Dewi Lintah 2
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah Bagian 2
Bayunanta. "TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan itu! Aku telah menjadi seorang manusia iblis
sesat! Aku tak pernah merawatmu!
menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu!
Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menjadi seorang manusia sesat. Masih ada
muka-kah aku mengaku kau sebagai anakku?" berkata Dewi Lintah dengan air mata
bercucu-ran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah melahirkanku! Dan aku adalah darah da-
gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak dapat melanggar sumpahku! Dan... dan kau harus
mati! Aku tak ingin sifat ayahmu kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lintah.
Kini suaranya berubah sinis! Pandangan matanya berapi-api seolah mau menelan
bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya sendiri.
Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang Mustika Naga Merah telah meluncur deras ke arah
jantung Bayunanta. Pemuda ini terperangah dengan mata membelalak.
Kematian agaknya sudah berada di ujung rambut. Tapi pada detik itu juga
berkelebat cahaya merah menangkis samba-ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik
selanjutnya terdengarlah suara menjerit ngeri...
Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah bersimbah darah. Setelah menggeliat meregang
nyawa, tubuh wanita itupun diam untuk selama-lamanya.
Tampak Nanjar berdiri di hadapan mayat si Dewi Lintah dengan pedang Mustika Naga
Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan terperangah. Napasnya serasa berhenti.
Ternyata pada saat kematian sudah di ambang pintu baginya mendadak si pelayan
dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya itu telah menyelamatkan jiwanya.
Pada saat itu juga disaat keheningan merambah suasana hutan mendadak terdengar
suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi Lintah alias bekas istrinya itu.
Apakah yang mereka lihat" Ternyata perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah ujud
menjadi mayat seorang nenek tua ke-riput berambut putih. Pedang Mustika Naga
Merah yang tergeletak di sisinya mendadak lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka menyaksikan mayat itu kembali berubah menjadi
ujud seekor lintah sebesar manusia!
Namun ujud lintah itupun lenyap kembali berubah menjadi segumpal asap hitam yang
membumbung ke udara dengan meninggalkan bau busuk.
Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang tampak hanyalah kerangka manusia. Kerangka
yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung dan Bayunanta saling pandang dengan keheranan
Namun sesaat kemudian Nanjar berkata memecah kesunyian yang menggayuti perasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malaikat! Aku terpaksa melakukan, karena aku
tak sampai hati membiarkan dia membunuh Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia masih terpaku memandang kejadian pada di-ri
Jayeng Sari bekas istrinya itu Nanjar segera melangkah menghampiri Bayunanta.
Lalu menepuk-nepuk pundaknya
"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang telah memaklumi hal itu, karena disaat itu tak
bisa berbuat lain selain membunuh si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur dapat
lolos dari kematian. Dan hatinya menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat berlama-
lama di sini. Bimbinglah Bayunanta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi
pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri!
Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-janya. Dan memerlukan seorang pemimpin
pemegang tampuk pemerintahan yang telah terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa Linglung! Hehehe...! kelak setelah selesai
tugasku menobatkan Bayunanta menjadi Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan
mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-gembara lagi!" berkata si Pedang
Malaikat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya gembira melihat kecerahan wajah si
Pedang Malaikat.
"Aku akan menantikan kemunculanmu Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan setelah
meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara se-nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke
telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti pohon kayu.
Tumbuh, besar, tua, dan mati!
Terkadang mati oleh ganasnya api.
Terkadang mati oleh alam
Juga mati karena bencana!
Aku sendiri tak tahu entah matiku kapan"
Apakah masih bisa berjumpa dengan si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas
panjang. Sebutir air mata tergulir di pipinya. Tapi segera berpaling pada
Bayunanta, seraya berkata.
"Mari kita kuburkan kerangka ibumu, nak! Biarlah dia bersemayam untuk
penghabisan kalinya. Semoga dosanya diampuni yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan tersenyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya
tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa kodrat manusia berada di tangan Tuhan
Se-mesta Alam. Kematian memang milik manusia. Tapi sebelum datangnya maut
bukanlah lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk manusia" Bukankah hanya amal itulah
yang bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawarat pada para pengawal.
Serentak belasan pengawal bersenjata segera berlompatan mengurung laki-laki tua
itu. "Hm, bersabarlah dulu, sobat! Aku akan panggil anakku dan tanyakan hal ini.
Bila kenyataannya memang benar anakku bersalah, kami rela untuk ditawan dan
menerima hukuman, tapi jangan menuduh kami sebagai pemberontak!" berkata Ki
Gelagah dengan setenang mungkin.
"Jangan coba-coba bergerak walau selangkahpun Ki Gelagah! Biarkan para
prajuritku memeriksa gedungmu!" berkata tegas Adipati Umbul Wilaya.
Adipati ini segera perintahkan para prajuritnya untuk menggeledah gedung Ki
Gelagah. Tapi sebelum mereka berlompatan memasuki ruangan, mendadak Bayunanta
muncul. Serentak para pengawal segera berlompatan mengurung dengan senjata terhu-nus.
"Bagus! sikap kesatriamu mungkin bisa meringankan hukumanmu, anak muda!
Segeralah serahkan diri untuk kami tawan.
Sang Prabu yang akan berkenan memutuskan hukuman untuk kalian!" ujar Adipati
dengan wajah berseri.
"Bayunanta! benarkah kau telah melakukan pembunuhan pada tiga orang perwi-
ra Kerajaan?" tiba-tiba Ki Gelagah membentak pemuda itu.
"Sama sekali tidak, ayah! Bukan aku yang telah membunuhnya!" sangkal Bayunanta.
"Tak ada gunanya kau melakukan pem-belaan, anak muda! Kau bisa menyangkal nanti
di pengadilan Kerajaan. Sekarang bersiaplah untuk kami tawan, karena telah ada
surat perintah dari Baginda Prabu untuk menawan kalian ayah dan anak!"
"Lalu siapa yang melakukan?" bentak Ki Gelagah tanpa mempedulikan ucapan Adipati
Umbul Wilaya. "Seseorang yang berpakaian serba kuning! Aku telah mengejarnya, namun dia
menghilang di hutan kecil. Ah, mengapa tuduhan begitu keji itu kalian timpakan
padaku" Sungguh mati aku berani bersumpah! Apa yang kukatakan adalah
sebenarnya!" sahut Bayunanta seraya berpaling pada Adipati Umbul Wilaya.
"Pasti KEN SUTA yang telah mempit-nahku!"
"Hahaha...dialah yang menjadi saksi atas perbuatanmu! Orang berbaju kuning itu
siapa lagi kalau bukan kawanmu yang telah kau persiapkan untuk memberontak!
Heh! kukira tak ada lagi alasan. Dan surat keputusan dari Baginda Prabu tak
dapat dibantah! Pengawal tangkap mereka!"
perintah Adipati.
"Keparat!" memaki Ki Gelagah. Lengannya bergerak menyobek surat di tangannya.
Belasan prajurit yang akan menang-kapnya mundur ketika Ki Gelagah mencabut
pedang tipis yang terbelit di pinggang.
Mereka agak ngeri karena laki-laki tua itu adalah bekas tokoh Rimba Hijau yang
bergelar si Pedang Malaikat.
"Hahaha...Jangan menciut nyali kalian cuma mendengar nama besarnya! Pedang
Malaikatnya sudah tumpul tak setajam du-lu. Ibarat seekor macan dia sudah
menjadi macan tua yang ompong! Hayo segera ring-kus dia!" berkata Adipati seraya
memberi perintah.
Tak ayal para prajurit itu segera maju menerjang.
Mendadak empat prajurit menjerit ngeri dan terhuyung ambruk. Darah memuncrat ke
udara. Pedang Malaikat itu telah meminta nyawa!
Melihat demikian yang lainnya menyurut mundur. Tapi bentakan Adipati kembali
terdengar menggeledek.
"Hayo maju! tak perlu kalian mena-wannya hidup-hidup! Bunuh mampus keparat
pemberontak itu!"
Tentu saja sebentar kemudian terjadilah pertarungan seru yang membawa maut.
Belasan tombak dan pedang meluruk ke arah Ki Gelagah yang menyambutnya dengan
tangkisan-tangkisan. Suara gaduh teriakan dan
jeritan ngeri membaur di ruang pendopo gedung Ketumenggungan itu
ENAM SEMENTARA ITU Bayunanta melihat puluhan prajurit maju menerjang dengan senjata-
senjata telanjang, terpaksa mencabut pedangnya. Sebentar saja terjadi
pertarungan dua kelompok. Satu kelompok menghadapi Ki Gelagah, dari sekelompok
lagi menyerbu Bayunanta.
Ternyata si Pedang Malaikat dan anaknya ini sukar untuk dirobohkan. Bahkan
korban dari pihak para prajurit semakin bertambah.
Adipati Umbul Wilaya tak dapat membiarkan hal itu terus terjadi.
Tiba-tiba dia bersuit keras. Dan tiga bayangan tubuh berkelebatan muncul di
ruangan itu. Ketiga sosok tubuh itu ternyata salah seorang adalah laki-laki
kekar berkulit hitam bertubuh cebol, lengannya mencekal sebuah senjata gaetan
panjang. Ujungnya berbentuk mirip gerga-ji. Sedangkan yang seorang lagi, laki-
laki berjubah merah berkepala botak. La-ki-laki ini mencekal tongkat berkepala
tengkorak. Pada ujung tengkorak itu ter-sembul mata tombak. Sedangkan yang seo-
rang lagi adalah orang yang telah kita kenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng
Sepuh. Laki-laki ini bertangan kosong.
Detik itu juga Adipati Umbul Wilaya berteriak memerintahkan para prajuritnya
untuk mundur. Bayunanta dan si Pedang Malaikat saling berpandangan. Lalu keduanya segera
saling mendekati. Segera mereka pentang mata dan melihat kemunculan ketiga orang
itu. Terkejut Bayunanta melihat Ki Ageng Sepuh terdapat di antara ketiga orang
tangan kanan Adipati Umbul Wilaya. Ki Gelagah memandang sinis.
"Ayah! mari kita hadapi mereka sampai titik darah penghabisan!" berkata
Bayunanta bersemangat Pemuda ini tak menampakkan keciutan nyalinya.
Laki-laki tua ini menatap pada pemuda itu.
"Apakah kau berada di pihak benar, Bayunanta?" tanyanya dengan melototkan
matanya. Bayunanta mengangguk. "Aku berani bersumpah, ayah! Aku tak bersalah!"
sahut Bayunanta dengan wajah polos. "Aku memang sudah menduga kejadian itu akan
berbuntut panjang. Mengenai perihal pemecatan ayah memang telah disebut-sebut
oleh empat perwira Kerajaan itu sebelum kejadian. Agaknya seperti ada
hubungannya dengan aku! Begitukah ayah?" sambung Bayunanta berbisik.
"Benar Bayunanta! Sayang keadaan mendesak begini, bagaimana aku bisa men-
ceritakan padamu?" bisik Ki Gelagah dengan menghela napas.
"Dalam pertempuran nanti carilah kesempatan meloloskan diri, anakku! Nanti aku
menyusulmu! Kau tunggulah aku di lembah tempat kita dulu biasa berlatih!" bisik
Ki Gelagah. "Tapi aku tak dapat meninggalkan kau bertempur sendiri, ayah! Tidak! biar-lah
aku tetap bersamamu bertarung sampai titik darah penghabisan!" sahut Bayunanta.
"Katakan sekarang juga ada rahasia apakah mengenai diriku?" Bayunanta mendesak.
Sementara itu para prajurit yang mengurung telah mundur. Dan ketiga orang itu
telah melompat mendekat.
"Hahaha...ada rahasia apakah yang kalian bisikkan, Ki Gelagah" Sebaiknya kalian
menyerahkan diri sebelum kasip!
Siapa tahu baginda Raja akan memperingan hukuman kalian!" berkata Ki Ageng
Sepuh. Ki Gelagah kertak gigi gerahamnya hingga berkerot.
"Hm, kudengar kau telah mengundurkan diri dengan jabatanmu, ternyata kini kau
menjadi begundalnya Adipati Umbul Wilaya?" berkata Ki Gelagah dengan sinis.
"Aku cuma sekedar mengajari ilmu kedigjayaan puteri kanjeng Adipati, tapi
mana aku bisa menolak kalau Kanjeng Adipati menyuruhku untuk membekuk seorang
pemberontak macam kau" Hahaha...ternyata nama besar Pedang Malaikat telah pudar.
Kau tak dapat memproklamirkan dirimu lagi sebagai seorang pendekar!" Tukas Ki
Ageng Sepuh dengan tertawa.
"Heh! Apakah kau mengira dirimu su-ci" Kau anggap aku tak mengetahui kalau kau
telah dipecat dengan tidak hormat da-ri kedudukanmu! Aku heran, mengapa kau bisa
jadi begundal Adipati Umbul Wilaya?"
balas mengejek Ki Gelagah dengan melotot gusar
Merahlah muka Ki Ageng Sepuh.
"Ajalmu sudah di ambang pintu masih banyak tingkah bicara seenak perutmu! Segera
bersiaplah untuk mampus!" bentak Ki Ageng Sepuh.
Whuuk! Whuuuk! Dua aliran gelombang dahsyat meng-gebu ke arah si Pedang Malaikat. Laki-laki tua
ini berseru santar. Pedang tipisnya diputar hingga mengeluarkan suara mencicit.
Maka buyarlah serangan itu.
"Hebat!" teriak si gundul jubah merah. Tubuhnya berkelebat. Sedangkan senjata
tongkat kepala tengkoraknya menderu meluncur ke arah batok kepala Ki Gelagah.
Namun di Pedang Malaikat tak tinggal ber-diam diri. Dengan gerakan sebat dia
men-gegos ke samping.
Pedang tipisnya menangkis. Trang!
Terdengar suara beradu dua batang logam.
Terkejut si gundul jubah merah, karena terasa tangannya bergetar kesemutan
akibat benturan itu.
Namun tak kalah terkejutnya si Pedang Malaikat. Karena tubuhnya terhuyung
beberapa langkah. Diam-diam hatinya mem-batin. "Haih! Tenaga dalamnya cukup
tinggi! Aku harus hati-hati. Namun kepala tengkorak itu lebih berbahaya"
Benar juga dugaan si Pedang Malaikat. Tongkat kepala tengkorak itu mendadak
mencecarnya dengan bertubi-tubi. Dari dua buah lobang mata tengkorak itu
mendadak menyemburkan jarum-jarum berbisa.
Dengan berseru keras memperingatkan Bayunanta, dia berkelebat melompat. Pedang
tipisnya digunakan untuk menyampok.
Buyarlah jarum-jarum maut itu.
Adapun Bayunanta telah berkelebat kea rah kiri. Namun satu bentakan keras
dibarengi dengan kilatan putih menyambar ke arahnya.
"Bocah, jaga seranganku!"
Whuut! Whuut! Trang! Trang! Bayunanta menangkis dengan pedangnya. Percikan lelatu api menebar di udara.
Sebentar saja Bayunanta telah bertarung seru menghadapi laki-laki cebol itu.
Serangan-serangannya mengandung maut.
Terpaksa Bayunanta menghadapi dengan hat-hati. Dengan segenap daya pemuda mi
mengeluarkan jurus-jurus ilmu kepandaiannya.
Sementara si Pedang Malaikat terpaksa harus menghadapi serangan dua lawannya.
Walaupun Ki Ageng Sepuh tak menggunakan senjata. Namun sepasang tangannya lebih
berbahaya dari tebasan pedang! Terpaksa dia menggunakan kelihaian nya untuk
bertarung mati-matian. Sementara Adipati Umbul Wilaya cuma berpeluk tangan
menunggu hasilnya.
Ki Ageng Sepuh menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam.
Diam-diam dia terkejut juga karena si Pedang Malaikat yang tampaknya sudah
seperti macan ompong itu ternyata masih amat tangguh.
Satu tebasan pedang orang tua itu nyaris menyerempet kulit pundaknya. Be-runtung
cuma kain jubahnya saja yang ter-sobek.
"Bedebah! segera pergilah kau ke Neraka!" bentaknya. Kali ini dia gunakan ilmu
kecepatan tubuhnya untuk berkelebat, hingga yang nampak hanya kelebatan bayangan
putih saja. Mata tua si Pedang Malaikat mulai nanar. Sedangkan dia harus
mengkonsentrasikan panca inderanya dalam menghadapi si gundul jubah merah yang
menyerang tanpa memberi waktu sedikitpun
untuk beristirahat. Di samping sebentar-sebentar dia harus gulingkan tubuhnya
atau melompat kesana-kemari menghindari semburan jarum-jarum maut!
Sungguh dl luar dugaan kalau kali ini dua lubang di kepala tengkorak itu bukan
menyemburkan jarum beracun lagi.
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, menyemburkan uap yang berbau amis.
Mendadak disaat dia lengah satu pukulan dahsyat meluncur ke arah punggungnya.
Pada saat itu juga serangan uap beracun menerjangnya dari arah depan.
Tersentak si Pedang Malaikat. Mendadak dia berseru keras. Dengan gerakan jurus
Seribu Bayangan Malaikat tubuhnya berputar bagai baling-baling. Pedang tipisnya
berubah jadi segulung sinar perak.
