Pencarian

Dewi Lintah 1

Dewa Linglung 6 Dewi Lintah Bagian 1


Dia datang Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti orang linglung
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng 'lima' tokoh aneh
S A T U DUA EKOR KUDA seperti saling berpa-cu dengan cepat mendaki perbukitan itu.
Kuda-kuda mereka bukan kuda biasa melainkan kuda pilihan. Dapat dilihat cara
berlarinya yang tangkas. Juga kedua penunggangnya bukanlah orang-orang biasa.
Karena mereka juga merupakan para penunggang kuda yang gesit dan tangkas.
Yang seorang berpakaian kain kasar berwarna biru dengan sebuah pedang berada di
punggung. Dia seorang laki-laki muda yang tampan berkumis kecil. Rambutnya
tergelung diatas kepala terikat sehelai kain warna kuning. Sedangkan yang
seorang lagi ternyata seorang gadis berpakaian sutera merah kembang-kembang.
Rambutnya terikat menjadi dua yang masing-masing bagian terikat sebuah pita
warna putih. Gadis ini juga menyoren pedang di punggungnya. Nyatalah kalau mereka orang-orang
kaum persilatan. Dapat dilihat dari cara mereka berpakaian serta kelincahan-nya
menunggang kuda.
Walau bagaimanapun si gadis ternyata kalah lincah dan kalah cepat mendaki.
Karena kuda hitam pemuda baju biru itu telah lebih dulu tiba diatas bukit.
"Hahaha .... kau kalah adik SRIGATI! Kudamu larinya seperti keong, mana mampu
mengungguli kudaku?" teriak
pemuda ini. "Huh! Kau curang kakang BAYU! Kalau kau tak berlaku licik memotong jalan, tentu
aku yang lebih dulu sampai diatas bukit!" berkata gadis ini dengan wajah merah
dan napas terengah-engah. Dia baru saja tiba diatas bukit sepeminuman teh
setelah pemuda itu terlebih dulu tiba.
"Hahaha..... bukankah dalam pertandingan adu kecepatan ini tak ada larangan apa-
apa. Kalau aku memotong jalan itu adalah karena kecerdikanku!" berkata si pemuda
dengan tertawa.
"Tapi...... tapi maksudku kita harus mengambil jalan lurus!" tergagap si gadis
wajah semakin memerah seperti mau menangis.
"Ya ya, sudahlah! Aku anggap pertandingan kita kali ini berlangsung se-ri!"
cepat-cepat si pemuda memotong bicara. Agaknya dia kenal situasi. Kalau si gadis
dihadapannya suka ngambek, sukar untuk membujuknya.
"Huh! siapa mau begitu" kalau aku kalah, ya kalah!" berkata ketus si gadis.
Membuat si pemuda jadi garuk-garuk kepala serba salah.
"Haiiih! sudahlah adik manis, nanti dilain waktu bila kita mengadakan
pertandingan adu cepat lagi, aku berjanji tak akan berlaku curang!" membujuk si
pemuda. "Huh! aku tak akan mengadakan per-
tandingan lagi. Hari ini adalah hari yang terakhir kali!" sahut si gadis cepat.
Srigati sudah dapat menduga bahwa bila kelak diadakan pertandingan lagi, tentu
Bayu akan sengaja membiarkan dia menang dengan pura-pura kalah. Makanya dia
menolak dan memutuskan tak akan mengadakan pertandingan lagi.
Pernyataan Srigati membuat Bayunanta semakin serba salah. Hatinya berkata
"Wah kalau sudah begini, serba berabe!"
Lag-lagi dia garuk-garuk kepala. Diam-diam dia menyesali mengapa tak sengaja
membuat kekalahan tadi"
"Yah, sudahlah!" berkata Bayunanta dengan menghela napas.
"Eh, adik Srigati! Dibawah bimbin-gan guru barumu tentu ilmu silatmu semakin
maju pesat! Coba tunjukkan padaku jurus-jurus barumu yang kau peroleh dari Ki
Ageng Sepuh itu!" berkata Bayunanta men-galihkan pembicaraan.
Srigati masih cemberut. Tapi mendengar kata-kata Bayunanta, dia menoleh dan
melompat turun dari atas kuda.
"Jangan kau memperolokkan aku, kakang Bayu! Kutahu, ilmu silatmu lebih tinggi
dariku. Kau lebih hebat dalam permainan ilmu pedang. Apalagi kau dibimbing oleh
ayahmu sendiri yang sudah punya nama besar dikalangan kaum persilatan. Siapa
yang tak kenal dengan julukan ayahmu si
Pedang Malaikat?"
"Ah, kau terlalu berprasangka bu-ruk, adik Srigati! Juga kau terlalu menyanjung
nama besar ayahku tapi aku tahu betul siapa Ki Ageng Sepuh. Dia bekas orang
Istana yang telah mengundurkan diri dari Kerajaan. Menurut ayahku ilmu
kedigjayaan gurumu itu amat tinggi, karena dia bekas hulubalang Kerajaan.
Sungguh ayahmu Adipati. UMBUL WILAYA tak menyia-nyiakan kesempatan mengundang
beliau untuk menja-dikan kau sebagai muridnya!" berkata Bayunanta dengan
melompat turun dari kudanya.
Srigati tersenyum. Sikap merendah Bayunanta telah merubah wajah cemberut Srigati
menjadi cerah. "Ah, aku baru mempelajari lima jurus ilmu pedang. Aku akan perlihatkan padamu
jurus-jurus itu. Tapi kuharap kau tidak mencelanya!" berkata Srigati.
"Bagus! segeralah kau perlihatkan!"
"Baik!"
Srigati tarik keluar pedangnya dari belakang punggung. Bayunanta melangkah
mundur, lalu melompat keatas batu dan duduk disana.
Srigati berkelebat melompat agak menjauh dari kedua ekor kuda tunggangan mereka.
Tak lama dia telah memasang kuda-kuda dan mengkonsentrasikan diri untuk memulai
jurus-jurus yang akan dimainkan-
nya. "Ini jurus Badai Menyerbu Bukit!"
teriak Srigati. Mendadak tubuhnya mence-lat dua tombak keudara. Dalam keadaan
me-lambung itu pedangnya berkelebatan menabas angin beberapa kali menimbulkan
suara bersiutan serta kilatan-kilatan cahaya berkredepan. Gerakan ini dibarengi
dengan teriakan keras yang menggetarkan udara.
Ketika tubuhnya meluncur kebumi mendadak dia letikkan lagi tubuhnya. Kini kedua
belah lengannya mengembang. Pedangnya kembali menabas dengan gerakan-gerakan
menyilang. Hebat serangan ini karena pedangnya telah berubah menjadi seperti
berpuluh-puluh banyaknya.
Srigati melakukan dua kali salto lagi diudara, lalu berdiri tegak ditanah dengan
kuda-kuda kokoh.
"Yang barusan adalah jurus "Elang Bayangan!" berkata, Srigati.
"Ah hebat! kedua jurus itu baru aku pernah melihatnya. Serangan-serangannya amat
luar biasa!" ujar Bayunanta dengan kagum. Srigati tak mendengarkan pujian itu
tapi telah mulai meneruskan jurus-jurus selanjutnya. Demikianlah hingga sampai
selesai mempertunjukkan kelima jurus ilmu pedang itu barulah Srigati berhenti.
Jurus yang terakhir itu membuat mulut si pemuda tak hentinya memuji.
"Hebat! hebat! Sungguh luar biasa kelima jurus ilmu pedang itu, adik Srigati.
Sudah kuduga Ki Ageng Sepuh seorang yang berilmu tinggi!"
Baru saja selesai Bayunanta bicara mendadak berkelebat sebuah bayangan putih.
Tahu-tahu ditempat itu telah berdiri sesosok tubuh, seorang kakek tua berambut
putih tergelung rapih. Kakek ini berpakaian jubah warna putih sewarna dengan
rambut dan jenggotnya.
"Wah, wah, wah! pujian itu sungguh berlebihan sekali. Aku si tua renta ini
merasa ilmuku tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kehebatan serta nama besar
si Pedang Malaikat!"
Tentu saja membuat Bayunanta terkejut. Akan tetapi Srigati berteriak girang.
"Guru....!" teriaknya dengan melompat menghampiri. Lalu dengan wajah berseri dia
menjura menghormat.
"Guru, ada apakah kau menyusulku kemari?" tanya Srigati.
"Hehehe .... anak bengal! ayahmu mencari-carimu sejak pagi tadi. Aku sudah
menduga kalau kau akan ketempat ini. Makanya aku menyusul kesini!" sahut Ki
Ageng Sepuh dengan tersenyum. Adapun Bayunanta segera mengetahui siapa adanya
orang tua itu. Diapun segera menjura, dan berkata.
