Pencarian

Tangan Darah 2

Dewa Linglung 21 Tangan Darah Bagian 2


depan, dan mengepung Kendil Liwung di tempat
penjuru. "Jangan takabur, monyet tua! Hadapilah
kami Empat Harimau Teratai Emas!" Kendil Liwung memutar pandangan berkeliling
menatap empat laki-laki yang mengurungnya. Sementara
itu melihat munculnya empat orang pentolan par-
tai Teratai Emas, yang lainnya segera mundur
dan menyeret kawan-kawan mereka yang tewas.
"Hm, kalian hanya bertangan kosong?"
berkata dingin Kendil Liwung. Empat Harimau
Teratai Emas saling pandang dengan kawannya
dan tertawa gelak-gelak. Mendadak mereka sem-
bulkan sepasang lengan masing-masing yang ter-
tutup ujung lengan baju.
"Ini senjata kami!" teriak mereka hampir berbareng. Tampak sepasang lengan
mereka yang menyerupai cakar harimau dengan kuku-kuku
runcing, terbuat dari baja.
Kendil Liwung mendengus, walaupun agak
terkejut melihat sepasang cakar mereka masing-
masing berwarna kebiruan. Jelas senjata cakar
Harimau itu telah direndam dengan racun.
"Bagus! Majulah kalian. Biar kalian cepat berangkat ke Neraka!" bentak Kendil
Liwung yang sedikitpun tak merasa jeri.
Empat Harimau Teratai Emas menggembor
keras, dan menerjang... Bau amis segera menye-
bar, di ruangan itu ketika empat pasang cakar
Harimau itu berseliweran menyambar. Kendil Li-
wung putar tongkat besinya, dan menghantam se-
tiap lengan yang mendekat.
Akan tetapi kali ini dia menghadapi empat
orang yang sangat gesit gerakannya. Mereka me-
nyerang saling bergantian. Gerakan tubuh mere-
ka melebihi gesitnya seekor tupai yang bergerak
lincah melompat menghindari serangan, dan
kembali menerjang dengan serangan ganas. Seka-
li kulit tubuh si kakek kena gores cakar Harimau
itu, akan sangat berakibat fatal bagi Kendil Li-
wung. Delapan belas jurus telah berlalu. Empat
Harimau Teratai Emas tetap pada cara menyerang
seperti semula. Namun bau amis semakin tajam
menusuk hidung. Lasykar Teratai Emas lainnya
telah menjauhi ruangan itu dan berjaga-jaga di-
luar. Mereka yakin empat pentolan partai Teratai Emas akan mampu merobohkan
tetamu tak di-undang itu.
Diam-diam dalam hati Kendil Liwung
membatin. "Celaka... mereka main akal licik!
Dengan cara bertarung seperti ini aku akan keha-
bisan tenaga". Dia memang mempunyai obat pe-munah racun yang disembunyikan di
dalam ju- bahnya, tapi tak ada kesempatan untuk men-
gambilnya, karena keempat lawan terus menghu-
jani serangan. Sementara pernapasannya mulai
terasa sesak karena bau amis yang ditimbulkan
dari empat pasang cakar baja berwarna biru itu.
BREET! BREEET! Kendil Liwung tersentak kaget karena ju-
bahnya dua kali kena sambaran serangan cakar
harimau lawan. Wajahnya seketika berubah me-
rah karena marahnya. Tiba-tiba dia membentak
keras. Mendadak dia memutar tongkatnya lebih
dahsyat. Entah dari mana tenaga yang ditimbul-
kannya, padahal tampak jelas orang tua ini tena-
ganya kian melemah, dan gerakannya mulai lam-
ban. Gerakan Kendil Liwung yang berubah seca-
ra mendadak itu membuat terkejut Empat Hari-
mau Teratai Emas. Akibatnya cukup fatal. Dua
dari empat orang itu perdengarkan jeritan pan-
jang, dan roboh terjungkal. Darah memercik ke
lantai. Ternyata ujung tongkat Kendil Liwung te-
lah menghunjam di leher salah seorang lawannya
ini, dan seorang lagi batok kepalanya rengat kena bantam tongkat mautnya.
Dua dari Empat Harimau Teratai Emas
terperangah kaget. Tapi detik itu juga menerjang dengan serangan maut. Dua
pasang cakar Harimau itu mendadak terlepas, dan meluncur deras
ke arah sasaran.
CRAS! CRAS! CRAS! CRAS!
Sukar untuk dielakkan lagi serangan den-
gan kecepatan yang tak terduga itu. Kendil Li-
wung tak dapat menghindarkan diri lagi. Empat
cakar baja itu menghunjam menembus ke empat
bagian tubuhnya. Laki-laki tua ini mengerang.
Tubuhnya terhuyung limbung. Gigi gerahamnya
gemeretuk. Tampak matanya menyorotkan tajam
menggidigkan. Tubuhnya gemetar, dan... tiba-tiba tanpa menghiraukan keempat
cakar baja yang
menghunjam ditubuhnya, Kendil Liwung mener-
jang dua manusia di hadapannya. Tongkat maut-
nya menyambar deras
PRAKK! PRAKKK! Dua dari Empat Harimau Teratai Emas ini
seperti tertegun melihat sorot mata Kendil Liwung yang mengandung hawa aneh
menggidigkan. Didetik itu dia tak sempat berbuat apa-apa atau
melakukan tindakan menyelamatkan diri. Tahu-
tahu tongkat Kendil Liwung telah menghantam
hancur batok kepala mereka. Dan tanpa sempat
berteriak lagi dua orang ini terjungkal roboh dengan kepala remuk!
Namun bersamaan dengan itu tubuh Ken-
dil Liwung pun terjungkal roboh, diiringi geraman parau yang menyeramkan. Tampak
laki-laki ini meregang nyawa. Namun tak lama tubuhnya ter-
kulai. Nyawanya pun melayang ke Akhirat.
Bagus Citro alias Wiranggeni melompat ke
luar dari tempat persembunyiannya. Laki-laki ini berdiri tegak menatap tubuh
Kendil Liwung yang
terkapar tak bernyawa. Bibirnya mendesis.
"Hm, akhirnya kau mampus juga Kendil
Liwung keparat!" Tapi baru saja dia mau menin-dakkan kaki meninggalkan ruangan itu menda-
dak berkelebat sesosok bayangan putih. Tahu-
tahu dihadapannya telah berdiri sesosok tubuh...
"TANGAN DARAH!" sentaknya terperangah
kaget. Membelalak seketika mata Wiranggeni me-
lihat siapa adanya orang itu. Keringat dingin
mengembun di tengkuknya ketika terdengar sua-
ra dingin seperti membekukan jantungnya.
"Wiranggeni! Sudah saatnya kau pulang ke
Neraka!" Menggeletar sekujur tubuh Bagus Citro alias Wiranggeni ini. Tulang-
tulang anggota tubuhnya serasa lumpuh. Tatapan yang mengan-
dung kekuatan hebat mempengaruhi batinnya itu
tak mampu untuk dia menggerakkan kaki sedi-
kitpun. BRET! BRET! BRET!
