Pendekar Pedang Pelangi 6
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 6
sebagian mukanya yang tidak tertutup kumis dan jenggot, lagi-lagi Tio Ciu In
tertunduk. Wajah itu kelihatan kaku dan dingin. Bahkan matanya yang jernih
seperti mata orang sehat itu seperti menyimpan sebuah kekuatan yang mengerikan.
413 Sekejap Tio Ciu In menjadi ragu, jangan-jangan lelaki yang mempunyai perbawa
menyeramkan itu cuma pura-pura buta.
"Nona belum menjawab pertanyaanku!" Sekali lagi Tio Ciu In dikejutkan oleh suara
orang itu. "Kami... kami baru saja berkenalan. Dia... dia bukan saudara seperguruanku." Tio
Ciu In menjawab dengan gugup.
"Hmmmmmm....!" Sekali ini Tio Ciu In benar-benar heran terhadap dirinya sendiri. Selama ini ia
tak pernah merasa takut terhadap siapapun juga. Bahkan di dalam sarang perampok-
perampok liar pun ia tak pernah merasa ketakutan. Namun sekarang di depan lelaki
tua bermata buta ini, entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi ngeri.
"Kudengar ada tiga orang yang sedang berkelahi.
Apakah temanmu dikeroyok dua?" lelaki buta itu bertanya kembali.
"Ah, tidak...." Tio Ciu In menjadi malu. Malu karena telah berprasangka buruk
terhadap orang yang ternyata benar-benar buta itu, serta malu karena justru
teman-temannyalah yang telah mengeroyok lawannya.
Meskipun Tio Ciu In tidak meneruskan
jawabannya, tapi orang itu tampaknya sudah dapat menangkap maksudnya.
"Ah, kalau begitu gadis muda yang kaumaksudkan itu benar-benar lihai sekali
karena mampu melayani keroyokan teman-temanmu. Hmm... siapakah 414
temanmu yang satu lagi itu" Apakah dia saudara seperguruanmu" Kudengar gerakan
ilmunya tidak sama dengan temanmu tadi."
Tio Ciu In tidak segera menjawab. Kali ini gadis itu menjadi bingung juga untuk
menjawabnya. Ia memang tidak begitu paham tentang Kwe Tek Hun dan saudara-
saudara seperguruannya. "Maaf, aku... aku juga baru mengenal mereka di tempat ini. Katanya pemuda itu
bernama Kwe Tek Hun." akhirnya Tio Ciu In dapat juga menjawab pertanyaan lelaki
buta itu. "Oooh...." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi meskipun maju
berdua... kawan-kawanmu itu seperti merasa sulit menghadapi lawannya. Mengapa
kau tak ikut membantu mereka?"
"Ah, kepandaianku belum cukup untuk ikut dalam kancah pertempuran tingkat atas
seperti itu. Selain itu aku juga sedang menjaga teman-temanku yang terluka."
"Hah" Teman-temanmu sudah ada yang terluka"
Apanya yang terluka?" Lelaki buta itu terperanjat.
Tio Ciu In menghela napas panjang. Entah apa sebabnya, tapi yang jelas gadis ayu
itu seperti menurut saja untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Dan lelaki
buta itu terdengar menggeram perlahan mendengar kekejaman Mo Goat.
"Dan sekarang... kawan-kawan Mo Goat telah datang pula. Mereka kelihatan lebih
kasar dan garang daripada Mo Goat. Aku benar-benar sangat cemas.
415 Kepandaianku amat rendah, sedangkan teman-temanku yang lain sudah terluka...."
Tio Ciu In mengakhiri ceritanya dengan nada gelisah.
"Hmmh!" Tiba-tiba lelaki itu menggeram. "Nona, bawa kemari teman-temanmu yang
terluka itu!" Tio Ciu In tercengang mendengar perintah itu. Ada perasaan untuk menentangnya,
tapi keinginan itu segera sirna begitu laki-laki itu kembali menyerukan
perintahnya. Tio Ciu In cepat membawa Song Li Cu dan Ku Jing San ke hadapan
lelaki buta itu. Song Li Cu dipapahnya, sementara Ku Jing San beringsut di
belakangnya dengan berpegangan pada dinding.
Anehnya kedua saudara seperguruan itu juga menurut saja.
"Inilah mereka, Tuan."
Lelaki buta itu mengulurkan tangannya kepada Song Li Cu. "Di bagian mana gadis
ini mendapatkan totokan?" tanyanya kepada Tio Ciu In.
"Kalau tak salah di bagian kakinya, Tuan."
Seperti orang yang masih sehat kedua matanya, lelaki itu cepat mengurut dan
menotok di beberapa bagian kaki Song Li Cu. Dan yang terakhir jari telunjuk
lelaki itu menotok pada jalan darah tan-bi-hiat di bawah puser Song Li Cu.
"Maaf...!" ucap lelaki itu pendek, kemudian mengebut-ngebutkan lengan bajunya
tanda ia telah selesai mengobati gadis itu.
416 Sungguh mengherankan! Song Li Cu yang semula tak bisa menggerakkan tubuhnya itu
tiba-tiba bisa bergerak lagi!
"Nona tidak boleh terlalu banyak bergerak dulu!
Totokan yang melumpuhkan Nona tadi merupakan ilmu totok (tiam hoat) yang tiada
duanya di dunia ini. Totokan itu hanya bisa dipunahkan kembali oleh seseorang yang memiliki lwe-kang
setidak-tidaknya dua kali lipat lwe-kang penotoknya." lelaki buta itu mem beri
peringatan kepada Song Li Cu yang sudah bersiap-siap untuk melabrak Mo Goat
kembali. Song Li Cu tertunduk kecewa. "Terima kasih, Locianpwe..." gadis manis itu
mengucapkan rasa terima kasihnya.
"Lo-cianpwe..." Ah!" orang itu berdesah panjang.
"Tampaknya aku memang sudah tua. Belasan tahun telah lewat tanpa terasa dan
tentunya umurku juga sudah mendekati setengah abad. Hmmm ... cepat sekali...."
Sementara itu di arena pertempuran tampaknya Mo Goat sudah tidak sabar lagi.
Gadis cantik itu sudah mulai menggenggam senjata rahasianya pula. Senjata
rahasia yang ampuh, yang dalam sekali lempar telah melukai Song Li Cu dan Ku
Jing San! "Puteri...! Kau jangan menghambur-hamburkan senjata rahasiamu! Sungguh sayang
rasanya kalau dibuang hanya untuk membunuh kelinci-kelinci seperti mereka!"
orang yang dipanggil dengan sebutan Panglima tadi berseru kepada Mo Goat.
417 "Tapi sulit sekali menundukkan mereka! Padahal aku sudah menggunakan Pat-sian-i-
hoat (Delapan Baju Dewa)! Sayang ilmuku belum sebaik ilmumu.
Kalau aku sudah dapat memecah diri menjadi empat seperti kau, kelinci-kelinci
ini sudah kuhabisi sejak tadi." Mo Goat menyahut dengan suara jengkel.
Tentu saja ucapan-ucapan yang amat memandang rendah itu sangat menyinggung
perasaan Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Apalagi bagi Kwe Tek Hun yang dalam perjalanan
petualangannya selama ini hampir tak pernah menjumpai lawan tangguh. Ejekan
sebagai kelinci itu benar-benar menyinggung harga dirinya.
Tanpa memikirkan akibatnya, pendekar muda dari Pulau Meng-to itu melesat keluar
dari arena pertempuran. Hanya dengan dua gerakan saja dari Ban-seng-po Lian-
hoan, maka tubuhnya telah berada di depan panglima itu.
"Kalau kau memang ingin mencoba menangkap kelinci-kelinci kecil seperti kami,
mengapa cuma berteriak-teriak saja dari luar arena" Mengapa tidak langsung saja
mempergunakan kepalan dan kakimu"
Takut?" Kwe Tek Hun balas mengejek dengan nada pedas.
"Bangsat! Kau memang bosan hidup!"
Benar saja, orang yang disebut panglima itu menjadi marah bukan main. Sambil
mengumpat kasar ia menerjang Kwe Tek Hun. Kesepuluh jari tangannya mengejang
seperti cakar garuda, menyam bar ke arah dada dan perut pendekar dari Pulau
Meng-to itu. 418 Kwe Tek Hun tidak berani adu tenaga. Mendengar percakapan lawannya tadi Kwe Tek
Hun tahu bahwa lawannya itu jauh lebih berbahaya dan lebih lihai daripada Mo
Goat. Padahal melawan Mo Goat saja dia dan Liu Wan tidak menang. Oleh karena itu
satu-satunya jalan untuk menandinginya hanyalah dengan kecerdikan dan tipu
muslihat. Untunglah ilmunya Ban-seng-po Lian-hoan benar-benar mentakjubkan,
sehingga setiap kali dalam bahaya ia selalu dapat menyelamatkan diri.
Demikianlah Kwe Tek Hun tidak mau menangkis serangan itu. Pemuda itu justru
memanfaatkan kelebihannya dalam main petak. Dengan langkah ajaibnya itu ia
menghindar dan mengitari tubuh lawannya. Sekali-sekali ia balas menyerang,
meskipun ia tahu lawannya jauh lebih gesit dan lebih tinggi tenaga dalamnya.
Tentu saja ulah Kwe Tek Hun tersebut amat menjengkelkan lawannya. Di dalam
segala hal panglima itu jauh lebih unggul, baik ginkang, lwekang, maupun ilmu
silatnya. Namun pemuda itu ternyata memiliki ilmu langkah ajaib yang amat
mentakjubkan, sehingga keunggulan ginkang panglima itu hampir tak ada gunanya
lagi. Bagaikan seekor belut pemuda itu selalu bisa melepaskan diri dari cegatan-
cegatan lawannya. Akhirnya panglima itu tak dapat mengekang kegusarannya lagi. Seperti halnya Mo
Goat tadi, tiba-tiba panglima itu melompat ke belakang sambil 419
menyilangkan tangannya di depan dada. Kwe Tek Hun terkejut, tapi sudah terlambat
Matanya sudah terlanjur menantang mata panglima yang mencorong seperti mata
burung elang itu, hingga untuk selanjutnya mata dan pikirannya telah jatuh dalam
perangkap ilmu sihir lawannya.
"Oooooh!" Tio Ciu In menjerit kecil. Demikian pula dengan Song Li Cu.
"Hah" Ada apa...?" Lelaki buta itu tersentak kaget pula.
"Orang itu bisa merubah dirinya menjadi empat!
Dan semuanya bisa bergerak sendiri-sendiri mengeroyok Kwe Suheng!" Song Li Cu
berdesah bingung. "Berubah menjadi empat" Wah, ilmu sihir!" Lelaki buta itu berkata kaget, seperti
sudah pernah mengenalnya.
"Locianpwe, kautolonglah kami!" Tiba-tiba Song Li Cu berlutut sambil menghiba di
depan lelaki buta itu. "Tolonglah Suhengku sekalian, seperti halnya Locianpwe
telah menolongku tadi. Aku percaya Locianpwe bisa mengatasi mereka...."
Ternyata perasaan cinta gadis manis itu sedemikian besarnya kepada Kwe Tek Hun,
sehingga gadis itu rela menanggalkan kekerasan hatinya selama ini untuk meminta
tolong kepada orang yang baru saja dikenalnya.
Semula Tio Ciu In menjadi kaget juga menyaksikan ulah Song Li Cu. Demikian pula
halnya dengan Ku 420 Jing San sendiri. Tapi keduanya segera memakluminya, apalagi ketika mereka
menyaksikan jalannya pertempuran setelah pembantu Mo Goat yang lihai itu maju.
Baik Kwe Tek Hun maupun Liu Wan memang dalam keadaan yang memprihatinkan.
Setelah terpisah sendiri-sendiri, kedua pemuda sakti itu memang tidak bisa
berbuat apa-apa terhadap lawannya. Rasanya memang tinggal menunggu waktu saja,
kapan keduanya dibabat habis oleh lawan lawan mereka.
Lelaki buta itu mengerutkan dahinya yang tertutup rambut. Sikapnya tetap dingin
dan kaku, seolah-olah tidak peduli pada keadaan sekelilingnya. Demikian pula
terhadap ratapan Song Li Cu. Sama sekali ia tak bereaksi mendengar suara yang
menghiba itu. "Locianpwe..." Kakiku sudah buntung. Aku tak bisa lagi membantu Suhengku. Maukah
Locianpwe menolongnya?" Ku Jing San yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba ikut
memohon. Ternyata di dalam keadaan kritis seperti itu ia memaklumi perasaan
sumoinya. Tapi lelaki buta itu tetap tak bergeming. Bahkan orang tua itu perlahan-lahan
menyeret kakinya untuk keluar dari ruangan tersebut. Wajahnya tertunduk lesu
seakan-akan hatinya amat menyesal sekali berada di tempat itu. Beberapa kali
terdengar suara tarikan napasnya yang berat dan panjang.
421 "Locianpwe! Locianpwe...! Jangan tinggalkan kami! Tolonglah Suhengku!" Song Li
Cu memohon dengan suaranya yang semakin memelas.
"Benar, Locianpwe.... Tolonglah Kwe Suheng sekali ini saja!" Ku Jing San ikut
pula meminta dengan suaranya yang serak.
"Maaf. Maafkanlah aku.... aku tak bisa menolong kalian." terdengar lelaki buta
itu menjawab perlahan. Kakinya tetap melangkah tersaruk-saruk ke arah pintu.
Song Li Cu memandang sekali lagi ke arena pertempuran. Hatinya semakin merasa
cemas akan keselamatan Kwe Tek Hun.
"Locianpwe...!"!" ratapnya sedih.
Namun dengan suara tak kalah lesunya, lelaki buta itu menyahut lirih. "Maaf,
Nona... aku tetap tak bisa menolongmu. Sudah lama aku tidak melibatkan diri di
dalam urusan rimba persilatan seperti ini. Aku sudah bosan. Aku sudah cukup
banyak menderita karena urusan perkelahian, permusuhan dan dendam kesumat di
dunia yang keras itu...."
Buuuuk! "Auuuugh....!" Sekonyong-konyong terdengar suara pukulan dan keluhan tertahan dari arena
pertempuran. Liu Wan, pemuda sakti itu ternyata telah terkena tendangan kaki Mo
Goat. Tio Ciu In terkejut. Ia menyaksikan Liu Wan terhuyung-huyung sambil tetap
berusaha menghindari 422 serangan Mo Goat kembar yang terus saja memburunya. Pemuda itu kelihatan seperti
lampu yang kehabisan minyak. Tenaganya yang besar tadi tampak sudah habis,
sehingga pukulannya yang meledak-ledak seperti petir itu sudah tidak kelihatan
lagi. "Tuan...?" Tio Ciu In yang mencemaskan keselamatan Liu Wan itu tiba-tiba
menjerit kecil tanpa terasa.
Sungguh mengherankan! Jeritan lemah dan amat singkat dari Tio Ciu In itu ter
nyata mampu mengejutkan lelaki buta tersebut! Entah bagaimana caranya bergerak.
Namun orang tua yang telah ber-berada di depan pintu keluar itu mendadak saja
telah berada di dekat Tio Ciu In kembali! Sama sekali tak kelihatan bayangan
tubuhnya yang berkelebat! Di mata Ku Jing San, Song Li Cu, dan Tio Ciu In
sendiri, tubuh lelaki buta itu seperti menghilang dan berpindah tempat begitu
saja! "Nona memanggil aku" Ada apa...?" orang tua itu bertanya tegang.
Tio Ciu In yang baru saja menjerit kecil itu justru menjadi gugup menyaksikan
kesaktian lelaki buta tersebut. Beberapa saat lamanya ia tak bisa menjawab atau
membuka mulutnya. "Nona! Kau kenapa..." Apakah kau diserang dan dilukai musuhmu?" lelaki buta itu
mendesak semakin tegang. 423 "Ti-tidak...! Kawanku... kawanku terdesak! Dia...
dia dalam bahaya!" akhirnya Tio Ciu In dapat bersuara dengan patah-patah.
"Ooooh!" orang tua itu berdesah lega, kemudian perlahan-lahan membalikkan
badannya kembali. "Tuan, tunggu...!" Tio Ciu In mengejar dan berseru.
Lelaki buta itu berhenti. "Ada apa lagi...?"
Tio Ciu In berdiri tegak di depan orang tua itu.
Matanya yang bulat indah itu mencoba mengawasi wajah yang dingin tertutup rambut
tersebut. "Tuan..." Mengapa Tuan tidak mau menolong teman-temanku itu?"
Mendadak tubuh lelaki buta itu seperti bergetar menahan perasaan sedih. Tulang
pipinya yang menonjol itu tampak pucat, sementara matanya yang bening seperti
mata orang sehat itu kelihatan berair.
Kemudian sambil menghela napas berat orang tua itu menundukkan wajahnya.
"Namamu siapa, Nona" Apakah kau tinggal di sekitar Laut Kuning" Apakah kau
bermarga Han?" mendadak lelaki buta itu bertanya tanpa mempedulikan pertanyaan Tio Ciu In.
"Bukan... bukan! Aku tidak bermarga Han!
Namaku Tio Ciu In dan aku juga tidak tinggal di sekitar Laut Kuning! Aku tinggal
di kota Yun-kia...."
"Oooh....!" orang tua itu berdesah panjang seperti mengandung rasa kecewa yang
amat dalam. Sebaliknya Tio Ciu In menjadi sangat heran melihat perilaku orang tua itu.
424 "Mengapa... mengapa Tuan tidak segera menolong teman-temanku" Mengapa Tuan
secara tiba-tiba malah menanyakan nama dan tempat tinggalku?"
Sekali lagi orang tua itu menarik napas panjang sekali. "Sudahlah, Nona Tio.
Jangan kau hiraukan pertanyaanku tadi. Hmmmm, sekarang jawab saja pertanyaanku.
Mengapa kau meminta pertolongan kepadaku?"
"Karena... karena aku percaya Tuan akan meluluskan permintaanku!"
Orang tua itu tampak tercengang sebentar, kemudian mengangguk-angguk.
"Kau benar, Nona Tio. Khusus untuk dirimu, aku bersedia mengubah pendirianku.
Aku akan menolong teman-temanmu, tapi... dengan syarat!"
"Syarat" Syarat apa..." Lekas katakan!" Tio Ciu In yang melihat keadaan Liu Wan
dan Tek Hun semakin mengkhawatirkan itu menjadi tidak sabar.
"Tolong nyanyikan sebuah lagu untukku! Terserah lagu apa saja boleh...!"
"Menyanyikan lagu...?" Tio Ciu In tercengang mendengar syarat yang amat aneh
itu. "Aku... aku tak dapat bernyanyi! Aku..."!"
"Terserah kepadamu, Nona Tio Hanya itu syaratku.
Kalau kau tak mau, juga tidak apa-apa..." orang tua itu berkata perlahan sambil
membalikkan badannya kembali.
Tio Ciu In menjadi tegang bukan main. Apalagi ketika sekali lagi ia menyaksikan
Liu Wan 425
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpelanting menabrak dinding. Darah segar tampak mengalir dari mulut dan hidung
pemuda itu. "Tunggu...!" gadis ayu itu berteriak.
Namun sekali ini orang tua buta itu tak menghiraukan panggilan Tio Ciu In.
Kakinya tetap melangkah perlahan ke arah pintu. Dalam keadaan panik akhirnya Tio
Ciu In juga tidak menghiraukan lagi kejanggalan-kejanggalan yang dihadapinya.
Gadis ayu itu lalu menyanyikan sebuah lagu lama.
Lagu yang sering dinyanyikan oleh gurunya. Entah"
lagu apa, ia tidak tahu. Yang penting ia menyanyi, meskipun suaranya yang merdu
itu menjadi sumbang karena kecemasan dan ketegangan hatinya.
Apabila di malam yang gelap gulita, Tiba-tiba muncul bulan purnama.
Alam pun tersentak dari tidurnya, Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita Malam.
Kekasihku.../ Aku selalu mengharapkan kehadiranmu!
Dalam keadaan yang sangat menegangkan seperti itu, suara nyanyian Tio Ciu In
memang benar-benar aneh dan terasa janggal kedengarannya. Bahkan Mo Goat dan
pembantunya yang disebut panglima itu sampai merasa kaget dan agak mengendor
desakannya. Sabetan kipas yang mematikan dari Mo Goat terhadap leher Liu Wan
seolah-olah tertahan 426 sejenak mendengar alunan suara Tio Ciu In tersebut.
Demikian pula dengan hantaman siku Si Panglima yang tertuju ke arah tengkuk Kwe
Tek Hun seakan-akan juga terhenti beberapa saat pula ketika mendengar suara
nyanyian Tio Ciu In. Namun pada waktu yang cuma sesaat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan, yang
hampir-hampir tak bisa ditangkap oleh pandangan mata siapapun juga.
Begitu cepatnya, sehingga Kwe Tek Hun yang memiliki Pek-in Gin-kang yang amat
tersohor di dunia persilatan itu tak kuasa apa-apa ketika mendadak leher bajunya
secara mendadak telah dicengkeram bayangan tersebut dan dilemparkannya keluar
arena. Demikian pula dengan Liu Wan. Bahkan Mo Goat dan pembantunya yang
memiliki ilmu meringankan tubuh jauh lebih tinggi lagi daripada Kwe Tek Hun itu
juga tak berkutik pula ketika bayangan tersebut menyambar ke arah mereka serta
mendorong mereka keluar arena.
Bukan alang kepalang kagetnya Mo Goat dan pembantunya menyaksikan kesaktian yang
luar biasa itu. Sejenak mereka berdua memandang dengan sinar mata jeri ke arah
lelaki buta yang kini telah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan.
"Kau... kau siapa?" Mo Goat yang kejam dan tak pernah mengenal rasa takut itu
mendadak menjadi gemetaran suaranya.
Bagaimana Mo Goat maupun pembantunya itu tidak jeri" Orang asing berpenampilan
buruk dan 427 mengerikan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu sihir mereka Pat-sian-i-
hoat. Bahkan ilmu meringankan tubuh orang asing itu juga jauh lebih hebat
daripada gin-kang perguruan mereka, yang menurut guru mereka tiada bandingannya
di dunia ini. Begitu pula dengan tenaga dalam yang dikeluarkan oleh orang asing tersebut untuk
mendorong mereka, rasa-rasanya berlipat jauh dengan tenaga dalam yang mereka
miliki. Demikianlah, kalau Mo Goat dan para
pembantunya merasa heran dan ketakutan, sebaliknya Tio Ciu In dan Song Li Cu
menjadi gembira bukan main melihat Liu Wan serta Kwe Tek Hun selamat dari
keganasan lawan. Tio Ciu In segera membantu Liu Wan mengobati luka-lukanya,
sementara Song Li Cu dengan telaten dan penuh perhatian mengusap peluh yang
mengalir di wajah dan leher Kwe Tek Hun.
"Siapa orang itu, Ciu-moi?" dengan napas yang masih memburu Liu Wan bertanya
tentang orang buta itu kepada Tio Ciu In.
"Siapa... dia, Su-moi?" Kwe Tek Hun juga bertanya keheranan kepada Song Li Cu
dan Ku Jing San yang merubungnya.
Tapi baik Tio Ciu In maupun Song Li Cu tidak bisa memberi jawaban. Keduanya
memang tidak mengenal orang buta yang maha sakti itu. Mereka cuma bisa bercerita
bahwa orang tua itu menolong Liu Wan dan Kwe Tek Hun karena suara nyanyian Tio
Ciu In. 428 "Nyanyian...?" Baik Liu Wan maupun Kwe Tek Hun tercengang keheranan.
Kalau semua orang menatap heran atau jeri kepada orang tua buta itu, sebaliknya
orang yang bersangkutan justru sedang berdiri terlongong-longong mengenangkan
isi syair nyanyian Tio Ciu In tadi. Beberapa kali terlihat dadanya turun naik
seakan-akan sedang menyangga beban yang teramat berat.
"Nona Tio...! Dari mana kau belajar lagu lama itu"
Siapakah yang mengajarimu lagu 'Merindukan Kekasih1 itu?" tiba-tiba orang tua
itu menoleh dan bertanya kepada Tio Ciu In.
Gadis ayu yang sedang sibuk menolong Liu Wan itu tersentak kaget.
"Aku... aku tidak belajar dari siapa-siapa. Aku hanya sering mendengarnya dari
Suhuku...." Tio Ciu In menyahut dengan suara gugup.
"Oh, ya" Apakah Gurumu itu seorang tokoh Aliran Im-yang-kau?"
Tio Ciu In tercengang, lalu mengangguk. "Benar.
Beliau adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kau di kota An-king."
Sekarang ganti orang tua buta itu yang mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga...." orang tua itu kemudian bergumam. "Ketahuilah, Nona Tio ...
lagu itu adalah ciptaan seorang tokoh tua aliran Im-yang-kau dua puluhan tahun
yang lalu. Lagu itu sangat populer dan disukai orang, terutama oleh para anggota
aliran itu 429 sendiri. Maka tak mengherankan bila Gurumu juga suka menyanyikannya. Aaah,
memang sungguh indah lagu itu...."
"Tuan sangat, menyukai lagu itu?" Tio Ciu In bertanya hati-hati, takut
menyinggung perasaan orang tua aneh itu.
"Ya, aku dulu sering menyanyikannya. Aku hafal seluruh syair-syairnya..."
Ternyata orang tua buta itu justru bersemangat menjawab pertanyaan Tio Ciu In.
"Kalau begitu... kalau begitu, emmm .. apakah Tuan ini juga anggauta Aliran Im-
yang-kaui pula?" dengan sangat hati-iati Tio Ciu In mencoba untuk mengorek asal-usul orang tua
tersebut. "Oh, bukan...! Isteriku yang..."!"
Tiba-tiba orang tua itu menghentikan kata-katanya.
Dia seperti menyesal telah mengeluarkan ucapannya tadi. Dan untuk menutupi
kecanggungannya, tiba-tiba pula ia melangkah meninggalkan tempat tersebut.
"Aku... pergi dulu!" katanya singkat, lalu tubuhnya yang jangkung tinggi itu
berkelebat meninggalkan ruangan tersebut.
"Tuan, tunggu...! Bolehkah aku mengenal nama besarmu?" Tio Ciu In berseru.
Kakinya melompat, mencoba mengejar sampai ke pintu.
Tak ada jawaban. Orang tua itu telah melesat jauh meninggalkan rumah penginapan
tersebut. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara lapat-lapat dari kejauhan yang
dikirim dengan ilmu Coan-im-jib-it (Ilmu Mengirim Suara Dengan Gelombang Angin).
430 "Nona Tio, panggil saja aku Si Buta! Kalau kau ingin bertemu dan ingin meminta
pertolonganku lagi, nyanyikan saja lagu 'Merindukan Kekasih' itu! Aku tentu
datang...!" "Ihhh...!" Tio Ciu In yang menjadi salah terima dengan ucapan orang tua buta itu
mencibirkan bibirnya. Wajahnya berubah sedikit memerah.
"Masakan aku harus menyanyikan lagu 'Merindukan Kekasih' untuk bertemu dengan
dia?" Mendadak gadis ayu itu tersentak kaget karena teringat kepada Mo Goat kembali.
Bergegas gadis itu membalikkan badannya. Matanya nanar mencari gadis muda yang
kejam itu di antara para pelayan penginapan yang telah mulai berdatangan. Tapi
gadis itu sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
Mungkin secara diam-diam gadis cantik itu telah pergi bersama para pembantunya,
pada saat dia sedang terlibat pembicaraan dengan orang tua buta tadi.
Tapi bagaimanapun juga kepergian Mo Goat itu justru sangat melegakan hati Tio
Ciu In. Apa jadinya kalau Mo Goat dan para pembantunya itu belum pergi,
sedangkan orang tua buta itu sudah tiada lagi"
"Bagaimana, Ciu-moi" Siapakah orang tua itu?"
Liu Wan menyambut kedatangan Tio Ciu In dengan sebuah pertanyaan.
"Entahlah! Dia hanya memperkenalkan diri dengan nama Si Buta!"
431 "Si Buta" Jadi.... orang itu buta" Ah! Bukan main!"
Kwe Tek Hun berseru sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apanya yang bukan main, Suheng?" Song Li Cu menukas keheranan.
Kwe Tek Hun tersenyum kecut. "Yah, kau lihat sendiri! Caranya bergerak yang
gesit dan lincah itu sama sekali tak mencerminkan bahwa dia buta! Kita semua
yang waras ini benar-benar harus malu terhadapnya."
Sementara itu orang-orang yang datang menonton mulai berani memasuki ruangan
tersebut. Pemilik rumah penginapan itu beserta para pelayannya datang
menghampiri mereka. Dengan wajah sedih pemilik rumah penginapan itu meratapi
barang-barangnya yang rusak dan berantakan.
"Sudahlah, kau tak perlu meratapi harta bendamu yang sudah rusak!" Liu Wan yang
sudah mengenal pemilik rumah penginapan itu menghiburnya.
"Meskipun bukan aku yang membuat gara-gara di dalam peristiwa ini, tapi aku akan
menggantikannya. Tolong kau hitung jumlah seluruh kerugianmu ini, lalu masukkan ke dalam rekening
kamarku!" "Tapi... tapi...?" Pemilik rumah penginapan itu pura-pura menolak, padahal
hatinya menjadi senang bukan main.
"Jangan membantah! Lakukan saja perintahku!"
Liu Wan berkata dengan tegas.
432 "Saudara Liu...!?" Kwe Tek Hun terkejut mendengar kesanggupan Liu Wan.
Liu Wan tersenyum. "Tidak apa-apa, Saudara Kwe!
Biarlah, aku masih mempunyai bekal yang cukup."
Demikianlah, setelah membayar sewa kamar beserta kerugian yang diderita oleh
pemilik rumah penginapan itu, mereka pergi meninggalkan tempat tersebut. Seperti
rencana mereka semula, mereka langsung menuju ke markas Tiat-tung Kai-pang di
kota itu. Ku Jing San yang sekarang buntung sebelah kakinya itu terpaksa
mempergunaan tongkat seadanya untuk menopang tubuhnya. Meskipun sangat sedih,
tetapi pemuda itu tetap tegar menghadapi penderitaannya.
Markas Tiat-tung Kai-pang di kota itu menempati bekas bangunan kuil tua yang
sudah rusak dan tak terpakai lagi.
Halamannya yang amat luas itu penuh ditumbuhi rumput dan alang-alang tinggi,
sementara bangunan gedung dan tembok pagarnya sudah banyak yang pecah dan
runtuh. Hanya bagian pendapa dan ruang dalam yang masih agak utuh, meskipun
gentengnya juga sudah banyak yang bocor di sana-sini.
Bangunan kuil itu berada jauh di pinggiran kota, dan terpisah dengan
perkampungan penduduk, sehingga kedatangan Kwe Tek Hun beserta kawan-kawannya
itu sama sekali tidak menarik perhatian orang. Justru orang-orang Tiat-tung Kai-
pang sendiri yang menjadi kaget akan kedatangan mereka.
433 Beberapa pengemis yang berkumpul di pintu gerbang kuil itu segera memberi tanda
dengan suitan mulut kepada teman-temannya di dalam gedung.
Kwe Tek Hun terpaksa berkali-kali mengangguk setiap melewati gerombolan pengemis
yang sedang duduk-duduk atau beristirahat di halaman kuil yang luas itu. Banyak
di antara mereka sedang mengobati lukanya akibat pertempuran di kuil Pek-hok-bio
semalam. "Ah, Kwe Siau-hiap rupanya...." beberapa orang di antaranya menyapa begitu
mengenal Kwe Tek Hun dan Ku Jing San. Namun banyak juga di antara mereka yang
kaget melihat kaki Ku Jing San yang buntung itu.
