Pencarian

Si Kangkung Pendekar Lugu 2

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 2


gembok pintu. Kemudian iapun keluar untuk membuka pintu besi diujung lorong
sana, ketika pintu besi diluar itu dikunci lagi, maka terdengarlah suara
tindakan tiga orang mendatangi.
Saking girangnya Tik Hun terus melompat bangun, tapi kakinya masih lemas, ia
terguling pula, terpaksa bersandar didinding sambil memandang keluar. Karena
bergeraknya itu, pundaknya menjadi sangat kesakitan, tapi untuk sementara sudah
dilupakan olehnya, sebab dia yakin orang yang datang itu tentu Suhu dan
Sumoaynya. Mendadak seruan "Suhu" yang diucapkan separoh itu ditelannya kembali hingga
mulutnya masih ternganga. Ternyata ketiga orang yang datang itu per-tama2 memang
betul sipir bui itu, orang kedua juga benar adalah sang Sumoay, Jik Hong, tapi
orang ketiga ternyata seorang pemuda ganteng berdandan perlente, itulah Ban Ka
adanya. "Suko, Suko!" seru Jik Hong segera sambil menubruk kepinggir langkan besi.
Tik Hun mendekatinya, ia lihat pakaian gadis itu terdiri dari bahan sutera,
terang bukan lagi baju baru yang dipakainya dari desa itu.
Karena itu ia melangkah mundur lagi. Ia lihat kedua mata sigadis merah bendul
dan masih berseru: "Suko, Suko, kau......... kau..........."
"Dimana Suhu?" sela Tik Hun. "Apakah beliau sudah diketemukan?"
Jik Hong menggeleng kepala dan air matanya ber-linang2 tanpa menjawab.
"Baikkah engkau" Tinggal dimana kau?" tanya Tik Hun pula.
"Aku tidak punya tempat meneduh, maka sementara tinggal di rumah Ban-
suko........" "Tempat itu adalah tempat celaka, jangan engkau tinggal disana, le........lekas
pindah keluar!" seru Tik Hun.
Jik Hong menunduk, sahutnya dengan pelahan: "Tapi ke.......kemana aku harus
pergi" Aku tidak punya uang pula. Ban-suko juga sang.........sangat baik padaku.
Selama beberapa harini ia selalu..........selalu mendatangi kantor kabupaten, ia
sudah banyak mengeluarkan uangnya untuk meno........menolong engkau."
Tik Hun semakin gusar, teriaknya: "Aku toh tidak bersalah, perlu apa dia
membuang uang" Dan cara bagaimana kita harus membayar kembali padanya kelak"
Nanti kalau Tikoan Tay-loya sudah terang menyelidiki perkaraku, tentu aku akan
dibebaskan." "O, ken.......kenapa engkau berbuat begitu" Mengapa hen........hendak
meninggalkan aku?" demikian tiba-tiba Jik Hong menangis pula setengah meratap.
Tik Hun tercengang sejenak, tapi segera iapun paham. Ternyata sampai sekarang
sang Sumoay masih percaya dia telah perlip-perlipan dengan wanita lain serta
mencuri harta milik orang. Sesaat itu rasa sakit hatinya itu jauh lebih
menderita daripada sakit segala siksaan badan. Rasanya be-ribu2 kata hendak
dijelaskannya kepada Jik Hong, tapi toh sekecappun tak sanggup diucapkannya se-
akan2 mulutnya sudah tak berkuasa lagi.
Melihat sikap Tik Hun yang luar biasa itu, Jik Hong menjadi takut, ia berpaling
tidak berani memandangnya lagi.
Melihat sang Sumoay mendadak melengos, sungguh hancur luluh hati Tik Hun. Ia
sangka sigadis sudah sedemikian benci dan dendam padanya karena ia telah main
serong dengan wanita lain dan mencuri milik orang.
"Oh, Sumoay, jika engkau sudah tidak mempercayai diriku lagi, kenapa engkau
datang pula menjenguk aku?" demikian keluhnya dalam hati.
Maka ia tidak berani pandang sigadis pula, pelahan2 iapun berputar menghadap
dinding. Jik Hong menoleh pula, katanya: "Suko, apa yang sudah lalu, tak perlu kita
bicarakan lagi sekarang, yang kuharap semoga selekasnya dapat memperoleh
beritanya ayah. Ban-suko juga .....juga akan berdaya untuk menjamin kau
keluar........" Sebenarnya hati Tik Hun ingin mengatakan tidak sudi dijamin dan ingin bilang
engkau jangan tinggal dirumahnya, tapi meski mulutnya sudah terpentang, rasanya
toh sangat berat mengeluarkan suara. Saking terguncang perasaannya hingga
badannya gemetar, rantai belenggunya ikut bersuara gemerincing.
"Temponya sudah habis, lekas" desak sipir bui. "Disini adalah penjara kusus
untuk hukuman berat, sebenarnya dilarang orang menjenguk, kalau diketahui
atasan, tentu kami celaka. Nona, meski orang ini dapat keluar dengan hidup juga
bakal menjadi cacad, maka lebih baik engkau melupakan dia saja dan kawinlah
dengan seorang pemuda yang ganteng lagi kaya!"
Habis berkata, ia pandang Ban Ka sekejap dengan senyum berarti.
"Toasiok sebentar lagi," mohon Jik Hong.
Lalu ia ulurkan tangannya untuk menarik baju Tik Hun, katanya pula: "Suko,
janganlah kau kuatir, aku pasti minta Ban-suko menolong keluar kau, lalu kita
bersama akan pergi mencari ayah."
Ia angsurkan sebuah keranjang kecil kedalam kamar dan katanya: "Didalam
keranjang ada sedikit Siobak, ikan pindang, telur ayam dan ada lagi dua tahil
uang perak. Suko........."
Sipir bui sudah tidak sabar lagi, bentaknya: "Nona, jangan omong terus, aku
takbisa menunggu lagi!"
Dan baru sekarang Ban Ka ikut buka suara: "Tik-suheng, jagalah dirimu baik2,
perkaramu adalah perkaraku. Siaute pasti akan berusaha sebisanya untuk minta
keringanan pada Koan-thayya dan lain hari kami akan menengok kau lagi."
Dalam pada itu sipir bui sedang men-desak2 lagi, terpaksa Jik Hong bertindak
keluar sambil menoleh2 memandang Tik Hun, ia lihat pemuda itu menegak bagai
patung, sedikitpun tidak bergerak dan tetap menghadap dinding.
Yang terllihat oleh Tik Hun waktu itu melulu dekat-dekuk dinding batu yang kasap
itu, sungguh ia ingin menoleh dan ingin memanggil Sumoay, tapi mulutnya serasa
gagu dan lehernya juga se-akan2 kaku.
Ia dengar tindakan tiga orang semakin menjauh, mendengar suara pintu besi dibuka
dan ditutup kembali, lalu tindakan sipir bui yang berjalan kembali.
Ia pikir: "Ia mengatakan akan menjenguk aku lagi, apakah esok dia akan datang?"
Tik Hun merasa lapar juga, segera ia hendak mengambil penganan dari keranjang
yang ditinggalkan Jik Hong itu. Tapi tiba2 sebuah tangan yang lebat dengan bulu2
hitam menyamber yang dipegangnya itu. Itulah dia sihukuman yang bengis itu.
Setelah merebut penganan itu, terus saja orang itu mencomot sepotong daging dan
diganyang dengan lahap. "Itu milikku!" teriak Tik Hun terus hendak merebut kembali.
Tapi sekali perantaian itu mendorongnya, Tik Hun tak sanggup berdiri tegak lagi,
ia jatuh terjengkang hingga kepalanya membentur dinding batu.
Baru sekarang Tik Hun menjadi jelas bahwa dirinya benar2 telah berubah seorang
cacat sesudah Pi-pe-kut dipundak ditembus dan otot kaki dipotong orang..........
Besoknya Jik Hong tidak kelihatan, hari ketiga juga tidak muncul, begitu pula
hari keempat dan selanjutnya. Se-hari2 Tik Hun ber-harap2 bisa melihat sang
Sumoay lagi, tapi selalu kecewa, dari kecewa menjadi putus asa.
Sampai belasan hari, Tik Hun benar2 seperti orang gila. Ia ber-teriak2 dan
gembar-gembor, ia bentur2kan kepalanya kedinding hingga benjut, tapi Jik Hong
tetap tidak kunjung tiba, yang datang adalah siraman air kencing sipir bui dan
hadiah bogem mentah siperantaian yang ganas itu.
Selang setengah bulan lebih, pelahan2 Tik Hun menjadi tenang, tapi sepatah
katapun sekarang tak diucapkan lagi.
Suatu malam, tiba2 datang empat petugas penjara dengan membawa golok, mereka
menyeret keluar siberewok yang ganas itu.
Diam2 Tik Hun pikir: "Apakah dia akan dihukum penggal kepala" Jika begitu
malahan lebih baik baginya daripada tersiksa hidup didalam penjara. Dan akupun
takkan dianiaya lagi olehnya."
Tengah malam, selagi Tik Hun tidur, tiba2 terdengar suara gemerincingnya rantai,
keempat petugas bui itu telah menggusur kembali siganas itu.
Dari sinar bulan yang menembus masuk melalui lankan besi Tik Hun dapat melihat
muka, tangan dan pundak siberewok itu penuh darah, terang habis dihajar orang
hingga babak-belur. Dan begitu merebah dilantai, siganas itu lantas tak sadarkan diri. Sesudah
petugas2 penjara pergi, Tik Hun coba mengamat-amati orang, ia lihat muka,
lengan, kaki dan pundaknya penuh luka bekas cambukan.
Dasar hati Tik Hun memang welas-asih, meski selama ini ia sendiri sering dihajar
orang itu, namun melihat keadaannya yang mengenaskan itu, ia menjadi tidak tega.
Ia menuang sedikit air dari kendi dan diminumkan padanya.
Pelahan2 perantaian itu siuman, dan ketika melihat Tik Hun, mendadak ia angkat
belenggu tangannya dan mengepruk keatas kepala pemuda itu. Meski Tik Hun sudah
kehilangan tenaga, tapi kegesitannya masih ada, cepat ia mengegos. Diluar dugaan
serangan perantaiannya itu tidak jadi dilontarkan terus, tapi ditengah jalan
mendadak membiluk kesamping, lalu menghantam kepinggang Tik Hun. Inilah semacam
gaya serangan yang lihay dari ilmu silat.
Tanpa ampun lagi Tik Hun terpental jatuh, karena gesekan diantara rantai yang
menembus tulang pundak dan belenggunya itu, Tik Hun sampai meringis kesakitan.
Saking kejut dan gusar ia terus memaki: "Orang gila!"
"Hm, kau memakai akal menyiksa diri, kau kira mudah mengelabui aku" Huh, jangan
kau mimpi!" demikian jengek siganas itu sambil ter-bahak2.
Tik Hun merasa tulang iganya se-akan2 patah, saking sakitnya sampai takbisa
bicara. Selang agak lama barulah ia sanggup berkata: "Orang gila! Kau sendiri
dalam penjara, apanya yang kuatir diakali orang?"
Tiba2 perantaian itu melompat maju, ia depak punggung Tik Hun, menyusul
menendang pula beberapa kali dibagian tubuh Tik Hun yang lain sambil membentak:
"Kulihat usia kau bangsat kecil ini masih muda, belum banyak kejahatan yang kau
lakukan dan tentu kau diperintah orang lain kesini, kalau tidak, hm, sekali
tendang sudah kumampuskan engkau!"
Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan hingga lupa rasa sakit dibadannya. Ia pikir
dipenjarakan dan disiksa tanpa bersalah sudah sangat penasaran, kini mesti
dikurung lagi sekamar dengan seorang gila seperti ini, benar2 sial dangkalan.
********* Ketika malam purnama bulan kedua tiba, perantaian ganas itu digiring keluar lagi
oleh petugas penjara, setelah dihajar pula kemudian digusur kembali. Sekali ini
Tik Hun sudah kapok, ia tidak peduli lagi biarpun luka perantaian itu sangat
parah. Siapa duga sikapnya inipun salah lagi. Karena habis dihajar orang, amarah
perantaian itu tak terlampiaskan, meski dalam keadaan babak-belur, kembali Tik
Hun yang dijadikan sasaran pelampias gusarnya, ia menghantam dan menendang
serabutan sambil mencaci maki hingga jauh malam.
Begitulah maka selanjutnya tiap2 menjelang malam purnama, tentu Tik Hun bermuram
durja, sebab ia tahu hari naas baginya pun sudah mendekat.
Dan memang benar juga, setiap tanggal 15, yaitu di waktu bulan purnama, tentu
perantaian itu diseret keluar untuk dihajar, dan kembalinya lagi2 Tik Hun
menjadi giliran dihajar olehnya. Untunglah usia Tik Hun masih muda, badan kuat
tenaga besar, meski setiap bulan sekali menderita hajaran, namun ia masih dapat
bertahan. Cuma terkadang ia suka heran sendiri: "Tulang pundakku ditembusi rantai dan
tenagaku lenyap semua. Sama halnya Pi-pe-kut orang gila inipun ditembus rantai,
mengapa dia masih begini kuat?"
Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanya, tapi asal mulutnya mengap sedikit saja,
segera ia dipersen pukulan dan tendangan oleh orang gila itu. Karena itu,
selanjutnya sekecappun ia tidak ajak bicara lagi padanya.
Dengan begitu beberapa bulan telah lalu dengan cepat, musim dingin berganti
musim semi, Tik Hun dipenjarakan sudah hampir setahun lamanya. Lambat laun Tik
Hun menjadi biasa oleh penghidupan dalam penjara itu, rasa dendam dan gusar
serta penderitaan badan baginya sudah kebal.
Selama itu, untuk menghindarkan aniaya perantaian gila itu, selalu ia tidak
berani memandangnya. Asal jangan mengajak bicara dan sorot mata tidak kebentrok
dengan pandangannya, kecuali dimalam bulan purnama, di-hari2 biasa orang gila
itupun tidak meng-utik2 padanya.
Suatu pagi, belum lagi Tik Hun mendusin, tiba2 ia terjaga oleh suara men-cit2nya
burung layang2 diluar kamar penjara.
Teringat olehnya dimasa kanak2 ia suka mengintai cara burung layang2 membangun
sarang. Se-konyong2 pilu hatinya, ia memandang kearah burung itu, ia lihat
sepasang burung layang2 itu sudah terbang menjauh melayang lewat dibawah jendela
sebuah loteng yang belasan meter tingginya.
Dalam isengnya sering Tik Hun memandangi gorden jendela dikejauhan itu sambil
men-duga2 siapakah gerangan orang yang tinggal dibalik jendela itu. Tapi jendela
itu selalu tertutup, hanya didepan jendela itu setahun suntuk selalu terhias
sebuah pot bunga, dimusim semi yang semarak itu bunga melati dipot bunga itu
sedang mekar. Tengah Tik Hun mengelamun, tiba2 didengarnya suara menghela napas sigila itu.
Hal ini benar2 sangat mengherankan Tik Hun.
Selama setahun itu, orang gila itu kalau tidak tertawa keras, tentu mencaci-maki
orang, tapi selamanya tidak pernah mendengar dia menghela napas, apalagi
diantara helaan napasnya itu kedengaran membawa rasa sedih dan lemah-lembut
pula. Tik Hun coba memandangnya, ia lihat sigila itu lagi ter-senyum2, wajahnya
memantulkan rasa melekat, tidak lagi macam sigila yang bengis itu, dan
pandangannya lagi menatap pot bunga melati itu. Kuatir kalau diketahui orang,
lekas2 Tik Hun berpaling tak berani memandangnya lagi.
Sejak mengetahui rahasia itu, setiap pagi Tik Hun tentu mengintip sikap sigila
itu. Ia lihat sigila itu selalu memandangi pot bunga itu dengan rasa lemah-
lembut, ia memandang terus meski bunga didalam pot itu sudah ber-ganti menurut
musimnya. Dalam setengah tahun berikutnya itu, mereka berdua hampir tidak pernah bicara.
