Pencarian

Tenda Biru Candi Mendut 2

Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut Bagian 2


Ki Tunggul Sekati tersenyum.
"Kau akan menemuinya. Kau tak bakal kesalahan."
Boma perhatikan telur ayam di tangan kanannya
"Pergilah sekarang. Cepat kembali ke Candi. Orang-orang disana menunggumu penuh
cemas. Dik Gondo, antarkan mereka sampai di pintu keluar."
Pak Gondo lelaki tua berkaca mata dan mengenakan jas putih membungkuk. Serda
Sujiwo juga membungkuk dan mengucapkan terima kasih lalu bangkit berdiri. Boma
juga mengucapkan, terima kasih. Anak ini bermaksud menyalami Ki Tunggul Sekati
tapi karena tangan kanannya memegang telur maka dia ulurkan tangan kiri menarik
tangan kanan si kakek lalu menciumnya.
"Terima kasih Kek."
"Anak baik, pergilah."
Boma mengucapkan terima kasih sekali lagi. Baru beberapa langkah berjalan, masih
di dalam Masjid Besar itu, di belakang sana terdengar kembali suara Ki Tunggul
Sekati mengaji melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an.
Tak selang berapa lama satu suara halus mengiang di telinga kiri Ki Tunggul
Sekati. "Aki Cebol sahabatku, kau tahu aku tidak mungkin masuk ke dalam Masjid Besar.
Kalau sudah selesai dengan ibadahmu, aku tunggu kau di bawah pohon beringin di
seberang Bangsal Kemagangan...."
Ki Tunggul Sekati angguk-anggukkan kepala tapi terus saja mengaji. Tak lama
kemudian baru orang tua ini hentikan kajiannya.
Dia merapikan pakaian dan blangkonnya lalu bangkit berdiri, melangkah perlahan
sampai di langkan mesjid. Di sini keadaan agak gelap. Ki Tunggul Sekati turun
dari langkan. Tapi dua kakinya seperti tidak menginjak tanah. Sekali tubuhnya
berkelebat maka diapun lenyap di dalam bayang-bayang gelap bangunan di
sekitarnya. KI TUNGGUL Sekati sampai di depan pohon beringin besar. Di bawah pohon
keadaannya gelap sekali. Tapi sepasang mata hitam berkilat dan tajam orang tua
bertubuh cebol itu dapat melihat satu sosok bungkuk berdiri di bawah pohon
raksasa itu bertopang pada sebuah tongkat.
"Sinto.... Ternyata kau masih tidak berubah," Ki Tunggul Sekati menyapa orang di
bawah pohon. Yang disapa keluarkan tawa cekikikan. Lalu menjawab. Dari suaranya ternyata dia
seorang perempuan tua. Mungkin tak kalah tua dari Ki Tunggul Sekati. .
"Aku tahu maksudmu. Dalam gelap kau pasti tidak bisa melihat wajahku. Tapi dari
jauh kauu bisa mencium bau pesing pakaianku.
Bukan begitu" Hik..hik...hik!"
Ki Tunggul Sekati ikutan tertawa. Dia berhenti lima langkah dari hadapan orang
bungkuk bertongkat. "Ki Tunggul sahabatku, aku tahu kau orang yang lebih banyak mempergunakan waktu
untuk ibadah pada Gusti Allah. Karenanya aku tak mau berlama-lama mengganggumu.
Aku hanya ingin tahu.
Apakah anak gendeng itu sudah menemuimu"
"Maksudmu anak lelaki jangkung bernama Boma Tri Sumitro?"
"Betul." "Yang telapak tangan kirinya ada garis bersilang membentuk kali?"
"Benar." "Ketika aku memperhatikan telapak kiri anak itu, aku melihat ada kilasan cahaya
putih kebiruan. Apakah kau telah memberikan hawa sakti kepadanya, Sinto?"
"Ya, dugaanmu tidak salah."
"Hawa sakti itu bukan hawa sembarangan. Kalau dipergunakan keliru bisa membunuh
orang lain. Apa lagi kalau dipakai untuk hal-hal yang tidak benar. Bisa
menimbulkan malapetaka."
"Aku mengerti maksud ucapanmu, Ki Tunggul. Aku tidak bertindak sembarangan.
Sebelumnya aku telah lebih dulu menyelidik dan mengawasi anak itu selama lima
tahun sebelum menyalurkan hawa murni itu ke dalam tubuhnya."
"Aku percaya padamu. Aku sudah bertemu anak itu. Walau hanya sebentar tapi
memang kelihatannya dia anak baik. Tapi kenapa kau memberikan hawa murni itu
padanya?" "Sahabatku, harap maafkan. Saat ini aku tidak bisa memberitahu padamu. Bukan aku
tidak percaya, tapi aku tidak ingin menambahkan beban pikiran padamu. Lagi pula
kita hidup di dalam alam yang berbeda. Apa yang kau pikir, kau lihat dan kau
kerjakan berbeda dengan apa yang aku pikir, aku lihat dan aku kerjakan. Tapi aku
ingin meyakinkan satu hal padamu. Apa yang aku dan teman-teman kerjakan adalah
untuk kebaikan bagi banyak orang."
"Teman-teman" Jadi kau tidak bekerja sendirian Sinto?" tanya Ki Tunggul Sekati.
Si nenek sakti dari puncak Gunung Gede tertawa perlahan.
"Sinto Gendeng itu bisanya apa" Mana bisa aku berbuat banyak tanpa bantuan para
sahabat orang-orang pandai termasuk muridku Anak Setan bernama Wiro Sableng itu.
Lagi pula, yang namanya kejahatan itu punya seribu muka, punya seribu kaki
tangan. Kalau dihadapi seorang diri siapa yang mampu" Kejahatan harus ditumpas
secara bersama-sama, harus tegas dan tuntas. Kalau tidak kejahatan itu sendiri
yang akan menggusur kita."
Ki Tunggul Sekati manggut-manggut. "Kau bilang aku ini orang yang banyak
menghabiskan waktu untuk ibadah. Tapi satu kali aku pernah menonton cerita di
televisi..." "Binatang apa itu" Aku orak ngerti."
Ki Tunggul Sekati tersenyum. "Televisi bukan binatang, Sinto.
Tapi kotak yang ada layar kacanya. Di layar itu bisa keluar segala macam
gambar..." "Ooo... aku kira itu semacam pertunjukan panggung wayang wong Hik...hik...hik.
Sahabatku, cerita apa yang kau tonton di televisi itu."
"Cerita tentang orang-orang dari alam yang berlainan. Mereka masuk ke bumi untuk
menumpas arang-orang jahat. Kata orang ceritanya berseri. Namanya X Files."
"Wah, keren sekali. Bahasa apa itu?" tanya Sinto Gendeng sambil senyum-senyum.
Ki Tunggul Sekati juga tersenyum.
"Sinto, kembali pada anak bernama Boma itu. Mengapa kau menyebut anak itu anak
gendeng?" Si nenek menyengir. "Sebenarnya tidak ada arti apa-apa. Aku cuma senang saja dengan bahasa-bahasa
seperti itu. Gendeng, sableng..."
"Hemm, apa kabar muridmu yang kau panggil Wiro Sableng itu?"
"Dia baik-baik saja. Dia kuminta berada di sekitar sini, tolong memperhatikan
anak-anak itu."
"Dia mau melakukan" Meninggalkan alamnya masuk ke alam sini?"
"Kenapa tidak" Anak-anak perempuan teman si Boma Gendeng itu banyak yang cantik-
cantik. Anak Setan itu pasti ngiler.
Hik..hik...hik!" Setelah tertawa panjang orang di bawah gelapnya bayangan pohon
beringin raksasa yang bukan lain Sinto Gendeng adanya meneruskan ucapannya.
"Ki Tunggul, pertemuanmu dengan Boma, apakah membawa kemungkinan untuk menolong
anak perempuan yang dikurung dalam Stupa itu?"
"Aku menolong sebisaku. Semua keputusan berada di tangan Yang Maha Kuasa. Aku
telah memberikan bekal pada anak itu.
Tetapi sesuatu tak akan terjadi kalau kau tidak ikut turun tangan membantu.
Sebelum tengah malam kau harus sudah berada di Candi. Mudah-mudahan tepat tengah
malam nanti segala malapetaka akan musnah. Anak perempuan itu akan tertolong..."
"Aku sangat berterima kasih padamu sahabatku."
"Sinto, aku menaruh firasat. Mungkin akan ada kejadian susulan yang membuat
diriku dan dirimu tidak bisa tenteram. Jadi selama anak-anak itu berada di sini,
harap kau mau berjaga-jaga..."
"Sekali lagi aku berterima kasih atas petunjukmu. Aku mohon diri sekarang.
Selamat tinggal Ki Tunggul Sekati."
"Tunggu. Aku punya satu permintaan."
"Apa?" "Kalau apa yang kita lakukan tidak bisa menolong anak itu keluar dari dalam
Stupa, jangan kau mengambil keputusan gila.
Menghancurkan Stupa itu."
Sinto Gendeng menyeringai.
"Aku tidak bisa berjanji apa-apa Ki Tunggul. Tapi aku sangat memperhatikan
ucapanmu itu." "Satu lagi. Perhatikan baik-baik anak bernama Boma itu."
"Aahhhh...." Sinto Gendeng tersenyum. "Berarti apa yang aku pikir dan aku lihat,
sekali ini sama dengan apa yang kau pikir dan kau lihat. Jangan kawatir
sahabatku. Anak itu akan aku perhatikan baik-baik." Nenek ini lalu melintangkan
tongkat kayunya di atas dada lalu membungkuk memberi penghormatan.
"Sinto, kau tidak usah menghormat membungkuk padaku. Dari tadi kau sudah berdiri
membungkuk terbungkuk-bungkuk. Ha
...ha...ha!" Gema tawa Ki Tunggul masih terdengar di sekitar pohon beringin raksasa tapi
orangnya sendiri sudah lenyap dari tempat itu.
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
8 TELUR DITUKAR TELUR ELUAR dari pintu gerbang Keraton, berjalan menyusuri
trotoar di sepanjang tembok Keraton, Ibu Renata dan Trini Kyang sejak tadi diam
saja tidak dapat menahan diri untuk bertanya. Angin bertiup kencang. Udara
terasa dingin dan keadaan di jalan agak sepi. Sebuah andong kosong, lewat. Serda
Sujiwo menggelengkan kepala ketika kusir andong menawarkan untuk naik.
