Pencarian

Dedemit Rimba Dandaka 2

Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka Bagian 2


Aku harus segera menolongnya. Nanjar memon-
dong gadis itu, lalu dibawanya berkelebat dari tempat itu.
*** TUJUH BEBERAPA hari sudah Nanjar merawat gadis
itu dengan penuh kesungguhan, maka berangsur-
angsur luka gadis itupun mulai sembuh. Nanjar
berharap dapat menanyai siapa adanya dara itu
sebenarnya. Kini melihat sang gadis mulai agak segar, Nanjar mendekati.
"Maafkan aku, nona... karena perbuatanku
yang diluar sadar dan dalam pengaruh mimpi yang aneh, aku telah kelepasan tangan
melakukan pukulan. Untung luka itu tak membahayakan jiwa-
mu, "kata Nanjar.
"Tak mengapa. Aku sudah sembuh, dan sehat
kembali. Akar ramuan yang kau berikan padaku
sangat mujarab..." sahut si wanita sambil tersenyum. Kedua lesung pipit dan tahi
lalat dibawah hidung itu sungguh serasi sekali hingga nampak wanita itu sangat
cantik luar biasa, membuat dia diam-diam mengagumi kencantikannya.
"Oh, itu adalah akar-akar obat yang selalu ku-
bawa, untuk dapat kupergunakan dimana kuper-
lukan. Oh, ya... siapa namamu...?"
"Panggilah aku Walangi, itu namaku" sahut si
gadis sambil tersenyum dan membenarkan sobe-
kan bajunya di bagian dada yang sedikit tersingkap. Diam-diam Nanjar
memperhatikan sikap ga-
dis itu. Nyatalah kalau gadis ini berbeda dengan gadis dalam impiannya, walaupun
raut mukanya jelas mirip dengan gadis dalam mimpinya.
"Gadis ini tampak sopan... tak mungkin bila dia adalah gadis seperti dalam
mimpiku, yang bisa berubah menjadi makhluk berbulu seseram itu..."
pikir Nanjar. "Kukira sudah saatnya aku menanyakan hal
yang selama ini kusimpan dalam benakku, nona
Walangi, yaitu mengenai kejadian setelah sehelai sapu-tangan berbau wangi
membekap wajahku...
selanjutnya aku tak tahu apa-apa lagi. Kemudian aku bermimpi aneh. Dan ketika
aku terbangun ta-hu-tahu aku tertidur diatas kuburan." ujar Nanjar.
Lalu melanjutkan kata-katanya.
"Yang akan kutanyakan adalah siapa yang
membawa aku ketempat itu, dan apakah kau yang
telah melemparkan sapu tangan berbau harum
itu?" tanya Nanjar dengan menatap sang dara.
Walangi bangkit berdiri, lalu menyahut. "Aku
tak memiliki sapu tangan berbau harum seperti
itu. Yang membawa kau ketempat itu adalah gu-
ruku. Bahkan aku sendiri tak mengetahui menga-
pa kau diletakkan diatas kuburan tua itu. Aku
hanya diperintahkan guru untuk menjagamu. Ti-
ba-tiba kau berteriak-teriak dan melepaskan pukulan yang nyaris menewaskan
diriku..."
"Gurumu..." Siapakah gurumu" Laki-laki atau
perempuan?" tanya Nanjar dengan kerutkan ke-
ningnya. "Guruku bernama Ki Bangun Jugala. Dia seo-
rang yang aneh. Aku sendiri selama menjadi mu-
ridnya hampir dikatakan jarang sekali bertemu
muka" sahut si gadis.
"Aneh! Lalu bagaimana caranya kau mengikuti
pelajaran?"
"Dia selalu meninggalkan tulisan dinding goa.
Ya, goa inilah, yang secara kebetulan kau membawaku ketempat ini..." Nanjar
tersentak. "Ha" pantas... aku melihat diruangan ini ba-
nyak guratan tangan berbentuk tulisan. Akan tetapi sudah tak dapat dibaca..."
kata Nanjar memperhatikan dinding goa sekitarnya.
"Tentu saja tak dapat kau baca lagi, karena setelah aku paham mempelajari, aku
lalu mengha- pusnya." sahut si gadis tersenyum. Nanjar men-
gangguk-angguk. "Pintar juga kau, dengan begitu tak ada orang yang mengetahui
jurus-jurus silat yang kau pelajari"
"O, ya. Sampai hari ini aku tak melihat gurumu
muncul. Apakah dia telah mengetahui keadaanmu
dan aku ditempat ini?" tanya Nanjar. Walangi
menggeleng. "Aku tak tahu dimana beliau bera-
da..." "Sebaiknya kita mencarinya, dan... aku ingin
sekali menyelidiki kuburan kuno itu. Apakah kau mau menemaniku melihat-lihat?"
berkata Nanjar.
"Bagus sekali. Aku sudah bosan berada dalam
goa ini. Aku akan bantu kau menyelidiki sobat
pendekar... eh, siapa namamu?"
"Panggil saja aku Nanjar..." sahut Nanjar sambil tertawa. Tapi kini dia makin
yakin bahwa gadis ini adalah bukan gadis seperti dalam mimpinya. Karena gadis
yang dialam mimpi mengenal dirinya, dan menyebut dia si Dewa Linglung.
Nanjar mendahului beranjak keluar, diikuti si
gadis dengan gerakan yang sebat. Nampaknya dia benar-benar telah sembuh.
Kuburan kuno itu diperiksa oleh Nanjar untuk
kedua kalinya, meneliti susunan batu-batu di sekitarnya. Dia berharap dapat
menemukan suatu ra-
hasia yang dapat mengungkap keanehan ditempat
itu. Terutama tentang mimpi anehnya, dan men-
gapa dia dibaringkan ditempat itu.
Disaat itu samar-samar di kejauhan terdengar suara bentakan-bentakan menyibak
kelenggangan, Nanjar tersentak. Lalu memberi isyarat pada Walangi untuk waspada.
"Iblis keparat! Musuh dalam selimut! Kini kau
tak akan lolos lagi dari tanganku!" terdengar bentakan keras disusul dengan
menghambur keluar
dari semak belukar sesosok tubuh. Ternyata se-
seorang berjubah hitam. Detik berikutnya sesosok bayangan berkelebat mengejar,
dan lepaskan pukulan kearah punggung orang ini.
Nanjar terkejut karena mengetahui orang berju-
bah hitam itu dalam keadaan terluka. Pada saat itu terdengar teriakan Walangi.
"Guru...!" Awas serangan!"
Orang berjubah hitam ini mendadak gulingkan
tubuhnya menghindari serangan, dan melompat
keatas kuburan. Serangan itu lolos menimbulkan suara berdentum yang membuat
tanah berlubang.
Ternyata penyerangnya adalah seorang laki-laki berbaju putih yang tiada lain
dari Adipati Purwata.
Dengan membentak gusar dia berkelebat mengejar orang berjubah hitam itu.
Mendadak orang berjubah hitam itu memutar batu nisan, menghambur-
lah ratusan senjata rahasia bersamaan dengan
meletupnya suatu ledakan yang menimbulkan uap
hijau. Adipati Purwata terperangah kaget. Tak ada ke-
sempatan lagi bagi dirinya untuk menghindar. Seketika dia menjerit parau dan
terhuyung-huyung.
Sementara Nanjar sendiri terkejut bukan main karena begitu terdengar letupan
itu, uap hijau berbau amis menyambar hidungnya. Detik itu juga
dia berkelebat melompat menjauh.
