Tiga Maha Besar 3
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 3
mencintai dirinya maka pin ni akan serahkan jenasahnya
kepada mu dan terserah apa yang hendak kau lakukan
terhadap dirinya" Beberapa patah kata itu sungguh jauh di luar dugaan Hoa
Thian-hong, sebagai seorang pemuda yang jujur dan berjiwa
lelaki meskipun terhadap orang yang sudah mati namun ia tak
bersedia bicara sembarangan.
Karenanya setelah mendengar perkataan dari Too koh
tersebut, buhungan budi dan dendam antara dia dengan Pek
Kun-gie segera berkecamuk kembali didalam benaknya, ia
merasa tidak sepantasnya kalau ia korbankan kepentingan
umum demi menjalin hubungan cinta kasih dengan Pek Kungie,
lagi pula seandainya ia sampai menjalin hubungan kasih
dengan gadis tersebut bagaimana penyelesaiannya dengan
diri Chin Wan-hong. Hubungan yang rumit serta seluk beluk persoalan yang
kacau balau membuat Hoa Thian-hong jadi Kebingungan dan
tak tahu apa yang musti diucapkan keluar pada waktu itu.
Ketika ditunggunya beberapa waktu namun pemuda itu
belum juga bersedia untuk menjawab.
Too koh atau rahib bercadar kain hitam itu menghela napas
panjang lalu berkata, "Sejak dulu sampai sekarang cinta yang
berpihak memang tidak mendatangkan kebahagiaan, dalam
peristiwa ini aku tak dapat menyalahkan dirimu!"
Habis berkata, ia putar badan kemudian dengan
membopong jenasah dari Pek Kun-gie segera berlalu dari situ.
Hoa Thian-hong yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba
merasakan kehilangan sesuatu, dengan air mata jatuh
berlinang segera ben taknya dengan keras, "Berhenti!!"
Mendengar bentakan itu, sang rahib bercadar hitam
hentikan langkah kakinya kemudian seraya berpaling ia
berkata, "Apa yang hendak kau katakan?"
"Apakah engkau anak buah dari perkumpulan Sin-kiepang?"
"Boleh dibilang begitu boleh juga dibilang tidak!" jawab Too
koh bercadar hitam itu hambar.
Hoa Thian-hong jadi amat gusar, serunya, "Mula-mula
pertama tadi engkau mengatakan bahwa antara dirimu
dengan Pek Kun-gie sama sekali tak ada hubungan sanak
ataupun kelu arga dan sama sekali tidak kenal satu sama
lainnya sekarang engkau mengakui bahwa dirimu lain adalah
anggota dan perkumpulan Sin-kie-pang, bicara mencla-mencle
sebenarnya mana yang benar?"
Bicara sampai kesitu, dari atas jurang berkumandang
datang suara bentakaa keras yang terdengar samar-samar,
baik Hoa Thian-hong ma upun too koh bercadar hitam itu
sama-sama menengadah keatas.
Tiba-tiba terdengarlah suara teriakan keras bergema
datang, "Kun ji....! Kun Gi....!"
Kian lama suara itu kian mendekat hingga menggema
diseluruh jurang tersebut.
Dengan pandangan dingin, too koh bercadar hitam itu
melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian ujarnya,
Pek Siau-thian telah turun kebawah tebing, kalau engkau ingin
hidup dengan selamat maka hal ini lebih sukar daripada
mendaki keatas langit....!"
Selesai berkata, dengan mengikuti dasar jurang tersebut ia
segera berkelebat menuju ke arah utara.
Hoa Thian-hong jadi gelisah bercampur gusar, ia ikut
mengejar dari belakang sambil bentaknya, "Cepat letakan
jerasah itu diatas tanah, kalau tidak jangan salahkan aku tak
akan bertindak sungkan-sungkan terhadap dirimu!"
"Hmmm! pada dasarnya engkau memang seorang lelaki tak
kenal budi, seorang lelaki yang tak bertanggung jawab kenapa
engkau musti sungkan terhadap diriku?"
Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian dengan suara yang
penuh emosi berkumandang datang.
"Hoa Thian-hong! engkau berada dimana?"
Walaupun Hoa Thian Hoag mengetahui bahwa Pek Siauthian
masih berada diatas tebing namun mendengar suara
tersebut seakan-akan berkumandang datang dari
punggungnya, ia jadi amat gelisah tanpa terasa serunya
kepada too koh bercadar hitam itu, "Kalau jenasah tersebut
tidak kau letakan diatas tanah, aku orang she Hoa segera
akan turun tangan" "Jenasah Pek Kun-gie sudah sewajarnya di selesaikan oleh
orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang sendiri, apa
sangkut pautnya urusan itu dengan dirimu?"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua belah
pihak sama sekali tidak meng-hentikan gerakan tubuhnya,
laksana sambaran kilat meresa saling menjejar satu sama
lainnya. Diam-diam kedua belah pihak sama-sama merasa
terperanjat, mereka tidak mengira kalau gerakan tubah
lawannya ternyata begitu cepat sehingga hampir melampui
kemampuan sendiri. "Benarkah di kolong langit terdapat banyak sekali jago
lihay?" pikir Hoa Thian-hong dalam hati kecilnya.
Sementara ia masih berpikir, desiran angin tajam sudah
menyambar datang, tiba-tiba si anak muda itu berkelebat dua
langkah lebih ke depan, jari tangannya bagaikan tombak
langsung menotok jalan darah Leng tay hiat di atas punggung
too koh bercadar hitam itu"
Tak kala merasakan datangnya acaman yang begitu tajam
dari pihak lawan, too koh bercadar hitam itu merasa
terperanjat, segera pikirnya, "Sungguh lihay! ia tak malu
menjadi sukma dari kaum pendekar dari kalangan lurus...."
Berpikir sampai disini, dengan menempuh bahaya dia
membiarkan totokan tersebut mengancam tubuhnya, sedang
dia sendiri sama sekali tidak menggubris ataupun
memperdulikan. Serangan kilat yang dilancarkan Hoa Thian-hong
nampaknya sebentar lagi bakal bersarang diatas tubuh too
koh bercadas hitam itu akan tetapi pemudu itu buru-buru
menarik kembali ancamannya ketika menyaksikan pihak lawan
sama sekali tiada maksud untuk menghindar, serunya dengan
gusar, "Aku orang she Hoa tidak ingin melukai orang dari
belakang, kalau engkau masih saja tak tahu diri, jangan
salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi
terhadap dirimu!" Melihat pemuda itu batalkan serangannya, Too koh
bercadar hitam itu kembali berpikir dalam hati kecilnya, "Hoa
Goan-siu dapat memiliki seorang bocah segagah ini....
sekalipun mati, ia tak akan menyesa. Aaai.... sayang sekali
Kun ji tidak mempunyai rejeki sebaik ini...."
Berpikir sampai disitu, dengan suara dingin ia segera
berseru, "Kalau engkau benar-benar ingin bertempur mari kita
cari suatu tempat terpencil yang jauh dari keramaian dunia,
mari kita bertempur sepenuh tenaga seindainya engkau
mampu menangkan diriku maka jenasah diri Pek Kun-gie
boleh kau ambil." "Aaah! jelaslah sudah kalau Too koh ini adalah seorang
anggota perkumpulan Sin-kie-pang, dengan kematian Pek
Kun-gie secara mengenaskan, Pek Siau-thian pasti akan gusar
bercampur sedih, dalam dendamnya ia tak akan mengampuni
jiwaku, andaikata kedua orang ini sampai bekerja sama,
jelaslah sudah bahwa aku bukan tandingannya lagi...."
Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan
untuk menguntit terus dibelakang tubuh Too koh bercadar
hitam itu dan sedikitpun tidak mengendorkan pengejarannya.
Rupanya Too koj bercadar hitam itu hafal sekali dengan
keadaan medan dalam jurang tersebut, dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilati ia bergerak terus menuju ke depan,
sedangkan Hoa Thian-hong bagaikan sukma gentayangan
membuntuti dibelakangnya.
Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya,
keadaan tanah kian lama kian bertambah tinggi tanpa terasa
mereka sudah tinggalkan dasar jurang dan berlarian mendaki
keatas sebuah punggung bukit.
Pada waktu itu rembulan sudah tenggelam diarah barat,
suasana disekitar bukit itu sunnyi sepi dan gelap tak
bercahaya, ketika Hoa Thian-hong masih menguntil dengan
kencangnya dibelakang tubuh Too koh bercadar hitam itu,
tiba-tiba terdengar rahib tersebut mem bentak keras, "Hati
hati....!" Hoa Thian-hong terkesiap, tampaklah tubuh rahib itu
bagaikan seekor kera dengan lincahnya meloncat naik
kesebuah bukit, buru-buru ia pertajam pandangan matanya,
setelah mengincar tempat berpinjak tempat yang
dipergunakan rahib itu ia segera menyusul dari belakangnya.
Seandainya pada waktu itu ada orang menyaksikan tingkah
laku dari mereka berdua maka orang itu akan terkesiap dan
kaget. Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak menyadari kalau
ia berada dalam keadaan bahaya, ia melompat dan melompat
terus mem buntuti dibelakang rahib tersebut, kurang lebih
setengah jam kemudian mereka sudah mencapai diatas
sebuah bukit yang tinggi dan Too koh bercadar hitam itupun
segera menghentikan langkah kakinya.
Dengan cepat Too koh bercadar hitam itu membaringkan
jenasah Pek Kun-gie diatas tanah, kemudian sesudah
mengatur pernafasan perlahan-laha maju kedepan.
Hoa Thian-hong sendiri sambil menyeka keringat yang
membasahi keningnya, ia awasi sebentar suasana disekeliling
tempat itu ketika dilihatnya Too koh bercadar hitam iiu sudah
membaringkan tubuh Pek Kun-gie ke atas tanah ia segera
menerjang maju kedepan. Terlihatlah Pek Kun-gie memejamkan matanya rapat-rapat,
wajahnya pucat pias bagaikan mayat, nafasnya sudah berhenti
dan sekujur ba dannya jadi dingin dan kaku, rupanya gadis itu
benar-benar sudah putus nyawa.
Hoa Thian-hong sendiri sebenarnya adalah seorang
pemuda yang romantis, akan tetapi berhubung pendidikan
rumah tangganya amat ketat maka sejak kecil ia sudah
terdidik untuk bisa menguasai perasaan sendiri.
Ketika Pek Kun-gie memperlihatkan rasa cintanya yang
mendalam, dia sendiripun tertarik hatinya pada gadis itu, apa
lacur dendam kesumat yang tertanam antara golongan putih
dan golongan hitam sudah terlalu mendalam hingga ibaratnya
api dan air. Sebagai seorang pemuda yang bercita-cita untuk
mewujudkan pesan terakhir dari mendiang ayahnya yakni
membasmi kaum iblis serta menyelamatkan umat persilatan
dari badai pembunuaan membuat ia harus mengeraskan hati
serta mengabaikan rasa cinta gadis she Pek itu.
Sebaliknya kini setelah orang yang dihadapannya telah
berubah jadi mayat, pelbagai rasa sedih, cinta dan aneka
ragam perasaan lainnya segera berkecambuk jadi satu
membuat ia jadi amat terharu dan air mata jatuh bercucuran
dengan derasnya. Diam-diam ia berdoa, "Oooooh....! Kun Gie orang yang
sudah mati tak akan terikat oleh dendam andaikata diantata
kita terdapat dendam atau sakit hati kesemuanya itu telah
terhapus sampai disini saja, kalau selama ini aku telah
mengabaikan dirimu, hal ini kulakukan karena keadaan
terpaksa kalau engkau benar-benar mencictai aku semestinya
engkau da pat memahami keadaanku serta memaafkan
kesalahanku itu...."
Mendadak terdengar suara dari Too koh bercadar itu
berkumandang datang. "Tiga depa dari hadapanmu ada Sin leng, kalau engkau
berpura-pura menyatakan cinta dihadapan orang yang telah
mati maka suatu ketika engkau akan mendapat ganjaran yang
setimpal!" Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong merasa amat
gusar ia segera menengadah dan berseru, "Menyindir orang
tanpa bukti Sian koh! apakah engkau tidak merasa bahwa
caramu itu terlalu kejam?"
"Tidak berbudi, perasaan beku! apakah pin ni tak boleh
mendongkol terhadap manusia seperti itu!"
Hoa Thian-hong benar-benar merasa amat gusar sambil
membopong jenasah Pek Kun-gie, ia bangkit berdiri lalu
memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk mencari
tempat yang baik untuk menyimpan jenasah Pek Kun-gie,
kemudian baru berusaha untuk mengusir Too koh bercadar
hitam itu. Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah kuburan
kecil tiada jauh dihadapannya, didepan kuburan berdirilah
sebuah batu per ingatan, baik batu nisan maupun batu
peringatan nampak antik sekali dan agaknya sudah berusia
ratusan tahun. Hoa Thian-hong tertegun ia segera berkelebat kehadapan
kuburan itu, ia temukan di atas batu peringatan terukir tiga
hurup besar yang terdiri dari rangkaian hurup kuno dan
berbunyi demikian, Kuburan pemendam pedang!
Dalam pada itu, dengan suara dingin Too koh bercadar
hitam itu telah berkata dengan suara dingin, Hoa Thian-hong,
andaikata engkau merasa tidak yakin untuk menangkan diriku,
cepat lepaskan jenasah Pek Kun-gie dari bopongan mu dan
segera mengundurkan diri dari puncak ini, memandang diatas
rasa cinta yang pernah diberikan Pek Kun-gie kepadamu, aku
tak akan melukai selembar jiwamu.
Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alis matanya yang
tebal sebelum bibirnya sempat membantah matanya yang
tajam telah menyapu sekejap disekeliling tempat itu ternyata
dimana ia berdiri pada saat ini adalah sebuah puncak gunung
yang tinggi menjulang ke angkasa, sekeliling puncak itu
merupakan rentetan pegunungan yang tinggi, kabut tebal
menyelimuti hampir seluruh permukaan tanah.
la sendiri tak tahu bigaimana caranya hingga dirinya berada
diatas puncak bukit yang begitu tinggi, setelah mengetahui
jelas keadaan disekelilingnya ia merasa bergidik dan bulu
kuduknya pada bangun berdiri, dipandangnya sekejap wajah
Pek Kun-gie yang pucat pias itu tampaklah gadis itu semakin
putih mukanya hingga menyerupai kertas.
Agaknya Too koh bercadar hitam itu sudah tak sabar untuk
menanti lebih lama lagi, sambil kebaskan senjata hud tim ia
berseru, "Hoa Thim Hong, engkau yang akan pergi dari sini
atau pin ni yang harus tinggalkan tempat ini, ayoh cepat ambil
keputusan."
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau yang pergi!" bentak Hoa Thian-hong dengan
gusar. Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin badannya
melayang maju kedepan dan....
Sreet!! senjata hud tim nya menyapu kemuka.
Hoa Thian-hong semakin mendongkol menyaksikan
datangnya ancaman dari lawan, dengan cepat ia loncat
bangun dari atas tanah telapak kirinya menghajar senjata
musuh sedangkan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanannya menotok kedepan.
Terdengar desiran tajam yang amat memekikkan telinga
disertai segulung angin serangan yang maha dahsyat, laksana
kilat cepatnya menerobos kedepan mengancam jalan darah
sian ki hiat ditubuh Too koh bercadar hitam itu, begitu dahsyat
serangannya hingga sangat mengejutkan hati orang.
Diam-diam Too koh becadar itu merasa amat terperanjat,
buru-buru ia berubah jurus senjata Hud tim nya balik
menyerang pergelangan ta ngan musuh sementara telapak
kirinya melancarkan satu pukulan berhawa lunak yang hebat
menghantam dada si anak muda itu.
"Sungguh lihay Too koh ini," pikir Hoa Thian-hong dengan
kaget, "jurus demi jurus serangan yang dilancarkan Too koh
ini penuh berisi tenaga, jelas dia adalah seorang jago
kenamaan, mungkinkah dalam perkumpulan Sin-kie-pang
benar-benar terdapat bagitu banyak jago kenamaan?"
Berpikir sampai disitu, tubuhnya segera menerjang maju
kedepan secara beruntun dia lancarkan delapan buah pukulan
dan kesemuanya merupakan satu jurus yang sama yakni jurus
Kun-siu-ci-tauw. Delapan buah serangan tersebut ibaratnya gulungan air
sungai Tiang kang yang tiada berputusan, seandainya musuh
yang dihadapi bukan seorang tokoh persilatan yang ampuh,
tak mungkin akan mampu urtuk menghadapi datangnya
ancaman tersebut. Too koh bercadar hitam itu sendiri, dengan sebilah senjata
hud tim nya yang maha dahsyat, terutama sekali kepandaian
Liu in bui siu atau awan mengalir ujung baju beterbangan
merupakan kepandaian terampuh di kolong langit kendatipun
pada mula-mulanya masih bisa bertahan dengan seenaknya
namun lama kelamaan dia harus menghadapi nya dengan
sepenuh tenaga dan sedikitpun tidak berani berayal.
Selelah berhasil memunahkan delapan buah serangan
tersebut, diam diam too koh bercadar hitam itu
menghembuskan napas lega, menggunakan kesenpatan itu ia
lancarkan serangan balasan.
"Hoa Thian-hong!" serunya sambil tertawa dingin,
"mengapa engkau tidak cabut keluar pedangmu?"
"Bertempur dengan tangan kosongpun belum tentu engkau
mampu untuk mempertahankan diri!" jawab Hoa Thian-hong
angkuh. "Hmmm! bicara takabur dan pandai omong besar, engkau
benar-benar seorang manusia yang tak tahu tingginya langit
dan tebalnya bumi!" "Hmm! kalau memang begitu, cobalah terima pukulanku
ini!" hardik Hoa Thian-hong dengan gusar.
Dari posisi Tiong kiong ia bergerak menuju kepintu hong
bun dengan jari tangan menggantikan pedang, sebuah
totokan maut dengan ilmu menyerang sampai mati segera
dilepaskan. "Bocah tak tahu diri, engkau memang benar-benar kurang
ajar....!" maki Too koh itu dengan gusar.
Tubuhnya berkelebat kesamping, telapak kirinya dengan
jurus Toa mo hui sah atau pasir beterbangan ditengah gurun
melancarkan sebuah gulungan maut kedepan, sementara hud
tim ditangan kanannya berputar membabat wajah lawannya.
Ketika dalam gerakan menyambar gagang hud tim
mengurat dan tiba-tiba mengancam urat nadi pada
pergelangan Hoa Thian-hong dalam satu jurus tersembunyi
tiga gerakan yang penuh dengan nafsu membunuh, serangan
tersebut betul-betul mengerikan sekali.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terkesiap, satu ingatan
segera berkelebat dalam benaknya, dia merasa bahwa
gerakan tubuh Too koh berkeruedurg hitam ini seperti pernah
dikenal dan dilihatnya disuatu tempat.
Tiba-tiba terdengar Too koh bercadar hitam berseru dingin,
"Hoa Thian-hong apabila engkau mampu mempertahankan diri
terhadap seranganku dengan jurus In mao sam wu atau mega
menari-nari, pin ni akan tunduk seratus persen dan segera
mengundurkan diri dari tempat ini."
Secara tiba-tiba Hoa Thian-hong telah menyadari bahwa
gerakan tubuh Too koh tersebut mirip sekali dengan
seseorang dan tanpa terasa diapun teringat akan seseorang
yang lain. Dengan keringat dingin mengucur keluar membasahi
seluruh tubuhnya pemuda itu segera meloncat mundur
kebelakang, serunya dengan gelisah, "Cianpwee harap tunggu
sebentar, aku ada perkataan hendak kusampaikan padamu!"
"Manusia yang telah mati tak dapat hidup kembali, bicara
omong kosong apa gunanya" sahut Too koh bercadar hitam
dengan sinis. Senjata hud tim nya dikebaskan ke arah depan, cahaya
hijau segera tersebar keempat penjuru beratus-ratus lembar
bulu Hud tim yang menyebar kebawah, serentak mengancam
jalan darah penting diseluruh badan lawannya.
Hoa Thian-hong terkejut bercampur cemas, dalam waktu
singkat pelbagi ingatan berkelebat dalam benaknya
bagaimanapun juga ia tak berani melancarkan serangan
balasan, dalam keadaan yang amat kritis sekuat tenaga
badannya loncat mundur kebelakang.
Menyaksikan serangannya tidak mengenai sasaran, Too
koh bercadar hitam itu segera mengejar kedepan, senjata Hud
tim nya sekali lagi menyerang kemuka bentaknya dengan
gusar, "Mengapa engkau tidak lancarkan serangan balasan?"
"Menteri setia pendekar sejati, anak berbakti cucu
budiman...." sahut Hoa Thian-hong sambil menyusup
kesamping dan sekali lagi meloloskan diri dari ancaman kedua.
Too koh bercadar hitam itu merasa amat terharu akan
tetapi diluar sama sekali tidak mengendorkan pengejaranya,
sambil mendesak maju kedepan serunya sambil tertawa
dingin, "Hoa Thian-hong engkau menghormati pin ni sebagai
apa?" "Aku menghormati cianpwee sebagai pendekar sejati...."
jawab si anak muda itu dengan gelisah.
Belum habis dia berkata, Too koh bercadar hitam itu
mendengus dingin senjata Hud timnya dikibaskan kemuka dan
untuk ketiga kalinya dia melancarkan sebuah serangan kilat.
Hoa Thian-hong merasa amat gelisah pikirnya, "Sudah
sewajarnya kalau dia merasa sedih karena menyaksikan darah
dagingnya mengalami musibah, baiklah! akan kusambut
sebuah serangannya agar rasa mangkel dan mendongkolnya
yang berkecambuk dalam dadanya bisa keluar...."
Berpikir sampai disini, ia segera salurkan hawa murninya
keseluruh badan terutama sekali disekitar punggungnya
kemudian dengan cepat maju kedepan.
Ketika pemuda itu berkelebat ke arah sisi kiri, Too koh
bercadar hitam itu merasa curiga bercampur sangsi akan
tetapi anak panah sudah ada dibusur mau tak mau harus
dilepaskan juga. Sambil membentak keras, senjata hud timnya segera
dibabat ke arah bawah dengan amat dahsyat.
"Aduuuh....! Hoa Thian-hong mendengus dingin, belasan
jalur luka yang mengucurkan darah segar muncul diatas
punggungnya, daging merekah dan keadaannya mengerikan
sekali, tubuhnya segera terlempar hingga mencapai sejauh
dua tombak dari tempat semula.
Tertegun hati Too koh bercadar hitam itu menyaksikan
kejadian tersebut, dengan cepat ia membopong maju Pek
Kun-gie kemudian kabur turun bukit dan sekejap mata
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan
Hoa Thian-hong berdiri termangu-mangu, beberapa saat
kemudian ia menghela napas panjang dan bergumam seorang
diri, "Ataai....! manusia yang telah mati tak bakal hidup
kembali, bicara kosong apa gunanya?"
Untuk beberapa saat lamanya karena murung, pemuda itu
telah melupakan rasa sakit diatas punggungnya.
Baru saja dia akan menuruni bukit itu untuk kembali pada
ibunya, mendadak pemuda itu teringat kembali akan kuburan
pemegang pedang, segera pikirnya, "Dalam dunia persilatan
memang sering kali terdapat manusia yang berwatak aneh
dan suka menyendiri, orang itu menggunakan kuburan untuk
memendam pedangnya, aku rasa dia pastilah seorang
manusia yang luar biasa. Perlahan-lahan ia dekati kuburan tersebut, ketika diperiksa
dengan seksama mendadak di-temuinya bahwa kuburan
pemegang pedang sudah pernah dibongkar orang bahkan
kalau ditinjau dari keadaan disekeliling tempat itu jelas
pembongkaran itu terjadi belum lama berselang.
Diam-diam segera pikirnya, "Orang persilatan kebanyakan
pada menyukai senjata tajam apa lagi kuburan pemendam
pedang ini tiada pemilik, tidak aneh kalau tempat seperti ini
paling sudah memancing kedatangannya orang tapi batu
peringatan itu sudah kuno dan hurufnya sudah kabur
semestinya usia kuburan ini sudah mencapai dua tiga ratus
tahun lamanya, pedang didalam kuburan ini semestinya sedari
dulu sudah diambil orang kenapa belakangan ini masih
nampak juga bekas-bekas digali?"
Berpikir sampai disini, timbullah perasaan ingin tahu dalam
hati kecilnya, ia meyingkirkan batu besar diatas kuburan itu
dan segera ditelitinya dengan seksama.
Luas kuburan pemendam pedang itu hanya empat depa,
lapisan kuburan terdiri dari petak-petak batu persegi empat,
berhubung tempat itu pernah digali orang maka sewaktu
menyingkirkan petak-petak batu itu dapat dilakukan dengan
mudah sekali, dalam waktu singkat seluruh lapisan kuburan
bagian depan sudah terbongkar hingga muncullah sebuah
papan batu cadas yang berbentuk panjang.
Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir didalam hatinya,
"Meskipun kuburan ini kecil akan tetapi bangunannya megah
sekali, nampaknya kuburan ini adalah kuburan orang kaya...."
Dalam hati masih berpikir, tangannya telah bekerja
membongkar lapisan batu cadas tersebut.
Dibawah lapisan batu itu merupakan sebuah liang kosong
berbentuk panjang, pada lapisan liang itu membujurlah
sebuah lapisan batu lain yang panjangnya tiga depa dengan
luas beberapa depa diatas lapisan itu terukirlah hurup-hurup
lembut yang amat rapat kecuali itu tiada benda lainnya lagi.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing di ufuk disebelah
timur, dengan mata yang tajam Hoa Thian-hong mengamati
tulisan itu terbacalah tulisan itu berbunyi demikian, "Setelah
tamat belajar ilmu aku terjun kedunia persilatan dengan
andalkan sebilah pedang yang berat!"
Hoa Thian-hong terperanjat sambil meraba pedang baja
yang tergantung dipinggangnya, ia berpikir, "Mungkinkah
pedang baja yang dimaksud adalah pedang bajaku ini....
Ia membaca tulisan itu lebih jauh, "Berkat perlindungan
dari perguruan, semuanya berjalan lancar dan berjalan
sepuluh tahun nama besarku telah tersohor diseluruh kolong
langit dalam usia semuda ini tentu saja hasil itu membuat
hatiku sangat gembira.... tapi sayang suatu ketika karena
kurang ber hati-hati aku telah salah membunuh seorang
pendekar sejati, hasil jerih payahku selama sepuluh tahun
punah dan hancur dalam sehari dalam malu dan putus asa,
kupendam pedang bajaku, mengasingkan diri dan tak bersedia
membicarakan soal ilmu silat lagi...."
Membaca sampai disini Hoa Thian-hong menghela napas
panjang, pikirnya, "Seringkali orang menang silat dan lupa
daratan memang akibatnya adalah penyesalan yang tiada
akhirnya...." Kemudian pemuda itu teruskan kembali pembacaannya,
"Dalam ketenangan, timbullah satu ingatan dalam benakku,
aku berhasrat munculkan diri kembali dalam dunia persilatan,
aku berusaha berbuat amal dan kebajikan untuk menebus
kesalahan yang pernah kulakukan dimasa lampau, puluhan
tahun telah berlalu bagaikan sehari.
Timbul perasaan kagum dan hormat dalam hati Hoa Thianhong
dengan semangat berkobar, ia melanjutkan membaca
tulisan itu. "Walaupun pada saat ini aku tidak pernah dibantu oleh
pedang berat, namun dengan andalkan tenaga dalam yang
tinggi walaupun dengan kayu ataupun rumput tetap tidak ada
tandingannya di kolong langit, lama kelamaan sadarlah aku
tentang arti yang sebenarnya dari pada kata yang
mengatakan, pedang enteng menangkan pedang berat,
pedang kayu menangkan pedang baja, latihankusemakin rajin
dan perbuatan amalku semakin besar...."
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang bajanya dan
menimang-nimang, lalu gumannya seorang diri, "Pedang
enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan
pedang baja....?" Ia gelengkan kepalanya dan segera alihkan kembali sorot
matanya keatas lapisan batu tersebut.
Setelah hidup seratus tahun, kepandaian silat yang kumiliki
semakin meningkat terus, aku menyadari bahwa perguruanku
tak boleh putus dengan begitu saja lantaran aku karena itu
selain pedang baja yang berat kusertakan pula sebait "Kiam
keng" ditempat ini. Membaca sampai disini, sorot matanya dengan tajam
menyapu sekejap sekeliling liang pedang itu dengan harapan
bisa menemukan 'Kiam keng' atau catatan pedang seperti
yang dimaksudkan namun liang batu itu kosong melompong
kecuali batu cadas tersebut tiada benda yang lain lagi.
Dengan hati terkejut ia melanjutkan membaca tulisan itu,
"Selama membawa pedang ditangan, ternyata di kolong langit
tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi diriku,
tiada benda yang mampu menahan pukulanku, dalam keadaan
begini timbullah ingatan dalam benakku, hidup dengan
pedang lebih baik hidup tanpa pedang, tapi perguruan turun
temurun mewariskan pedang tersebut, itu berarti dibalik hal
itu pastilah terdapat sesuatu maksud yang tertentu maka aku
segera menutup diri untuk memecahkan rahasia ini, setelah
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghabiskan waktu sembilan belas tahun, akhirnya dapat
aku resapi apa artinya ada pedang menangkan tanpa pedang
berat meranakan pedang ringan karena itu dengan sepenuh
tenaga kuciptakan serangkaian catatan Kiam keng sebagai
pembantu mereka yang ingin memperdalam ilmu pedangnya
cataitan terlampir dibawah dan siapa yang berjodoh boleh
mempelajarinya!" Dibawah tulisan tersebut tertulis kembali nama dari pemilik
kuburan tersebut yakni"
"Ahli waris angkatan keempat puluh empat dari perguruan
pedang Gi Ko" Dan tulisan dipaling bawah adalah Catatan Kiam keng.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah
membaca sampai disitu, dengan suara lantang segera
bacanya, "Peraturan menurut langit, kerugian pasti bersisa tenaga
masih kurang kekerasan bukanlah...."