"Bom, kamu ketemu sama orang bernama Ki Tunggul Sekati itu?" tanya Trini.
Boma mengangguk. "Orangnya udah tua. Kate, cebol."
"Dia bisa menolong mengeluarkan Dwita dari dalam Stupa?"
tanya Ibu Renata. "Belum tau, Bu."
"Lho, kok belum tau?" ujar Trini. Dia melirik ke arah tangan kanan Boma yang
sejak tadi dilihatnya selalu dalam keadaan tergenggam.
Boma diam saja. "Kita harus mencari taksi. Kita harus segera kembali ke Candi.
Kasihan Dwita ditinggal lama-lama." Kata Ibu Renata. Guru Bahasa Inggris ini
juga tidak mengerti mengapa Boma berkata seperti itu.
Jika kejadiannya seperti ini mengapa harus pergi jauh-jauh, menghabiskan waktu
tanpa hasil yang jelas.
"Sebentar Bu, kita harus menernui seseorang," jawab Boma.
"Siapa?" tanya Guru Bahasa Inggris itu.
"Belum tau, Bu."
"Lagi-lagi belum tau! Kamu kok ngomongnya jadi aneh sih Bom"
Siapa yang mau kita temuin" Orang macam Ki Tunggul Sekati lagi"
Lalu nemuinnya dimana?"
"Tenang aja Rin. Sebentar lagi bakal ketauan," kata Boma pula.
Memandang ke depan, hanya beberapa meter lagi mereka akan sampai di tikungan
pertama tembok Keraton. Tempat itu agak redup karena kurang penerangan. Boma
merasa tegang. Soalnya dia juga tidak tahu mau bertemu dengan siapa. Orang tua
cebol di dalam mesjid itu tidak memberi tahu. Serda Sujiwo melangkah dengan
perasaan tercekat. Seumur hidup jadi Polisi baru sekali ini dia menghadapi
urusan begini rupa. Lebih menegangkan dari mengejar seorang buronan perampok
atau pembumuh. Seperti Trini, Ibu Renata juga memperhatikan tangan kanan Boma. Dia ingin tahu
apa yang sejak tadi digenggam anak ini.
Tikungan tembok Keraton hanya tinggal beberapa langkah.
Keempat orang yang melangkah ke arah tikungan jalan itu mendengar suara sesuatu.
Suara berkerincing. Lalu seperti ada orang bernyanyi menggumam. Dari balik tikungan tembok tiba-tiba muncul seorang lelaki memakai jas lurik dan
kain panjang, bersepatu sandal dan sebuah blangkon yang agak kebesaran.
Orang ini memiliki tompel besar di pipi kanannya. Demikian cepatnya dia berjalan
hingga hampir menabrak Boma dan Serda Sujiwo. Tampangnya seperti meringis.
Matanya dipelototkan pada Boma. Dari mulutnya terdengar suara menggerutu. Orang
ini melirik pada Ibu Renata dan Trini lalu melangkah pergi lebih cepat.
"Dik Boma, mungkin dia orangnya yang dikatakan Ki Tunggul Sekati." Bisik Serda
Sujiwo. Boma berpendapat sama. Lalu berbalik mengejar orang itu.
Merasa dikejar, lelaki berblangkon kebesaran ini mempercepat jalannya, malah
kini setengah berlari.
"Pak, Pak! Tunggu!" seru Boma lalu lari rnengejar.
Orang tadi tidak berhenti. Sambil terus berjalan cepat dia bertanya pada Boma.
"Situ mau apa?"
Boma buka tangannya yang menggenggam. Memperlihatkan
telur ayam. Orang itu melangkah terus tapi delikkan matanya besar-besar.
"Situ maunya apa, toh"!"
"Saya dipesan harus memberikan telor ini pada Bapak."
"Wong aneh! Sopo yang nyuruh situ. Lha, telurnya buat apa sama aku" Ada-ada
saja! Saya ini sedang sakit perut! Mules! Mau buru-buru pulang buang air besar!
Situ malah mengganggu!" Habis berkata begitu setengah berlari, sambil
menyingsingkan kainnya dengan cepat lelaki itu tinggalkan Boma.
Boma hentikan langkahnya.
"Sial!" Anak ini memaki dalam hati, lalu menowel hidungnya dengan tangan kiri.
Saat itu Serda Sujiwo, Ibu Renata dan Trini telah berada di dekat Boma.
"Bagaimana?" tanya Serda Sujiwo.
"Sial Pak!" sahut Boma.
"Sial gimana" Kok dia seperti ketakutan waktu Dik Boma memperlihatkan telur
ayam." "Bukan ketakutan. Tapi buru-buru mau pulang. Katanya perutnya mules. Mau berak!
Ayo Pak, kita balik. Bukan dia orangnya!"
Dalam keadaan tidak mengerti dan tidak bisa berkata apa-apa, Serda Sujiwo, Ibu
Renata dan Trini melangkah mengikuti Boma ke arah semula, menuju tikungan tembok
Keraton. Saat itulah dari balik tikungan muncul seorang berpenampilan serba aneh.
Sosoknya adalah seorang kakek berambut tegak berdiri berwarna pirang, mengenakan
jaket jins pendek, tangan buntung. Karena jaket jins ini tidak dikancing maka
dada dan sebagian barisan tulang-tulang iga si kakek terlihat jelas. Di lehernya
tergantung sebuah harmonika.
Di sebelah bawah kakek ini mengenakan celan jins yang dua lututnya sengaja
dirobek berlobang, gaya kawula muda masa kini.
Celana ini agak kebesaran pinggangnya hingga merosot hampir ke pinggul,
memperlihatkan pusar si kakek yang ternyata dicanteli sebuah giwang!
Pada sabuk besar yang melingkar di pinggang blujins tergantung sebuah rebana dan
gendang kecil kerincingan rebana ini mengeluarkan suara pada setiap langkah yang
dibuatnya. Di balik punggungnya tersembul gagang sebuah payung kertas. Gaya
kakek ini membawa payung itu seperti seorang samurai membawa pedang katana. Pada
daun telinga kirinya tersemat sebuah subang bermata zirkon.
Sambil berjalan santai mulut kakek ini menggumamkan satu nyanyian. Walau cuma
bergumam Boma tahu dan pernah
mendengar nyanyian itu. Kopi Dangdut. Serda Sujiwo berbisik.
"Dik Boma, jangan-jangan ini orangnya."
"Masa 'iyya Pak" Kok begini banget" Pengamen atau orgil." Ucap Boma. Anak ini
hentikan langkah. Tangan kanannya yang
menggenggam telur ayam kampung mendadak terasa bergetar dan tengkuknya menjadi
dingin. Kakek tua berpenampilan aneh melangkah terus, celangak celinguk, seolah tidak
melihat kehadiran ke empat orang yang ada di depannya.
"Kek!" Tiba-tiba Boma menegur.
"Eh copot bijiku! Eh copot nyawaku!" Dalam kejutnya kakek yang rambutnya pirang
berjingkrak ini ambil rebana, dipukul satu kali lalu digoyang tiga kali. Lalu
dia tertawa gelak-gelak. Beberapa giginya yang masih utuh ditempeli kertas timah
rokok hingga tampangnya kelihatan seram-seram aneh tapi juga lucu.
"Bom," kata Trini sambil menarik lengan kiri Boma. "Orang gila kamu ladeni.
Ayo!" "Dia bukan orang gila Rin."
"Apaan! Kamu nggak liat dandanannya" Rambut coklat pirang disemprot Pylox. Puser
dicantel anting-anting. Gigi ditempelin kertas rokok. Pantat ngelayap kemana-
mana..." "Tenang Rin, sabar..." kata Boma.
"Ahoi!" Kakek aneh berseru. "Ada cowok dan cewek kece. Eh, kalian berdua dengar.
Kalau aku nyanyi Kopi Dangdut kalian berdua mau joget?"
"Bom!" Trini kembali menarik tangan Boma.
Dalam keraguannya Boma memandang pada Serda Sujiwo.
Polisi ini berbisik. "Coba saja. Kita lihat reaksinya."
Boma lalu ulurkan tangan kanan, membuka genggaman jari-jarinya, memperlihatkan
telur ayam kampung pada kakek aneh.


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang mata si kakek membesar lalu mulutnya menyeringai.
"Telur ayam kampung! Kalau pagi hari dibuang putihnya ditelan kuningnya, pasti
tubuh akan segar sehat! Telur itu buat aku?" Si kakek bertanya sambil dekatkan
mukanya ke tangan Boma.
Boma mengangguk. "Ambil Kek, memang buat Kakek."
" Ma aci, ma aci..." Kakek itu lalu ulurkan tangan kanan mengambil telur di atas
telapak tangan kanan Boma. Telur ayam itu ditimang-timangnya beberapa kali
sambil mulutnya berucap. "Budi dibalas budi. Telur dibalas telur!"
Si kakek hentikan menimang-nimang telur ayam. Tangan kirinya disusupkan ke balik
celana jins yang gombrong. Ketika tangan kiri itu dikeluarkan kembali, di tangan
itu ada sebuah telur ayam.
Sambil tertawa terkekeh telur ini digosok-gosokkannya pada telur yang
diterimanya dari Boma.
"Kau memberi telur, aku membalas dengan telur!" Sambil berkata begitu si kakek
ulurkan tangan kirinya. Boma ingat ucapan kakek cebol di Masjid Besar. "Boma,
kau hnrns memberikan telur ayam itu pada orang yang kau temui itu. Jika dia
memberikan sesuatu padamu, ambil dengan tangan kiri. Benda itu harus kau bawa ke
Candi Borobudur. Letakkan di dalam salah satu lobang sebelah bawah Stupa...."
Boma tidak segera mengambil telur itu tapi memperhatikan beberapa ketika.
"Ayo, ambil. Kenapa" Mungkin kau mengira ini bukan telur sungguhan. Tapi
perabotanku yang dipoles mengkilap seperti telur.
Ha ...ha...ha! Atau mungkin kau jijik karena melihat telur ini aku ambil dari
bilik celanaku! Ha ...ha...ha!"
Boma akhirnya ulurkan tangan kirinya, menerima telur yang diberikan si kakek.
"Telurnya masih hangat 'kan?" kata si kakek pula.
Boma hanya bisa tersenyum.
"Cah bagus, kita berpisah di sini. Kalau nanti kau punya telur lagi jangan lupa
berikan padaku."
Boma mengangguk. "Tapi kami mencari Kakek dimana?" Tiba-tiba Trini ajukan pertanyaan.