Letupan demi letupan tiba-tiba terdengar dis-
ana-sini. Nanjar belalakan mata dengan terperanjat. Seketika dia teringat pada
Walangi. Cepat dia tutup pernapasannya, dan berkelebat melompat
mencari gadis itu diantara uap-uap hijau.
Sementara itu diluar tahunya, sosok berjubah
hitam itu telah menyambar tubuh Walangi dan
membawanya berkelebat. Dalam beberapa kejap
saja sosok tubuh itupun lenyap...
"Keparat!" teriak Nanjar. Mendadak dia gerak-
kan kedua lengannya. Seketika menghembuslah
angin keras menyapu uap hijau itu. Udara kembali menjadi bersih. Akan tetapi
terkejut si Dewa Linglung karena tak menjumpai Walangi.
Sejenak dia tertegun. Tapi segera berkelebat melompat mendekati sosok tubuh yang
terkapar tak jauh dari tempatnya berdiri.
Baru saja dia memeriksa orang itu yang belum
diketahui kalau orang tersebut adalah Adipati
Purwata, mendadak terdengar suara teriakan.
"Celaka...! Aku terlambat!" Diiringi berkelebat muncul sesosok tubuh yang tiada
lain dari Senopati Gendola.
"Sobat Senopati...! Ah, kiranya kau..." sentak Nanjar terkejut dan girang,
karena dia dapat mengetahui kedatangan teman sendiri.
"Siapakah orang ini, paman Senopati?" tanya
Nanjar. "Dialah Adipati Purwata yang kita cari-cari.
Apakah yang terjadi" Tentu iblis hitam itu yang mencelakainya!" berkata Senopati
Gendola. "Benar...! Ah, sungguh tak kusangka kalau setelah aku menemuinya dalam keadaan
seperti ini..."
"Bagaimana keadaannya" Apakah masih bisa
ditolong?" tanya Senopati penuh kekhawatiran.
Wajah Nanjar tampak murung menatap pada
sekujur tubuh Adipati Purwata yang penuh dengan jarum. Sekujur tubuh laki-laki
ini telah berubah
menghijau. Napasnya tinggal satu-satu.
Nanjar hanya menggelengkan kepala, dan sede-
tik kemudian Adipati Purwata menghembuskan
napasnya. Senopati Gendola tersentak dengan berteriak pilu. "Adik Adipati...
Ah..." katanya dengan mata berkaca-kaca. Lalu tundukkan kepala. Dua
tetes air bening meluncur turun membasahi tanah.
Nanjarpun hanya tercenung tak berkata apa-apa, selain menghela napas. Sementara
kesunyian me-rayapi sekitar tempat itu.
*** DELAPAN ORANG berjubah itu membawa tubuh Walangi
berkelebat menembus hutan. Ternyata yang dituju adalah kearah sebuah telaga yang
terletak disisi bukit. Lagi-lagi dia memasuki sebuah tempat rahasia dibalik air
terjun. Dengan gerakan ringan dia melompati batu-batu sungai dan lenyap dibalik
air terjun. Orang ini membaringkan tubuh Walangi yang
terkulai pingsan karena mengendus bau hawa be-
racun. Dengan gerak cepat dia tempelkan mulut-
nya ke hidung gadis ini. Kemudian dengan tak ayal lagi lalu menyedot hawa racun
yang mengendap di pernapasan dara ini dengan mulutnya.
Kemudian melepaskan hembusan napas ke
udara. Tampak uap hijau menyebar diruangan itu.
Namun tidak membahayakan lagi karena cuma
sedikit. Uap itupun lenyap. Kemudian dengan cepat jejalkan sesuatu seperti
sebutir pel ke mulut dara itu. Lalu membantunya mendorong dengan
air ludahnya sendiri dengan menempelkan mulut-
nya ke mulut sang gadis.
Selang sesaat Walangi tampak mulai sadarkan
diri. Dia melompat bangun dan membelalakkan
mata. Ketika melihat dirinya berada disebuah
pembaringan batu beralasan jerami, dan hawa
dingin yang menyebar dari mulut goa yang meng-
gericik oleh suara air terjun, dia terperanjat. Ter-pandang sosok tubuh
dihadapannya yang tengah
menatap tajam-tajam.
"Guru... Ah, dimana aku" Apa yang terjadi..."
Dan dimanakah ini?" sentak Walangi membelalak
menatap sosok berjubah hitam itu.
"Hehehe... inilah tempat tinggalku selama ini, muridku. Barusan aku mengusir
racun uap hijau
yang mengendap dalam tubuhmu melalui perna-
pasanmu. Sukurlah kau sudah sehat lagi." sahut si orang berjubah.
"Guru... selama ini kau selalu bersikap aneh
terhadapku, dan sampai-sampai wajahmupun aku
tak pernah mengetahuinya. Karena kau selalu me-nyelubunginya. Apakah sebenarnya
dengan si- kapmu itu.... Dan sampai kapan aku menyelesai-
kan masa berguru padamu...?"
"Sekaranglah saatnya! Kau boleh pergi kemana
yang kau sukai. Akan tetapi, kau harus menyelesaikan dulu tugasmu. Aku akan
memberi kau dua
macam tugas. Yang pertama harus kau laksana-
kan sekarang, dan yang kedua dapat kau lakukan
dalam waktu panjang...!"
"Apakah tugas yang pertama, dan apakah tugas
yang kedua, guru" Tapi sebelumnya aku ingin
mengetahui, apa maksudmu dengan menyuruh
aku menjaga seorang pendekar muda yang kau
baringkan diatas kuburan kuno dihutan itu, dan siapa orang yang telah
mengejarmu?" bertanya
Walangi dengan rasa penasaran menatap sang
guru. Orang berjubah ini menghela napas. Lalu berka-
ta. "Sebenarnya pemuda itu adalah seorang pendekar muda yang bergelar si Dewa
Linglung. Aku menyelamatkan dia dari tangan si Iblis Racun As-mara. Dia adalah seorang
perempuan yang punya
kegemaran mencari laki-laki gagah, setelah diajaknya bergaul lalu dibunuhnya!
Kuburan itu adalah kuburan leluhur kerajaan Dandaka yang bergelar Prabu Dandaka.
Aku adalah bekas Patih Kerajaan Dandaka yang telah musnah.
Munculnya kerajaan Giri Brata telah melanggar
peraturan turun-temurun kerajaan Dandaka, ka-
rena yang menjadi raja adalah keturunan Prabu
Dandaka. Sedangkan menurut peraturan turun
temurun yang berlaku di kerajaan Dandaka adalah tidak diperkenankan seorangpun
keturunan sang Prabu mendirikan kerajaan baru..." orang berjubah hitam itu menuturkan.
"Nah, seperti yang telah terjadi sejak delapan belas tahun sampai saat ini
GEMPAR WIYAKSA keturunan dari sang Prabu Dandaka telah memerin-
tah kerajaan baru Giri Brata. Kerajaan itu harus
dimusnahkan. Karena pelanggaran tersebut telah mengakibatkan terjadinya kutukan
para Dewa terhadap semua keturunan sang Prabu Dandaka.
Bahkan aku sendiri terkena kutukan itu.. " lanjut Ki Bangun Jugala.
"Gurupun terkena kutukan?" sentak Walangi
terperangah mendengarkan cerita Ki Bangun Ju-
gala. "Kau lihatlah wajahku ini, yang mungkin sela-
ma ini kau baru mengetahuinya." kata laki-laki ini.