Baru saja ia berbicara sampai disitu mendadak dari
belakang tubuhnya berkumandang datang suara bentakan
keras disusul segulung angin pukulan yang maha dahsyat
menggulung datang. Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak
menyangka siapakah jago lihay dalam dunia persilatan yang
memiliki tenaga pukuln yang begitu dahsyat"
Ditengah desingan angin tajam, pemuda itu buru-buru
menjejakan kakinya keatas tanah dan membumbung
keangkasa tinggi hingga menca pai ketinggian tiga tombak
dari permukaan. Blaaaamm! ditengah benturan keras yang menggelegar di
angkasa, batu nisan didepan kuburan pemendam pedang
serta papan batu dalam liang terhajar hingga hancur jadi
berkeping-keping kemudian tersebar kemana-mana....
Hoa Thian-hong merasa terkejut bercampur gusar ketika ia
melayang turun keatas tanah dan menengok ke arah orang
yang melan carkan serangan itu maka tampaklah Pek Siauthian
ketua dari perkumpulan Sin-kie-pang yang amat tersohor
itu sudah berdiri angker dihadapannya.
Pek Siau-thian berdiri kaku dihadapannya dengan mulut
terkatup rapat-rapat, jubahnya yang lebar berkibar terhembus
angin sikapnya yang begitu mengerikan membuat orang jadi
segan dan tak berani memandang rendah dirinya.
Hoa Thian-hong teramat gusar, pada saat itu dia sudah
lupa akan arti jeri ataupun takut sambil mempersiapkan
pedang bajanya ia berseru dengan gusar, "Pek Siau-thian!
persoalan lain tak usah kita bicarakan lagi, mari kita berduel
untuk menentukan siapa menang siapa kalah, kita bereskan
semua hutang lama maupun hutang baru!"
Air muka Pek Siau-thian berubah hebat, perlahan-lahan
katanya, "Kalau didengar dari pada ucapanmu, apakah putriku
benar-benar telah mati?"
Wajahnya penuh emosi, suaranya gemetar dan ia tak dapat
mengua-sahi perasaan ngeri serta kecewa yang berkecamuk
dalam benaknya. Kematian dari Pek Kun-gie merupakan suatu kejadian yang
amat menyesalkan hati Hoa Thian-hong, rasa sedih yang
dialaminya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
bara kebencian yang masih tertanam didasar hatinya
membuat pemuda itu tak sudi memperlihatkan perasaan hati
yang sebenarnya dihadapan Pek Siau-thian.
Mendengar pertanyaan itu, dia segera mengangguk sebagai
tanda membenarkan ucapan itu.
Sekujur badan Pek Siau-thian gemetar keras sesudah
termenung beberapa saat, tiba-tiba ia menengadah keatas
dan memperdengarkan suara gelak tertawa yang amat
menyeramkan. "Heeehh.... heeehh dimanakah jenasahnya?"
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, diam-diam
pikirnya didalam hati, "Ilmu silat yang dimiliki too koh
bercadar hitam itu berasal satu aliran dengan kepandaian
yang dimiliki Pek Kun-gie kalau kutinjau dari sikapnya sewaktu
membopong jenasah Pek Kun-gie tanpa bersedia untuk
melepaskannya, mungkin dia adalah bininya Pek Siau-thian
atau ibu kandung dari kakak beradik itu, tapi itu hanya
menurut dugaanku belaka belum tentu dugaanku itu tepat."
Sementara itu ketika Pek Siau-thian menyaksikan pemuda
itu hanya membungkam terus tanpa menjawab, hatinya
kembali tercekat, tegurnya dengan nada agak gemetar,
"Kenapa" apakah engkau takut terjadi urusan maka kau
lenyapkan jenasah itu dari muka bumi?"
"Engkau tak usah menggunakan pikiran seseorang manusia
rendah untuk menilai seorang kuncu, aku orang she Hoa
bukan manusia semacam itu, aku tak dapat melakukan
pekerjaan seperti itu"
"Dimanakah jenasahnya?" bentak Pek Siau-thian tiba-tiba
dengan suara keras. Mula-mula hawa gusar menyelinap diatas wajah Hoa Thianhong
kemudian dengan dingin dan hambar jawabnya, "Tak
usah banyak bertanya, aku orang she Hoa sudah cukup
menerima penghinaan serta pencemoohan dari kalian dan
akupun tahu persoalan yang terjadi pada hari ini tak dapat
diakhiri secara damai, daripada buang waktu dengan percuma
lebih baik kita tetapkan saja mati hidup kita dengan ilmu silat."
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian segera
menengadah keatas dan tertawa seram suaranya
mengandung perasaan sedih, gusar, benci, mendendam serta
pelbagai perasaan lain, begitu seramnya suara tertawa itu
hingga jauh lebih tak enak di dengar dari pada suara tertawa.
Seluruh bukit dan udara segera menggema dan
mengalunkan tertawanya yang mengerikan itu....
Hoa Thian-hong merasa bergidik hingga bulu kuduknya
pada bangun berdiri, pikirnya, "Cinta kasih ayah anaknya
selalu sama meskipun Pek Siau-thian adalah seorang jagoan
yang amat lihay namun kesedihannya karena kehilangan
putrinya yang tercinta benar-benar memilukan."
"Aaaai....! dalam pertempuran yang bakal terjadi hari ini
mungkin salah satu diantara kita berdua bakal menemui
ajalnya...." Berpikir sampai disini, sengaja ia berseru dengan suara
dingin, "Hmmm! sebagai seorang pangcu dari perkumpulan
Sin-kie-pang mengapa tidak bersikap lebih terbuka sedikit?"
Gelak tertawa Pek Siau-thian segera sirap, sepatah demi
sepatah ujarnya dengan nada menyeramkan, "Kalau hari ini
aku tak mampu membinasakan dirimu maka perkumpulan Sinkie-
pang akan buyar dengan begitu saja, besok malam
pertarungan besar Kian ciau tayhwee pun tak ada manusia
yang bernama Pek Siau-thian lagi."
Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar dengan
sikap bertempur ia berteriak keras, "Bagus sekali! selama aku
orang she Hoa masih dapat bernapas, aku pasti akan
bertempur dengan dirimu hingga titik darah penghabisan, aku
tak mungkin akan tinggalkan bukit ini dengan begitu saja."
ooooooOoooooo 47 NAFSU membunuh yang amat tebal dengan cepet
menyelimuti seluruh wajah Pek Siau-thian, sambil tertawa
dingin tubuhnya bergerak maju kedepan, telapak tangannya
laksana kilat melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah
dada lawan. Hoa Thian-hong tetap bersikap angkuh dan sama sekali tak
bermaksud menghindarkan diri kesamping, tubuhnya tetap
berdiri tegak ditempat semula sementara pedang bajanya
diayun kedepan.... Sreeet! sebuah serangan balasan telah
dilepaskan. Pek Siau-thian merasa amat terperanjat dan hatinya
bergentar keras dan perasaan tersebut belum pernah dialami
selama hidup. Sejak mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang, hampir
separoh jagad telah berada dalam genggamannya tidak
membicarakan soal kepandaian silatnya, cukup meninjau
kepandaiannya mengendalikan serta menguasai anak buahnya
sudah bisa diketahui bahwa dia adalah sseorang manusia yang
luar biasa. Dalam sekilas pandangan, ia sudah tau bahwa Hoa Thianhong
memiliki bakat yang bagus dan dikemudian hari bakal
mencapai puncak kesempurnaan karena itu kemauan yang
dicapai oleh Hoa Thian-hong sudah berada dalam dugaannya
namun kemajuan yang sangat mendadak itulah justru
membuat hatinya bergetar keras ia tak dapat menemukan
dimanakah letak alasannya hingga pemuda itu berhasil
memperoleh kemajuan secepat itu.
Jilid 5 HARUSLAH diketahui serangan yang dilancarkan oleh Hoa
Thian-hong barusan sama sekali tidak memperlihatkan
kesempurnaan dalam tenaga dalam juga bukan keampuhan
dalam jurus serangan melainkan kegagahan keberanian serta
hasil latihan yang semestinya sudah mencapai puluhan tahun
lamanya dan pengalamanya dalam menghadapi ratusan
pertarungan itulah yang menggetarkan kesempurnaan
tersebut tak dapat diciptakan baik dengan obat-obatan
maupun dengan kecerdasan, kematangan itu hanya bisa
dihasilkan karena latihan yang lama serta seringnya
bertempur. Diam-diam Pek Siau-thian merasa amat terperanjat,
dengan cepat menyingkir kesamping kiri pemuda itu kemudian
melancarkan sebuah serangan lagi.
Hoa Thian-hong menggetarkan pedang bajanya kebawah
untuk memunahkan serangan tersebut, pikirnya, "Kun Gie
sudah mati, dendam kesumat inipun tak dapat dihindari lagi,
Pek Siaiu Thian sebagai seorang pemimpin persilatan pasti
akan berusaha keras untuk membalas dendam sakit hati akan
kematian putrinya itu, tapi aku merasa bersalah meskipun
kematiannya membuat aku menyesal namun aku tak dapat
mengorbankan jiwaku demi mensukseskan harapan Pek Siauthian
untuk membalas dendam...."
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras.... Sreett!
sreett! secara beruntun ia lepaskan dua buah serangan
dengan kedu dukan menyerang menggantikan posisi lawan
dan ia berusaha merebut diatas angin.
Desiran angin pedang menggetarkan telinga Pek Siau-thian,
hawa pedang yang terpancar keluar dari senjata tersebut
mampu melukai orang tanpa berwujud.
Sementara itu Pek Siau-thian sendiri sambil melayani
serangan-serangan lawan, dalam hati diam-diam membuat
perhitungan, pikirnya, "Tindak tanduk ini seringkali berada
diluar dugaanku, rupanya ia sudah berhasil mencapai
kesempurnaan dalam ilmu silatnya dan jelas merupakan
ancaman terbesar bagi dunia persilatan, Kun Gie sudah mati
dan perduli bagaimanapun juga hari ini aku harus
membinasakan bocah keparat ini tapi.... besok pertemuan
besar Kian ciau tayhwee bakal diselenggerakan, aku harus
menghindari pertempuran-pertempuran yang terlalu
membuang tenaga serta berusaha keras untuk menghemat
tenaga...." Berpikir sampai disini secara tiba-tiba ia lancarkan tiga buah
serangan berantai kemudian bentaknya keras-keras, "Tahan!"
Hoa Thian-hong menghindar satu langkah kebelakang
sambil silangkan pedangnya didepan dada, ia menegur,
"Engkau ada urusan apa?"
Wajah Pek Siau-thian Kaku dan sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan apapun, ujarnya, "Tahukah engkau,
kemarin malam ada urusan apa putriku yang tidak berbakti itu
datang mencari dirimu?"
Dengan penuh perasaan sedih, Hoa Thian-hong
menggeleng lalu jawabnya lirih, "Pada saat itu aku sedang
berlatih pedang dibelakang bukit, aku tak sempat berjumpa
muka dengan dirinya ketika aku menyusul kesini dia...."
Terbayang kembali kejadian tatkala ia di kerubuti orang
tempo hari, Pek Kau Gie begitu kuatir, cemas bercampur
gelisah memandang ke arahnya membuat ia merasa amat
sedih sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Terdengar Pek Siau-thian tertawa dingin dan berseru,
"Orang she Hoa, terus terang kuberitahukan kepadamu, pihak
perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw
untuk sementara waktu telah melupakan perselisihan
pribadinya dan telah membentuk persekutuan untuk bersamasama
membentuk jebakan maut disekitar tempat
terselenggaranya pertemuan besar itu, asal kalian besok pagi
berani menghadiri pertemuan besar Kian ciau tayhwee maka
kalian manusia-manusia yang berlagak sok mulia akan dibasmi
semua dan dibunuh habis dari muka bumi!"
Walaupun kejadian ini sudah berada dalam dugaan para
jago, akan tetapi setelah perkataan itu diutarakan dari mulut
Pek Siau-thian sendiri, tak urung membuat Hoa Thian-hong
terkesiap juga hingga air mukanya berubah sangat hebat.
Terdengar Pek Siau-thian menghela napas panjang,
kemudian menyambung lebih jauh, "Siapa tahu putriku yang
tak berbakti itu mencari kematian buat diri sendiri, matanya
sudah buta dan menganggap engkau seorang pria yang suka
memandang tinggi soal cinta, ia berharap bisa mendampingi
dirimu sepanjang hidup setelah dia mengetahui akan rahasia
ini dan menyaksikan kalian terancam kepunahan, maka
dengan menempuh bahaya ia memohon kepadaku agar
memberi petunjuk untuk menghindarkan kalian dari bencana
maut, ia telah berlutut satu hari satu malam lamanya. Aaaai....
sungguh menyesal kukabulkan permintaannya"
Berbicara sampai disini seluruh kulit tubuhnya berkerut
kencang sambil memandang keangkasa, ia membungkam
dalam seribu bahasa, dalam waktu singkat itulah belbagai
macam kesedihan berkecamuk dalam benak Pek Siau-thian
membuat ia berdiri termangu-mangu.
Hoa Thian-hong tak dapat menahan diri, dua titik air mata
jatuh membasahi pipinya diam-diam is berpikir, "Sungguh tak
kusangka, tanpa kusadari aku telah berhutang budi yang
demikian besarnya terhadap dia. Aaaai....! takdir telah
menentukan segala-galanya apa yang dapat kulakukan lagi?"
Tiba-tiba Pek Siau-thian berkata lagi dengan suara keras,
"Hoa Thian-hong tahukah engkau tiba-tiba hatiku berubah jadi
lunak dan aku bersedia mengkhianati persekutuan dengan
pihak lain sebaliknya malah membantu musuh dengan
mengabulkan permintaan putriku itu?"
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa Thian-hong tertegun kemudian jawabnya, "Sadar akan
kesalahan yang dilakukan selama ini dan engkau bermaksud
meninggalkan yang sesat kembali kejalan yang benar"
"Kentut!!" bentak Pek Siau-thian dengan penuh kegusaran.
Dalam hati Hoa Thian Hoag segera berpikir.
"Rupanya Pek Siau-thian sudah terlanjur tersesat sehingga
meskipun sang Budha turun keatas bumi sendiripun belum
tentu membu at ia bertobat diri segala dosanya.
Sesudah berpikir sebentar, diapun berkata, "Sejak kecil Kun
Gie dibesarkan dibawah perawatanmu, kalian berdua sudah
hidup berdampingan selama banyak tahun membuat cinta
kasihmu terhadap dirinya dalam bagaikan samudra...."
Makin mendengar, Pek Siau-thian merasa semakin kesal, ia
segera ulapkan tangannya memotong perkataannya yang
belum selesai itu, serunya, "Engkau jangan menyamkan diri
orang lain bagaikan dirimu, engkau adalah seorang anak yang
berbakti apa yang diucapkan ibumu selalu kau turuti, engkau
tak pernah membangkang perkataan ibumu, sebaliknya
putriku itu bukanlah seorang putri yang berbakti, aku
melarang dia untuk mencintai dirimu sebaliknya dia malah
justru tak mau dengarkan perkataanku, mencari penyakit buat
diri sendiri sehingga membuat akupun harus menanggung
rasa malu karena ditertawakan oleh setiap orang di kolong
langit!" Hoa Thian-hong merasa tak tega membiarkan Pek Kun-gie
yang sudah meninggal dunia dicaci maki oleh ayahnya, tanpa
terasa ia segera menimbrung dari samping, "Ucapanmu itu
terlalu serius, andaikata keadaan tidak melarang aku untuk
membatasi diri dalam pergaulan, siapa tahu kalau aku dapat
berhubungan lebih mendalam lagi dengan putrimu hingga
membawanya kejenjang perkawinan" siapa yang akan
mentertawakan kami?"
Pek Siau-thian tertawa dingin.
"Engkau tak usah mengatakan persoalan itu meskipun
engkau berbakti pada orang tuamu belum tentu ibumu
bertindak bijaksana, aku bukanlah manusia sembarangan,
sekalipun putriku yang tak berbakti itu kupelihara sendiri
sampai dewasa akan tetapi aku tak akan mengorbankan
keselamatan anggota Sin Kie Hong yang mencapai jumlah
seratus laksa orang itu hanya dikerahkan ingin mewujudkan
hubungan kalian berdua. "Seratus laksa orang?" seru Hoa Thian-hong dengan hati
terperanjat, hampir saja tak percaya dengan pendengaran
sendiri. "Hmm! mimpi pun engkau tak pernah menyangka bukan?"
sahut Pek Siau-thian dengan wajah penuh ejekan.
"Aaah....! mungkin ia memperhitungkan pula keluarga
mereka semua.... pikir Hoa Thian-hong didalam hati, akan
tetapi kalau satu keluarga terdiri dari sepuluh orang itu berati
anggota perkumpulan Sin-kie-pang semuanya berjumlah
sepuluh laska orang, kemampuan Pek Siau-thian untuk
memimpin anggota sebanyak itu memang benar-benar luar
biasa serta mengagumkan sekali....
Berpikir Sampai disini, ia lantas berkata, "Caramu bertindak
memang amat sukar diduga, sebenarnya apa sih alasanmu
sehingga membuat hatimu jadi lemah serta mengabulkan
permintaan diri Kun Gie" aku tak dapat menduganya...."
"Aiaai....!" Pek Siau-thian menghela napas panjang, "aku
teringat akan keretakan keluarga kami berhubung dengan
hidup berpisahnya dengan istriku, sejak kecil Kun Gie sudah
kehilangan kasih sayang ibunya, ia dibesarkan dibawah
lingkungan para jago yang beraneka ragam watak serta
perbuatannya, aku tak tega menyaksikan ia menjadi sedih
karena pengaruh cinta, akupan tak ingin membiarkan dia mati
karena kesedihan karena itu ditengah jalan aku telah berubah
pikiran dan mengijinkan dirinya untuk pergi memberi kabar
kepada kalian serta menunjukkan pula satu jalan keluar bagi
kamu semua, tapi.... siapa tahu...."
Ia berhenti sebentar, dari balik matanya tiba-tiba
memancarkan cahaya berapi-api, sambungnya lebih jauh,
"Siapa tahu kalian manusia-manusia yang mengaku sebagai
kaum pendekar dari kolong langit ternyata tidak lebih hanya
sekawanan manusia yang tak tahu diri manusia yang tak
mengenal budi.... bukannya berterima kasih atas jerih
payahnya, kalian malah mencelakai jiwa putriku yang tolol
itu.... kau.... Hoa Thian-hong, apakah masih punya muka
untuk berjumpa dengan para enghiong di kolong langit"
kenapa engkau tidak bunuh diri saja untuk menebus dosadosamu
itu" apakah engkau hendak menunggu sampai aku
turun tangan sendiri?"
Air muka Hoa Thian-hong pucat pias bagaikan mayat, ia
berdiri kaku dan membungkam seribu bahasa lama.... lama
sekali baru jawabnya, "Latar belakang yang sebenarnya aku
tak usah terangkan lagi, pokoknya hutangku terhadap Kun Gie
dikemudian hari pasti akan kubayar!"
"Tapi dia sudah mati!" bentak Pek Siau-thian dengan mata
melotot. "Apa aku bisa menggunakan kematianku untuk membalas
budinya itu" atau juga dalam penitisan yang akan datang aku
toh dapat pula membalas budi kebaikannya itu!"
"Perkataan tentang Penitisan yang akan datang terlalu
khayal dan kosong, menurut penglihatanku lebih baik engkau
balaa saja kebaikan budi Kun Gie dengan satu kematian!"
Hoa Thian-hong agak tertegun, lalu jawabnya dengan
sedih, "Sekalipun aku tersedia namun harus menunggu sampai
pekerjaanku telah selesai lebih dahulu!"
"Heeeehhh.... heeehhh.... heeehhb engkau bersedia
menunggu tapi aku tak bersedia untuk menunggu lebih jauh!"
sahut Pei Siau Thiang sambil tertawa dingin.
Tubuhnya segera menerjang maju kedepan telapak
tangannya lak sana kilat melancarkan sebuah serangan
dahsyat kedepan. Hoa Thian-hong segera putar pedang bajanya untuk
mengunci datangnya ancaman tersebut namun Pek Siau-thian
adalah seorang manusia yang amat lihay, setelah berhasil
menduduki posisi diatas angin sepasang telapaknya segera
melancarkan serangan-serangan berantai secepat kilat sampai
si anak muda itu sama sekali tak mempunyai kesempatan
untuk melakukan pembalasan.
Dengan waktu singkat segulung angin pukulan bagaikan
gulungan ombak ditengah samudra membungkus Hoa Thianhong
dalam kepungan, Pek Siau-thian senderi seakan-akan
telah berubah jadi gulungan angin pukulan yang maha
dahsyat, jejaknya tiba-tiba lenyap tak berbekas.
Hoa Thian-hong dengan sepenuh tenaga memutar pedang
bajanya untuk menahan gempuran-gempuran dari lawannya,
cahaya hitam tampak meronta diantara angin pukulan
sebentar cahaya hitam itu muncul sebentar lagi lenyap
seakan-akan permainkan pedangnya sudah terbungkus
ditengah gulungan pukulan angin pukulan lawan.
Perkataan yang diucapkan Pek Tiau Thian barusan telah
menggetarkan hati Hoa Thian-hong membuat pemuda itu
merasa menyesal hingga permainan pedangpun menjadi
lunak. Setelah kehilangan posisi yang menguntungkan, dalam
sekejap mata tubuhnya sudah tertelan ditengah gelombang
angin pukulan yang dahsyat bagaikan hembusan angin puyuh
itu, kendatipun ia telah berusaha untuk meronta dan
melakukan perlawanan akan tetapi selalu gagal untuk
menemukan kesempatan guna membenahi diri sendiri, ia
sadar jika keadaannya begini terus menerus maka pada
akhirnya dia bakal menemui ajalnya ditangan lawan.
Pek Siau-thian sendiri berhasrat untuk membinasakan Hoa
Thian-hong dalam sebuah se-rangan mautnya, siapa tabu
kendatipun sudah melancarkan ratusan jurus serangan dan
me-maksa Hoa Thian-hong berada dalam posisi yang sangat
berbahaya dan kritis bahkan sering kali jiwanya nyaris
melayang namun maksud tujuannya belum pernah bisa
tercapai. Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu
pertempuran yang sengit dan jarang terjadi di kolong langit.
Makin bertempur Pek Siau-thian merasa makin terperanjat
ia tak pernah menyangka kalau di kolong langit masih
terdapat seorang jago yang mampu bertahan sebanyak
ratusan jurus tanpa menderita kalah dibawah kurungan ilmu
pukulan Ceng boan ngo heng sian ong toan hun ciang nya itu.
Sudah terlalu banyak jago lihay di kolong langit yang
penrah dihadapi olehnya manusia lihay sebangsa Ciu It-bong
dan lain-lainnya asal sudah terjebak dibawah serangan
rangkaian ilmu telapak yang jarang sekali dipergunakan
olehnya ini, maka dalam seratus jurus pasti akan keok dan
menderita kekalahan ditangannya.
Siapa tahu ketika ilmu telapaknya yang ampuh itu
dipergunakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, walaupun
sudah bertahan sampai ratusan jurus akan tetapi pemuda itu
masih belum juga mampu dikalahkan.
Tak tertahan lagi, ia berpikir dalam hati kecilnya, "Kun ji,
engkau memang tak punya rejeki dan keluarga Pek kitapun
tak punya rejeki andaikata bocah ini dapat menjadi
pasanganmu dan aku bisa mendapat bantuannya maka para
jago persilatan baik dari go longan putih maupun dari
golongan hitam yang ada dilima telaga empat samudra
bukankah akan tunduk dan berada dibawah kekuasaan per
kumpulan Sin-kie-pang kita."
Karena terpengaruh emosi, serangan yang dilancarkan
semakin dahsyat dan daya tekanan yang terpancar keluar dari
ilmu telapak Ceng hoan sian hong toan hun ciang itupun
makin menggetarkan seluruh permukaan bumi.
Hoa Thian-hong mengerahkan segenap kekuatan yang
dimilikinya untuk melindungi keselamatan sendiri, dalam
keadaan begini otaknya tak sempat untuk dipakai lagi
terpaksa ia harus punahkan jurus bila bertemu jurus,
punahkan gerakan bila bertemu gerakan pertarungan
diteruskan dengan mengikuti semua gerakan lawan.
Adaikata Pek Siau-thian tidak menghentikan serangannya
maka diapun terpaksa harus bertahan terus dengan cara
demikian sekalianpun tidak sampai menderita kekalahan
diapun tak memiliki kekuatan untuk merebut kemenangan.
Dalam waktu singkat Pek Siau-thian telah melancarkan
empat lima puluh jurus serangan lagi, ketika dilihatnya tenaga
dalam yang terpancar keluar dari ujung pedang Hoa Thianhong
sama sekali tidak menunjukkan kelemahan, diam-diam ia
merasa amat gelisah pikirnya, "Kalau penarungan berlangsung
dalam keadaan begini terus, sekalipun bergebrak tiga sampai
lima ratus jurus lagipun belum tentu aku mampu untuk
melukai bocah keparat ini, apalagi kalau sampai membiarkan
dia hapal dengan gerakan ilmu telapakku ini bisa-bisa akan
muncul suatu kejadian yang sama sekali tak terduga...."'
Berhubung besok adalah hari pembukaan pertemuan besar
Kian ciau tayhwee atau dengan perkataan lain saat terakhir
bagi kaum jago untuk menentukan siapa tangguh dan siapa
lemah, siapa berkuasa siapa tidak lagi pula mempengaruhi
mati hidup perkumpulan Sin-kie-pang maka Pek Siau-thian
tidak ingin menggunakan hasil latihannya selama puluhan
tahun ini sebelum tiba pada saatnya yang tepat, sebelum
pertarungan massal berlangsung ia tak ingin mengorbankan
tenaganya dengan percuma hingga mempengaruhi
kelangsungan pertemuan besok pagi.
Disamping itu, diapun mengerti setelah Hon Thian-hong
dibunuh maka Hoa Hujin pasti bersiap sedia untuk
membalaskan dendam bagi kematian putranya, iapun harus
bersiap sedia untuk menghadapi pertentangan yang paling
berat itu. Berpikir sampai disana, diapun segera mengambil
keputusan untuk merubah siasat, ia berusaha mencari
kemenangan dengan andalkan kepandaian yang dimilikinya
selama ini. Terdengar orang she Pek itu mendengus dingin, gerakan
telapaknya tiba-tiba berubah, telapak kiri menyapu keatas
pinggang musuh sementara kepalan kanannya langsung
menghantam dada Hoa Thian-hong.
Perubahan yang sama sekali tak terduga itu membuat jago
muda she Hoa itu jadi amat terperanjat, disaat yang kritis
pedang bajanya buru-buru berputar dengan gerakan Po goan
siu it atau berjaga-jaga dalam satu titik, badannya secepat
kilat berputar kencang. Menghadapi serangan musuh dengan badan berputar,
pedang disilangkan didepan dada merupakan jurus pertama
dari antara enam belas jurus pedang yang dipelajari oleh Hoa
Thian-hong, gerakan itu mengandung unsur Pat kwa serta Tay
kek membuat pihak lawan susah untuk menduga arah
manakah yang bakal diancam....
Pek Siau-thian merasa amat kagum sekali ketika
menyaksikan kepalannya ketiga menyapu kedepan, tiba-tiba
berkelebat cahaya hitam dan tahu-tahu sepasang
pergelangannya hampir membentur diatas pedang lawan, ia
memuji kelihayan ilmu pedang yang diciptakan oleh Hoa
Goan-siu tersebut serta kesempurnaan Hoa Thian-hong
didalam permainan pedangnya.
Tetapi setelah berhasil merebut kedudukan diatas angin, ia
tak mau membuang kesempatan itu dengan begitu saja,
telapak kirinya dengan suatu gerakan yang sangat aneh tibatiba
menotok jalan darah Ki huo hiat diatas badan Hoa Thianhong
sedangkan tangan kanannya yang mengandung
kekuatan inti mendadak diluncurkan kedepan.
Hoa Thian-hong tak sempat berpikir panjang lagi, pedang
bajanya dikembangkan dengan jurus Hok lay cing beng atau
pekikan bangau membumbung keangkasa, ia balik membabat
lengan kiri Pek Siau-thian sedangkan telapak kirinya dengan
jurus Kun ciu ci tau menyambut datangnya serangan lawan.
Siau tahu serangan tangan kiri Pek Siau-thian adalah gerak
tipu belaka, sedang serangan telapak kanan adalah serangan
yang sesungguhnya, terutama sekali gerakan ini merupakan
hasil ciptaannya setelah belasan tahun lamanya bertempur
melawan Ciu It-bong, bisa dibayangkan betapa jitu dan
hebatnya serangan tersebut.
"Ploook....!" sepasang telapak saling membentur satu sama
lainnya menimbulkan suara benturan keras, tubuh kedua
orang itu sama sama bergetar keras dan seranganpun terhenti
untuk beberapa saat.
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar Pek Siau-thian tertawa terbahak-bahak,
lengannya berkelebat kedepan melancarkan satu pukulan.
Ketika terjadi bentrokan tersebut kedua duanya berada
dalam posisi serangan yang mencapai setengah jalan, dengan
begitu serangan susulan yang dilancarkan oleh Pek Siau-thian
ini boleh dibilang jauh menyimpang dari kebiasaan dunia
persilatan dan siapapun tak akan menduganya.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat melihat gelagat
tidak menguntungkan itu, keputusan diambil dalam benaknya
dia mengepos tenaga kemudian menghimpun segenap
kekuatannya diatas bahu dan tubuhnya dengan cepat miring
kesamping. Semua peritiwa itu berjalan dalam sekejap mata ketika
serangan dari Pek Siau-thian meluncur datang tiba-tiba, Hoa
Thian-hong miringkan badannya kesamping tak sempat untuk
mengganti jurus lagi.... Kraaak! telapak tangannya sudah
mampir diatas bahu Hoa Thian-hong membuat tubuhnya
terpental sejauh dua tombak lebih dari tempat semula.
Pek Siau-thian sendiri ketika telapak tangannya dengan
telak bersarang diatas bahu lawan ia merasakan timbulnya
tenaga tolakan yang amat besar menggetarkan tangannya hal
itu membuat dirinya amat terperanjat.
