Pencarian

Buronan Dari Mataram 1

Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Bagian 1


SATU LAKI-LAKI ITU USIANYA SEKITAR TIGA PULUH
TAHUN.... Rambutnya gondrong tak terurus. Wajahnya di-
tumbuhi dengan kumis dan jenggot lebat yang
hampir menyatu dengan cambang bauk. Kulit mu-
ka dan lengannya hitam legam karena terlalu sering kena sengatan panas matahari.
Pakaiannya pun sudah tak keruan bentuknya. Selain com-
pang-camping dan kusam warnanya, juga tak da-
pat dibilang bersih. Debu dan keringat seperti telah lama menyatu pada pakaian
yang melekat pa-
da tubuhnya. Saat itu panas terik matahari kulit. Sekujur tubuh laki-laki telah basah oleh
keringat. Sesekali laki-laki ini menelan ludah, seperti merasa kering
tenggorokannya. Kakinya yang tiada beralas tersaruk-saruk melangkah di jalan
berdebu yang menu-ju ke mulut desa. Ranting kayu kering itu tampaknya telah lama
menemani kemana dia melangkah-
kan kaki, dan cukup berguna untuk menahan tu-
buhnya. Dari arah belakang mendadak terlihat debu
mengepul, disusul dengan munculnya dua ekor
kuda berpenunggang dua orang gadis berpakaian
cara laki-laki. Seorang bercelana pangsi merah dengan pakaian atas berwarna
hijau, dan seorang lagi berpakaian putih-putih. Sepintas dapat diterka kalau
kedua gadis ini bukan gadis-gadis biasa. Karena dari cara berpakaian dan sebilah
pedang yang tersoren dimasing-masing punggungnya menanda-
kan mereka adalah orang-orang persilatan.
Gadis berbaju hijau bercelana pangsi merah be-
rada dibagian depan. Dari jauh dia sudah melihat adanya seorang laki-laki yang
berada di tengah jalan yang melangkah tersaruk-saruk seperti tak
mendengar suara derap langkah kaki kuda di be-
lakangnya. Ketika hampir mendekat gadis ini
membentak keras.
"Jembel busuk! Apakah kau mau mampus!"
Teriakan itu tendangan kakinya yang melayang
deras kearah punggung laki-laki itu. BUK!
Tak ampun lagi tubuh laki-laki bernasib sial itu terjungkal jatuh bergulingan
ditanah berdebu. Sementara kudanya terus membedal cepat mening-
galkan debu bergulung-gulung dibelakangnya. Gadis baju putih yang berada
dibelakangnya berjarak kira-kira lima tombak perdengarkan teriakan tertahan.
Tampaknya dia begitu terkejut karena tak menyangka kalau gadis didepannya telah
melakukan hal itu. Dari jauh dia memang telah melihat adanya seorang laki-laki
berbaju compang-camping melangkah terhuyung-huyung ditengah
jalan yang akan mereka lalui.
Laki-laki ini merangkak bangun. Rambut dan
mukanya penuh debu. Tampak dia seperti sangat
terkejut dan merasa nyeri pada punggungnya, karena tahu-tahu dia merasa ada yang
menjejak punggungnya hingga dia terjatuh bergulingan. Seperti baru tersadar, laki-laki
ini menatap kearah belakang punggung seorang penunggang kuda diantara kepulan
debu, dan suara derap kaki kuda
yang semakin menjauh. Tiba-tiba telinganya mendengar pula suara derap kaki kuda
dari arah belakang. Laki-laki ini palingkan kepalanya. Matanya menatap dengan
terperangah. Mendadak langkah kaki kuda terhenti, disusul
oleh melompatnya si penunggang kuda tepat dihadapannya. Laki-laki ini
menengadah. Yang tampak kini adalah seorang gadis berpakaian putih, menyoren
pedang dibelakang punggung tengah mena-
tapnya dengan wajah menampakkan sikap kekha-
watiran. "Ah... kau... kau tak apa-apa, paman....?" tanya si gadis.
Laki-laki itu tak menjawab, selain menatap pa-
da si gadis dengan mata mendelong. Ditatap demikian gadis ini jadi serba salah.
"Kau.... kau bisa bangun?" tanyanya sambil
membungkuk. Diam-diam dia memperhatikan wa-
jah dan pakaian laki-laki itu. Ada perasaan aneh dihati dara ini. "Tampaknya dia
bukan penduduk desa ini. Tanpa kumis dan jenggot tampaknya dia tak begitu tua,
dan.... aku tak bisa mengatakan dia bertampang jelek! Hm, siapakah laki-laki
ini" Mengapa nekat tak mau menepi, atau dia tak mendengar suara langkah kaki
kuda?" diam-diam si gadis membathin dalam hati.
Pertanyaan gadis itu seperti menyadarkan laki-
laki itu dari terlongonya.
"Aku... aku tak apa-apa..." sahut laki-laki ini seraya bangkit berdiri dengan
agak terhuyung. Walau dia merasakan nyeri pada punggungnya, na-
mun dia seolah-olah tak merasakan lagi. Wajah
cantik gadis baju putih itu seperti mampu mengu-sir rasa sakit.
"Oh, ya... kuambilkan tongkatmu..." kata si gadis, seraya menjumput ranting kayu
kering yang berkilat pada bagian pangkalnya, karena selalu tak pernah terlepas
dari tangan laki-laki itu. Dara baju putih ini berikan tongkat kayu itu pada si
laki-laki brewok.
"Terima kasih.." ucapnya dengan tersenyum.
"Boleh aku mengetahui nama..no...nona?" ta-
nyanya dengan mata tak berkesip memandang wa-
jah dara itu. Gadis ini cukup rikuh ditatap sede-mikian rupa. Mendadak laki-laki
jembros, kumal itu menanyakan pula namanya. Sejenak dia tertegun. Tapi segera
balikkan tubuh, dan melompat
kepunggung kuda.
Dara ini keluarkan beberapa keping uang receh
dari lapisan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain putih kasar. Seraya
melemparkan kepingan
uang receh kedepan laki-laki itu, dia berkata.
"Panggil saja aku DORO PETAK! Itu namaku..!"
Gadis ini tiba-tiba menahan langkah kudanya. Dia menoleh.
"Oh ya! Gunakan uang itu untuk membeli pa-
kaian. Dan mungkin kau akan lebih dihargai dengan pakaian dan penampilan yang
lebih baik!" setelah berkata demikian, gadis ini cepat membedal kudanya menyusul
gadis kawannya yang telah lenyap dari pandangan.
Laki-laki ini lama terpaku memandang kepulan
debu dan suara derap kaki kuda yang semakin
menjauh, dan lenyap dari pendengaran.
"DORO PETAK....! Ah, nama yang bagus! Dia
memang seperti manuk Doro sing wulune petak...!
Lincah, luwes, cantik, dan... baik hati..." Menggumam laki-laki ini dengan
tersenyum. Tampaknya
dia sangat terkesan pada gadis itu. (Manuk doro sing wulune petak, mempunyai
arti : Burung Dara berbulu putih).
Laki-laki jembros, kumal ini kebutkan bajunya
yang penuh debu, tanpa teringat lagi pada rasa sakit pada punggungnya. Kemudian
dia bungkuk-kan tubuh. Lengannya terjulur menjumput kepin-
gan uang receh yang berserak di tanah, menca-
rinya diantara debu.