"Selamat berjumpa Ki Ageng! Sungguh aku merasa malu nama ayahku selalu
disanjung-sanjung. Padahal menurut kenyataannya ilmu Ki Ageng dibandingkan
ayahku tidaklah dibawah ayahku!"
"Hehehe .... sudahlah! mengapa harus saling memperebutkan tinggi rendahnya ilmu"
Ilmu itu tak ada habisnya. Diatas langit masih ada langit! Tinggi rendahnya ilmu
tak ada artinya kalau si pemilik il-mu itu tak dapat mempergunakannya di jalan
kebaikan. Aku tidak menyanjung ayahmu, raden can bagus! Tapi kehebatan ilmu
pedang Malaikat memang telah diakui oleh dunia persilatan! Dan kau sebagai pewa-
risnya tentu saja akan sehebat ayahmu!"
berkata Ki Ageng Sepuh dengan tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Terima kasih atas pujianmu, Ki Ageng! Oh, ya apakah kedatanganmu untuk
menjemput adik Srigati?" bertanya Bayunanta, yang tak dapat membantah lagi ka-
ta-kata orang tua itu.
"Benar, raden cah bagus. Hm, apakah raden yang bernama Bayunanta?"
"Tidak salah, Ki Ageng!" sahut Bayunanta dengan hati agak tergetar. Tatapan
laki-laki tua itu amat tajam seperti begitu berpengaruh, hingga diam-diam pemuda
ini terkejut. "Guru, apakah aku harus pulang sekarang?" tiba-tiba Srigati berkata Ki
Ageng Sepuh menoleh. "Sebenarnya tak perlu terburu-buru. Beliau sudah menitahkan
aku untuk mencarimu dan Kau bisa menghadap nanti sore!" menyahut Ki Ageng Sepuh.
"Hm, maaf, raden cah bagus ...."
berkata laki-laki tua ini seraya menoleh pada Bayunanta. Tapi cepat-cepat pemuda
ini memotong. "Harap anda tak menggunakan kata raden, Ki Ageng!"
"Ya, ya, ya baiklah! Begini nak Bayunanta, ada sedikit pesan dari Kanjeng
Adipati, yaitu ....." Agak ragu-ragu Ki Ageng Sepuh meneruskan bicara.
"Katakanlah, Ki Ageng mengapa kau ragu-ragu?" Tampak Ki Ageng Sepuh terme-nung
sejenak, lalu memalingkan wajahnya menatap Srigati, kemudian menghela napas.
"Begini sajalah! besok pagi aku akan mengunjungi tempat kediamanmu, sekalian aku
ingin bertemu muka dengan ayahmu Tumenggung Ki GELAGAH!" berkata Ki Ageng Sepuh.
Tampaknya dia enggan memberitahu apa pesan Adipati Umbul Wilaya pada Bayunanta.
"Baiklah kalau begitu, Ki Ageng!
Oh, ya agaknya aku tak dapat berlama-lama lagi. Aku akan segera kembali pulang!"
sahut Bayunanta, seraya menjura dan meminta diri. Kemudian mengangguk sekali
pada Srigati. Gadis itu membalas dengan anggukan.
Ki Ageng Sepuh menghela napas, lalu ujarnya. "Baiklah, semoga kau tak berke-cil
hati, nak Bayunanta. Dan sampaikan salamku pada ayahmu ....!" ujar orang tua
ini. "Baiklah, Ki Ageng!" selesai mengu-cap, Bayunanta bergerak melompat keatas kuda.
Tak lama dia telah membedal kudanya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
DUA Dalam perjalanan pulang Bayunanta tak habis pikir memikirkan apa-apa yang akan
dikatakan Ki Ageng Sepuh itu.
"Pesan apakah yang akan disampai-kannya dari Adipati Umbul Wilaya padaku?"
bergumam Bayunanta. Sementara kudanya di-pacunya semakin cepat. Tapi setelah
melewati bukit itu dia memperlambat lari kudanya. Yang diingatnya masih Ki Ageng
Sepuh. Sikapnya ketika berbicara beberapa kali melirik pada Srigati. Hal itulah
yang menjadi buah pikirannya.
"Apakah Adipati melarang aku bergaul dengan anak gadisnya?" desah pemuda ini
sambil menyeka keringat. Bayunanta memang menyadari - siapa diri-nya. Walaupun
dia anak seorang tokoh persilatan yang bernama besar, dan berpangkat Tu-
menggung, namun kepangkatan ayahnya dibawah Adipati UMBUL WILAYA.
"Apakah aku dipandang rendah untuk bergaul dengan Srigati" Ataukah ayahnya
mempunyai soalan dengan Adipati Umbul Wilaya?" berkata dalam hati Bayunanta
menduga-duga. Tapi tidak bisa memastikan dugaannya benar atau salah.
Demikianlah, dengan hati masygul dan benak penuh dengan bermacam pertanyaan dia
menjalankan kudanya dengan tanpa semangat.
"Hm, sebaiknya aku bersabar menanti kedatangan Ki Ageng Sepuh besok pagi. Se-
muanya akan menjadi jelas dan terang!
Mengapa aku banyak memikir yang tidak-tidak?" bergumam pemuda ini. Memikirkan
demikian Bayunanta segera keprak tali ke-kang kudanya dan membedalnya untuk
kembali berlari cepat. Sebentar saja dia telah jauh meninggalkan bukit
dibelakang-nya.....
Akan tetapi dipersimpangan jalan dia berhenti. Agak segan dia untuk mengambil
jalan pulang kerumah. Akhirnya dia memutuskan untuk membelok kekanan. Jalan ini
adalah jalan yang menuju ke Kota Ra-ja.
Kuda hitam yang ditunggangi Bayunanta berlari cepat melintas dijalan sepi itu.
Ternyata dia tak terus menuju ke Ko-ta Raja, melainkan singgah ke sebuah desa
yang cukup ramai. Itulah desa Manunggal
yang letaknya tak jauh dari Kota Raja.
Sebuah desa yang cukup ramai oleh kepada-tan penduduk. Bayunanta belokkan
kudanya kesebuah restoran sederhana ditepi jalan.
Restoran itu berada ditengah desa, yang menjadi pusat keramaian.
Setelah tambatkan kudanya, dengan langkah lebar dia bertindak memasuki res-
tauran yang sekaligus tempat penginapan.
Seorang pelayan menyambut ramah dan mem-persilahkan duduk. Mata Bayunanta
memuta-ri ruangan. Tampak didalam ruangan itu beberapa tetamu yang sedang
bersantap. Ternyata restoran itu cukup terkenal, hingga bukan rakyat biasa saja yang
menjadi tamunya, melainkan juga orang-orang Kerajaan banyak yang berkunjung
kesitu. Disudut kanan ruangan terlihat empat orang perwira Kerajaan duduk santai
menghadapi meja makan. Tampaknya mereka baru selesai makan. Karena diantaranya
ada yang duduk menyelonjorkan kakinya diatas meja dengan mulut sebentar-sebentar
menghembuskan asap rokok. Sementara yang lainnya bercakap-cakap. Piring-piring
na-si dan gelas diatas meja sudah kosong.
Beberapa bangku sudah terisi pula dengan tetamu lainnya. Cuma meja disudut kiri
itulah yang kosong.
Bayunanta cuma melirik sekilas pada keempat perwira itu, lalu dengan langkah
lebar beranjak menuju kemeja disudut se-
belah kiri ruangan. Seorang pelayan buru-buru menghampiri.
"Pesan apa, den?" tanya si pelayan ramah dengan membungkuk-bungkuk.
"Hm, buatkan aku teh kental saja, tak usah diberi gula. Dan beri aku se-mangkok
bubur hangat!" berkata Bayunanta datar.
Empat perwira itu melihat kedatangan Bayunanta masing-masing menatapkan matanya
dengan wajah sinis. Dan terdengar mereka saling berbisik.
"Ssssst, kalian tahu, siapakah yang baru datang ini" Dialah anaknya Tumenggung;
Ki Gelagah yang punya gelar si Pedang Malaikat!"
"Ya, ya! aku tahu. Bukankah dia bernama Bayunanta" tapi khabarnya dia
bukan....."
"Ssssst! kalau sudah tahu, ya sudahlah! Jangan bicara disini, nanti dia dengar!"
berkata lawannya mencolek lengan perwira ini memotong bicaranya.
Seorang perwira berkumis tebal
bangkit berdiri dan menggebrak meja hingga semua orang menoleh.
"Pelayan!" teriaknya keras. Lagak orang ini angkuh. Gebrakan pada meja itu tak
begitu keras, tapi karena saat itu sedang dalam keadaan sepi membuat para tetamu
menoleh. Mereka memang sudah mengetahui siapa adanya empat perwira Kera-
jaan itu yang sering datang ke restoran itu. Sikap mereka rata-rata angkuh.