Ia tak menyangka kalau serangannya yang dilancarkan
dengan melanggar kebiasaan Bu Lim itu ternyata sudah
disambut oleh Hoa Thian-hong dengan persiapan yang penuh,
hal ini membuat luka yang diderita oleh lawan boleh dibilang
enteng sekali. Jago tua she Pek itu jadi penasaran, ia segera berkelebat
maju kedepan siap melancarkan serangan berikutnya yang
mematikan. Terlihatlah Hoa Thian-hong berdiri angkernya didepan
dengan pedang disilangkan didepan dada, sorot matanya
memancarkan cahaya kilat dengan tajam, ia awasi gerak-gerik
Pek Siau-thian dengan kesiap siagaan penuh, dari sikapnya
seakan-akan ia telah bersiap sedia untuk menghadapi
serangan musuh sampai dimanapun juga.
Tercekat hati Pek Siau-thian menyaksikan hal itu, ia
hentikan gerakan tubuhnya sambil berpikir.
"Aku harus bersikap lebih tenang gerakan yang ngawur dan
gegabah tak mungkin berhasil membinasakan bocah itu...."
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah berkata dengan
nada dingin, "Engkau telah tunjukan kegagahanmu selama
beberapa waktu, sayang sekali tujuanmu tak dapat tercapai,
sekarang tibalah giliranku untuk menunjukkan kelihayan"
Pek Siau-thian tertawa dingin, "Heeehh.... heehhh.... heehh
dengan andalkan sedikit kepandaianmu itu masih belum cukup
untuk membinasakan diriku"
"Hmm! kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa,
aku akan berusaha sekuat teraga...."
Sambil menerjang maju kedepan, pedangnya segera
melancarkan satu babatan.
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, baru saja bisa
memunahkan serangan tersebut, Hoa Thian-hong telah
tertawa dingin tiada hentinya, pedang bajanya berputar
melancarkan serangan berantai bagaikan gulungan ombak
sungai Tiang kang ia mengirim serangan-serangan yang
mematikan. Setelah permainan pedang bajanya dikembangkan, sekali
pun Cui Im taysu bekerja sama dengan Ciong Lian-khek pun
merasakan tekanan yang maha berat dan dalam seratus jurus
belum tentu bisa merobah posisinya jadi seimbang, apa lagi
Pek Sau Thian hanya seorang diri, dalam waktu singkat ia
sudah dipaksa dalam situasi yang serba menyulitkan
Makin bertempur makin bersemangat, Hoa Thian-hong
membentak berulang kali pedang bajanya disertai deruan
angin tajam menggulung diseluruh angkasa, sekalipun Pek
Siau-thian sudah berusaha keras untuk mengarahkan pelbagai
macam jurus aneh namun ia tak mau membendung rangkaian
serangan yang bertubi-tubi itu untuk merebut po sisi yang
lebih menguntungkan, sekalipun begitu bukanlah suatu
pekerjaan gampang bagi Hoa Thian-hong untuk mengalahkan
dirinya. Ditengah berlangsungnya pertempuran sengit, diam-diam
Pek Siau-thian berpikir dalam hatinya, "Perpisahan yang
sangat singkat, diri mana bocah ini berhasil melompat jadi
jago lihay yang mampu menandingi kepandaian silatku"
benar-benar mengherankan...."
Tiba-tiba ia membentak keras, "Tahan!!"
Hoa Thian-hong sendiripun menyadari bahwa sulit baginya
untuk merebut kemenangan, mendengar ia berseru keras,
terpaksa sambil menghela napas mengundurkan diri
kebelakang. Pek Siau-thian menengadah memandang cuaca, kemudian
ujarnya dingin, "Tengah hari sudah hampir tiba kalau racun
teratai empedu api yang mengeram di dalam tubuhmu sudah
mulai kambuh kita boleh beristirahat lebih dahulu kemudian
baru bergebrak kembali"
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong jadi amat
terperanjat, ia tak menyangka kalau pertarungan iiu sudah
berlangsung setengah harian lamanya dalam hati segera
pikirnya, "Ketika aku menuruni jurang ini ibu menunjukkan
perasaan kuatir Pek Siau-thian dapat menemukan tempat ini,
berarti ibukupun bisa juga berbuat demikian dibalik peristiwa
tersebut tentu ada sebab sebabnya...."
Pek Siau-thian jadi girang ketika dilihatnya pemuda itu
murung dan sedih, sambil tertawa dingin katanya, "Engkau tak
usah bermuram durja, aku akan memberi kesempatan
kepadamu untuk beristirahat dahulu kemudian baru
melanjutkan kembali pertarungan ini, bagaimanapun toh bala
bantuanmu tak mungkin bisa tiba disini, aku dapat suruh
engkau mati dengan mata meram."
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong merasa semakin
gelisah ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan
pertarungan ini dengan secepatnya hingga diapun bisa cepatcepat
melepaskan diri dari cengkeraman jago tua itu, sambil
ayun pedang bajanya ia berseru, "Dalam tubuhku sudah tidak
terdapat racun teratai lagi engkau tak usah pura-pura berlagak
alim dan baik hati kalau engkau tak mau bertempur lagi maaf
kalau aku tak bisa melayani dirimu lebih jauh"
"Jadi kalau begitu racun teratai yang mengeram didalam
tubuhmu sudah punah?"
"Engkau kecewa?" jengek Hoa Thian-hong sambil tertawa
dingin. Pek Siau-thian tertawa seram.
"Heeehh.... heehh.... heeeh.... tempo hari aku penuju
kepadamu dan ajukan pinangan kepadamu untuk
mengawinkan engkau dengan putriku, pada waktu itu engkau
mengatakan tubuhmu masih mergeram racun dan tak dapat
beristri, kini racun yang mengeram dalam tubuhmu telah
punah, rupanya untuk menjaga kemungkinan engkau telah
turun keji dahulu dengan membinasakan putriku...."
Hoa Thian-hong jadi amat gusar sehingga sekujur
badannya gemetar keras, sehabis mendengar perkataan itu
teringat cinta kasih yang ditujukan Pek Kun-gie terhadap
dirinya, saking sedihnya dia mencucurkan air mata serunya
dengan gemas. "Pek Siau, putri kandungmu sudah tiada lagi di kolong
langit, kenapa engkau memandang begitu rendah akan
dirinya?" "Oooh....! engkau merasa tak tega" aku mengira engkau
benar-benar adalah seorang lelaki berhati baik!"
"Sebenarnya apa maksudmu mengucapkan kata-kata yang
sama sekali tak ada gunanya itu?"
Senyuman licik yang menyeramkan melintas diujung bibir
Pek Siau-thian, pikirnya, "Aku akan membuat pikiranmu jadi
kalut dan bingung tak karuan, akan kulenyapkan semangat
bertempurmu hingga sebelum ajalnya engkau rasakan lebih
dahulu bagaimana rasanya jadi orang gila...."
Sinar matanya berkelebat memandang sekejap ke arah
Kuburan pemendam pedang yang telah dihancurkan oleh
angin pukulannya itu, tiba-tiba berkelebat lewat satu akal licik,
sambil tertawa tergelak segera serunya, "Hoa Thian-hong,
tahukah engkau dirimu adalah anak murid siapa?"
Meskipun Hoa Thian-hong cerdik namun ia masih bukan
tandingan dari Pek Siau-thian yang licik, mendengar
pertanyaan tersebut segera jawabnya, "Siapapun mengetahui
kalau ilmu silat aku orang she Hoa adalah kepandaian
keluarga buat apa engkau banyak bertanya lagi?"
"Lupa pada soal perguruannya engkau memang seorang
manusia lupa budi!" Tiba-tiba Hoa Thian-hong teringat akan sesuatu tanpa
sadar ia berseru, "Katakanlah semestinya aku orang she Hoa
adalah anggota perguruan mana....?"
"Kiam seng malaikat pedang Gi Ko!"
Hoa Thian-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah
kuburan pemendam pedang kemudian pikirnya, "Cianpwee ini
selama hidupnya banyak berbuat kebaikan, ilmu pedangnya
tiada tandingannya di kolong langit dia memang pantas
disebut malaikat pedang sayang aku hanya mendapatkan
pedangnya dan gagal menemukan Kiam keng tersebut"
Teringat kalau catatan Kiam keng tersebut telah
dihancurkan oleh tenaga pukulan Pek Siau-thian sehingga
pusaka yang tak ternilai harganya lenyap tak berbekas, tanpa
terasa ia menaruh benci terhadap jago tua itu, sambil
menggertak giginya serunya, "Sebenarnya aku tidak berhasrat
untuk membinasakan dirimu akan tetapi setelah engkau
mengungkap persoalan ini, andaikata aku tidak mencabut
selembar jiwamu rasanya sulit untuk melampiskan rasa
dendam didalam hatiku...."
Sambil putar senjata, ia segera menerjang maju kedepan.
Tampak Pek Siau-thian mengelus jenggotnya sambil
tertawa terbahak-bahak, diantara gelak tertawanya penuh
mengandung perasaan bang ga.
Bagaimanapun juga Hoa Thian-hong adalah seorang
pendekar sejati melihat pihak lawan tiada bermaksud untuk
melakukan perlawananan terpaksa ia tarik kembali
serangannya sambil berseru dengan nada gemas.
"Pek Siau-thian tingkah lakumu yang licik serta gelak
tertawamu yang seram bagaikan setan membuat aku teringat
pada seseorang" "Siapa?" tanya Pek Siau-thian sambil tertawa.
"Co Cho!!" "Haahhh.... haaahhh.... haaahhh.... terima kasih atas
sanjunganmu itu aku orang she Pek tak berani menerimanya!"
Haruslah diketahui, dalam pandangan Hoa Thian-hong,
manusia yang paling licik dan berbahaya dalam sejarah adalah
Co Cho, sebaliknya dalam pandangan Pek Siau-thian maka Co
Cho dianggap sebagai seorang pahlawan yang luar biasa, dan
dia menganggap orang itu sebagai pahlawan yang paling
dikagumi olehnya, karena itu makian Hoa Thian Hoag telah
disalah tafsirkan olehnya....
Dengan wajah serius dan penuh penghinaan, Pek Siauthian
berseru membaca isi dari Kiam keng yang telah
dihancurkan olehnya itu, "Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang, kekerasan bukanlah kekerasan, keras tapi
lincah, lunak bu kanlah lemah...."
Membaca sampai disini mendadak ia membungkam.
Hoa Thian-hong mendengarkan dengan seksama, tetapi
ketika ditunggunya sangat lama namun ia tidak meneruskan
pembacaannya pemuda itu jadi mendongkol bercampur gusar
tentu saja ia tak dapat mengajukan permintaan kepada
lawannya untuk meneruskan pembacaan tersebut, dengan
hati terbakar oleh hawa amarah ingin sekali ia bacok lawannya
sampai mati. "Bagaimana?" terdengar Pek Siau-thian mengejek sambil
tertawa, "meskipun aku tak mampu membaca sepuluh kata
dalam sekali pandangan namun tulisan diatas lapisan batu
cadas itu telab kubaca sampai selesai, engkau berbakat bagus
dan lagi masih muda masa tulisan itr" belum sempat kau baca
sampai habis?" Diam-diam Hoa Thian-hong merasa menyesal, menyesal
karena sudah terpikat oleh masa hidup Gi ko yang tertera
diatas lapisan batu itu hingga ketajaman telinganya berkurang
dan memberi kesempatan kepada Pek Siau-thian untuk
menghapalkan isi dari Kiam Keng sebelum menghancurnya
hingga jadi abu. Haruslah diketahui bagi orang yang belajar ilmu silat,
catatan ilmu yang sangat mendalam itu kadangkala dipandang
jauh lebih berharga daripada jiwa sendiri apalagi sejak kecil
Hoa Thian-hong sudah mempelajari ilmu pedang dengan
pedang baja tersebut boleh dibi lang dengan malaikat pedang,
Gi Ko mempunyai jodoh karena itu bagi pandangan nya Kiam
Keng tersebut jauh lebih berharga daripada apapun juga.
Mula-mula ia tidak berpikir sampai kesitu, semakin setelah
dipikir lebih jauh makin lama hatinya semakin mendongkol
sehingga akhirnya amarahnya berkobar dalam dadanya,
sambil menyeringai seram, segera serunya, "Pek Siau-thian,
ini hari kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa
kalau aku Hoa Thian-hong yang mati maka pembaca Kiam
keng atau tidak bagiku sama saja sebaliknya kalau engkau
yang mati...." "Aku akan membawa pergi catatan itu kealam baka," sahut
Pek Siau-thian sambil tertawa terbahak-bahak, "dan sejak kini
di kolong langit tiada orang lain mengetahui apa isi dari
catatan Kiam keng tersebut...."
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, sambungnya lebih
jauh, "Sungguh kasihan Malaikat pedang Gi Ko, dengan
usianya sebesar seratus tahun dia harus semedi selama
sembilan belas tahun lamanya sebelum berbasil menemukan
rahasia ilmu pedaag itu serta menciptakan Kiam keng sayang
usahanya itu hanya sia-sia belaka dan akhirnya harus musnah
dan muka bumi...." "Engkau jangan keburu merasa bangga lebih dahulu!"
bentak Hoa Thian-hong dengan gusar, "lihat aku akan segera
membacok tubuhmu hingga hancur berkeping-keping!"
Sambil menerjang maju kedepan, pedagnya segera dibabat
secara gencar. Menyaksikan pemuda itu mulai dibakar oleh hawa amarah
sehingga konsentrasinya buyar, diam-diam Pek Siau-thian
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa bangga, dengan cepat ia bergeser kesamping, lalu
sambil tertawa ujarnya, "Hoa Thian-hong malaikat pedang Gi
Ko membutuhkan waktu selama sembilan belas tahun untuk
menciptakan kelima puluh delapan kata catatan Kiam keng
tersebut, coba pikirkanlah sendiri dia membutuhkan waktu
berapa lama untuk mendapatkan satu patah kata?"
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa Thian-hong
menghitung, ia merasa malaikat pedang tersebut
membutuhkan waktu selama empat lima bulan untuk
mendapatkan setiap patah kata tersebut, hal ini membuat
hatinya semakin mendongkol, serunya dengan gemas,
"Semoga saja engkau jangan sampai terjatuh ditanganku,
kalau aku orang she Hoa berhasil menangkap dirimu, aku
akan menusukkan pedangku kedalam tubuhmu untuk
memperoleh setiap patah kata, suatu ketika aku pasti akan
berbasil memaksa engkau untuk mengucapkan kelima puluh
delapan patah kata tadi"
Dengan cepat Pek Siau-thian berkelebat delapan depa
kesampinag, sesudah berhasil meloloskan diri dari serangan
tersebut, katanya sambil tertawa, "Seandainya engkau telah
selesai membaca kelima puluh delapan patah kata yang
tercantum dalam catatan Kiam Keng tersebut, suatu ketika
engkau memang besar kemungkinan bisa menangkap diriku,
tapi sayang engkau tidak berhasil menyelesaikan bacaan itu
maka sepanjang hiduppun jangan harap akan berhasil untuk
menawan aku!" Hoa Thian-hong merasa amat gusar....
Sreet! Sreet! Sreet! secara beruntun ia lancarkan tiga buah
serangan berantai, namun dengan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna Pek Siau-thian berhasil mundur tiga langkah
kebelakang, biji matanya berputar dan secara tiba-tiba ia
sengaja memperlihatkan satu titik kelemahan.
Hoa Thian-hong pada saat ini sudah termasuk diantara
deretan kaum jago lihay di kolong langit, memperlihatkan titik
kelemahan secara sengaja merupakan suatu tindakan yang
berbahaya sekali. Pek Siau-thian mengeluarkan ilmu telapak Im yang ciang
untuk memancing musuhnya tujuan yang lebih utama tidak
lebih hanyalah untuk mengejek pemuda itu bahkan Hoa Thianhong
jadi amat kegirangan, pedangnya laksana sambaran kilat
segera membabat keatas pinggang jago tua itu.
Ketika ujung pedangnya menyentuh lawan tiba-tiba dalam
benak Hoa Thian-hong terlintas catatan Kiam keng,
pedangnya dibabat sejajar dada lalu menabok keatas
sedangkan tangan kirinya dengan suatu gerakan secepat kilat
melancarkan sebuah totokan.
Pek Siau-thian tertawa ringan, tubuhnya berkelebat
delapan depa dari tempat semula, sengaja ia mengambil
bahaya ini untuk menilai perasaan hati Hoa Thian-hong,
karena ada persiapan lebih dahulu maka ia tidak merasa selalu
jeri. Siapa tau setelah tubuhnya berkelebat kesamping, ia baru
merasa terjelos hatinya sehingga air mukanya jadi pucat pias
bagaikan mayat. Kiranya padi saat terakhir ujung pedang si anak muda itu
masih berhasil juga menempel diatas pinggangnya,
kendatipun sentuhan tersebut enteng sekali akan tetapi cukup
mengejutkan hatinya sehingga keringat dingin menguncur
keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thian-hong
sekarang ia baru mengerti kalau Pek Siau-thian sengaja
memperlihatkan titik kelemahan tersebut kepadanya, hal ini
membuat pemuda itu jadi mendongkol dan menyesal,
menyesal karena ia tak dapat memanfaatkan kesempatan baik
yang sukar ditemukan selama hidupnya itu.
Sambil menjejakan kakinya keatas tanah, karena gemas
teriaknya, "Aaaai....! sialan....!"
Sambil putar pedang ia lancarkan kembali satu serangan
kilat. Kali ini Pek Siau-thian tidak berani bertindak gegabah lagi,
sambil berkeliaran kesana kemari menghindari ancaman
musuh otaknya berputar cepat untuk menyusun siasat guna
mencari kemenangan.... Bila pertarungan ini sampai diketahui orang dan tersiar luas
dalam dunia persilatan maka seluruh sungai telaga pasti akan
jadi gempar. Kedua orang itu sama-sama saling mengadu tenaga serta
kecerdikan, kedua belah pihak sama-sama lihaynya, siapapun
tidak ingin melepaskan lawannya dengan begitu saja, siapa
pun tak bersedia menghentikan pertarungan sampai di situ
saja. Setelah bertempur beberapa saat lagi, tiba-tiba Pek Siauthian
berseru dengan nada dingin, "Hoa Thian-hong catatan
Kiam keng semuanya terdiri dari lima puluh delapan kata,
pernahkah engkau pikirkan arti dari setiap patah kata itu...."
ketahuilah bahwa dalam tiap kata itu terkandung suatu arti
yang sangat bermanfaat bagi ilmu silat asal engkau dapat
memahaminya maka sepanjang hidup engkau akan menikmati
hasilnya...." "Pikirkan saja dialam baka nanti!" tungkas Hoa Thian-hong
dengan penuh kebercian. Pek Siau Thim mengirimkan satu pukulan keudara kosong
lalu melayang mundur kebelakang, serunya, "Pertarungan
menurut langit kerugian pasti tersisa.... pernahkah kau
bayangkan apa arti yang sebenarnya?"
Satu ingatan berkelebar dalam benak Hoa Thian-hong,
segera pikirnya, "Peraturan menurut langit kerugian pasti
tersisa...." oooooOooooo 48 Dia adalah seorang jago lihay yang sudah memiliki ilmu
silat yang sangat mendalam, hanya saja selama ini tak ada
kesempatan untuk menyelaminya, kini setelah dipikir lebih
jauh segera terasalah olehnya meskipun beberapa patah kata
itu amat sederhana sekali namun arti yang sebenarnya sangat
dalam sekali. Dengan cepat tubuhnya melayang beberapa tombak
kebelakang, sambil menatap tajam wajah Pek Siau-thian
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Pek Siau-thian sendiri diam-diam merasa amat girang
tatkala dilihatnya si anak muda itu mulai terjebak dalam
siasatnya, sambil mengelus jenggot ia berkata lebih jauh.
"Tidak salah bukan" daya tekanan yang terpancar dari
pedangmu berlebihan, kesalahannya justru terletak pada
kekasaran, andai kata engkau dapat menyelami kekerasan tapi
lincah maka aku bukan tandinganmu lagi.
Hoa Thian-hong merasa perkataan itu masuk diakal juga,
diam-diam ia lantas mengulangi kembali rahasia Kiam keng itu
didalam hati. "Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang kekerasan bukanlah kekerasan, keras tapi
lincah, lunak bukanlah lemah...."
Sambil berpikir tanpa disadari pedang bajanya segera
dibabat ke arah depan dengan hebatnya.
Pek Siau-thian tertawa sambil menganguk, sahutnya,
"Tepat sekali, serangan pedang bajamu ini kalau tidak disertai
suara itu berani bahwa tenaga seranganya sepuluh Kali lipat
dari ke adaan biasa dan akupun tak mampu menandingi
dirimu lagi...." Hoa Thian-hong melototkan matanya bulat-bulat sambil
menatap tajam wajah Pek Siau-thian, tiba-tiba pedang
bajanya melancarkan babatan demi babatan lagi.
Hawa murninya diam-diam dikendalikan, pedang bajanya
berputar kencang semakin kecil bawa murninya desingan
udarapun Semakin kecil, tiba-tiba ia lancarkan satu babatan
keatas tanah. Traaang....! percikan bunga api menyebar keempat penjuru
sebuah, batu cadas yang keras telah terbacok hingga muncul
sebuah liang besar, setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia
lancarkan sebuah bacokan kembali, kali ini tenaga yang
dipergunakan jauh lebih kecil hingga tak dapat kecil lagi ketika
pedang baja itu menusuk diatas batu segera muncullah
sebuah celah diatas batu gunung itu hingga mencapai dua
depa dalamnya. Sambil tersenyum Pek Siau-thian menyaksikan kesemuanya
itu dengan penuh kegembiraan tiba-tiba ia temukan dari balik
mata Hoa Thian-hong memancarkan cahaya aneh, sepasang
pipinya berubah jadi merah dan rupanya ia terpengaruh oleh
emosi, hal ini membuat hatinya jadi terperanjat hingga tanpa
terasa pikirnya, "Aku tak boleh berbuat bodoh sehingga
menggali liang kubur untuk mengubur tubuhku sendiri....!"
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras, "Lunak
bukanlah lemah, rendah diri harus mundur, mundur karena
rendah diri, diri untuk diri sendiri!"
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergetar keras....
Sreeet!! ia putar pedang melancarkan satu babatan
kembali. "Seranganmu itu menggunakan tenaga terlalu besar!"
bentak Pek Siau-thian, sembari berkata sepasang tangannya
laksana sambaran petir melancarkan tiga buah serangan
gencar. Hoa Thian-hong tahu bahwa keadaan yang sedang
dihadapinya sangat gawat dan bahaya, dalam keadaan begini
pikirannya tak boleh bercabang akan tetapi beberapa patah
kata yang tercatat dalam Catatan Kiam keng bu kui terlalu
menarik hatinya, setiap kata yang tercantum dalam caatan
tersebut seakan-akan sebatang jarum yang menusuk perasaan
hatinya semuanya tepat menunjukkan penyakit yang
dideritanya dalam permainan pedang itu ia tak tahan untuk
memecahkan rahsia itu serta menutupi kekurangan yang
dideritanya dalam permainan pedang tersebut.
Terdengar Pek Siau-thian membentak nyaring, telapak
tangannya melancarkan serangan hebatnya luar biasa.
Hoa Thian-hong terdesak hebat dan mundur kebelakang
terus tiada hentinya, dengan jurus Su ku ciong hong atau
bunyi senyap diempat penjuru ia lancarkan serangan balasan,
pedangnya sebentar menyapu kekiri sebentar menyapu
kekanan, semuanya mengancam untuk membabat telapak
musuh. Desingan angin serangan sebentar ringan sebentar berat
dan sangat tidak beraturan kekuatan yang terpancar dari
senjata itupun seketika berkurang dan sama sekali tak mampu
mencapai puncak kehebatannya, hal ini memberi peluang bagi
Pek Siau-thian untuk menerjang masuk kedalam lingkaran
pertahanannya, jurus demi jurus dilancarkan dengan mantap
dan leluasa sedang tenaga pukulanpun berhasil ditingkatkan
menjadi dua belas bagian.
Kendatipun begitu, diam-diam Pek Siau-thian merasa
terperanjat juga sebab didalam per-tarungan singkat yang
sedang berlangsung ke lika itu, rupanya Hoa Thian-hong lelah
berhasil mendapatkan sedikit pemecahan rahasia ilmu
pedangnya, walaupun jurus permainan pedangnya sudah
berubah menjadi tak karuan, tetapi terpancar pula sejenis
kekuatan yang luar biasa.
Dendam kematian putrinya membara bagaikan api, rasa iri
dan dengki bagaikan minyak, api bercampur minyak
mengakibatkan darah panas dalam rongga dada Pek Siauthian
mendidih, watak jahatnya muncul dan menyelimuti
seluruh benaknya, dia ingin sekali satu kali menghajar berhasil
membinasakan si anak muda itu.
Apa daya, dasar ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong
terlalu kokoh dan daya tenaganya luar biasa sekali, serutama
ilmu silat yang dimilikinya sekarang bagian besar didapatkan
dari hasil latihannya yang tekun dalam menghadapi
pertarungan-pertarungan sengit, oleh sebab itulah walaupun
kesadaran otaknya sudah mulai samar, namun dengan
andalkan kemampuan yang dimilikinya ia masih mampu untuk
bergebrak melawan musuh selama setengah harian lamanya.
Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu pertarungan
yang sengit dan mendebarkan hati, tanpa terasa sang surya
sudah condong ke arah barat dan senjapun menjelang tiba,
dari arah sebelah Timur muncullah rembulan dengan
cahayanya yang samar menyinari kabut yang menyelimuti
puncak bukit yang berjejer, suatu pemandangan yang indah
sekali. Pada saat itu yang terdengar hanyalah suara tertawa
menyeringai dari Pek Siau-thian serta raungan gusar dari Hoa
Thian-hong, pukulan demi pukulan dilancarkan tiada hentinya,
sementara cahaya hitam menggulung kian kemari melakukan
terjangan-terjangan maut.
Tiba tiba.... Pek Siau-thian membentak keras, "Hoa Thianhong,
tempat ini adalah puncak Ciat in hong, besok adalah
hari Tionggoan, ingat baik-baik...."
"Aku bersumpah akan membinasakan dirimu!" teriak Hoa
Thian-hong setengah mendesis.
Pek Siau-thian tertawa keras, ditengah gelak tertawanya
sepasang tangan secara beruntun melancarkan serangan
mematikan, sebentar menghantam sebentar menyodok, jurusjurus
serangan berantai yang dilepaskan memaksa Hoa Thianhong
harus memutar senjatanya sambil mundur terus tujuh
delapan belas langkah kebelakang.
"Keras tapi lincah!" tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak
keras. Tanpa memperdulikan serangan musuh yang sedang
meluncur datang, tiba-tiba ia lancarkan sebuah babatan.
Serangan pedang itu dilancarkan tanpa mengeluarkan
sedikit suarapun ketika mencapai ditengah jalan, tiba-tiba dari
balik tubuh pedang itu memperdengarkan suara desingan
yang amat tajam, gerakannya miring kesamping dan langsung
membabat sisi tubuh lawan,
Pek Siau-thian yang menyaksikan kejadian itu jadi sangat
kegirangan sambil putar telapak bentaknya, "Kun ji sedang
menantikan kedatanganmu, pergilah!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu.... Blaaam!
sebuah pukulan dengan telapak bersarang diatas punggung
Hoa Thian-hong. Terdengar pemuda itu melengking panjang, darah segar
muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya terjungkal kebawah
puncak dan dalam waktu singkat bersama dengan pedang
bajanya lenyap dibalik awan tebal yang menyelimuti punggung
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukit. Suasana diatas bukit pulih kembali dalam kesunyian, sinar
mata Pek Siau-thian liar dan kacau, mukanya pucat pias
sementara tubuhnya yang tinggi kekar berdiri ditepi tebing
dan sempoyongan tiada hentinya, seakan-akan sebatang
pohon yang kosong dimakan ulat.
Sebentar kemudian kegelapan telah menyelimuti jagad,
udara bersih tak berawan sang rembulan bersinar dengan
terangnya membuat suasana jadi terang benderang.
Angin malam menghembus lewat membuat Pek Siau-thian
bersin tiada hentinya, sekujur badan bergentar keras dengan
ujung bajunya ia menyeka keringat yang membasahi pipinya.
Tiba-tiba berguman seorang diri, "Kalau rejeki bukan
bencana, kalau bencana tak akan bisa dihindari, keadaan
sudah berlangsung demikian, apa yang musti kuta kuti lagi?"
Ia putar badan dan berjalan menuruni bukit tersebut.
Dalam pada itu, Hoa Hujin masih tetap duduk diatas bukit
tersebut, sepanjang hari ia tak pernah bergeser barang
setengah langkah pun dari tempat semula.
Cu Im taysu, Ciong Lian-khek, Chin Pek-cuan, Biau-nia
Sam-sian serta jago-jago lainnya hampir semua duduk
disekitar sana, cuma sa ja air muka Hoa Hujin serius dan
keren sedikitpun tidak menunjukkan wajah murung sebaliknya
mereka yang lain gelisah dan merasa tidak tenang.
Dipihak lain pada, seberang jembatan batu berdiri lautan
manusia yang bersenjata lengkap, sekilas memandang cahaya
tajam memenuhi seluruh angkasa suasana sunyi sepi
menegangkan kecuali ringkikan kuda tiada suara lain yang
kedengaran. Rupanya seluruh pasukan dari perkumpulan Sin-kie-pang
telah membuat barisan ditepi seberang jembatan batu walau
pun saling berhadapan dengan golongan Hoa Hujin akan
tetapi kedua belah pihak belum sampai melakukan bentrokan
langsung. Disamping itu, pada bukit sebelah utara merupakan
pasukan besar dari perkumpulan Hon im hwee dibukit sebelah
selatan ada para iman dari sekte agama Thong-thian-kauw,
rupanya ketiga kekuatan besar dalam dunia persilatan sudah
bersatu padu dan siap menghadapi orang-orang dari golongan
pendekar. Waktu berlalu dengan cepat suasana tetap tenang diliputi
keheningan yang mencekam hingga mencapai tengah malam
dari balik pa sukan besar perkumpulan Sin kie psng tiba-tiba
kedengaran demtuman yang amat keras, ditengah-ditengah
udara muncullah sebuah bunga api berbentuk sebuah panji
yang amat besar. Mengikuti suara dentuman tadi diri arah bukit sebelah utara
terdengar suara peluit yang dibunyikan memekakkan telinga.