Kwe Tek Hun membawa rombongannya ke atas pendapa, dan seorang pengemis tua yang
tampaknya paling berpengaruh di antara para pengemis yang bertebaran di dalam
ruangan yang luas itu segera menyambut kedatangannya.
"Oh, Kwe Siau-hiap sudah kembali. Apakah Kwe Siau-hiap akan langsung menemui Hu-
pang-cu?" pengemis tua itu bertanya.
Kwe Tek Hun memberi hormat kepada pengemis tua itu. "Terima kasih, Pek-bi-kai
(Pengemis Beralis Putih). Aku memang bermaksud menemui kau dan Jeng-bin Lo-kai
sekalian kalau boleh...." katanya merendah.
"Ah, jangan sungkan-sungkan! Marilah ke dalam!
Hu-pangcu berada di belakang. Hei..." Apa yang 434
terjadi dengan Ku Siau-hiap?" Pengemis tua yang disebut Pek-bi-kai itu mendadak
kaget menyaksikan kaki Ku Jing San.
"Biarlah nanti kami ceritakan di depan Jeng-bin Lokai sekalian." Kwe Tek Hun
menjawab cepat. Jeng-bin Lo-kai berusia di atas enam puluh tahun, namun badannya masih segar dan
sehat. Rambutnya yang putih seperti perak itu digelung ke atas dan diikat dengan
tali kain berwarna putih pula.
Pakaiannya terbuat dari kain tenun kasar dengan dua buah tambalan di kedua
sikunya. Orang tua itu sedang menikmati minuman teh hangat dari potongan bambu yang
dibentuk seperti cangkir, ketika Pek-bi-kai datang melapor sambil membawa
rombongan Kwe Tek Hun. "Hu-pangcu, Kwe Siau-hiap, ingin berjumpa dengan engkau!" Pek-bi-kai melapor
tanpa basa-basi, kemudian juga ikut menenggak teh dari potongan bambu tadi tanpa
permisi. Tio Ciu In mengernyitkan dahinya menyaksikan tata cara atau kelakuan yang amat
bebas di antara kaum pengemis itu. Diam-diam gadis ayu itu menjadi khawatir
juga, jangan-jangan mereka disuruh minum pula dari potongan bambu itu.
"Oh, Kwe Siau-hiap rupanya. Mari silakan duduk...!" Jeng-bin Lo-kai menyambut
kedatangan mereka. Demikianlah setelah memperkenalkan Liu Wan dan Tio Ciu In, Kwe Tek Hun lalu
bercerita tentang 435 musibah yang baru saja terjadi di rumah penginapan tadi. Selain itu Kwe Tek Hun
juga bercerita pula tentang keinginan Tio Ciu In untuk menemukan adiknya yang
hilang. Ternyata Jeng-bin Lo-kai amat kaget mendengar kedatangan Mo Goat di kota itu,
bahkan berkelahi dengan rombongan Kwe Tek Hun.
"Baru saja aku menerima laporan tentang sepak terjang mereka di Ciu-siang, Wu-an
dan An-king, sekarang justru sudah berada di sini. Hmmh, di manakah mereka itu
sekarang?" "Entahlah, Hu-pangcu. Mungkin mereka juga belum meninggalkan kota ini. Siapakah
mereka itu sebenarnya" Apa yang telah mereka lakukan di kota Ciu-siang, Wu-an
dan An-king?" Jeng-bin Lo-kai berdiri dari tempat duduknya.
"Pek-bi-kai! Tolong kau kirim beberapa orang anak buahmu ke kota untuk mencari
khabar tentang orang-orang Hun itu!" perintahnya kepada Pek-bi-kai.
Sekali lagi Pek-bi-kai meraih potongan bambu tempat air teh itu dan menenggaknya
habis, kemudian tanpa berbicara apa-apa ia beranjak pergi meninggalkan ruangan
itu. "Orang-orang Hun" Siapakah yang kau maksudkan, Hu-pang-cu?" Kwe Tek Hun berseru
kaget. "Ketahuilah, Kwe Siau-hiap, gadis kejam itu adalah puteri Mo Tan, raja dari suku
Hun di luar Tembok Besar. Gadis itu datang ke Tiong-goan bersama beberapa orang
pasukan pilihan Ayahnya, dengan 436
tujuan yang belum diketahui. Tapi yang terang mereka telah membunuhi para
pemenang perlombaan 'Mengangkat Arca' di kota-kota yang kusebutkan tadi.
Langsung di atas panggung-panggung perlombaan tersebut diadakan!"
"Benar-benar keji! Apa sebenarnya yang mereka kehendaki dengan membunuhi orang-
orang yang tak berdosa seperti itu" Apakah karena mereka sangat membenci orang-
orang Han, dan ingin membasmi pemuda-pemudanya yang terbaik?" Liu Wan berseru
penasaran. "Entahlah, Liu Siau-hiap. Tapi khabarnya para pembesar kota itu telah
mengirimkan utusan untuk melapor ke kota raja. Kita nantikan saja
perkembangannya." Mereka lalu berbicara tentang suku bangsa Hun dan rajanya yang bernama Mo Tan,
yang sejak Kaisar Liu Pang dulu selalu membuat rusuh dan kekacauan di daerah
Tionggoan. Mo Tan yang sekarang sudah semakin tua itu tampaknya sudah enggan
untuk melompati tembok Besar sendiri, sehingga kini mengirim putrinya untuk
mewakilinya. Sejak dulu suku bangsa Hun memang bermusuhan dengan orang-orang
Han. Beberapa saat kemudian Pek-bi-kai telah datang kembali ke ruangan itu.
Wajahnya tampak kesal dan cemas.
437 "Hmmh, bagaimana Pek-bi-kai" Apakah ada laporan yang masuk lagi?" Jeng-bin Lo-
kai cepat menanyainya. "Wah, gawat... Hu-pangcu! Pemuda-pemuda Hang-ciu yang memenangkan perlombaan
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengangkat arca" kemarin ditemukan tewas semua di pantai dekat perkampungan Ui-
thianrcung!" Pek-bi-kai melapor.
Lalu katanya lagi sambil melirik kepada Liu Wan dan Tio Ciu In. "Dan... salah
seorang anggota kita ada yang melihat seorang gadis cantik berbaju merah
berkelahi dengan orang-orang Hek-to-pai di perkampungan mereka kemarin sore."
"Berkelahi dengan orang-orang Hek-to-pai?" Liu Wan bergumam seraya mengawasi Tio
Ciu In. "Oh!" gadis ayu itu berdesah pucat. "Di manakah perkampungan Hek-to-pai itu"
Jangan-jangan...?" Bagaimanapun juga Tio Ciu In menyadari bahwa kepandaian adiknya tidak terpaut
banyak dengan dirinya. Dan sekarang setelah mengetahui betapa banyaknya orang-
orang berilmu tinggi di dunia ini, otomatis hatinya menjadi khawatir terhadap
keselamatan adiknya yang suka bertindak sembrono itu.
"Perkumpulan Hek-to-pai tidak terlalu jauh dari kota ini, Nona Tio. Di tepi
jalan yang menuju ke perkampungan Ui-thian-cung, kira-kira dua lie sebelum
pantai." Kwe Tek Hun memberi keterangan.
Tiba-tiba Tio Ciu In berdiri. Air mukanya tampak semakin gelisah dan cemas.
438 "Terima kasih atas keterangan Locianpwe. Aku akan pergi ke sana." Gadis ayu itu
menjura kepada Jeng-bin Lo-kai dan Pek-bin-kai, kemudian berlari ke luar
meninggalkan tempat itu. Tentu saja Liu Wan menjadi kaget dan khawatir.
Khawatir akart keselamatan gadis ayu itu. Apalagi tempat yang hendak ditujunya
itu dekat sekali atau satu jalan dengan tempat pembantaian para pemenang
perlombaan itu. Siapa tahu pelaku pembantaian tersebut memang benar rombongan Mo
Goat, dan sekarang masih berkeliaran di daerah itu"
"Maaf, Lo-kai...!" Pemuda itu dengan tergesa-gesa meminta diri kepada Jeng-bin
Lo-kai dan Pek-bi-kai lalu berlari mengejar Tio Ciu In.
"Saudara Liu, tunggu...!" Kwe Tek Hun berseru memanggil.
Pemuda sakti dari Pulau Meng-to itu juga memohon diri kepada Jeng-bin Lo-kai.
"Suheng, aku ikut!" Song Li Cu tak mau ketinggalan.
"Jangan...! Kau tunggu saja di sini bersama Ku Jing San! Aku tidak akan lama!"
Kwe Tek Hun melarang. "Tapi...?" Song Li Cu cemberut.
"Sudahlah! Kalian tetap di sini saja!" Kwe Tek Hun menggeram, kemudian dengan
Pek-in Ginkangnya yang tinggi badannya melesat bagaikan peluru melintasi pendapa
tersebut. Jeng-bin Lo-kai dan Pek-bi-kai tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
439 "Bukan main...! Benar-benar tidak berbeda dengan ayahnya!"
Matahari telah berada tepat di atas kepala, namun karena awan tebal menutupi
hampir seluruh udara di atas kota itu, maka panasnya tidak sampai membakar bumi.
Akan tetapi dengan demikian justru hawanya menjadi gerah bukan main.
Tio Ciu In sengaja berputar menyusup di pinggiran kota, agar langkahnya yang
cepat dan kadang kala juga berlari itu tidak menarik perhatian orang.
"Ciu-moi tunggu...!"
Gadis ayu itu menoleh dan hatinya menjadi lega begitu melihat kedatangan Liu
Wan. Namun gadis itu terpaksa mengerutkan alisnya ketika menyaksikan Kwe Tek Hun
juga ikut berlari di belakang pemuda itu.
"Ciu-moi...! Tenangkanlah dulu perasaanmu! Kau jangan bertindak gegabah dan
sembrono memasuki perkampungan Hek-to-pai itu! Tempat itu sangat berbahaya!
Ketuanya memiliki ilmu golok beracun yang cukup disegani di daerah pantai timut
ini!" "Apa yang dikatakan oleh Saudara Liu itu memang benar, Nona Tio. Tapi kalau kau
memang berkeras untuk memasuki perkampungan itu, biarlah aku dan Saudara Liu
menemanimu. Kita lihat saja, apakah adikmu di sana."
Tio Ciu In berhenti melangkah dan memandangi dua pemuda yang sama-sama gagah dan
tampan itu. Sejenak hatinya seperti memperbandingkannya. Liu 440
Wan berperangai halus, pandai bicara dan serba bisa.
Sedangkan Kwe Tek Hun tampaknya berwatak lebih keras, jujur dan tidak suka
banyak bicara. Namun yang jelas keduanya sama-sama menariknya. Jauh lebih
menarik daripada Tan Sin Lun, suhengnya.
"Aaah...." Tio Ciu In berdesah lirih begitu teringat akan suhengnya.
"Eh, kenapa kau kelihatannya seperti ragu-ragu?"
Liu Wan bertanya heran. Tio Ciu In tersentak sadar. "Anu... emm, aku khawatir hanya akan merepotkan
kalian saja." jawab gadis ayu itu berbohong.
"Wah, mengapa masjh sungkan-sungkan pula"
Bukankah kita sudah saling bersahabat" Ayohlah, kita berangkat!" Kwe Tek Hun
menyela. Tio Ciu In tak bisa mengelak lagi. Mereka bertiga lalu berlari menerobos sawah
ladang ke arah timur. Kedua pemuda berilmu tinggi itu, terutama Kwe Tek Hun terpaksa harus
memperlambat langkah kakinya untuk mengimbangi gin-kang Tio Ciu In. Sampai di
jalan besar yang dilalui Tio Siau In kemarin terpaksa mereka mengendorkan
langkah. Jalan tersebut adalah jalan utama menuju ke pantai, sehingga banyak
sekali orang lalu lalang di jalan itu. Ketiganya tak ingin menarik perhatian
orang. -- o0d-w0o -- 441 JILID XI KAN tetapi setiap orang yang
berpapasan dengan mereka tetap saja
memandang dengan kagum, terutama
A kepada Tio Ciu In yang ayu itu. Untunglah mereka segera sampai di perkampungan
Hek-to-pai. "Hei, ramai benar suasananya! Sedang ada apa di kampung itu?" Liu Wan berseru
heran melihat kesibukan di pintu gerbang perkampungan Hek-to-pai itu.
Kampung besar yang dipakai sebagai markas perguruan Hek-to-pai itu memang lain
daripada biasanya. Sehari-harinya hanya ada dua atau tiga orang penjaga yang
berdiri di pintu gerbangnya, namun kali ini ternyata ada delapan atau sepuluh
orang di sana. Dan apabila di hari-hari biasa para anggotanya itu cuma
berpakaian seadanya, tapi kali ini mereka juga mengenakan pakaian kebesaran
mereka, yaitu hitam-hitam dan ikat kepala hitam pula.
Bahkan Liu Wan dan Kwe Tek Hun seperti mendengar suara tambur dan gendang
ditabuh di tengah-tengah kampung itu.
"Apakah mereka masih merayakan Tahun Baru?"
Tio Ciu In menduga-duga dengan perasaan masih cemas memikirkan adiknya.
442 "Mungkin benar. Tapi... hei, lihat Liu Wan berseru tertahan sambil menunjuk ke
arah bendera atau panji perguruan yang terpancang di samping pintu gerbang.
Kwe Tek Hun dan Tio Ciu In memandang pula dengan kening berkerut. Di samping
tiang bendera perguruan HekT-to-pai, ternyata terpancang pula bendera lain yang
lebih megah serta lebih besar ukurannya. Bendera berwarna hitam legam itu
bergambar burung rajawali berbulu emas sedang mencengkeram sebuah golok pusaka
yang berwarna kuning emas pula.
"Ah... itu bendera keluarga Tiau dari Hai-ong-hu di Lautan Timur sana. Ada
urusan apa mereka ke Sini?"
Kwe Tek Hun yang sudah terbiasa bertualang di laut itu berseru heran.
"Wah, sungguh gawat! Kalau sampai bajak laut itu berada di sini, semuanya bisa
berbahaya." Liu Wan menambahkan.
Tentu saja yang menjadi semakin cemas dan gelisah adalah Tio Ciu In. Dengan
wajah pucat gadis ayu itu mengawasi Liu Wan dan Kwe Tek Hun berganti-ganti.
"Siapa keluarga Tiau itu" Mengapa kalian tampaknya sangat mengkhawatirkan
mereka?" Liu Wan menghela napas panjang, lalu dengan sangat hati-hati agar tidak semakin
membuat cemas perasaan Tio Ciu In ia menerangkan. "Keluarga Tiau adalah penguasa
bajak laut terbesar di daerah Lautan Timur. Nama mereka amat tersohor dari dulu,
karena 443 selain memiliki kekuatan yang sangat besar mereka juga berkepandaian luar biasa
tinggi. Keluarga itu berdiam di sebuah pulau kecil yang mereka sulap menjadi
sebuah istana yang dikelilingi benteng kuat seperti istana raja. Mereka menyebut
tempat itu Hai-ong-hu (Istana Raja Laut). Mereka mempergunakan panji atau
bendera seperti yang berkibar di samping pintu gerbang itu."
"Jadi mereka itu bajak laut?" Tak terduga Tio Ciu In berseru geram. Gadis ayu
itu teringat akan nasib keluarganya yang musnah karena serangan para bajak laut.
"Ciu-moi...?" "Marilah! Kalau begitu kita hadapi mereka sekalian! Aku akan mengadu jiwa dengan
mereka bila mereka benar-benar mencelakai adikku!"
Lalu tanpa menanti reaksi teman-temannya lagi Tio Ciu In berlari menuju ke
perkampungan Hek-to-pai. Liu Wan hanya bisa saling pandang saja dengan Kwe Tek Hun. Keduanya terpaksa
berlari mengikuti gadis ayu itu.
"Berhenti...!" Para pengawal pintu gerbang itu menghentikan Tio Ciu In. Namun
semuanya segera cengar-cengir melihat kecantikan gadis ayu itu.
Tetapi mereka cepat pula bersiaga kembali begitu menyaksikan Liu Wan dan Kwe Tek
Hun! "Kau mau ke mana, Nona?" salah seorang dari penjaga itu bertanya.
444 Tio Ciu In mencoba untuk meredakan perasaannya dahulu sebelum menjawab.
"Aku cuma ingin bertanya, apakah kemarin ada seorang gadis muda berpakaian merah
ke sini?" "Nona maksudkan gadis galak yang membawa sepasang pedang pendek di balik lengan
bajunya?" "Benar! Jadi dia berada di sini?" Tio Ciu In berteriak tinggi penuh harap.
"Lalu... di mana dia sekarang?"
Tak terduga para penjaga itu justru menebar dalam posisi mengurung rombongan Tio
Ciu In. Wajah mereka yang semula cengar-cengir, mendadak berubah kaku
penuh/kewaspadaan. Bahkan pimpinan mereka segera memberi perintah kepada salah
seorang di antara mereka untuk melapor ke dalam.
"Nona siapa..." Apakah hubungan Nona dengan gadis itu" Apakah saudara
seperguruan atau keluarganya?" pimpinan penjaga itu menggeram dengan suara tak
bersahabat. Otomatis Tio Ciu In, dan juga Liu Wan serta Kwe Tek Hun menjadi curiga pula.
Tentu ada apa-apa di antara Tio Siau In dengan perguruan itu sehingga mereka
bersikap seperti itu. Oleh karena itu baik Tio Ciu In maupun Liu Wan dan Kwe Tek
Hun segera bersiap siaga pula menghadapi segala kemungkinan.
"Aku adalah Kakak kandung gadis itu. Mengapa..."
Di mana dia sekarang?"
Para penjaga itu saling pandang dengan wajah kaget. Namun di lain saat wajah
mereka segera 445 berubah pula menjadi keruh dan geram. Serentak mereka menghunus golok yang
terselip di pinggang masing-masing.
"Bagus! Tampaknya kau ingin menggantikan adikmu yang kurang ajar itu untuk
menerima hukuman! Ayoh, kawan! Ringkus gadis ini!"
Pimpinan penjaga itu berseru memberi perintah kepada teman-temannya.
Tanpa diperintah untuk yang ke dua kalinya para penjaga itu segera berloncat an
sambil mengayunkan golok mereka ke tubuh Tio Ciu In. Mereka tidak merasa sayang
atau tertarik lagi melihat kecantikan Tio Ciu In. Pengalaman menghadapi Tio Siau
In kemarin, yang mengakibatkan beberapa orang teman mereka terluka, bahkan ketua
mereka juga, membuat mereka lebih berhati-hati menghadapi lawan.
Perubahan keadaan yang sangat cepat itu tak lepas dari pengamatan Liu Wan dan
Kwe Tek Hun. Hanya saja Liu Wan yang berpenampilan tenang dan sabar itu tidak
segera bertindak untuk membantu Tio Ciu In.
Apalagi pemuda itu juga sudah dapat menilai kemampuan Tio Ciu In. Kalau cuma
para penjaga itu yang maju, Tio Ciu In bisa menghadapi mereka sendirian.
Tapi berbeda dengan Kwe Tek Hun. Pendekar muda dari Pulau Meng-to yang telah
terbiasa malang melintang di dunia kang-ouw untuk melindungi kaum lemah itu
cepat menerjang maju pula untuk melindungi Tio Ciu In. Bukannya ia tak percaya
akan 446 kemampuan Tio Ciu In, tapi ia hanya ingin menghindarkan gadis itu dari bentrokan
langsung dengan laki-laki kasar tersebut.
Traaang! Traaaang! Trangg...!
Golok-golok hitam yang datang menyambar ke arah tubuh Tio Ciu In itu tiba-tiba
terpental balik dan hampir mengenai pemiliknya sendiri ketika saling berbenturan
dengan pedang Kwe Tek Hun. Untunglah para penjaga itu sejak semula sudah
berhati-hati, sehingga masing-masing cepat bisa menguasai senjatanya sendiri.
"Nona Tio, kau beristirahatlah! Biarlah aku saja yang mewakilimu menghadapi
manusia-manusia kasar ini!" Kwe Tek Hun berkata tegas.
"Terima kasih, Kwe Siau-hiap! Aku akan masuk ke dalam untuk mencari Adikku."
Tanpa menanti jawaban lagi Tio Ciu In lalu melesat ke dalam. Para penjaga itu
mencoba merintangi, namun dengan tangkas Kwe Tek Hun menyerang mereka. Terpaksa
mereka melepaskan Tio Ciu In untuk menghadapi pendekar muda dari Pulau Meng-to
itu. "Ciu-moi, hati-hati...!" Liu Wan berseru seraya melompat ke depan mengejar gadis
itu. Tapi baru saja Tio Ciu In dan Liu Wan melompat ke atas lantai pendapa utama yang
ada di tengah-tengah halaman depan itu, mereka telah disongsong oleh It Kwan dan
murid-muridnya. Luka di leher ketua Hek-to-pai itu telah dibalut dengan rapi.
Begitu 447 pula dengan luka di punggung tangannya. Bekas-bekas luka yang diakibatkan oleh
pedang pendek Tio Siau In kemarin tampaknya telah diobati dengan baik.
"Tangkap mereka...!" begitu berhadapan muka orang tua itu berteriak memberi
perintah kepada anak buahnya.
"Tahaaaaan! Orang tua, kau siapa?" namun dengan seruan lantang, tidak kalah
kerasnya dengan suara It Kwan, Tio Ciu In menghentikan langkah mereka.
"Aku It Kwan, ketua partai persilatan di sini! Nah, mau apa kau mencari Adikmu
ke sini" Mau menggantikan Adikmu untuk menerima hukumanku, heh?"
"Bagus...! Kebetulan sekali kalau begitu, karena aku memang ingin bertemu dengan
engkau! Nah, lekas kau katakan, di mana Adikku" Jawab!"
Ternyata Tio Ciu In yang biasanya lembut dan halus budi bahasanya itu kini tidak
mau berbasa-basi lagi. Kekhawatiran terhadap Siau In membuatnya tegang dan kaku.
"Kurang ajar...! Ternyata sifatmu juga tidak jauh berbeda dengan Adikmu,
Kuntilanak Kecil itu! Huh, cepat... tangkap perempuan ini!" It Kwan menjerit
marah. Rasa malu dan terhina karena dilukai Siau In kemarin membuat ketua Hek-
to-pai ini dendam sekali.
Belasan anggota Hek-to-pai yang menyertai ketuanya itu segera berloncatan
menyerang Tio Ciu In dan Liu Wan. Golok mereka yang hitam mengkilat itu
berkelebatan seperti tangan-tangan hantu yang berebut 448
mangsa. Sebagian menerjang ke tubuh Tio Ciu In, sementara yang sebagian lagi
menyambar ke arah Liu Wan. Sedangkan It Kwan cepat-cepat menghunus goloknya pula
untuk setiap saat membantu anak buahnya.
"Hmm... siapakah mereka, It Kwan?" tiba-tiba dari ruang dalam muncul seorang
lelaki tua berpakaian mewah bertanya kepada It Kwan. Dia keluar dikawal oleh
empat orang laki-laki kekar berpakaian hitam-hitam.
It Kwan menoleh. Bibirnya berusaha tersenyum.
"Perempuan ini mengaku sebagai kakak kandung dari gadis yang melukai aku
kemarin, Cong Su. Aku akan menangkap dia sebagai ganti adiknya yang terlepas
akibat kebodohan Tong Tai-su."
Lelaki berpakaian mewah itu mencibirkan bibirnya yang ditumbuhi kumis seolah
olah amat meremehkan kemampuan Tio Ciu In dan Liu Wan. Sambil melangkah
mendekati It Kwan ia menggerutu. "Kau ini masih saja suka bermain-main dengan
anak-anak." Wajah It Kwan menjadi merah. Matanya
memancarkan sinar tak senang. Namun demikian ia tak berbuat apa-apa. Tampaknya
ia segan terhadap tamunya itu. Ia cuma menarik napas panjang seraya menatap
kembali ke arena perkelahian.
Begitu mendengar adiknya sudah pergi dan tidak ada di tempat itu lagi,
sebenarnya Tio Ciu In sudah tidak ingin berkelahi lagi. Tapi untuk lebih
meyakinkan hatinya bahwa Siau In memang benar-449
benar sudah tidak ada lagi di tempat itu, Tio Ciu In ingin menangkap salah
seorang anggauta Hek-to-pai itu untuk dikorek keterangannya. Dan tampaknya Liu
Wan juga mempunyai maksud yang sama.
"Ciu-moi...! Hadapi mereka! Aku akan meringkus ketuanya itu! Berhati-
hatilah ...!" pemuda itu berbisik ke telinga Tio Ciu In.
Tio Ciu In tersenyum. "Kaulah yang harus berhati-hati. Sebagai seorang ketua
partai persilatan tentunya kepandaian silatnya sangat tinggi."
Demikianlah, dengan ginkangnya yang tinggi Liu Wan berkelit ke sana ke mari
untuk meloloskan diri dari kurungan para pengeroyoknya. Sabetan-sabetan golok
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang datang bagaikan air hujan itu sama sekali tak mampu menyentuh tubuhnya.
Bahkan beberapa kali ia mampu membalas dan menjatuhkan lawannya.
"Wah, pemuda itu tampaknya memiliki ilmu juga.
Kau harus berhati-hati menghadapinya." laki-laki berpakaian mewah itu berkata
kepada It Kwan. "Tentu saja, Cong Su. Kau tak perlu ikuit campur dalam masalah ini." Ketua Hek-
to-pai itu mendengus kesal.
"Ah, jangan begitu.... Kita sudah lama saling mengenal, meskipun kita tidak
bersahabat. Tiada jeleknya kalau sekali waktu aku ikut membantu kesulitanmu."
"Siapa yang berada di dalam kesulitan?" akhirnya It Kwan menjerit gusar. Matanya
mendelik, siap berkelahi melawan tamunya.
450 Akan tetapi dengan tertawa perlahan Cong Su mengerak-gerakkan tangannya.
"Sabar...! Sabar, It Kwan... sabaaaar! Aku bermaksud baik. Kenapa kau cepat
sekali tersinggung hari ini?"
It Kwan menggeram. Dengan sekuat tenaga Ketua Hek-to-pai itu mengekang
kemarahannya. "Habis kata-katamu juga sangat memandang rendah kepadaku! Jangan dikira aku
takut kepadamu! Kalau selama ini aku selalu menghormati kamu, hal itu karena kau
adalah orang kepercayaan Hai-ong-hu!
Aku tidak ingin berselisih dengan mereka...."
Gong Su tertawa keras-keras. "Haaha-ha, baiklah...!
Sekarang kau hadapi saja lawanmu itu! Lihat! Pemuda itu lolos dari kepungan anak
buahmu!" It Kwan terperanjat. Ia melihat Liu Wan berlari menghampirinya.
"Cong Su, pergilah! Pulanglah sekalian ke Hai-ong-hu! Bawa tukang masak kami
seperti yang diminta oleh rajamu! Tapi cepat kau kembalikan mereka apabila tugas
mereka telah selesai!"
"Terima kasih. Tapi aku ingin menyaksikan keramaian ini dahulu. Hei, pengawal!
Jemput lebih dahulu tukang masak itu ke sini! Kita segera kembali ke Hai-ong-
hu!" Cong Su berseru kepada pengawalnya.
"Kau memang selalu ingin mencampuri urusanku!"
It Kwan menggeram dengan mata mendelik.
451 Tapi ketua Hek-to-pai itu tak sempat untuk berdebat lagi. Liu Wan yang sudah
lepas dari kepungan itu keburu menyerangnya. Pemuda itu mengayunkan sisi telapak
tangannya sambil melompat ke arahnya. Terdengar desis angin tajam bagaikan suara
anak panah yang lepas dari busurnya. Siiiiiing!
It Kwan terperangah. Ia segera sadar sedang menghadapi seorang lawan yang
memiliki lwe-kang serta ilmu pukulan yang tinggi. Dan ia tidak ingin mendapat
malu lagi. Goloknya segera bergetar di depan dadanya, siap untuk menyongsong
serangan Liu Wan. Whuuuus! Golok hitam itu terayun keras ke depan, seolah-olah hendak menjemput
kedatangan telapak tangan Liu Wan, sementara kedua kaki It Kwan siap untuk
bergeser ke kiri apabila lawannya menarik kembali serangannya.
Liu Wan kagum juga melihat kesigapan ketua Hek-to-pai. Tapi ia tak mau menarik
kembali tangannya yang sudah terlanjur terulur ke depan. Apalagi dengan
ketajaman penglihatannya yang sudah terlatih baik, ia merasa ada sesuatu yang
dipersiapkan oleh lawannya apabila ia menarik tangannya kembali.
Oleh karena itu Liu Wan hanya memutar lengannya setengah lingkaran ke kanan
untuk menghindari tabasan golok, kemudian mengubah jari-jari tangannya yang
merapat itu menjadi sebuah cengkeraman ke arah pergelangan It Kwan yang 452
memegang golok. Gerakan tangannya yang cepat itu diikuti dengan gerakan tubuhnya
ke samping. Sekali lagi It Kwan terkejut menyaksikan ilmu silat lawannya. Tentu saja ia tak
ingin pergelangan tangannya tertangkap. Mati-matian ia membuang badannya ke
kanan untuk menghindari tangkapan itu, sambil kaki kirinya menjejak ke depan
untuk memaksa lawan mundur kembali.
Duuuk! Tumit sepatu It Kwan membentur ujung jari Liu Wan!
Langkah Liu Wan bagaikan tertahan oleh tembok yang sangat kuat, namun sebaliknya
kuda-kuda It Kwan yang goyah itu tak mampu lagi menopang berat tubuhnya! Sambil
menyeringai kesakitan Ketua Hek-to-pai itu terdorong jatuh ke atas lantai. Tapi
dengan cepat pula orang tua itu bangkit kembali.
Cong Su bertepuk tangan menyaksikan gebrakan pertama yang amat menegangkan itu.
Dari gebrakan tersebut sudah dapat dinilai bahwa tenaga dalam Liu Wan masih jauh
lebih baik dibandingkan tenaga dalam It Kwan. Sekarang tinggal ilmu golok It
Kwan, apakah bisa menutup kekurangannya tersebut atau tidak.
"Menyerah sajalah kau agar aku tidak perlu menyakitimu!" Liu Wan mengejek agar
lawannya menjadi semakin panas dan penasaran.
"Persetan! Akan kukuliti kepalamu dan kucincang tubuhmu, keparat!" It Kwan
berteriak berang. Goloknya berputar-putar di tangan kanannya.
453 Ketua Hek-to-pai itu cepat menerjang kembali.
Ilmu goloknya yang ganas dan keji itu segera mengurung Liu Wan.
Sinarnya yang hitam mengkilat itu berkelebatan bagaikan hendak mencacah-cacah tubuh lawannya. Suaranya mengaung keras seperti suara ribuan lebah yang terbang mengelilingi Liu Wan. Liu Wan menjadi repot juga melayani kurungan golok yang sangat beracun itu. Salah langkah sedikit saja mata golok yang tajam itu akan menyayat kulitnya atau
membelah tubuhnya, dan hal itu berarti kematian baginya.
"Kalau hanya mengandalkan ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh saja kukira
harus membutuhkan waktu yang lama untuk menundukkan goloknya. Tapi kalau harus
mempergunakan Thian-lui-khong-ciang, rasanya juga masih terlalu pagi. Ah, lebih
baik aku 454 mempergunakan pisau saja...." pemuda itu berpikir sambil tetap melayani serangan
It Kwan. Sementara itu melihat kawannya dapat mengurung Liu Wan, Cong Su bertepuk tangan
dengan gembira. Berkali-kali orang tua itu memuji ilmu golok It Kwan yang cepat dan ganas luar
biasa. "Bagus! Bagus! Wah, ternyata Ilmu Golokmu benar-benar hebat sekali! Aku sungguh
tidak menyangkanya! Sayang tenagamu terlalu lemah...!"
Cong Su berteriak-teriak gembira.