Tahu-tahu baju yang dipakainya robek
hancur ketika orang di hadapannya menggerak-
kan lengannya. Dan sebelum dia sempat berbuat
apa-apa, Wiranggeni menjerit parau menyayat ha-
ti. Darah menyemburat dan memercik di lantai.
Wiranggeni menekap ke arah barang laran-
gannya. Matanya mendelik juling. Darah meman-
cur dari sela jari-jari lengannya. Sementara sosok tubuh di hadapannya
perdengarkan suara tertawa mengikik membangunkan bulu roma.
"Hihi... hihi... manusia sepertimu sangat
tepat kalau mati dengan cara seperti ini!" Selesai berkata sosok tubuh ini
membantingkan "benda kenyal" bersimbah darah itu ke lantai, hingga hancur lumat!
Dan detik berikutnya sosok bayan-gannya telah berkelebat melesat lenyap dari ha-
dapan Wiranggeni.
Wiranggeni ambruk ke lantai. Lalu berkelo-
jotan meregang nyawa. Tak lama tubuhnyapun
terkulai. Nyawanya pulang ke Akhirat.
TUJUH "BERHENTI...!"
Bentakan keras yang terdengar santar itu
membuat si wanita yang memondong tubuh Wi-
ranggeni tersentak kaget, karena tahu-tahu seso-
sok tubuh telah berdiri menghadang di hadapan-
nya. "Siapa kau?" bentak wanita ini dengan ma-ta membeliak marah. Ternyata dia
seorang dara yang usianya tak berbeda jauh dengan Wiraning-
sih. Laki-laki dihadapannya itu tampak cengar-
cengir, dan menggaruk-garuk tengkuknya me-
mandang wanita itu, seraya berkata.
"Haha... lagi-lagi yang kujumpai adalah
seorang gadis cantik! Hm, namaku Nanjar. Kege-
maranku adalah gadis-gadis cantik seperti nona
yang kau tawan itu, juga kau sendiri. Tentunya
kau telah paham mengapa aku mencegatmu, bu-
kan" Boleh aku bertanya, siapa nona" Dan akan
kau bawa kemana gadis itu?" Ternyata si penguntit itu tiada lain dari si Dewa
Linglung. "Hm, ternyata kau seorang laki-laki hidung
belang?" berkata wanita ini. Tampaknya bibirnya sunggingkan senyuman. Sementara
Nanjar yang telah menduga kalau wanita yang ditawan itu
adalah Wiraningsih, kini semakin jelas bahwa be-
tul adanya gadis yang ditawan itu adalah orang
yang akan dikunjunginya.
Nanjar memang tengah mencari-cari letak
gedung markas Teratai Emas, ketika dia mene-
mukan tempatnya, mendadak melihat ada sosok
tubuh berkelebat dengan memondong seorang
gadis. Diam-diam dia menguntit. Dalam mengun-
tit itu Nanjar menduga-duga siapa adanya wanita
yang dilarikan oleh sosok tubuh itu yang belum
jelas laki-laki atau wanita. Sambil menguntit dia
memperhatikan terus bentuk tubuhnya. Akhirnya
dia paham kalau si penculik itu adalah seorang
wanita, walau rambutnya disembunyikan dalam
lipatan leher baju.
Lalu menduga-duga siapa gerangan yang
diculik wanita itu. Dari pakaiannya yang berwar-
na hijau, Nanjar menduga gadis itu adalah Wira-
ningsih. Ternyata dugaannya tepat setelah dia
mencegat si wanita penculik itu, dan dapat meli-
hat jelas wajah orang yang berada dalam pondon-
gan si wanita. "Sayang sekali aku tak dapat menyebutkan
siapa diriku. Tapi kalau kau ingin mengetahui lebih banyak tentang aku, silahkan
ikut aku!" kata wanita ini dengan mengerlingkan mata. Nanjar
tersenyum. Pancingannya dengan berpura-pura
sebagai seorang laki-laki hidung belang ternyata membawa hasil. Dia bisa
mengetahui siapa
adanya dara itu dan akan dibawa kemana gadis
bernama Wiraningsih itu.
Ketika wanita itu kembali berkelebat, tak
ayal Nanjar segera membuntuti di belakangnya.
Ternyata yang dituju wanita itu adalah ke arah
sebuah telaga di tengah hutan rimba. Di tengah
telaga berair jernih itu tampak sebuah pulau kecil yang terdapat bangunan
berbentuk kerucut. Bangunan ini beratap rumbia dan bertiang kayu bu-
lat. Wanita ini bertepuk tangan tiga kali. Dan
tiba-tiba sebuah perahu tersembul dari belakang
bangunan kerucut itu. Pendayung perahu seseo-
rang yang bertudung lebar. Dengan cepat perahu
sampan itu meluncur ke tepian.
"Ketua menyuruhku membawa gadis ini
kemari!" kata si wanita. Pendayung perahu itu mengangguk, lalu bangkit berdiri
dan membuka tudung lebarnya. Mendadak wajah wanita ini be-
rubah pucat pias melihat siapa adanya orang ber-
tudung itu. "Tangan Darah...!?" sentaknya terkesiap.
Belum lagi dia sempat berbuat apa-apa mendadak
sebuah benda berkilat telah menyambar ke leher-
nya. Dara ini terpekik dengan suara tertahan di
tenggorokan. Lalu jatuh terjungkal ke tepi telaga.
Tapi sebelum tubuh Wiraningsih ikut terbanting
ke tanah, sesosok bayangan telah berkelebat me-
nyambar tubuh gadis itu...
Ternyata yang menyambar tubuh gadis itu
tak lain dari Nanjar. "Mengapa kau membunuhnya?" bentak Nanjar dengan mata
menatap tajam sosok tubuh itu. Kini jelaslah bahwa sosok tubuh bertudung lebar
itu adalah seorang wanita bercadar hitam.
"Hm, kau tahu apa dengan urusanku?"
berkata dingin si wanita. Siapa adanya wanita ini jelas telah diketahui Nanjar,
karena disaat gadis pemondong tubuh Wiraningsih itu terkejut, telah
menyebut nama "Tangan Darah"
"Apakah kau yang bergelar si Tangan Da-
rah?" tanya Nanjar dengan sikap tetap tenang.
"Kalau benar, apakah yang akan kau laku-
kan?" balik bertanya wanita itu.
"Hm, pembunuhan-pembunuhan yang kau
lakukan terhadap laki-laki dengan cara keji seper-ti itu tentunya kau yang
melakukan. Yang ingin
kutanyakan atas dasar apakah kau melakukan
pembunuhan seperti itu?"
Wanita itu tertawa dingin. Suaranya yang
sedingin es itu tak urung membuat tengkuk Nan-
jar basah oleh keringat. Nanjar tahu kalau wanita di hadapannya adalah wanita
berkepandaian tinggi dan berdarah dingin.
