Pencarian

Rahasia Hiolo Kumala 6

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long Bagian 6


sukanya berbicara mencla-mencle" Bukankah kau mengatakan akan menjawab semua
pertanyaanku" Tapi bagaimana buktinya sekarang" Baru saja kuajukan pertanyaanku yang pertama
kau sudah tak mampu menjawab. Huuuh... atau mungkin engkau memang sengaja sedang ajak aku
bergurau?" Merah padam selembar wajah Cia In karena jengah. Dia semakin gelagapan, apalagi
berhadapan muka dengari pemuda polos yang lebih suka bicara blak-blakan, sindiran yang
terasa amal pedas itu menyinggung perasaan halusnya. "Aku....... aku....... aku....."
Saking gugupnya, nona itu hanya bisa mengulangi kata "aku" sampai beberapa kali,
kecuali itu tiada perkataan lain yang diucapkan.
Tiba-tiba In-ji tertawa cekikikan. "Hiiih... hiih...... hiii..... Coa kongcu, suciku
sangat menaruh perhatian kepada Hoa kongcu dan perhatian itu rupanya telah berubah menjadi
cinta. Kenapa sih kau memaksanya terus untuk menjawab pertanyaanmu itu?"
Ketika perkataan tersehat diucapkan keluar, Cia In tundukkan kepalanya rendah-
rendah sikapnya tersipu-sipu seperti orang malu.
Sebaliknya Coa Cong-gi tertegun, dia termangu-mangu seperti orang bodoh dan tak
mampu mengucapkan sepatah katapun.
Suasana hening untuk sesaat tiba-tiba terdengar Hoa In-liong mendengus dingin.
"Hmmm! Budak cilik, pandai amat engkau mengucapkan kata-kata indah yang menyesatkan
pikiran orang, memangnya kau anggap aku orang she-Hoa percaya dongan omongan setanmu?"
"Eeeh.... eehhh.... siapa yang lagi ngomong setan?" In-ji kelihatan semakin gelisah,
"Kalau engkau tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan langsung kepada kakak
seperguruanku" Hmmmm! buka mulut lantas memaki orang.... aduuuuh mak, gayanya! Hebat benar...."
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong. Perkataan itu sangat mengena dalam
hatinya. Mesti demikian mukanya tetap kaku dan dingin, katanya dengan ketus, "Aku mau bertanya
kepadamu, apa yang dimaksudkan dengan sebagai manusia haruslah banyak melakukan kewajiban"
Bukankah ucapan ini kau yang ucapkan?"
"Kalau memang aku yang bicara, lantas kenapa?" teriak In-ji dengan garang, tiba-
tiba matanya melotot besar, mukanya merah dan tangannya bertolak pinggang.
"In-ji, kurangilah mulut usilmu itu...." tiba-tiba Cia In menengadah dan berseru
dengan hati gelisah. 176 In-ji mengenyitkan hidungnya, sekalipun sudah dihalangi oleh kakak
seperguruannya namun sikapnya masih tetap garang. "Huuuh... siapa suruh dia kasar sekali kalau bicara,
sungguh menjengkelkan!" Cia In menghela napas sedih, "Aaaai....! Bagaimanapun juga suhu toh sudah
menurunkan larangannya bagi kita untuk melakukan hubungan lagi dengan orang-orang dari
keluarga Hoa. Sekalipun banyak bicara dan bersilat lidah sampai pagi juga tak ada gunanya,
buat apa kau musti mangkel dan meraba mendongkol karena soal sepele?"
Berbicara sampai disitu dia berhenti sebentar. Pelan-pelan sinar matanya
dialihkan keatas wajah Hoa In-liong, kemudian sambungnya lebih jauh dengan muka serius, "Hoa kongcu,
janganlah kau anggap aku adalah seorang perempuan rendah yang tak tahu malu. Setelah urusan
berkembang jadi begini, mau tak mau aku harus berbicara juga dengan terus terang, agar
kaupun tak menaruh curiga terus menerus terhadap kami. Coba bayangkanlah sendiri, dengan
paras mukamu yang tampan, dengan kedudukan keluarga Hoa kalian yang tersohor dan
terhormat, perempuan mana yang tak ingin berhasil menggaet hatimu" Yaaa, memang aku
mempunyai maksud-maksud pribadi sewaktu menculik kongcu datang ke kota Kim-leng ini.
Untunglah kejadian itu sudah lewat, jadi rasanya aku pun tak usah merahasiakan kejadian
ini lagi dihadapanmu". Sepasang matanya mulai berkaca-kaca, sejenak kemudian air mata meleleh keluar
membasai pipinya. Dengan suara yang lirih dan penuh perasaan iba katanya lebih lanjut,
"Sedang mengenai perkataan dari In-ji yang mengatakan orang banyak adalah besar manfaatnya,
akupun tidak ingin mengelabui dirimu lebih jauh. Selain itu akupun tak ingin memberikan
penjelasan lebih jauh. Pokoknya guruku ada niat mendirikan perkumpulan Cha-li-kau, tapi tentunya
kau pun tahu bukan pekerjaan yang mudah untuk mendirikan sebuah perkumpulan. Apalagi dengan
mengandalkan kekuatan dari beberapa orang perempuan, tak mungkin bisa melakukan
usaha besar. Maka setiap kali-kali jumpai orang yang berbakat bagus, bila mempunyai
pandangan dan cara berpikir yang sama, kami lantas menawarkan kepada mereka untuk masuk
menjadi anggota. Dari tujuanku menculik engkaupun hanya lantaran soal ini saja. Nah,
hanya sampai disini saja keterangan yang dapat kuucapkan kepadamu mau percaya atau tidak
terserah pada keputusan Hoa kongcu sendiri, sebab hakekatnya aku sudah tak dapat memberi
keterangan yang lain lagi!" Sekalipun dalam keterangannya ini masih terdapat pula hal-hal yang dirahasiakan,
toh pengakuan yang sudah diucapkan terhitung blak-blakan, terutama sekali di balik
kesemuanya itu menyangkut juga soal hubungan cinta muda-mudi. Sebagai seorang pemuda yang
menurut aturan dan lagi hatinya juga tidak sekeras baja, tentu saja Hoa In-liong tak
dapat berbuat apaapa lagi, terutama setelah melihat dan mendengar sendiri semua
yang terpampang dihadapan
matanya sekarang. Tampaknya Cia-In juga mempunyai watak yang keras, meskipun matanya berkaca-kaca
dan air mata jatuh berlinang, akan tetapi ia berusaha keras mengendalikan sesenggukan
dan isak tangisnya. Setelah hening sesaat, akhirnya dia menengadah kembali, kepada Coa Cong-gi
tanyanya lagi, "Coa-kongcu, apakah engkau masih ada persoalan lain yang hendak kau tanyakan
kepadaku?" Mula-mula Coa Cong-gi tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah gelengkan
kepalanya berulang kali. "Tidak ada... Sudah tidak ada lagi!" sahutnya.
Dia lantas berpaling ke arah lain dan tak ingin melihat keadaan Cia In yang
mengenaskan hati itu. "Kalau sudah tiada persoalan yang akan ditanyakan lagi, marilah kita minum
arak!" ajaknya. 177 Diangkatnya cawan arak yang berada dihadapannya kalau meneguk isinya sampai
habis, menggunakan kesempatan itu dia membesut air mata yang membasahi pipinya.
Tindak-tanduknya yang sangat mengenaskan itu cukup menggetarkan hati orang. Yu
Siau-lam terbungkam dibuatnya dan duduk dengan termangu-mangu, sedang Hoa In-liong
sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras karena emosi.
Pada saat itulah tiba-tiba dari ujung lorong sebelah depan sana berkumandang
suara langkah kaki manusia yang berat, makin lama suara itu makin dekat dan akhirnya berhenti
diluar pintu ruangan loteng tersebut....
Cia-In segera mengerutkan dahinya, dengan ragu-ragu tegurnya, "Tan-Ji kah yang
berada disitu?" "Benar nona, hamba adalah Tan-Ji" jawab orang yang berada diluar pintu loteng
diluar pintu sebelah depan sana datang dua orang tamu, "Mereka bersikeras hendak berjumpa
dengan nona, apakah nona dapat menjumpai mereka"
Cia In mengerutkan dahinya rapat-rapat. "Apakah tidak kau tolak, permintaan
orang itu" Katakan saja kepada mereka, malam ini aku tak dapat melayani mereka sebab lagi ada tamu,
suruh saja datang lagi beberapa hari kemudian!"
"Hamba.... hamba telah berkata begitu" jawab Tan Ji dengan agak ketakutan, tapi
kedua orang tamu itu kasar dan tidak pakai aturan. Mereka bersikeras akan menjumpai nona,
malahan ancam-nya bila nona tak mau menemani mereka berdua maka seluruh rumah Gi-sim-wan
kita ini akan di obrak abrik!"
Sementara itu pikiran Coa Cong-gi sedang kusut dan dadanya seperti ditindih
dengan batu raksasa sebesar seribu kati. Dalam keadaan semacam ini orang lebih mudah dibuat
gusar oleh kejadian apa pun. Demikian pula keadaannya dengan jago muda kita yang berangasan
ini. Ketika didengarnya ada tamu tak tahu aturan yang bermain paksa sambil mengancam
kontan dia naik darah sambil melompat turun gembornya penuh kegusaran, "Kunyuk! Bangsat tak
tahu diri siapa yang berani membuat gara-gara ditempat ini" Hmm, beritahu kepada mereka
agar sedikit tahu diri, kalau tidak...... hee... hee.. heee..... Jangan salahkan kalau kuhajar
sepasang kaki anjing mereka sampai buntung!"
"Oooh... Coa kongcu, Kau harap jangan marah-marah" rengek Tan Ji seperti orang
yang minta dikasihani, "Kami adalah orang-orang yang mementingkan langganan, mana berani
kami tolak langganan" Coa kongcu harap maklumilah keadaan kami.
Coa Cong-gi jadi makin sengit, tiba-tiba dia meloncat bangun dan siap menerjang
keluar dari ruangan itu. "Eeeh... Eeh... Coa kongcu, silahkan duduk, silahkan duduk lebih dulu" seru Cia In
dengan gelisah "Harap jangan kau umbar hawa amarahmu disini, biarlah kuselidiki sendiri
persoalan ini agar menjadi jelas" Diapun bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan tersebut.
178 Setibanya diluar pagar loteng, nona itu memandang pelayan rumah pelacuran itu,
kemudian tanya, "Tan-Ji, bagaimanakah tampang serta potongan badan kedua orang itu...."
Mereka adalah langganan lama ataukah tamu baru?"
Dengan wajah amat gelisah Tan Ji menyahut, "Mereka adalah tamu asing yang belum
pernah berkunjung kemari, yang seseorang berdandan sebagai pemuda perlente sedangkan
yang lain memakai baju ringkas berwarna biru, tampangnya jelek sekali. Kedua-duanya
menyoren pedang mustika hamba rasa kedua orang itu pastilah jago persilatan yang berilmu!"
Cia-In agak tertegun, untuk sesaat dia seperti memikirkan sesuatu, kemudian
dengan alis mata berkenyit bisiknya, "Orang persilatan" Sudah kau tanyakan siapakah nama mereka
berdua... dan berasal dari mana" "Katanya mereka She-Ciu. yang seorang disebut Sam-ko sedang yang lain disebut
Ngo-te, tidak mereka jelaskan berasal dari mana"
Ketika secara tiba-tiba mendengar nama dari kedua orang tamu yang datang
berkunjung kesitu. Hoa In-liong sekalian segera merasakan hatinya tergerak tanpa sadar ketiga orang
pemuda itu bersama-sama bangkit berdiri lalu melangkah keluar dengan tindakan lebar.
Dalam pada itu Cia In sendiri pun merasakan sekujur badannya gemetar keras
setelah mendengar nama orang itu. Dengan suara yang gelisah sekali serunya, "Cepat....
cepat keluar dan....ha... halangi mereka masuk katakan saja sebentar aku datang kesitu!"
"Baik nona!" sahut Tan Ji mengiakan, dia lantas putar badan dan lari keluar dari
tempat itu. Menanti Cia ln memutar badannya kembali ia saksikan Hoa In-liong sekalian sudah
di ambang pintu, "Apakah Ciu Hoa yang datang" Kebetulan sekali kedatangan orang itu, aku
memang sedang mencari jejaknya!" kata Hoa In-liong kemudian agak emosi.
"Tidak jangan!" seru Cia In sangat gelisah, "Engkau tak boleh bertemu dengan
orang disini, kalau hendak mencari dirinya kuharap carilah di tempat lain!"
Suara perempuan ini sudah bernada setengah merengek seakan-akan takut sekali
kalau pemuda ini tak mau menuruti perkataannnya.
"Kenapa musti begitu. Kan tak ada salahnya kalau kita berjumpa muka disini?"
sahut si anak muda itu dengan sinar mata berkilau, "Bagaimanapun juga Gi-sim-wan kau boleh
dikunjungi oleh setiap orang secara bebas" Bertemu atau tidak, sama sekali tidak akan merugikan
nona!" "Oooh.... Hoa kongcu!" seru Cia In dengan wajah murung, "Tindakanku menculik
engkau datang ke kota Kim-leng ini sudah merupakan suatu kesalahan besar. Bagaimanapun juga
aku tak ingin lantaran kesalahan yang kulakukan itu mengakibatkan gagalnya usaha besar kami
yang telah diperjuangkan selama banyak tahun. Aku selalu berharap dapat mempertahankan


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usaha kami ini hingga berhasil. Sebab itulah sengaja kusiapkan meja perjamuan dan siap sedia
memberi keterangan yang kalian minta. Hoa kongcu.....! Ketahuilah, apabila perkumpulan
Cha-li-kau bisa berdiri secepatnya maka perkumpulan kami itu hanya mendatang keuntungan tanpa
kerugian bagi keluarga Hoa kalian. Buat apa toh kau mendesak diriku hingga berdiri
tersudut. Oooh.... Hoa kongcu yang baik, janganlah menyusahkan aku, berilah kesempatan kepadaku untuk
mempertahankan usaha besar dari guruku ini. Janganlah membiarkan aku terjerumus
kedalam suatu keadaan yang serba runyam, sebab kalau sampai terjadi begini, bagaimanakah
tanggung jawabku terhadap suhu dia orang tua" Hoa kongcu, ikutilah perkataanku......"
179 Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat. "Nona Cia, aku sama sekali tidak
bermaksud untuk menyusahkan dirimu apa lagi mendesak kau ke sudut, tapi engkaupun harus
memaklumi keadaanku juga. Ciu Hoa adalah salah seorang pembunuh yang telah mencelakai jiwa
Suma siokya ku. Sekalipun belum ada buktinya, tapi dia adalah manusia paling
mencurigakan diantara sekian banyak orang yang kujumpai"
Rupanya pikiran dan perasaan Cia In pada waktu itu kusut sekali. Dia tak ingin
mendengar pembicaraan itu lebih jauh, segera tukasnya dengan cepat, "Hoa koagcu, apabila
engkau menaruh rasa kasihan kapadaku dan dapat memaklumi keadaan pada saat ini, lebih
baik janganlah sampai berjumpa muka dengannya dalam Gi-sim-wan ini. Toh setelah dia
keluar dari tempat ini, engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk berjumpa dengan
dirinya?" Agaknya Yu Siau-lam simpatik juga atas keadaan Cia In yang mengenaskan, dia jadi
tak tega, timbrungnya dari samping, "Hoa-heng, dengarkanlah kata-kataku, belum tentu Ciu
Hoa yang kau jumpai sekarang adalah Ciu Hoa yang itu. Kemungkinan juga mereka sama sekali tak
ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah dikeluarga Suma, kenapa tidak kita
tunggu saja setelah mereka keluar dari tempat ini baru kita sergap?"