"Diam kau, Cacing Tua!" It Kwan berteriak pula dengan kerasnya.
Liu Wan tertawa perlahan. "Kau benar, ...Orang Tua! Ilmu Golok orang ini memang
hebat sekali. Sayang kurang terdukung oleh tenaga dalamnya, sehingga kehebatannya menjadi
hambar dan kurang berbobot! Hei, bagaimana kalau kau membantunya agar
pertarungan ini menjadi lebih mengasyikkan lagi?"
Tiba-tiba senyum di bibir Cong Su menghilang.
Wajah tua yang masih kelimis itu berubah menjadi keruh.
"Bangsat kecil! Kau menantang Hai-go Cong Su (Si Buaya Laut)...?" orang tua itu
menjerit marah. "Eh, memangnya kenapa" Bukankah orang ini kawanmu" Apa salahnya kalau kalian
saling menolong" Orang ini terang tidak akan menang melawanku. Begitu pula kalau
kau nanti maju sendirian. Bukankah akan lebih baik kalau kau maju 455
bersama mengeroyok aku, sehingga kalian saling tolong menolong bila dalam
kesulitan?" "Apa katamu..." Kau masih waras atau sudah gila, heh?" Cong Su berteriak tinggi.
Liu Wan tertawa panjang. Dia tak menjawab umpatan itu. Dia sedang sibuk melayani
golok It Kwan. Pisau yang kini tergenggam di tangannya benar-benar dahsyat.
Pisau yang tak seberapa panjang itu ternyata mampu menahan golok lawannya yang
besar dan berat. "Ayolah...! Kau tak perlu malu-malu untuk mengeroyokku! Majulah!" tantangnya
kembali kepada Hai-go Cong Su.
"Kau...?" Hai-go Cong Su hendak mengumpat lagi, tapi terhenti karena empat orang
pengawalnya telah kembali membawa lima orang tukang masak yang tadi
dikehendakinya. "Inilah mereka, Cong Tou-bak...." salah seorang dari pengawal itu melapor.
"Suruh mereka menanti di luar! Sekarang kalian bantu aku dulu membungkam Si
Mulut Sombong itu!" Cong Su berseru sambil menunjuk ke arah Liu Wan.
"Baik, Tou-bak!"
Tanpa basa-basi lagi keempat pengawal Cong Su itu segera menyerang Liu Wan.
Kebetulan keempat-empatnya juga bersenjatakan golok, sehingga berlima dengan It
Kwan mereka mengeroyok dengan golok.
Sesuai dengan perawakan mereka yang gempal, cara mereka bersilatpun ternyata
juga kasar dan keras. 456 Apalagi mereka memang anggota bajak laut yang sudah terbiasa berlaku kasar dan
keras. Namun untuk melawan Liu Wan kepandaian mereka masih terlalu jauh. Kepandaian
mereka berempat tidak lebih baik daripada anak murid It Kwan sendiri. Maka
tidaklah mengherankan bila sebentar saja mereka telah menjadi bulan-bulanan
pisau Liu Wan. Pemuda itu tidak bermaksud membunuh mereka. Pemuda itu hanya,
menggores saja beberapa kali di tubuh empat orang pengawal itu.
Namun semuanya itu telah membuat mereka mundur ketakutan.
"Wah, kalian memang cuma gentong nasi yang tak berguna! Minggir...!" Cong Su
marah-marah, kemudian meloncat ke dalam arena menggantikan mereka. Tangannya
memegang sebuah ruyung besi yang diberi gerigi tajam di bagian ujungnya.
"Nah, begitu! Akhirnya kau terjun juga ke arena membantu kawanmu ini...!" Liu
Wan mengejek. "Bangsat keparat, diam kau! Lihat ruyungku...!"
Tapi kedatangan Cong Su sungguh tidak menyenangkan hati It Kwan. Meskipun dia
sendiri merasa kewalahan menghadapi Liu Wan, tapi ia benar-benar tidak
menghendaki bantuan orang seperti Cong Su itu.
"Kaulah orangnya yang mestinya diam dan tak ikut campur dengan urusan orang,
Cong Su! Cepat kau pergi dari sini! Bukankah tugasmu hanya mengambil 457
tukang masak di sini?" Ketua Hek-to-pai itu membentak.
"Maaf It Kwan. Anak ini telah menghina dan menantangku, aku tidak boleh
mendiamkannya saja. Pantang bagi warga Hai-ong-hu untuk menolak tantangan lawan."
"Tapi... dia baru bertempur dengan aku. Apakah kau tidak bisa menunggu sampai
pertempuran ini selesai dahulu?"
"Wah, mana sempat aku menunggu lagi" Biarlah aku saja yang lebih dulu berkelahi
dengan dia! Kau minggirlah!"
Liu Wan benar-benar tak bisa menahan tawanya mendengar perdebatan kedua orang
itu. Sambil meloncat mundur pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hei... sebenarnya kalian berdua ini bersahabat atau bermusuhan" Kalau kalian
memang saling bermusuhan dan ingin berkelahi dahulu, yah...
baiklah, aku akan menunggu! Berkelahilah kalian!"
akhir nya Liu Wan berkata sambil menyeret sebuah kursi dan duduk bertopang kaki.
It Kwan dan Cong Su menjadi salah tingkah sekarang. Mereka saling berhadapan
dengan senjata masing-masing, tapi tentu saja tak seorang pun dari mereka yang
ingin menyerang yang lain. Mereka hanya saling memandang dengan wajah kikuk.
"Nah, nah, nah... akhirnya kalian menjadi bingung sendiri sekarang, hahahaha!
Makanya kalian tak perlu 458
bertengkar lagi! Bersatu sajalah kalian berdua untuk melawanku! Tidak usah malu-
malu...! He-hehe-hehehehe!" sekali lagi Liu Wan tertawa mengejek.
"Bedebah...!" It Kwan meraung, kemudian meloncat menyerang Liu Wan.
"Bangsat...!" Cong Su juga mengumpat dan menerkam pemuda itu.
Brraaaaak!!! Terdengar suara keras ketika kursi yang diduduki Liu Wan tadi
hancur berkeping-keping dihantam golok dan ruyung lawannya. Pemuda itu sendiri
telah lebih dahulu melesat pergi. Bahkan sebelum kedua lawannya itu menyadari
apa yang terjadi, Liu Wan ganti menyerang dengan pisaunya.
Singggg! Siiing! Pisau itu sekaligus menyambar pergelangan tagan Cong Su dan It
Kwan yang memegang senjata.
"Aaaaah....!" Baik It Kwan maupun Cong Su berusaha mati-matian untuk menyelamatkan tangannya,
namun tetap saja pisau itu menggores sedikit di lengan mereka masing-masing.
Untunglah mereka masih mampu mempertahankan senjata mereka.
Namun dengan demikian kedua orang itu menjadi semakin sadar bahwa pemuda yang
mereka hadapi itu benar-benar memiliki kepandaian di atas mereka.
Oleh karena itu tidak boleh tidak mereka berdua harus bersatu padu untuk
menghadapinya. Demikianlah mereka berdua lalu mengeroyok Liu Wan bersama-sama. Mereka menyerang
dan bertahan 459 bergantian, saling mengisi dan melindungi, sehingga membentuk sebuah kerja sama
yang cukup kuat untuk melayani ilmu silat Liu Wan yang tinggi.
"Nah, begitu...!" dalam kesibukannya Liu Wan masih bisa memuji kerja sama
lawannya. Namun bagi It Kwan dan Cong Su, pujian itu dirasakan sebagai sebuah ejekan yang
sangat menyakitkan hati. Terutama bagi It Kwan, yang selama dua hari ini selalu
dirundung kesialan. Sudah barongsainya dikalahkan orang, dia sendiri dikalahkan
dan dilukai seorang gadis kecil, dan kini malah dipermainkan serta dipecundangi
pula oleh seorang pemuda yang umurnya belum seberapa.
Maka sungguh tidak mengherankan bila ketua Hek-to-pai itu menjadi mata gelap,
mengamuk tanpa mempedulikan keselamatannya lagi. Golok beracunnya yang berwarna
hitam legam itu tampak berkilat-kilat memantulkan sinar, berkelebatan mengejar
tubuh Liu Wan, bagaikan seekor naga hitam yang berkelok-kelok di udara memburu
mustika. Dan kegarangan golok It Kwan itu menjadi semakin berbahaya karena dibantu oleh
permainan ruyung Hai-go Cong Su. Meskipun permainan ruyung tou-bak (kepala
pasukan bajak) itu masih terasa lugas dan kasar, tapi dasar dari ilmu ruyung itu
sendiri ternyata sangat baik dan berbahaya. Tak heran kalau orang tua itu
mendapat kepercayaan untuk memimpin satu pasukan bajak laut.
460 Untunglah Liu Wan memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Walaupun hanya melawan
dengan pisau, dan tidak mengeluarkan ilmu andalannya, namun pemuda yang telah
memperoleh julukan Bun-bu Siu-cai itu dapat melayani keganasan golok dan ruyung
lawannya. Malahan beberapa waktu kemudian, yaitu setelah bisa membaca permainan
ilmu silat lawan-lawannya, pemuda itu mulai bisa mendekte dan mendesak mereka.
Dengan kelebihan ginkang dan lwekangnya semua itu dapat dia lakukan dengan
mudah. Tetapi sebaliknya di arena pertempuran yang lain Tio Ciu In benar-benar harus
memeras keringat untuk melayani kerubutan anak murid Hek-to-pai. Beberapa orang
dari mereka memang telah dilumpuhkannya, akan tetapi kawan-kawan mereka yang
lain segera berdatangan pula ke tempat itu. Belasan anak murid Hek-to-pai
sekarang mengepung gadis itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jatuh satu datang tiga! Wah, kalau terus-
terusan begini aku bisa kehabisan napas nanti! Hmmm... ke mana Kwe Siau-hiap
tadi" Mengapa tidak lekas-lekas ke mari?" gadis itu berkata di dalam hati.
Tio Ciu In sama sekali tidak tahu bahwa Kwe Tek Hun sendiri ternyata juga sedang
mendapat kesulitan di pintu gerbang. Sebenarnya mudah saja bagi pendekar sakti
itu untuk melumpuhkan para penjaga yang merintanginya, kalau saja tidak ada
pihak ke tiga yang ikut campur. Namun karena mendadak ada pihak 461
lain yang kemudian ikut turun tangan mengganggu usahanya, maka niat untuk
melumpuhkan para penjaga pintu gerbang tersebut menjadi gagal. Bahkan pendekar
muda dari Pulau Meng-to itu justru berbalik menjadi repot dan menderita
kesulitan malah. Ketika Kwe Tek Hun ingin cepat-cepat
menyelesaikan perlawanan para penjaga itu, tiba-tiba di jalan besar lewat dua
orang penunggang kuda, lelaki dan perempuan. Kedua penunggang kuda itu segera
menghentikan kuda mereka begitu menyaksikan perkelahian tersebut. Bahkan mereka
lalu bergegas membelokkan kuda mereka untuk menonton.
Akan tetapi begitu melihat ilmu silat Kwe Tek Hun, kedua penunggang kuda itu
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelihatan amat tertarik. Mereka saling berbisik satu sama lain, kemudian yang lelaki segera memajukan
kudanya. "Berhenti...!" orang itu berseru pendek.
Kwe Tek Hun terperanjat, otomatis kakinya meloncat mundur. Namun kesempatan yang
terakhir kedua tangannya masih sempat membagi pukulan ke arah lawan-lawannya.
Bluuk! Bluuk! Bluuk! Empat orang penjaga yang masih tersisa segera
bergelimpangan kesakitan.
Kwe Tek Hun berdiri siap menghadapi dua orang pendatang baru yang belum dia
ketahui lawan atau kawan itu. Tapi diam-diam hatinya sedikit bergetar juga.
Suara orang itu tidak begitu keras, namun terdengar sangat nyaring dan
menyakitkan gendang 462 telinga, suatu tanda bahwa pemilik suara itu memiliki tenaga dalam yang hampir
sempurna. Kedua orang yang baru datang itu segera turun dari kudanya. Mereka seperti
sepasang suami isteri. Yang lelaki berusia kira-kira empat puluhan tahun,
sedangkan yang wanita sekitar dua tahun lebih muda.
Keduanya mengenakan pakaian seragam putih-putih, dengan pedang panjang
tergantung di masing-masing pinggang mereka. Selain ciri-ciri tersebut tiada
yang aneh atau menonjol pada diri mereka, kecuali satu, yaitu batang pedang
mereka melengkung seperti samurai pada bangsa Jepang.
"Anak muda, perkenalkanlah... aku bernama Swat Kim Po, dan wanita ini adalah
isteriku. Kami datang dari pulau-pulau di sebelah utara Laut Kuning. Ketika
lewat tadi kami amat terkesan oleh ilmu silatmu.
Langkah-langkah kakimu rasanya hampir sama atau mirip dengan langlah-langkah
ilmu silat perguruan kami. Eeemm... bolehkah kami berdua mengetahui nama
perguranmu" Dan... apakah nama ilmu yang kaupergunakan tadi?"
Kwe Tek Hun terdiam dan tak segera bisa menjawab. Orang asing itu berbicara
dengan nada halus serta sopan, tetapi pertanyaannya yang menyinggung ilmu silat
itu terasa sulit untuk dijawab.
"Tuan.... Namaku Kwe Tek Hun. Aku juga datang dari sebuah pulau di sebelah timur
daratan ini, dari Pulau Meng-to. Tentang ilmu langkahku tadi.......ehm...."
463 "Apakah ilmu langkahmu tadi bernama Ban-seng-po Lian-hoan pula?" tiba-tiba Swat
Kim Po menyela begitu melihat keragu-raguan Kwe Tek Hun.
Bukan main terkejutnya Kwe Tek Hun! Orang itu menyebut nama ilmu silatnya dengan
tepat! Dan orang itu mengatakan bahwa ilmu langkah milik keluarganya itu mirip
dengan ilmu mereka! "Benar..." Jadi ilmu langkahmu tadi juga bernama Ban-seng-po Lian-hoan...?"
Orang itu menjadi kaget pula. Ia berpaling kepada isterinya.
"Jadi... jadi Tuan berdua juga bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan...?" Kwe
Tek Hun juga balik berseru pula dengan ragu dan curiga.
Tentu saja Kwe Tek Hun menjadi curiga, karena selama ini ayahnya tak pernah
mengatakan bahwa ada orang lain selain ayahnya, dia sendiri, dan kakek gurunya
yang sudah meninggal, yang mempelajari Ban-seng-po Lian-hoan. Sedangkan Ku Jing
San dan Song Li Cu pun belum diperbolehkan
mempelajarinya. "Kau bertanya, apakah kami berdua bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan" Ah-
ah-ah, Anak muda... kau ini suka sekali bergurau tampaknya.
Ilmu itu justru merupakan salah satu ciri dari perguruan kami, bagaimana kami
tidak mahir mempergunakannya" Justru kamilah yang seharusnya bertanya kepadamu.
Darimana engkau atau Gurumu mempelajarinya" Ketahuilah, ilmu tersebut tidak
pernah diturunkan kepada orang lain selain warga 464
Pondok Pelangi. Itu pun tidak semua warga Pondok Pelangi bisa mempelajarinya
sampai ke tingkat yang tertinggi."
"Pondok Pelangi...?" Kwe Tek Hun mencoba mengingat-ingat kalau-kalau ayahnya
pernah menyebut tempat itu. "Hmmm, tidak... Ayah memang belum pernah bercerita
tentang pondok itu."
"Anak muda, tampaknya kau belajar ilmu silat dari Ayahmu sendiri. Siapakah nama
ayahmu?" Kwe Tek Hun menghela napas panjang. Rasa curiganya tadi kini berubah menjadi
rasa penasaran. Apalagi Swat Kim Po seakan-akan telah memojokkan dirinya sebagai orang yang tak
berhak memiliki Ban-seng-po Lian-hoan.
"Maaf, Tuan.... Ayahku adalah Keh-sim Tai-hiap Kwe Tiong Li dari Pulau Meng-to.
Beliau adalah satu-satunya pewaris Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan. Tuan jangan
bicara seenaknya sendiri, mengaku sebagai pemilik ilmu itu ...." akhirnya pemuda
itu berkata dingin. Swat Kim Po memandang isterinya yang sejak tadi belum pernah membuka suara.
Keningnya berkerut. Sementara bibirnya tampak tersenyum kecut. Dan wanita itu seolah tahu apa yang
diinginkan suaminya. Ia segera bergeser maju menghadapi Kwe Tek Hun.
"Anak muda, kelihatannya kau menyangsikan ucapan-ucapan suamiku. Sekarang begini
saja, kita saling mencoba ilmu kita masing-masing. Dan siapa yang kalah harus
tunduk dan menurut perintah yang 465
menang. Bagaimana...?" tiba-tiba wanita itu menantang.
"Nyonya, aku...?" Kwe Tek Hun menjadi salah tingkah.
"Hmmh, kau takut kepadaku?"
Wajah Kwe Tek Hun menjadi merah sampai ke telinganya. "Siapa takut kepada
kalian" Aku tidak pernah takut kepada siapa-siapa! Aku hanya tidak ingin
bertaruh apa-apa di dalam pertarungan ini!
Kalah, ya kalah! Menang, ya... menang! Tidak perlu harus tunduk atau menurut
perintah yang menang! Bagaimana kalau yang menang nanti memberi perintah yang bukan-bukan kepada yang
kalah?" katanya berapi-api. "Tapi... kami takkan memberi perintah yang bukan-bukan kepadamu paling-paling
kami hanya akan meminta agar kau membawa kami ke hadapan Ayahmu!" wanita itu
menukas cepat seakan-akan sudah yakin akan menjadi pemenangnya.
Tentu saja Kwe Tek Hun semakin menjadi berang.
"Marilah kita coba, Nyonya." geramnya tertahan.
Sementara itu para penjaga yang tadi dikalahkan oleh Kwe Tek Hun segera
menyingkir agak jauh untuk mengobati luka-luka mereka. Selain mengobati luka,
mereka juga ingin menonton pertarungan Kwe Tek Hun dengan wanita asing itu.
"Nah, Anak muda... lihat serangan!" wanita itu berseru serta menyerang lebih
dahulu ketika dilihatnya Kwe Tek Hun tidak mau mendahuluinya.
466 Sederhana saja serangan wanita itu, seakan-akan memang hanya ingin memancing
reaksi Kwe Tek Hun, sehingga pemuda itu pun hanya mengelak sedikit pula, asalkan
serangan tersebut tidak mengenai tubuhnya. Bahkan pemuda itu segera membalas
dengan pukulan sisi telapak tangannya, dalam jurus Kim-hong-san-bwe atau Burung
Hong Menebarkan Ekor. Sambil menggeliat dari samping pemuda itu mengayunkan sisi
telapak tangannya dari atas miring ke bawah, dan yang diserang adalah leher atau
punggung wanita itu. "Bagus...!" Wanita itu berseru nyaring. Lalu dengan cepat kakinya melangkah
pendek-pendek tiga kali, ke kanan dan ke kiri sambil meliukkan badan setengah
lingkaran ke muka dan ke belakang.
Tampaknya gerakan wanita itu amat sederhana sekali. Langkahnya pun hanya pendek-
pendek pula. Akan tetapi hasilnya sungguh mencengangkan. Hanya dengan tiga kali melangkah itu
ternyata dia bisa berputar mengelilingi Kwe Tek Hun, dan hanya dengan meliukkan
badan ke muka dan ke belakang itu ternyata juga dapat mengelakkan pukulan tangan
Kwe Tek Hun pula. Tak heran kalau para penjaga yang menonton pertempuran itu merasa takjub
melihatnya. Namun rasa heran dan takjub mereka belumlah sehebat rasa heran dan
takjub yang ada di dalam dada Kwe Tek Hun sendiri. Pemuda itu hampir-hampir tak
percaya apa yang dilihatnya, bahwa wanita itu benar-benar 467
menguasai Ban-seng-po Lian-hoan dengan baik. Apa yang baru saja dilakukan oleh
wanita itu adalah gerakan yang ke sepuluh dari Ban-seng-po Lian-hoan, yaitu
Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari.
Kwe Tek Hun semakin penasaran. Tapi ia tak bisa terlalu lama memikirkan
keajaiban itu, karena di lain saat wanita itu ganti menyerangnya kembali.
Terdengar suara mencicit tajam ketika jari tangan kanan wanita itu menusuk ke
arah tulang rusuknya. Pemuda itu seperti tersentak dari mimpinya.
Otomatis kakinya melangkah dengan gerakan Memindah Bintang Kejora ke Kutub
Utara, gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang ke lima belas. Dan seperti main sulap
saja tubuhnya yang tegap itu telah berpindah tempat di belakang lawannya.
"Bagus...!" sekali lagi wanita itu memuji.
Dan sebelum Kwe Tek Hun memanfaatkan
kedudukannya yang menguntungkan wanita itu cepat meluncurkan tubuhnya setombak
ke depan, lalu berputar setengah lingkaran dan melangkah mundur tiga tindak.
Gerakannya sangat cepat, manis dan lincah, sehingga Kwe Tek Hun yang amat
mengenal gerakan Menerobos Awan Mengejar bintang Jatuh tertegun dibuatnya.
Lagi-lagi keraguan Kwe Tek Hun tersebut dimanfaatkan oleh lawannya. Sambil
berseru lirih wanita itu kembali menyerang dengan jari-jari tangannya. Kini yang
dituju adalah jalan darah ping-468
tai-hiat di bawah pinggang kiri Kwe Tek Hun. Hawa panas seolah-olah menerpa
tubuh pemuda itu. Dengan tangkas Kwe Tek Hun menghindar. Tak terasa kakinya melangkah dalam Ban-
seng-po Lian-hoan yang ke empat, ya itu Bintang Kejora Meniti Pelangi. Kakinya
melangkah enam kali ke belakang cepat sekali. Kaki kanan melangkah lebar,
sementara kaki kiri hanya pendek-pendek saja, sehingga jalannya tidak lurus,
tapi melengkung ke dalam.
Otomatis Kwe Tek Hun berada di samping kanan wanita itu sekarang. Dan kesempatan
tersebut segera digunakan oleh pemuda itu untuk balas menyerang.
Kedua belah tangannya mencengkeram ke atas dan ke bawah, ke arah pundak dan
pinggang lawannya. Akan tetapi wanita itu seperti sudah bisa menebak apa yang hendak dilakukan oleh
Kwe Tek Hun. Baru saja serangan pemuda itu mencapai separuh jalan, wanita itu
sudah keburu melompat satu tombak ke samping, lalu membalikkan badan menghadapi
Kwe Tek Hun. Kedua telapak tangannya juga terulur ke depan, menyongsong serangan
Kwe Tek Hun. Plaaaak! Plaaaak! Dua pasang tangan bertemu di udara dan menimbulkan suara yang amat nyaring.
Karena masing-masing telah mengerahkan tenaga dalamnya, maka benturan itu
menimbulkan getaran kekuatan yang sangat kuat. Kwe Tek Hun yang merasa
berhadapan dengan lawan yang berkepandaian sangat tinggi, telah mengerahkan
hampir seluruh tenaga 469
saktinya. Sebaliknya wanita itu merasa belum perlu untuk bertarung mati-matian
dengan Kwe Tek Hun, sehingga ia hanya melepaskan separuh dari tenaga saktinya.
Namun akibatnya sungguh tidak terduga. Benturan yang keras itu menyebabkan Kwe
Tek Hun terpental seperti layang-layang putus. Untunglah pemuda itu memiliki
ginkang yang cukup tinggi, sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting ke atas
tanah. Namun demikian ketika dengan sempoyongan kakinya menginjak tanah, pemuda itu
merasa aliran darahnya bergolak dengan hebat.
Ketika dengan nanar matanya memandang ke depan, Kwe Tek Hun melihat lawannya
tetap berdiri kukuh di tempatnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa wanita
itu terpengaruh oleh benturan tadi.
Wanita itu tersenyum, dan Kwe Tek Hun harus mengakui bahwa wanita setengah baya
itu tentu cukup cantik di masa mudanya.
"Anak muda...! Apakah kau sudah percaya sekarang?"
Dengan perasaan berat Kwe Tek Hun terpaksa mengangguk. "Tetapi... aku belum
puas." desahnya kemudian setelah aliran darahnya telah kembali normal.
Sekali lagi wanita itu tersenyum. Sekilas ia menatap suaminya yang berdiri diam
di tempatnya. 470 "Ah, Anak muda... kalau bicara soal puas dan tidak puas, sebenarnya aku pun juga
belum merasa puas pula. Sedari tadi kau cuma mengeluarkan gerakan tingkat
pertama dan tingkat ke dua saja. Kau belum pernah mengeluarkan gerakan pada
tingkat-tingkat selanjutnya. Hmm, apakah kau baru memperoleh pelajaran sampai
pada tingkat ke dua saja?"
Perasaan Kwe Tek Hun tergetar dengan hebat.
"Tingkat pertama dan ke dua" Apa... apa maksud Nyonya?"
Wanita itu tetap tidak melepaskan senyumnya.
"Nah, sekarang semakin terbukti betapa kurangnya pengetahuanmu tentang Ban-seng-
po Lian-hoan. Ketahuilah, Anak muda... Ban-seng-po Lian-hoan itu terbagi dalam delapan
tingkatan. Setiap tingkat memiliki sembilan gerakan, sehingga seluruhnya ada
tujuh puluh dua gerakan. Jadi, apabila engkau baru belajar sampai pada tingkat
yang ke dua, berarti yang kaupelajari baru delapan belas gerakan saja...."
"Delapan belas gerakan" Tapi... tapi Ban-seng-po Lian-hoan keluargaku cuma ada
lima belas gerakan saja!" tak terasa Kwe Tek Hun menyela.
"Lima belas gerakan?" kini ganti wanita itu yang terkejut. "Hei, kalau begitu
tingkat ke dua saja kau belum selesai!"
471 Kwe Tek Hun tertunduk diam tak bisa berkata-kata lagi. Berbagai macam perasaan
berkecamuk di dalam hatinya. Bingung,
kikuk, malu, tak percaya, sedih, kesal, dan berbagai macam perasaan yang lain lagi. Tapi di lain saat pemuda itu masih tetap merasa penasaran dan kurang percaya pula. Benarkah semua yang dikatakan oleh wanita itu" "Nyonya, aku... aku tetap belum puas! Engkau pun sendiri tadi juga belum mengeluarkan gerakan yang belum kukenal
pula. Aku... aku ingin kau memperlihatkan gerakan-gerakan yang kausebutkan itu."
"Baik!" tiba-tiba Swat Kim Po berseru seraya melangkah mendekati isterinya.
"lsteriku ini juga baru mempelajarinya sampai ke tingkat yang ke empat.
Akulah yang akan memperlihatkan kepadamu beberapa gerakan Ban-seng-po Lian-hoan
yang lain. Marilah...!" 472 "Tuan...?" Kwe Tek Hun berdesah ragu.
"Seranglah aku!" laki-laki setengah baya itu berkata tegas.
Kwe Tek Hun tersentak. Hatinya tergugah.
Otomatis tangannya terangkat, kemudian menerjang dada lelaki itu. Wuuuus! Kini
pemuda itu tidak mau setengah-setengah lagi. Sekaligus ia mengerahkan seluruh
kekuatannya! "Bagus!" Swat Kim Po memuji.
Serangan Kwe Tek Hun memang kuat dan
berbahaya. Kedua belah telapak tangannya yang terbuka lebar itu menyambar dalam
jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk Bulan). Dari telapak tangan itu.
meluncur udara hangat yang sangat kuat.
Swat Kim Po cepat memiringkan tubuhnya untuk menghindari benturan telapak tangan
itu. Kemudian sesuai dengan janjinya untuk mengeluarkan gerakan Ban-seng-po
Lian-hoan, Swat Kim-po mengangkat lengan kanannya ke atas, dan mengebutkah ujung
lengan bajunya yang lebar itu ke wajah Kwe Tek Hun.
Udara yang luar biasa dingin berhembus dari ujung lengan baju tersebut, sehingga
Kwe Tek Hun terpaksa berpaling untuk mengelakkannya. Akan tetapi ketika udara
dingin itu telah lewat, dan Kwe Tek Hun ingin balas menyerang lagi, Swat Kim Po
telah menghilang dari hadapannya!
Sekejap Kwe Tek Hun menjadi bingung. Namun dengan cerdik ia berbalik sambil
mengayunkan 473 kakinya menendang ke belakang dalam jurus Burung Merak Mengibaskan Ekor.
Benar juga dugaan pemuda itu. Swat Kim Po yang lihai itu memang telah bergeser
ke belakang tubuhnya dengan gerakan Melihat Bintang di Balik Cakrawala, gerakan
yang ke dua puluh satu dari Ban-seng-po Lian-hoan.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hahaha, meskipun ngawur, tapi kau cukup cerdik juga...!" Swat Kim Po tertawa
melihat kecerdikan Kwe Tek Hun.
Sambil memuji Swat Kim Po berkelit menghindari tendangan Kwe Tek Hun. Sekali
lagi lengan bajunya yang longgar itu menyambar ke depan. Namun kali ini bukan
udara dingin yang tertiup dari lubang lengan baju tersebut, tetapi udara panas!
Kwe Tek Hun tak mau berpaling dari lawannya. Ia tak ingin terkecoh untuk yang
kedua kalinya. Oleh karena itu ia hanya meloncat mundur menghindari serangan
ujung lengan baju tersebut.
Tapi Swat Kim Po tidak mau melepaskannya.
Lelaki itu kembali mengebutkan lengan bajunya yang lain. Kali ini udara yang
meniup semakin terasa menyengat. Bahkan ujung lengan baju itu seperti
mengepulkan asap tipis. Asap tipis yang cukup membuat pedas mata Kwe Tek Hun!
Sekali lagi Kwe Tek Hun melompat mundur. Dan sebelum kakinya menginjak tanah,
pemuda itu balas menyerang dengan sisi tangannya. Kwe Tek Hun tidak ingin terus-
terusan diserang lawan. 474 Wuuuuuush! Pukulan Kwe Tek Hun menerjang ke depan dengan sia-sia! Swat Kim Po
telah tiada di depan lagi! Laki-laki itu telah menghilang begitu saja!
Kwe Tek Hu cepat berbalik sambil memukul.
Namun kali ini ia terkecoh. Swat Kim Po tidak bersembunyi di belakang
punggungnya. "Hahahaha...! Anak Muda, aku di sini!" tiba-tiba terdengar suara lelaki itu dari
kejauhan. Ternyata Swat Kim Po telah berdiri di samping isterinya.
"Aaaah...!" Kwe Tek Hun berdesah. Badannya menjadi lemas dan lesu. Ternyata
lawannya benar-benar memiliki gerakan-gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang lebih
lengkap. "Apakah kau sekarang sudah percaya, Anak muda?" isteri Swat Kim Po berseru
seraya menghampiri Kwe Tek Hun kembali.
Kwe Tek Hun menghembuskan napasnya kuat-kuat seperti ingin memuntahkan semua
perasaan kesal yang menindih hatinya, lalu menganggukkan kepalanya. Tak sepatah
pun kata-kata yang bisa terucap dari bibirnya.
"Nah! Sekarang antarkan kami menemui Ayahmu!"
"Apa...?" Kwe Tek Hun tersentak. Wajahnya yang kuyu itu kembali memerah.
"Antarkan kami menemui Ayahmu atau Gurumu itu!" wanita itu mengulangi
perintahnya. Kini suara itu sangat tegas dan kaku.
Kwe Tek Hun mendengus. Dadanya seperti disengat bara.
475 "Nyonya, aku memang percaya bahwa kau dan suamimu memiliki Ban-seng-po Lian-hoan
yang lebih lengkap daripada aku. Tapi semua itu bukan berarti aku harus tunduk
pada perintah kalian. Dari semula aku juga tidak berjanji apa-apa kepada kalian.