Ki Bangun Jugala melepaskan penutup wajah-
nya. Dan saat itu juga Walangi berteriak kaget dengan mata membelalak lebar.
Tampaklah seraut wajah penuh bulu hitam lebat dan sepasang taring mencuat dari
kedua sudut bibir laki-laki itu.
"Nah! Kini kau mengerti mengapa aku selalu
menutup wajahku, dan aku tak mau unjukkan diri dihadapanmu..." kata Ki Bangun
Jugala. Walangi menutup wajahnya dengan perasaan


Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngeri. Sementara laki-laki Ki Bangun Jugala menutup lagi wajahnya, dan menarik
napas panjang, tampak agak mengerutkan kening seperti menahan sesuatu yang nyeri
pada dadanya. Kemudian
berkata. "Walangi, muridku...! Tugasmu yang pertama
adalah mencari pemuda bergelar Dewa Linglung
itu. Kau harus membujuknya agar bisa terjadi persanggamaan denganmu. Karena dia
harus menjadi salah seorang dari kita, demi untuk menghancurkan kerajaan Giri Brata! Itulah
sebabnya aku membaringkan dia diatas kuburan leluhur sang
Prabu Dandaka, yang berarti dia telah memenuhi
persyaratan untuk menjadi orang yang berhak
atas pembelaan terhadap kerajaan Dandaka yang
telah dinodai, hingga terjadinya kutukan para De-wa itu..."
Walangi mengangkat wajahnya dengan hati ter-
sentak kaget. "Aku... aku harus..." dia tak melanjutkan kata-katanya selain terpaku menatap
gurunya. "Ya! Itulah tugasmu yang kedua...! Sedangkan
tugasmu yang pertama adalah kau harus menga-
dakan hubungan seperti suami-istri terhadap aku!
Karena kaupun sebelumnya harus menjadi bagian
dari orang-orang bekas kerajaan Dandaka!"
Kalau ada halilintar menggelegar saat itu tidaklah akan membuat seterkejut itu
ketika Walangi mendengar apa yang dikatakan gurunya. Seketika itu juga wajahnya
berubah pucat pias bagai kertas.
"Tidak... tidak, Guru! Aku tak mau...! Jangan
kau lakukan hal itu. Dan mengapa hal itu harus dilakukan...?" tergagap Walangi
dengan tubuh tergetar hebat.
"Mengapa harus kau lakukan" Bocah bodoh!
Karena itulah persyaratannya!" bentak Ki Bangun Jugala. Sepasang matanya menatap
tajam gadis dihadapannya memancarkan hawa aneh yang
menggidikkan. Walangi tersurut mundur. Wajahnya kian beru-
bah pias. Napasnya tersengal, dan keringat dingin meremang ditengkuknya.
Sementara hatinya meronta. "Tidak! Aku tak mau terseret dalam kutukan! Aku tak
akan melakukan perbuatan bejat itu!
Tidak...! Tidaaak!"
Detik itu juga dia telah melompat dari atas
pembaringan batu.
Mendadak secepat kilat lengan Ki Bangun Juga-
la bergerak kebalik jubah dan melemparkan sehelai kain sapu tangan berbau harum.
Sapu tangan itu menyambar deras dan tanpa dapat dielakkan
lagi telah menutup wajah dara ini. Tentu saja hal itu membuat si gadis
gelagapan. Dan harum yang menyengat hidung mau tak mau terendus hidungnya.
Detik berikutnya Walangi merasakan kepalanya
menjadi pening, dan dengan mengeluh panjang
tubuhnya limbung, lalu roboh tak sadarkan diri. Ki Bangun Jugala perdengarkan
suara tertawa berge-lak.
"Heheheh... bocah goblok! Sebenarnya kalau
aku mau sudah sejak lama aku merusak kegadi-
sanmu, tapi... aku hanya mengulur waktu agar
kau menyelesaikan dulu pelajaranmu. Sementara
aku sendiri juga harus menyelesaikan urusanku.
Heheheh... kinilah saatnya kau harus mewariskan kutukan pada diriku, dan kau
harus membantuku
untuk mencapai cita-citaku merebut kerajaan Giri Brata dari tangan GEMPAR
WIYAKSA si keparat
itu!" Laki-laki ini beranjak mendekati tubuh Walangi yang tergeletak. Sesaat matanya
menjalari sekujur tubuh dara itu. Tampak Ki Bangun Jugala mene-lan air liurnya.
Napasnya memburu. Sepasang matanya kian membinar melihat sobekan baju dara
itu di bagian dada yang menyembulkan auratnya.
Detik itu juga lengannya bergerak menyambar,
dan... breet! breeet! Semakin jelas kini sepasang daging kembar yang menyembul
di bagian dada dara itu ketika laki-laki ini merobek pakaiannya.
Sepasang matanya tambah membinar-binar. Kini
lengannya bergerak kearah lutut Walangi.
*** SEMBILAN SENOPATI Gendola meletakkan mayat Adipati
Purwata keatas punggung kuda. Lalu dia sendiri melompat kepunggung kuda
tersebut. Kemudian
menoleh pada Nanjar yang berdiri memperhatikan.
"Sampai bertemu lagi, sobat pendekar Dewa
Linglung. Sesuai dengan saranmu, aku akan men-
gantarkan jenazah Adipati Purwata ke Kota Raja..."
katanya dengan suara agak parau. Tampak wajah
laki-laki ini diliputi mendung kemasygulan, karena musibah yang tak disangka-
sangka. "Selamat jalan, sobat Senopati. Jangan khawa-
tir, aku akan berusaha mencari jejak Purwanti.
Harap kaupun berhati-hati, karena aku mengkha-
watirkan di Kota Raja terjadi sesuatu sepeninggal-mu!" sahut Nanjar.
Senopati Gendola mengangguk. Hatinya diam-
diam membenarkan pendapat Nanjar. Tak me-
nunggu lama lagi segera Senopati Gendola mem-
bedal kuda dengan cepat. Sebentar saja telah lenyap dari pandangan Nanjar.
Nanjar menarik napas panjang, dan berkata da-
lam hati. "Urusan ini tampaknya kian rumit. Akan tetapi
aku mulai menemukan titik sasaran, yaitu mun-
culnya orang berjubah hitam itu yang telah beberapa kali aku berjumpa. Pertama
ketika dia membokong perempuan yang menyamar sebagai seo-
rang nenek tua berwajah keriput. Ternyata dalam pengakuannya dia adalah bekas
seorang permaisuri yang diasingkan dirimba Dandaka, yaitu bekas permaisuri Prabu
Gempar Wiyaksa yang mera-
jai kerajaan Giri Brata. Dan kedua adalah yang membaringkan aku diatas kuburan
besar. Kuburan itu tengah kuselidiki, entah siapa adanya sang Prabu Dandaka yang
dikuburkan dihutan itu?"
Nanjar masih berdiri dengan benak terus memikirkan peristiwa demi peristiwa.
