Si Kangkung Pendekar Lugu 3
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 3
aku tertarik oleh perkelahian yang ramai itu dan melongok kepantai melalui
jendela perahu. "Malam itu bulan sedang memancarkan sinarnya yang terang benderang hingga aku
dapat melihat jelas pertarungan dipantai itu. Kiranya ada tiga orang sedang
mengeroyok seorang tua. Ternyata ketiga pengeroyok itu sudah kukenal semua,
mereka adalah tokoh Bu-lim yang terkenal didaerah Liang-ouw (dua propinsi Ouw,
yaitu Ouw-lam dan Ouw-pak). Yang pertama bernama Ngo-in-jiu Ban-Cing-
san..........." "He, itulah Supekku!" seru Tik Hun tanpa merasa, walaupun tadi ia telah dipesan
jangan mengganggu cerita Ting Tian.
Ting Tian hanya melototinya sekejap, lalu meneruskan ceritanya: ......... dan
yang kedua adalah Liok-te-sin-liong (naga sakti di daratan) Gian Tat-
peng........" "Ehm, dia adalah Jisupekku!" kembali Tik Hun menyela.
Ting Tian tak menggubrisnya lagi dan tetap meneruskan: "Dan yang ketiga memakai
senjata pedang, gerak-geriknya sangat gesit, itulah Tiat-so-heng-kang Jik Tiang-
hoat." "Ha, Suhuku!" seru Tik Hun sambil meloncat kaget.
"Ya, memang benar ialah gurumu," kata Ting Tian dan menyambung pula: "Aku sudah
pernah beberapa kali bertemu dengan Ban Cin-san, maka cukup tahu ilmu silatnya
sangat hebat. Melihat mereka bertiga saudara perguruan mengeroyok seorang musuh,
kuyakin mereka pasti akan menang.
"Waktu aku perhatikan pula sikakek yang dikerubut itu, kulihat punggungnya sudah
terluka, darah mengucur terus dari lukanya itu. Ia tak bersenjata pula hingga
cuma menempur ketiga pengeroyoknya itu dengan bertangan kosong. Akan tetapi ilmu
silatnya ternyata jauh lebih tinggi daripada Ban Cin-san bertiga. Bagaimanapun
juga mereka bertiga tidak berani mendekati sikakek.
"Makin lama aku melihat, makin penasaran hatiku, Ban Cin-san bertiga selalu
melontarkan serangan2 yang mematikan, se-akan2 sikakek itu harus mereka bunuh.
Perbuatan mereka bertiga sesungguhnya tidak pantas, masakah tiga orang muda
mengerubut seorang tua. Tapi sedikitpun aku tidak berani bersuara, kuatir kalau
diketahui mereka hingga akan merugikan diriku sendiri. Sebab dalam urusan bunuh-
membunuh dikalangan Kangouw seperti itu bila dilihat orang luar, bukan mustahil
yang melihat itu akan dibunuhnya juga agar rahasianya tidak tersiar.
"Setelah lama sekali pertarungan sengit itu berlangsung, darah yang mengucur
dari punggung kakek itu semakin banyak, tenaganya lambat-laut menjadi habis. Se-
konyong2 orang tua itu berseru: "Baiklah, ini kuserahkan pada kalian!" ~
berbareng ia mengulur tangannya kedalam baju seperti sedang mengambil sesuatu.
Buru2 Ban Cin-san bertiga merubung maju, satu-sama-lain se-akan2 kuatir
ketinggalan rejeki. "Diluar dugaan sikakek mendadak memukul kedepan dengan kedua telapak tangannya,
karena terancam oleh serangan itu, terpaksa Ban Cin-san bertiga melompat mundur.
Kesempatan itu telah digunakan oleh sikakek untuk berlari ketepi sungai, plung,
ia menerjun kedalam sungai, Ban Cin-san bertiga tampak menjerit terkejut, cepat
mereka memburu ketepi sungai.
"Akan tetapi arus air yang mendampar dari arah Sam-kiap itu sangat derasnya,
betapa kerasnya arus sungai dimuara Sam-tau-peng itu, hanya sekejap saja
bayangan sikakek itu sudah lenyap. Tapi Suhumu masih belum putus asa, ia
melompat keatas perahuku, ia sambar galah situkang perahu terus digunakan untuk
mengaduk ketengah sungai. Sudah tentu hasilnya nihil alias nol besar!
"Lazimnya sesudah mematikan kakek itu, seharusnya Suhumu bertiga akan
kegirangan. Tapi aneh, wajah mereka justeru muram dan sangat menakutkan. Aku
tidak berani mengintip lebih jauh, cepat aku merebahkan diri ditempat tidurku
sambil berkerudung selimut. Sampai lama sekali lapat2 aku mendengar mereka
bertiga ribut mulut ditepi pantai, satu-sama-lain saling menyalahkan karena
lolosnya musuh. "Sesudah suara ribut ditepi pantai lenyap dan menunggu mereka bertiga sudah
pergi jauh, kemudian barulah aku berbangkit. Pada saat itulah tiba2 kudengar
situkang perahu diburitan sedang berseru kaget: "Tolong, ada setan!" ~ Cepat aku
memburu keburitan dan melihat ada seorang yang basah kuyup sedang merangkak,
lalu menggeletak digeladak perahu. Itulah dia sikakek yang menerjunkan diri
kedalam sungai tadi. Rupanya setelah ceburkan diri kedalam sungai, kakek itu
lantas selulup kebawah perahu dan memegang kencang dasar perahu dengan Tay-lik-
eng-jiau-kang yang lihay, setelah musuh pergi, barulah dia keluar dari bawah
air. "Lekas2 aku memayang orang tua itu kedalam perahu, kulihat keadaannya sudah
sangat payah, napasnya kempas-kempis, bicarapun takbisa lagi. Kupikir Ban Cin-
san bertiga boleh jadi masih belum putus asa dan akan datang kembali, atau
mungkin juga akan mencari mayat orang tua ini kemuara sungai sana. Terpengaruh
oleh jiwaku yang suka menolong sesamanya dan membela keadilan, kupikir jiwa
orang tua ini harus diselamatkan, dan agar jangan sampai dipergoki Ban Cin-san
bertiga segera aku minta situkang perahu menjalankan perahunya kehulu sungai,
menuju kearah Sam-kiap. Menjalankan perahu menyongsong arus air yang deras,
sudah tentu situkang perahu keberatan dan menolak, pula ditengah malam buta
susah mencari pandu kapal, menyusur kehulu Sam-kiap bukanlah suatu pekerjaan
mudah. Akan tetapi, hahaha, uang memang berkuasa. Setanpun doyan duit. Pendek
kata, achirnya situkang perahupun menurut keinginanku.
"Aku membawa obat luka, aku lantas mengobati luka orang tua itu. Luka
dipunggungnya ternyata sangat parah, bekas tusukan itu menembus paru2nya,
teranglah luka separah itu tidak mungkin disembuhkan. Namun aku berusaha sekuat
tenagaku untuk mengobatinya, segala apa aku tidak tanya padanya, sepanjang jalan
aku membelikan arak dan makanan2 yang enak untuknya. Aku sudah menyaksikan ilmu
silatnya dan dengan mata kepala sendiri melihat dia ceburkan diri kedalam
Tiangkang serta selulup dibawah air begitu lama, dari nilai kepandaiannya serta
keperkasaannya itu sudah cukup berharga bagiku unuk berkorban jiwa baginya.
"Setelah kurawat orang tua itu tiga hari, ia telah tanya namaku, lalu katanya
dengan tertawa getir: "Bagus, bagus!" ~ kemudian dikeluarkannya sebungkus kertas
minyak dari bajunya dan diserahkan padaku. Tanpa pikir kukatakan padanya:
'Silahkan Lotiang (bapak) beritahu dimana tempat tinggal sanak keluargamu,
barang Lotiang ini pasti akan kuhantarkan padanya, jangan engkau kuatir" ~ Orang
tua itu tidak menjawab, sebaliknya tanya padaku: "Tahukah kau siapa diriku?" ~
Aku menjawab tidak tahu. Maka katanya pula: 'Aku adalah Bwe Liam-seng.' ~
Sungguh kejutku tak terkatakan demi mengetahui siapa gerangan sikakek itu."
Dan ketika melihat Tik Hun mendengarkan ceritanya itu dengan melongo tanpa
mengunjuk sesuatu perasaan apa2, segera ia menegurnya: "He, engkau tidak heran
oleh nama orang tua itu" Siapakah Bwe Liam-seng itu, apakah engkau tidak tahu"
Ialah Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng. Engkau benar2 tidak kenal nama itu?"
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Selamanya aku tidak pernah mendengar nama
orang itu." "Hehe, pantas saja, sudah tentu Suhumu tak mungkin mengatakan padamu," jengek
Tiang Tian dengan tertawa dingin. "Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng adalah tokoh
Bu-lim terkemuka dipropinsi Ouwlam. Dia mempunyai tiga orang murid, yang tertua
bernama Ban Cin-san, murid kedua bernama Gian Tat-peng dan murid ketiga
bernama........." "Apa katamu Ting........ Ting-taoko" Jadi orang tua itu kakek-guruku?" seru Tik
Hun. "Ya, murid ketiganya memang Jik Tiang-hoat adanya," sahut Ting Tian. "Kagetku
waktu mendengar dia mengaku sebagai Bwe Liam-seng juga kurang kagetnya seperti
engkau sekarang ini. Aku sendiri menyaksikan pertarungan sengit ditepi pantai
dibawah sinar bulan purnama itu dan melihat betapa ganasnya Ban Cin-san bertiga
hendak mematikan guru mereka, maka tidak heran kagetku jauh diatas kagetmu sekarang.
"Dengan tersenyum getir lalu Bwee-losiansing berkata kepadaku, 'Muridku yang
ketiga itu paling lihay, lebih dulu punggungku telah ditusuk olehnya secara
mendadak, terpaksa aku menyeburkan diri kesungai untuk menyelamatkan diri.' ~
Aku diam saja, aku tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya. Kupikir mereka
guru dan murid berempat saling gebrak dengan mati2an, tentulah disebabkan oleh
sesuatu urusan yang maha penting, aku adalah orang luar, tidak enak untuk ikut
tahu urusan dalam mereka, maka akupun tidak tanya lebih banyak.
Tapi Bwe-losiansing lantas berkata pula: 'Didunia ini aku cuma mempunyai tiga
orang murid yang kuanggap sebagai anak sendiri. Siapa duga demi untuk mengincar
sejilid Kiam-boh, mereka tidak segan2 untuk membunuh guru. Hehe, sungguh murid
baik, murid pintar! Kini Kiam-boh yang diincar itu memang sudah kena mereka
rebut, tapi apa gunanya kalau tidak ada Kiam-koat (tanda2 rahasia, kunci
daripada ilmu pedang) yang lebih penting itu" Betapapun bagusnya Soh-sim-kiam-
hoat masakah dapat menandingi Sin-ciau-kang" Biarlah sekarang juga kukatakan
Kiam-koat dari Soh-sim-kiam-hoat dan kuberikan juga Sin-ciau-keng (kitab ilmu
pancaran sukma) padamu, harap engkau melatihnya dengan baik2. Pabila Sin-ciau-
kang berhasil engkau yakinkan, pastilah engkau tiada tandingannya didunia ini,
maka jangan sekali2 salah mengajarkan lagi kepada orang jahat, ~ demikianlah
asal-usul aku mendapatkan Sin-ciau-keng hingga berhasil kuyakinkan seperti
sekarang ini. "Selesai Bwe-losiansing berkata, tiada dua jam kemudian iapun meninggal. Aku
telah menguburnya ditepi pantai Bu-kiap (selat Bu diantara Sam-kiap). Waktu itu
aku tidak sadar bahwa Kiam-boh dan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam yang diperebutkan
itu mempunyai latar belakang yang begitu penting, kusangka cuma perebutan
sejilid kitab ilmu pedang diantara perguruan mereka, makanya tidak pikir harus
menjaga rahasia menginggalnya Bwe-losiansing, tapi aku telah mendirikan batu
nisan diatas kuburannya dengan tulisan: 'Disinilah kuburan Liang-ouw-tayhiap Bwe
Liam-seng'. Dan justeru karena batu nisan itulah telah mengakibatkan aku
kebentur banyak kesukaran2 yang tiada habis2nya. Segera ada orang mencari
keterangan mulai dari batu nisan itu, melalui situkang batu, tukang perahu dan
achirnya dapat diketahui akulah yang mendirikan batu nisan itu, diketahui pula
akulah yang mengebumikan Bwe-losiansing, dan dengan sendirinya mereka yakin
barang tinggalan Bwe-losiansing pasti telah jatuh kedalam tanganku semua.
"Benar juga, tiga bulan kemudian rumahku lantas kedatangan seorang Kangouw.
Pendatang itu sangat sopan, tapi bicaranya melantur dan ber-tele2 tak keruan
ujung pangkalnya. Tapi sampai achirnya ketahuan juga maksud tujuan kunjungannya
itu. Ia mengatakan ada sebuah peta tentang suatu harta karun berada dalam
simpanan Bwe-losiansing, tentunya peta itu kini sudah berada padaku, maka aku
diminta suka mengunjukkan peta itu untuk dipelajari bersama dengan dia, pabila
harta karun itu dapat diketemukan, aku akan diberi tujuh bagian dan dia cukup
tiga bagian saja. "Kupikir apa yang diberikan Bwe-losiansing padaku cuma semacam kunci rahasia
melatih Lwekang yang tinggi serta beberapa kalimat rahasia dari Soh-sim-kiam
yang hanya terdiri dari beberapa angka saja, kecuali itu tiada apa2 lagi,
masakan ada peta harta karun segala seperti apa yang dikatakan. Karena itu aku
lantas mengatakan terus terang, tapi orang itu tetap tidak percaya dan minta aku
unjukan kunci rahasia ilmu silat itu padanya. Padahal waktu Bwe-losiansing
menyerahkan warisannya itu kepadaku telah memberi pesan agar jangan sekali2
salah diajarkan lagi kepada orang jahat. Dengan sendirinya akupun menolak
permintaan orang itu. Maka dengan tidak senang pergilah orang itu. Tapi tiga
hari kemudian ia telah menggerayangi rumahku ditengah malam hingga bergebrak
dengan aku, achirnya pundaknya kulukai dan melarikan diri.
"Dan sekali beritanya tersiar, orang yang datang mencari aku menjadi semakin
banyak, keruan aku kewalahan melayani mereka. Sampai achirnya Ban Cin-san
sendiri juga datang menyelidiki diriku. Untuk menetap terus dirumah sendiri
terang tidak aman, terpaksa aku harus menyingkir jauh2 dengan berganti nama dan
tukar she. Aku menyingkir keluar perbatasan dan mengusahakan peternakan disana.
Setelah lewat 7-8 tahun, setelah suasana agak reda, pula sudah sangat merindukan
kampung halaman, maka diam2 aku menyamar dan pulang ke Heng-bun. Siapa duga
rumah tinggalku sudah lama dibakar orang menjadi puing, baiknya aku memang tidak
punya sanak-kadang apa2, dengan demikian aku menjadi bebas malah dan tidak perlu
memikirkan apa2 lagi.........."
Dengan bingung dan kusut pikirannya Tik Hun mengikuti cerita Ting Tian tentang
asal-usulnya Sin-ciau-keng itu. Hendak tidak percaya kepada apa yang dikatakan
sang Toako itu, namun selama ini Ting-toako itu tidak pernah sekalipun bohong
padanya, apalagi hubungan mereka sekarang sudah bagai saudara sekandung, untuk
apa sang Toako mendustainya dengan sengaja mengarang dongengan2 bohong itu" Tapi
kalau percaya, masakah Suhu yang sangat dihormati dan dikenalnya sangat jujur
dan sederhana itu ternyata adalah seorang manusia yang begitu keji dan culas"
Ia lihat muka Ting Tian ber-kerut2, agaknya racun sedang menjalar dengan
hebatnya, maka cepat katanya: "Ting-toako, tentang perselisihan antara Suhuku
dan Thaysuhu itu tidak perlu kupusingkan. Yang penting sekarang hendaklah engkau
coba pikirkan apakah........... apakah ada sesuatu akal untuk menyembuhkan racun
ditubuhmu?" "Sudahlah, aku telah minta engkau jangan menyela ceritaku hendaklah engkau
mendengarkan dengan diam," sahut Ting Tian dan melanjutkan ceritanya: "Sampai
achirnya kira2 didalam bulan sembilan pada delapan tahun yang lalu, waktu itu
aku berada dikota Hankau untuk menjual sedikit Jinsom dan bahan obat lainnya
yang kubawa dari Kwangwa.(Kwangwa = diluar Kwan atau diluar perbatasan Yang
diartikan Kwan adalah tembok besar yang merupakan perbatasan dijaman itu).
"Pemilik toko obat yang suka membeli barang daganganku itu adalah seorang yang
suka keindahan, selesai mengadakan transaksi dagang dengan aku, Ia lantas
mengajak aku pergi melihat 'Kiok-hoa-hwe' (Kiok-hoa-hwe = pameran bunga Seruni.
Kegemaran bunga Seruni di Tiongkok sama halnya dengan kegemaran bunga Anggrek di
negeri lain.) yang terkenal dikota itu. Bunga seruni yang dipamerkan didalam
Kiok-hoa-hwe itu ternyata sangat banyak dan terdiri dan jenis2 pilihan. Yang
berwarna kuning antara lain terdapat jenis Ui-ho-ek, Kim-khong-jiok, Eng-uh-wi
dan lain2; Yang berwarna merah antara lain adalah Bi-jin-hong, Cui-kui-hui dan
lain2, yang berwarna putih ada: Gwe-boh-tan, Tiau-Sian-pay-gwe dan macam2 lagi;
yang ungu terdapat: Ci-giok-lian, Ci-lo-lan, Ci-he-siau, dan lain2 dan yang
jambon terdapat: Ang-hun-wan, Se-si-hun, dan banyak lagi lainnya........"
Begitulah Ting Tian menguraikan nama2 bunga seruni dengan lancar dan tanpa pikir
se-akan2 jauh lebih apal baginya daripada nama2 gerak tipu ilmu silatnya.
Semula Tik Hun heran oleh pengetahuan Ting Tian yang luar dalam hal bunga seruni
itu, tapi segera ia menjadi teringat bahwa Ting-toako itu memang seorang
penggemar bunga. Ia hubungkan pula dengan bunga segar yang selalu menghias
didalam pot bunga yang tertaruh diambang jendela gedung bersusun itu, maka
tahulah Tik Hun duduknya perkara, tentu Ting-toako ini dengan Leng-siocia itu
mempunyai kesukaan yang sama dan sama2 pula merupakan ahli bunga.
Waktu bercerita tentang pameran bunga itu, tertampak Ting Tian selalu mengulum
senyuman bahagia, sikapnya sangat ramah dan lemah lembut. Terdengar ia
melanjutkan ceritanya: "Sungguh menawan hati pameran bunga Seruni itu sembari
menikmati akupun tidak habis2nya memuji dan menyebut nama2 bunga yang dipamerkan
itu. Tapi dimana ada yang jelek, akupun lantas memberi penilaian yang tegas.
Habis menikmati bunga2 itu, ketika hampir keluar dari taman pameran, aku telah
berkata kepadaku kawanku sipemilik toko obat itu: "Pameran ini boleh dikatakan
sudahlah berhasil, cuma sayang tidak terdapat Seruni warna hijau.' ~ Tiba2
kudengar suara seorang nona kecil menanggapi ucapanku itu dibelakang: 'Siocia,
orang ini tahu juga kalau Seruni ada yang berwarna hijau. Memangnya 'Jun-sui-
pek-poh' dan 'Lik-giok-ji-ih' dirumah kita itu masakah dapat sembarangan
dinikmati orang biasa"'
"Cepat aku menoleh, kulihat dibelakangku ada seorang gadis jelita sedang
menikmati bunga Seruni yang dipamerkan itu. Gadis itu memakai baju kuning muda,
cantik dan sederhana seperti Seruni dalam pameran itu. Sungguh selama hidupku
belum pernah kulihat seorang nona secantik seperti itu. Disampingnya tampak
mengiring seorang pelayan kecil berumur belasan. Melihat aku berpaling dan
memandangnya, Siocia itu menjadi merah mukanya, dengan pelahan ia berkata
kepadaku: 'Maaf tuan, harap jangan marah karena ocehan budak cilik yang tidak
tahu aturan ini'. ~ Seketika aku terkesima hingga sepatah katapun aku tidak
sanggup bersuara. "Dengan ter-mangu2 aku mengikuti jejak Siocia itu hingga dia meninggalkan taman
pameran itu. Melihat aku terkesima begitu rupa, kawanku sipemilik toko obat
lantas berkata kepadaku: 'Siocia ini adalah anak gadis keluarga Leng-hanlim
dikota Bu-han (Bu-jiang dan Han-kauw) kita ini. Tentu saja lain daripada yang
lain bunga yang terdapat dirumahnya itu.'
"Sekeluarnya dari taman pameran dan berpisah dengan kawanku, sepanjang jalan
hingga sampai dikamar hotelku, dalam benakku waktu itu melulu terbayang kepada
Siocia yang cantik itu saja. Lewat lohor, aku lantas menyeberang ke Bu-jiang,
setelah tanya tempatnya, aku lantas menuju kerumah Leng-hanlim (han-lim = gelar
ujian sastra jaman khala Beng dan Cing). Sudah tentu aku menjadi ragu2, tidak
mungkin aku masuk kerumah orang begitu saja, padahal masing2 tidak kenal
mengenal. Maka aku cuma mondar-mandir saja didepan rumah, kulihat ada beberapa
anak kecil sedang memain dipelataran situ. Hatiku dak-dik-duk ber-debar2 dengan
macam2 perasaan, aku merasa girang dan merasa takut2 pula. Aku memaki diriku
sendiri yang semberono itu. Tatkala itu usiaku sudah cukup dewasa, tapi
kelakuanku waktu itu mirip seperti pemuda remaja yang baru saja untuk pertama
kalinya jatuh kedalam jaring2 asmara!"
Terkenang kepada masa pertemuannya dengan puteri Leng-hanlim dipameran bunga
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seruni dahulu, wajah Ting Tian menampilkan semacam cahaya yang aneh, sorot
matanya juga terang penuh semangat.
Tapi Tik Hun justeru merasa kuatir kalau2 sang Toako itu mendadak kehabisan
tenaga, maka katanya: "Ting-toako, lebih baik engkau berbaringlah mengaso dengan
tenang. Biarlah kupergi mencari seorang tabib, aku tidak percaya bahwa engkau
benar2 tak dapat disembuhkan." ~ sembari berkata, terus saja ia berbangkit
hendak pergi. Tapi cepat Ting Tian telah menarik lengannya dan berkata: "Begini dandananmu
engkau hendak pergi mencari tabib, apa engkau mencari kematian sendiri?" ~ dan
setelah merandek sejenak, lalu katanya pula sambil menghela napas: "Tik-hiantit,
tempo hari waktu engkau mengetahui Sumoaymu sudah menikah dengan orang lain,
saking menyesalnya sampai engkau hendak menggantung diri. Sumoaymu itu tak
berbudi dan menghianati kau, tiada harganya engkau mesti mati baginya."
"Benar, selama beberapa tahun ini akupun sudah insaf," sahut Tik Hun.
"Akan tetapi bila Sumoaymu benar2 cinta padamu dan achirnya rela mati bagimu,
maka engkaupun harus mati juga baginya," ujar Ting Tian.
Mendengar itu, tiba2 Tik Hun menjadi sadar, tanyanya segera: "Jadi kematian
Leng-siocia itu adalah demi engkau?"
"Ya," sahut Ting Tian tegas. "Dia mati bagiku, maka sekarang akupun rela mati
untuknya. Hatiku kini sangat senang. Cintanya padaku sangat mendalam,
aku ........ akupun sangat mencintainya. Tik-hiantit, jangankan racun yang
mengenai tubuhku ini memang tiada obat yang dapat menyembuhkannya, sekalipun
dapat disembuhkan juga aku tidak mau diobati."
Se-konyong2 perasaan Tik Hun menjadi hampa, timbul semacam rasa duka yang sulit
dilukiskan. Yang utama sudah tentu disebabkan sedih menghadapi ajal sang Toako
itu, namun dalam lubuk hatinya sebaliknya malah rada mengagumi keberuntungannya,
sebab paling tidak didunia ini terdapat seorang gadis yang benar2 telah
mencintainya dengan hatinya yang suci murni dan rela mati baginya, sebaliknya
sang Toako itupun membalas cinta murni kekasihnya dengan sama sucinya. Tetapi
bagaimana dengan dirinya" Ya, bagaimana dengan dirinya sendiri"
Melihat pemuda itu tepekur, pelahan2 Ting Tian memegang tangannya dan tenggelam
pula dalam lamunannya pada masa yang lampau. Kemudian tuturnya pula: "Begitulah
aku terus mondar-mandir selama beberapa jam didepan gedung Leng-hanlim itu
hingga magrib sudah tiba masih tidak merasa lelah dan lupa lapar. Aku sendiripun
tidak tahu sebenarnya apakah yang kuharapkan disitu?"
"Hari sudah mulai gelap, tapi aku tetap belum pikir untuk pergi dari situ. Tiba2
saja dari pintu kecil disamping gedung itu keluar seorang gadis kecil dan
menghampiri aku pelahan2, lalu bisiknya kepadaku dengan lirih: 'Tolol, kenapa
berada disini terus" Siocia mengharapkan engkau pulang sajalah!' ~ Ketika
kuperhatikan, eh kiranya adalah pelayan kecil yang mengiringi Leng-siocia waktu
menonton pameran Seruni itu. Hatiku menjadi ber-debar2, dengan ter-gagap2 aku
menjawab: 'Ap....... Apa katamu"' ~ Dengan tertawa pelayan kecil itu berkata
pula: 'Siocia telah bertaruhan dengan aku mengenai kapan engkau akan pergi dari
sini. Sampai sekarang aku sudah menangkan dua cincin perak dan engkau masih
belum mau pergi"' "Aku bergirang tercampur gugup, tanyaku cepat: 'Jadi..... jadi Siociamu sejak
tadi sudah tahu bahwa aku berada disini"' ~ Pelayan cilik itu tertawa, sahutnya:
'Malahan sudah beberapa kali aku melongok keluar, tapi engkau tetap tidak
mengetahui aku, rupanya semangatmu sudah terbang ke-awang2 bukan"' ~ Habis itu,
ia lantas putar tubuh hendak masuk lagi. Cepat kuberseru: 'Nanti dulu, Cici!' ~
Ia berpaling dan menanya: 'Ada apa lagi"' ~ Maka berkatalah aku: 'Kata Cici,
didalam gedung kalian ini terpelihara beberapa jenis Lik-kiok-hoa (seruni
hijau), maka aku sangat ingin melihatnya.' ~ Gadis itu angguk2, ia tuding sebuah
loteng berlabur merah diujung belakang gedung itu dan berkata: 'Baiklah, akan
kusampaikan permintaanmu kepada Siocia, pabila beliau meluluskan, tentu akan
taruh bunga2 itu diatas ambang jendela diatas loteng berlabur merah itu!'
"Semalam suntuk itu aku duduk menunggu diluar gedung Leng-hanlim itu. Sungguh
Hokkhi-ku memang besar, Tik-hiantit, esok paginya diambang jendela loteng yang
dikatakan itu benar2 muncul dua pot bunga Seruni berwarna hijau pupus. Kukenal
Seruni salah satu pot itu bernama 'Jun-cui-pik-poh' (air dimusim semi beriak
menghijau) dan pot yang lain bernama 'Pek-giok-ju-ih' (kemala yijau sesuai
keinginan). Kedua pot bunga Seruni itu benar2 sangat indah, akan tetapi yang
terpikir olehku hanya orang yang menaruh kedua pot bunga itu. Itulah dia,
kulihat dibalik tirai jendela itu ada sebuah wajah yang paling cantik didunia
ini sedang mengintip kearahku, hanya separoh wajahnya kelihatan, ia memandang
sekejap kepadaku, mendadak mukanya merah jengah terus menghilang dibalik tirai
dan untuk selanjutnya tidak muncul lagi."
"Tik-hiantit, engkau tahu sendiri, begini jelek muka Ting-toakomu ini, gagah
tidak, ganteng tidak, kaya tidak, pangkatpun tidak, mana aku berani mengharapkan
cinta seorang gadis secantik itu" Akan tetapi sejak itu setiap pagi aku pasti
datang keluar taman keluarga Leng dan memandang ter-mangu2 hingga lama. Rupanya
Leng-siocia juga tidak pernah melupakan daku, setiap hari ia pasti mengganti
sebuah pot bunga yang segar dan ditaruh diambang jendela loteng."
"Keadaan begitu berlangsung lebih dari sembilan bulan, tidak peduli hujan angin
atau hujan salju, setiap pagi aku pasti pergi menikmati keindahan bunga,
sebaliknya Leng-siocia juga tidak pernah mengenal bosan untuk selalu mengganti
sebuah pot bunga yang segar lagi indah. Setiap hari ia cuma memandang sekejap
padaku dan tidak lebih. Setiap kali memandang, tentu wajahnya bersemu merah,
lalu menghilang dibalik tirai. Dan setiap hari asal kulihat kerlingan matanya
dan semu diwajahnya, rasaku sudah puas dan bahagia untuk selamanya. Tidak pernah
ia bicara padaku, akupun tidak berani mengajak bicara padanya. Kalau mau, dengan
ilmu silatku sebenarnya aku dapat melompat keatas lotengnya dengan sangat mudah.
Akan tetapi selama itu sedikitpun aku tidak berani mengunjuk kekasaran padanya.
Untuk menulis surat pernyataan cinta padanya aku lebih2 tidak berani lagi."
"Suatu malam pada tanggal 5 bulan 2 dalam tahun itu, pondokku telah kedatangan
dua orang Hweshio dan serentak aku diserang. Kiranya Hweshio2 itu telah mendapat
kabar dan ingin merebut Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku. Paderi2 itu
adalah dua diantara kelima Hweshio dari Bi-cong-ngo-hiong itu. Satu diantaranya
telah kubinasakan tempo hari didalam penjara dan telah disaksikan sendiri
olehmu. Namun tatkala itu aku belum berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ilmu
silatku jauh dibawah mereka, aku terluka parah dihajar mereka, hampir2 jiwaku
melayang, untung aku sempat sembunyi ditengah onggok rumput dikandang kuda.
Karena lukaku itu, aku mesti menggeletak selama lebih tiga bulan baru achirnya
dapat paksakan diri berbangkit. Begitu aku dapat berbangkit, segera aku
menggunakan tongkat dan datang keluar taman keluarga Leng dengan berincang-
incuk. Akan tetapi aku menjadi kecewa, setiba aku disana, suasananya sudah
berubah sama sekali. Kucoba tanya tetangga disekitar situ dan mengetahui
keluarga Leng itu sudah berpindah rumah pada tiga bulan yang lalu. Kemana
pindahnya ternyata tiada seorangpun yang tahu."
"Coba bayangkanlah, Tik-hiantit, betapa kecewa dan pedih hatiku pada waktu itu
sungguh jauh lebih hebat daripada racun yang mengenai badanku sekarang ini. Aku
merasa heran, Leng-hanlim adalah tokoh kenamaan dikota Bu-jiang ini, kemana
beliau berpindah rumah masakah sama sekali tiada yang tahu" Namun memang
begitulah keadaannya, meski aku sudah menyelidiki kesana dan kesini, tidak
sedikit aku korban harta dan tenaga, toh tetap tidak memperoleh sesuatu kabar
apa2. Aku yakin dibalik kepindahan keluarga Leng secara rahasia itu pasti ada
sesuatu yang mencurigakan, kalau bukan Leng-hanlim ingin menghindari datangnya
musuh, tentu ada sebab2 lain yang luar biasa hingga mesti pindah rumah secara
mendadak. Dan secara kebetulan yalah diwaktu aku terluka parah itulah, mereka
lantas pindah rumah."