Apalagi aku juga belum kalah."
Wanita itu mengerutkan dahinya yang halus.
"Maksudmu...?" serunya kaku.
"Ban-seng-po Lian-hoan tidak menjamin seseorang untuk menang di segala
pertempuran, karena ilmu itu hanya ilmu langkah kaki, dan tidak untuk menyerang.
Ilmu itu harus dilengkapi dengan ilmu silat lain yang sepadan, sehingga bisa
terlihat kedahsyatannya." Kwe Tek Hun berdesah dengan suara kaku pula.
"Oooooo, jadi kau ini masih menyangsikan kemampuan kami" Begitu..." Baik! Mari
kita uji sekali lagi dengan ilmu silat- yang lain!" wanita itu menggeram sambil
memasang kuda-kuda. Kwe Tek Hun segera bersiap diri pula. "Hmmh!
Mengapa kau tidak mencabut pedang anehmu itu, Nyonya?"
"Tidak usah! Kami warga Pondok Pelangi hanya mencabut pedang bila benar-benar
memerlukannya! Untuk mengalah-kanmu cukup dengan ilmu silat kami yang lain."
"Sombong!" Kwe Tek Hun berseru berang, kemudian menerjang perempuan itu dengan
tendangan kaki kanannya. 476 "Kau sendiri yang sombong, tidak mau mengakui kenyataan!" wanita itu menjawab
seraya mengelak ke samping, lalu dari samping ia balas menyerang dengan tusukan
jari telunjuknya. Cusss! Cusss! Dari ujung jari itu meluncur seleret sinar kebiruan menyambar
tubuh Kwe Tek Hun. Pemuda itu terkejut! Ia mengenal ilmu itu! Namun belum juga ia sempat membuka
suara, serangan itu telah menyentuh pakaiannya!
Mati-matian Kwe Tek Hun mengelak. Tubuhnya bergeser ke kanan dengan cepat, lalu
meliukkan badan sambil melangkah ke kanan dan ke kiri sebanyak tiga kali dalam
gerak Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari. Tapi belum juga pemuda itu berdiri
tegak, wanita itu kembali telah mengejarnya dengan serangannya yang lain!
Cuuus! Cuuus! Cuuus! Kwe Tek Hun menjadi sibuk sekali! Ternyata dia tak bisa mengandalkan Ban-seng-po
Lian-hoan lagi! Gerakan-gerakannya telah dikenal baik oleh lawannya! Terpaksa dia berkelit dan
menghindar dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, yaitu Pek-in
Gin-kang! Namun demikian tetap saja salah sebuah serangan wanita itu menyerempet
pakaiannya! Sreeet! Pakaian itu bolong seperti ditebas oleh pedang yang amat tajam!
"Aaaah! Tahan!" begitu memperoleh kesempatan Kwe Tek Hun berteriak.
477 "Kau menyerah, Anak Muda?" wanita itu bertanya seraya menghentikan serangannya.
"Nanti dulu, Nyonya. Bukankah ilmu yang baru saja kaupergunakan ini tadi... Tai-
lek Pek-kong-ciang?"
Sekarang ganti wanita itu yang kaget. Demikian pula suaminya, Swat Kim Po.
"Hei, apakah kau juga mempelajari ilmu silat itu?"
Swat Kim Po dan isterinya bertanya hampir berbareng.
"Ah, tidak... tidak!" Kwe Tek Hun cepat-cepat menggoyangkan tangannya. "Ilmu itu
milik Keluarga Souw...."
"Keluarga Souw...?" Tak terduga kedua suami isteri dan Pondok Pelangi itu
berteriak gembira. Lalu dengan gerakan yang .sangat cepat sehingga tidak bisa diikuti oleh
pandangan mata, tangan Swat Kim Po menyambar pergelangan tangan Kwe Tek Hun. Dan
pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu
tangannya telah tertangkap oleh cengkeraman Swat Kim Po tersebut.
"Kau kenal keluarga Souw" Di mana mereka tinggal?" laki-laki itu memberondong
Kwe Tek Hun dengan pertanyaan.
Kwe Tek Hun mengerahkan lweekang-nya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Swat
Kim Po, tapi tak bisa. Tenaga dalam orang itu hebat bukan main.
Terpaksa Kwe Tek Hun mempergunakan kakinya 478
untuk menyerang. Dan tangannya yang lain ikut membantu pula.
Swat Kim Po mencoba untuk mengelakkan tendangan Kwe Tek Hun, tapi ketika siku
pemuda itu mengancam ulu hatinya, terpaksa ia melepaskan cengkeramannya.
Swat Kim Po mundur selangkah ke belakang.
"Bagus, Anak muda. Kepandaianmu memang hebat.
Tapi tolong katakan kepadaku! Benarkah Keluarga Souw yang kau kenal itu memiliki
ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang?" tanyanya bersemangat.
Kwe Tek Hun menjadi ragu dan agak bingung. Ia tak bisa menduga apa yang
dikehendaki suami isteri itu terhadap Keluarga Souw. Adakah mereka mempunyai
hubungan perguruan" "Semua kaum persilatan tahu bahwa Keluarga Souw memiliki ilmu Tai-lek Pek-kong-
ciang dan Tai-kek-sin-ciang..." akhirnya Kwe Tek Hun menjawab apa adanya.
"Tai-kek-sin-ciang" Seperti ini?" Swat Kim Po tiba-tiba berdesah keras dan
tampak semakin bersemangat.
Lelaki itu memasang kuda-kuda. Dua buah telapak tangannya ia rangkapkan di depan
dada seperti layaknya orang menyembah. Dan sekejap kemudian dari seluruh lobang
kulitnya keluar asap tipis berwarna kemerah-merahan. Anehnya, asap itu tidak
membuyar ditiup angin. Asap itu seperti melekat dan menyelimuti tubuh lelaki itu
setebal beberapa inchi, 479
sehingga sepintas lalu ia bagaikan mengenakan baju kabut tembus pandang.
Tentu saja ilmu silat tingkat tinggi itu membuat takjub para anggota Hek-to-pai
yang dikalahkan Kwe Tek Hun tadi. Mereka seperti melihat jago sihir yang sedang
memperlihatkan mujijat atau kesaktiannya.
Apalagi ketika Swat Kim Po tiba-tiba melayangkan pukulannya ke sebuah pohon
pelindung di samping pintu gerbang. Batang pohon sebesar pelukan orang dewasa
itu mendadak mengeluarkan asap kehitaman seperti kena bakar.
Belum juga hilang ketakjuban mereka, tiba-tiba Swat Kim Po mengubah kuda-
kudanya. Badannya berdiri tegak lurus. Kedua tangannya merapat, sementara kedua
tangannya juga terangkap lurus ke atas seperti hendak meraih langit. Asap atau
kabut tipis masih tetap menyelimuti tubuhnya.
"Waaaah..."!?" mendadak para penjaga itu berseru takjub lagi.
Kwe Tek Hun yang pernah menyaksikan ilmu itu memang tidak seheran para penjaga
tersebut. Namun bagaimanapun juga ilmu yang dipertunjukkan oleh Swat Kim Po itu
tetap mendebarkan hatinya. Apalagi ketika melihat kabut yang menyelimuti badan
Swat Kim Po tersebut mendadak berubah warnanya menjadi putih, kemudian kuning,
hijau, biru dan sebagainya.
Setiap kali berubah warna, Swat Kim Po tentu menyerang batang pohon itu. Dan
akibatnya memang 480 sangat mendebarkan hati. Berganti-ganti pohon itu seperti disulut api, diguyur
air panas, disiram salju, dihembus badai, dan lain-lainnya. Akibatnya sungguh
menyedihkan. Begitu Swat Kim Po menghentikan serangannya, pohon besar itu
perlahan-lahan tumbang bagaikan pohon tua yang telah lapuk dimakan rayap.
Batang kayunya yang semula sangat kuat dan keras luar biasa itu kini telah
berubah menjadi empuk dan rapuh seperti gumpalan tanah.
Swat Kim Po kembali berdiri di depan Kwe Tek Hun.
"Seperti itukah Tai-kek-sin-ciang Keluarga Souw?"
Kwe Tek Hun terdiam, kemudian menggeleng lemah. "Memang hampir sama. Tetapi yang
pernah kulihat, asap yang menyelimuti tubuh Pendekar Souw cuma ada dua warna."
"Dua warna...?"
"Yah! Putih dan merah!"
"Aneh. Mengapa hanya putih dan merah saja?"
Swat Kim Po mengerutkan keningnya. "Ah, sudahlah...! Anak muda, ketahuilah. Kami
berdua datang ke Tiong-goan ini memang sedang mencari sesesorang atau keturunan
seseorang yang telah menyimpan barang-barang pusaka Pondok Pelangi selama lima
ratus tahun. Kami tidak tahu siapa orang itu, namun yang jelas orang itu tentu
memiliki ilmu yang sama dengan kami. Nah, itulah sebabnya kami mencurigai
keluargamu atau keluarga Souw itu.
481 Sekarang marilah kita berangkat menemui Ayahmu dulu!"
Kwe Tek Hun menunduk. Sekejap terjadi perang batin di dalam hatinya. Melawan
atau menuruti perintah orang itu. Melawan mereka berarti sia-sia.
Jangankan melawan Swat Kim Po, melawan isterinya saja ia tak mungkin menang.
Tapi kalau menuruti perintah mereka, lalu bagaimana dengan Tio Ciu In dan Liu
Wan" "Bagaimana, Anak muda" Kita berangkat sekarang?" Swat Kim Po mendesak.
"Baiklah. Tapi biarlah aku memberitahukan kepergianku ini kepada teman-temanku
yang ada di dalam perumahan itu." akhirnya Kwe Tek Hun memberikan
persetujuannya. Ia juga ingin tahu, bagaimana reaksi Ayahnya tentang Ban-seng-po
Lian-hoan itu. Tapi dengan cepat Swat Kim Po menggoyangkan tangannya.
"Tak usah! Biarlah orang-orang itu yang mengatakan kepada teman-temanmu nanti.
Kita langsung berangkat saja sekarang." orang itu berkata sambil menunjuk ke
para penjaga yang tadi mengeroyok Kwe Tek Hun.
"Mengapa...?" Kwe Tek Hun berdesis. Wajahnya memerah, sementara urat-uratnya
menegang kembali. "Maaf, anak muda... kami tak ingin membunuh teman-temanmu! Kalau kau mengatakan
kejadian ini kepada mereka, mereka pasti akan menahanmu, 482
membelamu! Nah, kalau kejadian nanti akan demikian halnya... hemmm, terpaksa
kami harus membunuh mereka! Paham?" Swat Kim Po menerangkan dengan suara dingin.
Hampir saja hati Kwe Tek Hun berontak. Dia tak takut mati dan tentu demikian
pula halnya dengan Liu Wan. Tapi bagaimana dengan Tio Ciu In" Ia merasa kasihan
kepada gadis ayu itu. Gadis itu sedang mencari adiknya.
Perlahan-lahan darah yang telah naik ke kepala itu turun kembali. Kwe Tek Hun
tak ingin mencelakakan teman-temannya, terutama gadis ayu itu. Biarlah ia
sendiri yang menghadapi Swat Kim Po dan isterinya.
"Baiklah marilah kita berangkat!"
"Bagus! Nah, Sui Nio, kau berkuda bersama aku!
Biarlah anak muda ini menggunakan kudamu!" Swat Kim Po berseru lega sambil
menghampiri isterinya. Demikianlah, tanpa berpamitan kepada teman-temannya, Kwe Tek Hun menempuh
perjalanan ke utara bersama Swat Kim Po dan isterinya. Sebenarnya ada dua jalan
untuk pergi ke Pulau Meng-to. Pertama, menempuh jalan laut melalui Kampung Ui-
thian-cung, dengan perahu besar ke arah utara. Ke dua, menempuh jalan darat
lebih dahulu hingga kota Lia-siu di Propinsi Kiang-su, lalu dari kota itu nanti
berlayar lurus ke timur ke arah matahari terbit. Dan ternyata Kwe Tek Hun
memilih melalui kota Lia-siu tersebut.
483 Sementara itu di pendapa perguruan Hek-to-pai, Liu Wan telah hampir bisa
menguasai lawan-lawannya. Ketika pemuda itu melihat kerepotan Tio Ciu In,
hatinya menjadi tidak sabar lagi. Otomatis ilmu Thian-lui-kong-ciangnya
terungkap keluar tanpa disengajanya. Dan yang men jadi korban pertama adalah It
Kwan sendiri! Whuuuuuus! Dhuuaaar! "Aduuuuuuh...!" Ketua Hek-to-pai menjerit keras.
Tubuhnya terlontar tinggi dan jatuh berdebam di halaman.
Cong Su terbeliak ketakutan, dan tanpa malu-malu lagi ia membuang ruyungnya
tanda menyerah. Liu Wan tak mengacuhkan Cong Su. Dia cepat menghampiri It Kwan yang tak mampu
bangkit lagi itu. Dengan kaki di atas punggung It Kwan, pemuda itu mengancam
orang-orang Hek-to-pai yang mengepung Tio Ciu In.
"Berhenti semua...! Kalau tak mau berhenti, tubuh ketua kalian akan kuinjak
sampai hancur!" Puluhan anggota Hek-to-pai yang ada di pendapa itu segera mundur ketakutan.
Mereka sama sekali tak mengerti bagaimana ketuanya yang lihai itu sampai dapat
dikuasai oleh anak-anak muda itu.
Tio Ciu In lalu menghampiri Liu Wan dan berdiri di samping pendekar muda itu.
"Nah, orang tua... sekarang katakan yang sebenarnya kepada kami! Di manakah
gadis berbaju merah yang datang ke sini kemarin itu" Ayoh, jawab!
484 Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap tak menjawab jangan salahkan aku menginjak
punggungmu ini sampai patah! Satu... dua ... tiga...."
"Baik... baik, aku akan menjawabnya!" dengan suara kesakitan It Kwan berkata.
"Gadis itu... gadis itu telah pergi ke arah pantai! Kawanku, Tong Taisu, kalah
bertaruh dengan dia, sehingga dia dilepaskan oleh temanku itu! Nah, lepaskan
kakimu... aku telah mengatakan semuanya."
Liu Wan memandang ke sekelilingnya, ke arah anak murid perguruan Hek-to-pai yang
menunggu dengan cemas nasib ketuanya itu.
"Hei benarkah apa yang dikatakan oleh ketua kalian?" pemuda itu berseru keras.
"Ya... benar!" orang-orang itu menjawab hampir berbareng.
Liu Wan mengangkat kakinya dan membiarkan ketua Hek-to-pai itu ditolong oleh
anak buahnya. "Ciu-moi marilah kita pergi! Kita susul Adikmu ke pantai!"
-o0dw0o- 485 JILID XII API... apakah anak itu masih berada di sana" Apakah ia tidak kembali lagi ke
kota?" T "Yaaa... mungkin saja. Tapi lebih baik kita membuktikan dulu masih ada
tidaknya adikmu di pantai. Setelah kita cari di pantai dia tidak ada, baru kita
kembali ke kota." Tak seorang pun para anggota Hek-to-pai yang bertebaran di halaman depan itu
berani menghalangi Liu Wan dan Tio Ciu In ketika sepasang muda-mudi itu melewati
mereka. Bahkan mereka segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Liu Wan.
"Heran...! Mengapa Kwe Tek Hun tidak kelihatan"
Bukankah dia tadi menghadapi para penjaga pintu gerbang itu?" Liu Wan bergumam
kaget ketika tidak melihat Kwe Tek Hun di pintu gerbang masuk.
"Eh, Liu Twako... lihat pohon besar yang tumbang itu! Bukankah tidak ada badai
yang mengamuk ini tadi" Mengapa pohon itu roboh?"
"Benar. Memang aneh. Marilah kita tanyakan kepada penjaga itu!"
Para penjaga pintu gerbang itu menjadi pucat wajahnya ketika Liu Wan dan Tio Ciu
In datang mendekati mereka.
"Hei! Katakan, ke mana teman kami tadi" Cepat!"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hardik Liu Wan keras. 486 "Dia... dia pergi bersama seorang lelaki dan seorang wanita, setelah kedua orang
itu mengalahkannya."
salah seorang penjaga menjawab dengan suara gemetar.
Bukan main kagetnya Liu Wan dan Tio Ciu In!
Demikian gugupnya Liu Wan mendengar laporan itu sehingga secara tak sadar
tangannya menyambar leher baju penjaga tersebut.
"Apa katamu..." Katakan yang benar!"
Tentu saja penjaga itu semakin menjadi takut.
"Anu... anu... aku mengatakan yang... yang sebenarnya. Li-lihat pohon itu! Laki-
laki yang mengaku dari Pondok Pelangi itu menumbangkannya dari jauh dengan...
dengan pukulannya yang dahsyat, sehingga teman Tai-hiap mengaku kalah, dan...
dan ikut pergi dengan mereka!"
Liu Wan melepaskan cengkeramannya dan mendorong penjaga itu ke belakang,
sehingga menabrak teman-temannya. Mereka jatuh terjengkang tumpang-tindih.
"Sungguh gawat sekali, Ciu-moi. Orang yang bisa mengalahkan Kwe Tek Hun tentu
bukan orang sembarangan. Rasanya aku pun takkan bisa menolongnya. Mungkin hanya
tokoh-tokoh setingkat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Guruku, atau ayah Kwe Tek Hun
sendiri yang bisa menghadapinya."
"Orang itu... orang itu memang mengajak teman Tai-hiap untuk menemui ayahnya."
penjaga yang didorong jatuh oleh Liu Wan tadi tiba-tiba berkata.
487 "Heh..." Jadi mereka pergi ke Pulau Meng-to?" Liu Wan berseru kaget.
"Ya-ya... mereka tadi memang menyebut-nyebut Pulau Meng-to." penjaga itu berkata
pula. "Aaaaah...." Liu Wan menarik napas panjang.
Keningnya berkerut, dan untuk beberapa waktu lamanya pemuda itu tak berkata-kata
lagi. Tio Ciu In yang tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Liu Wan segera menarik
lengannya. "Twako, apa yang kaupikirkan?"
Sekali lagi pemuda itu menghela napas panjang, kemudian menggandeng tangan Tio
Ciu In untuk dibawa keluar meninggalkan perkampungan itu. Liu Wan tetap
melangkah ke arah pantai seperti rencananya semula.
Sementara itu matahari mulai bergulir dari atas kepala. Panasnya benar-benar
mulai menyengat, sehingga pipi Tio Ciu In yang ranum itu menjadi kemerah-
merahan. Beberapa tetes keringat juga mulai mengalir membasahi kening gadis ayu
itu. Akan tetapi tak sepatah katapun keluh kesah yang keluar dari bibir tipis
tersebut. Justru Liu Wan-lah yang akhirnya merasa kasihan melihatnya.
"Ah, panasnya bukan main! Kita berteduh dulu, Ciu-moi?"
"Tidak usah, Twako. Panas sedikit tidak apa. Kita berjalan terus saja hingga ke
perkampungan Ui-thian-cung. Aku cepat-cepat ingin bertemu Siau In...."
488 "Tapi... tapi keringatmu mengalir membasahi pelipis dan lehermu. Pipimu ...
pipimu...." Liu Wan tak berani meneruskan kalimatnya. Matanya juga tidak berani
memandang gadis itu lama-lama.
"Pipiku... kenapa, Twako?" Tio Ciu In mengerutkan alisnya yang lentik.
"Ah, tidak... tidak apa-apa!" tiba-tiba Liu Wan menjawab cepat sambil
menundukkan mukanya. Suaranya bergetar seperti orang yang sedang menahan beban batin yang amat berat.
"Lho" Kau ini bagaimana, sih" Seperti orang sedang kebingungan saja!" Tio Ciu In
mendamprat kesal. Liu Wan cuma tersenyum kecut dan tak berani mengeluarkan suara apa-apa. Bahkan memandang, Tio Ciu In pun ia tak berani. Rasanya seperti ada kesedihan di hatinya setiap kali memandang gadis ayu itu. Namun ia tak 489 tahu, apa yang menyebabkan kesedihan itu.
Sebaliknya gadis itu sama sekali tak tahu apa yang sedang bergejolak di dada
teman seperjalanannya. Ia hanya menduga kalau Liu Wan sedang bingung memikirkan
kepergian Kwe Tek Hun. "Siapa sebenarnya orang yang mengaku dari Pondok Pelangi itu" Mengapa Twako
sangat mengkhawatirkan mereka?" akhirnya gadis itu bertanya perlahan.
Liu Wan tersentak seperti orang yang terbangun dari tidurnya. Kepalanya segera
menggeleng tanda tak tahu.
"Aku juga baru mendengarnya sekali ini. Tapi kalau benar apa yang dikatakan
penjaga itu bahwa mereka dapat mengalahkan Kwe Tek Hun, rasanya kepandaian
mereka benar-benar sangat tinggi. Hanya yang tidak kumengerti, mengapa mereka
membawa Kwe Tek Hun ke Pulau Meng-to. Apakah orang-orang dari Pondok Pelangi itu
bermusuhan dengan ayah Kwe Tek Hun, sehingga mereka menyandera Kwe Tek Hun?"
Pemuda itu kemudian berkata agak lancar.
Tio Ciu In memandang Liu Wan sekejap, lalu cepat-cepat beralih ke pucuk-pucuk
pepohonan tinggi yang tumbuh berjejer-jejer di pinggir jalan. Tak terasa pikiran
gadis itu juga ikut terbenam pula di dalam urusan yang tak dimengertinya itu.
"Apakah kira-kira mereka itu mempunyai hubungan dengan gadis yang memusuhi kita
di 490 penginapan pagi tadi?" tiba-tiba Tio Ciu In bergumam.
Liu Wan terkejut. Pemuda itu tidak berpikir sampai ke sana, tapi kemungkinan
tersebut memang bisa saja terjadi. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Angin terasa mulai berhembus dengan kencang, membawa butiran debu dan pasir ke
mana-mana. Mereka berdua telah melewati hamparan tambak garam yang berpetak-petak di kanan
kiri jalan. Laut pun mulai tampak di kejauhan, dengan garis pantai yang rimbun
oleh pepohonan perdu dan alang-alang tinggi.
Mereka masih sempat menyaksikan bekas-bekas kesibukan luar biasa di perkampungan
nelayan itu. Belasan orang perajurit penjaga keamanan masih tampak berada di sana. Bahkan di
rumah Ui Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung itu masih kelihatan seregu
pasukan keamanan kota Hang-ciu sedang beristirahat.
"Eh, tampaknya ada sesuatu yang baru saja terjadi di tempat ini, Lopek?" Liu Wan
mencoba bertanya kepada seorang nelayan tua yang sedang membenai jalanya.
Nelayan itu memandang Liu Wan dan Tio Ciu In beberapa saat lamanya. Melihat
wajah-wajah yang bersih dan halus dari kedua anak muda itu, ia kelihatan lesu.
491 "Yaaah... ada pembunuhan besar-besaran di pantai sebelah sana! Para Pemenang
Perlombaan Mengangkat Arca dan pengawal mereka dibantai orang di atas pasir
itu...." "Ohhhh!" Liu Wan dan Tio Ciu In yang sudah mendengar berita tersebut di markas
Tiat-tung Kai-pang berdesah pendek.
"Apakah sanak saudara Kongcu ikut menjadi korban pula?"
"Oh, tidak... tidak!" Tio Ciu In cepat-cepat menjawab. "Kedatangan kami berdua
ke mari memang mau mencari seseorang, tapi orang yang kami cari itu bukan salah
seorang dari orang-orang yang terbunuh itu. Orang yang kami cari adalah seorang
gadis muda berpakaian merah. Perawakannya biasa-biasa saja, tak begitu tinggi
tapi juga tidak pendek. Badannya agak kurus sedikit, rambutnya dikepang dua. Eh,
apakah Lopek melihatnya...?" N
Sekali lagi nelayan tua itu menatap Tio Ciu In dan Liu Wan beberapa saat
lamanya. Keningnya berkerut, seolah-olah merasa heran, kaget dan curiga.
"Sungguh mengherankan...! Beberapa saat yang lalu juga ada yang bertanya
kepadaku tentang gadis yang ciri-cirinya seperti itu...."
"Apa..." Ada orang lain yang bertanya kepada Lopek" Siapa dia" Bagaimana ciri-
cirinya?" Tio Ciu In mendesak dengan suara penuh harap. Gadis itu teringat akan
suhengnya lagi. 492 Nelayan itu meletakkan jalanya, kemudian berdiri.
"Dia seorang pemuda tampan, tingginya kira-kira sama dengan aku. Kurus.
Rambutnya awut-awutan...."
"Ooooh...." Tio Ciu In berdesah kecewa, karena ciri-ciri yang disebutkan itu
bukan ciri Tan Sin Lun, suhengnya.
"Nah... itu dia orangnya!" tiba-tiba nelayan tua itu berseru, tangannya menuding
ke pintu masuk perkampungan Ui-thian-cung.
Liu Wan dan Tio Ciu In menatap ke depan. Mereka melihat seorang pemuda kurus
mengenakan pakaian hitam kedodoran berjalan lesu ke arah mereka.
Tampaknya pemuda itu baru saja menemui kepala kampung.
"Tampaknya memang bukan Suheng-mu...." Liu Wan berdesah hambar seperti
kehilangan semangat. Tio Ciu In berpaling. Sekejap, mata yang bulat indah itu menatap tajam penuh
selidik. Ada terungkap rasa heran dan tak mengerti pada pancaran sinar mata itu.
Tapi mata indah itu segera berpaling kembali ketika Liu Wan balas memandangnya.
Tampaknya pemuda kurus yang tidak lain adalah Chin Tong Sia atau Put-tong-sia
itu memang bermaksud menemui nelayan tua tersebut. Tapi ia menjadi ragu-ragu
melihat kehadiran Liu Wan dan Tio Ciu In, sehingga ia diam saja di depan nelayan
itu. Liu Wan baru pertama kali ini melihat pemuda itu, tapi Tio Ciu In sudah
melihatnya di atas panggung perlombaan kemarin. Tio Ciu In masih ingat sekali
493 karena pemuda itu telah membuat keributan di atas panggung.
"Nah, apakah Tuan hendak bertanya tentang gadis itu lagi?" sekonyong-konyong
nelayan tua itu mendahului bertanya kepada Chin Tong Sia yang tampak ragu-ragu.
Chin Tong Sia melirik ke arah Liu Wan dan Tio Ciu In, kemudian mengangguk lemah.
"Apakah engkau tetap belum melihatnya juga?"
tanyanya kaku. Nelayan tua itu menggelengkan kepalanya. "Belum.
Mungkin gadis itu memang tidak pergi ke tempat ini.
Tapi... eh, omong-omong... Kongcu dan Siocia ini juga menanyakan gadis itu.
Apakah Tuan mengenal mereka?"
Chin Tong Sia memandang Liu Wan dan Tio Ciu In sekejap, kemudian mengangkat
pundaknya. Sambil beranjak pergi pemuda itu meninggalkan pesan kepada nelayan
tersebut. "Paman, tolong beritahukan kepadaku kalau gadis yang kumaksudkan itu lewat di
sini. Aku berada di tempat penambatan perahu."
"Saudara, tunggu...!" Tio Ciu In yang menjadi penasaran itu tiba-tiba berseru
memanggil. Chin Tong Sia berhenti melangkah, lalu dengan cepat membalikkan tubuhnya. Dan
pada saat membalikkan badan itulah buntalan pakaian Tito Siu In yang dibawanya
melorot turun dan jatuh dari balik bajunya yang kedodoran. Namun dengari tangkas
dan 494 cepat pula bungkusan itu disambarnya serta dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Akan tetapi waktu yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi Tio Ciu In ; untuk
mengenali bungkusan pakaian adiknya.
"Nona memanggil saya?" Dengan tenang Chin Tong Sia menghadapi Tio Ciu In.
Sebaliknya Tio Ciu In sendiri juga mencoba untuk bersikap hati-hati pula. Dia
ingin mencari tahu perihal hubungan adiknya dengan pemuda itu, sehingga pemuda
itu kelihatan berhasrat sekali menemui Siau In.
"Maaf, kudengar dari Lopek ini Saudara sedang mencari seorang gadis muda berbaju
merah di tempat ini. Eeem... apakah yang Saudara maksudkan itu bernama Tio Siau
In?" dengan amat sopan Tio Ciu In bertanya, membuat Liu Wan yang berdiri di
sampingnya merasa kikuk melihatnya.
Tak terduga wajah Chin Tong Sia( menjadi merah.
Pertanyaan itu membuatnya bingung dan tak tahu harus menjawab apa, karena dia
memang belum tahu nama gadis yang dicarinya itu.
"Ha-ha-haha-hihihi! Nona ayu, jangan kautanyakan nama gadis itu kepadanya! Dia
takkan tahu, karena dia memang belum sempat menanyakan nama pacarnya itu!" Tiba-
tiba terdengar suara serak berkumandang tanpa kelihatan orangnya.
"Suheng, mengapa kau suka benar mencampuri urusan orang" Apakah lukamu akibat
mencampuri 495 urusan orang-orang Hun tadi malam belum membuatmu jera?" Put-tong-sia menggeram
marah. Matanya memandang nanar ke segala penjuru, mencari tempat persembunyian Put-pai-
siu Hong-jin. Wajah Liu Wan menjadi amat tegang pula. Suara tanpa ujud itu membuat jantungnya
berdegup lebih keras. Dan otomatis kakinya mendekati Tio Ciu In, siap untuk
setiap saat melindungi gadis itu dari bokongan musuh.
Yang justru menjadi ketakutan adalah nelayan tua itu. Mendengar suara tanpa
ujud, padahal suara itu seakan-akan berada di dekatnya, membuat orang tua itu
gemetar ketakutan. Setelah menengok ke sana ke mari, ia segera mengambil langkah
seribu, meninggalkan tumpukan jala yang belum selesai digulungnya.
"Kurang ajar! Bikin ribut saja! Eh, maaf... aku akan mencari Suhengku dulu....?"
akhirnya Chin Tong Sia berkata kesal.
"Tapi... Saudara belum menjawab pertanyaanku."
Tio Ciu In cepat memotong ucapan pemuda itu.
Chin Tong Sia tertegun, kakinya tak jadi melangkah. Sekejap wajahnya menjadi
merah lagi, namun segera hilang pula.
"Bukankah Suhengku tadi sudah menjawabnya"
Maaf, aku pergi dulu...."
"Tunggu...!" Tio Ciu In berseru seraya melompat ke depan menghadang langkah Chin
Tong Sia. 496 Pemuda kurus itu berdiri tegak, urat-uratnya menegang, sehingga Liu Wan yang
amat mengkhawatirkan keselamatan Tio Ciu In cepat-cepat bergeser mendampingi gadis
itu. "Apa yang Nona inginkan lagi?" Chin Tong Sia berdesis. Matanya menatap dingin,
terutama kepada Liu Wan yang kelihatan selalu melindungi Tio Ciu In.
"Saudara, kulihat kau tadi membawa bungkusan pakaian. Apakah bungkusan itu milik
gadis yang kaucari itu?" Tio Ciu In bertanya, suaranya tetap tenang.
Mata pemuda kurus itu tiba-tiba bergetar seolah-olah menahan marah.
"Apa peduli Nona dengan bungkusan pakaian itu"
Kuharap Nona jangan mencampuri urusan orang!"
pemuda itu menggeram. Ternyata Tio Ciu In juga tidak sabar pula. "Apa"
Aku tidak boleh mencampuri urusan Saudara"
Bagaimana aku tidak boleh mencampuri urusan Saudara kalau bungkusan yang Saudara
bawa itu milik Adikku?" jeritnya marah.