Akibatnya di luar dugaan. Karena saat itu juga terdengar teriakan kaget si jubah
merah. Perutnya terasa dingin. Dia melompat mundur. Alangkah terperanjatnya dia
karena lambungnya telah terkena tebasan pedang maut si Pedang Malaikat. Darah
menyembur. Laki-laki jubah merah ini terhuyung ke belakang. Dan dengan mata
membeliak tubuhnya roboh terguling. Cuma beberapa saat meregang nyawa, laki-laki
itupun tewas dengan usus yang ambrol berhamburan!
Bukan alang kepalang terkejutnya Ki Ageng Sepuh, karena serangannya dapat di-
patahkan. Bahkan tahu-tahu kilatan pedang si Pedang Malaikat telah memapas putus
lengannya. TUJUH BAYUNANTA yang mendengar jeritan-jeritan menyayat hati merasa khawatir akan
keselamatan ayahnya. Perhatiannya menjadi buyar. Karena di samping dia kurang
pengalaman dalam bertempur juga serangan si cebol itu memang amat berbahaya.
Tubuh cebol itu sungguh sulit dis-erang karena gesitnya bergelindingan ke sana
ke mari. Serangan-serangan sicebol lebih sering diarahkan ke kaki. Hingga dia hampir tak
ada kesempatan untuk menjejakkan kakinya ke tanah.
Pada saat itulah mendadak si cebol robah serangan. Senjata gaetannya meluncur
kea rah leher berkelebat ganas.
Terperangah Bayunanta. Namun pada saat itu terdengar bentakan keras merobek
udara. Secercah kilatan membelah udara.
Terdengar jeritan parau. Tubuh si cebol roboh sebelum senjatanya sempat
menyentuh kulit tubuh Bayunanta.
Tubuh laki-laki cebol itu sapat sebatas pinggang.
Belum lagi sempat Bayunanta menge-
tahui siapa yang telah membantunya, mendadak berkelebat bayangan tubuh di sebe-
lahnya. "Cepat angkat kaki dari sini Bayunanta!"
Itulah suara si Pedang Malaikat.
Bukan main girangnya anak muda ini mengetahui siapa yang telah menolongnya. Tak
ayal lagi dia segera berkelebat mengejar bayangan tubuh si Pedang Malaikat yang
telah berkelebat terlebih dahulu.
Adipati Umbul Wilaya baru tersadar kalau orang yang akan ditangkapnya telah
kabur melarikan diri.
"Bedebah! Kurang ajar! cepat ke-jaar!" teriaknya memberi aba-aba pada pasukan
prajuritnya. Betapa kecewa dia karena tiga orang andalannya tak mampu membekuk
si Pedang Malaikat dan muridnya.
Bahkan mereka yang menjadi korban dan kehilangan nyawa!
Si Pedang Malaikat dan Bayunanta berhasil lolos dari penangkapan, walaupun laki-
laki tua itu dalam keadaan terluka dalam karena telah menghisap uap beracun.
Sementara Adipati Umbul Wilaya dengan geram cuma bisa memaki-maki anak buahnya.
Ki Ageng Sepuh sendiri telah menghilang entah kemana karena malu pada Adipati,
dengan membawa potongan lengannya yang putus.
*** Kita beralih pada Nanjar alias si Dewa Linglung, Setelah pergi meninggalkan
hutan kecil itu dia berkelebat ke arah barat.
Sebentar saja dia telah memasuki sebuah lembah ngarai yang sunyi. Sekitar tempat
itu melulu bukit-bukit batu terjal yang nampak terlihat.
"Hm, bisikan melalui tenaga dalam yang disalurkan ke telingaku menyuruhku ke
lembah ini! Suaranya jelas suara wanita yang kedengarannya merdu.
Siapakah dia" Apakah si manusia misterius berbaju kuning yang lolos tak dapat
dikejar Bayunanta" berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Di atas batu besar Nanjar berdiri mengawasi sekitarnya. Keadaan sudah be-rangsur
senja. Dia agak ragu apakah bisikan itu menipu dia" Karena sebenarnya dia akan
ke Kota Raja untuk memenuhi undangan Ki Patih Gajah Menggolo. Perkenalan dengan
Mahapatih itu adalah ketika dia menolong seorang gadis cantik bernama LAKSMI
DEWI. Laksmi Dewi adalah seorang gadis yang bandel. Hingga dia berani keluyuran
seorang diri. Sikapnya tak ubahnya bagai laki-laki tak betah di rumah. Hal itu
sering membuat ayahnya Patih Gajah meng-golo pusing memikirkan anak gadisnya
yang bengal itu. Minat Laksmi Dewi untuk berguru di luar Istana tak dapat dihalangi sang ayah.
Walaupun dia telah mendatangkan seorang guru silat dan sastra. Dia merasa kurang
puas dengan gurunya. Dan berniat mencari seorang guru yang sakti dalam hal ilmu
kadigjayaan. Lebih dari satu pekan tidak pulang ke rumah membuat Mahapatih Gajah Menggolo
kalang kabut. Tapi mendadak putrinya muncul bersama seorang pemuda kumal
bertampang bodoh. Tentu saja membuat sang ayah keheranan. Dia sudah bermaksud
mendamprat pemuda itu yang disangkanya menyembunyikan anak gadisnya.
Tapi Laksmi Dewi dengan cepat segera menuturkan apa yang telah terjadi dan
mengatakan siapa adanya laki-laki itu.
Segera dituturkan oleh Laksmi Dewi mengenai kejadian yang hampir merengut
kehormatannya. Ternyata Laksmi Dewi telah tersesat di satu lembah yang terjal
karena mencari seorang guru yang sakti dalam hal ilmu kadigjayaan. Laksmi Dewi
berpakaian mirip laki-laki dengan penyamarannya.
Tapi penyamarannya itu tak luput dari mata tajam kaum golongan hitam yang banyak
menebar di luar batas Kerajaan.
Segera dapat diketahui kalau dia seorang dara yang berparas cantik. Tiga orang
kaum sesat yang menamakan dirinya Tiga Iblis Bukit Tunggul telah menguntitnya.
Di satu lembah yang luas penuh dengan bukit-bukit batu dalam usahanya mencari
goa-goa, dia tersesat tak tahu jalan pulang. Laksmi Dewi pernah mendengar bahwa
orang-orang sakti biasa bertempat tinggal di goa-goa atau menjadi seorang
pertapa. Hal itulah yang mendorongnya untuk mencari dan mendatangi tempat-tempat
itu guna memenuhi keinginan hatinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah menghadang di depannya. Dan mengurungnya dengan
sikap yang memuakkan. Terkejut Laksmi Dewi. Tahulah dia kalau dirinya berhadapan
dengan penjahat-penjahat ca-bul!
Laksmi Dewi yang diam-diam telah memiliki ilmu kedigjayaan, segera mencabut
senjatanya yang disembunyikan. Sebuah Kipas tipis yang ujungnya tajam adalah
senjata yang selalu dibawanya ke mana dia pergi. Senjata itu sengaja disuruh
buatkan oleh ayahnya melalui seorang pandai besi. Bahkan dia selalu melatih diri
menggunakan jurus-jurus dari senjata kipasnya yang dicampur aduk dengan pelaja-
ran gurunya. Namun sang guru tak begitu ahli dalam hal permainan kipas. Karena
gurunya ahli dalam permainan toya atau tongkat. Hal itu tak memuaskan hatinya.
Padahal dengan ilmu toya itu justru lebih
baik bila dia mempelajari dengan sungguh-sungguh. Sayangnya dia hanya mau
mempergunakan dengan senjata kipas. Karena praktis dan mudah disembunyikan.
Melihat ketiga orang itu tak sedikitpun dia menjadi gentar. Bahkan diam-diam dia
akan menguji kelihaian nya menggunakan senjata kipas yang dicampur aduk-kan
dengan ilmu gayanya sendiri.
Ilmu tanpa guru memang bisa menghasilkan suatu ilmu yang terkadang bisa hebat!
Akan tetapi tanpa suatu pengetahuan, hal itu akan sia-sia saja.
Demikian juga akan halnya Laksmi Dewi. Ternyata dengan ilmu-ilmu yang di-
milikinya tak menghasilkan suatu yang menggembirakan. Bahkan dia telah terdesak
dalam pertarungan. Kipasnya hancur terkena hantaman tongkat lawan. Dan dalam
beberapa jurus saja dia telah dibuat tak berdaya melawan salah seorang dari
ketiga orang itu yang bersenjatakan sebuah tongkat saja.
Rasa menyesal menyelinap dalam hati dara itu mengapa dia tak mendalami ilmu
tongkat" Kini dilihatnya dengan tongkat itu senjata kipasnya dibuat tak berarti
apa-apa. Namun sudah terlambat. Pada jurus berikutnya dia telah terkena totokan
toya lawan hingga roboh dengan tak berdaya.
Terperangah Laksmi Dewi ketika ke-
tiga orang itu berlompatan mendekati.
Pandangan mata mereka liar menyelusuri bagian-bagian tubuhnya. Bahkan satu
gerakan kilat telah membuat dia menjerit kaget karena pakaiannya sobek terkoyak.
Pu-tuslah sudah harapannya untuk bisa menyelamatkan diri.
Air matanya mengalir membasahi pi-pi. Telah terbayang dalam benaknya betapa
tubuhnya akan dijadikan bulan-bulanan ketiga orang itu dalam memenuhi hawa nafsu
kebinatangan nya.
Akan tetapi pada saat itu juga seorang pemuda kumal bertampang bodoh muncul di
tempat itu. Semula dia mengira pemuda sial itu akan percuma saja berniat
menolongnya karena tampangnya seperti orang yang tak berkepandaian apa-apa sama
sekali. Tapi di luar dugaan justru dalam beberapa jurus saja ketiga orang bejat
itu dapat dirobohkan. Bahkan dihadiahi dengan membuat putus sebelah telinga
mereka masing-masing.
Pemuda kumal itu tak membunuhnya, tapi melepaskan lagi dengan ancaman berat, tak
akan membiarkan mereka hidup bi-la masih belum merobah jalan hidup mereka yang
sesat! Pemuda kumal itupun membebaskan dirinya dari totokan. Nanjar lalu memperkenalkan
dirinya dan bersedia mengantarkan Laksmi Dewi pulang. Sebenarnya Nanjar
akan mengantar sampai tapal batas saja.
Tapi Laksmi Dewi bersikeras untuk mengan-tarkannya sampai ke Kepatihan di Kota
Ra-ja. Demikianlah, Laksmi Dewi kemudian memperkenalkannya dengan ayahnya
Mahapatih Gajah Menggolo.
DELAPAN SELAGI SI DEWA LINGLUNG termangu-mangu itulah mendadak terasa bersyiur angin
dingin di belakang punggungnya. Nanjar berkelebat ke sisi serta memutar tubuh
dengan sikap waspada.
Tersentak Nanjar karena tak melihat apa-apa. Mendadak lagi-lagi bersyiur angin
di belakang, juga dari arah samping.
Nanjar berseru keras seraya melompat
"terbang" ke udara dan hinggapkan kaki di puncak batu tebing.
Matanya memandang ke bawah bagaikan elang mengintai mangsa.
"Aneh!" Siapa yang main-main denganku?" berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Akan tetapi sungguh heran Nanjar karena dia tak melihat adanya sesosok tubuh pun
di bawahnya yang menampakkan di-ri.
"Heh!" Apakah aku berhadapan dengan
makhluk halus" Ataukah manusia yang mengundangku ke mari sengaja menakuti aku
dengan mempergunakan ilmu Halimunan?" ge-rutu Nanjar dalam hati.
Pada saat itu pulalah kembali angin bersyiur halus. Tapi kali ini berbau wan-gi.
Membuat Nanjar berdiri bulu tengkuknya dan melompati kembali dengan gaya
"terbang" ke bawah.
Betapa terkejutnya Nanjar karena kakinya serasa ada yang menangkap. Membelalak
mata Nanjar dan terkejutnya bukan alang-kepalang karena tahu-tahu dia sudah
berada dalam pelukan seorang wanita. Di-ketahuinya karena dadanya menyentuh
sepasang benda lembut kenyal, serta terlihat punggung seorang wanita di depan
matanya. Tersentak kaget si Dewa Linglung.
Namun sebelum dia sempat melepaskan diri, mendadak dia mengeluh dan terkulai
meng-gelosor. Ternyata si wanita itu telah meno-toknya. Gerakan menotok yang sekaligus membuat
orang pingsan karena hawa racun aneh dari lengannya tersalur melalui totokan
yang hebat itu.
Ketika Nanjar sadarkan diri dia tersentak kaget karena tubuhnya sukar di-
gerakkan. Semakin terkejut Nanjar karena kini dia berada dalam sebuah ruangan
kamar yang bersih dan terbaring di tempat tidur berkasur empuk serta berbau
harum. "Hah" Di mana aku" Dan tempat apakah ini?" sentaknya terkejut.
Pada saat itulah terdengar tertawa wanita dan sesosok tubuh muncul di hadapan
Nanjar. "Hihihi...kau berada di tempat ke-diamanku, Dewa Linglung! Kau telah menjadi
tetamu kehormatanku. Beristirahatlah dengan tenang!"
Nanjar mendelikkan matanya menatap wanita itu. Ternyata seorang wanita muda
berparas cantik berdiri di hadapannya.
Wanita itu berpakaian serba kuning. Tahulah dia kalau wanita inilah yang telah
membunuh tiga perwira Kerajaan ketika terjadi kegaduhan di restoran.
"Hm, kaukah yang telah mengundangku datang ke lembah batu terjal?"
"Benar!" menyahut si wanita misterius.
"Kau mengetahui siapa aku, dan kau menganggap aku tetamu kehormatanmu, mengapa
cara seperti ini yang kau gunakan menerima tetamu?" berkata Nanjar dengan suara
ketus. Sementara diam-diam dia terkejut, karena di lengan wanita itu tercekal
pedang pusaka yang disembunyikan dalam belahan kayu.
Wanita itu kembali tertawa, lalu berkata.
"Cara apapun yang aku pakai itu hakku! Bagiku tak ada undang-undang yang
menentukan harus bagaimana cara menerima tetamu!" tukasnya dengan mata melirik
ge-nit. Namun di balik cahaya mata itu ter-sembunyi kesadisan.
"Katakan siapa kau sebenarnya" Dan dari mana kau mengetahui siapa aku?" bentak
Nanjar dengan mata melotot. Sementara matanya tak lepas dari pedang pusaka yang
dicekal erat wanita itu.
"Hihihi... siapa aku" Kelak kau akan mengetahui di saat ajalmu telah hampir
tiba. Dan dari mana aku mengetahui siapa kau adanya cukup melihat tampangmu yang
bodoh. Dan pedang Mustika Naga Merah ini merupakan bukti kuat bahwa kau adalah
si Dewa Linglung!"
Nanjar cuma bisa menelan ludah. Memang sejak pedang Mustika Naga Merah berada di
tangannya, telah banyak diketahui oleh para tokoh Rimba Hijau. Bahkan masih ada
beberapa tokoh persilatan yang men-gincar benda pusaka itu untuk merebutnya.
Namun semua niat itu sia-sia. Bahkan justru nyawa-nyawa mereka yang melayang
karena kesalahan mereka sendiri.
Walau Nanjar tak berniat membunuh, tapi dirinya terancam maut! Maka terpaksa hal
itu dilakukan demi keselamatan jiwanya.
Di antara para tokoh persilatan yang menginginkan pedang Mustika Naga Merah itu
kebanyakan dari kaum golongan hitam.
Tentu saja adanya pedang pusaka itu
di tangan Nanjar sudah bukan rahasia la-gi. Bahkan kehebatan ilmu si pendekar
De-wa Linglung mulai menyebar, di seantero wilayah. Dan dikenal sebagai pendekar
bertampang bodoh, masih muda dan suka linglung.
"Lalu apa yang akan kau lakukan terhadapku" Bila mau membunuhku mengapa tak
lekas-lekas kau melakukannya?" ujar Nanjar menantang. Dia sengaja berkata begitu
karena melihat tak ada tanda-tanda wanita itu akan melakukan niatnya saat itu.
Wanita itu tertawa kecil. Tiba-
tiba...Sreek! Dia telah mencabut pedang Mustika Naga Merah. Berkredep cahaya
merah seketika. Pedang Pusaka itu memang indah dan menyeramkan. Karena berbentuk
seekor Naga melingkar dengan ekor meliuk-liuk ke ujung bagian yang runcing.
Sisik-sisiknya berkilauan memancarkan sinar merah.
"Pedang yang bagus!" puji si wanita tersenyum. Tiba-tiba wanita itu tertawa
sampai terpingkal-pingkal. Hingga sampai-sampai mengeluarkan air mata. Pedang
Mustika Naga Merah di tangannya tergetar me-mantulkan cahaya merah yang
berkelebatan. Nanjar jadi terheran-heran. Apakah gerangan yang ditertawakan wanita itu" Di
samping heran diam-diam Nanjar juga terkejut karena suara tertawa wanita itu te-
lah membuat rasa nyeri di dadanya. Jelas suara tertawa wanita itu mengandung
tenaga dalam yang hebat. Sadarlah Nanjar kalau dirinya telah terjatuh ke tangan
seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi dan berwatak sadis. Pantaslah kalau
dirinya dapat dipecundangi. Memikir ancaman wanita misterius itu diam-diam
hatinya menjadi agak ngeri!