Memang begitulah sikap kebanyakan para pe-tugas Kerajaan. Merasa dirinya lebih
dari orang lain.
Akan tetapi akibat gebrakan pada meja itu membuat sisa air dalam gelas
memuncrat. Dan anehnya puncratan air itu justru kearah Bayunanta. Hingga membuat
basah pakaian pemuda itu. Seperti tak ta-hu apa yang terjadi kembali dia
berteriak kendati dilihatnya pelayan telah berjalan cepat menghampiri.
"Berapa semua harga makanan ini!"
berkata si kumis tebal. Si pelayan segera menghitungnya. Lalu sahutnya.
"Jadi ng......lima belas ketip, den!"
Si kumis tebal merogoh sakunya, la-lu mengeluarkan uang receh dengan mengu-ras
semua isi saku.
"Nih! sisanya untukmu!" katanya dengan nada sombong.
Si pelayan segera menghitung. Tapi setelah dihitung ternyata cuma ada lima
ketip. "Ku... kurang den!" ucapnya gagap.
"Apa?" bentak si kumis tebal.
PLAK! Satu tamparan keras melayang mengenai pipi si pelayan hingga laki-laki ini
terhuyung dan mengaduh kesakitan. Uang ditangannya bergemerincing berjatuhan ke-
lantai. Laki-laki pelayan ini meringis memegangi pipinya yang memerah membekas
lima jari tangan
"Kau sungguh membuat malu aku! sudah ku persen masih bilang kurang!" membentak
lagi si kumis tebal. Dia sudah beranjak melangkah lagi. Sebelah lengannya
diulurkan untuk menjambak rambut si pelayan muda itu. Tapi pada saat itu seorang
laki-laki gendut cepat-cepat menghampiri seraya buru-buru menarik si pelayan.
Lalu membungkuk-bungkuk dihadapan si kumis tebal.


Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan dia, den. Pelayanku ini orang baru, harap anda memaklumi kesala-
hannya!" berkata si laki-laki gendut yang ternyata adalah si pemilik restoran.
"Haiih! kau mengapa bikin malu tetamu kita" Kau memang tak becus jadi pelayan.
Sana, kau kerja didapur saja!"
berkata marah si pemilik restoran. Si pelayan yang masih menyeringai memegangi
sebelah pipinya yang sembab, terbungkuk-bungkuk didepan si majikan.
"Maafkan aku, juragan!" ujarnya.
Lalu buru-buru beranjak keruang belakang.
Namun masih sempat sekilas dia melirik pada si kumis tebal dan kawan-kawannya.
Laki-laki gendut itu memunguti sisa ke-pingan uang yang berserakan dilantai, la-
lu menjura didepan si kumis tebal yang masih bertolak pinggang. Wajahnya tampak
merah padam. "Sekali lagi hamba mohon maaf atas ketololan pelayan hamba, raden!" berkata si
laki-laki gendut.
"Hm, lain kali aku tak ingin hal ini terulang lagi!" berkata keren perwira
berbadan kekar ini. Lalu menoleh pada ketiga kawannya, memberi isyarat untuk
segera angkat kaki. Setelah merapihkan baju dan membetulkan letak pedangnya, si
perwira berkumis tebal itu melangkah lebar keluar dari ruangan restoran itu
diikuti ketiga kawannya. Bayunanta mengikuti dengan pandangan matanya.
TIGA SI PELAYAN muda yang nasibnya sial kena tampar tadi ternyata tengah asik
mengupas pisang dan memakannya tanpa memikirkan rasa sakit pada pipinya lagi.
Dari ruang dalam dia melihat si kumis tebal dan kawan-kawannya melangkah ke luar
restoran. Mendadak dia menelan sisa pisangnya cepat-cepat, tiba-tiba kulit
pisang itu melesat dari tangannya, dan meluncur jatuh tepat di depan kaki si
kumis tebal yang tengah melangkah lebar.
Detik itu jugalah terdengar suara teriakan kaget si kumis tebal, diiringi suara
berdebuk tubuhnya yang jatuh. Ter-
nyata kakinya telah menginjak kulit pisang, hingga terpeleset.
"Keparat!" memaki si kumis tebal dengan wajah merah padam. Tentu saja kejadian
lucu itu membuat para tetamu yang melihat tak dapat menahan tertawanya.
Sementara si pelayan tadi sembunyi dibalik pintu dengan menahan tawa.
Pada saat itu pelayan yang seorang lagi telah selesai menyiapkan makanan pesanan
Bayunanta, dan baru saja mau membawanya untuk dihidangkan. Akan tetapi mendengar
suara mengaduh dan suara orang jatuh berdebuk, dia berhenti untuk melihat.
Pelayan inipun terguncang-guncang menahan tertawa. Tadi dia telah melihat
kawannya kena tampar dan dia memang sangat sebal pada perwira yang sombong itu.
Dalam hati dia mengutuk. "Rasakan! Itulah akibat ke-sombonganmu!"
Akan tetapi karena gelinya nampan yang dipegangnya terguncang-guncang dan bubur
panas serta air teh kental diatas nampan terguncang-guncang nyaris tumpah.
Si pelayan ini cepat sadar. Tapi baru sa-ja dia menenangkan diri mendadak
mangkok berisi bubur panas itu melayang "terbang"
..... Pada saat itulah si perwira berkumis tebal itu baru saja mau merangkak bangun.
Tapi mendadak ...
PLOK! Mangkok berisi bubur panas
itu telah hinggap dimukanya, Tentu saja laki-laki perwira Kerajaan ini menjerit
kaget dan meraung-raung kepanasan. Seketika gemparlah keadaan didalam restoran
itu. Sementara si pelayan pembawa nampan itu cepat-cepat menghilang. Tiga orang
kawan si perwira berkumis tebal itu mencabut pedangnya.
Seperti sudah dapat menduga siapa yang melakukan perbuatan itu mereka berpaling
pada Bayunanta yang masih duduk dikursinya. Tapi dia keheranan dengan kejadian
aneh itu. Walau demikian matanya yang tajam dapat melihat gerakan sebuah lengan
dibalik pintu. Dia menduga orang dibalik pintu itulah yang telah melakukan
perbuatan itu. Tahu-tahu tiga orang perwira kerajaan itu telah melompat kehadapannya. Salah
seorang membentak keras.
"Ini pasti ulahmu! Rupanya kau mencari gara-gara dengan kami?" Bayunanta naikkan
alisnya menatap mereka tak mengerti.
"He" mengapa kalian menuduhku" Aku tak merasa telah melakukan apa-apa!"
"Sudah jelas kau yang memesan bubur panas tadi, kalau bukan kau siapa lagi?"
bentak perwira Kerajaan bertubuh pendek kekar berkulit hitam itu. Dialah yang
bernama Kala Murti.
"Hm, sejak tadi pesananku belum da-
tang, dari mana kau bisa menuduhku seenaknya?" bela Bayunanta dengan tenang.
Ketiga orang ini saling pandang, tapi salah seorang telah membentak dengan suara
keras "Bocah sombong! Apakah karena men-gandalkan nama besar ayahmu yang punya julukan
si Pedang Malaikat lantas kau bi-sa berbuat seenaknya membuat malu kami"
Heh! ketahuilah bocah sombong! Tak lama lagi ayahmu bakal dipecat dari
jabatannya! Kami telah mengetahuinya dari orang dalam! Dan ketahuilah, kau
sebenarnya......." Belum lagi habis kata-kata perwira ini mendadak dia menjerit
ngeri. Darah memuncrat diudara, dan tubuh laki-laki ini ambruk kelantai. Bukan main
terperanjatnya kedua perwira Kerajaan ini melihat temannya setelah berkelojotan,
sesaat kemudian terkapar tak bernyawa la-gi. Kematiannya amat mengerikan dan
aneh, karena dari lehernya sampai dada tertera lima guratan memanjang yang
merobek kulit dan daging laki-laki perwira ini.
Bukan saja kedua perwira ini saja yang terkejut, karena Bayunanta juga kaget
karena sekelebat dia melihat bayangan kuning, disertai bersyiurnya angin. Tahu-
tahu si perwira congkak itu roboh.
"Keparrat!" membentak Kala Murti dengan bringas. Tiba-tiba kedua perwira itu
menerjangnya dengan tabasan pedang
kearah Bayunanta. Namun sebelum mengenai sasaran, mendadak terdengar suara
Trang! Trang! Pedang mereka terlepas, dan detik itu juga terdengar teriakan parau menyayat
hati ketika sebuah bayangan kuning berkelebat. Dan, robohlah kedua perwira
Kerajaan itu dengan memuncratkan darah berhamburan diudara.