"Ada sangkut pautnya atau tidak, terlampau pagi rasanya untuk dibicarakan pada
saat ini. Bukankah kau mendengar sendiri kedua orang itu mempunyai nama yang sama. Selain
itu akupun tahu bahwa mereka mempunyai potongan baju yang sama dengan jumlah yang
banyak. Masakah dibalik kesemuanya itu tidak terdapat hal-hal yang patut dicurigai".
Kesempatan baik tidak gampang ditemui, kenapa siaute musti melepaskan kesempatan yang sangat
baik ini dengan begitu saja?"
Cia In benar-benar merasa sangat gelisah. "Hoa kongcu..... Apakah engkau hendak
menjegal kakimu sendiri?" tiba-tiba tegurnya!
Hoa In-liong amat terkejut. "Eeeh... apa maksud perkataanmu itu?" serunya.
"Terus terang kuberitahukan kepadamu, sejak dulu sampai sekarang aku dan guruku
selalu memperhatikan situasi dalam dunia persilatan. Sampai dewasa ini paling sedikit
sudah ada dua kelompok manusia yang mempunyai maksud jahat terhadap keluarga Hoa kalian. Jika
engkau bersikeras hendak berjumpa dengan Ciu Hoa dirumah Gi sim-wan ini, itu berarti
engkau akan merusak usaha besar kami dan itu berarti juga mendatangkan kerugian yang sangat
besar bagi pihakmu sendiri!" Mendengar ucapan tersebut, Hoa-In liong merasakan hatinya bergetar keras.
Sebelum ingatan ke-dua sempat melintas dalam benaknya, terdengar Coa Cong-gi telah berteriak
keras, "Ayoh... ayolah, kita segera berlalu dari sini, ayoh berangkat! Siau In-ji, ambil kemari
pedang mustika dan buntalan baju itu!" In-ji mengiakan, cepat-cepat dia lari masuk ke dalam ruangan dan sebentar
kemudian sudah muncul kembali dengan membawa pedang dan buntalan baju tadi.....
Cia In menerimanya dari tangan pelayan cilik itu, kemudian dengan lembut
diserahkan ketangan Hoa In-liong, katanya dengan penuh kehalusan dan kelembutan, "Hoa kongcu,
legakanlah hatimu, bagaimanapun juga aku dan guruku tidak akan melakukan perbuatan yang
akan merugikan keluarga Hoa dan pesan ini adalah pesan dari guruku yang suruh aku
sampaikan kepadamu. Ketahuilah selama engkau membantu diriku berarti pula sedang membantu
dirimu sendiri. Kumohon kepadamu sekali lagi, cepatlah berlalu dari tempat ini dan
janganlah berjumpa dengannya disini!" 180 Ditengah kelembutan terkandung nada gelisah dan panik, namun mencerminkan pula
perasaan kasih sayangnya. Ini membuat orang tak dapat menampik permohonannya lagi.
"Bagaimana dengan kau sendiri?" akhirnya Hoa In-liong bertanya.
Cia In tertawa, tertawa yang enteng dan segar, sambil memandang wajah anak muda
itu dengan lembut, sahutnya, "Aku tidak apa-apa, aku bisa jaga diriku sendiri, terima kasih
banyak atas perhatianmu!'" "Kongcu bertiga, silahkan mengikuti di belakang In-ji!" saat itulah siau In-ji
berkata lagi. Maka dengan uring-uringan Hoa-In liong menerima buntalan baju dan pedang
mustikanya, lalu berjalan keluar dari ruangan itu mengikuti di belakang In-ji dengan pikiran
kosong. Akhirnya mereka tiba dihalaman depan setelah melewati sisi rumah pelacuran Gi-sim-wan dan
pulang kem-bali ke pesanggrahan tabib dengan naik kuda.
Suasana disekitar pesanggrahan tabib gelap gulita tidak tampak sedikit
cahayapun. Suasana hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun di pandang dari tempat
kejauhan. Pasanggrahan tersebut mirip sekali dengan sebuah perkampungan kosong.
Menyaksikan suasana yang mencekam rumahnya pertama-tama Yu-Siau-lam yang
menjerit kaget lebih dahulu. "Eeeh... apa yang terjadi dalam rumahku?" teriaknya dengan perasaan
kalut. "Benar!" sambung Coa Cong-gi pula, "Suasana disekitar tempat ini memang rasa-
rasanya aneh sekali. Sekarang baru. mendekati kentongan kedua, semestinya mereka belum tidur
semua, tapi... kok sepi amat suasana disini, apalagi gelap, jangan-jangan....."
Sebelum ucapan tersebut diselesaikan, Hoa In-liong merasa hatinya tercekat.
Diapun kuatir bila di pesanggarahan tersebut telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Sebelum ingatan kedua melintas dalam benaknya, Yu Siau-lam telah mencemplak
kudanya dan dilarikan cepat-cepat menuju perkampungan itu.
Baru saja orang itu tiba didepan pintu perkampungan, tiba-tiba dari balik
kegelapan melampai keluar sesosok bayangan manusia.
Orang itu mempunyai gerakan tubuh yang enteng, cepat dan cekatan, dalam sekejap
mata tahu tahu sudah muncul didepan mata. "Saudara Siau-lam bertigakah disini?" orang itu
menegur. Ternyata orang itu tak lain adalah Ko Siong-peng, salah seorang diantara Kim-
leng ngo-kong. Yu Siau-lam makin tercengang lagi melihat kemunculan rekannya disana. "Eeeh...
Saudara Siongpeng, sebenarnya apa yang telah terjadi" Apakah ada sesuatu yang
tak beres dirumahku?"
tanyanya kuatir. "Haa ... haa.... Haa..... Tidak ada, tidak ada. Suasana tetap tenang dan aman seperti
sedia kala!" sahut Ko Siong-peng sambil tertawa terbahak-bahak "Kesemuanya ini memang sengaja
kami atur untuk menjaga terjadinya segala sesuatu yang tidak diinginkan"
Berbicara sampai disini, dia lantas berpaling sambil bertepuk tangan tiga kali.
Pintu halaman depan lantas dibuka orang, menyusul kemudian cahaya lampu memancar keluar dari
ruangan tengah. 181 Terdengar Ko Siong-peng berkata lebih jauh, "Aku mendapat tugas berjaga-jaga di
halaman depan, saudara Po-seng menjaga halaman belakang, saudara Ek-hong menemani Pek-bo
duduk diruang tengah sedang Pek-hu tugasnya meronda keempat penjuru dan siap membantu
pihak manapun, Haa... haa.... Haa...... Menunggu kelinci dibawah pohon, akhirnya cuma kalian
bertigalah yang berhasil kusergap secara jitu".
Tiba-tiba si Tabib Sosial dari Kanglam muncul dibalik pintu ruang tengah, dengan
nyaring dia lantas menyela, "Eeeh... Siong-peng, ucapanmu itu kurang begitu tepat, darimana
kau tahu kalau tak ada orang yang telah berkunjung kemari?"
Makin nyaring gelak tertawa dari Ko Siong-peng. "Sudah hampir setengah malaman
keponakan menghirup angin barat-laut yang kencang dan dingin, aku kan cuma bergurau saja,
masa sungguhan?" sahutnya.
"Kalau cuma bergurau janganlah melukai orang kalau sampai melukai orang itu
namanya menyindir dan sindiran gampang mengakibatkan perselisihan. Aku rasa usul dari
Ek-hong kan tidak terlampau berlebihan malahan aku rasa tepat sekali" tegur Kanglam Ji-gi.
Mula-mula Ko Siong-peng agak tertegun, tapi menyusul kemudian sahutnya dengan
sungguhsungguh, "Yaaa, keponakan tahu salah!"
Melihat semua yang terpapar di depannya, diam-diam Hoa In-liong berpikir dalam
hati, "Locianpwe ini pandai mendidik orang menuju ke jalan yang benar, lagipula selalu
mengajarkan angkatan yang muda untuk tersopan santun dan menurut peraturan, bahkan caranya
mendidikpun ramah tamah membuat mereka yang mendapat teguran benar-benar takluk
dibuatnya. Yaa..... Manusia pendidik semacam inilah yang diharapkan setiap
manusia. Asal Kimleng ngo-kongcu dapat dibimbing terus oleh cianpwe ini, niscaya
banyak kebaikan yang akan
mereka terima darinya. Itu berarti Kim-leng ngo-kongcu memang punya nasib
baik......." Mereka bertiga telah melompat turun dari kudanya. si Tabib Sosial dari Kanglam
kelihatan agak tertegun sewaktu menyaksikan Hoa In-liong pulang dengan membawa pedang mustika
serta buntalan bajunya. "Aaaaah..... Ada apa" Liong koji tampaknya tidak sampai terjadi
bentrokan kekerasan bukan dalam perjalanan kalian barusan?" tanyanya dengan nada kuatir.
"Ooooh, terima kasih banyak atas kekuatiran cianpwe. sekalipun dalam perjalanan
kami tidak sampai mengakibatkan terjadinya bentrokan kekerasan, akan tetapi boanpwe masih
di bikin kebingungan setengah mati, sampai kini pun aku masih merasa kurang begitu paham"
"Oh yaa.." Sebenarnya apa yang telah terjadi?" Kanglam Ji-gi makin keheranan.
"Cia In semula kita anggap pasti kabur, ternyata masih bercokol ditempatnya
semula" Timbrung Yu Siau-lam, "Malahan ia siapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan kami
bertiga!" Agaknya Coa Cong-gi mempunyai kesan yang cukup baik terhadap Cia In. Ketika
mendengar perkataan itu cepat-cepat selanya pula dari arah samping, "Sikap Cia In terhadap
Hoa lote cukup baik! Malahan setiap pertanyaan yang diajukan selalu dijawab dengan sejujurnya!"
"Waah...... kalau begitu kan urusan jadi lebih mengherankan" kata si Tabib sosial
dengan muka tertegun, "Jangan-jangan orang menyusup datang malam tadi memang tak ada sangkut
pautnya dengan perempuan she Cia itu?"
Ko Siong-peng segera membelalakkan matanya lebar-lebar, seperti amat kaget ia
menjerit keras. "Apa..." Jadi malam tadi sungguh-sungguh ada orang yang telah menyatroni kita?"
182 Dengan dahi berkerut Tabib Sosial dari Kanglam menganggukkan kepalairya tanda
membenarkan. "Yaaaa! Kurang lebih mendekati kentongan kedua tadi, ada sesosok
bayangan manusia melayang turun di halaman samping sebelah tenggara. Agaknya bayangan
manusia itupun menyadari bahwa pihak kita telah mengadakan persiapan, maka setelah
berdiri sejenak disana agak sangsi, akhirnya dia mengundurkan diri dengan cepatnya"
"Macam apakah manusia itu?" seru Coa Cong-gi dengan gelisah. "Pek-hu, kenapa
tidak kau hadang jalan perginya" Paling sedikit kita harus mengetahui siapakah orang itu!"
"Aaaai..... Gerakan tubuh orang itu cepatnya bukan kepalang, menanti aku tiba
ditempat tujuan, dia sudah kabur dari rumah kita. Tapi sekilas pandang aku rasa orang itu adalah
seorang perempuan" Tabib Sosial itu menerangkan.
Setelah berhenti sebentar dia alihkan kembali pokok pembicaraannya kesoal lain,
ujarnya lebih jauh, "Bagaimanapun juga aku tetap berkeyakinan bahwa duduknya persoalan ini
tidak sesederhana seperti apa yang kita bayangkan semula, mari ....kita masuk dulu
kedalam ruangan! Ek-hong dan Pek-bo mu sedang menanti di ruang tengah!"
Tanpa banyak bicara lagi, dia lantas putar badan dan masuk dulu kedalam ruangan
dan langsung menuju ke ruang tamu sebelah belakang gedung itu.
Hoa In-liong sekalian berdiri saling berpandangan, siapapun tidak bersuara atau
mengucapkan

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepatah katapun. Sementara dalam hati kecil mereka hanya ada satu perkataan yang
sama, yakni siapakah orang itu" Benarkah dia seorang perempuan" Dan apa pula maksudnya
datang menyatroni kepasanggrahan tabib"
Ko Siong-peng juga menjulurkan lidahnya dengan hati kecut, seolah-olah sedang
mentertawakan ketidak becusan sendiri. Yaaa, hakekatnya dia tak merasa kalau ada orang telah
menyatroni tempat tersebut tanpa diketahui olehnya.
Setelah saling berpandangan sekejap, akhirnya empat orang pemuda itu baru
melangkah masuk kedalam ruangan dan menyusul si tabib sosial yang telah masuk lebih duluan itu.
Ketika mereka tiba diruang tengah, Li Po-seng juga sudah kembali dari halaman
belakang. Wan Ek-hong segera bangkit menyambut kedatangan mereka, sedang Yu lo-hujin manggut
ke arah Hoa In-liong dengan senyum di kulum. "Liong ko-ji, kau telah pulang?" sapanya
dengan ramah, "Bagaimana hasil perjalanan kalian barusan?"
"Tampaknya banyak keanehan dan kejadian yang diluar dugaan terselip dalam
peristiwa ini?" sela Tabib Sosial dengan cepat, "Mari kita bicarakan lagi persoalan itu dengan
seksama, duduk! Kalian duduklah lebih dahulu...."
Yu lo-hujin kelihatan tercengang. "Bagaimana anehnya?" ia bertanya.
Setelah semui orang mengambil tempat duduk. Tabib Sosial dari Kanglam baru
berkata, "Perempuan she-Cia itu bukan saja tidak melarikan diri dari Gi-sin-wan, malahan
dia siapkan meja perjamuan untuk menyambut kedatangan mereka. Kemudian di halaman sebelah
tenggara aku telah temukan juga seorang perempuan tak dikenal yang datang menyatroni
kita. Tapi ketika kukejar ke sana, ternyata ia sudah kabur pergi. Aku pikir dibalik semua kejadian
ini tentu ada hal-hal yang luar biasa"
183 "Ooooh......! Jadi sudah terjadi peristiwa macam begini?" Yu Lo-hujin duduk dengan
dahi berkerut, "Siapakah perempuan tak dikenal yang datang menyatroni tempat kita"
Kemudian apakah dia tidak munculkan diri lagi.....?"
"Aku rasa perempuan tak dikenal yang berkunjung kemari itu sama sekali tidak
bermaksud jahat, sebab hanya sebentar dia berdiri disini kemudian pergi. Pada mulanya aku
mencurigai kalau perempuan itu ada sangkut pautnya dengan perempuan she Cia itu. Tapi setelah
mendengar cerita dari Liong koji sekalian, aku merasa pula bahwa kejadian tersebut
kemungkinan jaga tiada sangkut pautnya" Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu sambil menatap Hoi In-liong
lanjutnya, "Liong-koji,
lebih baik kau saja yang bercerita. Akupun ingin mendengar kisah kalian sejak
awal sampai akhir" Hoa In-liong mengangguk, sesudah tarik napas panjang, diapun berkata, "Ketika
boan-pwe sekalian tiba di rumah pelacuran Gi-sim-wan, si pelayan Tan-ji sudah menyongsong
kedatangan kami, maka setelah kami bertemu dengan Cia-In, sambil minum arak dan bergurau...."