Tiba-tiba wanita itu berhenti tertawa. Lalu menatap Nanjar dengan sorot mata
tajam. "Bagus! Kelak Dunia Persilatan akan gempar dengan kemunculan SEPASANG NAGA
MERAH! Hihihi... kita memang berjodoh!
Kita memang telah dijodohkan untuk saling bertemu dan bersatu!" berkata si
wanita seraya beranjak mendekati.
Membelalak mata Nanjar karena wanita itu tiba-tiba membuka pakaiannya bagian
atas. Yang membuat mata Nanjar semakin melotot adalah pada bagian tengah da-da
wanita itu tertera sebuah tatto bergambar seekor Naga Melingkar persis seperti
bentuk pusaka. Naga Merah tanpa ga-gang.
"Kau lihatlah gambar Naga pada tubuhku! Akupun memiliki pedang Mustika Na-ga
Merah yang serupa dengan Pedang Mustika Naga Merah di tanganmu!" berkata si
wanita dengan tersenyum. "Tunggulah sebentar!" ucapnya lagi. Sekali berkelebat
tubuh wanita baju kuning itu lenyap ke ruangan dalam. Tapi tak lama telah muncul
lagi dengan membawa sebuah pedang di tangan kirinya.
"Nah! kau perhatikan sobat Dewa Linglung! Adakah perbedaan kedua pedang ini?"
bertanya dia seraya mencabut pedang itu dari serangkanya lalu mendekati Nanjar
untuk memperhatikan kedua pedang itu.
Mata Nanjar seperti nanar melihat kesamaan kedua pedang itu. Benar-benar tak ada
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bedanya, seolah sepasang pedang kembar.
"Dari mana kau mendapatkan pedang yang serupa dengan pedangku?" bertanya Nanjar
dengan heran. "Hihihi... pedang ini sudah kumili-ki lebih dari sepuluh tahun! Aku telah
bersumpah tak akan mempergunakannya sampai munculnya kembaran pedang Mustika Na-
ga Merah. Dan saat itulah aku akan mempergunakannya karena baik pedang itu mau-
pun aku telah mendapatkan jodohnya!" sahut si wanita.
"Akan tetapi, kemunculan Sepasang Naga Merah tidaklah lengkap karena tubuhmu
belum bertatto Naga seperti aku! Besok pagi aku akan mentatto dadamu seperti
aku. Dan resmilah perjodohan kita!"
"Celaka! mengapa bisa begini?"
menggumam Nanjar dengan perasaan yang luar biasa. "Jodoh" Aku berjodoh dengan
wanita ini yang belum kuketahui asal-usulnya" Dan dia akan mentatto dadaku"
Ah, betapa mengerikan" bisik hati Nanjar dengan mata membelalak.
SEMBILAN NAH! malam ini kau bisa beristirahat dan tidur dengan nyenyak, Dewa Linglung!"
berkata wanita itu seraya beranjak memutar tubuh.
"He" Bukankah kau mau membunuhku"
mengapa mengurusi persoalan jodoh dan mentatto tubuhku segala?" teriak Nanjar.
"Hihihi...mau membunuhmu atau tidak apa urusanmu?" berkata si wanita dengan
tertawa lalu berkelebat lenyap
Tinggalah Nanjar yang tercenung dengan menelah ludah. "Aiiih! Nasibku mengapa
sial begini" Lagi-lagi aku dipecundangi seorang perempuan" keluhnya.
Entah beberapa kali Nanjar mencoba melepaskan diri dari totokan si wanita, namun
tetap tak berhasil. Membuat dia putus asa dan menyerahkan diri pada nasib.
Menjelang pagi disaat hawa dingin menyelinap kelubang pori-pori mendadak jendela
kamar itu menjeblak terbuka. Membuat Nanjar tersentak bangun.
"Apa lagi yang kau mau lakukan?"
bertanya Nanjar ketika melihat si wanita
telah berdiri di depannya. Di lengan wanita itu tampak sebuah keranjang kecil
tempat seperangkat alat-alat menjahit yang biasa dipunyai seorang perempuan.
"Bukankah telah kukatakan kemarin bahwa pagi ini aku akan mentatto dadamu!"
sahutnya seraya meletakkan keranjang kecil itu di pembaringan.
"Aku tidak mau!" berteriak Nanjar.
"Kalau kau rewel aku akan jahit bi-birmu sampai rapat!" berkata si wanita
mengancam. Kali ini dia berkata serius membuat Nanjar terpaksa tutup mulut.
Ngeri juga kalau sampai si wanita benar-benar menjahit bibirnya. Terpaksa dia
menelan ludah basi dengan menyumpah-nyumpah dalam hati.
Tak menunggu lama lagi lengan si wanita telah bergerak membukai pakaian Nanjar
hingga nampak dada bidangnya.
Lalu wanita itu mengambil segulung kertas dari balik pakaiannya. Gulungan kertas
itu ternyata bergambar seekor Naga melingkar mirip dengan ukiran pedang Mustika
Naga Merah. Setelah memperhatikan sejenak, lalu mulailah melukis gambar Naga itu memin-
dahkannya ke dada Nanjar dengan mempergunakan alat penghitam alis.
Ternyata si wanita seorang yang pandai melukis. Dalam waktu singkat selesailah
pekerjaannya. Kini dia mengambil
sebuah jarum alat menjahit.
Siaplah sudah dia untuk mulai mentatto dada si Dewa Linglung.
Nanjar sudah mau buka mulut lagi.
Tapi melihat jarum dan benang yang men-juntai panjang di belakang alat menjahit
itu rasa ngeri kembali timbul. Terpaksa dia tutup mulut dengan hati kesal.
Mendadak dia mengaduh kesakitan.
Dadanya serasa digigit semut api. Ternyata si wanita sudah mulai bekerja
mentatto dengan menusukkan ujung jarumnya ke kulit tubuh pasien nya.
"Hihihi...tidak terlalu sakit. Mengapa kau macam anak kecil" Lama-kelamaan rasa
sakit yang seperti digigit semut itu akan menjadi rasa nikmat!" berkata si
wanita dengan tersenyum. Selanjutnya dengan cepat dia mulai lagi menusuk-
nusukkan ujung jarum itu tanpa memperdulikan Nanjar yang masih mengaduh-aduh.
Bekerja si wanita itu memang sangat cepat. Dalam waktu tidak seberapa lama
selesailah dia mentatto dada Nanjar.
Darah menggenang di kulit tubuh si Dewa Linglung akibat ribuan tusukan jarum.
Wanita itu segera mengambil sapu tangan untuk menyeka genangan darah. Lalu dari
keranjang keel itu dia mengambil semacam serbuk berwarna merah. Serbuk itu
dibaurkan pada dada Nanjar menutupi lu-
bang-lubang luka berbentuk lukisan Naga itu.
Kemudian dia membubuhkan semacam cairan yang terasa dingin meresap. Tapi tak
membuat rasa perih pada luka. Entah cairan apa. Mungkin obat luka. Selesailah
sudah si wanita mentatto. Dia membenahi alat-alatnya lalu memasukkan dalam
keranjang kecil.
Nanjar mencoba gerakkan kepala untuk melihat dadanya. Tampak lukisan Naga yang
amat mirip dengan pedang Mustika Na-ga Merah tertera di dadanya.
Nanjar rebahkan kepalanya lagi ke bantal dengan menghela napas lega. Rasa sakit
yang menyiksa itupun akhirnya be-rakhir.
Dipejamkannya matanya membayangkan nasib apa lagi yang bakal dialaminya" Dia
kini tak ubahnya bagaikan boneka hidup yang diperbuat semaunya oleh si wanita
baju kuning. Justru pada saat itu si wanita baju kuning tengah menatapnya.
Tatapan yang begitu tajam diarahkan pada lukisan tatto Naga di dada Nanjar.
Sebentar pandangannya beralih pada wajah pemuda itu, lalu merayap menjalari
sekujur tubuh si Dewa Linglung.
Pelahan bibirnya yang tersungging senyuman kecil itu semakin melebar. Dan
akhirnya terdengar suara tertawa puas si wanita baju kuning. Nanjar membuka ma-
tanya. Dilihatnya si wanita tengah tertawa menatapnya.
"Hihihi... lukisan tatto di dadamu selesai sudah! Kini resmilah perjodohan kita!
Sepasang Naga Merah akan segera muncul tak lama lagi di Dunia Persilatan!
Dan darah akan memercik membasahi bumi sebagai tumbal sepasang kembaran Pedang
Mustika Naga Merah!"
"Apa kau bilang" Kembaran Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan tumbal?"
tanya Nanjar dengan mata membeliak.
"Benar! Sepasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan 100 jiwa manusia
untuk memandikannya dengan darah manusia!" sahut si wanita baju kuning.
"Gila!" teriak Nanjar terkejut.
"Hihihi... itulah persyaratannya, Dewa Linglung! Dan hari ini juga kita harus
bersatu!" berkata si wanita dengan mata liar menatap Nanjar. Tiba-tiba wanita
itu telah melemparkan keranjang jahi-tannya. Dan kejap selanjutnya dia telah
membuka seluruh pakaiannya. Sementara sepasang kembaran Pedang Mustika Naga
Merah tertancap di atas meja.
"Hah!" kau mau melakukan apa?" sentak Nanjar terperangah. Tapi wanita itu tak
menjawab selain mendekati Nanjar. Dan tanpa bicara sepatahpun dia meloloskan
seluruh pakaian Nanjar.
"Kita akan bersatu! kita akan ber-
satu! kau dengarkah itu Dewa Linglung?"
desis si wanita dengan mata kian nyalang dan napas mendesah. Mendadak tubuh
wanita itu lenyap! Nanjar kian terperangah. Ta-hu-tahu dia merasakan tubuhnya
menjadi berat membuat Nanjar gelagapan dan bulu romanya berdiri. Apakah dia
berhadapan dengan hantu atau peri"
Tapi hawa harum semerbak telah ter-cium olehnya membuat dia kehilangan kesa-
darannya. Kepalanya menjadi pening berdenyu-tan, dan dia tak sadarkan diri lagi. Nanjar
terbawa ke alam mimpi. Dalam mimpinya dia tengah berkencan dengan seekor lintah
sebesar manusia. Mendadak lintah sebesar manusia, itu sirna. Nanjar terperangah
kaget dan tersadar lagi. Terkejut Nanjar seperti dipagut ular, karena dia dalam
keadaan tanpa busana dan sekujur tubuh penuh dengan lendir.
Ruangan kamar itu sunyi hening. Tak terasa lagi beban berat di atas tubuhnya.
Tak ada lagi bau harum. Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh
mengingat mimpinya. Hiiii..! sungguh mengerikan!
desisnya. "Ke mana perginya wanita itu?" sentak Nanjar dengan mata jelalatan ke sana ke
mari. Tapi tak ada tanda-tanda adanya wanita itu di ruangan kamar.
Serentak bulu tengkuk Nanjar mere-
mang. Lagi-lagi dia membathin.
"Jangan-jangan wanita itu bukan manusia?"
Matanya segera tertuju pada sepasang pedang di atas meja. Pedang kembaran Naga
Merah. Aneh, ketika Nanjar melompat bangun ternyata dia telah terbebas dari
pengaruh totokan. Cepat dia bergerak menyambar pakaiannya. Lalu mengenakannya
dengan cepat. Kembali dia menatap pada sepasang pedang.
"Bagus! dia pasti sedang pergi! Lebih baik aku segera kabur dari tempat hantu
ini!" pikir Nanjar.
Aneh! Ketika lengannya akan meraih sepasang pedang itu mendadak pedang yang
satunya lenyap!
Mata Nanjar jadi kian membelalak, dia tak mengerti. Semua yang dilihat dan
dialami seperti kenyataan. Tapi mengapa sepasang pedang itu seperti khayalan sa-
ja" Pada kenyataannya Pedang Mustika Naga Merah tetap cuma satu!
"Apakah mataku telah tertipu" Ah, perempuan siluman itu pasti mempergunakan ilmu
sihir. Ataukah dia siluman atau pe-ri" Ataukah aku cuma bermimpi" Tapi...
tapi gambar Naga yang bertatto di dadaku ini tak lenyap" Aneh..!?" desis Nanjar
dengan mata membelalak melihat tatto Naga di dadanya.
Saat itu bulu tengkuknya kembali
meremang. Tak ayal dia cepat sambar Pedang Mustika Naga Merah di atas meja
berikut serangkanya yang tergeletak di dekat pedang. Lalu berkelebat ke luar
ruangan kamar melalui jendela. Dan angkat ka-ki tak menoleh lagi meninggalkan
tempat itu. SEPULUH JANGAN-JANGAN DIA Si DEWI LINTAH!"
bergumam Nanjar, seraya dengan cepat gunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan
lembah itu Tengkuknya meremang membayangkan dirinya telah berkencan dengan seekor lintah
sebesar manusia.
Pada saat berlari-lari itulah mendadak telinganya mendengar suara-suara yang
terdengar seperti dari relung hatinya.
"DEWA LINGLUNG! kau tak usah resah!
Aku memang si Dewi Lintah. Kini aku telah menyatu dengan tubuhmu! Kini kita
telah bersatu! Kau dengarkah kata-kataku" Kau adalah aku dan aku adalah kau!
Kini tu-naikan kewajibanmu memandikan Sepasang Pedang Mustika Naga Merah. Pada
dasarnya pedang itu adalah dua, tapi cuma terlihat satu! Pedang Mustikamu kini
memerlukan darah! Darah! Ya, darah manusia! Darah
orang-orang yang kubenci! Darah orang yang akan menghalangi niatku, juga
sumpahku!"
Tengkuk Nanjar seperti ditiup angin salju. Dingin meremang. Dia tersentak kaget,
tapi tak berhenti berlari. Bahkan kian cepat. Dan dia baru berhenti setelah
napasnya tersengal-sengal.
Pada saat itulah Nanjar baru sadar kalau kakinya telah membawanya ke Kota Raja.
Aneh! Nanjar seperti terbawa oleh satu kekuatan yang dia tak dapat menolak-nya.
Tahu-tahu dia telah bergerak memasuki istana.
Dan yang lebih aneh, dua orang penjaga pintu gerbang tak melihat Nanjar masuk.
Bahkan belasan pengawal yang dilewa-ti tak mengetahui Nanjar menyelinap memasuki
ruangan istana.
Pada saat itulah terdengar bentakan menggeledek.
"Iblis perempuan! mau apa kau datang ke Istana?"
Bentakan itu disusul dengan ber-munculannya pengawal-pengawal Istana. Di
antaranya terdapat Senapati MARUTO! Dialah yang membentak barusan. Sekejap
Nanjar telah dikurung oleh puluhan pengawal Sungguh aneh, karena mereka tidak
melihat adanya Nanjar, melainkan sosok tubuh seorang wanita berbaju kuning.
"Hihihi....Maruto! aku mau menemui suamiku! Apakah sang prabu dalam keadaan
sehat?" terdengar Nanjar menyahut, tapi suaranya suara si Dewi Lintah.
"Hah"! Kau... kau sudah bukan seorang permaisuri lagi! Kau telah menjadi manusia
setengah siluman! Pengawal bunuh dia!" teriak Senapati Maruto. Serentak saja
puluhan pengawal menyerbu ke arah Nanjar yang terlihat seperti si Dewi Lintah.
Akan tetapi segera terdengar jeritan-jeritan merambah udara. Puluhan sosok tubuh
pengawal itu bertumbangan roboh!
Darah memuncrat membasahi lantai. Puluhan nyawa melayang seketika!
Membeliak mata Senapati Maruto. Dia melompat menerjang dengan klewangnya.
Akan tetapi cuma dalam beberapa jurus sa-ja senapati itu menjerit parau Pedang
Mustika Naga Merah telah menembus dadanya.
Terhuyung laki-laki senapati ini.
Dan terjungkal roboh dengan nyawa lepas dari tubuhnya. Tersenyum menyeringai si
Dewi Lintah. Terbayang di matanya. Ketika laki-laki itu memperkosanya sebelum
men-gikat tubuhnya di dalam hutan. Saat berikutnya Dewi Lintah telah berkelebat
memasuki ruangan dalam.
Prabu Ganda Kesumah mendengar ribut-ribut di luar ruangannya telah melompat ke
luar dengan dengan mencekal keris.
Pada saat itulah berkelebat bayangan sosok tubuh di hadapannya.
"Hihihi...suamiku! aku datang lagi!
kali ini untuk meminta nyawamu!" berkata si Dewi Lintah dalam penjelmaannya
melalui tubuh Nanjar
"JAYENG SARI...! kau...kau telah berada di alam halus! kembalilah ke alam-mu!"
membentak Prabu Ganda Kesumah dengan menyurut mundur melihat wanita cantik
berbaju kuning itu mencekal pedang berbentuk Naga yang berlumuran darah.
