Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 8

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 8


mengherankan bila pengaruhnya sungguh hebat tiada terkira!
Sekali lagi di hari yang cerah itu terdengar suara letupan petir menyambar. Dan
pada saat yang sama tubuh Lo-Hai tampak terlempar tinggi ke udara.
Lo Hai berusaha menyelamatkan diri dengan menggeliatkan tubuhnya beberapa kali.
Gerakan tersebut mampu menahan daya luncur tubuhnya ketika kembali jatuh ke
bawah. Namun demikian tamparan Liu Wan yang dahsyat tadi telah mengacaukan
seluruh susunan syaraf dan aliran darahnya. Bagaikan hutan dan gunung yang
diaduk oleh topan puting beliung, maka seperti itu pulalah keadaan tubuh Lo Hai
ketika kakinya mendarat di atas papan. Orang tua itu sudah tidak berdaya lagi
ketika menjejakkan kakinya. Tubuhnya tersungkur di dekat mayat Lo Kang,
saudaranya. Dan matanya yang terbuka itu tampak berkedip-kedip menahan tangis.
Mata itu tampak redup dan tidak liar lagi.
Tiba-tiba Liu Wan seperti terbangun dari mimpinya. Matanya terbelalak kosong,
seolah tak percaya apa yang telah terjadi. Dipandangnya tubuh Lo Hai yang
bergetaran itu beringsut mendekati mayat Lo Kang. Darah mengalir dari sela-sela
bibirnya. Dan sebentar kemudian orang itu telah memeluk mayat 581
saudaranya dengan air mata bercucuran. Keduanya mati di depan kaki Liu Wan.
"Lo Hai... Lo Kang!"
Liu Wan tak kuasa membendung rasa sedihnya.
Pada saat-saat terakhir baru terpikir olehnya ketidakberesan itu. Sikap Lo Hai
sangat aneh dan tidak sewajarnya. Dan keadaan itu seperti sudah terlihat pula
oleh Lo Kang. Tapi karena tidak bisa berbicara, maka Lo Kang tidak bisa
mengatakannya. Lo Kang hanya berusaha untuk mencegah dan menghentikan kesalah-pahaman itu.
Liu Wan berlutut di depan mayat mereka.
Terbayang kembali saat-saat Lo Hai memeluk mayat saudaranya. Wajah dan pandang
matanya kelihatan wajar seperti biasanya. Bahkan matanya yang berkeriput itu
tampak mengalirkan air mata. Sungguh sangat berlainan dengan saat berkelahi
melawan dirinya tadi. "Lo Hai! Apa yang telah terjadi denganmu" Bukan watakmu untuk berbuat seperti
itu, apalagi sampai membunuh saudara kembarmu sendiri. Tentu ada sesuatu di luar
kehendakmu, yang membuatmu berbuat seperti ini. Buktinya pada saat-saat terakhir
kau kembali normal seperti biasanya...."
Satu persatu mayat itu dibawa Liu Wan ke dalam.
Mereka diletakkan berjajar di atas meja. Ketika Liu Wan membuka jubahnya untuk
menutupi jasad mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara mencurigakan dari
ruang dalam. 582 "Siapa...?" Sambil menyapa Liu Wan melesat ke dalam. Seluruh kekuatannya siap
untuk dipergunakan. Tiada siapa pun di sana. Liu Wan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
memeriksa ruangan itu. Namun tak seorang pun dilihatnya. Perlahan-lahan dia bergeser ke bagian
belakang, di mana dia memasang gambar-gambar keluarganya.
"Ah...!" Tiba-tiba otot Liu Wan menegang.
Tampak di dalam ruangan itu seorang pemuda tampan sedang menggoyang-goyangkan
kipasnya. Dan di sebelahnya berdiri seorang lelaki yang tak mungkin dilupakan oleh Liu
Wan! Sogudai! Pemuda tampan itu tampak pucat, namun sorot matanya sungguh tajam luar biasa. Di
depan mereka, persis di tengah-tengah ruangan, terlihat tiga orang lelaki diikat
menjadi satu. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang tua, di mana salah
seorang di antara orang tua itu benar-benar sudah lanjut usia.
"Inikah Bun-bu Siu-cai itu, Sogudai?" Pemuda tampan yang tidak lain adalah Mo
Hou bertanya kepada Sogudai.
"Benar, Kongcu. Telah Kongcu lihat sendiri betapa pandainya dia menyamar sebagai
seorang tabib tua. Apabila tidak menyaksikan sendiri jenggotnya yang copot tadi, mungkin kita sudah
terkecoh pula olehnya." Sogudai menjawab dengan suara geram.
"Jangan banyak bicara! Aku sudah tahu... dan aku tidak suka melihat dandanannya
itu! Ternyata ia hanya seorang pengecut yang berlindung di balik 583
topeng-topeng penyamarannya! Aku justru lebih menghargai pemuda lemah yang
kauikat itu. Dia lebih berani daripada pengecut itu...."
Pantang bagi pemuda seperti Liu Wan disebut sebagai pengecut. Apalagi oleh
gerombolan pengacau seperti Sogudai dan kawan-kawannya. Tak heran bila wajah di
balik penyamaran itu tiba-tiba menjadi merah padam.
"Aku belum kenal denganmu. Tapi enak saja kau berkata jelek tentang aku. Apakah
kau sadar apa yang kaukatakan" Apakah kau benar-benar masih waras?"
Ternyata kata-kata Liu Wan yang pedas itu menyulut kemarahan Mo Hou pula.
Terdengar suara berkerotokan ketika pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya.
"Kurang ajar! Mulutmu sangat tajam! Kubunuh kau...!"
"Tahan!" Liu Wan mengangkat tangannya ke atas.
"Sebelum bertempur aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Siapakah engkau ini
sebenarnya" Apa hubunganmu dengan Sogudai" Dan siapa pula orang-orang yang
kauikat ini?" Mo Hou menurunkan tangannya kembali. Namun matanya masih berkilat penuh hawa
pembunuhan ketika menjawab pertanyaan Liu Wan.
"Aku bukan pengecut yang suka menyembunyikan diri seperti engkau. Aku orang Hun
dari luar Tembok Besar. Aku putera Raja Mo Tan Yang Agung.
Namaku Mo Hou, dan Sogudai adalah pembantuku.
584 Kedatanganku ke sini adalah untuk menangkap dan membunuhmu, karena kau telah
berani mengganggu anak buahku. Nah, apa lagi...?"
Jawaban itu memang sangat mengejutkan Liu Wan.
Meskipun sejak semula ia sudah menduga kalau Sogudai itu tentu memiliki hubungan
dengan Raja Mo Tan, namun kenyataan tersebut tetap saja menggetarkan hatinya.
Kini tinggal mencari, apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang Mo Tan itu
di Tiong-goan. "Dan kedatanganku di sini tidak ada hubungannya dengan orang-orang Im-yang kau
ini. Kami bermusuhan dengan mereka sejak mereka mencampuri urusan kami kemarin
malam. Mereka melarikan diri dari pertempuran. Maka ketika kutemui mereka di
sini, kami tak mau kehilangan lagi. Nah, sekarang giliranmu untuk menyerahkan
diri. Akan kuikat kau bersama mereka, kemudian kubakar bersama rumahmu ini.
Hmmmmmm, bagus sekali, bukan?" Mo Hou meneruskan ucapannya.
Liu Wan tidak memperdulikan ancaman tersebut.
Pikirannya lebih terpusat pada orang-orang yang terikat itu. Liu Wan memang
belum pernah mengenal tokoh-tokoh Im-yang-kauw. Namun demikian di dalam hatinya
timbul juga perasaan, jangan-jangan salah seorang dari mereka itu adalah Giam
Pit Seng, guru Tio Ciu In.
"Aku tahu, kau ingin membalas dendam atas kekalahan Sogudai di Kuil Pek-hok-bio.
Tapi sebelum 585 bertempur, katakan juga kepadaku, apakah kematian pembantuku tadi juga karena
perbuatanmu?" Mo Hou tertawa panjang. Gema suaranya menggetarkan permukaan air empang di
sekeliling pondok itu, sehingga ikan-ikan kecil di dalamnya tampak berlarian
menyembunyikan diri di balik bebatuan.
"Huh, mengapa otakmu begitu bodoh" Kau telah memperlakukan Sogudai seperti
binatang buruan. Maka tidak ada salahnya pula kalau aku juga memperlakukan pembantumu seperti
ayam aduan. Bukankah hal itu sudah adil?"
"Manusia tak berperasaan...!" Liu Wan mengumpat.
"Sudahlah! Waktuku tidak banyak. Dan sebentar lagi matahari juga akan terbenam.
Tidak enak rasanya kalau malam-malam membakar rumah ini. Ayoh, menyerahlah! Kau
bukan lawan yang setimpal untukku...." Mo Hou menggeram.
"Tunggu...! Satu pertanyaan lagi! Benarkah kau yang membantai para prajurit dan
perwira kerajaan itu?"
Sekonyong-konyong pemuda itu menggertakkan giginya. "Tidak salah! Setiap
prajurit Kerajaan Han memang layak untuk dibunuh! Nah... kau mau apa?"
"Kemarin aku bertemu dengan seorang gadis bernama Mo Goat. Kau kenal dia?" Dalam
kekagetannya Liu Wan masih berusaha untuk mengorek keterangan sebanyak-
banyaknya. 586 Mo Hou tersentak kaget. Matanya yang dingin tajam itu berkilat-kilat mengawasi
Liu Wan. Ada sinar kecurigaan di mata bak burung hantu itu.
"Kau maksudkan seorang gadis yang selalu memegang kipas seperti kepunyaanku
ini?" tanyanya kemudian tak percaya.
"Ya!" Liu Wan menganggukkan kepalanya.
Mo Hou menatap Sogudai sebentar. "Gila! Kenapa bocah itu sudah ada di sini?" Ia
bergumam penasaran. Pemuda itu melangkah setindak ke depan, sehingga Liu Wan bergegas mengerahkan
seluruh kekuatannya. Mo Hou adalah putera Mo Tan, Raja dari seluruh suku bangsa liar di utara Tembok
Besar. Mo Tan sangat terkenal akan kehebatan ilmunya, karena itu Mo Hou tentu
lihai pula seperti ayahnya.
"Dengan siapa adikku itu berada ketika bertemu denganmu?"
"Oh... jadi gadis galak itu adikmu?"
Diam-diam perasaan Liu Wan menjadi kecut. Kalau Mo Goat saja demikian
dahsyatnya, apalagi kakaknya.
Tak terasa keringat dingin mulai mengalir membasahi punggungnya.
"Gila! Cepat katakan...! Dengan siapa adikku itu berada?" Tiba-tiba Mo Hou
berseru bengis. "Aku tidak tahu nama-nama mereka. Hanya salah seorang di antaranya dipanggil
dengan sebutan Panglima...."
"Solinga!" Mo Hou berdesah. Matanya menatap Sogudai.
587 "Kongcu...?" Sogudai menanti perintah.
Pemuda itu mendekati Sogudai, lalu berbisik pelan.
"Pergilah menemui Lok-kui-tin! Katakan kepada mereka bahwa adikku dan Panglima
Solinga sudah berada di kota ini! Katakan pula agar mereka mencari rombongan itu
dan menunggu kedatanganku di tempat biasanya!"
"Bagaimana dengan dia?" Sogudai menunjuk ke arah Liu Wan.
"Jangan pedulikan dia. Bocah yang menyamar jadi tabib ini juga akan kuikat pula
seperti yang lain. Mereka akan kubakar bersama-sama rumah ini. Nah, pergilah!"
Sogudai tidak berani membantah lagi. Sekali berkelebat tubuhnya yang besar itu
melesat ke luar pondok. Sebentar saja dia telah menghilang di balik rimbunnya
pepohonan. "Nah, Bun-bu Siu-cai... nama julukanmu sangat hebat. Aku percaya kepandaianmu
tentu hebat pula. Tapi demi kebaikanmu sendiri, engkau tak usah melawan. Coba kau lihat, siapa
yang terikat di depanmu itu" Mereka adalah tokoh-tokoh puncak aliran Im-yang-
kau. Orang tua yang sudah uzur itu adalah Lo-jin-ong, sesepuh Im-yang-kau. Di
waktu mudanya ia disebut orang Toat-beng-jin (Manusia Pencabut Nyawa). Sedangkan
yang lain adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kau daerah timur bersama
muridnya. Nah, mereka bertiga tidak kuasa melawan aku. Apalagi... kau!"
588 Selesai bicara Mo Hou mengangkat tangan kanannya, siap untuk menyerang. Tangan
kirinya yang memegang kipas tetap terlipat di depan dada.
Hawa dingin berembus dari dalam tubuhnya, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya
telah tersalur ke seluruh darahnya.
Liu Wan terkejut. Benar juga dugaannya, ternyata salah seorang di antara orang
yang terikat itu adalah guru Tio Ciu In. Tapi tidak ada kesempatan untuk
menolong mereka. Ia tidak bisa mengelak lagi dari pertempuran itu. Bagaimanapun
juga dia tetap harus berkelahi melawan Mo Hou. Apabila ilmu silat pemuda itu
memang lebih tinggi daripada adiknya, maka kesempatannya memang sangat tipis.
Dan apa yang ditakutkan oleh Liu Wan memang menjadi kenyataan. Begitu bergerak
tubuh Mo Hou laksana burung walet menyambar mangsanya.
Walaupun sudah bersiap-siaga, gerakan Liu Wan tetap terlambat setindak. Serangan
tangan kanan Mo Hou yang berbentuk cengkeraman itu hampir saja mengenai
pelipisnya. Liu Wan sudah berusaha menghindar secepatnya, namun serangan itu
tetap menyerempet rambutnya. Bahkan dorongan hawa dingin yang menyertai serangan
tersebut terasa membeset kulitnya dan mencabut beberapa lembar rambut di
keningnya. Buru-buru Liu Wan membanting tubuh ke samping, sekalian melepaskan sebuah
pukulan berputar dari bawah ketiaknya. Gerakan itu disebut Membuat 589
Bendungan Menadah Hujan, jurus ke tiga puluh tiga dari Hong-lui-kun-hoat. Jurus
ini memang diciptakan untuk menangkal dan menghadapi lawan yang lebih kuat.
Bagaikan sebuah bendungan air tubuh Liu Wan menyedot sebagian dari arus kekuatan
lawan, kemudian memuntahkannya kembali lewat pukulan tangannya.
"Bagus...!" Mo Hou menghindar seraya memuji.
Dhuuuuaaar! Pukulan udara kosong Liu Wan meledak hanya sejengkal dari tubuh Mo
Hou! Ternyata Mo Hou bergerak lebih cepat. Tubuhnya yang jangkung itu menyelinap ke
kanan. Begitu cepatnya sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa mengikutinya.
Pemuda itu seperti menghilang begitu saja.
Dan pada saat yang hampir bersamaan, Liu Wan merasa seperti diterpa oleh
hembusan angin dingin dari arah belakang. Hembusan hawa dingin itu begitu
kuatnya, sehingga kulit punggungnya bagai dicocok dengan ribuan batang jarum.
Liu Wan tahu bahwa Mo Hou berada di
belakangnya. Tetapi untuk berbalik serta menangkis serangan tersebut, jelas
tidak ada waktu lagi. Namun kalau harus menghindar lagi, dia akan semakin kalah
langkah dan terdesak. Bahkan pada serangan selanjutnya dia tentu akan mati
langkah dan tidak bisa berkutik lagi. Hal itu berarti bahwa dia ditundukkan
lawan dalam tiga jurus saja!
590 Demikianlah, pada saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba Liu Wan mengambil
keputusan yang amat riskan dan berbahaya. Bahkan bisa dibilang untung-untungan.