Kedua laki-laki perwira yang naas itu bernasib sama tak berbeda dengan kematian
kawannya. Tampak guratan memanjang dileher mereka. Bayunanta telah melompat dari
tempat duduknya. Matanya membelalak menyaksikan semua kejadian itu yang
berlangsung dalam beberapa kejap.
Seketika para pengunjung restoran itu bubar berlarian ketakutan, bahkan ada
wanita yang menjerit-jerit karena ngeri melihat darah. Saat itu juga tiba-tiba
Bayunanta berkelebat keluar dari sebuah jendela diruangan itu. Matanya yang
tajam dapat melihat bayangan sesosok tubuh yang berkelebat. Tak salah! Dialah si
pelaku kejadian itu!
Bayangan kuning itu berkelebat cepat memasuki hutan kecil disisi desa itu.
Bayunanta tak ayal segera berkelebat mengejar..... Sementara itu didalam
restoran keadaan bertambah panik si perwira kumis tebal yang baru saja berhenti
meraung-raung setelah membersihkan mukanya dari
bubur panas yang menutupi matanya. Dia mendengar suara jeritan beberapa kali
membuat terkejut. Ketika matanya telah dapat melihat lagi, dia putarkan tubuh
untuk melihat apa yang telah terjadi.
Mendadak dia telah diterjang oleh belasan pengunjung restoran yang berlarian
dengan serabutan keluar. Hingga dia jatuh ter-jengkang, jadilah dia korban
injakan ka-ki. Ketika dia perlahan-lahan bangkit duduk dengan seluruh tubuhnya terasa sakit,
dilihatnya restoran itu telah sepi tak ada sepotong manusiapun. Tiba-tiba
matanya terbelalak lebar ketika pandangannya terbentur pada tiga sosok tubuh
kawannya yang berkaparan tak berkutik.
Darah berceceran dilantai. Keadaan dis-ekitar ruangan itu porak-poranda. Bangku
dan meja bergelimpangan.
"Hah!" apa yang telah terjadi?"
tersentak si kumis tebal. Sekejap dia telah melompat untuk memeriksa. Bukan
kepalang terkejutnya si perwira kumis tebal ini melihat ketiga perwira kawannya
telah tewas dengan luka yang mengerikan. Leher mereka sobek-sobek bagai disayat-
sayat pisau. "Celaka, aku harus segera melaporkan kejadian ini!" berkata dalam hati si kumis
tebal dengan wajah pucat tak berda-rah. Sekejap dia telah melompat keluar
ruangan. Dilihatnya seekor kuda tertambat dipagar halaman. Tak berayal dia
segera lepaskan tali pengikat, dan sekali gerakkan tubuh dia telah melompat
kepunggung binatang itu. Detik berikutnya perwira ini telah membedal kudanya
dengan cepat meninggalkan tempat itu bagai dikejar hantu.
EMPAT SOSOK TUBUH BERBAJU KUNING itu berkelebat cepat sekali melintasi hutan kecil
itu. Sementara Bayunanta mengejar di belakangnya. Namun dia merasa kalah cepat
dalam hal ilmu meringankan tubuh, hingga sebentar saja bayangan orang yang dike-
jarnya lenyap tak ketahuan ke mana arahnya.
"Ah, sayang sekali aku tak dapat menyusulnya! Siapakah dia sebenarnya"
Mengapa dia menolongku?" bergumam pemuda ini. Dia telah berhenti mengejar dan
duduk di atas dahan pohon yang rebah.
Diam-diam dia merasa masygul sekali, tapi juga heran, karena si penolong-nya itu
justru tak mau bertemu muka den-gannya. Akan tetapi Bayunanta tak menyadari
kalau pada saat itu si baju kuning justru tengah mengintainya.
Dia seorang wanita yang berwajah cantik, berpakaian warna kuning. Rambutnya
tergelung di atas kepala terhias sebuah tusuk konde berkepala kuning,
"Dia tak boleh tahu siapa aku, akan tetapi aku juga tak ingin dia hidup terlalu
lama. Saat ini belum waktunya aku membunuhnya!" berdesis wanita ini. Perlahan
dia menyelinap lagi ke balik semak, lalu berkelebat lenyap.
Setelah termangu beberapa saat, akhirnya Bayunanta bangkit berdiri.
"Sebaiknya aku pulang saja! Ah, pe-ristiwa ini pasti akan berbuntut panjang.
Tiga Perwira Kerajaan yang masih hidup itu pasti akan melaporkan kejadian ini.
Hm, baru kuingat si perwira berkumis tebal itu bernama KEN SUTA! Huh! perwira
yang sombong! suatu saat bila bertemu la-gi akan kubalas penghihaannya!
membathin Bayunanta.
Saat itu dia teringat ketika Ken Suta menggebrak meja yang mengakibatkan sisa
air dalam gelas di meja Ken Suta memuncrat dan membasahi bajunya. Dia tahu
perbuatan itu dilakukan dengan sengaja.
Dari gerakan itu dia dapat menerka Ken Suta seorang yang berkepandaian tinggi.
Dia memang pernah bertemu laki-laki itu satu kali ketika beberapa pekan yang
lalu dua orang perwira Kerajaan menghadap ayahnya. Salah seorang menunggu di
luar. Sikapnya angkuh. Mereka adalah dua orang utusan Senapati MARUTO, yang datang ke
ketumenggungan untuk menyampaikan sepucuk surat pada ayahnya. Perwira-perwira
itu memang merupakan kepala-kepala prajurit.
Entah urusan apa dia tak mengetahui.
Perwira yang seorang bersikap ramah yang menanyakan ayahnya. Pada waktu itu
ayahnya Tumenggung Ki Gelagah sedang kurang sehat.
Surat itu diberikan pada dia, Bayunanta sempat menanyakan nama perwira yang
berdiri di luar tak mau turut masuk dan bersikap angkuh itu.
Perwira itu pun memberitahu serta memperkenalkan namanya sendiri.
Yang membuat Bayunanta merasa aneh lagi adalah bisik-bisik empat perwira
Kerajaan itu yang sedikit didengarnya. Serta kalimat yang terputus dari salah
seorang perwira yang membentaknya, karena sebelum selesai ucapannya perwira itu
telah menjerit keras dan terjungkal roboh.
Juga kata-kata seorang perwira yang mengatakan bahwa ayahnya tak lama lagi bakal
dipecat dari jabatannya.
"Ada kesalahan apakah ayahku?" berkata Bayunanta dalam hati. Berdenyut-denyut
kepala Bayunanta memikirkan persoalan-persoalan ganjil di benaknya. Belum lagi
memikirkan "pesan" Adipati UMBUL
WILAYA yang diperuntukkannya. Lalu ada
lagi yang lebih aneh. Yaitu siapa adanya pelayan dogol yang kena tampar itu"
Menurut pemikirannya si pelayan dogol itulah yang telah mengerjai Ken Suta
dengan melempar kulit pisang dan menumpahkan bubur panas ke mukanya.
Jelas dia melihat gerakan lengan dari balik pintu. Lengan siapakah di balik
pintu itu" Kalau bukan lengan si pelayan dogol itu lalu apakah ada orang lain
yang berilmu tinggi yang sengaja mencelakai Ken Suta"
Namun pendapat kuat pemuda itu me-nyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh si
pelayan dogol yang kena tampar.
Tamparan itu keras sekali. Kalau orang biasa tentu setidak-tidaknya gi-ginya
akan tanggal! Tapi pelayan itu cuma terhuyung sedikit, dan mengaduh. Meringis
memegangi sebelah pipinya yang sembab memerah membekas jari dan telapak tangan.
"Pelayan dogol itu pasti seorang yang berilmnu tinggi! Aku yakin dialah yang
telah membuat mangkuk berisi bubur panas untukku itu "terbang" ke muka Ken
Suta!" gumam Bayunanta.
Bayunanta sesaat segera teringat pada kudanya yang ditinggalkan di halaman
restoran. Segera dia bergegas angkat kaki ke luar dari hutan kecil itu. Baru
saja dia tiba di ujung hutan yang menembus ke perkampungan, mendadak terdengar
suara kaki-kaki kuda mendekat.
Tentu saja pemuda ini jadi terhe-nyak, karena ketika diperhatikan kuda dan
penunggangnya amat dikenalnya!
Itulah kuda tunggangannya sendiri, dan si penunggang kuda hitam itu tak lain
dari si pelayan dogol itu.
"Hai! Kebetulan. Aku baru saja mau menyusulmu untuk mengantarkan kudamu, tuan
muda! Kulihat kau berlari cepat mengejar bayangan kuning tadi, apakah kau
berhasil menyusulnya?" berkata si pelayan muda
Pelayan muda bertampang dogol ini sebelah lengannya memikul sebatang kayu
sebesar betis yang dibalut
tali-tali kain. Sepertinya pengikat kayu yang pe-cah. Di ujung kayu mirip pentungan itu
terikat sebuah buntalan kain berwarna putih yang sudah kumal.