Ilmu Ulat Sutera 5 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Harpa Iblis Jari Sakti 1
sebagian mukanya yang tidak tertutup kumis dan jenggot, lagi-lagi Tio Ciu In
tertunduk. Wajah itu kelihatan kaku dan dingin. Bahkan matanya yang jernih
seperti mata orang sehat itu seperti menyimpan sebuah kekuatan yang mengerikan.
413 Sekejap Tio Ciu In menjadi ragu, jangan-jangan lelaki yang mempunyai perbawa
menyeramkan itu cuma pura-pura buta.
"Nona belum menjawab pertanyaanku!" Sekali lagi Tio Ciu In dikejutkan oleh suara
orang itu. "Kami... kami baru saja berkenalan. Dia... dia bukan saudara seperguruanku." Tio
Ciu In menjawab dengan gugup.
"Hmmmmmm....!" Sekali ini Tio Ciu In benar-benar heran terhadap dirinya sendiri. Selama ini ia
tak pernah merasa takut terhadap siapapun juga. Bahkan di dalam sarang perampok-
perampok liar pun ia tak pernah merasa ketakutan. Namun sekarang di depan lelaki
tua bermata buta ini, entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi ngeri.
"Kudengar ada tiga orang yang sedang berkelahi.
Apakah temanmu dikeroyok dua?" lelaki buta itu bertanya kembali.
"Ah, tidak...." Tio Ciu In menjadi malu. Malu karena telah berprasangka buruk
terhadap orang yang ternyata benar-benar buta itu, serta malu karena justru
teman-temannyalah yang telah mengeroyok lawannya.
Meskipun Tio Ciu In tidak meneruskan
jawabannya, tapi orang itu tampaknya sudah dapat menangkap maksudnya.
"Ah, kalau begitu gadis muda yang kaumaksudkan itu benar-benar lihai sekali
karena mampu melayani keroyokan teman-temanmu. Hmm... siapakah 414
temanmu yang satu lagi itu" Apakah dia saudara seperguruanmu" Kudengar gerakan
ilmunya tidak sama dengan temanmu tadi."
Tio Ciu In tidak segera menjawab. Kali ini gadis itu menjadi bingung juga untuk
menjawabnya. Ia memang tidak begitu paham tentang Kwe Tek Hun dan saudara-
saudara seperguruannya. "Maaf, aku... aku juga baru mengenal mereka di tempat ini. Katanya pemuda itu
bernama Kwe Tek Hun." akhirnya Tio Ciu In dapat juga menjawab pertanyaan lelaki
buta itu. "Oooh...." Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tetapi meskipun maju
berdua... kawan-kawanmu itu seperti merasa sulit menghadapi lawannya. Mengapa
kau tak ikut membantu mereka?"
"Ah, kepandaianku belum cukup untuk ikut dalam kancah pertempuran tingkat atas
seperti itu. Selain itu aku juga sedang menjaga teman-temanku yang terluka."
"Hah" Teman-temanmu sudah ada yang terluka"
Apanya yang terluka?" Lelaki buta itu terperanjat.
Tio Ciu In menghela napas panjang. Entah apa sebabnya, tapi yang jelas gadis ayu
itu seperti menurut saja untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Dan lelaki
buta itu terdengar menggeram perlahan mendengar kekejaman Mo Goat.
"Dan sekarang... kawan-kawan Mo Goat telah datang pula. Mereka kelihatan lebih
kasar dan garang daripada Mo Goat. Aku benar-benar sangat cemas.
415 Kepandaianku amat rendah, sedangkan teman-temanku yang lain sudah terluka...."
Tio Ciu In mengakhiri ceritanya dengan nada gelisah.
"Hmmh!" Tiba-tiba lelaki itu menggeram. "Nona, bawa kemari teman-temanmu yang
terluka itu!" Tio Ciu In tercengang mendengar perintah itu. Ada perasaan untuk menentangnya,
tapi keinginan itu segera sirna begitu laki-laki itu kembali menyerukan
perintahnya. Tio Ciu In cepat membawa Song Li Cu dan Ku Jing San ke hadapan
lelaki buta itu. Song Li Cu dipapahnya, sementara Ku Jing San beringsut di
belakangnya dengan berpegangan pada dinding.
Anehnya kedua saudara seperguruan itu juga menurut saja.
"Inilah mereka, Tuan."
Lelaki buta itu mengulurkan tangannya kepada Song Li Cu. "Di bagian mana gadis
ini mendapatkan totokan?" tanyanya kepada Tio Ciu In.
"Kalau tak salah di bagian kakinya, Tuan."
Seperti orang yang masih sehat kedua matanya, lelaki itu cepat mengurut dan
menotok di beberapa bagian kaki Song Li Cu. Dan yang terakhir jari telunjuk
lelaki itu menotok pada jalan darah tan-bi-hiat di bawah puser Song Li Cu.
"Maaf...!" ucap lelaki itu pendek, kemudian mengebut-ngebutkan lengan bajunya
tanda ia telah selesai mengobati gadis itu.
416 Sungguh mengherankan! Song Li Cu yang semula tak bisa menggerakkan tubuhnya itu
tiba-tiba bisa bergerak lagi!
"Nona tidak boleh terlalu banyak bergerak dulu!
Totokan yang melumpuhkan Nona tadi merupakan ilmu totok (tiam hoat) yang tiada
duanya di dunia ini. Totokan itu hanya bisa dipunahkan kembali oleh seseorang yang memiliki lwe-kang
setidak-tidaknya dua kali lipat lwe-kang penotoknya." lelaki buta itu mem beri
peringatan kepada Song Li Cu yang sudah bersiap-siap untuk melabrak Mo Goat
kembali. Song Li Cu tertunduk kecewa. "Terima kasih, Locianpwe..." gadis manis itu
mengucapkan rasa terima kasihnya.
"Lo-cianpwe..." Ah!" orang itu berdesah panjang.
"Tampaknya aku memang sudah tua. Belasan tahun telah lewat tanpa terasa dan
tentunya umurku juga sudah mendekati setengah abad. Hmmm ... cepat sekali...."
Sementara itu di arena pertempuran tampaknya Mo Goat sudah tidak sabar lagi.
Gadis cantik itu sudah mulai menggenggam senjata rahasianya pula. Senjata
rahasia yang ampuh, yang dalam sekali lempar telah melukai Song Li Cu dan Ku
Jing San! "Puteri...! Kau jangan menghambur-hamburkan senjata rahasiamu! Sungguh sayang
rasanya kalau dibuang hanya untuk membunuh kelinci-kelinci seperti mereka!"
orang yang dipanggil dengan sebutan Panglima tadi berseru kepada Mo Goat.
417 "Tapi sulit sekali menundukkan mereka! Padahal aku sudah menggunakan Pat-sian-i-
hoat (Delapan Baju Dewa)! Sayang ilmuku belum sebaik ilmumu.
Kalau aku sudah dapat memecah diri menjadi empat seperti kau, kelinci-kelinci
ini sudah kuhabisi sejak tadi." Mo Goat menyahut dengan suara jengkel.
Tentu saja ucapan-ucapan yang amat memandang rendah itu sangat menyinggung
perasaan Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Apalagi bagi Kwe Tek Hun yang dalam perjalanan
petualangannya selama ini hampir tak pernah menjumpai lawan tangguh. Ejekan
sebagai kelinci itu benar-benar menyinggung harga dirinya.
Tanpa memikirkan akibatnya, pendekar muda dari Pulau Meng-to itu melesat keluar
dari arena pertempuran. Hanya dengan dua gerakan saja dari Ban-seng-po Lian-
hoan, maka tubuhnya telah berada di depan panglima itu.
"Kalau kau memang ingin mencoba menangkap kelinci-kelinci kecil seperti kami,
mengapa cuma berteriak-teriak saja dari luar arena" Mengapa tidak langsung saja
mempergunakan kepalan dan kakimu"
Takut?" Kwe Tek Hun balas mengejek dengan nada pedas.
"Bangsat! Kau memang bosan hidup!"
Benar saja, orang yang disebut panglima itu menjadi marah bukan main. Sambil
mengumpat kasar ia menerjang Kwe Tek Hun. Kesepuluh jari tangannya mengejang
seperti cakar garuda, menyam bar ke arah dada dan perut pendekar dari Pulau
Meng-to itu. 418 Kwe Tek Hun tidak berani adu tenaga. Mendengar percakapan lawannya tadi Kwe Tek
Hun tahu bahwa lawannya itu jauh lebih berbahaya dan lebih lihai daripada Mo
Goat. Padahal melawan Mo Goat saja dia dan Liu Wan tidak menang. Oleh karena itu
satu-satunya jalan untuk menandinginya hanyalah dengan kecerdikan dan tipu
muslihat. Untunglah ilmunya Ban-seng-po Lian-hoan benar-benar mentakjubkan,
sehingga setiap kali dalam bahaya ia selalu dapat menyelamatkan diri.
Demikianlah Kwe Tek Hun tidak mau menangkis serangan itu. Pemuda itu justru
memanfaatkan kelebihannya dalam main petak. Dengan langkah ajaibnya itu ia
menghindar dan mengitari tubuh lawannya. Sekali-sekali ia balas menyerang,
meskipun ia tahu lawannya jauh lebih gesit dan lebih tinggi tenaga dalamnya.
Tentu saja ulah Kwe Tek Hun tersebut amat menjengkelkan lawannya. Di dalam
segala hal panglima itu jauh lebih unggul, baik ginkang, lwekang, maupun ilmu
silatnya. Namun pemuda itu ternyata memiliki ilmu langkah ajaib yang amat
mentakjubkan, sehingga keunggulan ginkang panglima itu hampir tak ada gunanya
lagi. Bagaikan seekor belut pemuda itu selalu bisa melepaskan diri dari cegatan-
cegatan lawannya. Akhirnya panglima itu tak dapat mengekang kegusarannya lagi. Seperti halnya Mo
Goat tadi, tiba-tiba panglima itu melompat ke belakang sambil 419
menyilangkan tangannya di depan dada. Kwe Tek Hun terkejut, tapi sudah terlambat
Matanya sudah terlanjur menantang mata panglima yang mencorong seperti mata
burung elang itu, hingga untuk selanjutnya mata dan pikirannya telah jatuh dalam
perangkap ilmu sihir lawannya.
"Oooooh!" Tio Ciu In menjerit kecil. Demikian pula dengan Song Li Cu.
"Hah" Ada apa...?" Lelaki buta itu tersentak kaget pula.
"Orang itu bisa merubah dirinya menjadi empat!
Dan semuanya bisa bergerak sendiri-sendiri mengeroyok Kwe Suheng!" Song Li Cu
berdesah bingung. "Berubah menjadi empat" Wah, ilmu sihir!" Lelaki buta itu berkata kaget, seperti
sudah pernah mengenalnya.
"Locianpwe, kautolonglah kami!" Tiba-tiba Song Li Cu berlutut sambil menghiba di
depan lelaki buta itu. "Tolonglah Suhengku sekalian, seperti halnya Locianpwe
telah menolongku tadi. Aku percaya Locianpwe bisa mengatasi mereka...."
Ternyata perasaan cinta gadis manis itu sedemikian besarnya kepada Kwe Tek Hun,
sehingga gadis itu rela menanggalkan kekerasan hatinya selama ini untuk meminta
tolong kepada orang yang baru saja dikenalnya.
Semula Tio Ciu In menjadi kaget juga menyaksikan ulah Song Li Cu. Demikian pula
halnya dengan Ku 420 Jing San sendiri. Tapi keduanya segera memakluminya, apalagi ketika mereka
menyaksikan jalannya pertempuran setelah pembantu Mo Goat yang lihai itu maju.
Baik Kwe Tek Hun maupun Liu Wan memang dalam keadaan yang memprihatinkan.
Setelah terpisah sendiri-sendiri, kedua pemuda sakti itu memang tidak bisa
berbuat apa-apa terhadap lawannya. Rasanya memang tinggal menunggu waktu saja,
kapan keduanya dibabat habis oleh lawan lawan mereka.
Lelaki buta itu mengerutkan dahinya yang tertutup rambut. Sikapnya tetap dingin
dan kaku, seolah-olah tidak peduli pada keadaan sekelilingnya. Demikian pula
terhadap ratapan Song Li Cu. Sama sekali ia tak bereaksi mendengar suara yang
menghiba itu. "Locianpwe..." Kakiku sudah buntung. Aku tak bisa lagi membantu Suhengku. Maukah
Locianpwe menolongnya?" Ku Jing San yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba ikut
memohon. Ternyata di dalam keadaan kritis seperti itu ia memaklumi perasaan
sumoinya. Tapi lelaki buta itu tetap tak bergeming. Bahkan orang tua itu perlahan-lahan
menyeret kakinya untuk keluar dari ruangan tersebut. Wajahnya tertunduk lesu
seakan-akan hatinya amat menyesal sekali berada di tempat itu. Beberapa kali
terdengar suara tarikan napasnya yang berat dan panjang.
421 "Locianpwe! Locianpwe...! Jangan tinggalkan kami! Tolonglah Suhengku!" Song Li
Cu memohon dengan suaranya yang semakin memelas.
"Benar, Locianpwe.... Tolonglah Kwe Suheng sekali ini saja!" Ku Jing San ikut
pula meminta dengan suaranya yang serak.
"Maaf. Maafkanlah aku.... aku tak bisa menolong kalian." terdengar lelaki buta
itu menjawab perlahan. Kakinya tetap melangkah tersaruk-saruk ke arah pintu.
Song Li Cu memandang sekali lagi ke arena pertempuran. Hatinya semakin merasa
cemas akan keselamatan Kwe Tek Hun.
"Locianpwe...!"!" ratapnya sedih.
Namun dengan suara tak kalah lesunya, lelaki buta itu menyahut lirih. "Maaf,
Nona... aku tetap tak bisa menolongmu. Sudah lama aku tidak melibatkan diri di
dalam urusan rimba persilatan seperti ini. Aku sudah bosan. Aku sudah cukup
banyak menderita karena urusan perkelahian, permusuhan dan dendam kesumat di
dunia yang keras itu...."
Buuuuk! "Auuuugh....!" Sekonyong-konyong terdengar suara pukulan dan keluhan tertahan dari arena
pertempuran. Liu Wan, pemuda sakti itu ternyata telah terkena tendangan kaki Mo
Goat. Tio Ciu In terkejut. Ia menyaksikan Liu Wan terhuyung-huyung sambil tetap
berusaha menghindari 422 serangan Mo Goat kembar yang terus saja memburunya. Pemuda itu kelihatan seperti
lampu yang kehabisan minyak. Tenaganya yang besar tadi tampak sudah habis,
sehingga pukulannya yang meledak-ledak seperti petir itu sudah tidak kelihatan
lagi. "Tuan...?" Tio Ciu In yang mencemaskan keselamatan Liu Wan itu tiba-tiba
menjerit kecil tanpa terasa.
Sungguh mengherankan! Jeritan lemah dan amat singkat dari Tio Ciu In itu ter
nyata mampu mengejutkan lelaki buta tersebut! Entah bagaimana caranya bergerak.
Namun orang tua yang telah ber-berada di depan pintu keluar itu mendadak saja
telah berada di dekat Tio Ciu In kembali! Sama sekali tak kelihatan bayangan
tubuhnya yang berkelebat! Di mata Ku Jing San, Song Li Cu, dan Tio Ciu In
sendiri, tubuh lelaki buta itu seperti menghilang dan berpindah tempat begitu
saja! "Nona memanggil aku" Ada apa...?" orang tua itu bertanya tegang.
Tio Ciu In yang baru saja menjerit kecil itu justru menjadi gugup menyaksikan
kesaktian lelaki buta tersebut. Beberapa saat lamanya ia tak bisa menjawab atau
membuka mulutnya. "Nona! Kau kenapa..." Apakah kau diserang dan dilukai musuhmu?" lelaki buta itu
mendesak semakin tegang. 423 "Ti-tidak...! Kawanku... kawanku terdesak! Dia...
dia dalam bahaya!" akhirnya Tio Ciu In dapat bersuara dengan patah-patah.
"Ooooh!" orang tua itu berdesah lega, kemudian perlahan-lahan membalikkan
badannya kembali. "Tuan, tunggu...!" Tio Ciu In mengejar dan berseru.
Lelaki buta itu berhenti. "Ada apa lagi...?"
Tio Ciu In berdiri tegak di depan orang tua itu.
Matanya yang bulat indah itu mencoba mengawasi wajah yang dingin tertutup rambut
tersebut. "Tuan..." Mengapa Tuan tidak mau menolong teman-temanku itu?"
Mendadak tubuh lelaki buta itu seperti bergetar menahan perasaan sedih. Tulang
pipinya yang menonjol itu tampak pucat, sementara matanya yang bening seperti
mata orang sehat itu kelihatan berair.
Kemudian sambil menghela napas berat orang tua itu menundukkan wajahnya.
"Namamu siapa, Nona" Apakah kau tinggal di sekitar Laut Kuning" Apakah kau
bermarga Han?" mendadak lelaki buta itu bertanya tanpa mempedulikan pertanyaan Tio Ciu In.
"Bukan... bukan! Aku tidak bermarga Han!
Namaku Tio Ciu In dan aku juga tidak tinggal di sekitar Laut Kuning! Aku tinggal
di kota Yun-kia...."
"Oooh....!" orang tua itu berdesah panjang seperti mengandung rasa kecewa yang
amat dalam. Sebaliknya Tio Ciu In menjadi sangat heran melihat perilaku orang tua itu.
424 "Mengapa... mengapa Tuan tidak segera menolong teman-temanku" Mengapa Tuan
secara tiba-tiba malah menanyakan nama dan tempat tinggalku?"
Sekali lagi orang tua itu menarik napas panjang sekali. "Sudahlah, Nona Tio.
Jangan kau hiraukan pertanyaanku tadi. Hmmmm, sekarang jawab saja pertanyaanku.
Mengapa kau meminta pertolongan kepadaku?"
"Karena... karena aku percaya Tuan akan meluluskan permintaanku!"
Orang tua itu tampak tercengang sebentar, kemudian mengangguk-angguk.
"Kau benar, Nona Tio. Khusus untuk dirimu, aku bersedia mengubah pendirianku.
Aku akan menolong teman-temanmu, tapi... dengan syarat!"
"Syarat" Syarat apa..." Lekas katakan!" Tio Ciu In yang melihat keadaan Liu Wan
dan Tek Hun semakin mengkhawatirkan itu menjadi tidak sabar.
"Tolong nyanyikan sebuah lagu untukku! Terserah lagu apa saja boleh...!"
"Menyanyikan lagu...?" Tio Ciu In tercengang mendengar syarat yang amat aneh
itu. "Aku... aku tak dapat bernyanyi! Aku..."!"
"Terserah kepadamu, Nona Tio Hanya itu syaratku.
Kalau kau tak mau, juga tidak apa-apa..." orang tua itu berkata perlahan sambil
membalikkan badannya kembali.
Tio Ciu In menjadi tegang bukan main. Apalagi ketika sekali lagi ia menyaksikan
Liu Wan 425
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpelanting menabrak dinding. Darah segar tampak mengalir dari mulut dan hidung
pemuda itu. "Tunggu...!" gadis ayu itu berteriak.
Namun sekali ini orang tua buta itu tak menghiraukan panggilan Tio Ciu In.
Kakinya tetap melangkah perlahan ke arah pintu. Dalam keadaan panik akhirnya Tio
Ciu In juga tidak menghiraukan lagi kejanggalan-kejanggalan yang dihadapinya.
Gadis ayu itu lalu menyanyikan sebuah lagu lama.
Lagu yang sering dinyanyikan oleh gurunya. Entah"
lagu apa, ia tidak tahu. Yang penting ia menyanyi, meskipun suaranya yang merdu
itu menjadi sumbang karena kecemasan dan ketegangan hatinya.
Apabila di malam yang gelap gulita, Tiba-tiba muncul bulan purnama.
Alam pun tersentak dari tidurnya, Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita Malam.
Kekasihku.../ Aku selalu mengharapkan kehadiranmu!
Dalam keadaan yang sangat menegangkan seperti itu, suara nyanyian Tio Ciu In
memang benar-benar aneh dan terasa janggal kedengarannya. Bahkan Mo Goat dan
pembantunya yang disebut panglima itu sampai merasa kaget dan agak mengendor
desakannya. Sabetan kipas yang mematikan dari Mo Goat terhadap leher Liu Wan
seolah-olah tertahan 426 sejenak mendengar alunan suara Tio Ciu In tersebut.
Demikian pula dengan hantaman siku Si Panglima yang tertuju ke arah tengkuk Kwe
Tek Hun seakan-akan juga terhenti beberapa saat pula ketika mendengar suara
nyanyian Tio Ciu In. Namun pada waktu yang cuma sesaat itu tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan, yang
hampir-hampir tak bisa ditangkap oleh pandangan mata siapapun juga.
Begitu cepatnya, sehingga Kwe Tek Hun yang memiliki Pek-in Gin-kang yang amat
tersohor di dunia persilatan itu tak kuasa apa-apa ketika mendadak leher bajunya
secara mendadak telah dicengkeram bayangan tersebut dan dilemparkannya keluar
arena. Demikian pula dengan Liu Wan. Bahkan Mo Goat dan pembantunya yang
memiliki ilmu meringankan tubuh jauh lebih tinggi lagi daripada Kwe Tek Hun itu
juga tak berkutik pula ketika bayangan tersebut menyambar ke arah mereka serta
mendorong mereka keluar arena.
Bukan alang kepalang kagetnya Mo Goat dan pembantunya menyaksikan kesaktian yang
luar biasa itu. Sejenak mereka berdua memandang dengan sinar mata jeri ke arah
lelaki buta yang kini telah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan.
"Kau... kau siapa?" Mo Goat yang kejam dan tak pernah mengenal rasa takut itu
mendadak menjadi gemetaran suaranya.
Bagaimana Mo Goat maupun pembantunya itu tidak jeri" Orang asing berpenampilan
buruk dan 427 mengerikan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu sihir mereka Pat-sian-i-
hoat. Bahkan ilmu meringankan tubuh orang asing itu juga jauh lebih hebat
daripada gin-kang perguruan mereka, yang menurut guru mereka tiada bandingannya
di dunia ini. Begitu pula dengan tenaga dalam yang dikeluarkan oleh orang asing tersebut untuk
mendorong mereka, rasa-rasanya berlipat jauh dengan tenaga dalam yang mereka
miliki. Demikianlah, kalau Mo Goat dan para
pembantunya merasa heran dan ketakutan, sebaliknya Tio Ciu In dan Song Li Cu
menjadi gembira bukan main melihat Liu Wan serta Kwe Tek Hun selamat dari
keganasan lawan. Tio Ciu In segera membantu Liu Wan mengobati luka-lukanya,
sementara Song Li Cu dengan telaten dan penuh perhatian mengusap peluh yang
mengalir di wajah dan leher Kwe Tek Hun.
"Siapa orang itu, Ciu-moi?" dengan napas yang masih memburu Liu Wan bertanya
tentang orang buta itu kepada Tio Ciu In.
"Siapa... dia, Su-moi?" Kwe Tek Hun juga bertanya keheranan kepada Song Li Cu
dan Ku Jing San yang merubungnya.
Tapi baik Tio Ciu In maupun Song Li Cu tidak bisa memberi jawaban. Keduanya
memang tidak mengenal orang buta yang maha sakti itu. Mereka cuma bisa bercerita
bahwa orang tua itu menolong Liu Wan dan Kwe Tek Hun karena suara nyanyian Tio
Ciu In. 428 "Nyanyian...?" Baik Liu Wan maupun Kwe Tek Hun tercengang keheranan.
Kalau semua orang menatap heran atau jeri kepada orang tua buta itu, sebaliknya
orang yang bersangkutan justru sedang berdiri terlongong-longong mengenangkan
isi syair nyanyian Tio Ciu In tadi. Beberapa kali terlihat dadanya turun naik
seakan-akan sedang menyangga beban yang teramat berat.
"Nona Tio...! Dari mana kau belajar lagu lama itu"
Siapakah yang mengajarimu lagu 'Merindukan Kekasih1 itu?" tiba-tiba orang tua
itu menoleh dan bertanya kepada Tio Ciu In.
Gadis ayu yang sedang sibuk menolong Liu Wan itu tersentak kaget.
"Aku... aku tidak belajar dari siapa-siapa. Aku hanya sering mendengarnya dari
Suhuku...." Tio Ciu In menyahut dengan suara gugup.
"Oh, ya" Apakah Gurumu itu seorang tokoh Aliran Im-yang-kau?"
Tio Ciu In tercengang, lalu mengangguk. "Benar.
Beliau adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kau di kota An-king."
Sekarang ganti orang tua buta itu yang mengangguk-angguk.
"Sudah kuduga...." orang tua itu kemudian bergumam. "Ketahuilah, Nona Tio ...
lagu itu adalah ciptaan seorang tokoh tua aliran Im-yang-kau dua puluhan tahun
yang lalu. Lagu itu sangat populer dan disukai orang, terutama oleh para anggota
aliran itu 429 sendiri. Maka tak mengherankan bila Gurumu juga suka menyanyikannya. Aaah,
memang sungguh indah lagu itu...."
"Tuan sangat, menyukai lagu itu?" Tio Ciu In bertanya hati-hati, takut
menyinggung perasaan orang tua aneh itu.
"Ya, aku dulu sering menyanyikannya. Aku hafal seluruh syair-syairnya..."
Ternyata orang tua buta itu justru bersemangat menjawab pertanyaan Tio Ciu In.
"Kalau begitu... kalau begitu, emmm .. apakah Tuan ini juga anggauta Aliran Im-
yang-kaui pula?" dengan sangat hati-iati Tio Ciu In mencoba untuk mengorek asal-usul orang tua
tersebut. "Oh, bukan...! Isteriku yang..."!"
Tiba-tiba orang tua itu menghentikan kata-katanya.
Dia seperti menyesal telah mengeluarkan ucapannya tadi. Dan untuk menutupi
kecanggungannya, tiba-tiba pula ia melangkah meninggalkan tempat tersebut.
"Aku... pergi dulu!" katanya singkat, lalu tubuhnya yang jangkung tinggi itu
berkelebat meninggalkan ruangan tersebut.
"Tuan, tunggu...! Bolehkah aku mengenal nama besarmu?" Tio Ciu In berseru.
Kakinya melompat, mencoba mengejar sampai ke pintu.
Tak ada jawaban. Orang tua itu telah melesat jauh meninggalkan rumah penginapan
tersebut. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara lapat-lapat dari kejauhan yang
dikirim dengan ilmu Coan-im-jib-it (Ilmu Mengirim Suara Dengan Gelombang Angin).
430 "Nona Tio, panggil saja aku Si Buta! Kalau kau ingin bertemu dan ingin meminta
pertolonganku lagi, nyanyikan saja lagu 'Merindukan Kekasih' itu! Aku tentu
datang...!" "Ihhh...!" Tio Ciu In yang menjadi salah terima dengan ucapan orang tua buta itu
mencibirkan bibirnya. Wajahnya berubah sedikit memerah.
"Masakan aku harus menyanyikan lagu 'Merindukan Kekasih' untuk bertemu dengan
dia?" Mendadak gadis ayu itu tersentak kaget karena teringat kepada Mo Goat kembali.
Bergegas gadis itu membalikkan badannya. Matanya nanar mencari gadis muda yang
kejam itu di antara para pelayan penginapan yang telah mulai berdatangan. Tapi
gadis itu sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
Mungkin secara diam-diam gadis cantik itu telah pergi bersama para pembantunya,
pada saat dia sedang terlibat pembicaraan dengan orang tua buta tadi.
Tapi bagaimanapun juga kepergian Mo Goat itu justru sangat melegakan hati Tio
Ciu In. Apa jadinya kalau Mo Goat dan para pembantunya itu belum pergi,
sedangkan orang tua buta itu sudah tiada lagi"
"Bagaimana, Ciu-moi" Siapakah orang tua itu?"
Liu Wan menyambut kedatangan Tio Ciu In dengan sebuah pertanyaan.
"Entahlah! Dia hanya memperkenalkan diri dengan nama Si Buta!"
431 "Si Buta" Jadi.... orang itu buta" Ah! Bukan main!"
Kwe Tek Hun berseru sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apanya yang bukan main, Suheng?" Song Li Cu menukas keheranan.
Kwe Tek Hun tersenyum kecut. "Yah, kau lihat sendiri! Caranya bergerak yang
gesit dan lincah itu sama sekali tak mencerminkan bahwa dia buta! Kita semua
yang waras ini benar-benar harus malu terhadapnya."
Sementara itu orang-orang yang datang menonton mulai berani memasuki ruangan
tersebut. Pemilik rumah penginapan itu beserta para pelayannya datang
menghampiri mereka. Dengan wajah sedih pemilik rumah penginapan itu meratapi
barang-barangnya yang rusak dan berantakan.
"Sudahlah, kau tak perlu meratapi harta bendamu yang sudah rusak!" Liu Wan yang
sudah mengenal pemilik rumah penginapan itu menghiburnya.
"Meskipun bukan aku yang membuat gara-gara di dalam peristiwa ini, tapi aku akan
menggantikannya. Tolong kau hitung jumlah seluruh kerugianmu ini, lalu masukkan ke dalam rekening
kamarku!" "Tapi... tapi...?" Pemilik rumah penginapan itu pura-pura menolak, padahal
hatinya menjadi senang bukan main.
"Jangan membantah! Lakukan saja perintahku!"
Liu Wan berkata dengan tegas.
432 "Saudara Liu...!?" Kwe Tek Hun terkejut mendengar kesanggupan Liu Wan.
Liu Wan tersenyum. "Tidak apa-apa, Saudara Kwe!
Biarlah, aku masih mempunyai bekal yang cukup."
Demikianlah, setelah membayar sewa kamar beserta kerugian yang diderita oleh
pemilik rumah penginapan itu, mereka pergi meninggalkan tempat tersebut. Seperti
rencana mereka semula, mereka langsung menuju ke markas Tiat-tung Kai-pang di
kota itu. Ku Jing San yang sekarang buntung sebelah kakinya itu terpaksa
mempergunaan tongkat seadanya untuk menopang tubuhnya. Meskipun sangat sedih,
tetapi pemuda itu tetap tegar menghadapi penderitaannya.
Markas Tiat-tung Kai-pang di kota itu menempati bekas bangunan kuil tua yang
sudah rusak dan tak terpakai lagi.
Halamannya yang amat luas itu penuh ditumbuhi rumput dan alang-alang tinggi,
sementara bangunan gedung dan tembok pagarnya sudah banyak yang pecah dan
runtuh. Hanya bagian pendapa dan ruang dalam yang masih agak utuh, meskipun
gentengnya juga sudah banyak yang bocor di sana-sini.
Bangunan kuil itu berada jauh di pinggiran kota, dan terpisah dengan
perkampungan penduduk, sehingga kedatangan Kwe Tek Hun beserta kawan-kawannya
itu sama sekali tidak menarik perhatian orang. Justru orang-orang Tiat-tung Kai-
pang sendiri yang menjadi kaget akan kedatangan mereka.
433 Beberapa pengemis yang berkumpul di pintu gerbang kuil itu segera memberi tanda
dengan suitan mulut kepada teman-temannya di dalam gedung.
Kwe Tek Hun terpaksa berkali-kali mengangguk setiap melewati gerombolan pengemis
yang sedang duduk-duduk atau beristirahat di halaman kuil yang luas itu. Banyak
di antara mereka sedang mengobati lukanya akibat pertempuran di kuil Pek-hok-bio
semalam. "Ah, Kwe Siau-hiap rupanya...." beberapa orang di antaranya menyapa begitu
mengenal Kwe Tek Hun dan Ku Jing San. Namun banyak juga di antara mereka yang
kaget melihat kaki Ku Jing San yang buntung itu.
Kwe Tek Hun membawa rombongannya ke atas pendapa, dan seorang pengemis tua yang
tampaknya paling berpengaruh di antara para pengemis yang bertebaran di dalam
ruangan yang luas itu segera menyambut kedatangannya.