Seorang pelayan masuk menghidangkan air teh, semua orang duduk dengan tenang
mendengarkan Hoa In-liong menuturkan pengalamannya.
Diantaranya yang hadir dalam ruangan tersebut, Li Po-seng dan Wan Ek-hong
terhitung manusia-manusia berotak cerdik yang sangat berbakat, sedangkan Li Siang-tek
suami istri termasuk juga angkatan tua yang berpengalaman luas. Kecerdasan otak mereka
melebihi orang lain setingkat. Sepanjang mereka mendengarkan kisah dari Hoa In-liong, sering
kali alis mata mereka berkenyit dan matanya melotot, namun sampai cerita itu selesai dituturkan
pula seperti keadaan Hoa In-liong, mereka tetap kebingungan dan merasa tak mengerti.
Untuk sesaat, suasana dalam ruangan jadi sepi, hening dan tak kedengaran suara.
Akhirnya Coa Cong-gi merasa suasana disana terlampau menyesakkan napas, tiba-
tiba teriaknya, "Eeeh... Sekarang kita mau apa lagi" Aku rasa Cia-In adalah seorang perempuan yang
berkepribadian menarik, sekaipun dia mempunyai kata-kata yang tak dapat
dijelaskan secara blak-blakan, itu berarti dia mempunyai kesulitan pribadi yang tak dapat
diutarakan. Mau apa lagi kita duduk terpekur disini sambil putar otak" memangnya ada sesuatu hasil yang
dapat kita peroleh dengan memutar otak melulu?"
Tabib Sosial dari Kanglam mengalihkan sinar matanya ke wajah pemuda itu, lalu
tegurnya, "Cong-gi, semenjak dulu sampai sekarang watak berangasanmu itu belum juga dapat
diubah. Aaaai....! Sekalipun Cia-In mempunyai kepribadian yang menawan hati, tidakkah kau
merasa bahwa tindak-tanduknya terlampau misterius". Siapakah yang dapat menyakinkan
kepada kita bahwa perempuan yang datang menyatroni kita malam, tadi sama sekali tak ada
hubungannya dengan Cia-In" Yaaa... kau terlampau muda, belum kau ketahui betapa licik dan
berbahayanya dunia persilatan. Bila watak berangasanmu tetap kau pertahankan terus menerus
dan tiap kali menjumpai persoalan tak kau pikirkan dengan otak yang dingin, niscaya dalam
sepuluh kali peristiwa ada sembilan kali kau akan tertipu".
Sebagaimana diketahui Coa Cong-gi adalah seorang pemuda polos yang berjiwa
terbuka. Ia suka berterus terang dan bicara blak-blakan daripada harus menghadapi tiap persoalan
dengan otaknya. Maka kalau suruh pemuda itu menggunakan otaknya sama saja dengan
memaksa kambing memanjat sebatang pohon.
Dengan alis mata barkenyit, langsung pemuda itu berteriak lagi, "Buat apa musti
putar otak buang energi dengan percuma! Biarpun dia mau gunakan akal yang bagaimana
licikpun, akan 184 kuhadapi setiap perubahan dengan kemantapan hati. Coba lihat saja nanti siapa
akhirnya yang bakal menang!" Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan, "Hoa-lote sudah jatuh pingsan selama
beberapa hari, sekarang diapun musti bersusah payah setengah malaman lebih. Aku pikir
lebih baik kita tidur saja dulu! Kalau mau berpikir lagi, besokpun rasanya belum terlambat...."
Yu Lo-hujin yang pertama-tama bangkit lebih, katanya. "Loya cu!" ujarnya, "Apa
yang dikatakan Cong-ji memang beralasan. Bukan saja Liong koji baru sadar dari pingsannya, lagi
pula barusan sangat menegangkan hati. Aku rasa dipikirpun belum tentu bisa terpecahkan dalam
semalaman saja. Kini malam semakin kelam lebih baik beristirahat dulu untuk menghimpun
tenaga lagi, ada persoalan kita bicarakan lagi besok saja!"
Setelah istrinya ikut angkat bicara, tentu saja Tabib Sosial dari Kanglam tak
leluasa untuk banyak bicara lagi. Dia memandang sekejap anak-anak muda itu lalu bangkit berdiri,
"Baiklah! Lebih baik
kita beristirahat dulu, toh bagaimanapun juga tak mungkin persoalan ini dapat
diselesaikan dalam semalaman!" Dalam pesanggrahan tabib banyak terdapat kamar-kamar tidur. Ruang samping
sebelah timur dan barat adalah kamar tamu. Tabib Sosial suami istri menempati ruang belakang.
Yu Siau-lam berdiam di ruang tengah, sedangkan sahabat-sahabatnya seperti Wan Ek-hong, Li
Po-seng sekalian bila datang berkunjung kesana, mereka menempati pula ruang tengah.
Hoa In-liong dipersilahkan untuk beristirahat diruang tamu sebelah timur.
Selesai membersihkan badan, ia lantas naik keatas pembaringan untuk beristirahat.
Tapi mana mungkin ia dapat tidur nyenyak" Walaupun sudah membolak-balikkan
badannya, mata belum juga mau terpejam. Otaknya selalu bekerja memikirkan kejadian yang
dialaminya di rumah pelacuran Gi-sim-wan belum lama berselang.
Makin berpikir pemuda itu merasa makin kebingungan. Pembunuh gadis yang telah
membereskan nyawa Suma Tiang-cing suami istri hanya meninggalkan sebuah hiolo
kecil terbuat dari batu kemala hijau sebagai tanda pengenal. Padahal dia tahu hiolo kemala
hijau itu adalah tanda pengenal dari Giok Teng hujin. Kalau dibilang Giok Teng hujin telah
meninggalkan dunia yang fana ini, dus berarti tanda pengenalnya itu tentu akan diwariskan kepada
orang lain. Pemuda itu teringat pula akan surat pribadi dari Giok Teng hujin yang diserahkan
neneknya kepadanya dan surat tersebut kini dijahit dalam kaus kutang pelindung badan.
Bukankah tindakan dari neneknya ini sama artinya dengan memberi kisikan kepadanya kalau
Giok Teng hujin tersangkut dalam peristiwa berdarah itu"
Kalau kejadian berdarah itu memang benar-benar menyangkut Giok Teng hujin, itu
berarti gurunya Cia In....yakni Pui Che-giok tak dapat cuci tangan dengan begitu saja.
Tapi.... Aneh, kenapa Cia In mengaku terus terang tentang asal usulnya serta rahasia gurunya!
Menurut perkataan Coa Cong-gi, bukankah itu sama artinya sedang mencari kesulitan buat
diri sendiri" Dikolong langit tak nanti ada orang yang bersedia mencarikan kesulitan bagi diri
sendiri, kecuali kalau orang itu sudah goblok. Atau mungkin juga Cia In mengungkap kesemuanya itu
lantaran perempuan itu menaruh perasaan kagum yang istimewa terhadapnya" Tapi.... rasanya
inipun mungkin. Dengan amat jelas Cia In telah berkata bahwa gurunya melarang mereka mengadakan
hubungan lagi dengan orang-orang keluarga Hoa, atau dengan perkataan lain, kejadian yang
sudah lewat. 185 Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Cia In adalah seorang perempuan yang
lebih mementingkan perguruan dari pada kepentingan pribadi. Terhadap manusia macam
begini, mungkinkah dia menjual perguruannya demi mendapatkan cinta kasih"
Hoa In-liong membalikkan tubuhnya berulang kali untuk menghapus semua pikiran
itu dari benaknya akhirnya dia bergumam, "Lebih baik kita berangkat keselatan saja untuk
melakukan penyelidikan. Tampaknya Pui Che-giok memang tidak tersangkut dalam peristiwa
berdarah ini....." Gumamnya memang begitu tapi ingatannya masih berputar terus tiada hentinya.
Tindak tanduk Pui Che-giok benar-benar sukar diduga sepintas lalu kelihatannya
ia mempunyai rasa dendam yang amat tebal terhadap keluarga Woa, tapi tampaknya diapun sangat
menguatirkan keselamatan dari orang-orang keluarga Hoa, sebenarnya apa yang
telah terjadi" Kalau ditinjau dari perkumpulan Cha-li-kau, itu berarti perkumpulan mereka
adalah suatu perkumpulan sesat yang khusus mengandalkan kecantikan kaum wanita untuk membujuk
kaum pria menjadi anggota perkumpulan tersebut.
Padahal Cia In juga tahu bahwa keluarga Hoa adalah keluarga persilatan yang
paling menjungjung tinggi keadilan serta kesejahteraan dalam dunia persilatan. Apakah
tidak mereka pikirkan bahwa keluarga Hoa tak nanti akan membiarkan sebuah perkumpulan kaum
sesat muncul dalam dunia persilatan"
Tapi tanpa ragu-ragu atau merasa kuatir Cia In telah membeberkan segala
sesuatunya kepadanya, mungkinkah hal ini disebabkan karena mereka terlampau percaya pada
kebenaran dari tujuan perkumpulannya ataukah mungkin sudah mereka duga bahwa keluarga Hoa
pasti tak bisa mengapa-apakan perkumpulan mereka itu".
Ditengah lamunannya, tiba-tiba anak muda ini seperti merasa terkejut. Sepasang
matanya melotot besar-besar, lalu gumamnya lagi, "Apa maksudnya ia berkata demikian"
Dewasa ini paling sedikit ada dua kelompok manusia yang bermaksud tidak menguntungkan bagi
keluarga Hoa. Siapakah dua kelompok manusia yang dimaksudkan itu.....?"
Ketika persoalan itu terlintas kembali dalam benaknya, pada mulanya pemuda itu
menduga bila Cia In memang sengaja hendak menggunakan kata-kata itu untuk menggertak dirinya
agar segera meninggalkan rumah pelacuran Gi-sim-wan dan tidak bertemu dengan Ciu Hoa
disitu sehingga menggagalkan rencana besar perkumpulan Cha-li-kau.
Tapi setelah dipikir lebih jauh bahwa jalan pikirannya tidak benar. Cia In
pernah berkata padanya bahwa mereka tak nanti akan melakukan perbuatan yang menyalahi keluarga Hoa.
Meskipun kata katanya itu sedikit mengandung nada sindiran, tapi jelas menumbangkan jalan
pikirannya tentang "gertakan" tadi. Tanpa sadar ucapan dari si nona baju hitam yang pernah
dijumpainya diluar kota Lok yang tempo hari berkumandang kembali disisi telinganya.
Dia masih ingat, perempuan baju hitam itu pernah berkata demikian kepadanya,


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dunia persilatan pada saat ini sedang terjadi perubahan besar. Suma Tiang-cing
hanyalah korban pertama yang menanggung dosa-dosa orang lain....".
Kemudian diapun berkata demikian lagi kepadanya, "Ayahmu memang merajai seluruh
kolong langit, nama besar dan kedudukannya amat terhormat ibaratnya sang surya ditengah
angkasa. Akan tetapi musuh besarnya banyak tersebar dalam dunia persilatan"
186 Setelah pelbagai ingatan tersebut kian bertambah berat dalam benaknya, ia merasa
semakin yakin kalau dunia persilatan benar-benar sedang mengalami perubahan besar.
Perasaannya kian lama kian berat dan hal ini tentu saja semakin menyulitkan dia untuk tidur
dengan tenang. Pada hakekatnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang tak pernah risau tak
pernah murung dan menghadapi setiap masalah dengan acuh tak acuh. Akan tetapi setelah diatas
bahunya diberi beban seberat ribuan kati, ia telah berubah jadi aeoraog pemuda yang pemurung
dengan pelbagai masalah yang menindih dalam hatinya. Dari sini dapat menunjukkan bahwa
wataknya meski tetap seperti sedia kala, namun rasa tanggung jawabnya jauh lebih
berbobot. Begitulah, setiap kali teringat akan satu persoalan, persoalan lainpun ikut
melintas dalam benaknya. Mulai dari nona Yu sampai ke kucing hitamnya, Si Nio yang bertampang
jelek, Wan Hong giok yang genit dan manja, Siau Ciu kakak seperguruan Wan Hong-giok yang
jumawa sampai beberapa Ciu Hoa yang pernah dijumpainya semuanya terpampang lagi didepan
matanya. Jilid 10 AYAM jago mulai berkokok kentongan lima telah menjelang dan fajarpun hampir
menyingsing, akan tetapi dia masih berpikir dan berpikir terus menerus.
Ia berpikir pula tentang perempuan misterius yang datang ke pesanggrahan tabib,
berpikir pula tentang hubungannya dengan Cia In. Andaikata perempuan itu tiada sangkut pautnya
dengan Cia In, lantas siapakah dia" Apa tujuannya datang ke situ"
Walaupun pelbagai pikiran sudah berkecamuk dalam benaknya, akan tetapi pemuda
itu masih gagal untuk mendapatkan suatu jawaban yang memuaskan hatinya, akhirnya anak muda
itu kewalahan. Ia duduk bersila dan mengatur pernapasan, sesaat kemudian pikirannya
jadi tenang kembali dan berada dalam keadaan lupa diri.
Entah berapa lama sudah lewat tiba-tiba ia merasa ada orang masuk ke dalam
kamarnya, cepat dia membuka matanya. Tampaklah Coa Cong-gi sedang berjinjit-jinjit menutup
kembali pintu kamarnya. Hoa In-liong jadi terkejut bercampur keheranan, segera serunya, "Saudara Cong-
gi....." Secepat kilat Coa Cong-gi putar badannya dan menempelkan jari telunjuknya keatas
bibir tanpa jangan berbisik, setelah itu dengan suara lirih baru bisiknya, "Lote, ayoh ikut
aku pergi dari sini! "
"Ada urusan apa?" Hoa In-liong makin kaget bercampur tercengang.
"Aaaah...... tak ada urusan apa-apa, sisirlah dulu rambutmu, tapi harus cepat dan
jangan berisik aku akan menanti dirimu!"
"Aneh benar saudara Cong-gi ini" demikian Hoa In-liong berpikir, "kalau toh tak
ada kejadian apa-apa, kenapa dia musti berlagak misterius, malahan aku musti cepat dan jangan
berisik....?" Sekalipun dalam hati berpikir demikian, diluaran dia berkerut kening, sambil
bangun dan berpakaian kembali tanyanya, "Apakah saudara Siau-lam sekalian sudah
bangun?" "Aaaah..........kau tak usah perduli mereka, kita harus diam-diam ngeloyor pergi dari
sini!" bisik Cong-gi lagi. 187 "Ngeloyor pergi secara diam-diam" Kenapa?"
"Kenapa" Kita pergi bermain, akan kuajak engkau untuk berpesiar ke tempat-tempat
yang termasyhur disekitar kota ini"
"Tentang soal ini....." Hoa In-liong kelihatan agak sangsi setelah mendengar
perkataan itu. Coa Cong-gi jadi sangat gelisah. "Ayoh cepatan sedikit" desaknya, "kalau kita
tunggu sampai mereka sudah bangun, tentu kita tak akan jadi pergi!"
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, "Tentunya kau tidak
tahu bukan, disekitar kota Kim-leng banyak terdapat tempat-tempat indah yang tak terhitung
jumlahnya, seperti bukit Cing liang-san, bukit Si-cu-san. bukit Ciong-san, pagoda Pak-kek-
kek, kuil Ki-bengsi, puncak Yu-hoa-tay, pantai Yan-cu-ki.... bahkan masih ada lagi
telaga Mo-ciu-ou dan telaga
Hian-bu-ou. Pokoknya komplit ada semua disini!"
