Dedemit Rimba Dandaka 1
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka Bagian 1
Dia datang sebagai seorang pendekar.
Dia aneh dan bertindak
seperti orang yang linglung.
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG.
Pendekar sakti yang digembleng
oleh lima orang tokoh aneh.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel SATU ADIPATI PURWATA tercenung menatap ke arah
hutan rimba belantara di lereng bukit di mana dia berdiri di atas kuda
tunggangannya. Itulah Rimba Dandaka, hutan belantara yang
dinyatakan terlarang dan tak boleh dimasuki. Perintah itu datang dari Baginda
Raja sejak delapan belas tahun yang lalu.
Adipati Purwata memegang jabatan sebagai Adi-
pati baru berkisar antara lima tahun. Kerajaan GIRI BRATA selama itu tak
menampakkan adanya
kegoncangan, baik di luar maupun didalam Kota
Raja. Selama ini hubungan dengan Kerajaan Mataram tetap membaik. Sebagai
kerajaan kecil yang berdiri dibawah naungan Kerajaan Mataram yang
besar, memang tak perlu merasa khawatir adanya kerusuhan dan pemberontakan dari
luar, karena bila terjadi sesuatu tentu pihak Kerajaan Mataram akan membantu menyelesaikan
kerusuhan. Namun hal itu selama Kerajaan Giri Brata ma-
sih mematuhi peraturan yang berlaku dan dite-
tapkan oleh pihak Mataram. Dan tentu saja pengiriman upeti setiap tahun harus
diberikan sebagai salah satu dari peraturan yang telah ditetapkan.
Pada tahun-tahun permulaan tampaknya pera-
turan itu tak menjadi masalah. Bahkan sejak berjalan sampai enam belas tahun tak
ada kejadian apa-apa. Namun sejak dua tahun terakhir ini terjadi kemacetan.
Pengiriman upeti telah dua kali tak sampai ke Mataram.
Pada pengiriman pertama barang upeti dilapor-
kan lenyap ketika para prajurit pengawal beristirahat disebuah tempat dekat kota
Ungaran. Hal itu dilaporkan oleh Tumenggung PRAGOLA yang ber-tugas menyampaikan
upeti ke Kerajaan Mataram.
Peristiwa itu diusut sampai tuntas. Dalam per-
sidangan luar biasa yang diadakan di Istana Tumenggung Pragola menolak tuduhan
bahwa dia sengaja menyelewengkan upeti, dan menyogok pa-
ra prajurit pengawal untuk menutup mulut.
Namun akhirnya tuduhan itu dibebaskan, ka-
rena tak ada bukti kuat bahwa Tumenggung Pra-
gola menyelewengkan upeti. Itupun setelah diadakan pemeriksaan secara ketat dan
teliti. Peristiwa kedua adalah ketika pengiriman upeti dikepalai oleh Tumenggung Jaga
Ludira. Ketika melintas disisi hutan Dandaka, rombongan telah dicegat oleh sesosok makhluk
berbulu yang merampas upeti, dan menewaskan belasan prajurit.
Tumenggung Jaga Ludira berhasil menyelamatkan
nyawanya dengan luka parah. Lalu melaporkan
kejadian itu pada Baginda Raja.
Hal itulah yang membuat Adipati Purwata harus
menyelidiki rimba angker itu yang telah dinyatakan oleh Baginda Raja sebagai
wilayah terlarang untuk dimasuki. Karena makhluk berbulu yang telah membunuh
belasan prajurit dan merampas
upeti itu menghilang di rimba Dandaka.
Dari atas bukit dia memandang ke bawah, meli-
hat betapa luasnya hutan rimba belantara itu. Ra-sa penasarannya untuk mencari
jejak makhluk aneh yang telah merampas upeti semakin menjadi-
jadi. Sayang keinginannya terbentur oleh undang-
undang yang telah ditetapkan oleh Baginda Raja yang melarang memasuki wilayah
hutan itu. "Haih! Kalau hal ini berlangsung terus menerus, akan membahayakan keadaan
Kerajaan. Karena
telah dua kali pihak Kerajaan Mataram menagih
upeti. Mengapa sang Prabu tak mau melaporkan
kejadian sebenarnya pada pihak Kerajaan Mata-
ram?" menggumam Adipati Purwata.
Matanya kembali menatap ke bawah bukit di-
mana terbentang hutan rimba yang misterius itu.
"Hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja! Aku harus mengungkap rahasia Rimba
Dandaka, dan menyelidiki benarkah ada makhluk aneh yang telah merampas upeti"
Sebangsa manusia atau dedemitkah si perampas upeti itu?" berkata dalam hati sang
Adipati. Setelah menghela napas beberapa saat kemu-
dian laki-laki abdi Kerajaan ini keprak kudanya untuk menuruni bukit.
Sementara hatinya masih diganduli kemelut.
Kabut hitam seperti terbentang didepan mata. Masalah ini memang sangat rumit,
entah bagaimana dia harus memecahkannya.
Baru saja Adipati muda ini tiba dibawah bukit, mendadak dari jauh terlihat
seekor kuda berpe-nunggang berlari cepat mendatangi dari arah depan. Dia
kerutkan kening dan agak menahan ku-
danya. Ketika semakin dekat, segera dia mengenali siapa sipenunggang kuda
tersebut. Ternyata seorang gadis berpakaian serba putih.
Sepintas mirip seorang laki-laki karena dara ini menggulung rambutnya
menyembunyikan dalam
kain ikat kepala.
Melihat yang datang adalah adik perempuan-
nya, Adipati Purwata tertegun. Gadis cantik yang gagah dan cekatan itu menahan
kuda dan berhenti dihadapannya.
"Ada apa PURWANTI.." mengapa kau menyu-
sulku?" sentaknya terkejut.
"Ada surat dari Senopati GENDOLA. Maaf, ter-
paksa aku menyusulmu, karena tampaknya surat
ini penting sekali isinya..." sahut si gadis dengan napas agak memburu.
"Surat dari Senopati Gendola?" Adipati muda ini kerutkan keningnya.
"Benar, kakang Adipati. Ini suratnya!" sahut
Purwanti seraya memberikan sebuah lipatan ker-
tas pada sang kakak.
Adipati Purwata cepat menerimanya. Tapi sebe-
lum membuka lipatan kertas Adipati ini ajukan
pertanyaan. "Dari mana kau mengetahui aku kemari?"
Gadis ini tersenyum seraya memutar kuda.
"Hihi.. mudah saja! Bukankah kakang Adipati
pernah bilang padaku bahwa kakang merasa aneh
dengan adanya undang-undang yang telah dite-
tapkan Baginda Prabu mengenai larangan mema-
suki Rimba Dandaka. Apalagi setelah adanya kejadian belum lama ini mengenai
dirampasnya upeti oleh sesosok makhluk aneh yang menghilang dihutan itu dan
membawa korban kematian belasan
prajurit. Karena aku tak menjumpai kakang Adipa-
ti digedung Kadipaten, aku berpendapat pasti kakang menuju ke tempat ini.
Dugaanku ternyata tepat!" sahut gadis ini.
"Perlu kakang Adipati ketahui, akupun pernah
kemari, keatas bukit itu, memperhatikan rimba belantara larangan yang penuh
rahasia aneh. Seperti juga kakang, akupun penasaran untuk menyusup
kehutan larangan itu untuk menyelidiki keanehan itu!" sambung Purwanti.
"Purwanti! Jangan bertindak sembarangan! Kau
tak boleh ikut campur dalam urusan ini. Tak boleh....!" bentak Adipati Purwata
terkejut, karena tak menyangka adik perempuannya telah sering
kemari, bahkan berniat menyelidiki Rimba Danda-ka. Akan tetapi gadis ini cuma
tersenyum menanggapi kata-kata kakaknya.
"Ingatlah kakang, aku adalah seorang kepala
Prajurit dibarisan lasykar gusti Senopati. Urusan ini bukan cuma urusan kakang
Adipati saja, tapi urusan kita sebagai hamba Kerajaan. Kakang tak perlu khawatir
dengan diriku. Aku dapat menjaga diri sendiri. Walau bukan sekarang saatnya,
tapi aku penasaran kalau belum dapat membekuk
makhluk aneh Rimba Dandaka dan mengirim ke-
palanya kehadapan Baginda Prabu..!" berkata
Purwanti dengan sikap gagah.
Adipati Purwata cuma tercenung. Bahkan ketika
gadis itu membedal kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu, dia masih
termangu-mangu diatas kudanya. Dia tahu watak keras adik perempuannya yang masih
satu perguruan dengan dia. Apa
yang dikatakan Purwanti memang benar. Keka-
cauan dalam Kerajaan bukan urusan perseoran-
gan. Setiap hamba Kerajaan harus memikirkan-
nya. Dan siapapun berhak membuat keputusan
bila keadaan mengancam Kota Raja.
Mendadak dia teringat pada surat dari Senopati Gendola yang masih tergenggam
ditangannya. Cepat-cepat dia membuka lipatan kertas, lalu mem-bacanya. Isi surat
itu singkat yang mengatakan agar dia segera menghadap Senopati Gendola malam
ini. "Hm, apakah yang akan dirundingkan Senopati
Gendola padaku" Tampaknya penting sekali..."
menggumam Adipati ini.
Setelah termenung sejenak, Adipati Purwata
menyimpan lipatan kertas itu kebalik pakaian.
Kemudian segera membedal kuda dengan cepat
meninggalkan tempat itu. Saat itu senja telah tiba.
Adipati Purwata mengambil keputusan tak kembali ke Kadipaten dulu, tapi langsung
menemui Senopati Gendola ditempat yang telah ditentukan...
*** DUA SENOPATI Gendola adalah seorang laki-laki be-
rusia kurang lebih empat puluh tahun lebih. Ber-perawakan kekar dengan wajah
lebar, berkumis
tebal serta cambang bauk lebat. Sikapnya tampak tegas dan berwibawa sesuai
dengan jabatan yang disandangnya sebagai kepala pasukan di Kota Ra-
ja. Tampaknya dia seperti tak sabar menanti kedatangan orang yang sedang
dinantikannya, yaitu
Adipati Purwata. Sebentar-sebentar dia bangkit da-ri kursinya. Memandang keluar
pondok Empu Ba-
dar yang cuma diterangi cahaya lentera redup.
Sementara sang Empu yang dipercayakan seba-
gai orang yang ahli membuat senjata-senjata itu baru selesai membuat kopi. Laki-
laki ini beranjak dari ruang dapur membawa baki berisi tiga gelas air kopi. Lalu
menghidangkan dimeja yang ada dihadapan Senopati.
"Hm, belum juga datang sudah selarut ini, apa-
kah Purwanti tak menjumpai Adipati Purwata di-
gedungnya" Maksudku apakah dia sedang ke-
luar...?" berkata Senopati ini.
"Sabarlah, gusti Senopati. Mungkin tak lama la-gi gusti Adipati pasti tiba..."
sahut Empu Badar tersenyum, seraya mempersilahkan untuk menci-cipi kopi
seduhannya. Baru saja Empu Badar menindakkan kaki un-
tuk melangkah kedapur menyimpan baki, menda-
dak lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
Empu Badar tersenyum. Senopati Gendola
bangkit berdiri dengan pandangan mata menatap
keluar pondok. Benar saja. Adipati Purwata tampak melompat
turun dari atas kuda. Setelah menambatkan binatang tunggangannya disisi pondok,
segera beranjak melangkah memasuki pondok Empu tersebut.
"Ah, tampaknya paman Senopati sudah lama
menunggu..." berkata Adipati Purwata seraya men-
jura dihadapan laki-laki itu.
"Tak terlalu lama adik Adipati. Silahkan du-
duk...!" sahut Senopati mempersilahkan Adipati Purwata dengan tersenyum.
Setelah mereka duduk berhadapan dan sesaat
setelah Adipati Purwata beristirahat sambil meng-hirup kopi yang telah
disungguhkan, maka Seno-
pati Gendola membuka pembicaraan.
"Sebenarnya hal yang akan kubicarakan ini su-
dah bukan rahasia lagi adik Adipati. Tapi, karena masalah ini adalah diluar
tugas Kerajaan, maka sengaja aku mengadakan pertemuan di rumah
Empu Badar..."
Adipati Purwata manggut-manggut, walau dia
memang belum paham dengan apa yang akan di-
bicarakan sang Senopati.
Setelah menghela napas sejenak, Senopati me-
neruskan kata-katanya.
"Sebagaimana kau ketahui peristiwa upeti yang
telah dua kali mengalami kegagalan dalam pengi-ringan ke Mataram, maka
perundingan yang akan
kita adakan adalah mengenai masalah itu..." kata Senopati.
"Bagaimana rencana paman Senopati dalam
membahas masalah yang mengkhawatirkan itu?"
tukas Adipati dengan penuh perhatian.
"Yah! hal ini memang diluar tugas dari sang
Prabu, akan tetapi demi kepentingan Kerajaan, ki-ta harus melakukan tindakan
atau upaya demi
mencegah hal-hal yang akan membahayakan bagi
pihak Kerajaan.
Walau bagaimana kita harus mengusut lenyap-
nya upeti-upeti itu. Peristiwa aneh yang dialami Tumenggung Jaga Ludira yang
telah menewaskan
belasan prajurit tak dapat dipeti matikan begitu saja. Hal ini harus diselidiki.
Terutama mengenai makhluk aneh yang merampas upeti dan lenyap di Rimba Dandaka!"
"Benar paman Senopati ! Akupun sudah meren-
canakan matang-matang untuk menyelidiki rimba
larangan itu!" kata Adipati Purwata.
"Bagus! aku sudah mengambil keputusan un-
tuk menyelidiki Rimba Dandaka besok pagi. Kita berangkat berdua. Pertemuan kita
adakan diatas bukit sebelah utara, tempat yang biasa kau kun-jungi. Ingat!
Kepergian kita harus dirahasiakan, dan kukira lebih bagus memakai pakaian biasa
sa-ja. Nah, kukira cukup perundingan kita..."
Pertemuan singkat itu tak berlangsung lama,
Setelah menghabiskan kopinya, Senopati libatkan jubahnya, lalu mohon diri untuk
pulang terlebih dulu. Empu Badar manggutkan kepala dan men-gantar sang Senopati
sampai kepintu. Tak lama
menyusul Adipati Purwata mohon diri pada empu
tua tersebut. Tak menunggu terlalu lama Adipati ini segera membedal kuda dengan
cepat untuk kembali ke Kadipaten.
Sepeninggal kedua pembesar Kerajaan itu Em-
pu Badar segera meniup pelita kecil didepan pondok, lalu menutup pintu
pondoknya. Rumah laki-
laki tua itupun kembali sunyi...
*** TIGA
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang pemuda berambut gondrong berbaju
putih dari kain kasar berjalan dengan bersiul-siul dijalan setapak. Siapa adanya
pemuda ini tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.
Nanjar berharap dapat menemukan sebuah de-
sa dengan mengikuti jalan setapak yang penuh belukar itu. Akan tetapi semakin
jauh jalan yang di-ikutinya semakin hilang, dan tak ketahuan lagi kemana
arahnya. Kini dihadapannya adalah sebuah hutan lebat.
"Haih!" Aku telah salah arah! Jalan setapak ini hilang sampai diujung sini..."