"Ah, ada gadis cantik bertanya. Masakan aku tidak menjawab.
Aku kakek pengamen. Cari aku di Tenda Biru Candi Mendut."
"Tenda Biru?"
Si kakek angguk-anggukkan kepalanya. Mata dikedip-kedipkan.
Tangan kirinya mengambil harmonika. Lalu sambil tertawa-tawa dia melangkah
pergi. Tak lama kemudian di kejauhan terdengar alunan suara harmonika. Lagunya
Tenda Biru. Si kakek meniup harmonika itu sambil berjalan. Pinggul digoyang-
goyang, pantat diogel-ogel.
Jauh dari Keraton si kakek masih terus meniup harmonikanya.
Orang yang dilewati memperhatikannya tersenyum-senyum. Di satu jalan yang gelap
dan agak sepi suara tiupan harmonika kakek ini berubah perlahan. Sudut matanya
beberapa kali mengerling ke belakang. Ada sebuah beca mengikutinya sejak tadi.
Beca itu kosong tidak berpenumpang. Di depan sebuah toko yang lampunya cukup
terang si kakek menoleh. Suara harmonikanya mendadak sontak berhenti. Dia tidak
pernah tahu atau pernah mendengar kalau di Jogja ada pengemudi beca seorang
perempuan. Apa lagi seorang nenek!
Beca yang mengikuti terus meluncur. Tapi nenek pengemudinya sudah melesat ke
udara. Waktu beca itu membentur sebuah pilar besi di pinggir jalan, nenek
pengemudi telah berkelebat dan tegak berkacak pinggang di depan si kakek. Kepala
didongakkan mulut mengumbar tawa bergelak.
"Tua bangka edan! Minum di tempat lain maboknya di hadapanku!" Maki Kakek
berambut pirang coklat disemprot Pylox.
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
9 KUNTI API MENCARI TELUR
ENEK berwajah setan, bermantel biru dengan rambut merah riap-riapan tertawa
bergelak. Kakek berambut pirang coklat Nmencibir. "Kau mabok, aku juga bisa
mabok! Kau edan, aku juga bisa edan! Apa sulitnya tertawa barengan! Ha
...ha...ha!" Kakek itu lalu ikutan tertawa gelak-gelak. Malah karena dia
menggunakan tenaga dalam suara tawanya lebih santar dan menindih suara tawa si
nenek bertampang angker.
Tiba-tiba selintas ingatan muncul di benak si kakek. Saat itu juga dia hentikan
tawanya. Sepasang matanya memandang si nenek bermantel biru. Otak diputar, hati
membatin. "Ciri-ciri nenek satu ini lain dengan yang dikatakan adikku Labudung. Di
kepalanya tidak ada tusuk konde perak. Tubuh dan pakaiannya tidak bau pesing.
Berarti bukan dia. Tapi siapa tahu sekarang dandanannya sudah berubah. Di
Jakarta lain di Jogja lain.
Kukunya saja aku lihat dicat merah. Agar tidak kesalahan, lebih baik aku
tanyakan." "Nenek berambut merah! Berhenti dulu tertawa. Aku mau tanya."
Kakek berambut pirang berteriak. Lalu dia ambil rebana di pinggang dan digoyang
tiga kali. "Hek!" Nenek berambut merah keluarkan suara tercekik lalu batuk-batuk. Matanya
membeliak. Si kakek baru menyadari kalau sepasang mata nenek ini juga berwarna
merah laksana bara api.
"Makhluk jelek yang rambutnya dicat! Kowe mau tanya apa"!"
"Apa kau nenek beken yang dikenal dengan nama Sinto Gendeng"!"
Sepasang mata merah si nenek keluarkan cahaya berkilat.
Rambutnya yang merah awut-awutan seperti mumbul ke atas.
"Katakan dulu apa hubunganmu dengan nenek bau itu!"
"Aku tidak punya hubungan apa-apa!"
"Lalu mengapa kau mencari dirinya"!"
"Ada pesan yang harus aku sampaikan padanya."
"Pesan apa?"
"Ah, kau mau tahu saja. Pokoknya tak ada sangkut pautnya dengan dirimu jika kau
memang bukan Sinto Gendeng."
"Makhluk aneh yang kupingnya dipasangi giwang! Aku bukan Sinto Gendeng! Nenek
butut itu mana mampu punya mantel bagus seperti aku! Hik...hik...hik."
"Lalu, kau ini siapa?"
"Aku Kunti Api! Nenek moyang semua orang pandai yang mengandalkan kesaktiannya
pada kekuatan api!"
"Hebat sekali! Aku kagum. Eh, apakah kau tidak hendak menanyakan diriku ini
siapa?" Kunti Api yang adalah guru Si Muka Bangkai tertawa terbahak-bahak. "Perlu apa
aku mau tahu siapa dirimu. Yang jelas aku sudah melihat tampang dan dandananmu.
Kau makhluk tidak berguna!
Tapi dengar, aku ada satu kepentingan denganmu..."
"Aahhhh, ini baru berita gembira. Nenek berambut merah, katakan apa
kepentinganmu. Mudah-mudahan aku bisa
membantu!" "Tentu, pasti kau bisa membantu. Karena kau memiliki apa yang aku akan minta."
"Apakah itu" Apakah kau meminta diriku untuk....Ha...ha...ha." Si kakek tidak
teruskan ucapannya karena keburu tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dia menunjuk
pada sebuah kios kosong dan gelap di seberang jalan. "Tempat itu cukup bagus
untuk kita duduk berdua bercumbu rayu."
"Setan alas! Cuaahhh!" Kunti Api meludah ke tanah. "Siapa sudi bercumbu dengan
makhluk calon bangkai sepertimu!"
"Ah, perempuan memang seharusnya begitu. Walau ingin tapi tidak pernah bilang
mau secara terus-terang."
Kunti Api meludah sekali lagi.
"Pasang telingamu! Dengar! Aku menemuimu untuk minta kau punya nyawa!"
Si kakek terkejut sampai mulutnya ternganga dan matanya membeliak, memandang si
nenek tak berkedip. Rebana
ditangannya digoyang-goyang.
"Kau... kau bicara sungguhan?"
"Siapa berdusta! Tapi kalau kau mau memberikan sebuah benda padaku, mungkin aku
akan membatalkan niat meminta nyawamu."
"Aahhh....Kau seorang nenek bijaksana. Aku suka padamu!"
"Makhluk jelek! Jangan kau berani mengulang kata-kata itu!
Akan kujembreng keluar lidahmu!"
"Kalau aku tidak boleh suka padamu tidak apa-apa. Sekarang katakan saja benda
apa yang ingin kau minta dariku."
"Malam Jum'at beberapa hari lalu kau kedatangan seorang tamu misterius. Tamu itu
memberikan sebuah telur ayam padamu. Nah, telur ayam inilah yang harus kau
serahkan padaku!"
Kejut si kakek bukan alang kepalang. Tapi dia bisa menutupi rasa terkejutnya itu
dengan tertawa lebar.
"Perempuan suka bicara malu-malu. Pandai berucap yang tersirat untuk menutupi
yang tersurat. Meminta surat padahal sebenarnya maunya urat! Ha ...ha...ha! Nek,
bilang terus terang.
Kau sungguhan minta telur ayam itu atau telurku yang lain"! Ha
...ha...ha!" Wajah angker si nenek merah membesi. Matanya pancarkan kilatan kemarahan. Dia
gerakkan tangan kanannya.
Suara tawa bergelak si kakek serta merta lenyap ketika dia melihat dari ujung
jari si nenek mencuat lima larik cahaya merah.
"Wussss!" Si kakek berseru keras, goyangkan rebananya lalu melesat ke atas.
"Desss!" Satu lobang besar mengepulkan asap merah menganga di
trotoar jalan. "Makhluk jelek! Kau sudah menyaksikan! Batu bisa kubuat ludas. Apa lagi tubuhmu
yang hanya terbuat dari tulang dan daging..."
"Tambah sedikit kentut!" jawab si kakek yang walau mukanya pucat tapi masih bisa
bergurau. "Kau memang minta mampus!"
Kunti Api angkat lagi tangan kanannya.
"Tunggu! Kalau kau memang inginkan telur, aku akan berikan.
Asal kau jangan apa-apakan diriku!"
"Lekas serahkan!"
Si kakek buru-buru memasukkan tangannya ke dalam celana blujins yang gombrong.
Tangan ini mengorek-ngorek kian kemari.
"Jahanam! Jangan berani mempermainkan! Kau mau
memberikan telur apa"!"
"Walah! Tadi kau minta agar aku menyerahkan telur. Telur yang kau minta memang
aku simpan di bawah sini. Di tempat yang hangat, terlindung dan bebas polusi..."
"Setan alas! Jangan bergurau! Mana telur itu!"
"Ada...ada. Tunggu. Nah, ini dia!"
Tangan di dalam celana keluar memegang sebuah telur.
"Ini telur yang kau minta. Ambillah. Kau mungkin lebih membutuhkan dari pada
aku." Dari balik mantel birunya Kunti Api keluarkan sehelai sapu tangan. Lalu dengan
sapu tangan itu dia mengambil lelur yang disodorkan si kakek.
"Tua bangka jelek. Untung otakmu cerdik. Kau bisa selamat dari kematian. Tapi
jika kau memperdayai diriku maka kematianmu sedekat bayang-bayang tubuhmu
sendiri! Ingat itu baik-baik..."
"Ah, aku kakek jelek ini mana berani memperdayai nenek cantik sepertimu. Sayang
pertemuan kita cuma singkat. Kalau saja kita berdua bisa berlama-lama. Apa lagi
kalau bisa duduk di kios itu.
Kau pasti tidak kecewa. Kau pasti akan mengingat-ingat diriku...."
"Plaakkk!"
Satu tamparan keras melanda pipi si kakek hingga sudut bibirnya luka dan
mengucurkan darah. Si kakek terperangah menahan sakit. Memandang ke depan Kunti Api tak ada lagi.
"Sial, galak sekali nenek satu itu. Sayang dia tidak mau diajak ke kios. Kalau
dia bisa mengemudikan becak bisa kubayangkan tubuhnya pinggang ke bawah pasti
keras kencang. Sayang...sayang..." kata si kakek sambil usap-usap pipinya yang bengap dan seka
darah yang membasahi mulut serta dagunya. "Si Nenek Guru sudah muncul. Berarti
tidak lama lagi guru dan murid akan segera unjukkan tampang. Saudaraku Labudung,
walau tingkat kepandaianku masih dibawah Pangeran jahanam itu, tapi doakan agar
aku bisa membalas dendam sakit hati kematianmu!