"Kalau toh kita akan bermain, tidak sepantasnya kalau kita ngeloyor pergi tanpa
pamit, bagaimanapun juga....."
"Bagaimanapun juga kenapa?" tukas Coa Cong-gi dengan cepat. "Jika kita minta
ijin dulu kepada Yu pek-hu, niscaya kita tak akan jadi berangkat, apalagi kalau menunggu sampai
mereka bangun semua, pastilah yang diributkan dan dipersoalkan hanya masalah Cia In belaka,
bisa pusing kepala dibuatnya. Saudara Hoa, lantaran aku merasa cocok denganmu, maka diam-
diam kuajak engkau bermain, tapi kalau engkau segan pergi yaa sudahlah, biar aku pergi
sendirian!" Pada dasarnya Hoa In-liong memang seorang pemuda yang gemar bermain, apalagi
setelah Coa Cong-gi menyebutkan tempat rekreasi yang begitu banyak dan menawan hati,
semenjak tadi ia sudah tertarik. Maka ketika mendengar perkataan Coa Cong-gi yang terakhir ini, ia merasa kurang
enak untuk menampik kebaikan orang. Walaupun begitu, tentu saja ia tak dapat ngeloyor pergi
seenaknya sendiri, sementara orang lain ikut memikirkan persoalannya lagi pula pada saat
ini dia menginap di rumah keluarga Yu, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang
musti dikatakan. Coa Cong-gi bukan orang bodoh, dari sikap rekannya yang seperti mau berbicara
namun tak dapat mengucapkan sesuatu itu, dia lantas memahami kesulitannya, kembali ia
berkata, "Kesempatan baik tak boleh dibuang dengan percuma. Disiang hari kita pergi
bermain, malam nanti kutemani engkau lagi untuk berkunjung ke Gi-sim-wan dan mencari tahu jejak
dari manusia she-Ciu itu, maka saat bermain dapat kita manfaatkan untuk bermain, saat bekerja
kita bekerja dengan baik, bukankah itu sangat bagus sekali?"
Hoa In-liong merasa bahwa perkataan itu ada benarnya juga, maka setelah
termenung sebentar sahutnya kemudian, "Kalau.... kalau..... memang begitu, le...... lebih baik tinggalkan
saja surat disini" Mendengar si anak muda itu mengabulkan ajakannya, air muka Coa Cong-gi segera
berseri-seri, dia ulapkan tangannya seraya berseru lagi, "Kalau begitu pergilah cuci muka dan
berpakaian biar aku yang menulis surat, ayoh cepatan dikit"
Dia berjalan menuju kemeja dan segera menulis surat.
Terbacalah tulisan itu barbunyi demikian, "Siaute mengajak In-liong pergi
berpesiar, malam nanti baru pulang". 188 Dan dibawah tulisan yang Sederhana itu dia di bubuhi pula dengan singkatan
namanya yaitu "Gi"
Baru saja menulis surat tampaklah Hoa In-liong dengan senyum dikulum telah
menanti dibelakangnya. Coa Cong-gi jadi tertegun, dengan mata melotot segera serunya, "Eeeh.....
bagaimana sih kami ini" Kenapa belum cuci muka......"
"Aku hanya membasuh mukaku dengan kain kering, dengan begitu tindak tanduk kita
tak akan mengganggu orang lain" jawab anak muda itu dengan tenangnya.
Mula-mula Coa Cong-gi agak tertegun, kemudian dia ingin tertawa tergelak,
untunglah tiba-tiba ia teringat akan keadaan mereka, maka sambil acungkan jempolnya dia memuji, "Kau
memang hebat! Itulah kalau dinamakan teman seia sekata, ayoh ikutilah aku!"
Ia lantas putar badan dan pelan-pelan membuka pintu lalu menyusup keluar.
Ketika itu fajar biru saja menyingsing. Beberapa orang pelayan keluarga Yu telah
bangun membersihkan lantai. Dengan sembunyi-sembunyi mereka menuju ke halaman samping.
Setelah memeriksa sekitar tempat itu dan yakin kalau di sekitarnya tak ada orang, kedua
orang itu segera melompat keluar lewat dinding pekarangan dan keluar.
Sekejap kemudian mereka sudah beradu dua tiga li jauhnya dari pasanggrahan
tabib. Ketika hampir tiba di kaki tembok kota, Hoa In-liong baru bertanya, "Saudara Cong-gi,
apakah kita akan masuk dulu ke dalam kota Kim-leng?"
"Ehmm, kita masuk kota, sebab bukit Cing-liang-san, kuil Ki-beng-si dan pagoda
Pak-khek-kek berada didalam kota semua!"
"Kalau begitu, kita akan berpesiar kemana dulu?"
"Bukit Cing-liang-san! Sebab kuil Ki-beng-si berada di atas bukit tersebut.
Setelah mengisi perut dikuil Ki-beng-si, baru kita menuju puncak Yu-hoa-tay untuk memungut batu
kerikil!" Hoa In-liong masih asing dengan keadaan disana, tentu saja dia tak mengerti apa
yang dimaksudkan "memungut batu kerikil di Yu-hoa-tay" dan tidak tahu juga
kenapa musti mengisi perut di
kuil Ki-beng-si. Tapi ketika dilihatnya Coa Cong-gi berlarian dengan kencangnya
maka diapun segan untuk banyak bertanya. Dengan kencang diikutinya rekannya itu menuju ke
dalam kota. Setelah berada dalam kota Kim-leng, kedua orang itu langsung menuju ke kota
sebelah barat. Sesaat kemudian mereka sudah tiba ditempai tujuan.
Yang dimaksudkan bukit Cing-liang-san pada hakekatnya tak lain adalah sebuah
tanah perbukitan yang tak terlampau tinggi, luasnya kurang lebih dua puluh li dengan
tinggi mencapai ratusan kaki. Meskipun demikian pepohonan tumbuh dengan rimbunnya disekitar
tanah perbukitan tersebut. Tiap kali musim panas menjelang tiba, bila ada angin yang berhembus lewat maka
terdengarlah suara serangga berbunyi sahut bersahutan, mendatangkan rasa sejuk bagi mereka
yang kepanasan disana, itulah sebabnya bukit itu dinamakan bukit kesegaran atau Cing-
liang-san. 189 Kuil Ki-beng-si terletak dipuncak bukit Cing-liang-san, gedung bangunannya tidak
terlampau besar tapi banyak sekali jemaah yang berkunjung kesana. Walau fajar baru
menyingsing, namun sudah banyak kaum jemaah yang telah tiba dibukit itu untuk pasang hio
bersembahyang. Tentu saja hal ini ada alasannya. Pertama tanah perbukitan itu sangat tenang,
sejuk dan udaranya segar. Penduduk kota selalu menggunakan kesempatan itu untuk mendaki
bukit. Bukan saja dapat pasang hio bersembahyang, mereka pun dapat berolahraga menyehatkan
badan. Sebab itulah orang-orang selalu saling berebut mendekati bukit itu.
Kedua dikuil Ki-beng-si telah tersedia bubur dan beberapa macam sayur yang
sengaja dimasak oleh kaum padri yang menghuni disana. Bukan saja hidangan itu lezat dan nikmat,
yang penting adalah gratis. Tidak heran kalau kebanyakan orang setelah naik bukit dan
bersembahyangan, mereka datang kekuil itu untuk mengisi perut.
Dan itulah sebabnya Coa Cong-gi mengajak rekannya untuk mengisi perut dikuil Ki-
beng-si. Setibanya dikaki bukit, dua orang itu segera memperlambat langkah kakinya dengan
mencampurkan diri diantara para jemaah yang lain, pelan-pelan mereka mendaki ke
puncak bukit tersebut. Jalan yang mereka ambil sekarang adalah jalan setapak yang paling terpencil dan
jarang dilalui orang. Sepanjang perjalanan tidak banyak yang mereka jumpai, akan tetapi setelah
mereka tiba di pinggang bukit, dimana semua jemaah yang mendaki dari empat penjuru berkumpul
jadi satu. Jumlahnya jadi banyak sekali, kendati begitu diantara orang-orang itu tidak
nampak ada orangorang yang berdandan menyolok. Sekalipun ada, lantaran Hoa In-
liong berdua tujuannya adalah
berpesiar, mungkin merekapun tidak terlampau menaruh perhatian.
Suara pembacaan doa pagi berkumandang diudara pagi yang bersih, itulah para
pendeta sedang menjalankan upacara sembahyangan mereka dipuncak bukit.
Suara ketukan bok-hi dan nyanyian liam-keng yang berpadu menjadi satu memberikan
ketenangan dalam hati Hoa In-liong. Dalam suasana setenang dan secerah ini, anak
muda itu hampir melupakan semua kemurungan dan kekesalan yang dialaminya kemarin malam.
Tanpa

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa ia mempercepat langkah kakinya menuju ke puncak bukit dimana ketukan bok-
hi dan nyanyiannya liam-keng berasal.
Dalam kuil Ki-beng-si hanya terdapat ruang tengah, sebuah ruang samping, sebuah
ruang belakang dan ruang bersantap. Ruang tengah sebagai ruang sembahyang, ruang makan
letaknya diruangan belakang, dibelakang ruang makan itu terdapat pula ruangan ruangan
kecil disanalah terletak gudang dan dapur.
Waktu itu ada dua tiga puluh orang hweesio berkumpul di ruang depan sambil
bersembahyang, semuanya memejamkan mata rapat-rapat dan pusatkan perhatiannya hanya untuk
berdoa. Agaknya Hoa In-liong sudah terpikat oleh suasana tenang disitu, dia langsung
menuju ke ruang tengah dan mendengar pembacaan doa itu dengan penuh seksama.
Beberapa saat lewat dengan begitu saja. Lama kelamaan Coa Cong-gi tercengang
juga oleh sikap rekannya itu, ia jadi habis kesabarannya, segera bisiknya, "Eeeh... lote,
sebenarnya apa yang terjadi?" Hoa In-liong tertegun lalu tersadar kembali dari lamunannya. Dia sendiripun
dibuat kebingungan dan tak habis mengerti dengan kejadian yang baru saja berlangsung didepan
matanya. Ia tak 190 tahu kenapa suara liam-keng dan kekuatan bok-hi itu begitu memikat hatinya
sampai hampir saja dia kehilangan kesadaran.
Dengan muka tersipu-sipu ia menggeleng, lalu sahutnya sambil tertawa jengah,
"Oooh... Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Mari kita berkunjung ke tempat lain!"
Tanpa menantikan jawaban dari Coa Cong-gi lagi, dia putar badan dan pelan-pelan
berjalan menuju ke ruang samping. Tindak tanduk rekannya yang termangu-mangu seperti orang kehilangan kesadaran
ini tentu saja sangat membingungkan Coa Cong-gi yang berada disampingnya. Ia benar-benar dibuat
tak habis mengerti oleh sikap rekannya, tapi ada seseorang yang berdiri dikejauhan
menganggukkan kepalanya berulang kali dengan senyum dikulum.
Orang itu adalah seorang hweesio kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang
yang mukanya sudah penuh berkeriput, matanya setengah terpejam dan memelihara jenggot
sepanjang dada. Potongan badan maupun roman muka hweesio itu sederhana sekali dan sedikitpun
tidak menyolek. Sebuah tasbeh bergantung didadanya, memakai jubah pendeta
berwarna abu-abu yang kasar dengan sepatu rumput yang sederhana sekali.
Walaupun sederhana dandanannya, tapi ia sudah menguntil terus dibelakang Hoa In-
liong semenjak pemuda itu mulai mendaki ke atas puncak bukit. Hanya tentu saja anak
muda itu sama sekali tidak merasa kalau secara diam-diam ada orang yang menguntil terus
dibelakangnya. Setelah berpesiar disekitar halaman kuil, Coa Cong-gi dan Hoa In-liong menuju ke
puncak sebelah tenggara, dari situ mereka nikmati keindahan kota Kim-leng.
Penduduk yang berdiam di kota Kim-leng sebelah tenggara benar-benar padat
sekali, rumah yang berjejer-jejer jauh memanjang sampai ke depan sana, ramai sekali
suasananya. Walaupun fajar baru saja menyingsing, namun sudah banyak orang yang berlalu
lalang dijalan raya. Daerah kota sebelah barat laut meski tidak sedikit jumlah rumah yang ada disitu,
namun kebanyakan adalah gedung-gedung besar milik pembesar atau pedagang kaya. Suasana
dijalan lorong dan jalan raya sekitar tempat itu masih sepi dan jarang ada orang yang
berlalu lalang. Tiba-tiba Hoa In-liong tertegun, sinar matanya yang tajam bagaikan sembilu itu
menatap ke arah loteng tambur tanpa berkedip.
Kembali Coa Cong-gi dibikin tertegun oleh sikap rekannya itu. Dengan perasaan
tidak habis mengerti segera tegurnya, "Eeeeh.... kenapa kamu" Adakah sesuatu yang tidak
beres?" Hoa In-liong segera menuding ke arah mana yang dipandangnya itu, lalu katanya,
"Coba kau lihat, bukankah kereta kuda itu adalah kereta kuda milik Cia In?"
Mengikuti arah yang ditunjuk Coa Cong-gi segera memandang ke bawah. Benar juga,
tampak seekor kereta kuda sedang dilarikan kencang kencang menuju bagian kota yang
ramai. Sayang ketajaman matanya tak dapat menandingi ketajaman mata Hoa In-liong.
Sekalipun ia melihat adanya kereta yang sedang dilarikan kencang-kencang akan tetapi tak
sempat dilihat bagaimanakah bentuk kereta kuda itu.
191 "Aaaah....kamu ini!" Serunya kemudian. "Di kota Kim-leng ini banyak sekali kereta
kuda macam begitu! Darimana kau bisa tahu kalau kereta tersebut adalah keretanya Cia In?"
"Memang, di kota Kim-leng mungkin terdapat banyak sekali kereta kuda, tapi
modelnya toh tak mungkin sama antara yang satu dengan yang lain. Aku sangat hapal dengan model
kereta milik Cia In dan aku rasa dugaanku tak mungkin keliru" kata Hoa In-liong dengan nada
yang meyakinkan. "Kalau memang kereta kuda itu adalah keretanya Cia In lantas kenapa" Eagkau 'kan
juga tahu kalau dia adalah seorang pelacur" Malam diundang orang, pagi baru pulang sudah
merupakan suatu pekerjaan yang umum, apanya yang aneh?"
"Aaah.........aku rasa tak mungkin begitu" Hoa In-liong tetap menggelengkan kepalanya
berulang kali. "Masa kau lupa" Kemarin Ciu Hoa 'kan pergi kesana untuk mencari gara-gara. Jelas
kedatangannya bukan untuk mengundangnya mencari kesenangan. Aku jadi ingin tahu
bagaimana caranya ia meloloskan diri dari cengkeraman orang she-Ciu itu?"
"Kalau tak dapat meloloskan diri lantas kenapa?" seru Coa Cong-gi lagi dengan
muka tertegun, "Eeeh... saudara Hoa sekalipun engkau merasa curiga dengan kejadian ini, aku rasa
tak perlu kau pikirkan pada saat ini. Malam nanti kita berkunjung saja ke kamarnya, tanggung
semua kecurigaanmu akan peroleh jawaban. Ayoh jalan kita pergi makan bubur."