Nanjar tercenung beberapa saat. Sementara matanya menjalari keadaan hutan rimba
dihadapannya. Mendadak pendengaran si Dewa Linglung yang
sang peka ini menangkap suara desah dari arah
semak belukar. "Hm, apakah dibalik semak itu ada seekor bina-
tang buas?" pikirnya seraya menjumput sebuah
ranting. Lalu dilemparkan kearah semak dihada-
pannya. Mendadak sesosok bayangan kuning ber-
kelebat melompat dari semak tersebut. Gerakan-
nya cepat sekali. Sebentar saja lenyap dikerimbunan pepohonan.
"Heh! manusia atau hantu..." sentak Nanjar terkejut.
Dia agak ragu-ragu untuk mengejar. Setelah
merenung sesaat, akhirnya Nanjar mengambil ke-
putusan. "Akan kucoba memasuki hutan ini. Kuingin ta-
hu siapakah sosok bayangan kuning itu " Kalau
ada hantu disiang bolong begini ingin kutahu bagaimana ujudnya..." berkata
Nanjar dalam hati.
Setelah mengambil keputusan si Dewa Linglung
segera menyusup masuk kedalam hutan itu. Se-
lain mempertajam pendengarannya, Nanjar juga
telah siap menghadapi berbagai kemungkinan bila terjadi sesuatu.
Semakin masuk menyusup ke tengah hutan,
Nanjar semakin waspada. Mendadak telinganya
mendengar suara tertawa berderai yang tak ketahuan dari mana arahnya. Seolah
suara itu da- tangnya dari berbagai tempat.
Dewa Linglung tersentak, karena suara itu san-
gat mempengaruhi dirinya. Tahulah dia kalau sua-ra itu mengandung suatu tenaga
dalam. Telin- ganya terasa sakit oleh suara yang nyaring itu seperti memukul-mukul gendang
telinganya. "Hm, rupanya hutan ini berpenghuni orang-
orang berilmu tinggi, yang sengaja menjajal diriku..." Berkata Nanjar dalam
hati. Kemudian merogoh seruling yang terselip di pinggang dibalik bajunya.
Ketika benda itu ditempelkan ke bibirnya maka
membersitlah suara melengking yang membuyar-
kan pengaruh kekuatan tenaga dalam lawan.
Suara tertawa itu mendadak lenyap, dan ber-
ganti dengan suara bentakan keras yang mengge-
tarkan udara. "Bocah lancang! Kau rupanya punya andalan
juga, hingga berani memasuki hutan larangan ini!
Siapakah kau sebenarnya?"
Suara bentakan itu disusul dengan berkelebat-
nya sesosok tubuh dari atas pohon besar.
Nanjar menatap tajam orang ini. Ternyata seo-
rang laki-laki tua bertubuh kurus memakai sorban warna hitam. Bajunya berwarna
hijau gelap, hingga pantaslah kalau Nanjar tak melihatnya ketika orang itu
bersembunyi diatas pohon.
"Hm, namaku Nanjar! Aku tak sengaja mema-
suki hutan ini. Tadi aku melihat sesosok bayangan kuning, dan kini yang muncul
adalah kau orang
tua baju hijau. Apakah aku boleh mengetahui pula siapa dirimu?" sahut Nanjar
balik bertanya.
"Haha...heheh...bayangan kuning yang kau lihat itu adalah muridku, dia seorang
gadis cantik. Tapi kau telah melemparnya dengan ranting kayu. Aku Kala Bajra
penjaga hutan larangan ini!" sahut laki-laki tua bersorban hitam ini.
Nanjar terhenyak sesaat. Kemudian selipkan se-
rulingnya kebalik baju, seraya berkata.
"Ah, aku sungguh tak mengetahui... aku mengi-
ra seekor binatang buas yang mau menerkamku!"
Sementara dalam hati diam-diam Nanjar terkejut, karena jelaslah dalam hutan ini
terdapat orang-orang persilatan yang berilmu tinggi. Di lain pihak diam-diam
laki-laki tua bersorban itupun memperhatikan dirinya. Sesaat kemudian Kala Bajra
perdengarkan suara suitan macam suara burung.
Mendadak dari arah semak belukar disamping
Nanjar berkelebat sesosok bayangan kuning. Mata Nanjar jadi membelalak lebar
menatap tajam-tajam. Kini jelaslah makhluk yang merupakan
bayangan kuning itu.
Apa yang dikatakan laki-laki tua itu memang
benar. Seorang gadis berwajah bulat telur dengan sepasang mata bulat berbulu
mata lentik mengenakan baju berwarna kuning, tampak telah berdiri dihadapannya.
Di pinggang gadis ini terselip sebuah pedang pendek. Walaupun berpakaian mirip
laki-laki dengan menyembunyikan rambutnya da-
lam ikat kepala, namun Nanjar dapat menerkanya kalau dia seorang gadis. Apalagi
laki-laki tua bernama Kala Bajra itu telah mengatakan sebelum-
nya. "Ah, inikah muridmu, sobat Kala Bajra yang ku-
sangka binatang buas itu...?" sentak Nanjar.
"Benar...! Sengaja aku menyuruhnya memun-
culkan diri, karena aku percaya kau telah berkata jujur!" sahut Kala Bajra.
Tahulah Nanjar kalau kedua orang itu tak ber-
maksud jahat atau berniat bermusuhan dengan
dia. Segera dia menjura pada laki-laki tua dan gadis murid si Kala Bajra
tersebut. "Ah... ada apakah sebenarnya dengan semua
ini..." Aku sungguh-sungguh tak mengerti".
"Hm, kau ikutlah aku...!" berkata Kala Bajra, seraya memberi isyarat pada
Nanjar. Sementara gadis itu dengan cepat telah melompat mendekati la-ki-laki tua
itu. Kala Bajra berjalan cepat didepan diikuti gadis muridnya. Nanjar dengan hati
penasaran mengikuti di belakang mereka.
Setelah melalui jalan yang berliku-liku, di belakang sebuah bukit Kala Bajra
memasuki sebuah
lorong goa tersembunyi tertutup belukar.
Tak lama kemudian mereka telah duduk saling
berhadapan. "Sebenarnya aku adalah Senopati Gendola dari
Kerajaan Giri Brata. Dan gadis ini adalah adik Adipati Purwata, bernama
Purwanti..." Nanjar yang sejak tadi sering melirik gadis itu segera mengangguk
dengan tersenyum, tapi juga terkejut mendengar penjelasan laki-laki tua itu.
"Jadi sebenarnya anda berdua dalam penyama-
ran?" tanya Nanjar.
"Benar sekali, sobat Nanjar. Kami tengah me-
nyelidiki rahasia Rimba Dandaka yang terlarang untuk dimasuki dan mendapat
larangan keras dari Baginda Raja bagi setiap orang Kerajaan, baik
memasuki atau menyelidiki...! Kami terpaksa menyamar untuk melakukan
penyelidikan. Kami ber-
harap dapat menemukan rahasia selama delapan
belas tahun itu. Selama lebih dari sepekan ini ka-mi tak menemukan tanda-tanda
yang mencuriga-
kan. Akan tetapi rekan kami Adipati Purwata telah menghilang entah kemana. Aku
tak mengetahui apakah yang telah terjadi pada dirinya..." Kala Bajra alias Senopati Gendola
menjelaskan. Sementa-ra si gadis sejak tadi tak bicara apa-apa.
Sejenak Nanjar tercenung. Sejak mendengar ce-
rita Senopati Gendola dari pertama kali mengenai adanya berita munculnya makhluk
aneh berbulu yang merampas upeti bagi Kerajaan Mataram,
Nanjar merasa sangat penasaran untuk menyelidi-ki. Tentu saja lenyapnya Adipati
Purwata membuat dia lebih terkejut. Berarti telah bertambah lagi ke-
melut yang melanda pihak Kerajaan.
"Apakah lebih baik diselidiki dulu, apakah Adipati Purwata telah pulang terlebih
dulu kembali ke Kota Raja?" Nanjar menukas.
Senopati Gendola menggeleng. "Rasanya tak
mungkin. Kami memang melakukan penyelidikan
secara berpencar, dan harus kembali ditempat
yang telah ditentukan. Tapi lebih dari satu hari Adipati Purwata tak muncul.
Hingga kami terpaksa mencarinya. Namun sampai saat ini kami tak menemukan
jejaknya..." sahut lak-laki tua bertubuh kekar ini.
"Hm, urusan ini tak bisa aku berpeluk tangan.
Walau kalian tak meminta pertolonganku, aku
akan berusaha menyelidiki hutan ini dan mencari jejak Adipati Purwata!"
"Kau akan pergi sendiri..." Apakah tak sebaik-
nya kita pergi bertiga. Tapi... hem, kukira cukup berdua saja! Dan kau....
Purwanti, lebih baik kau menanti disini sampai kami kembali!" kata Senopati
Gendola. "Biarlah aku pergi sendiri saja!" potong Nanjar seraya berdiri dan melangkah
keluar goa. "Paman Senopati! Aku akan turut menema-
ninya. Adipati Purwata adalah kakakku. Aku akan berusaha mencari jejaknya, atau
menemukan mayatnya!" Gadis yang sejak tadi tak bersuara itu tiba-tiba berkata seraya
melompat berdiri.
Senopati Gendola baru saja mengangakan mu-
lutnya untuk menyahut, tapi saat itu si gadis telah berkelebat menyusul Nanjar
yang telah berkelebat terlebih dulu. Dia memang tak ingin ditemani sia-
pa-siapa, karena Nanjar berpendapat lebih leluasa bergerak.
Laki-laki tua abdi Kerajaan ini tadinya mau bergerak mengejar untuk turut
mengikuti mereka.
Tapi segera mengurungkan niatnya seraya meng-
hela napas. "Oh... apakah yang harus kuperbuat" Aku su-
dah terlanjur melanggar peraturan yang dikeluarkan sang Prabu..."
Senopati Gendola jatuhkan pantatnya keatas
batu, dan duduk termangu-mangu. Namun akhir-
nya bangkit berdiri.
"Hm, aku percaya anak muda itu seorang pen-
dekar gagah dan berhati bersih. Kejujuran tampak terlihat pada sinar matanya.
Biarlah aku melacak jejak Adipati Purwata kearah lain..."
Setelah mengambil keputusan, Senopati Gendo-
la segera berkelebat meninggalkan goa tersem-
bunyi itu... *** EMPAT SOBAT Nanjar....! tunggu !"
Teriakan gadis ini membuat Nanjar menahan
gerakan kakinya. Lalu menoleh ke belakang. Dari balik-balik batang pohon di
kejauhan segera terlihat bayangan kuning berkelebat lincah bagaikan seekor
kijang, gadis bernama Purwanti itu menyu-sulnya.
"He" mengapa kau tak turut perintah paman
Senopati Gendola?" tanya Nanjar menatap gadis
yang sudah berdiri dihadapannya.
"Aku akan pergi mencari bersamamu, apakah
kau keberatan?" tanya si gadis. Nanjar tersenyum seraya menjawab.
"Sama sekali tidak! Kau punya ilmu meringan-
kan tubuh yang sempurna siapakah gurumu?"
"Apakah perlu aku mengatakannya?"
"Sesukamulah...! Tidakpun tak mengapa" sahut
Nanjar dengan tertawa.
"Hm, kau terlalu memuji. Apakah kau selalu
memuji pada setiap gadis?" bertanya Purwanti.
"Adakalanya ya, tapi ada kalanya tidak!" me-
nyahut si Dewa Linglung dengan garuk-garuk
tengkuknya. Sementara diam-diam dalam hati
Nanjar berkata. "Gadis aneh! kalau aku bertanya, dibalasnya dengan pertanyaan
pula" Gadis ini mendehem seraya melangkah mengi-
kuti Nanjar. "Kemana arah yang akan kita tuju?" tanyanya
tanpa memalingkan wajahnya kearah Nanjar.
"Kira-kira kemana arah yang cocok menurut
pendapatmu?" kini Nanjar yang balik bertanya.
Purwanti terdiam sesaat.
"Aku telah memutari sekitar hutan ini lebih dari tiga kali, tapi tak ada tanda-
tanda mencurigakan.
Diujung sebelah sana ada sebuah bukit, dan di-
balik bukit itu masih terdapat hutan lagi yang lebih lebat. Kami mencobanya
mencari kesana..."
kata si gadis. "Kalau begitu kita menuju kesana. Siapa tahu
kita menemukan tanda-tanda kakakmu tersesat
dihutan itu..." sahut Nanjar. Gadis ini mengang-
guk. "Baiklah! aku setuju!"
Tak lama keduanya telah berjalan cepat, terka-
dang melompati semak belukar. Gerakan kedua-
nya sepintas bagaikan dua bayangan putih dan
kuning yang bergerak cepat dan lincah merambas hutan belantara.
Selang tak berapa lama keduanya telah berada
diatas bukit. Nanjar sengaja berhenti untuk menyelidiki sekitar bukit itu, serta
memberi kesempatan gadis itu mengatur napas.
Purwanti memang tampak lelah, karena telah
beberapa hari melacak jejak kakaknya yang lenyap tak tentu rimbanya.
Ketika Nanjar tengah memperhatikan sekitar
bukit, tiba-tiba telinganya mendengar suara jeritan gadis itu. Alangkah
terkejutnya ketika menoleh dilihatnya Purwanti berada dalam cengkeraman se-
sosok makhluk hitam berbulu seperti seekor kera besar. Jeritan gadis itu
terhenti, tampaknya dia tak berdaya melepaskan diri dari lengan kekar
makhluk itu. Nanjar belalakkan mata terperangah. Tapi sege-
ra melompat disertai bentakan keras.
"Keparat! Lepaskan dia!"
Mendadak makhluk itu kibaskan lengannya.
Tahu-tahu serangkum angin keras menyambar
kearah Nanjar. Karena saat itu Nanjar tengah melakukan lompatan di udara, hal
itu membuat dia tersentak kaget. Namun dengan cepat Nanjar si-langkan lengannya
melindungi diri dari serangan.
"BUK! Satu benturan keras membuat tubuh si Dewa
Linglung terlempar. Jelas angin pukulan makhluk itu mengandung kekuatan tenaga
sangat besar. Untunglah Nanjar telah sempat melindungi diri, dan gunakan salto hingga ketika
menyentuh tanah dengan kaki terlebih dulu.
Tapi akibat dari serangan itu, Nanjar telah kehilangan jejak. Makhluk itu lenyap
tak ketahuan kemana berkelebatnya. Nanjar berkelebatan kesa-na-kemari mencari dimana adanya
makhluk itu, merambas semak belukar memasuki hutan di ba-
wah bukit tersebut. Namun makhluk berbulu itu
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hilang lenyap. "Gila! Kemana perginya makhluk itu" Ah, cela-
ka! Aku harus menemukannya. Purwanti.... haih!
alangkah lambannya aku dan kurang waspada,
hingga tak kuketahui munculnya makhluk itu..."
Nanjar memaki dirinya sendiri.
Sementara itu Purwanti merasakan tengkuknya
seperti di totok, lalu tubuhnya terkulai, dan dia tak ingat apa-apa lagi karena
saat itu juga dia tak sadarkan diri. Kemana gerangan makhluk aneh ber-
bulu mirip seekor kera ini melarikan gadis itu"
Ternyata di dalam hutan itu terdapat banyak jalan rahasia. Makhluk itu lenyap
tak terlihat oleh Nanjar karena telah memasuki sebuah lorong tertutup semak
belukar. Dalam lorong gelap itu ternyata mata si mak-
hluk aneh mampu melihat jalan. Tampak sepasang matanya memancarkan cahaya merah.
