Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 7

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 7


"Apa...?" Chin Tong Sia berseru kaget.
"Bungkusan itu milik Adikku! Tahu" Sekarang, berikan bungkusan itu kepadaku...!"
Tio Ciu In melangkah ke depan, tapi dengan cepat Chin Tong Sia bergeser ke
belakang. Pemuda itu menatap Tio Ciu In dan Liu Wan dengan pandangan curiga.
497 "Tidak! Aku tidak percaya kepadamu! Akan aku serahkan sendiri bungkusan ini
kepada yang punya." "Kurang ajar! Serahkan kepadaku!" Tio Ciu In menjerit, kemudian menyerang Chin
Tong Sia. Tapi dengan mudah pemuda kurus itu
mengelakkannya. Hanya dengan mendoyongkan tubuhnya ke kiri, serangan Tio Ciu In
gagal mengenai sasarannya. Bahkan ketika pemuda itu balas memukul dengan siku
tangannya, Tio Ciu In menjadi gelagapan dibuatnya. Untunglah Liu Wan cepat
membantu. Dari jauh Liu Wan melontarkan pukulan Thian-lui-kong-ciangnya!
Whuuuuus! Hembusan angin tajam menyambar siku Chin Tong Sia!
Chin Tong Sia cepat menarik kembali serangannya, lalu berjumpalitan menghindari
sambaran angin tajam yang amat berbahaya itu.
Thaaaaar! Angin pukulan yang gagal mengenai sasaran itu menerjang gundukan pasir
yang menghamburkannya ke mana-mana.
"Bagus...!" sekonyong-konyong Chin Tong Sia bersorak gembira, seakan-akan
memperoleh mainan yang menyenangkan.
"Ciu-moi, minggirlah... dia bukan tandinganmu!"
Liu Wan berseru. Tio Ciu In menarik napas lega. Hampir saja rusuknya patah. Dia tak mengira kalau
lawannya bisa bergerak begitu cepat.
498 Sementara itu Liu Wan telah berhadapan dengan Chin Tong Sia. Seperti dua ekor
ayam aduan mereka saling menaksir kekuatan lawannya.
"Maaf, Saudara... bolehkah aku tahu namamu?" Liu Wan menyapa lebih dulu.
"Boleh. Aku tak pernah menyembunyikan namaku.
Namaku Chin Tong Sia dari aliran Beng-kau. Dan kau sendiri tentu datang dari
utara, bukan" Aku belum tahu namamu, tapi aku kenal ilmu pukulanmu tadi.
Thian-lui-kong-ciang, bukan?"
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Liu Wan dan Tio Ciu In. Sama sekali mereka
tak menyangka kalau pemuda itu dari aliran Beng-kau, salah sebuah aliran
keagamaan terbesar di daerah selatan. Bahkan hati Tio Ciu In menjadi berdebar-
debar pula karena pada tahun-tahun terakhir ini di antara aliran Im-yang-kau di
utara dan aliran Beng-kau j di selatan seperti bersaing dalam pertumbuhannya.
"Ah, kami sungguh tak menduga dapat berjumpa dengan seorang murid aliran Beng-
kau di pantai timur ini. Aku memang dari utara, dan ilmu pukulanku tadi
kebetulan memang bernama Thian-lui-kong-ciang...."
"Hmm, bagus... bagus! Apakah gadis ini Adikmu?"
Liu Wan mengangguk. Hatinya mulai panas juga melihat kecongkakan lawannya.
"Ooo, jadi... kau juga ingin mengambil bungkusan ini?"
499 "Tentu saja, karena seperti yang dikatakan Adikku ini bungkusan yang kau bawa
itu adalah milik Adik-kami."
"Baiklah, kau boleh membawanya, asal...." Chin Tong Sia tak melanjutkan kata-
katanya. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba tersenyum dingin.
"Asal apa?" Liu Wan mendesak. Urat-uratnya menegang, siap untuk menggempur
lawannya. "Asal kalian bisa mengalahkan aku! Kalau kalian tidak mampu, jangan harap aku
akan memberikannya!" "Kurang ajar! Sombong sekali...!" Liu Wan menggeram.
Lalu tanpa mengulur-ulur waktu lagi Liu Wan menerjang Chin Tong Sia dengan kedua
telapak tangannya. Hembusan angin yang amat kuat meluncur dari telapak tangan
tersebut, bergulung-gulung, susul-menyusul, bagaikan gempuran ombak menerjang
dada Chin Tong Sia. "Wah, dahsyat sekali!" pemuda kurus itu berteriak kagum sekali sambil melompat
tinggi ke udara. Melihat lawannya bisa meloloskan diri dari gempuran pukulan udara kosongnya, Liu
Wan cepat-cepat mengejarnya dengan sabetan sisi tangannya.
Pukulan itu diarahkan ke lutut Chin Tong Sia yang masih mengapung di udara. Dan
sekali lagi dari sisi telapak tangan itu berdesis angin tajam yang menyambar
lebih dahulu ke arah sasarannya. Liu Wan 500
benar-benar tak memberi kesempatan kepada Chin Tong Sia untuk bernapas.
"Wah, gila...! Gila! Hihihi-ha-haha! benar-benar pukulan bagus! Sute, kau takkan
bisa mengelak lagi sekarang! Hoho-ho... tibalah ajalmu kini!" tiba-tiba suara
tanpa ujud itu kembali bergema di tempat itu.
"Suheng keparat! Suheng bermuka jelek! Kaukira aku tak bisa menghindar lagi"
Huh, lihat...!" Entah disebabkan karena ejekan atau cemohan suhengnya itu, atau entah karena
kemarahannya yang memuncak akibat didesak terus menerus oleh Liu Wan, tapi yang
jelas pemuda kurus itu mendadak bisa melakukan suatu gerakan yang aneh, sulit,
namun hebat bukan main! Tubuhnya yang terapung di udara itu tampak menggeliat
beberapa kali ke samping, sehingga tubuhnya yang kecil kurus itu bagaikan
segumpal kapas yang turun-naik ditiup angin!
"Wah, wah, wah, Setan Busuk! Setan Gila! Kau benar-benar telah melakukan jurus
Menerobos Lubang Pintu Jala dengan amat sempurna! Oh-ho-ho-ho, Sute ... selamat!
Selamat! Kini sudah ada dua orang yang mampu melakukan gerakan itu di Aliran
Beng-kau kita, kau dan aku... he-he-he-he!" suara tanpa ujud itu bersorak memuji
gerakan Chin Tong Sia yang hebat.
Begitu indah dan mentakjubkan jurus yang diperlihatkan oleh Chin Tong Sia itu,
hingga untuk sesaat lamanya Liu Wan ikut tertegun di tempatnya.
501 Liu Wan baru sadar kembali ketika melihat lawannya itu telah berdiri siap di
depannya. "Bagus!" Liu Wan memuji sambil menerjang lawannya kembali. Kali ini dengan
tusukan dua buah jari ke leher Chin Tong Sia.
Akan tetapi Chin Tong Sia tak ingin jadi sasaran terus-menerus. Sambil
menghindari tusukan jari Liu Wan, tangan kanannya menyambar ke depan, menuju ke
uluhati lawannya. Serangannya amat cepat dan kuat bagaikan patukan ular kobra!
"Wah, jelek... jelek! Siku tanganmu masih terlalu melebar ke luar lagi! Sute,
kau bisa celaka! Pertahananmu menjadi rapuh!" Put-pai-siu Hong-jin yang belum juga mau
memperlihatkan dirinya itu mencela gerakan Chin Tong Sia.
Entah benar atau kurang benar, namun serangan itu sendiri sudah cukup merepotkan
Liu Wan. Pemuda sakti itu terpaksa membuang tubuhnya ke kanan sambil menjejakkan
kakinya ke atas untuk menghantam Chin Tong Sia, kemudian berjumpalitan
menjauhkan diri. Semua itu dilakukan Liu Wan karena dilihatnya kaki kiri Chin
Tong Sia telah bersiap-siap menerjang tubuhnya.
"Aduuuh... salah! Seharusnya kau tidak mengelak ke kanan! Seharusnya kau
bergeser sedikit saja ke kiri, lalu menghajar ketiak Suteku yang terbuka itu!
Huh, pasti suteku itu mampus!" suara Put-pai-siu Hong-jin kembali terdengar,
tapi kali ini mencela gerakan Liu Wan.
502 Sementara itu Tio Ciu In menonton pertempuran itu dengan perasaan kebat-kebit.
Matanya selalu gelisah melirik ke sana ke mari, mencari orang yang bersuara
tanpa kelihatan ujudnya itu. Namun sampai bosan ia mencarinya, orang itu tetap
tak kelihatan juga. Padahal tempat itu adalah tempat yang lapang, sama sekali tiada pepohonan atau
pun bangunan rumah. Yang ada cuma gubug kecil reyot tempat nelayan tua tadi berteduh dan
teriknya matahari Dan bangunan reyot itu tak mungkin untuk bersembunyi, karena selain tak ada dindingnya, atapnya pun hanya dari daun- daun ilalang pula yang sudah bolong di sana- sini. Seekor kucing pun sudah cukup untuk meruntuhkan atap tersebut bila bertengger di atasnya.
Demikianlah dua jago muda itu segera bertempur pula dengan sengitnya. Masing-
masing 503 memperlihatkan kehebatan ilmunya. Liu Wan bersilat dengan gerakan-gerakan cepat
dan bertenaga, sehingga setiap gerakannya menimbulkan gesekan atau pusaran angin
yang semakin lama semakin bertambah besar. Sedangkan lawannya yang berperawakan
kecil kurus itu bersilat dengan amat lincah pula. Tubuhnya yang ringan itu
bagaikan seekor tupai yang gesit dan lincah, berloncatan ke sana ke mari
menghindari badai serangan yang dilancarkan Liu Wan.
Pertempuran mereka benar-benar ramai dan mengasyikkan untuk ditonton. Masing-
masing tampaknya masih berusaha menjajagi kemampuan dan kekuatan lawannya,
sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati dan tidak segera mengeluarkan
ilmu simpanan mereka. Liu Wan masih tetap bersilat dengan gerakan-gerakan cepat
penuh tenaga, sementara Chin Tong Sia melayaninya dengan gerakan-gerakan yang
manis, gesit serta lincah bukan main.
Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Gesekan dan pusaran angin yang
ditimbulkan oleh ilmu silat Liu Wan sudah demikian kuatnya sehingga debu dan
pasir di mana mereka berdua berkelahi mulai terangkat dan berhamburan ke mana-
mana. Bahkan gubug reyot tadi sudah mulai bergoyang-goyang mau roboh pula.
Tio Ciu In terpaksa mundur beberapa langkah menjauhi arena yang sekarang menjadi
gelap oleh 504 debu. Otomatis pertempuran yang hebat itu tak bisa ditonton lagi. Tubuh Liu Wan
maupun Chin Tong Sia hanya tampak samar-samar saja dari luar.
"Wah-wah-wah, ilmu silat apa ini..." Kasar! Kasar sekali, seperti kerbau berlaga
saja! Tak sedap dipandang! Huuuh, sebal mendingan tidur." Suara Put-pai-siu
Hong-jin yang serak itu terdengar kembali namun nadanya terasa sangat kesal dan
kecewa. Pertempuran tetap berjalan terus, bahkan semakin lama arena yang mereka
pergunakan semakin lebar dan luas. Tampaknya mereka mulai meningkatkan kemampuan
mereka masing-masing. Malahan Liu Wan kelihatan sudah mulai menyelipkan pukulan-
pukulan Thian-lui-kong-ciangnya, karena di dalam pekatnya debu. yang bertaburan
itu sesekali terdengar letupan-letupan kecil.
Akhirnya gubug reyot itu tak bisa bertahan lagi.
Tiang-tiangnya yang sudah rapuh itu roboh berpatahan, sementara atapnya yang
rombeng terhempas entah ke mana. Dan Tio Ciu In sendiri terpaksa semakin
menjauhi arena. Hatinya masih merasa kebat-kebit dan cemas. Takut kalau Liu Wan
kalah, padahal pihak lawan masih ada satu orang lagi yang belum memperlihatkan
diri, seorang lawan yang tampaknya justru lebih tangguh daripada pemuda kurus
itu. Sebenarnyalah, sekali ini Liu Wan memang benar-benar menghadapi lawan yang
sangat berat. Chin Tong Sia memiliki kelincahan dan kegesitan yang luar 505
biasa. Tubuhnya yang kurus kerempeng itu melejit dan berjumpalitan ke sana ke
mari laksana tupai yang bermain akrobat di atas pohon. Gerakan tubuhnya
seringkah sangat aneh, muskil dan sulit diduga, bahkan kadangkala seperti tak
masuk di akal, sehingga lama kelamaan Liu Wan menjadi bingung juga
menghadapinya. Akhirnya terpaksa juga Liu Wan mengeluarkan ilmu simpanannya, Thian-lui-kong-
ciang. Setahap demi setahap gerakannya diperlamban, sehingga prahara atau angin
ribut yang ditimbulkan, oleh ilmu silatnya tadi juga berangsur-angsur menjadi
reda pula. Angin Prahara itu bagaikan terhisap kembali ke dalam telapak tangannya, membuat
kedua buah telapak tangan itu seolah-olah menggenggam kekuatan angin yang sangat
dahsyat. Dan memang itulah inti kekuatan Thian-lui-kong-ciang atau Telapak
Tangan Halilintar! Sementara itu angin laut bertiup dengan kencang, sehingga kumpulan debu dan
pasir yang menyelimuti arena itu tersapu bersih dalam sekejap. Sekarang dua jago
yang sedang berlaga itu kelihatan lagi. Keduanya masih bertempur dengan
gigihnya, dan masing-masing telah mulai memperlihatkan ilmu andalannya.
Thian-lui-kong-ciang memang sebuah ilmu yang sangat dahsyat. Dengan mengerahkan
ilmu itu kaki dan tangan Liu Wan seolah-olah berubah menjadi besi yang beratnya
ribuan kati. Setiap hentakan kaki atau tangannya akan menimbulkan kekuatan yang
dahsyat 506 tiada terkira. Bahkan angin pukulannya saja sudah mampu melumatkan semua sasaran
yang ada. Setelah Liu Wan melancarkan serangan dengan Thian-lui-kong-ciang, Chin Tong Sia
memang mengalami kesulitan. Gerakan-gerakan Liu Wan yang ketat dan penuh tenaga
itu seakan-akan menciptakan dinding-dinding pertahanan yang sulit ditembus.
Bahkan dinding-dinding yang tercipta itu semakin lama terasa semakin banyak
sehingga ruang geraknya menjadi ciut. Otomatis ia tak dapat mengembangkan ciri-
ciri ilmu silat Aliran Beng-kau, yaitu kelincahan dan kegesitan tubuh.
Maka tiada jalan lain lagi bagi Chin Tong Sia selain mengeluarkan ilmu
puncaknya, yaitu Chuo-mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), andalan Aliran Beng-kau,
yang sakah satu jurusnya, Menerobos Lubang Pintu Jala, telah diperagakan oleh
Chin Tong Sia tadi. Dan sesuai dengan adat kebiasaan orang dusun, yang selalu
menabuh bunyi-bunyian sambil berdoa atau bernyanyi di kala mengadakan upacara
adat menangkap setan, maka di setiap menjalankan ilmu Chuo-mo-ciang pun para
anggaota Aliran Bengkauw tentu 'bocor' pula mulutnya. Dan karena sebagian besar
ilmu silat Chin Tong Sia itu hasil didikan suhengnya, maka 'kebocoran' Chin Tong
Sia pun sebagian besar juga mewarisi 'keceriwisan' Put-pai-siu Hong-jin!
Sambil menyerang atau mengelakkan pukulan Li Wan, Chin Tong Sia tentu bernyanyi.
