun juga menerjang pula tubuh Mo Goat
yang lain. Pemuda gagah itu menyerang dengan jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk
Bulan), salah satu jurus Kim-hong-kun-hoat andalan Keluarga Kwe. Gerakannya
sangat indah, namun amat berbahaya dan mematikan. Memang sebenarnyalah bahwa
ilmu silat Keluarga Kwe sangat hebat. Kalau tadi Kwe Tek Hun dikalahkan, hal itu
bukan karena kepandaiannya yang rendah, tapi disebabkan karena pemuda tersebut
telah terlanjur mempergunakan pedangnya. Padahal bukan itulah yang menjadi inti
kepandaiannya. Namun karena pedangnya terlanjur dikalahkan, sebagai seorang
ksatria pemuda itu mengakui kekalahannya.
Kini tanpa pedang di tangannya Kwe Tek Hun justru menjadi lebih berbahaya malah.
Dengan ilmu 338 andalan keluarganya itu Kwe Tek Hun benar-benar seperti seekor harimau ganas
yang tumbuh sayapnya. Demikianlah dalam waktu yang bersamaan Mo Goat diserang dengan dua macam ilmu
silat tinggi yang jarang tampak di dunia persilatan. Meskipun demikian gadis
yang kini berubah menjadi dua orang itu sama sekali tak menunjukkan perasaan
takut. Kedua tubuh kembarnya itu masing-masing cepat mengelak dengan ginkangnya yang
amat tinggi. Bahkan beberapa saat kemudian tubuh kembar itu ganti menyerang dengan gesitnya.
Masing-masing dari tubuh kembar itu berkelebatan mengurung Liu Wan dan Kwe Tek
Hun. Memang mentakjubkan, masing-masing seperti memiliki nyawa sendiri-sendiri.
Maka terjadilah sebuah pertempuran seru, aneh, dan membingungkan! Seru, karena
ilmu-ilmu yang mereka keluarkan adalah ilmu yang jarang ada duanya di dunia
persilatan. Tapi aneh dan membingungkan karena salah seorang di antaranya cuma
bentuk semu atau bentuk tipuan yang sebenarnya tidak ada. Hanya karena kehebatan
ilmu sihir Mo Goat saja hal itu bisa terjadi.
Yang benar-benar repot adalah Liu Wan. Tanpa disadarinya pemuda itu berkelahi
melawan bentuk Mo Goat yang palsu. Maka ilmu silatnya yang dahsyat dan
menggiriskan itu menjadi percuma saja. Dia seperti bertempur dengan sebuah
bayangan yang bisa dilihat, tapi tak dapat disentuhnya. Thian-lui-khong-339
ciang-nya yang meledak-ledak seperti halilintar itu tidak bisa menghancurkan
tubuh lawannya. Paling-paling tubuh lawannya itu seperti bergoyang-goyang mau
hilang bila terkena pukulannya.
Sementara itu Kwe Tek Hun yang kebetulan berhadapan dengan Mo Goat asli, benar-
benar harus mengerahkan segala kemampuannya. Lawannya yang masih amat muda itu
ternyata menyimpan ilmu yang luar biasa tingginya. Ilmu silat keluarganya yang
selama ini tak pernah memperoleh lawan, sekarang benar-benar ketemu batunya.
Tenaga sakti Pai-hud-sinkang dan ilmu meringankan tubuh Pek-in-ginkang, yang
selama ini ditakuti orang, sama sekali tak berdaya mengungguli tenaga dalam dan
kelincahan lawannya. Dalam segala hal gadis cantik itu ternyata berada di
atasnya. Hanya langkah ajaib Ban-seng-po Lian-hoan saja yang akhirnya masih bisa
menolong Kwe Tek Hun dari kehancuran. Dalam keadaan terpojok, langkah ajaib itu
ternyata masih mampu menyelamatkan nyawanya.
Akan tetapi dengan demikian akhir dari pertempuran itu sudah bisa diduga. Cepat
atau lambat Kwe Tek Hun maupun Liu Wan mesti mengakui keunggulan lawannya. Dan
hal itu berarti saat kematian mereka telah tiba Mo Goat yang kejam dan amat
benci kepada orang Han itu tentu akan membunuh mereka.
Walaupun tidak dapat mengikuti irama
pertempuran tersebut, namun Tio Ciu In dapat juga 340
merasakan kesulitan kawan-kawannya. Tapi karena kepandaian sendiri masih
terlampau rendah, maka tak mungkin bisa menolong mereka.
MATAHARI belum terlampau tinggi. Sinarnya yang hangat masih menerobos lobang
jendela, menebarkan kehangatan di udara pagi yang dingin itu.
Tio Ciu In memang tidak merasa kedinginan karena pertempuran itu justru
membuatnya gerah dan cemas.
Lain halnya dengan Tio Siau In, yang pada saat itu sedang duduk merenung
sendirian di rumah tabib di tepi laut itu. Walau di depan perapian, gadis itu
masih kedinginan. Matahari memang bersinar terang di tepi laut itu.
Tapi karena angin laut berhembus sangat kencang, maka panasnya seolah-olah
selalu terguncang pergi terbawa angin. Bahkan hembusan angin yang amat kuat itu
justru melemparkan butiran-butiran air ke daratan. Dinginnya bukan alang
kepalang. Tio Siau In melipat kakinya yang dingin di depan perapian. Gadis centil yang
biasanya selalu bersikap lincah itu kini hanya merenung diam tak bergerak.
Matanya yang berbulu lentik itu menatap kosong ke dalam api, seakan-akan lidah
api yang menjilat-jilat ke atas itu amat mengasyikkannya.
Tio Siau In memang sedang melamun. Berbagai peristiwa menegangkan yang
dialaminya sejak dia meninggalkan rumah berkelebat satu persatu di depan
matanya. Semenjak gurunya memerintahkan dia dan 341
kakaknya ke kota Hang-ciu untuk mencari pemuda bertatto "naga" di badannya,
hingga peristiwa menegangkan yang terjadi di dalam rumah makan itu tadi malam.
Semula Tio Siau In memang tidak menyukai tugas itu. Tugas yang dianggapnya
terlalu mengada-ada dan kurang masuk akal. Tugas yang diberikan atas dasar
ramalan-ramalan yang belum tentu benar. Tapi kejadian demi kejadian yang secara
tak sengaja dilihatnya, membuat Tio Siau In berbalik pikiran.
Sekarang gadis itu berubah menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik
cerita tentang pemuda bertatto naga itu" Mengapa kelihatannya setiap orang
mempunyai kepentingan dengan pemuda bertatto naga tersebut"
Bahkan sekarang di dekat Tio Siau In sendiri ada seorang pemuda yang juga
memiliki tatto naga di dadanya. Mungkinkah pemuda ini yang dimaksudkan oleh
gurunya itu" Tak terasa Tio Siau In melirik ke pintu kamar yang ada di belakangnya. Di dalam
kamar itu A Liong beristirahat. Sejak meminum obat penyembah luka dalam, pemuda
itu langsung tertidur dengan nyenyaknya.
Tio Siau rn menarik napas panjang. Matanya kembali terhunjam ke dalam perapian.
Kejadian yang mendebarkan hatinya semalam kembali di pelupuk matanya. Kejadian
yang sangat membekas di dalam hatinya, yang membuka mata batinnya akan sifat-
sifat 342 manusia. Keculasan, keserakahan, kekejaman, dan tipu daya demi kepentingan
pribadi. Tadi malam, ketika mereka memasuki perairan teluk kecil itu, Su Hiat Hong
meminta kepada Tio Siau In untuk meminggirkan sampannya. Berbeda dengan pantai
di sekitarnya, pantai di teluk kecil tersebut memiliki hamparan pasir yang
landai, sehingga Tio Siau In mudah membawanya ke daratan.
Rumah bekas tabib kerajaan itu didirikan di atas tiang-tiang yang cukup tinggi
dari tanah. Mungkin dimaksudkan untuk menghindari air pasang atau binatang-
binatang melata yang banyak berada di tempat itu. Setiap pintu keluar dipasangi
tangga ke bawah. Sementara di kanan kiri bangunan tersebut ditanami pohon-pohon
besar untuk melindungi rumah itu dari angin laut dan terik matahari.
Rumah itu tidak begitu besar. Mungkin hanya terdiri dari tiga atau empat kamar
saja. Dan dinding bagian belakang rumah itu menempel pada tebing curam yang
memagari ceruk sempit tersebut, sungguh sebuah rumah yang aneh dan antik.
"Rupanya Tong Kiat Teng belum tidur Mungkin dia masih bekerja di kamar obatnya,
atau mungkin dia sedang membaca di kamar tidurnya. Kita jangan sampai
mengagetkannya." Su Hiat Hong berkata pelan ketika melihat jendela rumah itu
terbuka lebar. Sinar lampu dari dalam ruang panggung itu menyorot keluar.
343 "Lalu... apa yang harus kulakukan, Paman" Apakah aku harus naik dan mengetuk
pintunya?" Tio Siau In bertanya.
"Ya! Tapi lebih baik kita pergi ke sana bersama-sama. Coba, kautolong pemuda ini
agar bisa berjalan ke rumah itu!" Su Hiat Hong yang masih lemah itu meminta
kepada Tio Siau In. Tio Siau In lalu memapah A Liong turun dari sampan, kemudian membantunya
berjalan melewati hamparan pasir di tepian pantai tersebut. Su Hiat Hong sambil
mendekap dadanya yang sakit melangkah di belakang mereka.
"He, Paman... lihatlah! Di sana ada perahu!" tiba-tiba Tio Siau In yang secara
tak sengaja memandang ke laut berdesah perlahan. Tangannya menuding ke sebuah
perahu yang ditambat di antara bongkalan batu karang besar di luar pantai.
"Haaah..." Nanti dulu, Nona! Jangan-jangan itu perahu orang-orang Hun tadi!
Awas...! Mari kita mencari tempat persembunyian yang aman!"
"Bagaimana dengan sampan kita?"
"Biarkan saja. Takkan kelihatan dari rumah itu.
Kalau pun diketemukan oleh orang-orang itu, paling-paling juga dikira kepunyaan
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tong Kiat Teng. Ayoh, cepat!"
A Liong sama sekali tak berkata apa-apa ketika dibawa bersembunyi di semak-semak
yang tumbuh di pinggiran tebing ceruk itu. Pemuda yang masih 344
tampak kesakitan itu menurut saja ketika dituntun Tio Siau In ke balik perdu.
Beberapa saat lamanya mereka menunggu di tempat itu. Tapi tak seorang pun tampak
keluar atau terdengar suaranya. Rumah itu kelihatan sepi-sepi saja, Su Hiat Hong
menjadi curiga. Benarkah yang datang itu rombongan orang-orang Hun" Kalau benar
mereka, apa maksud mereka datang ke rumah Tong Kiat Teng ini" Mengapa rumah itu
tampak tenang-tenang saja" Apakah mereka sudah saling mengenal"
"Nona...?" Akhirnya Su Hiat Hong tak tahan lagi menunggu lebih lama. "Mari kita
mendekat ke rumah itu! Kita bergeser perlahan-lahan melalui semak-semak ini,
lalu kita mendekam di bawah kolong rumah. Beranikah kau?"
Tio Siau In tersenyum. "Seharusnya aku yang bertanya kepada Paman. Dengan
keadaan Paman dan A Liong ini, apakah bisa merangkak sampai ke sana?"
"A Liong..." Bagaimana" Kau tinggal di sini atau ikut kami ke rumah itu...?" Su
Hiat Hong bertanya kepada A Liong.
Pemuda itu menengadah kepalanya. Meskipun pucat namun pandangannya kelihatan
tegar dan bersemangat. "Aku ikut!" jawab pemuda itu tegas.
"Baiklah! Tapi kita harus berhati-hati benar!
Langkah kita tidak boleh mengeluarkan suara sama sekali. Sekali kita ketahuan
oleh orang-orang Hun itu, matilah kita! Bagaimana, Nona?"
345 Tio Siau In mengangguk. Bagaimanapun juga gadis cantik itu sudah membulatkan
tekadnya untuk menyelidiki masalah pemuda bertatto naga ini.
Apalagi dia juga sudah bersedia untuk memberi pertolongan kepada Su Hiat Hong
dan A Liong. Tidak enak rasanya membiarkan mereka menempuh bahaya sendirian.
Mereka lalu merangkak perlahan-lahan mendekati rumah panggung itu. Su Hiat Hong
paling depan, A Liong di tengah, dan Tio Siau In di belakang sendiri.
Semakin dekat dengan rumah itu perasaan mereka menjadi semakin tegang. Apalagi
lapat-lapat mereka mulai mendengar suara percakapan orang di dalam rumah itu.
Dua puluh langkah dari bangunan rumah itu Su Hiat Hong berhenti. Perwira
kerajaan itu teringat akan kebiasaan pimpinan orang Hun yang bersembunyi di
dalam gelap. Ditelitinya lebih dulu tempat di sekeliling rumah tersebut, kalau-
kalau ada orang di sana. Setelah yakin tak ada bahaya yang mengancam mereka, Su
Hiat Hong baru merangkak lagi.
Suara percakapan itu semakin jelas terdengar.
Apalagi ketika mereka telah sampai di bawah kolong rumah tersebut. Mereka
mencari tempat yang terlindung di antara bebatuan yang berserakan di bawah
bangunan itu. "Nah, sudah habis waktu yang kita berikan kepada Tabib Tua itu! Bawa dia ke
sini!" tiba-tiba terdengar suara menggeledek di dalam rumah itu.
346 "Baik, Goanswe! Prajurit, bawa orang tua itu ke mari!"
Hampir saja Su Hiat Hong berseru kaget.
Untunglah telapak tangannya cepat membungkam mulutnya sendiri. Tentu saja Tio
Siau In menjadi terheran-heran melihat ulahnya. Gadis itu mendekatkan mulutnya
ke telinga Su Hiat Hong. "Ada apa, Paman" Mengapa kau tampak kaget'
sekali" Apakah Paman mengenal suara itu?"
Su Hiat Hong mengangguk. Namun ia menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya.
Terdengar suara langkah kaki dari bagian depan ke bagian belakang di atas lantai
papan rumah itu. Terdengar suara ribut sebentar. Kemudian terdengar suara langkah lagi, namun kali ini terdiri dari dua orang,
di mana yang seorang langkahnya terdengar lemah dan agak diseret.
"Inilah dia, Goanswe!"
"Bagus! Nah, Tong Kiat Teng... waktu berpikir yang kami berikan telah habis.
Bagaimanakah pendapatmu" Apakah kau sudah mau berterus terang kepadaku?"
"Maaf, Goanswe... aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu di mana
anak-anak itu sekarang."
"Bangsat! Kau menang keras kepala! Apakah kau sudah tak ingin hidup lagi?"
"Goanswe..." Apa lagi yang harus kukatakan kepadamu" Aku sudah mengatakan
semuanya. 347 Memang akulah yang menyelamatkan anak-anak itu dari kobaran yang mengamuk di
istana Pangeran Liu Yang Kun. Dan aku pulalah yang membawa mereka keluar dari
kota raja. Tapi luka-lukaku ketika aku menerobos kobaran api itu selalu
mengganggu perjalananku. Aku tak tahan lagi, sehingga di tengah jalan aku
terpaksa menitipkan mereka pada seseorang.
Celakanya, karena saat itu aku dalam keadaan sakit dan kalut pikiran, maka aku
telah lupa kepada siapa aku telah menitipkan anak-anak itu."
"Bohong...! Kau memang keras kepala! Kau tak mau berterus terang kepadaku! Kau
tentu telah menyembunyikan mereka di suatu tempat...! Hmmh!"
"Aku tidak membohong, Goanswe. Selama lima belas tahun ini aku juga sia-sia
mencari jejak anak-anak itu. Bagaikan orang gila aku mencari mereka ke mana-
mana. Seluruh negeri ini hampir telah kujelajahi semuanya, tapi aku tetap tidak
menemukan mereka. Aku sudah berputus asa. Aku merasa berdosa kepada Pangeran Liu Yang Kun. Itulah
sebabnya aku mengasingkan diri di tempat ini."
"Huh, kau memang benar-benar keras kepala, Kiat Teng! Rupanya kau memang sudah
tidak menyayangi jiwamu lagi. Baiklah, tanpa bantuanmu pun aku tentu dapat
menemukan anak-anak itu. Masih banyak jalan untuk menemukan mereka, walaupun
untuk itu akan jatuh korban jiwa. Aku tidak peduli. Jangankan cuma ribuan jiwa,
kalau aku harus membantai setiap anak yang seusia mereka pun akan aku laksanakan
juga!" 348 Ucapan Au-yang Goanswe itu benar-benar mengejutkan Tong Kiat Teng. Bahkan juga
mengagetkan Su Hiat Hong yang bersembunyi di kolong rumah itu. sungguh keji
sekali hati Jenderal Au-yang yang telah diselimuti dendam itu. Tak terasa Su
Hiat Hong menoleh ke belakang, mencari Tio Siau In dan A Liong. Tapi yang tampak
cuma Siau In saja. A Liong tidak berada di tempatnya. Tentu saja keduanya semakin kaget.
Tio Siau In menjadi cemas sekali. Hampir saja mulutnya berteriak memanggil.
Untung tidak jadi, karena tiba-tiba saja pemuda itu muncul dari celah-celah
besar di sampingnya. "Batu besar ini dapat bergeser. Ada lubang di bawahnya. Aku tadi menemukannya
secara tak sengaja. Nona, marilah kita bersembunyi di sini. Di dalam ada ruangan
yang lebar." pemuda itu memberi keterangan dengan kalimat pendek-pendek seperti
orang yang terengah-engah. Lupa bahwa mereka sedang bersembunyi.
"Hei, siapa di luar..." Beng Ciang-kun tangkap orang yang bersembunyi di luar
itu!" sekonyong-konyong Goanswe yang ada di dalam rumah itu berseru keras
sekali. Muka Su Hiat Hong menjadi pucat seperti kapur.
Kehadiran mereka bertiga telah diketahui orang itu.
Satu-satunya jalan hanya menyelamatkan anak-anak muda itu.
349 "Nona, cepatlah kau ikut A Liong masuk ke dalam lubang itu! Biarlah kutemui
mereka sendirian. Cepat...!" Su Hiat Hong cepat berbisik di telinga Tio Siau In.
"Paman sendiri bagaimana?" Tio Siau In ragu-ragu.
"Jangan khawatir aku kenal mereka! Cepat!"
Bersamaan dengan melompatnya Tio Siau In ke dalam lobang batu, yang kemudian
menutup perlahan-lahan, beberapa orang perajurit kerajaan tampak berloncatan
keluar dari dalam rumah panggung tersebut. Seorang perwira setengah baya cepat
mendekati persembunyian Su Hiat Hong. Empat orang perajurit mengikuti di
belakangnya. "Selamat bertemu, Beng Ciang-kun ...!" Su Hiat Hong menyapa perwira itu dengan
ramah. "Kau..." Ah, Su Ciang-kun rupanya! Bagaimana kau bisa sampai berada di tempat
ini" Di mana Lim Ciang-kun?" orang yang disebut Beng Ciang-kun tersebut berseru
kaget. Suaranya bernada curiga dan berkesan menyelidik. Sama sekali tidak terasa
ramah atau gembira. "Beng Ciangkun, siapa dia? Mengapa tidak segera kaubawa ke dalam?"
"Su Ciangkun, mari kita masuk...! Au-yang Goanswe memanggilmu!" Beng Ciangkun
berkata pelan. Su Hiat Hong tak berani menolak. Beng Ciangkun yang bernama Beng Cun itu
memiliki kepandaian yang tinggi, karena dia adalah tangan kanan Au-yang 350
Goanswe. Perlahan-lahan, dengan menahan rasa sakit Su Hiat Hong menaiki tangga
rumah. "Apakah kau sakit, Su Ciangkun?" Beng Cun bertanya keheranan.
"Ya...! Nanti kuceritakan semuanya..."
Begitu memasuki ruangan Su Hiat Hong
terperanjat. Tong Kiat Teng, sahabatnya itu, benar-benar mengenaskan sekali
keadaannya. Tubuh yang kurus itu tidak mengenakan baju sama sekali.
Wajahnya, kulit punggungnya, lengannya, semuanya terdapat bekas luka siksaan.
"Tong Kiat Teng, kau kenapa" Siapakah yang telah menyiksamu?"
"Ah, Su Hiat Hong... kau?" Tong Kiat Teng menyapa lemah.
Su Hiat Hong cepat melangkah maju, namun dengan cepat Au-yang Goanswe yang
bertubuh tinggi besar dan berusia lima puluhan tahun itu menghadangnya. Sama
sekali tidak ada kesan ramah atau bersahabat dari jenderal yang menjadi
atasannya itu. Bahkan jenderal itu seperti memusuhinya, suatu hal yang benar-
benar tidak dipahami oleh Su Hiat Hong.
Bahkan Su Hiat Hong menjadi kaget ketika pimpinannya itu membentak marah!
"Su Hiat Hong! Di mana Lim Kok Liang dan yang lain-lainnya" Mengapa engkau tiba-
tiba berada di tempat yang terasing ini" Apakah kau memata-matai aku?"
351 Su Hiat Hong menjadi gugup. Meskipun dia telah mencium sesuatu yang tidak beres
pada pimpinannya itu, tapi ia juga belum bisa mengetahuinya dengan pasti. Dan
terus terang hatinya juga tidak berani menduga-duga atau berprasangka yang
bukan-bukan terhadap atasannya itu. Dia memang menjadi kaget ketika mendengar
niat jenderal itu untuk membasmi semua anak keturunan Pangeran Liu Yang Kun,
tetapi karena ia tidak memahami apa sebenarnya yang terselip di balik maksud dan
tujuan Au-yang Goan swe itu, ia tidak berani menanyakannya.
"Goanswe...! Tugas yang Goanswe berikan kepada kami itu ternyata penuh aral dan
rintangan. Tek seorang pun di antara kami yang mampu melaksanakan tugas itu
dengan baik. Bahkan mereka telah menjadi korban. Semuanya telah tewas di tangan
para pengacau yang tidak menyetujui diadakannya Perlombaan Mengangkat Arca itu.
Tinggal aku seorang yang masih hidup. Lim Kok Liang, Ong Ci Kin. Kwa Sing, Gui
ciangkun, semuanya telah gugur di tangan gerombolan saku bangsa Hun..." Su Hiat
Hong melapor seolah-olah tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap pimpinannya.
Namun Au-yang Goanswe seperti tidak
mengacuhkan laporan Su Hiat Hong. Bahkan jenderal itu juga seperti tidak
mempedulikan kematian-kematian anak buahnya.
"Persetan dengan kematian teman-temanmu! Aku tidak peduli! Sekarang katakan
terus terang kepadaku! 352 Mengapa kau sampai di tempat ini" Bukankah kau kutugaskan di kota Hang-ciu"
Lekas jawab!" jenderal itu menggeram keras.
"Goanswe, aku sungguh tidak mengerti apa yang Goanswe maksudkan...."
"Bohong! Kau tidak perlu bersandiwara lagi di depanku. Kau tentu sudah tahu,
atau setidak-tidaknya telah bercuriga kepadaku, sehingga kau tidak pergi
melaksanakan perintahku, tapi selalu menguntit dan memata-matai semua
kegiatanku. Benar tidak....?"
-- o0d-w0o -- JILID IX U HIAT HONG tidak menjawab. Ia
memang pernah mengutarakan
kecurigaannya kepada Lim Kok Liang,
bahwa pihak kerajaan menangani
masalah Perlombaan Mengangkat Arca
benar-benar terasa aneh baginya. Tapi karena waktu itu Lim Kok Liang juga tidak
bisa menebak apa yang terselip di balik keanehan tersebut, maka mereka terpaksa
melakukan saja apa yang ditugaskan kepada mereka. Dan kini secara kebetulan ia
mulai bisa melihat rahasia keanehan itu. Namun tampaknya dia pun tak bisa
melihatnya sampai tuntas. Au-yang Goan-swe, yang kelihatannya merupakan tokoh
utama 353 di balik tabir keanehan tersebut, tentu tidak akan melepaskan dirinya. Au-yang
Goanswe tentu tidak ingin rahasianya diketahui orang luar.
"Nah, Su Hiat Hong! Ternyata kau tidak berani menjawab pertanyaanku! Itu berarti
kau memang telah mengetahui rahasia sepak terjangku selama ini!
Dan kau tampaknya hampir berhasil
mengungkapkannya! Hmm, tapi jangan berharap kau bisa menggagalkan rencanaku! Aku
akan membunuhmu! Aku tidak peduli, apakah sudah memberi laporan kepada Kong-sun
Goanswe atau belum, karena aku yakin kau belum bisa memperoleh bukti yang kuat
untuk menjatuhkan aku...!"
Su Hiat Hong menarik napas panjang. Hatinya semakin tergelitik untuk mengetahui
rahasia keterlibatan Au-yang Goanswe di dalam masalah Perlombaan Mengangkat Arca
yang aneh itu. Begitu inginnya perwira itu menguak tabir rahasia tersebut,
sehingga ia tidak peduli pula akan tuduhan Au-yang Goanswe tentang dirinya.
"Sebentar lagi tentu aku akan dibunuhnya untuk menutupi rahasianya. Namun
demikian aku sungguh akan merasa puas apabila telah mengetahui rahasia
Perlombaan Mengangkat Arca itu." perwira itu berkata di dalam hatinya.
Oleh karena itu dengan perasaan yang semakin tabah dan pasrah, Su Hiat Hong
menentang pandangan mata Au-yang Goanswe.
354 "Baiklah, Goanswe. Aku memang sudah bercuriga dengan tugas-tugas yang kau
berikan selama ini. Banyak keanehan dan kejanggalan yang kulihat di dalam melaksanakan tugas itu.
Akan tetapi secara jujur juga kukatakan bahwa aku belum dapat menebak apa yang
terselip di balik kejanggalan-kejanggalan itu.
Aku baru mulai memahami setelah mendengar ucapan-ucapan Goanswe kepada Tong Kiat
Teng tadi. Walaupun demikian aku tetap belum bisa menguak maksud dan tujuan Goanswe yang
sebenarnya di dalam masalah ini. Nah, Goanswe... sebentar lagi kau akan
membunuhku, dan aku ... sama sekali tidak akan melawan. Namun sebelum aku mati,
bolehkah aku mengetahui serba sedikit semua rahasia itu" Biarlah aku mati dengan
tenang dan tidak membawa rasa penasaran ke alam baka...."
"Hahahaha...! Boleh! Boleh! Kau boleh mendengarnya agar arwahmu tidak penasaran
nanti." Au-yang Goanswe tertawa gembira sambil mengawasi para pembantunya yang berdiri
mengelilinginya. Semuanya juga ikut tertawa puas. Termasuk Beng Ciangkun yang menangkap Su Hiat
Hong tadi. Sementara itu di dalam lubang persembunyiannya A Liong dan Tio Siau In meraba-
raba di dalam gelap. Lubang sempit seperti liang tikus itu ternyata terus memanjang dan berbelok ke
sana ke mari, sehingga akhirnya mencapai sebuah tangga yang menuju ke atas.
355 "Nah, kita sudah hampir sampai di tempat itu." A Liong berbisik. "Tangga ini
akan membawa kita ke ruangan belakang dari rumah itu tadi."
"Hei, mengapa bisa demikian" Bukankah lubang terowongan ini berada di dalam
tanah" Bagaimana bisa berhubungan dengan ruangan yang ada di dalam rumah itu?"
Tio Siau In berbisik pula dengan heran.
"Mudah saja, Cici. Bukankah bagian belakang rumah itu menempel pada dinding
tebing" Nah, tentu saja lubang rahasia ini dibuat seperti liang tikus yang
melubangi tanah, kemudian terus naik ke atas tebing, sampai di dinding bagian
belakang rumah yang menempel tebing tersebut." A Liong yang tadi tampak lemah
tak bertenaga itu kini sudah kelihatan lebih kuat dan sehat. Memang sungguh
mengagumkan sekali ketahanan tubuh pemuda itu. Benar-benar sesuai dengan
perawakannya yang kekar. Tio Siau In mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Sayang liang itu. gelap sekali keadaannya. Kalau tidak, tentu akan tampak betapa
cantiknya gadis itu bila tersenyum.
Mereka lalu menaiki tangga kecil dan sempit itu.
Dan benar juga ucapan A Liong tadi, mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih
lega. Tapi tempat yang disebut ruangan oleh A Liong itu sebenarnya tak lebih
dari sebuah gua kecil dan sempit.
"A Liong...!" Tio Siau In berbisik.
"Bagaimana kau bisa mengatakan gua sempit ini sebagai ruangan belakang rumah
itu?"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
356 Pemuda itu tidak menjawab, tapi segera bergeser ke dinding gua yang berada di
depan mereka. Tangannya meraba-raba kesana-kemari, seakan-akan pemuda itu sudah
paham keadaan gua tersebut dan kini sedang mencari sesuatu di tempat itu.
Tiba-tiba sebuah lubang sebesar perut kerbau terbuka di depan mereka. A Liong
masuk ke dalam, diikuti oleh Tio Siau In. Pemuda itu memberi isyarat agar Tio
Siau In berhati-hati. "Ci-ci, lihatlah...! Bukankah ruang sempit ini berada di bagian belakang rumah
itu" Coba kauintip melalui celah-celah kayu ini!" A Liong berbisik perlahan.
Tio Siau In mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ruang sebesar kandang
ayam itu memang berdindingkan kayu seperti halnya dinding rumah tabib itu.
Lantainyapun juga terbuat dari balok-balok kayu besar. Berkas-berkas sinar lampu
masuk dari sela-sela dindingnya, sehingga ruang sempit itu tidak gelap lagi.
Lapat-lapat terdengar suara orang bercakap-cakap di luar ruang sempit tersebut.
A Liong mengintip melalui sela-sela kayu, sehingga Tio Siau In pun menjadi ikut-
ikutan pula untuk mengintip.
Betapa kagetnya Tio Siau In. Di sebelah luar dari ruang sempit tersebut ternyata
adalah ruang tengah milik Tong Kiat Teng. Di dalam ruangan itu tampak beberapa
orang prajurit berjaga-jaga. Mereka mengelilingi seorang lelaki tua berseragam
perwira 357 tinggi, yang saat itu sedang membentak-bentak Su Hiat Hong!