Dia biarkan pukulan lawannya itu mengarah ke punggungnya, sementara secara
naluriah tubuhnya menggeliat sedikit untuk memperkecil bidang sasaran. Kemudian
dengan berani Liu Wan menghantamkan sikunya ke belakang, untuk menyongsong
pukulan Mo Hou. Liu Wan hanya berharap agar lawannya yang belum kenal Hong-lui-
kun-hoat itu menjadi ragu-ragu dan mengurungkan niatnya.
Ternyata perhitungan Liu Wan benar.
Melihat keberanian Liu Wan, pemuda itu justru menjadi curiga. Pemuda itu
menyangka ada jebakan dalam gerakan Liu Wan, sehingga dengan cepat pula dia
menahan tangannya. Serangan yang sudah hampir mengenai sasaran itu buru-buru
ditarik kembali dan diganti dengan tendangan kaki ke arah pinggang.
Tapi waktu yang hanya sesaat itu sudah lebih dari cukup bagi Liu Wan. Begitu
serangan Mo Hou yang berbahaya itu ditarik, Liu Wan dengan tangkas meloncat
mundur. Gerakan yang dia lakukan pada saat yang sangat berbahaya itu benar-benar
cepat bukan main. Siiiing! Ujung sepatu Mo Hou mengejar perut Liu Wan, namun gagal. Ujung sepatu
itu hanya mampu menyerempet baju Liu Wan hingga bolong.
591 Sebaliknya Liu Wan yang telah dapat
membebaskan diri dari tekanan Mo Hou, segera balas menerjang dengan jurus
Sambaran Petir Membelah Bumi! Telapak tangan Liu Wan menyambar ke bawah, tertuju
ke arah perut Mo Hou! "Kurang ajar! Ternyata engkau berisi juga seperti tokoh Im-yang-kau tua itu!
Mampu melayani tiga jurus seranganku tanpa terluka! Tapi jangan bergembira dulu,
karena semuanya ini baru dimulai.
Serangan sebenarnya baru akan keluar sebentar lagi...."
Sambil berbicara Mo Hou melangkah ke tengah ruangan, menjauhi tubuh Lo-jin-ong
dan Giam Pit Seng. Sekejap wajah yang tampan tapi berkesan licik itu meringis
seperti menahan sakit. "Kau memang beruntung. Bun-bu Siu-cai. Apabila aku tidak terluka oleh pukulan
Put-pai-siu Hong-jin, kau tak mung kin bisa menghindari pukulanku tadi."
"Put-pai-siu Hong-jin" Kau berkelahi dengan orang tua itu?"
"Hmm... Lo-jin-ong dan Put-pai-siu Hong-jin mencoba menyelamatkan para perajurit
itu. Sayang usaha mereka sia-sia. Lo-jin-ong melarikan diri dari pertempuran,
sementara Put-pai-siu Hong-jin terbenam ke dalam laut."
Liu Wan merasa semakin kecut hatinya. Meskipun dia juga merasa memiliki
kepandaian, namun kalau dibandingkan dengan Put-pai-siu Hong-jin dan Lo-jin-ong
terang ia belum apa-apanya. Apabila benar 592
mereka itu dikalahkan oleh Mo Hou, berarti dia pun tak mungkin bisa selamat
pula. Tapi Liu Wan tak ingin menyerah begitu saja. Di dalam pertarungan silat semua
kemungkinan bisa terjadi. Orang yang memiliki ilmu silat lebih tinggi belum


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu selalu mendapatkan kemenangan.
Kadang-kadang kecerdikan dan akal budi lebih diutamakan. Bahkan nasib orang pun
sering menentukan pula. Liu Wan benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya. Hong-lui Sin-kang (Tenaga
Sakti Petir Badai) yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun terungkap
sampai ke puncaknya. Kulitnya berubah kecoklatan seperti tembaga yang berkilat
ditimpa matahari. Mo Hou juga maklum bahwa lawannya memiliki kepandaian tinggi. Tanpa ilmu silat
yang baik, tidak mungkin pemuda itu mendapatkan julukan Bun-bu Siu-cai dan
mengalahkan Sogudai. Sogudai telah dikenalnya dengan baik. Begitu pula dengan
ilmu silatnya. Oleh karena itu begitu bergerak Mo Hou mengerahkan hampir tiga perempat
kekuatannya. Tangannya menyambar ubun ubun Liu Wan, diikuti oleh tebaran udara dingin yang
berhembus memenuhi ruangan. Pemuda yang diikat bersama-sama dengan Lo-jin-ong
itu tampak bergetar menahan dingin.
Liu Wan merendahkan tubuhnya. Dari bawah ia mendorong ke atas dengan dua telapak
tangan 593 terbuka. Seluruh tenaga saktinya bagai terhentak keluar, menerjang dada Mo Hou.
Wuuuuuus! Suaranya terdengar bergemuruh laksana guruh yang menggelegar di antara hujan.
Mo Hou berputar ke samping untuk mengelakkan pukulan berbahaya tersebut.
Kecepatan geraknya sungguh mentakjubkan. Sepintas lalu tubuhnya seperti bayang-
bayang yang meluncur dan berkelebat pergi menjauhi Liu Wan. Namun di lain saat
bayangan itu kembali datang dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.
Liu Wan mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawannya, tapi tak berhasil.
Semakin lama gerakan Mo Hou semakin cepat, sehingga Liu Wan terpaksa mengobral
Pukulan Geledeknya untuk bertahan. Tanpa benteng pukulan geledek itu ia tak
mungkin bisa menahan kecepatan lawannya.
"Tampaknya ilmu silatmu sudah habis. Padahal aku belum mengeluarkan seluruh
kemampuanku, apalagi ilmu andalan perguruanku. Bagaimana..." Ingin diteruskan
juga?" Sambil melesat berputaran mengelilingi lawannya. Mo Hou mengejek.
"Sombong! Kalau memang mampu, cepat kau jatuhkan aku!"
"Tentu saja! Biasanya aku memang tidak pernah membuang-buang waktu. Kalau
sekarang aku tidak lekas-lekas meringkusmu, hal itu disebabkan karena rasa kesal
dan penasaranku. Kau telah banyak 594
merusak rencanaku, membuat sengsara anak buahku, sehingga aku merasa sayang
kalau cepat-cepat membunuhmu. Biarlah kau menyadari dulu kesalahanmu sebelum
mati. Siapa sebenarnya yang kauhadapi, dan seberapa tinggi ilmu yang kau miliki,
hingga kau berani mengacaukan rencanaku."
"Anak liar! Ayoh, jangan bicara saja!" Liu Wan menggeram sambil menerjang ke
depan. Tampaknya Mo Hou sudah merasa cukup memberi pelajaran kepada Liu Wan. Sikapnya
yang agak kendor itu kini telah berubah menjadi kaku lagi seperti biasanya.
Dengan sinar mata dingin ia menyongsong terjangan Liu Wan itu dengan keras pula.
Kipasnya terayun ke depan, menyambut kepalan Liu Wan.
Tentu saja Liu Wan tidak berani adu tenaga. Selain tenaga dalamnya masih lebih
rendah, kipas Mo Hou juga bisa melukai tangannya. Oleh karena itu pada
kesempatan terakhir Liu Wan memutar pergelangan tangannya dalam jurus Memutar
Kemudi Menggulung Layar. Gelombang getaran yang kuat seolah-olah keluar dari
telapak tangannya, menerjang ke depan, menepis kipas Mo Hou. Hanya menepiskan
sedikit saja, karena selain kalah tenaga, kipas itu juga terbuat dari lembaran-
lembaran baja tipis yang sulit dirusakkan.
Namun tepisan yang hanya sedikit itu sudah cukup bagi Liu Wan untuk melanjutkan
gerakannya. Begitu arah kipas itu sedikit melenceng, maka kedua 595
tangannya cepat dihentakkan ke bawah, seperti menarik tali layar secara
mendadak! Berbareng dengan itu, kaki kanan Liu Wan menggempur ke atas, ke arah
kipas lawannya! "Bagus!" Mo Hou berseru.
Sambil menyerang Liu Wan masih sempat menatap wajah lawannya. Sekilas ia melihat
senyum kemenangan di bibir pemuda itu. Liu Wan terkesiap, tapi terlambat.
Dhuuuaaar! Kipas itu terlempar ke udara. Tapi pada saat yang sama tangan kanan
Mo Hou menyelinap ke bawah, menyongsong tendangan kaki Liu Wan. Cepat bukan
main! Tahu-tahu kaki Liu Wan terasa kesemutan, dan selanjutnya tidak bisa
digerakkan lagi. Lemas! Liu Wan hampir jatuh tertelungkup karena kaki itu tak mau menyangga tubuhnya.
Sambil terpincang-pincang Liu Wan berusaha membuang tubuhnya ke samping. Mo Hou
tidak mengejarnya. "Hehe, masih mau melawan juga?" Mo Hou tertawa puas.
Lui Wan mencoba memunahkan totokan Mo Hou, tapi tak berhasil.
"Kurang ajar!" Tanpa mempedulikan kakinya Liu Wan nekad menerjang lawannya lagi. Seluruh tenaga
dalamnya tersalur melalui lengannya. Duaarr! Duaaar! Ledakan-ledakan kecil
memburu bayangan Mo Hou. Semakin 596
lama semakin cepat, sehingga bangunan kecil di atas empang itu bagaikan hendak
meledak karenanya. Mo Hou berkelebat semakin cepat mengelilingi Liu Wan. Sambil tertawa mengejek
pemuda itu sekali-sekali menggebrak pertahanan Liu Wan. Dan beberapa kali pula
serangannya itu mampu mengecoh benteng angin yang diciptakan Liu Wan, bahkan
melukainya. Dhiegh! Dhuuuuuar! Dhuaaaaarr! Pertempuran mereka dapat diibaratkan seperti pertarungan seorang matador melawan
seekor banteng liar. Liu Wan yang memiliki ilmu silat keras dan lugas bagaikan
seekor banteng liar, mengumbar pukulan-pukulan petirnya. Sementara Mo Hou yang
gesit dan lincah, laksana seorang matador, melenting ke sana ke mari
menghindarinya. Hong-lui-kun-hoat memang dahsyat tiada terkira.
Tapi sayang sekali ilmu silat itu terlalu banyak menguras tenaga dalam.
Menghadapi lawan yang lincah dan pandai mengelak, ilmu itu tak bisa berbuat
banyak. Malah akhirnya bisa menjadi bumerang bagi tuannya.
Demikianlah, seperti halnya banteng liar yang hanya mengandalkan kekuatannya,
akhirnya Liu Wan kehabisan tenaga. Apalagi ketika Mo Hou beberapa kali dapat
memasukkan pukulannya. Liu Wan semakin terdesak.
597 Tampaknya Mo Hou benar-benar ingin
membuktikan ancamannya. Pemuda itu tidak ingin langsung membunuh Liu Wan, tapi
ingin mengikat dan membakarnya bersama yang lain. Oleh karena itu seperti
sengaja bermain-main ia menotok satu-persatu anggota badan Liu Wan.
Liu Wan memang tak bisa berbuat banyak.
Berturut-turut jalan darah pada anggota badannya tertotok lemas oleh ujung kipas
Mo Hou. Setelah kaki kanannya tak bisa digerakkan, lalu disusul oleh tangan
kirinya. Dan beberapa saat kemudian diikuti pula oleh sambaran kipas pada jalan
darah pang-hu-hiat di tangan kanannya, sehingga otomatis Liu Wan hanya bisa
menggerakkan kaki kirinya saja.
Kini Liu Wan tinggal bisa berloncatan dengan satu kaki. Namun demikian pemuda
itu tetap tidak mau menyerah. Bagaikan burung bangau yang berloncatan dengan
satu kaki, pemuda itu tetap menerjang. Dia berloncatan menyerang dengan sabetan
kakinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sejurus kemudian ujung kipas Mo Hou kembali
menyelinap dan menghajar dengan tepat jalan darah teng-liu-hiat di atas lutut
Liu Wan. Thuuuuk...! Bruug! Tubuh Liu Wan yang tegap itu terbanting ke lantai seperti banteng liar
yang jatuh berdebam terkena jerat!
"Hehehe... apa kataku tadi" Seperti yang lain-lain itu maka engkau pun bukan
lawan yang setimpal 598 buatku! Kini kau juga tak bisa bergerak pula seperti mereka."
"Sudahlah, aku memang kalah! Kau bisa membunuhku sekarang!" Liu Wan yang masih
dapat berbicara itu menggeram marah.
"Tentu! Tapi aku berhak menentukan cara-cara yang kusukai untuk membunuhmu!
Membunuh orang-orang sombong yang suka mencampuri urusan orang lain! Dan cara
yang kuinginkan adalah...
membakar tubuh kalian, seperti layaknya membakar babi panggang di atas perapian,
heheheh!" Mo Hou tertawa kejam.
"Manusia kejam! Manusia berhati binatang!"
"Tapi sebelum aku membakar tubuhmu, aku ingin menyaksikan dulu tampang aselimu.
Seperti apakah Bun-bu Siu-cai itu?" Mo Hou buru-buru menambahkan.
Selesai berkata, tangan Mo Hou benar-benar mencopoti penyamaran Liu Wan,
sehingga wajah aseli pemuda itu terlihat dengan jelas.
"Hei, ternyata kau masih muda dan tampan. Wah...
sayang juga kalau mati. Tapi... apa boleh buat. Kau memang layak untuk mati!"
Demikianlah, setelah melemparkan tubuh Liu Wan ke pojok ruangan di mana tokoh-
tokoh Im-yang-kau tadi berada. Mo Hou lalu menaburkan jerami kering yang banyak
terdapat di ruang belakang. Dan sesaat kemudian ia telah siap dengan pemantik
apinya. "Nah, selamat jalan... kalian semua!"
599 Bersamaan dengan berkobarnya api yang mulai membakar pondok kayu itu. Mo Hou
melesat pergi melalui jembatan penyeberangan. Untuk beberapa saat pemuda itu
masih berdiri di tepi empang, menyaksikan lidah api yang mulai merembet ke atas
atap. Selanjutnya dengan wajah puas ia berlari meninggalkan tempat itu.
BEGITULAH, kalau Liu Wan dan para tokoh Aliran Im-yang-kau itu merasa kepanasan
akibat kobaran api di sekitarnya, maka nun jauh di tengah lautan A Liong justru
kedinginan karena harus bertarung melawan gelombang laut yang hendak menelannya.
Seharian penuh pemuda itu diombang-ambingkan ombak. Untunglah sejak kecil pemuda
itu sudah terbiasa bermain-main di sungai, sehingga dia bisa mengatur tubuhnya
agar tidak tenggelam. Dan lebih beruntung lagi ketika di tengah laut dia
mendapatkan sebuah gentong kayu besar, yang biasa dipergunakan oleh para nelayan
untuk menyimpan air tawar.
Tampaknya benda itu berasal dari perahu Au-yang Goanswe dan pasukannya. Air
tawar yang masih tersisa di dalam genting kayu itulah yang akhirnya banyak
membantu kehidupan A Liong.
Sejak kecil A Liong memang sudah terbiasa menghadapi nasib buruk. Bahkan pemuda
itu juga sudah sangat akrab dengan segala macam kesulitan dan kesengsaraan
hidup. Namun justru kesulitan dan 600
kesengsaraan hidup itulah yang menggembleng dan menggodoknya menjadi lebih cepat
dewasa dan matang. Dengan usianya yang baru enam belas tahun itu A Liong telah memiliki watak dan
kepribadian yang kokoh serta tahan uji. Semangat hidupnya tak pernah padam.