"Sejak itu aku menjadi seperti orang linglung, aku tidak dapat bekerja dengan
tenang, achirnya aku terluntang-lantung di-kangouw tanpa sesuatu pekerjaan yang
benar. Dasar rejekiku memang setinggi langit, suatu hari, ketika aku sedang
minum disuatu kedai dikota Tiangsah, tanpa sengaja aku telah mendengar
percakapan dua orang gembong Pang-hwe (perkumpulan rahasia) yang lagi berunding
hendak pergi ke Heng-ciu untuk mencari Ban Cing-san, katanya hendak merebut Soh-
sim-kiam-boh dari orang she Ban itu."
"Kupikir sebabnya Ban Cing-san bertiga saudara perguruan tempo hari berani
berdurhaka hendak membunuh guru mereka, pangkal utamanya adalah karena hendak
merebut Kiam-boh yang dimaksudkan itu. Sebenarnya apa macamnya Kiam-boh itu, aku
menjadi ingin melihatnya juga. Maka diam2 aku menguntit kedua gembong Pang-hwe
itu ke Kang-leng (nama lain dari Heng-ciu pada jaman itu). Cita2 kedua gembong
Pang-hwe itu memang boleh juga, tapi napsu besar tenaga kurang, begitu kepergok
Ban Cin-san mereka lantas keok dan kena ditangkap serta digusur kepada pembesar
Kanglenghu. Karena iseng, aku ikut2 pergi melihat keramaian dalam pemeriksaan
kedua pesakitan itu."
"Setiba didepan kantor Kanglenghu dan membaca papan pengumuman didepan kantor
itu, sungguh girangku laksana orang putus lotre 10 juta. Kiranya Leng-tihu itu
tak-lain-tak-bukan adalah ayahnya Leng-siocia, Leng Dwe-su adanya. Malamnya,
diam2 aku membawa satu pot bunga mawar untuk ditaruh didepan jendela diatas
loteng belakang tempat tinggal Leng-siocia, lalu aku menunggu dibawah loteng
situ semalam suntuk. Esok paginya ketika Leng-siocia membuka jendela dan melihat
pot bunga itu, ia telah berseru kaget sekali, tapi segera iapun dapat melihat
diriku. Sudah lebih setahun kami tidak bertemu dan masing2 sudah menyangka
selama hidup ini takkan bersua kembali. Kini dapat berjumpa lagi, sudah tentu
sama2 girang tak terkatakan. Leng-siocia memandangi aku sejenak untuk kemudian
menutup pula jendelanya dengan muka merah. Ketika hari kedua bertemu pula,
mulailah ia buka suara, tanyanya padaku: 'Apakah engkau jatuh sakit" Engkau
telah banyak lebih kurus!'"
"Sungguh rasa bahagiaku waktu itu susah dilukiskan. Untuk hari2 selanjutnya
hidupku bukan lagi hidup manusia, tapi lebih menyerupai hidup dewata disorga.
Ya, sekalipun dewata rasanya juga tidak sebahagia seperti aku pada waktu itu.
Setiap malam, bila orang lain sudah pergi tidur, aku lantas mendatangi loteng
Leng-siocia untuk mengajaknya keluar dan ber-jalan2 disekitar rimba pegunungan
diluar kota Kangleng. Kami senantiasa bergaul secara sopan, sedikitpun tidak
pernah menyeleweng dari adat istiadat. Tapi segala isi hati kamipun dibicarakan
secara terbuka, jauh lebih akrab daripada sobat karib umumnya."
"Pada suatu malam Leng-siocia telah menuturkan suatu rahasia besar kepadaku.
Kiranya ayahnya meski ikut ujian sastra dan mendapat gelar Hanlim, tapi
sebenarnya adalah Toaliongthau (kepala) dari Liong-soa-pang yang sangat
berpengaruh diwilayah Liang-ouw (Ouwlam dan Ouwpak). Karena Leng-siocia adalah
dewi pujaanku, dengan sendirinya akupun sangat menghormati ayahnya, maka akupun
tidak heran oleh ceritanya itu."
"Pada suatu malam lagi, kembali Leng-siocia menceritakan padaku bahwa sebabnya
ayahnya tidak mau menjadi Hanlim yang dihormati tapi tanpa tugas itu, malahan
sengaja membuang ber-laksa2 tahil perak dan dengan susah payah menyogok pembesar
pusat hingga ayahnya diangkat menjadi Tihu dari kota Hengciu, dibalik itu
sebenarnya memang ada sesuatu maksud tujuan tertentu."
"Kiranya ayahnya telah memperoleh ilham dari kitab sejarah yang pernah dibacanya
bahwa disesuatu tempat didalam kota Hengciu itu pasti terpendam suatu partai
harta karun yang tak ternilai jumlahnya. Menurut keterangan yang dibaca, dijaman
jnasti Liang (502-557) dimasa Lak-tiau atau Lam-pak-tiau (Tiongkok selatan dan
utara, 420-581), setelah kaisar Liang-bu-te wafat oleh karena pemberontakan Hou
Keng, tahta digantikan oleh Liang-bun-te, tapi kaisar ini ditewaskan pula oleh
Hou Keng, kemudian pangeran Siang-tong-ong Siau Tik naik tachta dikota Kangleng
dengan gelar Liang-goan-te. Tapi Liang-goan-te ini terlalu lemah dan tidak becus
mengurus negaranya, yang dipentingkan cuma mengumpulkan harta-benda pribadi atas
derita rakyat jelata, hanya tiga tahun ia menjadi raja di Kangleng, tapi harta-
benda yang dikeduknya sudah tak ternilai jumlahnya. Pada tahun ketiga itulah
kerajaan Gui menyerang Kangleng dan Liang-goan-te terbunuh. Pada hari tamatnya
Liang-goan-te itu, raja yang lalim itu telah membakar habis perpustakaan negara
yang berisi kitab2 berharga tidak kurang dari 140 ribu jilid jumlahnya. Akan
tetapi dimana ia menyembunyikan harta bendanya hasil pemerasan darah-keringat
rakyat itu ternyata tiada seorangpun yang tahu. Guna menyelidiki harta karun
yang besar jumlahnya itu, panglima tentara Gui yang bernama Ih Kin telah menawan
ber-ribu2 orang yang disangkanya tahu rahasia tempat harta karun itu
disembunyikan, namun meski orang2 itu disiksa dan dibunuh toh tetap tiada
sesuatu keterangan yang diperoleh. Achirnya karena kuatir tempat pendaman harta
karun itu dikemudian hari mungkin akan dikeduk oleh orang yang mengetahui,
panglima kejam itu tidak berbuat kepalang tanggung lagi, antero penduduk
Kangleng lantas digiring semua ke Tiangan, yaitu ibukota kerajaan Gui. Beratus
ribu penduduk Kangleng itu belum lagi tiba di Tiangan sudah terbunuh atau
dipendam hidup2 ditengah jalan hingga tiada seorangpun yang lolos. Karena
itulah, selama be-ratus2 tahun rahasia tentang harta karun itu tetap tidak
terbongkar, dan lambat-laun tiada seorangpun yang tahu lagi."
"Menurut cerita Leng-siocia, ayahnya telah mengorbankan temponya selama 7-8
tahun untuk membongkar arsip sejarah kota Kangleng serta mempelajari segala
catatan dan kitab kuno, maka dapatlah dipastikan bahwa harta karun yang
dikumpulkan Liang-goan-te itu tentu dipendam di sesuatu tempat di sekitar kota
Kangleng ini. Raja Liang-goan-te itu sangat kejam, bukan mustahil setelah dia
menyembunyikan harta-bendanya itu, lalu petugas2 yang mengetahui rahasianya itu
terus dibunuhnya semua. Makanya Ih Kin, itu panglima tentara Gui, meski
betapapun kejamnya dia menyiksa rakyat untuk menyelidiki tempat harta karun itu
dipendam, namun tetap tiada sedikitpun keterangan yang diperolehnya."
Mendengar sampai disini, satu-persatu tanda tanya yang meliputi hati Tik Hun
menjadi terjawab dan terang. Tanyanya kemudian: "Ting-toako, jika begitu, engkau
tentu mengetahui rahasia tempat harta karun itu bukan" Makanya begitu banyak
orang yang mencari engkau kedalam penjara, tentu karena merekapun ingin
mendapatkan harta terpendam itu."
Ting Tian tidak menjawab, dengan tersenyum getir ia meneruskan ceritanya pula:
"Setelah mendengar cerita Leng-siocia itu, waktu itu aku merasa ayahnya
sesungguhnya terlalu serakah. Dia sudah 'Bun-bu-coan-cay' (serba pandai ilmu
silat dan sastra), sudah kaya lagi berpangkat, kenapa masih mengincar harta
karun apa segala" ~ Kemudian ketika aku berbicara tentang macam2 kejadian dan
pengalaman Kangouw, dengan sendirinya akupun menceritakan padanya tentang
peristiwa Ban Cing-san bertiga saudara perguruan mengeroyok guru mereka untuk
merebut Kiam-boh ditepi sungai Tiangkang itu. Dengan terus terang akupun
menceritakan tentang Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat yang kumiliki itu
kepadanya." "Dengan begitulah kami telah lewatkan hari bahagia selama setengahan tahun. Pada
hari tanggal 14 bulan tujuh tahun itu, Leng-siocia telah berkata kepadaku:
'Engkoh Tian, hubungan kita ini betapapun harus dibicarakan kepada Tia-tia untuk
minta persetujuannya, habis itu kita tidak perlu lagi pakai sembunyi2 seperti
sekarang ini.........." ~ baru berkata sekian ia sudah lantas susupkan kepalanya
kepangkuanku saking malunya."
"Maka aku menjawab: 'Tapi engkau adalah Jian-kim-siocia (puteri bernilai ribuan
emas, maksudnya puteri keluarga hartawan atau bangsawan), aku kuatir ayahmu akan
memandang hina padaku.' ~ Leng-siocia menyahut: 'Leluhurku sebenarnya juga orang
kalangan persilatan, hanya ayahku sekarang telah menjadi pembesar negeri, dan
akupun tidak bisa ilmu silat sedikitpun. Namun ayah paling sayang padaku, sejak
ibuku meninggal, setiap permintaanku pasti diluluskan oleh beliau.'
"Mendengar ucapannya itu, sudah tentu girangku tak terkatakan. Siang harinya aku
biasanya tidur, tapi hari tanggal 15 bulan tujuh itu sehari suntuk aku tidak
dapat memejamkan mataku barang sedetikpun. Sampai tengah malam, kembali aku
menjumpai Leng-siocia diatas lotengnya. Begitu bertemu, dengan wajah merah ia
lantas berkata: 'Kata ayah, segala apa terserahlah kepada keinginanku.' ~ Keruan
girangku melebihi orang putus lotre 100 juta. Saking senangnya sampai aku tak
sanggup bersuara, untuk beberapa saat lamanya kami cuma dapat saling pandang
dengan tertawa. "Kemudian kami bergandengan tangan turun dari loteng, sampai ditaman, dibawah
sinar sang dewi malam yang terang benderang, tiba2 kulihat diantara bunga2
disitu telah bertambah beberapa pot bunga yang berwarna kuning indah bagai emas
yang gemilapan. Bentuk bunga kuning itu rada mirip bunga teratai, cuma lebih
kecil. Kami berdua memangnya adalah penggemar bunga, segera kami menghampiri
bunga kuning itu untuk menikmatinya. Leng-siocia ber-kecak2 merasa heran dan
menyatakan tidak pernah melihat bunga kuning seindah itu. Segera kami bersama
mendekatkan hidung untuk mencium bunga itu agar mengetahui sampai dimana bau
harum bunga itu......."
Waktu mendengar cerita sang Toako ber-jalan2 ditaman bunga dibawah sinar bulan
purnama sambil tangan bergandeng tangan bersama sang kekasih, betapapun Tik Hun
ikut kesemsem juga, maklum semangat muda. Tapi achirnya demi mendengar nada
suara Ting Tian berubah berat dengan napas yang rada seram, mau-tak-mau Tik Hun
menjadi tegang juga hingga dadanya serasa sesak, se-akan2 ditaman bobrok itu
penuh dikelilingi setan iblis yang siap menubruk kepadanya. Se-konyong2 teringat
sesuatu nama olehnya, terus saja ia berteriak: "He, itulah bunga 'Hud-co-kim-
lian'!" Ujung mulut Ting Tian menampilkan senyuman pahit. Selang agak lama barulah ia
berkata pula: "Nyata engkau sudah tidak bodoh lagi. Selanjutnya engkau takkan
mudah ditipu orang Kangouw pula, untuk mana bolehlah aku merasa lega."
Mendengar ucapan orang penuh mengandung rasa kasih sayang dan penuh perhatian
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melebihi saudara sekandung, Tik Hun menjadi terharu hingga air matanya
bercucuran. Katanya kemudian dengan gemas: "Sipembesar anjing Leng-tihu itu
kalau tidak...... tidak boleh puterinya diperisteri olehmu, sebenarnya ia bisa
katakan saja terus terang, tapi mengapa........... mengapa mesti memakai tipu
sekeji itu untuk mencelakai engkau?"
"Waktu itu darimana aku bisa mendapat tahu?" sahut Ting Tian. "Darimana pula aku
bisa mengetahui bahwa bunga kuning emas itu tak-lain-tak-bukan adalah Hud-co-
kim-lian yang berbisa luar biasa itu" Dan begitu aku mencium bau harum bunga itu
seketika kepalaku terasa pening, sekilas kulihat Leng-siocia juga ter-huyung2
terus roboh, cepat aku bermaksud membangunkan dia, tapi aku sendiripun tidak
kuat berdiri pula. Selagi aku mengerahkan Lwekang dan mengatur napas untuk
menahan serangan racun bunga itu, tiba2 dari sekitar situ sudah muncul beberapa
laki2 bersenjata. Aku cuma sanggup bergebrak beberapa jurus dengan mereka, habis
itu pandanganku menjadi gelap, menyusul aku tidak tahu lagi apa yang terjadi."
"Ketika aku sadar kembali, aku merasa kaki-tanganku sudah terbelenggu, bahkan
Pi-pe-kut dipundak juga sudah ditembus dengan rantai. Kulihat Leng-tihu dengan
pakaian biasa sedang mengadakan pemeriksaan atas diriku, petugas2 yang berada
disitu juga bukan lagi petugas2 negara, tapi adalah anggota2 perkumpulan
rahasianya. Sudah tentu sikapku sangat keras, kontan saja aku memaki kalang
kabut. Segera Leng-tihu memberi perintah begundalnya menghajar aku, kemudian aku
dipaksa harus menyerahkan Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat.......... Kejadian
selanjutnya tidak perlu lagi kuceritakan, engkau sendiripun sudah tahu, yaitu
setiap bulan tanggal 15 aku pasti diseret keluar untuk dihajar dan memaksa aku
menyerahkan Bu-keng (kitab ilmu silat) dan Kiam-koat (kunci ilmu pedang). Tapi
tetap aku tidak guris padanya. Sungguh kesabarannya memang luar biasa juga
hingga bertahan sampai sekarang."
"Tapi bagaimana dengan Leng-siocia waktu itu" Mengapa dia tiak berdaya untuk
menolong engkau?" tanya Tik Hun cepat. "Pula, kemudian setelah engkau berhasil
meyakinkan Sin-ciau-kang, engkau dapat pergi-datang dengan bebas, mengapa engkau
tidak pergi menjenguk padanya" Mengapa engkau terima menunggu percuma didalam
penjara sampai kematiannya?"
Begitulah serentetan pertanyaan Tik Hun mengenai Leng-siocia. Tapi saat itu Ting
Tian sedang merasakan pening kepala yang luar biasa, tubuhnya se-akan2 enteng
dan terapung di udara. Ia ulur tangannya meraba dan memegang sekenanya seperti
ingin mendapatkan sesuatu pegangan.
Segera Tik Hun angsurkan tangannya untuk memegang tangan Toako itu. Tapi
mendadak Ting Tian terkejut dan mengipatkan tangannya sekuatnya sambil berseru:
"Tanganku beracun, jangan menyentuh aku!"
Tik Hun terharu pula dan cemas melihat keadaan sang Toako itu.
Sesudah pening sebentar, pelahan2 Ting Tian dapat tenangkan pikirannya lagi, ia
membuka mta dan menanya: "Tadi kau omong apa?"
Tik Hun tidak menjawab, tapi mendadak teringat sesuatu olehnya, cepat ia
menanya: "Ting-toako, waktu itu apakah pernah terpikir olehmu bahwa Leng-siocia
itu mendapat perintah dari ayahnya dan sengaja menipu engkau untuk.........."
"Omong kosong!" bentak Ting Tian mendadak dengan gusar sambil angkat tangannya
hendak menggablok. Tik Hun insaf telah kelepasan omong, maka ia tidak berani menangkis, tapi rela
menerima hajaran sang Toako.
Diluar dugaan kepalan Ting Tian lantas berhenti ditengah jalan, ia melototi Tik
Hun sejenak dengan terkesima, kemudian menarik kembali kepalannya pelahan2, lalu
katanya: "Tik-hiantit, rupanya engkau sendiri dihianati gadismu, maka
kepercayaanmu kepada kaum wanita didunia ini sudah hilang, untuk mana memang aku
tidak dapat menyalahkan engkau. Tapi bila Siang-hoa benar2 diperintahkan ayahnya
dengan menggunakan 'Bi-jin-keh' (tipu menggunakan wanita cantik) untuk menipu
Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku, hal itu akan sangat gampang aku
tertipu. Bahkan ia tidak perlu berkata apa2, cukup asal bilang: 'Ting-toako,
berikanlah kitabmu Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat kepadaku.' ~ Bahkan dia
boleh tidak usah buka suara, cukup memberi isyarat atau menunjukan sedikit
keinginannya saja, kontan tanpa tawar2 pasti akan kuberikan segala apa yang dia
minta. Aku takkan pusing apakah kitab itu akan diserahkannya kepada ayahnya,
akan disedekahkan kepada pengemis dipinggir jalan atau akan dia sobek2 sebagai
mainan kanak2, ya, sekalipun akan dia bakar, pasti aku takkan mengkerut kening
sedikitpun. Ketahuilah, Tik-hiantit, meski Bu-keng dan Kiam-koat itu adalah
kitab mestika yang tak ternilai di dunia Bu-lim, tapi kalau dibandingkan diri
Leng-siocia, dalam pandanganku kitab2 mestika itu tidak lebih cuma sebangsa
sampah belaka. Huh, Leng Dwe-su percuma menjadi seorang Bun-bu-coan-cay, tapi
hakekatnya adalah seorang yang goblok. Coba kalau dia suruh puterinya membuka
mulut minta padaku, tidak mungkin aku menolaknya."
"Boleh jadi ia sudah pernah bicara dengan Leng-siocia, tapi Leng-siocia tidak
mau menurut," ujar Tik Hun.
"Tidak mungkin," sahut Ting Tian menggeleng kepala. "Andaikan terjadi begitu,
pasti Siang-hoa takkan membohongi aku." ~ Ia menghela napas, lalu menyambung
pula: "Hm, manusia macam Leng Dwe-su itu lebih mementingkan nama dan kedudukan,
harta dan kekayaan, dengan jiwanya yang kecil itulah dia angap setiap manusia
dijagat ini juga serupa dirinya yang tidak berpribadi, ia menyangka kalau
menyuruh puterinya minta padaku, tentu aku akan menolaknya, sebaliknya maksud
jahatnya menjadi ketahuan hingga aku akan lebih waspada. Disamping itu ada pula
suatu alasan. Seperti diketahui, dia adalah seorang Tihu keluaran Hanlim, tapi
puterinya justeru jatuh hati kepada seorang kasar seperti aku. Ia merasa terhina
dan harus membunuh diriku."
"Sesudah aku tertangkap, antero badanku telah digeledah merata, tapi tiada
sesuatu yang diketemukan, pondokku juga tiak terluput dari penggeledahan teliti,
namun juga tidak diketemukan apa2. Sejak itu tiap2 tanggal 15 tentu aku diseret
keluar penjara untuk disiksa dan ditanyai, sudah banyak sekali usaha mereka,
segala bujukan manis dan kata2 madu sudah habis terpakai, segala paksaan dan
ancaman juga sudah dilakukan, tapi aku tetap bungkam. Ia pernah mengirim
orangnya menyamar sebagai pesakitan dan dikurung sekamar dengan aku dengan
tujuan memancing pembicaraanku. Orang itu pura2 penasaran karena dipenjarakan
tanpa berdosa, ia mencaci-maki Leng Dwe-su adalah manusia jahat. Akan tetapi
segera aku dapat mengetahui rahasia penyamarannya, cuma sayang waktu itu aku
belum berhasil menyakinkan Sin-ciau-kang, tenagaku tidak seberapa besarnya, maka
kurang keras kuhajar dia." ~ berkata sampai disini ujung mulutnya menampilkan
senyuman puas. Lalu melanjutkan: "Nasibmu juga jelek, telah banyak menderita
hajaranku secara penasaran. Pabila engkau tidak bermaksud menggantung diri,
boleh jadi sampai harini juga sudah mati dihajar olehku."
Sahut Tik Hun: "Aku sendiri menanggung penasaran dan dipitenah orang, pabila tak
ditolong Toako ....."
Tiba2 Ting Tian menggoyang tangannya menyetop ucapan pemuda itu, lalu katanya:
"Pertemuan kita ini boleh dikatakan ada 'jodoh'. Segala kejadian didunia ini
memang tak terlepas dari 'jodoh'."
Sekilas ia melihat diujung taman bobrok sana bertumbuh setangkai bunga ungu yang
kecil dan sedang tergontai oleh tiupan angin bagai hidup kesunyian disitu.
Katanya segera: "Petikkanlah bunga itu!"
Tik Hun menurut, ia petik tangkai bunga itu dan menyerahkannya kepada sang
Toako. Sambil memandangi bunga ungu ditangannya itu, terbayang pula kejadian2 dimasa
lampau, pelahan2 Ting Tian menutur lagi: "Setelah tulang pundakku ditembus
rantai dan dipenjarakan, segala apa sudah dapat kupikirkan dengan jelas, kuyakin
Leng Dwe-su pasti akan menghabiskan nyawaku. Sehari lebih cepat kuserahkan Keng
dan Koat*) yang dia inginkan itu, sehari lebih lekas pula aku akan dibunuh
olehnya. Tapi kalau aku tetap bungkam, mengingat benda2 mestika yang diincarnya
itu tentu ia malah tidak berani membunuh diriku, sekalipun dihajar dan disiksa,
paling2 juga cuma melukai sedikit kulit saja, untuk menamatkan nyawaku rasanya
masih sayang baginya."
"Pantas!" ujar Tik Hun. "Makanya tempo hari waktu Toako suruh aku pura2 hendak
membunuh engkau, seketika sipir bui menjadi kuatir malah dan tidak berani
berlaku se-wenang2 lagi kepada kita."
"Ya. Setelah lebih sebulan aku disekap dalam penjara, saking gusar dan
penasaranku, hampir2 aku menjadi gila," tutur Ting Tian pula. "Pada suatu malam,
datanglah seorang pelayan kecil, ia adalah Kiok Yu (kawan seruni), itu dayang
pribadi Leng-siocia. Sebabnya aku dapat berkenalan dengan Leng-siocia adalah
gara2 ucapan dayang itu ditaman pameran seruni di Bujian. Aku tidak tahu betapa
banyak Leng-siocia memberi sogokan kepada sipir bui hingga Kiok Yu diperbolehkan
menemui aku. Akan tetapi sepatah katapun Kiok Yu ternyata tidak buka suara dan
tiada membawakan sesuatu benda atau secarik kertaspun untukku, melainkan menatap
aku dengan ter-mangu2 saja. Sipir bui itu membawa golok tajam dan mengancam
dipunggung Kiok Yu. Maka tahulah aku bahwa sipir bui itu terang ketakutan atas
perbuatannya menerima uang sogok, maka Kiok Yu cuma diperbolehkan bertemu muka
dengan aku, tapi dilarang berbicara."
"Dengan terkesima Kiok Yu memandangi aku sejenak, sampai achirnya iapun
mengucurkan air mata. Sementara itu sipir bui ber-ulang2 memberi tanda
mendesaknya lekas keluar dari situ. Kiok Yu melihat dipelataran diluar kamar
penjara bertumbuh setangkai bunga seruni yang kecil, ia terus memetiknya dan
diangsurkan kepadaku melalui langkah besi, lalu ia tuding2 pula kearah jendela
diatas suatu loteng dikejauhan. Diatas ambang jendela itu ternyata tertaruh
sebuah pot bunga yang segar. Aku menjadi girang dan tahu bunga itu diletakkan
oleh Leng-siocia disitu untuk menghilangkan rasa hampaku."
"Kiok Yu tidak berani tinggal terlalu lama disitu, segera ia putar tubuh
bertindak keluar. Siapa duga baru saja ia melangkah keluar pintu penjara, tiba2
dari tempat yang tinggi menyambar datang sebatang panah, "crat", punggung dayang
kecil itu tepat tertembus oleh panah itu dan seketika menggeletak terbinasa.
Nyata Leng Dwe-su kuatir kalau ada kawanku yang mengacau kepenjara untuk
menolong aku, maka di-mana2 disekitar penjara itu sudah dijaga dengan kuat.
Ketika panah kedua menyambar pula, sipir bui yang korupsi itupun tidak terluput
dari kematian. Bagitulah jalan pikiran Leng-Dwe-su yang culas dan begitulah keji
rencananya." "Belum lagi bunga seruni ditanganku itu layu, ternyata Kiok Yu sendiri sudah
tewas. Sungguh aku menjadi ketakutan, takut kalau Leng Dwe-su menjadi kalap
hingga puterinya sendiripun dibunuhnya. Maka aku tidak berani membikin marah
lagi padanya, setiap kali ia memeriksa aku pula, aku cuma membudek dan membisu
saja dan tidak memakinya lagi.
"Kiok Yu telah mati bagiku, usianya masih sangat muda, semuda bunga yang baru
mekar. Kalau bukan karena pengorbanannya itu, mana aku sanggup menahan derita
selama beberapa tahun ini" Dan darimana aku bisa tahu bahwa bunga segar dalam
pot yang tertaruh diambang jendela loteng itu adalah kerjaan Siang-hoa untukku"
Akan tetapi Siang-hoa tetap tidak mengunjuk muka, ia tidak pernah mengintip lagi
barang sekejap dari balik jendela itu. Sungguh aku merasa tidak mengerti apakah
sebabnya" Terkadang aku menjadi menyesalkan dia mengapa begitu tega padaku?"
"Maka aku bertambah giat melatih Sin-ciau-keng dengan harapan selekasnya dapat
terlatih tamat dan sempurna, lalu takkan terkekang lagi kebebasanku oleh
belenggu itu. Kuharap bisa terlepas dari penjara untuk membawa kabur Leng-siocia
dari kurungan ayahnya. Akan tetapi Sin-ciau-keng itu mengutamakan kesadaran
pikiran dan harus melatih dengan sewajarnya, sedikitpun takbisa dipaksakan
dengan cepat. Achirnya jerihpayahku toh tidak ter-sia2, sampai beberapa hari
sebelum engkau hendak menggantung diri barulah ilmu sakti itu berhasil
kuyakinkan. Selama ini hanya berkat bunga segar dalam pot yang setiap hari
ditaruh diambang jendela loteng oleh Leng-siocia itulah dapat sekedar menghibur
hatiku nan lara. Dengan segala tipu-dayanya Leng Dwe-su tetap berusaha memancing
rahasiaku. Engkau dikurung sekamar bersama aku juga termasuk tipu-dayanya. Ia
tahu aku tidak mudah terjebak oleh begundalnya yang disuruhnya menyamar kedalam
kamar penjara, maka sekali ini ia sengaja menjebloskan seorang pemuda yang
benar2 tak berdosa kedalam kamar penjara dengan aku."
"Menurut perhitungannya, lama kelamaan tentu aku akan dapat mengetahui benar
tidaknya engkau berdosa dan dipenjarakan. Pabila tahu engkau benar2 pemuda yang
tak berdosa, dengan sendirinya aku akan anggap engkau sebagai kawan senasib
serta membeberkan rahasiaku kepadamu. Mereka tidak berhasil mengorek sesuatu apa
dari diriku, besar kemungkinan akan dapat mengorek dari mulutmu. Sebab engkau
masih muda dan kurang pengalaman, jujur dan polos, engkau akan mudah
terperangkap oleh kepalsuan manusia jahat. Tak terduga oleh mereka bahwa
sebegitu jauh aku justeru mencurigai dirimu. Ya, oleh karena pengalamanku yang
pahit, ditambah kematian Kiok Yu yang menyedihkan, maka kepercayaanku kepada
siapapun juga sudah lenyap. Apa engkau mengira aku tidak pernah keluar dari
penjara" Ketahuilah bahwa pada hari Sin-ciau-kang berhasil kuselesaikan, hari
itu juga aku lantas keluar penjara. Cuma sebelum pergi lebih dulu aku telah
menutuk 'Hun-sui-hiat' (jalan darah membuat orang tak sadarkan diri) dibadanmu,
dengan sendirinya engkau tidak mengetahui."
"Malam itu, ketika kulolos keluar penjara, kusangka pasti akan menghadapi suatu
pertarungan sengit. Tak terduga keadaan sudah berubah, mungkin sesudah sekian
tahun, rasa waspada Leng Dwe-su kepadaku sudah lenyap, penjagaan diluar penjara
sudah dihapuskan. Sudah tentu tak terduga sama sekali olehnya bahwa Sin-ciau-
kang yang kuyakinkan ini bisa begini hebat, orang yang sudah ditembus Pi-pe-
kutnya dan dipotong otot kakinya toh masih dapat menggunakan ilmu silatnya yang
hebat." "Sesudah aku sampai dibawah jendela loteng itu, hatiku ber-debar2 dengan keras
sekali seperti kembali kepada perasaanku pada waktu untuk pertama kalinya aku
bertemu dengan Leng-siocia dibawah jendelanya dulu. Tapi achirnya aku
memberanikan diri dan mengetok jendelanya perlahan2 sambil memanggil: 'Siang-
hoa!' ~ Ia terjaga bangun dari tidurnya terus berseru: 'Ting-toako, Engkoh Tian,
engkaukah yang datang" Apa aku bukan sedang mimpi"' ~ Sesudah berpisah sekian
lamanya dan kini dapat mendengar suaranya pula, sungguh girangku melebihi
takaran, dengan suara gemetar aku menyahuti: 'Ya, Siang-moay, akulah yang
datang! Aku telah lolos keluar dari penjara!'"
"Aku menunggu jendela itu dibuka olehnya, sebab biasanya diwaktu kami mengadakan
pertemuan, selalu dia membukakan jendelanya dan barulah aku melompat masuk
kedalam kamarnya, selamanya aku tidak pernah sembarangan masuk kekamarnya itu.
Tak tersangka sekali ini dia tidak lantas membukakan jendelanya, tapi ia
menempelkan mukanya diatas kertas penutup daun jendela sambil berkata dengan
perlahan: 'O, engkoh Tian, jadi engkau benar2 masih hidup dengan baik" Nyata
ayah tidak mendustai aku' ~ 'Ehm, ayahmu memang tidak mendustai kau,' kataku
dengan suara pedih. 'Sampai saat ini juga aku masih tetap sehat walafiat.
Marilah, harap engkau membuka jendela, aku ingin melihat engkau.' ~ Tapi cepat
ia menjawab dengan gugup: 'Tidak! Jang ..... jangan!' ~ 'Sebab apa"' tanyaku
dengan cemas. Maka jawabnya: 'Sebab aku sudah berjanji kepada ayah. Beliau
menjamin keselamatan jiwamu, tapi untuk selamanya aku dilarang berjumpa dengan
engkau lagi. Ia mengharuskan aku bersumpah, suatu sumpah yang keji bahwa pabila
aku bertemu pula dengan engkau, arwah ibuku dialam baka akan tersiksa setiap
hari oleh setan jahat,' ~ berkata sampai disini, suaranya menjadi sesenggukan.