"Hiat Hong...! Kau tahu siapa sebenarnya Beng Ciangkun di sebelahku ini"
Ketahuilah, dia adalah keponakan Beng Tian almarhum. Hmm, kau ingat tidak nama
Jendral Beng Tian, Panglima Besar tangan kanan Chin Si Hong-te itu?"
Su Hiat Hong tampak merenung sebentar, kemudian mengangguk. "Ya, aku ingat. Dia
adalah Panglima Besar Kerajaan pada zaman Dinasti Chin, pada saat Kaisar Chin Si
Hong-te berkuasa. Dia gugur ketika menghadapi pasukan pemberontak yang dipimpin
oleh mendiang Kaisar Liu Pang."
"Bagus ternyata otakmu masih encer. Nah, apakah kau juga tahu siapa yang telah
membunuh jenderal besar itu?" Au-yang Goanswe mendesak lagi.
Su Hiat Hong menghela napas pendek. Ia tak tahu ke mana arah tujuan pertanyaan
itu. "Aku tidak mengetahuinya, Goanswe. Bagaimana orang bisa memastikan siapa yang
membunuh di dalam peperangan besar seperti itu" Aku memang pernah mendengar
beberapa cerita tentang jenderal besar itu, tapi belum yakin tentang
kebenarannya." "Kau tidak usah ragu-ragu. Cerita yang tersebar di antara kita itu memang benar.
Jenderal Beng Tian terbunuh oleh tangan Liu Pang dan para pembantunya!" dengan
suara geram Au-yang Goanswe menggertak.
358 Su Hiat Hong terdiam. "Lalu... apa hubungannya antara Jenderal Beng Tian itu
dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini?" sesaat kemudian Su Hiat Hong
mengajukan pertanyaan. Au-yang Goanswe tertawa dingin lagi. "Banyak sekali hubungannya! Kau tahu siapa
aku sebenarnya..." Aku sebenarnya bukan bermarga Auyang seperti kalian kenal
selama ini. Namaku yang sesungguhnya adalah Beng Han. Aku adalah putera bungsu
Jenderal Beng Tian itu. Nah, Hiat Hong...
sekarang kau tentu sudah mulai dapat meraba, apa yang sedang kukerjakan saat
ini!" Su Hiat Hong benar-benar terperanjat mendengar pengakuan Au-yang Goanswe
tersebut. Dan otomatis ia menjadi sadar bahwa selama ini ia dan Lim Kok Liang,
bahkan juga para perwira yang lain, telah terperangkap dalam jebakan Au-yang
Goanswe. Putera bungsu Jenderal Beng Tian itu tampaknya telah menyimpan dendam di dalam
hatinya, dan sekarang bangkit untuk melampiaskan dendam kesumatnya itu.
Dan tentu saja yang dituju adalah anak keturunan Kaisar Liu Pang.
Bergidik hati Su Hiat Hong memikirkan hal itu.
"Jangan-jangan lenyapnya Pangeran Liu Yang Kun dan terbakar musnahnya istana
Putera Mahkota itu juga hasil perbuatan Au-yang Goanswe pula." perwira pasukan
rahasia itu bergumam di dalam hatinya.
359 "Tampaknya Au-yang Goanswe ingin menuntut balas atas kematian Jendral Beng Tian
itu...." Su Hiat Hong akhirnya mengatakan juga dugaannya itu.
Au-yang Goanswe tersenyum puas. Kepalanya yang besar dan berambut tebal itu juga
mengangguk-angguk. "Otakmu memang encer sekali. Aku memang hendak menuntut balas atas kematian
orang tuaku. Dan untuk melaksanakan niatku itu aku sudah merencanakannya sejak dulu. Sejak
aku masih berusia dua puluh tahun...."
"Aaah....!" Su Hiat Hong berdesah panjang.
"Jangan kaget! Aku memang tidak ingin gagal.
Oleh karena itu aku selalu menyabarkan diri, dan merencanakan niatku itu dengan
rapi." Au-yang Goanswe berhenti sejenak untuk memperbaiki duduknya. Kemudian
lanjutnya lagi. "Mula-mula aku mengubah nama margaku, agar orang tak
menghubungkan aku lagi dengan almarhum ayahku.
Lalu aku memasuki bidang keprajuritan seperti Ayah ku, dengan harapan suatu hari
kelak aku akan memperoleh kedudukan seperti halnya Ayahku pula.
Sebab hanya dengan kekuasaan dan kekuatan aku akan mampu menuntut balas kepada
Liu Pang." Su Hiat Hong menatap wajah Au-yang Goanswe sebentar, lalu menunduk kembali
dengan perasaan sedih dan kecewa. Sedih karena sebentar lagi, setelah Au-yang
Goanswe itu membeberkan rahasianya, ia tentu akan dibunuh mati agar tidak bisa
bercerita 360 kepada siapa-siapa lagi. Dan kecewa, karena dengan kematiannya itu ia tak akan
mempunyai kesempatan lagi untuk memberitahukan rencana Au-yang Goanswe tersebut
kepada Kong-sun Goanswe, atasannya.
"Akhirnya dengan kepandaianku dan kecerdikanku aku bisa juga memperoleh
kedudukan yang tinggi. Setelah itu dengan berbagai cara aku mendekati keluarga istana. Dan jerih
payahku itu akhirnya berhasil pula. Aku mendapatkan kedudukan sebagai Komandan
Pasukan Pengawal Istana. Saat itu aku benar-benar sudah merasa bahwa cita-citaku
tinggal melangkah satu tindak lagi. Sebagai Komandan Pasukan Pengawal Istana
rasa-rasanya sangat mudah untuk melenyapkan jiwa setiap keluarga Liu Pang."
"Tapi Goanswe juga tidak berani melakukannya, karena di antara keluarga kaisar
itu ada seorang yang kesaktiannya sangat ditakuti di seluruh pelosok negeri ini.
Maka sebelum melaksanakan rencana itu, Goanswe lebih dulu berusaha dengan segala
macam cara untuk menyingkirkan Pangeran Liu Yang Kun terlebih dahulu. Bukankah
demikian, Goanswe?" Entahlah darimana datangnya keberanian itu, mendadak Su Hiat Hong menyela cerita
Au-yang Goanswe tersebut.
Ternyata jenderal itu juga tidak menjadi marah karenanya. Bahkan Au-yang Goanswe
kelihatan senang dan puas menyaksikan Su Hiat Hong bisa mengikuti ceriteranya.
361 "Hahaha, Hiat Hong... kau memang benar-benar cerdik. Sayang kau berada di pihak
lawan, sehingga kau harus mati karenanya. Dugaanmu memang benar.
Untuk berhadapan muka melawan Pangeran Liu Yang Kun, rasanya tak seorang pun
yang mampu melakukannya di dunia ini. Tetapi jangan lupa, bahwa kesaktian itu
masih bisa dikalahkan dengan kecerdikan. Aku lalu menyusup ke dalam puri istana.
Aku berusaha mengadu domba dan memecah-belah keutuhan keluarga Liu Pang itu dari
dalam. Heheh, akhirnya Pangeran Liu Yang Kun yang maha sakti itu pergi juga dari
istana dengan sendirinya. Bahkan aku telah membuatnya menderita seumur hidupnya.
Hohoho... aku sungguh-sungguh puas melihatnya."
Su Hiat Hong mengerutkan dahinya. Matanya tajam memandang kepada Au-yang Goanswe
yang sedang tertawa puas menikmati keberhasilan rencananya. Su Hiat Hong tidak
tahu apa yang telah diperbuat oleh jenderal itu terhadap Pangeran Liu Yang Kun,
sehingga Pangeran Mahkota tersebut bisa pergi dari istananya.
"Dan selanjutnya Goanswe lalu membakar istana pribadi Pangeran Liu Yang Kun,
bukan?" dengan berani pula Su Hiat Hong lalu melontarkan dugaannya.
Tiba-tiba Au-yang Goanswe menghentikan ketawanya. Dengan nada geram ia berkata
lantang. "Tidak. Aku memang ingin menumpas keluarga Liu.
Tapi tak sekalipun terlintas di dalam benakku untuk 362
membakar istananya. Namun demikian kejadian itu membuat hatiku terhibur juga,
karena aku menganggap mereka telah musnah dimakan api."
"Tapi dugaan Goanswe ternyata keliru. Anak-anak Pangeran Liu Yang Kun ternyata
masih hidup." Su Hiat Hong yang tadi mendengar pembicaraan Tong Kiat Teng dengan
Au-yang Goanswe segera menyela.
Jendral itu menggeram kembali. "Ya! Semua itu karena perbuatan monyet tua ini!"
katanya gemas sambil menunjuk ke arah Tong Kiat Teng.
"Monyet ini ternyata membawa anak-anak Liu Yang Kun itu keluar istana, sehingga
mereka terhindar dari kobaran api. Aku baru mengetahui hal itu setelah beberapa
tahun kemudian." "Goanswe lalu berusaha mencari anak anak itu?"
"Tentu saja. Aku tak ingin melepaskan seorang pun di antara mereka. Aku tidak
ingin menanam kesulitan di kemudian hari. Semuanya harus dimusnahkan."
"Tapi sampai sekarang Goanswe belum juga menemukan mereka."
"Siapa bilang" Hahahaha...!" tiba-tiba Au-yang Goanswe tertawa keras. "Sebentar
juga Tong Kiat Teng akan mengatakannya...!"
Diam sejenak. "Goanswe memang hebat...." akhirnya Su Hiat Hong memuji. "Tetapi setelah dapat
menyingkirkan keluarga Pangeran Liu Yang Kun, mengapa kelihatannya Goanswe
berhenti dan tidak melanjutkan rencana itu" Bukankah di istana masih ada
keluarga 363 Liu yang lain" Adik-adik Pangeran Liu Yang Kun misalnya."
"Pangeran Liu Wan Ti maksudmu?"
"Ya, bukankah dia yang ditunjuk oleh Ibu Suri untuk menggantikan Kakaknya?"
Lagi-lagi Au-yang Goanswe menggeram. "Benar!
Aku memang telah gagal melenyapkan Pangeran kecil itu. Dia keburu menghilang
dari istana sebelum aku bertindak terhadapnya. Aku curiga kepada Panglima Yap
Khim. Tentu dia yang menyembunyikannya...."
"Dan... sampai sekarang Goanswe masih tetap penasaran karena belum menemukan
anak keturunan Pangeran Liu Yang Kun maupun Pangeran Liu Wan Ti."
"Ya! Aku memang sangat penasaran. Aku harus bisa menemukan mereka dan
memusnahkannya." "Lalu bagaimana dengan dua orang adik Pangeran Liu Wan Ti yang kini masih berada
di istana" Mengapa Goanswe tidak menyingkirkannya sekalian?"
"Anak-anak cacad itu" Hehehehe...! Mengapa aku harus mengkhawatirkan anak-anak
tidak berguna itu" Tak seorang pun di dunia ini yang mau diperintah oleh manusia tidak waras."
"Kalau begitu mengapa Goanswe tidak lekas-lekas mengambil alih kekuasaan" Belum
waktunya" Apakah Goanswe masih takut kepada Panglima Yap Khim?"
364 "Kurang ajar...! Tutup mulutmu!" hardik Au-yang Goanswe berang.
"Maaf, Goanswe."
"Hmmh...! Waktunya memang belum tiba!
Panglima keparat itu memang masih memiliki kekuatan yang besar di antara anak
buahnya! Dia harus dicarikan lawan yang setimpal lebih dahulu!"
"Dan Goanswe telah mendapatkannya, meskipun cara yang Goanswe tempuh amat hina.
Goanswe telah mengkhianati negeri sendiri. Goanswe mengundang kekuatan asing,
bersekongkol dengan Mo Tan, raja suku bangsa Hun itu untuk mengacau negeri kita.
Bukankah begitu, Goanswe?" Su Hiat Hong semakin berani mengungkapkan
kecurigaannya di depan Auyang Goanswe, dan sama sekali tak mempedulikan lagi
keselamatannya sendiri. Benar juga. Ucapan Su Hiat Hong itu benar-benar menyinggung perasaan Au-yang
Goanswe. Wajah jendral bertubuh tinggi besar itu menjadi merah padam.
Kemarahannya tak bisa dikekang lagi. Tiba-tiba tangannya mencabut golok yang
terselip di pinggangnya, lalu mengayunkannya ke leher Su Hiat Hong!
Su Hiat Hong berusaha sekuat tenaga untuk mengelak, namun karena luka dalamnya
kembali menyengat, maka gerakannya menjadi lamban dan kaku. Golok itu tak jadi
mengenai leher Su Hiat Hong, tapi menerjang bahu kanannya. Segumpal daging dan
sepotong tulang bahu perwira pasukan rahasia itu 365
terlepas dari tempatnya. Begitu tajamnya golok tersebut sehingga Su Hiat Hong
hampir-hampir tak merasakannya. Baru sesaat kemudian ketika rasa nyeri terasa
menggigit di tempat yang terluka itu, Su Hiat Hong menjadi sadar bahwa lengan
kanannya sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Kejadian tersebut berlangsung cepat sekali, sehingga semua orang yang berada di
dalam ruangan itu baru sadar ketika semuanya telah terjadi. Tong Kiat Teng yang
keadaannya juga sudah payah itu baru menjerit kaget ketika sahabat-baiknya itu
menggelepar di atas lantai.
"Su Hiante (Saudara Su)...?" Tabib is tana itu merintih sedih.
"Ah!" Tak terasa Tio Siau In juga menjerit lirih di tempat persembunyiannya.
Walau cuma lirih, akan tetapi telinga Au-yang Goanswe yang tajam itu dapat juga
menangkapnya. Hanya saja jendral yang telah haus dendam tersebut tidak bisa memastikan, dari
mana jerit kecil Tio Siau In itu berasal. Akan tetapi yang jelas suara asing
tersebut membuat pikirannya menjadi panik.
"Bangsat busuk! Ternyata kau membawa kawan ke tempat ini, Hiat Hong...! Beng
Ciang-kun, cari orang yang mengeluarkan suara tadi!" jendral itu berseru cemas
sambil mengayunkan kembali goloknya. Kali ini tak mungkin lagi dielakkan oleh Su
Hiat Hong. "Goanswe, jangan...!" Tong Kiat Teng melompat ke depan, berusaha menolong
sahabatnya. 366 Namun usaha Tong Kiat Teng itu justru membahayakan dirinya sendiri. Au-yang
Goanswe yang sudah terlanjur mengayunkan goloknya itu tak mungkin menariknya
kembali. Maka di lain saat bukan Su Hiat Hong yang terkena tabasan golok tajam
itu, tapi justru tubuh Tong Kiat Teng yang menjadi korbannya. Craaaaaak!
"Aaauggh!" Tabib tua itu mengeluh pendek.
Tubuhnya terjerembab menimpa badan Su Hiat Hong.
Punggungnya terbelah lebar, sehingga darah segar seperti membanjir ke luar.
"Tong-heng (Saudara Tong)...?" Su Hiat Hong yang masih sadar itu terpekik kaget.
Otomatis lengannya memeluk sahabatnya itu.
Akan tetapi iblis tampaknya memang sudah merasuk ke dalam jiwa Au-yang Goanswe.
Bukannya terharu menyaksikan kedua orang sahabat itu saling berangkulan, tapi
sebaliknya justru keganasanlah yang timbul di dalam hati Au-yang Goanswe. Sekali
lagi golok yang haus darah itu berkelebat, dan kali ini benar-benar mengenai
leher Su Hiat Hong! Dan kepala Su Hiat Hong, perwira pasukan rahasia kerajaan
yang telah banyak jasanya kepada negara itu menggelinding di atas lantai,
terpisah dari tubuhnya! Kekejaman itu sungguh amat menggoncangkan pikiran Tio Siau In yang masih polos.
Hampir saja gadis itu menerjang dinding pemisah tersebut dan bertarung melawan
Au-yang Goanswe. Untunglah A Liong cepat memeluknya dari belakang, kemudian 367
dengan paksa menariknya masuk ke dalam lubang gua kembali. Dan untuk mengamankan
tempat itu A Liong lalu menutup kembali pintu rahasia lubang tersebut.
"Sabar, Cici.... Kita takkan menang melawan mereka. Mereka berjumlah banyak
serta lihai-lihai. Kita harus mempergunakan akal bila ingin menghadapi mereka...." A Liong membujuk
dengan suara pelan. Sementara itu Beng Ciangkun beserta prajurit-prajuritnya mengobrak-abrik seluruh
dataran sempit itu, namun usaha mereka sia-sia saja. Tak seorang manusia pun
yang mereka dapatkan di tempat itu.
Mereka hanya menemukan sampan yang ditinggalkan oleh Tio Siau In tadi.
"Heran...! Aku tadi juga mendengar suara itu.
Tapi... di mana dia" Masakan ada hantu sepagi ini?"
Beng Ciangkun menggerutu kesal.
Fajar memang mulai tampak menyorot di ufuk timur. Sinarnya yang merah kekuning-
kuningan itu seakan-akan menembus dari bawah permukaan air laut, sehingga air
laut pun lalu ikut-ikutan berubah pula warnanya menjadi merah seperti darah.
"Bagaimana, Beng Ciangkun" Kautemukan orang itu?" Au-yang Goanswe yang kemudian
ikut menyusul keluar, bertanya kepada Beng Ciangkun.
"Sungguh mengherankan sekali, Goanswe. Sudah kami periksa setiap jengkal tanah
di tempat ini, tapi kami tak menemukan seorang manusia pun di sini.
368 Kami memang menemukan sampan kecil di tepian sana, tapi jejak-jejaknya sudah
terhapus oleh air pasang."
"Gila! Seharusnya tidak kubunuh dulu Su Hiat Hong itu! Disiksa dulu agar mau
mengatakan, berapa teman yang dibawa nya ke tempat ini. Hhhh...! Jika dia memang
benar-benar membawa teman, dan orang itu juga ikut mendengarkan pula ceritaku
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi, kedudukanku menjadi sangat berbahaya. Sewaktu-waktu orang itu bisa
menghadap Yap Tai Ciangkun (Panglima Besar Yap) di kota raja untuk melaporkan
kegiatan kita." Beng Ciangkun melangkah maju ke depan Au-yang Goanswe. "Kita tak perlu berkecil
hati, Goanswe. Mungkin kita tadi salah dengar, sehingga menyangka ada orang lain di tempat ini.
Nyatanya tidak ada. Kalau pun memang benar tadi ada orang yang mengintip dengar pembicaraan kita,
dan orang itu keburu bisa menyelamatkan diri, kita juga tidak perlu takut
kepadanya. Dimisalkan ia melapor kepada Yap Tai Ciangkun pun kita juga tak perlu
mengkhawatirkannya. Bukankah Au-yang Goanswe mempunyai hubungan yang lebih baik
dengan Ibu Suri daripada hubungan Yap Tai-ciang-kun" Aku percaya bahwa Ibu Suri
akan lebih mendengarkan perkataan Goanswe daripada ucapan Yap Tai Ciangkun."
Tiba-tiba wajah Au-yang Goanswe yang cemas itu menjadi cerah kembali.
369 "Benar, kau memang benar, Beng Ciangkun!
Hahaha, kau memang seorang perwiraku yang baik.
Sungguh beruntung aku memiliki pembantu seperti kau." Jendral itu berseru dengan
gembira. Kemudian katanya pula kepara para prajurit yang berkumpul di
sekelilingnya. "Dan... kalian semua adalah prajurit-prajurit pilihan, yang
sengaja kupilih serta kukumpulkan karena kalian semua sebenarnya adalah anak
keturunan marga Beng yang besar. Meskipun di kehidupan sehari-hari kalian telah
menyembunyikan marga kalian seperti halnya aku, tapi jiwa kita tetap mendambakan
kejayaan marga kita seperti dahulu.
Oleh karena itu kita semua harus berusaha sekuat tenaga, agar cita-cita kita itu
bisa terwujud. Kalian harus tetap mentaati sumpah kita bersama, untuk tetap
merahasiakan gerakan-gerakan yang telah kita lakukan sehingga rencana dan cita-
cita kita itu berhasil. Mengerti?"
"Kami mengerti, Goanswe...!" prajurit-prajurit itu menjawab serentak.
"Nah, hari sudah siang. Mari kita pergi...!"
"Bagaimana dengan mayat Su Hiat Hong dan Tong Kiat Teng, Goanswe?" Beng Ciangkun
bertanya. "Ah, biarkan saja mereka di sana. Tempat ini tak mungkin didatangi orang.
Biarlah mayat mereka membusuk dengan sendirinya."
Demikianlah, sebentar kemudian prajurit-prajurit kerajaan itu telah pergi
meninggalkan teluk kecil tersebut. Mereka berlayar dengan perahu mereka ke 370
selatan, menuju ke kota Hang-ciu. Ternyata di tengah lautan mereka sudah
dinantikan tiga buah perahu besar yang sarat dengan prajurit beserta
perlengkapannya. Au-yang Goanswe yang sangat dipercaya serta mempunyai hubungan
erat dengan Ibu Suri itu memang banyak mendapatkan kekuasaan istimewa di
kalangan keprajuritan. Setelah yakin bahwa Au-yang Goanswe dan anak buahnya telah pergi,
A Liong dan Tio Siau In lalu keluar dari lubang persembunyian mereka. Bergegas
mereka naik ke rumah Tong Kiat Teng untuk -menjenguk mayat Su Hiat Hong yang
mengenaskan. "Ah, Paman... kematianmu sungguh menyedihkan.
Dibunuh oleh atasanmu sendiri yang tamak dan tak berperi-kemanusiaan. Alangkah
malangnya nasibmu ...." Tio Siau In menyesali kematian perwira yang baru dikenalnya itu.
"Sudahlah, Cici. Marilah kita kuburkan jenazah mereka...!" A Liong berkata
perlahan. Tio Siau ln menoleh. Matanya menatap pemuda tanggung yang bertubuh tinggi dan
kekar itu. Hampir saja gadis itu menjerit. Setelah berada di tempat terang,
barulah terlihat betapa pakaian yang dikenakan A Liong itu telah compang-
camping. Bahkan bajunya nyaris hancur sama sekali.
"liih! A Liong, carilah pakaian seadanya di rumah ini! Jangan telanjang
begitu...!" gadis itu memekik lirih. Mukanya agak merah.
371 A Liong tertawa. Bagi pemuda itu tanpa baju sudah biasa baginya. Sebagai
gelandangan yang kadang-kadang cuma hidup dari belas kasihan orang, A Liong
sudah terbiasa mengenakan pakaian yang tidak utuh.
Tapi karena sekarang sedang berdekatan dengan gadis terhormat seperti Tio Siau
In, maka A Liong menurut saja ketika disuruh mencari pakaian yang pantas.
Sebentar saja pemuda itu sudah kembali lagi dengan pakaian yang utuh dan bersih.
Namun karena pakaian yang dikenakan itu milik Tong Kiat Teng yang kurus, maka
baju dan celana tersebut menjadi kelihatan kekecilan untuk A Liong.
"Nah, aku sudah berpakaian sekarang. Tampan juga, ya... Cici?" Dengan senyum
riang A Liong melucu di depan Tio Siau I n.
Tio Siau In tersenyum pula melihat kepolosan sikap pemuda tanggung itu.
"Ya, kau memang cukup tampan. Sayang terlalu lemah." Tio Siau In menggoda.
"Ah, belum tentu. Sekarang aku memang masih lemah. Tapi lihat lima tahun lagi,
aku akan menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa."
Tio Siau In terpaksa tidak bisa menahan senyumnya yang lebar. Pemuda tanggung di
depannya itu benar-benar sangat menggelikan.
"Lima tahun..." Wah, cepat benar! Lalu di mana kau akan belajar silat secepat
itu?" Tiba-tiba pemuda itu bersikap serius. "Uh, apa Cici lupa... bahwa untuk menuntut
kesaktian ada tiga 372 tempat untuk dipilih. Coba Cici dengarkan pantun ini...."
Menjadi pendekar gagah perkasa,
Ada tiga jalan untuk mencapainya!
Pertama di Puncak Gunung Hoa-san!
Ke dua di tengah Gurun Gobi!
Dan terakhir di Lembah Tak berwarna!
"Nah, Cici tentu pernah mendengar pantun itu, bukan?" A Liong mengakhiri
pantunnya dengan nada yakin dan bersemangat.
"Oh... itu! Lalu kau hendak belajar ke mana" Ke Gunung Hoa-san, ke Gurun Gobi,
atau ke Lembah Tak Berwarna?" dengan suara menggoda Tio Siau In bertanya.
Tapi A Liong tak mempedulikan godaan Tio Siau In. Dengan suara tetap bersemangat
pemuda itu menjawab lantang.
"Aku tidak ingin yang nomer dua atau nomer tiga, Cici. Aku ingin menjadi
pendekar nomer satu. Oleh karena itu aku akan ke Puncak Gunung Hoa-san!"
"Apakah kau kuat mendaki gunung yang tinggi itu"
Bukankah kau sedang terluka dalam?"
"Ah, aku sudah sembuh sekarang! Lihat...!" A Liong berseru gembira sambil
memperagakan otot-otot lengannya yang membengkak kencang. Namun tiba-tiba
mulutnya meringis. Tangannya yang bergaya itu segera turun memegangi dadanya.
373 Tio Siau In terkejut. "Eh, kenapa kau...?" tanyanya cemas.
"Wah, Cici... dadaku sakit lagi." dengan suara kikuk dan malu A Liong menjawab.
Tio Siau In tertawa kecil, "Nah... apa kataku tadi"
Kau belum sembuh benar dari luka dalammu.
Keadaanmu memang cepat menjadi baik karena tubuhmu sangat kuat dan sehat. Tapi
kau belum boleh mempergunakan tenaga terlalu berat. Sekarang beristirahat
sajalah, biar aku yang menguburkan mayat-mayat ini!"
"Wah, tidak bisa! Mana boleh aku membiarkan Cici bekerja sendirian! Aku harus
membantumu! Ayoh...!"
A Liong tetap memaksa juga.
Terpaksa Tio Siau In tak tega untuk melarang lagi.
"Baiklah! Tapi setelah selesai menguburkan mayat-mayat ini, kau harus minum
obat! Nanti kita mencarinya di almari obat Tong Kiat Teng. Dia tentu banyak
menyimpan obat-obatan...."
"Tapi bagaimana kita bisa memilih obat yang cocok untuk penyakitku" Jangan-
jangan kita malah salah obat nanti?" A Liong kurang setuju.
Tio Siau In mencibirkan bibirnya yang tipis kemerah-merahan. "Nah, ketahuan satu
lagi! Ternyata selain lemah kau juga bodoh pula! Huh!"
Tiba-tiba wajah A Liong menjadi cemberut. "Wah, jangan menghina...Cici! Mengapa
aku kaukatakan bodoh pula?" katanya penasaran.
374 Tio Siau In membalikkan tubuhnya. Sambil bertolak pinggang gadis lincah itu
mengawasi A Liong. "Habis, soal begitu saja kau sudah bingung.
Bagaimana aku tidak mengatakan kau bodoh"
Ketahuilah, di manapun juga setiap tabib atau tukang obat tentu memberi tanda
atau keterangan pada setiap jenis obat yang disimpannya. Mereka itu juga tak
ingin salah ambil obat. Tahu...?" sergahnya dengan nada menggurui.
Raut muka A Liong yang kokoh keras itu perlahan-lahan menunduk.
"Ya, kau benar... Cici. Dalam hal tulis menulis aku memang tak mengerti." pemuda
itu berdesah sedih. Sekonyong-konyong Tio Siau In tertawa. "Hei, A Liong! Ke mana semangatmu tadi"
Mengapa mendadak kau menjadi loyo begitu" Mengapa kau tidak mengeluarkan
pantunmu lagi" Ayoh, bersemangat! Ilmu membaca dan menulis juga bisa
dipelajari...!" gadis itu meledek untuk menggugah semangat A Liong.
Benar juga. Air muka pemuda kekar itu menjadi cerah kembali.
"Wah, kau sungguh hebat sekali, Cici! Aku senang kepadamu! Kau pintar, ceria,
dan selalu percaya diri! Eh, siapakah namamu, Cici" Kau tadi sudah mengatakan nya belum" Aku sampai lupa
lagi...." Tio Siau In memonyongkan mulutnya yang lancip.
"Uh, enak saja tanya-tanya nama orang. Memangnya hendak kau bawa ke mana
namaku?" 375 A Liong menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Ya... tidak dibawa ke mana-
mana. Cici, kau ini bagaimana, sih..." Ditanya namanya saja, marah."
"Habis, caramu bertanya juga ngawur!"
"Ngawur" Ngawur bagaimana...?" A Liong semakin bingung.
"Sudahlah! Tak usah tanya-tanya nama segala!" Tio Siau In cemberut, lalu
membalikkan tubuh membelakangi A Liong.
"Baiklah...! Biarlah aku tak usah tahu nama Cici."
akhirnya A Liong mengalah. Tapi kemudian disambungnya pula dengan senyum
dikulum. "Biarlah kalau nanti bertemu di jalanan aku akan berteriak memanggilmu,
hei... Cici Kikir! Cici Pemarah!"
Tubuh mungil itu kontan berbalik menghadapi A Liong. Tapi sekarang mata itu
tidak berpendar-pendar indah lagi. Mata itu berubah seperti mata harimau betina
yang sedang kehilangan anaknya.
"Apa katamu..." Kausebut aku... Kikir" Pemarah"
Begitu...?" A Liong meringis, pura-pura ketakutan. "Habis, aku harus memanggil apa" Bukankah
CiCi memang kikir dan pemarah" Buktinya, ditanya namanya saja tidak boleh.
Bahkan marah-marah pula. Yaaa, sudah...! Aku akan berteriak memanggilmu, hei...
Cici Ayu! Cici Ayu! Begitu! Nah, boleh tidak...?"
"Panggil aku... Siau In! Bodoh!" Akhirnya Tio Siau In menjadi kesal sendiri
menghadapi pemuda konyol seperti A Liong itu.