Bahkan dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu dia tetap bergembira dan
bersemangat. Demikianlah ketika cuaca kembali cerah, dan bulan yang cantik itu muncul di atas
langit, maka tubuh A Liong masih tetap terayun dan terbuai oleh ayunan gelombang
laut. Bahkan dengan mengikatkan sabuknya pada gentong kayu itu, A Liong sempat
terkantuk-kantuk. Karena perutnya kosong, maka di dalam kantuknya pemuda itu membayangkan makanan
dan minuman yang enak-enak. Dibayangkannya sendiri seolah-olah dia sedang
berbaring di kursi goyang, dan belasan orang bidadari cantik datang mengerumuni
dirinya. Gadis-gadis cantik itu melayani makan, minum, serta memijiti kakinya. Oh, bukan
main nikmatnya! Tiba-tiba pemuda itu tersentak kaget, matanya melotot, memandang gejolak air di
sekelilingnya. Belasan benda aneh tampak timbul tenggelam di dekatnya. Semakin dekat benda itu
semakin sering berada di atas air. Bahkan sering meloncat tinggi ke udara. Rasa
takut membuat pemuda itu tidak berani bergerak.
601 "Ah, kelihatan seperti ikan besar. Jangan-jangan ikan hiu!"
Beberapa saat kemudian benda-benda aneh yang belum pernah dilihat oleh A Liong
itu telah tiba. Ternyata mereka adalah sekawanan ikan lumba-lumba yang datang karena tertarik
pada A Liong. Begitu datang mereka segera berputaran di sekeliling A Liong.
Bahkan beberapa ekor di antaranya malah menggesek-gesekkan kulitnya kepada A
Liong, seolah-olah binatang cerdik itu mau mengajaknya bermain.
Tapi karena belum pernah melihat binatang itu, A Liong tetap tidak berani
berbuat apa-apa. Bergerak pun ia tak berani. Takut kalau binatang itu kaget dan
marah kepadanya. Sebaliknya ikan lumba-lumba itu kelihatan senang dan amat tertarik kepada A
Liong. Bagaikan binatang-binatang piaraan yang senang bercanda, ikan lumba-lumba
itu mengerumuni A Liong. Mereka menggosok-gosokkan kulitnya, bahkan moncong
hidungnya ke kepala A Liong.
Akhirnya A Liong tidak merasa takut lagi. Ikan-ikan bertubuh besar itu ternyata
sangat bersahabat dan sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap dirinya.
Diam-diam pemuda-pemuda itu tersenyum geli. Di dalam pikirannya kembali
terbayang bidadari-bidadari cantik yang datang mengerumuninya.
Malam semakin larut. Bulan yang cerah itu sudah tidak kelihatan lagi. Gumpalan
awan yang tebal 602 menutupi seluruh wajahnya, sehingga dunia seolah-olah berubah menjadi hitam
kelam. Cahaya jutaan bintang di langit tetap tak kuasa menggantikan sinar
rembulan. Laut pun tampak hitam legam, sehingga A Liong merasa seperti berkubang dalam
genangan darah yang mengerikan. Anehnya, kawanan ikan lumba-lumba itu tetap
berseliweran di dekat A Liong. Mereka bagaikan binatang piaraan yang berusaha
melindungi tuannya. Bahkan kawanan lumba-lumba itu seperti menggiring A Liong melalui tempat yang
aman. Dalam keadaan gelap seperti itu A Liong tidak tahu arah lagi. Pemuda itu hanya
merasa seperti dihanyutkan oleh arus laut ke arah Utara. Semakin lama airnya
semakin terasa dingin. "Aduh... gelapnya! Andaikata ada lammm.... oh"!"
A Liong terdesak dan hampir saja terminum air yang menyiram wajahnya, ketika
matanya tiba-tiba melihat cahaya lampu minyak melayang mendatangi.
Tentu saja A Liong buru-buru menghindar ke balik gentong kayunya. Tapi sesaat
kemudian mulutnya kembali melongo.
"Gila!" Pemuda itu berdesah dan terlongong-longong bingung ketika menyaksikan
lampu minyak yang hendak melanggar dirinya tadi mendadak lenyap tak keruan
arahnya. Sekejap ada perasaan seram di dalam hati A Liong.
Jangan-jangan ada hantu yang hendak menakut-nakuti dirinya. Tapi dasar A Liong.
Rasa takut itu hanya 603 singgah sebentar saja dalam hatinya. Sesaat kemudian matanya justru mencari-
cari, ke mana perginya lampu aneh itu.
Namun sampai beberapa waktu kemudian lampu itu tak dapat dilihatnya kembali,
sehingga A Liong menganggap dia tadi hanya melihat bayang-bayang saja. Mungkin
karena dia terlalu lelah, lapar dan mengantuk, pandangannya menjadi kabur.
Seolah-olah matanya melihat sebuah lampu minyak yang sebenarnya tak pernah ada.
"Ah, karena kedinginan dan kelaparan, pikiranku membayangkan hal yang bukan-
bukan. Aku... hei"!"
Ke manakah kawanan ikan besar tadi?"
Sekali lagi mata A Liong belingsatan ke sana ke mari. Tapi tak terlihat apa pun
di sekelilingnya. Di mana-mana hanya hitam. Hitam dan hitam. Hanya sekali-sekali
terlihat kilatan sinar bintang yang memantul di ujung riak dan gelombang.
"Wah, jangan-jangan ikan itu juga... hantu laut!"
Rasa seram kembali mencekam hati A Liong.
Kubangan hitam di bawahnya itu entah sampai di mana dasarnya. Dan di dalamnya
tentu dihuni oleh bermacam-macam makhluk mengerikan. Tiba-tiba ingin rasanya ia
menarik kakinya dan naik ke atas gentong kayu itu. Tapi mana mungkin ia bisa
melakukannya" Gentong kayu itu tak cukup kuat untuk menampung tubuhnya.
Akibatnya ia seperti berada di depan mulut ikan paus, yang sewaktu-waktu akan
menelannya. 604 Kini rasa takut benar-benar telah menguasai hati A Liong. Keberanian yang
dimilikinya hampir tak kuasa lagi bertahan menghadapi peristiwa yang belum
pernah dialaminya itu. Bagaimanapun juga rasa lelah dan lapar membuat daya
tahannya menurun. "Oooh, tampaknya... tampaknya aku sudah... hei, apa itu?"
Untuk ketiga kalinya mata A Liong terbelalak!
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah sampan kecil muncul dan
melintas dengan cepat di depannya! Sekilas tampak bayangan seorang manusia duduk


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dalamnya. "Cici Siau In..."!" " Otomatis lidah A Liong menyebut nama Siau In.
Seperti orang kesetanan A Liong berenang mengejar sampan itu. Demikian
bersemangatnya sehingga gentong kayu yang terikat dengan sabuknya itu hampir
terlepas dari tubuhnya. Tapi bersamaan dengan datangnya segulung ombak, sampan itu mendadak lenyap
begitu saja. Sampan kecil itu bagaikan ditelan masuk ke dalam perut ombak yang ganas.
Beberapa saat lamanya A Liong masih mencari ke sana ke mari, tapi suasana yang
gelap itu tidak menguntungkannya. Seluruhnya kembali berwarna hitam. Hitam
mengerikan. A Liong tertunduk lemah. Rasa lelah dan lapar benar-benar membuat keseimbangan
batinnya menjadi kacau. 605 "Gila! Lama-lama aku bisa gila kalau begini...!"
Demikianlah, sampai saatnya matahari
memancarkan sinarnya di ufuk timur. A Liong tetap tak bisa memejamkan matanya.
Rasa lapar benar-benar sangat menyiksanya sehingga matanya terasa berkunang-
kunang. Air laut yang bergejolak merah bak genangan darah itu tak mampu lagi
menarik perhatiannya. Burung-burung laut mulai beterbangan mencari mangsa. Suaranya terdengar nyaring
di antara gemuruhnya deru gelombang. Mereka melayang berputaran di atas kepala A
Liong, seolah-olah mereka ingin memastikan makhluk aneh yang terapung di bawah
mereka. Bahkan ada satu dua ekor, yang berani mendekati dan menyambar rambut
pemuda itu. Tapi gangguan burung itu tak mampu lagi mengusik perhatian A Liong. Pemuda itu
sudah memutuskan untuk tidak mempedulikan lagi bayang-bayang buruk yang menggoda
matanya. Pemuda itu tetap mengira bahwa semua yang dilihatnya hanyalah bayangan,
yang sekejap kemudian tentu akan hilang tertiup angin.
Demikian pula ketika tiba-tiba pemuda itu melhat kawanan ikan lumba-lumba datang
mendekati. A Liong sama sekali tak peduli. Bahkan pemuda itu tetap tak tertarik
pula ketika binatang-binatang menyenangkan itu bermain-main di atas permukaan
air. Mereka bergantian meloncat ke udara dan 606
berenang berputaran mengelilingi sebuah sampan yang ditumpangi oleh seorang
kakek tua. "Ah, tipuan lagi...! Paling-paling cuma bayangan yang hendak menggoda mataku
saja! Huh!" A Liong bergumam sambil memejamkan matanya.
Duuuuk! A Liong terperanjat. Seekor di antara ikan lumba-lumba itu menyentuh
punggungnya, dan nyaris melemparkannya ke dalam air. Ketika A Liong berputar
untuk melihat pengganggunya, sampan kecil itu telah berada di depan matanya.
Bahkan ia dapat melihat dengan jelas senyum kakek itu.
A Liong mengucak-ucak matanya. Dia tetap belum percaya apa yang dilihatnya. Tapi
ketika kakek di atas sampan itu menyapanya, A Liong baru tergagap kaget.
"Anak muda, kau siapa....." Mengapa kau terapung-apung di sini" Apakah kau juga
dari Pondok Pelangi?"
A Liong yang masih dalam keadaan gugup tak bisa segera menjawab. Pemuda itu
masih belum yakin kalau yang dihadapi adalah manusia biasa seperti dirinya. Dia
masih tetap beranggapan bahwa apa yang dilihatnya itu cuma bayangan seperti tadi
malam. Byuuuuuur! Sebuah ombak yang amat besar menghantam sampan kecil itu hingga
terlempar jauh. Begitu pula dengan gentong kayu A Liong. Barang itu terlempar pula bersama-sama
dengan penumpangnya. A Liong gelagapan seperti anak ayam yang tercebur ke dalam kolam. Namun
demikian, begitu muncul dari dalam air, yang pertama dicarinya adalah kakek tua
607 itu. Tapi sekali lagi hatinya menjadi kecewa sekali.
Tak ada sebuah benda pun tampak di sekitarnya.
"Gila! Aku sudah gila!" Umpatnya penuh geram.
Byuuuuur! Makian dan kekesalan pemuda itu dijawab dengan gempuran geiombang
lagi. Bahkan kali ini ombak yang datang lebih besar daripada tadi.
Begitu besarnya sehingga gentong kayu itu terlempar jauh dan terlepas dari A
Liong! A Liong tidak menyadari bahwa tubuhnya terseret ke dalam pusaran air yang sangat
ganas. Sebuah pusaran yang tercipta dari pergesekan dua buah arus laut. Air laut
di tempat itu berputar dengan kuat sekali. Jangankan manusia kecil seperti A
Liong, sebuah perahu besar pun dengan mudah akan dipilinnya seperti baling-
baling. Seperti sehelai daun kering yang tak ada artinya, tubuh A Liong timbul tenggelam
tak berdaya. Memang, bagaimanapun hebat kekuatan dan kesaktian manusia, dia tetap takkan
mampu melawan keganasan alam. Akhirnya yang bisa dilakukan oleh A Liong hanya
bertahan dan mencoba untuk menyelamatkan diri.
Agaknya Tuhan memang belum menghendaki nyawa A Liong. Terbukti dengan segala
kekuatannya pemuda itu masih bisa melepaskan diri dari pusaran air yang
menggulungnya. Bahkan dengan sisa-sisa tenaganya A Liong masih bisa berenang
menjauhi tempat itu. 608 A Liong berenang bagaikan dikejar setan. Pemuda itu sama sekali tak sempat
memikirkan arah dan tujuannya. Yang penting bagi pemuda itu, bagaimana
menjauhkan diri dari tempat tersebut secepatnya.
Setelah terbebas dari cengkeraman maut, barulah terasa oleh A Liong betapa lemas
seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja semangat dan kekuatannya seperti tiada lagi. Bahkan untuk
bertahan agar tidak tenggelam pun pemuda itu sudah tak mampu lagi. Bagaikan
sebongkah batu yang tak memiliki kekuatan apa-apa,, tubuh A Liong tenggelam.
Tiba-tiba seutas tali menjerat kaki A Liong dan di lain saat tubuh pemuda itu
ditarik ke atas lagi. A Liong tidak tinggal diam. Merasa ada yang membantunya,
tangannya berusaha menggapai sekenanya. Pemuda itu berpendapat, asal tangan dan
kakinya bergerak tubuhnya tak kan tenggelam.
Tapi pada gerakan yang kesekian kalinya, tangan A Liong merasa menyentuh
sesuatu. Ketika pemuda itu mengangkat kepalanya, hampir saja dahinya melanggar
dinding sampan yang mendadak saja sudah berada di depan hidungnya. Dalam
kekagetannya tangan A Liong masih tak lupa untuk meraih pinggiran sampan itu.
Bahkan pemuda itu tak menampik ketika kakek tua yang mengemudikan sampan itu
mengulurkan tangan untuk menolongnya.
"Wah, kita benar-benar mendapatkan ahli waris itu!
Bukan main! Semula aku sudah tidak yakin dia bisa keluar dari pusaran air itu!
Sudah sekian puluh tahun 609
kita menunggu, tak seorang manusia pun mampu keluar dari lubang itu! Hmm...
ternyata benar juga kata Souw Ju Kang." Tiba-tiba terdengar suara di belakang A
Liong. A Liong tertegun dan hampir saja melepaskan tangannya yang dipegang oleh kakek
itu. Ia bergegas membalikkan badannya untuk mencari asal suara itu.
Dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba di belakangnya telah ada sebuah sampan
yang lain. Sampan kecil dengan seorang kakek pula sebagai penumpangnya. Orang itulah yang
berbicara tadi. A Liong mengejap-ngejapkan matanya. Walaupun sudah yakin kalau mereka adalah
orang-orang biasa, namun dandanan dan wajah mereka tetap terasa aneh bagi mata A
Liong. Kakek pertama, yang berada di dekat A Liong bertubuh gemuk pendek. Rambutnya
yang putih seperti perak itu digelung ke atas dan diikat seperti layaknya para
pendeta Agama To. Jubahnya sudah sangat lusuh dan penuh tambalan.
Namun wajah kakek itu kelihatan terang dan bercahaya. Anehnya, walaupun rambut
di kepalanya sudah putih semua, tetapi alis mata, kumis dan jenggotnya tetap
berwarna hitam legam seperti rambut pemuda belasan tahun.
Sedangkan kakek yang ke dua, bertubuh kurus, rambutnya dibiarkan terurai panjang
di belakang punggungnya. Namun seperti halnya kakek pertama, rambut yang tumbuh
di kepala kakek itu juga terbagi 610
dua. Bahkan pembagian warnanya benar-benar sangat aneh dan tidak masuk akal.
Kepala itu bagaikan terbelah menjadi dua bagian! Bagian sebelah kiri, rambutnya
berwarna putih, sementara di bagian kanan berwarna hitam legam. Pembagian warna
itu benar-benar sangat aneh dan mentakjubkan.
"Hei, bocah! Apa yang kau lihat" Kau belum pernah melihat orang seperti kami?"
kata yang bertubuh kurus itu bertanya. Suaranya keras dan kaku.
Raut mukanya tampak dingin penuh rasa curiga.
"Lalala... tentu saja dia masih bingung, Kek Ong!
Ayoh, kita tolong dulu, baru nanti kita tanyakan siapa dia! Jangan kau takut-
takuti dia dengan wajahmu yang jelek itu, lalala!" Kakek pertama yang bertubuh
gemuk itu menegur temannya sambil tertawa.