Bagaimanapun aku akan mencari akal agar bisa membunuh
dirinya. Kita berdua tidak akan tenteram sebelum Pangeran Matahari itu kita
jadikan bangkai dan rohnya terpasang antara langit dan bumi!"
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
10 MELACAK PENGAMEN TUA PAKAI ANTING DI PUSAR
UMAH papan beratap seng itu terletak di pinggir daerah pesawahan tak jauh dari
Desa Ngaran. Pemilik rumah sejak R dua tahun belakangan tidak pernah lagi datang
ke tempat itu. Keadaan rumah kotor dan debu menyelimut dimana-mana.
Malam itu, rumah tersebut ternyata tidak dalam keadaan kosong.
Dua orang duduk berhadap-hadapan di atas tebaran daun pisang.
Sebuah lampu minyak menyala bergoyang-goyang akibat tiupan angin melalui celah
menganga serta lobang pada dinding papan yang telah jebol.
Pemuda berpakaian serba hitam dengan kepala diikat kain merah menarik nafas
dalam beberapa kali sambil memegang bagian bawah dada sebelah kanan. Dia adalah
Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Bagaimana keadaanmu?" Orang tua bungkuk bermuka pucat yang duduk di hadapan
pemuda berpakaian hitam yang dikenal dengan nama Si Muka Bangkai atau Si Muka
Mayat bertanya. "Setelah aku mengatur jalan darah, jalan pernafasan serta aliran hawa sakti
hampir setengah harian, rasa sakitnya jauh berkurang..."
"Pangeran Matahari, Tulang Igamu yang pernah patah belum seutuhnya bertaut. Aku
bisa menolong hingga cideramu sembuh lebih cepat. Tapi aneh, mengapa kau menolak
aku tolong?" Pangeran Matahari, pemuda berpakaian serba hitam
menyeringai. Rahangnya menggembung, mulutnya terkancing. Dia tidak menjawab.
Namun dalam hatinya ada suara berkata.
"Manusia licik pandai bermanis muka. Aku tahu hatimu sebenarnya culas
terhadapku. Akalmu ada dalam kantongku. Apa kau kira aku bisa melupakan semua
ucapanmu waktu di Lapo Tuak Tao Toba dulu?"
Seperti diungkapkan dalam Episode sebelumnya (Topan Di Borobudur) dalam usaha
mereka membunuh Boma, Kunti Api, Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari pernah
mengadakan pertemuan di sebuah Kedai Tuak. Sebelum Kunti Api datang antara Si Muka Bangkai
dan Pangeran Matahari terjadi pertengkaran mulut cukup hebat. Sang guru
mendamprat Pangeran Matahari habis-habisan karena sampai saat itu masih belum
bisa membunuh Boma. Sang Pangeran sendiri kemudian menolak perintah gurunya
membunuh Sinto Gendeng karena dia menganggap itu adalah tugas Si Muka Bangkai
sendiri untuk melakukan hal tersebut.
Saking marahnya ditentang sang murid, Si Muka Bangkai sampai memukul meja hingga
empat kaki meja amblas setengah jengkal ke ubin lantai. Menghadapi kemarahan
gurunya Pangeran Matahari tenang saja. Namun darahnya bergejolak, perasaannya
seperti terbakar ketika dia mendengar apa yang kemudian diucapkan Si Muka
Bangkai pada Eyang Kunti Api. Waktu itu Pangeran Matahari telah keluar dari Lapo
Tuak. Tapi dia tidak terus pergi melainkan mencuri dengar percakapan gurunya
dengan Kunti Api. "Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api memanggil Si Muka Bangkai dengan nama
aslinya. "Mungkin karena Pangeran Matahari tahu kalau kau bukan gurunya
sebenarnya, hanya saudara kembar Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia kelihatan
begitu keras kepala terhadapmu ''
Si Muka Bangkai Menyeringai.
"Walaupun aku bukan gurunya yang asli tetapi aku sejuta layak dihormatinya
sebagai guru. Aku tahu banyak tentang dirinya seperti aku mengenal dua telapak
tanganku sendiri. Kalau dia berani macam-macam aku akan membuat hidupnya
sengsara selama-lamanya..."
Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti itu tanpa
rnengetahui kalau saat itu sebenarnya, Pangeran Matahari sengaja menyelinap di
balik kedai minuman. Sepasang mata sang
Pangeran, keluarkan kilatan menggidikkan. Serangai setan bermain di mulutnya. "
Kau tahu diriku, tapi kau tidak tahu hatiku. Aku juga bisa rnembuat dirimu
sengsara seurnur-umur. Kau bisa jadi ular sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor
kobra. "

Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja Pangeran Matahari mengingat peristiwa yang
membuatnya menanam dendam terhadap sang guru sendiri, di hadapannya Si Muka
Bangkai membuka mulut berkata.
"Aku tidak habis pikir, mengapa waktu di Candi kau tidak mampu membunuh bocah
ingusan itu!" "Anak bernama Boma itu bukan bocah ingusan lagi. Aku yakin Sinto Gendeng telah
mengajarkan sejurus dua jurus ilmu silat padanya. Kemungkinan juga dia diberikan
tenaga dalam atau hawa sakti. Yang jelas, aku curiga Batu Penyusup Batin ada
pada anak itu." "Kalau kau yakin batu itu ada padanya, mengapa kau tidak
mengambilnya?" tanya Si Muka Bangkai dengan pandangan mata menyorot tajam.
"Guru, kau bisa menimpakan seribu kesalahan padaku. Karena kau tidak berhadapan
sendiri dengan orang-orang itu. Kau tidak ada di tempat kejadian. Pendekar 212
muncul. Ini sama sekali tidak diharapkan. Ketika aku bentrokan pukulan sakti
ternyata tingkat tenaga dalamnya sulit aku tandingi. Ini satu hal yang sama
sekali tidak bisa kuduga. Selama beberapa waktu belakangan ini aku berusaha
meningkatkan tenaga dalamku, tapi hasilnya mengecewakan."
(Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Meraga Sukma" ketika
dalam perjalanan ke tempat kediaman Nyi Roro Manggut, di pintu gerbang pantai
selatan Wiro bertemu dengan Naga Biru. Makhluk sakti yang selama puluhan tahun
mendekam dalam bentuk batu ini mendadak berubah hidup dan menjilati Wiro.
Ternyata ini bukan jilatan biasa. Karena setelah dijilat murid Sinto Gendeng itu
merasa tubuhnya tambah enteng, pemandangannya lebih terang, telinganya lebih
tajam dan hawa sakti atau tenaga dalam yang ada dalam tubuhnya lebih meningkat.)
"Kau bilang selama beberapa waktu belakangan ini telah berusaha meningkatkan
tenaga dalam. Lalu apa kau kira pendekar sableng itu cuma berdiam diri" Tidak
berusaha pula meningkatkan ilmu kepandaiannya" Pangeran Matahari, jangan kau
mencari seribu satu dalih untuk menutupi kegagalanmu."
"Terserah guru mau bilang apa. Tapi aku perlu memberitahu satu hal. Ketika aku
melepas pukulan Telapak Matahari, ada orang pandai tersembunyi memapaki
seranganku hingga buyar
berantakan." "Nasibmu benar-benar sedang sial saat itu, rupanya!" kata Si Muka Bangkai lalu
tertawa mengekeh, membuat Pangeran
Matahari jadi panas, hatinya. Dia meneruskan ucapannya.
"Sebelum orang memapaki seranganku, aku mendengar suara benda bergemerincing.
Tidak mudah melacak siapa adanya orang pandai itu dari suara tersebut."
"Sudahlah, aku tidak mau mendengar segala macam cerita sialmu. Tapi satu hal
harus kau ingat. Kesialanmu akan berlipat ganda menjadi kesialan kita sernua
jika guruku Kunti Api tidak bisa mendapatkan telur sakti yang mampu
rnenyelamatkan anak perempuan bernama Dwita itu keluar dari dalam Stupa. Jika
telur itu sampai jatuh ke tangan orang lain dan tahu cara
menggunakannya, kita tidak bisa mencegah anak perempuan itu keluar dari dalam
Stupa! Pangeran, siap-siap saja guruku akan melabrakmu!"
"Aku siap menerima dampratan Nenek Kunti Api." rahang Pangeran Matahari
mengembang. Matanya memandang tak
berkedip pada nyala api lampu minyak.
Si Muka Bangkai tiba-tiba dongakkan kepala. Mata setengah dipejamkan.
"Aku mendengar suara angin bersiur. Agaknya Eyang Guru sudah datang."
Baru saja Si Muka Bangkai selesai berucap, tiba-tiba pintu tersibak lebar lalu
wuut! Satu bayangan biru berkelebat masuk ke dalam rumah. Si Muka Bangkai dan
muridnya cepat berdiri, membungkuk hormat. Yang datang memang Kunti Api, guru Si
Muka Bangkai. "Kalian berdua enak-enak di tempat ini. Aku bekerja setengah mati!" Kunti Api
begitu muncul langsung menggerendeng.
"Maafkan kami Eyang Guru," kata Si Muka Bangkai sambil membungkuk. "Setelah
muridku gagal membunuh anak bernama Boma itu karena tiba-tiba muncul Pendekar
212 Wiro Sableng serta ada orang pandai tersembunyi ikut menolong, kami tidak
berani melakukan tindakan baru. Kami terpaksa menunggu kedatangan Eyang Guru.
Sekarang setelah Eyang Guru ada dihadapan kami kami siap menunggu perintah."
"Percuma aku memberi perintah. Kalian berdua tidak pernah berhasil melakukan!"
Jawab Kunti Api sambil pelototkan mata pada Si Muka Bangkai dan Pangeran
Matahari. Dipelototi begitu Si Muka Bangkai berpaling pada muridnya.
"Pangeran Matahari, ini semua gara-gara ketololanmu!"
Sang murid hanya menyeringai, memandang ke arah pintu yang terbuka, tidak
menjawabi ucapan gurunya. Sikap Pangeran Matahari ini membuat Si Muka Bangkai
merasa dianggap sepi dan membuat dia jadi tambah jengkel. Dari mulutnya
terdengar suara bergumam. Tapi tidak jelas apa yang diucapkannya. Setelah
menarik nafas panjang dia membungkuk ke arah Kunti Api lalu bertanya.
"Eyang, apakah kau berhasil mendapatkan dan mengamankan telur pembuka Stupa?"