376 Selesai berkata gadis itu berbalik dan tidak memperdulikan A Liong lagi. Tanpa
rasa takut atau pun jijik gadis itu membenahi mayat Su Hiat Hong dan Tong Ki at
Teng. Kepala yang terpisah itu diambilnya, kemudian dijadikan satu dengan
badannya. Lalu kedua mayat itu masing-masing dibungkus dengan kain seadanya yang
ada di dalam rumah itu, agar darah atau anggota tubuh lainnya tidak berceceran
ke mana-mana. "Sungguh kejam! Orang itu benar-benar berhati iblis!" gadis itu bergumam di
dalam hati. Sementara itu seperti orang gendeng (linglung), A Liong masih termangu-mangu di
tempatnya. Matanya tak lepas dari wajah Tio Siau In yang sedang sibuk membenahi
mayat-mayat itu, tapi pikirannya tampak melayang-layang entah ke mana.
"Siau In, hemm... Cici Siau In?" gumamnya tak jelas. "Akan kuukir nama ini di
dalam otakku, agar tidak sampai lupa...."
Selesai membungkus mayat-mayat itu, Tio Siau In bermaksud membawa keluar. Tapi
serentak mendengar igauan A Liong, hatinya menjadi tergelitik lagi.
"Dasar bodoh, ya tetap bodoh! Masa mengukir nama di dalam otak" Mengukir nama
itu di dalam hati! Tahu?" semprotnya lantang.
A Liong tersentak kaget. Tapi selanjutnya dengan tenang pemuda itu menjawab
seenaknya. Bahkan nada omongannya masih tampak kekanak-kanakan.
377 "Wah, Cici ini bagaimana... sih" Kalau sepasang kekasih yang sedang bercintaan,
nama itu memang diukir di dalam hati. Tapi kalau hanya teman biasa seperti kita
ini, nama itu cuma diukir di dalam otak."
"Hush, omonganmu semakin melantur ...!" Tio Siau In membentak.
"Hei aku tidak melantur. Aku memang benar-benar mengukir nama Cici di dalam
otakku. Besuk kalau aku sudah dewasa dan menjadi pendekar gagah perkasa, aku
akan benar-benar mencari Cici Siau In."
"Mau apa kau mencariku?" Tio Siau In bertanya heran.
Tapi dengan wajah ketolol-tololan A Liong menggelengkan kepalanya. "Wah, mana
aku tahu" Bukankah waktunya masih lama" Tentu saja aku tak bisa memikirkannya sekarang,
dong...." "Ah, sudahlah! Bicaramu semakin menjengkelkan!
Ayoh, kita kuburkan mayat ini!" Tio Siau In memotong perkataan A Liong dengan
kesal. A Liong tertawa. Dengan gesit pemuda itu membantu Tio Siau In mengeluarkan kedua
mayat itu ke halaman. Sama sekali tidak kelihatan kalau dia masih menderita luka
dalam. Sambil bekerja masih saja pemuda itu mengganggu Tio Siau In dengan
ucapan-ucapannya yang polos dan menggelikan.
"Cici, kau jangan marah, ya..." Kasihanilah aku.
Sejak kecil aku menjadi gelandangan. Hidup terlunta-lunta, dari kota ke kota
mencari sesuap nasi dan belas kasihan orang. Tampaknya saja selalu berkeliaran
di 378 tempat ramai, namun hatiku selalu merasa kesepian dan sunyi. Tak seorang pun
selama ini yang memperhatikanku. Rasanya aku ini seperti sampah, yang selalu
dihindari dan disingkirkan. Oleh karena itu hatiku benar-benar tersentuh melihat
perhatianmu padaku tadi malam. Cici seorang gadis dari kalangan baik-baik dan
terhormat, ternyata mau menolong aku, menuntun aku, bahkan mau memapah aku,
seorang pemuda gelandangan yang kotor dan hina. Aku keenakan. Padahal sebenarnya
sakitku sudah tidak begitu terasa lagi. Sudah sembuh. Malah... sudah bisa
berjalan sendiri. Tetapi aku tidak ingin kehilangan rasa haru dan nikmat
itu...." "Huh, jadi malam tadi kau menipuku, ya" Ih, enaknya...!"
"Habis aku tak mempunyai... orang tua atau kakak yang bisa menggandeng tanganku,
menuntun langkahku, atau mengajakku bercanda. Maka kesempatan yang membahagiakan
itu tentu saja takkan kulewatkan, hehe. Bahkan kalau tidak merasa kasihan kepada
Cici, rasanya aku ingin menjadi lumpuh saja biar kaugendong."
"Ih, enaknya...!" Tio Siau In mencibir.
Mereka bercakap-cakap sambil bekerja. Untunglah tanah di tempat itu sangat empuk
sehingga sebentar saja mereka telah selesai menguburkan mayat Su Hiat Hong dan
Tong Kiat Teng. Setelah membersihkan tangan dan kaki, mereka lalu mencari obat yang cocok untuk
A Liong. Benar saja, 379 semua obat yang tersimpan di dalam almari obat Tong Kiat Teng dibubuhi tulisan
dan keterangan, sehingga dengan mudah Tio Siau In memilihnya. Semula A Liong
masih tetap ragu-ragu, tapi karena didesak terus oleh Tio Siau In, terpaksa
pemuda itu meminumnya. Ternyata habis meminum obat A Liong merasa mengantuk sekali.
"Uuuuuuuhh..."!"
Tiba-tiba Tio Siau In tersentak dari lamunannya.
Bergegas gadis cantik itu menjenguk ke dalam kamar A Liong. Hampir saja mereka
bertabrakan di depan pintu, karena pemuda itu dengan tergesa-gesa juga berlari
keluar. "Cici Siau In, aah...! Kukira kau telah pergi meninggalkan aku. Hmm, aku
ketiduran, dan bermimpi... indah sekali."
"Bermimpi" Nah, begitu bangun kau sudah akan mulai mengoceh lagi. Sudahlah, aku
tak mau mendengarkannya lagi. Ayoh sekarang kita kembali ke kota!"
A Liong kelihatan kecewa karena Tio Siau In tak mau mendengarkan ceritanya.
"Ke kota" Kota mana...?" tanyanya kurang bersemangat.
"Ya... ke kota Hang-ciu! Mau ke mana lagi" Aku akan menemui kakakku di sana. Dia
tentu telah menanti-nanti kedatanganku. Ayoh!"
"Menemui Kakakmu?" A Liong semakin tak bergairah. Hatinya terasa menjadi sepi
kembali seperti 380 hari-hari yang lalu. Kalau Tio Siau In sudah berkumpul dengan saudaranya,
otomatis tentu akan melupakan dirinya. "Ah, aku tak ingin kembali ke kota Hang-
ciu lagi. Kota itu terlalu rusuh. Aku ingin pergi ke tempat lain saja, yang sepi
dan jauh dari keramaian kota."
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei" Kau mau ke mana" Apakah kau benar-benar ingin mendaki puncak Gunung Hoa-
san?" Tio Siau In tersentak. Tiba-tiba gadis itu teringat akan tugas yang
diberikan suhunya. Siapa tahu pemuda ini yang dimaksudkan dalam ramalan itu"
A Liong memandang Tio Siau In sebentar, lalu mengangguk lemah.
Tentu saja Tio Siau In menjadi bingung, bagaimana harus membujuk A Liong supaya
ikut dengannya. "Wah, repot benar. Masakan aku harus menotoknya lemas, kemudian menggendongnya
ke Han-ciu" Iiih, keenakan dia nanti..." gadis itu berpikir keras.
"Nah, kalau begitu aku akan berangkat lebih dahulu, Cici." Tiba-tiba A Liong
pergi sambil meminta diri. Wajahnya tampak kuyu dan tak bersemangat.
"Eh, nanti dulu...!" Tio Siau In berseru kelabakan.
Gadis itu mengejar langkah A Liong.
Ternyata A Liong benar-benar sangat sedih, sehingga ia tak mau berlama-lama
tinggal di situ. Suara panggilan Siau In sama sekali tak dihiraukannya.
381 "Hei! Hei! A Liong...! Mau ke mana kau"
Bukankah sampan kita cuma satu" Bagaimana aku dapat meninggalkan tempat ini
nanti?" Tanpa mengendurkan langkahnya A Liong berdesah pendek. "Aku akan berjalan
melewati pinggiran pantai. Silakan Cici menggunakan sampan itu...."
Karena A Liong tetap tidak mau menghentikan langkahnya, terpaksa Tio Siau In
menarik lengannya. "Eh, berhenti dulu....! Sebenarnya kenapa kau ini"
Mari kita berbicara dulu secara baik. Masakan kita berpisah begitu saja tanpa
kesan apa-apa?" gadis itu mencoba membujuk dengan suara manis.
Benar saja. A Liong berhenti melangkah. Sambil menghela napas panjang pemuda itu
menundukkan mukanya di depan Tio Siau In. Sama sekali hilang kesan kegarangan
tubuhnya yang kokoh kekar itu.
"Apa yang hendak kita bicarakan lagi, Cici?"
ucapnya lemah. Mereka saling berhadapan dekat sekali. Bahkan tangan Tio Siau In masih memegang
lengan A Liong yang kokoh itu. Namun gadis itu tetap saja belum tahu apa yang
sebenarnya berkecamuk di dalam dada A Liong. Sebagai gadis yang juga baru mulai
menginjak remaja, Tio Siau In juga belum bisa meraba pula apa yang menyebabkan
pemuda itu secara mendadak bersikap aneh seperti itu.
Tio Siau In cuma bisa melihat, tiba-tiba A Liong kelihatan sedih dan tak
bersemangat begitu diajak 382
kembali ke Hang-ciu. Malah akhirnya pemuda itu memutuskan untuk tidak kembali ke
kota tersebut. Pemuda itu ingin pergi ke puncak Gunung Hoa-san.
Tio Siau In mengangkat wajahnya. Dipandangnya pemuda tanggung bertubuh tinggi
kekar di depannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"A Liong, mengapa kau kelihatan bersedih"
Apakah kau mempunyai persoalan di kota Hang-ciu?"
bujuknya kemudian dengan suara lemah lembut.
A Liong melirik sekejap kemudian menggeleng.
"Lalu... mengapa kau tak mau kembali ke sana?"
"Cici sudah kukatakan aku ini anak gelandangan yang tak mempunyai tempat tinggal
tetap. Aku juga tak punya sanak-saudara. Bahkan aku ini juga tak tahu pula dari
mana asalku, dan siapa orang tuaku. Sejak kecil aku hidup di antara bocah-bocah
gelandangan, yang mengembara dari kota ke kota untuk meminta belas kasihan
orang. Maka sekarang pun aku berniat untuk meneruskan perjalananku pula. Aku
sudah terlalu lama tinggal di Hang-ciu."
Tio Siau In mengerutkan keningnya. Sudah dua kali A Liong bercerita tentang
keadaan dirinya yang papa dan yatim piatu. Semula Tio Siau In memang tidak
begitu ambil pusing mendengar cerita itu, tapi setelah kini A Liong
menceritakannya kembali, entah mengapa hatinya tersentuh.
"Benarkah kau tak tahu siapa orang tuamu?" Tio Siau In yang mendadak juga ingat
pula keadaan dirinya yang yatim piatu bertanya tak percaya.
383 A Liong mengangguk lesu. "Sama sekali tak tahu siapa orang tuamu" Lalu siapa yang merawatmu ketika masil
kecil?" "Entahlah. Mungkin para gelandangan atau pengemis lain yang lebih besar dari
pada aku. Sebab yang kutahu sejak aku bisa berpikir, aku telah berada di antara
gerombolan anak-anak gelandangan. Kami tidur di mana saja dan pergi ke mana saja
sambil meminta-minta belas kasihan orang. Di dalam kelompok itu kami biasa
saling berbagi rejeki dan makanan. Jadi kemungkinan besar aku dulu ditinggal
mati orang tuaku yang juga seorang gelandangan, kemudian aku dirawat dan diberi
makan oleh para gelandangan lainnya yang satu kelompok dengan orang tuaku
itu...." "Oooooh...." Tio Siau In berdesah panjang. Ia benar-benar tidak menyangka kalau sejarah hidup
A Liong itu sedemikian menyedihkan. Lebih memilukan daripada sejarah hidupnya
sendiri yang ia anggap sudah sangat menyedihkan. Ia dan kakaknya,
Tio Ciu In, juga yatim piatu pula, namun mereka masih bisa mengenal serba
sedikit ayah mereka. Tidak seperti A Liong yang sama sekali tak tahu siapa orang
tuanya. Sejak kematian ayahnya pun dia dan kakaknya langsung dirawat dan
dibesarkan oleh gurunya, tidak seperti A Liong yang harus bertarung dengan
kekerasan hidup bersama anak-anak gelandangan lainnya.
384 "Hemm, kasihan benar kau A Liong." Tio Siau In bergumam perlahan sambil
melepaskan pegangan tangannya. "Hanya yang mengherankan, hidupnya serba susah
dan kekurangan, tapi mengapa tubuhmu bisa sedemikian subur dan kuat seperti
ini?" "Aku memang hidup serba susah dan kekurangan, tapi aku punya tekad dan semangat
hidup yang besar, Cici. Sejak aku bisa mempergunakan tenagaku, aku tidak mau
mengemis lagi. Aku bekerja apa saja untuk mencari makan. Bahkan pekerjaan-
pekerjaan berat yang biasanya hanya dilakukan oleh orang dewasa aku kerjakan
juga. Aku pernah bekerja di pabrik penggilingan tahu, perusahaan pemotongan
kayu, pengangkutan garam, pandai besi, dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya.
Makanku banyak, sesuai dengan bidang pekerjaanku, sehingga tulang dan ototku pun
tumbuh dengan keras pula." A Liong menerangkan.
"Bukan main...!" Tio Siau In berdecak kagum.
"Kulihat usiamu tidak lebih banyak dari usiaku. Tapi badanmu membengkak hampir
dua kali lipat dari tubuhku. Penuh otot lagi!"
A Liong tersenyum kecut. "Aku memang seperti kerbau liar yang hidup di alam
belantara yang keras. Tentu saja berbeda dengan Cici yang selalu hidup teratur di antara keluarga yang
penuh kedamaian." Tiba-tiba Tio Siau In tersenyum. Gadis itu seperti mendapatkan jalan untuk
membujuk A Liong. 385 "Nah, kalau begitu... apakah kau tidak ingin hidup yang serba teratur dan penuh
kedamaian seperti itu?"
A Liong menghembuskan napasnya keras-keras.
"Ah, tentu saja aku juga ingin hidup seperti itu pula, Cici. Aku juga sudah
bosan menjadi gelandangan terus-terusan. Tapi untuk hidup wajar seperti itu
perlu modal pula agar bisa hidup tenang dan dihormati orang."
"Modal" Modal apa?" Tio Siau In berseru heran.
A Liong tertawa kecut. "Ah, Cici... kau ini seperti tidak tahu saja. Modal hidup
agar dihormati orang hanyalah harta, kekuasaan, dan kepandaian. Dapat memiliki
salah satu saja dari ketiga modal utama itu, kita akan dihormati dan dijunjung
tinggi oleh masyarakat di sekitar kita. Padahal aku sama sekali tak memiliki
modal itu. Oleh karena itu aku harus bisa mendapatkannya lebih dahulu agar bisa
hidup tenang dan damai seperti Cici."
"Wah, lalu... modal mana yang akan kaucari itu?"
Tio Siau In pura-pura bertanya.
Sekali lagi A Liong menghembuskan napasnya kuat-kuat.
"Orang seperti aku jelas tidak mungkin untuk mencari harta maupun kekuasaan.
Tapi kalau hanya untuk mencari kepandaian, rasanya aku bisa. Oleh karena itu aku
akan tetap melaksanakan niatku, yaitu belajar silat di puncak Gunung Hoa-san.
Kalau aku nanti benar-benar pandai ilmu silat, berarti aku sudah 386
memiliki sebuah modal. Modal untuk bisa hidup tenang dan dihormati orang."
Tio Siau In terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Gadis itu merasa bahwa ia tak mungkin bisa mempengaruhi keinginan A Liong lagi.
Satu-satunya jalan hanyalah memaksa? pemuda itu dengan kekerasan untuk dibawa ke
hadapan gurunya. Tapi untuk melakukan hal itu Tio Siau In tidak sampai hati.
"Tampaknya memang akulah yang harus mengalah.
Biarlah kuikuti saja kemauannya itu. Nanti sedikit demi sedikit akan kubelokkan
perhatiannya." gadis itu berkata di dalam hatinya.
"Nah, Cici... kau tak usah menghalangi niatku.
Tekadku sudah bulat. Aku akan mendaki Gunung Hoa-san." A Liong mengulangi
keinginannya yang teguh. "Baiklah. Terserah kalau tekadmu memang demikian. Tapi... apakah kau sudah
mengetahui jalan ke Gunung Hoa-san?"
A Liong menggeleng lemah.
"Hmmm, kalau begitu untuk sementara kita bisa berjalan bersama. Aku tidak jadi
pergi ke Hang-ciu. Aku akan langsung ke Sin-yang. Maukah kau berjalan bersamaku?"
Tiba-tiba A Liong berteriak gembira. Lengannya yang penuh otot itu secara reflek
menyambar pinggang Tio Siau In, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Tentu
saja gadis itu menjerit kaget.
387 Otomatis tubuh gadis itu menggeliat melepaskan diri, sedang kakinya menjejak
dada A Liong. Buuuk! "Aduuuuh...!" A Liong memekik kesakitan.
Bagaikan pohon tumbang, badan A Liong yang tinggi kekar itu terbanting ke tanah.
Karena tidak bisa ilmu silat, maka jatuhnya pun juga sangat keras pula.
Untunglah mereka telah berada di atas pasir, sehingga pemuda itu tidak begitu
menderita karenanya. Namun demikian tetap saja A Liong meringis kesakitan.
Tio Siau In sendiri menjadi kaget begitu sadar apa yang dilakukannya. Sebagai
jago silat semuanya tadi memang ia lakukan secara reflek. Dan celakanya, dalam
keadaan seperti itu ia tak bisa mengontrol tenaganya. Maka tidak mengherankan
bila badan A Liong yang kokoh kukar itu terbanting keras terkena tendangannya.
Akan tetapi yang tak kalah mengherankan adalah kesudahan dari kejadian tersebut.
Tio Siau In yang kemudian merasa menyesal sekali, bahkan agak ketakutan, karena
tendangan kakinya itu bisa memecahkan batu gunung, tiba-tiba ternganga mulutnya.
Dengan heran gadis itu melihat A Liong bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Malahan bibir pemuda itu mencoba tersenyum, walaupun akhirnya cuma bisa
meringis. "Maaf, Cici. Aku memang benar-benar seperti kerbau liar yang tak mengenal aturan
dan sopan santun. Begitu melonjak kegembiraanku mendengar 388
Cici hendak berjalan bersama aku, sehingga aku meluapkannya dengan mengangkat
tingi-tinggi badan Cici seperti kebiasaan yang kami lakukan di antara kawan
gelandangan." pemuda itu meminta maaf dengan halus.
"Eh-oh, anu... kau tidak apa-apa, A Liong?" Tio Siau In menjadi gugup malah.
"Ah, tidak apa-apa, Cici. Badanku ini sudah terbiasa mendapat kecelakaan. Pernah
tertimpa pohon kayu yang tumbang ketika bekerja di perusahaan pemotongan kayu.
Juga pernah tergencet batu besar penggilingan tahu ketika berada di penggilingan
tahu. Bahkan aku pernah tertimbun belasan karung garam ketika berada di perusahaan
pengangkutan garam. Tapi seperti yang Cici lihat sekarang, badanku tetap sehat tidak kurang suatu
apa." Sekali lagi Tio Siau In menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu benar-benar
heran melihat ketahanan tubuh A Liong yang tidak sewajarnya itu.
Padahal pemuda itu sama sekali tak mengerti ilmu silat.
"Pukulan Lok-kui-tin itu mampu menewaskan jago-jago silat kelas satu seperti Lim
Kok Liang, Tong Taisu dan yang lain-lainnya. Tapi pukulan itu ternyata tak
banyak berarti terhadap tubuh A Liong. Badan yang kokoh kekar itu seperti
terbuat dari besi saja." Tio Siau In bergumam di dalam hatinya.
"Jadi.... Cici benar-benar hendak berjalan bersama aku?" A Liong menegaskan
lagi. 389 Tio Siau In tergagap kaget, lalu mengangguk. "Aku hendak menghadapi Kau-cu Im-
yang-kau di kuil Agung Sin-yang. Karena jurusan yang akan kita tempuh sama, maka
kita dapat berjalan bersama-sama.
Tapi... maukah kau nanti singgah sebentar di Kuil Agung Im-yang-kau itu?" dengan
cerdik gadis itu membujuk.
A Liong tertawa gembira. "Tentu saja, Cici.
Jangankan cuma singgah, menginap beberapa hari pun aku bersedia..."
"Bagus. Kalau begitu mari kita berangkat sekarang!" ajak Tio Siau In riang.
"Ayoh, Cici!" Demikianlah kedua remaja tanggung itu lalu pergi meninggalkan rumah Tong Kiat
Teng. Mereka mengayuh sampan mereka ke utara, mencari pantai yang landai, yang
sekiranya bisa mereka darati, untuk selanjutnya berjalan ke arah barat, melalui
kota-kota di sepanjang Sungai Yang-tse.
Langit sangat cerah, hanya beberapa gumpal awan saja yang kelihatan bergerak
dari timur ke barat. Angin juga sudah reda, tidak sederas dan sekencang tadi. Sementara kabut pun
telah terusir pergi pula bersama sinar matahari yang semakin menyengat.
Udara pagi itu sungguh-sungguh nyaman.
A Liong mendayung sampan seenaknya. Tidak tergesa-gesa atau pun terburu-buru. Ia
bersama Tio Siau In memang sengaja menikmati keindahan pantai yang dilaluinya.
Burung camar yang beterbangan di 390
atas kepala mereka, kadang-kadang menukik mengelilingi sampan kecil itu,
kemudian terbang pergi. Burung-burung itu seakan-akan merasa heran melihat
kedatangan mereka. Berbondong-bondong burung itu mendekati, mengitari sampan,
lalu bergegas pergi bila A Liong dan Tio Siau In berusaha menangkapnya.
"Aaah, kehidupan burung-burung itu tidak jauh berbeda dengan kehidupanku. Setiap
hari terbang melayang ke mana saja, tanpa tujuan, tanpa kepastian." A Liong
berkata perlahan sambil menengadahkan kepalanya.
Tio Siau In melirik. "Tapi burung-burung itu kelihatan amat riang bermandikan
sinar matahari pagi." tukasnya sambil tersenyum.
"Ya, Cici... mereka memang kelihatan riang, karena mereka cuma binatang yang tak
memiliki akal budi seperti kita kaum manusia."
"Hemmm...." Tio Siau In bergumam tak jelas.
Mereka lalu berdiam diri kembali. Masing-masing mengembara dengan jalan
pikirannya sendiri-sendiri.
A Liong dengan lamunannya untuk menjadi pendekar gagah perkasa, sedangkan Tio
Siau In dengan rencananya membawa pemuda itu ke hadapan Kau-cu Aliran Im-yang-
kau. Siapa tahu pemuda itu benar-benar pemuda bertatto naga yang dikehendaki
Kau-cu Im-yang-kau" Mereka mengemudikan sampan itu tidak terlalu jauh dari garis pantai. Sambil
mendayung A Liong 391 bernyanyi-nyanyi gembira. Sekali-sekali dayungnya dipakai untuk memukul burung
camar yang terlalu bandel mendekati dirinya.
Tio Siau In akhirnya terseret juga oleh arus kegembiraan A Liong. Gadis itu
ikut-ikutan mengganggu burung-burung camar itu. Bedanya kalau A Liong tak pernah
bisa memukul burung tersebut, sebaliknya Tio Siau In selalu berhasil
menyambarnya dengan tangan kosong. Tapi karena memang hanya ingin bercanda,
burung tersebut segera dilepaskan lagi.
A Liong menjadi heran. "Wah, Cici... ajari aku!.
Mudah benar kau menangkapnya."
A Liong mencoba ikut menangkap pula dengan kedua tangannya, tapi tak pernah
berhasil. Bahkan tubuhnya yang besar itu membuat sampan mereka menjadi oleng ke
sana ke mari. "Hei-hei! Jangan banyak bergerak! Sampan ini bisa terguling nanti!"
A Liong menghentikan gerakannya. Mulutnya cemberut. Hatinya kesal karena tak
bisa menangkap burung yang amat lincah itu.
Tio Siau In tersenyum melihat kekesalan A Liong.
"Memang tak mudah menangkap burung camar itu.
Kau baru bisa menangkapnya apabila gerakanmu dapat lebih cepat dari gerakan
mereka." "Lebih cepat" Wah... mana bisa" Burung itu terbang secepat angin, mana mungkin
manusia bisa melebihi kecepatannya?"
392
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tidak bisa" Nih, lihat...!"
Sekonyong-konyong Tio Siau In menjejakkan kakinya ke lantai sampan, sehingga
tubuhnya melenting ke atas dengan ringannya. Di udara tubuh Tio Siau In yang
ramping kecil itu berjumpalitan beberapa kali, lalu mendarat kembali di bibir
sampan, tanpa membuat banyak goncangan pada sampan yang kecil itu. Dan ketika
tangannya terbuka, ada empat ekor burung camar yang menggelepar lepas dari sela-
sela jarinya. A Liong melongo melihatnya.
"Ah, Cici... bukan main! Ternyata kau pandai ilmu silat! Ilmu meringankan tubuh
Cici benar-benar hebat!" pemuda itu memuji setinggi langit.
"Kau ingin mempelajarinya?"
"Ya... ya... ya, aku ingin sekali belajar seperti itu!"
dengan gembira sekali A Liong menjawab sambil mengangguk-angguk.
Namun Tio Siau In cepat menyambungnya. "Tapi aku tak bisa mengajarimu. Ilmuku
sendiri belum seberapa tinggi. Kau harus belajar kepada Guruku, atau kepada
tokoh Im-yang-kau yang lebih tinggi.
Syukur kalau Kau-cu sendiri yang membimbingmu..."
A Liong terdiam. Sekejap pemuda itu tampak kecewa karena ia menyangka Tio Siau
In sendiri yang akan mengajarinya, tapi ternyata tidak.
"Ah, kalau begitu... biarlah aku belajar saja sekalian ke puncak Gunung Hoa-
san!" akhirnya pemuda itu berkata tegas.
393 Kini ganti Tio Siau In yang menjadi kecewa.
Semula dengan muslihatnya tadi Tio Siau In berharap A Liong mau menjadi anggota
aliran Im-yang-kau seperti dirinya. Tapi ternyata pemuda itu mempunyai tekad
yang kukuh untuk mendaki puncak Gunung Hoasan.
"Eh, Cici... mengapa kau lalu diam saja" Apa yang sedang kaupikirkan?" mendadak
pemuda itu mengagetkan Tio Siau In.
"Ah-eh, anu... aku tidak memikirkan apa-apa. Aku cuma merasa heran padamu. Kau
mengatakan tidak bisa ilmu silat, tapi kenapa tubuhmu tahan terhadap pukulan
seorang jago silat berkepandaian tinggi?"
untuk menutupi perasaan kagetnya Tio Siau In menjawab sekenanya.
"Pukulan jago silat berkepandaian tinggi" Ah, kapan aku berkelahi dengan
seseorang" Ooooh, itu....!
Kejadian malam tadi, ketika rombonganku dicegat penjahat-penjahat kejam itu" Ah,
rasanya pukulan mereka juga biasa-biasa saja. Tidak lebih sakit daripada ketika
aku tertimpa batang pohon di perusahaan pemotongan kayu itu. Apalagi bila
dibandingkan dengan ketika aku tergencet batu penggilingan tahu atau tertimbun
belasan karung garam itu...."
Sekali lagi Tio Siau In ternganga keheranan.
Bagaimana mungkin semuanya itu bisa terjadi" Lim Kok Liang, Tong Tai-su dan tiga
orang bergolok itu bukan jago-jago silat biasa, meskipun demikian 394
mereka itu tetap tidak kuat menahan pukulan Lok-kui-tin. Lantas bagaimana
mungkin A Liong yang tak mengerti silat itu bisa menahan pukulan sakti mereka"
Apakah pemuda itu memiliki kulit besi bertulang baja"
Diam-diam Tio Siau In semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang
diri A Liong. Keadaan pemuda itu benar-benar amat aneh, demikian pula sejarah hidupnya. Tio
Siau In semakin curiga, jangan-jangan pemuda itu memang benar-benar
"manusia pilihan" yang yang dimaksudkan oleh sesepuh Aliran Im-yang-kau itu.
Sekali lagi Tio Siau In menghela napas panjang.
Penilaiannya tentang ramalan Lo-jin-ong, sesepuh Aliran Im-yang-kau, mulai
berubah. Tampaknya ramalan tentang pemuda bertatto naga itu memang dapat
dipercaya. "Eh, A Liong..." Bolehkah aku bertanya sedikit kepadamu?"
"Ah, tentu saja, Cici! Banyak juga boleh."
Tio Siau In tersenyum. "Anu, eemm... kau tadi mengatakan bahwa kau tidak
mengenal orang tuamu. Lalu siapa yang memberi nama A Liong itu kepadamu" Apakah teman-temanmu pula?"
Tak terduga A Liong mengangguk. "Benar, Cici.
Aku semula memang tidak mempunyai nama, apalagi nama keluarga. Nama A Liong ini
memang kuperoleh dari kawan-kawan sekelompokku, karena aku 395
memiliki gambar tatto naga di dadaku. Nih, lihat...!"
pemuda itu menjawab sambil membuka bajunya.
"Ooooh...!" Tio Siau In pura-pura terkejut. "Siapa yang membuat gambar itu" Kau
sendiri?" A Liong tertawa. "Ah... yang benar saja, Cici.
Masakan aku bisa melukis sebagus ini?"
"Lalu... siapa" Kawanmu lagi?"
Tiba-tiba A Liong menghentikan tawanya.
"Entahlah, Cici. Aku juga tidak tahu. Mungkin mendiang orang tuaku, atau mungkin
teman ayahku. Kata kawan-kawan sekelompokku, sejak aku bergabung dengan mereka gambar ini
telah ada. Itulah sebabnya mereka memanggilku A Liong. Apalagi kulit tubuhku
juga liat dan kuat seperti kulit naga."
pemuda itu menjawab serius.