Kakek kurus itu terdiam. Matanya yang tajam bagai mata burung elang itu menatap
kawannya. Kemudian sambil membuang muka ia menggeram, seolah-olah berbicara
dengan burung-burung laut yang beterbangan di sekitar mereka.
"Huh, kaukira tampangmu yang bulat berminyak itu juga tampan, heh" Sejak dulu
setiap orang selalu mengatakan kalau Bok Kek Ong lebih ganteng dari pada Soat
Ban Ong." Kakek Soat Ban Ong yang gemuk itu tidak mempedulikan kedongkolan hati kawannya.
Ia tetap tertawa terkekeh-kekeh. Sambil tertawa tangannya menarik tubuh A Liong
ke dalam sampannya. 611 "Jangan takut, anak muda. Kami berdua memang sering berselisih dan suka berolok-
olok, tetapi kami tak pernah bersungguh-sungguh. Kami adalah sahabat karib
selama enam puluh tahun, la-lalaaaaaa.
Bukankah begitu, Kek Ong?"
"Huh!" Bok Kek Ong hanya mendengus saja. Ia memutar sampannya dan mendahului
berangkat meninggalkan tempat itu.
Kakek Soat Ban Ong segera membalikkan sampannya pula dan mengayuhnya di belakang
Kakek Bok Kek Ong. Belasan ikan lumba-lumba tiba-tiba muncul kembali di sekitar
mereka. Kawanan ikan besar itu berenang di kanan kiri mereka bagaikan sepasukan
pengawal yang sedang melindungi junjungannya.
Sambil mendayung Kakek Soat Ban Ong bercerita.
Mereka berdua tinggal di sebuah gugusan pulau yang terpencil di tengah-tengah
samudra luas. Gugusan pulau itu terdiri dari delapan pulau kecil-kecil, yang
hanya ditumbuhi jamur dan lumut. Dan mereka sudah lebih dari setengah abad
tinggal di sana. Sayang keadaan dan situasi di tempat itu membuat mereka berdua selalu terkurung
dan tak bisa keluar ke tempat lain. Apalagi kembali ke daratan Tiongkok.
"Mengapa tak bisa" Bukankah Locian-pwe berdua juga bisa bersampan sampai ke
tempat ini?" Tak terasa A Liong berseru. Meskipun demikian pemuda itu tak berani
sembarangan menyebut nama mereka.
Ia tahu bahwa mereka adalah orang-orang sakti.
612 Kakek Soat Ban Ong menoleh sambil tersenyum. Ia kelihatan amat gembira melihat A
Liong sudah mau bicara. Ia tidak segera menjawab pertanyaan A Liong, tapi
sebaliknya malah menepuk pundak pemuda itu.
"Lalala, tampaknya rasa kagetmu sudah hilang sekarang. Bagus, siapa namamu, Nak"
Dari mana kau datang" Apakah kau terjatuh dari perahu yang kau-tumpangi?"
A Liong menarik napas panjang. Perasaannya memang telah menjadi tenang sekarang.
Pertemuannya dengan kedua orang itu benar-benar telah menyingkirkan kegalauan
hatinya. Tapi dengan demikian tiba-tiba dia merasakan betapa dinginnya udara di
tempat itu. Bahkan dalam guyuran sinar mentari yang kemerah-merahan itu kulitnya
masih tetap terasa tebal dan kaku.
"Lalala... mengapa mulutmu terdiam lagi?"
"Eh-oh, maaf... Locianpwe. Aku hanya merasa kaget saja, mengapa tiba-tiba udara
menjadi dingin sekali?"
"Jadi kau tidak merasakan dinginnya udara di sini"
Wah, hebat sekali kalau begitu! Coba kaulihat sekelilingmu! Laut di sini tidak
begitu bergolak seperti di sana tadi, tapi airnya bisa kau rasakan perbedaannya.
Sekali tercebur ke dalam air, tubuhmu akan segera berubah menjadi balok kayu
yang tak bisa ditekuk-tekuk lagi. Lalala"
613 A Liong terkejut. Tangannya segera meraup air di bawahnya. Dan tangan itu cepat-
cepat ditariknya kembali. Jarinya serasa membeku. .
"Locianpwe... di mana kita sekarang" Mengapa air laut di sini dingin sekali?"
"Lho, masa kau tidak tahu kalau kita berada di Laut Utara?"
"Laut Utara?" A Liong benar-benar kaget. Bagaimana mungkin hanya dalam waktu sehari semalam
dia bisa terseret ombak sedemikian jauhnya"
"Hei, mengapa kau kelihatan terperanjat" Memangnya kau dari mana?" Soat Ban Ong bertanya dengan kening berkerut. Sekali lagi A Liong menghela napas panjang. Matanya memandang kakek Soat Ban Ong seolah tak percaya. Dari Hang-ciu ke Laut Utara ada 614 ribuan lie jauhnya. Bagaimana mungkin ia bisa percaya akan hal itu"
"Locianpwe, namaku A Liong. Siaute datang dari daratan Tiongkok, dari kota Hang-
ciu di Propinsi Se-kiang..."
"Hang-ciu" Di mana itu" Ah, sejak kecil aku memang belum pernah menginjak
daratan Tiongkok, jadi... ya, mana aku tahu tempat itu?"
Kakek itu terdiam, begitu pula A Liong, sehingga suasana menjadi sunyi untuk
beberapa saat lamanya. Gelombang laut pun hampir tidak ada lagi.
Permukaan air kelihatan tenang. Namun A Liong menjadi heran ketika merasakan
sampan, yang ditumpanginya itu melaju semakin cepat tanpa dikayuh.
"Lociapwe, sampan ini... sampan ini bisa berjalan sendiri?" serunya bingung.
"Berjalan sendiri" Lalala... masa engkau tidak tahu"
Kita berada di jalur arus laut yang menuju ke utara, maka tanpa dikayuh pun
sampan ini akan berjalan sendiri Kita hanya menjaga saja agar sampan tidak
berputar-putar." "Arus laut..." Masa di dalam genangan air juga ada air yang mengalir" Aneh!"
Soat Ban Ong tertawa. "A Liong, tampaknya kau belum mengenal jenis-jenis laut di
sini. Sungguh mengherankan. Belum kenal, tapi kau mampu membebaskan diri dari
sedotan pusaran maut itu.
615 Hmmm, tampaknya Thian memang benar-benar mengirimkan kau kepadaku."
A Liong tidak tahu maksud perkataan Soat Ban Hong, tapi ia tak berkata apa-apa.
Sementara itu sampan Kakek Bok Kek Ong yang berada jauh di depan tampak
diselimuti kabut tebal. Sampan itu kelihatan bergoyang-goyang, ke kanan dan ke
kiri. Bahkan sejenak kemudian Bok Kek Ong tampak berusaha mempertahankan sampannya.
Sampan itu mulai berputar-putar. Ketika A Liong mencoba memperhatikannya lebih
lama, ternyata air laut yang tenang itu sudah mulai bergolak di depan sana.
"Locianpwe, lihat...! Bok Locianpwe seperti mendapat kesulitan." A Liong
berseru. "Jangan khawatir. Tenang saja. Kami sudah biasa melewati tempat itu. Daerah ini
adalah daerah tempat kami bercanda dan bermain-main setiap hari." Soat Ban Ong
menjawab tenang. Tiba-tiba A Liong teringat sesuatu.
"Locianpwe, kau tadi mengatakan bahwa kalian berdua hidup terkurung di pulau
itu, tanpa bisa pergi ke mana-mana. Tapi... eh, bukankah Locianpwe bisa
bersampan ke mana saja" Apa maksud perkataan Locianpwe itu?"
-- o0d-w0o -- 616 JILID XV OAT BAN ONG menatap mata A Liong
beberapa saat lamanya, kemudian, menghela napas panjang berkali-kali.
S "Kelihatannya laut di sini biasa-biasa saja.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak berbahaya. Bahkan berkesan sangat tenang. Tapi pada waktu-waktu tertentu
air laut ini akan berubah menjadi ganas dan mengerikan.
Jangankan hanya sampan kecil seperti ini, perahu dagang yang sangat besarpun
tidak akan berani melewati tempat ini. Itulah sebabnya daerah ini sangat sepi
dan tak pernah dilalui orang."
"Tapi Locianpwe berdua berani juga sampai di sini, walaupun hanya dengan sampan
kecil." Soat Ban Ong tertawa. "Ya, karena selama setengah abad kami berdiam di sini,
kami telah mengenal betul semua lika-liku dan rahasianya. Sehingga kami bisa
memilih dan menghindari bahaya-bahaya yang ada.
Nah, kau lihat tempat yang kini sedang dilalui oleh Kakek Bok Kek Ong itu"
Tempat itu justru tempat yang paling aman dibandingkan dengan tempat-tempat yang
lain. Tempat itu merupakan titik pertemuan antara arus laut dari arah barat dan
arus laut dari arah selatan. Karena tempat itu adalah tempat bertemunya dua buah
arus laut, maka di sekelilingnya banyak terbentuk pusaran-pusaran maut yang
berbahaya. Kami pernah menghitung, kira-kira ada sebelas pusaran besar dan kecil
di tempat itu. Semua 617 pusaran itu dapat menghisap dan menelan perahu sebesar apa pun."
"Menghisap dan menelannya?"
"Ya, pusaran itu berputar pada porosnya. Semakin mendekati porosnya, putarannya
semakin cepat dan kuat. Dan pada porosnya itu terdapat lubang menganga, yang
siap menelan semua mangsanya."
A Liong mengerutkan dahinya dengan perasaan ngeri. Pikirannya segera
membayangkan dasar laut yang gelap dan dalam di mana pusat dari pusaran itu
berada. Di sana tentu banyak barang-barang atau makhluk-makhluk yang pernah
ditelan oleh pusaran itu.
"Ah!" A Liong berdesah pendek. "Tapi mengapa kita tidak menghindar saja sejauh-
jauhnya, keluar dari aliran arus ini?"
"Waduh, tidak semudah itu melakukannya. Keluar dari arus ini berarti kita harus
bertempur dengan rombongan ikan hiu dan ikan cucut yang haus darah.
Kita tidak dapat melawan mereka dengan sampan sekecil ini. Lubang mulut mereka
mampu mencaplok dan menelan sampan ini berikut isinya."
"Lalu... kenapa Locianpwe tidak berusaha membuat perahu yang lebih besar agar
bisa keluar dari tempat ini?"
"Hai, bagaimana kami bisa membuat perahu besar kalau di pulau itu hanya ada
tumbuhan jamur dan lumut" Coba kaulihat sampanku ini! Sampan ini hanya terbuat
dari tulang rusuk ikan hiu. Ratusan 618
batang tulang rusuk ikan hiu kami susun dan kami rekatkan dengan getah jamur.
Kau tahu, berapa tahun kami harus menyelesaikan pembuatan sampan ini"
Lima belas tahun! A Liong terbelalak. Otomatis tangannya meraba pinggiran sampan itu. Memang
benar, sampan itu terbuat dari jajaran tulang rusuk ikan hiu. Kotoran dan lumut
tebal yang tumbuh di sela-selanya telah menyembunyikan bentuk aslinya.
"Bukan main...." A Liong membatin.
Bok Kek Ong telah berhasil melewati daerah berbahaya itu. Kini giliran sampan
Kakek Soat Ban Ong yang harus melewati daerah tersebut. Hati A Liong menjadi
tegang. Goncangan air di bawah sampan mereka mulai terasa. Semakin lama semakin
kuat. Bahkan hantaman ombak datang dari segala jurusan. Kadang kala dari depan,
kemudian dari belakang, dan di lain saat dari samping. Akibatnya Soat Ban Ong
menjadi sulit mengendalikan arahnya.
Namun demikian kakek itu tetap berusaha mengarahkan sampannya ke tempat
pertemuan dua arus itu. A Liong merasa ngeri menyaksikan deburan air yang semakin lama semakin menggila.
Semburan air yang melonjak ke atas membasahi udara di sekitarnya, membuat tempat
itu bagaikan tertutup oleh kabut tebal. Bagi yang belum tahu, tempat itu tentu
akan dihindari dan dijauhi. Padahal justru tempat itulah daerah yang paling aman
untuk menyeberang Di luar 619
daerah itu merupakan daerah berbahaya yang menyimpan seribu jebakan mengerikan.
Rasa takut justru membuat A Liong tidak bisa memejamkan matanya. Begitu menembus
kabut air itu ia merasakan goncangan-goncangan yang keras pada sampannya.
Tubuhnya yang terguyur semburan air itu merasakan adanya hawa panas dan dingin
di sekitarnya. Remang-remang A Liong melihat jilatan-jilatan lidah ombak
menggapai ke udara. Sepintas lalu bagaikan jin dan setan yang berloncatan
gembira dalam semburan kabut tebal.
Kakek Soat Ban Ong mati-matian mengendalikan sampannya. Namun demikian ia selalu
berseru memperingatkan A Liong agar berpegangan dengan kuat. Sekali terpental
dari sampan dan jatuh ke dalam air, berarti jiwa A Liong tak bisa tertolong
lagi. Meskipun tak bisa melihat dengan jelas, tapi A Liong benar-benar kagum
menyaksikan kehebatan Kakek Soat dalam mengemudikan sampannya.
Berkali-kali kakek itu harus melompat, berjumpalitan, dan menjepit sampannya,
untuk tetap menjaga agar sampan itu tidak terbalik.
"A Liong, pejamkan matamu! Jangan melihat apa-apa! Rasa ngeri akan membuatmu
mual dan pusing! Berpeganglah kuat-kuat pada pinggiran sampan!
Tapi mana bisa A Liong memejamkan matanya"
Semakin dahsyat gempuran air laut menggoncang sampannya, justru semakin lebar
pula pemuda itu membuka matanya. Rasa takut dan ngeri malah 620
membuat pemuda itu semakin waspada. Matanya justru jelalatan ke sana ke mari,
berjaga-jaga bila ada sesuatu yang membahayakan dirinya.
Semburan air yang tinggi, ditingkah oleh gemuruhnya suara air dan angin, membuat
suasana di tempat itu benar-benar menakutkan! Namun justru di tempat itulah A
Liong melihat betapa hebatnya kepandaian Kakek Soat Ban Ong. Kakek tua yang
bertubuh gemuk pendek itu bergerak lincah melebihi kemampuan anak muda. Untuk
mengendalikan sampan agar tidak bergeser dari tujuannya, serta menjaga agar
sampan itu tidak terbalik. Kakek itu benar-benar mengeluarkan segala
kesaktiannya. Sampan kecil yang ditumpangi A Liong itu bagaikan sebuah barang mainan saja
baginya. Kadang-kadang sampan itu dijepit dengan kedua kakinya dan dibawa
melenting ke atas seperti menjinjing keranjang sampah, atau suatu saat dayung
kecilnya yang terbuat dari tulang itu menghantam lidah ombak yang hendak
menggempur sampannya. Dan A Liong sampai melongo menyaksikan ombak itu meledak
berhamburan seperti menerjang batu karang!
"Siapa sebenarnya kakek ini" Rasanya aku belum pernah mendengar namanya di Dunia
Persilatan...." Mungkin ada sepeminuman teh lamanya mereka harus bertarung dengan tempat
berbahaya itu. Begitu terlepas dari tempat itu Kakek Soat masih harus
mengendalikan sampannya agar tetap berada pada jalur arus laut yang membawanya.
Sedikit saja 621 melenceng, maka kemungkinan hidup akan sangat kecil. Kalau tidak ditelan oleh
pusaran air, mereka tentu akan dikeroyok dan diperebutkan oleh kawanan ikan
buas. A Liong mendengar bermacam-macam gaung suara angin di sekitarnya. Ada yang
bernada rendah, tapi juga ada yang bernada tinggi. Suara itu seperti suara-suara
gasing di lomba permainan anak-anak.