"Oh, Kwe Siau-hiap sudah kembali. Apakah Kwe Siau-hiap akan langsung menemui Hu-
pang-cu?" pengemis tua itu bertanya.
Kwe Tek Hun memberi hormat kepada pengemis tua itu. "Terima kasih, Pek-bi-kai
(Pengemis Beralis Putih). Aku memang bermaksud menemui kau dan Jeng-bin Lo-kai
sekalian kalau boleh...." katanya merendah.
"Ah, jangan sungkan-sungkan! Marilah ke dalam!
Hu-pangcu berada di belakang. Hei..." Apa yang 434
terjadi dengan Ku Siau-hiap?" Pengemis tua yang disebut Pek-bi-kai itu mendadak
kaget menyaksikan kaki Ku Jing San.
"Biarlah nanti kami ceritakan di depan Jeng-bin Lokai sekalian." Kwe Tek Hun
menjawab cepat. Jeng-bin Lo-kai berusia di atas enam puluh tahun, namun badannya masih segar dan
sehat. Rambutnya yang putih seperti perak itu digelung ke atas dan diikat dengan
tali kain berwarna putih pula.
Pakaiannya terbuat dari kain tenun kasar dengan dua buah tambalan di kedua
sikunya. Orang tua itu sedang menikmati minuman teh hangat dari potongan bambu yang
dibentuk seperti cangkir, ketika Pek-bi-kai datang melapor sambil membawa
rombongan Kwe Tek Hun. "Hu-pangcu, Kwe Siau-hiap, ingin berjumpa dengan engkau!" Pek-bi-kai melapor
tanpa basa-basi, kemudian juga ikut menenggak teh dari potongan bambu tadi tanpa
permisi. Tio Ciu In mengernyitkan dahinya menyaksikan tata cara atau kelakuan yang amat
bebas di antara kaum pengemis itu. Diam-diam gadis ayu itu menjadi khawatir
juga, jangan-jangan mereka disuruh minum pula dari potongan bambu itu.
"Oh, Kwe Siau-hiap rupanya. Mari silakan duduk...!" Jeng-bin Lo-kai menyambut
kedatangan mereka. Demikianlah setelah memperkenalkan Liu Wan dan Tio Ciu In, Kwe Tek Hun lalu
bercerita tentang 435 musibah yang baru saja terjadi di rumah penginapan tadi. Selain itu Kwe Tek Hun
juga bercerita pula tentang keinginan Tio Ciu In untuk menemukan adiknya yang
hilang. Ternyata Jeng-bin Lo-kai amat kaget mendengar kedatangan Mo Goat di kota itu,
bahkan berkelahi dengan rombongan Kwe Tek Hun.
"Baru saja aku menerima laporan tentang sepak terjang mereka di Ciu-siang, Wu-an
dan An-king, sekarang justru sudah berada di sini. Hmmh, di manakah mereka itu
sekarang?" "Entahlah, Hu-pangcu. Mungkin mereka juga belum meninggalkan kota ini. Siapakah
mereka itu sebenarnya" Apa yang telah mereka lakukan di kota Ciu-siang, Wu-an
dan An-king?" Jeng-bin Lo-kai berdiri dari tempat duduknya.
"Pek-bi-kai! Tolong kau kirim beberapa orang anak buahmu ke kota untuk mencari
khabar tentang orang-orang Hun itu!" perintahnya kepada Pek-bi-kai.
Sekali lagi Pek-bi-kai meraih potongan bambu tempat air teh itu dan menenggaknya
habis, kemudian tanpa berbicara apa-apa ia beranjak pergi meninggalkan ruangan
itu. "Orang-orang Hun" Siapakah yang kau maksudkan, Hu-pang-cu?" Kwe Tek Hun berseru
kaget. "Ketahuilah, Kwe Siau-hiap, gadis kejam itu adalah puteri Mo Tan, raja dari suku
Hun di luar Tembok Besar. Gadis itu datang ke Tiong-goan bersama beberapa orang
pasukan pilihan Ayahnya, dengan 436
tujuan yang belum diketahui. Tapi yang terang mereka telah membunuhi para
pemenang perlombaan 'Mengangkat Arca' di kota-kota yang kusebutkan tadi.
Langsung di atas panggung-panggung perlombaan tersebut diadakan!"
"Benar-benar keji! Apa sebenarnya yang mereka kehendaki dengan membunuhi orang-
orang yang tak berdosa seperti itu" Apakah karena mereka sangat membenci orang-
orang Han, dan ingin membasmi pemuda-pemudanya yang terbaik?" Liu Wan berseru
penasaran. "Entahlah, Liu Siau-hiap. Tapi khabarnya para pembesar kota itu telah
mengirimkan utusan untuk melapor ke kota raja. Kita nantikan saja
perkembangannya." Mereka lalu berbicara tentang suku bangsa Hun dan rajanya yang bernama Mo Tan,
yang sejak Kaisar Liu Pang dulu selalu membuat rusuh dan kekacauan di daerah
Tionggoan. Mo Tan yang sekarang sudah semakin tua itu tampaknya sudah enggan
untuk melompati tembok Besar sendiri, sehingga kini mengirim putrinya untuk
mewakilinya. Sejak dulu suku bangsa Hun memang bermusuhan dengan orang-orang
Han. Beberapa saat kemudian Pek-bi-kai telah datang kembali ke ruangan itu.
Wajahnya tampak kesal dan cemas.
437 "Hmmh, bagaimana Pek-bi-kai" Apakah ada laporan yang masuk lagi?" Jeng-bin Lo-
kai cepat menanyainya. "Wah, gawat... Hu-pangcu! Pemuda-pemuda Hang-ciu yang memenangkan perlombaan
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengangkat arca" kemarin ditemukan tewas semua di pantai dekat perkampungan Ui-
thianrcung!" Pek-bi-kai melapor.
Lalu katanya lagi sambil melirik kepada Liu Wan dan Tio Ciu In. "Dan... salah
seorang anggota kita ada yang melihat seorang gadis cantik berbaju merah
berkelahi dengan orang-orang Hek-to-pai di perkampungan mereka kemarin sore."
"Berkelahi dengan orang-orang Hek-to-pai?" Liu Wan bergumam seraya mengawasi Tio
Ciu In. "Oh!" gadis ayu itu berdesah pucat. "Di manakah perkampungan Hek-to-pai itu"
Jangan-jangan...?" Bagaimanapun juga Tio Ciu In menyadari bahwa kepandaian adiknya tidak terpaut
banyak dengan dirinya. Dan sekarang setelah mengetahui betapa banyaknya orang-
orang berilmu tinggi di dunia ini, otomatis hatinya menjadi khawatir terhadap
keselamatan adiknya yang suka bertindak sembrono itu.
"Perkumpulan Hek-to-pai tidak terlalu jauh dari kota ini, Nona Tio. Di tepi
jalan yang menuju ke perkampungan Ui-thian-cung, kira-kira dua lie sebelum
pantai." Kwe Tek Hun memberi keterangan.
Tiba-tiba Tio Ciu In berdiri. Air mukanya tampak semakin gelisah dan cemas.
438 "Terima kasih atas keterangan Locianpwe. Aku akan pergi ke sana." Gadis ayu itu
menjura kepada Jeng-bin Lo-kai dan Pek-bin-kai, kemudian berlari ke luar
meninggalkan tempat itu. Tentu saja Liu Wan menjadi kaget dan khawatir.
Khawatir akart keselamatan gadis ayu itu. Apalagi tempat yang hendak ditujunya
itu dekat sekali atau satu jalan dengan tempat pembantaian para pemenang
perlombaan itu. Siapa tahu pelaku pembantaian tersebut memang benar rombongan Mo
Goat, dan sekarang masih berkeliaran di daerah itu"
"Maaf, Lo-kai...!" Pemuda itu dengan tergesa-gesa meminta diri kepada Jeng-bin
Lo-kai dan Pek-bi-kai lalu berlari mengejar Tio Ciu In.
"Saudara Liu, tunggu...!" Kwe Tek Hun berseru memanggil.
Pemuda sakti dari Pulau Meng-to itu juga memohon diri kepada Jeng-bin Lo-kai.
"Suheng, aku ikut!" Song Li Cu tak mau ketinggalan.
"Jangan...! Kau tunggu saja di sini bersama Ku Jing San! Aku tidak akan lama!"
Kwe Tek Hun melarang. "Tapi...?" Song Li Cu cemberut.
"Sudahlah! Kalian tetap di sini saja!" Kwe Tek Hun menggeram, kemudian dengan
Pek-in Ginkangnya yang tinggi badannya melesat bagaikan peluru melintasi pendapa
tersebut. Jeng-bin Lo-kai dan Pek-bi-kai tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
439 "Bukan main...! Benar-benar tidak berbeda dengan ayahnya!"
Matahari telah berada tepat di atas kepala, namun karena awan tebal menutupi
hampir seluruh udara di atas kota itu, maka panasnya tidak sampai membakar bumi.
Akan tetapi dengan demikian justru hawanya menjadi gerah bukan main.
Tio Ciu In sengaja berputar menyusup di pinggiran kota, agar langkahnya yang
cepat dan kadang kala juga berlari itu tidak menarik perhatian orang.
"Ciu-moi tunggu...!"
Gadis ayu itu menoleh dan hatinya menjadi lega begitu melihat kedatangan Liu
Wan. Namun gadis itu terpaksa mengerutkan alisnya ketika menyaksikan Kwe Tek Hun
juga ikut berlari di belakang pemuda itu.
"Ciu-moi...! Tenangkanlah dulu perasaanmu! Kau jangan bertindak gegabah dan
sembrono memasuki perkampungan Hek-to-pai itu! Tempat itu sangat berbahaya!
Ketuanya memiliki ilmu golok beracun yang cukup disegani di daerah pantai timut
ini!" "Apa yang dikatakan oleh Saudara Liu itu memang benar, Nona Tio. Tapi kalau kau
memang berkeras untuk memasuki perkampungan itu, biarlah aku dan Saudara Liu
menemanimu. Kita lihat saja, apakah adikmu di sana."
Tio Ciu In berhenti melangkah dan memandangi dua pemuda yang sama-sama gagah dan
tampan itu. Sejenak hatinya seperti memperbandingkannya. Liu 440
Wan berperangai halus, pandai bicara dan serba bisa.
Sedangkan Kwe Tek Hun tampaknya berwatak lebih keras, jujur dan tidak suka
banyak bicara. Namun yang jelas keduanya sama-sama menariknya. Jauh lebih
menarik daripada Tan Sin Lun, suhengnya.
"Aaah...." Tio Ciu In berdesah lirih begitu teringat akan suhengnya.
"Eh, kenapa kau kelihatannya seperti ragu-ragu?"
Liu Wan bertanya heran. Tio Ciu In tersentak sadar. "Anu... emm, aku khawatir hanya akan merepotkan
kalian saja." jawab gadis ayu itu berbohong.
"Wah, mengapa masjh sungkan-sungkan pula"
Bukankah kita sudah saling bersahabat" Ayohlah, kita berangkat!" Kwe Tek Hun
menyela. Tio Ciu In tak bisa mengelak lagi. Mereka bertiga lalu berlari menerobos sawah
ladang ke arah timur. Kedua pemuda berilmu tinggi itu, terutama Kwe Tek Hun terpaksa harus
memperlambat langkah kakinya untuk mengimbangi gin-kang Tio Ciu In. Sampai di
jalan besar yang dilalui Tio Siau In kemarin terpaksa mereka mengendorkan
langkah. Jalan tersebut adalah jalan utama menuju ke pantai, sehingga banyak
sekali orang lalu lalang di jalan itu. Ketiganya tak ingin menarik perhatian
orang. -- o0d-w0o -- 441 JILID XI KAN tetapi setiap orang yang
berpapasan dengan mereka tetap saja
memandang dengan kagum, terutama
A kepada Tio Ciu In yang ayu itu. Untunglah mereka segera sampai di perkampungan
Hek-to-pai. "Hei, ramai benar suasananya! Sedang ada apa di kampung itu?" Liu Wan berseru
heran melihat kesibukan di pintu gerbang perkampungan Hek-to-pai itu.
Kampung besar yang dipakai sebagai markas perguruan Hek-to-pai itu memang lain
daripada biasanya. Sehari-harinya hanya ada dua atau tiga orang penjaga yang
berdiri di pintu gerbangnya, namun kali ini ternyata ada delapan atau sepuluh
orang di sana. Dan apabila di hari-hari biasa para anggotanya itu cuma
berpakaian seadanya, tapi kali ini mereka juga mengenakan pakaian kebesaran
mereka, yaitu hitam-hitam dan ikat kepala hitam pula.
Bahkan Liu Wan dan Kwe Tek Hun seperti mendengar suara tambur dan gendang
ditabuh di tengah-tengah kampung itu.
"Apakah mereka masih merayakan Tahun Baru?"
Tio Ciu In menduga-duga dengan perasaan masih cemas memikirkan adiknya.
442 "Mungkin benar. Tapi... hei, lihat Liu Wan berseru tertahan sambil menunjuk ke
arah bendera atau panji perguruan yang terpancang di samping pintu gerbang.
Kwe Tek Hun dan Tio Ciu In memandang pula dengan kening berkerut. Di samping
tiang bendera perguruan HekT-to-pai, ternyata terpancang pula bendera lain yang
lebih megah serta lebih besar ukurannya. Bendera berwarna hitam legam itu
bergambar burung rajawali berbulu emas sedang mencengkeram sebuah golok pusaka
yang berwarna kuning emas pula.
"Ah... itu bendera keluarga Tiau dari Hai-ong-hu di Lautan Timur sana. Ada
urusan apa mereka ke Sini?"
Kwe Tek Hun yang sudah terbiasa bertualang di laut itu berseru heran.
"Wah, sungguh gawat! Kalau sampai bajak laut itu berada di sini, semuanya bisa
berbahaya." Liu Wan menambahkan.
Tentu saja yang menjadi semakin cemas dan gelisah adalah Tio Ciu In. Dengan
wajah pucat gadis ayu itu mengawasi Liu Wan dan Kwe Tek Hun berganti-ganti.
"Siapa keluarga Tiau itu" Mengapa kalian tampaknya sangat mengkhawatirkan
mereka?" Liu Wan menghela napas panjang, lalu dengan sangat hati-hati agar tidak semakin
membuat cemas perasaan Tio Ciu In ia menerangkan. "Keluarga Tiau adalah penguasa
bajak laut terbesar di daerah Lautan Timur. Nama mereka amat tersohor dari dulu,
karena 443 selain memiliki kekuatan yang sangat besar mereka juga berkepandaian luar biasa
tinggi. Keluarga itu berdiam di sebuah pulau kecil yang mereka sulap menjadi
sebuah istana yang dikelilingi benteng kuat seperti istana raja. Mereka menyebut
tempat itu Hai-ong-hu (Istana Raja Laut). Mereka mempergunakan panji atau
bendera seperti yang berkibar di samping pintu gerbang itu."
"Jadi mereka itu bajak laut?" Tak terduga Tio Ciu In berseru geram. Gadis ayu
itu teringat akan nasib keluarganya yang musnah karena serangan para bajak laut.
"Ciu-moi...?" "Marilah! Kalau begitu kita hadapi mereka sekalian! Aku akan mengadu jiwa dengan
mereka bila mereka benar-benar mencelakai adikku!"
Lalu tanpa menanti reaksi teman-temannya lagi Tio Ciu In berlari menuju ke
perkampungan Hek-to-pai. Liu Wan hanya bisa saling pandang saja dengan Kwe Tek Hun. Keduanya terpaksa
berlari mengikuti gadis ayu itu.
"Berhenti...!" Para pengawal pintu gerbang itu menghentikan Tio Ciu In. Namun
semuanya segera cengar-cengir melihat kecantikan gadis ayu itu.
Tetapi mereka cepat pula bersiaga kembali begitu menyaksikan Liu Wan dan Kwe Tek
Hun! "Kau mau ke mana, Nona?" salah seorang dari penjaga itu bertanya.
444 Tio Ciu In mencoba untuk meredakan perasaannya dahulu sebelum menjawab.
"Aku cuma ingin bertanya, apakah kemarin ada seorang gadis muda berpakaian merah
ke sini?" "Nona maksudkan gadis galak yang membawa sepasang pedang pendek di balik lengan
bajunya?" "Benar! Jadi dia berada di sini?" Tio Ciu In berteriak tinggi penuh harap.
"Lalu... di mana dia sekarang?"
Tak terduga para penjaga itu justru menebar dalam posisi mengurung rombongan Tio
Ciu In. Wajah mereka yang semula cengar-cengir, mendadak berubah kaku
penuh/kewaspadaan. Bahkan pimpinan mereka segera memberi perintah kepada salah
seorang di antara mereka untuk melapor ke dalam.
"Nona siapa..." Apakah hubungan Nona dengan gadis itu" Apakah saudara
seperguruan atau keluarganya?" pimpinan penjaga itu menggeram dengan suara tak
bersahabat. Otomatis Tio Ciu In, dan juga Liu Wan serta Kwe Tek Hun menjadi curiga pula.
Tentu ada apa-apa di antara Tio Siau In dengan perguruan itu sehingga mereka
bersikap seperti itu. Oleh karena itu baik Tio Ciu In maupun Liu Wan dan Kwe Tek
Hun segera bersiap siaga pula menghadapi segala kemungkinan.
"Aku adalah Kakak kandung gadis itu. Mengapa..."
Di mana dia sekarang?"
Para penjaga itu saling pandang dengan wajah kaget. Namun di lain saat wajah
mereka segera 445 berubah pula menjadi keruh dan geram. Serentak mereka menghunus golok yang
terselip di pinggang masing-masing.
"Bagus! Tampaknya kau ingin menggantikan adikmu yang kurang ajar itu untuk
menerima hukuman! Ayoh, kawan! Ringkus gadis ini!"
Pimpinan penjaga itu berseru memberi perintah kepada teman-temannya.
Tanpa diperintah untuk yang ke dua kalinya para penjaga itu segera berloncat an
sambil mengayunkan golok mereka ke tubuh Tio Ciu In. Mereka tidak merasa sayang
atau tertarik lagi melihat kecantikan Tio Ciu In. Pengalaman menghadapi Tio Siau
In kemarin, yang mengakibatkan beberapa orang teman mereka terluka, bahkan ketua
mereka juga, membuat mereka lebih berhati-hati menghadapi lawan.
Perubahan keadaan yang sangat cepat itu tak lepas dari pengamatan Liu Wan dan
Kwe Tek Hun. Hanya saja Liu Wan yang berpenampilan tenang dan sabar itu tidak
segera bertindak untuk membantu Tio Ciu In.
Apalagi pemuda itu juga sudah dapat menilai kemampuan Tio Ciu In. Kalau cuma
para penjaga itu yang maju, Tio Ciu In bisa menghadapi mereka sendirian.
Tapi berbeda dengan Kwe Tek Hun. Pendekar muda dari Pulau Meng-to yang telah
terbiasa malang melintang di dunia kang-ouw untuk melindungi kaum lemah itu
cepat menerjang maju pula untuk melindungi Tio Ciu In. Bukannya ia tak percaya
akan 446 kemampuan Tio Ciu In, tapi ia hanya ingin menghindarkan gadis itu dari bentrokan
langsung dengan laki-laki kasar tersebut.
Traaang! Traaaang! Trangg...!
Golok-golok hitam yang datang menyambar ke arah tubuh Tio Ciu In itu tiba-tiba
terpental balik dan hampir mengenai pemiliknya sendiri ketika saling berbenturan
dengan pedang Kwe Tek Hun. Untunglah para penjaga itu sejak semula sudah
berhati-hati, sehingga masing-masing cepat bisa menguasai senjatanya sendiri.
"Nona Tio, kau beristirahatlah! Biarlah aku saja yang mewakilimu menghadapi
manusia-manusia kasar ini!" Kwe Tek Hun berkata tegas.
"Terima kasih, Kwe Siau-hiap! Aku akan masuk ke dalam untuk mencari Adikku."
Tanpa menanti jawaban lagi Tio Ciu In lalu melesat ke dalam. Para penjaga itu
mencoba merintangi, namun dengan tangkas Kwe Tek Hun menyerang mereka. Terpaksa
mereka melepaskan Tio Ciu In untuk menghadapi pendekar muda dari Pulau Meng-to
itu. "Ciu-moi, hati-hati...!" Liu Wan berseru seraya melompat ke depan mengejar gadis
itu. Tapi baru saja Tio Ciu In dan Liu Wan melompat ke atas lantai pendapa utama yang
ada di tengah-tengah halaman depan itu, mereka telah disongsong oleh It Kwan dan
murid-muridnya. Luka di leher ketua Hek-to-pai itu telah dibalut dengan rapi.
Begitu 447 pula dengan luka di punggung tangannya. Bekas-bekas luka yang diakibatkan oleh
pedang pendek Tio Siau In kemarin tampaknya telah diobati dengan baik.
"Tangkap mereka...!" begitu berhadapan muka orang tua itu berteriak memberi
perintah kepada anak buahnya.
"Tahaaaaan! Orang tua, kau siapa?" namun dengan seruan lantang, tidak kalah
kerasnya dengan suara It Kwan, Tio Ciu In menghentikan langkah mereka.
"Aku It Kwan, ketua partai persilatan di sini! Nah, mau apa kau mencari Adikmu
ke sini" Mau menggantikan Adikmu untuk menerima hukumanku, heh?"
"Bagus...! Kebetulan sekali kalau begitu, karena aku memang ingin bertemu dengan
engkau! Nah, lekas kau katakan, di mana Adikku" Jawab!"
Ternyata Tio Ciu In yang biasanya lembut dan halus budi bahasanya itu kini tidak
mau berbasa-basi lagi. Kekhawatiran terhadap Siau In membuatnya tegang dan kaku.
"Kurang ajar...! Ternyata sifatmu juga tidak jauh berbeda dengan Adikmu,
Kuntilanak Kecil itu! Huh, cepat... tangkap perempuan ini!" It Kwan menjerit
marah. Rasa malu dan terhina karena dilukai Siau In kemarin membuat ketua Hek-
to-pai ini dendam sekali.
Belasan anggota Hek-to-pai yang menyertai ketuanya itu segera berloncatan
menyerang Tio Ciu In dan Liu Wan. Golok mereka yang hitam mengkilat itu
berkelebatan seperti tangan-tangan hantu yang berebut 448
mangsa. Sebagian menerjang ke tubuh Tio Ciu In, sementara yang sebagian lagi
menyambar ke arah Liu Wan. Sedangkan It Kwan cepat-cepat menghunus goloknya pula
untuk setiap saat membantu anak buahnya.
"Hmm... siapakah mereka, It Kwan?" tiba-tiba dari ruang dalam muncul seorang
lelaki tua berpakaian mewah bertanya kepada It Kwan. Dia keluar dikawal oleh
empat orang laki-laki kekar berpakaian hitam-hitam.
It Kwan menoleh. Bibirnya berusaha tersenyum.
"Perempuan ini mengaku sebagai kakak kandung dari gadis yang melukai aku
kemarin, Cong Su. Aku akan menangkap dia sebagai ganti adiknya yang terlepas
akibat kebodohan Tong Tai-su."
Lelaki berpakaian mewah itu mencibirkan bibirnya yang ditumbuhi kumis seolah
olah amat meremehkan kemampuan Tio Ciu In dan Liu Wan. Sambil melangkah
mendekati It Kwan ia menggerutu. "Kau ini masih saja suka bermain-main dengan
anak-anak." Wajah It Kwan menjadi merah. Matanya
memancarkan sinar tak senang. Namun demikian ia tak berbuat apa-apa. Tampaknya
ia segan terhadap tamunya itu. Ia cuma menarik napas panjang seraya menatap
kembali ke arena perkelahian.
Begitu mendengar adiknya sudah pergi dan tidak ada di tempat itu lagi,
sebenarnya Tio Ciu In sudah tidak ingin berkelahi lagi. Tapi untuk lebih
meyakinkan hatinya bahwa Siau In memang benar-449
benar sudah tidak ada lagi di tempat itu, Tio Ciu In ingin menangkap salah
seorang anggauta Hek-to-pai itu untuk dikorek keterangannya. Dan tampaknya Liu
Wan juga mempunyai maksud yang sama.
"Ciu-moi...! Hadapi mereka! Aku akan meringkus ketuanya itu! Berhati-
hatilah ...!" pemuda itu berbisik ke telinga Tio Ciu In.
Tio Ciu In tersenyum. "Kaulah yang harus berhati-hati. Sebagai seorang ketua
partai persilatan tentunya kepandaian silatnya sangat tinggi."
Demikianlah, dengan ginkangnya yang tinggi Liu Wan berkelit ke sana ke mari
untuk meloloskan diri dari kurungan para pengeroyoknya. Sabetan-sabetan golok
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang datang bagaikan air hujan itu sama sekali tak mampu menyentuh tubuhnya.
Bahkan beberapa kali ia mampu membalas dan menjatuhkan lawannya.
"Wah, pemuda itu tampaknya memiliki ilmu juga.
Kau harus berhati-hati menghadapinya." laki-laki berpakaian mewah itu berkata
kepada It Kwan. "Tentu saja, Cong Su. Kau tak perlu ikuit campur dalam masalah ini." Ketua Hek-
to-pai itu mendengus kesal.
"Ah, jangan begitu.... Kita sudah lama saling mengenal, meskipun kita tidak
bersahabat. Tiada jeleknya kalau sekali waktu aku ikut membantu kesulitanmu."
"Siapa yang berada di dalam kesulitan?" akhirnya It Kwan menjerit gusar. Matanya
mendelik, siap berkelahi melawan tamunya.
450 Akan tetapi dengan tertawa perlahan Cong Su mengerak-gerakkan tangannya.
"Sabar...! Sabar, It Kwan... sabaaaar! Aku bermaksud baik. Kenapa kau cepat
sekali tersinggung hari ini?"
It Kwan menggeram. Dengan sekuat tenaga Ketua Hek-to-pai itu mengekang
kemarahannya. "Habis kata-katamu juga sangat memandang rendah kepadaku! Jangan dikira aku
takut kepadamu! Kalau selama ini aku selalu menghormati kamu, hal itu karena kau
adalah orang kepercayaan Hai-ong-hu!
Aku tidak ingin berselisih dengan mereka...."
Gong Su tertawa keras-keras. "Haaha-ha, baiklah...!
Sekarang kau hadapi saja lawanmu itu! Lihat! Pemuda itu lolos dari kepungan anak
buahmu!" It Kwan terperanjat. Ia melihat Liu Wan berlari menghampirinya.
"Cong Su, pergilah! Pulanglah sekalian ke Hai-ong-hu! Bawa tukang masak kami
seperti yang diminta oleh rajamu! Tapi cepat kau kembalikan mereka apabila tugas
mereka telah selesai!"
"Terima kasih. Tapi aku ingin menyaksikan keramaian ini dahulu. Hei, pengawal!
Jemput lebih dahulu tukang masak itu ke sini! Kita segera kembali ke Hai-ong-
hu!" Cong Su berseru kepada pengawalnya.
"Kau memang selalu ingin mencampuri urusanku!"
It Kwan menggeram dengan mata mendelik.
451 Tapi ketua Hek-to-pai itu tak sempat untuk berdebat lagi. Liu Wan yang sudah
lepas dari kepungan itu keburu menyerangnya. Pemuda itu mengayunkan sisi telapak
tangannya sambil melompat ke arahnya. Terdengar desis angin tajam bagaikan suara
anak panah yang lepas dari busurnya. Siiiiiing!
It Kwan terperangah. Ia segera sadar sedang menghadapi seorang lawan yang
memiliki lwe-kang serta ilmu pukulan yang tinggi. Dan ia tidak ingin mendapat
malu lagi. Goloknya segera bergetar di depan dadanya, siap untuk menyongsong
serangan Liu Wan. Whuuuus! Golok hitam itu terayun keras ke depan, seolah-olah hendak menjemput
kedatangan telapak tangan Liu Wan, sementara kedua kaki It Kwan siap untuk
bergeser ke kiri apabila lawannya menarik kembali serangannya.
Liu Wan kagum juga melihat kesigapan ketua Hek-to-pai. Tapi ia tak mau menarik
kembali tangannya yang sudah terlanjur terulur ke depan. Apalagi dengan
ketajaman penglihatannya yang sudah terlatih baik, ia merasa ada sesuatu yang
dipersiapkan oleh lawannya apabila ia menarik tangannya kembali.
Oleh karena itu Liu Wan hanya memutar lengannya setengah lingkaran ke kanan
untuk menghindari tabasan golok, kemudian mengubah jari-jari tangannya yang
merapat itu menjadi sebuah cengkeraman ke arah pergelangan It Kwan yang 452
memegang golok. Gerakan tangannya yang cepat itu diikuti dengan gerakan tubuhnya
ke samping. Sekali lagi It Kwan terkejut menyaksikan ilmu silat lawannya. Tentu saja ia tak
ingin pergelangan tangannya tertangkap. Mati-matian ia membuang badannya ke
kanan untuk menghindari tangkapan itu, sambil kaki kirinya menjejak ke depan
untuk memaksa lawan mundur kembali.
Duuuk! Tumit sepatu It Kwan membentur ujung jari Liu Wan!
Langkah Liu Wan bagaikan tertahan oleh tembok yang sangat kuat, namun sebaliknya
kuda-kuda It Kwan yang goyah itu tak mampu lagi menopang berat tubuhnya! Sambil
menyeringai kesakitan Ketua Hek-to-pai itu terdorong jatuh ke atas lantai. Tapi
dengan cepat pula orang tua itu bangkit kembali.
Cong Su bertepuk tangan menyaksikan gebrakan pertama yang amat menegangkan itu.
Dari gebrakan tersebut sudah dapat dinilai bahwa tenaga dalam Liu Wan masih jauh
lebih baik dibandingkan tenaga dalam It Kwan. Sekarang tinggal ilmu golok It
Kwan, apakah bisa menutup kekurangannya tersebut atau tidak.
"Menyerah sajalah kau agar aku tidak perlu menyakitimu!" Liu Wan mengejek agar
lawannya menjadi semakin panas dan penasaran.
"Persetan! Akan kukuliti kepalamu dan kucincang tubuhmu, keparat!" It Kwan
berteriak berang. Goloknya berputar-putar di tangan kanannya.
453 Ketua Hek-to-pai itu cepat menerjang kembali.
Ilmu goloknya yang ganas dan keji itu segera mengurung Liu Wan.
Sinarnya yang hitam mengkilat itu berkelebatan bagaikan hendak mencacah-cacah tubuh lawannya. Suaranya mengaung keras seperti suara ribuan lebah yang terbang mengelilingi Liu Wan. Liu Wan menjadi repot juga melayani kurungan golok yang sangat beracun itu. Salah langkah sedikit saja mata golok yang tajam itu akan menyayat kulitnya atau
membelah tubuhnya, dan hal itu berarti kematian baginya.
"Kalau hanya mengandalkan ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh saja kukira
harus membutuhkan waktu yang lama untuk menundukkan goloknya. Tapi kalau harus
mempergunakan Thian-lui-khong-ciang, rasanya juga masih terlalu pagi. Ah, lebih
baik aku 454 mempergunakan pisau saja...." pemuda itu berpikir sambil tetap melayani serangan
It Kwan. Sementara itu melihat kawannya dapat mengurung Liu Wan, Cong Su bertepuk tangan
dengan gembira. Berkali-kali orang tua itu memuji ilmu golok It Kwan yang cepat dan ganas luar
biasa. "Bagus! Bagus! Wah, ternyata Ilmu Golokmu benar-benar hebat sekali! Aku sungguh
tidak menyangkanya! Sayang tenagamu terlalu lemah...!"
Cong Su berteriak-teriak gembira.
"Diam kau, Cacing Tua!" It Kwan berteriak pula dengan kerasnya.