Ci-wi Siancu yang mendengar suara itu segera
menengadah dan bertanya keheranan, "Hujin apakah yang
terjadi?" Hoa Hujin tersenyum. "Berangkat! jarak tempat ini dengan tempat
diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau tayhwee toh
tidak dekat!" Kemudian sambil menyapu sekejap ke arah jago, ujarnya
lagi sambil tertawa, "Kitapun harus segera mempersiapkan diri
untuk berangkat pula"
"Bagaimana dengan Seng ji?" Sam-koh mendadak berkata
dengan penuh kegusaran Senyuman yang semula menghiasi ujung bibir Hoa Hujin
seketika lenyap tak berbekas, jawabnya, "Kalau ia tidak cedera
maka besok pasti akan datang sendiri dibukit Thian bok
sebelah barat kalau tidak beruntung dan mendapat celaka
itulah takdirnya sudah tiba!"
Mendengar perkataan ini, Tio Sam-koh jadi gusar sekali
hingga tubuhnya gemetar keras, serunya, "Engkau keja,
engkau kejam, akan kulihat engkau bakal mampus ditangan
siapa" akan kulihat bagaimana tenangnya engkau menerima
kematianmu itu!" Cu Im taysu menghela napas panjang, hiburnya, "Tio lo
tay, urusan toh sudah jadi begini, mengapa engkau harus
mengumbar hawa amarah?"
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda berkumandang
dari tepi seberang, rupanya orang-orang dari perkumpulan
Sin-kie-pang sudah mulai berangkat tinggalkan tempat itu.
Tio Sam-koh masih belum dapat menekam hawa amarah
yang berkobar dalam dadanya, dengan gemas kembali dia
berseru, "Kalau engkau mencegah dia untuk menuruni jurang
ini, tak mungkin ia tinggalkan kita semua, kalau engkau tidak
bersikeras untuk melakukan perundingan, kita semua telah
berhasil mengurung dirinya dan tidak akan sampai terjadi hal
seperti ini...." Makin berbicara ia semakin mendongkol, ketika sampai
ditengah jalan mendadak mulutnya tergagap dan tak mampu
melanjutkan kembali kata-katanya.
"Kami semualah yang salah!" tiba tiba Lan-hoa Siancu
berkata dengan sedih, "kalau bukan kami yang mencelakai
jiwa Pek Kun-gie lebih dahulu, tak mungkin pula bakal terjadi
peristiwa tragis seperti ini."
Hoa Hujin tersenyum. "Nona tak usah menyalahkan diri sendiri," katanya,
"kehidupan manusia di kolong langit telah ditentukan oleh
takdir, siapa yang bisa mempertahankan kehidupannya sampai
beberapa ratus tahun" apalagi dewasa ini kaum lurus tak
dapat hidup bersama kaum sesat. Siapa tahu kalau sekarang
kita masih hidup dan besok malam sudah tinggalkan dunia
yang fana ini....?" "Kalau kita bisa mempertahankan diri sampai
diselenggaranya pertemuan besar Kian ciau tayhwee,
bagaimanapun juga saat yang dipilih untuk mengorbankan diri
jauh lebih tepat, membunuh beberapa orang banditpun sudah
dapat menarik kembabli modal sendiri!" seru Tio Sam-koh
dengan penuh kemarahan. Kembali Hoa Hujin tersenyum.
"Oleh sebab itulah aku tidak setuju untuk bentrok secara
kekerasan pada kesempatan yang tidak benar, dan aku tidak
bersedia mengorbankan diri tanpa sebab musabab yang nyata
dalam pertarungan massal."
"Aku maksudkan Seng ji kita!" tukas Tio Sam-koh marahmarah.
"Darimana engkau tahu kalau Seng ji pasti mati" dan
darimana engkau bisa tahu kalau dia mati secara konyol!"
Bicara sampai disitu perempuan she Hoa itu bangkit berdiri
dan melanjutkan sambil tertawa, "Mari kitapun berangkat,
bagaimanapun juga pertarungan bakal kita temui, lebih cepat
tiba ditempat tujuan rasanya jauh lebih baik."
Semua orang memang sudah merasa tak sabar, mendengar
perkataan itu para jago pun segera bangkit berdiri dan
melakukan perjalanan. Gerakan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang
sewaktu datang tadi cepat bagaikan hembusan angin, tapi
dalam waktu singkat pula sudah berlalu tanpa bekas, maka
dibawah pimpinan Biau-nia Sam-sian yang menyapu bersih
racun keji diatas jembatan batu lebih dahulu, berangkatlah
para jago untuk menghadiri pertemuan besar yang
mempengaruhi mati hidup mereka itu....
Sekte agama Thong-thian-kauw mendirikan pertemuan
besar Kian ciau Tayhwee dibukit See thian bok dengan tujuan
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah tiada serta sukmasukma
gentayangan, meja sembahyang didirikan didalam
lembah Cu-bu-kok dan dipimpin langsung oleh kaucu nya
yakni Thian Ik-cu sedang ratusan anggota perkumpulannya
ikut hadir untuk memeriahkan upacara besar tadi.
Sejak pagi hari bulan tujuh tanggal lima belas, lembah Cubu-
kok telah diterangi oleh cahaya lilin, asap dupa mengepul
keudara ba gaikan kabut putih, bunyi alat sembahyangan
bertalu-talu memekakan telinga, pada meja altar yang
dibangun tiga tingkat dengan bersandar pada sebuah dinding
bukit teraturlah berpuluh-puluh buah meja abu kecil yang
bertuliskan nama-nama para pahlawan yang telah gugur,
sedang tepat ditengah altar berdirilah sebuah meja abu yang
luar biasa besarnya sehingga dapat dilihat sejak dari mulut
selat. Pada meja abu itu terpancang papan nama yang lebarnya
dua depa dengan tinggi mencapai satu tombak, diluarnya
terselubung kain warna kuning, diatas kain kuning terpancang
beberapa hurup besar yang berbunyi demikian, "Meja abu
para jago yang gugur di medan perang pertempuran Pak beng
hwee" Dibawah meja abu bertumpuklah buah sajian dan bunga,
Thong-thian Kaucu sendiri dengan memakai kopiah kebesaran
dengan jubah imam berwarna merah bersulam pat kwa dan
benang emas dan mantel warna ku ning sedang memimpin
anak muridnya membaca doa di meja abu tersebut suasana
ramai sekali. Disamping itu, sepanjang kedua belah dinding bukit telah
didirikan tempat berteduh yang berdempet empat, dalam
barak tersebut tempat meja dan bangku, air teh, teko, tunggu
dan alat untuk memasak semuanya sudah tersedia lengkap.
Perlu diketahui lembab Cu-bu-kok adalah sebuah lembah
buntu yang berbentuk gentong dan dalam mulut lembah
hanya terdapat sebuah jalan keluar saja yang berhubungan
dengan luar, berhubung tempat itu lembah dan kalau siang
tidak melihat sang surya kalau malam sunyi menyeramkan
karena itu selat tadi disebut orang sebagai lembah Cu-bu-kok.
Kurang lebih antara jam tiga sore, orang-orang dari
perkumpulan Hong im bwee masuk ke dalam selat lebih
dahulu, Jin Hian dengan sorot matanya yang tajam segera
mengawasi kedalam lembah tersebut, ketika melihatnya barak
yang didirikan dikedua belah sisi dinding dibagi jadi empat
bagian dan pihak sekte agama Thong-thian-kauw sendiri
sudah menempati barak sebelah kiri dekat meja
sembahyangan, maka dia segera memilih barak sebelah kiri
yang dekat mulut lembah walaupun jumlah anak buahnya ada
sembilan puluh orang namun setelah masuk kedalamm barak
yang lebar itu kelihatannya sedikit dan sepi.
Sebentar kemudian pasukan induk dari perkumpulan Sinkie-
pang pun telah tiba dan bergerak masuk kedalam lembah,
mereka segera menempati barak sebelah kanan dekat mulut
lembah. Pek Siau-thian benar-benar seorang ahli setrategi perang,
ia tidak memimpin seluruh pasukannya masuk kedalam
lembah, melainkan hanya kurang lebih lima ratus orang jago
saja yang dipimpin masuk kedalam barak tempat beristirahat,
sedangkan sebagian besar lainnya tetap tinggal diluar lembah
tersebut, ada yang berjaga-jaga di mulut lembah dan ada pula
yang meronda disekitar bukit, tidak selang beberapa saat
kemudian diatas purcak bukit yang mengitari selat Cu-bu-kok
telah mucul para peronda dari perkumpulan Sin kei pang.
Kurang lebih pukul lima sore, rombongan yang dipimpin
Hoa Hujin muucul dimulut lembah, tetapi sebelum mereka
memasuki selat tersebut tiba-tiba dari balik tikungan bukit
muncul dua belas orang, orang pertama bukan lain adalah
Siau yau sian dewa yang suka pelancongan Cu Tong, sambil
menggoyangkan kipasnya dan tertawa terbahak-bahak, ia
maju menghampiri rombongan yang dipimpin Hoa Hujin
kemudian memberi hormat. Buru-buru Hoa Hujin menyongsong kedepan, sekilas
memandang terlihat olehnya bahwa hampir semuanya adalah
sahabat-sahabat lama, dengan cepat ia menyapa dan
melepaskan rindu diantara mereka, suasana diliputi keharuan
dan kegembiraan Dengan air mata meleleh keluar karena terharu, dewa yang
suka pelancongan Cu Tong berkata, "Mungkin semua orang
yang masih hidup di kolong langit ini hari telah berdatangan",
semua disini banyak perkataan yang hendak kita bicarakan
bagaimana kalau kita masuk dulu kedalam lembah kemudian
baru dibicarakan secara perlahan-lahan"
"Cu toako, dandanan maupun potongan wajahmu sama
sekali telah berubah...." kata Hoa Hujin sambil tertawa paksa,
"andaikata aku tidak mendengar penuturan orang lebih dahulu
mungkin aku tak dapat mengenali dirimu kembali, sedang dua
orang lainnya aku tak bisa ingat kembali siapakah mereka
gerangan?" Dewa yang suka melancong Cu Tong segera menuding ke
arah manusia jelek bertubuh seperti beruk itu, ia
memperkenalkan, "Dia adalah Ciu tayhiap dari gunung Huangsan
berhubung hatinya selalu gelisah ketika berlatih ilmu,
mengakibatkan dia mengalami jalan api menuju neraka dan
berubah potongan tubuhnya jadi begini rupa"
"Cui heng...." "seru Hoa Hujin dengan terperanjat "aku
masih amat jelas ketika itu engkau...."
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san segera tertawa.
"Ketika itu tubuhku memang sudah termakan oleh enam
buah tusukan pedang dan satu buah pukulan berat yang
bersarang didada ku membuat aku roboh terkapar diatas
genangan darah dan kemudian tertindih pula oleh dua sosok
mayat sampai aku sendiripun telah mengira bahwa diriku telah
mati, siapa tahu nyawaku ternyata belum putus, lewat dua
hari kemudian aku telah hidup kembali di kolong langit"
Mendengar ucapan tersebut Hoa Hujin segera menghela
napas panjang. "Aaaai....!Cui heng tidak mati itu berarti bahwa beberapa
orang gembong iblis tersebut sudah tiba pada waktunya untuk
mampus" Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah seorang padri
berusia empat puluh tahunan.
Padri itu segera merangkap kedua tangannya didepan dada
untuk memberi hormat sambil tersenyum katanya, "Ti Kiam
Hui yang hujin kenal tempo dahulu, sekarang telah berubah
menjadi It sim hweesio!"
"Kiam Hui hen" bagaimana caranya engkau merawat diri
hingga awet muda" rupanya semakin latihan muka mu
berubah semakin muda dan semakin bercahaya?"
It sim hweesio menghela napas, kemudian ujarnya, "Pahit
getir yang kualami selama ini sukar dilukiskan dengan katakata,
aku harus cukur rambut menjadi pendeta karena itu
kuguna kan gelar It sim sebagai pengganti namaku yaitu agar
aku selalu ingat untuk membalas dendam selalu ingat pada
dendam kesumat yang tertanam dalam hatiku, aku tak bisa
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan leluhurku tak apa, tak bisa bertemu dengan
orang suci juga tak apa, sekalipun harus masuk neraka asal
sakit hati ku bisa terbalas hal itu sudah cukup menggirangkan
hatiku....!" Hoa Hujin diam-diam berpikir dalam hatinya, "Walaupun
setiap orang mempunyai kesedihannya sendiri-sendiri, tetapi
kesediaan yang dialami Ti Kiam hui rupanya jauh lebih dalam
daripada siapa pun juga....!"
Tiba-tiba Dewa yang suka melancong Cu Tong tidak
menemukan Hoa Thian-hong ada dalam rombongan, dengan
dahi berkerut, segera tegur nya, "Hoa Hujin, di manakah
putramu?" "Pek Kun-gie putri Pek Siau-thian dari perkumpulan Sin-kiepang
telah mati, putra itu telah meloncat kedalam jurang
untuk menolong tapi akhirnya hingga kini tiada kabar
beritanya lagi, aku sendiri pun tak tahu bagaimanakah
nasibnya kini...." ujar Hoa Hujin dengan wajah sedih.
Menyengat berita tersebut, air muka Cu Tong sekalian dua
belas orang seketika itu juga berubah hebat, Ciu Thian-hau
dari gunung Huang-san dengan cepat bertanya, "Kapan
terjadinya peristiwa ini?"
"Tengah malam tanggal tiga belas jadi sudah tiga hari
lamanya....!" "Waktu itu apakah hujin tidak hadir disana" timbrung It sim
hweesio dari samping. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan beberapa orang
jago itu penuh mengandung nada cemas dan kuatir, hal ini
membuat Hoa Hujin terpaksa harus menghela napas berulang
kali, jawabnya, "Pada waktu itu aku hadir ditempat kejadian
tetapi berhubung jurang tersebut tegak lurus dan dalamnya
mencapai ratusan tombak diantara kami hanya ilmu
meringankan tubuhnya saja yang secara paksakan diri bisa
dipergunakan, karena itu aku biarkan dia untuk menuruni
jurang tadi guna memberikan pertolongan. Kemudian para
jago dari perkumpulan Sin-kie-pang menyusul disitu, Pek Siauthian
dengan mempergunakan seutas tali menuruni pula
jurang tersebut, karena aku kuatir Seng ji menemui bahaya,
buru-buru aku menuruni jurang itu dari sisi kiri bukit tadi, tapi
semalam suntuk sudah berlalu, didasar jurang tidak nampak
sesosok bayangan manusiapun, bahkan jejak Pek Siau-thian
pun tidak kelihatan lagi"
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san mengerutkan
dahinya rapat-rapat, dengan nada me-negur katanya,
"Manusia terdiri dari darah dan daging, tidak mungkin tubuh
mereka bisa lenyap dengan begitu saja, menurut dugaanku
dibawah jurang pasti ada jalan tembus lainnya, dengan
kepandaian yang hujin miliki seharusnya engkau dapat
menyusul mereka" Tio Sam-koh yang selama ini memang merasa mendongkol
terus, tiba-tiba mendengus dingin dan menyindir, "Hmmm!
orang lain toh punya semangat gagah yang membubung
tinggi kelangit seorang putra apa harganya" mau kejar atau
tidak siapa yang dapat mengurusi?"
Hoa Hujin menghela napas panjang.
"Aaaai.... bukannya aku tidak menaruh perhatian atas nasib
putraku, tapi dalam kenyataan situasi yang sedang kita hadapi
pada saat itu genting sekali setiap saat suatu pertarungan
terbuka bakal terjadi menurut pendapatku Pek Siau-thian toh
hanya seorang diri sekalipun dapat menyusul Seng ji belum
tentu ia dapat melukai jiwanya."
"Dengan kepandaian silat yang dimiliki Pek Siau-thian, ia
belum mampu untuk melukai jiwa Seng ji....?" seru It sim
Hweesio dengan perasaan hati sangsi.
Hoa Hujin mengangguk. "Kepandaian silat yang dimiliki Seng ji tidak lemah,
bilamana ia ada maksud untuk melarikan diri maka Pek Siauthian
tak mungkin bisa mengapa-apakan dirinya."
"Orang muda selamanya berdarah panas" sela Ciu Thianhau
dari gunung Huang-san dengan nada tak senang hati,
seandainya ia tak sudi untuk melarikan diri, bukankah
selembar jiwa dikorbankan dengan percuma....?""
"Dalam pertemuan besar Pak beng hwee tempo hari, kita
semua bilamana tidak melarikan diri, siapakah yang mampu
hidup hingga ini hari" walaupun Seng ji masih muda belia, tapi
aku sudah belasan tahun mempelajari dirinya untuk menahan
emosi dan tebalkan iman, andaikata ia masih juga tak tahu diri
dan tidak bisa mengambil keputusan yang bijaksana maka
keadaannya bagaikan seorang manusia tolol yang tak bisa
dibimbing, ini hari kita berhasil melindungi keselamatan
jiwanya toh dilain hari kita belum tentu dapat menolong
jiwanya!?" Pandangan perempuan ini terhadap kehidupan manusia
boleh dibilang melewati jangkauan daya pikir orang biasa,
jalan pikiran semacam itu bukan bisa diterima oleh sekawanan
manusia biasa, apalagi diantara Ciu Thian-hau sekalian ada
yang didasarkan karena persahabatan, ada yang pada
perasaan, dan ada pula yang karena pernah bertemu atau
mendengar, semuanya menaruh perasaan sayang dan kagum
terhadap diri Hoa Thian-hong, oleh karena itu sehabis
mendengar perkataan dari Hoa Hujin, rata-rata mereka
menunjukkan wajah tidak puas.
Kawanan jago tersebut adalah para pendekar yang berjiwa
lurus serta terus terang, dalam hati merasa tak senang
perasaan tersebut segera terpancar diatas wajahnya, kalau
dilihat gelagatnya nampak jelas bahwa semua orang akan
menunjukkan protesnya. Cu Im Taysu segera memuji keagungan sang Buddba dan
berkata setelah menghela napas panjang, "Aaai....!
sesungguhnya persoalan ini amat sulit untuk diatasi, hati siapa
tidak lara melihat darah daging sendiri terancam bahaya"
perasaan hati hujin sudah cukup tersiksa, aku harap saudara
sekalian dapatlah bersabar sedikit!"
Hoa Hujin tertawa paksa, sambil membeli hormat dia
berkata, "Kejadian telah berlangsung jadi begini, merasa
murung juga tak ada gunanya, lebih baik kita segera masuk
kelembah Cu-bu-kok untuk menyelesaikan masalah besar
yang menyangkut kepentingan dunia persilatan saja!"
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, setelah
hening beberapa waktu lamanya, berangkatlah mereka
mengikuti Hoa Hujin ma suk kedalam lembah tersebut.
Seorang pemuda baju hijau yang menyoren pedang di
pinggangnya tiba-tiba munculkan diri dari rombongan para
jago, tegurnya dengan suara dingin, "Enso, kejadian itu
berlangsung dimana" siaute bermaksud melakukan
pemeriksaan disana" Hoa Hujin berpaling ketika diketahui bahwa orang itu bukan
lain adalah adik angkat mendiang suaminya yang bernama
Suma Tiang-cing, ia segera termenung sebentar lalu
menjawab. Pulang pergi ada empat ratus li jauhnya, daripada buang
waktu dalam perjalanan, lebih baik himpun saja tenagamu
untuk membunuh musuh. Jilid 6 Air muka Suma Tiang Ciang berubah jadi hijau membesi,
katanya, "Pek Siau-thian telah memasuki selat ini, apa bila
Seng ji tidak menemui musibah, sepantasnya kalau iapun
sudah sampai disini. "Apakah engkau punya rencana untuk keluar dari lembah
Cu-bu-kok ini dalam keadaan hidup?" seru Hoa Hujin secara
tiba-tiba dengan wajah yang berat.
"Selama hidup siaute tak pernah melarikan diri untuk kedua
kalinya....!" "Kalau memang begitu apa yang hendak kukatakan lagi?"
kata Hoa Hujin dengan sepasang matanya memancarkan
cahaya berkilat, "sekalipun engkau berhasil menemukan Seng
ji belum tentu ia dapat lolos dari lembah Co bu kok dalam
keadaan hidup, kalau memang di mana-mana pun jiwanya
terancam bahaya kematian apa gunanya engkau cari dirinya?"
Suma Tiang Cin adalah saudara angkat dari Hoa Goan-siu,
dia merupakan satu-satunya orang yang berusia paling muda
diantara angkatan yang setaraf dengan Hoa Hujin, wataknya
berangasan dan kasar dalam menghadapi musuh, tindakannya
selalu keji dan telengas karena kekejamannya dan sikapnya
yang sama sekali tidak kenal ampun di tambah pula
kepandaian silat yang dimiliki sangat lihay maka beberapa
gembong iblis tidak bersedia untuk melakukan pertempuran
melawan dirinya oleh sebab itulah dalam beberapa kali
pertarungan sengit jiwanya selalu selamat dari kematian.
Karena keistimewaannya itu, orang-orang kangcu memberi
julukan Kiu mia kiam kek atau jago pedang bernyawa rangkap
sembilan kepada orang ini, selama melakukan perjalanan
dalam dunia persilatan dia merupakan momok yang paling
memusingkan kepala bagi orang-orang kalangan hitam dan
oleh karena wataknya yang sukar diatur itulah Hoa Hujin
dengan kedudukannya sebagai kakak ipar selalu bersikap
tegas dan keras terhadap dirinya.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang
telah memasuk kedalam lembah tersebut.
Suma Tiang Ting merasa sangat tidak puas, belum sempat
ia berbicara tiba-tiba sorot matanya yang tajam telah
menangkap tulisan besar yang terpancang diatas meja abu
pada panggung persembahan, air matanya kontan berubah
hebat dan darahnya mendidih.
Sesaat kemudian semuajagopun dapat melihat tulisan tadi,
air muka mereka semua kontan berubah sangat hebat.
Terdengar Chin Pek-cuan sambil menggertak gigi berseru,
"Anjing bangsat.... manusia laknat....!Rupanya tujuan mereka
menyelenggarakan pertemuan besar Kian ciau tayhwee adalah
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah berpulang dalam
pertemuan Pak beng Tay bwee tempo hari...."
Baru saja perkataan itu selesai diutarakan keluar, Thongthian
Kaucu dengan memimpin anak muridnya telah turun
dari panggung persembahan dan menyambut kedatangan
mereka. Ketika Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiangg Cing telah
meraba gagang pedangnya siap menerjang kedepan, ia
segera menyapu sekejap wajah para jago dan menegur
dengan suara berat, "Siapa yang akan munculkan diri untuk
berbicara?" "Berada dihadapan musuh tangguh, hujin jangan
mengacaukan barisan sendiri, engkau saja yang buka suara"
kata Cu Tong dewa yang suka pelancongan dengan gelisah.
It Sim hweesio yang berada disisinya segera menimbung
pula, "Pinceng tidak ada komentar apa-apa, aku bersedia
menerima perintah...." seraya berkata ia menggeserkan
badannya mundur selang-kah ke arah belakang.
Cu Im taysu yang melihat sikap rekannya segera ikut pula
mundur kebelakang sedang Ciu Thian Huu dari gunung
Huang-san bergeser tiga depa kebelakang.
Suma Thian Cing amat membenci terhadap diri Thian Ik-cu,
dia ingin sesaki membinasakan imam tua tersebut dalam satu
tusukan kilat akan tetapi setalah dilihatnya para jago yang
berjalan disamping Hoa Hujin telah mengundurkan diri semua
kebelakang terpaksa diapun ikut melangka mundur setindak
kebelakang, sepasang matanya yang tajam dengan
memancarkan cahaya penuh nafsuh membunuh menatap
wajah Thong-thian Kaucu tanpa berkedip.
Thong-thian Kaucu buru-buru maju kedepan, sesudah
memberi hormat serunya dengan lantang, "Kehadiran Hujin
dan para tayhiap lainnya sungguh merupakan suatu
kehormatan bagi perkumpulan Tiong Thian Kau kami dan
merupakan kebanggaan pula bagi umat persilatan di kolong
langit...." Sementara itu suasana dalam lembah Cu-bu-kok diliputi
keheningan dan kesunyian, suara bunyi-bunyian alat
sembahyang telah berhenti berdenting dan suara pembicaraan
manusiapun telah sirap dalam lembah seluas itu, hanya
kedengaran suara lantang dari Thian Ik-cu seorang....
Dari balik mata Hoa Hujin memancar keluar cahaya kilat
yang menggidikkan hati, membuat wajahnya yang keren dan
penuh berwibawa kelihatan semakin gagah dan menyeramkan
membuat siapapun tak berani memandang enteng perempuan
ini. Ia balas memberi hormat kemudian menjawab dengan
suara yang keras dan tegas, "Tujuan dari pertemuan besar
Kian ciau tayhwee adalah untuk mengenang kembali arwaharwah
para jago persilatan yang sudah tiada, aku orang she
Bun sekalian termasuk anggota persilatan, sudah sepantasnya
kalau kami semua ikut menghadiri upacara besar seperti ini."
Sesudah berhenti sebentar, sorot matanya dialihkan
sekejap ke arah meja abu yang berjajar diatas panggung
persembahan, setelah itu sambungnya lebih jauh, "Mendiang
suamiku dan rekan-rekan kami lainnya telah mati binasa
dalam pertemuan besar Pak beng tayhwee tempo dulu, atas
kebaikan ha ti kaucu untuk mendoakan arwah-arwah mereka
yang sudah tiada, aku orang she Bun sekalian mengucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu"
Perkumpulan Thong-thian-kauw adalah sekte agama yang
didirikan diatas kehendak Thian, tujuan kami adalah
mendoakan arwah-arwah yang telah tiada agar segera masuk
ke nirwana dan mendapat ketenangan untuk selamanya, tugas
berdoa adalah pekerjaan kami, buat apa engkau musti
berterima kasih kepada kami" sahut Thong-thian Kaucu
dengan wajah serius. Kegagahan Hoa Hujin membuat Thong-thian Kaucu diamdiam
merasa kecil hati dan malu, karena itu setelah
mengucapkan kata-kata yang merendah dan saling memberi
hormat, ia segera mengiringi Hoa Hujin memasuki lembah dan
ambil tempat dibarak sebelah kanan.
Setelah masuk kedalam barak, Hoa Hujin pun lantas
bertanya, "Pertemuan besar Kian ciau tayhwee akan
diselenggarakan mulai kapan...." dapatkah kaucu memberi
keterangan?" "Jam sebelas malam upacara dimulai dan jam dua belas
tengah malam pintu akhirat akan terbuka, pada saat itulah
upacara penghormatan untuk arwah-arwah yang telah tiada
dalam pertemuan Pak beng hwee akan diselenggarakan!"
Hoa Hujin mengangguk. Upacara sudah akan diselenggarakan, dalam keadaan
demikian kaucu pasti repot sekali, silahkan engkau
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelesaikan pekerjaanmu, tolong saja apabila waktunya
sudah tiba engkau bersedia memberi kabar agar aku orang
she Bun sekalian dapat memberi hormat untuk arwah rekanrekan
kami" "Tak usah kuatir....!" setelah memberi hormat kaucu dari
Thong-thian-kauw itu segera mengundurkan diri.
Beberapa saat kemudian alat tetabuhan berkumandang
kembali dan pembacaan doa pun dimulai lagi, dari balik barakbarak
disisi kanan dan kiri ramai pula oleh suara pembicaraan
manusia. Pertemuan ini adalah suatu pertemuan besar yang jarang
terjatdi di kolong langit, suatu saat sebelum datangnya hujan
badai. Sebentar lagi pembunuhan besar-besaran akan dimulai
namun pada saat ini suasana sama sekali tidak diliputi oleh
bentrokan, tidak tercium pula nafsu membunuh yang
menyelimuti angkasa.... Perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thiankauw
dan para pendekar dari golOngan lurus salingmenempati
suatu barak yang berbeda, walaupun tiada hubungan namun
suasana tetap tenang dan damai, bahkan sorot mata yang
memancarkan sinar bengis pun tertutup untuk sementara,
yang ada hanya sikap yang dingin serta dugaan-dugaan yang
tersembunyi untuk menilai kekuatan pihak lawan.
Waktu berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa senja telah
menjelang tiba, sang surya telah lenyap dibalik bukit dan
kegelapan mulai menyelimuti seluruh jagad.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar lembah Cu-bu-kok
berkumandang datang suara tangisan setan yang mendirikan
bulu roma, pekikan dan jeritan yang memilukan hati itu
bergema tidak menentu, sebentar ke kiri sebenar kekanan
seakan-akan diluar lembah telah berkumpul berpuluh-puluh
sosok arwah gertayangan yang sedang menangis dan
menjerit.... Begitu suara tangisan setan itu berkumandang, suara
tetabuhan dan pembacaan doa seketika tertumpuk lenyap,
suara pembicaraan dalam barak-barak pun tak kedengaran
lagi. Dalam lembah Cu-bu-kok, semua bagian telah ditutup oleh
kain putih sebagai tanda berkabung, rumah-rumahan dari
kertas, kuda-kudaan dari kertas telah bersusun dibawah meja
sembahyang, ditambah pula dengan meja abu yang berpuluhpuluh
banyaknya menambah seram nya suasana disitu, kini
ditambah pula dengan suara jeritan dan tangisan setan yang
menggidikkan hati membuat suasana bertambah seram, hawa
setan menyelimuti seluruh lembah membuat bulu kuduk orang
pada bangun berdiri. Tiba-tiba segulung angin dingin menghembus lewat,
membuat udara jadi dingin dan menusuk tulang, bunyi desiran
tajam menambah seramnya isak tangis sukma gentayangan
tersebut. Ci-wi Siancu paling takut dengan setan, ia jadi ketakutan
setengah mati hingga keringat dingin mengucur tiada
Mutiara Hitam 6 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Suling Naga 19
mencintai dirinya maka pin ni akan serahkan jenasahnya
kepada mu dan terserah apa yang hendak kau lakukan
terhadap dirinya" Beberapa patah kata itu sungguh jauh di luar dugaan Hoa
Thian-hong, sebagai seorang pemuda yang jujur dan berjiwa
lelaki meskipun terhadap orang yang sudah mati namun ia tak
bersedia bicara sembarangan.