"Suara apa itu, Locianpwe?"
Soat Ban Ong menarik napas lega. Setelah melewati daerah berkabut itu tugasnya
menjadi lebih ringan, walaupun sebenarnya bahaya-bahaya yang lain masih banyak
lagi. "Itulah suara Pusaran Air yang kuceritakan tadi. Di kanan-kiri jalur perjalanan
kita ini terdapat belasan Pusaran Air. Begitu kencangnya putaran air sehingga
menimbulkan gesekan angin seperti itu."
Walaupun tidak merasa ngeri lagi, tapi wajah A Liong masih tampak pucat. Pemuda
itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan kakek itu.
Kakek Bok Kek Ong yang telah menunggu di depan, melambaikan tangannya begitu
melihat Kakek Soat Ban Ong keluar dari tabir kabut.
Kakek Soat Ban Ong membalas lambaian itu dan memberi isyarat untuk meneruskan
perjalanan mereka. "Kau lihat gugusan pulau-pulau di garis cakrawala itu" Di sanalah tempat tinggal
kami...." Kakek Soat 622
Ban Ong mengangkat jarinya ke depan. "Oooo, indah sekali...!" A Liong
membelalakkan matanya. Di depan matanya terbentang sebuah panorama alam yang
luar biasa sekali. Permukaan laut tampak berkilat-kilat kuning kemerahan.
Sementara kabut yang tercipta dari semburan air pusaran, bertebaran ke udara
bagaikan mau menggapai langit. Ditingkah oleh cahaya mentari maka semburan kabut
itu menciptakan beberapa lembar pelangi, yang berkelak kelok mempesonakan.
Benar-benar keindahan alam yang sangat mentakjubkan!
"Tempat ini memang selalu dikelilingi pelangi.
Kabut tipis yang ditimbulkan oleh pusaran air itu akan membiaskan cahaya
matahari dalam bentuk warna yang indah-indah."
Tiba-tiba A Liong teringat ucapan Kakek Soat Ban Ong tadi malam, pada saat kakek
itu melihat dia untuk pertama kali.
"Locianpwe... kalau tidak salah tadi malam Locianpwe mengatakan bahwa aku datang
dari Pondok Pelangi. Apa yang Locianpwe maksudkan"
Apakah ada Pondok Pelangi di sekitar tempat ini" Di mana tempatnya?"
Sungguh mengherankan. Mendengar pertanyaan A Liong tentang Pondok Pelangi, wajah
Kakek Soat Ban Ong tampak kaget. Tapi cuma sebentar, karena di lain saat orang
tua itu telah tertawa kembali.
"Yah... jauh di sebelah utara sana memang ada sebuah gugusan pulau lagi. Namanya
Kepulauan 623 Pelangi, karena setiap hari tempat itu juga diselimuti pelangi. Berbeda dengan
tempat tinggal kami, tempat itu sangat subur dan menyenangkan untuk tempat
tinggal. Maka tidak mengherankan bila pulau-pulau itu telah dihuni orang sejak
ribuan tahun lalu. Mereka hanya terdiri dari tiga buah keluarga besar, yaitu
Keluarga Soat, Souw, dan Bok. Karena tempat itu terpencil dan tidak bisa
didatangi orang, maka mereka mendirikan kekuasaan sendiri, terlepas dari daratan
Tiongkok. Mereka menyebut negeri mereka Kerajaan Pelangi. Mereka mendirikan
sebuah istana sederhana yang disebut Pondok Pelangi. Dan yang paling menonjol
dari mereka adalah ilmu silat khusus yang hanya bisa dipelajari oleh masyarakat
mereka sendiri...." A Liong mengerutkan keningnya dan kakek itu tertawa melihatnya.
"Kau tak percaya?"
A Liong tersenyum kecut. Ia memang tidak mempercayainya. Bagaimana mungkin
sebuah ilmu silat hanya bisa dipelajari oleh masyarakat tertentu"
Apakah ilmu silat itu menuntut sesuatu yang khusus dari orang yang ingin
mempelajarinya " Misalnya orang itu harus mempunyai empat tangan atau empat
kaki" Kakek Soat Ban Ong duduk di pinggiran sampan.
Mereka telah melewati daerah berbahaya, dan kini tinggal mengikuti arus saja. A
Liong merasa lega. 624 Sambil lalu pemuda itu ikut-ikutan duduk di tepi sampan.
"Aaaaaaah...!" A Liong menjerit. Sampan itu bergoyang miring begitu menerima beban tubuhnya.
Untunglah Kakek Soat Ban Ong cepat menyambar lengannya.
"Lalala, kenapa kau ini" Mau bunuh diri, ya" Enak saja duduk di pinggiran
sampan. Kaukira tubuhmu itu enteng" Tubuh gembrot segede gajah begitu mau main
goyang-goyangan, lalalalaaaa."
"Tapi... tapi... Locianpwe sendiri juga duduk di pinggiran sampan. Padahal
Locianpwe... malah lebih gemuk dari pada saya." Dalam kegugupannya A Liong
mencoba membela diri. Tak terduga orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh.
Begitu geli hatinya sehingga matanya yang sipit itu sampai mengeluarkan air
mata. Selesai tertawa tiba-tiba orang tua itu melemparkan dayungnya ke laut,
lalu tubuhnya yang gemuk pendek itu melesat mengejarnya.
Dayung kecil dari tulang ikan yang panjangnya hanya satu lengan orang dewasa itu
jatuh di atas permukaan air. Dan sebelum benda itu hanyut dibawa gelombang, kaki
kanan Soat Ban Ong lebih dulu mendarat di atasnya. Selanjutnya bagaikan seorang
pemain sulap kakek itu berayun-ayun di atas dayung kecil tersebut. Sungguh
sangat mengherankan sekali, dayung kecil itu sama sekali tidak amblas atau
terbenam karenanya. 625 Tentu saja pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang nyaris sempurna itu benar-
benar mengagumkan hati A Liong.
"Wah, seharusnya aku sudah tahu sejak tadi kalau orang tua ini memiliki
kesaktian yang hebat."
Selesai mempertunjukkan kebolehannya Kakek Soat Ban Ong kembali meloncat ke
dalam sampan. Tak lupa dayung kecilnya itu dibawa pula. Dengan mengulum senyum ia mengawasi A
Liong. "Nah, sebelum kau bisa berdiri di atas dayung ini...
tak mungkin kau dapat duduk di pinggiran sampanku.
Lalalaaaaa..." "Wah, mana mungkin bisa...." A Liong menyahut dengan cepat.
"He, kenapa tidak bisa" Asal mau belajar setiap orang pasti bisa."
A Liong tak menjawab. Sebenarnya ingin sekali dia belajar Ilmu Meringankan Tubuh
seperti orang tua itu, karena dia juga ingin bisa bergerak lincah seperti halnya
Siau In. Tapi bagaimana caranya" Sebagai orang yang baru saja kenal, tak mungkin
kakek itu mau mengajarinya.
"Tapi Locianpwe tadi mengatakan bahwa ilmu silat dari Kerajaan Pelangi tidak
bisa dipelajari oleh sembarang orang." A Liong menjawab sekenanya.
Tak terduga wajah Soat Ban Ong berubah hebat mendengar jawaban tersebut. Matanya
yang sipit berkilat-kilat memandang A Liong.
626 "Kau bilang apa" Kau tahu ilmu silatku dari... dari Pondok Pelangi?"
A Liong menjadi kaget juga. Sebenarnya dia cuma bicara sembarangan, karena
otaknya yang cerdas hanya menerka-nerka saja tentang siapa kakek itu.
"Maaf, Locianpwe. Aku hanya menduga-duga saja dari cerita Locianpwe tadi.
Locianpwe mengatakan bahwa Pondok Pelangi hanya dihuni oleh keluarga Soat, Souw
dan Bok. Sementara Locianpwe berdua dari keluarga Soat dan Bok...."
Kakek Soat Ban Ong termangu sebentar, tapi sesaat kemudian tawanya meledak lagi.
"Bukan main! Kau sangat cerdas dan teliti sekali, lalalala."
Wajah A Liong menjadi merah oleh pujian itu. Dan kakek itu semakin senang
melihatnya. "Sudahlah! Kita sudah sampai. Lihat ...! Pulau itu tak memiliki apa-apa, bukan?"
A Liong mengangkat mukanya. Benar, pulau itu telah berada di depan matanya.
Sebuah gugusan pulau berpasir putih, dengan batu-batu karang berwarna putih
pula, membuat pulau itu bagaikan lembaran kapas yang terapung di atas air.
Demikianlah, akhirnya mereka sampai juga di tempat Kakek Soat Ban Ong. A Liong
melihat Kakek Bok Kek Ong sudah mendaratkan sampannya di atas pasir. Bahkan
kakek itu telah menyeretnya jauh ke daratan. Tampaknya kakek itu tak ingin
sampannya 627 yang sangat berharga itu terseret kembali ke tengah lautan.
Selesai menyimpan sampannya, Kakek Bok Kek Ong segera menyelinap pergi tanpa
menunggu kedatangan mereka. Namun Kakek Soat Ban Ong juga tidak peduli. Setelah
mengikat sampannya di tempat aman, Kakek Soat Ban Ong segera menggandeng lengan
A Liong. "Nah, A Liong... marilah kita pergi ke rumahku dulu. Setelah menyiapkan makan
kita bisa bercerita lagi. Ayoh...!"
Mereka berjalan ke tengah pulau, mengikuti jejak Bok Kek Ong yang telah berjalan
lebih dulu. Di sepanjang jalan A Liong tidak henti-hentinya mengagumi panorama
di atas pulau itu. Walaupun tidak ada tumbuh-tumbuhan besar, namun bebatuan yang
ditumbuhi lumut dan jamur itu mampu menampilkan pemandangan tersendiri.
Di bawah pantulan cahaya matahari, batu-batu karang yang menonjol di sana-sini
itu seperti memercikan sinar warna-warni. Merah, biru, kuning, hijau. Sungguh
indah sekali. Apalagi lumut dan jamur yang tumbuh di atasnya juga memiliki warna
yang bermacam-macam. Dari jauh tumbuh-tumbuhan kecil itu seperti rangkaian bunga
yang mekar bersama-sama. "Ah, suasananya benar-benar seperti di taman istana saja!" Tak terasa lidah A
Liong berdecak kagum. 628 Kakek Soat Ban Ong mengajak A Liong ke suatu tempat di mana terdapat rimba batu
karang yang menjulang tinggi ke udara. Seperti halnya bebatuan di tepi pantai
tadi, maka batu karang raksasa yang ada di tempat itu juga memiliki warna yang
beraneka macam. Berkilat-kilat gemerlapan seperti batu permata.
Kakek Soat Ban Ong memasuki sebuah gua kecil.
Di dalamnya tampak tertata rapi. Ada bermacam-macam peralatan di pojok gua itu.
Ada peralatan masak, peralatan memancing dan sebagainya.
"Locianpwe tinggal di gua ini?"
Kakek Soat Ban, Ong mengangguk. "Memangnya ada apa?"


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

A Liong tidak menjawab. Dia justru keluar dan melongok ke luar gua. "Sejak tadi
aku tidak melihat Bok Kek Ong Locianpwe. Ke manakah dia?"
"Lalalalaa... tentu saja dia berada di rumahnya sendiri. Eh, apakah kau ingin
berkunjung ke sana, A Liong?"
"Oh" Jadi Locianpwe tidak tinggal bersama?"
"Wah, gawat! Jelek-jelek kami berdua ini lelaki semua. Masa kami harus tinggal
bersama seperti suami isteri, heh" Kau pikir salah satu dari kami ini banci?"
A Liong cepat merangkapkan tangan di depan dada.
"Maaf, Locianpwe Bukan... bukan begitu maksudku.
Locianpwe berdua tidak memiliki sanak saudara lagi.
629 Bukankah lebih baik hidup berdekatan... agar dapat saling tolong-menolong satu
sama lain?" "Wah, siapa bilang kami tidak mempunyai sanak saudara lagi" Kau salah! Keluarga
kami sangat banyak. Cuma kami tak bisa bertemu dengan mereka, karena semuanya
berada di Kepulauan Pelangi."
Kakek Soat Ban Ong menyela dengan suara tinggi.
"Sangat banyak?" A Liong berdesah kaget. "Tapi...
mengapa tak bisa ke sana" Bukankah Locainpwe dapat naik sampan?"
Kakek Soat Ban Ong menatap A Liong dengan tajamnya. Mata itu seperti hendak
berbicara banyak, tapi tak jadi. Kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah
masuk ke dalam gua. Wajah yang biasanya tampak gembira itu tertunduk lesu.
A Liong bergegas mengikutinya. Tapi kini pemuda itu tak berani berkata
sembarangan lagi. Dia segera duduk pula ketika kakek itu merebahkan tubuhnya di
atas batu datar, yang selama ini dipergunakan sebagai tempat tidur.
"Kau ingin tahu mengapa kami tidak dapat kembali ke Kepulauan Pelangi" Baiklah,
aku akan bercerita. Tapi sebelumnya aku ingin tahu juga tentang kau. Kau belum berkata sepatah pun
tentang dirimu sendiri...."
Akhirnya Kakek Soat Ban Ong berkata pelan.
A Liong tersenyum kecut. Setiap kali ditanya tentang dirinya atau riwayat
hidupnya, pemuda itu selalu bingung dan salah tingkah. Riwayat hidupnya 630
yang kurang manis itu membuatnya tidak enak setiap kali harus diceritakan.
"Tak ada yang bisa diceritakan, Lo-cianpwe. Siaute (aku yang hina ini) hanyalah
anak keturunan pengemis gelandangan yang hidup dari mengais-ngais sisa makanan
di jalanan. Siaute tidak tahu siapa orang tuaku, karena sejak kecil siau-te
berada dalam lingkungan kelompok pengemis yang selalu berjalan dan berpindah-
pindah dari kota ke kota."
Soat Ban Ong tersentak kaget. Matanya memandang wajah A Liong hampir tak
percaya. Masa anak gelandangan yang hidup menjadi pengemis bisa memiliki tubuh
kekar, kuat dan sehat seperti itu"
"Kalau begitu... apa nama keluargamu?" kakek sakti itu bertanya ragu.
A Liong cepat menggelengkan kepalanya.
"Jangankan nama keluarga, nama sendiri pun siau-te tak punya. Nama A Liong
hanyalah sebutan yang diberikan oleh kawan-kawan, karena ada gambar tatto naga
di dada siau-te." Jawaban itu benar-benar mencengangkan Soat Ban Ong. Orang tua itu sama sekali
tak menduga kalau A Liong mempunyai riwayat hidup yang runyam seperti itu.
"Lalu... bagaimana kau bisa tercebur ke laut dan terseret ombak sampai ke Laut
Utara" Apakah kau sudah bosan hidup dan berniat bunuh diri?"
A Liong tersenyum. "Ah, Locianpwe ini ada-ada saja. Bagi siau-te hidup ini
terasa nikmat dan 631 menyenangkan. Bagaimana mungkin siau-te berniat untuk meninggalkannya?"
"Kalau begitu... yah, sudahlah! Ceritakan saja semua riwayatmu! Tentu saja
sejauh yang kauingat!" '
A Liong menurut. Dibeberkannya semua
pengalaman dan riwayat hidupnya, seperti yang pernah dia ceritakan pula kepada
Siau In. Lalu diceritakannya juga perjalanannya ke rumah Tabib Tong Kiat Teng
bersama gadis itu. Hanya dalam hal terseretnya dia ke Laut Utara, dia benar-
benar tak tahu. Selain malam sangat gelap, suasana di laut pun sangat asing
baginya, sehingga ia benar-benar tidak tahu bagaimana dia sampai di Laut Utara.