"Kalian lihat sendiri apa yang aku dapatkan." Kunti Api mengeluarkan sebuah
benda dari dalam lipatan sehelai sapu tangan. Benda ini kemudian
digelindingkannya di atas daun pisang.
Ternyata sebutir telur ayarn.
Si Muka Bangkai mengambil telur itu, memperhatikannva
sejenak lalu menimang-nimangnya beberapa kali.
"Walau muridmu belum mampu membunuh Boma, tapi kita akan berhasil membunuh anak
perempuan yang disayanginya itu.
Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga malam. Sekitar jam tiga pagi
menjelang pagi nanti. Seumur hidup Boma akan dihantui kematian anak perempuan
itu. Jika memang umurnya panjang. Tapi kalau dia keburu mati di tangan kita, dua
anak itu akan jadi roh penasaran, gentayangan kemana-mana. Hik...hik...hik!"
"Eyang," kata Si Muka Bangkai sambil memperhatikan kembali telur ayam yang
dipegangnya dengan tangan kanan. "Aku merasa ada kelainan pada telur ini. Waktu
mendapatkannya dan membawanya ke sini, apakah Eyang tidak meneliti?"
Sepasang alis Kunti Api mencuat ke atas.
"Apa maksudmu, Muka Bangkai?"
"Telur ini enteng sekali. Aku merasa seperti memegang telur penyu kering yang
sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini telah berpindah ke tempat lain. Berarti
telur ini tidak ada artinya sama sekali."
"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai. Aku sendiri yang mengambil telur
itu dari orang yang pertama kali mendapatkannya.
Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari sapu tangan masih terasa berat!"
"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang sendiri." Si Muka
Bangkai lalu serahkan telur ayam itu pada gurunya.
Kunti Api tersentak kaget ketika dia memegang telur dan merasakan telur ayam itu
memang enteng sekali.
"Gila! Apa yang terjadi" Waktu aku mengambil telur ini dari orang itu,
keadaannya tidak seperti ini. Tidak enteng!"
"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja."
"Aku tidak bisa percaya! Bagaimana mungkin"!" Kata Kunti Api pula. "Jahanam! Ada
orang yang mengerjaiku!" Saking marahnya Kunti Api remas telur ayam itu hingga
berderak hancur semudah menghancurkan kerupuk. Dari pecahan telur tidak ada
cairan putih dan cairan kuning yang keluar. Telur itu ternyata kosong! Kunti Api
pandangi tangannya yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak bisa percaya
dia. "Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" tanya Pangeran Matahari.
"Dari orang yang aku kuntit sejak beberapa hari ini. Aku tidak tahu namanya."
"Eyang merampas telur ini setelah membunuh orangnya?" tanya Pangeran Matahari
lagi. "Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam, dia sudah ketakutan. Telur
diberikannya dengan suka rela."
"Maaf Eyang, kalau telur itu merupakan satu benda keramat, dia tidak mungkin
memberikan begitu saja. Orang itu telah menipu Eyang!"
Merah padam tampang angker Kunti Api. Marah setengah mati karena ketololan
sendiri. "Pangeran, apa yang kau katakan betul adanya. Kurang ajar!
Hidup puluhan tahun, bagaimana mungkin aku masih bisa berbuat tolol!"
Pangeran Matahari tersenyum. Sambil mengerling ke arah Si Muka Bangkai dia
berkata. "Nenek Guru, hidup kita sebagai manusia memang begitu adnya. Seribu
kali kita merasa pandai, terkadang satu ketika kita berbuat satu ketololan,
sadar atau tidak sadar. Jadi harap Nenek Guru tidak berkecil hati. Kalau aku
boleh bertanya, orang itu, apakah Eyang tahu siapa dia adanya?"
"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu belakangan ini dia sering
berada di sekitar Candi Mendut.
Mengamen." "Mengamen" Di Candi Mendut?" ulang Si Muka Bangkai.
Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada muridnya.
"Pangeran, aku menaruh curiga..."
"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil memandang pada Kunti
Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat bagaimana ciri-cirinya?"
"Seorang kakek tua, berambut kaku berdiri, dicat warna pirang.
Dia mengenakan jaket dan celana blujins. Pakai anting di telinga dan
pusarnya..." "Nenek Guru pernah mendengar dia menyanyi?"
"Dua kali."
"Apa nyanyian yang dibawakannya."
"Aku tidak tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai orang banyak. Kalau
pengamen itu membawakan dua lagu itu, banyak yang pada joget." Menerangkan Kunti
Api. "Nenek Guru mungkin ingat kata-kata dalam nyanyian itu?"
Kunti Api mengurut-urut keningnya. "Lagu yang pertama kalau aku tidak salah
sepertinya mengajak orang minum. Tapi..."
"Minum apa, Nek?" tanya Pangeran Matahar "Bukan minum tapi...Lagu tentang orang
bercinta. Aah..lagunya aneh. Bercinta tapi menyebut minum. Minum...."
"Minum kopi?" ujar Pangeran Matahari.
"Betul! Minum kopi!" "Lagunya Kopi Dangdut."
"Betul sekali!" kata Kunti Api sambil tepukan dua tangannya.
"Lagu kedua Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran Matahari bertanya.
"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemm... Tenda Biru.
Betul, Tenda Biru!" kata Kunti Api pula.
"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel" Tidak bisa menyebut er?"
"Seingatku dia tidak cadel, tidak pelo. Dia menyebut er lempang-lempang saja."
"Pangeran Matahari, jangan kau mengkhayal tentang kakek pengamen bernama Pelawak
Sinting itu. Bukankah kita telah membunuhnya beberapa waktu lalu di jembatan
penyeberangan di depan gedung Sarinah. Di Jakarta?"
"Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka Bangkai. "Tapi jangan
lupa. Ada berita yang mengabarkan bahwa mayat Si Pelawak Sinting lenyap dicuri
orang dari dalam ambulans.
Siapa tahu waktu itu dia tidak mati..."
"Si pelawak sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai blujins..."
"Tunggu," kata Pangeran Matahari. "Nenek Guru, pengamen itu apa Nenek Guru ingat
peralatan apa saja yang dipakainya waktu mengamen?"
"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya.
Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya dia meletakkan sebuah payung
kecil, terbuat dari kertas. Payung dikembangkan, dia bernyanyi dan berjoget.
Payung tidak jatuh. Sesekali dia memainkan sebuah benda aneh sepanjang satu
jengkal. Aku tidak tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara
lebih merdu dari suara seruling. Lalu... lalu dia pakai anting di kuping dan
pusarnya." Kunti Api diam sebentar lalu bertanya
"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengarnen tua itu"'
"Aku menduga-duga Nek, ada sedikit keraguan. Nenek Guru ingat pada Si Pelawak
Sinting yang membuat keonaran di Pasar Baru dulu?"
"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu. Si Pelawak Sinting tidak berambut
pirang. Lidahnya cadel. Dia tidak punya alat yang bisa mengeluarkan suara
seperti seruling itu. Telinganya tidak pakai anting. Apalagi pusarnya. Lalu aku
ingat, si pengamen di Candi Mendut itu menempeli giginya dengan kertas timah
bungkusan rokok."
"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada persamaan. Si Pelawak
Sinting membawa payung kertas.
Pengamen di Candi juga punya payung kertas. Pelawak Sinting pakai rebana dan
gendang Pengamen di Candi juga punya rebana dan gendang. Dalam menyanyi dia
berjoget sambil meletakkan payung di atas kepala. Lalu salah satu lagu yang
dinyanyikan pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu yang suka
dibawakan Pelawak Sinting. Kopi Dangdut."
Tiga orang itu terdiam sesaat.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Si Muka Bangkai memecah kesunyian di tempat
itu. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan!" kata Kunti Api seraya bangkit berdiri.
"Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran Matahari, kau ikut bersamaku.
Mungkin pengarnen keparat itu masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka
Bangkai, kau lekas pergi ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa
mencegah anak perempuan itu dikeluarkan dari dalam Stupa. Tapi yang paling aku
harapkan ialah agar kau bisa membunuh anak bernama Borna itu."
"Apa yang Eyang Guru perintahkan akan kami lakukan," kata Muka Bangkai lalu ikut
berdiri pula. Setelah guru dan muridnya pergi, Si Muka Bangkai mengomel sendirian. "Pangeran
sialan! Karena ketololanmu aku kini kebagian kerjaan yang tidak enak. Padahal
malam ini aku ada janji dengan seorang janda tua pedagang lesehan di Malioboro."
Dari balik pakaian putihnya kakek bungkuk ini keluarkan sebuah kantong kecil
dari kertas. Pada kantong itu ada tulisan " Majun Asli dari Arab.
Obat Kuat. Membuat pria lemah jadi sehebat kuda jantan. Sekali minum bisa tiga
kali genjot." "Majun Arab .... Majun Arab. Malam ini aku belum butuh kau!
Sabar, harap kau bersabar!" Si Muka Bangkai masukkan kembali kantong kertas itu
ke balik pakaiannya. Lain dia tepuk-tepuk bagian bawah perutnya sambil berkata.
"Burungku Anu, kau juga harus sabar. Jangan ngambek. Malam ini aku ada sedikit
urusan. Seperti kata orang jaman sekarang, anggap saja ini sebagai kesalahan
teknis. Boleh juga kau bilang sebagai kesalahan prosedur. Tapi percayalah,
keadaan masih tetap terkendali. Malam ini kau tidak jadi aku beri makan. Tapi
nanti aku beri kau makan tiga piring sekaligus! Pakai sambal terasi. Sampai
mulutmu lecet kepedasan! Ha ...ha...ha!"
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
11 RAMPOK MOTOR DI SIANG BOLONG
ITA kembali dulu pada kejadian setelah terjadi perkelahian di KCandi antara
Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro
Sableng dan Boma. Di puncak sebuah bukit kecil murid Sinto Gendeng akhirnya hentikan larinya. Dia
tidak berhasil melacak jejak Pangeran Matahari yang melarikan diri setelah
melempar sebuah benda yang bisa meletus dan mengeluarkan asap tebal kehijauan.
"Kalau sempat anak itu dibunuh Pangeran keparat itu, celaka aku seumur-umur. Si
nenek bau pesing pasti akan mendamprat diriku habis-habisan. Tapi heran juga,
kenapa Eyang Sinto berpesan agar aku menjaga anak itu" Cucunya bukan, anak apa
lagi. Sayang, Eyang tidak pernah berterus-terang menceritakan sebab musabab
latar belakang. Dia kelihatan begitu sayang pada anak itu. Kalau tidak masakan
sampai diberikan hawa sakti segala. Atau barangkali Eyang telah mengambil anak
itu sebagai muridnya" Hemm....