"Hihihi...siapa bilang aku sudah menjadi arwah kakang Prabu" Aku datang untuk
menagih nyawamu! Bukankah kau yang telah memerintahkan orang-orangmu untuk
membunuhku"
Dan membiarkan tubuhku diterkam binatang buas"
Semua itu karena kau menuduhku telah berzinah dengan seorang tukang kuda!
Tuduhan yang hina dan tak masuk akal! Tukang kuda itu kau jatuhi hukuman mati,
dan aku kau suruh bunuh di dalam hutan.
Mereka sebelum menggantungku telah mem-perkosaku secara bergantian! Dapat kau
bayangkan betapa sakit hatiku! Semua ini karena kau dipitnah oleh selirmu yang
cantik. Yang akan kau jadikan seorang permaisuri! Tapi nyatanya" Hihihi...dia
seorang keturunan Iblis!"
Terengah-engah napas Prabu Ganda
Kesumah. Tubuhnya tergetar. Keris telanjang di tangannya pun ikut menggetar.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Bulu tengkuknya berdiri meremang menatap wanita bekas permaisurinya pada dua
puluh tahun yang lalu itu, yang tetap tak berubah. Masih tetap muda dan cantik.
Kemunculan bekas permaisurinya pada beberapa bulan yang lalu di Istana membuat
dia ketakutan. Sang permaisuri cuma tertawa la-lu lenyap. Sibuklah dia memanggil
dukun-dukun sakti untuk membuat penangkal. Tak dinyana kini muncul lagi membawa
malape-taka. Sementara itu sang permaisuri telah kembali berkata.
"Kulihat di matamu ada rasa menyesal, kakang Ganda Kesumah! Hihihi... Tapi
sesalmu sudah terlambat! Nasibmu memang sial. Membuang hati mendapat duri!
Permaisuri barumu ternyata membuahkan keturunan seorang bayi yang wajahnya mirip
RASEKSA! Terpaksa kau merahasiakan kela-hiran anakmu! Namun cuma bertahan sampai
beberapa bulan akhirnya kau menyuruh orang kepercayaanmu untuk meracun bocah itu
hingga mati! Karena kau tak ingin bocah itu kelak menjadi pengganti kedudukan mu
membuat malu! Akhirnya permaisurimu yang cantik jelita itu kau usir dari Istana! Kau panggil
dukun-dukun sakti untuk mengusir-
nya! Nyatanya dia sebangsa dedemit Hihihi... nyaris Kerajaan Mandaraka berRaja-
kan seorang RASEKSA!
Dewi Lintah tertawa mengikik, dan Prabu Ganda Kesumah kembali menyurut mundur.
Wajahnya pucat-pasi bagai tak berda-rah. Tenggorokannya teras kering. Saat itu
Dewi Lintah telah berkata lagi.
"Ganda Kesumah! kau tak perlu menyesali sikapmu! Karena sudah terlambat!
Kini aku datang untuk meminta nyawamu.
Nah bersiaplah untuk mampus!"
"Oh, ya! masih ada yang perlu kukatakan! akhirnya kau mengetahui juga Bayunanta
adalah anakku. Anak yang sebenarnya berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau telah terlanjur menganggap dia
anak seorang tukang kuda!
Tenangkan hatimu di alam baka! Tak usah kau risaukan dia, karena akupun tak
menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini terimalah kematianmu!"
Pedang Mustika Naga Merah mendesis.
Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha
mengelak. Namun ujung pedang yang haus darah itu telah lebih dulu memenggal
lehernya. Kembali darah memuncrat disertai menggelindingnya kepala manusia.
Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam
tak berkutik selamanya bersimbah dalam genangan darah...!
Kematian sang Prabu Ganda Kesumah disusul dengan tewasnya para pengawal-pengawal
Istana. Di mana cahaya merah berkelebat maka akan terdengar jerit kematian!
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paniklah seisi Kota Raja. Masing-masing menyelamatkan diri dari kematian.
Adapun Mahapatih
Gajah Menggolo yang muncul di Istana setelah mendengar laporan terkejut bukan main-main karena
melihat sebuah pedang berbentuk seekor Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh
tangan setan membunuhi para prajurit Istana.
"Pedang Mustika Naga Merah?" sentaknya terkejut. Terperangah dia melihat pedang
berbentuk Naga yang berkelebatan tanpa terlihat orang yang mencekalnya.
"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat!
hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!"
berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajahnya tampak pucat pias. Tubuhnya
menggeletar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan demi ruangan. Didapati mayat
bergelimpangan. Bukan main terperanjatnya laki-laki ini mengetahui Prabu Ganda
Kesumah telah tewas dengan keadaan mengerikan!
"Celaka! aku harus menyelamatkan keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia segera
melompat ke luar dari ruangan itu,
dan lenyap di belakang istana.
Cahaya merah itu terus berkelebatan meminta korban. Akhirnya meluncur keluar
dari Istana. SEBELAS Disaat di istana dan Kota Raja tengah dilanda kepanikan itu, cahaya merah
berkelebat memasuki hutan.
Tampaklah sesaat kemudian sosok tubuh Nanjar alias si Dewa Linglung yang berdiri
tertegun sambil memegangi pedang pusakanya.
"Celaka! Aku telah membunuhi orang-orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh!
mengapa aku memper buatnya"!" berdesis Nanjar dengan wajah, pucat. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh
Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung telah berdiri si Dewi Lintah dengan
tertawa mengikik. Di lengannya tercekal kembaran Pedang Mustika Naga Merah.
"Jangan khawatir, Dewa Linglung!
Tak seorangpun yang melihat kau yang membunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi
itupun di hadapan manusia yang telah mem-perkosaku! Di luar Istana aku tak
menampakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu untuk membunuh musuh-musuhku! Kini
telah sembilan-puluh delapan nyawa telah memandikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal
dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.
"Cukup!" teriak Nanjar dengan marah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah banyak
korban yang berjatuhan! Aku tak mau terus diperalat olehmu!" Nanjar me-nindak
mundur dua langkah. Diam-diam dia telah mengkonsentrasikan diri untuk menghadapi
wanita iblis itu!
"Kau tak akan dapat terpisah dariku, Dewa Linglung! Karena kau telah berjodoh
denganku!" berkata tegas Dewi Lintah.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek.
"Dewi Lintah keparat! hari ini kau tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat
ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti bayangan sosok tubuh lain di
belakangnya. Sebentar saja di hadapan mereka berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang
Malaikat bersama Bayunanta muridnya.
Melihat kemunculan si Pedang Malaikat, Dewi Lintah tertawa mengikik.
"Hihihi...kadal tua! agaknya kau masih mampu bertahan hidup setelah terkena
pukulanku" Bagus! Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini
telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi Lintah.
"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau
membunuh darah dagingmu sendiri" Bagiku yang sudah dekat liang kubur, kematian
tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih punya harapan besar untuk menjadi Raja
menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah memegang tampuk pemerintahan Kerajaan
Mandragiri!" membentak Ki Gelagah sambil me-nunjuk pada Bayunanta.
Tentu saja membuat Bayunanta seperti disambar geledek mendengar dia adalah anak
dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar De-wi
Lintah itu adalah ibunya.
Bentakan Ki Gelagah mendadak membuat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan itu
digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan bicara.
"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah bertindak terlalu jauh. Dendammu memang tak
dapat kau lupakan, akan tetapi kau telah mempelajari dan menganut ilmu iblis!
Kau dapat merasakan kepedihan hatimu bagaimana rasanya disakiti hati! Akan
tetapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah menyakiti hatiku" Kau lari dari
sampingku karena kepincut pada ketampanan dan harta serta kedudukan! Dan kau
berhasil menjadi istri seorang Raja!
"Aku sadar kalau aku tak punya ke-lebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah yang
mendendam pada Bayunanta. Karena Bayunanta adalah anak dari orang yang te-
lah merebut isriku! Tapi aku telah meme-liharanya dengan ikhlas berdasarkan
kema-nusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hutan ketika aku kebetulan lewat di
hutan itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang ibu. Beberapa bulan kemudian aku
mendengar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah membuang permaisurinya di hutan
belantara dalam keadaan hamil tua!
Aku berkeyakinan bayi yang kutemukan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak
mengira kalau kau masih hidup, karena tak jauh dari bayi merah itu ada tulang
tengkorak manusia yang masih basah. Kukubur-kan tengkorak manusia itu yang
kuanggap adalah mayatmu!
Betapa mendendamnya aku pada sang Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tin-dakan
itu terlalu kejam! Tapi mengingat akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa ta-fakur
dengan hati sedih. Aku menganggap kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Gelagah
berhenti bertutur.
Wajahnya layu, dan tampak setitik air bening menggenang di pelupuk mata tu-anya.
"Akan tetapi, kini bocah yang kupe-lihara dengan ikhlas, bocah yang tak bersalah
apa-apa ini akan kau bunuh juga"
Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau Ki Gelagah merobek udara. Giginya
gemeru-tuk menahan geram. Matanya berapi-api me-
mandang si Dewi Lintah
"Patutkah itu dilakukan oleh seorang manusia" Seorang ibu yang telah men-
gandungnya" Seorang ibu yang tak pernah merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat.
"Ternyata tulang tengkorak itu adalah tengkorak seorang penduduk yang digunakan
untuk menipu orang Kerajaan agar menganggap kau telah mati! Nyatanya kau telah
ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun yang sakit hati karena suaminya dibunuh!
Dialah istri si Tukang Kuda yang telah difitnah berbuat serong padamu! Dia mem-
bawamu ke tempat seorang pertapa tua di satu lembah angker. Dari pertapa tua pe-
muja iblis itulah kau mempelajari ilmu-ilmu sesat!
Sesungguhnya kau telah diperalat orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega
membunuh jiwa anakmu sendiri" Darah dagingmu" Juga calon Raja penerus dan
pemegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mandaraka?"
Keheningan merambah suasana di hutan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar kisah
dari si Dewi Lintah. Sedangkan si Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam kera-guan.
Tercenung dengan tatapan kosong.
Dua tetes air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Pada saat itulah Bayunanta
berteriak dengan suara menggeletar.
"Ibuuu...."
Pemuda ini melepaskan pedangnya.
Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lintah dengan air matanya menggenang, lidah
terasa kelu, dan kerongkongan serasa ter-sumbat.
DUA BELAS Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..!
Selama ini teka-teki dan rahasia diriku terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah!
Ternyata aku anak seorang permaisuri Ra-ja. Walau kau seorang iblis sekalipun
aku tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap men-gakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah
dagingmu ini memelukmu! Biarkan aku menangis di pangkuanmu. Biarkan air mataku
tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap
Bayunanta. "TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan itu! Aku telah menjadi seorang manusia iblis
sesat! Aku tak pernah merawatmu!
menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu!
Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menjadi seorang manusia sesat. Masih ada
muka-kah aku mengaku kau sebagai anakku?" berkata Dewi Lintah dengan air mata
bercucu-ran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah melahirkanku! Dan aku adalah darah da-
gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak dapat melanggar sumpahku! Dan... dan kau harus
mati! Aku tak ingin sifat ayahmu kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lintah.
Kini suaranya berubah sinis! Pandangan matanya berapi-api seolah mau menelan
bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya sendiri.
Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang Mustika Naga Merah telah meluncur deras ke arah
jantung Bayunanta. Pemuda ini terperangah dengan mata membelalak.
Kematian agaknya sudah berada di ujung rambut. Tapi pada detik itu juga
berkelebat cahaya merah menangkis samba-ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik
selanjutnya terdengarlah suara menjerit ngeri...
Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah bersimbah darah. Setelah menggeliat meregang
nyawa, tubuh wanita itupun diam untuk selama-lamanya.
Tampak Nanjar berdiri di hadapan mayat si Dewi Lintah dengan pedang Mustika Naga
Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan terperangah. Napasnya serasa berhenti.
Ternyata pada saat kematian sudah di ambang pintu baginya mendadak si pelayan
dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya itu telah menyelamatkan jiwanya.
Pada saat itu juga disaat keheningan merambah suasana hutan mendadak terdengar
suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi Lintah alias bekas istrinya itu.
Apakah yang mereka lihat" Ternyata perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah ujud
menjadi mayat seorang nenek tua ke-riput berambut putih. Pedang Mustika Naga
Merah yang tergeletak di sisinya mendadak lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka menyaksikan mayat itu kembali berubah menjadi
ujud seekor lintah sebesar manusia!
Namun ujud lintah itupun lenyap kembali berubah menjadi segumpal asap hitam yang
membumbung ke udara dengan meninggalkan bau busuk.
Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang tampak hanyalah kerangka manusia. Kerangka
yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung dan Bayunanta saling pandang dengan keheranan
Namun sesaat kemudian Nanjar berkata memecah kesunyian yang menggayuti perasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malaikat! Aku terpaksa melakukan, karena aku
tak sampai hati membiarkan dia membunuh Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia masih terpaku memandang kejadian pada di-ri
Jayeng Sari bekas istrinya itu Nanjar segera melangkah menghampiri Bayunanta.
Lalu menepuk-nepuk pundaknya
"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang telah memaklumi hal itu, karena disaat itu tak
bisa berbuat lain selain membunuh si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur dapat
lolos dari kematian. Dan hatinya menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat berlama-
lama di sini. Bimbinglah Bayunanta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi
pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri!
Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-janya. Dan memerlukan seorang pemimpin
pemegang tampuk pemerintahan yang telah terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa Linglung! Hehehe...! kelak setelah selesai
tugasku menobatkan Bayunanta menjadi Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan
mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-gembara lagi!" berkata si Pedang
Malaikat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya gembira melihat kecerahan wajah si
Pedang Malaikat.
"Aku akan menantikan kemunculanmu Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan setelah
meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara se-nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke
telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti pohon kayu.
Tumbuh, besar, tua, dan mati!
Terkadang mati oleh ganasnya api.
Terkadang mati oleh alam
Juga mati karena bencana!
Aku sendiri tak tahu entah matiku kapan"
Apakah masih bisa berjumpa dengan si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas
panjang. Sebutir air mata tergulir di pipinya. Tapi segera berpaling pada
Bayunanta, seraya berkata.
"Mari kita kuburkan kerangka ibumu, nak! Biarlah dia bersemayam untuk
penghabisan kalinya. Semoga dosanya diampuni yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan tersenyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya
tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa kodrat manusia berada di tangan Tuhan
Se-mesta Alam. Kematian memang milik manusia. Tapi sebelum datangnya maut
bukanlah lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk manusia" Bukankah hanya amal itulah
yang bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 6 Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Pedang Pembunuh Naga 5
Bayunanta. "TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan itu! Aku telah menjadi seorang manusia iblis
sesat! Aku tak pernah merawatmu!
menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu!
Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menjadi seorang manusia sesat. Masih ada
muka-kah aku mengaku kau sebagai anakku?" berkata Dewi Lintah dengan air mata
bercucu-ran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah melahirkanku! Dan aku adalah darah da-
gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak dapat melanggar sumpahku! Dan... dan kau harus
mati! Aku tak ingin sifat ayahmu kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lintah.
Kini suaranya berubah sinis! Pandangan matanya berapi-api seolah mau menelan
bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya sendiri.
Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang Mustika Naga Merah telah meluncur deras ke arah
jantung Bayunanta. Pemuda ini terperangah dengan mata membelalak.
Kematian agaknya sudah berada di ujung rambut. Tapi pada detik itu juga
berkelebat cahaya merah menangkis samba-ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik
selanjutnya terdengarlah suara menjerit ngeri...
Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah bersimbah darah. Setelah menggeliat meregang
nyawa, tubuh wanita itupun diam untuk selama-lamanya.
Tampak Nanjar berdiri di hadapan mayat si Dewi Lintah dengan pedang Mustika Naga
Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan terperangah. Napasnya serasa berhenti.
Ternyata pada saat kematian sudah di ambang pintu baginya mendadak si pelayan
dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya itu telah menyelamatkan jiwanya.
Pada saat itu juga disaat keheningan merambah suasana hutan mendadak terdengar
suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi Lintah alias bekas istrinya itu.
Apakah yang mereka lihat" Ternyata perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah ujud
menjadi mayat seorang nenek tua ke-riput berambut putih. Pedang Mustika Naga
Merah yang tergeletak di sisinya mendadak lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka menyaksikan mayat itu kembali berubah menjadi
ujud seekor lintah sebesar manusia!
Namun ujud lintah itupun lenyap kembali berubah menjadi segumpal asap hitam yang
membumbung ke udara dengan meninggalkan bau busuk.
Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang tampak hanyalah kerangka manusia. Kerangka
yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung dan Bayunanta saling pandang dengan keheranan
Namun sesaat kemudian Nanjar berkata memecah kesunyian yang menggayuti perasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malaikat! Aku terpaksa melakukan, karena aku
tak sampai hati membiarkan dia membunuh Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia masih terpaku memandang kejadian pada di-ri
Jayeng Sari bekas istrinya itu Nanjar segera melangkah menghampiri Bayunanta.