"Kulit naga...?" Sekarang ganti Tio Siau In yang tertawa. "Bukankah kulit naga
itu ada sisiknya" Sisiknya yang keras yang membuat dia kuat dan liat.
Kau tidak memiliki sisik-sisik itu, lalu bagaimana mungkin kulitmu bisa kuat
seperti naga?" "Cici tidak percaya" Boleh kaucoba! Pukullah aku!
Atau... hantamlah aku dengan dayung ini! Tanggung tidak apa-apa!" pemuda itu
berkata penasaran. Tio Siau In tertawa semakin keras. Namun untuk menyenangkan hati A Liong, gadis
itu benar-benar mengambil dayung dari tangan A Liong.
A Liong tersenyum gembira seperti layaknya seorang anak yang ingin
memperlihatkan atau membanggakan kebolehannya. Dengan cekatan ia 396
membuka bajunya dan membusungkan dadanya yang bidang dan penuh otot itu.
"Silakan...!" ucapnya mantap.
-- o0d-w0o -- JILID X IO SIAU IN tertegun. "Kau benar-benar ingin dicoba juga?"
T "Hei, tentu saja!" pemuda itu menirukan kata-kata Tio Siau In. "Mengapa harus
batal" A Liong tak pernah menjilat
ludahnya sendiri! Ayoh, Cici... " cobalah! Pukullah aku dengan dayung itu!"
Tentu saja kesungguhan hati A Liong itu benar-benar membuat Tio Siau In menjadi
kelabakan malah. Sejak semula gadis itu kurang begitu menanggapi bualan A Liong, sehingga dia pun
hanya main-main pula ketika ingin mencoba kekebalan A Liong. Akan tetapi tak
diduganya pemuda itu benar-benar melayani sikapnya dan ingin membuktikan
sesumbarnya. Tentu saja Tio Siau In menjadi kebingungan. Bagaimana kalau dayung
itu melukainya" Tampaknya keragu-raguan Tio Siau In itu semakin membuat penasaran hati A Liong.
Tiba-tiba pemuda itu merebut dayung yang ada di tangan Tio Siau In, 397
kemudian dengan sekuat tenaga kayu keras itu dipukulkan sendiri ke arah
kepalanya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Terdengar suara berdentangan
yang keras seperti layaknya suara orang membelah batu cadas.
Tak ada luka di kepala itu. Tak ada darah yang mengalir. Semuanya tampak wajar seperti tak pernah terjadi apa- apa. Bahkan pemuda itu tampak tersenyum bangga ketika menyerahkan kembali dayung tersebut. Tio Siau In melongo. Matanya terbeliak tak percaya. Hatinya menjadi penasaran. Karena penasaran maka dicobanya juga
memukulkan dayung itu ke pundak A Liong. Mula-mula pelan, tapi akhirnya
disabetkannya pula dengan keras ketika melihat pemuda itu tetap tersenyum
memandangnya. Bahkan hantaman dayung itu tidak cuma diarahkan ke pundak lagi, tapi juga ke
dada, punggung dan kepala.
398 Namun demikian Tio Siau In masih mengekang diri untuk tidak mengerahkan tenaga
dalamnya. "Ayoh, Cici... yang lebih keras lagi! Jangan pelan-pelan begini! Kerahkan
seluruh tenagamu!" dengan suara lantang pemuda itu menantang.
Tio Siau In menjadi penasaran juga akhirnya.
Dicobanya untuk menyalurkan sebagian kecil tenaga saktinya ke arah dayung yang
dipegangnya. Blug! Hantaman ujung dayung itu berubah menjadi kuat dan keras seperti hantaman
sebongkah batu hitam! A Liong terhuyung dua langkah ke belakang. Tapi pemuda itu bukannya menjadi
kaget atau kesakitan, bahkan dengan suara gembira dia berseru menantang.
"Ayoh, Cici... sekali lagi yang keras! Aku belum merasakan apa-apa!"
Kini Tio Siau In benar-benar menjadi penasaran.
Sekali lagi ia menyabetkan dayung itu ke dada A Liong. Kali ini dengan
pengerahan separuh bagian dari kekuatan lwekangnya.
Siiiiing! Dhuuug! Kraaaak! Dayung itu patah menjadi tiga bagian!
"Aaaaaaaaah...!"
Dayung itu menghantam dada A Liong keras sekali! Demikian kuatnya sehingga
pemuda itu memekik kaget dan terpelanting ke luar perahu!
Byuuuur! Pemuda itu tercebur ke dalam laut.
"A Lioooooong...!!!" Tio Siau In berteriak cemas.
Lalu dengan mata nanar dan hampir menangis Tio Siau In mencari-cari tubuh A
Liong di antara riak 399 gelombang yang mengelilingi sampan kecil itu.
Namun pemuda itu tidak kunjung kelihatan juga, seakan-akan tubuhnya sudah lenyap
ditelan air. Tio Siau In semakin ketakutan, jangan-jangan dayungnya tadi telah
melukai dada A Liong sehingga pemuda itu tak bisa berbuat apa-apa melawan arus
ombak yang menggulungnya.
Mata Tio Siau In mulai merah ketika tiba-tiba terdengar suara A Liong di
belakangnya. "Wah... pukulan Cici kuat benar! Rasanya seperti diterjang pohon tumbang
saja...!" Tio Siau In membalikkan tubuhnya dengan cepat.
Gadis itu melihat A Liong bergayut pada pinggiran sampan. Tak ada tanda-tanda
pemuda itu mengalami luka atau kesakitan. Wajahnya tetap segar berseri-seri,
dengan rambut yang basah kuyup menutupi sebagian besar mukanya.
"A Liong, kau tak apa-apa...?" gadis itu bertanya cemas.
A Liong lalu naik kembali ke dalam sampan.
Dengan bangga pemuda itu memperlihatkan dadanya yang masih tetap utuh tak kurang
suatu apa. "Nih, lihat! Tak apa-apa, bukan?"
Tio Siau In benar-benar takjub sekarang. Pemuda di hadapannya itu sungguh-
sungguh memiliki kekebalan yang hebat. Walaupun dia juga tahu, apakah pemuda itu
masih tetap bisa mempertahankan kekebalannya apabila ia benar-benar mengerahkan
seluruh kekuatan lwe-kangnya.
400 "A Liong...! Aku percaya sekarang, bahwa kulitmu memang liat dan kuat seperti
kulit naga. Tetapi sebaliknya aku menjadi kurang percaya kalau kau mengatakan
tidak pernah belajar ilmu silat. Kekebalan tubuhmu itu hanya dapat diperoleh
dengan mempelajari Iwe-kang yang tinggi. Kau tentu pernah belajar silat, atau
setidak-tidaknya kau pernah belajar bersamadi untuk mengumpulkan sin-kang...."
"Bersamadi..." Eh, Cici! Apakah yang kaumaksudkan begini ini?" tiba-tiba pemuda
itu berseru, kemudian duduk bersila di atas papan sambil mengatur napasnya.
Tio Siau In mengerutkan dahinya. Pemuda itu memang melakukan cara bersamadi,
tapi apa yang dilakukan itu adalah cara bersamadi yang umum, yang sama sekali
tidak ada keistimewaannya. Jadi rasanya tidak mungkin kalau hal itu yang membuat
pemuda tersebut kebal terhadap pukulan.
Tapi sekonyong-konyong mata Tio Siau In terbeliak ketika sesaat kemudian
mendengar suara tulang berkerotokan di dalam tubuh A Liong. Bahkan gadis itu
semakin kaget tatkala hidungnya juga mencium bau amis yang amat menyengat.
"A Liong, cukup...!" akhirnya Tio Siau In berseru.
A Liong membuka matanya, lalu tersenyum gembira. "Seperti itukah yang Cici
maksudkan?" tanyanya riang. 401 "Benar. Tapi coba katakan kepadaku. Sejak kapan kau melakukan cara bersamadi
seperti itu" Dan siapa pula yang mengajarkannya kepadamu?"
Pertanyaan itu membuat A Liong terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Bagaimana" Sejak kapan...?" Tio Siau In mendesak.
"Wah... sudah lama sekali, Cici. Sejak aku masih kecil, ketika aku masih suka
ngompol (terkencing di waktu tidur). Dan cara bernapas aneh itu... kudapatkan
dari seorang kakek tua renta, yang merasa kasihan kepadaku, ketika aku hampir
mati kedinginan di bawah jembatan di kota Tai-yuan. Kakek itu mengatakan bahwa
cara bernapas seperti itu bisa menghangatkan tubuhku. Ternyata perkataan kakek
itu memang benar. Aku dapat bertahan dan tidak merasa kedinginan meskipun setiap
hari hujan salju mengguyur badanku."
Tio Siau In menatap A Liong dengan heran. "Kau...
sekecil itu, sudah berkeliaran sampai di kota Tai-yuan di Propinsi Syansi?"
"Mengapa mesti diherankan, Cici" Namanya saja anak gelandangan, meskipun baru
berumur lima tahun atau enam tahun, aku sudah biasa menjelajah ke mana-mana.
Jangankan cuma kota Tai-yuan yang masih berada di dalam Tembok Besar itu,
sedangkan ke kota Wan-suan dan Ceng-teh di luar Tembok Besar pun aku sudah
pernah." A Liong menjawab dengan mulut meringis.
402 Wan-suan dan Ceng-teh adalah ibu kota Propinsi Tsa-har dan Je-hol di perbatasan
Monggol dan Mancu. Kota-kota tersebut masih ratusan lie jauhnya dari Tembok
Besar. Udaranya kering dan dingin.
Bahkan di musim dingin, salju turun menutupi kota.
"Dan... kau cuma tidur di sembarang tempat" Tanpa alas dan selimut?" Tio Siau lu
bertanya pula dengan suara heran.
"Tentu saja, Cici. Kau ini ada-ada saja. Masakan seorang gelandangan memiliki
kasur dan selimut" Jangankan punya peralatan seperti itu. Sedangkan untuk makan dan minum saja
harus menunggu belas kasihan orang."
"Wah... wah!" Tio Siau In berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masa
kecilmu sungguh sangat sengsara dan menderita. Lalu... kau tahu nama kakek tua
renta yang memberimu pelajaran bersamadi itu" Dan kau juga pernah bertemu lagi
sesudah itu?" A Liong menggoyangkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak tahu namanya. Dan aku juga
cuma berjumpa sekali itu saja. Hanya saja ketika dia hendak meneruskan
perjalanannya, dia memberikan tasbehnya kepadaku. Dia berpesan agar setiap hari
aku melakukan cara bernapas yang aneh itu sebanyak-banyaknya. Paling tidak
seribu kali jumlah untaian tasbeh tersebut setiap harinya."
"Dan... kau mematuhinya?"
403 A Liong mengangguk. "Ya. Soalnya... manfaatnya banyak sekali, Cici. Selain dapat
mengusir hawa dingin, ternyata badanku pun menjadi sehat pula. Aku tidak pernah
sakit. Bahkan banyak sekali keanehan-keanehan yang terjadi akibat aku melakukan
cara bernapas yang aneh itu. Misalnya... badanku lalu mengeluarkan bau amis
setiap kali aku melakukan cara bernapas itu, sehingga binatang-binatang berbisa
menjadi takut kepadaku. Bukankah aku tadi mengeluarkan bau amis, Cici?"
Dengan wajah yang masih mengungkapkan ketakjubannya Tio Siau In mengangguk-
anggukkan kepalanya. Tidak boleh tidak sekarang Tio Siau In harus percaya pada
omongan A Liong. Ia harus percaya bahwa A Liong pernah tertimpa pohon tumbang
tanpa cidera. Dan ia juga harus percaya pula bahwa A Liong pernah tergencet batu
penggilingan tahu yang beratnya ribuan kati itu tanpa cidera yang berarti. Bahkan ia juga harus percaya bahwa A
Liong tidak tewas meskipun teruruk belasan karung garam.
Dan sekarang, ia terpaksa harus percaya juga kalau A Liong ditakuti oleh
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
binatang-binatang berbisa.
"Tapi... tahukah kau, mengapa badanmu mengeluarkan bau amis?"
A Liong menggeleng. Tapi sesaat kemudian tiba-tiba saja pemuda itu tersenyum
geli. Matanya memandang Tio Siau In seolah-olah hendak menggoda.
404 "Kenapa kau terseyum-senyum, heh" Ada yang kausembunyikan?" Tio Siau In menegur
dengan nada kesal. "Ayoh, katakan! Mengapa badanmu berbau amis?"
Hampir saja A Liong tertawa. "Mungkin... mungkin karena aku mempunyai telur
naga! Hahahaha...!" akhirnya pemuda itu tak bisa menahan ketawanya.
"Hus! Telur naga..." Apa yang kau maksudkan?"
A Liong semakin tak dapat mengekang ketawanya.
Suaranya lepas menyaingi suara ombak yang berdebur keras di sekeliling sampan
mereka. "Cici, teman-temanku mengatakan bahwa aku mempunyai' sebutir telur naga di bawah
pusarku, hahahaha...!"
Seketika air muka Tio Siau In menjadi merah padam.
"Kurang ajar! Kau berani berkata sembarangan di depanku?" bentaknya marah.
A Liong cepat membungkam mulutnya. "Maaf Cici... aku tidak main-main. Aku benar-
benar mempunyai telur naga itu. Kau... kau mau lihat?"
katanya agak takut-takut sambil mengendurkan tali celananya.
Tentu saja Tio Siau In menjadi kelabakan. Sambil menjerit keras gadis itu
membalikkan badannya. "A Liong, jangaaaan...! Awas, berani kau berani membukanya... kubunuh kau!"
405 A Liong tak jadi membuka celananya, namun demikian tangannya masih tetap berada
di bawah pusarnya. Wajahnya tampak penasaran.
"Cici, aku... aku tidak kurang ajar! Aku bersungguh-sungguh! Bau amis itu memang
berasal dari telur nagaku ini! Tapi kalau Cici malu melihatnya... raba sajalah!"
"Apaaa...?" Tio Siau In menjerit tinggi seperti mau menangis.
Kemudian sambil memejamkan matanya
sekonyong-konyong gadis itu memutar badannya.
Tangan kanannya menyambar cepat ke mulut A Liong. Dan A Liong yang terkejut
setengah mati itu mencoba menghindarinya. Tapi mana mungkin pemuda itu dapat
mengelakkan serangan Tio Siau In yang lagi marah"
Plaaak! Byuuuur! Tak ampun lagi tubuh A Liong yang masih basah itu terlempar kembali ke dalam
air. Sekejap Tio Siau In menjadi puas, sebab pemuda kurang ajar itu telah ia
hajar dan ia ceburkan ke dalam air. Tapi beberapa saat kemudian, ketika pemuda
itu tidak muncul-muncul juga dari dalam air, Tio Siau In berbalik menjadi
ketakutan pula seperti tadi. Dengan gugup Tio Siau In mencari ke sana ke mari.
"A Liong..."!?" gadis itu bergumam lirih.
Namun sekali ini tubuh A Liong tampaknya memang benar-benar hilang ditelan air
laut. Gulungan 406 ombak yang berputar-putar di bawah sampan itu tampaknya telah menyeret tubuh A
Liong ke tengah laut. "A Liongggg...!!!" akhirnya Tio Siau In berseru memanggil nama pemuda
gelandangan itu. Suaranya terdengar cemas dan penuh penyesalan.
DEMIKIANLAH kalau di pagi hari yang telah mulai menyengat itu Tio Siau In
menjadi cemas akan keselamatan A Liong, maka di kota Hang-ciu ternyata Tio Ciu
In juga sedang mencemaskan keselamatan Liu Wan dan Kwe Tek Hun.
Pertempuran di rumah penginapan itu memang telah sampai di puncaknya. Baik Liu
Wan maupun Kwe Tek Hun benar-benar telah melepaskan seluruh kesaktiannya. Liu
Wan dengan Thian-lui-khong-ciangnya itu sungguh-sungguh seperti Dewa Petir dan
angin yang sedang murka. Pukulan jarak jauhnya meledak-ledak bagaikan sambaran
halilintar yang mengejar mangsanya, sementara arena pertempuran itu seperti
digoncang oleh badai besar. Semakin cepat pemuda itu bergerak, semakin dahsyat
pula badai yang bergolak.
Meja, kursi dan peralatan yang ada di dalam ruangan itu porak-poranda bagai
diterjang angin puting beliung. Begitu dahsyatnya ilmu yang dikeluarkan oleh Liu
Wan itu sehingga Tio Ciu In terpaksa mengamankan Ku Jing San dan Song Li Cu ke
ruangan lain. 407 Sementara itu di luar rumah, baik di halaman penginapan maupun di jalan raya,
orang-orang mulai berkerumun ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Namun mereka tidak berani mendekat, karena suara pertempuran yang amat gaduh itu
membuat hati mereka menjadi ngeri.
Pada saat itu pula dari arah jalan raya masuk lima orang lelaki berbadan besar-
besar dan tinggi-tinggi seperti layaknya orang dari daerah utara. Wajah mereka
pun tampak kaku dan keras-keras pula.
Mereka masuk ke halaman rumah penginapan itu dengan menyibakkan para penonton
yang berjubel di pintu halaman.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah lain masuk pula seorang lelaki buta
ke halaman rumah penginapan tersebut. Meskipun buta lelaki itu berjalan dengan
langkah biasa seperti manusia normal lainnya, sehingga sepintas lalu orang tidak
akan menyangka kalau dia buta. Tubuhnya yang kurus jangkung itu tertutup jubah
panjang sampai ke betisnya. Sedangkan usianya tak dapat ditaksir karena hampir
seluruh wajahnya tertutup kumis, jenggot dan rambutnya yang terurai panjang.
Namun bila dilihat dari warna rambutnya yang telah terdiri dari dua macam itu
dapat dikira-kira umurnya telah lebih dari empat puluh tahun. Tangannya memegang
tongkat panjang. Lelaki buta itu tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, namun demikian ia
tidak berusaha bertanya kepada orang-orang yang sedang menonton tersebut.
408 Ia melangkah dengan tenang di belakang lima orang lelaki tadi seperti tidak ada
kejadian apa-apa. Tongkatnya diseret di samping tubuhnya, dan sama sekali tidak dipergunakan untuk
mencari jalan seperti halnya orang buta lainnya.
"Tampaknya Sang Puteri mendapat kesulitan di tempat ini." salah seorang dari
lima orang lelaki itu, yang tampaknya adalah pimpinan mereka, berkata dengan
suaranya yang berat dan berwibawa.
"Tampaknya memang demikian, Panglima."
Demikian memasuki pintu pendapa, mereka berlima sudah merasakan hembusan angin
yang amat kuat menerpa tubuh mereka. Bahkan ledakan-ledakan yang diakibatkan
oleh Thian-lui-khong-ciang juga sudah mulai menggetarkan isi dada mereka.
"Wah tampaknya kali ini Sang Puteri benar-benar menerjang badai." orang yang
disebut panglima itu berkata agak cemas.
Memang benar, walau tidak di bawah angin, namun Mo Goat memang mendapatkan
kesulitan untuk menundukkan perlawanan Kwe Tek Hun dan Liu Wan. Ilmu silat Liu
Wan yang dahsyat itu benar-benar membatasi ruang gerak Mo Goat kembar. Padahal
meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda, namun ilmu silat Kwe Tek Hun juga
tidak kalah hebatnya pula.
Berlainan dengan Thian-lui-khong-ciang yang sifatnya keras, kuat dan meledak-
ledak, Kim-hong-sin-kun milik Kwe Tek Hun lebih bersifat halus, 409
lembut dan indah dipandang. Namun demikian ternyata akibatnya justru lebih
berbahaya daripada Thian-lui-khong-ciang. Apabila Thian-lui-khong-ciang tersebut
lebih berdaya-guna untuk menghancurkan seluruh sasarannya, sebaliknya Kim-hong-
sin-kun hanya bersifat melumpuhkan dan merusakkan bagian-bagian titik terpenting
dari sasaran keseluruhannya.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Mo Goat mendapatkan kesulitan untuk
menundukkan mereka. Meskipun ilmu silat gadis muda belia itu sangat tinggi dan menggiriskan hati,
tapi menghadapi dua macam ilmu silat yang saling bertolak belakang sifatnya
tersebut benar-benar berat dan sulit.
Untung bagi Mo Goat karena selain gin-kangnya lebih tinggi dan lebih sempurna,
lawan-lawannya yang masih muda itu juga belum berpengalaman menghadapi ilmu
sihirnya, sehingga gadis muda belia itu dengan mudah masih bisa mengecoh dan
mengelabuhi lawan-lawannya.
Akan tetapi dengan demikian pertempuran itu akan terus berlarut-larut dan takkan
kunjung selesai. Masing-masing pihak memiliki kemampuan yang hampir setara. Mo Goat yang bisa
memecah diri menjadi dua bentuk manusia kembar itu mempunyai tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuh setingkat lebih tinggi daripada lawan-lawannya. Namun
sebaliknya di pihak lain, Liu Wan dan Kwe Tek Hun juga bisa saling mengisi serta
memadukan ilmu silat 410 mereka yang sangat bertolak belakang itu demi pertahanan mereka.
Justru yang paling cemas pada waktu itu adalah Tio Ciu In. Dengan kepandaiannya
yang masih terbatas gadis ayu itu tidak dapat melihat perbandingan ilmu mereka.
Ia cuma bisa melihat keadaan luarnya saja, yaitu repotnya Liu Wan dan Kwe Tek
Hun dalam menghadapi ilmu sihir Mo Gat.
Dan kecemasan gadis ayu itu semakin bertambah pula ketika di tengah-tengah pintu
masuk ruangan tersebut tiba-tiba muncul lima orang lelaki bertampang keras.
Apalagi ketika lima orang lelaki itu memberi salam kepada Mo Goat.
"Hmmh, di mana meja dan kursinya" Kenapa ruang makan ini sama sekali tak ada
tempat duduknya?" sekonyong-konyong Tio Ciu In mendengar suara di belakangnya.
Hampir saja Tio Ciu In melompat karena kaget.
Gadis itu sama sekali tak melihat atau mendengar langkah kaki orang itu. Ketika
ia membalikkan badannya, di depannya telah berdiri seorang lelaki tua memegang
tongkat. Tio Ciu In tak bisa, melihat wajah orang itu karena rambut dan kumisnya
menutupi hampir seluruh mukanya.
"Kau... kau siapa?" Tio Ciu In menyapa dengan hati semakin cemas dan gelisah.
"Oooh!" Lelaki tua itu kelihatan kaget mendengar suara Tio Ciu In. "Apakah ...
apakah Nona pemilik penginapan ini?"
411 Tio Ciu In baru menyadari bahwa lelaki di depannya itu buta. Perasaannya sedikit
tenang, walaupun ia tetap waspada dan hati-hati. Ia selalu ingat pesan gurunya,
agar ia selalu berhati-hati bila berhadapan dengan orang asing.
"Bukan. Aku seorang tamu di penginapan ini.
Kau... siapa?" Orang buta itu tidak lekas menjawab pertanyaan Tio Ciu In, seolah-olah ia memang
tidak mendengarnya. Sebaliknya orang itu malah memalingkan kepalanya ke arah
pertempuran sambil memasang telinganya untuk mengetahui apa yang telah terjadi
di dalam ruangan tersebut.
"Seperti ada yang berkelahi di tempat ini. Hmm, siapakah mereka itu, Nona?"
lelaki buta itu bertanya halus.
Sebenarnya Tio Ciu In merasa enggan untuk menjawabnya. Namun lelaki buta itu
seperti memiliki perbawa yang menakutkan, sehingga Tio Ciu In tak kuasa untuk
tetap berdiam diri. "Dua orang kawanku berselisih paham dengan seorang gadis muda, sehingga mereka
saling berbaku hantam."
Lelaki buta itu mengarahkan telinganya lagi ke arena pertempuran. Mulutnya yang
tertutup kumis dan jenggot lebat itu seperti menggumamkan sesuatu. Tio Ciu In
seperti tersihir. Gadis ayu itu hanya mengawasi saja tanpa berani bersuara.
Lelaki buta itu terasa 412
menakutkan, berwibawa, tapi juga tampak sangat berbahaya.
"Apakah orang yang memiliki pukulan seperti petir itu temanmu?" lelaki buta itu
bertanya pula. Sekali lagi Tio Ciu In tak kuasa menentangnya.
Gadis ayu itu menganggukkan kepalanya, namun segera sadar bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang buta.
"Be-benar. Apakah Tuan mengenal temanku itu?"
Lelaki buta itu cepat menggelengkan kepalanya, sehingga rambutnya yang panjang
sampai ke pinggang itu terjurai ke depan menutupi wajahnya.
Dan orang itu ternyata membiarkan saja rambutnya demikian.
"Dia itu temanmu atau saudara seperguruanmu?"
sekonyong-konyong lelaki buta itu bertanya aneh, seperti sedang menyelidiki.
Tio Ciu In tersentak kaget. Wajahnya menjadi merah. Matanya yang bulat indah itu
bergetar, seakan-akan berusaha melihat rupa di balik tirai rambut tersebut. Tapi
ketika orang itu kemudian menyibakkan rambutnya ke belakang sehingga tampak
Kisah Si Rase Terbang 5 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 25
silat yang aneh dan mengerikan. Sepintas lalu gaya dan gerakannya seperti campur
aduk antara beberapa ilmu silat yang dimainkan bersama-sama. Namun apabila
diperhatikan benar-benar, maka akan tampak betapa dalamnya arti dari setiap
gerakan yang kelihatan seperti campur aduk itu. Begitu dalam dan rumit sehingga
menyimpan kekuatan yang dahsyat tiada terkira. Apalagi semuanya itu didukung
oleh lwe-kang dan ginkang gadis itu yang sukar diukur pula tingginya.
Akan tetapi Kwe Tek Hun sendiri juga memiliki ilmu yang hebat pula. Sebagai ahli
waris Keh-sim Taihiap (Pendekar Patah Hati), yang tersohor memiliki beberapa
macam ilmu kesaktian tinggi, seperti Pek-in Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan
Putih), Kim-hong-kun-hoat (Pukulan Burung Merak), Pai-hud-sinkang (Tenaga Sakti
Menyembah Budha) dan Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai),
maka tak mengherankan bila pemuda gagah itu juga tumbuh seperti ayahnya. Di
dalam usianya yang masih amat muda, kesaktian Kwe Tek Hun benar-benar sulit
dicari tandingannya. 332 Namun di kota Hang-ciu ini ternyata Kwe Tek Hun mendapatkan lawan yang setimpal.
Mo Goat, seorang gadis remaja, yang usianya jauh lebih muda daripada Kwe Tek
Hun, ternyata mampu menandinginya.
Malahan kalau dikaji benar-benar, gadis cantik itu justru memiliki beberapa
kelebihan yang bisa membahayakan jiwa Kwe Tek Hun. Apalagi gadis itu tampaknya
belum mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya.
Sebagai seorang yang juga memiliki ilmu silat tinggi Liu Wan segera bisa membaca
irama pertempuran mereka. Setelah pertempuran berlangsung lebih dari lima
puluhan jurus, terlihat permainan pedang Kwe Tek Hun mulai tampak kesulitan
menghadapi kelincahan kipas Mo Goat.
Meskipun permainan pedang Kwe Tek Hun tersebut bukan merupakan ilmu andalan
Keluarga Kwe, tapi untuk memainkannya pemuda itu sudah menopangnya dengan Pai-
hud-sinkang dan Pek-in-ginkang, sehingga kekuatan dan kecepatannya benar-benar
telah menjadi berlipat ganda. Akan tetapi kehebatan ilmu pedang itu masih tetap
saja di bawah bayang-bayang ilmu kipas Mo Goat yang cepat dan kuat. Tampaknya
lwekang dan ginkang gadis cantik itu memang lebih tinggi daripada Kwe Tek Hun.
Kenyataan itu benar-benar mengecutkan hati Liu Wan. Pemuda sakti yang mahir
bermacam-macam ilmu itu merasa bahwa kepandaiannya tak lebih baik daripada Kwe
Tek Hun. Walaupun dia memiliki 333
Thian-lui-khong-ciang yang ampuh, rasanya juga sulit mengalahkan Mo Goat. Gadis
cantik itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, sehingga Pek-in Ginkang
keluarga Kwe yang sangat disegani orang itu tak berdaya dibuatnya.
Thian-lui-khong-ciang memang dahsyat. Tapi ilmu itu membutuhkan pengerahan
lwekang yang berat pula. Kalau lawan dengan ginkangnya yang tinggi bisa selalu
menghindari pukulannya, akhirnya ia sendiri yang akan kehabisan tenaga.
"Bukan main...!" Liu Wan berdesah kagum.
Sebaliknya pertempuran tingkat tinggi itu semakin membuka mata Tio Ciu In.
Ternyata apa yang didapat dari gurunya selama .ini belumlah apa-apa bila
dibandingkan dengan mereka. Jangankan harus mengikuti jurus-jurus yang mereka
keluarkan, melihat gerakan-gerakan mereka yang cepat bagai kilat itu saja sudah
membuat pening kepalanya. Namun kenyataan itu justru menggugah semangatnya. Ia
harus bisa seperti mereka. Ia harus lebih tekun mempelajari ilmu silat Im-yang-
kau, karena gurunya pernah bercerita bahwa Aliran Im-yang-kau juga memiliki
sebuah ilmu yang amat dahsyat, yang disebut Ilmu Silat Kulit Doma. Siapa tahu
dirinya bisa mempelajarinya kelak"
Traaaaaaang...! Tiba-tiba Tio Ciu In dikejutkan oleh suara benturan senjata yang amat nyaring.
Ketika gadis ayu itu memandang ke arena pertempuran, dilihatnya Kwe 334
Tek Hun dan Mo Goat telah berhenti bertempur.
Mereka tampak berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah. Sementara Liu Wan
yang berdiri menonton tadi telah berada di dekat Tek Hun.
Mo Goat berdiri tegak sambil mengibas-ngibaskan kipasnya di depan dada. Bibirnya
yang merah tipis itu tersenyum mengejek. Sedangkan Kwe Tek Hun tampak berdiri
lesu memandangi pedang yang terlepas jatuh dari tangannya.
