Pencarian

Iblis Gila Pembangkit Arwah 2

Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah Bagian 2


Kekuasaan dihutan
Werid mutlak ditangan Arya Pandan. Karena ketujuh
anak buah Ki Pamutih itupun telah tunduk pada pe-
rintahnya. Tubuh Arya Pandan berkelebat masuk kedalam hu-
tan. Bagi orang biasa pasti akan terkurung dihutan itu tanpa bisa keluar karena
setiap jalan dan pepohonan bentuk dan susunannya sama. Setiap tempat dan jalan
rahasia dikuasai oleh kekuatan ghaib dan ilmu sesat yang merubah pandangan mata
seseorang yang tersesat didalamnya.
Sukarlah diduga kalau dalam hutan Werid terdapat
sebuah istana kecil yang indah. Anehnya di sekeliling istana itu adalah sebuah
pemakaman. Inilah tempat
tinggal Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah. Istana ini takkan
nampak oleh mata biasa. Kare-na diselimuti oleh keghaiban. Akan tetapi bagi Arya
Pandan yang sudah hapal merapal mantera, akan mudah menemukannya.
Ternyata Arya Pandan menuju ke istana ini. Cuma
dalam waktu sepeminuman teh dia tiba ditempat yang
ditujunya, yaitu sebuah kuburan besar. Didepan ku-
buran ini terdapat gapura serta sebuah patung singa.
"Haha..haha... Ki Pamutih! apakah kau masih hi-
dup?" Kepalanya dijulurkan kemulut patung singa
meneriakkan suara memanggil Ki Pamutih. Dibawah
patung singa itulah penjara bawah tanah yang menjadi tempat penjara Ki Pamutih.
Sejenak Arya Pandan menunggu jawaban dengan menempelkan daun telin-
ganya ke mulut patung.
Akan tetapi dia tak mendengar suara sahutan Ki
Pamutih. Arya Pandan kerutkan keningnya. "Hm, apa-
kah dia memang benar-benar sudah mampus?" men-
desis laki-laki ini. Tiba-tiba lengannya bergerak memutar kepala patung Singa.
Terdengar suara berderak.
Lantai dibawah patung itu bergeser membuka. Tam-
paklah sebuah lubang dan tangga undakan yang me-
nuju kelorong bawah tanah.
Tak berayal lagi Arya Pandan segera memasuki lo-
rong. Didalam lorong remang-remang itu terdapat sebuah ruangan kamar. Itulah
penjara dibawah kuburan besar, tempat memenjarakan Ki Pamutih. Dengan
mengungkit sebuah alat seperti tongkat yang menem-
pel didinding, tampak menganga.
Cahaya lampu remang-remang tampak dari dalam
ruangan tertutup itu. Lubang itu tak terlalu besar, tak lebih dari sebesar
kepalan tangan.
Melalui lubang itu Arya Pandan mengintip ke da-
lam. Terlihatlah sesosok tubuh dalam keadaan terbe-lenggu tangan dan kakinya
oleh rantai yang menempel di dinding. Tubuh itu menyender di dinding ruangan tak
bergerak-gerak. Keadaannya sudah mirip dengan
tengkorak hidup. Tulang-tulang dadanya bertonjolan.
Jelaslah kalau kakek ini amat tersiksa dalam penjara bawah tanah ini.
Rasa penasaran untuk melihat keadaan Ki Pamutih
membuat Arya Pandan membuka pintu besi penjara
itu. Sesaat dia telah melangkah masuk. Ketika memeriksa ternyata Ki Pamutih
memang telah tewas. Racun maut yang dicekokkan pada kakek ini cuma mengulur
umurnya tak lebih dari tujuh bulan.
Hal itu diluar dugaannya. Akan tetapi dia benar-
benar yakin setelah memeriksa kedua kali untuk
membuktikan bahwa Ki Pamutih benar-benar telah
mati. Dengan masygul Arya Pandan melangkah keluar.
Sebenarnya dia tak mengharapkan kematiannya begitu cepat, karena dia masih
memerlukannya untuk meng-gapai cita-citanya.
Tiba-tiba dia merandek. Langkahnya terhenti, kare-
na mendadak dia begitu khawatir kalau Ki Pamutih telah menipunya.
*** DELAPAN Akan tetapi sudah terlambat. Mata mayat Ki Pamu-
tih tiba-tiba membuka. Lengannya bergerak, mengge-
tar. Tiba-tiba mulut Ki Pamutih keluarkan suara mendesis. Lengannya menghantam
punggung Arya Pandan
disertai bentakan keras.
"Mampuslah kau bocah durhaka!"
Angin panas menderu dibelakang punggung Arya
Pandan. Laki-laki ini terkesiap bukan main. Kecurigaannya datang bersamaan
dengan serangan menda-
dak yang diluar dugaan. Tentu saja membuat Arya
Pandan kaget setengah mati.
Namun dia masih berusaha menolong jiwanya. Begi-
tu merasai angin keras menderu dibelakang punggung, tahulah dia kalau dia
diserang. Detik itu juga dia gu-
lingkan tubuhnya ke lantai dengan gerakan secepat kilat. Terdengar suara
mengguruh. Tembok penjara itu ambrol terkena pukulan tenaga dalam Ki Pamutih.
Suara gemuruh itu diselingi oleh teriakan Arya Pandan.
Tubuhnya terlempar membentur tembok. Bahu ka-
nan laki-laki ini sempat terserempet pukulan si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Sakitnya bukan alang-kepalang. Saat itu Arya Pan-
dan terhuyung-huyung. Kepalanya serasa diberati beban ribuan kati. Bahu sebelah
kanannya menghitam
hangus. Sakitnya seperti orang dikuliti.
Namun dia sadar kalau dirinya dalam bahaya besar.
Dalam kepulan debu tampak bayangan sesosok tubuh
pemuda ini berkelebat keluar ruangan melalui reruntuhan. Dengan menggelindingkan
tubuh beberapa kali dia berhasil keluar dari reruntuhan ruangan kamar
tahanan bawah tanah itu. Ketika muncul dari dalam
lubang rahasia, tubuhnya dalam keadaan terhuyung.
Arya Pandan kertak gigi menahan sakit. Detik itu
juga dia gerakkan tangannya merogoh saku baju. Se-
buah benda dilemparkan kedalam lubang rahasia itu
dimana Ki Pamutih masih berada didalamnya.
Bhlarrr! Terdengarlah suara ledakan hebat. Kuburan besar
itu amblas menimbun ruang penjara bawah tanah itu.
Sedangkan Arya Pandan telah berkelebat melompat
jauh menghindari ledakan.
Laki-laki itu terhuyung memegangi bahu kanannya
dengan wajah menyeringai puas. Matanya menatap
pada kuburan tua yang telah amblas menimbun tubuh
Ki Pamutih. "Keparat! Nyaris aku yang mampus! Kakek buta itu
sungguh luar biasa ilmunya, hingga dapat membuat
seolah-olah dia sudah tewas. Hahaha... kini kau benar-
benar jadi penghuni tanah, Iblis Gila!"
Dengan hati mendongkol dan tubuh terhuyung-
huyung dia memasuki istana.