Liu Wan tertawa perlahan. "Kau benar, ...Orang Tua! Ilmu Golok orang ini memang
hebat sekali. Sayang kurang terdukung oleh tenaga dalamnya, sehingga kehebatannya menjadi
hambar dan kurang berbobot! Hei, bagaimana kalau kau membantunya agar
pertarungan ini menjadi lebih mengasyikkan lagi?"
Tiba-tiba senyum di bibir Cong Su menghilang.
Wajah tua yang masih kelimis itu berubah menjadi keruh.
"Bangsat kecil! Kau menantang Hai-go Cong Su (Si Buaya Laut)...?" orang tua itu
menjerit marah. "Eh, memangnya kenapa" Bukankah orang ini kawanmu" Apa salahnya kalau kalian
saling menolong" Orang ini terang tidak akan menang melawanku. Begitu pula kalau
kau nanti maju sendirian. Bukankah akan lebih baik kalau kau maju 455
bersama mengeroyok aku, sehingga kalian saling tolong menolong bila dalam
kesulitan?" "Apa katamu..." Kau masih waras atau sudah gila, heh?" Cong Su berteriak tinggi.
Liu Wan tertawa panjang. Dia tak menjawab umpatan itu. Dia sedang sibuk melayani
golok It Kwan. Pisau yang kini tergenggam di tangannya benar-benar dahsyat.
Pisau yang tak seberapa panjang itu ternyata mampu menahan golok lawannya yang
besar dan berat. "Ayolah...! Kau tak perlu malu-malu untuk mengeroyokku! Majulah!" tantangnya
kembali kepada Hai-go Cong Su.
"Kau...?" Hai-go Cong Su hendak mengumpat lagi, tapi terhenti karena empat orang
pengawalnya telah kembali membawa lima orang tukang masak yang tadi
dikehendakinya. "Inilah mereka, Cong Tou-bak...." salah seorang dari pengawal itu melapor.
"Suruh mereka menanti di luar! Sekarang kalian bantu aku dulu membungkam Si
Mulut Sombong itu!" Cong Su berseru sambil menunjuk ke arah Liu Wan.
"Baik, Tou-bak!"
Tanpa basa-basi lagi keempat pengawal Cong Su itu segera menyerang Liu Wan.
Kebetulan keempat-empatnya juga bersenjatakan golok, sehingga berlima dengan It
Kwan mereka mengeroyok dengan golok.
Sesuai dengan perawakan mereka yang gempal, cara mereka bersilatpun ternyata
juga kasar dan keras. 456 Apalagi mereka memang anggota bajak laut yang sudah terbiasa berlaku kasar dan
keras. Namun untuk melawan Liu Wan kepandaian mereka masih terlalu jauh. Kepandaian
mereka berempat tidak lebih baik daripada anak murid It Kwan sendiri. Maka
tidaklah mengherankan bila sebentar saja mereka telah menjadi bulan-bulanan
pisau Liu Wan. Pemuda itu tidak bermaksud membunuh mereka. Pemuda itu hanya,
menggores saja beberapa kali di tubuh empat orang pengawal itu.
Namun semuanya itu telah membuat mereka mundur ketakutan.
"Wah, kalian memang cuma gentong nasi yang tak berguna! Minggir...!" Cong Su
marah-marah, kemudian meloncat ke dalam arena menggantikan mereka. Tangannya
memegang sebuah ruyung besi yang diberi gerigi tajam di bagian ujungnya.
"Nah, begitu! Akhirnya kau terjun juga ke arena membantu kawanmu ini...!" Liu
Wan mengejek. "Bangsat keparat, diam kau! Lihat ruyungku...!"
Tapi kedatangan Cong Su sungguh tidak menyenangkan hati It Kwan. Meskipun dia
sendiri merasa kewalahan menghadapi Liu Wan, tapi ia benar-benar tidak
menghendaki bantuan orang seperti Cong Su itu.
"Kaulah orangnya yang mestinya diam dan tak ikut campur dengan urusan orang,
Cong Su! Cepat kau pergi dari sini! Bukankah tugasmu hanya mengambil 457
tukang masak di sini?" Ketua Hek-to-pai itu membentak.
"Maaf It Kwan. Anak ini telah menghina dan menantangku, aku tidak boleh
mendiamkannya saja. Pantang bagi warga Hai-ong-hu untuk menolak tantangan lawan."
"Tapi... dia baru bertempur dengan aku. Apakah kau tidak bisa menunggu sampai
pertempuran ini selesai dahulu?"
"Wah, mana sempat aku menunggu lagi" Biarlah aku saja yang lebih dulu berkelahi
dengan dia! Kau minggirlah!"
Liu Wan benar-benar tak bisa menahan tawanya mendengar perdebatan kedua orang
itu. Sambil meloncat mundur pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hei... sebenarnya kalian berdua ini bersahabat atau bermusuhan" Kalau kalian
memang saling bermusuhan dan ingin berkelahi dahulu, yah...
baiklah, aku akan menunggu! Berkelahilah kalian!"
akhir nya Liu Wan berkata sambil menyeret sebuah kursi dan duduk bertopang kaki.
It Kwan dan Cong Su menjadi salah tingkah sekarang. Mereka saling berhadapan
dengan senjata masing-masing, tapi tentu saja tak seorang pun dari mereka yang
ingin menyerang yang lain. Mereka hanya saling memandang dengan wajah kikuk.
"Nah, nah, nah... akhirnya kalian menjadi bingung sendiri sekarang, hahahaha!
Makanya kalian tak perlu 458
bertengkar lagi! Bersatu sajalah kalian berdua untuk melawanku! Tidak usah malu-
malu...! He-hehe-hehehehe!" sekali lagi Liu Wan tertawa mengejek.
"Bedebah...!" It Kwan meraung, kemudian meloncat menyerang Liu Wan.
"Bangsat...!" Cong Su juga mengumpat dan menerkam pemuda itu.
Brraaaaak!!! Terdengar suara keras ketika kursi yang diduduki Liu Wan tadi
hancur berkeping-keping dihantam golok dan ruyung lawannya. Pemuda itu sendiri
telah lebih dahulu melesat pergi. Bahkan sebelum kedua lawannya itu menyadari
apa yang terjadi, Liu Wan ganti menyerang dengan pisaunya.
Singggg! Siiing! Pisau itu sekaligus menyambar pergelangan tagan Cong Su dan It
Kwan yang memegang senjata.
"Aaaaah....!" Baik It Kwan maupun Cong Su berusaha mati-matian untuk menyelamatkan tangannya,
namun tetap saja pisau itu menggores sedikit di lengan mereka masing-masing.
Untunglah mereka masih mampu mempertahankan senjata mereka.
Namun dengan demikian kedua orang itu menjadi semakin sadar bahwa pemuda yang
mereka hadapi itu benar-benar memiliki kepandaian di atas mereka.
Oleh karena itu tidak boleh tidak mereka berdua harus bersatu padu untuk
menghadapinya. Demikianlah mereka berdua lalu mengeroyok Liu Wan bersama-sama. Mereka menyerang
dan bertahan 459 bergantian, saling mengisi dan melindungi, sehingga membentuk sebuah kerja sama
yang cukup kuat untuk melayani ilmu silat Liu Wan yang tinggi.
"Nah, begitu...!" dalam kesibukannya Liu Wan masih bisa memuji kerja sama
lawannya. Namun bagi It Kwan dan Cong Su, pujian itu dirasakan sebagai sebuah ejekan yang
sangat menyakitkan hati. Terutama bagi It Kwan, yang selama dua hari ini selalu
dirundung kesialan. Sudah barongsainya dikalahkan orang, dia sendiri dikalahkan
dan dilukai seorang gadis kecil, dan kini malah dipermainkan serta dipecundangi
pula oleh seorang pemuda yang umurnya belum seberapa.
Maka sungguh tidak mengherankan bila ketua Hek-to-pai itu menjadi mata gelap,
mengamuk tanpa mempedulikan keselamatannya lagi. Golok beracunnya yang berwarna
hitam legam itu tampak berkilat-kilat memantulkan sinar, berkelebatan mengejar
tubuh Liu Wan, bagaikan seekor naga hitam yang berkelok-kelok di udara memburu
mustika. Dan kegarangan golok It Kwan itu menjadi semakin berbahaya karena dibantu oleh
permainan ruyung Hai-go Cong Su. Meskipun permainan ruyung tou-bak (kepala
pasukan bajak) itu masih terasa lugas dan kasar, tapi dasar dari ilmu ruyung itu
sendiri ternyata sangat baik dan berbahaya. Tak heran kalau orang tua itu
mendapat kepercayaan untuk memimpin satu pasukan bajak laut.
460 Untunglah Liu Wan memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Walaupun hanya melawan
dengan pisau, dan tidak mengeluarkan ilmu andalannya, namun pemuda yang telah
memperoleh julukan Bun-bu Siu-cai itu dapat melayani keganasan golok dan ruyung
lawannya. Malahan beberapa waktu kemudian, yaitu setelah bisa membaca permainan
ilmu silat lawan-lawannya, pemuda itu mulai bisa mendekte dan mendesak mereka.
Dengan kelebihan ginkang dan lwekangnya semua itu dapat dia lakukan dengan
mudah. Tetapi sebaliknya di arena pertempuran yang lain Tio Ciu In benar-benar harus
memeras keringat untuk melayani kerubutan anak murid Hek-to-pai. Beberapa orang
dari mereka memang telah dilumpuhkannya, akan tetapi kawan-kawan mereka yang
lain segera berdatangan pula ke tempat itu. Belasan anak murid Hek-to-pai
sekarang mengepung gadis itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jatuh satu datang tiga! Wah, kalau terus-
terusan begini aku bisa kehabisan napas nanti! Hmmm... ke mana Kwe Siau-hiap
tadi" Mengapa tidak lekas-lekas ke mari?" gadis itu berkata di dalam hati.
Tio Ciu In sama sekali tidak tahu bahwa Kwe Tek Hun sendiri ternyata juga sedang
mendapat kesulitan di pintu gerbang. Sebenarnya mudah saja bagi pendekar sakti
itu untuk melumpuhkan para penjaga yang merintanginya, kalau saja tidak ada
pihak ke tiga yang ikut campur. Namun karena mendadak ada pihak 461
lain yang kemudian ikut turun tangan mengganggu usahanya, maka niat untuk
melumpuhkan para penjaga pintu gerbang tersebut menjadi gagal. Bahkan pendekar
muda dari Pulau Meng-to itu justru berbalik menjadi repot dan menderita
kesulitan malah. Ketika Kwe Tek Hun ingin cepat-cepat
menyelesaikan perlawanan para penjaga itu, tiba-tiba di jalan besar lewat dua
orang penunggang kuda, lelaki dan perempuan. Kedua penunggang kuda itu segera
menghentikan kuda mereka begitu menyaksikan perkelahian tersebut. Bahkan mereka
lalu bergegas membelokkan kuda mereka untuk menonton.
Akan tetapi begitu melihat ilmu silat Kwe Tek Hun, kedua penunggang kuda itu
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelihatan amat tertarik. Mereka saling berbisik satu sama lain, kemudian yang lelaki segera memajukan
kudanya. "Berhenti...!" orang itu berseru pendek.
Kwe Tek Hun terperanjat, otomatis kakinya meloncat mundur. Namun kesempatan yang
terakhir kedua tangannya masih sempat membagi pukulan ke arah lawan-lawannya.
Bluuk! Bluuk! Bluuk! Empat orang penjaga yang masih tersisa segera
bergelimpangan kesakitan.
Kwe Tek Hun berdiri siap menghadapi dua orang pendatang baru yang belum dia
ketahui lawan atau kawan itu. Tapi diam-diam hatinya sedikit bergetar juga.
Suara orang itu tidak begitu keras, namun terdengar sangat nyaring dan
menyakitkan gendang 462 telinga, suatu tanda bahwa pemilik suara itu memiliki tenaga dalam yang hampir
sempurna. Kedua orang yang baru datang itu segera turun dari kudanya. Mereka seperti
sepasang suami isteri. Yang lelaki berusia kira-kira empat puluhan tahun,
sedangkan yang wanita sekitar dua tahun lebih muda.
Keduanya mengenakan pakaian seragam putih-putih, dengan pedang panjang
tergantung di masing-masing pinggang mereka. Selain ciri-ciri tersebut tiada
yang aneh atau menonjol pada diri mereka, kecuali satu, yaitu batang pedang
mereka melengkung seperti samurai pada bangsa Jepang.
"Anak muda, perkenalkanlah... aku bernama Swat Kim Po, dan wanita ini adalah
isteriku. Kami datang dari pulau-pulau di sebelah utara Laut Kuning. Ketika
lewat tadi kami amat terkesan oleh ilmu silatmu.
Langkah-langkah kakimu rasanya hampir sama atau mirip dengan langlah-langkah
ilmu silat perguruan kami. Eeemm... bolehkah kami berdua mengetahui nama
perguranmu" Dan... apakah nama ilmu yang kaupergunakan tadi?"
Kwe Tek Hun terdiam dan tak segera bisa menjawab. Orang asing itu berbicara
dengan nada halus serta sopan, tetapi pertanyaannya yang menyinggung ilmu silat
itu terasa sulit untuk dijawab.
"Tuan.... Namaku Kwe Tek Hun. Aku juga datang dari sebuah pulau di sebelah timur
daratan ini, dari Pulau Meng-to. Tentang ilmu langkahku tadi.......ehm...."
463 "Apakah ilmu langkahmu tadi bernama Ban-seng-po Lian-hoan pula?" tiba-tiba Swat
Kim Po menyela begitu melihat keragu-raguan Kwe Tek Hun.
Bukan main terkejutnya Kwe Tek Hun! Orang itu menyebut nama ilmu silatnya dengan
tepat! Dan orang itu mengatakan bahwa ilmu langkah milik keluarganya itu mirip
dengan ilmu mereka! "Benar..." Jadi ilmu langkahmu tadi juga bernama Ban-seng-po Lian-hoan...?"
Orang itu menjadi kaget pula. Ia berpaling kepada isterinya.
"Jadi... jadi Tuan berdua juga bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan...?" Kwe
Tek Hun juga balik berseru pula dengan ragu dan curiga.
Tentu saja Kwe Tek Hun menjadi curiga, karena selama ini ayahnya tak pernah
mengatakan bahwa ada orang lain selain ayahnya, dia sendiri, dan kakek gurunya
yang sudah meninggal, yang mempelajari Ban-seng-po Lian-hoan. Sedangkan Ku Jing
San dan Song Li Cu pun belum diperbolehkan
mempelajarinya. "Kau bertanya, apakah kami berdua bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan" Ah-
ah-ah, Anak muda... kau ini suka sekali bergurau tampaknya.
Ilmu itu justru merupakan salah satu ciri dari perguruan kami, bagaimana kami
tidak mahir mempergunakannya" Justru kamilah yang seharusnya bertanya kepadamu.
Darimana engkau atau Gurumu mempelajarinya" Ketahuilah, ilmu tersebut tidak
pernah diturunkan kepada orang lain selain warga 464
Pondok Pelangi. Itu pun tidak semua warga Pondok Pelangi bisa mempelajarinya
sampai ke tingkat yang tertinggi."
"Pondok Pelangi...?" Kwe Tek Hun mencoba mengingat-ingat kalau-kalau ayahnya
pernah menyebut tempat itu. "Hmmm, tidak... Ayah memang belum pernah bercerita
tentang pondok itu."
"Anak muda, tampaknya kau belajar ilmu silat dari Ayahmu sendiri. Siapakah nama
ayahmu?" Kwe Tek Hun menghela napas panjang. Rasa curiganya tadi kini berubah menjadi
rasa penasaran. Apalagi Swat Kim Po seakan-akan telah memojokkan dirinya sebagai orang yang tak
berhak memiliki Ban-seng-po Lian-hoan.
"Maaf, Tuan.... Ayahku adalah Keh-sim Tai-hiap Kwe Tiong Li dari Pulau Meng-to.
Beliau adalah satu-satunya pewaris Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan. Tuan jangan
bicara seenaknya sendiri, mengaku sebagai pemilik ilmu itu ...." akhirnya pemuda
itu berkata dingin. Swat Kim Po memandang isterinya yang sejak tadi belum pernah membuka suara.
Keningnya berkerut. Sementara bibirnya tampak tersenyum kecut. Dan wanita itu seolah tahu apa yang
diinginkan suaminya. Ia segera bergeser maju menghadapi Kwe Tek Hun.
"Anak muda, kelihatannya kau menyangsikan ucapan-ucapan suamiku. Sekarang begini
saja, kita saling mencoba ilmu kita masing-masing. Dan siapa yang kalah harus
tunduk dan menurut perintah yang 465
menang. Bagaimana...?" tiba-tiba wanita itu menantang.
"Nyonya, aku...?" Kwe Tek Hun menjadi salah tingkah.
"Hmmh, kau takut kepadaku?"
Wajah Kwe Tek Hun menjadi merah sampai ke telinganya. "Siapa takut kepada
kalian" Aku tidak pernah takut kepada siapa-siapa! Aku hanya tidak ingin
bertaruh apa-apa di dalam pertarungan ini!
Kalah, ya kalah! Menang, ya... menang! Tidak perlu harus tunduk atau menurut
perintah yang menang! Bagaimana kalau yang menang nanti memberi perintah yang bukan-bukan kepada yang
kalah?" katanya berapi-api. "Tapi... kami takkan memberi perintah yang bukan-bukan kepadamu paling-paling
kami hanya akan meminta agar kau membawa kami ke hadapan Ayahmu!" wanita itu
menukas cepat seakan-akan sudah yakin akan menjadi pemenangnya.
Tentu saja Kwe Tek Hun semakin menjadi berang.
"Marilah kita coba, Nyonya." geramnya tertahan.
Sementara itu para penjaga yang tadi dikalahkan oleh Kwe Tek Hun segera
menyingkir agak jauh untuk mengobati luka-luka mereka. Selain mengobati luka,
mereka juga ingin menonton pertarungan Kwe Tek Hun dengan wanita asing itu.
"Nah, Anak muda... lihat serangan!" wanita itu berseru serta menyerang lebih
dahulu ketika dilihatnya Kwe Tek Hun tidak mau mendahuluinya.
466 Sederhana saja serangan wanita itu, seakan-akan memang hanya ingin memancing
reaksi Kwe Tek Hun, sehingga pemuda itu pun hanya mengelak sedikit pula, asalkan
serangan tersebut tidak mengenai tubuhnya. Bahkan pemuda itu segera membalas
dengan pukulan sisi telapak tangannya, dalam jurus Kim-hong-san-bwe atau Burung
Hong Menebarkan Ekor. Sambil menggeliat dari samping pemuda itu mengayunkan sisi
telapak tangannya dari atas miring ke bawah, dan yang diserang adalah leher atau
punggung wanita itu. "Bagus...!" Wanita itu berseru nyaring. Lalu dengan cepat kakinya melangkah
pendek-pendek tiga kali, ke kanan dan ke kiri sambil meliukkan badan setengah
lingkaran ke muka dan ke belakang.
Tampaknya gerakan wanita itu amat sederhana sekali. Langkahnya pun hanya pendek-
pendek pula. Akan tetapi hasilnya sungguh mencengangkan. Hanya dengan tiga kali melangkah itu
ternyata dia bisa berputar mengelilingi Kwe Tek Hun, dan hanya dengan meliukkan
badan ke muka dan ke belakang itu ternyata juga dapat mengelakkan pukulan tangan
Kwe Tek Hun pula. Tak heran kalau para penjaga yang menonton pertempuran itu merasa takjub
melihatnya. Namun rasa heran dan takjub mereka belumlah sehebat rasa heran dan
takjub yang ada di dalam dada Kwe Tek Hun sendiri. Pemuda itu hampir-hampir tak
percaya apa yang dilihatnya, bahwa wanita itu benar-benar 467
menguasai Ban-seng-po Lian-hoan dengan baik. Apa yang baru saja dilakukan oleh
wanita itu adalah gerakan yang ke sepuluh dari Ban-seng-po Lian-hoan, yaitu
Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari.
Kwe Tek Hun semakin penasaran. Tapi ia tak bisa terlalu lama memikirkan
keajaiban itu, karena di lain saat wanita itu ganti menyerangnya kembali.
Terdengar suara mencicit tajam ketika jari tangan kanan wanita itu menusuk ke
arah tulang rusuknya. Pemuda itu seperti tersentak dari mimpinya.
Otomatis kakinya melangkah dengan gerakan Memindah Bintang Kejora ke Kutub
Utara, gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang ke lima belas. Dan seperti main sulap
saja tubuhnya yang tegap itu telah berpindah tempat di belakang lawannya.
"Bagus...!" sekali lagi wanita itu memuji.
Dan sebelum Kwe Tek Hun memanfaatkan
kedudukannya yang menguntungkan wanita itu cepat meluncurkan tubuhnya setombak
ke depan, lalu berputar setengah lingkaran dan melangkah mundur tiga tindak.
Gerakannya sangat cepat, manis dan lincah, sehingga Kwe Tek Hun yang amat
mengenal gerakan Menerobos Awan Mengejar bintang Jatuh tertegun dibuatnya.
Lagi-lagi keraguan Kwe Tek Hun tersebut dimanfaatkan oleh lawannya. Sambil
berseru lirih wanita itu kembali menyerang dengan jari-jari tangannya. Kini yang
dituju adalah jalan darah ping-468
tai-hiat di bawah pinggang kiri Kwe Tek Hun. Hawa panas seolah-olah menerpa
tubuh pemuda itu. Dengan tangkas Kwe Tek Hun menghindar. Tak terasa kakinya melangkah dalam Ban-
seng-po Lian-hoan yang ke empat, ya itu Bintang Kejora Meniti Pelangi. Kakinya
melangkah enam kali ke belakang cepat sekali. Kaki kanan melangkah lebar,
sementara kaki kiri hanya pendek-pendek saja, sehingga jalannya tidak lurus,
tapi melengkung ke dalam.
Otomatis Kwe Tek Hun berada di samping kanan wanita itu sekarang. Dan kesempatan
tersebut segera digunakan oleh pemuda itu untuk balas menyerang.
Kedua belah tangannya mencengkeram ke atas dan ke bawah, ke arah pundak dan
pinggang lawannya. Akan tetapi wanita itu seperti sudah bisa menebak apa yang hendak dilakukan oleh
Kwe Tek Hun. Baru saja serangan pemuda itu mencapai separuh jalan, wanita itu
sudah keburu melompat satu tombak ke samping, lalu membalikkan badan menghadapi
Kwe Tek Hun. Kedua telapak tangannya juga terulur ke depan, menyongsong serangan
Kwe Tek Hun. Plaaaak! Plaaaak! Dua pasang tangan bertemu di udara dan menimbulkan suara yang amat nyaring.
Karena masing-masing telah mengerahkan tenaga dalamnya, maka benturan itu
menimbulkan getaran kekuatan yang sangat kuat. Kwe Tek Hun yang merasa
berhadapan dengan lawan yang berkepandaian sangat tinggi, telah mengerahkan
hampir seluruh tenaga 469
saktinya. Sebaliknya wanita itu merasa belum perlu untuk bertarung mati-matian
dengan Kwe Tek Hun, sehingga ia hanya melepaskan separuh dari tenaga saktinya.
Namun akibatnya sungguh tidak terduga. Benturan yang keras itu menyebabkan Kwe
Tek Hun terpental seperti layang-layang putus. Untunglah pemuda itu memiliki
ginkang yang cukup tinggi, sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting ke atas
tanah. Namun demikian ketika dengan sempoyongan kakinya menginjak tanah, pemuda itu
merasa aliran darahnya bergolak dengan hebat.
Ketika dengan nanar matanya memandang ke depan, Kwe Tek Hun melihat lawannya
tetap berdiri kukuh di tempatnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa wanita
itu terpengaruh oleh benturan tadi.
Wanita itu tersenyum, dan Kwe Tek Hun harus mengakui bahwa wanita setengah baya
itu tentu cukup cantik di masa mudanya.
"Anak muda...! Apakah kau sudah percaya sekarang?"
Dengan perasaan berat Kwe Tek Hun terpaksa mengangguk. "Tetapi... aku belum
puas." desahnya kemudian setelah aliran darahnya telah kembali normal.
Sekali lagi wanita itu tersenyum. Sekilas ia menatap suaminya yang berdiri diam
di tempatnya. 470 "Ah, Anak muda... kalau bicara soal puas dan tidak puas, sebenarnya aku pun juga
belum merasa puas pula. Sedari tadi kau cuma mengeluarkan gerakan tingkat
pertama dan tingkat ke dua saja. Kau belum pernah mengeluarkan gerakan pada
tingkat-tingkat selanjutnya. Hmm, apakah kau baru memperoleh pelajaran sampai
pada tingkat ke dua saja?"
Perasaan Kwe Tek Hun tergetar dengan hebat.
"Tingkat pertama dan ke dua" Apa... apa maksud Nyonya?"
Wanita itu tetap tidak melepaskan senyumnya.
"Nah, sekarang semakin terbukti betapa kurangnya pengetahuanmu tentang Ban-seng-
po Lian-hoan. Ketahuilah, Anak muda... Ban-seng-po Lian-hoan itu terbagi dalam delapan
tingkatan. Setiap tingkat memiliki sembilan gerakan, sehingga seluruhnya ada
tujuh puluh dua gerakan. Jadi, apabila engkau baru belajar sampai pada tingkat
yang ke dua, berarti yang kaupelajari baru delapan belas gerakan saja...."
"Delapan belas gerakan" Tapi... tapi Ban-seng-po Lian-hoan keluargaku cuma ada
lima belas gerakan saja!" tak terasa Kwe Tek Hun menyela.
"Lima belas gerakan?" kini ganti wanita itu yang terkejut. "Hei, kalau begitu
tingkat ke dua saja kau belum selesai!"
471 Kwe Tek Hun tertunduk diam tak bisa berkata-kata lagi. Berbagai macam perasaan
berkecamuk di dalam hatinya. Bingung,
kikuk, malu, tak percaya, sedih, kesal, dan berbagai macam perasaan yang lain lagi. Tapi di lain saat pemuda itu masih tetap merasa penasaran dan kurang percaya pula. Benarkah semua yang dikatakan oleh wanita itu" "Nyonya, aku... aku tetap belum puas! Engkau pun sendiri tadi juga belum mengeluarkan gerakan yang belum kukenal
pula. Aku... aku ingin kau memperlihatkan gerakan-gerakan yang kausebutkan itu."
"Baik!" tiba-tiba Swat Kim Po berseru seraya melangkah mendekati isterinya.
"lsteriku ini juga baru mempelajarinya sampai ke tingkat yang ke empat.
Akulah yang akan memperlihatkan kepadamu beberapa gerakan Ban-seng-po Lian-hoan
yang lain. Marilah...!" 472 "Tuan...?" Kwe Tek Hun berdesah ragu.
"Seranglah aku!" laki-laki setengah baya itu berkata tegas.
Kwe Tek Hun tersentak. Hatinya tergugah.
Otomatis tangannya terangkat, kemudian menerjang dada lelaki itu. Wuuuus! Kini
pemuda itu tidak mau setengah-setengah lagi. Sekaligus ia mengerahkan seluruh
kekuatannya! "Bagus!" Swat Kim Po memuji.
Serangan Kwe Tek Hun memang kuat dan
berbahaya. Kedua belah telapak tangannya yang terbuka lebar itu menyambar dalam
jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk Bulan). Dari telapak tangan itu.
meluncur udara hangat yang sangat kuat.
Swat Kim Po cepat memiringkan tubuhnya untuk menghindari benturan telapak tangan
itu. Kemudian sesuai dengan janjinya untuk mengeluarkan gerakan Ban-seng-po
Lian-hoan, Swat Kim-po mengangkat lengan kanannya ke atas, dan mengebutkah ujung
lengan bajunya yang lebar itu ke wajah Kwe Tek Hun.
Udara yang luar biasa dingin berhembus dari ujung lengan baju tersebut, sehingga
Kwe Tek Hun terpaksa berpaling untuk mengelakkannya. Akan tetapi ketika udara
dingin itu telah lewat, dan Kwe Tek Hun ingin balas menyerang lagi, Swat Kim Po
telah menghilang dari hadapannya!
Sekejap Kwe Tek Hun menjadi bingung. Namun dengan cerdik ia berbalik sambil
mengayunkan 473 kakinya menendang ke belakang dalam jurus Burung Merak Mengibaskan Ekor.
Benar juga dugaan pemuda itu. Swat Kim Po yang lihai itu memang telah bergeser
ke belakang tubuhnya dengan gerakan Melihat Bintang di Balik Cakrawala, gerakan
yang ke dua puluh satu dari Ban-seng-po Lian-hoan.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hahaha, meskipun ngawur, tapi kau cukup cerdik juga...!" Swat Kim Po tertawa
melihat kecerdikan Kwe Tek Hun.
Sambil memuji Swat Kim Po berkelit menghindari tendangan Kwe Tek Hun. Sekali
lagi lengan bajunya yang longgar itu menyambar ke depan. Namun kali ini bukan
udara dingin yang tertiup dari lubang lengan baju tersebut, tetapi udara panas!
Kwe Tek Hun tak mau berpaling dari lawannya. Ia tak ingin terkecoh untuk yang
kedua kalinya. Oleh karena itu ia hanya meloncat mundur menghindari serangan
ujung lengan baju tersebut.
Tapi Swat Kim Po tidak mau melepaskannya.
Lelaki itu kembali mengebutkan lengan bajunya yang lain. Kali ini udara yang
meniup semakin terasa menyengat. Bahkan ujung lengan baju itu seperti
mengepulkan asap tipis. Asap tipis yang cukup membuat pedas mata Kwe Tek Hun!
Sekali lagi Kwe Tek Hun melompat mundur. Dan sebelum kakinya menginjak tanah,
pemuda itu balas menyerang dengan sisi tangannya. Kwe Tek Hun tidak ingin terus-
terusan diserang lawan. 474 Wuuuuuush! Pukulan Kwe Tek Hun menerjang ke depan dengan sia-sia! Swat Kim Po
telah tiada di depan lagi! Laki-laki itu telah menghilang begitu saja!
Kwe Tek Hu cepat berbalik sambil memukul.
Namun kali ini ia terkecoh. Swat Kim Po tidak bersembunyi di belakang
punggungnya. "Hahahaha...! Anak Muda, aku di sini!" tiba-tiba terdengar suara lelaki itu dari
kejauhan. Ternyata Swat Kim Po telah berdiri di samping isterinya.
"Aaaah...!" Kwe Tek Hun berdesah. Badannya menjadi lemas dan lesu. Ternyata
lawannya benar-benar memiliki gerakan-gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang lebih
lengkap. "Apakah kau sekarang sudah percaya, Anak muda?" isteri Swat Kim Po berseru
seraya menghampiri Kwe Tek Hun kembali.
Kwe Tek Hun menghembuskan napasnya kuat-kuat seperti ingin memuntahkan semua
perasaan kesal yang menindih hatinya, lalu menganggukkan kepalanya. Tak sepatah
pun kata-kata yang bisa terucap dari bibirnya.
"Nah! Sekarang antarkan kami menemui Ayahmu!"
"Apa...?" Kwe Tek Hun tersentak. Wajahnya yang kuyu itu kembali memerah.
"Antarkan kami menemui Ayahmu atau Gurumu itu!" wanita itu mengulangi
perintahnya. Kini suara itu sangat tegas dan kaku.
Kwe Tek Hun mendengus. Dadanya seperti disengat bara.
475 "Nyonya, aku memang percaya bahwa kau dan suamimu memiliki Ban-seng-po Lian-hoan
yang lebih lengkap daripada aku. Tapi semua itu bukan berarti aku harus tunduk
pada perintah kalian. Dari semula aku juga tidak berjanji apa-apa kepada kalian.