Hajaran dimalam purnama pun sudah merupakan acara biasa bagi mereka. Tik Hun
mengetahui asal dirinya tidak membuka suara, maka rasa gusar sigila itu akan
agak reda, pukulan dan tendangannya pun lebih ringan. Tik Hun pikir kalau lewat
beberapa tahun lagi tersekap dalam penjara itu, mungkin cara bagaimana harus
bicarapun akan terlupa semua olehnya."
Dan meski sigila itu sangat kasar dan tidak kenal aturan, namun ada juga
paedahnya, yaitu petugas2 bui sangat takut padanya dan tidak berani sembarangan
datang kekamar penjara itu. Sigila itu benar2 seorang yang tidak gentar pada
langit dan bumi, setiap orang dimakinya habis2an. Bila sipir bui mogok tak
menghantar daharan padanya, sebagai gantinya ia lantas rebut bagiannya Tik Hun.
Dan kalau ke-dua2nya tak diberi makanan, biarpun kelaparan beberapa hari juga
sigila itu anggap biasa. Sampai tanggal 15 bulan sebelas tahun kedua ini, sesudah sigila itu kembali
dihajar, tiba2 ia sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia mengigau tak keruan.
Sampai2 Tik Hun mendengar dia sering menyebut nama entah "Momo" atau "Maumau".
Semula Tik Hun tidak berani mengutiknya, tapi sampai besok siangnya, ia dengar
sigila me-rintih2 minta air.
Karena tidak tega, Tik Hun menuangkan air yang diminta dan diminumkan kepadanya
sambil ber-jaga2 kalau bogem mentah sigila itu melayang pula. Baiknya sekali ini
ia minum dengan lancar, setelah menyebut lagi entah "Momo" atau "Maumau", lalu
ia tertidur. Malamnya, ternyata datang lagi keempat petugas bui dan menyeret
keluar sigila untuk dihajar pula. Kembalinya suara rintihan sigila itu sudah
sangat lemah. Terdengar salah seorang petugas bui itu membentak dengan gemas: "Kau kepala batu
dan tidak mau mengaku, biarlah besok kami hajar pula lebih hebat."
Sudah dua tahun Tik Hun hidup sekamar dengan perantaian itu, meski selama itu ia
kenyang dianiaya olehnya, namun iapun tidak ingin orang mati disiksa oleh
petugas2 bui itu. Besoknya, ada beberapa kali Tik Hun minumkan air padanya,
sigila itu meng-angguk2 tanda terima kasih.
Malamnya, benar juga keempat petugas bui itu datang lagi. Tik Hun pikir kalau
sekali ini sigila disiksa pula, tentu jiwanya akan melayang. Mendadak Tik Hun
menjadi nekad, ia melompat maju dan merintangi diambang pintu penjara sambil
membentak: "Dilarang kalian masuk!"
"Minggir, bangsat!" maki salah seorang petugas yang berbadan tinggi besar sambil
melangkah masuk dan hendak mendorong Tik Hun.
Karena tak bertenaga, se-konyong2 Tik Hun menunduk terus menggigit hingga kedua
jari telunjuk dan manis petugas itu berdarah dan hampir patah. Keruan petugas
itu menjerit kesakitan dan cepat melompat keluar kamar penjara. Saking gugupnya
sampai golok petugas itupun jatuh kelantai.
Cepat Tik Hun samber golok orang, menyusul ia membabat kian kemari tiga kali,
meski dia tak bertenaga, namun mana berani petugas2 itu sembarangan maju" Pada
lain saat, ketika seorang petugas yang gemuk ayun goloknya hendak menerjang
maju, tiba2 Tik Hun miringkan tubuh kesamping, dengan cepat goloknya membacok
kekaki lawan, "crot", tepat paha petugas itu kena dilukai.
Dengan ketakutan lekas2 petugas itu menjatuhkan diri dan lari keluar. Dengan
tekad banjir darah dikamar penjara itu, apalagi nampak Tik Hun mengamuk bagai
banteng ketaton, keempat petugas bui itu menjadi jeri dan tidak berani
sembarangan maju lagi. Mereka terus mencaci-maki Tik Hun habis2an dengan segala macam kata2 kotor. Tik
Hun tidak menggubrisnya, bagai malaikat penjaga pintu, ia jaga pintu kamar
penjara itu dengan kuat.

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata keempat petugas bui itupun tidak pergi minta bala bantuan, melihat
gelagat menyerbu kedalam takkan berhasil, akhirnya merekapun tinggal pergi. Ber-
turut2 empat hari sipir bui sama sekali tidak kelihatan, tidak hantar nasi juga
tidak kasih air. Sampai hari kelima, rasa dahaga Tik Hun sudah tidak tahan,
lebih2 sigila itu, bibirnya sampai pecah2 saking keringnya.
Tiba2 katanya: "Kau boleh pura2 hendak membacok mati aku, tentu anak anjing itu
akan segera membawakan air!"
Tik Hun tidak mengarti apa2an itu, tapi achirnya toh tiada jeleknya, boleh juga
dicoba. Maka segera ia ber-teriak2: "Lekas kasih air, kalau tidak, biar
kumampuskan dulu orang gila ini!"
Habis berkata, ia meng-gosok2 punggung goloknya diruji besi pintu hingga
mengeluarkan suara nyaring mirip orang sedang mengasah senjata. Eh, benar juga
sipir bui itu buru2 mendatangi sambil mem-bentak2: "Kau berani mengganggu
seujung rambutnya, segera kutikam seratus ribu kali ditubuhmu!"
Tapi kemudian ia lantas membawakan air minum dan nasi. Selesai Tik Hun menyuap
sigila itu, kemudian ia menanya: "Sungguh aneh, mereka menyiksa engkau, tapi
kuatir pula kalau aku membunuh engkau, apakah sebabnya ini?"
Mendadak sigila mendelik, ia angkat kendi wadah air dan mengepruk kepalanya Tik
Hun sambil memaki: "Hm, kau pura2 mengambil hatiku, apa kau sangka aku mudah
tertipu?" "Prak", kendi pecah dan jidat Tik Hun pun melocot dan darah mengucur.
Dengan bingung ia melompat mundur, pikirnya: "Penyakit gila orang ini angot
lagi!" Tapi sejak itu, meski setiap malam purnama sigila itu masih tetap diseret keluar
untuk dihajar, namun kembalinya ia tidak membalas hajar Tik Hun lagi.
Cuma kedua orang tetap tidak pasang omong, bila Tik Hun banyak memandang
padanya, tak terhindarlah dari pukulan2 sigila lagi..........
********** Sampai musim dingin tahun ketiga, harapan keluar penjara Tik Hun sudah lenyap.
Meski dalam mimpi masih sering terbayang Suhu dan Sumoaynya, namun bayangan sang
Suhu sudah mulai samar2, hanya bentuk tubuh Sumoay yang montok menggiurkan, raut
mukanya yang manis dan matanya yang jeli, selalu masih terbayang olehnya dengan
jelas. Ia tidak berani mengharap lagi untuk keluar penjara dan bertemu dengan sang
Sumoay, namun setiap hari ia tidak lupa selalu berdoa semoga Sumoay akan datang
menjenguknya pula, untuk mana biarpun setiap hari ia akan dihajar oleh sigila
itu juga rela. Namun Jik Hong tetap tidak pernah muncul.
Tapi pada suatu hari telah datang seorang hendak menengoknya. Itulah seorang
pemuda ganteng cakap dengan baju sutera yang mentereng. Hampir Tik Hun tidak
kenal pemuda itu. Ia dengar pemuda itu lagi berkata dengan suara tertawa: "Tik-suheng, apakah
engkau masih kenal padaku" Akulah Sim Sia adanya!"
Hati Tik Hun ber-debar2 keras, yang dia harap yalah dapat memperoleh sedikit
kabarnya Jik Hong. Maka cepat tanyanya: "Dimanakah Sumoayku?"
Sebelum menjawab Sim Sia menyodorkan sebuah keranjang kecil dari luar lankan
penjara, lalu katanya dengan tertawa: "Ini adalah pemberian dari Ban-suso kami
kepadamu. Orang masih belum melupakan perhubungan dimasa dulu, maka dihari
bahagianya sengaja minta aku menghantarkan dua ekor ayam, empat potong Ti-tee
(kaki babi) dan 16 iris kueku kepadamu."
"Ban-suso (ipar perempuan) yang mana" Hari bahagia apa?" tanya Tik Hun dengan
bingung. "Ban-suso itu tak-lain-tak-bukan adalah nona Jik, Sumoaymu itu," sahut Sim Sia
sambil terbahak dengan mimik wajah yang memuakkan. "Hari ini adalah hari
pernikahannya dengan Ban-suko kami. Ia suruh aku menghantar ikan ayam dan kue-ku
padamu, bukankah itu menandakan dia masih ingat pada kebaikanmu dahulu?"
Tubuh Tik Hun sempoyongan, ia pegang kencang2 lankan penjara dan teriaknya
dengan suara gemetar: "Kau ......kau mengaco-belo! Sumoay......Sumoayku mana
dapat menikah dengan orang she Ban itu?"
"Haha," kembali Sim Sia tertawa. "Guruku dahulu telah ditikam oleh gurumu,
beruntung beliau tidak jadi meninggal, lukanya telah dapat disembuhkan, maka apa
yang terjadi dahulu tak diusut lebih jauh. Sumoaymu tinggal dirumah kami, selama
tiga tahun ini, wah alangkah mesranya, boleh jadi .......boleh jadi, haha, lain
tahun tanggung akan melahirkan seorang orok yang gemuk dan mungil."
Tiga tahun tidak berjumpa, Sim Sia ternyata sudah meningkat dewasa, bicaranya
juga bertambah bangor. Sesaat itu telinga Tik Hun se-akan2 mendenging, dan
seperti mendengar ia sendiri sedang bertanya: "Dan dimanakah Suhuku?"
"Siapa tahu" Mungkin dia sangka telah membunuh orang, maka melarikan diri sejauh
mungkin, masakah dia masih berani pulang?" demikian seperti didengarnya Sim Sia
menjawab. Dan seperti didengarnya pemuda itu berkata pula dengan tertawa: "Kata Ban-suso:
Hendaklah kau lapangkan hatimu dan tinggal didalam penjara, kelak kalau dia
sudah punya beberapa anak, boleh jadi dia kan datang menjenguk engkau."
"Bohong kau! Bohong kau!" teriak Tik Hun mendadak dengan murka, berbareng ia
lemparkan keranjang penganan tadi hingga isinya berantakan memenuhi lantai.
Ia lihat diatas setiap potong kue-ku itu tercetak huruf2 merah tanda selamat
pernikahan keluarga Ban dan Jik. Hendak Tik Hun tidak percaya kepada omongan Sim
Sia itu, namun bukti itu membuatnya mau-tak-mau harus percaya.
Dalam keadaan samar2 ia mendengar Sim Sia berkata lagi dengan tertawa: "Kata
Ban-suso, sayang engkau tidak dapat hadir dalam upacara pernikahannya........"
Belum habis ucapannya, tiba2 kedua tangan Tik Hun yang terbelenggu itu menjulur
keluar lankan penjara dan tahu2 leher Sim Sia tercekek.
Dalam kagetnya Sim Sia terus me-ronta2 ingin melepaskan diri. Namun entah
darimana datangnya tenaga Tik Hun, cekekannya ternyata semakin kencang.
Sim Sia ber-kaok2 minta tolong, wajahnya dari merah mulai berubah gelap,
suaranya mulai serak, kedua tangannya me-ronta2, tapi tetap takbisa melepaskan
diri. Mendengar suara ribut2 itu, datanglah sipir bui, cepat ia pegang tubuh Sim Sia
dan dibetot sekuatnya, dengan susah payah, achirnya dapatlah jiwa Sim Sia
diselamatkan dan buru2 ngacir.
Tik Hun mendoprok kelantai dengan lemas. Dengan ketawa2 seperti putus lotre
sipir bui sedang menjemputi ikan ayam, kaki babi dan kue-ku yang berserakan itu.
Namun Tik Hun hanya mendelik doang se-akan2 tidak melihatnya.
Tengah malam, Tik Hun melepaskan bajunya dan merobeknya dalam potongan kecil2,
ia jadikan seutas tambang yang panjang, ia buat sebuah jiratan dan kedua ujung
tambang diikatkannya diatas lankan penjara, ia masukan leher sendiri kedalam
jiratan itu. Ia tidak merasakan sedih, juga tidak merasakan gusar. Arti orang hidup baginya
sudah tamat dan cara inilah jalan paling cepat untuk mengakhirinya. Ia merasa
jiratan tali dileher semakin kencang, napasnya juga main lama makin tipis.
Selang sebentar, segala apa tak diketahuinya lagi.
Tapi akhirnya ia dapat merasakan lagi pelahan2, ia merasa seperti ada sebuah
tangan menahan didadanya, tangan itu mengendor dan mengencang terus mengusap
dadanya, hidungnya lantas dihembus pula hawa segar. Dan entah sudah berapa
lamanya, pelahan2 barulah ia membuka matanya. Dan yang tertampak olehnya per-
tama2 adalah sebuah wajah yang penuh berewok sedang memandangnya dengan tertawa
lebar. Melihat muka siberewok gila itu. Tik Hun menjadi sangat mendongkol. "Kurangajar,
selalu kau musuhi aku, sampai aku mencari mati juga kau menggangguku," demikian
pikirnya. Niatnya hendak bangun untuk adu jiwa dengan orang gila itu, tapi Tik
Hun merasa badannya terlalu lemah, semangat ada, tenaga kurang!
Maka berkatalah sigila itu dengan tertawa: "Napasmu sudah putus hampir
setengahan jam, kalau aku tidak menolong engkau dengan ilmu tunggalku, didunia
ini tiada orang kedua lagi yang mampu menghidupkan kau kembali."
"Siapa pingin ditolong oleh kau" Aku justeru tidak ingin hidup lagi," sahut Tik
Hun dengan gusar. "Tapi kalau aku melarang engkau mati, engkau lantas takkan mati," ujar sigila
itu dengan senang2. Tiba2 ia mepet kesamping Tik Hun dan membisikinya: "Ilmu
tunggal ini namanya 'Sin-ciau-keng', kau pernah dengar tidak?"
"Yang pasti aku hanya tahu kau punya Sin-keng-peh (penyakit otak miring), peduli
apa kau Sin-ciau-keng segala" Selamanya aku tidak pernah mendengar!" demikian
sahut Tik Hun dengan marah2.
Aneh juga, sekali ini digila itu ternyata tidak mengamuk pula, sebaliknya malah
ber-nyanyi2 kecil sambil tangannya kendor-kencang mengusap dadanya Tik Hun mirip
pompa angin yang menyalurkan hawa kedalam paru2 pemuda itu.
Lalu bisiknya pula: "Terhitung untung juga kau ini. Sudah 12 tahun aku melatih
'Sin-ciau-keng' dan baru berhasil menyelesaikan pada dua bulan yang lalu. Coba
kalau sebelum dua bulan ini kau mencari mati, tentu aku tak dapat menolong
engkau." Tik Hun merasa sangat kesal, teringat olehnya Jik Hong sudah kawin pada Ban Ka
dan tidak menggubris lagi padanya. Sungguh rasanya ia lebih suka mati saja.
Karena itu ia melototi sigila itu dan berkata dengan gemas: "Entah dalam jelmaan
hidup yang lalu aku berbuat dosa apa padamu, makanya sekarang aku mesti kebentur
orang jahat sebagai kau."
"Aku sangat senang, adik cilik, selama tiga tahun ini aku telah salah sangka
padamu," kata sigila itu dengan tertawa. "Maka terimalah permintaan maafku Ting
Tian ini." Habis berkata, sigila itu terus berlutut kelantai dan menjura tiga kali kepada
Tik Hun. "Orang gila!" kata Tik Hun sambil menghela napas dan tidak menggubriskan lagi.
Tapi tiba2 teringat olehnya sigila itu mengaku bernama Ting Tian. Selama tiga
tahun meringkuk bersama dalam penjara baru sekarang ia mengetahui namanya.