Lalu menepuk-nepuk pundaknya
"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang telah memaklumi hal itu, karena disaat itu tak
bisa berbuat lain selain membunuh si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur dapat
lolos dari kematian. Dan hatinya menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat berlama-
lama di sini. Bimbinglah Bayunanta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi
pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri!
Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-janya. Dan memerlukan seorang pemimpin
pemegang tampuk pemerintahan yang telah terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa Linglung! Hehehe...! kelak setelah selesai
tugasku menobatkan Bayunanta menjadi Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan
mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-gembara lagi!" berkata si Pedang
Malaikat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya gembira melihat kecerahan wajah si
Pedang Malaikat.
"Aku akan menantikan kemunculanmu Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan setelah
meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara se-nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke
telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti pohon kayu.
Tumbuh, besar, tua, dan mati!
Terkadang mati oleh ganasnya api.
Terkadang mati oleh alam
Juga mati karena bencana!
Aku sendiri tak tahu entah matiku kapan"
Apakah masih bisa berjumpa dengan si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas
panjang. Sebutir air mata tergulir di pipinya. Tapi segera berpaling pada
Bayunanta, seraya berkata.
"Mari kita kuburkan kerangka ibumu, nak! Biarlah dia bersemayam untuk
penghabisan kalinya. Semoga dosanya diampuni yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan tersenyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya
tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa kodrat manusia berada di tangan Tuhan
Se-mesta Alam. Kematian memang milik manusia. Tapi sebelum datangnya maut
bukanlah lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk manusia" Bukankah hanya amal itulah
yang bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawarat pada para pengawal.
Serentak belasan pengawal bersenjata segera berlompatan mengurung laki-laki tua
itu. "Hm, bersabarlah dulu, sobat! Aku akan panggil anakku dan tanyakan hal ini.
Bila kenyataannya memang benar anakku bersalah, kami rela untuk ditawan dan
menerima hukuman, tapi jangan menuduh kami sebagai pemberontak!" berkata Ki
Gelagah dengan setenang mungkin.
"Jangan coba-coba bergerak walau selangkahpun Ki Gelagah! Biarkan para
prajuritku memeriksa gedungmu!" berkata tegas Adipati Umbul Wilaya.
Adipati ini segera perintahkan para prajuritnya untuk menggeledah gedung Ki
Gelagah. Tapi sebelum mereka berlompatan memasuki ruangan, mendadak Bayunanta
muncul. Serentak para pengawal segera berlompatan mengurung dengan senjata terhu-nus.
"Bagus! sikap kesatriamu mungkin bisa meringankan hukumanmu, anak muda!
Segeralah serahkan diri untuk kami tawan.
Sang Prabu yang akan berkenan memutuskan hukuman untuk kalian!" ujar Adipati
dengan wajah berseri.
"Bayunanta! benarkah kau telah melakukan pembunuhan pada tiga orang perwi-
ra Kerajaan?" tiba-tiba Ki Gelagah membentak pemuda itu.
"Sama sekali tidak, ayah! Bukan aku yang telah membunuhnya!" sangkal Bayunanta.
"Tak ada gunanya kau melakukan pem-belaan, anak muda! Kau bisa menyangkal nanti
di pengadilan Kerajaan. Sekarang bersiaplah untuk kami tawan, karena telah ada
surat perintah dari Baginda Prabu untuk menawan kalian ayah dan anak!"
"Lalu siapa yang melakukan?" bentak Ki Gelagah tanpa mempedulikan ucapan Adipati
Umbul Wilaya. "Seseorang yang berpakaian serba kuning! Aku telah mengejarnya, namun dia
menghilang di hutan kecil. Ah, mengapa tuduhan begitu keji itu kalian timpakan
padaku" Sungguh mati aku berani bersumpah! Apa yang kukatakan adalah
sebenarnya!" sahut Bayunanta seraya berpaling pada Adipati Umbul Wilaya.
"Pasti KEN SUTA yang telah mempit-nahku!"
"Hahaha...dialah yang menjadi saksi atas perbuatanmu! Orang berbaju kuning itu
siapa lagi kalau bukan kawanmu yang telah kau persiapkan untuk memberontak!
Heh! kukira tak ada lagi alasan. Dan surat keputusan dari Baginda Prabu tak
dapat dibantah! Pengawal tangkap mereka!"
perintah Adipati.
"Keparat!" memaki Ki Gelagah. Lengannya bergerak menyobek surat di tangannya.
Belasan prajurit yang akan menang-kapnya mundur ketika Ki Gelagah mencabut
pedang tipis yang terbelit di pinggang.
Mereka agak ngeri karena laki-laki tua itu adalah bekas tokoh Rimba Hijau yang
bergelar si Pedang Malaikat.
"Hahaha...Jangan menciut nyali kalian cuma mendengar nama besarnya! Pedang
Malaikatnya sudah tumpul tak setajam du-lu. Ibarat seekor macan dia sudah
menjadi macan tua yang ompong! Hayo segera ring-kus dia!" berkata Adipati seraya
memberi perintah.
Tak ayal para prajurit itu segera maju menerjang.
Mendadak empat prajurit menjerit ngeri dan terhuyung ambruk. Darah memuncrat ke
udara. Pedang Malaikat itu telah meminta nyawa!
Melihat demikian yang lainnya menyurut mundur. Tapi bentakan Adipati kembali
terdengar menggeledek.
"Hayo maju! tak perlu kalian mena-wannya hidup-hidup! Bunuh mampus keparat
pemberontak itu!"
Tentu saja sebentar kemudian terjadilah pertarungan seru yang membawa maut.
Belasan tombak dan pedang meluruk ke arah Ki Gelagah yang menyambutnya dengan
tangkisan-tangkisan. Suara gaduh teriakan dan
jeritan ngeri membaur di ruang pendopo gedung Ketumenggungan itu
ENAM SEMENTARA ITU Bayunanta melihat puluhan prajurit maju menerjang dengan senjata-
senjata telanjang, terpaksa mencabut pedangnya. Sebentar saja terjadi
pertarungan dua kelompok. Satu kelompok menghadapi Ki Gelagah, dari sekelompok
lagi menyerbu Bayunanta.
Ternyata si Pedang Malaikat dan anaknya ini sukar untuk dirobohkan. Bahkan
korban dari pihak para prajurit semakin bertambah.
Adipati Umbul Wilaya tak dapat membiarkan hal itu terus terjadi.
Tiba-tiba dia bersuit keras. Dan tiga bayangan tubuh berkelebatan muncul di
ruangan itu. Ketiga sosok tubuh itu ternyata salah seorang adalah laki-laki
kekar berkulit hitam bertubuh cebol, lengannya mencekal sebuah senjata gaetan
panjang. Ujungnya berbentuk mirip gerga-ji. Sedangkan yang seorang lagi, laki-
laki berjubah merah berkepala botak. La-ki-laki ini mencekal tongkat berkepala
tengkorak. Pada ujung tengkorak itu ter-sembul mata tombak. Sedangkan yang seo-
rang lagi adalah orang yang telah kita kenal. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng
Sepuh. Laki-laki ini bertangan kosong.
Detik itu juga Adipati Umbul Wilaya berteriak memerintahkan para prajuritnya
untuk mundur. Bayunanta dan si Pedang Malaikat saling berpandangan. Lalu keduanya segera
saling mendekati. Segera mereka pentang mata dan melihat kemunculan ketiga orang
itu. Terkejut Bayunanta melihat Ki Ageng Sepuh terdapat di antara ketiga orang
tangan kanan Adipati Umbul Wilaya. Ki Gelagah memandang sinis.
"Ayah! mari kita hadapi mereka sampai titik darah penghabisan!" berkata
Bayunanta bersemangat Pemuda ini tak menampakkan keciutan nyalinya.
Laki-laki tua ini menatap pada pemuda itu.
"Apakah kau berada di pihak benar, Bayunanta?" tanyanya dengan melototkan
matanya. Bayunanta mengangguk. "Aku berani bersumpah, ayah! Aku tak bersalah!"
sahut Bayunanta dengan wajah polos. "Aku memang sudah menduga kejadian itu akan
berbuntut panjang. Mengenai perihal pemecatan ayah memang telah disebut-sebut
oleh empat perwira Kerajaan itu sebelum kejadian. Agaknya seperti ada
hubungannya dengan aku! Begitukah ayah?" sambung Bayunanta berbisik.
"Benar Bayunanta! Sayang keadaan mendesak begini, bagaimana aku bisa men-
ceritakan padamu?" bisik Ki Gelagah dengan menghela napas.
"Dalam pertempuran nanti carilah kesempatan meloloskan diri, anakku! Nanti aku
menyusulmu! Kau tunggulah aku di lembah tempat kita dulu biasa berlatih!" bisik
Ki Gelagah. "Tapi aku tak dapat meninggalkan kau bertempur sendiri, ayah! Tidak! biar-lah
aku tetap bersamamu bertarung sampai titik darah penghabisan!" sahut Bayunanta.
"Katakan sekarang juga ada rahasia apakah mengenai diriku?" Bayunanta mendesak.
Sementara itu para prajurit yang mengurung telah mundur. Dan ketiga orang itu
telah melompat mendekat.
"Hahaha...ada rahasia apakah yang kalian bisikkan, Ki Gelagah" Sebaiknya kalian
menyerahkan diri sebelum kasip!
Siapa tahu baginda Raja akan memperingan hukuman kalian!" berkata Ki Ageng
Sepuh. Ki Gelagah kertak gigi gerahamnya hingga berkerot.
"Hm, kudengar kau telah mengundurkan diri dengan jabatanmu, ternyata kini kau
menjadi begundalnya Adipati Umbul Wilaya?" berkata Ki Gelagah dengan sinis.
"Aku cuma sekedar mengajari ilmu kedigjayaan puteri kanjeng Adipati, tapi
mana aku bisa menolak kalau Kanjeng Adipati menyuruhku untuk membekuk seorang
pemberontak macam kau" Hahaha...ternyata nama besar Pedang Malaikat telah pudar.
Kau tak dapat memproklamirkan dirimu lagi sebagai seorang pendekar!" Tukas Ki
Ageng Sepuh dengan tertawa.
"Heh! Apakah kau mengira dirimu su-ci" Kau anggap aku tak mengetahui kalau kau
telah dipecat dengan tidak hormat da-ri kedudukanmu! Aku heran, mengapa kau bisa
jadi begundal Adipati Umbul Wilaya?"
balas mengejek Ki Gelagah dengan melotot gusar
Merahlah muka Ki Ageng Sepuh.
"Ajalmu sudah di ambang pintu masih banyak tingkah bicara seenak perutmu! Segera
bersiaplah untuk mampus!" bentak Ki Ageng Sepuh.
Whuuk! Whuuuk! Dua aliran gelombang dahsyat meng-gebu ke arah si Pedang Malaikat. Laki-laki tua
ini berseru santar. Pedang tipisnya diputar hingga mengeluarkan suara mencicit.
Maka buyarlah serangan itu.
"Hebat!" teriak si gundul jubah merah. Tubuhnya berkelebat. Sedangkan senjata
tongkat kepala tengkoraknya menderu meluncur ke arah batok kepala Ki Gelagah.
Namun di Pedang Malaikat tak tinggal ber-diam diri. Dengan gerakan sebat dia
men-gegos ke samping.
Pedang tipisnya menangkis. Trang!
Terdengar suara beradu dua batang logam.
Terkejut si gundul jubah merah, karena terasa tangannya bergetar kesemutan
akibat benturan itu.
Namun tak kalah terkejutnya si Pedang Malaikat. Karena tubuhnya terhuyung
beberapa langkah. Diam-diam hatinya mem-batin. "Haih! Tenaga dalamnya cukup
tinggi! Aku harus hati-hati. Namun kepala tengkorak itu lebih berbahaya"
Benar juga dugaan si Pedang Malaikat. Tongkat kepala tengkorak itu mendadak
mencecarnya dengan bertubi-tubi. Dari dua buah lobang mata tengkorak itu
mendadak menyemburkan jarum-jarum berbisa.
Dengan berseru keras memperingatkan Bayunanta, dia berkelebat melompat. Pedang
tipisnya digunakan untuk menyampok.
Buyarlah jarum-jarum maut itu.
Adapun Bayunanta telah berkelebat kea rah kiri. Namun satu bentakan keras
dibarengi dengan kilatan putih menyambar ke arahnya.
"Bocah, jaga seranganku!"
Whuut! Whuut! Trang! Trang! Bayunanta menangkis dengan pedangnya. Percikan lelatu api menebar di udara.
Sebentar saja Bayunanta telah bertarung seru menghadapi laki-laki cebol itu.
Serangan-serangannya mengandung maut.
Terpaksa Bayunanta menghadapi dengan hat-hati. Dengan segenap daya pemuda mi
mengeluarkan jurus-jurus ilmu kepandaiannya.
Sementara si Pedang Malaikat terpaksa harus menghadapi serangan dua lawannya.
Walaupun Ki Ageng Sepuh tak menggunakan senjata. Namun sepasang tangannya lebih
berbahaya dari tebasan pedang! Terpaksa dia menggunakan kelihaian nya untuk
bertarung mati-matian. Sementara Adipati Umbul Wilaya cuma berpeluk tangan
menunggu hasilnya.
Ki Ageng Sepuh menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam.
Diam-diam dia terkejut juga karena si Pedang Malaikat yang tampaknya sudah
seperti macan ompong itu ternyata masih amat tangguh.
Satu tebasan pedang orang tua itu nyaris menyerempet kulit pundaknya. Be-runtung
cuma kain jubahnya saja yang ter-sobek.
"Bedebah! segera pergilah kau ke Neraka!" bentaknya. Kali ini dia gunakan ilmu
kecepatan tubuhnya untuk berkelebat, hingga yang nampak hanya kelebatan bayangan
putih saja. Mata tua si Pedang Malaikat mulai nanar. Sedangkan dia harus
mengkonsentrasikan panca inderanya dalam menghadapi si gundul jubah merah yang
menyerang tanpa memberi waktu sedikitpun
untuk beristirahat. Di samping sebentar-sebentar dia harus gulingkan tubuhnya
atau melompat kesana-kemari menghindari semburan jarum-jarum maut!
Sungguh dl luar dugaan kalau kali ini dua lubang di kepala tengkorak itu bukan
menyemburkan jarum beracun lagi.
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, menyemburkan uap yang berbau amis.
Mendadak disaat dia lengah satu pukulan dahsyat meluncur ke arah punggungnya.
Pada saat itu juga serangan uap beracun menerjangnya dari arah depan.
Tersentak si Pedang Malaikat. Mendadak dia berseru keras. Dengan gerakan jurus
Seribu Bayangan Malaikat tubuhnya berputar bagai baling-baling. Pedang tipisnya
berubah jadi segulung sinar perak.
Akibatnya di luar dugaan. Karena saat itu juga terdengar teriakan kaget si jubah
merah. Perutnya terasa dingin. Dia melompat mundur. Alangkah terperanjatnya dia
karena lambungnya telah terkena tebasan pedang maut si Pedang Malaikat. Darah
menyembur. Laki-laki jubah merah ini terhuyung ke belakang. Dan dengan mata
membeliak tubuhnya roboh terguling. Cuma beberapa saat meregang nyawa, laki-laki
itupun tewas dengan usus yang ambrol berhamburan!
Bukan alang kepalang terkejutnya Ki Ageng Sepuh, karena serangannya dapat di-
patahkan. Bahkan tahu-tahu kilatan pedang si Pedang Malaikat telah memapas putus
lengannya. TUJUH BAYUNANTA yang mendengar jeritan-jeritan menyayat hati merasa khawatir akan
keselamatan ayahnya. Perhatiannya menjadi buyar. Karena di samping dia kurang
pengalaman dalam bertempur juga serangan si cebol itu memang amat berbahaya.
Tubuh cebol itu sungguh sulit dis-erang karena gesitnya bergelindingan ke sana
ke mari. Serangan-serangan sicebol lebih sering diarahkan ke kaki. Hingga dia hampir tak
ada kesempatan untuk menjejakkan kakinya ke tanah.
Pada saat itulah mendadak si cebol robah serangan. Senjata gaetannya meluncur
kea rah leher berkelebat ganas.
Terperangah Bayunanta. Namun pada saat itu terdengar bentakan keras merobek
udara. Secercah kilatan membelah udara.
Terdengar jeritan parau. Tubuh si cebol roboh sebelum senjatanya sempat
menyentuh kulit tubuh Bayunanta.
Tubuh laki-laki cebol itu sapat sebatas pinggang.
Belum lagi sempat Bayunanta menge-
tahui siapa yang telah membantunya, mendadak berkelebat bayangan tubuh di sebe-
lahnya. "Cepat angkat kaki dari sini Bayunanta!"
Itulah suara si Pedang Malaikat.
Bukan main girangnya anak muda ini mengetahui siapa yang telah menolongnya. Tak
ayal lagi dia segera berkelebat mengejar bayangan tubuh si Pedang Malaikat yang
telah berkelebat terlebih dahulu.
Adipati Umbul Wilaya baru tersadar kalau orang yang akan ditangkapnya telah
kabur melarikan diri.