Akan tetapi rasa nyeri pada punggung dan dadanya
membuat dia cepat-cepat duduk bersila untuk menya-
lurkan hawa murni dari tenaga dalamnya mengurangi
rasa sakit. Lengannya menjumput dua butir obat pu-
lung, lalu cepat-cepat ditelannya. Tampak dari bibir laki-laki ini menetes darah
kental kehitaman, pertanda dia terluka dalam cukup parah.
Saat itu tujuh sosok tubuh berpakaian hitam men-
genakan topeng warna hijau bermunculan.
Itulah tujuh anak buah Ki Pamutih yang telah tun-
duk padanya. "Heh! kemana saja kalian!?" bentak Arya Pandan.
"Kami baru saja menawan seorang gadis! Menden-
gar suara ledakan kami cepat-cepat kemari khawatir terjadi apa-apa di
istana...." menyahut salah seorang.
"Hm, apakah kalian telah melihat kedatanganku?"
tanya Arya Pandan.
"Ya! kami melihat!" ketujuh orang itu sama men-
gangguk. "Mana tawanan kalian" Apakah sudah kalian ma-
sukkan dalam kamar tawanan?"
"Sudah, Ketua...!" sahut salah seorang, dan yang
lainnya mengangguk.
"Bagus! Kembalilah jalankan tugasmu, aku dalam
keadaan terluka! Iblis tua Ki Pamutih Ketua lama kalian sudah mampus terkubur
dalam kamar penja-
ranya! Aku sudah tak membutuhkan dia lagi! Nah ka-
lian pergilah jalankan tugas!" Lengan Arya Pandan
mengibas. Akan tetapi ketujuh orang itu tak beranjak pergi da-ri situ. Mereka sama terdiam
saling pandang sesama kawannya.
Arya Pandan kerutkan keningnya.
"He" mengapa kalian tak cepat angkat kaki" Apa-
kah sudah tak menurut perintahku lagi?" bentaknya keras.
Ketujuh orang itu sama menjura. Dan salah seorang
berkata. "Kami sudah sepakat untuk mengundurkan diri!
Kami kira hari inilah yang paling tepat waktunya. Kami takkan mencampuri urusan
Ketua lagi!"
Tentu saja kata-kata itu membuat Arya Pandan ter-
tegun. "Hm, aneh" Ada apa ini" Bukankah aku telah men-
janjikan pangkat dan kemewahan bila kelak di kemu-
dian hari aku berhasil merebut tahta kerajaan Telaga Mandiri" Mengapa kalian
kini tiba-tiba mau mengundurkan diri?"
Bertanya Arya Pandan dengan menatap ketujuh
orang dihadapannya.
"Kami....kami...kami berubah niat, dan tak mengha-
rapkan apa-apa lagi!" salah seorang menyahut dengan suara tergagap. Jelas wajah
dibalik topeng hijau itu memucat.
"Jadi kalian tetap akan mengundurkan diri?" tanya
Arya Pandan. "Benar!" sahut mereka serempak.
Sejurus Arya Pandan terdiam. Tapi segera buka su-
ara. "Baik! aku mengizinkan kalian. Mulai hari ini kalian bukan anggota ku lagi.
Silahkan angkat kaki keluar dari wilayah hutan Werid!"
Berkata Arya Pandan dengan suara dingin.
"Terima kasih, Ketua....! serempak mereka sama
menjura membungkukkan tubuh. Arya Pandan cuma
mengangguk dengan wajah sinis.
Ketujuh laki-laki bertopeng itu balikkan tubuh, dan
melangkah keluar istana.
Tak lama ketujuh laki-laki bertopeng itu telah berkelebatan berlari menuju jalan
rahasia yang menuju keluar dari hutan Werid.
Arya Pandan keluarkan tertawa suara dingin. Tiba-
tiba dia membaca mantera. Sepasang telapak tangan-
nya bergerak menyatu.
Uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya.
Mendadak dia melompat keluar istana. Kedua lengan-
nya terjujur diputarkan ke arah pemakaman disekitar istana itu. Bibirnya komat-
kamit mengucapkan mantera. "Arwah-arwah gentayangan, cegat ketujuh orang
pembantuku itu! Jangan biarkan mereka keluar dari hutan Werid ini. Kecuali
kematian yang akan menjem-putnya!"
Selesai berkata Arya Pandan masuk kedalam istana.
Sementara keadaan disekeliling istana terjadi keane-han. Bayangan-bayangan putih
bermunculan dari ma-
kam itu. Itulah bentuk-bentuk sosok tubuh yang me-
nyeramkan! Arwah-arwah gentayangan itu telah di-
kendalikan oleh Arya Pandan. Ya! dia memang telah
berhasil menguasai ilmu Pembangkit Arwah.
Dengan suara menggerang dihidung makhluk-
makhluk alam halus itu meluruk saling susul menge-
jar ke arah jalan yang dilalui ketujuh laki-laki bertopeng tadi.
Cuaca mulai meremang. Sebentar lagi malam akan
tiba. Suara-suara aneh membangunkan bulu roma ter-
dengar dari sekitar hutan Werid.
Suasana menyeramkan mengembara disenja tema-
ram yang penuh tragedi itu.
Sementara bau busuk menebar membuat perut se-
rasa mual. Dari balik ruangan istana yang mulai nampak re-
mang itu terdengar suara tertawa Arya Pandan. Lapat-lapat terdengar rintih dan
keluhan seorang wanita ter-bawa desahan angin malam....
*** SEMBILAN Rangga Weni menggeliat.... Mulutnya keluar desisan dan rintih tertahan. Sepasang
matanya terpejam. Sekujur tubuhnya bermandikan peluh.
Sesaat dia meronta-ronta seperti sekarat. Tapi tak lama dia terdiam lunglai.
Sekujur tulang-tulang tubuhnya serasa dilolosi.
Tenaganya seperti lenyap musnah. Dan dia mengge-
letak tak berdaya. Bau mayat tak sedap itu masih
mengitari hidungnya.
Pelahan.. dan pelahan dia menggerakkan kelopak
matanya. Pikirannya mulai jernih. Dia merasa terbaring disatu pembaringan
berkasur empuk. Ada bau ha-
rum kembang tercium dihidungnya. Agak melegakan
pernapasannya dari bau busuk yang mengganggu hi-
dung. Akan tetapi dia belum berani membuka kelopak,
matanya. Yang terbayang dalam kilasan di benaknya
adalah peristiwa yang dialami.
Ketika dia memasuki wilayah hutan Werid, dia ter-
paku. Karena setiap dia melangkah pepohonan selalu mengikutinya. Jantungnya
berdegup keras saat itu.
Hawa seram mengembara dihatinya. Dia mulai ra-
gu. Matanya nanar melihat hal yang tidak wajar.
Dia mulai merasa takut. Bulu tengkuknya mere-
mang. Apakah dia akan membatalkan niatnya" Tulang-
tulang persendian sekujur tubuhnya serasa lemah seperti di lolosi. Dia tak mampu
bangkit berdiri.
Lenyaplah kegagahannya untuk menyatroni Sripan-
du, murid si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Pada saat itu sekilas dia melihat munculnya bebe-
rapa sosok bayangan. Namun dia telah kehilangan kekuatan untuk menjaga dirinya
dari segala kemungki-
nan. Tahu-tahu dia merasa tengkuknya ditotok orang.