"Tampaknya kau seorang laki-laki yang su-
ka usil dengan urusan orang. Sebenarnya aku
benci dengan laki-laki semacam kau. Tapi nasib-
mu mujur, kali ini aku tak ada selera membunuh
orang!" sahut wanita bercadar ini.
Diam-diam Nanjar menarik napas lega. Ce-
pat dibaringkan tubuh Wiraningsih di tanah, lalu berdiri menatap wanita itu.
"Kuucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Aku dan gadis ini


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah menjalin persahabatan. Dia adalah anak
angkat Raden Bagus Citro, ketua partai Teratai
Emas...!" kata Nanjar sambil menunjuk ke arah Wiraningsih yang masih tak
sadarkan diri. "Heh! Aku telah mengirim jiwa tua bangka
itu ke liang Neraka! Kalau kau tak munculkan di-
ri, tentu siang-siang aku telah membunuhnya!"
berkata si wanita bercadar sambil menatap ke
tengah telaga. Nanjar tersentak kaget. Ada permusu-
han apakah wanita itu dengan raden Bagus Citro"
"Nah! perjumpaan kita cukup sampai di si-
ni dulu, sobat! Mungkin diperjumpaan kedua kau
akan lebih mengenal diriku..!" Selesai berkata tubuh wanita bercadar itu
berkelebat, dan lenyap
dari hadapan si Dewa Linglung yang terpaku me-
mandang ke arah lenyapnya sosok bayangan wa-
nita misterius itu.
"Nama gelar TANGAN DARAH ternyata le-
bih mengerikan ketimbang melihat manusianya.
Aku belum melihat wajah di balik cadar hitam itu, tapi kukira diapun seorang
perempuan berwajah
cantik..! Atau mungkin pula wajah yang mengeri-
kan..?" berkata Nanjar dalam hati menduga-duga.
Kemudian cepat menghampiri gadis ber-
nama Wiraningsih itu. Dari saku Bajunya Nanjar
menjumput sebungkus kain berisi beberapa butir
pel. Sebutir dijejalkan kemulut gadis itu, kemu-
dian menantinya beberapa saat.
Kira-kira semakanan nasi tampaklah gadis
itu mengeluh, dan membuka matanya. Tiba-tiba
dia melompat bangun dengan mata membelalak
menatap Nanjar.
"Kau... kau... apa yang telah kau lakukan
terhadapku?" bentak gadis ini. Tampak wajahnya pucat pasi.
Tentu saja Nanjar tertawa tergelak-gelak
melihat gadis itu terkejut setengah mati, bahkan menyangka yang tidak-tidak
terhadap dirinya.
"Haha... jangan main sangka dan tubuh sa-
ja, nona manis! Kau lihat mayat itu" Dialah yang telah main curang menotokmu dan
membiusmu dengan obat yang bisa membuat orang pingsan.
Dan dia yang membawa kau ke tempat ini..." kata Nanjar.
Wiraningsih balikkan tubuh, dan segera
terlihat sesosok tubuh tertelungkup di sisi telaga.
Dari sela lehernya tampak mengalirkan darah
yang masih belum tuntas.
"Kau yang telah membunuhnya?" tanya Wiraningsih. Rasa khawatir dengan keadaan
dirinya segera lenyap, setelah dia merasa tubuhnya tak
mengalami kelainan apa-apa.
Nanjar menggeleng. "Bukan aku, tapi si
TANGAN DARAH!"
"Tangan Darah...?" sentak Wiraningsih terkesiap. Nanjar kembali menganggukkan
kepala. "Kalau kau mau mendengarkan ceritaku, duduklah baik-baik!" ujar si Dewa
Linglung. Wiraningsih ternyata menuruti kehendak Nanjar, segera dia
duduk di hadapan si pemuda. Nanjarpun segera
menceritakan apa yang telah terjadi....
"Jadi dia telah membunuh ayahku...?" sentaknya dengan suara parau, dan wajah
berubah pucat pias. "Menurut penjelasannya memang demi-
kian, tapi kita memang belum membuktikan!"
kata Nanjar. "Apakah kau mengetahui ada per-musuhan apa ayahmu dengan wanita
bergelar Tangan Darah itu?" sambung Nanjar.
Wiraningsih menggeleng. "Aku tak menge-
tahui urusan ayah. Tapi sejak adanya berita ke-
munculan si Tangan Darah itu, tampaknya beliau
sering gelisah. Dia mengatakan bahwa hari ini
akan kedatangan seorang sahabat. Apakah saha-
bat yang dimaksudkan adalah si Tangan Da-
rah...?" menyahut Wiraningsih dengan suara lirih.
"Sudahlah! Kita melihat ke markas Teratai
Emas untuk membuktikan kata-kata perempuan
itu!" Wiraningsih tak menyahut, tapi termangu-mangu memandang ketanah. Dari
sudut kelopak matanya tampak mengalir air bening membasahi
pipinya yang putih kemerahan.
"Aku tak akan melihatnya..." sahutnya lirih disertai isak tersendat di
kerongkongan. Nanjar menghela napas. Dia sudah dapat
membayangkan, gadis itu tak ingin melihat ken-
gerian yang kedua kali setelah melihat mayat dua orang anak buahnya yang
bernasib naas. "Kalau begitu maukah kau ikut aku...?"
tanya Nanjar seraya mencekal pundak dara itu.
Wiraningsih tengadahkan wajahnya. Sepasang
matanya yang berkaca-kaca itu menatap si Dewa
Linglung. Dia mengangguk pelahan. Jiwanya da-
lam keadaan goncang mendengar berita kematian
ayah angkatnya. Tawaran Nanjar yang diutarakan
terhadapnya seperti air dingin yang sejuk menyi-
ram kekalutan hatinya.
Nanjar bimbing lengan dara itu untuk ber-
diri. Sejenak dia menoleh ke arah bangunan ber-
bentuk kerucut di tengah telaga. Ada niatnya un-
tuk memeriksa tempat itu, tapi Nanjar batalkan
niatnya. "Galot tentu menungguku di dalam goa di
lereng bukit itu. Aku harus segera ke sana mene-
muinya. Sebaiknya aku mengantarkan saja bocah
itu kembali ke desanya, tapi dia berkeras akan turut bersamaku kemana aku
pergi... Haih! Menga-
pa urusanku jadi kian runyam?" berkata Nanjar dalam hati.
Cahaya matahari yang menerobos ke dalam
hutan tampak agak redup. Udara tampaknya be-
rubah. Karena angin berhembus terasa dingin
menyentuh kulit.
"Mari kita tinggalkan tempat ini....!" kata Nanjar, seraya menggamit pinggang
dara baju hijau itu. Tak lama tampak kedua tubuh pemuda
dan gadis itu beranjak dari sisi telaga, dan lenyap terhalang rimbunnya hutan
lebat.... DELAPAN HUJAN DERAS BAGAIKAN DICURAH-KAN
DARI LANGIT... Angin keras menderu-deru menerbangkan
titik air bagaikan embun.