"Yang masih kurasakan aneh adalah, siapakah
yang telah melemparkan kain sapu tangan berbau harum itu hingga membuat aku tak
sadarkan diri"
Menurut Walangi, gurunya tak memiliki saputan-
gan semacam itu. Kalau bukan Ki Bangun Jugala
guru gadis itu yang melakukan, apakah ada orang lain yang melakukannya?" pikir
Nanjar sambil memijit-mijit keningnya. Tapi akhirnya dia berpendapat tidak mungkin seorang
laki-laki membawa-
bawa sapu tangan. Mendadak dia teringat pada
peristiwa yang terjadi belum lama berselang, yaitu ketika munculnya orang
berjubah hitam itu dihutan dimana dia tengah memeriksa kuburan kuno
tersebut. "Hm, kini semakin jelas! Bau uap hijau yang
mengandung racun disekitar kuburan akibat dari
ledakan-ledakan yang ditimbulkan setelah Ki Bangun Jugala memutar batu nisan,
sangat mirip dengan sapu tangan itu. Kalau bukan dia sendiri yang melakukan untuk membongkong
aku dengan sapu tangan itu, tentu dia mempunyai kawan atau saudara seperguruan..."
Nanjar memutuskan untuk mencari jejak Ki
Bangun Jugala yang lenyap bersama dengan Wa-
langi yang diketahui adalah murid laki-laki berjubah hitam itu. Semakin kuat
tekadnya untuk membuka rahasia rimba Dandaka. Apalagi dengan
tewasnya Adipati Purwata dan keanehan-keanehan Ki Bangun Jugala, serta lenyapnya
Purwanti dan adanya makhluk berbulu dirimba Dandaka, membuat dia harus
menyelesaikan urusan itu sampai tuntas. Di samping itu dia merasa bertanggung
jawab dengan lenyapnya Purwanti, adik Adipati
Purwata. "Haiiih! Dewa Linglung! Pekerjaanmu berat! Dan sampai saat ini kau berlaku
lamban, kurang waspada terhadap kelicikan orang...!" Nanjar memaki diri sendiri.
Lalu berkelebat memasuki hutan belantara...
Sementara itu didalam rimba Dandaka, sesosok
tubuh tampak keluar dari balik semak belukar
yang merupakan mulut lubang dari lorong rahasia.
Siapa adanya sosok tubuh ini tiada lain dari si makhluk berbulu.
Makhluk ini memondong seorang gadis yang
terkulai pingsan. Gadis itu tiada lain dari Purwanti. Dengan langkah cepat dia
berjalan cepat menembus hutan. Gerakannya sebat menyusup ke-
semak belukar, entah akan dibawa kemana gadis
adik Adipati Purwata itu.
Ternyata yang ditujunya adalah hutan dimana
adanya kuburan kuno, yaitu kuburan leluhur sang Prabu Dandaka. Setiba ditempat
tujuan, dia cepat membaringkan tubuh sang dara diatas kuburan
tersebut. Kemudian beranjak ke depan dan berlutut didepan batu nisan.
"Wahai kakek, leluhur kerajaan Dandaka... Su-
dah saatnya aku membalas dendam. Karena terja-
dinya kutukan para Dewa adalah akibat pelanggaran Prabu Gempar Wiyaksa, maka
izinkanlah aku untuk keluar dari hutan Dandaka ini, guna mem-
balas dendam, dan membunuh Gempar Wiyaksa.
Serta mencari jejak seorang laki-laki muda yang telah membunuh ibuku. Menurut
keterangan dari
gadis yang kutawan ini, dia bernama Nanjar dan bergelar si Dewa Linglung.
Tidaklah puas hatiku sebelum mencincang tubuhnya, dan akan kuper-sembahkan
kepalanya untuk arwah ibuku!"
Laki-laki bertubuh penuh bulu ini tampak
menggeletar tubuhnya. Dan dari sepasang ma-
tanya yang memancarkan cahaya merah tampak
mengalir dua titik air bening yang mengalir dikedua belah pipinya.
Dia berhenti berkata dan mengusap pipinya
yang basah oleh air mata. Tapi tak lama wajahnya berubah membesi. Sepasang
matanya memancarkan hawa pembunuhan. Lalu dia bangkit berdiri, dan berkata
parau. "Wahai leluhurku, perempuan ini adalah salah
satu dari orang kerajaan Giri Brata. Hari ini aku
akan persembahkan kepalanya untuk menente-
ramkan arwahmu, dan akan kuminum darahnya
untuk kekuatan serta tekadku demi melenyapkan
orang-orang kerajaan Giri Brata!"
Sementara itu diatas pohon besar sepasang ma-
ta memperhatikan keadaan ditempat itu. Siapa
adanya orang ini tiada lain dari Nanjar alias si De-wa Linglung. Ternyata telah
sejak tadi dia berada ditempat itu. Tujuannya adalah menyelidiki kuburan leluhur
yang dirasakan penuh keanehan. Dia yakin kuburan itu adalah sebuah tempat
rahasia, karena jelas ketika si orang berjubah hijau memu-tarkan batu nisan
telah menyambar ratusan ja-
rum-jarum maut yang menewaskan pengejarnya,
yaitu Adipati Purwata.
Disaat dia tengah meneliti, mendadak telin-
ganya mendengar suara orang mendekati. Gerak
langkahnya yang menggetarkan tanah membuat
Nanjar cepat melompat keatas pohon besar untuk mengintai siapa adanya orang yang
datang itu. Ternyata yang muncul adalah sesosok makhluk
berbulu, yang memondong seorang gadis.
Bukan main girangnya hati Nanjar melihat gadis itu tiada lain dari Purwanti yang
justru tengah dicari-carinya. Pucuk dicinta ulam tiba. Tapi melihat keadaan
Purwanti yang pingsan dan dibaringkan
diatas kuburan seperti dirinya membuat dia me-
nahan napas tak berani sembarangan bertindak.
Diam-diam dia ingin tahu apa yang akan dilaku-
kan makhluk itu.
Tentu saja terkejut bukan main hati Nanjar ke-
tika mendengar gadis itu akan dikorbankan untuk
arwah sang leluhur Prabu Dandaka, dan darahnya akan dihirup untuk penambah
kekuatan makhluk
berbulu tersebut.
Baru saja makhluk berbulu itu menghampiri
Purwanti dan julurkan lengannya untuk menja-
mah tubuh sang gadis, Nanjar membentak keras.
"Tahan dulu sobat lutung!" bentakan Nanjar di-
iringi gerakan mendorong ke tubuh laki-laki berbulu itu. Tentu saja membuat si
laki-laki berbulu ini terhuyung.... Tapi tiba-tiba dia berbalik dengan cepat
seraya menggeram dan kibaskan lengannya
ke depan. "Grrrr! Siapa kau "!"
Hebat sambaran angin pukulan makhluk ini ka-
rena menerbitkan uap putih berhawa panas. Nan-
jarpun telah siap menghadapi, karena tahu lawannya tak boleh dianggap enteng.
Nanjar telah membentengi tubuhnya dengan te-
naga Inti Api dan Inti Es. Begitu merasai hawa panas menyambar, segera dia
lepaskan hawa Inti Es melalui telapak tangannya. Seketika hawa panas berganti
menjadi hawa dingin luar biasa.
Makhluk ini nampak terkejut melihat muncul-
nya orang yang justru telah dikenalnya, dan sangat didendamnya karena dia
menganggap Nanjar-
lah orang yang telah menewaskan ibunya.
"Grrr... manusia pembunuh! Kau harus tebus
jiwa ibuku dengan darah dan nyawamu!"
"Tahan dulu sobat lutung! Eh, siapa namamu
sebenarnya" Maaf, terpaksa aku memanggilmu si
Lutung, karena kau berbulu macam kera!" berkata Nanjar dengan sikap waspada.