Suaranya kaku 507 dan sumbang, sama sekali tak berbakat menjadi penyanyi. Syair-syair lagunya pun
hanya ngawur dan sekenanya saja.
"Ada ular di dalam lubang...!
Ularnya satu lubangnya satu!
Ularnya bingung lobangnya buntu!
Maju mundur sampai mati...!"
"Hohohoo-hahaha...! Sute, ularmu goblok benar!
Masakan hanya karena lubang buntu saja sudah mati, hohoho-hahahaa! Goblok...
goblok!!!" Tak terduga suara Put-pai-siu Hong-jin muncul lagi.
"Suheng, diam kau...! Kalau berani, keluarlah!
Jangan bersembunyi!" Chin Tong Sia tersinggung dan marah-marah.
"Oho, Sute... Sute! Celaka benar ularmu! Ular goblog saja dipelihara, hohoho!
Mengapa engkau tidak mencontoh ularku" Ularku pintar dan cerdik.
Dengarlah!" Ada ular melihat lubang...!
Dilihat dulu lubangnya buntu!
Ular berbalik ekornya maju!
Di Lubang buntu ular berlagu...!
"Suheng keparat! Suheng bangsat! Awas, kuhajar kau nanti...!"
508 Bukan main dongkolnya Liu Wan, lawannya yang kurus kerempeng itu bertempur
sambil bergurau dengan suhengnya. Celakanya, tampaknya saja bergurau tapi sambil
bergurau ternyata Chin Tong Sia menyerang terus dengan jurus-jurusnya yang aneh.
Demikian anehnya gerakan yang dilakukan Chin Tong Sia, sehingga dia menjadi
bingung dan serba salah menghadapinya.
Suatu saat ketika Liu Wan menghajar pelipis Chin Tong Sia, pemuda itu mengelak
dengan gaya seperti orang kesurupan setan. Badannya limbung, kemudian
terjerembab ke depan seolah-olah hendak menimpa tubuh Liu Wan. Tentu saja Liu
Wan menjadi curiga, sehingga otomatis bergeser ke samping menghindarinya.
Tak terduga tubuh Chin Tong Sia itu benar-benar jatuh ke tanah, sehingga Liu Wan
untuk sedetik menjadi heran. Namun waktu yang cuma sedetik itu ternyata telah
membawa celaka. Ketika tubuh Chin Tong Sia itu hampir menyentuh tanah, tiba-tiba
tangan kanannya menyambar. Cuma sedetik, sehingga Liu Wan benar-benar tak
mempunyai kesempatan lagi. Tahu-tahu pergelangan kakinya telah dicengkeram Chin
Tong Sia! Bluug! Tubuh Chin Tong Sia membentur tanah!
"Auugh!" Liu Wan menjerit seraya menghajar lengan yang mencengkeram kakinya itu


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Thian-lui-kong-ciang-nya.
509 Duuuaaar! Tanah di depan Liu Wan meledak berhamburan terkena hantaman Thian-lui-
kong-ciang, karena dengan gesit Chin Tong Sia telah melejit pergi dengan
lincahnya. "Puteri istana menghisap hun-cwe (pipa panjang), Hun-cwe terisi butiran candu,
Bibir pucat matanya sayu,
Bagai bidadari sedang bercumbu."
Dengan wajah cerah penuh senyuman Chin Tong Sia telah berdiri siap kembali.
Matanya yang kocak itu memandang Liu Wan yang terpincang-pincang karena salah
satu urat darahnya tertutup akibat cengkeramannya. Sambil tersenyum ia
berpantun. "Hei, Sute! Puterimu itu gila barangkali! Masakan seorang puteri keraton
menghisap pipa...!" Put-pai-siu Hong-jin berteriak penasaran dari tempat
persembunyiannya. Chin Tong Sia melirik ke sana ke mari mencari arah suara suhengnya. Senyumnya
menghilang. "Suheng, kenapa engkau hari ini usil banget"
Apakah tidak boleh seorang puteri istana menghisap pipa?" pemuda itu berseru
kesal. "Boleh... sih... boleh! Tapi, ya... aneh sekali!"
"Ah, peduli amat! Pokoknya puteri itu suka menghisap pipa! Titik!"
"Uh, ya... terserah kalau begitu maumu. Tapi itu tidak wajar, masakan seorang
puteri... menghisap pipa 510
panjang, hehehehe. Tidak lucu. Hmmm, apakah kau mau kalau isterimu besok suka
menghisap pipa?" "Suheng gila, keluar kau!" Chin Tong Sia berteriak dengan wajah merah padam.
Tak ada jawaban. Tampaknya Put-pai-siu Hong-jin sudah merasa cukup menggoda adik
seperguruannya. Mungkin orang tua itu kini terkekeh-kekeh gembira di tempat persembunyiannya.
sementara itu Liu Wan memanfaatkan waktu tersebut untuk melancarkan kembali urat
darahnya yang tertutup. Tapi usahanya sia-sia. Aliran darahnya masih tetap
tersumbat, sehingga kakinya tak bisa bergerak dengan leluasa.
Tio Ciu In menghampiri dengan wajah khawatir.
"Bagaimana, Twako" Ada sesuatu yang salah?"
tanyanya cemas. "Gila! Anak itu memang lihai sekali, aku tak bisa membuka totokannya."
"Lalu... apa yang harus kita perbuat?" Tio Ciu In berbisik tegang.
"Apa boleh buat. Mungkin aku tidak bisa menang, tapi yang jelas aku akan mengadu
jiwa dengannya!" "Liu Twako...."
"Sudahlah, Ciu-moi... minggirlah, aku belum kalah."
Di lain pihak Chin Tong Sia masih menoleh ke sana ke mari mencari suhengnya.
Pemuda itu masih kelihatan penasaran terhadap Put-pai-siu Hong-jin, sehingga dia
tak peduli lagi kepada Liu Wan. Bahkan 511
dia juga tidak ambil pusing pula ketika Tio Ciu In menghampiri Liu Wan.
Tio Ciu In melangkah menjauhi arena lagi. Ia tak dapat menghalangi niat Liu Wan,
karena pemuda itu tentu tak ingin kehilangan harga dirinya. Langkahnya terhenti
di dekat tumpukan jala si Nelayan Tua itu.
Sekonyong-konyong tumpukan jala itu terangkat dan terlempar jauh, sementara dari
bawahnya muncul Put-pai-siu Hong-jin sambil menjerit-jerit!
"Kurang ajar! Kepiting keparat! Kepiting bangsat!
Menjepit pantat orang seenaknya! Huh, mati kau...!"
Ternyata tak seorang pun yang mengira kalau Putpai-siu Hong-jin bersembunyi di
bawah tumpukan jala tersebut. Dan tampaknya Si Nelayan tadi tidak menyadari pula
kalau gulungan jalanya menindih Putpai-siu Hong-jin yang tipis kerempeng itu.
Mungkin sewaktu meletakkan jalanya tadi Si Nelayan tak memperhatikan bahwa di
bawah gubug reyot itu ada seseorang yang lagi tidur melingkar keenakan. Dan
sebaliknya Put-pai-siu Hong-jin sendiri kelihatannya justru merasa kesenangan
mendapatkan selimut tebal.
"Bagus! Ternyata Suheng bersembunyi di situ!
Nah, rasakan pukulanku...!" Begitu melihat suhengnya, Chin Tong Sia segera
menerjang dengan pukulan tangannya.
"Hei... hei, nanti dulu! Aku belum mengikat tali celanaku! Kepiting celaka
itu ... kepiting celaka itu...
hei, awas... celanaku nanti melorot turun! Wah!"
512 Put-pai-siu Hong-jin yang sedang ribut dengan kepiting di dalam celananya itu
menjadi kaget dan bingung melihat serangan sutenya. Sambil berusaha mengikatkan
kembali tali celananya orang tua itu mengelak ke sana ke mari. Celakanya Chin
Tong Sia tak memberinya kesempatan sama sekali. Pemuda itu terus saja mengejar
suhengnya, sehingga akhirnya tali celana itu bukannya terikat lagi dengan baik,
tapi malah menjadi ruwet tidak karuan.
"Wah, ini... ini bagaimana" Tali celanaku...?" orang tua itu berteriak
ketakutan, kemudian lari lintang pukang meninggalkan tempat itu. Kedua tangannya
sibuk mencengkeram celananya yang melorot turun memperlihatkan pantatnya yang
tepos. Tio Ciu In menjerit lirih dan cepat cepat memalingkan mukanya.
"Kurang ajar! jangan lari...!" Chin Tong Sia berseru sambil terus mengejar
suhengnya. Liu Wan menarik napas panjang, seolah-olah beban yang menghimpit perasaannya
telah lepas. Namun demikian matanya masih tampak lesu memandang ke depan, ke
arah mana Chin Tong Sia dan suhengnya tadi pergi.
"Bagaimana Liu-twako" Kita kembali saja ke kota"
Siau In mungkin sudah tidak berada di pantai ini, karena pemuda itu juga sudah
sejak kemarin mencarinya." Tio Ciu In mendekati dan berkata perlahan.
513 "Baiklah...." Liu Wan mengangguk lesu. "Ciu-moi, ternyata sungguh banyak sekali
orang lihai di dunia ini. Aku yang selama ini sangat bangga dengan julukan Bun-
bu Siu-cai, ternyata harus menghadapi kenyataan dalam sehari ini. Dalam waktu
hanya sehari ini saja aku bertemu dengan banyak orang yang kepandaiannya lebih
tinggi daripada aku. Kwe Tek Hun, Ma Goat dan pembantunya, orang tua buta itu,
orang-orang dari Pondok Pelangi, dan sekarang Chin Tong Sia bersama suhengnya
dari Aliran Beng-kau. Aaaah... aku memang harus banyak belajar lagi."
Sambil berjalan kembali ke kota Hang-ciu Tio Ciu In berusaha menghibur
kekecewaan Liu Wan. "Twako, dunia ini memang luas. Di atas langit masih ada langit. Kita tak usah
merasa kecewa terhadap diri sendiri, karena kita pun sebenarnya juga sudah lebih
dari pada yang lain. Contohnya, Twako sendiri masih jauh lebih baik dan lebih
beruntung daripada aku, Adikku, Suhengku, Ku Jing San, Sogudai dan pendeta-
pendeta Pek-hok-bio itu. Namun demikian aku sendiri juga masih lebih mendingan
daripada anak buah Kuil Pek-hok-bio, dan lain-lainnya. Nah, mau apa lagi?"
Liu Wan memandang tak percaya kepada Tio Ciu In. Ia tak percaya kata-kata yang
bermakna amat dalam itu keluar dari bibir tipis itu.
"Bukan main...!" pemuda itu berdesah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Matanya menatap 514 redup dan sama sekali tak menyembunyikan rasa kagumnya.
"Apanya yang bukan main...?" Tio Ciu In bertanya sambil menundukkan mukanya,
takut melihat pandangan mata Liu Wan.
"Pandangan hidupmu itu tadi, Ciu-moi. Apakah semua yang kaukatakan itu sungguh-
sungguh keluar dari lubuk hatimu?"
Tio Ciu In mengangkat wajahnya. "Tentu saja, Twako. Kaukira aku cuma asal bicara
saja?" katanya kurang senang.
"Eh, bukan begitu maksudku...." Liu Wan cepat-cepat menyela. "Aku cuma mempunyai
perkiraan, bahwa kau bisa mengatakan seperti itu karena selama ini kau selalu
mendapatkan yang baik dan tak pernah mendapatkan kekecewaan di dalam
kehidupanmu." "Maksudmu...?" "Yaaaah, misalnya saja tentang... rupa. Kau tidak ditakdirkan berwajah jelek,
tetapi kau dikaruniai wajah ayu. Sangat ayu malah. Nah, tentu saja kau tidak
pernah merasa kecewa dengan keadaanmu.
Akan tetapi lain halnya kalau Thian memberimu wajah yang jelek, kau tentu takkan
bisa berkata seperti tadi. Kau tentu akan merasa kecewa terhadap dirimu
sendiri...." Tak terduga wajah yang cantik dan halus itu tersenyum.
"Kau salah menduga, Twako. Selama ini aku tak pernah memikirkan, apakah wajahku
cantik atau jelek, 515 sehingga aku tak pernah mempersoalkan pula, apakah aku merasa gembira atau
kecewa terhadap diriku. Bagiku cantik atau tidak cantik itu sama saja.
Semuanya tak perlu dikecewakan."
"Apakah kau tidak merasa kecewa kalau wajahmu jelek?" Liu Wan penasaran.
Tio Ciu In menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang perlu dikecewakan. Misalkan
aku berwajah jelek pun masih tetap seorang manusia, Masih lebih baik dan lebih
cantik daripada seekor monyet betina."
"Hah..." Sungguh gila!" Liu Wan terbelalak. "Lalu, misalkan kau benar-benar
menjadi... eem, monyet betina" Apakah kau juga tidak pernah kecewa terhadap
dirimu?" Lagi-lagi wajah yang cantik itu tersenyum, sehingga Liu Wan semakin menjadi
gemas melihatnya. "Aku tetap tidak akan menjadi kecewa karenanya.
Menjadi monyet masih lebih beruntung daripada menjadi patung batu. Thian maha
adil. Kalau pun aku ditakdirkan menjadi monyet, aku percaya Thian akan
mengirimkan kepadaku seekor monyet jantan yang kuat dan tampan."
"Ooooooooooh!" Liu Wan berdesah panjang seraya menundukkan mukanya.
Ucapan-ucapan Tio Ciu In yang amat sederhana itu ternyata telah mampu menerangi
hatinya, menyadarkannya, betapa serakahnya dia selama ini.
516 "Ciu-moi, kau benar-benar hebat. Aku sungguh merasa suka dan kagum sekali
kepadamu. Rasa-rasanya aku ingin sekali menjadi monyet jantan itu, tapi...."
"Ah, kau...!" Tio Cu In cemberut dan. mukanya menjadi merah. Semua itu hanya
perumpamaan saja, bukan kenyataan. Siapa bilang aku seekor monyet betina?"
Liu Wan menjadi malu. "Maaf, Ciu-moi... memang tiada seorang pun yang mengatakan
kau seekor monyet betina. Kau... seorang dewi, seorang bidadari yang hebat tiada
tandingannya. Akulah yang benar-benar pantas menjadi monyet, dan bukan monyet
jantan seperti keinginanmu itu, tapi monyet kerdil yang tiada artinya sama
sekali." "Nah, Twako... kau mulai merajuk lagi. Kau mulai kecewa terhadap dirimu kembali.
Semangatmu mudah kembali patah...."
"Aaaaaaah!" Liu Wan menjadi sadar pula kembali.
"Maafkan aku, Ciu-moi."
Demikianlah, sambil berbicara macam-macam mereka berjalan terus sehingga tak
terasa. mereka telah tiba di kota Hang-ciu lagi. Mereka berhenti dulu untuk
mengisi perut, baru kemudian memulai pencarian mereka. Seluruh kota mereka
jelajahi dan mereka aduk-aduk, bahkan mereka juga menemui Jeng-bin Lo-kai pula,
namun Siau In tetap tak me reka jumpai. Akhirnya .setelah sore mereka terpaksa
mencari penginapan lagi. 517 "Bagaimana kalau Adikmu tetap tak diketemukan juga" Apakah kau akan tetap
mencari di sini?" Liu Wan bertanya.
Tio Ciu In menundukkan wajahnya,
menyembunyikan dua tetes air mata yang terlepas dari pelupuk matanya.
"Aku akan menantinya di sini. Aku percaya dia takkan jauh dari kota ini. Ia
belum pernah bepergian ke mana-mana."
"Tapi...?" "Twako, kau jangan terlalu memikirkan aku. Aku tahu engkau mempunyai banyak
urusan yang lain. Silakan kalau Twako hendak meneruskan perjalanan.