Dia roboh dengan keluarkan keluhan tertahan. Selanjutnya matanya nanar.
Dia tak tahu apa-apa lagi. Dia cuma merasa tubuh-
nya seperti terbang.
Itulah hal yang diingatnya. Tapi mengapa dia kini
dalam keadaan terbaring dipembaringan empuk" Apa-
kah yang telah terjadi dengan dirinya"
Dia seperti baru saja mengalami suatu mimpi bu-
ruk. Mimpi yang amat menakutkan sekali.
Kelopak mata Rangga Weni semakin cepat bergerak,
dia sudah tahan untuk membukanya.


Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tersentak kaget ketika dia mendengar suara laki-
laki didekatnya.
Ketika Rangga Weni membuka kelopak matanya,
seketika dia jadi terperangah kaget. Dilihatnya sesosok tubuh tegap berkeringat
berdiri memandangnya.
Bibirnya tersenyum menyeringai. Sepasang mata
laki-laki itu memandang tajam seperti mau menguliti tubuhnya.
Untuk kedua kalinya dia tersentak kaget. Kali ini
tiada alang-kepalang karena dia melihat keadaan tubuhnya yang tak tertutup
sehelai benangpun.
Rangga Weni menjerit terkejut. Lengannya me-
nyambar kain selimut. Sekejap dia telah melompat ke-sudut pembaringan.
"Hahaha.....jangan terkejut, adik manis! Inilah
ruangan kamarku. Indah bukan" Tak perlu khawatir,
kau tak akan hamil! Seandainya hamilpun kau bisa
menggugurkan kandunganmu!" berkata Arya Pandan
tertawa. "Hah" keparat! Kau... kau telah...?"?"
"Hahaha.... sudahlah! tubuhmu toh tidak habis.
Kau sungguh cantik dan menggairahkan, nona Rangga
Weni! Aku benar-benar haha...ha..."
Kalau saja ada halilintar menggelegar dimalam itu
dia tak akan begitu terkejut. Akan tetapi menghadapi kenyataan itu, Rangga Weni
seperti mendengar ribuan halilintar menggelegar ditelinganya. Kepalanya terasa
menjadi berat ribuan kati. Tiba-tiba dia menjerit sekeras-kerasnya.
Lalu tubuhnya terkulai roboh tak sadarkan diri.
Rangga Weni tak tahu apa-apa lagi. Bahkan untuk
kedua kalinya ketika Arya Panda menyeringai buas
menikmati tubuhnya dia tak lagi mengetahui.
Malam semakin kelam. Suara-suara menyeramkan
seperti melagukan irama setan terdengar di sekeliling istana dalam hutan Werid
yang angker itu.
Raja siang telah menampakkan diri diufuk timur.
Kira-kira sepenanak nasi, dari arah utara muncul
bayangan hitam melintas di atas bukit. Ternyata itu adalah bayangan seekor
burung rajawali raksasa.
Burung besar itu melayang tinggi dan merendah.
Segera tampaklah seorang pemuda duduk menung-
gang dipunggungnya.
Itulah burung Rajawali yang bernama Jabur. Siapa
lagi penunggangnya kalau bukan Nanjar mengawasi ke arah depan dimana terbentang
hutan rimba belantara.
"Itulah hutan Werid! Hayo cepat kita kesana, Ja-
bur!" berkata Nanjar seraya menepuk-nepuk leher burung peliharaannya.
Si Jabur mengerti. Dia terbang cepat ke arah yang
ditunjuk Nanjar. Sebentar kemudian dia telah memu-
tari hutan Werid.
"Jabur! terbanglah agak merendah!" perintah Nan-
jar. Burung raksasa itu menurut. Lima tombak dari
atas tanah, Nanjar tiba-tiba melompat turun.
Tubuhnya meletik indah. Lengannya terpentang.
Hebat! Kini si Dewa Linglunglah yang melakukan sikap
"terbang". Dengan gerakan ringan dia turun dengan jejakkan kakinya ditanah
berumput tebal.
Sementara itu si Jabur masih tetap berputar-putar.
Nanjar keluarkan suara suitan nyaring dari mulutnya dua kali. Si Jabur seperti
mengerti. Dia terbang men-jauh. Melayang ke atas sebuah bukit kecil. Dipuncak
bukit itu dia mendarat.
Sementara itu Nanjar mulai pentangkan mata lebar-
lebar untuk memeriksa isi hutan itu.
"Aku harus menyelidiki seluruh rahasia hutan We-
rid! Kukira Rangga Weni pasti kemari. Bukankah dia mau membalaskan sakit hati
pada orang yang membunuh Soma?" berkata Nanjar dalam hati.
Sesaat kemudian Nanjar telah melompat dari tem-
pat itu. Dengan mengerahkan segenap kekuatan ba-
thin yang dimilikinya dia berusaha mencari jejak
Rangga Weni dan mencari tahu dimana letak sarang
utama Ki Pamutih alias si Iblis Gila Pembangkit Arwah.
Terkejut Nanjar ketika dia menjumpai tujuh sosok
tubuh berkaparan tak bernyawa. Ketujuh orang itu tewas dengan leher terkoyak
seperti terkena cengkraman binatang buas.
"Ini pasti bukan perbuatan binatang buas. Akan te-
tapi akibat perbuatan si Iblis Gila Pembangkit Arwah!"
sentak Nanjar dengan terkejut.
Nanjar menyingkapkan kedok kain hijau pada se-
tiap mayat. Tampak masing-masing wajah dalam kea-
daan membiru. Dari lubang hidung, telinga dan mata
serta mulutnya tampak mengalirkan darah hitam yang sudah kental.
Diam-diam Nanjar telah menghunus senjatanya Pe-
dang Mustika Naga Merah. Cahaya merah segera tam-
pak berkilauan disertai hawa dingin mencekam yang
keluar dari badan pedang mustika itu.
Aneh! Nanjar hampir tak percaya. Begitu dia men-
cabut pedang mustikanya, keadaan dalam hutan itu
berangsur-angsur berubah. Pohon-pohon yang rapat
membentuk barisan yang sama di sekeliling tempat itu lenyap. Tampaklah samar-
samar sebuah istana kecil
dikejauhan. Disekelilingnya penuh dengan kuburan.
Disana-sini banyak jalan-jalan kecil yang menuju
keperbagai arah.
"Aneh!" Mengapa terjadi perubahan seperti ini?" pikir Nanjar dalam benak. Dia
pernah tersesat di dalam hutan itu. Bahkan sampai setengah hari memutari isi
hutan, tapi tak menjumpai adanya sebuah istana di
dalam hutan ini. Kini begitu dia mencabut pedang
mustika Naga Merah, semua yang dihadapannya men-
galami perubahan.
Tahulah dia kalau Pedang Mustika Naga Merah te-
lah melunturkan ilmu hitam yang menyesatkan untuk
mengelabuhi mata orang di dalam hutan Werid.
Melihat istana kecil yang berada di tengah pekubu-
ran itu, hati Nanjar tercekat untuk menyelidiki. Dia yakin kalau itulah tempat
tinggal Ki Pamutih.