"Hahaha.... cukup untuk beli pakaian, dan me-
nangsal perutku yang sudah tak terisi makanan
dua hari ini!" Laki-laki ini tertawa gelak-gelak.
Langkahnya dibelokkan kearah jalan kecil. Tak
lama tubuh laki-laki jembros itupun lenyap tak kelihatan lagi....
*** DUA GADIS baju putih memacu kudanya menyusul
gadis baju hijau kawannya yang sudah tak kelihatan lagi entah sampai dimana.
Dalam hati gadis bernama Doro Petak ini sebenarnya sangat mendongkol dengan
sikap si gadis baju hijau yang dianggap sangat keterlaluan. Tapi dia hanya dapat
menghela napas, karena dia tak bisa berbuat apa-apa. WENING RANI adalah puteri
Adipati BENDORO NINGRAT. Sedangkan dia hanya seo-
rang puteri bekas seorang Tumenggung yang telah lama mengundurkan diri dari
jabatan. Tentu saja tingkah laku dan perbuatan gadis itu dia tak berani
mengadukan pada gurunya Ki Ageng GIRING.
Karena dia tahu watak Wening Rani yang keras.
Hari itu Wening Rani meminta izin ke Kota Raja, dan meminta Doro Petak
menemaninya. Ki Ageng
Giring mengizinkan mereka pergi. Sebenarnya Do-ro Petak agak enggan keluar
pesanggrahan. Tapi tak enak hati untuk menolak keinginan Wening
Rani. Maka merekapun berangkat. Tapi baru saja melintasi jalan desa Tambak Sari,
yang tak sebe-rapa jauh dari Pesanggrahan TAMBAK REJO tem-
pat mereka berguru, Wening Rani telah membuat
hati gadis ini menjadi mengkal karena ulah perbuatan gadis itu.
Tujuan Doro Petak adalah selain menemani
Wening Rani ke Kota Raja, dia sekalian akan menyambangi ayahnya didesa KLARAS
LOR. Sudah lebih dari enam bulan dia tak menengok sang
ayah. Entah bagaimana keadaannya saat ini. Se-
cepat itu Doro Petak memacu kuda, tapi belum kelihatan kuda yang ditunggangi
Wening Rani. "Gila! Mengapa dia tak menungguku?" gerutu
gadis ini dalam hati. "Kalau dia inginkan aku menemani, mengapa tak mau jalan
seiring" Apakah
dia mau menunjukkan kemahirannya menung-
gang kuda?" memikir demikian, timbullah ke-
mengkalan hati Doro Petak. Mendadak dia mem-
perlambat lari kuda tunggangannya. Pendapatnya tak perlu dia harus tergesa-gesa
seperti orang di-kejar setan.
Kudanya berjalan pelahan. Sesekali binatang itu memperdengarkan ringkikan.
Sementara hati Doro Petak mengembara kemana-mana. Selama ini dia
telah turutkan keinginan hati sang ayah, menuntut ilmu kedigjayaan pada Ki Ageng
GIRING di pesanggrahan TAMBAK REJO, sejak ibunya mening-
gal secara aneh tiga tahun silam. Dan ayahnya
mengundurkan diri dari jabatan Tumenggung.
Kemudian kembali kedesa kelahirannya didesa
Klaras Lor. Ada perasaan kasihan pada ayahnya yang sela-
ma ini tak ada yang merawat. Doro Petak telah
berniat setelah dia menamatkan pelajaran, akan kembali kedesa. Sampai saat ini
belum ada niat dihati si gadis untuk berumah tangga. Mendadak bayangan wajah
laki-laki brewok itu terbayang lagi dalam ingatannya. Tak terasa bibirnya
tersenyum. Hatinya girang dapat menolong laki-laki itu, memberikan beberapa keping uang.
Uang itu adalah
pemberian ayahnya sekitar enam bulan yang lalu ketika dia menjenguknya desa
Klaras Lor. Ayahnya memang memiliki beberapa hektar tanah warisan
kakeknya, yang sebagian telah dijual untuk mem-biayai hidupnya, dan memberikan
padanya sepa- ruhnya. Selagi dia menjalankan kuda dengan pikiran
menerawang kemana-mana mendadak didengar-
nya suara ringkik kuda dikejauhan. Tampak dua
orang prajurit Kadipaten mengendarai kuda mem-
bedal cepat mendatangi. Gadis ini kerutkan ke-
ningnya. Walau hatinya agak terkejut, tapi dengan tenang dia menantikan
kedatangan mereka.
Dua ekor kuda berpenunggang dua laki-laki
prajurit Kadipaten itu hentikan kudanya didepan Doro Petak.
"Kami membawa surat dari Den Ayu WENING
RANI untuk nona...." kata salah seorang setelah menjura, seraya mengeluarkan
secarik lipatan
kain kertas dan memberikannya pada gadis ini.
"Ndoro Ayumu telah tiba di Kota Raja?" tanya
Doro Petak. Dua laki-laki itu mengangguk. "Kami hanya menyampaikan surat itu
sesuai dengan tugas kami. Dan kami segera akan kembali ke Kadipaten!" kata
prajurit tadi. Doro Petak belum sempat membuka lipatan surat, ketika dua
prajurit itu cepat-cepat mohon diri.
"Hm, baiklah! Dan terima kasih atas surat yang anda berdua sampaikan ini..."
sahut Doro Petak manggutkan kepala. Tak menunggu lama kedua
prajurit segera putar kedua binatang tunggangannya lalu dengan cepat membedal
kuda kembali kearah Kota Raja.
Doro Petak menatap mereka sampai kedua pra-
jurit berkuda itu lenyap dari pandangan.
"Hm, apakah isi surat ini...?" menggumam gadis ini, seraya cepat-cepat membuka
lipatan kertas kain ditangannya. Tertera tulisan yang seperti di-tulis secara
cepat. "DORO PETAK! sebaiknya kau pulang saja. Atau kalau kau mau pergi ketempat
ayahmu, silahkan...!
Tapi sekembalinya, katakan pada guru, bahwa mulai hari ini aku mengundurkan diri
dari perguruan"
Dari aku WENING RANI
Gadis ini kerenyitkan keningnya. Hatinya berge-lut dengan bermacam pertanyaan.
"Ada apakah
sebenarnya" Mengapa Wening Rani memutuskan
berhenti berguru?" benaknya memikir. Sejenak dia merenung. Tapi tak mengerti,
ada persoalan apakah sebenarnya hingga Wening Rani mengambil
keputusan seperti itu. Hal itu dianggapnya sangat tidak sopan. Seharusnya Wening
Rani membicara-kan pengunduran dirinya dengan sang Guru, dan
bukan dengan cara seperti itu.
Doro Petak tak dapat memikirkan lebih panjang
tindakan aneh gadis saudara seperguruannya itu.
Cepat disimpannya surat itu dibalik ikat ping-
gangnya. Bibirnya menggumam. "Hm, perduli den-
gan segala tindakannya. Dan aku toh tak perlu ta-hu urusan dia?" Sejenak dia
tercenung diatas
punggung kuda. Akan kemanakah dia kini" Kem-
bali kepesanggrahan TAMBAK REJO atau terus
kedesa KLARAS LOR...."