Hawa dingin menyentuh kulit, membuat
tubuh menggigil.
Nanjar rapatkan tubuhnya ke dinding batu
gunung. Tak jauh di sebelahnya tampak Wira-
ningsih memeluk lengan dengan tubuh menggigil.
Tampaknya dara ini sangat kedinginan. Di
sebelah bawah tampak sebuah sungai yang airnya
keruh, dan mengalir dengan keras. Tadinya mere-
ka akan menyebrangi sungai itu, tapi mendadak
hujan turun dengan deras bak dicurahkan dari
langit. Terpaksa mereka meneduh. Beruntung
menemukan sebuah lamping batu yang menonjol.
Merekapun bernaung di situ menunggu hujan re-
da. Nanjar menggeser tubuhnya hingga bersen-
tuhan dengan pundak dara itu, seraya menggu-
mam. "Huu... dinginnya bukan main"
"Akupun kedinginan, kak Nanjar ..." kata Wiraningsih dengan suara gemetar.
Tampak tubuhnya menggigil. Kini dara itulah yang mera-
patkan tubuhnya ke tubuh si Dewa Linglung.
Hawa hangatpun menjalar di sekujur tu-
buh mereka. Dengan saling merapatkan tubuh
seperti ini hawa dingin agak berkurang. Sementa-
ra hujan terus mencurah lebat, anginpun bertiup
kencang seperti kian menggila.
Sentuhan tubuh dari sepasang manusia
berlainan jenis ini ternyata menimbulkan pera-
saan lain, karena detak jantung si dara baju hijau itu terasa semakin cepat.
Apalagi sepasang lengan si pemuda itu kini memeluk tubuhnya
Nanjar yang merasa kasihan pada gadis itu
tak sampai hati melihatnya. Dengan berbuat begi-
tu dia bisa menyalurkan hawa hangat dari tu-
buhnya. Berbeda dengan apa yang terasa di hati Wi-
raningsih. Dekapan itu telah membuat dia mera-
sakan suatu perasaan tersendiri. Sejak berusia
empat belas tahun dia telah kehilangan kedua
orangtuanya. Ayah ibunya tewas ketika terjadi perampokan di desa tempat
tinggalnya. Diapun hi-
dup terlunta-lunta dan nyaris diperkosa serom-
bongan begal. Untunglah ada seseorang yang te-
lah menolongnya. Orang itulah yang kini menjadi
ayah angkatnya, yaitu raden Bagus Citro.
Selama lima tahun bukan saja dia dirawat
dengan baik, tapi juga dia diberi pelajaran ilmu kedigjayaan oleh sang ayah
angkat. Hingga dia
memiliki ilmu kepandaian bermain pedang. Wira-
ningsih telah menganggap raden Bagus Citro se-
bagai ayah angkatnya, atas permintaan raden Ba-
gus Citro. Dan dia sendiri bahkan menganggap
sebagai ayahnya sendiri pengganti ayahnya yang
telah tiada. Entah beberapa kali dia mengalami perta-
rungan dengan sekawanan perampok, dan berha-
sil membunuh beberapa orang perampok dengan
pedangnya. Walau belum diketahui pasti diantara
perampok itu adalah orang yang telah mene-
waskan kedua orang tuanya, tapi dia cukup puas
telah membalas sakit hati dan dendamnya.
Karena keberaniannya, Wiraningsih diang-
kat oleh raden Bagus Citro menjadi kepala pen-
gawal barang, dimana partai Teratai Emas yang
diketuai sang ayah angkat membuka usaha demi-
kian itu. Kini keadaan telah berubah. Munculnya
seseorang yang menamakan dirinya si Tangan
Darah telah merubah kehidupannya.
Adalah suatu kebahagiaan dalam kekalu-
tan jiwa seperti itu Wiraningsih merasa ada orang yang menggantikan ayah
angkatnya. Pemuda
pendekar bergelar Dewa Linglung itu muncul dan
mengisi hati serta jiwanya yang kosong.
Kehangatan seperti itu baru dirasakan
seumur hidupnya. Tentu saja membuat dia terle-
na, dan terpukau dengan perasaan yang sukar
terlukiskan. Naluri kewanitaannya bergejolak. Dan ada
perasaan tenteram dan bahagia menyentuh re-
lung hati dan jiwanya.
"Kak Nanjar ... apakah kau telah mempu-
nyai pacar atau seorang kekasih ...?" tanya si gadis lirih bercampur getar yang
memenuhi da- danya. Sementara jantungnya berdetak tak me-
nentu. "Pacar..." Haha... ada-ada saja, kau Ningsih! Mana ada gadis yang mau
padaku" Tampang
laki-laki sepertiku ini akan membuat gadis lari
ketakutan!" gurau Nanjar.
"Tapi aku tidak!" sanggah Wiraningsih dengan tersenyum.
"Ya, cuma kau yang berani... agaknya na-
sibku memang sedang mujur!" kata Nanjar tersenyum. Debaran jantung Wiraningsih
semakin menggebu. Betapa inginnya dia. Dipeluk lebih
erat lagi, dan dia bahkan mengharapkan lebih da-
ri itu. Mata gadis ini tampak kian sayu. Betapa
dia sangat mengharapkan sesuatu yang sangat
membahagiakan dirinya dalam saat-saat seperti
itu. "Kak Nanjar ... di sebelah sana ada batu yang lebih menonjol. Sebaiknya
kita ke sana, kukira lebih baik dari tempat ini" berkata Wiraningsih. Lengannya
menunjuk ke arah sebelah depan.
"He eh! Benar katamu. Mari kita kesana ..."
kata Nanjar. "Tapi kakiku ..." kata si gadis mengeluh. "Kenapa kakimu?"
"Kakiku kesemutan... aku tak dapat me-
langkah" sahut Wiraningsih. Nanjar garuk-garuk tengkuknya. "Hm, kalau begitu
biarlah aku me-mondongmu" ucap si Dewa Linglung. Dan tak be-rayal lagi dia
segera memondong gadis itu, kemu-
dian membawanya melompat dari tempat itu.
Ketika tiba di tempat yang dituju, benar sa-
ja di tempat ini air hujan tak membasahi tubuh
mereka. Tampaknya cukup leluasa untuk berte-
duh menunggu hujan berhenti.
Akan tetapi ketika Nanjar membungkuk-
kan tubuh untuk menurunkan tubuh Wiraning-
sih dari pondongan, mendadak si gadis mempere-
rat rangkulannya.
"Kak Nanjar ..." bisik Wiraningsih lirih.
Tampak sepasang mata dara itu meredup. Bibir-
nya setengah terbuka.
Jantung Nanjar tersentak, dan barulah dia
menyadari bahwa suatu perasaan kelaki-lakian
menggerayangi tubuhnya. Bibir yang merekah itu
membuat mata Nanjar tak kuasa untuk melihat-
nya lebih lama lagi, dan sepasang benda kenyal
yang menempel didadanya menimbulkan rang-
sangan hebat untuk dia melakukan sesuatu me-
nurutkan gejolak kelaki-lakiannya.