Karena ketarik, ia coba menegas pula: "Siapa namamu?"
"Ting Tian, she Ting bernama Tian!" demikian sigila mengulangi. "Prasangkaku
terlalu besar dan selalu pandang engkau sebagai orang jahat, selama tiga tahun
ini benar2 aku telah banyak membikin susah padamu, sungguh aku merasa menyesal."
[Lanyutan cerita..] Mendengar ucapan orang sangat teratur dan ramah tamah, sedikitpun tiada tanda2
orang miring otaknya, maka Tik Hun menanya lagi: "Sebenarnya engkau gila atau
tidak?" Ting Tian terdiam dengan muram, selang agak lama barulah ia menghela napas
panjang, lalu katanya: "Sebenarnya gila atau tidak, aku sendiri tak tahu. Yang
kuharapkan adalah tenteramnya pikiran, tapi bagi penglihatan orang lain, mungkin
aku dianggapnya berotak miring."
Lewat sejenak pula, kembali ia menghibur Tik Hun: "Adik cilik, rasa penasaranmu
aku sudah dapat meraba sebagian besar. Jikalau orang toh sudah tidak setia lagi
padamu, buat apa engkau mesti memikirkan wanita itu" Seorang laki2 sejati
mengapa takut tidak bakal mendapat isteri" Apa sulitnya bila kelak engkau ingin
mencari seorang isteri yang ber-kali2 lebih baik daripada Sumoaymu itu?"
Mendengar uraian itu, rasa susah selama beberapa tahun tersekam dalam hati Tik
Hun itu seketika meletuslah bagai air bah membanjir. Ia merasa pedih sekali, air
matanya bercucuran, sampai akhirnya, ia terus menangis sambil jatuhkan diri
dipangkuan Ting Tian. Ting Tian merangkul pemuda itu sambil pelahan2 mengusap rambutnya, ia tahu
sesudah menangis barulah rasa hati pemuda itu bisa berkurang dari kesedihan dan
melenyapkan keinginnya mencari mati.
Tiga hari kemudian, semangat Tik Hun sudah banyak pulih.
Ting Tian mulai banyak bercakap dan bergurau bersama dia dengan suara lirih,
terkadang iapun menceritakan kejadian2 menarik di kalangan Kangouw untuk
menghilangkan rasa kesal Tik Hun. Tapi bila sipir bui menghantarkan daharan,
tetap Ting Tian bersikap galak terhadap Tik Hun dan mencaci maki sebagaimana
sebelumnya. Seorang musuh yang tadinya selalu menyiksa kini mendadak berubah menjadi seorang
kawan karib, pabila perasaan Tik Hun tidak tertekan oleh karena soal Jik Hong
menikah dengan orang lain, tentu penghidupan didalam penjara sekarang boleh
dikata merupakan sorga baginya kalau dibanding selama tiga tahun yang sudah lalu
itu. Pernah juga Tik Hun menanya Ting Tian mengapa dahulu dirinya disangka orang
jahat dan mengapa mendadak mengetahui hal yang sebenarnya.
Maka Ting Tian menjawab: "Sebab kalau engkau benar2 orang jahat, pasti tidak
menggantung diri mencari mati. Aku telah membiarkan napasmu sudah putus hingga
tubuhnu sudah hampir kaku, baru turun tangan menolong engkau. Dijagat ini
kecuali aku sendiri, tiada seorang lagi yang tahu bahwa aku sudah berhasil
meyakinkan ilmu "Sin-ciau-keng" yang hebat itu. Dan kalau aku tidak memiliki
ilmu sakti itu, betapapun tak dapat menolong engkau. Oleh karena kau benar2
membunuh diri, dengan sendirinya bukanlah orang jahat yang hendak mengakali
diriku sebagaimana kusangka semula".
"Kau menyangka aku hendak mengakali engkau" Sebab apakah itu?" tanya Tik Hun
heran. Namun Ting Tian hanya tersenyum tanpa menjawab Tik Hun, untuk kedua kalinya Tik
Hun menanya lagi dan tetap tidak mendapat jawaban, maka iapun tidak menanya
lebih jauh. Setiap hari Ting Tian hanya memijat dan mengurut Tik Hun, hingga kesehatan
pemuda itu kembali dengan sangat cepat.
Satu malam, dengan bisik2 Ting Tian berkata kepada Tik Hun: "Ilmu 'Sin-ciau-
keng' yang kumiliki ini adalah ilmu yang sangat bagus dan paling kuat Lwekangnya
didunia ini. Biarlah mulai hari ini juga aku mengajarkan padamu, engkau harus
mengingatnya dengan baik2."
"Tidak, aku tak mau belajar," sahut Tik Hun menggeleng kepala.
Ting Tian menjadi heran: "Kesempatan baik yang susah dicari ini mengapa tak mau
engkau gunakan?" Kata Tik Hun: "Penghidupan seperti ini adalah lebih baik mati. Pula selama hidup
kita rasanya juga tiada harapan bisa keluar dari sini, biarpun memiliki ilmu
silat setinggi langit juga tiada gunanya."
"Haha, ingin keluar penjara, apa susahnya?" ujar Ting Tian dengan tertawa.
"Marilah aku mulai mengajarkan kunci dasarnya kepadamu, kau harus mengingatnya
baik2?" Akan tetapi watak Tik Hun sangat kepala batu, keinginannya mencari matipun belum
lenyap, sekali bilang tidak mau belajar, tetap ia tidak mau. Ketika Ting Tian
menguraikan kunci pelajarannya, Tik Hun terus menutup telinganya dan meringkuk
tidur. Sungguh geli dan dongkol pula Ting Tian, tapi tidak berdaya juga, saking
geregetannya ia menjadi ingin menghajar lagi pemuda itu seperti dulu.
Selang beberapa hari kemudian, malam bulan purnama sudah mendekati lagi.
Perasaan Tik Hun kepada Tiang Tian sekarang sudah seperti sobat baik, maka diam2
ia berkuatir baginya. Rupanya Ting Tian dapat menerka perasaan pemuda itu, katanya: "Tik-hiantit,
setiap bulan aku akan disiksa seperti biasa, sekembalinya aku disini, akupun
akan tetap membalas hajar engkau, jangan sekali2 kita kelihatan bersahabat,
sebab hal mana akan tidak menguntungkan kita berdua."
"Sebab apakah?" tanya Tik Hun.
"Pabila mereka curiga engkau sudah menjadi kawanku, pasti kau akan disiksa
dengan cara2 keji untuk memaksa engkau menanyakan sesuatu rahasia padaku. Tapi
kalau aku tetap memukul dan memaki engkau, tentu kau akan terhindar dari siksaan
badan yang kejam." "Benar," sahut Tik Hun mengangguk. "Jika begitu penting perkaramu ini, janganlah
sekali2 engkau mengatakan padaku, sebab kalau aku kurang waspada hingga
membocorkan rahasiamu, kan malah akan membikin celaka padamu. Ting-toako, aku
adalah seorang anak desa yang bodoh, pabila sampai aku membikin susah padamu
karena ketololanku, bagaimana aku mempertanggung-jawabkannya padamu?"
"Mereka mengurung engkau bersama aku didalam sekamar, semula aku menyangka
engkau dikirim mereka untuk menjadi mata2, pura2 mengambil hatiku, lalu
memancing pengakuanku. Sebab itulah dahulu aku sangat gusar padamu dan banyak
menyiksa engkau. Tapi kini aku sudah tahu engkau bukan mata2 mereka, namun sudah
sekian tahun kau tetap dikurung bersama aku, maksud mereka terang masih
mengharap engkau akan menjadi mata2 dengan harapan mendapatkan kepercayaanku dan
aku akan mengaku kepadamu, habis itu mereka dapat menyiksa engkau agar mengaku
apa yang kau dapat dengar dariku. Mereka insaf sulit melayani aku, tapi terhadap
pemuda seperti engkau akan jauh lebih mudah."
Malam tanggal 15, empat petugas bui bersenjata datang pula menggiring pergi Ting
Tian. Tik Hun menjadi tidak tenteram menantikan kembalinya.
Menjelang fajar, dengan babak-belur dan penuh darah Ting Tian digusur balik
kepenjara. Sesudah keempat petugas itu pergi, dengan wajah sungguh2 Ting Tian berkata
dengan suara tertahan kepada Tik Hun: "Tik-hiantit, urusan harini runyam. Secara
kebetulan aku telah dikenali musuh."
"Sebab apa?" tanya Tik Hun.
"Seperti biasa, setiap tanggal 15 aku pasti digusur pergi untuk dihajar, hal ini
sudah merupakan perkerjaan dinas biasa bagi Tihu-tayjin," demikian tutur Ting
Tian. "Tapi harini kebetulan ada orang hendak melakukan pembunuhan kepada Tihu,
melihat keselamatan pembesar itu terancam, aku telah turun tangan menolongnya.


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cuma sayang aku terbelenggu hingga gerak-gerikku kurang bebas, maka diantara
empat pembunuh gelap itu hanya tiga orang kutewaskan, sisa seorang lagi sempat
melarikan diri, hal itu berarti suatu bibit bencana bagiku."
Tik Hun ter-heran2 oleh cerita itu, tanyanya cepat: "Sebenarnya untuk apa Tihu
menghajar dan menyiksa engkau" Tihu itu begitu kejam padamu, ketika dia akan
dibunuh orang, mengapa engkau malah menolongnya" Dan siapakah sisa pembunuh yang
sempat lolos itu?" Ting Tian menggeleng kepala, sahutnya sambil menghela napas: "Urusanku ini
seketika juga susah dijelaskan. Tik-hiantit, oleh karena ilmu silatmu kurang
tinggi, selanjutnya menyaksikan kejadian apa saja, jangan sekali2 engkau turun
tangan membantu aku."
Tik Hun tidak menjawab, tapi batinnya berkata: "Huh, masakah aku Tik Hun ini
seorang manusia yang takut mati?"
Untuk beberapa hari selanjutnya selalu Ting Tian ter-menung2 saja sambil
memandangi pot bunga dijendela diatas loteng di kejauhan itu. Terkadang wajahnya
menampilkan senyuman kecil dan sepanjang hari ia cuma menengadah sambil ter-
mangu2. Tengah malam tanggal 19, jadi tiga hari kemudian, tengah Tik Hun tidur nyenyak,
tiba2 ia terjaga bangun oleh suara "krak-krak" dua kali. Dibawah sinar bulan
yang terang Tik Hun melihat dua laki2 berpakaian singsat sedang mematahkan
lankan kamar penjara itu, sambil menghunus golok mereka terus menyerbu kedalam.
Tapi Ting Tian bersikap acuh-tak-acuh saja, ia berdiri bersandar dinding sambil
ketawa dingin. "Orang she Ting," tiba2 salah satu laki2 yang berperawakan lebih pendek itu
membentak: "Kami bersaudara sudah menjelajahi jagat ini untuk mencari kau,
sungguh tidak nyana bahwa engkau justeru mengkeret seperti kura2 bersembunyi
didalam penjara sini. Tapi dasar ajalmu sudah sampai, achirnya dapat juga kami
menemukan engkau." Segera yang seorang lagi ikut bicara: "Marilah kita bicara secara blak2an saja,
lekas kau keluarkan halaman kertas itu, kita bertiga membaginya sama-rata, dan
kami bersaudara pasti takkan merecoki engkau lagi."
"Kertas apa?" sahun Ting Tian menggeleng kepala. "Barangnya tiada berada padaku.
Sejak 13 tahun yang lalu sudah dicuri oleh Gian Tat-peng."
Tik Hun terperanjat mendengar nama "Gian Tat-peng" itu. "Bukankah dia itu adalah
aku punya Jisupek" Mengapa dia tersangkut dalam urusan mereka?" demikian
pikirnya. Sementara itu silelaki pendek telah membentak pula: "Kau sengaja main muslihat,
hm, jangan harap dapat mengelabui kami. Mampuslah kau!" Habis berkata, terus
saja ia ayun goloknya dan menusuk ketenggorokan Ting Tian.
Namun Ting Tian tidak menghindar atau berkelit, ia membiarkan ujung golok orang
sudah dekat, se-konyong2 ia mendak kebawah dan tahu2 melesa kesamping laki2 lain
yang bertubuh lebih tinggi itu, sekali sikutnya bekerja, tepat perut orang itu
kena disikutnya. Kontan saja tanpa menjengek sekalipun laki2 itu terus roboh terguling.
Dalam kaget dan gusarnya, laki2 pendek itu menjadi nekat. "Ser-ser," goloknya
menabas dua kali dengan cepat.
Namun sekali Ting Tian angkat kedua tangannya keatas, ia gunakan rantai
belenggunya untuk menyampok senjata lawan, berbareng secepat kilat ia angkat
lututnya dan tepat dengkulnya kena tumbuk diperut laki2 itu. Seperti nasib
kawannya, laki2 pendek itu pun menggeletak mampus dengan muntah darah.
Melihat betapa perkasanya Ting Tian, hanya sekejap saja sudah membinasakan dua
musuh, Tik Hun menjadi terkesima malah. Meski ilmu silat Tik Hun sudah punah,
tapi pandangannya tetap tajam, ia tahu sekalipun ilmu silat sendiri tetap utuh
seperti dulu dan bersenjata, namun juga takkan mampu menandingi silelaki pendek
tadi. Mengenai laki2 yang lebih jangkung itu, meski ilmu silatnya belum sempat
dikeluarkan sudah keburu dibinasakan lebih dulu oleh Ting Tian, tapi mengingat
dia datang bersama silelaki pendek, dapat ditaksir kepandaiannya tentu juga
tidak rendah. Namun demikian, dengan terbelenggu dan tulang pundak ditembus
rantai toh Ting Tian dalam sekejap dan sekali-dua gerakan sudah dapat
membinasakan dua musuh, sungguh Tik Hun merasa tidak habis mengarti akan
kepandaian Ting Tian itu.
Ia lihat Ting Tian melemparkan kedua mayat itu keluar kamar penjara, lalu duduk
menyandar dinding terus tidur.
Dalam keadaan kamar penjara yang sudah bobol itu, kalau Ting Tian dan Tik Hun
mau melarikan diri sebenarnya terlalu mudah. Tapi aneh, Ting Tian diam saja
terus tidur. Tik Hun juga merasa didunia luar sana belum tentu lebih baik
daripada didalam penjara itu.
Besok paginya, ketika sipir bui melihat kedua rangka mayat itu, ia menjadi kaget
dan geger. Waktu Ting Tian ditanya, ia cuma mendelik doang. Tanya Tik Hun,
pemuda inipun pura2 tuli. Karena tidak memperoleh sesuatu keterangan apa2,
terpaksa sipir bui menyeret pergi kedua mayat itu.
Selang dua hari pula, malamnya Tik Hun terjaga bangun pula oleh suara2 gemerisik
yang aneh. Dibawah sinar bulan yang remang2 ia melihat kedua tangan Ting Tian
terangkat lurus sedang beradu tangan dengan seorang Tojin. Telapak tangan kedua
orang saling menempel dan keduanya sama2 berdiri tak bergerak. Sejak kapan Tojin
itu masuk kesitu dan cara bagaimana mengadu tenaga dalam dengan Ting Tian,
ternyata sama sekali Tik Hun tidak tahu.
Pernah Tik Hun mendengar dari Suhunya bahwa dalam pertandingan silat, mengadu
tenaga dalam adalah yang paling berbahaya, bukan saja tak mungkin menghindar
atau berkelit, bahkan pasti akan terjadi ketentuan mati atau hidup.
Tatkala itu sudah jauh malam, meski ada cahaya bulan dan bintang, tapi sudah
remang2 hingga ada yang kelihatan cuma samar2. Tik Hun melihat Tojin itu
melangkah setindak kedepan dengan lambat sekali, berbareng Ting Tian juga mundur
selangkah. Selang agak lama, kembali Tojin itu maju lagi setindak, begitu pula
Ting Tian mundur lagi satu langkah.