Tak ayal dia sudah melompat ke arah istana itu.
Bagi si Dewa Linglung yang sudah kepalang nekat
untuk menyelidiki sampai tuntas tempat yang menjadi tempat Iblis Gila Pembangkit
Arwah, sudah tak mempedulikan rasa takut lagi. Apa lagi pedang mustikanya telah
tergenggam di tangan. Bahkan telah dilihatnya dengan mata-kepala sendiri akan
kehebatan pedang
mustika itu. Dengan berindap-indap dia memeriksa setiap ruan-
gan. Kembali dia terperangah melihat tiga sosok mayat
terbujur dihadapannya. Kali ini mata Nanjar membe-
liak seperti mau keluar dari kelompaknya.
Apa yang dilihatnya adalah tiga mayat wanita, da-
lam keadaan tergantung ditiang penglari. Salah satu dari tiga mayat itu
adalah... Rangga Weni.
"Adik Rangga Weni!?" teriak Nanjar dengan suara
menggeletar. Lidah Nanjar serasa kelu. Matanya mendelong me-
natap sosok mayat itu. Jelas mayat wanita itu adalah mayat Rangga Weni. Dengan
menjerit keras Nanjar enjot tubuhnya untuk melompat.
Des! Pedang Mustika Naga Merah telah menyambar pu-
tus tali pengikat leher mayat wanita itu.
Sekejap tubuh wanita itu telah dalam pondongan-
nya. "Rangga Weni! Rangga Weni! Siapa iblisnya yang te-
lah menganiaya dirimu" katakanlah! akan kucincang
dia sampai lumat!" berteriak-teriak Nanjar dengan wajah merah padam. Hampir-
hampir dia menangis se-
senggukan. Namun setitik air bening meluncur turun dari sudut mata pemuda ini.
"Pembunuh terkutuk! Sungguh sadis perbuatan-
nya!" menggumam Nanjar sambil menggigit bibir.
Tiba-tiba dia menengadah ke atas. Dua mayat wani-
ta yang tergantung itu salah satunya dalam keadaan perutnya menggembung.
Dapat dipastikan wanita itu dalam keadaan hamil.
Nanjar kertak gigi, tak dapat menahan perasaan ha-
tinya melihat kekejaman yang tiada berperikemanu-
siaan itu. Tubuhnya melesat. Dan...des! des! Dia telah mem-
babat putus tali pengikat leher mayat. Dengan gerakan cepat dia telah menangkap
kedua mayat itu.
Untuk selanjutnya dia kembali melompat turun.
Pelahan-lahan dia membaringkan kedua mayat wa-
nita itu. "Kejam! sungguh kejam biadab!" memaki Nanjar
dengan wajah merah padam. Tiba-tiba Nanjar berteriak keras-keras.
"Iblis Gila Pembangkit Arwah! manusia iblis telen-
gas! keluarlah kau! Aku akan lumatkan tubuhmu!"
Akan tetapi beberapa kali Nanjar berteriak-teriak, tetap tak ada siapa-siapa
yang muncul diri.
"Iblis edan Ki Pamutih! perbuatan terkutukmu akan
mendapat balasan setimpal! Keluarlah untuk meneri-ma kematian!" kembali Nanjar
berteriak. Akan tetapi cuma suaranya sendiri yang terdengar
berpantulan. "Heh! Apakah manusia iblis itu telah meninggalkan
tempat ini?" pikir Nanjar dalam hati. Sejenak dia menatap pada mayat Rangga
Weni. Dileher jenazah itu
tertancap sebuah jarum hijau. Pada keliling luka dile-hernya terdapat tanda
kehitaman. Serta-merta dia mencabut jarum maut yang telah
merenggut jiwa gadis ini.
Diperhatikan baik-baik senjata rahasia itu. Jarum
itu berbentuk segi tiga memanjang. Ujungnya agak ge-peng membentuk seperti
kipas. "He" aku pernah melihat senjata rahasia macam
ini!" sentak Nanjar terkejut. Segera dia teringat akan satu peristiwa di Kota
Raja. Ketika dia pada beberapa bulan yang lalu memasuki sebuah restoran yang
cukup ternama. Di saat dia tengah bersantap dan memesan maka-
nan, seorang laki-laki gemuk duduk dibangku sebe-
lahnya pada meja disudut kiri restoran.
Laki-laki itu mengenakan topi tudung. Tampaknya
agak mencurigakan, karena dia bersantap dengan ter-buru-buru.
Tapi Nanjar tak pedulikan urusan orang lain.
Mendadak muncul tiga orang perwira Kerajaan. Me-
reka adalah para perwira Kerajaan Telaga Mandiri.
Secara kebetulan entah memang sengaja. Ketiga
perwira Kerajaan itu mendapat tempat didepan meja
laki-laki gemuk bertudung itu.
Nanjar memperhatikan salah seorang dari ketiga
perwira kerajaan itu sering melirik pada si laki-laki gemuk bertudung.
Tak lama si laki-laki gemuk bertudung selesai ber-
santap. Seperti tergesa-gesa dia membayar harga makanan. Lalu cepat berlalu dari
restoran. Dari sekilas pandangan saja, Nanjar telah mengeta-
hui kalau salah seorang laki-laki dari tiga perwira Kerajaan itu memang tengah
mengincar korban. Yaitu si laki-laki gemuk bertudung itu. Karena mendadak,
begitu si laki-laki gemuk itu keluar, perwira kerajaan itu mengatakan perutnya
mulas. Dia minta diri untuk kebelakang.
Nanjar yang ingin tahu cepat membayar harga ma-
kanan. Lalu keluar dari restoran. Dengan gerakan cepat dia menyelinap untuk
mencari jejak si laki-laki gemuk tadi. Tampak oleh Nanjar laki-laki gemuk itu
berjalan cepat menuju arah selatan. Matanya yang jeli segera dapat menangkap
bayangan sosok tubuh perwira tadi yang permisi mau kebelakang.
Benar dugaan Nanjar, perwira itu membuntuti si la-
ki-laki gemuk. Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu ditempat yang
sunyi yang dilewati laki-laki gemuk itu terdengar jeritan parau tertahan. Nanjar
memburu. Ketika dia tiba ditempat itu si laki-laki gemuk telah tewas. Dilehernya
tertancap jarum hijau yang merenggut nyawanya.
Baru saja Nanjar mau membentak untuk mengejar
bayangan tubuh perwira kerajaan itu, mendadak se-
buah sinar rahasia kembali meluncur kearahnya.
Untung dia berlaku gesit. Dengan pura-pura terke-
na senjata rahasia, dia mengeluh lalu pura-pura roboh. Senjata itu terselip
disela kedua jarinya.
"Heh! mampus! siapapun tak berhak mencampuri
urusan orang-orang Kerajaan!" terdengar suara perwi-ra kerajaan itu memaki.
Nanjar menahan napas. Un-
tung perwira itu tak memeriksa dirinya mati atau hidup. Dia terus berkelebat
cepat kembali ke restoran.
"Hm, belum saatnya aku membekuknya. Aku tak
tahu persoalan. Apa kesalahan orang gemuk ini?" berkata Nanjar dalam hati.