Dan... tanpa menunggu sedetik lagi, Nanjar
merengkuh bibir sang dara jelita itu. Melumatnya dengan napas memburu bagai
napas kuda pa-cuan di gurun sahara yang gersang. Wiraningsih
memeluk kian erat seperti tak mau pemuda itu
melepaskannya lagi...
Hawa dingin seperti lenyap ketika mereka


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling merapatkan tubuhnya. Dan ... desah angin
diluar semakin menggebu-gebu. Hujan kian deras
membasahi bumi seolah akan mengkaramkan ja-
gat. Ketika hujan mereda, tampak Nanjar bang-
kit berdiri dengan lesu. Melangkah pelahan ke
luar dari relung batu. Matanya memandang ke
langit. Tampaknya cuaca mulai berangsur cerah.
Wiraningsih beranjak mendekati. Tampak
dara ini membenahi rambutnya. Sepasang ma-
tanya agak sayu menatap Nanjar.
"Hujan sudah berhenti, apakah kau akan
meneruskan perjalanan?" tanya si gadis lirih dan berdiri di samping Nanjar.
Nanjar tak menjawab, agaknya kejadian
barusan masih teringat dalam benaknya. Bersyu-
kur Nanjar karena tak sampai mengumbar hawa
nafsu hingga perbuatan terlarang itu tak terjadi.
Pemuda ini menghela napas. Lalu berkata
perlahan dengan mata masih memandang ke arah
depan. "Ya, kita akan meneruskan perjalanan. Bocah laki-laki itu tentu
menungguku di goa di le-
reng bukit sana. Aku harus mengantarkan dia
kembali ke desanya ..."
Wiraningsih mengangguk. "Marilah kita be-
rangkat ..." katanya lirih. Tapi sebelum mereka beranjak ke luar dari relung
batu itu Wiraningsih mencekal lengan Nanjar. Gadis menatap pemuda
di hadapannya dengan sorot matanya yang ben-
ing. "Kak Nanjar kuharap kau... kau memaafkan aku ..." Nanjar tersenyum balas
menatap sang gadis. "Mengapa kau minta maaf" Kau tak bersalah apa-apa padaku"
sahut Nanjar. Lengan Nanjar menyentuh dagu dara ini,
yang seketika membuat si gadis menundukkan
wajahnya. Wajahnya memerah dadu. Dan dari bi-
birnya terdengar kata-kata lirih.
"Asal kau mengerti saja, kak Dewa Lin-
glung. Aku... aku mencintai dirimu ..." Nanjar tertegun beberapa saat. "Haih,
keterusteranganmu membuat aku jadi linglung, Ningsih! Jangan bica-ra soal cinta
dulu lah, kukira kau perlu banyak
pengalaman. Aku khawatir kau akan kecewa ke-
lak..." berkata Nanjar seraya alihkan tatapannya ke lain arah.
"Kau menyesali kejadian barusan?" tanya sang gadis. Nanjar menggeleng. "Tidak...
Justru aku merasa senang. Mengapa kau bertanya begi-
tu?" tukas Nanjar.
Wiraningsih tak menjawab. Dia menunduk
mempermainkan jemari tangannya. Nanjar me-
megang kedua bahu dara ini, dan berkata.
"Ningsih...! Terus terang aku menyukai ke-
polosan hatimu. Dan kaupun cantik, menyenang-
kan hati bila kumemandangmu. Sebenarnya aku-
pun menaksir kau. Tapi... aku khawatir kelak aku akan mengecewakan dirimu,
karena aku hanya-lah seorang petualang yang hidupnya tak menen-
tu. Kupikir lebih baik aku tak bermain asmara.
Cinta itu terlalu indah dan suci untuk dikotori.
Kau masih terlalu muda, dan belum mengenal
apa arti cinta sebenarnya ..."
Wiraningsih menengadahkan wajahnya.
Sepasang mata dara ini tampak berkaca-kaca.
Kedua belah bibirnya gemetar seperti hendak ber-
kata, tapi tak sepatah katapun yang ke luar dari mulutnya. Tiba-tiba dara ini
memeluk Nanjar erat-erat. Dan menangis terisak-isak.
Nanjar jadi trenyuh juga hatinya. Didekap-
nya gadis itu dengan perasaan kasih sayang. Di-
belainya rambut gadis itu dan diciuminya.
"Sudahlah Ningsih, tak baik bersikap cen-
geng. Seorang gadis pendekar tak boleh bersikap
begitu. Bagaimana kalau kita bersahabat saja"
Aku akan menganggap kau sebagai adikku, dan
kau menganggap aku sebagai kakakmu" kata
Nanjar menghibur seraya melepaskan dekapan-
nya dan menggamit dagu sang dara jelita itu.
Tampak sepasang mata yang berkaca-kaca
itu seperti bersinar, dan wajah Wiraningsih berubah cerah. Dia tersenyum sambil
mengangguk, dan berkata lirih. "Terima kasih kakak Dewa Linglung, aku senang sekali..."
Awan hitam telah lenyap, dan cahaya men-
tari kembali bersinar cerah secerah hati Wira-
ningsih yang kembali menampakkan kegembi-
raan. Ditariknya lengan pemuda itu.
"Hayo kita melanjutkan perjalanan, apakah
kau tak ingin cepat-cepat menemui Galot" Bocah
laki-laki itu tentu menanti-nantikan kedatangan-
mu ...!" "Ya, mari kita tinggalkan tempat ini" sahut Nanjar dengan tertawa.
SEMBILAN Ketika mereka tiba di goa tempat ditinggal-
kannya bocah laki-laki bernama Galot itu ternya-
ta goa itu telah kosong.
Nanjar mencari-cari kemana jejak keper-
giannya, tapi tak ada menjumpainya.
Sesaat lamanya Nanjar menatap ke luar
goa. Benaknya memikir. "Apakah yang telah terjadi sepeninggalku" Ah, Galot! Ada-
ada saja kau...! Apakah dia telah meninggalkan goa ini?"
Tiba-tiba telinga Nanjar mendengar pekikan suara wanita di luar goa. Tersentak
si Dewa Linglung.
Detik itu juga dia telah berkelebat ke arah suara
itu. Membelalak mata Nanjar melihat bocah
bernama Galot itu tampak tengah menyerang Wi-
raningsih dengan ganas. Di tangannya tampak
sebuah pisau berkilat. Wiraningsih menghada-
pinya dengan tangan kosong, sambil berteriak
memanggil Nanjar.