"Sebaiknya aku terus kedesa Klaras Lor mene-
mui ayah..." Setelah mengambil keputusan, gadis ini segera bedal kudanya dengan
cepat. Pada jalan bercagak, dia membelok kearah timur. Jalan ini melewati sisi
hutan dibawah bukit. Jalanannya
penuh batu-batu, tapi merupakan jalan terdekat menuju kedesa itu. Dalam
perjalanan tak henti-hentinya gadis itu memikirkan tindakan aneh yang dilakukan
Wening Rani. Walau dia telah memutuskan tak mau mencampuri dan tak mau tahu
urusan orang, tapi kenyataannya tetap saja dia memikirkannya. Sementara matahari
telah mulai agak condong kearah barat.
*** TIGA WENING RANI berdiri dimuka pendopo, mena-
tapkan pandangan matanya kepintu gerbang Ka-
dipaten. Suara langkah kaki di belakangnya telah membuat dia menoleh. Tampak
seorang laki-laki
berusia sekitar 40 tahun lebih mengenakan pa-
kaian warna hitam bersulam benang emas me-
langkah menghampiri.
"Wening... anakku! Surat apa yang kau tulis ta-di, dan kau suruh pengawal
mengantarkannya?"
laki-laki ini menyapa. Ternyata laki-laki itu Adipati BENDORO NINGRAT.
"Aku benar-benar sebal pada gadis itu. Sok we-
las asih, sok dermawan, dan menganggap dirinya seolah orang-orang keturunan


Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ningrat! Aku benar-benar sebal! Benci...!" menyahut Wening Rani dengan muka
cemberut. "Ada apa sebenarnya Wening" Siapa gadis yang
kau maksudkan" Kau baru saja tiba, langsung
marah-marah..." kata Adipati terheran menatap anak gadisnya.
"Siapa lagi kalau bukan DORO PETAK! Anak
bekas Tumenggung yang gila itu!" sahut gadis ini dengan mata membinar dan dada
turun naik. Adipati Bendoro Ningrat kerutkan keningnya.
"Doro Petak..." Hm, bukankah dia seperguruan
denganmu?" tanya laki-laki ini setelah paham sia-
pa yang dimaksud anak gadisnya.
"Benar! Dia itu perempuan murahan. Tingkah
lakunya bikin muak aku. Huh! Mengobral cinta
pada semua laki-laki di pesanggrahan. Ketika kua-jak kemari untuk menemaniku pun
ternyata di- tengah jalan main cinta dengan laki-laki. Sungguh bikin aku sebal dan muak!"
berkata gadis ini.
"Hm, lalu surat apa yang kau tulis itu, dan untuk siapa?" tanya Adipati Bendoro
Ningrat manggut-manggutkan kepala.
"Dia kutinggalkan diperjalanan kemari. Surat
itu kutulis buat dia. Tadinya aku hanya meminta dia menemani sampai keperbatasan
Kota Raja, sekalian dia akan menemui ayahnya didesa Klaras
Lor. Tapi ditengah jalan ada laki-laki yang telah menunggunya..."
"Apa isi suratmu?" tanya Adipati.
"Aku menyuruh dia kembali saja ke pesanggra-
han. Sengaja kularikan kuda dengan cepat agar
dia tak mampu menyusul. Dan... dalam surat ku-
tulis agar dia menyampaikan pada Ki Ageng
GIRING, bahwa aku keluar dari perguruan!" sahut Wening Rani dengan tegas.
Adipati Bendoro Ningrat tersentak kaget. Dia
benar-benar terkejut mendengar apa yang di-
ucapkan anak gadisnya.
"Maksudmu" mengapa kau mengambil keputu-
san mendadak" Bukankah tak ada sangkut paut-
nya dengan kelakuan anak itu?" tanyanya dengan menatap heran Wening Rani.
"Huh! Tak ada sangkut pautnya, memang! Tapi
aku diperguruan merasa dianak tirikan! Tampak-
nya Ki Ageng Giring lebih menyayangi Doro Petak!"
sahut gadis ini ketus.
"Maksudmu... gurumu pilih kasih?" sentak Adi-
pati Bendoro Ningrat. Dadanya tampak bergerak
lebih cepat. Tampaknya dia telah termakan kata-kata anak gadisnya.
Wening Rani mengangguk. Matanya masih me-
natap kearah pintu gerbang. Tapi jelas terlihat sepasang mata gadis ini tampak
agak berkaca-kaca.
Semua itu tak luput dari penglihatan ayahnya.
Sejenak Adipati ini terdiam beberapa saat. Walau dadanya bergemuruh menahan
marah karena pengaduan anak gadisnya, tapi dia masih bisa
menahan diri. Lalu ujarnya setelah menghela napas, dan menimbang-nimbang
kebenaran kata-
kata anak gadisnya.
"Wening...! Anakku...! Apakah selama ini kau
belajar sungguh-sungguh" Dan apakah pilih kasih yang kau maksudkan itu dalam hal
kasih sayang atau dalam hal pelajaran?" Pertanyaan Adipati
Bendoro Ningrat adalah, karena dia menganggap
gadis itu wajar mendapat kelebihan kasih sayang, karena Doro Petak adalah
seorang gadis yang telah piatu. Ki Ageng Giring tentu telah menganggap gadis itu
sebagai anaknya sendiri.
Wening Rani mengumbar isak. Dia menutupi
mukanya dan menangis tersedu-sedu. Tentu saja
sang ayah jadi geleng kepala tak mengerti. "Sudahlah anakku...! Tak usah kau
pikirkan hal itu. Sebenarnya akupun tak mempercayakan kau sete-
rusnya pada orang tua itu. Aku hanya ingin kau memiliki dasar ilmu silat. Agar
kau tak dianggap
rendah orang. Aku akan membawamu ketempat
seseorang yang berilmu tinggi. Dia seorang tokoh ahli Yoga, dari Hindustan!"
kata Adipati seraya membelai rambut anak gadisnya.
Wening Rani mengangkat kepalanya. Matanya
menatap laki-laki Adipati itu dengan membelalak bersinar.
"Ahli Yoga" Ilmu apakah itu ayah?"
"Itulah ilmu yang sangat langka. Kelak kalau
kau sudah mempelajari, kau akan mengetahui ke-
hebatannya!" sahut Adipati dengan tersenyum.
"Ayah! Aku mau berguru pada orang itu. Dima-
nakah dia bertempat tinggal" Seorang laki-laki atau perempuan?" tanyanya
beruntun. "Dia seorang perempuan!" menyahut Adipati.
"Ah...! Apakah perempuan itu sebaya dengan
ibu?" tanyanya mendesak. Laki-laki alat Kerajaan ini menggeleng. Bibirnya
tersenyum. "Dia seorang perempuan yang hampir menjadi
nenek. Mungkin usianya sepuluh tahun lebih tua dari ibumu!" sahutnya. Wening
Rani manggut-manggut. Tampaknya dia sangat girang mendengar niat ayahnya untuk
menjadikan dia murid sahabat sang ayah yang berilmu tinggi itu.
"Nah! Lupakanlah gadis nakal Doro Petak itu,
juga Ki Ageng Giring! Tapi kuharap kau mau ber-sabar menunggu beberapa hari
sampai tiba saat-
nya aku membawamu ketempat sahabatku pe-
rempuan tua ahli Yoga itu! Kalau kau benar-benar belajar sungguh-sungguh, kau
pasti tak akan ke-cewa...!" kata Adipati Bendoro Ningrat.