Melihat Tojin itu terus mendesak maju dan Ting Tian terus mundur, terang Tojin
itu sudah lebih unggul, diam2 Tik Hun merasa kuatir. Tanpa pikir lagi ia berlari
maju, ia angkat belenggu tangannya terus mengepruk keatas kepala Tojin itu. Tapi
belum lagi belenggu besi itu mengenai sasarannya, entah darimana datangnya, se-
konyong2 menyambar tiba serangkum tenaga tak kelihatan dan menumbuk keras
dibadan Tik Hun. Karena tak menyangka, Tik Hun menjadi ter-huyung2 dan terlempar pergi, "bluk",
ia tertumbuk didinding dan jatuh terduduk. Dengan tangannya menahan kelantai,
maksud Tik Hun hendak berbangkit. Tapi dalam kegelapan tiba2 tangannya menyentuh
sebuah mangkok wadah wedang, "prak", mangkok itu pecah gempil tertahan oleh
tangannya dan basah kuyup oleh wedang yang tercecer. Tanpa pikir lagi Tik Hun
terus samber mangkok itu, ia siramkan sisa wedang didalamnya kebelakang kepala si Tojin.
Tenaga dalam Tojin itu sebenarnya jauh bukan tandingan Ting Tian. Sebabnya Ting
Tian mengadu tangan dengan Tojin itu yalah karena ia ingin menjajal "Sin-ciau-
keng" yang baru berhasil diyakinkan itu sampai betapa daya tempurnya, makanya
Tojin itu dipakainya sebagai barang percobaan.
Sebenarnya tenaga Tojin itu sudah diperas oleh "Sin-ciau-keng" hingga keadaannya
sudah sangat payah bagai pelita yang kehabisan minyak, tinggal saat padamnya
saja. Kini ditambah lagi disiram wedang oleh Tik Hun dari belakang, dalam
kagetnya ia merasa tekanan tenaga Ting Tian semakin membanjir. Maka terdengarlah
suara peletak-pelatok yang berulang2, tulang iganya, tulang lengan, tulang kaki
dan lain2 se-akan2 patah semua ber-potong2. Dengan cemas ia pandang Ting Tian
dan berkata dengan suara ter-putus2 dan tak lampias: "Jadi..... jadi engkau
sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-keng" yang hebat dan ..... dan itu ber .....
berarti engkau tiada ..... tiada tandingannya lagi di ..... didunia ini ......"
bicara sampai disini, mendadak tubuhnya melingkar bagai cacing terus roboh
terbinasa. Hati Tik Hun ber-debar2 menyaksikan itu, serunya: "Ting-toako kiranya ilmu "Sin-
ciau-keng" itu sedemikian ..... sedemikian lihaynya. Apa benar2 engkau tiada
tandingannya lagi dunia itu?"
Namun dengan wajah sungguh2 Ting Tian menjawab: "Kalau bergebrak satu-lawan-
satu, memang cukup untuk menjagoi Kangouw. Tapi kalau musuh main keroyok,
mungkin seorang diri susah melawan orang banyak. Tojin jahat ini sudah tertekan
oleh tenaga dalamku, tapi masih sanggup membuka suara, hal mana menandakan
latihanku masih belum mencapai tingkatan yang sempurna betul2. Tik-hiantit,
dalam tiga hari ini pasti akan datang pula musuh yang benar2 tangguh. Untuk mana
sudikah engkau membantu pakaku?"
Dengan penuh semangat Tik Hun terus menjawab: "Tentu saja aku akan membantu.
Cuma ........ cuma ilmu silatku sudah punah semua, andaikan belum punah juga
kepandaianku yang dangkal ini tidak berguna untuk membantu engkau."
Ting Tian tersenyum tanpa berkata, tiba2 ia melolos keluar sebilah golok dari
bawah jerami yang merupakan kasurnya itu. Golok itu adalah tinggalan kedua laki2
yang dibinasakan oleh Ting Tian tempo hari itu. Lalu katanya: "Tik-hiantit,
harap engkau mencukur berewokku ini. Marilah kita bertipu muslihat sedikit."
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus sambuti golok itu dan mulai mencukur kumis dan
berewok Ting Tian. Ternyata golok itu sangat tajam melebihi pisau cukur, maka dengan cepat saja
berewok Ting Tian yang kaku bagai lidi itu telah rontok semua. Anehnya Ting Tian
menadah semua berewok yang tercukur itu ditangannya.
"Ting-toako," kata Tik Hun dengan tertawa, "apa kau merasa berat mesti membuang
jenggotmu yang sudah berkawan setia dengan engkau selama beberapa tahun ini?"
"Bukan begitu," sahut Ting Tian. "Tapi maksudku, Tik-hiantit, aku ingin engkau
menyaru sebagai diriku."
"Menyaru sebagai engkau?" tanya Tik Hun heran.
"Ya," sahut Tian. "Dalam waktu tiga harini pasti akan datang musuh2 yang lebih
tangguh, mereka berlima takkan mampu melawan aku kalau satu-lawan-satu, tapi
kalau mengerubut sekaligus, tentu kekuatan mereka menjadi sangat lihay. Makanya
aku ingin engkau menyaru sebagai diriku untuk memancing mereka agar salah
sangka, dan disaat mereka meleng, aku lantas menyerang diluar dugaan mereka,
tentu mereka akan kelabakan dan tak mampu melawan."
Dasar Tik Hun memang jujur dan bajik, ia merasa rencana Ting Tian itu kurang
pantas, maka dengan ragu2 ia berkata: "Rasanya ren.......... rencanamu ini
agak.......... agak kurang jujur."
"Juyur" Hahahaha!" Ting Tian ter-gelak2. "Betapa keji dan palsunya orang
Kangouw, semuanya berlaku licik dan menipu engkau, tapi engkau masih jujur pada
orang, bukankah berarti engkau mencari mati sendiri?"
"Meskipun begitu, namun........... namun........"
"Namun apa?" sela Ting Tian sebelum Tik Hun melanjutkan. "Ingin kutanya padamu:
Engkau adalah seorang baik2 tanpa berdosa sesuatu, tapi sebab apa engkau
dipenjarakan selama tiga tahun disini dan selama ini tidak dapat mencuci bersih
pitenahan orang itu?"
"Ya, dalam hal ini memang......... memang aku merasa tidak mengarti sampai
sekarang," sahut Tik Hun.
"Dan siapakah yang menjebloskan engkau kepenjara ini" Sudah tentu perbuatan
seseorang pula agar selamanya engkau tidak bisa keluar dari sini," ujar Ting
Tian dengan tersenyum. "Memang sampai saat ini aku tetap tidak mengarti duduk perkaranya," kata Tik
Hun. "Gundik Ban Cin-san si Mirah itu selamanya tidak kenal padaku, tidak
bermusuhan dan tiada sakit hati, mengapa dia telah mempitenah diriku hingga
namaku rusak dan hidupku merana oleh penderitaan2 didalam penjara sini?"
"Cara bagaimana engkau telah dipitenah mereka, coba ceritakan padaku," pinta
Ting Tian. Sembari mencukur berewoknya, maka berceritalah Tik Hun sejak dia ikut sang Suhu
datang di Hengciu untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ban Cin-san, dimana
dia telah mengacirkan begal besar - Lu Thong. Kemudian dia telah ditantang dan
dikeroyok oleh murid2nya Ban Cin-san, lalu apa yang didengarnya tentang
pertengkaran sang guru dengan Supek hingga sesudah melukai Supek, sang Suhu
lantas melarikan diri. Kemudian dilihatnya ada penjahat hendak memperkosa
gundiknya Ban Cin-san dan dia telah turun tangan menolong, tapi malah dipitenah
dan dijebloskan kedalam penjara.
Begitulah Tik Hun menceritakan semua pengalamannya itu, hanya tentang pengemis
tua telah mengajar ilmu pedang padanya itu sengaja tak diuraikan. Pertama karena
dia telah bersumpah pada pengemis tua itu bahwa rahasia pertemuan mereka pasti
takkan dibocorkan, kedua ia merasa urusan yang tidak penting itu juga tida perlu
diceritakan. "Kruk, kruk", sambil menceritakan pengalamannya, Tik Hun mencukur berewok Ting
Tian yang kaku bagai lidi itu dengan golok rampasan yang tajam itu.
Dan sesudah Tik Hun bercerita, berewok dimukanya Ting Tian juga hampir tercukur
bersih. "Ting-toako," kata Tik Hun sambil menghela napas, "malapetaka yang menimpa
diriku ini bukankan membikin aku sangat penasaran" Tentu disebabkan mereka
dendam Suhuku telah membunuh Ban-supek, akan tetapi Ban-supek toh tidak jadi
mati, kinipun sudah sembuh dari lukanya, sebaliknya aku sudah dipenjarakan
selama beberapa tahun masih belum juga dibebaskan. Apakah mereka sudah melupakan
diriku" Rasanya toh tidak, buktinya tempo hari Sim-sute itu juga datang
menyambangi aku?" Ting Tian diam saja, dengan lagak lucu ia miringkan kepalanya untuk memandang
Tik Hun dari sebelah sini kesebelah sana, lalu ia tertawa dingin.
"Ting-toako, apa yang kukatakan ini apakah ada yang salah?" tanya Tik Hun dengan
bingung sambil garuk2 kepala sendiri.
"Benar, benar, semuanya benar, masakah ada yang salah?" jengek Ting Tian.
"Justeru kalau jalannya tidak begini, itulah baru salah."
"Ap............ apa maksudmu, Ting-toako?" tanya Tik Hun semakin bingung.
"Begini! Seumpama ada seorang anak tolol telah membawa gadisnya yang cantik
kerumahku, aku menjadi sir pada gadisnya, akan tetapi sigadis memang mencintai
sitolol itu. Agar aku bisa mengangkangi sicantik, sudah tentu aku harus
melenyapkan sitolol itu lebih dulu. Coba katakan, kalau kau, akal apa yang
engkau gunakan?" "Akal apa?" sahut Tik Hun agak linglung. Diam2 iapun merasa seram sendiri.
"Banyak jalannya," kata Ting Tian. "Kalau menggunakan racun atau memakai senjata
untuk membunuh sitolol itu, boleh jadi sicantik itu seorang wanita yang setia
dan mungkin akan membunuh diri atau menuntut balas bagi sitolol, tentu urusan
akan menjadi runyam malah, maka jalan2 itu takbisa ditempuh. Maka kurasa jalan
paling baik yalah seret sitolol itu dan dijebloskan kedalam penjara. Untuk
membikin sicantik benci pada sitolol, jalan pertama harus membikin se-akan2
sitolol itu telah mencintai wanita lain; kedua, harus menunjukkan sitolol itu
sebenarnya seorang yang jahat, suka mencuri dan merampok, agar perbuatan2
demikian akan memuakan sicantik."
Tik Hun menjadi gemetar oleh uraian Ting Tian itu, tanyanya dengan suara tak
lancar: "Apa yang kau........... kau katakan ini apakah........ apakah memang
sengaja telah diatur oleh si ............. si Ban Ka itu?"
"Aku tidak menyaksikan sendiri, darimana aku tahu?" sahut Ting Tian tertawa.
"Tapi Sumoaymu itu sangat ayu, bukan?"
Pikiran Tik Hun menjadi butek, ia hanya memanggut.
Lalu Ting Tian berkata pula: "Ehm, untuk mengambil hati sinona, dengan
sendirinya aku harus kerja keras, aku akan keluarkan uang untuk menyogok
pembesar disini, kataku untuk menolong engkau agar lekas dibebaskan. Usahaku itu
sengaja kuperlihatkan sendiri kepada sicantik agar dia merasa berterima kasih
padaku. Dan uang sogokku itu memang benar2 telah kuserahkan kepada pembesar
disini dan petugas2 lain."
"Dan sesudah membuang uang sebanyak itu, tentu akan berhasil sedikit bukan?"
tanya Tik Hun. "Sudah tentu, setan pun doyan duit, mengapa tak berhasil?" sahut Ting Tian.
"Habis, meng............. mengapa aku masih tetap dikerangkeng disini dan belum
dibebaskan?" tanya Tik Hun.
"Hahahaha!" tiba2 Ting Tian ber-bahak2. "Kau berbuat salah apa" Tuduhan yang
mereka jatuhkan padamu paling2 juga cuma hendak memperkosa wanita dan mencuri,
toh bukan perbuatan masiat, juga bukan membunuh orang. Dosamu apa hingga mesti
dikurung sampai ber-tahun2 tanpa diputus perkaranya" Pula juga tidak perlu
tulang pundakmu ditembusi rantai segala" Dan ketahuilah, kesemuanya ini adalah
hasil dari uang sogok itu. Ya, akal ini memang sangat bagus dan licin, sinona
tinggal dirumahku, cintanya pada sitolol itu dengan sendirinya belum terlupakan,
tetapi sesudah ditunggu setahun demu setahun, masakah achirnya sicantik takkan
menikah?" "Trang," mendadak Tik Hun membacok goloknya kelantai. Serunya: "Ting-toako, jadi
aku dikerangkeng selama ini, semuanya adalah perbuatan si Ban Ka itu?"
Ting Tian tidak menjawab, tapi ia menengadah untuk memikir hingga agak lama,
tiba2 ia berkata pula: "Ah, salah, salah, didalam muslihat it masih terdapat
suatu kekurangan, salah, salah besar!"
"Masih kurang apa lagi?" kata Tik Hun dengan gusar. "Sumoayku achirnya juga
sudah menjadi isterinya, dan aku, kalau tidak ditolong olehmu, sudah lama akupun
menggantung diri, bukankah semuanya itu telah memenuhi cita2nya?"
Namun Ting Tian terus mondar-mandir didalam kamar penjara itu sambil geleng2
kepala, katanya: "Didalamnya masih terdapat satu kepincangan besar. Mereka
begitu licik dan pintar mengatur, masakah tidak tahu?"


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya kepincangan apa maksudmu?" tanya Tik Hun.
"Suhumu!" sahut Ting Tian tiba2. "Suhumu telah melarikan diri sehabis melukai
Supehmu. Ngo-in-jiu Ban Cin-san dari Heng-ciu cukup tenar didalam Bu-lim,
tentang dia cuma terluka dan tidak binasa, kabar ini dalam waktu singkat saja
tentu tersiar, seumpama Suhumu malu untuk menjumpai Suhengnya lagi, paling tidak
dia toh dapat mengirim orang untuk memapak Sumoaymu pulang kerumah" Dan bila
Sumoaymu sudah pulang, bukankah antero tipu muslihat keji Ban Ka itu akan
bangkrut seluruhnya?"
"Benar, benar!" ber-ulang2 Tik Hun menggablok pahanya sendiri. Oleh karena
tangannya dibelenggu, maka terbitlah suara gemerincing dari rantai belenggunya
itu. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa seorang yang tampaknya kasar seperti
Ting Tian itu ternyata cara berpikirnya bisa begitu jauh dan teliti. Tik Hun
menjadi kagum tak terhingga.
"Dan sebab apa Suhumu tidak memapak pulang puterinya itu, didalam situlah pasti
ada sesuatu yang mencurigakan," tutur Ting Tian pula dengan suara pelahan.
"Kuyakin sebelumnya Ban Ka dan komplotannya pasti juga sudah dapat menduga akan
hal ini, keganjilan ini untuk sementara inipun aku merasa tidak mengerti."