Tanpa menunggu jawaban lagi dia lantas menarik lengan Hoa In-liong dan diajak
menuju ke ruang makan. Coa Cong-gi memang terlalu polos dan kasar, selamanya dia tak mau berpikir
secara baik-baik tiap kali merasa tak mampu untuk menjawab pertanyaan orang, maka digunakannya
kekerasan. Menghadapi manusia semacam ini terpaksa Hoa In-liong harus bersabar dan
mengikuti kehendak hatinya. Setelah masuk ke ruang makan, tampaklah tamu yang bersantap disitu banyaknya
bukan kepalang. Dua puluh buah meja yang tersedia hampir boleh dibilang sudah penuh
diisi manusia. Dalam ruangan bersantap ini tidak tersedia orang yang melayaninya, jadi bila ada
orang yang hendak makan bubur, maka dia harus menyiapkan buat diri sendiri. Oleh sebab itu
manusia yang berlalu lalang disitu amat banyak dan sangat tidak beraturan.
Hoa In-liong mencampurkan diri dengan para jemaah yang berkumpul disitu,
mengikuti di belakang Coa Cong-gi mereka pergi mengambil bubur, lalu mencari tempat kosong
dan duduk sambil bersantap. Sayur yang tersedia disitu ada empat macam. Sepiring sayur putih dimasak cah,
sepiring ayam masak kecap, sepiring tahu merah dan sepiring cah toge, empat macam sayur yang
amat sederhana dan umum, akan tetapi rasanya nikmat sekali, jauh lebih nikmat dari
masakan restoran. Selesai makan bubur sampai kenyang, Coa Cong-gi baru berpaling ke arah temannya
sambil berta-nya, "Eeeeh..... Hoa lo-te, bagaimana rasanya sayur dan bubur yang
dihidangkan disini?"
"Ehmmm...... lezat! lezat sekali" sahut Hoa In-liong sambil angkat kepalanya dan
tertawa. 192 Tiba-tiba dia membungkam, kata-kata selanjutnya tidak diteruskan bahkan senyuman
yang menghiasi ujung bibirnya seketika lenyap, sinar matanya memandang kesatu arah
dengan termangu. Coa Cong-gi mengenyitkan sepasang alis matanya yang tebal, kemudian dengan
perasaan tidak habis mengerti tanyanya, "Hey Hoa lo-te, kenapa hari ini......"
Tiba-tiba ia merasa sinar mata yang terpancar dari kelopak mata Hoa In-liong
aneh sekali, tanpa sadar diapun menghentikan kata-katanya dam mengalihkan pula sinar matanya ke
arah samping. Ternyata di meja samping mereka duduklah seorang pemuda yang menyoren pedang
dengan disampingnya duduk seorang gadis berkerudung hitam yang sedang bermain dengan
seekor kucing hitam. Memandang kucing hitam yang bermata merah menggidikkan hati itu, Coa Cong-gi
kelihatan tertegun. Untuk sesaat diapun, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dalam pada itu, pemuda tersebut telah meletakkan sumpit dan mangkuknya keatas
meja lalu menengadah. Kiranya orang itu tak lain adalah kakak seperguruannya Wan Hong-
giok.... yaitu Siau Ciu adanya. Coa Cong-gi tidak kenal dengan Siau Ciu, tapi dari Hoa In-liong, dia pernah
mendengar tentang kisah si kucing hitam yang ganas.
Sementara itu Siau Ciu sendiripun tampak agak tertegun, menyusul kemudian ia
bangkit dan tertawa seram. "Hee..... hee..... hee..... Hoa loji, sudah lama kita tak bertemu
muka!" Mendengar teguran tadi, perempuan berkerudung hitam yang duduk disampingnya ikut
menengadah, akan tetapi setelah mengetahui siapakah pemuda yang berada
dihadapannya, kontan sekujur badannya menggigil keras.
Sekalipun perempuan itu mengenakan kain kerudung warna hitam yang menutupi
wajahnya atau mungkin tidak membawa serta kucing hitamnya, Hoa In-liong tetap dapat mengenali perempuan
itu sebagai nyonya Yu "gundik" Suma liang-cing yang pernah ditemuinya menjaga di
sisi layon siok-ya nya itu. Tak heran Hoa In-liong segera tertegun, ketika secara tiba-tiba bertemu muka
dengan pembunuh yang paling dicurigainya itu ditempat tersebut itu.....
Tampak nyonya Yu menarik ujung baju Siau Ciu, kemudian bisiknya dengan suara
lirih, "Jangan mencari gara-gara disini mari kita pergi!"
"Heeh... heeeh... hee... mau pergi?" jengek Coa Cong-gi dengan suara dalam "Kalian mau
kemana" jangan mimpi di siang hari bolong...."
"Biarlah mereka pergi" kata Hoa In-liong tiba-tiba dengan suara halus dan
tenang. "Tempat ini adalah tempat beribadah yang sunyi, jangan sampai kita nodai tempai suci ini
dengan bau anyirnya darah manusia!"
"Kenapa?" seru Coa Cong-gi dengan alis mata berkenyit, "Apakah orang itu
bukan....." 193 Sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, Hoa In-liong telah mengangguk.
"Benar, dialah nyonya Yu dan aku rasa tak mungkin bakal salah lagi!"
"Hoa In-liong!" seru Siau Ciu kemudian setelah mendengus dingin, "Kongcumu akan
menantikan kedatanganmu di bukit Ciong san, beranikah engkau pergi ke sana?"
"Baik, kita tetapkan dengan perkataanmu itu, sebentar aku pasti akan tiba di
tempat itu!" sabut Hoa In-liong dengan sinar mata berkilat.
Setelah berhenti sebentar, ditatapnya nyonya Yu dengan pandangan tajam, kemudian
lanjutnya, "Perjanjian ini dengan hujin sebagai pokok persoalan, aku ada persoalan hendak
dibicarakan dengan hujin. Maka aku harap sampai waktunya hujin juga harus habis disitu"
"Aku...... aku..... aku turut perintah!" dengan terbata-bata nyonya Yu memberikan
janjinya. Hoa In-liong tersenyum, dia lantas bangkit berdiri. "Saudara Cong-gi, mari kiia
pergi!" ajaknya. Dengan langkah lebar dia berjalan lebih dahulu menuju ke pintu gerbang ruangan
itu. Dengan mulut membungkam Coa Cong-gi hanya mengekor dibelakang rekannya. Menanti
mereka tiba dipinggang bukit, pemuda itu kehabisan sabar, dia lantas bertanya,
"Hoa lo-te, benarkah kau percaya dengan ucapan nyonya Yu yang akan hadir dalam pertemuan
itu?" Hoa In-liong tersenyum, "Sekalipun dia merupakan satu-satunya titik petunjuk
yang menguntungkan bagiku, hakekatnya perempuan itu bukan manusia penting, jadi mau
datang atau tidak, sebenarnya tidaklah terlalu penting!"
"Kalau...... kalau memang begitu, kenapa kau undang pula kehadirannya dalam
pertemuan itu?"

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Coa Cong-gi dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti.
Sekali lagi Hoa In-liong tersenyum. "Andaikata perempuan itu tidak pergi, ini
membuktikan bahwa dia sudah melakukan suatu perbuatan salah kepada pihak kami. Dus berarti
pula dia tersangkut dalam peristiwa berdarah yang menimpa Suma siok-ya ku itu. Bila suatu
ketika aku betul-betul menghadapi jalan buntu, maka semua tenaga dan pikiranku dapat
dipusatkan untuk mengejarnya dan akhirnya duduknya persoalan tentu akan ketahuan juga"
"Seandainya dia menghadiri pertemuan itu?" Cong-gi bertanya lebih lanjut.
"Bila kita tinjau keadaan yang terpapar dihadapan mataku sekarang, dengan posisi
nyonya Yu yang tersangkut dalam peristiwa berdarah itu maka menurut dugaanku jika dia
berani datang menghadiri pertemuan itu, tentu diapun akan membawa pula membantu pembantunya
untuk mengerubuti aku dan keadaan semacam inilah yang memang sedang kunanti-nantikan"
Mula-mula Coa Cong-gi agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, tapi
menyusul kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Haa... haa.... haa.... Aku mengerti, sekarang..... Aku
mengerti.... Sungguh tak kusangka kau...."
Hoa In-liong segera menepuk bahunya pelan. "Kalau banyak bicara tentu lebih
banyak gagalnya dari pada berhasil. Kalau sudah mengerti yaa sudahlah, mari percepat perjalanan
kita" Demikianlah, dua orang itu lantas bergandengan tangan dan buru-buru menuruni
bukit Cingliang san. 194 Baru saja dua orang itu lenyap dari pandangan, nun jauh dibalik pepohonan yang
rindang sana pelan-pelan muncul seorang hweesio tua yang kurus kering tinggal kulit
pembungkus tulang. Memandang bayangan punggung Hoa In-liong yang menjauh, dia gelengkan kepalanya
berulang kali, kemudian sambil memanggul kantungan kainnya pelan-pelan diapun menuruni
bukit itu. Bukit Ciong-san terletak kurang lebih lima puluh li disebelah timur kota Kim-
leng. Hoa In-liong dan Coa Cong-gi tidak langsung menuju ketempat tujuan. Mereka
keluar kota lewat pintu sui-see-bun, mula-mula bermain dulu di Yu-hoa-tay setelah itu mereka baru
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya menuju ke bukit Ciong-san.
Setibanya di kaki bukit, waktu menunjukkan antara pukul tujuh pagi. Angin
berhembus sepoisepoi menyejukkan badan. Gunung itu cukup tinggi dan angker,
orang menyebutnya pula bukil
Ci-kim-san. Memandang tanah perbukitan yang tinggi dan luas itu, Coa Cong-gi tampak agak
tertegun, kemudian sambil menghembuskan napas panjang katanya, "Aaah..... Coba lihatlah
bukit Ciongsan begini besar dan luasnya, kenapa tadi kita bisa lupa menanyakan
tempat yang sebenarnya"
Coba sekarang kemana kita musti menunggu?"
Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu sahutnya, "Untunglah waktu masih pagi. Mari
kita mendaki dulu kepuncak bukit itu. Dari situ kita akan menyaksikan dengan jelas setiap
orang yang mendatangi bukit ini"
Oleh karena hanya itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh, tentu saja Coa
Cong-gi tak dapat berkata apa-apa lagi. Sekali lagi dua orang itu mengerahkan tenaga
dalamnya untuk lari ke atas puncak. Sesaat kemudian, mereka sudah mendekati puncak bukit tersebut, tiba-tiba
terdengar seorang perempuan membentak dengan suara yang amat parau, "Berhenti! Kalau engkau berani
maju selangkah lagi, jangan salahkan kalau kutebas kutung sepasang kaki anjingmu!"
Mendengar ancaman tersebut, Hoa In-liong merasa terkesiap, segera pikirnya,
"Lhoo.... itu kan Si
Nio" Kenapa dia bisa berada disini"."
Baru saja pikiran itu melintas dalam benaknya, tiba-tiba terdengar suara pria
lain menyahut sambil tertawa dingin, "Lengan belalang mau menahan kereta. Haa.... Haa.... Haa....
Kau si nenek jelek benar-benar manusia yang tak tahu diri, berani benar......"
Belum habis perkataan itu, tiba-tiba Hoa In-liong membentak dengan suara dalam,
"Ayoh cepatan sedikit! Orang itu adalah Ciu Hoa"
Begitu selesai berkata, tubuhnya lantas melambung ke udara. Dari situ dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat menerjang ke atas puncak bukit.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah tiba diatas puncak bukit itu.
Tampaklah tempat tersebut adalah sebidang tanah berumput yang tidak rata, luasnya kurang lebih
belasan kaki persegi. Sebelah timur dan barat merupakan hutan yang rimbun, sebelah timur laut
merupakan sebuah jurang yang entah berapa dalamnya.
Pada waktu itu kecuali arah tebing dengan jurang yang dalam itu tanpa penjagaan,
boleh dibilang tiga arah disekitarnya sudah dikepung oleh enam belas orang laki-laki
berbaju ringkas warna merah. 195 Ditengah tanah lapang berumput itu berdirilah seorang nona baju hitam yang
berusia enam belas tahunan dengan pedang pendek terhunus. Mukanya diliputi kegusaran dan matanya
melotot besar. Si Nio si perempuan bertampang jelek itu menghadang dihadapannya. Mukanya
yang jelek itu kelihatan menyeringai seram, sepasang matanya berapi-api. Kulit
wajahnya mengejang kencang, sepasang tangannya yang hitam pekat bagaikan arang tampaknya sudah
disaluri tenaga dalam yang sempurna, ini menunjukkan bahwa ia telah bersiap-siap hendak
turun tangan. Dihadapan perempuan jelek itu berdirilah Ciu Hoa dengan sikap acuh tak acuh.
Sinar matanya memancarkan cahaya cabul, senyuman tengik tersungging di ujung bibirnya.
Kendatipun pihak lawan sudah bersiap sedia menerjang ke depan, akan tetapi dia sendiri tetap
tenang-tenang saja, malahan selangkah demi selangkah maju semakin ke depan.
Dibelakang Ciu Hoa berdirilah seorang pemuda berbaju perlente yang usianya
antara dua puluh tahunan. Kalau dilihat dari gerak geriknya, jelas dia berasal sealiran dengan
Ciu Hoa. Dari keadaan yang terpapar didepan mata sekarang, siapapun akan tahu bahwa
pertarungan ini bukan disebabkan soal dendam, sebaliknya karena Ciu Hoa yang cabul dan suka main
perempuan itu telah berhasrat untuk menangkap si nona baju hitam.
Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang berangasan, menyaksikan adegan tersebut,
sontak bawa amarahnya berkobar dada, tiba-tiba membentak keras, "Berhenti! Mengganggu
kaum perempuan yang lemah, Hmm! Terhitung manusia gagah macam apakah kau itu?"
Bentakan tersebut diucapkan dengan disertai tenaga dalam yang amat sempurna,
begitu nyaring-nya bentakan tadi membuat telinga orang terasa jadi sakit.
Cia-Hoa sangat terkejut, tanpa terasa dia menghentikan langkah kakinya dan
berpaling. Rupanya si nona baju hitampun telah mengetahui siapa yang datang, dengan
kegirangan segera teriaknya, "Hoa-kongcu!"
Ketika itu Ciu Hoa pun sudah melihat kedatangan Hoa-In liong. Dengan alis mata
berkenyit segera tegurnya dengan, seram, "Heeh... heee.... heee... rupanya kita memang berjodoh!
Tempo hari kau berdaya upaya menipu aku dengan, mengakui bernama Pek khi. Setelah itu
melakukan perbuatan licik pula atas diriku. Heee..... heee... heee...... Hoa-loji, apakah kau
tidak takut perbuatanmu melarikan perempuan pelacuran itu akan merusak nama baik keluarga
Hoa-kalian?" Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa In-liong merasa terkejut, segera
p?kirnya, "Aaaah....
apa yang telah terjadi" Mungkinkah Cia In telah membongkar rahasiaku
dihadapannya.....?" Belum habis ingatan itu melintas dalam benaknya, terdengar nona baju hitam itu
sudah menjerit kaget, "Oooh Thian! Kau....."
Jeritan itu penuh mengandung nada kecewa, sekalipun tak diketahui dengan alasan
ap?kan ia menunjukan perasaan kecewanya itu.
Belum sempat Hoa In-liong berpikir lebih jauh, Si Nio si perempuan jelek itu
sudah menukas lebih dulu dengan suara dingin, "Nona, jangan lupa dengan tujuan kita yang sebenarnya.