Dengan cepat dia menyelinap pergi setelah menyimpan jarum maut itu dilipatan
bajunya. Demikianlah kisah yang dingatnya. Dia telah me-
nyelidiki siapa adanya perwira Kerajaan itu. Ternyata dia bernama ARYA PANDAN.
Perwira kerajaan itu ternyata masih ada pertalian saudara dengan Raja. Yaitu
keponakan Raja Kerajaan Telaga Mandiri. Siapa
adanya laki-laki gemuk itu" Dia adalah bekas seorang pelayan yang dipecat dari
keluarga Arya Pandan. Pelayan itu banyak tahu rahasia keluarga Arya Pandan yang
membenci Raja. Bahkan berambisi merebut tahta Kerajaan. Kemunculan pelayanan itu
direstoran ternyata telah dikuntit oleh Arya Pandan yang menyamar menjadi
perwira biasa. Padahal dia adalah seorang kepala Perwira Kerajaan. Demikianlah
kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya Pandan untuk menghabisi nyawa pelayan
gemuk itu demi membungkam mulut.
SEPULUH Pada saat Nanjar tengah tercenung itu tiba-tiba terdengar suara tertawa
dibelakangnya. Dengan gerakan kilat dia balikkan tubuh. Pedang-
nya siap dipergunakan. Akan tetapi dia terperangah, karena sosok tubuh
dihadapannya adalah seorang nenek tua keriput berambut putih.
"Nini Galunggung!" sentaknya diantara girang dan
terkejut. "Hihihi... nasib kalian memang buruk, karena mu-
sibah telah menimpa kalian. Gadismu itu mati muda, karena ketelengasan manusia
biadab yang mabuk kekuasaan juga berwatak jahat. Akan tetapi kau salah terka
kalau orang yang membunuhnya adalah si Iblis Gila Pembangkit Arwah Ki Pamutih.
Karena dia sendiri sudah menjadi makanan cacing tanah dibunuh manusia telengas
itu!" "Siapakah maksudmu, Nini?" sentak Nanjar terke-
jut. Dia menatap pada wajah keriput yang telah menolongnya keluar dari hutan
Werid beberapa hari yang la-lu. "Dialah orang yang bernama Arya Pandan! anak
angkat Patih Arya Bandura yang berambisi merebut
kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri. Keadaan dalam


Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerajaan memang semrawut. Sebaiknya kita kaum
pendekar memang tak mencampuri urusan itu, karena
kita hanya rakyat biasa. Akan tetapi kejahatan manusia yang melampaui batas
tidaklah bisa kita biarkan begitu saja!" ujar nenek ini dengan suara tandas
namun berwibawa.
"Benar, Nini...! aku sependapat denganmu!" Nanjar membenarkan. Dalam hati diam-
diam Nanjar berkata.
Jarum hijau ini memang milik Arya Pandan! Dugaanku
tidak meleset, tapi sungguh diluar dugaan kalau manusia itu mampu membunuh Ki
Pamutih si Iblis Gila
Pembangkit Arwah!"
"Apakah Nini sudah memeriksa bahwa Arya Pandan
sudah angkat kaki dari tempat ini?" bertanya Nanjar.
"Ya! aku yakin! Tapi hutan Werid ini masih men-
gandung kekuatan ghaib dari ilmu hitam Arya Pan-
dan!" sahut Nini Galunggung.
"Heh" Jadi dia telah mewarisi ilmu si Iblis Gila itu?"
sentak Nanjar terkejut.
"Benar apa yang kau katakan! Sebaiknya kau sege-
ra semayamkan ketiga jenazah itu, dan segera tinggalan tempat ini. Aku akan
berjaga-jaga selama kau be-kerja!" berkata si nenek dengan serius.
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nini...!" sahut
Nanjar dengan girang. Tapi nada wajahnya masih me-
nampakkan kesedihan karena kematian Rangga Weni.
Ditatapnya wajah jelita gadis itu yang memucat. Seolah-olah dara itu tidak mati,
karena seperti tidur lelap.
"Adik Rangga Weni...! maafkan aku. Haih! aku tak
dapat menjagamu. Maafkan aku kakek Raja Penge-
mis...!" berkata Nanjar pelahan dengan hati sedih.
Tak berayal Nanjar segera pondong satu persatu ke-
tiga jenazah itu.
Salah seorang dari mayat itu adalah Sripandu. Se-
dang mayat gadis yang satu lagi Nanjar tak mengenalnya.
Selama menggali tanah untuk memakamkan ketiga
jenazah itu Nanjar teringat pada Wintari.
"Ah, dimana gerangan adanya gadis itu" apakah dia
telah pula menjadi korban biadab itu?" pikir Nanjar dalam benak.
Tak lama selesailah Nanjar melakukan penguburan
ketiga jenazah itu.
Di depan makam Rangga Weni Nanjar tertunduk.
Lagi-lagi dia berkata perlahan dengan suara berat.
"Semoga Tuhan menerima arwahmu disisiNya.
Maafkan aku adik Rangga Weni. Ternyata Tuhan
menghendaki kita tidak berjodoh untuk menjadi pa-
sangan suami istri..."
Selesai berdo'a Nanjar bangkit berdiri. Dilihatnya Nini Galunggung masih berdiri
menatapnya. Seakan-akan nenek itupun tampak bersedih dengan nasib tragis ketiga
gadis itu, terutama Rangga Weni.
"Kemana tujuan anda, Nini Galunggung" Apakah
anda punya pendapat manusia telengas itu akan kem-
bali kemari?" tanya Nanjar, seraya melangkah mendekati.
"Benar! Firasatku mengatakan dia masih akan
kembali kemari! Sebaiknya kita menunggu dia sampai tiba saat kemunculannya!"
Baru saja Nini Galunggung selesai berkata telah
terdengar suara tertawa terbahak disusul berkelebatnya dua sosok tubuh.
Bukan main terkejutnya Nanjar karena sosok tubuh
itu memang Arya Pandan. Akan tetapi yang lebih
membuat dia terkejut adalah sosok tubuh yang men-
dampinginya. Dia seorang gadis berbaju putih, yang tak lain dari Tari, si gadis
yang telah kehilangan ayahnya.
Anehnya gadis itu menggandeng tangan Arya Pan-
dan erat-erat seperti layaknya dua orang kekasih yang tak mau berpisah.
"Hahahaha.... Sungguh aku tak kecewa berhadapan
dengan seorang tokoh persilatan yang mempunyai na-
ma kesohor. Dewa Linglung! Tempo hari kau bisa lolos dari tanganku karena
pertolongan perempuan tua ge-nit ini! Tapi hari ini jangan harap kau bisa
meloloskan diri dari kematian!"
"Tutup mulut kotormu, manusia telengas!" mem-
bentak Nanjar. Dia sudah melompat mendekati Arya Pandan. Pe-
dang Naga Merah dilintangkan di atas dada.
"Hihihi....serahkan orang ini padaku, suamiku! Biar aku yang mengirim nyawanya
keliang Akhirat!" Tiba-tiba Tari berkata dingin. Matanya menatap tajam pada
Nanjar. "Tari!" bagaimana mungkin manusia iblis itu adalah suamimu?" berkata Nanjar
dengan heran. Nanjar melihat ketidak wajaran pada diri gadis itu. Sementara itu
Arya Pandan tertawa gelak-gelak, matanya menatap
pada Nini Galunggung.