Sejak kecil ia sudah ditinggalkan ibundanya, maka cinta kasihnya kepada mendiang
ibunya boleh tidak usah diragukan lagi."
"Sungguh aku benci kepada kekejian Leng Dwe-su itu, dia tidak lantas membunuh
aku adalah lantaran mengincar kitab pusaka dariku, tapi apa sangkut-pautnya
dengan Siang-hoa hingga puterinya itu diharuskan mengangkat sumpah sejahat itu"
Akan tetapi Siang-hoa sudah dipaksa mengucapkan sumpah berat itu dan sumpah
itupun telah melenyapkan segala harapanku. Namun aku tetap meminta: 'Siang-hoa,
marilah kita minggat saja bersama. Tutuplah matamu dengan kain supaya tidak
melihat aku untuk selamanya.' ~ Ia menangis, sahutnya dengan ter-isak2: 'Itulah
ti ....... tidak mungkin, dan akupun tidak ingin engkau melihat aku pula.' ~
Maka tercetuslah rasa dendam yang memenuhi dadaku selama ber-tahun2 itu, seruku:
'Sebab apa" Aku ...... aku harus melihat engkau.'"
"Mendengar nada suaraku agak lain, dengan lemah-lembut iapun berkata lagi:
'Engkoh Tian, kutahu engkau telah ditawan ayah, ber-ulang2 akupun memohon beliau
membebaskan dikau. Tapi semua permintaanku ditolaknya, bahkan aku lantas
dipilihkan jodoh orang lain untuk mematikan cintaku kepadamu. Ketika aku
membangkang, ayah lantas hendak menggunakan kekerasan, maka....... maka aku
telah menggurat mukaku sendiri dengan pisau.'"
Mendengar sampai disini, tak tertahan lagi Tik Hun berseru kaget dengan perasaan
yang terguncang hebat. Namun Ting Tian menyambung lagi: "Betapa rasa terima kasih dan kasih-sayangku
demi mengetahui kesetiaannya kepadaku. Terus saja kuterjang jendelanya hingga
terpentang. Ia menjerit kaget sekali dan cepat memejamkan kedua matanya sambil
menutupi pula mukanya dengan tangan. Namun aku sudah dapat melihatnya dengan
jelas. Selebar wajah yang paling cantik didunia ini kini sudah berubah
sedemikian rupa bagai langit dan bumi bedanya, mukanya tergores malang-melintang
belasan guratan pisau hingga dagingnya membalik keluar. Matanya yang jeli,
hidungnya yang mancung dan mulutnya yang mungil kini telah penuh dihiasi
guratan2 codet merah bekas luka, wajah yang cantik bagai bidadari itu kini telah
berubah seperti setan. Aku memeluknya dengan mesra. Biasanya Siang-hoa sangat
sayang pada wajahnya sendiri yang cantik itu, pabila bukan disebabkan oleh laki2
sial seperti aku, mana dia mau merusak mukanya sedikitpun" Maka kataku: 'Siang-
hoa, kecantikan lahir mana dapat membandingi kecantikan batin" Engkau merusak
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muka sendiri untukku, dalam pandanganku engkau malah berpuluh kali, bahkan
beratus kali lebih cantik daripada dahulu.'"
"Ia menangis, katanya: 'Keadaan sudah begini dapatkah kita hidup berdampingan
lagi" Aku sudah berjanji kepada ayah untuk selamanya tidak akan menjumpai engkau
lagi. Maka ........... Eangkoh Tian, haraplah engkau pergi dari sini saja.' ~
Aku insaf hal itu tak dapat ditarik kembali lagi, maka sahutku: 'Siang-moay, aku
akan kembali kedalam penjara dan setiap hari akan kunikmati bunga segar didepan
jendelamu ini.' ~ Sebaliknya ia lantas merangkul leherku, katanya setengah
meratap: 'O, Engkoh Tian, jangan......... jangan engkau pergi!'"
"Begitulah kami saling berpelukan hingga lama dan tidak berbicara pula. Ia tidak
berani memandang aku, akupun tidak berani memandang dia. Sudah tentu bukan
disebabkan aku tidak sudi kepada mukanya yang sudah jelek itu, tetapi.......
tetapi, ya, mukanya sesungguhnya terlalu hebat rusaknya. Sampai lama dan lama
sekali, dari jauh sudah terdengar ayam jago berkokok. Achirnya ia berkata pula:
'Engkoh Tian, aku......... aku tidak boleh membikin susah ibuku yang sudah
meninggal itu, maka...... maka selanjutnya janganlah engkau datang menyambangi
aku pula.' ~ Aku menjawab: 'Apakah sejak kini kita takkan berjumpa pula"' ~
Dengan menangis ia menyahut: 'Ya, takkan berjumpa pula. Yang kuharapkan hanya
sesudah kita berdua meninggal dunia, semoga dapatlah dikubur didalam satu liang.
Kuharap ada seseorang yang baik hati akan sudi melaksanakan cita2ku ini, untuk
mana dialam baka juga aku akan berdoa untuk memberkahinya.' ~ Aku berkata pula:
'Siang-moay, aku mengetahui suatu rahasia besar, menurut cerita orang Kang-ouw,
katanya rahasia ini ada sangkut-pautnya dengan sesuatu harta karun. Rahasiaku
ini disebut mereka Soh-sim-kiam-koat. Maka rahasia ini akan kuberitahukan
padamu, engkau harus mengingatnya dengan baik2.' ~ Ia menyahut tegas: 'Tidak,
aku tidak ingin mendengarnya, untuk apa aku mesti mengingatnya baik2"' ~ Kataku:
'Tapi engkau dapat mencari seorang yang jujur dan dapat dipercaya untuk minta
dia suka mengerjakan cita2 kita agar dikubur menjadi satu liang, sebagai balas
jasanya engkau akan beritahukan Kiam-koat ini kepadanya.' ~ 'Tapi selama hidupku
sudah terang aku takkan turun dari loteng ini lagi, dengan macamku ini mana
dapat kutemukan orang pula"' demikian ia menyahut. Tapi sesudah memikir sejenak,
segera katanya lagi: 'Baiklah, katakanlah kepadaku. Engkoh Tian, betapapun aku
ingin dikubur bersama dengan engkau. Biarpun aku harus memohon pertolongan orang
dengan mukaku yang buruk ini, aku takkan takut.' ~ Dengan begitu akupun lantas
memberitahukan kepadanya tentang rahasia Soh-sim-kiam-hoat, ia mendengarkan
dengan penuh perhatian. Sampai ufuk timur sudah remang2, fajar sudah hampir
menyingsing, barulah aku berpisah dengan dia dan kembali kedalam penjara."
Ucapan Ting Tian itu makin lama makin berat hingga sampai achirnya suaranya
semakin lirih dan hampir2 tak kedengaran.
"Ting-toako," kata Tik Hun kemudian, "jangan engkau kuatir, pabila terjadi apa2
atas dirimu, aku pasti akan mengubur engkau bersama dengan Leng-siocia. Tapi aku
tidak mengharapkan balas jasamu tentang Kiam-koat apa segala, biarpun engkau
akan memberitahukan kepadaku juga aku tidak mau mendengarkan."
Wajah Ting Tian menampilkan senyuman yang puas dan tulus, katanya: "Saudara yang
baik, tidak percumalah aku berkenalan dengan kau. Engkau berjanji akan mengubur
jenazah kami menjadi satu liang, matipun aku dapatlah merasa lega. Sungguh aku
merasa sangat girang.........." ~ lalu dengan bisik2 ia menyambung pula:
"Sebenarnya bila harta karun itu dapat engkau ketemukan, kuyakin engkau pasti
takkan menyelewengkan penggunaannya, tapi dapat dipakai untuk menolong
sesamanya, untuk membantu kaum miskin, untuk menyokong kaum tertindas didunia
ini. Orang2 yang menderita seperti aku, seperti engkau, seperti kita ini,
didunia fana ini masih teramat banyak. Maka Soh-sim-kiam-koat ini bila engkau
tidak mau mendengarkan, setelah aku mati, itu berarti akan musna untuk selamanya
dan berarti pula suatu kerugian besar bagi kaum tertindas, bukankah sangat
sayang?" Tik Hun meng-angguk2 dan merasa ucapan sang Toako itu ada benarnya juga.
"Makanya kuharap engkau sudilah mendengarkan rahasia Soh-sim-kiam-koat ini,"
kata Ting Tian lebih jauh. Ketika dilihatnya Tik Hun sudah siap dan mencurahkan
sepenuh perhatian untuk mendengarkan, segera ia meneruskan: 'Nah, dengarkanlah
yang baik2. Kunci daripada Soh-sim-kiam-koat itu terdiri dari beberapa angka
hitung saja tapi bukan angka 'buntut', jangan engkau salah sangka. Angka pertama
adalah 4, angka kedua adalah 51, angka ketiga 33, dan angka keempat adalah
53 ............" Tengah Tik Hun mendengarkan uraian itu dengan bingung, tiba2 terdengar suara
tindakan orang mendatangi diluar taman bobrok itu. Seorang diantaranya sedang
berkata: "Hayolah kita coba memeriksa kedalam taman ini!"
Wajah Ting Tian berubah seketika, cepat ia melompat bangun. Segera Tik Hun ikut
melompat bangun juga. Ia lihat dari pintu belakang taman bobrok itu telah
menerobos masuk tiga orang laki2 kekar. Dua orang diantaranya bersenjata.
Ting Tian melirik sekali kepada ketiga orang itu, diam2 ia menghela napas
gegetun, katanya didalam hati: "Pabila aku belum keracunan sejahat ini,
betapapun kuatnya ketiga kaki-tangan penguasa ini juga akan kubereskan dengan
Sin-ciau-kang. Tapi kini aku tidak berani yakin kepada kemampuannya sendiri
lagi. Apa barangkali Soh-sim-kiam-hoat akan musna sejak kini?" ~ Tapi dalam
sekejap saja ia sudah ambil keputusan: "Betapapun aku harus berjuang mati2an."
Maka segera tanyanya kepada Tik Hun: "Tik-hiantit, keempat angka yang kukatakan
tadi apa sudah kau ingat dengan baik?"
Tapi Tik Hun sendiri lagi kesima melihat ketiga musuh sudah mendesak maju dan
telah mengurung mereka di-tengah2, yang seorang bersenjata golok dan yang lain
bersenjata pedang, orang ketiga bertangan kosong, tapi bermuka paling licik dan
bengis. Karena itulah ia menjadi lupa untuk menjawab pertanyaan Ting Tian tadi.
"Tik-hiantit, engkau sudah ingat dengan baik belum?" kembali Ting Tian
menggembornya. Karena itu, barulah Tik Hun terkejut dan cepat menyahut: "Sudah, angka pertama
adalah........" sebenarnya ia hendak mengatakan angka "4" itu, tapi segera
teringat olehnya bahwa musuh sudah didepan mata, kalau dia berkata, bukankah
akan didengar musuh" Maka cepat ia berdiri mungkur dan acungkan empat jarinya
kearah Ting Tian. Dalam pada itu lelaki yang bersenjatakan golok sudah lantas berkata dengan
tertawa dingin: "Orang she Ting, betapapun engkau juga terhitung seorang gagah,
mengapa pada saat demikian ini engkau masih mengoceh dan merengek seperti anak
kecil" Hayolah lebih baik ikut kembali dengan kami saja, agar kita tidak saling
menyusahkan." Sedang kawannya yang memakai pedang lantas ikut bersuara: "Tik-toako, sudah lama
tidak berjumpa, baik2kah engkau selama ini" Senang sekali bukan hidup didalam
penjara?" Tik Hun terperanjat oleh teguran itu, ia merasa suara orang sudah pernah
dikenalnya. Waktu ia mengamat-amati orang, maka teringatlah dia. Kiranya orang
ini tak-lain-tak-bukan adalah murid kedua Ban Cin-san yang bernama Ciu Kin.
Sudah berpisah sekian tahun, kini Ciu Kin telah piara kumis diatas bibir,
ditambah pakaiannya perlente, maka Tik Hun menjadi pangling.
Teringat Ciu Kin adalah murid Ban Cin-san dan termasuk salah seorang biangkeladi
yang menyebabkan dirinya dijebloskan kedalam penjara hingga menderita sampai
kini, seketika Tik Hun menjadi naik darah, dengan gusarnya terus saja ia
membentak: "Hai, kukira siapa, tak tahunya adalah Ciu........... Ciu-jiko!"
Sebenarnya Tik Hun bermaksud menyebut langsung nama orang tapi achirnya urung
dan tetap memanggilnya sebagai "Ciu-jiko".
Rupanya Ting Tian dapat meraba perasaan Tik Hun, ia berseru: "Bagus!" ~ Ia pikir
sebentar lagi pasti akan terjadi pertarungan mengadu jiwa, pertarungan yang
menentukan mati atau hidup, tapi Tik Hun toh dapat mengekang perasaan dendamnya
kepada Ciu Kin dengan memanggil "Ciu-jiko" padanya, itu suatu tanda pemuda itu
sudah tambah cerdik dan bukan lagi orang kasar yang tahunya melulu hantam-kromo
saja. Lalu Ting Tian berkata pula: "Hm, Ciu-jiya ini tentunya adalah murid pilihan Ban
Cin-san, Ban-loyacu, bukan" Bagus, bagus, entah sejak kapan Ciu-jiya telah
menghamba kepada Leng-tihu" ~ Ini, Tik-hiantit, biarlah aku memperkenalkan
padamu. Ini adalah tokoh terkemuka dari 'Ban-sing-to', Ma Tay-beng, Ma-toaya,
orang memberi julukan 'Kiap-gi-khek' kepadanya.'
"Kiap-gi-khek (pendekar budiman)" Hm, indah amat julukannya ini" Tapi entah
tulen atau palsu, sesuai tidak perbuatannya dengan namanya?" jengek Tik Hun.
Tentang hal itu, haha, aku tidak sanggup mengatakan," kata Ting Tian dengan
mengejeknya. "Dan yang itu adalah jago jebolan Siau-lim-pay, terkenal karena
Tiat-sah-ciang-nya yang lihay dan bernama 'Siang-to' Kheng Thian-pa. Orang Bu-
lim mengatakan telapak tangannya terlalu tajam bagai senjata, maka memberikan
julukan 'Siang-to' (sepasang golok) padanya. Padahal selamanya dia tidak pernah
menggunakan senjata."
"Bagaimana dengan kepandaian kedua tuan ini?" tanya Tik Hun.
"Hanya jago pilihan diantara jago2 kelas dua saja," sahut Ting Tian. "Untuk bisa
naik tingkat menjadi kelas satu, ha, selama hidupnya tiada harapan."
"Sebab apa"' tanya Tik Hun.
"Habis, bukan bahan dari kwalitet yang baik," kata Ting Tian. "Sudah tiada
mendapatkan didikan guru pandai, bakat merekapun terlalu jelek."
Begitulah mereka bertanya-jawab seenaknya se-akan2 disamping mereka sudah tiada
orang lain lagi. Keruan hampir2 meledak dada Kheng Thian-pa dan Ma Tay-beng
saking gusarnya. Ma Tay-beng wataknya lebih sabar, ia cuma mendengus sekali dan diam saja.
Sebaliknya Kheng Thian-pa takdapat menahan gusarnya lagi, terus saja ia memaki:
"Keparat, ajalmu sudah sampai, masih berani mengoceh. Rasakan golokku ini!"
Apa yang dia katakan "golok" itu sebenarnya adalah telapak tangannya, cuma
tenaganya sangat kuat, asal kena ditubuh musuh, tajamnya tidak kalah daripada
golok baja. Maka berbareng dengan bentakannya itu, terus saja sebelah telapak
tangannya memotong kearah Ting Tian.
Karena badannya keracunan, Ting Tian tidak dapat lagi mengerahkan tenaga
dalamnya dengan baik, maka ia tidak berani menangkis, melainkan mengegos untuk
menghindar. Tak terduga dalam hal Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan, Kheng
Thian-pa itu memang benar2 lihay, sekali hantam luput, segera menyusul serangan
kedua dengan menabas dari samping.
Ting Tian kenal serangan perubahan lawan itu, cepat ia turunkan sebelah
tangannya untuk menangkis. Akan tetapi gayanya bagus, caranya tepat, hanya
tenaganya kurang, hasilnya sama sekali diluar harapannya. "Plok", iganya tepat
kena disabet sekali oleh telapak tangan Kheng Thian-pa.
Tiat-sah-ciang atau ilmu pukulan pasir besi dari Siauw-lim-pay memang benar2
tidak bernama kosong. Kontan Ting Tian sempoyongan dan muntahkan darah segar.
"Nah, bagaimana" Aku hanya jago kelas dua, lantas kau kelas berapa?" demikian
Kheng Thian-pa mengejek dengan tertawa dingin.
Ting Tian menarik napas dalam2 sekali, mendadak ia merasa jalan napasnya sangat
lancar. Kiranya setelah racun "Hud-co-kim-lian" yang jahat itu meresap masuk
kedalam pembuluh darah, jalannya makin lama makin lambat. Meski tadi ia
memuntahkan darah dan luka dalam yang dideritanya sangat parah, tapi bekerjanya
racun untuk sementara menjadi hilang malah. Dalam girangnya, kontan saja Ting
Tian balas menyodokan sebelah telapak tangannya kedepan.
Ketika Thian-pa menangkis, mendadak Ting Tian memutar tangannya terus menampar
keatas, "plok", tepat sekali pipi Thian-pa kena digampar. Menyusul tangan Ting
Tian yang lain memutar pula dan menghantam, "plak", kepala Thian-pa kena ditabok
juga sekali. "Mati aku!" jerit Thian-pa ketika insaf kepalanya susah menghindarkan tabokan
lawan itu. Namun begitu, cepat ia berusaha mendakan tubuh dan melangkah mundur.
Diluar dugaan kembali sebelah tangan Ting Tian menghantam lagi kedepan dan
dadanya digenjot pula. Kembali Thian-pa menjerit: "Aduuh!" dan tergentak mundur.
Melihat tiga kali serangan sendiri tepat mengenai tempat bahaya dibadan
sasarannya, tapi musuh tidak roboh, hanya ter-huyung2 mundur. Diam2 Ting Tian
menjadi cemas, ia insaf tenaga dalamnya sudah banyak lenyap akibat keracunan
Hud-co-kim-lian itu. Sebenarnya kalau Sin-ciau-kang dapat mendorong kekuatan
ketiga kali serangannya tadi, biarpun jago nomor satu didunia ini juga akan
binasa seketika oleh salah satu serangannya itu. Tapi kini Kheng Thian-pa yang
cuma tergolong jago kelas dua ternyata sanggup menahan serangan2nya itu tanpa
roboh, maka dapatlah dibayangkan keadaan Ting Tian yang sudah lemah itu.
Ting Tian sendiri tahu ajalnya sudah dekat, tapi kalau dirinya mesti dibinasakan
oleh keroco seperti Kheng Thian-pa, sungguh ia sangat penasaran. Diam2 ia
berduka dan gelisah. Sebaliknya Kheng Thian-pa sendiri sebenarnya sudah ketakutan dan merasa tak
terhindar dari kematian ketika merasa muka, atas kepala dan dada kena dihantam
lawan, padahal ketiga tempat itu adalah tempat2 berbahaya. Namun ia cuma ter-
huyung2 mundur dan tidak terbinasa, ia menjadi heran, tapi nyalinya sudah pecah
hingga untuk sementara ia tidak berani merangsang maju pula.
Segera Ma Tay-beng mengedipi Ciu Kin sambil berseru: "Ciu-hiantit, marilah kita
maju bersama!" Ciu Kin mengiakan. Sebenarnya ia merasa bukan tandingan Tik Hun, tapi mengingat
dirinya sendiri bersenjata pedang, sedang lawan bertangan kosong, ditambah lagi
jari tangan kanan pemuda itu dahulu sudah terpapas, otot kaki telah dipotong dan
tulang pundak ditembus lagi, biarpun ilmu silat setinggi langit juga takkan
mampu dimainkannya. Karena itulah Ciu Kin menjadi tabah, sekali pedangnya
bergerak, terus saja ia menusuk kepada Tik Hun.
Ting Tian tahu Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu belum jadi. Ilmu silatnya
kini malah belum setarap seperti waktu dijebloskan kedalam penjara dulu. Kalau
mesti melawan Ciu Kin dengan bertangan kosong, tentu jiwanya akan melayang
percuma. Segera ia bertindak, cepat ia menggeser kesamping, dengan tangan kiri
terus saja ia hendak merampas pedangnya Ciu Kin.
Gerak serangan Ting Tian itu sangat cepat dan aneh luar biasa hingga sebelum
diketahui Ciu Kin, tahu2 ketiga jari Ting Tian sudah berhasil menggantol
dipergelangan tangan murid Ban Cin-san itu.
Keruan kejut Ciu Kin tak terkatakan, ia mengeluh senjatanya pasti akan terlepas
dari cekalan dan celakalah dirinya. Tak terduga meski jari musuh sudah kena
pencet diurat-nadinya ternyata Hiat-to pergelangan tangan itu tidak terganggu
apa2. Tanpa ayal lagi kesempatan itu digunakan Ciu Kin untuk mengipatkan tangannya dan
menyusul pedangnya membalik terus menusuk kedada kiri Ting Tian dengan cepat.
Ting Tian menghela napas panjang sekali dan berkata didalam hati: "Ada tenaga
takbisa dikerahkan, apa dayaku?" ~ namun begitu dengan mudah dapatlah serangan
Ciu Kin itu dihindarinya.
Diantara ketiga penyatron itu, Ma Tay-beng adalah paling luas pengalamannya. Ia
telah menyaksikan Ting Tian bergebrak dengan Kheng Tian dan Ciu Kin, dalam
pertarungan itu dua kali Ting Tian sudah diatas angin, tapi dua kali juga tidak
memperoleh kemenangan sebagaimana diduganya. Maka sesudah dipikir, segera
tahulah dia apa sebabnya. Dari Leng-tihu ia diberitahu bahwa Ting Tian sudah
keracunan yang tiada obatnya, maka dapat diduga pasti racun dalam tubuhnya itu
telah bekerja hebat, maka tenaga dalamnya telah banyak berkurang.
Achirnya Keng Thian-pa dapat mengetahui juga keadaan Ting Tian yang sudah payah
itu, ia pikir makanan empuk yang tinggal ditelan saja itu jangan sampai
diganyang lebih dulu oleh kawannya. Begitu pula Ma Tay-beng juga mempunyai
pikiran yang sama, maka berbareng mereka terus menubruk maju.
"Huh, katanya julukanmu adalah 'Kiap-gi-khek', tapi perbuatanmu ini apakah dapat
dikatakan kelakuan seorang Kiap-gi?" bentak Tik Hun dengan gusar. Segera iapun
menjotos kearah Ma Tay-beng.
Namun Ting Tian sempat mendorong kepundak Tik Hun sambil berkata padanya:
"Engkau mundur saja, Tik-hiantit!" ~ Menyusul mana tangannya membalik terus
mencengkeram hingga jidat Ma Tay-beng tepat kena dipegang.
Cengkeraman Ting Tian ini juga serangan yang mematikan, jangankan Ting Tian
menggunakan tenaga dalam yang hebat dari Sin-ciau-kang, sekalipun Lwekang yang
biasa saja juga cukup membikin nyawa sasarannya amblas.
Keruan Ma Tay-beng ketakutan setengah mati dan cepat menjatuhkan diri ketanah
terus menggelinding kesamping.
Dalam keadaan begitu Ting Tian merasa tenaga dalam sendiri semakin lama semakin
lemah, sementara ini cuma berkat tipu serangannya yang jauh lebih lihay daripada
musuh, maka dapatlah bertahan sekadarnya, apabila "Soh-sim-kiam-koat" tidak
segera diberitahukan seluruhnya kepada Tik Hun, boleh jadi rahasia maha besar
ini selanjutnya akan musna untuk selamanya, jika demikian rasanya sangatlah
sayang. Oleh karena dirinya bagaimanapun akan mati, maka lebih baik berusaha
agar Tik Hun berhasil menyelesaikan tugas yang diselubung rahasia Kiam-koat itu.
Setelah ambil keputusan, segera ia berkata: "Tik-hiantit, dengarkanlah kata2ku.
Engkau berlindung dibelakangku dan jangan gubris pada musuh, engkau cuma apalkan
saja istilah rahasia yang akan kukatakan ini. Urusan sangat penting, maka jangan
kau pandang sepele, sebabnya Ting-toakomu bisa mengalami nasib seperti harini
justeru disebabkan membela rahasia ini."
Tik Hun mengia dan cepat sembunyi kebelakang sang Toako.
"Ingatlah baik2, angka kelima adalah '18' dan ........ dan angka keenam adalah
'7'!" demikian Ting Tian menyambung rahasia Soh-sim-kiam-koat tadi.
Ma Tay-beng tahu sebabnya Leng-tihu memerintahkan penangkapan kepada Ting Tian,
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tujuan pokoknya yalah ingin mencari sesuatu rahasia Soh-sim-kiam-koat. Sedangkan
Ciu Kin sudi menghamba dibawahnya Leng Dwe-su, tujuannya bukan pangkat dan
harta, tapi adalah tugas yang diberikan gurunya agar diam2 menyelidiki rahasia
Kiam-koat itu. Kini kedua orang itu mendengar Ting Tian mengucapkan angka2 '18'
dan '7', segera merekapun ikut mendengarkan dengan cermat dan mengingatnya baik2
didalam hati. Sebaliknya kedatangan Kheng Thian-pa ini adalah ditugaskan untuk menangkap Ting
Tian. Kini melihat Ting Tian berkomat-kamit mengucapkan delapanbelas atau
sembilanbelas segala, lantas Ma Tay-beng dan Ciu Kin ter-mangu2 menirukan
berkomat-kamit. Ia pikir kalau bukan Ting Tian sedang main ilmu sihir untuk
pengaruhi lawan2nya, tentu adalah Ma Tay-heng dan Ciu Kin sengaja hendak
melepaskan musuh. Sebab itulah Thian-pa terus membentak: "Hai, kalian sedang
main gila apa?" ~ berbareng sebelah tangannya lantas membelah kearah Ting Tian.
Tapi karena jeri kepada kesaktian lawan, belum lagi serangannya mengenai sasaran
atau mendadak ia tarik kembali terus melompat mundur.
Ting Tian sendiri lantas mengegos kekiri dengan maksud menghindarkan serangan
Kheng Thian-pa itu. Tapi karena tenaga dalamnya sudah payah, langkahnya menjadi
hampa, ia sempoyongan akan roboh.
Melihat ada kesempatan bagus, tanpa ayal lagi golok Ma Tay-beng cepat membacok
kepundak kiri Ting Tian. Untuk sesaat Ting Tian merasa matanya menjadi gelap
hingga lupa untuk menghindarkan serangan itu.
Keruan Tik Hun sangat terkejut, dalam keadaan mendesak, tanpa pikir lagi ia
terus menyeruduk maju hingga kepalanya kena tumbuk keperut Ma Tay-beng.
Pertarungan secara menggelut demikian jika perlu ternyata membawa hasil juga.
Percuma saja Ma Tay-beng memiliki kepandaian tinggi, karena diseruduk oleh Tik
Hun seperti banteng ketaton, Tay-beng menjadi tidak sempat menggunakan ilmu
goloknya yang lihay. Dilain pihak sesudah kepalanya puyeng, waktu Ting Tian membuka mata pula, ia
melihat Tik Hun sedang gulat dengan Ma Tay-beng, sedang Ciu Kin lagi angkat
pedangnya hendak menusuk kepunggung Tik Hun. Cepat Ting Tian bertindak, secepat
kilat ia gunakan dua jarinya untuk mencolok kedua mata Ciu Kin. Insaf tenaga
sediri sudah habis, kecuali menyerang kedua mata lawan yang merupakan tempat
yang paling lemah itu, rasanya tiada jalan lain lagi.
Benar juga, karena kuatir menjadi buta, cepat Ciu Kin melompat mundur kesamping.
Dan pada saat itulah Ma Tay-beng berhasil menggunakan gagang goloknya untuk
mengetok kepala Tik Hun hingga pemuda itu terperosot ditanah.
Ketika Ma Tay-beng dan Ciu Kin menubruk maju pula, mendadak Ting Tian memapak
maju, maka terdengarlah "crat-cret' dua kali, senjata2 kedua lawan menancap
semua didada Ting Tian. Melihat keadaan sudah mendesak, cepat Ting Tian berseru pula: "Tik-hiantit,
jangan sekali2 engkau ikut turun tangan lagi. Ingatlah baik2 bahwa angka ketujuh
adalah ......." ~ mendadak dadanya terasa sesak hingga susah bersuara. Sedangkan
pukulan Keng Thian-pa sudah tiba pula. Ia geleng2 putus asa, pikirnya: "Rupanya
sudah takdir ilahi, apa yang dapat kukatakan lagi" Soh-sim-kiam-koat ini agaknya
akan musna untuk selamanya dari dunia ramai."
Akan tetapi dasar watak Ting Tian memang sangat teguh, sekali bertekad akan
mengajarkan Kiam-koat itu kepada Tik Hun, betapapun ia akan berdaya untuk
mencapai maksud itu. Ia pikir kalau tidak membunuh ketiga "cakar alap2"
(maksudnya kaki tangan pembesar lalim) itu, biar bagaimana tentu akan susah
untuk mengtakan Kiam-koat itu kepada Tik Hun. Kalau cuma mengatakan satu angka
demi satu angka seperti sekarang ini sembari bergebrak, sampai kapan baru bisa
selesai diuraikan" Dan jika suatu ketika kepalanya puyeng lagi, mungkin jiwa
kedua orang akan segera melayang malah.
Dalam pada itu sinar senjata tampak ber-kelebat2, Ma Tay-beng dan Ciu Kin sudah
menubruk maju pula bersama. Tubuh Ting Tian tampak bergeliat sekali, mendadak ia
memapak maju kearah senjata2 lawan, tanpa ampun lagi, "crat-cret" dua kali,
golok dan pedang lawan tepat membacok diatas badan Ting Tian hingga darah
memuncrat. Tik Hun menjerit kuatir dan cepat memburu maju untuk menolong. Tapi Ting Tian
telah gunakan saat darah mengucur dan daya racun dalam badannya agak berkurang
itulah, sekonyong-konyong ia ayun telapak tangan kanan sekuatnya dan tepat
menggablok kepilingan kanan Ma Thay-beng, menyusul tangannya membalik mengancam
Ciu Kin pula. Serangan kedua itu sebenarnya pasti susah dihindarkan Ciu Kin, tapi untung
baginya dan kejadiannya sangat kebetulan pula, pada saat itulah tahu2 Kheng
Thian-pa menubruk tiba, saking keras ia menerjang maju, tanpa ampun lagi dadanya
persis memapak pada telapak tangan Ting Tian, "plak", seketika tulang iganya
patah semua dan kontan terjungkal dan tak berkutik lagi.
Serangan Ting Tian itu sudah memakan antero sisa tenaganya yang masih ada, boleh
dikata kini ia sudah berada dalam keadaan seperti pelita kehabisan minyak atau
motor kehabisan bensin. Gablokannya yang pertama paling keras, maka kontan Ma
Thay-beng terbinasa, sedangkan Kheng Thian-pa juga sudah senin-kemis napasnya
tinggal menunggu ajal saja. Hanya Ciu Kin saja yang masih sehat dan bergas belum
terluka, dengan tangan kanan memegang pedang yang menancap dibadan Ting Tian
itu, ia sedang berusaha hendak mencabut senjatanya itu untuk kemudian akan
dipakai menusuk Tik Hun pula.