Begitulah Ting Tian terus memeras otak untuk memikirkan hal itu. Sebaliknya Tik
Hun sama sekali tidak ambil pusing. Baru sekarang ia paham dimana letak
persoalannya mengapa dirinya dijebloskan penjara oleh orang. Ber-ulang2 ia
ketok2 kepalanya sendiri sambil memaki dirinya sendiri terlalu tolol, urusan
yang sederhana bagi orang lain itu ia sendiri justeru tidak tahu sama sekali
selama ber-tahun2. Padahal harus dimaklumi juga, sejak kecil Tik Hun hidup dipedesaan yang suasana
masyarakatnya sederhana dan jujur, ia tidak kenal betapa licik dan kejamnya
orang Kangouw. Sebaliknya Ting Tian biasa berterobosan ditengah rimba senjata,
banyak pengalaman dan pahit-getir yang telah dirasakannya, dengan sendiri ia
lantas tahu duduknya perkara begitu mendengar ceritanya Tik Hun. Hal itu bukan
soal pintar atau bodoh seseorang, tapi karena perbedaan pengalaman hidup kedua
orang itu selisih terlalu jauh. Begitulah sesudah Tik Hun mengomel dan memaki
dirinya sendiri, ketika dilihatnya Ting Tian masih terus memeras otak, ia lantas
berkata: "Sudahlah, Ting-toako, tidak perlu kau memikirnya lagi. Suhuku adalah
seorang desa yang jujur, tentu saking takutnya sehabis melukai Ban-supek, ia
telah lari jauh2 entah kemana, maka ia tidak mendengar berita masih hidupnya
Ban-supek itu." "Apa katamu" Suhumu hanya seorang desa yang jujur?" Ting Tian menegas dengan
mata membelalak heran. "Sehabis membunuh orang dia bisa ketakutan dan melarikan
diri?" "Ya, memang Suhuku benar2 seorang yang sangat jujur," sahut Tik Hun. "Ban-supek
mempitenah dia mencuri sesuatu Kiam-boh (kitab ilmu pedang) apa dari Thaysuhu
(kakek guru), dalam gusarnya ia menjadi kalap hingga melukai Supek, padahal
hatinya benar2 sangat baik."
Ting Tian hanya mendengus sekali saja dan tidak berkata pula, ia duduk kepojok
kamar sana sambil pelahan2 bernyanyi kecil.
"Sebab apa engkau mendengus?" tanya Tik Hun heran.
"Tidak apa2," sahut Ting Tian.
"Tentu ada sebabnya, Ting-toako, haraplah engkau suka bicara terus terang saja,"
pinta Tik Hun. "Baiklah," kata Ting Hun achirnya, "Coba terangkan dulu, siapakah julukan gurumu
itu?" "Ehm, dia berjuluk 'Tiat-so-heng-kang'," sahut Tik Hun.
"Apa maksudnya julukan itu?" tanya Ting Tian.
Tik Hun menjadi gelagapan, maklum kurang makan sekolahan. Tapi jawabnya juga
kemudian: "Aku tidak paham arti daripada kata2 sastra tinggi itu. Tapi dugaanku
mungkin maksudnya menggambarkan ilmu silat beliau sangat hebat, mahir dalam hal
bertahan, musuh sekali2 tak mampu membobol pertahanannya."
"Hahahaha!" Ting Tian terbahak. "Tik-hiantit, engkau sendirilah sebenarnya yang
terlalu jujur dan polos. Tiat-so-heng-kang (rantai besi melintang disungai),
supaya orang takbisa turun juga tak dapat naik, bagi tokoh kalangan Bu-lim
angkatan lebih tua siapa orangnya yang tidak tahu arti daripada julukan itu"
Gurumu itu justeru pintar dan cerdik, lihaynya tidak kepalang, pabila ada orang
menyakiti hatinya, pasti dia akan memeras otak mencari akal untuk membalasnya,
supaya orang serba sulit, turun tak bisa, naik tak dapat, jadi ter-katung2
seperti sebuah kapal yang mengoleng2 ditengah sungai oleh pusaran air. Jika kau
tidak percaya ucapanku ini, kelak kalau kau sudah keluar penjara, boleh kau coba
mencari tahu betul tidak ramalanku ini."
Namun Tik Hun masih tidak percaya, pikirnya: "Sedangkan Kiam-hoat yang diajarkan
Suhu padaku juga banyak yang salah. Sebenarnya jurus: 'seekor burung terbang
dari lautan tidak sudi menghinggap di-rawa2', tapi dia telah salah mengartikan:
'ada banjir orang ber-teriak2, ketemu rintangan tidak berani lewat', dan lain2
jurus lagi. Ya, maklumlah, memangnya dia juga tidak banyak bersekolah, mana
dapat dikatakan dia sangat pintar dan cerdik!" ~ maka katanya segera: "Tapi suhu
benar2 seorang jujur, seorang petani yang dangkal sekolahnya."
"Mana bisa?" sahut Ting Tian dengan gegetun. "Ia justeru sangat tinggi
sekolahnya dan banyak kepandaiannya, ia sabar dan pendiam, tentu ada maksud2
tertentu. Tapi mengapa sampai muridnya sendiri juga dibohongi, inilah susah
dimengerti orang luar. Sudahlah, jangan kita membicarakan urusan ini saja,
marilah, biar kutempelkan berewokku ini kejanggutmu!"
Habis berkata, Ting Tian angkat golok membacok kemayat siTojin. Karena belum
lama matinya Tojin jahat itu, maka darahnya masih segar dan terus mengucur
keluar dari luka bacokan itu. Ting Tian mencelup secomot demi secomot bulu
berewoknya sendiri yang tercukur tadi untuk ditempelkan dijanggutnya Tik Hun dan
kedua belah pipinya. Sebenarnya Tik Hun menjadi muak dan ngeri ketika mencium bau anyirnya darah,
tapi demi mengingat betapa akal kejinya Ban Ka, betapa maksud tertentu sang guru
yang tak diketahui orang itu serta masih banyak lagi hal2 yang tak diketahuinya,
ia merasa tempat yang paling aman didunia ini sebenarnya adalah didalam penjara
malah. Dengan Ting Tian bahwa didalam tiga hari pasti akan kedatangan musuh tangguh,
ternyata baru saing hari kedua, didalam penjara itu sudah ber-turut2 dijebloskan
pula pesakitan2 baru yang beraneka macam orangnya, ada yang tinggi, ada yang
pendek, ada yang kurus, ada yang gemuk, tua, muda, semuanya ada. Tapi sekali
melihat bentuk mereka segera orang akan tahu bahwa pesakitan2 baru itu pastilah
tokoh2 Kangouw, kalau bukan golongan bandit, tentu adalah pimpinan sesuatu
gerombolan. Melihat jumlah orang yang dimasukan kekamar penjara tu semakin banyak, diam2 Tik
Hun mulai kuatir. Ia tahu orang2 ini pasti musuh2 yang hendak mencari Ting Tian.
Bahkan bukan cuma lima musuh tangguh seperti kata Ting Tian itu, tapi sekaligus
telah datang 17 orang hingga kamar penjara itu ber-jubel2, sampai merebahpun
susah, terpaksa semua orang cuma berduduk saja sambil berpeluk dengkul.
Sebaliknya Ting Tian tetap berbaring dipojok kamar itu sambil menghadap dinding,
ia tidak ambil pusing terhadap dinding, ia tidak ambil pusing terhadap orang2
itu. Pesakitan2 itu tiada hentinya bergembar-gembor, bercanda dan ber-olok2, hanya
sebentar saja sudah ada yang bertengkar segala.
Dari suara2 mereka itu Tik Hun dapat mengetahui bahwa ke-17 orang itu ternyata
terdiri dari tiga golongan dan sama2 lagi mengincar sesuatu benda mestika apa.
Ketika tanpa sengaja sinar mata Tik Hun kebentrok dengan sorot mata orang2 yang
bengis itu, ia menjadi kaget dan cepat berpaling kearah lain. Pikirnya: "Aku
telah menyaru sebagai Ting-toako, tapi ilmu silatku sudah punah semua, kalau
sebentar mesti bergebrak, bagaimana aku harus bertindak" Betapapun tingginya
ilmu silat Ting-toako rasanya juga tidak sanggup sekaligus membinasakan orang2
sebanyak ini." Lambat-laun haripun sudah gelap. Tiba2 seorang laki2 yang bertubuh tegap
berteriak: "Marilah kita bicara terang2an sebelumnya, sasaran pokok ini nanti
harus menjadi milik Tong-ting-pang kami, pabila ada yang tidak terima, hayolah
lekas kita tentukan dengan kepandaian masing2, agar nanti tidak perlu banyak
rewel lagi." Rupanya orang Tong-ting-pang yang ikut datang disitu ada sembilan orang, 9
daripada 17 orang, itu berarti lebih dari separoh, dengan sendirinya kekuatannya
jauh lebih kuat. Segera seorang setengah umur dan rambut sudah ubanan menanggapi dengan suaranya
yang banci: "Diputuskan dengan kepandaian masing2, itu bagus! Hayolah apa kita
mesti main kerubut didalam sini atau bertarung dipelataran luar situ?"
"Dipelataran juga boleh, siapa yang jeri padamu?" sahut laki2 tegap itu.
Habis berkata, segera ia pegang dua ruji lankan besi terus dipentang sekuatnya,
kontan saja jadilah sebuah lubang yang cukup dibuat keluar-masuk orang dengan
bebas. Tenaga orang itu kuat mementang besi hingga bengkok, betapa hebat
Gwakangnya dapatlah dibayangkan.
Dan selagi laki2 itu hendak menerobos keluar melalui lubang ruji besi yang telah
melengkung itu, se-konyong2 sesosok bayangan berkelebat, seorang telah mengadang
ditempat lubang itu. Itulah dia Ting Tian adanya.
Tanpa berkata lagi Ting Tian terus jamberet dada orang itu. Aneh juga, perawakan
laki2 itu sebenarnya lebih tinggi satu kepala daripada Ting Tian, tapi sekali
kena dipegang olehnya, seketika lemas lunglai takbisa berkutik. Terus saja Ting
Tian jejalkan tubuh laki2 itu keluar kamar penjara dan dilemparkan kepelataran.
Laki2 itu cuma meringkuk saja ditanah tanpa bergerak sedikit, terang sudah
binasa. Melihat kejadian yang luar biasa itu, semua orang yang berada didalam penjara
itu menjadi kesima ketakutan. Menyusul Ting Tian mencengkeram lagi seorang terus
dilemparkan pula keluar. Begitulah ia terus menyambar dan melempar hingga
seluruhnya telah tujuh orang terlempar keluar. Setiap orang yang kena dipegang
olehnya itu semuanya mati seketika tanpa bersuara sedikitpun.
Sisa 10 orang yang lain menjadi lebih ketakutan lagi, tiga diantaranya mengkeret
kepojok dinding, sebaliknya tujuh orang lainnya menjadi nekat. Berbareng mereka
mengerubut maju dan menyerang serabutan kepada Ting Tian. Namun sama sekali Ting
Tian tidak berkelit juga tidak menangkis, ia tetap ulur tangannya menyambar dan
sekali tangannya bekerja pasti ada seorang yang kena dipegangnya dan setiap
orang yang terpegang itu pasti mati seketika. Tentang dimana letaknya kematian
mereka tiada seorangpun yang jelas.
Habis ketujuh orang itupun terbinasa semua, tiba2 ketiga orang yang meringkuk
ketakutan dipojok itu lantas berlutut minta ampun. Namun Ting Tian anggap sepi
saja, kembali ia mencengkeram dan melemparkan mereka keluar.
Saking kesima menyaksikan Ting Tian mengamuk itu, Tik Hun sampai terkesiap
melongo seperti orang mimpi.
Habis itu, Ting Tian tepuk2 kedua tangannya dan tertawa dingin: "Huh, cuma
begini saja kepandaian mereka juga berani datang kesini hendak mengincar Soh-
sim-kiam-hoat!" Tik Hun melengak mendengar "Soh-sim-kiam-hoat" disinggung. Tanyanya segera: "Apa
katamu, Ting-toako, Soh-sim-kiam-hoat?"
Ting Tian seperti menyesal telah ketelanjur omong, tapi iapun tidak ingin
membohongi Tik Hun, maka ia cuma tertawa dingin beberapa kali tanpa menjawab.
Sungguh selama hidup Tik Hun belum pernah menyaksikan orang setangkas Ting Tian,
hanya sekejap saja 17 orang yang tegap kuat itu sudah menggeletak semua menjadi
mayat. Dengan gegetun ia berkata kepada Ting Tian: "Ting-toako, kepandaian
apakah yang engkau gunakan hingga begitu lihay" Apakah orang ini semuanya pantas
diganjar kematian?" "Pantas diganjar kematian rasanya juga tidak semuanya," sahut Ting Tian. "Yang
terang orang2 ini tidak bermaksud baik kepadaku. Pabila aku belum berhasil
meyakinkan 'Sin-ciau-keng' hingga kena ditawan oleh mereka malah, pastilah susah
dibayangkan siksaan apa yang akan kuderita."
Tik Hun tahu apa yang dikatakan Ting Tian itu bukanlah omong-kosong, katanya
pula: "Sekenanya engkau memegang mereka, seketika mereka terbinasa ditanganmu,
sungguh ilmu kepandaian ini mendengar saja aku belum pernah. Pabila kuceritakan
kepada Sumoay, tentu diapun takkan percaya......" ~ teringat kepada sang Sumoay,
hatinya menjadi pilu dan dadanya se-akan2 kena dipukul orang sekali.
Namun Ting Tian tidak mentertawainya, bahkan ia menghela napas panjang dan
menggumam sendiri: "Padahal, sekalipun sudah berhasil meyakinkan imu silat maha
tinggi juga belum tentu segala cita2 orang dapat tercapai........"
Belum habis ucapannya, tiba2 Tik Hun bersuara heran dan menuding kearah serangka
mayat dipelataran sana. "Ada apa?" tanya Ting Tian.
"Orang itu belum mati sama sekali, kakinya barusan tampak bergerak," kata Tik
Hun. Sungguh kejut Ting Tian bukan kepalang, serunya: "Apa benar?" ~ bahkan suaranya
sampai gemetar. "Ya, barusan aku melihat kakinya bergerak dua kali," sahut Tik Hun sambil
memikir juga: "Seorang yang terluka parah dan tidak lantas mati, mengapa mesti
dikuatirkan, masakan masih mampu berbangkit untuk bertempur?"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Sin-ciau-kang yang sudah berhasil diyakinkan
Ting Tian itu, siapa saja asal kena dicengkeram olehnya, seketika orang itu akan
binasa. Kini kalau ada musuh yang dicengkeram dan ternyata tidak mati, hal itu
menandakan ilmu saktinya itu masih ada kekurangannya.
Begitulah karena itu, Ting Tian menjadi heran dan cemas, segera ia menerobos
keluar dari lubang lankan itu untuk memeriksa orang yang masih bisa bergerak
itu. Diluar dugaan, tiba2 terdengarlah suara mencicit dua kali, dua senjata gelap
yang sangat kecil telah menyambar kearah mukanya. Namun Ting Tian sudah ber-
jaga2 sebelumnya, cepat sekali ia mendongak kebelakang hingga dua batang panah
kecil menyambar lewat dimukanya, bahkan hidungnya mengendus bau amis yang busuk,
terang diatas panah2 kecil itu terdapat racun jahat.
Dan begitu membidikan panahnya, orang itu terus melesat keatas emper rumah.
Melihat Ginkang orang itu sangat hebat, sebaliknya dirinya sendiri terbelengu,
gerak-gerik kurang leluasa, untuk mengejar belum tentu mampu mencandaknya,
terpaksa Ting Tian menyamber serangka mayat sekenanya terus ditimpukan kearah
pelarian itu. Timpukan Ting Tian itu sangat keras dan cepat, "bluk", tepat sekali kepala mayat
itu menumbuk dipinggang sipelarian selagi orang itu baru saja sebelah kakinya
menginjak emper rumah. Kontan saja ia terjungkal kembali kebawah, segera Ting
Tian memburu kesana dan mencengkeram tengkuknya untuk diseret kembali kedalam
kamar penjara, ketika diperiksa napasnya, sekali ini orang itu benar2 sudah
putus nyawanya. Ting Tian buang mayat itu, ia berduduk dilantai dan bertopang dagu untuk
memikirkan: "Sebab apakah cengkeramanku tadi tidak membinasakan orang itu"
Apakah ilmu yang kulatih itu masih ada sesuatu yang kurang sempurna?"
Tapi sampai lama sekali tetap ia tidak memperoleh sesuatu gagasan yang tepat.
Saking mendongkol, kembali tangannya mencengkeram pula kedada mayat disampingnya
itu. Mendadak ia merasakan ada sesuatu tenaga yang lunak tapi ulet telah
mementalkan kembali jarinya. Ting Tian terkejut tercampur girang, serunya: "Ya,
ya, tahulah aku sekarang!"