Karenanya setelah mendengar perkataan dari Too koh
tersebut, buhungan budi dan dendam antara dia dengan Pek
Kun-gie segera berkecamuk kembali didalam benaknya, ia
merasa tidak sepantasnya kalau ia korbankan kepentingan
umum demi menjalin hubungan cinta kasih dengan Pek Kungie,
lagi pula seandainya ia sampai menjalin hubungan kasih
dengan gadis tersebut bagaimana penyelesaiannya dengan
diri Chin Wan-hong. Hubungan yang rumit serta seluk beluk persoalan yang
kacau balau membuat Hoa Thian-hong jadi Kebingungan dan
tak tahu apa yang musti diucapkan keluar pada waktu itu.
Ketika ditunggunya beberapa waktu namun pemuda itu
belum juga bersedia untuk menjawab.
Too koh atau rahib bercadar kain hitam itu menghela napas
panjang lalu berkata, "Sejak dulu sampai sekarang cinta yang
berpihak memang tidak mendatangkan kebahagiaan, dalam
peristiwa ini aku tak dapat menyalahkan dirimu!"
Habis berkata, ia putar badan kemudian dengan
membopong jenasah dari Pek Kun-gie segera berlalu dari situ.
Hoa Thian-hong yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba
merasakan kehilangan sesuatu, dengan air mata jatuh
berlinang segera ben taknya dengan keras, "Berhenti!!"
Mendengar bentakan itu, sang rahib bercadar hitam
hentikan langkah kakinya kemudian seraya berpaling ia
berkata, "Apa yang hendak kau katakan?"
"Apakah engkau anak buah dari perkumpulan Sin-kiepang?"
"Boleh dibilang begitu boleh juga dibilang tidak!" jawab Too
koh bercadar hitam itu hambar.
Hoa Thian-hong jadi amat gusar, serunya, "Mula-mula
pertama tadi engkau mengatakan bahwa antara dirimu
dengan Pek Kun-gie sama sekali tak ada hubungan sanak
ataupun kelu arga dan sama sekali tidak kenal satu sama
lainnya sekarang engkau mengakui bahwa dirimu lain adalah
anggota dan perkumpulan Sin-kie-pang, bicara mencla-mencle
sebenarnya mana yang benar?"
Bicara sampai kesitu, dari atas jurang berkumandang
datang suara bentakaa keras yang terdengar samar-samar,
baik Hoa Thian-hong ma upun too koh bercadar hitam itu
sama-sama menengadah keatas.
Tiba-tiba terdengarlah suara teriakan keras bergema
datang, "Kun ji....! Kun Gi....!"
Kian lama suara itu kian mendekat hingga menggema
diseluruh jurang tersebut.
Dengan pandangan dingin, too koh bercadar hitam itu
melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian ujarnya,
Pek Siau-thian telah turun kebawah tebing, kalau engkau ingin
hidup dengan selamat maka hal ini lebih sukar daripada
mendaki keatas langit....!"
Selesai berkata, dengan mengikuti dasar jurang tersebut ia
segera berkelebat menuju ke arah utara.
Hoa Thian-hong jadi gelisah bercampur gusar, ia ikut
mengejar dari belakang sambil bentaknya, "Cepat letakan
jerasah itu diatas tanah, kalau tidak jangan salahkan aku tak
akan bertindak sungkan-sungkan terhadap dirimu!"
"Hmmm! pada dasarnya engkau memang seorang lelaki tak
kenal budi, seorang lelaki yang tak bertanggung jawab kenapa
engkau musti sungkan terhadap diriku?"
Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian dengan suara yang
penuh emosi berkumandang datang.
"Hoa Thian-hong! engkau berada dimana?"
Walaupun Hoa Thian Hoag mengetahui bahwa Pek Siauthian
masih berada diatas tebing namun mendengar suara
tersebut seakan-akan berkumandang datang dari
punggungnya, ia jadi amat gelisah tanpa terasa serunya
kepada too koh bercadar hitam itu, "Kalau jenasah tersebut
tidak kau letakan diatas tanah, aku orang she Hoa segera
akan turun tangan" "Jenasah Pek Kun-gie sudah sewajarnya di selesaikan oleh
orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang sendiri, apa
sangkut pautnya urusan itu dengan dirimu?"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua belah
pihak sama sekali tidak meng-hentikan gerakan tubuhnya,
laksana sambaran kilat meresa saling menjejar satu sama
lainnya. Diam-diam kedua belah pihak sama-sama merasa
terperanjat, mereka tidak mengira kalau gerakan tubah
lawannya ternyata begitu cepat sehingga hampir melampui
kemampuan sendiri. "Benarkah di kolong langit terdapat banyak sekali jago
lihay?" pikir Hoa Thian-hong dalam hati kecilnya.
Sementara ia masih berpikir, desiran angin tajam sudah
menyambar datang, tiba-tiba si anak muda itu berkelebat dua
langkah lebih ke depan, jari tangannya bagaikan tombak
langsung menotok jalan darah Leng tay hiat di atas punggung
too koh bercadar hitam itu"
Tak kala merasakan datangnya acaman yang begitu tajam
dari pihak lawan, too koh bercadar hitam itu merasa
terperanjat, segera pikirnya, "Sungguh lihay! ia tak malu
menjadi sukma dari kaum pendekar dari kalangan lurus...."
Berpikir sampai disini, dengan menempuh bahaya dia
membiarkan totokan tersebut mengancam tubuhnya, sedang
dia sendiri sama sekali tidak menggubris ataupun
memperdulikan. Serangan kilat yang dilancarkan Hoa Thian-hong
nampaknya sebentar lagi bakal bersarang diatas tubuh too
koh bercadas hitam itu akan tetapi pemudu itu buru-buru
menarik kembali ancamannya ketika menyaksikan pihak lawan
sama sekali tiada maksud untuk menghindar, serunya dengan
gusar, "Aku orang she Hoa tidak ingin melukai orang dari
belakang, kalau engkau masih saja tak tahu diri, jangan
salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi
terhadap dirimu!" Melihat pemuda itu batalkan serangannya, Too koh
bercadar hitam itu kembali berpikir dalam hati kecilnya, "Hoa
Goan-siu dapat memiliki seorang bocah segagah ini....
sekalipun mati, ia tak akan menyesa. Aaai.... sayang sekali
Kun ji tidak mempunyai rejeki sebaik ini...."
Berpikir sampai disitu, dengan suara dingin ia segera
berseru, "Kalau engkau benar-benar ingin bertempur mari kita
cari suatu tempat terpencil yang jauh dari keramaian dunia,
mari kita bertempur sepenuh tenaga seindainya engkau
mampu menangkan diriku maka jenasah diri Pek Kun-gie
boleh kau ambil." "Aaah! jelaslah sudah kalau Too koh ini adalah seorang
anggota perkumpulan Sin-kie-pang, dengan kematian Pek
Kun-gie secara mengenaskan, Pek Siau-thian pasti akan gusar
bercampur sedih, dalam dendamnya ia tak akan mengampuni
jiwaku, andaikata kedua orang ini sampai bekerja sama,
jelaslah sudah bahwa aku bukan tandingannya lagi...."
Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan
untuk menguntit terus dibelakang tubuh Too koh bercadar
hitam itu dan sedikitpun tidak mengendorkan pengejarannya.
Rupanya Too koj bercadar hitam itu hafal sekali dengan
keadaan medan dalam jurang tersebut, dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilati ia bergerak terus menuju ke depan,
sedangkan Hoa Thian-hong bagaikan sukma gentayangan
membuntuti dibelakangnya.
Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya,
keadaan tanah kian lama kian bertambah tinggi tanpa terasa
mereka sudah tinggalkan dasar jurang dan berlarian mendaki
keatas sebuah punggung bukit.
Pada waktu itu rembulan sudah tenggelam diarah barat,
suasana disekitar bukit itu sunnyi sepi dan gelap tak
bercahaya, ketika Hoa Thian-hong masih menguntil dengan
kencangnya dibelakang tubuh Too koh bercadar hitam itu,
tiba-tiba terdengar rahib tersebut mem bentak keras, "Hati
hati....!" Hoa Thian-hong terkesiap, tampaklah tubuh rahib itu
bagaikan seekor kera dengan lincahnya meloncat naik
kesebuah bukit, buru-buru ia pertajam pandangan matanya,
setelah mengincar tempat berpinjak tempat yang
dipergunakan rahib itu ia segera menyusul dari belakangnya.
Seandainya pada waktu itu ada orang menyaksikan tingkah
laku dari mereka berdua maka orang itu akan terkesiap dan
kaget. Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak menyadari kalau
ia berada dalam keadaan bahaya, ia melompat dan melompat
terus mem buntuti dibelakang rahib tersebut, kurang lebih
setengah jam kemudian mereka sudah mencapai diatas
sebuah bukit yang tinggi dan Too koh bercadar hitam itupun
segera menghentikan langkah kakinya.
Dengan cepat Too koh bercadar hitam itu membaringkan
jenasah Pek Kun-gie diatas tanah, kemudian sesudah
mengatur pernafasan perlahan-laha maju kedepan.
Hoa Thian-hong sendiri sambil menyeka keringat yang
membasahi keningnya, ia awasi sebentar suasana disekeliling
tempat itu ketika dilihatnya Too koh bercadar hitam iiu sudah
membaringkan tubuh Pek Kun-gie ke atas tanah ia segera
menerjang maju kedepan. Terlihatlah Pek Kun-gie memejamkan matanya rapat-rapat,
wajahnya pucat pias bagaikan mayat, nafasnya sudah berhenti
dan sekujur ba dannya jadi dingin dan kaku, rupanya gadis itu
benar-benar sudah putus nyawa.
Hoa Thian-hong sendiri sebenarnya adalah seorang
pemuda yang romantis, akan tetapi berhubung pendidikan
rumah tangganya amat ketat maka sejak kecil ia sudah
terdidik untuk bisa menguasai perasaan sendiri.
Ketika Pek Kun-gie memperlihatkan rasa cintanya yang
mendalam, dia sendiripun tertarik hatinya pada gadis itu, apa
lacur dendam kesumat yang tertanam antara golongan putih
dan golongan hitam sudah terlalu mendalam hingga ibaratnya
api dan air. Sebagai seorang pemuda yang bercita-cita untuk
mewujudkan pesan terakhir dari mendiang ayahnya yakni
membasmi kaum iblis serta menyelamatkan umat persilatan
dari badai pembunuaan membuat ia harus mengeraskan hati
serta mengabaikan rasa cinta gadis she Pek itu.
Sebaliknya kini setelah orang yang dihadapannya telah
berubah jadi mayat, pelbagai rasa sedih, cinta dan aneka
ragam perasaan lainnya segera berkecambuk jadi satu
membuat ia jadi amat terharu dan air mata jatuh bercucuran
dengan derasnya. Diam-diam ia berdoa, "Oooooh....! Kun Gie orang yang
sudah mati tak akan terikat oleh dendam andaikata diantata
kita terdapat dendam atau sakit hati kesemuanya itu telah
terhapus sampai disini saja, kalau selama ini aku telah
mengabaikan dirimu, hal ini kulakukan karena keadaan
terpaksa kalau engkau benar-benar mencictai aku semestinya
engkau da pat memahami keadaanku serta memaafkan
kesalahanku itu...."
Mendadak terdengar suara dari Too koh bercadar itu
berkumandang datang. "Tiga depa dari hadapanmu ada Sin leng, kalau engkau
berpura-pura menyatakan cinta dihadapan orang yang telah
mati maka suatu ketika engkau akan mendapat ganjaran yang
setimpal!" Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong merasa amat
gusar ia segera menengadah dan berseru, "Menyindir orang
tanpa bukti Sian koh! apakah engkau tidak merasa bahwa
caramu itu terlalu kejam?"
"Tidak berbudi, perasaan beku! apakah pin ni tak boleh
mendongkol terhadap manusia seperti itu!"
Hoa Thian-hong benar-benar merasa amat gusar sambil
membopong jenasah Pek Kun-gie, ia bangkit berdiri lalu
memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk mencari
tempat yang baik untuk menyimpan jenasah Pek Kun-gie,
kemudian baru berusaha untuk mengusir Too koh bercadar
hitam itu. Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah kuburan
kecil tiada jauh dihadapannya, didepan kuburan berdirilah
sebuah batu per ingatan, baik batu nisan maupun batu
peringatan nampak antik sekali dan agaknya sudah berusia
ratusan tahun. Hoa Thian-hong tertegun ia segera berkelebat kehadapan
kuburan itu, ia temukan di atas batu peringatan terukir tiga
hurup besar yang terdiri dari rangkaian hurup kuno dan
berbunyi demikian, Kuburan pemendam pedang!
Dalam pada itu, dengan suara dingin Too koh bercadar
hitam itu telah berkata dengan suara dingin, Hoa Thian-hong,
andaikata engkau merasa tidak yakin untuk menangkan diriku,
cepat lepaskan jenasah Pek Kun-gie dari bopongan mu dan
segera mengundurkan diri dari puncak ini, memandang diatas
rasa cinta yang pernah diberikan Pek Kun-gie kepadamu, aku
tak akan melukai selembar jiwamu.
Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alis matanya yang
tebal sebelum bibirnya sempat membantah matanya yang
tajam telah menyapu sekejap disekeliling tempat itu ternyata
dimana ia berdiri pada saat ini adalah sebuah puncak gunung
yang tinggi menjulang ke angkasa, sekeliling puncak itu
merupakan rentetan pegunungan yang tinggi, kabut tebal
menyelimuti hampir seluruh permukaan tanah.
la sendiri tak tahu bigaimana caranya hingga dirinya berada
diatas puncak bukit yang begitu tinggi, setelah mengetahui
jelas keadaan disekelilingnya ia merasa bergidik dan bulu
kuduknya pada bangun berdiri, dipandangnya sekejap wajah
Pek Kun-gie yang pucat pias itu tampaklah gadis itu semakin
putih mukanya hingga menyerupai kertas.
Agaknya Too koh bercadar hitam itu sudah tak sabar untuk
menanti lebih lama lagi, sambil kebaskan senjata hud tim ia
berseru, "Hoa Thim Hong, engkau yang akan pergi dari sini
atau pin ni yang harus tinggalkan tempat ini, ayoh cepat ambil
keputusan."
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau yang pergi!" bentak Hoa Thian-hong dengan
gusar. Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin badannya
melayang maju kedepan dan....
Sreet!! senjata hud tim nya menyapu kemuka.
Hoa Thian-hong semakin mendongkol menyaksikan
datangnya ancaman dari lawan, dengan cepat ia loncat
bangun dari atas tanah telapak kirinya menghajar senjata
musuh sedangkan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanannya menotok kedepan.
Terdengar desiran tajam yang amat memekikkan telinga
disertai segulung angin serangan yang maha dahsyat, laksana
kilat cepatnya menerobos kedepan mengancam jalan darah
sian ki hiat ditubuh Too koh bercadar hitam itu, begitu dahsyat
serangannya hingga sangat mengejutkan hati orang.
Diam-diam Too koh becadar itu merasa amat terperanjat,
buru-buru ia berubah jurus senjata Hud tim nya balik
menyerang pergelangan ta ngan musuh sementara telapak
kirinya melancarkan satu pukulan berhawa lunak yang hebat
menghantam dada si anak muda itu.
"Sungguh lihay Too koh ini," pikir Hoa Thian-hong dengan
kaget, "jurus demi jurus serangan yang dilancarkan Too koh
ini penuh berisi tenaga, jelas dia adalah seorang jago
kenamaan, mungkinkah dalam perkumpulan Sin-kie-pang
benar-benar terdapat bagitu banyak jago kenamaan?"
Berpikir sampai disitu, tubuhnya segera menerjang maju
kedepan secara beruntun dia lancarkan delapan buah pukulan
dan kesemuanya merupakan satu jurus yang sama yakni jurus
Kun-siu-ci-tauw. Delapan buah serangan tersebut ibaratnya gulungan air
sungai Tiang kang yang tiada berputusan, seandainya musuh
yang dihadapi bukan seorang tokoh persilatan yang ampuh,
tak mungkin akan mampu urtuk menghadapi datangnya
ancaman tersebut. Too koh bercadar hitam itu sendiri, dengan sebilah senjata
hud tim nya yang maha dahsyat, terutama sekali kepandaian
Liu in bui siu atau awan mengalir ujung baju beterbangan
merupakan kepandaian terampuh di kolong langit kendatipun
pada mula-mulanya masih bisa bertahan dengan seenaknya
namun lama kelamaan dia harus menghadapi nya dengan
sepenuh tenaga dan sedikitpun tidak berani berayal.
Selelah berhasil memunahkan delapan buah serangan
tersebut, diam diam too koh bercadar hitam itu
menghembuskan napas lega, menggunakan kesenpatan itu ia
lancarkan serangan balasan.
"Hoa Thian-hong!" serunya sambil tertawa dingin,
"mengapa engkau tidak cabut keluar pedangmu?"
"Bertempur dengan tangan kosongpun belum tentu engkau
mampu untuk mempertahankan diri!" jawab Hoa Thian-hong
angkuh. "Hmmm! bicara takabur dan pandai omong besar, engkau
benar-benar seorang manusia yang tak tahu tingginya langit
dan tebalnya bumi!" "Hmm! kalau memang begitu, cobalah terima pukulanku
ini!" hardik Hoa Thian-hong dengan gusar.
Dari posisi Tiong kiong ia bergerak menuju kepintu hong
bun dengan jari tangan menggantikan pedang, sebuah
totokan maut dengan ilmu menyerang sampai mati segera
dilepaskan. "Bocah tak tahu diri, engkau memang benar-benar kurang
ajar....!" maki Too koh itu dengan gusar.
Tubuhnya berkelebat kesamping, telapak kirinya dengan
jurus Toa mo hui sah atau pasir beterbangan ditengah gurun
melancarkan sebuah gulungan maut kedepan, sementara hud
tim ditangan kanannya berputar membabat wajah lawannya.
Ketika dalam gerakan menyambar gagang hud tim
mengurat dan tiba-tiba mengancam urat nadi pada
pergelangan Hoa Thian-hong dalam satu jurus tersembunyi
tiga gerakan yang penuh dengan nafsu membunuh, serangan
tersebut betul-betul mengerikan sekali.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terkesiap, satu ingatan
segera berkelebat dalam benaknya, dia merasa bahwa
gerakan tubuh Too koh berkeruedurg hitam ini seperti pernah
dikenal dan dilihatnya disuatu tempat.
Tiba-tiba terdengar Too koh bercadar hitam berseru dingin,
"Hoa Thian-hong apabila engkau mampu mempertahankan diri
terhadap seranganku dengan jurus In mao sam wu atau mega
menari-nari, pin ni akan tunduk seratus persen dan segera
mengundurkan diri dari tempat ini."
Secara tiba-tiba Hoa Thian-hong telah menyadari bahwa
gerakan tubuh Too koh tersebut mirip sekali dengan
seseorang dan tanpa terasa diapun teringat akan seseorang
yang lain. Dengan keringat dingin mengucur keluar membasahi
seluruh tubuhnya pemuda itu segera meloncat mundur
kebelakang, serunya dengan gelisah, "Cianpwee harap tunggu
sebentar, aku ada perkataan hendak kusampaikan padamu!"
"Manusia yang telah mati tak dapat hidup kembali, bicara
omong kosong apa gunanya" sahut Too koh bercadar hitam
dengan sinis. Senjata hud tim nya dikebaskan ke arah depan, cahaya
hijau segera tersebar keempat penjuru beratus-ratus lembar
bulu Hud tim yang menyebar kebawah, serentak mengancam
jalan darah penting diseluruh badan lawannya.
Hoa Thian-hong terkejut bercampur cemas, dalam waktu
singkat pelbagi ingatan berkelebat dalam benaknya
bagaimanapun juga ia tak berani melancarkan serangan
balasan, dalam keadaan yang amat kritis sekuat tenaga
badannya loncat mundur kebelakang.
Menyaksikan serangannya tidak mengenai sasaran, Too
koh bercadar hitam itu segera mengejar kedepan, senjata Hud
tim nya sekali lagi menyerang kemuka bentaknya dengan
gusar, "Mengapa engkau tidak lancarkan serangan balasan?"
"Menteri setia pendekar sejati, anak berbakti cucu
budiman...." sahut Hoa Thian-hong sambil menyusup
kesamping dan sekali lagi meloloskan diri dari ancaman kedua.
Too koh bercadar hitam itu merasa amat terharu akan
tetapi diluar sama sekali tidak mengendorkan pengejaranya,
sambil mendesak maju kedepan serunya sambil tertawa
dingin, "Hoa Thian-hong engkau menghormati pin ni sebagai
apa?" "Aku menghormati cianpwee sebagai pendekar sejati...."
jawab si anak muda itu dengan gelisah.
Belum habis dia berkata, Too koh bercadar hitam itu
mendengus dingin senjata Hud timnya dikibaskan kemuka dan
untuk ketiga kalinya dia melancarkan sebuah serangan kilat.
Hoa Thian-hong merasa amat gelisah pikirnya, "Sudah
sewajarnya kalau dia merasa sedih karena menyaksikan darah
dagingnya mengalami musibah, baiklah! akan kusambut
sebuah serangannya agar rasa mangkel dan mendongkolnya
yang berkecambuk dalam dadanya bisa keluar...."
Berpikir sampai disini, ia segera salurkan hawa murninya
keseluruh badan terutama sekali disekitar punggungnya
kemudian dengan cepat maju kedepan.
Ketika pemuda itu berkelebat ke arah sisi kiri, Too koh
bercadar hitam itu merasa curiga bercampur sangsi akan
tetapi anak panah sudah ada dibusur mau tak mau harus
dilepaskan juga. Sambil membentak keras, senjata hud timnya segera
dibabat ke arah bawah dengan amat dahsyat.
"Aduuuh....! Hoa Thian-hong mendengus dingin, belasan
jalur luka yang mengucurkan darah segar muncul diatas
punggungnya, daging merekah dan keadaannya mengerikan
sekali, tubuhnya segera terlempar hingga mencapai sejauh
dua tombak dari tempat semula.
Tertegun hati Too koh bercadar hitam itu menyaksikan
kejadian tersebut, dengan cepat ia membopong maju Pek
Kun-gie kemudian kabur turun bukit dan sekejap mata
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan
Hoa Thian-hong berdiri termangu-mangu, beberapa saat
kemudian ia menghela napas panjang dan bergumam seorang
diri, "Ataai....! manusia yang telah mati tak bakal hidup
kembali, bicara kosong apa gunanya?"
Untuk beberapa saat lamanya karena murung, pemuda itu
telah melupakan rasa sakit diatas punggungnya.
Baru saja dia akan menuruni bukit itu untuk kembali pada
ibunya, mendadak pemuda itu teringat kembali akan kuburan
pemegang pedang, segera pikirnya, "Dalam dunia persilatan
memang sering kali terdapat manusia yang berwatak aneh
dan suka menyendiri, orang itu menggunakan kuburan untuk
memendam pedangnya, aku rasa dia pastilah seorang
manusia yang luar biasa. Perlahan-lahan ia dekati kuburan tersebut, ketika diperiksa
dengan seksama mendadak di-temuinya bahwa kuburan
pemegang pedang sudah pernah dibongkar orang bahkan
kalau ditinjau dari keadaan disekeliling tempat itu jelas
pembongkaran itu terjadi belum lama berselang.
Diam-diam segera pikirnya, "Orang persilatan kebanyakan
pada menyukai senjata tajam apa lagi kuburan pemendam
pedang ini tiada pemilik, tidak aneh kalau tempat seperti ini
paling sudah memancing kedatangannya orang tapi batu
peringatan itu sudah kuno dan hurufnya sudah kabur
semestinya usia kuburan ini sudah mencapai dua tiga ratus
tahun lamanya, pedang didalam kuburan ini semestinya sedari
dulu sudah diambil orang kenapa belakangan ini masih
nampak juga bekas-bekas digali?"
Berpikir sampai disini, timbullah perasaan ingin tahu dalam
hati kecilnya, ia meyingkirkan batu besar diatas kuburan itu
dan segera ditelitinya dengan seksama.
Luas kuburan pemendam pedang itu hanya empat depa,
lapisan kuburan terdiri dari petak-petak batu persegi empat,
berhubung tempat itu pernah digali orang maka sewaktu
menyingkirkan petak-petak batu itu dapat dilakukan dengan
mudah sekali, dalam waktu singkat seluruh lapisan kuburan
bagian depan sudah terbongkar hingga muncullah sebuah
papan batu cadas yang berbentuk panjang.
Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir didalam hatinya,
"Meskipun kuburan ini kecil akan tetapi bangunannya megah
sekali, nampaknya kuburan ini adalah kuburan orang kaya...."
Dalam hati masih berpikir, tangannya telah bekerja
membongkar lapisan batu cadas tersebut.
Dibawah lapisan batu itu merupakan sebuah liang kosong
berbentuk panjang, pada lapisan liang itu membujurlah
sebuah lapisan batu lain yang panjangnya tiga depa dengan
luas beberapa depa diatas lapisan itu terukirlah hurup-hurup
lembut yang amat rapat kecuali itu tiada benda lainnya lagi.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing di ufuk disebelah
timur, dengan mata yang tajam Hoa Thian-hong mengamati
tulisan itu terbacalah tulisan itu berbunyi demikian, "Setelah
tamat belajar ilmu aku terjun kedunia persilatan dengan
andalkan sebilah pedang yang berat!"
Hoa Thian-hong terperanjat sambil meraba pedang baja
yang tergantung dipinggangnya, ia berpikir, "Mungkinkah
pedang baja yang dimaksud adalah pedang bajaku ini....
Ia membaca tulisan itu lebih jauh, "Berkat perlindungan
dari perguruan, semuanya berjalan lancar dan berjalan
sepuluh tahun nama besarku telah tersohor diseluruh kolong
langit dalam usia semuda ini tentu saja hasil itu membuat
hatiku sangat gembira.... tapi sayang suatu ketika karena
kurang ber hati-hati aku telah salah membunuh seorang
pendekar sejati, hasil jerih payahku selama sepuluh tahun
punah dan hancur dalam sehari dalam malu dan putus asa,
kupendam pedang bajaku, mengasingkan diri dan tak bersedia
membicarakan soal ilmu silat lagi...."
Membaca sampai disini Hoa Thian-hong menghela napas
panjang, pikirnya, "Seringkali orang menang silat dan lupa
daratan memang akibatnya adalah penyesalan yang tiada
akhirnya...." Kemudian pemuda itu teruskan kembali pembacaannya,
"Dalam ketenangan, timbullah satu ingatan dalam benakku,
aku berhasrat munculkan diri kembali dalam dunia persilatan,
aku berusaha berbuat amal dan kebajikan untuk menebus
kesalahan yang pernah kulakukan dimasa lampau, puluhan
tahun telah berlalu bagaikan sehari.
Timbul perasaan kagum dan hormat dalam hati Hoa Thianhong
dengan semangat berkobar, ia melanjutkan membaca
tulisan itu. "Walaupun pada saat ini aku tidak pernah dibantu oleh
pedang berat, namun dengan andalkan tenaga dalam yang
tinggi walaupun dengan kayu ataupun rumput tetap tidak ada
tandingannya di kolong langit, lama kelamaan sadarlah aku
tentang arti yang sebenarnya dari pada kata yang
mengatakan, pedang enteng menangkan pedang berat,
pedang kayu menangkan pedang baja, latihankusemakin rajin
dan perbuatan amalku semakin besar...."
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang bajanya dan
menimang-nimang, lalu gumannya seorang diri, "Pedang
enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan
pedang baja....?" Ia gelengkan kepalanya dan segera alihkan kembali sorot
matanya keatas lapisan batu tersebut.
Setelah hidup seratus tahun, kepandaian silat yang kumiliki
semakin meningkat terus, aku menyadari bahwa perguruanku
tak boleh putus dengan begitu saja lantaran aku karena itu
selain pedang baja yang berat kusertakan pula sebait "Kiam
keng" ditempat ini. Membaca sampai disini, sorot matanya dengan tajam
menyapu sekejap sekeliling liang pedang itu dengan harapan
bisa menemukan 'Kiam keng' atau catatan pedang seperti
yang dimaksudkan namun liang batu itu kosong melompong
kecuali batu cadas tersebut tiada benda yang lain lagi.
Dengan hati terkejut ia melanjutkan membaca tulisan itu,
"Selama membawa pedang ditangan, ternyata di kolong langit
tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi diriku,
tiada benda yang mampu menahan pukulanku, dalam keadaan
begini timbullah ingatan dalam benakku, hidup dengan
pedang lebih baik hidup tanpa pedang, tapi perguruan turun
temurun mewariskan pedang tersebut, itu berarti dibalik hal
itu pastilah terdapat sesuatu maksud yang tertentu maka aku
segera menutup diri untuk memecahkan rahasia ini, setelah
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghabiskan waktu sembilan belas tahun, akhirnya dapat
aku resapi apa artinya ada pedang menangkan tanpa pedang
berat meranakan pedang ringan karena itu dengan sepenuh
tenaga kuciptakan serangkaian catatan Kiam keng sebagai
pembantu mereka yang ingin memperdalam ilmu pedangnya
cataitan terlampir dibawah dan siapa yang berjodoh boleh
mempelajarinya!" Dibawah tulisan tersebut tertulis kembali nama dari pemilik
kuburan tersebut yakni"
"Ahli waris angkatan keempat puluh empat dari perguruan
pedang Gi Ko" Dan tulisan dipaling bawah adalah Catatan Kiam keng.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah
membaca sampai disitu, dengan suara lantang segera
bacanya, "Peraturan menurut langit, kerugian pasti bersisa tenaga
masih kurang kekerasan bukanlah...."