Biarlah aku menunggunya di sini, sekalian menanti kedatangan Guruku...."
"Oh, ya..." Jadi Suhumu juga hendak datang ke sini?" Liu Wan menegaskan,
suaranya sedikit berubah.
"Rencananya memang demikian. Empat hari yang lalu kami berangkat bersama-sama
dari Gedung Cabang Aliran Im-yang-kau di kota An-king. Suhu menyuruh Suheng, aku
dan Adikku, langsung pergi ke kota ini, sementara Suhu sendiri berangkat
menyusuri Sungai Yang-tse, melalui kota Wu-hu, Nan-king, Wuh-si dan Soh-ciu.
Karena harus melalui jalan memutar yang sangat jauh, kemungkinan dua atau tiga
hari lagi Suhu baru sampai di sini."
"Baiklah, Ciu-moi... aku akan menemanimu sehari lagi. Besok lusa baru aku akan
berangkat ke barat 518 menemui Guruku. Aku harus melaporkan kegiatan orang orang Hun itu kepada
beliau." Liu Wan berdesah panjang seakan-akan amat berat meninggalkan Tio Ciu In
sendiri. "Yaaaaah, sekalian memohon maaf kepada guruku, karena aku telah
meninggalkan beliau selama hampir lima tahun tanpa pamit."
Tio Ciu In memandang Liu Wan dengan kening berkerut.
"Kau tinggalkan Gurumu selama lima tahun tanpa pamit" Mengapa...?" tanya gadis
itu heran. Liu Wan tersenyum kecut. Dipandangnya gadis ayu itu sekejap, kemudian menggeleng
lemah. "Ah, cuma karena urusan keluarga yang kurang menyenangkan saja."
"Yang Twako maksud... keluarga Gurumu atau keluargamu sendiri?"
Sekali lagi Liu Wan menghela napas panjang.
Wajahnya kelihatan buram.
"Keluargaku sendiri... aku... ah, sudahlah... aku tak ingin mengingat-ingatnya
lagi." Tio Ciu In menjadi semakin heran. Baru kemarin pemuda itu memperlihatkan gambar-
gambar keluarganya dengan hati riang. Mengapa sekarang tiba-tiba saja pemuda itu
kelihatan sedih membicarakan keluarganya" Siapakah sebenarnya pemuda itu"
"Baiklah, Twako... aku juga tak ingin mencampuri urusan keluargamu. Kau tentu
mempunyai alasan 519 yang kuat, mengapa sampai pergi meninggalkan keluargamu sekian lamanya."
Demikianlah mereka terpaksa tinggal di kota itu menantikan munculnya Tio Siau
In. Sama sekali mereka tidak membayangkan bahwa gadis itu telah berada jauh di
laut utara. -- o0d-w0o -- KETIKA menyaksikan A Liong benar-benar tidak muncul lagi ke permukaan air, Siau
In menjadi sedih dan menyesal bukan main. Gadis itu merasa telah mem bunuh orang
tak berdosa, sehingga seharian ia tak bosan-bosannya berputar-putar di pinggiran
pantai itu, sambil berharap-harap kalau-kalau pemuda itu muncul kembali.
Setelah matahari terbenam barulah Tio Siau In mengayuh sampannya ke pinggir.
Tubuhnya lemas karena seharian tidak makan dan minum. Dan malam itu terpaksa
harus tidur dan berpuasa pula di atas pasir yang dingin.
Demikianlah, karena perasaannya selalu dicengkam rasa gelisah, maka dalam
tidurnya Siau In juga mendapat mimpi yang menyeramkan pula. Di dalam mimpinya
gadis itu seperti melihat A Liong timbul tenggelam dipermainkan ombak di tengah
lautan. Pemuda itu seperti menjerit-jerit memanggil namanya.
Siau In berusaha menolong pemuda itu. Mati-matian ia mengayuh sampannya,
menerjang ombak 520 yang setiap kali selalu melemparkan sampannya kembali ke tepian. Namun suara
jeritan A Liong membuat Siau In seperti kesetanan. Ia tetap mengayuh terus,
sehingga akhirnya bisa juga sampannya mendekati A Liong.
Siau In mengulurkan tangannya untuk menarik tubuh A Liong. Tetapi belum juga
tangan itu sempat menyentuh tubuh A Liong, sekonyong-konyong dari dalam air
muncul kepala seekor naga raksasa yang sangat menyeramkan! Ketika naga itu
membuka mulutnya yang lebar, maka air laut yang ada di sekitarnya pun segera
membanjir masuk, termasuk pula di antaranya adalah tubuh A Liong serta Siau In
bersama sampannya! Ia terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membanjir membasahi seluruh
badannya, padahal malam itu bertiup angin laut yang cukup kencang, dinginnya
menggigit tulang. "Ooooooh... aku bermimpi." Tio Siau In berdesah dengan napas terengah-engah.
Siau In mencoba meringkukkan tubuhnya, berlindung di dalam sampannya yang
sempit, namun tetap saja ia menggigil kedinginan. Saat itulah Siau In baru ingat
bahwa buntalan pakaiannya tertinggal ketika berselisih dengan pemuda kurang ajar
yang mengintipnya itu. Teringat akan kekurangajaran Chin Tong Sia, Siau In menjadi merah kembali mukanya.
Ingin rasanya ia 521 membunuh pemuda tak tahu adat itu, yang enak saja mengintip orang sedang
berganti pakaian. "Aaaah!" Siau In cepat-cepat membuang kenangan yang amat memalukan itu.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin laut semakin kencang bertiup, membuat Siau In semakin tak bisa memicingkan
matanya kembali. Akhirnya gadis itu bangkit dari tidurnya.
Dipandangnya air laut yang kini tampak tenang di dalam cerahnya sinar bulan. Dan
otomatis matanya mencari-cari kalau-kalau terlihat A Liong di antara riak
gelombangnya yang berkejaran ke arah pantai.
Tiba-tiba hidung Siau In mencium bau dupa wangi, tapi ketika gadis itu mencoba
mencari dari mana arah bau itu datang, mendadak bau itu hilang kembali. Tak
terasa berdiri juga bulu roma Siau In. Matanya menatap ke sana ke mari, kalau-
kalau ada orang yang sedang membakar dupa sekitar tempat itu.
"Jangan-jangan A Liong yang membakar dupa tapi..." Siau In berpikir keras.
Timbul kembali harapan Siau In untuk menemukan A Liong. Bergegas ia bangkit dari
duduknya, kemudian berjalan meninggalkan sampannya, menyusuri pantai itu
menyongsong angin ke arah utara. Dan semakin jauh ia berjalan, bau dupa wangi
itu semakin sering pula tercium oleh hidungnya.
Ketika kemudian tepian berpasir itu terhalang oleh tebing tinggi yang menjorok
ke laut, bau dupa itu semakin keras menyentuh hidung Siau In. Gadis itu lalu
melangkah ke kiri, menyusuri tebing tersebut 522
untuk mencari tempat yang landai agar dia bisa naik ke atasnya.
Tapi semakin jauh ke darat tebing itu justru semakin curam dan tinggi, sehingga
akhirnya Siau In memutuskan untuk merayapi tebing tersebut dengan ilmu
meringankan tubuhnya. Untunglah dinding tebing itu tidak licin rata seperti tembok rumah. Selain
banyak tumbuh-tumbuhan kecil yang bisa untuk berpegangan, dinding tebing itu
sendiri banyak memiliki ceruk-ceruk atau pun tonjolan-tonjolan batu karang yang
bisa untuk berpijak. Namun demikian tanpa memiliki ginkang yang tinggi rasanya
sulit orang bisa merayap sampai di atas.
Ternyata dataran di atas tebing yang menjorok ke tengah laut itu cukup luas
juga. Bahkan di atasnya banyak tumbuh pepohonan rindang sampai hampir di
ujungnya. Diam-diam merinding juga hati Siau In.
Hembusan angin laut yang kuat itu membuat pohon-pohon itu bergoyang-goyang,
sehingga dalam keremangan sinar rembulan pohon-pohon itu bagaikan makhluk-
makhluk hitam yang bernyawa.
Sekarang bau dupa itu benar-benar terasa menyentak hidung Siau In. Malahan
lapat-lapat gadis itu seperti mendengar suara manusia pula.
"Ada orang di ujung tebing itu. Coba kulihat ke sana...."
Dengan mengendap-endap Siau In berjalan mendekati ujung tebing itu. Bau dupa
wangi semakin 523 menyengat hidungnya, membuat gadis itu menjadi makin berhati-hati. Ia tak pernah
keluar dari bayangan semak maupun pepohonan yang gelap.
Siau In terpaksa berhenti sebentar di bawah semak-semak yang paling akhir. Ujung
tebing itu ternyata merupakan tanah bebatuan yang tak ada tumbuh-tumbuhannya
sama sekali. Yang ada cuma batu-batu karang tajam berserakan di sana-sini. Dan
persis di ujung tebing itu, di tempat yang kosong dari bebatuan, tampak belasan
orang lelaki duduk berjajar, berderet-deret menjadi beberapa lapis, menghadap ke
arah laut. Di depan mereka terlihat berbagai macam sesaji yang ditempatkan di atas nampan-
nampan bambu. Masing-masing orang itu tampak memegang dupa yang terbakar,
sehingga asapnya yang tebal bertebaran ditiup angin.
Dengan mengendap-endap di antara batu-batu karang Siau In mendekati orang-orang
itu. Dalam jarak yang cukup dekat gadis itu berhenti.
Dipandangnya punggung orang-orang itu dengan seksama.
"Kelihatannya mereka bukanlah orang-orang persilatan. Mereka seperti orang-orang
dusun biasa yang sedang mengadakan upacara sesaji kepada laut.
Mungkin mereka terdiri dari keluarga-keluarga nelayan yang sedang meminta berkah
kepada Dewa Laut, agar mereka selalu mendapatkan keselamatan serta memperoleh
hasil ikan yang banyak setiap kali 524
pergi ke laut." Siau In menduga-duga di dalam hatinya.
Siau In beringsut lebih dekat lagi agar ia bisa mendengarkan apa yang-mereka
bicarakan. "Oh, Dewi Bulan Yang Agung! Tolonglah kami sekali lagi untuk mengenyahkan setan
dan hantu yang saat ini sedang meraja-lela mengganggu dusun kami, seperti ketika
kau menolong kami membasmi para perompak yang menduduki dusun kami beberapa
bulan yang lalu. Dan seperti juga ketika kau menolong kami mendamaikan
pertengkaran serta pertempuran antar-dusun di daerah kami dua bulan yang lalu."
Siau In melihat salah seorang di antara orang-orang itu berdiri meneriakkan doa-
doanya, lalu berjalan ke ujung tebing diikuti oleh yang lain sambil membawa
sesajian yang tadi ditaruh di depan mereka. Mereka melemparkan sesajian tersebut
ke laut yang berdebur di bawah tebing itu. Setelah itu mereka mengelilingi
tumpukan kayu kering yang telah dipersiapkan pula di tempat tersebut.
"Kelihatannya mereka hendak membuat api unggun...." Siau In yang melihat
tumpukan kayu itu membatin.
Benar juga apa yang diduga Siau In. Orang yang meneriakkan doa-doanya tadi
tampak memimpin lagi teman-temannya untuk membakar tumpukan kayu tersebut. Dan
sebentar saja tumpukan kayu yang menggunung itu berkobar dimakan api. Tempat itu
525 serentak menjadi terang benderang karena lidah api menjilat sampai tinggi di
udara. Untuk beberapa waktu orang-orang itu masih tetap berdiri di sekeliling api
unggun, namun setelah api itu benar-benar berkobar dengan baik mereka lalu
bersama-sama meninggalkan ujung tebing tersebut.
Mereka berjalan satu-persatu seperti orang berbaris, dengan orang yang
meneriakkan doa-doa sebagai pemimpinnya.
Siau In segera bersembunyi ketika orang-orang itu lewat di dekat tempat
persembunyiannya. "Mudah-mudahan sesaji kita yang ke tiga kalinya ini dapat dilihat dan diterima
oleh Dewi Bulan, sehingga dia cepat-cepat datang menolong kita, Cung-cu (Kepala
Kampung)...." salah seorang dia antara mereka berkata penuh harap.
"Mudah-mudahan saja begitu." orang yang memimpin doa tadi menjawab. "Ketika
datang yang terakhir kalinya itu Dewi Bulan berpesan, kita disuruh membuat api
unggun yang besar di tempat ini apabila menghendaki kedatangannya."
"Tapi kita sudah tiga malam berturut-turut membuat api unggun di sini, ternyata
dia belum juga datang menolong kita." yang lain berkata pula dengan nada kecewa.
"Ah, kau jangan berkata begitu, Ji Tek." orang yang pertama kali membuka suara
tadi memperingatkan temannya tersebut. "Bukankah Dewi Bulan itu juga.
mengatakan bahwa dia tidak mesti bisa datang oleh 526
panggilan api unggun itu, karena mungkin dia berada di tempat yang jauh dari
sini sehingga dia tidak bisa melihat kobaran api unggun kita."
"Kau benar, Kok Siang. Mungkin saat ini Dewi Bulan memang tidak berada di
sekitar pantai Laut Timur- ini." orang yang disebut Cung-cu tadi membenarkan
ucapan orang itu. Akhirnya rombongan itu menghilang di balik rimbunnya, pepohonan yang tumbuh di
atas tebing tersebut. Tinggallah kini Siau In sendirian di tempat
persembunyiannya, sibuk memikirkan kejadian yang baru saja dilihatnya itu.
"Apa sebenarnya yang sedang dihadapi oleh orang-orang dusun itu" Mengapa mereka
sampai mengadakan sesaji untuk memanggil Dewi Bulan"
Dan... siapa sebenarnya yang mereka anggap sebagai Dewi Bulan itu" Masakan di
atas bulan yang bersinar itu benar-benar ada seorang dewi yang mau turun ke bumi
untuk menolong orang-orang itu?"
Kejadian tersebut sungguh menarik perhatian Siau In, sehingga gadis itu untuk
sementara menjadi lupa akan urusan A Liong.
"Baiklah... akan kuikuti saja mereka! Akan kulihat, apa sebenarnya yang menjadi
masalah mereka. Siapa tahu aku bisa melihat Dewi Bulan yang mereka harap-
harapkan itu." Bergegas Siau In meninggalkan tempat
persembunyiannya. Meskipun rombongan itu telah berada jauh. di depan, Siau In
tetap melangkah 527 dengan hati-hati, karena siapa tahu ada satu dua orang di antara mereka yang
tertinggal. Demikianlah, dengan cara menyusup ke sana ke mari di antara semak
dan pepohonan, Siau In mengejar rombongan orang dusun itu.
Ternyata di balik tebing yang tinggi itu terhampar lembah yang cukup subur.
Malahan tampak pula di sana sebuah sungai kecil yang berkelok-kelok di antara
tanah pertanian. Beberapa gerombol perkampungan penduduk tampak berkelompok di
kanan kiri sungai kecil tersebut.
Sejenak Siau In terpesona menyaksikan pemandangan yang amat indah itu. Di bawah
tebaran sinar rembulan yang terang benderang lembah itu benar-benar seperti
sebuah taman alam yang mentakjubkan.
"Nah... itu mereka!" gadis itu berseru perlahan ketika melihat iring-iringan
manusia ke luar dari semak-semak belukar di bawahnya.
Dari atas tebing iring-iringan itu memang sangat jelas sekali. Mereka keluar
dari semak belukar dan mulai berjalan berurutan di pinggir sungai. Siau In
segera hendak beranjak dari tempatnya ketika tiba-tiba ia melihat bayangan orang
di belakang rombongan orang dusun itu.