Serangan bocah itu sangat ganas. Entah
dari mana bocah laki-laki itu memiliki ilmu ke-
pandaian, karena setahu Nanjar Galot tak berke-
pandaian ilmu silat. Anehnya mengapa tahu-tahu
muncul dan menyerang Wiraningsih"
Melihat kemunculan Nanjar, Wiraningsih
melompat mendekati pemuda itu. Tampak Galot
menghentikan serangan. Wajah bocah laki-laki itu menyeringai. Sepasang matanya
memancar dengan sinar menggidigkan. Pisau di tangannya di-
acungkan dan siap melakukan serangan.
Nanjar sejenak tertegun melihat kejadian
aneh itu. "Galot! Ada apa dengan kau" Mengapa kau
jadi begini?"
Jawabannya adalah suara gerungan bocah
laki-laki ini disertai gerakan menerjang ganas.
Belati ditangannya menyambar-nyambar.
Nanjar cepat berkelebatan menghindar. Diam-
diam dia tersentak kaget, karena angin serangan-
nya terasa dingin dari hawa aneh yang menggi-
digkan. Mendadak bocah ini hentikan serangan,
dan tiba-tiba perdengarkan suara menggeram, la-
lu balikkan tubuh dan berkelebat lari ke arah hutan lebat. Nanjar tersentak
heran. Tapi dia tak
berlaku ayal, dan secepat itu pula mengejar bocah laki-laki itu.
Gerakan lari Galot ternyata sangat cepat.
Entah dia punya ilmu lari dari mana, karena Nan-
jar sampai sejauh itu tak mampu mendekati lebih
dari sepuluh tombak. Satu hal yang membuat he-
ran si Dewa Linglung ialah, dia merasa ada keku-
atan aneh yang menahan tubuhnya, hingga gera-
kannya seakan dibatasi.
"Gila!" maki Nanjar dalam hati. Rasa penasaran dihati Nanjar semakin menjadi
untuk men- getahui hal ini.
Entah berapa lama Nanjar mengejar. Men-
dadak ketika melewati serumpun hutan bambu,
tiba-tiba Nanjar kehilangan jejak.
Beberapa kali Nanjar berputar-putar di se-
kitar tempat itu, namun bocah itu tak ditemukan.
"Ah...! Benar-benar gila! Edan! Dan gem-
blung!" desis Nanjar dengan mata mendelong
mengawasi sekitarnya.
Akhirnya Nanjar memutuskan untuk kem-
bali ke goa. Saat itu cuaca tampak mulai berang-
sur gelap. Aneh! Hati pemuda ini merasa agak
was-was. Dia merasa ada suatu ketidak wajaran.
"Bocah laki-laki itu pasti ada yang mempengaruhi dengan kekuatan ilmu hitam yang
tinggi. Hm, jangan-jangan ini suatu pancingan agar aku me-
ninggalkan goa..." pikir Nanjar. Dan seketika itu juga Nanjar berkelebat cepat
dari tempat itu keti-
ka teringat pada Wiraningsih yang ditinggalkan-
nya disaat dia mengejar Galot. Rasa khawatir pa-
da dara itu seketika menyelinap dibenaknya. "Aku harus cepat kembali ...!"
sentak Nanjar dalam ha-ti.
Sementara itu Wiraningsih tadinya akan
turut mengejar bocah itu yang sudah diduganya
adalah Galot. Tapi tiba-tiba telinganya mendengar suara tertawa dingin di
belakangnya. Ketika dia
menoleh, tersentak gadis ini.
"Siapa kau"!" bentak Wiraningsih melihat sesosok tubuh tegak berdiri beberapa
langkah di belakangnya. "Hm, bukankah kau mencari si penjual
kuda putih" Akulah orangnya!" menyahut orang ini. Ternyata yang berdiri
dihadapan gadis itu
adalah seorang laki-laki berjubah putih, berusia sekitar lima puluhan tahun.
Kumis dan janggut-nya yang panjang menjuntai memutih bagai-
kapas. Rambutnya terurai menjela bahu.
"Aku tak berniat mencari jejak si pencuri
kuda putih ayahku lagi. Tak ada gunanya, karena
ayahkupun telah tewas! Partai Teratai Emas telah hancur. Kuharap kau
memperkenalkan namamu,
orang tua. Siapakah sebenarnya anda?" sahut Wiraningsih yang agak tertegun
melihat kakek jubah putih itu mengaku si pencuri kuda.
Laki-laki tua ini tertawa terkekeh. Sua-
ranya membuat bulu kuduk gadis ini meremang.
"Kau memang tak ada sangkut pautnya dengan
kejahatan ayahmu, Bagus Citro....! Manusia licik
dia memang patut menemui kematian dengan ca-
ra yang mengerikan di tangan si TANGAN DARAH!
Aku adalah seorang yang bernasib mujur dapat
memperpanjang hidupku setelah lima tahun dis-
ekap di penjara Liang Kubur! Semua itu karena
fitnah keji ayahmu yang aku mengetahui adalah
ayah angkatmu." berkata laki-laki ini tanpa menjawab pertanyaan Wiraningsih.
Kakek ini melan-
jutkan kata-katanya.
"Dalam pertarungan dengan ayahmu yang
nama sebenarnya adalah Wiranggeni, aku berha-
sil mengelabuinya dengan mempergunakan ilmu
MALIH RAGA. Dia menganggap aku telah tewas,
setelah sebelumnya berbagai kelicikan telah digunakan manusia itu untuk
membunuhku! Na-
sibnya ternyata tak lebih baik dari kematian di
tanganku, karena saat itu muncul si TANGAN
DARAH. Seperti yang kau dengar dari sahabatmu
si pendekar Dewa Linglung, ayah angkatmu itu
tewas dengan mengerikan di tangan perempuan
itu...!" Wiraningsih terperangah mendengar penuturan laki-laki tua itu. Sungguh
tak dinyana ka-
lau ayah angkatnya adalah seorang yang berak-
hlak rendah. Siapakah sebenarnya kakek ini" Ka-
lau dia yang bertarung dengan raden Bagus Citro
sebelum kemunculan si Tangan Darah, tentu dia
adalah tetamu yang dinantikan ayah angkatnya
saat itu... Pikir Wiraningsih.
Terdengar kakek ini menghela napas, lalu
berkata lagi. "Akulah yang bernama KENDIL LIWUNG!
Aku menyenangi dirimu, cah ayu! Kalau kau mau
aku bersedia mengangkatmu sebagai muridku!"
Wiraningsih belalakkan mata seperti tak
percaya pada pendengarannya. Rasa girang dan
terkejut menjadi satu. Saat itu juga gadis ini telah jatuhkan tubuhnya di
hadapan kakek tua itu.
"Dengan senang hati dan rasa terima kasih
tak terhingga, aku Wiraningsih bersedia menjadi
muridmu, kakek Kendil Liwung. Mulai detik ini
apapun perintah guru akan hamba kerjakan!"
Satu tenaga yang tak kelihatan memaksa
gadis ini untuk kembali bangkit berdiri. Hal itu membuat Wiraningsih terpana,
karena satu kekuatan hebat telah mengangkat tubuhnya hingga
dia tak kuasa untuk menahannya dan bangun
berdiri. Tahulah gadis ini kalau orang tua itu
memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Diam-
diam hatinya sangat girang.