Biar dia mau menculik nona darimanapun, kesemuanya itu sama sekali tak ada sangkut pautnya
dengan kita!" 196 Dalam beberapa waktu singkat ini memang telah terjadi banyak sekali kejadian
aneh. Seruan girang dari nona baju hitam itu disusul dengan jerit penuh kekecewaan, ditambah
dengan ucapan Si Nio dan sindiran Ciu Hoa, kesemuanya itu membuat Coa Cong-gi semakin
kebingungan di buatnya. Tampak Hoa In-liong tarik napas panjang panjang, kemudian sambil menghampiri
nona baju hitam itu katanya, "Nona! Kau jangan bersedih hati, duduk persoalan yang
sebenarnya sudah berhasil kuselidiki sedikit demi sedikit dan terbukti sudah bahwa nona memang
tidak tersangkut didalamnya. Mengenai persoalan ayahmu, dikemudian hari pasti akan kuusahakan
bantuan sedapat mungkin, Nah, sekarang kau boleh tinggalkan tempat ini lebih dahulu......."
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ciu Hoa tertawa terbahak-bahak,
"Haa..... haa.... Haa... Orang she-Hoa, apakah engkau juga akan mencampuri urusan ini?" tegurnya.
Hoa In-liong sama sekali tidak menggubris perkataannya itu, dia berkata lebih
jauh, "Nona, perkataanku ini benar-benar muncul dari hati sanubariku. Keturunan keluarga Hoa
selamanya tidak akan menjilat kembali ludah yang lelah ditumpahkan. Percayalah dengan aku.
Nah, ayolah pergi dulu! Urusan disini akan kubereskan untuk nona!"
Si Nona baju hitam itu hanya menangis terisak dan sama sekali tidak menjawab,
sedangkan Si Nio berdiri dengan muka sedingin es. Diapun tidak menunjukkan tanda-tanda akan
mengundurkan diri diri tempat itu.
"Hmmm. kau akan menguruskan persoalan mereka itu?" tiba-tiba terdengar Ciu Hoa
mengejek sambil mendengus dingin. "Hmmm! Engkau benar-benar manusia tak tahu diri, makin
lama perbuatanmu semakin berani sehingga urusan orang lain pun baru kaucampuri!"
Sinar matanya lantas dialihkan ke arah pemuda perlente dibelakangnya, tambahnya,
"Lo-ngo, ayoh serbu. Mati atau hidup tak usah dipersoalkan, lagi... pokoknya sikat beres"
Sebuah pukulan kencang langsung disodok ke tubuh Hoa In-liong yang berada
dihadapannya. Dengan satu kecepatan bagaikan kiiat Hoa In-liong mengegos kesamping. Setelah
lolos dari pukulan dahsyat itu, bentaknya, "Eeeh.... tunggu sebentar! Aku masih ada perkataan
yang hendak kutanyakan kepadamu!"
"Criiiiiiing....!"
Pemuda berbaju perlente itu mencabut keluar pedangnya lalu menghadang jalan
pergi pemuda itu, sambil melancarkan sebuah bacokan ke arah pinggang serunya dengan ketus,
"Dalam dunia akhirat bukan hanya kau seorang yang jadi setan kebingungan, kau tak usah banyak
bicara lagi! Nih, rasakan sebuah bacokan mautku!"
Bukan saja perkataannya tajam, serangan pedang itupun cepatnya bagaikan sambaran
kilat, lihaynya bukan kepalang. Menyaksikan serangan yang amat lihay itu, si nona baju hitam menjerit kaget,
sepasang matanya terbelalak lebar-lebar. Hoa In-liong sama sekali tak keder menghadapi serangan maut itu. Tangan kirinya
segera disodok ke muka melepaskan sebuah pukulan dahsyat yang membentur ujung pedang
itu, bentaknya, "Siapa kau". Kalau ingin bertempur, ayoh terangkan dulu namamu.... aku
paling tak sudi berkelahi dengan manusia tak bernama!"
197 Setelah serangan telapak tangannya mengenai sasaran yang kosong tadi, Ciu Hoa
telah meloloskan pedangnya. Dengan jurus Cian-li-yang huan (mengembangkan layar
menempuh seribu li) dia tusuk pergelangan tangan musuh.
"Dia bernama Ciu Hoa, sudah jelas?" sahutnya dengan lantang.
Ciu Hoa pemuda berbaju perlente inipun bernama Ciu Hoa" Ini berarti sudah ada
tiga orang yang mengaku bernama Ciu Hoa! Hoa In-liong merasakan hatinya amat terperanjat, nyaris iga kirinya termakan
oleh tusukan pedang itu. Melihat rekannya terancam bahaya, Coa Cong-gi sangat gelisah dia siap menerjang
kedepan untuk memberi bantuannya.
Tiba-tiba terdengar nona baju hitam itu berteriak lengking, "Hoa kongcu,
sambutlah pedangku ini" Serentetan cahaya tajam menembusi udara, pedang pendek yang panjangnya hanya
beberapa

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depa itu secepat kilat meluncur ke arah punggung Ciu Hoa.
Merasakan datangnya maut dari belakang, Ciu Hoa tak berani melanjutkan
serangannya, cepat dia menarik kembali pedangnya sambil menyingkir kesamping.
Agak lega Coa Cong-gi menyaksikan kesemuanya itu. Diam-diam ia berpikir dihati,
"Aku lihat perempuan itu mempunyai satu ganjalan terhadap Hoa In-liong namun rupanya dia
pun menaruh rasa cinta, itulah yang dinamakan orang tidak cinta sebenarnya cinta!"
Sementara hatinya berpikir demikian, sepasang matanya dengan tajam mengikuti
jalannya pertarungan ditengah gelanggang.
Tampaklah pedang pendek itu dengan membawa desingan angin tajam masih meluncur
terus ke depan. Tampaknya Hoa In-liong tak dapat menyambut senjata tersebut. Dalam
gugupnya lengan kanannya cepat dijulurkan ke depan dan tahu-tahu entah dengan cara apa, pedang
pendek yang bersinar tajam itu sudah terjepit diantara jari tengah dan jari telunjuknya.
Setelah memegang pedang, maka keadaan Hoa In-liong ibaratnya harimau yang tumbuh
sayap. Tampaklah pedang pendek itu berkelebat kian ke mari dengan cepatnya. Dengan
serangkaian serangan berantai yang maha dahsyat dia serang dua orang Ciu Hoa itu habis-
habisan sehingga kedua orang itu terdesak mundur terus tiada hentinya.
Sementara melancarkan serangan berantainya, diam-diam Hoa In-liong berpikir pula
didalam hati, "Aneh benar dari mana munculnya begitu banyak Ciu Hoa dalam dunia
persilatan. Pemuda berbaju perlente itu disebut Lo-ngo, pria bermuka kuda dulu disebut Lo-sam...
Entah ada berapa orang Ciu Hoa lagi yang bakal kujumpai" Kenapa tidak kugunakan siasat untuk
memancing mareka" Asal jalannya ilmu silat mereka dapat kuraba, tentu untuk menebak asal
usul mereka....' Berpikir sampai disini, dia lantas menunjukkan sikap seakan-akan tenaga dalamnya
sudah lemah, sehingga permainan pedangnya ikut melambat pula...."
Pertarungan antara jago-jago lihay, seringkali menang kalah hanya tergantung
dalam waktu sedetik. 198 Pada hakekatnya ilmu silat yang dimiliki dua orang Ciu Hoa itu sudah mencapai
pada puncaknya. Tapi oleh karena mereka menyerang secara gegabah, mengakibatkan posisi mereka
selalu berada di bawah angin. Dan sekarang, ketika secara tiba-tiba dilihatnya serangan pedang dari Hoa In-
liong melambat, serta-merta mereka manfaatkan kesempatan baik yang sama sekali tak diduganya itu
sebaik mungkin. Dengan wajah berseri-seri, kedua orang itu segera memperketat serangan pedang.
"Sreeet....! Sreeet.....! Sreeet!"
Secara beruntun mereka lancarkan tiga buah serangan berantai untuk memperbaiki
kembali posisi mereka. Perlu diketahui, oleh karena kedudukan mereka berada dibawah angin, maka ilmu
pedang mereka tak bisa dikembangkan sebaik-baiknya dan sekarang setelah posisinya
berhasil diperbaiki, dua bilah pedang mereka bagaikan ikan yang bertemu air, segera
melancarkan serangan lagi dengan jauh lebih lincah dan ganas.
Ilmu pedang yang dimiliki kedua orang itu betul-betul ganas, lihay dan
berbahaya, bukan saja kerjasamanya sangat tapat, langkah dan permainan pedang kedua orang itupun jauh
lebih mantap dan berbobot. Lebih banyak jurus-jurus serangan aneh yang digunakan dari
pada tipu muslihat, bahkan kelihayannya tidak jauh berbeda dengan ilmu pedang yang
dimainkan Ciu Hoa ketika mereka bertarung di kota Lok-yang tempo hari.
Setelah mencoba dua puluh jurus lebih, Hoa In-liong mulai berpikir dalam
hatinya, "Kalau ditinjau
dari gerakan jurus ilmu pedang mereka, tampak-tampaknya jurus pedang itu berasal
dari satu perguruan yang sama. Itu berarti pula bahwa mereka berasal dari satu perguruan
yang sama pula, entah berapa sebenarnya jumlah manusia yang memakai nama Ciu Hoa itu". Aku
perlu menyelidikinya sampai jelas!"
Tiba-tiba pedangnya digetarkan kencang-kencang, lalu secepat kilat membacok
tubuh Ciu Hoa yang berbaju perlente itu, bentaknya dengan nyaring, "Ayoh bicara! Apakah kalian
semua adalah anak murid dari perkumpulan Hian-beng-kau?"
Serangan itu datangnya seperti bianglala dari angkasa, bukan saja sangat tajam
bahkan disertai tenaga desingan yang memekikkan telinga.
Ciu Hoa yang berbaju pelente itu amat terkejut. Ia tak berani menyambut ancaman
tersebut dengan kekerasan. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur setindak kebelakang.
Ciu Hoa yang bermuka potongan kuda itu cepat menyergap maju ke depan. Ujung
pedangnya menciptakan selapis cahaya tajam yang menggidikkan hati, tanpa memperdulikan
keselamatan jiwanya. Secara beruntun dia totok tiga buah jalan darah penting dipunggung Hoa
In-liong, tentu saja tujuan dan serangannya ini adalah untuk menyelamatkan jiwa laki-laki
berbaju perlente yang bernama Ciu Hoa itu.
Serangan itu lihaynya memang lihay. Sayang Ciu Hoa bermuka kuda itu telah
melupakan sesuatu. Dia lupa bila seseorang akan menyerang dengan satu jurus mengadu jiwa,
maka pertahanan atas tubuhnya sendiri akan terbuka.
199 Baru saja dia menerkam kemuka, dengan satu gerakan manis Hoa In-liong sudah
putar badannya sambil membabatkan pedang pendeknya ke depan. Seketika itu juga ia
merasa kepalanya jadi dingin dan sakit. Rasa kaget dan takutnya bukan alang kepalang.
Hoa In-liong tertawa, sambil mundur kebelakang tegurnya, "Coba aku mau bertanya,
apabila serangan pedangku tadi kulancarkan tiga inci lebih kebawah maka apa akibatnya?"
Apa akibatnya" Tentu saja tak usah ditanyapun orang akan mengetahui dengan
sendirinya. Berdiri semua bulu kuduk Ciu Hua bermuka potongan kuda itu, peluh dingin
membasahi tubuhnya, diam-diam ia menarik napas panjang dengan jantung berdebar
keras. Hoa In-liong tersenyum kembali ujarnya, "Tolong tanya, dalam perguruanmu ada
berapa yang menggunakan nama dan she sebagai Ciu Hoa?"
"Delapan orang!" jawab Ciu Hua bermuka potongan kuda itu seperti kena hipnotis.
"Delapan orang menggunakan nama yang sama bukankah itu berarti bahwa kalian
memang sengaja memusuhi keluarga Hoa kami!" bentak Hoa In-liong dengan muka sedingin
es. "Hmmm! Ayoh jawab permusuhan apakah yang sebenarnya terikat antara gurumu dengan
keluarga Hoa kami?" Tiba-tiba Ciu Hoa bermuka potongan kuda itu tertegun. Ia baru sadar bahwa
barusan dia telah kesalahan berbicara, kontan paras mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan
mayat. Saking kaget dan gugupnya dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Tiba-tiba Ciu Hoa yang berbaju pelente itu menimbrung dari samping arena, "Lo-
sam sepatah kata juga bicara, delapan sepuluh patah kata juga telah berbicara. Kalau toh
sudah berbicara, aku rasa apa yang telah kita ketahui katakan saja semuanya secara blak-blakan!"
Hoa In-liong mengerutkan alisnya rapat-rapat dalam hati diam-diam pikirnya,
"Kakak beradik seperguruan ini mempunyai usia yang hampir sebaya, mempunyai nama yang sama dan
saling memuji tapi mengindahkan mana yang lebih besar mana lebih kecil. Ditinjau dari
sikap mereka, tentulah guru mereka pun berwatak seperti itu."
Berpikir demikian, ia lantas berkata, "Kukagumi engkau sebagai seorang laki-laki
sobat. Nah! Tolong tanya markas besar perkumpulan Hian-beng-kau kalian terletak dimana"
Apakah aku boleh mengetahuinya?"
"Perkumpulan kami belum dibuka secara resmi" jawab Ciu Hoa berbaju parlente itu
dengan nyaring, "Kau tak usah kuatir, disaat perkumpulan kami akan diresmikan
nanti, kartu undangan pasti
akan kami bagi ke seluruh dunia persilatan, termasuk juga keluarga Hoa kalian! "
Hoa In-liong mengangguk tanda puas dengan jawabannya, "Benarkah Suma tayhiap
suami istri yang berdiam di kota Lok-yang terbunuh oleh orang-orang yang kalian utus?"
"Benar!" jawab Ciu Coa berbaju perlente.
"Bukan!" sanbung Ciu Hoa bermuka potongan kuda.
"Eeeh..... Kalau mau menjawab yang betul, sebetulnya ya atau tidak?" bentak Hoa
In-liong dengan sinar mata berkilat.
200 "Kami berdua 'kan sudah mengakuinya secara terus terang?" seru Ciu Hoa bermuka
kuda dengan ketus. Hoa In-liong mengerutkan dahinya kencang-kencang. "Jadi sebetulnya ya atau
tidak?" kembali tegurnya. "Ya juga tidak, semuanya benar! Apa susahnya mengartikan perkataan yang sangat
sederhana itu" Cerewet amat kamu ini".
Hawa amarah sontak mencekam seluruh benak Hoa In-liong. Hampir saja amarahnya
itu akan dilampiaskan keluar, untunglah ia masih mampu mengendalikan perasaannya. "Hmm.....
Baik.... Baik, rupanya sebelum kuberikan suatu demontrasi kekuatan, kalian tak akan
mengakuinya secara berterus-terang. Kalau memang begitu lihat saja kelihayanku ini!"
ancamnya. Ciu Hoa berbaju perlente itu melototkan sepasang matanya lebar-lebar, bibirnya
bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi sebelum ia sempat berbicara, tiba-tiba
terdengar suara seseorang yang serak tua tapi lantang berkumandang memecahkan
kesunyian, "Eeeh........bocah cilik,
kalau engkau ingin tahu segala sesuatunya hingga jelas, tanyakan saja langsung
kepadaku!" Ucapan tersebut datangnya sangat mendadak dan sama sekali tak terduga. Hoa In-
liong merasa amat terperanjat, cepat-cepat dia berpaling kebelakang.
Entah sejak kapan, dari arah selatan telah muncul empat orang kakek yang telah
berusia lanjut didampingi nyonya Yu yang masih menggendong kucing hitamnya dan Siau Ciu yang
berbaju ringkas dengan sebilah pedang tersoren dipinggangnya.