"Kau memang hebat, Nona. Rasanya aku harus belajar sepuluh tahun lagi untuk bisa
menandingimu. Baiklah, kami mengalah kali ini. Tapi suatu saat aku akan mencarimu untuk
membuat perhitungan lagi."
akhirnya pemuda itu menggeram perlahan.
Tak terduga gadis cantik itu mencibirkan bibirnya.
"Wah, enak benar...! Begitu kalah langsung pergi sambil mengancam akan membalas
dendam. Mana ada peraturan begitu?" ujarnya lantang.
Kwe Tek Hun tersentak kaget. "Maksud Nona...?"
Crek! Gadis cantik itu menutup kipasnya dengan tiba-tiba. Matanya yang mencorong
dingin itu menatap ganas. "Tinggalkan dulu kepalamu! Baru kau boleh pergi
meninggalkan tempat ini!" bentaknya keras.
"Kurang ajar...!" Kwe Tek Hun menggeram dengan wajah pucat pasi.
"Kau sungguh keterlaluan sekali, Nona! Apakah kau benar-benar ingin membunuh
kami semua?" Liu Wan berseru penasaran.
335 "Tentu saja. Kalian telah berani mengusik ketenanganku. Dan tadi sudah
kukatakan, orang-orang Han yang berani mengganggu aku akan kubunuh.
"Baik! Kalau begitu silakan kaubuktikan niatmu itu!" Liu Wan menjadi marah juga
akhirnya. "Saudara Liu! Biarkan aku yang membuktikan ucapannya itu!" tiba-tiba Kwe Tek Hun
berteriak, lalu menyerang lebih dulu ke arah Mo Goat.
Gadis cantik itu tertawa mengejek.
"Majulah sekalian semuanya, agar aku bisa menghemat waktu!" serunya seraya
mengelak ke samping. "Iblis...!" Liu Wan mengumpat keras.
Pemuda itu lalu merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Berbareng dengan
kedua kakinya yang ditarik merenggang, kedua belah telapak tangan yang terbuka
itu mendorong ke depan dengan kekuatan penuh. Wuuus! Terdengar suara desir angin
meluncur dari kedua telapak tangan tersebut.
Mo Goat ingin mencoba kekuatan Thian-lui-khong-ciang Liu Wan. Sambil merendahkan
badannya, gadis itu mengibaskan kipasnya ke depan.
Duaaaaar! Terdengar sebuah letupan yang amat keras!
Gadis cantik itu terdorong mundur satu langkah, sementara dua lembar daun
kipasnya di bagian tengah tampak melengkung. Sebaliknya tubuh Liu Wan sendiri
kelihatan bergoyang-goyang, meskipun kedua kakinya tetap kokoh menghunjam
lantai. Pemuda itu 336 merasakan betapa kuatnya sambaran kipas lawannya tadi.
"Bagus, kalian berdua telah maju berbareng! Kali ini aku pun tidak akan segan-
segan lagi mengeluarkan ilmuku! Nah, lihatlah...!" sekonyong-konyong Mo Goat
berseru nyaring. Liu Wan bersiap kembali dengan pukulan Thian-lui-khong-ciangnya. Bahkan pemuda
itu telah siap untuk mengurung lawannya dengan ilmu silat andalan perguruannya,
Tai-khong Sin-kun (Pukulan Angin Puyuh)! Sedangkan Kwe Tek Hun tampak
merapatkan ujung-ujung jari tangannya di depan wajahnya, seolah-olah ingin
membentuk dua buah paruh burung merak dengan jari-jarinya itu.
Tapi mata mereka tiba-tiba terbeliak. Tubuh lawannya yang ramping indah itu
,mendadak pecah menjadi dua bagian, dan masing-masing bagian lalu tumbuh menjadi
tubuh Mo Goat yang utuh, sehingga di dalam arena tersebut ada dua Mo Goat yang
siap bertarung dengan mereka.
"Gila! Tidak mungkin..." Kwe Tek Hun berdesis ragu.
"Awas, Saudara Kwe, gadis ini pandai ilmu sihir!"
Liu Wan yang juga menjadi bingung itu memperingatkan temannya.
"Hihihihi...! Ayolah, keluarkan seluruh kepandaianmu!" sepasang Mo Goat kembar
itu menantang. 337 "Saudara Kwe, mari kita hadapi dia bersama-sama!"
"Mari!" Karena tak tahu mana Mo Goat yang aseli dan mana Mo Goat yang palsu, maka Liu
Wan dan Kwe Tek Hun menyerang saja semuanya. Liu Wan segera mengeluarkan Pukulan
Angin Puyuhnya. Bergantian kedua telapak tangannya menghantam tubuh Mo Goat yang
berdiri di depannya. Angin kencang terasa bersiutan dari telapak tangannya,
melanda tubuh gadis itu. Dan dalam waktu yang bersamaan Kwe Tek Hun juga menerjang pula tubuh Mo Goat
yang lain. Pemuda gagah itu menyerang dengan jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk
Bulan), salah satu jurus Kim-hong-kun-hoat andalan Keluarga Kwe. Gerakannya
sangat indah, namun amat berbahaya dan mematikan. Memang sebenarnyalah bahwa
ilmu silat Keluarga Kwe sangat hebat. Kalau tadi Kwe Tek Hun dikalahkan, hal itu
bukan karena kepandaiannya yang rendah, tapi disebabkan karena pemuda tersebut
telah terlanjur mempergunakan pedangnya. Padahal bukan itulah yang menjadi inti
kepandaiannya. Namun karena pedangnya terlanjur dikalahkan, sebagai seorang
ksatria pemuda itu mengakui kekalahannya.
Kini tanpa pedang di tangannya Kwe Tek Hun justru menjadi lebih berbahaya malah.
Dengan ilmu 338 andalan keluarganya itu Kwe Tek Hun benar-benar seperti seekor harimau ganas
yang tumbuh sayapnya. Demikianlah dalam waktu yang bersamaan Mo Goat diserang dengan dua macam ilmu
silat tinggi yang jarang tampak di dunia persilatan. Meskipun demikian gadis
yang kini berubah menjadi dua orang itu sama sekali tak menunjukkan perasaan
takut. Kedua tubuh kembarnya itu masing-masing cepat mengelak dengan ginkangnya yang
amat tinggi. Bahkan beberapa saat kemudian tubuh kembar itu ganti menyerang dengan gesitnya.
Masing-masing dari tubuh kembar itu berkelebatan mengurung Liu Wan dan Kwe Tek
Hun. Memang mentakjubkan, masing-masing seperti memiliki nyawa sendiri-sendiri.
Maka terjadilah sebuah pertempuran seru, aneh, dan membingungkan! Seru, karena
ilmu-ilmu yang mereka keluarkan adalah ilmu yang jarang ada duanya di dunia
persilatan. Tapi aneh dan membingungkan karena salah seorang di antaranya cuma
bentuk semu atau bentuk tipuan yang sebenarnya tidak ada. Hanya karena kehebatan
ilmu sihir Mo Goat saja hal itu bisa terjadi.
Yang benar-benar repot adalah Liu Wan. Tanpa disadarinya pemuda itu berkelahi
melawan bentuk Mo Goat yang palsu. Maka ilmu silatnya yang dahsyat dan
menggiriskan itu menjadi percuma saja. Dia seperti bertempur dengan sebuah
bayangan yang bisa dilihat, tapi tak dapat disentuhnya. Thian-lui-khong-339
ciang-nya yang meledak-ledak seperti halilintar itu tidak bisa menghancurkan
tubuh lawannya. Paling-paling tubuh lawannya itu seperti bergoyang-goyang mau
hilang bila terkena pukulannya.
Sementara itu Kwe Tek Hun yang kebetulan berhadapan dengan Mo Goat asli, benar-
benar harus mengerahkan segala kemampuannya. Lawannya yang masih amat muda itu
ternyata menyimpan ilmu yang luar biasa tingginya. Ilmu silat keluarganya yang
selama ini tak pernah memperoleh lawan, sekarang benar-benar ketemu batunya.
Tenaga sakti Pai-hud-sinkang dan ilmu meringankan tubuh Pek-in-ginkang, yang
selama ini ditakuti orang, sama sekali tak berdaya mengungguli tenaga dalam dan
kelincahan lawannya. Dalam segala hal gadis cantik itu ternyata berada di
atasnya. Hanya langkah ajaib Ban-seng-po Lian-hoan saja yang akhirnya masih bisa
menolong Kwe Tek Hun dari kehancuran. Dalam keadaan terpojok, langkah ajaib itu
ternyata masih mampu menyelamatkan nyawanya.
Akan tetapi dengan demikian akhir dari pertempuran itu sudah bisa diduga. Cepat
atau lambat Kwe Tek Hun maupun Liu Wan mesti mengakui keunggulan lawannya. Dan
hal itu berarti saat kematian mereka telah tiba Mo Goat yang kejam dan amat
benci kepada orang Han itu tentu akan membunuh mereka.
Walaupun tidak dapat mengikuti irama
pertempuran tersebut, namun Tio Ciu In dapat juga 340
merasakan kesulitan kawan-kawannya. Tapi karena kepandaian sendiri masih
terlampau rendah, maka tak mungkin bisa menolong mereka.
MATAHARI belum terlampau tinggi. Sinarnya yang hangat masih menerobos lobang
jendela, menebarkan kehangatan di udara pagi yang dingin itu.
Tio Ciu In memang tidak merasa kedinginan karena pertempuran itu justru
membuatnya gerah dan cemas.
Lain halnya dengan Tio Siau In, yang pada saat itu sedang duduk merenung
sendirian di rumah tabib di tepi laut itu. Walau di depan perapian, gadis itu
masih kedinginan. Matahari memang bersinar terang di tepi laut itu.
Tapi karena angin laut berhembus sangat kencang, maka panasnya seolah-olah
selalu terguncang pergi terbawa angin. Bahkan hembusan angin yang amat kuat itu
justru melemparkan butiran-butiran air ke daratan. Dinginnya bukan alang
kepalang. Tio Siau In melipat kakinya yang dingin di depan perapian. Gadis centil yang
biasanya selalu bersikap lincah itu kini hanya merenung diam tak bergerak.
Matanya yang berbulu lentik itu menatap kosong ke dalam api, seakan-akan lidah
api yang menjilat-jilat ke atas itu amat mengasyikkannya.
Tio Siau In memang sedang melamun. Berbagai peristiwa menegangkan yang
dialaminya sejak dia meninggalkan rumah berkelebat satu persatu di depan
matanya. Semenjak gurunya memerintahkan dia dan 341
kakaknya ke kota Hang-ciu untuk mencari pemuda bertatto "naga" di badannya,
hingga peristiwa menegangkan yang terjadi di dalam rumah makan itu tadi malam.
Semula Tio Siau In memang tidak menyukai tugas itu. Tugas yang dianggapnya
terlalu mengada-ada dan kurang masuk akal. Tugas yang diberikan atas dasar
ramalan-ramalan yang belum tentu benar. Tapi kejadian demi kejadian yang secara
tak sengaja dilihatnya, membuat Tio Siau In berbalik pikiran.
Sekarang gadis itu berubah menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik
cerita tentang pemuda bertatto naga itu" Mengapa kelihatannya setiap orang
mempunyai kepentingan dengan pemuda bertatto naga tersebut"
Bahkan sekarang di dekat Tio Siau In sendiri ada seorang pemuda yang juga
memiliki tatto naga di dadanya. Mungkinkah pemuda ini yang dimaksudkan oleh
gurunya itu" Tak terasa Tio Siau In melirik ke pintu kamar yang ada di belakangnya. Di dalam
kamar itu A Liong beristirahat. Sejak meminum obat penyembah luka dalam, pemuda
itu langsung tertidur dengan nyenyaknya.
Tio Siau rn menarik napas panjang. Matanya kembali terhunjam ke dalam perapian.
Kejadian yang mendebarkan hatinya semalam kembali di pelupuk matanya. Kejadian
yang sangat membekas di dalam hatinya, yang membuka mata batinnya akan sifat-
sifat 342 manusia. Keculasan, keserakahan, kekejaman, dan tipu daya demi kepentingan
pribadi. Tadi malam, ketika mereka memasuki perairan teluk kecil itu, Su Hiat Hong
meminta kepada Tio Siau In untuk meminggirkan sampannya. Berbeda dengan pantai
di sekitarnya, pantai di teluk kecil tersebut memiliki hamparan pasir yang
landai, sehingga Tio Siau In mudah membawanya ke daratan.
Rumah bekas tabib kerajaan itu didirikan di atas tiang-tiang yang cukup tinggi
dari tanah. Mungkin dimaksudkan untuk menghindari air pasang atau binatang-
binatang melata yang banyak berada di tempat itu. Setiap pintu keluar dipasangi
tangga ke bawah. Sementara di kanan kiri bangunan tersebut ditanami pohon-pohon
besar untuk melindungi rumah itu dari angin laut dan terik matahari.
Rumah itu tidak begitu besar. Mungkin hanya terdiri dari tiga atau empat kamar
saja. Dan dinding bagian belakang rumah itu menempel pada tebing curam yang
memagari ceruk sempit tersebut, sungguh sebuah rumah yang aneh dan antik.
"Rupanya Tong Kiat Teng belum tidur Mungkin dia masih bekerja di kamar obatnya,
atau mungkin dia sedang membaca di kamar tidurnya. Kita jangan sampai
mengagetkannya." Su Hiat Hong berkata pelan ketika melihat jendela rumah itu
terbuka lebar. Sinar lampu dari dalam ruang panggung itu menyorot keluar.
343 "Lalu... apa yang harus kulakukan, Paman" Apakah aku harus naik dan mengetuk
pintunya?" Tio Siau In bertanya.
"Ya! Tapi lebih baik kita pergi ke sana bersama-sama. Coba, kautolong pemuda ini
agar bisa berjalan ke rumah itu!" Su Hiat Hong yang masih lemah itu meminta
kepada Tio Siau In. Tio Siau In lalu memapah A Liong turun dari sampan, kemudian membantunya
berjalan melewati hamparan pasir di tepian pantai tersebut. Su Hiat Hong sambil
mendekap dadanya yang sakit melangkah di belakang mereka.
"He, Paman... lihatlah! Di sana ada perahu!" tiba-tiba Tio Siau In yang secara
tak sengaja memandang ke laut berdesah perlahan. Tangannya menuding ke sebuah
perahu yang ditambat di antara bongkalan batu karang besar di luar pantai.
"Haaah..." Nanti dulu, Nona! Jangan-jangan itu perahu orang-orang Hun tadi!
Awas...! Mari kita mencari tempat persembunyian yang aman!"
"Bagaimana dengan sampan kita?"
"Biarkan saja. Takkan kelihatan dari rumah itu.
Kalau pun diketemukan oleh orang-orang itu, paling-paling juga dikira kepunyaan
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tong Kiat Teng. Ayoh, cepat!"
A Liong sama sekali tak berkata apa-apa ketika dibawa bersembunyi di semak-semak
yang tumbuh di pinggiran tebing ceruk itu. Pemuda yang masih 344
tampak kesakitan itu menurut saja ketika dituntun Tio Siau In ke balik perdu.
Beberapa saat lamanya mereka menunggu di tempat itu. Tapi tak seorang pun tampak
keluar atau terdengar suaranya. Rumah itu kelihatan sepi-sepi saja, Su Hiat Hong
menjadi curiga. Benarkah yang datang itu rombongan orang-orang Hun" Kalau benar
mereka, apa maksud mereka datang ke rumah Tong Kiat Teng ini" Mengapa rumah itu
tampak tenang-tenang saja" Apakah mereka sudah saling mengenal"
"Nona...?" Akhirnya Su Hiat Hong tak tahan lagi menunggu lebih lama. "Mari kita
mendekat ke rumah itu! Kita bergeser perlahan-lahan melalui semak-semak ini,
lalu kita mendekam di bawah kolong rumah. Beranikah kau?"
Tio Siau In tersenyum. "Seharusnya aku yang bertanya kepada Paman. Dengan
keadaan Paman dan A Liong ini, apakah bisa merangkak sampai ke sana?"
"A Liong..." Bagaimana" Kau tinggal di sini atau ikut kami ke rumah itu...?" Su
Hiat Hong bertanya kepada A Liong.
Pemuda itu menengadah kepalanya. Meskipun pucat namun pandangannya kelihatan
tegar dan bersemangat. "Aku ikut!" jawab pemuda itu tegas.
"Baiklah! Tapi kita harus berhati-hati benar!
Langkah kita tidak boleh mengeluarkan suara sama sekali. Sekali kita ketahuan
oleh orang-orang Hun itu, matilah kita! Bagaimana, Nona?"
345 Tio Siau In mengangguk. Bagaimanapun juga gadis cantik itu sudah membulatkan
tekadnya untuk menyelidiki masalah pemuda bertatto naga ini.
Apalagi dia juga sudah bersedia untuk memberi pertolongan kepada Su Hiat Hong
dan A Liong. Tidak enak rasanya membiarkan mereka menempuh bahaya sendirian.
Mereka lalu merangkak perlahan-lahan mendekati rumah panggung itu. Su Hiat Hong
paling depan, A Liong di tengah, dan Tio Siau In di belakang sendiri.
Semakin dekat dengan rumah itu perasaan mereka menjadi semakin tegang. Apalagi
lapat-lapat mereka mulai mendengar suara percakapan orang di dalam rumah itu.
Dua puluh langkah dari bangunan rumah itu Su Hiat Hong berhenti. Perwira
kerajaan itu teringat akan kebiasaan pimpinan orang Hun yang bersembunyi di
dalam gelap. Ditelitinya lebih dulu tempat di sekeliling rumah tersebut, kalau-
kalau ada orang di sana. Setelah yakin tak ada bahaya yang mengancam mereka, Su
Hiat Hong baru merangkak lagi.
Suara percakapan itu semakin jelas terdengar.
Apalagi ketika mereka telah sampai di bawah kolong rumah tersebut. Mereka
mencari tempat yang terlindung di antara bebatuan yang berserakan di bawah
bangunan itu. "Nah, sudah habis waktu yang kita berikan kepada Tabib Tua itu! Bawa dia ke
sini!" tiba-tiba terdengar suara menggeledek di dalam rumah itu.
346 "Baik, Goanswe! Prajurit, bawa orang tua itu ke mari!"
Hampir saja Su Hiat Hong berseru kaget.
Untunglah telapak tangannya cepat membungkam mulutnya sendiri. Tentu saja Tio
Siau In menjadi terheran-heran melihat ulahnya. Gadis itu mendekatkan mulutnya
ke telinga Su Hiat Hong. "Ada apa, Paman" Mengapa kau tampak kaget'
sekali" Apakah Paman mengenal suara itu?"
Su Hiat Hong mengangguk. Namun ia menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya.
Terdengar suara langkah kaki dari bagian depan ke bagian belakang di atas lantai
papan rumah itu. Terdengar suara ribut sebentar. Kemudian terdengar suara langkah lagi, namun kali ini terdiri dari dua orang,
di mana yang seorang langkahnya terdengar lemah dan agak diseret.
"Inilah dia, Goanswe!"
"Bagus! Nah, Tong Kiat Teng... waktu berpikir yang kami berikan telah habis.
Bagaimanakah pendapatmu" Apakah kau sudah mau berterus terang kepadaku?"
"Maaf, Goanswe... aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu di mana
anak-anak itu sekarang."
"Bangsat! Kau menang keras kepala! Apakah kau sudah tak ingin hidup lagi?"
"Goanswe..." Apa lagi yang harus kukatakan kepadamu" Aku sudah mengatakan
semuanya. 347 Memang akulah yang menyelamatkan anak-anak itu dari kobaran yang mengamuk di
istana Pangeran Liu Yang Kun. Dan aku pulalah yang membawa mereka keluar dari
kota raja. Tapi luka-lukaku ketika aku menerobos kobaran api itu selalu
mengganggu perjalananku. Aku tak tahan lagi, sehingga di tengah jalan aku
terpaksa menitipkan mereka pada seseorang.
Celakanya, karena saat itu aku dalam keadaan sakit dan kalut pikiran, maka aku
telah lupa kepada siapa aku telah menitipkan anak-anak itu."
"Bohong...! Kau memang keras kepala! Kau tak mau berterus terang kepadaku! Kau
tentu telah menyembunyikan mereka di suatu tempat...! Hmmh!"
"Aku tidak membohong, Goanswe. Selama lima belas tahun ini aku juga sia-sia
mencari jejak anak-anak itu. Bagaikan orang gila aku mencari mereka ke mana-
mana. Seluruh negeri ini hampir telah kujelajahi semuanya, tapi aku tetap tidak
menemukan mereka. Aku sudah berputus asa. Aku merasa berdosa kepada Pangeran Liu Yang Kun. Itulah
sebabnya aku mengasingkan diri di tempat ini."
"Huh, kau memang benar-benar keras kepala, Kiat Teng! Rupanya kau memang sudah
tidak menyayangi jiwamu lagi. Baiklah, tanpa bantuanmu pun aku tentu dapat
menemukan anak-anak itu. Masih banyak jalan untuk menemukan mereka, walaupun
untuk itu akan jatuh korban jiwa. Aku tidak peduli. Jangankan cuma ribuan jiwa,
kalau aku harus membantai setiap anak yang seusia mereka pun akan aku laksanakan
juga!" 348 Ucapan Au-yang Goanswe itu benar-benar mengejutkan Tong Kiat Teng. Bahkan juga
mengagetkan Su Hiat Hong yang bersembunyi di kolong rumah itu. sungguh keji
sekali hati Jenderal Au-yang yang telah diselimuti dendam itu. Tak terasa Su
Hiat Hong menoleh ke belakang, mencari Tio Siau In dan A Liong. Tapi yang tampak
cuma Siau In saja. A Liong tidak berada di tempatnya. Tentu saja keduanya semakin kaget.
Tio Siau In menjadi cemas sekali. Hampir saja mulutnya berteriak memanggil.
Untung tidak jadi, karena tiba-tiba saja pemuda itu muncul dari celah-celah
besar di sampingnya. "Batu besar ini dapat bergeser. Ada lubang di bawahnya. Aku tadi menemukannya
secara tak sengaja. Nona, marilah kita bersembunyi di sini. Di dalam ada ruangan
yang lebar." pemuda itu memberi keterangan dengan kalimat pendek-pendek seperti
orang yang terengah-engah. Lupa bahwa mereka sedang bersembunyi.
"Hei, siapa di luar..." Beng Ciang-kun tangkap orang yang bersembunyi di luar
itu!" sekonyong-konyong Goanswe yang ada di dalam rumah itu berseru keras
sekali. Muka Su Hiat Hong menjadi pucat seperti kapur.
Kehadiran mereka bertiga telah diketahui orang itu.
Satu-satunya jalan hanya menyelamatkan anak-anak muda itu.
349 "Nona, cepatlah kau ikut A Liong masuk ke dalam lubang itu! Biarlah kutemui
mereka sendirian. Cepat...!" Su Hiat Hong cepat berbisik di telinga Tio Siau In.
"Paman sendiri bagaimana?" Tio Siau In ragu-ragu.
"Jangan khawatir aku kenal mereka! Cepat!"
Bersamaan dengan melompatnya Tio Siau In ke dalam lobang batu, yang kemudian
menutup perlahan-lahan, beberapa orang perajurit kerajaan tampak berloncatan
keluar dari dalam rumah panggung tersebut. Seorang perwira setengah baya cepat
mendekati persembunyian Su Hiat Hong. Empat orang perajurit mengikuti di
belakangnya. "Selamat bertemu, Beng Ciang-kun ...!" Su Hiat Hong menyapa perwira itu dengan
ramah. "Kau..." Ah, Su Ciang-kun rupanya! Bagaimana kau bisa sampai berada di tempat
ini" Di mana Lim Ciang-kun?" orang yang disebut Beng Ciang-kun tersebut berseru
kaget. Suaranya bernada curiga dan berkesan menyelidik. Sama sekali tidak terasa
ramah atau gembira. "Beng Ciangkun, siapa dia? Mengapa tidak segera kaubawa ke dalam?"
"Su Ciangkun, mari kita masuk...! Au-yang Goanswe memanggilmu!" Beng Ciangkun
berkata pelan. Su Hiat Hong tak berani menolak. Beng Ciangkun yang bernama Beng Cun itu
memiliki kepandaian yang tinggi, karena dia adalah tangan kanan Au-yang 350
Goanswe. Perlahan-lahan, dengan menahan rasa sakit Su Hiat Hong menaiki tangga
rumah. "Apakah kau sakit, Su Ciangkun?" Beng Cun bertanya keheranan.
"Ya...! Nanti kuceritakan semuanya..."
Begitu memasuki ruangan Su Hiat Hong
terperanjat. Tong Kiat Teng, sahabatnya itu, benar-benar mengenaskan sekali
keadaannya. Tubuh yang kurus itu tidak mengenakan baju sama sekali.
Wajahnya, kulit punggungnya, lengannya, semuanya terdapat bekas luka siksaan.
"Tong Kiat Teng, kau kenapa" Siapakah yang telah menyiksamu?"
"Ah, Su Hiat Hong... kau?" Tong Kiat Teng menyapa lemah.
Su Hiat Hong cepat melangkah maju, namun dengan cepat Au-yang Goanswe yang
bertubuh tinggi besar dan berusia lima puluhan tahun itu menghadangnya. Sama
sekali tidak ada kesan ramah atau bersahabat dari jenderal yang menjadi
atasannya itu. Bahkan jenderal itu seperti memusuhinya, suatu hal yang benar-
benar tidak dipahami oleh Su Hiat Hong.
Bahkan Su Hiat Hong menjadi kaget ketika pimpinannya itu membentak marah!
"Su Hiat Hong! Di mana Lim Kok Liang dan yang lain-lainnya" Mengapa engkau tiba-
tiba berada di tempat yang terasing ini" Apakah kau memata-matai aku?"
351 Su Hiat Hong menjadi gugup. Meskipun dia telah mencium sesuatu yang tidak beres
pada pimpinannya itu, tapi ia juga belum bisa mengetahuinya dengan pasti. Dan
terus terang hatinya juga tidak berani menduga-duga atau berprasangka yang
bukan-bukan terhadap atasannya itu. Dia memang menjadi kaget ketika mendengar
niat jenderal itu untuk membasmi semua anak keturunan Pangeran Liu Yang Kun,
tetapi karena ia tidak memahami apa sebenarnya yang terselip di balik maksud dan
tujuan Au-yang Goan swe itu, ia tidak berani menanyakannya.
"Goanswe...! Tugas yang Goanswe berikan kepada kami itu ternyata penuh aral dan
rintangan. Tek seorang pun di antara kami yang mampu melaksanakan tugas itu
dengan baik. Bahkan mereka telah menjadi korban. Semuanya telah tewas di tangan
para pengacau yang tidak menyetujui diadakannya Perlombaan Mengangkat Arca itu.
Tinggal aku seorang yang masih hidup. Lim Kok Liang, Ong Ci Kin. Kwa Sing, Gui
ciangkun, semuanya telah gugur di tangan gerombolan saku bangsa Hun..." Su Hiat
Hong melapor seolah-olah tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap pimpinannya.
Namun Au-yang Goanswe seperti tidak
mengacuhkan laporan Su Hiat Hong. Bahkan jenderal itu juga seperti tidak
mempedulikan kematian-kematian anak buahnya.
"Persetan dengan kematian teman-temanmu! Aku tidak peduli! Sekarang katakan
terus terang kepadaku! 352 Mengapa kau sampai di tempat ini" Bukankah kau kutugaskan di kota Hang-ciu"
Lekas jawab!" jenderal itu menggeram keras.
"Goanswe, aku sungguh tidak mengerti apa yang Goanswe maksudkan...."
"Bohong! Kau tidak perlu bersandiwara lagi di depanku. Kau tentu sudah tahu,
atau setidak-tidaknya telah bercuriga kepadaku, sehingga kau tidak pergi
melaksanakan perintahku, tapi selalu menguntit dan memata-matai semua
kegiatanku. Benar tidak....?"
-- o0d-w0o -- JILID IX U HIAT HONG tidak menjawab. Ia
memang pernah mengutarakan
kecurigaannya kepada Lim Kok Liang,
bahwa pihak kerajaan menangani
masalah Perlombaan Mengangkat Arca
benar-benar terasa aneh baginya. Tapi karena waktu itu Lim Kok Liang juga tidak
bisa menebak apa yang terselip di balik keanehan tersebut, maka mereka terpaksa
melakukan saja apa yang ditugaskan kepada mereka. Dan kini secara kebetulan ia
mulai bisa melihat rahasia keanehan itu. Namun tampaknya dia pun tak bisa
melihatnya sampai tuntas. Au-yang Goan-swe, yang kelihatannya merupakan tokoh
utama 353 di balik tabir keanehan tersebut, tentu tidak akan melepaskan dirinya. Au-yang
Goanswe tentu tidak ingin rahasianya diketahui orang luar.
"Nah, Su Hiat Hong! Ternyata kau tidak berani menjawab pertanyaanku! Itu berarti
kau memang telah mengetahui rahasia sepak terjangku selama ini!
Dan kau tampaknya hampir berhasil
mengungkapkannya! Hmm, tapi jangan berharap kau bisa menggagalkan rencanaku! Aku
akan membunuhmu! Aku tidak peduli, apakah sudah memberi laporan kepada Kong-sun
Goanswe atau belum, karena aku yakin kau belum bisa memperoleh bukti yang kuat
untuk menjatuhkan aku...!"
Su Hiat Hong menarik napas panjang. Hatinya semakin tergelitik untuk mengetahui
rahasia keterlibatan Au-yang Goanswe di dalam masalah Perlombaan Mengangkat Arca
yang aneh itu. Begitu inginnya perwira itu menguak tabir rahasia tersebut,
sehingga ia tidak peduli pula akan tuduhan Au-yang Goanswe tentang dirinya.
"Sebentar lagi tentu aku akan dibunuhnya untuk menutupi rahasianya. Namun
demikian aku sungguh akan merasa puas apabila telah mengetahui rahasia
Perlombaan Mengangkat Arca itu." perwira itu berkata di dalam hatinya.