Saat itu tampak dua prajurit berkuda menda-
tangi pintu gerbang. Salah seorang melompat turun dari kuda, dan berlari-lari
mendatangi pendopo. "Apakah surat itu sudah kau sampaikan?"
tanya Wening Rani mendahului bertanya. Cepat-
cepat prajurit itu menjura.
"Sudah, Ndoro Ayu..."
"Bagus! Baiklah...! Kau boleh istirahat!" kata Wening Rani, lalu balikkan tubuh
dan beranjak memasuki ruangan. Adipati Bendoro Ningrat ma-
sih berdiri dimuka pendopo. Matanya menatap
jauh kedepan. "Hm...Ki Ageng Giring tampaknya tak menghar-
gai aku. Apakah dia menganggap dirinya seperti sudah tak ada tandingannya?"
desis laki-laki ini dengan wajah mengelam. Sesaat antaranya laki-laki inipun
beranjak memasuki ruangan... Tepat ketika seorang wanita berpakaian kuning emas
dengan perhiasan lengkap keluar dari ruangan dalam, seperti baru bangun tidur.
"Kakang Adipati...! Kudengar suara perempuan
seperti Wening Rani! Apakah anak kita datang?"
tanyanya. Laki-laki ini manggutkan kepala. "Ya, dia baru saja masuk kamarnya..."
sahutnya. "Oh...! mengapa kau takut membangunkan aku?"
katanya, seraya bergegas menuju keruangan ka-
mar gadis itu. "Biarkanlah dia beristirahat, dia masih lelah..."
kata Adipati Bendoro Ningrat sambil melangkah
masuk keruang dalam. ***
EMPAT Sementara itu si gadis berbaju pulih Doro Petak telah sampai disisi hutan-hutan
yang akan dilewa-tinya. Mendadak kudanya meringkik panjang se-
raya mengangkat kaki depannya. Tentu saja dara ini jadi terkejut bukan main.
Sebelum binatang itu roboh tersungkur, dia telah melompat dari punggung kuda.
Alangkah terkejutnya Doro Petak melihat bina-
tang tunggangannya berkelojotan meregang nya-
wa. Selang sesaat binatang itupun melepaskan
nyawa. Doro Petak membelalakkan mata melihat
binatang itu tertancap sebatang ranting kayu
hingga tembus, dan mencucurkan darah.
"Hah! Siapa yang telah membunuh kudaku?"
tersentak si gadis, terperangah kaget. Seketika jantungnya berdetak keras.
Perasaannya memperin-
gatkan adanya bahaya yang mengancam dirinya.
Benar saja. Dari atas dahan dan dari balik semak belukar depan dan belakang
tiba-tiba bermunculan beberapa sosok tubuh.
Doro Petak tersurut mundur. Pandangan ma-
tanya memutar melihat sekelilingnya. Enam orang laki-laki bertampang kasar,
dengan pakaian warna hitam telah mengurungnya dari segala penjuru.
"Siapa kalian?" membentak dara ini dengan su-
ara keras. Diam-diam dia memperhatikan tampang orang-orang itu. Ternyata
diantaranya terdapat seorang laki-laki yang memakai cadar hitam penutup muka.
Kecuali kedua matanya saja yang me-
nyembul diantara dua buah lubang.
"Cepat tangkap dia!" perintah si laki-laki bercadar. Serentak kelima orang
merapatkan kepungan.
Dua diantaranya mengeluarkan gulungan tam-
bang. Melihat demikian Doro Petak mencabut pe-
dangnya. Dalam hati dia membathin. "Siapa sebenarnya mereka" Dan.... siapa pula
orang bercadar itu?" Namun Doro Petak tak dapat berpikir lama, karena lima orang
itu telah menerjang. Pedang ditangan gadis ini berkelebat menyambar kesetiap
sosok tubuh yang mendekat. Ternyata mereka
sangat gesit. Gerakan melompatnya begitu cepat.
Dua berkelebat menghindar, dua maju merangsak, seperti memencarkan perhatian si
gadis. Si laki-laki bercadar juga turut maju menge-
pung. Sementara dua laki-laki yang mencekal
tambang, hanya berkelebatan kesana kemari men-
cari kesempatan melemparkan tali jeratannya.
Doro Petak yang baru pertama kali diserang
oleh sekelompok pembegal itu benar-benar bertarung mati-matian mengeluarkan
segenap ilmu pe-
dangnya demi mempertahankan diri. Pedangnya
menyambar-nyambar disertai bentakan-bentakan
nyaring. Namun sejauh itu dia bertempur, tapi tak sedikitpun ujung pedangnya
mampu menggores
kulit tubuh lawan. Walaupun dia sudah mandi keringat. Mereka memang gesit
menghindarkan diri.
Dan sengaja menyerang dengan tangan kosong
agar tak melukai tubuhnya.
Lama-kelamaan semakin gusar gadis ini, karena
merasa dipermainkan. Mendadak dia membentak
keras. Serangan pedangnya tiba-tiba berubah ganas. Kilatan pedang membentuk
gulungan cahaya
putih berkredepan. Gadis ini gunakan jurus ilmu pedang Seribu Elang Mengejar
Mangsa. Sekejap saja tubuh dara ini seperti terbungkus cahaya perak, saking cepatnya dia
memainkan pedang.
Perubahan gerakan gadis ini agak membuat me-
reka terkejut. Kilatan cahaya pedang disiang terik itu cukup menyilaukan
pandangan mata mereka.
Mendadak dara itu keluarkan bentakan nyaring
sekali lagi. Tahu-tahu tubuhnya meletik keudara.
Berbareng dengan letikan tubuh gadis itu, lengan dara ini mengibas. Dan...
menyambarlah tiga larik cahaya putih ketiga penjuru.
"Awas! Senjata rahasia!" teriak si laki-laki bercadar.
Namun peringatan itu terlambat. Seorang yang
membawa tambang penjerat terjungkal, dan seo-
rang lagi dari pengepungnya terkena sasaran. Sedangkan si laki-laki bercadar itu
berhasil menangkap sambaran senjata rahasia gadis itu yang menyambar deras
kearahnya. Dengan menjerit parau dua pengeroyok itu terkapar roboh.
Mendelik mata si laki-laki bercadar melihat pi-sau belati kecil disela jepitan
jari tangannya. Tampaknya laki-laki bercadar ini agak jerih melihat kehebatan
ilmu pedang gadis itu. Dia memberi
isyarat pada tiga orang kawannya.
"Mari kita pergi!" teriaknya. Lalu mendahului
berkelebat melompat masuk hutan. Tiga orang kawannya cepat berkelebatan
menyusul. Sebentar
saja kawanannya pembegal itu telah lenyap dari pandangan mata gadis itu.
Doro Petak menatap kearah dua laki-laki dari
kawanan pembegal itu yang tergeletak tak bergerak. Pada dada dan lehernya
tertancap belati-belati maut senjata rahasianya. Gadis ini diam-diam ber-syukur
dalam hati, karena para pembegal itu tak terus mengepungnya. Seraya memasukkan
pedangnya kedalam serangka, dia pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sambil berlari-lari cepat melewati jalan setapak, gadis ini tak hentinya memikir
dalam benak. Siapa adanya kawanan begal itu. Terutama laki-laki bercadar hitam
itu yang tak dikenal wajahnya.