Apalagi aku juga belum kalah."
Wanita itu mengerutkan dahinya yang halus.
"Maksudmu...?" serunya kaku.
"Ban-seng-po Lian-hoan tidak menjamin seseorang untuk menang di segala
pertempuran, karena ilmu itu hanya ilmu langkah kaki, dan tidak untuk menyerang.
Ilmu itu harus dilengkapi dengan ilmu silat lain yang sepadan, sehingga bisa
terlihat kedahsyatannya." Kwe Tek Hun berdesah dengan suara kaku pula.
"Oooooo, jadi kau ini masih menyangsikan kemampuan kami" Begitu..." Baik! Mari
kita uji sekali lagi dengan ilmu silat- yang lain!" wanita itu menggeram sambil
memasang kuda-kuda. Kwe Tek Hun segera bersiap diri pula. "Hmmh!
Mengapa kau tidak mencabut pedang anehmu itu, Nyonya?"
"Tidak usah! Kami warga Pondok Pelangi hanya mencabut pedang bila benar-benar
memerlukannya! Untuk mengalah-kanmu cukup dengan ilmu silat kami yang lain."
"Sombong!" Kwe Tek Hun berseru berang, kemudian menerjang perempuan itu dengan
tendangan kaki kanannya. 476 "Kau sendiri yang sombong, tidak mau mengakui kenyataan!" wanita itu menjawab
seraya mengelak ke samping, lalu dari samping ia balas menyerang dengan tusukan
jari telunjuknya. Cusss! Cusss! Dari ujung jari itu meluncur seleret sinar kebiruan menyambar
tubuh Kwe Tek Hun. Pemuda itu terkejut! Ia mengenal ilmu itu! Namun belum juga ia sempat membuka
suara, serangan itu telah menyentuh pakaiannya!
Mati-matian Kwe Tek Hun mengelak. Tubuhnya bergeser ke kanan dengan cepat, lalu
meliukkan badan sambil melangkah ke kanan dan ke kiri sebanyak tiga kali dalam
gerak Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari. Tapi belum juga pemuda itu berdiri
tegak, wanita itu kembali telah mengejarnya dengan serangannya yang lain!
Cuuus! Cuuus! Cuuus! Kwe Tek Hun menjadi sibuk sekali! Ternyata dia tak bisa mengandalkan Ban-seng-po
Lian-hoan lagi! Gerakan-gerakannya telah dikenal baik oleh lawannya! Terpaksa dia berkelit dan
menghindar dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, yaitu Pek-in
Gin-kang! Namun demikian tetap saja salah sebuah serangan wanita itu menyerempet
pakaiannya! Sreeet! Pakaian itu bolong seperti ditebas oleh pedang yang amat tajam!
"Aaaah! Tahan!" begitu memperoleh kesempatan Kwe Tek Hun berteriak.
477 "Kau menyerah, Anak Muda?" wanita itu bertanya seraya menghentikan serangannya.
"Nanti dulu, Nyonya. Bukankah ilmu yang baru saja kaupergunakan ini tadi... Tai-
lek Pek-kong-ciang?"
Sekarang ganti wanita itu yang kaget. Demikian pula suaminya, Swat Kim Po.
"Hei, apakah kau juga mempelajari ilmu silat itu?"
Swat Kim Po dan isterinya bertanya hampir berbareng.
"Ah, tidak... tidak!" Kwe Tek Hun cepat-cepat menggoyangkan tangannya. "Ilmu itu
milik Keluarga Souw...."
"Keluarga Souw...?" Tak terduga kedua suami isteri dan Pondok Pelangi itu
berteriak gembira. Lalu dengan gerakan yang .sangat cepat sehingga tidak bisa diikuti oleh
pandangan mata, tangan Swat Kim Po menyambar pergelangan tangan Kwe Tek Hun. Dan
pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu
tangannya telah tertangkap oleh cengkeraman Swat Kim Po tersebut.
"Kau kenal keluarga Souw" Di mana mereka tinggal?" laki-laki itu memberondong
Kwe Tek Hun dengan pertanyaan.
Kwe Tek Hun mengerahkan lweekang-nya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Swat
Kim Po, tapi tak bisa. Tenaga dalam orang itu hebat bukan main.
Terpaksa Kwe Tek Hun mempergunakan kakinya 478
untuk menyerang. Dan tangannya yang lain ikut membantu pula.
Swat Kim Po mencoba untuk mengelakkan tendangan Kwe Tek Hun, tapi ketika siku
pemuda itu mengancam ulu hatinya, terpaksa ia melepaskan cengkeramannya.
Swat Kim Po mundur selangkah ke belakang.
"Bagus, Anak muda. Kepandaianmu memang hebat.
Tapi tolong katakan kepadaku! Benarkah Keluarga Souw yang kau kenal itu memiliki
ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang?" tanyanya bersemangat.
Kwe Tek Hun menjadi ragu dan agak bingung. Ia tak bisa menduga apa yang
dikehendaki suami isteri itu terhadap Keluarga Souw. Adakah mereka mempunyai
hubungan perguruan" "Semua kaum persilatan tahu bahwa Keluarga Souw memiliki ilmu Tai-lek Pek-kong-
ciang dan Tai-kek-sin-ciang..." akhirnya Kwe Tek Hun menjawab apa adanya.
"Tai-kek-sin-ciang" Seperti ini?" Swat Kim Po tiba-tiba berdesah keras dan
tampak semakin bersemangat.
Lelaki itu memasang kuda-kuda. Dua buah telapak tangannya ia rangkapkan di depan
dada seperti layaknya orang menyembah. Dan sekejap kemudian dari seluruh lobang
kulitnya keluar asap tipis berwarna kemerah-merahan. Anehnya, asap itu tidak
membuyar ditiup angin. Asap itu seperti melekat dan menyelimuti tubuh lelaki itu
setebal beberapa inchi, 479
sehingga sepintas lalu ia bagaikan mengenakan baju kabut tembus pandang.
Tentu saja ilmu silat tingkat tinggi itu membuat takjub para anggota Hek-to-pai
yang dikalahkan Kwe Tek Hun tadi. Mereka seperti melihat jago sihir yang sedang
memperlihatkan mujijat atau kesaktiannya.
Apalagi ketika Swat Kim Po tiba-tiba melayangkan pukulannya ke sebuah pohon
pelindung di samping pintu gerbang. Batang pohon sebesar pelukan orang dewasa
itu mendadak mengeluarkan asap kehitaman seperti kena bakar.
Belum juga hilang ketakjuban mereka, tiba-tiba Swat Kim Po mengubah kuda-
kudanya. Badannya berdiri tegak lurus. Kedua tangannya merapat, sementara kedua
tangannya juga terangkap lurus ke atas seperti hendak meraih langit. Asap atau
kabut tipis masih tetap menyelimuti tubuhnya.
"Waaaah..."!?" mendadak para penjaga itu berseru takjub lagi.
Kwe Tek Hun yang pernah menyaksikan ilmu itu memang tidak seheran para penjaga
tersebut. Namun bagaimanapun juga ilmu yang dipertunjukkan oleh Swat Kim Po itu
tetap mendebarkan hatinya. Apalagi ketika melihat kabut yang menyelimuti badan
Swat Kim Po tersebut mendadak berubah warnanya menjadi putih, kemudian kuning,
hijau, biru dan sebagainya.
Setiap kali berubah warna, Swat Kim Po tentu menyerang batang pohon itu. Dan
akibatnya memang 480 sangat mendebarkan hati. Berganti-ganti pohon itu seperti disulut api, diguyur
air panas, disiram salju, dihembus badai, dan lain-lainnya. Akibatnya sungguh
menyedihkan. Begitu Swat Kim Po menghentikan serangannya, pohon besar itu
perlahan-lahan tumbang bagaikan pohon tua yang telah lapuk dimakan rayap.
Batang kayunya yang semula sangat kuat dan keras luar biasa itu kini telah
berubah menjadi empuk dan rapuh seperti gumpalan tanah.
Swat Kim Po kembali berdiri di depan Kwe Tek Hun.
"Seperti itukah Tai-kek-sin-ciang Keluarga Souw?"
Kwe Tek Hun terdiam, kemudian menggeleng lemah. "Memang hampir sama. Tetapi yang
pernah kulihat, asap yang menyelimuti tubuh Pendekar Souw cuma ada dua warna."
"Dua warna...?"
"Yah! Putih dan merah!"
"Aneh. Mengapa hanya putih dan merah saja?"
Swat Kim Po mengerutkan keningnya. "Ah, sudahlah...! Anak muda, ketahuilah. Kami
berdua datang ke Tiong-goan ini memang sedang mencari sesesorang atau keturunan
seseorang yang telah menyimpan barang-barang pusaka Pondok Pelangi selama lima
ratus tahun. Kami tidak tahu siapa orang itu, namun yang jelas orang itu tentu
memiliki ilmu yang sama dengan kami. Nah, itulah sebabnya kami mencurigai
keluargamu atau keluarga Souw itu.
481 Sekarang marilah kita berangkat menemui Ayahmu dulu!"
Kwe Tek Hun menunduk. Sekejap terjadi perang batin di dalam hatinya. Melawan
atau menuruti perintah orang itu. Melawan mereka berarti sia-sia.
Jangankan melawan Swat Kim Po, melawan isterinya saja ia tak mungkin menang.
Tapi kalau menuruti perintah mereka, lalu bagaimana dengan Tio Ciu In dan Liu
Wan" "Bagaimana, Anak muda" Kita berangkat sekarang?" Swat Kim Po mendesak.
"Baiklah. Tapi biarlah aku memberitahukan kepergianku ini kepada teman-temanku
yang ada di dalam perumahan itu." akhirnya Kwe Tek Hun memberikan
persetujuannya. Ia juga ingin tahu, bagaimana reaksi Ayahnya tentang Ban-seng-po
Lian-hoan itu. Tapi dengan cepat Swat Kim Po menggoyangkan tangannya.
"Tak usah! Biarlah orang-orang itu yang mengatakan kepada teman-temanmu nanti.
Kita langsung berangkat saja sekarang." orang itu berkata sambil menunjuk ke
para penjaga yang tadi mengeroyok Kwe Tek Hun.
"Mengapa...?" Kwe Tek Hun berdesis. Wajahnya memerah, sementara urat-uratnya
menegang kembali. "Maaf, anak muda... kami tak ingin membunuh teman-temanmu! Kalau kau mengatakan
kejadian ini kepada mereka, mereka pasti akan menahanmu, 482
membelamu! Nah, kalau kejadian nanti akan demikian halnya... hemmm, terpaksa
kami harus membunuh mereka! Paham?" Swat Kim Po menerangkan dengan suara dingin.
Hampir saja hati Kwe Tek Hun berontak. Dia tak takut mati dan tentu demikian
pula halnya dengan Liu Wan. Tapi bagaimana dengan Tio Ciu In" Ia merasa kasihan
kepada gadis ayu itu. Gadis itu sedang mencari adiknya.
Perlahan-lahan darah yang telah naik ke kepala itu turun kembali. Kwe Tek Hun
tak ingin mencelakakan teman-temannya, terutama gadis ayu itu. Biarlah ia
sendiri yang menghadapi Swat Kim Po dan isterinya.
"Baiklah marilah kita berangkat!"
"Bagus! Nah, Sui Nio, kau berkuda bersama aku!
Biarlah anak muda ini menggunakan kudamu!" Swat Kim Po berseru lega sambil
menghampiri isterinya. Demikianlah, tanpa berpamitan kepada teman-temannya, Kwe Tek Hun menempuh
perjalanan ke utara bersama Swat Kim Po dan isterinya. Sebenarnya ada dua jalan
untuk pergi ke Pulau Meng-to. Pertama, menempuh jalan laut melalui Kampung Ui-
thian-cung, dengan perahu besar ke arah utara. Ke dua, menempuh jalan darat
lebih dahulu hingga kota Lia-siu di Propinsi Kiang-su, lalu dari kota itu nanti
berlayar lurus ke timur ke arah matahari terbit. Dan ternyata Kwe Tek Hun
memilih melalui kota Lia-siu tersebut.
483 Sementara itu di pendapa perguruan Hek-to-pai, Liu Wan telah hampir bisa
menguasai lawan-lawannya. Ketika pemuda itu melihat kerepotan Tio Ciu In,
hatinya menjadi tidak sabar lagi. Otomatis ilmu Thian-lui-kong-ciangnya
terungkap keluar tanpa disengajanya. Dan yang men jadi korban pertama adalah It
Kwan sendiri! Whuuuuuus! Dhuuaaar! "Aduuuuuuh...!" Ketua Hek-to-pai menjerit keras.
Tubuhnya terlontar tinggi dan jatuh berdebam di halaman.
Cong Su terbeliak ketakutan, dan tanpa malu-malu lagi ia membuang ruyungnya
tanda menyerah. Liu Wan tak mengacuhkan Cong Su. Dia cepat menghampiri It Kwan yang tak mampu
bangkit lagi itu. Dengan kaki di atas punggung It Kwan, pemuda itu mengancam
orang-orang Hek-to-pai yang mengepung Tio Ciu In.
"Berhenti semua...! Kalau tak mau berhenti, tubuh ketua kalian akan kuinjak
sampai hancur!" Puluhan anggota Hek-to-pai yang ada di pendapa itu segera mundur ketakutan.
Mereka sama sekali tak mengerti bagaimana ketuanya yang lihai itu sampai dapat
dikuasai oleh anak-anak muda itu.
Tio Ciu In lalu menghampiri Liu Wan dan berdiri di samping pendekar muda itu.
"Nah, orang tua... sekarang katakan yang sebenarnya kepada kami! Di manakah
gadis berbaju merah yang datang ke sini kemarin itu" Ayoh, jawab!
484 Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap tak menjawab jangan salahkan aku menginjak
punggungmu ini sampai patah! Satu... dua ... tiga...."
"Baik... baik, aku akan menjawabnya!" dengan suara kesakitan It Kwan berkata.
"Gadis itu... gadis itu telah pergi ke arah pantai! Kawanku, Tong Taisu, kalah
bertaruh dengan dia, sehingga dia dilepaskan oleh temanku itu! Nah, lepaskan
kakimu... aku telah mengatakan semuanya."
Liu Wan memandang ke sekelilingnya, ke arah anak murid perguruan Hek-to-pai yang
menunggu dengan cemas nasib ketuanya itu.
"Hei benarkah apa yang dikatakan oleh ketua kalian?" pemuda itu berseru keras.
"Ya... benar!" orang-orang itu menjawab hampir berbareng.
Liu Wan mengangkat kakinya dan membiarkan ketua Hek-to-pai itu ditolong oleh
anak buahnya. "Ciu-moi marilah kita pergi! Kita susul Adikmu ke pantai!"
-o0dw0o- 485 JILID XII API... apakah anak itu masih berada di sana" Apakah ia tidak kembali lagi ke
kota?" T "Yaaa... mungkin saja. Tapi lebih baik kita membuktikan dulu masih ada
tidaknya adikmu di pantai. Setelah kita cari di pantai dia tidak ada, baru kita
kembali ke kota." Tak seorang pun para anggota Hek-to-pai yang bertebaran di halaman depan itu
berani menghalangi Liu Wan dan Tio Ciu In ketika sepasang muda-mudi itu melewati
mereka. Bahkan mereka segera menyingkir untuk memberi jalan kepada Liu Wan.
"Heran...! Mengapa Kwe Tek Hun tidak kelihatan"
Bukankah dia tadi menghadapi para penjaga pintu gerbang itu?" Liu Wan bergumam
kaget ketika tidak melihat Kwe Tek Hun di pintu gerbang masuk.
"Eh, Liu Twako... lihat pohon besar yang tumbang itu! Bukankah tidak ada badai
yang mengamuk ini tadi" Mengapa pohon itu roboh?"
"Benar. Memang aneh. Marilah kita tanyakan kepada penjaga itu!"
Para penjaga pintu gerbang itu menjadi pucat wajahnya ketika Liu Wan dan Tio Ciu
In datang mendekati mereka.
"Hei! Katakan, ke mana teman kami tadi" Cepat!"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hardik Liu Wan keras. 486 "Dia... dia pergi bersama seorang lelaki dan seorang wanita, setelah kedua orang
itu mengalahkannya."
salah seorang penjaga menjawab dengan suara gemetar.
Bukan main kagetnya Liu Wan dan Tio Ciu In!
Demikian gugupnya Liu Wan mendengar laporan itu sehingga secara tak sadar
tangannya menyambar leher baju penjaga tersebut.
"Apa katamu..." Katakan yang benar!"
Tentu saja penjaga itu semakin menjadi takut.
"Anu... anu... aku mengatakan yang... yang sebenarnya. Li-lihat pohon itu! Laki-
laki yang mengaku dari Pondok Pelangi itu menumbangkannya dari jauh dengan...
dengan pukulannya yang dahsyat, sehingga teman Tai-hiap mengaku kalah, dan...
dan ikut pergi dengan mereka!"
Liu Wan melepaskan cengkeramannya dan mendorong penjaga itu ke belakang,
sehingga menabrak teman-temannya. Mereka jatuh terjengkang tumpang-tindih.
"Sungguh gawat sekali, Ciu-moi. Orang yang bisa mengalahkan Kwe Tek Hun tentu
bukan orang sembarangan. Rasanya aku pun takkan bisa menolongnya. Mungkin hanya
tokoh-tokoh setingkat Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Guruku, atau ayah Kwe Tek Hun
sendiri yang bisa menghadapinya."
"Orang itu... orang itu memang mengajak teman Tai-hiap untuk menemui ayahnya."
penjaga yang didorong jatuh oleh Liu Wan tadi tiba-tiba berkata.
487 "Heh..." Jadi mereka pergi ke Pulau Meng-to?" Liu Wan berseru kaget.
"Ya-ya... mereka tadi memang menyebut-nyebut Pulau Meng-to." penjaga itu berkata
pula. "Aaaaah...." Liu Wan menarik napas panjang.
Keningnya berkerut, dan untuk beberapa waktu lamanya pemuda itu tak berkata-kata
lagi. Tio Ciu In yang tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Liu Wan segera menarik
lengannya. "Twako, apa yang kaupikirkan?"
Sekali lagi pemuda itu menghela napas panjang, kemudian menggandeng tangan Tio
Ciu In untuk dibawa keluar meninggalkan perkampungan itu. Liu Wan tetap
melangkah ke arah pantai seperti rencananya semula.
Sementara itu matahari mulai bergulir dari atas kepala. Panasnya benar-benar
mulai menyengat, sehingga pipi Tio Ciu In yang ranum itu menjadi kemerah-
merahan. Beberapa tetes keringat juga mulai mengalir membasahi kening gadis ayu
itu. Akan tetapi tak sepatah katapun keluh kesah yang keluar dari bibir tipis
tersebut. Justru Liu Wan-lah yang akhirnya merasa kasihan melihatnya.
"Ah, panasnya bukan main! Kita berteduh dulu, Ciu-moi?"
"Tidak usah, Twako. Panas sedikit tidak apa. Kita berjalan terus saja hingga ke
perkampungan Ui-thian-cung. Aku cepat-cepat ingin bertemu Siau In...."
488 "Tapi... tapi keringatmu mengalir membasahi pelipis dan lehermu. Pipimu ...
pipimu...." Liu Wan tak berani meneruskan kalimatnya. Matanya juga tidak berani
memandang gadis itu lama-lama.
"Pipiku... kenapa, Twako?" Tio Ciu In mengerutkan alisnya yang lentik.
"Ah, tidak... tidak apa-apa!" tiba-tiba Liu Wan menjawab cepat sambil
menundukkan mukanya. Suaranya bergetar seperti orang yang sedang menahan beban batin yang amat berat.
"Lho" Kau ini bagaimana, sih" Seperti orang sedang kebingungan saja!" Tio Ciu In
mendamprat kesal. Liu Wan cuma tersenyum kecut dan tak berani mengeluarkan suara apa-apa. Bahkan memandang, Tio Ciu In pun ia tak berani. Rasanya seperti ada kesedihan di hatinya setiap kali memandang gadis ayu itu. Namun ia tak 489 tahu, apa yang menyebabkan kesedihan itu.
Sebaliknya gadis itu sama sekali tak tahu apa yang sedang bergejolak di dada
teman seperjalanannya. Ia hanya menduga kalau Liu Wan sedang bingung memikirkan
kepergian Kwe Tek Hun. "Siapa sebenarnya orang yang mengaku dari Pondok Pelangi itu" Mengapa Twako
sangat mengkhawatirkan mereka?" akhirnya gadis itu bertanya perlahan.
Liu Wan tersentak seperti orang yang terbangun dari tidurnya. Kepalanya segera
menggeleng tanda tak tahu.
"Aku juga baru mendengarnya sekali ini. Tapi kalau benar apa yang dikatakan
penjaga itu bahwa mereka dapat mengalahkan Kwe Tek Hun, rasanya kepandaian
mereka benar-benar sangat tinggi. Hanya yang tidak kumengerti, mengapa mereka
membawa Kwe Tek Hun ke Pulau Meng-to. Apakah orang-orang dari Pondok Pelangi itu
bermusuhan dengan ayah Kwe Tek Hun, sehingga mereka menyandera Kwe Tek Hun?"
Pemuda itu kemudian berkata agak lancar.
Tio Ciu In memandang Liu Wan sekejap, lalu cepat-cepat beralih ke pucuk-pucuk
pepohonan tinggi yang tumbuh berjejer-jejer di pinggir jalan. Tak terasa pikiran
gadis itu juga ikut terbenam pula di dalam urusan yang tak dimengertinya itu.
"Apakah kira-kira mereka itu mempunyai hubungan dengan gadis yang memusuhi kita
di 490 penginapan pagi tadi?" tiba-tiba Tio Ciu In bergumam.
Liu Wan terkejut. Pemuda itu tidak berpikir sampai ke sana, tapi kemungkinan
tersebut memang bisa saja terjadi. Mereka sama-sama memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Angin terasa mulai berhembus dengan kencang, membawa butiran debu dan pasir ke
mana-mana. Mereka berdua telah melewati hamparan tambak garam yang berpetak-petak di kanan
kiri jalan. Laut pun mulai tampak di kejauhan, dengan garis pantai yang rimbun
oleh pepohonan perdu dan alang-alang tinggi.
Mereka masih sempat menyaksikan bekas-bekas kesibukan luar biasa di perkampungan
nelayan itu. Belasan orang perajurit penjaga keamanan masih tampak berada di sana. Bahkan di
rumah Ui Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung itu masih kelihatan seregu
pasukan keamanan kota Hang-ciu sedang beristirahat.
"Eh, tampaknya ada sesuatu yang baru saja terjadi di tempat ini, Lopek?" Liu Wan
mencoba bertanya kepada seorang nelayan tua yang sedang membenai jalanya.
Nelayan itu memandang Liu Wan dan Tio Ciu In beberapa saat lamanya. Melihat
wajah-wajah yang bersih dan halus dari kedua anak muda itu, ia kelihatan lesu.
491 "Yaaah... ada pembunuhan besar-besaran di pantai sebelah sana! Para Pemenang
Perlombaan Mengangkat Arca dan pengawal mereka dibantai orang di atas pasir
itu...." "Ohhhh!" Liu Wan dan Tio Ciu In yang sudah mendengar berita tersebut di markas
Tiat-tung Kai-pang berdesah pendek.
"Apakah sanak saudara Kongcu ikut menjadi korban pula?"
"Oh, tidak... tidak!" Tio Ciu In cepat-cepat menjawab. "Kedatangan kami berdua
ke mari memang mau mencari seseorang, tapi orang yang kami cari itu bukan salah
seorang dari orang-orang yang terbunuh itu. Orang yang kami cari adalah seorang
gadis muda berpakaian merah. Perawakannya biasa-biasa saja, tak begitu tinggi
tapi juga tidak pendek. Badannya agak kurus sedikit, rambutnya dikepang dua. Eh,
apakah Lopek melihatnya...?" N
Sekali lagi nelayan tua itu menatap Tio Ciu In dan Liu Wan beberapa saat
lamanya. Keningnya berkerut, seolah-olah merasa heran, kaget dan curiga.
"Sungguh mengherankan...! Beberapa saat yang lalu juga ada yang bertanya
kepadaku tentang gadis yang ciri-cirinya seperti itu...."
"Apa..." Ada orang lain yang bertanya kepada Lopek" Siapa dia" Bagaimana ciri-
cirinya?" Tio Ciu In mendesak dengan suara penuh harap. Gadis itu teringat akan
suhengnya lagi. 492 Nelayan itu meletakkan jalanya, kemudian berdiri.
"Dia seorang pemuda tampan, tingginya kira-kira sama dengan aku. Kurus.
Rambutnya awut-awutan...."
"Ooooh...." Tio Ciu In berdesah kecewa, karena ciri-ciri yang disebutkan itu
bukan ciri Tan Sin Lun, suhengnya.
"Nah... itu dia orangnya!" tiba-tiba nelayan tua itu berseru, tangannya menuding
ke pintu masuk perkampungan Ui-thian-cung.
Liu Wan dan Tio Ciu In menatap ke depan. Mereka melihat seorang pemuda kurus
mengenakan pakaian hitam kedodoran berjalan lesu ke arah mereka.
Tampaknya pemuda itu baru saja menemui kepala kampung.
"Tampaknya memang bukan Suheng-mu...." Liu Wan berdesah hambar seperti
kehilangan semangat. Tio Ciu In berpaling. Sekejap, mata yang bulat indah itu menatap tajam penuh
selidik. Ada terungkap rasa heran dan tak mengerti pada pancaran sinar mata itu.
Tapi mata indah itu segera berpaling kembali ketika Liu Wan balas memandangnya.
Tampaknya pemuda kurus yang tidak lain adalah Chin Tong Sia atau Put-tong-sia
itu memang bermaksud menemui nelayan tua tersebut. Tapi ia menjadi ragu-ragu
melihat kehadiran Liu Wan dan Tio Ciu In, sehingga ia diam saja di depan nelayan
itu. Liu Wan baru pertama kali ini melihat pemuda itu, tapi Tio Ciu In sudah
melihatnya di atas panggung perlombaan kemarin. Tio Ciu In masih ingat sekali
493 karena pemuda itu telah membuat keributan di atas panggung.
"Nah, apakah Tuan hendak bertanya tentang gadis itu lagi?" sekonyong-konyong
nelayan tua itu mendahului bertanya kepada Chin Tong Sia yang tampak ragu-ragu.
Chin Tong Sia melirik ke arah Liu Wan dan Tio Ciu In, kemudian mengangguk lemah.
"Apakah engkau tetap belum melihatnya juga?"
tanyanya kaku. Nelayan tua itu menggelengkan kepalanya. "Belum.
Mungkin gadis itu memang tidak pergi ke tempat ini.
Tapi... eh, omong-omong... Kongcu dan Siocia ini juga menanyakan gadis itu.
Apakah Tuan mengenal mereka?"
Chin Tong Sia memandang Liu Wan dan Tio Ciu In sekejap, kemudian mengangkat
pundaknya. Sambil beranjak pergi pemuda itu meninggalkan pesan kepada nelayan
tersebut. "Paman, tolong beritahukan kepadaku kalau gadis yang kumaksudkan itu lewat di
sini. Aku berada di tempat penambatan perahu."
"Saudara, tunggu...!" Tio Ciu In yang menjadi penasaran itu tiba-tiba berseru
memanggil. Chin Tong Sia berhenti melangkah, lalu dengan cepat membalikkan tubuhnya. Dan
pada saat membalikkan badan itulah buntalan pakaian Tito Siu In yang dibawanya
melorot turun dan jatuh dari balik bajunya yang kedodoran. Namun dengari tangkas
dan 494 cepat pula bungkusan itu disambarnya serta dimasukkan kembali ke balik bajunya.
Akan tetapi waktu yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi Tio Ciu In ; untuk
mengenali bungkusan pakaian adiknya.
"Nona memanggil saya?" Dengan tenang Chin Tong Sia menghadapi Tio Ciu In.
Sebaliknya Tio Ciu In sendiri juga mencoba untuk bersikap hati-hati pula. Dia
ingin mencari tahu perihal hubungan adiknya dengan pemuda itu, sehingga pemuda
itu kelihatan berhasrat sekali menemui Siau In.
"Maaf, kudengar dari Lopek ini Saudara sedang mencari seorang gadis muda berbaju
merah di tempat ini. Eeem... apakah yang Saudara maksudkan itu bernama Tio Siau
In?" dengan amat sopan Tio Ciu In bertanya, membuat Liu Wan yang berdiri di
sampingnya merasa kikuk melihatnya.
Tak terduga wajah Chin Tong Sia( menjadi merah.
Pertanyaan itu membuatnya bingung dan tak tahu harus menjawab apa, karena dia
memang belum tahu nama gadis yang dicarinya itu.
"Ha-ha-haha-hihihi! Nona ayu, jangan kautanyakan nama gadis itu kepadanya! Dia
takkan tahu, karena dia memang belum sempat menanyakan nama pacarnya itu!" Tiba-
tiba terdengar suara serak berkumandang tanpa kelihatan orangnya.
"Suheng, mengapa kau suka benar mencampuri urusan orang" Apakah lukamu akibat
mencampuri 495 urusan orang-orang Hun tadi malam belum membuatmu jera?" Put-tong-sia menggeram
marah. Matanya memandang nanar ke segala penjuru, mencari tempat persembunyian Put-pai-
siu Hong-jin. Wajah Liu Wan menjadi amat tegang pula. Suara tanpa ujud itu membuat jantungnya
berdegup lebih keras. Dan otomatis kakinya mendekati Tio Ciu In, siap untuk
setiap saat melindungi gadis itu dari bokongan musuh.
Yang justru menjadi ketakutan adalah nelayan tua itu. Mendengar suara tanpa
ujud, padahal suara itu seakan-akan berada di dekatnya, membuat orang tua itu
gemetar ketakutan. Setelah menengok ke sana ke mari, ia segera mengambil langkah
seribu, meninggalkan tumpukan jala yang belum selesai digulungnya.
"Kurang ajar! Bikin ribut saja! Eh, maaf... aku akan mencari Suhengku dulu....?"
akhirnya Chin Tong Sia berkata kesal.
"Tapi... Saudara belum menjawab pertanyaanku."
Tio Ciu In cepat memotong ucapan pemuda itu.
Chin Tong Sia tertegun, kakinya tak jadi melangkah. Sekejap wajahnya menjadi
merah lagi, namun segera hilang pula.
"Bukankah Suhengku tadi sudah menjawabnya"
Maaf, aku pergi dulu...."
"Tunggu...!" Tio Ciu In berseru seraya melompat ke depan menghadang langkah Chin
Tong Sia. 496 Pemuda kurus itu berdiri tegak, urat-uratnya menegang, sehingga Liu Wan yang
amat mengkhawatirkan keselamatan Tio Ciu In cepat-cepat bergeser mendampingi gadis
itu. "Apa yang Nona inginkan lagi?" Chin Tong Sia berdesis. Matanya menatap dingin,
terutama kepada Liu Wan yang kelihatan selalu melindungi Tio Ciu In.
"Saudara, kulihat kau tadi membawa bungkusan pakaian. Apakah bungkusan itu milik
gadis yang kaucari itu?" Tio Ciu In bertanya, suaranya tetap tenang.
Mata pemuda kurus itu tiba-tiba bergetar seolah-olah menahan marah.
"Apa peduli Nona dengan bungkusan pakaian itu"
Kuharap Nona jangan mencampuri urusan orang!"
pemuda itu menggeram. Ternyata Tio Ciu In juga tidak sabar pula. "Apa"
Aku tidak boleh mencampuri urusan Saudara"
Bagaimana aku tidak boleh mencampuri urusan Saudara kalau bungkusan yang Saudara
bawa itu milik Adikku?" jeritnya marah.
Ilmu Ulat Sutera 5 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Harpa Iblis Jari Sakti 1