Oleh karena itu dengan perasaan yang semakin tabah dan pasrah, Su Hiat Hong
menentang pandangan mata Au-yang Goanswe.
354 "Baiklah, Goanswe. Aku memang sudah bercuriga dengan tugas-tugas yang kau
berikan selama ini. Banyak keanehan dan kejanggalan yang kulihat di dalam melaksanakan tugas itu.
Akan tetapi secara jujur juga kukatakan bahwa aku belum dapat menebak apa yang
terselip di balik kejanggalan-kejanggalan itu.
Aku baru mulai memahami setelah mendengar ucapan-ucapan Goanswe kepada Tong Kiat
Teng tadi. Walaupun demikian aku tetap belum bisa menguak maksud dan tujuan Goanswe yang
sebenarnya di dalam masalah ini. Nah, Goanswe... sebentar lagi kau akan
membunuhku, dan aku ... sama sekali tidak akan melawan. Namun sebelum aku mati,
bolehkah aku mengetahui serba sedikit semua rahasia itu" Biarlah aku mati dengan
tenang dan tidak membawa rasa penasaran ke alam baka...."
"Hahahaha...! Boleh! Boleh! Kau boleh mendengarnya agar arwahmu tidak penasaran
nanti." Au-yang Goanswe tertawa gembira sambil mengawasi para pembantunya yang berdiri
mengelilinginya. Semuanya juga ikut tertawa puas. Termasuk Beng Ciangkun yang menangkap Su Hiat
Hong tadi. Sementara itu di dalam lubang persembunyiannya A Liong dan Tio Siau In meraba-
raba di dalam gelap. Lubang sempit seperti liang tikus itu ternyata terus memanjang dan berbelok ke
sana ke mari, sehingga akhirnya mencapai sebuah tangga yang menuju ke atas.
355 "Nah, kita sudah hampir sampai di tempat itu." A Liong berbisik. "Tangga ini
akan membawa kita ke ruangan belakang dari rumah itu tadi."
"Hei, mengapa bisa demikian" Bukankah lubang terowongan ini berada di dalam
tanah" Bagaimana bisa berhubungan dengan ruangan yang ada di dalam rumah itu?"
Tio Siau In berbisik pula dengan heran.
"Mudah saja, Cici. Bukankah bagian belakang rumah itu menempel pada dinding
tebing" Nah, tentu saja lubang rahasia ini dibuat seperti liang tikus yang
melubangi tanah, kemudian terus naik ke atas tebing, sampai di dinding bagian
belakang rumah yang menempel tebing tersebut." A Liong yang tadi tampak lemah
tak bertenaga itu kini sudah kelihatan lebih kuat dan sehat. Memang sungguh
mengagumkan sekali ketahanan tubuh pemuda itu. Benar-benar sesuai dengan
perawakannya yang kekar. Tio Siau In mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Sayang liang itu. gelap sekali keadaannya. Kalau tidak, tentu akan tampak betapa
cantiknya gadis itu bila tersenyum.
Mereka lalu menaiki tangga kecil dan sempit itu.
Dan benar juga ucapan A Liong tadi, mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih
lega. Tapi tempat yang disebut ruangan oleh A Liong itu sebenarnya tak lebih
dari sebuah gua kecil dan sempit.
"A Liong...!" Tio Siau In berbisik.
"Bagaimana kau bisa mengatakan gua sempit ini sebagai ruangan belakang rumah
itu?"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
356 Pemuda itu tidak menjawab, tapi segera bergeser ke dinding gua yang berada di
depan mereka. Tangannya meraba-raba kesana-kemari, seakan-akan pemuda itu sudah
paham keadaan gua tersebut dan kini sedang mencari sesuatu di tempat itu.
Tiba-tiba sebuah lubang sebesar perut kerbau terbuka di depan mereka. A Liong
masuk ke dalam, diikuti oleh Tio Siau In. Pemuda itu memberi isyarat agar Tio
Siau In berhati-hati. "Ci-ci, lihatlah...! Bukankah ruang sempit ini berada di bagian belakang rumah
itu" Coba kauintip melalui celah-celah kayu ini!" A Liong berbisik perlahan.
Tio Siau In mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ruang sebesar kandang
ayam itu memang berdindingkan kayu seperti halnya dinding rumah tabib itu.
Lantainyapun juga terbuat dari balok-balok kayu besar. Berkas-berkas sinar lampu
masuk dari sela-sela dindingnya, sehingga ruang sempit itu tidak gelap lagi.
Lapat-lapat terdengar suara orang bercakap-cakap di luar ruang sempit tersebut.
A Liong mengintip melalui sela-sela kayu, sehingga Tio Siau In pun menjadi ikut-
ikutan pula untuk mengintip.
Betapa kagetnya Tio Siau In. Di sebelah luar dari ruang sempit tersebut ternyata
adalah ruang tengah milik Tong Kiat Teng. Di dalam ruangan itu tampak beberapa
orang prajurit berjaga-jaga. Mereka mengelilingi seorang lelaki tua berseragam
perwira 357 tinggi, yang saat itu sedang membentak-bentak Su Hiat Hong!
"Hiat Hong...! Kau tahu siapa sebenarnya Beng Ciangkun di sebelahku ini"
Ketahuilah, dia adalah keponakan Beng Tian almarhum. Hmm, kau ingat tidak nama
Jendral Beng Tian, Panglima Besar tangan kanan Chin Si Hong-te itu?"
Su Hiat Hong tampak merenung sebentar, kemudian mengangguk. "Ya, aku ingat. Dia
adalah Panglima Besar Kerajaan pada zaman Dinasti Chin, pada saat Kaisar Chin Si
Hong-te berkuasa. Dia gugur ketika menghadapi pasukan pemberontak yang dipimpin
oleh mendiang Kaisar Liu Pang."
"Bagus ternyata otakmu masih encer. Nah, apakah kau juga tahu siapa yang telah
membunuh jenderal besar itu?" Au-yang Goanswe mendesak lagi.
Su Hiat Hong menghela napas pendek. Ia tak tahu ke mana arah tujuan pertanyaan
itu. "Aku tidak mengetahuinya, Goanswe. Bagaimana orang bisa memastikan siapa yang
membunuh di dalam peperangan besar seperti itu" Aku memang pernah mendengar
beberapa cerita tentang jenderal besar itu, tapi belum yakin tentang
kebenarannya." "Kau tidak usah ragu-ragu. Cerita yang tersebar di antara kita itu memang benar.
Jenderal Beng Tian terbunuh oleh tangan Liu Pang dan para pembantunya!" dengan
suara geram Au-yang Goanswe menggertak.
358 Su Hiat Hong terdiam. "Lalu... apa hubungannya antara Jenderal Beng Tian itu
dengan peristiwa yang terjadi sekarang ini?" sesaat kemudian Su Hiat Hong
mengajukan pertanyaan. Au-yang Goanswe tertawa dingin lagi. "Banyak sekali hubungannya! Kau tahu siapa
aku sebenarnya..." Aku sebenarnya bukan bermarga Auyang seperti kalian kenal
selama ini. Namaku yang sesungguhnya adalah Beng Han. Aku adalah putera bungsu
Jenderal Beng Tian itu. Nah, Hiat Hong...
sekarang kau tentu sudah mulai dapat meraba, apa yang sedang kukerjakan saat
ini!" Su Hiat Hong benar-benar terperanjat mendengar pengakuan Au-yang Goanswe
tersebut. Dan otomatis ia menjadi sadar bahwa selama ini ia dan Lim Kok Liang,
bahkan juga para perwira yang lain, telah terperangkap dalam jebakan Au-yang
Goanswe. Putera bungsu Jenderal Beng Tian itu tampaknya telah menyimpan dendam di dalam
hatinya, dan sekarang bangkit untuk melampiaskan dendam kesumatnya itu.
Dan tentu saja yang dituju adalah anak keturunan Kaisar Liu Pang.
Bergidik hati Su Hiat Hong memikirkan hal itu.
"Jangan-jangan lenyapnya Pangeran Liu Yang Kun dan terbakar musnahnya istana
Putera Mahkota itu juga hasil perbuatan Au-yang Goanswe pula." perwira pasukan
rahasia itu bergumam di dalam hatinya.
359 "Tampaknya Au-yang Goanswe ingin menuntut balas atas kematian Jendral Beng Tian
itu...." Su Hiat Hong akhirnya mengatakan juga dugaannya itu.
Au-yang Goanswe tersenyum puas. Kepalanya yang besar dan berambut tebal itu juga
mengangguk-angguk. "Otakmu memang encer sekali. Aku memang hendak menuntut balas atas kematian
orang tuaku. Dan untuk melaksanakan niatku itu aku sudah merencanakannya sejak dulu. Sejak
aku masih berusia dua puluh tahun...."
"Aaah....!" Su Hiat Hong berdesah panjang.
"Jangan kaget! Aku memang tidak ingin gagal.
Oleh karena itu aku selalu menyabarkan diri, dan merencanakan niatku itu dengan
rapi." Au-yang Goanswe berhenti sejenak untuk memperbaiki duduknya. Kemudian
lanjutnya lagi. "Mula-mula aku mengubah nama margaku, agar orang tak
menghubungkan aku lagi dengan almarhum ayahku.
Lalu aku memasuki bidang keprajuritan seperti Ayah ku, dengan harapan suatu hari
kelak aku akan memperoleh kedudukan seperti halnya Ayahku pula.
Sebab hanya dengan kekuasaan dan kekuatan aku akan mampu menuntut balas kepada
Liu Pang." Su Hiat Hong menatap wajah Au-yang Goanswe sebentar, lalu menunduk kembali
dengan perasaan sedih dan kecewa. Sedih karena sebentar lagi, setelah Au-yang
Goanswe itu membeberkan rahasianya, ia tentu akan dibunuh mati agar tidak bisa
bercerita 360 kepada siapa-siapa lagi. Dan kecewa, karena dengan kematiannya itu ia tak akan
mempunyai kesempatan lagi untuk memberitahukan rencana Au-yang Goanswe tersebut
kepada Kong-sun Goanswe, atasannya.
"Akhirnya dengan kepandaianku dan kecerdikanku aku bisa juga memperoleh
kedudukan yang tinggi. Setelah itu dengan berbagai cara aku mendekati keluarga istana. Dan jerih
payahku itu akhirnya berhasil pula. Aku mendapatkan kedudukan sebagai Komandan
Pasukan Pengawal Istana. Saat itu aku benar-benar sudah merasa bahwa cita-citaku
tinggal melangkah satu tindak lagi. Sebagai Komandan Pasukan Pengawal Istana
rasa-rasanya sangat mudah untuk melenyapkan jiwa setiap keluarga Liu Pang."
"Tapi Goanswe juga tidak berani melakukannya, karena di antara keluarga kaisar
itu ada seorang yang kesaktiannya sangat ditakuti di seluruh pelosok negeri ini.
Maka sebelum melaksanakan rencana itu, Goanswe lebih dulu berusaha dengan segala
macam cara untuk menyingkirkan Pangeran Liu Yang Kun terlebih dahulu. Bukankah
demikian, Goanswe?" Entahlah darimana datangnya keberanian itu, mendadak Su Hiat Hong menyela cerita
Au-yang Goanswe tersebut.
Ternyata jenderal itu juga tidak menjadi marah karenanya. Bahkan Au-yang Goanswe
kelihatan senang dan puas menyaksikan Su Hiat Hong bisa mengikuti ceriteranya.
361 "Hahaha, Hiat Hong... kau memang benar-benar cerdik. Sayang kau berada di pihak
lawan, sehingga kau harus mati karenanya. Dugaanmu memang benar.
Untuk berhadapan muka melawan Pangeran Liu Yang Kun, rasanya tak seorang pun
yang mampu melakukannya di dunia ini. Tetapi jangan lupa, bahwa kesaktian itu
masih bisa dikalahkan dengan kecerdikan. Aku lalu menyusup ke dalam puri istana.
Aku berusaha mengadu domba dan memecah-belah keutuhan keluarga Liu Pang itu dari
dalam. Heheh, akhirnya Pangeran Liu Yang Kun yang maha sakti itu pergi juga dari
istana dengan sendirinya. Bahkan aku telah membuatnya menderita seumur hidupnya.
Hohoho... aku sungguh-sungguh puas melihatnya."
Su Hiat Hong mengerutkan dahinya. Matanya tajam memandang kepada Au-yang Goanswe
yang sedang tertawa puas menikmati keberhasilan rencananya. Su Hiat Hong tidak
tahu apa yang telah diperbuat oleh jenderal itu terhadap Pangeran Liu Yang Kun,
sehingga Pangeran Mahkota tersebut bisa pergi dari istananya.
"Dan selanjutnya Goanswe lalu membakar istana pribadi Pangeran Liu Yang Kun,
bukan?" dengan berani pula Su Hiat Hong lalu melontarkan dugaannya.
Tiba-tiba Au-yang Goanswe menghentikan ketawanya. Dengan nada geram ia berkata
lantang. "Tidak. Aku memang ingin menumpas keluarga Liu.
Tapi tak sekalipun terlintas di dalam benakku untuk 362
membakar istananya. Namun demikian kejadian itu membuat hatiku terhibur juga,
karena aku menganggap mereka telah musnah dimakan api."
"Tapi dugaan Goanswe ternyata keliru. Anak-anak Pangeran Liu Yang Kun ternyata
masih hidup." Su Hiat Hong yang tadi mendengar pembicaraan Tong Kiat Teng dengan
Au-yang Goanswe segera menyela.
Jendral itu menggeram kembali. "Ya! Semua itu karena perbuatan monyet tua ini!"
katanya gemas sambil menunjuk ke arah Tong Kiat Teng.
"Monyet ini ternyata membawa anak-anak Liu Yang Kun itu keluar istana, sehingga
mereka terhindar dari kobaran api. Aku baru mengetahui hal itu setelah beberapa
tahun kemudian." "Goanswe lalu berusaha mencari anak anak itu?"
"Tentu saja. Aku tak ingin melepaskan seorang pun di antara mereka. Aku tidak
ingin menanam kesulitan di kemudian hari. Semuanya harus dimusnahkan."
"Tapi sampai sekarang Goanswe belum juga menemukan mereka."
"Siapa bilang" Hahahaha...!" tiba-tiba Au-yang Goanswe tertawa keras. "Sebentar
juga Tong Kiat Teng akan mengatakannya...!"
Diam sejenak. "Goanswe memang hebat...." akhirnya Su Hiat Hong memuji. "Tetapi setelah dapat
menyingkirkan keluarga Pangeran Liu Yang Kun, mengapa kelihatannya Goanswe
berhenti dan tidak melanjutkan rencana itu" Bukankah di istana masih ada
keluarga 363 Liu yang lain" Adik-adik Pangeran Liu Yang Kun misalnya."
"Pangeran Liu Wan Ti maksudmu?"
"Ya, bukankah dia yang ditunjuk oleh Ibu Suri untuk menggantikan Kakaknya?"
Lagi-lagi Au-yang Goanswe menggeram. "Benar!
Aku memang telah gagal melenyapkan Pangeran kecil itu. Dia keburu menghilang
dari istana sebelum aku bertindak terhadapnya. Aku curiga kepada Panglima Yap
Khim. Tentu dia yang menyembunyikannya...."
"Dan... sampai sekarang Goanswe masih tetap penasaran karena belum menemukan
anak keturunan Pangeran Liu Yang Kun maupun Pangeran Liu Wan Ti."
"Ya! Aku memang sangat penasaran. Aku harus bisa menemukan mereka dan
memusnahkannya." "Lalu bagaimana dengan dua orang adik Pangeran Liu Wan Ti yang kini masih berada
di istana" Mengapa Goanswe tidak menyingkirkannya sekalian?"
"Anak-anak cacad itu" Hehehehe...! Mengapa aku harus mengkhawatirkan anak-anak
tidak berguna itu" Tak seorang pun di dunia ini yang mau diperintah oleh manusia tidak waras."
"Kalau begitu mengapa Goanswe tidak lekas-lekas mengambil alih kekuasaan" Belum
waktunya" Apakah Goanswe masih takut kepada Panglima Yap Khim?"
364 "Kurang ajar...! Tutup mulutmu!" hardik Au-yang Goanswe berang.
"Maaf, Goanswe."
"Hmmh...! Waktunya memang belum tiba!
Panglima keparat itu memang masih memiliki kekuatan yang besar di antara anak
buahnya! Dia harus dicarikan lawan yang setimpal lebih dahulu!"
"Dan Goanswe telah mendapatkannya, meskipun cara yang Goanswe tempuh amat hina.
Goanswe telah mengkhianati negeri sendiri. Goanswe mengundang kekuatan asing,
bersekongkol dengan Mo Tan, raja suku bangsa Hun itu untuk mengacau negeri kita.
Bukankah begitu, Goanswe?" Su Hiat Hong semakin berani mengungkapkan
kecurigaannya di depan Auyang Goanswe, dan sama sekali tak mempedulikan lagi
keselamatannya sendiri. Benar juga. Ucapan Su Hiat Hong itu benar-benar menyinggung perasaan Au-yang
Goanswe. Wajah jendral bertubuh tinggi besar itu menjadi merah padam.
Kemarahannya tak bisa dikekang lagi. Tiba-tiba tangannya mencabut golok yang
terselip di pinggangnya, lalu mengayunkannya ke leher Su Hiat Hong!
Su Hiat Hong berusaha sekuat tenaga untuk mengelak, namun karena luka dalamnya
kembali menyengat, maka gerakannya menjadi lamban dan kaku. Golok itu tak jadi
mengenai leher Su Hiat Hong, tapi menerjang bahu kanannya. Segumpal daging dan
sepotong tulang bahu perwira pasukan rahasia itu 365
terlepas dari tempatnya. Begitu tajamnya golok tersebut sehingga Su Hiat Hong
hampir-hampir tak merasakannya. Baru sesaat kemudian ketika rasa nyeri terasa
menggigit di tempat yang terluka itu, Su Hiat Hong menjadi sadar bahwa lengan
kanannya sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Kejadian tersebut berlangsung cepat sekali, sehingga semua orang yang berada di
dalam ruangan itu baru sadar ketika semuanya telah terjadi. Tong Kiat Teng yang
keadaannya juga sudah payah itu baru menjerit kaget ketika sahabat-baiknya itu
menggelepar di atas lantai.
"Su Hiante (Saudara Su)...?" Tabib is tana itu merintih sedih.
"Ah!" Tak terasa Tio Siau In juga menjerit lirih di tempat persembunyiannya.
Walau cuma lirih, akan tetapi telinga Au-yang Goanswe yang tajam itu dapat juga
menangkapnya. Hanya saja jendral yang telah haus dendam tersebut tidak bisa memastikan, dari
mana jerit kecil Tio Siau In itu berasal. Akan tetapi yang jelas suara asing
tersebut membuat pikirannya menjadi panik.
"Bangsat busuk! Ternyata kau membawa kawan ke tempat ini, Hiat Hong...! Beng
Ciang-kun, cari orang yang mengeluarkan suara tadi!" jendral itu berseru cemas
sambil mengayunkan kembali goloknya. Kali ini tak mungkin lagi dielakkan oleh Su
Hiat Hong. "Goanswe, jangan...!" Tong Kiat Teng melompat ke depan, berusaha menolong
sahabatnya. 366 Namun usaha Tong Kiat Teng itu justru membahayakan dirinya sendiri. Au-yang
Goanswe yang sudah terlanjur mengayunkan goloknya itu tak mungkin menariknya
kembali. Maka di lain saat bukan Su Hiat Hong yang terkena tabasan golok tajam
itu, tapi justru tubuh Tong Kiat Teng yang menjadi korbannya. Craaaaaak!
"Aaauggh!" Tabib tua itu mengeluh pendek.
Tubuhnya terjerembab menimpa badan Su Hiat Hong.
Punggungnya terbelah lebar, sehingga darah segar seperti membanjir ke luar.
"Tong-heng (Saudara Tong)...?" Su Hiat Hong yang masih sadar itu terpekik kaget.
Otomatis lengannya memeluk sahabatnya itu.
Akan tetapi iblis tampaknya memang sudah merasuk ke dalam jiwa Au-yang Goanswe.
Bukannya terharu menyaksikan kedua orang sahabat itu saling berangkulan, tapi
sebaliknya justru keganasanlah yang timbul di dalam hati Au-yang Goanswe. Sekali
lagi golok yang haus darah itu berkelebat, dan kali ini benar-benar mengenai
leher Su Hiat Hong! Dan kepala Su Hiat Hong, perwira pasukan rahasia kerajaan
yang telah banyak jasanya kepada negara itu menggelinding di atas lantai,
terpisah dari tubuhnya! Kekejaman itu sungguh amat menggoncangkan pikiran Tio Siau In yang masih polos.
Hampir saja gadis itu menerjang dinding pemisah tersebut dan bertarung melawan
Au-yang Goanswe. Untunglah A Liong cepat memeluknya dari belakang, kemudian 367
dengan paksa menariknya masuk ke dalam lubang gua kembali. Dan untuk mengamankan
tempat itu A Liong lalu menutup kembali pintu rahasia lubang tersebut.
"Sabar, Cici.... Kita takkan menang melawan mereka. Mereka berjumlah banyak
serta lihai-lihai. Kita harus mempergunakan akal bila ingin menghadapi mereka...." A Liong membujuk
dengan suara pelan. Sementara itu Beng Ciangkun beserta prajurit-prajuritnya mengobrak-abrik seluruh
dataran sempit itu, namun usaha mereka sia-sia saja. Tak seorang manusia pun
yang mereka dapatkan di tempat itu.
Mereka hanya menemukan sampan yang ditinggalkan oleh Tio Siau In tadi.
"Heran...! Aku tadi juga mendengar suara itu.
Tapi... di mana dia" Masakan ada hantu sepagi ini?"
Beng Ciangkun menggerutu kesal.
Fajar memang mulai tampak menyorot di ufuk timur. Sinarnya yang merah kekuning-
kuningan itu seakan-akan menembus dari bawah permukaan air laut, sehingga air
laut pun lalu ikut-ikutan berubah pula warnanya menjadi merah seperti darah.
"Bagaimana, Beng Ciangkun" Kautemukan orang itu?" Au-yang Goanswe yang kemudian
ikut menyusul keluar, bertanya kepada Beng Ciangkun.
"Sungguh mengherankan sekali, Goanswe. Sudah kami periksa setiap jengkal tanah
di tempat ini, tapi kami tak menemukan seorang manusia pun di sini.
368 Kami memang menemukan sampan kecil di tepian sana, tapi jejak-jejaknya sudah
terhapus oleh air pasang."
"Gila! Seharusnya tidak kubunuh dulu Su Hiat Hong itu! Disiksa dulu agar mau
mengatakan, berapa teman yang dibawa nya ke tempat ini. Hhhh...! Jika dia memang
benar-benar membawa teman, dan orang itu juga ikut mendengarkan pula ceritaku
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi, kedudukanku menjadi sangat berbahaya. Sewaktu-waktu orang itu bisa
menghadap Yap Tai Ciangkun (Panglima Besar Yap) di kota raja untuk melaporkan
kegiatan kita." Beng Ciangkun melangkah maju ke depan Au-yang Goanswe. "Kita tak perlu berkecil
hati, Goanswe. Mungkin kita tadi salah dengar, sehingga menyangka ada orang lain di tempat ini.
Nyatanya tidak ada. Kalau pun memang benar tadi ada orang yang mengintip dengar pembicaraan kita,
dan orang itu keburu bisa menyelamatkan diri, kita juga tidak perlu takut
kepadanya. Dimisalkan ia melapor kepada Yap Tai Ciangkun pun kita juga tak perlu
mengkhawatirkannya. Bukankah Au-yang Goanswe mempunyai hubungan yang lebih baik
dengan Ibu Suri daripada hubungan Yap Tai-ciang-kun" Aku percaya bahwa Ibu Suri
akan lebih mendengarkan perkataan Goanswe daripada ucapan Yap Tai Ciangkun."
Tiba-tiba wajah Au-yang Goanswe yang cemas itu menjadi cerah kembali.
369 "Benar, kau memang benar, Beng Ciangkun!
Hahaha, kau memang seorang perwiraku yang baik.
Sungguh beruntung aku memiliki pembantu seperti kau." Jendral itu berseru dengan
gembira. Kemudian katanya pula kepara para prajurit yang berkumpul di
sekelilingnya. "Dan... kalian semua adalah prajurit-prajurit pilihan, yang
sengaja kupilih serta kukumpulkan karena kalian semua sebenarnya adalah anak
keturunan marga Beng yang besar. Meskipun di kehidupan sehari-hari kalian telah
menyembunyikan marga kalian seperti halnya aku, tapi jiwa kita tetap mendambakan
kejayaan marga kita seperti dahulu.
Oleh karena itu kita semua harus berusaha sekuat tenaga, agar cita-cita kita itu
bisa terwujud. Kalian harus tetap mentaati sumpah kita bersama, untuk tetap
merahasiakan gerakan-gerakan yang telah kita lakukan sehingga rencana dan cita-
cita kita itu berhasil. Mengerti?"
"Kami mengerti, Goanswe...!" prajurit-prajurit itu menjawab serentak.
"Nah, hari sudah siang. Mari kita pergi...!"
"Bagaimana dengan mayat Su Hiat Hong dan Tong Kiat Teng, Goanswe?" Beng Ciangkun
bertanya. "Ah, biarkan saja mereka di sana. Tempat ini tak mungkin didatangi orang.
Biarlah mayat mereka membusuk dengan sendirinya."
Demikianlah, sebentar kemudian prajurit-prajurit kerajaan itu telah pergi
meninggalkan teluk kecil tersebut. Mereka berlayar dengan perahu mereka ke 370
selatan, menuju ke kota Hang-ciu. Ternyata di tengah lautan mereka sudah
dinantikan tiga buah perahu besar yang sarat dengan prajurit beserta
perlengkapannya. Au-yang Goanswe yang sangat dipercaya serta mempunyai hubungan
erat dengan Ibu Suri itu memang banyak mendapatkan kekuasaan istimewa di
kalangan keprajuritan. Setelah yakin bahwa Au-yang Goanswe dan anak buahnya telah pergi,
A Liong dan Tio Siau In lalu keluar dari lubang persembunyian mereka. Bergegas
mereka naik ke rumah Tong Kiat Teng untuk -menjenguk mayat Su Hiat Hong yang
mengenaskan. "Ah, Paman... kematianmu sungguh menyedihkan.
Dibunuh oleh atasanmu sendiri yang tamak dan tak berperi-kemanusiaan. Alangkah
malangnya nasibmu ...." Tio Siau In menyesali kematian perwira yang baru dikenalnya itu.
"Sudahlah, Cici. Marilah kita kuburkan jenazah mereka...!" A Liong berkata
perlahan. Tio Siau ln menoleh. Matanya menatap pemuda tanggung yang bertubuh tinggi dan
kekar itu. Hampir saja gadis itu menjerit. Setelah berada di tempat terang,
barulah terlihat betapa pakaian yang dikenakan A Liong itu telah compang-
camping. Bahkan bajunya nyaris hancur sama sekali.
"liih! A Liong, carilah pakaian seadanya di rumah ini! Jangan telanjang
begitu...!" gadis itu memekik lirih. Mukanya agak merah.
371 A Liong tertawa. Bagi pemuda itu tanpa baju sudah biasa baginya. Sebagai
gelandangan yang kadang-kadang cuma hidup dari belas kasihan orang, A Liong
sudah terbiasa mengenakan pakaian yang tidak utuh.
Tapi karena sekarang sedang berdekatan dengan gadis terhormat seperti Tio Siau
In, maka A Liong menurut saja ketika disuruh mencari pakaian yang pantas.
Sebentar saja pemuda itu sudah kembali lagi dengan pakaian yang utuh dan bersih.
Namun karena pakaian yang dikenakan itu milik Tong Kiat Teng yang kurus, maka
baju dan celana tersebut menjadi kelihatan kekecilan untuk A Liong.
"Nah, aku sudah berpakaian sekarang. Tampan juga, ya... Cici?" Dengan senyum
riang A Liong melucu di depan Tio Siau I n.
Tio Siau In tersenyum pula melihat kepolosan sikap pemuda tanggung itu.
"Ya, kau memang cukup tampan. Sayang terlalu lemah." Tio Siau In menggoda.
"Ah, belum tentu. Sekarang aku memang masih lemah. Tapi lihat lima tahun lagi,
aku akan menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa."
Tio Siau In terpaksa tidak bisa menahan senyumnya yang lebar. Pemuda tanggung di
depannya itu benar-benar sangat menggelikan.
"Lima tahun..." Wah, cepat benar! Lalu di mana kau akan belajar silat secepat
itu?" Tiba-tiba pemuda itu bersikap serius. "Uh, apa Cici lupa... bahwa untuk menuntut
kesaktian ada tiga 372 tempat untuk dipilih. Coba Cici dengarkan pantun ini...."
Menjadi pendekar gagah perkasa,
Ada tiga jalan untuk mencapainya!
Pertama di Puncak Gunung Hoa-san!
Ke dua di tengah Gurun Gobi!
Dan terakhir di Lembah Tak berwarna!
"Nah, Cici tentu pernah mendengar pantun itu, bukan?" A Liong mengakhiri
pantunnya dengan nada yakin dan bersemangat.
"Oh... itu! Lalu kau hendak belajar ke mana" Ke Gunung Hoa-san, ke Gurun Gobi,
atau ke Lembah Tak Berwarna?" dengan suara menggoda Tio Siau In bertanya.
Tapi A Liong tak mempedulikan godaan Tio Siau In. Dengan suara tetap bersemangat
pemuda itu menjawab lantang.
"Aku tidak ingin yang nomer dua atau nomer tiga, Cici. Aku ingin menjadi
pendekar nomer satu. Oleh karena itu aku akan ke Puncak Gunung Hoa-san!"
"Apakah kau kuat mendaki gunung yang tinggi itu"
Bukankah kau sedang terluka dalam?"
"Ah, aku sudah sembuh sekarang! Lihat...!" A Liong berseru gembira sambil
memperagakan otot-otot lengannya yang membengkak kencang. Namun tiba-tiba
mulutnya meringis. Tangannya yang bergaya itu segera turun memegangi dadanya.