Diam-diam dia memperhatikan makhluk itu dari ujung rambut
sampai ke kaki.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, tapi jelas kau telah merusak keadaan di Rimba
Dandaka! Kau ha-
rus dikorbankan untuk arwah leluhurku termasuk gadis ini!" bentak si manusia
berbulu. "Hm.. apakah tak sebaiknya kau bersabar dulu
untuk mendengarkan kata-kataku. Aku kemari tak bermaksud jahat, apa lagi untuk
merusak atau mengotori Rimba Dandaka! Dan yang perlu kau
ketahui, ibumu telah membuka rahasia mengenai
dirinya. Dia bukan tewas olehku. Maksudku bu-
kan aku yang membunuhnya, tapi seseorang ber-
jubah hitam yang membokongnya.
Ibumu telah berpesan padaku agar melindun-
gimu. Oleh sebab itu sudilah kau bersabar dan tak main hantam kromo menuduh dan
menyerang orang. Bahkan aku bersedia membantumu kalau
tujuanmu dapat dibenarkan...!" berkata Nanjar
dengan menyerocos hingga si makhluk berbulu
terpaksa mendengarkan karena tak ada kesempa-


Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tan mengumbar kemarahan.
Sementara itu Purwanti mulai sadar dari ping-
sannya. Matanya membelalak melihat dia terbaring diatas kuburan.
Purwanti mulai mengingat-ingat apa yang telah
terjadi dengan dirinya.
Seingatnya ketika dia sadar dari pingsan dia telah berada dalam sebuah ruang
tahanan berjeruji yang tak diketahui dimana adanya. Seperti diceritakan di
bagian depan Purwanti tertawan dan dalam cengkeraman makhluk berbulu tersebut,
ke- mudian dibawa kelorong bawah tanah, dan di ma-
sukkan dalam ruang tawanan disebuah tempat
atas perintah seorang nenek tua yaitu ibu si makhluk berbulu.
Purwanti merasa dirinya terancam bahaya. Se-
lain mengkhawatirkan nasib Nanjar, juga keadaan dirinya sendiri. Akan tetapi
Purwanti terkejut ketika merasa tubuhnya tertotok dan tak dapat berku-tik. Gadis
yang berhati keras ini segera gunakan kekuatan serta berbagai daya upaya untuk
melepaskan diri. Tapi di saat hampir berhasil, mendadak makhluk berbulu itu
muncul kembali, dan
membuka pintu kerangkeng.
Dia tersurut mundur dengan wajah pucat. Ter-
nyata makhluk itu dapat berkata seperti manusia.
Dengan suara dingin dia menanyakan siapa pe-
muda kawannya. Karena takut dengan sorot mata
makhluk itu yang memancarkan cahaya merah
menyeramkan, dan khawatir dirinya akan celaka
maka dia mengatakan bahwa kawannya adalah
seorang pemuda bernama Nanjar yang berjulukan
si Dewa Linglung.
Selesai mendapat jawaban lengan makhluk te-
rulur dan memencet urat lehernya membuat dia
kembali tak sadarkan diri.
Ketika melihat makhluk berbulu itu tengah ber-
hadapan dengan seorang pemuda berbaju putih,
segera dia mengenali orang itu adalah Nanjar. Tentu saja hatinya girang bukan
main. Tentulah Nanjar yang telah menolong dirinya. Tak berlaku ayal lagi didalam
kesempatan itu segera Purwanti beru-
saha melepaskan pengaruh totokan pada tubuh-
nya. Di lain pihak, si makhluk berbulu tampaknya
sukar diberi penjelasan. Bahkan dengan mengge-
ram-geram penuh nafsu membunuh dia menye-
rang Nanjar. Terpaksa Nanjar melayani serangan-serangan
makhluk itu dengan menghindari serangan. Nyatalah kalau tenaga dalam si manusia
berbulu luar biasa besar, hingga beberapa kali Nanjar harus menahan napas karena
dua kali bajunya terkoyak oleh cengkeramannya yang ganas.
Nanjar segera gunakan ilmu kera untuk berke-
lebatan kesana-kemari. Sementara dia melihat
keadaan Purwanti yang telah sadar dari pingsannya. Sayang dia tak ada kesempatan
untuk men- dekati gadis itu. Nanjar sendiri terheran karena melihat gadis itu tetap
terbaring tak bergerak, sementara dahinya penuh dengan keringat yang
mengalir. Tahulah Nanjar kalau Purwanti dalam keadaan
tertotok. Mendadak dia berseru keras seraya ber-lompatan melakukan gerakan
jungkir balik di uda-ra. Makhluk berbulu mengejar. Diam-diam Nanjar bergirang
karena akalnya kali ini akan berhasil.
Demikianlah, beberapa kali dia melakukan hal
yang sama hingga jarak antara pertarungan mere-ka dengan Purwanti semakin
menjauh. Setelah dirasa cukup, kembali Nanjar melompat.... dan lenyap dari
pandangan mata makhluk itu.
Dengan menggeram-geram makhluk itu mengo-
brak-abrik hutan belantara. Pohon-pohon bertum-
bangan dilanda terjangan tangannya yang berte-
naga besar. Akan tetapi pemuda yang dicarinya telah lenyap entah kemana.
Makhluk berbulu ini akhirnya kembali ke tem-
pat semula. Alangkah terkejutnya dia ketika mengetahui ga-
dis tawanannya telah lenyap.
Makhluk ini menggeram dahsyat hingga tanah
bergetar dan daun-daun rontok. Lalu dengan mengeluarkan suara lengkingan yang
terdengar sangat pilu dia berkelebat pergi dari tempat itu...
*** SEPULUH SEMENTARA itu jauh disisi hutan Dandaka dua
sosok tubuh berlari-lari cepat dengan gerakan ge-sit. Seorang berbaju putih dan
seorang lagi berpakaian warna abu-abu. Siapa adanya dua orang ini tak lain dari
si Dewa Linglung dan Purwanti.
Wajah Purwanti kelihatan berduka. Hal itu da-
pat dimaklumi, karena berita kematian Adipati
Purwata telah diceritakan pada gadis itu oleh Nanjar. "Sebentar lagi hari akan
menjelang malam. Untuk ke Kota Raja jalan manakah yang terdekat,
nona Purwanti" mungkin kau mengetahui", berka-
ta Nanjar. Gadis itu menggeleng seraya sahutnya. "Entah-
lah...! Aku tak mengetahui..." Kata-katanya tampak seperti sukar diucapkan dan
agak parau. Ke-
tika Nanjar menoleh dilihatnya sepasang mata da-ra itu tampak berkaca-kaca.
"Kau menangis, nona Purwanti...?" Tanya Nan-
jar seraya memperlambat larinya mengikuti gerakan si gadis yang mengendur. Gadis
ini merandek berhenti. Terpaksa Nanjarpun menahan langkah
kakinya. Tampak Purwanti menundukkan wajah-
nya. Cepat-cepat Nanjar menghampiri lalu ulurkan lengannya untuk memegang
pundaknya. Tapi segera diurungkan.
"Hm, biarlah dia mengumbar kesedihan ha-
tinya. Tentu dia sangat bersedih mendengar kematian kakak kandungnya..." berkata
Nanjar dalam hati. Sejenak Nanjar menghela napas, dan mem-biarkan dara itu
menangis terisak-isak menutupi wajahnya.
Nanjar melompat keatas batu dan jatuhkan
pantatnya untuk duduk.