Bayangan itu juga mengendap-endap pula seperti dirinya. Kadang-kadang berkelebat
di antara bebatuan yang banyak terdapat di pinggiran sungai tersebut. Di bawah
sinar bulan bayangan itu seperti seorang 528
perempuan bongkok yang mengenakan jubah panjang sampai ke lutut.
"Eh, siapa dia" Mengapa dia mengikuti rombongan itu secara sembunyi-sembunyi
pula" Apakah dia bermaksud buruk?"
Sekarang Siau In benar-benar bergegas turun mengejar orang-orang dusun itu.
Hatinya sungguh-sungguh tergelitik untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada
mereka. Semakin dekat dengan mereka Siau In semakin meningkatkan kewaspadaannya, apalagi
pinggiran sungai itu tidak banyak semak-semak yang bisa dipakai untuk
bersembunyi. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk bergerak menyusup di
antara bebatuan besar saja.
Bayangan perempuan bongkok itu masih
berkelebatan di depan Siau In. Perempuan itu tampaknya tak menduga kalau dirinya
yang sedang diikuti orang, buktinya ia sama sekali tak pernah menoleh atau
mengawasi keadaan sekitarnya.
Perhatiannya cuma ke depan, ke arah rombongan orang-orang dusun itu saja. Namun
demikian setiap bergerak atau berpindah tempat, gerakannya cepat bukan main.
-- o0d-w0o -- 529 JILID XIII ATI aku!" diam-diam Siau In
berdesah di dalam hati. "Orang itu mempunyai ginkang yang sangat tinggi.
MSekali saja aku salah langkah, orang itu tentu tahu kalau kuikuti."
Menyadari kalau ginkangnya masih
kalah dibandingkan dengan perempuan bongkok itu, maka Siau In semakin tidak
berani terlalu dekat. Untunglah awan tebal lewat menutupi bulan sehingga suasana menjadi sedikit
gelap. Ketika akhirnya di kejauhan mulai tampak sinar-sinar lampu minyak yang berkedip-
kedip di kegelapan malam, Siau In menghela napas lega.
"Itu tentu dusun yang mereka tuju..." gadis itu membatin. "Tampaknya dusun
itu... eh, ke mana perempuan bongkok tadi?"
Siau In cepat-cepat meringkuk di balik sebuah batu besar, sementara matanya
nanar melihat ke depan, mencari bayangan perempuan bongkok tadi. Namun perempuan
itu benar-benar tidak kelihatan lagi.
Bagaikan hantu tubuh bongkok itu seperti hilang begitu saja.
Tak terasa meremang juga bulu tengkuk Siau In, sehingga untuk beberapa waktu
lamanya ia tak berani menggerakkan tubuhnya, takut kalau-kalau perempuan bongkok
itu berada di sekitarnya.
530 "Hantuuu! Tolong...!" Tiba-tiba terdengar jeritan di kejauhan.
Siau In tersentak kaget, suara itu datang dari arah rombongan orang-orang dusun
tadi. Dan benar juga, ketika Siau In memandang ke depan dilihatnya rombongan itu
telah lari cerai berai. Masing-masing seperti berlomba untuk lebih dahulu sampai
di dusun mereka. Mendadak sebuah bayangan berkelebat lewat tidak jauh dari tempat persembunyian
Siau In. Gadis itu terkejut. Meskipun tidak begitu jelas, namun Siau In segera
mengenalnya sebagai perempuan bongkok tadi.
"Dia membawa sesuatu di punggungnya, seperti tubuh manusia! Eh, jangan-jangan
perempuan itu telah menculik seorang dari rombongan itu!"
Rasa ingin tahu membuat Siau In melupakan perasaan takutnya. Gadis itu segera
meloncat mengejar bayangan perempuan bongkok tadi.
Untunglah awan yang menutup bulan tadi telah bergeser, sehingga lembah itu
kembali menjadi terang benderang. Siau In melihat perempuan bongkok itu melesat
cepat melintasi lembah itu, kemudian mendekati lereng bukit sebelah barat.
Walaupun larinya jauh ketinggalan dari lawannya, tapi dengan pertolongan sinar
rembulan Siau In masih dapat mengikuti terus ke mana perempuan itu menuju.
Apalagi lembah tersebut merupakan tanah yang lapang dan tidak banyak ditumbuhi
pepohonan tinggi. 531 Namun demikian Siau In sempat menjadi bimbang juga tatkala sampai di kaki bukit
itu. Perempuan bongkok tadi sudah tidak kelihatan bayangannya lagi dari bawah.
Dan Siau In khawatir perempuan itu telah menunggunya di atas bukit.
"Ah, persetan! Aku akan melawannya kalau dia memang berada di sana." akhirnya
gadis itu mengambil keputusan.
Kemudian dengan sangat berhati-hati Siau In mendaki bukit itu. Segala kemampuan
yang ia miliki ia persiapkan, kalau-kalau secara mendadak mendapat serangan dari
perempuan itu. Tapi sampai di puncak bukit itu ternyata tidak terjadi apa-apa.
Perempuan bongkok itu tidak menghadangnya, bahkan bayangannya pun sudah tidak
kelihatan lagi. Sebaliknya justru ada hal lain yang lebih mengejutkan Siau In!
Tanah lereng di balik bukit itu ternyata merupakan sebuah kuburan kuno yang luas
sekali. Batu-batu nisannya, bangunan bangunannya, benar-benar menunjukkan betapa
sudah ratusan tahun umurnya.
Banyak yang sudah roboh atau rusak, meskipun dahulunya bangunan itu kelihatan
sangat kokoh dan kuat. Malahan ada beberapa di antara bangunan itu yang kini
telah ditumbuhi oleh pohon yang tinggi.
"Melihat luas dan keadaan bangunannya, tampaknya kuburan ini adalah bekas
kuburan orang-orang kaya dan orang-orang berpangkat di zaman 532
dulu. Mungkin dahulu ada sebuah kerajaan di sekitar tempat ini."
Bulan sudah jauh bergeser turun ke arah barat, dan lapat-lapat juga sudah
terdengar suara lonceng ditabuh tiga kali dari arah perkampungan penduduk. Hari
telah menunjukkan pukul tiga pagi. Suara binatang malam juga sudah mulai
berkurang, sementara embun pagi sebaliknya malah menjadi semakin tebal turun ke
bumi. Kabut dingin tampak mulai mengepul menyelimuti tanah kuburan itu, namun demikian
semua itu tidak menghalangi niat Siau In untuk mencari perempuan bongkok tadi.
Selangkah demi selangkah gadis itu turun memasuki tanah kuburan tersebut.
Langkahnya tetap berhati-hati, bahkan sebentar-sebentar selalu berhenti untuk
mengamati keadaan lebih dahulu.
Ternyata apa yang dilakukan oleh Siau In tersebut membuahkan hasil pula. Ketika
untuk yang kesekian kalinya dia berhenti mengamati keadaan, tiba-tiba matanya
menangkap sebuah gerakan di tengah-tengah kuburan itu. Sebuah bayangan tampak
melintas di antara dua bangunan yang masih berdiri megah.
Bayangan itu kemudian masuk ke salah satu dari bangunan megah tersebut.
"Itulah dia perempuan bongkok tadi. Tak salah lagi.
Tapi... apakah dia tinggal di tempat itu" Aaaaaaah!"
Sekejap merinding juga bulu roma Siau In, dan otomatis bermacam-macam bayangan
menakutkan melintas di dalam pikirannya.
533 "Sebenarnya... sebenarnya dia itu manusia atau hantu" Kalau manusia biasa ...
kenapa berada di tempat yang menyeramkan begini" Tapi kalau hantu, mengapa bisa
menggendong orang dan berlari seperti manusia biasa" Ah, kepalang tanggung...
sudah sampai di sini, masakan aku harus kembali lagi" Biar kulihat saja
sekalian, hantu atau bukan!"
Dengan bekal nekad Siau In beringsut sedikit demi sedikit mendekati bangunan tua
itu. Semakin dekat perasaan Siau In juga semakin tegang, sehingga jantungnya
hampir copot ketika dua ekor tikus tiba-tiba berlari melintas di depannya.
Bangunan itu sudah retak-retak dindingnya, bahkan gentingnyapun juga sudah
banyak yang pecah dan berlubang-lubang pula sehingga sorot sinar bulan dengan
leluasa menerobos masuk menyinari lantainya yang kotor dan berdebu. Rumput dan
alang-alang juga tampak merajalela di antara rekahan-rekahan dinding dan
lantainya yang berlumut. "Benar-benar sebuah bangunan yang menyeramkan...." Siau In berdesah dengan bulu
meremang.

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam jarak lima tombak Siau In berhenti dan tidak berani maju lagi, khawatir
bila secara mendadak perempuan bongkok itu keluar memergokinya.
Kebetulan pula tempat di mana ia berhenti terdapat sebuah pohon tua yang besar
dan rimbun daunnya, dan salah satu ca bangnya menjulur panjang mendekati
bangunan itu. 534 "Sebaiknya aku naik ke atas pohon ini dan mengawasi bagian dalam bangunan itu
dari atas genting." Tanpa menimbulkan suara Siau In merayap mendekati pohoh tua itu, lalu
memanjatnya perlahan-lahan. Gadis itu tidak' berani melompat langsung ke dahan
dengan ilmu meringankan tubuhnya, karena takut gerakannya justru bisa ditangkap
oleh orang lain. Tapi dengan merayap seperti cecak sambil berlindung di antara
sulur-sulur pohon tua yang memiliki batang sebesar perut gajah itu, tubuh Siau
In justru terlindung serta tidak menarik perhatian.
Sambil terus mengamati keadaan di sekelilingnya Siau In memanjat setapak demi
setapak ke atas. Beberapa kali gadis itu terpaksa berhenti karena beberapa ekor kelelawar
beterbangan di sekelilingnya.
Tampaknya kelelawar-kelelawar itu merasa heran atas kehadiran seorang manusia di
daerahnya. Teeeeng! Teeeeng! Teeeeng! Teeeeng!
Terdengar lagi sayup-sayup suara lonceng dikejauhan memberikan tanda bahwa hari
telah menunjukkan pukul empat pagi. Sambil
menengadahkan kepalanya Siau In buru-buru mengulurkan tangan guna meraih cabang
pohon di atasnya. "Aku harus cepat-cepat berlindung di balik dedaunan, siapa tahu... oooooh!"
Dengan memekik kecil dan wajah pucat pasi Siau In cepat-cepat melepaskan
pegangannya! Matanya 535 nanar ketakutan, menatap seorang wanita muda bak bidadari yang duduk tersenyum
bergantung kaki, persis di atas kepalanya! Benda yang dikira cabang pohbn tadi
ternyata sebuah kaki manusia, yang tak lain adalah kaki perempuan cantik yang
kini duduk di atas cabang pohon itu!
"K-k-kkau... siapa?" dengan suara gugup serta hampir tak terdengar Siau In
bertanya. "Sssssst! Kau duduklah dahulu di dekatku ini!"
perempuan cantik bak bidadari itu berbisik merdu seraya menaruh jarinya yang
lentik di depan bibirnya.
Untuk beberapa saat Siau In berdiam diri, sementara matanya tak lekang dari
wajah yang amat cantik itu. Akhirnya hilang juga rasa kaget, takut dan bimbang
di dalam hati Siau In. Gadis itu segera menyadari bahwa ia benar-benar sedang
berhadapan dengan seorang manusia biasa, bukan dengan hantu atau bidadari.
"Ba-baiklah...!"
Siau In lalu melompat ke cabang yang melintang di depan perempuan cantik itu.
Mereka duduk berhadapan dalam jarak yang dekat, tidak lebih dari satu tombak,
sehingga Siau In dapat dengan jelas memandang wajah lawannya.
Wanita itu memang benar-benar luar biasa cantiknya. Wajahnya bulat telur dengan
bentuk mata, hidung dan bibir yang amat sempurna. Tubuhnya tinggi semampai
dengan kulit yang putih cemerlang seolah-olah bercahaya di dalam gelap.
Rambutnya 536 yang hitam panjang itu disanggul seperti puteri istana, sementara tubuhnya yang
lentur seperti pohon yang-liu itu terbungkus mantel hitam yang panjang sampai di
mata kakinya. Siau In menduga perempuan itu berusia di atas dua puluh atau dua
puluh satu tahun. "Adik manis, kulihat sejak tadi kau berlari-lari, kemudian mengendap-endap
seperti ada sesuatu yang kau kejar dan kau cari. Eeeem, bolehkah aku tahu siapa
yang kau cari?" perempuan cantik itu memecah kebisuan dengan suara yang lirih
namun sangat jelas diterima oleh telinga Siau In.
Siau In tidak segera menjawab, ia masih tetap bercuriga terhadap perempuan
cantik yang baru . saja ditemuinya itu. Bahkan ada terlintas di dalam pikiran
Siau In, jangan-jangan perempuan bongkok tadi adalah samaran dari perempuan
cantik bak bidadari ini. Tampaknya perempuan cantik itu merasa pula kalau Siau In mencurigainya. Namun
demikian ia tak menjadi marah atau berkecil hati karenanya, bahkan ia seperti
bisa memakluminya. Pertemuan mereka itu memang sangat mengejutkan, aneh dan
terasa kurang wajar! "Maaf. Adik manis. Aku bukan orang jahat, kau tidak perlu khawatir. Namaku ...
Giok Hong, Souw Giok Hong!" dengan suara sabar dan lembut perempuan cantik itu
mencoba meyakinkan Siau In.
Siau In menghela napas panjang. Ucapan yang halus bernada jujur yang keluar dari
bibir perempuan 537 itu mulai menyentuh hatinya. Kecurigaannya menurun, walaupun ia masih tetap
teringat akan pesan suhunya, agar ia selalu berhati-hati terhadap orang asing.
"Aku... aku, ah, aku bernama Siau In. Tio Siau In...." akhirnya meluncur juga
jawaban dari mulut Siau In.
"Mmmm...." bibir perempuan cantik bernama Souw Giok Hong itu tersenyum lega.
"Lalu... apa yang sedang kaucari di tempat seperti ini, In-moi?"
Siau In menatap Souw Giok Hong sekejap.
Perempuan cantik yang baru saja dikenalnya itu memanggilnya adik, seakan akan
mereka telah menjadi sahabat akrab, sehingga Siau In semakin merasa tidak enak
untuk bercuriga terus menerus.
"Aku, aku... sebenarnya tidak mencari siapa-siapa.
Aku... aku tersesat. Cuma, ketika aku memasuki makam kuno ini, aku seperti
melihat berkelebatnya sebuah bayangan di bangunan itu sehingga aku ingin
melihatnya. Emmmm, apakah Cici juga melihatnya?"
Souw Giok Hong memandang bangunan yang ditunjuk oleh Siau In. Dahinya berkerut,
lalu mengangguk perlahan. Meskipun demikian ia tak segera menjawab. Lebih dulu
dia mengawasi Siau ln. "Ya, aku memang melihatnya. Bahkan aku sudah bersiap untuk mengejar bayangan
itu, tapi... niat itu segera kuurungkan karena aku melihat kedatanganmu.
Eh, In-moi... apakah kau penduduk Lim-kang-cung itu?"
538 Siau In menggeleng. "Cici maksudkan ... dusun di pinggir sungai itu?" ujarnya
menegaskan. Sikap Siau In sudah mulai longgar.
Souw Giok Hong mengangguk, kemudian
berpaling mengawasi langit yang mulai semburat kemerah-merahan. Fajar mulai
menyingsing dan sebentar lagi matahari akan muncul dari peraduannya.
"Pagi telah tiba. In-moi, aku pergi dulu. Lain kali kita berjumpa lagi..." tiba-
tiba Souw Giok Hong berdesah, lalu tubuhnya yang terbungkus mantel hitam itu
melayang ke bawah dan sekejap saja telah hilang di balik semak-semak belukar.