Kedatangan beberapa orang itu sama sekali tidak berisik ataupun menimbulkan
suara. Malahan Siau Ciu dan nyonya Yu juga bisa muncul dengan entengnya, ini menunjukkan bahwa
ilmu meringankan tubah yang mereka miliki telah peroleh kemajuan yang pesat.
Memandang beberapa orang yang berdiri dihadapinya, Hoa In-liong merasa terkejut,
tanpa terasa pikirnya dalam hati, "Entah siapakah beberapa orang kakek itu" Kalau
didengar dari nada pembicaraannya mereka, rupanya orang-orang itu mengetahui jelas tentang
peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma dan tampaknya pula mereka mempunyai rasa dendam dan
sakit hati yang amat mendalam dengan keluarga Hoa kami. Jangan-jangan.... jangan-jangan
mereka memang sengaja hendak memusuhi keluarga Hoa?"
OOOOOoooOOOOO BELUM habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, Coa Cong-gi yang
berangasan telah melompat kedepan kemudian dengan muka dingin serunya lantang, "Eeeh..... Kalian
toh orangorang yang sudah punya umur kenapa kalau berbicara begitu tak tahu
sopan santun" Bocah.....
Bocah..... Siapa yang kau sebut bocah" Kalau kita panggil tua bangka kepada
kalian, coba bayangkan saja bagaimana perasaan kalian". Hmmm! Betul-betul kurang ajar!"
Beberapa patah katanya itu diucapkan dengan suara yang tajam bagaikan pisau,
seketika itu juga empat orang kakek itu dibikin tertegun.
Salah seorang diantara empat kakek yang berbadan kurus jangkung segera tampil
kemuka, dengan wajah agak berubah bentaknya nyaring, "Bocah keparat, engkau benar-benar
menggemaskan hati, ayoh bicara. Siapa namamu?"
201 Coa Cong-gi sama sekali tidak jeri meskipuna harus berhadapan muka dengan kakek
yang berwajah bengis, jawabnya, "Aku bernama Coa Cong-gi, salah seorang dan Kim-leng
ngokongcu, ada apa?"
Sikapnya yang sombong dan jumawa itu semakin menggusarkan kakek jangkung yang
kurus itu. Sinar matanya berkilat tajam, agaknya dia akan mengumbar hawa amarahnya.
Saat itulah, kakek bermuka bengis yang berada ditengah-tengah menghalangi
tindakan rekannya. "Huan heng, harap tunggu sebentar!" katanya, "Buat apa kita musti
ribut-ribut dengan seorang bocah ingusan yang masih berbau tetek" Sudahlah jangan gubris bocah
itu!" Tiba-tiba entah apa sebabnya, Hoa In-liong merasa hatinya jadi tegang. Menurut
pengamatannya secara diam-diam, ia merasa bahwa beberapa orang kakek yang berada dihadapannya
tak dapat

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disangsikan lagi tersangkut dalam peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma.
Pemuda itu merasa bila kesempatan yang sangat baik ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya, maka tak sulit baginya dikemudian hari untuk menyelidiki latar belakang dari
peristiwa berdarah itu. Tentu saja diapun tahu, kalau dapat bentrokan secara kekerasan harus dihindari,
penyelidikan baru mendatangkan hasil jika itu berlangsung dalam suasana yang tenang dan
ramah-tamah. Oleh sebab itulah, begitu sikakek bengis tadi menyelesaikan kata-katanya, cepat
dia maju kedepan dan menjura kepada kakek itu. "Aku adalah Hoa In-liong, boleh kuketahui
siapakah nama lotiang?" Perkataannya ini tidak terlampau angkuh juga tidak terlalu merendahkan diri
sendiri. Nadanya besar dan tidak mirip bocah yang masih ingusan. Siapapun akan mengira bahwa
pemuda ini sudah lama berkelana dalam dunia persilatan.
Ketika mendengar perkataan tersebut, pada mulanya kakek bermuka bengis itu
tampak tertegun, menyusul kemudian dengan alis mata berkenyit sahutnya dengan dingin, "Pernahkah
engkau dengar tentang perkumpulan Kiu-im-kau dari mulut orang persilatan?"
Dalam hati Hoa In-liong merasa tercekat, akan tetapi diluarnya dia tetap
tersenyum ewa. "Pernah
sih pernah!" sahutnya, "Aku dengar perkumpulan Kiu-im-kau berulang kali
mengalami kekalahan, malahan tempo dulu......"
"Tempo dulu kami sudah munculkan diri sebanyak dua kali di wilayah selatan"
Tukas kakek bermuka bengis itu sambil mendengus. "Dan sekarang kami munculkan diri untuk
ketiga kalinya. Dalam pemunculan kali ini kali ini kami khusus akan menyatroni keluarga Hoa
kalian dan akan kami tandingi siapa gerangan yang sebenarnya lebih pantas menguasai jagad"
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong merasa sangat terperanjat. Diam-diam ia
berseru tertahan. "Aaaah.... Tak salah lagi. Mereka memang khusus memusuhi keluarga Hoa
kami ternyata memang perbuatan biadab dari orang-orang perkumpulan Kiu-im-kau.
Aaai..... Kakek ini tidak berani bicara secara blak-blakan, itu berarti ada sesuatu yang dia takuti.
Dus berarti issue yang mengatakan bahwa dunia persilatan bakal terjadi perubahan besar, tampaknya
bukan berita isapan jempol belaka yang tak dapat dipertanggung jawabkan"
Sekalipun dihatinya merasa terkejut bercampur curiga, namun diluaran si pemuda
itu tetap tenang. Ia kalem seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun, malahan dia tertawa
hambar. "Lotiang, perkataanmu terlalu berlebihan!" serunya. "Kami keluarga Hoa sedari
sian-cou sampai sekarang selalu mengekang diri dengan ketat dan bersikap seramah-ramahnya kepada
orang lain. Sampai sekarang keadaan tersebut telah berlangsung selama tiga generasi.
Selama tiga 202 generasi ini kendatipun kami tak berani mengatakan telah melakukan kebajikan dan
keadilan bagi khalayak ramai, akan tetapi kami pun yakin selama ini tak pernah berhasrat
untuk mencari gara-gara atau berebut nama dan kedudukan dengan orang lain. Soal ini... yaaa,
soal ini lebih baik tak usah dibicarakan lebih jauh. Tolong tanya tujuan Lotiang datang kemari
adalah....." Ditengah pembicaraan bukan saja secara tiba-tiba ia telah mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, bahkan tiba-tiba saja perkataan tersebut dipotong ditengah jalan.
Dengan senyuman dikulum ditatapnya wajah kakek itu dan menantikan jawaban lawan.
Kalau kita perhatikan perkataannya barusan, maka dapat kita dengar sekalipun
nada pembicaraannya lunak dan enak didengar, hakekatnya mengandung suatu
ketegasan yang membuat orang tak dapat mengganggu gugatnya kembali.
Mendengar ucapan tersebut, kakek bermuka bengis itu segera alihkan pandangan
matanya ke atas wajah Hoa In-liong, kemudian ditatapnya anak muka tajam-tajam. Selang
sesaat kemudian ia ba-ru tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya. "Haaa... haa..... haa..... Bagus!
Bagus sekali! Anak keturunan keluarga Hoa memang jauh berbeda dengan orang-orang yang
lain.....Bagus! Bagus!"
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan kembali, "Aku she-Le bernama Kiu it,
tiancu ruang siksa dari perkumpulan Kiu-im-kau. Dua puluh tahun berselang aku pernah mendapat
hadiah sebuah pukulan dari ayahmu!"
"Bagus..... Bagus! rupanya kau sedang menagih hutang kepada Hoa lote yaaa" Rupanya
kau kurang terima hanya mendapat hadiah sebuah pukulan belaka?" tiba-tiba Coa
Cong-gi berteriak dengan suara lantang. Hoa In-liong merasa gelisah sekali, cepat-cepat dia berpaling kesamping seraya
tegurnya, "Saudara Cong-gi, jangan berteriak sembarangan lebih dulu. Bagaimanapun juga
kita tak boleh lupa akan kata kesopanan!"
"Tata kesopanan?" Coa Cong-gi melotot bulat-bulat, "Kenapa kita musti
membicarakan soal tata kesopanan dengan mereka" Tahukah engkau, apa maksud dan tujuan mereka datang
kemari?" "Tentu saja. Siaute juga tahu apa maksud dan tujuan mereka datang kesini,
cuma....." "Nah, kalau sudah tahu itu lebih baik lagi" tukas Cong-gi tidak memberi
kesempatan bagi rekannya untuk bicara lebih jauh. "Mari kita selesaikan persoalan ini dengan
pertarungan kilat, jangan beri peluang bagi mereka untuk mencari keuntungan di air keruh"
Hoa In-liong benar-benar dibikin serba salah oleh perkataan rekannya. Mau marah
bagaimana, tidak marah bagaimana. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak memberi tanggapan
terhadap ucapan rekannya. Pelan-pelan anak muda itu berpaling, ditatapnya Tiancu ruang siksa dengan sinar
mata tajam, ke-mudian katanya lagi, "Aku rasa apa yang barusan dikatakan Coa heng memang
benar. Tampaknya kedatangan Le Tiancu adalah untuk menuntut balas terhadap sebuah
pukulan yang pernah dihadiahkan ayahku padamu, serta menguasai dunia persilatan dibawah
kekuasaanmu, Hmmm. Kalau toh memang itu tujuan kalian, baik untuk kepentingan umum maupun
untuk kepentingan pribadi, cari saja langsung kepadaku pasti akan kuselesaikan semua
persoalan sebaik-baiknya dan aku rasa satu-satunya cara yang bisa digunakan adalah
bertarung sampai salah satu diantara kita menang."
203 Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, kakek kurus jangkung itu menimbrung
dari samping. "Eeeh..... Anak muda, besar amat kepentingan umum dan kepentingan pribadi". Heeh....
hee.... Hee..... mengandalkan kekuatanmu seorang untuk menghalang-halangi usaha sudah
tertawa seram dan lagak bicaramu!. Untuk Rupa-rupanya kau hendak perkumpulan kami yaa?"
Hoa In-liong tidak memberi tanggapan, sinar matanya lantas dialihkan ke wajah
kakek kurus itu lalu tegurnya, "Tolong tanya siapa nama lotiang" Dan apa kedudukanmu dalam
perkumpulan Kiu-im-kau?" "Aku bernama Huan Tong, menjabat sebagai Tongcu bagian propaganda dalam
perkumpulan Kiu-im-kau" sahut kakek itu angkuh.
Air muka Hoa In-liong segera berubah jadi serius. Dengan wajah bersungguh-
sungguh katanya lagi, "Bagus sekali, Huan-tongcu! Tolong tanya bagaimana dengan hutang ayahku?"
Kakek kurus yang bernama Huan Tong itu agak tertegun, menyusul kemudian
sahutnya, "Kenapa" Hutang sang ayah, anaklah yang musti bayar! Kenapa kau musti banyak
bertanya lagi?" Hoa In-liong mengangguk. "Benar, ayah yang berhutang putranya yang wajib
membayar. Letiancu merasa pernah berhutang sebuah pukulan dari ayahku, maka aku
Hoa loji sebagai putra ayahku, apakah tidak berkewajiban untuk menerima pembayaran sebuah pukulan itu?"
Huan Tong tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata. Ia cuma bisa
memandangi lawannya dengan mulut melongo.
Hoa In-liong tidak berdiam sampai disitu saja, kembali ujarnya lebih jauh, "Huan
tongcu, ada satu persoalan hendak kuberitahukan pula kepadamu, yaitu setiap orang dari
perkampungan Liok-soat-san-ceng dibukit In-tiong san selalu menitik beratkan semua kekuatan
dan perhatiannya untuk menjaga keamanan serta kestabilan situasi dalam dunia
persilatan. Perduli siapapun jika berani menerbitkan keonaran atau ingin mendatangkan hujan badai
dalam dunia kangouw, maka anak cucu keluarga Hoa bersumpah akan memusuhinya sampai titik
darah penghabisan, tidak terkecuali pula terhadap perkumpulan Kiu-im-kau. Nah, Huan
tongcu! Percuma kau berlagak garang dihadapanku, sebab toh sikap garangmu itu tidak
nanti akan mempengaruhi sikap maupun pendirian dalam hatiku!"
Kiranya pemuda itu sengaja berbicara kesana kemari, tujuan yang sebenarnya tak
lain hanya hanya satu yakni mengutarakan pendirian dan sikapnya dalam persoalan tersebut.
Tak terkirakan rasa gusar dan mendongkol yang berkobar dalam dada Huan Tong
sehabis mendengar perkataan itu. Untuk sesaat ia berdiri tertegun kemudian sambil
tertawa seram serunya, "Haa.... haa.... haa.... Bocah keparat kau memang bernyali! Kau memang benar-
benar bernyali!" Seraya berkata selangkah demi selangkah dia maju menghampiri lawannya. Ditinjau
dari sikapnya yang garang dan menyeramkan itu dapat diketahui bahwa ia sudah tak
sabar lagi dan kini bersiap-siap untuk melakukan serangan maut.
Coa Cong-gi yang menyaksikan kemarahan orang, bukannya jadi jeri, dia malahan
semakin gembira, sambil bertepuk tangan bersorak sorai serunya lantang, "Puas.... Puas!
Sungguh memuaskan! Lo-te, biar aku yang layani kakek ceking ini"
Dengan langkah lebar dia maju ke muka dan siap menyongsong kedatangan Huan Tong.
204 Siapa tahu, baru selangkah dia maju, dengan kecepatan bagaikan kilat Hoa In-
liong telah menarik tangannya. "Saudara Cong-gi, tunggu sebentar.... Tunggu sebentar!" Serunya
kemudian, "Jangan terburu-buru turun tangan, sebab siaute masih ada persoalan yang hendak
dibicarakan dulu dengan orang ini"
Pelan-pelan Huan Tong maju menghampiri si anak muda itu, langkahnya sama sekali
tidak berhenti, serunya pula dengan suara yang dingin dan menggidikkan hati, "Kau tak
usah banyak berbicara lagi, ingin ber bicara maka lebih baik kita berbicara dalam gerakan
tangan dan kaki saja.... ayoh! siapkan dirimu untuk menyambut seranganku ini"
Hoa In-liong kualir Coa Cong-gi tak dapat menahan sabarnya, dia maju ke depan
dan menghadang dihadapannya, lalu dengan suara dalam serunya, "Huan tongcu, harap
engkau sedikit tahu diri. Aku sama sekali tidak takut untuk bertarung melawan engkau.
Tapi sebelum itu ada beberapa persoalan ingin kutanyakan lebih dulu, masa kau tak berani
menjawabnya....?" "Aku mengerti jelas sekali, bahkan terlampau jelas bagiku" sahut Huan Tong
sambil mendengus dingin, "Bila selesai kujajal dirimu, otomatis aku akan lebih jelas lagi....."
Belum habis perkataan itu, ketika tiba-tiba seorang nyonya tua menanggapi
perkataannya itu dengan dingin, "Huan Tong, ayoh mundur, kau terlalu congkak terlalu jumawa
sekali dalam setiap pembicaraan!"
Huan Tong terperanjat, cepat-cepat dia berpaling, lalu tergopoh-gopoh memberi
hormat. "Yaa kaucu, Huan Tong menghunjuk hormat buat kaucu!"