Selesai berkata si pelayan dogol itu melompat turun dari punggung kuda.
Bayunanta tersenyum heran. Namun dari ka-ta-katanya dia semakin yakin bahwa
pelayan bertampang dogol ini tak meleset dari dugaannya! Siapa yang dapat
melihat berkelebatnya bayangan kuning yang telah membunuh tiga perwira Kerajaan
itu kalau bukan seorang yang berilmu tinggi dan da-ri kalangan persilatan"
Bayunanta menjura, dan berkata.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu sobat!
Kuharap emas tak menyembunyikan keaslian-nya! Dan sudah saatnya anda berhenti
melakukan penyamaran. Mengapa anda masih menyebutku "tuan muda?"
Si pelayan dogol ini seperti terkejut tampaknya.
"Eh, apa maksud kata-katamu, tu ..
tuan muda, eh sobat" Aku tidak menyamar.
Aku memang bekerja sebagai pelayan!" tergagap si pelayan dogol menyahuti.
"Bukankah anda melihat berkelebatnya bayangan kuning yang telah muncul dan
membawa maut di restoran itu" Cuma mata yang telah terlatihlah yang mampu
mengetahuinya!" ujar Bayunanta dengan tersenyum.
"Siapa yang bilang aku melihat bayangan kuning berkelebat?" tukas si pelayan
dengan membelalak dan wajah lugu.
"Aku tak melihat apa-apa?" sambung-nya dengan tampang dungu.
Tentu saja membuat Bayunanta ter-lengak heran.
"Aneh, kau ini sobat! bukankah tadi kau bertanya mengenai bayangan kuning yang
kukejar" Bahkan aku belum sempat menjawab pertanyaanmu!"
"He" benarkah tadi aku bertanya begitu?" si pelayan dogol ini menggaruk-garuk
tengkuknya. Bayunanta jadi melengak dan tersenyum. "Haii! masih muda sudah linglung
...!" berkata Bayunanta dengan tertawa.
Tiba-tiba Bayunanta seperti tersentak kaget. Matanya menatap tajam pada si
pelayan itu. "He" Jangan-jangan dia ini si Pendekar Dewa Linglung!" berkata
dalam hati Bayunanta.
Dugaannya semakin kuat. Karena dia memang pernah mendengar tentang seorang
pendekar muda yang bertampang bodoh tapi ilmunya amat tinggi.
Salah satu keanehannya adalah pendekar itu sering lupa seperti orang linglung
Memikir demikian Bayunanta segera bertanya.
"Sobat! apakah anda si Pendekar De-wa Linglung?" tanyanya.
Mendadak pelayan dogol itu tertawa tergelak-gelak, lalu ujarnya.
"Haiiih! dari mana kau tahu julu-kanku?"
"Jadi...anda benar-benar si Pendekar Dewa Linglung" Ah, sungguh kebetulan aku
bisa berjumpa dengan anda!" berkata Bayunanta seraya menjura hormat.
"Ayahku Tumenggung Ki GELAGAH yang bergelar si Pedang Malaikat pernah menyebut-
nyebut nama gelar anda. Sikap anda yang pelupa itulah yang membuat aku menduga
anda pendekar muda yang gagah serta berilmu tinggi itu.
Aku Bayunanta murid si Pedang Ma-
laikat sangat girang sekali dapat berjumpa dengan anda. Dan terima kasih sekali
lagi atas kesediaanmu mengantarkan kudaku!" ujar Bayunanta dengan wajah berseri,
seraya mengelus-elus kepala kuda kesayangannya
Pelayan dogol yang memang tak lain dari NANJAR alias si Dewa Linglung itu tak
dapat mengelak lagi. Dia menepuk pan-tatnya seraya berkata dengan tertawa


Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeringai. "Aiiih! ternyata penyamaranku sia-sia saja. Aku memang digelari orang si Dewa
Linglung. Tapi sanjunganmu terlalu berlebihan, sobat Bayunanta! Eh, jadi kau
murid juga anak si Pedang Malaikat" Wah, wah, wah ..! aku tak menyangka kalau
ayahmu itu seorang Tumenggung! Beberapa bulan yang lalu aku memang telah
berkenalan dengan ayahmu si Pedang Malaikat! Il-mu pedang ayahmu memang hebat.
Nyaris sa-ja aku terluka!"
"He" apa yang terjadi" apakah kalian pernah bertempur?" tanya Bayunanta heran.
"Ya, begitulah! tapi hanya kesalahan paham saja. Bagaimana" apakah keadaan
ayahmu" apakah luka dalamnya telah sembuh?" jawab Nanjar seraya balik bertanya
"Ayah tampak biasa-biasa saja!
Mungkin sudah sembuh. Apakah luka dalam itu adalah akibat bertarung dengan anda,
sobat Pendekar?"
"Ayahmu tak pernah bercerita?"
tanya si Dewa Linglung.
Bayunanta menggeleng. "Sejak tiga pekan yang lalu ayah tak pernah meninggalkan
rumah. Mungkin mendapat cuti dari baginda Raja!" sahut Bayunanta. Saat itu dia
baru teringat ketika dua orang utusan dari Senapati Maruto yang membawa surat
untuk ayahnya beberapa pekan yang lalu.
Mungkin surat dari Raja yang mencutikan ayahnya.
"Apakah luka dalam itu akibat bertarung dengan anda?" tanyanya.
"Oh, bukan" Ayahmu tak pernah bercerita?"
Bayunanta menggeleng lagi. "Ayah tak pernah bercerita apa-apa!"
Nanjar segera ceritakan secara
singkat kejadian beberapa bulan yang la-lu. Yaitu ketika dia melewati sebuah
desa di lereng gunung. Ada terjadi suatu perampokan. Saat perampok kabur, justru
dia muncul di tempat kejadian itu. Kebetulan Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat
me-mergoki. Dengan tanpa bertanya lagi si Pedang Malaikat langsung menyerang.
Terjadilah pertarungan seru. Nanjar tak sempat memberi penjelasan lagi karena si
Pedang Malaikat tanpa ampun menyerang-nya dengan gencar.
Untunglah pada saat itu muncul seo-
rang tak dikenal yang menahan serangan si Pedang Malaikat. Orang itu menjelaskan
bahwa Nanjar tak bersalah, dan bukan ma-nusianya yang melakukan perampokan.
Bahkan dia telah berhasil menawan perampok sesungguhnya. Perampok itu dibunuh di
depan mereka dan orang tak dikenal itu berkelebat pergi.
Akhirnya Nanjar dan si Pedang Malaikat berkenalan dan si Pedang Malaikat meminta
maaf atas kekeliruannya.
Saat itu si Pedang Malaikat mengatakan bahwa dirinya dalam keadaan terluka
dalam, karena salah satu pertempuran yang belum lama dialami. Nanjar diam-diam
memuji kagum karena dalam keadaan terluka dalam ternyata ilmu pedangnya masih
dalam keadaan hebat dan berbahaya, hingga Nanjar agak kewalahan menghadapinya.
Dari penuturan Ki Gelagah alias si Pedang Malaikat itu musuhnya adalah seorang
wanita yang berkepandaian tinggi, yang bergelar "DEWI LINTAH". Demikianlah
Nanjar menuturkan kejadiannya secara singkat.
Bayunanta manggut-manggut walau di-am-diam hatinya terkejut bukan main. Siapakah
wanita yang punya gelar aneh itu"
dan ada permusuhan apakah dengan ayahnya"
Namun Bayunanta puas dengan penjelasan si Dewa Linglung.
Matahari makin meninggi sepengga-
lah. Panas terik seperti membakar kulit.
Bayunanta mengajak si Dewa Linglung singgah ke rumah kediamannya. Tapi Nanjar
menolak dan mengatakan masih ada urusan yang akan diselesaikan. Akhirnya mereka
berpisah. Nanjar berkelebat lenyap, membuat pemuda itu tertegun kagum. Tak lama di-apun
segera melompat ke punggung kuda, lalu membedalnya dengan cepat meninggalkan
tempat itu. Sementara hatinya merasa tak tenang. Karena kejadian yang membawa korban
kematian orang-orang Kerajaan pasti akan berbuntut panjang...!
LIMA KEN SUTA lari terbirit-birit sipat kuping. Napasnya tersengal-sengal ketika dia
tiba di pintu gerbang istana. Dua penjaga gerbang terkejut melihat siapa perwira
yang muncul dengan wajah melepuh seperti tersiram air panas dan pucat pias.
"Ada apa, apakah yang terjadi?"
berkata dalam hati kedua orang pengawal itu, sementara Ken Suta terus menerobos
masuk. Tak lama dia sudah menghadap pada Senapati Maruto.