"Untunglah mereka melarikan diri... Kalau ti-
dak, tak tahulah aku. Apakah aku sanggup meng-
hadapi yang lainnya" Rasanya ada yang aneh" Jurus itu tak pernah terpikir olehku
untuk mengelu-arkannya. Tapi aku telah mempergunakannya di-
luar kesadaranku..." berkata gadis ini dalam hati.
Sementara itu mulut desa KLARAS LOR telah
kelihatan didepan mata. Dara ini memperlambat
larinya. Napasnya tampak memburu. Dan lututnya terasa lunglai. Pertarungan tadi
baru pertama kali dihadapi selama dia berguru dipesanggrahan
Tambak Rejo. Rumah tua milik ayahnya yang berada di ten-
gah kebun kopi, telah kelihatan dari jauh. Doro Petak seperti tak sabar untuk
segera tiba. Entah mengapa hatinya berdebaran aneh. "Apakah akan
ada terjadi sesuatu lagi?" pikirannya dalam benak.
Langkahnya dipercepat.
Ketika dia tiba didepan pintu rumah tua milik
ayahnya, sejenak dia tertegun. Matanya menatap kearah pintu dengan rumah tua itu
yang menjeb-lak terbuka. Tapi ada sesuatu yang aneh. Sebelah daun pintu itu agak
miring.. Hatinya tercekat. Cepat dia melompat, setengah berlari mendaki anak
tangga. Kini jelaslah. Pintu rumah tua itu lepas engselnya sebuah. Sejenak dia terpaku
menatap. Ma- tanya menjalari sekitar teras. Lalu memutar tubuh, dan mengarahkan pandangan
kesekitar ke- bun kopi. Kalau-kalau dia dapat melihat ayahnya disana. Tapi tempat itu sunyi.
Tak ada suara siapa-siapa. Begitu lengangnya dan sangat mence-
kam. Sementara matahari semakin menggelincir
kearah bukit. Dia tersentak ketika mendengar suara berke-
riutnya daun pintu. Ketika dia balikkan tubuh, tampak seseorang berdiri dimuka
pintu. "Seorang wanita" Siapakah...?" jantungnya me-
nyentak. "Masuklah...cah ayu...! Mengapa kau hanya
berdiri diluar saja?" Perempuan tua itu menyapa.
Tampak bibirnya mengulas senyum, lalu sosok
tubuh itu lenyap, beranjak masuk lagi kedalam
rumah. "Siapakah perempuan tua itu" Apakah seorang
tetangga ayah yang bekerja dirumah ini?" ber-
tanya-tanya si gadis dalam hatinya.
Lambat-lambat dia melangkah. Lalu melebarkan
daun pintu. Terdengar suara berkeriut dari sisi pintu. Agaknya pintu rumah itu


Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mulai tua
dan berkarat. Kepala Doro Petak menjulur melihat keadaan didalam.
Tampak perempuan tua tadi tengah duduk di-
kursi rotan tua. Di atas meja ada seperangkat pakaian dan sebuah keranjang
jahitan. Melihat Doro Petak masuk, diam meletakkan pakaian yang tengah
dijahitnya. Bibir perempuan tua itu kembali mengulas senyum.
"Silahkan duduk cah ayu...!" kata wanita tua ini ramah. Doro Petak mengangguk
sambil menjura.
Mulutnya baru membuka untuk ajukan perta-
nyaan, tapi wanita tua itu telah lebih dulu berkata.
"Kau WENING RANI, bukan" Ah, ilmu pedang-
mu sangat luar biasa, cukup mengagumkan...!
Kau cukup punya keberanian, dan banyak akal.
Tampaknya tak sia-sia kau menuntut ilmu kedig-
jayaan pada Ki Ageng Giring!"
Tentu saja Doro Petak jadi melengak heran.
Cepat-cepat dia menyahut. "Aku..." tapi belum
lagi dia melanjutkan, wanita tua itu telah memo-tong.
"Sudahlah! Sebaiknya kau beristirahat dulu!
Pergilah mandi kebelakang. Tubuhmu penuh ke-
ringat. Kau tentu lelah sehabis melakukan perjalanan jauh. Apa lagi kau baru
habis bertempur, dan kau terpaksa jalan kaki kemari. Aku telah memasak makanan
enak. Kau tentu belum pernah men-
cicipi masakan Hindustan!" kata wanita tua itu.
"Masakan Hindustan...?" sentak Doro Petak da-
lam hati. Ya, untung hanya dalam hati. Sesuatu yang aneh telah tersirat dibenak
gadis ini. Siapakah wanita ini yang menyangka dia WEN1NG
RANI..." Seraya mengangguk, dan melangkah ce-
pat keruang belakang, Doro Petak mereka-reka dalam hati.
"Ini benar-benar aneh! Kemanakah ayah..." Pe-
rempuan itu menyangka aku Wening Rani. Apakah
hubungan Wening Rani dengannya" Dan apa pula
hubungannya dengan ayahku...?" Sambil melang-
kah, mata gadis ini melirik kearah pintu kamar yang agak sedikit terbuka
"Tak ada siapa-siapa...! Aneh! kemanakah
ayah...?" sentaknya dalam hati. Dengan benak
agak kalut, Doro Petak melangkah juga menuju
kamar mandi. "Sebaliknya aku tak mengatakan
dulu siapa aku sebenarnya. Kesempatan sebelum
Wening Rani muncul akan kugunakan untuk me-
nanyakan ayahku. Setidak-tidaknya dia mengeta-
hui keadaan seorang laki-laki tua bekas seorang Tumenggung yang memiliki rumah
ini..." pikir si gadis mengatur rencana.
Sambil membuka pakaiannya setelah menutup
pintu kamar mandi, benak Doro Petak terus me-
mikir. Satu hal yang cukup aneh pula, adalah perempuan tua itu mengetahui
pertarungan dia dengan para pembegal. Hatinya mulai curiga. Dia teringat
kematian ibunya tiga tahun yang lalu yang secara aneh.
Di ingat ketika itu ayahnya tengah pergi bertugas kelain wilayah. Cuma dia dan
ibunya yang berada digedung Ketumenggungan di Kota Raja. Ka-
rena ayahnya akan bertugas selama sepekan, Doro Petak tak pergi kemana-mana.
Biasanya dia sering berkeliling disekitar Kota Raja dengan menung-
gang kuda. Dia sangat gemar menunggang kuda.
Tapi selama sepekan itu terpaksa mengeram dirumah menemani ibunya.
Pada malam pertama seperginya ayahnya, Doro
Petak tidur satu tempat tidur disamping ibunya.
Demikian pula pada malam kedua dan ketiga, ka-
rena ibunya minta ditemani. Akan tetapi pada malam ketiga, Doro Petak merasa
panas luar biasa.
Hingga sekujur tubuhnya berkeringat. Dilihatnya ibunya tidur lelap seperti tak
merasakan udara yang begitu panas.
Lambat-lambat dia bangun dari pembaringan.
Setelah mengawasi ibunya, dia membuka jendela
sedikit agar angin dapat masuk. Lalu merebahkan lagi tubuhnya. Tapi hawa panas
tetap membuat dia gelisah. Akhirnya dengan hati-hati dia keluar dari kamar ibunya. Doro Petak
masuk kekamar-nya, dan membuka jendela lebar-lebar. Udara dari luar cukup
membuat dia merasa nyaman beberapa
saat. Matanya kembali merasakan kantuk, setelah
menghirup udara malam yang cukup segar.