"Cici, tunggu...!" Siau ln berseru kaget.
Tapi perempuan cantik bak bidadari itu benar-benar telah pergi. Bayangannya
seperti terhisap oleh kabut pagi yang mengepul menyelumuti kuburan kuno itu.
Siau In tertegun di tempatnya. Wajahnya sedikit pucat, dan diam-diam bulu
romanya meremang. Perempuan cantik yang mengaku bernama Souw Giok Hong itu datang dan pergi
bagaikan hantu malam. Sama sekali tak terlihat atau terdengar gerakan tubuhnya. Tahu-tahu seperti
muncul atau menghilang begitu saja, dan yang kini tertinggal hanyalah baunya
yang harum semerbak tertiup angin.
Siau In bergegas turun dari pohon itu. Sebentar ia menoleh ke arah bangunan kuno
di mana bayangan perempuan bongkok tadi malam menghilang.
Dadanya berdebar-debar kembali, timbul 539
keinginannya untuk melihat tempat tersebut, mumpung hari telah terang tanah.
Setelah menarik napas panjang beberapa kali untuk menguatkan hatinya Siau In
melangkahkan kakinya ke bangunan kuno itu. Setiap langkah rasanya seperti
menginjak lumpur liat yang kental, sehingga langkahnya terasa berat dan agak
tertahan-tahan. Apalagi ketika sepatunya telah menginjak lantai pendapa yang berlumut tebal itu,
Siau In seperti hendak mengurungkan niatnya saja.
Bangunan itu memang benar-benar menyeramkan.
Lantai dan temboknya yang telah pecah-pecah atau retak-retak itu banyak
ditumbuhi alang-alang, rumput atau tetumbuhan perdu lainnya. Sementara genting
dan susunan kayu penyangga atapnya juga sudah banyak yang kropos dan runtuh ke
bawah, sehingga atap gedung itu tampak bolong di sana-sini. Ruang dalamnya yang
terlihat dari luar karena pintunya telah hilang itu kelihatan pengab, kotor dan
menyeramkan pula. Rasanya sudah bertahun-tahun, bahkan mungkin sudah berpuluh
tahun ruangan dalam itu tak diinjak manusia. Keadaannya benar-benar porak-
poranda. Tiba-tiba Tio Siau In terpekik kecil karena dua ekor ular mendadak melintas di
dekat kakinya. Kedua ekor binatang menjijikkan itu saling berlumba untuk
menangkap anak tikus yang lari ketakutan. Anak tikus itu melesat ke ruang dalam,
diikuti oleh dua ekor ular pengejarnya. Mereka segera hilang di balik 540
bongkahan-bongkahan batu bekas patung yang berserakan di dalam ruangan itu.
Tio Siau In menghela napas sambil mengusap dadanya yang berdebar-debar. "Sialan!
Mengagetkan orang saja!" sungutnya perlahan.
Akibatnya Tio Siau In mengurungkan niatnya memasuki pintu yang terbuka itu. Dia
tak mau bertemu dengan ular-ular yang menjijikkan tadi.
Langkahnya berbelok ke kanan, keluar dari pintu samping, lalu berjalan mengitari
bangunan itu ke arah belakang. Tio Siau In ingin masuk ke dalam gedung itu dari
pintu belakang. Sementara itu matahari benar-benar telah muncul di ufuk timur. Sinarnya yang
terang keemasan itu segera mengusir sisa-sisa kegelapan yang masih bercokol di
kuburan kuno itu. Tio Ciu In menjadi lega. Semangat keberaniannya seperti pulih
kembali. Bagian depan dan belakang ternyata sama saja.
Sama-sama rusaknya. Bahkan ruangan-ruangan yang ada di belakang hampir dipenuhi
dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang menjalar ke mana-mana. Tio Siau In enggan
masuk, takut ada ularnya lagi. Dia hanya menjulurkan kepalanya saja melalui
lubang jendela. "Iiiih...! Tak ada tempat sedikitpun yang bersih dan lapang untuk lewat.
Bagaimana mungkin perempuan bongkok itu dapat masuk ke sini?" gadis itu
berdesah. Tio Siau In lalu mengelilingi bangunan itu.
Dicarinya tempat yang kira-kira memungkinkan untuk 541
masuk. Namun usahanya sia-sia, semua tempat juga penuh dengan onak dan duri.
Malahan dinding gedung yang sebelah kanan hampir runtuh karena terbelah oleh
pohon yang tumbuh melekat di dindingnya.
Begitu besarnya pohon tersebut sehingga salah sebuah dahannya yang rimbun itu
telah mengangkat sebagian dari atap gedung itu.
"Ah, sudahlah! Lebih baik aku kembali ke pantai saja, atau... wah, perutku
lapar!" mendadak gadis itu berseru perlahan ketika tiba-tiba dari balik alang-
alang di depannya muncul tiga ekor kelinci yang gemuk-gemuk.
Tanpa membuang waktu lagi Tio Siau In mengejar kelinci-kelinci itu. Tapi
tampaknya binatang berbulu tebal itu sudah bercuriga sejak semula, sebab begitu
Tio Siau In bergerak maka mereka pun segera menghilang ke dalam semak-semak.
Akan tetapi Tio Siau In juga tidak ingin kehilangan calon sarapan paginya. Semak
itu segera diaduknya, sehingga kelinci itu terpaksa lari ketakutan.
Huup! Salah seekor di antaranya cepat disambar oleh Tio Siau In. Kena.
Namun dua ekor lainnya keburu menghindar dan menyusup ke semak-semak yang lain.
Tio Siau In tidak berusaha mengejar mereka lagi.
Seekor sudah cukup baginya. Demikianlah, tanpa membuang-buang waktu lagi ia
menguliti buruannya. Sama sekali dia tak peduli bahwa dirinya masih berada di kuburan. Panas matahari
yang semakin terik 542 itu membuatnya tidak takut akan segala macam hantu, termasuk pula hantu
perempuan bongkok itu. Yang penting baginya adalah mengisi perutnya yang lapar.
Sebentar saja bau sedap daging kelinci bakar memenuhi tempat itu. Dan Tio Siau
In dengan gayanya yang bebas dan sedikit urakan menyantap daging yang telah
matang. Sambil berdiri menopangkan sebelah kakinya di atas batu nisan (bong-
pai), gadis itu berkacak pinggang seraya mengunyah makanannya. Sama sekali ia
tak berusaha menutupi decak mulutnya yang penuh daging itu.
Tanpa kehadiran sang kakak di sampingnya, Tio Siau In memang merasa bebas dan
merdeka. Segala tingkah lakunya tiada yang mencela atau memarahinya. Wataknya
memang bebas terbuka dan tidak pedulian. Bahkan cenderung untuk bersikap
seenaknya sendiri. Sepotong demi sepotong daging kelinci itu amblas ke dalam perutnya. Namun
demikian ketika daging itu telah habis, perutnya masih terasa kurang.
"Memalukan benar! Masakan sudah menghabiskan seekor kelinci perut ini masih
belum kenyang juga" Wah, kalau cici ada... tentu sudah marah-marah kepadaku." gumamnya sambil
mengendorkan tali celananya.
Karena masih merasa lapar Tio Siau In mulai mengincar dua ekor kelinci tadi.
Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati semak-semak di mana kedua kelinci tadi
bersembunyi. Dan gerumbul perdu yang 543
menutupi gundukan tanah sebuah makam itu disingkapnya hati-hati. Lalu dengan
merangkak ia menyusup di bawah dedaunan yang rimbun itu untuk mencari
buruannya. Diam-diam Tio Siau In tersenyum geli sendiri. Semak itu ternyata hanya rimbun di bagian atas saja, karena di bagian bawah amat longgar, mengingatkan dia pada ayam-ayam piaraannya yang suka bersembunyi dan bertelur di semak-semak seperti itu. "Tampaknya aku juga seperti ayam-ayamku itu.
Sehabis makan kenyang, lalu mencari tempat tersembunyi untuk... bertelur!
Hehehe, rasanya aku juga ingin ... buang air besar! Heeei" Apa itu?"
Mata Tio Siau In terbelalak. Di depannya tampak sebuah lubang persegi setinggi
satu meter, menembus ke dalam tanah. Di dalam bayang-bayang rimbunnya 544
daun, lubang itu menganga bagaikan mulut raksasa yang hendak mencaplok dirinya.
Tio Siau In segera bisa menduga bahwa lubang itu merupakan pintu masuk ke dalam
kuburan di bawahnya. Zaman dahulu, terutama orang-orang kaya, memang sering
membuatkan kamar-kamar atau ruangan-ruangan yang lengkap dengan segala
perabotnya di dalam makam sanak familinya.
Ruangan-ruangan itu bisa dibuatkan di dalam tanah, di bawah gundukan makamnya,
atau bisa juga dibangun di atas kuburan itu, berwujud seperti pondok atau rumah
biasa. Perlahan-lahan Tio Siau In mundur kembali. Entah mengapa bulu romanya terasa
meremang membayangkan apa yang ada di dalam lubang kuburan itu. Namun baru saja dia
beringsut beberapa langkah, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah banyak
orang mendatangi tempat itu.
Terpaksa dia merangkak ke tempat semula, bahkan lebih dekat lagi dengan pintu
makam yang menganga itu. Hati-hati ia mengintip dari balik rimbunnya daun.
"Nah... inilah dia, Tuan! Dia benar-benar bersembunyi di sini! Baru saja dia
membakar daging di tempat ini! Dia tentu melihat kedatangan kita...!"
Tio Siau In beringsut semakin dalam, dan tanpa ia sadari ia telah bersandar di
bibir pintu makam itu. Dari tempatnya itu ia masih bisa melihat orang-orang yang baru saja datang.
Mereka terdiri dari tujuh orang 545
lelaki, di mana empat orang di antaranya ternyata telah pernah dilihat olehnya.
"Ah, mereka orang-orang kampung yang mengadakan upacara di atas tebing itu.
Hanya tiga orang aneh berpakaian putih-putih itu saja yang belum pernah kulihat.
Siapakah mereka?" Tio Siau In berkata di dalam hatinya.
Tiga lelaki yang dimaksudkan oleh Tio Siau In itu memang berpenampilan aneh dan
agak menyeramkan. Selain pakaian berwarna putih yang mereka kenakan itu dibuat dari kain kasar
yang biasa digunakan untuk membungkus mayat, rambut mereka yang panjang itu juga
mereka biarkan terurai lepas pula. Usia mereka rata-rata belum mencapai empat
puluh tahun, namun karena wajah mereka sangat pucat dan kurus seperti orang yang
sedang menderita penyakit berat, maka mereka kelihatan lebih tua.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi yang paling membuat seram di hati Tio Siau In adalah pancaran sinar mata
mereka. Mata yang cekung dan menjorok ke dalam itu bersinar dingin menyeramkan,
seperti mata hantu di kegelapan malam.
"Kalian cepatlah menyingkir! Aku masih membaui kehadirannya di tempat ini ...
tiba-tiba salah seorang dari lelaki menyeramkan itu menggeram dengan suaranya
yang serak. "Tapi... tapi kuharap Tuan berhati-hati menghadapinya. Hantu Bongkok itu masih
membawa teman kami...."
546 Lelaki menyeramkan itu mendengus dingin, lalu berpaling ke arah teman-temannya.
"Sute, bersiaplah! Tampaknya kali ini kita benar-benar beruntung bisa menemukan persembunyian budak
perempuan dan pengasuhnya itu!" katanya serak penuh harap.
"Baik, Suheng! Kita harus bisa menangkap dia dan mengambil kembali pusaka yang
dicurinya!" Sementara itu Tio Siau In menjadi bingung di tempat persembunyiannya. Dia tak
tahu apa yang harus ia lakukan. Dia tak mengenal mereka dan tak tahu siapa
mereka pula. Tapi kalau mereka bertiga benar-benar mengobrak-abrik tempat itu
untuk menemukan perempuan bongkok, otomatis mereka akan menemukan dirinya juga.
"Daripada mereka menemukan aku bersembunyi di sini, lebih baik aku mendahului
keluar menemui mereka." katanya di dalam hati.
Tio Siau In lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Kemudian diperiksanya kedua pedang pendek yang terikat di dalam lengan bajunya.
Akan tetapi ketika dia hendak bangkit dari tempatnya, tiba-tiba sebuah totokan
membuatnya lemas tak berdaya.
Tio Siau In ingin berteriak, tapi mulutnya tak kuasa mengeluarkan suara. Ia
hanya mampu terbelalak mengawasi seorang wanita tua yang menyeretnya ke dalam
lubang makam itu. Entah mengapa, mendadak saja hatinya menjadi ketakutan
setengah mati. Ia 547 seperti sedang dijemput oleh Giam-lo-ong untuk dibawa ke Akherat.
Semuanya gelap gulita dan Tio Siau In merasakan seperti diseret melalui lorong-
lorong yang berliku-liku. Kadang-kadang seperti melalui sebuah pintu dan
memasuki sebuah ruangan, tapi kadang-kadang juga seperti menaiki atau menuruni
sebuah tangga pula. Lama sekali rasanya Tio Siau In diperlakukan seperti itu. Dibawa setengah
diseret, berputar-putar naik turun tangga, tanpa sedikit pun wanita tua itu
berbicara kepadanya. Wanita itu berjalan dengan langkah cepat seolah-olah dia
bisa melihat di tempat gelap. Akh! Tio Siau In baru menyadari keanehan itu!
Dia yang masih muda saja sama sekali tak bisa mempergunakan matanya untuk
menembus kegelapan itu, tapi mengapa wanita tua itu malah bisa berjalan dengan
lancar seperti di tempat terang saja"
Keringat dingin membanjir membasahi tubuh Siau In. Bagaimana kalau wanita tua
itu mendadak meninggalkannya di tempat itu" Bagaimana ia bisa keluar nanti" Dan
bagaimana kalau ia ditinggalkan di antara mayat-mayat atau tulang-belulang yang
tentu banyak terdapat di dalam makam itu"
Brug! Tiba-tiba Tio Siau In merasa tubuhnya diletakkan dengan kasar di atas
lantai yang dingin. Lalu terdengar suara langkah wanita itu meninggalkannya.
Tio Siau In mau berteriak sekeras-kerasnya, tapi suaranya tetap tak bisa keluar!
Otot gagunya masih 548 terkunci oleh totokan wanita itu. Lalu dicobanya untuk membebaskan totokan yang
membelenggu kaki dan tangannya. Tak berhasil juga. Rasa takut mulai merayapi
hatinya. Apalagi ketika hidungnya menangkap bau busuk di sekitarnya. Bayangan
mayat yang menakutkan itu seolah-olah telah menjadi kenyataan.
Hampir saja Tio Siau In menangis ketika mendadak ada seberkas cahaya memasuki
tempat itu. Dan semakin lama cahaya itu semakin banyak sehingga tempat tersebut
menjadi semakin terang pula. Namun berbareng dengan itu terdengar juga suara
langkah kaki mendatangi. Wanita tua itu ternyata telah datang kembali ke tempat
itu sambil membawa obor besar di tangannya.
"Oooouuh!" Tio Siau In menjerit kecil ketika wanita itu membebaskan totokannya.
"Berdirilah!" wanita tua itu memerintah dengan suaranya yang berat mengerikan.
"Kkkau... siapa?" Tio Siau In berdesah ketakutan.
Wajah yang menyerupai mayat hidup itu menyeringai. "Diam... kau!" hardiknya.
Wanita itu lalu meletakkan obornya di pojok ruangan. Sekali lagi matanya yang
cekung itu berkilat ke arah Tio Siau In.
"Kau tunggu sebentar di sini dan jangan pergi ke mana-mana!"
549 Selesai berbicara wanita itu tiba-tiba menghilang.
Tubuhnya yang bongkok itu seperti tertelan oleh kepulan asap obor.