Lorong itu ternyata berliku-liku. Tapi tak lama di bagian depan terlihat cahaya terang.
Itulah rupanya ujung terowongan. Dalam waktu tak berapa lama mak-
hluk ini telah sampai ditempat terbuka.
Ternyata dihadapannya adalah sebuah tempat
rahasia yang tersembunyi. Dikelilingi batu bukit tampak sebuah pelataran
berumput hijau dan bersih. Ditempat ini terdapat sebuah bangunan berbentuk
pesanggrahan tua. Tiang-tiangnya dari
kayu jati dan penuh ukiran indah.
Dari dalam pesanggrahan itu terdengar suara
tertawa terkekeh diiringi munculnya sesosok tubuh berjubah merah. Ternyata
seorang nenek tua berwajah keriput. Ditangannya tercekal sebuah
tongkat yang di bagian ujung menyerupai tanduk rusa.
"Bagus! Kau telah berhasil menawan gadis itu.
Bawa masuk, dan masukkan dalam kerangkeng!"
berkata nenek tua ini.
Sosok makhluk berbulu ini bertubuh tegap. Se-
luruh tubuhnya dipenuhi dengan bulu hitam lebat dan kasar. Wajahnya menyerupai
manusia biasa namun penuh cambang bauk dan bulu-bulu yang
lebat, dan tak mengenakan pakaian kecuali sehelai cawat yang menutupi auratnya.
Mendengar perintah itu, makhluk ini mengang-
guk, lalu berjalan cepat kearah samping pe-
sanggrahan. Lalu memasuki sebuah pintu berukir di bagian paling kiri. Sementara
si nenek berjubah merah itu kembali lenyap memasuki pesanggrahan.
Ketika Purwanti sadarkan diri dia sangat terkejut mendapatkan dirinya berada
dalam sebuah penjara berjeruji besi.
"OH...!" Dimana aku" Tempat apa ini...?" sen-
taknya dengan mata membelalak memperhatikan
sekitarnya. Lalu meraba-raba tubuhnya. Tampak
dia menarik napas lega, karena merasa tak ada sesuatu yang terjadi dengan
dirinya. "Makhluk berbulu itu kemana perginya..." Ten-
tu dia yang telah memenjarakan aku ditempat ini.
Ah... selama hidupku baru aku menjumpai mak-
hluk yang menyeramkan begitu! Makhluk itu mirip seekor kera, tapi berwajah
manusia. Apakah makhluk itu yang menjadi penghuni hutan Dandaka?"
bertanya-tanya Purwanti dalam hati.
Ketika teringat pada Nanjar, gadis ini tercenung beberapa saat. Dia masih dapat
mengingat ketika pemuda itu berteriak membentak di saat dirinya dalam
cengkeraman makhluk itu yang tahu-tahu
muncul dihadapannya lalu menyergapnya. Dalam
keadaan terkejut itu secara reflek lengan Purwanti bergerak untuk menghantam,
tapi gerakan makhluk aneh itu teramat cepat. Tahu-tahu pinggangnya telah kena
dicengkeram. Dia berusaha melepaskan diri dengan menjerit
ketakutan, tapi satu totokan keras pada tengkuknya membuat pandangan matanya
menjadi gelap. Sekujur urat tubuhnya menjadi kaku, dan dia tak sadarkan diri lagi.
*** LIMA Sementara itu si Dewa Linglung terus melacak
jejak makhluk berbulu yang misterius itu. Namun sampai menjelang senja usaha
yang dilakukannya
sia-sia saja. Makhluk aneh yang melarikan Purwanti lenyap tanpa bekas. Akhirnya
Nanjar memutuskan untuk kembali keatas bukit dimana terjadinya peristiwa dan
munculnya makhluk aneh itu.
"Sekalian aku bermalam disana.... siapa tahu
makhluk itu muncul didepan mataku, dan aku se-
gera membekuknya!" pikir Nanjar seraya berkelebat kembali kearah yang menuju
keatas bukit. Akan tetapi baru saja dia melakukan dua kali
lompatan, mendadak sebuah bayangan merah
berkelebat dihadapannya.
"Siapa kau"!" bentak Nanjar seraya menahan
tindakan kakinya. Seorang nenek tua berwajah keriput tampak menyeringai
dihadapannya, yaitu si nenek jubah merah yang mencekal tongkat berke-pala tanduk
rusa. "Hehe...he... hik...hik... anak muda! Nyalimu
sungguh besar berani memasuki wilayah hutan
Dandaka! Siapakah kau anak muda" Tampaknya
kau bukan orang Kerajaan...!" bertanya si nenek.
"Benar! Aku memang rakyat biasa! Namaku
Nanjar. Aku mencari jejak sesosok makhluk berbu-lu menyerupai kera yang telah
melarikan teman ku seorang gadis. Apakah kau melihatnya" Dan siapakah kau orang
tua?" sahut Nanjar dengan me-
natap tajam wanita tua itu.
Nenek jubah merah ini kembali perdengarkan
suara tertawa terkekeh. Kemudian berkata.
"Aku bukan tak mau memperkenalkan diri, tapi
kemunculanmu dihutan Dandaka bakal menga-
caukan keadaan di wilayah ini. Tahukah kau bah-wa hutan ini terlarang bagi siapa
saja untuk men-
ginjaknya?"
Nanjar kerutkan keningnya. "Heh! siapa yang
membuat larangan itu?" tanya Nanjar walau sebenarnya Nanjar telah mengetahui
dari Senopati Gendola. "Hehe...hik...hik...hik... Sang Prabu Gempar
Wiyaksa raja kerajaan GIRI BRATA telah melarang setiap orang baik dari kalangan
kerajaan maupun rakyat jelata untuk memasuki wilayah hutan Dandaka. Dan hal itu
telah berlaku selama delapan belas tahun! Apakah kau baru mendengarnya?"
"Hm, aku adalah orang luar yang tak tahu me-
nahu dengan urusan segala larangan itu!" sahut Nanjar dengan sikap tetap tenang.
"Yang kutanyakan adalah mengenai gadis kawanku itu, nenek
tua! Apakah kau melihatnya" Dan siapakah diri-
mu...?" Nanjar ajukan pertanyaan.
Nenek ini naikkan alisnya hingga terjungkat.
Matanya tajam menatap Nanjar. "Hm, baik! Orang muda seperti kau memang berwatak
ugal-ugalan dan maunya menang sendiri. Gadis yang kau cari itu telah menjadi tawananku,
mungkin dalam waktu dekat aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat!
Larangan memasuki hutan Dandaka tak dapat di-
robah. Siapa yang datang harus menemui kema-
tian, tak terkecuali sang Prabu atau kau sendiri.
Namun, aku masih bisa memaafkan kau, anak
muda! Asalkan kau tak mencampuri urusan ini...!"
berkata si nenek.
Otak Nanjar cepat bekerja. "Hm, yang menculik
dan melarikan Purwati adalah makhluk berbulu
yang misterius itu. Kalau kini gadis itu berada da-
lam tawanan nenek ini sudah tentu makhluk itu
adalah makhluk piaraannya".
"Haha... nenek tua! bagaimana aku tak men-
campuri urusanmu kalau kau telah menculik te-
manku" Bahkan aku mau membongkar kejahatan
dan rahasia dihutan Dandaka ini, karena mem-
biarkan suatu kejahatan adalah suatu perbuatan tak terpuji yang bertentangan
dengan tujuan kau pendekar!
"Hm, mulutmu terlalu enteng berbicara. Apakah
kau mampu menghadapi tongkatku?" bentak si
nenek dengan mata memancarkan hawa amarah.
"Dengan senang hati aku akan mencobanya,
hingga aku bisa mengetahui kehebatan tongkat-
mu, nenek tua! Tapi tunggu dulu, kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah
namamu atau julu-
kanmu orang tua...?" berkata Nanjar dengan se-
nyum seperti mengejek.
"Kau akan mengetahui kalau nyawamu telah
melayang ke Akhirat!" bentak si nenek seraya berkelebat. Tongkatnya menyambar
menimbulkan si-
uran angin keras. Nanjar melompat ke samping.
Tak dinyana tongkat tanduk rusa itu terus mence-carnya. Bahkan serangan-
serangannya teramat
cepat, sehingga... Breet!
Nanjar tersentak kaget karena ujung tanduk ru-
sa tongkat lawan telah membuat koyak bajunya di bagian dada dan memutuskan
sederet kancing bajunya. Nanjar melompat menjauh. Tampak tubuh
bagian dadanya terbuka, dan menampakkan se-
buah gambar tatto seekor Naga.
Hal tersebut ternyata tak luput dari pandangan
mata si nenek yang tajam. Sejenak dia menahan serangan.
"Hm, gambar tatto di dadamu mengingatkan
aku akan sebuah pedang mustika yang bernama
Naga Merah. Apakah hubunganmu dengan si Pen-
dekar Naga Merah alias si Dewa Linglung yang ku-dengar namanya sangat santar di
dunia Rimba Hijau?" sentak si nenek terkejut.
"Hm, nenek tua! kalau kau percaya itulah aku
sendiri!" sahut Nanjar. Mendengar kata-kata pemuda ini si nenek mendadak
tertegun beberapa
saat. "Kaukah si Dewa Linglung itu?" sentaknya se-
perti tak percaya.
"Sudah kukatakan memang akulah orangnya,
apakah kau kurang pendengaran nenek tua" Nah,
kini apa maumu" apakah masih tetap akan mem-
bunuhku?" sahut Nanjar.
"Cukuplah sampai disini saja, pendekar Dewa
Linglung. Kau bukanlah musuhku, dan memang
tak seharusnya aku menempurmu sebelum aku
mengetahui siapa dirimu. Kau ikutilah aku ke
tempat tinggalku. Kau bisa membawa pulang ka-
wan gadismu itu...!" selesai berkata nenek tua ini segera berkelebat dari depan
Nanjar. Mau tak mau si Dewa Linglung segera mengikuti walau dalam
hati bertanya-tanya.
"Aneh...!" mengapa sikapnya mendadak beru-
bah begitu mengetahui diriku..." Bagus Aku bisa membongkar teka-teki aneh yang
menjadi sebab dari larangan memasuki hutan Dandaka itu, serta mengetahui siapa adanya makhluk
berbulu. Dan siapa tahu aku bisa menemukan pula jejak Adipati Purwata..." Namun begitu Nanjar
tetap waspada, khawatir kalau diam-diam si nenek itu memasang jebakan untuk
menjebak dia. Baru beberapa saat si nenek berkelebat menda-
dak dia merandek berhenti. Tentu saja Nanjar pun menghentikan pula gerakannya
dengan agak heran. Ternyata telinga nenek tua ini mendengar suara yang dikirim
dari jarak jauh membersit ditelinganya.
"Sobat Nini Cempati! Kukira kau takkan mela-
kukan penghianatan, bukan" Kau tahu apa aki-
batnya membocorkan rahasia dihutan Danda-
ka...?" Nenek tua ini tampak tersentak kaget. Peruba-
han sikap si nenek walaupun raut mukanya tetap kaku telah membuat Nanjar merasa
aneh. "Ada
apakah nenek tua" mengapa kau tiba-tiba berhen-ti?" tanya Nanjar terheran.
"Hm, tak ada apa-apa sobat pendekar Dewa
Linglung. Mari kita lanjutkan perjalanan..." sahut si nenek jubah merah, seraya
kembali berkelebat.
Nanjar segera mengikuti di belakang wanita tua itu.
Pada detik itulah sebuah bayangan hitam berke-
lebat, dan tahu-tahu menghadang didepan si ne-
nek jubah merah. Ternyata sesosok tubuh yang
membungkus sekujur tubuhnya dengan jubah hi-
tam hingga menutupi kepala. Cuma sepasang ma-
tanya saja yang tampak terlihat dari dua buah lubang di bagian muka.
Sosok manusia berjubah hitam itu memperden-
garkan dengusan di hidung. Sepasang matanya
memancarkan cahaya kemarahan menatap si ne-
nek. Tanpa berkata-kata si manusia jubah hitam merogohkan tangannya kebalik
jubah, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Kemudian melem-
parkannya pada wanita tua itu. Dengan cepat nenek tua ini menanggapinya.
Nanjar terheran. Dalam hati dia berkata. "Siapakah orang ini" Dan benda apa yang
dilemparkan pada si nenek tua...?"
Akan tetapi keheranan Nanjar mendadak beru-
bah menjadi terkejut bukan kepalang karena tahu-tahu si nenek perdengarkan suara
jeritan panjang.
Tubuhnya mendadak terhuyung ke belakang, lalu
roboh terjungkal. Detik itu juga si manusia jubah hitam berkelebat cepat sekali
dan lenyap dalam kerimbunan semak belukar.
Mata Nanjar cukup jeli ketika melihat sedetik
setelah melemparkan lipatan kertas, mendadak si manusia jubah hitam melihat
lengan manusia misterius yang disembunyikan di belakang punggung mendadak
mengibas. Tahu-tahu si nenek menjerit panjang dan roboh terjungkal.
"Iblis jubah hitam. Jangan lari!" membentak
Nanjar. Tadinya dia berniat mengejar, tapi segera
urungkan niatnya lalu memburu kearah si nenek
tua. Nanjar segera memeriksa keadaan wanita tua itu. Alangkah terkejutnya Nanjar
ketika melihat ti-ga buah belati kecil menancap di bagian dada wanita tua ini.
Sementara itu si nenek tua dalam keadaan kri-
tis meregang nyawa. Darah mengucur dari bagian dada merembes kejubahnya yang
merah, hingga semakin merah. Tampaknya wanita tua ini belum
tewas terburu-buru. Melihat keadaannya memang
sangat tak memungkinkan untuk bisa hidup lama.
Melihat Nanjar menghampiri, nenek ini mele-
barkan matanya. Bibirnya yang menyeringai men-
dadak memperlihatkan senyum. Senyum yang
sangat menggiriskan dan sangat kaku.
"Nenek tua... siapa iblis jubah hitam itu" mengapa ia menyerang mu...?" bertanya
Nanjar. "Anak... muda...mendekatlah. Aku akan menga-
takan siapa diriku..." Nanjar tak berayal segera menuruti perintah si nenek.
"Sebelum ajalku tiba, lekas kau lihat apa isi surat ini..." katanya lirih.
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lengan si nenek tergetar mencoba mengangkat lengannya. Cepat Nanjar
mengambil lipatan kertas dalam genggaman tangan si nenek.
Lalu membukanya. Alangkah terkejutnya Nan-
jar ketika melihat kertas itu kosong.
"Kosong, nek! Tak ada tulisan satu huruf pun!"
kata Nanjar terheran. Si nenek tampak tertegun.
"Iblis keparat itu memang sangat... li..cik!" berkata si nenek dengan suara
terputus. "Biarlah...
tak mengapa. Kini cepat kau kelupas kulit muka-ku....! Wajahku yang sebenarnya
ada dibalik... topeng yang ku...kenakan ini..." kata si nenek selanjutnya.
Nanjar sejenak tertegun, tapi segera menu-
rutkan perintahnya.
Benar saja! Nanjar melihat satu wajah lagi diba-
lik topeng tipis menyerupai kulit manusia itu. Kini tampak seraut wajah seorang
wanita berkulit putih. Seraut wajah yang menampakkan seorang wa-
nita berusia sekitar tiga puluh limaan tahun dan tampak masih tersisa
kecantikannya. "Siapakah
sebenarnya anda...?" tanya Nanjar.