Tekad Ting Tian sekarang yalah menyelamatkan Tik Hun, maka mendadak ia pepetkan
badannya kedepan dan kedua tangannya terus menyikap pinggang Ciu Kin sambil
berseru: "Lekas lari, Tik-hiantit, lekas!" ~ Dan karena badannya mendesak maju
itulah, pedangnya Ciu Kin ambles lebih dalam lagi beberapa senti didalam
badannya. Namun TikHun bukan pemuda pengecut, mana ia mau melarikan diri sendiri" Tanpa
pikir lagi ia menubruk kebelakang Ciu Kin untuk mencekek leher lawan itu sambil
berteriak2: "Lepaskan Ting-toakoku! Kau mau lepas tangan atau tidak?"
Keruan Ciu Kin meringis kesakitan dan mendongkol pula. Sebab bukan dia tidak mau
melepaskan Ting Tian, tapi dia sendiri yang disikap se-kencang2nya oleh Ting
Tian, jadi Ting Tian yang mesti melepaskan dia dan bukan Ciu Kin yang harus
melepaskan Ting Tian. Ting Tian merasa tenaga sendiri semakin lemas dan hanpir tidak kuat lagi
menyikap Ciu Kin. Pabila sampai lawan dapat melepaskan diri, sekali pedangnya
kena dicabut, psti jiwa Tik Hun juga akan melayang. Maka cepat teriaknya: "Tik
Hun, lekas lari, jang..... jangan engkau urus diriku, aku..... aku toh takkan
hidup lagi!" "Kalau mati, biarlah mati bersama!" sahut Tik Hun sambil berusaha mencekek lebih
kuat. Tapi sejak tulang pundaknya ditembusi dan otot pundak sudah rusak, maka
betapapun ia mencekek se-keras2nya, tetap susah membikin Ciu Kin mati sesak
napas. "Saudara baik, engkau sangat....... sangat setia kawan.... tidak percumalah aku
mempunyai seorang kawan seperti kau..... sayang ...... sayang Kiam-koat itu
takbisa lengkap kukatakan ..... aku sangat senang..... sangat senang .......Jun-
cui-pik-po .... itu seruni hijau ...... yang dia taruh didepan jendela ....
lihatlah ..... lihatlah betapa indahnya .... betapa bagusnya ......" demikian
suara Ting Tian semakin lama semakin lemah dan lirih, tapi cahaya mukanya ber-
seri2, sebaliknya tangan yang menyingkap Ciu Kin itu lambat-laun menjadi kendor.
Merasa kedua tangan Ting Tian sudah tak bertenaga, segera Ciu Kin meronta
sekuatnya, berbareng ia cabut pula pedang yang menancap ditubuh Ting Tian itu hingga senjata itu penuh berlepotan darah. Waktu ia putar tubuh,
maka berhadapanlah dia dengan Tik Hun muka dengan muka, jaraknya cuma belasan
senti saja. Ia menyeringai iblis sekali, pedangnya diangkat terus menusuk se-
kuat2nya kedada Tik Hun. Saat itu Tik Hun sedang kuatir atas diri Ting Tian, ia telah berteriak2: "Ting-
toako, Ting-toako!" ~ mendadak dadanya terasa kesakitan sekali.
Waktu Tik Hun melirik dadanya sendiri, ia lihat pedang yang dipegang Ciu Kin itu
telah menusuk diatas dadanya. Ia dengar Ciu Kin sedang ter-bahak2 girang, suara
ketawa orang yang lupa daratan oleh kemenangannya itu.
Memang dapat dimengerti juga bahwa pantaslah kalau Ciu Kin kegirangan setengah
mati oleh karena berhasilnya serangannya yang terachir itu. Habis, Leng-tihu
memberi perintah dengan hadiah yang besar bagi siapa yang dapat menawan hidup2
Ting Tian dan Tik Hun berdua, kalau tak dapat menangkap dengan hidup, boleh juga
dibinasakan ditempat itu juga. Kini Ting Tian terang sudah menggeletak mati, Tik
Hun juga tertusuk oleh pedangnya tinggal menunggu ajalnya saja, sedangkan Ma
Thay-beng dan Kheng Thian-pa sudah terbinasa juga disitu, dengan sendirinya jasa
besar ini akan diterima sendirian oleh Ciu Kin.
Dalam sekejap itu dalam benak Tik Hun juga telah berganti ber-macam2 pikiran.
Terbayang olehnya waktu masih kecil belajar silat dirumah Suhu dan memain
bersama dengan sang Sumoay yang menyenangkan itu. Lalu teringat juga olehnya
penganiayaan selama lima tahun hidup didalam penjara ....... kesemuanya itu
seketika membanjiri benaknya, rasa dendam kesumat itu membuatnya bagaimanapun
juga tidak rela menerima kematian begitu saja.
Sementara itu didengarnya Ciu Kin masih bergelak tertawa iblis. Dengan murka Tik
Hun terus saja berteriak: "Biarlah aku ...... aku mati bersama engkau!" ~
berbareng kedua tangannya terus merangsang maju dan kena mencengkeram dibahu Ciu
Kin. Meski Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu belum jadi, tapi paling tidak sudah
ada dua tahun alas dasarnya. Kini karena merasa jiwanya terancam, antero tenaga
yang ada telah dikerahkan pada kedua tangannya untuk mencengkeram se-kencang2nya
dibahu musuh hingga mirip jepitan sepasang tanggam yang kuat. Seketika Ciu Kin
menjadi kesakitan, dengan napas memburu ia coba meronta untuk melepaskan diri,
tapi tetap tak bisa terlepas.
Diam2 Tik Hun memikir: "Kalau aku dapat mencengkeram tempat lain yang lemah
ditubuhnya mungkin akan dapat mampuskan dia, tapi kini cuma dapat memegang
bahunya, terang aku takdapat meng-apa2kan dia."
Namun begitu toh dia takdapat melepaskan tangannya, asal kedua tangannya menjadi
kendor mencengkeram, pasti kesempatan itu akan digunakan Ciu Kin untuk
meloloskan diri dan untuk memegangnya lagi pastilah susah. Ia merasa dadanya
tambah lama tambah sakit, ia tahu ujung pedang lawan sedang menusuk lebih dalam.
Kini tiada tempo lagi baginya untuk memikir, kalau Ciu Kin kena dicengkeramnya
sedikit, berarti sedikit pula ia telah membalas dendam kesumat itu.
Dalam pada itu ujung pedang Cu Kin menusuk semakin keras, sedang Tik Hun juga
mencengkeram semakin kuat dan menarik se-kuat2nya kearah sendiri. Dan aneh juga,
pedang lawan ternyata tidak dapat menusuk lebih mendalam lagi se-akan2 kebentur
oleh semacam tenaga kebal yang tidak mempan senjata, bahkan batang pedang Ciu
Kin berbalik menekuk dan pelahan2 melengkung.
Sungguh kejut dan heran Ciu Kin tak terkatakan, sekuatnya ia mendorong pedangnya
menusuk lebih keras agar badan Tik Hun kena ditembus oleh senjatanya. Akan
tetapi pedangnya seperti tidak mau turut perintahnya lagi, sedikitpun tidak
dapat ambles kedepan pula, sebaliknya senjata itu semakin melengkung karena
tekanannya itu. Kedua mata Tik Hun sudah merah membara, dengan beringas ia melototi Ciu Kin.
Semula ia melihat wajah Ciu Kin mengunjuk rasa sangat girang dan mengejek dengan
keji, tapi lambat-laun air mukanya berubah heran2 kejut, lalu penuh rasa kuatir,
sejenak kemudian dari rasa kuatir itu berubah menjadi ketakutan, dan rasa
ketakutan itu makin lama makin hebat, hingga achirnya kebingungan.
Kiranya Ciu Kin merasa Tik Hun telah berhasil meyakinkan semacam ilmu weduk yang
tidak mempan senjata. Meski pedangnya sudah kena menusuk dibadan pemuda itu,
tapi cuma membuat daging tempat itu mendekuk kedalam dan tidak dapat menembus
kulit dagingnya. Karena selama hidupnya tidak pernah melihat didunia ini ada ilmu sakti seperti
itu, maka rasa takutnya makin lama semakin besar. Beberapa kali ia coba dorong
pedangnya lebih kuat kedepan, tapi tetap tidak dapat menembus badan lawan,
achirnya ia tidak berani mengharapkan melukai Tik Hun lagi, yang dipikir olehnya
asal dapat meloloskan diri sudah beruntung baginya. Namun justeru untuk
melepaskan diri itulah yang susah, sebab dengan kencang Tik Hun memegangi
bahunya sambil menarik sekuatnya.
Lambat-laun Ciu Kin merasa tangan kanan sendiri yang memegang pedang itu mulai
menikung balik dengan pelahan, menyusul gagang pedang sudah menempel didada
sendiri, batang pedang juga semakin melengkung hingga berwujut setengah
lingkaran. Mendadak terdengarlah suara "pletak" sekali, batang pedang Ciu Kin itu patah
bagian tengah. Ciu Kin menjerit sekali terus terjungkal kebelakang, kedua potong
pedang yang patah itu telah menancap semua kedalam perutnya.
Dan karena robohnya Ciu Kin itu, Tik Hun juga ikut jatuh dan menindih diatas
badan Ciu Kin, tapi kedua tangannya masih memegang diatas bahu orang takmau
melepaskan. Segera Tik Hun mencium bau anyirnya darah yang sangat keras, tiba2
dilihatnya Ciu Kin meneteskan air mata, menyusul dari mulutnya mengeluarkan
darah, ketika kemudian kepalanya terkulai kebawah, achirnya tidak berkutik lagi.
Tik Hun menjadi heran. Semula ia mengira Ciu Kin cuma pura2 mati saja, maka
tetap ia mencengkeram se-kencang2nya dibahu orang. Ketika lain saat merasa dada
sendiri sudah tidak sakit lagi, ia coba menunduk dan ternyata tiada terluka.
Dengan bingung Tik Hun melepaskan Ciu Kin dan berdiri, ia melihat kedua potong
pedang patah itu menancap diperut Ciu Kin, hanya sebagian kecil saja menonjol
diluar. Waktu ia periksa dada sendiri, ternyata bajunya terobek beberapa senti
lebarnya dan kelihatanlah baju kutang warna hitam yang dipakainya. Ia pandang
pula pedang patah diperutnya Ciu Kin dan mengamat-amati baju sendiri yang sobek,
maka tahulah dia duduknya perkara.
Kiranya "Oh-jan-kah" atau baju kutang dari sutera hitam hadiah dari Ting Tian
tempo hari itulah telah menolong jiwanya, bahkan berkat baju itulah telah dapat
membunuh musuh. Oh-jan-kah itu tidak mempan senjata, maka tusukan Ciu Kin itu hanya membikin
dada Tik Hun kesakitan karena tertikam, tapi takdapat menembus baju kutang
mestika itu. Ketika kemudian pedangnya patah, karena Tik Hun memegang bahunya
se-kencang2nya serta ditarik merapat, maka pedang patah yang tajam itu telah
tertikam masuk kedalam perut Ciu Kin sendiri hingga terjadilah senjata makan
tuannya. Sesudah Tik Hun dapat tenangkan diri, segera ia berlari mendekati Ting Tian, ia
berjongkok sambil berseru: "Ting-toako, ken ....... kenapakah engkau?"
Pelahan2 Ting Tian membuka matanya dan memandang Tik Hun dengan sorot mata yang
lemah se-akan2 memandang tapi tidak melihatnya lagi atau seperti tidak mengenal
Tik Hun pula. "Ting-toako, biar bagaimanapun juga aku pasti ........... pasti akan menolong
engkau kaluar dari sini," seru Tik Hun.
"Sayang ......... sayang Kiam-koat itu sejak kini ....... sejak kini akan musna
untuk selamanya," kata Ting Tian dengan lemah dan ter-putus2. "Harap ......
harap kubur ...... kuburlah aku ber ....... bersama Siang ...... Siang-hoa ...."
"Aku akan ingat baik2 pesanmu ini." seru Tik Hun dengan tegas. "Pasti aku akan
menguburkan engkau bersama Leng-siocia sesuai dengan cita2 kalian berdua."
Pelahan2 Ting Tian menutup kembali matanya, napasnya semakin lemah, tapi
bibirnya tampak ber-gerak2 sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu. Cepat Tik
Hun mendempelkan telinganya kepinggir bibir sang Toako, lapat2 terdengar Ting
Tian berkata: "Dan angka ....... angka seterusnya ........" ~ sampai disini
lantas tiada kedengaran lagi.
Telinga Tik Hun tidak merasakan pernapasan sang Toako lagi, ia coba meraba dada
Ting Tian, ternyata denyut jantungnya juga sudah berhenti.
Sebelumnya Tik Hun sudah tahu bahwa jiwa Ting Tian tentu susah dipertahankan,
tapi kini menyaksikan saudara angkatnya yang hubungannya selama beberapa tahun
ini melebihi saudara sekandung itu telah meninggal, maka rasa duka dalam hatinya
sungguh susah dilukiskan. Ia berlutut disamping Ting Tian dan meniupkan napasnya
kemulut sang Toako se-kuat2nya sambil hatinya berdoa: "O, Tuhan, hidupkanlah
kembali Ting-toako, aku lebih suka kembali kedalam penjara lagi untuk selamanya
tidak keluar, lebih suka pula tidak membalas dendam dan biarlah selama hidup ini
dihina dan dianiaya oleh Ban-bun-te-cu (anak murid keluarga Ban), ya Tuhan,
asalkan dapatlah Ting-toako dihidupkan kembali."
Akan tetapi kedua tangannya yang merangkul dibadan Ting Tian itu makin lama
terasa badan sang Toako itu makin dingin. Ia tahu doa sucinya itu tidaklah
berhasil dan tak terkabul. Sesaat itu ia merasakan kesunyian yang tak
terkatakan, merasa hidupnya hampa dan merasa dunia bebas diluar ini jauh lebih
menakutkan daripada didalam kamar penjara yang sempit itu. Ia sadar hidup
selanjutnya pastilah sangat sulit, ia lebih suka kembali kedalam penjara lagi
bersama Ting Tian. Ia pondong mayatnya Ting Tian itu dan berdiri. Tiba2 berbagai rasa duka derita
yang tak terkatakan berkecamuk membanjiri benaknya, kesedihannya pada saat itu
boleh dikata susah dibendung. Tak tertahan lagi ia menangis, menangis ter-
gerung2 seperti anak kecil.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa akibat dari tangisannya yang keras itu
mungkin akan didengar musuh, dan tak terpikir pula olehnya bahwa sesungguhnya
memalukan seorang laki2 sejati bertangisan sedemikian rupa. Tapi ia ingin
menangis dan menangis terus oleh karena rasa sedihnya yang susah ditahan itu.
Ketika kemudian air matanya pelahan2 mulai kering, gerung tangisnya berubah
menjadi suara sesenggukan pelahan karena rasa duka dalam hatinya masih tetap
susah ditahan. Namun pikirannya sudah jauh lebih jernih daripada tadi, maka ia
mulai me-nimang2: "Cara bagaimana aku harus menyelesaikan jenazah Ting-toako
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini" Dengan jalan bagaimana agar aku dapat membawanya untuk dikubur bersama
dengan Leng-kohnio?"
Dalam saat demikian, soal paling penting yang terpikir olehnya sekarang hanya
tentang penguburan Ting Tian menjadi suatu kuburan dengan nona Leng itu.
Tengah ia ragu2, tiba2 terdengar suara derapan kuda yang ramai dari kejauhan dan
makin lama makin mendekat, jumlahnya kira2 ada belasan penunggang kuda. Lalu
terdengarlah suara orang berteriak diluar taman bobrok itu: "Ma-toaya, Kheng-
toaya, Ciu-jiya, apakah kalian sudah dapat menemukan buronannya!"
Kemudian terdengar belasan ekor kuda itu diberhentikan serentak diluar taman dan
ada orang berseru lagi: "Marilah kita coba memeriksa kedalam!"
"Tidak mungkin mereka bersembunyi disini!" demikian kata seorang lain.
"Darimana kau tahu?" debat orang pertama tadi. Lalu terdengar suara orang
melompat turun dari kuda.
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus pondong mayat Ting Tian itu dan dibawa lari
keluar dari taman bobrok itu melalui pintu samping. Dan begitu dia melangkah
keluar lantas terdengarlah suara orang menjerit kaget didalam taman itu oleh
karena mengetahui Ma Thay-beng bertiga sudah menggeletak terbinasa disitu.
Tik Hun ber-lari2 terus didalam kota Kanglenghu itu, iapun tahu caranya
melarikan diri sambil membawa mayat sang Toako itu sangat berbahaya, sudah
larinya takbisa cepat, setiap saat mungkin akan dipergoki orang pula. Namun ia
lebih suka ditawan dan dijebloskan lagi kedalam penjara dan menerima siksaan
atau boleh juga dihukum mati dengan segera, sebaliknya tidak nanti ia mau
meninggalkan jenazah Ting Tian begitu saja.
Setelah beberapa ratus meter ia berlari, tiba2 dilihatnya disuatu pagar tembok
dipinggir jalan ada sebuah daun pintu kecil yang terpentang, tanpa pikir lagi ia
terus menyelinap masuk kedalam rumah itu, lalu pintu itu didepaknya dari dalam
hingga tertutup. Kiranya pintu itu adalah pintu sebuah kebun sayur yang sangat luas dan penuh
tertanam macam2 jenis sayur seperti sawi putih, lobak, labu, tomat, ketimun dan
lain2 lagi. Sejak kecil kerja Tik Hun yalah bertani bercocok tanam. Tapi sudah lima tahun
lamanya ia meninggalkan kebun sayurnya. Kini melihat suasana kebun itu, seketika
timbul rasanya seperti berada dikampung halamannya sendiri.
Ia coba mengamat-amati sekitarnya, ia melihat diarah timur-laut sana ada sebuah
gudang kayu bakar, dari jendela gudang itu tampak jelas penuh tertumpuk kayu
bakar dan onggok jerami. Tik Hun menjadi girang, sekenanya ia bubut beberapa
buah lobak sambil memondong mayatnya Ting Tian, segera ia menyusup kedalam
gudang kayu itu. Dengan penuh rasa duka nestapa dan air mata meleleh Tik Hun pondong mayatnya
Ting Tian untuk meninggalkan taman itu dengan cepat.
Ia coba dengarkan sekeliling gudang itu dan tidak kedengaran ada suara orang.
Segera ia menyingkirkan kayu dan jerami hingga lantainya terluang sedikit, ia
taruh jenazah sang Toako disitu dan menutupinya dengan jerami dengan pelahan2.
Diwaktu menguruk jenazah Toako dengan rumput jerami itu, Tik Hun merasa se-akan2
Ting Tian masih mempunyai daya rasa, maka tidak berani membikin sakit badannya.
Dalam benak Tik Hun timbul semacam sugesti: "Boleh jadi Ting-toako mendadak bisa
mendusin kembali." Ia duduk disamping mayat sang Toako, ia mengupas kulit lobak dan menggeragotinya
mentah2. Air lobak yang manis2 masam itu pelahan2 mengalir kedalam
kerongkongannya. Ya, maklum sudah lima tahun lamanya ia tidak pernah merasakan
makanan segar seperti itu. Teringat kampung halamannya di Ouwlam, disana entah
sudah beberapa kali ia membubut lobak dan makan bersama sang Sumoay ~ Jik Hong,
mereka bersenda gurau dengan gembira di sawah-ladang kampung halamannya itu
sambil menggeragoti lobak mentah ...........
Sebuah lobak mentah itu sudah habis dimakan olehnya dan mulai ia menggeragoti
lobak yang kedua, kelopak matanyapun agak basah mengenangkan masa dahulu yang
indah itu. Se-konyong2 didengarnya suatu suara. Seketika badannya bergemetar,
separoh lobak yang terpegang ditangannya jatuh kelantai tanpa terasa, lobak yang
putih bersih itu berlepotan tanah pasir dan debu jerami.
Ia mendengar suara seorang yang halus dan merdu sedang memanggil: "Khong-sim-
jay! Khong-sim-jay! Dimanakah engkau?"
Saking terguncangnya perasaan, segera Tik Hun bermaksud berteriak menjawabnya:
"Aku berada disini!" ~ Tapi belum lagi kata2 "aku" itu mencetus dari mulutnya,
ia merasa tenggorokannya seperti tersumbat, cepat ia menutup mulutnya sendiri
dengan badan gemetar. Sebab apakah Tik Hun terguncang perasaannya oleh suara itu"
Kiranya "Khong-sim-jay" atau sayur tak berhati alias kubis adalah nama julukan
Tik Hun. Didunia ini hanya ada dua orang yang tahu nama julukannya itu, yakni
Tik Hun sendiri dan Jik Hong. Bahkan gurunya sendiri juga tidak tahu.
Julukan itu adalah pemberian Jik Hong, sebab sang Sumoay itu berpendapat Tik Hun
tidak punya otak, terlalu polos, terlalu lugu, sedikitpun tidak bisa berpikir,
selain belajar silat, segala apa tak dipikir olehnya dan segala apa tak
dipahaminya, maka pemuda itu diibaratkan Khong-sim-jay atau kubis yang tidak
punya hati. Dikatakan orang tidak punya otak juga Tik Hun tidak marah, sebaliknya ia ganda
tertawa saja. Ia malah senang kalau Jik Hong suka memanggilnya: "Khong-sim-jay!"
~ biarpun sehari penuh dipanggil begitu juga dia tidak marah, asalkan saja
sigadis itu betah. Dan setiap kali kalau Tik Hun mendengar panggilan "Khong-sim-jay" atau si Kubis,
selalu hatinya merasakan semacam kenikmatan manisnya madu. Sebab kalau ada orang
ketiga diantara mereka pasti sekali2 Jik Hong takkan memanggil nama julukannya
itu. Dan kalau dia dipanggil si Kubis, maka saat itu tentu cuma mereka berada
berduaan saja. Pabila Tik Hun berada berduaan saja bersama Jik Hong, baik sigadis sedang
gembira maupun sinona lagi marah, yang terasa oleh Tik Hun hanya rasa bahagia
yang tak terkatakan. Ia adalah seorang bocah ke-tolol2an yang tidak pandai
bicara, terkadang kedogolannya itu membikin Jik Hong menjadi marah, tapi asal
terdengar panggilan "Khong-sim-jay, Kong-sim-jay", maka tertawalah keduanya
dengan ter-kakah2 Tik Hun masih ingat pada waktu Bok Heng membawakan surat undangan kepada Suhunya
dahulu, malam itu sang Sumoay telah memasak untuk menjamu tamu, diantara lauk-
pauk dan sayur-mayur itu juga terdapat semangkok cah (gorengan) Kubis. Tengah
sang Suhu asyik berbicara dengan Bok Heng mengenai kejadian2 didunia persilatan,
Tik Hun sendiri mendengarkan dengan ter-mangu2, tiba2 tanpa sengaja sinar
matanya telah kebentrok dengan sinar mata Jik Hong, ia melihat sang Sumoay telah
menyumpit secomot kubis goreng dan akan dimakan, tapi kubis itu tidak lantas
dimasukkan kedalam mulut, melainkan dengan bibirnya yang merah tipis sedang
menjilati kubis itu dengan pelahan2, sorot matanya penuh mengandung maksud
tertawa. Terang gadis itu bukan lagi hendak makan sayur, tapi sedang menciumi
kubis itu. Tatkala itu Tik Hun cuma mengira: "Ah, Sumoay sedang mentertawai aku lagi
sebagai Khong-sim-jay!" ~ Tapi kini setelah dikenangkan kembali didalam gudang
kayu ini, tiba2 ia dapat menangkap maksud yang mendalam dari kelakuan sang
Sumoay itu, nyata itulah tanda ciuman mesra seorang kekasih.
Kini suara panggilan "Khong-sim-jay" itu terdengar pula, terang gamblang suara
itu adalah suaranya Jik Hong, hal mana sedikitpun tak bisa keliru lagi. Suara
panggilan itu penuh mengandung rasa cinta kasih yang mesra, lemah-lembut dan
meresap. Dahulu, panggilan Jik Hong itu cuma dirasakannya sebagai tanda persahabatan,
suara panggilan yang penuh perhatian dan terkadang bermaksud sebagai tanda marah
dan mengomelnya. Namun suara panggilan yang didengarnya sekarang hanya penuh
rasa cinta kasih yang mendalam. "Apakah karena dia telah mengetahui
penderitaanku selama ini secara penasaran makanya dia bertambah baik kepadaku?"
demikian Tik Hun bertanya pada diri sendiri.
Sesungguhnya Tik Hun tidak berani percaya kepada pendengarannya sendiri itu.
"Apa aku sedang mimpi" Sebab tidak mungkin Sumoay datang kekebun sayur ini"
Bukankah sudah lama ia menjadi isterinya Ban Ka, masakah dia dapat datang kesini
untuk mencari aku?" Namun demikian suara panggilan tadi berjangkit pula, bahkan sekali ini semakin
mendekat lagi. "Khong-sim-jay, dimanakah engkau bersembunyi?" demikian suara itu
dengan rasa senang dan penuh kasih-sayang.
Pelahan2 Tik Hun berdiri dan mengintip dari belakang tumpukan jerami. Ia melihat
seorang wanita berdiri membelakangi dirinya sedang mencari sesuatu. Ya, itulah
dia, memang tidak salah lagi, pinggangnya yang ramping, perawakannya yang
langsing, siapa lagi dia kalau bukan Jik Hong"
Terdengar ia sedang memanggil pula dengan tertawa: "Hayolah Khong-sim-jay, masih
engkau tidak mau keluar?" ~ dan mendadak wanita itu membalik tubuhnya
kebelakang. Seketika pandangan Tik Hun menjadi kabur dan kepalanya menjadi puyeng. Memang
benarlah gadis itu adalah Jik Hong. Biji matanya yang bundar besar dan hitam
pekat, hidungnya yang mancung, hanya kelihatan agak kurus sedikit hingga tidak
semontok dan segar seperti waktu masih berada dipedusunan didaerah Ouw-lam
dahulu. Akan tetapi gadis itu nyata2 adalah Jik Hong, benar2 adalah sang Sumoay
yang dicintainya dan dirindukannya senantiasa itu.
Dengan wajah yang masih ber-seri2 tawa, Jik Hong sedang me-manggil2 pula:
"Khong-sim-jay, hayolah, tidak lekas engkau keluar saja?"
Saking tak tahan segera Tik Hun bermaksud menyahut dan menemui Sumoay yang
senantiasa dirindukannya itu. Tapi belum lagi ia bertindak, mendadak teringat
olehnya: "Ting-toako sering mengatakan aku terlalu jujur, terlalu lugu dan
gampang ditipu orang. Kini Jik-sumoay sudah menikah dengan Ban Ka, hari ini Ciu
Kin terbinasa pula ditanganku, siapa berani menjamin bahwa Sumoay bukan lagi
sengaja memancing aku keluar?" ~ Berpikir demikian, hatinya menjadi dingin dan
urung unjuk diri. Ia dengar Jik Hong sedang me-manggil2 si Kubis pula. Kembali pendirian Tik Hun
goyah. Pikirnya: "Suara panggilannya sedemikian mesra penuh kasih-sayang, tentu
bukanlah pura2. Lagi- pula, jika dia benar2 inginkan jiwaku, biarlah kumati
dibawah tangannya saja!" ~ Sekali hatinya terasa pedih, ia menjadi nekat lagi.
Tapi belum lagi ia berbuat apa2, tiba2 terdengar suara ketawa seorang anak
perempuan kecil, menyusul anak itu telah berkata: "Mak, mak, aku berada disini!"
Ketika Tik Hun mengintai keluar jendela, ia lihat seorang anak perempuan berbaju
merah sedang ber-lari2 mendatangi dari sebelah sana. Cuma umur bocah itu masih
sangat muda, maka larinya masih belum kuat dan agak sempoyongan.
"Khong-sim-jay, kau bersembunyi dimana barusan?" terdengar Jik Hong menanya
dengan suaranya yang lemah lembut. "Dari tadi ibu mencari kau tak ketemu."
"Khong-sim-jay berada dikebun sayur sana melihat semut," sahut bocah itu dengan
senang. Seketika telinga Tik Hun serasa mendengung dan dadanya se-akan2 digodam orang
sekali. Sungguh ia tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Apa mungkin Sumoay
sudah punya anak" Apakah puterinya inilah yang bernama "Khong-sim-jay?" Jadi
panggilannya tadi ditujukan kepada puterinya yang kecil itu dan bukan memanggil
aku" Jadi secara tidak sengaja dirinya sekarang telah masuk sarang harimau pula,
yaitu rumahnya Ban Cin-san yang bikin celaka dirinya itu"
Begitulah Tik Hun menjadi bingung seketika. Selama beberapa tahun ini lapat2
dalam hati Tik Hun terdapat suatu harapan, ia mengharap semoga kelak dapat
melihat sang Sumoay itu toh tidak menikah dengan Ban Ka dan apa yang dikatakan
Sim Sia adalah bohong belaka. Pikirannya ini tidak berani dikatakannya kepada
Ting Tian, tapi hanya terkeram dilubuk hatinya sendiri. Terkadang bila ia
bertemu dengan Jik Hong didalam mimpi, sering ia meloncat bangun saking
girangnya. Tapi sekarang ia sendiri menyaksikan dan mendengar sendiri pula ada
seorang dara cilik sedang memanggil ibu kepada Jik Hong. Dari selah2 jendela
dapat dilihatnya Jik Hong sedang mengangsurkan kedua tangannya dan anak dara itu
terus menubruk kedalam pelukannya. Berulang kali Jik Hong telah menciumi pipi
bocah itu dan berkata dengan suara lembut: "Khong-sim-jay pintar main sendiri,
sungguh anak yang manis!"
Hanya dari sisi Tik Hun dapat melihat keadaan Jik Hong dengan alisnya yang masih
tetap lentik dan ujung mulutnya yang mungil, mukanya tampak sedikit lebih montok
daripada dulu, lebih putih halus dan lebih cantik. Kembali hati Tik Hun pedih:
"Selama ini engkau sudah menjadi nyonya Ban, engkau tidak perlu bercocok-tanam
lagi dibawah terik matahari dan kehujanan, dengan sendirinya badanmu lebih
terawat. Ia dengar Jik Hong sedang berkata pula: "Marilah Khong-sim-jay ikut ibu kembali
kekamar!" Disini sangat menyenangkan, Khong-sim-jay akan melihat semut lagi," demikian
sahut sidara cilik. "Jangan," kata Jik Hong. "Harini diluar ada orang jahat akan menculik anak
kecil. Lebih baik Khong-sim-jay ikut ibu pulang kekamar."
"Orang jahat apa" Kenapa mengganggu anak kecil?" tanya bocah itu.
"Dua orang jahat yang buas telah lolos dari penjara, maka ayah sedang pergi
menangkap orang jahat itu," kata Jik Hong sambil menarik tangan sianak. "Dan
kalau orang jahat itu lari kesini, Khong-sim-jay akan ditangkap olehnya. Maka,
marilah anak manis, marilah pulang kekamar, nanti ibu buatkan boneka kain, ya?"
"Tidak, Khong-sim-jay tidak suka boneka, tapi akan bantu ayah tangkap orang
jahat," sahut sibocah dengan bandel.
Mendengar dirinya dikatakan jahat dan buas, hati Tik Hun semakin lama semakin
mencelos. Dan pada saat itu, diluar kebun sana terdengar suara derapan kuda yang
riuh, beberapa penunggang kuda berlari lewat kesana. "Sret", tiba2 Jik Hong
melolos pedang yang terselip dipinggangnya dan berlari kepintu kebun.