"Bedebah! Kurang ajar! cepat ke-jaar!" teriaknya memberi aba-aba pada pasukan
prajuritnya. Betapa kecewa dia karena tiga orang andalannya tak mampu membekuk
si Pedang Malaikat dan muridnya.
Bahkan mereka yang menjadi korban dan kehilangan nyawa!
Si Pedang Malaikat dan Bayunanta berhasil lolos dari penangkapan, walaupun laki-
laki tua itu dalam keadaan terluka dalam karena telah menghisap uap beracun.
Sementara Adipati Umbul Wilaya dengan geram cuma bisa memaki-maki anak buahnya.
Ki Ageng Sepuh sendiri telah menghilang entah kemana karena malu pada Adipati,
dengan membawa potongan lengannya yang putus.
*** Kita beralih pada Nanjar alias si Dewa Linglung, Setelah pergi meninggalkan
hutan kecil itu dia berkelebat ke arah barat.
Sebentar saja dia telah memasuki sebuah lembah ngarai yang sunyi. Sekitar tempat
itu melulu bukit-bukit batu terjal yang nampak terlihat.
"Hm, bisikan melalui tenaga dalam yang disalurkan ke telingaku menyuruhku ke
lembah ini! Suaranya jelas suara wanita yang kedengarannya merdu.
Siapakah dia" Apakah si manusia misterius berbaju kuning yang lolos tak dapat
dikejar Bayunanta" berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Di atas batu besar Nanjar berdiri mengawasi sekitarnya. Keadaan sudah be-rangsur
senja. Dia agak ragu apakah bisikan itu menipu dia" Karena sebenarnya dia akan
ke Kota Raja untuk memenuhi undangan Ki Patih Gajah Menggolo. Perkenalan dengan
Mahapatih itu adalah ketika dia menolong seorang gadis cantik bernama LAKSMI
DEWI. Laksmi Dewi adalah seorang gadis yang bandel. Hingga dia berani keluyuran
seorang diri. Sikapnya tak ubahnya bagai laki-laki tak betah di rumah. Hal itu
sering membuat ayahnya Patih Gajah meng-golo pusing memikirkan anak gadisnya
yang bengal itu. Minat Laksmi Dewi untuk berguru di luar Istana tak dapat dihalangi sang ayah.
Walaupun dia telah mendatangkan seorang guru silat dan sastra. Dia merasa kurang
puas dengan gurunya. Dan berniat mencari seorang guru yang sakti dalam hal ilmu
kadigjayaan. Lebih dari satu pekan tidak pulang ke rumah membuat Mahapatih Gajah Menggolo
kalang kabut. Tapi mendadak putrinya muncul bersama seorang pemuda kumal
bertampang bodoh. Tentu saja membuat sang ayah keheranan. Dia sudah bermaksud
mendamprat pemuda itu yang disangkanya menyembunyikan anak gadisnya.
Tapi Laksmi Dewi dengan cepat segera menuturkan apa yang telah terjadi dan
mengatakan siapa adanya laki-laki itu.
Segera dituturkan oleh Laksmi Dewi mengenai kejadian yang hampir merengut
kehormatannya. Ternyata Laksmi Dewi telah tersesat di satu lembah yang terjal
karena mencari seorang guru yang sakti dalam hal ilmu kadigjayaan. Laksmi Dewi
berpakaian mirip laki-laki dengan penyamarannya.
Tapi penyamarannya itu tak luput dari mata tajam kaum golongan hitam yang banyak
menebar di luar batas Kerajaan.
Segera dapat diketahui kalau dia seorang dara yang berparas cantik. Tiga orang
kaum sesat yang menamakan dirinya Tiga Iblis Bukit Tunggul telah menguntitnya.
Di satu lembah yang luas penuh dengan bukit-bukit batu dalam usahanya mencari
goa-goa, dia tersesat tak tahu jalan pulang. Laksmi Dewi pernah mendengar bahwa
orang-orang sakti biasa bertempat tinggal di goa-goa atau menjadi seorang
pertapa. Hal itulah yang mendorongnya untuk mencari dan mendatangi tempat-tempat
itu guna memenuhi keinginan hatinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh telah menghadang di depannya. Dan mengurungnya dengan
sikap yang memuakkan. Terkejut Laksmi Dewi. Tahulah dia kalau dirinya berhadapan
dengan penjahat-penjahat ca-bul!
Laksmi Dewi yang diam-diam telah memiliki ilmu kedigjayaan, segera mencabut
senjatanya yang disembunyikan. Sebuah Kipas tipis yang ujungnya tajam adalah
senjata yang selalu dibawanya ke mana dia pergi. Senjata itu sengaja disuruh
buatkan oleh ayahnya melalui seorang pandai besi. Bahkan dia selalu melatih diri
menggunakan jurus-jurus dari senjata kipasnya yang dicampur aduk dengan pelaja-
ran gurunya. Namun sang guru tak begitu ahli dalam hal permainan kipas. Karena
gurunya ahli dalam permainan toya atau tongkat. Hal itu tak memuaskan hatinya.
Padahal dengan ilmu toya itu justru lebih
baik bila dia mempelajari dengan sungguh-sungguh. Sayangnya dia hanya mau
mempergunakan dengan senjata kipas. Karena praktis dan mudah disembunyikan.
Melihat ketiga orang itu tak sedikitpun dia menjadi gentar. Bahkan diam-diam dia
akan menguji kelihaian nya menggunakan senjata kipas yang dicampur aduk-kan
dengan ilmu gayanya sendiri.
Ilmu tanpa guru memang bisa menghasilkan suatu ilmu yang terkadang bisa hebat!
Akan tetapi tanpa suatu pengetahuan, hal itu akan sia-sia saja.
Demikian juga akan halnya Laksmi Dewi. Ternyata dengan ilmu-ilmu yang di-
milikinya tak menghasilkan suatu yang menggembirakan. Bahkan dia telah terdesak
dalam pertarungan. Kipasnya hancur terkena hantaman tongkat lawan. Dan dalam
beberapa jurus saja dia telah dibuat tak berdaya melawan salah seorang dari
ketiga orang itu yang bersenjatakan sebuah tongkat saja.
Rasa menyesal menyelinap dalam hati dara itu mengapa dia tak mendalami ilmu
tongkat" Kini dilihatnya dengan tongkat itu senjata kipasnya dibuat tak berarti
apa-apa. Namun sudah terlambat. Pada jurus berikutnya dia telah terkena totokan
toya lawan hingga roboh dengan tak berdaya.
Terperangah Laksmi Dewi ketika ke-
tiga orang itu berlompatan mendekati.
Pandangan mata mereka liar menyelusuri bagian-bagian tubuhnya. Bahkan satu
gerakan kilat telah membuat dia menjerit kaget karena pakaiannya sobek terkoyak.
Pu-tuslah sudah harapannya untuk bisa menyelamatkan diri.
Air matanya mengalir membasahi pi-pi. Telah terbayang dalam benaknya betapa
tubuhnya akan dijadikan bulan-bulanan ketiga orang itu dalam memenuhi hawa nafsu
kebinatangan nya.
Akan tetapi pada saat itu juga seorang pemuda kumal bertampang bodoh muncul di
tempat itu. Semula dia mengira pemuda sial itu akan percuma saja berniat
menolongnya karena tampangnya seperti orang yang tak berkepandaian apa-apa sama
sekali. Tapi di luar dugaan justru dalam beberapa jurus saja ketiga orang bejat
itu dapat dirobohkan. Bahkan dihadiahi dengan membuat putus sebelah telinga
mereka masing-masing.
Pemuda kumal itu tak membunuhnya, tapi melepaskan lagi dengan ancaman berat, tak
akan membiarkan mereka hidup bi-la masih belum merobah jalan hidup mereka yang
sesat! Pemuda kumal itupun membebaskan dirinya dari totokan. Nanjar lalu memperkenalkan
dirinya dan bersedia mengantarkan Laksmi Dewi pulang. Sebenarnya Nanjar
akan mengantar sampai tapal batas saja.
Tapi Laksmi Dewi bersikeras untuk mengan-tarkannya sampai ke Kepatihan di Kota
Ra-ja. Demikianlah, Laksmi Dewi kemudian memperkenalkannya dengan ayahnya
Mahapatih Gajah Menggolo.
DELAPAN SELAGI SI DEWA LINGLUNG termangu-mangu itulah mendadak terasa bersyiur angin
dingin di belakang punggungnya. Nanjar berkelebat ke sisi serta memutar tubuh
dengan sikap waspada.
Tersentak Nanjar karena tak melihat apa-apa. Mendadak lagi-lagi bersyiur angin
di belakang, juga dari arah samping.
Nanjar berseru keras seraya melompat
"terbang" ke udara dan hinggapkan kaki di puncak batu tebing.
Matanya memandang ke bawah bagaikan elang mengintai mangsa.
"Aneh!" Siapa yang main-main denganku?" berkata dalam hati si Dewa Linglung.
Akan tetapi sungguh heran Nanjar karena dia tak melihat adanya sesosok tubuh pun
di bawahnya yang menampakkan di-ri.
"Heh!" Apakah aku berhadapan dengan
makhluk halus" Ataukah manusia yang mengundangku ke mari sengaja menakuti aku
dengan mempergunakan ilmu Halimunan?" ge-rutu Nanjar dalam hati.
Pada saat itu pulalah kembali angin bersyiur halus. Tapi kali ini berbau wan-gi.
Membuat Nanjar berdiri bulu tengkuknya dan melompati kembali dengan gaya
"terbang" ke bawah.
Betapa terkejutnya Nanjar karena kakinya serasa ada yang menangkap. Membelalak
mata Nanjar dan terkejutnya bukan alang-kepalang karena tahu-tahu dia sudah
berada dalam pelukan seorang wanita. Di-ketahuinya karena dadanya menyentuh
sepasang benda lembut kenyal, serta terlihat punggung seorang wanita di depan
matanya. Tersentak kaget si Dewa Linglung.
Namun sebelum dia sempat melepaskan diri, mendadak dia mengeluh dan terkulai
meng-gelosor. Ternyata si wanita itu telah meno-toknya. Gerakan menotok yang sekaligus membuat
orang pingsan karena hawa racun aneh dari lengannya tersalur melalui totokan
yang hebat itu.
Ketika Nanjar sadarkan diri dia tersentak kaget karena tubuhnya sukar di-
gerakkan. Semakin terkejut Nanjar karena kini dia berada dalam sebuah ruangan
kamar yang bersih dan terbaring di tempat tidur berkasur empuk serta berbau
harum. "Hah" Di mana aku" Dan tempat apakah ini?" sentaknya terkejut.
Pada saat itulah terdengar tertawa wanita dan sesosok tubuh muncul di hadapan
Nanjar. "Hihihi...kau berada di tempat ke-diamanku, Dewa Linglung! Kau telah menjadi
tetamu kehormatanku. Beristirahatlah dengan tenang!"
Nanjar mendelikkan matanya menatap wanita itu. Ternyata seorang wanita muda
berparas cantik berdiri di hadapannya.
Wanita itu berpakaian serba kuning. Tahulah dia kalau wanita inilah yang telah
membunuh tiga perwira Kerajaan ketika terjadi kegaduhan di restoran.
"Hm, kaukah yang telah mengundangku datang ke lembah batu terjal?"
"Benar!" menyahut si wanita misterius.
"Kau mengetahui siapa aku, dan kau menganggap aku tetamu kehormatanmu, mengapa
cara seperti ini yang kau gunakan menerima tetamu?" berkata Nanjar dengan suara
ketus. Sementara diam-diam dia terkejut, karena di lengan wanita itu tercekal
pedang pusaka yang disembunyikan dalam belahan kayu.
Wanita itu kembali tertawa, lalu berkata.
"Cara apapun yang aku pakai itu hakku! Bagiku tak ada undang-undang yang
menentukan harus bagaimana cara menerima tetamu!" tukasnya dengan mata melirik
ge-nit. Namun di balik cahaya mata itu ter-sembunyi kesadisan.
"Katakan siapa kau sebenarnya" Dan dari mana kau mengetahui siapa aku?" bentak
Nanjar dengan mata melotot. Sementara matanya tak lepas dari pedang pusaka yang
dicekal erat wanita itu.
"Hihihi... siapa aku" Kelak kau akan mengetahui di saat ajalmu telah hampir
tiba. Dan dari mana aku mengetahui siapa kau adanya cukup melihat tampangmu yang
bodoh. Dan pedang Mustika Naga Merah ini merupakan bukti kuat bahwa kau adalah
si Dewa Linglung!"
Nanjar cuma bisa menelan ludah. Memang sejak pedang Mustika Naga Merah berada di
tangannya, telah banyak diketahui oleh para tokoh Rimba Hijau. Bahkan masih ada
beberapa tokoh persilatan yang men-gincar benda pusaka itu untuk merebutnya.
Namun semua niat itu sia-sia. Bahkan justru nyawa-nyawa mereka yang melayang
karena kesalahan mereka sendiri.
Walau Nanjar tak berniat membunuh, tapi dirinya terancam maut! Maka terpaksa hal
itu dilakukan demi keselamatan jiwanya.
Di antara para tokoh persilatan yang menginginkan pedang Mustika Naga Merah itu
kebanyakan dari kaum golongan hitam.
Tentu saja adanya pedang pusaka itu
di tangan Nanjar sudah bukan rahasia la-gi. Bahkan kehebatan ilmu si pendekar
De-wa Linglung mulai menyebar, di seantero wilayah. Dan dikenal sebagai pendekar
bertampang bodoh, masih muda dan suka linglung.
"Lalu apa yang akan kau lakukan terhadapku" Bila mau membunuhku mengapa tak
lekas-lekas kau melakukannya?" ujar Nanjar menantang. Dia sengaja berkata begitu
karena melihat tak ada tanda-tanda wanita itu akan melakukan niatnya saat itu.
Wanita itu tertawa kecil. Tiba-
tiba...Sreek! Dia telah mencabut pedang Mustika Naga Merah. Berkredep cahaya
merah seketika. Pedang Pusaka itu memang indah dan menyeramkan. Karena berbentuk
seekor Naga melingkar dengan ekor meliuk-liuk ke ujung bagian yang runcing.
Sisik-sisiknya berkilauan memancarkan sinar merah.
"Pedang yang bagus!" puji si wanita tersenyum. Tiba-tiba wanita itu tertawa
sampai terpingkal-pingkal. Hingga sampai-sampai mengeluarkan air mata. Pedang
Mustika Naga Merah di tangannya tergetar me-mantulkan cahaya merah yang
berkelebatan. Nanjar jadi terheran-heran. Apakah gerangan yang ditertawakan wanita itu" Di
samping heran diam-diam Nanjar juga terkejut karena suara tertawa wanita itu te-
lah membuat rasa nyeri di dadanya. Jelas suara tertawa wanita itu mengandung
tenaga dalam yang hebat. Sadarlah Nanjar kalau dirinya telah terjatuh ke tangan
seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi dan berwatak sadis. Pantaslah kalau
dirinya dapat dipecundangi. Memikir ancaman wanita misterius itu diam-diam
hatinya menjadi agak ngeri!
Tiba-tiba wanita itu berhenti tertawa. Lalu menatap Nanjar dengan sorot mata
tajam. "Bagus! Kelak Dunia Persilatan akan gempar dengan kemunculan SEPASANG NAGA
MERAH! Hihihi... kita memang berjodoh!
Kita memang telah dijodohkan untuk saling bertemu dan bersatu!" berkata si
wanita seraya beranjak mendekati.
Membelalak mata Nanjar karena wanita itu tiba-tiba membuka pakaiannya bagian
atas. Yang membuat mata Nanjar semakin melotot adalah pada bagian tengah da-da
wanita itu tertera sebuah tatto bergambar seekor Naga Melingkar persis seperti
bentuk pusaka. Naga Merah tanpa ga-gang.
"Kau lihatlah gambar Naga pada tubuhku! Akupun memiliki pedang Mustika Na-ga
Merah yang serupa dengan Pedang Mustika Naga Merah di tanganmu!" berkata si
wanita dengan tersenyum. "Tunggulah sebentar!" ucapnya lagi. Sekali berkelebat
tubuh wanita baju kuning itu lenyap ke ruangan dalam. Tapi tak lama telah muncul
lagi dengan membawa sebuah pedang di tangan kirinya.
"Nah! kau perhatikan sobat Dewa Linglung! Adakah perbedaan kedua pedang ini?"
bertanya dia seraya mencabut pedang itu dari serangkanya lalu mendekati Nanjar
untuk memperhatikan kedua pedang itu.
Mata Nanjar seperti nanar melihat kesamaan kedua pedang itu. Benar-benar tak ada
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bedanya, seolah sepasang pedang kembar.
"Dari mana kau mendapatkan pedang yang serupa dengan pedangku?" bertanya Nanjar
dengan heran. "Hihihi... pedang ini sudah kumili-ki lebih dari sepuluh tahun! Aku telah
bersumpah tak akan mempergunakannya sampai munculnya kembaran pedang Mustika Na-
ga Merah. Dan saat itulah aku akan mempergunakannya karena baik pedang itu mau-
pun aku telah mendapatkan jodohnya!" sahut si wanita.