"Kejadian apakah yang membuatmu tergesa-gesa menghadapku, Ken Suta" dan kenapa
mukamu bengkak-bengkak melepuh begitu?" bertanya Senapati Maruto dengan
terkejut. "Celaka! celaka gusti Senapati, ti-ga orang kawan hamba tewas oleh Bayunanta
anak Tumenggung KI Gelagah si Pedang Malaikat! Ini semua perbuatan dia yang men-
ganiaya hamba!" tuturkan Ken Suta.
"Hah!" benarkah! Sudah sampai sebe-gitu jauhkah dia berani berbuat kurang ajar"
Ini bukan kurang ajar lagi, tapi suatu pemberontakan!" sentak laki-laki berusia
40 tahun lebih ini yang bertubuh tegap dari berperawakan tinggi besar itu dengan
terkejut. "Ceritakan kejadiannya! Bagaimana sampai pembunuhan itu bisa terjadi?" bertanya
Senapati Maruto dengan tak sabar.
Dengan segera Ken Suta segera men-ceritakan kejadiannya. Tentu saja dengan
dibumbui kedustaan padahal dia belum tahu sama sekali siapa yang sebenarnya
telah membunuh ketiga perwira kawannya Sedangkan mengenai halnya si pelayan
restoran yang telah mencegatnya di jalan dan merampas kudanya tak dicerita-kan
sama sekali. Ken Suta memang tak menduga, ketika dia membedal kuda hitam yang ditunggan-ginya
mendadak telah dicegat oleh seseo-
rang yang bertolak pinggang di tengah jalan. Bukan main terkejutnya dia karena
orang itu tak lain si pelayan dogol yang kena tamparannya.
Walaupun dia cukup terkejut, namun Ken Suta masih keluarkan bentakan garang.
Dan tanpa menghentikan kudanya terus menerjang si pelayan itu
Akan tetapi mendadak kudanya me-ringkik keras dan terjungkal. Dia sendiri
terpelanting. Untung dia berlaku gesit untuk melompat hingga tak sampai terjatuh
dengan kepalanya terlebih dulu.
Tahu-tahu dilihatnya si pelayan dogol itu telah berada di atas punggung ku-da
yang sudah bangkit berdiri. Betapa ge-ramnya Ken Suta bukan alang-kepalang di
samping terkejut. Tenaga apakah yang demikian besarnya yang telah membuat
kudanya terjungkal dan dia terlempar dari punggung kuda" Si pelayan itu dengan
cen-gar-cengir dan mulut mengunyah sesuatu tertawa mengejek seraya berkata.
"Hahaha... gara-gara terpeleset kulit pisang mukamu jadi bonyok begitu!
sungguh kasihan!"
Mendelik mata Ken Suta. Mendadak dia telah menghunus pedangnya
"Keparat! pasti kau yang telah melempar kulit pisang itu!"
Si pelayan dogol alias Nanjar cuma tertawa tergelak-gelak. Bahkan terping-
kal-pingkal geli di atas punggung kuda.
Semakin merahlah muka Ken Suta. Ti-ba-tiba dia telah menerjang beringas dengan
pedangnya. Akan tetapi dia menjerit kesakitan. Pedangnya terlempar dan dia
mengaduh-aduh memegangi pergelangan tangannya yang seperti dipatuk ular. Ketika
dia memeriksa ternyata pergelangan tangannya membiru. Ternyata di saat Ken Suta
menyerang dia tadi dengan gerakan cepat lengan Nanjar menyelinap ke kantung
bajunya. Dan sebutir kacang meluncur cepat sekali mengenai pergelangan tangan
Ken Suta. "Hm, kuperingatkan! sebaiknya kau cepat angkat kaki dari mukaku, sebelum aku
balas menamparmu hingga gigimu ron-tok!" berkata keren si pelayan dogol. Ti-ga-
empat kacang dilemparkan ke udara.
Dan...hap! hap! hap! Dengan mudah sekali kacang-kacang itu masuk ke mulutnya.
Tak lama si pelayan dogol telah kembali mengunyah kacang sambil ongkang-ongkang
kaki tanpa melirik sekejappun pada Ken Suta.
Membeliak mata laki-laki Perwira Kerajaan ini. Tahulah dia kalau dirinya tengah
berhadapan dengan seseorang tokoh persilatan berilmu tinggi yang tengah
menyamar. Tak ayal dia segera putar tubuh dan angkat langkah seribu tanpa
menoleh lagi....
Bukan main marahnya Senapati Maru-
to. Dadanya naik turun dengan muka berubah merah padam.
Selesai melapor, Ken Suta minta di-ri untuk mengobati lukanya, setelah
memberitahu di mana letak restoran tempat kejadian.
Senapati Maruto segera perintahkan anak buahnya untuk segera pergi ke tempat
restoran itu untuk mengangkut tiga mayat perwira Kerajaan yang tewas.
Lalu cepat dia dengan bergegas pergi menghadap baginda Raja untuk melaporkan
kejadian itu. *** Berita laporan pembunuhan tiga perwira kepala prajurit oleh Bayunanta telah
sampai ke telinga Raja. Tentu saja membuat sang Prabu Ganda Kusumah marah besar.
Lalu membuat surat perintah penangkapan Bayunanta beserta Tumenggung Ki Gelagah
dengan tuduhan pemberontak!
Kemunculan Adipati UMBUL WILAYA dengan membawa sepasukan prajurit dan membawa
surat perintah pemecatan serta penangkapan Tumenggung Ki Gelagah beserta
Bayunanta, membuat terheran-heran Tumenggung tua itu.
"Baginda Prabu telah memecat dan memerintahkan penangkapan atas diriku dan
anakku Bayunanta" Kami dianggap mau mem-
berontak" Apakah kesalahan kami?" bertanya Ki Gelagah.
"Hm, apakah kau tak mengetahui, atau pura-pura tidak tahu" Sudah jelas anakmu
Bayunanta membunuh tiga perwira Kerajaan, apakah itu bukan suatu permu-laan dari
pemberontakan?" berkata tegas Adipati Umbul Wilaya.
"Membunuh tiga orang perwira Kerajaan?" tukas si Pedang Malaikat terperanjat.
Adipati Umbul Wilaya tak menyahut, melainkan tersenyum sinis. Bahkan meludah di
lantai, seraya berkata.
"Untung hal ini terbongkar. Karena aku tak sudi puteriku berhubungan dengan
anakmu. Ternyata kalian adalah golongan orang-orang pemberontak!"
"Siapa yang mau berbesan denganmu Adipati?" tanya Ki Gelagah.
"Aku tak tahu-menahu hubungan anakku dengan puterimu. Tapi jangan mempit-nahku!
Tak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Apalagi membunuh orang-orang
Kerajaan!" berkata Ki Gelagah dengan suara bergetar.
"Sudahlah! Serahkan dirimu untuk kami tawan, Ki Gelagah! Surat keputusan baginda
Prabu tak dapat diganggu-gugat.
Hal ini bukan pitnah, tapi kenyataan!
Panggil anakmu si Bayunanta untuk segera menyerahkan diri!" bentak Adipati Umbul
Wilaya. Lalu berikan isyabenarnya berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau telah terlanjur menganggap dia
anak seorang tukang kuda!
Tenangkan hatimu di alam baka! Tak usah kau risaukan dia, karena akupun tak
menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini terimalah kematianmu!"
Pedang Mustika Naga Merah mendesis.
Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha
mengelak. Namun ujung pedang yang haus darah itu telah lebih dulu memenggal
lehernya. Kembali darah memuncrat disertai menggelindingnya kepala manusia.
Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam
tak berkutik selamanya bersimbah dalam genangan darah...!
Kematian sang Prabu Ganda Kesumah disusul dengan tewasnya para pengawal-pengawal
Istana. Di mana cahaya merah berkelebat maka akan terdengar jerit kematian!
Paniklah seisi Kota Raja. Masing-masing menyelamatkan diri dari kematian.
Adapun Mahapatih
Gajah Menggolo yang muncul di Istana setelah mendengar laporan terkejut bukan main-main karena
melihat sebuah pedang berbentuk seekor Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh
tangan setan membunuhi para prajurit Istana.
"Pedang Mustika Naga Merah?" sentaknya terkejut. Terperangah dia melihat pedang
berbentuk Naga yang berkelebatan tanpa terlihat orang yang mencekalnya.
"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat!
hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!"
berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajahnya tampak pucat pias. Tubuhnya
menggeletar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan demi ruangan. Didapati mayat
bergelimpangan. Bukan main terperanjatnya laki-laki ini mengetahui Prabu Ganda
Kesumah telah tewas dengan keadaan mengerikan!
"Celaka! aku harus menyelamatkan keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia segera
melompat ke luar dari ruangan itu,
dan lenyap di belakang istana.