Karena ditinggal sang ibu, anak perempuan tadi celingukan kian-kemari dan
pelahan2 mendekati pintu gudang kayu. Tik Hun tetap berdiri dipinggir jendela
dan tidak berani menggeser, kuatir kalau menerbitkan suara hingga mengagetkan
Jik Hong. Ya, maklum, sampai disini betapapun ia tidak sudi bertemu lagi dengan
sang Sumoay. Hal ini bukanlah karena dia merasa rendah diri atau menyesalkan
Pedang Kiri Pedang Kanan 6 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 5
aku tertarik oleh perkelahian yang ramai itu dan melongok kepantai melalui
jendela perahu. "Malam itu bulan sedang memancarkan sinarnya yang terang benderang hingga aku
dapat melihat jelas pertarungan dipantai itu. Kiranya ada tiga orang sedang
mengeroyok seorang tua. Ternyata ketiga pengeroyok itu sudah kukenal semua,
mereka adalah tokoh Bu-lim yang terkenal didaerah Liang-ouw (dua propinsi Ouw,
yaitu Ouw-lam dan Ouw-pak). Yang pertama bernama Ngo-in-jiu Ban-Cing-
san..........." "He, itulah Supekku!" seru Tik Hun tanpa merasa, walaupun tadi ia telah dipesan
jangan mengganggu cerita Ting Tian.
Ting Tian hanya melototinya sekejap, lalu meneruskan ceritanya: ......... dan
yang kedua adalah Liok-te-sin-liong (naga sakti di daratan) Gian Tat-
peng........" "Ehm, dia adalah Jisupekku!" kembali Tik Hun menyela.
Ting Tian tak menggubrisnya lagi dan tetap meneruskan: "Dan yang ketiga memakai
senjata pedang, gerak-geriknya sangat gesit, itulah Tiat-so-heng-kang Jik Tiang-
hoat." "Ha, Suhuku!" seru Tik Hun sambil meloncat kaget.
"Ya, memang benar ialah gurumu," kata Ting Tian dan menyambung pula: "Aku sudah
pernah beberapa kali bertemu dengan Ban Cin-san, maka cukup tahu ilmu silatnya
sangat hebat. Melihat mereka bertiga saudara perguruan mengeroyok seorang musuh,
kuyakin mereka pasti akan menang.
"Waktu aku perhatikan pula sikakek yang dikerubut itu, kulihat punggungnya sudah
terluka, darah mengucur terus dari lukanya itu. Ia tak bersenjata pula hingga
cuma menempur ketiga pengeroyoknya itu dengan bertangan kosong. Akan tetapi ilmu
silatnya ternyata jauh lebih tinggi daripada Ban Cin-san bertiga. Bagaimanapun
juga mereka bertiga tidak berani mendekati sikakek.
"Makin lama aku melihat, makin penasaran hatiku, Ban Cin-san bertiga selalu
melontarkan serangan2 yang mematikan, se-akan2 sikakek itu harus mereka bunuh.
Perbuatan mereka bertiga sesungguhnya tidak pantas, masakah tiga orang muda
mengerubut seorang tua. Tapi sedikitpun aku tidak berani bersuara, kuatir kalau
diketahui mereka hingga akan merugikan diriku sendiri. Sebab dalam urusan bunuh-
membunuh dikalangan Kangouw seperti itu bila dilihat orang luar, bukan mustahil
yang melihat itu akan dibunuhnya juga agar rahasianya tidak tersiar.
"Setelah lama sekali pertarungan sengit itu berlangsung, darah yang mengucur
dari punggung kakek itu semakin banyak, tenaganya lambat-laut menjadi habis. Se-
konyong2 orang tua itu berseru: "Baiklah, ini kuserahkan pada kalian!" ~
berbareng ia mengulur tangannya kedalam baju seperti sedang mengambil sesuatu.
Buru2 Ban Cin-san bertiga merubung maju, satu-sama-lain se-akan2 kuatir
ketinggalan rejeki. "Diluar dugaan sikakek mendadak memukul kedepan dengan kedua telapak tangannya,
karena terancam oleh serangan itu, terpaksa Ban Cin-san bertiga melompat mundur.
Kesempatan itu telah digunakan oleh sikakek untuk berlari ketepi sungai, plung,
ia menerjun kedalam sungai, Ban Cin-san bertiga tampak menjerit terkejut, cepat
mereka memburu ketepi sungai.
"Akan tetapi arus air yang mendampar dari arah Sam-kiap itu sangat derasnya,
betapa kerasnya arus sungai dimuara Sam-tau-peng itu, hanya sekejap saja
bayangan sikakek itu sudah lenyap. Tapi Suhumu masih belum putus asa, ia
melompat keatas perahuku, ia sambar galah situkang perahu terus digunakan untuk
mengaduk ketengah sungai. Sudah tentu hasilnya nihil alias nol besar!
"Lazimnya sesudah mematikan kakek itu, seharusnya Suhumu bertiga akan
kegirangan. Tapi aneh, wajah mereka justeru muram dan sangat menakutkan. Aku
tidak berani mengintip lebih jauh, cepat aku merebahkan diri ditempat tidurku
sambil berkerudung selimut. Sampai lama sekali lapat2 aku mendengar mereka
bertiga ribut mulut ditepi pantai, satu-sama-lain saling menyalahkan karena
lolosnya musuh. "Sesudah suara ribut ditepi pantai lenyap dan menunggu mereka bertiga sudah
pergi jauh, kemudian barulah aku berbangkit. Pada saat itulah tiba2 kudengar
situkang perahu diburitan sedang berseru kaget: "Tolong, ada setan!" ~ Cepat aku
memburu keburitan dan melihat ada seorang yang basah kuyup sedang merangkak,
lalu menggeletak digeladak perahu. Itulah dia sikakek yang menerjunkan diri
kedalam sungai tadi. Rupanya setelah ceburkan diri kedalam sungai, kakek itu
lantas selulup kebawah perahu dan memegang kencang dasar perahu dengan Tay-lik-
eng-jiau-kang yang lihay, setelah musuh pergi, barulah dia keluar dari bawah
air. "Lekas2 aku memayang orang tua itu kedalam perahu, kulihat keadaannya sudah
sangat payah, napasnya kempas-kempis, bicarapun takbisa lagi. Kupikir Ban Cin-
san bertiga boleh jadi masih belum putus asa dan akan datang kembali, atau
mungkin juga akan mencari mayat orang tua ini kemuara sungai sana. Terpengaruh
oleh jiwaku yang suka menolong sesamanya dan membela keadilan, kupikir jiwa
orang tua ini harus diselamatkan, dan agar jangan sampai dipergoki Ban Cin-san
bertiga segera aku minta situkang perahu menjalankan perahunya kehulu sungai,
menuju kearah Sam-kiap. Menjalankan perahu menyongsong arus air yang deras,
sudah tentu situkang perahu keberatan dan menolak, pula ditengah malam buta
susah mencari pandu kapal, menyusur kehulu Sam-kiap bukanlah suatu pekerjaan
mudah. Akan tetapi, hahaha, uang memang berkuasa. Setanpun doyan duit. Pendek
kata, achirnya situkang perahupun menurut keinginanku.
"Aku membawa obat luka, aku lantas mengobati luka orang tua itu. Luka
dipunggungnya ternyata sangat parah, bekas tusukan itu menembus paru2nya,
teranglah luka separah itu tidak mungkin disembuhkan. Namun aku berusaha sekuat
tenagaku untuk mengobatinya, segala apa aku tidak tanya padanya, sepanjang jalan
aku membelikan arak dan makanan2 yang enak untuknya. Aku sudah menyaksikan ilmu
silatnya dan dengan mata kepala sendiri melihat dia ceburkan diri kedalam
Tiangkang serta selulup dibawah air begitu lama, dari nilai kepandaiannya serta
keperkasaannya itu sudah cukup berharga bagiku unuk berkorban jiwa baginya.
"Setelah kurawat orang tua itu tiga hari, ia telah tanya namaku, lalu katanya
dengan tertawa getir: "Bagus, bagus!" ~ kemudian dikeluarkannya sebungkus kertas
minyak dari bajunya dan diserahkan padaku. Tanpa pikir kukatakan padanya:
'Silahkan Lotiang (bapak) beritahu dimana tempat tinggal sanak keluargamu,
barang Lotiang ini pasti akan kuhantarkan padanya, jangan engkau kuatir" ~ Orang
tua itu tidak menjawab, sebaliknya tanya padaku: "Tahukah kau siapa diriku?" ~
Aku menjawab tidak tahu. Maka katanya pula: 'Aku adalah Bwe Liam-seng.' ~
Sungguh kejutku tak terkatakan demi mengetahui siapa gerangan sikakek itu."
Dan ketika melihat Tik Hun mendengarkan ceritanya itu dengan melongo tanpa
mengunjuk sesuatu perasaan apa2, segera ia menegurnya: "He, engkau tidak heran
oleh nama orang tua itu" Siapakah Bwe Liam-seng itu, apakah engkau tidak tahu"
Ialah Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng. Engkau benar2 tidak kenal nama itu?"
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Selamanya aku tidak pernah mendengar nama
orang itu." "Hehe, pantas saja, sudah tentu Suhumu tak mungkin mengatakan padamu," jengek
Tiang Tian dengan tertawa dingin. "Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng adalah tokoh
Bu-lim terkemuka dipropinsi Ouwlam. Dia mempunyai tiga orang murid, yang tertua
bernama Ban Cin-san, murid kedua bernama Gian Tat-peng dan murid ketiga
bernama........." "Apa katamu Ting........ Ting-taoko" Jadi orang tua itu kakek-guruku?" seru Tik
Hun. "Ya, murid ketiganya memang Jik Tiang-hoat adanya," sahut Ting Tian. "Kagetku
waktu mendengar dia mengaku sebagai Bwe Liam-seng juga kurang kagetnya seperti
engkau sekarang ini. Aku sendiri menyaksikan pertarungan sengit ditepi pantai
dibawah sinar bulan purnama itu dan melihat betapa ganasnya Ban Cin-san bertiga
hendak mematikan guru mereka, maka tidak heran kagetku jauh diatas kagetmu sekarang.
"Dengan tersenyum getir lalu Bwee-losiansing berkata kepadaku, 'Muridku yang
ketiga itu paling lihay, lebih dulu punggungku telah ditusuk olehnya secara
mendadak, terpaksa aku menyeburkan diri kesungai untuk menyelamatkan diri.' ~
Aku diam saja, aku tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya. Kupikir mereka
guru dan murid berempat saling gebrak dengan mati2an, tentulah disebabkan oleh
sesuatu urusan yang maha penting, aku adalah orang luar, tidak enak untuk ikut
tahu urusan dalam mereka, maka akupun tidak tanya lebih banyak.
Tapi Bwe-losiansing lantas berkata pula: 'Didunia ini aku cuma mempunyai tiga
orang murid yang kuanggap sebagai anak sendiri. Siapa duga demi untuk mengincar
sejilid Kiam-boh, mereka tidak segan2 untuk membunuh guru. Hehe, sungguh murid
baik, murid pintar! Kini Kiam-boh yang diincar itu memang sudah kena mereka
rebut, tapi apa gunanya kalau tidak ada Kiam-koat (tanda2 rahasia, kunci
daripada ilmu pedang) yang lebih penting itu" Betapapun bagusnya Soh-sim-kiam-
hoat masakah dapat menandingi Sin-ciau-kang" Biarlah sekarang juga kukatakan
Kiam-koat dari Soh-sim-kiam-hoat dan kuberikan juga Sin-ciau-keng (kitab ilmu
pancaran sukma) padamu, harap engkau melatihnya dengan baik2. Pabila Sin-ciau-
kang berhasil engkau yakinkan, pastilah engkau tiada tandingannya didunia ini,
maka jangan sekali2 salah mengajarkan lagi kepada orang jahat, ~ demikianlah
asal-usul aku mendapatkan Sin-ciau-keng hingga berhasil kuyakinkan seperti
sekarang ini. "Selesai Bwe-losiansing berkata, tiada dua jam kemudian iapun meninggal. Aku
telah menguburnya ditepi pantai Bu-kiap (selat Bu diantara Sam-kiap). Waktu itu
aku tidak sadar bahwa Kiam-boh dan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam yang diperebutkan
itu mempunyai latar belakang yang begitu penting, kusangka cuma perebutan
sejilid kitab ilmu pedang diantara perguruan mereka, makanya tidak pikir harus
menjaga rahasia menginggalnya Bwe-losiansing, tapi aku telah mendirikan batu
nisan diatas kuburannya dengan tulisan: 'Disinilah kuburan Liang-ouw-tayhiap Bwe
Liam-seng'. Dan justeru karena batu nisan itulah telah mengakibatkan aku
kebentur banyak kesukaran2 yang tiada habis2nya. Segera ada orang mencari
keterangan mulai dari batu nisan itu, melalui situkang batu, tukang perahu dan
achirnya dapat diketahui akulah yang mendirikan batu nisan itu, diketahui pula
akulah yang mengebumikan Bwe-losiansing, dan dengan sendirinya mereka yakin
barang tinggalan Bwe-losiansing pasti telah jatuh kedalam tanganku semua.
"Benar juga, tiga bulan kemudian rumahku lantas kedatangan seorang Kangouw.
Pendatang itu sangat sopan, tapi bicaranya melantur dan ber-tele2 tak keruan
ujung pangkalnya. Tapi sampai achirnya ketahuan juga maksud tujuan kunjungannya
itu. Ia mengatakan ada sebuah peta tentang suatu harta karun berada dalam
simpanan Bwe-losiansing, tentunya peta itu kini sudah berada padaku, maka aku
diminta suka mengunjukkan peta itu untuk dipelajari bersama dengan dia, pabila
harta karun itu dapat diketemukan, aku akan diberi tujuh bagian dan dia cukup
tiga bagian saja. "Kupikir apa yang diberikan Bwe-losiansing padaku cuma semacam kunci rahasia
melatih Lwekang yang tinggi serta beberapa kalimat rahasia dari Soh-sim-kiam
yang hanya terdiri dari beberapa angka saja, kecuali itu tiada apa2 lagi,
masakan ada peta harta karun segala seperti apa yang dikatakan. Karena itu aku
lantas mengatakan terus terang, tapi orang itu tetap tidak percaya dan minta aku
unjukan kunci rahasia ilmu silat itu padanya. Padahal waktu Bwe-losiansing
menyerahkan warisannya itu kepadaku telah memberi pesan agar jangan sekali2
salah diajarkan lagi kepada orang jahat. Dengan sendirinya akupun menolak
permintaan orang itu. Maka dengan tidak senang pergilah orang itu. Tapi tiga
hari kemudian ia telah menggerayangi rumahku ditengah malam hingga bergebrak
dengan aku, achirnya pundaknya kulukai dan melarikan diri.
"Dan sekali beritanya tersiar, orang yang datang mencari aku menjadi semakin
banyak, keruan aku kewalahan melayani mereka. Sampai achirnya Ban Cin-san
sendiri juga datang menyelidiki diriku. Untuk menetap terus dirumah sendiri
terang tidak aman, terpaksa aku harus menyingkir jauh2 dengan berganti nama dan
tukar she. Aku menyingkir keluar perbatasan dan mengusahakan peternakan disana.
Setelah lewat 7-8 tahun, setelah suasana agak reda, pula sudah sangat merindukan
kampung halaman, maka diam2 aku menyamar dan pulang ke Heng-bun. Siapa duga
rumah tinggalku sudah lama dibakar orang menjadi puing, baiknya aku memang tidak
punya sanak-kadang apa2, dengan demikian aku menjadi bebas malah dan tidak perlu
memikirkan apa2 lagi.........."
Dengan bingung dan kusut pikirannya Tik Hun mengikuti cerita Ting Tian tentang
asal-usulnya Sin-ciau-keng itu. Hendak tidak percaya kepada apa yang dikatakan
sang Toako itu, namun selama ini Ting-toako itu tidak pernah sekalipun bohong
padanya, apalagi hubungan mereka sekarang sudah bagai saudara sekandung, untuk
apa sang Toako mendustainya dengan sengaja mengarang dongengan2 bohong itu" Tapi
kalau percaya, masakah Suhu yang sangat dihormati dan dikenalnya sangat jujur
dan sederhana itu ternyata adalah seorang manusia yang begitu keji dan culas"
Ia lihat muka Ting Tian ber-kerut2, agaknya racun sedang menjalar dengan
hebatnya, maka cepat katanya: "Ting-toako, tentang perselisihan antara Suhuku
dan Thaysuhu itu tidak perlu kupusingkan. Yang penting sekarang hendaklah engkau
coba pikirkan apakah........... apakah ada sesuatu akal untuk menyembuhkan racun
ditubuhmu?" "Sudahlah, aku telah minta engkau jangan menyela ceritaku hendaklah engkau
mendengarkan dengan diam," sahut Ting Tian dan melanjutkan ceritanya: "Sampai
achirnya kira2 didalam bulan sembilan pada delapan tahun yang lalu, waktu itu
aku berada dikota Hankau untuk menjual sedikit Jinsom dan bahan obat lainnya
yang kubawa dari Kwangwa.(Kwangwa = diluar Kwan atau diluar perbatasan Yang
diartikan Kwan adalah tembok besar yang merupakan perbatasan dijaman itu).
"Pemilik toko obat yang suka membeli barang daganganku itu adalah seorang yang
suka keindahan, selesai mengadakan transaksi dagang dengan aku, Ia lantas
mengajak aku pergi melihat 'Kiok-hoa-hwe' (Kiok-hoa-hwe = pameran bunga Seruni.
Kegemaran bunga Seruni di Tiongkok sama halnya dengan kegemaran bunga Anggrek di
negeri lain.) yang terkenal dikota itu. Bunga seruni yang dipamerkan didalam
Kiok-hoa-hwe itu ternyata sangat banyak dan terdiri dan jenis2 pilihan. Yang
berwarna kuning antara lain terdapat jenis Ui-ho-ek, Kim-khong-jiok, Eng-uh-wi
dan lain2; Yang berwarna merah antara lain adalah Bi-jin-hong, Cui-kui-hui dan
lain2, yang berwarna putih ada: Gwe-boh-tan, Tiau-Sian-pay-gwe dan macam2 lagi;
yang ungu terdapat: Ci-giok-lian, Ci-lo-lan, Ci-he-siau, dan lain2 dan yang
jambon terdapat: Ang-hun-wan, Se-si-hun, dan banyak lagi lainnya........"
Begitulah Ting Tian menguraikan nama2 bunga seruni dengan lancar dan tanpa pikir
se-akan2 jauh lebih apal baginya daripada nama2 gerak tipu ilmu silatnya.
Semula Tik Hun heran oleh pengetahuan Ting Tian yang luar dalam hal bunga seruni
itu, tapi segera ia menjadi teringat bahwa Ting-toako itu memang seorang
penggemar bunga. Ia hubungkan pula dengan bunga segar yang selalu menghias
didalam pot bunga yang tertaruh diambang jendela gedung bersusun itu, maka
tahulah Tik Hun duduknya perkara, tentu Ting-toako ini dengan Leng-siocia itu
mempunyai kesukaan yang sama dan sama2 pula merupakan ahli bunga.
Waktu bercerita tentang pameran bunga itu, tertampak Ting Tian selalu mengulum
senyuman bahagia, sikapnya sangat ramah dan lemah lembut. Terdengar ia
melanjutkan ceritanya: "Sungguh menawan hati pameran bunga Seruni itu sembari
menikmati akupun tidak habis2nya memuji dan menyebut nama2 bunga yang dipamerkan
itu. Tapi dimana ada yang jelek, akupun lantas memberi penilaian yang tegas.
Habis menikmati bunga2 itu, ketika hampir keluar dari taman pameran, aku telah
berkata kepadaku kawanku sipemilik toko obat itu: "Pameran ini boleh dikatakan
sudahlah berhasil, cuma sayang tidak terdapat Seruni warna hijau.' ~ Tiba2
kudengar suara seorang nona kecil menanggapi ucapanku itu dibelakang: 'Siocia,
orang ini tahu juga kalau Seruni ada yang berwarna hijau. Memangnya 'Jun-sui-
pek-poh' dan 'Lik-giok-ji-ih' dirumah kita itu masakah dapat sembarangan
dinikmati orang biasa"'
"Cepat aku menoleh, kulihat dibelakangku ada seorang gadis jelita sedang
menikmati bunga Seruni yang dipamerkan itu. Gadis itu memakai baju kuning muda,
cantik dan sederhana seperti Seruni dalam pameran itu. Sungguh selama hidupku
belum pernah kulihat seorang nona secantik seperti itu. Disampingnya tampak
mengiring seorang pelayan kecil berumur belasan. Melihat aku berpaling dan
memandangnya, Siocia itu menjadi merah mukanya, dengan pelahan ia berkata
kepadaku: 'Maaf tuan, harap jangan marah karena ocehan budak cilik yang tidak
tahu aturan ini'. ~ Seketika aku terkesima hingga sepatah katapun aku tidak
sanggup bersuara. "Dengan ter-mangu2 aku mengikuti jejak Siocia itu hingga dia meninggalkan taman
pameran itu. Melihat aku terkesima begitu rupa, kawanku sipemilik toko obat
lantas berkata kepadaku: 'Siocia ini adalah anak gadis keluarga Leng-hanlim
dikota Bu-han (Bu-jiang dan Han-kauw) kita ini. Tentu saja lain daripada yang
lain bunga yang terdapat dirumahnya itu.'
"Sekeluarnya dari taman pameran dan berpisah dengan kawanku, sepanjang jalan
hingga sampai dikamar hotelku, dalam benakku waktu itu melulu terbayang kepada
Siocia yang cantik itu saja. Lewat lohor, aku lantas menyeberang ke Bu-jiang,
setelah tanya tempatnya, aku lantas menuju kerumah Leng-hanlim (han-lim = gelar
ujian sastra jaman khala Beng dan Cing). Sudah tentu aku menjadi ragu2, tidak
mungkin aku masuk kerumah orang begitu saja, padahal masing2 tidak kenal
mengenal. Maka aku cuma mondar-mandir saja didepan rumah, kulihat ada beberapa
anak kecil sedang memain dipelataran situ. Hatiku dak-dik-duk ber-debar2 dengan
macam2 perasaan, aku merasa girang dan merasa takut2 pula. Aku memaki diriku
sendiri yang semberono itu. Tatkala itu usiaku sudah cukup dewasa, tapi
kelakuanku waktu itu mirip seperti pemuda remaja yang baru saja untuk pertama
kalinya jatuh kedalam jaring2 asmara!"
Terkenang kepada masa pertemuannya dengan puteri Leng-hanlim dipameran bunga
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seruni dahulu, wajah Ting Tian menampilkan semacam cahaya yang aneh, sorot
matanya juga terang penuh semangat.
Tapi Tik Hun justeru merasa kuatir kalau2 sang Toako itu mendadak kehabisan
tenaga, maka katanya: "Ting-toako, lebih baik engkau berbaringlah mengaso dengan
tenang. Biarlah kupergi mencari seorang tabib, aku tidak percaya bahwa engkau
benar2 tak dapat disembuhkan." ~ sembari berkata, terus saja ia berbangkit
hendak pergi. Tapi cepat Ting Tian telah menarik lengannya dan berkata: "Begini dandananmu
engkau hendak pergi mencari tabib, apa engkau mencari kematian sendiri?" ~ dan
setelah merandek sejenak, lalu katanya pula sambil menghela napas: "Tik-hiantit,
tempo hari waktu engkau mengetahui Sumoaymu sudah menikah dengan orang lain,
saking menyesalnya sampai engkau hendak menggantung diri. Sumoaymu itu tak
berbudi dan menghianati kau, tiada harganya engkau mesti mati baginya."
"Benar, selama beberapa tahun ini akupun sudah insaf," sahut Tik Hun.
"Akan tetapi bila Sumoaymu benar2 cinta padamu dan achirnya rela mati bagimu,
maka engkaupun harus mati juga baginya," ujar Ting Tian.
Mendengar itu, tiba2 Tik Hun menjadi sadar, tanyanya segera: "Jadi kematian
Leng-siocia itu adalah demi engkau?"
"Ya," sahut Ting Tian tegas. "Dia mati bagiku, maka sekarang akupun rela mati
untuknya. Hatiku kini sangat senang. Cintanya padaku sangat mendalam,
aku ........ akupun sangat mencintainya. Tik-hiantit, jangankan racun yang
mengenai tubuhku ini memang tiada obat yang dapat menyembuhkannya, sekalipun
dapat disembuhkan juga aku tidak mau diobati."
Se-konyong2 perasaan Tik Hun menjadi hampa, timbul semacam rasa duka yang sulit
dilukiskan. Yang utama sudah tentu disebabkan sedih menghadapi ajal sang Toako
itu, namun dalam lubuk hatinya sebaliknya malah rada mengagumi keberuntungannya,
sebab paling tidak didunia ini terdapat seorang gadis yang benar2 telah
mencintainya dengan hatinya yang suci murni dan rela mati baginya, sebaliknya
sang Toako itupun membalas cinta murni kekasihnya dengan sama sucinya. Tetapi
bagaimana dengan dirinya" Ya, bagaimana dengan dirinya sendiri"
Melihat pemuda itu tepekur, pelahan2 Ting Tian memegang tangannya dan tenggelam
pula dalam lamunannya pada masa yang lampau. Kemudian tuturnya pula: "Begitulah
aku terus mondar-mandir selama beberapa jam didepan gedung Leng-hanlim itu
hingga magrib sudah tiba masih tidak merasa lelah dan lupa lapar. Aku sendiripun
tidak tahu sebenarnya apakah yang kuharapkan disitu?"
"Hari sudah mulai gelap, tapi aku tetap belum pikir untuk pergi dari situ. Tiba2
saja dari pintu kecil disamping gedung itu keluar seorang gadis kecil dan
menghampiri aku pelahan2, lalu bisiknya kepadaku dengan lirih: 'Tolol, kenapa
berada disini terus" Siocia mengharapkan engkau pulang sajalah!' ~ Ketika
kuperhatikan, eh kiranya adalah pelayan kecil yang mengiringi Leng-siocia waktu
menonton pameran Seruni itu. Hatiku menjadi ber-debar2, dengan ter-gagap2 aku
menjawab: 'Ap....... Apa katamu"' ~ Dengan tertawa pelayan kecil itu berkata
pula: 'Siocia telah bertaruhan dengan aku mengenai kapan engkau akan pergi dari
sini. Sampai sekarang aku sudah menangkan dua cincin perak dan engkau masih
belum mau pergi"' "Aku bergirang tercampur gugup, tanyaku cepat: 'Jadi..... jadi Siociamu sejak
tadi sudah tahu bahwa aku berada disini"' ~ Pelayan cilik itu tertawa, sahutnya:
'Malahan sudah beberapa kali aku melongok keluar, tapi engkau tetap tidak
mengetahui aku, rupanya semangatmu sudah terbang ke-awang2 bukan"' ~ Habis itu,
ia lantas putar tubuh hendak masuk lagi. Cepat kuberseru: 'Nanti dulu, Cici!' ~
Ia berpaling dan menanya: 'Ada apa lagi"' ~ Maka berkatalah aku: 'Kata Cici,
didalam gedung kalian ini terpelihara beberapa jenis Lik-kiok-hoa (seruni
hijau), maka aku sangat ingin melihatnya.' ~ Gadis itu angguk2, ia tuding sebuah
loteng berlabur merah diujung belakang gedung itu dan berkata: 'Baiklah, akan
kusampaikan permintaanmu kepada Siocia, pabila beliau meluluskan, tentu akan
taruh bunga2 itu diatas ambang jendela diatas loteng berlabur merah itu!'
"Semalam suntuk itu aku duduk menunggu diluar gedung Leng-hanlim itu. Sungguh
Hokkhi-ku memang besar, Tik-hiantit, esok paginya diambang jendela loteng yang
dikatakan itu benar2 muncul dua pot bunga Seruni berwarna hijau pupus. Kukenal
Seruni salah satu pot itu bernama 'Jun-cui-pik-poh' (air dimusim semi beriak
menghijau) dan pot yang lain bernama 'Pek-giok-ju-ih' (kemala yijau sesuai
keinginan). Kedua pot bunga Seruni itu benar2 sangat indah, akan tetapi yang
terpikir olehku hanya orang yang menaruh kedua pot bunga itu. Itulah dia,
kulihat dibalik tirai jendela itu ada sebuah wajah yang paling cantik didunia
ini sedang mengintip kearahku, hanya separoh wajahnya kelihatan, ia memandang
sekejap kepadaku, mendadak mukanya merah jengah terus menghilang dibalik tirai
dan untuk selanjutnya tidak muncul lagi."
"Tik-hiantit, engkau tahu sendiri, begini jelek muka Ting-toakomu ini, gagah
tidak, ganteng tidak, kaya tidak, pangkatpun tidak, mana aku berani mengharapkan
cinta seorang gadis secantik itu" Akan tetapi sejak itu setiap pagi aku pasti
datang keluar taman keluarga Leng dan memandang ter-mangu2 hingga lama. Rupanya
Leng-siocia juga tidak pernah melupakan daku, setiap hari ia pasti mengganti
sebuah pot bunga yang segar dan ditaruh diambang jendela loteng."
"Keadaan begitu berlangsung lebih dari sembilan bulan, tidak peduli hujan angin
atau hujan salju, setiap pagi aku pasti pergi menikmati keindahan bunga,
sebaliknya Leng-siocia juga tidak pernah mengenal bosan untuk selalu mengganti
sebuah pot bunga yang segar lagi indah. Setiap hari ia cuma memandang sekejap
padaku dan tidak lebih. Setiap kali memandang, tentu wajahnya bersemu merah,
lalu menghilang dibalik tirai. Dan setiap hari asal kulihat kerlingan matanya
dan semu diwajahnya, rasaku sudah puas dan bahagia untuk selamanya. Tidak pernah
ia bicara padaku, akupun tidak berani mengajak bicara padanya. Kalau mau, dengan
ilmu silatku sebenarnya aku dapat melompat keatas lotengnya dengan sangat mudah.
Akan tetapi selama itu sedikitpun aku tidak berani mengunjuk kekasaran padanya.
Untuk menulis surat pernyataan cinta padanya aku lebih2 tidak berani lagi."
"Suatu malam pada tanggal 5 bulan 2 dalam tahun itu, pondokku telah kedatangan
dua orang Hweshio dan serentak aku diserang. Kiranya Hweshio2 itu telah mendapat
kabar dan ingin merebut Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku. Paderi2 itu
adalah dua diantara kelima Hweshio dari Bi-cong-ngo-hiong itu. Satu diantaranya
telah kubinasakan tempo hari didalam penjara dan telah disaksikan sendiri
olehmu. Namun tatkala itu aku belum berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ilmu
silatku jauh dibawah mereka, aku terluka parah dihajar mereka, hampir2 jiwaku
melayang, untung aku sempat sembunyi ditengah onggok rumput dikandang kuda.
Karena lukaku itu, aku mesti menggeletak selama lebih tiga bulan baru achirnya
dapat paksakan diri berbangkit. Begitu aku dapat berbangkit, segera aku
menggunakan tongkat dan datang keluar taman keluarga Leng dengan berincang-
incuk. Akan tetapi aku menjadi kecewa, setiba aku disana, suasananya sudah
berubah sama sekali. Kucoba tanya tetangga disekitar situ dan mengetahui
keluarga Leng itu sudah berpindah rumah pada tiga bulan yang lalu. Kemana
pindahnya ternyata tiada seorangpun yang tahu."
"Coba bayangkanlah, Tik-hiantit, betapa kecewa dan pedih hatiku pada waktu itu
sungguh jauh lebih hebat daripada racun yang mengenai badanku sekarang ini. Aku
merasa heran, Leng-hanlim adalah tokoh kenamaan dikota Bu-jiang ini, kemana
beliau berpindah rumah masakah sama sekali tiada yang tahu" Namun memang
begitulah keadaannya, meski aku sudah menyelidiki kesana dan kesini, tidak
sedikit aku korban harta dan tenaga, toh tetap tidak memperoleh sesuatu kabar
apa2. Aku yakin dibalik kepindahan keluarga Leng secara rahasia itu pasti ada
sesuatu yang mencurigakan, kalau bukan Leng-hanlim ingin menghindari datangnya
musuh, tentu ada sebab2 lain yang luar biasa hingga mesti pindah rumah secara
mendadak. Dan secara kebetulan yalah diwaktu aku terluka parah itulah, mereka
lantas pindah rumah."