"Cukup cah ayu! Kau telah syah menjadi
muridku. Tak usah terlalu banyak peradatan..."
ujar Kendil Liwung.
"Ada peristiwa yang sangat aneh, guru...!
Kuharap kau sudi mendengarkan penuturanku..."
kata Wiraningsih memberanikan diri berkata.
"Hm, aku sudah mengetahui! Biarlah pen-
dekar muda itu menyelesaikan urusannya. Nah,
ikutlah padaku!" berkata si kakek. Gadis ini mengangguk. Tampak dua titik air
bening menyembul
di sudut di pelupuk matanya. "Kak Nanjar... se-moga kelak kita bisa berjumpa
lagi..." terdengar
suara menggumam lirih dara ini.
Ketika menoleh dilihatnya kakek tua jubah
putih telah melangkahkan kaki. Dengan langkah
cepat segera dia menyusulnya...
SEPULUH NANJAR MENAHAN LANGKAHNYA, ke-
tika telinganya menangkap suara tertawa diiringi kata-kata...


Dewa Linglung 21 Tangan Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hihi... hihi... Dewa Linglung! Kalau kau
inginkan serulingmu mengapa kau berhenti men-
gejar bocah itu" Ternyata ilmumu terlalu dangkal, dan kau cepat berputus asa.
Sayang pendekar gagah semacammu selalu dibayangi rasa curiga.
Gadismu telah pergi bersama seorang tua sakti
bernama KENDIL LIWUNG! Orang tua itu telah
mengangkat gadis itu menjadi muridnya...!" Nanjar tertegun sejenak. Hatinya
membatin. "Heh! itu suara si TANGAN DARAH! Dan... haih! Aku benar-benar terlupa
dengan serulingku. Ah, dasar
LINGLUNG!" Nanjar bahkan tubuh, dan kembali berkelebat ke arah semula. Dalam
berlari-lari itu benak Nanjar berpikir. "Kalau benar apa yang dikatakan si
Tangan Darah mengenai Wiraningsih,
aku sungguh sangat bersyukur bila dia diangkat
menjadi murid seorang tua sakti. Nama orang tua
itu Kendil Liwung..." Aku baru mendengarnya.
Siapa adanya orang tua itu, dan apa hubungan-
nya dengan si Tangan Darah?"
Cuaca kian bertambah gelap. Nanjar terin-
gat akan cemoohan si Tangan Darah. Hatinya
sangat mendongkol, walau ada benarnya juga.
Dia memang terlalu mengkhawatirkan keselama-
tan Wiraningsih. Dan juga mudah berputus asa.
Diam-diam dia berpendapat wanita bergelar si
Tangan Darah itu bukanlah seorang tokoh jahat.
Pembunuhan yang dilakukan setidak-tidaknya
mempunyai dasar hingga dia melakukannya den-
gan cara keji seperti itu.
Kini hutan bambu itu telah berada di de-
pan matanya, tempat lenyapnya Galot.
Sejenak Nanjar tertegun berdiri di tempat
itu. Ditatapnya hutan bambu yang rapat itu
dengan seribu satu pertanyaan dibenaknya.
"Apakah hutan bambu ini merupakan hu-
tan ciptaan si Tangan Darah" Dan kemana aku
harus mencari bocah laki-laki itu?" Dalam keadaan demikian, Nanjar tiba-tiba
teringat pada suatu ilmu penolak sihir. Segera dia merapal ayat-
ayat itu, dan diulangnya hingga beberapa kali.
Sepasang matanya dipejamkan, dan hatinya ter-
tuju kepada Yang Maha Pencipta.
Selang beberapa saat dia membuka ma-
tanya. Hampir saja Nanjar berseru tertahan sak-
ing terkejutnya. Karena yang tampak di hadapan-
nya adalah sebuah telaga.
"Aneh! Benar-benar seperti mimpi!" gumam Nanjar dengan mata mendelong menatap ke
tengah telaga. Bangunan berbentuk kerucut itu tam-
pak masih seperti yang dilihatnya beberapa waktu yang lewat.
Saat itu sebuah perahu mendadak melun-
cur dari samping bangunan berbentuk kerucut.
Nanjar tertegun karena perahu itu tanpa seorang-
pun yang mendayungnya. Ketika perahu menepi
tak jauh di hadapannya, tiba-tiba terdengar suara dari tengah telaga, diiringi
suara tertawa merdu.
"Hihi.... silahkan naik perahu itu sobat
Dewa Linglung. Apakah kau mau jadi patung dis-
itu" Hihi... jangan khawatir, kau tak akan tenggelam!" "Huh! Siapa yang takut
tenggelam" Mengapa tak kau suruh buaya yang menjemputku?" teriak Nanjar, seraya
melompat ke dalam perahu.
Ringan sekali kakinya mendarat di lantai papan
perahu. Begitu ringannya hingga sampai-sampai
perahu itu olengpun tidak.
Begitu kakinya menginjak lantai perahu,
maka perahu itupun meluncur dengan cepat ke
arah bangunan ditengah telaga.
Belum lagi menepi, Nanjar telah melompat
ke darat. Matanya merayapi bangunan aneh itu,
mencari-cari dimana adanya si Tangan Darah.
"Silahkan masuk sobat gagah...!" suara merdu si Tangan Darah terdengar menyiblak
ke-sunyian yang mencekam. Dan satu kekuatan
aneh telah memaksa kaki Nanjar untuk melang-
kah ke arah pintu yang menjeblak terbuka.
Memasuki ruangan bangunan tersebut, hi-
dung Nanjar mencium bau harum asap dupa.
Tampaklah di tengah ruangan si wanita bercadar
hitam duduk di atas permadani yang terhampar
di lantai marmer hijau. Di langit-langit ruangan tergantung lampu minyak yang
menerangi ruangan. Sedangkan tak jauh di depannya di atas se-
buah peti kayu berukir tampak tergolek seruling
tulang berukir kepala Naga milik si Dewa Lin-
glung. Ternyata asap dupa itu timbul dari sebuah tempat pedupaan yang berada di
sebelah kiri wanita itu.
"Selamat datang sobat pendekar Naga Me-
rah!" terdengar suara si wanita bercadar hitam itu. "Silahkan duduk...!"
katanya. "Hm, apa yang tengah kau kerjakan di
tempat ini, Tangan Darah" Dan kemana bocah la-
ki-laki kawanku itu?" Tanya Nanjar. Matanya mencari-cari Galot.
"Tenanglah, sobat muda yang gagah. Bocah
itu tak kurang suatu apa. Dia dalam keadaan se-
gar bugar. Duduklah. Ada hal yang akan kutu-
turkan padamu, dan kukira hanya kaulah yang
patut untuk mendengarkannya..."
"Manusia aneh! Tindak-tanduknya juga
membingungkan orang. Siapakah sebenarnya
kau, dan apa yang akan kau inginkan dariku?"
berkata Nanjar.