Baru saja ia berbicara sampai disitu mendadak dari
belakang tubuhnya berkumandang datang suara bentakan
keras disusul segulung angin pukulan yang maha dahsyat
menggulung datang. Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak
menyangka siapakah jago lihay dalam dunia persilatan yang
memiliki tenaga pukuln yang begitu dahsyat"
Ditengah desingan angin tajam, pemuda itu buru-buru
menjejakan kakinya keatas tanah dan membumbung
keangkasa tinggi hingga menca pai ketinggian tiga tombak
dari permukaan. Blaaaamm! ditengah benturan keras yang menggelegar di
angkasa, batu nisan didepan kuburan pemendam pedang
serta papan batu dalam liang terhajar hingga hancur jadi
berkeping-keping kemudian tersebar kemana-mana....
Hoa Thian-hong merasa terkejut bercampur gusar ketika ia
melayang turun keatas tanah dan menengok ke arah orang
yang melan carkan serangan itu maka tampaklah Pek Siauthian
ketua dari perkumpulan Sin-kie-pang yang amat tersohor
itu sudah berdiri angker dihadapannya.
Pek Siau-thian berdiri kaku dihadapannya dengan mulut
terkatup rapat-rapat, jubahnya yang lebar berkibar terhembus
angin sikapnya yang begitu mengerikan membuat orang jadi
segan dan tak berani memandang rendah dirinya.
Hoa Thian-hong teramat gusar, pada saat itu dia sudah
lupa akan arti jeri ataupun takut sambil mempersiapkan
pedang bajanya ia berseru dengan gusar, "Pek Siau-thian!
persoalan lain tak usah kita bicarakan lagi, mari kita berduel
untuk menentukan siapa menang siapa kalah, kita bereskan
semua hutang lama maupun hutang baru!"
Air muka Pek Siau-thian berubah hebat, perlahan-lahan
katanya, "Kalau didengar dari pada ucapanmu, apakah putriku
benar-benar telah mati?"
Wajahnya penuh emosi, suaranya gemetar dan ia tak dapat
mengua-sahi perasaan ngeri serta kecewa yang berkecamuk
dalam benaknya. Kematian dari Pek Kun-gie merupakan suatu kejadian yang
amat menyesalkan hati Hoa Thian-hong, rasa sedih yang
dialaminya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
bara kebencian yang masih tertanam didasar hatinya
membuat pemuda itu tak sudi memperlihatkan perasaan hati
yang sebenarnya dihadapan Pek Siau-thian.
Mendengar pertanyaan itu, dia segera mengangguk sebagai
tanda membenarkan ucapan itu.
Sekujur badan Pek Siau-thian gemetar keras sesudah
termenung beberapa saat, tiba-tiba ia menengadah keatas
dan memperdengarkan suara gelak tertawa yang amat
menyeramkan. "Heeehh.... heeehh dimanakah jenasahnya?"
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, diam-diam
pikirnya didalam hati, "Ilmu silat yang dimiliki too koh
bercadar hitam itu berasal satu aliran dengan kepandaian
yang dimiliki Pek Kun-gie kalau kutinjau dari sikapnya sewaktu
membopong jenasah Pek Kun-gie tanpa bersedia untuk
melepaskannya, mungkin dia adalah bininya Pek Siau-thian
atau ibu kandung dari kakak beradik itu, tapi itu hanya
menurut dugaanku belaka belum tentu dugaanku itu tepat."
Sementara itu ketika Pek Siau-thian menyaksikan pemuda
itu hanya membungkam terus tanpa menjawab, hatinya
kembali tercekat, tegurnya dengan nada agak gemetar,
"Kenapa" apakah engkau takut terjadi urusan maka kau
lenyapkan jenasah itu dari muka bumi?"
"Engkau tak usah menggunakan pikiran seseorang manusia
rendah untuk menilai seorang kuncu, aku orang she Hoa
bukan manusia semacam itu, aku tak dapat melakukan
pekerjaan seperti itu"
"Dimanakah jenasahnya?" bentak Pek Siau-thian tiba-tiba
dengan suara keras. Mula-mula hawa gusar menyelinap diatas wajah Hoa Thianhong
kemudian dengan dingin dan hambar jawabnya, "Tak
usah banyak bertanya, aku orang she Hoa sudah cukup
menerima penghinaan serta pencemoohan dari kalian dan
akupun tahu persoalan yang terjadi pada hari ini tak dapat
diakhiri secara damai, daripada buang waktu dengan percuma
lebih baik kita tetapkan saja mati hidup kita dengan ilmu silat."
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian segera
menengadah keatas dan tertawa seram suaranya
mengandung perasaan sedih, gusar, benci, mendendam serta
pelbagai perasaan lain, begitu seramnya suara tertawa itu
hingga jauh lebih tak enak di dengar dari pada suara tertawa.
Seluruh bukit dan udara segera menggema dan
mengalunkan tertawanya yang mengerikan itu....
Hoa Thian-hong merasa bergidik hingga bulu kuduknya
pada bangun berdiri, pikirnya, "Cinta kasih ayah anaknya
selalu sama meskipun Pek Siau-thian adalah seorang jagoan
yang amat lihay namun kesedihannya karena kehilangan
putrinya yang tercinta benar-benar memilukan."
"Aaaai....! dalam pertempuran yang bakal terjadi hari ini
mungkin salah satu diantara kita berdua bakal menemui
ajalnya...." Berpikir sampai disini, sengaja ia berseru dengan suara
dingin, "Hmmm! sebagai seorang pangcu dari perkumpulan
Sin-kie-pang mengapa tidak bersikap lebih terbuka sedikit?"
Gelak tertawa Pek Siau-thian segera sirap, sepatah demi
sepatah ujarnya dengan nada menyeramkan, "Kalau hari ini
aku tak mampu membinasakan dirimu maka perkumpulan Sinkie-
pang akan buyar dengan begitu saja, besok malam
pertarungan besar Kian ciau tayhwee pun tak ada manusia
yang bernama Pek Siau-thian lagi."
Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar dengan
sikap bertempur ia berteriak keras, "Bagus sekali! selama aku
orang she Hoa masih dapat bernapas, aku pasti akan
bertempur dengan dirimu hingga titik darah penghabisan, aku
tak mungkin akan tinggalkan bukit ini dengan begitu saja."
ooooooOoooooo 47 NAFSU membunuh yang amat tebal dengan cepet
menyelimuti seluruh wajah Pek Siau-thian, sambil tertawa
dingin tubuhnya bergerak maju kedepan, telapak tangannya
laksana kilat melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah
dada lawan. Hoa Thian-hong tetap bersikap angkuh dan sama sekali tak
bermaksud menghindarkan diri kesamping, tubuhnya tetap
berdiri tegak ditempat semula sementara pedang bajanya
diayun kedepan.... Sreeet! sebuah serangan balasan telah
dilepaskan. Pek Siau-thian merasa amat terperanjat dan hatinya
bergentar keras dan perasaan tersebut belum pernah dialami
selama hidup. Sejak mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang, hampir
separoh jagad telah berada dalam genggamannya tidak
membicarakan soal kepandaian silatnya, cukup meninjau
kepandaiannya mengendalikan serta menguasai anak buahnya
sudah bisa diketahui bahwa dia adalah sseorang manusia yang
luar biasa. Dalam sekilas pandangan, ia sudah tau bahwa Hoa Thianhong
memiliki bakat yang bagus dan dikemudian hari bakal
mencapai puncak kesempurnaan karena itu kemauan yang
dicapai oleh Hoa Thian-hong sudah berada dalam dugaannya
namun kemajuan yang sangat mendadak itulah justru
membuat hatinya bergetar keras ia tak dapat menemukan
dimanakah letak alasannya hingga pemuda itu berhasil
memperoleh kemajuan secepat itu.
Jilid 5 HARUSLAH diketahui serangan yang dilancarkan oleh Hoa
Thian-hong barusan sama sekali tidak memperlihatkan
kesempurnaan dalam tenaga dalam juga bukan keampuhan
dalam jurus serangan melainkan kegagahan keberanian serta
hasil latihan yang semestinya sudah mencapai puluhan tahun
lamanya dan pengalamanya dalam menghadapi ratusan
pertarungan itulah yang menggetarkan kesempurnaan
tersebut tak dapat diciptakan baik dengan obat-obatan
maupun dengan kecerdasan, kematangan itu hanya bisa
dihasilkan karena latihan yang lama serta seringnya
bertempur. Diam-diam Pek Siau-thian merasa amat terperanjat,
dengan cepat menyingkir kesamping kiri pemuda itu kemudian
melancarkan sebuah serangan lagi.
Hoa Thian-hong menggetarkan pedang bajanya kebawah
untuk memunahkan serangan tersebut, pikirnya, "Kun Gie
sudah mati, dendam kesumat inipun tak dapat dihindari lagi,
Pek Siaiu Thian sebagai seorang pemimpin persilatan pasti
akan berusaha keras untuk membalas dendam sakit hati akan
kematian putrinya itu, tapi aku merasa bersalah meskipun
kematiannya membuat aku menyesal namun aku tak dapat
mengorbankan jiwaku demi mensukseskan harapan Pek Siauthian
untuk membalas dendam...."
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras.... Sreett!
sreett! secara beruntun ia lepaskan dua buah serangan
dengan kedu dukan menyerang menggantikan posisi lawan
dan ia berusaha merebut diatas angin.
Desiran angin pedang menggetarkan telinga Pek Siau-thian,
hawa pedang yang terpancar keluar dari senjata tersebut
mampu melukai orang tanpa berwujud.
Sementara itu Pek Siau-thian sendiri sambil melayani
serangan-serangan lawan, dalam hati diam-diam membuat
perhitungan, pikirnya, "Tindak tanduk ini seringkali berada
diluar dugaanku, rupanya ia sudah berhasil mencapai
kesempurnaan dalam ilmu silatnya dan jelas merupakan
ancaman terbesar bagi dunia persilatan, Kun Gie sudah mati
dan perduli bagaimanapun juga hari ini aku harus
membinasakan bocah keparat ini tapi.... besok pertemuan
besar Kian ciau tayhwee bakal diselenggerakan, aku harus
menghindari pertempuran-pertempuran yang terlalu
membuang tenaga serta berusaha keras untuk menghemat
tenaga...." Berpikir sampai disini secara tiba-tiba ia lancarkan tiga buah
serangan berantai kemudian bentaknya keras-keras, "Tahan!"
Hoa Thian-hong menghindar satu langkah kebelakang
sambil silangkan pedangnya didepan dada, ia menegur,
"Engkau ada urusan apa?"
Wajah Pek Siau-thian Kaku dan sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan apapun, ujarnya, "Tahukah engkau,
kemarin malam ada urusan apa putriku yang tidak berbakti itu
datang mencari dirimu?"
Dengan penuh perasaan sedih, Hoa Thian-hong
menggeleng lalu jawabnya lirih, "Pada saat itu aku sedang
berlatih pedang dibelakang bukit, aku tak sempat berjumpa
muka dengan dirinya ketika aku menyusul kesini dia...."
Terbayang kembali kejadian tatkala ia di kerubuti orang
tempo hari, Pek Kau Gie begitu kuatir, cemas bercampur
gelisah memandang ke arahnya membuat ia merasa amat
sedih sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Terdengar Pek Siau-thian tertawa dingin dan berseru,
"Orang she Hoa, terus terang kuberitahukan kepadamu, pihak
perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw
untuk sementara waktu telah melupakan perselisihan
pribadinya dan telah membentuk persekutuan untuk bersamasama
membentuk jebakan maut disekitar tempat
terselenggaranya pertemuan besar itu, asal kalian besok pagi
berani menghadiri pertemuan besar Kian ciau tayhwee maka
kalian manusia-manusia yang berlagak sok mulia akan dibasmi
semua dan dibunuh habis dari muka bumi!"
Walaupun kejadian ini sudah berada dalam dugaan para
jago, akan tetapi setelah perkataan itu diutarakan dari mulut
Pek Siau-thian sendiri, tak urung membuat Hoa Thian-hong
terkesiap juga hingga air mukanya berubah sangat hebat.
Terdengar Pek Siau-thian menghela napas panjang,
kemudian menyambung lebih jauh, "Siapa tahu putriku yang
tak berbakti itu mencari kematian buat diri sendiri, matanya
sudah buta dan menganggap engkau seorang pria yang suka
memandang tinggi soal cinta, ia berharap bisa mendampingi
dirimu sepanjang hidup setelah dia mengetahui akan rahasia
ini dan menyaksikan kalian terancam kepunahan, maka
dengan menempuh bahaya ia memohon kepadaku agar
memberi petunjuk untuk menghindarkan kalian dari bencana
maut, ia telah berlutut satu hari satu malam lamanya. Aaaai....
sungguh menyesal kukabulkan permintaannya"
Berbicara sampai disini seluruh kulit tubuhnya berkerut
kencang sambil memandang keangkasa, ia membungkam
dalam seribu bahasa, dalam waktu singkat itulah belbagai
macam kesedihan berkecamuk dalam benak Pek Siau-thian
membuat ia berdiri termangu-mangu.
Hoa Thian-hong tak dapat menahan diri, dua titik air mata
jatuh membasahi pipinya diam-diam is berpikir, "Sungguh tak
kusangka, tanpa kusadari aku telah berhutang budi yang
demikian besarnya terhadap dia. Aaaai....! takdir telah
menentukan segala-galanya apa yang dapat kulakukan lagi?"
Tiba-tiba Pek Siau-thian berkata lagi dengan suara keras,
"Hoa Thian-hong tahukah engkau tiba-tiba hatiku berubah jadi
lunak dan aku bersedia mengkhianati persekutuan dengan
pihak lain sebaliknya malah membantu musuh dengan
mengabulkan permintaan putriku itu?"
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa Thian-hong tertegun kemudian jawabnya, "Sadar akan
kesalahan yang dilakukan selama ini dan engkau bermaksud
meninggalkan yang sesat kembali kejalan yang benar"
"Kentut!!" bentak Pek Siau-thian dengan penuh kegusaran.
Dalam hati Hoa Thian Hoag segera berpikir.
"Rupanya Pek Siau-thian sudah terlanjur tersesat sehingga
meskipun sang Budha turun keatas bumi sendiripun belum
tentu membu at ia bertobat diri segala dosanya.
Sesudah berpikir sebentar, diapun berkata, "Sejak kecil Kun
Gie dibesarkan dibawah perawatanmu, kalian berdua sudah
hidup berdampingan selama banyak tahun membuat cinta
kasihmu terhadap dirinya dalam bagaikan samudra...."
Makin mendengar, Pek Siau-thian merasa semakin kesal, ia
segera ulapkan tangannya memotong perkataannya yang
belum selesai itu, serunya, "Engkau jangan menyamkan diri
orang lain bagaikan dirimu, engkau adalah seorang anak yang
berbakti apa yang diucapkan ibumu selalu kau turuti, engkau
tak pernah membangkang perkataan ibumu, sebaliknya
putriku itu bukanlah seorang putri yang berbakti, aku
melarang dia untuk mencintai dirimu sebaliknya dia malah
justru tak mau dengarkan perkataanku, mencari penyakit buat
diri sendiri sehingga membuat akupun harus menanggung
rasa malu karena ditertawakan oleh setiap orang di kolong
langit!" Hoa Thian-hong merasa tak tega membiarkan Pek Kun-gie
yang sudah meninggal dunia dicaci maki oleh ayahnya, tanpa
terasa ia segera menimbrung dari samping, "Ucapanmu itu
terlalu serius, andaikata keadaan tidak melarang aku untuk
membatasi diri dalam pergaulan, siapa tahu kalau aku dapat
berhubungan lebih mendalam lagi dengan putrimu hingga
membawanya kejenjang perkawinan" siapa yang akan
mentertawakan kami?"
Pek Siau-thian tertawa dingin.
"Engkau tak usah mengatakan persoalan itu meskipun
engkau berbakti pada orang tuamu belum tentu ibumu
bertindak bijaksana, aku bukanlah manusia sembarangan,
sekalipun putriku yang tak berbakti itu kupelihara sendiri
sampai dewasa akan tetapi aku tak akan mengorbankan
keselamatan anggota Sin Kie Hong yang mencapai jumlah
seratus laksa orang itu hanya dikerahkan ingin mewujudkan
hubungan kalian berdua. "Seratus laksa orang?" seru Hoa Thian-hong dengan hati
terperanjat, hampir saja tak percaya dengan pendengaran
sendiri. "Hmm! mimpi pun engkau tak pernah menyangka bukan?"
sahut Pek Siau-thian dengan wajah penuh ejekan.
"Aaah....! mungkin ia memperhitungkan pula keluarga
mereka semua.... pikir Hoa Thian-hong didalam hati, akan
tetapi kalau satu keluarga terdiri dari sepuluh orang itu berati
anggota perkumpulan Sin-kie-pang semuanya berjumlah
sepuluh laska orang, kemampuan Pek Siau-thian untuk
memimpin anggota sebanyak itu memang benar-benar luar
biasa serta mengagumkan sekali....
Berpikir Sampai disini, ia lantas berkata, "Caramu bertindak
memang amat sukar diduga, sebenarnya apa sih alasanmu
sehingga membuat hatimu jadi lemah serta mengabulkan
permintaan diri Kun Gie" aku tak dapat menduganya...."
"Aiaai....!" Pek Siau-thian menghela napas panjang, "aku
teringat akan keretakan keluarga kami berhubung dengan
hidup berpisahnya dengan istriku, sejak kecil Kun Gie sudah
kehilangan kasih sayang ibunya, ia dibesarkan dibawah
lingkungan para jago yang beraneka ragam watak serta
perbuatannya, aku tak tega menyaksikan ia menjadi sedih
karena pengaruh cinta, akupan tak ingin membiarkan dia mati
karena kesedihan karena itu ditengah jalan aku telah berubah
pikiran dan mengijinkan dirinya untuk pergi memberi kabar
kepada kalian serta menunjukkan pula satu jalan keluar bagi
kamu semua, tapi.... siapa tahu...."
Ia berhenti sebentar, dari balik matanya tiba-tiba
memancarkan cahaya berapi-api, sambungnya lebih jauh,
"Siapa tahu kalian manusia-manusia yang mengaku sebagai
kaum pendekar dari kolong langit ternyata tidak lebih hanya
sekawanan manusia yang tak tahu diri manusia yang tak
mengenal budi.... bukannya berterima kasih atas jerih
payahnya, kalian malah mencelakai jiwa putriku yang tolol
itu.... kau.... Hoa Thian-hong, apakah masih punya muka
untuk berjumpa dengan para enghiong di kolong langit"
kenapa engkau tidak bunuh diri saja untuk menebus dosadosamu
itu" apakah engkau hendak menunggu sampai aku
turun tangan sendiri?"
Air muka Hoa Thian-hong pucat pias bagaikan mayat, ia
berdiri kaku dan membungkam seribu bahasa lama.... lama
sekali baru jawabnya, "Latar belakang yang sebenarnya aku
tak usah terangkan lagi, pokoknya hutangku terhadap Kun Gie
dikemudian hari pasti akan kubayar!"
"Tapi dia sudah mati!" bentak Pek Siau-thian dengan mata
melotot. "Apa aku bisa menggunakan kematianku untuk membalas
budinya itu" atau juga dalam penitisan yang akan datang aku
toh dapat pula membalas budi kebaikannya itu!"
"Perkataan tentang Penitisan yang akan datang terlalu
khayal dan kosong, menurut penglihatanku lebih baik engkau
balaa saja kebaikan budi Kun Gie dengan satu kematian!"
Hoa Thian-hong agak tertegun, lalu jawabnya dengan
sedih, "Sekalipun aku tersedia namun harus menunggu sampai
pekerjaanku telah selesai lebih dahulu!"
"Heeeehhh.... heeehhh.... heeehhb engkau bersedia
menunggu tapi aku tak bersedia untuk menunggu lebih jauh!"
sahut Pei Siau Thiang sambil tertawa dingin.
Tubuhnya segera menerjang maju kedepan telapak
tangannya lak sana kilat melancarkan sebuah serangan
dahsyat kedepan. Hoa Thian-hong segera putar pedang bajanya untuk
mengunci datangnya ancaman tersebut namun Pek Siau-thian
adalah seorang manusia yang amat lihay, setelah berhasil
menduduki posisi diatas angin sepasang telapaknya segera
melancarkan serangan-serangan berantai secepat kilat sampai
si anak muda itu sama sekali tak mempunyai kesempatan
untuk melakukan pembalasan.
Dengan waktu singkat segulung angin pukulan bagaikan
gulungan ombak ditengah samudra membungkus Hoa Thianhong
dalam kepungan, Pek Siau-thian senderi seakan-akan
telah berubah jadi gulungan angin pukulan yang maha
dahsyat, jejaknya tiba-tiba lenyap tak berbekas.
Hoa Thian-hong dengan sepenuh tenaga memutar pedang
bajanya untuk menahan gempuran-gempuran dari lawannya,
cahaya hitam tampak meronta diantara angin pukulan
sebentar cahaya hitam itu muncul sebentar lagi lenyap
seakan-akan permainkan pedangnya sudah terbungkus
ditengah gulungan pukulan angin pukulan lawan.
Perkataan yang diucapkan Pek Tiau Thian barusan telah
menggetarkan hati Hoa Thian-hong membuat pemuda itu
merasa menyesal hingga permainan pedangpun menjadi
lunak. Setelah kehilangan posisi yang menguntungkan, dalam
sekejap mata tubuhnya sudah tertelan ditengah gelombang
angin pukulan yang dahsyat bagaikan hembusan angin puyuh
itu, kendatipun ia telah berusaha untuk meronta dan
melakukan perlawanan akan tetapi selalu gagal untuk
menemukan kesempatan guna membenahi diri sendiri, ia
sadar jika keadaannya begini terus menerus maka pada
akhirnya dia bakal menemui ajalnya ditangan lawan.
Pek Siau-thian sendiri berhasrat untuk membinasakan Hoa
Thian-hong dalam sebuah se-rangan mautnya, siapa tabu
kendatipun sudah melancarkan ratusan jurus serangan dan
me-maksa Hoa Thian-hong berada dalam posisi yang sangat
berbahaya dan kritis bahkan sering kali jiwanya nyaris
melayang namun maksud tujuannya belum pernah bisa
tercapai. Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu
pertempuran yang sengit dan jarang terjadi di kolong langit.
Makin bertempur Pek Siau-thian merasa makin terperanjat
ia tak pernah menyangka kalau di kolong langit masih
terdapat seorang jago yang mampu bertahan sebanyak
ratusan jurus tanpa menderita kalah dibawah kurungan ilmu
pukulan Ceng boan ngo heng sian ong toan hun ciang nya itu.
Sudah terlalu banyak jago lihay di kolong langit yang
penrah dihadapi olehnya manusia lihay sebangsa Ciu It-bong
dan lain-lainnya asal sudah terjebak dibawah serangan
rangkaian ilmu telapak yang jarang sekali dipergunakan
olehnya ini, maka dalam seratus jurus pasti akan keok dan
menderita kekalahan ditangannya.
Siapa tahu ketika ilmu telapaknya yang ampuh itu
dipergunakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, walaupun
sudah bertahan sampai ratusan jurus akan tetapi pemuda itu
masih belum juga mampu dikalahkan.
Tak tertahan lagi, ia berpikir dalam hati kecilnya, "Kun ji,
engkau memang tak punya rejeki dan keluarga Pek kitapun
tak punya rejeki andaikata bocah ini dapat menjadi
pasanganmu dan aku bisa mendapat bantuannya maka para
jago persilatan baik dari go longan putih maupun dari
golongan hitam yang ada dilima telaga empat samudra
bukankah akan tunduk dan berada dibawah kekuasaan per
kumpulan Sin-kie-pang kita."
Karena terpengaruh emosi, serangan yang dilancarkan
semakin dahsyat dan daya tekanan yang terpancar keluar dari
ilmu telapak Ceng hoan sian hong toan hun ciang itupun
makin menggetarkan seluruh permukaan bumi.
Hoa Thian-hong mengerahkan segenap kekuatan yang
dimilikinya untuk melindungi keselamatan sendiri, dalam
keadaan begini otaknya tak sempat untuk dipakai lagi
terpaksa ia harus punahkan jurus bila bertemu jurus,
punahkan gerakan bila bertemu gerakan pertarungan
diteruskan dengan mengikuti semua gerakan lawan.
Adaikata Pek Siau-thian tidak menghentikan serangannya
maka diapun terpaksa harus bertahan terus dengan cara
demikian sekalianpun tidak sampai menderita kekalahan
diapun tak memiliki kekuatan untuk merebut kemenangan.
Dalam waktu singkat Pek Siau-thian telah melancarkan
empat lima puluh jurus serangan lagi, ketika dilihatnya tenaga
dalam yang terpancar keluar dari ujung pedang Hoa Thianhong
sama sekali tidak menunjukkan kelemahan, diam-diam ia
merasa amat gelisah pikirnya, "Kalau penarungan berlangsung
dalam keadaan begini terus, sekalipun bergebrak tiga sampai
lima ratus jurus lagipun belum tentu aku mampu untuk
melukai bocah keparat ini, apalagi kalau sampai membiarkan
dia hapal dengan gerakan ilmu telapakku ini bisa-bisa akan
muncul suatu kejadian yang sama sekali tak terduga...."'
Berhubung besok adalah hari pembukaan pertemuan besar
Kian ciau tayhwee atau dengan perkataan lain saat terakhir
bagi kaum jago untuk menentukan siapa tangguh dan siapa
lemah, siapa berkuasa siapa tidak lagi pula mempengaruhi
mati hidup perkumpulan Sin-kie-pang maka Pek Siau-thian
tidak ingin menggunakan hasil latihannya selama puluhan
tahun ini sebelum tiba pada saatnya yang tepat, sebelum
pertarungan massal berlangsung ia tak ingin mengorbankan
tenaganya dengan percuma hingga mempengaruhi
kelangsungan pertemuan besok pagi.
Disamping itu, diapun mengerti setelah Hon Thian-hong
dibunuh maka Hoa Hujin pasti bersiap sedia untuk
membalaskan dendam bagi kematian putranya, iapun harus
bersiap sedia untuk menghadapi pertentangan yang paling
berat itu. Berpikir sampai disana, diapun segera mengambil
keputusan untuk merubah siasat, ia berusaha mencari
kemenangan dengan andalkan kepandaian yang dimilikinya
selama ini. Terdengar orang she Pek itu mendengus dingin, gerakan
telapaknya tiba-tiba berubah, telapak kiri menyapu keatas
pinggang musuh sementara kepalan kanannya langsung
menghantam dada Hoa Thian-hong.
Perubahan yang sama sekali tak terduga itu membuat jago
muda she Hoa itu jadi amat terperanjat, disaat yang kritis
pedang bajanya buru-buru berputar dengan gerakan Po goan
siu it atau berjaga-jaga dalam satu titik, badannya secepat
kilat berputar kencang. Menghadapi serangan musuh dengan badan berputar,
pedang disilangkan didepan dada merupakan jurus pertama
dari antara enam belas jurus pedang yang dipelajari oleh Hoa
Thian-hong, gerakan itu mengandung unsur Pat kwa serta Tay
kek membuat pihak lawan susah untuk menduga arah
manakah yang bakal diancam....
Pek Siau-thian merasa amat kagum sekali ketika
menyaksikan kepalannya ketiga menyapu kedepan, tiba-tiba
berkelebat cahaya hitam dan tahu-tahu sepasang
pergelangannya hampir membentur diatas pedang lawan, ia
memuji kelihayan ilmu pedang yang diciptakan oleh Hoa
Goan-siu tersebut serta kesempurnaan Hoa Thian-hong
didalam permainan pedangnya.
Tetapi setelah berhasil merebut kedudukan diatas angin, ia
tak mau membuang kesempatan itu dengan begitu saja,
telapak kirinya dengan suatu gerakan yang sangat aneh tibatiba
menotok jalan darah Ki huo hiat diatas badan Hoa Thianhong
sedangkan tangan kanannya yang mengandung
kekuatan inti mendadak diluncurkan kedepan.
Hoa Thian-hong tak sempat berpikir panjang lagi, pedang
bajanya dikembangkan dengan jurus Hok lay cing beng atau
pekikan bangau membumbung keangkasa, ia balik membabat
lengan kiri Pek Siau-thian sedangkan telapak kirinya dengan
jurus Kun ciu ci tau menyambut datangnya serangan lawan.
Siau tahu serangan tangan kiri Pek Siau-thian adalah gerak
tipu belaka, sedang serangan telapak kanan adalah serangan
yang sesungguhnya, terutama sekali gerakan ini merupakan
hasil ciptaannya setelah belasan tahun lamanya bertempur
melawan Ciu It-bong, bisa dibayangkan betapa jitu dan
hebatnya serangan tersebut.
"Ploook....!" sepasang telapak saling membentur satu sama
lainnya menimbulkan suara benturan keras, tubuh kedua
orang itu sama sama bergetar keras dan seranganpun terhenti
untuk beberapa saat.
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar Pek Siau-thian tertawa terbahak-bahak,
lengannya berkelebat kedepan melancarkan satu pukulan.
Ketika terjadi bentrokan tersebut kedua duanya berada
dalam posisi serangan yang mencapai setengah jalan, dengan
begitu serangan susulan yang dilancarkan oleh Pek Siau-thian
ini boleh dibilang jauh menyimpang dari kebiasaan dunia
persilatan dan siapapun tak akan menduganya.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat melihat gelagat
tidak menguntungkan itu, keputusan diambil dalam benaknya
dia mengepos tenaga kemudian menghimpun segenap
kekuatannya diatas bahu dan tubuhnya dengan cepat miring
kesamping. Semua peritiwa itu berjalan dalam sekejap mata ketika
serangan dari Pek Siau-thian meluncur datang tiba-tiba, Hoa
Thian-hong miringkan badannya kesamping tak sempat untuk
mengganti jurus lagi.... Kraaak! telapak tangannya sudah
mampir diatas bahu Hoa Thian-hong membuat tubuhnya
terpental sejauh dua tombak lebih dari tempat semula.
Pek Siau-thian sendiri ketika telapak tangannya dengan
telak bersarang diatas bahu lawan ia merasakan timbulnya
tenaga tolakan yang amat besar menggetarkan tangannya hal
itu membuat dirinya amat terperanjat.