Sekarang apa yang harus aku lakukan" Kembali ke Candi?"
Wiro garuk-garuk kepala.
Tiba-tiba Wiro ingat pada tiga buah benda yang, dipungutnya di lantai candi
sebelum berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Buru-buru tiga benda itu dikeluarkannya dari dalam saku baju putih.
Benda pertama adalah sobekan kertas berwarna coklat.
"Robekan kertas. Benda yang berputar sebati menahan pukulan Pangeran Matahari
jugal berwarna coklat. Apa kertas ini yang memapaki pukulan pangeran keparat
itu" Kalau benar sungguh luar biasa."
Wiro perhatikan benda kedua. Sepotong kecil serpihan bambu.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Tidak bisa mengira-ngira apa hubungani
kertas coklat dengan potongan bambu kecil. Lalu diambilnya benda ke tiga.
Diperhatikan. "Ini jelas patahan kayu gagang sesuatu. Gagang golok terlalu kecil. Gagang
sebilah keris terlalu buruk dan rapuh. Kertas coklat, potongan bambu, patahan
kayu...." Kembali murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. "Mungkin aku harus
kembali ke Candi. Tapi Isopol itu. Mereka pasti ada disana."
Selagi berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya tiba-tiba Wiro mendengar di
kejauhan suara sesuatu.


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bebunyian aneh. Merdu sekali. Seperti seruling, tapi jelas itu bukan suara
seruling." Wiro memasang telinganya baik-baik. Suara bebunyian itu datang dari kaki bukit
sebelah timur. Wiro segera lari menuruni bukit kecil, menuju ke arah timur
sampai akhirnva dia menemui sebuah jalan aspal cukup ramai lalu lintasnya. Kira-
kira dua puluh meter di depan sana, di pinggir jalan kelihatan seorang berambut
aneh warna pirang coklat berjalan melenggak-lenggok seperti tengah menari. Di
atas kepalanya ada sebuah payung kecil terbuat dari kertas dalam keadaan
terkembang. Orang ini mengenakan celana blujins yang agak gombrong hingga
sebagian pantatnya yang hitam tersingkap jelas. Sambil berjalan menari, orang
ini memainkan rebana di tangan kiri, memegang sesuatu di tangan kanan dan
meniupnya. Karena membelakang Wiro tidak dapat melihat benda apa yang ditiup
orang itu, yang mengeluarkan suara lebih merdu dari seruling.
Di belakang orang itu berjalan mengikuti belasan anak-anak sambil tertawa-tawa
dan bertepuk tangan. Lalu lintas di jalan agak sedikit macet karena para
pengemudi memperlambat kendaraan mereka untuk melihat apa yang terjadi.
"Kopi Dangdut!" ucap Wiro. "Lagu yang dimainkan orang itu Kopi Dangdut! Aku
ingat pada Si Pelawak Sinting yang mati dibunuh di jembatan penyeberangan
Sarinah. Nyanyinya sama, gayanya sama.
Pantatnya juga sama hitam. Tapi yang ini keren amat, pakai jaket dan celana
jins. Aku harus melihat tampangnya! Jangan-jangan dia...."
Ucapan Wiro terputus. Mendadak dia ingat pada tiga buah benda yang ada di saku
bajunya. Tiga benda itu dikeluarkannya.
Diperhatikan sambil sesekali mengangkat kepala memandang ke arah orang yang
berjalan menari-nari sambil meniup bebunyian di depan sana.
"Potongan bambu, robekan kertas coklat, patahan kayu! Gila! Ini adalah hancuran
payung kertas yang dihantam pukulan sakti Pangeran Matahari! Di kepala orang itu
bertengger paying kertas warna coklat! Berarti dia...."
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera lari mengejar.
. Orang berpayung hentikan jalannya. Payung di turunkan dari kepala lalu dilipat.
Dia memegangi kepala anak-anak yang mengikutinya, memberikan sejumlah uang pada
anak-anak itu lalu menyetop sebuah kendaraan umum.
"Pelawak Sinting! Hai! Pelawak Sinting!" teriak Wiro. Dia segera lari mengejar.
Tapi orang itu sudah masuk ke dalam kendaraan umum. Anak-anak yang mengikuti
bubar. Jalan yang macet kembali lancar. Ketika Wiro sampai di dekat anak-anak
itu, kendaraan yang membawa orang tadi telah meluncur jauh.
"Sial!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Di depannya saat itu ada seorang tua bermata sipit, mengemudi motor tanpa helm.
"Apa boleh buat!" kata Wiro dalam hati. Langsung saja dia melompat dan duduk di
belakang pengemudi motor.
Si pengemudi yang ternyata seorang Cina gaek yang masih totok tentu saja jadi
kaget. "Weehhh, apa-apaan ini. Situ mau ngelampok ngai ya"!"
"Ssshh...Jangan salah sangka. Saya cuma mau minta tolong!"
"Minta tulung, minta tulung. Ngai tidak kenal sama situ. Ayo tulun! Nanti ngai
teliak galong balu tahu!"
"Pak tua, saya tidak punya maksud jahat. Tolong ikuti mobil merah di depan sana.
Mobil merah yang ada tulisan Kutunggu Jandamu itu."
" Ngai tidak bisa tulung. Cali olang lain. Ngai mau jemput ngai punya cucu. Ayo
tulun!" Walau bicara keras tapi wajah pengemudi motor itu jelas menunjukkan rasa
takut karena mengira Wiro hendak berbuat jahat terhadapnya.
"Wah, brengsek, nggak mau nolong," Wiro menggerendeng dalam hati. "Kalau nggak
mau nolong ya sudah!" Wiro turun dari motor. Lelaki tua itu saking terburu-buru
menyentakkan gas motor, kendaraan itu bukannya bergerak tapi mesinnya malah
mati. Setelah dicoba berulang kali akhirnya mesin motor hidup juga. Tapi saat itu
entah karena takut, atau sebelumnya memang sudah ingin buang air, si pengemudi
motor mendadak merasa kebelet ingin kencing. Karena tidak tahan, baru dua puluh
meter meluncur, dia hentikan kendaraannya di pinggir jalan. Mesin motor tidak
dimatikan, mungkin karena terburu-buru, mungkin juga takut kalau nanti sulit
lagi dihidupkan. Orang ini menyelinap ke balik sebuah pohon besar, turun di
tebing selokan dan tarik ke bawah resluiting celananya.
Wiro perhatikan orang yang sedang kencing itu lalu memandang ke arah motor
berulang kali. "Sial! Kalau saja aku bisa menunggang kuda tidak berkaki ini....
Bagaimana caranya?" Wiro garuk-garuk kepala. Ketika dia mendekati kendaraan itu
didepannya lewat seorang anak muda berambut gondrong yang telinga kirinya
dicanteli anting. "Sobat ganteng" Wiro menegur.
"Mau uang lima ribu perak?" Tanya Wiro sambil pura-pura memasukkan tangan kiri
ke balik pakaian. Anak muda beranting perhatikan wajah dan dandanan Wiro sesaat lalu tersenyum.
"Tentu saja mau. Memang lagi bokek. Mana uangnya?"
"Ada dalam kantong. Situ bisa naik itu?" Wiro menunjuk ke arah motor. Tentu saja
didalam kantongnya sama sekali tak ada uang lima ribuan.
"Kecil!" jawab pemuda gondrong beranting.
"Uang lima ribu aku berikan sama situ. Tapi antar aku lebih dulu."
"Itu motor siapa?"
"Temanku. Lihat sana, dia lagi buang hajat. Dia bilang aku pergi saja duluan."
Wiro menunjuk pada pemilik motor yang tengah kencing.
Anak muda itu melangkah mendekati motor. Wiro menyuruhnya naik cepat-cepat. Lalu
dia melompat duduk disebelah belakang.
"Tujuannya kemana?" Si anak muda bertanya.
"Cepat jalan! Terus.... Nanti aku beritahu kemana!" jawab Wiro sambil matanya
memandang ke depan memperhatikan mobil
merah angkutan umum yang tadi ditumpangi Pelawak Sinting.
Orang tua di tebing selokan masih belum lampias kencingnya, melengak kaget
ketika melihat Wiro menghambur bersama
motornya. Dia berteriak. Air kencing yang masih bersisa mengucur membasahi
celananya. " Lampok! Lampok Motol!"
Cepat-cepat dia tarik resluiting celananya ke atas. Tapi karena bingung dan juga
terburu-buru resluiting celana itu menggigit salah satu bagian di bawah perut
hingga dia terpekik kesakitan.
Terbungkuk-bungkuk orang tua ini naik ke atas jalan raya.
Kebetulan saat itu sebuah mobil pikup terbuka patroli Polisi meluncur di jalan.
Langsung saja dia kembangkan dua tangan dan berteriak-teriak.
Dua orang petugas segera melompat turun, menanyakan ada kejadian apa. Orang tua
itu memberitahu bahwa motor miliknya dibawa kabur seorang pemuda gondrong. Dia
menunjuk-nunjuk ke arah kaburnya Wiro. Salah seorang anggota Polisi menyuruhnya
naik ke atas mobil, duduk di samping Polisi pengemudi, diapit anggota Polisi
lainnya. Sirine dibunyikan. Pengejaran segera dilakukan. Di atas mobil orang tua itu tidak henti-hentinya berteriak. "Itu...itu...!" sambil menunjuk ke
arah Wiro yang membeset motor meliuk-liuk melewati kendaraan-kendaraan di
depannya dengan kecepatan hampir 80
Km per jam. "Wah, kok mobilku jadi bau pesing?" Polisi yang mengemudi pikup patroli berkata
sambil hidungnya kembang kempis. Dia tak berani melirik ke samping karena mobil
dikemudikan dalam kecepatan tinggi dan lalu lintas di jalan cukup ramai.
Polisi yang duduk dekat pintu melirik ke bawah, memperhatikan celana orang tua
yang duduk di sebelahnya. Celana itu selain basah kuyup oleh air kencing,
restluitingnya juga tidak tertutup utuh.
Karena celana dalamnya merosot turun tidak karuan, maka pak Polisi bisa melihat
jelas benda di bawah perut si orang tua. Sambil senyum Polisi ini berkata.