Lagi-lagi "nenek" ini tersenyum. Tapi kini se-
nyum dari seorang wanita yang tak begitu tua.
Tampak manis dengan lesung pipit dikedua pi-
pinya. Namun senyum yang membayangkan kepe-
dihan hati, di saat datangnya maut yang sebentar lagi akan menjemputnya.
"Aku adalah bekas permaisuri Sang Prabu
GEMPAR WIYAKSA, raja kerajaan Giri Brata. Se-
lama... delapan belas tahun aku dibuang di hutan Dandaka oleh sang Prabu,
karena... aku melahir-kan seorang bayi yang tak diakui sebagai anak ke-
turunannya..." Nanjar tersentak kaget. Matanya membelalak. Kini rahasia hutan
Dandaka mulai tersingkap, walau belum begitu jelas.
Wanita ini berhenti sejenak untuk mengatur
napasnya yang tersengal-sengal. Tampak dia men-gerenyitkan keningnya seperti
menahan sakit pada dadanya. Nanjar cepat menotok dibeberapa tempat disekitar
luka. Tak lama berselang wanita ini tampak tersenyum karena merasa rasa sakitnya
agak berkurang. Kemudian wanita ini melanjutkan ka-ta-katanya yang semakin lirih
dan terputus-putus.
"Orang yang menyerangku... adalah.... orang
yang telah menyelamatkan jiwaku..." lanjutnya
dengan mata semakin meredup. Dan dari sela-sela kelopak matanya tampak mengalir
air bening kepi-
pinya. Nanjar belalakkan matanya terheran.
"Tapi... mengapa dia menyerangmu?" tanya
Nanjar tak mengerti. Wanita ini tersenyum. Mendadak napasnya kembali tersengal-
sengal dan wajah wanita ini semakin memucat.
"Anak muda... aku... hanya mohon kau melin-
dungi... a...anakku..." katanya dengan suara terputus-putus. Nanjar tersentak.
"Siapa anakmu..." dan siapa orang yang menye-
rangmu itu?" tanya Nanjar seraya mengangkat kepala wanita itu dan menguncang-
guncangkannya. Akan tetapi kepala wanita ini telah terkulai. Nyawanya telah melayang ke Alam
Baka. Nanjar membelalakkan mata tersentak. Dengan
penuh kekecewaan perlahan dia membaringkan
kembali kepala si wanita. Lama dia terpekur menatap mayat wanita bekas
permaisuri Raja itu. Sementara otaknya berfikir keras untuk menemukan jawaban
wanita itu. Pada saat itulah sesosok makhluk mendadak
muncul dari semak belukar. Sepasang mata mak-
hluk ini memancarkan hawa amarah dari kedua
biji matanya yang merah. Dalam kesenyapan didalam hutan itu telinga Nanjar
menangkap suara
berkrosakan dibelakangnya, segera dia balikkan tubuh dan melompat ke belakang
penuh kewaspa-daan.
Alangkah terkejutnya si Dewa Linglung melihat
sesosok makhluk berbulu yang beberapa saat yang lalu telah melarikan diri
setelah menawan Purwanti itu kini berada dihadapannya.
Akan tetapi pada detik itu makhluk aneh itu telah melompat dan menerjang dengan
sesuatu menggerung parau.
"Tunggu...! siapa sebenarnya kau" Dan apa hu-
bunganmu dengan perempuan ini...?" teriak Nan-
jar seraya menghindar dengan melompat jauh.
Makhluk berbulu itu kembali mengerung dahsyat.
Suara gerungannya menggetarkan udara meron-
tokkan daun-daun kering dari pepohonan.
Diam-diam Nanjar terkejut, karena jelas kekua-
tan tenaga dalam makhluk itu sangat luar biasa.
Pada saat itu tiba-tiba Nanjar merasakan sesua-tu menyambar didepan hidungnya.
Dia tersentak kaget karena tak diketahui dari arah mana da-
tangnya tahu-tahu wajahnya telah tertutup oleh sehelai kain tipis yang berbau
harum. Terenduslah bau harum yang menusuk hidung. Cepat dia me-nepiskan benda
yang menutupi mukanya. Ternya-
ta selembar sapu tangan berwarna putih bersulam setangkai bunga, entah bunga
apa. Selagi dia terheran dan jelalatkan matanya mencari si pelempar benda
tersebut mendadak kepalanya terasa berde-nyutan. Selanjutnya dengan mengeluh
pendek, Nanjar terhuyung roboh tak sadarkan diri...
*** ENAM KETIKA Nanjar sadarkan diri dia terkejut kare-
na tubuhnya terbaring disebuah pembaringan ber-
seprai putih, bersulamkan kembang disekelilingnya. Ketika Nanjar melihat sulaman
kembang tersebut tersentak kaget, dan seketika melompat
bangun. Ingatannya kembali pulih. Dirabanya keningnya yang masih tersisa rasa
pening setelah sebelum dia tak sadarkan diri mencium bau harum
dari sapu tangan yang menutupi wajahnya.
"Heh!" dimanakah aku..." Dan siapa yang
membawaku ketempat ini?" bertanya-tanya Nanjar dalam hati. Sementara matanya
menjalari sekitar ruangan. Ketika memperhatikan sulaman kembang itu, memang
sangat mirip dengan sulaman
pada sapu tangan yang membekap wajahnya.
Diam-diam dia meraba punggungnya. Alangkah
terkejutnya Nanjar karena baik pedang dan seruling tulangnya yang terselip di
pinggang serta bun-talan kain yang selalu menggemblok di punggungnya telah
lenyap. "Celaka aku..." keluh Nanjar. Mendadak wajah-
nya berubah pias. Sadarlah dia kalau orang telah membawa dia ketempat itu telah
membenahi barang-barang miliknya.
"Manusia macam apakah orang yang main cu-
rang membekap wajahku dengan kain berbau ha-
rum itu..." Hm, kalau kudapatkan manusianya,
jangan harap aku akan memberi ampun." Namun
diam-diam dia terheran, karena orang yang mem-
bawanya ketempat ini tak menotoknya, karena dia merasa tak ada kelainan dari
anggota tubuhnya.
Diam-diam dia merasa heran dan penasaran
untuk mengetahui si pembokong aneh itu.
Tengah dia terlongong mendadak terdengar sua-
ra tertawa nyaring berderai memenuhi isi ruangan kamar.
"Hihihi... kau sudah mendusin rupanya pende-
kar Dewa Linglung" Hihi.. syukurlah! Jangan
khawatir, kau takkan kehilangan barang-
barangmu. Apa lagi barang terlarangmu. Kalau kurang yakin boleh kau periksa
dulu.." Seorang wanita berwajah cantik dengan dagu
terbelah dan tahi lalat dibawah hidung tahu-tahu telah muncul dari balik tirai
yang disingkapkan.
Nanjar terkejut, karena tak menyangka dibalik tirai itu ada sebuah pintu.
Mendengar kata-kata konyol wanita itu mau tak mau merah juga muka si Dewa
Linglung. "Hm, kaukah yang telah melemparkan sapu
tangan berbau bacin hingga menutup mukaku"
Perbuatanmu sungguh tak dapat dimaafkan. Sia-
papun adanya kau aku tak perlu tahu. Yang penting lekas kembalikan barang-barang
ku dan minta maaf atas perbuatan kurang ajarmu padaku, dengan mencium ujung
kakiku!" berkata Nanjar den-
gan wajah sinis.
Wanita itu kembali tertawa berderai. Dadanya
yang membusung, dimana dua buah benda kenyal
tertutup pakaian berwarna biru, tampak bergerak-gerak ketika dia tertawa
terpingkal-pingkal.
"Hihihi... hihi... ternyata aku tak salah memilih kawan. Kaupun seorang pendekar
konyol seperti aku. Hm, baiklah, tuan pendekar! Aku akan kem-
balikan barang-barangmu, tapi silahkan ambil
sendiri. Benda-benda milikmu kuletakkan diatas meja diruang dalam!" berkata
wanita ini, seraya
menyingkapkan kain tirai, lalu lenyap dibalik tirai itu.
"Haaa...! Bagus!" teriak Nanjar seraya melompat
dari atas tempat tidur, tapi tiba-tiba dia tersentak kaget, karena tubuhnya
tanpa pakaian sama sekali, dan hanya terbungkus kain selimut.
Pucatlah seketika wajahnya. "Hah!" Gila! Apa
yang telah terjadi?" teriak Nanjar dengan mata membelalak. Mau tak mau dia cepat
sambar kain selimut yang merosot, lalu membuntal lagi tubuhnya.
Wanita tadi tiba-tiba muncul lagi dari balik tirai.
Melihat Nanjar yang membuntal tubuhnya dengan
kain selimut, wanita ini kembali tertawa terpingkal-pingkal, seraya berkata.
"Hihi... kau benar-benar seorang pendekar ko-
lokan. Apakah kau ingin agar aku memondongmu
dari tempat tidur?"
"Kau... kau gila! Apa-apaan ini" Apa yang telah kau lakukan terhadapku?" bentak
Nanjar dengan mata melotot. Tatapan matanya beradu dengan sorot mata si wanita
yang memancarkan suatu ke-
kuatan aneh yang tersembunyi.
Nanjar tersentak kaget, karena merasa ada sua-
tu pengaruh yang sangat luar biasa membuat dia tertegun. Entah bagaimana tahu-
tahu Nanjar melihat sesosok tubuh polos dihadapannya. Tak diketahui lagi sejak
kapan wanita itu melepaskan pakaiannya.
Darah Nanjar berdesir dan terasa mengalir lebih cepat. Matanya membinar
terkesima melihat wanita itu yang bagaikan sebuah arca manusia dari ba-
tu pualam putih, dengan rambut terurai dan bibir sunggingkan senyum merekah, dan
sepasang mata berbulu lentik tengah menatap padanya.
Saat itu telinganya seperti mendengar suara
mendesah yang menyentakkan jantungnya hingga
berdebaran. "Dewa Linglung... Dekaplah aku...! Peluklah
aku...! Mengapa kau diam saja?"
Keringat dingin membasahi tengkuk Nanjar,
Napasnya memburu, dan suatu hasrat yang seper-
ti tak terbendung meronta-ronta membuat tubuh-
nya tergetar seperti terserang demam.
Entah sejak kapan, tahu-tahu wanita itu telah
berada dalam dekapannya. Terasa benda kenyal
merapat didadanya, hingga terasa degup jantungnya sendiri. Bibir wanita yang
merekah itu menimbulkan hasrat yang luar biasa untuk mengecup-
nya. Terasa bau harum kembali menyambar hi-
dung. Sebisa-bisa dia bertahan, tapi dia tak dapat membendung lagi hasratnya.
Disaat dia akan merengkuh sepasang bibir yang
indah menawan itu, mendadak Nanjar terkejut,
karena dari kedua sisi bibir wanita itu tersembul sepasang taring. Mata Nanjar
membelalak. Dan
semakin membelalak lebar karena ini terasa da-
danya seperti menyentuh dengan bulu-bulu kasar menusuk kulit.
Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat tu-
buh wanita yang putih bagaikan batu pualam itu mendadak kini penuh dengan bulu-
bulu hitam kasar yang lebih menyerupai seekor kera besar.
Bahkan sepasang mata si cantik yang indah
berbulu mata lentik itu kini telah berubah menjadi sepasang mata yang
menyeramkan dengan sorot
mata yang menggidigkan.
Detik itu juga Nanjar melepaskan pelukannya,
dan mendorong tubuh dalam pelukannya itu den-
gan berteriak. "Tidak....! Tidak....! Tidaaak! Oh! pergi kau! Per-giii...!"
Whuuk ! Whuuuk !
Tangannya bergerak menghantam ke depan.
Terdengar suara teriakan tertahan diiringi suara menggelegar akibat pukulan
mengandung tenaga
dalam itu mengenai sasaran.
Saat setelah terdengar teriakan seseorang yang diiringi terhuyung roboh sesosok
tubuh, Nanjar nampak membelalakkan mata, dan mengucak-ucak kedua matanya seperti
tak percaya pada
yang dilihatnya. Ternyata dia berada diatas sebuah kuburan disebuah hutan
dipuncak bukit.
Peluhnya mengucur deras dikening, dan sepa-
sang matanya tampak memerah. Napasnya mem-
buru. Dia tak melihat lagi adanya wanita yang
aneh yang berubah menyeramkan itu. Yang dida-
pati adalah dua buah pohon besar roboh. Nanjar menggaruk-garuk tengkuknya,
seraya menggumam.
"Hah...!" Jadi... jadi... aku cuma bermimpi..."
Tapi... mengapa aku berada ditempat ini" Dan
mengapa aku bisa tidur diatas kuburan?" sentak Nanjar, walaupun nampak lega,
tapi dia terheran-heran.
Ketika meraba pedangnya dipunggung ternyata
benda itu masih berada ditempatnya. Juga pa-
kaiannya dalam keadaan utuh, dan seruling tulang yang diselipkan dipinggangpun
masih pula tetap ditempatnya.
Nanjar melompat turun dari kuburan itu den-
gan terheran-heran. Lalu memeriksa kuburan be-
rukuran besar itu memperhatikan tulisan yang ter-tera dibatu nisan. Tulisan itu
masih bisa terbaca walaupun penuh dengan lumut, dengan jalan
membersihkannya terlebih dulu.
Tampak sederet tulisan yang berbunyi: Disini
disemayamkan jenazah Prabu DANDAKA.
Terkejut Nanjar melihat tulisan itu, karena jelas kuburan itu adalah kuburan
seorang Raja, yang
bernama Prabu Dandaka.
Nanjar tercenung beberapa lama memikirkan
kejadian demi kejadian aneh yang menimpa di-
rinya. Kini ditemui pula sebuah kuburan yang
aneh pula. Kuburan seorang Raja yang bernama
Prabu Dandaka. Tiba-tiba Nanjar tersentak karena mendengar
seperti suara orang mengeluh. Diapun baru ingat ketika di saat dia mengigau dan
menghantamkan dua pukulan berturut-turut diluar kesadarannya, telah mendengar
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara teriakan tertahan sekilas.
"Apakah ada orang yang terkena sasaran puku-
lanku...?" berkata Nanjar dalam hati, seraya berkelebat melompat kearah suara
yang didengarnya.
Terkejut Nanjar melihat seorang gadis tergeletak ditanah. Bajunya bagian pundak
sampai kedada tampak robek hangus. Wanita ini setelah menge-
luh kembali pingsan. Nanjar membelalakkan mata
melihat dara ini mirip sekali dengan gadis yang berada dalam mimpinya, yaitu
gadis yang berubah
jadi makhluk berbulu yang menyeramkan.
"Hm, apakah ini suatu kebetulan, ataukah me-
mang sebenarnya...?" pikir Nanjar dalam hati. Tapi dia tak banyak berfikir lagi,
dan tak perduli apakah yang bakal menjadi kenyataan sebenarnya.
Yang penting dia harus menolong gadis itu sece-patnya. Dia yakin gadis itu telah
terkena serangan di saat dia mimpi dan mengigau tadi.
Segera diperiksanya luka gadis itu. Tampak
warna biru lebam disekitar pundak dan punggung leher. Nanjar menghela napas.
"Heh, untunglah
dia hanya terserempet saja, tapi sangat berbahaya.