"Sejak itu aku menjadi seperti orang linglung, aku tidak dapat bekerja dengan
tenang, achirnya aku terluntang-lantung di-kangouw tanpa sesuatu pekerjaan yang
benar. Dasar rejekiku memang setinggi langit, suatu hari, ketika aku sedang
minum disuatu kedai dikota Tiangsah, tanpa sengaja aku telah mendengar
percakapan dua orang gembong Pang-hwe (perkumpulan rahasia) yang lagi berunding
hendak pergi ke Heng-ciu untuk mencari Ban Cing-san, katanya hendak merebut Soh-
sim-kiam-boh dari orang she Ban itu."
"Kupikir sebabnya Ban Cing-san bertiga saudara perguruan tempo hari berani
berdurhaka hendak membunuh guru mereka, pangkal utamanya adalah karena hendak
merebut Kiam-boh yang dimaksudkan itu. Sebenarnya apa macamnya Kiam-boh itu, aku
menjadi ingin melihatnya juga. Maka diam2 aku menguntit kedua gembong Pang-hwe
itu ke Kang-leng (nama lain dari Heng-ciu pada jaman itu). Cita2 kedua gembong
Pang-hwe itu memang boleh juga, tapi napsu besar tenaga kurang, begitu kepergok
Ban Cin-san mereka lantas keok dan kena ditangkap serta digusur kepada pembesar
Kanglenghu. Karena iseng, aku ikut2 pergi melihat keramaian dalam pemeriksaan
kedua pesakitan itu."
"Setiba didepan kantor Kanglenghu dan membaca papan pengumuman didepan kantor
itu, sungguh girangku laksana orang putus lotre 10 juta. Kiranya Leng-tihu itu
tak-lain-tak-bukan adalah ayahnya Leng-siocia, Leng Dwe-su adanya. Malamnya,
diam2 aku membawa satu pot bunga mawar untuk ditaruh didepan jendela diatas
loteng belakang tempat tinggal Leng-siocia, lalu aku menunggu dibawah loteng
situ semalam suntuk. Esok paginya ketika Leng-siocia membuka jendela dan melihat
pot bunga itu, ia telah berseru kaget sekali, tapi segera iapun dapat melihat
diriku. Sudah lebih setahun kami tidak bertemu dan masing2 sudah menyangka
selama hidup ini takkan bersua kembali. Kini dapat berjumpa lagi, sudah tentu
sama2 girang tak terkatakan. Leng-siocia memandangi aku sejenak untuk kemudian
menutup pula jendelanya dengan muka merah. Ketika hari kedua bertemu pula,
mulailah ia buka suara, tanyanya padaku: 'Apakah engkau jatuh sakit" Engkau
telah banyak lebih kurus!'"
"Sungguh rasa bahagiaku waktu itu susah dilukiskan. Untuk hari2 selanjutnya
hidupku bukan lagi hidup manusia, tapi lebih menyerupai hidup dewata disorga.
Ya, sekalipun dewata rasanya juga tidak sebahagia seperti aku pada waktu itu.
Setiap malam, bila orang lain sudah pergi tidur, aku lantas mendatangi loteng
Leng-siocia untuk mengajaknya keluar dan ber-jalan2 disekitar rimba pegunungan
diluar kota Kangleng. Kami senantiasa bergaul secara sopan, sedikitpun tidak
pernah menyeleweng dari adat istiadat. Tapi segala isi hati kamipun dibicarakan
secara terbuka, jauh lebih akrab daripada sobat karib umumnya."
"Pada suatu malam Leng-siocia telah menuturkan suatu rahasia besar kepadaku.
Kiranya ayahnya meski ikut ujian sastra dan mendapat gelar Hanlim, tapi
sebenarnya adalah Toaliongthau (kepala) dari Liong-soa-pang yang sangat
berpengaruh diwilayah Liang-ouw (Ouwlam dan Ouwpak). Karena Leng-siocia adalah
dewi pujaanku, dengan sendirinya akupun sangat menghormati ayahnya, maka akupun
tidak heran oleh ceritanya itu."
"Pada suatu malam lagi, kembali Leng-siocia menceritakan padaku bahwa sebabnya
ayahnya tidak mau menjadi Hanlim yang dihormati tapi tanpa tugas itu, malahan
sengaja membuang ber-laksa2 tahil perak dan dengan susah payah menyogok pembesar
pusat hingga ayahnya diangkat menjadi Tihu dari kota Hengciu, dibalik itu
sebenarnya memang ada sesuatu maksud tujuan tertentu."
"Kiranya ayahnya telah memperoleh ilham dari kitab sejarah yang pernah dibacanya
bahwa disesuatu tempat didalam kota Hengciu itu pasti terpendam suatu partai
harta karun yang tak ternilai jumlahnya. Menurut keterangan yang dibaca, dijaman
jnasti Liang (502-557) dimasa Lak-tiau atau Lam-pak-tiau (Tiongkok selatan dan
utara, 420-581), setelah kaisar Liang-bu-te wafat oleh karena pemberontakan Hou
Keng, tahta digantikan oleh Liang-bun-te, tapi kaisar ini ditewaskan pula oleh
Hou Keng, kemudian pangeran Siang-tong-ong Siau Tik naik tachta dikota Kangleng
dengan gelar Liang-goan-te. Tapi Liang-goan-te ini terlalu lemah dan tidak becus
mengurus negaranya, yang dipentingkan cuma mengumpulkan harta-benda pribadi atas
derita rakyat jelata, hanya tiga tahun ia menjadi raja di Kangleng, tapi harta-
benda yang dikeduknya sudah tak ternilai jumlahnya. Pada tahun ketiga itulah
kerajaan Gui menyerang Kangleng dan Liang-goan-te terbunuh. Pada hari tamatnya
Liang-goan-te itu, raja yang lalim itu telah membakar habis perpustakaan negara
yang berisi kitab2 berharga tidak kurang dari 140 ribu jilid jumlahnya. Akan
tetapi dimana ia menyembunyikan harta bendanya hasil pemerasan darah-keringat
rakyat itu ternyata tiada seorangpun yang tahu. Guna menyelidiki harta karun
yang besar jumlahnya itu, panglima tentara Gui yang bernama Ih Kin telah menawan
ber-ribu2 orang yang disangkanya tahu rahasia tempat harta karun itu
disembunyikan, namun meski orang2 itu disiksa dan dibunuh toh tetap tiada
sesuatu keterangan yang diperoleh. Achirnya karena kuatir tempat pendaman harta
karun itu dikemudian hari mungkin akan dikeduk oleh orang yang mengetahui,
panglima kejam itu tidak berbuat kepalang tanggung lagi, antero penduduk
Kangleng lantas digiring semua ke Tiangan, yaitu ibukota kerajaan Gui. Beratus
ribu penduduk Kangleng itu belum lagi tiba di Tiangan sudah terbunuh atau
dipendam hidup2 ditengah jalan hingga tiada seorangpun yang lolos. Karena
itulah, selama be-ratus2 tahun rahasia tentang harta karun itu tetap tidak
terbongkar, dan lambat-laun tiada seorangpun yang tahu lagi."
"Menurut cerita Leng-siocia, ayahnya telah mengorbankan temponya selama 7-8
tahun untuk membongkar arsip sejarah kota Kangleng serta mempelajari segala
catatan dan kitab kuno, maka dapatlah dipastikan bahwa harta karun yang
dikumpulkan Liang-goan-te itu tentu dipendam di sesuatu tempat di sekitar kota
Kangleng ini. Raja Liang-goan-te itu sangat kejam, bukan mustahil setelah dia
menyembunyikan harta-bendanya itu, lalu petugas2 yang mengetahui rahasianya itu
terus dibunuhnya semua. Makanya Ih Kin, itu panglima tentara Gui, meski
betapapun kejamnya dia menyiksa rakyat untuk menyelidiki tempat harta karun itu
dipendam, namun tetap tiada sedikitpun keterangan yang diperolehnya."
Mendengar sampai disini, satu-persatu tanda tanya yang meliputi hati Tik Hun
menjadi terjawab dan terang. Tanyanya kemudian: "Ting-toako, jika begitu, engkau
tentu mengetahui rahasia tempat harta karun itu bukan" Makanya begitu banyak
orang yang mencari engkau kedalam penjara, tentu karena merekapun ingin
mendapatkan harta terpendam itu."
Ting Tian tidak menjawab, dengan tersenyum getir ia meneruskan ceritanya pula:
"Setelah mendengar cerita Leng-siocia itu, waktu itu aku merasa ayahnya
sesungguhnya terlalu serakah. Dia sudah 'Bun-bu-coan-cay' (serba pandai ilmu
silat dan sastra), sudah kaya lagi berpangkat, kenapa masih mengincar harta
karun apa segala" ~ Kemudian ketika aku berbicara tentang macam2 kejadian dan
pengalaman Kangouw, dengan sendirinya akupun menceritakan padanya tentang
peristiwa Ban Cing-san bertiga saudara perguruan mengeroyok guru mereka untuk
merebut Kiam-boh ditepi sungai Tiangkang itu. Dengan terus terang akupun
menceritakan tentang Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat yang kumiliki itu
kepadanya." "Dengan begitulah kami telah lewatkan hari bahagia selama setengahan tahun. Pada
hari tanggal 14 bulan tujuh tahun itu, Leng-siocia telah berkata kepadaku:
'Engkoh Tian, hubungan kita ini betapapun harus dibicarakan kepada Tia-tia untuk
minta persetujuannya, habis itu kita tidak perlu lagi pakai sembunyi2 seperti
sekarang ini.........." ~ baru berkata sekian ia sudah lantas susupkan kepalanya
kepangkuanku saking malunya."
"Maka aku menjawab: 'Tapi engkau adalah Jian-kim-siocia (puteri bernilai ribuan
emas, maksudnya puteri keluarga hartawan atau bangsawan), aku kuatir ayahmu akan
memandang hina padaku.' ~ Leng-siocia menyahut: 'Leluhurku sebenarnya juga orang
kalangan persilatan, hanya ayahku sekarang telah menjadi pembesar negeri, dan
akupun tidak bisa ilmu silat sedikitpun. Namun ayah paling sayang padaku, sejak
ibuku meninggal, setiap permintaanku pasti diluluskan oleh beliau.'
"Mendengar ucapannya itu, sudah tentu girangku tak terkatakan. Siang harinya aku
biasanya tidur, tapi hari tanggal 15 bulan tujuh itu sehari suntuk aku tidak
dapat memejamkan mataku barang sedetikpun. Sampai tengah malam, kembali aku
menjumpai Leng-siocia diatas lotengnya. Begitu bertemu, dengan wajah merah ia
lantas berkata: 'Kata ayah, segala apa terserahlah kepada keinginanku.' ~ Keruan
girangku melebihi orang putus lotre 100 juta. Saking senangnya sampai aku tak
sanggup bersuara, untuk beberapa saat lamanya kami cuma dapat saling pandang
dengan tertawa. "Kemudian kami bergandengan tangan turun dari loteng, sampai ditaman, dibawah
sinar sang dewi malam yang terang benderang, tiba2 kulihat diantara bunga2
disitu telah bertambah beberapa pot bunga yang berwarna kuning indah bagai emas
yang gemilapan. Bentuk bunga kuning itu rada mirip bunga teratai, cuma lebih
kecil. Kami berdua memangnya adalah penggemar bunga, segera kami menghampiri
bunga kuning itu untuk menikmatinya. Leng-siocia ber-kecak2 merasa heran dan
menyatakan tidak pernah melihat bunga kuning seindah itu. Segera kami bersama
mendekatkan hidung untuk mencium bunga itu agar mengetahui sampai dimana bau
harum bunga itu......."
Waktu mendengar cerita sang Toako ber-jalan2 ditaman bunga dibawah sinar bulan
purnama sambil tangan bergandeng tangan bersama sang kekasih, betapapun Tik Hun
ikut kesemsem juga, maklum semangat muda. Tapi achirnya demi mendengar nada
suara Ting Tian berubah berat dengan napas yang rada seram, mau-tak-mau Tik Hun
menjadi tegang juga hingga dadanya serasa sesak, se-akan2 ditaman bobrok itu
penuh dikelilingi setan iblis yang siap menubruk kepadanya. Se-konyong2 teringat
sesuatu nama olehnya, terus saja ia berteriak: "He, itulah bunga 'Hud-co-kim-
lian'!" Ujung mulut Ting Tian menampilkan senyuman pahit. Selang agak lama barulah ia
berkata pula: "Nyata engkau sudah tidak bodoh lagi. Selanjutnya engkau takkan
mudah ditipu orang Kangouw pula, untuk mana bolehlah aku merasa lega."
Mendengar ucapan orang penuh mengandung rasa kasih sayang dan penuh perhatian
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melebihi saudara sekandung, Tik Hun menjadi terharu hingga air matanya
bercucuran. Katanya kemudian dengan gemas: "Sipembesar anjing Leng-tihu itu
kalau tidak...... tidak boleh puterinya diperisteri olehmu, sebenarnya ia bisa
katakan saja terus terang, tapi mengapa........... mengapa mesti memakai tipu
sekeji itu untuk mencelakai engkau?"
"Waktu itu darimana aku bisa mendapat tahu?" sahut Ting Tian. "Darimana pula aku
bisa mengetahui bahwa bunga kuning emas itu tak-lain-tak-bukan adalah Hud-co-
kim-lian yang berbisa luar biasa itu" Dan begitu aku mencium bau harum bunga itu
seketika kepalaku terasa pening, sekilas kulihat Leng-siocia juga ter-huyung2
terus roboh, cepat aku bermaksud membangunkan dia, tapi aku sendiripun tidak
kuat berdiri pula. Selagi aku mengerahkan Lwekang dan mengatur napas untuk
menahan serangan racun bunga itu, tiba2 dari sekitar situ sudah muncul beberapa
laki2 bersenjata. Aku cuma sanggup bergebrak beberapa jurus dengan mereka, habis
itu pandanganku menjadi gelap, menyusul aku tidak tahu lagi apa yang terjadi."
"Ketika aku sadar kembali, aku merasa kaki-tanganku sudah terbelenggu, bahkan
Pi-pe-kut dipundak juga sudah ditembus dengan rantai. Kulihat Leng-tihu dengan
pakaian biasa sedang mengadakan pemeriksaan atas diriku, petugas2 yang berada
disitu juga bukan lagi petugas2 negara, tapi adalah anggota2 perkumpulan
rahasianya. Sudah tentu sikapku sangat keras, kontan saja aku memaki kalang
kabut. Segera Leng-tihu memberi perintah begundalnya menghajar aku, kemudian aku
dipaksa harus menyerahkan Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat.......... Kejadian
selanjutnya tidak perlu lagi kuceritakan, engkau sendiripun sudah tahu, yaitu
setiap bulan tanggal 15 aku pasti diseret keluar untuk dihajar dan memaksa aku
menyerahkan Bu-keng (kitab ilmu silat) dan Kiam-koat (kunci ilmu pedang). Tapi
tetap aku tidak guris padanya. Sungguh kesabarannya memang luar biasa juga
hingga bertahan sampai sekarang."
"Tapi bagaimana dengan Leng-siocia waktu itu" Mengapa dia tiak berdaya untuk
menolong engkau?" tanya Tik Hun cepat. "Pula, kemudian setelah engkau berhasil
meyakinkan Sin-ciau-kang, engkau dapat pergi-datang dengan bebas, mengapa engkau
tidak pergi menjenguk padanya" Mengapa engkau terima menunggu percuma didalam
penjara sampai kematiannya?"
Begitulah serentetan pertanyaan Tik Hun mengenai Leng-siocia. Tapi saat itu Ting
Tian sedang merasakan pening kepala yang luar biasa, tubuhnya se-akan2 enteng
dan terapung di udara. Ia ulur tangannya meraba dan memegang sekenanya seperti
ingin mendapatkan sesuatu pegangan.
Segera Tik Hun angsurkan tangannya untuk memegang tangan Toako itu. Tapi
mendadak Ting Tian terkejut dan mengipatkan tangannya sekuatnya sambil berseru:
"Tanganku beracun, jangan menyentuh aku!"
Tik Hun terharu pula dan cemas melihat keadaan sang Toako itu.
Sesudah pening sebentar, pelahan2 Ting Tian dapat tenangkan pikirannya lagi, ia
membuka mta dan menanya: "Tadi kau omong apa?"
Tik Hun tidak menjawab, tapi mendadak teringat sesuatu olehnya, cepat ia
menanya: "Ting-toako, waktu itu apakah pernah terpikir olehmu bahwa Leng-siocia
itu mendapat perintah dari ayahnya dan sengaja menipu engkau untuk.........."
"Omong kosong!" bentak Ting Tian mendadak dengan gusar sambil angkat tangannya
hendak menggablok. Tik Hun insaf telah kelepasan omong, maka ia tidak berani menangkis, tapi rela
menerima hajaran sang Toako.
Diluar dugaan kepalan Ting Tian lantas berhenti ditengah jalan, ia melototi Tik
Hun sejenak dengan terkesima, kemudian menarik kembali kepalannya pelahan2, lalu
katanya: "Tik-hiantit, rupanya engkau sendiri dihianati gadismu, maka
kepercayaanmu kepada kaum wanita didunia ini sudah hilang, untuk mana memang aku
tidak dapat menyalahkan engkau. Tapi bila Siang-hoa benar2 diperintahkan ayahnya
dengan menggunakan 'Bi-jin-keh' (tipu menggunakan wanita cantik) untuk menipu
Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku, hal itu akan sangat gampang aku
tertipu. Bahkan ia tidak perlu berkata apa2, cukup asal bilang: 'Ting-toako,
berikanlah kitabmu Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat kepadaku.' ~ Bahkan dia
boleh tidak usah buka suara, cukup memberi isyarat atau menunjukan sedikit
keinginannya saja, kontan tanpa tawar2 pasti akan kuberikan segala apa yang dia
minta. Aku takkan pusing apakah kitab itu akan diserahkannya kepada ayahnya,
akan disedekahkan kepada pengemis dipinggir jalan atau akan dia sobek2 sebagai
mainan kanak2, ya, sekalipun akan dia bakar, pasti aku takkan mengkerut kening
sedikitpun. Ketahuilah, Tik-hiantit, meski Bu-keng dan Kiam-koat itu adalah
kitab mestika yang tak ternilai di dunia Bu-lim, tapi kalau dibandingkan diri
Leng-siocia, dalam pandanganku kitab2 mestika itu tidak lebih cuma sebangsa
sampah belaka. Huh, Leng Dwe-su percuma menjadi seorang Bun-bu-coan-cay, tapi
hakekatnya adalah seorang yang goblok. Coba kalau dia suruh puterinya membuka
mulut minta padaku, tidak mungkin aku menolaknya."
"Boleh jadi ia sudah pernah bicara dengan Leng-siocia, tapi Leng-siocia tidak
mau menurut," ujar Tik Hun.
"Tidak mungkin," sahut Ting Tian menggeleng kepala. "Andaikan terjadi begitu,
pasti Siang-hoa takkan membohongi aku." ~ Ia menghela napas, lalu menyambung
pula: "Hm, manusia macam Leng Dwe-su itu lebih mementingkan nama dan kedudukan,
harta dan kekayaan, dengan jiwanya yang kecil itulah dia angap setiap manusia
dijagat ini juga serupa dirinya yang tidak berpribadi, ia menyangka kalau
menyuruh puterinya minta padaku, tentu aku akan menolaknya, sebaliknya maksud
jahatnya menjadi ketahuan hingga aku akan lebih waspada. Disamping itu ada pula
suatu alasan. Seperti diketahui, dia adalah seorang Tihu keluaran Hanlim, tapi
puterinya justeru jatuh hati kepada seorang kasar seperti aku. Ia merasa terhina
dan harus membunuh diriku."
"Sesudah aku tertangkap, antero badanku telah digeledah merata, tapi tiada
sesuatu yang diketemukan, pondokku juga tiak terluput dari penggeledahan teliti,
namun juga tidak diketemukan apa2. Sejak itu tiap2 tanggal 15 tentu aku diseret
keluar penjara untuk disiksa dan ditanyai, sudah banyak sekali usaha mereka,
segala bujukan manis dan kata2 madu sudah habis terpakai, segala paksaan dan
ancaman juga sudah dilakukan, tapi aku tetap bungkam. Ia pernah mengirim
orangnya menyamar sebagai pesakitan dan dikurung sekamar dengan aku dengan
tujuan memancing pembicaraanku. Orang itu pura2 penasaran karena dipenjarakan
tanpa berdosa, ia mencaci-maki Leng Dwe-su adalah manusia jahat. Akan tetapi
segera aku dapat mengetahui rahasia penyamarannya, cuma sayang waktu itu aku
belum berhasil menyakinkan Sin-ciau-kang, tenagaku tidak seberapa besarnya, maka
kurang keras kuhajar dia." ~ berkata sampai disini ujung mulutnya menampilkan
senyuman puas. Lalu melanjutkan: "Nasibmu juga jelek, telah banyak menderita
hajaranku secara penasaran. Pabila engkau tidak bermaksud menggantung diri,
boleh jadi sampai harini juga sudah mati dihajar olehku."
Sahut Tik Hun: "Aku sendiri menanggung penasaran dan dipitenah orang, pabila tak
ditolong Toako ....."
Tiba2 Ting Tian menggoyang tangannya menyetop ucapan pemuda itu, lalu katanya:
"Pertemuan kita ini boleh dikatakan ada 'jodoh'. Segala kejadian didunia ini
memang tak terlepas dari 'jodoh'."
Sekilas ia melihat diujung taman bobrok sana bertumbuh setangkai bunga ungu yang
kecil dan sedang tergontai oleh tiupan angin bagai hidup kesunyian disitu.
Katanya segera: "Petikkanlah bunga itu!"
Tik Hun menurut, ia petik tangkai bunga itu dan menyerahkannya kepada sang
Toako. Sambil memandangi bunga ungu ditangannya itu, terbayang pula kejadian2 dimasa
lampau, pelahan2 Ting Tian menutur lagi: "Setelah tulang pundakku ditembus
rantai dan dipenjarakan, segala apa sudah dapat kupikirkan dengan jelas, kuyakin
Leng Dwe-su pasti akan menghabiskan nyawaku. Sehari lebih cepat kuserahkan Keng
dan Koat*) yang dia inginkan itu, sehari lebih lekas pula aku akan dibunuh
olehnya. Tapi kalau aku tetap bungkam, mengingat benda2 mestika yang diincarnya
itu tentu ia malah tidak berani membunuh diriku, sekalipun dihajar dan disiksa,
paling2 juga cuma melukai sedikit kulit saja, untuk menamatkan nyawaku rasanya
masih sayang baginya."
"Pantas!" ujar Tik Hun. "Makanya tempo hari waktu Toako suruh aku pura2 hendak
membunuh engkau, seketika sipir bui menjadi kuatir malah dan tidak berani
berlaku se-wenang2 lagi kepada kita."
"Ya. Setelah lebih sebulan aku disekap dalam penjara, saking gusar dan
penasaranku, hampir2 aku menjadi gila," tutur Ting Tian pula. "Pada suatu malam,
datanglah seorang pelayan kecil, ia adalah Kiok Yu (kawan seruni), itu dayang
pribadi Leng-siocia. Sebabnya aku dapat berkenalan dengan Leng-siocia adalah
gara2 ucapan dayang itu ditaman pameran seruni di Bujian. Aku tidak tahu betapa
banyak Leng-siocia memberi sogokan kepada sipir bui hingga Kiok Yu diperbolehkan
menemui aku. Akan tetapi sepatah katapun Kiok Yu ternyata tidak buka suara dan
tiada membawakan sesuatu benda atau secarik kertaspun untukku, melainkan menatap
aku dengan ter-mangu2 saja. Sipir bui itu membawa golok tajam dan mengancam
dipunggung Kiok Yu. Maka tahulah aku bahwa sipir bui itu terang ketakutan atas
perbuatannya menerima uang sogok, maka Kiok Yu cuma diperbolehkan bertemu muka
dengan aku, tapi dilarang berbicara."
"Dengan terkesima Kiok Yu memandangi aku sejenak, sampai achirnya iapun
mengucurkan air mata. Sementara itu sipir bui ber-ulang2 memberi tanda
mendesaknya lekas keluar dari situ. Kiok Yu melihat dipelataran diluar kamar
penjara bertumbuh setangkai bunga seruni yang kecil, ia terus memetiknya dan
diangsurkan kepadaku melalui langkah besi, lalu ia tuding2 pula kearah jendela
diatas suatu loteng dikejauhan. Diatas ambang jendela itu ternyata tertaruh
sebuah pot bunga yang segar. Aku menjadi girang dan tahu bunga itu diletakkan
oleh Leng-siocia disitu untuk menghilangkan rasa hampaku."
"Kiok Yu tidak berani tinggal terlalu lama disitu, segera ia putar tubuh
bertindak keluar. Siapa duga baru saja ia melangkah keluar pintu penjara, tiba2
dari tempat yang tinggi menyambar datang sebatang panah, "crat", punggung dayang
kecil itu tepat tertembus oleh panah itu dan seketika menggeletak terbinasa.
Nyata Leng Dwe-su kuatir kalau ada kawanku yang mengacau kepenjara untuk
menolong aku, maka di-mana2 disekitar penjara itu sudah dijaga dengan kuat.
Ketika panah kedua menyambar pula, sipir bui yang korupsi itupun tidak terluput
dari kematian. Bagitulah jalan pikiran Leng-Dwe-su yang culas dan begitulah keji
rencananya." "Belum lagi bunga seruni ditanganku itu layu, ternyata Kiok Yu sendiri sudah
tewas. Sungguh aku menjadi ketakutan, takut kalau Leng Dwe-su menjadi kalap
hingga puterinya sendiripun dibunuhnya. Maka aku tidak berani membikin marah
lagi padanya, setiap kali ia memeriksa aku pula, aku cuma membudek dan membisu
saja dan tidak memakinya lagi.
"Kiok Yu telah mati bagiku, usianya masih sangat muda, semuda bunga yang baru
mekar. Kalau bukan karena pengorbanannya itu, mana aku sanggup menahan derita
selama beberapa tahun ini" Dan darimana aku bisa tahu bahwa bunga segar dalam
pot yang tertaruh diambang jendela loteng itu adalah kerjaan Siang-hoa untukku"
Akan tetapi Siang-hoa tetap tidak mengunjuk muka, ia tidak pernah mengintip lagi
barang sekejap dari balik jendela itu. Sungguh aku merasa tidak mengerti apakah
sebabnya" Terkadang aku menjadi menyesalkan dia mengapa begitu tega padaku?"
"Maka aku bertambah giat melatih Sin-ciau-keng dengan harapan selekasnya dapat
terlatih tamat dan sempurna, lalu takkan terkekang lagi kebebasanku oleh
belenggu itu. Kuharap bisa terlepas dari penjara untuk membawa kabur Leng-siocia
dari kurungan ayahnya. Akan tetapi Sin-ciau-keng itu mengutamakan kesadaran
pikiran dan harus melatih dengan sewajarnya, sedikitpun takbisa dipaksakan
dengan cepat. Achirnya jerihpayahku toh tidak ter-sia2, sampai beberapa hari
sebelum engkau hendak menggantung diri barulah ilmu sakti itu berhasil
kuyakinkan. Selama ini hanya berkat bunga segar dalam pot yang setiap hari
ditaruh diambang jendela loteng oleh Leng-siocia itulah dapat sekedar menghibur
hatiku nan lara. Dengan segala tipu-dayanya Leng Dwe-su tetap berusaha memancing
rahasiaku. Engkau dikurung sekamar bersama aku juga termasuk tipu-dayanya. Ia
tahu aku tidak mudah terjebak oleh begundalnya yang disuruhnya menyamar kedalam
kamar penjara, maka sekali ini ia sengaja menjebloskan seorang pemuda yang
benar2 tak berdosa kedalam kamar penjara dengan aku."
"Menurut perhitungannya, lama kelamaan tentu aku akan dapat mengetahui benar
tidaknya engkau berdosa dan dipenjarakan. Pabila tahu engkau benar2 pemuda yang
tak berdosa, dengan sendirinya aku akan anggap engkau sebagai kawan senasib
serta membeberkan rahasiaku kepadamu. Mereka tidak berhasil mengorek sesuatu apa
dari diriku, besar kemungkinan akan dapat mengorek dari mulutmu. Sebab engkau
masih muda dan kurang pengalaman, jujur dan polos, engkau akan mudah
terperangkap oleh kepalsuan manusia jahat. Tak terduga oleh mereka bahwa
sebegitu jauh aku justeru mencurigai dirimu. Ya, oleh karena pengalamanku yang
pahit, ditambah kematian Kiok Yu yang menyedihkan, maka kepercayaanku kepada
siapapun juga sudah lenyap. Apa engkau mengira aku tidak pernah keluar dari
penjara" Ketahuilah bahwa pada hari Sin-ciau-kang berhasil kuselesaikan, hari
itu juga aku lantas keluar penjara. Cuma sebelum pergi lebih dulu aku telah
menutuk 'Hun-sui-hiat' (jalan darah membuat orang tak sadarkan diri) dibadanmu,
dengan sendirinya engkau tidak mengetahui."
"Malam itu, ketika kulolos keluar penjara, kusangka pasti akan menghadapi suatu
pertarungan sengit. Tak terduga keadaan sudah berubah, mungkin sesudah sekian
tahun, rasa waspada Leng Dwe-su kepadaku sudah lenyap, penjagaan diluar penjara
sudah dihapuskan. Sudah tentu tak terduga sama sekali olehnya bahwa Sin-ciau-
kang yang kuyakinkan ini bisa begini hebat, orang yang sudah ditembus Pi-pe-
kutnya dan dipotong otot kakinya toh masih dapat menggunakan ilmu silatnya yang
hebat." "Sesudah aku sampai dibawah jendela loteng itu, hatiku ber-debar2 dengan keras
sekali seperti kembali kepada perasaanku pada waktu untuk pertama kalinya aku
bertemu dengan Leng-siocia dibawah jendelanya dulu. Tapi achirnya aku
memberanikan diri dan mengetok jendelanya perlahan2 sambil memanggil: 'Siang-
hoa!' ~ Ia terjaga bangun dari tidurnya terus berseru: 'Ting-toako, Engkoh Tian,
engkaukah yang datang" Apa aku bukan sedang mimpi"' ~ Sesudah berpisah sekian
lamanya dan kini dapat mendengar suaranya pula, sungguh girangku melebihi
takaran, dengan suara gemetar aku menyahuti: 'Ya, Siang-moay, akulah yang
datang! Aku telah lolos keluar dari penjara!'"
"Aku menunggu jendela itu dibuka olehnya, sebab biasanya diwaktu kami mengadakan
pertemuan, selalu dia membukakan jendelanya dan barulah aku melompat masuk
kedalam kamarnya, selamanya aku tidak pernah sembarangan masuk kekamarnya itu.
Tak tersangka sekali ini dia tidak lantas membukakan jendelanya, tapi ia
menempelkan mukanya diatas kertas penutup daun jendela sambil berkata dengan
perlahan: 'O, engkoh Tian, jadi engkau benar2 masih hidup dengan baik" Nyata
ayah tidak mendustai aku' ~ 'Ehm, ayahmu memang tidak mendustai kau,' kataku
dengan suara pedih. 'Sampai saat ini juga aku masih tetap sehat walafiat.
Marilah, harap engkau membuka jendela, aku ingin melihat engkau.' ~ Tapi cepat
ia menjawab dengan gugup: 'Tidak! Jang ..... jangan!' ~ 'Sebab apa"' tanyaku
dengan cemas. Maka jawabnya: 'Sebab aku sudah berjanji kepada ayah. Beliau
menjamin keselamatan jiwamu, tapi untuk selamanya aku dilarang berjumpa dengan
engkau lagi. Ia mengharuskan aku bersumpah, suatu sumpah yang keji bahwa pabila
aku bertemu pula dengan engkau, arwah ibuku dialam baka akan tersiksa setiap
hari oleh setan jahat,' ~ berkata sampai disini, suaranya menjadi sesenggukan.