Tiba-tiba telinga Nanjar mendengar suara men-
curigakan dari arah sebelah depan. Saat itu si gadis tengah membelakangi, sambil
menutup wajah- nya dengan kedua lengannya. Nanjar tadinya akan menyuruh gadis itu menunggunya
sementara dia akan memeriksa suara itu. Tapi lagi-lagi dia mengurungkan niatnya. Dan... set!
set! Tubuhnya telah melesat ke udara dengan tak menimbulkan suara.
Dalam beberapa kali lompatan, dia telah hing-
gapkan kaki disebatang dahan pohon.
Matanya memandang ke bawah tebing yang cu-
kup curam. Tanah di bagian bawah dasar tebing adalah tanah yang becek dan lebih
merupakan ra-wa-rawa berlumpur. Hati Nanjar tercekat ketika
melihat sesuatu tampak bergerak-gerak diatas semak belukar dipermukaan rawa.
"Aaah... to... toloooong..."
Akhirnya terdengar suara lirih meminta perto-
longan. Tubuh Nanjar telah melayang ke bawah
bagaikan seekor cecak terbang. Kini terlihatlah oleh si Dewa Linglung, seorang
wanita terperosok dipermukaan rawa-rawa berlumpur dibawah tebing itu. Wanita ini
dalam keadaan yang sangat kri-tis, karena tubuhnya telah terbenam sebatas dada.
Wajahnya pucat pias, dan lengannya menggapai-
gapai. Ketika tadi dia meronta menggerakkan tubuhnya sambil berteriak, tubuh
wanita ini amblas lebih dalam lagi hingga hampir mencapai leher.
Hampir tak percaya Nanjar pada penglihatan-
nya, karena segera dia mengenali siapa adanya gadis yang terperosok dirawa-rawa
itu. "WALANGI...! Hah" apa yang telah terjadi?" sentak Nanjar terkejut tak terhingga.
Tampak wajah gadis itu telah semakin memucat.
Nanjar cepat mencari sebatang ranting kayu.
Setelah didapatkan kemudian dipergunakan untuk menolong sang gadis. Ujung
ranting dijulurkan
kearah Walangi, seraya berkata.
"Cepat kau berpegang erat-erat. Aku akan me-
narikmu keluar dari lumpur maut ini...!"
Walangi cepat turuti perintah Nanjar. Sepasang lengannya cepat mencekal ujung
ranting. Akan tetapi gerakan itu justru membuat tubuhnya kemba-li amblas
beberapa inci. Gadis ini sudah putus asa tampaknya. Matanya membelalak menatap
Nanjar dengan pandangan penuh harapan.
Ya! harapan memang ada ditangan si Dewa Lin-
glung. Sedetik saja terlambat maka maut akan
menjemput nyawa gadis itu. Gadis ini memejam-
kan matanya yang berkaca-kaca. Dicekalnya erat-erat ujung ranting itu, dan
dibayangkan seolah-olah lengan pemuda pendekar itu yang dicekalnya.
Tiba-tiba dara ini merasakan tubuhnya menyen-
tak dengan keras, dan terasa beban berat yang
mengganduli tubuhnya lenyap. Ketika dia membu-
ka mata, alangkah terkejutnya karena kini tubuhnya tengah melayang di udara.
Disaat itulah sesosok bayangan putih telah berkelebat menyambar tubuhnya.
Walangi benar- benar takjub, karena kini dia tengah melayang di udara bagaikan seekor burung
saja. Hampir-hampir dia tak percaya ketika melihat disebelah kirinya tampak
Nanjar si Dewa Linglung mencekal lengannya erat-erat. Saat itu keduanya bagaikan
dua ekor burung yang melayang di udara.
"Sobat Nanjar...!?" Ah, kau... hebat!" berkata Walangi terlongong menatap sang
perkasa. Nanjar tersenyum, tapi tiba-tiba berteriak memberi peringatan.
"Awas...! Kita segera terjun!"
Bersamaan dengan peringatan Nanjar Walangi
merasa tubuhnya mendadak menjadi berat. Dan...
tahu-tahu meluncur ke bawah dengan cepat. Be-
berapa detik kemudian BYURRR!
Ternyata disebelah bawah adalah sebuah sungai
berair jernih. Walangi merasa tubuhnya menjadi segar. Agak megap-megap dia
sembulkan kepala
dipermukaan air. Sungai itu tak seberapa dalam,
hanya sebatas dada saja. Tapi dengan demikian
sekujur tubuh Walangi yang penuh lumpur telah
terbasuh air. Dengan girang dia segera membersihkan tu-
buhnya. Walangi berenang ketepi, sementara matanya je-
lalatan mencari-cari si Dewa Linglung.
Tapi hingga dia melompat kedarat, pemuda
yang telah menolong dirinya tak kelihatan batang hidungnya. "Hm, kemanakah
dia...?" berkata Walangi dalam hati. Diam-diam dia bersyukur karena jiwanya
tertolong. Sayang pemuda pendekar itu
tak mau unjukkan diri setelah menolong dirinya dari bahaya maut.
Walangi jatuhkan tubuhnya untuk bergulir dire-
rumputan. Matanya menatap sekitarnya.
Suara gemericik air terdengar begitu syahdu
melagukan irama ketenangan, kedamaian... Ah,
mengapa nasibnya begitu penuh liku" Dia terman-gu-mangu beberapa lamanya.
Bagaimanakah sampai Walangi berada di rawa-
rawa itu, dan terperosok dilumpur maut" Hingga kalau tak secara kebetulan Nanjar
mendengar suara mencurigakan ketika tengah melakukan perja-
lanan bersama Purwanti, tentu jiwanya telah melayang...
Ternyata seperti diceritakan di bagian depan, Walangi tak berdaya dalam
cengkeraman Ki Bangun Jugala yang siap memindahkan kutukan di-
rinya pada gadis itu melalui persanggamaan. Akan tetapi di saat hal itu hampir
terjadi, Ki Bangun Jugala mendengar suara orang tertawa nyaring me-
nyakitkan gendang telinga yang terdengar dari luar goa.
Terkejut Ki Bangun Jugala mengenali suara
orang itu. Terpaksa dia urungkan niatnya terhadap Walangi, lalu melompat keluar
goa. Hatinya panas karena diejek bahwa dirinya tak ubahnya
seperti seorang banci, yang menggunakan senjata milik seorang perempuan, dan
senjata yang dipergunakan andalan dari merebut milik orang lain.
Siapa adanya yang datang itu tak lain adalah
seorang wanita berkulit putih, mengenakan baju sutera merah dengan perbagai
perhiasan di tubuhnya. Siapa orang ini tiada lain tokoh Rimba Hijau yang
menamakan dirinya si Iblis Racun Asma-ra. Demikianlah, di saat kedua tokoh itu
bertarung dengan serunya, Walangi siuman dari pingsannya.
Melihat kesempatan baik, dia segera menyelinap, keluar dari goa tersebut, dan
melarikan diri. Karena kurang berhati-hati Walangi terperosok dari atas tebing,
dan jatuh kedalam rawa-rawa yang
penuh dengan bahaya maut.
*** SEBELAS DI SAAT Walangi termangu-mangu Nanjar tahu-
tahu telah berada di belakangnya, dan berindap-indap mendekati. Nanjar memang
senang menggo- da orang. "Hm, akan kubuat dia terkejut dengan
ular ini..." berkata si Dewa Linglung dalam hati seraya dengan berjingkat-
jingkat mendekati sang da-ra yang pakaiannya basah kuyup hingga bagian-
bagian tubuhnya nampak jelas.