Tio Siau In menggigil ketakutan. Meskipun demikian kakinya bergegas melangkah
mengitari ruangan itu untuk mencari pintu keluar. Tapi usahanya sia-sia. Ruangan
itu sama sekali tak berpintu. Keempat dindingnya tertutup rapat. Bahkan Tio Siau
In juga tidak melihat sebuah lubang anginpun di sana.
"Lalu... dari mana wanita itu bisa keluar masuk ruangan ini?" Tio Siau In ber
desah ngeri. Obor yang berada di pojok ruangan itu diambilnya, kemudian dicobanya kembali
mencari jalan keluar. Di pojok yang lain ia melihat lima buah peti mati yang
telah terbuka tutupnya. Dilihatnya mayat yang ada di dalamnya tinggal tulang-
tulangnya saja. "Ooooh... bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini" Apakah aku harus mati sia-
sia di dalam lubang kuburan yang gelap dan mengerikan ini?"
Gadis itu lalu menjatuhkan dirinya di atas lantai.
Seluruh tubuhnya merasa lemah lunglai. Serasa hilang semua harapan dan kini
tinggal menanti maut yang akan menjemputnya. Tak terasa air matanya mengalir.
Timbul rasa sesal di hatinya. Ternyata dia terlalu menuruti kemauannya sendiri.
Coba kalau kemarin dia tidak ngambeg dan pergi meninggalkan kakaknya, dia tentu
tidak akan mengalami kejadian seperti ini.
"Cici...!?" ratapnya sedih.
550 -- o0d-w0o -- TERNYATA di kota Hang-ciu, Tio Ciu In sendiri juga tidak kalah sedihnya. Sejak
Siau In pergi, gadis ayu itu sama sekali tidak bisa memicingkan matanya.
Bagaimanapun juga dia merasa bersalah atas kepergian adiknya. Dan dia harus
mempertanggungjawabkan hal itu di depan gurunya.
Demikianlah, ketika akhirnya korban kebiadaban orang-orang Hun itu dibawa ke
kota, maka suasana di kota pun lalu berubah menjadi gempar. Korban yang
berjumlah lebih dari empat puluh jiwa itu disemayamkan berjajar di pendapa
Kabupaten. Semua orang menjadi sibuk. Bupati, sebagai penguasa tertinggi di kota itu segera
mengumpulkan pembantunya. Mereka segera berembug dengan para petugas keamanan
daerah, serta para utusan dari kota raja yang kebetulan belum meninggalkan kota
itu! Mereka benar-benar menjadi penasaran atas kejadian itu.
Memang semua orang sangat penasaran. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya yang
telah terjadi di pantai malam itu"
Dan mereka juga ingin tahu pula, siapakah orangnya yang begitu berani membantai
para perwira dan prajurit itu"
Ternyata Liu Wan juga merasa penasaran pula.
Pemuda itu akhirnya juga membatalkan niatnya untuk meninggalkan kota itu. Pemuda
yang setiap harinya 551 selalu menyamar sebagai Tabib Ciok itu juga ingin memastikan, apakah pembantaian
itu juga dilakukan oleh Mo Goat seperti yang dikatakan Jeng-bin Lo-kai"
"Penjahat biasa memang tidak mungkin berani membasmi kelompok prajurit dan
perwira kerajaan! Dendam pribadi juga tidak mungkin sampai membantai pemenang sayembara sebanyak
itu! Satu-satunya kemungkinan memang hanya... gerombolan Mo Tan! Jadi
kelihatannya memang benar dugaanku selama ini! Sogudai, yang selalu berkeliaran
di daerah Tiong-goan itu, memang merupakan sebagian dan orang-orang Hun yang
disebar oleh Mo Tan! Dan kemungkinan besar Mo Goat adalah atasan Sogudai, atau
sebaliknya! Yah, benar... memang tak pelak lagi!" pemuda itu mencoba merangkai
semua penyelidikannya selama ini.
Keesokan harinya seorang pelayan mengetuk pintu kamar Liu Wan. Pelayan itu
melapor bahwa ada dua orang tamu mencari Liu Wan. Ketika Liu Wan keluar,
ternyata tamu itu adalah Ku Jing San dan Song Li Cu, saudara seperguruan Kwe Sun
Tek. "Oh, Saudara Ku dan Nona Song! Marilah, silakan duduk!"
Tapi Ku Jing San cepat menggoyangkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
tetap memegang tongkat penyangga tubuhnya.
"Tak usah, Saudara Liu. Kami hanya singgah sebentar saja. Kami hanya ingin
menanyakan khabar Twa-suheng. Kemarin Twa-suheng bersama Saudara 552
Liu pergi menemani Nona Tio ke perkampungan Hek-to-pai. Tapi kami lihat Twa-
suheng tidak kembali bersama-sama Saudara Liu. Lalu... ke mana Twa-suheng kami?"
"Aduh, maaf...! Ketika kemarin kami pergi ke markas Tiat-tung Kai-pang, kami
melihat Saudara Ku dan Nona Song sehingga kami lupa mengatakan hal itu kepada
Jeng-bin Lo-kai," "Lalu... di manakah Kwe Suheng sebenarnya?"
Song Li Cu menyela dengan suara kurang senang.
Tio Ciu In yang kamarnya tidak terlalu jauh dari kamar Liu Wan, bergegas keluar
mendengar ribut-ribut itu. Dengan senyum ramah dia menyapa murid-murid keluarga
Kwe tersebut. "Ah, ternyata Saudara Ku dan Nona Song. Ada apa..." Ada sesuatu yang bisa kami
bantu?" "Saudara Ku dan Nona Song ke sini untuk bertanya tentang Saudara Kwe...." Liu
Wan menyahut. Lalu pemuda itu bercerita tentang munculnya tokoh Pondok Pelangi
yang mengajak Kwe Sun Tek ke Pulau Meng-to.
"Pondok Pelangi?" Ku Jing San dan Song Li Cu mengerutkan kening. Mereka belum
pernah mendengar nama itu.
"Ya, katanya tokoh itu ingin bertemu Keh-sim Taihiap."
"Ingin bertemu dengan Suhu" Ada maksud apa mereka" Ah, Saudara Liu... Nona Tio
kalau begitu kami mohon diri saja. Kami akan pulang juga ke 553
Pulau Meng-to. Kami ingin tahu, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh orang dan
Pondok Pelangi itu. Ayoh, Sumoi... kita berangkat!" Ku Jing San berseru dan menarik lengan Song Li
Cu. Liu Wan dan Song Li Cu mengantar mereka sampai ke pintu depan.
"Nah, bagaimana kalau kita mencoba berkeliling kota kembali" Siapa tahu Adikmu
sudah datang" Dia tidak akan bisa menemukan kita kalau kita hanya berdiam diri
di sini." Liu Wan berkata setelah tamu mereka pergi.
Tio Ciu In cepat menganggukkan kepalanya.
"Ayoh!" sahutnya bersemangat.
"Tapi... aku akan mengenakan pakaian Tabib Ciok dulu! Tunggulah!"
"Eh, kenapa Twako menyamar lagi" Bukankah musuh Twako yang bernama Sogudai itu
sudah pergi meninggalkan kota ini?"
Liu Wan yersenyum sambil mengepalkan
tangannya. "Aku tetap akan memburu orang itu sampai ketemu...!" ucapnya tegas.
Demikianlah pagi itu mereka berkeliling kota kembali untuk mencari Siu In. Tapi
dari pagi hingga matahari berada di atas kepala, gadis bengal itu tetap tak
dapat mereka temukan. Sama sekali tidak ada petunjuk tentang Siau In. Liu Wan
yang diam-diam juga mencari berita tentang Sogudai dan rombongan Mo Goat, juga
tidak memperoleh khabar apa-apa.
Sebaliknya, secara tak terduga Ciu In justru 554
menemukan isyarat atau tanda yang diberikan oleh gurunya.
"Twako... eh, Tabib Ciok! Guruku sudah tiba di kota ini. Lihatlah pit berwarna
merah di atas bubungan rumah itu! Suhu pernah berpesan, bahwa dia akan
meletakkan sebuah pit merah di atas bangunan yang paling tinggi di kota ini
kalau datang." Tiba-tiba perasaan Liu Wan menjadi berdebar-debar. "Kalau begitu, di mana dia
sekarang?" "Entahlah! Tentunya pit itu ditaruh di sana sejak tadi malam. Tidak mungkin Suhu
menaruhnya pagi ini. Tempat ini sangat ramai. Sekarang Suhu tentu sudah berada
di salah satu penginapan di kota ini.
Twako, marilah kita mencarinya...."
Mereka lalu berkeliling kota kembali. Selain mencari Siau In, mereka juga
mencari Giam Pit Seng. Tapi nasib mujur memang belum berada di tangan mereka. Sampai matahari mulai
bergulir dari puncaknya, mereka belum bisa menemukan orang yang mereka cari.
Tapi sekali ini jerih payah Liu Wan benar-benar mendapat imbalan. Sekilas pemuda
itu melihat bayangan Mo Goat dan kawan-kawannya di depan kabupaten. Tapi karena
tidak ingin meresahkan hati Ciu In, pemuda itu tidak mengatakan apa-apa.
Di pinggiran kota mereka beristirahat dan berteduh di bawah pohon. Dengan
perasaan kesal dan kecewa Ciu In menyeka keringatnya.
"Twako... ke mana kita harus mencari lagi?"
555 Liu Wan menatap wajah Ciu In. Gadis itu benar-benar kelihatan kesal dan kecewa
sekali. "Wah, kau panggil aku... Twako lagi! Bagaimana kau ini" Bukankah kini aku sedang
menyamar sebagai Tabib Ciok" Celaka! Bagaimana kalau di depan Gurumu nanti kau
tetap memanggil aku Twako" Bisa berantakan penyamaranku!" Pemuda itu mencoba
mengalihkan perhatian. Tio Ciu In pura-pura cemberut dengan mencibirkan bibirnya yang tipis.
"Baiklah... baiklah! Aku berjanji takkan menyebutmu Twako lagi, dah!"
Liu Wan tersenyum, meskipun senyum nya nyaris tertutup oleh kumis dan jenggot
panjang Tabib Ciok. "Bagus! Begitu baru cocok! Nah, begini... mungkin Gurumu tidak tidur di
penginapan. Mungkin dia bermalam di rumah kawan atau keluarganya. Kau tahu,
siapa sahabat atau keluarganya di kota ini?"
Tio Ciu In mengangkat wajahnya. Dahinya berkerut. Dicobanya mengingat, kalau-
kalau gurunya pernah bercerita tentang sahabat atau familinya di daerah itu.
"Tapi Guru... Guruku tak pernah bercerita tentang keluarga atau sahabatnya yang
tinggal di kota ini. Entahlah...." akhirnya gadis itu menjawab ragu.
"Baiklah. Kalau begitu kita pergi saja ke markas Tiat-tung Kai-pang sekarang.
Siapa tahu mereka memperoleh berita tentang Adikmu atau... Gurumu"
Biasanya kaum persilatan lebih cepat memperoleh khabar daripada orang awam."
556 "Kau benar! Mengapa tidak terpikirkan oleh kita sejak tadi?" Tio Ciu In bersorak
gembira. Liu Wan tersenyum kembali. "Yah, pikiran itu juga baru saja timbul dalam
pikiranku. Tapi sebaiknya...
kita mencari rumah makan dulu untuk mengisi perut.
Jadi ada alasan buat kita nanti untuk menolak jamuan makan para pengemis itu.
Bagaimana" Atau... kau memang berminat untuk mencicipi masakan mereka?"
Terbayang di dalam pikiran Tio Ciu In sebuah bumbung bambu milik Jeng- bin Lo-
kai. Bumbung itu digunakan untuk minum secara bergantian. Dan mereka tidak
pernah mencucinya lebih dulu.
"Ih, tidak mau! Lebih baik berpuasa daripada harus makan bersama mereka."
Demikianlah, mereka lalu mencari rumah makam yang terdekat. Mereka memilih
tempat yang baik dan bisa leluasa melihat ke jalan raya.
"Aku akan tinggal beberapa hari lagi. Aku ingin mengetahui lebih jelas tentang
pembantaian para perwira dan perajurit kerajaan itu." Liu Wan berkata setelah
memesan makanan kepada pelayan.
"Betul..." Wah!" Tio Ciu In hampir bersorak, tapi segera terdiam pula. Wajahnya
tiba-tiba menjadi merah. Namun Liu Wan pura-pura tak melihatnya. Pemuda itu justru melayangkan
pandangannya keluar pintu, ke arah anak-anak gelandangan yang bergerombol di
pinggir jalan. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Mo Goat dan kawan-
kawannya. Gadis yang 557 ia curigai sebagai pelaku pembantaian para perajurit itu ternyata masih
berkeliaran di dalam kota.
Tiba-tiba perasaan Liu Wan menjadi kecut.
Wajahnya berubah. Sebuah dugaan buruk melintas di benaknya. "Jangan-jangan pihak
yang berwenang memang belum mencium gerakan orang-orang Hun ini." katanya di
dalam hati. "Twako! Kau... kau kena apa" Mengapa tiba-tiba wajahmu menjadi pucat?" Tio Ciu
In menjerit kaget. Liu Wan tersadar kembali. "Ah, maaf. Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku hanya
bercuriga terhadap seseorang." katanya sambil tersenyum untuk menghibur hati Ciu
In. Matanya yang tajam itu menatap keluar, memperhatikan sebuah kereta yang
mendadak berhenti di seberang jalan.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang lelaki jangkung kurus, dengan kulit putih pucat seperti penderita
penyakit berat, keluar dari dalam kereta. Orang itu menyeberang jalan dan
melangkah menuju ke restoran. Kusirnya yang sudah tua mengikuti di belakangnya.
Orang itu mengenakan kain katun kasar, berwarna putih, seperti pakaian yang
dikenakan oleh orang-orang yang sedang kesusahan.
Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai menutupi pundaknya.
Anak-anak gelandangan yang berkumpul di depan restoran itu berlarian
menyongsongnya. Mereka berlumba mengacungkan tangan sambil memohon belas
kasihan. 558 "Kasihanilah kami, Tuan. Sejak kemarin sore kami belum makan." seperti penyanyi
opera mereka meratap bersama-sama.
Lelaki berambut panjang itu berhenti dan menengadahkan kepalanya. Angin ber tiup
keras menyibakkan rambut yang terjurai di depan keningnya. Wajah yang tertutup
jenggot dan kumis itu tertimpa sinar matahari.
"Ah...! Hampir saja aku mengira Lo-cianpwe buta itu yang datang." Liu Wan
berdesah perlahan. "Siapa...?"" Tio Ciu In menoleh dengan kening berkerut.
Liu Wan menunjuk keluar, ke arah tamu yang baru saja datang.
"Oooh..."!?" Ciu In terpekik perlahan. Penampilan orang itu memang hampir sama
dengan Si Pendekar Buta. Bahkan lebih menyeramkan.
Di depan pintu restoran orang itu merogoh saku jubahnya, lalu memberikan
beberapa keping uang tembaga kepada anak-anak itu. Tentu saja anak-anak itu
menjadi gembira bukan main. Sambil mengucapkan terima kasih mereka berlarian ke
jalan raya. "Pai-cu...?"?" Kusir itu berseru kaget. Matanya mengawasi bocah-bocah terlantar
itu. Liu Wan yang sedang menyamar sebagai Tabib Ciok itu tiba-tiba bangkit dari
kursinya. Hatinya berdebar-debar. Ada sesuatu yang mengerikan pada orang itu,
tapi ia tidak bisa mengatakan sebabnya.
559 "Twako ada apa lagi" Kau membuatku takut saja!"
Ciu In berseru kesal. Liu Wan cepat menggelengkan kepalanya. Perlahan ia duduk lagi di atas kursinya.