"Akan tetapi, kemunculan Sepasang Naga Merah tidaklah lengkap karena tubuhmu
belum bertatto Naga seperti aku! Besok pagi aku akan mentatto dadamu seperti
aku. Dan resmilah perjodohan kita!"
"Celaka! mengapa bisa begini?"
menggumam Nanjar dengan perasaan yang luar biasa. "Jodoh" Aku berjodoh dengan
wanita ini yang belum kuketahui asal-usulnya" Dan dia akan mentatto dadaku"
Ah, betapa mengerikan" bisik hati Nanjar dengan mata membelalak.
SEMBILAN NAH! malam ini kau bisa beristirahat dan tidur dengan nyenyak, Dewa Linglung!"
berkata wanita itu seraya beranjak memutar tubuh.
"He" Bukankah kau mau membunuhku"
mengapa mengurusi persoalan jodoh dan mentatto tubuhku segala?" teriak Nanjar.
"Hihihi...mau membunuhmu atau tidak apa urusanmu?" berkata si wanita dengan
tertawa lalu berkelebat lenyap
Tinggalah Nanjar yang tercenung dengan menelah ludah. "Aiiih! Nasibku mengapa
sial begini" Lagi-lagi aku dipecundangi seorang perempuan" keluhnya.
Entah beberapa kali Nanjar mencoba melepaskan diri dari totokan si wanita, namun
tetap tak berhasil. Membuat dia putus asa dan menyerahkan diri pada nasib.
Menjelang pagi disaat hawa dingin menyelinap kelubang pori-pori mendadak jendela
kamar itu menjeblak terbuka. Membuat Nanjar tersentak bangun.
"Apa lagi yang kau mau lakukan?"
bertanya Nanjar ketika melihat si wanita
telah berdiri di depannya. Di lengan wanita itu tampak sebuah keranjang kecil
tempat seperangkat alat-alat menjahit yang biasa dipunyai seorang perempuan.
"Bukankah telah kukatakan kemarin bahwa pagi ini aku akan mentatto dadamu!"
sahutnya seraya meletakkan keranjang kecil itu di pembaringan.
"Aku tidak mau!" berteriak Nanjar.
"Kalau kau rewel aku akan jahit bi-birmu sampai rapat!" berkata si wanita
mengancam. Kali ini dia berkata serius membuat Nanjar terpaksa tutup mulut.
Ngeri juga kalau sampai si wanita benar-benar menjahit bibirnya. Terpaksa dia
menelan ludah basi dengan menyumpah-nyumpah dalam hati.
Tak menunggu lama lagi lengan si wanita telah bergerak membukai pakaian Nanjar
hingga nampak dada bidangnya.
Lalu wanita itu mengambil segulung kertas dari balik pakaiannya. Gulungan kertas
itu ternyata bergambar seekor Naga melingkar mirip dengan ukiran pedang Mustika
Naga Merah. Setelah memperhatikan sejenak, lalu mulailah melukis gambar Naga itu memin-
dahkannya ke dada Nanjar dengan mempergunakan alat penghitam alis.
Ternyata si wanita seorang yang pandai melukis. Dalam waktu singkat selesailah
pekerjaannya. Kini dia mengambil
sebuah jarum alat menjahit.
Siaplah sudah dia untuk mulai mentatto dada si Dewa Linglung.
Nanjar sudah mau buka mulut lagi.
Tapi melihat jarum dan benang yang men-juntai panjang di belakang alat menjahit
itu rasa ngeri kembali timbul. Terpaksa dia tutup mulut dengan hati kesal.
Mendadak dia mengaduh kesakitan.
Dadanya serasa digigit semut api. Ternyata si wanita sudah mulai bekerja
mentatto dengan menusukkan ujung jarumnya ke kulit tubuh pasien nya.
"Hihihi...tidak terlalu sakit. Mengapa kau macam anak kecil" Lama-kelamaan rasa
sakit yang seperti digigit semut itu akan menjadi rasa nikmat!" berkata si
wanita dengan tersenyum. Selanjutnya dengan cepat dia mulai lagi menusuk-
nusukkan ujung jarum itu tanpa memperdulikan Nanjar yang masih mengaduh-aduh.
Bekerja si wanita itu memang sangat cepat. Dalam waktu tidak seberapa lama
selesailah dia mentatto dada Nanjar.
Darah menggenang di kulit tubuh si Dewa Linglung akibat ribuan tusukan jarum.
Wanita itu segera mengambil sapu tangan untuk menyeka genangan darah. Lalu dari
keranjang keel itu dia mengambil semacam serbuk berwarna merah. Serbuk itu
dibaurkan pada dada Nanjar menutupi lu-
bang-lubang luka berbentuk lukisan Naga itu.
Kemudian dia membubuhkan semacam cairan yang terasa dingin meresap. Tapi tak
membuat rasa perih pada luka. Entah cairan apa. Mungkin obat luka. Selesailah
sudah si wanita mentatto. Dia membenahi alat-alatnya lalu memasukkan dalam
keranjang kecil.
Nanjar mencoba gerakkan kepala untuk melihat dadanya. Tampak lukisan Naga yang
amat mirip dengan pedang Mustika Na-ga Merah tertera di dadanya.
Nanjar rebahkan kepalanya lagi ke bantal dengan menghela napas lega. Rasa sakit
yang menyiksa itupun akhirnya be-rakhir.
Dipejamkannya matanya membayangkan nasib apa lagi yang bakal dialaminya" Dia
kini tak ubahnya bagaikan boneka hidup yang diperbuat semaunya oleh si wanita
baju kuning. Justru pada saat itu si wanita baju kuning tengah menatapnya.
Tatapan yang begitu tajam diarahkan pada lukisan tatto Naga di dada Nanjar.
Sebentar pandangannya beralih pada wajah pemuda itu, lalu merayap menjalari
sekujur tubuh si Dewa Linglung.
Pelahan bibirnya yang tersungging senyuman kecil itu semakin melebar. Dan
akhirnya terdengar suara tertawa puas si wanita baju kuning. Nanjar membuka ma-
tanya. Dilihatnya si wanita tengah tertawa menatapnya.
"Hihihi... lukisan tatto di dadamu selesai sudah! Kini resmilah perjodohan kita!
Sepasang Naga Merah akan segera muncul tak lama lagi di Dunia Persilatan!
Dan darah akan memercik membasahi bumi sebagai tumbal sepasang kembaran Pedang
Mustika Naga Merah!"
"Apa kau bilang" Kembaran Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan tumbal?"
tanya Nanjar dengan mata membeliak.
"Benar! Sepasang kembaran Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan 100 jiwa manusia
untuk memandikannya dengan darah manusia!" sahut si wanita baju kuning.
"Gila!" teriak Nanjar terkejut.
"Hihihi... itulah persyaratannya, Dewa Linglung! Dan hari ini juga kita harus
bersatu!" berkata si wanita dengan mata liar menatap Nanjar. Tiba-tiba wanita
itu telah melemparkan keranjang jahi-tannya. Dan kejap selanjutnya dia telah
membuka seluruh pakaiannya. Sementara sepasang kembaran Pedang Mustika Naga
Merah tertancap di atas meja.
"Hah!" kau mau melakukan apa?" sentak Nanjar terperangah. Tapi wanita itu tak
menjawab selain mendekati Nanjar. Dan tanpa bicara sepatahpun dia meloloskan
seluruh pakaian Nanjar.
"Kita akan bersatu! kita akan ber-
satu! kau dengarkah itu Dewa Linglung?"
desis si wanita dengan mata kian nyalang dan napas mendesah. Mendadak tubuh
wanita itu lenyap! Nanjar kian terperangah. Ta-hu-tahu dia merasakan tubuhnya
menjadi berat membuat Nanjar gelagapan dan bulu romanya berdiri. Apakah dia
berhadapan dengan hantu atau peri"
Tapi hawa harum semerbak telah ter-cium olehnya membuat dia kehilangan kesa-
darannya. Kepalanya menjadi pening berdenyu-tan, dan dia tak sadarkan diri lagi. Nanjar
terbawa ke alam mimpi. Dalam mimpinya dia tengah berkencan dengan seekor lintah
sebesar manusia. Mendadak lintah sebesar manusia, itu sirna. Nanjar terperangah
kaget dan tersadar lagi. Terkejut Nanjar seperti dipagut ular, karena dia dalam
keadaan tanpa busana dan sekujur tubuh penuh dengan lendir.
Ruangan kamar itu sunyi hening. Tak terasa lagi beban berat di atas tubuhnya.
Tak ada lagi bau harum. Keringat dingin mengucur deras di sekujur tubuh
mengingat mimpinya. Hiiii..! sungguh mengerikan!
desisnya. "Ke mana perginya wanita itu?" sentak Nanjar dengan mata jelalatan ke sana ke
mari. Tapi tak ada tanda-tanda adanya wanita itu di ruangan kamar.
Serentak bulu tengkuk Nanjar mere-
mang. Lagi-lagi dia membathin.
"Jangan-jangan wanita itu bukan manusia?"
Matanya segera tertuju pada sepasang pedang di atas meja. Pedang kembaran Naga
Merah. Aneh, ketika Nanjar melompat bangun ternyata dia telah terbebas dari
pengaruh totokan. Cepat dia bergerak menyambar pakaiannya. Lalu mengenakannya
dengan cepat. Kembali dia menatap pada sepasang pedang.
"Bagus! dia pasti sedang pergi! Lebih baik aku segera kabur dari tempat hantu
ini!" pikir Nanjar.
Aneh! Ketika lengannya akan meraih sepasang pedang itu mendadak pedang yang
satunya lenyap!
Mata Nanjar jadi kian membelalak, dia tak mengerti. Semua yang dilihat dan
dialami seperti kenyataan. Tapi mengapa sepasang pedang itu seperti khayalan sa-
ja" Pada kenyataannya Pedang Mustika Naga Merah tetap cuma satu!
"Apakah mataku telah tertipu" Ah, perempuan siluman itu pasti mempergunakan ilmu
sihir. Ataukah dia siluman atau pe-ri" Ataukah aku cuma bermimpi" Tapi...
tapi gambar Naga yang bertatto di dadaku ini tak lenyap" Aneh..!?" desis Nanjar
dengan mata membelalak melihat tatto Naga di dadanya.
Saat itu bulu tengkuknya kembali
meremang. Tak ayal dia cepat sambar Pedang Mustika Naga Merah di atas meja
berikut serangkanya yang tergeletak di dekat pedang. Lalu berkelebat ke luar
ruangan kamar melalui jendela. Dan angkat ka-ki tak menoleh lagi meninggalkan
tempat itu. SEPULUH JANGAN-JANGAN DIA Si DEWI LINTAH!"
bergumam Nanjar, seraya dengan cepat gunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan
lembah itu Tengkuknya meremang membayangkan dirinya telah berkencan dengan seekor lintah
sebesar manusia.
Pada saat berlari-lari itulah mendadak telinganya mendengar suara-suara yang
terdengar seperti dari relung hatinya.
"DEWA LINGLUNG! kau tak usah resah!
Aku memang si Dewi Lintah. Kini aku telah menyatu dengan tubuhmu! Kini kita
telah bersatu! Kau dengarkah kata-kataku" Kau adalah aku dan aku adalah kau!
Kini tu-naikan kewajibanmu memandikan Sepasang Pedang Mustika Naga Merah. Pada
dasarnya pedang itu adalah dua, tapi cuma terlihat satu! Pedang Mustikamu kini
memerlukan darah! Darah! Ya, darah manusia! Darah
orang-orang yang kubenci! Darah orang yang akan menghalangi niatku, juga
sumpahku!"
Tengkuk Nanjar seperti ditiup angin salju. Dingin meremang. Dia tersentak kaget,
tapi tak berhenti berlari. Bahkan kian cepat. Dan dia baru berhenti setelah
napasnya tersengal-sengal.
Pada saat itulah Nanjar baru sadar kalau kakinya telah membawanya ke Kota Raja.
Aneh! Nanjar seperti terbawa oleh satu kekuatan yang dia tak dapat menolak-nya.
Tahu-tahu dia telah bergerak memasuki istana.
Dan yang lebih aneh, dua orang penjaga pintu gerbang tak melihat Nanjar masuk.
Bahkan belasan pengawal yang dilewa-ti tak mengetahui Nanjar menyelinap memasuki
ruangan istana.
Pada saat itulah terdengar bentakan menggeledek.
"Iblis perempuan! mau apa kau datang ke Istana?"
Bentakan itu disusul dengan ber-munculannya pengawal-pengawal Istana. Di
antaranya terdapat Senapati MARUTO! Dialah yang membentak barusan. Sekejap
Nanjar telah dikurung oleh puluhan pengawal Sungguh aneh, karena mereka tidak
melihat adanya Nanjar, melainkan sosok tubuh seorang wanita berbaju kuning.
"Hihihi....Maruto! aku mau menemui suamiku! Apakah sang prabu dalam keadaan
sehat?" terdengar Nanjar menyahut, tapi suaranya suara si Dewi Lintah.
"Hah"! Kau... kau sudah bukan seorang permaisuri lagi! Kau telah menjadi manusia
setengah siluman! Pengawal bunuh dia!" teriak Senapati Maruto. Serentak saja
puluhan pengawal menyerbu ke arah Nanjar yang terlihat seperti si Dewi Lintah.
Akan tetapi segera terdengar jeritan-jeritan merambah udara. Puluhan sosok tubuh
pengawal itu bertumbangan roboh!
Darah memuncrat membasahi lantai. Puluhan nyawa melayang seketika!
Membeliak mata Senapati Maruto. Dia melompat menerjang dengan klewangnya.
Akan tetapi cuma dalam beberapa jurus sa-ja senapati itu menjerit parau Pedang
Mustika Naga Merah telah menembus dadanya.
Terhuyung laki-laki senapati ini.
Dan terjungkal roboh dengan nyawa lepas dari tubuhnya. Tersenyum menyeringai si
Dewi Lintah. Terbayang di matanya. Ketika laki-laki itu memperkosanya sebelum
men-gikat tubuhnya di dalam hutan. Saat berikutnya Dewi Lintah telah berkelebat
memasuki ruangan dalam.
Prabu Ganda Kesumah mendengar ribut-ribut di luar ruangannya telah melompat ke
luar dengan dengan mencekal keris.
Pada saat itulah berkelebat bayangan sosok tubuh di hadapannya.
"Hihihi...suamiku! aku datang lagi!
kali ini untuk meminta nyawamu!" berkata si Dewi Lintah dalam penjelmaannya
melalui tubuh Nanjar
"JAYENG SARI...! kau...kau telah berada di alam halus! kembalilah ke alam-mu!"
membentak Prabu Ganda Kesumah dengan menyurut mundur melihat wanita cantik
berbaju kuning itu mencekal pedang berbentuk Naga yang berlumuran darah.
"Hihihi...siapa bilang aku sudah menjadi arwah kakang Prabu" Aku datang untuk
menagih nyawamu! Bukankah kau yang telah memerintahkan orang-orangmu untuk
membunuhku"
Dan membiarkan tubuhku diterkam binatang buas"
Semua itu karena kau menuduhku telah berzinah dengan seorang tukang kuda!
Tuduhan yang hina dan tak masuk akal! Tukang kuda itu kau jatuhi hukuman mati,
dan aku kau suruh bunuh di dalam hutan.
Mereka sebelum menggantungku telah mem-perkosaku secara bergantian! Dapat kau
bayangkan betapa sakit hatiku! Semua ini karena kau dipitnah oleh selirmu yang
cantik. Yang akan kau jadikan seorang permaisuri! Tapi nyatanya" Hihihi...dia
seorang keturunan Iblis!"
Terengah-engah napas Prabu Ganda
Kesumah. Tubuhnya tergetar. Keris telanjang di tangannya pun ikut menggetar.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Bulu tengkuknya berdiri meremang menatap wanita bekas permaisurinya pada dua
puluh tahun yang lalu itu, yang tetap tak berubah. Masih tetap muda dan cantik.
Kemunculan bekas permaisurinya pada beberapa bulan yang lalu di Istana membuat
dia ketakutan. Sang permaisuri cuma tertawa la-lu lenyap. Sibuklah dia memanggil
dukun-dukun sakti untuk membuat penangkal. Tak dinyana kini muncul lagi membawa
malape-taka. Sementara itu sang permaisuri telah kembali berkata.
"Kulihat di matamu ada rasa menyesal, kakang Ganda Kesumah! Hihihi... Tapi
sesalmu sudah terlambat! Nasibmu memang sial. Membuang hati mendapat duri!
Permaisuri barumu ternyata membuahkan keturunan seorang bayi yang wajahnya mirip
RASEKSA! Terpaksa kau merahasiakan kela-hiran anakmu! Namun cuma bertahan sampai
beberapa bulan akhirnya kau menyuruh orang kepercayaanmu untuk meracun bocah itu
hingga mati! Karena kau tak ingin bocah itu kelak menjadi pengganti kedudukan mu
membuat malu! Akhirnya permaisurimu yang cantik jelita itu kau usir dari Istana! Kau panggil
dukun-dukun sakti untuk mengusir-
nya! Nyatanya dia sebangsa dedemit Hihihi... nyaris Kerajaan Mandaraka berRaja-
kan seorang RASEKSA!