Pendekar Penyebar Maut 18 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Panji Sakti 9
Dia datang sebagai seorang pendekar.
Dia aneh dan bertindak
seperti orang yang linglung.
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG.
Pendekar sakti yang digembleng
oleh lima orang tokoh aneh.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel SATU ADIPATI PURWATA tercenung menatap ke arah
hutan rimba belantara di lereng bukit di mana dia berdiri di atas kuda
tunggangannya. Itulah Rimba Dandaka, hutan belantara yang
dinyatakan terlarang dan tak boleh dimasuki. Perintah itu datang dari Baginda
Raja sejak delapan belas tahun yang lalu.
Adipati Purwata memegang jabatan sebagai Adi-
pati baru berkisar antara lima tahun. Kerajaan GIRI BRATA selama itu tak
menampakkan adanya
kegoncangan, baik di luar maupun didalam Kota
Raja. Selama ini hubungan dengan Kerajaan Mataram tetap membaik. Sebagai
kerajaan kecil yang berdiri dibawah naungan Kerajaan Mataram yang
besar, memang tak perlu merasa khawatir adanya kerusuhan dan pemberontakan dari
luar, karena bila terjadi sesuatu tentu pihak Kerajaan Mataram akan membantu menyelesaikan
kerusuhan. Namun hal itu selama Kerajaan Giri Brata ma-
sih mematuhi peraturan yang berlaku dan dite-
tapkan oleh pihak Mataram. Dan tentu saja pengiriman upeti setiap tahun harus
diberikan sebagai salah satu dari peraturan yang telah ditetapkan.
Pada tahun-tahun permulaan tampaknya pera-
turan itu tak menjadi masalah. Bahkan sejak berjalan sampai enam belas tahun tak
ada kejadian apa-apa. Namun sejak dua tahun terakhir ini terjadi kemacetan.
Pengiriman upeti telah dua kali tak sampai ke Mataram.
Pada pengiriman pertama barang upeti dilapor-
kan lenyap ketika para prajurit pengawal beristirahat disebuah tempat dekat kota
Ungaran. Hal itu dilaporkan oleh Tumenggung PRAGOLA yang ber-tugas menyampaikan
upeti ke Kerajaan Mataram.
Peristiwa itu diusut sampai tuntas. Dalam per-
sidangan luar biasa yang diadakan di Istana Tumenggung Pragola menolak tuduhan
bahwa dia sengaja menyelewengkan upeti, dan menyogok pa-
ra prajurit pengawal untuk menutup mulut.
Namun akhirnya tuduhan itu dibebaskan, ka-
rena tak ada bukti kuat bahwa Tumenggung Pra-
gola menyelewengkan upeti. Itupun setelah diadakan pemeriksaan secara ketat dan
teliti. Peristiwa kedua adalah ketika pengiriman upeti dikepalai oleh Tumenggung Jaga
Ludira. Ketika melintas disisi hutan Dandaka, rombongan telah dicegat oleh sesosok makhluk
berbulu yang merampas upeti, dan menewaskan belasan prajurit.
Tumenggung Jaga Ludira berhasil menyelamatkan
nyawanya dengan luka parah. Lalu melaporkan
kejadian itu pada Baginda Raja.
Hal itulah yang membuat Adipati Purwata harus
menyelidiki rimba angker itu yang telah dinyatakan oleh Baginda Raja sebagai
wilayah terlarang untuk dimasuki. Karena makhluk berbulu yang telah membunuh
belasan prajurit dan merampas
upeti itu menghilang di rimba Dandaka.
Dari atas bukit dia memandang ke bawah, meli-
hat betapa luasnya hutan rimba belantara itu. Ra-sa penasarannya untuk mencari
jejak makhluk aneh yang telah merampas upeti semakin menjadi-
jadi. Sayang keinginannya terbentur oleh undang-
undang yang telah ditetapkan oleh Baginda Raja yang melarang memasuki wilayah
hutan itu. "Haih! Kalau hal ini berlangsung terus menerus, akan membahayakan keadaan
Kerajaan. Karena
telah dua kali pihak Kerajaan Mataram menagih
upeti. Mengapa sang Prabu tak mau melaporkan
kejadian sebenarnya pada pihak Kerajaan Mata-
ram?" menggumam Adipati Purwata.
Matanya kembali menatap ke bawah bukit di-
mana terbentang hutan rimba yang misterius itu.
"Hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja! Aku harus mengungkap rahasia Rimba
Dandaka, dan menyelidiki benarkah ada makhluk aneh yang telah merampas upeti"
Sebangsa manusia atau dedemitkah si perampas upeti itu?" berkata dalam hati sang
Adipati. Setelah menghela napas beberapa saat kemu-
dian laki-laki abdi Kerajaan ini keprak kudanya untuk menuruni bukit.
Sementara hatinya masih diganduli kemelut.
Kabut hitam seperti terbentang didepan mata. Masalah ini memang sangat rumit,
entah bagaimana dia harus memecahkannya.
Baru saja Adipati muda ini tiba dibawah bukit, mendadak dari jauh terlihat
seekor kuda berpe-nunggang berlari cepat mendatangi dari arah depan. Dia
kerutkan kening dan agak menahan ku-
danya. Ketika semakin dekat, segera dia mengenali siapa sipenunggang kuda
tersebut. Ternyata seorang gadis berpakaian serba putih.
Sepintas mirip seorang laki-laki karena dara ini menggulung rambutnya
menyembunyikan dalam
kain ikat kepala.
Melihat yang datang adalah adik perempuan-
nya, Adipati Purwata tertegun. Gadis cantik yang gagah dan cekatan itu menahan
kuda dan berhenti dihadapannya.
"Ada apa PURWANTI.." mengapa kau menyu-
sulku?" sentaknya terkejut.
"Ada surat dari Senopati GENDOLA. Maaf, ter-
paksa aku menyusulmu, karena tampaknya surat
ini penting sekali isinya..." sahut si gadis dengan napas agak memburu.
"Surat dari Senopati Gendola?" Adipati muda ini kerutkan keningnya.
"Benar, kakang Adipati. Ini suratnya!" sahut
Purwanti seraya memberikan sebuah lipatan ker-
tas pada sang kakak.
Adipati Purwata cepat menerimanya. Tapi sebe-
lum membuka lipatan kertas Adipati ini ajukan
pertanyaan. "Dari mana kau mengetahui aku kemari?"
Gadis ini tersenyum seraya memutar kuda.
"Hihi.. mudah saja! Bukankah kakang Adipati
pernah bilang padaku bahwa kakang merasa aneh
dengan adanya undang-undang yang telah dite-
tapkan Baginda Prabu mengenai larangan mema-
suki Rimba Dandaka. Apalagi setelah adanya kejadian belum lama ini mengenai
dirampasnya upeti oleh sesosok makhluk aneh yang menghilang dihutan itu dan
membawa korban kematian belasan
prajurit. Karena aku tak menjumpai kakang Adipa-
ti digedung Kadipaten, aku berpendapat pasti kakang menuju ke tempat ini.
Dugaanku ternyata tepat!" sahut gadis ini.
"Perlu kakang Adipati ketahui, akupun pernah
kemari, keatas bukit itu, memperhatikan rimba belantara larangan yang penuh
rahasia aneh. Seperti juga kakang, akupun penasaran untuk menyusup
kehutan larangan itu untuk menyelidiki keanehan itu!" sambung Purwanti.
"Purwanti! Jangan bertindak sembarangan! Kau
tak boleh ikut campur dalam urusan ini. Tak boleh....!" bentak Adipati Purwata
terkejut, karena tak menyangka adik perempuannya telah sering
kemari, bahkan berniat menyelidiki Rimba Danda-ka. Akan tetapi gadis ini cuma
tersenyum menanggapi kata-kata kakaknya.
"Ingatlah kakang, aku adalah seorang kepala
Prajurit dibarisan lasykar gusti Senopati. Urusan ini bukan cuma urusan kakang
Adipati saja, tapi urusan kita sebagai hamba Kerajaan. Kakang tak perlu khawatir
dengan diriku. Aku dapat menjaga diri sendiri. Walau bukan sekarang saatnya,
tapi aku penasaran kalau belum dapat membekuk
makhluk aneh Rimba Dandaka dan mengirim ke-
palanya kehadapan Baginda Prabu..!" berkata
Purwanti dengan sikap gagah.
Adipati Purwata cuma tercenung. Bahkan ketika
gadis itu membedal kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu, dia masih
termangu-mangu diatas kudanya. Dia tahu watak keras adik perempuannya yang masih
satu perguruan dengan dia. Apa
yang dikatakan Purwanti memang benar. Keka-
cauan dalam Kerajaan bukan urusan perseoran-
gan. Setiap hamba Kerajaan harus memikirkan-
nya. Dan siapapun berhak membuat keputusan
bila keadaan mengancam Kota Raja.
Mendadak dia teringat pada surat dari Senopati Gendola yang masih tergenggam
ditangannya. Cepat-cepat dia membuka lipatan kertas, lalu mem-bacanya. Isi surat
itu singkat yang mengatakan agar dia segera menghadap Senopati Gendola malam
ini. "Hm, apakah yang akan dirundingkan Senopati
Gendola padaku" Tampaknya penting sekali..."
menggumam Adipati ini.
Setelah termenung sejenak, Adipati Purwata
menyimpan lipatan kertas itu kebalik pakaian.
Kemudian segera membedal kuda dengan cepat
meninggalkan tempat itu. Saat itu senja telah tiba.
Adipati Purwata mengambil keputusan tak kembali ke Kadipaten dulu, tapi langsung
menemui Senopati Gendola ditempat yang telah ditentukan...
*** DUA SENOPATI Gendola adalah seorang laki-laki be-
rusia kurang lebih empat puluh tahun lebih. Ber-perawakan kekar dengan wajah
lebar, berkumis
tebal serta cambang bauk lebat. Sikapnya tampak tegas dan berwibawa sesuai
dengan jabatan yang disandangnya sebagai kepala pasukan di Kota Ra-
ja. Tampaknya dia seperti tak sabar menanti kedatangan orang yang sedang
dinantikannya, yaitu
Adipati Purwata. Sebentar-sebentar dia bangkit da-ri kursinya. Memandang keluar
pondok Empu Ba-
dar yang cuma diterangi cahaya lentera redup.
Sementara sang Empu yang dipercayakan seba-
gai orang yang ahli membuat senjata-senjata itu baru selesai membuat kopi. Laki-
laki ini beranjak dari ruang dapur membawa baki berisi tiga gelas air kopi. Lalu
menghidangkan dimeja yang ada dihadapan Senopati.
"Hm, belum juga datang sudah selarut ini, apa-
kah Purwanti tak menjumpai Adipati Purwata di-
gedungnya" Maksudku apakah dia sedang ke-
luar...?" berkata Senopati ini.
"Sabarlah, gusti Senopati. Mungkin tak lama la-gi gusti Adipati pasti tiba..."
sahut Empu Badar tersenyum, seraya mempersilahkan untuk menci-cipi kopi
seduhannya. Baru saja Empu Badar menindakkan kaki un-
tuk melangkah kedapur menyimpan baki, menda-
dak lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda.
Empu Badar tersenyum. Senopati Gendola
bangkit berdiri dengan pandangan mata menatap
keluar pondok. Benar saja. Adipati Purwata tampak melompat
turun dari atas kuda. Setelah menambatkan binatang tunggangannya disisi pondok,
segera beranjak melangkah memasuki pondok Empu tersebut.
"Ah, tampaknya paman Senopati sudah lama
menunggu..." berkata Adipati Purwata seraya men-
jura dihadapan laki-laki itu.
"Tak terlalu lama adik Adipati. Silahkan du-
duk...!" sahut Senopati mempersilahkan Adipati Purwata dengan tersenyum.
Setelah mereka duduk berhadapan dan sesaat
setelah Adipati Purwata beristirahat sambil meng-hirup kopi yang telah
disungguhkan, maka Seno-
pati Gendola membuka pembicaraan.
"Sebenarnya hal yang akan kubicarakan ini su-
dah bukan rahasia lagi adik Adipati. Tapi, karena masalah ini adalah diluar
tugas Kerajaan, maka sengaja aku mengadakan pertemuan di rumah
Empu Badar..."
Adipati Purwata manggut-manggut, walau dia
memang belum paham dengan apa yang akan di-
bicarakan sang Senopati.
Setelah menghela napas sejenak, Senopati me-
neruskan kata-katanya.
"Sebagaimana kau ketahui peristiwa upeti yang
telah dua kali mengalami kegagalan dalam pengi-ringan ke Mataram, maka
perundingan yang akan
kita adakan adalah mengenai masalah itu..." kata Senopati.
"Bagaimana rencana paman Senopati dalam
membahas masalah yang mengkhawatirkan itu?"
tukas Adipati dengan penuh perhatian.
"Yah! hal ini memang diluar tugas dari sang
Prabu, akan tetapi demi kepentingan Kerajaan, ki-ta harus melakukan tindakan
atau upaya demi
mencegah hal-hal yang akan membahayakan bagi
pihak Kerajaan.
Walau bagaimana kita harus mengusut lenyap-
nya upeti-upeti itu. Peristiwa aneh yang dialami Tumenggung Jaga Ludira yang
telah menewaskan
belasan prajurit tak dapat dipeti matikan begitu saja. Hal ini harus diselidiki.
Terutama mengenai makhluk aneh yang merampas upeti dan lenyap di Rimba Dandaka!"
"Benar paman Senopati ! Akupun sudah meren-
canakan matang-matang untuk menyelidiki rimba
larangan itu!" kata Adipati Purwata.
"Bagus! aku sudah mengambil keputusan un-
tuk menyelidiki Rimba Dandaka besok pagi. Kita berangkat berdua. Pertemuan kita
adakan diatas bukit sebelah utara, tempat yang biasa kau kun-jungi. Ingat!
Kepergian kita harus dirahasiakan, dan kukira lebih bagus memakai pakaian biasa
sa-ja. Nah, kukira cukup perundingan kita..."
Pertemuan singkat itu tak berlangsung lama,
Setelah menghabiskan kopinya, Senopati libatkan jubahnya, lalu mohon diri untuk
pulang terlebih dulu. Empu Badar manggutkan kepala dan men-gantar sang Senopati
sampai kepintu. Tak lama
menyusul Adipati Purwata mohon diri pada empu
tua tersebut. Tak menunggu terlalu lama Adipati ini segera membedal kuda dengan
cepat untuk kembali ke Kadipaten.
Sepeninggal kedua pembesar Kerajaan itu Em-
pu Badar segera meniup pelita kecil didepan pondok, lalu menutup pintu
pondoknya. Rumah laki-
laki tua itupun kembali sunyi...
*** TIGA
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang pemuda berambut gondrong berbaju
putih dari kain kasar berjalan dengan bersiul-siul dijalan setapak. Siapa adanya
pemuda ini tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.
Nanjar berharap dapat menemukan sebuah de-
sa dengan mengikuti jalan setapak yang penuh belukar itu. Akan tetapi semakin
jauh jalan yang di-ikutinya semakin hilang, dan tak ketahuan lagi kemana
arahnya. Kini dihadapannya adalah sebuah hutan lebat.
"Haih!" Aku telah salah arah! Jalan setapak ini hilang sampai diujung sini..."