Sejak kecil ia sudah ditinggalkan ibundanya, maka cinta kasihnya kepada mendiang
ibunya boleh tidak usah diragukan lagi."
"Sungguh aku benci kepada kekejian Leng Dwe-su itu, dia tidak lantas membunuh
aku adalah lantaran mengincar kitab pusaka dariku, tapi apa sangkut-pautnya
dengan Siang-hoa hingga puterinya itu diharuskan mengangkat sumpah sejahat itu"
Akan tetapi Siang-hoa sudah dipaksa mengucapkan sumpah berat itu dan sumpah
itupun telah melenyapkan segala harapanku. Namun aku tetap meminta: 'Siang-hoa,
marilah kita minggat saja bersama. Tutuplah matamu dengan kain supaya tidak
melihat aku untuk selamanya.' ~ Ia menangis, sahutnya dengan ter-isak2: 'Itulah
ti ....... tidak mungkin, dan akupun tidak ingin engkau melihat aku pula.' ~
Maka tercetuslah rasa dendam yang memenuhi dadaku selama ber-tahun2 itu, seruku:
'Sebab apa" Aku ...... aku harus melihat engkau.'"
"Mendengar nada suaraku agak lain, dengan lemah-lembut iapun berkata lagi:
'Engkoh Tian, kutahu engkau telah ditawan ayah, ber-ulang2 akupun memohon beliau
membebaskan dikau. Tapi semua permintaanku ditolaknya, bahkan aku lantas
dipilihkan jodoh orang lain untuk mematikan cintaku kepadamu. Ketika aku
membangkang, ayah lantas hendak menggunakan kekerasan, maka....... maka aku
telah menggurat mukaku sendiri dengan pisau.'"
Mendengar sampai disini, tak tertahan lagi Tik Hun berseru kaget dengan perasaan
yang terguncang hebat. Namun Ting Tian menyambung lagi: "Betapa rasa terima kasih dan kasih-sayangku
demi mengetahui kesetiaannya kepadaku. Terus saja kuterjang jendelanya hingga
terpentang. Ia menjerit kaget sekali dan cepat memejamkan kedua matanya sambil
menutupi pula mukanya dengan tangan. Namun aku sudah dapat melihatnya dengan
jelas. Selebar wajah yang paling cantik didunia ini kini sudah berubah
sedemikian rupa bagai langit dan bumi bedanya, mukanya tergores malang-melintang
belasan guratan pisau hingga dagingnya membalik keluar. Matanya yang jeli,
hidungnya yang mancung dan mulutnya yang mungil kini telah penuh dihiasi
guratan2 codet merah bekas luka, wajah yang cantik bagai bidadari itu kini telah
berubah seperti setan. Aku memeluknya dengan mesra. Biasanya Siang-hoa sangat
sayang pada wajahnya sendiri yang cantik itu, pabila bukan disebabkan oleh laki2
sial seperti aku, mana dia mau merusak mukanya sedikitpun" Maka kataku: 'Siang-
hoa, kecantikan lahir mana dapat membandingi kecantikan batin" Engkau merusak
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muka sendiri untukku, dalam pandanganku engkau malah berpuluh kali, bahkan
beratus kali lebih cantik daripada dahulu.'"
"Ia menangis, katanya: 'Keadaan sudah begini dapatkah kita hidup berdampingan
lagi" Aku sudah berjanji kepada ayah untuk selamanya tidak akan menjumpai engkau
lagi. Maka ........... Eangkoh Tian, haraplah engkau pergi dari sini saja.' ~
Aku insaf hal itu tak dapat ditarik kembali lagi, maka sahutku: 'Siang-moay, aku
akan kembali kedalam penjara dan setiap hari akan kunikmati bunga segar didepan
jendelamu ini.' ~ Sebaliknya ia lantas merangkul leherku, katanya setengah
meratap: 'O, Engkoh Tian, jangan......... jangan engkau pergi!'"
"Begitulah kami saling berpelukan hingga lama dan tidak berbicara pula. Ia tidak
berani memandang aku, akupun tidak berani memandang dia. Sudah tentu bukan
disebabkan aku tidak sudi kepada mukanya yang sudah jelek itu, tetapi.......
tetapi, ya, mukanya sesungguhnya terlalu hebat rusaknya. Sampai lama dan lama
sekali, dari jauh sudah terdengar ayam jago berkokok. Achirnya ia berkata pula:
'Engkoh Tian, aku......... aku tidak boleh membikin susah ibuku yang sudah
meninggal itu, maka...... maka selanjutnya janganlah engkau datang menyambangi
aku pula.' ~ Aku menjawab: 'Apakah sejak kini kita takkan berjumpa pula"' ~
Dengan menangis ia menyahut: 'Ya, takkan berjumpa pula. Yang kuharapkan hanya
sesudah kita berdua meninggal dunia, semoga dapatlah dikubur didalam satu liang.
Kuharap ada seseorang yang baik hati akan sudi melaksanakan cita2ku ini, untuk
mana dialam baka juga aku akan berdoa untuk memberkahinya.' ~ Aku berkata pula:
'Siang-moay, aku mengetahui suatu rahasia besar, menurut cerita orang Kang-ouw,
katanya rahasia ini ada sangkut-pautnya dengan sesuatu harta karun. Rahasiaku
ini disebut mereka Soh-sim-kiam-koat. Maka rahasia ini akan kuberitahukan
padamu, engkau harus mengingatnya dengan baik2.' ~ Ia menyahut tegas: 'Tidak,
aku tidak ingin mendengarnya, untuk apa aku mesti mengingatnya baik2"' ~ Kataku:
'Tapi engkau dapat mencari seorang yang jujur dan dapat dipercaya untuk minta
dia suka mengerjakan cita2 kita agar dikubur menjadi satu liang, sebagai balas
jasanya engkau akan beritahukan Kiam-koat ini kepadanya.' ~ 'Tapi selama hidupku
sudah terang aku takkan turun dari loteng ini lagi, dengan macamku ini mana
dapat kutemukan orang pula"' demikian ia menyahut. Tapi sesudah memikir sejenak,
segera katanya lagi: 'Baiklah, katakanlah kepadaku. Engkoh Tian, betapapun aku
ingin dikubur bersama dengan engkau. Biarpun aku harus memohon pertolongan orang
dengan mukaku yang buruk ini, aku takkan takut.' ~ Dengan begitu akupun lantas
memberitahukan kepadanya tentang rahasia Soh-sim-kiam-hoat, ia mendengarkan
dengan penuh perhatian. Sampai ufuk timur sudah remang2, fajar sudah hampir
menyingsing, barulah aku berpisah dengan dia dan kembali kedalam penjara."
Ucapan Ting Tian itu makin lama makin berat hingga sampai achirnya suaranya
semakin lirih dan hampir2 tak kedengaran.
"Ting-toako," kata Tik Hun kemudian, "jangan engkau kuatir, pabila terjadi apa2
atas dirimu, aku pasti akan mengubur engkau bersama dengan Leng-siocia. Tapi aku
tidak mengharapkan balas jasamu tentang Kiam-koat apa segala, biarpun engkau
akan memberitahukan kepadaku juga aku tidak mau mendengarkan."
Wajah Ting Tian menampilkan senyuman yang puas dan tulus, katanya: "Saudara yang
baik, tidak percumalah aku berkenalan dengan kau. Engkau berjanji akan mengubur
jenazah kami menjadi satu liang, matipun aku dapatlah merasa lega. Sungguh aku
merasa sangat girang.........." ~ lalu dengan bisik2 ia menyambung pula:
"Sebenarnya bila harta karun itu dapat engkau ketemukan, kuyakin engkau pasti
takkan menyelewengkan penggunaannya, tapi dapat dipakai untuk menolong
sesamanya, untuk membantu kaum miskin, untuk menyokong kaum tertindas didunia
ini. Orang2 yang menderita seperti aku, seperti engkau, seperti kita ini,
didunia fana ini masih teramat banyak. Maka Soh-sim-kiam-koat ini bila engkau
tidak mau mendengarkan, setelah aku mati, itu berarti akan musna untuk selamanya
dan berarti pula suatu kerugian besar bagi kaum tertindas, bukankah sangat
sayang?" Tik Hun meng-angguk2 dan merasa ucapan sang Toako itu ada benarnya juga.
"Makanya kuharap engkau sudilah mendengarkan rahasia Soh-sim-kiam-koat ini,"
kata Ting Tian lebih jauh. Ketika dilihatnya Tik Hun sudah siap dan mencurahkan
sepenuh perhatian untuk mendengarkan, segera ia meneruskan: 'Nah, dengarkanlah
yang baik2. Kunci daripada Soh-sim-kiam-koat itu terdiri dari beberapa angka
hitung saja tapi bukan angka 'buntut', jangan engkau salah sangka. Angka pertama
adalah 4, angka kedua adalah 51, angka ketiga 33, dan angka keempat adalah
53 ............" Tengah Tik Hun mendengarkan uraian itu dengan bingung, tiba2 terdengar suara
tindakan orang mendatangi diluar taman bobrok itu. Seorang diantaranya sedang
berkata: "Hayolah kita coba memeriksa kedalam taman ini!"
Wajah Ting Tian berubah seketika, cepat ia melompat bangun. Segera Tik Hun ikut
melompat bangun juga. Ia lihat dari pintu belakang taman bobrok itu telah
menerobos masuk tiga orang laki2 kekar. Dua orang diantaranya bersenjata.
Ting Tian melirik sekali kepada ketiga orang itu, diam2 ia menghela napas
gegetun, katanya didalam hati: "Pabila aku belum keracunan sejahat ini,
betapapun kuatnya ketiga kaki-tangan penguasa ini juga akan kubereskan dengan
Sin-ciau-kang. Tapi kini aku tidak berani yakin kepada kemampuannya sendiri
lagi. Apa barangkali Soh-sim-kiam-hoat akan musna sejak kini?" ~ Tapi dalam
sekejap saja ia sudah ambil keputusan: "Betapapun aku harus berjuang mati2an."
Maka segera tanyanya kepada Tik Hun: "Tik-hiantit, keempat angka yang kukatakan
tadi apa sudah kau ingat dengan baik?"
Tapi Tik Hun sendiri lagi kesima melihat ketiga musuh sudah mendesak maju dan
telah mengurung mereka di-tengah2, yang seorang bersenjata golok dan yang lain
bersenjata pedang, orang ketiga bertangan kosong, tapi bermuka paling licik dan
bengis. Karena itulah ia menjadi lupa untuk menjawab pertanyaan Ting Tian tadi.
"Tik-hiantit, engkau sudah ingat dengan baik belum?" kembali Ting Tian
menggembornya. Karena itu, barulah Tik Hun terkejut dan cepat menyahut: "Sudah, angka pertama
adalah........" sebenarnya ia hendak mengatakan angka "4" itu, tapi segera
teringat olehnya bahwa musuh sudah didepan mata, kalau dia berkata, bukankah
akan didengar musuh" Maka cepat ia berdiri mungkur dan acungkan empat jarinya
kearah Ting Tian. Dalam pada itu lelaki yang bersenjatakan golok sudah lantas berkata dengan
tertawa dingin: "Orang she Ting, betapapun engkau juga terhitung seorang gagah,
mengapa pada saat demikian ini engkau masih mengoceh dan merengek seperti anak
kecil" Hayolah lebih baik ikut kembali dengan kami saja, agar kita tidak saling
menyusahkan." Sedang kawannya yang memakai pedang lantas ikut bersuara: "Tik-toako, sudah lama
tidak berjumpa, baik2kah engkau selama ini" Senang sekali bukan hidup didalam
penjara?" Tik Hun terperanjat oleh teguran itu, ia merasa suara orang sudah pernah
dikenalnya. Waktu ia mengamat-amati orang, maka teringatlah dia. Kiranya orang
ini tak-lain-tak-bukan adalah murid kedua Ban Cin-san yang bernama Ciu Kin.
Sudah berpisah sekian tahun, kini Ciu Kin telah piara kumis diatas bibir,
ditambah pakaiannya perlente, maka Tik Hun menjadi pangling.
Teringat Ciu Kin adalah murid Ban Cin-san dan termasuk salah seorang biangkeladi
yang menyebabkan dirinya dijebloskan kedalam penjara hingga menderita sampai
kini, seketika Tik Hun menjadi naik darah, dengan gusarnya terus saja ia
membentak: "Hai, kukira siapa, tak tahunya adalah Ciu........... Ciu-jiko!"
Sebenarnya Tik Hun bermaksud menyebut langsung nama orang tapi achirnya urung
dan tetap memanggilnya sebagai "Ciu-jiko".
Rupanya Ting Tian dapat meraba perasaan Tik Hun, ia berseru: "Bagus!" ~ Ia pikir
sebentar lagi pasti akan terjadi pertarungan mengadu jiwa, pertarungan yang
menentukan mati atau hidup, tapi Tik Hun toh dapat mengekang perasaan dendamnya
kepada Ciu Kin dengan memanggil "Ciu-jiko" padanya, itu suatu tanda pemuda itu
sudah tambah cerdik dan bukan lagi orang kasar yang tahunya melulu hantam-kromo
saja. Lalu Ting Tian berkata pula: "Hm, Ciu-jiya ini tentunya adalah murid pilihan Ban
Cin-san, Ban-loyacu, bukan" Bagus, bagus, entah sejak kapan Ciu-jiya telah
menghamba kepada Leng-tihu" ~ Ini, Tik-hiantit, biarlah aku memperkenalkan
padamu. Ini adalah tokoh terkemuka dari 'Ban-sing-to', Ma Tay-beng, Ma-toaya,
orang memberi julukan 'Kiap-gi-khek' kepadanya.'
"Kiap-gi-khek (pendekar budiman)" Hm, indah amat julukannya ini" Tapi entah
tulen atau palsu, sesuai tidak perbuatannya dengan namanya?" jengek Tik Hun.
Tentang hal itu, haha, aku tidak sanggup mengatakan," kata Ting Tian dengan
mengejeknya. "Dan yang itu adalah jago jebolan Siau-lim-pay, terkenal karena
Tiat-sah-ciang-nya yang lihay dan bernama 'Siang-to' Kheng Thian-pa. Orang Bu-
lim mengatakan telapak tangannya terlalu tajam bagai senjata, maka memberikan
julukan 'Siang-to' (sepasang golok) padanya. Padahal selamanya dia tidak pernah
menggunakan senjata."
"Bagaimana dengan kepandaian kedua tuan ini?" tanya Tik Hun.
"Hanya jago pilihan diantara jago2 kelas dua saja," sahut Ting Tian. "Untuk bisa
naik tingkat menjadi kelas satu, ha, selama hidupnya tiada harapan."
"Sebab apa"' tanya Tik Hun.
"Habis, bukan bahan dari kwalitet yang baik," kata Ting Tian. "Sudah tiada
mendapatkan didikan guru pandai, bakat merekapun terlalu jelek."
Begitulah mereka bertanya-jawab seenaknya se-akan2 disamping mereka sudah tiada
orang lain lagi. Keruan hampir2 meledak dada Kheng Thian-pa dan Ma Tay-beng
saking gusarnya. Ma Tay-beng wataknya lebih sabar, ia cuma mendengus sekali dan diam saja.
Sebaliknya Kheng Thian-pa takdapat menahan gusarnya lagi, terus saja ia memaki:
"Keparat, ajalmu sudah sampai, masih berani mengoceh. Rasakan golokku ini!"
Apa yang dia katakan "golok" itu sebenarnya adalah telapak tangannya, cuma
tenaganya sangat kuat, asal kena ditubuh musuh, tajamnya tidak kalah daripada
golok baja. Maka berbareng dengan bentakannya itu, terus saja sebelah telapak
tangannya memotong kearah Ting Tian.
Karena badannya keracunan, Ting Tian tidak dapat lagi mengerahkan tenaga
dalamnya dengan baik, maka ia tidak berani menangkis, melainkan mengegos untuk
menghindar. Tak terduga dalam hal Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan, Kheng
Thian-pa itu memang benar2 lihay, sekali hantam luput, segera menyusul serangan
kedua dengan menabas dari samping.
Ting Tian kenal serangan perubahan lawan itu, cepat ia turunkan sebelah
tangannya untuk menangkis. Akan tetapi gayanya bagus, caranya tepat, hanya
tenaganya kurang, hasilnya sama sekali diluar harapannya. "Plok", iganya tepat
kena disabet sekali oleh telapak tangan Kheng Thian-pa.
Tiat-sah-ciang atau ilmu pukulan pasir besi dari Siauw-lim-pay memang benar2
tidak bernama kosong. Kontan Ting Tian sempoyongan dan muntahkan darah segar.
"Nah, bagaimana" Aku hanya jago kelas dua, lantas kau kelas berapa?" demikian
Kheng Thian-pa mengejek dengan tertawa dingin.
Ting Tian menarik napas dalam2 sekali, mendadak ia merasa jalan napasnya sangat
lancar. Kiranya setelah racun "Hud-co-kim-lian" yang jahat itu meresap masuk
kedalam pembuluh darah, jalannya makin lama makin lambat. Meski tadi ia
memuntahkan darah dan luka dalam yang dideritanya sangat parah, tapi bekerjanya
racun untuk sementara menjadi hilang malah. Dalam girangnya, kontan saja Ting
Tian balas menyodokan sebelah telapak tangannya kedepan.
Ketika Thian-pa menangkis, mendadak Ting Tian memutar tangannya terus menampar
keatas, "plok", tepat sekali pipi Thian-pa kena digampar. Menyusul tangan Ting
Tian yang lain memutar pula dan menghantam, "plak", kepala Thian-pa kena ditabok
juga sekali. "Mati aku!" jerit Thian-pa ketika insaf kepalanya susah menghindarkan tabokan
lawan itu. Namun begitu, cepat ia berusaha mendakan tubuh dan melangkah mundur.
Diluar dugaan kembali sebelah tangan Ting Tian menghantam lagi kedepan dan
dadanya digenjot pula. Kembali Thian-pa menjerit: "Aduuh!" dan tergentak mundur.
Melihat tiga kali serangan sendiri tepat mengenai tempat bahaya dibadan
sasarannya, tapi musuh tidak roboh, hanya ter-huyung2 mundur. Diam2 Ting Tian
menjadi cemas, ia insaf tenaga dalamnya sudah banyak lenyap akibat keracunan
Hud-co-kim-lian itu. Sebenarnya kalau Sin-ciau-kang dapat mendorong kekuatan
ketiga kali serangannya tadi, biarpun jago nomor satu didunia ini juga akan
binasa seketika oleh salah satu serangannya itu. Tapi kini Kheng Thian-pa yang
cuma tergolong jago kelas dua ternyata sanggup menahan serangan2nya itu tanpa
roboh, maka dapatlah dibayangkan keadaan Ting Tian yang sudah lemah itu.
Ting Tian sendiri tahu ajalnya sudah dekat, tapi kalau dirinya mesti dibinasakan
oleh keroco seperti Kheng Thian-pa, sungguh ia sangat penasaran. Diam2 ia
berduka dan gelisah. Sebaliknya Kheng Thian-pa sendiri sebenarnya sudah ketakutan dan merasa tak
terhindar dari kematian ketika merasa muka, atas kepala dan dada kena dihantam
lawan, padahal ketiga tempat itu adalah tempat2 berbahaya. Namun ia cuma ter-
huyung2 mundur dan tidak terbinasa, ia menjadi heran, tapi nyalinya sudah pecah
hingga untuk sementara ia tidak berani merangsang maju pula.
Segera Ma Tay-beng mengedipi Ciu Kin sambil berseru: "Ciu-hiantit, marilah kita
maju bersama!" Ciu Kin mengiakan. Sebenarnya ia merasa bukan tandingan Tik Hun, tapi mengingat
dirinya sendiri bersenjata pedang, sedang lawan bertangan kosong, ditambah lagi
jari tangan kanan pemuda itu dahulu sudah terpapas, otot kaki telah dipotong dan
tulang pundak ditembus lagi, biarpun ilmu silat setinggi langit juga takkan
mampu dimainkannya. Karena itulah Ciu Kin menjadi tabah, sekali pedangnya
bergerak, terus saja ia menusuk kepada Tik Hun.
Ting Tian tahu Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu belum jadi. Ilmu silatnya
kini malah belum setarap seperti waktu dijebloskan kedalam penjara dulu. Kalau
mesti melawan Ciu Kin dengan bertangan kosong, tentu jiwanya akan melayang
percuma. Segera ia bertindak, cepat ia menggeser kesamping, dengan tangan kiri
terus saja ia hendak merampas pedangnya Ciu Kin.
Gerak serangan Ting Tian itu sangat cepat dan aneh luar biasa hingga sebelum
diketahui Ciu Kin, tahu2 ketiga jari Ting Tian sudah berhasil menggantol
dipergelangan tangan murid Ban Cin-san itu.
Keruan kejut Ciu Kin tak terkatakan, ia mengeluh senjatanya pasti akan terlepas
dari cekalan dan celakalah dirinya. Tak terduga meski jari musuh sudah kena
pencet diurat-nadinya ternyata Hiat-to pergelangan tangan itu tidak terganggu
apa2. Tanpa ayal lagi kesempatan itu digunakan Ciu Kin untuk mengipatkan tangannya dan
menyusul pedangnya membalik terus menusuk kedada kiri Ting Tian dengan cepat.
Ting Tian menghela napas panjang sekali dan berkata didalam hati: "Ada tenaga
takbisa dikerahkan, apa dayaku?" ~ namun begitu dengan mudah dapatlah serangan
Ciu Kin itu dihindarinya.
Diantara ketiga penyatron itu, Ma Tay-beng adalah paling luas pengalamannya. Ia
telah menyaksikan Ting Tian bergebrak dengan Kheng Tian dan Ciu Kin, dalam
pertarungan itu dua kali Ting Tian sudah diatas angin, tapi dua kali juga tidak
memperoleh kemenangan sebagaimana diduganya. Maka sesudah dipikir, segera
tahulah dia apa sebabnya. Dari Leng-tihu ia diberitahu bahwa Ting Tian sudah
keracunan yang tiada obatnya, maka dapat diduga pasti racun dalam tubuhnya itu
telah bekerja hebat, maka tenaga dalamnya telah banyak berkurang.
Achirnya Keng Thian-pa dapat mengetahui juga keadaan Ting Tian yang sudah payah
itu, ia pikir makanan empuk yang tinggal ditelan saja itu jangan sampai
diganyang lebih dulu oleh kawannya. Begitu pula Ma Tay-beng juga mempunyai
pikiran yang sama, maka berbareng mereka terus menubruk maju.
"Huh, katanya julukanmu adalah 'Kiap-gi-khek', tapi perbuatanmu ini apakah dapat
dikatakan kelakuan seorang Kiap-gi?" bentak Tik Hun dengan gusar. Segera iapun
menjotos kearah Ma Tay-beng.
Namun Ting Tian sempat mendorong kepundak Tik Hun sambil berkata padanya:
"Engkau mundur saja, Tik-hiantit!" ~ Menyusul mana tangannya membalik terus
mencengkeram hingga jidat Ma Tay-beng tepat kena dipegang.
Cengkeraman Ting Tian ini juga serangan yang mematikan, jangankan Ting Tian
menggunakan tenaga dalam yang hebat dari Sin-ciau-kang, sekalipun Lwekang yang
biasa saja juga cukup membikin nyawa sasarannya amblas.
Keruan Ma Tay-beng ketakutan setengah mati dan cepat menjatuhkan diri ketanah
terus menggelinding kesamping.
Dalam keadaan begitu Ting Tian merasa tenaga dalam sendiri semakin lama semakin
lemah, sementara ini cuma berkat tipu serangannya yang jauh lebih lihay daripada
musuh, maka dapatlah bertahan sekadarnya, apabila "Soh-sim-kiam-koat" tidak
segera diberitahukan seluruhnya kepada Tik Hun, boleh jadi rahasia maha besar
ini selanjutnya akan musna untuk selamanya, jika demikian rasanya sangatlah
sayang. Oleh karena dirinya bagaimanapun akan mati, maka lebih baik berusaha
agar Tik Hun berhasil menyelesaikan tugas yang diselubung rahasia Kiam-koat itu.
Setelah ambil keputusan, segera ia berkata: "Tik-hiantit, dengarkanlah kata2ku.
Engkau berlindung dibelakangku dan jangan gubris pada musuh, engkau cuma apalkan
saja istilah rahasia yang akan kukatakan ini. Urusan sangat penting, maka jangan
kau pandang sepele, sebabnya Ting-toakomu bisa mengalami nasib seperti harini
justeru disebabkan membela rahasia ini."
Tik Hun mengia dan cepat sembunyi kebelakang sang Toako.
"Ingatlah baik2, angka kelima adalah '18' dan ........ dan angka keenam adalah
'7'!" demikian Ting Tian menyambung rahasia Soh-sim-kiam-koat tadi.
Ma Tay-beng tahu sebabnya Leng-tihu memerintahkan penangkapan kepada Ting Tian,
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tujuan pokoknya yalah ingin mencari sesuatu rahasia Soh-sim-kiam-koat. Sedangkan
Ciu Kin sudi menghamba dibawahnya Leng Dwe-su, tujuannya bukan pangkat dan
harta, tapi adalah tugas yang diberikan gurunya agar diam2 menyelidiki rahasia
Kiam-koat itu. Kini kedua orang itu mendengar Ting Tian mengucapkan angka2 '18'
dan '7', segera merekapun ikut mendengarkan dengan cermat dan mengingatnya baik2
didalam hati. Sebaliknya kedatangan Kheng Thian-pa ini adalah ditugaskan untuk menangkap Ting
Tian. Kini melihat Ting Tian berkomat-kamit mengucapkan delapanbelas atau
sembilanbelas segala, lantas Ma Tay-beng dan Ciu Kin ter-mangu2 menirukan
berkomat-kamit. Ia pikir kalau bukan Ting Tian sedang main ilmu sihir untuk
pengaruhi lawan2nya, tentu adalah Ma Tay-heng dan Ciu Kin sengaja hendak
melepaskan musuh. Sebab itulah Thian-pa terus membentak: "Hai, kalian sedang
main gila apa?" ~ berbareng sebelah tangannya lantas membelah kearah Ting Tian.
Tapi karena jeri kepada kesaktian lawan, belum lagi serangannya mengenai sasaran
atau mendadak ia tarik kembali terus melompat mundur.
Ting Tian sendiri lantas mengegos kekiri dengan maksud menghindarkan serangan
Kheng Thian-pa itu. Tapi karena tenaga dalamnya sudah payah, langkahnya menjadi
hampa, ia sempoyongan akan roboh.
Melihat ada kesempatan bagus, tanpa ayal lagi golok Ma Tay-beng cepat membacok
kepundak kiri Ting Tian. Untuk sesaat Ting Tian merasa matanya menjadi gelap
hingga lupa untuk menghindarkan serangan itu.
Keruan Tik Hun sangat terkejut, dalam keadaan mendesak, tanpa pikir lagi ia
terus menyeruduk maju hingga kepalanya kena tumbuk keperut Ma Tay-beng.
Pertarungan secara menggelut demikian jika perlu ternyata membawa hasil juga.
Percuma saja Ma Tay-beng memiliki kepandaian tinggi, karena diseruduk oleh Tik
Hun seperti banteng ketaton, Tay-beng menjadi tidak sempat menggunakan ilmu
goloknya yang lihay. Dilain pihak sesudah kepalanya puyeng, waktu Ting Tian membuka mata pula, ia
melihat Tik Hun sedang gulat dengan Ma Tay-beng, sedang Ciu Kin lagi angkat
pedangnya hendak menusuk kepunggung Tik Hun. Cepat Ting Tian bertindak, secepat
kilat ia gunakan dua jarinya untuk mencolok kedua mata Ciu Kin. Insaf tenaga
sediri sudah habis, kecuali menyerang kedua mata lawan yang merupakan tempat
yang paling lemah itu, rasanya tiada jalan lain lagi.
Benar juga, karena kuatir menjadi buta, cepat Ciu Kin melompat mundur kesamping.
Dan pada saat itulah Ma Tay-beng berhasil menggunakan gagang goloknya untuk
mengetok kepala Tik Hun hingga pemuda itu terperosot ditanah.
Ketika Ma Tay-beng dan Ciu Kin menubruk maju pula, mendadak Ting Tian memapak
maju, maka terdengarlah "crat-cret' dua kali, senjata2 kedua lawan menancap
semua didada Ting Tian. Melihat keadaan sudah mendesak, cepat Ting Tian berseru pula: "Tik-hiantit,
jangan sekali2 engkau ikut turun tangan lagi. Ingatlah baik2 bahwa angka ketujuh
adalah ......." ~ mendadak dadanya terasa sesak hingga susah bersuara. Sedangkan
pukulan Keng Thian-pa sudah tiba pula. Ia geleng2 putus asa, pikirnya: "Rupanya
sudah takdir ilahi, apa yang dapat kukatakan lagi" Soh-sim-kiam-koat ini agaknya
akan musna untuk selamanya dari dunia ramai."
Akan tetapi dasar watak Ting Tian memang sangat teguh, sekali bertekad akan
mengajarkan Kiam-koat itu kepada Tik Hun, betapapun ia akan berdaya untuk
mencapai maksud itu. Ia pikir kalau tidak membunuh ketiga "cakar alap2"
(maksudnya kaki tangan pembesar lalim) itu, biar bagaimana tentu akan susah
untuk mengtakan Kiam-koat itu kepada Tik Hun. Kalau cuma mengatakan satu angka
demi satu angka seperti sekarang ini sembari bergebrak, sampai kapan baru bisa
selesai diuraikan" Dan jika suatu ketika kepalanya puyeng lagi, mungkin jiwa
kedua orang akan segera melayang malah.
Dalam pada itu sinar senjata tampak ber-kelebat2, Ma Tay-beng dan Ciu Kin sudah
menubruk maju pula bersama. Tubuh Ting Tian tampak bergeliat sekali, mendadak ia
memapak maju kearah senjata2 lawan, tanpa ampun lagi, "crat-cret" dua kali,
golok dan pedang lawan tepat membacok diatas badan Ting Tian hingga darah
memuncrat. Tik Hun menjerit kuatir dan cepat memburu maju untuk menolong. Tapi Ting Tian
telah gunakan saat darah mengucur dan daya racun dalam badannya agak berkurang
itulah, sekonyong-konyong ia ayun telapak tangan kanan sekuatnya dan tepat
menggablok kepilingan kanan Ma Thay-beng, menyusul tangannya membalik mengancam
Ciu Kin pula. Serangan kedua itu sebenarnya pasti susah dihindarkan Ciu Kin, tapi untung
baginya dan kejadiannya sangat kebetulan pula, pada saat itulah tahu2 Kheng
Thian-pa menubruk tiba, saking keras ia menerjang maju, tanpa ampun lagi dadanya
persis memapak pada telapak tangan Ting Tian, "plak", seketika tulang iganya
patah semua dan kontan terjungkal dan tak berkutik lagi.
Serangan Ting Tian itu sudah memakan antero sisa tenaganya yang masih ada, boleh
dikata kini ia sudah berada dalam keadaan seperti pelita kehabisan minyak atau
motor kehabisan bensin. Gablokannya yang pertama paling keras, maka kontan Ma
Thay-beng terbinasa, sedangkan Kheng Thian-pa juga sudah senin-kemis napasnya
tinggal menunggu ajal saja. Hanya Ciu Kin saja yang masih sehat dan bergas belum
terluka, dengan tangan kanan memegang pedang yang menancap dibadan Ting Tian
itu, ia sedang berusaha hendak mencabut senjatanya itu untuk kemudian akan
dipakai menusuk Tik Hun pula.