Cepat ia terus mempelototi pakaian mayat itu, maka terlihatlah dibadan mayat itu
memakai sebuah baju kutang yang berwarna hitam gilap. Maka Ting Tian berkata
pula: "Pantas saja, sampai aku dibikin terkejut sekali!"
Tik Hun heran, tanyanya: "Ada apakah, Ting-toako?"
Ting Tian tidak menjawab, ia melucuti pakaian mayat itu dan mencopot baju kutang
didalamnya itu, habis itu ia lemparkan mayat itu keluar kamar penjara, lalu
katanya kepada Tik Hun dengan tertawa: "Tik-hiantit, ini, pakailah baju ini."
Tik Hun dapat menduga baju kutang warna hitam itu pasti barang mestika, maka
sahutnya: "Baju ini adalah milik Toako, aku tidak berani mengambilnya."
"Jadi kalau bukan milikmu, lantas kau tidak sudi?" tanya Ting Tian dengan nada
agak keras. Tik Hun terkesiap, kuatir orang menjadi marah, segera sahutnya: "Tapi kalau
Toako mengharuskan aku memakainya, biarlah aku memakainya."
"Kutanya padamu: Jika bukan milikmu, engkau mau tidak?" tanya Ting Tian dengan
sungguh2. "Kecuali kalau sipemilik berkeras memberikannya kepadaku, terpaksa aku
menerimanya, bila tidak........... bila tidak, karena bukan milikku, dengan
sendirinya aku tidak mau," sahut Tik Hun. "Sebab kalau sembarangan mengambil
milik orang, bukankah perbuatan itu mirip perampok dan pencuri?" ~ Berkata lebih
lanjut, sikapnya menjadi penuh semangat, sambungnya: "Ting-toako, engkau tahu
bahwa sebabnya aku dijebloskan kedalam penjara ini adalah karena dipitenah
orang. Selama hidupku suci bersih, selamanya aku tidak pernah berbuat sesuatu
kejahatan." Ting Tian meng-angguk2, katanya: "Ya, bagus, bagus! Tidak percumalah aku
mempunyai seorang kawan seperti engkau. Nah, pakailah baju ini dibagian dalam."
Tik Hun tidak enak untuk menolaknya, terpaksa ia membuka baju luarnya dan
memakai baju kutang hitam itu dibagian dalam, lalu dirangkap pula dengan baju
luarnya sendiri yang berbau apek lantaran sudah tiga tahun tidak pernah dicuci.
Karena tangannya terbelenggu, dengan sendirinya sulitlah untuk berpakaian. Tapi
berkat bantuan Ting Tian yang merobek dulu lengan bajunya yang lama itu, baju


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutang hitam itu menjadi tidak susahlah untuk dipakainya.
Selesai membantu memakaikan baju kutang itu, kemudian Ting Tian berkata: "Tik-
hiantit, baju ini adalah baju mestika yang kebal senjata, yaitu dibuat dari
sutera ulat hitam yang cuma terdapat di Tay-swat-san. Terang keparat itu adalah
tokoh penting dari Swat-san-pay, makanya dia memakai baju kutang Oh-jan-kah
pusaka ini. Hahahaha, dia mengincar mestika kesini, tak tahunya malah
mengantarkan mestikanya."
Mendengar baju hitam itu adalah baju mestika, cepat Tik Hun berkata: "Toako,
musuhmu sangat banyak, seharusnya baju ini engkau pakai sendiri untuk melindungi
badanmu. Pula setiap tanggal 15............."
Namun Ting Tian lantas goyang2 tangannya, katanya: "Aku mempunyai ilmu pelindung
badan Sin-ciau-kang, tidak membutuhkan 'Oh-jan-kah' ini. Tentang siksaan setiap
tanggal 15, ha, memang aku sukarela menerimanya, kalau mesti memakai baju pusaka
ini malah akan menunjukan ketidak tulusnya hatiku. Cuma sedikit penderitaan
kulit-daging saja kenapa mesti dipikirkan, toh tidak sampai merusak otot-
tulang." Tik Hun ter-heran2 oleh jawaban itu. Selagi ia ingin tanya, tiba2 Ting Tian
berkata pula: "Meski aku minta engkau menyaru sebagai aku yang penuh berewok,
tapi aku masih kuatir tidak sempurna melindungi engkau dari samping. Namun
sekarang sudahlah baik, engkau sudah pakai baju pusaka, aku tidak kuatir lagi.
Marilah mulai sekarang juga aku akan mengajarkan kunci dasar Lwekang padamu,
harap engkau belajar baik2."
Dahulu bila Ting Tian hendak mengajarkan ilmu kepandaiannya kepada Tik Hun,
dalam keadaan putus asa, pemuda itu berkeras tidak mau belajar silat apa2 lagi.
Tapi kini sesudah tahu seluk-beluk dirinya sendiri telah dipitenah orang,
seketika tekadnya ingin membalas dendam itu ber-kobar2 didalam dadanya, sungguh
kalau bisa detik itu juga ia ingin terus keluar penjara untuk membikin
perhitungan dengan si Ban Ka. Dengan mata kepala sendiri Tik Hun telah
menyaksikan Ting Tian membinasakan jago2 silat sebanyak itu dengan begitu mudah,
ia pikir asal dirinya mampu belajar 3 atau 4 bagian dari kepandaian Ting-toako
itu sudahlah cukup untuk melolos dari penjara dan membalas sakit hati.
Saking kusut pikirannya waktu itu, Tik Hun menjadi se-akan2 tersumbat mulutnya,
ia berdiri termangu dengan muka merah membara dan darah bergolak.
Ting Tian menyangka pemuda itu tetap tidak ingin belajar Lwekang yang akan
diajarkan olehnya itu, selagi dia hendak memberi nasehat lebih jauh, tiba2 Tik
Hun terus berlutut kehadapannya sambil menangis ter-gerung2, katanya: "Ting-
toako, baiklah engkau mengajarkan kepandaianmu padaku, aku akan menuntut balas,
aku pasti akan membalas sakit hatiku!"
Maka ter-bahak2lah Ting Tian hingga suaranya menggetarkan atap rumah, katanya:
"Hendak membalas dalam, apa susahnya?"
Dan sesudah perasaan Tik Hun tenang kembali, barulah Ting Tian mulai mengajarkan
pengantar ilmu Lwekang yang hebat itu.
Tik Hun sangat giat belajar, sekali diberi petunjuk, segera ia melatihnya tanpa
mengenal capek. Melihat ketekunan pemuda itu, Ting Tian menjadi geli, katanya dengan tertawa:
"Untuk meyakinkan Sin-ciau-keng yang tiada tandingannya itu masakan kau sangka
begitu gampang" Aku sendiri kebetulan ada jodoh serta dasar Lwekangku memang
sudah kuat, makanya dapat meyakinkannya dalam 12 tahun. Orang belajar memang
perlu giat, Tik-hiantit, tapi terlalu cepat menjadi jelek malah, maka harus maju
setindak-demi-setindak dengan teratur. Hendaklah camkan ucapanku ini."
Walaupun sebegitu jauh Tik Hun masih memanggil "Toako" kepada Ting Tian, tapi
dalam hatinya kini sebenarnya sudah menganggapnya sebagai "Suhu", apa yang
dikatakannya pasti diturutnya. Tapi rasa dendam dalam hatinya bergolak bagai
ombak mendampar, mana dapat suruh dia tenang begitu saja"
Besok paginya kembali geger pula ketika petugas2 bui melihat ke-17 rangka mayat
dipelataran penjara itu, segera hal itu dilaporkan kepada atasannya dan baru
sore harinya mayat2 itu digotong pergi. Ting Tian dan Tik Hun mengaku bahwa
orang2 itu saling bunuh-membunuh sendiri, sipir bui percaya penuh pengakuan itu
karena mereka berdua tetap terbelenggu kaki dan tangannya, tidak mungkin orang
terbelenggu dapat membunuh 17 orang sekaligus.
Petangnya, kembali Tik Hun melatih diri menurut ajaran Ting Tian. Pengantar
dasar "Sin-ciau-kang" itu ternyata sangat mudah, tapi makin lama menjadi makin
sulit. Meski Tik Hun bukan anak pintar, tapi juga tidak terlalu bodoh. Setelah
melatih satu-dua jam, lambat-laun perutnya sudah merasa ada reaksi. Sedang
tegang perasaannya, mendadak dada dan punggungnya berbareng se-akan2 kena
dihantam sekali dengan sangat keras.
Begitu keras kedua hantaman dari muka dan belakang itu hingga mirip gencetan dua
batang godam besi, seketika Tik Hun merasa matanya ber-kunang2 dan napas sesak,
hampir2 ia jatuh kelenger.
Setelah rasa sakitnya agak reda, waktu ia mementang matanya, ia lihat dikanan-
kirinya sudah berdiri seorang Hwesio, waktu menoleh, ternyata dibelakangnya dan
disamping juga terdapat pula tiga Hwesio lain, jadi seluruhnya lima Hwesio telah
mengepungnya di-tengah2. Diam2 Tik Hun membatin: "Ya, inilah lima musuh tangguh yang dimaksudkan Ting-
toako itu, aku harus bertahan sekuatnya, jangan sampai penyamaranku diketahui."
Segera iapun ter-bahak2 dan berkata: "Hahahaha, kelima Tay-su ini memangnya ada
kepentingan apa mencari aku orang she Ting?"
Tengah Tik Hun merasakan perutnya mulai timbul reaksi dari latihan Lweekang
"Sin-ciau-kang" yang sakti itu, se-konyong2 terasa dada dan punggungnya dihantam
dari muka dan belakang dengan sangat keras. Begitu hebat hantaman itu hingga
matanya ber-kunang2, dadanya sesak dan hampir2 semaput. Waktu sakitnya sudah
mereda dan membuka mata, Tik Hun melihat lima Hwesio sudah mengelilingi dirinya.
Hwesio sebelah kiri itu lantas menjawab: "Dimana Soh-sim-kiam-boh itu, lekas
serahkan! He, kau........... kau................"
Belum selesai ucapannya, tiba2 Hwesio itu sempoyongan dan hampir2 terjatuh.
Menyusul Hwesio kedua juga memuntahkan darah segar. Keruan Tik Hun sangat heran,
ia coba memandang kearah Ting Tian dipojok sana, tertampak Ting Tian sedang
melontarkan pukulannya dari jauh, pukulannya itu tanpa suara tanpa wujut, tapi
Hwesio ketiga lantas menjerit juga dan terpental menumbuk dinding.
Kedua Hwesio yang lain cukup cerdik, cepat merekapun menurutkan arah pandangan
Tik Hun dan dapat melihat Ting Tian yang meringkuk dipojok kamar yang gelap itu,
berbareng mereka menjerit kaget: "He, Sin-ciau-kang! Bu-eng-sin-kun!"
Segera Hwesio yang bertubuh paling tinggi diantaranya lantas menyeret kedua
kawannya yang terluka tadi dan berlari keluar melalui lubang lankan. Sedang
Hwesio satunya lagi terus merangkul kawannya yang muntah darah, berbareng
tangannya membalik menghantam kearah Ting Tian yang saat itu telah berbangkit
dan sedang melontarkan pukulannya yang sakti dan tanpa wujut itu.
Karena beradunya pukulan, Hwesio itu lantas tergetar mundur setindak, menyusul
pukulan kedua orang saling bentur lagi dan dia mundur pula setindak, sampai
pukulan ketiga, Hwesio itupun sudah mundur sampai diluar lankan besi.
Ting Tian tidak mengejarnya, maka Hwesio itu tampak mulai ter-huyung2, cuma
beberapa langkah ia sanggup bergerak, habis itu tangannya lantas lemas hingga
Hwesio yang dirangkulnya itu terjatuh ketanah, lalu maksudnya seperti ingin
melarikan diri sendiri, tapi setiap tindak, kakinya terasa semakin berat bagai
diganduli benda beribu kati. Sesudah melangkah 6 atau 7 tindak dengan susah
payah, achirnya ia tidak tahan lagi, ia terbanting ketanah dan tidak pernah
berbangkit pula. "Sayang, sayang!" ujar Ting Tian. "Kalau engkau tidak memandang kearahku, pasti
ketiga Hwesio itu takkan dapat melarikan diri."
Melihat kedua Hwesio itu sangat mengerikan matinya, Tik Hun menjadi tidak tega,
pikirnya: "Biarlah ketiga Hwesio yang lain itu lari, sesungguhnya orang yang
dibunuh Ting-toako juga sudah terlalu banyak."
Melihat Tik Hun diam saja, Ting Tian menanya pula: "Kau anggap cara turun
tanganku terlalu kejam bukan?"
"Aku.......... aku.........." mendadak Tik Hun merasa tenggorokannya se-akan2
tersumbat, ia jatuh mendoprok kelantai dan tidak sanggup berkata lagi.
Cepat Ting Tian mengurut dada Tik Hun untuk menjalankan pernapasannya, setelah
diurut agak lama, barulah rasa sesak didada pemuda itu terasa longgar.
"Kau anggap aku terlalu kejam, tapi begitu datang mereka lantas menghantam
engkau dari muka dan belakang, pabila badanmu tidak memakai baju kutang pusaka,
mungkin jiwamu sekarang sudah melayang," demikian kata Ting Tian kemudian. "Ai,
hal ini adalah salahku sendiri terlalu gegabah dan tidak menduga bahwa begitu
datang mereka terus menyerang. Aku cuma menduga mereka pasti akan menanya dulu
padaku. Ya, tahulah aku, sesungguhnya mereka juga sangat jeri padaku, maka
maksud mereka aku hendak dihantam hingga luka parah, habis itu barulah aku akan
dipaksa mengaku." Ia mengusap bersih berewok dimukanya Tik Hun, lalu berkata pula dengan tertawa:
"Sisa ketiga keledai gundul itu sudah pecah nyalinya, pasti mereka tidak berani
datang merecoki kita lagi." ~ Kemudian dengan sungguh2 ia berkata: "Tik-hiantit,
Hwesio yang paling tinggi itu bernama Po-siang dan yang gemuk itu bergelar Sian-
yong. Yang pertama kali kena dipukul roboh itu paling lihay, namanya Seng-te.
Kelima Hwesio itu berjuluk 'Bit-cong-ngo-hiong' (lima jago dari sekte Bit-cong),
ilmu silat mereka sangat tinggi, bila aku tidak menyergap mereka dari samping,
belum tentu aku mampu melawan mereka. Kelak bila engkau ketemukan mereka di
Kang-ouw, engkau harus hati2. Ya, tapi Ngo-hiong kini sudah tinggal Sam-hiong,
untuk melayani mereka menjadi jauh lebih gampang."
Oleh karena tadi Ting Tian banyak mengeluarkan tenaga murninya untuk menyerang
musuh2 tangguh itu, untuk mana ia perlu bersemadi hingga belasan hari barulah
tenaganya pulih kembali. Sang waktu lewat secepat anak panah, tanpa berasa dua tahun sudah lalu pula.
Selama itu keadaan aman tenteram, terkadang ada juga satu-dua orang Kangouw yang
bikin rusuh kekamar penjara situ, tapi asal sekali dicengkeram atau dipegang
Ting Tian, dalam sekejap saja jiwa mereka lantas melayang.
*********** Selama beberapa bulan paling achir ini Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu
se-akan2 macet, ia bertambah giat melatihnya, tapi ternyata tiada kemajuan apa2,
rasanya masih tetap seperti beberapa bulan yang lalu. Biar otak Tik Hun kurang
tajam, namun dia mempunyai kemauan yang keras, ia tahu ilmu sakti yang tiada
tandingannya dijagat itu tidak mungkin berhasil dilatihnya secara mudah, maka ia
melatihnya lebih tekun dan lebih sabar agar pada suatu waktu cita2nya pasti akan
tercapai. Pagi hari itu, sedang Tik Hun menjalankan napas sambil berbaring seperti apa
yang dilakukannya setiap bangun pagi, tiba-tiba didengarnya Ting Tian bersuara
heran sekali, nadanya kedengaran rada kuatir pula. Selang sejenak, terdengar ia
menggumam sendiri: "Hari ini agaknya tidak sampai layu, boleh juga diganti besok
pagi." Tik Hun heran, ia menoleh dan melihat Ting Tian sedang ter-mangu2 memandang jauh
kepada pot bunga yang berada diambang jendela diatas loteng sana.