"Entahlah! Aku... aku tidak tahu." gumamnya kurang jelas sehingga Ciu In menjadi
semakin kesal pula. Sementara itu pelayan telah meletakkan makanan dan minuman di atas meja. Dan
begitu menyaksikan makanan yang tersedia, Ciu In segera melupakan sikap Liu Wan
yang menjengkelkan. Dengan penuh semangat dia mengajak Liu Wan menyantapnya.
"Tabib Ciok, ayolah...!"
Akhirnya Liu Wan terseret pula oleh kegembiraan Tio Ciu In. Dibuangnya pikiran
buruk yang sedang menghantui pikirannya. Kemudian dipandangnya wajah ayu itu
seolah-olah meminta maaf. Mereka lalu menyantap makanan itu dengan lahap.
Selesai makan mereka langsung keluar pula tanpa menghiraukan tamu lainnya.
Ketika melewati jalan setapak di pinggiran kota mereka dihentikan oleh seorang
pengemis berwajah bersih. Terlalu bersih untuk ukuran pengemis. Bahkan berkesan
agak genit dengan dandanan rambutnya.
Usianya sekitar tiga puluhan tahun lebih sedikit.
Pakaiannya benar-benar bersih dan rapi, meskipun di bagian dada ditempelkan tiga
lembar kain tambalan. Dan jumlah tambalan itu merupakan pertanda dari tingkat kedudukannya di dalam
perkumpulan. 560 "Apakah Saudara anggota Tiat-tung Kai-pang?" Liu Wan menyapa pengemis itu dengan
ramah. Orang itu tidak segera menjawab. Matanya memandang Liu Wan dan Tio Ciu In
berganti-ganti. Dan mata itu akhirnya berhenti pada wajah Tio Ciu In.
"Apakah Nona murid pendekar Giam Pit Seng dari Aliran Im-yang-kau?" pengemis itu
tiba-tiba bertanya kepada Tio Ciu In.
Sambil melirik ke arah Liu Wan, Tio Ciu In mengangguk. Dia tak tahu arah
pembicaraan pengemis itu.
"Maaf. Bolehkah aku melihat sepasang pedang pendek Nona?" Pengemis itu tetap
bercuriga. Tio Ciu In mengerutkan dahinya. Ia merasa kurang senang dengan sikap itu. Tapi
Liu Wan cepat menggamit lengannya. "Tidak apa. Perlihatkan saja kepadanya!"
bisiknya perlahan. Dengan agak segan Tio Ciu In mengeluarkan pedang pendeknya. Senjata itu
dipegangnya erat-erat. Mendadak pengemis tua itu memberi hormat.
"Maaf, Nona Tio. Aku memang mendapat perintah untuk menjemputmu. Pendekar Giam
Pit Seng kini berada di markas kami. Beliau telah menunggu Nona sejak tadi
pagi." "Oh, Suhu benar-benar berada di markas Tiat-tung Kai-pang?" Tio Ciu In bersorak
lega. 561 "Benar, Nona. Dan... maafkanlah kelakuanku tadi.
Aku belum mengenal Nona, karena aku tak berada di markas ketika Nona mengunjungi
kami." "Tapi... Paman sudah mengenal Tabib Ciok ini, bukan?" Tio Ciu In ingin tahu,
apakah pengemis itu mengenali penyamaran Liu Wan.
"Mengenal secara pribadi... memang belum. Tapi semua anggota Tiat-tung Kai-pang
tentu sudah mendengar nama dan melihat Tabib Ciok." pengemis itu menjawab tegas.
Liu Wan menghela napas lega. Ternyata penyamarannya masih tetap baik.
"Terima kasih. Kalau begitu kami juga ingin tahu nama besar Saudara.
Bolehkah...?" Liu Wan menjura.
"Namaku Ho Bing! Tapi kawan-kawan biasa memanggilku Si Tongkat Bocor! Dan aku
berada dibawah pimpinan Jeng-bin Lo-kai!" Pengemis itu menjawab dengan cepat.
"Tongkat Bocor...?" Tio Ciu In bergumam, namun tak berani bertanya lebih lanjut.
Mereka bertiga lalu menyusuri jalan yang berdebu.
Tapi belum ada seratus langkah, mereka mendengar siulan dari belakang. Otomatis
ketiganya berhenti dan menoleh.
"Lo Kang...!" Liu Wan berseru ketika dilihatnya orang yang bersiul tadi ternyata
pelayannya. "Ada apa" Mana saudaramu" Mengapa kau menyusulku?"
Pelayan setia itu menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk menjawab. Raut
wajahnya tampak 562 tegang dan penasaran. "Apa yang dia katakan, Tabib Ciok?"
Tio Ciu In bertanya kepada Liu Wan.
Ternyata air muka Liu Wan berubah pucat. "Dia mengatakan bahwa saudaranya
terluka! Nona Tio... kau berangkatlah lebih dulu! Setelah melihat Lo Hai, nanti aku akan menyusul!"
"Tapi...?" Tio Ciu In ragu-ragu.
"Jangan khawatir! Mereka tidak apa-apa! Nah, aku berangkat dulu! Maaf, Saudara
Ho Bing!" Liu Wan bergegas pergi bersama Lo Kang.
Sejenak Tio Ciu In masih termangu di tempatnya.
Matanya tetap saja terpaku di tempat Liu Wan hilang di balik pepohonan.
"Marilah, Nona Tio...!" suara Si Tongkat Bocor Ho Bing menyadarkan Tio Ciu In.
Mereka lalu melangkah di atas jalan itu kembali.
Teriknya matahari sudah tidak terasa lagi, di kanan kiri jalan mulai banyak
pepohonan yang rindang. Tio Ciu In mengikuti saja langkah Si Tongkat Bocor sambil melamun. Pikirannya
sudah membayangkan pertemuannya dengan gurunya.
Bagaimana dia harus melapor dan
mempertanggungjawabkan kepergian Siau In"
Bagaimana kalau gurunya menjadi marah" Lalu bagaimana pula ia harus mengatakan
tentang kepergian suhengnya"
"Lho" Paman..." Rasanya kemarin aku tidak melewati jalan ini?" Tio Ciu In
berseru kaget ketika 563 melewati jembatan kayu yang melintang di sebuah sungai kecil.
Ho Bing menoleh. "Kita memang mengambil jalan memutar, Nona. Jalan yang biasa
kita lalui sudah tidak aman lagi dengan kedatangan para pembunuh."
"Pembunuh..." Pembunuh yang beraksi di pantai itu?"
Ho Bing mengangguk dan melangkahkan kakinya kembali. Tongkatnya yang pendek itu
diseretnya melintasi jembatan. Untuk beberapa saat Ciu In masih termangu-mangu
di tempatnya, tapi memang tiada pilihan lain kecuali mengikuti orang itu.
Ketika sampai di sebuah rawa Tio Ciu In menjadi heran. Di tempat sepi dan
terpencil itu ternyata ada sebuah pondok kecil. Dan Ho Bing melangkah ke sana.
"Paman, mau ke mana" Tempat siapkah ini?" Tio Ciu In bertanya ragu. Hatinya
mulai was-was. Pengemis itu tersenyum aneh. "Kita beristirahat dulu di sini. Ada seorang kawan
yang ingin berjumpa dengan aku. Mari... kita masuk!" katanya seraya mendahului
masuk ke dalam pondok. Tio Ciu In makin curiga. Pengemis itu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu,
seperti masuk ke rumah sendiri saja. Padahal rumah itu cukup bagus. Terlalu
bagus untuk seorang pengemis.
Perasaan Ciu In menjadi semakin was-was. Seperti ada perasaan yang mengatakan
bahwa tempat itu sangat berbahaya baginya. Tapi sebelum otaknya 564
mampu berpikir lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara lolongan serigala. Dan
suara itu bersaut-sautan, semakin lama semakin dekat.
"Kawanan serigala...?" Tio Ciu In terbeliak kaget.
Otomatis kakinya melangkah ke dalam pondok.
"Di rawa-rawa ini memang banyak berkeliaran serigala pemakan bangkai. Baik
bangkai hewan maupun bangkai... manusia!" Ho Bing yang berada di dalam ruangan
itu tiba-tiba tertawa seram.
Tio Ciu In terbelalak. Tangannya mencengkeram gagang pedang di balik bajunya.
Tapi hatinya segera bergetar hebat ketika melihat rombongan serigala itu tiba-
tiba telah berhamburan datang. Begitu banyaknya mereka, sehingga dalam tempo
singkat halaman pondok itu telah penuh dengan serigala.
Tio Ciu In bergegas menutup pintu dan jendela, namun beberapa ekor di antaranya
sempat melompat melalui jendela. Gadis itu menjerit dan melompat ke atas meja.
Otomatis pedang pendeknya tercabut dan berkelebat melindungi diri. Srrrrt! Dua
ekor serigala segera meraung kesakitan karena terbelah perutnya.
Bau darah membuat serigala-serigala itu menjadi buas. Mereka segera menerkam dan
menjarah bangkai kawanan yang masih berkelojotan itu. Mereka berebut sambil
meraung, menggeram, dan melolong! Dan lolongan itu bagaikan tengara perang bagi
serigala yang lain. Kawanan binatang buas itu tiba-tiba menyerbu pintu dan
jendela. Mereka mencakar, 565
menggigit, dan menerjang daun pintu bagaikan telah menjadi gila!
Daun pintu itu mulai berderak mau pecah, sementara dari lubang jendela yang
belum tertutup baik itu telah masuk beberapa ekor serigala lagi!
Meski agak tinggi, tapi beberapa ekor serigala muda ternyata mampu melompati
jendela itu. Tio Ciu In mengamuk. Rasa ngeri membuat gadis itu membabat mati setiap serigala
yang mendekatinya. "Hihihihi.... bagus! Bagus!" Ho Bing yang berdiri di pojok ruangan
tertawa sambil bertepuk tangan. "Paman! Bantu aku...!" Tio Ciu In berteriak. "Bantu" Eh-oh"
Baik... baik! Aku datang!" Ho Bing memutar tongkatnya kuat- kuat, lalu menerjang ke depan. Desing suaranya mengaung bersamaan dengan derak pecahnya pintu rumah. Puluhan ekor serigala
berhamburan ke dalam, bagaikan kawanan semut memasuki liangnya!
566 Tio Ciu In menjerit dan berteriak sambil menghentakkan pedangnya. Dan setiap
kali pedangnya terayun, maka tentu ada dua atau tiga ekor serigala yang mati!
Darah muncrat dan memercik ke mana-mana! Akan tetapi semua itu tidak membuat
mereka takut. Bahkan bau darah membuat mereka semakin beringas. Semuanya seperti
sudah berubah menjadi gila. Mereka meminum darah yang mengalir dari bangkai
kawan-kawannya dan mencabik-cabik pula dagingnya.
"Pamaaaaaan...!"!?" sekali lagi Tio Ciu In memekik. Gadis itu benar-benar merasa
ngeri menyaksikan kebuasan binatang itu.
"Ya-ya, aku datang! Awaaaaas...!"
Tapi yang didapatkan oleh Tio Ciu In kemudian, ternyata sungguh di luar
dugaannya! Begitu tiba di dekatnya tiba-tiba ternyata Ho Bing justru menyabetkan
tongkatnya ke arah pergelangan tangan Ciu In! Wuuuuut! Sabetan itu benar-benar
cepat dan kuat luar biasa!
"Hei!" Kau...?"?" Tio Ciu In menjerit kaget.
Namun sambaran tongkat itu tak mungkin dapat dielakkan lagi. Tio Ciu In hanya
mampu mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tangannya.
Taaaak! Tongkat itu dengan telak menghajar pergelangan tangan Tio Ciu In!
Gadis itu berteriak kesakitan. Meski tidak sampai mematahkan pergelangan
tangannya, tapi pukulan tongkat itu terasa nyeri luar biasa! Sampai-sampai 567
pedang yang ada di dalam genggaman tak bisa dipertahankan pula! Senjata itu
terlempar jatuh menimpa kawanan serigala!
"Kenapa... kenapa kau menyerangku?" di dalam kekalutannya Tio Ciu In masih
sempat berteriak. Tapi Ho Bing tak mau memberi kesempatan lagi.
Tongkatnya yang garang itu sekali lagi terayun dalam bentuk lingkaran. Begitu
kuatnya sehingga tongkat itu mengeluarkan suara lengkingan! Seperti suara suling
yang ditiup kuat-kuat! Sekejap telinga Tio Ciu In seperti tercocok oleh ribuan jarum! Otomatis
konsentrasi dan keseimbangannya terganggu! Dan pada saat itu pulalah tiba-tiba
tongkat Ho Bing menerjang pinggangnya!
"Auugh!" Tio Ciu In mengeluh. Tubuhnya terhuyung. Ujung tongkat itu mengenai jalan darah
ki-ping-hiat di bawah punggungnya, yang membuat seluruh tubuhnya menjadi lemas.
Dan kawanan serigala itu telah siap untuk menerkam tubuh Tio Ciu In. Tapi Ho
Bing lebih dulu menyambarnya.
"Hihihi... tidak boleh! Ini bagianku, kawan!"
Ho Bing menggendong tubuh Tio Ciu In. Dengan tangkas ia menerobos kepungan
serigala, lalu masuk ke ruangan dalam melalui pintu rahasia. Sementara itu pesta
pora tetap berlangsung dengan meriah. Kawanan 568
serigala yang sudah terlanjur gila itu saling menyerang di antara mereka
sendiri. Sebentar kemudian Tio Ciu In telah siuman kembali. Dia sangat terkejut ketika
mengetahui dirinya berada di dalam gendongan Ho Bing. Dia mau meronta, tapi tak
bisa. Seluruh urat darahnya tersumbat! Berbicarapun ia tak mampu!
Ho Bing membawanya ke ruang bawah tanah. Satu persatu kakinya melangkah menuruni
kayu. Tubuhnya yang kecil memang terlalu berat untuk menggendong tubuh Ciu In.
Ruangan itu benar-benar lembab, sehingga lampu minyak di atas meja tak mampu
untuk menghangatkannya. Di pojok kiri ada sebuah bangku panjang beralaskan jerami. Ho
Bing meletakkan tubuh Tio Ciu In di sana.
"Hihihi, aku sungguh beruntung sekali hari ini!
Sekali menebar jala, seorang bidadari cantik dapat tertangkap dengan mudah! Oh-
hoooo, betapa mulus kulitnya! Benar-benar seperti sutera!" Bagaikan orang gila
Ho Bing meraba dan mengelus-elus pipi dan leher Tio Ciu In.
Di dalam ketakutannya Tio Ciu In terus mencoba membebaskan diri. Dan akhirnya
ketika wajah yang kasar dan berminyak itu hendak mencium pipinya, Ciu In telah
berhasil membebaskan urat gagunya.
"Jangannnnnn...!" Tio Ciu In menjerit keras sekali, sehingga Ho Bing meloncat
mundur saking kagetnya. 569 Beberapa saat lamanya pengemis itu memandangi wajah Tio Ciu In. Dia seperti tak
percaya bahwa gadis itu mampu melepaskan totokannya. Tapi ketika dilihatnya
gadis itu hanya bisa melepaskan urat gagunya, ia tertawa.
"Bukan main! Ternyata tenaga dalammu hebat juga. Kau dapat membebaskan diri dari
totokanku, meskipun hanya sebagian...! Untunglah aku tadi tidak berlaku sembrono
terhadapmu. Coba, kalau aku hanya main pukul saja, tanpa menggiring dan
menjebakmu di dalam rumah ini, mungkin tugasku bisa gagal!"


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"L-le-paskan aku...! Lepaskan aku! Aku...." Tio Ciu In berseru serak dan hampir
menangis. "Lepaskan" Huh, enaknya! Aku sudah dibayar mahal untuk tugas ini. Bagaimana
mungkin aku bisa membatalkannya" Hehe he! Apalagi setelah melihat wajahmu!