Soat Ban Ong benar-benar terkesan pada penuturan A Liong. Terutama ketika A
Liong menceritakan tragedi pembantaian di tepi pantai itu. Walaupun pada saat
itu A Liong dalam keadaan pingsan, tapi Siau In telah menceritakan semuanya,
sehingga A Liong bisa menuturkannya dengan lancar. Sebuah pertempuran yang amat
dahsyat, yang melibatkan tokoh-tokoh kenamaan dari Beng-kau, Im-yang-kau, dan
orang-orang Hun. Kakek Soat Ban Ong sama sekali tidak mengenal tokoh-tokoh dalam cerita itu. Tapi
cerita tentang kedahsyatan ilmu mereka benar-benar menggelitik hatinya. Sebagai
orang yang sangat menyukai ilmu silat, maka kaki dan tangannya menjadi gatal
untuk menjajal ilmu kepandaian tokoh-tokoh dalam cerita itu.
632 "Kau bilang Orang Hun itu bisa bergerak... seperti ini?" Orang tua itu berseru
penasaran. Telapak tangan Soat Ban Ong tiba-tiba menepuk batu di bawahnya. Plaak! Kontan
tubuhnya yang gemuk itu mencelat ke atas bagaikan seekor belalang yang
menyentakkan kaki belakangnya. Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata A
Liong sama sekali tak bisa mengikutinya. Tahu-tahu kakek sakti itu sudah melekat
di atas langit-langit gua, seperti seekor cecak yang sedang menanti mangsa.
Mulut A Liong ternganga menyaksikan kecepatan gerak orang tua itu. Namun
demikian A Liong tak bisa membandingkan, mana yang lebih cepat dan lebih tangkas
antara Mo Hou dan Soat Ban Ong.
Seperti telah diketahui pada saat pertempuran itu berlangsung A Liong dalam
keadaan pingsan. Tapi yang jelas bagi A Liong kakek yang berada di depannya itu
memang benar-benar hebat. Gerakan kakek itu sama sekali tak bisa diikuti dengan
matanya. Bahkan kakek itu juga mampu menempelkan tubuhnya di langit-langit gua. Tubuh
yang gemuk itu melekat seperti cecak.
"Maaf, Locianpwe... siau-te tak bisa menilai.
Pengetahuan siau-te tentang ilmu meringankan tubuh sama sekali tidak ada." A
Liong menjawab malu-malu.
Soat Ban Ong tertawa, lalu turun kembali di depan A Liong. Dia tidak mendesak
lebih lanjut, karena dari 633
sinar mata A Liong saja dia bisa menduga apa yang ada di dalam pikiran pemuda
itu. "Jangan khawatir, Kami berdua sudah sepakat untuk mengajarkannya kepadamu.
Meskipun kau tidak akan dapat mendalami rahasia ilmu Pondok Pelangi secara
tuntas, tapi paling tidak kau dapat mengenal dan mainkan jurus-jurusnya. Dengan
cara begitu tubuhmu akan selalu sehat dan cekatan, sehingga kau bisa bertahan
hidup di pulau ini sepeninggal kami nanti."
"Apa..." Mengapa harus tinggal di sini" Apakah Locianpwe berdua hendak
menyandera aku?" A Liong menjerit ketakutan.
Kakek Soat Ban Ong tertawa. "Lala-la, tenang A Liong... tenang! Jangan menjerit-
jerit begitu! Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku tidak bermaksud menyandera kamu.
Apa gunanya" Tanpa kami sandera pun kau tak mungkin bisa keluar dari kawasan
ini. Kau lihat kami berdua, aku dan Kakek Bok Kek Ong itu" Apakah kaukira kami
berdua tak ingin keluar dari pulau ini dan kembali ke Pon dok Pelangi" Telah
enam puluhan tahun kami berada di sini dan entah sudah berapa ribu kali kami
mencobanya. Tapi hasilnya" Padahal ilmu yang kami pelajari rasa-rasanya juga
sudah cukup untuk modal menghadapi segala macam kesulitan. Nah...!"
Ucapnya kemudian dengan suara renyah. Sama sekali tak ada kesan sedih ataupun
kesal di wajahnya. 634 A Liong lah yang kemudian tertunduk sedih. Apa yang dikatakan orang tua itu
tentu saja benar. Mereka tentu sudah kembali ke keluarganya kalau memang mampu.
Mengapa harus susah-susah hidup sendirian di tempat terpencil seperti ini"
Ingat akan hal itu A Liong menjadi sedih sekali.
Tak terasa satu persatu wajah kawan-kawannya berkelebat di pelupuk matanya.
Mereka hidup susah dan selalu dalam kesulitan, namun mereka selalu bergembira.
Selalu berbagi rasa dan berbagi rejeki bersama-sama. Bahkan setelah ia
memisahkan diri, karena ingin bekerja dan mendapatkan uang sendiri, ia selalu
menyempatkan diri menjumpai kawan-kawannya itu. Dengan gaji yang diperolehnya,
ia sering mentraktir atau membeli makanan untuk berpesta bersama.
Kawan-kawannya itu tentu akan merasa kehilangan apabila lama dia tidak muncul.
Pernah terjadi, gerombolannya itu berjalan berkeliling ribuan Lie jauhnya di
daerah Tiong-goan, dari kota yang satu ke kota yang lain, hanya untuk mencari
dirinya. Waktu itu secara diam-diam ia pergi ke utara, keluar dari Tembok Besar
untuk mencari pengalaman.
"Sudahlah, A Liong. Kau tidak perlu bersedih. Kau tidak boleh berputus asa.
Setiap orang memiliki keberuntungannya sendiri-sendiri. Kami berdua memang tidak
mampu keluar dari tempat ini, tapi siapa tahu Thian mentakdirkan lain buatmu"
Nah, kalau memang nasibmu baik dan memperoleh jalan 635
keluar dari tempat ini, kau harus tetap memiliki badan dan semangat yang sehat.
Jangan menjadi manusia yang loyo dan sinting. Tidak akan ada gunanya lagi kalau
waktu keberuntungan itu datang, engkau telah berubah menjadi sinting dan loyo.
Benar tidak?" Nasihat sederhana itu ternyata sangat mengena di hati A Liong. Ya, siapa tahu"
Selama ini ia selalu memiliki semangat yang tinggi. Segala macam kesulitan dan
kesengsaraan selalu diterimanya dengan penuh tawakal dan lapang dada. Dia tak
pernah mengeluh ataupun menyesali nasibnya. Sebaliknya dia malah selalu
memberi semangat dan membesarkan hati teman-temannya. Nah, kalau begitu mengapa sekarang dia harus bersedih" Tidak seorang pun tahu, apa yang akan terjadi besok atau lusa. Manusia hanya wajib berusaha dan berikhtiar. Yah, siapa tahu nasibnya memang lain daripada kedua orang tua itu"
636 "Terima kasih, Locianpwe. Siau-te benar-benar beruntung bisa menjadi muridmu.
Siau-te berjanji akan belajar dengan sepenuh hati. Mudah-mudahan siaute mampu
menerimanya sehingga tidak mengecewakan Locianpwe berdua."
A Liong segera berlutut di depan Kakek Soat Ban Ong.
"Bagus! Bagus! Aku tahu kau anak yang baik.
Lalalala...." Orang tua itu merangkapkan kedua tangannya sambil menengadahkan kepalanya ke
atas, ke langit-langit gua. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
Demikianlah pada hari berikutnya A Liong sudah mulai belajar ilmu silat dari
Kakek Soat Ban Ong. Karena A Liong pada dasarnya memang belum pernah belajar silat, maka Soat Ban
Ong juga memulainya dari awal.
"Hari ini kau berlatih menggerak-gerakkan kaki tanganmu dulu, agar urat-uratmu
menjadi lemas dan mapan. Cobalah dengan berlari mengelilingi pulau ini!"
"Baik, Locianpwe."
"Lalala, bagaimana kau ini" Panggil aku Suhu, dong!"
A Liong tertegun sebentar, namun segera menyadarinya. Bergegas ia menekuk
lututnya. "Baik, Suhu." Ia memberi hormat dengan bersemangat. "Murid akan segera berlari
mengelilingi pulau ini."
637 "Bagus! Nah, mulailah!"
A Liong mengangguk, kemudian bergegas ke pantai. Dengan bersemangat ia lalu
berlari di atas pasir. Karena sejak kecil dia sudah terbiasa melakukan cara-cara
pernapasan yang diajarkan oleh orang tua tak dikenal itu, maka sekarang pun
secara otomatis dia juga melakukannya pula.
Dengan hembusan dan tarikan napas yang teratur A Liong berlari perlahan.
Kadang-kadang juga di dalam air yang dangkal.
Karena pulau itu memang kecil dan berpantai pasir landai, maka A Liong tidak
menemui kesulitan untuk mengelilinginya. Bahkan sambil berlari dia sempat
melihat-lihat panorama indah di sekitar pulau tersebut.
Memang benar . apa yang dikatakan oleh gurunya kemarin, bahwa gugusan pulau itu
terdiri dari beberapa buah pulau kecil-kecil. Malah antara pulau yang satu
dengan pulau yang lain hampir melekat satu sama lain. Masing-masing hanya
dibatasi oleh air setinggi lutut saja.
"Kelihatannya Suhu Bok Kek Ong tidak tinggal di pulau ini, tapi di pulau
seberang itu." Sementara itu Soat Ban Ong mengambil beberapa macam jamur yang secara khusus
ditanamnya di pulau itu. Dia ingin menyiapkan makan siang untuk A Liong nanti.
Dia juga mengambil beberapa ekor ikan laut yang diternakkannya di dalam kolam.
Kakek Soat Ban Ong memang pandai memasak.
Ikan laut itu dioles dengan jamur yang telah 638
dilumatkan, kemudian diberi bumbu dan dibakar di atas api. Beberapa waktu
kemudian asapnya yang berbau gurih itu telah berhembus ke mana-mana, memenuhi
udara di atas pulau kecil itu.
"Hei kura-kura gemuk! Kau mau berpesta, ya?"
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Kakek Bok Kek Ong telah berdiri di
dekat Soat Ban Ong. "Lalalala, apa kataku" Mudah sekali untuk memanggilmu. Buat saja masakan yang
enak, tanggung mukamu yang rusak itu akan segera muncul." Soat Ban Ong tertawa
meledek. Tapi Bok Kek Ong tidak mempedulikan ejekan itu.
Bahkan tanpa berbasa-basi lagi dia memungut ikan yang telah masak dan
mencicipinya. Liurnya sampai menetes saking nikmatnya ia merasakan ikan laut
bakar itu. "Bukan main...! Enak sekali! Cek... cek... cek!"
"Wah! Wah! Masakan ini bukan untuk kita, Cacing Kurus! Ini untuk murid kita!
Apakah kau tak melihat dia sedang berlari melemaskan otot-ototnya mengelilingi
pulau ini" Huh, kau ini!"
Tiba-tiba Bok Kek Ong menengadahkan wajahnya.
Mulutnya berhenti mengunyah.
"Jadi... dia setuju menjadi murid kita?" katanya kemudian seperti tak percaya.
Soat Ban Ong mengangguk. Bibirnya yang tertutup kumis dan jenggot lebat berwarna
hitam legam itu tersenyum.
639 "Tapi kau tak memaksanya, bukan?" Bok Kek Ong menegaskan lagi.
"Tentu saja tidak. Kau ini ada-ada saja.
Memangnya mudah mempelajari ilmu silat dari Pondok Pelangi" Apalagi tanpa
keinginan dan semangat yang tinggi dari orang itu sendiri" Memaksa orang untuk
belajar ilmu silat Pondok Pelangi, sama saja memaksa orang menjadi gila!"
Bok Kek Ong tertawa dan kembali mengunyah makanannya. "Wah, aku juga cuma
bertanya saja, kok! Siapa tahu karena sulitnya mencari ahli waris, engkau lantas
jual murah ilmu silat kita" Apalagi selama ini juga baru sekali ini ada orang
yang mampu keluar dari pusaran iblis itu. Dan kebetulan pula orang itu adalah
seorang bocah yang bertulang amat bagus."
Soat Ban Ong ikut tertawa pula. sambil mengangkat pundak dia berkata santai.
"Yah, kita memang orang yang beruntung. Karena selalu sabar dan tawakal, jerih
payah kita selama ini akhirnya membuahkan hasil pula. Memang untuk mendapatkan
ikan besar, diperlukan umpan yang sepadan pula.
Bukankah begitu Lo Kek Ong (Si Tua Kek Ong)?"
Bok Kek Ong tidak menjawab. Tapi dia tersenyum, suatu hal yang tidak pernah
dilakukannya selama ini. Biasanya setiap kali berhadapan dengan Soat Ban Ong, mereka tentu bertengkar dan
berdebat. Bahkan kadang-kadang sampai berkelahi pula. Kelihatannya kedatangan A
Liong tersebut telah mengubah perangainya.
640 Karena Bok Kek Ong tidak menjawab, maka Soat Ban Ong pun tidak ambil pusing
pula. Diambilnya ikan-ikan bakar yang telah masak itu, ditaruhnya di dalam
mangkuk batu, lalu dibawanya ke pantai. Bok Kek Ong bangkit pula. Seperti seekor
kucing ia mengikuti dari belakang.
"A Liong...! A Liong...!" Soat Ban Ong berseru.
Sampai di atas hamparan pasir tiba-tiba Soat Ban Ong tertegun. Matanya


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbelalak mengawasi bekas-bekas sepatu di atas pasir tersebut. Hampir saja
mangkuk batu yang dibawanya itu terlepas.
Bok Kek Ong cepat menghampiri. "Ada apa, Lo Ban Ong (Si Tua Ban Ong) ...?" Ia
menegur. Soat Ban Ong menunjuk ke bekas sepatu itu.
"Banyak benar bekasnya! Berapa puluh kali anak itu mengelilingi pulau ini?"
"Lhoh... memangnya kausuruh bagaimana dia?"
Soat Ban Ong menghela napas panjang. Matanya segera melongok ke sana ke mari
mencari bayangan A Liong. Dan wajahnya menjadi lega begitu melihat pemuda itu
berlari mendatangi. "A Liong berhenti dulu!" Dia berteriak memanggil.
Pemuda itu berhenti di depan Soat Ban Ong.
Namun serentak dilihatnya Bok Kek Ong juga ada di situ, A Liong cepat
menghampiri dan berlutut di hadapannya.
Bok Kek Ong menyembunyikan perasaan
gembiranya. Tangannya meraih pundak A Liong dan ditariknya agar berdiri. Mereka
saling berpandangan. 641 Tiba-tiba Bok Kek Ong tertegun menyaksikan wajah A Liong yang tampan itu sama
sekali tidak berkeringat. Wajah pemuda itu masih tampak segar, seakan-akan tidak
pernah berlari atau melakukan sesuatu yang menguras tenaganya. Bahkan
pernapasannya pun tetap halus dan teratur. Sama sekali tidak tampak lelah atau
tersengal-sengal. Ternyata Soat Ban Ong menjadi heran melihat kenyataan tersebut. Melihat bekas
sepatu yang ada di atas pasir, bisa dikira-kira kalau A Liong lebih dari puluhan
kali melewati tempat itu. Tapi, mengapa pemuda itu sama sekali tidak kelihatan
lelah" Bahkan berkeringat pun tidak"
"Anak baik, duduklah!" Akhirnya Bok Kek Ong menyuruh A Liong untuk duduk di atas
pasir. "Benar, A Liong. Duduklah! Marilah kita kukuhkan secara resmi hubungan guru dan
murid ini dengan berpesta ikan bakar...." Soat Ban Ong berkata pula.
"Lo Ban Ong...?" Bok Keng Ong berdesah. Ia tak tahu apa yang hendak dilakukan
oleh Soat Ban Ong terhadap A Liong.