Sejak Tik Hun mulai melatih Sin-ciau-kang, indera penglihatan dan pendengarannya
telah banyak lebih tajam. Maka begitu memandang segera ia melihat diantara tiga
tangkai bunga mawar kuning yang mekar dipot bunga itu, satu diantaranya telah
rontok satu sayap daun bunganya. Sudah biasa ia melihat Ting Tian ter-mangu2
memandangi bunga yang mekar dipot itu selama beberapa tahun itu, ia pikir
mungkin karena terlalu kesal terkurung didalam penjara, hanya bunga yang elok
dipot bunga itu dapat sekadar menghibur hati Ting Tian nan lara.
Namun juga diperhatikan oleh Tik Hun bahwa bunga yang tumbuh dipot itu selalu
mekar dengan segar dan senantiasa berganti, tidak sampai layu sudah diganti
bunga lain jenis lagi. Dimusim semi adalah bunga melati, musim rontok berganti
bunga mawar dan begitu seterusnya, pendek kata siang-malam pasti ada satu pot
bunga yang segar tertaruh diambang jendela itu.
Tik Hun ingat ketiga tangkai mawar itu sudah mekar dipot bunga itu selama enam
atau tujuh hari, biasanya selama itu pasti sudah diganti bunga yang lebih segar,
tapi sekali ini ternyata tidak pernah diganti.
Hari itu dari pagi sampai malam Ting Tian tampak sangat kesal dan jengkel.
Sampai esok paginya, bunga mawar dipot itu masih tetap belum diganti, sedangkan
daun bunganya sudah hampir habis rontok tertiup angin. Lapat2 Tik Hun merasakan
firasat yang kurang baik, ketika melihat pikiran Ting Tian semakin tidak
tenteram, ia lantas berkata: "Sekali ini orang itu telah lupa mengganti
bunganya, mungkin sore nanti dia akan menggantinya."
"Manabisa lupa?" seru Ting Tian. "Pasti tidak, pasti tidak lupa! Ya, apa
barangkali ia.......... ia sakit" Tapi seumpamanya sakit, toh dia dapat suruhan
orang mengganti bunga itu!"
Begitulah Ting Tian terus berjalan mondar-mandir dikamar penjara itu dengan
wajah yang muram dan perasaan tidak tenteram.
Tik Hun tidak berani banyak menanya, terpaksa ia duduk bersila untuk memusatkan
pikiran dan melatih diri.
Petangnya tiba2 turun hujan rincik2, tertiup angin, kembali daun bunga mawar itu
rontok beberapa sayap pula. Selama beberapa jam itu Ting Tian terus memandangi
bunga itu tanpa berkesip. Setiap daun bunga itu rontok, rasanya se-akan2
menyayat hatinya. Tik Hun tidak tahan lagi, segera ia menanya: "Ting-toako, sebab apakah engkau
tidak tenteram?" "Peduli apa?" bentak Ting Tian dengan gusar. "Tidak perlu usil!"
Sejak dia mengajarkan ilmu silat kepada Tik Hun, belum pernah dia bersikap
sekasar itu. Tik Hun menjadi menyesal telah bertanya, maksudnya hendak berkata
sesuatu pula untuk memberi penjelasan, tapi demi nampak wajah Ting Tian pe-
lahan2 mengunjuk rasa pedih dan sangat berduka, ia urung buka suara pula.
Malam itu sedetikpun Ting Tian tidak pernah mengaso, Tik Hun mendengar dia
mondar-mandir terus, rantai belenggunya tiada hentinya mengeluarkan suara
gemerincing, karena itu Tik Hun ikut tidak bisa tidur.
Esok paginya, angin meniup sayup2, hujan masih rincik2, dibawah cuaca yang
remang2 itu tertampak ketiga tangkai bunga mawar dipot bunga sana sudah rontok
semua, tinggal ranting bunganya yang gundul se-akan2 menggigil kedinginan
didampar angin dan air hujan.
"Sudah meninggal" Sudah meninggal" Benarkah engkau sudah meninggal?" tiba2 Ting
Tian ber-teriak2, ia pegang lankan besi dan di-goyang2kan terus.
Saking tak tega, Tik Hun berkata pula: "Toako, pabila kau kuatir kepada
seseorang, marilah kita pergi menjenguknya."
"Menjenguk apa?" teriak Ting Tian mendadak. "Kalau dapat pergi, sudah lama aku
telah pergi, buat apa mesti menderita dalam penjara berbau bacin ini?"
Karena tidak tahu seluk-beluknya perkara, Tik Hun hanya membelalak bingung,
terpaksa ia bungkam saja.
Sehari penuh hingga malam Ting Tian terus mendekap kepalanya sambil duduk
termenung2 dilantai, tidak makan dan tidak minum.
Hari sudah malam dan malam semakin larut.
Kira2 tengah malam, pelahan2 berbangkitlah Ting Tian, katanya dengan suara
tenang: "Marilah sekarang kita coba pergi melihatnya, Tik-hiantit."
Tik Hun mengia sambil berbangkit. Ia lihat Ting Tian telah pegang dua ruji
lankan terus dipentang pelahan, maka melengkunglah ruji besi itu hingga cukup
untuk dibuat keluar-masuk.
"Angkatlah rantai belenggumu, supaya tidak mengeluarkan suara," demikian pesan
Ting Tian. Tik Hun menurut dan gulung rantai belenggunya terus ikut keluar.
Sampai ditepi pagar tembok, sekali enjot, dengan enteng Ting Tian sudah meloncat
keatas pagar itu. "Melompat keatas sini!" serunya kepada Tik Hun dengan suara
tertahan. Tik Hun menirukan cara orang dan melompat keatas. Tak terduga sejak otot kakinya
dipotong dan tulang pundaknya tertembus, seluruh tenaganya sudah takbisa
dikerahkan lagi. Maka loncatannya itu kurang lebih cuma satu meter tingginya.
Untung Ting Tian cepat meraup tangannya terus ditarik keatas pagar tembok, lalu
mereka melompat kesebelah luar sana bersama.
Sesudah melintas pagar tembok itu, diluar penjara terdapat pula selarik pagar
tembok yang lebih tinggi, Ting Tian dapat meloncat keatasnya, tapi Tik Hun tidak
sanggup lagi betapapun. Karena tiada jalan lain, Ting Tian melompat turun
kembali, ia tempelkan punggungnya memepet tembok, sekali ia mendengar dan
mengerahkan tenaga, maka terdengarlah suara keresak-keresek yang pelahan, debu
pasir bertebaran, menyusul batu batapun berjatuhan. Pandangan Tik Hun serasa
kabur, tahu2 dinding pagar itu telah amblong berwujut satu lubang bentuk manusia
dan Ting Tian sudah menghilang. Kiranya Ting Tian telah menggunakan Sin-ciau-
kang yang maha sakti itu untuk membobol tembok dan orangnya sudah melesat
keluar. Kejut dan girang Tik Hun, cepat iapun menerobos keluar melalui lubang dinding
itu. Diluar ternyata adalah sebuah gang.
Dari jauh Ting Tian sedang menggape padanya. Lekas2 Tik Hun berlari keujung gang
sana. Agaknya Ting Tian sangat apal terhadap jalanan didalam kota Heng-ciu itu,
setelah melintas sebuah jalan dan membiluk dua gang lain, sampailah mereka
didepan sebuah bengkel pandai besi. Ting Tian tempelkan tangannya kepintu dan
mendorongnya sekali, "pletak", palang pintu didalam telah patah dan pintupun
terpentang.

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandai besi rupanya sedang tidur didalam, ia menjadi kaget dan melompat bangun
sambil menjerit: "Maling!"
Namun Ting Tian keburu mencekek lehernya sambil membentak tertahan: "Diam! Lekas
menyalakan api!" Pandai besi itu tidak berani membangkang, segera ia menyalakan pelita. Ketika
melihat Ting Tian dan Tik Hun berambut panjang dan penuh berewok, rupanya
menakutkan, keruan lebih ketakutan dan tidak berani berkutik lagi.
"Tatah putus belenggu kami ini!" perintah Ting Tian pula.
Sipandai besi tahu kedua tamu tak diundang ini pasti adalah pelarian penjara
Tihu, kalau membantunya memahat belenggu mereka, bila kelak diusut dan diketahui
oleh alat negara, tentu dirinya akan tersangkut. Maka ia menjadi ragu2.
Tiba2 Ting Tian menyambar sepotong besi, sekali ia remas, besi itu terus
mengepal menjadi satu bola. Lalu bentaknya: "Kau berani membangkang, apakah
kepalamu lebih keras dari besi ini?"
Sungguh kejut pandai besi itu bukan kepalang, disangkanya telah ketemukan
malaikat dewasa, sebab dia tidak percaya manusia dapat meremas besi sekeras itu.
Dan kalau kepala sendiri benar2 diremas begitu rupa, wah, runyam. Cepatan saja
ia mengiakan terus mengeluarkan tatah dan palu. Lebih dulu ia membuka
belenggunya Ting Tian, kemudian Tik Hun.
Waktu Ting Tian melorot keluar rantai besi yang menembusi tulang pundak Tik Hun
itu, saking sakitnya hampir2 pemuda itu jatuh kelengar. Paling achir ia menjadi
ter-mangu2 sambil memegangi rantai putus yang bersejarah itu, terkenang olehnya
masa lima tahun kebebasannya terkekang dan baru sekarang rantai itu meninggalkan
tubuhnya, ia menjadi girang dan berduka pula hingga mengalirkan air mata.
Tik Hun simpan rantai putus itu kedalam bajunya, lalu ikut Ting Tian keluar dari
bengkel besi itu. Ia masih sempat melihat sipandai besi terus melemparkan kedua
potong belenggu mereka yang ditatah itu kedalam tungku untuk digembleng,
tentunya takut kalau meninggalkan bukti yang bisa bikin celaka padanya.
Terlepas dari kekangan belenggu berantai itu, Tik Hun merasa tubuhnya enteng
sekali dan kurang biasa, beberapa kali hampir2 ia terjungkal karena merasa
kepalanya lebih antap daripada kakinya. Tapi demi nampak Ting Tian berjalan
dengan kuat, bahkan makin lama makin cepat, segera Tik Hun menyusulnya, ia
kuatir ketinggalan terlalu jauh dalam kegelapan.
Tidak lama, sampailah mereka dibawah jendela dimana selalu tertaruh pot bunga
itu, Ting Tian mendongak keatas dengan ragu2 hingga lama.
Tik Hun melihat daun jendelanya tertutup rapat, diatas loteng juga sunyi senyap.
Segera katanya: "Bolehkah kucoba melihatnya keatas situ?"
Ting Tian meng-angguk2 tanda setuju.
Segera Tik Hun memutar kepintu samping rumah bersusun itu, ia coba mendorong
pintunya, tapi terpantek dari dalam. Syukurlah pagar tembok disitu sangat
pendek, satu dahan pohon Liu kebetulan menjulur keluar dari sebelah dalam sana,
sedikit Tik Hun meloncat, dapatlah ia menggandul diatas dahan itu terus melompat
kedalam pagar tembok. Pintu masuk kedalam rumah itu ternyata tidak dikancing dari dalam, maka dapatlah
Tik Hun masuk dengan leluasa, pelahan2 ia menaiki tangga loteng, dalam kegelapan
terdengarlah suara tindakannya ditangga loteng itu. Ia merasa kakinya se-akan2
terapung dan tidak leluasa. Maklum selama lima tahun hidupnya cuma boleh
bergerak didalam sebuah kamar, selama itu tidak pernah menginjak tangga.
Sampai di atas loteng, keadaan masih sepi nyenyak, dibawah sinar bintang yang
remang2, Tik Hun melihat disisi kiri ada sebuah pintu pula, pelahan2 ia masuk
kesana. Tiada sesuatu suara didalam kamar itu, yang terdengar hanya suara napas
sendiri yang agak memburu. Lapat2 ia melihat diatas meja ada sebuah tatakan
lilin, ia me-raba2 diatas meja dan dapat menemukan batu ketipan api, dengan alat
itu ia dapat menyalakan lilin.
Entah mengapa, dibawah cahaya lilin yang terang itu, mendadak Tik Hun merasakan
keadaan yang sunyi dan hampa.
Ternyata didalam kamar itu memang hampa alias kosong melompong, kecuali sebuah
meja, sebuah kursi, dan sebuah ranyang, benda lain tak tertampak lagi. Hanya
diranjang itu tergantung kelambu putih, diatas ranjang terdapat sebuah selimut
dan sebuah bantal, diujung ranjang ada pula sepasang sepatu kain wanita. Dari
sepatu inilah baru bisa diketahui bahwa kamar ini adalah tempat tinggal seorang
wanita. Tik Hun tertegun sejanak, kemudian ia memeriksa pula kamar kedua, disana lebih
hampa lagi, bahkan meja-kursipun tidak ada. Melihat gelagatnya perabot dalam
kamar toh bukan baru saja dikosongkan, tetapi memang sudah sejak lama keadaan
telah hampa begitu. Tik Hun turun kembali kebawah dan coba periksa tempat2 lain, namun bayangan
seorangpun tidak kelihatan. Diam2 ia merasa keadaan demikian agak ganjil, segera
ia keluar untuk memberitahukan kepada Ting Tian apa yang telah dilihatnya itu.
"Jadi keadaan sudah kosong, tidak sesuatu barang apa2?" Ting Tian menegas.
Tik Hun mengangguk membenarkan. Agaknya keadaan demikian memang sudah dalam
dugaan Ting Tian, maka sama sekali ia tidak kaget atau heran. Segera
katanya:"Marilah kita coba melihat kesuatu tempat lain lagi."
Suatu tempat lain yang dikatakn itu ternyata adalah sebuah gedung besar dengan
pintu gerabang cat merah, diluar pintu tergantung dua tenglong besar, yang satu
jelas tertulis "Kantor Kang-leng-hu" dan yang lain tertulis "Kediaman keluarga
Leng." Tik Hun menjadi kaget, pikirnya" "Ini adalah kediaman Tihu kota Kang-leng, Leng
Dwe-su, untuk apakah Ting-toako datang kesini" Apakah hendak membunuhnya?"
Sambil meng-gosok2 tangan sendiri, tanpa bersuara Ting Tian terus melintasi
pagar tembok gedung itu dan masuk kedalam. Terhadap seluk-beluk rumah keluarga
Leng itu Ting Tian seperti sudah sangat apal, ia menyusur kesana dan menerobos
kesini seperti berjalan didalam rumahnya sendiri saja.
Setelah menyusur dua serambi panjang, achirnya sampailah mereka didepan sebuah
ruangan tertutup, mendadak Ting Tian rada gemetar, katanya kepada Tik Hun: "Tik-
hiantit, cobalah engkau masuk melihatnya dulu."
Tik Hun terus mendorong pintu ruangan itu, yang tertampak olehnya per-tama2
yalah api lilin yang terang benderang menyilaukan, diatas meja tersulut dua
batang lilin sembahyangan, ternyata ruangan ini adalah tempat abu orang mati.
Sejak mula Tik Hun memang sudah kuatir akan melihat ruangan abu, peti mati atau
mayat, achirnya benar2 telah dilihatnya sekarang. Walaupun sudah dalam
dugaannya, tidak urung ia merinding juga. Ketika diperhatikannya, ia lihat
dimeja sembayang itu sebuah papan kayu tertulis: "Tempat abu puteri kesayangan
Leng Siang-hoa." Dan pada saat itulah, tiba2 terasa angin berkesiur disampingnya, Ting Tian sudah
memburu kedalam situ. Terlihat ia kesima sejenak didepan meja abu itu, kemudian
ia terus menubruk keatas meja sambil meng-gerung2 menangis, teriaknya: "Siang-
hoa, O, Siang-hoa, engkau ternyata sudah mendahului aku."