Ia tak menyangka kalau serangannya yang dilancarkan
dengan melanggar kebiasaan Bu Lim itu ternyata sudah
disambut oleh Hoa Thian-hong dengan persiapan yang penuh,
hal ini membuat luka yang diderita oleh lawan boleh dibilang
enteng sekali. Jago tua she Pek itu jadi penasaran, ia segera berkelebat
maju kedepan siap melancarkan serangan berikutnya yang
mematikan. Terlihatlah Hoa Thian-hong berdiri angkernya didepan
dengan pedang disilangkan didepan dada, sorot matanya
memancarkan cahaya kilat dengan tajam, ia awasi gerak-gerik
Pek Siau-thian dengan kesiap siagaan penuh, dari sikapnya
seakan-akan ia telah bersiap sedia untuk menghadapi
serangan musuh sampai dimanapun juga.
Tercekat hati Pek Siau-thian menyaksikan hal itu, ia
hentikan gerakan tubuhnya sambil berpikir.
"Aku harus bersikap lebih tenang gerakan yang ngawur dan
gegabah tak mungkin berhasil membinasakan bocah itu...."
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah berkata dengan
nada dingin, "Engkau telah tunjukan kegagahanmu selama
beberapa waktu, sayang sekali tujuanmu tak dapat tercapai,
sekarang tibalah giliranku untuk menunjukkan kelihayan"
Pek Siau-thian tertawa dingin, "Heeehh.... heehhh.... heehh
dengan andalkan sedikit kepandaianmu itu masih belum cukup
untuk membinasakan diriku"
"Hmm! kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa,
aku akan berusaha sekuat teraga...."
Sambil menerjang maju kedepan, pedangnya segera
melancarkan satu babatan.
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, baru saja bisa
memunahkan serangan tersebut, Hoa Thian-hong telah
tertawa dingin tiada hentinya, pedang bajanya berputar
melancarkan serangan berantai bagaikan gulungan ombak
sungai Tiang kang ia mengirim serangan-serangan yang
mematikan. Setelah permainan pedang bajanya dikembangkan, sekali
pun Cui Im taysu bekerja sama dengan Ciong Lian-khek pun
merasakan tekanan yang maha berat dan dalam seratus jurus
belum tentu bisa merobah posisinya jadi seimbang, apa lagi
Pek Sau Thian hanya seorang diri, dalam waktu singkat ia
sudah dipaksa dalam situasi yang serba menyulitkan
Makin bertempur makin bersemangat, Hoa Thian-hong
membentak berulang kali pedang bajanya disertai deruan
angin tajam menggulung diseluruh angkasa, sekalipun Pek
Siau-thian sudah berusaha keras untuk mengarahkan pelbagai
macam jurus aneh namun ia tak mau membendung rangkaian
serangan yang bertubi-tubi itu untuk merebut po sisi yang
lebih menguntungkan, sekalipun begitu bukanlah suatu
pekerjaan gampang bagi Hoa Thian-hong untuk mengalahkan
dirinya. Ditengah berlangsungnya pertempuran sengit, diam-diam
Pek Siau-thian berpikir dalam hatinya, "Perpisahan yang
sangat singkat, diri mana bocah ini berhasil melompat jadi
jago lihay yang mampu menandingi kepandaian silatku"
benar-benar mengherankan...."
Tiba-tiba ia membentak keras, "Tahan!!"
Hoa Thian-hong sendiripun menyadari bahwa sulit baginya
untuk merebut kemenangan, mendengar ia berseru keras,
terpaksa sambil menghela napas mengundurkan diri
kebelakang. Pek Siau-thian menengadah memandang cuaca, kemudian
ujarnya dingin, "Tengah hari sudah hampir tiba kalau racun
teratai empedu api yang mengeram di dalam tubuhmu sudah
mulai kambuh kita boleh beristirahat lebih dahulu kemudian
baru bergebrak kembali"
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong jadi amat
terperanjat, ia tak menyangka kalau pertarungan iiu sudah
berlangsung setengah harian lamanya dalam hati segera
pikirnya, "Ketika aku menuruni jurang ini ibu menunjukkan
perasaan kuatir Pek Siau-thian dapat menemukan tempat ini,
berarti ibukupun bisa juga berbuat demikian dibalik peristiwa
tersebut tentu ada sebab sebabnya...."
Pek Siau-thian jadi girang ketika dilihatnya pemuda itu
murung dan sedih, sambil tertawa dingin katanya, "Engkau tak
usah bermuram durja, aku akan memberi kesempatan
kepadamu untuk beristirahat dahulu kemudian baru
melanjutkan kembali pertarungan ini, bagaimanapun toh bala
bantuanmu tak mungkin bisa tiba disini, aku dapat suruh
engkau mati dengan mata meram."
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong merasa semakin
gelisah ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan
pertarungan ini dengan secepatnya hingga diapun bisa cepatcepat
melepaskan diri dari cengkeraman jago tua itu, sambil
ayun pedang bajanya ia berseru, "Dalam tubuhku sudah tidak
terdapat racun teratai lagi engkau tak usah pura-pura berlagak
alim dan baik hati kalau engkau tak mau bertempur lagi maaf
kalau aku tak bisa melayani dirimu lebih jauh"
"Jadi kalau begitu racun teratai yang mengeram didalam
tubuhmu sudah punah?"
"Engkau kecewa?" jengek Hoa Thian-hong sambil tertawa
dingin. Pek Siau-thian tertawa seram.
"Heeehh.... heehh.... heeeh.... tempo hari aku penuju
kepadamu dan ajukan pinangan kepadamu untuk
mengawinkan engkau dengan putriku, pada waktu itu engkau
mengatakan tubuhmu masih mergeram racun dan tak dapat
beristri, kini racun yang mengeram dalam tubuhmu telah
punah, rupanya untuk menjaga kemungkinan engkau telah
turun keji dahulu dengan membinasakan putriku...."
Hoa Thian-hong jadi amat gusar sehingga sekujur
badannya gemetar keras, sehabis mendengar perkataan itu
teringat cinta kasih yang ditujukan Pek Kun-gie terhadap
dirinya, saking sedihnya dia mencucurkan air mata serunya
dengan gemas. "Pek Siau, putri kandungmu sudah tiada lagi di kolong
langit, kenapa engkau memandang begitu rendah akan
dirinya?" "Oooh....! engkau merasa tak tega" aku mengira engkau
benar-benar adalah seorang lelaki berhati baik!"
"Sebenarnya apa maksudmu mengucapkan kata-kata yang
sama sekali tak ada gunanya itu?"
Senyuman licik yang menyeramkan melintas diujung bibir
Pek Siau-thian, pikirnya, "Aku akan membuat pikiranmu jadi
kalut dan bingung tak karuan, akan kulenyapkan semangat
bertempurmu hingga sebelum ajalnya engkau rasakan lebih
dahulu bagaimana rasanya jadi orang gila...."
Sinar matanya berkelebat memandang sekejap ke arah
Kuburan pemendam pedang yang telah dihancurkan oleh
angin pukulannya itu, tiba-tiba berkelebat lewat satu akal licik,
sambil tertawa tergelak segera serunya, "Hoa Thian-hong,
tahukah engkau dirimu adalah anak murid siapa?"
Meskipun Hoa Thian-hong cerdik namun ia masih bukan
tandingan dari Pek Siau-thian yang licik, mendengar
pertanyaan tersebut segera jawabnya, "Siapapun mengetahui
kalau ilmu silat aku orang she Hoa adalah kepandaian
keluarga buat apa engkau banyak bertanya lagi?"
"Lupa pada soal perguruannya engkau memang seorang
manusia lupa budi!" Tiba-tiba Hoa Thian-hong teringat akan sesuatu tanpa
sadar ia berseru, "Katakanlah semestinya aku orang she Hoa
adalah anggota perguruan mana....?"
"Kiam seng malaikat pedang Gi Ko!"
Hoa Thian-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah
kuburan pemendam pedang kemudian pikirnya, "Cianpwee ini
selama hidupnya banyak berbuat kebaikan, ilmu pedangnya
tiada tandingannya di kolong langit dia memang pantas
disebut malaikat pedang sayang aku hanya mendapatkan
pedangnya dan gagal menemukan Kiam keng tersebut"
Teringat kalau catatan Kiam keng tersebut telah
dihancurkan oleh tenaga pukulan Pek Siau-thian sehingga
pusaka yang tak ternilai harganya lenyap tak berbekas, tanpa
terasa ia menaruh benci terhadap jago tua itu, sambil
menggertak giginya serunya, "Sebenarnya aku tidak berhasrat
untuk membinasakan dirimu akan tetapi setelah engkau
mengungkap persoalan ini, andaikata aku tidak mencabut
selembar jiwamu rasanya sulit untuk melampiskan rasa
dendam didalam hatiku...."
Sambil putar senjata, ia segera menerjang maju kedepan.
Tampak Pek Siau-thian mengelus jenggotnya sambil
tertawa terbahak-bahak, diantara gelak tertawanya penuh
mengandung perasaan bang ga.
Bagaimanapun juga Hoa Thian-hong adalah seorang
pendekar sejati melihat pihak lawan tiada bermaksud untuk
melakukan perlawananan terpaksa ia tarik kembali
serangannya sambil berseru dengan nada gemas.
"Pek Siau-thian tingkah lakumu yang licik serta gelak
tertawamu yang seram bagaikan setan membuat aku teringat
pada seseorang" "Siapa?" tanya Pek Siau-thian sambil tertawa.
"Co Cho!!" "Haahhh.... haaahhh.... haaahhh.... terima kasih atas
sanjunganmu itu aku orang she Pek tak berani menerimanya!"
Haruslah diketahui, dalam pandangan Hoa Thian-hong,
manusia yang paling licik dan berbahaya dalam sejarah adalah
Co Cho, sebaliknya dalam pandangan Pek Siau-thian maka Co
Cho dianggap sebagai seorang pahlawan yang luar biasa, dan
dia menganggap orang itu sebagai pahlawan yang paling
dikagumi olehnya, karena itu makian Hoa Thian Hoag telah
disalah tafsirkan olehnya....
Dengan wajah serius dan penuh penghinaan, Pek Siauthian
berseru membaca isi dari Kiam keng yang telah
dihancurkan olehnya itu, "Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang, kekerasan bukanlah kekerasan, keras tapi
lincah, lunak bu kanlah lemah...."
Membaca sampai disini mendadak ia membungkam.
Hoa Thian-hong mendengarkan dengan seksama, tetapi
ketika ditunggunya sangat lama namun ia tidak meneruskan
pembacaannya pemuda itu jadi mendongkol bercampur gusar
tentu saja ia tak dapat mengajukan permintaan kepada
lawannya untuk meneruskan pembacaan tersebut, dengan
hati terbakar oleh hawa amarah ingin sekali ia bacok lawannya
sampai mati. "Bagaimana?" terdengar Pek Siau-thian mengejek sambil
tertawa, "meskipun aku tak mampu membaca sepuluh kata
dalam sekali pandangan namun tulisan diatas lapisan batu
cadas itu telab kubaca sampai selesai, engkau berbakat bagus
dan lagi masih muda masa tulisan itr" belum sempat kau baca
sampai habis?" Diam-diam Hoa Thian-hong merasa menyesal, menyesal
karena sudah terpikat oleh masa hidup Gi ko yang tertera
diatas lapisan batu itu hingga ketajaman telinganya berkurang
dan memberi kesempatan kepada Pek Siau-thian untuk
menghapalkan isi dari Kiam Keng sebelum menghancurnya
hingga jadi abu. Haruslah diketahui bagi orang yang belajar ilmu silat,
catatan ilmu yang sangat mendalam itu kadangkala dipandang
jauh lebih berharga daripada jiwa sendiri apalagi sejak kecil
Hoa Thian-hong sudah mempelajari ilmu pedang dengan
pedang baja tersebut boleh dibi lang dengan malaikat pedang,
Gi Ko mempunyai jodoh karena itu bagi pandangan nya Kiam
Keng tersebut jauh lebih berharga daripada apapun juga.
Mula-mula ia tidak berpikir sampai kesitu, semakin setelah
dipikir lebih jauh makin lama hatinya semakin mendongkol
sehingga akhirnya amarahnya berkobar dalam dadanya,
sambil menyeringai seram, segera serunya, "Pek Siau-thian,
ini hari kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa
kalau aku Hoa Thian-hong yang mati maka pembaca Kiam
keng atau tidak bagiku sama saja sebaliknya kalau engkau
yang mati...." "Aku akan membawa pergi catatan itu kealam baka," sahut
Pek Siau-thian sambil tertawa terbahak-bahak, "dan sejak kini
di kolong langit tiada orang lain mengetahui apa isi dari
catatan Kiam keng tersebut...."
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, sambungnya lebih
jauh, "Sungguh kasihan Malaikat pedang Gi Ko, dengan
usianya sebesar seratus tahun dia harus semedi selama
sembilan belas tahun lamanya sebelum berbasil menemukan
rahasia ilmu pedaag itu serta menciptakan Kiam keng sayang
usahanya itu hanya sia-sia belaka dan akhirnya harus musnah
dan muka bumi...." "Engkau jangan keburu merasa bangga lebih dahulu!"
bentak Hoa Thian-hong dengan gusar, "lihat aku akan segera
membacok tubuhmu hingga hancur berkeping-keping!"
Sambil menerjang maju kedepan, pedagnya segera dibabat
secara gencar. Menyaksikan pemuda itu mulai dibakar oleh hawa amarah
sehingga konsentrasinya buyar, diam-diam Pek Siau-thian
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa bangga, dengan cepat ia bergeser kesamping, lalu
sambil tertawa ujarnya, "Hoa Thian-hong malaikat pedang Gi
Ko membutuhkan waktu selama sembilan belas tahun untuk
menciptakan kelima puluh delapan kata catatan Kiam keng
tersebut, coba pikirkanlah sendiri dia membutuhkan waktu
berapa lama untuk mendapatkan satu patah kata?"
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa Thian-hong
menghitung, ia merasa malaikat pedang tersebut
membutuhkan waktu selama empat lima bulan untuk
mendapatkan setiap patah kata tersebut, hal ini membuat
hatinya semakin mendongkol, serunya dengan gemas,
"Semoga saja engkau jangan sampai terjatuh ditanganku,
kalau aku orang she Hoa berhasil menangkap dirimu, aku
akan menusukkan pedangku kedalam tubuhmu untuk
memperoleh setiap patah kata, suatu ketika aku pasti akan
berbasil memaksa engkau untuk mengucapkan kelima puluh
delapan patah kata tadi"
Dengan cepat Pek Siau-thian berkelebat delapan depa
kesampinag, sesudah berhasil meloloskan diri dari serangan
tersebut, katanya sambil tertawa, "Seandainya engkau telah
selesai membaca kelima puluh delapan patah kata yang
tercantum dalam catatan Kiam Keng tersebut, suatu ketika
engkau memang besar kemungkinan bisa menangkap diriku,
tapi sayang engkau tidak berhasil menyelesaikan bacaan itu
maka sepanjang hiduppun jangan harap akan berhasil untuk
menawan aku!" Hoa Thian-hong merasa amat gusar....
Sreet! Sreet! Sreet! secara beruntun ia lancarkan tiga buah
serangan berantai, namun dengan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna Pek Siau-thian berhasil mundur tiga langkah
kebelakang, biji matanya berputar dan secara tiba-tiba ia
sengaja memperlihatkan satu titik kelemahan.
Hoa Thian-hong pada saat ini sudah termasuk diantara
deretan kaum jago lihay di kolong langit, memperlihatkan titik
kelemahan secara sengaja merupakan suatu tindakan yang
berbahaya sekali. Pek Siau-thian mengeluarkan ilmu telapak Im yang ciang
untuk memancing musuhnya tujuan yang lebih utama tidak
lebih hanyalah untuk mengejek pemuda itu bahkan Hoa Thianhong
jadi amat kegirangan, pedangnya laksana sambaran kilat
segera membabat keatas pinggang jago tua itu.
Ketika ujung pedangnya menyentuh lawan tiba-tiba dalam
benak Hoa Thian-hong terlintas catatan Kiam keng,
pedangnya dibabat sejajar dada lalu menabok keatas
sedangkan tangan kirinya dengan suatu gerakan secepat kilat
melancarkan sebuah totokan.
Pek Siau-thian tertawa ringan, tubuhnya berkelebat
delapan depa dari tempat semula, sengaja ia mengambil
bahaya ini untuk menilai perasaan hati Hoa Thian-hong,
karena ada persiapan lebih dahulu maka ia tidak merasa selalu
jeri. Siapa tau setelah tubuhnya berkelebat kesamping, ia baru
merasa terjelos hatinya sehingga air mukanya jadi pucat pias
bagaikan mayat. Kiranya padi saat terakhir ujung pedang si anak muda itu
masih berhasil juga menempel diatas pinggangnya,
kendatipun sentuhan tersebut enteng sekali akan tetapi cukup
mengejutkan hatinya sehingga keringat dingin menguncur
keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thian-hong
sekarang ia baru mengerti kalau Pek Siau-thian sengaja
memperlihatkan titik kelemahan tersebut kepadanya, hal ini
membuat pemuda itu jadi mendongkol dan menyesal,
menyesal karena ia tak dapat memanfaatkan kesempatan baik
yang sukar ditemukan selama hidupnya itu.
Sambil menjejakan kakinya keatas tanah, karena gemas
teriaknya, "Aaaai....! sialan....!"
Sambil putar pedang ia lancarkan kembali satu serangan
kilat. Kali ini Pek Siau-thian tidak berani bertindak gegabah lagi,
sambil berkeliaran kesana kemari menghindari ancaman
musuh otaknya berputar cepat untuk menyusun siasat guna
mencari kemenangan.... Bila pertarungan ini sampai diketahui orang dan tersiar luas
dalam dunia persilatan maka seluruh sungai telaga pasti akan
jadi gempar. Kedua orang itu sama-sama saling mengadu tenaga serta
kecerdikan, kedua belah pihak sama-sama lihaynya, siapapun
tidak ingin melepaskan lawannya dengan begitu saja, siapa
pun tak bersedia menghentikan pertarungan sampai di situ
saja. Setelah bertempur beberapa saat lagi, tiba-tiba Pek Siauthian
berseru dengan nada dingin, "Hoa Thian-hong catatan
Kiam keng semuanya terdiri dari lima puluh delapan kata,
pernahkah engkau pikirkan arti dari setiap patah kata itu...."
ketahuilah bahwa dalam tiap kata itu terkandung suatu arti
yang sangat bermanfaat bagi ilmu silat asal engkau dapat
memahaminya maka sepanjang hidup engkau akan menikmati
hasilnya...." "Pikirkan saja dialam baka nanti!" tungkas Hoa Thian-hong
dengan penuh kebercian. Pek Siau Thim mengirimkan satu pukulan keudara kosong
lalu melayang mundur kebelakang, serunya, "Pertarungan
menurut langit kerugian pasti tersisa.... pernahkah kau
bayangkan apa arti yang sebenarnya?"
Satu ingatan berkelebar dalam benak Hoa Thian-hong,
segera pikirnya, "Peraturan menurut langit kerugian pasti
tersisa...." oooooOooooo 48 Dia adalah seorang jago lihay yang sudah memiliki ilmu
silat yang sangat mendalam, hanya saja selama ini tak ada
kesempatan untuk menyelaminya, kini setelah dipikir lebih
jauh segera terasalah olehnya meskipun beberapa patah kata
itu amat sederhana sekali namun arti yang sebenarnya sangat
dalam sekali. Dengan cepat tubuhnya melayang beberapa tombak
kebelakang, sambil menatap tajam wajah Pek Siau-thian
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Pek Siau-thian sendiri diam-diam merasa amat girang
tatkala dilihatnya si anak muda itu mulai terjebak dalam
siasatnya, sambil mengelus jenggot ia berkata lebih jauh.
"Tidak salah bukan" daya tekanan yang terpancar dari
pedangmu berlebihan, kesalahannya justru terletak pada
kekasaran, andai kata engkau dapat menyelami kekerasan tapi
lincah maka aku bukan tandinganmu lagi.
Hoa Thian-hong merasa perkataan itu masuk diakal juga,
diam-diam ia lantas mengulangi kembali rahasia Kiam keng itu
didalam hati. "Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang kekerasan bukanlah kekerasan, keras tapi
lincah, lunak bukanlah lemah...."
Sambil berpikir tanpa disadari pedang bajanya segera
dibabat ke arah depan dengan hebatnya.
Pek Siau-thian tertawa sambil menganguk, sahutnya,
"Tepat sekali, serangan pedang bajamu ini kalau tidak disertai
suara itu berani bahwa tenaga seranganya sepuluh Kali lipat
dari ke adaan biasa dan akupun tak mampu menandingi
dirimu lagi...." Hoa Thian-hong melototkan matanya bulat-bulat sambil
menatap tajam wajah Pek Siau-thian, tiba-tiba pedang
bajanya melancarkan babatan demi babatan lagi.
Hawa murninya diam-diam dikendalikan, pedang bajanya
berputar kencang semakin kecil bawa murninya desingan
udarapun Semakin kecil, tiba-tiba ia lancarkan satu babatan
keatas tanah. Traaang....! percikan bunga api menyebar keempat penjuru
sebuah, batu cadas yang keras telah terbacok hingga muncul
sebuah liang besar, setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia
lancarkan sebuah bacokan kembali, kali ini tenaga yang
dipergunakan jauh lebih kecil hingga tak dapat kecil lagi ketika
pedang baja itu menusuk diatas batu segera muncullah
sebuah celah diatas batu gunung itu hingga mencapai dua
depa dalamnya. Sambil tersenyum Pek Siau-thian menyaksikan kesemuanya
itu dengan penuh kegembiraan tiba-tiba ia temukan dari balik
mata Hoa Thian-hong memancarkan cahaya aneh, sepasang
pipinya berubah jadi merah dan rupanya ia terpengaruh oleh
emosi, hal ini membuat hatinya jadi terperanjat hingga tanpa
terasa pikirnya, "Aku tak boleh berbuat bodoh sehingga
menggali liang kubur untuk mengubur tubuhku sendiri....!"
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras, "Lunak
bukanlah lemah, rendah diri harus mundur, mundur karena
rendah diri, diri untuk diri sendiri!"
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergetar keras....
Sreeet!! ia putar pedang melancarkan satu babatan
kembali. "Seranganmu itu menggunakan tenaga terlalu besar!"
bentak Pek Siau-thian, sembari berkata sepasang tangannya
laksana sambaran petir melancarkan tiga buah serangan
gencar. Hoa Thian-hong tahu bahwa keadaan yang sedang
dihadapinya sangat gawat dan bahaya, dalam keadaan begini
pikirannya tak boleh bercabang akan tetapi beberapa patah
kata yang tercatat dalam Catatan Kiam keng bu kui terlalu
menarik hatinya, setiap kata yang tercantum dalam caatan
tersebut seakan-akan sebatang jarum yang menusuk perasaan
hatinya semuanya tepat menunjukkan penyakit yang
dideritanya dalam permainan pedang itu ia tak tahan untuk
memecahkan rahsia itu serta menutupi kekurangan yang
dideritanya dalam permainan pedang tersebut.
Terdengar Pek Siau-thian membentak nyaring, telapak
tangannya melancarkan serangan hebatnya luar biasa.
Hoa Thian-hong terdesak hebat dan mundur kebelakang
terus tiada hentinya, dengan jurus Su ku ciong hong atau
bunyi senyap diempat penjuru ia lancarkan serangan balasan,
pedangnya sebentar menyapu kekiri sebentar menyapu
kekanan, semuanya mengancam untuk membabat telapak
musuh. Desingan angin serangan sebentar ringan sebentar berat
dan sangat tidak beraturan kekuatan yang terpancar dari
senjata itupun seketika berkurang dan sama sekali tak mampu
mencapai puncak kehebatannya, hal ini memberi peluang bagi
Pek Siau-thian untuk menerjang masuk kedalam lingkaran
pertahanannya, jurus demi jurus dilancarkan dengan mantap
dan leluasa sedang tenaga pukulanpun berhasil ditingkatkan
menjadi dua belas bagian.
Kendatipun begitu, diam-diam Pek Siau-thian merasa
terperanjat juga sebab didalam per-tarungan singkat yang
sedang berlangsung ke lika itu, rupanya Hoa Thian-hong lelah
berhasil mendapatkan sedikit pemecahan rahasia ilmu
pedangnya, walaupun jurus permainan pedangnya sudah
berubah menjadi tak karuan, tetapi terpancar pula sejenis
kekuatan yang luar biasa.
Dendam kematian putrinya membara bagaikan api, rasa iri
dan dengki bagaikan minyak, api bercampur minyak
mengakibatkan darah panas dalam rongga dada Pek Siauthian
mendidih, watak jahatnya muncul dan menyelimuti
seluruh benaknya, dia ingin sekali satu kali menghajar berhasil
membinasakan si anak muda itu.
Apa daya, dasar ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong
terlalu kokoh dan daya tenaganya luar biasa sekali, serutama
ilmu silat yang dimilikinya sekarang bagian besar didapatkan
dari hasil latihannya yang tekun dalam menghadapi
pertarungan-pertarungan sengit, oleh sebab itulah walaupun
kesadaran otaknya sudah mulai samar, namun dengan
andalkan kemampuan yang dimilikinya ia masih mampu untuk
bergebrak melawan musuh selama setengah harian lamanya.
Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu pertarungan
yang sengit dan mendebarkan hati, tanpa terasa sang surya
sudah condong ke arah barat dan senjapun menjelang tiba,
dari arah sebelah Timur muncullah rembulan dengan
cahayanya yang samar menyinari kabut yang menyelimuti
puncak bukit yang berjejer, suatu pemandangan yang indah
sekali. Pada saat itu yang terdengar hanyalah suara tertawa
menyeringai dari Pek Siau-thian serta raungan gusar dari Hoa
Thian-hong, pukulan demi pukulan dilancarkan tiada hentinya,
sementara cahaya hitam menggulung kian kemari melakukan
terjangan-terjangan maut.
Tiba tiba.... Pek Siau-thian membentak keras, "Hoa Thianhong,
tempat ini adalah puncak Ciat in hong, besok adalah
hari Tionggoan, ingat baik-baik...."
"Aku bersumpah akan membinasakan dirimu!" teriak Hoa
Thian-hong setengah mendesis.
Pek Siau-thian tertawa keras, ditengah gelak tertawanya
sepasang tangan secara beruntun melancarkan serangan
mematikan, sebentar menghantam sebentar menyodok, jurusjurus
serangan berantai yang dilepaskan memaksa Hoa Thianhong
harus memutar senjatanya sambil mundur terus tujuh
delapan belas langkah kebelakang.
"Keras tapi lincah!" tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak
keras. Tanpa memperdulikan serangan musuh yang sedang
meluncur datang, tiba-tiba ia lancarkan sebuah babatan.
Serangan pedang itu dilancarkan tanpa mengeluarkan
sedikit suarapun ketika mencapai ditengah jalan, tiba-tiba dari
balik tubuh pedang itu memperdengarkan suara desingan
yang amat tajam, gerakannya miring kesamping dan langsung
membabat sisi tubuh lawan,
Pek Siau-thian yang menyaksikan kejadian itu jadi sangat
kegirangan sambil putar telapak bentaknya, "Kun ji sedang
menantikan kedatanganmu, pergilah!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu.... Blaaam!
sebuah pukulan dengan telapak bersarang diatas punggung
Hoa Thian-hong. Terdengar pemuda itu melengking panjang, darah segar
muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya terjungkal kebawah
puncak dan dalam waktu singkat bersama dengan pedang
bajanya lenyap dibalik awan tebal yang menyelimuti punggung
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukit. Suasana diatas bukit pulih kembali dalam kesunyian, sinar
mata Pek Siau-thian liar dan kacau, mukanya pucat pias
sementara tubuhnya yang tinggi kekar berdiri ditepi tebing
dan sempoyongan tiada hentinya, seakan-akan sebatang
pohon yang kosong dimakan ulat.
Sebentar kemudian kegelapan telah menyelimuti jagad,
udara bersih tak berawan sang rembulan bersinar dengan
terangnya membuat suasana jadi terang benderang.
Angin malam menghembus lewat membuat Pek Siau-thian
bersin tiada hentinya, sekujur badan bergentar keras dengan
ujung bajunya ia menyeka keringat yang membasahi pipinya.
Tiba-tiba berguman seorang diri, "Kalau rejeki bukan
bencana, kalau bencana tak akan bisa dihindari, keadaan
sudah berlangsung demikian, apa yang musti kuta kuti lagi?"
Ia putar badan dan berjalan menuruni bukit tersebut.
Dalam pada itu, Hoa Hujin masih tetap duduk diatas bukit
tersebut, sepanjang hari ia tak pernah bergeser barang
setengah langkah pun dari tempat semula.
Cu Im taysu, Ciong Lian-khek, Chin Pek-cuan, Biau-nia
Sam-sian serta jago-jago lainnya hampir semua duduk
disekitar sana, cuma sa ja air muka Hoa Hujin serius dan
keren sedikitpun tidak menunjukkan wajah murung sebaliknya
mereka yang lain gelisah dan merasa tidak tenang.
Dipihak lain pada, seberang jembatan batu berdiri lautan
manusia yang bersenjata lengkap, sekilas memandang cahaya
tajam memenuhi seluruh angkasa suasana sunyi sepi
menegangkan kecuali ringkikan kuda tiada suara lain yang
kedengaran. Rupanya seluruh pasukan dari perkumpulan Sin-kie-pang
telah membuat barisan ditepi seberang jembatan batu walau
pun saling berhadapan dengan golongan Hoa Hujin akan
tetapi kedua belah pihak belum sampai melakukan bentrokan
langsung. Disamping itu, pada bukit sebelah utara merupakan
pasukan besar dari perkumpulan Hon im hwee dibukit sebelah
selatan ada para iman dari sekte agama Thong-thian-kauw,
rupanya ketiga kekuatan besar dalam dunia persilatan sudah
bersatu padu dan siap menghadapi orang-orang dari golongan
pendekar. Waktu berlalu dengan cepat suasana tetap tenang diliputi
keheningan yang mencekam hingga mencapai tengah malam
dari balik pa sukan besar perkumpulan Sin kie psng tiba-tiba
kedengaran demtuman yang amat keras, ditengah-ditengah
udara muncullah sebuah bunga api berbentuk sebuah panji
yang amat besar. Mengikuti suara dentuman tadi diri arah bukit sebelah utara
terdengar suara peluit yang dibunyikan memekakkan telinga.