"Pak tua, wong habis kencing celananya dirapikan dulu. Kalau melongo kayak gitu
nanti burung perkututnya bisa nyelonong terbang."
Si orang tua terkejut mendengar ucapan Polisi itu. Dia menunduk dan melihat
celananya yang tersingkap lebar.
" Haayyyaa! Ngai punya bulung pelkutut tidak bisa telbang.
Belum numbuh sayap!"
Dua anggota Polisi tertawa terbahak-bahak.
Tak lama kemudian motor milik orang tua itu ditemukan di tepi jalan, tepat
dipersimpangan yang menuju ke Candi Mendut.
Pemuda pakai anting yang tadi mengemudikan kendaraan berdiri di tepi jalan.
Ketika turun di tempat itu Wiro memberitahu bahwa dia akan menemui seseorang.
"Tidak lama. Nanti aku balik. Uang lima ribu itu aku kasih sama kamu."
Ternyata Wiro yang ditunggu tidak muncul kembali. Pemuda beranting itu terpaksa
berurusan dengan Polisi.
*** BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
12 PELAWAK SINTING INGIN KAWIN
INAR matahari sore yang kekuning-kuningan menyapu Candi Mendut hingga candi ini
kelihatan lebih indah dan megah.
S Candi yang konon lebih tua usianya dari Candi Borobudur ini pada perayaan dan
upacara Waisak ramai dikunjungi umat Buddha dari seluruh penjuru tanah air,
bahkan juga dari mancanegara.
Di sore yang sejuk itu kelihatan beberapa rombongan wisatawan melihat-lihat
keindahan Candi. Di dalam Candi, mereka mengagumi tiga buah patung besar yakni
patung Buddha Cakyamurti yang duduk bersila, patung Avaloki teswara dan patung
Maitreya. Di seberang halaman depan Candi mendut terdapat sederetan warung penjual makanan
dan minuman serta kios penjual berbagai cindera mata. Di salah satu sudut
halaman kelihatan banyak orang berkumpul. Beberapa orang anak muda tampak
berjoget-joget mengiringi nyanyian seorang lelaki tua yang sekaligus menabuh
gendang kecil serta memainkan sebuah rebana. Sesekali dia meniup sebuah
harmonika yang tergantung di lehernya. Suasana lebih meriah karena sambil
menyanyi kakek yang berpenampilan aneh ini meletakkan payung terkembang di atas
kepala. Payung itu tidak jatuh walaupun dia menari berjingkrak-jingkrak atau
menggoyang-goyangkan pantat dan pinggul.
Lagu yang dibawakan kakek itu adalah Kopi Dangdut. Begitu Kopi Dangdut habis,
anak-anak yang ada disitu berteriak meminta agar si kakek membawakan lagu Tenda
Biru. Setelah menerima sejumlah uang dari orang-orang yang ada di situ maka si kakek
pasang suara menyanyikan Tenda Biru. Lagu Tenda Biru ini dibawakan si kakek
dalam irama dangdut dengan gaya yang kocak membuat semua orang sesekali tertawa
riuh. Apa lagi kalau si kakek menggoyang pantat dan pinggulnya demikian rupa
hingga celana blujinsnya merosot ke bawah pinggul, membuat orang-orang perempuan
berpekikan. Tak sengaja lewat depan rumnhmu
Ku melihaat ada tenda biru
Dihiasi indahnya janur kuning
Hati bertnnya pernikahan siapa
Tak percaya tapi ini terjadi
Kau bersanding duduk di pelaminan
Air mata jatuh tak tertahankan
Kau khianati cinta suci ini
Tanpa undangan diriku kau lupakan
Tanpa putusan diriku kaut tinggalkan
Tanpa bicara kau buat ku kecewa
Tanpa berdosa kau buat ku merana
Ku tak percaya dirimu tega
Nodai cinta khianati cinta
Ketika terdengar si kakek hendak mengakhiri nyanyiannya, orang banyak terutama
yang asyik berjoget langsung berteriak
"Terus Bos! Terus Bos!"
Pengamen tua yang dipanggil Bos itu sambil tersenyum dengan senang hati
mengulang kembali nyanyiannya sampai empat kali berturut-turut. Selesai menyanyi
dia tadangkan payung kertasnya dan melangkah mendekati orang-orang yang
berkeliling. Sejumlah uang diletakkan orang di atas payung itu. Si kakek
pengamen membungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang kali.
"Bos! Mau kemana?"
"Nyanyinya udahan nih"!"
Beberapa orang berteriak ketika melihat si kakek lambaikan tangan.
"Ngaso dulu! Capek!" jawab pengamen tua. "Jangan kemana-mana dulu, tetap di
tempat anda. Kami akan kembali setelah istirahat. Ha...ha..ha!"
"Bos! Situ kaya iklan di tivi aja!" kata seorang anak muda.
Kakek pengamen sekali lagi lambaikan tangan lalu melangkah ke salah satu sudut
lapangan. Di seberang sebuah jalan kecil ada sederetan bangunan. Kebanyakan
merupakan warung. Salah satu diantaranya ditutupi terpal berwarna biru mulai
dari atap sampai bagian depannya. Inilah "Tenda Biru" yang jadi tempat kediaman
sementara kakek pengamen.
Masuk ke dalam warung kosong yang agak gelap itu karena bagian depannya ditutup
terpal biru, kakek pengamen duduk menjelepok di atas sehelai tikar, di salah
satu sudut warung. Beberapa kali dia batuk-batuk sambil pegangi dadanya. Lalu diambilnya payung
kertas yang diletakkan di sampingnya. Payung dibuka. Si kakek mulai mengambil
uang yang ada di situ.
"Yang namanya duit, walau gelap kelihatan saja ya Kek. Banyak dapat duitnya hari
ini Kek?" Tiba-tiba satu suara menegur mengejutkan si kakek hingga dia terlonjak
dan cepat berdiri. Sepasang matanya dibuka lebar-lebar. Pandangannya membentur satu sosok tinggi
besar, berpakaian serba putih, berambut gondrong, tegak sambil rangkapkan tangan
di depan dada di sudut kanan warung. Orang ini lemparkan senyum pada si kakek.
"Anak muda berambut gondrong! Apakah aku mengenalmu"!"
Pengamen tua bertanya. Tapi sepasang mata serta caranya berdiri menyatakan dia
penuh waspada dan siap melakukan sesuatu jika orang berbuat jahat terhadapnya.
"Labodong, Pelawak Sinting dari Tanah Silam. Kau lupa padaku"
Mungkin terlalu sering dan banyak melihat uang. Matamu jadi lamur!"
"Astaga naga! Kau tahu nama dan julukanku! Siapa kau"!
Tunggu.... Aku ingat! Kau! Bukankah kau pemuda gondrong yang hampir aku
celakakan ke dalam lobang maut di Latanah Silam?"
"Ah, ternyata otakmu masih encer!"
"Namamu Wiro Sableng! Kau sahabat adikku Si Labudung!"
"Syukur kau masih ingat diriku Kek." Kata Wiro lalu melangkah mendekati si
pengamen dan memeluknya.
"Wiro, waktu di Latanahasilam kita berseteru. Apakah kemunculanmu untuk
membalaskan sakit hati di masa lalu" Aku terpesat ke tanah Jawa ini secara aneh.
Waktu Istana Kebahagiaan meledak..." (Mengenai kisah kakak beradik sepasang
Pelawak Sinting dapat pembaca ikuti dalam kisah petualangan Wiro Sableng di
Negeri Latanahsilam)
"Aku tahu, Kek. Itu cerita lama. Aku tak pernah mengingat-ingat lagi. Aku juga
tahu semua cerita dan kejadian hancurnya Istana Kebahagiaan milik Hantu Muka
Dua. Kek, sebenarnya aku telah melihatmu di tengah jalan. Aku mengejarmu sampai
ke sini. Aku mencarimu bukan karena segala urusan di masa lalu. Justru karena
ada urusan di masa sekarang. Aku berterima kasih. Kau telah menolong
menyelamatkan diriku, anak bernama Boma itu dan banyak orang lainnya di Candi
Borobudur sewaktu Pangeran Matahari melepas pukulan sakti membabi buta.
Labodong alias Si Pelawak Sinting, kakak dari Labudung yang menemui ajal di
tangan Pangeran Matahari tersenyum. Namun Wiro melihat, dibalik senyum dan semua
keceriaan kakek ini ada bayangan rasa kesedihan.
"Jadi kau tahu kalau aku ada di Candi. Bagaimana kau bisa tahu, anak muda?"
Wiro keluarkan robekan kertas, potongan bambu kecil serta patahan kayu. Benda
itu diperlihatkannya pada si kakek lalu dijatuhkan ke lantai.
"Semua itu adalah bagian dari payungmu yang hancur oleh pukulan Pangeran
Matahari." "Pangeran jahanam itu. Payungku dimusnahkan. Untung aku membekal beberapa
payung!" "Kek, aku akan ceritakan bagaimana diriku sampai berada di tempat ini. Tapi aku
ingin kau dulu yang menuturkan kisah hingga kau muncul dan jadi pengamen di
Candi Mendut ini."
"Panjang ceritanya. Tapi biar aku singkat-singkat saja. Kau sudah tahu kalau
adikku Si Pelawak Sinting yang asli menemui ajal dibunuh Pangeran Matahari?"
"Sudah, aku sudah tahu Kek. Mayatnya dikabarkan lenyap dicuri orang sewaktu
dibawa dengan ambulans ke rumah sakit."
"Aku yang mencuri mayat itu. Ku bawa ke satu tempat dan kulepas kembali ke alam
asalnya." "Kau lepas kembali ke alam asalnya" Jadi adikmu itu tidak dikubur?"
Si Pelawak Sinting Labodong tertawa.


Boma Gendeng 6 Tenda Biru Candi Mendut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mana tahu segala urusan kubur mengubur.
Kakakku bisa diselamatkan jenazahnya saja, rasanya sudah bersyukur. Wiro, aku
sudah beberapa hari berada di tempat ini. Aku tengah mengejar Pangeran Matahari,
pembunuh adikku. Sewaktu di Candi Borobudur aku menjajagi kekuatannya dengan
melemparkan payung ketika dia melepas pukulan sakti yang nyaris menghancurkan
Stupa dan dinding Candi. Payungku musnah tak jadi apa. Tapi aku merasakan bahwa
kekuatan tenaga dalamnya berada di atas tenaga dalam yang aku miliki. Sampai
saat ini dadaku terasa sakit. Untuk sementara aku menghindar ke tempat ini. Aku
punya dugaan, dia akan segera muncul di tempat ini."