Sesaat itu dalam benak Tik Hun timbul macam2 pikiran, tindak-tanduk Ting-toako
yang aneh dan menyendiri itu dengan tangisannya mendekap diatas meja itu telah
membuat Tik Hun menjadi paham duduknya perkara. Tapi bila dipikir lebih teliti,
ia merasa banyak juga segi2 yang ruwet dan susah dimengerti.
Sama sekali Ting Tian tidak pikirkan bahwa dirinya adalah pelarian dari penjara,
iapun tidak peduli tempat itu adalah kediamannya tuan besar Tihu. Tapi suara
tangisannya makin lama semakin keras dan bertambah duka.
Tik Hun tahu percuma saja menghibur sang Toako itu, maka dibiarkannya Ting Tian
menangis se-puas2nya. Lambat-laun Ting Tian menghentikan tangisannya, pelahan2 ia berbangkit dan
membuka tirai dibelakang meja perabuan itu, maka tertampaklah sebuah peti mati
yang masih baru, tanpa pikir lagi ia menubruk maju dan merangkul peti mati itu
dengan kencang, ia tempelkan pipinya keatas peti mati dan katanya dengan ter-
guguk2: "O, Siang-hoa, Siang-hoa! Mengapa engkau begitu tega meninggalkan daku"
Sebelumnya mengapa engkau tidak memberi kesempatan padaku untuk melihat engkau
sekali lagi?" Tiba2 Tik Hun mendengar ada suara orang berjalan mendatangi, beberapa orang
sudah sampai diluar pintu ruangan itu, cepat serunya: "Toako, ada orang yang
datang!" Namun Ting Tian asyik tempelkan bibirnya untuk mencium peti mati itu, sama
sekali tak dipedulinya apa ada orang yang datang atau tidak.
Didahului oleh cahaya obor yang sangat terang, masuklah dua orang sambil
membentak: "Siapakah yang bikin ribut disini?"
Menyusul kedua orang itu, masuk pula seorang laki2 setengah umur berdandan
sangat mentereng, sikapnya sangat cekatan.
Ia memandang sekejap kepada Tik Hun, lalu menanya: "Siapakah engkau" Ada
keperluan apa datang kesini?"
"Dan engkau sendiri siapa serta untuk apa datang kemari?" demikian Tik Hun balas
menanya dengan penuh dongkol.
"Bangsat, barangkali matamu sudah buta, ya?" bentak kedua orang yang membawa
obor tadi. "Ini adalah Leng-tayjin dari Kang-leng-hu, tengah malam buta kau berani
sembarang masuk kesini, tentu kau tidak bermaksud baik. Hayo lekas berlutut!"
Namun Tik Hun hanya mendengusnya sekali dan tidak menggubris lagi.
Tiba2 Ting Tian mengusap air matanya, lalu menanya: "Hari apakah wafatnya Siang-
hoa" Ia menderita sakit apa?"
Tik Hun ter-heran2 mendengar suara pertanyaan sang Toako itu diucapkan dengan
nada yang tenang dan ramah.
Leng-tihu memandangnya sekejap, lalu katanya: "Aha, kukira siapa, tak tahunya
adalah Ting-tayhiap. Tidak beruntung Siauli (putriku) meninggal dunia, penyakit
apa yang dideritanya tabib pun takbisa menerangkan, hanya dikatakan Siauli
terlalu menanggung rasa sedih yang tak terhapus."
"Dan dengan demikian tercapailah cita2mu bukan?" kata Ting Tian dengan
mendongkol. "Ai, Ting-tayhiap, engkau sendiripun terlalu kepala batu," sahut Leng-tihu
dengan gegetun. "Coba kalau sejak dulu engkau mengatakan padaku, pastilah Siauli takkan
meninggal gara2 kebandelanmu dan kitapun akan terikat menjadi menantu dan
mertua, bukankah hal itu akan sama2 baiknya?"
Mendadak sorot mata Ting Tian memancarkan sinar kebencian, teriaknya. "Jadi kau
anggap aku yang mengakibatkan matinya Siang-hoa dan bukan engkau sendiri yang
mencelakainya?" ~ Sembari berkata ia terus mendesak maju selangkah.
Namun Leng-tihu sebaliknya sangat tenang, sahutnya dengan menggoyang kepala:
"Urusan sudah ketelanjur begini, apa yang bisa kukatakan lagi" Siang-hoa, O,
Siang-hoa, dialam baka tentu juga engkau akan menyalahkan ayahmu ini tidak dapat
memahami isi hatimu." ~ sambil berkata ia terus mendekati meja perabuan serta
mengusap air matanya. "Hm, kalau hari ini aku membunuh kau, di alam baka tentu juga Siang-hoa akan
benci padaku," demikian kata Ting Tian dengan gemas. "Leng Dwe-su, mengingat
kebaikan puterimu, biarlah derita selama tujuh tahun yang kau siksa atas diriku,
sekaligus kuhapuskan sekarang juga. Tapi kelak kalau engkau kebentur lagi
tanganku, janganlah engkau menyalahkan orang she Ting tidak kenal budi. Marilah,
Tik-hiantit, kita pergi!"
"Ting-tayhiap," sahut Leng-tihu tiba2 menghela napas, "sudah begini akibat
perbuatan kita, apakah manfaatnya sampai sekarang?".
"Kau boleh tanya pada dirimu sendiri, apakah engkau juga merasa menyesal?" kata
Ting Tian. "Hm, engkau serakah dan senantiasa mengincar Soh-sim-kiam-boh, hingga
tidak sayang membikin celaka puterinya sendiri."
"Ting-tayhiap," kata Leng-tihu pula, "engkau jangan buru2 pergi, lebih baik
engkau katakan lebih dulu tentang rahasia ilmu pedang itu dan segera kuberi obat
penawarnya, supaya jiwamu tidak melayang percuma."
"Apa katamu" Obat penawar?" seru Ting Tian terkejut. Dan pada saat itulah tiba2
terasa pipi, bibir dan tangannya makin lama makin kaku dan lumpuh. Sadarlah ia
telah keracunan, tapi mengapa sampai keracunan, seketika iapun tidak tahu.
"Aku kuatir ada kaum penjahat mungkin akan membongkar peti mati untuk menodai
layon puteriku yang suci bersih itu, maka........."
Belum selesai ucapan Leng-tihu itu, maka tahulah Ting Tian duduknya perkara,
serunya dengan gusar: "Jadi engkau telah memoles racun diatas peti mati" Sungguh
keji amat engkau Leng Dwe-su!" ~ Berbareng ia terus menubruk maju dan
mencengkeram kearah Leng-tihu.
Tak tersangka kasiat racun itu benar2 lihay luar biasa, seketika telah
memunahkan tenaga orang dan menyesap ketulang. Sin-ciau-kang yang sakti itu tak
dapat dikerahkan lagi oleh Ting Tian.
Sambil berkelit, Leng-tihu lantas berseru memberi tanda, segera menerobos masuk
pula empat laki2 bersenjata dan berbareng mengerubut Ting Tian.
Sekali lihat saja Tik Hun lantas tahu bahwa kepandaian empat orang itu adalah
pilihan semua. Terlihat Ting Tian angkat sebelah kakinya hendak menendang
pergelangan lawan yang sebelah kiri, sebenarnya tendangan itu sangat jitu dan
cepat, pasti senjata golok orang itu akan terpental dari cekalannya. Siapa tahu
tenaga tendangannya itu mendadak lenyap sampai ditengah jalan, kedua kakinya
tidak mau mendengar perintah lagi. Ternyata racun sudah menyerang sampai
dikakinya. Kesempatan itu tidak di-sia2kan orang itu, goloknya membalik, "tak", punggung
golok tepat mengetok dibetis Ting Tian hingga tulang remuk dan orangnya roboh.
Tik Hun terkejut, dalam kuatirnya ia tidak sempat lagi memikir, mendadak ia
menubruk kearah Leng-tihu. Ia pikir jalan satu2nya harus menawan Leng-tihu
sebagai barang jaminan, dengan begitu barulah jiwa Ting Tian dapat diselamatkan.
Tak terduga ilmu silat Leng-tihu itu ternyata bukan kaum lemah, mendadak tangan
kirinya memapak kedada Tik Hun, baik tenaganya maupun ilmu pukulannya terang
golongan kelas tinggi. Namun Tik Hun sudah nekat, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, tapi tetap
menubruk maju. "Plak", terang gamblang pukulan Leng-tihu itu mengenai dada
sasarannya. Tapi aneh bin heran, Tik Hun sama sekali tidak bergeming dan tetap
menerjang maju. Sudah tentu Leng-tihu tidak tahu bahwa Tik Hun memakai "Oh-jan-kah" atau baju
kutang dari sutera ulat hitam yang tidak mempan senjata. Karena itu, ia malah
menyangka ilmu silat Tik Hun tingginya susah diukur. Dalam kagetnya, tahu2 "Tan-
tiong-hiat" didadanya telah kena dipegang oleh Tik Hun. Dan karena majikan
mereka tertawan musuh, orang2 tadi menjadi mati kutu dan tidak berani
sembarangan bertindak. Sekali berhasil serangannya, terus saja Tik Hun menggendong Ting Tian sambil
mencengkeram kencang2 Hiat-to berbahaya didada Leng-tihu itu. Melihat majikan
hendak diculik, laki2 tadi menjadi jeri dan serba susah, mereka mem-bentak2,
tapi tidak berani sembarangan maju.
"Buang obor kalian dan padamkan api lilin!" bentak Ting Tian.
Terpaksa laki2 itu menurut, maka seketika ruang layon itu menjadi gelap gelita.
Sambil sebelah tangannya tetap mencengkeram Leng-tihu dan diseret keluar, Tik
Hun menggunakan tangan lain untuk menggendong Ting Tian, dengan cepat ia lari
keluar dari gedung pembesar itu. Ting Tian yang memberi petunjuk jalannya, maka
sebentar saja sudah sampai dipintu taman.
Segera Tik Hun depak pintu itu hingga terpentang, entah darimana pula datangnya
tenaga, terus saja ia genjot sekali se-keras2nya di "Tan-tiong-hiat" didada
Leng-tihu, lalu ditinggalkannya untuk lari sambil menggendong Ting Tian. Ia
terus lari se-cepat2nya dalam kegelapan.
Sebenarnya sebelumnya Leng Dwe-su sudah menduga Ting Tian pasti akan datang
berziarah kepada layon puterinya, maka sudah disiapkannya jago2 pilihan untuk
menangkap Ting Tian. Tak tersangka perhitungannya telah meleset satu tindak, yaitu tak terduga
olehnya bahwasanya Ting Tian telah membawa serta seorang pembantu.
Selama dua tahun Tik Hun giat melatih Sin-ciau-kang, walaupun belum dapat
dikatakan ada sesuatu hasil yang hebat, tapi dalam hal tenaga dalam sudah jauh
lebih maju dan kuat daripada dahulu. Apalagi hantamannya ke Tan-tiong-hiat
didada Leng Dwe-su itu dilakukan dalam keadaan kepepet, maka tenaganya menjadi
keras luar biasa. Keruan tanpa berkutik Leng Dwe-su terus roboh menggeletak. Ketika kemudian
begundalnya memburu datang dan buru2 berusaha menolong majikan mereka, maka
tiada seorangpun yang sempat memikir pengejarannya kepada Ting Tian dan Tik Hun.
Berada diatas gendongan Tik Hun, Ting Tian merasa anggota badannya makin lama
makin kaku, tapi pikirannya masih tetap sangat jernih. Terhadap jalanan didalam
kota ia sudah sangat apal, maka ia yang menunjukan jalannya kepada Tik Hun
membiluk kekanan dan menikung kekiri, achirnya dapatlah mereka meninggalkan
pusat kota yang ramai dan sampai disuatu kebun luas yang tak terawat.
"Leng-tihu pasti akan memberi perintah penjagaan rapat dipintu gerbang kota dan
diadakan pemeriksaan keras, keadaanku sudah sangat payah keracunan, untuk keluar
kota secara paksa terang tidak dapat lagi," demikian kata Ting Tian. "Kebun
besar ini katanya ada setannya hingga tiada berani dikunjungi orang, biarlah
kita bersembunyi sementara disini saja."
Tik Hun menurut, ia meletakan Ting Tian dengan pelahan kebawah sebuah pohon Bwe
(plum), lalu katanya: "Ting-toako, racun apakah yang telah mengenai badanmu"
Cara bagaimana harus mengadakan pertolongan?"
Ting Tian menghela napas, sahutnya dengan tertawa getir: "Jangan dipikir lagi,
percumalah! Racun ini sangat jahat, namanya 'Hud-co-kim-lian' (teratai emas


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat duduk Budha), tiada obat penawar didunia ini yang dapat menyembuhkannya.
Biarlah aku bertahan sebisanya, dapat hidup sejam lebih lama akan kupertahankan
sejam." Kejut Tik Hun tak terhingga, serunya dengan gemetar: "Apa ka ........ katamu" Tiada
obat penawarnya" Engkau ........ engkau cuma bergurau saja bukan?" ~ Namun demikian,
iapun tahu sekali2 Ting Tian tidak sedang berkelakar dengan dia.
Ting Tian lantas ter-bahak2, katanya: "Racun 'Hud-co-kim-lian' milik Leng Dwe-su
ini terkenal sebagai racun nomor tiga jahatnya didunia ini. Nyatanya memang
tidak omong kosong! Hahaha, dia benar2 cukup sabar, sudah menunggu selama tujuh
tahun dan baru hari ini dia berhasil."
"Ting ........Ting-toako, jangan ........ jangan engkau berduka," ujar Tik Hun kuatir.
"Ya, selama masih ada kesempatan, masakah ......... masakah ........ ai, kembali gara2
wanita lagi, aku .......... aku juga begitu, rupanya kita memang ....... memang senasib ......
tapi engkau harus mencari daya-upaya untuk menghilangkan racunmu ini ......... biarlah
kupergi mencari air untuk mencuci badanmu yang terkena racun." ~ oleh karena
pikirannya kacau, susunan kata2nya menjadi tak keruan dan tak teratur.
Ting Tian menggeleng kepala, katanya: "Sudahlah, usahamu akan sia2 saja. 'Hud-
co-kim-lian' ini kalau dicuci dengan air, seketika kulit daging yang keracunan
akan membengkak dan membusuk, matinya akan lebih mengerikan. Tik-hiantit, banyak
sekali ingin kukatakan padamu, hendaklah engkau jangan sibuk dan bingung, sebab
kalau kau bingung, mungkin akan mengacaukan pikiranku hingga kata2 penting yang
hendak kuberitahukan padamu ada yang terlupa. Waktunya sekarang sudah mendesak,
aku harus lekas menceritakan padamu, maka lekas engkau duduklah yang tenang dan
jangan mengganggu ceritaku?"
Terpaksa Tik Hun menurut dan duduk disamping Ting Tian, akan tetapi betapapun
hatinya susah ditenangkan.
"Aku berasal kota Heng-bun, keturunan keluarga Bu-lim," demikian Ting Tian mulai
menutur dengan sangat tenang, ya, tenang dan wajar, se-akan2 yang diceritakan
itu adalah urusan orang lain yang tiada sangkut-paut apa2 dengan dirinya.
"Ayahku juga seorang tokoh persilatan yang rada terkenal disekitar Ouw-lam dan
Ouw-pak. Dasar ilmu silatku masih lumayan juga, kecuali ajaran dari orang tua,
aku pernah mendapat didikan pula dari dua orang guru lain. Diwaktu mudaku, aku
suka membela keadilan dan membasmi kejahatan. Karena itu namaku lambat-launpun
sedikit terkenal. "Kira2 delapanbelas tahun yang lalu aku menumpang kapal dari Su-cwan menuju
kemuara, sesudah lewat Sam-kiap (tiga selat dimuara sungai Tiangkang), kemudian
perahu kami berlabuh ditepi Sam-tau-peng. Malamnya tiba2 kudengar ditepi pantai
ada suara ribut orang berkelahi. Dasar watakku memang gemar silat, tentu saja
Pendekar Latah 17 Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Para Ksatria Penjaga Majapahit 20
^