373 Tio Siau In terkejut. "Eh, kenapa kau...?" tanyanya cemas.
"Wah, Cici... dadaku sakit lagi." dengan suara kikuk dan malu A Liong menjawab.
Tio Siau In tertawa kecil, "Nah... apa kataku tadi"
Kau belum sembuh benar dari luka dalammu.
Keadaanmu memang cepat menjadi baik karena tubuhmu sangat kuat dan sehat. Tapi
kau belum boleh mempergunakan tenaga terlalu berat. Sekarang beristirahat
sajalah, biar aku yang menguburkan mayat-mayat ini!"
"Wah, tidak bisa! Mana boleh aku membiarkan Cici bekerja sendirian! Aku harus
membantumu! Ayoh...!"
A Liong tetap memaksa juga.
Terpaksa Tio Siau In tak tega untuk melarang lagi.
"Baiklah! Tapi setelah selesai menguburkan mayat-mayat ini, kau harus minum
obat! Nanti kita mencarinya di almari obat Tong Kiat Teng. Dia tentu banyak
menyimpan obat-obatan...."
"Tapi bagaimana kita bisa memilih obat yang cocok untuk penyakitku" Jangan-
jangan kita malah salah obat nanti?" A Liong kurang setuju.
Tio Siau In mencibirkan bibirnya yang tipis kemerah-merahan. "Nah, ketahuan satu
lagi! Ternyata selain lemah kau juga bodoh pula! Huh!"
Tiba-tiba wajah A Liong menjadi cemberut. "Wah, jangan menghina...Cici! Mengapa
aku kaukatakan bodoh pula?" katanya penasaran.
374 Tio Siau In membalikkan tubuhnya. Sambil bertolak pinggang gadis lincah itu
mengawasi A Liong. "Habis, soal begitu saja kau sudah bingung.
Bagaimana aku tidak mengatakan kau bodoh"
Ketahuilah, di manapun juga setiap tabib atau tukang obat tentu memberi tanda
atau keterangan pada setiap jenis obat yang disimpannya. Mereka itu juga tak
ingin salah ambil obat. Tahu...?" sergahnya dengan nada menggurui.
Raut muka A Liong yang kokoh keras itu perlahan-lahan menunduk.
"Ya, kau benar... Cici. Dalam hal tulis menulis aku memang tak mengerti." pemuda
itu berdesah sedih. Sekonyong-konyong Tio Siau In tertawa. "Hei, A Liong! Ke mana semangatmu tadi"
Mengapa mendadak kau menjadi loyo begitu" Mengapa kau tidak mengeluarkan
pantunmu lagi" Ayoh, bersemangat! Ilmu membaca dan menulis juga bisa
dipelajari...!" gadis itu meledek untuk menggugah semangat A Liong.
Benar juga. Air muka pemuda kekar itu menjadi cerah kembali.
"Wah, kau sungguh hebat sekali, Cici! Aku senang kepadamu! Kau pintar, ceria,
dan selalu percaya diri! Eh, siapakah namamu, Cici" Kau tadi sudah mengatakan nya belum" Aku sampai lupa
lagi...." Tio Siau In memonyongkan mulutnya yang lancip.
"Uh, enak saja tanya-tanya nama orang. Memangnya hendak kau bawa ke mana
namaku?" 375 A Liong menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Ya... tidak dibawa ke mana-
mana. Cici, kau ini bagaimana, sih..." Ditanya namanya saja, marah."
"Habis, caramu bertanya juga ngawur!"
"Ngawur" Ngawur bagaimana...?" A Liong semakin bingung.
"Sudahlah! Tak usah tanya-tanya nama segala!" Tio Siau In cemberut, lalu
membalikkan tubuh membelakangi A Liong.
"Baiklah...! Biarlah aku tak usah tahu nama Cici."
akhirnya A Liong mengalah. Tapi kemudian disambungnya pula dengan senyum
dikulum. "Biarlah kalau nanti bertemu di jalanan aku akan berteriak memanggilmu,
hei... Cici Kikir! Cici Pemarah!"
Tubuh mungil itu kontan berbalik menghadapi A Liong. Tapi sekarang mata itu
tidak berpendar-pendar indah lagi. Mata itu berubah seperti mata harimau betina
yang sedang kehilangan anaknya.
"Apa katamu..." Kausebut aku... Kikir" Pemarah"
Begitu...?" A Liong meringis, pura-pura ketakutan. "Habis, aku harus memanggil apa" Bukankah
CiCi memang kikir dan pemarah" Buktinya, ditanya namanya saja tidak boleh.
Bahkan marah-marah pula. Yaaa, sudah...! Aku akan berteriak memanggilmu, hei...
Cici Ayu! Cici Ayu! Begitu! Nah, boleh tidak...?"
"Panggil aku... Siau In! Bodoh!" Akhirnya Tio Siau In menjadi kesal sendiri
menghadapi pemuda konyol seperti A Liong itu.
376 Selesai berkata gadis itu berbalik dan tidak memperdulikan A Liong lagi. Tanpa
rasa takut atau pun jijik gadis itu membenahi mayat Su Hiat Hong dan Tong Ki at
Teng. Kepala yang terpisah itu diambilnya, kemudian dijadikan satu dengan
badannya. Lalu kedua mayat itu masing-masing dibungkus dengan kain seadanya yang
ada di dalam rumah itu, agar darah atau anggota tubuh lainnya tidak berceceran
ke mana-mana. "Sungguh kejam! Orang itu benar-benar berhati iblis!" gadis itu bergumam di
dalam hati. Sementara itu seperti orang gendeng (linglung), A Liong masih termangu-mangu di
tempatnya. Matanya tak lepas dari wajah Tio Siau In yang sedang sibuk membenahi
mayat-mayat itu, tapi pikirannya tampak melayang-layang entah ke mana.
"Siau In, hemm... Cici Siau In?" gumamnya tak jelas. "Akan kuukir nama ini di
dalam otakku, agar tidak sampai lupa...."
Selesai membungkus mayat-mayat itu, Tio Siau In bermaksud membawa keluar. Tapi
serentak mendengar igauan A Liong, hatinya menjadi tergelitik lagi.
"Dasar bodoh, ya tetap bodoh! Masa mengukir nama di dalam otak" Mengukir nama
itu di dalam hati! Tahu?" semprotnya lantang.
A Liong tersentak kaget. Tapi selanjutnya dengan tenang pemuda itu menjawab
seenaknya. Bahkan nada omongannya masih tampak kekanak-kanakan.
377 "Wah, Cici ini bagaimana... sih" Kalau sepasang kekasih yang sedang bercintaan,
nama itu memang diukir di dalam hati. Tapi kalau hanya teman biasa seperti kita
ini, nama itu cuma diukir di dalam otak."
"Hush, omonganmu semakin melantur ...!" Tio Siau In membentak.
"Hei aku tidak melantur. Aku memang benar-benar mengukir nama Cici di dalam
otakku. Besuk kalau aku sudah dewasa dan menjadi pendekar gagah perkasa, aku
akan benar-benar mencari Cici Siau In."
"Mau apa kau mencariku?" Tio Siau In bertanya heran.
Tapi dengan wajah ketolol-tololan A Liong menggelengkan kepalanya. "Wah, mana
aku tahu" Bukankah waktunya masih lama" Tentu saja aku tak bisa memikirkannya sekarang,
dong...." "Ah, sudahlah! Bicaramu semakin menjengkelkan!
Ayoh, kita kuburkan mayat ini!" Tio Siau In memotong perkataan A Liong dengan
kesal. A Liong tertawa. Dengan gesit pemuda itu membantu Tio Siau In mengeluarkan kedua
mayat itu ke halaman. Sama sekali tidak kelihatan kalau dia masih menderita luka
dalam. Sambil bekerja masih saja pemuda itu mengganggu Tio Siau In dengan
ucapan-ucapannya yang polos dan menggelikan.
"Cici, kau jangan marah, ya..." Kasihanilah aku.
Sejak kecil aku menjadi gelandangan. Hidup terlunta-lunta, dari kota ke kota
mencari sesuap nasi dan belas kasihan orang. Tampaknya saja selalu berkeliaran
di 378 tempat ramai, namun hatiku selalu merasa kesepian dan sunyi. Tak seorang pun
selama ini yang memperhatikanku. Rasanya aku ini seperti sampah, yang selalu
dihindari dan disingkirkan. Oleh karena itu hatiku benar-benar tersentuh melihat
perhatianmu padaku tadi malam. Cici seorang gadis dari kalangan baik-baik dan
terhormat, ternyata mau menolong aku, menuntun aku, bahkan mau memapah aku,
seorang pemuda gelandangan yang kotor dan hina. Aku keenakan. Padahal sebenarnya
sakitku sudah tidak begitu terasa lagi. Sudah sembuh. Malah... sudah bisa
berjalan sendiri. Tetapi aku tidak ingin kehilangan rasa haru dan nikmat
itu...." "Huh, jadi malam tadi kau menipuku, ya" Ih, enaknya...!"
"Habis aku tak mempunyai... orang tua atau kakak yang bisa menggandeng tanganku,
menuntun langkahku, atau mengajakku bercanda. Maka kesempatan yang membahagiakan
itu tentu saja takkan kulewatkan, hehe. Bahkan kalau tidak merasa kasihan kepada
Cici, rasanya aku ingin menjadi lumpuh saja biar kaugendong."
"Ih, enaknya...!" Tio Siau In mencibir.
Mereka bercakap-cakap sambil bekerja. Untunglah tanah di tempat itu sangat empuk
sehingga sebentar saja mereka telah selesai menguburkan mayat Su Hiat Hong dan
Tong Kiat Teng. Setelah membersihkan tangan dan kaki, mereka lalu mencari obat yang cocok untuk
A Liong. Benar saja, 379 semua obat yang tersimpan di dalam almari obat Tong Kiat Teng dibubuhi tulisan
dan keterangan, sehingga dengan mudah Tio Siau In memilihnya. Semula A Liong
masih tetap ragu-ragu, tapi karena didesak terus oleh Tio Siau In, terpaksa
pemuda itu meminumnya. Ternyata habis meminum obat A Liong merasa mengantuk sekali.
"Uuuuuuuhh..."!"
Tiba-tiba Tio Siau In tersentak dari lamunannya.
Bergegas gadis cantik itu menjenguk ke dalam kamar A Liong. Hampir saja mereka
bertabrakan di depan pintu, karena pemuda itu dengan tergesa-gesa juga berlari
keluar. "Cici Siau In, aah...! Kukira kau telah pergi meninggalkan aku. Hmm, aku
ketiduran, dan bermimpi... indah sekali."
"Bermimpi" Nah, begitu bangun kau sudah akan mulai mengoceh lagi. Sudahlah, aku
tak mau mendengarkannya lagi. Ayoh sekarang kita kembali ke kota!"
A Liong kelihatan kecewa karena Tio Siau In tak mau mendengarkan ceritanya.
"Ke kota" Kota mana...?" tanyanya kurang bersemangat.
"Ya... ke kota Hang-ciu! Mau ke mana lagi" Aku akan menemui kakakku di sana. Dia
tentu telah menanti-nanti kedatanganku. Ayoh!"
"Menemui Kakakmu?" A Liong semakin tak bergairah. Hatinya terasa menjadi sepi
kembali seperti 380 hari-hari yang lalu. Kalau Tio Siau In sudah berkumpul dengan saudaranya,
otomatis tentu akan melupakan dirinya. "Ah, aku tak ingin kembali ke kota Hang-
ciu lagi. Kota itu terlalu rusuh. Aku ingin pergi ke tempat lain saja, yang sepi
dan jauh dari keramaian kota."
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei" Kau mau ke mana" Apakah kau benar-benar ingin mendaki puncak Gunung Hoa-
san?" Tio Siau In tersentak. Tiba-tiba gadis itu teringat akan tugas yang
diberikan suhunya. Siapa tahu pemuda ini yang dimaksudkan dalam ramalan itu"
A Liong memandang Tio Siau In sebentar, lalu mengangguk lemah.
Tentu saja Tio Siau In menjadi bingung, bagaimana harus membujuk A Liong supaya
ikut dengannya. "Wah, repot benar. Masakan aku harus menotoknya lemas, kemudian menggendongnya
ke Han-ciu" Iiih, keenakan dia nanti..." gadis itu berpikir keras.
"Nah, kalau begitu aku akan berangkat lebih dahulu, Cici." Tiba-tiba A Liong
pergi sambil meminta diri. Wajahnya tampak kuyu dan tak bersemangat.
"Eh, nanti dulu...!" Tio Siau In berseru kelabakan.
Gadis itu mengejar langkah A Liong.
Ternyata A Liong benar-benar sangat sedih, sehingga ia tak mau berlama-lama
tinggal di situ. Suara panggilan Siau In sama sekali tak dihiraukannya.
381 "Hei! Hei! A Liong...! Mau ke mana kau"
Bukankah sampan kita cuma satu" Bagaimana aku dapat meninggalkan tempat ini
nanti?" Tanpa mengendurkan langkahnya A Liong berdesah pendek. "Aku akan berjalan
melewati pinggiran pantai. Silakan Cici menggunakan sampan itu...."
Karena A Liong tetap tidak mau menghentikan langkahnya, terpaksa Tio Siau In
menarik lengannya. "Eh, berhenti dulu....! Sebenarnya kenapa kau ini"
Mari kita berbicara dulu secara baik. Masakan kita berpisah begitu saja tanpa
kesan apa-apa?" gadis itu mencoba membujuk dengan suara manis.
Benar saja. A Liong berhenti melangkah. Sambil menghela napas panjang pemuda itu
menundukkan mukanya di depan Tio Siau In. Sama sekali hilang kesan kegarangan
tubuhnya yang kokoh kekar itu.
"Apa yang hendak kita bicarakan lagi, Cici?"
ucapnya lemah. Mereka saling berhadapan dekat sekali. Bahkan tangan Tio Siau In masih memegang
lengan A Liong yang kokoh itu. Namun gadis itu tetap saja belum tahu apa yang
sebenarnya berkecamuk di dalam dada A Liong. Sebagai gadis yang juga baru mulai
menginjak remaja, Tio Siau In juga belum bisa meraba pula apa yang menyebabkan
pemuda itu secara mendadak bersikap aneh seperti itu.
Tio Siau In cuma bisa melihat, tiba-tiba A Liong kelihatan sedih dan tak
bersemangat begitu diajak 382
kembali ke Hang-ciu. Malah akhirnya pemuda itu memutuskan untuk tidak kembali ke
kota tersebut. Pemuda itu ingin pergi ke puncak Gunung Hoa-san.
Tio Siau In mengangkat wajahnya. Dipandangnya pemuda tanggung bertubuh tinggi
kekar di depannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"A Liong, mengapa kau kelihatan bersedih"
Apakah kau mempunyai persoalan di kota Hang-ciu?"
bujuknya kemudian dengan suara lemah lembut.
A Liong melirik sekejap kemudian menggeleng.
"Lalu... mengapa kau tak mau kembali ke sana?"
"Cici sudah kukatakan aku ini anak gelandangan yang tak mempunyai tempat tinggal
tetap. Aku juga tak punya sanak-saudara. Bahkan aku ini juga tak tahu pula dari
mana asalku, dan siapa orang tuaku. Sejak kecil aku hidup di antara bocah-bocah
gelandangan, yang mengembara dari kota ke kota untuk meminta belas kasihan
orang. Maka sekarang pun aku berniat untuk meneruskan perjalananku pula. Aku
sudah terlalu lama tinggal di Hang-ciu."
Tio Siau In mengerutkan keningnya. Sudah dua kali A Liong bercerita tentang
keadaan dirinya yang papa dan yatim piatu. Semula Tio Siau In memang tidak
begitu ambil pusing mendengar cerita itu, tapi setelah kini A Liong
menceritakannya kembali, entah mengapa hatinya tersentuh.
"Benarkah kau tak tahu siapa orang tuamu?" Tio Siau In yang mendadak juga ingat
pula keadaan dirinya yang yatim piatu bertanya tak percaya.
383 A Liong mengangguk lesu. "Sama sekali tak tahu siapa orang tuamu" Lalu siapa yang merawatmu ketika masil
kecil?" "Entahlah. Mungkin para gelandangan atau pengemis lain yang lebih besar dari
pada aku. Sebab yang kutahu sejak aku bisa berpikir, aku telah berada di antara
gerombolan anak-anak gelandangan. Kami tidur di mana saja dan pergi ke mana saja
sambil meminta-minta belas kasihan orang. Di dalam kelompok itu kami biasa
saling berbagi rejeki dan makanan. Jadi kemungkinan besar aku dulu ditinggal
mati orang tuaku yang juga seorang gelandangan, kemudian aku dirawat dan diberi
makan oleh para gelandangan lainnya yang satu kelompok dengan orang tuaku
itu...." "Oooooh...." Tio Siau In berdesah panjang. Ia benar-benar tidak menyangka kalau sejarah hidup
A Liong itu sedemikian menyedihkan. Lebih memilukan daripada sejarah hidupnya
sendiri yang ia anggap sudah sangat menyedihkan. Ia dan kakaknya,
Tio Ciu In, juga yatim piatu pula, namun mereka masih bisa mengenal serba
sedikit ayah mereka. Tidak seperti A Liong yang sama sekali tak tahu siapa orang
tuanya. Sejak kematian ayahnya pun dia dan kakaknya langsung dirawat dan
dibesarkan oleh gurunya, tidak seperti A Liong yang harus bertarung dengan
kekerasan hidup bersama anak-anak gelandangan lainnya.
384 "Hemm, kasihan benar kau A Liong." Tio Siau In bergumam perlahan sambil
melepaskan pegangan tangannya. "Hanya yang mengherankan, hidupnya serba susah
dan kekurangan, tapi mengapa tubuhmu bisa sedemikian subur dan kuat seperti
ini?" "Aku memang hidup serba susah dan kekurangan, tapi aku punya tekad dan semangat
hidup yang besar, Cici. Sejak aku bisa mempergunakan tenagaku, aku tidak mau
mengemis lagi. Aku bekerja apa saja untuk mencari makan. Bahkan pekerjaan-
pekerjaan berat yang biasanya hanya dilakukan oleh orang dewasa aku kerjakan
juga. Aku pernah bekerja di pabrik penggilingan tahu, perusahaan pemotongan
kayu, pengangkutan garam, pandai besi, dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya.
Makanku banyak, sesuai dengan bidang pekerjaanku, sehingga tulang dan ototku pun
tumbuh dengan keras pula." A Liong menerangkan.
"Bukan main...!" Tio Siau In berdecak kagum.
"Kulihat usiamu tidak lebih banyak dari usiaku. Tapi badanmu membengkak hampir
dua kali lipat dari tubuhku. Penuh otot lagi!"
A Liong tersenyum kecut. "Aku memang seperti kerbau liar yang hidup di alam
belantara yang keras. Tentu saja berbeda dengan Cici yang selalu hidup teratur di antara keluarga yang
penuh kedamaian." Tiba-tiba Tio Siau In tersenyum. Gadis itu seperti mendapatkan jalan untuk
membujuk A Liong. 385 "Nah, kalau begitu... apakah kau tidak ingin hidup yang serba teratur dan penuh
kedamaian seperti itu?"
A Liong menghembuskan napasnya keras-keras.
"Ah, tentu saja aku juga ingin hidup seperti itu pula, Cici. Aku juga sudah
bosan menjadi gelandangan terus-terusan. Tapi untuk hidup wajar seperti itu
perlu modal pula agar bisa hidup tenang dan dihormati orang."
"Modal" Modal apa?" Tio Siau In berseru heran.
A Liong tertawa kecut. "Ah, Cici... kau ini seperti tidak tahu saja. Modal hidup
agar dihormati orang hanyalah harta, kekuasaan, dan kepandaian. Dapat memiliki
salah satu saja dari ketiga modal utama itu, kita akan dihormati dan dijunjung
tinggi oleh masyarakat di sekitar kita. Padahal aku sama sekali tak memiliki
modal itu. Oleh karena itu aku harus bisa mendapatkannya lebih dahulu agar bisa
hidup tenang dan damai seperti Cici."
"Wah, lalu... modal mana yang akan kaucari itu?"
Tio Siau In pura-pura bertanya.
Sekali lagi A Liong menghembuskan napasnya kuat-kuat.
"Orang seperti aku jelas tidak mungkin untuk mencari harta maupun kekuasaan.
Tapi kalau hanya untuk mencari kepandaian, rasanya aku bisa. Oleh karena itu aku
akan tetap melaksanakan niatku, yaitu belajar silat di puncak Gunung Hoa-san.
Kalau aku nanti benar-benar pandai ilmu silat, berarti aku sudah 386
memiliki sebuah modal. Modal untuk bisa hidup tenang dan dihormati orang."
Tio Siau In terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Gadis itu merasa bahwa ia tak mungkin bisa mempengaruhi keinginan A Liong lagi.
Satu-satunya jalan hanyalah memaksa? pemuda itu dengan kekerasan untuk dibawa ke
hadapan gurunya. Tapi untuk melakukan hal itu Tio Siau In tidak sampai hati.
"Tampaknya memang akulah yang harus mengalah.
Biarlah kuikuti saja kemauannya itu. Nanti sedikit demi sedikit akan kubelokkan
perhatiannya." gadis itu berkata di dalam hatinya.
"Nah, Cici... kau tak usah menghalangi niatku.
Tekadku sudah bulat. Aku akan mendaki Gunung Hoa-san." A Liong mengulangi
keinginannya yang teguh. "Baiklah. Terserah kalau tekadmu memang demikian. Tapi... apakah kau sudah
mengetahui jalan ke Gunung Hoa-san?"
A Liong menggeleng lemah.
"Hmmm, kalau begitu untuk sementara kita bisa berjalan bersama. Aku tidak jadi
pergi ke Hang-ciu. Aku akan langsung ke Sin-yang. Maukah kau berjalan bersamaku?"
Tiba-tiba A Liong berteriak gembira. Lengannya yang penuh otot itu secara reflek
menyambar pinggang Tio Siau In, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Tentu
saja gadis itu menjerit kaget.
387 Otomatis tubuh gadis itu menggeliat melepaskan diri, sedang kakinya menjejak
dada A Liong. Buuuk! "Aduuuuh...!" A Liong memekik kesakitan.
Bagaikan pohon tumbang, badan A Liong yang tinggi kekar itu terbanting ke tanah.
Karena tidak bisa ilmu silat, maka jatuhnya pun juga sangat keras pula.
Untunglah mereka telah berada di atas pasir, sehingga pemuda itu tidak begitu
menderita karenanya. Namun demikian tetap saja A Liong meringis kesakitan.
Tio Siau In sendiri menjadi kaget begitu sadar apa yang dilakukannya. Sebagai
jago silat semuanya tadi memang ia lakukan secara reflek. Dan celakanya, dalam
keadaan seperti itu ia tak bisa mengontrol tenaganya. Maka tidak mengherankan
bila badan A Liong yang kokoh kukar itu terbanting keras terkena tendangannya.
Akan tetapi yang tak kalah mengherankan adalah kesudahan dari kejadian tersebut.
Tio Siau In yang kemudian merasa menyesal sekali, bahkan agak ketakutan, karena
tendangan kakinya itu bisa memecahkan batu gunung, tiba-tiba ternganga mulutnya.
Dengan heran gadis itu melihat A Liong bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Malahan bibir pemuda itu mencoba tersenyum, walaupun akhirnya cuma bisa
meringis. "Maaf, Cici. Aku memang benar-benar seperti kerbau liar yang tak mengenal aturan
dan sopan santun. Begitu melonjak kegembiraanku mendengar 388
Cici hendak berjalan bersama aku, sehingga aku meluapkannya dengan mengangkat
tingi-tinggi badan Cici seperti kebiasaan yang kami lakukan di antara kawan
gelandangan." pemuda itu meminta maaf dengan halus.
"Eh-oh, anu... kau tidak apa-apa, A Liong?" Tio Siau In menjadi gugup malah.
"Ah, tidak apa-apa, Cici. Badanku ini sudah terbiasa mendapat kecelakaan. Pernah
tertimpa pohon kayu yang tumbang ketika bekerja di perusahaan pemotongan kayu.
Juga pernah tergencet batu besar penggilingan tahu ketika berada di penggilingan
tahu. Bahkan aku pernah tertimbun belasan karung garam ketika berada di perusahaan
pengangkutan garam. Tapi seperti yang Cici lihat sekarang, badanku tetap sehat tidak kurang suatu
apa." Sekali lagi Tio Siau In menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu benar-benar
heran melihat ketahanan tubuh A Liong yang tidak sewajarnya itu.
Padahal pemuda itu sama sekali tak mengerti ilmu silat.
"Pukulan Lok-kui-tin itu mampu menewaskan jago-jago silat kelas satu seperti Lim
Kok Liang, Tong Taisu dan yang lain-lainnya. Tapi pukulan itu ternyata tak
banyak berarti terhadap tubuh A Liong. Badan yang kokoh kekar itu seperti
terbuat dari besi saja." Tio Siau In bergumam di dalam hatinya.
"Jadi.... Cici benar-benar hendak berjalan bersama aku?" A Liong menegaskan
lagi. 389 Tio Siau In tergagap kaget, lalu mengangguk. "Aku hendak menghadapi Kau-cu Im-
yang-kau di kuil Agung Sin-yang. Karena jurusan yang akan kita tempuh sama, maka
kita dapat berjalan bersama-sama.
Tapi... maukah kau nanti singgah sebentar di Kuil Agung Im-yang-kau itu?" dengan
cerdik gadis itu membujuk.
A Liong tertawa gembira. "Tentu saja, Cici.
Jangankan cuma singgah, menginap beberapa hari pun aku bersedia..."
"Bagus. Kalau begitu mari kita berangkat sekarang!" ajak Tio Siau In riang.
"Ayoh, Cici!" Demikianlah kedua remaja tanggung itu lalu pergi meninggalkan rumah Tong Kiat
Teng. Mereka mengayuh sampan mereka ke utara, mencari pantai yang landai, yang
sekiranya bisa mereka darati, untuk selanjutnya berjalan ke arah barat, melalui
kota-kota di sepanjang Sungai Yang-tse.
Langit sangat cerah, hanya beberapa gumpal awan saja yang kelihatan bergerak
dari timur ke barat. Angin juga sudah reda, tidak sederas dan sekencang tadi. Sementara kabut pun
telah terusir pergi pula bersama sinar matahari yang semakin menyengat.
Udara pagi itu sungguh-sungguh nyaman.
A Liong mendayung sampan seenaknya. Tidak tergesa-gesa atau pun terburu-buru. Ia
bersama Tio Siau In memang sengaja menikmati keindahan pantai yang dilaluinya.
Burung camar yang beterbangan di 390
atas kepala mereka, kadang-kadang menukik mengelilingi sampan kecil itu,
kemudian terbang pergi. Burung-burung itu seakan-akan merasa heran melihat
kedatangan mereka. Berbondong-bondong burung itu mendekati, mengitari sampan,
lalu bergegas pergi bila A Liong dan Tio Siau In berusaha menangkapnya.
"Aaah, kehidupan burung-burung itu tidak jauh berbeda dengan kehidupanku. Setiap
hari terbang melayang ke mana saja, tanpa tujuan, tanpa kepastian." A Liong
berkata perlahan sambil menengadahkan kepalanya.
Tio Siau In melirik. "Tapi burung-burung itu kelihatan amat riang bermandikan
sinar matahari pagi." tukasnya sambil tersenyum.
"Ya, Cici... mereka memang kelihatan riang, karena mereka cuma binatang yang tak
memiliki akal budi seperti kita kaum manusia."
"Hemmm...." Tio Siau In bergumam tak jelas.
Mereka lalu berdiam diri kembali. Masing-masing mengembara dengan jalan
pikirannya sendiri-sendiri.
A Liong dengan lamunannya untuk menjadi pendekar gagah perkasa, sedangkan Tio
Siau In dengan rencananya membawa pemuda itu ke hadapan Kau-cu Aliran Im-yang-
kau. Siapa tahu pemuda itu benar-benar pemuda bertatto naga yang dikehendaki
Kau-cu Im-yang-kau" Mereka mengemudikan sampan itu tidak terlalu jauh dari garis pantai. Sambil
mendayung A Liong 391 bernyanyi-nyanyi gembira. Sekali-sekali dayungnya dipakai untuk memukul burung
camar yang terlalu bandel mendekati dirinya.
Tio Siau In akhirnya terseret juga oleh arus kegembiraan A Liong. Gadis itu
ikut-ikutan mengganggu burung-burung camar itu. Bedanya kalau A Liong tak pernah
bisa memukul burung tersebut, sebaliknya Tio Siau In selalu berhasil
menyambarnya dengan tangan kosong. Tapi karena memang hanya ingin bercanda,
burung tersebut segera dilepaskan lagi.
A Liong menjadi heran. "Wah, Cici... ajari aku!.
Mudah benar kau menangkapnya."
A Liong mencoba ikut menangkap pula dengan kedua tangannya, tapi tak pernah
berhasil. Bahkan tubuhnya yang besar itu membuat sampan mereka menjadi oleng ke
sana ke mari. "Hei-hei! Jangan banyak bergerak! Sampan ini bisa terguling nanti!"
A Liong menghentikan gerakannya. Mulutnya cemberut. Hatinya kesal karena tak
bisa menangkap burung yang amat lincah itu.
Tio Siau In tersenyum melihat kekesalan A Liong.
"Memang tak mudah menangkap burung camar itu.
Kau baru bisa menangkapnya apabila gerakanmu dapat lebih cepat dari gerakan
mereka." "Lebih cepat" Wah... mana bisa" Burung itu terbang secepat angin, mana mungkin
manusia bisa melebihi kecepatannya?"
392
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa tidak bisa" Nih, lihat...!"
Sekonyong-konyong Tio Siau In menjejakkan kakinya ke lantai sampan, sehingga
tubuhnya melenting ke atas dengan ringannya. Di udara tubuh Tio Siau In yang
ramping kecil itu berjumpalitan beberapa kali, lalu mendarat kembali di bibir
sampan, tanpa membuat banyak goncangan pada sampan yang kecil itu. Dan ketika
tangannya terbuka, ada empat ekor burung camar yang menggelepar lepas dari sela-
sela jarinya. A Liong melongo melihatnya.