Nanjar tercenung beberapa saat. Sementara matanya menjalari keadaan hutan rimba
dihadapannya. Mendadak pendengaran si Dewa Linglung yang
sang peka ini menangkap suara desah dari arah
semak belukar. "Hm, apakah dibalik semak itu ada seekor bina-
tang buas?" pikirnya seraya menjumput sebuah
ranting. Lalu dilemparkan kearah semak dihada-
pannya. Mendadak sesosok bayangan kuning ber-
kelebat melompat dari semak tersebut. Gerakan-
nya cepat sekali. Sebentar saja lenyap dikerimbunan pepohonan.
"Heh! manusia atau hantu..." sentak Nanjar terkejut.
Dia agak ragu-ragu untuk mengejar. Setelah
merenung sesaat, akhirnya Nanjar mengambil ke-
putusan. "Akan kucoba memasuki hutan ini. Kuingin ta-
hu siapakah sosok bayangan kuning itu " Kalau
ada hantu disiang bolong begini ingin kutahu bagaimana ujudnya..." berkata
Nanjar dalam hati.
Setelah mengambil keputusan si Dewa Linglung
segera menyusup masuk kedalam hutan itu. Se-
lain mempertajam pendengarannya, Nanjar juga
telah siap menghadapi berbagai kemungkinan bila terjadi sesuatu.
Semakin masuk menyusup ke tengah hutan,
Nanjar semakin waspada. Mendadak telinganya
mendengar suara tertawa berderai yang tak ketahuan dari mana arahnya. Seolah
suara itu da- tangnya dari berbagai tempat.
Dewa Linglung tersentak, karena suara itu san-
gat mempengaruhi dirinya. Tahulah dia kalau sua-ra itu mengandung suatu tenaga
dalam. Telin- ganya terasa sakit oleh suara yang nyaring itu seperti memukul-mukul gendang
telinganya. "Hm, rupanya hutan ini berpenghuni orang-
orang berilmu tinggi, yang sengaja menjajal diriku..." Berkata Nanjar dalam
hati. Kemudian merogoh seruling yang terselip di pinggang dibalik bajunya.
Ketika benda itu ditempelkan ke bibirnya maka
membersitlah suara melengking yang membuyar-
kan pengaruh kekuatan tenaga dalam lawan.
Suara tertawa itu mendadak lenyap, dan ber-
ganti dengan suara bentakan keras yang mengge-
tarkan udara. "Bocah lancang! Kau rupanya punya andalan
juga, hingga berani memasuki hutan larangan ini!
Siapakah kau sebenarnya?"
Suara bentakan itu disusul dengan berkelebat-
nya sesosok tubuh dari atas pohon besar.
Nanjar menatap tajam orang ini. Ternyata seo-
rang laki-laki tua bertubuh kurus memakai sorban warna hitam. Bajunya berwarna
hijau gelap, hingga pantaslah kalau Nanjar tak melihatnya ketika orang itu
bersembunyi diatas pohon.
"Hm, namaku Nanjar! Aku tak sengaja mema-
suki hutan ini. Tadi aku melihat sesosok bayangan kuning, dan kini yang muncul
adalah kau orang
tua baju hijau. Apakah aku boleh mengetahui pula siapa dirimu?" sahut Nanjar
balik bertanya.
"Haha...heheh...bayangan kuning yang kau lihat itu adalah muridku, dia seorang
gadis cantik. Tapi kau telah melemparnya dengan ranting kayu. Aku Kala Bajra
penjaga hutan larangan ini!" sahut laki-laki tua bersorban hitam ini.
Nanjar terhenyak sesaat. Kemudian selipkan se-
rulingnya kebalik baju, seraya berkata.
"Ah, aku sungguh tak mengetahui... aku mengi-
ra seekor binatang buas yang mau menerkamku!"
Sementara dalam hati diam-diam Nanjar terkejut, karena jelaslah dalam hutan ini
terdapat orang-orang persilatan yang berilmu tinggi. Di lain pihak diam-diam
laki-laki tua bersorban itupun memperhatikan dirinya. Sesaat kemudian Kala Bajra
perdengarkan suara suitan macam suara burung.
Mendadak dari arah semak belukar disamping
Nanjar berkelebat sesosok bayangan kuning. Mata Nanjar jadi membelalak lebar
menatap tajam-tajam. Kini jelaslah makhluk yang merupakan
bayangan kuning itu.
Apa yang dikatakan laki-laki tua itu memang
benar. Seorang gadis berwajah bulat telur dengan sepasang mata bulat berbulu
mata lentik mengenakan baju berwarna kuning, tampak telah berdiri dihadapannya.
Di pinggang gadis ini terselip sebuah pedang pendek. Walaupun berpakaian mirip
laki-laki dengan menyembunyikan rambutnya da-
lam ikat kepala, namun Nanjar dapat menerkanya kalau dia seorang gadis. Apalagi
laki-laki tua bernama Kala Bajra itu telah mengatakan sebelum-
nya. "Ah, inikah muridmu, sobat Kala Bajra yang ku-
sangka binatang buas itu...?" sentak Nanjar.
"Benar...! Sengaja aku menyuruhnya memun-
culkan diri, karena aku percaya kau telah berkata jujur!" sahut Kala Bajra.
Tahulah Nanjar kalau kedua orang itu tak ber-
maksud jahat atau berniat bermusuhan dengan
dia. Segera dia menjura pada laki-laki tua dan gadis murid si Kala Bajra
tersebut. "Ah... ada apakah sebenarnya dengan semua
ini..." Aku sungguh-sungguh tak mengerti".
"Hm, kau ikutlah aku...!" berkata Kala Bajra, seraya memberi isyarat pada
Nanjar. Sementara gadis itu dengan cepat telah melompat mendekati la-ki-laki tua
itu. Kala Bajra berjalan cepat didepan diikuti gadis muridnya. Nanjar dengan hati
penasaran mengikuti di belakang mereka.
Setelah melalui jalan yang berliku-liku, di belakang sebuah bukit Kala Bajra
memasuki sebuah
lorong goa tersembunyi tertutup belukar.
Tak lama kemudian mereka telah duduk saling
berhadapan. "Sebenarnya aku adalah Senopati Gendola dari
Kerajaan Giri Brata. Dan gadis ini adalah adik Adipati Purwata, bernama
Purwanti..." Nanjar yang sejak tadi sering melirik gadis itu segera mengangguk
dengan tersenyum, tapi juga terkejut mendengar penjelasan laki-laki tua itu.
"Jadi sebenarnya anda berdua dalam penyama-
ran?" tanya Nanjar.
"Benar sekali, sobat Nanjar. Kami tengah me-
nyelidiki rahasia Rimba Dandaka yang terlarang untuk dimasuki dan mendapat
larangan keras dari Baginda Raja bagi setiap orang Kerajaan, baik
memasuki atau menyelidiki...! Kami terpaksa menyamar untuk melakukan
penyelidikan. Kami ber-
harap dapat menemukan rahasia selama delapan
belas tahun itu. Selama lebih dari sepekan ini ka-mi tak menemukan tanda-tanda
yang mencuriga-
kan. Akan tetapi rekan kami Adipati Purwata telah menghilang entah kemana. Aku
tak mengetahui apakah yang telah terjadi pada dirinya..." Kala Bajra alias Senopati Gendola
menjelaskan. Sementa-ra si gadis sejak tadi tak bicara apa-apa.
Sejenak Nanjar tercenung. Sejak mendengar ce-
rita Senopati Gendola dari pertama kali mengenai adanya berita munculnya makhluk
aneh berbulu yang merampas upeti bagi Kerajaan Mataram,
Nanjar merasa sangat penasaran untuk menyelidi-ki. Tentu saja lenyapnya Adipati
Purwata membuat dia lebih terkejut. Berarti telah bertambah lagi ke-
melut yang melanda pihak Kerajaan.
"Apakah lebih baik diselidiki dulu, apakah Adipati Purwata telah pulang terlebih
dulu kembali ke Kota Raja?" Nanjar menukas.
Senopati Gendola menggeleng. "Rasanya tak
mungkin. Kami memang melakukan penyelidikan
secara berpencar, dan harus kembali ditempat
yang telah ditentukan. Tapi lebih dari satu hari Adipati Purwata tak muncul.
Hingga kami terpaksa mencarinya. Namun sampai saat ini kami tak menemukan
jejaknya..." sahut lak-laki tua bertubuh kekar ini.
"Hm, urusan ini tak bisa aku berpeluk tangan.
Walau kalian tak meminta pertolonganku, aku
akan berusaha menyelidiki hutan ini dan mencari jejak Adipati Purwata!"
"Kau akan pergi sendiri..." Apakah tak sebaik-
nya kita pergi bertiga. Tapi... hem, kukira cukup berdua saja! Dan kau....
Purwanti, lebih baik kau menanti disini sampai kami kembali!" kata Senopati
Gendola. "Biarlah aku pergi sendiri saja!" potong Nanjar seraya berdiri dan melangkah
keluar goa. "Paman Senopati! Aku akan turut menema-
ninya. Adipati Purwata adalah kakakku. Aku akan berusaha mencari jejaknya, atau
menemukan mayatnya!" Gadis yang sejak tadi tak bersuara itu tiba-tiba berkata seraya
melompat berdiri.
Senopati Gendola baru saja mengangakan mu-
lutnya untuk menyahut, tapi saat itu si gadis telah berkelebat menyusul Nanjar
yang telah berkelebat terlebih dulu. Dia memang tak ingin ditemani sia-
pa-siapa, karena Nanjar berpendapat lebih leluasa bergerak.
Laki-laki tua abdi Kerajaan ini tadinya mau bergerak mengejar untuk turut
mengikuti mereka.
Tapi segera mengurungkan niatnya seraya meng-
hela napas. "Oh... apakah yang harus kuperbuat" Aku su-
dah terlanjur melanggar peraturan yang dikeluarkan sang Prabu..."
Senopati Gendola jatuhkan pantatnya keatas
batu, dan duduk termangu-mangu. Namun akhir-
nya bangkit berdiri.
"Hm, aku percaya anak muda itu seorang pen-
dekar gagah dan berhati bersih. Kejujuran tampak terlihat pada sinar matanya.
Biarlah aku melacak jejak Adipati Purwata kearah lain..."
Setelah mengambil keputusan, Senopati Gendo-
la segera berkelebat meninggalkan goa tersem-
bunyi itu... *** EMPAT SOBAT Nanjar....! tunggu !"
Teriakan gadis ini membuat Nanjar menahan
gerakan kakinya. Lalu menoleh ke belakang. Dari balik-balik batang pohon di
kejauhan segera terlihat bayangan kuning berkelebat lincah bagaikan seekor
kijang, gadis bernama Purwanti itu menyu-sulnya.
"He" mengapa kau tak turut perintah paman
Senopati Gendola?" tanya Nanjar menatap gadis
yang sudah berdiri dihadapannya.
"Aku akan pergi mencari bersamamu, apakah
kau keberatan?" tanya si gadis. Nanjar tersenyum seraya menjawab.
"Sama sekali tidak! Kau punya ilmu meringan-
kan tubuh yang sempurna siapakah gurumu?"
"Apakah perlu aku mengatakannya?"
"Sesukamulah...! Tidakpun tak mengapa" sahut
Nanjar dengan tertawa.
"Hm, kau terlalu memuji. Apakah kau selalu
memuji pada setiap gadis?" bertanya Purwanti.
"Adakalanya ya, tapi ada kalanya tidak!" me-
nyahut si Dewa Linglung dengan garuk-garuk
tengkuknya. Sementara diam-diam dalam hati
Nanjar berkata. "Gadis aneh! kalau aku bertanya, dibalasnya dengan pertanyaan
pula" Gadis ini mendehem seraya melangkah mengi-
kuti Nanjar. "Kemana arah yang akan kita tuju?" tanyanya
tanpa memalingkan wajahnya kearah Nanjar.
"Kira-kira kemana arah yang cocok menurut
pendapatmu?" kini Nanjar yang balik bertanya.
Purwanti terdiam sesaat.
"Aku telah memutari sekitar hutan ini lebih dari tiga kali, tapi tak ada tanda-
tanda mencurigakan.
Diujung sebelah sana ada sebuah bukit, dan di-
balik bukit itu masih terdapat hutan lagi yang lebih lebat. Kami mencobanya
mencari kesana..."
kata si gadis. "Kalau begitu kita menuju kesana. Siapa tahu
kita menemukan tanda-tanda kakakmu tersesat
dihutan itu..." sahut Nanjar. Gadis ini mengang-
guk. "Baiklah! aku setuju!"
Tak lama keduanya telah berjalan cepat, terka-
dang melompati semak belukar. Gerakan kedua-
nya sepintas bagaikan dua bayangan putih dan
kuning yang bergerak cepat dan lincah merambas hutan belantara.
Selang tak berapa lama keduanya telah berada
diatas bukit. Nanjar sengaja berhenti untuk menyelidiki sekitar bukit itu, serta
memberi kesempatan gadis itu mengatur napas.
Purwanti memang tampak lelah, karena telah
beberapa hari melacak jejak kakaknya yang lenyap tak tentu rimbanya.
Ketika Nanjar tengah memperhatikan sekitar
bukit, tiba-tiba telinganya mendengar suara jeritan gadis itu. Alangkah
terkejutnya ketika menoleh dilihatnya Purwanti berada dalam cengkeraman se-
sosok makhluk hitam berbulu seperti seekor kera besar. Jeritan gadis itu
terhenti, tampaknya dia tak berdaya melepaskan diri dari lengan kekar
makhluk itu. Nanjar belalakkan mata terperangah. Tapi sege-
ra melompat disertai bentakan keras.
"Keparat! Lepaskan dia!"
Mendadak makhluk itu kibaskan lengannya.
Tahu-tahu serangkum angin keras menyambar
kearah Nanjar. Karena saat itu Nanjar tengah melakukan lompatan di udara, hal
itu membuat dia tersentak kaget. Namun dengan cepat Nanjar si-langkan lengannya
melindungi diri dari serangan.
"BUK! Satu benturan keras membuat tubuh si Dewa
Linglung terlempar. Jelas angin pukulan makhluk itu mengandung kekuatan tenaga
sangat besar. Untunglah Nanjar telah sempat melindungi diri, dan gunakan salto hingga ketika
menyentuh tanah dengan kaki terlebih dulu.
Tapi akibat dari serangan itu, Nanjar telah kehilangan jejak. Makhluk itu lenyap
tak ketahuan kemana berkelebatnya. Nanjar berkelebatan kesa-na-kemari mencari dimana adanya
makhluk itu, merambas semak belukar memasuki hutan di ba-
wah bukit tersebut. Namun makhluk berbulu itu
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hilang lenyap. "Gila! Kemana perginya makhluk itu" Ah, cela-
ka! Aku harus menemukannya. Purwanti.... haih!
alangkah lambannya aku dan kurang waspada,
hingga tak kuketahui munculnya makhluk itu..."
Nanjar memaki dirinya sendiri.
Sementara itu Purwanti merasakan tengkuknya
seperti di totok, lalu tubuhnya terkulai, dan dia tak ingat apa-apa lagi karena
saat itu juga dia tak sadarkan diri. Kemana gerangan makhluk aneh ber-
bulu mirip seekor kera ini melarikan gadis itu"
Ternyata di dalam hutan itu terdapat banyak jalan rahasia. Makhluk itu lenyap
tak terlihat oleh Nanjar karena telah memasuki sebuah lorong tertutup semak
belukar. Dalam lorong gelap itu ternyata mata si mak-
hluk aneh mampu melihat jalan. Tampak sepasang matanya memancarkan cahaya merah.