"Hahaha...bagus! Biar aku yang menghadapi nenek
peot ini!" berkata Arya Pandan.
"Hahaha... lebih baik kau buka kedok keriputmu,
nenek peot! Aku malas bertarung dengan orang yang
menyamar seperti itu. Kau pasti punya wajah cantik!
Ataukah kalau perlu aku yang akan menguliti kulit
mukamu?" "Manusia kurang ajar!" membentak Nini Galung-
gung. *** SEBELAS Sebelah tangan Nini Galunggung terangkat. Me-
nyambarlah kilatan cahaya perak menghantam ke arah dada Arya Pandan. Akan tetapi
Arya Pandan telah siap menghadapi. Dia gerakkan sepasang lengannya melingkar.
Uap hitam memapaki serangan itu.
Terdengar suara bagai obor amblas kedalam air.
Hebat kekuatan ilmu Menghalau Petir dari Arya Pan-
dan, membuat Nini Galunggung berseru kagum.
Tapi dia telah melompat untuk menerjang jurus-
jurus pukulannya yang lebih bahaya. Arya Pandan
mengimbangi terjangan lawannya dengan gerakan silat yang aneh. Karena terkadang
tubuhnya lenyap, terkadang muncul dengan tubuh yang terpecah menjadi be-
lasan tubuh. Ilmu hitam Arya Pandan membuat Nini
Galunggung cukup sulit menyarangkan pukulannya.
Bahkan serangan-serangan balik dari Arya Pandan lebih dahsyat dan berbahaya.
Berkali-kali Nini Galunggung menyarangkan puku-
lannya, akan tetapi lawan selalu menggunakan ilmu
hitam untuk menghindar. Mulut Arya Pandan tampak
selalu berkemak-kemik membaca mantera-mantera.
Sementara itu Nanjar terpaksa menghadapi terjan-
gan Wintari dengan mengelakkan diri. Dengan mem-
pergunakan ilmu Kera dan Ular dengan mudah Nanjar
menghindar. Melihat demikian, Wintari gusar. Tiba-
tiba dia telah mencabut pedangnya. Terkejut Nanjar karena itulah pedang Inti Es
milik Rangga Weni.
Nanjar yang telah memasukkan pedang Mustika lagi
dalam menghadapi Wintari terpaksa harus hati-hati
menghadapi serangan Wintari yang mengandung
maut. Selang dua puluh jurus, Nanjar mengatur siasat un-
tuk membuat roboh orang tanpa melukainya.
Dengan jurus Biawak Sakti Membongkar Bukit dia
mengubah serangan.
Sambaran pedang Inti Es telah diimbangi dengan
gerakan jurus Ilmu Bangau.
Pertarungan memang telah terpecah menjadi dua
tempat yang agak berjauhan. Nanjar memang sengaja
membuat tempat pertarungan menjadi terpisah.
Dia harus menyelamatkan Wintari dari pengaruh
kekuatan ilmu hitam Arya Pandan. Dia yakin gadis itu kena pengaruh manusia iblis
itu yang telah mewarisi ilmu-ilmu Ki Pamutih.
Tiba-tiba Wintari menjerit, karena gerakan menotok dari jurus Ilmu Bangau Nanjar
berhasil mengenai sasaran.
"Wintari! sadarlah! kau kena pengaruh ilmu hitam
Arya Pandan. Kalau kau mau mengetahui siapa orang
yang telah membunuh ayahmu, dialah orangnya!" te-
riak Nanjar. Nanjar sengaja memancing dengan hal
yang tak diketahuinya sama sekali. Tujuannya adalah untuk memulihkan pengaruh
ilmu hitam yang menguasai syaraf Wintari. Nanjar sendiri heran Mengapa
Wintari tampaknya telah berobah menjadi orang yang tak wajar" Bahkan ilmu-ilmu
silatnya berbeda dengan yang biasa dimilikinya.
"Keparat!" terdengar bentakan keras. Tahu-tahu
sambaran sinar hijau membumbung ke arah Nanjar.
Itulah serangan Arya Pandan yang menyerang dengan
serangkum senjata rahasianya.
Whuuuk! Trrang!
Kibasan sinar merah membuyarkan rangkuman si-
nar hijau dari jarum-jarum maut yang mengandung
racun itu. Ternyata ditangan Nanjar telah tercekal pedang Mustika Naga Merah.
Akan tetapi sambaran tombak pendek Arya Pandan
tak dapat ditangkis Nanjar, karena bersamaan dengan itu pedang Wintari menyerang
ke arah tenggorokan.
Buk! Nanjar mengeluh. Tubuhnya jatuh terlempar bergu-
lingan. Dia berhasil mengelakkan serangan Wintari, akan tetapi sambaran tombak
Arya Pandan tak dapat
di elakkan. Untunglah pada detik itu Nanjar sempat menangkis dengan buntalan
kainnya. Dengan pengerahan tenaga dalam, buntalan kain
itu menjadi sekeras batu.
Akan tetapi tak urung tubuh Nanjar terlempar. Dan
tak urung tombak Arya Pandan menembus buntalan
kain dan menancap dua inci dikulit dada pemuda itu.
Pada saat itu terdengar bentakan keras Nini Ga-
lunggung yang menghantamkan serangannya.
"Jangan curang!"
Sinar perak dan pelangi menyambar laksana kilat.
Namun lagi-lagi uap hitam telah menghalangi serangan itu. Arya Pandan cuma
membaca mantera dengan
menggerakkan tangannya, tahu-tahu muncul uap hi-
tam yang membentengi tubuhnya laksana dinding baja yang tak dapat ditembus.
Bukan main terkejutnya Nanjar maupun Nini Ga-
lunggung, karena bersamaan dengan lenyapnya uap
hitam itu, tubuh Arya Pandan pun lenyap.
Saat itu juga Nanjar teringat pada Wintari. Dilihatnya gadis itu tengah terpaku
menatap Nanjar. Sepa-
sang matanya tampak redup seperti menyesal telah
melakukan serangan yang nyaris membuat jiwa Nanjar melayang.
"Adik Wintari...! syukurlah kau sadar! Aku akan
melindungimu!"
Nanjar melompat mendekat. Akan tetapi bukan ke-
palang terkejutnya si Dewa Linglung. Karena mengetahui nyawa Wintari sudah
melayang. Tampak dileher gadis itu tertancap jarum hijau.
Gadis itu telah tewas dalam keadaan berdiri.
"Keparat! sungguh-sungguh biadab!" berteriak Nan-
jar dengan marah.
Dipeluknya tubuh gadis itu lalu dipondongnya.
Wajah Nanjar tampak merah padam karena gusar-
nya tiada terperikan.
"Arya Pandan! iblis keparat! mengapa kau bunuhi
gadis-gadis yang tak berdosa" Keluarlah! Ayo bertarung denganku secara kesatria!
secara jantan! aku
akan melayani kau sampai seribu jurus, sampai titik darahku yang penghabisan!"
Nanjar berteriak-teriak
seraya melompat kesana-kemari. Sikapnya seperti
orang yang kurang waras.