Dalam waktu singkat seruan "menghunjuk hormat buat kaucu" berkumandang silih
berganti, Le Kiu-it sekalian bertiga memberi hormat dengan sikap yang bersungguh-sungguh lalu
mengundurkan diri kesamping. Sedangkan Siau Ciu dan nyonya Yu bertekuk lutut dan
menyembah ke atas tanah. Hoa In-liong sangat terperanjat, cepat dia menengadah dan alihkan pandangan
matanya kedepan, tampaklah pada sudut sebelah selatan dari tanah berumput itu telah
berdiri seorang nyonya tua yang berwajah potongan rembulan didampingi seorang gadis cantik yang
bertubuh ramping, tinggi semampai dengan rambut sepanjang bahu.
Nyonya tua bermuka bulat rembulan itu mempunyai perawakan tubuh yang tinggi
besar. Ia mengenakan jubah lebar berwarna hitam. Rambutnya yang berwarna
keperak-perakan berkibar terurai di bahu. Tangan kanannya memegang sebuah toya baja berwarna hitam. Di
ujung toya baja itu terukirlah sebuah kepala setan perempuan sebanyak sembilan buah.
Kesemuanya diukir

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan muka bengis. Gigi taring mencuat keluar dan rambut panjang awut-awutan,
mengerikan sekali tampangnya. Ketika kepala setan itu diamati lebih seksama, ternyata roman mukanya persis
seperti tampang nyonya tua itu. Hanya saja perempuan tua itu kecuali bermuka pucat seperti mayat
dan sama sekali tidak ada warna merahnya. Sepasang matanya bersinar tajam menggidikkan
hati, membuat siapa pun yang melihatnya merasa seram dan ketakutan.
"Dialah ketua dari perkumpulan Kiu-im-kau?" diam-diam Hoa In-liong berpikir,
"Yaa, kalau dia yang datang, itu lebih baik lagi, sebab dengan begitu akupun tak usah jauh-jauh
pergi ke Lamhuang untuk mencari jejaknya."
205 Berpikir sampai disini, sinar matanya lantas dialihkan kebelakang nenek itu dan
menatap tajam dara cantik berambut panjang yang berada di belakang Kiu-im-kaucu. Menyaksikan
tampangnya yang ayu dan menawan hati itu tiba-tiba saja anak muda itu tertegun.
Yaa, gadis itu memang cantik sekali. Kecantikan wajahnya melebihi bidadari dari
kahyangan. Rasanya sekalipun Siang-go atau Si-see lahir kembali pun kecantikan mereka juga
begitu saja. Usia nona itu masih muda sekali. Mukanya potongan kwaci dengan sepasang alis
mata yang lentik. Matanya jeli bagaikan bintang timur. Hidungnya mancung. Bibirnya kecil
mungil bagaikan delima merekah. Kulitnya halus dan putih, seputih susu. Pinggangnya ramping dan
pinggul yang padat berisi. Tertutup oleh gaun bajunya yang putih salju itu tampaklah
perawakan badannya yang ramping dan menawan hati. Rasa-rasanya didunia ini sukar untuk temukan
perempuan kedua yang memiliki kecantikan melebihi gadis tersebut.
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah seorang pemuda romantis. Manusia
macam dia paling pantang bertemu dengan gadis-gadis cantik. Ketika memandang
untuk kejapan yang pertama tadi, anak muda itu masih merasakan keadaan yang wajar. Akan tetapi
semakin dilihat dia merasa semakin tertarik. Makin dipandang ia merasa keayuan dan kerampingan
nona itu semakin memi-kat hatinya dan akhirnya perasaan tersebut tak dapat dikuasahi
lagi. Dari kagum ia jadi tertarik dan karena tertarik timbullah hasratnya untuk memiliki gadis
itu. Tanpa sadar uatuk sesaat anak muda itu berdiri terbelalak dengan mulut melongo,
nyaris dia lupa berada dimanakah saat itu.
Untuk sesaat suasana diarena pertarungan itu jadi sunyi, sepi dan tak kedengaran
sedikit suara pun, Ciu Hoa berdua beserta para begundalnya telah berkumpul jadi satu. Si Nio
yang jelek berdiri bersama majikannya dibelakang Hoa In-liong. Hampir semua perhatian dan
sinar mata orang-orang yang hadir di sana tertuju kesatu arah, yakni wajah kaucu serta
gadis cantik itu. Selang sesaat kemudian, dengan sinar mata setajam sembilu Kiu-im-kaucu menyapu
pandang sekejap ke arah orang-orangnya yang berdiri disekeliling tempat itu, kemudian
sambil mengulapkan tangan kirinya dia menghardik keras, "Kalian semua tak perlu banyak
adat!" Empat orang kakek itu mengiakan, mereka lantas luruskan badan dan mundur
kebelakang. Sementara Siau Ciu dan nyonya Yu selesai menyembah tiga kali
mengundurkan diri dari situ.
Hoa In-liong baru tersadar dari lamunannya sesudah mendengar bentakan itu,
mukanya jadi merah padam karena jengah, sorot matanya cepat-cepat dialihkan ke arah wajah
Kiu-im-kaucu. Ketua dari perkumpulan Kiu-im-kau itu sedang mengetuk tanah dengan tongkat
kepala setannya, lalu terdengar ia menegur, "Huan tongcu, apakah engkau tahu salah?"
"Hamba..... hamba.... hamba......" Huan Tong tergagap dan buru-buru membungkukkan
badannya. Kembali Kiu-im-kaucu mendengus dingin. "Coba jawab! Bagaimanakah pesan dan
perintahku kepada kalian tadi" Terbayang kegagahan dan kebesaran Hoa Thian-hong, aku
sendiripun menaruh tiga bagian rasa kagum kepadanya. Apalagi kau Hmmm! Watakmu
terlampau berangasan. Apalagi mulutmu kurang tajam untuk bersilat lidah, sudah tahu kelemahan sendiri
ternyata berani juga bercekcok dengan keturunan keluarga Hoa.... Huuh...! Perbuatanmu itu
benar-benar bikin hatiku merasa sangat kecewa!"
206 "Lapor kaucu!" ujar Huan Tong dengan sikap yang sangat terhormat "Bocah cilik
dari keluarga Hoa ini takabur dan sombongnya bukan kepalang. Mulutnya terlampau tajam dan
bicaranya tidak kira-kira. Oleh karena dia bersumbar akan menentang perbuatan perkumpulan kita,
maka hamba....." "Sudah kau tak usah banyak bicara lagi!" tiba-tiba Kiu-im-kaucu menukas sambil
mengulapkan tangannya "Memang demikianlah pelajaran yang diwariskan keluarga Hoa mereka
terhadap setiap keturunannya!"
Tiba-tiba ia menghela napas panjang setelah berhenti sebentar sambungnya lagi,
"Atau dengan lebih tegasnya saja, dengan mengandalkan keberhasilan ilmu silat yang dimiliki
keluarga Hoa, mereka mempunyai hak untuk mengucapkan kata-kata semacam itu"
"Hamba tidak percaya" teriak Huan Tong dengan gelisah setelah mendengar
perkataan itu. Setajam sembilu sorot mata Kiu-im-kaucu tiba-tiba ditatapnya anak buahnya itu
tanpa berkedip lalu bentaknya dengan suara berat dan dalam. "Tutup mulutmu! Engkau tidak
percaya dengan kemampuan ilmu silat yang dimiliki keluarga Hoa ataukah engkau sudah tidak
percaya lagi dengan perkataanku?"
Dengan ketakutan cepat-cepat Huan Tong membungkukkan badannya memberi hormat.
"Hamba tidak berani! Hamba hanya mempunyai kesetiaan sampai mati dan sepanjang masa
hanya mendengarkan perintah serta perkataan kaucu seorang!"
Ditinjau dari sikapnya itu, dapat diketahui betapa takut dan jerihnya kakek itu
terhadap ketuanya. Hormatnya boleh dibilang sudah mendekati suatu penjilatan. Suatu sikap
mundukmunduk yang cuma terdapat dalam hubungan antara seorang majikan dengan
budak beliannya. Lama sekali Kiu-im-kaucu menatap anak buahnya itu, tiba-tiba ia menghela napas
panjang. "Aaaai....! Dalam kejadian ini, aku memang tak dapat menyalahkan engkau. Sudah
sekian lama kau menetap diluar perbatasan dan lagi jarang sekali bergerak di daratan
Tionggoan, maklumlah kau tak memahami seluk beluknya dunia persilatan dewasa ini. Yaa, berbeda
tentunya keadaan sekarang dengan keadaan pada lima belas tahun berselang. Waktu itu engkau
merupakan seorang anggota perkumpulan yang aktif dan selalu berada disampingku dalam
menangani setiap kejadian dalam dunia persilatan. Kini setelah lama mengasingkan diri,
apalagi tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu saja tak dapat disalahkan kalau
kau tak akan percaya dengan apa yang baru saja kukatakan"
Baru selesai ia berkata, Huan Tong telah bungkukkan badannya dan memberi hormat
lagi. "Yaa kaucu, semoga kaucu dapat memaklumi keadaan dari hamba." bisiknya lirih.
Kiu-im-kaucu segera ulapkan tangannya lagi. "Kau tak usah merasa menyesal atau
merasa rendah diri, dikemudian hari aku masih banyak membutuhkan tenagamu untuk
kejayaan perkumpulan kami" ucapnya. "Atau tegasnya, selama berada dalam perkumpulanlah
yang patut dijunjung tinggi dan dinomor satukan daripada persoalan lain. Disamping itu,
harus kita akui bahwa Hoa Thian-hong betul-betul seorang pendekar besar yang berjiwa ksatria,
berbudi luhur dan mengutamakan kebaikan serta kesetiaan kawan. Kendatipun dia adalah musuh
nomor satu dari perkumpulan kita, tidak sepatutnya kalau kita pandang enteng atau memandang
cemooh kepadanya, aku harap soal ini dapat kau ingat selalu didalam hati"
Setelah keadaan berubah menjadi begini, kendatipun dihati kecilnya Huan Tong
merasa sangat tak puas dengan ucapan tersebut, toh terpaksa juga dia harus manggut-manggut
sambil mengiakan berulang kali. 207 Jilid 11 SEPANJANG pembicaraan itu berlangsung, Hoa In-liong dengan pandangan matanya
yang tak berkedip selalu mengawasi setiap gerakan dan tingkah laku Kiu-im-kaucu,
mendengarkan pula setiap perkataan yang diucapkan olehnya.
Dari hasil pengamatannya itu, kesan pertama yang melintas dalam benaknya adalah
Kiu-imkaucu seorang perempuan itu berotak brilian dan betul-betul seorang musuh
yang sukar ditandingi. Sekalipun Kiu-im-kaucu memuja ayahnya setinggi langit dan menunjukkan sikap
hormatnya, akan tetapi Hoa In-liong juga bukan seorang pemuda yang bodoh, makin melangit
pujian perempuan itu makin tinggi kewaspadaannya terhadap orang tersebut.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi?" demikian ia terpikir dalam hatinya, "Jelek-
jelek Huan-tong adalah seorang tongcu perkumpulan Kim-im-kau. Lagipula diapun kedudukannya
sebagai seorang tamu kehormatan, tidak sepantasnya kalau Kiu-im-kaucu mengucapkan kata-
kata "Masih banyak mengandalkan dirimu dalam persoalan" dan sebangsanya dihadapan orang
lain. Sebenarnya apa yang dia butuhkan?"
Sementara pikiran masih melayang kesana kemari memikirkan psrsoalan itu, dengan
suara lantang Kiu-im-kaucu telah berseru kembali, "Hoa siau hiap, harap engkau
datanglah sebentar kemari!" Pada saat kebengisan dan keseraman yang menghiasi wajah Kiu-im-kaucu sudah
lenyap tak membekas, sebagai gantinya senyum manis penuh menghiasi ujung bibirnya, caranya
berbicarapun halas dan penuh keramah-tamahan.
Agak tertegun Hoa In-liong menghadapi keadaan seperti itu, bibirnya bergerak
separti hendak mengucapkan sesuatu, namun maksud tersebut akhirnya diurungkan, sesaat lamanya
dia bingung dan marasa kehilangan pegangan.
"Kami tak mau kesitu!" tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi menyahut dengan suara
nyaring. "Tapi aku kan tidak suruh engkau yang datang kemari?" kata Kiu-im-kaucu sambil
tertawa. Untuk sesaat Coa Cong-gi tertegun, kemudian sahutnya, "Tapi..... tapi....itu toh
sama saja, kenapa kami harus menuruti perkataanmu?"
"Aaaah! Kamu ini benar-benar seorang manusia yang tak tahu aturan" damprat Kiu-
im-kaucu sambil tertawa "Jelek-jelek aku kan seorang nenek tua, sekalipun ada persoalan
yang hendak dibicarakan, masa orang tua yang musti menghampiri yang muda" Itu kan namanya
tak tahu sopan santun?" Betul juga perkataan itu! Yang lebih muda sepantasnya menghormati orang yang
lebih tua dan sewajarnya pula kalau yang lebih muda yang menghampiri orang yang lebih tua,
bukan orang yang tua menghampiri orang muda, karena memang begitulah menurut tata kesopanan
dan adat seorang manusia yang benar.
Coa Cong-gi jadi terbelalak dan gelagapan setengah mati, dia tertegun dan tak
tahu apa yang musti dilakukan. 208 "Masuk diakal juga perkataannya itu" akhirnya Hoa In-liong berbisik dengan lirih
"Mari kita kesitu!"
Selangkah demi selangkah dia maju kemuka dengan langkah lebar.
Dalam keadaan begini. Coa Cong-gi sudah kehilangan pegangan. Dengan perasaan apa
boleh buat terpaksa dia mengikuti juga di belakang rekannya dan menghampiri nenek itu.
"Hoa-Kongcu, kau harus berhati-hati!" mendadak si nona berbaju hitam itu
berteriak dengan gugup, "Perempuan itu berhati palsu dan menyembunyikan goloknya dibalik
senyuman, sudah pasti dia menaruh maksud-maksud jahat terhadap dirimu".
Mendengar seruan tadi, Kiu-im-kaucu sontak tertawa terbahak-bahak. "Haa.....
haa..... haa.........Nona cilik, agaknya kau sangat memperhatikan keadaan Hoa Siau-hiap yaa"
Janganjangan ada main....." godanya.
Merah padam selembar wajah nona baju hitam itu karena jengah. "Aku.........
aku....."gumamnya tergagap. "Jangan memperdulikan obrolan perempuan itu!" tukas Si Nio perempuan jelek itu
dengan ketus. Kita tidak akan menguatirkan keadaan siapapun juga"
Kiu im kaucu tertawa terbahak-bahak. Dia seperti akan mengucapkan sesuatu lagi,
tapi sebelum sepatah dua patah kata sampat diucapkan, Hoa In-liong telah tiba dihadapan
mukanya.

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hoa In-liong menjumpai kaucu!" demikian ia berseru sambil memberi hormat, "Bila
kaucu hendak menyampaikan sesuatu silahkan saja diutarakan secara blak-blakan.
Ketahuilah kedua orang perempuan itu adalah orang yang berada diluar garis batas-batas persoalan
ini. Jadi sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan persoalan ini. Bila kaucu masih juga
bersilat lidah terus dengannya, maka hal ini mungkin akan merusak martabat serta nama baik kaucu!"
Setelah mendengar kata-kata yang tegas itu, Kiu im kaucu baru menarik kembali
Kisah Pedang Di Sungai Es 24 Bara Dendam Menuntut Balas Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Rajawali Emas 8
^