Lorong itu ternyata berliku-liku. Tapi tak lama di bagian depan terlihat cahaya terang.
Itulah rupanya ujung terowongan. Dalam waktu tak berapa lama mak-
hluk ini telah sampai ditempat terbuka.
Ternyata dihadapannya adalah sebuah tempat
rahasia yang tersembunyi. Dikelilingi batu bukit tampak sebuah pelataran
berumput hijau dan bersih. Ditempat ini terdapat sebuah bangunan berbentuk
pesanggrahan tua. Tiang-tiangnya dari
kayu jati dan penuh ukiran indah.
Dari dalam pesanggrahan itu terdengar suara
tertawa terkekeh diiringi munculnya sesosok tubuh berjubah merah. Ternyata
seorang nenek tua berwajah keriput. Ditangannya tercekal sebuah
tongkat yang di bagian ujung menyerupai tanduk rusa.
"Bagus! Kau telah berhasil menawan gadis itu.
Bawa masuk, dan masukkan dalam kerangkeng!"
berkata nenek tua ini.
Sosok makhluk berbulu ini bertubuh tegap. Se-
luruh tubuhnya dipenuhi dengan bulu hitam lebat dan kasar. Wajahnya menyerupai
manusia biasa namun penuh cambang bauk dan bulu-bulu yang
lebat, dan tak mengenakan pakaian kecuali sehelai cawat yang menutupi auratnya.
Mendengar perintah itu, makhluk ini mengang-
guk, lalu berjalan cepat kearah samping pe-
sanggrahan. Lalu memasuki sebuah pintu berukir di bagian paling kiri. Sementara
si nenek berjubah merah itu kembali lenyap memasuki pesanggrahan.
Ketika Purwanti sadarkan diri dia sangat terkejut mendapatkan dirinya berada
dalam sebuah penjara berjeruji besi.
"OH...!" Dimana aku" Tempat apa ini...?" sen-
taknya dengan mata membelalak memperhatikan
sekitarnya. Lalu meraba-raba tubuhnya. Tampak
dia menarik napas lega, karena merasa tak ada sesuatu yang terjadi dengan
dirinya. "Makhluk berbulu itu kemana perginya..." Ten-
tu dia yang telah memenjarakan aku ditempat ini.
Ah... selama hidupku baru aku menjumpai mak-
hluk yang menyeramkan begitu! Makhluk itu mirip seekor kera, tapi berwajah
manusia. Apakah makhluk itu yang menjadi penghuni hutan Dandaka?"
bertanya-tanya Purwanti dalam hati.
Ketika teringat pada Nanjar, gadis ini tercenung beberapa saat. Dia masih dapat
mengingat ketika pemuda itu berteriak membentak di saat dirinya dalam
cengkeraman makhluk itu yang tahu-tahu
muncul dihadapannya lalu menyergapnya. Dalam
keadaan terkejut itu secara reflek lengan Purwanti bergerak untuk menghantam,
tapi gerakan makhluk aneh itu teramat cepat. Tahu-tahu pinggangnya telah kena
dicengkeram. Dia berusaha melepaskan diri dengan menjerit
ketakutan, tapi satu totokan keras pada tengkuknya membuat pandangan matanya
menjadi gelap. Sekujur urat tubuhnya menjadi kaku, dan dia tak sadarkan diri lagi.
*** LIMA Sementara itu si Dewa Linglung terus melacak
jejak makhluk berbulu yang misterius itu. Namun sampai menjelang senja usaha
yang dilakukannya
sia-sia saja. Makhluk aneh yang melarikan Purwanti lenyap tanpa bekas. Akhirnya
Nanjar memutuskan untuk kembali keatas bukit dimana terjadinya peristiwa dan
munculnya makhluk aneh itu.
"Sekalian aku bermalam disana.... siapa tahu
makhluk itu muncul didepan mataku, dan aku se-
gera membekuknya!" pikir Nanjar seraya berkelebat kembali kearah yang menuju
keatas bukit. Akan tetapi baru saja dia melakukan dua kali
lompatan, mendadak sebuah bayangan merah
berkelebat dihadapannya.
"Siapa kau"!" bentak Nanjar seraya menahan
tindakan kakinya. Seorang nenek tua berwajah keriput tampak menyeringai
dihadapannya, yaitu si nenek jubah merah yang mencekal tongkat berke-pala tanduk
rusa. "Hehe...he... hik...hik... anak muda! Nyalimu
sungguh besar berani memasuki wilayah hutan
Dandaka! Siapakah kau anak muda" Tampaknya
kau bukan orang Kerajaan...!" bertanya si nenek.
"Benar! Aku memang rakyat biasa! Namaku
Nanjar. Aku mencari jejak sesosok makhluk berbu-lu menyerupai kera yang telah
melarikan teman ku seorang gadis. Apakah kau melihatnya" Dan siapakah kau orang
tua?" sahut Nanjar dengan me-
natap tajam wanita tua itu.
Nenek jubah merah ini kembali perdengarkan
suara tertawa terkekeh. Kemudian berkata.
"Aku bukan tak mau memperkenalkan diri, tapi
kemunculanmu dihutan Dandaka bakal menga-
caukan keadaan di wilayah ini. Tahukah kau bah-wa hutan ini terlarang bagi siapa
saja untuk men-
ginjaknya?"
Nanjar kerutkan keningnya. "Heh! siapa yang
membuat larangan itu?" tanya Nanjar walau sebenarnya Nanjar telah mengetahui
dari Senopati Gendola. "Hehe...hik...hik...hik... Sang Prabu Gempar
Wiyaksa raja kerajaan GIRI BRATA telah melarang setiap orang baik dari kalangan
kerajaan maupun rakyat jelata untuk memasuki wilayah hutan Dandaka. Dan hal itu
telah berlaku selama delapan belas tahun! Apakah kau baru mendengarnya?"
"Hm, aku adalah orang luar yang tak tahu me-
nahu dengan urusan segala larangan itu!" sahut Nanjar dengan sikap tetap tenang.
"Yang kutanyakan adalah mengenai gadis kawanku itu, nenek
tua! Apakah kau melihatnya" Dan siapakah diri-
mu...?" Nanjar ajukan pertanyaan.
Nenek ini naikkan alisnya hingga terjungkat.
Matanya tajam menatap Nanjar. "Hm, baik! Orang muda seperti kau memang berwatak
ugal-ugalan dan maunya menang sendiri. Gadis yang kau cari itu telah menjadi tawananku,
mungkin dalam waktu dekat aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat!
Larangan memasuki hutan Dandaka tak dapat di-
robah. Siapa yang datang harus menemui kema-
tian, tak terkecuali sang Prabu atau kau sendiri.
Namun, aku masih bisa memaafkan kau, anak
muda! Asalkan kau tak mencampuri urusan ini...!"
berkata si nenek.
Otak Nanjar cepat bekerja. "Hm, yang menculik
dan melarikan Purwati adalah makhluk berbulu
yang misterius itu. Kalau kini gadis itu berada da-
lam tawanan nenek ini sudah tentu makhluk itu
adalah makhluk piaraannya".
"Haha... nenek tua! bagaimana aku tak men-
campuri urusanmu kalau kau telah menculik te-
manku" Bahkan aku mau membongkar kejahatan
dan rahasia dihutan Dandaka ini, karena mem-
biarkan suatu kejahatan adalah suatu perbuatan tak terpuji yang bertentangan
dengan tujuan kau pendekar!
"Hm, mulutmu terlalu enteng berbicara. Apakah
kau mampu menghadapi tongkatku?" bentak si
nenek dengan mata memancarkan hawa amarah.
"Dengan senang hati aku akan mencobanya,
hingga aku bisa mengetahui kehebatan tongkat-
mu, nenek tua! Tapi tunggu dulu, kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah
namamu atau julu-
kanmu orang tua...?" berkata Nanjar dengan se-
nyum seperti mengejek.
"Kau akan mengetahui kalau nyawamu telah
melayang ke Akhirat!" bentak si nenek seraya berkelebat. Tongkatnya menyambar
menimbulkan si-
uran angin keras. Nanjar melompat ke samping.
Tak dinyana tongkat tanduk rusa itu terus mence-carnya. Bahkan serangan-
serangannya teramat
cepat, sehingga... Breet!
Nanjar tersentak kaget karena ujung tanduk ru-
sa tongkat lawan telah membuat koyak bajunya di bagian dada dan memutuskan
sederet kancing bajunya. Nanjar melompat menjauh. Tampak tubuh
bagian dadanya terbuka, dan menampakkan se-
buah gambar tatto seekor Naga.
Hal tersebut ternyata tak luput dari pandangan
mata si nenek yang tajam. Sejenak dia menahan serangan.
"Hm, gambar tatto di dadamu mengingatkan
aku akan sebuah pedang mustika yang bernama
Naga Merah. Apakah hubunganmu dengan si Pen-
dekar Naga Merah alias si Dewa Linglung yang ku-dengar namanya sangat santar di
dunia Rimba Hijau?" sentak si nenek terkejut.
"Hm, nenek tua! kalau kau percaya itulah aku
sendiri!" sahut Nanjar. Mendengar kata-kata pemuda ini si nenek mendadak
tertegun beberapa
saat. "Kaukah si Dewa Linglung itu?" sentaknya se-
perti tak percaya.
"Sudah kukatakan memang akulah orangnya,
apakah kau kurang pendengaran nenek tua" Nah,
kini apa maumu" apakah masih tetap akan mem-
bunuhku?" sahut Nanjar.
"Cukuplah sampai disini saja, pendekar Dewa
Linglung. Kau bukanlah musuhku, dan memang
tak seharusnya aku menempurmu sebelum aku
mengetahui siapa dirimu. Kau ikutilah aku ke
tempat tinggalku. Kau bisa membawa pulang ka-
wan gadismu itu...!" selesai berkata nenek tua ini segera berkelebat dari depan
Nanjar. Mau tak mau si Dewa Linglung segera mengikuti walau dalam
hati bertanya-tanya.
"Aneh...!" mengapa sikapnya mendadak beru-
bah begitu mengetahui diriku..." Bagus Aku bisa membongkar teka-teki aneh yang
menjadi sebab dari larangan memasuki hutan Dandaka itu, serta mengetahui siapa adanya makhluk
berbulu. Dan siapa tahu aku bisa menemukan pula jejak Adipati Purwata..." Namun begitu Nanjar
tetap waspada, khawatir kalau diam-diam si nenek itu memasang jebakan untuk
menjebak dia. Baru beberapa saat si nenek berkelebat menda-
dak dia merandek berhenti. Tentu saja Nanjar pun menghentikan pula gerakannya
dengan agak heran. Ternyata telinga nenek tua ini mendengar suara yang dikirim
dari jarak jauh membersit ditelinganya.
"Sobat Nini Cempati! Kukira kau takkan mela-
kukan penghianatan, bukan" Kau tahu apa aki-
batnya membocorkan rahasia dihutan Danda-
ka...?" Nenek tua ini tampak tersentak kaget. Peruba-
han sikap si nenek walaupun raut mukanya tetap kaku telah membuat Nanjar merasa
aneh. "Ada
apakah nenek tua" mengapa kau tiba-tiba berhen-ti?" tanya Nanjar terheran.
"Hm, tak ada apa-apa sobat pendekar Dewa
Linglung. Mari kita lanjutkan perjalanan..." sahut si nenek jubah merah, seraya
kembali berkelebat.
Nanjar segera mengikuti di belakang wanita tua itu.
Pada detik itulah sebuah bayangan hitam berke-
lebat, dan tahu-tahu menghadang didepan si ne-
nek jubah merah. Ternyata sesosok tubuh yang
membungkus sekujur tubuhnya dengan jubah hi-
tam hingga menutupi kepala. Cuma sepasang ma-
tanya saja yang tampak terlihat dari dua buah lubang di bagian muka.
Sosok manusia berjubah hitam itu memperden-
garkan dengusan di hidung. Sepasang matanya
memancarkan cahaya kemarahan menatap si ne-
nek. Tanpa berkata-kata si manusia jubah hitam merogohkan tangannya kebalik
jubah, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Kemudian melem-
parkannya pada wanita tua itu. Dengan cepat nenek tua ini menanggapinya.
Nanjar terheran. Dalam hati dia berkata. "Siapakah orang ini" Dan benda apa yang
dilemparkan pada si nenek tua...?"
Akan tetapi keheranan Nanjar mendadak beru-
bah menjadi terkejut bukan kepalang karena tahu-tahu si nenek perdengarkan suara
jeritan panjang.
Tubuhnya mendadak terhuyung ke belakang, lalu
roboh terjungkal. Detik itu juga si manusia jubah hitam berkelebat cepat sekali
dan lenyap dalam kerimbunan semak belukar.
Mata Nanjar cukup jeli ketika melihat sedetik
setelah melemparkan lipatan kertas, mendadak si manusia jubah hitam melihat
lengan manusia misterius yang disembunyikan di belakang punggung mendadak
mengibas. Tahu-tahu si nenek menjerit panjang dan roboh terjungkal.
"Iblis jubah hitam. Jangan lari!" membentak
Nanjar. Tadinya dia berniat mengejar, tapi segera
urungkan niatnya lalu memburu kearah si nenek
tua. Nanjar segera memeriksa keadaan wanita tua itu. Alangkah terkejutnya Nanjar
ketika melihat ti-ga buah belati kecil menancap di bagian dada wanita tua ini.
Sementara itu si nenek tua dalam keadaan kri-
tis meregang nyawa. Darah mengucur dari bagian dada merembes kejubahnya yang
merah, hingga semakin merah. Tampaknya wanita tua ini belum
tewas terburu-buru. Melihat keadaannya memang
sangat tak memungkinkan untuk bisa hidup lama.
Melihat Nanjar menghampiri, nenek ini mele-
barkan matanya. Bibirnya yang menyeringai men-
dadak memperlihatkan senyum. Senyum yang
sangat menggiriskan dan sangat kaku.
"Nenek tua... siapa iblis jubah hitam itu" mengapa ia menyerang mu...?" bertanya
Nanjar. "Anak... muda...mendekatlah. Aku akan menga-
takan siapa diriku..." Nanjar tak berayal segera menuruti perintah si nenek.
"Sebelum ajalku tiba, lekas kau lihat apa isi surat ini..." katanya lirih.
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lengan si nenek tergetar mencoba mengangkat lengannya. Cepat Nanjar
mengambil lipatan kertas dalam genggaman tangan si nenek.
Lalu membukanya. Alangkah terkejutnya Nan-
jar ketika melihat kertas itu kosong.
"Kosong, nek! Tak ada tulisan satu huruf pun!"
kata Nanjar terheran. Si nenek tampak tertegun.
"Iblis keparat itu memang sangat... li..cik!" berkata si nenek dengan suara
terputus. "Biarlah...
tak mengapa. Kini cepat kau kelupas kulit muka-ku....! Wajahku yang sebenarnya
ada dibalik... topeng yang ku...kenakan ini..." kata si nenek selanjutnya.
Nanjar sejenak tertegun, tapi segera menu-
rutkan perintahnya.
Benar saja! Nanjar melihat satu wajah lagi diba-
lik topeng tipis menyerupai kulit manusia itu. Kini tampak seraut wajah seorang
wanita berkulit putih. Seraut wajah yang menampakkan seorang wa-
nita berusia sekitar tiga puluh limaan tahun dan tampak masih tersisa
kecantikannya. "Siapakah
sebenarnya anda...?" tanya Nanjar.