Dewi Lintah tertawa mengikik, dan Prabu Ganda Kesumah kembali menyurut mundur.
Wajahnya pucat-pasi bagai tak berda-rah. Tenggorokannya teras kering. Saat itu
Dewi Lintah telah berkata lagi.
"Ganda Kesumah! kau tak perlu menyesali sikapmu! Karena sudah terlambat!
Kini aku datang untuk meminta nyawamu.
Nah bersiaplah untuk mampus!"
"Oh, ya! masih ada yang perlu kukatakan! akhirnya kau mengetahui juga Bayunanta
adalah anakku. Anak yang sebenarnya berhak atas Kerajaan Mandaraka! Tapi kau telah terlanjur menganggap dia
anak seorang tukang kuda!
Tenangkan hatimu di alam baka! Tak usah kau risaukan dia, karena akupun tak
menginginkan dia menjadi Raja! Nah, kini terimalah kematianmu!"
Pedang Mustika Naga Merah mendesis.
Meluncur deras ke arah tenggorokan Prabu Ganda Kesumah. Laki-laki ini berusaha
mengelak. Namun ujung pedang yang haus darah itu telah lebih dulu memenggal
lehernya. Kembali darah memuncrat disertai menggelindingnya kepala manusia.
Tubuh tanpa kepala itu ambruk ke lantai. Berkelojotan sejenak lalu diam
tak berkutik selamanya bersimbah dalam genangan darah...!
Kematian sang Prabu Ganda Kesumah disusul dengan tewasnya para pengawal-pengawal
Istana. Di mana cahaya merah berkelebat maka akan terdengar jerit kematian!
Dewa Linglung 6 Dewi Lintah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paniklah seisi Kota Raja. Masing-masing menyelamatkan diri dari kematian.
Adapun Mahapatih
Gajah Menggolo yang muncul di Istana setelah mendengar laporan terkejut bukan main-main karena
melihat sebuah pedang berbentuk seekor Naga berkelebatan bagaikan dicekal oleh
tangan setan membunuhi para prajurit Istana.
"Pedang Mustika Naga Merah?" sentaknya terkejut. Terperangah dia melihat pedang
berbentuk Naga yang berkelebatan tanpa terlihat orang yang mencekalnya.
"Celaka! Celaka! Kiamat! Kiamat!
hancurlah sudah Kerajaan MANDRAGIRI!"
berkata Mahapatih Gajah Menggolo. Wajahnya tampak pucat pias. Tubuhnya
menggeletar. Dia menyelinap masuk melalui ruangan demi ruangan. Didapati mayat
bergelimpangan. Bukan main terperanjatnya laki-laki ini mengetahui Prabu Ganda
Kesumah telah tewas dengan keadaan mengerikan!
"Celaka! aku harus menyelamatkan keluargaku!?" sentak Ki Patih. Dan dia segera
melompat ke luar dari ruangan itu,
dan lenyap di belakang istana.
Cahaya merah itu terus berkelebatan meminta korban. Akhirnya meluncur keluar
dari Istana. SEBELAS Disaat di istana dan Kota Raja tengah dilanda kepanikan itu, cahaya merah
berkelebat memasuki hutan.
Tampaklah sesaat kemudian sosok tubuh Nanjar alias si Dewa Linglung yang berdiri
tertegun sambil memegangi pedang pusakanya.
"Celaka! Aku telah membunuhi orang-orang Kerajaan dengan pedang ini! Aneh!
mengapa aku memper buatnya"!" berdesis Nanjar dengan wajah, pucat. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik. Sesosok bayangan muncul dari tubuh
Nanjar. Dan di hadapan si Dewa Linglung telah berdiri si Dewi Lintah dengan
tertawa mengikik. Di lengannya tercekal kembaran Pedang Mustika Naga Merah.
"Jangan khawatir, Dewa Linglung!
Tak seorangpun yang melihat kau yang membunuh. Yang terlihat adalah aku! Tapi
itupun di hadapan manusia yang telah mem-perkosaku! Di luar Istana aku tak
menampakkan diri. Aku hanya meminjam tanganmu untuk membunuh musuh-musuhku! Kini
telah sembilan-puluh delapan nyawa telah memandikan Pedang Mustika Naga Merah. Tinggal
dua nyawa lagi!" berkata si Dewi Lintah.
"Cukup!" teriak Nanjar dengan marah. "Kau tak boleh membunuh lagi! Sudah banyak
korban yang berjatuhan! Aku tak mau terus diperalat olehmu!" Nanjar me-nindak
mundur dua langkah. Diam-diam dia telah mengkonsentrasikan diri untuk menghadapi
wanita iblis itu!
"Kau tak akan dapat terpisah dariku, Dewa Linglung! Karena kau telah berjodoh
denganku!" berkata tegas Dewi Lintah.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek.
"Dewi Lintah keparat! hari ini kau tak akan dapat lolos dari pedang Malaikat
ku!" Sesosok bayangan berkelebat diikuti bayangan sosok tubuh lain di
belakangnya. Sebentar saja di hadapan mereka berdiri tegak Ki Gelagah alias si Pedang
Malaikat bersama Bayunanta muridnya.
Melihat kemunculan si Pedang Malaikat, Dewi Lintah tertawa mengikik.
"Hihihi...kadal tua! agaknya kau masih mampu bertahan hidup setelah terkena
pukulanku" Bagus! Pedang Mustika Naga Merah membutuhkan dua korban lagi. Kini
telah muncul kedua-duanya!" berkata Dewi Lintah.
"Cih! manusia Iblis sesat! Kau mau
membunuh darah dagingmu sendiri" Bagiku yang sudah dekat liang kubur, kematian
tak menjadi soal! Tapi bocah ini masih punya harapan besar untuk menjadi Raja
menggantikan sang Prabu Ganda Kesumah memegang tampuk pemerintahan Kerajaan
Mandragiri!" membentak Ki Gelagah sambil me-nunjuk pada Bayunanta.
Tentu saja membuat Bayunanta seperti disambar geledek mendengar dia adalah anak
dari Prabu Ganda Kesumah. Dari kata-kata Ki Gelagah jelas wanita bergelar De-wi
Lintah itu adalah ibunya.
Bentakan Ki Gelagah mendadak membuat tercenung si Dewi Lintah. Kesempatan itu
digunakan Ki Gelagah untuk meneruskan bicara.
"JAYENG SARI..! Sadarlah! kau telah bertindak terlalu jauh. Dendammu memang tak
dapat kau lupakan, akan tetapi kau telah mempelajari dan menganut ilmu iblis!
Kau dapat merasakan kepedihan hatimu bagaimana rasanya disakiti hati! Akan
tetapi kau tak menyadari bahwa kaupun telah menyakiti hatiku" Kau lari dari
sampingku karena kepincut pada ketampanan dan harta serta kedudukan! Dan kau
berhasil menjadi istri seorang Raja!
"Aku sadar kalau aku tak punya ke-lebihan apa-apa. Bahkan seharusnya akulah yang
mendendam pada Bayunanta. Karena Bayunanta adalah anak dari orang yang te-
lah merebut isriku! Tapi aku telah meme-liharanya dengan ikhlas berdasarkan
kema-nusiaan. Bocah ini kutemukan di dalam hutan ketika aku kebetulan lewat di
hutan itu. Dia lahir tanpa kasih sayang seorang ibu. Beberapa bulan kemudian aku
mendengar berita sang Prabu Ganda Kesumah telah membuang permaisurinya di hutan
belantara dalam keadaan hamil tua!
Aku berkeyakinan bayi yang kutemukan itu adalah bayimu! Sedangkan aku tak
mengira kalau kau masih hidup, karena tak jauh dari bayi merah itu ada tulang
tengkorak manusia yang masih basah. Kukubur-kan tengkorak manusia itu yang
kuanggap adalah mayatmu!
Betapa mendendamnya aku pada sang Prabu Ganda Kesumah. Walau bagaimana tin-dakan
itu terlalu kejam! Tapi mengingat akan ketidak setiaanmu aku cuma bisa ta-fakur
dengan hati sedih. Aku menganggap kau terkena hukum Karma!" sejenak Ki Gelagah
berhenti bertutur.
Wajahnya layu, dan tampak setitik air bening menggenang di pelupuk mata tu-anya.
"Akan tetapi, kini bocah yang kupe-lihara dengan ikhlas, bocah yang tak bersalah
apa-apa ini akan kau bunuh juga"
Haiih! sungguh keterlaluan!" suara parau Ki Gelagah merobek udara. Giginya
gemeru-tuk menahan geram. Matanya berapi-api me-
mandang si Dewi Lintah
"Patutkah itu dilakukan oleh seorang manusia" Seorang ibu yang telah men-
gandungnya" Seorang ibu yang tak pernah merawatnya?" teriak si Pedang Malaikat.
"Ternyata tulang tengkorak itu adalah tengkorak seorang penduduk yang digunakan
untuk menipu orang Kerajaan agar menganggap kau telah mati! Nyatanya kau telah
ditolong oleh seorang dukun tua! Dukun yang sakit hati karena suaminya dibunuh!
Dialah istri si Tukang Kuda yang telah difitnah berbuat serong padamu! Dia mem-
bawamu ke tempat seorang pertapa tua di satu lembah angker. Dari pertapa tua pe-
muja iblis itulah kau mempelajari ilmu-ilmu sesat!
Sesungguhnya kau telah diperalat orang lain Jayeng Sari! Apakah kau tega
membunuh jiwa anakmu sendiri" Darah dagingmu" Juga calon Raja penerus dan
pemegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mandaraka?"
Keheningan merambah suasana di hutan itu. Nanjar cuma terbelalak mendengar kisah
dari si Dewi Lintah. Sedangkan si Dewi Lintah sendiri tenggelam dalam kera-guan.
Tercenung dengan tatapan kosong.
Dua tetes air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Pada saat itulah Bayunanta
berteriak dengan suara menggeletar.
"Ibuuu...."
Pemuda ini melepaskan pedangnya.
Dia melangkah pelahan mendekati Dewi Lintah dengan air matanya menggenang, lidah
terasa kelu, dan kerongkongan serasa ter-sumbat.
DUA BELAS Ibu biarkan anakmu memelukmu ibu..!
Selama ini teka-teki dan rahasia diriku terpendam. Tapi hari ini terbuka sudah!
Ternyata aku anak seorang permaisuri Ra-ja. Walau kau seorang iblis sekalipun
aku tetaplah anakmu. Dan aku akan tetap men-gakui kau ibuku! Ibu...biarkan darah
dagingmu ini memelukmu! Biarkan aku menangis di pangkuanmu. Biarkan air mataku
tertumpah di dadamu! Walau cuma sekali ibu..! Walau cuma satu kali!" ratap
Bayunanta. "TIDAK! TIDAK! Jangan kau lakukan itu! Aku telah menjadi seorang manusia iblis
sesat! Aku tak pernah merawatmu!
menyusuimu! menimangmu! membesarkanmu!
Ah, betapa nistanya aku. Aku telah menjadi seorang manusia sesat. Masih ada
muka-kah aku mengaku kau sebagai anakku?" berkata Dewi Lintah dengan air mata
bercucu-ran dan kakinya melangkah mundur.
"Tapi ibu...kau.. kaulah yang telah melahirkanku! Dan aku adalah darah da-
gingmu!" sanggah Bayunanta dengan suara parau menggeletar menahan perasaan.
"Benar... tapi...tapi...aku tak dapat melanggar sumpahku! Dan... dan kau harus
mati! Aku tak ingin sifat ayahmu kelak menurun padamu!" berkata Dewi Lintah.
Kini suaranya berubah sinis! Pandangan matanya berapi-api seolah mau menelan
bulat-bulat Bayunanta, anak kandungnya sendiri.
Keadaan berubah tegang!
Detik itu juga tiba-tiba Pedang Mustika Naga Merah telah meluncur deras ke arah
jantung Bayunanta. Pemuda ini terperangah dengan mata membelalak.
Kematian agaknya sudah berada di ujung rambut. Tapi pada detik itu juga
berkelebat cahaya merah menangkis samba-ran Pedang Mustika Naga Merah. Dan detik
selanjutnya terdengarlah suara menjerit ngeri...
Tubuh Dewi Lintah ambruk ke tanah bersimbah darah. Setelah menggeliat meregang
nyawa, tubuh wanita itupun diam untuk selama-lamanya.
Tampak Nanjar berdiri di hadapan mayat si Dewi Lintah dengan pedang Mustika Naga
Merah di tangannya.
Membelalak mata Bayunanta dengan terperangah. Napasnya serasa berhenti.
Ternyata pada saat kematian sudah di ambang pintu baginya mendadak si pelayan
dogol alias si Dewa Linglung sahabatnya itu telah menyelamatkan jiwanya.
Pada saat itu juga disaat keheningan merambah suasana hutan mendadak terdengar
suara si Pedang Malaikat.
"Lihatlah! apa yang telah terjadi?"
Ki Gelagah melompat mendekati Dewi Lintah alias bekas istrinya itu.
Apakah yang mereka lihat" Ternyata perlahan-lahan mayat Dewi Lintah berubah ujud
menjadi mayat seorang nenek tua ke-riput berambut putih. Pedang Mustika Naga
Merah yang tergeletak di sisinya mendadak lenyap sirna.
Semakin membelalak mata mereka menyaksikan mayat itu kembali berubah menjadi
ujud seekor lintah sebesar manusia!
Namun ujud lintah itupun lenyap kembali berubah menjadi segumpal asap hitam yang
membumbung ke udara dengan meninggalkan bau busuk.
Sirnalah ujud si Dewi Lintah. Yang tampak hanyalah kerangka manusia. Kerangka
yang telah lapuk dimakan usia.
Pedang Malaikat, si Dewa Linglung dan Bayunanta saling pandang dengan keheranan
Namun sesaat kemudian Nanjar berkata memecah kesunyian yang menggayuti perasaan.
"Maafkan aku, sobat Pedang Malaikat! Aku terpaksa melakukan, karena aku
tak sampai hati membiarkan dia membunuh Bayunanta!"
Pedang Malaikat tak menyahut. Dia masih terpaku memandang kejadian pada di-ri
Jayeng Sari bekas istrinya itu Nanjar segera melangkah menghampiri Bayunanta.
Lalu menepuk-nepuk pundaknya
"Bayunanta! dapatkah kau memaafkan aku?"
Bayunanta mengangguk. Dia memang telah memaklumi hal itu, karena disaat itu tak
bisa berbuat lain selain membunuh si Dewi Lintah. Diam-diam dia bersyukur dapat
lolos dari kematian. Dan hatinya menyaksikan setiap perubahan ujud ibunya.
"Nah! sobatku, dan kau sobat tua Pedang Malaikat. Kukira aku tak dapat berlama-
lama di sini. Bimbinglah Bayunanta untuk mewujudkan cita-citamu. Menjadi
pengganti Raja di Kerajaan Mandragiri!
Rakyat Mandragiri telah kehilangan Ra-janya. Dan memerlukan seorang pemimpin
pemegang tampuk pemerintahan yang telah terbengkalai!"
"Terima kasih atas saranmu, Dewa Linglung! Hehehe...! kelak setelah selesai
tugasku menobatkan Bayunanta menjadi Raja. Aku akan merambah Dunia Persilatan
mencarimu! Kakiku sudah gatal untuk men-gembara lagi!" berkata si Pedang
Malaikat. Nanjar mengangguk-angguk. Hatinya gembira melihat kecerahan wajah si
Pedang Malaikat.
"Aku akan menantikan kemunculanmu Pedang Malaikat!" ucap Nanjar. Dan setelah
meminta diri sekali lagi tubuh Nanjar pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
Dari kejauhan terdengar suara se-nandungnya yang lapat-lapat terdengar ke
telinga si Pedang Malaikat dan Bayunanta.
"Haiii..! nasib manusia seperti pohon kayu.
Tumbuh, besar, tua, dan mati!
Terkadang mati oleh ganasnya api.
Terkadang mati oleh alam
Juga mati karena bencana!
Aku sendiri tak tahu entah matiku kapan"
Apakah masih bisa berjumpa dengan si Pedang Malaikat?"
Suara senandung itu semakin menjauh dan lenyap. Ki Gelagah menarik napas
panjang. Sebutir air mata tergulir di pipinya. Tapi segera berpaling pada
Bayunanta, seraya berkata.
"Mari kita kuburkan kerangka ibumu, nak! Biarlah dia bersemayam untuk
penghabisan kalinya. Semoga dosanya diampuni yang Maha Pencipta!"
Bayunanta mengangguk dengan tersenyum dipaksakan. Walau sebenarnya hatinya
tersayat pedih. Namun dia menyadari bahwa kodrat manusia berada di tangan Tuhan
Se-mesta Alam. Kematian memang milik manusia. Tapi sebelum datangnya maut
bukanlah lebih baik menanamkan amal kebaikan untuk manusia" Bukankah hanya amal itulah
yang bakal menolongnya kelak di hari Akhirat!
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 6 Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Pedang Pembunuh Naga 5