Ci-wi Siancu yang mendengar suara itu segera
menengadah dan bertanya keheranan, "Hujin apakah yang
terjadi?" Hoa Hujin tersenyum. "Berangkat! jarak tempat ini dengan tempat
diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau tayhwee toh
tidak dekat!" Kemudian sambil menyapu sekejap ke arah jago, ujarnya
lagi sambil tertawa, "Kitapun harus segera mempersiapkan diri
untuk berangkat pula"
"Bagaimana dengan Seng ji?" Sam-koh mendadak berkata
dengan penuh kegusaran Senyuman yang semula menghiasi ujung bibir Hoa Hujin
seketika lenyap tak berbekas, jawabnya, "Kalau ia tidak cedera
maka besok pasti akan datang sendiri dibukit Thian bok
sebelah barat kalau tidak beruntung dan mendapat celaka
itulah takdirnya sudah tiba!"
Mendengar perkataan ini, Tio Sam-koh jadi gusar sekali
hingga tubuhnya gemetar keras, serunya, "Engkau keja,
engkau kejam, akan kulihat engkau bakal mampus ditangan
siapa" akan kulihat bagaimana tenangnya engkau menerima
kematianmu itu!" Cu Im taysu menghela napas panjang, hiburnya, "Tio lo
tay, urusan toh sudah jadi begini, mengapa engkau harus
mengumbar hawa amarah?"
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda berkumandang
dari tepi seberang, rupanya orang-orang dari perkumpulan
Sin-kie-pang sudah mulai berangkat tinggalkan tempat itu.
Tio Sam-koh masih belum dapat menekam hawa amarah
yang berkobar dalam dadanya, dengan gemas kembali dia
berseru, "Kalau engkau mencegah dia untuk menuruni jurang
ini, tak mungkin ia tinggalkan kita semua, kalau engkau tidak
bersikeras untuk melakukan perundingan, kita semua telah
berhasil mengurung dirinya dan tidak akan sampai terjadi hal
seperti ini...." Makin berbicara ia semakin mendongkol, ketika sampai
ditengah jalan mendadak mulutnya tergagap dan tak mampu
melanjutkan kembali kata-katanya.
"Kami semualah yang salah!" tiba tiba Lan-hoa Siancu
berkata dengan sedih, "kalau bukan kami yang mencelakai
jiwa Pek Kun-gie lebih dahulu, tak mungkin pula bakal terjadi
peristiwa tragis seperti ini."
Hoa Hujin tersenyum. "Nona tak usah menyalahkan diri sendiri," katanya,
"kehidupan manusia di kolong langit telah ditentukan oleh
takdir, siapa yang bisa mempertahankan kehidupannya sampai
beberapa ratus tahun" apalagi dewasa ini kaum lurus tak
dapat hidup bersama kaum sesat. Siapa tahu kalau sekarang
kita masih hidup dan besok malam sudah tinggalkan dunia
yang fana ini....?" "Kalau kita bisa mempertahankan diri sampai
diselenggaranya pertemuan besar Kian ciau tayhwee,
bagaimanapun juga saat yang dipilih untuk mengorbankan diri
jauh lebih tepat, membunuh beberapa orang banditpun sudah
dapat menarik kembabli modal sendiri!" seru Tio Sam-koh
dengan penuh kemarahan. Kembali Hoa Hujin tersenyum.
"Oleh sebab itulah aku tidak setuju untuk bentrok secara
kekerasan pada kesempatan yang tidak benar, dan aku tidak
bersedia mengorbankan diri tanpa sebab musabab yang nyata
dalam pertarungan massal."
"Aku maksudkan Seng ji kita!" tukas Tio Sam-koh marahmarah.
"Darimana engkau tahu kalau Seng ji pasti mati" dan
darimana engkau bisa tahu kalau dia mati secara konyol!"
Bicara sampai disitu perempuan she Hoa itu bangkit berdiri
dan melanjutkan sambil tertawa, "Mari kitapun berangkat,
bagaimanapun juga pertarungan bakal kita temui, lebih cepat
tiba ditempat tujuan rasanya jauh lebih baik."
Semua orang memang sudah merasa tak sabar, mendengar
perkataan itu para jago pun segera bangkit berdiri dan
melakukan perjalanan. Gerakan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang
sewaktu datang tadi cepat bagaikan hembusan angin, tapi
dalam waktu singkat pula sudah berlalu tanpa bekas, maka
dibawah pimpinan Biau-nia Sam-sian yang menyapu bersih
racun keji diatas jembatan batu lebih dahulu, berangkatlah
para jago untuk menghadiri pertemuan besar yang
mempengaruhi mati hidup mereka itu....
Sekte agama Thong-thian-kauw mendirikan pertemuan
besar Kian ciau Tayhwee dibukit See thian bok dengan tujuan
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah tiada serta sukmasukma
gentayangan, meja sembahyang didirikan didalam
lembah Cu-bu-kok dan dipimpin langsung oleh kaucu nya
yakni Thian Ik-cu sedang ratusan anggota perkumpulannya
ikut hadir untuk memeriahkan upacara besar tadi.
Sejak pagi hari bulan tujuh tanggal lima belas, lembah Cubu-
kok telah diterangi oleh cahaya lilin, asap dupa mengepul
keudara ba gaikan kabut putih, bunyi alat sembahyangan
bertalu-talu memekakan telinga, pada meja altar yang
dibangun tiga tingkat dengan bersandar pada sebuah dinding
bukit teraturlah berpuluh-puluh buah meja abu kecil yang
bertuliskan nama-nama para pahlawan yang telah gugur,
sedang tepat ditengah altar berdirilah sebuah meja abu yang
luar biasa besarnya sehingga dapat dilihat sejak dari mulut
selat. Pada meja abu itu terpancang papan nama yang lebarnya
dua depa dengan tinggi mencapai satu tombak, diluarnya
terselubung kain warna kuning, diatas kain kuning terpancang
beberapa hurup besar yang berbunyi demikian, "Meja abu
para jago yang gugur di medan perang pertempuran Pak beng
hwee" Dibawah meja abu bertumpuklah buah sajian dan bunga,
Thong-thian Kaucu sendiri dengan memakai kopiah kebesaran
dengan jubah imam berwarna merah bersulam pat kwa dan
benang emas dan mantel warna ku ning sedang memimpin
anak muridnya membaca doa di meja abu tersebut suasana
ramai sekali. Disamping itu, sepanjang kedua belah dinding bukit telah
didirikan tempat berteduh yang berdempet empat, dalam
barak tersebut tempat meja dan bangku, air teh, teko, tunggu
dan alat untuk memasak semuanya sudah tersedia lengkap.
Perlu diketahui lembab Cu-bu-kok adalah sebuah lembah
buntu yang berbentuk gentong dan dalam mulut lembah
hanya terdapat sebuah jalan keluar saja yang berhubungan
dengan luar, berhubung tempat itu lembah dan kalau siang
tidak melihat sang surya kalau malam sunyi menyeramkan
karena itu selat tadi disebut orang sebagai lembah Cu-bu-kok.
Kurang lebih antara jam tiga sore, orang-orang dari
perkumpulan Hong im bwee masuk ke dalam selat lebih
dahulu, Jin Hian dengan sorot matanya yang tajam segera
mengawasi kedalam lembah tersebut, ketika melihatnya barak
yang didirikan dikedua belah sisi dinding dibagi jadi empat
bagian dan pihak sekte agama Thong-thian-kauw sendiri
sudah menempati barak sebelah kiri dekat meja
sembahyangan, maka dia segera memilih barak sebelah kiri
yang dekat mulut lembah walaupun jumlah anak buahnya ada
sembilan puluh orang namun setelah masuk kedalamm barak
yang lebar itu kelihatannya sedikit dan sepi.
Sebentar kemudian pasukan induk dari perkumpulan Sinkie-
pang pun telah tiba dan bergerak masuk kedalam lembah,
mereka segera menempati barak sebelah kanan dekat mulut
lembah. Pek Siau-thian benar-benar seorang ahli setrategi perang,
ia tidak memimpin seluruh pasukannya masuk kedalam
lembah, melainkan hanya kurang lebih lima ratus orang jago
saja yang dipimpin masuk kedalam barak tempat beristirahat,
sedangkan sebagian besar lainnya tetap tinggal diluar lembah
tersebut, ada yang berjaga-jaga di mulut lembah dan ada pula
yang meronda disekitar bukit, tidak selang beberapa saat
kemudian diatas purcak bukit yang mengitari selat Cu-bu-kok
telah mucul para peronda dari perkumpulan Sin kei pang.
Kurang lebih pukul lima sore, rombongan yang dipimpin
Hoa Hujin muucul dimulut lembah, tetapi sebelum mereka
memasuki selat tersebut tiba-tiba dari balik tikungan bukit
muncul dua belas orang, orang pertama bukan lain adalah
Siau yau sian dewa yang suka pelancongan Cu Tong, sambil
menggoyangkan kipasnya dan tertawa terbahak-bahak, ia
maju menghampiri rombongan yang dipimpin Hoa Hujin
kemudian memberi hormat. Buru-buru Hoa Hujin menyongsong kedepan, sekilas
memandang terlihat olehnya bahwa hampir semuanya adalah
sahabat-sahabat lama, dengan cepat ia menyapa dan
melepaskan rindu diantara mereka, suasana diliputi keharuan
dan kegembiraan Dengan air mata meleleh keluar karena terharu, dewa yang
suka pelancongan Cu Tong berkata, "Mungkin semua orang
yang masih hidup di kolong langit ini hari telah berdatangan",
semua disini banyak perkataan yang hendak kita bicarakan
bagaimana kalau kita masuk dulu kedalam lembah kemudian
baru dibicarakan secara perlahan-lahan"
"Cu toako, dandanan maupun potongan wajahmu sama
sekali telah berubah...." kata Hoa Hujin sambil tertawa paksa,
"andaikata aku tidak mendengar penuturan orang lebih dahulu
mungkin aku tak dapat mengenali dirimu kembali, sedang dua
orang lainnya aku tak bisa ingat kembali siapakah mereka
gerangan?" Dewa yang suka melancong Cu Tong segera menuding ke
arah manusia jelek bertubuh seperti beruk itu, ia
memperkenalkan, "Dia adalah Ciu tayhiap dari gunung Huangsan
berhubung hatinya selalu gelisah ketika berlatih ilmu,
mengakibatkan dia mengalami jalan api menuju neraka dan
berubah potongan tubuhnya jadi begini rupa"
"Cui heng...." "seru Hoa Hujin dengan terperanjat "aku
masih amat jelas ketika itu engkau...."
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san segera tertawa.
"Ketika itu tubuhku memang sudah termakan oleh enam
buah tusukan pedang dan satu buah pukulan berat yang
bersarang didada ku membuat aku roboh terkapar diatas
genangan darah dan kemudian tertindih pula oleh dua sosok
mayat sampai aku sendiripun telah mengira bahwa diriku telah
mati, siapa tahu nyawaku ternyata belum putus, lewat dua
hari kemudian aku telah hidup kembali di kolong langit"
Mendengar ucapan tersebut Hoa Hujin segera menghela
napas panjang. "Aaaai....!Cui heng tidak mati itu berarti bahwa beberapa
orang gembong iblis tersebut sudah tiba pada waktunya untuk
mampus" Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah seorang padri
berusia empat puluh tahunan.
Padri itu segera merangkap kedua tangannya didepan dada
untuk memberi hormat sambil tersenyum katanya, "Ti Kiam
Hui yang hujin kenal tempo dahulu, sekarang telah berubah
menjadi It sim hweesio!"
"Kiam Hui hen" bagaimana caranya engkau merawat diri
hingga awet muda" rupanya semakin latihan muka mu
berubah semakin muda dan semakin bercahaya?"
It sim hweesio menghela napas, kemudian ujarnya, "Pahit
getir yang kualami selama ini sukar dilukiskan dengan katakata,
aku harus cukur rambut menjadi pendeta karena itu
kuguna kan gelar It sim sebagai pengganti namaku yaitu agar
aku selalu ingat untuk membalas dendam selalu ingat pada
dendam kesumat yang tertanam dalam hatiku, aku tak bisa
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan leluhurku tak apa, tak bisa bertemu dengan
orang suci juga tak apa, sekalipun harus masuk neraka asal
sakit hati ku bisa terbalas hal itu sudah cukup menggirangkan
hatiku....!" Hoa Hujin diam-diam berpikir dalam hatinya, "Walaupun
setiap orang mempunyai kesedihannya sendiri-sendiri, tetapi
kesediaan yang dialami Ti Kiam hui rupanya jauh lebih dalam
daripada siapa pun juga....!"
Tiba-tiba Dewa yang suka melancong Cu Tong tidak
menemukan Hoa Thian-hong ada dalam rombongan, dengan
dahi berkerut, segera tegur nya, "Hoa Hujin, di manakah
putramu?" "Pek Kun-gie putri Pek Siau-thian dari perkumpulan Sin-kiepang
telah mati, putra itu telah meloncat kedalam jurang
untuk menolong tapi akhirnya hingga kini tiada kabar
beritanya lagi, aku sendiri pun tak tahu bagaimanakah
nasibnya kini...." ujar Hoa Hujin dengan wajah sedih.
Menyengat berita tersebut, air muka Cu Tong sekalian dua
belas orang seketika itu juga berubah hebat, Ciu Thian-hau
dari gunung Huang-san dengan cepat bertanya, "Kapan
terjadinya peristiwa ini?"
"Tengah malam tanggal tiga belas jadi sudah tiga hari
lamanya....!" "Waktu itu apakah hujin tidak hadir disana" timbrung It sim
hweesio dari samping. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan beberapa orang
jago itu penuh mengandung nada cemas dan kuatir, hal ini
membuat Hoa Hujin terpaksa harus menghela napas berulang
kali, jawabnya, "Pada waktu itu aku hadir ditempat kejadian
tetapi berhubung jurang tersebut tegak lurus dan dalamnya
mencapai ratusan tombak diantara kami hanya ilmu
meringankan tubuhnya saja yang secara paksakan diri bisa
dipergunakan, karena itu aku biarkan dia untuk menuruni
jurang tadi guna memberikan pertolongan. Kemudian para
jago dari perkumpulan Sin-kie-pang menyusul disitu, Pek Siauthian
dengan mempergunakan seutas tali menuruni pula
jurang tersebut, karena aku kuatir Seng ji menemui bahaya,
buru-buru aku menuruni jurang itu dari sisi kiri bukit tadi, tapi
semalam suntuk sudah berlalu, didasar jurang tidak nampak
sesosok bayangan manusiapun, bahkan jejak Pek Siau-thian
pun tidak kelihatan lagi"
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san mengerutkan
dahinya rapat-rapat, dengan nada me-negur katanya,
"Manusia terdiri dari darah dan daging, tidak mungkin tubuh
mereka bisa lenyap dengan begitu saja, menurut dugaanku
dibawah jurang pasti ada jalan tembus lainnya, dengan
kepandaian yang hujin miliki seharusnya engkau dapat
menyusul mereka" Tio Sam-koh yang selama ini memang merasa mendongkol
terus, tiba-tiba mendengus dingin dan menyindir, "Hmmm!
orang lain toh punya semangat gagah yang membubung
tinggi kelangit seorang putra apa harganya" mau kejar atau
tidak siapa yang dapat mengurusi?"
Hoa Hujin menghela napas panjang.
"Aaaai.... bukannya aku tidak menaruh perhatian atas nasib
putraku, tapi dalam kenyataan situasi yang sedang kita hadapi
pada saat itu genting sekali setiap saat suatu pertarungan
terbuka bakal terjadi menurut pendapatku Pek Siau-thian toh
hanya seorang diri sekalipun dapat menyusul Seng ji belum
tentu ia dapat melukai jiwanya."
"Dengan kepandaian silat yang dimiliki Pek Siau-thian, ia
belum mampu untuk melukai jiwa Seng ji....?" seru It sim
Hweesio dengan perasaan hati sangsi.
Hoa Hujin mengangguk. "Kepandaian silat yang dimiliki Seng ji tidak lemah,
bilamana ia ada maksud untuk melarikan diri maka Pek Siauthian
tak mungkin bisa mengapa-apakan dirinya."
"Orang muda selamanya berdarah panas" sela Ciu Thianhau
dari gunung Huang-san dengan nada tak senang hati,
seandainya ia tak sudi untuk melarikan diri, bukankah
selembar jiwa dikorbankan dengan percuma....?""
"Dalam pertemuan besar Pak beng hwee tempo hari, kita
semua bilamana tidak melarikan diri, siapakah yang mampu
hidup hingga ini hari" walaupun Seng ji masih muda belia, tapi
aku sudah belasan tahun mempelajari dirinya untuk menahan
emosi dan tebalkan iman, andaikata ia masih juga tak tahu diri
dan tidak bisa mengambil keputusan yang bijaksana maka
keadaannya bagaikan seorang manusia tolol yang tak bisa
dibimbing, ini hari kita berhasil melindungi keselamatan
jiwanya toh dilain hari kita belum tentu dapat menolong
jiwanya!?" Pandangan perempuan ini terhadap kehidupan manusia
boleh dibilang melewati jangkauan daya pikir orang biasa,
jalan pikiran semacam itu bukan bisa diterima oleh sekawanan
manusia biasa, apalagi diantara Ciu Thian-hau sekalian ada
yang didasarkan karena persahabatan, ada yang pada
perasaan, dan ada pula yang karena pernah bertemu atau
mendengar, semuanya menaruh perasaan sayang dan kagum
terhadap diri Hoa Thian-hong, oleh karena itu sehabis
mendengar perkataan dari Hoa Hujin, rata-rata mereka
menunjukkan wajah tidak puas.
Kawanan jago tersebut adalah para pendekar yang berjiwa
lurus serta terus terang, dalam hati merasa tak senang
perasaan tersebut segera terpancar diatas wajahnya, kalau
dilihat gelagatnya nampak jelas bahwa semua orang akan
menunjukkan protesnya. Cu Im Taysu segera memuji keagungan sang Buddba dan
berkata setelah menghela napas panjang, "Aaai....!
sesungguhnya persoalan ini amat sulit untuk diatasi, hati siapa
tidak lara melihat darah daging sendiri terancam bahaya"
perasaan hati hujin sudah cukup tersiksa, aku harap saudara
sekalian dapatlah bersabar sedikit!"
Hoa Hujin tertawa paksa, sambil membeli hormat dia
berkata, "Kejadian telah berlangsung jadi begini, merasa
murung juga tak ada gunanya, lebih baik kita segera masuk
kelembah Cu-bu-kok untuk menyelesaikan masalah besar
yang menyangkut kepentingan dunia persilatan saja!"
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, setelah
hening beberapa waktu lamanya, berangkatlah mereka
mengikuti Hoa Hujin ma suk kedalam lembah tersebut.
Seorang pemuda baju hijau yang menyoren pedang di
pinggangnya tiba-tiba munculkan diri dari rombongan para
jago, tegurnya dengan suara dingin, "Enso, kejadian itu
berlangsung dimana" siaute bermaksud melakukan
pemeriksaan disana" Hoa Hujin berpaling ketika diketahui bahwa orang itu bukan
lain adalah adik angkat mendiang suaminya yang bernama
Suma Tiang-cing, ia segera termenung sebentar lalu
menjawab. Pulang pergi ada empat ratus li jauhnya, daripada buang
waktu dalam perjalanan, lebih baik himpun saja tenagamu
untuk membunuh musuh. Jilid 6 Air muka Suma Tiang Ciang berubah jadi hijau membesi,
katanya, "Pek Siau-thian telah memasuki selat ini, apa bila
Seng ji tidak menemui musibah, sepantasnya kalau iapun
sudah sampai disini. "Apakah engkau punya rencana untuk keluar dari lembah
Cu-bu-kok ini dalam keadaan hidup?" seru Hoa Hujin secara
tiba-tiba dengan wajah yang berat.
"Selama hidup siaute tak pernah melarikan diri untuk kedua
kalinya....!" "Kalau memang begitu apa yang hendak kukatakan lagi?"
kata Hoa Hujin dengan sepasang matanya memancarkan
cahaya berkilat, "sekalipun engkau berhasil menemukan Seng
ji belum tentu ia dapat lolos dari lembah Co bu kok dalam
keadaan hidup, kalau memang di mana-mana pun jiwanya
terancam bahaya kematian apa gunanya engkau cari dirinya?"
Suma Tiang Cin adalah saudara angkat dari Hoa Goan-siu,
dia merupakan satu-satunya orang yang berusia paling muda
diantara angkatan yang setaraf dengan Hoa Hujin, wataknya
berangasan dan kasar dalam menghadapi musuh, tindakannya
selalu keji dan telengas karena kekejamannya dan sikapnya
yang sama sekali tidak kenal ampun di tambah pula
kepandaian silat yang dimiliki sangat lihay maka beberapa
gembong iblis tidak bersedia untuk melakukan pertempuran
melawan dirinya oleh sebab itulah dalam beberapa kali
pertarungan sengit jiwanya selalu selamat dari kematian.
Karena keistimewaannya itu, orang-orang kangcu memberi
julukan Kiu mia kiam kek atau jago pedang bernyawa rangkap
sembilan kepada orang ini, selama melakukan perjalanan
dalam dunia persilatan dia merupakan momok yang paling
memusingkan kepala bagi orang-orang kalangan hitam dan
oleh karena wataknya yang sukar diatur itulah Hoa Hujin
dengan kedudukannya sebagai kakak ipar selalu bersikap
tegas dan keras terhadap dirinya.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang
telah memasuk kedalam lembah tersebut.
Suma Tiang Ting merasa sangat tidak puas, belum sempat
ia berbicara tiba-tiba sorot matanya yang tajam telah
menangkap tulisan besar yang terpancang diatas meja abu
pada panggung persembahan, air matanya kontan berubah
hebat dan darahnya mendidih.
Sesaat kemudian semuajagopun dapat melihat tulisan tadi,
air muka mereka semua kontan berubah sangat hebat.
Terdengar Chin Pek-cuan sambil menggertak gigi berseru,
"Anjing bangsat.... manusia laknat....!Rupanya tujuan mereka
menyelenggarakan pertemuan besar Kian ciau tayhwee adalah
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah berpulang dalam
pertemuan Pak beng Tay bwee tempo hari...."
Baru saja perkataan itu selesai diutarakan keluar, Thongthian
Kaucu dengan memimpin anak muridnya telah turun
dari panggung persembahan dan menyambut kedatangan
mereka. Ketika Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiangg Cing telah
meraba gagang pedangnya siap menerjang kedepan, ia
segera menyapu sekejap wajah para jago dan menegur
dengan suara berat, "Siapa yang akan munculkan diri untuk
berbicara?" "Berada dihadapan musuh tangguh, hujin jangan
mengacaukan barisan sendiri, engkau saja yang buka suara"
kata Cu Tong dewa yang suka pelancongan dengan gelisah.
It Sim hweesio yang berada disisinya segera menimbung
pula, "Pinceng tidak ada komentar apa-apa, aku bersedia
menerima perintah...." seraya berkata ia menggeserkan
badannya mundur selang-kah ke arah belakang.
Cu Im taysu yang melihat sikap rekannya segera ikut pula
mundur kebelakang sedang Ciu Thian Huu dari gunung
Huang-san bergeser tiga depa kebelakang.
Suma Thian Cing amat membenci terhadap diri Thian Ik-cu,
dia ingin sesaki membinasakan imam tua tersebut dalam satu
tusukan kilat akan tetapi setalah dilihatnya para jago yang
berjalan disamping Hoa Hujin telah mengundurkan diri semua
kebelakang terpaksa diapun ikut melangka mundur setindak
kebelakang, sepasang matanya yang tajam dengan
memancarkan cahaya penuh nafsuh membunuh menatap
wajah Thong-thian Kaucu tanpa berkedip.
Thong-thian Kaucu buru-buru maju kedepan, sesudah
memberi hormat serunya dengan lantang, "Kehadiran Hujin
dan para tayhiap lainnya sungguh merupakan suatu
kehormatan bagi perkumpulan Tiong Thian Kau kami dan
merupakan kebanggaan pula bagi umat persilatan di kolong
langit...." Sementara itu suasana dalam lembah Cu-bu-kok diliputi
keheningan dan kesunyian, suara bunyi-bunyian alat
sembahyang telah berhenti berdenting dan suara pembicaraan
manusiapun telah sirap dalam lembah seluas itu, hanya
kedengaran suara lantang dari Thian Ik-cu seorang....
Dari balik mata Hoa Hujin memancar keluar cahaya kilat
yang menggidikkan hati, membuat wajahnya yang keren dan
penuh berwibawa kelihatan semakin gagah dan menyeramkan
membuat siapapun tak berani memandang enteng perempuan
ini. Ia balas memberi hormat kemudian menjawab dengan
suara yang keras dan tegas, "Tujuan dari pertemuan besar
Kian ciau tayhwee adalah untuk mengenang kembali arwaharwah
para jago persilatan yang sudah tiada, aku orang she
Bun sekalian termasuk anggota persilatan, sudah sepantasnya
kalau kami semua ikut menghadiri upacara besar seperti ini."
Sesudah berhenti sebentar, sorot matanya dialihkan
sekejap ke arah meja abu yang berjajar diatas panggung
persembahan, setelah itu sambungnya lebih jauh, "Mendiang
suamiku dan rekan-rekan kami lainnya telah mati binasa
dalam pertemuan besar Pak beng tayhwee tempo dulu, atas
kebaikan ha ti kaucu untuk mendoakan arwah-arwah mereka
yang sudah tiada, aku orang she Bun sekalian mengucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu"
Perkumpulan Thong-thian-kauw adalah sekte agama yang
didirikan diatas kehendak Thian, tujuan kami adalah
mendoakan arwah-arwah yang telah tiada agar segera masuk
ke nirwana dan mendapat ketenangan untuk selamanya, tugas
berdoa adalah pekerjaan kami, buat apa engkau musti
berterima kasih kepada kami" sahut Thong-thian Kaucu
dengan wajah serius. Kegagahan Hoa Hujin membuat Thong-thian Kaucu diamdiam
merasa kecil hati dan malu, karena itu setelah
mengucapkan kata-kata yang merendah dan saling memberi
hormat, ia segera mengiringi Hoa Hujin memasuki lembah dan
ambil tempat dibarak sebelah kanan.
Setelah masuk kedalam barak, Hoa Hujin pun lantas
bertanya, "Pertemuan besar Kian ciau tayhwee akan
diselenggarakan mulai kapan...." dapatkah kaucu memberi
keterangan?" "Jam sebelas malam upacara dimulai dan jam dua belas
tengah malam pintu akhirat akan terbuka, pada saat itulah
upacara penghormatan untuk arwah-arwah yang telah tiada
dalam pertemuan Pak beng hwee akan diselenggarakan!"
Hoa Hujin mengangguk. Upacara sudah akan diselenggarakan, dalam keadaan
demikian kaucu pasti repot sekali, silahkan engkau
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelesaikan pekerjaanmu, tolong saja apabila waktunya
sudah tiba engkau bersedia memberi kabar agar aku orang
she Bun sekalian dapat memberi hormat untuk arwah rekanrekan
kami" "Tak usah kuatir....!" setelah memberi hormat kaucu dari
Thong-thian-kauw itu segera mengundurkan diri.
Beberapa saat kemudian alat tetabuhan berkumandang
kembali dan pembacaan doa pun dimulai lagi, dari balik barakbarak
disisi kanan dan kiri ramai pula oleh suara pembicaraan
manusia. Pertemuan ini adalah suatu pertemuan besar yang jarang
terjatdi di kolong langit, suatu saat sebelum datangnya hujan
badai. Sebentar lagi pembunuhan besar-besaran akan dimulai
namun pada saat ini suasana sama sekali tidak diliputi oleh
bentrokan, tidak tercium pula nafsu membunuh yang
menyelimuti angkasa.... Perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thiankauw
dan para pendekar dari golOngan lurus salingmenempati
suatu barak yang berbeda, walaupun tiada hubungan namun
suasana tetap tenang dan damai, bahkan sorot mata yang
memancarkan sinar bengis pun tertutup untuk sementara,
yang ada hanya sikap yang dingin serta dugaan-dugaan yang
tersembunyi untuk menilai kekuatan pihak lawan.
Waktu berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa senja telah
menjelang tiba, sang surya telah lenyap dibalik bukit dan
kegelapan mulai menyelimuti seluruh jagad.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar lembah Cu-bu-kok
berkumandang datang suara tangisan setan yang mendirikan
bulu roma, pekikan dan jeritan yang memilukan hati itu
bergema tidak menentu, sebentar ke kiri sebenar kekanan
seakan-akan diluar lembah telah berkumpul berpuluh-puluh
sosok arwah gertayangan yang sedang menangis dan
menjerit.... Begitu suara tangisan setan itu berkumandang, suara
tetabuhan dan pembacaan doa seketika tertumpuk lenyap,
suara pembicaraan dalam barak-barak pun tak kedengaran
lagi. Dalam lembah Cu-bu-kok, semua bagian telah ditutup oleh
kain putih sebagai tanda berkabung, rumah-rumahan dari
kertas, kuda-kudaan dari kertas telah bersusun dibawah meja
sembahyang, ditambah pula dengan meja abu yang berpuluhpuluh
banyaknya menambah seram nya suasana disitu, kini
ditambah pula dengan suara jeritan dan tangisan setan yang
menggidikkan hati membuat suasana bertambah seram, hawa
setan menyelimuti seluruh lembah membuat bulu kuduk orang
pada bangun berdiri. Tiba-tiba segulung angin dingin menghembus lewat,
membuat udara jadi dingin dan menusuk tulang, bunyi desiran
tajam menambah seramnya isak tangis sukma gentayangan
tersebut. Ci-wi Siancu paling takut dengan setan, ia jadi ketakutan
setengah mati hingga keringat dingin mengucur tiada
Mutiara Hitam 6 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Suling Naga 19