Akan tetapi tak terdengar suara sahutan Arya Pan-
dan. Bahkan yang membuat mereka terkejut adalah,
tiba-tiba cuaca menjadi gelap.
Angin keras bersiutan. Saat itu juga terdengar sua-ra riuh disekeliling mereka.
Tersentak kaget Nanjar maupun Nini Galunggung.
Apakah yang dilihatnya"
Makhluk-makhluk menyeramkan dari mayat-mayat
hidup telah bermunculan berpuluh-puluh banyaknya
mengurung mereka.
Yang lebih mengerikan adalah dari mayat-mayat hi-
dup itu ada yang wajahnya sudah rusak dan anggota
tubuhnya sudah tidak sempurna.
Melihatnya banyaknya makhluk-makhluk para ar-
wah itu tak mau membuat kaki Nanjar menyurut
mundur. Demikian juga halnya dengan Nini Galung-
gung. Nini Galunggung melompat mendekati Nanjar.
"Setahuku pedangmu pedang Mustika. Mengapa tak
kau coba menggunakannya?" berbisik Nini Galung-
gung. Otak Nanjar mendadak menjadi terang. Dia se-
perti diingatkan. Senjata pedang Mustika Naga Merah itu memang mengandung
keghaiban. Siapa tahu dapat
mengusir makhluk-makhluk setan itu" pikir Nanjar.
Segera Nanjar pejamkan mata sejenak untuk me-
nyatukan kekuatan bathinnya dengan mengingat yang
Satu, yang Esa yaitu Tuhan Pencipta alam semesta.
Dengan mengharap pertolongan Dia jualah segala
kemukjizatan bisa terjadi.
Nanjar membuka matanya dengan keyakinan pe-
nuh. Tenaga dalamnya disalurkan kegagang pedang.
Dengan memuji nama Tuhan dia gerakkan pedang itu
melingkar. Tampak lengannya menggeletar.
Tiba-tiba cahaya merah memancar dari badan pe-
dang. Dalam gelap gulita itu seakan-akan ada seekor Naga melingkar yang
menjulurkan ekornya berwarna
merah menyala-nyala tengah berkelebatan.
Memang! Nanjar telah lepaskan jenazah Wintari
yang dipondongnya. Tubuhnya berkelebat. Dan dia
menerjang puluhan makhluk-makhluk para arwah itu
dengan penuh keyakinan.
Terdengarlah suara jeritan melengking disana-sini.
Setiap kilatan merah menyambar maka akan terdengar jeritan kesakitan. Lalu
sosok-sosok makhluk itu lenyap menjadi gumpalan asap hitam.
Kilatan-kilatan cahaya merah berbentuk Naga itu
membuat Nini Galunggung berseru kagum.
"Hebat! Pedang Mustika Naga Merah sungguh senja-
ta yang luar biasa!"
Baru saja dia memuji, tiba-tiba terdengar suara
aneh seperti puluhan batu dan ratusan pasir yang jatuh meluruk. Ketika dia
menengadah. Terkejut nenek ini bukan kepalang. Karena atap istana itu runtuh.
"Aiiiiih! celaka!" sentaknya terkejut. Namun secepat kilat dia sudah menyambar
jenazah Wintari dan melompat keluar untuk menyelamatkan diri.
Nanjar sendiri terkejut, karena tahu-tahu istana itu runtuh. Tiang-tiang dan
temboknya luluh hancur seperti bubuk. Sementara kilatan petir tiba-tiba muncul
berkredepan.

Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah"! apa yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekilas dia melihat Nini
Galunggung melompat dengan memondong jenazah Wintari.
Diapun berkelebat menyusul... Sedetik kemudian
terdengarlah suara bergemuruh. Istana itu roboh am-bruk, hancur luluh seperti
disedot ke dalam bumi.
Dari kejauhan keduanya memandang dengan mata
tak berkedip dan mulut ternganga.
DUA BELAS Berangsur-angsur cuaca menjadi terang benderang.
Aneh! keadaan tempat itu semua berubah. Tempat
itu menjadi sebuah tepat yang gersang. Semak belukar dan pohon-pohon tua cuma
ada beberapa gelintir. Sedangkan di tengah tegalan bekas tempat istana itu
berdiri ada sebuah arca yang sudah hancur. Bekas-bekas reruntuhan istana itu tak
menampak bekasnya
sedikitpun. Di saat mereka tercengang keheranan itu mendadak
terdengar suara bentakan keras menggeledek.
"Dewa Linglung! kau telah menghancurkan sesem-
bahan ku! terimalah kematianmu!" Puluhan tombak
bagaikan bayangan menderu ke arah Nanjar.
Itulah ilmu Tombak Dewa Murka yang dimiliki Arya
Pandan. Pemuda itu muncul dengan kemarahan luar
biasa. Bukan saja Nanjar telah memusnahkan ilmu
Pembangkit Arwah, tapi juga membuat Arya Pandan
jadi putus asa. Jelas akan gagallah seluruh cita-
citanya. Musnah harapannya untuk menumbangkan
kekuasaan Kerajaan Telaga Mandiri dan menggantikan menjadi Raja.
Kegelapan hati pemuda itu membuat dia menjadi
gelap mata. Kemarahannya tak terbendung. Di saat
semuanya menjadi berubah seperti wajarnya, dia me-
nerjang keluar dari tempat persembunyiannya untuk
menghabisi nyawa Nanjar.
Nyaris tubuh Nanjar terpanggang menjadi sate ka-
lau dia tak berlaku gesit. Dengan ilmu kera yang dimilikinya dia melompat-lompat
menghindar. "Keparat!" memaki Arya Pandan. Tangannya berge-
rak. Menderulah sinar hijau ke arah Nanjar yang baru saja lolos dari serangan
maut. Ratusan jarum maut meluruk ke arah si Dewa Lin-
glung. Dalam keadaan demikian itu Nanjar sungguh tak
menduga. Akan tetapi secara reflek dia gunakan pe-
dang mustikanya untuk menangkis. Gerakan memutar
pedang itu dibarengi dengan keyakinan. Aneh! Sinar hijau dari ratusan jarum maut
itu mendadak punah,
dan lenyap bagai terhisap masuk ke badan pedang.
Terperangah kaget Arya Pandan. Namun dia telah
lancarkan serangan lanjutan yang telah dipersiapkan.
Pukulan uap beracun yang jarang dipergunakan kalau bukan untuk menghadapi lawan
yang kuat, hari itu telah dipergunakan.
Arya Pandan telah siap lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya pada kedua
kepalan. Tampak uap un-
gu menghambur ke arah Nanjar, ketika dengan mem-
bentak keras dia layangkan pukulan mautnya.
Nini Galunggung yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan jadi terkejut.
Dia mengetahui pukulan itu amat berbahaya.
"Pukulan Racun Ungu!" sentaknya terkejut. Dia su-
dah mau berteriak untuk memperingatkan si Dewa
Linglung. Akan tetapi pada saat itu secercah kilatan merah telah terlebih dulu menyambar.
Terdengarlah suara jeritan melengking panjang. Tu-
buh Arya Pandan terhuyung-huyung. Matanya membe-
liak. Lidahnya terjulur. Ternyata dadanya telah ter-tembus pedang Mustika Naga
Merah yang secepat kilat telah dilemparkan Nanjar.