Betapa cantiknya! Aku benar-benar terpesona, tanpa diupahpun aku juga mau..."
Selesai berbicara Ho Bing kembali mendekatkan wajahnya untuk mencium Tio Ciu In.
"Tahaaaaaan!" Gadis ayu itu menjerit lagi.
"Ada apa lagi, Bidadariku" Ingin kubuka dulu pakaianmu agar kau tidak merasa
kegerahan" Boleh... boleh!" "Jangaaaaann...!"
"Lalu, apa yang kau kehendaki?" Ho Bing yang sudah kalap itu berhenti sebentar.
"Ceritakan dulu! Siapa kau sebenarnya" Dan siapa pula yang mengupahmu?" Tiada
jalan lain bagi Tio 570 Ciu In selain mengulur-ulur waktu. Sambil bertanya otaknya bekerja keras untuk
mencari jalan keluar. Pengemis itu mengedip-ngedipkan matanya.
Wajahnya kelihatan puas sekali. Puas dan gembira.
"Oh, jadi kau ingin tahu siapa yang memberi tugas kepadaku" Boleh! Nah, apakah
kau kenal dengan gadis cantik bernama... Mo Goat" Dia yang memberi banyak uang
kepadaku. Dia meminta agar aku mau menangkapmu dan mengurungmu di tempat ini,
lalu memperkosamu setiap hari, sampai akhirnya kau mati secara mengenaskan."
Bulu roma Tio Ciu In bergetar dengan hebat.
Wajahnya menjadi pucat, seakan-akan darahnya langsung membeku mendengar ancaman
itu. "Mo Goat...?" Tio Ciu In ternganga.
Di dalam kengeriannya Ciu In merasa kaget setengah mati. Gadis kejam yang
dijumpai di restoran itu ternyata benar-benar membuktikan ancamannya.
Semua orang yang bentrok dengan dia harus mati.
Apalagi dia itu orang Han. Dan kini, gadis itu benar-benar mengirimkan seorang
pembunuh kepadanya. Sungguh keji! Begitu ingat Mo Goat, otak Ciu In segera ingat kepada Pendekar Buta pula! Dan
untuk sekejap matanya berbinar. Tapi sekejap kemudian wajahnya kembali muram.
Tak mungkin dia bisa meminta pertolongan orang itu. Selain tempat itu sangat
terpencil, ruang di mana dia berada pun jauh di bawah tanah. Meskipun berteriak
setinggi langit, tak seorang 571
pun akan bisa mendengarnya. Apalagi cuma dengan bernyanyi seperti yang diminta
oleh orang tua itu. "Nah, kau sudah mengenal gadis itu, bukan" Dan tentang aku, kau juga sudah tahu
pula. Selama ini aku memang sangat menyukai perempuan, sehingga kawan-kawanku
memberi julukan Si Tongkat Bocor, hehehe...!"
Selesai tertawa pengemis itu kembali mendekatkan mukanya. Dan kali ini Tio Ciu
In tak ingin menjerit lagi. Satu-satunya jalan untuk melawan hanya menyemburkan
ludahnya ke muka penjahat itu!
Cuuuh! Cuuuh! Ho Bing tak menyangka akan hal itu menjadi kelabakan. Wajahnya yang kelimis dan
berminyak itu segera berlepotan dengan ludah Tio Ciu In.
"Bangsat keparat! Perempuan celaka!"
Bukan main berangnya pengemis itu. Sambil mengeluarkan kata-kata kotor tangannya
mencengkeram baju Tio Ciu In dan merenggutnya kuat-kuat. Brrrrrrt! Baju itu
sobek dan terlepas. Tak selembar benang pun menutupi pundak dan dada Tio Ciu In, sehingga kulitnya
yang lembut itu seolah-olah bercahaya di dalam kegelapan. Begitu mempesonakan
pemandangan itu sehingga Ho Bing seperti terpaku di tempatnya. Tak terasa
pengemis itu menelan ludahnya berkali-kali.
-- o0d-w0o -- 572 JILID XIV KAN tetapi sebaliknya, Tio Ciu In
Hampir pingsan mendapat perlakuan
seperti itu. Rasanya takut, malu dan ngeri, A membuat gadis itu seperti
kehilangan akal. Tiba-tiba Ho Bing terbelalak. Matanya yang melotot itu melihat sebuah tatto
kecil di bagian kiri atas dari buah dada Tio Ciu In. Gambar tatto itu berbentuk
burung Hong! Burung Hong yang sedang mengepakkan sayapnya. Indah bukan main!
Sekali lagi Ho Bing menelan ludahnya.
Pemandangan itu membuat otaknya semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Namun
sebelum ia menerkam tubuh Tio Ciu In, lonceng di dalam ruangan itu tiba-tiba
berbunyi. "Kurang ajar! Sudah berkali-kali kukatakan bahwa jangan sekali-kali datang ke
terapat ini! Tapi tetap saja datang! Huh!" mulutnya menggeram.
Dengan sikap malas dan geram pengemis itu melangkah ke tangga. Sambil berjalan
matanya tetap tak lepas dari tubuh Tio Ciu In, sehingga tubuhnya hampir menabrak
meja. "Baiklah, kau tunggu dulu sebentar! Aku akan melihat siapa yang datang! Setelah
itu kita lanjutkan lagi acara kita...."
Sebentar kemudian pengemis itu menghilang di balik pintu. Merasa ada kesempatan
Tio Ciu In lalu berusaha untuk membebaskan totokannya. Berkali-573
kali ia mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi totokan itu benar-benar sulit dibuka.
Keringat sampai mengalir membasahi dada bergambar burung Hong itu.
Akhirnya tidak hanya keringat yang mengalir, tapi air mata pun mulai menetes
dari mata Tio Ciu In. Gadis ayu itu benar-benar mulai putus asa sekarang.
Dan di dalam keputusasaannya, tak terasa bibirnya mulai bergumam dengan
nyanyian. Nyanyian yang disukai Si Pendekar Buta itu. Semakin lama semakin
keras. Bahkan untuk melepaskan segala kepepatan hatinya, Tio Ciu In menyanyikannya
dengan seluruh perasaan. Bahkan dengan dorongan seluruh tenaga saktinya.
Suara yang keluar dari bibir Ciu In memang tidak terlalu keras, namun dorongan
tenaga dalamnya ternyata mampu menggetarkan udara di sekelilingnya.
Memantul dan bergema ke segala penjuru, bagaikan getaran suara guruh yang
merambat melalui udara. Ternyata tanpa disadari Tio Ciu In bernyanyi dengan lon taran ilmu Coan-im-jip-
pit! Apabila di malam yang gelap gilita.
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama.
Maka malam pun bagai tersentak dari tidurnya.
Untuk menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku.../ Aku selalu mengharap kehadiranmu!
574 -- o0d-w0o -- SEMENTARA itu pada saat yang hampir
bersamaan Liu Wan telah tiba di tempat kediamannya.
Rumah di tengah-tengah empang itu kelihatan sepi.
Dan Lo Kang yang sudah tidak sabar lagi untuk melihat keadaan saudaranya, segera
mendahului menyeberang. Pelayan gagu itu bergegas membuka pintu.
Tapi tiba-tiba tubuh Lo Kang terpental balik.
"Lo Kang!" Liu Wan berseru.
Pemuda yang berpakaian sebagai Tabib Ciok itu melesat ke depan dengan
tangkasnya. Tubuhnya yang tegap itu bagaikan burung rajawali yang terbang
melintasi empang. Di lain saat tubuh Lo Kang telah ditangkapnya.
Liu Wan menurunkan tubuh Lokang di
sampingnya. Matanya hampir tak lepas dari lubang pintu, di mana Lo Hai yang baru
saja menyerang saudaranya itu berdiri dengan garang. Pembantunya yang lain itu
telah siap untuk melancarkan pukulannya lagi.
"Lo Hai...! Kau kenapa, hei?" Liu Wan berteriak bingung. "Mengapa kau menyerang
saudaramu?" Tapi Lo Hai yang biasanya sangat penurut itu, tiba-tiba melompat ke luar dan
menghantam dada Liu Wan. Dari telapak tangannya meluncur getaran tenaga 575
berputar seperti layaknya tenaga untuk menutup botol minuman.
Liu Wan terkejut. Lo Hai langsung
mempergunakan ilmu silat perguruannya, Hong-lui-kun-hoat (Pukulan Petir dan
Badai)! Pukulan itu merupakan pembukaan dari jurus yang ke sembilan, yang
disebut Badai Berputar Menerjang Ombak!
Jurus itu biasa dilontarkan bila berhadapan dengan lawan bertenaga besar!
Lo Hai maupun Lo Kang memang bukan saudara seperguruan Liu Wan. Mereka berdua
hanyalah pelayan dan pembantu kepercayaan gurunya. Namun oleh gurunya mereka
berdua juga diberi pelajaran ilmu silat. Meskipun hanya kulitnya!
Tapi karena sebelum mengabdi pada guru Liu Wan, Lo Kang dan Lo Hai juga telah
memiliki ilmu silat tinggi, maka tambahan ilmu itu sudah cukup membuat mereka
semakin berbahaya. Demikianlah, meskipun jurus Badai Berputar Menerjang Ombak tersebut tidak
ditopang dengan tenaga sakti yang asli dari perguruan Liu Wan, namun perbawanya
ternyata cukup mengerikan. Dada Liu Wan yang merupakan sasaran pokok dari
pukulan itu tiba-tiba seperti diremas olah sebuah kekuatan yang tidak kelihatan!
"Lo Hai, jangan!" Liu Wan berteriak dan bergegas melejit ke samping untuk
menghindarkan diri. Karena terburu-buru maka segumpal dari jenggot penyamarannya
terlepas. 576 Namun seperti orang kesurupan Lo Hai tetap saja menyerang Liu Wan. Semakin lama
semakin gencar. Bahkan serangan itu tetap tidak mau berhenti walaupun Lo Kang yang sudah bisa
mengobati luka-lukanya itu mencoba melerai saudaranya.
"Sudahlah, Lo Kang. Engkau mundurlah! Biarlah kucoba untuk melumpuhkan
kekuatannya dulu." Liu Wan memperingatkan pembantunya.
Lo Kang memberi isyarat kepada Liu Wan.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin melumpuhkannya,
agar kita lebih tahu apa yang menyebabkan dia berbuat seperti ini."
Pemuda itu menjawab. Tapi untuk melumpuhkan Lo Hai tidaklah mudah.
Ilmu silat Lo Hai hanya satu tingkat di bawah Liu Wan. Maka dengan sangat
terpaksa pemuda itu juga mengeluarkan ilmu andalannya. Hong-lui-kun-hoat!
Liu Wan menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuhnya segera melenting ke atas dalam
jurus Awan Mengambang Menutupi Bumi. Kedua lututnya menempel perut, sementara
kedua lengannya mengembang ke depan membentuk sapit udang.
Kemudian dengan sekuat tenaga pemuda itu mengayunkan kedua kakinya ke bawah,
menuju ke arah ubun-ubun!
Lo Hai tersentak kaget. Tapi gerakannya sungguh cepat pula. Sambil mengangkat
kedua sikunya ke atas, orang tua itu melangkah setindak ke kiri. Gerakannya
sungguh indah. Tubuhnya meliuk ke kanan seperti 577
pohon cemara yang akan roboh. Namun bersamaan dengan gerakan itu, ke sepuluh
jari tangan Lo Hai telah terkepal dalam bentuk kepala ular. Selanjutnya kepala
ular itu segera mematuk kaki Liu Wan. Kali ini Lo Hai tidak mempergunakan ilmu Hong-lui- kun-hoat lagi. Orang tua itu mengeluarkan ilmu silatnya sendiri. Sebuah ilmu silat dari daerah Selatan, yang lebih mementingkan kekuatan tenaga dalam daripada kemampuan geraknya! Gerakannya sangat sederhana dan mudah diduga, namun dengan
kekuatannya ternyata gerakan itu sulit dielakkan! Tangan itu memang belum
menyentuh sasaran, tapi kekuatan yang mendorongnya ternyata telah lebih dulu
tiba di kaki Liu Wan. Sengatan udara panas membuat Liu Wan cepat-cepat menarik kedua kakinya sambil
membuat salto 578 dua kali ke depan. Jleg! Tanpa mendapat kesulitan pemuda itu mendaratkan kakinya
di depan pintu. Dari tempatnya berdiri Liu Wan segera menyerang kembali. Kedua tangannya
mendorong ke depan dalam jurus Satu Petir Dua Gelombang. Jurus ke dua puluh satu
dari Hong-lui-kun-hoat. Dari telapak tangannya meluncur angin pukulan yang
menyambar punggung Lo Hai dengan dahsyatnya.
Dhuaaaar! Pukulan itu menyambar tempat kosong, karena dengan tangkas Lo Hai
telah keburu melejit ke kanan!
Melihat letupan yang dahsyat itu Lo Kang tak kuasa menahan dirinya lagi. apa pun
yang telah dilakukan Lo Hai kepadanya, dia tetap tidak tega melihat saudaranya
itu terluka. Dengan badan masih terasa sakit, ia segera melesat di antara Liu
Wan dan Lo Hai. Kedua tangannya membuat isyarat untuk memohon belas kasihan Liu
Wan. Liu Wan menggigit bibirnya. "Jangan khawatir, aku tidak akan melukainya. Aku
hanya ingin meringkus. Menyingkirlah...!" Namun Lo Kang tetap menggoyang-goyangkan tangannya. Bahkan dia lalu membalikkan
tubuhnya dan berusaha memeluk saudaranya. Tangannya mengembang ke arah Lo Hai.
Tapi tiba-tiba telapak tangan Lo Hai menyambar ke depan dengan cepatnya. Di
tangannya telah terhunus sebilah pisau tajam.
579 Cuuuuuus! Pisau itu menancap tepat di ulu hati Lo Kang! Suatu hal yang benar-
benar tak diduga oleh Liu Wan maupun Lo Kang sendiri!
"Uh-uh-uh...?" Sekejap mata Lo Kang terbelalak tak percaya. Tapi di lain saat
tubuhnya segera terbanting di atas lantai. Mata itu tetap terbeliak, namun
nyawanya sudah melayang. "Lo Kang...!" Liu Wan menjerit dan menubruk tubuh pembantunya.
Tapi lagi-lagi Lo Hai yang sudah kalap itu menghunjamkan pisaunya ke arah Liu
Wan. Untunglah Liu Wan tetap waspada. Otomatis kedua tangannya menampar ke depan.
Karena ada kemarahan yang terpendam di dalam hati, maka seluruh kekuatannya
seolah meluncur begitu saja dalam tangkisan itu.
Duaaaar! Tangan itu seperti mengeluarkan suara ledakan ketika bertemu dengan
lengan Lo Hai! Pelayan itu mengeluh, sementara pisau di tangannya terlempar ke bawah, persis
mengenai punggung Lo Kang! Dan pisau itu menancap sampai di gagangnya!
Kemarahan Liu Wan benar-benar tak bisa dikendalikan lagi.
"Kurang ajar! Kau... kau! Oh, binatang apa sebenarnya kamu ini?" pemuda itu
menjerit. Liu Wan tak bisa berpikir lagi. Tak terasa kedua tangannya menyambar ke depan
dalam jurus Mencabut Hutan Mengangkat Gunung, gerakan terakhir dan Hong-lui-kun-
hoat! Jurus itu diciptakan 580
oleh kakek gurunya pada saat ditinggal pergi nenek gurunya! Perasaan marah,
sedih dan tertekan seperti tertuang dan terungkap dalam jurus itu! Maka tidak
Naga Kemala Putih 1 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 4
^