Soat Ban Ong memberi tanda kepada kawannya itu.
"Kita berpesta dulu. Urusan yang lain kita bicarakan belakangan."
Demikianlah siang hari itu Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong meresmikan A Liong
sebagai murid mereka. Bok Kek Ong yang lebih tua daripada Soat Ban Ong disebut Toa-suhu, sedangkan
Soat Ban Ong disebut dengan Ji-suhu. Selesai melakukan upacara sederhana, 642
mereka berpesta ikan bakar yang dimasak oleh Soat Ban Ong tadi.
"Hmmmh! Omong-omong... sudah berapa kali kau mengitari pulau ini?" Selesai makan
Soat Ban Ong segera bertanya kepada A Liong.
A Liong mengangguk. "Lima puluh kali, Suhu!"
"Lima... puluh kali?" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berseru hampir berbareng.
Mata mereka terbelalak seolah tak percaya.
"Benar, Suhu. Mengapa" Apakah masih harus ditambah lagi?" A Liong bertanya
dengan suara tegas. "Ah, sudah cukup!" Soat Ban Ong buru-buru menggoyangkan tangannya.
Namun diam-diam Soat Ban Ong saling pandang dengan Bok Kek Ong. Sinar mata
mereka menunjukkan perasaan heran, karena menurut cerita A Liong sendiri, pemuda
itu belum pernah belajar ilmu silat. Tapi kenyataannya berlari dari pagi hingga
siang hari, pemuda itu masih tetap segar bugar dan tidak mengeluarkan keringat
yang berarti. Bahkan pernapasannya pun tetap biasa pula, tidak tersengal-sengal.
Apakah sebenarnya yang terjadi"
Apakah A Liong telah membohongi mereka" Tapi, bagaimana dengan jejak-jejak
sepatu di atas pasir itu"
Tidak mungkin jejak itu tiba-tiba tercipta sendiri, seolah-olah ada sepasukan
hantu yang berbaris di tempat itu.
643 Satu-satunya kemungkinan memang hanya pada A Liong sendiri. Mungkin pemuda itu
memang telah menyembunyikan kepandaiannya.
Akhirnya Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong sepakat menanyakannya kepada A Liong.
"A Liong... tampaknya kau pernah belajar ilmu silat, ya" Kau tidak merasa lelah
meskipun telah berlari sekian lamanya. Napasmu juga tidak tersengal-sengal
pula...." Soat Ban Ong bertanya perlahan.
A Liong menatap kedua orang tua itu bergantian.
Alisnya berkerut. Tapi sesaat kemudian otaknya yang cerdas segera menangkap
kecurigaan mereka. Pemuda itu masih ingat akan keheranan Siau In ketika tubuhnya
mampu menahan pukulan dayung.
"Ah, maaf... Suhu. Siau-te memang benar-benar belum pernah belajar ilmu silat.
Tapi kalau yang Suhu maksudkan itu tentang cara-cara pernapasan untuk menguatkan
tubuh, siau-te memang pernah mempelajarinya. Seorang kakek aneh mengajarkan
kepada siau-te ketika siaute masih kecil."
"Cara-cara pernapasan" Dapatkah kau perlihatkan cara pernapasan itu kepada
kami?" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong berdesah hampir berbareng.
"Tentu saja, Suhu. Begini...."
A Liong lalu duduk bersila di atas pasir.
Punggungnya tegak lurus sampai kepala, sementara matanya menatap tajam ke arah
ujung hidungnya sendiri. Kedua buah telapak tangannya yang terbuka terkatup
rapat di depan dada. Kemudian dengan sikap 644
yang amat tenang, serta penuh keyakinan, dia melakukan cara pernapasan seperti
yang telah diajarkan oleh kakek aneh dulu.
Dan tak lama kemudian dari ubun-ubun A Liong mengepul asap tipis berwarna putih.
Asap itu tidak buyar tertiup angin. Asap itu melayang ke atas perlahan-lahan,
bagaikan ular kobra yang meliuk dan menari mengikuti irama suling. Dan anehnya
asap itu makin lama makin pekat, bahkan warnanyapun juga berubah. Sedikit demi
sedikit asap putih itu berubah menjadi merah.
Bukan main kagetnya hati Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong! Cara dan bentuk ilmu
pernapasan itu mirip sekali dengan ilmu pernapasan mereka! Asap yang timbul di
atas kepala pun nyaris sama pula.
Perbedaannya, asap A Liong itu jauh lebih pekat dan lebih kental daripada asap
milik mereka! Dan asap yang timbul di atas kepala A Liong cuma ada dua macam
warna saja, yaitu merah dan putih.
Demikian pula dengan bentuk asapnya. Asap milik A Liong cuma bergerak naik di
atas kepalanya. Sebaliknya asap yang mereka miliki bisa -berubah-ubah dalam tujuh macam warna,
sesuai dengan warna pelangi. Bentuknya pun tidak hanya mengepul di atas kepala,
tetapi bisa menebar lembut menyelimuti badan.
Akan tetapi bagaimanapun juga kenyataan itu telah membuka mata Soat Ban Ong dan
Bok Kek Ong, bahwa A Liong memiliki sebuah ilmu pernapasan 645
yang mirip dengan ilmu pernapasan dari Pondok Pelangi. Dan kenyataan itu benar-
benar menggelitik hati mereka untuk menyelidikinya.
Dengan sangat hati-hati Soat Ban Ong mendekati A Liong "Baiklah, A Liong...
kau...?" Ucapan Soat Ban Ong tiba-tiba terhenti ketika hidungnya mencium bau amis yang
amat keras! Demikian kuatnya bau amis itu sehingga perut mereka menjadi mual dan mau muntah!
"Bau keringat! Kenapa bau keringat A Liong seperti ini?" Bok Kek Ong berseru
kaget. A Liong menghentikan latihannya. Wajahnya kelihatan bingung ketika Soat Ban Ong
tiba-tiba mengulurkan tangannya, dan meraba tempurung kepalanya. Bahkan Bok Kek
Ong yang berdiri di belakangnya pun ikut-ikutan memeriksa beberapa jalan darah
di sepanjang tulang belakangnya.
"Aaaaaah...!" Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong sama-sama berteriak kaget.
Keduanya saling memandang, kemudian bersama-sama menganggukkan kepala mereka.
Ternyata dalam waktu yang bersamaan tadi mereka telah memeriksa tubuh A Liong.
Soat Ban Ong meneliti bentuk tulang kepala A Liong, sedangkan Bok Kek Ong
memeriksa susunan urat di sekitar tulang belakang. Dan ternyata mereka berdua
menemukan hal-hal yang aneh dan mustahil!
Ternyata beberapa buah urat penting di kanan-kiri tulang belakang A Liong, telah
disusun secara khusus 646
seperti halnya anak keturunan penghuni Pondok Pelangi. Dan susunan tersebut
telah dibentuk sejak A Liong lahir, sehingga tempurung A Liong telah tumbuh
dalam bentuk yang khusus pula.
Soat Ban Ong memegang pundak A Liong dan menatap wajah pemuda itu dengan
tajamnya. Kalau semula mereka hanya berpendapat bahwa ilmu pernapasan A Liong
sangat mirip dengan ilmu pernapasan mereka, kini mereka justru menjadi yakin
bahwa ilmu yang dimiliki A Liong benar-benar ilmu dari Pondok Pelangi!
"A Liong! Katakan yang sebenarnya! Siapakah kau ini" Bukankah engkau datang dari
Pondok Pelangi juga?"
Perubahan sikap gurunya itu benar-benar membingungkan A Liong. Dengan wajah
pucat ia memandang Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bergantian. Sinar matanya tampak
bergetar, karena tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh gurunya.
"Lo-cian... Locianpwe! A-ada apa sebenarnya"
Bukankah siau-te... sudah mengatakannya" Siau-te anak seorang pengemis, , dan
siau-te... tidak tahu menahu soal Pondok Pelangi."
A Liong berkata dengan suara gemetar, menandakan ucapannya itu benar-benar
keluar dari lubuk hatinya. Dan sesungguhnya, baik Soat Ban Ong maupun Bok Kek
Ong dapat merasakan juga. Tapi tanda-tanda khusus yang mereka temukan pada tubuh
647 A Liong itu tidak mungkin salah lagi. Tanda-tanda itu persis seperti milik
mereka! Tanda-tanda khusus bagi keturunan warga Pondok Pelangi!
Mereka benar-benar pusing. Di suatu pihak mereka percaya akan semua penuturan A
Liong. Tapi di pihak lain mereka juga yakin bahwa anak itu tentu anak keturunan
dari Warga Pondok Pelangi.
Hanya ada satu hal yang membuat mereka sedikit ragu akan kebenaran dugaan mereka
itu, yaitu bau amis yang keluar dari badan A Liong. Penghuni Pondok Pelangi
rata-rata memiliki bau harum, bau khas yang timbul bila mereka menghentakkan
tenaga sakti mereka. "A Liong, ketahuilah! Kami berdua benar-benar bingung melihatmu.... Semula kami
memang percaya pada riwayat hidupmu. Tapi setelah menyaksikan kemampuanmu dan
meneliti keadaan tubuhmu, kepercayaan tersebut menjadi kabur lagi. Ternyata
sejak lahir susunan urat darahmu telah dibentuk sesuai dengan ilmu warisan dari
Pondok Pelangi. Nah, hal itu berarti kau memiliki hubungan dengan Pondok
Pelangi, karena hal itu tidak mungkin dilakukan oleh orang lain. Kecuali orang
tuamu atau salah seorang dari para pengemis itu tahu tentang ilmu warisan
tersebut. Dan kalau memang demikian halnya, berarti orang itu adalah orang dari
Pondok Pelangi pula."
Soat Ban Ong berkata dengan hati-hati.
648 "Tapi... jangan khawatir! Kami masih tetap percaya pada ceritamu. Kau tentu
takkan membohongi kami."
Bok Kek Ong ikut menambahkan.
Soat Ban Ong tersenyum. "Benar. Kami tetap percaya padamu. Tapi harap kau ingat
juga, bahwa kami tetap berpendapat bahwa kau tentu seorang anak keturunan Pondok
Pelangi. Hanya saja... kami tak bisa menerka, apa yang dulu terjadi padamu.
Mungkin kau memang keturunan seorang warga Pondok Pelangi yang terdampar di
daratan Tiongkok." Namun demikian kami juga belum yakin pula pada dugaan itu, karena... tiba-tiba
badanmu mengeluarkan bau amis yang amat menyengat! Padahal ilmu pernapasan dari
Pondok Pelangi justru mengakibatkan bau harum pada pemiliknya, bukan bau amis
seperti itu." Bok Kek Ong menambahkan lagi.
Soat Ban Ong mengangguk. "Itulah sebabnya kami menanyakan lagi asal-usulmu. Tapi
kalau kau memang benar-benar tidak tahu, kami berdua juga memakluminya. Mungkin
kau memang anak keturunan warga Pondok Pelangi, yang ditemukan oleh kawanan
pengemis, yang kemudian menjejalimu dengan makanan-makanan kotor, sehingga bau
keringatmu menjadi amis ketika mengerahkan tenaga-
. Bok Kek Ong menepuk pundak A
Liong. "Tapi bisa juga kau bukan anak keturunan Pondok Pelangi. Mungkin kau
memang anak pengemis, yang pada saat kelahiranmu mendapat 649
pertolongan dari seorang warga Pondok Pelangi. Dan orang itu kebetulan
menyukaimu, serta ingin mengangkatmu sebagai murid, se hingga ia mempersiapkan
susunan urat-urat di dalam tubuhmu."
"Maksud Suhu... orang tua yang mengajariku ilmu pernapasan itu" Tapi... orang
itu hanya sekali saja bertemu denganku." A Liong mencoba mengikuti jalan pikiran
gurunya. "Mungkin juga. Yah, siapa tahu" Kau bisa menanyakannya bila bertemu nanti!
Lalalalala...! Kulihat riwayat hidupmu sangat aneh dan menarik.
Kurasa masih ada suatu rahasia yang belum kau ketahui. Kau kelihatan berbeda
dangan anak-anak sebayamu. Dan kau tidak sesuai menjadi seorang anak pengemis.
Kau tentu bukan anak sembarangan. Tapi...
yah, sebaiknya kau menyelidikinya sendiri nanti.
Lalalalala...!" Soat Ban Ong yang suka melucu itu tertawa.
A Liong tercenung diam. Kata-kata gurunya itu benar-benar tercerna ke dalam
hatinya. Rahasia" Benarkah masih ada rahasia yang belum diketahuinya" Apakah itu"
Selama ini A Liong memang tidak pernah memikirkan siapa dirinya. Dia sudah
pasrah akan nasibnya, dan ia tak pernah mempersoalkan siapa orang tuanya. Ia
sudah menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok pengemis itu.
Tapi kata-kata gurunya itu masuk akal juga. Selama ini nasibnya, jalan hidupnya,
memang tampak berbeda 650
dengan para pengemis yang lain. Benarkah ia bukan keturunan mereka" Lalu anak
siapakah dia sebetulnya"
' "Tapi... apa yang telah siau-te ceritakan itu memang benar, Lo-cianpwe. Siau-
te tidak berbohong." Akhirnya A Liong berkata dengan memelas.
"Yaya, kami tahu. Itulah sebabnya kami tetap menginginkan kau menjadi murid
kami." Soat Ban Ong mengiyakan. "Nah, sekarang kami akan menguji dulu
kemampuanmu. Sebelum kami memberi pelajaran silat."
Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong lalu membawa A Liong ke tempat yang lebih datar.
Mereka duduk melingkar saling berhadapan.
"Sekarang... coba kau kerahkan ilmu pernapasanmu tadi, lalu pukullah telapak
tanganku ini!" Soat Ban Ong mengangkat tangannya ke depan.
"Memukul" Tapi cara pernapasan itu hanya digunakan untuk melawan hawa dingin,
Suhu." "Sudahlah! Kau turuti saja perintah kami!" Bok Kek Ong menimbrung.
Meskipun agak ragu, tetapi A Liong melaksanakan juga perintah itu. Setelah
mengerahkan ilmu pernapasannya, sehingga uap putih mengepul di atas kepalanya,
tangannya diayun ke depan, ke arah telapak tangan gurunya.
Whuuuuuut... dhug! A Liong meringis kesakitan.
Buku tangannya bagaikan membentur sebongkah batu 651
karang! Sebaliknya Soat Ban Ong merengut karena kecele. Dia terlanjur
mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena ia melihat pekatnya asap yang
mengepul di ubun-ubun A Liong. Namun pukulan yang terlontar dari tangan pemuda
itu ternyata tak berisi apa-apa. Bocah itu benar-benar tak tahu ilmu silat.
Tidak tahu cara menyalurkan tenaga sakti untuk menyerang lawan!
Orang tua itu memandang Bok Kek Ong untuk menanyakan pendapatnya. "Baiklah!
Kalau memang dia hanya membutuhkan ilmu itu untuk bertahan terhadap udara
dingin, artinya dia bisa menggunakannya untuk mempertahankan diri.
Sekarang... biarlah dia tetap bertahan! Kau saja yang menyerangnya!" Bok Kek Ong
berkata. "Menyerang dia" Hei, kau jangan main-main!
Bocah ini bisa lumat oleh pukulanku!"
"Belum tentu! Apakah kau tidak melihat asapnya tadi" Asapmu belum tentu setebal
itu!" "Tapi...?" Soat Ban Ong bergumam ragu.
"Yah, tentu saja kau pun harus melihat keadaan pula. Terlalu meremehkan, kau
bisa celaka. Tapi terlalu bernafsu, kau juga bisa membunuhnya. Nah, lakukanlah!"
"Tidak! Kalau begitu kau saja yang menguji dia!