Tak lama tubuh Arya Pandan roboh terjungkal.
Nyawanya melayang!
Ternganga Nini Galunggung melihat kejadian itu.
Namun diam-diam dia bersyukur atas terhindarnya
Nanjar dari maut.
Akan tetapi bukan main terkejutnya Nini Galung-
gung ketika mengetahui Nanjar dalam keadaan ter-
huyung-huyung, dan jatuh terkapar.
Tak ayal dia melompat memburu. Dilihatnya bibir
pemuda itu meneteskan darah. Matanya terpejam. Pa-
da dadanya yang bergambar tato Naga itu tampak
warna dan sedikit luka bekas tusukan tombak.
Wajah pemuda itu pucat pasi.
"Nanjar! ah, kau... kau terkena pukulan itu?" suara Nini Galunggung mengandung
isak. Suara itu tampak
terdengar lain seperti biasanya.
"Nanjar! kau tak boleh mati! aku tahu akibat puku-
lan itu! Tapi kau tak boleh mati begitu cepat!" berkata Nini Galunggung dengan
penuh kekhawatiran. Dan....
tiba-tiba.... Plas! Dia telah merenggut kulit wajahnya.
"Kau....kau Roro" Hah!" benarkah?" berkata Nanjar
dengan suara tergagap.
"Benar! benar sayang...! Aku Roro Centil! Maafkan
aku, karena sengaja aku melakukan penyamaran.
Rambutku sengaja ku semir putih! Hihihi... lucu bukan" aku tampak seperti benar-
benar telah tua!" menyahut Roro.
Akan tetapi sambil tertawa air mata gadis pendekar ini bercucuran.
Dia tahu kalau nyawa Nanjar tak akan tertolong la-
gi. Benar saja! Tampak Nanjar berseru girang, akan tetapi langsung roboh lagi.
Pingsan! Apa yang terjadi" Nini Galunggung ternyata bukan
seorang nenek-nenek keriput.
Akan tetapi dia seorang gadis jelita yang berwajah cantik rupawan.
"Nanjar! kau lihatlah siapa aku" Aku.... aku RORO!
Aku RORO! Kau dengarkah" aku RORO CENTIL!" te-
riak Nini Galunggung seraya mengguncang-
guncangkan tubuh Nanjar.
Mendengar demikian mata Nanjar mendadak terbu-
ka. Hatinya tersentak. Bagaikan dipagut ular dia
bangkit duduk. Sepasang mata pemuda itu membela-
lak memandang wajah rupawan terpampang didepan
matanya. Pucat seketika wajah Roro Centil.
"Celaka! dia tak boleh mati disini! aku harus menolongnya walau untuk
memperlambat kematian!" sentak Roro dalam hati.
Sekali sambar tubuh Nanjar telah berada dalam
pondongannya. Roro menoleh pada mayat Wintari se-
belum dia menindakkan kaki. Tangannya bergerak.
Sinar perak menyemburat menghantam tanah. Se-
ketika tanah menghambur menguruk tubuh jenazah
gadis malang itu.
Tak lama terdengar suara lengkingan panjang Roro
Centil. Tubuhnya berkelebat lenyap. Cuma terlihat sekilas bayangan hijau yang
melesat keluar dari hutan Werid yang gersang. Tempat itupun kembali senyap
mencekam.... Sebuah bayangan hitam tiba-tiba menyambar! Ter-
kejut Roro mengetahui yang menyambarnya adalah
seekor burung rajawali raksasa.
Dengan gesit dari perkasa Pantai Selatan itu me-
lompat menghindar.
"Jangan serang, Jabur!" teriak Nanjar tiba-tiba.
Tentu saja membuat Roro Centil terheran, karena
mendengar orang yang dipondongnya berteriak.
Tahu-tahu Nanjar melompat dari punggung Roro,
dan jejakkan kaki di atas batu. Mulutnya tertawa menyeringai.
"Jabur! jangan kurang ajar! ayo, turun!" tiba-tiba Nanjar berteriak ketika
melihat rajawali raksasa itu mau menyambar Roro lagi.
Si Jabur menukik melayang ke arah Nanjar lalu
hinggap didekat pemuda itu.
Roro Centil ternganga keheranan.
"Nanjar" kau...kau pemilik burung raksasa itu" Dan kau tak kenapa-kenapa?"
sentak Roro terkejut. Matanya membelalak menatap Nanjar.
"Hahaha... jangan khawatir, Roro! Tubuhku kebal
terhadap racun! Burung Rajawali ini memang peliha-
raanku! Ah, senang sekali berjumpa denganmu, Ro-
ro...!" berkata Nanjar seraya melompat mendekati dara perkasa ini.
"Huuu, konyol!" gerutu Roro. Tiba-tiba wajah gadis ini berubah merah, jengah.
Tadi dia telah memeluki dan menangisi nasibnya, ternyata pemuda ini hanya
pura-pura pingsan saja.
"Roro...! kuharap kau jangan pergi dulu. Aku...
aku... cin..cin.. ta padamu..." suara Nanjar terdengar menggeletar.
"Gila! sinting!" memaki Roro dengan tersenyum. Ti-
ba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.
Nanjar terkejut melihat gadis pendekar itu begitu
cepat lenyap dari pandangan matanya.
"Rorooo...!" teriak Nanjar.
Akan tetapi Roro benar-benar telah lenyap dari
tempat itu. Nanjar berdiri menjublak dengan hati terasa sedih.
"Haih! aku sendiri tak mengetahui kenapa pukulan
beracun Arya Pandan tak mempan ditubuhku?" berka-
ta Nanjar dalam hati. Nanjar tak menyadari kalau ha-wa racun itu telah tersedot
oleh pedang mustikanya yang meluncur ke arah Arya Pandan dan berbalik me-
newaskan manusia telengas itu.
Nanjar cabut pedang Mustika Naga Merah yang me-
nancap ditubuh Arya Pandan.
"Jabur! mari! aku akan naik ke punggungmu. Kita
tinggalkan hutan Werid!" berkata Nanjar seraya me-
lompat ke punggung burung Rajawali yang telah terbang mendekat. Tak lama seekor
burung Rajawali raksasa terbang meninggalkan hutan Werid yang gersang.
Dewa Linglung terlihat di atas punggungnya tengah memeluk leher binatang itu.
Di atas punggung Rajawali itu Nanjar baru teringat pada sesuatu... "Haih! Pedang
Inti Es itu entah berada dimana" Kalau terkubur di istana hutan Werid yang
hancur itu alangkah sayangnya....?"
Namun Nanjar hanya bisa bernapas lega karena te-
lah melenyapkan seorang manusia durjana yang telah membawa kematian pada seorang
gadis yang sangat
dikasihinya, yaitu RANGGA WENI.
"Gadis malang.... agaknya kau tak berjodoh den-
ganku...." desis si Dewa Linglung dengan hati trenyuh.
TAMAT Scan by Clickers
Edit by Fujidenkikagawa
PDF by Abu Keisel
Document Outline
SATU *** *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN SEPULUH *** SEBELAS DUA BELAS TAMAT Panji Akbar Matahari Terbenam 4 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Kasih Diantara Remaja 9
^