Dirapatkannya jendela sedikit. Dan dibaringkan tubuhnya dengan harapan dia bisa
tidur, dan bangun agak lebih pagi. Sebentar saja dia telah teridap dalam mimpi.
Ketika dia terbangun ternyata matahari telah
menyorot masuk dari jendela. Gadis ini terkejut dan melompat bangun. Dia merasa
telah tertidur sangat lelap. Bergegas dia kebelakang untuk men-cuci muka. Lalu
kedapur untuk menyalakan tung-
ku. Tapi sejenak dia tercenung. Sudah bangunkan
ibunya" Biasanya kalau dia bangun terlambat,
ibunya telah memasak air.
Mendadak dia mendengar suara ibunya berte-
riak-teriak. Tentu saja membuat dia terkejut, dan melompat seperti terbang
kearah kamar ibunya.
Apa yang dilihatnya. Didapati ibunya dalam keadaan aneh. Dia menjambaki
rambutnya sambil
berteriak-teriak. Pakaiannya tak keruan. Doro Petak menghambur mendekati. Tapi
dia telah dibentak oleh ibunya.
Gadis ini menyurut mundur dengan terheran
dan mata membelalak. Tak seperti biasanya sang ibu bersikap demikian. Dan belum
pernah selama hidup dia dibentak seperti itu. Ibunya sangat me-nyayanginya.
Doro Petak jadi panik dan kebingungan. Ibunya
kembali menjerit-jerit dang melemparkan apa yang ada didekatnya. Gadis ini tak
berani mendekat.
Dia cuma bisa menangis dengan ketakutan. Sete-
lah mengamuk dan berteriak-teriak akhirnya
ibunya tak sadarkan diri. Banyak orang datang
berkerumun kegedungnya untuk melihat keadaan
ibunya, dan memberi pertolongan.
Sehari sebelum kedatangan ayahnya, ibunya
menghembuskan napas yang terakhir. Setelah be-
berapa orang tabib dan dukun silih berganti mencoba menyadarkan ibunya yang
pingsan lebih dari dua hari dua malam. Doro Petak menangis tak
berkeputusan. Dan... sejak kematian ibunya yang secara, aneh itu, ayahnya menampakkan
perubahan. Seperti
kurang beres ingatannya. Terkadang bila sedang
sadar dia menangis tersedu-sedu. Tapi bila sedang kumat penyakitnya, dia
tertawa-tawa. Kelakuannya mirip orang yang tidak waras.
Dalam keadaan demikian, Adipati Bendoro Nin-
grat sering datang menyambangi ayahnya. Banyak memberi nasihat, dan menghibur
hati mereka. Lambat laun penyakit ayahpun sembuh. Tapi be-
berapa hari kemudian, ayahnya menghadap Adipa-
ti, dan menyatakan pengunduran diri.
Sejak itu ayah mengajak dia pindah kedesa Kla-
ras Lor, tempat kelahiran dan kampung halaman
ayahnya. Belum sebulan mereka pindah didesa
yang sunyi itu, ayahnya mengutarakan maksud-
nya untuk membawa dia pada seorang sahabatnya
didesa lain. Ayahnya menginginkan dia mempela-
jari ilmu kedigjayaan. Doro Petak tak dapat menolak. Demikianlah, untuk
menyenangkan hati sang ayah, diapun menetap dipesanggrahan Tambak
REJO, berguru pada Ki Ageng GIRING hingga
sampai saat ini. Ternyata sebelum kedatangannya kepesanggrahan itu, Wening Rani
telah lebih dulu berguru pada orang tua itu. Perbedaannya tak berapa jauh.
Karena gadis itu baru sekitar sebulan dipesanggrahan itu. Tentu saja dia
mengenal Wening Rani, karena gadis anak Adipati Bendoro Ningrat itu adalah kawan
bermainnya. Mereka sama-
sama gemar menunggang kuda....
Ingatan masa lalu itu mendadak lenyap. Doro
Petak tersadar dari lamunannya. "Ah, aku telah melamun terlalu jauh. Aku harus
cepat mengetahui keadaan ayah...!" Doro Petak tak ingin peristiwa lalu itu
menimpa ayahnya. Gadis ini cepat-
cepat melepas pakaian terakhir. Air yang meng-
guyur tubuhnya membuat dia merasa segar. Tapi
tak dapat melenyapkan ketegangan yang kian
memuncak saat itu. Doro Petak tak ubahnya bagai api dalam sekam....
*** LIMA DALAM KAMAR, DORO PETAK rebahkan tu-
buhnya dipembaringan. Hatinya gelisah. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Memikirkan keadaan ayahnya yang tak diketahui kemana per-
ginya, sepasang mata gadis ini berkaca-kaca. Hatinya mulai menduga-duga siapa
adanya wanita asing itu. Mendadak telinganya mendengar suara derap
kaki-kaki kuda, seperti mendatangi kearah rumah tua itu. Hati Doro Petak
tercekat. "Siapa yang datang...?" sentaknya dalam hati.
Diam-diam dia membuka jendela dan mere-
gangkan sedikit. Matanya membelalak melihat seorang laki-laki menunggang kuda
memasuki hala- man rumah. Dia mengenal betul siapa adanya laki-laki itu.
"Adipati BENDORO NINGRAT...?" jantung Doro
Petak menyentak. Mendadak bayangan buruk ter-
lintas dimata gadis ini. Cepat dia beranjak dan dengan berjingkat mengunci pintu
kamar. Sengaja dia membiarkan jendela itu merenggang. Bila keadaan tak
mengizinkan, dia bisa melompat dari jendela, dan melarikan diri.
Doro Petak duduk dipembaringan dengan geli-
sah. Mendadak bayangan masa silam terpampang
dibenaknya. Ketika Adipati Bendoro Ningrat me-
nyambangi ayahnya yang sedang sakit goncangan
jiwa setelah kematian ibunya, dia tak dapat melupakan tatapan mata liar Adipati
itu ke arahnya.
Seperti seakan-akan tatapan matanya menguliti
tubuhnya. Ada sedikit prasangka buruk terhadap Adipati itu yang dihubung-
hubungkan dengan kejadian aneh yang menimpa ibunya, hingga sampai ajal merenggut
nyawa ibunya. Tapi dia telah me-mendamnya dalam hati.
Dia masih terlalu muda untuk memikirkan hal
yang terlalu jauh. Dan prasangka buruk itupun
lenyap sendiri. Apalagi dari keterangan ayahnya, ibunya memang sering mengalami
hal demikian sejak mengandung anak yang pertama, yaitu di-
rinya sendiri. Diam-diam gadis ini memasang telinga untuk
mendengar pembicaraan. Terdengar suara perem-
puan itu menyambut kedatangan Adipati.
"Selamat datang tuan Adipati...!"
Tapi disusul dengan suara. "Ssssss....! Apakah ada seorang gadis kemari?"
"Bukanlah dia..." menyahut suara si perempuan
asing. Suaranya agak perlahan. Sesaat hening. La-lu terdengar suara bisik-bisik
Adipati. "Jadi dia..."
Suara si wanita agak tercetus sedikit keras, tapi kemudian suara mereka lenyap.