Dari tadi. Wiro memperhatikan keadaan bahu dan tangan kiri si kakek seperti
senjang. Seolah ada yang mengganjal di bawah ketiaknya. Tadi orang tua ini
berkata dadanya sakit akibat bentrokan tenaga dalam dengan Pangeran Matahari di
Candi. Kalau dada yang sakit mengapa bahu kiri yang kelihatan seperti naik ke
atas" Diam-diam Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang. Di bawah ketiak kiri si
kakek dia melihat ada sebuah benda putih berbentuk antara bulat dan lonjong.
Sulit menduga benda apa itu adanya. Maka Wiro lantas bertanya. "Kek, apa kau
sedang bisulan di ketiak" Kulihat bahumu naik sebelah."
Pelawak Sinting terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia membatin. "Agaknya anak
ini tahu ada sesuatu aku sembunyikan di bawah ketiakku. " Mungkin dia ikutan
mencari benda ini."
"Aku tidak bisulan. Di ketiakku ada sebuah batu. Kusekap akan kujadikan benda
bertuah." Wiro tersenyum mendengar ucapan kakek itu.
"Kek, kau sudah tahu ada seorang anak perempuan disekap di dalam Stupa di Candi
Borobudur. Dengan ilmu kepandaianmu, apakah kau bisa menolong membebaskannya.
Atau paling tidak kau tahu cara untuk menyelamatkannya keluar dari dalam Stupa?"
"Aku kakek jelek dan tolol bisanya apa" Paling-paling cuma mengamen. Tapi soal
anak perempuan itu mengapa harus dipikir dan dikawatirkan?"
"Aku benar-benar terkejut mendengar ucapanmu Kek. Nyawa seorang anak perempuan
tak berdosa kau bilang tidak usah dipikirkan. Tak perlu dikawatirkan! Kek, anak
perempuan itu adalah sahabat seorang anak laki-laki bernama Boma. Guruku
menyuruh aku menjaga anak itu Kalau sahabatnya celaka berarti Boma juga akan
sengsara." "Jelas. Karena memang itu cara-cara licik Pangeran Matahari."
Kata Pelawak Sinting pula. "Kuharap kau kembali saja ke Candi.
Malam nanti anak perempuan itu akan diselamatkan."
"Oleh siapa?" tanya Wiro.
Pelawak Sinting menunjuk ke atas.
"Siapa yang kau tunjuk di atas?" tanya Wiro lagi.
"Tuhan! Tuhan Yang Maha Kuasa."
"Di Negeri Latanahsilam kau tidak mengenal Tuhan. Aneh..."
"Di Tanah Jawa ini aku mulai belajar mengenal Tuhan. Ada satu kebahagiaan di
lubuk hatiku kareria aku sudah mengenal Tuhan."
Wiro mengangguk-angguk lalu tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu ucapanmu memang ada baiknya aku kembali ke Candi."
"Tunggu, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan padamu.
Sewaktu adikku Labudung Si Pelawak Sinting yang asli hendak menghembuskan nafas
terakhir, dia meninggalkan beberapa pesan padaku. Satu diantaranya adalah
mewakili dirinya untuk mengawini seseorang. Rupanya semasa hidupnya saudaraku
itu telah mengikat janji untuk kawin dengan orang lain."
"Walau kau belum pernah melihat orang itu, jika berternu buruk atau jelek apakah
kau akan bersedia mengawininya?"
"Aku hanya menjalankan pesan saudaraku."
"Siapa orang yang hendak dikawini saudaramu itu yang kini akan kau wakili
mengawininya. Apakah saudaramu menyebut namanya?"
"Ya, memang ada. Menurut Labudung orang itu nenek bernama Sinto Gendeng...."
"Apa" Siapa"!" Kagetnya Wiro bukan kepalang. "Sinto Gendeng.
Perempuan itu, seorang nenek bernama Sinto Gendeng. Menurut Labudung ada lima
tusuk konde di atas kepalanya, lalu kalau tak salah nenek itu bau pesing..."
"Kek, kau tidak keliru nenek itu bernama Sinto Gendeng?" tanya Wiro.
Pelawak Sinting gelengkan kepala. "Itu nama yang aku dengar.
Itu yang aku katakan padamu. Eh, apa kau kenal dengan nenek bernama Sinto
Gendeng itu?" Wiro menggaruk kepala. Memandang ke atap warung. Dua bola matanya berputar.
Mulutnya bergumam. "Hemmm.... Aku belum pernah mendengar nama itu," kata Wiro kemudian.
"Anak muda, kita sekarang bersahabat. Tolong kau cari keterangan dimana adanya
nenek itu. Tapi jangan kabarnya disebar luas sembarangan. Kalau tidak disuruh
mewakili kawin, aku yang sudah tua bangka ini mana mau..."
"Kau belum tua Kek. Penampilanmu saja kulihat keren sekali.
Rambut dicat pirang. Gigi ditempel kertas timah. Kuping dan pusar dicanteli
anting. Pakai jaket dan celana blujins. Luar biasa!
Jangankan nenek, janda muda saja pasti naksir padamu!"
Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro juga tertawa terpingkal-pingkal.
Tapi tawanya adalah tawa karena mengetahui si kakek ingin kawin dengan gurunya.
Dan si kakek bertanya pada dia, murid si nenek sendiri!
"Kek, benda apa yang kau gantung di leher itu?" Wiro bertanya.
"Namanya harmonika. Kalau ditiup walah! Suaranya merdu sekali. Lagu apa saja
bisa dinyanyikan dengan harmonika ini."
Wiro manggut-manggut lalu sambil senyum dia bertanya lagi.
"Kek, selain di kuping dan di pusar, dimana lagi yang kau pasangi anting?"
"Aahhh! Aku tahu maksud pertanyaanmu! Ha..ha...ha! Kalau kau mau, biar kau
duluan kupasangi anting di barang antikmu. Mau?" Si kakek kembali tertawa
bergelak. Wiro menyingkapkan terpal biru penutup bagian depan warung.
Mendadak langkahnya tersurut kembali. Dia melihat ada beberapa petugas Polisi
bersama orang tua yang motornya dibawa lari.
"Ada apa?" tanya Pelawak Sinting.
"Isopol." "Isopol?" Si kakek mengintip keluar. "Polisi! Bukan Isopol."
"Kalau dibalik'kan Polisi juga. Sama saja Kek!"
"Geblek! Kenapa takut sama polisi?"
"Soalnya waktu mengejarmu ke sini aku minjam motor orang."
"Minjam atau ngerampas?"
"Ya, kira-kira gitu. Motornya tadi aku tinggalin di tengah jalan bersama anak
muda yang menolong aku mengemudikan
kendaraan itu. Aku berhutang lima ribu perak padanya. Sekarang kalau aku keluar
dari tempat ini bisa-bisa ketahuan."
"Sudah, jangan takut. Aku keluar ngamen, menarik perhatian mereka. Begitu mereka
lengkah kau molos ya?"
"Oke." "Oke" Bahasa apa itu?"
Wiro tersenyum. "Nggak ngerti Kek. Aku dengar orang-orang suka berkata begitu.
Aku cuma niru saja."
Si kakek tertawa lebar lalu keluar dari dalam warung. Tak lama kemudian
terdengar suaranya menyanyikan lagu Kopi Dangdut.
Orang banyak mulai berkumpul. Anak-anak kecil pada berjoget.
Para petugas Kepolisian untuk beberapa saat lamanya ikut menyaksikan tingkah si
kakek. Diam-diam Wiro menyusup
meninggalkan warung.
Tak lama setelah Wiro pergi dan semua anggota Polisi
meninggalkan halaman Candi Mendut, Si Pelawak Sinting kembali ke warung,
berkemas-kemas. Malam ini sesuai pesan dia harus menemui seseorang di Jogja.
Benda yang telah dua hari dikepitnya di ketiak harus diserahkan pada orang itu.
Seorang anak lelaki jangkung, berambut cepak bernama Boma. Kawan satu sekolah
dari anak perempuan yang saat itu disekap di dalam Stupa. Seperti diceritakan
sebelumnya benda di ketiak si kakek adalah sebuah telur ayam yang menurut Ki
Tunggul Sekati mampu menolong Dwita keluar dari dalam Stupa.
TAMAT IKUTI EPISODE BERIKUTNYA : BONEK CANDI SEWU
Apakah Dwita Tifani dapat dikeluarkan dari dalam Stupa" Atau Boma dengan nekad
mendongkrak jebol batu Stupa di dalam mana anak perempuan itu disekap"
Bagaimana mungkin sebuah telur ayam kampung mampu
membebaskan Dwita Tifani"
SIMAK SALAH SATU BAGIAN DARI
EPISODE BONEK CANDI SEWU
Di kejauhan suara lolongan anjing seperti setan meratap membuat semua orang yang
mengelilingi Stupa Archa Amoghasidi jadi dingin dan mengkirik kuduk masing-
masing. Tiba-tiba tiga buah lampu patromak yang ada di teinpat itu padam seperti ditiup
hantu. Suasana jadi gelap gulita. Apa lagi di langit tidak kelihatan bulan tidak
tampak bintang. Anak-anak perempuan berpekikan.
"Semua tenang! Jangan ada yang bergerak! Tetap ditempat!"
Teriak Serda Sujiwo.
Boma merasa ada hawa aneh keluar dari batu Candi yang
didudukinya. "Ron, lu ngerasain sesuatu nggak?"
"Sesuatu apa?" balik bertanya Ronny.
"Batu Candi yang gue dudukin, kok mendadak terasa panas."
"Mungkin lu pengen beol kali'. Atau lagi nahanin kentut!"
"Gue nggak becanda Ron. Badan gue ampe ngeluarin keringat.
Liat Ron, ada yang melayang di depan sana!" Ronny Celepuk memandang ke depan.
"Gue nggak ngeliat apa-apa Bom." Ronny berpaling pada Allan yang duduk di
sebelahnya. "Lu ngeliat yang dibilang Boma?"
"Nggak." "Jam berapa sekarang?" tanya Boma.
Vino melihat ke arlojinya. Cukup susah melihat dalam gelap.
Untungnya jarum dan angka-angka arloji dilapisi rodium hingga masih bisa
kelihatan. "Jam dua belas kurang dua menit," kata Vino.
Boma melirik ke arah telur ayam yang ada di dalam lobang Stupa.
Kaki Tiga Menjangan 36 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Setan Harpa 3
^