Tenaga dalammu lebih baik daripada aku. Kaulah yang bisa mengaturnya."
Bok Kek Ong yang kurus itu menarik napas panjang. Terpaksa dia mengambil alih
ujian itu. 652 Sambil menggeser badannya ia mengangguk kepada A Liong.
"Baiklah! Nah, A Liong... kau lakukan lagi cara pernapasan itu! Berbuatlah
seperti kalau kau bertahan terhadap udara dingin, dan aku akan mencoba
menghembuskan udara dingin kepadamu. Berusahalah untuk bertahan! Syukur kau bisa
menolak atau menentangnya!"
"Baik, Suhu!"

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi A Liong melakukan cara-cara pernapasannya. Begitu uap putih yang
keluar dari ubun-ubunnya berubah menjadi merah, maka Bok Kek Ong juga
mengerahkan tenaga dalamnya. Uap putih mengepul pula menyelimuti tubuh Bok Kek
Ong, seakan-akan tubuh yang kurus itu telah berubah menjadi sebongkah es yang
dingin. Lalu perlahan-lahan tangan orang tua itu mendorong ke depan.
Serangkum udara dingin meluncur menuju ke dada A Liong. Desau suaranya seolah-
olah mengalahkan suara angin yang bertiup dari arah barat. Untuk menguji
kekuatan A Liong, Bok Kek Ong sengaja mengeluarkan sepertiga dari seluruh tenaga
saktinya. A Liong tidak bereaksi atau berbuat apa-apa, selain tetap meneruskan semadinya.
Di dalam hatinya hanya ada satu keinginan, yaitu melawan hawa dingin yang tiba-
tiba membentur dadanya. 653 Dan apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat kecut hati Bok Kek Ong.
Hentakan udara dingin dari telapak tangannya tiba-tiba terserap ke dalam aliran
darah A Liong, dan ikut berputar di dalam tubuh, kemudian keluar melalui ubun-ubun dalam bentuk asap putih yang semakin tebal. Bok Kek Ong terkejut. Dorongan tenaga saktinya itu cukup untuk membunuh seekor kerbau liar, namun kenyataannya tak selembar rambut pun tergoncang dari tubuh A Liong. Bahkan dari raut wajahnya, pemuda itu sama sekali tak merasakan
gangguan tersebut. Bok Kek Ong menambah tenaganya. Dan kali ini kedua telapak tangannya bersama-
sama mendorong ke depan, menggempur dada A Liong dengan dua pertiga bagian dari
seluruh kekuatannya. "Lo Kek Ong (Si Tua Kek Ong)...!" Soat Ban Ong berseru kaget, karena kekuatan
Bok Kek Ong itu 654 dapat melemparkan seekor gajah dengan gampangnya.
Tapi kekuatan A Liong benar-benar mentakjubkan.
Begitu mendapat serangan yang lebih kuat, kekuatan yang terpendam di dalam
tubuhnya tiba-tiba juga bereaksi dengan keras pula. Segumpal hawa panas otomatis
muncul dari bawah pusarnya, kemudian berputar dengan cepat ke arah seluruh jalan
darah di tubuhnya, membentuk asap tipis yang membungkus kulitnya.
Tiupan angin dingin yang meluncur dari tangan Bok Kek Ong itu menggempur asap
tipis yang menyelubungi badan A Liong! Terdengar suara desis yang keras sekali,
seperti suara bara api tersiram air.
Asap mengepul semakin tebal di sekeliling tubuh A Liong, namun pemuda itu
seperti tak merasakan apa-apa. Bahkan ketika Bok Kek Ong menjadi penasaran, dan
kemudian menghentakkan pukulan udara kosongnya, tiba-tiba timbul daya tolak yang
hebat dari tubuh A Liong!
Wuuuuuus...! Blugh! Badan Bok Kek Ong yang kurus itu terlempar tinggi ke udara, kemudian terhempas
kembali ke atas pasir! Untunglah orang tua itu sudah menduganya lebih dahulu,
sehingga tubuhnya tidak terbanting ke pasir, tapi mendarat dengan ringan
bagaikan segumpal kapas tertiup angin!
655 Untuk sesaat air muka Bok Kek Ong menjadi merah padam. Dia benar-benar tak
mengira kalau A Liong memiliki tenaga simpanan sedahsyat itu!
Sementara itu A Liong telah membuka matanya.
Dengan penuh harap ia menanti pendapat kedua orang tua itu. Sama sekali tak
disadarinya, bahwa ia baru saja melemparkan Bok Kek Ong ke udara.
Soat Ban Ong buru-buru menghampiri sahabatnya.
"Kau tidak apa-apa?"
Bok Kek Ong menggelengkan kepalanya. "Untung bukan engkau yang mengujinya. Kalau
kau yang maju, niscaya salah seorang dari kalian akan mati di tepian pantai
ini...." "Ya-ya-ya, kulihat... kulihat tenaganya hebat sekali!"
Bok Kek Ong melirik ke arah A Liong', lalu mengangguk kuat-kuat. "Anak itu...
benar-benar mempunyai tenaga ajaib. Dan... ia sama sekali tak menyadarinya. Yang
dia ketahui... tenaga itu hanya dipergunakan untuk menolak hawa dingin. Wah, Lo
Ban Ong... jangan-jangan dia masih menyimpan tenaga yang lebih besar lagi!"
Soat Ban Ong menatap sahabatnya dengan mata melotot. "Maksudmu... maksudmu
lwekangnya masih lebih tinggi lagi" Waduh, kalau begitu kau harus mengujinya
lagi. Kita harus tahu, sampai di mana kekuatannya, agar kita bisa menyesuaikan
pelajaran silatnya nanti."
656 Bok Kek Ong mengerutkan keningnya. Kedua alisnya yang berbeda warna itu seolah-
olah menumpuk jadi satu di tengah dahi.
"Baiklah...!" "Bagaimana, Suhu?" A Liong tidak sabar lagi menantikan jawaban gurunya.
"Aku belum selesai, A Liong. Coba, kau ulangi lagi cara pernapasanmu tadi! Aku
akan mengujimu kembali."
A Liong berdesah pajang. Ia kelihatan kurang bergairah untuk melaksanakan
perintah itu. Tapi apa boleh buat, ia terpaksa melakukannya juga.
Demikianlah, ketika asap putih di atas kepala A Liong sudah berubah menjadi
merah, Bok Kek Ong segera mengerahkan lwekangnya pula. Karena dengan dua pertiga
bagian tenaganya belum dapat mengusik kekuatan A Liong, maka kini Bok Kek Ong
mengerahkan hampir seluruh tenaga saktinya.
Terdengar suara gemeratak di dalam tubuh kurus itu, seolah-olah tulang-tulangnya
pada berpatahan. Untuk menguji kekuatannya, orang tua itu menepuk batu karang di sampingnya.
Perlahan-lahan saja. Plaaak...! Tapi batu karang sebesar kerbau itu tiba-tiba merekah dan terbelah
menjadi dua bagian! Melihat demikian besar kekuatan yang dipersiapkan untuk menguji A Liong, Soat
Ban Ong berteriak khawatir.
"Lo Kek Ong, hati-hati! Kalau anak itu sampai mati, kau harus bertanggung
jawab!" 657 Bok Kek Ong tersenyum untuk menenangkan hati sahabatnya. Lalu perlahan-lahan
tangannya terangkat ke atas. Wuuuuuus...! Sekonyong-konyong tangan itu menerkam
ke bawah, menuju ke dada A Liong! Angin dingin menyambar dengan dahsyatnya
seolah-olah hendak membelah tubuh pemuda itu!
"Kek Ong, awas... kalau sampai cedera, kubunuh kau!" Di dalam puncak
kekhawatirannya Soat Ban Ong menjerit keras sekali.
Thaaaaaas! Klaaaak! Tak ada benturan! Tak ada suara kesakitan! Tapi hanya suara tepukan yang lemah!
Namun apa yang terlihat di arena sungguh diluar dugaan!
Dalam posisi tetap berdiri Bok Kek Ong masih menempelkan telapak tangannya yang
penuh tenaga itu di dada A Liong! Sedang pemuda itu sendiri juga tetap dalam
keadaan duduk bersamadhi seperti semula. Bedanya, kalau wajah A Liong tetap
tenang, segar dan bersih, sebaliknya wajah Bok Kek Ong tampak merah padam, kaku
dan penuh keringat! Bahkan mata orang tua itu tampak melotot menahan sakit!
Sekejap Soat Ban Ong tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Tapi ketika
tampak olehnya sinar mata ketakutan di wajah sahabatnya itu, ia baru menyadari
apa yang terjadi. Bok Kek Ong mendapat kesulitan besar!
"A Liong...! Hentikan! Hentikan ilmu pernapasanmu!"
658 Sambil berteriak Soat Ban Ong melesat ke belakang Bok Kek Ong. Kemudian dengan
cepat ia mengerahkan tenaga saktinya dan menepuk punggung sahabatnya itu.
Plaaaak! Arus tenaga yang amat kuat mengalir dari dalam tubuhnya, membanjir ke
dalam tubuh Bok Kek Ong, dan berbaur menjadi satu.
Dengan tenaga gabungan itu mereka melawan daya sedot yang keluar dari dada A
Liong! Sedikit demi sedikit Soat Ban Ong meningkatkan penyaluran tenaga saktinya. Tapi
betapa kagetnya dia ketika seluruh kekuatan lwekangnya telah terhentak keluar,
tenaga gabungan mereka tetap tak dapat mengatasi daya sedot yang keluar dari
dalam tubuh A Liong! Sekarang mereka benar-benar dalam kesulitan!
Mereka tak kuasa untuk mengalihkan perhatian lagi.
Sedetik saja mereka melepaskan konsentrasi, nyawa mereka akan melayang!
Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah bertahan. Bersama-sama mereka
menghentakkan seluruh sisa-sisa tenaga mereka. Keringat sampai membanjir
membasahi pakaian mereka. Bahkan sesaat kemudian tangan dan kaki mereka mulai
bergetar. Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong mulai berpikir untuk berdoa ketika daya sedot itu
mendadak hilang. Ternyata pada saat-saat terakhir A Liong telah menghentikan semadinya. Teriakan
Soat Ban Ong tadi telah menyadarkannya, meskipun agak lambat.
659 A Liong membuka matanya. Melihat dua orang gurunya terlentang tumpang tindih di
depannya, wajahnya segera men jadi pucat ketakutan. Bergegas ia berlutut memohon
maaf. "Suhu! Apakah... apakah siau-te telah berbuat salah?"
Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong bangkit dengan cepat. Mereka saling pandang dengan
wajah merah. Mereka hampir-hampir tidak percaya akan kejadian itu. Bagaimana mungkin seorang
anak berusia lima belas tahun dapat mengalahkan tenaga gabungan, yang telah
mereka himpun selama lima puluhan tahun" Sungguh tidak masuk akal! Kekuatan
sedahsyat itu hanya bisa diperoleh setelah berlatih selama seratus tahun!
Mungkinkah A Liong seorang anak ajaib yang muncul setiap lima ratus tahun
sekali" Kalau memang demikian halnya, mereka benar-benar beruntung. Mereka mendapatkan
bibit unggul untuk mewarisi ilmu mereka. Dan kenyataan itu sungguh sangat
menggembirakan mereka. -- o0d-w0o -- 660 JILID XVI ETELAH membersihkan pasir yang
mengotori pakaian mereka. Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong mendekati A Liong
S kembali. Kini cara mereka memandang kepada A Liong telah berubah.
"A Liong! Kau tahu apa yang baru saja terjadi" Hmm, kau telah mengalahkan kami
berdua! Rasa-rasanya kami tak mungkin lagi menjadi gurumu...." Bok Kek Ong berkata
tegas. "Suhu...?" A Liong berseru kecewa, "Siau-te benar-benar tak tahu apa-apa. Siau-
te belum pernah belajar silat. Belum pernah berguru kepada siapapun juga.
Siau-te hanya pernah diajari cara bernapas untuk mengusir hawa dingin oleh
seorang kakek asing. Itupun hanya sekali saja, ketika siau-te berumur lima atau enam tahun! Suhu,
siau-te berkata sebenarnya!
Jangan tolak aku! Berilah aku kesempatan untuk berguru kepadamu...!"
Sekali lagi kedua orang tua itu saling pandang satu sama lain. Mereka saling
bertukar pendapat. Akhirnya Soat Ban Ong menganggukkan
kepalanya. "Baiklah, A Liong. Kami memang percaya padamu. Kami menyadari bahwa
hal-hal aneh dan ajaib itu, tentu bukan karena kehendakmu sendiri.
Kami juga tahu bahwa sampai sekarang pun kau juga belum tahu apa yang telah
terjadi pada dirimu. Ada 661
suatu rahasia besar yang tampaknya menyelubungi kehidupanmu."
"Jadi...?" "Yah! Kami tetap akan mengajarimu ilmu silat, agar kekuatanmu itu bisa
dikendalikan dan dipergunakan dengan baik."
Betapa leganya hati A Liong! Untuk beberapa saat dia menatap wajah kedua gurunya
itu dengan air mata berlinang. Kemudian dengan bersemangat ia berlutut dan
menghentakkan dahinya berulang-ulang ke atas pasir.
"Sudahlah, silakan kau berdiri! Kami berdua akan meneliti keadaan tubuhmu dulu.
Kami ingin tahu di mana letak ke-ajaibanmu itu."
"Silakan, Suhu! Silakan...!"
A Liong melepas bajunya. Demikian pula dengan celana luarnya, sehingga ia hanya
mengenakan celana dalam saja.
Soat Ban Ong dan Kek Ong benar-benar kagum menyaksikan badan yang tegap dan
penuh otot itu. Sungguh seorang anak yang sehat dan berbakat untuk belajar silat!
Ketika tampak oleh mereka gambar 'tatto naga' di dada A Liong, mereka saling
memandang dengan kening berkerut. Ternyata mereka berdua, yang belum pernah
menginjakkan kaki di daratan Tiong-kok, tidak mengenal tanda itu. Mereka juga
belum pernah mendengar bahwa di dunia kang-ouw ada partai persilatan yang
memiliki tanda khusus seperti itu. Tak 662
heran kalau akhirnya mereka menggeleng-gelengkan kepala tanda tak tahu.
Soat Ban Ong menarik napas panjang sambil memandang A Liong. "A Liong! Apakah
kau ingat, siapa yang melukis gambar tatto naga di dadamu itu?"
A Liong menunduk, melihat gambar tatto naga di dadanya,, kemudian menggeleng.
"Tidak, Suhu. Sejak kecil gambar ini sudah ada di sini. Semua orang yang
mengenal aku juga mengatakan demikian. Itulah sebabnya orang memanggilku... A
Liong (Si Naga)!" Soat Ban Ong menatap mata Bok Kek Ong, demikian pula sebaliknya. Keduanya sama-
sama berpikir bahwa gambar itu tentu ada artinya. Tapi, apakah itu"
"Bagaimana dengan pengemis-pengemis tua di kelompokmu" Apakah mereka juga tidak
tahu?" Sekali lagi A Liong menggelengkan kepalanya.
"Mereka juga tidak tahu, Suhu. Ketika orang tua angkatku membawa aku ke dalam
kelompok pengemis itu dan bergabung dengan mereka, gambar ini juga sudah ada.
Tak seorangpun bisa menghapusnya, walaupun telah dibubuhi bermacam-macam obat
penyembuh luka. Sampai orang tua angkatku tiada, dan aku berkeliaran sendiri
bersama kelompokku, gambar ini tetap menempel di sini.
Bahkan semakin bertambah umur, gambarnya juga semakin jelas."
663 "Dan... kau tak pernah berusaha untuk mencari tahu makna gambar itu" Setidak-
Pendekar Guntur 24 Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Perguruan Sejati 5
^