Doro Petak memasang telinga sampai beberapa
saat. Tak terdengar suara apa-apa lagi. Tapi selang sesaat terdengar suara derit
pintu seperti suara
pintu yang dibuka perlahan, dan ditutup... Selanjutnya semua kembali lengang,
sepi dan sangat
mencekam bagi telinga gadis ini. Dia tak tahu lagi apa yang dilakukan Adipati
dan perempuan asing itu.
Setelah memikir bolak-balik, akhirnya Doro Pe-
tak memutuskan untuk meninggalkan rumah itu.
Setelah menyorenkan pedangnya ke belakang
punggung, berindap-indap dia mendekati jendela.
Dikuakkan pintu jendela lebih lebar. Beruntung gadis ini karena engsel jendela
tua itu tak menimbulkan bunyi berderit. Dengan hati-hati sekali agar tak
menimbulkan suara, serta menahan napas,
Doro Petak merambat turun dari jendela. Lalu
dengan sangat hati-hati melangkah melalui jalan disisi rumah, menuju kearah
halaman. Tampak kuda putih Adipati Bendoro Ningrat be-
rada di halaman. Sesaat dia berhenti untuk mengawasi keadaan. Pintu depan rumah
tua itu agak setengah terbuka. Doro Petak menatap sejenak.
Lalu melompat mendekati kuda. Gerakannya cu-
kup ringan untuk tak menimbulkan suara. Sece-
pat itu juga lengannya membuka tali penggrudi
yang terikat ditiang. Tapi secepat itu pula dia telah melompat cepat kepunggung
binatang itu. Detik
berikutnya Doro Petak telah membedal kuda den-
gan cepat keluar dari halaman rumah tua itu....
Tak ada tanda-tanda gerakan orang keluar dari
dalam rumah tua itu. Tapi selang sesaat setelah bayangan tubuh gadis dan kuda
putih itu lenyap dibalik pohon-pohon kopi, direlung bukit, terdengar suara si
perempuan asing dari arah ruang ka-
mar. Pintu kamar itu tampak masih tertutup se-
perti semula. "Tuan Adipati membiarkan dia pergi....?"
Adipati Bendoro Ningrat perdengarkan suara
tertawa perlahan.
"Biarlah dia pergi...! Orang-orangku telah siap untuk menawannya lagi. Dan...
kita toh tak ingin ketenangan kita terganggu, bukan?" menyahut suara Adipati.
Terdengar suara wanita asing itu tertawa manja. Kemudian kelengangan kembali me-
rayapi rumah tua itu. ***
ENAM HARI itu pasar diwilayah Kota Raja tampak le-
bih ramai dari hari-hari biasa. Penjual barang-barang pecah-belah sampai pakaian
dan makanan, bahkan mainan anak-anak didagangkan orang.
Pembeli simpang siur mencari barang yang akan
dibelinya. Pantas kalau hari itu pasar Kota Raja sangat ramai, karena hari itu
adalah hari pasaran yang selalu lebih ramai dalam setiap satu pekan sekali.
Seorang laki-laki jembros berpakaian kain kasar warna kuning, dan celana pangsi
warna hitam, tampak berjalan mondar-mandir diantara sim-
pang-siurnya pembeli. Entah apa gerangan yang
akan dibelinya. Matanya menatap kesetiap toko.
Mendadak dia merandek didepan sebuah toko ba-
rang kelontong. Toko tersebut menjual berbagai alat rumah tangga yang terbuat
dari bambu. Pandangan mata si laki-laki jembros tertuju pa-da sebuah topi capil dari bambu
berlapis pelepah daun pinang. Ternyata topi capil itulah yang dica-rinya. Lantas
saja dia menghampiri toko itu, lalu lengannya menunjuk kebenda tersebut ketika
si-penjual barang-barang menghampiri.
"Yang ini, paman?" tanya pedagang kelontong
itu. Dia seorang laki-laki yang masih cukup muda.
"Wah! paman beruntung. Barang ini tinggal sa-
tu-satunya. Kalau terlambat, mungkin tak ke bagian. Ini topi capil paling kuat.
Barang kiriman dari desa Tamblong. Terkenal kuat, dan rapi any-amannya!" kata si
pedagang kelontong.
"Mm, berapa harganya?" tanya si laki-laki jem-
bros, setelah mengamati dan mencoba dikepala


Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Pedagang itu tersenyum dan berpikir sejenak.
Lalu berkata. "Tadi kujual lima ketip. Karena topi capil ini tinggal satu-
satunya, biarlah paman bayar saja, empat ketip!"
Si laki-laki jembros termenung sesaat. Menghi-
tung-hitung uangnya dalam genggaman. Selang
sesaat dia berkata.
"Uangku tinggal empat ketip. Kalau kuberikan
semua, aku tak ada buat menangsal perut. Bagaimana kalau tiga ketip saja"
Sisanya satu ketip untuk beli makanan?" Si pedagang terdiam sesaat.
"Baiklah! Aku percaya paman tak punya uang
lagi. Nah, ambilah.." katanya memberikan topi capil itu. Laki-laki jembros
segera membayarnya. Si-sa uang satu ketip itu dimasukkan dalam sa-
kunya. Laki-laki jembros itu ucapkan terima kasih.
"Hm, lumayan. Bisa menahan kepalaku dari
sengatan panas matahari..." gumam si laki-laki jembros, seraya mengenakan topi
capil itu. Kemudian melangkah pergi. Baru beberapa langkah dia berjalan,
diantara simpang-siurnya orang yang be-lanja dan melihat-lihat, mata laki-laki
ini tiba-tiba tertuju pada punggung seorang wanita berbaju hijau bercelana
pangsi warna merah yang merah
yang menunggang kuda. Sejenak dia tertegun. Sebentar saja dia telah mengenali
siapa adanya gadis itu.
"Kemanakah DORO PETAK....?" menggumam si
laki-laki brewok. Ternyata dia adalah laki-laki yang pernah ditendang dari atas
kuda, ketika tengah berjalan ditengah jalan desa.
Gadis penunggang kuda itu memang WENING
RANl adanya. Dia tengah melihat-lihat keramaian dipasar Kota Raja. Entah apa
yang akan dibelinya.
Si laki-laki brewok terilis memperhatikan gadis itu berkeliling-keliling pasar.
Sambil terus memperhatikan dengan sudut matanya, laki brewok ini
menghampiri seorang pedagang telur.
"Kau mengenal gadis penunggang kuda itu?"
tanya si laki-laki brewok. Pedagang telur itu mengangguk.
"Ya! Dia puteri Adipati BENDORO NINGRAT!"
sahutnya menatap heran pada laki-laki itu.
Pedagang dipasar itu memang hampir semua
mengenal gadis itu. Dan tak seorang pedagangpun berani menolak bila gadis itu
menginginkan suatu barang yang dipintanya.
Laki-laki brewok ini manggut-manggut. Sebe-
lum si pedagang telur menanyakan maksudnya le-
bih jauh, cepat-cepat laki-laki ini angkat kaki, dan menyelinap diantara
kerumunan pedagang penjual barang obral.
Sementara itu WENING RANI tampaknya tak
tertarik untuk "membeli" sesuatu. Dia cuma melihat-lihat keramaian saja. Tak
lama dia menjalankan kudanya keluar dari pasar. Mendadak disebelah luar
terdengar suara ramai seperti ada terjadi keributan.