Sementara Walangi sendiri tengah tercenung
memikirkan sikap gurunya Ki Bangun Jugala yang aneh dan dianggapnya sangat
mengerikan. Dia bersyukur dapat terlepas dari cengkeraman
sang guru. Karena begitu terhanyutnya dalam alam lamu-
nan, Walangi tak menyadari kemunculan Nanjar
dibelakangnya. Tiba-tiba seekor ular melayang jatuh dirumput tepat dihadapannya.
Gadis ini terpe-kik kaget, dan dengan gerak reflek dia melompat ke belakang.
Saat itulah tiba-tiba dirasakan punggungnya bersentuhan dengan sesuatu benda,
dan tahu-tahu sepasang lengan telah memeluk ba-
hunya. Walangi terperanjat seketika. Wajahnya berubah memucat, dan hatinya diam-diam
membatin. "Celaka aku! Sekali ini aku tak dapat melepaskan diri lagi..."
Alangkah terkejutnya dia ketika tiba-tiba men-
dengar suara tertawa yang sangat dikenalnya.
"Hahaha...haha... jangan khawatir nona Walan-
gi! Ular itu tak berbahaya lagi..." Disamping terkejut, Walangi juga sangat
bergirang. Tak ayal dia segera balikkan tubuhnya. Dan tampaklah pemuda pendekar
yang telah menyelamatkan nyawanya
dari bahaya maut itu berdiri dihadapannya dengan tersenyum.
"Nanjar...! Dewa Linglung...!" Ah, kau., kau
pandai menggoda orang! Hampir-hampir aku mati
ketakutan..." berkata Walangi dengar suara bergetar karena girang, juga hatinya
mendadak menjadi trenyuh.
Tiba-tiba dia telah memeluk pemuda pendekar
itu dengan isak tersendat dikerongkongan. "Nanjar...! Nanjar...! Jangan kau
tinggalkan aku lagi..."
ucapnya dengan suara lirih penuh keharuan.
"Aih... sudahlah, nona Walangi. Jangan macam
anak kecil. Kau tak akan mati ketakutan, dan tak akan mati karena ditinggalkan
aku" kata Nanjar.
Diam-diam si Dewa Linglung merasai kehangatan
tubuh sang dara yang bajunya basah kuyup itu.
"Benar, sobat Dewa Linglung. Tapi... aku kha-
watir guruku tak akan memberi ampun padaku"


Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Walangi dengan tersipu seraya mele-
paskan pelukannya.
"Hm, duduklah, Walangi...! Ceritakanlah apa
yang telah terjadi dengan dirimu" Nanjar mengga-mit lengan gadis itu dan
diajaknya duduk dire-
rumputan. Setelah menghela napas seperti melepaskan be-
ban yang menindih dadanya, gadis ini segera menceritakan apa yang terjadi dengan
dirinya. Serta menceritakan ancaman Ki Bangun Jugala sang
guru terhadap dirinya. Semua yang dikatakan Ki Jugala diceritakannya pada si
Dewa Linglung...
"Kau telah menolong jiwaku, sobat Nanjar. Aku
tak dapat membalas budi kebaikanmu selain den-
gan cintaku yang tulus dan suci. Akan kupasrahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk
mengabdi pa- damu..." berkata gadis ini dengan sepasang mata
berlinangan air mata.
Sementara itu dari tempat tersembunyi sepa-
sang mata bening juga berkaca-kaca tampak
memperhatikan mereka. Itulah sepasang mata mi-
lik si gadis bernama Purwanti.
Disaat itulah tiba-tiba gadis ini menjerit panjang lalu roboh terjungkal. Darah
memuncrat membasahi bajunya. Dan sesosok makhluk berjubah hi-
tam yang dikenali Walangi adalah wajah menye-
ramkan milik Ki Bangun Jugala, gurunya.
Nanjar dan Walangi yang telah melompat ke-
tempat kejadian menatap makhluk itu dengan
membelalakkan mata.
"Heheheh... grrr.. kalian harus mampus semua,
karena telah mengetahui rahasia rimba Dandaka!"
berkata menggeram Ki Bangun Jugala. Nanjar te-
lah mengetahui siapa adanya makhluk itu dari
Walangi. Segera dia cabut pedang mustika Naga
Merah. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan.
"Manusia iblis! Cita-citamu untuk merebut ke-
kuasaan Kerajaan Giri Brata tak akan terlaksana!
Kau telah memfitnah leluhur kerajaan Dandaka,
dan menyembunyikan barang upeti rampasan itu
didalam kuburan leluhurku! Bahkan kau telah
menipu semua orang kerajaan, dan mengatakan
bahwa orang-orang bekas abdi kerajaan Rimba
Dandaka terkena kutukan! Padahal kau telah
mempelajari ilmu sesat, hingga menghasilkan keturunanmu yang mirip seekor lutung
dari pada manusia! Kau telah merebut permaisuri Prabu
Gempar Wiyaksa dan menyekapnya dihutan Dan-
daka selama delapan belas tahun! Kini telah terbuka kedokmu. Ternyata kau tak
lain adalah EMPU BADAR!"
Orang yang muncul itu tiada lain dari Senopati Gendola. Tampak Ki Bangun Jugala
melangkah mundur dengan wajah agak berubah. Senopati
Gendola mengeluarkan sehelai gulungan kain, seraya berkata. "Atas perintah
Baginda Prabu Gempar Wiyaksa, raja kerajaan Giri Brata kami harus menangkapku,
Empu keparat! Dan ini adalah surat perintah dari sang Prabu!"
Ki Bangun Jugala tampak kembali menyurut
mundur. Akan tetapi wajahnya tiba-tiba berubah menyeramkan. Sepasang taringnya
muncul di kedua sudut bibirnya. Dengan menggeram dia me-
nerjang ke depan. Lengan yang berlumuran darah yang telah merobek punggung
Purwanti itu kini
meluncur deras mencengkeram leher sang Senopa-
ti. Akan tetapi saat itu juga terdengar bentakan keras.
"Sobat Senopati, minggir! Biar aku yang meng-
hadapi makhluk edan ini!" bentak Nanjar. Cahaya merah merambas udara... Ki
Bangun Jugala tiba-tiba tahan serangannya, lalu balikkan tubuh men-galihkan
serangan ke arah Nanjar.
Pantulan cahaya merah dari pedang mustika
Naga Merah mendadak lenyap terbungkus uap hi-
tam yang mengepul keluar dari Ki Bangun Jugala alias Empu Badar.
Nanjar terkejut karena merasakan pandangan-
nya melihat gumpalan uap hitam itu berubah
menjadi sepasang lengan raksasa yang meluncur
mencengkram kearahnya.
Pedangnya digunakan untuk menabas... Tapi
tak berarti apa-apa. Lengan-lengan raksasa itu bagaikan bayangan saja terus
menerobos kepungan
pedangnya yang diputar sedemikian rupa.
Terpaksa Nanjar berkelebat menghindarkan diri.
Saat itu Empu Badar tampak merapal mantera-
mantera. Senopati Gendola diam-diam mencabut
klewangnya. Lalu menerjang Empu Badar alias
Bangun Jugala. Akan tetapi tampaknya orang ini telah waspada. Sebelah lengannya
terangkat, dan... WHUUUK! Senopati tua ini tahu serangan pukulan Empu
Badar tak dapat dibuat permainan. Tapi dia telah memapaki serangan menangkis
dengan menge-rahkan dua pertiga tenaga dalam. Dua pukulan
bertenaga dalam saling beradu BLANGNG...!
Senopati Gendola perdengarkan teriakan kaget.
Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa lang-
kah. Tampak dia melepaskan klewangnya, dan
memegangi dadanya. Dari mulutnya mengalir da-
rah kental berwarna hitam.
Melihat demikian Walangi menyerbu dengan
tangan kosong kearah Empu Badar alias gurunya, tanpa menghiraukan keselamatan
dirinya lagi. Karena dia merasa dipihak yang benar, walaupun
musuhnya adalah gurunya sendiri.
"Bocah keparat! Rasakan ini!" membentak Ki
Bangun Jugala. Terjangan Walanui mendapat
sambutan pukulan deras yang dialiri tenaga dalam untuk menghabisi jiwa gadis
itu. Tapi di saat itu tiba-tiba sepasang cahaya merah menyambar kearah laki-laki tua
itu diiringi gera-man menggetarkan udara.
Terpaksa Ki Bangun Jugala menahan serangan
untuk menghindarkan diri. Pukulan itu kini di-
arahkan kesebelah kirinya.
Yang muncul tiada lain dari si makhluk berbu-
lu. Saat Ki Badar menghindarkan diri, makhluk ini gunakan kekuatan lengannya
untuk menghantam
dengan pukulan dahsyat bertenaga dalam. Justru pukulan itu beradu dengan pukulan
yang dile-paskan Empu Badar.
BHLARRR! Empu Badar terhuyung-huyung. Wajahnya be-
rubah pucat. Sementara lawannya terjungkal jatuh bangun. Jurus yang dipergunakan
adalah jurus maut. Tapi lawannya juga bertenaga dalam tinggi.
Hingga akibatnya dia harus merasakan dadanya
nyeri. Apalagi saat itu dia telah terluka dalam.
Alangkah terkejutnya Empu Badar ketika meli-
hat yang menjadi lawannya adalah si makhluk
berbulu. "Keparat! anak iblis!" memaki dia dengan mata melotot gusar pada si
makhluk berbulu.
"Ayah terkutuk! Kalau aku anak iblis tentu ba-
paknya juga iblis! Kau terimalah ini, manusia keparat yang memalukan diriku!
Karena ilmu sesat yang kau pelajari hingga aku dilahirkan dalam
keadaan seperti ini!" membentak makhluk itu, seraya menerjang dengan ganas.
Terjadilah pertarungan hebat. Tapi tak lama
terdengar bentakan Empu Badar menggeledek.
"Bocah iblis! Aku tak mengakui kau anakku! Kau
anak iblis! Kau bukan anak keturunanku!"
Kata-kata itu membuat si makhluk berbulu
berhenti menyerang. Matanya menatap laki-laki
dihadapannya dengan mata mendelong.
"Aku bukan anak keturunanmu!!!"
Akan tetapi detik itulah maut segera menjem-
putnya, karena di saat itu Empu Badar lepaskan pukulan maut!
PRAAKKK...! Darah memuncrat. Tubuh makhluk itu terjung-
kal roboh dan terkapar tak bergerak lagi. Tampak batok kepalanya telah pecah
berhamburan. Sementara itu Nanjar tampak masih dicekam
perasaan heran luar biasa, karena sampai sejauh itu dia tak mampu melepaskan
diri dari kejaran sepasang lengan raksasa yang terus mengejarnya.
Akan tetapi mendadak lengan raksasa itu le-
nyap sirna. Sukar untuk dipercaya, karena selang tak lama
terdengar suara tertawa menyeramkan. Dan selanjutnya apakah yang terjadi"
Sepasang lengan raksasa itu ternyata muncul
dan berputar-putar diatas kepala Empu Badar.
"Manusia tengik! Kau tak mengakui bocah itu
keturunanmu" Bagus! Kini saatnya kau harus
mampus! Kau telah mengkhianati janjimu sendiri manusia terkutuk! Jiwamu tak
dapat diampuni la-gi!" Suara itu hanya Empu Badar yang dapat mendengarnya. Tentu
saja hal itu membuat wajah laki-laki ini berubah pucat pias.
"Tidak! Tidaak! Ampuni selembar nyawaku!
Jangan bunuh aku! Jangaaan...!"
Nanjar tertengun, demikian juga Senopati Gen-
dola yang terluka dalam, dan Walangi yang berdiri mematung tak berkedip.
Namun hal itu tak berlangsung lama, karena
segera terdengar jeritan panjang Empu Badar. Sukar untuk dibayangkan
kejadiannya. Karena saat itu juga lengan-lengan raksasa itu telah mencengkeram
batok kepalanya.
Mendadak cuaca berubah gelap. Kilat-kilatan
petir membelah angkasa. Anginpun berhembus ke-
ras menerbangkan dedaunan. Ketika cuaca men-
dadak kembali pulih seperti sediakala, tampak tubuh Ki Bangun Jugala alias Empu
Badar telah ter-cecer menjadi tiga bagian. Kepalanya terpisah dari tubuhnya. Dan
keempat anggota tubuhnya berce-rai berai...
Menyaksikan keadaan demikian, Nanjar, Seno-
pati Gendola dan Walangi saling pandang. Suasa-na berubah jadi hening mencekam.
Namun segera dipecahkan oleh suara Senopati Gendola yang
memburu kearah jenazah Purwanti. Laki-laki abdi Kerajaan ini memeluk tubuh gadis
itu dengan terisak-isak.
Nanjar dan Walangi cuma menatap dengan ter-
haru... Senjapun terus merayap. Waktupun terus merambat... Menjelang pagi tampak
Walangi berlari-lari mengejar sesosok bayangan yang berkelebat cepat
meninggalkan tempat yang penuh gundukan
tanah tersebut.
"Nanjar...! Jangan tinggalkan aku...! Tunggulah aku. Aku akan pergi
menyertaimu...!" Suara gadis
ini terdengar begitu pilu. Dari sepasang matanya tersembul air bening. Dia
berlari cepat mengejar keatas bukit dimana lenyapnya bayangan si Pendekar Dewa
Linglung. Akan tetapi dia tak menjumpai pemuda itu lagi.
"Nanjar...! Dewa Linglung...! Jangan tinggalkan aku...!" kembali dia berteriak,
hingga suaranya berpantulan keseluruh lembah. Di antara desah
angin yang menerpa rambutnya terdengarlah la-
pat-lapat suara si Dewa Linglung.
"Walangi...! Pergilah ke Kota Raja. Tenagamu
sangat dibutuhkan untuk menggantikan kedudu-
kan Purwanti. Jangan kau ikuti diriku yang hidup tak menentu! kau tak akan mati
tanpa aku...!"
*** Gadis itu tertegun. Suara itu adalah suara Nan-
jar yang dikirim dari jarak jauh. Lama dia tertegun memandang ke depan dengan,
tatapan kosong.
Tapi tak lama dia menghela napas. Bibirnya sunggingkan senyuman, bersamaan
dengan luruhnya
air matanya membasahi pipi.
"Benar, katamu pendekar gagah...! Aku tak
akan mati tanpa kau... Tapi aku akan mati tanpa membawa amal kebaikan bila yang
kukejar adalah cinta! Aku memang harus menghambakan diriku
pada kerajaan Giri Brata, sebagai penebus dosa atas kesalahan guru..." berkata
Walangi dalam ha-ti. Lambat-lambat dia melangkah meninggalkan
bukit itu. Dan kembali dia tersenyum diiringi luruhnya air mata duka dan
sukacita.... TAMAT Scan: Clickers Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Document Outline
SATU *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** TAMAT
Raja Pedang 13 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Panji Wulung 4
^