Tekad Ting Tian sekarang yalah menyelamatkan Tik Hun, maka mendadak ia pepetkan
badannya kedepan dan kedua tangannya terus menyikap pinggang Ciu Kin sambil
berseru: "Lekas lari, Tik-hiantit, lekas!" ~ Dan karena badannya mendesak maju
itulah, pedangnya Ciu Kin ambles lebih dalam lagi beberapa senti didalam
badannya. Namun TikHun bukan pemuda pengecut, mana ia mau melarikan diri sendiri" Tanpa
pikir lagi ia menubruk kebelakang Ciu Kin untuk mencekek leher lawan itu sambil
berteriak2: "Lepaskan Ting-toakoku! Kau mau lepas tangan atau tidak?"
Keruan Ciu Kin meringis kesakitan dan mendongkol pula. Sebab bukan dia tidak mau
melepaskan Ting Tian, tapi dia sendiri yang disikap se-kencang2nya oleh Ting
Tian, jadi Ting Tian yang mesti melepaskan dia dan bukan Ciu Kin yang harus
melepaskan Ting Tian. Ting Tian merasa tenaga sendiri semakin lemas dan hanpir tidak kuat lagi
menyikap Ciu Kin. Pabila sampai lawan dapat melepaskan diri, sekali pedangnya
kena dicabut, psti jiwa Tik Hun juga akan melayang. Maka cepat teriaknya: "Tik
Hun, lekas lari, jang..... jangan engkau urus diriku, aku..... aku toh takkan
hidup lagi!" "Kalau mati, biarlah mati bersama!" sahut Tik Hun sambil berusaha mencekek lebih
kuat. Tapi sejak tulang pundaknya ditembusi dan otot pundak sudah rusak, maka
betapapun ia mencekek se-keras2nya, tetap susah membikin Ciu Kin mati sesak
napas. "Saudara baik, engkau sangat....... sangat setia kawan.... tidak percumalah aku
mempunyai seorang kawan seperti kau..... sayang ...... sayang Kiam-koat itu
takbisa lengkap kukatakan ..... aku sangat senang..... sangat senang .......Jun-
cui-pik-po .... itu seruni hijau ...... yang dia taruh didepan jendela ....
lihatlah ..... lihatlah betapa indahnya .... betapa bagusnya ......" demikian
suara Ting Tian semakin lama semakin lemah dan lirih, tapi cahaya mukanya ber-
seri2, sebaliknya tangan yang menyingkap Ciu Kin itu lambat-laun menjadi kendor.
Merasa kedua tangan Ting Tian sudah tak bertenaga, segera Ciu Kin meronta
sekuatnya, berbareng ia cabut pula pedang yang menancap ditubuh Ting Tian itu hingga senjata itu penuh berlepotan darah. Waktu ia putar tubuh,
maka berhadapanlah dia dengan Tik Hun muka dengan muka, jaraknya cuma belasan
senti saja. Ia menyeringai iblis sekali, pedangnya diangkat terus menusuk se-
kuat2nya kedada Tik Hun. Saat itu Tik Hun sedang kuatir atas diri Ting Tian, ia telah berteriak2: "Ting-
toako, Ting-toako!" ~ mendadak dadanya terasa kesakitan sekali.
Waktu Tik Hun melirik dadanya sendiri, ia lihat pedang yang dipegang Ciu Kin itu
telah menusuk diatas dadanya. Ia dengar Ciu Kin sedang ter-bahak2 girang, suara
ketawa orang yang lupa daratan oleh kemenangannya itu.
Memang dapat dimengerti juga bahwa pantaslah kalau Ciu Kin kegirangan setengah
mati oleh karena berhasilnya serangannya yang terachir itu. Habis, Leng-tihu
memberi perintah dengan hadiah yang besar bagi siapa yang dapat menawan hidup2
Ting Tian dan Tik Hun berdua, kalau tak dapat menangkap dengan hidup, boleh juga
dibinasakan ditempat itu juga. Kini Ting Tian terang sudah menggeletak mati, Tik
Hun juga tertusuk oleh pedangnya tinggal menunggu ajalnya saja, sedangkan Ma
Thay-beng dan Kheng Thian-pa sudah terbinasa juga disitu, dengan sendirinya jasa
besar ini akan diterima sendirian oleh Ciu Kin.
Dalam sekejap itu dalam benak Tik Hun juga telah berganti ber-macam2 pikiran.
Terbayang olehnya waktu masih kecil belajar silat dirumah Suhu dan memain
bersama dengan sang Sumoay yang menyenangkan itu. Lalu teringat juga olehnya
penganiayaan selama lima tahun hidup didalam penjara ....... kesemuanya itu
seketika membanjiri benaknya, rasa dendam kesumat itu membuatnya bagaimanapun
juga tidak rela menerima kematian begitu saja.
Sementara itu didengarnya Ciu Kin masih bergelak tertawa iblis. Dengan murka Tik
Hun terus saja berteriak: "Biarlah aku ...... aku mati bersama engkau!" ~
berbareng kedua tangannya terus merangsang maju dan kena mencengkeram dibahu Ciu
Kin. Meski Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu belum jadi, tapi paling tidak sudah
ada dua tahun alas dasarnya. Kini karena merasa jiwanya terancam, antero tenaga
yang ada telah dikerahkan pada kedua tangannya untuk mencengkeram se-kencang2nya
dibahu musuh hingga mirip jepitan sepasang tanggam yang kuat. Seketika Ciu Kin
menjadi kesakitan, dengan napas memburu ia coba meronta untuk melepaskan diri,
tapi tetap tak bisa terlepas.
Diam2 Tik Hun memikir: "Kalau aku dapat mencengkeram tempat lain yang lemah
ditubuhnya mungkin akan dapat mampuskan dia, tapi kini cuma dapat memegang
bahunya, terang aku takdapat meng-apa2kan dia."
Namun begitu toh dia takdapat melepaskan tangannya, asal kedua tangannya menjadi
kendor mencengkeram, pasti kesempatan itu akan digunakan Ciu Kin untuk
meloloskan diri dan untuk memegangnya lagi pastilah susah. Ia merasa dadanya
tambah lama tambah sakit, ia tahu ujung pedang lawan sedang menusuk lebih dalam.
Kini tiada tempo lagi baginya untuk memikir, kalau Ciu Kin kena dicengkeramnya
sedikit, berarti sedikit pula ia telah membalas dendam kesumat itu.
Dalam pada itu ujung pedang Cu Kin menusuk semakin keras, sedang Tik Hun juga
mencengkeram semakin kuat dan menarik se-kuat2nya kearah sendiri. Dan aneh juga,
pedang lawan ternyata tidak dapat menusuk lebih mendalam lagi se-akan2 kebentur
oleh semacam tenaga kebal yang tidak mempan senjata, bahkan batang pedang Ciu
Kin berbalik menekuk dan pelahan2 melengkung.
Sungguh kejut dan heran Ciu Kin tak terkatakan, sekuatnya ia mendorong pedangnya
menusuk lebih keras agar badan Tik Hun kena ditembus oleh senjatanya. Akan
tetapi pedangnya seperti tidak mau turut perintahnya lagi, sedikitpun tidak
dapat ambles kedepan pula, sebaliknya senjata itu semakin melengkung karena
tekanannya itu. Kedua mata Tik Hun sudah merah membara, dengan beringas ia melototi Ciu Kin.
Semula ia melihat wajah Ciu Kin mengunjuk rasa sangat girang dan mengejek dengan
keji, tapi lambat-laun air mukanya berubah heran2 kejut, lalu penuh rasa kuatir,
sejenak kemudian dari rasa kuatir itu berubah menjadi ketakutan, dan rasa
ketakutan itu makin lama makin hebat, hingga achirnya kebingungan.
Kiranya Ciu Kin merasa Tik Hun telah berhasil meyakinkan semacam ilmu weduk yang
tidak mempan senjata. Meski pedangnya sudah kena menusuk dibadan pemuda itu,
tapi cuma membuat daging tempat itu mendekuk kedalam dan tidak dapat menembus
kulit dagingnya. Karena selama hidupnya tidak pernah melihat didunia ini ada ilmu sakti seperti
itu, maka rasa takutnya makin lama semakin besar. Beberapa kali ia coba dorong
pedangnya lebih kuat kedepan, tapi tetap tidak dapat menembus badan lawan,
achirnya ia tidak berani mengharapkan melukai Tik Hun lagi, yang dipikir olehnya
asal dapat meloloskan diri sudah beruntung baginya. Namun justeru untuk
melepaskan diri itulah yang susah, sebab dengan kencang Tik Hun memegangi
bahunya sambil menarik sekuatnya.
Lambat-laun Ciu Kin merasa tangan kanan sendiri yang memegang pedang itu mulai
menikung balik dengan pelahan, menyusul gagang pedang sudah menempel didada
sendiri, batang pedang juga semakin melengkung hingga berwujut setengah
lingkaran. Mendadak terdengarlah suara "pletak" sekali, batang pedang Ciu Kin itu patah
bagian tengah. Ciu Kin menjerit sekali terus terjungkal kebelakang, kedua potong
pedang yang patah itu telah menancap semua kedalam perutnya.
Dan karena robohnya Ciu Kin itu, Tik Hun juga ikut jatuh dan menindih diatas
badan Ciu Kin, tapi kedua tangannya masih memegang diatas bahu orang takmau
melepaskan. Segera Tik Hun mencium bau anyirnya darah yang sangat keras, tiba2
dilihatnya Ciu Kin meneteskan air mata, menyusul dari mulutnya mengeluarkan
darah, ketika kemudian kepalanya terkulai kebawah, achirnya tidak berkutik lagi.
Tik Hun menjadi heran. Semula ia mengira Ciu Kin cuma pura2 mati saja, maka
tetap ia mencengkeram se-kencang2nya dibahu orang. Ketika lain saat merasa dada
sendiri sudah tidak sakit lagi, ia coba menunduk dan ternyata tiada terluka.
Dengan bingung Tik Hun melepaskan Ciu Kin dan berdiri, ia melihat kedua potong
pedang patah itu menancap diperut Ciu Kin, hanya sebagian kecil saja menonjol
diluar. Waktu ia periksa dada sendiri, ternyata bajunya terobek beberapa senti
lebarnya dan kelihatanlah baju kutang warna hitam yang dipakainya. Ia pandang
pula pedang patah diperutnya Ciu Kin dan mengamat-amati baju sendiri yang sobek,
maka tahulah dia duduknya perkara.
Kiranya "Oh-jan-kah" atau baju kutang dari sutera hitam hadiah dari Ting Tian
tempo hari itulah telah menolong jiwanya, bahkan berkat baju itulah telah dapat
membunuh musuh. Oh-jan-kah itu tidak mempan senjata, maka tusukan Ciu Kin itu hanya membikin
dada Tik Hun kesakitan karena tertikam, tapi takdapat menembus baju kutang
mestika itu. Ketika kemudian pedangnya patah, karena Tik Hun memegang bahunya
se-kencang2nya serta ditarik merapat, maka pedang patah yang tajam itu telah
tertikam masuk kedalam perut Ciu Kin sendiri hingga terjadilah senjata makan
tuannya. Sesudah Tik Hun dapat tenangkan diri, segera ia berlari mendekati Ting Tian, ia
berjongkok sambil berseru: "Ting-toako, ken ....... kenapakah engkau?"
Pelahan2 Ting Tian membuka matanya dan memandang Tik Hun dengan sorot mata yang
lemah se-akan2 memandang tapi tidak melihatnya lagi atau seperti tidak mengenal
Tik Hun pula. "Ting-toako, biar bagaimanapun juga aku pasti ........... pasti akan menolong
engkau kaluar dari sini," seru Tik Hun.
"Sayang ......... sayang Kiam-koat itu sejak kini ....... sejak kini akan musna
untuk selamanya," kata Ting Tian dengan lemah dan ter-putus2. "Harap ......
harap kubur ...... kuburlah aku ber ....... bersama Siang ...... Siang-hoa ...."
"Aku akan ingat baik2 pesanmu ini." seru Tik Hun dengan tegas. "Pasti aku akan
menguburkan engkau bersama Leng-siocia sesuai dengan cita2 kalian berdua."
Pelahan2 Ting Tian menutup kembali matanya, napasnya semakin lemah, tapi
bibirnya tampak ber-gerak2 sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu. Cepat Tik
Hun mendempelkan telinganya kepinggir bibir sang Toako, lapat2 terdengar Ting
Tian berkata: "Dan angka ....... angka seterusnya ........" ~ sampai disini
lantas tiada kedengaran lagi.
Telinga Tik Hun tidak merasakan pernapasan sang Toako lagi, ia coba meraba dada
Ting Tian, ternyata denyut jantungnya juga sudah berhenti.
Sebelumnya Tik Hun sudah tahu bahwa jiwa Ting Tian tentu susah dipertahankan,
tapi kini menyaksikan saudara angkatnya yang hubungannya selama beberapa tahun
ini melebihi saudara sekandung itu telah meninggal, maka rasa duka dalam hatinya
sungguh susah dilukiskan. Ia berlutut disamping Ting Tian dan meniupkan napasnya
kemulut sang Toako se-kuat2nya sambil hatinya berdoa: "O, Tuhan, hidupkanlah
kembali Ting-toako, aku lebih suka kembali kedalam penjara lagi untuk selamanya
tidak keluar, lebih suka pula tidak membalas dendam dan biarlah selama hidup ini
dihina dan dianiaya oleh Ban-bun-te-cu (anak murid keluarga Ban), ya Tuhan,
asalkan dapatlah Ting-toako dihidupkan kembali."
Akan tetapi kedua tangannya yang merangkul dibadan Ting Tian itu makin lama
terasa badan sang Toako itu makin dingin. Ia tahu doa sucinya itu tidaklah
berhasil dan tak terkabul. Sesaat itu ia merasakan kesunyian yang tak
terkatakan, merasa hidupnya hampa dan merasa dunia bebas diluar ini jauh lebih
menakutkan daripada didalam kamar penjara yang sempit itu. Ia sadar hidup
selanjutnya pastilah sangat sulit, ia lebih suka kembali kedalam penjara lagi
bersama Ting Tian. Ia pondong mayatnya Ting Tian itu dan berdiri. Tiba2 berbagai rasa duka derita
yang tak terkatakan berkecamuk membanjiri benaknya, kesedihannya pada saat itu
boleh dikata susah dibendung. Tak tertahan lagi ia menangis, menangis ter-
gerung2 seperti anak kecil.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa akibat dari tangisannya yang keras itu
mungkin akan didengar musuh, dan tak terpikir pula olehnya bahwa sesungguhnya
memalukan seorang laki2 sejati bertangisan sedemikian rupa. Tapi ia ingin
menangis dan menangis terus oleh karena rasa sedihnya yang susah ditahan itu.
Ketika kemudian air matanya pelahan2 mulai kering, gerung tangisnya berubah
menjadi suara sesenggukan pelahan karena rasa duka dalam hatinya masih tetap
susah ditahan. Namun pikirannya sudah jauh lebih jernih daripada tadi, maka ia
mulai me-nimang2: "Cara bagaimana aku harus menyelesaikan jenazah Ting-toako
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini" Dengan jalan bagaimana agar aku dapat membawanya untuk dikubur bersama
dengan Leng-kohnio?"
Dalam saat demikian, soal paling penting yang terpikir olehnya sekarang hanya
tentang penguburan Ting Tian menjadi suatu kuburan dengan nona Leng itu.
Tengah ia ragu2, tiba2 terdengar suara derapan kuda yang ramai dari kejauhan dan
makin lama makin mendekat, jumlahnya kira2 ada belasan penunggang kuda. Lalu
terdengarlah suara orang berteriak diluar taman bobrok itu: "Ma-toaya, Kheng-
toaya, Ciu-jiya, apakah kalian sudah dapat menemukan buronannya!"
Kemudian terdengar belasan ekor kuda itu diberhentikan serentak diluar taman dan
ada orang berseru lagi: "Marilah kita coba memeriksa kedalam!"
"Tidak mungkin mereka bersembunyi disini!" demikian kata seorang lain.
"Darimana kau tahu?" debat orang pertama tadi. Lalu terdengar suara orang
melompat turun dari kuda.
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus pondong mayat Ting Tian itu dan dibawa lari
keluar dari taman bobrok itu melalui pintu samping. Dan begitu dia melangkah
keluar lantas terdengarlah suara orang menjerit kaget didalam taman itu oleh
karena mengetahui Ma Thay-beng bertiga sudah menggeletak terbinasa disitu.
Tik Hun ber-lari2 terus didalam kota Kanglenghu itu, iapun tahu caranya
melarikan diri sambil membawa mayat sang Toako itu sangat berbahaya, sudah
larinya takbisa cepat, setiap saat mungkin akan dipergoki orang pula. Namun ia
lebih suka ditawan dan dijebloskan lagi kedalam penjara dan menerima siksaan
atau boleh juga dihukum mati dengan segera, sebaliknya tidak nanti ia mau
meninggalkan jenazah Ting Tian begitu saja.
Setelah beberapa ratus meter ia berlari, tiba2 dilihatnya disuatu pagar tembok
dipinggir jalan ada sebuah daun pintu kecil yang terpentang, tanpa pikir lagi ia
terus menyelinap masuk kedalam rumah itu, lalu pintu itu didepaknya dari dalam
hingga tertutup. Kiranya pintu itu adalah pintu sebuah kebun sayur yang sangat luas dan penuh
tertanam macam2 jenis sayur seperti sawi putih, lobak, labu, tomat, ketimun dan
lain2 lagi. Sejak kecil kerja Tik Hun yalah bertani bercocok tanam. Tapi sudah lima tahun
lamanya ia meninggalkan kebun sayurnya. Kini melihat suasana kebun itu, seketika
timbul rasanya seperti berada dikampung halamannya sendiri.
Ia coba mengamat-amati sekitarnya, ia melihat diarah timur-laut sana ada sebuah
gudang kayu bakar, dari jendela gudang itu tampak jelas penuh tertumpuk kayu
bakar dan onggok jerami. Tik Hun menjadi girang, sekenanya ia bubut beberapa
buah lobak sambil memondong mayatnya Ting Tian, segera ia menyusup kedalam
gudang kayu itu. Dengan penuh rasa duka nestapa dan air mata meleleh Tik Hun pondong mayatnya
Ting Tian untuk meninggalkan taman itu dengan cepat.
Ia coba dengarkan sekeliling gudang itu dan tidak kedengaran ada suara orang.
Segera ia menyingkirkan kayu dan jerami hingga lantainya terluang sedikit, ia
taruh jenazah sang Toako disitu dan menutupinya dengan jerami dengan pelahan2.
Diwaktu menguruk jenazah Toako dengan rumput jerami itu, Tik Hun merasa se-akan2
Ting Tian masih mempunyai daya rasa, maka tidak berani membikin sakit badannya.
Dalam benak Tik Hun timbul semacam sugesti: "Boleh jadi Ting-toako mendadak bisa
mendusin kembali." Ia duduk disamping mayat sang Toako, ia mengupas kulit lobak dan menggeragotinya
mentah2. Air lobak yang manis2 masam itu pelahan2 mengalir kedalam
kerongkongannya. Ya, maklum sudah lima tahun lamanya ia tidak pernah merasakan
makanan segar seperti itu. Teringat kampung halamannya di Ouwlam, disana entah
sudah beberapa kali ia membubut lobak dan makan bersama sang Sumoay ~ Jik Hong,
mereka bersenda gurau dengan gembira di sawah-ladang kampung halamannya itu
sambil menggeragoti lobak mentah ...........
Sebuah lobak mentah itu sudah habis dimakan olehnya dan mulai ia menggeragoti
lobak yang kedua, kelopak matanyapun agak basah mengenangkan masa dahulu yang
indah itu. Se-konyong2 didengarnya suatu suara. Seketika badannya bergemetar,
separoh lobak yang terpegang ditangannya jatuh kelantai tanpa terasa, lobak yang
putih bersih itu berlepotan tanah pasir dan debu jerami.
Ia mendengar suara seorang yang halus dan merdu sedang memanggil: "Khong-sim-
jay! Khong-sim-jay! Dimanakah engkau?"
Saking terguncangnya perasaan, segera Tik Hun bermaksud berteriak menjawabnya:
"Aku berada disini!" ~ Tapi belum lagi kata2 "aku" itu mencetus dari mulutnya,
ia merasa tenggorokannya seperti tersumbat, cepat ia menutup mulutnya sendiri
dengan badan gemetar. Sebab apakah Tik Hun terguncang perasaannya oleh suara itu"
Kiranya "Khong-sim-jay" atau sayur tak berhati alias kubis adalah nama julukan
Tik Hun. Didunia ini hanya ada dua orang yang tahu nama julukannya itu, yakni
Tik Hun sendiri dan Jik Hong. Bahkan gurunya sendiri juga tidak tahu.
Julukan itu adalah pemberian Jik Hong, sebab sang Sumoay itu berpendapat Tik Hun
tidak punya otak, terlalu polos, terlalu lugu, sedikitpun tidak bisa berpikir,
selain belajar silat, segala apa tak dipikir olehnya dan segala apa tak
dipahaminya, maka pemuda itu diibaratkan Khong-sim-jay atau kubis yang tidak
punya hati. Dikatakan orang tidak punya otak juga Tik Hun tidak marah, sebaliknya ia ganda
tertawa saja. Ia malah senang kalau Jik Hong suka memanggilnya: "Khong-sim-jay!"
~ biarpun sehari penuh dipanggil begitu juga dia tidak marah, asalkan saja
sigadis itu betah. Dan setiap kali kalau Tik Hun mendengar panggilan "Khong-sim-jay" atau si Kubis,
selalu hatinya merasakan semacam kenikmatan manisnya madu. Sebab kalau ada orang
ketiga diantara mereka pasti sekali2 Jik Hong takkan memanggil nama julukannya
itu. Dan kalau dia dipanggil si Kubis, maka saat itu tentu cuma mereka berada
berduaan saja. Pabila Tik Hun berada berduaan saja bersama Jik Hong, baik sigadis sedang
gembira maupun sinona lagi marah, yang terasa oleh Tik Hun hanya rasa bahagia
yang tak terkatakan. Ia adalah seorang bocah ke-tolol2an yang tidak pandai
bicara, terkadang kedogolannya itu membikin Jik Hong menjadi marah, tapi asal
terdengar panggilan "Khong-sim-jay, Kong-sim-jay", maka tertawalah keduanya
dengan ter-kakah2 Tik Hun masih ingat pada waktu Bok Heng membawakan surat undangan kepada Suhunya
dahulu, malam itu sang Sumoay telah memasak untuk menjamu tamu, diantara lauk-
pauk dan sayur-mayur itu juga terdapat semangkok cah (gorengan) Kubis. Tengah
sang Suhu asyik berbicara dengan Bok Heng mengenai kejadian2 didunia persilatan,
Tik Hun sendiri mendengarkan dengan ter-mangu2, tiba2 tanpa sengaja sinar
matanya telah kebentrok dengan sinar mata Jik Hong, ia melihat sang Sumoay telah
menyumpit secomot kubis goreng dan akan dimakan, tapi kubis itu tidak lantas
dimasukkan kedalam mulut, melainkan dengan bibirnya yang merah tipis sedang
menjilati kubis itu dengan pelahan2, sorot matanya penuh mengandung maksud
tertawa. Terang gadis itu bukan lagi hendak makan sayur, tapi sedang menciumi
kubis itu. Tatkala itu Tik Hun cuma mengira: "Ah, Sumoay sedang mentertawai aku lagi
sebagai Khong-sim-jay!" ~ Tapi kini setelah dikenangkan kembali didalam gudang
kayu ini, tiba2 ia dapat menangkap maksud yang mendalam dari kelakuan sang
Sumoay itu, nyata itulah tanda ciuman mesra seorang kekasih.
Kini suara panggilan "Khong-sim-jay" itu terdengar pula, terang gamblang suara
itu adalah suaranya Jik Hong, hal mana sedikitpun tak bisa keliru lagi. Suara
panggilan itu penuh mengandung rasa cinta kasih yang mesra, lemah-lembut dan
meresap. Dahulu, panggilan Jik Hong itu cuma dirasakannya sebagai tanda persahabatan,
suara panggilan yang penuh perhatian dan terkadang bermaksud sebagai tanda marah
dan mengomelnya. Namun suara panggilan yang didengarnya sekarang hanya penuh
rasa cinta kasih yang mendalam. "Apakah karena dia telah mengetahui
penderitaanku selama ini secara penasaran makanya dia bertambah baik kepadaku?"
demikian Tik Hun bertanya pada diri sendiri.
Sesungguhnya Tik Hun tidak berani percaya kepada pendengarannya sendiri itu.
"Apa aku sedang mimpi" Sebab tidak mungkin Sumoay datang kekebun sayur ini"
Bukankah sudah lama ia menjadi isterinya Ban Ka, masakah dia dapat datang kesini
untuk mencari aku?" Namun demikian suara panggilan tadi berjangkit pula, bahkan sekali ini semakin
mendekat lagi. "Khong-sim-jay, dimanakah engkau bersembunyi?" demikian suara itu
dengan rasa senang dan penuh kasih-sayang.
Pelahan2 Tik Hun berdiri dan mengintip dari belakang tumpukan jerami. Ia melihat
seorang wanita berdiri membelakangi dirinya sedang mencari sesuatu. Ya, itulah
dia, memang tidak salah lagi, pinggangnya yang ramping, perawakannya yang
langsing, siapa lagi dia kalau bukan Jik Hong"
Terdengar ia sedang memanggil pula dengan tertawa: "Hayolah Khong-sim-jay, masih
engkau tidak mau keluar?" ~ dan mendadak wanita itu membalik tubuhnya
kebelakang. Seketika pandangan Tik Hun menjadi kabur dan kepalanya menjadi puyeng. Memang
benarlah gadis itu adalah Jik Hong. Biji matanya yang bundar besar dan hitam
pekat, hidungnya yang mancung, hanya kelihatan agak kurus sedikit hingga tidak
semontok dan segar seperti waktu masih berada dipedusunan didaerah Ouw-lam
dahulu. Akan tetapi gadis itu nyata2 adalah Jik Hong, benar2 adalah sang Sumoay
yang dicintainya dan dirindukannya senantiasa itu.
Dengan wajah yang masih ber-seri2 tawa, Jik Hong sedang me-manggil2 pula:
"Khong-sim-jay, hayolah, tidak lekas engkau keluar saja?"
Saking tak tahan segera Tik Hun bermaksud menyahut dan menemui Sumoay yang
senantiasa dirindukannya itu. Tapi belum lagi ia bertindak, mendadak teringat
olehnya: "Ting-toako sering mengatakan aku terlalu jujur, terlalu lugu dan
gampang ditipu orang. Kini Jik-sumoay sudah menikah dengan Ban Ka, hari ini Ciu
Kin terbinasa pula ditanganku, siapa berani menjamin bahwa Sumoay bukan lagi
sengaja memancing aku keluar?" ~ Berpikir demikian, hatinya menjadi dingin dan
urung unjuk diri. Ia dengar Jik Hong sedang me-manggil2 si Kubis pula. Kembali pendirian Tik Hun
goyah. Pikirnya: "Suara panggilannya sedemikian mesra penuh kasih-sayang, tentu
bukanlah pura2. Lagi- pula, jika dia benar2 inginkan jiwaku, biarlah kumati
dibawah tangannya saja!" ~ Sekali hatinya terasa pedih, ia menjadi nekat lagi.
Tapi belum lagi ia berbuat apa2, tiba2 terdengar suara ketawa seorang anak
perempuan kecil, menyusul anak itu telah berkata: "Mak, mak, aku berada disini!"
Ketika Tik Hun mengintai keluar jendela, ia lihat seorang anak perempuan berbaju
merah sedang ber-lari2 mendatangi dari sebelah sana. Cuma umur bocah itu masih
sangat muda, maka larinya masih belum kuat dan agak sempoyongan.
"Khong-sim-jay, kau bersembunyi dimana barusan?" terdengar Jik Hong menanya
dengan suaranya yang lemah lembut. "Dari tadi ibu mencari kau tak ketemu."
"Khong-sim-jay berada dikebun sayur sana melihat semut," sahut bocah itu dengan
senang. Seketika telinga Tik Hun serasa mendengung dan dadanya se-akan2 digodam orang
sekali. Sungguh ia tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Apa mungkin Sumoay
sudah punya anak" Apakah puterinya inilah yang bernama "Khong-sim-jay?" Jadi
panggilannya tadi ditujukan kepada puterinya yang kecil itu dan bukan memanggil
aku" Jadi secara tidak sengaja dirinya sekarang telah masuk sarang harimau pula,
yaitu rumahnya Ban Cin-san yang bikin celaka dirinya itu"
Begitulah Tik Hun menjadi bingung seketika. Selama beberapa tahun ini lapat2
dalam hati Tik Hun terdapat suatu harapan, ia mengharap semoga kelak dapat
melihat sang Sumoay itu toh tidak menikah dengan Ban Ka dan apa yang dikatakan
Sim Sia adalah bohong belaka. Pikirannya ini tidak berani dikatakannya kepada
Ting Tian, tapi hanya terkeram dilubuk hatinya sendiri. Terkadang bila ia
bertemu dengan Jik Hong didalam mimpi, sering ia meloncat bangun saking
girangnya. Tapi sekarang ia sendiri menyaksikan dan mendengar sendiri pula ada
seorang dara cilik sedang memanggil ibu kepada Jik Hong. Dari selah2 jendela
dapat dilihatnya Jik Hong sedang mengangsurkan kedua tangannya dan anak dara itu
terus menubruk kedalam pelukannya. Berulang kali Jik Hong telah menciumi pipi
bocah itu dan berkata dengan suara lembut: "Khong-sim-jay pintar main sendiri,
sungguh anak yang manis!"
Hanya dari sisi Tik Hun dapat melihat keadaan Jik Hong dengan alisnya yang masih
tetap lentik dan ujung mulutnya yang mungil, mukanya tampak sedikit lebih montok
daripada dulu, lebih putih halus dan lebih cantik. Kembali hati Tik Hun pedih:
"Selama ini engkau sudah menjadi nyonya Ban, engkau tidak perlu bercocok-tanam
lagi dibawah terik matahari dan kehujanan, dengan sendirinya badanmu lebih
terawat. Ia dengar Jik Hong sedang berkata pula: "Marilah Khong-sim-jay ikut ibu kembali
kekamar!" Disini sangat menyenangkan, Khong-sim-jay akan melihat semut lagi," demikian
sahut sidara cilik. "Jangan," kata Jik Hong. "Harini diluar ada orang jahat akan menculik anak
kecil. Lebih baik Khong-sim-jay ikut ibu pulang kekamar."
"Orang jahat apa" Kenapa mengganggu anak kecil?" tanya bocah itu.
"Dua orang jahat yang buas telah lolos dari penjara, maka ayah sedang pergi
menangkap orang jahat itu," kata Jik Hong sambil menarik tangan sianak. "Dan
kalau orang jahat itu lari kesini, Khong-sim-jay akan ditangkap olehnya. Maka,
marilah anak manis, marilah pulang kekamar, nanti ibu buatkan boneka kain, ya?"
"Tidak, Khong-sim-jay tidak suka boneka, tapi akan bantu ayah tangkap orang
jahat," sahut sibocah dengan bandel.
Mendengar dirinya dikatakan jahat dan buas, hati Tik Hun semakin lama semakin
mencelos. Dan pada saat itu, diluar kebun sana terdengar suara derapan kuda yang
riuh, beberapa penunggang kuda berlari lewat kesana. "Sret", tiba2 Jik Hong
melolos pedang yang terselip dipinggangnya dan berlari kepintu kebun.
Karena ditinggal sang ibu, anak perempuan tadi celingukan kian-kemari dan
pelahan2 mendekati pintu gudang kayu. Tik Hun tetap berdiri dipinggir jendela
dan tidak berani menggeser, kuatir kalau menerbitkan suara hingga mengagetkan
Jik Hong. Ya, maklum, sampai disini betapapun ia tidak sudi bertemu lagi dengan
sang Sumoay. Hal ini bukanlah karena dia merasa rendah diri atau menyesalkan
Pedang Kiri Pedang Kanan 6 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 5