"Ah, Cici... bukan main! Ternyata kau pandai ilmu silat! Ilmu meringankan tubuh
Cici benar-benar hebat!" pemuda itu memuji setinggi langit.
"Kau ingin mempelajarinya?"
"Ya... ya... ya, aku ingin sekali belajar seperti itu!"
dengan gembira sekali A Liong menjawab sambil mengangguk-angguk.
Namun Tio Siau In cepat menyambungnya. "Tapi aku tak bisa mengajarimu. Ilmuku
sendiri belum seberapa tinggi. Kau harus belajar kepada Guruku, atau kepada
tokoh Im-yang-kau yang lebih tinggi.
Syukur kalau Kau-cu sendiri yang membimbingmu..."
A Liong terdiam. Sekejap pemuda itu tampak kecewa karena ia menyangka Tio Siau
In sendiri yang akan mengajarinya, tapi ternyata tidak.
"Ah, kalau begitu... biarlah aku belajar saja sekalian ke puncak Gunung Hoa-
san!" akhirnya pemuda itu berkata tegas.
393 Kini ganti Tio Siau In yang menjadi kecewa.
Semula dengan muslihatnya tadi Tio Siau In berharap A Liong mau menjadi anggota
aliran Im-yang-kau seperti dirinya. Tapi ternyata pemuda itu mempunyai tekad
yang kukuh untuk mendaki puncak Gunung Hoasan.
"Eh, Cici... mengapa kau lalu diam saja" Apa yang sedang kaupikirkan?" mendadak
pemuda itu mengagetkan Tio Siau In.
"Ah-eh, anu... aku tidak memikirkan apa-apa. Aku cuma merasa heran padamu. Kau
mengatakan tidak bisa ilmu silat, tapi kenapa tubuhmu tahan terhadap pukulan
seorang jago silat berkepandaian tinggi?"
untuk menutupi perasaan kagetnya Tio Siau In menjawab sekenanya.
"Pukulan jago silat berkepandaian tinggi" Ah, kapan aku berkelahi dengan
seseorang" Ooooh, itu....!
Kejadian malam tadi, ketika rombonganku dicegat penjahat-penjahat kejam itu" Ah,
rasanya pukulan mereka juga biasa-biasa saja. Tidak lebih sakit daripada ketika
aku tertimpa batang pohon di perusahaan pemotongan kayu itu. Apalagi bila
dibandingkan dengan ketika aku tergencet batu penggilingan tahu atau tertimbun
belasan karung garam itu...."
Sekali lagi Tio Siau In ternganga keheranan.
Bagaimana mungkin semuanya itu bisa terjadi" Lim Kok Liang, Tong Tai-su dan tiga
orang bergolok itu bukan jago-jago silat biasa, meskipun demikian 394
mereka itu tetap tidak kuat menahan pukulan Lok-kui-tin. Lantas bagaimana
mungkin A Liong yang tak mengerti silat itu bisa menahan pukulan sakti mereka"
Apakah pemuda itu memiliki kulit besi bertulang baja"
Diam-diam Tio Siau In semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang
diri A Liong. Keadaan pemuda itu benar-benar amat aneh, demikian pula sejarah hidupnya. Tio
Siau In semakin curiga, jangan-jangan pemuda itu memang benar-benar
"manusia pilihan" yang yang dimaksudkan oleh sesepuh Aliran Im-yang-kau itu.
Sekali lagi Tio Siau In menghela napas panjang.
Penilaiannya tentang ramalan Lo-jin-ong, sesepuh Aliran Im-yang-kau, mulai
berubah. Tampaknya ramalan tentang pemuda bertatto naga itu memang dapat
dipercaya. "Eh, A Liong..." Bolehkah aku bertanya sedikit kepadamu?"
"Ah, tentu saja, Cici! Banyak juga boleh."
Tio Siau In tersenyum. "Anu, eemm... kau tadi mengatakan bahwa kau tidak
mengenal orang tuamu. Lalu siapa yang memberi nama A Liong itu kepadamu" Apakah teman-temanmu pula?"
Tak terduga A Liong mengangguk. "Benar, Cici.
Aku semula memang tidak mempunyai nama, apalagi nama keluarga. Nama A Liong ini
memang kuperoleh dari kawan-kawan sekelompokku, karena aku 395
memiliki gambar tatto naga di dadaku. Nih, lihat...!"
pemuda itu menjawab sambil membuka bajunya.
"Ooooh...!" Tio Siau In pura-pura terkejut. "Siapa yang membuat gambar itu" Kau
sendiri?" A Liong tertawa. "Ah... yang benar saja, Cici.
Masakan aku bisa melukis sebagus ini?"
"Lalu... siapa" Kawanmu lagi?"
Tiba-tiba A Liong menghentikan tawanya.
"Entahlah, Cici. Aku juga tidak tahu. Mungkin mendiang orang tuaku, atau mungkin
teman ayahku. Kata kawan-kawan sekelompokku, sejak aku bergabung dengan mereka gambar ini
telah ada. Itulah sebabnya mereka memanggilku A Liong. Apalagi kulit tubuhku
juga liat dan kuat seperti kulit naga."
pemuda itu menjawab serius.
"Kulit naga...?" Sekarang ganti Tio Siau In yang tertawa. "Bukankah kulit naga
itu ada sisiknya" Sisiknya yang keras yang membuat dia kuat dan liat.
Kau tidak memiliki sisik-sisik itu, lalu bagaimana mungkin kulitmu bisa kuat
seperti naga?" "Cici tidak percaya" Boleh kaucoba! Pukullah aku!
Atau... hantamlah aku dengan dayung ini! Tanggung tidak apa-apa!" pemuda itu
berkata penasaran. Tio Siau In tertawa semakin keras. Namun untuk menyenangkan hati A Liong, gadis
itu benar-benar mengambil dayung dari tangan A Liong.
A Liong tersenyum gembira seperti layaknya seorang anak yang ingin
memperlihatkan atau membanggakan kebolehannya. Dengan cekatan ia 396
membuka bajunya dan membusungkan dadanya yang bidang dan penuh otot itu.
"Silakan...!" ucapnya mantap.
-- o0d-w0o -- JILID X IO SIAU IN tertegun. "Kau benar-benar ingin dicoba juga?"
T "Hei, tentu saja!" pemuda itu menirukan kata-kata Tio Siau In. "Mengapa harus
batal" A Liong tak pernah menjilat
ludahnya sendiri! Ayoh, Cici... " cobalah! Pukullah aku dengan dayung itu!"
Tentu saja kesungguhan hati A Liong itu benar-benar membuat Tio Siau In menjadi
kelabakan malah. Sejak semula gadis itu kurang begitu menanggapi bualan A Liong, sehingga dia pun
hanya main-main pula ketika ingin mencoba kekebalan A Liong. Akan tetapi tak
diduganya pemuda itu benar-benar melayani sikapnya dan ingin membuktikan
sesumbarnya. Tentu saja Tio Siau In menjadi kebingungan. Bagaimana kalau dayung
itu melukainya" Tampaknya keragu-raguan Tio Siau In itu semakin membuat penasaran hati A Liong.
Tiba-tiba pemuda itu merebut dayung yang ada di tangan Tio Siau In, 397
kemudian dengan sekuat tenaga kayu keras itu dipukulkan sendiri ke arah
kepalanya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Terdengar suara berdentangan
yang keras seperti layaknya suara orang membelah batu cadas.
Tak ada luka di kepala itu. Tak ada darah yang mengalir. Semuanya tampak wajar seperti tak pernah terjadi apa- apa. Bahkan pemuda itu tampak tersenyum bangga ketika menyerahkan kembali dayung tersebut. Tio Siau In melongo. Matanya terbeliak tak percaya. Hatinya menjadi penasaran. Karena penasaran maka dicobanya juga
memukulkan dayung itu ke pundak A Liong. Mula-mula pelan, tapi akhirnya
disabetkannya pula dengan keras ketika melihat pemuda itu tetap tersenyum
memandangnya. Bahkan hantaman dayung itu tidak cuma diarahkan ke pundak lagi, tapi juga ke
dada, punggung dan kepala.
398 Namun demikian Tio Siau In masih mengekang diri untuk tidak mengerahkan tenaga
dalamnya. "Ayoh, Cici... yang lebih keras lagi! Jangan pelan-pelan begini! Kerahkan
seluruh tenagamu!" dengan suara lantang pemuda itu menantang.
Tio Siau In menjadi penasaran juga akhirnya.
Dicobanya untuk menyalurkan sebagian kecil tenaga saktinya ke arah dayung yang
dipegangnya. Blug! Hantaman ujung dayung itu berubah menjadi kuat dan keras seperti hantaman
sebongkah batu hitam! A Liong terhuyung dua langkah ke belakang. Tapi pemuda itu bukannya menjadi
kaget atau kesakitan, bahkan dengan suara gembira dia berseru menantang.
"Ayoh, Cici... sekali lagi yang keras! Aku belum merasakan apa-apa!"
Kini Tio Siau In benar-benar menjadi penasaran.
Sekali lagi ia menyabetkan dayung itu ke dada A Liong. Kali ini dengan
pengerahan separuh bagian dari kekuatan lwekangnya.
Siiiiing! Dhuuug! Kraaaak! Dayung itu patah menjadi tiga bagian!
"Aaaaaaaaah...!"
Dayung itu menghantam dada A Liong keras sekali! Demikian kuatnya sehingga
pemuda itu memekik kaget dan terpelanting ke luar perahu!
Byuuuur! Pemuda itu tercebur ke dalam laut.
"A Lioooooong...!!!" Tio Siau In berteriak cemas.
Lalu dengan mata nanar dan hampir menangis Tio Siau In mencari-cari tubuh A
Liong di antara riak 399 gelombang yang mengelilingi sampan kecil itu.
Namun pemuda itu tidak kunjung kelihatan juga, seakan-akan tubuhnya sudah lenyap
ditelan air. Tio Siau In semakin ketakutan, jangan-jangan dayungnya tadi telah
melukai dada A Liong sehingga pemuda itu tak bisa berbuat apa-apa melawan arus
ombak yang menggulungnya.
Mata Tio Siau In mulai merah ketika tiba-tiba terdengar suara A Liong di
belakangnya. "Wah... pukulan Cici kuat benar! Rasanya seperti diterjang pohon tumbang
saja...!" Tio Siau In membalikkan tubuhnya dengan cepat.
Gadis itu melihat A Liong bergayut pada pinggiran sampan. Tak ada tanda-tanda
pemuda itu mengalami luka atau kesakitan. Wajahnya tetap segar berseri-seri,
dengan rambut yang basah kuyup menutupi sebagian besar mukanya.
"A Liong, kau tak apa-apa...?" gadis itu bertanya cemas.
A Liong lalu naik kembali ke dalam sampan.
Dengan bangga pemuda itu memperlihatkan dadanya yang masih tetap utuh tak kurang
suatu apa. "Nih, lihat! Tak apa-apa, bukan?"
Tio Siau In benar-benar takjub sekarang. Pemuda di hadapannya itu sungguh-
sungguh memiliki kekebalan yang hebat. Walaupun dia juga tahu, apakah pemuda itu
masih tetap bisa mempertahankan kekebalannya apabila ia benar-benar mengerahkan
seluruh kekuatan lwe-kangnya.
400 "A Liong...! Aku percaya sekarang, bahwa kulitmu memang liat dan kuat seperti
kulit naga. Tetapi sebaliknya aku menjadi kurang percaya kalau kau mengatakan
tidak pernah belajar ilmu silat. Kekebalan tubuhmu itu hanya dapat diperoleh
dengan mempelajari Iwe-kang yang tinggi. Kau tentu pernah belajar silat, atau
setidak-tidaknya kau pernah belajar bersamadi untuk mengumpulkan sin-kang...."
"Bersamadi..." Eh, Cici! Apakah yang kaumaksudkan begini ini?" tiba-tiba pemuda
itu berseru, kemudian duduk bersila di atas papan sambil mengatur napasnya.
Tio Siau In mengerutkan dahinya. Pemuda itu memang melakukan cara bersamadi,
tapi apa yang dilakukan itu adalah cara bersamadi yang umum, yang sama sekali
tidak ada keistimewaannya. Jadi rasanya tidak mungkin kalau hal itu yang membuat
pemuda tersebut kebal terhadap pukulan.
Tapi sekonyong-konyong mata Tio Siau In terbeliak ketika sesaat kemudian
mendengar suara tulang berkerotokan di dalam tubuh A Liong. Bahkan gadis itu
semakin kaget tatkala hidungnya juga mencium bau amis yang amat menyengat.
"A Liong, cukup...!" akhirnya Tio Siau In berseru.
A Liong membuka matanya, lalu tersenyum gembira. "Seperti itukah yang Cici
maksudkan?" tanyanya riang. 401 "Benar. Tapi coba katakan kepadaku. Sejak kapan kau melakukan cara bersamadi
seperti itu" Dan siapa pula yang mengajarkannya kepadamu?"
Pertanyaan itu membuat A Liong terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Bagaimana" Sejak kapan...?" Tio Siau In mendesak.
"Wah... sudah lama sekali, Cici. Sejak aku masih kecil, ketika aku masih suka
ngompol (terkencing di waktu tidur). Dan cara bernapas aneh itu... kudapatkan
dari seorang kakek tua renta, yang merasa kasihan kepadaku, ketika aku hampir
mati kedinginan di bawah jembatan di kota Tai-yuan. Kakek itu mengatakan bahwa
cara bernapas seperti itu bisa menghangatkan tubuhku. Ternyata perkataan kakek
itu memang benar. Aku dapat bertahan dan tidak merasa kedinginan meskipun setiap
hari hujan salju mengguyur badanku."
Tio Siau In menatap A Liong dengan heran. "Kau...
sekecil itu, sudah berkeliaran sampai di kota Tai-yuan di Propinsi Syansi?"
"Mengapa mesti diherankan, Cici" Namanya saja anak gelandangan, meskipun baru
berumur lima tahun atau enam tahun, aku sudah biasa menjelajah ke mana-mana.
Jangankan cuma kota Tai-yuan yang masih berada di dalam Tembok Besar itu,
sedangkan ke kota Wan-suan dan Ceng-teh di luar Tembok Besar pun aku sudah
pernah." A Liong menjawab dengan mulut meringis.
402 Wan-suan dan Ceng-teh adalah ibu kota Propinsi Tsa-har dan Je-hol di perbatasan
Monggol dan Mancu. Kota-kota tersebut masih ratusan lie jauhnya dari Tembok
Besar. Udaranya kering dan dingin.
Bahkan di musim dingin, salju turun menutupi kota.
"Dan... kau cuma tidur di sembarang tempat" Tanpa alas dan selimut?" Tio Siau lu
bertanya pula dengan suara heran.
"Tentu saja, Cici. Kau ini ada-ada saja. Masakan seorang gelandangan memiliki
kasur dan selimut" Jangankan punya peralatan seperti itu. Sedangkan untuk makan dan minum saja
harus menunggu belas kasihan orang."
"Wah... wah!" Tio Siau In berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masa
kecilmu sungguh sangat sengsara dan menderita. Lalu... kau tahu nama kakek tua
renta yang memberimu pelajaran bersamadi itu" Dan kau juga pernah bertemu lagi
sesudah itu?" A Liong menggoyangkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak tahu namanya. Dan aku juga
cuma berjumpa sekali itu saja. Hanya saja ketika dia hendak meneruskan
perjalanannya, dia memberikan tasbehnya kepadaku. Dia berpesan agar setiap hari
aku melakukan cara bernapas yang aneh itu sebanyak-banyaknya. Paling tidak
seribu kali jumlah untaian tasbeh tersebut setiap harinya."
"Dan... kau mematuhinya?"
403 A Liong mengangguk. "Ya. Soalnya... manfaatnya banyak sekali, Cici. Selain dapat
mengusir hawa dingin, ternyata badanku pun menjadi sehat pula. Aku tidak pernah
sakit. Bahkan banyak sekali keanehan-keanehan yang terjadi akibat aku melakukan
cara bernapas yang aneh itu. Misalnya... badanku lalu mengeluarkan bau amis
setiap kali aku melakukan cara bernapas itu, sehingga binatang-binatang berbisa
menjadi takut kepadaku. Bukankah aku tadi mengeluarkan bau amis, Cici?"
Dengan wajah yang masih mengungkapkan ketakjubannya Tio Siau In mengangguk-
anggukkan kepalanya. Tidak boleh tidak sekarang Tio Siau In harus percaya pada
omongan A Liong. Ia harus percaya bahwa A Liong pernah tertimpa pohon tumbang
tanpa cidera. Dan ia juga harus percaya pula bahwa A Liong pernah tergencet batu
penggilingan tahu yang beratnya ribuan kati itu tanpa cidera yang berarti. Bahkan ia juga harus percaya bahwa A
Liong tidak tewas meskipun teruruk belasan karung garam.
Dan sekarang, ia terpaksa harus percaya juga kalau A Liong ditakuti oleh
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
binatang-binatang berbisa.
"Tapi... tahukah kau, mengapa badanmu mengeluarkan bau amis?"
A Liong menggeleng. Tapi sesaat kemudian tiba-tiba saja pemuda itu tersenyum
geli. Matanya memandang Tio Siau In seolah-olah hendak menggoda.
404 "Kenapa kau terseyum-senyum, heh" Ada yang kausembunyikan?" Tio Siau In menegur
dengan nada kesal. "Ayoh, katakan! Mengapa badanmu berbau amis?"
Hampir saja A Liong tertawa. "Mungkin... mungkin karena aku mempunyai telur
naga! Hahahaha...!" akhirnya pemuda itu tak bisa menahan ketawanya.
"Hus! Telur naga..." Apa yang kau maksudkan?"
A Liong semakin tak dapat mengekang ketawanya.
Suaranya lepas menyaingi suara ombak yang berdebur keras di sekeliling sampan
mereka. "Cici, teman-temanku mengatakan bahwa aku mempunyai' sebutir telur naga di bawah
pusarku, hahahaha...!"
Seketika air muka Tio Siau In menjadi merah padam.
"Kurang ajar! Kau berani berkata sembarangan di depanku?" bentaknya marah.
A Liong cepat membungkam mulutnya. "Maaf Cici... aku tidak main-main. Aku benar-
benar mempunyai telur naga itu. Kau... kau mau lihat?"
katanya agak takut-takut sambil mengendurkan tali celananya.
Tentu saja Tio Siau In menjadi kelabakan. Sambil menjerit keras gadis itu
membalikkan badannya. "A Liong, jangaaaan...! Awas, berani kau berani membukanya... kubunuh kau!"
405 A Liong tak jadi membuka celananya, namun demikian tangannya masih tetap berada
di bawah pusarnya. Wajahnya tampak penasaran.
"Cici, aku... aku tidak kurang ajar! Aku bersungguh-sungguh! Bau amis itu memang
berasal dari telur nagaku ini! Tapi kalau Cici malu melihatnya... raba sajalah!"
"Apaaa...?" Tio Siau In menjerit tinggi seperti mau menangis.
Kemudian sambil memejamkan matanya
sekonyong-konyong gadis itu memutar badannya.
Tangan kanannya menyambar cepat ke mulut A Liong. Dan A Liong yang terkejut
setengah mati itu mencoba menghindarinya. Tapi mana mungkin pemuda itu dapat
mengelakkan serangan Tio Siau In yang lagi marah"
Plaaak! Byuuuur! Tak ampun lagi tubuh A Liong yang masih basah itu terlempar kembali ke dalam
air. Sekejap Tio Siau In menjadi puas, sebab pemuda kurang ajar itu telah ia
hajar dan ia ceburkan ke dalam air. Tapi beberapa saat kemudian, ketika pemuda
itu tidak muncul-muncul juga dari dalam air, Tio Siau In berbalik menjadi
ketakutan pula seperti tadi. Dengan gugup Tio Siau In mencari ke sana ke mari.
"A Liong..."!?" gadis itu bergumam lirih.
Namun sekali ini tubuh A Liong tampaknya memang benar-benar hilang ditelan air
laut. Gulungan 406 ombak yang berputar-putar di bawah sampan itu tampaknya telah menyeret tubuh A
Liong ke tengah laut. "A Liongggg...!!!" akhirnya Tio Siau In berseru memanggil nama pemuda
gelandangan itu. Suaranya terdengar cemas dan penuh penyesalan.
DEMIKIANLAH kalau di pagi hari yang telah mulai menyengat itu Tio Siau In
menjadi cemas akan keselamatan A Liong, maka di kota Hang-ciu ternyata Tio Ciu
In juga sedang mencemaskan keselamatan Liu Wan dan Kwe Tek Hun.
Pertempuran di rumah penginapan itu memang telah sampai di puncaknya. Baik Liu
Wan maupun Kwe Tek Hun benar-benar telah melepaskan seluruh kesaktiannya. Liu
Wan dengan Thian-lui-khong-ciangnya itu sungguh-sungguh seperti Dewa Petir dan
angin yang sedang murka. Pukulan jarak jauhnya meledak-ledak bagaikan sambaran
halilintar yang mengejar mangsanya, sementara arena pertempuran itu seperti
digoncang oleh badai besar. Semakin cepat pemuda itu bergerak, semakin dahsyat
pula badai yang bergolak.
Meja, kursi dan peralatan yang ada di dalam ruangan itu porak-poranda bagai
diterjang angin puting beliung. Begitu dahsyatnya ilmu yang dikeluarkan oleh Liu
Wan itu sehingga Tio Ciu In terpaksa mengamankan Ku Jing San dan Song Li Cu ke
ruangan lain. 407 Sementara itu di luar rumah, baik di halaman penginapan maupun di jalan raya,
orang-orang mulai berkerumun ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Namun mereka tidak berani mendekat, karena suara pertempuran yang amat gaduh itu
membuat hati mereka menjadi ngeri.
Pada saat itu pula dari arah jalan raya masuk lima orang lelaki berbadan besar-
besar dan tinggi-tinggi seperti layaknya orang dari daerah utara. Wajah mereka
pun tampak kaku dan keras-keras pula.
Mereka masuk ke halaman rumah penginapan itu dengan menyibakkan para penonton
yang berjubel di pintu halaman.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah lain masuk pula seorang lelaki buta
ke halaman rumah penginapan tersebut. Meskipun buta lelaki itu berjalan dengan
langkah biasa seperti manusia normal lainnya, sehingga sepintas lalu orang tidak
akan menyangka kalau dia buta. Tubuhnya yang kurus jangkung itu tertutup jubah
panjang sampai ke betisnya. Sedangkan usianya tak dapat ditaksir karena hampir
seluruh wajahnya tertutup kumis, jenggot dan rambutnya yang terurai panjang.
Namun bila dilihat dari warna rambutnya yang telah terdiri dari dua macam itu
dapat dikira-kira umurnya telah lebih dari empat puluh tahun. Tangannya memegang
tongkat panjang. Lelaki buta itu tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, namun demikian ia
tidak berusaha bertanya kepada orang-orang yang sedang menonton tersebut.
408 Ia melangkah dengan tenang di belakang lima orang lelaki tadi seperti tidak ada
kejadian apa-apa. Tongkatnya diseret di samping tubuhnya, dan sama sekali tidak dipergunakan untuk
mencari jalan seperti halnya orang buta lainnya.
"Tampaknya Sang Puteri mendapat kesulitan di tempat ini." salah seorang dari
lima orang lelaki itu, yang tampaknya adalah pimpinan mereka, berkata dengan
suaranya yang berat dan berwibawa.
"Tampaknya memang demikian, Panglima."
Demikian memasuki pintu pendapa, mereka berlima sudah merasakan hembusan angin
yang amat kuat menerpa tubuh mereka. Bahkan ledakan-ledakan yang diakibatkan
oleh Thian-lui-khong-ciang juga sudah mulai menggetarkan isi dada mereka.
"Wah tampaknya kali ini Sang Puteri benar-benar menerjang badai." orang yang
disebut panglima itu berkata agak cemas.
Memang benar, walau tidak di bawah angin, namun Mo Goat memang mendapatkan
kesulitan untuk menundukkan perlawanan Kwe Tek Hun dan Liu Wan. Ilmu silat Liu
Wan yang dahsyat itu benar-benar membatasi ruang gerak Mo Goat kembar. Padahal
meski dalam bentuk dan sifat yang berbeda, namun ilmu silat Kwe Tek Hun juga
tidak kalah hebatnya pula.
Berlainan dengan Thian-lui-khong-ciang yang sifatnya keras, kuat dan meledak-
ledak, Kim-hong-sin-kun milik Kwe Tek Hun lebih bersifat halus, 409
lembut dan indah dipandang. Namun demikian ternyata akibatnya justru lebih
berbahaya daripada Thian-lui-khong-ciang. Apabila Thian-lui-khong-ciang tersebut
lebih berdaya-guna untuk menghancurkan seluruh sasarannya, sebaliknya Kim-hong-
sin-kun hanya bersifat melumpuhkan dan merusakkan bagian-bagian titik terpenting
dari sasaran keseluruhannya.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Mo Goat mendapatkan kesulitan untuk
menundukkan mereka. Meskipun ilmu silat gadis muda belia itu sangat tinggi dan menggiriskan hati,
tapi menghadapi dua macam ilmu silat yang saling bertolak belakang sifatnya
tersebut benar-benar berat dan sulit.
Untung bagi Mo Goat karena selain gin-kangnya lebih tinggi dan lebih sempurna,
lawan-lawannya yang masih muda itu juga belum berpengalaman menghadapi ilmu
sihirnya, sehingga gadis muda belia itu dengan mudah masih bisa mengecoh dan
mengelabuhi lawan-lawannya.
Akan tetapi dengan demikian pertempuran itu akan terus berlarut-larut dan takkan
kunjung selesai. Masing-masing pihak memiliki kemampuan yang hampir setara. Mo Goat yang bisa
memecah diri menjadi dua bentuk manusia kembar itu mempunyai tenaga dalam dan
ilmu meringankan tubuh setingkat lebih tinggi daripada lawan-lawannya. Namun
sebaliknya di pihak lain, Liu Wan dan Kwe Tek Hun juga bisa saling mengisi serta
memadukan ilmu silat 410 mereka yang sangat bertolak belakang itu demi pertahanan mereka.
Justru yang paling cemas pada waktu itu adalah Tio Ciu In. Dengan kepandaiannya
yang masih terbatas gadis ayu itu tidak dapat melihat perbandingan ilmu mereka.
Ia cuma bisa melihat keadaan luarnya saja, yaitu repotnya Liu Wan dan Kwe Tek
Hun dalam menghadapi ilmu sihir Mo Gat.
Dan kecemasan gadis ayu itu semakin bertambah pula ketika di tengah-tengah pintu
masuk ruangan tersebut tiba-tiba muncul lima orang lelaki bertampang keras.
Apalagi ketika lima orang lelaki itu memberi salam kepada Mo Goat.
"Hmmh, di mana meja dan kursinya" Kenapa ruang makan ini sama sekali tak ada
tempat duduknya?" sekonyong-konyong Tio Ciu In mendengar suara di belakangnya.
Hampir saja Tio Ciu In melompat karena kaget.
Gadis itu sama sekali tak melihat atau mendengar langkah kaki orang itu. Ketika
ia membalikkan badannya, di depannya telah berdiri seorang lelaki tua memegang
tongkat. Tio Ciu In tak bisa, melihat wajah orang itu karena rambut dan kumisnya
menutupi hampir seluruh mukanya.
"Kau... kau siapa?" Tio Ciu In menyapa dengan hati semakin cemas dan gelisah.
"Oooh!" Lelaki tua itu kelihatan kaget mendengar suara Tio Ciu In. "Apakah ...
apakah Nona pemilik penginapan ini?"
411 Tio Ciu In baru menyadari bahwa lelaki di depannya itu buta. Perasaannya sedikit
tenang, walaupun ia tetap waspada dan hati-hati. Ia selalu ingat pesan gurunya,
agar ia selalu berhati-hati bila berhadapan dengan orang asing.
"Bukan. Aku seorang tamu di penginapan ini.
Kau... siapa?" Orang buta itu tidak lekas menjawab pertanyaan Tio Ciu In, seolah-olah ia memang
tidak mendengarnya. Sebaliknya orang itu malah memalingkan kepalanya ke arah
pertempuran sambil memasang telinganya untuk mengetahui apa yang telah terjadi
di dalam ruangan tersebut.
"Seperti ada yang berkelahi di tempat ini. Hmm, siapakah mereka itu, Nona?"
lelaki buta itu bertanya halus.
Sebenarnya Tio Ciu In merasa enggan untuk menjawabnya. Namun lelaki buta itu
seperti memiliki perbawa yang menakutkan, sehingga Tio Ciu In tak kuasa untuk
tetap berdiam diri. "Dua orang kawanku berselisih paham dengan seorang gadis muda, sehingga mereka
saling berbaku hantam."
Lelaki buta itu mengarahkan telinganya lagi ke arena pertempuran. Mulutnya yang
tertutup kumis dan jenggot lebat itu seperti menggumamkan sesuatu. Tio Ciu In
seperti tersihir. Gadis ayu itu hanya mengawasi saja tanpa berani bersuara.
Lelaki buta itu terasa 412
menakutkan, berwibawa, tapi juga tampak sangat berbahaya.
"Apakah orang yang memiliki pukulan seperti petir itu temanmu?" lelaki buta itu
bertanya pula. Sekali lagi Tio Ciu In tak kuasa menentangnya.
Gadis ayu itu menganggukkan kepalanya, namun segera sadar bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang buta.
"Be-benar. Apakah Tuan mengenal temanku itu?"
Lelaki buta itu cepat menggelengkan kepalanya, sehingga rambutnya yang panjang
sampai ke pinggang itu terjurai ke depan menutupi wajahnya.
Dan orang itu ternyata membiarkan saja rambutnya demikian.
"Dia itu temanmu atau saudara seperguruanmu?"
sekonyong-konyong lelaki buta itu bertanya aneh, seperti sedang menyelidiki.
Tio Ciu In tersentak kaget. Wajahnya menjadi merah. Matanya yang bulat indah itu
bergetar, seakan-akan berusaha melihat rupa di balik tirai rambut tersebut. Tapi
ketika orang itu kemudian menyibakkan rambutnya ke belakang sehingga tampak
Kisah Si Rase Terbang 5 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 25