"Bukankah kau kehilangan sebuah benda
milikmu" Aku akan mengembalikannya padamu.
Benda ini kudapatkan dari tangan Galot yang di-
rampas oleh dua penunggang kuda anak buah
orang partai Teratai Emas! Nah! Aku akan men-
gembalikan benda milikmu ini, tapi sebelumnya
dengarkanlah dulu penuturanku...!" menyahut si Tangan Darah. Suaranya terdengar
datar dan sangat berwibawa, hingga Nanjar terpaksa menu-
ruti kehendaknya.
"Kau tentu ingin melihat wajahku bukan"
Nantipun kau akan mengetahui rupaku. Tak usah
takut! Rupaku tak seperti setan yang menakut-
kan!" kata si Tangan Darah.
"Nah, dengarkanlah penuturanku. Aku
adalah seorang gadis yang hidup terabaikan oleh
orang tuaku. Terutama ayahku! Di samping na-
sibku yang buruk, akupun bernasib baik, karena
sampai saat ini aku masih hidup dan dapat mem-
balas jasa orang yang kusebut ayahku. Peristiwa
demi peristiwa kuhadapi. Dan... aku jatuh ke tangan setiap laki-laki silih
berganti. Selama itu aku tak lebih dari sebuah boneka pemuas hawa nafsu
kaum laki-laki. Selama lima tahun aku bergeli-
mang dosa, dan selama itu pula aku menda-
patkan suatu ilmu yang kemudian membuat aku
terkenal dengan sebutan si Tangan Darah!
Aku tak tahu apakah dosa ibuku yang ter-
waris kepadaku" Yang jelas setelah diriku penuh
berlumur dosa, akupun menambah pula dosa itu
dengan membunuh setiap laki-laki dengan cara
keji, yaitu menghancurkan biang penyakit kaum
hawa. Yaitu anggota terlarang milik kaum laki-
laki! Orang terakhir dari kaum laki-laki yang
kubunuh adalah raden Bagus Citro, ketua partai
Teratai Emas! Dan laki-laki terakhir yang kutemui adalah kau, sobat Dewa
Linglung...! Saatnya telah tiba bagiku untuk menebus dosa. Karena masa
petualanganku telah berakhir. Sayang ilmu yang
kumiliki adalah ilmu sesat yang tak berguna un-
tuk kuturunkan pada siapapun..."
Sampai disini wanita itu berhenti bertutur.
Tampak dia menghela napas seperti melepaskan
beban yang menindih dadanya.
Nanjar tertegun mendengar penuturan si
Tangan Darah. "Nah terimalah serulingmu..." kata wanita ini. Mendadak benda di atas peti kayu
itu terang-kat dan bergerak meluncur ke arah Nanjar. Den-
gan cepat Nanjar menangkapnya.
"Saatnya telah tiba..." kata si wanita dengan suara parau. Tiba- tiba lantai
tergetar. Lampu minyak bergoyang-goyang.
Getaran semakin hebat, seolah-olah ban-
gunan itu digoyang gempa. Air danau memercik
tumpah memasuki lantai, membasahi ruangan
itu. Nanjar tersentak kaget dan melompat berdiri.
"Hah!" Ada apa lagi ini...?" sentak si Dewa Linglung dalam hati. Pada saat
itulah terdengar
jeritan panjang si wanita bercadar. Tubuh wanita ini terjungkal roboh dan
terkapar tak bergeming.
Asap dupa lenyap. Dan gempa aneh itu be-
rangsur-angsur berhenti. Nanjar melompat men-
dekati si Tangan Darah. Pada saat itulah terden-
gar suara teriakan seseorang dari arah belakang.
"Kakak pendekar Nanjar!"
"Hah!" GALOT...?" sentak Nanjar. Bocah laki-laki ini memandang si Dewa Linglung
dengan wajah pucat. Sinar matanya tak mengandung ke-
ganjilan dan menggidigkan lagi. Sejenak mereka
saling pandang.
"Galot! Apa yang terjadi denganmu" Kau
tak apa-apa bukan?" tanya Nanjar. Dia menyadari keadaan Galot yang sudah kembali
berubah wajar. "Kakak pendekar... oh, aku takut..." teriaknya seraya memburu ke
arah Nanjar. Cepat Nanjar
mendekapnya serasa mendekap adiknya sendiri.
"Galot! Galot! Oh, sukurlah kau telah sem-
buh..." kata Nanjar dengan haru. Entah berapa lama mereka saling berpelukan. Tak
lama kemudian Nanjar melepaskan dekapannya. Nanjar te-
ringat pada wanita bercadar yang bergelar si Tangan Darah itu. Perlahan Nanjar
mendekati, dan...
lengannya terjulur membuka cadar hitam penu-
tup wajah wanita itu.
Ketika cadar terlepas, Galot terpekik kaget,
dan berteriak tertahan. "Kakak JUMPENI...!?" Bocah laki-laki ini menghambur ke
arah wanita itu
yang telah terkapar tak bergeming. Tampak dari
mulut, mata, telinga dan hidupnya mengucur da-
rah kental berwarna hitam.
"Kau mengenalinya?" tanya Nanjar mena-
tap Galot. "Dia... dia anak pamanku..." sahut Galot dengan air mata berlinang. Nanjar
manggut- manggutkan kepala, dan terpekur dengan wajah
tertunduk. Selang sesaat Nanjarpun segera memon-
dong tubuh wanita itu.
"Galot! Mari kita tinggalkan tempat ini...!"
kata si Dewa Linglung. Bocah laki-laki itu men-
gangguk, kemudian mengikuti Nanjar ke luar dari
bangunan aneh itu.
Mendadak Nanjar hentikan tindakan ka-
kinya. "Bawa peti kayu berukir itu!" perintahnya kepada Galot.
Galot telah dikembalikan ke kampung ha-
lamannya. Peti kayu itu ternyata berisi harta ben-da yang tak ternilai harganya.
Dalam peti itu ditemukan sepucuk surat yang ditujukan kepada
ayah gadis itu. Tulisannya berbunyi:
"Ayah! Walau kau tak menghidupi aku
dengan berkecukupan, tapi aku layak membalas
budimu. Terimalah apa yang ada di dalam peti ini untuk menyambung hidupmu, dan
mengobati penyakitmu hingga sembuh seperti sediakala.
Rawatlah Galot seperti merawat anakmu sendi-
ri..." Kemana gerangan si Dewa Linglung" Pemuda itu tengah melangkah gontai di
jalan desa. Sebentar-sebentar dia tersenyum. Apa yang di
bayangkannya adalah dia teringat pada gadis can-
tik dan galak bernama Wiraningsih. Dan tengah
membayangkan ketika dia tengah mencium dan
melumat bibir mungil sang dara.
"Ah... begitu lembut bibirnya..." gumamnya
mendesah diantara desahnya angin gunung.....
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Raja Silat 9 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bangau Sakti 11
^