Cahaya merah itu terus berkelebatan meminta korban. Akhirnya meluncur keluar
dari Istana. SEBELAS Disaat di istana dan Kota Raja tengah dilanda kepanikan itu, cahaya merah
berkelebat memasuki hutan.
Tampaklah sesaat kemudian sosok tubuh Nanjar alias si Dewa Linglung yang berdiri
tertegun sambil memegangi pedang pusakanya.
"Celaka! Aku telah membunuhi orang-orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh!
mengapa aku memper buatnya"!" berdesis Nanjar dengan wajah, pucat. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh
Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung telah berdiri si Dewi Lintah dengan
tertawa mengikik. Di lengannya tercekal kembaran Pedang Mustika Naga Merah.
"Jangan khawatir, Dewa Linglung!
Tak seorangpun yang melihat kau yang membunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi
itupun di hadapan manusia yang telah mem-perkosaku! Di luar Istana aku tak
menampakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu untuk membunuh musuh-musuhku! Kini
telah sembilan-puluh delapan nyawa telah memandikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal
dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.
"Cukup!" teriak Nanjar dengan marah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah banyak
korban yang berjatuhan! Aku tak mau terus diperalat olehmu!" Nanjar me-nindak
mundur dua langkah. Diam-diam dia telah mengkonsentrasikan diri untuk menghadapi
wanita iblis itu!
"Kau tak akan dapat terpisah dariku, Dewa Linglung! Karena kau telah berjodoh
denganku!" berkata tegas Dewi Lintah.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek.
"Dewi Lintah keparat! hari ini kau tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat
ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti bayangan sosok tubuh lain di
belakangnya. Sebentar saja di hadapan mereka berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang
Malaikat bersama Bayunanta muridnya.
Melihat kemunculan si Pedang Malaikat, Dewi Lintah tertawa mengikik.
"Hihihi...kadal tua! agaknya kau masih mampu bertahan hidup setelah terkena
pukulanku" Bagus! Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini
telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi Lintah.
"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau
membunuh darah dagingmu sendiri" Bagiku yang sudah dekat liang kubur, kematian
tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih punya harapan besar untuk menjadi Raja
menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah memegang tampuk pemerintahan Kerajaan
Mandragiri!" membentak Ki Gelagah sambil me-nunjuk pada Bayunanta.
Tentu saja membuat Bayunanta seperti disambar geledek mendengar dia adalah anak
dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar De-wi
Lintah itu adalah ibunya.
Bentakan Ki Gelagah mendadak membuat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan itu
digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan bicara.
"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah bertindak terlalu jauh. Dendammu memang tak
dapat kau lupakan, akan tetapi kau telah mempelajari dan menganut ilmu iblis!
Kau dapat merasakan kepedihan hatimu bagaimana rasanya disakiti hati! Akan
tetapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah menyakiti hatiku" Kau lari dari
sampingku karena kepincut pada ketampanan dan harta serta kedudukan! Dan kau
berhasil menjadi istri seorang Raja!
"Aku sadar kalau aku tak punya ke-lebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah yang
mendendam pada Bayunanta. Karena Bayunanta adalah anak dari orang yang te-
lah merebut isriku! Tapi aku telah meme-liharanya dengan ikhlas berdasarkan
kema-nusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hutan ketika aku kebetulan lewat di
hutan itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang ibu. Beberapa bulan kemudian aku
mendengar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah membuang permaisurinya di hutan
belantara dalam keadaan hamil tua!
Aku berkeyakinan bayi yang kutemukan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak
mengira kalau kau masih hidup, karena tak jauh dari bayi merah itu ada tulang
tengkorak manusia yang masih basah. Kukubur-kan tengkorak manusia itu yang
kuanggap adalah mayatmu!
Betapa mendendamnya aku pada sang Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tin-dakan
itu terlalu kejam! Tapi mengingat akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa ta-fakur


Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan hati sedih. Aku menganggap kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Gelagah
berhenti bertutur.
Wajahnya layu, dan tampak setitik air bening menggenang di pelupuk mata tu-anya.
"Akan tetapi, kini bocah yang kupe-lihara dengan ikhlas, bocah yang tak bersalah
apa-apa ini akan kau bunuh juga"
Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau Ki Gelagah merobek udara. Giginya
gemeru-tuk menahan geram. Matanya berapi-api me-
mandang si Dewi Lintah
"Patutkah itu dilakukan oleh seorang manusia" Seorang ibu yang telah men-
gandungnya" Seorang ibu yang tak pernah merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat.
"Ternyata tulang tengkorak itu adalah tengkorak seorang penduduk yang digunakan
untuk menipu orang Kerajaan agar menganggap kau telah mati! Nyatanya kau telah
ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun yang sakit hati karena suaminya dibunuh!
Dialah istri si Tukang Kuda yang telah difitnah berbuat serong padamu! Dia mem-
bawamu ke tempat seorang pertapa tua di satu lembah angker. Dari pertapa tua pe-
muja iblis itulah kau mempelajari ilmu-ilmu sesat!
Sesungguhnya kau telah diperalat orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega
membunuh jiwa anakmu sendiri" Darah dagingmu" Juga calon Raja penerus dan
pemegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mandaraka?"
Keheningan merambah suasana di hutan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar kisah
dari si Dewi Lintah. Sedangkan si Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam kera-guan.
Tercenung dengan tatapan kosong.
Dua tetes air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Pada saat itulah Bayunanta
berteriak dengan suara menggeletar.
"Ibuuu...."
Pemuda ini melepaskan pedangnya.
Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lintah dengan air matanya menggenang, lidah
terasa kelu, dan kerongkongan serasa ter-sumbat.
DUA BELAS Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..!
Selama ini teka-teki dan rahasia diriku terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah!
Ternyata aku anak seorang permaisuri Ra-ja. Walau kau seorang iblis sekalipun
aku tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap men-gakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah
dagingmu ini memelukmu! Biarkan aku menangis di pangkuanmu. Biarkan air mataku
tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap
Bayunanta. "TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan itu! Aku telah menjadi seorang manusia iblis
sesat! Aku tak pernah merawatmu!
menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu!
Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menjadi seorang manusia sesat. Masih ada
muka-kah aku mengaku kau sebagai anakku?" berkata Dewi Lintah dengan air mata
bercucu-ran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah melahirkanku! Dan aku adalah darah da-
gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak dapat melanggar sumpahku! Dan... dan kau harus
mati! Aku tak ingin sifat ayahmu kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lintah.
Kini suaranya berubah sinis! Pandangan matanya berapi-api seolah mau menelan
bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya sendiri.
Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang Mustika Naga Merah telah meluncur deras ke arah
jantung Bayunanta. Pemuda ini terperangah dengan mata membelalak.
Kematian agaknya sudah berada di ujung rambut. Tapi pada detik itu juga
berkelebat cahaya merah menangkis samba-ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik
selanjutnya terdengarlah suara menjerit ngeri...
Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah bersimbah darah. Setelah menggeliat meregang
nyawa, tubuh wanita itupun diam untuk selama-lamanya.
Tampak Nanjar berdiri di hadapan mayat si Dewi Lintah dengan pedang Mustika Naga
Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan terperangah. Napasnya serasa berhenti.
Ternyata pada saat kematian sudah di ambang pintu baginya mendadak si pelayan
dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya itu telah menyelamatkan jiwanya.
Pada saat itu juga disaat keheningan merambah suasana hutan mendadak terdengar
suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi Lintah alias bekas istrinya itu.
Apakah yang mereka lihat" Ternyata perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah ujud
menjadi mayat seorang nenek tua ke-riput berambut putih. Pedang Mustika Naga
Merah yang tergeletak di sisinya mendadak lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka menyaksikan mayat itu kembali berubah menjadi
ujud seekor lintah sebesar manusia!
Namun ujud lintah itupun lenyap kembali berubah menjadi segumpal asap hitam yang
membumbung ke udara dengan meninggalkan bau busuk.
Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang tampak hanyalah kerangka manusia. Kerangka
yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung dan Bayunanta saling pandang dengan keheranan
Namun sesaat kemudian Nanjar berkata memecah kesunyian yang menggayuti perasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malaikat! Aku terpaksa melakukan, karena aku
tak sampai hati membiarkan dia membunuh Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia masih terpaku memandang kejadian pada di-ri
Jayeng Sari bekas istrinya itu Nanjar segera melangkah menghampiri Bayunanta.
Lalu menepuk-nepuk pundaknya
"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang telah memaklumi hal itu, karena disaat itu tak
bisa berbuat lain selain membunuh si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur dapat
lolos dari kematian. Dan hatinya menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat berlama-
lama di sini. Bimbinglah Bayunanta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi
pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri!
Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-janya. Dan memerlukan seorang pemimpin
pemegang tampuk pemerintahan yang telah terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa Linglung! Hehehe...! kelak setelah selesai
tugasku menobatkan Bayunanta menjadi Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan
mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-gembara lagi!" berkata si Pedang
Malaikat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya gembira melihat kecerahan wajah si
Pedang Malaikat.
"Aku akan menantikan kemunculanmu Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan setelah
meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara se-nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke
telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti pohon kayu.
Tumbuh, besar, tua, dan mati!
Terkadang mati oleh ganasnya api.
Terkadang mati oleh alam
Juga mati karena bencana!
Aku sendiri tak tahu entah matiku kapan"
Apakah masih bisa berjumpa dengan si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas
panjang. Sebutir air mata tergulir di pipinya. Tapi segera berpaling pada
Bayunanta, seraya berkata.
"Mari kita kuburkan kerangka ibumu, nak! Biarlah dia bersemayam untuk
penghabisan kalinya. Semoga dosanya diampuni yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan tersenyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya
tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa kodrat manusia berada di tangan Tuhan
Se-mesta Alam. Kematian memang milik manusia. Tapi sebelum datangnya maut
bukanlah lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk manusia" Bukankah hanya amal itulah
yang bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawabenarnya berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau telah terlanjur menganggap dia
anak seorang tukang kuda!
Tenangkan hatimu di alam baka! Tak usah kau risaukan dia, karena akupun tak
menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini terimalah kematianmu!"
Pedang Mustika Naga Merah mendesis.
Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha
mengelak. Namun ujung pedang yang haus darah itu telah lebih dulu memenggal
lehernya. Kembali darah memuncrat disertai menggelindingnya kepala manusia.
Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam
tak berkutik selamanya bersimbah dalam genangan darah...!
Kematian sang Prabu Ganda Kesumah disusul dengan tewasnya para pengawal-pengawal
Istana. Di mana cahaya merah berkelebat maka akan terdengar jerit kematian!
Paniklah seisi Kota Raja. Masing-masing menyelamatkan diri dari kematian.
Adapun Mahapatih
Gajah Menggolo yang muncul di Istana setelah mendengar laporan terkejut bukan main-main karena
melihat sebuah pedang berbentuk seekor Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh
tangan setan membunuhi para prajurit Istana.
"Pedang Mustika Naga Merah?" sentaknya terkejut. Terperangah dia melihat pedang
berbentuk Naga yang berkelebatan tanpa terlihat orang yang mencekalnya.
"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat!
hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!"
berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajahnya tampak pucat pias. Tubuhnya
menggeletar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan demi ruangan. Didapati mayat
bergelimpangan. Bukan main terperanjatnya laki-laki ini mengetahui Prabu Ganda
Kesumah telah tewas dengan keadaan mengerikan!
"Celaka! aku harus menyelamatkan keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia segera
melompat ke luar dari ruangan itu,
dan lenyap di belakang istana.
Cahaya merah itu terus berkelebatan meminta korban. Akhirnya meluncur keluar
dari Istana. SEBELAS Disaat di istana dan Kota Raja tengah dilanda kepanikan itu, cahaya merah
berkelebat memasuki hutan.
Tampaklah sesaat kemudian sosok tubuh Nanjar alias si Dewa Linglung yang berdiri
tertegun sambil memegangi pedang pusakanya.
"Celaka! Aku telah membunuhi orang-orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh!
mengapa aku memper buatnya"!" berdesis Nanjar dengan wajah, pucat. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh
Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung telah berdiri si Dewi Lintah dengan
tertawa mengikik. Di lengannya tercekal kembaran Pedang Mustika Naga Merah.
"Jangan khawatir, Dewa Linglung!
Tak seorangpun yang melihat kau yang membunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi
itupun di hadapan manusia yang telah mem-perkosaku! Di luar Istana aku tak
menampakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu untuk membunuh musuh-musuhku! Kini
telah sembilan-puluh delapan nyawa telah memandikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal
dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.
"Cukup!" teriak Nanjar dengan marah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah banyak
korban yang berjatuhan! Aku tak mau terus diperalat olehmu!" Nanjar me-nindak
mundur dua langkah. Diam-diam dia telah mengkonsentrasikan diri untuk menghadapi
wanita iblis itu!
"Kau tak akan dapat terpisah dariku, Dewa Linglung! Karena kau telah berjodoh
denganku!" berkata tegas Dewi Lintah.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek.
"Dewi Lintah keparat! hari ini kau tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat
ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti bayangan sosok tubuh lain di
belakangnya. Sebentar saja di hadapan mereka berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang
Malaikat bersama Bayunanta muridnya.
Melihat kemunculan si Pedang Malaikat, Dewi Lintah tertawa mengikik.
"Hihihi...kadal tua! agaknya kau masih mampu bertahan hidup setelah terkena
pukulanku" Bagus! Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini
telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi Lintah.
"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau
membunuh darah dagingmu sendiri" Bagiku yang sudah dekat liang kubur, kematian
tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih punya harapan besar untuk menjadi Raja
menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah memegang tampuk pemerintahan Kerajaan
Mandragiri!" membentak Ki Gelagah sambil me-nunjuk pada Bayunanta.
Tentu saja membuat Bayunanta seperti disambar geledek mendengar dia adalah anak
dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar De-wi
Lintah itu adalah ibunya.
Bentakan Ki Gelagah mendadak membuat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan itu
digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan bicara.
"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah bertindak terlalu jauh. Dendammu memang tak
dapat kau lupakan, akan tetapi kau telah mempelajari dan menganut ilmu iblis!
Kau dapat merasakan kepedihan hatimu bagaimana rasanya disakiti hati! Akan
tetapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah menyakiti hatiku" Kau lari dari
sampingku karena kepincut pada ketampanan dan harta serta kedudukan! Dan kau
berhasil menjadi istri seorang Raja!
"Aku sadar kalau aku tak punya ke-lebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah yang
mendendam pada Bayunanta. Karena Bayunanta adalah anak dari orang yang te-
lah merebut isriku! Tapi aku telah meme-liharanya dengan ikhlas berdasarkan
kema-nusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hutan ketika aku kebetulan lewat di
hutan itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang ibu. Beberapa bulan kemudian aku
mendengar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah membuang permaisurinya di hutan
belantara dalam keadaan hamil tua!
Aku berkeyakinan bayi yang kutemukan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak
mengira kalau kau masih hidup, karena tak jauh dari bayi merah itu ada tulang
tengkorak manusia yang masih basah. Kukubur-kan tengkorak manusia itu yang
kuanggap adalah mayatmu!
Betapa mendendamnya aku pada sang Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tin-dakan
itu terlalu kejam! Tapi mengingat akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa ta-fakur
dengan hati sedih. Aku menganggap kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Gelagah
berhenti bertutur.
Wajahnya layu, dan tampak setitik air bening menggenang di pelupuk mata tu-anya.
"Akan tetapi, kini bocah yang kupe-lihara dengan ikhlas, bocah yang tak bersalah
apa-apa ini akan kau bunuh juga"
Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau Ki Gelagah merobek udara. Giginya
gemeru-tuk menahan geram. Matanya berapi-api me-
mandang si Dewi Lintah
"Patutkah itu dilakukan oleh seorang manusia" Seorang ibu yang telah men-
gandungnya" Seorang ibu yang tak pernah merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat.
"Ternyata tulang tengkorak itu adalah tengkorak seorang penduduk yang digunakan
untuk menipu orang Kerajaan agar menganggap kau telah mati! Nyatanya kau telah
ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun yang sakit hati karena suaminya dibunuh!
Dialah istri si Tukang Kuda yang telah difitnah berbuat serong padamu! Dia mem-
bawamu ke tempat seorang pertapa tua di satu lembah angker. Dari pertapa tua pe-
muja iblis itulah kau mempelajari ilmu-ilmu sesat!
Sesungguhnya kau telah diperalat orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega
membunuh jiwa anakmu sendiri" Darah dagingmu" Juga calon Raja penerus dan
pemegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mandaraka?"
Keheningan merambah suasana di hutan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar kisah
dari si Dewi Lintah. Sedangkan si Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam kera-guan.
Tercenung dengan tatapan kosong.
Dua tetes air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Pada saat itulah Bayunanta
berteriak dengan suara menggeletar.
"Ibuuu...."
Pemuda ini melepaskan pedangnya.
Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lintah dengan air matanya menggenang, lidah
terasa kelu, dan kerongkongan serasa ter-sumbat.
DUA BELAS Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..!
Selama ini teka-teki dan rahasia diriku terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah!
Ternyata aku anak seorang permaisuri Ra-ja. Walau kau seorang iblis sekalipun
aku tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap men-gakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah
dagingmu ini memelukmu! Biarkan aku menangis di pangkuanmu. Biarkan air mataku
tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap
Bende Mataram 31 Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 3
^