Lagi-lagi "nenek" ini tersenyum. Tapi kini se-
nyum dari seorang wanita yang tak begitu tua.
Tampak manis dengan lesung pipit dikedua pi-
pinya. Namun senyum yang membayangkan kepe-
dihan hati, di saat datangnya maut yang sebentar lagi akan menjemputnya.
"Aku adalah bekas permaisuri Sang Prabu
GEMPAR WIYAKSA, raja kerajaan Giri Brata. Se-
lama... delapan belas tahun aku dibuang di hutan Dandaka oleh sang Prabu,
karena... aku melahir-kan seorang bayi yang tak diakui sebagai anak ke-
turunannya..." Nanjar tersentak kaget. Matanya membelalak. Kini rahasia hutan
Dandaka mulai tersingkap, walau belum begitu jelas.
Wanita ini berhenti sejenak untuk mengatur
napasnya yang tersengal-sengal. Tampak dia men-gerenyitkan keningnya seperti
menahan sakit pada dadanya. Nanjar cepat menotok dibeberapa tempat disekitar
luka. Tak lama berselang wanita ini tampak tersenyum karena merasa rasa sakitnya
agak berkurang. Kemudian wanita ini melanjutkan ka-ta-katanya yang semakin lirih
dan terputus-putus.
"Orang yang menyerangku... adalah.... orang
yang telah menyelamatkan jiwaku..." lanjutnya
dengan mata semakin meredup. Dan dari sela-sela kelopak matanya tampak mengalir
air bening kepi-
pinya. Nanjar belalakkan matanya terheran.
"Tapi... mengapa dia menyerangmu?" tanya
Nanjar tak mengerti. Wanita ini tersenyum. Mendadak napasnya kembali tersengal-
sengal dan wajah wanita ini semakin memucat.
"Anak muda... aku... hanya mohon kau melin-
dungi... a...anakku..." katanya dengan suara terputus-putus. Nanjar tersentak.
"Siapa anakmu..." dan siapa orang yang menye-
rangmu itu?" tanya Nanjar seraya mengangkat kepala wanita itu dan menguncang-
guncangkannya. Akan tetapi kepala wanita ini telah terkulai. Nyawanya telah melayang ke Alam
Baka. Nanjar membelalakkan mata tersentak. Dengan
penuh kekecewaan perlahan dia membaringkan
kembali kepala si wanita. Lama dia terpekur menatap mayat wanita bekas
permaisuri Raja itu. Sementara otaknya berfikir keras untuk menemukan jawaban
wanita itu. Pada saat itulah sesosok makhluk mendadak
muncul dari semak belukar. Sepasang mata mak-
hluk ini memancarkan hawa amarah dari kedua
biji matanya yang merah. Dalam kesenyapan didalam hutan itu telinga Nanjar
menangkap suara
berkrosakan dibelakangnya, segera dia balikkan tubuh dan melompat ke belakang
penuh kewaspa-daan.
Alangkah terkejutnya si Dewa Linglung melihat
sesosok makhluk berbulu yang beberapa saat yang lalu telah melarikan diri
setelah menawan Purwanti itu kini berada dihadapannya.
Akan tetapi pada detik itu makhluk aneh itu telah melompat dan menerjang dengan
sesuatu menggerung parau.
"Tunggu...! siapa sebenarnya kau" Dan apa hu-
bunganmu dengan perempuan ini...?" teriak Nan-
jar seraya menghindar dengan melompat jauh.
Makhluk berbulu itu kembali mengerung dahsyat.
Suara gerungannya menggetarkan udara meron-
tokkan daun-daun kering dari pepohonan.
Diam-diam Nanjar terkejut, karena jelas kekua-
tan tenaga dalam makhluk itu sangat luar biasa.
Pada saat itu tiba-tiba Nanjar merasakan sesua-tu menyambar didepan hidungnya.
Dia tersentak kaget karena tak diketahui dari arah mana da-
tangnya tahu-tahu wajahnya telah tertutup oleh sehelai kain tipis yang berbau
harum. Terenduslah bau harum yang menusuk hidung. Cepat dia me-nepiskan benda
yang menutupi mukanya. Ternya-
ta selembar sapu tangan berwarna putih bersulam setangkai bunga, entah bunga
apa. Selagi dia terheran dan jelalatkan matanya mencari si pelempar benda
tersebut mendadak kepalanya terasa berde-nyutan. Selanjutnya dengan mengeluh
pendek, Nanjar terhuyung roboh tak sadarkan diri...
*** ENAM KETIKA Nanjar sadarkan diri dia terkejut kare-
na tubuhnya terbaring disebuah pembaringan ber-
seprai putih, bersulamkan kembang disekelilingnya. Ketika Nanjar melihat sulaman
kembang tersebut tersentak kaget, dan seketika melompat
bangun. Ingatannya kembali pulih. Dirabanya keningnya yang masih tersisa rasa
pening setelah sebelum dia tak sadarkan diri mencium bau harum
dari sapu tangan yang menutupi wajahnya.
"Heh!" dimanakah aku..." Dan siapa yang
membawaku ketempat ini?" bertanya-tanya Nanjar dalam hati. Sementara matanya
menjalari sekitar ruangan. Ketika memperhatikan sulaman kembang itu, memang
sangat mirip dengan sulaman
pada sapu tangan yang membekap wajahnya.
Diam-diam dia meraba punggungnya. Alangkah
terkejutnya Nanjar karena baik pedang dan seruling tulangnya yang terselip di
pinggang serta bun-talan kain yang selalu menggemblok di punggungnya telah
lenyap. "Celaka aku..." keluh Nanjar. Mendadak wajah-
nya berubah pias. Sadarlah dia kalau orang telah membawa dia ketempat itu telah
membenahi barang-barang miliknya.
"Manusia macam apakah orang yang main cu-
rang membekap wajahku dengan kain berbau ha-
rum itu..." Hm, kalau kudapatkan manusianya,
jangan harap aku akan memberi ampun." Namun
diam-diam dia terheran, karena orang yang mem-
bawanya ketempat ini tak menotoknya, karena dia merasa tak ada kelainan dari
anggota tubuhnya.
Diam-diam dia merasa heran dan penasaran
untuk mengetahui si pembokong aneh itu.
Tengah dia terlongong mendadak terdengar sua-
ra tertawa nyaring berderai memenuhi isi ruangan kamar.
"Hihihi... kau sudah mendusin rupanya pende-
kar Dewa Linglung" Hihi.. syukurlah! Jangan
khawatir, kau takkan kehilangan barang-
barangmu. Apa lagi barang terlarangmu. Kalau kurang yakin boleh kau periksa
dulu.." Seorang wanita berwajah cantik dengan dagu
terbelah dan tahi lalat dibawah hidung tahu-tahu telah muncul dari balik tirai
yang disingkapkan.
Nanjar terkejut, karena tak menyangka dibalik tirai itu ada sebuah pintu.
Mendengar kata-kata konyol wanita itu mau tak mau merah juga muka si Dewa
Linglung. "Hm, kaukah yang telah melemparkan sapu
tangan berbau bacin hingga menutup mukaku"
Perbuatanmu sungguh tak dapat dimaafkan. Sia-
papun adanya kau aku tak perlu tahu. Yang penting lekas kembalikan barang-barang
ku dan minta maaf atas perbuatan kurang ajarmu padaku, dengan mencium ujung
kakiku!" berkata Nanjar den-
gan wajah sinis.
Wanita itu kembali tertawa berderai. Dadanya
yang membusung, dimana dua buah benda kenyal
tertutup pakaian berwarna biru, tampak bergerak-gerak ketika dia tertawa
terpingkal-pingkal.
"Hihihi... hihi... ternyata aku tak salah memilih kawan. Kaupun seorang pendekar
konyol seperti aku. Hm, baiklah, tuan pendekar! Aku akan kem-
balikan barang-barangmu, tapi silahkan ambil
sendiri. Benda-benda milikmu kuletakkan diatas meja diruang dalam!" berkata
wanita ini, seraya
menyingkapkan kain tirai, lalu lenyap dibalik tirai itu.
"Haaa...! Bagus!" teriak Nanjar seraya melompat
dari atas tempat tidur, tapi tiba-tiba dia tersentak kaget, karena tubuhnya
tanpa pakaian sama sekali, dan hanya terbungkus kain selimut.
Pucatlah seketika wajahnya. "Hah!" Gila! Apa
yang telah terjadi?" teriak Nanjar dengan mata membelalak. Mau tak mau dia cepat
sambar kain selimut yang merosot, lalu membuntal lagi tubuhnya.
Wanita tadi tiba-tiba muncul lagi dari balik tirai.
Melihat Nanjar yang membuntal tubuhnya dengan
kain selimut, wanita ini kembali tertawa terpingkal-pingkal, seraya berkata.
"Hihi... kau benar-benar seorang pendekar ko-
lokan. Apakah kau ingin agar aku memondongmu
dari tempat tidur?"
"Kau... kau gila! Apa-apaan ini" Apa yang telah kau lakukan terhadapku?" bentak
Nanjar dengan mata melotot. Tatapan matanya beradu dengan sorot mata si wanita
yang memancarkan suatu ke-
kuatan aneh yang tersembunyi.
Nanjar tersentak kaget, karena merasa ada sua-
tu pengaruh yang sangat luar biasa membuat dia tertegun. Entah bagaimana tahu-
tahu Nanjar melihat sesosok tubuh polos dihadapannya. Tak diketahui lagi sejak
kapan wanita itu melepaskan pakaiannya.
Darah Nanjar berdesir dan terasa mengalir lebih cepat. Matanya membinar
terkesima melihat wanita itu yang bagaikan sebuah arca manusia dari ba-
tu pualam putih, dengan rambut terurai dan bibir sunggingkan senyum merekah, dan
sepasang mata berbulu lentik tengah menatap padanya.
Saat itu telinganya seperti mendengar suara
mendesah yang menyentakkan jantungnya hingga
berdebaran. "Dewa Linglung... Dekaplah aku...! Peluklah
aku...! Mengapa kau diam saja?"
Keringat dingin membasahi tengkuk Nanjar,
Napasnya memburu, dan suatu hasrat yang seper-
ti tak terbendung meronta-ronta membuat tubuh-
nya tergetar seperti terserang demam.
Entah sejak kapan, tahu-tahu wanita itu telah
berada dalam dekapannya. Terasa benda kenyal
merapat didadanya, hingga terasa degup jantungnya sendiri. Bibir wanita yang
merekah itu menimbulkan hasrat yang luar biasa untuk mengecup-
nya. Terasa bau harum kembali menyambar hi-
dung. Sebisa-bisa dia bertahan, tapi dia tak dapat membendung lagi hasratnya.
Disaat dia akan merengkuh sepasang bibir yang
indah menawan itu, mendadak Nanjar terkejut,
karena dari kedua sisi bibir wanita itu tersembul sepasang taring. Mata Nanjar
membelalak. Dan
semakin membelalak lebar karena ini terasa da-
danya seperti menyentuh dengan bulu-bulu kasar menusuk kulit.
Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat tu-
buh wanita yang putih bagaikan batu pualam itu mendadak kini penuh dengan bulu-
bulu hitam kasar yang lebih menyerupai seekor kera besar.
Bahkan sepasang mata si cantik yang indah
berbulu mata lentik itu kini telah berubah menjadi sepasang mata yang
menyeramkan dengan sorot
mata yang menggidigkan.
Detik itu juga Nanjar melepaskan pelukannya,
dan mendorong tubuh dalam pelukannya itu den-
gan berteriak. "Tidak....! Tidak....! Tidaaak! Oh! pergi kau! Per-giii...!"
Whuuk ! Whuuuk !
Tangannya bergerak menghantam ke depan.
Terdengar suara teriakan tertahan diiringi suara menggelegar akibat pukulan
mengandung tenaga
dalam itu mengenai sasaran.
Saat setelah terdengar teriakan seseorang yang diiringi terhuyung roboh sesosok
tubuh, Nanjar nampak membelalakkan mata, dan mengucak-ucak kedua matanya seperti
tak percaya pada
yang dilihatnya. Ternyata dia berada diatas sebuah kuburan disebuah hutan
dipuncak bukit.
Peluhnya mengucur deras dikening, dan sepa-
sang matanya tampak memerah. Napasnya mem-
buru. Dia tak melihat lagi adanya wanita yang
aneh yang berubah menyeramkan itu. Yang dida-
pati adalah dua buah pohon besar roboh. Nanjar menggaruk-garuk tengkuknya,
seraya menggumam.
"Hah...!" Jadi... jadi... aku cuma bermimpi..."
Tapi... mengapa aku berada ditempat ini" Dan
mengapa aku bisa tidur diatas kuburan?" sentak Nanjar, walaupun nampak lega,
tapi dia terheran-heran.
Ketika meraba pedangnya dipunggung ternyata
benda itu masih berada ditempatnya. Juga pa-
kaiannya dalam keadaan utuh, dan seruling tulang yang diselipkan dipinggangpun
masih pula tetap ditempatnya.
Nanjar melompat turun dari kuburan itu den-
gan terheran-heran. Lalu memeriksa kuburan be-
rukuran besar itu memperhatikan tulisan yang ter-tera dibatu nisan. Tulisan itu
masih bisa terbaca walaupun penuh dengan lumut, dengan jalan
membersihkannya terlebih dulu.
Tampak sederet tulisan yang berbunyi: Disini
disemayamkan jenazah Prabu DANDAKA.
Terkejut Nanjar melihat tulisan itu, karena jelas kuburan itu adalah kuburan
seorang Raja, yang
bernama Prabu Dandaka.
Nanjar tercenung beberapa lama memikirkan
kejadian demi kejadian aneh yang menimpa di-
rinya. Kini ditemui pula sebuah kuburan yang
aneh pula. Kuburan seorang Raja yang bernama
Prabu Dandaka. Tiba-tiba Nanjar tersentak karena mendengar
seperti suara orang mengeluh. Diapun baru ingat ketika di saat dia mengigau dan
menghantamkan dua pukulan berturut-turut diluar kesadarannya, telah mendengar
Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara teriakan tertahan sekilas.
"Apakah ada orang yang terkena sasaran puku-
lanku...?" berkata Nanjar dalam hati, seraya berkelebat melompat kearah suara
yang didengarnya.
Terkejut Nanjar melihat seorang gadis tergeletak ditanah. Bajunya bagian pundak
sampai kedada tampak robek hangus. Wanita ini setelah menge-
luh kembali pingsan. Nanjar membelalakkan mata
melihat dara ini mirip sekali dengan gadis yang berada dalam mimpinya, yaitu
gadis yang berubah
jadi makhluk berbulu yang menyeramkan.
"Hm, apakah ini suatu kebetulan, ataukah me-
mang sebenarnya...?" pikir Nanjar dalam hati. Tapi dia tak banyak berfikir lagi,
dan tak perduli apakah yang bakal menjadi kenyataan sebenarnya.
Yang penting dia harus menolong gadis itu sece-patnya. Dia yakin gadis itu telah
terkena serangan di saat dia mimpi dan mengigau tadi.
Segera diperiksanya luka gadis itu. Tampak
warna biru lebam disekitar pundak dan punggung leher. Nanjar menghela napas.
"Heh, untunglah
dia hanya terserempet saja, tapi sangat berbahaya.
Pendekar Penyebar Maut 18 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Panji Sakti 9