Seorang pengawal tampak tengah membentak-
bentak seorang laki-laki jembros bertopi capil, di-kerumuni banyak orang yang
menonton. Tak ayal
Wening Rani segera membedal kuda menghampiri.
"Kau bicara apa tadi dengan tukang telur" Ma-
tamu selalu memandang ke arah Ndoro Ayu Wen-
ing Rani!" Bentak pengawal itu.
"Aku... aku... tidak bicara apa-apa...." sahut si laki-laki brewok tergagap.
"Bangsat! Kalau bicara dihadapanku, buka topi
capilmu!" hardik perwira Kerajaan itu.
"Ya...! Baik, tuan!" kata si laki-laki Jembros, seraya membuka topi capilnya.
"Bagus! Kini katakan, apa yang kau bicarakan
pada tukang telur itu?" bentak si pengawal lagi.
"Sungguh, tuan aku tak bicara apa-apa..." me-
nyahut si brewok.
"Dusta! Aku telah dengar sendiri dari tukang telur, bahwa kau memburuk-burukkan
Den Ayu WENING RANI" Kau pasti mata-mata. Aku sering
melihat kau dalam beberapa hari ini berada dipasar!"
Tentu saja kata-kata keras pengawal itu terdengar oleh Wening Rani. Seketika
wajah gadis ini berubah merah padam.
"Sungguh tuan! Aku... tidak... tidak..." Akan tetapi kata-kata laki-laki brewok
itu terputus oleh suara bentakan si pengawal. "Bangsat! kau masih menyangkal?"
Buk! Tinju pengawal itu melayang menghantam dada
laki-laki brewok itu, membuat dia berteriak kesaki-tan, dan roboh terjengkang.
"Minggir....!"
Satu teriakan nyaring membuat semua kepala
menoleh kearah datangnya suara itu. Wening Rani telah melompat dari atas
punggung kuda. Dan,
dengan wajah marah padam menghampiri si laki-
laki brewok. Melihat kedatangan gadis ini, sipengawal men-
jura dalam-dalam.
"Dan Ayu... aku telah lama mencurigai orang
ini. Tampaknya dia bermaksud tidak baik terhadap Den Ayu... Mungkin dia mata-
mata!" kata si pengawal.
Wening Rani tak menyahut. Matanya menatap
tajam laki-laki brewok itu. Mendadak dia tertawa gelak-gelak, dan berkata dengan
suara dingin. "Heh! Kiranya kau si jembel busuk yang pernah
kutendang di jalan desa beberapa hari yang lalu"
Kau memata-matai" Pasti orang tua bernama Ki
Ageng GIRING itu yang menyuruhmu memata-
matai aku!"
Laki-laki jembros ini balas menatap gadis itu se-
raya berkata. "Lupakanlah soal kecil itu, nona!
Saat itu mungkin aku yang bersalah, karena tak mendengar suara kuda mendatangi
dari arah belakang. Saat itu aku tengah melamun...! Tapi kalau nona menuduh aku
mata-mata guru silat pe-
sanggrahan Tambak REJO itu, sungguh salah be-
sar. Aku hanya mau menanyakan, dimanakah ga-
dis kawan serperguruan nona yang bernama
DORO PETAK itu?"
"Heh! Mau apa kau menanyakan dia?" berkata
sinis Wening Rani.
Pada saat itu tiga orang prajurit kadipaten berkuda telah mendatangi. Orang-
orang yang menge-
rumun melihat pertikaian itu segera menyingkir pergi. Ketiganya melompat turun
dari atas kuda.
Salah seorang menghadap gadis puteri Adipati itu.
"Den Ayu...! Kanjeng Gusti Adipati memanggil-
mu...!" kata prajurit ini. "Baik! aku segera kembali!
Sekalian kalian tangkap mata-mata pemberontak
ini! Dan bawa ke Kadipaten!" kata Wening Rani seraya melompat kepunggung
binatang tunggangan-
nya. Serentak ketika pengawal itu berlompatan
kearah si laki-laki jembros. Terkejut laki-laki itu.
Tanpa melawan lagi, karena tak ada gunanya, dia mandah saja ketika lengannya
dibrogol. "Hayo! Cepat naik!" bentak pengawal yang satu.
Setelah menyeret laki-laki itu mendekati salah seekor kuda.
Mau tak mau laki-laki jembros itu terpaksa naik keatas kuda. Wening Rani
memerintahkan ketiga prajurit Kadipaten itu berangkat lebih dulu. Ketika
pengawal itupun segera membedal kuda dengan
membawa tawanan laki-laki itu.
Wening Rani menghampiri pengawal petugas
pasar, yang membungkuk hormat. "Hm, kau telah
bertugas dengan baik! Aku akan laporkan pada
Kanjeng Adipati agar gajimu dinaikkan!"
"Oh, terima kasih, Gusti Ndoro Ayu..." menya-
hut pengawal itu dengan wajah berubah girang.
"Siapa namamu?" tanya Wening Rani.
"Suro Tomo, Gusti Ayu...!" sahutnya.
Wening Rani mengangguk. "Ya, ya! Pergilah kau
bertugas lagi!" kata gadis ini, kemudian putar kudanya, dan membedalnya dengan
cepat menyusul ketiga prajurit kadipaten tadi.
*** TUJUH TUDUHAN WENING RANI terhadap si laki-laki
brewok itu cukup membuat Adipati Bendoro Nin-
grat semakin berang terhadap Ki Ageng GIRING.
Apalagi Adipati Bendoro Ningrat sudah merasa
terhina dengan perlakuan guru silat itu terhadap puterinya.
Yang lebih jelas, Ki Ageng GIRING kini merupa-
kan perintang yang harus disingkirkan. Karena
orang tua itu lambat-lambat pasti akan mencium apa yang telah dilakukan.
Telah beberapa hari ini dia merencanakan sesu-
atu untuk memulai langkah tindakannya. Adipati Bendoro Ningrat tampak tersenyum.
Dia telah mempersiapkan beberapa rencana jitu segera akan dilaksanakannya.
"Bagus! Tawanan itu dapat membantu aku
mempetimatikan perbuatanku. Untuk itu aku
memerlukan bantuan orang yang selama ini ba-
nyak berjasa padaku...! Dan... perempuan ahli Yo-ga sahabatku itu bisa di
manfaatkan tenaganya!"
berdesis Adipati Bendoro Ningrat. Lalu beranjak meninggalkan ruang kamar
pribadinya. Adipati Bendoro Ningrat ternyata menuju kea-
rah ruang tahanan, untuk melihat tawanan itu.
Dua orang pengawal menjura dipintu tempat
ruang tahanan, lalu membuka pintu berjeruji dimana didalamnya meringkuk si laki-
laki jembros itu.
"Siapa namamu?" bertanya Adipati.
Laki-laki jembros itu tidak menyahut. Tapi ma-
tanya melirik dari sela lengannya yang memeluk lutut. Dia tetap diam tak
bergeming. "He! Tulikah kau?" bentak Adipati. Tapi tetap
saja laki-laki itu meringkuk memeluk lutut disudut ruang penjara, dan diam tak
menyahut. Dengan wajah merah padam Adipati Bendoro
Ningrat meninggalkan ruang tahan itu. Dua pen-
gawal itu segera mengunci lagi ruang kamar tahanan itu.
Pahlawan Harapan 12 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Mestika Burung Hong Kemala 5
^